standardisasi prosedur pengambilan foto udara dengan pesawat

83
SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015 - 1 - Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja Dinari Nikken Sulastrie Sirin 1,*) , Noriandini Dewi Salyasari 1 , Ahmad Maryanto 1 , dan Ayom Widipaminto 1 1 Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Telah dilakukan suatu kajian pembuatan prosedur operasi standar untuk pengambilan foto udara dengan pesawat LSA (Light Surveillance Aircraft) dalam rangka mendukung kegiatan pengembangan teknologi rancang bangun payload inderaja. Pengembangan teknologi rancang bangun payload inderaja yang dilakukan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN telah sampai pada tahap pengujian prototipe. Tahap pengujian dilakukan dengan menerbangkan prototipe payload inderaja menggunakan pesawat LSA. Selama diterbangkan payload diprogram untuk melakukan pengambilan gambar foto udara secara otomatis sesuai dengan yang telah direncanakan. Agar diperoleh produk yang memiliki kualitas geometri dan radiometri yang lebih baik atau setara dengan citra yang dihasilkan oleh satelit, maka diperlukan suatu prosedur standar untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Prosedur operasi standar dalam pengambilan foto udara dengan LSA ini dilakukan dengan merunut kepada tahapan-tahapan yang akan dijelaskan pada paper ini. Diharapkan, paper ini dapat menjadi acuan standar dalam pengambilan foto udara dengan LSA yang akan berkontribusi dalam pengembangan teknologi dan pengolahan data penginderaan jauh nasional. Kata kunci: prosedur standar, foto udara, LSA ABSTRACT - A study of the arrangement of standard operating procedures for aerial photography by LSA (Light Surveillance Aircraft) in order to support the development of remote sensing payload engineering technology has been conducted. Development of remote sensing payload engineering technology carried out by Acquisition and Ground Station Technology Affair, LAPAN Remote Sensing and Technology Data Center has reached the stage of prototype testing. The testing phase is done by flying the prototype remote sensing payload using LSA aircraft. During flown, the payload is programmed to capture aerial images automatically in accordance with the planned. In order to obtain a product which has a geometric and radiometric quality better or equal to that generated by the satellite image, we need a standard procedure to meet the needs of the user. Standard operating procedures in an aerial photography with the LSA is done by tracing the stages that are described in this paper. Hopefully, this paper can be a standard reference in an aerial photo with the LSA that will give contribution in development of national technology and remote sensing data processing. Keywords: standard procedure, aerial photography, LSA 1. PENDAHULUAN Foto udara adalah teknik pengambilan foto permukaan bumi dari ketinggian tertentu yang merupakan metode penginderaan jauh yang paling tua dan paling banyak digunakan. Foto udara memberikan inventarisasi visual dari sebagian permukaan bumi dengan cepat dan dapat digunakan untuk membuat peta rinci (Eastman, 2001). Kamera yang akan digunakan untuk foto udara dipasangkan pada wahana udara (Gambar 1), seperti pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicleatau UAV), pesawat ringan (Light Surveillance Aircraft atau LSA), helikopter, balon udara, roket, parasut, dan wahana udara lainnya, yang kemudian diterbangkan hingga mencapai ketinggian. Penggunaan dan pemanfaatan foto udara pun semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi sensor penginderaan jauh dan teknologi wahana udara (Maryanto et al., 2014), yang antara lain dimanfaatkan untuk penyelidikan penggunaan lahan dan pertanian, kehutanan, perencanaan kota dan wilayah, pemetaan daerah bencana, dan sebagainya. Pembuatan paper ini dilatarbelakangi oleh kegiatan pengembangan teknologi rancang bangun payload penginderaan jauh yang dilakukan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN yang telah memasuki tahap pengujian prototipe. Prototipe yang dikembangkan berupa kamera udara pushbroom multispektrum visible-NIR1 (KU-PBMS-VN1), yang terdiri dari satu kamera 4-channel visble-NIR pushbroom dan satu kamera natural color area array. ORAL PRESENTATION

Upload: phungtruc

Post on 09-Dec-2016

293 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Page 1: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 1 -

Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA

untuk Pengembangan Payload Inderaja

Dinari Nikken Sulastrie Sirin1,*), Noriandini Dewi Salyasari1, Ahmad Maryanto1, dan Ayom Widipaminto1

1Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Telah dilakukan suatu kajian pembuatan prosedur operasi standar untuk pengambilan foto udara dengan pesawat LSA (Light Surveillance Aircraft) dalam rangka mendukung kegiatan pengembangan teknologi rancang bangun payload inderaja. Pengembangan teknologi rancang bangun payload inderaja yang dilakukan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN telah sampai pada tahap pengujian prototipe. Tahap pengujian dilakukan dengan menerbangkan prototipe payload inderaja menggunakan pesawat LSA. Selama diterbangkan payload diprogram untuk melakukan pengambilan gambar foto udara secara otomatis sesuai dengan yang telah direncanakan. Agar diperoleh produk yang memiliki kualitas geometri dan radiometri yang lebih baik atau setara dengan citra yang dihasilkan oleh satelit, maka diperlukan suatu prosedur standar untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Prosedur operasi standar dalam pengambilan foto udara dengan LSA ini dilakukan dengan merunut kepada tahapan-tahapan yang akan dijelaskan pada paper ini. Diharapkan, paper ini dapat menjadi acuan standar dalam pengambilan foto udara dengan LSA yang akan berkontribusi dalam pengembangan teknologi dan pengolahan data penginderaan jauh nasional.

Kata kunci: prosedur standar, foto udara, LSA

ABSTRACT - A study of the arrangement of standard operating procedures for aerial photography by LSA (Light Surveillance Aircraft) in order to support the development of remote sensing payload engineering technology has been conducted. Development of remote sensing payload engineering technology carried out by Acquisition and Ground Station Technology Affair, LAPAN Remote Sensing and Technology Data Center has reached the stage of prototype testing. The testing phase is done by flying the prototype remote sensing payload using LSA aircraft. During flown, the payload is programmed to capture aerial images automatically in accordance with the planned. In order to obtain a product which has a geometric and radiometric quality better or equal to that generated by the satellite image, we need a standard procedure to meet the needs of the user. Standard operating procedures in an aerial photography with the LSA is done by tracing the stages that are described in this paper. Hopefully, this paper can be a standard reference in an aerial photo with the LSA that will give contribution in development of national technology and remote sensing data processing.

Keywords: standard procedure, aerial photography, LSA

1. PENDAHULUAN

Foto udara adalah teknik pengambilan foto permukaan bumi dari ketinggian tertentu yang merupakan metode penginderaan jauh yang paling tua dan paling banyak digunakan. Foto udara memberikan inventarisasi visual dari sebagian permukaan bumi dengan cepat dan dapat digunakan untuk membuat peta rinci (Eastman, 2001). Kamera yang akan digunakan untuk foto udara dipasangkan pada wahana udara (Gambar 1), seperti pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicleatau UAV), pesawat ringan (Light Surveillance Aircraft atau LSA), helikopter, balon udara, roket, parasut, dan wahana udara lainnya, yang kemudian diterbangkan hingga mencapai ketinggian. Penggunaan dan pemanfaatan foto udara pun semakin meningkat seiring dengan perkembangan teknologi sensor penginderaan jauh dan teknologi wahana udara (Maryanto et al., 2014), yang antara lain dimanfaatkan untuk penyelidikan penggunaan lahan dan pertanian, kehutanan, perencanaan kota dan wilayah, pemetaan daerah bencana, dan sebagainya.

Pembuatan paper ini dilatarbelakangi oleh kegiatan pengembangan teknologi rancang bangun payload penginderaan jauh yang dilakukan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh LAPAN yang telah memasuki tahap pengujian prototipe. Prototipe yang dikembangkan berupa kamera udara pushbroom multispektrum visible-NIR1 (KU-PBMS-VN1), yang terdiri dari satu kamera 4-channel visble-NIR pushbroom dan satu kamera natural color area array.

ORAL PRESENTATION

Page 2: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja (Sirin, D.N.S., et al.)

- 2 -

Gambar 1. Salah Satu Contoh Foto Udara dengan Menggunakan UAV Flight Hexacopter (http://waindo.co.id/)

Tahapan pengujian atau uji terbang prototipe yang dilakukan ini merupakan salah satu langkah dasar dalam meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa payload penginderaan jauh untuk sistem satelit, yang saat ini sedang dikembang oleh LAPAN. Oleh karena itu, diperlukan suatu prosedur standar dalam pelaksanaan uji terbang payload ini sehingga data citra yang dihasilkan dapat memenuhi standar data penginderaan jauh, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh pengguna data penginderaan jauh.

Paper ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan akan suatu prosedur standar dalam pelaksanaan uji terbang payload penginderaan jauh. Dengan demikian, produk data citra yang dihasilkan dari foto udara dapat melengkapi produk data citra yang dihasilkan satelit penginderaan jauh, sehingga semakin mempermudah pengguna data penginderaan jauh dalam menginterpretasi data citra penginderaan jauh.

2. METODE Metode yang dilakukan dalam penulisan paper ini berupa studi pustaka dan eksperimen.

2.1 Diagram Alir

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Prosedur Standar Foto Udara

Gambar 2 di atas memperlihatkan diagram alir pembuatan prosedur standar pengambilan foto udara. Penentuan lokasi, ketinggian terbang dan kecepatan pesawat ditentukan di awal perencanaan pengambilan foto udara. Selanjutnya, pemeriksaan sistem kamera yang antara lain meliputi seting IMU, GPS, mounting, dan sebagainya, serta pembuatan peta jalur terbang dan teknik pemasangan sistem kamera pada wahana terbang yang akan digunakan. Sebelum sistem kamera diterbangkan, maka dilakukan pengujian di darat terlebih dahulu (ground test). Setelah itu, data citra yang dihasilkan dari ground test digunakan untuk mengkalibrasi sistem kamera. Kemudian sistem kamera siap

Perencanaan (Menentukan lokasi, ketinggian terbang)

Pengambilan foto udara

Persiapan (Seting kamera, pembuatan

rencana jalur terbang, pemasangan kamera

pada wahana terbang)

Pengujian

(Ground test)

Kalibrasi kamera (Internal dan

eksternal)

Pengolahan citra hasil foto udara

Selesai

Mulai

Page 3: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 3 -

diterbangkan dengan wahana udara. Data citra atau foto udara yang dihasilkan kemudian diolah sehingga diperoleh data citra standar yang sesuai dengan data citra dari penginderaan jauh satelit.

2.2 Perencanaan

Langkah pertama yang dilakukan pada pelaksanaan pengambilan foto udara adalah perencanaan. Pada saat perencanaan ini, dilakukan pembahasan mengenai lokasi tempat pengambilan foto udara, jenis wahana udara yang digunakan, ketinggian terbang yang diinginkan, kecepatan terbang dan sebagainya.

2.3 Persiapan Selanjutnya, yang dilakukan pada pelaksanaan pengambilan foto udara adalah persiapan. Hal ini

tidak hanya mencakup sistem kamera udaranya saja, tetapi berkaitan pula dengan rencana jalur terbang yang akan dilalui, serta pemasangan kamera udara pada wahana udara yang akan digunakan.

Adapun persiapan yang dilakukan pada kamera udara antara lain meliputi: Instalasi pemrograman pada sistem kamera, sehingga kamera dapat mengambil foto permukaan

bumi secara otomatis pada saat kamera diterbangkan. Integrasi sistem IMU (Inertial Measurement Unit) dan GPS (Global Positioning System) Pembuatan dudukan kamera (mounting), yang memungkinkan kamera dapat dipasang pada

wahana udara. Menentukan panjang fokus kamera. Perhitungan besarnya Ground Swath Width (GSW), Ground Sample Distance (GSD) dan dwell-

time kamera. Tahap berikutnya adalah mempersiapkan rencana jalur terbang yang akan dilalui atau difoto. Pada

daerah yang ditetapkan sebagai jalur terbang, dilakukan pengamatan untuk menetapkan titik-titik lokasi pengambilan gambar atau foto udara dengan menggunakan GoogleMaps atau peta referensi lokasi tersebut. Kemudian, dilakukan pembuatan ground truth di sepanjang jalur terbang sesuai titik-titik lokasi pengambilan gambar (foto) yang telah ditetapkan sebelumnya.

Setelah itu dilakukan pemasangan kamera udara pada wahana udara yang akan digunakan. Terkait hal ini, maka harus diperhatikan dengan seksama hal-hal sebagai berikut: Bobot kamera udara secara keseluruhan. Daya muat maksimal wahana udara yang digunakan. Lokasi penempatan kamera udara pada wahana udara, yang akan mempengaruhi tata letak kamera

udara.

2.4 Ground Test Setelah semua persiapan selesai dilaksanakan, langkah selanjutnya adalah pengujian sistem

kamera di darat (ground test). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja sistem kamera secara keseluruhan, seperti misalnya daya tahan kamera terhadap guncangan, kesesuaian kecepatan pengambilan gambar dengan shutterspeed kamera, ketepatan koordinat pada citra hasil ground test, dan sebagainya.

2.5 Kalibrasi Kamera Hasil yang diperoleh pada saat ground test, selanjutnya digunakan untuk mengkalibrasi ulang

sistem kamera, baik secara internal atau pun eksternal. Secara internal berarti melakukan penyesuaian ulang pada internal kamera, seperti panjang fokus, bilangan fokus, shutter speed kamera, exposure time, dan sebagainya. Sedangkan secara eksternal berarti melakukan penyesuaian ulang terhadap tata letak kamera atau dudukan kamera pada wahana.

2.6 Pengambilan Foto Udara Langkah berikutnya yang dilakukan adalah pengambilan foto udara. Untuk pengambilan foto

udara ini, selain memastikan kamera udara bekerja dengan baik, maka harus dipastikan pula keadaan cuaca pada saat pengambilan foto. Langit yang berawan atau pun matahari yang sangat terik, tentu akan mempengaruhi citra hasil foto udara.

Page 4: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja (Sirin, D.N.S., et al.)

- 4 -

2.7 Pengolahan Citra Hasil Foto Udara Agar citra hasil foto udaradapat dimanfaatkan oleh pengguna data citra penginderaan jauh, maka

citra hasil foto udara tersebut harus melalui proses pengolahan (koreksi) terlebih dahulu. Dengan demikian, data citra hasil foto udara telah sesuai dengan citra standar penginderaan jauh satelit, yaitu citra yang telah terkoreksi sistematik geometrik.

3. HASIL PEMBAHASAN

Prototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 yang dikembangkan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pustekdata, LAPAN, memiliki dua buah kamera (Gambar 3). Satu kamera 4-channel visble-NIR pushbroom (line scanning) dengan lensa fokus tetap 35 mm dan satu kamera natural color area array (area scanning) dengan lensa fokus tetap 25 mm. Kedua kamera ini diintegrasikan dengan sensor sikap (IMU) dan sensor posisi (GPS) serta catu daya (baterai) dalam satu dudukan kamera.

Gambar 3. Prototipe Kamera Udara KU-PBMS-VN1

Sedangkan wahana udara yang digunakanadalah pesawat ringan LAPAN (LAPAN Surveillance Aircraft

atau LSA-01) jenis Stemme S-15 yang merupakan hasil program pengembangan pesawat Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) LAPAN bekerja sama dengan TU-Berlin. Dengan digunakannya pesawat jenis ini maka prototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 akan diletakkan pada bagian bawah sayap (underwing pod) sebagaimana yang terlihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. (a) Pesawat Ringan LSA-01 yang digunakan sebagai Wahana Terbang Foto Udara, dan

(b) Lokasi Penempatan Prototipe Kamera Udara KU-PBMS-VN1 Setelah melewati serangkaian kegiatan persiapan, perhitungan, dan uji coba, pada akhirnya tanggal 10

Juni 2015 lalu bekerja sama dengan Pustekbang LAPAN dan Balai Kalibrasi Fasilitas Penerbangan (BKFP) Kementerian Perhubungan (Maryanto et al., 2015) pengujian prototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 untuk pengambilan foto udara di kawasan bandara Budiarto, Curug, Tangerang telah berhasil dilaksanakan.

Walau secara umum pelaksanaan uji terbangprototipe kamera udara KU-PBMS-VN1 telah mengikuti prosedur pengambilan foto udara sesuai diagram alir yang telah dijabarkan di atas, akan tetapi masih terdapat beberapa kendala pada saat pelaksanaan uji terbang. Meskipun demikian, citra atau gambar yang dihasilkan dari foto udara tersebut menunjukkan bahwa sistem kamera udara bekerja dengan baik sesuai dengan yang telah direncanakan. Citra hasil foto udara selanjutnya diolah dengan menggunakan software pengolahan yang

(a) (b)

Page 5: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 5 -

dikembangkan secara mandiri yang akan merekonstruksi citra mentah hasil akuisisi menjadi citra yang bergeoreferensi ataupun citra geocoded (Maryanto et al., 2015).

4. KESIMPULAN

Pembuatan prosedur standar pengambilan foto udara yang dilatarbelakangi oleh pengujian prototipe kamera udara yang dikembangkan Bidang Teknologi Akuisisi dan Stasiun Bumi, Pustekdata, LAPAN masih jauh dari sempurna. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya kendala pada saat pelaksanaan pengambilan foto udara, kendati telah mengikuti langkah-langkah prosedur pengambilan foto udara.

Untuk perbaikan pembuatan prosedur standar pengambilan foto udara yang akan datang, dapat dipertimbangkan untuk menambahkan langkah pendokumentasian Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) dari setiap proses yang dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Eastman, J.R. (2001). Guide to GIS and Image Processing Volume 1. Clark Labs, Massachusetts. Maryanto, A., Jatmiko, N.W., Bagdja, I.W., dan Adiningsih, E.S. (2015). Rancang Bangun Prototipe Sistem Kamera

Udara Prushbroom Multispektrum. Bidang Pengembangan Bank Data Penginderaan Jauh Pustekdata LAPAN, Jakarta.

Maryanto, A., Jatmiko, N.W., dan Sunarmodo, W. (2015). LAPAN Uji Coba Mengembangkan Prototype Kamera Udara Pushbroom Multispektrum Visible-NIRV.1. Dikutip dari http://www.inderaja.lapan.go.id/. [15 Oktober 2015].

Inc, W. (2006) Aerial Photography Standards GIS Implementation. Geographic Information System Implementation Project. Phoenix Sky Harbor International Airport, City of Phoenix. Arizona.

Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponimi (2012) Standard Operating Procesures Bagian III Pengumpulan Sumber Data Rupabumi. Lampiran 3 Keputusan Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar. BIG. Bogor.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Ir. Dedi Irawadi Judul Makalah : Standarisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja Pemakalah : Dinari Nikken Sulastrie Sirin Jam : 09.00-10.00 Tempat : Meeting Room E-F Diskusi : Tuti Gantini (Pustekdata LAPAN): Dalam area yang luas biasanya terdiri dari blok-blok, untuk itu perlu dipertimbangkan berapa sidelap dan overlapnya dalam satu blok pemotretan, sehingga dapat digunakan untuk pemetaan daerah tersebut.

Jawaban: Hal tersebut akan dipertimbangkan dalam uji terbang berikutnya. Sebenarnya sidelap dan overlap sudah dilakukan perhitungan namun belum dapat dilaksanakan pada uji terbang pertama kemarin.

Wikan Jaya P. (Geografi UGM): Apakah rute terbang yang diujikan emang direncanakan seperti huruf “S”, apakah sudah diuji stabilitas dari pesawat untuk mendapatkan target tersebut? Seperti apa kalibrasi internal dan eksternal yang dimaksud? Dan bagaimana spesifikasi kamera pushbroom yang digunakan?

Jawaban: Perlu digaris bawahi dalam makalah ini, hanya merupakan masalah SOP, bukan menjabarkan perhitungan detail. Uji coba hanya mengikuti arah terbang tanpa dilakukan perhitungan gcp terlebih dahulu. Dari hasil yang di dapat, diplot ke google map dan diolah sedemikian rupa oleh tim sehingga mendapat jalur “S” tersebut. Karena keterbatasan waktu, dan alat, maka kalibrasi pada kamera hanya dilakukan penyetelan ulang kecepatan kendaraan dengan shutter speed kamera.

Page 6: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat LSA untuk Pengembangan Payload Inderaja (Sirin, D.N.S., et al.)

- 6 -

Daniel Sande Bona (LAPAN): Area memanjang pada jalur terbang biasanya dipengaruhi oleh arah angin. Seperti apa perencanaan sebelum pesawat diterbangkan apakah memperhitungkan arah tekanan angin?

Jawaban: Idealnya dari awal perencanaan selain kecepatan dan ketinggian terbang perlu dipertimbangkan juga arah angin. Namun pada dasarnya saat ini, pemotretan foto udara masih uji pertama dan fokusnya pada uji pertama tersebut adalah kamera line scanning yang dikembangkan dapat beroperasi pada pesawat LSA.

Page 7: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 7 -

Eksperimen Foto Udara Digital Warna Semu Format Kecil untuk

Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa)

Wikan Jaya Prihantarto1,*)

1Program Studi Pascasarjana Peginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Tujuan penelitian ini adalah melihat sejauh mana foto udara digital warna semu format kecil yang diambil dengan menggunakan sistem kamera digital standar estetik termodifikasi dan diterbangkan dengan wahana balon gas dapat digunakan untuk pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah. Selain itu, fokus kajian lain adalah membangun kunci interpretasi untuk kasus kerusakan tanaman padi. Lokasi penelitian dikontrol pada petak sawah yang memiliki variasi kerusakan padi. Pengujian karakteristik spektral, radiometrik, dan geometrik secara relatif dilakukan untuk melihat kemampuan sistem foto. Hasil perekaman melewati serangkaian koreksi serta penyesuaian visual, spasial dan geometrik sebelum selanjutnya digunakan sebagai dasar pemetaan. Peta hasil diuji dengan membandingkan hasil interpretasi dengan pengamatan lapangan. Hasil penelitian ini menujukkan citra foto udara digital warna semu format kecil yang diambil dari wahana aerostatis sederhana dapat digunakan untuk pemetaan kasus kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah. Unsur interpretasi tekstur dan pola menjadi kunci interpetasi utama yang dapat dimaksimalkan dalam interpretasi kerusakan tanaman padi. Sekalipun kemampuan sensor diperluas hingga mampu mengindera panjang gelombang inframerah, namun tidak terdapat signifikansi yang mampu menunjang intepretasi dari segi rona dan warna.

Kata kunci: foto udara digital warna semu format kecil, kerusakan tanaman padi, tikus sawah

ABSTRACT - The aim of this research is to explore the capability of false color infrared digital aerial photograph that flown using baloon as a data for rice plant damage mapping, especially due to the ricefield rat pest. Built the inpretation key for ricepland damage case also analized as the second aim. The research area controlled in the some extent of ricefield that has a rice damage variation due to the rat raid. Researcher using a helium balloon as a platform to capture the phenomenon. Resulted image quality relatively tested in some aspects; spectral characteristic, radiometric characteristic and geometric characteristic. Visual and geometric correction also applied to the image before it used as mapping source data. The interpretation accuracy test did by comparing the resulted interpretation sample with field observation data. The result of this research shows false color infrared digital aerial photograph can used for rice plant damage mapping due to the ricefield rat raid. Texture and pattern are the main interpretation keys in riceplant damage identification. Altough the sensor capability enhanced so it can sense not only visible spectrum, but also near infrared spectrum, there is no significant difference in tonal an color aspect that gain the image interpretability for this case

Keywords: false color infrared digital aerial photograph, riceplant damage, ricefield rat

1. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi telah mengantarkan penginderaan jauh sistem fotografi ke era digital. Kamera mengalami satu evolusi penting dimana sensor film yang digunakan sebelumnya, digantikan oleh sensor digital (Kodak) (Jensen, 1999). Inovasi penggunaan kamera format kecil yang bukan standar pemetaan pun juga dikembangkan dan trend penggunaan pesawat model dengan pengendali jarak jauh sebagai wahana alternatif memperlihatkan peningkatan. Hal tersebut menjadi jawaban dari kekurangan sistem fotografi konvensional terkait pembiayaan tinggi dan teknis yang relatif rumit.

Kamera yang format kecil dan ringan dianggap dapat meningkatkan efisiensi dari segi teknis dan pembiayaan hingga 80% (Warner et al., 1996). Pesawat model tanpa awak (aeromodelling), baik wahana aerostatis maupun aerodinamis semakin memperjelas jarak pembeda dengan fotografi konvensional saat pemanfaatannya diintegrasikan dengan sistem fotografi udara digital format kecil.

Kemampuan sensor kamera digital standar estetik (bukan standar survei) berformat kecil dalam mengindera julat gelombang elektromagnetik cukup luas, mulai dari spektrum tampak hingga perluasan inframerah dekat (400 - 1000 nm) (Sadidge, 2009). Modifikasi sederhana dengan mengganti filter pada sensor digital kamera mampu membentuk foto udara digital warna semu dan memberikan visualisasi yang berbeda dengan kamera pankromatik akibat “diizinkannya” gelombang inframerah dekat masuk (Wrotniak,

ORAL PRESENTATION

Page 8: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto, W.J.)

- 8 -

2008). Memaksimalkan kemampuan sensor digital tersebut, dapat memperbesar pemanfaatan daya gunanya untuk kebutuhan khusus, salah satunya untuk pemetaan karakteristik vegetasi.

Foto udara digital warna semu format kecil, yang diambil dengan wahana tanpa awak dengan pengedali jarak jauh, membutuhkan pengujian terkait kemampuanya sebagai sumber data pemetaan karakteristik vegetasi. Pengujian eskperimen tersebut dapat dilakukan dengan membatasi objek pemotretan (vegetasi) pada satu kasus. Kerusakan tanaman padi akibat serangan hama tikus sawah adalah kasus yang potensial untuk pengujian karena kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama ini menghasilkan pola yang nyata, baik secara visual, maupun fisiologis. Alasan lainya adalah serangan hama tikus sawah (Rattus Argentiventer) pada tanaman padi juga terjadi pada lingkungan yang terkontrol secara spasial (Rochman dan Sukarna, 1990) dan terjadi setiap tahunya (Singleton dan Sudarmaji, 2003).

Penelitian eksperimen ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran kelebihan dan kekurangan dari sistem Foto udara digital warna semu format kecil yang diterbangkan dengan wahana pesawat model tanpa awak berupa balon udara untuk pembedaan kondisi tanaman padi, khususnya pada kasus serangan hama tikus sawah. Selain itu, fokus kajian lain adalah membangun kunci interpretasi untuk kasus kerusakan tanaman padi yang diakibatkan oleh serangan tikus sawah.

2. METODE 2.1 Pra Akuisisi Data

Tahapan pra akusisi data dimaksudkan untuk merencanakan kegiatan pemotretan yang akan dilakukan. Tahap ini dibagi lagi menjadi perancangan sistem kamera dan wahana, perencanaan penerbangan, dan survei pendahuluan. Perancangan kamera merupakan salah satu hal yang paling menentukan dalam kajian dimana kamera SLR Canon 1000D dimodifikasi untuk mampu menyerap gelombang IR hingga panjang gelombang 1000 nm. Sebelum memulai tahapan pemotretan, dilakukan serangkaian pengujian pemotretan pada berbagai objek utama meliputi, vegetasi, tanah dan air dengan tujuan melihat kemampuan kamera dalam membedakan karakter spektral objek yang berdasarkan variabel rona dan warna.

Wahana yang digunakan untuk pemotretan adalah model aerostatis berupa balon gas yang diterbangkan dengan pengendali jarak jauh manual berupa tali pancang. Terkait kesederhanaan teknis tersebut, perencanaan pemotretan dan penerbangan mutlak dilakukan dengan perhitungan-perhitungan yang detail pada beberapa variabel meliputi ketinggian terbang, luas cakupan, dan resolusi spasial yang diharapkan.

Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat kondisi umum dari dearah yang akan diteliti dan melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan di lapangan. Tahapan ini meliputi prosedur-prosedur teknis diantaranya; memastikan kondisi tanaman padi telah memenuhi persyaratan studi kasus yang diinginkan, menentukan titik kontrol tanah (GCP) untuk koreksi geometrik dan menentukan luas daerah kajian secara umum. 2.2 Akuisisi Data

Akuisisi data (pemotretan) dilakukan setelah tahapan-tahapan yang ada dalam kegiatan pra-akuisisi data telah terselesaikan. Pemotretan dilakukan dengan mempertimbangkan waktu-waktu khusus setelah menerima laporan terjadinya kasus serangan hama tikus sawah. 2.3 Pasca Akuisisi Data

Hasil perekaman melewati serangkaian penyesuaian visual untuk meningkatkan interpretabilitas, serta penyesuaian spasial dan koreksi geometrik untuk menghasilkan citra dengan geometri yang ideal dan memiliki referensi spasial.Selanjutnya, citra diinterpretasi secara visual dan didelineasi menjadi region-region dengan kenampakan visual yang sama ke dalam dua kelas kerusakan tanaman padi.

Tabel 1. Kelas Kerusakan Tanaman Padi (Sumber: Wikan Jaya Prihatarto, 2011)

Kelas kerusakan Ciri fisik Rusak Tumbuhan rebah, layu Tidak rusak Tumbuhan tegak, tidak layu

Pengamatan lapangan dilakukan sebagai dasar validasi dengan mengambil sampel lapangan. Pengambilan

sampel menggunakan metode purposive sampling. Tipe sampel yang diambil merupakan sampel titik, yaitu rumpun padi. Tingkat akurasi interpretasi dianalisis dengan menggunakan confussion matrix. Nilai akurasi

Page 9: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 9 -

interpretasi digunakan sebagai rujukan dalam analisis kemampuan citra foto berdasarkan aspek visual yang mencerminkan karakteristik spektral, spasial, dan geometrik citra foto. 2.4 Lokasi Penelitian

Penelitian dikondisikan dalam satu lokasi yang terkontrol oleh kebutuhan penelitian yang mensyaratkan terdapatnya serangan tikus sawah, petak sawah yang tidak terlalu besar, memiliki keseragaman umur dan jenis padi, serta terdapatnya variasi kerusakan yang nyata. Lokasi penelitian berada di Dusun Nyamplung, Desa Balecatur, Kecamatan Gamping.

Gambar 1. Citra Sekitar Lokasi Pemotretan. Lokasi ditunjukkan Kotak Merah pada Peta (Atas) dan Petak Sawah yang Menjadi Target Pemotretan ditunjukkan dalam Kotak Kuning (Bawah)

(sumber: Google Earth, 2010)

Lahan sawah yang menjadi fokus pemotretan adalah sawah pribadi seluas 922 m2. Varietas padi yang ditanam pada periode tanam tersebut adalah Inpari 15 dengan umur tanam 55 hari dan telah mamasuki fase bunting. Jarak tanam padi adalah 20 cm x 20 cm.

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Spesifikasi dan Karakterisitik Sistem Fotografi Penilaian kemampuan citra foto untuk kebutuhan pemetaan didasarkan pada empat aspek; karakteristik

visual (rona dan warna) yang melambangkan karakteristik spektral sensor, radiometrik, geometrik dan spasial. Nilai piksel setiap channel yang membentuk citra merepresentasikan karakter spektral sensor yang dilambangkan oleh rona dan warna. Peneliti melakukan prosedur pra-akuisisi data berupa pengujian pemotretan objek vegetasi, tanah dan air dalam berbeagai variasi untuk mendeskipsikan karakter visualisasi citra yang mewakili karakter respon spektral sensor.

Gambar 2. Kurva nilai piksel rata-rata ternormalisasi objek.

Terlihat kecenderungan kenaikan nilai piksel pada channel merah (3) untuk setiap objek (Sumber: Analisis Laboratorium, 2012)

Berdasarkan rangkaian pengujian dan analisis karakteristik visual (rona dan warna) yang dilakukan,

terdapat perubahan yang signifikan pada respon spektral sensor kamera CMOS Canon 1000D yang termodifikasi, khususnya pada channel merah dimana terjadi kenaikan nilai piksel yang tinggi akibat

Page 10: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto, W.J.)

- 10 -

masuknya gelombang IR dekat. Namun, terdapat inkonsistensi pola nilai piksel objek bila dibandingkan dengan teori respon spektral objek. Misal nilai piksel rata-rata objekair keruh penuh alga lebih tinggi daripada rumput kering pada channel merah (3) (gambar 2). Sekalipun demikian, visualisasi citra yang diwakili oleh rona dan warna (dominasi warna merah) dapat dijadikan sebagai argumen bahwasanya karakter sensor kamera memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap gelombang inframerah dekat.

Pengujian juga dilakukan pada objek padi kering dan segar yang diperbandingkan dengan tumbuhan (vegetasi) lain. Hasil menunjukkan, tidak terdapat perbedaan pola visualisasi padi kering dengan rumput kering, dan sebaliknya sekalipun terdapat kenaikan nilai yang tinggi pada channel merah. Hasil deskripsi dan pengenalan karakterisitk visual ini nantinya dijadikan dasar logika dalam membangun kunci interpetasi untuk membedakan objek padi rusak dan tidak rusak.

Karakter radiometrik citra foto tidak menunjukkan kekurangan untuk kebutuhan pemetaan pada skala besar dimana citra foto memiliki resolusi radiometrik 8 bit dengan format RAW (sistem penyimpanan BIL). Adapun karakter spasial dan geometrik ditentukan oleh perencanaan penerbangan dimana citra ditargetkan memiliki resousi spasial 5,78 mm per piksel dengan luas cakupan 337,5 m2 /foto pada pemotretan tegak lurus. Nilai tersebut didapatkan berdasarakan perhitungan pra akuisisi data.

3.2 Perencanaan dan Pelaksanaan Pemotretan

Kegiatan pemotretan (akuisisi data) dilakukan berdasarkan sistematika pemotretan seperti yang telah direncanakan. Untuk mendapatkan eksposur yang tepat, kamera diatur pada kombinasi ISO 100, kecepatan rana 1/4000 dan diafragma 5,6 serta dengan pengaturan white balance “daylight” (5000 - 5600 K). Kamera mengambil gambar dengan interval 5s atau 1 foto setiap 5 detik secara otomatis. Sebanyak 7 citra foto terbaik dipilih berdasarkan penilaian kualitatif pada aspek luas area yang mampu dicakup citra, ketajaman visual citra, dan geometri citra.

3.3 Pemrosesan Citra Foto

Pemrosesan visual yang pertama kali dilakukan adalah penyesuaian white balance citra foto. Hasil menunjukkan, visualisasi citra yang sebelumnya memiliki kecenderungan merah dengan variasi warna yang tidak begitu nyata berubah menjadi relatif heterogen dari segi warna. Hal ini membuktikan proses penyesuaian visual (white balance) mampu memberikan peningkatan interpretabilitas citra foto berdasarkan variasi yang muncul pada unsur interpretasi warna.

Pemrosesan selanjutnya adalah perentangan kontras citra dengan mengunakan metode linear stretching. Citra foto ditajamkan dengan meratakan julat nilai piksel yang ada ke julat piksel yang lebih lebar (0-255). Setiap citra memiliki perbedaan julat nilai piksel untuk setiap channel sekalipun diambil pada pengaturan eksposur yang sama. Hal ini berimplikasi pada visualisasi dimana variasi kontras foto yang ada terbatas. Perentangan kontras linear dapat memperbaiki variasi rona dari citra foto.

Gambar 3. Perbandingan Citra Asli (a) dengan Citra setelah melalui Penyesuaian White Balance (b)

dan Perentangan Kontras Linear (c) (Sumber: Analisis Laboratorium, 2013)

Page 11: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 11 -

Koreksi distorsi yang disebabkan oleh efek kelengkungan lensa termasuk dalam tahap pemrosesan pasca

pemotretan yang ditujukan untuk mengembalikan geometri foto akibat distorsi barrel dan pincushion. Hasil menunjukkan, tidak terdapat efek visual yang berbeda jauh dengan citra asli. Citra foto hasil idealisasi ini direkonstruksi menggunakan perangkat lunak Photomodeler Scanner untuk mengetahui aspek-aspek terkait pemotretan. Hasil rekonstuksi ketujuh citra foto menunjukkan, nilai kecondongan pada sumbu X (ω) yang menunjukkan anggukan dari wahana termasuk kecil dengan range 0,4° hingga 5,43°. Berbeda dengan kecondongan pada sumbu X, nilai kecondongan pada sumbu Y (ϕ) memiliki range yang lebih lebar namun dengan tingkat kecondongan rata-rata yang lebih kecil, yaitu -0,027° hingga -5,52°. Nilai κ rata-rata sangat jauh berbeda dan relatif besar dibandingkan dengan dua nilai sudut lainya. Range nilai dari ketujuh citra foto adalah 0,04° hingga 20,41°. Besarnya nilai kecondongan pada sumbu Z memperlihatkan besarnya ketidakstabilan wahana terhadap jalur terbang yang dihasilkan. Ketinggian penerbangan (pemotretan) berkisar anatara 19,616 m hingga 21,578 m dari rata-rata permukaan tanah. Resolusi spasial yang dihasilkan berkisar antara 2,010 mm hingga 2,211 mm.

Tabel 2. Aspek Orientasi Dalam dan Geometri Dalam Setiap Foto Tunggal

(Sumber: Analisis Studio, 2013)

Kode Citra Omega(ω) Phi(ϕ) Kappa (κ) Ketinggian (m) Resolusi (mm) IMG 9344 2,28° -3,39° 0,04° 19,61 2,01 IMG 9345 5,43° -0,46° 2,54° 21,57 2,21

IMG 9346 3,42° -2,45° 15,35° 17,98 1,84

IMG 9347 2,35° -0,02° 19,80° 16,59 1,7

IMG 9348 2,08° -5,55° 20,41° 15,41 1,57

IMG 9349 0,40° -3,87° 17,24° 14,98 1,53

IMG 9353 0,49° -2,57° 4,76° 13,48 1,38 Ketujuh citra dimosaik tidak terkontrol untuk mendapatkan luasan yang mampu mencakup variasi

kenampakan objek. Selanjutnya, rektifikasi (georeferencing) dilakukan pada citra mosaik menggunakan GCP yang sudah diukur di lapangan. Total RMS error hasil georeferencing ini adalah 0,005. Resampling yang dipilih adalah nearest neighbor pada orde 1. 3.4 Interpretasi Citra Foto dan Pemetaan

Interpretasi citra foto dilakukan untuk mengidentifikasi kerusakan tanaman padi yang diakibatkan oleh serangan hama tikus. Kendati kemungkinan kerusakan tanaman padi oleh hama lain mungkin saja terjadi, namun asumsi bahwa serangan tikus menghasilkan perubahan yang paling signifikan pada rumpun padi menjadi dasar generalisasi tematik.

Unit pemetaan dalam kajian ini adalah kerusakan padi dengan skala data biner dimana peta akan memuat dua kelas, yaitu padi rusak dan padi tidak rusak. Kunci interpretasi yang digunakan untuk memetakan kerusakan adalah rona, warna, bayangan, tekstur, pola, situs dan asosiasi. Rona dan warna merupakan kunci intrepretasi utama yang diuji dalam penelitian ini.

Rumpun padi didefinisikan ke dalam kelas padi tidak rusak bilamana memiliki rona yang lebih gelap jika dibandingkan dengan padi kering. Secara teoritis, hal ini dikarenakan pada padi sehat, terdapat kandugan air (lengas daun) yang mampu menyerap gelombang inframerah dekat. Selain itu, kandungan klorofil yang tinggi membutuhkan gelombang biru dan merah untuk fotosistesis, sehingga akan berimplikasi pada rona yang cenderung gelap. Sekalipun terdapat kecenderungan rona gelap lebih menunjukkan objek rumpun padi tidak rusak, terdapat inkonsistensi dimana pada rumpun yang benar-benar tidak rusak rona tidak gelap, melainkan sedang. Hal ini menjelaskan rona cukup sulit untuk dijadikan kunci interpretasi karena perubahan rona memiliki kemungkinan tidak linear dengan kelas kerusakan padi.

Warna padi tidak rusak (sehat) juga dapat dibedakan dengan padi rusak (tidak sehat). Faktanya, perbedaan rona dan warna relatif kecil sehingga pembedaan karakter objek yang akan dibedakan dengan mengandalkan dua unsur interpretasi tersebut masih belum dapat dikatakan baik.

Page 12: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto, W.J.)

- 12 -

Tabel 3. Contoh Variasi Visual Objek Rumpun Padi dan Penggunaan Beberapa Unsur Interpretasi dalam Pendefinisian Kelas Kerusakan

(Sumber: Analisis studio, 2013)

Contoh visual Rona Warna Tekstur Pola Situs dan Asosiasi Keterangan

sedang Ungu muda Sangat kasar

Sangat teratur

Tepi petak, dekat dgn pematang Tidak rusak

gelap Merah keunguan Kasar teratur Tepi petak, dekat dgn

pematang Tidak rusak

gelap Merah keunguan Sedang Kurang

teratur tengah petak Tidak rusak

Sangat cerah Ungu –jingga Sedang Tidak

teratur Tengah petak Rusak

Cerah Merah-kekuningan Sedang Sangat

tidak teratur Tengah petak, dekat dgn parit Rusak

Sangat cerah

Merah muda –kekuningan Halus Sangat

tidak teratur Tengah petak, jauh dari pematang rusak

Berbeda dengan dua unsur interpretasi sebelumnya, tekstur memberikan gambaran perbedaan yang cukup

baik. Hal yang menjadikan tekstur dinilai dapat menguatkan identifikasi adalah karakteristik kerusakan yang diakibatkan oleh hama tikus berimbas langsung terhadap fisiologis (rumpun) padi. Berbeda dengan hama lain, tikus mengakibatkan dampak nyata pada struktur fisologis tanaman karena keratan pada batang padi. Terpotongnya batang menjadikannya rebah dan terlihat berserakan bila dilihat dari atas. Ketidakberaturan rebahan ini menghasilkan tekstur yang relatif halus bila dibandingkan dengan padi yang tidak rusak (sehat).

Padi tidak rusak (sehat) dapat mudah dibedakan dengan padi rusak beradasarkan pola tegakan yang ada. Pola padi tidak rusak cukup teratur karena penanaman yang ditata sedemikain rupa. Saat padi tidak mengalami gangguan sepanjang masa tumbuhnya, pola teratur ini akan terjaga. Hal yang berkebalikan ditunjukkan pada padi rusak dimana akibat rebahnya rumpun, maka pola dari rumpun padi tidak beraturan. Unsur interpretasi pola memiliki konsistensi hubungan yang linear dengan kerusakan tanaman padi, dimana padi rusak akan memiliki kecenderungan pola yang tidak teratur dan sebaliknya. Hal ini menjadikan pola adalah kunci interpretasi yang paling tepat untuk pendefinisian kelas kerusakan padi.

Peneliti melakukan delineasi dengan metode onscreen digitation untuk membedakan region rumpun yang rusak dan tidak rusak. Generalisasi grafis diterapkan dalam pembedaan kelas secara kualitatif hingga batasan terkecil, yaitu rumpun secara individual. Peta yang dihasilkan memiliki dua kelas kerusakan (biner), yaitu rusak dan tidak rusak (Gambar 4). Setiap unit disimbolkan dengan variabel visual warna sesuai dengan data kelas data nominal.

Peneliti menentukan sejumlah sampel berdasarkan hasil interpretasi dengan atribut koordinat dan kelas kerusakan. Desain pengambilan sampel yang dipilih adalah purposive sampling dengan 33 sampel untuk dua kelas.

Page 13: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 13 -

Gambar 4. Peta Citra Mosaik Foto Udara Digital Warna Semu dan Peta Kerusakan Tanaman Padi (Sumber : Analisis studio, 2013)

Pengujian akurasi interpretasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan (confussion matrix).

Pengamatan lapangan menunjukkan, dari 16 rumpun rusak tersebut, tiga rumpun menunjukkan gejala tidak rusak. Akurasi pengguna untuk kelas ini adalah sebesar 81,25 % dengan komisi (penambahan) kesalahan sebesar 18,75 %. Akurasi pembuat lebih rendah sebesar 68,42 % dengan omisi (penghilangan) sebesar 31,57 %.

Tabel 4. Perhitungan Akurasi Pembuat dan Pengguna Peta Hasil Interpretasi (Sumber: Analisis Studio, 2013)

Kelas Akrasi Pembuat Akurasi Pengguna Akurasi % % Omisi Akurasi % % Komisi

Rusak 13/19 68,42 31,57 13/16 81,25 18,75 Tidak Rusak 11/14 78,57 21,42 11/17 84,7 35,29

Kelas padi tidak rusak memiliki 11 sampel yang cocok antara pengamatan lapangan dan interpretasi. Terdapat 6 sampel yang dianggap salah menurut pengamatan lapangan. Akurasi pengguna pada kelas rumpun tidak rusak adalah 64,70% dengan penambahan (komisi) kesalahan sebesar 35, 29%. Nilai akurasi pembuat untuk kelas ini lebih tinggi sebesar 78,57% dengan pengurangan (omisi) kesalahan sebesar 21,42%. Akurasi keseluruhan yang diambil dari 33 sampel memiliki nilai sebesar 72,7 % dimana 24 sampel dari kedua kelas dianyatakan sesuai antara interpretasi dengan pengamatan lapangan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan serangkaian analisis yang dilakukan peneliti mengambil kesimpulan foto udara digital warna semu format kecil dapat digunakan sebagai sumber data pemetaan kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah sejauh catatan teknis terkait kualitas geometrik dan spektral terkondisikan secara cermat.Identifikasi kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah menggunakan citra foto udara digital warna semum dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada kunci interpretasi tekstur dan pola, sedangkan unsur interpretasi rona dan warna yang berkaitan dengan kerakteristik sensor yang spesifik tidak memberikan peningkatan interpretabilitas citra.

Page 14: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Eksperimen FotoUdara Digital WarnaSemu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) (Prihantarto, W.J.)

- 14 -

5. POTENSI PENGEMBANGAN RISET

Penelitian ini memiliki potensi pengembangan yang sangat besar, utamanya dalam analisis kemampuan sensor dalam pendeteksian kondisi tanaman dalam lingkup yang lebih detail. Pegembangan juga dapat dilakukan dengan menerapkan metode analisis digital, yaitu mempertimbangkan nilai piksel sehingga kekuatan dari resolusi spasial dan spektral yang tinggi dapat dioptimalkan.

Tantangan pengembangan penelitian ini tentunya juga cukup besar dimana pengujian terkait parameter intrinsik dan ekstrinsik dari sistem perlu dilakukan dengan lebih cermat. Pengujian karakteristik spektral sensor harus dilakukan dengan lebih detail dengan menggunakan monokromator untuk menjamin akurasi dan objektifitas penelitian. Perencanaan penerbangan harus mempertimbangkan fluktuasi cuaca dan keadaan lapangan yang mungkin saja terjadi secara mendadak.Penggunaan wahana aerodinamis seperti pesawat fixed wing sangat disarankan bila dibandingkan dengan wahana aerostatis untuk kebutuhan pemetaan yang mensyaratkan konsistensi geometrik yang tinggi.Pemrosesan citra, khususnya rekonstruksi geometrik untuk penelitian kedepan sangat disarankan menggunakan refenresi yang objektif, terutama untuk pemetaan kasus yang membutuhkan presisi pemetaan yang tinggi, misal menggunakan GCP yang mencukupi dan tersebar penuh dalam scene serta terdefinisikan berdasarakan pengukuran koordinat dengan metode terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Aber, James, S., Aber, S.W., dan Firooza, P. (2002). Unmanned Small Format Aerial Photography From Kites for Aquiring Large-Scale High-Resolution and Multi-angle Imagery. Pecora 15/ Land Satellite Information IV/ ISPRS Commission I/ FIEOS Conference Proceeding. Kansas.

Azwar, dan Fajar, Y. (2006). Klasifikasi Pesawat Model. Artikel online. Federasi Aeromodeling Seluruh Indonesia. Jakarta.

Guptill, Stephen, C., dan Morrisson, J.L. (1995). Element of Spatial Data Quality. International Cartographic Association. United Kingdom.

Harintaka (2004). Pemanfaatan teknologi Small Format Aerial Photograph untuk Keperluan Pembangunan Daerah (Studi Kasus:Aplikasi Bidang Pertanian). Jurusan Teknik Geodesi fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Jensen, dan John, R. (2005). Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Prespective. Pearson Prentice Hall. United States of America.

Noam, L. (1999) Fundamentals of Remote Sensing. International Maritime Academy. Trieste. Loveless, A.R. (1991). Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Martins, Luis, M., Lufinha, M.I., Marques, C.P., dan Arbeu, C.G. (2001). Small Format Aerial Photography for Asses

Chestnut Ink Dissease. Universidade de Tras-os-Montes e Alto Douro. Dept. Prot. Plantas. Ept. 202. 5000-911. Pages 357-380. Vila Real.

Sadidge, D. (2009) Digital Infrared Photography.Wilay Publishing. Indanapolis. Sudarmaji, dan Herawati, N.A. (2006). Ekologi Tikus Sawah dan Teknologi Pengendalianya. Balai Besar Penelitian

Tanaman Padi. Jakarta. Tristiani, Harsiwi, Murakami, O., dan Kuno, E. (2000). Rice Plant Damage Distribution and Home Range Distribution

of the Ricefield Rat Rattus Argentiventer (Rodentia: Muridae). Belg. J. Zool., 300(2):83-91. Warner, G. (1996). Small Format Aerial Photography. Whittles Publishing. United Kingdom. Wurdram, D., dan Loffler, J. (2007). Kite Aerial Photography in High Mountain Evironment. Grazer Schriften der

Geographie und Raumforchung. Intitute Of Geography. Bonn. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Ir. Dedi Irawadi Judul Makalah : Eksperimen Foto Udara Digital Warna Semu Format Kecil untuk Pemetaan Kerusakan Tanaman Padi (Oryza Sativa) Pemakalah : Wikan Jaya Prihatarto Jam : 09.00-10.00 Tempat : Meeting Room E-F Diskusi :

Page 15: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 15 -

Ahmad Maryanto (Pustekdata, LAPAN): Apa spesifikasi dari item-item dari kamera? Modifikasi seperti apa yang dilakukan pada kamera? Dengan menambah fitur di infrared atau membuang fitur infrared di kamera? Analisis yang digunakan masih menggunakan analisis visual, bagaimana dengan digital?

Jawaban: Kamera sebelumnya diuji untuk memotret berbagai macam objek dan tampak terjadi kurva kenaikan pada band merah. Misal memotret objek putih, warnanya nanti akan menjadi kemerahan. Modifikasi dilakukan dengan mengambil salah satu layer, sensornya dilepas, filter didalamnya diambil, maka akan tampak panjang gelombang biru hingga infra merah, full masuk dan telah diuji di LAB yang ada di Jakarta Analisis masih dilakukan secara visual, karena ini masih eksperimen. Untuk kedepannya maka akan diadakan analisis lebih lanjut.

Tuti Gantini (Pustekdata, LAPAN): Bisa dilihatkah dari foto udara yang merupakan format kecil kerusakan padi oleh hama tikus dan hama lainnya? Bagaimana proses koreksi geometric, sedangkan yang difoto hanya ada petak?

Jawaban: (Belum dijawab karena waktu habis)

Budhi Gustiandi (Pustekdata, LAPAN): Apakah ada rencana pengembangan di masa mendatang? Parameter-pareter baku apakah yang harus disesuaikan jika ingin diterapkan untuk tanaman lain, apakah sensornya yang akan dirubah atau spectral radiometric atau cukup perangkat lunaknya?

Jawaban: (Belum dijawab karena waktu habis)

Page 16: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 16 -

Simulasi Direct Georeferencing untuk

Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager

Muchammad Soleh1,*), Wismu Sunarmodo1, dan Ahmad Maryanto1

1Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK – Direct georeferencing (georeferensi langsung) citra inderaja (penginderaan jauh) pada intinya adalah suatu proses pemberian label koordinat (kalibrasi posisi) citra inderaja dengan koordinat yang sebenarnya pada sistem bumi. Secara sederhana, proses ini dapat dilakukan dengan bantuan rumusan geometris yang menghubungkan titik tersebut pada sistem satelit yang sedang mengorbit dan sistem bumi. Proses ini merupakan sebuah tahap awal untuk menghasilkan data atau citra yang terkoreksi secara geometrik sistematik dan terkode kepada sebuah peta (geocoded image). Pushbroom imager adalah sistem detektor dengan larik lurus yang prinsip pencitraannya dilakukan dengan teknik line scanning (pushbroom). Citra pushbroom imager 2-D diperoleh melalui ratusan hingga ribuan kali pemotretan dengan menggeser kamera secara tepat terhadap obyek pada tiap-tiap pemotretan dengan selang pengambilan disesuaikan dengan kecepatan terbang satelit relatif terhadap bumi dan ukuran lebar garis gambar (resolusi spasial) yang ditentukan. Makalah ini bertujuan mengulas implementasi algoritma dan melakukan simulasi direct georeferencing untuk perhitungan koreksi geometrik sistematik citra pushbroom imager dengan prinsip membangun relasi antara sistem koordinat sensor pushbroom pada wahana terhadap koordinat pada permukaan bumi. Relasi ini dibangun dengan cara memproyeksikan setiap titik sensor (piksel) pada permukaan bumi melalui prinsip interseksi. Namun untuk melakukan proses interseksi, posisi sensor dan permukaan bumi harus berada pada suatu sistem koordinat yang sama. Untuk itu operasi sensor terhadap sikap (roll, pitch, yaw) dilakukan pada sistem koordinat wahana (SKW) sedangkan operasi interseksi dilakukan pada sistem koordinat bumi (SKB). Hasil simulasinya berupa pelabelan koordinat geodetik latitude longitude untuk tiap-tiap piksel citra pushbroom dalam satu baris/larik.

Kata kunci: direct georeferencing, pushbroom imager, koreksi geometrik sistematik

ABSTRACT - Direct georeferencing for remote sensing imagery is essentially a process of labeling the remote sensing imagery coordinate (position calibration) with real coordinates on the earth system. Simply, this process could be done with geometric formula which connecting the point to satellite orbitsystemand earth sistem. This process is a first step to generates geometrically sistematic corrected data or image and geocoded image. Pushbroom imager is a detector system with straight lines which performed by line scanning technique (pushbroom). 2-D imager pushbroom image obtained through hundreds to thousands times shooting by shifting the camera appropriately to the object at each interval shooting by making adapted to flying speed of the satellite relative to the earth and the size of the width of the line images (spatial resolution) were determined. This paper aims to review the implementation of the algorithm and simulating direct georeferencing for a sistematic geometric correction calculation of pushbroom imager image with the principle of building a relationship between the pushbroom sensor coordinate systemon the vehicle to the earth coordinate system. This relationship is built by projecting each sensor point (pixel) on the surface of the earth through the intersection principle. But to make intersection, sensor position and the earth's surface must be on a similar coordinate system. For the operation of the attitude sensor (roll, pitch, yaw) performed on the vehicle coordinate system (SKW) while the intersection operation performed on earth coordinate system (SKB). The simulation results in the form of geodetic latitude longitude coordinates labeled for each pushbroom image pixel in an array.

Keywords: direct georeferencing, pushbroom imager, systematic geometric correction

1. PENDAHULUAN

Proses georeferensi langsung citra inderaja pada intinya adalah suatu proses pemberian label koordinat (kalibrasi posisi) citra inderaja dengan koordinat yang sebenarnya pada sistem bumi. Secara sederhana, proses ini dapat dilakukan dengan bantuan rumusan geometris yang menghubungkan titik tersebut pada sistem satelit yang sedang mengorbit dan sistem bumi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1 (Maryanto, 2012).

Seperti dilukiskan pada Gambar 1 di bawah ini direct georeferencing melakukan penghitungan vektor î dengan mengeksplorasi relasi geometrik yang dibangun oleh relasi fisik dari perangkat-perangkat akuisisi citra yang terlibat di dalamnya. Masing-masing perangkat akuisisi secara geometris dapat dipandang sebagai satu entitas sistem referensi dengan kerangka acuannya sendiri. Oleh karena itu eksplorasi relasi geometrik

ORAL PRESENTATION

Page 17: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 17 -

pada direct georeferencing pada umumnya dimulai dari estraksi orientasi citra (arah pandang masing-masing piksel citra ke obyek pasangannya) menurut perangkat fisik yang membentuknya, yaitu kamera. Karena hanya meninjau secara internal di dalam kamera itu sendiri, maka arah pandang yang teridentifikasi dinamakan juga dengan orientasi internal atau orientasi intrinsik (Maryanto, 2012).

Gambar 1. Formasi Geometrik Titik Pusat Bumi, Titik Satelit pada Suatu Saat, dan Titik Obyek atau Titik Target yang Membentuk Sebuah Relasi Vektor

Secara metodologis, perumusan orientasi internal untuk semua kamera adalah sama yaitu

mengidentifikasi lokasi titik citra (piksel pada file citra) pada sel detektor (piksel detektor) yang memproduksi dirinya, mengidentifikasi titik pusat pandang atau pusat perspektif yang berada di dalam sistem lensa sebagai titik asal (origin) sistem koordinat, mendefinisikan sumbu koordinat yang tepat untuk ruang 3-D yang berpusat pada titik asal tersebut, kemudian menghitung vektor posisi dari masing-masing piksel detektor yang mewakili piksel citra tersebut pada sistem koordinat kamera yang telah didefinisikan (Maryanto, 2012).

Rumusan orientasi internal (vektor pandang intrinsik) bersifat tetap karena struktur dalam kamera pada umumnya merupakan suatu konstruksi fisik yang tetap. Perbedaan rumusan vektor pandang terjadi pada tataran teknis oleh cara kamera memperoleh citra atau teknologi scanning yang dianut dan nilai besaran-besaran fisis komponen kamera yang digunakan (Maryanto, 2012).

Dengan terdefinisinya vektor pandang internal pada perangkat fisik yang memproduksinya, yaitu kamera, maka langkah berikutnya di dalam proses eksplorasi relasi geometrik secara direct georeferencing adalah mengidentifikasi relasi fisik kamera dengan perangkat fisik (sistem) berikutnya, misalnya kamera dipasang secara mati pada satelit, dan merumuskan transformasi geometrik yang tepat dari sistem referensi kamera ke sistem tersebut sehingga dapat didefinisikan vektor pandang menurut sistem dimaksud (satelit). Demikian seterusnya dilakukan langkah yang sama untuk sistem yang menghubungkan satelit dengan sistem bumi sehingga diperoleh orientasi luar akhir di dalam sistem referensi bumi (Maryanto, 2012).

Makalah ini membahas rumusan relasi geometris citra-obyek secara direct georeferencing dengan asumsi data citra diperoleh dari sensor pushbroom yang diikat secara tetap (mati) pada sebuah wahana pembawa sensor penginderaan jauh tipe pushbroom linescan. Proses georeferensi adalah sebuah tahap awal yang harus dilalui dalam proses koreksi geometrik citra inderaja untuk menghasilkan data atau citra yang terkode kepada sebuah peta (geocoded image). Untuk sampai kepada tahap ini, satu tahap proses yang harus dilakukan adalah resampling, yang tidak dibahas pada makalah ini.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sensor Pushbroom Pada Sebuah Wahana Dalam konteks geometri akuisisi, sensor pushbroom dapat digambarkan secara sederhana sebagai sebuah

sistem lensa yang pada bidang fokusnya dipasang detektor larik lurus (linear array detector, misalnya CCD) sebagai perekam citra yang dibentuk oleh sistem lensa. Karena pendeteksi hanya berupa larik sel atau piksel

Page 18: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

- 18 -

detektor yang membentuk sebuah garis lurus, maka gambar yang akan diberikan hanyalah berupa satu elemen garis gambar saja yang lebarnya sangat kecil sehingga dapat dianggap sebagai gambar satu dimensi. Gambar 2 dimensi pada pushbroom imager hanya akan terbentuk jika kamera digeser secara teratur pada tiap kali kamera mengambil gambar sesuai dengan ukuran lebar dari masing-masing garis gambar seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Prinsip Pencitraan dengan Teknik Line Scanning (Pushbroom). Citra 2-D diperoleh melalui Ratusan hingga Ribuan Kali Pemotretan dengan Menggeser Kamera secara Tepat terhadap Obyek pada Tiap-Tiap Pemotretan.

Pada sistem penginderaan jauh satelit, satelit-satelit dengan sensor pushbroom melakukan pengambilan

gambar (pemotretan) ratusan hinga ribuan kali dengan selang pengambilan disesuaikan dengan kecepatan terbang satelit relatif terhadap bumi dan ukuran lebar garis gambar (resolusi spasial) yang ditentukan (Maryanto, 2012).

2.2 Orientasi Internal Sensor Pushbroom

Orientasi internal pada pushbroom imager dapat dirumuskan melalui mapping (transformasi) lokasi piksel citra pada larik detektor dan identifikasi struktur fisik kamera secara keseluruhan, di mana terletak larik detektor di dalamnya. Dalam hal ini melibatkan sistem koordinat citra (SKC) yang menjadi parameter input terhadap sistem koordinat detektor (SKD). Dan SKD juga menjadi parameter input terhadap sistem koordinat kamera (SKK). SKK dalam hal ini adalah data posisi (latitude, longitude) dan attitude/sikap kamera (roll, pitch, yaw) atau disingkat menjadi LLA (latitude, longitude, attitude). Parameter LLA pada SKK diperoleh dari hasil geolokasi menggunakan perangkat sensor GPS receiver dan sensor sikap IMU (Inertial Measurement Unit) yang terpasang pada sistem kamera (Poli, 2005). Detail penjelasan tentang masing-masing relasi internal terkait sensor pushbroom imager disampaikan pada Bab 3 makalah ini.

2.3 Orientasi Eksternal Sensor Pushbroom

Orientasi eksternal pada pushbroom imager dapat dirumuskan sebagai relasi-relasi yang dibangun antara sensor kamera terhadap dirinya dengan bumi sebagai acuan antara lain yaitu: relasi antara sensor kamera terhadap wahana pembawa sensor (spaceborne/airborne), relasi sensor kamera terhadap sistem acuan lokal orbital, relasi lokal orbital terhadap bumi dan interseksi/perpotongan arah pandang wahana pembawa sensor pada permukaan bumi yang menghasilkan koordinat obyek. Seluruh parameter relasi yang disebutkan di atas akan diperhitungkan untuk memperoleh koordinat citra pada wahana atau Sistem Koordinat Wahana (SKW) pembawa sensor pushbroom imager. Berikutnya yang juga diperhitungkan adalah relasi antara SKW terhadap pergerakan bumi (rotasi), sehingga faktor rotasi bumi akan mengubah SKW menjadi Sistem Koordinat Wahana ter-Rotasi (SKWR). Dan terakhir adalah orientasi SKWR terhadap permukaan bumi untuk mengubah orientasi SKWR menjadi Sistem Koordinat Bumi (SKB) pada setiap piksel data citra melalui proses perhitungan interseksi/perpotongan antara koordinat pada citra dengan koordinat di permukaan bumi (Poli, 2005). Detail penjelasan tentang masing-masing relasi eksternal yang dibangun pada sensor pushbroom imagerdisampaikan pada Bab 3 makalah ini. 2.4 Transformasi Koordinat Geosentrik ke Geodetik

Untuk memperoleh koordinat geosentrik dilakukan dengan cara memperhitungkan orientasi internal dan eksternal sensor terhadap bumi. Setelah koordinat geosentrik diperoleh maka tahapan akhir adalah melakukan transformasi koordinat geosentrik ke geodetik dengan cara menghitung titik potong vektor arah

Page 19: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 19 -

piksel citra dengan ellipsoid bumi sebagai acuan untuk menentukan vektor posisi titik citra pada permukaan bumi. Proses transformasi ini akan mengubah vektor posisi ke koordinat geografis lintang bujur geosentrik dan selanjutnya mengubah koordinat geografis geosentrik ke koordinat geografis lintang bujur geodetik (Rizaldy dan Firdaus, 2012).

Banyak cara untuk melakukan transformasi dari koordinat geosentrik ke geodetik, ataupun sebaliknya. Salah satu cara yang popular adalah dengan melibatkan komponen tangensial dari geosentrik latitude (lintang) terhadap ellipsoidal bumi (Jacobsen, 2002). Dalam hal ini diberlakukan proses interseksi/perpotongan vektor arah piksel citra dengan ellipsoid bumi sebagai acuan untuk menentukan vektor posisi setiap titik citra pada permukaan bumi dimana vektor permukaan bumi ditentukan dengan rumus ellipsoidal bumi sesuai parameter kepepatan bumi standar WGS-84. Pada tahapan ini akan diperoleh hasil koordinat SKB dalam format ECEF (Jacobsen dan Helge, 2004).

Dan terakhir, setelah diperoleh vektor perpotongan pointing masing-masing piksel dengan permukaan bumi, maka selanjutnya adalah mengubah kembali vektor tersebut yang berada dalam sistem koordinat ECEF menjadi koordinat LLA (longitude, latitude, altitude) (Schroth, 2004). Namun pada simulasi kali ini diasumsikan bahwa ketinggian (altitude) setiap piksel pada data citra adalah 0 (nol) meter. Detail penjelasan tentang transformasi koordinat geosentrik sensor pushbroom imager menjadi koordinat geodetik akan disampaikan pada Bab 3 makalah ini.

3. METODOLOGI

Algoritma yang umum digunakan dalam proses direct georeferencingditunjukkan pada Gambar 3. Dalam hal ini data posisi (latitude, longitude) dan attitude/sikap kamera (roll, pitch, yaw) atau disingkat menjadi LLA (latitude, longitude, attitude) diperoleh dari hasil geolokasi menggunakan perangkat sensor GPS receiver dan sensor IMU (Inertial Measurement Unit) yang terpasang pada sistem kamera.

Gambar 3. Algoritma Umum Direct Georeferencing untuk Memperoleh Data Citra yang Geocorrected dan Geocoded

Setelah parameter LLA (latitude, longitude, attitude) diketahui dari sensor GPS receiver, maka nilainya dikonversi ke dalam koordinat ECEF (Earth Centered Earth Fixed) yaitu acuan terrestrial konvensional sebagai kerangka acuan yang berpusat pada titik pusat bumi (geosentris) yang ikut berputar dengan putaran bumi dengan titik origin pada pusat massa bumi dengan arah X positif adalah titik potong garis ekuator/katulistiwa dengan garis bujur nol, dan arah sumbu putar bumi menuju kutub utara sebagai arah sumbu Z positif sementara perkalian cross arah sumbu Z positif dengan sumbu X positif sebagai arah sumbu Y positif sesuai kaidah tangan kanan. Sistem koordinat ECEF ini telah didefinisikan oleh Bureau International de l’Heure (BIH), dan sama dengan sistem referensi geosentris U.S. Department of Defense

Posisi & Atitude

LLA ->SKB (ECEF)

SKB -> SKW SKW -> SKWR = Operasi Rotasi Pitch, Roll, Yaw

SKWR ->SKB (ECEF)

Interseksi pointing pixel dengan permukaan bumi (ECEF)

Interseksi (ECEF) -> Lat. Long.

Operasi per-pixel Invers SKW->SKB

Operasi per-line

Page 20: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

- 20 -

World Geodetic System 1984 atau yang dikenal dengan sebutan WGS-84. Tujuan LLA diubah menjadi ECEF adalah untuk memperoleh nilai koordinat yang mengacu pada Sistem Koordinat Bumi (SKB). Output tersebut nantinya digunakan sebagai pusat koordinat dari sensor untuk setiap garis pada linescan. Dan untuk mentransformasikan nilai koordinat LLA menjadi koordinat ECEF ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perhitungan untuk Mengkonversi Parameter LLA menjadi ECEF sesuai dengan SKB

Setelah diperoleh koordinat ECEF (Earth Centered Earth Fixed) yang mengacu pada Sistem Koordinat Bumi (SKB), maka SKB tersebut diterapkan untuk mengitung posisi wahana terhadap bumi. Maka dilakukan konversi SKB menjadi Sistem Koordinat Wahana (SKW). Dalam hal ini pusat koordinat bumi menjadi pusat koordinat wahana (sensor). SKW merupakan representasi untuk menentukan posisi wahana yang membawa sensor terhadap bumi dimana sumbu X mengarah ke true north, sumbu Y mengarah ke timur dan sumbu Z mengarah ke pusat geosentris bumi sesuai kaidah tangan kanan. Proses mengkonversi SKB menjadi SKW dilakukan dengan sebuah matriks transformasi seperti digambarkan pada Gambar 5. Matriks koordinat ini nantinya digunakan sebagai inverse dari Sistem Koordinat Wahana ter-Rotasi (SKWR) menjadi Sistem Koordinat Bumi (SKB).

Gambar 5. Perhitungan Matriks Transformasi untuk Menerapkan Koordinat SKB Menjadi SKW

Page 21: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 21 -

Dikarenakan posisi sensor berdasarkan SKW bersifat relatif terhadap bumi, dimana dalam hal ini bumi

bergerak melakukan rotasi dengan kecepatan tertentu. Maka selanjutnya perlu dilakukan operasi rotasi dari SKW menjadi SKW yang dipengaruhi oleh rotasi bumi (SKWR). Pada tahap ini dilakukan koreksi pitch dari koordinat geosentrik menjadi koordinat geodetik melalui sebuah matrik rotasi dengan asumsi arah yaw 0ºadalahtrue north sedangkan pitch dan roll 0º mengarah ke pusat geodetik bumi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6. Operasi rotasi pada sistem koordinat wahana (SKW) berdasarkan input dari sensor sikap/attitude (IMU).

Gambar 6. Perhitungan SKW terhadap Rotasi Bumi Menjadi SKWR

Gambar 7. Operasi Rotasi pada Sensor Kamera Pushbroom Linescan Mengacu pada SKWR

Page 22: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

- 22 -

Seperti ditunjukkan pada Gambar 7 di atas, setelah diperoleh SKWR maka dilakukan operasi rotasi(pitch (ρ), roll (θ), yaw(γ)) pada sensor kamera pushbroom linescan. Dalam hal ini scan piksel dalam satu baris terjadi dalam waktu yang bersamaan dan berlangsung pada perputaran sumbu X (roll) tegak lurus terhadap arah gerak wahana. Jika roll sudut positif maka wahana berputar ke kanan dan jika pitch sudut positif maka wahana mendongak ke atas.

Operasi rotasi pada sistem koordinat wahana berdasarkan input dari sensor sikap (IMU). Prinsip yang digunakan adalah dengan sudut roll (θ) positif adalah rotasi sudut pada sumbu x berlawan arah jarum jam, sudut pitch (ρ) positif adalah rotasi sudut pada sumbu y berlawanan arah jarum jam, dan sudut yaw (γ) positif adalah rotasi sudut pada sumbu z berlawanan arah jarum jam. Dalam hal ini asumsi setiap piksel pada satu line menerapkan operasi rotasi roll seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Orientasi Sensor Kamera Pushbroom Linescan terhadap Bumi Mengacu pada SKWR

Setelah diperoleh nilai koordinat tiap piksel pada sensor maka tahap selanjutnya adalah melakukan inverse atau mengembalikan nilai koordinat SKWR tersebut ke dalam koordinat SKB atau ECEF lagi. Hal ini dilakukan untuk mentrasnformasikan balik nilai yang koordinat yang pada sensor terhadap bumi dengan cara melakukan vektor pointing dari setiap piksel pada sensor dan menemukan kesesuaian nilainya terhadap koordinat di bumi dalam kerangka acuan ECEF seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Inverse Nilai Koordinat Sensor pada SKWR ke dalam Sistem Koordinat SKB (ECEF)

Page 23: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 23 -

Jika mengacu pada bentuk permukaan bumi yang berbentuk ellipsoid maka perlu dilakukan interseksi atau perpotongan vektor pointing tiap piksel pada sensor dengan pemukaan bumi yang berbentuk ellipsoid ini dengan mengacu pada persamaan ellipsoidal bumi untuk menghasilkan nilai perpotongan yang terdekat dengan bidang ellipsoidal bumi seperti ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Interseksi Vektor Pointing Per Piksel pada Sensor terhadap Permukaan Bumi Ellipsoid

Tahapan akhir pada proses direct georeferencing yang dilakukan adalah memperoleh koordinat bumi yang geocoded yaitu koordinat yang sesuai dengan kaidah-kaidah pemetaan. Untuk memperoleh koordinat bumi yang geocoded maka tahapan selanjutnya adalah mengubah hasil vektor interseksi dalam koordinat ECEF yang diperoleh ke dalam koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel pada citra. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ketinggian intekseksi adalah 0 (nol) meter diatas permukaan ellipsoidal bumi. Sehingga dengan persamaan matematis tangensial bisa diperoleh koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel pada citra seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Mengubah Vektor Interseksi (ECEF) Menjadi Koordinat Latitude dan Longitude untuk Setiap Piksel

Page 24: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

- 24 -

Dari uraian geometri analitis penentuan titik potong arah pandang pada permukaan ellipsoid bumi sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat dirangkum sebuah algoritma proses kalibrasi geometrik citra inderaja secara langsung (direct georeferencing) antara lain sebagai berikut : 1. Menetapkan rumusan atau definisi orientasi internal piksel citra pada sistem kamera 2. Menetapkan rumusan atau hubungan yang menyatakan orientasi piksel citra di dalam sistem acuan satelit 3. Menghitung penanggalan pada saat sebuah piksel citra diperoleh 4. Menghitung posisi dan sikap satelit pada saat pengambilan piksel citra dilakukan 5. Menghitung vektor arah piksel citra pada sistem acuan orbital 6. Menghitung vektor arah piksel citra pada sistem acuan bumi 7. Menghitung titik potong vektor arah pisel citra dengan ellipsoid bumi acuan untuk menentukan vektor

posisi titik citra pada permukaan bumi yaitu : Mengubah vektor posisi ke koordinat geografis lintang bujur geosentrik Mengubah koordinat geografis geosentrik ke koordinat geografis lintang bujur geodetik

4. HASIL PEMBAHASAN

Program direct georeferencing yang dibuat memiliki alur proses seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Secara umum proses direct georeferencing merupakan proses memproyeksikan setiap titik sensor (piksel) pada permukaan bumi dengan prinsip interseksi. Namun untuk menggunakan interseksi, posisi sensor dan permukaan bumi harus berada pada suatu sistem koordinat yang sama. Maka operasi sensor terhadap sikap (roll,pitch,yaw) dilakukan pada sistem koordinat wahana (SKW) sedangkan operasi interseksi dilakukan pada sistem koordinat bumi (SKB).

Proses direct georeferencing diawali dengan melakukan transformasi koordinat LLA menjadi SKB (ECEF) dilakukan dengan cara mengubah sistem koordinat input GPS sensor yang berupa LLA menjadi SKB yang berupa sistem koordinat ECEF dengan parameter bumi yang digunakan adalah WGS-84. Koordinat output yang dihasilkan adalah dalam koordinat kartesian (X,Y,Z) dengan pusat bumi (geosentris) sebagai pusat koordinat, sumbu Z mengarah pada zenith sumbu geografis bumi, sumbu x mengarah pada longitude 0°, dan sumbu Y melengkapi sumbu Z dan X sesuai kaidah tangan kanan. Output tersebut nantinya digunakan sebagai pusat koordinat dari sensor untuk setiap garis pada linescan.

Selanjutnya dilakukan transformasi koodinat SKB menjadi SKW dilakukan dengan cara mentransformasikan koordinat dengan pusat koordinat stasiun bumi menjadi pusat koordinat wahana (sensor). Sumbu Z SKW mengarah pada pusat geosentris bumi, sumbu x mengarah pada true north, dan sumbu Y melengkapi sumbu Z dan X sesuai kaidah tangan kanan. Matriks koordinat ini nantinya digunakan sebagai inverse dari Sistem Koordinat Wahana ter-Rotasi (SKWR) menjadi Sistem Koordinat Bumi (SKB).

Tahapan berikutnya adalah melakukan transformasi koodinat SKW menjadi SKWR adalah operasi rotasi pada sistem koordinat wahana berdasarkan input dari sensor sikap (IMU) dengan prinsip sudut roll (θ) positifadalah rotasi sudut pada sumbu X berlawan arah jarum jam, sudut pitch (ρ) positif adalah rotasi sudut pada sumbu Y berlawanan arah jarum jam, dan sudut yaw (γ) positif adalah rotasi sudut pada sumbu Z berlawanan arah jarum jam dan dengan posisi awal pointing piksel pada sumbu Z (0,0,1). Dengan asumsi setiap piksel pada satu line merupakan operasi rotasi roll.

Setelah diperoleh SKWR, maka dilakukan penyamaan sistem koordinat wahana dengan sistem koordinat bumi dengan sistem koordinat bumi sebagai acuan. Operasi ini mengubah dari SKWR menjadi SKB untuk setiap piksel dalam satu line. Dalam hal ini setiap piksel pada sensor sudah terproyeksi dengan sistem koordinat bumi. Langkah selanjutnya adalah melakukan interseksi untuk menyesuaikan nilai koordinat SKB terhadap ellipsoidal bumi (dengan parameter kepepatan bumi menggunakan standar WGS-84 untuk setiap piksel dalam 1 baris sensor sehingga diperoleh hasil interseksi/perpotongan antara posisi piksel pada permukaan bumi yang berbentuk ellips. Tahap terakhir adalah mengubah nilai koordinat SKB (ECEF) yang diperoleh menjadi koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel. Dalam hal ini disumsikan bahwa ketinggian setiap piksel adalah 0 (nol) meter.

Simulasi direct georeferencing yang dilakukan adalah programming menggunakan bahasa pemrograman Phyton 2.7 dengan memasukan parameter input sensor yang akan disimulasikan yaitu jumlah piksel linescan, panjang fokus lensa (focal length), image lengthdan panjang baris sensor. Dalam hal ini default nilai untuk piksel linescan adalah 2048, panjang fokus lensa (focal length) 35 mm, image length 512, dan panjang baris sensor 28.672 mm). Adapun parameter WGS-84 yang dimasukan adalah nilai radius ekuator (a) sebesar 6378137 km, radius kutub bumi (b) sebesar 6356752.3142 km dan eccentricity (e2) sebesar 0.00669437999014. Diasumsikan sensor berada di ketinggian (altitude) 1500 meter, koordinat input berupa longitude, latitude, altitude, roll, pitch, yaw berturut-turut (106.859102,-6.337270,1500,0,0,0). Output akhir

Page 25: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 25 -

yang dihasilkan adalah berupa koordinat latitude dan longitude untuk setiap piksel pada citra.Dari hasil simulasi dengan tahapan seperti diuraikan diatas maka diperoleh hasil sebagai berikut : Input (1 baris): 106.859102,-6.337270,1500,0,0,0 Keterangan:Longitude,Latitude,Altitude,Roll,Pitch,Yaw Output (dengan sampel berjumlah 2048 piksel): 106.86465236,-6.33728989072,0,0

106.864646937,-6.33728989078,1,0 106.864641514,-6.33728989083,2,0 106.864636091,-6.33728989089,3,0 106.864630668,-6.33728989095,4,0 106.864625245,-6.337289891,5,0 106.864619821,-6.33728989106,6,0 106.864614398,-6.33728989112,7,0 106.864608975,-6.33728989117,8,0 106.864603552,-6.33728989123,9,0 … … … 106.853595025,-6.33728989117,2039,0 106.853589602,-6.33728989112,2040,0 106.853584179,-6.33728989106,2041,0 106.853578755,-6.337289891,2042,0 106.853573332,-6.33728989095,2043,0 106.853567909,-6.33728989089,2044,0 106.853562486,-6.33728989083,2045,0 106.853557063,-6.33728989078,2046,0 106.85355164,-6.33728989072,2047,0

Keterangan: Longitude, Latitude, Row (nomor piksel dalam 1 line), Column (nomor line)

Gambar 12 berikut adalah hasil plotting output koordinat longitude, latitude, row (nomor piksel dalam 1 line), dan column (nomor line) pada google maps yang merupakan hasil simulasi direct georeferencing.

Gambar 12. Plotting koordinat longitudedanlatitudepada google maps hasil simulasi direct georeferencing untuk 1 baris sensor linescan dengan jumlah piksel 2048 buah

Titik Input : Kantor Pustekdata LAPAN

1 larik/baris = 2048 piksel

Page 26: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager (Soleh, M., et al.)

- 26 -

Seperti ditunjukkan pada Gambar 12 di atas, hasil simulasi direct georeferencing diperoleh dengan

memasukan 1 baris input koordinat longitude, latitude, altitude, roll, pitch, yaw berturut-turut (106.859102,-6.337270,1500,0,0,0) kemudian di-plot pada google maps menghasilkan koordinat output untuk 1 baris dengan jumlah piksel sebanyak 2048 piksel berupa koordinat longitude, latitude, row(nomor piksel dalam 1 line),column (nomor line) berturut-turut (106.86465236,-6.33728989072,0,0 ...... s.d ...... 106.85355164,-6.33728989072,2047,0). Titik lokasi pada input merupakan center atau pusat data citra dalam 1 baris/line, dalam hal ini titik yang dimaksud adalah lokasi kantor Pustekdata LAPAN Jl. Lapan No. 70 Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur.

Dari koordinat output yang dihasilkan terlihat bahwa sebanyak 2048 piksel dalam 1 baris sensor telah memiliki koordinat geodetik longitude dan latitude. Hal ini terbentuk karena piksel detektor yang membentuk sebuah garis lurus (an array), maka gambar yang akan diberikan hanyalah berupa satu elemen garis gambar saja yang lebarnya sangat kecil ataubisa dianggap sebagai gambar 1 dimensi. Namun jika sensor diinginkan untuk memperoleh citra 2 dimensi, maka hal yang sama juga dapat disimulasikan untuk memperoleh nilai koordinat geodetik longitude dan latitude pada baris/line ke-2, ke-3 ... dst jika sensor kamera pushbroom imager digeser secara teratur pada tiap kali kamera mengambil gambar sesuai dengan ukuran lebar dari masing-masing garis gambar hingga bisa dibangun dan diperoleh data citra 2 dimensi. Hal ini menunjukkan bahwa simulasi direct georeferencing yang dilakukan telah mampu menghasilkan data citra yang georeferenced atau tertranformasi dari koordinat geografis geosentrik pada wahana sensor ke dalam bentuk koordinat geografis lintang bujur geodetik pada permukaan bumi. Seluruh tahapan dilakukan hingga memperoleh koordinat geodetik longitude dan latitude (bujur, lintang) citra pada permukaan bumi. Maka untuk selanjutnya dapat dikatakan bahwa direct georeferencing bisa dijadikan sebagai sebuah tahap awal untuk menghasilkan data atau citra yang terkoreksi secara geometrik sistematik dan terkode kepada sebuah peta (geocoded image).

5. KESIMPULAN

Telah dilakukan simulasi program direct georeferencing untuk menghasilkan data citra penginderaan jauh yang terkoreksi secara geometrik (georeferenced) dan terproyeksi pada permukaan bumi berdasarkan kaidah pemetaan (geocoded). Secara umum proses direct georeferencing merupakan proses memproyeksikan setiap titik sensor (piksel) pada permukaan bumi dengan prinsip interseksi. Namun untuk menggunakan interseksi, posisi sensor dan permukaan bumi harus berada pada suatu sistem koordinat yang sama. Maka operasi sensor terhadap sikap (roll, pitch, yaw) dilakukan pada sistem koordinat wahana (SKW) sedangkan operasi interseksi dilakukan pada sistem koordinat bumi (SKB). Dalam hal ini parameter input sensor dimasukan adalah jumlah piksel linescan, panjang fokus lensa (focal length), image length dan panjang baris sensor. Sedangkan parameter WGS-84 yang dimasukan adalah radius ekuator, radius kutub bumi dan eccentricity (e2). Output akhir yang dihasilkan adalah berupa koordinat geodetik latitude dan longitude untuk setiap piksel pada data citra. Hasil simulasi direct georefencing yang dilakukan telah mampu menghasilkan data citra yang georeferenced atau tertranformasidari koordinat geografis geosentrik pada wahana sensor ke dalam bentuk koordinat geografis lintang bujur geodetik pada permukaan bumi. Proses ini merupakan sebuah tahap awal yang bermanfaat untuk menghasilkan data atau citra yang terkoreksi secara geometrik sistematik dan terkode kepada sebuah peta (geocoded image).

DAFTAR PUSTAKA

Jacobsen, K. (2002). Calibration Aspects in Direct Georeferencing of Frame Imagery. Pecora 15/Land Satellite Information, Denver, USA.

Jacobsen, K., dan Helge, W. (2004). Dependencies and Problems of Direct Sensor Orientation. Proceedings of ISPRS Congress Commission III.

Maryanto, A. (2012). Konsep Georeferensi Langsung (Direct Georeferencing) Citra Pushbroom Sebagai Dasar Pengembangan Model Koreksi Geometrik Sistematik Citra LAPAN A-3.

Poli, D. (2005). Modelling of spaceborne Linear Array Sensors, Dissertation, Swiss Federal Institute Of Technology Zurich.

Rizaldy, A., dan Firdaus, W. (2012). Direct Georeferencing: A New Standard In Photogrammetry For High Accuracy Mapping, International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.

Schroth, R. (2004). Direct Geo-Referencing in Practical Applications, ISPRS workshop WG 1/5 about Theory, Technology and Realities ofInertial/GPS Sensor Orientation, Barcelona, Spain.

Page 27: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 27 -

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Ir. Dedi Irawadi Judul Makalah : Simulasi Direct Georeferencing untuk Koreksi Geometrik Sistematik Citra Pushbroom Imager Pemakalah : Wismu Sunarmodo Jam : 09.00-10.00 Tempat : Meeting Room E-F Diskusi : Fadilla Muchsin (Pustekdata, LAPAN): Bisakah simulasi dilakukan di citra mosaic SPOT6/7? Bagaimana jika ingin dilihat akurasi geometriknya? Kenapa menggunakan sensor pushbroom?

Jawaban: Bisa, syaratnya harus ada data rawnya. Semua data citra satelit pada prinsipnya sama menggunakan direct georeferencing. Pada data raw terdapat data citra dan data ancillary. Data ancillary seperti data posisi dan sikap. Dari hal tersebut bisa diturunkan dan dimodifikasi. Sensor selain pushbroom: Matrik kamera : sudah banyak dilakukan Whiskbroom: susah dilakukan, pesawat harus goyang kanan dan kiridan ketelitiannya sangat tinggi, citra yang menggunakan whiskbroom biasanya stripping. Linescan : metode yang sudah tua Kelebihan pushbroom memiliki dwell time yang memudahkan data dari sensor ke pengumpulnya dapat cepat, sehingga pushbroom cocok digunakan untu resolusi menengah –tinggi.

Wikan Jaya P. (UGM): Apakah sudah diteliti tentang batas threshold, yang bias menjamin hasil akurasi yang bagus?

Jawaban: Ini merupakan model matematis, jika ideal maka dikatakan tidak ada error sama sekali. Seberapa error yang diperbolehkan tergantung dengan requirement. Pertama berapa spasial threshold yang dibuthkan dan berapa banyak term yang harus diketahui.

Page 28: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 28 -

Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis

NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi

Nurmajid Setyasaputra1,*), Fakhmi Kemal Islamy2, dan Sutan Takdir Ali Munawar1

1Balai Penginderaan Jauh Parepare, LAPAN 2ARC Telkom University

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Data penginderaan jauh sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan. Terutama data gambar satelit cuaca yang menggambarkan kondisi secara nyata dari kondisi bumi. Data cuaca yang dimaksud meliputi cuaca itu sendiri dan iklim dari kondisi bumi. Pada umumnya data satelit cuaca diterima atau direkam oleh stasiun bumi milik suatu lembaga yang memiliki fasilitas lengkap dan menghasilkan kualitas data yang sangat baik atau detil. Tetapi disisi lain data cuaca juga diperlukan untuk diketahui semua pihak termasuk untuk sarana edukasi bagi dunia pendidikan baik skala sekolah maupun universitas dimana keterbatasan fasilitas perangkat lengkap menjadi kendala. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem penerimaan dan perekaman untuk menerima data satelit cuaca yang efisien dan mudah digunakan oleh semua pihak. Sehingga dibuat suatu rancang bangun alat yang sederhana, mudah dipahami dan dapat digunakan sebagai sarana edukasi untuk mengenalkan data cuaca yang dapat dilihat langsung dalam bentuk gambar. Adapun data cuaca yang digunakan adalah Automatic Picture Transmission (APT) dari data satelit NOAA yang dapat menerima data berupa suara yang kemudian diubah menjadi gambar resolusi rendah. Sistem yang dibangun mengintegrasikan antena Lindenblad, Software Define Radio (SDR), dan komputer.

Kata kunci: Integrasi, Antena Lindenblad, SDR, NOAA APT

ABSTRACT - Remote sensing data is needed in many aspects of life. Especially weather satellite image data that describes the real conditions of the condition of the earth. Weather data may include weather itself and the climate of the earth conditions. In general, the weather satellite data is received or recorded by the earth station owned by institution which has full facilities and produce excellent data quality or detail. But on the other hand weather data are also required to be known to all parties, including for an educational tool for both scale education schools and universities where limitation of full facilities becomes their obstacles. Therefore, we need a system for receiving and recording to receive weather satellite data efficiently and easy to use for all parties. Thus created a design tool that is simple, easily understood and used as an educational tool to introduce the weather data that can be viewed directly in the form of images. The weather data used is the Automatic Picture Transmission (APT) from NOAA satellite data can that receive the data in the form of sound which is then converted into low-resolution images. The system built integrate Lindenblad antenna, Software Define Radio (SDR), and computer.

Keywords: Integration, Lindenblad Antenna, SDR, NOAA APT

1. PENDAHULUAN

Penginderaan jauh adalah pengukuran atau akuisisi data dari satu objek atau fenomena oleh sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau dari jarak jauh seperti pesawat, pesawat luar angkasa, kapal, atau satelit. Satelit penginderaan jauh juga bermacam-macam bentuk, sensor yang dibawa, dan keperluan atau kebutuhan dibuatnya berdasarkan penggunaannya. Pengunaan satelit penginderaan jauh adalah untuk perekaman citra permukaan bumi.Salah satu manfaat dari penginderaan jauh adalah untuk meteorologi dan klimatologi. Meteorologi adalah ilmu yang mempelajari proses fisis dan gejala cuaca yang terjadi di lapisan atmosfer (troposfer), sedangkan klimatologi adalah ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan sifat iklim untuk mengetahui perbedaan dan keterkaitan dengan aktivitas manusia.

Menurut Sutanto (1994) menyatakanbahwa Penggunaan penginderaan jauh baik diukur dari jumlah bidang penggunaannya maupun dari frekuensi penggunaannya pada tiap bidang mengalami peningkatan dengan pesat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan; wujud dan letak obyek

yang mirip ujud dan letak di permukaan bumi, relatif lengkap, meliputi daerah yang luas, serta bersifat permanen.

Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop.

ORAL PRESENTATION

Page 29: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 29 -

Karaktersitik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentukcitra sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya.

Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terestrial. Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana. Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek.

Begitu banyak satelit penginderaan jauh yang digunakan termasuk satelit penginderaan jauh yang digunakan untuk pengamatan cuaca. Satelit ini lebih melihat tentang awan selain lampu perkotaan, kebakaran, polusi, aurora, pasir dan debu, salju, pemetaan es, batas arus laut, dan lain sebagainya. Salah satu contoh satelit cuaca adalah NOAA. Nama ini diambil dari pemilik satelit yaitu National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yaitu suatu lembaga ilmiah dalam Departemen perdagangan Amerika Serikat yang fokus pada pemantauan kondisi lautan dan atmosfer. Satelit NOAA yang beroperasi sekarang ini adalah NOAA-18 dan NOAA-19 pada seri TEROS-N berdasar pada Tabel 1.

Tabel 1.Seri TIROS-N Satelit Operasional

(Sumber: Davis, 2011 Dengan Perubahan Seperlunya)

Name Launch Date End of Useful Life Orbit Features

TIROS-Ne 13-Oct-78 1-Nov-80 PM AVHRR,f HIRS,g MSU,h SSU,i DCSj

NOAA-6 27-Jun-79 19-Sep-83 AM same

NOAA-B 29-May-80 launch failure

NOAA-7 23-Jun-81 7-Feb-85 PM same

NOAA-8 28-Mar-83 26-May-84 AM same

NOAA-9 24-Dec-84 13-Feb-98 PM same

NOAA-10 17-Sep-86 17-Sep-91 AM same, except no SSU

NOAA-11 24-Sep-88 16-Jun-04 PM same, with SSU

NOAA-12 14-May-91 10-Aug-07 AM same, except successfully flew developmental model non-flight SSU that was provided by the UK

NOAA-13 9-Aug-93 21-Aug-93 PM same, with SSU, carried a DoD Space Test

experimental aurora imager Program (MAXIE) Spacecraft failed on 13th day of flight

NOAA-14 30-Dec-94 23-May-07 AM same, with SSU

NOAA-15 13-May-98 Secondary AM 1st of series to support dedicated microwave

instruments-suite of three Advanced Microwave sounding Units-AMSU-A1, AMSU-A2, AMSU-B

NOAA-16 21-Sep-00 9-Jun-14 PM Same

NOAA-17 24-Jun-02 10-Apr-13 AM Same

NOAA-18 20-May-05 Secondary PM HIRS LW channels/imagery improved

NOAA-19 4-Feb-09 Operational PM ADCS and SARP-3 upgrades

Page 30: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

- 30 -

a All spacecraft placed in near-polar, sun-synchronous orbits b Various sensors and other units have degraded or failed before the satellite was turned off. d Primary sensors of high priority in the current modernization of the NWS, that is, imagers and atmospheric sounders e TIROS-N, the prototype of this new series of satellites, was funded, named, and operated by NASA. The subsequent operational satellites were funded and named by NOAA. f Advanced very high resolution radiometer. g High resolution infrared radiation sounder. h Microwave sounding unit. i Stratospheric sounding unit (provided by the United Kingdom). j Data collection system (provided by France).

Begitu banyak manfaat yang diberikan oleh penginderaan jauh. Oleh karena itu, sebagai bentuk pengenalan dan edukasi untuk menyebarluaskan hasil penginderaan jauh, maka diperlukan suatu sistem penerimaan dan perekaman satelit penginderaan jauh dalam hal ini untuk keperluan satelit cuaca yang sederhana dan portable bisa dibawa kemana saja.

2. DESAIN DAN INTEGRASI

Desain dan integrasi yang di maksud adalah dengan mendesain sistem yang akan diintegrasikan. Sistem yang dirancang adalah sistem penerimaan dan perekaman untuk satelit NOAA-18 (137.9125 MHz) dan NOAA-19 (137.1000 MHz). Adapun tahapan adalah dengan membangun sistem penerimaan dan perekaman yaitu terdiri dari antena, SDR (Software Define Radio), komputer dengan aplikasi perekamannya.

Gambar 1. Diagram Blok Sistem yang Dibangun

2.1 Antena

Antena merupakan salah satu kunci penting dalam komunikasi propagasi radio. Dalam beberapa aplikasinya dikenal berbagai jenis antena yang kita kenal, salah satunya adalah antena Lindenblad. Antena Lindenblad pada dasarnya adalah modifikasi dari antena dipole sederhana yang disusun sedemikian rupa agar menghasilkan pola pancar antena omnidirectional dengan polarisasi sirkular.

Penggunaan antena lindenblad sangat lazim dan mudah digunakan dalam implementasi sistem penerimaan komunikasi satelit dengan orbit LEO seperti satelit NOAA karena pola pancarnya yang unik. Pola pancar antena Lindenblad yang bersifat omnidirectional memudahkan dalam menerima komunikasi satelit dalam posisi satelit yang sangat cepat bergerak di orbit LEO. Polarisasi nya yang mempunyai sifat sirkular juga membantu dalam mengurangi loss power karena polarization mismatch mengingat posisi satelit yang tidak selalu dalam kondisi yang tetap.

Antena Lindenblad SDR

Aplikasi

Page 31: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 31 -

Gambar 2. Pola Radiasi Omni dan Sirkular RHCP pada Antena Lindenblad (Sumber: Monterio T, 2006)

Pada rancang bangun kali ini dibuat antena lindenblad dengan spesifikasi sebagai berikut: =

( )(feet) atau =

( )(meter) .............................................................................. (1)

Persamaan 1 di atas adalah rumus untuk menghitung panjang lambda. ● Dipole ½ Lambda pada frekuesni kerja 137.9125 MHz = 1,087 meter

Gambar 3. Skema rancang bangun Dipole ½ Lambda

Page 32: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

- 32 -

● Sudut kemiringan dipole susunan masing-masing 30 derajat.

Gambar 4. Posisi Susunan Dipole yang Dipasang dengan Kemiringan 30 Derajat (Sumber: Monterio T, 2006)

Gambar 5. Contoh Antena Lindenblad yang Sudah Jadi (Sumber: Monterio T, 2006)

2.2 Software Define Radio

Software Define Radio (SDR) merupakan sistem komunikasi radio yang menggunakan software sebagai perangkat utama. Walaupun software digunakan sebagai perangkat utama, namun RF Front End tetap dibutuhkan untuk dapat menjalankan SDR ini. SDR lebih menerapkan fungsi-fungsi pada software, sehingga perangkat yang menggunakan SDR sebagai platformnya memiliki hardware akan lebih sederhana. Kesederhanaan ini memberikan peluang bagi SDR untuk dikembangkan dalam semua aspek teknologi komunikasi, termasuk dalam aplikasinya sepbagai penerimaan dan perekaman data satelit.

Pada umumnya suatu receiver mempunyai integrated circuit untuk menjalankan proses demodulasi sinyal-sinyal tertentu yang telah dimodulasi. Perubahan pada skema modulasi juga akan menyebabkan perubahan integrated circuit pada receiver. Oleh karena itu, agar sinyal-sinyal dengan skema modulasi yang

Page 33: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 33 -

berbeda-beda tersebut dapat didemodulasi dengan baik oleh receiver sehingga dibutuhkan jumlah circuit yang lebih banyak. Metode ini sangat tidak efektif karena memakan biaya sangat mahal dan menghabiskan ruang. Sistem SDR dapat mengkonversi fungsi demodulasi dari hardware tersebut ke dalam sebuah realisasi software dan tidak diperlukan perubahan pada integrated circuit di sisi receiver.

Dalam sebuah system receiver SDR, bagian RF Front End secara bersamaan masih mungkin digunakan. Sinyal dari antena akan dikuatkan, kemudian di-filter, dan didijitalisasi menggunakan ADC (Analog to Digital Converter). Sinyal dijital kemudian diproses oleh bagian software, termasuk juga proses konversi intermediate frequency ke baseband dan proses demodulasi sinyal. Alat-alat seperti DSPs (Digital Signal Processors) dan FPGA (Field Programmable Gate Arrays) dipakai dalam SDR untuk melakukan fungsi software processing.

Gambar 6. Blok Diagram Sederhana RF Front End pada Receiver

Pada desain yang diintegrasikan pada sistem kali ini adalah dengan menggunakan SDR pabrikan produksi

G6LVB Howard Long yang bernama FUNCube dongle. FUNCube dongle adalah sebuah desain proyek ground station berupa SDR yang memiliki frekuensi kerja yang dapat diubah-ubah dalam rentang 64-1,700MHz dan memiliki sampling rate sebesar 80-96kHz. Frekuensi kerja yang dipakai untuk menangkap satelit NOAA akan digeser kedalam frekuensi kerja komunikasi downstream NOAA APT yaitu sebesar 137 MHz.

Gambar 7. FUNCube Dongle Receiver 2.3 Komputer dan Aplikasi

Komputer dan aplikasi digunakan untuk melakukan penerimaan dan perekaman secara visual. Sinyal yang diterima dari antena selanjutnya diteruskan ke SDR lalu masuk ke dalam komputer. Adapun aplikasi yang digunakan adalah software Orbitron untuk melihat Orbit Predict satelit dan aplikasi WXtoImg untuk menerjemahkan sinyal audio dari SDR, sehingga menjadi gambar citra resolusi rendah.

Page 34: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

- 34 -

3. IMPLEMENTASI ALAT

Adapun implementasi alat yang dibuat adalah dengan membuat antenna Lindenblad sesuai dengan desain. Kemudian setiap bagian dirakit satu sama lain, sehingga membentuk seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Tampilan Antena Lindenblad

Software yang digunakan untuk mengetahui lintasan satelit adalah dengan menggunakan aplikasi

Orbitron. Lalu sistem penerima dan perekam menyimpan data .wav melalui SDR Funcube. Data tersebut lalu diterjemahkan oleh aplikasi WXtoImg agar dapat menampilkan data citra.

Gambar 9. Tampilan Aplikasi Orbitron

Page 35: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 35 -

Gambar 10. Tampilan Aplikasi WXtoImg

4. KESIMPULAN

NOAA APT dapat diterima dan direkam dengan menggunakan alat sederhana yaitu antena Lindenblad, SDR Funcube, dan aplikasi komputer, sehingga dapat digunakan sebagai sarana edukasi sederhana untuk menampilkan hasil citra satelit penginderaan jauh yang mudah digunakan dan mudah dibawa atau portable.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Balai Penginderaan Jauh Parepare dan seluruh tim Amatir Radio Club Universitas Telkom yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh panitia atas masukan dan koreksinya

DAFTAR PUSTAKA

Andika, G. (2008). Klasifikasi Tutupan Awan menggunakan Data Sensor Satelit NOAA/AVHRR APT. Skripsi Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Sutanto (1994) Pengetahuan Dasar Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Monterio, T. (2006). A Parasitic Lindenblad Antenna for 70cm. AMSAT Proceedings. Amateur Radio Satellite

Corporation. USA. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015 Moderator : Muchamad Soleh, S.T., M.Eng. Judul Makalah : Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic

Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi Pemakalah : Nurmajid Setyaputra Jam : 15.30 – 16.30 WIB Tempat : Meeting Room E-F Diskusi : Budhi Gustiandi (Pustekdata, LAPAN) Solusi yang digunakan jika ada kunjungan dan satelit NOAA tidak dalam orbit sehingga tidak memungkin kan untuk melakukan akusisi atau kah menambahkan simulator?

Nugroho Widi Jatmiko (Pustekdata, LAPAN) SDR pengembangan dimulai dari antenna atau hanya di software ?

Page 36: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Rancang Bangun Sistem Penerimaan dan Perekaman Data Satelit Berbasis NOAA Automatic Picture Transmission (APT) sebagai Sarana Edukasi (Setyasaputra, N., et al.)

- 36 -

WxtoImg merupakan open source atau desain sendiri?

Erna Sri Adiningsih (Pustekdata, LAPAN) Apakah system ini bisa membantu menjelaskan kepada orang yang memiliki minat secara teknis? Data atau sensor darisatelit NOAA mana yang bisaditerimakarena NOAA memilikibeberapa sensor? Apakah pengolahan datanya sama mudah nya atau lebih sulit? Dony Kushardono (Pustekdata, LAPAN) Besar biaya pembuatan untuk dapat dipakai di sekolah sebagai sarana edukasi? Apakahakan di kembangkan sehingga pada satelit Metop sebagai pengati NOAA yang sebentar lagi akan habis masa orbitnya? Jawaban: Pada umumnya kunjungan siswa sekolah di LAPAN pare-pare dilakukan pada saat sebelum dan sesudah jam hari sehingga bertepatan dengan lewatnya satelit NOAA 18 dan NOAA 19 di Indonesia pada pagi dan sore hari Pengembangan antenna berdasarkan referensi dari radio amatir untuk software merupakan open source baik APT maupun WXtoImg. Untuk SDR masih beli untuk kedepannya akan mengembankan sendiri dengan ukuran yang sama. Karena tujuan untuk edukasi sehingga alat ini memperlihatkan secara teknis sederhana seperti pada perekaman dan seperti apa preview citra di computer. Sensor APT NOAA sama tapi dengan resolusi yang lebih kecil sedangkan pengolahannya pada prosesnya cukup cepat dan menggunakan software open source. Biaya pembuatan paling mahal pada pembelian SDR sekitar 3 juta rupiah dan perlengkapan lain sekitar 100 ribu rupiah dan satelit NOAA sudah akan berakhir tetap kita masih tetap dapat menerima data hingga 5 tahun ke depan

Page 37: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 37 -

Evaluasi Ketelitian Citra Satelit Pansharpening Resolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota Tasikmalaya)

Jali Octariady1,*), dan Elyta Widyaningrum1

1Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial (BIG)

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Citra satelit resolusi tinggi terdiri dari berbagai level citra. Variasi dari level citra menunjukkan berbagai koreksi yang telah di aplikasikan pada citra tersebut. Citra satelit resolusi tinggi level ORStandar2A merupakan citra satelit yang telah terkoreksi radiometri dan tergeorektifikasi. Adanya georektifikasi menandakan bahwa citra tersebut telah memiliki sistem koordinat dan terikat suatu sistem referensi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mereview seberapa besar ketelitian dari citra satelit resolusi tinggi level ORStandar2A yang sudah pansharpened. Data citra yang digunakan adalah data citra Quickbird ORStandar2A pada daerah Kota Tasikmalaya dan data citra Worldview2 ORStandar2A pada daerah Kota Surabaya. Evaluasi ketelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa titik uji yang tersebar secara merata di seluruh cakupan citra. Hasil evaluasi ketelitian berdasarkan pada posisi menunjukkan bahwa data citra Quickbird dan data citra Worldview2 masing-masing memiliki akurasi horisontal sebesar 10.88m dan 7.93m. Mengacu pada standar BIG, citra tersebut bisa digunakan untuk pembuatan peta skala 1 : 25000 dan 1 : 16000.

Kata kunci: citra pansharpened, ketelitian, ORStandar2A

ABSTRACT - High resolution satellite imagery consists of various imagery levels. The variation of imagery levels showed the various corrections that have been applied to the imagery. High resolution satellite imagery ORStandar2A level is a satellite imagery that have been corrected radiometric and georectified. Georectified indicated that the imagery already has a coordinate system and bound to the specific reference system. This study was aimed to review how large the accuracy of High resolution satellite ORStandar2A pansharpening imagery data. Imagery data used is Quickbird ORStandar2A imagery data in the area of Tasikmalaya town and Worldview2 ORStandar2A imagery data in the area of Surabaya town. Evaluation of accuracy performed by using several check point are spread throughout the image coverage. The results based on positional accuracy showed that the Quickbird imagery data dan Worldview2 imagery data have horizontal accuracy of 10.88m and 7.93m respectively. With regard to the BIG standard, the imagery can be used for making a map scale of 1 : 25000 and 1 : 16000.

Keywords: pansharpened imagery, accuracy, ORStandar2A

1. PENDAHULUAN

Ada 3 macam citra satelit yakni citra satelit resolusi rendah, menengah dan tinggi (Campbell & Wynne, 2011; Republik, 2013). Citra satelit resolusi tinggi mulai diperkenalkan secara publik sejak diluncurkannya satelit IKONOS pada tahun 1999. Satelit ini mampu untuk menghasilkan citra dengan resolusi spasial 1m. Semenjak itu, mulai banyak satelit-satelit lain yang juga diluncurkan seperti EROS-A dengan resolusi spasial 1.8m, Quickbird dengan resolusi spasial 0.61m, Orbview-3 dengan resolusi spasial 1m, World-view 2 dengan resolusi spasial 0.5m dan terakhir Pleiades dengan resolusi spasial 0.5m (Brovelli et al., 2008). Citra resolusi tinggi, terutama yang dibuat oleh Digital globe memiliki 3 level data yakni basic imagery, standart imagery dan ortorektified imagery. Perbedaan level pada citra menunjukkan perbedaan koreksi yang telah dilakukan pada citra. Berikut ini deskripsi mengenai masing-masing level data citra tersebut (DigitalGlobe, 2014): a. Basic Imagery

Citra ini di desain untuk pengguna yang telah mahir melakukan prosessing data citra. Citra ini dilengkapi dengan informasi sikap satelit, efemeris satelit, dan informasi model kamera yang kesemuanya dibutuhkan untuk proses fotogrametri. Citra level ini tersedia dalam mode Pankromatik, multispektral dan bundle. Pan-sharpening tidak tersedia pada level basic imagery. Citra level basic telah di koreksi radiometri dan koreksi sensor namun belum tergeoreferensi pada suatu sistem koordinat tertentu. GSD yang dihasilkan pada citra ini memiliki resolusi yang berbeda-beda dikarenakan sudut pengambilan yang secara lambat berubah dalam proses perekaman data. Proses data citra level basic dengan menggunakan DEM dan TKT menunjukkan citra level basic memiliki

ORAL PRESENTATION

Page 38: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

- 38 -

ketelitian global secara rata-rata untuk seluruh cakupan yang diliputnya sebesar 4m pada rentang kepercayaan 90%.

b. Standard Imagery Citra ini sangat cocok untuk pengguna yang membutuhkan akurasi absolut atau cakupan area yang

luas. Citra level ini sudah terkoreksi radiometri, terkoreksi sensor, dan sudah tergeoreferensi pada suatu sistem koordinat yang penggunana pilih atau butuhkan. Citra ini tersedia dalam bentuk hitam putih dengan resolusi spasial 50cm, 60cm, dan 2m, bentuk pan-sharpening dengan resolusi spasial 50cm dan 60cm, dan bentuk multispektral dengan resolusi spasial 2m dan 2.4m tergantung sensor dari citra. Semua citra pada level standard imagery memiliki resolusi spasial yang seragam pada seluruh cakupan citra. Citra level ini tersedia dalam 2 macam yakni Standard Imagery dan Ortho Ready Standard Imagery. Standart Imagery telah dikoreksi permukaan dengan menggunakan DEM kasaran.Namun koreksi yang dilakukan tidak termasuk ortorektifikasi. Sedangkan citra level Ortho Ready Standard sudah tidak memiliki kesalahan relief.Citra Standard dan Ortho Ready Standard memiliki akurasi yang berbeda-beda tergantung sensor citranya. Citra Quickbird memiliki akurasi 23m pada rentang kepercayaan 90% berdasarkan spesifikasi akurasi geologi. WorldView-1 dan WorldView-2 memiliki akurasi 5m pada rentang kepercayaan 90% pada citra dengan sudut off-nadir kurang dari 30° off-nadir tanpa menggunakan data GCP untuk seluruh daerah yang sudah di liputnya.

c. Orthorectified Imagery Merupakan citra yang siap digunakan untuk berbagai aplikasi. Citra ini bisa digunakan untuk

membuat ataupun update peta dan GIS database. Citra ini juga biasa digunakan untuk deteksi perubahan dan aplikasi analisis lainnya yang membutuhkan ketelitian absolut yang tinggi. Banyak penelitian mengenai citra satelit dilakukan mulai saat itu, mulai dari penelitian mengenai

metode proses data, evaluasi ketelitian citra, algoritma klasifikasi citra, hingga tinjauan mengenai pemanfaatan citra satelit untuk pembuatan peta. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait evaluasi keteltian citra satelit di antaranya: penelitian mengenai evaluasi ketelitian terhadap citra resolusi tinggi yang diorientasikan dengan metode leave-one-out (Brovelli et al., 2008), penelitian mengenai evaluasi ketelitian citra resolusi tinggi dengan berbagai sudut perekaman data menggunakan metode RPC (Aguilar et al., 2013) penelitian mengenai evaluasi ketelitian citra tegak resolusi tinggi yang di proses dengan berbagai derajad polinomial (Aguilar et al., 2007), penelitian mengenai evaluasi ketelitian pada citra terortorektifkasi dengan menggunakan DEM Terrasar X (Reinartz et al., 2011), penelitian mengenai evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi dari berbagai sensor citra (Chmiel et al., 2004), penelitian mengenai ortorektifikasi citra dan pembuatan DEM dengan menggunakan citra stereo pair Cartosat-1 (Singh et al., 2010), Penelitian mengenai ortorektifikasi dan evaluasi ketelitian citra terortorektifikasi yang di proses menggunakan data DEM IFSAR (Mercer et al., 2003), penelitian mengenai ketelitian citra terortorektifikasi menggunakan berbagai kualitas DEM dan berbagai jumlah titik kontrol tanah (Octariady, 2014; Octariady et al., 2014). Penelitian-penelitian terdahulu tidak ada yang melakukan evaluasi ketelitian terhadap citra mentah dari vendor. Tidak ada yang pernah melakukan evaluasi akan kebenaran akurasi yang diclaim oleh vendor. Penelitian ini dilakukan untuk mengecek dan mengetahui ketelitian posisi dari citra pansharpening level ORStandar2A keluaran DigitalGlobe. Berdasarkan pada ketelitian posisi tersebut maka bisa diketahui berbagai aplikasi yang memenuhi untuk dilakukan menggunakan data tersebut.

2. METODE

Penelitian ini menggunakan 2 buah citra yakni citra Quickbird dan citra Worldview 2. Selain citra, data yang digunakan pada penelitian ini adalah titik ICP, titik ICP digunakan untuk evaluasi ketelitian citra.

2.1 Citra Quickbird

Citra Quickbird yang digunakan meliputi kawasan Kota Tasikmalaya. Citra ini diambil pada bulan

April 2012. Untuk mengcover seluruh area Kota Tasikmalaya dibutuhkan 2 scene citra Quickbird. Resolusi spasial dari citra Quickbird yang digunakan adalah 0.6m. Luas Area cakupan dari Kota Tasikmalaya adalah ±228.57 km2. Level citra Quickbird Kota Tasikmalaya adalah ORStandar2A. Kota Tasikmalaya memiliki permukaan yang relatif bervariasi. Pada bagian selatan citra, relatif dipenuhi pepohonan dengan permukaan yang relatif miring. Sedangkan pada bagian utara citra, relatif dipenuhi bangunan-bangunan dengan permukaan yang relatif datar. Gambar 1 menunjukkan kenampakan Kota Tasikmalaya pada citra Quickbird. Kenampakan permukaan bumi untuk daerah kota Tasikmalaya divisualisasikan secara 3D pada Gambar 2. Terlihat pada gambar 2 bahwa kondisi permukaan Kota

Page 39: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 39 -

Tasikmalaya bervariasi dengan adanya gunung pada sisi timur dan variasi permukaan miring dan datar pada sisi barat

Gambar 1. Citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya

Gambar 2. Kenampakan 3D permukaan bumi pada daerah Kota Tasikmalaya

2.2 Citra Worldview-2

Penelitian selanjutnya dilakukan pada daerah Kota Surabaya. Daerah ini di cover oleh citra Worldview-

2 dengan resolusi spasial 0.5m. Citra Worldview-2 yang digunakan merupakan hasil perekaman Juni 2012. Sebanyak 3 scene citra worldview 2 digunakan untuk mengcover daerah Kota Surabaya. Luas Area surabaya secara menyeluruh adalah ±396.63 km2. Level citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya adalah ORStandar2A. Daerah Kota Surabaya lebih luas daripada daerah Kota Tasikmalaya. Namun dari segi kemiringan lereng, permukaan bumi pada daerah Kota Surabaya relatif lebih datar. Hal ini di tunjukkan dari kecilnya perbedaan tinggi yang ada di kota Surabaya. Gambar 3 menunjukkan kenampakan Kota Surabaya pada citra Worldview-2. Gambar 4 menunjukkan penampang melintang dan kenampakan 3D permukaan bumi di Kota Surabaya berdasarkan DEM Terrasar X. Terlihat jelas pada gambar 4 bahwa daerah Surabaya adalah daerah yang datar hal ini dibuktikan dengan tampilan 3D yang hanya menampilkan permukaan yang datar.

Page 40: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

- 40 -

Gambar 3. Citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya

Gambar 4. Penampang melintang dan Kenampakan 3D daerah Kota Surabaya

2.3 ICP Daerah Kota Tasikmalaya dan Kota Surabaya

ICP dihasilkan dari pengukuran GPS metode Statik dengan ketelitian fraksi mm. ICP dibuat sedemikian rupa sehingga mencakup seluruh cakupan citra yang digunakan. Berikut ini aturan yang kami terapkan dalam pemilihan titik-titik ICP:

a. Obyek yang dijadikan ICPdapat diidentifikasi secara jelas dan akurat pada citra dan lapangan b. Obyek berada pada permukaan tanah. c. Obyek bukan merupakan bayangan. d. Obyek tidak memiliki pola yang sama. e. Obyek merupakan permanen dan diam serta diyakini tidak akan mengalami perubahan atau

pergeseran pada saat pengukuran GNSS. f. Bentuk obyek jelas dan tegas. g. Warna obyek kontras dengan warna disekitarnya. h. Terdapat akses yang mudah menuju lokasi ICP. i. Bukan berada di sudut atau pojok bangunan. ICP yang digunakan untuk evaluasi ketelitian sebanyak 20 titik untuk daerah Kota Tasikmalaya dan 21

ICP untuk daerah Kota Surabaya. Gambar 4 menunjukkan beberapa contoh titik ICP yang digunakan dalam penelitian ini. Gambar 5 menunjukkan sebaran ICP pada daerah Kota Surabaya dan daerah Kota Tasikmalaya.

Page 41: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 41 -

Gambar 4. Objek-objek yang dijadikan sebagai ICP

Gambar 5. Sebaran ICP pada Kota Tasikmalaya dan Kota Surabaya

2.4 Metode Evaluasi ketelitian Mengacu pada satandar NMAS (CE90), evaluasi ketelitian didasarkan pada ketelitian posisi

berdasarkan sejumlah titik uji. Perhitungan ketelitian diawali dengan cara mencari titik ICP hasil ukuran lapangan pada citra. Selisih koordinat citra terhadap koordinat ICP lapangan dijadikan sebagai dasar perhitungan ketelitian. Akar kuadrat jumlah total selisih dibagi banyaknya selisih dikalikan nilai koefisien rentang kepercayaan (90%) digunakan sebagai dasar perhitungan ketelitian. Persamaan 1 dan 2 menunjukkan perhitungan ketelitian yang dilakukan (FGDC, 1998) . Berdasarkan nilai ketelitian itulah kemudian ditentukan skala peta yang memenuhi.

RMSEhorizontal=∑( _ – _ ) ( _ – _ ) ................................................(1)

HXlapangan_i = Nilai koordinat X titik ke i hasil ukuran lapangan dalam satuan meter. HXcitra_i = Nilai koordinat X titik ke i pada citra yang diuji dalamsatuan meter. HYlapangan_i = Nilai koordinat Y titik ke i hasil ukuran lapangan dalamsatuan meter. HYcitra_i = Nilai koordinat Y titik ke i pada citra yang diuji dalam satuan meter. n = jumlah titik uji

Ketelitian = 1,51750 * RMSEhorisontal ………………………………………………………………(2)

Page 42: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

- 42 -

3. HASIL PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan maka diketahuilah nilai ketelitian dari masing-masing

citra berdasarkan hasil evaluasi ketelitian citra Quickbird, dan hasil evaluasi ketelitian citra Worldview-2.

3.1 Hasil evaluasi ketelitian citra Quickbird Evaluasi ketelitian citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya dilakukan dengan menggunakan 20 ICP.

Hasil evaluasi menunjukkan selisih yang terjadi pada sumbu X berada pada kisaran 0-3m sedangkan pada sumbu Y berada pada kisaran 6-9m, bahkan ada yang mencapai 13m. Hasil ini menunjukkan besarnya selisih pada sumbu X jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan selisih pada sumbu Y. Kesalahan pada sumbuY lebih besar 3x lipat kesalahan pada sumbu X. Tabel 1 menunjukkan besarnya selisih pada masing-masing titik ICP.

Tabel 1. Selisih koordinat hasil ukuran GPS dengan koordinat citra pada citra Quickbird

(D X) (D Y)

0.4220 5.3280 0.4600 7.0740 1.1010 10.1730 2.7200 -4.6910 -2.3760 10.9380 -2.3550 5.3330 -1.4210 -1.0780 -2.3970 5.6210 0.3370 1.8450 -2.8630 3.9920 0.0390 6.9780 -0.7400 3.7960 -3.8920 13.2320 1.2070 5.5300 -0.8450 0.4330 2.8900 -7.7280 3.6520 -8.7150 0.3890 4.7310 3.1900 6.5820 -7.1060 4.2170

Berdasarkan nilai tersebut maka secara grafis bisa di plot arah kesalahan dari masing-masing titik

Seperti yang ditampilkan pada gambar 6. Gambar 6 secara jelas menunjukkan adanya pola kesalahan sistematik yang terjadi pada citra Quickbird. Pada sisi scene citra sebelah atas kesalahan condong bergerak ke arah utara, sedangkan pada sisi scene citra sebelah selatan kesalahan condong bergerak ke arah selatan data. Jenis kesalahan sistematik seperti ini, salah satunya disebabkan karena perbedaan kondisi sudut perekaman data antar 2 scene citra dikarenakan perbedaan lintasan satelit dan perbedaan waktu perekaman. Kesalahan ini dapat diminimalisir dengan cara melakukan ortorektifikasi dengan menggunakan data titik kontrol tanah (TKT)

Page 43: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 43 -

Gambar 6.Vektor pergeseran pada citra Quickbird dari selisih koordinat citra terhadap koordinat lapangan

Mengacu pada rumus 1 dan 2, maka diketahuilah ketelitian peta Quickbird adalah 10.88m. Citra

dengan skala ini bisa digunakan untuk membuat peta skala 1 : 25000 atau skala menengah.

3.2 Hasil evaluasi ketelitian citra Worldview

Evaluasi ketelitian citra Worldview-2 daerah Kota Surabaya dilakukan dengan menggunakan 21 ICP. Hasil evaluasi menunjukkan selisih yang terjadi pada sumbu X berada pada kisaran (-1)-(-3)m sedangkan pada sumbu Y berada pada kisaran 3-6m. Nilai ini jauh lebih baik dibandingkan hasil evaluasi citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya. Pada citra ini besarnya nilai selisih koordinat pada sumbu X dan Y tidak berbeda jauh seperti citra sebelumnya, yakni 2x lipat kesalahan pada sumbu X.

Tabel 1. Selisih koordinat hasil ukuran GPS dengan koordinat citra pada citra Quickbird

(DX) (DY)

-2.1564152 5.2176123 -3.4461137 4.4959906 -2.8434325 4.9702350 -1.9191902 5.1106077 -1.2327309 5.0457780 -1.6179280 5.5164034 -1.7749380 6.4110670 -1.9513854 4.4257596 -1.7519648 5.7035098 3.1279994 3.5302565 3.5925393 2.9526974 2.5607575 3.5725343 2.9525964 4.5436305 3.5933145 4.9857061 1.9642197 3.1222162 2.4499295 3.7470981

Page 44: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Evaluasi Ketelitian Raw Data Citra SatelitResolusi Tinggi Level ORStandar2A (Studi Kasus : Kota Surabaya Dan Kota Tasikmalaya)(Octariady, J., Widyaningrum, E.)

- 44 -

3.3335782 3.4055857 3.2330138 3.9853425 3.4704496 3.7317788 2.9042728 4.2621220 2.6223131 3.2786478

Berdasarkan nilai tersebut maka secara grafis bisa diplot arah kesalahan dari masing-masing titik

seperti yang ditampilkan pada Gambar 7. Gambar 7 secara jelas menunjukkan kondisi kesalahan sistematik yang sama seperti yang terjadi pada citra Quickbird daerah Kota Tasikmalaya. Namun pada citra Worldview-2 ini arah kesalahan yang terjadi ke arah barat daya untuk scene citra sebelah kiri dan arah tenggara untuk scene citra sebelah kanan. Sama seperti sebelumnya, kesalahan ini juga bisa diminimalisir dengan menggunakan data TKT.

Gambar 7. Vektor pergeseran dari selisih koordinat citra terhadap koordinat lapangan

Mengacu pada rumus 1 dan 2, maka diketahuilah ketelitian peta Quickbird adalah 7.93m. Citra dengan skala ini bisa digunakan untuk membuat peta skala 1 : 16000 atau skala menengah.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Citra Quickbird level ORStandar2A pada daerah Kota Tasikmalaya memiliki ketelitian 10.88m.

Besarnya kesalahan bervariasi, pada sumbu X kesalahan yang terjadi berada pada kisaran 0-3m, sedangkan pada sumbu Y besarnya nilai kesalahan berada pada kisaran 6-9m. Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai ketelitian yang di claim oleh vendor (DigitalGlobe) yakni 5m. Mengacu pada standar yang diterapkan di BIG, citra dengan ketelitian ini bisa di buat untuk membuat peta skala 25000.

2. Citra Wordlview-2 level ORStandar2A pada daerah Kota Surabaya memiliki ketelitian 7.93m. Nilai ini jauh lebih baik daripada keteilitian citra sebelumnya. Besarnya kesalahan bervariasi, pada sumbu X kesalahan yang terjadi berada pada kisaran 1-3m (minus), sedangkan pada sumbu Y besarnya nilai kesalahan berada pada kisaran 3-6m. Nilai ini relatif mendekati nilai ketelitian yang di claim oleh vendor yakni DigitalGlobe. Mengacu pada standar yang diterapkan di BIG, citra dengan ketelitian ini bisa di buat untuk membuat peta skala 16000.

3. Jenis kesalahan yang terjadi pada citra Quickbird dan Worldview-2 adalah kesalahan sistematik, yang salah satu penyebabnya berasal dari perbedaan sudut perekaman data dikarenakan perbedaan waktu perekaman dan perbedaan lintasan satelit

Page 45: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 45 -

DAFTAR PUSTAKA

Aguilar, M.A., Aguilar, F.J., Agüera, F., dan Sánchez, J.A. (2007). Geometric Accuracy Assessment of QuickBird Basic Imagery Using Different Operational Approaches. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, 73(12): 1321–1332.

Aguilar, M.A., Mar, S.M.D., dan Aguilar, F.J. (2013). Assessing Geometric Accuracy of the Orthorectification Process From GeoEye-1 and WorldView-2 Panchromatic Images. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 21:427–435.

Brovelli, M.A., Crespi, M., Fratarcangeli, F., Giannone, F., dan Realini, E. (2008). Accuracy Assessment of High Resolution Satellite Imagery Orientation by Leave-One-Out Method. ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing, 63:427–440.

Chmiel, J., Kay, S., dan Spruyt, P. (2004). Orthorectification and Geometric Quality Assessment of Very High Spatial Resolution Satellite Imagery for Common Agricultural Policy Purposes.XXth ISPRS Congress Technical Commission IV, 35:1019-1024.

Mercer, J.B., Allan, J., Glass, N., Rasmussen, J., dan Wollersheim, M. (2003). Orthorectification of Satellite Images Using External DEMs from IFSAR.Proceedings Joint ISPRS Workshop High Resolution Mapping from Space.

Octariady J, Djurdjani, dan Sutanta H (2014b) Ortorektifikasi Citra Quickbird Menggunakan Berbagai Ketelitian Data DEM dan Berbagai Jumlah Titik Kontrol Tanah. Proceeding of Conference on Geospatial Information Science and Engineering, II.

Reinartz, P., Müller, R., Schwind, P., Suri, S., dan Bamler, R. (2011). Orthorectification of VHR Optical Satellite Data Exploiting the Geometric Accuracy of TerraSAR-X Data. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 66:124–132.

Singh, V.K., Ray, P.K.C., dan Jeyaseelan, A.P.T. (2010). Orthorectification and Digital Elevation Model (DEM) Generation Using Cartosat-1 Satellite Stereo Pair in Himalayan Terrain. Journal of Geographic Information System, 2:85-92.

Campbell, J.B., dan Wynne, R.H. (2011). Introduction to Remote Sensing, New York, The Guilford Press. DigitalGlobe (2014) DigitalGlobe Core Imagery Product Guide, Proprietary & Confidential FGDC (1998). Geospatial Positioning Accuracy Standards.National Standard for Spatial Data Accuracy. Octariady, J. (2014). Ortorektifikasi Citra Quickbird Menggunakan Model Elevasi Digital Dengan Berbagai

Ketelitian Dan Berbagai Jumlah Titik Kontrol Tanah. Master Degree, Universitas Gadjah Mada. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015 Moderator : MuchamadSholeh, M.Eng. Judul Makalah : EvaluasiKetelitian Raw Data Citra SatelitResolusiTinggi Level Or2 Standart (Studikasus:

Kota Surabaya dan Kota Tasikmalaya). Pemakalah : Jali Octariady Jam : 11.00 – 12.00 WIB Tempat : Meeting Room E-F Diskusi :

Fadilah (LAPAN) Alasan dipilih 2 daerah berdasarkan topografi wilayah baiknya disebutkan topografi wilayah tersebut atau ada visualisasi (masukan). Kesalahan posisi berada pada ketinggian berapa pada titik? Untuk product Ortho ready di masukkan koefisien revisi apakah sudah dilakukan atau tidak lakukan? Ketelitian yang dikeluarkan vendor tidak sesuai harus di cek dulu ketelitian tersebut untuk wilayah yang bagaimana? RMS error berapa yang digunakan?

Ahmad M (UGM) Acuan yang digunakan bahwa image cocok untuk skala berapa itu berdasarkan ketepatan geolokasinya atau Ground sampling distancenya? Kerancuan di judulevaluasi raw data citraklo raw itumerupakan data yang belum di olah sedangkan kalo level Or2Standart merupakan hasil dari pengolahan (Opini).

Jawaban: Dem dan terrain tidak di masukin. Citra sudah di pansharp ketika diperoleh dan citra tersebut di evaluasi dengan pengukuran dilapangan berapa ketelitian. Ketelitan RMS ada 2 dan penelitian ini menggunakan yang CE 90 Class 3 atau skala peta 2 kali kesalahannya, Skala berdasarkan ketelitian posisinya.

Page 46: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 46 -

Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil

Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua)

Daniel Sande Bona1,*), dan Eko Yunianto1

1Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa Biak, LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK – Penggunaan PTTA sebagai wahana untuk memperoleh data penginderaan jauh meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. PTTA skala kecil dengan muatan kamera saku dapat menghasilkan data penginderaan jauh dengan resolusi spasial sangat tinggi. Di samping itu data inderaja yang diperoleh oleh PTTA memiliki resolusi temporal yang cukup tinggi. Selain itu data inderaja yang diperoleh melalui PTTA memiliki keunggulan utama yaitu bebas tutupan awan yang sulit diperoleh di daerah tropis seperti Indonesia dengan citra satelit Makalah ini secara objektif dan komprehensif mengkaji dan melakukan analisis aspek-aspek potensi dan tantangan PTTA untuk aplikasi pemetaan partisipatif berdasaran pengalaman penelitian dan studi lapangan di Biak. Aspek-aspek yang menjadi lingkup analisis dalam makalah ini antara lain aspek teknis seperti pembuatan wahana PTA skala kecil berbasis open source dan open hardware yang terdiri dari dua jenis wahana multirotor dan fixed-wing, pengoperasian, keselamatan, perencanaan misi, image processing. Kemudian makalah ini juga membahas aspek lain seperti aspek regulasi dan kebijakan tentang PTA, dan aspek sosial. Makalah ini juga membahas peranan PTA dan mengoptimalkan penggunaan PTA sebagai wahana untuk memperoleh data inderaja untuk aplikasi pemetaan partisipatif di tengah peraturan pengadaan data inderaja lisensi pemerintah.

Kata kunci: Pesawat Tanpa Awak (PTA), teknologi inklusif, pemetaan partisipatif, foto udara format kecil

ABSTRACT –The utiliziation of Unmanned Aerial Vehicle (UAV) as means to obtain remote sensing data is increasing significantly in the last five years. Small scale UAV equipped with payload such as pocket camera, is capable to capture remote sensing imagery with ultra high spatial resolution. In addition, UAV based remote sensing could produce remote sensing with high temporal resolution. Moreover, the main advantage of UAV based remote sensing is the capability to capture cloud-free remote sensing data which is hard to obtain by satellite in tropical area such as Indonesia. This paper review and analyse aspects that may be a potential and challenges for UAV as tool to assisst participatory mapping based on hands-on experience and field study in Biak. Aspects that are being scope of the analysis include technical aspects such as building process of small scale open source UAV that consists of two types multirotor and fixed-wing, operating, safety, mission planning, image processing. Furthemore this paper also discuss other aspects such as rules and regulation regarding UAV operation and social aspect.This paper also address the role of small scale UAV and how to optimize utilization of UAV as means to obtain remote sensing data for participatory mapping in relations with policy such as remote sensing data provision with government license.

Keywords: Unmmaned Aerial Vehicle (UAV), inclusive technology, participatory mapping, small format aerial photography

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kemiskinan, ketertinggalan infrastruktur, konflik lahan, masalah lingkungan adalah permasalahan yang sering dijumpai di daerah pedesaan di Indonesia. Permasalahan ini memerlukan data geospasial sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan strategi penanganan dan pengambilan kebijakan. Ketersediaan dan aksesibilitas terhadap data geospasial yang lengkap, terkini dan detail sangat penting untuk dapat menghasilkan perencanaan dan keputusan yang tepat dan akuntabel (Sutanta et al., 2010)

Pada negara berkembang ketersediaan dan aksesibilitas data geospasial sangat terbatas dan sangat sulit diperoleh baik antar instansi pemerintah terutama oleh publik. Di samping itu ketersediaan data Informasi Geospasial Dasar (IGD) skala besar terutama pada level desa berdasarkan data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) hampir tidak ada seperti ditunjukkan pada Tabel 1 (Sukmayadi, 2013). Kondisi ini memerlukan kolaborasi lintas instansi dan region terutama partisipasi publik melalui pemetaan partisipatif terutama untuk pemetaan desa.

ORAL PRESENTATION

Page 47: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 47 -

Tabel 1. Status Ketersediaan Peta Dasar BIG di Tahun 2013. (Sumber: Sukmayadi, 2013)

Citra satelit penginderaan jauh merupakan salah satu sumber primer untuk menghasilkan data geospasial yang telah digunakan selama puluhan tahun (Kushardono, 2014). Untuk keperluan pembuatan informasi geospasial skala menengah hingga besar diperlukan citra satelit resolusi menengah seperti Landsat, SPOT dan citra satelit resolusi tinggi WorldView, QuickBird, Ikonos. Satelit penginderaan jauh tersebut dapat merekam citra suatu area dengan cakupan wilayah yang luas.

Kendala utama dari citra satelit penginderaan jauh berbasis sensor optis di wilayah tropis seperti Indonesia ialah tutupan awan (cloud cover) yang terus menerus (persistent) (Kustiyo et al., 2014). Beberapa studi menunjukan contohnya data citra satelit Landsat di daerah tropis mengalami tutupan awan secara rata-rata 40 persen (Butler dan Moser, 2007). Hal ini menimbulkan gap (blind spot) yang cukup luas dan dapat menyulitkan untuk menghasilkan informasi geospasial yang utuh dan akurat.

Di samping kendala awan satelit penginderaan jauh memiliki resolusi temporal yang tidak terlalu tinggi, rata-rata satelit penginderaan jauh seperti Landsat, SPOT (off-nadir), IKONOS memiliki resolusi temporal 4-16 hari (Suwargana, 2014). Resolusi temporal ini menyebabkan sulit untuk memperoleh spasial di waktu yang tepat (timely) untuk kasus atau aplikasi tertentu seperti contohnya bencana alam, pemantauan infrastruktur (Kushardono, 2014).

Dengan kekurangan atau kendala yang tersebut sering kali diperlukan sumber lain untuk memperoleh cita penginderaan jauh selain citra dari satelit inderaja. Salah satu alternatif adalah dengan menggunakan pesawat terbang berawak untuk foto udara. Meskipun wahana pesawat terbang berawak mampu memotret area yang luas dan bebas tutupan awan namun biaya operasionalnya sangat tinggi dan rawan kecelakaan yang dapat mengancam nyawa pilot dan operator.

Komersialiasi GPS dan miniaturisasi sistem avionik dan sensor membuka kesempatan untuk menciptakan Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) skala mikro (< 5 kg) dan mini (< 30 kg) untuk misi penginderaan jauh (Kushardono, 2014; Whitehead dan Hugenholtz, 2014). PTTA skala mikro dan mini dengan muatan kamera kecil seperti kamera saku atau action cam mampu menghasilkan foto udara dengan resolusi spasial yang sangat tinggi 5-25 cm. Saat ini resolusi spasial tertinggi untuk citra satelit dihasilkan oleh Satelit WorldView-3 dengan resolusi spasial 30 cm. Di samping itu karena pengambilan foto udara dengan PTTA diambil secara stereo (overlapping) dapat menghasilkan model data 3 dimensi seperti Digital Surface Model (DSM) (Kushardono, 2014). 1.1.1 Pemetaan Partisipatif (PP)

Pemetaan partisipatif ialah proses pembuatan peta dengan menempatkan masyarakat lokal atau masyarakat adat sebagai pelaku pemetaan sebagai pelaku pemetaan wilayahnya. Dalam proses pemetaan partisipatif menggunakan metoda dan kaidah kartografi yang dapat dipahami oleh orang awam. Hasil dari pemetaan partisipatif digunakan sebagai penentu perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah oleh masyrakat setempat (Corbett, 2009; JKPP, 2014).

Pemetaan partisipatif memiliki karakteristik yang membedakan dengan proses pembuatan peta umumnya. Karakterisitik tersebut antara lain (Corbett, 2009): Proses

Skala Total Tersedia Akan dikerjakan

Kecil

1:1.000.000 37 37 (100%) 0 1:500.000 103 103 (100%) 0 1:250.000 309 309 (100%) 0

Menengah

1:100.000 1.245 0 (0%) 1.245 1:50.000 3.899 2.417 (62%) 1.471

1:25.000 13.020 1.774 (14%) 11.246

Besar

1:10.000 91.547 658 (0.7%) 90.889 1:5.000 379.014 128 (0.003%) 378.458 1:2.500 880.206 0 (0%) 880.206 1:1.000 2.729.319 0 (0%) 2.729.319

Page 48: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

- 48 -

Perencanaan pemetaan partisipatif biasanya membawa misi atau tujuan dari seluruh anggota kelompok masyarakat. Maka proses pemetaan partisipatif mengedepankan prinsip keterbukaan, inklusif dan gotong royong.

Produk Pemetaan Produk atau hasil dari pemetaan partisipatif mewakili agenda atau misi masyarakat yang terlibat. Konten (content)

Peta hasil pemetaan partisipatif mengandung informasi yang menunjukan budaya atau aset lokal seperti lokasi wilayah adat, simbol adat.

Kaidah Kartografi Proses pemetaan partisipatif biasanya tidak terlalu terpaku atau mengikuti peraturan kartografi yang baku. Pemetaan Partisipatif di Indonesia bermula di awal tahun 1990-an di Kalimantan Barat sebagai bentuk

pemetaan perlawanan (counter mapping) oleh masyarakat Dayak terhadap perusahaan-perusahaan kayu untuk mempertahankan wilayah adat masyarakat Dayak yang dikuasai oleh perusahaan tersebut (Peluso, 1995). Seiring perkembangan zaman kegiatan pemetaan partisipatif di Indonesia tidak hanya dalam bentuk gerakan Counter Mapping namun juga sudah mulai digunakan untuk perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah desa, hal ini merupakan implikasi dengan disahkannya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang mensyaratkan partisipasi masyarakat desa sebesar-besarnya dalam setiap tahap pembangunan desa (Bona, 2015).

1.1.2 PTTA Skala Kecil Berbasis Open Source dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Partisipatif

Penggunaan pesawat tanpa awak untuk aplikasi sipil dan penelitian penginderaan jauh meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir (Whitehead dan Hugenholtz, 2014). Di kalangan hobbyist merk PTTA skala mikro seperti DJi Phantom mendominasi pangsa pasar dan seiring waktu mulai menjadi barang konsumsi publik (consumer goods). Di industri survey dan pemetaan PTTA skala mini dengan merk seperti SenseFly, Trimble Gatewing, Aeromapper adalah beberapa merk yang mendominasi. Produk PTTA tersebut merupakan produk built-up dan bersifat tertutup (propietary) dan berharga relatif mahal berkisar antara 12.000 – 70.000 USD.

Selain PTTA yang bersifat built-up dan tertutup (propietary) terdapat juga PTTA yang bersifat terbuka (open source). PTTA bersifat terbuka terutama ditinjau dari sisi sistem avionik dalam hal ini Flight Controller (FC) atau Autopilot. FC bersifat terbuka yang paling banyak digunakan saat ini adalah yang berbasis microcontroller AVR yang dikenal dengan merk Ardupilot Mega (APM). Pengembangan APM ini dimulai sejak tahun 2009 melalui forum penggiat RC Aeromodelling www.diydrones.com yang diinisiasi oleh Chris Anderson dan Jorge Munoz dan dikembangkan oleh puluhan programmer dan developer. Saat ini produk APM dipasarkan oleh perusahaan 3DRobotics dan versi terakhir APM yakni APM 2.6. Suksesor APM saat ini adalah Pixhawk yang memiliki perkembangan signifikan yaitu menggunakan microprocessor ARM 32 bit dibandingkan APM yang hanya memiliki 8 bit. PTTA berbasis Open Source dengan tingkat teknologi dan kemampuan saat ini sudah matang (mature) telah banyak dipakai untuk misi pemetaan dan survey dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding PTTA bersifat tertutup dan menghasilkan citra yang tidak jauh berbeda kualitasnya (Bona, 2015; Gálvez et al., 2014).

Penggunaan PTTA skala kecil berbasis Open Source untuk Pemetaan Partisipatif di Indonesia pernah dilakukan oleh LSM Swandiri Insitute di Pontianak. PTTA ini digunakan untuk mengambil foto udara untuk menghasilkan orthophoto dalam aksi Counter Mapping untuk advokasi masyarakat adat menggugat pelanggaran wilayah konsesi perusahaan sawit yang mengambil wilayah adat (Radjawali dan Pye, 2015). Selain itu PTTA juga digunakan untuk pemetaan pencemaran perusahaan bauksit yang mencemari Sungai Kapuas (Radjawali dan Pye, 2015).

Inisiatif penggunaan PTTA untuk pemetaan partisipatif umumnya menggunakan model pendampingan. Proses teknis foto udara dengan PTTA dilakukan oleh LSM atau fasilitator dan masyarakat menerima produk akhir berupa citra orthophoto. Namun juga terdapat contoh penggunaan PTTA untuk membantu proses pemetaan partisipatif dimana pengoperasian dan penguasaan teknologi dilakukan oleh komunitas masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah oleh Suku Wapishana di Guyana yang atas pelatihan dan transfer teknologi dari lembaga NGO mampu menerapakan PTTA untuk kegiatan pemetaan partisipatif untuk memantau pertambangan ilegal dan pemetaan batas properti mulai dari proses perakitan, pengoperasian, pengolahan data (MacLennan, 2014).

Page 49: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 49 -

1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini mengevaluasi dan Analisis feasibiltitas penggunaan PTTA skala kecil (mini) berbasis open

source yang terdiri dari dua tipe wahana PTTA yaitu quadcopter dan fixed-wing (glider). Aspek ditinjau antara lain aspek teknis seperti: proses pembuatan/perakitan, pengoparasian, pengolahan data, kualitas data, keselamatan (safety). Kemudian juga menganalisis faktor lain berupa potensi, kesempatan dan hambatan dari aspek regulasi dan juga mendiskusikan penggunaan PTTA yang optimal untuk kegiatan pemetaan partisipatif di tengah peraturan pengadaan data lisensi pemerintah.

2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Kampung Samofa, Distrik Samofa, Kabupaten Biak Numfor, Papua. 2.2 Data yang digunakan

Data yang digunakan antara lain: Peta Administratif Kabupaten Biak Numfor, OrthoPhoto dan Digital Surface Model (DSM) yang dihasilkan dari foto udara menggunakan PTTA. 2.3 Alat dan Bahan

2.3.1 Peralatan dan Komponen untuk Perakitan PTTA Jenis Quadcopter • 2x Fiberglass Main frame boards • 4x Aluminum arms (2Black,2Blue) • 2x Fiberglass Carrier boards • Fiberglass Landing gear • Female T plug - Male XT60 adapter • Power distribution board, power cables and signal cables for PDB-APM • 4x Motors (850kv) • 4x Propeler (10x4.7) • 4x 20A ESCs • APM Power Module (XT60) • Li-Po Battery 3S 11.1v 5000mAh • Radio Turnigy 9X firmware open er9. Module TX:Frsky DJT. Module RX: FrSky V8FRII 8

Channel • HKPilot 2.7 Flight Controller (APM 2.6 Clone) • GPS Ublox LEA-6 With Compass Module • Telemetry 3Drobotics 915Mhz

Gambar 1. Komponen PTTA Quadcopter. (a) Sebelum Perakitan (b) Sesudah Perakitan (Sumber: Bona, 2015)

PTTA quadcopter disusun berdasarkan konfigurasi X pada quadcopter di atas orientasi depan yakni frame berwarna biru.

(a) (b)

Page 50: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

- 50 -

Gambar 2. Quadcopter Konfigurasi X (Sumber: http://copter.ardupilot.com/)

2.3.2 Peralatan dan Komponen untuk Perakitan PTTA Jenis Fixed-wing (Glider) Skywalker frame version 2014 wingspan 188 Cm EPO Foam Brushless Motor Sunnysky 2820 800kv Hi Efficient propeller size 12x6 Hobbywing Platinum Pro V3 50A 3pcs Emax Servo ES08MAII 1pcs Corona Servo CS-939MG 3D robotics APM 2.6 3DR uBlox GPS with Compass Kit RFD 900+ Long Range Radio Modem Telemetry Tiger Battery 4s1p 6000 mAh Radio Transmitter: Turnigy 9X with DJT TX Module, D8R RX 8 Channel

Gambar 3. PTTA Skala Mini Model Fixed-Wing Sesudah Dirakit

(Sumber: Bona, 2015)

2.3.3 Sensor Kamera Kamera yang digunakan adalah jenis kamera saku Canon PowerShot SX230HS dengan built-

inGPS yang telah diinstalasi dengan firmware Canon Hack Development Kit (CHDK) untuk mengaktifkan fungsi auto-trigger intervalerometer yang diatur untuk mengambil gambar setiap 2 detik.

Page 51: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 51 -

Gambar 4. Camera Canon SX230HS

(Sumber: Dpreview, 2011)

Kamera dipasang pada mounting camera yang terbuat dari papan PCB dan diletakkan di fuselage pada titik Center of Gravity (CoG).

Gambar 5. (a) Mounting Camera (b) Posisi Peletakan Camera di dalam Fuselage (Sumber: Bona, 2015)

2.3.4 Perangkat Pengolah Citra

a. Perangkat keras Spesifikasi PC pengolah citra: Processor: Intel I5-4690 Memory: 8GB VGA: NVIDIA GeForce GTX 960 HDD: 500GB Operating System: Windows 7 64 Bit

b. Perangkat lunak pengolah citra: Pix4D Trial Edition

2.3.5 Ground Control Segment

Perangkat keras: Laptop ASUS X455L Mission Planner

2.3.6 Perangkat Simulasi Terbang dan Pesawat Latihan Terbang

Perangkat simulasi terbang dan pesawat latihan terbang sebagai berikut: RealFlight G6 simulator Skysurfer plane trainer

2.4 Alur Penelitian

Alur penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu: 1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan antara lain: Studi literatur

Sensor size: 6.17 x 4.55 mm Pixel Resolution: 4000x3000, Focal length: 5 mm GPS Built-in SD Card 8 Gb Class 10

(a) (b)

Page 52: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

- 52 -

Mempelajari cara kerja dan konsep dasar RC Aeromodelling Mempelajari manual dan tutorial Flight Controller APM Mempelajari konsep photogramettry untuk foto udara Melakukaan simulasi terbang dengan simulator seperti RealFlight G6 Mengoperasikan pesawat trainerRC Plane/fixed wing hingga memperoleh jam terbang 3

jam Persiapan alat dan bahan untuk perakitan PTTA skala mini jenis quadcopter dan fixed-

wing 2. Tahap Perakitan PTTA

Pada tahap ini proses/kegiatan yang dilakukan antara lain: Merakit body/frame PTTA Pengkabelan dan koneksi perangkat elektronik seperti motor, servo, ESC, GPS, Telemetri

ke modul Flight Controller Melakukan initial setup terhadap sistem elektronik dengan tahapan: Instalasi firmware ke

dalam modul APM, kalibrasi sensor (kompas, accelerometer), kalibrasi radio, kalibrasi ESC, pengaturan mode terbang (flight mode), pengaturan failsafe

3. Tahap Pengoperasian PTTA Pada tahap ini proses yang dilakukan antara lain: Perencanaan misi: menentukan tinggi terbang dengan memperhitungkan resolusi spasial

(GSD) yang diinginkan dan kondisi topografi area yang dipetakan, luas area dengan memperhitungkan daya baterai dan konsumsi daya, arah jalur terbang dengan mempertimbangkan arah angin, jalur terbang dengan memperhitungkan sidelap dan overlap untuk menghasilkan data DSM.

Preflight checklist: periksa propeller tidak longgar, periksa servo berfungsi baik, periksa radio, periksa mode terbang (flight mode) APM berfungsi normal, pastikan GPS sudah lock, pastikan kamera sudah diaktifkan.

Proses peluncuran dan proses terbang: throttle 80% setting, flight mode stabilize (quad)/FBWA (plane) setting, terbang hingga ketinggian 50-100 meter, flight mode setting menjadi auto untuk menjalankan misi foto udara.

Proses pendaratan: Turunkan throttle sampai 20%, mendarat, flight mode manual setting dan cut throttle, matikan motor (disarm), lepaskan baterai.

Post-Flight processing: manual cek hasil foto, analisis flight-log di modul APM, pengolahan citra hasil foto udara untuk menghasilkan orthophoto dan DSM.

3. HASIL PEMBAHASAN

Gambar 6. Orthophoto dan DSM Kampung Samofa Hasil Pengolahan Citra Foto Udara dengan PTTA Skala Mini Open Source (Sumber: Bona, 2015)

Page 53: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 53 -

Gambar 7. Sebagian Report Hasil Pengolahan Citra Hasil Foto Udara dengan Perangkat Lunak Pix4D (Sumber: Bona, 2015)

PTTA tipe quadcopter relatif lebih mudah dioperasikan dibandingkan fixed-wing plane terutama di

daerah minim area terbuka yang bebas halangan (obstacle). Hal ini karena sifat terbang quadcopter yang mampu terbang dan mendarat secara vertikal (VTOL). Di samping itu quadcopter memiliki kemampuan hover sehingga lebih mudah dikendalikan. Luas area yang dapat dipetakan dengan PTTA tipe quadcopter relatif kecil yaitu kurang dari < 100 ha dengan durasi terbang 20 menit. Dengan ketinggian terbang yang sama (200 meter) PTTA tipe fixed-wing plane mampu memetakan area dengan luas 300 ha untuk tiap misi pemetaan.

Berdasarkan karakteristik masing-masing tipe wahana quadcopter lebih cocok digunakan untuk pemantauan pembanguan infrastuktur seperti jalan, rumah, jembatan. Quadcopter juga dapat digunakan untuk pemetaan batas properti/kepemilikan tanah warga desa dengan luas kurang dari 100 ha, validasi data. Sedangkan fixed-wing plane dapat digunakan untuk pemetaan batas wilayah kampung dengan luas kurang dari 10 km2.

Material EPO Foam pada fixed-wing plane tergolong memiliki durabilitas yang rendah ketika terjadi hard-landing atau crash. Meskipun EPO Foam dapat diperbaiki menggunakan lem dan dipanaskan namun jika kerusakan terlalu parah sudah tidak dapat diperbaiki. Berdasarkan pengalaman penelitian durabilitas material EPO Foam sekitar 5 kali misi pemetaan.

Proses pengolahan citra (penggabungan) citra hasil foto udara memerlukan perangkat keras dengan spesifikasi tinggi dan dengan spesifikasi yang digunakan pada penelitian ini memerlukan waktu 8 jam untuk memproses citra hasil foto udara dengan PTTA. Secara observasi visual kualitas citra yang dihasilkan cukup baik dan detailnamun dari pengalaman penelitian ditemukan beberapa gangguan yang membuat kualitas citra menurun yaitu antara lain menempelnya kotoran di lensa kamera sehingga merusak foto hasil udara. Kemudian di beberapa lokasi citra hasil foto udara kabur (blur) yang kemungkinan disebabkan pengaturan shutter speed yang kurang tepat dan faktor angin yang kencang.

Meskipun secara teoritis PTTA dapat menghasilkan citra penginderaan jauh dengan resolusi temporal yang lebih tinggi namun PTTA tidak dapat dioeperasikan kapan saja. Beberapa faktor dapat menyebabkan PTTA tidak dimungkinkan untuk dioperasikan antara-lain angin kencang, cuaca mendung/kurang pencahayaan matahari. Berdasarkan pengalaman penelitian waktu ideal untuk melakukan misi ialah di pagi hari atau di siang menjelang sore hari. Fitur failsafe yang ada belum mampu menjamin operasi yang sepenuhnya aman (safety). Perlu dikembangkan dan diterapkan alat pengamanan tambahan seperti parasut.

Selain aspek teknis di atas terdapat aspek regulasi yang berpotensi menjadi rintagan atau hambatan yaitu Permenhub No. 90 Tahun 2015. Beberapa butir yang menghambat ialah peraturan ketinggian terbang maksimum PTTA ialah 150 meter. Hal ini dapat mengurangi luas area yang mampu dipetakan oleh PTTA. Selain itu prosedur perizinan yang rumit, kurang jelas dan sentralistis mampu menghambat penggunaan PTTA untuk foto udara terutama di daerah.

Page 54: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua) (Bona, D.S., Yunianto, E.)

- 54 -

4. KESIMPULAN

Secara teknis PTTA skala kecil berbasis open source telah terbukti dapat menghasilkan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang sangat tinggi. Namun faktor teknis yang cukup sulit dan memerlukan sumber daya (resources) yang tidak sedikit menjadikan penggunaan PTTA skala kecil untuk pemetaan partisipatif secara luas memerlukan pertimbangan yang seksama untuk agar tidak terjadi pemborosan sumber daya (resources) dan melalui penelitian ini bahwa dengan kemampuan yang dimiliki PTTA terutama dari daya jelajah (coverage). Peran PTTA untuk mengkomplemen atau mengisi gap dari citra satelit masih terbilang cukup minim. Sehingga sebelum memutuskan untuk mengoperasikan (deploy) PTTA untuk memetakan suatu wilayah desa perlu merujuk terlebih dahulu ketersediaan data di bank data penginderaan jauh nasional. Permintaan data citra satelit untuk keperluan pemetaan partisipatif desa dapat difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota melalui dinas terkait seperti yang telah diatur melalui undang-undang (Bona, 2015). UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada AusAID yang mendanai penelitian ini melalui studi penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Bona, D.S. (2015). Participatory Mapping for Village Information System in Indonesia: Relation With Current Policies and Feasibility of Small Scale Open Source Drones. Master, The University of Melbourne.

Butler, J.S., dan Moser, C. (2007). Cloud Cover and Satellite Images of Deforestation. Land Economics, 83(2):166-173. doi: http://le.uwpress.org/content/by/year.

Corbett, J. (2009) Good Practices in Participatory Mapping: A Review Prepared For The International Fund For Agricultural Development (IFAD).

Dpreview (2011) Canon PowerShot SX230 HS, from http://www.dpreview.com/products/canon/compacts /canon_sx230hs.

Radjawali, I., dan Pye, O. (2015). Counter-mapping Land Grabs with Community Drones in Indonesia. Paper presented at the Land grabbing, conflict and agrarian environmental transformations: perspective from East and Southeast Asia Chiang Mai University.

Kushardono, D. (2014). Teknologi Akuisisi Data Pesawat Tanpa Awak dan Pemanfaatannya untuk Mendukung Produksi Informasi Penginderaan Jauh.

Kustiyo, Roswintiarti, O., Tjahjaningsih, A., Dewanti, R., Furby, S., dan Wallace, J. (2014). Annual forest monitoring as pasrt of the Indonesia National Carbon Accounting. Paper presented at the 36th International Symposium on Remote Sensing of Environment, Berlin, Germany.

MacLennan, G. (2014). We Built A Drone, from https://www.digital-democracy.org/blog/we-built-a-drone/. Gálvez, P.J., McCall, M.K., Napoletano, B.M., Wich, S.A., dan Pin, K.L. (2014). Small Drones for Community-Based

Forest Monitoring: An Assessment of Their Feasibility and Potential in Tropical Areas. Forests (19994907), 5(6):1481-1507. doi: 10.3390/f5061481.

Peluso, N.L. (1995). Whose Woods Are These? Counter-Mapping Forest Territories in Kalimantan, Indonesia. Antipode.

Pradana, R.A. (2014). Curtailing Deforestation in Indonesia: Improving Forest Mapping and Monitoring using Drones Technology.

Sutanta, H., Rajabifard, A., dan Aditya, T. (2010). Implementing Spatially Enabled Government (SEG) Concept in Indonesian Local Government, Challenges and Opportunities: Aura.

Suwargana, N. (2013). Resolusi Spasial, Temporal dan Spektral pada Citra Satelit Landsat, SPOT dan Ikonos. Jurnal Ilmiah Widya, Volume 1(2):167-174.

Whitehead, K., dan Hugenholtz, C.H. (2014). Remote Sensing of The Environment with Small Unmanned Aircraft Systems (UASS), Part 1: A Review of Progress and Challenges.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Ir. Dedi Irawadi Judul Makalah : Analisis Feasibilitas Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA) Skala Kecil Berbasis Open

Source dan Open Hardware untuk Aplikasi Pemetaan Partisipatif Desa (Studi Kasus: Kabupaten Biak Numfor, Papua)

Page 55: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 55 -

Pemakalah : Daniel Sande Bona Jam : 09.00-10.00 Tempat : Meeting Room E-F Diskusi : Fadila Muchsin (Pustekdata, LAPAN): Untuk mengklarifikasi, istilah drone dan LSA, apakah memang sama atau ada perbedaan dari sisi teknisnya? Bagaimana akurasi geometric untuk pemetaan desa, karena dari praktisnya di daerah menggunakan GPS navigasi, bagaimana jika dari GPS sederhana tersebut di-overlay ke data hasil drone ini? Bagaimana sisi akurasi dan kepraktisan penggunaan pemanfaatan drone untuk pemetaan komoditi unggulan seperti lada untuk pemerintah daerah? Apa feasibilitas yang dimaksud atau kaitannya dari judul yang diberikan?

Jawaban: LSA adalah pesawat yang mempunyai pilot satu orang. Tidak mengkaji akurasi, tapi bisa dioptimalkan akurasi geometriknya, bisa menggunakan GPS geodetic untuk software pengolahan bisa dimasukkan koordinat GCP tersebut , berdasarkan studi UGM dibanding lidar cukup bagus. LAPAN belum melayani untuk PEMDA, namun jika swasta dan perguruan tinggi banyak yang menjual jasa seperti ini Feasibilitas dikaji dari cost effective nya., seperti program Jokowi satu desa satu drone. Drone itu memang murah tapi pada pengolahannya yang akan timbul cost-cost lainnya. Maka dari itu saya lebih merekomendasikan, bagaimana menggunakan data yang ada di Pemda untuk didistribusikan, jika tidak ada data baru menggunakan drone

Wahyu (TNI AL): Bagaimana kemampuan UAV untuk digunakan di laut, yang dibatasi dengan cuaca , untuk mendapatkan data yang akurat mengenai kapal?

Jawaban: Aplikasi ini tidak bisadigunakan untuk angkatan laut yang perlu menggunakan peralatan canggih, karena jangkauan dari stasiun bumi tidak boleh jauh, optimal 20 km. Infrared juga ada namun bukan untuk pesawat ini. Budhi Gustiandi (Pustekdata, LAPAN): Cakupan open source, mulai operating system atau hanya aplikasi pengolahan data saja, apa nama aplikasi yang open source tersebut? Ada kendala ketinggian 150 m, dari ketinggian tersebut berapa dapat resolusi spasialnya? Mana yang lebih baik diterapkan untuk lingkungan perkotaan, dan berapa lama operasinya antra quadcopter dan drone? Pengembangan yang direncanakan di masa depan?

Jawaban: Open source untuk hardware dan pengolahan menggunakan aplikasi Pic4D Trial dan software ground station Resolusi dengan terbang ketinggian m/h (focus kamera/ketinggian). Terbang 320m resolusinya 6.5 cm Quadcopter operasinya mudah bisa terbang vertical, tidak membutuhkan open space untuk take off dan landing. Plane susah untuk open space take off landing rekomendasi 100 x 100 m, kecuali dimodifikasi jd vertical take off dan landing atau bisa menggunakan parasut. Kekuatan terbang quadcopter 5000MH dapat 30 menit, sedangkan plane 6000MH dapat sejam. Pengembangan akan ditambahkan parasut untuk emergency landing.

Page 56: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 56 -

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua

di Stasiun Bumi Rumpin

Hasna Apriliyah1,*), Widya Eka Prativi1, Anisa Rahmandhani1, dan Kurnia Robiansyah1

1Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK – Telah dibuat sistem otomatisasi untuk kegiatan operasional penerimaan data sensor MODIS satelit Terra-Aqua oleh stasiun bumi penginderaan jauh Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN) di Rumpin (Jawa Barat) untuk mempermudah kerja operator sehingga lebih efektif dan efisien. Dengan adanya proses akusisi di stasiun bumi Rumpin, maka ketersedian data citra MODIS Terra-Aqua menjadi lengkap untuk seluruh wilayah Indonesia termasuk Aceh. Mengingat wilayah bagian Barat terutama Aceh tidak termasuk wilayah cakupan akuisisi stasiun bumi Lapan di Parepare (Sulawesi Selatan). Penerimaan data MODIS di stasiun bumi Rumpin sebelumnya dilakukan secara manual oleh tim operasional sehingga beresiko pada hilang atau terlambatnya data karena kesalahan manusia. Selain itu dengan sistem otomatisasi dapat mempermudah untuk mendapatkan data malam hari. Makalah ini menguraikan sistem penerimaan data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin yang dilakukan secara otomatis dari penerimaan hingga terkirimnya data ke dalam sistem pengolahan. Sistem otomatisasi ini meliputi penerimaan, transfer data, dan rename data untuk pengolahan.

Kata kunci: MODIS Terra-Aqua, Stasiun Bumi, Otomatisasi

ABSTRACT–Have been created automation system for operational activities Terra-Aqua MODIS satellite data reception by Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) remote sensing ground stationin Rumpin (West Java) to facilitate the operators more effectively and efficiently. With the acquisition process in Rumpin ground station, the availability of image data Terra-Aqua MODIS to be complete for the whole of Indonesia including Aceh. Considering the region of Western Indonesia especially Aceh not include the coverage area of the acquisition LAPAN ground station in Parepare (South Sulawesi). Terra-Aqua MODIS data reception in Rumpin ground stations was previously done manually by operational team, so that the risk of loss or delay data because human error. In addition, the automation system can make it easier to get the data evenings. This paper explain about Terra-Aqua MODIS data system acceptance on Rumpin grouns stations that performed automatically from the reception until data delivered into the processing system. The automation system includes data reception, data transfer, and rename the data for processing. Key Word: MODIS Terra-Aqua, Ground Station, Automation

1. PENDAHULUAN

Pemanfaatan data MODIS Terra-Aqua oleh LAPAN menjadi penting karena MODIS merupakan salah satu sensor dari satelit Terra-Aqua yang dipergunakan oleh LAPAN untuk menyediakan informasi tematik yang diturunkan dari data penginderaan jauh. MODIS Terra-Aqua memiliki dua keunggulan utama yaitu (a) revisit time yang sangat tinggi yang memungkinkan kajian deret waktu (fenologi) terkait lingkungan dapat dilaksanakan pada skala makro, serta (b) perolehan data (baik data asli maupun turunan) yang dapat diperoleh secara gratis dari internet (Kementrian Lingkungan Hidup, 2009).

Data dari sensor MODIS yang merupakan instrumen operasi satelit Terra dan Aqua telah diterima oleh stasiun bumi penginderaan jauh LAPAN secara real time menggunakan tracking antenna. LAPAN memiliki 2 buah antena yang terletak di stasiun bumi Parepare dan Rumpin. Sejak bulan Mei 2012 stasiun bumi Parepare (Sulawesi Selatan) menerima data MODIS Terra-Aqua secara direct broadcast dengan cakupan wilayah seluruh Indonesia kecuali wilayah Indonesia bagian barat terutama Aceh. Dikarenakan kurangnya cakupan wilayah data dari Parepare maka dilakukan proses penerimaan data di stasiun bumi Rumpin, Bogor (Jawa Barat) sejak bulan September 2015.

Umumnya proses penerimaan data satelit dimulai dengan akuisisi oleh antena, secara simultan sinyal yang diterima antena masuk demodulator untuk diolah menjadi data mentah (raw data), kemudian data mentah tersebut diolah menjadi data level 1 pada suatu sistem pengolahan sistematis. Sistem penerimaan data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin, antara akuisisi data oleh antena dan pengolahan secara sistematis berada pada lokasi yang berbeda. Antena penerima atau AWS (acquisition workstation) berada di Rumpin, Kabupaten Bogor dan pengolahan sistematis atau DPWS (data processing workstation) berada di

ORAL PRESENTATION

Page 57: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 57 -

Pasar Rebo, Jakarta. Kedua subsistem tersebut terhubung oleh jaringan Virtual Private Network (VPN) dan internet. Selanjutnya seorang operator melakukan pengoperasian penerimaan data diawali dengan penjadwalan penerimaan pada antena, menjalankan perangkat lunak demodulator sesuai dengan konfigurasi satelit, melakukan transfer data dari AWS ke DPWS, hingga data siap diolah (Sunarmodo, et al., 2015).

Pengoperasian penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin, Bogor (Jawa Barat) awalnya dilakukan secara manual. Pengoperasian secara manual selain menyita waktu dan tenaga juga beresiko menyebabkan hilangnya data terutama data malam hari, kurangnya keakuratan dataatau terlambatnya data karena faktor kesalahan manusia (human error). Tidak adanya bukti rekaman proses pengoperasian penerimaan data MODIS Terra-Aqua juga berdampak pada sulitnya menelusuri kesalahan yang terjadi saat proses penerimaan data berlangsung. Untuk mengoptimalkan keberhasilan proses pengoperasian penerimaan data MODIS Terra-Aqua di Stasiun bumi Rumpin, maka penulis mengembangkan sistem otomatisasi operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin yang akan diuraikan pada makalah ini.

Menurut Williams (2009), otomatisasi adalah suatu cara yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan kemampuan dari peralatan-peralatan dan perangkat-perangkat yang digunakannya. Pada umumnya otomatisasi mencakup pengoperasian atau perlakuan atau pengaturan oleh diri sendiri, secara independen, dan tanpa intervensi manusia. Mesin, peralatan, perangkat, instalasi, dan sistem terlibat di dalam otomatisasi yang semuanya merupakan wahana-wahana yang dikembangkan oleh manusia untuk melaksanakan serangkaian aktifitas tanpa keterlibatan manusia dalam aktifitas-aktifitas tersebut (Nof, 2009).

Sistem otomatisasi penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin telah diaplikasikan pada kedeputian penginderaan jauh LAPAN. Sistem otomatisasi meliputi beberapa rangkaian proses yang saling terintegrasi mulai dari proses penjadwalan pada antena, menjalankan perangkat lunak demodulator, proses pengiriman data (transfer data) dari server Rumpin ke server pengolahan data di Pekayon, hingga proses pre-processing. Sistem otomatisasi yang penulis lakukan merujuk pada sistem otomatisasi penerimaan data Landsat-8 di stasiun bumi Rumpin (Sunarmodo, et al., 2015).

2. METODE 2.1 Desain Sistem Secara Umum Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS

Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin Diagram blok tugas dan proses otomatisasi operasional diperlihatkan pada Gambar 1. Pada sistem AWS

(acquisition workstation) terdapat 3 program yang berjalan, yaitu: program penjadwalan antena yang berfungsi untuk menentukan waktu akuisisi satelit Terra dan Aqua, kendali demodulator untuk pengendalian perangkat lunak dan pengaturan konfigurasi demodulator, sedangkan data hasil akuisisi merupakan data misi yang berhasil diterima setiap akuisisi untuk selanjutnya dipersiapkan untuk diterima oleh DPWS (Data Processing Workstation).

Gambar 1. Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS di Stasiun Bumi Rumpin

Pada DPWS terdapat 3 program yang berjalan, yaitu data yang diterima server NAS yang bertugas melakukan transfer data dari AWS ke DPWS yang selanjutnya dipersiapkan untuk diterima di server MODIS Terra-Aqua, sedangkan data diterima di server MODIS Terra-Aqua bertugas melakukan transfer

Page 58: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 58 -

data dari server NAS ke server MODIS Terra-Aqua. Pada tahap pre-processing bertugas menyiapkan data untuk dilakukan pengolahan.

2.2 Pengaturan Jadwal

Seperti ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah, proses penjadwalan antena awalnya dilakukan dengan mengunduh jadwal waktu akuisisi dari Celestrak yang dapat digunakan hingga 3 hari kedepan. Setelah jadwal diunduh, kemudian menjalankan program untuk memperbaharui ephemeris. Ephemeris ini berguna mengoreksi ketepatan lokasi satelit. Kemudian dilakukan penjadwalan kontak antara satelit Terra dan Aqua dengan Stasiun Bumi Rumpin pada antena penerima. Jadwal yang digunakan adalah apabila elevasi satelit lebih dari 5.

Gambar 2. Diagram Alir Operasional Pengaturan Jadwal Antena

Alasan mendasar pengaturan jadwal menggunakan elevasi lebih dari 5 merujuk pada hasil uji coba

akuisisi data Landsat-8 di stasiun bumi Rumpin (Nasution, et al. 2014). Hasil uji coba tersebut menyimpulkan bahwa sistem antena bekerja sangat baik pada saat elevasi tinggi (elevasi maksimum 86,70) dimana level sinyal yang diterima kuat dan kesalahan penerimaan data rendah. Sedangkan pada saat elevasi rendah (elevasi maksimum 6,79) level sinyal yang diterima rendah dan kesalahan penerimaan data tinggi.

2.3 Demodulator

Kendali demodulator penerimaan data MODIS Terra-Aqua dan penerimaan data Landsat-8 di stasiun bumi rumpin pada prinsipnya sama, perbedaannya hanya terletak pada saat konfigurasi satelit (Sunarmodo, et al. 2015). Jika pada penerimaan data Landsat-8 dilakukan konfigurasi untuk penerimaan data satelit Landsat-8, sedangkan untuk penerimaan data MODIS Terra-Aqua dilakukan konfigurasi satelit Terra dan Aqua disertai dengan pengaturan cakupan wilayah akuisisi data. Apabila kode konfigurasi satelit “0” maka satelit Terra atau Aqua melalui statiun bumi rumpin akan mengakuisisi data MODIS Terra-Aqua dengan cakupan wilayah seluruh Indonesia, dan apabila kode konfigurasi satelit “B” maka satelit Terra atau Aqua melalui stasiun bumi Rumpin akan mengakuisisi data dengan cakupan wilayah hanya bagian barat Indonesia.

Gambar 3 berikut menunjukkan diagram alir program kendali demodulator. Program akan membaca jadwal perharinya, dengan menentukan jumlah lintas satelit dan waktunya. Kemudian ketika sudah masuk waktu 4 menit sebelum waktu akuisisi, program akan membuka perangkat lunak demodulator dan melakukan konfigurasi. Perangkat lunak demodulator berbentuk graphical user interface (GUI), sehingga program kendali demodulator menggunakan GUI controller untuk menggerakan mouse dan memilih menu. Apabila perangkat lunak demodulator mengalami masalah, maka secara otomatis program akan me-restart perangkat lunak demodulator. Setiap selesai satu lintasan (akuisisi) program akan kembali membaca jadwa lintasan selanjutnya. Apabila tidak ada lintasan lagi pada hari itu, program akan masuk kedalam mode standby hingga komputer restart. Program dirancang untuk dapat dijalankan kapanpun tanpa konfigurasi,

Page 59: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 59 -

artinya, ketika akuisisi sedang berjalan kemudian program baru dijalankan, maka program dapat langsung menjalankan perangkat lunak demodulator (Sunarmodo, et al. 2015).

Gambar 3. Diagram Alir Kendali Demodulator (Sumber: Sunarmodo, et al., 2015)

2.4 Transfer Data

Terdapat dua proses operasional transfer data atau copy data, tahap pertama adalah proses transfer data Raw dari demodulator di Rumpin ke server NAS operator di Pekayon. Tahap kedua transfer data dari server NAS operator Pekayon ke server pengolahan data MODIS Terra-Aqua di Pekayon.

2.4.1 Transfer Data ke Server Pekayon

Program ini akan secara rekursif membaca direktori record data misi yang ada di PC demodulator rumpin melalui jaringan VPN network untuk membaca file data misi yang berhasil diakuisisi. Record direktori data misi difilter berdasarkan format extention finish. Jika record data misi yang berada di rumpin tidak ada dalam record data misi yang berada di pekayon maka raw data akuisisi di rumpin tersebut akan langsung di-copy atau di transfer ke dalam folder data misi yang berada di pekayon dan dibuat recordnya. Diagram alir program peng-copy-an dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:

Gambar 4. Diagram Alir Transfer atau Copy Data MODIS ke Server Pekayon

Page 60: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 60 -

2.4.2 Transfer Data ke Server Pengolahan Data MODIS

Program peng-copy-an atau transfer data ini membaca seluruh file yang berada di dalam direktori record data misi. Selanjutnya file-file yang berada di dalam direktori record data misi di filter berdasarkan format extention finish. Extention finish tersebut menandakan raw data MODIS Terra-Aqua hasil akuisisi stasiun bumi Rumpin berhasil di-transfer dari demodulator ke NAS. Selain akuisisi Terra dan Aqua stasiun bumi Rumpin mengakuisisi data Landsat oleh karena itu program peng-copy-an memfilter hanya data record Terra dan Aqua saja yang akan dibaca dan diolah. Setelah mendapatkan data-data file yang akan diolah terkahir sebelum di copy ke folder pengolahan data MODIS Terra-Aqua dibandingkan dahulu waktu akuisisi stasiun bumi Rumpin apakah ada yang berdekatan dengan waktu pengolahan data MODIS Terra-Aqua dari akuisi stasiun bumi Parepare dengan asumsi waktu yang berdekatan 600 detik atau 10 menit yaitu merupakan selang waktu antara stasiun bumi Rumpin dan stasiun bumi Parepare dalam melakukan akuisisi satelit Terra dan Aqua. Jika ada maka akan dicek raw data misi akuisisi Rumpin bila ada maka akan dibuat dibuat record-nya saja. Akan tetapi jika tidak ada yang berdekatan waktunya maka akan dicek raw data misi akuisisi rumpin bila ada maka akan di-copy ke dalam pengolahan data MODIS Terra-Aqua dan dibuat recordnya. Diagram alir program peng-copy-an data ke server pengolahan MODIS Terra-Aqua dapat dilihat pada Gambar 5 berikut :

Gambar 5. Diagram Alir Transfer atau Copy Data MODIS ke Server Pengolahan Data

3. HASIL PEMBAHASAN

Penerapan otomatisasi sistem operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin, Bogor, Jawa Barat sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Berikut uraian hasil pengujian sistem otomatisasi operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun Bumi Rumpin:

3.1 Efisiensi Waktu Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin

Sistem operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi rumpin dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah penjadwalan antena yang dilakukan di komputer operator antena. Tahap kedua merupakan tahap terpenting karena pada tahap ini melibatkan program demodulator yang terhubung langsung dengan antena untuk proses akuisisi data dan pengiriman data MODIS dari satelit Terra

Page 61: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 61 -

dan Aqua, operasional pada tahap ini menggunakan demodulator Single Board Computer (SBC) Avtec, Jaringan VPN 12 Mbps. Gambar 6 memperlihatkan program monitoring yang digunakan untuk operasional akuisisi data yang dilakukan di sistem kendali demodulator.

Gambar 6. Sistem Kendali Demodulator

Gambar 7. Program Otobot1.3.Exe Memberikan Informasi Akuisisi Data Terra 23 Oktober 2015 Pass (024109-025430) Berhasil Diterima dan 1 File akan dicopy

Gambar 7 merupakan screen shoot gambar program otobot1.3.exe. Program otobot1.3.exe digunakan untuk mengendalikan otomatisasi operasional di demodulator (lihat Gambar 3) diagram alir kendali demodulator.

Tahap ketiga melibatkan operasional pengiriman data (transfer file) MODIS Terra-Aqua dari server Rumpin ke server Pekayon, proses transfer file ini bertujuan untuk menampung data MODIS Terra-Aqua yang akan digunakan sebagai data cadangan (backup), data MODIS Terra-Aqua tertransfer merupakan data Raw yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan di demodulator SBC Avtec. Perhatikan Gambar 8 Screen shoot program pengcopyyang digunakan untuk mengcopy data raw dari demodulator di server Rumpin ke server NAS di Pekayon. (lihat Gambar 4) diagram alir program transfer file ke server Pekayon sebagai backup.

Page 62: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 62 -

Gambar 8. Screen Shoot Program Transfer Data ke Server Pekayon

Tahap keempat merupakan tahap terakhir dari keseluruhan rangkaian proses operasional, tahap ini menggunakan server NAS, dimana data yang telah tertampung di server Pekayon akan dikirim ke server pengolahan data MODIS Terra-Aqua yang ada di Pekayon (lihat Gambar 5. Diagram alir transfer file ke server pengolahan data MODIS Terra-Aqua).

Gambar 9. Screen shoot program copy atau transfer data ke server pengolahan data MODIS Keseluruhan sub sistem pada tahapan proses operasional tergambar dalam Gambar 10 skema jaringan

stasiun bumi Rumpin.

Gambar 10. Skema Jaringan Operasional Penerimaan Data MODIS di Stasiun Bumi Rumpin

Page 63: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 63 -

Dalam rangkaian proses operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin pasti melibatkan waktu dan tenaga dari seorang operator untuk menjalankan sistem tersebut. Tabel 1 dibawah merupakan hasil perbandingan antara operasi secara manual dengan sistem otomatisasi data dengan total data 1,17 GB. Pada tabel tersebut bisa kita liat penerimaan data akuisisi MODIS Terra-Aqua dengan sistem otomatisasi lebih efisien dibanding dengan sistem manual sehingga operator bisa lebih cepat dalam membuat laporan penerimaan data.

Tabel 1. Perbandingan Lamanya Waktu Operasional Penerimaan Data MODIS Secara Manual dan Otomatis

No Proses Manual Otomatis 1 Penjadwalan Antenna 103 s 17 s 2 Open Program Demodulator 47 s 7 s 3 File Transfer ke Server NAS Pekayon 869 s 643 s 4 File Preparation 161 s 22 s Total 1170 s 689 s

Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Penerimaan Data MODIS Secara Manual Dan Otomatis

No Nama Satelit Keberhasilan Bulan September (Masih Manual)

Keberhasilan Bulan Oktober (Otomatis)

1 AQUA 67 % 96 % 2 TERRA 80 % 96 %

3.2 Cakupan wilayah perolehan data MODIS

Berdasarkan data pada Tabel 3 mengenai perbandingan hasil perolehan data MODIS Terra-Aqua untuk cakupan wilayah Indonesia pada stasiun bumi Parepare dan Rumpin maka dapat disimpulkan bahwa operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua di stasiun bumi Rumpin memang perlu dilakukan agar perolehan data MODIS Terra-Aqua menjadi lengkap untuk seluruh wilayah Indonesia termasuk wilayah Indonesia bagian barat terutama Aceh.

Tabel 3. Perbandingan Hasil Perolehan Data MODIS Terra-Aqua untuk Cakupan Wilayah Indonesia Pada Stasiun Bumi Parepare Dan Rumpin

No. Tanggal Waktu (UTC)

Citra MODIS dari Stasiun Bumi Parepare

Citra MODIS dari Stasiun Bumi Rumpin

1. 23-10-2015 01:05

Page 64: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 64 -

No. Tanggal Waktu (UTC)

Citra MODIS dari Stasiun Bumi Parepare

Citra MODIS dari Stasiun Bumi Rumpin

2. 23-10-2015 02:40

3. 21-10-2015 04.11

4 23-10-2015 13:23

5 23-10-2015 14:59

Page 65: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 65 -

Gambar 11. Lokasi dan Cakupan Stasiun Bumi Penginderaan Jauh LAPAN (Nasution, et al., 2014)

Pada Gambar 11 tergambar bahwa stasiun bumi di Parepare mampu mencakup wilayah timur hingga barat Indonesia, namun tidak sampai wilayah Aceh. Oleh karena itu stasiun bumi di Rumpin dibangun untuk dapat mencakup wilayah Aceh dan sekitarnya (Nasution, et al., 2014).

3.3 Bukti Rekaman Proses Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin

Agar dapat menelusuri kesalahan yang terjadi saat proses operasional penerimaan data MODIS Terra-Aqua, maka dibuat sistem logging yang merekam keseluruhan proses otomatisasi mulai dari loading configuration hingga proses transfer data atau copy data ke sistem pengolahan seperti ditunjukkan pada Gambar 12 berikut:

Gambar 12. Catatan Logging Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin

4. KESIMPULAN

Dengan dioperasikannya sistem otomatis pada sistem penerimaan data MODIS Terra-Aqua maka penulis menyimpulkan beberapa keuntungan, yaitu: lebih efisien (cepat), dapat melakukan akuisisi data malam, meminimalisir kesalahan akibat human error, mengurangi beban kerja operator, termonitor lebih baik dan mudah, dan keseluruhan proses operasional terekam dalam logging sehingga mudah untuk menelusuri kesalahan yang terjadi.

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke jalan yang diridhoi Allah SWT.

Page 66: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data Modis Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin (Apriliyah, H., et al.)

- 66 -

Terwujudnya makalah yang berjudul “Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS di Stasiun Bumi Rumpin” ini tidak lepas dari partisipasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih secara khusus kepada Ibu Noriandini Dewi Salyasari, S.Kom selaku penanggung jawab bidang operasional, Bapak Wismu Sunarmodo, S.T selaku pembimbing pengembangan program dan Bapak Budhi Gustiandi, S.T dan Andy Indradjad, S.Si., M.Eng selaku Pembimbing dalam penulisan makalah.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran kami terima demi penyempurnaan penulisan dimasa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat bernilai positif bagi pihak yang membutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Lingkungan Hidup (2009). Kajian Manajemen Data Spasial dalam Unit Kerja KNLH. Cited in http://geospasial.menlh.go.id/assets/EnterpriseGIS/KajianManajemenDataSpasialKNLH.pdf [21 Oktober 2015].

Nof, S.Y. (2009). Automation: What It Means to Us Around The World. In S.Y. Nof (ed), Springer Handbook of Automation (Berlin Heidelberg: Springer Verlag), 3:13-52.

Sunarmodo, W., Sirin, D.N.S., Gunawan, H., dan Widipaminto, A. (2014). Rancang Bangun Sistem Otomatisasi Penerimaan Data Satelit Landsat 8 di Stasiun Bumi Rumpin.

Nasution, A.S., Sirin, D.N.S., Gunawan, H., dan Widipaminto, A. (2014). Sertifikasi Sistem Stasiun Bumi Pengindraan Jauh Lapan untuk Penerimaan Data Landsat-8. Seminar Nasional Pengindraan Jauh.

Williams, T.J. (2009). Advances In Industrial Automation: Historical Perspectives. In S.Y. Nof (ed). Springer Handbook of Automation (Berlin Heidelberg: Springer Verlag), 2:5-11.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2015 Moderator : Ayom Widipaminto, S.T., M.T. Judul Makalah : Sistem Otomatisasi Operasional Penerimaan Data MODIS Terra-Aqua di Stasiun Bumi Rumpin Pemakalah : Hasna Apriliyah, A.Md. Jam : 15.30 – 16.30 WIB Tempat : Meeting Room E-F DISKUSI :

Marendra Eko B (Pustekdata, LAPAN) Mengapa terdapat dua data yang sama, dengan jeda 10 menit, dan hanya salah satu yang diambil? Apakah software yang digunakan merupakan software yang dikembangkan sendiri atau software yang sudah ada dan diotomatisasi?

Jawaban: 10 menit itu merupakan selang waktu (jeda) antara Stasiun Bumi Parepare dengan Stasiun Bumi Rumpin dalam mengakuisisi data satelit Terra/Aqua. Jika salah satu stasiun bumi sudah mengirimkan data hasil akuisisi, maka secara otomatis software akan memblok pengiriman dari stasiun bumi lainnya. Sehingga tidak terdapat dua data yang sama. Software ini merupakan pengembangan dari software yang sudah diterapkan untuk akuisisi data Landsat (yang dilakukan oleh Wismu dkk), dengan menambahkan sistem transfer file hingga ke pengolahan. Dengan ‘.rename’, ‘.aqua’, ‘.MODIS’, dan ‘.transfer’ untuk pengolahan berikutnya.

Rahmat Arief (Pustekdata, LAPAN) Mohon jelaskan kembali perbedaan antara pengolahan manual dan pengolahan otomatis? Jelaskan apa saja yang termasuk dalam “human error”? Jawaban: Pengolahan secara manual adalah pengolahan yang dilakukan oleh operator untuk mengerjakan setiap tahapannya, yaitu update ephimeris, cek tle, jadwal satelit yang akan diakuisisi. Sedangkan, pada pengolahan secara otomatis adalah semua langkah tersebut diubah dalam satu script menggunakan GUI sehingga secara otomatis komputer (kursor) akan bergerak sesuai langkah yang telah diprogram. Human error atau kesalahan manusia yang bisa terjadi pada saat akuisisi antara lain, terlewatnya waktu akuisisi dikarenakan operator sedang berhalangan, misal sedang di luar ruangan, makan, dsb.

Page 67: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 67 -

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data

ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya

Katmoko Ari Sambodo1,*)

1Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh - LAPAN

*)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Beberapa tahun terakhir ini data penginderaan jauh SAR (Synthetic Aperture Radar) menjadi sumber data yang sangat penting dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh karena sifatnya yang dapat menembus awan dan dapat beroperasi siang-malam dalam segala kondisi cuaca. Pada sistem sensor aktif SAR seperti ini, seberapa besar energi yang akan mengenai target dapat diatur, dan seberapa besar bagian energi yang dihamburbalikkan oleh objek dan diterima kembali oleh sensor dapat diukur. Untuk menyatakan besarnya proporsi energi yang dihamburbalikkan tersebut ada berbagai metode, salah satunya adalah dengan Gamma Naught yang banyak direkomendasikan terutama untuk aplikasi kehutanan. Gamma Naught didefinisikan sebagai besaran hamburan balik sinyal radar (radar backscatter) per unit area terhadap arah datang sinyal radar (tegak lurus dengan arah slant/slant range) dan dinyatakan dengan desibel. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan konversi hamburan balik yang terkalibrasi secara radiometrik tersebut untuk data ALOS PALSAR mosaik yang didistribusikan oleh JAXA. Lebih jauh mengingat belum tersedianya perangkat lunak non-komersial untuk keperluan tersebut, penelitian ini juga merancang suatu modul perangkat lunak yang dapat diintegrasikan ke dalam open source software QGIS yang sudah sangat banyak dipakai oleh masyarakat luas. Modul yang dikembangkan dikemas dengan antarmuka (user interface) yang menarik dan dapat diaplikasikan untuk pengolahan data tunggal atau data multi-year baik secara manual maupun otomatis. Modul tersebut telah diujicobakan dengan menggunakan data ALOS PALSAR mosaik dengan resolusi 25 meter untuk sebagian area Sumatera dan rencananya akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat yang ingin menggunakannya.

Kata kunci: Synthetic Aperture Radar, kalibrasi radiometrik, gamma naught, ALOS PALSAR, plugin QGIS

ABSTRACT – In recent years, Synthetic Aperture Radar (SAR) has become a very important data source in various remote sensing applications because it can penetrate clouds and can operate day and night in all weather conditions. In active systems like SAR, how much energy is incident upon target area can be controlled, and what proportion of that energy is returned to the sensor can be quantified. To quantify the proportion of returned energy, various methods have been proposed. Gamma Naught was widely recommended primarily for forestry applications. Gamma Naught is defined as radar backscatter per unit area of the incident wavefront (perpendicular to slant range ) and expressed in decibels. This study aims to do the radiometricallycalibrated backscatter conversion for ALOS PALSAR mosaic data distributed by JAXA. Furthermore, we also developed a software module that can be integrated into QGISopen source software. Module developed with an interactive GUI (graphical user interface) and can be applied to process both a single datasetand multi-year dataset, manually or automatically. The module was tested using ALOS PALSAR mosaic data with 25m resolution which cover most areas of Sumatra and will be distributed widely to the public users.

Keywords: Synthetic Aperture Radar, radiometric calibration, gamma naught, ALOS PALSAR, QGIS plugin

1. PENDAHULUAN

Penginderaan jauh SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu penginderaan jauh sistem aktif yang menggunakan daerah gelombang mikro dari spektrum gelombang elektromagnetik dengan frekuensi antara 0.3 GHz - 300 GHz (atau sama dengan panjang gelombang antara 1 m - 1 mm). Beberapa tahun terakhir ini data penginderaan jauh SAR (Synthetic Aperture Radar) menjadi sumber data yang sangat penting dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh karena sifatnya yang dapat menembus awan dan dapat beroperasi siang-malam dalam segala kondisi cuaca (Tso dan Mather, 2001; Woodhouse, 2006; JAXA, 2010; Hoekman et al., 2010). Hal ini dapat menjadi solusi yang tepat khususnya bagi sebagian daerah Indonesia yang sering diliputi oleh awan, asap ataupun kabut, yang mengakibatkan penginderaan jauh sistem optis sering terkendala.

Sebelum dipergunakan dalam berbagai aplikasi selanjutnya, data SAR perlu dilakukan berbagai kalibrasi terlebih dahulu baik geometrisnya maupun radiometrisnya. Tulisan ini lebih memfokuskan pada pembahasan kalibrasi radiometrik data SAR. Tujuan dari kalibrasi data SAR adalah untuk menghasilkan citra SAR yang mana nilai-nilai piksel yang terkandung di dalamnya terkait secara langsung dengan hamburan balik radar

ORAL PRESENTATION

Page 68: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

- 68 -

(radar backscattter) dari objek-objek dalam citra tersebut. Meskipun citra SAR yang tidak terkalibrasi sudah dapat dipakai untuk penggunaan/analisis secara kualitatif, namun citra SAR yang terkalibrasi menjadi sangat penting dalam penggunaan/analisis secara kuantitatif (S1TBX, 2014).

Pemrosesan data SAR secara tipikal yang memproduksi citra level 1, tidak termasuk koreksi-koreksi radiometrik dan karenanya menyisakan bias radiometrik yang signifikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan koreksi radiometrik terhadap cita SAR sedemikian hingga benar-benar merepresentasikan hamburan balik dari objek-objek permukaan yang merefleksikannya. Koreksi radiometrik juga diperlukan apabila dilakukan komparasi citra-citra SAR yang diakuisisi dengan menggunakan sensor SAR yang berbeda, atau yang diakuisisi dari sensor yang sama namun berbeda waktu, dalam mode yang berbeda, atau yang diproses menggunakan prosesor yang berbeda (S1TBX, 2014).

Penelitian ini mencoba untuk melakukan pemrosesan konversi dari nilai Digital Number (DN) data SAR menjadi nilai hamburan balik yang terkalibrasi secara radiometrik (radiometrically calibrated backscatter) dengan menggunakan data ALOS-PALSAR. Bersamaan dengan itu, penelitian ini juga mengemas metode pemrosesan awal ALOS-PALSAR tersebut ke dalam suatu modul plugin QGIS. QGIS merupakan salah satu software open source yang banyak digunakan untuk pengolahan data-data SIG (Sistem Informasi Geografis) dan citra penginderaan jauh. Namun demikian, khususnya untuk data-data SAR plugin yang tersedia saat ini masih sangat terbatas. Sehingga dengan adanya modul tambahan yang dihasilkan dari penelitian ini dapat lebih memperkaya dan melengkapi kemampuan QGIS dalam melakukan pengolahan data SAR. Dan rencananya akan didistribusikan secara luas kepada masyarakat yang ingin menggunakannya.

2. METODE

2.1 Metode Konversi Hamburan Balik yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter) Data ALOS PALSAR Mosaik

Kalibrasi data SAR adalah suatu proses untuk mengkonversikan data amplitudo linear SAR menjadi suatu data energi (power) yang terkalibrasi secara radiometrik. Input datanya adalah berupa Digital Number (DN) dan outputnya berupa 0 , 0 , atau 0 yang merupakan rasio antara energi yang dihamburbalikkan oleh sebidang permukaan objek dengan energi yang dikirimkan oleh antena SAR ke bidang permukaan objek tersebut (Gambar 1) (ASF Engineering, 2015).

Gambar 1. Diagram Kalibrasi Data SAR

Untuk data ALOS-PALSAR mosaik yang didistribusikan oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration

Agency), nilai Digital Number (DN) tersebut direpresentasikan dalam 16 bit (JAXA, 2012). Nilai DN

Page 69: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 69 -

tersebut perlu dikonversi lebih lanjut salah satunya menjadi nilai Gamma Naught yang merepresentasikan besaran hamburan balik sinyal radar (radar backscatter) per unit area terhadap arah datang sinyal radar (tegak lurus dengan arah slant /slant range) dengan satuannya adalah desibel [dB] (Shimada, et al., 2009; JAXA, 2012; Motohka, 2012; Sambodo dan Indriasari, 2013):

[dB] log*10 2

100 CFDN (1)

Dimana: [dB] 0.83CF adalah faktor kalibari (calibration factor), dan ... merepresentasikan nilai rata-rata di

dalam ukuran jendela (window size) 3x3.

2.2 Metode Pengembangan Plugin QGIS Diagram alir plugin QGIS yang dikembangkan dalam penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 2. Dalam

plugin ini, diberikan 2 opsi pengolahan data yakni pengolahan data tahun tunggal dan pengolahan data tahun jamak. Pengolahan data tahun jamak terutama akan mempermudah pengguna yang akan melakukan berbagai analisis multi-temporal seperti misalnya perubahan kondisi hutan, perkebunan, pertanian, dan lain-lain. Pertama-tama data-data input ditentukan baik itu data citra SAR maupun data masking-nya. Data masking ini berisi informasi yang menyatakan bahwa nilai-nilai piksel yang terkandung dalam citra SAR terkait adalah nilai hasil pengukuran yang valid atau tidak valid/tidak ada data (seperti misalnya area lautan dan area lain yang kemiringannya sangat ekstrem).

Gambar 2. Diagram Alir Plugin QGIS yang Dikembangkan

Selanjutnya program akan mengecek apakah file-file yang dipilih tersebut merupakan file yang valid (data

ALOS PALSAR yang valid) dan apakah ketiga tipe file tersebut (data tahun pertama, data tahun kedua, dan

Konversi Digital Number ke Gamma Naught

INPUT DATA : - Data ALOS PALSAR tahun pertama - Data ALOS PALSAR tahun kedua

- Data Mask

Mosaik data

Cekketigatipe file tersebutmencakup area

yang sama ?

Beritanda Error pada pasangan data tersebut

Hasil KonversiHamburanBalik yang TerkalibrasiRadiometrikdan

TelahTermosaik

ya

tidak

Penggunamemilihulang data

Pengguna menentukan lokasi dan format file output

Page 70: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

- 70 -

data mask) mencakup area yang sama. Apabila terdapat error, maka akan diberi tanda dan memberikan kesempatan kepada pengguna untuk memperbaiki pilihan file-file tersebut. Selanjutnya pengguna dapat menentukan format file (format GeoTIFF, ENVI, atau ERS), nama dan lokasi file output hasil pengolahannya. Proses selanjutnya adalah melakukan konversi hamburan balik yang terkalibrasi radiometrik dengan menggunakan rumus (1) dan memosaik hasil-hasilnya sehingga menjadi satu kesatuan yang akan memudahkan pengguna melakukan analisis selanjutnya dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh.

Bahasa pemrograman yang dipergunakan dalam mengembangkan plugin QGIS ini menggunakan Python versi 3.4 dengan menggunakan beberapa library tambahan yakni NumPy dan GDAL (Geospatial Data Abstraction Library) (QGIS Project, 2015; GDAL/OGR in Python, 2015).

2.3 Data yang Dipergunakan

Data sampel SAR yang dipergunakan untuk melakukan eksperimen konversi hamburan balik yang terkalibrasi radiometrik ditunjukkan pada Gambar 3. Data ini merupakan data citra ALOS-PALSAR, L-band, resolusi 25 meter, polarisasi HV, pada sebagian wilayah Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Data ALOS-PALSAR yang digunakan adalah hasil perekaman tahun 2009 dan 2010 dan telah melalui proses orthorektifikasi dan koreksi slope yang dilakukan oleh JAXA-EORC (Japan Aerospace Exploration Agency – Earth Observation Research Center) (Shimada dan Ohtaki, 2010).

a) Data ALOS-PALSAR Tahun 2009

Page 71: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 71 -

b) Data ALOS-PALSAR Tahun 2010

c) Data Mask

Gambar 3. Data ALOS-PALSAR yang Dipergunakan

Page 72: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

- 72 -

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Hasil Konversi Hamburan Balik yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter) Data ALOS PALSAR Mosaik

Hasilkonversi hamburan balik yang terkalibrasi radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter)

data ALOS PALSAR Mosaik dengan menggunakan data input pada Gambar 3 ditunjukkan pada Gambar 4. Selain proses konversi, data tersebut telah secara otomatis dimosaik sehingga memudahkan penggunaan selanjutnya. Dari hasil tersebut juga dapat dilihat bahwa perbedaan (bias) kenampakan antar citra terutama citra sebelah kanan atas dengan citra lainnya dapat dihilangkan sehingga menghasilkan mosaik yang mulus (seamless).

a) Hasil Tahun 2009

Page 73: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 73 -

b) Hasil Tahun 2010

c) Hasil Mask

Gambar 4. Hasil Konversi Hamburan Halik Yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter) data ALOS-PALSAR dan Mosaiknya

Page 74: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

- 74 -

Untuk lebih memahami bagaimana perubahan nilai-nilai piksel antara citra sebelum dan sesudah kalibrasi, maka dilakukan evaluasi dengan cara mengambil beberapa sampel tutupan lahan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Sampel tutupan lahan yang diambil di area sekitar propinsi Riau diantaranya adalah hutan, perkebunan akasia, perkebunan sawit, perkebunan karet, kelapa, area bekas terbakar, dan area tanah terbuka. Di samping itu, untuk mengamati kestabilan nilai hasil kalibrasi, pemilihan sampel tersebut dilakukan dengan memperhatikan lokasi-lokasi tutupan lahan dari data kedua tahun tersebut yang relatif sama (tidak mengalami perubahan jenis tutupan lahannya).

Nilai-nilai statistik dari beberapa sampel tutupan lahan sebelum dan sesudah kalibrasi dirangkum dalam Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai Digital Number (16 bit) pada citra input telah dikonversi menjadi Gamma Naught dalam kisaran -30 (dB) ~ -5 (dB). Nilai rata-rata “tanah terbuka” di kisaran -20 (dB) merupakan nilai rata-rata terendah dari ketujuh tutupan lahan yang diamati dan dalam citranya ditunjukkan dengan warna yang gelap. Nilai rata-rata “bekas terbakar” menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding “tanah terbuka” karena biasanya pada area tersebut telah ditumbuhi vegetasi yang tidak terlalu tinggi seperti rumput ataupun semak belukar sehingga menimbulkan efek hamburan balik ke arah sensor yang lebih besar. Nilai rata-rata Gamma Naught pada vegetasi seperti “kelapa” dan “sawit” relatif lebih tinggi dan keduanya dekat nilainya mengingat keduanya memiliki karakteristik kanopi yang hampir sama. Kenampakan pada citranya untuk kedua tutupan lahan ini juga hampir serupa. Tutupan lahan “hutan” dan “akasia” memiliki nilai rata-rata gamma naught yang hampir sama dan lebih tinggi dibanding “sawit” dan “kelapa”. Hal ini disebabkan proses hamburan balik sinyal radar yang lebih kompleks dan lebih besar pada kedua jenis tutupan lahan tersebut. Tutupan lahan “karet” memiliki nilai Gamma Naught yang paling tinggi diantara ketujuh tutpan lahan yang diamati dan hal ini dapat pula dikonfirmasikan dalam citranya yakni memiliki kecerahan yang tertinggi.

Apabila dilihat dan dibandingkan nilai statistik dari data dua tahun tersebut (tahun 2009 dan tahun 2010), dapat diketahui bahwa terjadi sedikit perbedaan nilai rata-ratanya. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan memang telah terjadi sedikit perubahan tutupan lahan ataupun perubahan kondisi musiman dari kedua data tersebut. Perbedaan terkecil pada “hutan” yakni naik berkisar 0.03 (dB), sedangkan yang terbesar pada “bekas terbakar” yakni naik berkisar 0.69 (dB).

Gambar 5. Lokasi Sampel Tutupan Lahan yang Digunakan untuk Mengevaluasi Hasil

Tabel 1. Nilai Statistik pada Beberapa Sampel Tutupan Lahan Sebelum dan Sesudah Konversi Hamburan Halik yang Terkalibrasi Radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter)

Sampel Nilai Data Tahun 2009 Data Tahun 2010 Tutupan Lahan

Statistik

Sebelum (Digital Number) Sesudah (dB)

Sebelum (Digital Number) Sesudah (dB)

Hutan Minimum 1795 -14.44 1773 -14.19 Maksimum 6186 -9.29 6959 -9.76 Rata-rata 3544.36 -11.96 3557.91 -11.93

Std. Deviasi 499.29 0.54 499.50 0.55

Page 75: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 75 -

Sampel Nilai Data Tahun 2009 Data Tahun 2010 Tutupan Lahan

Statistik

Sebelum (Digital Number) Sesudah (dB)

Sebelum (Digital Number) Sesudah (dB)

Akasia Minimum 1512 -16.78 1513 -15.74 Maksimum 5719 -11.05 5066 -10.79 Rata-rata 3005.94 -13.40 3164.02 -12.95

Std. Deviasi 426.61 0.61 438.03 0.56 Sawit Minimum 1097 -18.13 1159 -17.34

Maksimum 4477 -12.34 4391 -11.80 Rata-rata 2434.65 -15.24 2620.35 -14.60

Std. Deviasi 364.02 0.75 387.03 0.71 Karet Minimum 1606 -17.17 1710 -16.11

Maksimum 7622 -8.12 7095 -7.77 Rata-rata 3761.12 -11.45 3902.59 -11.13

Std. Deviasi 674.74 0.91 712.63 0.93 Kelapa Minimum 1540 -16.47 1404 -18.14

Maksimum 5516 -11.32 5253 -10.34 Rata-rata 2792.81 -14.04 2822.54 -13.95

Std. Deviasi 418.25 0.72 432.87 0.75 Bekas terbakar Minimum 1229 -18.09 1305 -16.41

Maksimum 4702 -11.30 4890 -11.45 Rata-rata 2625.63 -14.67 2817.97 -13.98

Std. Deviasi 544.36 1.46 439.52 0.85 Tanah Terbuka Minimum 606 -23.60 672 -23.25

Maksimum 2211 -18.15 2561 -17.11 Rata-rata 1292.45 -20.73 1339.66 -20.43

Std. Deviasi 211.27 0.85 217.81 0.84

3.2 Hasil Pengembangan Plugin QGIS Hasil pengembangan plugin QGIS ditunjukkan pada Gambar 6. Setelah proses instalasi plugin, plugin

tersebut dapat dipanggil dari menu “Plugins- Convert PALSAR DN to Gamma Mosaic”. Pengguna kemudian dapat menginput dataset (data tahun pertama, data tahun kedua, dan data mask) baik secara satu persatu dengan memilih masing-masing file tersebut dari hardisk maupun dengan menyiapkan suatu file teks yang berisi daftar lokasi pasangan file-file tersebut dalam hardisk. Setelah itu program akan mengecek apakah file-file yang dipilih tersebut merupakan file yang valid dan apakah ketiga tipe file tersebut (data tahun pertama, data tahun kedua, dan data mask) mencakup area yang sama. Apabila terdapat error, maka akan ditampilkan dalam warna merah dan memberikan kesempatan kepada pengguna untuk memperbaiki pilihan file-file tersebut. Selanjutnya pengguna dapat menentukan format file, nama dan lokasi file output hasil pengolahannya. Dalam hal ini disediakan tiga format file yang dapat dipilih, yakni format GeoTIFF, format ENVI, atau format ERS. Pengguna dapat juga menentukan apakah file-file individual yang belum dimosaik akan tetap disimpan di dalam hardisk atau dihapus. Setelah semuanya ditentukan, pengguna dapat menekan tombol “Apply” dan mendapatkan file hasil konversi dan mosaiknya pada lokasi yang telah dipilih.

Selain dengan menggunakan antarmuka dalam plugin QGIS, program ini dapat pula dieksekusi dengan menggunakan command-line sehingga keseluruhan pemrosesan dapat dilakukan secara otomatis tanpa membuka aplikasi QGIS.

Page 76: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Konversi Hamburan Balik Terkalibrasi Radiometrik untuk Data ALOS-PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya (Sambodo, K.A.)

- 76 -

Gambar 6. Antarmuka Pengguna (Graphical User Interface) Plugin QGIS yang Telah Dikembangkan

4. KESIMPULAN

Konversi hamburan halik yang terkalibrasi radiometrik (Radiometrically Calibrated Backscatter) data ALOS-PALSAR dengan menggunakan representasi Gamma Naught dapat menghasilkan nilai besaran hamburan balik sinyal radar (radar backscatter) per unit area terhadap arah datang sinyal radar dan cenderung relatif konstan untuk objek tutupan lahan yang tidak terlalu mengalami perubahan tahunan (meminimalisasikan bias radiometrik antar data yang beda waktu akuisisinya). Hasil dari proses tersebut selanjutnya dapat dipakai dalam berbagai aplikasi penginderaan jauh khususnya yang membutuhkan analisis secara kuantitatif.

Penelitian ini juga menghasilkan suatu plugin QGIS yang interaktif dan mudah dipergunakan. Plugin QGIS tersebut sementara ini hanya dapat dipergunakan untuk data ALOS PALSAR Mosaik saja, namun untuk selanjutnya akan terus dikembangkan sehingga apat dipergunakan untuk data-data SAR dari satelit/sensor yang lainnya (seperti ALOS PALSAR-2, Sentinel-1, dan lain-lain). Untuk selanjutnya plugin tersebut dapat diperoleh pengguna yang mana sementara ini dengan cara mengirimkan e-mail ke penulis ([email protected]).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada JAXA yang telah menyediakan mosaik data ALOS PALSAR resolusi 25 meter dalam kerangka kerjasama JAXA Kyoto & Carbon Initiative.

DAFTAR PUSTAKA

ASF Engineering (2015). ASF Radiometric terrain corrected products. Algorithm Theoritical Basis Document. Revision 1.2.

GDAL/OGR in Python (2015). http://gdal.org/python/. [Diakses 1 Oktober 2015].

Page 77: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 77 -

Hoekman, D.H., Vissers, M.A.M., dan Wielaard, N. (2010). PALSAR Wide-Area Mapping of Borneo: Methodology and Map Validation. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, 3(4):605-617.

JAXA (2010) Global Environmental Monitoring by ALOS PALSAR-- Science Results from the ALOS Kyoto & Carbon Initiative. Japan Aerospace Exploration Agency, Tsukuba Space Center.

JAXA (2012) ALOS/PALSAR 25m Mosaic Product Format Description, First edition. Japan Aerospace Exploration Agency, Earth Observation Research Center.

Motohka, T. (2012). Introduction On Forest Change Mapping Using PALSAR Gamma-Naught Change. International Workshop and Training on Pi-SAR-L2 Data Analysis for Forest Carbon Monitoring, Ship Detection, Disaster Monitoring, Geometric Evaluation, and Crop Monitoring (JAXA Training Materials).

QGIS Project (2015). PyQGIS developer cookbook. S1TBX (2014) Sentinel-1 Toolbox. Array Systems Computing Inc, and contributors. Sambodo, K.A., dan Indriasari, N. (2013). Land Cover Classification of ALOS PALSAR Data using Support Vector

Machine. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences, 10(1): 9-18. Shimada, M., Isoguchi, O., Tadono, R., dan Isono, K. (2009). PALSAR radiometric and geometric calibration. IEEE

Transactions of Geoscience and Remote Sensing, 47(12):3915-3932. Shimada, M., dan Ohtaki, T. (2010). Generating Large-Scale High-Quality SAR Mosaic Datasets: Application to

PALSAR Data for Global Monitoring. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, 3(4):637-656.

Tso, B., dan Mather, P.M. (2001). Classification Methods for Remotely Sensed Data, Taylor & Francis Inc. Woodhouse, I.H. (2006). Introduction to Microwave Remote Sensing. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Moderator : Ir. Dedi Irawadi Judul Makalah : Koreksi Radiometric Data ALOS PALSAR dan Pengembangan Modul Plugin QGIS untuk Otomatisasi Pengolahannya Pemakalah : Katmoko Ari Sambodo Jam : 10.15-10.30 Tempat : Meeting Room E-F IPB-ICC Diskusi : Wikan Jaya Prihartanto (UGM) Bagaimana kalibrasi data radar di lapangan, kalau multi-spectral menggunakan spektrofotometer, bagaimana dengan data radar itu sendiri? Jawaban: Di radar kalibrasi dilakukan dengan menggunakan corner reflector, sehingga ketika ada sinyal datang bisa memantulkan seluruh gelombang kembali ke sinyal. Corner reflector ada aktif dan ada pasif. Pasif semacam logam yang diletakkan di permukaan bumi. Aktif, mendapatkan sinyal terkuat lalu dipantulkan. Kalibrasi dari radiometrik berdasarkan kekuatan sinyal. Kalibrasi dari geometrik didasarkan posisi corner reflector sendiri yang diketahui.

Rossi Hamzah (Pusfatja, LAPAN) Koreksi radiometrik yang digunakan hanya untuk ALOS PALSAR, apakah bisa digunakan untuk ALOS PALSAR 2 juga? Bagaimana dengan adanya karakteristik yang berbeda?

Jawaban: Bisa juga untuk ALOS PALSAR2, plugin tinggal dirubah atau dimasukkan rumusnya. Hal yang berbeda mungkin calibration factor-nya.

Page 78: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 78 -

Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0

dengan Sistem yang Telah Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Penginderaan Jauh Parepare

Nurmajid Setyasaputra1,*), Arif Hidayat1, Ahmad Luthfi Hadiyanto1, dan Sutan Takdir Ali Munawar1

1Balai Penginderaan Jauh Parepare, LAPAN *)E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Kebutuhan kontinuitas data satelit penginderaan jauh resolusi rendah (Terra, Aqua dan Suomi NPP) diperlukan near real time dan kontinu. Availability perangkat untuk melakukan penerimaan data adalah 97%. Untuk mendukung tuntutan data near real time tersebut, maka pada tahun 2015 dilakukan pengadaan antena, akuisisi, dan pengolahan data satelit MODIS Terra-Aqua beserta satelit cuaca lainnya. Pengadaan ini dilakukan untuk menambah kemampuan perangkat sehinga didapatkan sistem penerimaan yang stabil dan redundan. Sehingga ketergantungan terhadap salah satu perangkat dapat dikurangi. Analisis teknis diperlukan agar sistem penerimaan dan perekaman data dapat terintegrasi ke dalam sistem penerimaan dan perekaman data yang telah beroperasi di Balai Penginderaan Jauh. Penggunaan analisis terdiri dari jenis antena, metode penerimaan, gain dan diameter antena, frekuensi kerja antena, redaman kabel, distribusi serta kebutuhan daya dan metode kontrol. Sistem perekaman berdasarkan kebutuhan data yang disimpan beserta pengolahan level hasil pengolahan data. Dengan adanya analisis tersebut diharapkan tidak terjadi masalah pada saat implementasi integrasi.

Kata kunci: integrasi, antena, gain, daya, sistem kontrol

ABSTRACT - Continuity needs of satellite remote sensing data low resolution (Terra, Aqua and Suomi NPP) is required near real time and continuous. Availability devices to perform data reception is 97%. To support near real-time data demands, then in 2015 made the antenna procurement, acquisition and processing of satellite data and the other weather satellites. Procurement is done to increase the ability of the device so that the sistem gained acceptance stable and redundant. So that dependence on one device can be reduced. Technical analysis is necessary so that the sistem for receiving and recording data can be integrated into the sistem for receiving and recording data that has been operating at the Center for Remote Sensing. The use of the analysis consists of an antenna types, methods of acceptance, gain and antenna diameter, the working frequency of the antenna, cable attenuation, distribution and power requirements and methods of control. Recording sistem based on the needs of data that is stored along with the level of processing of the data processing. Given this analysis are expected to avoid problems during the implementation of the integration.

Keywords: integration, antenna, gain, power, control sistem

1. PENDAHULUAN

Perubahan lingkungan global telah menjadi perhatian seluruh dunia. Satelit pengamatan bumi digunakan untuk mengamati perubahan. Untuk mengamati perubahan lingkungan maka dibuatlah sebuah penelitian untuk mengembangkan Earth Observation Satellite (EOS). EOS seri dikembangkan untuk tujuan memantau lingkungan bumi menggunakan teknologi penginderaan jauh dari ruang angkasa. Terra, Aqua, dan Suomi NPP adalah satelit kedua dari seri EOS tersebut.

Stasiun bumi Balai Penginderaan Jauh Parepare diharapkan memiliki kemampuan penerimaan dan pengolahan data penginderaan jauh satelit dengan standar internasional. Kontinuitas penerimaan dan ketersediaan data wilayah Indonesia merupakan keharusan dan memberikan dukungan bagi penguatan Sistem Bank Data Penginderaan Jauh Nasional (BDPJN) di Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh (Pustekdata) LAPAN. Sebagai unit teknis di bawah Pustekdata, kegiatan yang dilaksanakan di Balai Penginderaan Jauh Parepare harus mengacu kepada program yang dimiliki Pustekdata. Pengadaan peralatan stasiun bumi pada Tahun Anggaran 2015 dimaksudkan untuk memperkuat sistem pengelolaan data dan infrastruktur yang ada di Balai Penginderaan Jauh Parepare. Peralatan tersebut harus dapat diintegrasikan dengan sistem penerimaan dan pengolahan yang sudah ada sehingga memudahkan pengoperasian dan pemeliharaan peralatan yang akan menjamin kontinuitas operasional penyediaan data.

Kemampuan stasiun bumi BPJP saat ini dapat menerima dan mengolah data inderaja satelit resolusi rendah, menengah dan resolusi tinggi, yaitu data satelit Terra, Aqua, Suomi NPP, Landsat-7, Landsat-8,

POSTER PRESENTATION

Page 79: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 79 -

SPOT-6 dan SPOT-7. Kemampuan ini meningkatkan kompleksitas operasional di Balai Penginderaan Jauh Parepare. Redundansi peralatan, integrasi peralatan, konektivitas dengan operator satelit, kecepatan pengolahan, dan transmisi data merupakan beberapa faktor penting yang menjadi perhatian. Pengadaan peralatan di tahun anggaran 2015 terdiri dari peralatan infrastruktur antena serta PC dan peralatan pengolah data. Aliran proses dalam operasional secara internal memerlukan kemampuan redudansi sistem dan availabilitas yang tinggi. Selanjutnya Pustekdata yang akan mendistribusikan data tersebut ke pengguna. Kemampuan pengolahan/produksi data near real time sudah menjadi tuntutan. Kebutuhan pengguna data satelit inderaja dalam hal monitoring lingkungan dan cuaca memerlukan informasi yang cepat dan dinamis. Stasiun bumi sebagai sumber penerimaan data memegang peranan yang sangat penting. Adapun analisis kebutuhan yang diperlukan adalah untuk menerima dan merekam satelit-satelit sebagai berikut: 1. Terra adalah salah satu satelit NASA dengan nama lain EOS AM-1 karena melintas pada pagi hari atau

pada waktu AM. Terra yang berarti untuk bumi ini diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999. Satelit ini merupakan satelit Direct Broadcastyang memancarkan data satelit setiap waktu. Satelit ini membawa beberapa sensor antara lain ASTER, CERES, MISR, MOPIIT, dan MODIS.

2. Aqua adalah salah satu satelit NASA dengan nama lain EOS PM-1 karena melintas pada siang hari atau waktu PM. Aqua yang berarti air ini diluncurkan pada 4 Mei 2002. Satelit ini adalah satelit direct broadcast pada lintasan “A Train” dengan beberapa satelit lain (Aura, Calipso, CloudSat, OCO-2, Perancis Parasol, dan Jepang GCOM W1). Satelit ini membawa beberapa sensor antara lain AIRS, AMSR-E, AMSU-A, CERES, HSB dan MODIS.

3. Suomi NPP yang sebelumnya dikenal sebagai National Polar-orbiting Operational Environmental Satellite Sistem Preparatory Project (NPP) and NPP-Bridge adalah satelit cuaca yang dioperasikan oleh Amerika Serikat National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).Satelit ini diluncurkan pada tanggal 28 Oktober 2011 dan dinamai Verner E. Suomi, seorang ahli meteorologi di University of Wisconsin-Madison, diumumkan pada 24 Januari, 2012, tiga bulan setelah peluncuran satelit. Suomi NPP adalah yang pertama dalam generasi baru satelit dimaksudkan untuk menggantikan satelit EOS, yang diluncurkan dari tahun 1997 sampai 2011. Satelit ini membawa beberapa sensor antara lain ATMS, CRIS, OMPS, CERES, dan VIIRS.

2. KEBUTUHAN PERANGKAT AKUISISI

Langkah awal yang dilakukan adalah dengan merancang desain sistem antena yang dibutuhkan agar sesuai dan dapat diintegrasikan dengan sistem yang telah beroperasi. Desain yang dirancang adalah dengan menentukan kebutuhan apa saja yang dibutuhkan di Balai Penginderaan Jauh Parepare. Adapun kebutuhan yang dibutuhkan terdiri dari kebutuhan antena, kebutuhan demodulator, dan kebutuhan sistem ingest.

2.1 Kebutuhan Antena

Ada begitu banyak vendor antena penginderaan jauh yang ada didunia ini dan begitu banyak spesifikasi yang ditawarkan. Oleh karena itu diperlukan pendataan kebutuhan spesifikasi yang dibutuhkan dan diinginkan dengan mempertimbangkan sistem yang telah beroperasi.

Tabel 1. Jenis Satelit dan Kebutuhan G/T

No Satelit G/T Minimum Frekuensi Referensi 1 Suomi NPP 22.70 (5 derajat) 7812 MHz (Ball Aerospace, 2000) 2 AQUA 23.4 (0 derajat) 8160 MHz (NASA Goddard Space Flight Center,1998) 3 TERRA 23.53 (0 derajat) 8212.5 MHz (NASA Goddard Space Flight Center,2002)

Hal pertama yang dibutuhkan untuk menentukan kebuthan antena adalah dengan menentukan G/T

(Antenna Gain to Noise Temperature) minimum untuk akuisisi data satelit. G/T dimaksudkan untuk menentukan karakteristik kinerja antena dengan G adalah gain antenna yaitu satuan desibel yang diterima frekuensi dan T adalah suhu Noise dari sistem penerima dengan satuan Kelvin. Tabel 1 menunjukkan G/T minimum yang dibutuhkan untuk akuisisi data satelit Suomi NPP, Aqua, dan Terra dengan frekuensi tengah masing-masing satelit.

Sistem yang akan dibutuhkan ini akan menjadi redundansi atau backup dari sistem yang telah beroperasi. Adapun dari ketiga satelit tersebut di Tabel 1, Suomi NPP menjadi prioritas karena hanya diterima oleh satu antena yang beroperasi. Oleh karena itu dibutuhkan analisis kebutuhan untuk akuisisi satelit Suomi NPP dengan menentukan analisis link satelit agar sesuai dengan kebutuhan antena. Penentuan analisis ini

Page 80: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0 dengan Sistem yang Telah Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Pengideraan Jauh Parepare (Setyasaputra, N., et al.)

- 80 -

dilakukan dengan cara mempelajari datasheet yang diberikan oleh vendor satelit. Suomi NPP dengan vendor Ball Aerospace memberikan parameter-parameter yang harus dipenuhi agar sistem akuisisi dapat berjalan dengan baik. Adapun parameter-parameter yang dibutuhkan dengan nilai-nilai tertentu yang harus dipenuhi sesuai dengan yang tertulis pada Tabel 2.

Tabel 2.Parameter Link Satelit Suomi NPP

(Sumber: Ball Aerospace, 2000 dan Arif Hidayat, 2014)

Parameter Value Unit Source Frequency 7.812 Ghz Input parameter Transmit Power 38.5 dBm 10 log (7)+30 Gain Satelit Antenna 5.9 dB Worst case for +/- 1 pointing Passive loss -1.3 dB 7 ft coaxial cable loss & switch

Space Loss -179.3545 dB Ls=-92.44-20log (S)-20log(f) at 2835 km at 5 degree angel

Rain & Atmosferic Loss -3.65 dB Wors case conditional

Pointing Loss -2 dB Pointing Error at 1 degree G/T Antenna 25 dB Last time measurement

IF cable Loss -8 dB 100 meter from antenna to demodulator

Total Recived Power -117.093 dB Total power from space

Bolzmant Konstanta -198.6 dBm/Hz-K k= 1- log (1.38E-23)

Power Transmitted 81.5075 Total power-K Data Channel OQPSK

Noise Bandwidth 74.77121 dB 10xlog bw frequency used Available S/N 6.736287 dB Total power-Noise all bw EB/No Required 4.4 dB From link analisis using viterbi

Margin 2.336287 dB Margin power from miss calculation

2.2 Kebutuhan Demodulator dan Sistem Ingest

Selanjutnya yang dibutuhkan setelah kebutuhan antena adalah kebutuhan demodulator dan sistem ingest. Jika antena dibutuhkan untuk melakukan penerimaan sinyal untuk data satelit, maka demodulator digunakan untuk melakukan mengambilan data dari sinyal informasi yang diterima oleh antenna yaitu dengan melakukan demodulasi dan decoding sinyal yang diterima dan sistem ingest digunakan untuk menerima data RAW yang telah terdemodulasi dan decoding yang selanjutkan akan direkam atau disimpan pada media penyimpanan seperti hard disk. Oleh karena itu, pada Tabel 3 dijelaskan modulasi apa saja yang digunakan dan encoding apa saja yang dilakukan pada sistem pengiriman satelit yang selanjutkan akan diterjemahkan pada sistem penerima dan perekaman yang ada di stasiun bumi, sehingga data citra satelit dapat tersaji dengan baik pada sistem penyimpanan yang ada dan dapat digunakan informasinya untuk berbagai keperluan dan penggunaan.

Tabel 3. Jenis Satelit Modulasi dan Metode Encoding

No Satelit Modulasi Encoding Referensi

1 Suomi NPP QPSK Viterbi&Reed-Solomon (Ball Aerospace, 2003)

2 AQUA SQPSK Reed-Solomon (NASA Goddard Space Flight Center, 2002)

3 TERRA SQPSK Viterbi&Reed-Solomon (Lockheed Martin Corporation, 1998)

Page 81: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 81 -

3. HASIL PEMBAHASAN PERANCANGAN SISTEM

Analisis diperlukan untuk melakukan integrasi dan mendapatkan sistem yang handal serta menghindari agar sistem tidak mudah down. Adapun sistem yang dianalisis adalah sistem antena Orbital. Analisis tersebut antara lain kebutuhan daya perangkat, kebutuhan kabel coaxial, kebutuhan sistem proteksi dan kebutuhan kontrol jaringan.

Gambar 1. Sistem Diagram EOS-DB Sistem Orbital (Sumber: 2.4XLC EOS-DB Sistem Diagram, 2014)

Gambar 2. Isi Rack EOS-FES dari Sistem Orbital (Sumber: EOS-FES Rack Diagram, 2014)

Page 82: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0 dengan Sistem yang Telah Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Pengideraan Jauh Parepare (Setyasaputra, N., et al.)

- 82 -

3.1 Kebutuhan Daya Perangkat Operasional kebutuhan daya perangkat perlu dilakukan kalkulasi hal ini agar persiapan integrasi dengan

UPS existing. Untuk antena sendiri karena jarak perangkat di ruang kantrol stasiun bumi dengan antena kurang lebih 80 meter maka UPS yang mencatu daya di menggunakan UPS sendiri. Hal ini di lakukan dengan pertimbangan loss daya dan tegangan jatuh dapat dikurangi.

Tabel 4.Kebutuhan Daya Perangkat

(Sumber: Orbital Sistem, 2010) No Nama Perangkat Arus Beban (A) Tegangan (V) 1 Antena Positioner 15 208 -240 2 Demodulator 5 100-240 3 Ingest Sistem 6 200-240

Untuk perangkat indoor UPS yang digunakan adalah UPS existing dengan pertimbangan UPS existing

masih memiliki sisa daya. Berdasasarkan arus beban yang digunakan maka untuk antena digunakan kabel dengan diameter 2.5 mm (tabel PUIL, 2000).

3.2 Kebutuhan Kabel Coaxial

Berdasarkan perhitungan link budget di tabel 2 loss kabel yang diijinkan hanya 8 dB per 100 meter. Pihak Orbital menggunakan kabel tipe coaxial RG 8 sebagai media transmisi. Dari hasil datasheet kabel RG 8 memiliki redaman 11 dB. Selisih dari redaman tersebut adalah 3 dB. Untuk menghindari loss yang berlebih maka tipe kabel yang digunakan diganti dengan tipe kabel yang bermutu tinggi.

Tabel 5. Kebutuhan Kabel RF

No Tipe Kabel Redaman per 100 meter (dB) 1 Belden Coaxial RG 8 11 2 Heliax Andrew 0.5 cm 6.01

Dari hasil pencarian tipe kabel yang memiliki redaman kurang dari atau sama dengan 8 dB adalah kabel

tipe heliax. Kabel ini dilindungi dinding tembaga sebagai outer-nya. Selain itu kabel ini memiliki inner lebih besar sehingga gelombang elektromagnet pada frekuensi 720 MHz lebih terjaga dari loss. 3.3 Sistem Proteksi dari Gangguan Tegangan Spike dan Petir

Agar mencegah kerusakan perangkat dari sambaran petir dan induksi tegangan berlebih dari luar, maka dilakukan proteksi. Metode proteksi yang dilakukan adalah menggunakan metode Faraday. Metode ini menggunakan kawat tembaga melintang di atas antena. Instalasi juga di integrasikan dengan sistem penangkal petir yang sudah terpasang. Hambatan tanah pada sistem penangkal petir diharuskan kurang dari 1 Ohm. Pentanahan body perangkat dan pentanahan penangkal petir dipisahkan. Pemasangan arester dilakukan pada titik titik penyambungan listrik di panel box. Arester ini dihubungkan dengan pentanahan sehingga apabila terjadi tegangan berlebih dapat dibuang.

Gambar 3. Perancangan Pemasangan Sistem Pertanahan dan Penangkal Petir

Page 83: Standardisasi Prosedur Pengambilan Foto Udara dengan Pesawat

SEMINAR NASIONAL PENGINDERAAN JAUH 2015

- 83 -

3.4 Kebutuhan Kontrol Perangkat Seluruh perangkat dikontrol menggunakan IP Versi 4. Kabel yang digunakan adalah kabel cat6 yang

memiliki mutu terbaik di kelas kabel ethernet yaitu kabel STP (Shielded Twisted Pair). IP address diintegrasikan dengan IP address lokal sehingga kontrol seluruh perangkat dapat berkomunikasi.

4. KESIMPULAN

Seluruh sistem pada sistem stasiun bumi perlu dilakukan analisis agar dapat diintegrasikan. Pada makalah ini dilakukan analisis power, kebutuhan kabel coaxial, kebutuhan penangkal petir dan kebutuhan kontrol IP. Power yang dibutuhkan oleh antena di penuhi dengan UPS baru dan UPS existing. Kabel coaxial dari orbital disarankan untuk diganti karena redaman yang ada terlalu besar. Sistem penangkal petir dibuat menggunakan metode Faraday dan diintegrasikan dengan sistem yang sudah ada. Kontrol perangkat menggunakan IP, alokasi IP disesuaikan dengan jaringan yang sudah ada. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh personil Balai Penginderaan Jauh Parepare yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam penulisan karya ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap panitia atas masukan dan koreksinya.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A., Munawar, S.T.A., Suprijanto, A., dan Setyasaputra, N. (2014). Integration Sistem for Receiving and Recording NPP Satellite Data at Remote Sensing Ground Station. Proceeding of IEEE-2014 Makassar International Conference on Electrical Engineering and Informatics (MICEEI). UNHAS. Makassar.

Datasheet (2014). 2.4XLC EOS-DB Sistem Diagram. Orbital Sistem Ltd., Irving TX. Datasheet (2014). 2.4XLC EOS-FES Half Rack Diagram. Orbital Sistem Ltd., Irving TX. Datasheet (2003). Interface Control Document, NPP Spacecraft High Rate Data (HRD) RFICD to the Direct-Downlink

Stations. Ball Aerospace & Technologies Corporation, Colorado. Datasheet (2002). Interface Description Documentfor EOS Aqua X-Band Direct Broadcast. NASA Goddard Space

Flight Center, Maryland. Datasheet (2002). Direct Access Sistem User’s Guide for the EOS–AM Spacecraft. Lockheed Martin Corporation,

Philadelphia. Davis, G. (2011). History of the NOAA Satellite Program. NOAA Satellite and Information Service, Maryland. Cited in

http://www.osd.noaa.gov/download/JRS012504-GD.pdf. [1 Oktober 2015] Maurer, J. (2001). Overview of NASA’s Terra satellite. University of Hawai’I, Hawai’i. Cited in

http://www2.hawaii.edu/~jmaurer/terra/. [1 Oktober 2015] *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA POSTER PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2015 Judul Makalah : Analisis Kebutuhan Integrasi Antena Orbital Diameter 3.0 dengan Sistem yang Telah

Beroperasi di Stasiun Bumi Balai Penginderaan Jauh Parepare Pemakalah : Nurmajid Setyasaputra Jam : 10.30-15.00 WIB Tempat : Ball Room 2 & 3 Diskusi : Syarif Budhiman (Pusfatja, LAPAN): Bagi orang awam, mungkin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan antena orbital diameter 3.0, apa kelebihannya sehingga alat tersebut dibutuhkan?

Jawaban: Antena orbital diameter 3.0 merupakan antena pabrikan yang memiliki kemampuan untuk melakukan penerimaan dan perekaman dengan sistem lengkap, mudah, dan otomatis. Antena ini memiliki kelebihan mudah dalam pengoperasiaannya dan mudah dalam perawatannya. Pada kasus ini antena digunakan untuk melakukan akuisisi satelit penginderaan jauh resolusi rendah seperti TERRA, AQUA, dan Suomi NPP.