strategi resusitasi pada syok hemoragik traumatik
DESCRIPTION
referat anestesiTRANSCRIPT
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
1/1
1
Strategi Resusitasi pada Syok Hemoragik Traumatik
Abstrak
Penatalaksanaan pasien trauma dengan syok hemoragik sangatlah kompleks dan sulit.
Meskipun pengetahuan kita tentang patofisiologi syok hemoragik pada pasien trauma telah
terakumulasi selama beberapa dekade terakhir, namun tingkat kematian pasien tersebut tetap
tinggi. Pada fase akut perdarahan, prioritas terapi adalah untuk menghentikan perdarahan secepat
mungkin. Selama perdarahan ini tidak terkontrol, dokter harus menjaga oksigenasi untuk
membatasi hipoksia jaringan, peradangan, dan disfungsi organ. Proses ini melibatkan resusitasi
cairan, penggunaan vasopresor, dan transfusi darah untuk mencegah atau memperbaiki
koagulopati akut akibat trauma. Strategi resusitasi yang optimal masih kontroversial sampai saat
ini. Untuk maju kita perlu menetapkan pendekatan terapi yang optimal dengan tujuan yang jelas
untuk resusitasi cairan, tekanan darah, dan kadar hemoglobin untuk memandu resusitasi dan
membatasi resiko kelebihan cairan dan transfusi.
Kata kunci: Trauma, Syok Hemoragik (Perdarahan), Resusitasi Cairan, Vasopresor,
Koagulopati Akut akibat Trauma.
Tinjauan
Pengantar
Perdarahan tetap menjadi penyebab utama dari kematian yang dapat dicegah setelah terjadinya
trauma. [1]. Pada fase akut perdarahan, prioritas terapi dokter adalah untuk menghentikan
pendarahan secepat mungkin. Syok hemoragik adalah keadaan patologis di mana volume
intravaskular dan pengiriman oksigen terganggu. Selama perdarahan ini tidak terkontrol, dokter
harus menjaga suplai oksigen untuk membatasi hipoksia jaringan, peradangan, dan disfungsi
organ. Prosedur ini melibatkan resusitasi cairan, penggunaan vasopresor, dan transfusi darah
untuk mencegah atau memperbaiki koagulopati traumatik. Namun, strategi resusitasi yangoptimal masih controversial yaitu pilihan cairan untuk resusitasi, target hemodinamik untuk
kontrol perdarahan, dan pencegahan optimal terjadinya koagulopati traumatik menjadi
pertanyaan yang menetap. Ulasan ini berfokus pada wawasan baru ke mere-susitasi strategi
dalam penatalaksanaan syok hemoragik traumatik.
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
2/1
2
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan adalah terapi intervensi pertama pada kasus syok hemoragik traumatik.
Kita akan membahas mengenai pilihan-piihan jenis cairan untuk resusitasi. Tidak ada bukti
dalam literatur yang mendukung keunggulan satu jenis cairan dari jenis lain untuk terapi cairan
pada pasien trauma. Keuntungan ganda yang penting yang dimiliki oleh cairan koloid
dibandingkan cairan kristaloid adalah bahwa koloid dapat menginduksi ekspansi plasma yang
lebih cepat dan persisten karena dapat meningkatkan tekanan onkotik dalam jumlah besar dan
dengan cepat dapat memperbaiki sirkulasi. Meskipun golongan kristaloid lebih murah, hasil
penelitian telah menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari pemberian koloid bagi kelangsungan
hidup. Namun, resusitasi dengan kristaloid dalam volume besar telah dikaitkan dengan
terjadinya edema jaringan, peningkatan insiden terjadinya sindrom kompartemen abdomen [2]
dan asidosis metabolik hiperkloremik [3]. Penelitian yang dilakukan oleh SAFE menunjukkan
bahwa pemberian albumin aman untuk resusitasi cairan pada pasien unit perawatan intensif
(ICU) dan bahwa tidak ada perbedaan dalam angka kematian pasien yang dirawat dengan
albumin dan larutan saline [4]. Dalam subkelompok pasien trauma, para peneliti mengamati efek
positif manfaat penggunaan larutan saline dibandingkan penggunaan albumin. Perbedaan dalam
hubungan risiko kematian diakibatkan oleh jumlah yang lebih besar dari pasien yang memiliki
trauma dan berhubungan dengan cedera otak dan yang meninggal setelah terapi acak dengan
penggunaan kelompok albumin dibandingkan dengan kelompok saline. Tidak ada mekanismeyang dapat digunakan untuk menjelaskan temuan ini, namun hipo-osmolaritas yang rendah dari
albumin dapat meningkatkan risiko edema otak. Sebuah temuan Cochrane baru-baru ini [5]
pada pasien kritis (pasien dengan trauma, luka bakar, atau setelah operasi) melaporkan tidak
ada bukti yang dikumpulkan dari RCT bahwa resusitasi dengan koloid mengurangi risiko
kematian dibandingkan dengan resusitasi dengan kristaloid. Dalam reviewstudi klinis pada tahun
2002 yang didokumentasikan pada pasien ICU yang menerima HES, gelatin, dekstran, atau
albumin, Groeneveld et al. [6] menunjukkan bahwa gangguan koagulasi, perdarahan klinis, dan
kerusakan ginjal akut (AKI) sering dilaporkan setelah pemberian infus HES. Secara khusus,
analisis ini sangat dipengaruhi oleh studi VISEP ( Volume Subsitution and Insulin Therapy in
Severe Sepsis study) [7], di mana mantan-generasi HES digunakan (200/0.5) dalam dosis yang
melebihi dosis maksimal yang direkomendasikan. Metanalisis ini memperhitungkan populasi
heterogen pasien dengan strategi terapi yang berbeda. Baru-baru ini, Perner et al. [8] telah
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
3/1
3
menunjukkan peningkatan risiko kematian (mati pada hari ke 90) pada pasien dengan sepsis
berat yang diberikan resusitasi cairan dengan HES 130/0.42 (6% HES 130/0.42 dalam Ringer's
acetat, generasi terakhir HES) dibandingkan dengan mereka yang diberikan Ringer's acetate.
Selain itu, lebih banyak pasien yang memerlukan terapi penggantian ginjal pada kasus
penggunaan kelompok HES 130/0.42 (22%) dibandingkan dengan yang menggunakan
kelompokRinger's acetat(16%). Dalam mencari titik terang penjelasan jalur patofisiologi yang
logis dengan aktivasi peradangan antara sepsis dan trauma, penggunaan HES menimbulkan
keprihatinan serius sehubungan dengan keamanan penggunaannya pada pasien trauma [9].
Dengan demikian, ada kebutuhan yang menjadi alasan penting untuk mempelajari kasus
pasien trauma yang mengalami syok hemoragik. Baru-baru ini, sebuah studi acak yang
terkontrol membandingkan penggunaan larutan saline 0,9% dengan hydroxyethyl starch (pati
hidroksietil HES 130/0.4) pada pasien trauma penetrasi tumpul yang memerlukan > 3 liter cairan
resusitasi [10]. Pada pasien dengan trauma penetrasi (n = 67), penggunaan HES (130/0.4)
dikaitkan dengan pembersihan laktat dalam tubuh dengan lebih baik, sehingga menunjukkan
keamanannya untuk resusitasi awal. Selanjutnya, skor maksimum yang lebih rendah dari SOFA
dan tidak adanya potensi terjadinya kerusakan ginjal akut ditemukan pada kelompok HES.
Namun, pada pasien dengan trauma tumpul (n = 42), tidak ada perbedaan dalam kebutuhan
cairan, pembersihan laktat, dan skor SOFA maksimum antara dua kelompok tersebut. Selain itu,
persyaratan darah dan produk-produknya yang lebih besar diperlukan dalam penggunaan
kelompok HES dengan perubahan signifikan yang lebih besar dalam terjadinya koagulasi
(thromboelastography). Sulit untuk menarik kesimpulan karena pasien dalam kelompok HES
mengalami luka yang lebih parah dibandingkan pasien dalam kelompok saline sehingga perlu
diterapkan kewaspadaan ketika kita menginterpretasikan hasil karena penelitian ini hanya
didasarkan pada ukuran sampel yang kecil.
European Guidelines terbaru untuk manajemen pendarahan setelah cedera yang parah
[11] merekomendasikan bahwa kristaloid harus diterapkan sebagai terapi awal untuk menangani
pendarahan pada pasien trauma dan bahwa penambahan koloid harus dipertimbangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Di antara golongan koloid, larutan HES atau
gelatin adalah yang paling baik digunakan. Pedoman ini merekomendasikan penggunaan
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
4/1
4
generasi HES terbaru dalam batas yang ditentukan karena risiko terjadinya AKI dan perubahan
dalam koagulasi.
Larutan saline hipertonik (HTS) merupakan hal yang menarik dalam penatalaksanaan
syok hemoragik traumatik. HTS memiliki manfaat utama mengekspansi volume darah dengan
cepat dengan volumenya yang kecil, terutama jika digunakan bersama koloid. Selanjutnya, HTS
dapat digunakan sebagai agen hiperosmolar pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial. Namun, HTS gagal memperbaiki hasil di RCT terbaru [12,13]. Bulger et al. [12]
melaporkan bahwa penggunaan HTS + dekstran di luar resusitasi yang dilakukan di rumah sakit
tidak menurunkan kemampuan bertahan hidup pasien-pasien tanpa sindrom distres napas akut
dalam rentang waktu 28 hari pada kasus trauma tumpul dengan tekanan darah sistolik (Systolic
blood pressure (SAP))sebelum masuk rumah sakit 90 mmHg. Namun demikian, keuntungan
metode ini ditemukan pada subkelompok pasien yang membutuhkan 10 U atau lebih PRC dalam
24 jam pertama. Baru-baru ini, penulis yang sama tidak dapat menunjukkan kemajuan dalam
kemampuan bertahan hidup sebagai hasil dari pertolongan dengan SSH + dekstran yang
dilakukan di luar rumah sakit pada pasien syok hemoragik (SAP 70 mmHg atau SAP 71- 90
mmHg dengan denyut jantung 108 bpm) [13]. Angka kematian yang lebih tinggi diamati pada
pasien yang menerima HTS dalam subkelompok pasien yang tidak menerima transfusi darah
dalam 24 jam. Untuk menjelaskan efek ini, penulis berhipotesis bahwa penggunaan SSH di luar
rumah sakit bisa menutupi tanda-tanda hipovolemik dan menunda diagnosis syok menoragik.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa pengguanaan SSH di luar rumah sakit pada pasien dengan
cedera otak traumatik yang parah tidak meningkatkan pemulihan fungsi neurologis mereka.
Agen Vasoaktif
Resusitasi cairan adalah strategi pertama untuk mengembalikan tekanan arteri rata-rata
pada kasus syok hemoragik. Namun, agen vasopresor juga diperlukan untuk menopang hidup
dan mempertahankan perfusi ke jaringan pada kasus hipotensi persisten, bahkan ketika ekspansi
fluida berlangsung dan hipovolemia belum diperbaiki. Hal ini sangat penting karena perfusi ke
jaringan secara langsung berhubungan dengan tekanan kemudi (perbedaan antara tekanan kapiler
di lokasi masuk dan keluarnya fluida), radius pembuluh darah, dan kepadatan kapiler; dan
sebagai tambahan bahwa perfusi ke jaringan berbanding terbalik dengan viskositas darah.
Dengan demikian, tekanan arteri merupakan penentu utama perfusi ke jaringan.
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
5/1
5
Norepinefrin (NE), yang sering digunakan untuk mengembalikan tekanan arteri pada
syok septik dan hemoragik, merupakan agen yang saat ini direkomendasikan sebagai pilihan
selama terjadinya syok septik [14]. NE adalah agen simpatometik dengan efek predominan
sebagai vasokonstriktor. NE menstimulasi reseptor -Adrenergik baik di arteri maupun vena
[15]. Selain sebagai arterial vasokonstriktor, NE juga menginduksi venokonstriksi (terutama
pada tingkat sirkulasi splanikus), yang menginduksi peningkatan tekanan dalam kapasitansi
pembuluh darah dan secara aktif menggeser volume darah vena menjadi sirkulasi sistemik [16].
Stimulasi adrenergik vena ini dapat melibatkan darah dari volume vena tanpa tekanan, yaitu
volume darah yang mengisi pembuluh darah tanpa menghasilkan tekanan intravaskular. Selain
itu, stimulasi 2reseptor adrenergik menurunkan resistensi vena dan meningkatkan aliran balik
vena [16]. Poloujadoff et al. [17], dalam studinya tentang hewan selama terjadi perdarahan yang
tidak terkendali, mengemukakan bahwa infus NE mengurangi jumlah cairan yang diperlukan
untuk mencapai target tekanan arteri dan berkorespondensi dalam menurunkan volume
kehilangan darah dan secara signifikan meningkatkan ketahahan hidup. Oleh karena itu dapat
dikemukakan bahwa penggunaan awal NE dapat mengembalikan tekanan darah secepat
mungkin, mengurangi resusitasi cairan, dan hemodilusi. Namun, perlu diketahui bahwa efek
penggunaan NE pada manusia dengan syok hemoragik traumatik belum diteliti dengan ketat.
Sebuah studi analisis multicenter, prospektif, dan kohort yang dirancang untuk mengevaluasi
jumlah orang dewasa yang menderita cedera tumpul dan syok hemoragik mengemukakan bahwapenggunaan awal vasopresor untuk mempertahankan hemodinamik setelah syok hemoragik
dapat merugikan dibandingkan dengan penggunaannya yang agresif pada resusitasi, serta harus
digunakan secara hati-hati [18].
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, ini merupakan analisis prospektif
yang kedua, studi kohort, dan tidak dirancang untuk menjawab hipotesis spesifik yang teruji;
kedua, kelompok yang mendapatkan terapi vasopresor memiliki insiden torakotomi yang lebih
tinggi. Dengan demikian, diperlukan sebuah studi prospektif untuk menentukan efek vasopresordalam penggunaannya pada pasien dengan syok hemoragik. Sebagai kesimpulan, vasopresor
dapat sangat berguna jika digunakan sementara untuk mempertahankan tekanan arteri dan
mempertahankan perfusi jaringan selama hipotensi persisten dan juga untuk resusitasi cairan
(Gambar 1). Selain itu penggunaan awal NE dapat membatasi resusitasi cairan dan hemodilusi.
Jika kita menggunakan NE pada tahap awal, kita harus mencatat nilai objektif tekanan arteri
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
6/1
6
yang direkomendasikan (SAP 80- 100 mmHg) [11]. Dengan demikian, dosis NE harus dititrasi
sampai kita mencapai target SAP (Gambar 1). Resusitasi cairan harus dilakukan dan dititrasi
sesuai dengan indikator responpreload, outputjantung, dan penanda oksigenasi jaringan. Karena
vasopresor dapat meningkatkan afterload jantung ketika infus berlebihan atau gangguan fungsi
ventrikel kiri, maka merupakan hal penting untuk menilai fungsi jantung pada pemeriksaan USG
awal. Disfungsi jantung pada pasien trauma setelah memar jantung, efusi perikardial, atau cedera
otak sekunder dengan hipertensi intrakranial dapat diperbaiki. Terjadinya disfungsi miokard
membutuhkan pengobatan dengan agen inotropik, seperti dobutamin atau epinefrin. Tidak
adanya evaluasi terhadap fungsi jantung atau pemantauan output jantung, yang sering diamati
pada pasien dalam fase akut syok hemoragik, membuat kita harus mencurigai suatu disfungsi
jantung jika terjadi respon yang buruk terhadap ekspansi cairan dan NE.
Apa Tujuan Resusitasi Cairan dan Pengontrolan Tekanan Darah?
Tekanan arteri rata-rata, yang merepresentatifkan tekanan perfusi dari semua organ
(kecuali jantung), dapat berfungsi sebagai target yang harus dicapai oleh dokter pada
penggunaan terapi awal cairan. Suatu elemen penting dari resusitasi pada pasien dengan syok
hemoragik adalah untuk mencegah potensi meningkatnya perdarahan dengan manuver-manuver
resusitasi yang terlalu agresif. Resusitasi cairan dapat menyebabkan koagulopati dengan cara
mengurangi faktor koagulasi dan menginduksi terjadinya hipotermia. Selain itu, tekanan arteri
rata-rata yang tinggi (MAP) dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dengan mencegah
terbentuknya formasi bekuan. Dua konsep telah muncul dalam beberapa tahun lalu: Konsep
"resusitasi volume rendah" dan konsep "resusitasi hipotensif". Seringkali kedua konsep ini
digabung. Beberapa penelitian eksperimental telah menyarankan bahwa penggunaan cairan yang
terbatas berhubungan dengan rendahnya tekanan darah sebagai titik akhir yang dapat membatasi
pendarahan tanpa kaitannya dengan peningkatan risiko kematian [19]. Bickell et al. [20] pada
tahun 1994 menguji konsep ini pada pasien hipotensi dengan luka tembus di dada. Mereka
membandingkan resusitasi cairan langsung dan yang ditunda dan melaporkan bahwa pemberiancairan intravena secara agresif harus ditunda sampai intervensi operatif dilakukan. Dengan
demikian, Bickell dkk mendukung konsep membawa pasien secepat mungkin ke unit pusat
trauma dan membatasi resusitasi cairan hingga saat intervensi operasi. Baru-baru ini, sebuah
studi kohort retrospektif pada pasien American Trauma Data Bank [21] menyebutkan bahwa
tidak ada manfaat penggunaan terapi cairan intravena sebelum masuk rumah sakit untuk
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
7/1
7
meningkatkan ketahanan hidup. Konsep ini dapat terbatas untuk beberapa faktor, seperti pasien
yang lebih tua, cedera otak berat, atau lamanya waktu tempuh pasien dibawa ke rumah sakit
(trauma pedesaan). Penelitian selanjutnya diperlukan untuk memperjelas volume dan waktu
resusitasi cairan sebelum tindakan bedah atau mengontrol perdarahan pada embolisasi
angiografi. Penggunaan volume resusitasi yang minimal lebih baik dibandingkan volume yang
resusitasi yang agresif sebelum perdarahan aktif terkontrol. Merupakan hal yang sangat penting
untuk mencegah hemodilusi dengan membatasi cairan resusitasi dan menggunakan strategi
transfusi agresif. Sebagai tambahan, meskipun resusitasi cairan memadai,, hanya darah transfusi
yang dapat meningkatkan oksigenasi jaringan [22]. Dengan demikian, salah satu kunci adalah
bahwa kita harus mempertimbangkan transfusi darah secara awal dalam manajemen syok
hemoragik untuk meningkatkan perfusi oksigen ke mikrovaskuler.
Tingkat optimal tekanan darah selama resusitasi pasien syok hemoragik masih
diperdebatkan. Tujuan awalnya adalah untuk mengontrol perdarahan sesegera mungkin dan
untuk mempertahankan tekanan arteri minimal sehingga membatasi hipoksia jaringan. Restorasi
tekanan arteri dengan perdarahan yang tidak terkontrol menghadapkan pasien pada risiko
meningkatnya perdarahan atau pencegahan pembentukan bekuan. Dutton et al. [23]
mengemukakan bahwa titrasi cairan awal terapi menjadi lebih rendah dari tekanan darah sistolik
normal (70 mmHg) selama perdarahan aktif tidak mempengaruhi angka kematian. Rendahnya
jumlah dan heterogenitas pasien yang diteliti membatasi kesimpulan dari penelitian ini. Sebagai
contoh, rata-rata tekanan darah sistolik adalah 100 17 mmHg pada kelompok 70-mmHg,
karena tekanan darah meningkat secara spontan menuju nomal pada beberapa pasien. Baru-baru
ini, Morrison et al. [24], saat mengevaluasi pasien syok hemoragik yang memerlukan operasi
segera, membandingkan strategi resusitasi intraoperatif dan hipotensi, dimana target MAP
adalah 50 mmHg dengan strategi standar resusitasi cairan MAP 65 mmHg. Strategi resusitasi
yang hipotensif merupakan strategi yang aman dengan penurunan insiden koagulopati
pascaoperasi yang diperoleh dari pengurangan produk transfusi darah yang signifikan danpemberian cairan IV secara keseluruhan. Namun dalam penelitian ini, tidak ada perbedaan MAP
dalam kedua kelompok (64,4 mmHg dan 68,5 mmHg), meskipun berbeda tujuan MAP. Penulis
mengaitkan tidak adanya perbedaan MAP dalam mempercepat pengontrolan perdarahan pada
kelompok 50-mmHg dengan menginduksi MAP spontan meningkat dalam kelompok ini.
Dengan demikian, terdapat ketiakcukupan kualitas atau kuantitas bukti untuk menentukan level
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
8/1
8
optimal tekanan darah selama syok hemoragik aktif. Pedoman Eropa untuk manajemen
perdarahan pada pasien trauma merekomendasikan sasaran tekanan darah sistolik 80 hingga 100
mmHg sampai pendarahan utama berhasil dihentikan pada tahap awal setelah trauma pada pasien
tanpa cedera otak [11] (Gambar 1). Pada kasus syok hemoragik tramatik dengan cedera otak
berat, tekanan perfusi serebral harus dipertahankan dengan meningkatkan tekanan arteri untuk
mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Sebelum memantau tekanan intrakranial, kita harus
menentukan tingkat optimal tekanan arteri dengan menggunakan transcranial Doppler untuk
mendapatkan keseimbangan terbaik antara perfusi otak yang optimal dan risiko meningkatnya
pendarahan (Gambar 1).
Transfusi dan Pencegahan Koagulopati Akut pada Kasus Trauma
Koreksi dan pencegahan terjadinya koagulopati traumatik (koagulopati akut trauma,
ACoT) telah menjadi tujuan utama dari manajemen awal resusitasi pada syok hemoragik. Seperti
diilustrasikan pada Gambar 2, beberapa mekanisme yang saling berinteraksi berkontribusi pada
peningkatan insiden koagulopati traumatik:
1) Fenomena Kehilangan-dilusi: perdarahan dan hemodilusi sekunder pada resusitasi cairan
menyebabkan hilangnya faktor koagulasi dan trombosit
2) Aktivasi koagulasi yang berlebihan: aktivasi koagulasi yang diadaptasi dalam menanggapi
cedera hemoragik dapat menjadi berlebihan akibat pengaruh fenomena lokal maupun umum.
Sebagai contoh, jaringan cedera dapat menyebabkan cedera endotel yang terkait dengan reaksi
inflamasi lokal dan sistematis; reaksi-reaksi ini penting untuk memproduksi faktor jaringan dan
faktor VII yang dapat mengaktifkan koagulasi secara berlebihan
3) Fibrinolisis: dengan aktivasi koagulasi berlebihan, respon fibrinolitik dapat melebih-lebihkan
peran fisiologisnya dalam mengendalikan koagulasi
4) Hipotermia: hipotermia menyebabkan perubahan fungsi trombosit, faktor koagulasi, dan
fibrinolisis. Hipotermia disebabkan oleh resusitasi cairan yang agresif
5) Asidosis: asidosis metabolik menyebabkan koagulopati oleh penurunan berarti dari aktivitasfaktor koagulasi, fungsi trombosit, dan degradasi fibrinogen
6) Hipokalemia: hemodilusi yang diinduksi oleh cairan resusitasi dan sitrat yang terkandung
dalam produk darah setelah transfusi masif berkontribusi pada hipokalsemia.
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
9/1
9
7) Anemia: sel darah merah memiliki peranan penting dalam hemostatis. Aliran sel darah merah
mempertahankan trombosit berdekatan dengan sel-sel endotel, dan ini dapat mengaktifkan fungsi
trombosit.
Risiko koagulopati tergantung pada konteks. Bila perdarahan terjadi selama operasi,
dokter bedah harus segera mengontrol pendarahan dengan penggunaan cairan dan pengembalian
volume sel darah merah secara cepat untuk menghindari atau membatasi koagulopati menjadi
hanya sebuah fenomena kehilangan keenceran". Namun, dalam syok hemoragik traumatik,
koagulopati sering terjadi (10% sampai 34% dari pasien trauma) dan multifaktorial [25,26],
tergantung pada tingkat keparahan syok dan trauma, dan ini merupakan faktor independen dalam
morbiditas dan mortalitas pasien trauma.
Hal ini penting untuk menghindari keterlambatan dalam menyuplai darah dan komponen-
komponenya. Resusitasi hemostatis yang optimal membutuhkan tindakan cepat dengan
komunikasi yang baik dan koordinasi antara dokter yang mengobati dengan penyedia layanan
transfusi. Dua poin utama dalam pengelolaan pasien trauma adalah: 1) penilaian reguler atas
kemajuan terapi penggantian yang menggunakan penilaian klinis dan pemantauan parameter
koagulasi, dan 2) penggunaan protokol transfusi yang tepat dengan pedoman pelaksanaan yang
tepat.
Karena kemungkinan terdapat keterlambatan yang tak terelakkan dalam memproses dan
menerima hasil laboratorium, fasilitas lainnya menggunakan acuan perawatan yang mencakup
thromboelastography. Di samping koagulasi, pemantauan pasien trauma dengan cara
thrombelastography (TEG) atau tromboelastometry (ROTEM) atau aktifnya waktu pembekuan
(ACT) dapat mengarahkan kita ke diagnosis dengan lebih cepat daripada ACoT. Selain itu,
perangkat pemantauan ini memungkinkan manajemen koagulasi personal, yang berfungsi untuk
memandu terapi koagulasi sesuai dengan kebutuhan pasien yang sebenarnya. Kami telah
mengamati bahwa beberapa tim klinis telah melakukan pperubahan dalam praktek transfusi
dengan manajemen koagulasi berbasis tujuan berdasarkan hasil TEG [27,28].
Adanya kecenderungan penundaan transfusi dan resusitasi yang melibatkan laboratorium,
maka institusi-institusi yang menangani pasien dengan pendarahan masif harus menerapkan
protokol transfusi yang tepat dan memahami alur distribusi produk darah. Dapat pula dilakukan
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
10/
10
dengan membuat semacam seperti protokol yang dapat mengurangi waktu distribusi dan
administrasi komponen darah. Ketidakstabilan alur distribusi komponen darah mungkin dapat
membantu mengurangi tingkat kematian pasien trauma yang mendapatkan transfusi secara masif.
Transfusi Sel Darah Merah dan Plasma Beku Segar(F resh Frozen Plasma)
Penggunaan awal sel darah merah atau red blood cells(RBC) dan plasma beku segar atau
fresh frozen plasma (FFP) merupakan prioritas untuk mempertahankan suplai oksigen arterial
dan mengembalikan fungsi koagulasi yang efektif. Tidaklah mungkin menentukan kadar
hemoglobin yang optimal pada pasien dengan syok hemoragik traumatik karena tidak adanya
penelitian yang menilai hubungan antara kadar hemoglobin dan hasil yang merugikan pada
pasien dengan perdarahan kritis. Selain itu, target kadar hemoglobin dapat tergantung pada
riwayat medis pasien (umur, riwayat penyakit kardiovaskular) dan jenis trauma (ada atau tidak
adanya cedera otak). Penggunaan RBC ini dianggap sangat perlu ketika kadar hemoglobin < 7 g /
dL [11]. Rekomendasi ini terutamanya berdasarkan pada hasil penelitian Transfusion
Requirements in Critical Care (TRICC) [29]. Dalam percobaan ini, Hebert et al. mengacak
stabilitas hemodinamik, pasien dengan penyakit kritis menggunakan sebuah strategi transfusi
yang bersifat leluasa dengan target kadar hemoglobin 10-12 g / dL, atau membatasi strategi,
dengan target kadar hemoglobin < 7-9g/dL. Angka kematian adalah serupa pada kedua
kelompok penelitian ini yang kemudian memperlihatkan bahwa strategi transfusi restriktif adalah
setidaknya sama amannya dengan pendekatan liberal. Pada pasien-pasien cedera otak, data-data
yang dimiliki tidak cukup untuk mendukung dilakukannya pembatasan kadar hemoglobin
maupun kadar hemoglobin yang bebas [30,31]. Namun, pada beberapa pusat kesehatan, pasien-
pasien dengan cedera otak ditransfusi hingga memperoleh kadar hemoglobin 10 g / dL. Strategi
ini didasarkan pada temuan bahwa peningkatan hemoglobin dari 8,7 menjadi 10,2 g / dL dapat
meningkatkan oksigenasi serebral lokal [32].
Dalam kasus pendarahan utama yang mengancam jiwa, pasien dapat ditransfusikan
dengan menggunakan golongan darah O Rh-negatif dalam RBC. Namun demikian, terapi ini
harus dianggap sebagai pengecualian, dan harus dilaksanakan sebagai bagian dari protokol
transfusi masif.
Pemberian FFP harus dikaitkan dengan transfusi sel darah merah sesegera mungkin untuk
mengkompensasi defisit faktor koagulasi. Dosis awal yang direkomendasikan adalah 10 sampai
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
11/
11
15 ml / kg [11]. Dosis tambahan akan tergantung pada hasil pemantauan parameter koagulasi.
FFP dianjurkan bila PT atau APTT 1,5 kali nilai normal (Gambar 1).
Beberapa penelitian terbaru yang melibatkan trauma yang terjadi pada pasien militer atau
sipil telah menyarankan pentingnya penggunaan RBC / FFP rasio sekitar 1:1. Namun, hasil ini
harus ditafsirkan dengan hati-hati karena potensi ketahanan hidup bias (yaitu, pasien yang
meninggal dini lebih mungkin telah menerima RBC / FFP dengan rasio yang lebih tinggi).
Dengan demikian, nilai optimal untuk rasio RBC dan FFP masih kontroversial. Kashuk et al.
[33] melaporkan bahwa pada pasien sipil dengan rasio RBC: FFP yang tinggi (rata-rata 2:1)
dikaitkan dengan peluang hidup yang lebih besar dibandingkan rasio RBC : FFP yang lebih
rendah (rata rata 4:1), tetapi penulis ini menggambarkan hubungan berbentuk U antara risiko
kematian dan rasio RBC: FFP dengan ambang batas kritis untuk bertahan hidup dalam kisaran
2:1 dan 3:01 RBC: FFP. Dengan demikian, tidak ada kesepakatan mutlak pada sasaran optimal
RBC: Rasio FFP. Penelitian terbaru harus diarahkan untuk dapat mendefinisikan target rasio
optimal RBC: FFP dan mengidentifikasi pasien yang dapat bermanfaat. Pedoman pengelolaan
darah milik Australia dan Selandia Baru menyarankan rasio RBC: FFP: trombosit sama dengan
02:01:01 [34]. Rekomendasi serupa baru-baru ini ditetapkan juga oleh French Health Products
Safety Agency(Agence nationale de scurit du obat et des produits de Sante-AFS- SAPS). Rasio
RBC:FFP merupakan elemen penting dari resusitasi RBC dan plasma secara agresif, tetapi waktu
transfusi tentu saja menjadi elemen utama dan bahkan lebih penting dari rasio mentah RBC:FFP,
penggunaan awal sel darah merah dan FFP dapat memberikan hasil yang lebih baik pada pasien
dengan syok hemoragik traumatik [35]. Oleh karena itu, penting untuk memulai transfusi plasma
secepat mungkin (idealnya bersamaan dengan waktu transfusi RBC) (Gambar 2). Konsep
dasarnya adalah memiliki sebuah rencana yang agresif untuk mengembalikan hemostasis
biologis sesegera mungkin untuk secara cepat mengontrol perdarahan.
Pemantauan awal terjadinya pembekuan sangat penting untuk mengidentifikasi
koagulopati selama trauma dan untuk memfasilitasi dilakukannya goal-directed transfusion.
Namun, tes konevensional plasma berbasis koagulasi, seperti prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time(APTT), international normalized ratio(INR), fibrinogen, dan kadar
platelet, hanya mencerminkan inisiasi dari proses hemostatis dan tes tidak bisa digunakan untuk
mengevaluasi amplifikasi propagasi atau peningkatan fibrinolisis. Tes darah menyeluruh (whole
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
12/
12
blood assays) seperti TEG atau ROTEM, memberikan evaluasi yang cepat terhadap
pembentukan bekuan, kekuatan, dan lisis, yang mencerminkan keseluruhan proses hemostatis
[36,37]. Terdapat suatu bukti yang muncul dari aplikasi klinis teknik-teknik yang dilakukan di
ruangan pasien selama trauma. Penggunaan teknik ini telah memodifikasi strategi transfusi
beberapa petugas klinis. Sebagai contoh, Schchl et al. [27,28] melakukan pengkajian terhadap
manajemen goal-directed coagulation dengan menggunakan fibrinogen konsentrat dan
prothrombin complex concentrate(PCC), yang diberikan sesuai dengan ukuran ROTEM. Dalam
analisis retrospektif, penulis membandingkan antara pasien yang dirawat di pusat trauma dengan
pasien trauma yang tercatat dan melaporkan bahwa strategi manajemen goal-directed
coagulation dapat mengurangi kebutuhan transfusi RBC atau trombosit konsentrat, dalam
kaitannya dengan hemostatis berbasis terapi FFP. Dua puluh sembilan persen pasien dalam
kelompok fibrinogen-PCC menghindari pemberian transfusi sel darah merah sedangkan hanya
tiga persen pada pasien dalam kelompok FFP yang mana terdapat perbedaan angka kematian
dalam kedua kelomok ini. Pendekatan ini cukup menarik terutama karena berkenaan dengan
risiko potensial transfusi. Transfusi FFP dan trombosit konsentrat telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko beberapa sindrom disfungsi organ dan sindrom gangguan pernapasan akut
[38-40]. Namun isu yang menyebutkan bahwa peningkatan risiko terjadinya tromboemboli vena
dengan strategi pemberian fibrinogen konsentrat-PCC strategi belum dibuktikan.
Transfusi Trombosit dan Fibrinogen Konsentrat
Transfusi trombosit dianjurkan untuk dilakukan jika jumlah trombosit
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
13/
13
menjadi 0,4 -1 gL. Lebih dari 30 mL.kg-1 FPP diperlukan untuk meningkatkan kadar
fibrinogen plasma menjadi 1 g.L-1.
Asam Traneksamat
Baru-baru ini, uji coba terkontrol secara acak yang termasuk 20.211 pasien trauma [28]
menunjukkan bahwa pemberian rutin asam traneksamat (loading dose 1 gr selama 10 menit,
kemudian diinfus 1 g selama 8 jam) pada pasien dengan syok hemoragik dikaitkan dengan
penurunan angka kematian tanpa peningkatan komplikasi tromboemboli. Dengan demikian,
asam traneksamat dapat dikelopokkan dalam manajemen segera pasien dengan syok hemoragik
traumatik (Gambar 1 dan 2). Efek optimal obat ini diamati dalam 3 jam pertama penggunaannya
[28].
Faktor VIIA
Mengingat kegagalan Faktor VIIA rekombinan dalam menurunkan angka kematian
pasien syok hemoragik [41], penggunaan faktor ini harus didiskusikan kasus-per-kasus ketika
syok hemoragik tidak bisa dikendalikan oleh hemostasis bedah dan/atau angiografi dan ketika
parameter biologis yang bermacam-macam (yaitu hematokrit, trombosit, PT, APTT, calcemia,
dan pH) dapat dikoreksi dengan memadai [42]. Merupakan hal yang penting untuk
menyeimbangkan penggunaannya dengan resiko nyata insiden tromboemboli.
Terapi Adjuvan Syok Hemoragik
Syok hemoragik traumatik dikaitkan dengan respon intensif inflamasi yang sistemik.
Selama beberapa dekade yang lalu, strategi terapi banyak diuji dalam penanganan syok
hemoragik, seperti recombinant human activated proteinC (APC), antagonis reseptor IL-1, anti-
TNF atau agen anti-LPS, atau pengontrolan gula darah yang ketat. Namun, penanganan-
penanganan ini akhirnya menunjukkan ketidakefektifannya dan kadang-kadang berbahaya.
Baru-baru ini, percobaan multicenter menunjukkan bahwa penggunaan hidrokortison
pada pasien trauma secara signifikan mengurangi risiko terjadinya pneumonia (36% vs 51%) dan
penurunan durasi penggunaan ventilasi mekanik [30]. Tidak ada perbedaan angka mortalitas
yang ditemukan antara kedua kelompok. Bagaimanapun kita harus berhati-hati sebelum
merekomendasikan penggunaan awal kortikosteroid pascatrauma. Penelitian yang dilakukan oleh
CRASH tentang penggunaan kortikosteroid pasca cedera otak traumatik yang parah pada lebih
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
14/
14
dari 10.000 pasien, menemukan adanya peningkatan angka kematian pada kelompok pengguna
kortikosteroid dan tidak adanya perbedaan dalam angka kejadian pneumonia [31]. Sebuah
penelitian yang lebih besar dapat mulai dilakukan untuk mempelajari efek kortikosteroid
pascatrauma.
Kesulitan dalam penyediaan dan ketersediaan produk darah yang mana berisiko terinfeksi
dan imunomodulasi meyakinkan kita bahwa dibutuhkan suatu pengembangan carrier oksigen
berbasis hemoglobin (HBOCs) yang aman. Namun, generasi pertama HBOCs menyebabkan
hipertensi sistemik dan pulmonal dengan menurunkan curah jantung, mengakibatkan kerusakan
miokard, dan efek lainnya sepertiNO scavenging, stres oksidatif, dan hyperoxia. Generasi kedua
HBOCs sedang menjalani proses investigasi aktif. Agen-agen ini tampaknya dapat ditoleransi
dan mengakibatkan komplikasi yang lebih sedikit sehubungan dengan deplesi NO. Konjugasi
hemoglobin dan glikol polietilen (PEG) merupakan agen dengan potensi yang menjanjikan.
PEGylation meningkatkan viskositas yang menginduksi terjadinya stres endotel yang lebih
besar dan produksi NO secara lokal seiring peningkatan densitas fungsional kapiler [43]. Selain
itu,PEGylationjuga dapat meningkatkan tekanan onkotik dan mengakibatkan ekspansi volume
intravaskular. Dua fase percobaan III telah membuktikan bahwa penggunaan oxygenated PEG-
modified hemoglobin (MP4OX) berhubungan dengan penurunan yang signifikan dalam kejadian
hipotensi pada pasien yang menjalani artroplasti primer pinggul dengan anestesi spinal [44,45].
Saat ini, sebuah penelitian sedang mengevaluasi keamanan dan keberhasilan MP4OX pada
pasien trauma yang menderita asidosis laktat karena syok hemoragik yang berat. HBOCs dapat
digunakan sebagai alternatif oleh para dokter untuk meresusitasi pasien dengan syok hemoragik
traumatic.
Kesimpulan
Manajemen pasien trauma dengan syok hemoragik sangatlah kompleks dan sulit. Kami
merekomendasikan pengelolaan pasien-pasien ini di pusat-pusat yang merawat pasien dalam
jumlah yang besar (seperti trauma center). Selama beberapa dekade terakhir angka kematian
terus meningkat meskipun pengetahuan kita tentang patofisiologi syok hemoragik pada pasien
trauma bertambah luas. Peran dokter di sini adalah untuk mempertahankan suplai oksigen
meskiun perdarahan terus berlangsung, dan untuk membatasi hipoksia jaringan, peradangan, dan
disfungsi organ. Pada saat yang sama waktu, dokter harus mempertahankan kontrol perdarahan
-
5/24/2018 Strategi Resusitasi Pada Syok Hemoragik Traumatik
15/
15
saat proses pembedahan dan arteriografi dan mengontrol koagulopati untuk menghentikan
perdarahan pada pasien tersebut. Strategi resusitasi yang optimal masih kontroversial. Untuk
menjadi maju, kita perlu menetapkan pendekatan terapi yang optimal yang bertujuan jelas dalam
hal resusitasi cairan, tekanan darah, dan kadar hemoglobin yang nantinya dapat menjadi panduan
resusitasi dan membatasi risiko cairan yang berlebihan dalam resusitasi dan transfusi.