stenosis pilorus
DESCRIPTION
refarat stenosis pylorus radiologyTRANSCRIPT
STENOSIS PILORUS
(Moammar Khadafy, Fatmawaty Zainuddin, Dario A. Nelwan)
I. PENDAHULUAN
Stenosis pilorus adalah penyempitan dari pilorus, yaitu bagian dari
lambung yang menuju ke usus halus. Dalam kondisi normal, makanan akan
dengan mudah melalui lambung menuju ke bagian pertama dari usus halus
melalui katup yang disebut pilorus. Pada Stenosis pilorus, otot otot pilorus
mengalami penebalan. Hal tersebut mencegah pengosongan isi lambung
menuju usus halus. (1)
Stenosis pilorus dapat terjadi pada anak anak maupun orang dewasa.
Pada anak anak, Stenosis pilorus dikenal dengan nama Infantile
Hypertropic Pyloric Stenosis (IHPS). IHPS adalah masalah yang biasa
terjadi pada bayi neonatus dan bayi yang masih muda, kebanyakan terjadi
pada bayi yang berusia 2-8 minggu. Etiologi kelainan ini masih belum jelas.
IHPS ditandai dengan adanya hipertrofi dari otot otot pilorus, terutama
lapisan sirkular, yang mengakibatkan sumbatan parsial bahkan total pada
kanalis pilorus. (3)
Berbeda dengan anak anak, pada orang dewasa, Hypertropic Pyloric
Stenosis adalah gangguan yang jarang menjadi penyebab obstruksi jalan
keluar lambung. Obstruksi pilorus pada orang dewasa dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu obstruksi pilorus primer dan sekunder. Kebanyakan
kasus Hypertropic Pyloric Stenosis yang terjadi merupakan kejadian
sekunder yang timbul akibat adanya penyakit lain, misalnya karena adanya
jaringan parut akibat ulkus gaster atau duodenum dan Carcinoma ataupun
komplikasi dari tukak duodeni. Adapun jika kelainan Hypertropic Pyloric
Stenosis yang terjadi merupakan kejadian primer, maka sama halnya seperti
Stenosis Pilorus yang terjadi pada anak anak, kita akan mendapatkan adanya
hipertrofi dari otot otot pilorus tanpa ada penyebab penyakit lain. (4,5)
1
II. EPIDEMIOLOGI
Stenosis Pilorus lebih sering terjadi pada orang kulit putih keturunan
Eropa Utara, kurang sering pada orang kulit hitam, dan jarang pada orang
Asia.Stenosis pilorik terjadi sekitar 1-4 dari 1000 kelahiran bayi. Kasus ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada perempuan dengan ratio
2:1 hingga 5:1. Biasanya bayi kasus stenosis pilorus didiagnosa pada bayi
yang berusia 2-8 minggu, dan kebanyakan insiden kejadian ini ditemukan
pada bayi berusia 3-5 minggu. Insidens stenosis pilorus terlihat meningkat
pada bayi dengan golongan darah B dan O. (6,7)
III. ETIOLOGI
Penyebab stenosis pilorus belum diketahui, tetapi bermacam macam
faktor telah diketahui terlibat. Inervasi otot yang tidak nomal, menyusui, dan
stress pada ibu pada trimester III telah diketahui ikut terlibat. Lagipula,
peningkatan prostaglandin serum, penurunan kadar nitrat oksidase sintase di
pilorus, dan hipergastrinemia pada bayi telah ditemukan tetapi kemungkinan
merupakan fenomena sekunder yang disebabkan statis dan distensi
lambung. Faktor genetik mungkin berperan. (6)
IV. ANATOMI
2
Gambar 2Gaster, dilihat dari ventralDikutip dari kepustakaan 8
Gaster terletak di dalam perut bagian atas mulai dari hipocondrium
kiri sampai epigastrium dan kadang kadang mencapai regio umbilicalis.
Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila
penuh, berbentuk seperti pir raksasa.(9,10)
Gaster mempunyai dua buah lengkungan atau curvatura yaitu
curvatura minor yang membentuk batas kanan gaster dan curvatura major
yang membentuk batas kiri gaster. Selain itu, gaster mempunyai dua
permukaan yaitu facies anterior dan facies posterior serta dua pintu, yaitu
ostium cardiacum dan ostium pyloricum.(9)
Lambung terdiri dari 5 bagian utama, yaitu: Cardia, Fundus, Corpus,
Antrum dan Pylorus 5. Cardia merupakan bagian yang kurang tegas
batasnya dan didapatkan segera setelah oesophagus masuk ke gaster.
Fundus gastricus merupakan bagian gaster yang letaknya paling tinggi, di
atas dan di sebelah kiri dari ostium cardiacum. Bagian ini biasanya berisi
udara yang ditelan masuk dan itu akan terlihat pada foto roentgen dari
abdomen. Corpus gastricum adalah bagian antara fundus dan pylorus. Pars
pylorica terdiri dari dua bagian yaitu antrum pyloricum dan canalis
pyloricus yang berakhir pada pylorus, yaitu sphincter yang memisahkan
gaster dan duodenum. Musculus sphincter pyloricus tidak mempunyai
struktur seperti sphincter yang sebenarnya. Otot ini berkontraksi secara
sinergis dengan peristaltik pylorus secara keseluruhan.(9,11)
Struktur lapisan dinding lambung sama seperti lapisan dinding
organ saluran pencernaan yang lain namun di lambung terdapat tambahan
lapisan otot oblik yang berperan dalam mendukung fungsi mekanis lambung
dan kemampuan lambung untuk membesar.
Struktur lapisan dinding lambung dari luar ke dalam adalah:
1. Serosa
2. Lapisan otot longitudinal
3. Lapisan otot Circular
4. Lapisan otot oblik
5. Submukosa
3
6. Mukosa muskularis
7. Mukosa termasuk/terdiri dari lamina propria dan epitel kolumnar
lambung beserta kelenjar kelenjar dan pits lambung
Tunika serosa atau lapisan luar merupakan bagian dari peritonium
viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis menyatu pada kurvatura minor
lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke hati, membentuk
omentum minus. Pada kurvatura mayor, peritonium terus ke bawah
membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti
sebuah apron besar.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, tidak seperti daerah saluran
cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan bukan dua lapis
otot polos:lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di tengah, dan
lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini
memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk
memcah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil, mengaduk dan
mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya
ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan aerolar longgar yang
menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini
memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini
juga mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan lipatan
longitudinal disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi lambung
sewaktu diisi makanan.
Pasokan darah lambung didapatkan secara eksklusif dari cabang-
cabang aksis seliaka. Drainase vena lambung mengalir ke sistem portal.
Persarafan lambung. Yaitu trunkus vagal anterior dan posterior berasal dari
pleksus esofagus dan memasuki abdomen melalui hiatus esofagus. Cabang-
cabang hepatika dari n.vagus anterior berjalan ke hepar. Cabang seliaka dari
n.vagus posterior berjalan ke ganglion seliaka dimana cabang ini kemudian
mempersarafi usus ke bagian bawah sampai kolon transversum distal.
4
N.vagus membawa saraf motoris dan sekretoris ke lambung. Saraf sekretoris
mempersarafi bagian yang mensekresi asam lambung yaitu korpus.(10,11,12)
V. PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini patofisiologi yang mendasari disfungsi pilorus pada
penderita hipertorfi stenosis pilorus belum diketahui secara pasti. Namun
berdasarkan hasil penelitian selama 10 tahun terakhir telah ditemukan
hubungan antara lapisan otot yang mengalami hipertrofi dengan jumlah
saraf terminal, marker untuk sel Schawn perifer, peptida, aktivitas sintesis
nitrat oksida, produksi RNA messenger untuk mensintesis nitrat oksida.
Muncul sebuah postulat/dalil bahwa inervasi yang abnormal dari lapisan
otot menimbulkan kegagalan relaksasi dari otot pylorus, meningkatkan
sintesis faktor faktor pertumbuhan, dan akibatnya terjadilah hipertropi,
hiperplasia, dan obstruksi. (2)
Kurangnya sintesis neuronal oksida nitrat sintase pada pleksus
myenterikus adalah faktor penentu yang penting dalam patogenesis
terjadinya hipertrofi stenosis pilorus, seperti halnya patogenesis pada
akalasia, gastroparesis diabetik, penyakit Hirschprung, dan penyakit Chagas. (13)
5
Gambar 1Ilustrasi hipertrofi otot pilorus
Dikutip dari kepustakaan 2
VI. DIAGNOSIS
VI.1 Gambaran Klinis
Muntah tanpa empedu (nonbilious vomitting) merupakan gejala
awal stenosis pilorus. Muntah pada stenosis pilorus merupakan
muntahan yang berasal dari isi lambung yang ditandai dengan muntah
yang berwarna kuning dan kadang berisi makanan yang telah dimakan
sebelumnya, tanpa adanya empedu (yang ditandai dengan muntahan
yang berwarna hijau). Muntah bisa menyembur atau tidak pada
awalnya tetapi biasanya progresif dan terjadi segera setelah makan.
Muntah bisa setiap kali setelah makan atau bisa intermitten. Muntah
biasanya mulai setelah umur 3 minggu, tetapi gejala muncul paling
awal pada umur 1 minggu, dan paling lambat pada umur 5 bulan.
Setelah muntah bayi akan merasa lapar dan ingin makan lagi. Karena
muntah terus menerus, terjadilah kehilangan cairan, ion hidrogen, dan
klorida secara progresif, sehingga menyebabkan alkalosis metabolik
hipokloremik. Kadar kalium serum biasanya normal, tetapi mungkin
ada pengurangan kadar totalnya dalam tubuh. Perhatian yang lebih
besar pada stenosis pilorus telah menyebabkan pengenalan penderita
menjadi lebih awal, dan lebih sedikit yang mengalami keadaan
malnutrisi kronis dan dehidrasi berat.
Ikterus yang disertai dengan penurunan kadar glukuronil
transferase terlihat pada sekitar 5% bayi. Ikterus ini biasanya segera
membaik setelah obstruksinya sembuh. (6)
VI.2 Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, kita dapat melakukan palpasi massa di
pilorus. Massa ini kenyal, bisa digerakan, panjangnya sekitar 2 cm,
berbentuk seperti buah zaitun, keras, paling baik diraba dari sisi kiri,
dan terletak di atas dan kanan umbilikus di midepigastrium di bawah
6
tepi hati. Massa ini merupakan tanda yang sangat khas dalam
menegakkan diagnosis stenosis pilorus.
Pada bayi yang sehat, makan dapat membantu diagnosis. Setelah
makan mungkin ada gelombang peristaltik lambung yang terlihat
berjalan menyilang perut yang bergerak dari kiri ke kanan pada perut
bagian atas. Setelah bayi muntah, otot perut lebih relaks dan bentuk
“buah zaitun” lebih mudah diraba.(6,14)
VI.3 Pemeriksaan Radiologi
Prosedur imaging dicadangkan untuk bayi yang diagnosisnya
tetap meragukan. Ultrasononografi abdomen telah menggantikan
pemeriksaan barium dalam menegakkan diagnosis pada kasus yang
sulit. (6)
VI.3.1 Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen sebenarnya tidak
spesifik untuk menegakkan diagnosis stenosis pilorus. Pada
pemeriksaan foto polos abdomen akan menunjukkan lambung
berisi cairan atau udara yang berlebih, ini menunjukkan adanya
obstruksi lambung. Dilatasi pada lambung dengan incisura
yang berlebih memberi gambaran “Caterpillar sign”. Hal ini
terjadi akibat peningkatan gerak peristaltik lambung pada
penderita. Tanda ini dapat juga ditemukan pada Pneumatosis
gastric sehingga tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis. (13,15)
7
VI.2.2 Maagduodenografi (MD)
Metode pencitraan dengan bantuan kontras radiografi ini
merupakan metode pemeriksaan yang efektif (bahkan lebih
efektif dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasonografi) untuk
menegakkan diagnosis pada bayi dengan gejala klinis muntah
muntah. Bahkan kita bisa menemukan kelainan yang tidak
terdeteksi dengan ultrasonografi dengan menggunakan metode
pencitraan ini, contohnya untuk menegakkan diagnosis malrotasi
dan refluks gastroesofageal. (15)
Pemeriksaan ini tidak membutuhkan persiapan khusus dari
pasien. Kontras yang digunakan adalah barium, bisa peroral
(barium dicampur dengan susu yang diberikan kepada bayi)
ataupun melalui NGT (Nasogastric tube). Pencitraan dilakukan
dengan posisi oblique kanan anterior untuk memfasilitasi
terjadinya pengosongan lambung.
8
Gambar 3Gambar foto polos abdomen yang memperlihatkan
gambaran Caterpillar sign pada lambung yang mengalami hiperperistaltik dan pembesaran.
Dikutip dari kepustakaan 13
Pada pemeriksaan ini kita akan mendapatkan sejumlah
tanda/gambaran untuk menegakkan diagnosis Stenosis Pilorus,
yaitu:
1. Pengosongan lambung yang tertunda (15)
2. Saluran pilorus
yang memanjang,
penonjolan otot pilorus ke dalam antrum yang disebut
9
Gambar 4. Gambaran Air Fluid Level diatas hemidiafragma kanan yang menunjukkan adanya pengosongan lambung yang tertunda.Dikutip dari kepustakaan 16
Gambar 5. Gambaran pengosongan lambung yang tertunda. Tampak kontras melalui pilorus yang menyempit.Dikutip dari kepustakaan 16
“tanda bahu”/shoulder sign (feeling defect pada antrum
akibat prolaps dari otot yang mengalami hipertrofi).(15)
3. Lapisan paralel barium terlihat pada saluran yang
menyempit, sehingga menghasilkan “tanda saluran ganda”
atau double-track sign.(15)
4. String sign merupakan gambaran bayangan kontras yang
melewati saluran pilorus yang menyempit. Kadang-kadang
bisa terlihat bayangan radiolusen diantara bayangan
10
Gambar 7. Gambaran kanalis pilorus yang meyempit dan memanjang (tanda panah).Dikutip dari kepustakaan 17
Gambar 8. Terlihat kontras melalui sela sela mukosa dari kanal, membentuk gambaran double-track sign (ujung panah besar), dengan tambahan saluran di tengah (ujung panah kecil). Tampak impresi massa pada antrum lambung (tanda panah putih), paling bagus terlihat selama peristaltik, gamabaran ini disebut shoulder sign.Dikutip dari kepustakaan 2
kontras barium yang terjadi karena kontraksi dari mukosa
atau dinding pilorus, tampak pengisian bulbus duodenum
yang lambat sekali. (15)
VI.2.3 Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) adalah modalitas pencitraan pilihan
untuk menegakkan diagnostik stenosis pilorus dengan tingkat
akurasi 100%, apabila pemeriksa mempunyai skill yang baik.
USG aman, non-invasif, dan cepat untuk mendiagnosis stenosis
pilorus. Pemeriksaan grey-scale dan colour Doppler secara
simultan dapat lebih akurat dalam mendiagnosis stenosis
pilorus, oleh karena itu, pemeriksaan ini sangat
direkomendasikan untuk diagnosis yang lebih akurat. (18,19)
Ultrasonografi dilakukan dengan transduser frekuensi
tinggi, antara 6-10 MHz linier pada anak terlentang. Semakin
besar bayinya dan semakin dalam pilorusnya maka kita dapat
menambah frekuensinya.(2)
Gambaran USG dari stenosis pilorik adalah sebagai
berikut : (19,20)
11
Gambar 9. Gambaran string sign Diambil dari kepustakaan 15
- Ketebalan otot (serosa pada mukosa) > 3 mm
- Diameter pilorus (Target sign) > 12 mm
- Panjang kanal pilorus (Cervix sign) 14-20 mm (rata rata 17
mm)
- Pada pemeriksaan Colour Doppler akan terlihat positive flow
pada mukosa dan otot pada pilorus.
12
Gambar 10Memperlihatkan gambaran hasil pengukuran dari pilorus. Ukuran
panjang pilorus 21,6 mm (garis nomor 1), ketebalan dinding pilorus 4,6 mm (garis nomor 2), diameter pilorus 9,3 mm (garis
nomor 3). Indikasi adanya stenosis pilorus.Dikutip dari kepustakaan 21
13
Gambar 11Gambar pengukuran ketebalan dinding pilorus.
Dikutip dari kepustakaan 19
Gambar 12Gambar potongan transversal pilorus pada penderita
IHPS, memberikan gambaran target signDikutip dari kepustakaan 19
VI.4 Biopsi
14
Gambar 12Pengukuran panjang kanal pilorus (Cevix sign pada IHPS).
Dikutip dari kepustakaan 19
Gambar 13Pemeriksaan Colour Doppler pada pilorus menunjukkan
vaskularitas pada mukosa dan otot pilorus.Dikutip dari kepustakaan 19
Biopsi terhadap jaringan otot dapat dilakukan ketika melakukan
operasi/pembedahan pyloromyotomi. Setelah dilakukan eksisi dan
pemeriksaan histologi pada lesi didapatkan bahwa mukosa mengalami
hipertrofi dan edema sehingga menyamai tebalnya lapisan otot.
VII. DIAGNOSIS BANDING
VI. Stenosis Duodenum Proksimal
Stenosis duodenum adalah penyempitan dan obstruksi parsial
dari lumen duodenum. Obstruksi duodenum kongenital ini terjadi
akibat kegagalan perkembangan embriologik dari foregut. Bayi
dengan stenosis duodenum akan mengalami muntah muntah persisten
sejak lahir dan muntah bilier. Untuk menegakkan diagnosis dapat
dilakukan pencitraan dengan kontras dimana kita akan mendapatkan
gambaran windsock appearance, yaitu suatu gambaran yang akan
diperoleh apabila jaringan curvilinear yang membawa kontras melalui
sebuah lubang atau saluran yang sangat kecil. Penatalaksanaan untuk
kasus ini adalah dengan laparoscopic duodeno-duodenostomy dan
image-guide ballon dilatation.(6,13,25,26,27)
15
Gambar 14Gambar hasil biopsi dari spesimen otot pilorus (MUS) pada bayi dengan IHPS. Terlihat pembesaran mukosa
(muc).Dikutip dari kepustakaan 22
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pilihan untuk stenosis pilorus adalah pyloromyotomi
Ramstedt. Prosedur ini dilakukan melalui insisi pendek melintang atau
dengan laparoskopi. Massa pilorus dibawah mukosa dipotong tanpa
memotong mukosa dan irisan ditutup kembali. Sebelum bedah dilakukan
harus dilakukan tindakan koreksi cairan, asam basa, dan kehilangan
elektrolit. Pemberian cairan intravena dimulai dengan 0,45-0,9% NaCl,
dalam 5-10% dekstrosa, dengan penambahan kalium klorida dengan kadar
30-50 mEq/L. Terapi cairan harus dilanjutkan sampai bayi mengalami
rehidrasi dan kadar bikarbonat serum kurang dari 30 mEq/dl yang
menyatakan bahwa alkalosis sudah terkoreksi. (6)
IX. PROGNOSIS
16
Gambar 17. Gambaran Stenosis duodeni pada bayi usia 4 bulan., pelebaran duodenum “windsock appearance” kepustakaan 27
Dengan pembedahan, maka gejala/keluhan yang dialami pasien dapat
sembuh atau teratasi. Bayi biasanya sudah dapat mentoleransi makanan
yang masuk dalam frekuensi dan jumlah yang sedikit sedikit beberapa jam
setelah pembedahan. (1)
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaneshiro, Neil K. Pyloric Stenosis. 2 Agustus 2011. (cited:2011, October
2nd). Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001965/
2. Hernanz, Martha et al. Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis. May 2003.
(cited:2011, October 2nd). Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12637675
3. Munir, Akhtar et al. Surgical Management Of Infantile Hypertrophic Pyloric
Stenosis In a District Hospital. July-December 2009. (cited:2011, October
2nd). Available from http://www.gjms.com.pk/files/GJMS%20Vol-7-
2%289%29.pdf
4. Gencosmanoglu, Rasim et al. Primary hypertrophic pyloric stenosis in the
adult: a case report. 2002. (cited:2011, October 2nd). Available from
http://www.turkgastro.org/pdf/449.pdf
5. Hadi,Sujono. Gastroenterologi. Bandung.PT Alumni: 2002. Hal. 232.
6. Wyllie,R. Nelson Ilmu Kesehatan Anak,Edisi ke 15. Jakarta.EGC: 2004. Hal.
1299-1037.
7. Thapa. Pediatric Gastrointestinal Emergencies. 2005. (cited:2011, October
2nd). Available from http://www.medscape.com/viewarticle/502882_4
8. Putz,R.Atlas Anatomi Manusia Sobotta jilid 2.Jakarta.EGC:2007.Hal.128.
9. Wibowo,Daniel S et al. Anatomi Tubuh Manusia.Jogjakarta.Graha
Ilmu:2009.Hal.326-327.
10. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 1. Jakarta.
Penerbit EGC. 2003: hal 417-418
18
11. Keshav,S. The Gastrointestinal System at A Glance. UK. BlacWell Publishers
Company. 2004: page 19.
12. Fanz, Omar., Moffat, David. Anatomy at A Glance. UK. BlacWell Publishers
Company. 2002: page 39.
13. Devos,A.S. et al.Radiological Imaging of the Digestive Tract In Infants and
Children.Newyork.Springer:2008.page118-119, 172.
14. Swartz, Mark H. Buku Ajar Diagnostik Fisik: alih bahasa Lukmanto, Petrus
dkk. Jakarta. EGC. 1995: hal 438
15. Reid JR. Imaging in Hypertrophic Pyloric Stenosis. May 2011. (cited:2011,
October 2nd). Available on http://emedicine.medscape.com/article/409621-
overview#showall
16. Javors,B.R.et al.Radiology of the postoperative GI
Tract.Newyork.Springer:2002.page 97.
17. Patel, Pradip R. Radiologi Lecture Notes. Jakarta. EMS. 2009: hal 240
18. Hardy,Maryann, et al.Paediatric Radiography.UK.Blackwell
Publishing:2003.page 64-65
19. Hussain, Mehboob. Sonographic Diagnosis of infantile hypertrophic pyloric
stenosis use of simultaneous grey-scale & colour doppller examination. July
2008. (cited:2011, October 2nd). Available on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3068743/
20. Misra,R. et al.Radiology for Surgeons.San Fransisco.GMM:2002.page 133-
134.
21. Yamamoto, Lauren. Radiology Cases in Pediatric Emergency Medicine.2004.
(cited:2011, October 8th). Available on
http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/PAP/GITech/TechGIUGIfo
rHPS.shtml
22. Schulman,Marta.et al. In Vivo Visualization of Pyloric Mucosal Hypertrophy
in infants with hypertrophic pyloric stenosis.2001. (cited:2011, October 8 th).
Avalaible on http://www.ajronline.org/content/177/4/843.full.pdf+html
19
23. Chandran, Latta.et al. Vomitting in Children:Reasurance, Red flag, or
referral.2008. (cited:2011, October 8th). Available on
http://pedsinreview.aappublications.org/content/29/6/183.full.pdf+html
24. Sawyer, M. Et al. Gastroesophageal Reflux Imaging.May 2011. (cited:2011,
October 8th). Available on http://emedicine.medscape.com/article/368861-
overview#showall
25. Cerekja, A. Et al. Duodenal stenosis.2011. (cited:2011, October 17 th).
Available on http://www.sonoworld.com/fetus/page.aspx?id=2987
26. Kshirsagar, AY. Et al. Duodenal stenosis in a child.2011. (cited:2011,
October 17th). Available on http://www.afrjpaedsurg.org/article.asp?
issn=0189-
6725;year=2011;volume=8;issue=1;spage=92;epage=94;aulast=Kshirsagar
27. Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik. Jakarta. Balai penerbit FKUI:2005.Hal
408.
20