strategi perang harga dalam pemasaran : strategi pintar ......variasi model terbaru. semua produk...
TRANSCRIPT
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
STRATEGI PERANG HARGA DALAM PEMASARAN: STRATEGI
PINTAR ATAU TIDAK KREATIF
Pendahuluan
Persaingan yang sangat ketat dalam berbagai industri mengharuskan para pemasar selalu
mencari peluang terbaik untuk mempertahankan penjualan dan pangsa pasarnya dengan berbagai
aktivitas pemasaran yang dilakukan. Tuntutan manajemen meraih basil cepat dan barns berhasil dalam
jangka pendek untuk setiap akti vitas pemasaran yang dilakukan akan menuntun para pemasar mencari
langkah yang selalu dianggap tidak populer, yaitu aktivitas sales promotion. Aktivitas ini tidak
disarankan dalam berbagai literatur pemasaran, khususnya aktivitas membangun sebuah merek,
bahwa aktivitas sales promotion adalah aktivitas yang seharusnya dihindari dalam membangun
sebuah merek karena pada akhirnya akan mencederai merek (Aaker, 2001; Keller, 2001).
Hal ini menyebabkan banyak pertanyaan apakah semakin banyaknya pemasar- melakukan
aktivitas sales promotiondiakibatkan oleh kurangnya kreativitas para pemasar terhadap aktivitas
pemasaran lain, ataukah karena memang tuntutan pasar yang menghendakinya. Apakah aktivitas sales
promotion ini juga akan menyebabkan pelanggan menjadi meninggalkan merek favoritnya selama ini?
Sejauh yang diamati, tidak semua merek mempunyai kemampuan mempertahankan kesetiaan
pelanggannya setelah seringkali melakukan aktivitas sales promotion. Merek yang telah mempunyai
reputasi bagus dan berasal dari korporasi besar, misal merek ternama Panasonic, Sharp, Toshiba, LG,
Samsung akan mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kesetiaan pelanggannya,
dibandingkan merek yang berasal dari negara China ataupun dari negara berkembang lainnya. Sejauh
pengamatan maka persepsi konsumen terhadap sebuah merek akibat aktivitas pemasaran yang
dilakukan manajer merek cukup ditentukan oleh faktor-faktor reputasi kelompok perusahaan, negara
asal merek dan tingkat sosial ekonomi dari konsumen.
Pada kondisi dengan tingkat persaingan di industri produk konsumen belum seketat sekarang,
maka konsumen hanya memiliki pilihan merek yang terbatas sehingga akan cenderung menjatuhkan
pilihan pada produk dengan merek yang memiliki reputasi baik meskipun harganya tergolong lebih
mahal. Ketika kondisi persaingan tidak seketat sekarang, produk dengan merek premium sangat
jarang melakukan program pemasaran yang mengarah ke sales promotion. Sebagian besar- program
pemasaran yang dilakukan adalah aktivitas periklanan, termasuk di dalamnya pembelajaran ke
masyarakat tentang manfaat produk tersebut.
Perang harga dalam industri produk konsumen di Indonesia saat ini semakin menjadi-jadi.
Tingkat persaingan yang semakin ketat, selalu terjadi balas membalas untuk menurunkan harga
maupun melakukan aktivitas promosi yang berdampak pada harga produk. Merek dari perusahaan
besar- dan ternama pun harus melakukan hal yang sama untuk tetap mempertahankan posisinya di
dalam pasar-. Orientasi pemasaran adalah penjualan jangka pendek, sehingga aktivitas pemasaran yang
dilakukan tidak jarang juga merupakan program dadakan yang bukan merupakan basil perencanaan
secara matang.
Banyak merek besar berhasil dalam merebut posisi bagus di pasar- dengan strategi pemasaran
jangka pendek ini, namun banyak merekperusahaan besar- yang akhirnya tidak dapat mengikuti pola
Antonius Suryo Abdi
DIM UKSW
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 499
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
STRATEGI PERANG HARGA DALAM PEMASARAN: STRATEGI
PINTAR ATAU TIDAK KREATIF
Pendahuluan
Persaingan yang sangat ketat dalam berbagai industri mengharuskan para pemasar selalu
mencari peluang terbaik untuk mempertahankan penjualan dan pangsa pasarnya dengan berbagai
aktivitas pemasaran yang dilakukan. Tuntutan manajemen meraih basil cepat dan hams berhasil dalam
jangka pendek untuk setiap aktivitas pemasaran yang dilakukan akan menuntun para pemasar mencari
langkah yang selalu dianggap tidak populer, yaitu aktivitas sales promotion. Aktivitas ini tidak
disarankan dalam berbagai literatur pemasaran, khususnya aktivitas membangun sebuah merek,
bahwa aktivitas sales promotion adalah aktivitas yang seharusnya dihindari dalam membangun
sebuah merek karena pada akhirnya akan mencederai merek (Aaker, 2001; Keller, 2001).
Hal ini menyebabkan banyak pertanyaan apakah semakin banyaknya pemasar melakukan
aktivitas sales promotiondiakibatkan oleh kurangnya kreativitas para pemasar terhadap aktivitas
pemasaran lain, ataukah karena memang tuntutan pasar yang menghendakinya. Apakah aktivitas sales
promotion ini juga akan menyebabkan pelanggan menjadi meninggalkan merek favoritnya selama ini?
Sejauh yang diamati, tidak semua merek mempunyai kemampuan mempertahankan kesetiaan
pelanggannya setelah seringkali melakukan aktivitas sales promotion. Merek yang telah mempunyai
reputasi bagus dan berasal dari korporasi besar, misal merek temama Panasonic, Sharp, Toshiba, LG,
Samsung akan mempunyai kemampuan dalam mempertahankan kesetiaan pelanggannya,
dibandingkan merek yang berasal dari negara China ataupun dari negara berkembang lainnya. Sejauh
pengamatan maka persepsi konsumen terhadap sebuah merek akibat aktivitas pemasaran yang
dilakukan manajer merek cukup ditentukan oleh faktor-faktor reputasi kelompok perusahaan, negara
asal merek dan tingkat sosial ekonomi dari konsumen.
Pada kondisi dengan tingkat persaingan di industri produk konsumen belum seketat sekarang,
maka konsumen hanya memiliki pilihan merek yang terbatas sehingga akan cenderung menjatuhkan
pilihan pada produk dengan merek yang memiliki reputasi baik meskipun harganya tergolong lebih
mahal. Ketika kondisi persaingan tidak seketat sekarang, produk dengan merek premium sangat
jarang melakukan program pemasaran yang mengarah ke sales promotion. Sebagian besar program
pemasaran yang dilakukan adalah aktivitas periklanan, termasuk di dalamnya pembelajaran ke
masyarakat tentang manfaat produk tersebut.
Perang harga dalam industri produk konsumen di Indonesia saat ini semakin menjadi-jadi.
Tingkat persaingan yang semakin ketat, selalu terjadi balas membalas untuk menurunkan harga
maupun melakukan aktivitas promosi yang berdampak pada harga produk. Merek dari perusahaan
besar dan temama pun harus melakukan hal yang sama untuk tetap mempertahankan posisinya di
dalam pasar. Orientasi pemasaran adalah penjualan jangka pendek, sehingga aktivitas pemasaran yang
dilakukan tidak jarang juga mempakan program dadakan yang bukan merupakan basil perencanaan
secara matang.
Banyak merek besar berhasil dalam merebut posisi bagus di pasar dengan strategi pemasaran
jangka pendek ini, namun banyak merekpemsahaan besar yang akhirnya tidak dapat mengikuti pola
Antonius Suryo Abdi
DIM UKSW
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 499
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
seperti ini dan akhirnya secara perlahan mengalami kemunduran. Fenomena ini ditandai dengan
munculnya banyak merekbaru yang kuat di pasar dan selalu menggunakan standar EDLP (everyday
lowpricing) dengan cara banyak melakukan sales promotion. Hal ini juga menyebabkan tidak ada
satupun merek yang menduduki posisi superior.
Menurut Low and Mohr (2000) orang seringkali menunda pembelian sebuah produk sampai
produk tersebut dijual dengan harga "potong harga". Seringkali juga konsumen tanpa direncanakan
membeli sebuah produk karena adanya iming-iming hadiah. Banyak konsumen memanfaatkan suatu
insentif tambahan dalam membeli sebuah produk, yang merupakan salah satu aktivitas promosi
penjualan. Dalam beberapa tahun ini promosi penjualan banyak dilakukan oleh tenaga pemasar
perusahaan, baik perusahaan yang memiliki merek premium maupun tidak. Tidak dapat dipungkiri,
aktivitas promosi penjualan yang dijalankan para tenaga pemasar meningkat tajam dibandingkan
aktivitas periklanan lainnya (Nijs, 2001; Zacharias, 2009; Steenkamp, 2003). Promosi penjualan berperan besar bahkan kadang dominan dalam aktivitas pemasaran yang dilakukan para tenaga
pemasar. Hal ini bertujuan agar produknya dapat diterima konsumen. Namun hal ini juga dinilai oleh
para ahli pemasaran akan menyebabkan lemahnya brand equity sebuah merek produk. Diakui oleh
Keller (2008) bahwa pembahasan tentang pelemahan brand equity akibat sebuah aktivitas promosi
penjualan hanya didasarkan asumsi terhadap merek premium, dan belum tentu tepat untuk kategori
merek lainnya.
Banyak alasan kenapa para pemasar justru lebih banyak menggunakan sales promotion
dibandingkan memakai aktivitas pemasaran lainnya. Berkembangnya kekuatan para pengecer dalam
saluran distribusi adalah salah satu alasannya. Kadangkala perusahaan membuat penawaran khusus
untuk konsumen karena desakan kuat dari pengecernya. Namun perusahaan juga memberikan
penawaran khusus kepada konsumen dalam usaha menahan kekuatan pengecernya dengan harapan
dapat memperkuat kesetiaan konsumennya terhadap merekperusahaan.
Sifat alamiah persaingan telah berubah dengan makin sensitifnya harga ke konsumen. Pasar
lebih tersegmentasi, konsumen juga semakin menyadari tentang harga yang diterapkan oleh
perusahaan dan banyak pesaing lainnya. Kesepakatan harga juga sudah menjadi aturan baku untuk
banyak produk. Potongan pembelian untuk pembelian berbagai produk, kupon penjualan di pasar-
pasar swalayan, akan menyebabkan konsumen semakin mengharapkan kesepakatan harga. Seringnya
pembelian produk dengan potongan harga, maka menurut Aaker (2001) akan menyebabkan konsumen
selalu menunggu penawaran promosi ketimbang langsung membeli suatu produk tanpa kesepakatan
harga.
Ragam periklanan juga mendorong para tenaga pemasar menemukan cara baru untuk menarik
perhatian para konsumennya. Hanya menonjolkan manfaat produk masih dirasakan belum cukup
untuk menarik perhatian konsumen. Jadi pada akhirnya terjadi peningkatan pemakaian sales
promotion untuk menemukan terobosan langsung ke konsumen yang saat ini selalu mendapatkan
serbuan pesan-pesan promosi.
Hal lain yang mendorong kenapa para pemasar memakai promosi konsumen karena tekanan
dari manajemen perusahaan untuk basil jangka pendek. Banyak penanam modal menginginkan basil
yang segera daripada menunggu kestabilan jangka panjang perusahaan dari basil investasinya.
Menanggapi tekanan ini, para manajer pemasaran mencari jalan pintas untuk memenuhinya. Sales
promotion selalu digunakan demi meningkatkan penjualan jangka pendek (Zacharias, 2009; Low,
Dalam jalur pengecer, sales promotion untuk konsumen seringkali menjadi senjata ampuh
meningkatkan penjualan jangka pendek. Namun menurut Aaker (2001) dan Walker (2002) apabila
2000).
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 500
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
seperti ini dan akhirnya secara perlahan mengalami kemunduran. Fenomena ini ditandai dengan
munculnya banyak merekbaru yang kuat di pasar dan selalu menggunakan standar EDLP (everyday
lowpricing) dengan cara banyak melakukan sales promotion. Hal ini juga menyebabkan tidak ada
satupun merek yang menduduki posisi superior.
Menurut Low and Mohr (2000) orang seringkali menunda pembelian sebuah produk sampai
produk tersebut dijual dengan harga "potong harga". Seringkali juga konsumen tanpa direncanakan
membeli sebuah produk karena adanya iming-iining hadiah. Banyak konsumen memanfaatkan suatu
insentif tambahan dalam membeli sebuah produk, yang merupakan salah satu aktivitas promosi
penjualan. Dalam beberapa tahun ini promosi penjualan banyak dilakukan oleh tenaga pemasar
perusahaan, baik perusahaan yang memiliki merek premium maupun tidak. Tidak dapat dipungkiri,
aktivitas promosi penjualan yang dijalankan para tenaga pemasar meningkat tajam dibandingkan
aktivitas periklanan lainnya (Nijs, 2001; Zacharias, 2009; Steenkamp, 2003). Promosi penjualan
berperan besar bahkan kadang dominan dalam aktivitas pemasaran yang dilakukan para tenaga
pemasar. Hal ini bertujuan agar produknya dapat diterima konsumen. Namun hal ini juga dinilai oleh
para ahli pemasaran akan menyebabkan lemahnya brand equity sebuah merek produk. Diakui oleh
Keller (2008) bahwa pembahasan tentang pelemahan brand equity akibat sebuah aktivitas promosi
penjualan hanya didasarkan asumsi terhadap merek premium, dan belum tentu tepat untuk kategori
merek lainnya.
Banyak alasan kenapa para pemasar justru lebih banyak menggunakan sales promotion
dibandingkan memakai aktivitas pemasaran lainnya. Berkembangnya kekuatan para pengecer dalam
saluran distribusi adalah salah satu alasannya. Kadangkala perusahaan membuat penawaran khusus
untuk konsumen karena desakan kuat dari pengecemya. Namun perusahaan juga memberikan
penawaran khusus kepada konsumen dalam usaha menahan kekuatan pengecernya dengan harapan
dapat memperkuat kesetiaan konsumennya terhadap merekperusahaan.
Sifat alamiah persaingan telah berubah dengan makin sensitifnya harga ke konsumen. Pasar
lebih tersegmentasi, konsumen juga semakin menyadari tentang harga yang diterapkan oleh
perusahaan dan banyak pesaing lainnya. Kesepakatan harga juga sudah menjadi aturan baku untuk
banyak produk. Potongan pembelian untuk pembelian berbagai produk, kupon penjualan di pasar-
pasar swalayan, akan menyebabkan konsumen semakin mengharapkan kesepakatan harga. Seringnya
pembelian produk dengan potongan harga, maka menurut Aaker (2001) akan menyebabkan konsumen
selalu menunggu penawaran promosi ketimbang langsung membeli suatu produk tanpa kesepakatan
harga.
Ragam periklanan juga mendorong para tenaga pemasar menemukan cara baru untuk menarik
perhatian para konsumennya. Hanya menonjolkan manfaat produk masih dirasakan belum cukup
untuk menarik perhatian konsumen. Jadi pada akhirnya terjadi peningkatan pemakaian sales
promotion untuk menemukan terobosan langsung ke konsumen yang saat ini selalu mendapatkan
serbuan pesan-pesan promosi.
Hal lain yang mendorong kenapa para pemasar memakai promosi konsumen karena tekanan
dari manajemen perusahaan untuk basil jangka pendek. Banyak penanam modal menginginkan basil
yang segera daripada menunggu kestabilan jangka panjang perusahaan dari basil investasinya.
Menanggapi tekanan ini, para manajer pemasaran mencari jalan pintas untuk memenuhinya. Sales
promotion selalu digunakan demi meningkatkan penjualan jangka pendek (Zacharias, 2009; Low,
Dalam jalur pengecer, sales promotion untuk konsumen seringkali menjadi senjata ampuh
meningkatkan penjualan jangka pendek. Namun menurut Aaker (2001) dan Walker (2002) apabila
2000).
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 500
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
terlalu sering sales promotion dilakukan, akan menyembunyikan kemampuan sebuah merek untuk
membangun brand equity pada pasar sasaran. Diungkapkan juga bahwa terlalu sering menerapkan
sales promotion terhadap konsumen akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap kualitas
sebuah merek. Konsumen mungkin akan menganggap kualitas merek tersebut buruk. Atau konsumen
juga akan menunda pembelian sebuah merek apabila mereka beranggapan bahwa akan segera ada
penurunan harga atau insentif pembelian lainnya. Anggapan yang sangat masuk akal apabila sebuah
merek terlalu sering dipromosikan dengan sales promotion.
Bagaimanapun saat ini banyak pemasar menguji bagaimana promosi penjualan yang
berorientasi konsumen dapat secara efektif digunakan untuk tujuan jangka panjang. Walaupun secara
tradisional tidak digunakan untuk membangun brand equity, para pemasar dari banyak merekyang
besar dan sukses meyakini bahwa sales promotion untuk konsumen dapat juga melakukannya. Tujuan
alami promosi penjualan adalah mengkomunikasikan sebuah nilai kepada konsumen merek yang
setia. Jadi dapat dilihat dua keuntungan alamiah, yaitu meningkatkan penjualan jangka pendek dan
membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen yang sudah setia terhadap merek. Semua
aktivitas promosi ditujukan untuk meningkatkan penjualan, sehingga tidak ada artinya apabila tidak
menyebabkan transaksi penjualan.
Meskipun dipahami harus dihindari terlalu sering melakukan sales promotion kepada
konsumen, namun dalam prakteknya hal tersebut susah dilaksanakan apabila situasi pasar persaingan
memerlukan tindakan segera (Steenkamp, 2003). Para pesaing mungkin saja meluncurkan aktivitas
promosi yang ditujukan pada pelanggan yang sama, yang harus memerlukan tindakan pencegahan
segera. Dapat dilihat sales promotion digunakan untuk mengurangi peran pesaing di pasar. Sales
promotion terhadap konsumen seringkali digunakan perusahaan juga apabila mengalami masalah
kelebihan persediaan barang (Sriram, 2004).
Keinginan untuk melakukan penyesuaian persediaan barang dilakukan untuk berbagai tujuan.
Pengecerdapat saja menyesuaikan produknya dengan menjual habis salah satu produk agar dapat
mengisinya dengan produk lain. Atau pada saat perusahaan mengalami kelebihan persediaan dan
membutuhkan sales promotion untuk mendorong konsumen membeli lebih dari kebutuhan
sesungguhnya.
Persaingan yang sangat ketat menyebabkan konsumen menjadi selalu berorientasi terhadap
harga. Banyak promosi konsumen yang menawarkan kekhususan di luar faktor harga, dan untuk basil
jangka pendek ternyata tidak ada yang sebagus menggunakan faktor harga sebagai penarik konsumen
(DAstous, 2003; Kenesei, 2004). Para pemasar memahami juga bahwa nilai sesungguhnya sebuah
merek adalah dari keterhubungan emosional para pelanggan terhadap merek favoritnya. Membangun
brand equity akan selalu menjadi kunci mempertahankan hubungan antara merek dan konsumen
(Aaker, 2001; Ball, 2008; Cleland, 2000).
Karena adanya keterbatasan anggaran promosi dan kepentingan strategi jangka panjang,
manajer promosi banyak memakai aktivitas sales promotion yang dapat membantu memperkuat
ikatan merek dan konsumen, karena mereka dapat lebih memahami bagaimana hal tersebut dapat
menstabilkan dan meningkatkan pertumbuhan penjualan jangka panjang. Manajer promosi tidak
hanya melakukan aktivitas sales promotion untuk menambah pelanggan baru, tapi yang lebih penting
ditujukan untuk pelanggan lama. Aktivitas promosi ini dapat membangun kesetiaan terhadap merek
dan pada akhirnya membangun nilai terhadap merek (Kirmani, 1989). Jadi sales promotion juga
berperan dalam membangun sebuah merek.
Tidak hanya para pemasar, namun juga para akuntan dan manajer senior perusahaan sejak
lama tertarik dengan masalah yang berkaitan dengan brand equity dan telah menjadi kajian para
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 501
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
teiialu sering sales promotion dilakukan, akan menyembunyikan kemampuan sebuah merek untuk
membangun brand equity pada pasar sasaran. Diungkapkan juga bahwa terlalu sering menerapkan
sales promotion terhadap konsumen akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap kualitas
sebuah merek. Konsumen mungkin akan menganggap kualitas merek tersebut buruk. Atau konsumen
juga akan menunda pembelian sebuah merek apabila mereka beranggapan bahwa akan segera ada
penurunan harga atau insentif pembelian lainnya. Anggapan yang sangat masuk akal apabila sebuah
merek terlalu sering dipromosikan dengan sales promotion.
Bagaimanapun saat in' banyak pemasar menguji bagaimana promosi penjualan yang
berorientasi konsumen dapat secara efektif digunakan untuk tujuan jangka panjang. Walaupun secara
tradisional tidak digunakan untuk membangun brand equity, para pemasar dari banyak merekyang
besar dan sukses meyakini bahwa sales promotion untuk konsumen dapat juga melakukannya. Tujuan
alami promosi penjualan adalah mengkomunikasikan sebuah nilai kepada konsumen merek yang
setia. Jadi dapat dilihat dua keuntungan alamiah, yaitu meningkatkan penjualan jangka pendek dan
membangun hubungan jangka panjang dengan konsumen yang sudah setia terhadap merek. Semua
aktivitas promosi ditujukan untuk meningkatkan penjualan, sehingga tidak ada artinya apabila tidak
menyebabkan transaksi penjualan.
Meskipun dipahami bairns dihindari terlalu sering melakukan sales promotion kepada
konsumen, namun dalam prakteknya hal tersebut susah dilaksanakan apabila situasi pasar persaingan
memerlukan tindakan segera (Steenkamp, 2003). Para pesaing mungkin saja meluncurkan aktivitas
promosi yang ditujukan pada pelanggan yang sama, yang harus memerlukan tindakan pencegahan
segera. Dapat dilihat sales promotion digunakan untuk mengurangi peran pesaing di pasar. Sales
promotion terhadap konsumen seringkali digunakan perusahaan juga apabila mengalami masalah
kelebihan persediaan barang (Sriram, 2004).
Keinginan untuk melakukan penyesuaian persediaan barang dilakukan untuk berbagai tujuan.
Pengecerdapat saja menyesuaikan produknya dengan menjual habis salah satu produk agar dapat
mengisinya dengan produk lain. Atau pada saat perusahaan mengalami kelebihan persediaan dan
membutuhkan sales promotion untuk mendorong konsumen membeli lebih dari kebutuhan
sesungguhnya.
Persaingan yang sangat ketat menyebabkan konsumen menjadi selalu berorientasi terhadap
harga. Banyak promosi konsumen yang menawarkan kekhususan di luar faktor harga, dan untuk basil
jangka pendek temyata tidak ada yang sebagus menggunakan faktor harga sebagai penarik konsumen
(DAstous, 2003; Kenesei, 2004). Para pemasar memahami juga bahwa nilai sesungguhnya sebuah
merek adalah dari keterhubungan emosional para pelanggan terhadap merek favoritnya. Membangun
brand equity akan selalu menjadi kunci mempertahankan hubungan antara merek dan konsumen
(Aaker, 2001; Ball, 2008; Cleland, 2000).
Karena adanya keterbatasan anggaran promosi dan kepentingan strategi jangka panjang,
manajer promosi banyak memakai aktivitas sales promotion yang dapat membantu memperkuat
ikatan merek dan konsumen, karena mereka dapat lebih memahami bagaimana hal tersebut dapat
menstabilkan dan meningkatkan pertumbuhan penjualan jangka panjang. Manajer promosi tidak
hanya melakukan aktivitas sales promotion untuk menambah pelanggan baru, tapi yang lebih penting
ditujukan untuk pelanggan lama. Aktivitas promosi ini dapat membangun kesetiaan terhadap merek
dan pada akhimya membangun nilai terhadap merek (Kirmani, 1989). Jadi sales promotion juga
berperan dalam membangun sebuah merek.
Tidak hanya para pemasar, namun juga para akuntan dan manajer senior perusahaan sejak
lama tertarik dengan masalah yang berkaitan dengan brand equity dan telah menjadi kajian para
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 501
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
peneliti sejak 20 tahun terakhir ini dan menjadi faktor penting bagi perusahaan (Berthon, 2007). Hal
yang berkaitan dengan brand equity menjadi penting dalam rancangan dan pengembangan dari sebuah
perusahaan, produk, maupun jasa yang ditawarkan. Meskipun demikian masih belum banyak peneliti
yang melakukan pengukuran atas brand equity perusahaan ataupun pengaruh berbagai macam
variabel untuk mengevaluasi sebuah merek.
Dalam pemilihan sebuah merek, konsumen produk seringkali mempertimbangkan faktor
negara asal (country of origin) pembuat produk. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Liefeld (2002) bahwa berdasar apa yang dikatakan oleh responden tentang kepercayaan, persepsi dan
sikap tentang kualitas atau nilai sebuah produk dari peneliti akademik tentang konsumen dari berbagai
negara maka mereka selalu menyertakan faktor negara asal pembuat produk (country of origin
product) sebagai salah satu variabel pilihan konsumen yang penting dan seharusnya para pemasar
memperhitungkannya. Selama puluhan dekade adanya persepsi buruk terhadap produk buatan negara
Asia yang dikatakan sebagai produk murah dan berkualitas rendah terbukti susah dihilangkan. Salah
satu masalah penting yang dihadapi merek produk buatan negara Asia dalam kurun waktu terakhir ini
adalah adanya persepsi produk murah dan berkualitas rendah (Temporal, 2002). Saat ini perusahaan di
seluruh dunia berusaha mengembangkan bisnisnya di pasar dunia. Faktor negara asal pembuat produk
menjadi faktor penting bagi konsumen dalam melakukan keputusan pembelian sebuah merek,
meskipun sebuah produk dapat saja dibuat dari berbagai komponen yang berasal dari negara berbeda.
Konsumendalam menentukansebuah merek yang akan dipilih juga mempertimbangkan
variasi model terbaru. Semua produk dan jasa pasti memiliki sebuah siklus hidup. Siklus hidup
berkaitan dengan periode waktu dari pertama produk diluncurkan dan diperkenalkan ke pasar sampai
produk tersebut ditarik dari pasar. Khusus untuk produk konsumen yang berbasis tehnologi, pada saat
sebuah teknologi menjadi usang, maka demikian juga terjadi pada produk yang memanfaatkan
teknologi tersebut (Norman, 1998). Perubahan yang terjadi pada saat siklus hidup teknologi
mempunyai sebuah refleksi unik terhadap pelanggannya, demikian juga terhadap siklus hidup
produknya. Pada saat teknologi menjadi tua, pelanggan yang membutuhkan teknologi terbaru menjadi
lebih konservatif dan permintaan solusi yang cepat terhadap teknologi yang lebih baru, sedangkan
pelanggan yang tidak terburu-buru membutuhkan teknologi terbaru akan membeli produk dengan
teknologi lama, namun didapatkan dengan harga murah.
Dalam memilih sebuah merek, tidak jarang konsumen melihat perusahaan mana yang
membuat produk tersebut. Reputasi merupakan aset yang sangat tidak ternilai dan merupakan faktor
penting dalam membangun sebuah merek yang kuat. Lebih lanjut dikatakan oleh Alessandri (2006)
bahwa perusahaan yang memiliki reputasi bagus akan dapat menikmati konsistensi merek dalam
jangka waktu lama. Perusahaan yang besar harus mampu mengembangkan produk yang dapat
menyediakan sebuah nilai persepsi bagi pelanggan. Pelanggan yang menyadari reputasi superior dari
sebuah perusahaan akan mempunyai persepsi yang bagus terhadap produk yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Persepsi yang bagus tersebut akan diwujudkan dengan kesetiaan membeli produk
yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Dikatakan oleh Barrios (2008) bahwa status sosial ekonomi mempengaruhi rumitnya
eskpetasi dari pengetahuan konsumen dan keinginan pengakuan diri. Pelanggan dengan tingkat
penghasilan rendah di negara-negara berkembang yang sedang menanjak maju merupakan target
utama dari perusahaan berbasis teknologi. Untuk itu menjadi penting untuk memahami pengaruh
faktor sosio ekonomi pada saat sebuah teknologi diadopsi. Tingginya status sosial ekonomi
konsumen, misal tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, status perkawinan, kondisi pekerjaan, akan
sangat menunjang tingkat konsumsi terhadap sebuah produk (Reardon, 2007). Tingkat sosial ekonomi
yang lebih tinggi akan mendapatkan sumber daya lebih besar seperti tingkat penghasilan tinggi yang
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 502
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
peneliti sejak 20 tahun terakhir ini dan menjadi faktor penting bagi perusahaan (Berthon, 2007). Hal
yang berkaitan dengan brand equity menjadi penting dalam rancangan dan pengembangan dari sebuah
perusahaan, produk, maupun jasa yang ditawarkan. Meskipun demikian masih belum banyak peneliti
yang melakukan pengukuran atas brand equity perusahaan ataupun pengaruh berbagai macam
variabel untuk mengevaluasi sebuah merek.
Dalam pemilihan sebuah merek, konsumen produk seringkali mempertimbangkan faktor
negara asal (country of origin) pembuat produk. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Liefeld (2002) bahwa berdasar apa yang dikatakan oleh responden tentang kepercayaan, persepsi dan
sikap tentang kualitas atau nilai sebuah produk dari peneliti akademik tentang konsumen dari berbagai
negara maka mereka selalu menyertakan faktor negara asal pembuat produk (country of origin
product) sebagai salah satu variabel pilihan konsumen yang penting dan seharusnya para pemasar
memperhitungkannya. Selama puluhan dekade adanya persepsi buruk terhadap produk buatan negara
Asia yang dikatakan sebagai produk murah dan berkualitas rendah terbukti susah dihilangkan. Salah
satu masalah penting yang dihadapi merek produk buatan negara Asia dalam kurun waktu terakhir ini
adalah adanya persepsi produk murah dan berkualitas rendah (Temporal, 2002). Saat ini perusahaan di
seluruh dunia berusaha mengembangkan bisnisnya di pasar dunia. Faktor negara asal pembuat produk
menjadi faktor penting bagi konsumen dalam melakukan keputusan pembelian sebuah merek,
meskipun sebuah produk dapat saja dibuat dari berbagai komponen yang berasal dari negara berbeda.
Konsumendalam menentukansebuah merek yang akan dipilih juga mempertimbangkan
variasi model terbaru. Semua produk dan jasa pasti memiliki sebuah siklus hidup. Siklus hidup
berkaitan dengan periode waktu dari pertama produk diluncurkan dan diperkenalkan ke pasar sampai
produk tersebut ditarik dari pasar. Khusus untuk produk konsumen yang berbasis tehnologi, pada saat
sebuah teknologi menjadi usang, maka demikian juga terjadi pada produk yang memanfaatkan
teknologi tersebut (Norman, 1998). Perubahan yang terjadi pada saat siklus hidup teknologi
mempunyai sebuah refleksi unik terhadap pelanggannya, demikian juga terhadap siklus hidup
produknya. Pada saat teknologi menjadi tua, pelanggan yang membutuhkan teknologi terbaru menjadi
lebih konservatif dan permintaan solusi yang cepat terhadap teknologi yang lebih baru, sedangkan
pelanggan yang tidak terbum-buru membutuhkan teknologi terbaru akan membeli produk dengan
teknologi lama, namun didapatkan dengan harga murah.
Dalam memilih sebuah merek, tidak jarang konsumen melihat perusahaan mana yang
membuat produk tersebut. Reputasi merupakan aset yang sangat tidak temilai dan merupakan faktor
penting dalam membangun sebuah merek yang kuat. Lebih lanjut dikatakan oleh Alessandri (2006)
bahwa pemsahaan yang memiliki reputasi bagus akan dapat menikmati konsistensi merek dalam
jangka waktu lama. Perusahaan yang besar harus mampu mengembangkan produk yang dapat
menyediakan sebuah nilai persepsi bagi pelanggan. Pelanggan yang menyadari reputasi superior dari
sebuah perusahaan akan mempunyai persepsi yang bagus terhadap produk yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut. Persepsi yang bagus tersebut akan diwujudkan dengan kesetiaan membeli produk
yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Dikatakan oleh Barrios (2008) bahwa status sosial ekonomi mempengaruhi rumitnya
eskpetasi dari pengetahuan konsumen dan keinginan pengakuan diri. Pelanggan dengan tingkat
penghasilan rendah di negara-negara berkembang yang sedang menanjak maju merupakan target
utama dari perusahaan berbasis teknologi. Untuk itu menjadi penting untuk memahami pengaruh
faktor sosio ekonomi pada saat sebuah teknologi diadopsi. Tingginya status sosial ekonomi
konsumen, misal tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, status perkawinan, kondisi pekerjaan, akan
sangat menunjang tingkat konsumsi terhadap sebuah produk (Reardon, 2007). Tingkat sosial ekonomi
yang lebih tinggi akan mendapatkan sumber daya lebih besar seperti tingkat penghasilan tinggi yang
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 502
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
akan dapat membeli produk dan jasa bernilai tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang dimiliki, akan memiliki banyak pilihan terhadap kemungkinan yang tersedia
(Donthu and Garcia, 1999). Tingkat sosial ekonomi dari konsumen sangat menentukan persepsi
konsumen terhadap segala aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh merek perusahaan. Konsumen
dengan tingkat penghasilan relatif lebih rendah akan cenderung membeli produk dengan harga lebih
murah. Hal ini akan berdampak juga dalam pemilihan alternatif merek oleh konsumen sesuai dengan
tingkat penghasilan yang dimilikinya.
Sebuah merek produk yang dirasakan lebih baik oleh para konsumen, akan mendorong
mereka membeli produk dengan merek tersebut. Ini juga akan meningkatkan pangsa pasar dan
keuntungan besar bagi perusahaan (Mackay, 2001). Ekuitas merek, seperti yang dikemukakan oleh
Keller (2003) dan Aaker (2001), menyediakan fungsi strategis yang berguna dan membantu dalam
menentukan kegiatan pemasaran, dan sangat berguna untuk para tenaga pemasaran dalam memahami
secara sumber dari ekuitas merek, dan bagaimana kekuatan merekini dapat menghasilkan keuntungan
yang lebih bagi perusahaan. Memahami sumber dan basil dari ekuitas merek, menyediakan bahan
untuk menjalankan strategi pemasar an dan meningkatkan nilai dari merek.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis berkeyakinan untuk meneliti lebih jauh atas peran
sales promotion dalam membangun sebuah merek, khususnya pengaruh terhadap model CBBE yang
dikembangkan oleh Keller (2001). Keller (2001) mengembangkan model Consumer-Based Brand
Equity (CBBE). Premis dasar model tersebut adalah kekuatan sebuah merek tergantung terhadap apa
yang pelanggan telah pelajari, rasakan, lihat dan dengar tentang sebuah merek sepanjang waktu.
Dengan kata lain, kekuatan sebuah merek terletak dalam pikiran pelanggan. Tantangan bagi para
pemasar dalam membangun sebuah merek yang kuat adalah meyakinkan pelanggan bahwa mereka
telah mendapatkan pengalaman yang baik terhadap produk yang dipasarkan beserta program
pemasaran yang telah dilakukan perusahaan, meliputi bagaimana pemikiran, perasaan, citra,
kepercayaan, persepsi, dan opini pelanggan terhadap merek perusahaan. Dengan tingkat persaingan
yang sangat tajam di industri ini, maka hampir semua merek, demi mempertahankan eksistensinya,
selalu melakukan sales promotion dalam berbagai bentuk. Apakah dengan demikian merek mereka
menjadi lemah? Ternyata basil pengamatan penulis menunjukkan bahwa merek-merek yang aktif
melakukan sales promotion ini merupakan merek-merek produk yang diminati dan menjadi pilihan
utama
Merek adalah sebuah nama, tanda, simbol, rancangan ataupun kombinasi dari kesemuanya
yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa di antara para penjual produk dan
membedakannya dengan para pesaing (Tuominen, 2009; Cleland, 2000; Aaker, 2001). Merek adalah
produk plus dan berhak meminta konsumen untuk memberikan pengorbanan ekstra (Dewi, 2009).
Dikatakan oleh Olins (2003) bahwa pada jaman dahulu merek hanya diperuntukkan bagi beberapa
produk rumah tangga sederhana seperti sabun, teh, sabun bubuk untuk mencuci, semir sepatu, dan
beberapa produk umum lain, yang selalu cepat habis digunakan dan dibeli ulang. Saat itu merek
hanyalah merupakan sebuah simbol konsistensi. Namun pada saat ini merek menjadi sesuatu yang
penting di dunia ini, tidak hanya mewakili citra tentang merek tersebut, namun juga mewakili citra
sebagai konsumen. Tanpa sebuah merek, sebuah produk hanya menjadi komoditas.
Dalam pemasaran pelanggan, merek seringkali menyediakan titik pembeda utama dengan
merek pesaing. Untuk itu sangatlah penting dalam manajemen merek harus didekati dengan cara-cara
strategik (Wood, 2000), sehingga disarankan juga agar manajemen merek harus lab stratejik dan
holistik demi kelangsungan hidup merek. Chernatony (2001) menegaskan pentingnya sebuah merek
Merek
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 503
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
akan dapat membeli produk dan jasa bernilai tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang dimiliki, akan memiliki banyak pilihan terhadap kemungkinan yang tersedia
(Donthu and Garcia, 1999). Tingkat sosial ekonomi dari konsumen sangat menentukan persepsi
konsumen terhadap segala aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh merek perusahaan. Konsumen
dengan tingkat penghasilan relatif lebih rendah akan cenderung membeli produk dengan harga lebih
murah. Hal ini akan berdampak juga dalam pemilihan alternatif merek oleh konsumen sesuai dengan
tingkat penghasilan yang dimilikinya.
Sebuah merek produk yang dirasakan lebih baik oleh para konsumen, akan mendorong
mereka membeli produk dengan merek tersebut. Ini juga akan meningkatkan pangsa pasar dan
keuntungan besar bagi pemsahaan (Mackay, 2001). Ekuitas merek, seperti yang dikemukakan oleh
Keller (2003) dan Aaker (2001), menyediakan fungsi strategis yang berguna dan membantu dalam
menentukan kegiatan pemasaran, dan sangat berguna untuk para tenaga pemasaran dalam memahami
secara sumber dari ekuitas merek, dan bagaimana kekuatan merekini dapat menghasilkan keuntungan
yang lebih bagi perusahaan. Memahami sumber dan basil dari ekuitas merek, menyediakan bahan
untuk menjalankan strategi pemasaran dan meningkatkan nilai dari merek.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis berkeyakinan untuk meneliti lebih jauh atas peran
sales promotion dalam membangun sebuah merek, khususnya pengaruh terhadap model CBBE yang
dikembangkan oleh Keller (2001). Keller (2001) mengembangkan model Consumer-Based Brand
Equity (CBBE). Premis dasar model tersebut adalah kekuatan sebuah merek tergantung terhadap apa
yang pelanggan telah pelajari, rasakan, lihat dan dengar tentang sebuah merek sepanjang waktu.
Dengan kata lain, kekuatan sebuah merek terletak dalam pikiran pelanggan. Tantangan bagi para
pemasar dalam membangun sebuah merek yang kuat adalah meyakinkan pelanggan bahwa mereka
telah mendapatkan pengalaman yang baik terhadap produk yang dipasarkan beserta program
pemasaran yang telah dilakukan perusahaan, meliputi bagaimana pemikiran, perasaan, citra,
kepercayaan, persepsi, dan opini pelanggan terhadap merek perusahaan. Dengan tingkat persaingan
yang sangat tajam di industri ini, maka hampir semua merek, demi mempertahankan eksistensinya,
selalu melakukan sales promotion dalam berbagai bentuk. Apakah dengan demikian merek mereka
menjadi lemah? Temyata basil pengamatan penulis menunjukkan bahwa merek-merek yang aktif
melakukan sales promotion ini mempakan merek-merek produk yang diminati dan menjadi pilihan
utama
Merek adalah sebuah nama, tanda, simbol, rancangan ataupun kombinasi dari kesemuanya
yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa di antara para penjual produk dan
membedakannya dengan para pesaing (Tuominen, 2009; Cleland, 2000; Aaker, 2001). Merek adalah
produk plus dan berhak meminta konsumen untuk memberikan pengorbanan ekstra (Dewi, 2009).
Dikatakan oleh Olins (2003) bahwa pada jaman dahulu merek hanya diperuntukkan bagi beberapa
produk rumah tangga sederhana seperti sabun, teh, sabun bubuk untuk mencuci, semir sepatu, dan
beberapa produk umum lain, yang selalu cepat habis digunakan dan dibeli ulang. Saat itu merek
hanyalah merupakan sebuah simbol konsistensi. Namun pada saat ini merek menjadi sesuatu yang
penting di dunia ini, tidak hanya mewakili citra tentang merek tersebut, namun juga mewakili citra
sebagai konsumen. Tanpa sebuah merek, sebuah produk hanya menjadi komoditas.
Dalam pemasaran pelanggan, merek seringkali menyediakan titik pembeda utama dengan
merek pesaing. Untuk itu sangatlah penting dalam manajemen merek harus didekati dengan cara-cara
strategik (Wood, 2000), sehingga disarankan juga agar manajemen merek haruslah stratejik dan
holistik demi kelangsungan hidup merek. Chernatony (2001) menegaskan pentingnya sebuah merek
Merek
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 503
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dengan mengutip kata-kata John Stuart, yang merupakan mantan komisans dari grup perusahaan
Quaker Oats, bahwa " If this business were to be split up, I would be glad to take the brands,
trademarks and goodwill and you could have all the bricks and mortar and I would fare better than
you. "
Brand Equity
Dasar pemikiran brand equity adalah kekuatan sebuah merek yang tergantung terhadap
pemahaman konsumen dan apa yang mereka telah alami dan pelajari dari merektersebut (Keller,
2003). Konsep brand equity mulai secara luas digunakan oleh para praktisi pemasaran di tahun 1980
an, dan lebih dipopulerkan oleh Aaker (1996). la membagi Brand equity dalam empat dimensi
tradisional, yaitu persepsi kualitas, kesetiaan merek, kesadaran merek dan asosiasi merek.
Brand equity menjadi masalah penelitian penting dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini dan
dilanjutkan menjadi sebuah bagian texpenting dari divisi pemasaran khususnya untuk perusahaan-
perusahaan swasta (Smith, 2007). Dikatakan oleh Wood (2000) bahwa usaha untuk mendefinisikan
keterhubungan antara pelanggan dan merek lah yang menciptakan brand equity. Konsep brand equity
cukup lama diperdebatkan dalam berbagai literatur tentang akuntansi dan pemasaran, dan telah digarisbawahi akan pentingnya memiliki fokus jangka panjang dalam manajemen merek. Keberadaan
brand equity menjadi sesuatu yang penting dalam perancangan dan pengembangan sebuah perusahaan
dalam menghasilkan produk dan jasa, bahkan sebuah merek yang memiliki brand equity tinggi akan
menerima harga yang cukup tinggi saat perusahaan menyatakan dirinya bangkrut (Smith, 2007).
Tuominen (2009) mengatakan bahwa ada tiga alternatif cara untuk mendapatkan brand equity, yaitu
(1) membangun brand equity, (2) meminjam brand equity, dan (3) membeli brand equity. Brand
equity dapat menciptakan keuntungan dan manfaat bagi perusahaan, perdagangan dan bagi konsumen.
Consumer-Based Brand Equity (CBBE)
Keller (1993) mendefinisikan consumer-based brand equity (CBBE)sebagai efek berbeda
dari pemahaman konsumen atas sebuah merek sebagai akibat dari aktivitas pemasaran sebuah merek.
Sebagai salah satu cara menguji brand equity dari perspektif konsumen dan mendasarkan pada
pengetahuan konsumen, maka diperlukan keakraban dan asosiasi terhadap sebuah merek. Perspektif
lain terhadap brand equity berasal dari titik pandang organisasi pemasaran dan berfokus pada nilai
kekayaan dari sebuah merek dalam sebuah pasar.
Membangun sebuah merek menjadi sebuah prioritas pemasaran untuk banyak organisasi
(Hoeffler, 2002 ; Keller, 2001 ; Rao, 2004 ; Aaker, 2001). Consumer-basedbrand equity dan brand
equity menjadi dua hal paling penting untuk para peneliti dan praktisi pemasaran (Leone, 2006).
Semakin jelas terlihat bahwa fokus utama penelitian tentang consumer-based brand equity dan brand
equity akan berakhir pada konsumen, untuk itu dibutuhkan penelitian demi memahami perspektif dari
konsumen.
Menurut Zacharias (2009) apabila sebuah merek memiliki ekuitas yang kuat dengan
konsumen, maka akan dihasilkan sesuatu yang lebih premium dibandingkan dengan merek yang lebih
lemah ekuitasnya. Di samping itu akan memperoleh pangsa pasar yang lebih tinggi, akan bertambah
elastis terhadap periklanan dan promosi, akan mempermudah mencapai penetrasi pasar yang lebih
besar serta menghasilkan pengembangan lini produk yang lebih efisien. Wood (2000) mengatakan
bahwa merek yang berorientasi konsumen dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan janji dari
berbagai atribut yang membuat seseorang membeli dan merasakan kepuasan, akan membentuk merek
mungkin menjadi nyata atau tidak nyata, rasional atau emosional, nampak atau tidak nampak.
Menurut Keller (2001), dasar utama model customer-based brand equity (CBBE) adalah kekuatan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 504
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dengan mengutip kata-kata John Stuart, yang merupakan mantan komisaris dari grup perusahaan
Quaker Oats, bahwa " If this business were to be split up, I would be glad to take the brands,
trademarks and goodwill and you could have all the bricks and mortar and I would fare better than
you
Brand Equity
Dasar pemikiran brand equity adalah kekuatan sebuah merek yang tergantung terhadap
pemahaman konsumen dan apa yang mereka telah alami dan pelajari dari merektersebut (Keller,
2003). Konsep brand equity mulai secara luas digunakan oleh para praktisi pemasaran di tahun 1980
an, dan lebih dipopulerkan oleh Aaker (1996). la membagi Brand equity dalam empat dimensi
tradisional, yaitu persepsi kualitas, kesetiaan merek, kesadaran merek dan asosiasi merek.
Brand equity menjadi masalah penelitian penting dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini dan
dilanjutkan menjadi sebuah bagian terpenting dari divisi pemasaran khususnya untuk perusahaan-
perusahaan swasta (Smith, 2007). Dikatakan oleh Wood (2000) bahwa usaha untuk mendefinisikan
keterhubungan antara pelanggan dan merek lab yang menciptakan brand equity. Konsep brand equity
cukup lama diperdebatkan dalam berbagai literatur tentang akuntansi dan pemasaran, dan telah
digarisbawahi akan pentingnya memiliki fokus jangka panjang dalam manajemen merek. Keberadaan
brand equity menjadi sesuatu yang penting dalam perancangan dan pengembangan sebuah perusahaan
dalam menghasilkan produk dan jasa, bahkan sebuah merek yang memiliki brand equity tinggi akan
menerima harga yang cukup tinggi saat perusahaan menyatakan dirinya bangkrut (Smith, 2007).
Tuominen (2009) mengatakan bahwa ada tiga alternatif cara untuk mendapatkan brand equity, yaitu
(1) membangun brand equity, (2) meminjam brand equity, dan (3) membeli brand equity. Brand
equity dapat menciptakan keuntungan dan manfaat bagi perusahaan, perdagangan dan bagi konsumen.
Consumer-Based Brand Equity (CBBE)
Keller (1993) mendefinisikan consumer-based brand equity (CBBE)sebagai efek berbeda
dari pemahaman konsumen atas sebuah merek sebagai akibat dari aktivitas pemasaran sebuah merek.
Sebagai salah satu cara menguji brand equity dari perspektif konsumen dan mendasarkan pada
pengetahuan konsumen, maka diperlukan keakraban dan asosiasi terhadap sebuah merek. Perspektif
lain terhadap brand equity berasal dari titik pandang organisasi pemasaran dan berfokus pada nilai
kekayaan dari sebuah merek dalam sebuah pasar.
Membangun sebuah merek menjadi sebuah prioritas pemasaran untuk banyak organisasi
(Hoeffler, 2002 ; Keller, 2001 ; Rao, 2004 ; Aaker, 2001). Consumer-basedbrand equity dan brand
equity menjadi dua hal paling penting untuk para peneliti dan praktisi pemasaran (Leone, 2006).
Semakin jelas terlihat bahwa fokus utama penelitian tentang consumer-based brand equity dan brand
equity akan berakhir pada konsumen, untuk itu dibutuhkan penelitian demi memahami perspektif dari
konsumen.
Menurut Zacharias (2009) apabila sebuah merek memiliki ekuitas yang kuat dengan
konsumen, maka akan dihasilkan sesuatu yang lebih premium dibandingkan dengan merek yang lebih
lemah ekuitasnya. Di samping itu akan memperoleh pangsa pasar yang lebih tinggi, akan bertambah
elastis terhadap periklanan dan promosi, akan mempermudah mencapai penetrasi pasar yang lebih
besar serta menghasilkan pengembangan lini produk yang lebih efisien. Wood (2000) mengatakan
bahwa merek yang berorientasi konsumen dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan janji dari
berbagai atribut yang membuat seseorang membeli dan merasakan kepuasan, akan membentuk merek
mungkin menjadi nyata atau tidak nyata, rasional atau emosional, nampak atau tidak nampak.
Menurut Keller (2001), dasar utama model customer-based brand equity (CBBE) adalah kekuatan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 504
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
sebuah merek teiietak pada apa yang telah konsumen pelajari, rasakan, lihat, dan dengar tentang
sebuah merek. Masih menurut Keller (2008), untuk mencapai empat langkah ini harus melibatkan
enam bangunan merek, yaitu :
Brand salience
Brand salience, berhubungan dengan aspek kesadarandari pelanggan terhadap sebuah merek.
Brand Salience adalah tingkatan di mana sebuah merek dipikirkan dan diperhatikan pada saat seorang
pelanggan dalam sebuah situasi beli (Daye, 2010). Dikatakan oleh Lans (2008) bahwa brand salience
mewakili sebuah visualisasi merek dari para pesaingnya, dan merupakan titik penting sebuah
pembelian oleh konsumen berdasarkan persepsi fitur produk dan memberikan pengaruh penting dalam
pencarian kinerja sebuah merek produk.
Bagaimana mudah dan seringnya sebuah merek bangkit dalam situasi atau berbagai keadaan?
Seberapa tinggi merek tersebut dalam ingatan utama pelanggan dan mudahnya diingat dan dikenali?
Seberapa kuatkah kesadaran merek? Salience membentuk fondasi bangunan dalam pengembangan
brand equity dan memberikan tiga fungsi utama. Pertama, salience mempengaruhi formasi dan
kekuatan asosiasi merek yang menciptakan citra merek dan arti merek. Kedua, pembentukan suatu
brand salience tingkat tinggi dalam kategori identifikasi dan pemuasan kebutuhan adalah sesuatu
yang sangat penting pada saat ada kesempatan pembelian dan konsumsi. Brand salience juga penting
pada saat konsumsi memerlukan optimalisasi potensi pemakaian. Ketiga, pada saat pelanggan berada
pada titik rendah terhadap kategori sebuah produk, mungkin mereka hanya mendasarkan pilihan pada
brand salience saja.
Sales Promotion
Sales promotion menyangkut berbagai macam insentif dan tehnik yang ditujukan langsung
terhadap konsumen rumah tangga dan konsumen industri dengan tujuan untuk mendapatkan segera
pengaruh penjualan dalam jangka pendek. Menurut Low (2000) sales promotion melalui pemberian
insentif dan ketertarikan menciptakan aktivitas berupa pemasaran jangka pendek ketimbang melalui
iklan, penjualan personal, publisitas dan pemasaran langsung. Lebih lanjut didapatkan fakta
mengejutkan bahwa para manajer merek saat ini lebih banyak mengalokasikan anggaran
pemasarannya untuk salespromotion dari pada aktivitas periklanan lainnya, sehingga makin banyak
masalah timbul dari strategi ini (Nijs, 2001; Zacharias, 2009).
Sales promotion yang ditujukan untuk membangun merek akan berbentuk beda dengan hanya
sekedar sales promotion yang hanya berorientasi pada transaksi penjualan. Dalam sales promotion
jenis ini, nilai promosi yang ditawarkan bergantung pada jumlah pembelian tertentu dalam rentang
waktu tertentu. Jadi promosi ini akan menyebabkan pembelian ulang dari konsumen yang sama.
Apabila sales promotion ini berhasil, maka didapatkan karakteristik promosi yang membangun
sebuah merek. Program promosi seperti ini tidak dapat dirasakan hasilnya seketika, namun
memerlukan jangka waktu tertentu. Kesetiaan merek tidak dapat dibangun dalam waktu singkat,
memerlukan waktu cukup untuk dapat mencapainya. Sales promotion berorientasi membangun
sebuah merek tidak terlalu berorientasi pada harga, karena tujuannya adalah mengembangkan ikatan
antara konsumen dan merek. Menurut Youjae (2003) program promosi seperti program kesetiaan
secara jelas mengindikasikan membangun sebuah merek. Masih banyak program non-harga dalam
sales promotion yang dapat membangun sebuah merek.
Promosi harga
Promosi harga menyangkut berbagai macam insentif dan tehnik promosi yang ditujukan
langsung terhadap konsumen dengan tujuan untuk mendapatkan segera pengaruh penjualan dalam
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 505
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
sebuah merek terletak pada apa yang telah konsumen pelajari, rasakan, lihat, dan dengar tentang
sebuah merek. Masih menurut Keller (2008), untuk mencapai empat langkah ini harus melibatkan
enam bangunan merek, yaitu :
Brand salience
Brand salience, berhubungan dengan aspek kesadarandari pelanggan terhadap sebuah merek.
Brand Salience adalah tingkatan di mana sebuah merek dipikirkan dan diperhatikan pada saat seorang
pelanggan dalam sebuah situasi beli (Daye, 2010). Dikatakan oleh Lans (2008) bahwa brand salience
mewakili sebuah visualisasi merek dari para pesaingnya, dan merupakan titik penting sebuah
pembelian oleh konsumen berdasarkan persepsi fitur produk dan memberikan pengaruh penting dalam
penearian kinerja sebuah merek produk.
Bagaimana mudah dan seringnya sebuah merek bangkit dalam situasi atau berbagai keadaan?
Seberapa tinggi merek tersebut dalam ingatan utama pelanggan dan mudahnya diingat dan dikenali?
Seberapa kuatkah kesadaran merek? Salience membentuk fondasi bangunan dalam pengembangan
brand equity dan memberikan tiga fungsi utama. Pertama, salience mempengaruhi formasi dan
kekuatan asosiasi merek yang meneiptakan citra merek dan arti merek. Kedua, pembentukan suatu
brand salience tingkat tinggi dalam kategori identifrkasi dan pemuasan kebutuhan adalah sesuatu
yang sangat penting pada saat ada kesempatan pembelian dan konsumsi. Brand salience juga penting
pada saat konsumsi memerlukan optimalisasi potensi pemakaian. Ketiga, pada saat pelanggan berada
pada titik rendah terhadap kategori sebuah produk, mungkin mereka hanya mendasarkan pilihan pada
brand salience saja.
Sales Promotion
Sales promotion menyangkut berbagai maeam insentif dan tehnik yang ditujukan langsung
terhadap konsumen rumah tangga dan konsumen industri dengan tujuan untuk mendapatkan segera
pengaruh penjualan dalam jangka pendek. Menurut Low (2000) sales promotion melalui pemberian
insentif dan ketertarikan meneiptakan aktivitas berupa pemasaran jangka pendek ketimbang melalui
iklan, penjualan personal, publisitas dan pemasaran langsung. Lebih lanjut didapatkan fakta
mengejutkan bahwa para manajer merek saat ini lebih banyak mengalokasikan anggaran
pemasarannya untuk salespromotion daripada aktivitas periklanan lainnya, sehingga makin banyak
masalah timbul dari strategi ini (Nijs, 2001; Zaeharias, 2009).
Sales promotion yang ditujukan untuk membangun merek akan berbentuk beda dengan hanya
sekedar sales promotion yang hanya berorientasi pada transaksi penjualan. Dalam sales promotion
jenis ini, nilai promosi yang ditawarkan bergantung pada jumlah pembelian tertentu dalam rentang
waktu tertentu. Jadi promosi ini akan menyebabkan pembelian ulang dari konsumen yang sama.
Apabila sales promotion ini berhasil, maka didapatkan karakteristik promosi yang membangun
sebuah merek. Program promosi seperti ini tidak dapat dirasakan hasilnya seketika, namun
memerlukan jangka waktu tertentu. Kesetiaan merek tidak dapat dibangun dalam waktu singkat,
memerlukan waktu cukup untuk dapat meneapainya. Sales promotion berorientasi membangun
sebuah merek tidak terlalu berorientasi pada harga, karena tujuannya adalah mengembangkan ikatan
antara konsumen dan merek. Menurut Youjae (2003) program promosi seperti program kesetiaan
seeara jelas mengindikasikan membangun sebuah merek. Masih banyak program non-harga dalam
sales promotion yang dapat membangun sebuah merek.
Promosi harga
Promosi harga menyangkut berbagai maeam insentif dan tehnik promosi yang ditujukan
langsung terhadap konsumen dengan tujuan untuk mendapatkan segera pengaruh penjualan dalam
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 505
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
jangka pendek (Raghubir, 1999). Menurut Low (2000) price promotion melalui pemberian insentif
dan ketertarikan menciptakan aktivitas yang lebih berupa pemasaran jangka pendek. Sebuah promosi
harga secara teori dapat dijadikan informasi tentang kualitas merek pada saat tampak menonjol karena
menyimpang dari perilaku yang lama ataupun norma dalam industri (Raghubir, 1999). Dengan
perilaku promosi yang lama, keistimewaan pada terbiasanya berpromosi di industri, dan keahlian
konsumen adalah variabel yang sangat penting dalam menjembatani pada saat promosi harga
memiliki pengaruh yang tidak disukai dalam pembentukan nilai merek.
Sales promotion, khususnya promosi harga, misalnya pengurangan harga jangka pendek
berupa penjualan khusus, kupon penjualan, kupon paket, potongan harga, diyakini akan mengikis
brand equity. Dikatakan oleh Aaker (1996) bahwa promosi harga bukan cara yang baik dalam
membangun merek karena hal tersebut mudah ditiru, dibalas oleh merek lain, dan hanya
meningkatkan kinerja jangka pendek dengan peningkatan penjualan. Dalam jangka panjang, promosi
harga akan menyebabkan konsumen mempunyai persepsi buruk tentang kualitas produk. Konsumen
akan juga kesulitan mendapatkan harga pembelian yang benar, berdampak negatif terhadap persepsi
kualitas, yang pada akhirnya melemahkan brand equity. Juga kampanye promosi harga tidak dapat
membangun asosiasi merek, yang dapat dicapai dengan baik oleh usaha lain seperti periklanan dan
manajemen penjualan (Aaker, 2001). Dikatakan lebih lanjut bahwa promosi harga sulit menciptakan
kesetiaan-merek, karena biasanya tidak terjadi pembelian ulang setelah dilakukan akti vitas tersebut.
Promosi non harga(Promosi premium)
Dikatakanoleh Temporal (2002) perusahaan besar dalam usaha meningkatkan jumlah
pelanggan dengan menarik pelanggan dari merek lain, termasuk juga berusaha agar pelanggan
meningkatkan pengeluaran individu, dan mempercepat keputusan pembelian, mereka berusaha
menghindari type potongan harga dan lebih berfokus pada tipe tambahan nilai produk. Promosi
premium merupakan salah satu bentuk sales promotion yang tidak berdampak langsung terhadap
penurunan harga produk. Menurut DAstous (2003) walaupun promosi premium secara umum
memiliki pengaruh positif pada apresiasi konsumen atas penawaran promosi, namun apabila sebuah
promosi hanya memberikan premium yang tidak menarik, maka tidak akan meningkatkan nilai positif
terhadap merek. Sales promotion termasuk sebuah premium yang tidak memberikan kategori produk
yang bagus, justru akan dipersepsikan sebagai sebuah manipulasi.
Periklanan (Advertising)
Periklanan adalah penunjuk penting kualitas sebuah merek. Perusahaan yang mau dan mampu
mengeluarkan biaya periklanan besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut berinvestasi di sebuah
merekyang menyiratkan merek berkualitas superior (Kirmani and Wright, 1986). Aaker dan Jacobson
(1994) menemukan juga pengaruh yang positif antara periklanan dan persepsi kualitas. Pengeluaran
periklanan yang berhubungan positif dengan persepsi kualitas akan menyebabkan meningkatnya
brand equity. Periklanan memainkan juga peran penting dalam peningkatan kesadaran merek dan
penguatan asosiasi-merek. Jadi biaya periklanan yang besar akan berpengaruh positif dengan
kesadaran-merek dan asosiasi-merek, yang pada akhirnya memperkuat juga brand equity. Dikatakan
oleh Malinowska-Olszowy, (2005) bahwa periklanan merupakan instrumen lain dari program
pemasaran yang berusaha membangun citra sebuah merek. Kampanye iklan terbaik pun tidak akan
menyelamatkan sebuah merek apabila opini konsumen negatif dan pengalaman mencoba produk dari
konsumen penuh ketidakpuasan.
Banyak peneliti menyarankan agar melakukan lebih banyak aktivitas periklanan (advertising)
dalam membangun merek produk (Low, 2000; Aaker, 2001; Ali, 2008; Cleland, 2000; Gedenk, 1999;
Jedidi, 1999; Walker, 2002). Melakukan aktivitas periklanan berbeda dengan aktivitas sales
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 506
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
jangka pendek (Raghubir, 1999). Menurut Low (2000) price promotion melalui pemberian insentif
dan ketertarikan menciptakan aktivitas yang lebih berupa pemasaran jangka pendek. Sebuah promosi
harga secara teori dapat dijadikan informasi tentang kualitas merek pada saat tampak menonjol karena
menyimpang dari perilaku yang lama ataupun norma dalam industri (Raghubir, 1999). Dengan
perilaku promosi yang lama, keistimewaan pada terbiasanya berpromosi di industri, dan keahlian
konsumen adalah variabel yang sangat penting dalam menjembatani pada saat promosi harga
memiliki pengaruh yang tidak disukai dalam pembentukan nilai merek.
Sales promotion, khususnya promosi harga, misalnya pengurangan harga jangka pendek
berupa penjualan khusus, kupon penjualan, kupon paket, potongan harga, diyakini akan mengikis
brand equity. Dikatakan oleh Aaker (1996) bahwa promosi harga bukan cara yang baik dalam
membangun merek karena hal tersebut mudah ditiru, dibalas oleh merek lain, dan hanya
meningkatkan kinerja jangka pendek dengan peningkatan penjualan. Dalam jangka panjang, promosi
harga akan menyebabkan konsumen mempunyai persepsi buruk tentang kualitas produk. Konsumen
akan juga kesulitan mendapatkan harga pembelian yang benar, berdampak negatif terhadap persepsi
kualitas, yang pada akhimya melemahkan brand equity. Juga kampanye promosi harga tidak dapat
membangun asosiasi merek, yang dapat dicapai dengan baik oleh usaha lain seperti periklanan dan
manajemen penjualan (Aaker, 2001). Dikatakan lebih lanjut bahwa promosi harga sulit menciptakan
kesetiaan-merek, karena biasanya tidak terjadi pembelian ulang setelah dilakukan aktivitas tersebut.
Promosi non harga(Promosi premium)
Dikatakanoleh Temporal (2002) perusahaan besar dalam usaha meningkatkan jumlah
pelanggan dengan menarik pelanggan dari merek lain, termasuk juga berusaha agar pelanggan
meningkatkan pengeluaran individu, dan mempercepat keputusan pembelian, mereka berusaha
menghindari type potongan harga dan lebih berfokus pada tipe tambahan nilai produk. Promosi
premium merupakan salah satu bentuk sales promotion yang tidak berdampak langsung terhadap
penurunan harga produk. Menurut DAstous (2003) walaupun promosi premium secara umum
memiliki pengaruh positif pada apresiasi konsumen atas penawaran promosi, namun apabila sebuah
promosi hanya memberikan premium yang tidak menarik, maka tidak akan meningkatkan nilai positif
terhadap merek. Sales promotion termasuk sebuah premium yang tidak memberikan kategori produk
yang bagus, justru akan dipersepsikan sebagai sebuah manipulasi.
Periklanan (Advertising)
Periklanan adalah penunjuk penting kualitas sebuah merek. Perusahaan yang mau dan mampu
mengeluarkan biaya periklanan besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut berinvestasi di sebuah
merekyang menyiratkan merek berkualitas superior (Kirmani and Wright, 1986). Aaker dan Jacobson
(1994) menemukan juga pengaruh yang positif antara periklanan dan persepsi kualitas. Pengeluaran
periklanan yang berhubungan positif dengan persepsi kualitas akan menyebabkan meningkatnya
brand equity. Periklanan memainkan juga peran penting dalam peningkatan kesadaran merek dan
penguatan asosiasi-merek. Jadi biaya periklanan yang besar akan berpengaruh positif dengan
kesadaran-merek dan asosiasi-merek, yang pada akhirnya memperkuat juga brand equity. Dikatakan
oleh Malinowska-Olszowy, (2005) bahwa periklanan merupakan instrumen lain dari program
pemasaran yang berusaha membangun citra sebuah merek. Kampanye iklan terbaik pun tidak akan
menyelamatkan sebuah merek apabila opini konsumen negatif dan pengalaman mencoba produk dari
konsumen penuh ketidakpuasan.
Banyak peneliti menyarankan agar melakukan lebih banyak aktivitas periklanan (advertising)
dalam membangun merek produk (Low, 2000; Aaker, 2001; Ali, 2008; Cleland, 2000; Gedenk, 1999;
Jedidi, 199b; Walker, 2002). Melakukan aktivitas periklanan berbeda dengan aktivitas sales
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 506
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
promotion (Low, 2000). Aktivitas penklanan menggunakan berbagai cara untuk memengaruhi
konsumen dengan menawarkan alasan-alasan untuk membeli produk, seperti jaringan kerja yang
bagus, janji-janji dan pengiriman tepat waktu. Cara-cara yang dilakukan mengutamakan faktor alami
dari emosional ataupun fungsional, seperti mengiklankan kalimat "di mana pun anda berada, jaringan
kerja kami selalu mengikuti anda." Kerangka waktu periklanan adalah jangka panjang. Tujuan
utamanya adalah membangun citra tentang merek (brand image) . Namun langsung maupun tidak
langsung tujuan periklanan adalah membujuk pelanggan untuk membeli produk yang ditawarkan.
Reputasi perusahaan (Corporate Reputation)
Ditegaskan oleh Alessandri (2006) bahwa reputasi perusahaan dan strategi bisnis berperan
penting dalam hubungan antara strategi merek (branding strategy) dan kinerja keuangan perusahaan.
Lebih lanjut perusahaan yang memiliki reputasi bagus akan dapat menikmati konsistensi merek dalam
jangka waktu lama. Menurut Dowling (2001) tantangan untuk membangun sebuah reputasi yang
hebat, sehingga dapat menjadi sebuah perusahaan yang memiliki merek super (corporate superbrand)
harus dimulai dari pimpinan puncak perusahaan. Pimpinan puncak perusahaan membentuk sebuah
visi dan strategi, dan menjadikannya budaya dalam keseluruhan organisasi. Hal ini memerlukan
kepemimpinan dan arahan kepada para karyawan untuk menciptakan sebuah organisasi yang berarti
dan otentik untuk seluruh pemangku kepentingan. Membangun reputasi perusahaan memerlukan
komitmen jangka panjang. Reputasi merupakan kekayaan yang sangat tidak ternilai dan merupakan
faktor penting dalam membangun sebuah merek yang kuat.
Dikemukakan oleh Martin (2007) bahwa pada saat ini organisasi harus mampu
menyeimbangkan integrasi antara jatidiri perusahaan yang kuat (strong identity) dan citraperusahaan
(corporate image) yang kuat. Reputasi manajemen dan pembentukan merek perusahaan menjadi
strategi yang sangat penting untuk perusahaan berskala multinasional ketimbang perusahaan berskala
domestik. Banyak perusahaan besar yang kehilangan kemampuan untuk mengembangkan produk
yang dapat menyediakan nilai persepsi bagi pelanggan. Sebuah reputasi yang buruk akan menurunkan
nilai produk.
Negara asal (Country of Origin /COO)
Dikatakan olehChattalas (2008) bahwa tempat di dunia di mana sebuah produk diproduksi
disebut sebagai " Cou ntvy-of-Or/g/zi of the product' (COOP). Saat ini kebanyakan produk yang dijual
di pasar tanah air selalu diberi label " buatan negara../ (made in countryname). Dalam bab 4
petjanjian NAFTA dibuat spesifikasi bagaimana sebuah negara membuat 'buatan ' (made in) untuk
produk dengan komponen yang berasal dari banyak negara. Juga ditentukan produk dengan merek
yang sama mungkin mempunyai COOP yang sama ataupun berbeda. Sebagai contoh, televisi merek
Toshiba dirakit di Mexico, namun suku cadangnya berasal dari negara Jepang, Mexico dan Amerika.
Pada saat yang sama, nama merek Toshiba identik dengan nama berasal dari Jepang. Negara asal
merek / Country-of-the-Brand (COOB) adalah negara di mana kantor pusat perusahaan memiliki
nama merek tersebut berada.
Schooler (1965) memublikasikan penelitian pertama tentang pentingnya peranan COOP.
Banyak penelitian setelah itu namun secara umum menyimpulkan bahwa pengaruh COOP dapat
memainkan peran penting dalam pilihan konsumen terhadap sebuah merek produk. Menurut
penelitian yang dilakukan Liefeld (2002) bahwa berdasar apa yang dikatakan oleh responden tentang
kepercayaan, persepsi dan sikap tentang kualitas atau nilai sebuah produk tentang konsumen dari
berbagai negara, maka selalu disentakan COOP sebagai salah satu variabel pilihan konsumen yang
penting sehingga seharusnya para pemasar memperhitungkannya.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 507
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
promotion (Low, 2000). Aktivitas periklanan menggunakan berbagai cara untuk memengaruhi
konsumen dengan menawarkan alasan-alasan untuk membeli produk, seperti jaringan kerja yang
bagus, janji-janji dan pengiriman tepat waktu. Cara-cara yang dilakukan mengutamakan faktor alami
dari emosional ataupun fungsional, seperti mengiklankan kalimat "di mana pun anda berada, jaringan
kerja kami selalu mengikuti anda." Kerangka waktu periklanan adalah jangka panjang. Tujuan
utamanya adalah membangun citra tentang merek (brand image) . Namun langsung maupun tidak
langsung tujuan periklanan adalah membujuk pelanggan untuk membeli produk yang ditawarkan.
Reputasi perusahaan (Corporate Reputation)
Ditegaskan oleh Alessandri (2006) bahwa reputasi perusahaan dan strategi bisnis berperan
penting dalam hubungan antara strategi merek (branding strategy) dan kinerja keuangan perusahaan.
Lebih lanjut perusahaan yang memiliki reputasi bagus akan dapat menikmati konsistensi merek dalam
jangka waktu lama. Menurut Dowling (2001) tantangan untuk membangun sebuah reputasi yang
hebat, sehingga dapat menjadi sebuah perusahaan yang memiliki merek super (corporate superbrand)
harus dimulai dari pimpinan puncak perusahaan. Pimpinan puncak perusahaan membentuk sebuah
visi dan strategi, dan menjadikannya budaya dalam keseluruhan organisasi. Hal ini memerlukan
kepemimpinan dan arahan kepada para karyawan untuk menciptakan sebuah organisasi yang berarti
dan otentik untuk seluruh pemangku kepentingan. Membangun reputasi perusahaan memerlukan
komitmen jangka panjang. Reputasi merupakan kekayaan yang sangat tidak temilai dan merupakan
faktor penting dalam membangun sebuah merek yang kuat.
Dikemukakan oleh Martin (2007) bahwa pada saat ini organisasi harus mampu
menyeimbangkan integrasi antara jatidiri perusahaan yang kuat (strong identity) dan citraperusahaan
(corporate image) yang kuat. Reputasi manajemen dan pembentukan merek perusahaan menjadi
strategi yang sangat penting untuk perusahaan berskala multinasional ketimbang perusahaan berskala
domestik. Banyak perusahaan besar yang kehilangan kemampuan untuk mengembangkan produk
yang dapat menyediakan nilai persepsi bagi pelanggan. Sebuah reputasi yang buruk akan menurunkan
nilai produk.
Negara asal (Country of Origin /COO)
Dikatakan olehChattalas (2008) bahwa tempat di dunia di mana sebuah produk diproduksi
disebut sebagai Country-of-Or/gm of the product' (COOP). Saat ini kebanyakan produk yang dijual
di pasar tanah air selalu diberi label ' buatan negara...' (made in countryname). Dalam bab 4
peijanjian NAFTA dibuat spesifikasi bagaimana sebuah negara membuat 'buatan ...' (made in) untuk
produk dengan komponen yang berasal dari banyak negara. Juga ditentukan produk dengan merek
yang sama mungkin mempunyai COOP yang sama ataupun berbeda. Sebagai contoh, televisi merek
Toshiba dirakit di Mexico, namun suku cadangnya berasal dari negara Jepang, Mexico dan Amerika.
Pada saat yang sama, nama merek Toshiba identik dengan nama berasal dari Jepang. Negara asal
merek / Country-of-the-Brand (COOB) adalah negara di mana kantor pusat perusahaan memiliki
nama merek tersebut berada.
Schooler (1965) memublikasikan penelitian pertama tentang pentingnya peranan COOP.
Banyak penelitian setelah itu namun secara umum menyimpulkan bahwa pengaruh COOP dapat
memainkan peran penting dalam pilihan konsumen terhadap sebuah merek produk. Menurut
penelitian yang dilakukan Liefeld (2002) bahwa berdasar apa yang dikatakan oleh responden tentang
kepercayaan, persepsi dan sikap tentang kualitas atau nilai sebuah produk tentang konsumen dari
berbagai negara, maka selalu disentakan COOP sebagai salah satu variabel pilihan konsumen yang
penting sehingga seharusnya para pemasar memperhitungkannya.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 507
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Karakteristik status sosial ekonomi (socioeconomic status characteristic)
Penelitian menunjukkan bahwa tingginya status sosial ekonomi konsumen, misal tingkat
pendidikan, tingkat penghasilan, status perkawinan, kondisi pekerjaan, akan sangat menunjang tingkat
konsumsi sebuah produk (Reardon, 2007). Menurutnya secara logika bahwa dengan tingkat sosial
ekonomi yang lebih tinggi akan didapatkan: (1) sumber daya lebih besar seperti tingkat penghasilan
yang tinggi akan dapat membeli produk bernilai tinggi (Donthu and Garcia, 1999); (2) Sumber daya
yang lebih keeil seperti waktu yang terbatas, akan membeli lewat gerai yang lebih nyaman untuk
membeli (Darian, 1987); (3) Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, akan
memiliki banyak pilihan terhadap yang tersedia (Donthu and Garcia, 1999).
Seperti yang diindikasikan oleh Darian (1987) dan Donthu dan Garcia (1999) bahwa tingkat
penghasilan yang semakin tinggi dari konsumen, cenderung mengecilkan nilai risiko keuangan dalam
situasi beli produk. Dikatakan oleh Chattalas (2008) bahwa dalam situasi di mana konsumen
mempunyai sikap etnis (ethnocentric) yang tinggi, akan berpengaruh pada pemilihan produk, tujuan
pembelian dan kemauan untuk membeli produk asing. Menurut Lief eld (2002), yang melakukan
penelitian konsumen di Amerika Utara, bahwa karakteristik dari pembeli (characteristicof purchaser)
seperti umur, jender, pendidikan, negara kelahiran, berpengaruh kuat dalam keputusan beli sebuah
merek produk.
Kaitan Antar Konsep
PLKaitan antara aktivitas promosi harga dengan brand salience.
P2:Kaitan antara aktivitas promosi premium dengan brand salience.
P3:Kaitan antara aktivitas periklanan terhadap brandsalience.
P4:Persepsi konsumen terhadap negara asal memoderasi kaitan aktivitas promosi harga dan brand
salience.
P5:Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi kaitan aktivitas promosi harga dan
brand salience.
P6:Karakteristik status sosial ekonomi konsumen memoderasi kaitan aktivitas promosi harga dan
brand salience.
P7:Persepsi konsumen terhadap negara asal memoderasi aktivitas promosi premium dan semakin
positifnya brand salience.
P8:Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi kaitan aktivitas promosi premium
dan semakin positifnya brand salience.
P9:Karakteristik status sosial ekonomi konsumen memoderasi kaitan antara aktivitas promosi
premium dan brand salience.
P10:Persepsi konsumen terhadap negara asal memoderasi kaitan aktivitas periklanan dan brand
salience.
PILPersepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi kaitan antara aktivitas periklanan
dan brand salience.
P12:Karakteristik status sosial ekonomi konsumen memoderasi kaitan antara aktivitas periklanan dan
brand salience.
2.10. Model Konseptual
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 508
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Karakteristik status sosial ekonomi (socioeconomic status characteristic)
Penelitian menunjukkan bahwa tingginya status sosial ekonomi konsumen, misal tingkat
pendidikan, tingkat penghasilan, status perkawinan, kondisi pekerjaan, akan sangat menunjang tingkat
konsumsi sebuah produk (Reardon, 2007). Mcnurutnya secara logika bahwa dengan tingkat sosial
ekonomi yang lebih tinggi akan didapatkan: (1) sumber daya lebih besar seperti tingkat penghasilan
yang tinggi akan dapat membeli produk bernilai tinggi (Donthu and Garcia, 1999); (2) Sumber daya
yang lebih kecil seperti waktu yang terbatas, akan membeli lewat gerai yang lebih nyaman untuk
membeli (Darian, 1987); (3) Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, akan
memiliki banyak pilihan terhadap yang tersedia (Donthu and Garcia, 1999).
Seperti yang diindikasikan oleh Darian (1987) dan Donthu dan Garcia (1999) bahwa tingkat
penghasilan yang semakin tinggi dari konsumen, cenderung mengecilkan nilai risiko keuangan dalam
situasi beli produk. Dikatakan oleh Chattalas (2008) bahwa dalam situasi di mana konsumen
mempunyai sikap etnis (ethnocentric) yang tinggi, akan berpengaruh pada pemilihan produk, tujuan
pembelian dan kemauan untuk membeli produk asing. Menurut Liefeld (2002), yang melakukan
penelitian konsumen di Amerika Utara, bahwa karakteristik dari pembeli (characteristicof purchaser)
seperti umur, jender, pendidikan, negara kelahiran, berpengaruh kuat dalam keputusan beli sebuah
merek produk.
Kaitan Antar Konsep
Pl:Kaitan antara aktivitas promosi harga dengan brand salience.
P2:Kaitan antara aktivitas promosi premium dengan brand salience.
P3:Kaitan antara aktivitas periklanan terhadap brandsalience.
P4:Persepsi konsumen terhadap negara asal memoderasi kaitan aktivitas promosi harga dan brand
salience.
P5:Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi kaitan aktivitas promosi harga dan
brand salience.
P6:Karakteristik status sosial ekonomi konsumen memoderasi kaitan aktivitas promosi harga dan
brand salience.
P7:Persepsi konsumen terhadap negara asal memoderasi aktivitas promosi premium dan semakin
positifnya brand salience.
P8:Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi kaitan aktivitas promosi premium
dan semakin positifnya brand salience.
P9:Karakteristik status sosial ekonomi konsumen memoderasi kaitan antara aktivitas promosi
premium dan brand salience.
P10:Persepsi konsumen terhadap negara asal memoderasi kaitan aktivitas periklanan dan brand
salience.
Pll:Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi kaitan antara aktivitas periklanan
dan brand salience.
P12:Karakteristik status sosial ekonomi konsumen memoderasi kaitan antara aktivitas periklanan dan
brand salience.
2.10. Model Konseptual
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 508
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Danproposisi-proposisi yang diajukan di atas berkenan dengan hal-hal yang mempengaruhi
pelaksanaan sales promotion dan periklanan terhadap pembentukan brand salience untuk sebuah
produk, maka penelitian ini juga mengajukan sebuah model konseptual yang bisa dilihat di gambar.2
Persepsi
terhadap
Persepsi terhadap
negara Promosi
PI harga P4 P5
P8 P7
Pll P10
Promosi premium
Brand
Salience P2
P6
P9
P12 P3
Periklanan
Karakteristik status sosial
Hasil Penelitian
Analisis antecendent brand salience dan efek moderasi faktor negara asal, reputasi
perusahaan, dan karakteristik status sosial ekonomi terhadap brand salience dilakukan pada industri
peralatan rumah tangga di Jawa Tengah dan Daerah Is time wa Yogyakarta.Variabel yang digunakan
adalah brand salience, promosi harga, promosi premium dan periklanan dengan peubah moderator
negara asal, reputasi perusahaan dan karakteristik status sosial ekonomi.
Obyek penelitian ini adalah supermarket, gerai kompor gas, gerai elektronika, gerai alat alat
rumah tangga dan lain-lain. Responden pada penelitian ini adalah konsumen yang pernah melakukan
pembelian kompor merek Rinnai di Jawa Tengah dan DIY.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis rUniversitas Kristen Satya Wacana
509
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Dariproposisi-proposisi yang diajukan di atas berkenan dengan hal-hal yang mempengaruhi
pelaksanaan sales promotion dan periklanan terhadap pembentukan brand salience untuk sebuah
produk, maka penelitian ini juga mengajukan sebuah model konseptual yang bisa dilihat di gambar.2
Persepsi
terhadap
Persepsi terhadap
negara Promosi
PI harga P4 P5
P8 P7
Pll P10
Promosi Brand
Salience P2 premium
P6
P9
P12 PS
Periklanan
Karakteristik status sosial
Hasil Penelitian
Analisis antecendent brand salience dan efek moderasi faktor negara asal, reputasi
perusahaan, dan karakteristik status sosial ekonomi terhadap brand salience dilakukan pada industri
peralatan rumah tangga di Jawa Tengah dan Daerah Is time wa Yogyakarta.Variabel yang digunakan
adalah brand salience, promosi harga, promosi premium dan periklanan dengan peubah moderator
negara asal, reputasi perusahaan dan karakteristik status sosial ekonomi.
Obyek penelitian ini adalah supermarket, gerai kompor gas, gerai elektronika, gerai alat alat
rumah tangga dan lain-lain. Responden pada penelitian ini adalah konsumen yang pernah melakukan
pembelian kompor merek Rinnai di Jawa Tengah dan DIY.
feb Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 509
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Gambaran umum Responden
Data Responden
Tabel Jumlah Responden
No Gender Jumlah Distribusi
Frekuensi (%)
1. Laki-laki 70 17,63
2. Perempuan 327 82,37
3. 397 100
Sumber: data primer diolah, 2011
Usia Responden
Tabel Usia Responden
No Usia (th) Jumlah DF (%)
1. <25 103 25,94
2. 25- 35 136 34,26
3. 35-50 132 33,25
4. >50 26 6,55
5. Total 397 100%
Sumber: data primer, diolah 2011
Pekerjaan Responden
Tabel Pekerjaan Responden
No Pekerjaan Jumlah DF (%)
1 Karyawan swasta 206 51,89
2 Wiraswasta 64 16,12
3 TNI/Polri 1 0,25
4 PNS/BUMN 20 5,04
5 Pel ajar 23 5,79
6 Lainnya 83 20,91
7 Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Fakultas Ekonomika dan Bisnis rUniversitas Kristen Satya Wacana
510
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Gambaran umum Responden
Data Responden
Tabel Jumlah Responden
No Gender Jumlah Distribusi
Frekuensi (%)
T. Laki-Iaki 70 17,63
2. Perempuan 327 82,37
3. 397 100
Sumber: data primer aiolah, 2011
Usia Responden
Tabel Usia Responden
No Usia (th) Jumlah DF (%)
1. <25 103 25.94
2. 25- 35 136 34.26
3. 35-50 132 33,25
4. >50 26 6,55
5. Total 397 100%
Sumber: data primer, diolah 2011
Pekerjaan Responden
Tabel Pekerjaan Responden
No Pekerjaan Jumlah DF (%)
1 Karyawan swasta 206 51,89
2 Wiraswasta 64 16,12
3 TNI/Polri 1 0,25
4 PNS/BUMN 20 5,04
5 Pelajar 23 5.79
6 Lainnya 83 20,91
7 Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 510
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengeluaran Responden
Tabel Pengeluaran Responden
No
1.
2.
3.
4.
5.
Pengeluaran (1000 Rp)
< 1.000
1.000-3.000
3.000 - 5.000
> 5.000
Total
Jumlah
190
170
30
397
DF (%)
47,86
42,82
7,56
1,76
100
Sumber: data primer, diolah 2011
Lama Responden Memiliki Produk
Tabel Rata-Rata Responden Memiliki Produk Rinnai
No Lama (thn) Jumlah DF (%)
1. < 6 bin 66 16,63
2. 6 bl - 1 thn 74 18,64
3. 1 -2 th 132 33,24
4. > 2 th 125 31,49
5. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Responden Pernah Menggunakan Merek Lain.
Penggunaan merk lain
No Penggunaan merk lain Jumlah DF (%)
1. Tidak 241 60,71
2. Ya 156 39,29
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 201
Tempat Pembelian Produk
Tabel Tempat Pembelian Produk
No Tempat Jumlah DF (%)
1. Supermarket 146 36,78
2. Toko Kompor 12 3,02
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana m m
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengeluaran Responden
Tabel Pengeluaran Responden
No
1
2.
3.
4.
5.
Pengeluaran (1000 Rp)
< 1.000
1.000-3.000
3.000 - 5.000
> 5.000
Total
Jumlah
190
170
30
397
DF (%)
47,86
42,82
7,56
1,76
100
Sumber: data primer, diolah 2011
Lama Responden Memiliki Produk
Tabel Rata-Rata Responden Memiliki Produk Rinnai
No Lama (thn) Jumlah DF (%)
1. < 6 bin 66 16,63
2, 6 bl - 1 thn 74 18,64
3. 1 -2th 132 33,24
4. > 2 th 125 31,49
5. Total 397 100
Sumner: data primer, diolah 2011
Responden Pernah Menggunakan Merek Lain.
Penggunaan merk lain
No Penggunaan merk lain Jumlah DF (%)
1. Tidak 241 60.71
2. Ya 156 39,29
3. Total 397 100
Sumber: data pnmer, diolah 201
Tempat Pembelian Produk
Tabel Tempat Pembelian Produk
No Tempat Jumlah DF (%)
1 Supermarket 146 36.78
2. Toko Kompor 12 3,02
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana febj
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
3. Toko Elektronik 83 20,91
4. Toko Alat Rumah-
Tangga
148 37,28
5. Lainnya 8 2,01
Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Pendamping Responden Melakukan Pembelian
Tabel Pendamping Pembelian Responden
No Pendamping
Pembelian
Jumlah DF (%)
1. Suami-isteri 190 47,86
2. Anak 39 9,83
3. Teman 103 25,94
4. Lainnya 65 16,37
5. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Rencana Pembelian
Tabel Perencanaan Pembelian responden
No Rencana Awal Jumlah DF (%)
1. Ya 322 81,11
2. Tidak 75 18,89
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Memakai Tabungan
Tabel Pemakaian tabungan responden
No Tabungan Jumlah DF (%)
1. Ya 269 67,76
2. Tidak 128 32,24
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Memakai Kartu Kredit
Tabel Pemakaian kartu kredit
No Kartu Kredit Jumlah DF (%)
m tab Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 512
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
3. Toko Elektronik 83 20,91
4. Toko Alat Rumah-
Tangga
148 37,28
5. Lainnya 8 2.01
Total 397 100
Sumuer: aaia primer, diolah 2011
Pendamping Responden Melakukan Pembelian
Tabel Pendamping Pembelian Responden
No Pendamping
Pembelian
Jumlah DF (%)
1. Suami-isteri 190 47,86
2. Anak 39 9,83
3 Teman 103 25,94
4. Lainnya 65 16,37
5. Total 397 100
Sumner: data primer, moiah 2011
Rencana Pembelian
Tabel Perencanaan Pembelian responden
No Rencana Awal Jumlah DF (%)
1, Ya 322 stu
2. Tidak 75 18,89
3. Total 397 100
Sumuer: data primer, diolah 2011
Memakai Tabungan
Tabel Pemakaian tabungan responden
No Tabungan Jumlah DF (%)
1 Ya 269 67,76
2. Tidak 128 32,24
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Memakai Kartu Kredit
Tabel Pemakaian kartu kredit
No Kartu Kredit Jumlah DF (%)
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 512
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
1. Ya 32 8,06
2. Tidak 365 91,94
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Pemakai Kompor
Tabel Pemakai Kompor Gas
No Pemakaian Kompor Jumlah DF (%)
1. Rumah Tangga 382 96,22
2. Usaha 15 3,78
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Loyalitas Merek
Tabel Loyalitas Merek
No Pakai Rinnai Jumlah DF (%)
1. Ya 379 95,47
2. Tidak 18 4,53
3. Total 397 100
Sumber: data primer, diolah 2011
Alasan Pembelian Produk Rinnai
Tabel Alasan Pembelian
No Alasan Jumlah DF (%)
1. Tahan lama/awet 170 42,82
2. Api biru 56 14,11
3. Bagus 34 8,56
4. Mudah perawatan 25 6,30
5. Hemat gas 24 6,05
6. Kualitas baik 20 5,04
7. Harga terjangkau 18 4,53
8. Banyak yang pakai 15 3,78
9. Merek terkenal 14 3,53
10. Jasa Pelayanan 13 3,27
11. Lain lain 8 2,01
Total 397 100
M feb Fakultas Ekonomika dan Bisnis rtJwi Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
1. Ya 32 8,06
2. Tidak 365 91,94
3. Total 397 100
Sumuer: aaia primer, molah 2011
Pemakai Kompor
Tabel Pemakai Kompor Gas
No Pemakaian Kompor Jumlah DF (%)
1. Rumah Tangga 382 96,22
2. Usaha 15 3,78
3. Total 397 100
Sumoer: data primer, diolah 2011
Loyalitas Merek
Tabel Loyalitas Merek
No Pakai Rinnai Jumlah DF (%)
1. Ya 379 95,47
2. Tidak 18 4,53
3. Total 397 100
Sumoer: data primer, moiah 2011
Alasan Pembelian Produk Rinnai
Tabel Alasan Pembelian
No Alasan Jumlah DF (%)
1. Tahan lama/awet 170 42,82
2. Api biru 56 14,11
3. Bagus 34 8,56
4. Mudah perawatan 25 6,30
5. Hemat gas 24 6,05
6. Kualitas baik 20 5,04
7. Harga terjangkau 18 4,53
8. Banyak yang pakai 15 3,78
9. Merek terkenal 14 3,53
10. Jasa Pelayanan 13 3,27
11. Lain lain 8 2,01
Total 397 100
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 513
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Sumber: data primer, diolah 2011
Merasakan Data
Penelitian pembelian kompor gas merek Rinnai di beberapa swalayan dan gerai serta
hypermarket di Kota Semarang, Yogyakarta serta Klaten ini mengambil beberapa peubah seperti
brand salience sebagai peubah gayut dan peubah bebas meliputi promosi harga, promosi premium
serta periklanan dan peubah moderator seperti faktor negara asal, reputasi perusahaan dan
karakteristik status sosial ekonomi. Keseluruhan indikator, dan peubah dideskripsikan sebagai berikut:
Peubah Promosi Harga
Pada indikator promosi harga rata rata memiliki skor 3,19 menunjukkan bahwa promosi harga
sangat menentukan di dalam pembelian kompor gas merek Rinnai. Skor tertinggi karena konsumen
merasakan adanya penghematan dalam pembelian yang mencapai skor 4,03. Skor terendah pada
harga produk yang terasa turun 2,66 yang masih di atas skor rata-rata. Dengan demikian promosi
harga menjadi daya tarik dalam pembelian kompor gas merk Rinnai.
Peubah Promosi Premium
Promosi premium memiliki skor rata rata 3,20 di atas skor rata-rata. Hal ini menunjukkan
bahwa promosi premium cukup menentukan pembelian kompor gas merek Rinnai. Skor indikator
rata-rata tertinggi pada hadiah yang diberikan yang dianggap sebagai produk yang bermanfaat
mencapai skor rata-rata 3,86. Indikator skor rata-rata terendah pada 2,77 menunjukkan karena
hadiahnya juga produk yang berasal dari impor sehingga disukai konsumen.
Peubah Periklanan
Indikator skor rata-rata periklanan sebesar 3,70 yang masih di atas rata-rata hal ini
menunjukkan bahwa periklanan sangat berpengaruh pada pembelian kompor gas merek Rinnai,
karena masih jauh diatas skor rata-rata 2,5. Nilai indikator rata-rata tertinggi sebesar 4,25
menunjukkan bahwa kompor gas Rinnai mudah dijumpai di setiap gerai elektronik sampai di
swalayan. Berarti konsumen tidak sulit menemukan produk kompor gas Rinnai. Selanjutnya nilai skor
tertinggi pada informasi untuk produk Rinnai sangat lengkap. Yang terkecil dengan skor 3,26 yaitu
produk Rinnai dijual di toko-toko terpercaya. Dengan demikian menjelaskan bahwa produk Rinnai
lebih tepat dipasarkan di tempat- tempat yang mudah dikunjungi dan terjangkau.
Peubah Negara Asal Merk
Indikator peubah moderator negara asal merek memiliki skor rata-rata sebesar 3,29. Indikator
skor rata-rata tertinggi pada merek yang berasal dari negara Jepang sebesar 4,055. Skor indikator
terendah sebesar 2,49 di bawah sedikit dari rata-rata, karena pembeli tidak paham merek jadi membeli
produk hanya berdasarkan asal buatan dari negara maju.
Peubah Reputasi Perusahaan
Skor indikator rata-rata peubah moderator reputasi perusahaan sebesar 4,35, ternyata juga
sangat berpengaruh terhadap pembelian kompor gas merek Rinnai. Indikator rata-rata skor tertinggi
pada produknya pasti awet dan tahan lama dengan skor 4,34, serta jaminan kualitas produk yang
bagus mencapai 4,322. Indikator terendah pada perusahaannya banyak mengekspor produk sebesar
3,70. Dengan demikian jelas bahwa reputasi perusahaan sangat menentukan pembelian produk merek
Rinnai. Sedangkan konsumen berpatokan pada produk yang awet tahan lama serta jaminan kualitas
yang bagus. Konsumen kurang berpikir pada perusahaan yang berorientasi ekspor.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 514
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Sumber: data primer, diolah 2011
Merasakan Data
Penelitian pembelian kompor gas merek Rinnai di beberapa swalayan dan gerai serta
hypermarket di Kota Semarang, Yogyakarta serta Klaten ini mengambil beberapa peubah seperti
brand salience sebagai peubah gayut dan peubah bebas meliputi promosi harga, promosi premium
serta periklanan dan peubah moderator seperti faktor negara asal, reputasi perusahaan dan
karakteristik status sosial ekonomi. Keseluruhan indikator, dan peubah dideskripsikan sebagai berikut:
Peubah Promosi Harga
Pada indikator promosi harga rata rata memiliki skor 3,19 menunjukkan bahwa promosi harga
sangat menentukan di dalam pembelian kompor gas merek Rinnai. Skor tertinggi karena konsumen
merasakan adanya penghematan dalam pembelian yang mencapai skor 4,03. Skor terendah pada
harga produk yang terasa turun 2,66 yang masih di atas skor rata-rata. Dengan demikian promosi
harga menjadi daya tarik dalam pembelian kompor gas merk Rinnai.
Peubah Promosi Premium
Promosi premium memiliki skor rata rata 3,20 di atas skor rata-rata. Hal ini menunjukkan
bahwa promosi premium cukup menentukan pembelian kompor gas merek Rinnai. Skor indikator
rata-rata tertinggi pada hadiah yang diberikan yang dianggap sebagai produk yang bermanfaat
mencapai skor rata-rata 3,86. Indikator skor rata-rata terendah pada 2,77 menunjukkan karena
hadiahnya juga produk yang berasal dari impor sehingga disukai konsumen.
Peubah Periklanan
Indikator skor rata-rata periklanan sebesar 3,70 yang masih di atas rata-rata hal ini
menunjukkan bahwa periklanan sangat berpengaruh pada pembelian kompor gas merek Rinnai,
karena masih jauh diatas skor rata-rata 2,5. Nilai indikator rata-rata tertinggi sebesar 4,25
menunjukkan bahwa kompor gas Rinnai mudah dijumpai di setiap gerai elektronik sampai di
swalayan. Berarti konsumen tidak sulit menemukan produk kompor gas Rinnai. Selanjutnya nilai skor
tertinggi pada informasi untuk produk Rinnai sangat lengkap. Yang terkecil dengan skor 3,26 yaitu
produk Rinnai dijual di toko-toko terpercaya. Dengan demikian menjelaskan bahwa produk Rinnai
lebih tepat dipasarkan di tempat- tempat yang mudah dikunjungi dan terjangkau.
Peubah Negara Asal Merk
Indikator peubah moderator negara asal merek memiliki skor rata-rata sebesar 3,29. Indikator
skor rata-rata tertinggi pada merek yang berasal dari negara Jepang sebesar 4,055. Skor indikator
terendah sebesar 2,49 di bawah sedikit dari rata-rata, karena pembeli tidak paham merek jadi membeli
produk hanya berdasarkan asal buatan dari negara maju.
Peubah Reputasi Perusahaan
Skor indikator rata-rata peubah moderator reputasi perusahaan sebesar 4,35, temyata juga
sangat berpengaruh terhadap pembelian kompor gas merek Rinnai. Indikator rata-rata skor tertinggi
pada produknya pasti awet dan tahan lama dengan skor 4,34, serta jaminan kualitas produk yang
bagus mencapai 4,322. Indikator terendah pada perusahaannya banyak mengekspor produk sebesar
3,70. Dengan demikian jelas bahwa reputasi perusahaan sangat menentukan pembelian produk merek
Rinnai. Sedangkan konsumen berpatokan pada produk yang awet tahan lama serta jaminan kualitas
yang bagus. Konsumen kurang berpikir pada perusahaan yang berorientasi ekspor.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 514
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Peubah Karakteristik Status Sosial Ekonomi
Sedangkan peubah moderator yang lain adalah karakteristik status sosial ekonomi dengan
indikator rata-rata scbcsar 3,64 yang berada di atas rata-rata, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik
status sosial ekonomi menentukan merek produk. Sedangkan indikator tertinggi pada produk yang
mudah dioperasikan scbcsar 4,26 menjelaskan bahwa konsumen menyukai produk Rinnai karena
kemudahan mengoperasikan produk, demikian pula informasi yang lengkap tentang produk sangat
disukai oleh konsumen. Hal yang kurang disukai konsumen yaitu tidak semua orang mampu membeli
merek produk Rinnai yaitu scbcsar 2,47. Hal ini menjelaskan bahwa produk Rinnai biasanya untuk
kelas menengah ke atas. Yang kurang adalah tingkat pendidikan hanya mencapai 3,012, menjelaskan
bahwa pendidikan berpengaruh cukup menentukan di dalam pembelian produk kompor gas merek
Rinnai.
Peubah Brand Salience
Peubah dependen brand salience memiliki indikator dengan skor rata-rata 3,78, dengan
demikian memiliki skor yang cukup tinggi sebagai penentu pembelian kompor gas yang bermerek.
Berarti merek Rinnai menjadi merek idaman para pelanggan kompor gas. Indikator rata-rata yang
tertinggi dengan skor di atas 4, yaitu berturut turut adalah produk mudah didapatkan, merek yang
sudah dikenal, yakin terhadap merek yang dibeli, merek tersebut pernah didengar serta pernah
dilihat. Dengan demikian memang mampu menjelaskan bahwa produk Rinnai sudah kuat di dalam
ingatan konsumen. Skor indikator yang terendah walaupun masih di atas 3 yaitu karena hanya ingat
merek tersebut, merek tersebut disarankan keluarga serta merek Rinnai sulit untuk dilupakan. Hal ini
mempertegas bahwa merek menjadi penentu atau berpengaruh besar di dalam pembelian produk
kompor gas merek Rinnai.
Temuan-temuan penelitian ini dapat membuktikan bahwa peubah moderator berpengaruh
pada brand salience. Hasil pengujian menunjukkan bahwa brand salience menjadi penentu terhadap
pembelian produk, bahkan pengaruhnya semakin besar- melalui penggunaan variable moderator (VM).
Hasil analisis SEM menggunakan Software AMOS secara lengkap disajikan pada lampiran.
Analisis Keragaan Brand Salience
Brand salience, berhubungan dengan aspek kesadaranpelanggan terhadap sebuah merek,
seberapa besar- merek terdapat dalam ingatan utama pelanggan dan mudahnya merek diingat serta
dikenali pelanggan. Brandsalience membentuk landasan bangunan dalam pengembangan brand
equity dan memberikan tiga fungsi. Pertama, brandsalience mempengaruhi pembentuk dan kekuatan
asosiasi merek yang menciptakan citra dan arti merek. Kedua, pembentukan brand salience
mempengaruhi dalam proses identifikasi dan pemuasan kebutuhan pada saat ada kesempatan
pembelian dan konsumsi. Brand salience penting pada saat memanfaatkan potensi pemakaian. Ketiga,
pada saat pelanggan berada pada titik rendah terhadap kategori sebuah produk, mereka mendasarkan
pilihan pada hanya brand salience saja.
Pengaruh Promosi-Harga Terhadap Brand Salience
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-harga terhadap brand salience,
menunjukkan bahwa aktivitas promosi-harga berpengaruh positif dan signifikan terhadap brand
salience dengan koefisien path (0.20) dan p (0,000). Promosi-harga tepat dan cocok atau sama untuk
membangun brand salience perusahaan. Melalui diskon harga produk, pengeluaran pelanggan
menjadi berkurang, produk menjadi berharga murah dan menjadi daya tarik terhadap konsumen. Di
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 515
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Peubah Karakteristik Status Sosial Ekonomi
Sedangkan peubah moderator yang Iain adalah karakteristik status sosial ekonomi dengan
indikator rata-rata sebesar 3,64 yang berada di atas rata-rata, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik
status sosial ekonomi menentukan merek produk. Sedangkan indikator tertinggi pada produk yang
mudah dioperasikan sebesar 4,26 menjelaskan bahwa konsumen menyukai produk Rinnai karena
kemudahan mengoperasikan produk, demikian pula informasi yang iengkap tentang produk sangat
disukai oleh konsumen. Hal yang kurang disukai konsumen yaitu tidak semua orang mampu membeli
merek produk Rinnai yaitu sebesar 2,47. Hal ini menjelaskan bahwa produk Rinnai biasanya untuk
kelas menengah ke atas. Yang kurang adalah tingkat pendidikan hanya mencapai 3,012, menjelaskan
bahwa pendidikan berpengaruh cukup menentukan di dalam pembelian produk kompor gas merek
Rinnai.
Peubah Brand Salience
Peubah dependen brand salience memiliki indikator dengan skor rata-rata 3,78, dengan
demikian memiliki skor yang cukup tinggi sebagai penentu pembelian kompor gas yang bermerek.
Berarti merek Rinnai menjadi merek idaman para pelanggan kompor gas. Indikator rata-rata yang
tertinggi dengan skor di atas 4, yaitu berturut turut adalah produk mudah didapatkan, merek yang
sudah dikenal, yakin terhadap merek yang dibeli, merek tersebut pernah didengar serta pemah
dilihat. Dengan demikian memang mampu menjelaskan bahwa produk Rinnai sudah kuat di dalam
ingatan konsumen. Skor indikator yang terendah walaupun masih di atas 3 yaitu karena hanya ingat
merek tersebut, merek tersebut disarankan keluarga serta merek Rinnai sulit untuk dilupakan. Hal ini
mempertegas bahwa merek menjadi penentu atau berpengaruh besar di dalam pembelian produk
kompor gas merek Rinnai.
Temuan-temuan penciltian ini dapat membuktikan bahwa peubah moderator berpengaruh
pada brand salience. Hasil pengujian menunjukkan bahwa brand salience menjadi penentu terhadap
pembelian produk, bahkan pengaruhnya semakin besar melalui penggunaan variable moderator (VM).
Hasil analisis SEM menggunakan Software AMOS secara Iengkap disajikan pada lampiran.
Analisis Keragaan Brand Salience
Brand salience, berhubungan dengan aspek kesadaranpelanggan terhadap sebuah merek,
seberapa besar merek terdapat dalam ingatan utama pelanggan dan mudahnya merek diingat serta
dikenali pelanggan. Brandsalience membentuk landasan bangunan dalam pengembangan brand
equity dan memberikan tiga fungsi. Pertama, brandsalience mempengaruhi pembentuk dan kekuatan
asosiasi merek yang menciptakan citra dan arti merek. Kedua, pembentukan brand salience
mempengaruhi dalam proses identifikasi dan pemuasan kebutuhan pada saat ada kesempatan
pembelian dan konsumsi. Brand salience penting pada saat memanfaatkan potensi pemakaian. Ketiga,
pada saat pelanggan berada pada titik rendah terhadap kategori sebuah produk, mereka mendasarkan
pilihan pada hanya brand salience saja.
Pengaruh Promosi-Harga Terhadap Brand Salience
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-harga terhadap brand salience,
menunjukkan bahwa aktivitas promosi-harga berpengaruh positif dan signifrkan terhadap brand
salience dengan koefisien path (0.20) dan p (0,000). Promosi-harga tepat dan cocok atau sama untuk
membangun brand salience perusahaan. Melalui diskon harga produk, pengeluaran pelanggan
menjadi berkurang, produk menjadi berharga murah dan menjadi daya tarik terhadap konsumen. Di
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 515
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dalam jangka panjang promosi harga akan memperkuat daya ingat konsumen di dalam memutuskan
membeli produk tersebut.
Menurut Gardener (1998) perhatian yang efektif melalui promosi-harga dapat menciptakan
kepuasan yang positif, menjadi insentif yang ditawarkan kepada konsumen. Insentif mewakili
penawaran nilai tambah bagi konsumen yang dengan mudah memperoleh keuntungan tanpa
tambahan biaya. Menurut Nijs (2001), promosi-harga yang terlalu sering memiliki pengaruh yang
kuat pada kepekaan konsumen dalam jangka pendek. Pengaruh positif dari seringnya promosi-harga
ini bagaimanapun kurang terantisipasi dalam jangka panjang. Konsumen memahami manfaat dari
promosi-harga dengan merasakan kepuasan, dan pada akhirnya berpengaruh positif terhadap merek
produk yang dikonsumsi.
Pengaruh dari pemotongan harga adalah manifestasi dari keputusan konsumen akan pilihan
merek dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang basil ini belum tentu bisa dipertahankan.
Diperkirakan pengaruh jangka panjang dari promosi harga adalah negatif. Dikatakan oleh Kenesei
(2004) bahwa pembeli yang sangat selektif dalam pembelian produk dengan harga khusus, akan
semakin intensif dalam mencari harga, dan akan menjadi lebih baik dalam menanggapi pemberian
harga khusus dari pada pada saat harga normal.
Kesimpulan hasil penelitian empirik dan teoritis berdasarkan hipotesis promosi-harga
berpengaruh positif terhadap brand salience. Menunjukkan bahwa pada saat merek-merek produk
mendominasi pasar, merek seringkali dikenali melalui sales promotion, seperti dilakukan kategori
produk lain (Low, 2000; Zacharias, 2009). Dengan tingkat persaingan yang sangat tajam di industri,
hampir semua merek mempertahankan eksistensinya dengan melakukan sales promotion dalam
berbagai bentuk. Banyak perusahaan mengalokasikan anggaran pemasaran dengan salespromotion
ketimbang aktivitas periklanan (Nijs, 2001; Zacharias, 2009).
Penelitian ini mendukung temuan Low (2000) dan Zacharias (2009), bahwa menciptakan
merek periu melakukan sales promotion. Juga mendukung penelitian Nijs (2001) dan Zacharias
(2009), bahwa anggaran sales promotion diperiukan untuk membangun merek. Menurut Nijs (2001),
promosi-harga memberi pengaruh positif dalam jangka pendek dan hal senada dikatakan oleh
Kenesei (2004). Namun Kenesei (2004) dan Jedidi (1999) mengatakan bahwa dalam jangka panjang
promosi-harga berpengaruh negatif.
Pengaruh Promosi-Premium Terhadap Brand Salience
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-premium berpengaruh negatif terhadap
brand salience, menunjukkan bahwa aktivitas promosi-premium berpengaruh negatif terhadap brand
salience dengan koefisien path (-,41) dan p (0,000). Promosi-premium melalui strategi pemberian
hadiah apalagi dengan hadiah yang berharga mahal, serta berganti ganti, menjadi berpengaruh negatif
bagi brand salience, karena menimbulkan unsur ketidakpercayaan pelanggan untuk membeli produk
tersebut. Dengan demikian brand salience yang baik harus dipersepsikan positif oleh pelanggan
produk, sehingga memberi kontribusi positif terhadap citra produk beserta implikasi berupa
keunggulan produk tersebut.
Kesimpulan hipotesis secara empirik promosi-premium memiliki pengaruh negatif terhadap
brand salience. Tujuan promosi-premium untuk pasar konsumen menurut Arora (2007), Zacharias
(2009), dan Thomson (2006) adalah menstimulasi percobaan pembelian, menstimulasi pembelian
ulang, menstimulasi pembelian lebih besar, memperkenalkan suatu merek baru, mengatasi serta
mengurangi peran pesaing.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 516
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dalam jangka panjang promosi harga akan memperkuat daya ingat konsumen di dalam memutuskan
membeli produk tersebut.
Menurut Gardener (1998) perhatian yang efektif melalui promosi-harga dapat menciptakan
kepuasan yang positif, menjadi insentif yang ditawarkan kepada konsumen. bisentif mewakili
penawaran nilai tambah bagi konsumen yang dengan mudah memperoleh keuntungan tanpa
tambahan biaya. Menurut Nijs (2001), promosi-harga yang terlalu sering memiliki pengaruh yang
kuat pada kepekaan konsumen dalam jangka pendek. Pengaruh positif dari seringnya promosi-harga
ini bagaimanapun kurang terantisipasi dalam jangka panjang. Konsumen memahami manfaat dari
promosi-harga dengan merasakan kepuasan, dan pada akhimya berpengaruh positif terhadap merek
produk yang dikonsumsi.
Pengaruh dari pemotongan harga adalah manifestasi dari keputusan konsumen akan pilihan
merek dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang basil ini belum tentu bisa dipertahankan.
Diperkirakan pengaruh jangka panjang dari promosi harga adalah negatif. Dikatakan oleh Kenesei
(2004) bahwa pembeli yang sangat selektif dalam pembelian produk dengan harga khusus, akan
semakin intensif dalam mencari harga, dan akan menjadi lebih baik dalam menanggapi pemberian
harga khusus daripada pada saat harga normal.
Kesimpulan basil penelitian empirik dan teoritis berdasarkan hipotesis promosi-harga
berpengaruh positif terhadap brand salience. Menunjukkan bahwa pada saat merek-merek produk
mendominasi pasar, merek seringkali dikenali melalui sales promotion, seperti dilakukan kategori
produk lain (Low, 2000; Zacharias, 2009). Dengan tingkat persaingan yang sangat tajam di industri,
hampir semua merek mempertahankan eksistensinya dengan melakukan sales promotion dalam
berbagai bentuk. Banyak perusahaan mengalokasikan anggaran pemasaran dengan salespromotion
ketimbang aktivitas periklanan (Nijs, 2001; Zacharias, 2009).
Penelitian ini mendukung temuan Low (2000) dan Zacharias (2009), bahwa menciptakan
merek perlu melakukan sales promotion. Juga mendukung penelitian Nijs (2001) dan Zacharias
(2009), bahwa anggaran sales promotion diperlukan untuk membangun merek. Menurut Nijs (2001),
promosi-harga memberi pengaruh positif dalam jangka pendek dan hal senada dikatakan oleh
Kenesei (2004). Namun Kenesei (2004) dan Jedidi (1999) mengatakan bahwa dalam jangka panjang
promosi-harga berpengaruh negatif.
Pengaruh Promosi-Premium Terhadap Brand Salience
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-premium berpengaruh negatif terhadap
brand salience, menunjukkan bahwa aktivitas promosi-premium berpengaruh negatif terhadap brand
salience dengan koefisien path (-,41) dan p (0,000). Promosi-premium melalui strategi pemberian
hadiah apalagi dengan hadiah yang berharga mahal, serta berganti ganti, menjadi berpengaruh negatif
bagi brand salience, karena menimbulkan unsur ketidakpercayaan pelanggan untuk membeli produk
tersebut. Dengan demikian brand salience yang baik harus dipersepsikan positif oleh pelanggan
produk, sehingga memberi kontribusi positif terhadap citra produk beserta implikasi berupa
keunggulan produk tersebut.
Kesimpulan hipotesis secara empirik promosi-premium memiliki pengaruh negatif terhadap
brand salience. Tujuan promosi-premium untuk pasar konsumen menurut Arora (2007), Zacharias
(2009), dan Thomson (2006) adalah menstimulasi percobaan pembelian, menstimulasi pembelian
ulang, menstimulasi pembelian lebih besar, memperkenalkan suatu merek baru, mengatasi serta
mengurangi peran pesaing.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 516
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Penelitian ini tidak sesuai dengan temuan Aiwa (2007) bahwa promosi-premium jauh lebih
efektif daripada promosi-harga. Dalam tingkatan lebih kecil ternyata promosi premium lebih efektif
daripada bentuk promosi tradisional seperti potongan dan rabat. Aiwa (2007), Zacharias (2009), dan
Thomson (2006) mengatakan secara umum promosi-premium menstimulasi percobaan pembelian,
menstimulasi pembelian ulang, menstimulasi pembelian lebih besar. Berbeda juga dengan D'Astous
(2003) yang mengatakan bahwa promosi-premium secara umum memiliki pengaruh positif pada
apresiasi konsumen atas penawaran promosi merek barn, mengatasi serta mengurangi peran pesaing.
Pengaruh Periklanan Terhadap Brand Salience
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan terhadap brand salience
menunjukkan bahwa periklanan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap brand salience
dengan koefisien path (0,020) dan p (f0,000). Kondisi ini secara empirik memperlihatkan bahwa
periklanan berpengaruh positif terhadap brand salience. Periklanan memberikan informasi yang
sangat lengkap tentang produk, serta sangat menyentuh konsumen untuk membeli produk. Dengan
demikian melalui iklan yang terns menerus dan dijual di berbagai swalayan dan toko menyebabkan
konsumen mudah mencari produk. Hal ini membantu konsumen memilih produk yang sesuai dengan
kebutuhan, sehingga berimplikasi pada semakin kuatnya brand salience produk.
Dapat dikatakan bahwa periklanan menurut hipotesis secara empirik dan teoritik berpengaruh
terhadap brand salience.Perusahaan yang mengeluarkan anggaran besar periklanan menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut berinvestasi di sebuah merek berkualitas superior (Kirmani and Wright,
1986). Aaker dan Jacobson (1994) menemukan juga pengaruh positif antara periklanan dan persepsi
kualitas. Pengeluaran periklanan yang berpengaruh positif dengan persepsi kualitas akan
menyebabkan meningkatnya brand equity. Periklanan memainkan peran penting dalam peningkatan
kesadaran merek dan penguatan asosiasi merek. Biaya periklanan yang besar berpengaruh positif
dengan kesadaran merek dan asosiasi merek, sehingga akhirnya memperkuat brand equity.
Temuan ini mendukung penelitian Kirmani and Wright (1986), Aaker dan Jacobson (1994),
dan Dann (2007) bahwa aktivitas periklanan memperkuat merek yang unggul dan keterjangkauan
pelanggan, mendukung juga pernyataan Thomson (2006) dan Low (2000) bahwa periklanan
mendorong permintaan jangka panjang, menimbulkan kesetiaan merek, dan mendorong terjadinya
pembelian ulang.
Pengaruh Moderasi Negara Asal Merek Terhadap Promosi-Harga dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-harga yang dimoderasi oleh negara
asal berpengaruh positif terhadap brand salience menunjukkan bahwa negara asal memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,39 dengan p (0,000). Dapat
dikatakan bahwa negara asal berpengaruh terhadap brand salience. Kondisi ini secara empirik
menunjukkan bahwa merek yang berasal dari negara Jepang dan negara maju lainnya sangat
berpengaruh besar- terhadap pembelian produk, khususnya brand salience. Produk dari negara maju
yang mereknya belum dikenal ternyata kurang diminati oleh para pelanggan produk. Dengan
demikian merek yang berasal dari negara-negara maju dan merek sudah dikenal dapat meningkatkan
citr a produk tersebut.
Dapat dikatakan bahwa hipotesis promosi harga dimoderasi negara asal berpengaruh terhadap
brand salience, secara teoritik dan empirik memiliki pengaruh yang kuat. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa banyak konsumen menggunakan petunjuk negara asal merek/country of origin
(COO) sebagai salah satu faktor pembelian (Liefeld, 2002). Pemahaman yang positif terhadap COO
produk tersebut akan membentuk perilaku kesetiaan terhadap sebuah merek produk. Chattalas (2008)
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 517
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Penelitian ini tidak sesuai dengan temuan Arora (2007) bahwa promosi-premium jauh lebih
efektif daripada promosi-harga. Dalam tingkatan lebih kecil ternyata promosi premium lebih efektif
daripada bentuk promosi tradisional seperti potongan dan rabat. Arora (2007), Zacharias (2009), dan
Thomson (2006) mengatakan secara umum promosi-premium menstimulasi percobaan pembelian,
menstimulasi pembelian ulang, menstimulasi pembelian lebih besar. Berbeda juga dengan D'Astous
(2003) yang mengatakan bahwa promosi-premium secara umum memiliki pengaruh positif pada
apresiasi konsumen atas penawaran promosi merek baru, mengatasi serta mengurangi peran pesaing.
Pengaruh Periklanan Terhadap Brand Salience
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan terhadap brand salience
menunjukkan bahwa periklanan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap brand salience
dengan koefisien path (0,020) dan p (f0,000). Kondisi ini secara empirik memperlihatkan bahwa
periklanan berpengaruh positif terhadap brand salience. Periklanan memberikan informasi yang
sangat lengkap tentang produk, serta sangat menyentuh konsumen untuk membeli produk. Dengan
demikian melalui iklan yang terus menerus dan dijual di berbagai swalayan dan toko menyebabkan
konsumen mudah mencari produk. Hal ini membantu konsumen memilih produk yang sesuai dengan
kebutuhan, sehingga berimplikasi pada semakin kuatnya brand salience produk.
Dapat dikatakan bahwa periklanan menurut hipotesis secara empirik dan teoritik berpengaruh
terhadap brand salience.Perusahaan yang mengeluarkan anggaran besar periklanan menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut berinvestasi di sebuah merek berkualitas superior (Kirmani and Wright,
1986). Aaker dan Jacobson (1994) menemukan juga pengaruh positif antara periklanan dan persepsi
kualitas. Pengeluaran periklanan yang berpengaruh positif dengan persepsi kualitas akan
menyebabkan meningkatnya brand equity. Periklanan memainkan peran penting dalam peningkatan
kesadaran merek dan penguatan asosiasi merek. Biaya periklanan yang besar berpengaruh positif
dengan kesadaran merek dan asosiasi merek, sehingga akhirnya memperkuat brand equity.
Temuan ini mendukung penelitian Kirmani and Wright (1986), Aaker dan Jacobson (1994),
dan Dann (2007) bahwa aktivitas periklanan memperkuat merek yang unggul dan keterjangkauan
pelanggan, mendukung juga pernyataan Thomson (2006) dan Low (2000) bahwa periklanan
mendorong permintaan jangka panjang, menimbulkan kesetiaan merek, dan mendorong terjadinya
pembelian ulang.
Pengaruh Moderasi Negara Asal Merek Terhadap Promosi-Harga dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-harga yang dimoderasi oleh negara
asal berpengaruh positif terhadap brand salience menunjukkan bahwa negara asal memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,39 dengan p (0,000). Dapat
dikatakan bahwa negara asal berpengaruh terhadap brand salience. Kondisi ini secara empirik
menunjukkan bahwa merek yang berasal dari negara Jepang dan negara maju lainnya sangat
berpengaruh besar terhadap pembelian produk, khususnya brand salience. Produk dari negara maju
yang mereknya belum dikenal ternyata kurang diminati oleh para pelanggan produk. Dengan
demikian merek yang berasal dari negara-negara maju dan merek sudah dikenal dapat meningkatkan
citra produk tersebut.
Dapat dikatakan bahwa hipotesis promosi harga dimoderasi negara asal berpengaruh terhadap
brand salience, secara teoritik dan empirik memiliki pengaruh yang kuat. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa banyak konsumen menggunakan petunjuk negara asal merek/country of origin
(COO) sebagai salah satu faktor pembelian (Liefeld, 2002). Pemahaman yang positif terhadap COO
produk tersebut akan membentuk perilaku kesetiaan terhadap sebuah merek produk. Chattalas (2008)
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 517
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
mengatakan bahwa konsumen juga menggunakan negara asal merek sebagai faktor penting dalam
pemilihan sebuah produk. Penelitian ini sesuai juga dengan temuan Liefeld (2002) dan Chattalas
(2008) bahwa konsumen menggunakan petunjuk negara asal merek/country of origin (COO) sebagai
salah satu faktor pembelian.
Pengaruh Moderasi Reputasi Perusahaan Terhadap Promosi-Harga dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-harga yang dimoderasi reputasi
perusahaan menunjukkan bahwa reputasi perusahaan memberi efek moderasi terhadap brand salience
dengan koefisien path 0,71 , dengan p (0,000). Reputasi perusahaan melalui jaminan kualitas produk,
produk yang awet, model yang selalu baru mampu meningkatkan brand salience produk. Berarti
reputasi perusahaan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk selalu berinovasi dan berkreasi
yang disesuaikan dengan kebutuhan para pelanggannya. Dengan demikian brand salience akan
mampu meningkatkan penjualan melebihi para pesaing, dan berimplikasi pada pengembangan produk
sesuai kebutuhan pelanggan.
Dengan demikian penelitian ini mendukung penelitian Alessandri (2006) bahwa reputasi
perusahaan dan strategi bisnis berperan penting dalam hubungan antara strategi merek dan kinerja
keuangan perusahaan. Menurut Gray (1998) reputasi perusahaan yang bagus dapat dipandang sebagai
harta tidak ternilai, langka dan tidak tergantikan serta tidak dapat mudah ditiru oleh perusahaan
pesaing. Pengaruh Moderasi Status Sosial-Ekonomi Konsumen Terhadap Promosi-Harga dan
Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh positif promosi harga yang dimoderasi status
sosial-ekonomi terhadap brand salience, menunjukkan bahwa status sosial-ekonomi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,51 dan p (0,000). Secara
empirik memperlihatkan bahwa tidak semua orang mampu membeli produk merek Rinnai, selain itu
produk Rinnai mudah dioperasikan serta menunjukkan prestise sebagai produk yang bermerek serta
pengguna juga memiliki tingkat pendidikan yang cukup. Dengan demikian status sosial-ekonomi
memberikan pengaruh pada pengguna yang berkeinginan pada pembelian produk-produk bermerek.
Implikasinya status sosial-ekonomi sebagai peubah moderator dari promosi harga meningkatkan
brand salience produk.Temuan penelitian ini mendukung penelitian Darian (1987), Donthu dan
Garcia (1999), dan Rear-don (2007) yang mengatakan bahwa konsumen yang berpenghasilan lebih
tinggi cenderung mengecilkan nilai resiko keuangan dalam situasi beli sebuah produk, sebaliknya
konsumen berpenghasilan rendah memilih produk dengan har ga bersaing.
Pengaruh Moderasi Negara Asal Merek Terhadap Promosi-Premium dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh positif promosi-premium yang dimoderasi
negara asal terhadap brand salience menunjukkan bahwa negara asal memberi pengaruh positif dan
signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,58 dan p (0,000). Hal ini menunjukkan
bahwa merek yang berasal dari negara maju atau yang diproduksi dari negara serumpun memberikan
pengaruh positif terhadap merek sekaligus terhadap brand salience. Produk yang berasal dari negara
maju dan sekaligus dapat memberikan potongan atau hadiah yang menarik, akan memberikan
pengaruh moderasi yang cukup signifikan dan positif bagi brand salience produk. Penelitian ini
mendukung penelitian Steenkamp (2003); Chen (2001); Zacharias (2009); dan Arora (2007) bahwa
promosi-premium sebagai salah satu bentuk sales promotion dipandang positif ketimbang aktivitas
promosi harga. Liefeld (2002) mengatakan bahwa persepsi dan sikap tentang kualitas produk
konsumen dari berbagai negaraselalu menyertakan faktor negara asal.
Pengaruh Moderasi Reputasi Perusahaan Terhadap Promosi-Premium dan Brand Salience
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 518
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
mengatakan bahwa konsumen juga menggunakan negara asal merek sebagai faktor penting dalam
pemilihan sebuah produk. Penelitian ini sesuai juga dengan temuan Liefeld (2002) dan Chattalas
(2008) bahwa konsumen menggunakan petunjuk negara asal merek/country of origin (COO) sebagai
salah satu faktor pembelian.
Pengaruh Moderasi Reputasi Perusahaan Terhadap Promosi-Harga dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-harga yang dimoderasi reputasi
perusahaan menunjukkan bahwa reputasi perusahaan memberi efek moderasi terhadap brand salience
dengan koefisien path 0,71 , dengan p (0,000). Reputasi perusahaan melalui jaminan kualitas produk,
produk yang awet, model yang selalu baru mampu meningkatkan brand salience produk. Berarti
reputasi perusahaan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk selalu berinovasi dan berkreasi
yang disesuaikan dengan kebutuhan para pelanggannya. Dengan demikian brand salience akan
mampu meningkatkan penjualan melebihi para pesaing, dan berimplikasi pada pengembangan produk
sesuai kebutuhan pelanggan.
Dengan demikian penelitian ini mendukung penelitian Alessandri (2006) bahwa reputasi
perusahaan dan strategi bisnis berperan penting dalam hubungan antara strategi merek dan kinerja
keuangan perusahaan. Menurut Gray (1998) reputasi perusahaan yang bagus dapat dipandang sebagai
harta tidak temilai, langka dan tidak tergantikan serta tidak dapat mudah ditiru oleh perusahaan
pesaing. Pengaruh Moderasi Status Sosial-Ekonomi Konsumen Terhadap Promosi-Harga dan
Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh positif promosi harga yang dimoderasi status
sosial-ekonomi terhadap brand salience, menunjukkan bahwa status sosial-ekonomi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,51 dan p (0,000). Secara
empirik memperlihatkan bahwa tidak semua orang mampu membeli produk merek Rinnai, selain itu
produk Rinnai mudah dioperasikan serta menunjukkan prestise sebagai produk yang bermerek serta
pengguna juga memiliki tingkat pendidikan yang cukup. Dengan demikian status sosial-ekonomi
memberikan pengaruh pada pengguna yang berkeinginan pada pembelian produk-produk bermerek.
Implikasinya status sosial-ekonomi sebagai peubah moderator dari promosi harga meningkatkan
brand salience produk.Temuan penelitian ini mendukung penelitian Darian (1987), Donthu dan
Garcia (1999), dan Reardon (2007) yang mengatakan bahwa konsumen yang berpenghasilan lebih
tinggi cenderung mengecilkan nilai resiko keuangan dalam situasi beli sebuah produk, sebaliknya
konsumen berpenghasilan rendah memilih produk dengan harga bersaing.
Pengaruh Moderasi Negara Asal Merek Terhadap Promosi-Premium dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh positif promosi-premium yang dimoderasi
negara asal terhadap brand salience menunjukkan bahwa negara asal memberi pengaruh positif dan
signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,58 dan p (0,000). Hal ini menunjukkan
bahwa merek yang berasal dari negara maju atau yang diproduksi dari negara semmpun memberikan
pengaruh positif terhadap merek sekaligus terhadap brand salience. Produk yang berasal dari negara
maju dan sekaligus dapat memberikan potongan atau hadiah yang menarik, akan memberikan
pengaruh moderasi yang cukup signifikan dan positif bagi brand salience produk. Penelitian ini
mendukung penelitian Steenkamp (2003); Chen (2001); Zacharias (2009); dan Arora (2007) bahwa
promosi-premium sebagai salah satu bentuk sales promotion dipandang positif ketimbang aktivitas
promosi harga. Liefeld (2002) mengatakan bahwa persepsi dan sikap tentang kualitas produk
konsumen dari berbagai negaraselalu menyertakan faktor negara asal.
Pengaruh Moderasi Reputasi Perusahaan Terhadap Promosi-Premium dan Brand Salience
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 518
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-premium yang dimoderasi reputasi
perusahaan terhadap brand salience menunjukkan bahwa reputasi perusahaan memberi pengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,67 (0,000. Hal ini
menunjukkan bahwa reputasi perusahaan selalu menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Selalu
berinovasi menggunakan teknologi canggih dari perusahaan terkenal memberikan pengaruh positif
terhadap merek atau brand salience. Reputasi perusahaan akan memberikan pengaruh moderasi yang
cukup signifikan pada brand salience.
Hasil penelitian dari hipotesis dikatakan bahwa promosi-premium yang dimoderasi reputasi
perusahaan berpengaruh positif terhadap brand salience.Singapore Airlines adalah perusahaan
penerbangan kelas dunia yang mempunyai reputasi sangat bagus di dunia penerbangan. Pelanggan
Singapore Airlines merasakan kenyamanan dan terutama jaminan keselamatan dengan memanfaatkan
penerbangan Singapore Airlines. Kampanye iklan Singapore Airlines " In this ever changing world,
Singapore Girl, yon 're a great way to fly, untuk memposisikan negara Singapore sebagai negara yang
hangat, lembut dan bersahabat (Chattalas, 2008). Meskipun demikian dengan menghadapi persaingan
yang ketat di dunia penerbangan, Singapore Airlines barns tetap berpromosi selain dengan aktivitas
periklanan juga dengan promosi-premium berupa Singapore Airlines Frequent Flyer/Kris Flyer.
Konsumen Singapore Airlines yang sudah mengenal reputasi perusahaan tetap merasakan bahwa
merek perusahaan Singapore Airlines sangat positif. Hal sama dilakukan penerbangan domestik
seperti Garuda Indonesia yang berpromosi juga dengan Garuda Indonesia Frequent Flyer, dan masih
dianggap penerbangan domestik terbaik. Dengan demikian promosi-premium serta peubah reputasi
perusahaan sangat berpengaruh pada brand salience, sehingga penelitian ini mendukung penelitian
Chattalas (2008.
Pengaruh Moderasi Status Sosial-Ekonomi Konsumen Terhadap Promosi-Premium dan Brand
Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-premium yang dimoderasi status
sosial-ekonomi terhadap brand salience menunjukkan bahwa status sosial-ekonomi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,67 p (0,000). Hal ini
menunjukkan bahwa adanya kesesuaian antara daya beli dan harga produk yang mahal memberikan
pengaruh positif terhadap merek atau brand salience. Status sosial-ekonomi akan memberikan
pengaruh moderasi yang signifikan pada brand salience.
Menurut Reardon (2007), konsumen yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi cenderung
memilih merek produk yang bernilai tinggi. Konsumen dengan status sosial-ekonomi ini akan lebih
memilih jenis-jenis promosi yang berkelas. Menurut Donthu (1999), konsumen yang berpenghasilan
tinggi cenderung mengabaikan resiko dalam situasi beli. Pada saat memiliki kesetiaan terhadap
merek, mereka mengabaikan faktor-faktor keuangan karena menganggap merek produk yang dibeli
sesuai dengan kebutuhannya. Lebih jauh dikatakan oleh Dari an (1987), bahwa konsumen
berpenghasilan tinggi lebih menyukai membeli produk tanpa meninggalkan rumah, misal dengan
fasilitas belanja lewat internet. Akibatnya promosi-premium yang diberikan untuk produk yang dijual
scharusnya mempertimbangkan faktor status sosial-ekonomi konsumen.
Hasil penelitian dengan hipotesis promosi-premium yang dimoderasi status sosial-ekonomi
berpengaruh positif terhadap brand salience. Penelitian ini mendukung yang dikemukakan Readon
(2007), Donthu (1999) dan Dari an (1987), bahwa konsumen yang memiliki status sosial-ekonomi
lebih tinggi lebih menyukai promosi-premium dan tetap mempertimbangkan brand salience dan
mengabaikan resiko keuangan.
Pengaruh Moderasi Negara Asal Merek Terhadap Periklanan dan Brand Salience
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 519
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-premium yang dimoderasi reputasi
perusahaan terhadap brand salience menunjukkan bahwa reputasi perusahaan memberi pengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,67 (0,000. Hal ini
menunjukkan bahwa reputasi perusahaan selalu menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Selalu
berinovasi menggunakan teknologi canggih dari perusahaan terkenal memberikan pengaruh positif
terhadap merek atau brand salience. Reputasi perusahaan akan memberikan pengaruh moderasi yang
cukup signifikan pada brand salience.
Hasil penelitian dari hipotesis dikatakan bahwa promosi-premium yang dimoderasi reputasi
perusahaan berpengaruh positif terhadap brand salience.Singapore Airlines adalah perusahaan
penerbangan kelas dunia yang mempunyai reputasi sangat bagus di dunia penerbangan. Pelanggan
Singapore Airlines merasakan kenyamanan dan temtama jaminan keselamatan dengan memanfaatkan
penerbangan Singapore Airlines. Kampanye iklan Singapore Airlines " In this ever changing world,
Singapore Girl, you 're a great way to fly, untuk memposisikan negara Singapore sebagai negara yang
hangat, lembut dan bersahabat (Chattalas, 2008). Meskipun demikian dengan menghadapi persaingan
yang ketat di dunia penerbangan, Singapore Airlines harus tetap berpromosi selain dengan aktivitas
periklanan juga dengan promosi-premium berupa Singapore Airlines Frequent Flyer/Kris Flyer.
Konsumen Singapore Airlines yang sudah mengenal reputasi perusahaan tetap merasakan bahwa
merek perusahaan Singapore Airlines sangat positif. Hal sama dilakukan penerbangan domestik
seperti Garuda Indonesia yang berpromosi juga dengan Garuda Indonesia Frequent Flyer, dan masih
dianggap penerbangan domestik terbaik. Dengan demikian promosi-premium serta peubah reputasi
perusahaan sangat berpengaruh pada brand salience, sehingga penelitian ini mendukung penelitian
Chattalas (2008.
Pengaruh Moderasi Status Sosial-Ekonomi Konsumen Terhadap Promosi-Premium dan Brand
Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh promosi-premium yang dimoderasi status
sosial-ekonomi terhadap brand salience menunjukkan bahwa status sosial-ekonomi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,67 p (0,000). Hal ini
menunjukkan bahwa adanya kesesuaian antara daya beli dan harga produk yang mahal memberikan
pengaruh positif terhadap merek atau brand salience. Status sosial-ekonomi akan memberikan
pengaruh moderasi yang signifikan pada brand salience.
Menurut Reardon (2007), konsumen yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi cenderung
memilih merek produk yang bernilai tinggi. Konsumen dengan status sosial-ekonomi ini akan lebih
memilih jenis-jenis promosi yang berkelas. Menurut Donthu (1999), konsumen yang berpenghasilan
tinggi cenderung mengabaikan resiko dalam situasi beli. Pada saat memiliki kesetiaan terhadap
merek, mereka mengabaikan faktor-faktor keuangan karena menganggap merek produk yang dibeli
sesuai dengan kebutuhannya. Lebih jauh dikatakan oleh Darian (1987), bahwa konsumen
berpenghasilan tinggi lebih menyukai membeli produk tanpa meninggalkan rumah, misal dengan
fasilitas belanja lewat internet. Akibatnya promosi-premium yang diberikan untuk produk yang dijual
seharusnya mempertimbangkan faktor status sosial-ekonomi konsumen.
Hasil penelitian dengan hipotesis promosi-premium yang dimoderasi status sosial-ekonomi
berpengaruh positif terhadap brand salience. Penelitian ini mendukung yang dikemukakan Readon
(2007), Donthu (1999) dan Darian (1987), bahwa konsumen yang memiliki status sosial-ekonomi
lebih tinggi lebih menyukai promosi-premium dan tetap mempertimbangkan brand salience dan
mengabaikan resiko keuangan.
Pengaruh Moderasi Negara Asal Merek Terhadap Periklanan dan Brand Salience
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 519
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh penklanan yang dimoderasi negara asal
terhadap brand salience menunjukkan bahwa negara asal berpengaruh positif dan signifikan terhadap
brand salience dengan koefisien path 0,75 p (0,000). Hal ini menunjukkan bahwa periklanan yang
terns menerus dikemas sedemikian rupa dan dilakukan berkelanjutan memberikan pengaruh positif
terhadap merek atau brand salience. Periklanan memberikan pengaruh moderasi yang positif dan
signifikan pada brand salience.
Hasil penelitian sesuai hipotesis bahwa periklanan dimoderasi negara asal berpengaruh positif
terhadap brand salience. Menurut Low (2000), melakukan aktivitas periklanan berbeda dengan
aktivitas sales promotion. Aktivitas periklanan berorientasi pada hasil jangka panjang, dan disadari
aktivitas periklanan adalah aktivitas pemasaran terbaik dalam membangun sebuah merek produk.
Perusahaan skala besar, khususnya perusahaan di negara maju selalu berkomitmen untuk membangun
kesehatan sebuah merek dan memaksimalkan investasi di bidang periklanan sehingga dapat
memperbaiki dan mengoptimalkan komunikasi pemasaran (Walker, 2002). Aktivitas periklanan yang
dilakukan produsen besar di negara-negara maju ini berimplikasi positif terhadap persepsi konsumen
terhadap merek produk. Penelitian ini mendukung penelitian Chattalas (2008), Walker (2002), dan
Liefeld (2002) bahwa aktivitas periklanan berorientasi pada hasil jangka panjang. Konsumen yang
menanggapi aktivitas periklanan dari perusahaan dengan negara asal merek yang disukai berpengaruh
positif terhadap merek produk.
Pengaruh Moderasi Reputasi Perusahaan Terhadap Periklanan dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan yang dimoderasi reputasi perusahaan
terhadap brand salience menunjukkan bahwa reputasi perusahaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap brand salience dengan koefisien path 0,99 p (0,000). Hal ini menunjukkan bahwa
periklanan yang dipadukan dengan reputasi perusahaan seperti kelengkapan fitur, kelengkapan
produk, banyaknya suku cadang layanan purna jual memberikan pengaruh positif terhadap merek atau
brand salience. Periklanan yang dimoderasi reputasi perusahaan memberikan pengaruh yang
signifikan pada brand salience.
Hasil penelitian sesuai hipotesis bahwa periklanan dimoderasi reputasi perusahaan berpengaruh
positif terhadap brand salience. Perusahaan yang lebih bereputasi baik akan banyak melakukan
aktivitas periklanan daripada aktivitas sales promotion (Sriram, 2004). Membangun dan menjaga
reputasi manajemen dan reputasi perusahaan menjadi hal strategis untuk perusahaan besar, yang pada
akhirnya berpengaruh positif terhadap merek perusahaan (Martin, 2007). Menurut Dowling (2001)
tantangan membangun sebuah reputasi yang hebat, sehingga dapat menjadi sebuah perusahaan yang
memiliki merek super (corporate superbrand) harus dimulai dari pimpinan puncak perusahaan. Untuk
itu perlu komitmen jangka panjang dari seluruh pemasar untuk melaksanakan aktivitas pemasaran
yang berorientasi jangka panjang bagi merek perusahaan, antara lain dengan aktivitas periklanan.
Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sriram (2004), Martin (2007), dan
Dowling (2001) bahwa perusahaan bereputasi baik banyak melakukan aktivitas periklanan, berusaha
membangun reputasi yang hebat, sehingga memiliki merek super (corporate superbrand).
Pengaruh Moderasi Status Sosial-Ekonomi Terhadap Periklanan dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan yang dimoderasi status sosial-
ekonomi terhadap brand salience menunjukkan bahwa status sosial-ekonomi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,96 p(0,000). Hal ini menunjukkan bahwa
periklanan yang dipadukan dengan status sosial-ekonomi seperti kemampuan daya beli, dan tingkat
pendidikan pembeli, memberikan pengaruh positif terhadap merek atau brand salience. Periklanan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 520
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan yang dimoderasi negara asal
terhadap brand salience menunjukkan bahwa negara asal berpengaruh positif dan signifikan terhadap
brand salience dengan koefisien path 0,75 p (0,000). Hal ini menunjukkan bahwa periklanan yang
terus menerus dikemas sedemikian rupa dan dilakukan berkelanjutan memberikan pengaruh positif
terhadap merek atau brand salience. Periklanan memberikan pengaruh moderasi yang positif dan
signifikan pada brand salience.
Hasil penelitian sesuu hipotesis bahwa periklanan dimoderasi negara asal berpengaruh positif
terhadap brand salience. Menurut Low (2000), melakukan aktivitas periklanan berbeda dengan
aktivitas sales promotion. Aktivitas periklanan berorientasi pada hasil jangka panjang, dan disadari
aktivitas periklanan adalah aktivitas pemasaran terbaik dalam membangun sebuah merek produk.
Perusahaan skala besar, khususnya perusahaan di negara maju selalu berkomitmen untuk membangun
kesehatan sebuah merek dan memaksimalkan investasi di bidang periklanan sehingga dapat
memperbaiki dan mengoptimalkan komunikasi pemasaran (Walker, 2002). Aktivitas periklanan yang
dilakukan produsen besar di negara-negara maju ini berimplikasi positif terhadap persepsi konsumen
terhadap merek produk. Penelitian ini mendukung penelitian Chattalas (2008), Walker (2002), dan
Liefeld (2002) bahwa aktivitas periklanan berorientasi pada hasil jangka panjang. Konsumen yang
menanggapi aktivitas periklanan dari perusahaan dengan negara asal merek yang disukai berpengaruh
positif terhadap merek produk.
Pengaruh Moderasi Reputasi Perusahaan Terhadap Periklanan dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan yang dimoderasi reputasi perusahaan
terhadap brand salience menunjukkan bahwa reputasi perusahaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap brand salience dengan koefisien path 0,99 p (0,000). Hal ini menunjukkan bahwa
periklanan yang dipadukan dengan reputasi perusahaan seperti kelengkapan fitur, kelengkapan
produk, banyaknya suku cadang layanan purna jual memberikan pengaruh positif terhadap merek atau
brand salience. Periklanan yang dimoderasi reputasi perusahaan memberikan pengaruh yang
signifikan pada brand salience.
Hasil penelitian sesuai hipotesis bahwa periklanan dimoderasi reputasi perusahaan berpengaruh
positif terhadap brand salience. Perusahaan yang lebih bereputasi baik akan banyak melakukan
aktivitas periklanan daripada aktivitas sales promotion (Sriram, 2004). Membangun dan menjaga
reputasi manajemen dan reputasi perusahaan menjadi hal strategis untuk perusahaan besar, yang pada
akhirnya berpengaruh positif terhadap merek perusahaan (Martin, 2007). Menurut Dowling (2001)
tantangan membangun sebuah reputasi yang hebat, sehingga dapat menjadi sebuah perusahaan yang
memiliki merek super (corporate superbrand) barns dimulai dari pimpinan puncak perusahaan. Untuk
itu perlu komitmen jangka panjang dari seluruh pemasar untuk melaksanakan aktivitas pemasaran
yang berorientasi jangka panjang bagi merek perusahaan, antara lain dengan aktivitas periklanan.
Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sriram (2004), Martin (2007), dan
Dowling (2001) bahwa perusahaan bereputasi baik banyak melakukan aktivitas periklanan, berusaha
membangun reputasi yang hebat, sehingga memiliki merek super (corporate superbrand).
Pengaruh Moderasi Status Sosial-Ekonomi Terhadap Periklanan dan Brand Salience.
Pengujian dalam penelitian tentang pengaruh periklanan yang dimoderasi status sosial-
ekonomi terhadap brand salience menunjukkan bahwa status sosial-ekonomi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap brand salience dengan koefisien path 0,96 p(0,000). Hal ini menunjukkan bahwa
periklanan yang dipadukan dengan status sosial-ekonomi seperti kemampuan daya beli, dan tingkat
pendidikan pembeli, memberikan pengaruh positif terhadap merek atau brand salience. Periklanan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 520
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
yang dimoderasi karaktcristik status sosial ekonomi memberikan pcngaruh yang signifikan pada
brand salience.
Hasil penelitian sesuai dengan hipotesis bahwa periklanan yang dimoderasi status sosial-
ekonomi berpengaruh terhadap brand salience. Darian (1987) dan Donthu and Garcia (1999)
mengatakan bahwa konsumen berpenghasilan lebih tinggi cenderung mengecilkan nilai resiko
keuangan dalam membeli sebuah produk, sehingga hal ini berimplikasi bagi konsumen dengan status
sosial-ekonomi tinggi ini untuk memerlukan informasi yang lebih baik tentang produk. Mated iklan
yang baik dan menonjolkan sisi kelebihan dan manfaat produk dinilai sangat efektif bagi konsumen
dengan status sosial-ekonomi tinggi.
Kesimpulan
Meskipun penelitian ini memperlihatkan bahwa brand salience sangat penting, namun
peubah-peubah lain berperan besar dalam membentuk brand salience yang kuat, seperti peubah bebas
sebagai antecendent : promosi-harga, promosi-premium dan periklanan. Selain itu peubah moderator
juga berperan besar- dalam pembentukan brand salience, seperti peubah negara asal merek, reputasi
perusahaan, serta status sosial-ekonomi. Kekuatan brand salience ternyata menjadi faktor determinan
utama untuk meningkatkan penjualan produk elektronik rumah tangga dalam kasus ini adalah produk
kompor gas Rinnai. Pemilihan konsumen terhadap produk kompor gas Rinnai ternyata didukung oleh
brand salience yang sudah kuat, sehingga mendominasi pasar produk kompor gas.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa brand salience sangat penting bagi bisnis. Dengan
demikian dalam membangun bisnis, penguatan merek menjadi penentu utama peningkatan penjualan
produk. Temuan penelitian ini menunjukkan perusahaan perlu memperkuat brand salience dengan
penerapan promosi-harga yang disesuaikan dengan target pasar-, sehingga menguntungkan penjualan.
Artinya promosi-harga ditujukan untuk konsumen dengan status sosial-ekonomi yang memiliki daya
beli terbatas, demikian pula diterapkan dalam promosi-premium. Periklanan sebaiknya tidak
dilakukan dalam waktu singkat, melainkan harus dilakukan secara berkelanjutan, karena periklanan
berkelanjutan akan memperkuat citra pelanggan dalam melakukan pembelian terhadap produk
bermerek tersebut.
Reputasi perusahaan menjadi kunci utama perusahaan, karena itu menjaga reputasi
perusahaan menjadi taruhan bagi bisnis dalam jangka panjang. Reputasi perusahaan yang baik akan
mempermudah meraih keuntungan dalam jangka pendek dan jangka menengah, dapat menciptakan
peluang baru, dan dalam jangka panjang dapat menciptakan pasar-. Negara asal merek yang sudah
diperhitungkan akan memberikan pcngaruh penting terhadap kemampuan perusahaan dalam
meningkatkan penjualan produk. Konsumen dengan pendapatan menengah ke atas dalam membeli
produk tidak hanya memilih merek tertentu, namun prestise produk juga menjadi bahan
pertimbangan. Karakteristik status sosial-ekonomi yang berkaitan dengan pendapatan, pendidikan
serta jenis pekerjaan, perlu dijadikan tolok ukur dalam menentukan target pasar bagi perusahaan.
Tar-get pasar yang tidak tepat mengakibatkan kesalahan dalam menjaring konsumen untuk membeli
produk tertentu.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini khusus pada produk kompor gas merek Rinnai yang terdapat di swalayan dan
gerai-gerai elektronik di Kota Semarang, Yogyakarta dan Klaten, tidak menyeluruh di seluruh
wilayah Indonesia, sehingga penelitian yang akan datang perlu dikembangkan di gerai-gerai
elektronika wilayah Indonesia secara lebih luas. Penelitian ini menggunakan data persepsi hasil
kuesioner terhadappembeli dan pelanggan produk kompor gas merek Rinnai, sehingga analisis yang
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 521
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
yang dimoderasi karakteristik status sosial ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan pada
brand salience.
Hasil penelitian sesuai dengan hipotesis bahwa periklanan yang dimoderasi status sosial-
ekonomi berpengaruh terhadap brand salience. Darian (1987) dan Donthu and Garcia (1999)
mengatakan bahwa konsumen berpenghasilan lebih tinggi cenderung mengecilkan nilai resiko
keuangan dalam membeli sebuah produk, sehingga hal ini berimplikasi bagi konsumen dengan status
sosial-ekonomi tinggi ini untuk memerlukan informasi yang lebih baik tentang produk. Materi iklan
yang baik dan menonjolkan sisi kelebihan dan manfaat produk dinilai sangat efektif bagi konsumen
dengan status sosial-ekonomi tinggi.
Kesimpulan
Meskipun penelitian ini memperlihatkan bahwa brand salience sangat penting, namun
peubah-peubah lain berperan besar dalam membentuk brand salience yang kuat, seperti peubah bebas
sebagai antecendent : promosi-harga, promosi-premium dan periklanan. Selain itu peubah moderator
juga berperan besar dalam pembentukan brand salience, seperti peubah negara asal merek, reputasi
perusahaan, serta status sosial-ekonomi. Kekuatan brand salience temyata menjadi faktor determinan
utama untuk meningkatkan penjualan produk elektronik rumah tangga dalam kasus ini adalah produk
kompor gas Rinnai. Pemilihan konsumen terhadap produk kompor gas Rinnai ternyata didukung oleh
brand salience yang sudah kuat, sehingga mendominasi pasar produk kompor gas.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa brand salience sangat penting bagi bisnis. Dengan
demikian dalam membangun bisnis, penguatan merek menjadi penentu utama peningkatan penjualan
produk. Temuan penelitian ini menunjukkan perusahaan perlu memperkuat brand salience dengan
penerapan promosi-harga yang disesuaikan dengan target pasar, sehingga menguntungkan penjualan.
Artinya promosi-harga ditujukan untuk konsumen dengan status sosial-ekonomi yang memiliki daya
beli terbatas, demikian pula diterapkan dalam promosi-premium. Periklanan sebaiknya tidak
dilakukan dalam waktu singkat, melainkan harus dilakukan secara berkelanjutan, karena periklanan
berkelanjutan akan memperkuat citra pelanggan dalam melakukan pembelian terhadap produk
bermerek tersebut.
Reputasi perusahaan menjadi kunci utama perusahaan, karena itu menjaga reputasi
perusahaan menjadi taruhan bagi bisnis dalam jangka panjang. Reputasi perusahaan yang baik akan
mempermudah meraih keuntungan dalam jangka pendek dan jangka menengah, dapat menciptakan
peluang baru, dan dalam jangka panjang dapat menciptakan pasar. Negara asal merek yang sudah
diperhitungkan akan memberikan pengaruh penting terhadap kemampuan perusahaan dalam
meningkatkan penjualan produk. Konsumen dengan pendapatan menengah ke atas dalam membeli
produk tidak hanya memilih merek tertentu, namun prestise produk juga menjadi bahan
pertimbangan. Karakteristik status sosial-ekonomi yang berkaitan dengan pendapatan, pendidikan
serta jenis pekerjaan, perlu dijadikan tolok ukur dalam menentukan target pasar bagi perusahaan.
Target pasar yang tidak tepat mengakibatkan kesalahan dalam menjaring konsumen untuk membeli
produk tertentu.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini khusus pada produk kompor gas merek Rinnai yang terdapat di swalayan dan
gerai-gerai elektronik di Kota Semarang, Yogyakarta dan Klaten, tidak menyeluruh di seluruh
wilayah Indonesia, sehingga penelitian yang akan datang perlu dikembangkan di gerai-gerai
elektronika wilayah Indonesia secara lebih luas. Penelitian ini menggunakan data persepsi hasil
kuesioner terhadappembeli dan pelanggan produk kompor gas merek Rinnai, sehingga analisis yang
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 521
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
dilakukan tidak menggunakan data nyata penjualan para pengusaha. Dengan demikian penelitian yang
akan datang diperlukan data nyata masing-masing pengusaha terhadap penjualan produk Rinnai untuk
membandingkan data nyata dengan data teoritis, dengan metode yang terus diperbaharui.
Penelitian ini khusus untuk responden pembeli produk kompor gas Rinnai sehingga perlu
diperluas bukan hanya produk kompor gas Rinnai, namun perlu diperluas pada produk elektronik
yang lain sehingga dapat digunakan secara lebih luas untuk produk elektronika lainnya sehingga lebih
bermafaat bagi para pemasar di industri elektronika. Penelitian ini mengeliminir butir-butir indikator
yang tidak valid untuk dijawab pelanggan atau responden, dan 400 sampel hanya menjadi 397
sampel yang valid. Dengan demikian penelitian yang akan datang responden perlu diperbanyak dan
diperluas sebagai pembanding basil yang didapat dari analisis hasil teoritis. Penelitian ini dilakukan
terhadap konsumen di Indonesia, perlu diperluas terhadap konsumen di negara berkembang lain,
bahkan terhadap konsumen di negara-negara maju, sehingga akan menghasilkan temuan lebih
bermanfaat bagi para pemasar secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, D. (1996). "Measuring Brand Equity Across Products and Markets." California Management
Review38(3).
Aaker, D. (2001). "Building Strong Brands." Social Marketing OuarterlvVII(2).
Aaker, D. (2004). "Leveraging the Corporate Brand." California Management Review46(3).
Aaker, D. and R. Jacobson (1994). "The Financial Information Content of PerceivedQuality." Journal
of Marketing Research31: 191-201.
Aaker, J. (1997). "Dimensions of Brand Personality." Journal of Marketing ResearchXXXIV: 347-
356
Ailawadi, K., D. Lehmann, et al. (2003). "Revenue Premium as an Outcome Measure of Brand
Equity." Journal of Marketing67: 1-17.
Alessandri, S. W. and T. M. Alessandri (2006). Exploring the Moderators on theBranding Strategy-
Financial Performance Relationship. 10th Annual International Conference on
Reputation,Image,Identity and Competitiveness, New York City.
Arora, N. and T. Henderson (2007). "Embedded Premium Promotion: Why It Works andHow to Make
It More Effective." Marketing Science24(4): 514-531.
Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1991). Multitrait-multimethod matrices in consumer research. Journal of
Consumer Research, 17, 426-439
Ball, J. (2008). "Creating Emotional Brand Connections: Emotional Benefits, BrandMeaning, and
Self-Congruity." University of Texas at Austin.
Barrios, A., S. Camacho, et al. (2008). "The Effect of Consumer's Socio EconomicStratum on
Complexing Expectations of New Technological Product." Journal of Business Research.
Berry, L. (2000). "Cultivating Service Brand Equity." Journal of Academy of Marketing Science28:
128-137.
rife feb Fakultas Ekonomika dan Bisnis rtJwi Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
dilakukan tidak menggunakan data nyata penjualan para pengusaha. Dengan demikian penelitian yang
akan datang diperlukan data nyata masing-masing pengusaha terhadap penjualan produk Rinnai untuk
membandingkan data nyata dengan data teoritis, dengan metode yang terus diperbaharui.
Penelitian ini khusus untuk responden pembeli produk kompor gas Rinnai sehingga perlu
diperluas bukan hanya produk kompor gas Rinnai, namun perlu diperluas pada produk elektronik
yang Iain sehingga dapat digunakan secara lebih luas untuk produk elektronika lainnya sehingga lebih
bermafaat bagi para pemasar di industri elektronika. Penelitian ini mengeliminir butir-butir indikator
yang tidak valid untuk dijawab pelanggan atau responden, dari 400 sampel hanya menjadi 397
sampel yang valid. Dengan demikian penelitian yang akan datang responden perlu diperbanyak dan
diperluas sebagai pembanding basil yang didapat dari analisis basil teoritis. Penelitian ini dilakukan
terhadap konsumen di Indonesia, perlu diperluas terhadap konsumen di negara berkembang lain,
bahkan terhadap konsumen di negara-negara maju, sehingga akan menghasilkan temuan lebih
bermanfaat bagi para pemasar secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, D. (1996). "Measuring Brand Equity Across Products and Markets." California Management
Review38(3).
Aaker, D. (2001). "Building Strong Brands." Social Marketing QuarterlvVII(2).
Aaker, D. (2004). "Leveraging the Corporate Brand." California Management Review46(3).
Aaker, D. and R. Jacobson (1994). "The Financial Information Content of PerceivedQuality." Journal
of Marketing Research31: 191-201.
Aaker, J. (1997). "Dimensions of Brand Personality." Journal of Marketing ResearchXXXIV: 347-
356
Ailawadi, K., D. Lehmann, et al. (2003). "Revenue Premium as an Outcome Measure of Brand
Equity." Journal of Marketing67: 1-17.
Alessandri, S. W. and T. M. Alessandri (2006). Exploring the Moderators on theBranding Strategy-
Financial Performance Relationship. 10th Annual International Conference on
Reputation,Image,Identity and Competitiveness, New York City.
Arora, N. and T. Henderson (2007). "Embedded Premium Promotion: Why It Works andHow to Make
It More Effective." Marketing Science24(4): 514-531.
Bagozzi, R. P., & Yi, Y. (1991). Multitrait-multimethod matrices in consumer research. Journal of
Consumer Research, 17, 426-439
Ball, J. (2008). "Creating Emotional Brand Connections: Emotional Benefits, BrandMeaning, and
Self-Congruity." University of Texas at Austin.
Barrios, A., S. Camacho, et al. (2008). "The Effect of Consumer's Socio EconomicStratum on
Complexing Expectations of New Technological Product." Journal of Business Research.
Berry, L. (2000). "Cultivating Service Brand Equity." Journal of Academy of Marketing Science28:
128-137.
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 522
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Blattberg, Robert, et al. (1996). "Manage Marketing by the Customer Equity Test." Harvard Business
Review74: 136-44.
Boyd, T. and C. Mason (1999). "The Link Between Attractiveness of "Extrabrand" Attributes and the
Adoption of Innovations." Journal of Academy of Marketing Science27: 306-319.
Brakenridge, D. (2001). Cvberbranding: Brand Building in the Digital Economy. Pearson Education.
Callaghan, W. and B. Wilson (2001). "The Role of the Category in Brand Equity Studies: A Brand
Attitudinal Segmentation Perspective." RMIT University Melbourne.
Chattalas, M., T. Kramer, et al. (2008). "The Impact of National Stereotypes on theCountry of Origin
Effect." International Marketing Review25(l): 54-74.
Chattopadhyay, T., S. Shivani, et al. (2009). "Determinants of Brand Equity- A Blue printfor Building
Strong Brand: A Study of Automobile Segment in India." African Journal of Marketing
Management 1 (4): 109-121.
Chen, P. Y. S. and L. M.Hitt (2001). "Brand Awareness and Price Dispersion in Electronic Markets."
Twenty-second International Conference on Information System.
Chernatony, L. d. (1993). "Categorizing Brands: Evolutionary Processes Underpinned byTwo Key
Dimensions." Journal of Marketing Management2: 173-188.
Christodoulides, G. and L. d. Chernatony (2004). "Dimensionalising on-and Offline Brands'
Composite Equity." Journal of Product and Brand Management.
Cooper, L. (2000). "Strategic Marketing Planning for Radically New Products." Journal of
Marketing64: 1-16.
Creswell, J. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Sage
Publications.
Darian, J. (1987). "In-home Shopping: Are There Consumer Segment?" Journal of Retailing63(2):
163-186.
D'Astous, A. and I. Jacob (2002). "Understanding Consumer Reactions to Premium-Based
Promotional Offers." European Journal of Marketing36( 11/12): 1270.
D'Astous, A. and V. Landreville (2003). "An Experimental Investigation of Factors Affecting
Consumer's Perceptions of Sales Promotions." European Journal of Marketing37( 11/12):
1746.
Davis, J. (2007). Measuring Marketing: 103 Key Metrics Every Marketer Needs. John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd.
Daye, D. and B. V. Auken (2008). "Country of Origin A Brands Best Friend." Branding Strategy
Insider.
Daye, D. and B. V. Auken (2010). "Brand Salience: Why It's Important For Your Brand." Branding
Strategy Insider.
DelVecchio, D. and D. Smith (2005). "Brand Extension Price Premiums: The Effects ofPerceived Fit
and Extension Product Category Risk." Journal of Academy of Marketing Science33: 184-
196.
Donthu, N. and A. Garcia (1999). "The Internet Shopper." Journal of Advertising
Research(Mav/June): 52-58.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis 523 Universitas Kristen Satya Wacana m m :W
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Blattberg, Robert, et al. (1996). "Manage Marketing by the Customer Equity Test." Harvard Business
Review74: 136-44.
Boyd, T. and C. Mason (1999). "The Link Between Attractiveness of "Extrabrand" Attributes and the
Adoption of Innovations." Journal of Academy of Marketing Science27: 306-319.
Brakenridge, D. (2001). Cvberbranding: Brand Building in the Digital Economy. Pearson Education.
Callaghan, W. and B. Wilson (2001). "The Role of the Category in Brand Equity Studies: A Brand
Attitudinal Segmentation Perspective." RMIT University Melbourne.
Chattalas, M., T. Kramer, et al. (2008). "The Impact of National Stereotypes on theCountry of Origin
Effect." International Marketing Review25(l): 54-74.
Chattopadhyay, T., S. Shivani, et al. (2009). "Determinants of Brand Equity- A Blue printfor Building
Strong Brand: A Study of Automobile Segment in India." African Journal of Marketing
Managementl(4): 109-121.
Chen, P. Y. S. and L. M.Hitt (2001). "Brand Awareness and Price Dispersion in Electronic Markets."
Twenty-second International Conference on Information System.
Chernatony, L. d. (1993). "Categorizing Brands: Evolutionary Processes Underpinned byTwo Key
Dimensions." Journal of Marketing Management2: 173-188.
Christodoulides, G. and L. d. Chernatony (2004). "Dimensionalising on-and Offline Brands'
Composite Equity." Journal of Product and Brand Management.
Cooper, L. (2000). "Strategic Marketing Planning for Radically New Products." Journal of
Marketing64: 1-16.
Creswell, J. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Sage
Publications.
Darian, J. (1987). "In-home Shopping: Are There Consumer Segment?" Journal of Retailing63(2):
163-186.
D'Astous, A. and I. Jacob (2002). "Understanding Consumer Reactions to Premium-Based
Promotional Offers." European Journal of Marketing36(11/12): 1270.
D'Astous, A. and V. Landreville (2003). "An Experimental Investigation of Factors Affecting
Consumer's Perceptions of Sales Promotions." European Journal of Marketing37(ll/12):
1746.
Davis, J. (2007). Measuring Marketing: 103 Key Metrics Every Marketer Needs. John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd.
Daye, D. and B. V. Auken (2008). "Country of Origin A Brands Best Friend." Branding Strategy
Insider.
Daye, D. and B. V. Auken (2010). "Brand Salience; Why It's Important For Your Brand." Branding
Strategy Insider.
DelVecchio, D. and D. Smith (2005). "Brand Extension Price Premiums: The Effects ofPerceived Fit
and Extension Product Category Risk." Journal of Academy of Marketing Science33: 184-
196.
Donthu, N. and A. Garcia (1999). "The Internet Shopper." Journal of Advertising
Res xr (May/June): 52-58.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis 523 Universitas Kristen Satya Wacana feb
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Dowling, G. (2001). Creating Corporate Reputations: Identity. Image, and Peformance. Oxford
University Press.
Farris, P. W., N. T. Bendle, et al. (2006). Marketing Metrics: 50+ Metrics EveryExecutive Should
Master. Wharton School Publishing.
Gardener, E. and M. Trivedi (1998). "A Communications Framework to Evaluate SalesPromotion
Strategies." Journal of Advertising Research8(3).
Gedenk, K. and S. A. Neslin (1999). "The Role of Retail Promotion in DeterminingFuture Brand
Loyalty: Its Effect on Purchase Event Feedback." Journal of Retailing 75(4): 433.
Gefen, D., D. W. Straub, et al. (2000). "Structural Equation Modeling and RegressionGuidelines for
Research Practice." Communications of the Association fo Information Svstem4(7).
Gray, E. and B. JMT (1998). "Managing Corporate Image and Corporate Reputation." Long Range
Planning 31(5): 695-702.
Hair, J., W. Black, et al. (2006). Multivariate Data Analysis, Prentice Hall New Jersey.
Han, J. (1998). "Brand Extensions in a Competitive Context: Effect of CompetitiveTargets and
Products Attribute Typically on Perceived Quality." Academy of Marketing Science
Reviewl998.
Hoeffler, S. and K. L. Keller (2002). "Building Brand Equity Through Corporate SocietalMarketing."
Journal of Public Policy and Marketing21: 78-89.
Hoeffler, S. and K. L. Keller (2003). "The Marketing Advantage of Strong Brands." Brand
Management 10(6): 421-445.
Holt, D. (2002). "Why Do Brands Cause Trouble? A Dialectical Theory of ConsumerCulture and
Branding." Journal of Consumer Research29.
Hwai, L. Y. and A. K. Soon (2003). "Brand Name Suggestiveness: A Chinese
LanguagePersr)ective."International Journal of Research in Marketing20: 323-335.
Hymann, M. and I. Mathur (2005). "Retrospective and Prospective Views on theMarketing/Finance
Interface." Journal of Academy of Marketing Science33: 390-400.
Insch, G. S. and J. B. McBride (2004). "The Impact of Country-of-Origin Cues onConsumer
Perceptions of Product Quality: A Binational Test of Decomposed Country-of-Origin
Construct." Journal of Business Research57: 256-265.
Jaju, A., C. Joiner, et al. (2006). "Consumer Evaluations of Corporate BrandRedeployments."Journal
of Academy of Marketing Science34: 206-215.
Jedidi, K. and C. F. Mela (1999). "Managing Advertising and Promotion for Long-RunProfitability."
Marketing Science.
Katahiro, H., M. Mizuno, et al. (1993). "New Product Successess in the Japanese Consumer Goods
Market."SEI Center for Awareness Studies in Management.
Kay, M. (2006). "Strong Brands and Corporate Brands." European Journal of Marketing40(7/8): 742-
760.
Keller, K. L. (1993). "Conceptualizing, Measuring, and Managing Customer-Based BrandEquity."
Journal of Marketings?: 1-22.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis rUniversitas Kristen Satya Wacana
524
3rd Economics & Business nesearoh Festival 13 November 2014
Dowling, G. (2001). Creating Corporate Reputations: Identity. Image, and Peformance. Oxford
University Press.
Farris, P. W., N. T. Bendle, et al. (2006). Marketing Metrics: 50+ Metrics EveryExecutive Should
Master. Wharton School Publishing.
Gardener, E. and M. Trivedi (1998). "A Communications Framework to Evaluate SalesPromotion
Strategies." Journal of Advertising Research8(3).
Gedenk, K. and S. A. Neslin (1999). "The Role of Retail Promotion in DeterminingFuture Brand
Loyalty: Its Effect on Purchase Event Feedback." Journal of Retailing 75(4): 433.
Gefen, D., D. W. Straub, et al. (2000). "Structural Equation Modeling and RegressionGuidelines for
Research Practice." Communications of the Association fo Information Svstem4(7).
Gray, E. and B. JMT (1998). "Managing Corporate Image and Corporate Reputation." Long Range
Planning 31(5): 695-702.
Hair, J., W. Black, et al. (2006). Multivariate Data Analysis. Prentice Hall New Jersey.
Han, J. (1998). "Brand Extensions in a Competitive Context: Effect of CompetitiveTargets and
Products Attribute Typically on Perceived Quality." Academy of Marketing Science
Reviewl998.
Hoeffler, S. and K. L. Keller (2002). "Building Brand Equity Through Corporate SocietalMarketing."
Journal of Public Policy and Marketing21: 78-89.
Hoeffler, S. and K. L. Keller (2003). "The Marketing Advantage of Strong Brands." Brand
Management 10(6): 421-445.
Holt, D. (2002). "Why Do Brands Cause Trouble? A Dialectical Theory of ConsumerCulture and
Branding." Journal of Consumer Research29.
Hwai, L. Y. and A. K. Soon (2003). "Brand Name Suggestiveness: A Chinese
LanguagePerspective."International Journal of Research in Marketing20: 323-335.
Hymann, M. and I. Mathur (2005). "Retrospective and Prospective Views on theMarketing/Finance
Interface " Journal of Academy of Marketing Science33: 390-400.
Insch, G. S. and J. B. McBride (2004). "The Impact of Country-of-Origin Cues onConsumer
Perceptions of Product Quality: A Binational Test of Decomposed Country-of-Origin
Construct."Joumal of Business Research57: 256-265.
Jaju, A., C. Joiner, et al. (2006). "Consumer Evaluations of Corporate BrandRedeployments."Journal
of Academy of Marketing Science34: 206-215.
Jedidi, K. and C. F. Mela (1999). "Managing Advertising and Promotion for Long-RunProfitability."
Marketing Science.
Katahiro, H., M. Mizuno, et al. (1993). "New Product Successess in the Japanese Consumer Goods
Market."SEI Center for Awareness Studies in Management.
Kay, M. (2006). "Strong Brands and Corporate Brands." European Journal of Marketing40(7/8): 742-
760.
Keller, K. L. (1993). "Conceptualizing, Measuring, and Managing Customer-Based BrandEquity."
Journal of Marketings?: 1-22.
febj Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana 524
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Keller, K. L. (2001). "Building Customer-Based Brand Equity: A Blueprint for CreatingStrong
Brands." Marketing Science Institute Working Paper Series.
Keller, K. L. (2008). Strategic Brand Management. Pearson Education LTD.
Keller, K. L. and D. R. Lehman (2006). "Brands and Branding: Research Findings and Future
Priorities." Marketing Science25(6): 740-759.
Kenesei, Z. and S. Todd (2004). "The Use of Price in the Purchase Decision." Journal of Empirical
Generalisations in Marketing ScienceS: 1-21.
Kirmani, Amna, et al. (1989). "Money Talks: Perceived Advertising Expenditures andExpected
Product Quality." Journal of Consumer Researchl6: 344-353.
Kohli, C. and L. Leuthesser (2001). "Brand Equity: Capitalizing on Intellectual Capital."
Kumar and M. George (2007). "Measuring and Maximixing Customer Equity: A CriticalAnalysis."
Journal of Academy of Marketing Science35: 157-171.
Lans, R. V. D., R. Pieters, et al. (2008). "Competitive Brand Salience." Marketing Science27(5): 922-
Leone, R., V. Rao, et al. (2006). "Linking Brand Equity to Customer Equity." Journal of Service
Research: 125.
Liefeld, J. (2002). "Consumer Knowledge and Use of Country-of-Origin Information atthe Point of
Purchase." University of Guelph, Ontario. Canada.
Lightfoot, W. (2000). Product Life Cycles Stages, on-line <http://www.marketinginc.com> McGrath
M.Product Strategy of High-Technology Companies, McGraw-Hill.2000.
Low, G. and J. Mohr (2000). "Advertising vs Sales Promotion: A Brand ManagementPerspective."
Journal of Product and Brand Management9: 389-414.
Mackay, M. M. (2001). "Application of Brand Equity Measures in Service Markets." Journal of
Services MarketinglS.
Martensen, A. and L. Gronholt (2002). "A Brand Equity Measurement and ManagementSystem."
Copenhagen Business School Denmark.
Martin, I., D. Steward, et al. (2005). "Branding Strategies, Marketing Communication, and Perceived
Brand Meaning: The Transfer of Purposive, Goal-Oriented Brand Meaningto Brand
Extensions." Journal of Academy of Marketing Science33: 275-294.
Martin (2007). "Corporate Reputation and Branding in Global Companies: TheChallenges for People
Management and HR." Marketing Science Institute Working Paper Series: 227.
Mitchell, R., B. Agle, et al. (1997). "Toward a Theory of Stakeholder Identificationand Salience:
Defining the Principle of Who and What Really Counts." The Academy of Management
Review4: 853-86.
Moorman, C. and R. Rust (1999). "The Role of Marketing." Journal of Marketing63: 180-197.
Nedungadi, P., A. Chattopadhyay, et al. (2001). "Category Structure, Brand Recall, andChoice."
International Journal of Research in MarketinglS: 191-202.
Nijs, V., M. Dekimpe, et al. (2001). "The Category-Demand Effects of PricePromotions." Marketing
Science20: 1-22.
931.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 525
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Keller, K. L. (2001). "Building Customer-Based Brand Equity: A Blueprint for CreatingStrong
Brands." Marketing Science Institute Working Paper Series.
Keller, K. L. (2008). Strategic Brand Management. Pearson Education LTD.
Keller, K. L. and D. R. Lehman (2006). "Brands and Branding; Research Findings and Future
Priorities." Marketing Science25(6): 740-759.
Kenesei, Z. and S. Todd (2004). "The Use of Price in the Purchase Decision." Journal of Empirical
Generalisations in Marketing ScienceS: 1-21.
Kirmani, Amna, et al. (1989). "Money Talks; Perceived Advertising Expenditures andExpected
Product Quality." Journal of Consumer Researchl6: 344-353.
Kohli, C. and L. Leuthesser (2001). "Brand Equity Capitalizing on Intellectual Capital."
Kumar and M. George (2007). "Measuring and Maximixing Customer Equity: A CriticalAnalysis."
Journal of Academy of Marketing Science35: 157-171.
Lans, R. V. D., R. Pieters, et al. (2008). "Competitive Brand Salience." Marketing Science27(5): 922-
Leone, R., V. Rao, et al. (2006). "Linking Brand Equity to Customer Equity." Journal of Service
Research: 125.
Liefeld, J. (2002). "Consumer Knowledge and Use of Country-of-Origin Information atthe Point of
Purchase." University of Guelph, Ontario. Canada.
Lightfoot, W. (2000). Product Life Cycles Stages, on-line <http://www.marketinginc.com> McGrath
M.Product Strategy of High-Technology Companies. McGraw-Hill.2000.
Low, G. and J. Mohr (2000). "Advertising vs Sales Promotion: A Brand ManagementPerspective."
Journal of Product and Brand Management9: 389-414.
Mackay, M. M. (2001). "Application of Brand Equity Measures in Service Markets." Journal of
Services MarketinglS.
Martensen, A. and L. Gronholt (2002). "A Brand Equity Measurement and ManagementSystem."
Copenhagen Business School Denmark.
Martin, I., D. Steward, et al. (2005). "Branding Strategies, Marketing Communication, and Perceived
Brand Meaning; The Transfer of Purposive, Goal-Oriented Brand Meaningto Brand
Extensions." Journal of Academy of Marketing Science33: 275-294.
Martin (2007). "Corporate Reputation and Branding in Global Companies: TheChallenges for People
Management and HR." Marketing Science Institute Working Paper Series: 227.
Mitchell, R., B. Agle, et al. (1997). "Toward a Theory of Stakeholder Identificationand Salience:
Defining the Principle of Who and What Really Counts." The Academy of Management
Review4: 853-86.
Moorman, C. and R. Rust (1999). "The Role of Marketing." Journal of Marketing63: 180-197.
Nedungadi, P., A. Chattopadhyay, et al. (2001). "Category Structure, Brand Recall, andChoice."
International Journal of Research in MarketinglS: 191-202.
Nijs, V., M. Dekimpe, et al. (2001). "The Category-Demand Effects of PricePromotions." Marketing
Science20: 1-22.
931.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 525
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Ouyang, M. and F. Wang (2007). "A Theoritical Method of Brand Equity Assessment: ASynthesized
Approach."Journal of Business and Technologyl.
Pitt, L., R. Watson, et al. (2006). "The Penguin's Window: Corporate Brands From anOpen-Source
Perspective." Journal of Academy of Marketing Science34: 115-127.
Pitta, D. and L. P. Katsanis (1995). "Understanding Brand Equity for Successful BrandExtension."
Journal of Consumer marketingl2: 51-64.
Pullig, C., R. G.Netemayer, et al. (2006). "Attitude Basis, Certainty, and Challenge Alignment: A
Case of Negative Brand Publicity." Journal of the Academy of Marketing Science.
Raghubir, P. and K. Corfman (1999). "When Do Price Promotions Affect Pretrial
BrandEvaluations?" Journal of Marketing Research.
Rao, V., M. Agarwal, et al. (2004). "How Is Manifest Branding Strategy Related to thelntagihle Value
of a Corporation?" Journal of Marketing68: 126-141
Romaniuk, J. and B. Sharp (2004). "Conceptualizing and Measuring Brand Salience." Marketing
Theorv4(4).
Romaniuk, J., B. Sharp, et al. (2004). "Brand and Advertising Awareness: A Replicationand Extension
of a Known Empirical Generalisation." Australasian Marketing Journall2(3): 70.
Schultz, M. and M. J. Hatch (2003). "The Cycles of Corporate Branding: The Case of the LEGO
Company." California Management Review46.
Sivakumar, V. (2002). "Country-of-Originand It's Impact on Brands." Management Studies. National
Institute of Technology, Tiruchippalli.
Slotegraaf, R. and K. Pauwels (2008). "The Impact of Brand Equity and Innovation onthe Long-Term
Effectiveness of Promotions." Journal of Marketing ResearchXLV: 293-306.
Smith, D., N. Gradojevic, et al. (2007). "An Analysis of Brand Equity Determinants: Gross Profit,
Advertising, Research, and Development." Journal of Business and Economic ResearchlS.
Srinivasan, C. S. Park, et al. (2001). "EQUITYMAP: Measurement, Analysis, andPrediction of Brand
Equity and its Sources." Stanford Universitv.CA 94305.USA-Korea Universitv.Seoul.136-
701.Korea-Yonsei Universitv.Seoul.l20-749.Korea.
Sriram, S. and M. U. Kalwani (2004). "Optimal Advertising and promotion Budgets inDynamic
Markets with Brand Equity as a Mediating Variable." School of Business University of
Connecticut.
Srivastava, Rajendra, et al. (1991). "Brand Equity: A Perspective on It's Meaning andMeasurement."
Marketing Science Institute Working Paper Series: 91-124.
Steenkamp, J.-B. E., V. R. Nijs, et al. (2003). "Competitive Reactions to Advertising andPromotion
Attacks." Tilburg Universitv-Nortwestern Universitv-Universitv of California.LA-Catholic
University Leuven and Erasmus University Rotterdam.
Styles, C. (2003). "Measuring Brand Equity as a Network Measurement Problem." University of New
South Wales. Australia.
Sauer, P. L., & College, C. (1993). Using Moderator Variables in Structural Equation Models.
Advances in Consumer Research, 20, 636-640.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 526
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
Ouyang, M. and F. Wang (2007). "A Theoritical Method of Brand Equity Assessment; ASynthesized
Approach."Journal of Business and Technology!.
Pitt, L., R. Watson, et al. (2006). "The Penguin's Window: Corporate Brands From anOpen-Source
Perspective." Journal of Academy of Marketing Science34: 115-127.
Pitta, D. and L. P. Katsanis (1995). "Understanding Brand Equity for Successful BrandExtension."
Journal of Consumer marketingl2: 51-64.
Pullig, C., R. G.Netemayer, et al. (2006). "Attitude Basis, Certainty, and Challenge Alignment: A
Case of Negative Brand Publicity." Journal of the Academy of Marketing Science.
Raghubir, P. and K. Corfman (1999). "When Do Price Promotions Affect Pretrial
BrandEvaluations?" Journal of Marketing Research.
Rao, V., M. Agarwal, et al. (2004). "How Is Manifest Branding Strategy Related to thelntagihle Value
of a Corporation?" Journal of Marketing68: 126-141
Romaniuk, J. and B. Sharp (2004). "Conceptualizing and Measuring Brand Salience." Marketing
Theorv4(4).
Romaniuk, J., B. Sharp, et al. (2004). "Brand and Advertising Awareness: A Replicationand Extension
of a Known Empirical Generalisation." Australasian Marketing Journall2(3): 70.
Schultz, M. and M. J. Hatch (2003). "The Cycles of Corporate Branding; The Case of the LEGO
Company." California Management Review46.
Sivakumar, V. (2002). "Country-of-Originand It's Impact on Brands." Management Studies. National
Institute of Technology, Tiruchippalli.
Slotegraaf, R. and K. Pauwels (2008). "The Impact of Brand Equity and Innovation onthe Long-Term
Effectiveness of Promotions." Journal of Marketing ResearchXLV: 293-306.
Smith, D., N. Gradojevic, et al. (2007). "An Analysis of Brand Equity Determinants: Gross Profit,
Advertising, Research, and Development." ■oumal of Business and Economic ResearchlS.
Srinivasan, C. S. Park, et al. (2001). "EQUITYMAP; Measurement, Analysis, andPrediction of Brand
Equity and its Sources." Stanford University,CA 94305.USA-Korea Universitv.Seoul.136-
701.Korea-Yonsei Universitv.Seoul.l20-749.Korea.
Sriram, S. and M. U. Kalwani (2004). "Optimal Advertising and promotion Budgets inDynamic
Markets with Brand Equity as a Mediating Variable." School of Business University of
Connecticut.
Srivastava, Rajendra, et al. (1991). "Brand Equity; A Perspective on It's Meaning andMeasurement."
Marketing Science Institute Working Paper Series: 91-124.
Steenkamp, J B. E., V. R. Nijs, et al. (2003). "Competitive Reactions to Advertising andPromotion
Attacks." Tilburg Universitv-Nortwestem University-University of CalifomiaXA-Catholic
University Leuven and Erasmus University Rotterdam.
Styles, C. (2003). "Measuring Brand Equity as a Network Measurement Problem." University of New
South Wales. Australia.
Sauer, P. L., & College, C. (1993). Using Moderator Variables in Structural Equation Models.
Advances in Consumer Research, 20, 636-640.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 526
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Swiercznska, U. and P. Kossecki (2007). "The Brand Equity-Marketing and FinancialApproach."
Computer Science and Information Technology: 607-613.
Temporal, P. (2002). Advanced Brand Management: From Vision to Valuation. John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd.
Thomson (2006). Advertising and Integrated Brand Promotion. South-Western.
Varadarajan, R., M. DeFanti, et al. (2006). "Brand Portfolio, Corporate Image, andReputation:
Managing Brand Deletions." Journal of Academy of Marketing Science34: 195-205.
Walker, D. (2002). "Building Brand Equity Through Advertising." The Advertising Research
Company.
Washburn, J. and R. Plank (2002). "Measuring Brand Equity: An Evaluation of A Consumer-Based
Brand Equity Scale."Journal of Marketing Theory and Practice: 46.
Webster, F. (2000). "Understanding the Relationships Among Brands, Consumers, andResellers."
Journal of Academy of Marketing Science28: 17-23.
Whelan, S. and G. Davies (2006). "Profiling Consumers of Own Brands and NationalBrands Using
Human Personality." Journal of Retailing and Consumer Servicesl3: 393-402.
Wood, L. (2000). "Brands and Brand Equity: Definition and Management." MCB University Press.
Yoo, B., N. Donthu, et al. (2000). "An Examination of Selected Marketing Mix Elements and Brand
Equity." Journal of the Academy of Marketing Science28: 195-211.
Youjae, Y. and J. Hoseong (2003). "Effects of Loyalty Programs on Value Perception, Program
Loyalty, and Brand Loyalty." Journal of Academy of Marketing Science31: 229-240.
Zacharias, S. and J. Manalel (2009). "Sales Promotion and Sources of Consumer BasedEquity on
Industrial Goods." School of Management Studies M.G.Universitv, Kottavam, Kerala. India.
Zeithaml and V. A (1998). "Consumer Perception of Price, Quality, and Value: A Means-End Model
and Synthesis of Evidence." Journal of Marketing52: 2-22.
Zimmermann, D. R., U. Klein-Bolting, et al. (2008). Volume 1: Brand Equity Review. Brand Equity.
P. D. H. H.Bauer, BBDO Group Germany.
feb Fakultas Ekonomika dan Bisnis rtJwi Universitas Kristen Satya Wacana
3rd Economics & Business Hesearoh Festival 13 November 2014
Swiercznska, U. and P. Kossecki (2007). "The Brand Equity-Marketing and FinancialApproach."
Computer Science and Information Technology: 607-613.
Temporal, P. (2002). Advanced Brand Management: From Vision to Valuation. John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd.
Thomson (2006). Advertising and Integrated Brand Promotion. South-Western.
Varadarajan, R., M. DeFanti, et al. (2006). "Brand Portfolio, Corporate Image, andReputation;
Managing Brand Deletions." Journal of Academy of Marketing Science34: 195-205.
Walker, D. (2002). "Building Brand Equity Through Advertising." The Advertising Research
Company.
Washbum, J. and R. Plank (2002). "Measuring Brand Equity: An Evaluation of A Consumer-Based
Brand Equity Scale."Joiirnal of Marketing Theory and Practice: 46.
Webster, F. (2000). "Understanding the Relationships Among Brands, Consumers, andResellers."
Journal of Academy of Marketing Science28: 17-23.
Whelan, S. and G. Davies (2006). "Profiling Consumers of Own Brands and NationalBrands Using
Human Personality." Journal of Retailing and Consumer Servicesl3: 393-402.
Wood, L. (2000). "Brands and Brand Equity: Definition and Management." MCB University Press.
Yoo, B., N. Donthu, et al. (2000). "An Examination of Selected Marketing Mix Elements and Brand
Equity." Journal of the Academy of Marketing Science28: 195-211.
Youjae, Y. and J. Hoseong (2003). "Effects of Loyalty Programs on Value Perception, Program
Loyalty, and Brand Loyalty." Journal of Academy of Marketing Science31: 229-240.
Zacharias, S. and J. Manalel (2009). "Sales Promotion and Sources of Consumer BasedEquity on
Industrial Goods." School of Management Studies M.G.Universitv, Kottavam, Kerala. India.
Zeithaml and V. A (1998). "Consumer Perception of Price, Quality, and Value; A Means-End Model
and Synthesis of Evidence." Journal of Marketing52: 2-22.
Zimmermann, D. R., U. Klein-Bolting, et al. (2008). Volume 1: Brand Equity Review. Brand Equity.
P. D. H. H.Bauer, BBDO Group Germany.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana 527