status perkawinan istri akibat suami...
TRANSCRIPT
STATUS PERKAWINAN ISTRI AKIBAT SUAMI HILANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
RIO ARIF WICAKSONO
NIM. 102044225105
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 M / 2008 H
STATUS PERKAWINAN ISTERI AKIBAT SUAMI HILANG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
RIO ARIF WICAKSONO
NIM. 102044225105
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
NIP. 150 169 102
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 M / 2008 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Agustus 2008
Rio Arif Wicaksono
KATA PENGANTAR
��� ا ا���� ا�����
Penulis menyampaikan Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam. Yang telah memberikan taufik dan hidayah sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini. Penulis juga menyampaikan sholawat dan salam kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, yang mengeluarkan umat manusia dari zaman kebodohan.
Sudah sekitar enam tahun penulis bergabung bersama civitas akademika di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama itu pula
penulis belajar, berdiskusi dan menimba ilmu dari para dosen. Suatu proses talabul ilmi
yang mempuyai kesan suka maupun duka.
Penulis teringat akan syair imam Ali KR.A, tentang enam hal yang harus ada dalam
menuntut ilmu yaitu, pandai, semangat, kerja keras, biaya, pengajaran guru, dan waktu
yang panjang. Dalam konteks ini dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan, yang penulis
merasa masih jauh dari harapan ideal tersebut.
Seyogjanya penulis merasakan bahwa sebuah cita-cita harus diraih melalui kerja
keras. Menempuh proses perjuangan yang panjang dan berbagai halangan yang ada.
Begitupun dalam pembuatan skripsi ini memerlukan pegorbanan waktu, pikiran, tenaga dan
harta. Alhamdulillah berkat ridho Allah akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga merasakan selama proses penyusunan skripsi ini telah banyak pihak
yang memberikan bantuan, bimbingan, dan motivasi baik moril maupun materil. Dengan
kerendahan hati izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Akhwal Al-
Syakhsiyyah sekaligus dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran selama membimbing.
3. Bapak Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M. Ag dan Bapak Drs. H. Odjo Kusnara N, M.
Ag dosen selaku dosen penguji I dan penguji II.
4. Bapak Kamarusdiana, S. Ag., Sekretaris Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah.
5. Kedua orang tua penulis, yang dengan kesabaran dan keresahannya memberikan
memotivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa kepada
kakakku dan adikku yang selalu berbagi canda dan tawa baik suka maupun duka.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan memberikan
ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
7. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah
memberikan fasilitas dan kemudahan dalam peminjaman buku referensi.
8. Pimpinan Pondok Pesantren Daar El-Hikam yang telah memberikan bekal ilmu
keagamaan kepada penulis, semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat
ganda.
9. Segenap guru pengajar dan siswa-siswi SMP Plus BLM, terima kasih atas
pengalaman yang diberikan kepadaku selama ini, sehingga penulis bisa lebih
memahami arti dan makna kesosialan.
10. Keluarga besar Pondok Pesantren Daar el-Hikam dan KM UIN dan seluruh pihak
yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.
Semoga skripsi ini menjadi bahan berguna bagi penulis untuk berkiprah di masyarakat
dan mengharumkan almamater Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari sempurna, penulis
berharap kritik dan saran dari para pembaca, sehingga berguna bagi penulis dimasa yang
akan datang.
Jakarta 19 Sya’ban 1429 H
21 Agustus 2008 M
Penulis
‘
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………. 6
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………. 7
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan……………………. 7
F. Sistematika penulisan………………………………………… 8
BAB II PERKAWINAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan ………………………………………. 9
B. Syarat dan Rukun Perkawinan………………………………... 13
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan……………………………… 17
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri………………………………. 26
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SUAMI HILANG
A. Pengertian Umum……………………………………………... 36
B. Status Istri Dalam Perkawinan………………………………… 40
C. Lama Waktu Kepergian Suami……………………………….. 47
D. Analisa Penulis……………………………………………….. 55
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………. 59
B. Saran…………………………………………………………… 60
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 61
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak membenarkan ajaran hidup (tidak
kawin) yang diyakini oleh para rahib (pendeta). Allah menegaskan dalam Al-Quran,
yang artinya :
�ء م��� و��ث ور��ع �� ) 3:3/ا����ء( %�$�#"ا م�!�ب ��� م�� ا��
Artinya: “kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, empat”
Nikah juga disyariatkan oleh Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia.
Sejak Nabi Adam dan Siti Hawa, nikah sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan
Siti Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam islam.1
Sebagai suatu aspek agama, perkawinan adalah merupakan sesuatu yang suci.
Sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan. Karena itu kalau seseorang hendak
melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja seolah-olah
sebagai tindakan permainan, agama islam tidak memperkenankannya. Perkawinan
hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang hanya hendak dilakukan oleh orang-
1 Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan Praktek,
(Sidogiri: Pustaka Sidogiri, t. th), h 83
orang dengan tujuan luhur dan suci, hanya dengan demikian tujuan perkawinan itu
dapat tercapai.2
Lebih dari itu perkawinan tidak hanya memberikan suatu legitimasi untuk
menyalurkan seseorang untuk memperoleh pemenuhan pribadi pada tingkat fisik emosi
dan spiritual, dan dengan demikian mempertahankan stabilitas. Ia juga memberikan
suatu cara yang dapat diterima untuk reproduksi dan dengan demikian
mengembangbiakkan manusia.3
Sehubungan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga / keluarga ini
al-Quran menyebutkan antara lain:
وم� ءای�;: أن 678 ��� م�� أ$5��� أزوا/� ��2���"ا إ�0�� و/.- ����� م+"د+ة ور�(
)21: 30 /ا��وم( إن+ %D ذA B�ی�ت ��?"م ی52�+�ون
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Bila diperhatikan ayat diatas, nampaklah bahwa pertama ditekankan oleh al-
Quran mengenai pernikahan atau hidup berkeluarga ialah tujuannya yakni untuk
memperoleh ketenangan (sakinah), sedangkan ketenangan itu baru diperoleh
dengan adanya rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) diantara kedua
pasangan hidup (suami isteri)
2 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian Di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni,
1982) h. 10.
3 Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (ed), Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987), h. 237.
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa
yang dimaksud dengan perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”
Bahwa ikatan lahir batin merupakan hal penting dari suatu perkawinan
menunjukan bahwa menurut undang-undang ini tujuan adanya perkawinan itu
bukanlah semata-mata untuk memenuhi hawa nafsu semata-mata. Perkawinan
dipandang sebagai suatu usaha untuk mewujudkan kehidupan yang berbahagia
berlandaskan ketuhanan yang maha esa.4
Keluarga merupakan kumpulan dari individu-individu yang satu sama lain
terikat oleh sistem kekeluargaan. Pilar utama keluarga adalah suami isteri atau ayah
dan ibu di mana dari sana berkembang sebuah keluarga besar ciri hidup
kekeluargaan adalah adanya ikatan emosional yang alami, konstan, dan sering
mendalam dalam keadaan normal terdapat rasa saling ketergantungan, saling
membutuhkan serta saling membela.5
Keluarga tentu merupakan satu-satuya institusi yang paling penting dalam
islam, karena ia merupakan unit dasar masyarakat, unit di mana setiap individu
membangun dan mengembangkan hubungan-hubungan primernya sebelum
menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lebih luas.
4 Ibid., h.8
5 Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, (Jakarta
: PT Bina Rena Pariwara, 2005) Cet. Ke-1, h. 2
Dalam unit keluarga ini seorang suami mempuyai peran dan tanggung jawab
dalam wilayah-wilayah tertentu. Seperti bertindak sebagai pelindung dan
pemelihara rumah tangga, menyediakan kebutuhan finansial untuk menjalankan
kehidupan rumah tangga, dan merumuskan kebijaksanaan yang akan berfungsi
tanpa adanya kesewenang-wenangan, sikap otoriter dan kedaliman, dan sikap acuh
dalam keadaan apa pun seorang suami harus menunjukan sikap tanggung jawab
terhadap isterinya. Sebagaimana sabda nabi memberi tahu laki-laki bahwa
� �Lال ،DM+ا�� �N أ�� ه�ی�ة �N ..."2ء 8��ا اس��� ...R"ا����
):�7N 6526)م
Artinya : Dari Abu Hurairoh, dari nabi berkata…berwasiatlah kepada wanita
dengan baik… (Muttafaqun Alaih)
Setelah memberi gambaran singkat tentang masalah perkawinan dan
kewajiban suami, penulis ingin menganalisa kasus yang saat ini dialami oleh
sebagian masyarakat. Di mana isteri ditinggal pergi oleh suami, mungkin karena
sebab suami pergi jauh, menuntut ilmu atau mengalami penculikan tanpa pernah
memberi kabar dan informasi tentang keberadaannya. Sehingga tidak dapat
menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakah status perkawinan isteri jika
mengalami kejadian tersebut. sebab tidak ada kepastian apakah sang suami kembali
atau tidak. Berdasarkan pasal 38 yang membahas putusnya perkawinan, Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi, perkawinan dapat
6 Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Qusairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, (tt: Darul Ihya Kitab
al-Arabi, t. th), Juz. Ke-4, h. 178
putus karena ; a. kematian, b. perceraian, c. atas keputusan pengadilan. Dari latar
belakang inilah penulis tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut
tentang
“STATUS PERKAWINAN ISTERI AKIBAT SUAMI HILANG”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Menyadari karena luasnya permasahan pada hukum perkawinan, maka untuk
fokusnya penulis akan mengetengahkan persoalan yang mengganggu kehidupan
rumah tangga, dengan pembatasan masalah pada status hukum isteri akibat suami
hilang.
2. Perumusan Masalah
Untuk uraian skripsi ini penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai
berikut : Satu keluarga supaya tidak mudah terjadi perceraian, suami dan isteri
dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Dalam keadaan tertentu
diperbolehkan bercerai, seperti karena salah satu pihak meninggalkan selama 2
tahun berturut–turut (penjelasan pasal 39 ayat 2 undang-undang No 1 Tahun 1974 )
dan buku akta nikah suami meninggalkan 6 bulan berturut–turut, demikian pula
dalam fikih Islam.
Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan suami hilang?
2. Berapakah lama waktu hukum positif dan hukum islam membolehkan suami
meninggalkan isteri?
3. Bagaimanakah status isteri akibat suami hilang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun penelitian skripsi ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan tentang maksud suami hilang.
2. Untuk menjelaskan lama waktu hukum positif dan hukum islam membolehkan
suami meninggalkan isteri.
3. Untuk menjelaskan tentang status isteri akibat suami hilang.
Sedangkan manfaat penelitian skripsi ini adalah:
1. Bagi penulis memberikan pemahaman untuk menerapkan ilmu yang telah di
dapat pada masyarakat khususnya bidang keperdataan islam..
2. Memperdalam dan memperkaya penelitian sebelumnya disamping juga
menambah kontribusi khazanah keilmuan pada Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan wawasan dan
pengertian tentang suami yang hilang, batas waktu kepergian suami, dan
menciptakan kehidupan perkawinan yang sakinah, mawadah dan rahmah.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk memperdalam dan memperkaya penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh dikaji dan diteliti oleh saudari Anita Nabilah, program studi Perbandingan mazhab
dan hukum pada tahun 2004 dengan judul “status hukum isteri karena kepergian suami
yang ghaib (tidak diketahui keberadaannya dalam perspektif hukum islam dan hukum
positif)”. Dalam skripsinya ia tidak menjelaskan hubungan antara taklik talak dan
perjanjian pernikahan Sehingga penulisan skripsi ini menambahkan permasalahan
tersebut dan beberapa hal yang diperlukan untuk lebih memperdalam permasalaham
yang dikaji.
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang di lakukan
dengan mempelajari penelitian sebelumnya, mengkaji buku-buku, surat kabar, dan
majalah yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Namun, juga menggunakan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan landasan teoritis serta informasi yang
relevan dengan judul skripsi ini.
Sementara untuk teknik penullisan skripsi ini penulis menggunakan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007”, dengan pengecualian terjemahan al-Quran dan Hadis ditulis satu spasi
walaupun kurang dari lima baris.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian ini
secara menyeluruh, maka perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat memberikan
gambaran umum. Adapun penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama membahas tentang pendahuluan, di dalam bab ini dibahas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua membahas tentang perkawinan dalam islam dalam bab ini
menjabarkan definisi tentang pengetian pernikahan, syarat dan rukun perkawinan, tujuan
dan hikmah perkawinan, dan hak dan kewajiban suami isteri.
Bab Ketiga membahas tinjauan umum tentang suami hilang, bab ini berisi
pengertian umum, status isteri dalam perkawinan, lama waktu kepergian suami , dan
analisa penulis
Bab Keempat tentang penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
PERKAWINAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, kata nikah diartikan dengan kawin. Istilah pernikahan,
yang dalam fikih Islam umum pula disebut dengan istilah zawaj atau at-tazwij
merupakan sinonim dari kata perkawinan.7 Mahmud Yunus dalam kamusnya
menyatakan bahwa nikah berasal dari kata "nakaha" ST�$ ( ), "yankihu" ( S��Tی ),
"nikahan" ( �T���$ ) yang artinya mengawini.8 Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
perkawinan berasal dari kata "nikah" berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.9
Nikah adalah salah satu kata arab yang telah baku menjadi kata Indonesia,
makna asalnya ialah : berkumpul, menindas, dan memasukan sesuatu di samping juga
bersetubuh dan berakad. Adapun yang dimaksud nikah dengan istilah para ahli hukum
Islam (fukaha) seperti dikemukakan oleh sebagian mereka ialah suatu akad yang
dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita yang melakukan akad (perjanjian)
tersebut menjadi halal.10
7 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 171
8 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1999), Cet. Ke-1, h. 47
9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
edisi ketiga, h. 782 10 IAIN, Ensiklopedi Islam, h. 741
Menurut Sudarsono dalam hukum kekeluargaan nasional, istilah nikah berasal
dari bahasa arab; sedangkan menurut istilah Bahasa Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali dibedakan antara "nikah" dengan "kawin", akan tetapi pada
prinsipnya antara "pernikahan" dan "perkawinan" hanya berbeda di dalam menarik
akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum nampak jelas bahwa pernikahan dan
perkawinan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang
menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual
dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan, dan saling
menyantuni.11
Menurut Dzuker Z dalam buku Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya
Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat menyatakan bahwa perjanjian akad itu
menimbulkan ikatan, baik secara lahir maupun batin antara pria dengan wanita yang
dinikahinya.12
Dan perikatan itu pun menghalalkan hubungan kelamin antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri dalam mewujudkan
kebahagiaan hidup keluarga sesuai dengan aturan-aturan syariat Islam.
Sedangkan menurut istilah banyak pengertian yang dikemukakan oleh beberapa
ulama fikih. Ulama Hanafiyah mendefinisikan, nikah adalah akad yang memberikan
kesenangan dengan secara sengaja, dan makna milik kesenangan yang dikhususkan
kepada laki-laki dari kemaluan perempuan dan seluruh badannya dilihat dari segi
11 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Fineka Cipta,1991), h. 62
12 Dzuker Z, Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat,
(Jakarta: Dewaruci, 1983), Cet. Ke 1, h. 27
kelezatannya.13
Menurut ulama Syafi’iyah, nikah adalah akad yang mengandung arti
hubungan intim dengan lafaz nikah.14
Sedangkan ulama Malikiyah nikah adalah akad
yang semata-mata mengantarkan pada kesenangan dan kenikmatan dengan isteri.15
Dan
ulama Hanabilah, nikah akad dengan lafaz nikah atau tazwij atas memberikan
kesenangan.16
Berdasarkan definisi yang dibuat oleh masing-masing ulama fikih Ibrahim
Hosen dalam buku berjudul fiqih perbandingan dalam masalah nikah, thalaq, ruju dan
hukum kewarisan menyimpulkan nikah adalah aqad yang diatur oleh agama untuk
memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap faradj (kemaluan) wanita
dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.17
Perkawinan adalah ikatan dalam ajaran Islam disebut aqad (ijab kabul) antara
dua jenis bani adam yang saling mencintai, hubungan mereka bukan hanya
menyangkut jasmaniah tetapi meliputi segala macam keperluan hidup insani.
Keakraban yang sempurna, saling membutuhkan, dan saling mencintai, serta rela
mengendalikan diri satu dengan yang lainnya merupakan bagian dan kesatuan yang tak
13 Abdul Rahman al-Jaziry, Kitab Fiqh ‘ ala Mazhabil al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1991), Jild
4, h. 2
14 Ibid
15 Ibid
16 Ibid., h. 3
17 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah , Thalaq, Ruju dan Hukum Kewarisan,
(Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), Jilid ke-1, h. 66
terpisahkan, keduanya harus memikul bersama tanggung jawab saling mengisi dan
tolong-menolong dalam melayarkan bahtera rumah tangga.18
Menurut Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, merumuskan arti perkawinan
dimaksud adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri.19
Dalam perkawinan " ikatan lahir bathin " dimaksud, adalah bahwa perkawinan
tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin saja. Akan tetapi hal ini
harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan bathin yang
merupakan fondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia
dan kekal.20
Sedangkan dalam al-Quran dijelaskan dengan disyariatkan perkawinan bagi
manusia akan menciptakan suatu ketertiban masyarakat yang teratur.
Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 1 :
�� $5] واZ�ة و678 م�0� زو/�0 و�Y+ م0�� ی�أی�0X ا��+�س ا;+?"ا ر�+�� ا�+Vي 78?�� م
�M�L� ر�7�N آ�ن ( ر/�[ آ���ا و$��ء وا;+?"ا ا ا�+Vي ;��ء�"ن �: واAر��م إن+ ا
/ا����ء 4 : 1(
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan
kamu dari yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
18 Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah,
(Jakarta: DEPAG, 1995), h. 161 19 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1987), h. 3
20 Ibid, h. 4
bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama- Nya) kamu saling
meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Adapun menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
berbunyi: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21
Dari beberapa pendapat di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin yang sakral dan suci berdasarkan nilai-nilai keislaman,
sesuai dengan apa yang disyariatkan ajaran Islam. Di sisi lain perkawinan ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan hasrat seksual manusia mencegah perzinahan dan menjaga
ketentraman jiwa dan hati, serta menciptakan hubungan yang abadi untuk membina
keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
Inti upacara pernikahan adalah akad nikah. Dari segi bahasa 'aqd artinya
mempertemukan dua hal atau mengukuhkan dua pihak, digunakan untuk menyebut
pengukuhan dua orang dalam ikatan suami isteri. Dalam budaya modern, akad adalah
perjanjian yang tercatat atau kontrak yang dokumennya disebut piagam, akta atau
sertifikat. Dari segi ajaran agama, akad nikah adalah ketentuan syariat (rukun nikah)
21 Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Dirjen
Bimas Islam, 2004), h.14
yang mengikat seorang suami dan perempuan dalam satu ikatan, yaitu ikatan
perkawinan.22
Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan terlaksananya akad
nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Rukun merupakan unsur yang wajib
dalam suatu akad, karena itu rukun dan syarat dalam perkawinan dijadikan sebagai hal
yang penting yang harus diperhatikan guna terlaksana cita-cita mulia, yaitu
mewujudkan rumah tangga sebagai suatu institusi yang suci.
Adapun rukun nikah terdiri dari:
1. Shigot (Ijab Qabul)
2. Calon suami;
3. Calon isteri;
4. Dua orang saksi;
5. Wali nikah. 23
Adapun syarat-syarat nikah dapat dirinci di bawah ini sebagai berikut:
1. Syarat-syarat Calon Suami
a. Tidak sedang menunaikan ibadah haji;
b. Tidak terpaksa, atas kemauannya sendiri;
c. Orangnya tertentu;
d. Bukan muhrim.
22 Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, (Jakarta:
Bina Rena Pariwara, 2005), h. 116
23
Syihab al-Din Ahmad Ibn Salamah Al-Qolyubi, Hasyiyatun Qolyubi Umairoh, (Beirut: Dar al-
Fikr, 2006), Juz. 3, h. 217
2. Syarat-syarat Calon Isteri:
a. Tidak ada halangan syar'i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang
dalam iddah;
b. Merdeka, atas kemauan sendiri;
c. Jelas orangnya;
d. Tidak sedang berihram haji.
3. Syarat-syarat Wali:
a. Laki-laki;
b. Baligh;
c. Waras akalnya;
d. Tidak dipaksa;
e. Adil;
f. Tidak sedang ihram;
g. Memiliki hak perwalian.
4. Syarat-syarat Saksi:
a. Minimal dua orang laki-laki;
b. Baligh;
c. Waras akalnya;
d. Adil;
e. Dapat mendengar dan melihat;
f. Bebas, tidak dipaksa;
g. Tidak sedang ihram haji;
h. Memahami bahasa jab qabul. 24
5. Syarat-syarat Ijab Qabul:
Dalam teknis hukum perkawinan, ijab artinya penegasan kehendak
mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak
perempuan ditujukan kepada pihak laki-laki calon suami. Sedangkan qabul
berarti penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang
24 Ibid
dilakukan oleh pihak laki-laki. Pelaksanaan penegasan qabul ini harus
diucapkan pihak laki-laki langsung sesudah ucapan penegasan ijab pihak
perempuan tidak boleh mempuyai waktu yang lama.25
Shighat akad nikah mempuyai beberapa syarat yaitu:
a. Kedua belah pihak sudah tamyiz
Bila salah satu pihak ada yang gila dan masih kecil dan belum tamyiz
(membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.
b. Ijab qabulnya dalam salam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul
tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut dapat dianggap ada
penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul.
c. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih
baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukan pernyataan persetujuan
lebih tegas.
d. Pihak yang melakukan akad harus dapat pernyataan masing-masingnya,
dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadi pelaksanaan akad
nikah, sekalipun kata–katanya ada yang tidak dapat dipahami karena yang
dipertimbangkan disini adalah maksud dan niatnya.26
Di dalam pasal 6 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
syaratnya adalah :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua
Ditambahkan pada pasal 7 ayat 1, yang berbunyi : “perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
25 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI - PRESS, 1986) Cet. Ke-5, h.63
26 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penterjemah: Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT Al-Ma'arif, 1996), Jilid
6, h. 49
Menurut hemat penulis persyaratan dan rukun perkawinan dari apa yang telah
dikemukakan di atas, baik pandangan hukum Islam dan hukum positif mempuyai
relevansi untuk melakukan sebuah akad perkawinan dan merupakan landasan ideal
untuk dilaksanakannya sebuah akad pernikahan. Sebab perkawinan bukanlah hanya
sekedar bersatu dua insan yang berlainan jenis yamg memerlukan kesadaran dan
kesungguhan dari kedua belah pihak, namun juga untuk menjalani kehidupan yang
sangat panjang dan melaksanakannya adalah suatu ibadah.
C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
a. Menurut Al-Quran
Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan untuk hidup saling berpasang-
pasangan, sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain dan saling mencintai,
sehingga menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian sebagaimana perintah
Allah SWT. Dalam firmannya pada ayat suci al-Quran, banyak ayat yang menjelaskan
tentang tujuan dan hikmah perkawinan antara lain, pertama surat al-A’raf ayat 189 :
ا�TNAاف ... (�T0 �� إ T�����T0� /و� زT0 � م-.T / وةZاT� و]T5 $� م��?7ى V8 ا�+"ه /7:
189 (
Artinya : Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, supaya ia bersenang-senang dengannya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-
senang. Dari ayat ini kita tampaknya tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya
tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui
bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.27
Selanjutnya dalam surat al-Ruum ayat 21, yang berbunyi :
وم� ءای�;: أن 678 ��� م�� أ$5��� أزوا/� ��2���"ا إ�0�� و/.- ����� م+"د+ة
ا��وم ( A Bی�ت ��?"م ی52�+�ونور�( إن+ %D ذ� / 30 :21(
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah ia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dari kandungan surat di atas ada tiga makna yang dituju satu perkawinan
yakni:28
pertama, Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam dan yang sepertinya
adalah sakana, sukun, sikin, kedua, mawaddah artinya membina rasa cinta, ketiga
rahmah yang berarti sayang.
b. Menurut Hadis
Nabi Muhammad SAW sebagai panutan Umat Islam juga telah menggariskan
apa saja yang akan didapat dalam sebuah perkawinan. Secara global ada dua hal dituju
perkawinan menurut hadits,29
pertama untuk menundukan pandangan dan faraj
(kemaluan). Dan Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur, bila
kemampuan materil belum memungkinkan, sebagaimana hadis :
27 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2007),
edisi pertama, h. 87 28 Ibid
29 Ibid, h. 89
، Z� �N��� أ�" م.�وی( N� اNAM� . ]�L :f( وأ�" آ�یd e� � �� أن Z���� أ�" ���
��N �� رة�N � ��+ا�� ZMN �N ، �Zیgی N �N ، �TLل �T�� رسT"ل ا : �Lل. ZM ا
TlXm أ:$+k T %جو+7�2g %ة�ءM ا����M�ب م� اس�i2ع می� م.h� ا�R: +h-+ ا 7N�: وس7+�
�7Mn��أ و�ج75� ��% kی�� ن �2io% .7�:� +n��"م% k+$:� :ء/ و� ):�7N 652م (30
Artinya :
Telah meriwayatkan kepada kami Abi Bakar bin abi Syaibah dan Abu
Kuraib. mereka berkata telah meriwayatkan kepada kami Abu Mua’wiyah dari
A’amasy, dari Umarah bin Umair, dari Abdirrahman bin Yazid, dari Abdullah. Ia
berkata : Berkata Rasulullah SAW kepada kami : Hai sekalian pemuda siapa yang
punya kemampuan di antara kalian maka hendaklah ia menikah. Karena yang
demikian lebih menundukan pandangan dan lebih memelihara kemaluan, apabila
tidak punya kemampuan maka hendaklah ia berpuasa karena yang demikian itu
dapat meredam keinginan. (Muttafaqun alaih)
Kedua, sebagai kebanggaan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya
keturunan Umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan
jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak
itulah terkandung kekuatan yang besar. Kekuatan yang bisa menunjukan kemuliaan dan
keagungan ajaran-ajaran Islam, bukan hanya dalam lintasan sejarah masa lalu namun
juga masa sekarang.
Perkawinan dapat mengembangkan umat manusia menjadi suatu masyarakat
yang besar yang bermula dari unsur keluarga. Hubungan laki-laki dan perempuan yang
tidak terikat oleh tali pernikahan dapat juga memperkembangkan manusia. Akan tetapi,
bila ini diterapkan maka tanggung jawab manusia tidak dapat dikontrol. Sebab itulah
30 Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajjâj Qusairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, (tt: Darul Ihya Kitab
al-Arabi, t. th), Juz. Ke-2, h. 1018
perkawinan sangat penting untuk pengembangan manusia secara bertanggung jawab.31
sebagaimana hadis :
�Z��� NMZ Z��D� ا D�أ ��� ���� �نN5و L]� ��� 87rن �� 87�5) �Z��D �5s ��
N� N� ]$أ �� �B�م Lل� �نآ : ل"سر �R+7 ا :N7� ا 7�+سو �مtی ���Mة�ء �0�یو
N� -2MX2ا� $0�� dZZای ل"?یو ;g+ا/و" دود"ا� د"T� "ا� �T إ $D ����T م �ءA$M T�ا Tم"ی (�مT �?ا�
)Zا� uروا 32(
Artinya :
Meriwayatkan kepada kami Abdullah meriwayatkan kepada kami abi tsana
Khusain dan affan : mereka berkata kepada tsana khalaf bin khalifah meriwayatkan
kepada kami hafsin bin umar dari anas bin malik : Ada Nabi Muhammad SAW
bersabda, dia memerintahkan kepada kami dengan nikah dan mencegah kita
beribadah saja tanpa kawin. Dan ia bersabda: “Kawinilah wanita yang simpatik
(banyak kasih sayangnya) dan yang peranak, karena aku bangga dengan
banyaknya kamu pada hari kiamat. (HR. Ahmad)
c. Menurut Akal
1) Memelihara dan Menjaga Bumi
Bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya
atau diameternya ada 25.000 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus
diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita
(manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia.
Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan atau
pernikahan.33
Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran
31 Chuzaimah T Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: LSIK, 2002) Buku
Kedua, h. 76
32 Ahmad Ibn Hanbal Abû 'Abd Allâh al–Syaibâni, Musnad al–Imâm Ahmad ibn Hambal, (Kairo:
Muassasah al–Qurtubah, t.th.), juz. 3, h. 158
33 Basiq, Tebaran Pemikiran, h. 90
manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. sehingga perkawinan
merupakan syarat mutlak bagi kelestarian dan kemakmuran bumi.34
2) Tertib Nasab
Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban atau keteraturan,
terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau tidak tertib tentu akan terjadi
kekacauan karena tidak diketahui si A dan si B anak siapa. Bila nasab tidak
tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-
besarnya bencana.35
Selain itu diadakannya hukum perkawinan dalam islam
adalah pemeliharaan moralitas. Islam menganggap perbuatan zina merupakan
perbuatan yang tidak halal,36
yang dapat merusak tatanan kehidupan
masyarakat. Selain itu jika tanpa nasab yang tidak jelas maka akan membuat
kesulitan apabila si anak akan membuat atau mengurus tentang surat yang
berperihal pada kependudukan dan lain sebagainya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kamal Mukhtar, keturunan yang
bersih, yang jelas ayah, kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan
perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung
34 Chuzaimah, Problematika Hukum, h. 116
35 Basiq, Tebaran Pemikiran, h. 90.
36 Abul A'la al-Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Darul Ulum
Press, 1999), h. 7
jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga
menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan.37
3) Tertib Harta
Untuk menjaga kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki
barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau
sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima
atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli
waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan
pernikahan.38
d. Menurut Undang-Undang
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan
dalam pasal 1 yang berbunyi : tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal yang
sama juga didapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 bahwa tujuan
perkawinan adalah mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.
Sehingga jelaslah bahwa pemerintah mengharapkan pernikahan sebagai pondasi awal
menuju struktur kehidupan berbangsa dan bernegara yang tenteram dan damai.
2. Hikmah Perkawinan
a. Menyalurkan Kebutuhan Biologis
37 Kamal Muhktar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
Cet. Ke-2, h. 15
38 Basiq, Tebaran Pemikiran, h. 90
Setiap manusia dewasa yang normal, dia pasti memiliki dorongan seksual yang
menuntut adanya penyaluran. Dorongan yang satu ini menjadi sumber fitnah yang
amat membahayakan,39
yang bisa berakibat terjatuh pada bahaya perzinahan dan
prostitusi yang dapat merusak ketenangan dan menimbulkan keresahan pada
masyarakat. Dengan adanya pernikahan, dorongan seksual yang bergejolak dapat
disalurkan sepuas-puasnya dengan isteri tercinta secara sah dan benar.40
b. Mempererat dan Menambah Persaudaraan
Menurut islam, perkawinan bukan hanya merapatkan hubungan dua pihak
secara individual antara suami dan isteri, namun lebih jauh dapat mempererat tali
hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak isteri.41
Dengan beristeri, maka
suami akan bertambah banyak sanak dan saudaranya. Saudara-saudara ipar, segenap
keluarga besar dari pihak isteri, para tetangga dan masyarakat dilingkungan isteri,
apalagi kelak setelah berbesanan dengan seseorang tatkala anaknya telah dewasa
semua itu akan memperbanyak saudara.42
c. Menciptakan Ketenangan Jiwa
Bahwasanya suatu perkawinan dapat menimbulkan rasa kasih sayang antara
suami dan isteri, juga menenangkan jiwa memperkokoh dan menanamkan kasih
39 M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: MITRA
PUSTAKA, 2000), Cet. 2, h. 114
40 Ibid., h.115 41
Chuzaimah, Problematika Hukum, h. 77
42 Ibid., h. 122
sayang antara keduanya.43
Di samping itu dengan beristeri, seorang suami akan
lebih terbentengi dari hal-hal yang memudarkan nilai peribadatan dan
pengamalannya terhadap agama. Suami tak lagi dibayangi oleh pikiran-pikiran
negatif terhadap wanita dan lebih terbantu dengan kehadiran isteri tercinta.44
d. Menumbuhkan Sikap Bertanggung Jawab
Sebelum beristeri seorang lelaki tidak menghadapi banyak tuntutan. Tetapi
setelah beristeri, ia dituntut oleh banyak hal.45
Ia akan menyadari rasa tanggung
jawab kepada isteri, anak-anak. Menimbulkan sikap rajin bekerja dan sungguh-
sungguh dalam mengarahkan pendidikan anak, serta meningkatkan status dalam
pergaulan masyarkat, sehingga dihargai dan hormati.
Dari uraian yang telah dikemukakakan penulis menarik kesimpulan begitu besar
dan banyak manfaat dari tujuan dan hikmah perkawinan. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkawinan dalam Islam sebagaimana yang
telah kita ketahui, bukan semata-mata untuk mengikuti Sunah Rasul, tapi lebih jauh
membuat ketenangan baik lahir dan batin dan berbagai manfaat yang tidak bisa kita
dapatkan tanpa melalui perkawinan, sehingga ikatan suci ini menjadikan seorang
pria dan wanita dapat memelihara diri dari perbuatan dan perilaku tidak senonoh,
melanjutkan keturunan, dan yang paling besar ialah mendapatkan ridho dari Allah
SWT.
43 Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid. 2, h. 12 44 M. Nipan, Membahagiakan isteri, h. 114
45 Ibid., h. 120
D. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Apabila dilaksanakan akad nikah yang sah, maka mulai saat itu berarti antara
kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup
sebagai suami isteri. Maka untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana yang telah
disebutkan maka diperlukan hak dan kewajiban bagi suami isteri.
1. Hak dan Kewajiban Suami
Mengenai hak-hak suami terhadap isterinya tersebut dalam surat an-Nisa ayat 34
, yaitu firman Allah SWT :
TTأ$5?"ا م�TT�و mTT.� �TT7N �0vTT.� �ء �vTT% �TT+- ا�TT�� ا���/�TTل L"+امTT"ن �TT7N ا��
أ����ء ... ( أم"اn��% �0�+��#�ت �L$�2ت ��%�yت � e�x7�� w5� ا / 4 : 34 (
Artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menetapkan harta mereka.
Sebab itu wanita yang saleh ialah wanita yang taat lagi memelihara diri dibalik
pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara mereka….
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hak suami atas isteri ialah:
a. Taat.
Isteri hendaklah taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan-urusan rumah
tangga mereka, selama suaminya masih menjalankan ketentuan-ketentuan Allah
yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri. Taat kepada suami dalam ayat
digunakan perkataan "qânitât" yang berarti "tunduk dan patuh". Perkataan ini
biasanya digunakan untuk menerangkan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba
kepada Allah. Dengan ayat ini Allah menerangkan bentuk ketaatan isteri kepada
suami, sama dengan bentuk ketaatan kepada Allah.46
b. Isteri tidak diperkenankan menghadiahkan sesuatu dari harta suaminya kecuali atas
izinnya.47
Maksudnya seorang isteri tidak diperkenankan memberikan hadiah apa pun dari
harta suaminya kecuali dengan izinnya. Hal ini juga penting karena harta tersebut
adalah milik suaminya, di samping itu untuk mencegah kecurigaan pihak suami
terdap isteri yang dapat merusak keharmonisan perkawinan.
c. Menerima sedekah dari harta isteri dalam keadaan sulit atau bersabar, menghadapi
tekanan hidup jika ia tidak mempunyai harta.
Di antara hak suami yang ada pada isterinya, ialah isteri harus menyedekahkan
hartanya ketika sedang dalam keadaan sulit. Kalau isteri tidak punya harta, maka ia
bersabar bersamanya menghadapi tekanan hidup.48
d. Isteri menjaga dirinya dan harta suami
Dalam al-Qur'an surat an- Nisa ayat 34 dijelaskan bahwa isteri harus bisa menjaga
dirinya baik ketika berada di depan maupun di belakang suami, dan ini merupakan
salah satu ciri isteri sholehah
… …%��n+��#�ت �L$�2ت ��%�yت � e�x7�� w5� ا / أ����ء( 4: 34 (
46 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum, h. 153
47 Mahmud al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung, Remaja Rosda
Karya, 1991) Cet. Ke-1, h. 152
48 Yudian Wahyudin, dkk, Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Yogjakarta: Pustaka Mantik, 1993), h.
160
Artinya:
"…sebab itu maka wanita yang sholeh itulah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah
memelihara mereka…”
Maksud memelihara diri dibelakang suami dalam ayat tersebut adalah, isteri
dalam menjaga, dirinya ketika suaminya tidak ada dan berbuat khianat kepadanya, baik
mengenai diri maupun harta bendanya. Inilah kewajiban tertinggi seorang isteri
terhadap suami.49
Sedangkan kewajiban suami, adalah sebagai berikut :
a. Suami wajib memperlakukan isterinya dengan baik, menghormatinya, bergaul
dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya
yang memang patut didahulukan untuk melunakan hatinya, lebih-lebih bersikap
menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan dari padanya atau bersabar
untuk menghadapinya, sehingga isteri akan bersikap lebih perhatian terhadap
kelangsungan kehidupan perkawinan.
b. Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan
dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan mara bahaya, sehingga
isteri merasa tenang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya baik ketika
suaminya ada atau tidak berada di rumah. Dalam ayat ini terkandung suruhan untuk
menjaga kehidupan beragama isterinya, membuat isterinya tetap menjalankan ajaran
agama dan menjauhkan isterinya dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kemarahan Allah. Untuk maksud tertentu suami wajib memberikan pendidikan
49 Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.160
agama dan pendidikan lain yang berguna bagi isteri dalam kedudukannya sebagai
isteri.50
Firman Allah :
ا�2#�ی� (�راL"ا أ$5��� وأه�7�� $ / 66 :6(
Artinya :
“Periharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”.
c. Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk
tewujud, yaitu mawaddah, rahmah, dan sakinah. Untuk maksud itu suami wajib
memberikan rasa tenang bagi isterinya.51
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalalm
surat al-Rum ayat 21 :
� م+"د+ة وم� ءای�;: أن 678 ��� م�� أ$5��� أزوا/� ��2���"ا إ�0�� و/.- ����
ا��وم( ور�( إن+ %D ذA B�ی�ت ��?"م ی52�+�ون / 30 :21 (
Artinya :
Di antara tanda-tanda kebesaran Allah, Ia menjadikan untukmu pasangan
hidup supaya kamu menemukan ketenangan pasangan dan menjadikan di antaramu
rasa cinta dan kasih sayang. Yang demikian merupakan tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.
d. Menanggung Biaya Hidup
Islam telah memberikan garis batas bagi pekerjaan suami dan pekerjaan isteri.
Tugas laki-laki adalah bekerja mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan
hidup keluarganya. Tugas ini merupakan tugas yang harus dipatuhi dalam status
laki-laki sebagai pelindung.52
2. Hak dan Kewajiban Isteri
50 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 161
51 Ibid, h. 161
52 Abul A’la al-Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan, h. 22
Hak isteri atas suami adalah sebagai berikut :
a. Menerima Nafaqah
Nafaqah merupakan hak isteri dan suami wajib membayarnya. Dasarnya ialah :
�T7Nو )N�T�2+ ا��+ضTأراد أن ی �T� ��7م�Tآ ���"T� +ات ی�ض.� أو[ده�Z�وا�"ا
�ر+ ا�"T�"د vTT; ] �0.TT] إ[+ وسTT5$ rTT+7�; �وف [.��T� +�0;"�TTوآ +�TT0Lرز :TT�
B��7 ا�"ارث م�- ذNو uZ�"� :+�ه� و[ م"�"دZ�"� ةZ�ة ...(وا�?M233 :2/ ا�(
Artinya :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Tidak
diberati seorang diri, kecuali menurut usahanya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan warispun
berkewajiban demikian …
Kewajiban memberikan nafaqah oleh suami kepada isterinya yang berlaku
pada fiqih didasarkan pada prinsip pemisahan harta suami dan isteri. Prinsip ini
mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang
diperolehnya itu menjadi haknya penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan
sebagai pemberi nafaqah.53
b. Mendapatkan Pergaulan Secara Baik Dan Patut. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat an-Nisa ayat 19 :
... :T�% وd�N�وه�+ ���.�وف %kن آ�ه2"ه�+ %.�� أن ;��ه"ا Td�~� وی{.T- ا
/ أ����ء( 8��ا آ���ا 4: 19 (
Artinya :
53 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h. 165
Pergauilah mereka (isteri-isteri) secara baik. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka (bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Yang dimaksud dengan pergaulan di sini secara khusus adalah pergaulan
suami isteri termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan
seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat tersebut diistilahkan dengan
makruf yang mengandung arti secara baik; sedangkan bentuk yang makruf itu tidak
dijelaskan Allah secara khusus. Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan alur
dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan setempat.54
3. Hak Supaya Suami Menjaga dan Memelihara Isterinya.
Maksudnya ialah menjaga kehormatan isteri, tidak menyia-nyiakannya, dan
menjaganya agar selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan
segala yang dilarang Allah.55
Firman Allah :
���TTTT7وأه ���TTTT5$ا أ"TTTTL ا"TTTT�ی� ءامVTTTT+ا� �TTTT0Xرة ی�أی�TTTT}#�س وا�TTTT+ا�� �TTTTده"Lرا و�TTTT$
ا�2#�ی�( / 66: 6(
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka yang bahan bakarnya ialah manusia dan batu”.
4. Kalau Suami Mempuyai Isteri Lebih Dari Seorang, Maka Hendaklah Ia Berlaku
Adil Terhadap Isterinya itu. Firman allah :
%kن 258� أ[+;.Z�"ا %"اZ�ة أو م�م7�� أی�$�� ذB� أد$� أ[+;."�"ا...
��ءا��( / 4:3(
Artinya :
54 Ibid., h. 160 55Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum, h. 152
“... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (terhadap
isterimu) maka (kawinilah) seorang saja, atau budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal-hal
yang dapat dilaksanakan, seperti adil dalam pemberian nafakah, adil dalam
menetapkan giliran hari antara isteri-isteri dan sebagainya. Adapun adil dalam hal
cinta dan kasih sayang sukar dilaksanakan oleh manusia. Walaupun demikian
janganlah hendaknya karena kecintaan kepada isteri yang seorang, membiarkan
isteri yang lain terkatung-katung hidupnya.
Sedangkan kewajiban seorang isteri adalah :
a. Isteri Wajib Mengasuh Anak
Isteri berusaha untuk mengasuh anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh
agama dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang
tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan,
diharapkan agar anaknya nanti yang melaksanakannya. Anak yang saleh merupakan
amal orang tuanya.
b. Isteri Menjaga Dirinya Sendiri dan Harta Suami, menjauhkan diri dari mencampuri
sesuatu yang dapat menyusahkannya, tidak cemberut dihadapannya, tidak
menunjukan keadaan yang tidak disenanginya.
c. Isteri wajib menyusukan anaknya, selama ia sanggup melaksanakannya. Firman
Allah :
�TT7Nو )N�TT�2+ ا��+ضTTأراد أن ی �TT� ��7م�TTآ ���"TT� +�TTأو[ده �.TTات ی�ضZTT�وا�"ا
...��.�وف [ ;�r+7 $5] إ[+ وس.�0ا�"�"د �: رز�0L+ وآ�";�0+ �
ا�M?�ة( / 2 : 233(
Artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah ialah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”.
Sedangkan Hak dan Kewajiban suami-isteri menurut Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan disebutkan pada:
a. Pasal 30 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa
:
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b. Pasal 31 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan
bahwa :
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada selesainya upacara
akad nikah, namun yang arti perkawinan sesungguhnya ialah tetap terbinanya hubungan
suami isteri pada kehidupan yang harmonis. Hal ini dapat terlaksana dengan baik
apabila keduanya mau memahami posisinya dalam menjalani kehidupan berumah
tangga. Dalam hal ini islam dan perundang-undangan telah mengatur dengan baik,
dengan memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami
isteri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan sampai pemutusan
perkawinan dapat dihindari.
BAB III
STATUS PERKAWINAN AKIBAT SUAMI HILANG
E. Pengertian Umum
Untuk lebih memahami skripsi ini maka penulis perlu memberikan beberapa
informasi tentang suami yang hilang.
Karena dalam perjalanan kehidupan suami isteri, kemungkinan sekali seorang
suami mencari nafkah di tempat yang jauh atau mempunyai keperluan ditempat yang
jauh. Perjalanan menuju ketempat-tempat yang dituju oleh seorang suami, baik untuk
mencari nafkah atau keperluan lain, bilamana masa perjalanannya melebihi kebiasaan,
maka akan menimbulkan kekhawatiran dalam diri isteri dan keluarganya. Dalam
keadaan tidak jelas semacam ini, status yang bersangkutan dikatakan ghaib.56
Dari sini dapat diambil pengertian bahwa :
1. Hilang suami (suami meninggalkan tempat kediaman bersama) dengan tidak ada
alasan yang dapat diterima.
2. Kepergian suami itu menyebabkan isteri dalam bahaya walaupun si suami
meninggalkan harta yang dapat dijadikan nafkah.57
Berdasarkan beberapa ulasan singkat di atas menyebabkan isteri dapat
mengambil keputusan terhadap kehidupan perkawinan. Namun sebelum penjelasan
lebih jauh penulis akan memasukan beberapa pandangan dari beberapa ahli yang
berkaitan dengan masalah yang hendak dibahas.
56 M. Thalib, 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangnnya, (Jakarta: PT Irsyad Baitus Salam,
1997), Cet. Ke-1, h. 149-150
57 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan (Karena Ketidakmampuan Suami Memenuhi
Kewajibannya), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-1, h. 67
Dijelaskan oleh H. Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya yang berjudul Keluarga
Sakinah, jika suami meninggalkan isterinya tanpa pengetahuan dan tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syara’ seperti antara lain:
1. Pergi tanpa sepengetahuan isterinya, dan tanpa berita di mana ia berada.
2. Suami pergi dengan maksud untuk menyusahkan isterinya
3. Tenggang waktu kepergian suami lebih dari satu tahun
Jika kepergian suami seperti yang disebutkan di atas, dan isteri mengajukan
gugatan kepada pengadilan untuk minta diceraikan oleh suaminya yang telah
meninggalkannya tanpa dibenarkan oleh syara’ dengan mengajukan saksi-saksi yang
adil, pengadilan berhak untuk menjatuhkan talak penggugat terhadap suaminya
(tergugat).58
Kasus–kasus yang bisa mengakibatkan perceraian, misalnya suami dipenjarakan
seumur hidup, atau jika suami pergi dan tak ada beritanya lagi, atau suami cacat yang
tidak dapat memungkinkan untuk bisa mencari nafkah guna kepentingan isterinya, atau
mungkin juga salah satu pihak berkelakuan jahat atau berperangai kejam, atau terlalu
bakhil dalam menafkahkan keluarganya. Kasus-kasus ini bisa menjadikan alasan yang
kuat untuk melakukan perceraian, baik atas tuntutan suami maupun atas tuntutan
isteri.59
Jika kepergian suami itu, karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh
syara’, seperti menuntut ilmu, mencari nafkah, berdagang, dan semuanya atas
sepengetahuan dan persetujuan isteri, pengadilan tidak berhak untuk menjatuhkan talak,
58 H. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), Cet. Pertama, h. 346 59 Ibid, h. 325
meski seandainya isteri yang mengajukan gugatan kepada pengadilan. Tetapi perlu
dipertimbangkan, jika suami meninggalkan isterinya dengan tujuan tersebut, yaitu
memuntut ilmu, mencari nafkah, berdagang, tetapi setelah tenggang waktu lebih dari
setahun tidak ada khabar beritanya, dan isteri menjadi susah, maka isteri mengajukan
gugatan kepada pengadilan untuk minta diceraikan dari suaminya, dengan mengajukan
alasan-alasan yang bisa diterima pengadilan, pengadilan pun berhak untuk menjatuhkan
talak atas nama penggugat atas tergugat.60
Ada beberapa faktor atau sebab suami hilang atau ghaib, antara lain:
1. Pergi jauh, kemudian tidak ada komunikasi lagi
2. Kemungkinan meninggal di tempat jauh, tetapi tidak diketahui kejelasannya
3. Diculik orang dan tidak diketahui nasibnya
4. Terjadi bencana hebat atau peperangan sehingga mereka terpisah, dan tidak
diketahui keberadaan dan nasibnya.61
Sedangkan upaya atau langkah yang dapat dilakukan isteri antara lain:
1. Pencarian dengan seksama ketempat-tempat yang diperkirakan disinggahi oleh
suami atau melalui pihak-pihak yang mengenal suami.
2. Menunggu sampai batas waktu yang menurut perkiraan umum layak sebagai masa
penantian orang yang ghaib. Karena boleh jadi menantikan suami yang ghaib itu
dirasakan lebih baik dari pada bercerai, lalu kawin dengan lelaki lain yang
mungkin tidak sebaik suaminya yang ghaib itu.
60 Ibid, h. 346
61 M. Thalib, 15 Penyebab Perceraian Dan Penanggulangannya, (Jakarta: PT Irsyad Baitus Salam,
1997), Cet. Ke-1, h. 149-150
3. Berupaya untuk terus berdoa dan memohon kepada Allah agar dimudahkan jalan
dalam mencari suaminya yang ghaib dan memohon diberi ketentraman dan
kepastian tentang keadaan suaminya. Misalnya, dengan melakukan shalat
istikharah agar mendapatkan pertolongan dari Allah SWT, apakah lebih baik
melakukan penantian atau melakukan perceraian.
Bila upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan dalam tempo yang cukup lama
tidak berhasil, maka isteri dapat melaksanakan keputusannya sesuai hukum.
Isteri dapat meminta cerai, apabila suaminya ghaib atau tidak berada ditempat
selama beberapa waktu. Talak yang jatuh karena ketidakhadiran suami di tempat,
menurut Imam Malik menjadi talak bain dan menurut Imam Ahmad menjadi fasakh.
Talak itu sah, karena untuk menghindarkan kemudharatan bagi isteri.62
Adapun perceraian itu dianggap sah, dengan syarat:
1. Ketiadaan suami di tempat, bukan karena halangan yang dapat diterima.
2. Memudharatkan atau menyusahkan isteri, dengan ketiadaannya.
3. Suami berada di suatu tempat, yang isteri tidak bermukim disitu.
4. Berlalu masa satu tahun yang memudharatkan isteri.
Jika ketiadaan suami di tempat itu, dengan alasan yang dapat diterima, seperti
pergi menuntut ilmu, berdagang, bertugas keluar negeri atau bertugas kefront
pertempuran, maka dalam hal ini isteri tidak boleh menuntut cerai. Demikian pula jika
kepergian suami itu, ke suatu negeri yang isterinya berada di situ. Isteri dapat menuntut
62 H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), Cet.
Pertama, h. 83
cerai jika sudah berlalu masa setahun ditinggal suami dan khawatir akan terjerumus
kedalam perzinahan atas melakukan perbuatan tidak senonoh.
F. Status Isteri Dalam Perkawinan
1. Kedudukan sebagai isteri
Menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
“perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Adapun pasal 2 buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia merumuskan sebagai berikut, “Perkawinan hukum islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya sebagai ibadah”.
Selanjutnya mengenai tujuan perkawinan, dirumuskan pasal 3, “Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah , mawaddah,
dan rahmah”.
Dari kedua rumusan tentang perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang perkawinan itu adalah
seimbang.63
Menurut Hukum Islam Allah telah menetapkan penanggung jawab keluarga
pada diri suami, namun dalam pembahasan penulisan ini di mana isteri harus
mengambil alih tanggung jawab pengurusan rumah tangga sebagai wakil dari
63 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Gema Insan Press, 1996), Cet.
Ke-1. h. 119
suami. Sebagaimana hadis Rasulullah, yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari
Abdullah bin Umar r.a. :
�Z��� NMZ8أ انM�$� NMZ Dضر �N ��إ N?M) N� $%�o N� �� �س"م �$8M�أ ا
�Mا��+ � �Nل� LN�0 اD R+7� N� لو��م ��X7آو اعر ��X7آ :�لL 7�+سو :N7� ا
�0/وز ��� �N7 (�+اNر ةأ��او :2�� -هأ �N7 اعر -/ا��+و اعر ��مAا :N�2ر
64)ى�ر�ا�M اuور( :N�2ر N� لو��م ��X7آو اعر ��X7�Zu %�وو
Artinya:
Meriwayatkan kepada kami Abdani , meriwayatkan kepada kami, (menurut
riwayat) meriwayatkan kepada kami Abdullah meriwayatkan kepada kami Musa bin
uqbah dari Nafi dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Nabi S.A.W Bersabda: “setiap
orang yang bertanggung jawab dan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya. Dan seorang pemimpin bertanggung jawab, dan seorang suami
bertanggung jawab atas keluarganya, dan seorang isteri bertanggung jawab atas
rumah tangga suaminya dan anaknya. Maka setiap dari kamu bertanggung jawab
atas rumah tangga suaminya dan anaknya. Maka setiap dari kamu bertanggung
jawab dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (H.R.
Bukhari)
Keseimbangan fungsi dan kedudukan suami isteri itu adalah untuk satu tujuan,
seperti ditentukan oleh pasal 30 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
“Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.”
Keseimbangan kedudukan suami isteri itu tidak terbatas dalam rumah tangga
saja, akan tetapi juga dalam hubungan dengan masyarakat pasal 31 ayat 1 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan, “Hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
64 Muhammad ibn Ismâ'îl Abû 'Abd Allâh al–Bukhârî, Shahîh Bukhârî, (Beirut: Dâr ibn Katsîr, t.th),
juz. 5, h.1996
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat,” dan ayat 2, “Masing-masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum”.
Pasal 77 ayat 1 buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia menjelaskan, “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.”
Adanya ikatan perkawinan yang dilakukan setelah akad nikah otomatis
menyatukan dua jiwa yang sebelumnya terpisah. Rasa tanggung jawab untuk
mengarungi kehidupan bersama, baik suka maupun duka harus dirasakan bersama.
Sehingga, suami isteri harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan
perannya.
2. Kedudukan Isteri Terhadap Harta Perkawinan
Dalam perkawinan yang sah, perlu kiranya isteri memperoleh hak nafakah untuk
menghidupi diri dan anaknya, Apabila seseorang bepergian jauh dari negerinya atau
tidak diketahui keberadaannya, maka bagi hakim boleh memutuskan bagi suami yang
hilang wajib nafakah untuk isterinya.
Apabila menuntut seorang isteri yang ditingal akibat hilang suami, maka jika
ada harta pada dirinya, maka hakim memberikan putusan bagi dirinya boleh
mengambil nafaqah dan tidak ada hukum dari harta tersebut yang ada dalam
genggaman isteri.65
65 Abdurrahman Al-Shabuni, Qonun Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (t.t.: Jamiatul Dimaskhqu, 1971), Juz
1. h. 372
Menutut Imam Hanafi, apabila si suami meninggalkan harta pada isterinya dan
si isteri meminta pada qadi, bahwa wajib nafakah untuknya dan memerintahkan si qadi
mewajibkan nafakah untuknya dengan mengambil harta yang ada pada genggaman si
isteri.66
Menurut Imam Hambali, apabila si isteri mendakwah pada siqodi bahwasanya
suaminya itu menghilang dan dia tak mampu untuk menafkahi dirinya sedang suami
tidak meninggalkan harta pada isterinya, maka si isteri meminta sang qadi untuk
membubarkan perikahannya itu maka sang qadi membubarkan pernikahan tersebut.67
Menurut Imam Syafi’i, apabila sang isteri mendakwa bahwa suaminya itu
meninggalkannya atau hilang darinya sedangkan tidak meninggalkan harta, dan sang
isteri mampu menghidupi dirinya, maka bagi isteri meminta untuk menggugurkan
pernikahannya dari sang suami.68
Menurut imam Malik, bagi suami yang hilang dengan meninggalkan harta untuk
isterinya maka seyogjanya bagi isteri dapat meminta pada si qadi untuk menggugurkan
pernikahannya dan wajib nafakah dari hartanya. Dan jika ia meninggalkan harta pada
isterinya sedang kehidupan suami itu diketahui maka bagi isteri ia berhak meminta talak
pada suaminya.69
66 Ala’Eddin Kharafaa, Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah, (Bagdad: Kharijul Azhar, 1962), Jilid I, Cet ke 2,
h. 335
67 Ibid.
68 Ibid.
69 Ibid., h. 337
Keseimbangan kedudukan suami isteri ternyata pula terhadap harta bersama.
Hal ini dicantumkan dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, dan pasal 85 sampai dengan pasal 97 Buku I tentang
Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam.
Hukum Islam telah memberikan kaum wanita suatu keuntungan yang belum
pernah ada sebelumnya dalam urusan finansial dan ekonomi. Di satu pihak islam
memberikan kepada mereka kebebasan dan kemerdekaan penuh dalam hal finansial dan
mencegah kekuasaan pria atas harta dan pekerjaan isteri. Islam telah menghapus dari
kaum pria hak perwalian atas urusan kaum wanita yang terdapat pada zaman dahulu
dan pada kebiasaan barat sepanjang sejarah sampai menjelang abad dua puluh. Di atas
segalanya, dengan membebaskan wanita dari kewajiban mencari uang.70
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum
Islam menetapkan setengah dari harta bersama adalah milik isteri, manakala terjadi
cerai mati atau bagian isteri dalam hal-hal tersebut dengan nilai saham isteri dalam
mengumpulkan harta bersama itu.71
3. Kedudukan Isteri Terhadap Anak
Keseimbangan isteri dengan suami dalam hak-hak dan kewajiban orang tua dan
anak dicantumkan dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, dan pasal-pasal 98 sampai dengan 106 buku 1 Hukum
70 Muthada Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: PT Lentera, 1995), Cet. Ke-3, h.
145
71 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum, h. 123
Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kekuasaan orang tua terhadap anak,
tetap ada pada suami isteri juga seandainya perkawinannya putus.72
Dalam hal ini, sebab didahulukannya ibu dalam hak asuh dan menyusui yaitu
sebab dia lebih paham dalam pendidikan, lebih sabar dalam sisi ini, sesuatu yang tidak
dimiliki laki-laki. Perempuan juga lebih memiliki waktu luang, sesuatu yang tidak
dimiliki laki-laki. Karena itulah, ibu lebih didahulukan dalam mengasuh anak demi
kemaslahatan anak. 73
Jika ternyata bagi anak yang masih kecil punya hak hadhanah, maka ibunya
diharuskan melakukannya, jika jelas anak-anak tersebut membutuhkannya dan tidak ada
orang lain yang bisa melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai hak anak
atas pemeliharaan dan pendidikannya tersia-siakan. Jika ternyata hadhanahnya dapat
ditangani orang lain, umpamanya datuk perempuannya dan ia rela melakukannya
sedang ibunya sendiri tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh (hadhanah) gugur
dengan sebab datuk perempuan mengasuhnya. Karena datuk perempuan juga punya hak
hadhanah (mengasuh).74
G. Lama Waktu Kepergian Suami
72 Ibid, h. 123
73 Sayyid Sâbiq, Fiqh al–Sunnah, (Beirut: Dâr al–Fikr, t.th.), Jilid. 2, h. 289
74 Ibid
Karena luasnya pembahasan tentang perceraian, maka penulis lebih
mengfokuskan pada perceraian yang diakibatkan oleh suami yang hilang.
1. Pandangan Hukum Positif
Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia yang berlaku efektif mulai
tanggal 1 Oktober 1975, adalah undang-undang yang luas sekali ruang lingkupnya. Ia
tidak hanya mengatur soal perkawinan, tetapi juga masalah perceraian serta akibatnya.75
Dalam undang-undang ini ketentuan perceraian telah diatur dalam, Pasal 38,
Perkawinan dapat putus karena : a. kematian b. perceraian dan c. atas keputusan
pengadilan
Pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pertama
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, kedua untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami isteri, tata cara perceraian di depan sidang pengadilan
diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Pasal tersebut berkaitan dengan isi pasal 29 tentang perjanjian perkawinan:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
75 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), Cet. Ke-2, h. 19
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas, agama,
dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan peraturan yang dijelaskan pada pasal 39 ayat 2 menjelaskan tentang
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) putusnya perkawinan dapat
putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas putusan pengadilan (Pasal 113),
talak dan berdasarkan gugatan cerai (Pasal 114), dan dapat terjadi dengan alasan (Pasal
16):
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau hukuman yang berat
setelah hukuman berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
2. Pandangan Hukum Islam
Secara etimologis kata hukum berasal dari bahasa Arab yang berarti
memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan.76
Kata hukum (kata jamaknya
ahkam) yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman
dan lain-lain.77
Sedangkan pengertian hukum yang lebih umum secara bahasa adalah
bila anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau dengan begini baik keputusan
tersebut mengikat orang lain atau tidak.78
76 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005), Cet. Ke-1, h. 9
77 Ibid., h. 12
78 Ibid
Dari sini perlu diungkapkan beberapa pengertian Hukum Islam yang menjadi
rujukan umat islam Indonesia. Basiq Djalil menjelaskan kata Hukum Islam dalam al-
Quran adalah putusan atau ketetapan terhadap permasalahan yang diputuskan atau
ditetapkan (hukima), di samping berhubungan dengan perbuatan Allah, juga
berhubungan dengan perbuatan manusia.79
Hukum Islam itu berdasarkan pada pada empat sumber yaitu, al-Quran, Hadis,
Fiqih dan ketetapan undang-undang. Di mana keempat hal tersebut secara hierarkis
menjadi rujukan di dalam setiap mencari jawaban untuk
memecahkan persoalan yang ada pada agama Islam.
Hukum Islam mengakui adanya empat cara yang sah untuk pemutusan
perkawinan, yaitu (1) kematian dari salah satu pihak, (2) talak, termasuk talik talak dan
talak melalui syiqaq, (3) khuluk, termasuk khuluk melalui syiqaq dan (4) fasakh,80
Isteri
dapat meminta cerai, apabila suaminya ghaib atau tidak berada ditempat selama
beberapa waktu.81
Dari empat cara pemutusan perkawinan yang telah disebutkan di atas, penulis
membatasi pembahasan pada putusnya perkawinan apabila suami ghaib atau tidak
berada ditempat selama beberapa waktu. Mengenai hal ini dapat kita cantumkan
beberapa pendapat ulama fiqih.
Mengenai batas waktu hilangnya suami, Imam Malik mengatakan setahun. Tapi
ada yang mengatakan tiga tahun. Dan Imam Ahmad berpendapat, bahwa waktu tercepat
79 Ibid
80 Ibid
81 Fuad Said, Perceraian, h. 83
bagi kebolehan isteri minta diceraikan adalah enam bulan. Setelah enam bulan ini, ia
boleh minta dipisahkan. Sebab waktu inilah yang paling lama bagi wanita untuk bisa
sabar atas hilangnya suami.82
Walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai batas waktu suami
meninggalkan isteri, namun hal di atas dengan tegas menyepakati bahwa dilarang bagi
seorang suami meninggalkan isteri dengan maksud menelantarkannya. Kesepakatan ini
didasarkan dalam menjalani hak dan kewajiban sebagai suami isteri.
Mengenai hal ini sebagian ulama berpendapat, al-Malikiyah berpendapat bahwa
bila isteri berbahaya lantaran ditinggal pergi lama oleh suaminya, seperti misalnya ia
takut nyeleweng, maka ia harus mengajukan perkaranya kepada hakim mengenai
perceraiannya. al-Hanafiah dan al-Syafi’iyah berpendapat bahwa hilangnya suami itu
tidak dianggap suatu alasan yang benar bagi perempuan dalam memohon perceraian.83
Isteri juga punya hak untuk minta diceraikan lantaran kesepian yang melanda
dirinya karena suaminya jauh bukan karena hilang. Kesepian yang melanda dirinya ini
setahun lamanya, dan ia merasa harus, sementara ia takut terjerumus dalam apa yang
telah diharamkan oleh Allah.
[ ض�ر : : وس�L�+7ل ا��+XDM ض7+� ا N :�7N� ا�� MN+�س رضD ا 0�N� �Lل 84 )رواu أ�Z وا�� م�/:(و[ض�ار
Artinya :
82 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita Islam, h.76
83 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), Cet.
Pertama, h. 75
84 Ibid., h. 76
“dari ibnu Abbas, semoga Allah meridhoinya, dia berkata : Rosulullah
pernah berkata: janganlah merusakan orang lain dan jangan membalasi kerusakan
itu dengan kerusakan pula. (H.R. Ahmad dan Ibn Majah)
Pengertian hadis ini dijelaskan oleh Ibn Atsir sebagai berikut :
أي [یuX�v ا��+/- أd :n?��% u�8�~� م� �?�:: ��ر[
ي [ی{�زی: �7N إض�ارk� uد�8ل ا�v+�ر 7N�: أ: ض�ار[
artinya seseorang tidak membahayakan saudaranya, lalu mengurangkan [ض�ر
haknya.
ض�ار[ artinya dia tidak membatasi kemudharatan dengan jalan memudharatkan
orang itu.
3. Pandangan Para Ahli
Pasal 29 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengatur
perjanjian perkawinan pasal ini ada kaitannya dengan pasal 35 ayat 2 mengenai
penguasaan atas harta bawaan dari masing-masing suami isteri. Menurut penjelasan
resmi atas pasal 29 tersebut, taklik talak tidak termasuk dalam perjanjian yang
dimaksud dengan pasal 29 itu. Hazairin membenarkan hal ini, dengan alasan bahwa
taklik talak di Indonesia itu bukanlah perjanjian yang bersifat bilateral, melainkan
hanya merupakan pernyataan yang bersifat unilateral yang mengingat pihak yang
mengucapkannya, yaitu suami, dan menjadi sumber hak bagi isteri, apabila syarat yang
disebut dalam talik talak itu terpenuhi.85
Senada dengan hal tersebut J Prins mengatakan dalam kaitan ini kita harus
kembali sekejap pada memori penjelasan atas pasal 29 undang-undang, bunyinya: yang
dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak. Seperti
diketahui, dengan istilah ini dimaksud perjanjian tertentu yang oleh suami diucapkan
85 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), Cet. Pertama, h.
106
pada saat berlangsungnya pernikahan. Untuk mengukapkannya dengan kata-kata:
seorang suami praktis pada setiap pernikahan mengucapkan suatu rumus yang
mengandung isi bahwa seandainya ia telah meninggalkan isterinya selama beberapa
bulan, tanpa pernah memberi nafkah kepadanya (atau jika dia melakukan hal-hal yang
sangat tidak menyenangkan terhadap isterinya) dan isterinya tidak menyukai hal itu,
dan mengadu kepada pemerintah (hakim), isteri akan ditalak.86
Mengenai taklik talak, lebih lanjut Hazairin mengatakan bahwa taklik talak telah
ditetapkan secara uniform oleh Menteri Agama untuk seluruh Indonesia dalam rangka
memberikan pertolongan kepada wanita dalam hal ditelantarkan oleh suamiya.
Oleh karena itu pemerintah telah menyediakan contoh-contoh (model) kontrak-
kontrak perkawinan, dibagian belakang formulir ini dicetak rumus-rumus talak yang
menurut kebiasaan menetapkan bahwa talak yang menurut kebiasaan menetapkan
bahwa talak satu akan jatuh secara otomatis, apabila;
a. Suami meninggalkan isterinya selama enam bulan berturut-turut, atau;
b. Selama tiga bulan berturut turut tidak memberi nafkah, atau juga;
c. Memperlakukan isterinya dengan kasar, memukulinya atau;
d. Selama tiga bulan berturut turut mempermainkannya (misalnya suatu permainan
dengan ancaman talak, untuk sementara tidak memberi nafkah dan seterusnya)
untuk ini siisteri harus mengadukan kelakuan yang tidak sepantasnya dari suami
atau kealpaannya kepada pengadilan. 87
86 J. Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet.
Pertama, h. 67
87 Ibid., h.68
Semua merupakan persyaratan yang baku dan isteri masih boleh untuk
menambahkan persyaratan lain. Menurut perjanjian itu, bila isteri mengetahui adanya
salah satu persyaratan dilanggar oleh suami dan isteri tidak rela dan mengadukan halnya
kepada hakim agama, disertai dengan dua orang saksi yang memperkuat kejadian itu,
maka hakim agama dapat menyatakan bahwa talak suami telah jatuh dan isteri telah
bercerai.88
H. Analisa penulis
Menurut Ahmad Mubarok dalam buku psikologi keluarga disebutkan bahwa,
tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan
hidup. Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Kehidupan
berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-anak, cucu-cicit, atau bahkan mertua
merupakan pelabuhan perasaan; ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat, dan
pengorbanan. Semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga.89
Sedangkan Abul A'la al-Maududi dalam buku pedoman perkawinan juga
dituliskan bahwa, setiap manusia harus mengikuti aturan undang-undang tentang
perkawinan, untuk menjaga moralitas dan kesatuan makna ikatan perkawinan Islam
membina masyarakat yang damai, aman, dan tentram melalui perkawinan, dengan
aturan-aturan yang cukup rinci baik melalui al-Quran maupun Hadis.90
88 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991),
h. 38
89 Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga, h. 141
90 Abul A'la al-Maududi, Pedoman perkawinan,. , h. 7
Dalam kehidupan perkawinan Islam membuat batasan-batasan hak dan
kewajiban antara suami isteri. Hal tersebut dipandang perlu, karena akan memperjelas
tugas-tugas dari kedua belah pihak yang akan mengarah pada kehidupan yang bahagia,
mawaddah, sakinah, wa rahmah (Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan). Hikmah perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan untuk
menciptakan kehidupan keluarga bahagia, saling melindungi, melaksanakan tanggung
jawab masing-masing dan sebagainya. Mengisyaratkan bahwa pernikahan bukanlah
hanya untuk memuaskan nafsu seksual belaka, namun ia adalah pondasi awal menuju
kehidupan yang damai dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Menelantarkan isteri merupakan suatu bentuk kekerasan nonfisik terhadap isteri,
yang dapat merusak hubungan perkawinan, yang dapat menyakiti isteri baik lahir
maupun batin. Untuk mewujudkan pernikahan yang ideal sebagaimana yang telah
dijelaskan, maka Islam membuka pintu pencegahan yang dapat merusak hubungan
penikahan melalui perjanjian nikah yang mengikat kedua belah pihak. Lebih jauh
masalah ini tercantum dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 29. Perjanjian penikahan sampai saat ini masih banyak digunakan oleh calon
pengantin. Baik itu dibuat sebelum atau ketika akad pernikahan itu dilangsungkan.
Sehingga perjanjian ini sedikit banyak dari satu sisi memberi perlindungan terhadap
isteri.
Berbeda dengan perjanjian pernikahan, Departemen Agama telah membuat
rumusan taklik talak yang terdapat pada buku pernikahan dan berlaku diseluruh
Indonesia bahwa, jika suami meninggalkan isteri selama enam bulan berturut-turut,
maka suami telah melanggar kewajibannya. Ditambah dengan penjelasan pasal 39 ayat
2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jika salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut. Berdasarkan hal ini maka
jelaslah bahwa suami telah melanggar akad suci pernikahan.
Jika sesorang suami membuat ikatan perkawinan dengan syarat tertentu, dia
harus memenuhi nafkah agar perkawinan dapat berlangsung terus. Tetapi ketika
perkawinan itu terganggu, karena suami melanggar salah satu sebab perjanjian
pernikahan, sebagaimana yang tertera pada buku penikahan dan sesuai dengan pasal 29
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maka perkawinan itu tidak akan
bahagia. Dengan perkataan lain, tidaklah ada gunanya untuk melanjutkan suatu
perkawinan jika tidak ada kebahagiaan di antara suami isteri. Sehingga isteri dapat
mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan.
Islam memberi batasan tegas dalam menyikapi hal ini, sebagaimana
diungkapkan oleh ulama mazhab. menurut Imam Malik dihitung selama satu tahun,
Imam Hambali sekurang-kurangnya enam bulan. Namun berbeda dengan kedua Imam
tersebut, Imam Hanafi dan Syafi’i menyatakan hilang suami bukan merupakan suatu
alasan bagi isteri untuk meminta putusnya perkawinan. 91
Adanya dua pandangan yang berbeda, penulis cenderung untuk mendukung
pendapat Imam Malik dan Imam Hambali yang didukung oleh hukum positif sehingga
membolehkan isteri untuk meminta perceraian, karena suami dianggap lalai untuk
memenuhi hak dan kewajibannya terhadap isteri. Oleh karena itu kepastian ini penting
untuk melindungi dan menghindari perilaku isteri yang ditingggal lama oleh suaminya
91 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita Islam, h.76
dari perbuatan tidak senonoh seperti selingkuh dan berbuat zina yang bisa merusak
tatanan nasab dan ketenteraman masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan ketuhanan
yang maha esa dari ikatan yang suci dan luhur.
2. Kedua belah pihak harus melaksanakan hak dan kewajibannya, sebagaimana yang
telah diatur dalam ajaran islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
3. Suami yang hilang adalah jika lama waktu kepergian suami melebihi dari batas
waktu yang menurut kebiasaan diperkirakan tidak kembali.
4. Dalam Hukum Positif dijelaskan suami tidak boleh meninggalkan istri selama enam
bulan berturut-turut, tertulis pada penjelasan pasal 39 ayat 2 pada huruf b undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
5. Dalam Hukum Islam yang terdapat dalam kitab fiqih bila suami hilang lebih dari
satu tahun menurut pendapat Imam Malik dan Enam bulan menurut pendapat Imam
Ahmad maka diperbolehkan bagi istri untuk meminta perceraian.
6. Bila suami hilang atau ghaib maka atas kehendak istri, dapat mengajukan
permohonan perceraian pada pengadilan yang berwenang dengan tetap
memperhatikan keputusan hakim, sedangkan dalam Hukum Islam maka telah jatuh
talak istri kepada suami.
B. SARAN
1. Untuk pasangna suami isteri harus memahami serta menjalankan hak dan
kewajibannya masing-masing melalui, menyimak ceramah, membaca buku tentang
perkawinan.
2. Untuk BP4, KUA dan lembaga-lembaga yang mempunyai peran dalam masalah
perkawinan untuk ikut serta dalam mengambil bagian dalam proses penyuluhan,
pelatihan, dan pendidikan tentang perkawinan terhadap problema yang kerap terjadi
di tengah-tengah masyarakat.
3. Departemen Agama supaya memasukan penambahan bab pengajaran yang berbasis
pada kelangsungan dan kebahagiaan tentang pernikahan pada mata pelajaran ilmu
agama islam baik pada tingkat tsanawiyah, aliyah maupun perguruan tinggi.
4. Perlu digalakan nasihat kepada para calon dan pasangan suami istri untuk untuk
hidup sakinah, mawaddah, wa rahmah yang diridhoi Allah SWT, melalui majlis
ta’lim, pengajian, ceramah dan acara televisi.
DAFTAR PUSTAKA
Al–Bukhârî, Muhammad ibn Ismâil Abû 'Abd Allâh, Shahîh Bukhârî, (Beirut: Dâr ibn
Katsîr, t.th), juz. 5
Ahmad Ibn Hanbal Abû 'Abd Allâh al–Syaibâni, Musnad al–Imâm Ahmad ibn Hambal,
(Kairo: Muassasah al–Qurtubah, t.th.), juz. 3
Ali, Mohammad Daud, Prof. H. S. H. Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991, Cet.
Pertama
Al-Maududi, Abul A'la, & Ahmed, Fazl, Prof., Pedoman Perkawinan Dalam Islam,
Jakarta: Darul Ulum Press, 1999, Cet. Ke-1
Al-Naisaburi, Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajjâj Qusairi, Shohih Muslim, tt: Darul
Ihya Kitab al-Arabi, t. Th
Al-Qolyubi Syihab al-Din Ahmad Ibn Salamah, Hasyiyatun Qolyubi Umairoh, Beirut: Dar
al-Fikr, 2006, Juz. 3
Al-Shabbagh, Mahmud, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1991, Cet. Ke-1
Al-Shabuni, Abdurrahman, Qanun Al-Ahwal Askh-Shiyyah, t.t.: Jamiatul Dimaskhqu 1971,
Juz 1
Arifin, Bustanul, Prof. Dr, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Gema Insan
Press, 1996, Cet. Ke-1
Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan
Praktek, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, t. th
Departemen Agama, UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen
Bimas Islam, 2004
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2003, edisi. Ke-3
Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Dan Haji, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah,
Jakarta: DEPAG, 1995
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, Cet. Pertama
Djalil, A. Basiq, Drs. H. S.H., MA, Pernikahan Lintas Agama, Jakarta: QALBUN SALIM,
2005, Cet. Ke-1
--------------, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Jakarta: QALBUN SALIM,
edisi pertama, 2007
Dzuker Z, Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum
Masyarakat, Jakarta: Dewaruci, 1983, Cet. Ke-1
Firdaweri, Dra, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1989, Cet. Ke-1
Ghazali, Abdurrahman, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003
Halim, M. Nipan Abdul, Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta:
MITRA PUSTAKA, 2000), Cet. Ke-2
Hosen, Ibrahim, Prof. KH., Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah , Thalaq, Ruju dan
Hukum Kewarisan, Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Yayasan Ihya
Ulumiddin, 1971, Jilid ke-1
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992
Ismuha, Prof. DR., Pencaharian Bersama Suami Istri, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, Cet.
Pertama
al-Jaziry, Abdul Rahman, Kitab Fiqh ‘ Ala Mazhabil al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Fikr,
1991), Jild 4
J. Prins, Prof. DR., Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1982
Karim, Helmi, Dr. MA, Kedewasaan Untuk Menikah, dalam Dr. H. Yanggo, T Chuzaimah
(ed), Problematika hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK, 2002, Buku Kedua
Kharafaa, Ala’Eddin, Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah, Bagdad: Kharijul Azhar, 1962, Jilid I,
Cet. Ke-2
Mubarok, Ahmad, Prof. Dr. MA., Psikologi Keluarga : Dari Keluarga Sakinah Hingga
Keluarga Bangsa, Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara, 2005, Cet. 1
Muhktar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
1974, Cet. Ke-2
Muthahhari, Murthada, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera, 1995
Nakamura, Hisako, Perceraian Orang Jawa, Studi Tentang Pemutusan Perkawinan
Dikalangan Orang Islam Jawa Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1991
Nasution, Harun dan Effendy, Bahtiar, (ed), Hak Asasi Dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987
Nawawi, Rif’at Syauqi, Drs. M. A., Sikap Islam Tentang Poligami dan Monogami, dalam
Dr. H. Yanggo, T Chuzaimah (ed), Problematika hukum Islam Kontemporer,
Jakarta: LSIK, 2002, Buku Kedua
Prakoso, Djoko, S.H & Murtika, I Ketut, S. H., Asas-Asas Hukum Perkawinan Di
Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987
Rosyidi, Lili, Drs. SH. LLM., Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia, Bandung: Alumni, 1982
Sâbiq, Sayyid, Fiqh al–Sunnah, (Beirut: Dâr al–Fikr, t.th.), Jilid. 3
Said, Fuad, H.A, Perceraian Menurut Hukum Islam , Jakarta: Pustaka al-husna, 1994
Sudarsono, Drs. SH., Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991
Syarifuddin, Amir, Prof. DR., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media, 2006
Thalib, Muhammad, 15 Penyebab Perceraian Dan Penanggulangannya, (Jakarta: PT
Irsyad Baitus Salam, 1997), Cet. Ke-1
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. Ke-5
Wahyudin, Yudian, dkk, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Yogjakarta: Pustaka Mantik,
1993
Yunus, Mahmud, Prof. DR. H., Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1999