standarisasi mutu biji kakao
DESCRIPTION
bTRANSCRIPT
STANDARISASI MUTU BIJI KAKAO
Bagi industri makanan dan minuman cokelat, mutu biji kakao merupakan persyaratan
mutlak. Dengan demikian, bagi produsen atau eksportir biji kakao mutu seharusnya menjadi
perhatian agar posisi bersaing (bargaining position) menjadi lebih baik dan keuntungan dari
harga jual menjadi optimal. Bagi pengusaha mutu berarti pemenuhan kepuasan kepada
pelanggan tanpa banyak memerlukan tambahan biaya yang lebih tinggi.
Dalam bisnis kakao, mutu mempunyai beberapa pengertian antara lain mutu, dalam
pengertian sempit, sesuatu yang berkaitan dengan citarasa (flavor), sedang dalam pengertian
yang luas, mutu meliputi beberapa aspek yang menentukan harga jual dan akseptabilitas dari
suatu partai biji kakao oleh pembeli (konsumen). Persyaratan mutu ini diatur dalam standar
perdagangan.
Persyaratan mutu yang diatur dalam syarat perdagangan meliputi karakteristik fisik
dan pencemaran atau tingkat kebersihan. Selain itu, beberapa pembeli juga menghendaki uji
organoleptik yang terkait dengan aroma dan citarasa sebagai persyaratan tambahan. Karakter
fisik merupakan persyaratan paling utama karena menyangkut randemen lemak (yield) yang
akan dinikmati oleh pembeli. Karakter fisik ini mudah diukur dengan tata-cara dan peralatan
baku yang disepakati oleh institusi international. Dengan demikian pengawasan mutu
berdasarkan sifat-sifat fisik ini dapat dengan mudah dikontrol oleh konsumen. Sebaliknya,
persyaratan tambahan merupakan kesepakatan khusus antara eksportir dan konsumen (pembeli).
Jika persyaratan ini dapat dipenuhi, maka eksportir akan mendapat harga jual biji kakao lebih
tinggi (premium).
1. Karakteristik Phisik
Beberapa karakteris phisik biji kakao yang masuk dalam standar mutu meliputi,
1.1. Kadar air
Kadar air merupakan sifat phisik yang sangat penting dan sangat diperhatikan oleh
pembeli. Selain sangat berpengaruh terhadap randemen hasil (yield), kadar air berpengaruh pada
daya tahan biji kakao terhadap kerusakan terutama saat penggudangan dan pengangkutan. Biji
kakao, yang mempunyai kadar air tinggi, sangat rentan terhadap serangan jamur dan serangga.
Keduanya sangat tidak disukai oleh konsumen karena cenderung menimbulkan kerusakan cita-
rasa dan aroma dasar yang tidak dapat diperbaiki pada proses berikutnya. Standar kadar air
biji kakao mutu ekspor adalah 6 - 7 %. Jika lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak
aman disimpan dalam waktu lama, sedang jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung
menjadi rapuh.
1.2. Ukuran biji
Seperti halnya kadar air, ukuran biji kakao sangat menentukan randemen hasil lemak.
Makin besar ukuran biji kakao, makin tinggi randemen lemak dari dalam biji. Ukuran biji kakao
dinyatakan dalam jumlah biji (beans account) per 100 g contoh uji yang diambil secara acak
pada kadar air 6 - 7 %. Ukuran biji rata-rata yang masuk kualitas eskpor adalah antara 1,0 - 1,2
gram atau setara dengan 85 - 100 biji per 100 g contoh uji. Ukuran biji kakao kering sangat
dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman, kondisi kebun (curah hujan) selama perkembangan buah,
perlakuan agronomis dan cara pengolahan Tabel 5 menunjukkan klasifikasi mutu biji kakao atas
dasar ukuran biji per 100 g contoh uji.
1.3. Kadar kulit
Biji kakao terdiri atas keping biji (nib) yang dilindungi oleh kulit (shell). Kadar kulit
dihitung atas dasar perbandingan berat kulit dan berat total biji kakao (kulit + keping) pada kadar
air 6 - 7 %. Standar kadar kulit biji kakao yang umum adalah antara 11 - 13 %. Namun, nilai
kadar kulit umumnya tergantung pada permintaan konsumen. Beberapa konsumen bersedia
membeli biji kakao dengan kadar kulit di atas nilai tersebut. Mereka akan memperhitungkan
koreksi harga jika kadar kulit lebih tinggi dari ketentuan karena seperti halnya ukuran biji, kadar
kulit berpengaruh pada randemen hasil lemak.
Biji kakao dengan kadar kulit yang tinggi cenderung lebih kuat atau tidak rapuh saat
ditumpuk di dalam gudang sehingga biji tersebut dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Sebaliknya, jika kadar kulit terlalu rendah, maka penjual (eksportir) biji kakao akan mengalami
kerugian dalam bentuk kehilangan bobot . Jika kuantum pengiriman sangat besar, maka
kehilangan kumulati dari selisih kadar kulit menjadi relatif besar. Kadar kulit biji kakao
dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman dan cara pengolahan (fermentasi dan pencucian). Makin
singkat waktu fermentasi, kadar kulit biji kakao makin tinggi karena sebagian besar sisa lendir
(pulp) masih menempel pada biji. Namun demikian, kandungan kulit biji tersebut dapat
dikurangi dengan proses pencucian.
2. Kontaminasi dan Pencemaran
2.1. Kandungan benda asing
Kontaminasi benda asing ke dalam massa biji kakao harus dihindari karena dapat
menimbulkan masalah yang serius. Kontaminasi benda padat ke dalam massa biji umumnya
terjadi saat pengolahan salah satunya jika pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran.
Semestinya, kontaminasi benda asing padat dapat dipisahkan pada saat proses sortasi, yaitu saat
pemilahan ukuran biji.
Tercampurnya benda asing pada biji kakao yang saat ini dianggap sebagai masalah
serius, terutama oleh konsumen Amerika, adalah kontaminasi oleh serangga. Kontaminasi ini
umumnya terjadi pada saat penggudangan. Telur atau larva serangga, yang semula tidak nampak,
berkembang menjadi serangga pada saat biji kakao saat disimpan di dalam gudang. Kontaminasi
ini ditengarai juga terjadi selama pengangkutan sebelum sarana pengangkut (kapal) mencapai
pelabuhan negara tujuan. Oleh karena itu, konsumen biji kakao Amerika sampai saat ini masih
menerapkan aturan yang disebut “Automatic Detection”, yaitu suatu kebijakan penahanan secara
otomatis atas semua kapal yang mengangkut biji kakao dari Indonesia. Muatan biji kakao boleh
dibongkar dari kapal jika proses refumigasi sudah selesai dilakukan. Aturan ini sangat merugikan
eksportir karena seluruh beban yang timbul dari penerapan aturan tersebut menjadi beban
eskportir Indonesia.
Selain karena bahan padat, kontaminasi bau sering juga dianggap sebagai masalah serius.
Kontaminasi jenis ini umumnya terjadi pada saat pengemasan. Biji kakao kering mempunyai
sifat absorsi bau yang sangat kuat sehingga bahan karung goni yang dihasilkan dari proses yang
menggunakan minyak mineral harus dihindari. Bau minyak akan diserap ke dalam biji sehingga
aroma dasar cokelat menjadi bercampur bau minyak. Selain itu, penggunaan cat warna dengan
cat berpelarut minyak mineral pada saat labelling karung goni juga harus dicegah.
2.2.. Kandungan jamur (kapang)
Jamur merupakan kontaminan mikrobiologis yang tidak disukai oleh konsumen. Jamur
selain merusak cita-rasa dan aroma khas cokelat, juga berpotensi memproduksi senyawa racun
(toksin) yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Serangan jamur dianggap serius jika
perkembangan pertumbuhannya sudah masuk ke dalam keping biji. Biji kakao yang demikian
akan ditolak oleh konsumen. Deteksi jamur yang menyerang pada biji kakao dapat dilakukan
secara kualitatif, yaitu dari kenampakan (visual) dari warna permukaan kulit dan bau (busuk atau
menyengat kurang sedap) dan secara kuantitatif jamur ditentukan secara laboratorium. Dengan
bantuan pengembangan biak mikroba di dalam petridish, jumlah dan jenis mikroba yang
menyerang biji kakao dapat diketahui secara teliti. Deteksi jamur secara kualitatif dilakukan
secara rutin karena kadar jamur merupakan persyaratan yang tercantum dalam standar mutu.
Sedangkan, deteksi jamur secara kuantitaif umumnya dilakukan secara acak atas permintaan
konsumen.
3. Kadar Lemak
Kadar lemak pada umumnya dinyatakan dalam persen dari berat kering keping biji.
Lemak merupakan komponen termahal dari biji kakao sehingga nilai ini dipakai oleh konsumen
sebagai salah satu tolok ukur penentuan harga. Selain oleh bahan tanam dan musim, kandungan
lemak dipengaruhi oleh perlakuan pengolahan, jenis bahan tanaman dan faktor musim. Biji
kakao yang berasal dari pembuahan musim hujan umumya mempunyai kadar lemak lebih tinggi.
Sedang, karakter phisik biji kakao pasca pengolahan, seperti kadar air, tingkat fermentasi dan
kadar kulit, berpengaruh pada randemen lemak biji kakao. Kisaran kadar lemak biji kakao
Indonesia adalah antara 49 - 52 %.
Lemak kakao merupakan campuran trigliserida, yaitu senyawa gliserol dan tiga asam
lemak. Lebih dari 70 % dari gliserida terdiri dari tiga senyawa tidak jenuh tunggal yaitu
oleodipalmitin (POP), oleodistearin (SOS) dan oleopalmistearin (POS). Lemak kakao
mengandung juga di-unsaturated trigliserida dalam jumlah yang sangat terbatas. Komposisi
asam lemak kakao sangat berpengaruh pada titik leleh dan tingkat kekerasannya. Titik leleh
lamak kakao yang baik untuk makanan cokelat mendekati suhu badan manusia dengan tingkat
kekerasan minimum pada suhu kamar.
Keberadaan asam lemak bebas di dalam lemak kakao harus dihindari karena hal itu
merupakan salah satu indikator kerusakan mutu. Asam lemak bebas umumnya muncul jika biji
kakao kering disimpan di gudang yang kurang bersih dan lembab. Kadar asam lemak bebas
seharusnya kurang dari 1%. Biji kakao dianggap sudah mulai mengalami kerusakan pada kadar
asam lemak bebas di atas 1,3 %. Oleh karena Codex Allimentarius menetapkan toleransi
kandungan asam lemak bebas di dalam biji kakao dengan batas maksimum 1,75 %.
4. Organoleptik
Beberapa konsumen, terutama industri makanan dan minuman cokelat di Eropa,
menghendaki beberapa persyaratan mutu tambahan, yaitu uji organoleptik. Selain menginginkan
mutu phisik dan kandungan lemak yang tinggi, mereka lebih menyukai biji kakao yang
mempunyai cita-rasa dan aroma khas cokelat yang menonjol dan rasa asam yang minimal.
Citarasa dan aroma khas cokelat akan berkembang lebih sempurna pada biji kakao yang
telah mengalami proses fermentasi yang sempurna. Secara kualitatif, kesempurnaan proses
fermentasi dapat dilihat dari perubahan warna keping biji kakao. Dengan uji belah dapat
diketahui bahwa warna dominan keping biji tanpa fermentasi adalah ungu (violet) atau sering
disebut biji slaty. Warna tersebut secara bertahap akan berubah menjadi coklat sejalan dengan
perkembangan proses dan waktu fermentasi. Makin panjang waktu fermentasi, warna coklat
makin dominan. Secara kuantitatif, tingkat kesempurnaan fermentasi dapat dinalisis dengan
metoda kimiawi. Contoh uji biji kakao disangrai pada suhu dan waktu tertentu dan kemudian
dilarutkan dengan senyawa kimia standar. Penentuan derajat fermentasi berdasarkan warna
keping biji dan diukur dengan spektrophotometer pada panjang gelombang tertentu.
Derajat fermentasi berdasarkan warna keping biji dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa tingkat, yaitu,
Fermentasi kurang mwnghasilkan keping biji berwarna ungu penuh (tanpa fermentasi),
warna ungu seperti batu tulis (fermentasi 1 hari), warna ungu dan coklat sebagian (fermentasi
2 - 3 hari), warna cokelat dengan sedikit ungu (fermentasi 4 hari)
Terfermentasi sempurna menghasilkan keping biji berwarna coklat dominan
Fermentasi berlebihan menghasilkan warna keping biji coklat gelap dan berbau tidak enak.
Penentuan derajat fermentasi berdasarkan warna dilakukan dengan uji belah. Biji kakao
dibelah tepat di bagian tengah, arah memanjang dari keping biji. Permukaan biji yang terbelah
dapat dilihat dengan jelas. Selain itu, uji ini dapat digunakan untuk menentukan serangan jamur
atau serangga di dalam apakah keping biji. Keduanya dapat dilihat dari miselia yang tumbuh di
dalam keping biji atau telur dan larva serangga yang bersarang di dalam keping biji.
5. Standar Mutu Biji Kakao
Standar mutu diperlukan sebagai sarana untuk pengawasan mutu. Setiap partai biji
kakao yang akan diekspor harus memenuhi persyaratan tersebut dan diawasi oleh lembaga
yang ditunjuk. Satndar mutu biji kakao Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia Biji
Kakao (SNI 01 - 2323 - 1991). Standar ini meliputi definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara
pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan (labelling), cara pengemasan dan rekomendasi.
Biji kakao didefinisikan sebagai biji yang dihasilkan oleh tanaman kakao (Theobroma
cacao Linn), yang telah difermentasi, dibersihkan dan dikeringkan. Biji kakao yang diekspor
diklasifikasikan berdasarkan jenis tanaman, jenis mutu, dan ukuran berat biji. Atas dasar jenis
tanaman, biji kakao dibedakan menjadi dua, yaitu jenis kakao mulia (Fine Cocoa) dan jenis
kakao lindak (Bulk Cocoa). Standar mutu terbagi atas dua syarat mutu, yaitu syarat umum dan
syarat khusus. Syarat umum merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap partai biji kakao
yang akan diekspor, (Tabel 6 ) dan syarat khusus merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
setiap klasifikasi jenis mutu (Tabel 7).
5.1. Syarat mutu umum
Syarat umum biji kakao yang akan diekspor ditentukan atas dasar ukuran biji, tingkat
kekeringan dan tingkat kontaminasi benda asing. Ukuran biji dinyatakan dalam jumlah biji per
100 g biji kakao kering (kadar air 6 - 7 %). Klasifikasi mutu atas dasar ukuran biji
dikelompokkan menjadi 5 tingkat, sedang tingkat kekeringan dan kontaminasi ditentukan secara
laboratoris atas contoh uji yang mewakili.
Tabel 1. Mutu biji kakao atas dasar ukuran biji
=========================================
Ukuran Jumlah biji/100 gram
----------------------------------------------------------------------
AA maks. 85
A maks. 100
B maks. 110
C maks. 120
S > 120
=========================================
Tabel 2. Syarat umum biji kakao
===================================================
Karakteristik Persyaratan
-----------------------------------------------------------------------------------------
Kadar air (b/b)* maks. 7,5 %
Biji berbau asap dan atau abnormal, Tidak ada
dan atau berbau asing
Serangga hidup Tidak ada
Kadar biji pecah dan
atau pecahan maks. 3 %
biji dan atau pecahan kulit (b/b)
Kadar benda-benda asing (b/b) maks. 0 %
==================================================
5.2. Syarat khusus
Syarat ini lebih terkait dengan masalah cita-rasa dan aroma serta masalah kebersihan
yang terkait dengan kesehatan manusia. Setelah dilakukan klasifikasi mutu umum, setiap parti
biji kakao perlu digolongkan lagi menjadi dua tingkat mutu, yaitu Mutu I dan Mutu II.
Tabel 3. Syarat khusus biji kakao
============================================================
Karakteristik Persyaratan (maks.)
Mutu I Mutu II
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kadar biji berkapang (b/b) 3 % 4 %
Kadar biji tidak terfermentasi (biji/biji) 3 % 8 %
Kadar biji berserangga, pipih dan 3 % 6 %
berkecambah
============================================================
6. Standar Kakao Internasional
Food and Drugs Adiministration (FDA) dari USA memprakarsai menyusun standar
kakao internasional dengan mengadakan pertemuan antara produsen dan konsumen beberapa
kali pada tahun 1969 di Paris. Pertemuan tersebut menyepakati ditetapkannya Standar Kakao
Internasional. Standar ini banyak telah diadopsi oleh hampir semua negara penghasil kakao di
dunia tertuma yang mengekspor biji kakao ke Amerika. Secara umum persyaratan yang
tercantum standar kakao Indonesia sejalan dengan dengan ayang ditentukan dalam Stabdar
Kakao International. Beberapa batasan umum yang menggolongkan biji kakao yang layak untuk
diperdagangkan di pasaran internasional (Cocoa merchantable quality) adalah sebagai berikut,
1) Biji kakao harus difermentasi, kering (kadar air 7 %) , bebas dari biji smoky, bebas dari bau
yang tidak normal dan bau asing dan bebas dari bukti-bukti pemalsuan.
2) Biji kakao harus bebas dari serangga hidup
3).Biji kakao dalam satu parti (kemasan ) harus mempunyai ukuran seragam, bebas dari biji
pecah, pecahan biji dan pecahan kulit, dan bebas dari benda-benda asing.
7. Keasaman
Tujuan utama fermentasi dan pengeringan adalah menghasilkan biji yang memberikan
citarasa cokelat baik. Namun, dengan metode yang biasa, kakao yang diproduksi negara-negara
Asia Tenggara (Malaysia dan Indonesia) punya citarasa yang terlalu asam dan kuang disukai
oleh konsumen Eropa. Karena rasa ikutan tersebut, cita-rasa biji kakao Asia Tenggara dianggap
rendah.
Pada dasarnya semua biji kakao itu mengandung asam-asam volatil dan non volatil.
Diantara jenis asam yang paling dominan adalah asam asetat, asam sitrat dan asam laktat. Asam
sitrat berkisar antara 1-2% dan separuhnya hilang bersama aliran cairan fermentasi dan
dimetabolisasi, sehingga yang tertinggal pada biji kering adalah ñ 0,5%. Asam asetat dan asam
laktat terbentuk selama fermentasi, dan masuk ke dalam kotiledon/nib. Jumlah asam laktat dan
asam asetat pada biji kering bervariasi menurut metode fermentasi, pengeringan, varietas dan
asal daerahnya. Asam asetat biasanya dapat terbentuk pada biji kering, karena mudah
menguap dan dapat dihilangkan selama pembuatan makanan coklat. Asam laktat tidak dapat
terbentuk pada biji kering, dan sangat sulit dihilangkan selama pembuatan makanan coklat
dan akan memberikan rasa asam pada produk makanan coklat akhir. Adanya asam-asam
tersebut menurunkan pH di bawah 5.00 dan berhubungan dengan reaksi-reaksi pembentukan
calon citarasa coklat.
Penelitian untuk mengatasi masalah keasaman biji kakao produksi Asia Tenggara telah
banyak dilakukan, antara lain fermentasi kotak dangkal, pengempaan biji kakao segar pra-
fermentasi, hembusan udara ke dalam peti fermentasi dan maturasi (pematangan) di akhir
fermentasi. Keasaman yang tinggi menyebabkan akumulasi asam amino dan peptida yang
terlalu tinggi pada keping biji sehingga proses pembentukan flavor khas cokelat kurang
berkembang. Flavor khas cokelat sebagian besar merupakan hasil reduksi asam amino atau
peptida oleh gula pereduksi. Jika kadar asam amino atau peptida terlalu tinggi maka tidak semua
dapat direduksi, sehingga flavor khas cokelat menjadi berkurang.
Pembentukan asam amino dan peptida adalah hasil dari proteolis protein keping biji kakao.
Proteolisis terjadi maximum pada pH 3.5 - 4.5, karena eksopeptidase biji kakao bekerja optimal
pada pH tersebut dan endopeptidase bekerja pada pH 3.5 - 5.5. Jika pH keping biji kakao turun
sampai di bawah 4.5, eksopeptidase maupun endopeptidase bekerja secara optimum, sehingga
kadar asam amino dan peptida pada keping biji menjadi terlalu tinggi. Jika pH keping biji di
atas 4.5, maka hanya endopeptidase yang bekerja optimum sehingga kadar asam amino dan
peptida di dalam keping biji tidak terlalu tinggi.
Penyimpanan buah setelah dipetik selama 10 hari hari dapat mengurangi tingkat keasaman
dan meningkatkan potensi flavor khas cokelat. Penyimpanan buah dapat menurunkan kadar gula
dan kadar air pulp, sehingga pembentukan asam asetat selama fermentasi tidak terlalu banyak.
Namun, metode ini belum seluruhnya dapat diterima oleh kalangan praktisi di perkebunan
dengan pertimbangan kehilangan produksi karena pembusukan buah dan kerusakan biji yang
mencapai 30 %. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan suatu metode untuk
mengurangi kadar gula dan kadar air pulp yang tidak menyebabkan kerusakan biji antara lain
pengupasan lendir secara mekanis. Metoda ini telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao dalam beberapa tahun terakhir ini dan hasilnya sangat memuaskan
USAHA PENINGKATAN MUTU KAKAO RAKYAT Rabu, 10 Februari 2010 07:55 | Author: Yuandika |
Penilaian Pengunjung: / 2
Terjelek Terbaik
USAHA PENINGKATAN MUTU KAKAO RAKYAT Oleh : Ir. Murdani – Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan
Perbaikan mutu merupakan program prioritas dalam pengembangan kakao yang harus segera ditangani pemerintah. Evaluasi di lapangan menunjukkan bahwa mutu biji kakao yang dihasilkan oleh petani masih dicirikan oleh tingginya tingkat kadar air biji dan inkonsistensi mutu, ciri yang menonjol adalah tingginya tingkat keasaman biji.Usaha perbaikan mutu hendaknya diarahkan pada empat sasaran, yaitu 1) mempertahankan sistem pembelian basah, 2)modifikasi sarana pengolahan ke arah sistem Sime-Cadbudry di tingkat prosesor, 3) memperbaiki cara pengolahan di tingkat petani, 4) pembinaan petani perkebunan kakao.
Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengembangan kakao rakyat khususnya yang diusahakan oleh petani, seperti halnya dalam pengembangan kakao nasional adalah rendahnya produktifitas dan mutu biji yang dihasilkan. Perkiraan mutu biji kakao rakyat secara umum masih rendah, yang ditandai oleh kadar air biji yang tinggi, tingginya tingkat keasaman biji disertai ”flavour” yang rendah dan mutu yang tidak konsisten.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Puslit Kopi dan Kakao, program-program kerja yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kakao rakyat (Mawardi et al, 1992) adalah :
· Perbaikan cara pengolahan untuk meningkatkan mutu biji dan cara pengawasan mutu.· Penyediaan bahan tanaman unggul kakao lindak;· Perbaikan teknik budidaya kakao· Perbaikan sistem tata niaga kakao.· Bidang pasca panen merupakan prioritas program yang harus didahulukan, mengingat permasalahan dalam pengembangan kakao yang paling menonjol adalah masalah pasca panen kakao, apalagi dalam menghadapi persaingan pemasaran yang semakin ketat karena adanya over produksi kakao dunia. Pasar komoditas kakao mengikuti ”buyers market”, yaitu suatu pasar yang kekuatannya dipegang oleh pembeli, sehingga pembeli sangat menentukan kualitas, kuantitas dan harga biji kakao yang diperdagangkan
Telah diterbitkan di Tabloid Sinar Tani Edisi 2008
http://www.sinartani.com/kebun/usaha-peningkatan-mutu-kakao-rakyat- 1232903537.htm
< Sebelumnya Berikutnya >
KAKAO INDONESIA DIKANCAH
PERKAKAOAN DUNIA
I. Pendahuluan
Setelah terpuruk ketitik terendah selama 30 tahun terakhir pada tahun 2000, harga biji kakao dunia mulai bangkit. Kebangkitan harga tersebut bersifat fundamental karena didukung oleh defisit produksi yang cukup tinggi. Namun pada awal tahun 2004 harga biji kakao dunia melemah atau terkoreksi karena produksi kakao tahun 2003/04 diperkirakan kembali menghasilkan surplus walaupun tidak besar. Harga kakao kembali sedikit menguat pada bulan Juli dan Agustur 2004, karena dipicu oleh peningkatan pengolahan biji kakao dunia.
Beberapa bulan ke depan harga kakao relatif tetap tinggi, karena produksi dan konsumsi biji kakao berada dalam keseimbangan dan rasio stok/pengolahan relatif rendah yaitu 41,9%. Rasio stok/pengolahan tersebut hanya sedikit diatas rasio stok/pengolahan dua tahun terakhir, tatapi masih jauh dibawah rasio stok/pengolahan kakao tahun 1988 hingga tahun 2000 yang biasanya berada pada kisaran 46%-66,5%.
Perbaikan harga tiga tahun terakhir tidak sepenuhnya bisa dinikmati petani kakao Indonesia karena petani menghadapi masalah hama penggerek buah kakao (PBK), sehingga produktivitas kebun mereka umumnya turun. Hama PBK telah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao Indonesia terutama di sentra produksi di Sulawesi. Oleh karena itu perlu upaya pengendalian hama PBK kalau kita tidak ingin mengikuti jejak Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya dapat dikatakan telah memasuki ambang kepunahan.
II. Perkembangan Produksi Kakao Dunia
Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2002/03, produksi kakao dunia tercatat sebesar 3.102 ribu ton. Wilayah Afrika memproduksi biji kakao sebesar 2.158 ribu ton atau 69,6% produksi dunia. Sementara Asia
Herman
Oceania dan Amerika Latin masing masing memproduksi 528 ribu ton dan 416 ribu ton atau 17,0% dan 13,4% produksi dunia.
Produsen utama kakao di wilayah Afrika adalah Pantai Gading dengan total produksi 1.320 ribu ton. Negara produsen lainnya adalah Ghana , Nigeria dan Kameron dengan produksi masing-masing 497 ribu ton, 165 ribu ton dan 140 ribu ton. Di wilayah Asia Oceania, Indonesia merupakan produsen utama dengan total produksi 425 ribu ton, diikuti oleh Papua New Guinea dan Malaysia . Sementara produsen utama kakao di wilayah Amerika Latin adalah Brazil dengan total produksi 165 ribu ton, diikuti oleh Ekuador, Dominika , Colombia dan Mexiko.
Secara regional, pangsa produksi selama lima tahun terakhir (1996/97-2001/02) mengalami sedikit perubahan. Wilayah Afrika sebagai produsen utama kakao dunia mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 3,5% dari 64,6% menjadi 68,1%. Sementara itu, di wilayah Asia Oceania juga mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 1,5% dari 17,4% menjadi 18,9%. Sedangkan wilayah Amerika Latin mengalami penyusutan pangsa produksi dari 18,0% menjadi 13,0%.
Pangsa produksi masing-masing wilayah kembali bergeser pada tahun 2002/03, karena terjadi peningkatan produksi yang cukup tajam di Pantai gading dan Ghana dan penurunan produksi di Indonesia. Produksi kakao Pantai Gading kembali meningkat menjadi 1320 ribu ton, sedikit dibawah rekor produksi tahun 1999/00. Sementara itu, Ghana mampu meningkatkan produksi kakaonya menjadi 497 ribu ton, sehingga melampaui produksi kakao Indonesia yang turun menjadi 425 ribu ton (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Produksi Kakao Dunia (ribu ton)
TahunP. Gading Indonesia
Ghana Negeria Brazil
Lainnya
Total
1998/99
1.163 390 397 198 138 522 2.808
1999/00
1.404 422 437 165 124 526 3.078
2000/01
1.212 392 395 177 163 514 2.853
2001/02
1.265 455 341 185 124 491 2.861
2002/03
1.320 425 497 165 163 532 3.102
Sumber: International Cocoa Organization (ICCO), 2003a.
Peningkatan produksi kakao di Pantai Gading terjadi karena kondisi politik di negara tersebut makin telah membaik. Sementara peningkatan produksi kakao yang cukup tajam di Ghana merupakan buah keberhasilan para pekebun mengatasi serangan penyakit dan keberhasilan pemerintahnya mengatasi penyeludupan biji kakao. Sedangkan penurunan produksi kakao Indonesia terutama disebabkan oleh makin meningkatnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK)di hampir seluruh sentra produksi kakao Indonesia .
III. Perkembangan Konsumsi Kakao Dunia.
Konsumsi kakao dapat dibedakan antara konsumsi biji kakao dan konsumsi cokelat. Konsumsi biji kakao dihitung berdasarkan kapasitas pengolahan atau grinding capacity , sedangkan konsumsi cokelat dihitung berdasarkan indeks per kapita.
Dalam perdagangan kakao, konsumsi biji kakaolah yang berkaitan langsung dengan produksi dan interaksi keduanya menentukan harga kakao dunia. Harga kakao bergerak naik jika konsumsi biji kakao lebih besar dari produksinya dan sebaliknya harga kakao akan merosot apabila konsumsi biji kakao lebih kecil dari produksi.
Konsumsi biji kakao dunia sedikit berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat. Negara konsumen utama biji kakao dunia adalah Belanda yang mengkonsumsi 452 ribu ton pada tahun 2000/01. Konsumsi negara ini diperkirakan menurun menjadi 418 ribu ton tahun 2001/02 dan 440 ribu ton tahun 2002/03.
Konsumen besar lainnya adalah Amerika Serikat, diikuti Pantai Gading, Jerman dan Brazil yang masing masing mengkonsumsi 456 ribu ton, 285 ribu ton, 227 ribu ton dan 195 ribu ton pada tahun 2000/01. Diperkirakan pada tahun 2001/02 dan 2002/03 konsumsi negara-negara konsumen utama kakao dunia ini relatif stabil, kecuali Amerika Serikat dan Jerman yang sedikit mengalami penurunan (International Cocoa Organization, 2003).
Sementara itu konsumsi cokelat dunia masih didominasi oleh negara-negara maju terutama masyarakat Eropa yang tingkat konsumsi rata-ratanya sudah lebih dari 1,87kg per kapita per tahun. Konsumsi per kapita tertinggi ditempati oleh Belgia dengan tingkat konsumsi 5,34 kg/kapita/tahun, diikuti Eslandia, Irlandia, Luxembur, dan Austria masing-
masing 4,88 kg, 4,77 kg, 4,36 kg dan 4,05 kg/kapita/tahun.
Selanjutnya jika dilihat total konsumsi, maka konsumen terbesar cokelat adalah Amerika serikat dengan total konsumsi 653 ribu ton atau rata-rata 2,25 ka/kapita/tahun pada tahun 2001/02. Negara konsumen besar lainnya adalah Jerman, Prancis, Inggris, Rusia dan Jepang dengan konsumsi masing-masing 283 ribu ton, 215 ribu ton, 208 ribu ton, 180 ribu ton dan 145 ribu ton.
Pada kelompok negara produsen, hanya Brazil yang dapat dikategorikan sebagai konsumen cokelat utama dengan total konsumsi sebesar 105,2 ribu ton atau rata-rata 0,6 kg/kapita. Sedangkan, konsumsi negara produsen lainnya masih sangat rendah. Pantai Gading hanya mengkonsumsi 8,5 ribu ton, Ghana 10 ribu ton, Nigeria 14 ribu ton dan Indonesia 12 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003).
IV. Perdagangan Kakao Dunia
Perdagangan kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan produk akhir (cokelat), sedangkan produk antara (cacao butter, cocoa powder dan cocoa paste) volumenya relatif kecil. Pada tahun 2001/02, volume ekspor biji kakao mencapai 2,12 juta ton, dan re-ekspor 235 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003 ).
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir (cokelat) mencapai 2,9 juta ton. Sementara volume ekspor kakao butter, kakao powder dan kakao paste masing-masing sebesar 528 ribu ton, 594 ribu ton dan 341 ribu ton.
Eksportir utama biji kakao dunia tahun 2001/02 ditempati oleh Pantai Gading dengan total ekspor 1 juta ton. Eksportir terbesar berikutnya adalah Indonesia, Ghana dan Nigeria dengan volume masing-masing 365 ribu ton, 285 ribu ton dan 160 ribu ton.
Di sisi lain, importir terbesar biji kakao dunia adalah Belanda dengan volume 493 ribu ton, diikuti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Malaysia dan Inggris dengan volume impor masing-masing 397 ribu ton, 212 ribu ton, 143 ribu ton, 114 ribu ton, dan 107 ribu ton. Belanda sebagai importir terbesar biji kakao sekaligus berperan sebagai re-ekspor terbesar biji kakao dunia dengan volume 78,2 ribu ton.
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir kakao (cokelat) terbesar ditempati oleh Jerman dengan total ekspor 405 ribu ton, disusul
Belgia, Kanada, Prancis dan Belanda dengan volume ekspor masing-masing 332 ribu ton, 266 ribu ton, 228 ribu ton dan 215 ribu ton. Sementara itu, importir terbesar produk akhir kakao adalah Amerika Serikat dengan volume 382 ribu ton, diikuti Prancis dan Jerman masing-masing 308 ribu ton dan 270 ribu ton.
V. Perkembangan Harga
Setelah terpuruk ketitik terendah US $c 36,33/lb selama 30 tahun terakhir pada bulan Nopember 2000, harga kakao merambat naik menembus US $c 50/lb pada bulan Februari 2001, kemudian sedikit berfluktuasi hingga mencapai tingkat tertinggi US $c 60,64/lb pada bulan Desember 2001.
Kenaikan harga kakao dunia terus berlanjut hingga menembus US $ 100/lb pada bulan Oktober 2002 dan merupakan puncak harga tertinggi selama 16 tahun terakhir. Selanjutnya harga kakao dunia sedikit melemah pada bulan Nopember dan kembali menguat pada bulan Desember 2002 hingga Februari 2003 dan kembali melemah hingga Juni 2004, kemudian sedikit menguat hingga Agustus 2004. Harga kakao rata-rata tahun 2002 dan 2003 tercatat masing-masing US $c 80,65/lb dan US $c 79,6/lb (Gambar 1).
Gambar 1. Perkembangan Harga Kakao Dunia (Indikator ICCO)
Peningkatan harga kakao yang sangat tajam sepanjang tahun 2002 terutama dipicu oleh perkiraan defisit produksi kakao dunia yang berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Setelah mencapai tingkat harga yang cukup tinggi, harga kakao berfluktuasi dengan kecenderungan terus meningkat sejak September 2002 hingga Pebruari 2003.
Penguatan harga tersebut diwarnai oleh perkiraan defisit produksi sebesar 120 ribu ton pada tahun 2002/03 yang dipublikasi oleh International Cocoa Organization (ICCO) awal tahun 2003. Selanjutnya harga kakao mulai melemah karena ICCO melakukan revisi terhadap perkiraan defisit produksi menjadi hanya sebesar 10 ribu ton. Sepanjang tahun 2004, harga kakao dunia berfluktuasi antara US $c 63,86-78,44/lb.
Beberapa bulan ke depan diperkirakan harga kakao dunia relatif tetap tinggi, karena produksi dan konsumsi biji kakao berada dalam keseimbangan dan rasio stok/pengolahan relatif rendah yaitu 41,9%. Rasio stok/pengolahan tersebut hanya sedikit diatas rasio stok/pengolahan dua tahun terakhir, tatapi masih jauh dibawah rasio stok/pengolahan kakao tahun 1988 hingga tahun 2000 yang biasanya berada pada kisaran 46%-66,5%.
VI. Prospek Kakao Indonesia
Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulsel, Sulteng, Sultra, Sumut, Kaltim, NTT dan Jatim. Sebagian besar (>90%) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktort Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Perbaikan harga kakao dunia akhir-akhir ini tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh para pekebun karena ada beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain: makin mengganasnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk yang relatif rendah dan fluktuasi harga yang cukup tajam.
Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang, Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa
perkebunan kakao di Jawa (Roesmanto, 1991).
Keseriusan ancaman serangan hama PBK sudah terbukti di negara tetangga kita Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya berada diambang kepunahan. Akibat mengganasnya serangan hama PBK, produksi kakao Malaysia menurun dari 247 ribu ton tahun 1990 menjadi 200 ribu ton tahun 1993. Penurunan produksi kakao terus berlanjut hingga tinggal 25 ribu ton pada tahun 2002 atau 10% dari produksi tahun 1990 (Sulistyowati, Prawoto, Wardani, dan Winarno, 1995 dan ICCO, 2003).
Belajar dari pengalaman kita dimasa lalu dan pengalaman Malaysia beberapa tahun terakhir, maka diperlukan upaya untuk meyelamatkan perkebunan kakao dari ancaman hama PBK, sehingga keberlanjutan agribisnis kakao dapat dipertahankan dan peranan perkebunan kakao bagi perekonomian dapat ditingkatkan. Upaya penanggulangan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan gerakan pengendalian hama terpadu secara luas dan menyeluruh.
Lebih lanjut, produksi kakao rakyat dikenal bermutu rendah dan hingga kini masih dikenakan diskon harga ( automatic detention ) yang besarnya antara US $ 90-150/ton khususnya untuk pasar Amerika Serikat. Diskon harga tersebut cukup memberatkan pekebun kakao. Karena itu perbaikan mutu menjadi suatu keharusan disamping lobi untuk mengurangi atau menghapuskan diskon harga tersebut.
Harga kakao berfluktuasi cukup tajam dan sangat tergantung pasar internasional. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku pekebun, khususnya terkait dengan pengelolaan kebun dan perbaikan mutu produk. Pada saat harga berfluktuasi tajam, pekebun pada umumnya ingin cepat menjual hasil kebunnya tanpa melakukan pengolahan yang memadai, sehingga mutunya rendah. Untuk mengatasi hal ini, percepatan pengembangan industri pengolahan biji kakao menjadi sangat strategis untuk meraih nilai tambah dan meredam fluktuasi harga, sekaligus mengurangi ketergantungan biji kakao terhadap pasar internasional.
Tanpa upaya yang memadai, terarah dan terprogram, maka perkebunan kakao Indonesia menghadapi masa suram dan tidak mustahil sejarah kehancuran perkebunan kakao Indonesia akan terulang kembali.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2001-2003, Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan, Jakarta.
International Cocoa Organization (ICCO), 2003. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol: XXIX (2)
International Cocoa Organization (ICCO), 2003a. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol: XXIX (4)
Roesmanto, J., 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta , 165p.
Sulistyowati, E. A.A. Prawoto, S. Wardani , dan H. Winarno. 1995. Laporan Kunjungan Kaji Banding Pengendalian Hama Penggerek Buah kakao di Malaysia . Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 11, No. 1: 45-51.
Kualitas Biji Kakao Indonesia Masih RendahSabtu, 17 Februari 2007
Rendahnya kualitas biji kakao asal Indonesia, menyebabkan sejumlah pabrik coklat memilih impor biji kakao . Rendahnya kualitas biji kakao ini disebabkan kurangnya proses fermentasi atau bahkan tidak dilakukan proses fermentasi pada biji kakao pasca-panen.
Demikian paparan hasil penelitian salah satu peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Savitri pada acara Temu Peneliti dan Pers di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI, Jalan KS Tubun No 5 Subang, Rabu (24/1).
"Para petani kakao kebanyakan tidak tahu jika yang menentukan cita rasa coklat itu dari proses pasca-panen atau fermentasi biji kakao. Hasilnya, kualitas biji kakao kita sangat rendah. Di pasaran internasional pun terus turun," ujar peneliti dari Poso tersebut.
Menurutnya, kurangnya perhatian para petani pada proses fermentasi inilah yang menyebabkan produksi biji kakao Indonesia kalah dengan produksi Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Swiss. "Bahkan, di Jepang, biji coklat dari Indonesia hanya untuk makanan ternak karena kualitasnya rendah," tambah Savitri. Berdasarkan data yang ada, hampir 80ari total produksi per tahun atau sekira 450.000 ton yang diekspor tidak terfermentasi.
Savitri mengungkapkan, beberapa pabrik coklat besar lebih banyak menggunakan biji kakao dari Ghana. "Biasanya pabrik coklat menggunakan biji kakao dari Ghana yang kualitasnya lebih bagus. Sementara biji kakao dari Indonesia hanya digunakan sebagai bahan isi campuran, yakni sekira 20-30 persennya saja. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya produksi," tuturnya.
Berdasarkan penelitian, menurut Savitri, tanah Sulawesi bagus dan cocok untuk kakao. Posisi Indonesia pada tahun 2005 adalah sebagai produsen kakao ketiga terbesar di dunia. Namun, karena umumnya biji kakao yang diekspor tidak melalui proses fermentasi yang cukup sehingga rasanya asam.
Untuk pasar Uni Eropa, misalnya, Indonesia hanya berada di posisi 6 dalam penguasaan pasarnya (2,46 Padahal, kemampuan produksi Indonesia mencapai seperenam dari total produksi dunia. Sementara itu, negara pesaing utama Indonesia yakni Pantai Gading mempunyai pangsa pasar 41,54 Ghana 19,54Nigeria 9,20Swiss 7,27bahkan Kamerun 5,21
Menurut Savitri, tidak adanya pembedaan harga antara biji kakao yang difermentasikan dengan yang tidak difermentasikan juga menjadi salah satu penyebab kualitas biji kakao Indonesia rendah. Proses fermentasi, kata Savitri membutuhkan waktu hingga lima hari. Sementara, petani tidak membedakan harga jualnya. "Jadi, mereka berpikir buat apa menyimpan biji kakao hingga lima hari kalau harganya sama saja?" ungkap Savitri.
Salah satu peran LIPI di Poso, kata Savitri, yakni memberikan pelatihan tentang proses pasca panen atau fermentasi. "Untuk memperbaiki mutu biji kakao, salah satunya adalah dengan memerhatikan proses pasca panennya. Jika proses pasca panen sudah benar, kualitas biji kakao pun akan meningkat," ujarnya. (A-155)
Sumber : Pikiran Rakyat (29 Januari 2007)
http://www.lipi.go.id/www.cgi?berita&1171728477&116&2007&
Harga Memukau, Pengolahan KO
Ditulis oleh Redaksi-1
Jumat, 18 Desember 2009 10:08
Indeks Artikel
Harga Memukau, Pengolahan KO
Produsen Kakao Ketiga Terbesar di Dunia
Semua Halaman
Harga internasional kakao sedang tinggi. Namun sayang, momentum ini tak bisa banyak dinikmati oleh dunia perkakaoan Indonesia karena banyaknya masalah menghadang.
Fenomena yang terjadi di industri kakao di Tanah Air sedang memprihatinkan. Saat harga internasional komoditas ini mencapai US$2.500 per ton, produksinya justru turun. Dalam kondisi harga yang tinggi, dunia perkakaoan Indonesia justru dihinggapi banyak masalah. Belum lepas sepenuhnya dari serangan hama
penggerek buah kakao (PBK), datang hama vascular streak dieback (VSD) menerjang. Akibatnya tidak main-main. Mutu dan jumlah produksi Indonesia untuk kategori ekspor melorot. Padahal, Indonesia selama ini termasuk negara pengekspor kakao jempolan. Namun, lantaran hantaman berbagai hama itu, produksi kakao nasional pun KO.
Menurut Halim Razak, ketua DPP Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), VSD tercatat telah menurunkan kapasitas ekspor kakao dari negeri ini dalam tiga tahun terakhir. Sepanjang 2006–2008, produksi kakao Indonesia merosot sampai 100.000 ton. Pada 2006 produksi kakao Indonesia mencapai 590.000 ton, lalu pada 2007 turun jadi 520.000 ton, dan tahun lalu turun lagi menjadi hanya 490.000 ton. Halim menambahkan, jika kondisinya terus seperti ini, produksi kakao nasional bakal masuk ke level kritis. Dan, jika hal itu terjadi, lahan kakao bakal beralih fungsi. Para petani bakal mengganti kakao dengan tanaman lain yang lebih bisa diandalkan.
Tidak berhenti sampai di situ, belakangan industri hilir kakao nasional juga mengalami nasib serupa. Kalau sebelumnya ada 16 industri pengolahan kakao di Indonesia, sekarang hanya ada 5 pabrik yang berjalan dengan kapasitas penuh, sedangkan sisanya tutup atau berjalan kembang kempis. Halim mengungkapkan sekarang ini sudah ada tiga pabrik pengolahan kakao yang tutup, sementara sisanya dalam kondisi istirahat atau tidak beroperasi. Semula, 16 industri pengolahan kakao di Indonesia itu memiliki kapasitas terpasang 274.000 ton biji kakao, tetapi sekarang hanya lima pabrik yang beroperasi dengan kapasitas penuh, dengan total kapasitas terpasang 123.000 ton. Halim menduga menurunnya produksi
kapasitas terpasang industri kakao nasional tidak disebabkan oleh masalah kekurangan bahan baku yang lebih banyak diekspor, tetapi lebih pada masalah kesulitan keuangan, manajemen, dan lain-lain.
Oleh karena itu, meskipun seabrek insentif telah digelontorkan oleh pemerintah guna memicu investasi baru di sektor usaha tersebut, seperti dengan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% bagi produk primer sejak awal 2007 silam, toh nyatanya industri pengolahan kakao nasional belum jua bergairah. Malah, sejak muncul pada era 80-an, pertumbuhan industri pengolahan kakao di Indonesia sampai kini bisa disebut stagnan.
Produsen Kakao Ketiga Terbesar di Dunia
Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun lalu, produksi biji kakao nasional mencapai 490.000 ton dengan daerah produksi yang terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun, dari volume produksi sebesar itu, sekitar 70% dilempar ke pasar ekspor dan sisanya (30%) diserap pasar lokal. Dampaknya, utilisasi industri pengolahan biji kakao hanya 150.000 ton dari 300.000 ton total kapasitas produksi terpasang per tahun.
Di sisi lain, Malaysia justru punya industri pengolahan biji kakao atau pabrik cokelat dengan kemampuan produksi hingga 300.000 ton per tahun. Padahal produksi biji kakao negeri jiran itu setahun hanya sekitar 30.000 ton. Lebih ironis lagi, Singapura, yang tidak memiliki satu batang pun pohon kakao, malah mampu memproses kakao hingga 150.000 ton per tahun. Produsen di luar negeri, khususnya di Malaysia, juga justru jauh lebih efisien. Malaysia pun makin berjaya dan mampu menghasilkan produk kakao olahan yang kompetitif.
Padahal, perkembangan luas perkebunan kakao Indonesia dari tahun ke tahun cukup signifikan dan punya potensi besar untuk mengalahkan pengolahan kakao Malaysia. Pada 2002 luas perkebunan kakao domestik baru mencapai 821.400 hektare, tetapi pada 2008 telah meningkat menjadi 1,4 juta hektare. Pesatnya perkembangan luas area perkebunan kakao ini disebabkan oleh gencarnya usaha penanaman kakao pada tahun-tahun tersebut baik berupa rehabilitasi perkebunan yang sudah tua maupun perluasan.
Selain itu, menurut Askindo, pesatnya pertambahan luas itu juga disebabkan oleh berbagai fasilitas yang diberikan pemerintah untuk terus mengembangkan kakao di Indonesia. Dukungan tersebut telah menarik minat perusahaan swasta baik nasional maupun asing untuk terjun dalam usaha perkebunan kakao. Dilihat dari luas area perkebunan kakao menurut wilayah pada 2008, terluas dicatat oleh
Sulawesi, yaitu 896,6 hektare, disusul oleh Sumatera seluas 268,1 hektare. Posisi berikutnya adalah Jawa dan Kalimantan, masing-masing seluas 90,7 hektare dan 52,9 hektare.
Sementara itu, selama enam tahun terakhir (2002–2008), produksi kakao (biji kering) Indonesia berfluktuasi. Pada 2002 produksi kakao Indonesia tercatat sebesar 571.100 ton, lalu pada 2002 meningkat menjadi 572.600 ton. Bahkan, pada 2006, menurut Askindo, produksinya telah mencapai 590.000 ton. Namun, tahun lalu anjlok hingga menjadi 520.000 ton. Meski demikian, jumlah tersebut masih menempatkan Indonesia di peringkat ketiga di dunia sebagai penghasil kakao terbesar setelah Pantai Gading dan Ghana. Indonesia masih berharap mampu menduduki peringkat kedua dengan total luas kebun kakao lebih dari 1 juta hektare.
Seperti diketahui, Indonesia adalah negara pengekspor kakao. Bahkan, jika dilihat dari jumlahnya, negara ini merupakan salah satu eksportir terbesar di dunia, meskipun beberapa tahun belakangan angkanya cenderung menurun. Ekspor kakao pada 2002 tercatat sebesar 367.700 ton, kemudian pada 2006 mengalami lonjakan hingga mencapai angka tertinggi dalam tujuh tahun terakhir yakni sebesar 494.100 ton. Namun, pada 2007 dan 2008 ekspor kakao Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam, yakni menjadi 381.700 ton dan 367.500 ton.
Senada dengan kinerja ekspornya, dalam beberapa tahun terakhir, volume impor kakao juga naik turun. Pada 2006 impor kakao Indonesia tercatat sebesar 26.900 ton. Namun, pada 2007 turun menjadi 19.600 ton dan tahun lalu naik lagi menjadi
sebesar 25.190 ton. Impor kakao Indonesia sepanjang tahun lalu terutama didatangkan dari Pantai Gading, Papua Nugini, Ghana, dan Amerika Serikat.
Produksi kakao dalam negeri, dalam hal ini kakao biji (cacao bean), pada umumnya hanya dikonsumsi langsung oleh industri pengolahan kakao yang menghasilkan cacao butter, cacao powder, dan cacao pasta. Ketiga jenis produk tersebut, meskipun bentuknya berbeda, secara prinsip merupakan produk oleh satu industri pengolahan kakao. Pada 2002 produksi kakao olahan setengah jadi sebesar 122.900 ton dan terus menunjukkan tren meningkat sehingga pada 2008 telah mencapai sekitar 175.800 ton.
Secara umum, pemakaian kakao olahan setengah jadi di Indonesia dalam lima tahun ini paling dominan dikonsumsi oleh industri cokelat, diikuti industri es krim dan industri roti. Berikutnya, industri susu, kembang gula, biskuit, dan industri lainnya. Jika dilihat dari masing-masing kontribusinya terhadap industri kakao olahan, maka industri cokelat menyerap 43,40%, diikuti industri es krim 20% dan industri roti 16,30%. Selanjutnya, industri susu mengonsumsi 6,0%, kembang gula 5,1%, biskuit 4,2%, dan industri lainnya 5,0%.
Dalam peta perkakaoan dunia, pemasok utama kakao dunia adalah Pantai Gading (38,3%), Ghana (20,2%), dan Indonesia (13,6%). Pemasok lainnya adalah Kamerun (5,1%), Brasil (4,4%), Nigeria (4,9%), dan Ekuador (3,1%).
SUCIPTO DAN ARIF HATTA( [email protected] )
Tulisan ini bersumber dari majalah Warta Ekonomi no. 16 tahun XXI dengan judul asli "Harga Memukau, Pengolahan KO" di halaman 26-29.
MENUJU INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO
Membanggakan. Indonesia memiliki 1,6 juta hektar kebun dengan produksi 550 ribu ton tahun 2008 yang lalu. Dengan produksi ini maka Indonesia merupakan produsen kakao nomor tiga di dunia. Nomor satu adalah Pantai Gading. Melalui Gerakan Nasional Peningkatan Produksi Kakao, pemerintah merancang bahwa pada tahun 2020 produksi kakao Indonesia sebesar 2 juta ton.
Merisaukan! Sekitar 70 persen diekspor masih dalam bentuk biji mentah dan hanya memproduksi 120 ton cokelat. Industri pengolahan kakao di Indonesia tahun 2005 ada
sebanyak 16 industri, tapi sekarang ini hanya 2 industri yang masih beroperasi, sedangkan yang lainnya mati suri dan tutup. Alasannya, kurangnya bahan baku, kurang infrastruktur dan tidak ada insentif.
Mengapa industri pengolahan kakao tidak berkembang? Karena Indonesia kurang serius menggarap industri pengolahan di dalam negeri. Sudah puas dengan mengekspor bahan mentah seperti minyak sawit, karet, kakao dan sebagainya. Kurang mengembangkan industri pengolahan minyak sawit, industri ban mobil dan makanan cokelat. Padahal dengan mengembangkan pengolahan komoditi ini akan memberikan manfaat ganda seperti mendapat nilai tambah, harga hasil olahan tidak berfluktuasi, memberikan dampak lainnya seperti perbankan, packing, dan sebagainya.
Ada yang menarik dan lucu dengan kakao ini. Bahwa tidak berkembangnya industri kakao dalam negeri karena kekurangan bahan baku, soalnya 70 persen diekspor dalam bentuk biji. Anehnya, justru ekspor biji kakao Indonesia ini mendukung perkembangan industri pengolahan kakao di Malaysia dan Singapura. Kedua negara ini sangat tergantung kepada bahan baku dari Indonesia. Bahkan industri kakao Malaysia yang bahan bakunya 60% dari Indonesia mengolahnya menjadi kakao bubuk dan diekspor kembali ke Indonesia sekitar 7.000 ton per tahun dengan nilai lebih dari USD 10.000.000.
Apakah harus dibiarkan terus? Tentu tidak. Artinya industri pengolahan kakao di Indonesia harus didorong dan dikembangkan. Agar bahan bakunya cukup maka pemerintah perlu menetapkan kebijakan pengenaan bea keluar atas biji kakao yang diekspor. Dengan demikian diharapkan industri kakao yang mati suri dan tetap dapat bangkit kembali.
Di segi lain dana yang terkumpul dari bea keluar ini diharapkan dapat digunakan dan dimanfaatkan membantu para petani kakao. Sehingga petani kakao dapat meningkatkan produksi dan mutu melalui kegiatan peremajaan tanaman, rehabilitasi tanaman, intensifikasi tanaman, pemberdayaan petani dan pengendalian hama dan penyakit tanaman serta perbaikan mutu biji kakao sesuai SNI. Maka produksi dan produktivitas pun meningkat.
(Untuk informasi lebih lengkapnya silahkan berlangganan Tabloid SINAR TANI. SMS ke : 081584414991)
http://www.sinartani.com/editorial/menuju-industri-pengolahan-kakao-1244428509.htm