stemi

12
STEMI TERAPI REPERFUSI PRIMARY ANGIOPLASTY PADA ST ELEVASI MIOKARD INFARK (STEMI) Penyakit kardiovaskuler merupakan peyebab kematian tertinggi di dunia dan telah menjadi masalah global. Menurut data World Health Organisation (WHO) terdapat 7,2 juta kematian seluruh dunia pada tahun 2008 adalah disebabkan penyakit kardiovaskuler. Sedangkan di Amerika Serikat sekitar 400.000-500.000 tiap tahunnya meninggal dunia dan setengahnya meninggal diluar rumah sakit. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, menurut Survey rumah tangga DepKes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25%. Sedangkan menurut data UGD RS Jantung Harapan Kita pada tahun 2009 terdapat 3862 dan tahun 2010 sebanyak 2529 pasien yang didiagnosis sebagai Sindrom Koroner Akut (Ade, 2011), Menurut Moser & Riegel (2008) penyakit kardiovaskuler Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakah salah satu kegawatan pembuluh darah koroner yang disebabkan adanya pengurangan pasokan oksigen secara tiba-tiba (iskemik miokard) yang dipicu oleh robekan plak aterosklerosis akibat inflamasi, thrombosis, vasokontriksi dan mikroembolisasi. Menurut Levick (2003) kondisi iskemik dapat berkembang menjadi infark miokard yaitu nekrosis otot jantung. Spektrum SKA terdiri dari infark miokard akut dengan gambaran elektrikardiologi (EKG) elevasi segmen ST (STEMI), tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan unstable angina pectoris (UAP). Salah satu tipe SKA yang sering menyebabkan kematian mendadak dan merupakan suatu kegawatdaruratan kardiovaskuler adalah tipe STEMI (Irmalita et al, 2009). SKA dengan tipe STEMI merupakan kasus kegawatan pembuluh darah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh multidisiplin tenaga kesehatan untuk penanganannya sehingga mencegah kematian. Prinsip terpenting dalam penanganan SKA tergantung kompetensi tenaga kesehatan terutama perawat dalam hal mengkaji SKA dan menentukan tindakan reperfusi apa yang paling tepat untuk mengatasi penurunan perfusi akibat oklusi pada STEMI. Penanganan Oklusi pada kasus STEMI salah satunya dengan Primary Percutaneus Coronary Angioplasty (Primary PCI) atau sebuah tindakan angioplasty dengan atau tanpa stent yang tidak didahului dengan pemberian regimen fibrinolitik.

Upload: adi-irawan

Post on 05-Nov-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

stemi

TRANSCRIPT

STEMI

TERAPI REPERFUSI

PRIMARY ANGIOPLASTY PADA ST ELEVASI

MIOKARD INFARK (STEMI)

Penyakit kardiovaskuler merupakan peyebab kematian tertinggi di dunia dan telah menjadi masalah global. Menurut data World Health Organisation (WHO) terdapat 7,2 juta kematian seluruh dunia pada tahun 2008 adalah disebabkan penyakit kardiovaskuler. Sedangkan di Amerika Serikat sekitar 400.000-500.000 tiap tahunnya meninggal dunia dan setengahnya meninggal diluar rumah sakit. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, menurut Survey rumah tangga DepKes RI tahun 2008 angka kematian mencapai 25%. Sedangkan menurut data UGD RS Jantung Harapan Kita pada tahun 2009 terdapat 3862 dan tahun 2010 sebanyak 2529 pasien yang didiagnosis sebagai Sindrom Koroner Akut (Ade, 2011),

Menurut Moser & Riegel (2008) penyakit kardiovaskuler Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakah salah satu kegawatan pembuluh darah koroner yang disebabkan adanya pengurangan pasokan oksigen secara tiba-tiba (iskemik miokard) yang dipicu oleh robekan plak aterosklerosis akibat inflamasi, thrombosis, vasokontriksi dan mikroembolisasi. Menurut Levick (2003) kondisi iskemik dapat berkembang menjadi infark miokard yaitu nekrosis otot jantung. Spektrum SKA terdiri dari infark miokard akut dengan gambaran elektrikardiologi (EKG) elevasi segmen ST (STEMI), tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan unstable angina pectoris (UAP).

Salah satu tipe SKA yang sering menyebabkan kematian mendadak dan merupakan suatu kegawatdaruratan kardiovaskuler adalah tipe STEMI (Irmalita et al, 2009). SKA dengan tipe STEMI merupakan kasus kegawatan pembuluh darah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari seluruh multidisiplin tenaga kesehatan untuk penanganannya sehingga mencegah kematian. Prinsip terpenting dalam penanganan SKA tergantung kompetensi tenaga kesehatan terutama perawat dalam hal mengkaji SKA dan menentukan tindakan reperfusi apa yang paling tepat untuk mengatasi penurunan perfusi akibat oklusi pada STEMI. Penanganan Oklusi pada kasus STEMI salah satunya dengan Primary Percutaneus Coronary Angioplasty (Primary PCI) atau sebuah tindakan angioplasty dengan atau tanpa stent yang tidak didahului dengan pemberian regimen fibrinolitik.

Primary Percutaneus Coronary Angioplasty (Primary PCI) merupakan suatu tindakan efektif bersifat segera yang keberhasilan pelaksanaannya membutuhkan pemahaman dan kolaborasi antara dokter dan perawat dalam pelaksanaannya, oleh karena itu kelompok kami akan membahas lebih dalam mengenai terapi reperfusi dengan Primary Percutaneus Coronary Angioplasty (Primer PCI) dan peran perawat dalam melakukan prosedur tersebut. pada kasus STEMI.

STEMI adalah salah satu dari jenis ACS sehingga patofisiologinya dimulai ketika terjadi plak aterosklerosis dalam pembuluh koroner yang merangsang terjadinya agregasi platelet dan pembentukan thrombus. Kemudian thrombus tersebut akan menyumbat pada pembuluh darah dan menghalangi/mengurangi perfusi miokardial. Pada STEMI oklusi yang terjadi bersifat total atau hampir total menyumbat arteri koroner. Data terbaru dari review artikel oleh Hansson menyatakan bahwa penurunan perfusi yang mengarah pada iskemi terutama disebabkan oleh respon inflamasi terhadap plak yang terlepas dan menyumbat arteri koroner bukan penyempitan koroner akibat oklusi plak itu sendiri. Sel-sel miokardium membutuhkan ATP untuk mempertahankan kontraktilitas dan kestabilan impuls listrik dalam menghasilkan konduksi normal (Kristen J.O, 2009)

Saat miokardium kekurangan oksigen akibat terhalangnya perfusi, maka terjadi metabolism anaerob dengan produksi ATP yang sedikit, kegagalan pada system pompa Natrium-Potassium dan Kalsium dan akumulasi asam laktat dan ion hydrogen sehingga menyebabkan asidosis. Proses yang terjadi terbagi dalam tiga fase yaitu, fase iskemia, dimana masih terdapat metabolism aerob disamping terjadinya metabolism anaerob Jika penurunan perfusi terus terjadi maka metabolism aerob terhenti dan metabolism anaerob pun semakin berkurang, fase ini dinamakan fase injury (Kristen J.O, 2009). Selanjutnya, jika perfusi tidak dikembalikan dalam 20 menit maka, akan masuk kefase berikutnya yaitu fase nekrosis sel miokardium yang irreversible (Kristen J.O, 2009) .

Kegagalan kontraksi miokardium akibat jaringan parut yang terbentuk pada daerah nekrosis akan mengurangi cardiac output, perfusi ke organ dan jaringan perifer yang jika semakin berat akhirnya berkontribusi terhadap terjadinya shock. Untuk mengkompensasinya, saraf simpatis mengeluarkan epinephrine dan norepinephrin dalam upaya meningkatkan denyut nadi, tekanan darah dan afterload yang akan lebih meningkatkan kebutuan oksigen miokardium, sementara perfusi koroner terhalang, maka akan mempercepat daerah iskemia menjadi daerah nekrosis sehingga menjadi semakin luas. Efek lain adalah ketika penurunan perfusi berlanjut maka penurunan tekanan darah akan merangsang suatu mekanisme kompensasi pengaktifan sistem RAA (Renin Angiotensin Aldosteron) yang mengakibatkan vasokonstriksi retensi natrium dan air yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan beban kerja jantung (Kristen J.O, 2009) .

Jika oklusi < 6 jam, maka daerah nekrose masih pada subendokardium, dan jika perfusi dapat dikembalikan maka biasanya fungsi miokardium dapat reversible karena daerah nekrose masih kecil, namun jika melebihi 6 jam maka daerah nekrose telah mencapai dinding ventrikel dan dalam 12 jam setelah oklusi progresifitas kerusakan sel semakin meningkat dan menjadi irreversible. Antara 4-7 hari setelah insiden STEMI, maka miokardium menjadi mudah sekali mengalami injuri sehingga dalam 2 minggu pertama resiko berulangnya insiden dapat terjadi kapan saja dan biasanya fatal (10% mortalitas). Setelah 2-3 bulan maka terjadi remodeling dengan jaringan parut yang setelah beberapa bulan menyebabkan dilatasi progresif dan akan mempengaruhi kontraktilitas seluruh miokadium dan meningkatkan resiko CHF, aritmia ventrikel, dan ruptur dinding miokardium dimana saja (Leslie Mukau, 2011).

ST elevation myocardial infarction (STEMI) memberikan gambaran ECG dengan elevasi segmen ST yang menggambarkan adanya oklusi total arteri koroner. Oklusi tersebut akan menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh lapisan dinding jantung (Myrtha, 2012). Kerusakan yang terjadi pada otot jantung pasien STEMI akan berpengaruh pada peningkatan enzim jantung seperti troponin I dan troponin T, CK-MB dan myoglobin. Nyeri yang hebat pada saat istirahat atau dengan aktivitas minimal baik menjalar atau tidak menjalar ke daerah lengan, leher, punggung atau epigastrik merupakan salah satu gejala STEMI. Durasi nyeri lebih lama dan lebih berat daripada Unstable angina akibat kerusakan jaringan infark yang lebih luas jika perfusi tidak dikembalikan (Overbough, 2009).

Menurut Irmalita et al (2009) terdapat 3 manajemen reperfusi pada kasus STEMI yaitu terapi fibrinolitik, Percutaneus Coronary Intervention (PCI) dan bedah pintas koroner. Masing masing penanganan memiliki indikasi dan kontraindikasi yang berbeda. Akan tetapi pada prinsipnya adalah penanganan dini untuk membuat keputusan segera tentang reperfusi yang tepat untuk membatasi proses infark serta mencegah perluasan infark.

Keputusan terhadap pemilihan terapi reperfusi harus mempertimbangankan beberapa kondisi dari pasien, karena harapan hidup pasien Infark Miokard dengan elevasi segmen ST tergantung dari reperfusi yang cepat, komplit dan terus menerus pada pembuluh yang tersumbat. Keterlambatan door to needle atau door to balloon tiap 30 menit akan meningkatkan risiko relative 1 tahun sebanyak 7.5%. Sehingga segala usaha harus dilakukan untuk mempercepat reperfusi (May et al, 2008). Data dari National Registry of Myocardial Infarction melaporkan jika door to balloon time kurang dari 90 menit, maka angka kematian di rumah sakit sekitar 3%, meningkat menjadi 4.2%, 5.7% dan 7.4% jika terjadi keterlambatan 91-120 menit, 121-150 menit dan lebih dari 150 menit. Setiap 15 menit pengurangan door to balloon time dari menit ke 150 menjadi kurang dari 90 menit, akan mengurangi 6.3 kematian per 1000 pasien (Nallamothu, Bradley & Krumholz, 2007). Luca, Suryapranata, Ottervanger, dan Antman (2004) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa setiap menit keterlambatan dalam pengobatan pasien dengan STEMI baik dengan terapi trombolitik atau primary angioplasty akan mempengaruhi prognosis pasien untuk hidup selama satu tahun. Lebih lanjut disampaikan bahwa keterlambatan 30 menit akan meningkatkan risiko satu tahun kematian sebesar 7,5%. Sehingga reperfusi segera mutlak diperlukan, salah satunya adalah dengan Primary PCI.

Menurut Sudoyo et al (2010) Primary PCI merupakan sebuah tindakan reperfusi dengan atau tanpa pemasangan stent yang tidak didahului dengan pemberian regimen fibrinolitik atau obat lain yang dapat melarutkan bekuan darah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk membuka infarc related artery saat terjadinya infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (Keeley & Hillis, 2007). Lebih lanjut, Irmalita et al (2009) menjelaskan beberapa kondisi yang dianjurkan untuk lebih memilih tindakan Primary PCI selain presentasi 3 jam, adalah tersedia fasilitas PCI, waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon (door to balloon) < 90 menit, terdapat kontraindikasi fibrinolitik, terdapat resiko tinggi CHF (Killip 3), diagnosis infark dengan elevasi ST masih diragukan serta waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi dikurangi waktu antara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik adalah kurang dari 1 jam. Sehingga pada saat kondisi diatas maka pemilihan PCI dibandingkan fibrinolitik dianggap lebih efektif. Berdasarkan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat (Fauci et al & Sudoyo et al, 2010).

Efektifitas Primary PCI ditunjukkan juga oleh beberapa hasil penelitian dimana pasien dengan tindakan Primary PCI mengalami penurunan kejadian iskemik berulang, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden kejadian stroke perdarahan lebih rendah (Mahmud, Pajeshki, Keramati, 2005). Selain itu Primary PCI sangat efektif mengembalikan patensi pembuluh darah koroner, memperbaiki fungsi ventrikel kiri dan mengurangi kejadian stroke pada pasien wanita dan lansia (Jacobs et al, 2006). Lebih lanjut Smith et al (2005) juga mengatakan Primary PCI sama efektifnya dengan terapi trombolitik jika pasien datang di bawah 3 jam setelah serangan pertama, akan tetapi bila pasien datang lebih dari 3 jam, maka manfaat trombolisis lebih kecil dibanding Primary PCI. Hal ini didukung oleh studi lain yang mengatakan Primary Angioplasty memiliki kemungkinan keberhasilan 90% untuk mengembalikan segera perfusi darah pada pembuluh arteri koroner yang tersumbat (Heart Institute University of Ottawa, 2009). Selain itu, meskipun tingkat kesulitan dalam prosedurnya cukup tinggi namun dikatakan tindakan PCI adalah tindakan yang aman (Chen,2012).

Prosedur primary PCI dimulai dari pembuatan lubang kecil pada pembuluh darah ekstremitas kaki (arteri femoralis), pergelangan tangan atau daerah siku. Kateter khusus akan dimasukkan ke melalui arteri tersebut sampai menuju ke dalam arteri koroner yang tersumbat. Untuk memudahkan jalan masukknya kateter menuju arteri koroner maka akan dibantu dengan penggunaan bahan kontras dan X-ray yang dapat menunjukkan lokasi penyumbatan (Cleveland Clinic, 2010). Ketika kateter sudah mencapai arteri koroner yang tersumbat maka balon pada ujung kateter akan dikembangkan. Pengembangan balon kateter tersebut akan mendesak dan menghancurkan plak pada pembuluh arteri yang menyumbat sehingga melancarkan kembali aliran darah. Ada beberapa prosedur dilakukan pemasangan stent yaitu berupa logam kecil yang dipasang ketika balon kateter dikembangkan. Balon kateter akan dikempeskan dan ditarik kembali keluar sehingga stent akan tetap berada pada pembuluh arteri yang tersumbat secara permanen untuk mencegah penyumbatan kembali pada arteri tersebut (Heart Institute University of Ottawa, 2009).

Gambar 1. Thrombotic Occlusion of an Artery Associated with Acute Myocardial Infarction and Subsequent Percutaneous Coronary Intervention (PCI). In an occluded infarct-related artery (Panel A), reperfusion can be achieved by the standard means of primary PCI (Panel B) or by the new method of thrombus aspiration (Panel C), followed by stenting.

Meskipun Prosedur tindakan Primary PCI dikatakan aman namun keberhasilannya membutuhkan optimalisasi peran petugas yang terlibat baik dokter maupun perawat. Perawat memiliki peran penting selama prosedur ini diberikan. Peran perawat dalam tindakan Primary PCI, antara lain; mencegah dan mendeteksi dini potensial komplikasi, memberikan pendidikan pada pasien dan keluarga, dan rehabilitasi (Turkish Society of Cardiology, 2007). Peran perawat sebelum, selama dan setelah tindakan Primary PCI adalah sebagai berikut (Society of Interventional Radiology Standards of Practice, 2003; National Heart Centre Singapore, 2012);

Sebelum tindakan

1. Perawat harus mengkaji riwayat kesehatan pasien; indikasi prosedur primary PCI, riwayat pembedahan sebelumnya, pengobatan yang didapatkan, riwayat alergi dan factor risiko vascular.

2. Melakukan pemeriksaan fisik terutama pada ekstremitas bawah jika pemasangan akan dilakukan melalui pembuluh darah ekstremitas bawah. Apabila pasien memiliki riwayat penyakit vascular ekstremitas bawah maka dilakukan pemeriksaan ABPI (Ankle Branchial Pressure Index).

3. Pencatatan hasil pemeriksaan diagnostic arteriografi

4. Memberikan informed consent yang terlebih dahulu diberikan penjelasan mengenai prosedur dan perawatannya sebelum, selama dan setelah tindakan bersama tim yang akan terlibat dalam tindakan primary PCI

5. Evaluasi pemeriksaan laboratorium berupa hemoglobin, elektrolit, hematokrit, ureum kreatinin, gula darah, waktu prothrombin/waktu paruh thromboplastin, hepatitis B, rotgen dada dan EKG

6. Mendiskusikan alternative tindakan lainnya bersama pasien dan tim untuk memungkinkan intervensi yang tepat dalam kondisi kegawatdaruratan

Selama tindakan

1. Pemantauan tanda-tanda vital terutama tekanan darah secara intermiten selama prosedur

2. Mencari akses intravena yang adekuat untuk memberikan cairan dan obat-obat yang dibutuhkan

3. Jika pasien mendapat anestesi maka gunakan pulse oksimetri

4. Mengukur tekanan intraarteri jika diperlukan

5. Pemeriksaan arteriografi harus dilakukan selama prosedur untuk mengidentifikasi komplikasi

6. Mempersiapkan peralatan dan pengobatan resusitasi darurat

Setelah tindakan

1. Mengobservasi pasien saat istirahat tidur di awal post tindakan selama 24 jam

2. Mengobservasi tempat insersi Primary PCI dan status distribusi vascular distal menuju insersi dan tempat angioplasty secara berkala

3. Memantau status hemodinamik dan perdarahan

4. Memantau output urin, keluhan pada jantung berupa nyeri dan lainnya. Termasuk pantau pemeriksaan fungsi ginjal selama 24-48 jam

5. Ambulasi/Pergerakan pasien pada awal post tindakan harus diawasi. Perlu dikaji perfusi vascular, mobilisasi, stabilitas tempat insersi dan tingkat ketergantungan pasien.

6. Pada pasien yang menjalani angioplasti ginjal harus mendapatkan pengawasan ketat tekanan darah selama 24 jam awal dan pertahankan akses intravena untuk resusitasi cairan sesuai kebutuhan

7. Menilai status neurologis setelah pemasangan kateter dalam aorta toraks atau pembuluh darah brakiosefalika secara berkala

Berdasarkan uraian peran perawat diatas, observasi cermat oleh perawat sangat menentukan identifikasi dini resiko yang dapat muncul sebelum, selama dan setelah prosedur.

Tindakan angioplasty pada umumnya aman dan memiliki risiko yang kecil, beberapa kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada prosedur ini yang harus segera dikenali antara lain; alergi terhadap bahan kontras atau bahan stent, pembekuan darah, perdarahan pada tempat penusukan kateter, kerusakan katup jantung atau pembuluh darah, serangan jantung (0,4-4,9%), operasi bypass arteri darurat (0,4%), stroke (0,1%) dan restenosis (Chen, 2012; Committee on Cardiac Service, 2012)

Restenosis atau penyumbatan kembali pada pembuluh darah merupakan salah satu risiko yang akan terjadi setelah pemasangan Primary Angioplasty. Risiko tersebut dapat dicegah degan pemasangan stent (Heart Institute University of Ottawa, 2009). Jenis dari stent juga berbagai macam yang tergantung pada bahan yang digunakan. Penggunaan stent berjenis Paclitaxel Eluting Stents (PES) secara signifikan dapat menurunkan risiko kejadian restenosis dibandingkan dengan Bare Metal Stent (BMS) (Firman, 2010).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa upaya dilatasi arteri koroner merupakan salah satu penanganan terpenting untuk mengembalikan perfusi pada penderita STEMI, hal ini dapat dilakukan dengan prosedur yang disebut Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasti (PTCA). PTCA menjadi salah satu alternatif terhadap operasi pintas koroner untuk beberapa penderita dengan penyempitan aterosklirotik bermakna, yang resisten terhadap terapi medis. Dengan angioplasti pasien mendapat pengobatan yang lebih cepat tanpa harus menanggung resiko dan komplikasi pembedahan jantung terbuka. Tetapi, efektifitas dari angioplasti dalam jangka panjang belum dapat dibandingkan dengan hasil dari revaskularisasi melalui pembedahan karena prosedur ini masih terhitung baru.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Priyanto. (2011). The Role Of Nurse in Acute Coronary Syndrome. Dipresentasikan dalam Seminar Cardiac Emergency Nursing Pre-To-In Hospital Management. Universits Muhamadiyah. Jakarta.

Bueno, H., Betriu, A., Heras, M., Alonso, J.J., Cequier, A., Garcia, E.J., Lopez- Sendon, J.L., Macaya, C. (2011). Primary angioplasty vs. fibrinolysis in very old patient with acute myocardial infarction: TRIANA (TRatamiento del Infarto Agudo de miocardio eN Ancianos) randomized trial and pooled analysis with previous studies. European Heart Journal, 32:51-60.

Central Committee on Cardiac Service. (2012). Percutaneous coronary intervention. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013, dari http://www.ekg. org.hk/pilic/public/Cardiac_PILIC/Cardiac_PercutaneousCoronaryIntervention_0018_eng.pdf

Chen, M.A. (2012). Angioplasty and stent placement-heart. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013, dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/007473.htm.

Cleveland Clinic. (2010). Cardiac catheterization and coronary interventional procedures. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013, dari http://my.clevelandclinic.org/services/angioplasty/hic_cardiac_catheterization_and_coronary_interventional_procedures.aspx

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 17th Edition Harrisons Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw Hill; 2010

Firman, D. (2010). Intervensi koroner perkutan primer. Jurnal Kardiologi Indonesia, 31:112-117.

Heart Institute University of Ottawa. (2009). Cardiac catheterization and angioplasty: a guide for patients and families. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013, dari http://www.ottawaheart.ca/content_documents/Cath-Angio-ENG.pdf

Henriques, F Zijlstra, A W J van t Hof, M-J de Boer, J-H E Dambrink, A T M Gosselink, et al. (2005). Primary percutaneous coronary intervention versus thrombolytic treatment: long term follow up according to infarct location. International Cardiology and Surgery. 92:7579

Huynh, T., Perron, S., OLoughlin, J., Joseph, L., Labrecque, M., Tu, J.V., Theroux, P. (2009). Comparasion of primary percutaneous coronary intervention an fibrinolytik therapy inST-Segment-Elevation myocardial infarction. Circulation, 3101-3109.

Irmalita, Nani Hersunarti, Ismoyo Sunu, Indriwanto, Hannanto, Iwan Dakota, Daniel, Dafsah, Surya dan Isman Firdaus. (2009). Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita edisi 3 . Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah harapan Kita Jakarta

Jacobs A.K, Antman E, Ellrodt, Faxon. (2006). Recommendation to develop strategies to increase the member of ST segment elevation myocardial infarction patient with timely access to primary percutaneous coronary intervention, The American Heart Associations Acute myocardial infarction (AMI) advisor working group Circulation; 113: 2152-2163

Janno Sinaga. (2009). Perbandingan Efektifitas penekanan bantal pasir antara 2, 4 dan 6 jam terhadap komplikasi pada klien paska kateterisasi jantung; a randomized controlled trial. Jakarta: FIK UI

Keeley EC, Hillis LD. Primary PCI for Myocardial Infarction with ST-Segment Elevation. N Engl J Med. 2007; 356:47-54.

Levick. (2003). An Intoducion to Cardiovascular physiology 4 th edition. London: Arnold

Luca, G.D., Suryapranata, H., Ottervanger, J.P., dan Antman, E.M. (2004). Time delay to treatment and mortality in primary angioplasty for acute myocardial infarction: every minute of delay counts. Circulation, 109:1223-1225.

Mahmud E, Pajeshki B, Keramati S, (2005). Highlight of the 2004 Transcatheter Cardiovaskular Therapeutics (TCT) Annual Meeting Clinical Implication. J Am Coll Cardiol; 45: 796-801

May MRL, So DY, Dionne R, Glover CA, Michael P.V. Froeschl, Wells GA, et al. A Citywide Protocol for Primary PCI in ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. N Engl J Med. 2008;358:231-40.

Moser.D.K, Riegel B. (2008). Cardiac Nursing a companion to Braundwalds heart disease. Canada: Saunder-Elsavier

Myrtha Risalina. (2012). Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012

Nallamothu BK, Bradley EH, Krumholz HM. Time to Treatment in Primary Percutaneous Coronary Intervention. N Engl J Med. 2007;357:1631-8.

National heart centre Singapore. (2012). Angioplasti jantung. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013, dari http://www.singhealth.com. sg/PatientCare/Overseas-Referral/bh/Conditions/Pages/Coronary-Angioplasty.aspx#Before

Overbaugh, Kristen J. (2009). Acute Coronary Syndrome: Even nurses outside the ED should recognize its signs and symptoms. AJN May 2009 Vol. 109, No. 5

Patrick T. O'Gara, Frederick G. Kushner, Deborah D. Ascheim, Donald E. Casey, Jr, Mina K. Chung, James A. de Lemos, et al. (2013). A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST- Elevation Myocardial Infarction : Task Force on Practice Guidelines. Journal Of The American Heart Association. 1524-4539

Sigmund S, Albertsson P, Aviles F, Camici P, Colombo A, Hamm C, et al. Guidelines for Percutaneous Coronary Intervention. The Task for Percutaneous Coronary Intervention of the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2005;26:804-47.

Smith S.C, Feldman T.E, Hishfeld, Jacobs. ACC/AHA/SCAI 2005 Guidelines update for Percutaneous Coronary Intervention-Sumary Article. Circulation; 113: 156-175

Smith, S.C., Benjamin, E.J., Bonow, R.O., Braun, L.T., Creager, M.A., Franklin, B.A., et all. (2011). AHA/ACCF secondary prevention and risk reduction therapy for patient with coronary and ther atherosclerotic vascular disease:2011 update. Circulation,

Society of Interventional Radiology Standards of Practice. (2003). Angioplasty standard practice. Journal Vascular Interventional Radiology, 14:S219-S221.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.

Turkish Society of Cardiology. (2007). Nursing care guideline in percutaneous coronary and valvular interventions. Diakses pada tanggal 6 Maret 2013, dari http://www.tkd-online.org/kilavuzlar/ulusal/TKD_NursingGuidelines_Percutaneous.pdf

Walker, C., Reamy, B.V.(2009). Diet for cardiovascular disease prevention: what is the evidence?. American Family Physician, 79(7):571-578. Diakses pada tanggal 13 Maret 2013, dari http://www.aafp.org/afp/2009/0401/p571.html#afp20090401p571-b32