strategi amerika serikat dalam merespon konflik...
TRANSCRIPT
STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM
MERESPON KONFLIK SURIAH-ISRAEL
PERIODE 2002-2008
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Andhini Citra Pertiwi
109083000064
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
iv
ABSTRAK
Skripsi ini membahas serta menganalisa strategi yang ditempuh Amerika
Serikat dalam merespon konflik Suriah dan Israel pada periode 2002-2008. Penelitian
ini menggunakan teori Regional Security Complex, konsep strategi Balance of Power
dan kepentingan nasional. Amerika Serikat menempuh langkah-langkah yang
kontradiktif dalam kasus ini, karena memilih strategi yang konfrontatif dan
kooperatif. Strategi Amerika Serikat dalam merespon Konflik Suriah – Israel tahun
2002 – 2008 didasari oleh National Security Strategy tahun 2002 yang
implementasinya adalah (1) mengadakan pembicaraan damai yaitu Konferensi
Jenewa dan Konferensi Anapolis; (2) mengadakan kerjasama kontra terorisme; (3)
memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Suriah dan Israel; (4)
mengeluarkan Syria Accountability Act; (5) menutup Kedutaan Besar AS di Suriah;
(6) mendukung tindakan konfrontatif Israel atas Suriah. Strategi ini ditempuh untuk
mencapai kepentingan nasional AS, adanya Doktrin Bush dan menjaga balance of
power di Timur Tengah.
KEYWORDS: BALANCE OF POWER; BUSH DOCTRINE; NATIONAL
INTEREST; US NATIONAL SECURITY STRATEGY; NEOCONSERVATIVE;
REGIONAL SECURITY COMPLEX; STRATEGY; SYRIA ACCOUNTABILITY
ACT;
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrobilalamin, puji syukur akan selalu penulis panjatkan kepada
Allah SWT karena berkat rahmat, kasih sayang dan ridha-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di
Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam pun selalu tercurah
kepada baginda Rasulullah SAW, suri tauladan terbaik sepanjang masa yang telah
membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang dengan cahaya Al Quran.
Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada
lima sosok manusia yang paling penting dalam hidup penulis yaitu Mama Krisna
Sesnita, Papa Iswandi Taruhun, Abang (alm) Zacky Yudha Perwira, Abang Andhika
Yudha Perwira dan Adek Umar Mursid yang senantiasa mendoakan, menemani dan
berjuang bersama penulis.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi yang berjudul “Strategi Amerika
Serikat dalam Merespon Konflik Suriah-Israel Periode 2002 – 2008” adalah berkat
adanya bimbingan, arahan, bantuan, dukungan dan doa yang diberikan oleh berbagai
pihak kepada penulis. Untuk itu dengan ketulusan hati penulis ingin menghanturkan
rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Debbie Affianty M.Si, Kepala Jurusan HI UIN Jakarta sekaligus
pembimbing skripsi yang luar biasa bagi penulis. Terimakasih yang
setulus-tulusnya karena telah membimbing dan mendidik penulis dengan
penuh kesabaran, kepedulian, kecerdasan dan kebijaksanaan. Bahkan saat
sakit, beliau masih mengingat janji konsultasi dengan penulis. Penulis
juga memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses pembuatan
skripsi ini, seringkali merepotkan dan mengecewakan beliau. Penulis
benar-benar bersyukur dapat dibimbing oleh pendidik sehebat beliau.
2. Bapak Dr. Basham Al Khatib Charge d’Affaires Republik Arab Suriah
untuk Indonesia, yang telah berbaik hati menyediakan waktu (dan kopi
Suriah) untuk wawancara yang telah membuka wawasan penulis dalam
memandang permasalahan penelitian serta memberikan nasehat kepada
penulis untuk menjadi scholars muslim yang kritis terhadap tiap
informasi.
3. Ayahanda Drs. Armein Daulay M.Si, atas semua ilmu, nasehat dan
perhatian yang diberikan kepada penulis selama ini.
4. Bapak Agus Nilmada M.Si selaku Sekretaris Prodi HI FISIP UIN serta
Bapak dan Ibu Dosen Prodi Hubungan Internasional atas ilmu, nasehat
dan motivasinya selama ini. Semoga penulis dapat terus mengamalkan
ilmu yang telah diberikan, sehingga dapat menjadi amal jariyah yang tak
terputus bagi Bapak dan Ibu. Terimakasih juga kepada Pak Jajang yang
vi
telah membantu kebutuhan administrasi penulis selama ini. Terimakasih
juga kepada seluruh civitas akademika dan staf serta karyawan FISIP UIN
Jakarta terutama Mbak Reni.
5. Mbak Endang dari Information Research Center US Embassy Jakarta,
segenap staf Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri RI dan
staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta yang sangat membantu dalam
proses pengumpulan data-data skripsi ini.
6. Ibunda Ir. Yarsi Berlianti, terimakasih atas dukungannya kepada penulis
selama ini.
7. Segenap keluarga besar Kamil dan keluarga besar Taruhun yang telah
mencurahkan kasih sayang dan dukungan kepada penulis. Serta kepada
Ibunda Marhamah yang selalu menyemangati dan memberikan inspirasi
kepada penulis
8. Mbak Suhati atas segala nasehat serta dedikasinya dalam menyiapkan
makanan yang bergizi dan membersihkan rumah sehingga penulis nyaman
dan sehat dalam mencari ilmu dan mengerjakan skripsi.
9. Nekad Travelers: Marina Ika Sari, Mirna Asnur, Dyah Widowati
Kusumaningputri dan Putri Sri Tanjung yang telah menjadi saudari terbaik
penulis sehingga hari-hari penulis sebagai mahasiswa sangat seru dan
berwarna.
10. Sahabat-sahabat tersayang penulis: Elhumairoh Wijaya, Dwi Cahya
Yuliani, Aisyah Kemala, Mely Chintya Devi, Norman Hendrawan Gultom
dan Nuzulul Dina atas kebersamaan dan motivasinya agar penulis segera
lulus.
11. Fuzi Fauziah, yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam proses
pengesahan skripsi ini.
12. Teman-teman HI 2009 terimakasih untuk kebersamaannya selama ini
khususnya untuk kelas B: Dani, Dewi, Dwita, Anggi, Fadhli, Fajar, Valdy,
Ismet, Satria, Dafi, Bagus, Dimas, Risky, Eka, Rajif, Edwin, Heri, Nabiel,
Farhan, Noufal, Imam, Aziz, Fajri, Imi.
13. Kakak-kakak HI Angkatan 2007 sampai adik-adik HI angkatan 2011
terutama Peni, Detty, Isti, Mila dan Shofi serta seluruh civitas akademika
yang tidak penulis sebutkan disini tetapi akan terus penulis ingat
eksistensinya.
14. Pengurus Ikatan Pelajar Muhammadiyah Cabang Pamulang dan IPM
Tangerang Selatan Periode 2012 – 2014, tempat penulis banyak belajar
tentang hidup.
15. Kepada kucing dan kelinci penulis yang selalu menemani penulis
begadang saat mengerjakan skripsi dan tugas – tugas kuliah. Juga kepada
brownies, beatypink dan si Putih yang setia menemani.
vii
Terakhir dan yang paling spesial, terima kasih sedalam-dalamnya kepada
partner terbaik penulis, Indra Ramadhan yang selalu berada di sisi penulis
dalam suka maupun duka serta menjadi sharing partner dan think tank yang
bijaksana dalam menghadapi berbagai dinamika hidup. Serta kepada
keluarganya: Ibu, Bapak dan Adek yang warm dan sangat baik kepada
penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang konstruktif akan sangat penulis hargai untuk
proses penyempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
menambah khazanah ilmu pengetahuan hubungan internasional khususnya
dalam ranah strategi.
Nuun Wal Qolami Wamaa Yasthuruun
Pondok Petir, 28 November 2014
Penulis,
Andhini Citra Pertiwi
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK..................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR.................................................................................................v
DAFTAR ISI.............................................................................................................viii
DAFTAR TABEL......................................................................................................xi
DAFTAR ILUSTRASI..............................................................................................xii
DAFTAR SINGKATAN..........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................xv
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................1
1.2 Pertanyaan Penelitian.......................................................................6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................6
1.4 Tinjauan Pustaka ...........................................................................6
1.5 Kerangka Teoritis
1.5.1 Teori Regional Security Complex.....................................9
1.5.2 Strategi..............................................................................9
1.5.2 Kepentingan Nasional………………………………..…….12
1.5.3 Balance of Power…………………………………...….14
1.6 Metode Penelitian …………………………………………….....16
ix
1.7 Sistematika Penulisan…………………………………………....17
BAB II : STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH
DAN ISRAEL PERIODE 2002 – 2008
2.1 Posisi AS di Timur Tengah………………………………………20
2.2 Strategi AS dalam Merespon Konflik Suriah – Israel Periode
2002 – 2008…………………………………………………......25
2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah –
Israel Periode 2002 – 2008………………………….....27
2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik
Suriah- Israel periode 2002 – 2008………………………….35
BAB III : KONFLIK SURIAH DAN ISRAEL PERIODE 2002 - 2008
3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel ……………………………….40
3.2 Okupasi dan Aneksasi Dataran Tinggi Golan……………….......41
3.3 Konflik Perbatasan…………………………………………….....48
3.4 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon……….....52
3.5 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah…………………....56
x
BAB IV : ALASAN AS MENJALANKAN BEBERAPA STRATEGI UNTUK
MERESPON KONFLIK SURIAH DAN ISRAEL
PERIODE 2002 – 2008
4.1 Mencapai Kepentingan Nasional di bidang Ekonomi, Kesehatan
dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK …………………………70
4.2 Pengaruh dari Doktrin Bush……………………………………..75
4.3 Menciptakan Balance of Power di Timur Tengah………………86
BAB V : KESIMPULAN……………………………………………………92
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................xv
LAMPIRAN – LAMPIRAN.............................................................................................xxxiii
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Supply Minyak Timur Tengah dengan Supply Minyak Dunia
Periode 2002 – 2008……………………………………….......... .............20
Tabel 2.2 Lima Negara Donor Terbesar di Timur Tengah Periode 2002 – 2008……23
Tabel 2.3 Sepuluh Negara yang Mendapatkan Bantuan Keuangan Terbesar dari AS
Tahun 2008……………………………………………………………......................30
Tabel 2.4 Bantuan Luar Negeri AS kepada Negara Arab periode 1946 – 2010……..31
Tabel 2.5 Peningkatan Bantuan Militer AS kepada Israel Periode 2006 – 2008…....32
Tabel 3.1 Perbandingan Perolehan Suara Koalisi March 8 dan March 14………….59
Tabel 4.1 Perdagangan AS – Suriah tahun 2006-2007................................................69
Tabel 4.2 Nilai Ekspor dan Impor AS – Israel Periode 2002 – 2008………………..70
Tabel 4.3 Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam Pembuatan
Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002…...80
Tabel 4.4 Military Balance Anggaran Militer Israel dan Suriah…………………….89
xii
DAFTAR ILUSTRASI
Ilustrasi 1.1 Model Strategi Art Lykke…………………………………………........10
Ilustrasi 2.1 Diagram Distribusi Bantuan Regional AS Tahun 2004………………..24
Ilustrasi 3.1 Peta Dataran Tinggi Golan……………………………………………..43
Ilustrasi 3.2. Penetapan Garis Perbatasan 1923, 1949 dan 1967………………........51
Ilustrasi 3.3 Pembagian Wilayah Suriah – Israel sesuai Resolusi DK PBB nomor 350
Tahun 1974 …………………………………………………………....51
Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National
Security Strategy 2002…………………………………………....……79
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AIPAC : American Israel Public Advisory Committee
AS : Amerika Serikat
BoP : Balance of Power
DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
FMF : Foreign Military Financing
PBB : Prserikatan Bangsa Bangsa
PM : Perdana Menteri
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Wawancara dengan Charge d’Affaires Suriah untuk Indonesia……xxxiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skripsi ini membahas strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik
Suriah – Israel periode 2002 – 2008. Republik Arab Suriah (Al-Jumhūriyyah al-
Arabiyyah as-Sūriyyah) dan Israel (Medīnat Yisrā'el) adalah dua negara yang
berada di Asia Barat. Sejarah kedua negara ini berawal dari kekalahan Kerajaan
Ottoman di Perang Dunia I tahun 1918. Kerajaan Otoman adalah kerajaan yang
berpusat di Anatolia (saat ini Turki) dan mendominasi Timur Tengah, Afrika
Utara dan Eropa bagian tenggara di abad ke-15 sampai ke-16 (Chary 2009:587).
Kekalahan Kerajaan Ottoman dalam Perang Dunia I menyebabkan wilayah-
wilayah Kerajaan Ottoman dikuasai oleh dua negara pemenang Perang Dunia I
yaitu Perancis dan Inggris (Smith dan Youngs 2010:2). Melalui Perjanjian Sykes
– Picot 1916, Perancis menguasai Suriah dan Lebanon. Di sisi lain, Inggris
menguasai Yordania (yang kemudian dibagi menjadi Palestina dan Israel) dan
Irak (Philips 2010:39). Liga Bangsa-bangsa mengesahkan hasil perjanjian Sykes
Picot secara resmi pada tahun 1922 (Philips 2010:40).
Pada 1944 Suriah memproklamirkan kemerdekaan dari Perancis (Philips
2010:41). Kemudian tahun 1958 Suriah bergabung dengan Mesir membentuk
United Arab Republic, namun pada 1961 United Arab Republic terpecah lagi dan
Suriah kembali menjadi Republik Arab Suriah (Philips 2010:44). Sedangkan
Inggris melalui Deklarasi Balfour 1917 membuka peluang berdirinya Negara
2
Yahudi di tanah Palestina. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Resolusi 181
oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pembagian wilayah
Palestina menjadi Israel, Palestina dan Kota Yerussalem yang berada di bawah
administrasi PBB. Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum mandat Inggris berakhir,
Israel mendeklarasikan kemerdekaannya (Zannoti 2012:2).
Negara-negara Arab termasuk Suriah tidak setuju dengan kemerdekaan
Israel di atas tanah Palestina dan hendak mengagalkan pembentukan negara Israel,
oleh karena itu mereka menyerang Israel pada tahun 1948. Peristiwa ini dikenal
dengan Perang Arab – Israel I. Negara-negara Arab mengalami kekalahan dalam
perang ini karena Israel mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat (AS)
(Foundation for Middle East Peace 1992:1).
Kemudian Suriah dan negara-negara Arab menyerang Israel lagi di tahun
1967. Pada perang Arab – Israel II ini, negara-negara Arab kembali mengalami
kekalahan karena alasan yang sama bahkan Israel berhasil mengokupasi beberapa
wilayah Arab seperti Dataran Tinggi Golan (dari Suriah), Semenanjung Sinai (dari
Mesir), Tepi Barat dan Gaza (menurut Resolusi 181 masuk dalam wilayah
Palestina) (Foundation for Middle East Peace 1992:1). Negara-negara Arab
kembali menyerang Israel di tahun 1974 untuk merebut daerah-daerah yang
diokupasi dalam Perang 1967, namun kembali gagal karena Israel tetap dibantu
oleh AS.
Negara-negara Arab yang mayoritas merupakan anggota Organization
Petroleum Exporting Country (OPEC) melakukan embargo minyak sebagai
3
bentuk protes kepada AS dan Israel. Embargo yang dilakukan dari tahun 1973 –
1975 ini menyebabkan kenaikan harga minyak dunia dari 17.000 dollar AS per
barel pada tahun 1973 menjadi 53.940 dollar AS perbarel pada tahun 1974.
Kenaikan tajam harga minyak dunia ini menyebabkan resesi global (Darmstadter
2013:4).
Pada 1975, Presiden AS Richard Nixon mempertimbangkan strategi agar
negara-negara Arab menghentikan embargonya. Presiden AS Richard Nixon
memutuskan bahwa strategi yang paling tepat adalah dengan melibatkan diri
dalam proses perdamaian Arab – Israel (history.state.gov). Strategi ini berhasil
menghentikan embargo pada tahun 1975 dan membuat Israel – Mesir mencapai
kesepakatan damai di tahun 1984. Israel setuju mengembalikan Semenanjung
Sinai kepada Mesir dan Mesir setuju untuk membuka hubungan diplomatik
dengan Israel (history.state.gov).
Sedangkan proses perdamaian Suriah – Israel tidak berjalan dengan
signifikan. AS hanya berhasil memimpin kesepakatan gencatan senjata Suriah –
Israel tahun 1974. Padahal AS meyakini bahwa Suriah adalah negara penentu
terciptanya perdamaian di Timur Tengah sebagaimana pendapat Menteri Luar
Negeri AS Henry Kissinger:
“No war is possible without Egypt and no peace is possible without Syria”
(Tidak akan ada perang tanpa Mesir dan tidak akan ada perdamaian tanpa Suriah)
(Daoudy 2008:1).
Signifikansi Suriah sebagai penentu perdamain di Timur Tengah adalah
karena secara geostrategis Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan secara
4
ideologis, Suriah adalah penyeru Pan Arabisme bersama Mesir sehingga menjadi
inisiator bagi negara-negara Arab saat berperang melawan Israel. Pan Arabisme
menurut Adeed Dawisha dalam Danielson (2007:18) adalah kesatuan politik di
antara negara-negara Arab yang berada di Timur Tengah. Maksud kesatuan politik
ini adalah adanya hubungan politik-budaya yang membuat negara-negara Arab
saling bekerjasama di bidang ekonomi, sosial, politik serta dalam hal mendukung
atau menolak suatu isu di kawasan.
Arti penting Suriah membuat AS berusaha terus memimpin proses
perdamaian Suriah – Israel dengan meletakkan dasar perdamaian Suriah – Israel
pada Konferensi Madrid 1991. Presiden AS saat itu, Presiden George H.W Bush
menyusun kerangka perdamaian berdasarkan Resolusi DK PBB Nomor 232 dan
338 dan prinsip land for peace (tanah untuk perdamaian) (Migdalovitz 2010:5).
Proses ini terus berlanjut dan menemui titik terangnya pada Pertemuan Oslo tahun
1993 ketika Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berjanji untuk mematuhi
resolusi tersebut dengan menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sesuai
dengan garis batas 1967. Janji PM Rabin ini dikenal dengan istilah Rabin Deposit
(Daoudy 2008:1).
Pembicaraan damai selanjutnya membahas implementasi Rabin Deposit
namun terdapat sebuah tantangan dalam perkembangan implementasi Rabin
Deposit karena PM Rabin dibunuh pada tahun 1995. PM Shimon Peres yang
menggantikan PM Rabin menolak merealisasikan Rabin Deposit namun tetap
ingin melanjutkan proses perdamaian. Proses perdamaian terus dilanjutkan sampai
5
tahun 2000 namun tidak mencapai titik temu dalam hal perbatasan dan pengaturan
keamanan (Daoudy 2008:14).
Pasca terhentinya proses perdamaian Suriah – Israel pada tahun 2000, AS
tidak melanjutkan proses perdamaian sampai terjadi peristiwa 9/11 tahun 2001.
Pasca 9/11 AS mengeluarkan National Security Strategy tahun 2002 yang berisi
landasan strategi AS dalam memandang dinamika hubungan internasional. Salah
satu isinya adalah tentang bagaimana AS merespon konflik regional untuk
mencapai perdamaian (US National Security Strategy 2002). Landasan strategi ini
berbeda dengan strategi yang sebelumnya diterapkan oleh Presiden Bill Clinton
yang selalu bersifat kooperatif dalam merespon konflik Suriah – Israel yaitu
melalui pembicaraan damai.
Amerika Serikat pada periode 2002 – 2008 menerapkan strategi yang
terkadang kooperatif dan terkadang bersifat konfrontatif dalam merespon Konflik
Suriah – Israel. Contohnya pada tahun 2003 dan 2007 AS mengadakan
pembicaraan damai namun pada tahun yang sama (2003) mendukung serangan
Israel ke penampungan pengungsi Palestina di Suriah. Pada tahun 2007 Israel
melakukan serangan ke lokasi yang diduga pengembangan reaktor nuklir Suriah
(www.bbc.com edisi 16 september 2014). Strategi AS yang terkadang kooperatif
dan terkadang konfrontatif dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 –
2008 menyebabkan tidak ada perkembangan berarti dalam proses perdamaian
Suriah – Israel. Strategi kontradiktif seperti apa yang digunakan AS dalam
merespon konflik Suriah – Israel dan mengapa AS memilih strategi tersebut
merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti.
6
Periode 2002 - 2008 dipilih pasca kegagalan AS dalam memimpin
diplomasi perdamaian Suriah – Israel sejak Konferensi Madrid tahun 1991 sampai
Inisiasi Jenewa tahun 2000. Penelitian ini dimulai pada tahun 2002 karena AS
mengeluarkan National Security Strategy sebagai landasan baru kebijakan luar
negerinya. Penelitian ini tidak mengambil periode kontemporer karena diplomasi
perdamaian Suriah – Israel mulai ditangani Turki pada akhir 2008. Adapun peran
AS pada masa kontemporer hanya menangani konflik domestik Suriah.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian: Mengapa AS memilih
menggunakan beberapa strategi dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode
2002 – 2008?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan AS dalam merespon konflik
Suriah – Israel periode 2002 – 2008
2. Untuk mengetahui mengapa AS melakukan strategi yang kontradiktif
dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai rujukan bagi penelitian
selanjutnya yang terkait dengan strategi AS dalam merespon konflik Suriah dan
Israel.
7
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik
Suriah - Israel telah dilakukan oleh Windratmo Suwarno dalam sebuah artikel di
Jurnal CMES Volume V Nomor 1 Edisi Juli-Desember 2012, Pusat Studi Timur
Tengah, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Artikel ini berjudul Mediasi dalam
Hukum Internasional Studi Kasus: Mediasi AS dalam kasus Suriah – Israel tahun
1991-2000. Menurut Suwarno (2011:2) perundingan yang dimulai sejak tahun
1991 hingga tahun 2000 yang dilakukan melalui mediasi AS tidak dapat
mencairkan ketegangan hubungan antara kedua negara. Suwarno menggambarkan
peran mediasi AS dalam perundingan damai Suriah – Israel dan menjelaskan
konsensi-konsensi yang diberikan kedua belah pihak dalam mencapai kesepakatan
sesuai dengan hukum internasional (Suwarno 2012:18).
Pembeda antara penelitian Suwarno dan penelitian ini adalah dari segi tahun
penelitian dan kerangka pemikiran yang digunakan. Penelitian Suwarno periode
1991 – 2000 sedangkan penelitian ini mengambil rentan waktu 2002 – 2008.
Suwarno menggunakan konsep mediasi, sedangkan skripsi ini menggunakan teori
strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional.
Selanjutnya penelitian tentang Konflik Israel – Suriah juga dilakukan oleh
Ruth Silaen dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” tahun 2011.
Skripsi ini berjudul “Latar Belakang Israel mempertahankan Dataran Tinggi
Golan pada masa pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benyamin Netanyahu”.
Skripsi ini menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep geopolitik.
Kesimpulan penelitian tersebut adalah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu
8
menunjukkan respon yang berbeda dengan pendahulunya. Jika Perdana Menteri
(PM) Israel sebelumnya menerima tawaran untuk melepaskan Dataran Tinggi
Golan, PM Benjamin Netanyahu menolak untuk melepaskan Dataran Tinggi
Golan (Silaen 2011:11).
Pembeda penelitian Ruth Silaen dengan penelitian ini adalah subjek
penelitian. Subjek penelitian Ruth Silaen adalah Israel pada masa PM Netanyahu
sedangkan subjek penelitian ini adalah Amerika Serikat tahun 2002-2008. Selain
itu penelitian Ruth Silaen menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep
geostrategis sedangkan penulis menggunakan teori strategi, konsep balance of
power dan konsep kepentingan nasional untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Penelitian tentang Dataran Tinggi Golan juga dilakukan oleh Stale Bie
dalam disertasinya di Universitetet I Oslo tahun 2012. Disertasi ini berjudul
“Analisa Komparatif Negosiasi Israel dari Sinai ke Dataran Tinggi Golan”.
Penelitian ini menganalisa mengapa Semenanjung Sinai bisa dikembalikan kepada
Mesir melalui perjanjian damai sedangkan Suriah yang tidak membuat perjanjian
damai mengklaim memiliki Dataran Tinggi Golan. Hasilnya adalah tiga faktor
penjelas dari hasil perundingan damai Israel – Suriah tahun 1991 -2000. Pertama
mengenai taktik negosiasi; kedua, peran mediator; dan ketiga, opini publik Israel
(Bie 2012:5).
Pembeda penelitian Bie dengan penelitian ini adalah secara objek
penelitian, Bie mengambil studi komparasi antara negosiasi Israel – Mesir dengan
negosiasi Israel – Suriah. Sedangkan objek penelitian ini adalah strategi AS dalam
merespon konflik Suriah – Israel. Selanjutnya penelitian Bie menggunakan teori
9
negosiasi untuk menjelaskan hasil negosiasi melalui tiga faktor: pertama, taktik
negosiasi; kedua, peran AS sebagai mediator; ketiga, opini publik Israel.
Sedangkan skripsi ini menggunakan teori regional security complex, strategi,
konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional.
1.5 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan mengeksplorasi strategi yang dilakukan oleh AS dalam
merespon konflik Suriah – Israel dan mengapa AS melakukan strategi tersebut.
Oleh karena itu penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran: (1) teori
regional security complex; (2) strategi; (3) balance of power dan (4) kepentingan
nasional.
1.5.1 Teori Regional Security Complex
Menurut Buzan dan Waever (2003:40-44) security complex adalah
kelompok negara-negara yang memiliki fokus isu keamanan yang sama sehingga
kepentingan nasional di bidang keamanannya tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan yang lain. Teori ini memiliki akar konstruktivis karena mengamati pola
pertemanan (amity) dan permusuhan (enmity) dalam sistem regional. Teori ini
menunjukan bahwa sistem regional bergantung pada aksi dan interpretasi aktor
tidak hanya sekedar refleksi dari balance of power.
1.5.2 Strategi
Menurut Harry R. Yarger (2006:1) strategi adalah seni dan ilmu dalam
membangun dan menggunakan power di bidang politik, ekonomi, sosio-
psikologis dan militer. Strategi diimplementasikan melalui arah kebijakan untuk
10
menjaga dan mencapai kepentingan nasional. Strategi erat kaitannya dengan
perilaku negara dan aktor lainnya serta bagaimana negara merespon suatu
keadaaan. Menurutnya, strategi adalah keserasian antara tujuan/hasil (ends),
konsep strategi/ rangkaian aksi (ways) dan sumberdaya (means).
Menurut Axelrod dan Keohane (1985:226-227), politik internasional tidak
selalu berkaitan dengan perang antar negara melainkan tentang kerjasama antar
negara dalam berbagai isu dalam jangka waktu tertentu. Kerjasama ini disebabkan
adanya persamaan kepentingan, prediksi masa depan dan jumlah aktor dalam
politik internasional. Lebih jauh menurut Axelrod dan Keohane (1985:226-227)
strategi suatu negara berfokus pada interaksi antar negara dan usaha negara-
negara dalam membangun institusi yang memiliki prinsip, norma, nilai dan
prosedur tertentu dalam mengatur hubungan internasional.
Sedangkan Mearsheimer dalam Toft (2003:7) melihat tujuan dari tiap
negara adalah mencapai hegemon. Kondisi geografis dunia yang dibatasi oleh
perairan membuat hegemoni global sulit dicapai. Oleh karena itu great power
berusaha mencapai hegemoni regional. Menurut Mearsheimer ada dua strategi
untuk mencapai hegemoni regional: pertama secara langsung yaitu dengan
menambah power dan kedua secara tidak langsung yaitu dengan mencegah negara
revisionis menambah power nya (Toft 2003:4).
Revisionis adalah negara yang berusaha mengubah status quo yang dibuat
oleh great power dengan cara mengubah garis territorial internasional, ideologi
atau distribusi power dalam sistem global atau regional untuk mencapai
kepentingan nasionalnya (Plano dan Olton 1999:16).
11
Amerika Serikat menggunakan Model Strategi Art Lykke yang dibuat oleh
Kolonel Arthur Lykke pada tahun 1989. Model Strategi Art Lykke
menitikberatkan empat hal dalam menentukan sebuah strategi yaitu ends
(tujuan/hasil), ways (konsep strategi/ rangkaian aksi), means (sumberdaya) dan
risk (resiko). Tujuan (ends) selalu menjawab pertanyaan apa yang ingin dicapai,
konsep (ways) menjawab pertanyaan bagaimana sumberdaya digunakan.
Sumberdaya (means) menjelaskan apa yang akan digunakan untuk mengeksekusi
konsep. Resiko (risk) adalah jarak antara apa yang ingin diraih, konsep dan
sumberdaya yang tersedia dengan tujuan yang ingin dicapai. Hubungan antara
tujuan (ends), konsep (ways), sumberdaya (means) dan resiko (risk) terlihat dalam
ilustrasi berikut (Bartholomees 2010:49-50).
Ilustrasi 1.1 Model Strategi Art Lykke
Sumber: Diolah dari Bartholomees (2010:48)
Tujuan mengekspresikan kepentingan nasional contohnya seperti
menciptakan stabilitas regional. Konsep harus berupa petunjuk pelaksanaan
tentang bagaimana sumberdaya akan digunakan contohnya konsep penangkalan.
Sumberdaya adalah sesuatu yang bersifat fisik dan dapat dihitung seperti tentara,
Strategi
Tuju
an
Konsep
Sum
berd
aya
Resiko
12
persenjataan, sumberdaya organisasi seperti NATO dan Palang Merah
Internasional. Means merupakan hal-hal yang tidak terlihat seperti keinginan,
kapasitas industri dan intelektual. Keseimbangan antara tujuan, konsep dan
sumberdaya akan meminimalisir resiko, sedangkan ketidak-seimbangan antara
ketiganya akan mengakibatkan resiko kegagalan sebuat strategi semakin besar
(Bartholomees 2010:49-50).
Kalkulasi yang baik antara ends, ways dan means hanya bisa diperoleh
melalui strategic appraisal (taksiran strategi). Fungsi strategic appraisal adalah
untuk menghitung (secara kuantitas) dan menilai (secara kualitas) apa yang
diketahui, apa yang tidak diketahui dan apa yang penting bagi AS (Bartholomees
2010:53). Model Strategi Art Lykke dan strategic appraisal inilah yang akan
digunakan untuk menganalisa alasan AS dalam memilih strategi tertentu dalam
merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008.
1.5.3 Kepentingan Nasional
Menurut Morgenthau dalam Roskin (1994:5-6) kepentingan nasional
menurut kepentingannya terdiri dari vital dan sekunder. Kepentingan Vital adalah
kepentingan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup suatu negara, contohnya
usaha negara untuk menjaga kedaulatan wilayahnya. Kepentingan sekunder
adalah kepentingan yang tidak menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup suatu
negara jika tidak tercapai contohnya ekspansi sumberdaya alam yang dilakukan
suatu negara terhadap negara lain. Berdasarkan durasinya, kepentingan nasional
terbagi menjadi temporer dan permanen. Kepentingan nasional temporer adalah
yang bersifat sementara, contohnya dukungan AS terhadap Suriah dalam isu
13
teorisme. Sedangkan kepentingan permanen adalah kepentingan yang berlangsung
dalam jang waktu yang lama seperti kepentingan AS untuk beraliansi dengan
Israel.
Berdasarkan kekhususannya, kepentingan nasional terbagi menjadi
kepentingan nasional yang bersifat umum dan khusus. Contoh kepentingan yang
bersifat umum adalah penerapan nilai-nilai AS seperti demokrasi secara universal.
Contoh kepentingan yang bersifat khusus adalah meredam aliansi Iran – Suriah.
Menurut kesesuaiannya, kepentingan nasional terbagi menjadi yang
komplementer dan konfliktual. Kepentingan nasional komplementer adalah
kepentingan yang saling melengkapi, contohnya kerjasama AS dengan Suriah dan
Israel dalam isu kontraterorisme. Sedangkan kepentingan konfliktual adalah
kepentingan nasional yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya
contohnya AS menginginkan perdamaian Suriah – Israel namun disisi lain AS
ingin mengamankan eksistensi negara sekutunya yaitu Israel (Roskin 1994:5-6).
Menurut U.S. Army War College kepentingan nasional terdiri dari
keamanan nasional, promosi nilai-nilai nasional, kepentingan ekonomi dan
menciptakan tatanan negara yang menguntungkan bagi negara tersebut
(Bartholomees 2010:56). Definisi kepentingan menurut U.S Army War College
inilah yang akan digunakan untuk memahami alasan AS memilih strategi tertentu
dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008.
Konsep kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan dua hal yang
saling berhubungan. Di satu sisi, kata kepentingan (interest)
14
mengimplementasikan kebutuhan yang sesuai dengan suatu standar yang telah
disahkan, kemudian diklaim mengatasnamakan negara. Disisi lain, kepentingan
nasional juga digunakan untuk menjelaskan dan mendukung suatu kebijakan.
Kepentingan nasional bisa bersifat inklusif yaitu mengakomodir semua kelompok
kepentingan atau setidaknya kelompok kepentingan terbesar yang ada di AS,
contohnya kelompok neokonservatif. Selain itu kepentingan nasional juga bisa
bersifat eksklusif yaitu tidak mempertimbangkan rekomendasi dari kelompok
kepentingan di AS (Griffiths dan O’callaghan 2007:216-217).
1.5.4 Balance of Power (Perimbangan Kekuatan)
Menurut Hans J. Morgenthau Balance of Power atau yang selanjutnya
disebut sebagai BoP adalah aspirasi negara-negara untuk memperoleh power,
mempertahankan atau menumbangkan status quo dan membuat konfigurasi
power. Tujuan BoP menurut Morgenthau adalah untuk mencapai stabilitas sistem
(Morgenthau 2010:199-200). Power menurut Gilpin dalam Sheehan (1996:15)
adalah kemampuan aktor dalam mempengaruhi perilaku aktor lain.
Menurut Paul, Wirtz dan Fortman (2004:2) BoP berasal dari strategi
balancing yang dilakukan negara-negara di level sistemik (internasional) atau
subsistemik (regional) sebagai hasil dari equilibrium power di antara negara-
negara kunci. Tujuan dari balancing adalah untuk mencegah hegemon negara lain
dan jika usaha pencegahan ini sukses artinya BoP telah tercipta dalam sistem
internasional atau regional.
15
Menurut Miller dalam Paul, Wirtz dan Fortman (2004:240) BoP regional
berdasarkan pada logika: pertama, BoP regional bergantung pada bagaimana great
power berhubungan dengan sistem regional. Great Power mempengaruhi sistem
regional karena kapabilitasnya yang superior dan memiliki sekutu yang kuat di
regional. Great Power melakukan BoP dengan cara mendukung/mengembargo
aktor di regional, memberikan bantuan ekonomi, investasi, sanksi dan transfer
teknologi. BoP regional kemudian dapat mempengaruhi BoP global sehingga
negara-negara great power berlomba untuk melalukan BoP regional untuk
mencapai hegemoni global. Kedua, setelah kompetisi BoP regional yang
dilakukan para great power, BoP regional akan terbentuk di antara negara-negara
kawasan yang memiliki power lebih rendah dari great power dan usaha hegemoni
global yang ingin dicapai sebuah negara great power akan gagal. Hasilnya tidak
ada satupun great power yang menjadi hegemoni global namun hanya menjadi
hegemoni regional. Ketiga, negara-negara yang tidak menjadi hegemon regional
akan melakukan bandwagon dan negara yang menjadi hegemon regional akan
melakukan balancing dari ancaman revisionis untuk menjaga status quo.
Keempat, dalam konflik regional seperti ini negara-negara cenderung melakukan
balancing kepada aktor lokal, khususnya negara revisionis.
BoP menurut Paul et al. (2004:2) terbagi menjadi tiga, yaitu hard
balancing, soft balancing dan assymetric balancing. Hard balancing adalah
strategi yang menunjukan adanya rivalitas yang tinggi antar negara-negara dengan
cara berlomba-lomba meningkatkan kapabilitas militernya dan membentuk aliansi
formal serta aliansi perlawanan untuk mengimbangi kapabilitas negara lawan. Soft
16
Balancing adalah aliansi sembunyi-sembunyi yang berlangsung dalam jangka
waktu singkat. Biasanya dilakukan dengan cara pembangunan militer terbatas,
kerjasama yang bersifat ad hoc dan kolaborasi di institusi regional atau
internasional. Assymetric balancing adalah usaha negara dalam melakukan
balancing terhadap aktor non negara yang tidak memiliki kapabilitas militer
konvensional dan melakukan ancaman secara tidak langsung contohnya seperti
organisasi teroris.
Analisa dalam skripsi ini akan menitikberatkan pada metode AS dalam
menggunakan hard balancing di Timur Tengah. AS menjadikan Israel sebagai
aliansinya di Timur Tengah. Menurut Liska dalam Shehaan (1996: 59), aliansi
berperan penting untuk menghubungkan antara teori dan praktek dalam BoP serta
menghubungkan kebijakan AS dan Israel dalam mempengaruhi sistem regional
Timur Tengah. Aliansi dapat mendorong keseimbangan sejauh dapat mengatur
power negara-negara yang potensial menjadi revisionis di Timur Tengah, seperti
Suriah.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Taylor
dan Bogdan, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data
deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat
diamati dari orang-orang yang diteliti (Suyanto dan Sutinah 2007:166).
Tahap-tahap penelitian kualitatif adalah menetapkan fokus penelitian
dengan menggunakan logika induktif. Dalam hal ini fokus penelitian skripsi ini
adalah strategi AS dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002-2008.
17
Kedua, menentukan setting dan subjek penelitian, yaitu konflik Suriah – Israel
tahun 2002 - 2008.
Ketiga, tahap pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara
dengan Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia yaitu Dr. Basham Al Khatib. Selain
itu penelitian ini juga menggunakan metode penelusuran data (Bungin 2009:108).
Data-data yang digunakan terdiri dari biografi, surat-surat pribadi, buku-buku,
jurnal, catatan harian, memorial, kliping, dokumen pemerintah/swasta AS, Israel
dan Suriah, data yang tersimpan di website pemerintah AS, Israel, Suriah dan
PBB. Kemudian data-data ini juga diperoleh dari studi pustaka di Information
Research Center (IRC) US Embassy Jakarta, Perpustakaan Ali Alatas
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Perpustakaan Pusdiklat
Kementrian Luar Negeri Indonesia dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta.
Tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan dan analisa data (Suyanto
dan Sutinah 2007:170-175). Penelitian ini mengelaborasi latar belakang
keterlibatan AS dalam konflik Israel-Suriah, strategi AS dalam merespon konflik
Israel – Suriah dan mengapa strategi AS terkadang bersifat koperatif , terkadang
konfrontatif (kontradiktif). Kemudian menganalisa dengan kerangka pemikiran
teori regional security complex, strategi, kepentingan nasional dan balance of
power. Tahap penyajian data yaitu penelitian disajikan dalam bentuk kata-kata
untuk membagi pemahaman peneliti mengenai penelitiannya kepada orang lain
(Suyanto dan Sutinah 2007:170-175).
18
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Pertanyaan Penelitian
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4 Tinjauan Pustaka
1.5 Kerangka Teoritis
1.5.1 Teori Regional Security Complex
1.5.2 Strategi
1.5.3 Kepentingan Nasional
1.5.4 Balance of Power
1.6 Metode Penelitian
1.7 Sistematika Penulisan
BAB II : STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH-
ISRAEL PERIODE 2002 – 2008
2.1 Posisi AS di Timur Tengah
2.2 Strategi AS dalam Merespon Konflik Suriah – Israel
Periode 2002 – 2008
2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah –
Periode 2002 – 2008
2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah –
Israel periode 2002 – 2008
BAB III : KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 – 2008
3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel
3.2 Okupasi dan Aneksasi Dataran Tinggi Golan
19
3.3 Konflik Perbatasan
3.4 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon
3.5 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah
BAB IV : ALASAN AS MENJALANKAN BEBERAPA STRATEGI UNTUK
MERESPON KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 – 2008
4.1 Mencapai Kepentingan Nasional di bidang Ekonomi Kesehatan dan
Keamanan melalui Inovasi IPTEK
4.2 Pengaruh dari Doktrin Bush
4.3 Menciptakan Balance of Power di Timur Tengah
BAB V : KESIMPULAN
20
BAB II
STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MERESPON KONFLIK
SURIAH- ISRAEL PERIODE 2002 – 2008
2.1 Posisi Amerika Serikat di Timur Tengah
Timur Tengah merupakan terminologi yang diberikan oleh Eropa untuk
mendeskripsikan kawasan geografis antara Eropa dan Asia Timur Jauh. Negara-
negara Timur Tengah yang sebagian besar termasuk dalam Benua Asia namun
sebagian lain masuk dalam Benua Afrika Utara (Owen 2008:1). Jumlah negara
Timur Tengah menurut website resmi Central Intelligence Agency (CIA)
berjumlah 17 negara ditambah 2 wilayah yaitu Gaza dan Tepi Barat (cia.gov).
Signifikansi Timur Tengah adalah letaknya yang strategis di antara Eropa dengan
Asia sehingga menjadi jalur transportasi dan perdagangan. Timur Tengah juga
merupakan produsen minyak terbesar di dunia, hal ini dapat dilihat dari tabel
perbandingan jumlah minyak yang dihasilkan Timur Tengah dibanding
keseluruhan kawasan lain di dunia.
Tabel 2.1 Perbandingan Supply Minyak Timur Tengah dengan Supply
Minyak Dunia Periode 2002 - 2008
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Dunia 77.100,67
79.606,39
83.102,08
84.701,22
84.665,07
84.607,68
85.760,17
Timur
Tengah
21.570,83
22.992,18
24.770,01
25.693,32
25.341,29
24.785,35
26.116,49
Persentase 28% 29% 30% 30% 30% 29% 30%
(dalam ribu barel) Sumber : Website US Energy Information Administration
21
Dari tabel 3.1 dapat disimpulkan bahwa Timur Tengah periode 2002 – 2008
rata-rata menyediakan 30% dari total persediaan minyak dunia. Hal ini membuat
Timur Tengah memiliki bargaining position yang tinggi dalam dunia
internasional. Argumen ini terlihat dalam peristiwa embargo yang dilakukan
negara-negara Timur Tengah (mayoritas tergabung dalam Organization
Petroleum Exporting Countries) pada tahun 1973 – 1975. Negara-negara OPEC
mengembargo AS karena membantu Israel dalam Perang Arab - Israel. Efeknya
adalah terjadi kenaikan harga minyak dunia dari 17 dollar AS per barel pada tahun
1973 menjadi 53 dollar per barel pada tahun 1974 (Darmstadter 2013:4). Peristiwa
ini membuat AS menyadari arti penting Timur Tengah sehingga Presiden Nixon
memutuskan strategi yang paling tepat untuk menghentikan embargo dan menjaga
alur minyak dengan melibatkan diri dalam proses penyelesaian konflik Arab-
Israel (history.state.gov diakses pada November 2013).
Langkah awal yang dilakukan AS adalah dengan mengadakan Konferensi
Madrid tahun 1991 untuk membuat konsep dasar penyelesaian konflik di Timur
Tengah. Lahirlah konsep land for peace yaitu konsep untuk menukarkan
perdamaian, yang indikatornya seperti membuka hubungan diplomatik dan
kerjasama di berbagai bidang, dengan mengembalikan tanah yang diokupasi dan
aneksasi Israel pada Perang 1967. Konsep land for peace diterjemahkan dalam
Resolusi DK PBB Nomor 242 (history.state.gov). Setelahnya, AS terus
memimpin proses penyelesaian konflik di Timur Tengah dengan mengadakan
Konferensi Wye River tahun 1995-1996, Perundingan Shepherdstown tahun 2000
22
hingga menemui kegagalan di Perundingan Jenewa tahun 2000 (Olmert 2011:204-
206).
Penjelasan proses sejarah keterlibatan AS tersebut menandakan bahwa AS
menjadi tumpuan utama dalam proses penyelesaian konflik Arab – Israel.
Menurut penulis ada empat hal yang membuat AS menjadi tumpuan utama dalam
penyelesaian konflik Arab – Israel yaitu: pertama, AS memiliki hubungan
diplomatik dengan delapan belas negara di Timur Tengah kecuali Iran (state.gov).
Kedua, ada persepsi bahwa konflik Arab – Israel adalah poxy war yang
disebabkan oleh Perang Dingin dimana negara super power memberikan
dukungan kepada negara tertentu untuk menjadi antagonis dan protagonis di
kawasan. Negara super power pada masa itu adalah AS dan Uni Soviet. Sejak
tahun 1973 keduanya berkompetisi untuk menjadi hegemon. Hegemoni global
hanya bisa dicapai dengan monopoli nuklir dan hal tersebut mustahil untuk
dicapai. Oleh karena itu keduanya berusaha menjadi hegemon regional (Toft
2003:6). Perang regional ini tidak secara langsung disebabkan oleh external great
power namun oleh atribut aktor lokal serta tujuan dan persepsi bersama yang
dibentuk oleh dukungan great power terhadap suatu negara (Miller 2004:154).
Contohnya, Suriah didukung oleh Uni Soviet dan Israel didukung oleh Amerika
Serikat sebelum keruntuhan Uni Soviet tahun 1991.
Ketiga, Pasca keruntuhan Uni Soviet, AS menjadi satu-satunya major power
di Timur Tengah sehingga bisa memberikan reward dan punishment bagi negara-
negara Timur Tengah agar ikut serta dalam proyek penyelesaian konflik yang
23
dipimpin AS. Bukti bahwa AS menjadi major power di Timur Tengah dapat
terlihat dari posisi AS sebagai negara pendonor terbesar bagi Timur Tengah
seperti terlihat berikut.
Tabel 2.2 Lima Negara Donor Terbesar di Timur Tengah
Periode 2002 – 2008
(dalam juta dollar AS)
Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Amerika
Serikat
575,09 2749,17 3759,59 11946,25 55564,24 4497,01 4197,70
Jerman 206,61 271,12 205,15 2259,43 664,82 2526,76 2263,37
Jepang 129,41 220,80 838,70 3680,65 1008,72 1041,12 2068,48
Norwegia 80,01 133,22 95,81 117,12 148,82 155,79 158,65
Belanda 77,77 129,59 211,46 196,50 79,15 71,23 205,11
Sumber: Website OECD (www.stats.oecd.org)
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pada periode 2002 – 2008, AS
adalah negara donor terbesar bagi Timur Tengah. Jumlah bantuan luar negeri AS
terus meningkat sejak tahun 2002 sebesar 575 juta dollar AS sampai 4 milyar
dollar AS pada tahun 2008. Jumlah tertinggi bantuan luar negeri terbesar AS ke
Timur Tengah diberikan pada tahun 2006 saat terjadi Perang Israel (yang
merupakan sekutu AS) dengan Hizbullah (yang merupakan sekutu Suriah dan
Iran).
24
Keempat, usaha AS untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah dapat
dilihat dari anggaran bantuan luar negeri AS yang terbesar dialokasikan kepada
Timur Tengah.
Ilustrasi 2.1 Diagram Distribusi Bantuan Regional AS Tahun 2004
Sumber: CSR Report for Congress 2004:14
Diagram ini menunjukan bahwa Timur Tengah merupakan kawasan yang
sangat penting bagi AS. Hal ini dibuktikan dari alokasi bantuan luar negeri AS
kepada Timur Tengah tahun 2004 mencapai 39% dari total bantuan luar negeri
AS. Jumlah yang terbesar jika dibandingkan dengan kawasan lain seperti Afrika
yang hanya 18%, Asia Selatan 17%, Eropa/Eurasia 12%, Amerika Latin 11% dan
Asia Timur 3%.
Lebih jauh lagi, AS menilai Suriah sebagai kunci perdamaian Arab – Israel
karena letak Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel serta pada tahun
penelitian Suriah memainkan peran yang penting dalam mendukung negara lain
seperti Palestina, Iran dan Lebanon dalam berkonfrontasi dengan Israel.
Timur Tengah
39%
Asia Selatan 17%
Eropa/Eurasia
12%
Amerika Latin 11%
Afrika 18%
Asia Timur 3%
25
Signifikansi Suriah ini membuat AS merespon konflik Suriah – Israel sebagai
agenda utama AS di Timur Tengah sejak masa Presiden Nixon sampai Presiden
Clinton. Strategi yang digunakan oleh AS pada masa Presiden Nixon sampai
Presiden Clinton pun cenderung kooperatif dengan mengadakan dialog
perdamaian.
Namun pada masa Presiden George Walker Bush strategi yang digunakan oleh
AS dalam merespon konflik Suriah – Israel cenderung kontradiktif. Hal ini
ditegaskan dalam pernyataan Presiden George W Bush: “Not every effort has to
be an American effort. It is extremely important that the parties themselves are
taking responsibility” (Migdalovitz 2010:5). “Tidak semua upaya harus menjadi
upaya AS. Sangatlah penting bagi tiap negara melakukan kewajibannya”
(terjemahan penulis). Bagian selanjutnya akan mengelaborasi lebih jauh strategi
kontradiktif seperti apa yang dipilih Presiden George W. Bush dalam merespon
Konflik Suriah – Israel selama periode 2002 – 2008.
2.2 Strategi Amerika Serikat dalam Merespon Konflik Suriah – Israel
periode 2002 -2008
Kontradiktifsi strategi yang digunakan AS dalam merespon Konflik Suriah –
Israel periode 2002 – 2008 terlihat dalam National Security Strategy poin ketiga
mengenai dasar kerjasama dengan negara lain untuk menyelesaikan konflik
regional. Prinsipnya sebagai berikut:
26
Pertama, Amerika Serikat harus menginvestasikan waktu dan sumberdayanya
untuk membangun hubungan internasional dan institusi yang dapat membantu
menangani krisis lokal saat krisis tersebut timbul.
Kedua, Amerika Serikat harus realistis tentang kemampuannya dalam
membantu negara-negara yang tidak ingin atau tidak siap untuk membantu dirinya
sendiri. Ketika pihak-pihak terkait telah siap atas perannya, maka barulah AS akan
bergerak dengan jelas (US National Security Strategy tahun 2002 poin ketiga).
Poin pertama dalam prinsip tersebut merekomendasikan agar AS ikut serta
dalam penyelesaian konflik lokal yang berpotensi meningkatkan potensi konflik
regional namun pada poin kedua AS diminta untuk realistis pada kemampuannya
dalam menolong negara lain, sehingga AS akan bergerak setelah negara-negara
menyadari perannya masing-masing. Sedangkan pada masa sebelum Presiden
George W. Bush, AS menjadi pihak yang aktif dalam mempersiapkan negara-
negara untuk memahami posisinya agar siap memulai proses perdamaian seperti
pada shuttle diplomacy yang dilakukan oleh Menlu Kissinger pada masa Presiden
Nixon sampai masa Presiden Clinton. Shuttle Diplomacy atau Diplomasi Ulang
Alik adalah diplomasi yang dilakukan dengan cara melakukan kunjungan resmi ke
negara-negara yang ingin diajak bekerjasama (Suryokusumo 2004:66). Oleh
karena itu implementasi dari dua prinsip dalam national strategy ini kontradiktif,
terbagi menjadi dua jenis strategi yaitu yang bersifat kooperatif dan strategi yang
bersifat konfrontatif.
27
2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel
periode 2002 – 2008
Strategi kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode
2002 – 2008 adalah mengadakan pembicaraan damai, memberikan bantuan
ekonomi kepada Suriah dan Israel dan mengadakan kerjasama dengan Suriah dan
Israel.
Strategi kooperatif pertama AS adalah mengadakan pembicaraan damai
melalui diplomasi ulang alik (shuttle diplomacy) dan dua konferensi dalam
periode penelitian (2002 – 2008). Pada 2002 Suriah diundang dalam pembicaraan
damai tidak resmi di Rice University. Kemudian pada 8 Januari 2003 Mantan
Duta Besar AS untuk Suriah sekaligus delegasi AS dari Intitut Baker Edward
Djerjian dan Senator Arlen Specter melakukan pembicaraan lanjutan dengan
delegasi Suriah di Damaskus untuk berdiskusi mengenai hubungan AS – Suriah,
perang melawan terror dan perdamaian Timur Tengah (AP 1/8/03 dalam
Leveret:181). Selanjutnya Menlu Powel bertemu dengan Presiden Assad di
Damaskus (International Herald Tribune, 5/3/03 dalam Leveret:184). Menurut
Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara
dengan penulis (22/4/2014), Menlu Powel memberikan prasyarat kepada Presiden
Assad jika ingin mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan maka Suriah harus
memutuskan hubungannya dengan Iran, Hizbullah dan Hamas dan mendukung
invasi AS ke Irak. Menurut Dr. Alkhatib Presiden Bashar Al-Assad menolak
prasyarat ini dan mengatakan bahwa tidak ada prasyarat untuk berunding dengan
Israel. PM Israel Ariel Sharon juga menolak rekomendasi AS untuk melanjutkan
28
negosiasi perdamaian dengan Suriah sebelum Suriah menghentikan aliansinya
dengan Iran dan Hizbullah (AP, 9/14/04 dalam Leveret 186).
Selanjutnya, pada 11 September 2004 Wakil Menlu AS William Burns
bertemu dengan Presiden Assad di Damaskus untuk membahas prospek
perdamaian Suriah dan Israel, campur tangan Suriah dalam pemilihan umum di
Lebanon, dan kerjasama AS – Suriah dalam mengamankan perbatasan Suriah –
Irak (AFP 9/11/04; AP 9/12/04 dalam Leveret 2005:195). Sedangkan Israel
kembali menolak permintaan Suriah untuk melanjutkan negosiasi sampai Suriah
menghentikan dukungannya terhadap Hamas dan Suriah (AFP, 12/1/04 dalam
Leveret 2005:199).
Selain melalui diplomasi ulang alik, AS juga mengadakan Inisiasi Jenewa
tahun 2003. Konferensi ini utamanya membahas perdamaian Palestina – Israel.
Namun juga membahas garis batas Israel dengan negara Arab lainnya termasuk
Suriah - Israel sesuai dengan Resolusi DK PBB nomor 242 dan 338 yaitu garis
batas 4 Juni 1967. Inisiasi Jenewa tahun 2003 menghasilkan konsep two state
solution yaitu konsep yang menyatakan bahwa pendirian dua negara berdaulat di
atas tanah Palestina merupakan solusi untuk mencapai perdamaian bagi Israel dan
Palestina (Roadmap 2003:1).
Konsep two state solution ini dijabarkan oleh AS bersama Rusia, Uni
Eropa dan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dalam roadmap perdamaian pada 20
April 2003 (Gingrich 2005:86). Roadmap 2003 membahas fase-fase dalam
mewujudkan perdamaian, tenggat waktu, dan tahapan dalam menjalin hubungan
29
politik, keamanan, ekonomi, humaniter dan pembangunan institusi di antara kedua
negara di bawah pengawasan Quartet. Target akhirnya adalah menciptakan
perdamaian Israel – Palestina pada tahun 2005 (Roadmap 2003:1).
Roadmap 2003 juga mencantumkan perdamaian Suriah dan Israel. Namun
menurut Presiden Assad dalam wawancara dengan harian Al Anbaa (5/26/03
dalam Leveret 2005:183-184), Roadmap 2003 tidak menyediakan langkah konkrit
menuju kesepakatan final. Menurut Presiden Assad, Suriah tidak mengerti
hubungan antara Suriah dan Lebanon dengan roadmap yang dibuat ini (New York
Times dalam Leveret 2005:183-184).
Selanjutnya AS mengadakan konferensi terakhir selama periode 2002-2008
yaitu Konferensi Annapolis di tahun 2007. Konferensi Annapolis telah
dipersiapkan sejak 2006 dan membahas posisi negara-negara Arab dan
kesiapannya untuk menjalin perdamaian dengan Israel. Menlu Condoleeza Rice
berkomunikasi dengan negara-negara peserta konferensi dan berusaha membantu
menetapkan perselisihan di beberapa isu (Fishere 2008:33). Konferensi Annapolis
mempertemukan seluruh pemimpin negara-negara Arab dengan Israel namun
tidak berhasil memberikan standar peningkatan hubungan Arab – Israel.
Konferensi ini juga tidak menghasilkan cara yang berarti untuk menyelesaikan
konflik Suriah – Israel (Mitha 2008:1)
Suriah berhasil menambahkan isu Dataran Tinggi Golan dalam agenda
Konferensi Annapolis. Hasilnya adalah langkah lanjutan dalam penyelesaian
Konflik Suriah – Israel pada 13 bulan setelah pertemuan. Arti penting Konferensi
Annapolis bagi Suriah adalah mulai berhentinya embargo AS kepada Suriah
30
(melalui Syria Accountability Act 2005) sehingga AS mulai kembali melakukan
diplomasi ulang alik untuk menyelesaikan konflik Suriah – Israel (Scham
2007:13).
Strategi AS yang kedua adalah memberikan bantuan ekonomi kepada Suriah
dan Israel. Sejak tahun 1981 AS dan Israel telah menandatangani MoU kerjasama
strategis. Salah satu implementasinya adalah AS memberikan dukungan ekonomi
dan militer untuk membangun kekuatan Israel, memberikan status aliansi non
NATO dan menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Israel.
Bantuan militer (foreign military financing) dan bantuan ekonomi
(economic support fund) AS kepada Israel sejak tahun 1949 telah mencapai 115
milyar dollar (Eeisentadt dan Pollock 2012:3). Berikut adalah tabel yang
menunjukan bahwa Israel merupakan negara penerima bantuan keuangan terbesar
AS pada tahun 2008.
Tabel 2.3 Sepuluh Negara yang Mendapatkan
Bantuan Keuangan Terbesar dari AS Tahun 2008
Negara Total bantuan AS
(dalam juta dollar AS)
Populasi
pertengahan tahun
2007 (juta)
Rata-rata bantuan
AS perkapita
(dalam dollar AS)
Israel 2.380 7,3 326,02
Mesir 1.706 74,4 23,24
Afghanistan 1.058 31,9 33,16
Pakistan 738 169,3 4,36
31
Jordan 688 5,7 120,70
Kenya 586 36,9 15,88
Afrika Selatan 574 47,9 11,98
Kolumbia 541 46,2 11,71
Nigeria 491 144,4 3,40
Ethiopia 456 77,1 5,91
Sumber: Cato Handbook for Policy Maker 2009:540
Tabel di atas mendeskripsikan bahwa pada tahun 2008, Israel merupakan
negara penerima bantuan terbesar AS di dunia. Total bantuan luar negeri AS ke
Israel tahun 2008 mencapai 2,38 milyar dollar AS. Bandingkan tabel bantuan luar
negeri AS diatas dengan tabel bantuan luar negeri AS kepada negara-negara Arab
khususnya Suriah, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.4 Bantuan Luar Negeri AS kepada Negara Arab periode 1946 - 2010
Negara Bantuan Militer
(dalam dollar AS)
Bantuan Ekonomi
(dalam dollar AS)
Total
Afghanistan 27 milyar 22 milyar 49 milyar
Bahrain 525 juta 13 juta 538 juta
Mesir 57 milyar 57 milyar 114 milyar
Iran 8 milyar 5 milyar 13 milyar
Irak 21 milyar 38 milyar 59 milyar
Lebanon 800 juta 2,6 milyar 3,4 milyar
Libya 99 juta 1,4 milyar 1,5 milyar
Pakistan 11 milyar 41 milyar 52 milyar
32
Suriah 338.000 2,2 milyar 2.2 milyar
Yaman 166 juta 2 milyar 2,1 milyar
Sumber : George Washington University Project (fastfactusa.org)
Penulis membandingkan kedua tabel diatas dan menyimpulkan bahwa total
bantuan luar negeri AS kepada Israel dalam kurun waktu 1 tahun (tahun 2008)
lebih besar dari total bantuan luar negeri AS kepada Suriah dalam kurun waktu 64
tahun (1964-2010). Total bantuan luar negeri AS kepada Israel tahun 2008 adalah
2,38 milyar dollar AS sedangkan total bantuan luar negeri AS kepada Suriah
periode 1946 – 2010 hanya 2,2 milyar dollar AS.
Selanjutnya AS mendukung Israel saat Perang Israel – Hizbullah 2006 dan
Suriah mendukung Hizbullah. Oleh karena itu pasca kekalahan Israel dalam
Perang Israel – Hizbullah, Presiden Bush mengumumkan peningkatan bantuan
militer AS ke Israel secara keseluruhan pada sepuluh tahun setelahnya, mulai dari
tahun 2007. Kesepakatan ini akan diterapkan secara bertahap sejak tahun 2007
dan direncanakan pada tahun 2018 Foreign Military Financing (FMF) AS ke
Israel akan mencapai 3,1 milyar per tahun (Sharp 2010:7). FMF adalah bantuan
militer utama dari AS dalam bentuk perpanjangan pembiayaan untuk transfer
persenjataan dari AS ke Israel (Sharp 2010:7). Berikut adalah tabel peningkatan
bantuan militer AS kepada Israel periode 2006 – 2008.
Tabel 2.5 Peningkatan Bantuan Militer AS kepada Israel Periode 2006 –2008
(dalam juta dollar)
Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008
FMF 2.257,2 2.340,0 2.380,560
Sumber : Kementrian Luar Negeri AS dalam Sharp (2010:7)
33
Tabel ini memperlihatkan peningkatan FMF AS pada tahun 2006 mencapai
2,25 milyar dollar AS. Jumlah ini terus meningkat pada tahun 2007 mencapai 2,34
milyar dollar AS dan terus meningkat menjadi 2,38 milyar dollar AS pada tahun
2008. Jumlah ini akan terus ditingkatkan sampai menjadi 3,2 milyar dollar AS
pertahun pada tahun 2018 (Sharp 2010:7).
Strategi kooperatif ketiga AS adalah mengadakan kerjasama kontra-
terorisme dengan Suriah dan Israel. Aliansi Suriah – Iran dalam mendukung
serangan Hizbullah ke Israel dianggap sebagai kegiatan terorisme oleh Amerika
Serikat. Presiden Bush yang pada periode 2002-2008 mengeluarkan deklarasi
perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism), memberikan dua
jenis respon terhadap Suriah. Pertama mengecam, kemudian mengeluarkan
kebijakan yang konfrontatif seperti Syria Accountability Act; kedua, melihat
peluang kerjasama dengan Suriah. Syria Accountability Act akan dielaborasi lebih
jauh pada bagian strategi konfrontatif. Sedangkan yang dimaksud dengan AS
melihat peluang kerjasama dengan Suriah dijelaskan dalam ilustrasi berikut:
keinginan Suriah untuk memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan merupakan
celah bagi AS agar Suriah mau memenuhi permintaan AS demi mendapatkan
kembali Dataran Tinggi Golan.
Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia, Dr. Basham Alkhatib dalam
wawancara (22/4/2014) dengan penulis mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri
AS Collin Powell saat menemui Presiden Assad tahun 2003 di Suriah meminta
Suriah membantu AS menghadapi Al Qaeda di Irak dan menghentikan aliansi
dengan Iran dan Hizbullah jika ingin memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan.
34
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa ketika itu strategi AS adalah jika
Suriah bersedia bekerjasama dengan AS dalam memberantas terorisme, maka AS
akan kembali memimpin proses perdamaian Suriah dengan Israel.
Bentuk kerjasama yang diharapkan AS dari Suriah dan Israel terutama di
bidang intelijen. AS membagi tipe-tipe negara yang melakukan kerjasama
intelijen kontra-terorisme. Kontra Teorisme adalah doktrin yang mengarahkan
aksi AS, melemahkan teroris dan mengubah lingkungan tempat beroperasi teroris
sebagai tempat yang anti teorisme (Benjamin 2008:3). Pertama, aliansi tradisional
seperti Kanada, Inggris, Australia, Israel dan anggota NATO. Kedua, aliansi baru
seperti Pakistan, Yaman dan Uzbekistan. Ketiga, musuh tradisional seperti Suriah
dan Libya (Reveron 2008:5).
Strategi Intelijen Nasional AS memiliki tiga tujuan dalam membangun
hubungan intelijen. Pertama, mengikat dan memperkuat usaha intelijen bersama
yang bisa memberikan bantuan dalam mengidentifikasi dan melawan kelompok
organisasi teroris baik di luar maupun di dalam wilayah AS (Reveron 2008:9).
Kedua, berkoordinasi dengan erat dengan badan intelijen untuk saling bertukar
analisa dan taksiran mengenai ancaman dan pilihan untuk meresponnya. Ketiga,
memastikan pengetahuan yang berasal dari hubungan dengan intelijen dari luar
negeri, menginformasikan keputusan intelijen dan membangun pilihan yang
efektif dalam meresponnya (Reveron 2008:9).
Salah seorang pejabat senior Central Inteligence Agency (CIA) mengatakan
bahwa Suriah bukanlah satu-satunya sumber intelijen namun sangat membantu
bagi AS. Suriah juga yang memberikan informasi serangan Al Qaeda di instalasi
35
AS di Bahrain sehingga serangan ini dapat dicegah. Kemudian pada 2003, AS
dengan informasi intelijen Suriah, berhasil menangkap pakar mikrobiologi Irak
bernama Huda Salih Ammash. Ammash adalah satu-satunya buronan perempuan
yang namanya tercantum dalam daftar 55 orang pejabat Irak di era Presiden
Saddam Hussein yang dicari AS. Menurut asumsi AS, Ammash ikut bertanggung
jawab dalam pengembangan senjata biologis di Irak (Sale, Richard dalam UPI
Inteligent Correspondent, www.upi.com).
Disisi lain AS juga mengadakan kerjasama kontraterorisme dengan Israel
untuk melindungi Israel dari Suriah dan aliansinya. Sharing intelijen AS – Israel
telah dimulai sejak tahun 1950. Kerjasama ini menyangkut aktivitas sensitif,
sharing informasi, pertukaran intelijen terkait dengan agen terorisme dan
bergabung dalam operasi ofensif cyberwarfare. Contoh operasi cyberwarfare AS
– Israel adalah meletakan virus Flame dan Stuxnet di jaringan computer pusat
pengembangan nuklir Iran (Eisenstadt dan Pollock 2012:10). Selain strategi yang
bersifat kooperatif AS juga melakukan strategi yang bersifat konfrontatif dalam
merespon Konflik Suriah – Israel pada periode 2002 – 2008.
2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel
periode 2002 – 2008
Strategi konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode
2002 – 2008 adalah mengeluarkan Syria Accountability Act, menutup kedutaan
besar AS di Suriah dan mendukung tindakan konfrontatif Israel ke Suriah.
Strategi konfrontatif pertama AS adalah membuat Syria Accountability Act.
Syria Accountability Act adalah undang-undang yang dibuat untuk menekan
36
Pemerintahan Presiden Assad untuk bekerja lebih keras dalam memerangi
terorisme baik di negaranya maupun diluar negeri. Ini merupakan pendekatan baru
yang memadukan hukuman sanksi ekonomi dengan tekanan diplomatik (Salhan
2004:1).
Syria Accountability disetujui oleh Senat AS pada 11 November 2003
dengan jumlah suara 89 (menerima) banding 4 (menolak) (Washington Times,
11/12/03 dalam Leveret 2005:187). Selanjutnya pada 20 November 2003 Syria
Accountability Act disetujui oleh House of Representatives dengan jumlah suara
408 (menerima) banding 8 (menolak) (AP, 11/20/03 dalam Leveret 2005:187).
Akhirnya Syria Accountability Act disahkan oleh Presiden Bush 12 Desember
2003 (New York Times, 12/14/03 dalam Leveret 196).
Konsekuensi dari Syria Accountability Act adalah otoritas finansial AS
dilarang bekerjasama dengan Bank Komersial Suriah pada Oktober 2004. Western
Union juga memutuskan kontraknya dengan Bank di Suriah. Western Union
memperluas jaringan dengan beberapa bank swasta yang baru berdiri di Suriah,
mengingat sebelumnya hanya bekerjasama dengan bank pemerintah (SR, 10/04 03
dalam dalam Leveret 196).
Pada akhir 2004 Pemerintahan Bush memberikan sanksi tambahan kepada
Suriah dengan membatasi perusahaan AS melakukan bisnis disana. Anggota
Dewan Keamanan Nasional mengatakan bahwa AS tidak akan bernegosiasi
dengan Suriah sampai dukungan terhadap kelompok teroris dihentikan. Syrian
Accountability Act menjadi stick bagi AS untuk mengatur Suriah dan tetap
37
memberikan carrot bagi Suriah dalam bentuk kerjasama-kerjasama dalam
memerangi kelompok teroris seperti Al Qaeda dan Hizbullah (Salhan 2004:1).
Strategi konfrontatif kedua adalah AS menutup Kedutaan Besarnya di
Damaskus pada tahun 2005. Hal ini dipicu oleh peristiwa pembunuhan PM
Lebanon Rafik Hariri pada tahun 2005. Menurut AS, Suriah melakukan
pembunuhan ini karena pada 2004 DK PBB meminta pasukan Suriah dan Israel
keluar dari Lebanon. AS menganggap bahwa Suriah adalah dalang dalam
pembunuhan tersebut dengan fakta meninggalnya Ghazi Kanaan, kepala badan
intelijen Suriah untuk Lebanon karena bunuh diri. AS menganggap bahwa Kanaan
bunuh diri karena merasa bertanggung jawab atas meninggalnya Rafik Hariri. Ini
menyebabkan Hubungan AS – Suriah makin buruk, akibatnya AS menarik Duta
Besarnya dari Damaskus pada tahun 2005. Kedutaan Besar AS baru dibuka lagi
pada tahun 2010 (www.bbc.com). Namun Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia
Dr. Alkhatib dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa Suriah tidak
terlibat dalam pembunuhan ini dan hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Saad
Hariri, putera PM Rafik Hariri yang juga pernah menjabat sebagai PM Lebanon.
Strategi konfrontatif yang ketiga adalah AS mendukung tindakan
konfrontatif Israel terhadap Suriah. Pada Oktober 2003, AS mendukung serangan
Israel ke perkemahan pengungsi Palestina yang berada di Suriah sebagai balasan
atas serangan kelompok Hamas terhadap Israel. Sementara di Irak, pejabat AS
mengancam akan melakukan aksi militer terhadap Suriah jika tetap menfasilitasi
kelompok revisionis melintasi perbatasannya (International Crisis Group 2007:6).
38
AS menolak diadakannya pembicaraan lanjutan dengan Suriah tanpa
kehadiran Iran dalam konferensi perdamaian mengenai Irak dan menasehati Israel
untuk tidak melanjutkan negosiasi perdamaian. Hal ini sangat jelas bertentangan
dengan laporan Baker – Hamilton, yang merekomendasikan AS untuk
bekerjasama dengan Suriah dan melanjutkan pembicaraan damai antara Suriah
dan Israel (International Crisis Group 2007:6-7).
Kemudian ketika Ketua House of Representatives AS Nancy Pelosi
berkunjung ke Damaskus pada April 2007, Suriah menyampaikan keinginannya
untuk kembali ke meja perundingan tanpa syarat. Namun internal Israel belum
setuju untuk memulai perundingan kembali (International Crisis Group 2007:6-
7). Israel beralasan bahwa mereka tidak bersedia memulai perundingan kembali
dengan Suriah karena tidak ingin bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS
dalam mengisolasi dan menekan Suriah.
AS menolak anggapan bahwa AS menjadi penghalang bagi proses
perdamaian Suriah – Israel, AS menjelaskan jika Suriah serius dan Israel setuju
maka AS tidak akan menolak mengadakan proses perdamaian lanjutan. Namun
menurut AS fokus Suriah bukanlah pada Dataran Tinggi Golan melainkan pada
Lebanon. Hal ini diperlihatkan dari usaha Suriah untuk menghentikan pengadilan
dan pencarian fakta atas pembunuhan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dan
menekankan pengaruhnya di Lebanon. Menurut AS, Suriah akan melakukan
apapun untuk mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dan menjaga
pengaruhnya di Lebanon, oleh karena itu biaya di balik semua kesepakatan
dengan Suriah dengan Israel adalah Lebanon (International Crisis Group 2007:5).
39
Presiden Bush dalam buku biografinya (Bush dalam Olmert 2011:208)
mengatakan bahwa PM Olmert mengumumkan bahwa Suriah tidak akan menjadi
target. Menurut Presiden Bush tidak membalas perlakuan Suriah terhadap Israel
merupakan kekeliruan yang membuat dukungan Suriah terhadap Hizbullah makin
besar. Hal ini dibuktikan dengan pemberian dukungan AS terhadap Perang Israel -
Hizbullah di Lebanon dan Dataran Tinggi Golan untuk melenyapkan Hizbullah.
Presiden Bush memberikan rekomendasi agar Israel menyerang Hizbullah dan
Suriah saja (Parry 2006:11).
Kemudian pada Oktober 2008 helikopter AS menyerang perbatasan Suriah
di Desa Hwijeh. Pemerintah Damaskus mengecam serangan yang menewaskan
delapan orang itu sebagai agresi serius. Seorang pejabat militer AS menyatakan
serangan oleh pasukan khusus itu ditujukan ke jaringan pejuang asing yang
berkaitan dengan Al-Qaeda, yang bergerak melewati Suriah menuju Irak
(Suaramerdeka.com edisi 29/10/2008).
Dari penjabaran strategi ini dapat disimpulkan bahwa strategi AS pada
periode penelitian (2002 – 2008) terlihat kontradiktif. AS mengadakan diplomasi
ulang alik dan konferensi damai dan tidak menggunakan kekerasan secara
langsung terhadap Suriah namun disisi lain mendukung aksi-aksi konfrontatif
Israel terhadap Suriah, memberikan sanksi dan menutup kedutaan besarnya di
Damaskus (Rabinovich 2010:3).
40
BAB III
KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 - 2008
3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel
Konflik antara Suriah – Israel dimulai sejak pendirian negara Israel di tanah
Palestina tahun 1948 yang ditandai dengan pecahnya Perang Arab – Israel I (tahun
1948-1949). Setelah itu, kembali terjadi konflik terbuka di antara keduanya pada
Perang Arab – Israel II (1967). Pada Perang Arab - Israel II, Israel berhasil
mengokupasi Dataran Tinggi Golan (dari Suriah), Sheeb’a Farms (dari Lebanon),
Semenanjung Sinai (dari Mesir) serta Gaza dan West Bank (dari Palestina)
(International Crisis Group Report 2007:5). Negara-negara Arab termasuk Suriah,
ingin merebut kembali daerah yang di okupasi oleh Israel sehingga terjadi Perang
Arab Israel III. Perang Arab – Israel III terjadi pada 1973 dan diakhiri oleh gencatan
senjata pada 1974 (International Crisis Group Report 2007:5).
Gencatan senjata 1974 antara Suriah – Israel dimediasi oleh AS dengan
membuat garis pemisah sepanjang 10.100 km (International Crisis Group Report
2007:5). Garis gencatan senjata ini diawasi oleh 1.000 pasukan keamanan PBB yang
tergabung dalam United Nation Disengagement Observer Force (UNDOF). Garis
gencatan senjata ini dibatasi oleh pagar logam dan pasukan Suriah - Israel hanya
boleh ditempatkan sejauh 25 kilometer dari batas ini, dengan jumlah maksimal 6.000
pasukan (International Crisis Group Report 2007:5).
Hingga tahun 2008, Suriah dan Israel masih dalam status gencatan senjata dan
belum mencapai perjanjian damai. Mantan Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan,
41
yang menjadi salah satu pembuat kebijakan untuk mengokupasi Dataran Tinggi
Golan, mengatakan bahwa 80% Konflik Suriah – Israel dimulai dari provokasi Israel
(Repko 2007:1). Berikut adalah konflik yang terjadi antara Suriah – Israel pada
periode penelitian.
3.2 Okupasi dan Aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan
Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah yang diokupasi oleh Israel pada 5
Juni 1967. Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan pada 15 Desember 1981
(Eiland 2009:5). Okupasi dan aneksasi ini ilegal dan bertentangan dengan hukum
internasional Konvensi IV Jenewa dan Resolusi DK PBB nomor 497 tahun 181.
Resolusi ini melarang okupasi melalui kekerasan, melarang Israel mengganti status
Dataran Tinggi Golan menjadi aneksasi, melarang negara lain mengakui kedaulatan
Israel atas Dataran Tinggi Golan dan menyerukan agar Israel menjaga hak
masyarakat pribumi yang berwarganegara Suriah (Human Rights Council Report
2009:2). Presiden AS saat itu Ronald Reagan juga menolak okupasi dan aneksasi
yang dilakukan oleh Israel atas Dataran Tinggi Golan (Repko 2007:1-2).
Dataran Tinggi Golan terdiri dari perbukitan seluas 444 mil persegi yang
berbatasan dengan Sungai Yarmouk di sebelah selatan, Sungai Jordan dan Laut
Galilee di Barat, Gunung Hermon di utara dan Wadi Al-Ruqqad di Timur (Daoudy,
2008 :8). Penduduk pribumi Golan berkewarganegaraan Suriah dan saat diokupasi
Israel tahun 1967 berjumlah 500.000 jiwa (Daoudy, 2008 :8). Pada tahun 1991, Israel
mengusir 130.000 penduduk pribumi Golan dan terus mengusir yang lainnya secara
42
bertahap sampai hanya berjumlah 20.000 pada tahun penelitian (2008) (Daoudy 2008
:8). Setelah proses pengusiran ini, Israel mendirikan 20.000 permukiman ilegal disana
(Human Rights Council Report 2009:3).
Komposisi penduduk Golan tahun 2008 terdiri dari 20.000 Yahudi Israel,
17.000 Druze Suriah dan 3000 Alawites sehingga jumlahnya adalah 40.000 jiwa
(Eilland, 2009). Penduduk Golan yang termasuk dalam Yahudi Israel bermukim di
pusat Kota dan Kibbutzes sedangkan Druze Suriah terkonsentrasi dalam empat desa
di timur dan kaum Alawites di perbatasan Utara. Dataran Tinggi Golan pernah
dikuasai oleh Britania Raya, Perancis, Israel dan Suriah (Gurtler 2010:4).
Dataran Tinggi Golan tidak memiliki signifikansi sejarah dan religi seperti West
Bank bagi Israel. Namun, Yahudi telah membangun sinagog sejak tahun 23 SM di
Dataran Tinggi Golan. Sedangkan Suriah memiliki hubungan sejarah yang kuat
dengan Dataran Tinggi Golan karena mayoritas penduduk Golan adalah penduduk
Suriah dan merujuk pada perjanjian Sykes-Picot Dataran Tinggi Golan adalah milik
Suriah (Gurtler 2010:10).
Hak Suriah atas Dataran Tinggi Golan dipertegas kembali dalam Resolusi
Dewan Keamanan PBB nomor 497 tahun 1981. Resolusi ini menyatakan bahwa
okupasi dan aneksasi Israel di Dataran Tinggi Golan bertentangan dengan Piagam
PBB dan ilegal menurut hukum internasional. Oleh karena itu, melalui resolusi ini
PBB menghimbau agar Israel segera mengembalikan Dataran Tinggi Golan kepada
Suriah dan dalam proses pengembalian tersebut tetap menghargai hak-hak
43
warganegara Suriah yang berada di Golan sesuai dengan Konvensi Jenewa 12
Agustus 1949 tentang perlindungan penduduk di masa perang (UNISPAL.org).
Resolusi inilah yang dijadikan sebagai landasan dalam proses perdamaian Suriah dan
Israel.
Ilustrasi 3.1 Peta Dataran Tinggi Golan
Sumber: Wingfield (2013:39)
Seperti terlihat dalam peta, Dataran Tinggi Golan secara geostrategis dan
militer sangat penting bagi Suriah dan Israel karena menjadi pembatas antara
Golan
Heights
44
keduanya. Topografi Golan yang berupa pegunungan, menawarkan wilayah yang
ideal untuk meluncurkan serangan, melakukan aktivitas intelijen dan spionase
(Gurtler 2010:11). Israel menempatkan pasukan dan pos penjagaan di Gunung
Hermon yang jaraknya hanya 35 kilometer dari Damaskus sehingga Damaskus
berada di daerah yang rawan dari serangan Israel (Daoudy 2008:8).
Kemudian signifikansi Dataran Tinggi Golan dalam Sumber Daya Air pun
sangat krusial karena merupakan masalah yang sensitif bagi Suriah dan Israel. Suriah
pernah mengalami embargo air oleh Turki di tahun 1986. Ketika itu Turki
menghentikan persediaan air di Suriah sehingga menyebabkan krisis air, dampaknya
status Suriah ditingkatkan menjadi dalam keadaan bahaya, setengah juta petani
meninggalkan tanah pertaniannya dan melakukan urbanisasi ke kota-kota besar
(Bechor dalam Olmert 2011:208). Israel pun pernah diembargo air oleh negara-
negara Arab di tahun 1960an (pbs.org). Saat ini Dataran Tinggi Golan menopang
sepertiga dari sumber kebutuhan air bagi Israel (Olmert 2011:208).
Selanjutnya signifikansi Dataran Tinggi Golan dalam bidang ekonomi adalah
memberikan keuntungan dalam sektor pertanian dan pariwisata. Dataran Tinggi
Golan menyumbangkan 40% daging, 30% apel, 38% ekspor anggur, 32% kentang,
23% jagung, 50% ceri, 41% wool, 28% telur dan 6% susu bagi pasar domestik Israel
(El Abd, 2009:44). Mempertahankan Dataran Tinggi Golan berarti menjaga
swasembada pertanian Israel karena berpotensi menopang 70% dari kebutuhan Israel.
Pendapatan yang diterima Israel dari sektor pertanian dan pariwisata Dataran Tinggi
45
Golan mencapai 500 juta shekel (mata uang Israel), senilai dengan 136 juta dollar AS
per-tahun (El Abd 2009:44).
Menurut Jeff Halper, koordinator Israeli Committee Againts House Demolitions
dalam Wingfield (2013:12-13), Israel memiliki tiga dimensi kebijakan untuk menjaga
kekuasaannya di Golan. Dimensi pertama, aksi militer dan kekerasan termasuk
menggunakan pemerintahan militer, bekerjasama, penahanan, memperpanjang masa
tahanan, pengusiran, memasang ranjau, menyiksa dan melakukan hal-hal yang brutal.
Dimensi kedua, birokrasi dan mekanisme hukum termasuk mengatur siapa yang
menduduki posisi penting di Golan, mengatur akses pekerjaan, memperketat izin
melakukan perjalanan, menggunakan lisensi dan surat izin sebagai teknik dalam
mengontrol hak-hak politik, kebijakan pajak yang diskriminatif dan pembangunan
rencana dan zona permukiman bagi warga Israel dan membatasi pertumbuhan
komunitas di daerah okupasi. Dimensi ketiga, mengatur penggunaaan lahan dengan
cara mengambil alih lahan, menghancurkan kota dan desa yang telah dibangun
sebelum okupasi, membangun permukiman untuk Israel, membangun jalan raya,
taman industri, area militer, zona keamanan, konservasi sumber daya alam, situs
arkeologi dan sejarah, lahan hijau, membangun industri pariwisata dan menguasai
sumber daya air dan sumber daya alam (Wingfield 2013:12-13).
Menurut Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam
wawancara dengan penulis (22/4/2014), bagi Suriah pengembalian Golan ke dalam
kedaulatannya merupakan bentuk perlindungan bagi para penduduk, sumber daya
46
alam, identitas dan harga diri Suriah, karena secara identitas masyarakat Suriah yang
hidup di Golan sangat loyal terhadap Suriah. Hal ini terlihat saat Israel menganeksasi
Golan pada 1981 dan menawarkan pemberian kewarganegaraan Israel, sebagian besar
penduduk Suriah menolaknya. Hanya 1% penduduk Suriah di Golan yang mau
mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Israel (Gurtler 2010:17).
Warga Suriah di Golan tetap memasang bendera Suriah, foto presiden Suriah dan
menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup seperti hiburan
pun mengikuti tradisi di Suriah. Mereka juga membentuk organisasi yang pro Suriah
untuk mengadvokasi saat pemerintah Israel melakukan diskriminasi, contohnya
organisasi Al Marsad (Gurtler 2010: 17).
Al Marsad adalah organisasi internasional yang berdiri pada tahun 2003 dan
berlokasi di Majdal Shams, Dataran Tinggi Golan. Al Marsad didirikan oleh
kelompok profesi yang berasal dari bidang hukum, kesehatan, pendidikan, jurnalis,
insinyur dan pegiat HAM. Al Marsad fokus dalam mengkaji dan mengadvokasi isu
Hak Asasi Manusia (HAM) di Dataran Tinggi Golan. Tujuan utama organisasi ini
adalah memonitor dan mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
Israel di Dataran Tinggi Golan dan menyampaikannya ke forum-forum internasional
(golan-marsad.org).
Signifikansi Dataran Tinggi Golan bagi Suriah dan Israel membuat keduanya
terus berkonflik untuk menguasainya. Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden Bashar
Al-Assad dalam wawancara dengan Koran Austria Die Presse (19/12/2007): “Suriah
47
tidak bisa mempercayai Israel selama tidak menghentikan agresinya di Timur Tengah
dan selama Israel tidak mengembalikan Dataran Tinggi Golan maka Suriah tidak
akan mengakui keberadaan Israel” (www.pressidenassad.net diakses pada 28 Oktober
2014).
Disisi lain konflik ini juga menjadi alasan bagi kedua negara untuk tidak
melakukan perang. Israel berada di pihak yang salah karena okupasi dan aneksasi ini
bertentangan dengan hukum internasional oleh karena itu jika bertindak lebih jauh
seperti melakukan perang terbuka dengan Suriah, akan menuai kecaman dari dunia
internasional dan kelompok revisionis yang beraliansi dengan Suriah. Revisionis
adalah aktor yang tidak puas dengan sistem internasional atau regional sehingga ingin
mengubah norma status quo yang telah dibuat oleh great power seperi Amerika
Serikat (Collins 2010 dalam e-ir.info.com).
Sedangkan jika Suriah ingin merebut Golan melalui jalur militer, AS akan
membantu Israel seperti pada perang Arab – Israel (tahun 1948-1974) sehingga
Suriah akan kalah. Oleh karena itu Dataran Tinggi Golan merupakan akar utama
konflik Suriah – Israel sekaligus penyanggah dan pengikat bagi kedua negara
(khususnya Suriah) untuk tetap bersedia mengikuti pembicaraan damai yang
dipimpin AS periode 2002 – 2008 (Gurtler 2010:12).
48
3.3 Konflik Perbatasan
Konflik selanjutnya yang terjadi pada periode 2002-2008 adalah dalam masalah
perbatasan. Konflik ini disebabkan oleh perbedaan perspektif yang digunakan Suriah
dan Israel sebagai landasan dalam agenda negosiasi perbatasan pada Inisiasi Jenewa
tahun 2003 dan Konferensi Annapolis tahun 2007. Konflik perbatasan juga
merupakan penyebab gagalnya diplomasi perdamaian AS pada tahun 2000 (Nejad
2004:155). Terdapat tiga garis batas yang menjadi landasan perbatasan Suriah dan
Israel yaitu garis batas tahun 1923, garis batas tahun 1949 dan garis batas tahun 1967.
Pada 1923, Inggris dan Perancis membuat batasan wilayah antara Palestina
(sekarang termasuk Israel) dan Lebanon Raya (termasuk Suriah). Menurut garis batas
1923, hulu Sungai Jordan (yang terletak antara Danau Hula dan Laut Galilee) dan
seluruh Laut Galilee dan Yarmouk masuk dalam wilayah Palestina (sekarang Israel).
Antara Danau Hula dan Laut Galilee terdapat garis batas yang memanjang 12
kilometer sebelah timur Sungai Jordan dan lebar 10 meter, letaknya berada dibawah
Dataran Tinggi Golan (Ma’oz 2005:1). Garis batas ini terdapat di sepanjang timur
laut garis pantai Laut Galilee, persisnya selebar 10 meter sejajar dengan garis pantai.
Kedaulatan garis batas 12 kilometer ini berada di tangan Palestina (kini Israel). Suriah
mendapatkan akses untuk memancing, berenang dan menggunakan air di garis batas
selebar 10 meter tersebut sesuai dengan perpanjangan perjanjian antara Inggris dan
Perancis di tahun 1926. Karena Suriah sering mengakses daerah ini dan lebarnya
tidak signifikan maka secara de facto Suriah-lah yang menguasai garis wilayah
49
sepanjang 12 kilometer dan lebar 10 meter ini sampai Perang Arab – Israel tahun
1967 (Hof 2009:4-5). Seperti terlihat pada gambar berikut.
Gambar 3.2. Ilustrasi Penetapan Garis Perbatasan 1923, 1949 dan 1967
Sumber: Hof 2009:5
Signifikansi garis sepanjang 12 kilometer dan lebar 10 meter ini menurut
Sherman dalam Repko (2007:2) adalah siapapun yang mengusai garis ini maka akan
menguasai alur Laut Galilee. Hal ini dikarenakan air di daerah ini berasal dari Golan
50
kemudian menjadi hulu bagi Laut Galilee. Laut Galilee sangat penting karena
menyediakan 33% dari seluruh persediaan air bersih bagi Israel (Repko 2007:2).
Posisi Suriah dan Israel pada Perang 1967 masih sesuai dengan perpanjangan
perjanjian Inggris dan Perancis tahun 1926. Pasca perang, untuk mengatur sengketa
perbatasan ini dibuatlah Armistice Demarcation Line (ADL) yaitu garis batas
sementara yang memisahkan negara-negara yang sedang berkonflik. ADL
menambahkan wilayah demiliterisasi sampai ke daerah hulu Galilee yang bernama
Mushmar Ha-Yarden. Kesimpulannya adalah ADL terdiri dari garis batas 1923
ditambah Mushmar Ha-Yarden (Hof 2009:5).
Kemudian saat terjadi Perang 1974, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atas
inisiatif Amerika Serikat mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 350
Tahun 1974. Resolusi ini berisi peta pemisahan kekuatan militer Suriah – Israel
menjadi daerah A dan daerah B. Daerah A merupakan batas kekuatan militer Israel
dan daerah B merupakan batas kekuatan militer Suriah. Antara daerah A dan B
ditempatkan pasukan PBB yang diberi nama United Nation Disengagement Observer
Forces (UNDOF) (Resolusi DK PBB Nomor 350 Tahun 1974). Berikut adalah
gambaran pembagian Suriah – Israel menurut Resolusi DK PBB Nomor 350 Tahun
1974.
51
Ilustrasi 3.3 Pembagian Wilayah Suriah – Israel
sesuai Resolusi DK PBB Nomor 350 Tahun 1974
Sumber: UNDOF Website (www.undof.unmission.org)
diakses pada 4 September 2014
UNDOF berfungsi sebagai pengawas gencatan senjata antara Suriah dan Israel,
mengawasi pemisahan kekuatan militer antara Suriah dan Israel serta mengawasi
daerah pemisahan dan pembatasan sesuai dengan kesepakatan pasca Perang 1974
(www.undof.unmission.org). Area yang diawasi UNDOF panjangnya 75 kilometer
dengan lebar sekitar 10 km dan pusatnya 200 meter di bagian paling selatan
mengarah ke Gunung Hermon. Kekuatan UNDOF berjumlah 1.250 personil yang
berasal dari enam negara yang berasal dari negara-negara anggota PBB yang
diperbaharui setiap enam bulan sekali (www.undof.unmission.org)
Pada periode 2002-2008 konfigurasi pengaturan keamanan di perbatasan Suriah
– Israel masih bergantung pada UNDOF. Sedangkan untuk proses diplomasi
penyelesaian sengketa perbatasan masih terkendala di perbedaaan perspektif dasar
penentuan garis batas. Suriah menginginkan penetapan perbatasan sesuai dengan
52
garis batas tahun 1967, yaitu seluruh daerah yang dikuasai Suriah sampai pada tahun
tersebut, yang kemudian diokupasi Israel harus dikembalikan kepada Suriah (Nejad
2004:207). Sedangkan Israel memberikan prasyarat untuk pengembalian daerah
tersebut yaitu dengan membuat konservasi alam di daerah-daerah okupasi yang kelak
akan dikembalikan Israel kepada Suriah. Strategi ini dipakai Israel agar daerah
okupasi seperti Dataran Tinggi Golan yang kaya akan sumber daya alam tidak
digunakan Suriah untuk mengancam Israel misalnya dengan melakukan embargo air
atau aktivitas militer dan spionase (Hof 2009:6).
3.4 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah
Aliansi Suriah dan Iran mulai terbentuk pada tahun 1979 ketika Suriah menjadi
Negara Arab pertama yang mengakui kedaulatan Republik Iran yang dipelopori oleh
Ayatullah Khomeini (Trombetta 2007:2). Aliansi ini terus bertahan sampai periode
penelitian 2002-2008. Aliansi Suriah - Israel memiliki dua konotasi: secara ideologis
dan secara fisik. Secara ideologis aliansi ini merupakan kekuatan aktif yang berusaha
mengubah keadaan di Timur Tengah dan berkonfrontasi dengan kepentingan Barat
yang disimbolkan oleh AS dan Israel. Kedua, secara fisik aliansi ini dimulai dari Iran,
melewati Irak (ketika AS keluar dari Irak, aliansi ini akan berusaha melebarkan
pengaruhnya ke Irak) dan terus berlanjut sampai ke Suriah, Lebanon dan Palestina
(Amidror 2007:1). Oleh karena itu AS memberikan label Axis of Resistance kepada
aliansi Suriah, Iran dan Hizbullah (Olmert 2011:208).
Istilah yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan dalam aliansi Suriah,
Iran dan Hizbullah adalah proxy (wakil) dan client (klien). Hizbullah merupakan
53
klien yang mewakili Suriah – Iran untuk berhadapan dengan Israel di Lebanon (El-
Hokayem 2007:1). Presiden Bashar Al-Assad dalam sebuah interview (19/12/2007)
dengan Koran Austria Die Presse (dalam website resmi Presiden Assad
pressidentassad.net) menggambarkan aliansinya dengan Iran: “Iran adalah negara
yang sangat penting di Timur Tengah dan Damaskus tidak ingin kehilangan aliansi
dengan Iran. AS mencoba mengisolasi Suriah karena menolak kebijakannya seperti
dalam invasi Irak, namun hal ini tidak akan sukses mengisolasi Suriah karena Suriah
memiliki hubungan yang baik dengan Iran”. Lebih jauh mengenai Hizbullah,
Presiden Assad menilai: “Hizbullah adalah pergerakan yang kuat di Lebanon. Tanpa
Hizbullah, perdamaian dan kestabilan tidak akan tercipta di Lebanon.”
Hizbullah adalah organisasi Islam Syiah sekaligus partai politik dan organisasi
kesejahteraan sosial yang didirikan pada tahun 1982. Hizbullah didirikan oleh para
pelajar yang pulang dari kota Najaf (Iran) yang dibimbing oleh Ayatulloh Khomeini
(pemimpin Revolusi Islam Iran) dengan Hussein al-Musawi sebagai pemimpinnya
(Addis dan Blanchard 2011:1). Pendirian Hizbullah merupakan respon dari okupasi
Israel di Lebanon tahun 1982. Markas Hizbullah berpusat di Lebanon, namun
aktivitas pergerakannya berskala regional bahkan internasional (Addis dan Blanchard
2011:1).
Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah memperuncing konfliknya dengan
Israel. Hal ini terlihat dalam perang antara Israel dan Hizbullah yang terjadi pada
tahun 2006 (Goodarzi 2013:48). Menurut Israel, perang ini dipicu oleh penculikan
dua tentara Israel oleh Hizbullah. Israel kemudian mulai melakukan serangan udara
54
sejak tanggal 12 sampai 16 Juli 2006 (Matthews 2008:33-36). Tujuan serangan ini
adalah untuk memaksa Hizbullah keluar dari Lebanon Selatan. Hasan Nasrullah
pemimpin Hizbullah mengatakan bahwa Israel telah memulai perang terbuka, maka
Hizbullah membalasnya dengan mengirimkan roket ke Israel (Matthews 2008:33-36).
Serangan udara berbalas ini kemudian dilanjutkan dengan perang secara langsung
mulai 17 Juli – 14 Agustus 2006. Israel merasa tersudut di Maroun al Ras dan Bint
Jbeil dan memilih untuk mundur yang menandai kemenangan Hizbullah dalam
perang ini (Matthews 2008:49-50).
Kemenangan Hizbullah dalam perang melawan Israel tidak terlepas dari
bantuan Suriah dan Iran. Iran menyerahkan persediaan senjata untuk Hizbullah di
bandara Suriah kemudian Suriah mengirimnya ke Lebanon untuk menyuplai
Hizbullah melalui Lembah Beeka (G.Sullivan dan W. Sullivan 2006:61). Iran yang
mengatur target roket dan misil atau menjadi pusat kontrol bagi Hizbullah dan
menjaga agar Israel tidak sampai menembakkan nuklir dengan menyiapkan Zelzal
(roket jarak jauh). Sedangkan Suriah berperan sebagai pusat intelijen bagi Hizbullah
dengan mengumpulkan informasi terkait pergerakan Israel (G.Sullivan dan W.
Sullivan 2006:61).
Israel merespon keterlibatan Suriah dalam Perang Israel – Hizbullah dengan
mengirimkan pesawat tempur untuk menyerang Istana Presiden Suriah di Latakia
pada 2006. Serangan ini merupakan peringatan untuk menghentikan dukungan Suriah
terhadap Hizbullah (Salem 2008:5). Pasca Perang Israel – Hizbullah tahun 2006
potensi konflik Suriah – Israel makin meningkat. Hal ini dikarenakan, kemenangan
55
Hizbullah membuat mindset yang telah dibangun pasca Perang Arab – Israel bahwa
militer Israel tidak terkalahkan telah terbantahkan. Asumsi ini dibuktikan oleh
pernyataan Kepala Intelijen Militer Israel (AMAN) Mayor Jendral Amos Yadin
kepada Majalah Jane’s Defence Weekly dalam (Cordesman 2007:12) sebagai berikut :
“Suriah akan mengambil hikmah dari perang Israel – Hizbullah
2006, yaitu tentang efektivitas advanced anti-tank weapons dalam
melawan pertahanan baja Israel dan keterbatasan Angkatan Udara Israel
dalam menghadapi roket api di area yang dekat dengan permukiman
penduduk. Sebelum Perang Israel – Hizbullah 2006, Suriah tidak
memikirkan opsi untuk berkonfrontasi secara militer dengan Israel, namun
dengan kemenangan Hizbullah maka opsi tersebut akan sangat
dipertimbangkan oleh Suriah.”
Implementasi dari asumsi ini adalah adanya pengembangan senjata yang
dilakukan aliansi Suriah – Iran untuk meningkatkan kemampuan misil untuk
Hizbullah. Contohnya pada tahun 2006 jangkauan misil Hizbullah hanya mampu
mencapai kota Haifa di Israel dan pada 2008 misil Hizbullah telah mampu mencapai
pusat Israel yaitu kota Tel Aviv (Ospina dan Gray 2014:4).
Lebih jauh lagi menurut Israel dan AS, aliansi Iran dan Suriah juga berusaha
mengembangkan nuklir sejak tahun 2004 dengan bantuan dari Rusia dan Korea Utara
(world-nuclear.org). Untuk merespon kerjasama pengembangan senjata Suriah – Iran
ini maka pada September 2007, Israel menyerang Al Kibar yaitu suatu daerah di
Suriah bagian utara. Israel menyatakan bahwa serangan itu untuk menghentikan
pembangunan fasilitas nuklir Suriah (www.bbc.com diakses pada 4 Juli 2014).
56
3.5 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon
Konflik selanjutnya yang terjadi antara Suriah - Israel pada periode 2002 –
2008 adalah konflik pengaruh di Lebanon. Akar konflik ini bermula ketika Suriah
dan Lebanon di bawah mandat Perancis tergabung menjadi Suriah Raya. Perancis
tidak menetapkan garis batas yang pasti antara Suriah dan Lebanon. Sehingga ketika
Suriah dan Lebanon menjadi negara berdaulat, kedua negara belum mengadakan
pembicaraan mengenai garis batas yang tetap. Akibatnya, salah satu daerah bernama
Sheeb’a Farms yang pada peta Perancis masuk ke dalam teritorial Suriah, dikelola
secara administratif oleh Lebanon (Kaufman 2006:2). Tahun 1950, Suriah mulai
mengambil alih daerah perbatasan ini dan membangun pos militer dan mendaftarkan
warga Sheb’a Farms menjadi warga negara Suriah (Kaufman 2006:2).
Kemudian Israel mengokupasi Sheb’a Farms, Desa Kfar-Shuba dan Desa
Ghajar bersamaan dengan Dataran Tinggi Golan pada Perang Arab – Israel 1967.
Menurut Israel daerah-daerah ini adalah milik Suriah. Namun Suriah mengklaim
bahwa daerah tersebut adalah milik Lebanon. Israel menilai bahwa klaim tersebut
merupakan strategi Suriah untuk menciptakan ambiguitas untuk menjaga eskalasi
permusuhan di perbatasan Israel dan Lebanon serta mencegah diadakannya negosiasi
perdamaian secara bilateral (El-Ezzi 2012:75). Namun asumsi Israel ini dibantah oleh
Duta Besar Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara dengan
penulis (22/4/2014). Menurut Dr. Alkhatib Suriah mendukung Lebanon memperoleh
kembali Sheeb’a Farms atas dasar persaudaraan, sama seperti dukungan Suriah
terhadap pengembalian Gaza dan Tepi Barat kepada Palestina.
57
Dalam bidang militer Suriah telah menempatkan pasukannya di Lebanon sejak
Perang Saudara Lebanon tahun 1976 sampai tahun 2005 dan menguasai 9 banding 10
keseluruhan wilayah Lebanon saat okupasi Israel tahun 1982. Okupasi Israel di
Lebanon berlangsung dari tahun 1982 – 2000 (El-Ezzi 2012:74). Okupasi ini
bertujuan untuk: pertama, menghilangkan ancaman Palestine Liberation
Organization (PLO) ke perbatasan Israel bagian Selatan; kedua, menghancurkan
infrastruktur PLO di Lebanon; ketiga mengusir militer Suriah yang berada di Beeka
Valley dan mengurangi pengaruh Suriah di Lebanon; keempat, membangun
pemerintahan yang stabil di Lebanon dan memperkuat posisi Israel di Tepi Barat
(Solley 1987:1).
Walaupun dalam masa okupasi Israel, hegemoni Suriah di Lebanon tetap
terlihat melalui Perjanjian Thaif tahun 1989 yang menyatakan bahwa Suriah dan
Lebanon adalah saudara dan tidak akan saling mengancam satu sama lain (Perjanjian
Thaif 1989:8). Implementasi perjanjian Thaif adalah Suriah menambah jumlah
pasukannya dari 15.000 pada 1976 menjadi 40.000 setelah tahun 1990an (setelah
okupasi Israel). Pasukan Suriah baru keluar dari Lebanon saat terjadi peristiwa
pembunuhan PM Rafiq Hariri pada 14 Februari 2005 (Saliba 2007:1). Israel dan AS
menuduh Suriah menjadi dalang dalam pembunuhan ini karena PM Hariri
mendukung Resolusi DK PBB Nomor 1599 Tahun 2004 yang menghimbau agar
seluruh pasukan asing (termasuk Suriah) keluar dari Lebanon dan menghormati
kedaulatan Lebanon. Namun hal ini dibantah oleh Dubes Suriah untuk Indonesia
58
dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014). Menurutnya, anak dari PM Rafik
Hariri, yaitu Saad Hariri membantah keterlibatan Suriah dalam pembunuhan ayahnya.
Dalam bidang politik, Suriah dan Israel secara aktif melakukan proxy war
dengan mencari dukungan dari partai tertentu di Lebanon. Contohnya saat penarikan
diri Suriah tahun 2005 terjadi Revolusi Cedar yang membuat suara partai politik
Lebanon terbagi menjadi dua yaitu: pertama, Koalisi March 8 yaitu kelompok Pro
Suriah yang melakukan demonstrasi 8 Maret 2005 di pusat kota Beirut untuk
menuntut agar pasukan Suriah tetap berada di Lebanon. March 8 terdiri dari
Hizbullah, Lebanese Democratic Party, Lebanese Communist Party, Amal
Movement, Armenian Revolutionary Fed, Ba’ath Arab Socialist Party, Worker’s
League, Al Marada, Syrian Social Nationalist Party dan Free Patriotic Movement
(Schweizer 2009:30-33). Sedangkan Israel mendukung Koalisi March 14 yaitu
kelompok anti Suriah yang merespon kelompok March 8 dengan ikut berunjuk rasa
menuntut penarikan diri tentara Suriah dari Lebanon. March 14 terdiri dari Future
Movement, Progressive Socialist Party, Democratic Renewal, Phalangist, Lebanese
Democratic Left Movement, Lebanese Forces, Armenian Democratic Liberal Party
dan Social Demokrat Hunchakian Party (Schweizer 2009:30-33).
Pasca protes di bulan Maret 2005 ini sampai tahun 2008, konfigurasi partai
politik Lebanon tetap terpecah menjadi koalisi partai yang pro Suriah (March 8) dan
koalisi partai yang pro Israel (March 14) (Chambers 2009:2). Perbandingan perolehan
suara March 8 dan March 14 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
59
Tabel 3.1 Perbandingan Perolehan Suara Koalisi March 8 dan March 14
Sumber: Chambers (2009:2)
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi kompetisi yang dinamis
antara koalisi March 8 yang pro terhadap Suriah dengan koalisi March 14 yang pro
terhadap Israel. Pada Pemilu Parlemen tahun 2005 koalisi March 14 unggul dengan
perolehan 72 kursi sedangkan koalisi March 8 hanya memperoleh 56 kursi.
Sedangkan pada tahun 2009, koalisi March 8 unggul dengan perolehan 71 kursi
sedangkan koalisi March 14 hanya memperoleh 57 kursi. Siapapun yang
memenangkan pemilu di Lebanon akan memberikan dampak yang signifikan pada
60
hubungan Lebanon – Suriah dan Lebanon – Israel melalui proses legislasi di
Kongres.
Kemenangan kelompok March 8 pro Suriah di Kongres Lebanon akan
melanggengkan hubungan Suriah – Lebanon dan membatasi hubungan Lebanon
dengan Israel. Dari segi ekonomi, Lebanon memberikan kesempatan pada 300.000
warga Suriah yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan di Suriah. Jumlah ini bisa
meningkat sampai satu juta jiwa pekerja saat musim panen pertanian dan
pembanguna gedung-gedung baru (seperti revitalisasi pasca Perang Israel – Hizbullah
2006). Perputaran pembayaran di bidang tenaga kerja antara Suriah – Lebanon bisa
mencapai satu milyar dollar AS pertahunnya. Dalam bidang perdagangan, 35%
ekspor Lebanon bergantung pada jasa transit yang di sediakan Suriah. Hal ini tentu
mendapatkan keuntungan bagi Suriah karena jumlah perputaran uangnya mencapai
600-700 juta dollar AS pertahun. Selain itu dalam kebijakan finansial, pasca
diberlakukannya sanksi ekonomi AS kepada Suriah melalui Syrian Accountability Act
maka aktivitas finansial Suriah bergantung pada Bank Lebanon yang banyak
membuka cabang di Suriah. Terakhir yang terpenting, jika partai Pro-Suriah
memenangkan pemilihan umum di Kongres Lebanon, maka aliansi Suriah –
Hizbullah – Iran dapat terus terjaga sebagai senjata saat berkonflik dengan Israel
(Yacoubian 2006:3-4).
Sedangkan jika partai Pro Israel March 14 yang memenangkan pemilihan
umum di Lebanon, maka Israel dapat mempengaruhi pemerintah Lebanon untuk
memutuskan hubungan dengan Suriah. Israel juga bisa mempengaruhi pemerintah
61
untuk membatasi aktivitas Hizbullah yang dianggap sebagai kelompok revisionis
yang beraliansi dengan Suriah dalam berkonflik dengan Israel.
Dari segi legislasi, contoh nyata kompetisi March 8 dan March 14 terjadi saat
dialog nasional tahun 2006. Saat itu PBB merekomendasikan agar Pemerintah
Lebanon meratifikasi Resolusi DK PBB nomor 1595 tentang pembentukan tim
pencari fakta untuk mengusut pembunuhan PM Rafiq Hariri. Koalisi March 14
mengajukan rancangan perundang-undangan yang pada poin ketiga berbunyi “jika
pelaku pembunuhan telah ditemukan maka tidak hanya pelaku tersebut yang
bertanggung jawab namun juga otoritas yang menaungi pelaku tersebut serta negara
lain yang berafiliasi dengan otoritas tersebut”. Koalis March 8 merasa keberatan
dengan draft poin ketiga ini karena merasa, perundang-undangan ini merupakan
usaha March 14 yang di back-up oleh AS dan Israel untuk mengintervensi tim
pencari fakta yang akan dibuat pasca ratifikasi dengan tujuan akhir menjadikan
Hizbullah dan Suriah sebagai terdakwa dalam pembunuhan PM Rafik Hariri (Salem
2006:2). Perbedaan antara March 8 dan March 14 juga terlihat saat ratifikasi Resolusi
DK PBB nomor 1701 tentang gencatan senjata Israel- Hizbullah dan Resolusi DK
PBB nomor 425 tentang invasi Suriah di Israel (Salem 2006:4).
62
BAB IV
ALASAN PEMILIHAN STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK
SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 -2008
AS telah memimpin usaha perdamaian Suriah – Israel selama lima puluh tahun.
Presiden George W. Bush membuat strategi yang sangat berbeda dibandingkan
dengan pendahulunya dalam merespon Konflik Suriah dan Israel. Presiden Nixon
sampai Presiden Clinton lebih menggunakan strategi persuasif dengan cara
mengadakan diplomasi damai untuk membujuk Suriah dan Israel ke meja
perundingan, sedangkan Presiden George W. Bush menggunakan strategi yang
terkadang kooperatif terkadang konfrontatif.
Menteri Keuangan AS Paul O’Neill menyampaikan pendapat Presiden Bush
mengenai konflik Suriah – Israel:
“Kita akan memperbaiki ketimpangan yang terjadi dalam periode
Presiden Clinton. Kita akan lebih cenderung memihak Israel dan kita
akan konsisten. Presiden Clinton telah melampaui batas oleh karena
itu AS dalam masalah. Jika kedua belah pihak tidak menginginkan
perdamaian maka tidak ada cara untuk memaksa mereka berdamai.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh AS untuk mewujudkan perdamaian
Timur Tengah adalah kegagalan sejarah. Presiden Bush tidak ingin
mengulangi kegagalan dari pendahulunya yang terlalu menfokuskan
diri pada konflik Timur Tengah namun tidak kunjung berhasil
mencapai perdamaian” (Foundation for Middle East Peace 2002:5).
Presiden George W. Bush sebagai pembuat strategi (strategist) memiliki pilihan
untuk menggunakan power secara koersif atau persuasif untuk mencapai tujuan
63
(Bartholomees 2010:45). Presiden George W. Bush juga bisa memilih apakah AS
mau merespon konflik Suriah – Israel atau menolak meresponnya.
Walaupun telah mengeluarkan penyataan demikian, AS sebagai great power
tetap merespon dinamika konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008. Untuk
memahami proses pemilihan strategi AS penulis akan mengelaborasi tahapan
pembuatan strategi (Strategic Appraisal) agar terlihat jelas mengapa strategi tersebut
diambil. Pertama, AS menentukan level pembuatan strategi yaitu National Security
Strategy tahun 2002 sebagai landasan pemilihan kebijakan tertinggi Amerika Serikat.
Kedua, AS menentukan kepentingan nasionalnya. Menurut U.S. Army War
College, AS memiliki tiga kepentingan utama yaitu keamanan fisik, promosi nilai-
nilai AS dan kemakmuran ekonomi. Tiga kepentingan ini kemudian menghasilkan
tiga grand strategy yaitu memelihara keamanan AS, mendukung perekonomian AS
dan mempromosikan nilai-nilai AS. Donald E. Nuechterlein memberikan dua
tambahan kepentingan utama lagi yaitu keamanan dalam negeri dan membuat tatanan
dunia yang menguntungkan bagi AS dan sekutunya (Bartholomees 2010:56).
Langkah ketiga adalah menentukan intensitas kepentingan. Intensitas
kepentingan dalam teori strategi menurut U.S Army War College dan Neuchterlein
(dalam Bartholomees 2010:56) terbagi menjadi empat yaitu survival, vital, penting
dan peripheral. Intensitas Kepentingan AS dalam merespon konflik Suriah – Israel
periode 2002 - 2008 tergolong dalam kepentingan nasional yang penting karena bila
64
tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan dengan cepat dan akan berimbas pada
kepentingan nasional yang utama.
Keempat, Pemerintah AS mengumpulkan informasi secara komprehensif
mengenai dinamika konflik Suriah Israel beserta potensi konflik dan perdamaian di
antara kedua negara (Bartholomees 2010:56). Informasi yang dikumpulkan oleh
pemerintah AS mengenai konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 seperti yang
terangkum dalam laporan Carol Migdalovitz (2010:52) seorang ahli Timur Tengah
dalam lembaga penelitian Kongres AS (Congressional Research Service). Salah satu
informasi yang dibahas dalam laporan ini terkait dengan alasan dukungan AS pada
serangan Israel ke reaktor nuklir Suriah pada 6 September 2007. Laporan ini
menyebutkan bahwa pada 24 April 2008, Penasehat Kebijakan Keamanan Nasional
Stephen Hadley dan Direktur Central Inteligent Agency (CIA) Michael Hayden dan
Direktur Federal Bureau Intelligence (FBI) Mike McConnel hadir di Kongres AS.
Mereka melaporkan bahwa target serangan Israel ke Suriah tanggal 6 September 2007
adalah reaktor nuklir Suriah di daerah Deir ez-Zor yang pembangunannya didukung
oleh Korea Utara. Menurut Hayden reaktor tersebut mampu memproduksi satu
senjata pemusnah masal jika tidak segera dihancurkan oleh Israel (Migdalovitz 2010:
53).
Informasi lainnya berasal dari laporan Iraq Study Group, yaitu sebuah
kelompok yang dibentuk oleh Kongres AS pada Maret 2006. Iraq Study Group
diketuai oleh Mantan Menteri Luar Negeri AS James A. Baker dan mantan anggota
65
Kongres AS dari Partai Demokrat Lee H. Hamilton sebagai wakil ketuanya, bersama
10 orang anggota kongres aktif yang terdiri dari lima orang Anggota Kongres dari
Partai Republik dan lima orang dari Partai Demokrat. Tujuan pembentukannya adalah
untuk mencari solusi bagi konflik Irak (Beehner 2006 dalam cfr.org).
Iraq Study Group menyimpulkan bahwa Irak akan stabil dan kepentingan
nasional AS di Timur Tengah dapat terpenuhi jika AS memiliki komitmen yang kuat
dan komprehensif dalam memimpin perdamaian di semua lini khusunya Suriah dan
Israel. Iraq Study Group membuat laporan (2007:39) yang memberikan rekomendasi
agar AS bersikap kooperatif dalam merespon Konflik Suriah - Israel karena:
1. Tidak ada solusi militer yang bisa menyelesaikan konflik di Timur Tengah;
2. Adanya aksioma yang berbunyi jika proses politik berhenti maka akan terjadi
kekerasan pada level realitas;
3. Kepedulian AS kepada Israel sebagai sekutu, agar tidak terus berada dalam
situasi perang abadi;
4. Satu-satunya basis untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah adalah
Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 242 dan 338 dengan prinsip land for
peace;
5. Perdamaian abadi hanya bisa dicapai melalui negosiasi perdamaian seperti yang
terjadi pada Israel – Mesir dan Israel – Yordania;
66
Untuk itu Iraq Study Group merekomendasikan Suriah agar:
1. Menaati Resolusi DK PBB nomor 1701 bulan Agustus 2006, tentang
penghormatan atas kedaulatan Lebanon;
2. Suriah harus mau bekerjasama dengan AS dalam investigasi pembunuhan
Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri dan Mantan Menteri Perindustrian
Lebanon Pierre Amine Gemayel;
3. Suriah harus menghentikan pemberian bantuan kepada Hizbullah dan Iran;
4. Suriah harus menggunakan pengaruhnya untuk membebaskan tentara
Israel yang ditawan oleh Iran dan Hizbullah;
5. Suriah harus berhenti ikut campur dalam pemilihan umum di Lebanon;
6. Suriah harus menghentikan bantuannya kepada kelompok revisionis
Palestina;
7. Komitmen Suriah untuk mempengaruhi Hamas agar memahami hak Israel
untuk berdaulat;
8. Suriah harus mengamankan perbatasannya dengan Irak;
Sebagai ganti prasyarat ini, Israel harus mengembalikan Dataran Tinggi Golan.
AS juga akan memberikan jaminan keamanan Israel berupa pasukan internasional di
perbatasan, termasuk tentara AS jika diminta oleh kedua negara (Laporan Iraq Study
Group 2007:39).
67
Pentingnya informasi ini sebagai pertimbangan dalam memilih strategi yang
diungkapkan oleh Presiden George W. Bush saat publikasi Laporan Iraq Study Group
di Washington DC tanggal 7 Desember 2006:
“and truth of the matter is, a lot of reports in Washington are never
read by anybody. To show you how important this one is, I read it and
Tony Blair read it”(BBC 7 Desember 2006).
“sesungguhnya, banyak laporan di Washington yang tidak dibaca
oleh orang-orang. Untuk menunjukan betapa pentingnya laporan ini,
saya dan Tony Blair (Perdana Menteri Inggris) membacanya”
(terjemahan penulis).
Laporan Migdalovitz tentang informasi yang diberikan pejabat AS di Kongres
merupakan salah satu gambaran informasi yang dipertimbangkan oleh AS untuk
memilih strategi konfrontatif. Disisi lain laporan Iraq Study Group merupakan salah
satu sumber informasi yang dipertimbangkan oleh AS dalam memilih strategi
kooperatif.
Setelah mengumpulkan informasi, Pemerintah AS melakukan langkah kelima
yaitu mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor strategi. Faktor strategi adalah hal-hal
yang berpotensi untuk menambah atau mengurangi pencapaian kepentingan nasional.
Pada proses ini Pemerintah AS mempertimbangkan strategi apa yang paling
berpotensi dalam mencapai kepentingan nasional, bisa berupa mempromosikan,
menghalangi, melindungi atau mengancam Suriah dan Israel (Bartholomees
2010:58). Pada tahap ini pemerintah AS memilih melakukan strategi yang kooperatif
untuk mengamankan kepentingan nasional AS di Timur Tengah dan strategi yang
konfrontatif untuk mengamankan Israel.
68
Selanjutnya dari proses evaluasi faktor strategi, Pemerintah AS menjalani
proses keenam dalam pembuatan strategi yaitu menentukan faktor kunci strategi
berdasarkan ends, ways dan means. Faktor kunci berasal dari interaksi AS dengan
Suriah dan Israel serta dari prioritas kepentingan nasional yang tercantum dalam US
National Security Strategy tahun 2002.
Hubungan AS – Suriah periode 2002 – 2008 diwarnai sejumlah isu seperti
peran Suriah di Lebanon, hubungan Suriah dengan Hizbullah dan Iran, pembunuhan
Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri, dugaan pengembangan senjata pemusnah
massal Suriah yang bekerjasama dengan Korea Utara, hubungan Suriah – Rusia,
permasalahan pengungsi Irak di Suriah dan dinamika konflik Suriah – Israel (Sharp
2008:9-24).
Terkait dengan pembunuhan PM Lebanon Rafiq Hariri dan dugaan keterlibatan
Suriah, Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice memanggil pulang Duta Besar AS
untuk Suriah Margaret Scobey (Sharp 2008:24). Kemudian pada Perang Israel –
Hizbullah 2006, AS kembali menyadari ancaman Suriah atas stabilitas Lebanon
(Sharp 2008:28). Hal ini membuat penasehat kebijakan AS untuk Timur Tengah
terpecah menjadi dua pendapat dan akhirnya sepakat mengirimkan surat rekomendasi
kepada Presiden George W. Bush agar Suriah diundang dalam Konfrensi Annapolis
(Sharp 2008:28-29).
69
Lebih jauh lagi dari sisi ekonomi, pasca di masukannya Suriah ke dalam daftar
negara pendukung terorisme, AS memberikan berbagai sanksi dalam bidang ekonomi
melalui Syrian Accountability Act (Sharp 2008:31-32).
Dalam bidang perdagangan hubungan AS – Suriah diperlihatkan dalam tabel
statistik berikut:
Tabel 4.1 Tabel perdagangan AS – Suriah tahun 2006 – 2007
(dalam juta dollar AS)
2006 2007
Ekspor AS ke Suriah $221,4 $356,7
Impor AS dari Suriah $188,4 $159,4
(dalam juta dollar AS)
Sumber Sharp (2008:25)
Tabel tersebut menunjukan bahwa ekspor AS ke Suriah pada tahun 2006
mencapai 221,4 juta dollar AS. Jumlah ini menungkat menjadi 356,7 juta dollar AS
pada tahun 2007. Sedangkan impor AS ke Suriah menurun dari 188,4 juta dollar pada
tahun 2006 menjadi 159,4 juta dollar AS pada tahun 2007.
Ketujuh, Pemerintah AS merumuskan strategi baik yang kooperatif maupun
yang konfrontatif dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008. Pada
proses ini Presiden George W. Bush bersama pejabat-pejabat terkait, sebagai pembuat
strategi AS harus memiliki kompetensi sistem berfikir yang kreatif, kritis, etis dan
mempertimbangkan waktu (thinking in time) dalam merumuskan strategi
70
(Bartholomees 2010:63). Dalam proses ini pemerintah AS mempertimbangkan
faktor-faktor alami seperti geografi, populasi, sumberdaya alam serta pertimbangan
sosial yang terdiri dari faktor ekonomi, militer, politik dan psikologis-sosial
(Bartholomees 2010:63). Pemerintah AS juga mempertimbangkan dimensi strategi
yaitu penduduk, masyarakat, kebudayaan, politik, etik, ekonomi dan linguistik,
organisasi, administrasi, informasi dan intelijen, teori strategi dan doktrin, teknologi,
operasional, komando, geografi, perselisihan, musuh dan waktu (Bartholomees
2010:64). Elaborasi dari faktor-faktor dan tahapan-tahapan tersebut membuat penulis
menyimpulkan bahwa alasan Amerika Serikat memilih strategi yang terkadang
konfrontatif dan terkadang koperatif dalam merespon konflik Suriah – Israel periode
2002 – 2008 adalah sebagai berikut.
4.1 Amerika Serikat Ingin Mencapai Kepentingan Nasional Bidang
Ekonomi, Kesehatan dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK
Amerika Serikat sebagai great power terbesar (sejak berakhirnya Perang
Dingin) membutuhkan pembaharuan dan revitalisasi ekonomi, militer dan keamanan
untuk menjaga perannya dalam kepemimpinan regional dan global. Salah satu
langkah yang ditempuh guna mencapai hal itu ialah melalui inovasi ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK). Nilai strategis Israel sebagai enam besar negara dengan
inovasi terbesar di dunia membuat AS lebih memprioritaskan keamanan Israel
dibandingkan dengan mengakomodir keinginan Suriah untuk mencapai perdamaian
(Eeisentadt dan Pollock 2012:xii).
71
Kepentingan AS di bidang ekonomi terlihat dari nilai ekspor dan impor AS –
Israel. Pada periode 2002 – 2008, nilai impor AS dari Israel selalu lebih besar dari
nilai ekspor AS ke Israel yang terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 4.2 Nilai Ekspor dan Impor AS – Israel Periode 20002 – 2008
(dalam juta dollar AS)
Tahun Ekspor Impor Balance
2002 7.026,7 12.415,7 -5.389
2003 6.892,1 12.786,6 -5.876,5
2004 9.169,1 14.551,5 -5.382,4
2005 9.373,3 16.830,5 -7.093,1
2006 10.964,8 19.166,8 -8.201,9
2007 12.887,5 20.794,4 -7.906,9
2008 14.486,9 22.335,8 -7.849
Sumber: Website resmi US Departement of Commerce United States Bureau
Pada periode 2002 – 2008, AS selalu mengalami defisit perdagangan dengan
Israel sekitar 5.384 – 8.201 juta dollar AS. Impor barang dari Israel ke AS mayoritas
dalam bidang pertanian, bahan-bahan kimia, peralatan manufaktur, alat-alat optik,
fotografi, kesehatan, bahan perakitan kapal laut, roket dan pesawat, senjata dan
amunisi (Website Resmi Biro Statistik Israel www1.cbs.gov.il).
Dari tabel 4.3 diketahui bahwa ekspor AS ke Israel sebesar 12,8 milyar dollar AS
dan impor dari Israel ke AS sebesar 20,7 milyar dollar AS. Maka jumlah intensitas
perdagangan AS – Israel tahun 2007 mencapai 33,6 milyar dollar AS (Website resmi
72
US Departement of Commerce United States Bureau). Jika jumlah ini dibandingkan
dengan intensitas perdagangan AS – Suriah tahun 2007 yang hanya berjumlah 356,7
juta dollar AS (ekspor AS ke Suriah) dan 159,4 juta dollar AS (impor AS dari Suriah)
dan totalnya 516,1 juta dollar AS. Maka besar intensitas perdagangan AS – Israel
mencapai 65 kali lipat intensitas perdagangan AS – Suriah tahun 2007 (Sharp
2008:25). Israel juga merupakan negara pemasaran barang dan jasa AS urutan ke-19
di dunia (Pomerantz 2007:131).
Defisit perdagangan AS terhadap Israel juga memperlihatkan keunggulan Israel di
bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi (IPTEK),
kesehatan, obat-obatan dan keamanan. Dalam bidang pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM), Israel berhasil menciptakan 10 dari 1.000 lapangan kerja bagi
pekerja AS, baik dalam spesialisasi bidang teknologi informasi, pembangunan
sumber daya medis, dan pertahanan. Di bidang teknologi informasi, Israel masuk
dalam dua puluh besar penanam investasi langsung di AS (Eeisentadt dan Pollock
2012:xii).
Keunggulan Israel membuatnya menjadi negara yang potensial bagi kepentingan
nasional AS. Oleh karena itu sejak tahun 1981 AS – Israel telah menandatangani
Memorium of Understanding sebagai kerangka berpikir dalam mengadakan
konsultasi dan kerjasama peningkatan ketahanan nasional kedua negara. AS – Israel
juga telah menandatangani nota kesepahaman Strategic Defence Innitiative sejak
tahun 1986 dan isu yang menjadi perhatian dalam kerjasama ini terus berkembang
seperti dalam pembuatan sistem pertahanan dari peluru balistik. Pada tahun 2007, AS
73
juga menjadikan Israel sebagai partner penelitian strategis dalam usaha
kontraterorisme (Zanoti 15-16).
AS – Israel juga melakukan sharing peningkatan teknologi keamanan nasional
dan intelijen. Hasil sharing ini adalah AS memiliki teknologi kapal tanpa awak yang
sangat berguna dalam mengumpulkan informasi intelijen dan pertempuran. Israel
juga merupakan salah satu negara di dunia yang paling aktif dalam mengembangkan
pelindung kendaraan lapis baja, perisai roket jarak dekat, teknik perlindungan
pasukan dan penggunaan teknologi robotik (Blackwill dan Slocombe 2011:9-10).
Sehingga dengan melakukan kerjasama keamanan dengan Israel AS bisa
meningkatkan kualitas kendaraan lapis bajanya, meningkatkan kualitas roket jarak
dekat dan perlindungan pasukan dengan teknologi robotik.
AS dan Israel juga mengadakan kerjasama cybersecurity yang substansial. Israel
adalah penemu intel (chip komputer), penemuan ini menyumbangkan 40% dari
keuntungan perusahaan komputer AS. Desain dan teknik algoritma Israel merupakan
kunci untuk mengamankan transaksi finansial dan telekomunikasi AS. Keunggulan
Israel di bidang teknologi informasi membuat sebagian besar perusahaan teknologi
tinggi AS seperti Microsoft, Apple, Cisco, Abbott Laboratories, IBM, Google, GE,
dan General Motors meletakkan pengaturan inkubator teknologinya di Israel
(Eeisentadt dan Pollock 2012:xii).
74
AS juga memperoleh kepentingan nasionalnya dengan keunggulan Israel
dibidang teknologi penelitian kesehatan dan obat-obatan. Sebagian besar perusahaan
manufaktur obat-obatan Israel beroperasi di AS. Contohnya perusahaan Israel
bernama Teva yang menjadi manufaktur obat-obatan generik terbesar di dunia
sebagian besar perusahaannya beroperasi di AS. Perusahaan Teva tersebar di 30
wilayah di seluruh AS dan menyerap lebih dari 7.000 tenaga kerja. Teva juga
membantu AS menghemat anggaran kesehatan sebesar 217 milyar dollar AS karena
memberikan harga murah untuk obat-obat generik (website resmi Teeva
tevagenerics.com). Israel juga merupakan negara dengan jumlah pemilik hak paten
dibidang peralatan kesehatan terbanyak didunia. Institut Weizman telah
mengeluarkan ribuan produk kesehatan dan mendapatkan royalti dengan jumlah
terbesar di dunia. Lebih jauh lagi dari 322 milyar dollar AS pasar peralatan kesehatan
dunia, pasar Israel mencapai 1,8 milyar. Jika dihitung sebagai pendapatan perkapita
maka Israel urutan keempat di dunia produsen alat-alat kesehatan (Eeisentadt dan
Pollock 2012:xiii).
Lebih jauh lagi teknik, prosedur dan produk obat-obatan dan kesehatan Israel
telah diterapkan di AS. Hal ini membuat Israel telah berkontribusi secara langsung
bagi kesehatan dan ekonomi AS dengan mengurangi biaya kesehatan, membuka
lapangan kerja baru, meningkatkan produktifitas pekerja AS dan menambah
kesuksesan manufaktur biomedis AS (Eeisentadt dan Pollock 2012:xiii).
75
4.2 Doktrin Bush sebagai Konsep Pembuatan National Security Strategy 2002
Alasan kedua yang menjadi pertimbangan AS dalam merespon Konflik Suriah –
Israel periode 2002 – 2008 adalah adanya Doktrin Bush. Doktrin Bush merupakan
salah satu landasan pemikiran yang mengilhami pembuatan National Security
Strategy 2002 serta implementasi strategi yang dipilih AS dalam merespon Konflik
Suriah – Israel periode 2002 - 2008. Doktrin Bush memiliki empat elemen utama.
Pertama, kepercayaan mengenai rezim domestik negara. Kedua, sebuah kebijakan
baru bernama preventive war. Ketiga, kemampuan bertindak secara unilateral sesuai
kebutuhan. Keempat, menciptakan hegemoni Amerika Serikat (Jervis 2003:366).
Doktrin pertama yaitu kepercayaan akan pentingnya rezim domestik negara dalam
menentukan kebijakan luar negeri dan menentukan waktu yang tepat untuk
mentransformasikannya ke politik internasional. Amerika Serikat memiliki pihak
yang menentang hubungan AS - Suriah dan menentang strategi kooperatif untuk
merespon konflik Suriah - Israel. Kelompok penentang ini disebut dengan kelompok
Neokonservatif.
Neokonservatif generasi pertama awalnya merupakan terminologi yang
digunakan oleh Michael Harrington untuk menamai sekelompok orang Amerika,
yang mayoritas keturunan Yahudi dan anti terhadap Uni Soviet. Kemudian
Neokonservatif generasi kedua (yang ada pada periode penelitian) berkembang
menjadi kelompok intelektual yang mendukung kebijakan luar negeri Hawkish (Celik
2005:21).
76
Kebijakan Luar Negeri Hawkish adalah kebijakan luar negeri yang cenderung
menggunakan aksi koersif, kekuatan militer dan meragukan efektivitas dari sebuah
konsesi yang berbentuk negosiasi (Kahneman dan Renshon, 2006 dalam artikel
foreignpolicy.com). Kelompok Neokonservatif dengan patron Hawkish dalam
pemerintahan AS periode 2002 - 2008 diwakili oleh Wakil Presiden Dick Cheney dan
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld serta tokoh-tokoh sentral dalam pemerintahan
AS seperti John Bolton (Duta Besar AS untuk PBB), Wolfowitz (Wakil Menteri
Pertahanan AS kemudian menjabat sebagai Presiden Bank Dunia), Douglas Feith
(Wakil Menteri Pertahanan), Richard Perle (Ketua Defense Policy Board Advisory
Committee) dan David Wurmser (Penasehat Kebijakan Timur Tengah AS) (Heilburnn
106-107).
Neokonservatif sebagai ideologi dalam kebijakan luar negeri AS mempunyai lima
prinsip yaitu internasionalisme, keunggulan (primacy), unilateralisme, militerisme
dan demokrasi. Internasionalisme yaitu keyakinan bahwa AS harus memainkan peran
aktif dalam sistem internasional untuk menjamin pencapaian kepentingan
nasionalnya. Keunggulan, yaitu menjaga tatanan dunia yang unipolar dengan AS
sebagai pemimpinnya dan mencegah munculnya negara pesaing yang dapat
mengubah sistem regional atau internasional. Unilateralisme yaitu menggunakan
power AS secara unilateral untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia.
Militerisme maksudnya untuk menjaga keunggulan dan kemampuan bertindak secara
unilateral, AS harus memiliki kapabilitas militer yang melebihi negara-negara lain
77
yang ada di dunia. Prinsip terakhir adalah demokrasi yang merupakan salah satu nilai
fundamental AS yang harus disebarkan ke seluruh dunia (Vaisse 2010:3-7).
Hubungan antara kelompok neokonservatif AS dengan Israel menurut Jacob
Heilbrunn dalam MacDonald (2008:1) adalah neokonservatisme yang merupakan
seperangkat pemikiran yang dibentuk oleh pengalaman imigran Yahudi yang
mengalami holocaust dan pada abad 21 ini berjuang melawan totalitarianism.
Kelompok neokonservatif telah menjadikan Suriah target konfrontasi AS jauh
sebelum peristiwa 9/11 yaitu sejak dikeluarkannya laporan strategi clean break tahun
1996. Clean Break adalah laporan strategi yang ditulis oleh kelompok Neokonservatif
AS yang terdiri dari Richard Perle, James Colbert, Charles Fairbanks, Douglas Feith,
Robert Loewenbarg, David Wurmser dan Meyrav Wurmser sebagai rekomendasi
bagi pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menghadapi
tantangan ketika ia menjabat. Isinya adalah rekomendasi untuk membatalkan konsep
land for peace yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Israel dan agar Israel
fokus pada realitas regional balance of power dengan pendekatan realpolitik dan
menggantungkan diri pada aksi dan sumberdaya AS (Institute for Research: Middle
Eastern Policy Inc. 2003:2).
Isi dari Strategi Clean Break adalah agar Perdana Menteri Netanyahu, dalam
berkonflik dengan Suriah harus melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan
dukungan Kongres AS, meyakinkan AS untuk mempertanyakan legitimasi
pembicaraan damai yang telah dilakukan dengan Suriah, menangkal Suriah dengan
melakukan serangan langsung, menolak konsep land for peace untuk mengembalikan
78
Dataran Tinggi Golan dan melakukan pembicaraan dengan Suriah dan Iran terkait
masalah (Lebanon Institute for Research: Middle Eastern Policy Inc. 2003:3).
Menteri Pertahanan Israel Shaul Mofaz mengatakan bahwa “kami memiliki
sebuah daftar masalah panjang dengan Suriah yang menurut kami harus dibereskan
oleh Suriah dan wajar jika itu harus dilakukan melalui tangan AS” (Mearsheimer
dan Walt 2010:433). Pernyataan ini menandakan adanya usaha Israel untuk
mempengaruhi pemerintah AS dalam memilih strategi pro- Israel dalam kaitannya
dengan Konflik Suriah – Israel.
Jika Kelompok Neokonservatif merupakan sekumpulan orang-orang yang
disatukan dengan ideologi neokonservatisme, maka ada pula institusi legal yang
mengimplementasikan prinsip-prinsip neokonservatif. Institusi yang berideologi
neokonservatif diantaranya American Israel Public Affairs Committee (AIPAC),
American Jewish Committee (ACJ), American Jewish Congress, American for Peace
Now, Anti – Defamation League, Foundation for Middle East Peace, The Israel
Project dan S. Daniel Abraham Center for Middle East Peace (Zanotti 2012:34).
Seluruh institusi pro-Israel ini disebut sebagai kelompok Lobi Israel oleh Profesor
John Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam bukunya “Dahsyatnya Lobi Israel”
(2010:174).
Salah satu kelompok yang penulis bahas adalah American Israel Public Affairs
Committee (AIPAC) yang mempromosikan legislasi strategi konfrontatif terhadap
Suriah di Kongres AS (Mearsheimer dan Walt 2010:432). AIPAC adalah organisasi
Zionis-Amerika yang didirikan oleh I.L Kenen pada tahun 1959. AIPAC
79
mengandalkan kontak dengan para legislator untuk mengamankan kepentingan Israel
di AS (Mearsheimer dan Walt 2010:185-186). Contoh keberhasilan kelompok
neokonservatif dan AIPAC dalam melobi pemerintahan Presiden Bush dan Kongres
adalah disetujuinya Syrian Accountability Act 2003.
Presiden Bush awalnya menolak Syrian Accountability Act yang diajukan
Kongres pada 2002 karena takut legislasi itu dapat merusak upaya penciptaan
stabilitas di Irak dan dapat membuat Suriah menghentikan pemberian informasi
intelijen yang berguna kepada Washington dalam menangani Al Qaeda. Kongres
setuju menunda legislasi ini sampai Baghdad benar-benar dikuasai AS. Setelah
Presiden Irak Saddam Hussein jatuh dari kekuasannya maka kelompok
neokonservatif dan AIPAC kembali melobi Presiden Bush dan Kongres
(Mearsheimer dan Walt 2010:432).
Akhirnya Presiden Bush setuju menandatangani Syrian Accountability Act
walaupun dengan keengganan. Keengganan ini dibuktikan dari pernyataan salah satu
pejabat senior di Gedung Putih bernama Flyn Leverett bahwa:
”Dalam komunikasinya dengan Presiden Suriah, Presiden Bush selalu
mengakui kerjasama AS dan Suriah efektif dalam membendung Al
Qaeda. Meloloskan Syrian Accountability Act sama artinya dengan
memutuskan simbiosis mutualisme ini dan Presiden Bush mengakui
bahwa strategi konfrontasi ini bisa membuat AS menanggung resiko”
(Mearsheimer dan Walt 2010:436).
Pengesahan Syrian Acountability Act memperlihatkan keberhasilan Kelompok
Neokonservatif dan Kelompok Lobi Israel dalam mempengaruhi Presiden George W.
Bush. Oleh karena itu, menurut penulis prinsip-prinsip ideologi Neokonservatif juga
80
mempengaruhi pembuatan doktrin Presiden Bush. Kemudian Doktrin Bush
mempengaruhi US National Security Strategy tahun 2002. Asumsi penulis ini senada
dengan pendapat Vaisse (2010:9) bahwa pemerintahan Presiden Bush banyak
dipengaruhi oleh kelompok neokoservatif karena Presiden Bush menjadikan tokoh
neokonservatif seperti Paul Wolfowitz dan Richard Perle sebagai penasehat strategi
AS di Timur Tengah.
Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan
National Security Strategy 2002
Sumber: Ilustrasi dibuat oleh penulis berdasarkan penjabaran Prinsip Neokonservatif
(Vaisse 2010:3-7), Doktrin Bush (Jervis 2003:365) dan US National Security Strategy
2002
Hubungan dari isi prinsip neokonservatif, Doktrin Bush dan US National
Security Strategy 2002 penulis ilustrasikan dalam sebuah tabel sebagai berikut.
Prinsip
Neokonservatif
me
Doktrin
Bush
National
Security
Strategy 2002
mempengaruhi mempengaruhi
81
Tabel 4.3 Tabel Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam
Pembuatan Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan National Security
Strategy Tahun 2002
Prinsip
Neokonservatisme
Doktrin Bush US National Security
Strategy 2002
1. Internasionalisme Kepercayaan mengenai
rezim domestik negara
dalam pembuatan
kebijakan Luar Negeri
AS dan menentukan
waktu yang tepat untuk
mentransformasikannya
dalam politik
Internasional
Memperjuangkan
aspirasi martabat
kemanusiaan
Membangun agenda
kerjasama dengan
global power
lainnya
Bekerjasam dengan
negara lain untuk
mencegah konflik
regional
2. Keunggulan AS harus memiliki
keunggulan untuk
menciptakan stabilitas
dan perdamaian di level
regional dan
Mentransformasikan
institusi keamanan
nasional AS untuk
menghadapi
82
internasional tantangan dan
peluang di abad 21
Mempromosikan era
baru pertumbuhan
ekonomi melalui
pasar bebas dan
perdagangan bebas
3. Unilateralisme Unilateralisme
4. Militerisme Preventive War Memperkuat Aliansi
untuk melawan
terorisme global dan
mencegah serangan
kepada AS dan
Aliansi AS
(termasuk Israel)
Mencegah musuh
menggunakan
senjata masal untuk
mengancam AS,
sekutu, negara-
negara sahabat AS
5. Demokrasi Memperluas
83
lingkaran
pembangunan
dengan keterbukaan
masyarakat dan
pembangunan
infrastruktur
demokrasi
Sumber: Prinsip Neokonservatif (Vaisse 2010:3-7), Doktrin Bush (Jervis 2003:365)
dan US National Security Strategy 2002
Doktrin kedua Presiden Bush yaitu preventive war yang kemudian dituangkan
dalam US National Security Strategy 2002, terinspirasi dari prinsip militerisme
kelompok neokonservatif dengan patron hawkish-nya. Hal ini diungkapkan oleh
Profesor John Mearsheimer dalam Kabalan (2010:13), menurutnya neokonservatif
percaya bahwa AS adalah negara dengan power terbesar di dunia dan power ini harus
digunakan untuk membentuk tatanan dunia yang sesuai dengan kepentingan AS.
Sehingga penggunaan power secara militer akan lebih efektif dibandingkan dengan
diplomasi.
Doktrin Bush dan prinsip militerisme melahirkan strategi baru bernama
preventive war. Berdasarkan National Security Strategy tahun 2002, AS boleh
menyerang negara lain terlebih dahulu (preventive war) jika diperlukan demi alasan
84
keamanan untuk menghentikan negara yang jahat beserta aliansi grup terorisnya
sebelum negara teroris tersebut menjadi ancaman dan menggunakan weapon of mass
destruction (senjata pemusnah masal). Maka bisa dikatakan perang melawan teror
yang dicanangkan Presiden Bush sebagai alasan untuk membela Israel dari Suriah,
merupakan strategi ofensif yaitu menyerang sebelum musuh menyerang duluan
(Azpiroz 2012:180). Hal ini terlihat jelas dari dukungan AS pada serangan Israel ke
Suriah pada tahun 2003, Perang Israel – Hizbullah tahun 2006 dan penyerangan
perbatasan di Desa Hwijeh pada 2008.
Kemudian, prinsip kemampuan bertindak unilateral. Ini merupakan karakteristik
dari kelompok Neokonservatif yang tidak percaya pada institusi multilateral (Celik
2005:27). Menurut kelompok Neokonservatif hanya dominasi great power seperti
AS-lah yang bisa mendominasi penentuan norma dunia tentang mana yang boleh
dilakukan negara-negara dan mana yang tidak. Oleh karena itu AS tidak
mempertimbangkan norma saat memilih strategi karena AS-lah yang paling
berwenang membuat norma tersebut. Contohnya saat gagal memimpin perdamaian
antara Suriah dan Israel, padahal dari segi kapabilitas AS adalah negara yang paling
mampu menyukseskan perdamaian ini. AS tidak mempertimbangkan norma dan
stereotype aktor-aktor lainnya akan penciptaan perdamaian abadi, AS hanya
mempertimbangkan kepentingan AS.
Lebih jauh lagi Amerika Serikat sebagai great power memiliki kapabilitas untuk
bertindak sesuai dengan kepentingannya tanpa mementingkan kepentingan aktor lain.
85
AS akan menjadi aktor rasional yang menunjukan pencarian strategi yang tetap dan
menginginkan pilihan yang lebih disukai. Preferensi ini bisa berupa: sikap egois,
menghancurkan diri sendiri, dan lain-lain. Oleh karena itu strategi AS terhadap Suriah
terkesan eksklusif sehingga bersifat kontradiktif mengikuti lingkungan strategis. AS
tidak membutuhkan saran dari PBB maupun aktor lain untuk menentukan strateginya.
Contoh tindakan unilateral AS adalah melakukan veto terhadap tiap resolusi yang
akan dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Israel.
Selanjutnya menciptakan hegemoni AS. Kelompok Neokonservatif berpendapat
bahwa AS sedang menghadapi tantangan dalam mengatur sistem dunia yang unipolar
pasca keruntuhan Uni Soviet. Agar sistem unipolar ini langgeng maka AS harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyebarkan nilai-nilai Amerika
Serikat seperti demokrasi ke seluruh dunia. Menurut Kelompok Neokonservatif,
otoritarian dan teokrasi merupakan akar dari gerakan anti-Amerika dan lahirnya
kelompok teror seperti Hizbullah di Timur Tengah. Usaha menciptakan hegemoni ini
berkaitan erat dengan Doktrin Bush dan dukungan Neokonservatif terhadap strategi
baru bernama preventive war atau perang pencegahan untuk meredam kelompok-
kelompok teror ini dalam menghalangi usaha AS untuk menyebarkan nilai-nilai AS
ke seluruh dunia (Celik 2005:27).
Untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah, AS melakukan usaha-usaha
manajemen hegemoni. Usaha-usaha ini dilakukan melalui strategi balancing yang
bertumpu pada aliansi AS – Israel untuk meredam Suriah yang dianggap sebagai
86
negara revisionis pasca dimasukkan dalam daftar negara pendukung terorisme oleh
Departemen Luar Negeri AS (Country Reports of Terrorism 2008:282).
4.3 AS menciptakan Balance of Power (BoP) di Timur Tengah
Politik Internasional Timur Tengah didominasi oleh beragam konflik (yang bisa
berkembang menjadi eksternalisasi konflik domestik dan bilateral), perang saudara
dan intervensi eksternal dari great power. Great power pada era perang dingin adalah
Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Keduanya tertarik untuk berperan dalam
dinamika Timur Tengah karena sumber daya minyak yang dimiliki Timur Tengah,
lokasinya yang strategis sebagai jalur penghubung Asia dan Eropa serta kepentingan
politik dan ekonomi. Keterlibatan AS dan Uni Soviet mempengaruhi politik regional
khususnya ketika AS dan Uni Soviet berkompetisi melakukan balancing dengan adu
pengaruh terhadap beberapa negara di Timur Tengah atau ketika AS sebagai satu-
satunya great power yang tersisa melakukan manajemen hegemoni. Kompetisi
balancing antar great power dan manajemen hegemoni ini akan menciptakan balance
of power dan mencegah lahirnya hegemoni regional karena negara-negara akan
cenderung beraliansi dengan great power (bandwagoning) (Paul, Wirtz dan Fortmann
2004:202). Oleh karena itu kehadiran negara-negara revisionis seperti Suriah dan Iran
akan dimarjinalkan dan mendapat penangkalan dari great power.
Pasca Perang Dingin dan keruntuhan Uni Soviet balance of power berubah dari
bipolar yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat ke unipolar hanya AS saja. Menurut
analisa penulis, AS menjaga aliansi dengan Israel untuk menjaga hegemoninya
melawan negara-negara yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet seperti
87
Suriah. Sejarah mencatat bahwa keberpihakan negara-negara Arab begitu dinamis
sehingga sering berubah aliansi contohnya Suriah pada Perang Teluk 1990 – 1991
mendukung AS namun saat invasi AS ke Irak tahun 2003 menentang AS. Maka Israel
yang non-Arab adalah sekutu yang paling loyal dan tepat untuk mengakomodir
keinginan dan kepentingan AS di Timur Tengah.
Lebih jauh lagi bagi AS, peran penting Israel di Timur Tengah adalah sebagai
buck-catcher yaitu negara yang menerima tanggung jawab untuk menghadapi
aggressor dari negara buck-passer (AS) (Toft 2003:8). Israel akan membantu AS
menghadapi aktor-aktor di kawasan yang masuk dalam terminologi “musuh” bagi AS
seperti Hizbullah. Keberadaan Israel membuat AS tidak harus selalu turun langsung
dalam menghadapi Hizbullah contohnya Perang Israel – Hizbullah tahun 2006. AS
hanya memberikan bantuan kepada Israel dan Israel-lah yang menyerang Hizbullah
secara langsung.
Menurut analisa penulis konflik Israel dengan Suriah dan negara-negara Arab lain
yang menolak keberadaan Israel juga memberikan keuntungan sendiri pada AS, yaitu
membuat Suriah dan negara-negara Arab tergantung pada AS untuk mendapatkan
kembali daerah yang telah diokupasi oleh Israel melalui jalur diplomasi. Oleh karena
itu, menurut analisa penulis AS harus menjaga kapabilitas militer Israel agar aktor
lain di Timur Tengah, tidak bisa mengalahkan Israel dengan jalur militer. Jika Suriah
bisa mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dengan jalur militer maka Suriah
dan negara-negara Arab tidak memerlukan peran AS lagi di kawasan. Jika negara-
negara di Timur Tengah yang sebagian besar merupakan negara OPEC tidak merasa
88
membutuhkan AS lagi maka ketika terjadi konflik yang disebabkan oleh keberadaan
dan okupasi Israel serta kepentingan AS yang eksklusif maka skenario terburuk (bagi
AS), yaitu embargo minyak seperti tahun 1973 akan terulang lagi. Selain itu jika
tidak ada pengaturan balance of power dari great power seperti AS maka eskalasi
konflik di Timur Tengah akan meningkat seperti munculnya aktor-aktor revisionis
yang ingin mengubah tatanan regional yaitu Iran, Hizbullah, Al Qaeda, Israel, Suriah,
Irak dan akan terjadi perlombaan pengembangan senjata nuklir untuk menciptakan
imperium dan hegemoni di Timur Tengah, seperti yang sudah mulai marak terjadi
pada periode 2002-2008.
AS sebagai Great Power dalam BoP berperan sebagai balancer (Shehaan
1996:77). Fungsi balancer adalah mencegah lahirnya hegemoni suatu negara atau
aliansi terhadap negara-negara lain atau bahkan membuat sebuah imperium dalam
sistem internasional. AS sebagai balancer akan mengeluarkan kebijakan yang penting
dalam menjaga keseimbangan power di Timur Tengah. Implementasinya bisa melalui
fleksibilitas diplomatik, memberikan dukungan bagi Israel untuk melawan Suriah,
atau bahkan melakukan aksi militer terhadap Suriah (Shehaan 1996:65-66).
Balancing (penyeimbangan) adalah mengambil langkah bertanggung jawab secara
langsung untuk menghalangi aggressor (penyerang) yang potensial melalui
pembangunan internal (penyeimbangann internal) atau dengan formasi aliansi
internasional (penyeimbangan eksternal) atau kombinasi dari keduanya (Toft 2003:8).
Lebih jauh lagi Organski dalam Sheehan (1996:54) mengidentifikasi metode yang
digunakan oleh negara-negara untuk menjaga Balance of Power yaitu meningkatkan
89
kemampuan militer, memperluas territorial, membangun buffer zone, beraliansi, ikut
campur dalam masalah internal negara lain atau memecah belah dan menaklukan.
Dalam hal ini, AS meningkatkan kapabilitas militer Israel dengan memberikan
bantuan keuangan yang jumlahnya selalu meningkat, dari tahun 1987 ke tahun 1990
jumlahnya 2,3 milyar dollar AS, tahun 1991-1994 jumlahnya 2,7 milyar dollar AS,
tahun 1995 – 1998 jumlahnya 2,6 milyar dollar kemudian tahun 1999 – 2002
jumlahnya naik drastis menjadi 7 milyar dollar (Cordesman dan Popescu 2007:17).
Jumlah ini merupakan jumlah bantuan militer terbesar yang diberikan AS diantara
negara di Timur Tengah lainnya. Dibandingkan dengan Suriah yang pada tahun 1987
– 1990 mendapatkan bantuan dari Rusia senilai 5,3 milyar dollar AS, tahun 1991 –
1994 turun drastis menjadi 500 juta dollar AS, tahun 1995 – 1998 senilai 200 juta
dollar AS dan tahun 1999 – 2002 senilai 100 juta dollar AS. Jumlah bantuan militer
ini memperlihatkan usaha AS dan Rusia untuk tetap menjaga pengaruhnya dan
menciptakan superioritas militer.
Bantuan ekonomi dan militer yang diberikan AS digunakan oleh Israel untuk
melakukan balancing militer terhadap Suriah dan negara-negara Arab lainnya.
Berikut adalah perbandingan anggaran belanja militer Israel dan Suriah dalam
periode penelitian 2002 – 2008.
90
Tabel 4.4 Military Balance Anggaran Militer Israel dan Suriah
(dalam Milyar Dollar AS)
Sumber: Cordesman 2010:38
Tabel diatas menunjukan bahwa jumlah anggaran militer Israel jauh lebih besar
dibandingkan dengan jumlah anggaran militer Suriah. Aliansi AS menjadi peran
penting dalam membentuk perimbangan konvensional di Timur Tengah.
Perimbangan konvensional adalah waktu dan intensitas sumber daya, maksudnya
negara-negara bisa membuat perubahan signifikan bagi kekuatan dan kelemahan
angkatan militernya dengan perencanaan yang matang, sumberdaya yang memadai
dan pembangunan militer yang tertata dengan baik. Perimbangan militer merupakan
kombinasi dari anggaran belanja negara di bidang militer, bantuan luar negeri,
kapasitas industri nasional dan strategi yang efektif dan perencanaan militer yang bisa
mencapai balance of power di Timur Tengah. Dengan usaha balancing yang
dilakukan AS ini, militer Israel tetap unggul secara kualitas meskipun hanya memiliki
jumlah personil militer yang terbatas (Cordesman 2010:4).
Kemudian AS juga melakukan balancing diplomatik dengan cara menveto
resolusi PBB yang di inisiasi oleh Suriah dan tidak menguntungkan bagi Israel.
Contohnya draft resolusi nomor s/2002/1385 tanggal 20 Desember 2002 terkait
Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Israel 9,672 7,865 10,925 10,864 11,967 10,044 10,098
Suriah 2,020 1,594 1,7431 1,382 1,877 1,551 2,020
91
dengan pembunuhan Ian Hook staf PBB dan penyerangan kantor World Food
Programme di Kamp Pengungsian Jenin, Tepi Barat. Selanjutnya AS juga menveto
draft resolusi nomor s/2003/891 tanggal 16 September 2003 tentang keputusan Israel
untuk mengganti Pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arrafat. AS juga menveto draft
resolusi nomor 14 Oktober 2003 tentang pembangunan pagar keamanan oleh Israel di
Tepi Barat. Kemudian AS menveto draft resolusi nomor s/2004/783 tanggal 5
Oktober 2004, draft resolusi nomor s/2006/508 tanggal 13 Juli 2006 dan draft
resolusi nomor s/2006/878 tanggal11 November 2006 tentang himbauan penghentian
operasi militer Israel di Gaza dan penarikan pasukan dari daerah tersebut (Okhovat
2011:60-61).
Aliansi AS dan Israel pada akhirnya berusaha menciptakan balance of power
untuk meredam kemungkinan saling menghancurkan antara Arab dan Israel serta
meredam kebangkitan negara-negara revisionis yang ingin mengubah tatanan politik
di Timur Tengah. Suriah dan negara-negara Arab tidak akan menghancurkan Israel
karena Israel memiliki sekutu yang sangat kuat (AS) dan senjata nuklir. Israel pun
tidak akan menghancurkan Arab karena menyadari kapabilitas militer-nya yang
walaupun tergolong superior di Timur Tengah namun masih belum bisa mengalahkan
gabungan negara-negara Arab tanpa bantuan AS. Pola seperti ini membuat tidak akan
ada perdamaian abadi di Timur Tengah jika AS sebagai great power tidak
mengizinkan dan tidak benar-benar menjadikan perdamaian sebagai kepentingan
nasionalnya. Maka penciptaan BoP merupakan salah satu alasan pemilihan strategi
92
kontradiktif AS, fungsinya adalah untuk melindungi Israel namun tetap membuka
peluang hubungan dengan Suriah.
Lebih jauh lagi balancing dengan strategi kontradiktif yang dilakukan AS
bertujuan untuk membuat tatanan regional yang menguntungkan bagi AS. Tatanan
regional dimana AS berperan sebagai balancer membuat AS menjadi satu-satunya
negara yang mampu menciptakan stabilitas di Timur Tengah. Efeknya negara-negara
di Timur Tengah seperti Israel, Arab Saudi dan Turki akan cenderung memilih untuk
beraliansi dengan AS. Negara revisionis seperti Suriah juga akan memilih
bekerjasama dengan AS karena ingin mendapatkan wilayahnya kembali melalui
negosiasi perdamaian yang dipimpin oleh AS.
Ketika proses strategic appraisal ini selesai maka Pemerintah AS akan
mendapatkan rekomendasi kepentingan nasional apa yang AS miliki dalam merespon
Konflik Suriah - Israel, mengidentifikasi sumberdaya yang tepat untuk mencapai
kepentingan ini serta resiko dari strategi yang dipilih. Hasil akhirnya, strategi yang
dipilih akan menciptakan efek yang sesuai harapan dan merealisasikan kepentingan
nasional (Bartholomees 2010:64).
92
BAB V
KESIMPULAN
Amerika Serikat merupakan great power yang telah melibatkan diri dalam
proses penyelesaian Konflik Timur Tengah, salah satunya konflik Suriah - Israel,
sejak resolusi Perang 1973. Awal mula keterlibatan AS dalam proses perdamaian
Suriah – Israel adalah ketika negara-negara Arab melakukan embargo minyak kepada
AS karena dukungan AS terhadap Israel dalam Perang Arab – Israel 1973. Konflik
Suriah – Israel yang terjadi pada periode penelitian (2002 -2008) disebabkan oleh
okupasi dan aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan tahun 1967, Konflik
perbatasan, Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah dan Konflik perebutan
pengaruh di Lebanon.
Ada empat hal yang membuat AS menjadi satu-satunya tumpuan dalam
penyelesaian Konflik Arab – Israel. Pertama, AS menjalin hubungan diplomatik yang
luas dengan negara-negara Timur Tengah, khususnya Israel. Kedua, superioritas
perekonomian AS memungkinkan AS untuk memimpin perdamaian di Timur Tengah
dengan cara memberikan bantuan ekonomi dan teknologi bagi pihak-pihak yang
bersedia terlibat dalam proses perdamaian. Ketiga, pasca Perang Dingin, keruntuhan
Uni Soviet menyebabkan negara-negara aliansinya yang berada di Timur Tengah,
seperti Suriah bersedia meminta AS memimpin proses perdamaian. Keempat, AS
adalah satu-satunya aktor yang berhasil mengadakan direct talks antara negara-negara
93
yang berkonflik sehingga mengubah perang terbuka menjadi cold peace melalui
perjanjian damai dan gencatan.
Secara umum strategi AS dalam konflik Suriah – Israel membawa lima fungsi
yaitu pertama, membangun kontak jika kedua pihak tidak berusaha berhubungan.
Kedua, menyelidiki posisi yang menentukan titik temu dan menentukan target yang
akan dicapai. Ketiga, menyediakan persuasi, tekanan dan insentif yang dibutuhkan.
Keempat, menyarankan solusi yang dapat menjembatani kedua belah pihak. Kelima,
menawarkan jaminan yang dapat dipercaya atas implementasi (Fishere, 2008:28).
Tujuan negosisasi Suriah – Israel terbagi menjadi dua hubungan yaitu hubungan
antara kedaulatan di Golan dan perdamaian penuh dan hubungan antara penarikan diri
dan normaliasi. Secara spesifik, landasan Strategi Amerika Serikat dalam merespon
konflik Suriah – Israel pada periode 2002 – 2008 dituangkan dalam National Security
Strategy tahun 2002. Poin National Security Strategy yang dipegang teguh oleh AS
untuk merumuskan strategi adalah bekerjasama dengan negara lain untuk
menyelesaikan konflik regional yaitu Konflik Suriah – Israel.
Strategi ini memiliki dua prinsip. Pertama, Amerika Serikat harus
menginvestasikan waktu dan sumberdayanya untuk membangun hubungan
internasional dan institusi yang dapat membantu menangani krisis lokal saat krisis
tersebut timbul (US National Security Strategy tahun 2002). Kedua, Amerika Serikat
harus realistis tentang kemampuannya dalam membantu negara-negara yang tidak
94
ingin atau tidak siap untuk membantu dirinya sendiri. Ketika pihak-pihak terkait telah
siap atas perannya maka AS akan bergerak dengan jelas (US National Security
Strategy tahun 2002).
Implementasi dari strategi ini adalah mengadakan pembicaraan damai untuk
mengakomodir Suriah dan Israel yaitu Inisiasi Jenewa tahun 2003 dan Konferensi
Annapolis tahun 2007. Kemudian mengadakan shuttle trip untuk mengunjungi Suriah
dan Israel untuk mempersiapkan dimulainya pembicaraan damai. Kedua,
meningkatkan kerjasama dan memberikan bantuan kepada Israel. Ketiga,
mengadakan kerjasama kontra-terorisme dengan Suriah dan Israel. Keempat,
memberikan tekanan kepada Suriah melalui Syria Accountability Act dan menutup
Kedubes AS di Suriah. Kelima mendukung tindakan konfrontatif Israel terhadap
Suriah.
Strategi ini cukup menarik untuk diteliti karena terkadang bersifat konfrontatif
dan terkadang kooperatif. Oleh karena itu penulis menggunakan teori strategi, konsep
balance of power dan kepentingan nasional untuk menganalisa alasan AS memilih
strategi yang kontradiktif ini. Hasilnya penulis menemukan alasan AS memilih
strategi ini adalah pertama, mengamankan kepentingan AS, bukan untuk mencapai
perdamaian Suriah – Israel. Kedua sebagai implementasi dari Doktrin Bush. Ketiga,
AS ingin menciptakan balance of power di Timur Tengah.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Abdou, Mahmoud M.A. 2012 The Middle East Process and U.S Special Interest
Groups. Jerman: Heidelberg University Thesis.
Al-Rousan, Mogammad Ali. 2013. American – Israeli relations during Presiden
Bill Clinton Reign. European Scintific Institute.
Amidror, Yaakov. 2007. The Hizballah – Syria – Iran Triangle. Middle East of
International Affairs Vol 11 No.1.
Axelrod, Robert dan Robert O. Keohane. 1985. “Achieving Cooperation under
Anarchy: Strategies and Institutions”. World Politics, Vol. 38 No. 1: 226-
227. The John Hopkins University Press. Diunduh pada 2 Januari 2015
(http://links.jstor.org/sici?sici=0043-
8871%28198510%2938%3A1%3C226%3AACUASA%3E2.0.CO%3B2-
A)
Azpiroz, Maria Luisa. 2013. Framming as A Tool for Mediatic Diplomatic
Analysis: Study of George W. Bush’s Political Discourse in The War on
Terror. Communicaton & Society Communication Y Sociedad.
BBC 7 Desember 2006. The Misunderestimated President? diakses pada 24
Desember 2014 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/7809160.stm)
BBC 16 September 2014. Syria Profile diakses pada 24 Desember 2014
(http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14703995).
xvi
BBC News. 2014. “Robert Ford is The First US Abassador to Syria Since 2005”
edisi 16 Januari. Diunduh pada 24 Desember 2014.
(http://www.bbc.com/news/world-middle-east-12202821)
Beehner, Lionel. 6 Desember 2006. The Baker Hamilton Commision (aka Iraq
Study Group). Council On Foreign Relations
(http://www.cfr.org/iraq/baker-hamilton-commission-aka-iraq-study-
group/p12010).
Bie, Stale. 2012. Tesis “From Sinai to The Golan Heights: A Comparative
Analysis of Israeli Peace Negotiations”. Master Thesis in Political Science
Institute of Political Science Universitet I Oslo
Biro Statistik Israel, Website Resmi. Data jenis komoditas Ekspor Israel ke AS
pada tahun 2008 diuduh pada 24 Desember 2014
(http://www.cbs.gov.il/fortr/?MIval=%2Fimpexp%2Fimpexp_bycountries
_e.html&TypeOfActivity=1&SortingType=1&FYY=2008&LYY=2011&
SumOrDetail=2&MyContinent=4&MyCountry=505&TypeOfPresentation
=2&MyYear=2008&SortBy=2)
Blackwill, Robert D. Dan Walter B. Scolombe. 2011. Israel A Strategic Asset for
The United States. The Washington Institute for Near East Policy.
Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif: Ekonomi, Komunikasi, Kebijakan
Publik dan Ilmu Sosial Lainnya h.108. Jakarta: Predana Media.
xvii
Bartholomees, Jr. 2010. The US Army College Guide To National Security Issues
Volume 1 Theory of War and Strategy: 49-53. Pennsylvania: Director,
Strategic Studies Institute, U.S Army War College.
Beehner, Lionel. 2006. The Baker Hamilton Commission Council on Foreign
Relations Website diunduh pada 6 Januari 2014
(http://www.cfr.org/iraq/baker-hamilton-commission-aka-iraq-study-
group/p12010)
Ben-Meir, Alon. 2010. Common strategic interests balancing support for Israel
against other American interests. American Diplomacy Publishers.
Benjamin, Daniel. 2008. Strategic Counterterrorism. Foreign Policy at Brookings
Intitution :Washington D.C.
Bradbury, Edward. 2009. US Diplomacy From Wilson to Bush. Review Company
Ltd.
Buzan, Barry dan Ole Waever. 2003. Regions and Powers The Structure of
International Security. New York: Cambridge University Press.
Cato Institute. 2009. Cato Hand Book for Policy Maker 7th
Ed. Washington D.C:
Cato Institute.
Celik, Arif. 2005.Thesis The Role of Neoconservative Ideas In The Security
Policies of The First George W. Bush Administration. Departement of
International Relations Bilkent University Ankara.
xviii
Chary, Frederick B. 2009. Warfare In The Age of Expansion: 587. Diunduh pada
24 Desember 2014
(http://salempress.com/store/pdfs/weapons_warfare.pdf)
CIA, Website Resmi diunduh pada 24 Desember 2014
(https://www.cia.gov/library/publications/the-world
factbook/wfbExt/region_mde.html)
Cordesman, Anthony H. 2011. Terrorism Center Reporting Terrorism in The
Middle East and Central Asia, Augus 2010. Washington D.C: Center for
Strategic and International Studies.
Cordesman, Anthony H, Arleigh A. Burke dan Aram Nerguizan. 2010. The Arab
– Israel Military Balance: Conventional Realities and Assymetric
Challenge. Washington D.C. : Center for Strategic and International
Studies.
Cordesman, Anthony H. dan George Sullivan. 2007. Lesson of the 2006 Israel –
Hizbullah War. Washington D.C: Center for Strategic and International
Studies.
Cordesman, Anthony H. dan Ionut C. Popescu. 2007. Israel and Syria: The
Military Balamce and Prospect of War. Washington D.C: Center for
Strategic and International Studies.
xix
Cordesman, Anthony H. 2007. The Israeli “Nuclir Reactor Strike” and Syrian
Weapons of Mass Destruction: Backgroun Analysis. Washington D.C:
Center for Strategic and International Studies.
Collins, Bennet. 7 Oktober 2010. USA: Status Quo or Revisionist Power?
Diunduh pada 27 Maret 2014 (http://www.e-ir.info/2010/10/07/usa-status-
quo-or-revisionist-power/#_ftn12)
Daalder, Ivo H. dan James M. Lindsay. 2003. The Bush Revolution: The
Remaking of America’s Foreign Policy. The Brookings Institution.
Daoudy, Marwah. 2008. “A Missed Chance For Peace: Israel and Syrians
Negotiations Over The Golan Heights”. Journal of International Affairs
Columbia University: 1-14.
Danielson, Robert Eugene. 2007. Nasser and Pan Arabism: Explaining Egypt’s
Rise In Power. Washington DC : Naval Postgraduate School.
Darmstadter, Joel. 2013. Recalling the Oil Shock of 40 Years Ago h.4. Resources
For The Future.
El Ezzi, Ghassan. 2006. Israel and Peace in Lebanon: A Lebanese Perspective.
Eisenstadt, Michael dan David Pollock. 2012. Asset Test: How the United States
Benefits from Its Alliance with Israel. Washington D.C : The Washington
Institute for Near East Policy.
EMAP Businesss International. 2005. Damascus looks to old ally for support.
xx
--------------------------------------. 2007. Tel Aviv calls for direct peace talks with
Damaskus; lack of US participation raises daibts over success of
negotiations.
Elridge, Alyssa. 2013. No Exit: The Bush Doctrine and Continuity in U.S Middle
East Policy. Stanford Journal of Muslim Affairs.
Facethefactus. Org George Washington University Project.2013. “US Aid From
1964-2010”. diunduh pada 15 Januari 2014
(http://www.facethefactsusa.org/facts/Billions-cant-buy-peace-in-the-
Middle-East)
Fishere, Ezzedine Choukri. 2008. “Againts Conventional Wisdom: Mediating
Arab – Israeli Conflict” h.33. Center for Humanitarian Dialogue.
Foundation for Middle East Peace. 1992. Report on Israel Settlement in Occupied
Territories. Washinton D.C: Foundation for Middle East Peace
Gingrich, Newt. 2005. Defeat of Terror, not Roadmap Diplomacy, Will Bring
Peace. Middle East Quarterly.
Griffiths, Martin; Terry O’Callaghan dan Steven C. Roach. 2007. International
Relations: The Key Concepts Second Editio h. 216-217. Routledge Taylor
and Francis Group.
Goodarzi, Jubin. 2006. Syria and Iran: Diplomatic Alliance and Power Politics in
The Middle East. New York: Tauris Academic Study.
xxi
Golan Al-Marsad. Website resmi Organisasi Golan Al Marsad diunduh pada 24
Desember 2014 (www.golan-marsad.org);
(https://www.facebook.com/pages/Al-Marsad-Arab-Human-Rights-
Centre-in-Golan-Heights/1430895697124379);
(https://twitter.com/golanmarsad)
Hadar, Leon T. 2007. A Diplomatic Road to Damascus: The Benefit of U.S
Engagement with Syria. California: The Independent Institute.
Heilburnn, Jacob. 2004. The Neoconservative Journey dalam Peter Berkowitz,
Varieties of Conservatism in America. Hoover Institution Press.
Hinnebusch, Raymond. 2005. Resisting American Hegemony: The Case of Syria.
University of St. Andrews.
Hof, Frederic C. 2009. Mapping Peace between Syria and Israel. Washington
D.C : United States Institue for Peace .
Holsti, K.J. 1987. Politik Internasional Kerangka Analisa. Jakarta : Pedoman
Ilmu Karya.
International Crisis Group. 2007. Restrating Israel – Syriah Negotiations Middle
East Report No.63.
Institute for Research Middle Eastern Policy Inc. 2003. Clean Break or Dirty
War? Israel Foreign Policy Directive to The United States. Middle East
Foreign Policy Brief.
Iraq Study Group. 2006. Iraq Study Group Report.
Jervis, Robert. 2003. Understanding Bush Doctrine. Political Science Quarterly.
New York: The Academy of Political Science Volume 118 No.3.
xxii
Jones, David T. 2009. Innocent Abroad: An Intimate Account of American Peace
Diplomacy in the Middle East. American Diplomacy Publisher.
Jentleson, Bruce, Andrew M. Exum dan Melissa G. Dalton. 2012. Strategic
Adaptation Toward a New U.S Strategy in The Middle East. Washinton
D.C : Center for New American Security.
Kabalan, Hasan. 2012. US Foreign Policy In The Middle East 2003-2008: The
Power of Neoconservatism. Thesis School of Arts and Sciences Lebanese
American University.
Kaim, Markus. 2008. Great Powers and Regional Orders. United States: Ashgate
Publishing Company.
Kahneman, Daniel dan Jonathan Renshon. 27 Desember 2006. Why Hawks Win.
Diunduh pada 1 November 2014
(http://www.foreignpolicy.com/articles/2006/12/27/why_hawks_win)
Krause, Peter dan Stepehen Van Evera. 2009. Public Diplomacy: Ideas for the
war of ideas. Wiley Periodicals, Inc.
Kurtzer, Daniel. 2012. Balancing Commitments and National Interests. American
Diplomacy Publishers.
Leary, Kimberlyn. 2009. Engaging extremists: diplomacy through
deradicalization. President and Fellows of Harvard College, through the
John F. Kennedy School of Government. by the President and Fellows of
Harvard College.
xxiii
Leverett, Flynt. 2005. The Road Ahead Middle East Policy In The Bush
Administration’s Second Term. Washington D.C: The Brookings Institute.
MacDonald. 2008. The Neoconservative Mind, Review They Knew They Were
Right The Rise of Neocons. The Occidental Quarterly Vol 8 No. 3.
Mandel, Daniel. 2002. U.S. diplomacy: even-handed, empty-handed. Middle East
Quarterly.
Ma’oz, Moshe. 2005. Can Israel and Syria Reach Peace? Obstacle, Lessons and
Prospects. The James A. Baker III Institute For Public Policy Rice
University.
MEDD Middle East Economic Digest. 1994 a. Syria attacks Golan vore proposal.
EMAP Business International.
-----------------------------------------------. 1994 b. It depends on Rabin: Israel, Syria
and Lebanon. EMAP Business International.
Migdalovitz, Carol. 2007. “Israel – Palestinian Peace Process: The Annapolis
Confrence” h.5. CSR Report for US Congress.
Miller, Benjamin. 2007. State, Nations and Great Powers: The Sources of
Regional War and Peace h.154. New York: Cambridge University Press.
Mitchell, George J, dkk. 2001 Sharm El-Sheikh Fact-Finding Committee Report
“Mitchell Report”.
Mitha, Farooq. “Whats Next for Syria After Annapolis Confrence” h.1. diunduh
pada 24 Desember 2014
xxiv
(http://www.gellermithalaw.com/pdf/What%27s%20next%20for%20Syria
%20after%20Annapolis.pdf)
Morgenthau, Hans J dan Kenneth W. Thompson. 2010. Politik Antar Bangsa
(edisi terjemahan) h. 199-200. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Morris, Mary E. 1993. The Persistence of External Interest in the Middle East.
National Defense Research Institute (RAND).
New York Times diunduh tanggal 12 Desember 2014
(http://www.nytimes.com/interactive/2008/05/21/world/middleeast/20080
521_MIDEAST_PRIMER.html?ref=golanheights&_r=0)
OECD, Website Resmi. “Negara-negara Penyumbang Dana Terbesar Bagi Timur
Tengah. Diunduh pada 24 Desember 2014
(http://stats.oecd.org/qwids/#?x=1&y=6&f=2:249,4:1,7:1,9:85,3:51,5:3,8:
85&q=2:249,13,81,82,83,85,91,95,131,141,147,167,183,134,191,223,G9+
4:1,2+7:1+9:85+3:51+5:3+8:85+1:29,27,3,4,5,6,58,7,8,9,10,11,60,12,13,1
4,61,15,16,17,18,62,19,63,75,20,21,22,23,24,176,192+6:2002,2003,2004,
2005,2006,2007,2008&lock=CRS1)
Olmert, Josef. 2011. “Israe’ – Syria; The Elusive Peace”. Digest of Middle East
Studies Volume 20 No. 2 h. 204-206. Policy Studies Organization Wily
Periodicals Inc.
Okhovat, Sahar. 2011. The United Nations Security Council: Its Veto Power and
Its Reform. Sydney: Centre for Peace and Conflict Studies.
xxv
Oren, Michael. 2011. Continuity and change: Israel's relationship with the United
States and the world. Georgetown University, Edmund A. Walsh School
of Foreign Service Washinton D.C : The Saban Center .
Osinga, Frans. 2007. Science, Strategy and War: The Strategic Theory of John
Boyd. New York : Routledge.
Ottaway, Marina. 2008. Diplomacy in the Middle East: Arab allies their own
agendas. Harvard International Relations Council, Inc.
Owen, Roger. 2008. One hundred years of Middle Eastren Oil h.1. Brandaies
University.
Otterman, Sharon. 2005. MIDDLE EAST: The Road Map to Peace.
Parry, Robert. 13 Agustus 2006. Israel Leaders Fault Bush on War dalam
Consortiumnews.com diakses pada 24 Desember 2014
(https://consortiumnews.com/2006/081206.html)
Paul, T.V. James, J. Wirtz dan Michel Fortman. 2004. Balance of Power: Theory
and Practice in 21st Century h. 2, 240. California: Stanford University
Press.
PBS.org. 2002. what role have natural resources played in the politics and
economy of the middle east. Diunduh pada 24 Desember 2014
(http://www.pbs.org/wgbh/globalconnections/mideast/questions/resource/)
Philips, Douglas A. 2010. Syria. New York : Infobase Publishing.
xxvi
Plano, Jack C. dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta :
CV. Putra A. Bardin.
Pomerantz, Sherwin. 2007. Economic Cooperation Israel and The United States:
From Modest Beginnings to a Vibrant State.
Pressident Assad, Website Resmi diakses pada 24 Desember 2014
(http://www.presidentassad.net/index.php?option=com_content&view=cat
egory&id=99&Itemid=468)
Pressman, Jeremy. 2006. The United States and the Israel Syria War. Brandeis
University.
Procon.org diakses pada 24 Desember 2014
(http://israelipalestinian.procon.org/view.backgroundresource.php?resourc
eID=934 )
Quandt, William. 2005. Peace Process American Diplomacy and The Arab –
Israeli Conflict Since 1967. Berkeley and Los Angeles: Brookings
Intitution Press and University of California Press.
Roskin, Michael G. 1994. National Interest: From Abstraction to Strategy.
Strategic Study Institute: US Army War College.
Rabinovich, Itamar. 2010. How to Talk and How Not to Talk to Syria: Assesing
Obstacle to and Opportunities in a Future Israeli-Syrian-American Peace
Negoitation.
xxvii
Repko, Elliot M. 2007. The Journal of International Policy Solutions The Israeli
– Syrian Conflict: Prospect for a Resolution. George Washington
University Elliot School of International Affairs.
Reveron, Derek S. 2008. “Counterterrorism and Inteligence Cooperation”. Journal
of Global Change and Governance Volume I No. 3 h.5,9.
Rhynhold, Jonathan. 2010. Is the pro-Israel lobby a block on reaching a
comprehensive peace settlement in the Middle East? Berghahn Books
Inc.
Roskin, Michael G. 1994. National Interest: From Abstraction to Strategy: 5-6.
Director Strategis Studies Institute: US Army War College.
Rubin, Michael.2009.The Enduring Iran-Syria-Hizbullah Axis. Middle East
Forum. Diunduh pada 14 Desember 2014
(http://www.meforum.org/2531/iran-syria-hezbollah-axis)
Scham, Paul. 16 November 2007. “Annapolis, Nomber 2007: Hopes and Doubts”
h.13. diunduh pada 25 Maret 2014
(http://www.mei.edu/content/annapolis-november-2007-hopes-and-
doubts).
Salem, Paul. 2008 Syrian – Israeli Peace: A Possible Key to Regional Change.
Carnegie Endowment for International Peace.
xxviii
Sharp, Jeremy M. 2010. “US Foreign Assitance to the Middle East: Historical
Background, Recent Trends and The FY 2011 Request” h.7.
Congressional Research Service.
Sharp, Jeremy M. dan Alfred B. Prados. 2007. Syria: U.S Relations and Bilateral
Issues. Congressional Research Service.
Schwab, Klaus dan Michael E. Porter. 2008. The Global Competitiveness Report
2008 -2009. Jenewa: World Economi Forum.
Shalom, Zaki. 2011. The White House Middle East policy in 1973 as A Catalyst
for The Outbreak of The Youm Kippur War. Indiana University Press.
Shindler, Colin. 2008. A History of Modern Israel. Cambridge University Press.
Silva, Marta. 2010 The Annapolis Confrence: a chronic case of too little, too
late? George Washington University: Washington D.C.
Sale, Patrick. Syria Helped US Catch Mrs. Anthrax diunduh pada 14 Desember
2014 (http://www.upi.com/Top_News/2003/05/08/Syria-helped-US-catch-
Mrs-Anthrax/86331052404164/)
Sheehan, Michael. 1996. The Balance of Power: History and Theory h.59.
London and New York : Routledge Taylor and Francais Group.
Silaen, Ruth. 2011. “Latar Belakang Israel Mempertahankan Dataran Tinggi
Golan Pada Masa Pemerintahan Benjamin Netanyahu”. Skripsi S1 Jurusan
xxix
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Veteran Yogyakarta.
Smith, Ben dan Tim Youngs. 2010. “Middle East Peace Process: historical
background and a detailed chronology from 1990 to 2010”. International
Affairs and Defend Section: 2. Library House of Common
Suaramerdeka.com. Serangan Amerika ke Suriah dikecam diakses pada 24
Desember 2014
(http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/10/29/36790/Sera
ngan.Amerika.ke.Suriah.Dikecam)
Suwarno, Windratmo. 2012. “Mediasi dalam Hukum Internasional. Studi Kasus:
Mediasi AS dalam Konflik Suriah – Israel 1991-2000”. Jurnal CMES Vol.
V No.1: 2-18. Pusat Studi Timur Tengah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2007. Metode Penelitian Sosial h.166, 170-175.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Teeva, Website Resmi diunduh pada 24 Desember 2014
(http://www.tevagenerics.com/about-teva-generics/who-we-are).
The Economist. 1995. Opening The Road to Damascus. Economist Intelligence
Unit N.A. Incorporated.
xxx
Thomas, Michael. 2007. American Policy Toward Israel: The power and limits
and beliefs. New York: Routledge.
Toft, Peter.2005. John J. Mearsheimer: An Offensive Realist between Geopolitics
and Power h.6. Copenhagen: University of Copenhagen.
United Nations Website. 2003. “Security Council Meets in Emergency Session
Following Israel Air Strike Againts Syria”. Diunduh pada 12 Agustus
2014 (http://www.un.org/News/Press/docs/2003/sc7887.doc.htm).
United Nations Information System on The Question of Palestine (UNISPAL).
1981. “Resolusi 497 tahun 1981”. diunduh pada 2 Januari 2015
(http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/73D6B4C70D1A92B7852560DF
0064F101)
United States Departement of Commerce United States Bureau. “Trade In Goods
with Israel”. diunduh pada 13 September 2014
(https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5081.html)
United States Energy Information Administration Website. “Total Oil Supply
2002 – 2008”. Diunduh pada 24 Desember 2014
(http://www.eia.gov/cfapps/ipdbproject/iedindex3.cfm?tid=5&pid=53&ai
d=1&cid=ww,&syid=2002&eyid=2008&unit=TBPD)
United States President. 2002. National Security Strategy of The United States.
The White House.
xxxi
United States Departement of State. 2013a. “Milestones 1969-1976: Oil Embargo
1973-1974”.diunduh pada 24 Desember 2014
(https://history.state.gov/milestones/1969-1976/oil-embargo)
------------------------------------------. 2013b. “US Relations With Iran”. Diunduh
pada 24 Desember 2014 (http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5314.htm)
United States Departement of State Publication Office of the Coordinator for
Counterterrorism. 2009. Country Reports on Terrorism 2008.
United States Departement of Trade, Official Website diakses pada 24 Desember
2014 (https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5081.html#2002)
Vaisse, Justin. 2010. Why Neoconservatism Still Matters. Foreign Policy at
Brookings.
Walker, Edward.2002. Hizbullah is a terrorist organization. Middle East Institute
Middle East Quarterly.
Walt Stephen M. dan Mearsheimer. 2010. Dahsyatnya Lobi Israel. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics. US: Addison-Wesley
Publishing Company.
Wilcox Jr., Philip C. 2009. Brokering Mideast peace. The Christian Century
Foundation.
xxxii
World Nuclear Association diakses pada 24 Desember 2014 (http://www.world-
nuclear.org/info/Safety-and-Security/Non-
Proliferation/Appendices/Nuclear-Proliferation-Case-Studies/)
Yarger, Harry R. 2006. Strategic Theory for The 21st Century: The Little Book on
Big Strategy.
Zayani, Mohammed. 2008. Courting and containing the Arab street: Arab public
opinion, the Middle East and U.S. public diplomacy. Association of Arab-
American University Graduates.
Zannoti, Jim. 2012. Israel: Background and U.S Relations. Congressional
Research Service.
xxxiii
Lampiran 1
Wawancara penulis bersama Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia,
Dr. Basham Alkhatib pada tanggal 22 April 2014.
Berikut kutipan wawancaranya:
1. Dr. Basham Alkhatib (Charge d’Affaires)
2. Andhini Citra Pertiwi (Me)
Ambassador : “What can I do for you?”
Me : “First I want you to know that our pray belongs to your country. May
Allah gives you strength and patience through the sad day. Sir, related
to my thesis, I want to know how is the economic, social and political
conditions in Golan Heights?”
Ambassador : “Amin, Thank you. Don’t worry the storm will be passed because we
always believe in Allah SWT. Talking about the Golan Heights, it
cannot be separated with the others Israeli occupied territory, such as
Palestine and Lebanon". Israel occupied those territory after 1967 war
and it's contrary to UN charter. Golan Heights is our territory, the
Golan tree is belongs to Syrian, The Golan water is belong to Syrian
and the Golan People is Syrian. So we will do everything to take it
back. The Israeli only takes an advantage from Golan natural resources
and they don't stop to build settlement and nothing US can do to stop it
because Israel is their ally.”
Me : “So what was the US role to resolve that?”
Ambassador : “The US did nothing to resolve that.”
Me : “How about 2003 peace map and Annapolis Conference?”
xxxiv
Ambassador : “Yes, US held that, but the main purpose was not for creating
everlasting peace in Middle East. But only for US interest. You know
what, in 2003 US Secretary of State Colin Powell met my president
and he said "I can help you to take Syrian territory back, but you
should agree with US invasion in Iraq and you should end your
relationship with Iran, then you also should help us to combat terrorist
in the region. After hearing that, my president decided to walk out
from that meeting. From 1991 Madrid Conference until now we
always stand for not only to taking back our territory but also to
support Palestine and Lebanon to obtain their right. What do you see
from implementation of US peace conference for Middle East? Israel
still continued settlement construction, Palestinian still haven't a
sovereign state, Iraq situation remains poorly and the conflict still go
on so the innocent people still become a victim.”
Me : “Why is it always like that sir?”
Ambassador : “Because, like i said before, US only seeking for their interest. If their
interest is diplomacy, so they'll do diplomacy and if their interest is
war, so they'll do war.”
Me : “How about the incentive sir? Did US give an incentive to Syria to
join in peace conference?”
Ambassador : “Yes a little incentives but every incentives had a consequences and
the consequences is always related to their interest.”
Me : “How about your opinion about bush diplomacy in Syria after 9/11
and after Iraq war?”
xxxv
Ambassador : “If you talk about US, you don't talk about leader characteristic but
you talk about US system. So i think there was no big differences
between Bush Jr or Bush Sr or the others US president.”
Me : “In some President Bush speech, he mentioned Syria as a part of axis
of evil by supporting Hezbullah in creating terror. According to his
speech, the true Syrian mission behind that was to improve the
bargaining position of the Golan Heights issues in any peace talks that
the US held. What's your opinion?”
Ambassador : “Who is the real terrorist in here? who's been stealing the others
country natural resources, who's been occupying the others country
territory, who's attacking Palestinian, who's been never stop to fulfill
their interest? That's the real terrorist I think.”
Me :” In 2005, the US embargoed Syrian because allegedly participating in
the killing of Lebanese Prime Minister Rafiq Hariri. After that US -
Syrian relation was stretchable. What is your opinion about that?"
Ambassador : “There was cool fact about that news. With the God permission, the
sons of Al Hariri, his name is Saad Hariri declared that Syria was not
involved in his father assassination. So, it is more than enough to clear
that news."
Me : “What is the solution to resolve Israel - Syrian Conflict?”
Ambassador : “First, from governmental level, our stands is always clear. We
accepted normalization with Israel if they gives back our territory
included Lebanon dan Palestine territory according to the 1967
international border. Second we should have new civilization and
cultural project which needed cooperation with the others Arab and
Muslim Country including Indonesia. That project can increase our
xxxvi
mutual understanding and solidarity, so our bargaining position in
international arena could be stronger”.
Me : “What is your hope for US to resolve this conflict?”
Ambassador : “We don’t hope to US. We only hope to God. Because Allah who has
everything. And we only can hope to the other Arab or Muslim
country like Indonesia.”