standar operational procedure penatalaksanaan kegawatdaruratan keracunan insektisida
TRANSCRIPT
I.Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Keracunan Insektisida.
Dilakukan sesegera mungkin apapun penyebab keracunan tersebut.
1. Tindakan ABCDE
A. Airway (Jalan napas)
Bebaskan jalan napas dari sumbatan. Apabila perlu pasang pipa endotrakeal.1
B. Breathing (Pernapasan)
Jaga agar pasien dapat bernapas dengan baik. Apabila perlu berikan bantuan pernapasan.1
C. Circulation (Peredaran Darah)
Tekanan darah dan nadi dipertahankan dalam batas normal. Berikan infus cairan dengan
normal salin, dekstrosa atau Ringer Laktat.1
D. Dekontamination (Pembersihan)
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan
pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas,
sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung berupa sarung tangan,
masker dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena
racun yaitu:1,2
a. Dekontaminasi pulmonal
Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan
inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas, dan berikan oksigen lembab
100% dan jika perlu beri ventilator.
b. Dekontaminasi mata
Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu
posisi kepala pasien ditengadahkan dan miring ke sisi mata yang terkena atau
terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan iritasi larutan aquades atau
NaCl 0,09% perlahan sampai zat racunnya diperkirakan sudah hilang (hindari bekas
larutan pencucian mengenai wajah atau mata lainnya) selanjutnya tutup mata dengan
kassa steril segera konsul dokter mata.
c. Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku).
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan
aksesoris lainnya dan masukkan dalam wadah plastik yang kedap air dan tutup rapat,
1
cuci (scrubbling) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan disabun minimal
10 menit selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
d. Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan pemaparan yang tersering, sehingga tindakan pemberian bahan
pengikat (karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara
induksi muntah atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan
bahan toksik.
Emesis
Dapat dilakukan secara mekanik dengan merangsang daerah orofaring
bagian belakang. Dengan obat-obatan dapat diberikan larutan Ipekak 10-
20 cc dalam satu gelas air hangat, dan dapat diulang setelah 30 menit, atau
dapat diberikan Apomorfin 0,6 mg/kgBB i.m atau 0,01 mg/kgBB/iv.
Tindakan emesis tidak dilakukan pada keracunan bahan korosif, misalnya
air aki, penderita dengan kesadaran menurun atau kejang-kejang dan
keracunan minyak tanah.1
Kumbah Lambung
Kubah lambung bertujuan mencuci sebersih mungkin bahan racun dari
lambung, namun kurang bermanfaat apabila dilakukan 4 jam setelah bahan
tertelan, karena bahan telah melewati lambung dan telah diabsorsi oleh
usus. Dengan memakai pipa nasogastrik yang besar dimasukkan air,
apabila mungkin air hangat 200 sampai 300 cc setiap kumbah lambung
sampai bersih. Pada akhir kumbah lambung dimasukkan 30 g norit.1
Katarsis (urus-urus)
Dilakukan apabila bahan racun diperkirakan telah mencapai usus, yang
berguna membersihkan usus halus sampai kolon, dengan memakai 30 g
Magnesium Sulfat. Tidak dilakukan katarsis pada orang kejang atau pada
keracunan bahan korosif.1
Tabel 1. Tatacara Dekontaminasi Gastrointestinal.2
Jenis Tindakan Tata Cara Kontraindikasi Perhatian Khusus
Induksi muntah Stimulasi mekanis - Kesadaran Pneumopati inhalasi,
2
pada orofaring turun, kejang
- Apneu,
paparan > 4
jam
- Keracunan zat
korosif
sindrom Mallory Weis
Pengenceran Air dingin atau susu
250 ml
- Kesadaran
turun
- Gangguan
menelan/napas
- Nyeri
abdomen
- Asam pekat,
nonn kaustik
Aspirasi dan
kumbah lambung
Posisi Tredelenburg
left lateral dekubitus,
pasang NGT, aspirasi,
bilas 200-300 ml
sampai bersih tambah
karbon aktif 50 gram.
- Kesadaran
turun tanpa
pasang
intubasi
- Zat korosif
- Zat
hidrokarbon
- Asam pekat,
non kaustik
- Petrolium
destilat
- Efektif
paparan < 1
jam
- Kehamilan,
kelainan
jantung,
depresi SSP,
perforasi
lambung.
Arang aktif Dosis tunggal 30-50 g
+ 240 ml air
- Paparan > 1
jam
- Ileus/
obstruksi GIT
- Zat korosif
- Zat
- Konstipasi
- Distensi
lambung
3
hidrokarbon
Irigasi usus Polietilen glikol 60 gr
+ NaCl 1,46 g + KCl
0,75 g + Na bic 1,68 g
+ Na sulfat 5,68 g +
air sampai 1 liter
Gangguan napas, SSP,
jantung tidak stabil,
kelaianan patologis
usus
Indikasi keracunan Fe,
lithium, tablet lepas
lambat atau tablet
salut enterik.
Bedah Bila menelan zat
sangat korosif (asam
kuat), asing.
E. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang
beredar dalam darah, atau dalam saluran cerna dapat digunakan pemberian aktif yang
diberikan berulang dengan dosis 30-50 gram (0,5-1 gram/kgBB) setiap 4 jam per oral/
enteral. Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat seperti kabarmazepin,
Chloredecone, quinin, dapson, digoksin, nadolol, fenobarbital, fenilbutazone, fenitoin,
salisilat, teofilin, phenoxyacetate herbisida.
Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada dokter spesialis penyakit dalam
karena tindakan spesialistik berupa cara eliminasi racun yaitu:1,2
1. Diuresis paksa (forced diuresis)
Terutama berguna pada keracunan yang dapat dikeluarkan melalui ginjal. Tidak
boleh dikerjakan pada keadaan syok, dekoompensasi jantung, gagal ginjal, edema
paru dan keracunan akibat bahan yang tidak dapat diekskresi melalui ginjal.1
Jenis diuresis paksa (DP) adalah DP Netral, DP Alkali, dan DP Asam. Ada istilah DP
setengah yang artinya dengan memberikan cairan 3 liter selama 12 jam (setengah
hari) dan FDP satu artinya memberikan cairan 6 liter dalam 24 jam (satu hari).
Diuresis paksa netral dengan diberikan Ca glukonas iv, 3 liter cairan glukosa 10%
dalam waktu 12 jam dan furosemid. Cara pemberian sama dengan DP Netral hanya
perlu ditambahkan ½ ampul Na bikarbonas pada setiap cairan infus dekstrosa 5%.
Diuresis Paksa Asam dipakai pada keracunan karena amfetamin, striknin, dan
fenisiklidin. Diberikan 1,5 amonium klorida dan 500 cc dekstrosa 5%. Pemberian
4
500 cc dekstrosa 5% dan 500 cc normal salin secara bergantian, dengan kecepatan 1
liter pada jam pertama, dan dilanjutkan 500 cc perjam. Pantau elektrolit serum dan
darah setiap jam. Apabila pH urine lebih dari 7,0 ditambahkan amonium klorida pada
500 cc dekstrosa 5%.1
2. Alkalinisasi urin
3. Asidifikasi urin
4. Hemodialisis/peritoneal dialisis.
Dilakukan pada keracunan dengan koma yang dalam, hipotensi berat, kelainan asam
basa dan elektrolit, penyakit ginjal berat, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit
hati dan pada kehamilan. Umumnya dilakukan pada keracunan pada dosis letal dari
bahan alkohol, barbiturat, karbamat, asetaminofen, aspirin, fenasetin, amfetamin,
logam berat dan striknin.1
2. Pemberian Antidotum
Antidotum (bahan penawar) berguna untuk melawan efek racun yang telah masuk pada
organ target. Tidak semua racun mempunyai antidote yang spesifik.1 Pada kebanyakan
kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat
antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit jumlahnya. Beberapa jenis
antidotum pada keracunan dapat dilihat pada Tabel 2.
3. Tindakan Suportif
Guna mempertahankan fungsi vital, perlu perawatan menyeluruh, termasuk perawatan
temperatur, koreksi keseimbangan asam basa atau elektrolit, pengobatan infeksi dan lain-
lain.1
SOP Penatalaksanaan Keracunan Organofosfat.3
Keracunan akut :
Tindakan gawat darurat:
1. Buat saluran udara.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Berikan pernapasan buatan dengan alat dan beri oksigen.
5
4. Berikan atropin sulfat 2 mg secara i.m, ulangi setiap 3 – 8 menit sampai gejala keracunan
parasimpatik terkendali.
5. Berikan larutan 1g pralidoksim dalam air secara i.v, perlahan-lahan, ulangi setelah 30
menit jika pernapasan belum normal. Dalam 24 jam dapat diulangi 2 kali. Selain
pralidoksim, dapat digunakan obidoksim (toksogonin).
6. Sebelum gejala timbul atau setelah diberi atropine sulfat, kulit dan selaput lendir yang
terkontaminasi harus dibersihkan dengan air dan sabun.
7. Jika tersedia Naso Gastric Tube, lakukan bilas lambung dengan air dan berikan sirup
ipeca supaya muntah.
Tindakan umum:
1. Sekresi paru disedot dengan kateter.
2. Hindari penggunaan obat morfin, aminofilin, golongan barbital, golongan fenotiazin dan
obat-obat yang menekan pernapasan.
Keracunan kronik:
Jika keracunan melalui mulut dan kadar enzim kolinesterase menurun, maka perlu dihindari
kontak lebih lanjut sampai kadar kolinesterase kembali normal.
Tabel 2. Jenis Keracunan, Antidotum dan Metode Pemberiannya.2
6
II.Patofisiologi Intoksikasi Insektisida
Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus dengan sempurna. Jenis yang
paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan
organoklorin. Golongan karbamat efeknya mirip efek organofosfat, tetapi jarang menimbulkan
kasus keracunan. Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan dan seng
fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik. Kasus keracunan golongan ini jarag
terjadi. Keracunan pestisida golongan organosfosfat disebabkan oleh asetilkolin yang berlebihan,
mengakibatkan perangsangan terus menerus saraf muskarinik dan nikotinik.3
Gejala klinis keracunan pestisida golongan organofosfat pada:3
1. Mata; pupil mengecil dan penglihatan kabur
2. Pengeluaran cairan tubuh; pengeluaran keringat meningkat, lakrimasi, salivasi dan juga
sekresi bronchial.
3. Saluran cerna; mual, muntah, diare dan sakit perut.
4. Saluran napas; batuk, bersin, dispnea, dan dada sesak.
7
5. Kardiovaskular; bradikardia dan hipotensi.
6. Sistem saraf pusat; sakit kepala, bingung, berbicara tidak jelas, ataksia, demam, konvulsi
dan koma.
7. Otot-otot; lemah, fascikulasi dan kram.
8. Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain edema paru, pernapasan berhenti, blocade
atrioventrikular dan konvulsi.
III.Tentamen Suicidum
Kata suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti “membunuh diri sendiri”. Jika berhasil
tindakan ini merupakan tindakan fatal yang menunjukkan keinginan orang tersebut untuk mati.
Meskipun demikian, terdapat kisaran antara berpikir mengenai bunuh diri dan melakukannya.
Beberapa orang memiliki gagasan bunuh diri yang tidak akan pernah mereka lakukan; beberapa
orang lagi merencanakannya berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-tahun
sebelum melakukannya.; dan orang lain melakukan bunuh diri berdasarkan impuls, tanpa
memikirkannya terlebih dahulu.4
Epidemiologi
Setiap tahun lebih dari 30.000 orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat. Angka
percobaan bunuh diri kira-kira 650.000. Kira-kira terdapat 85 bunuh diri dalam sehari di negara
ini – sekitar 1 bunuh diri setiap 20 menit. Angka bunuh diri di Amerika Serikat rata-rata antara
12,5 per 100.000 di abad ke-20, dengan angka 17,4 per 100.000 selama Depresi Besar tahun
1930. Sejak tahun 1983 sampai 1998, keseluruhan angka bunuh diri relatif tetap stabil, sementara
angka untuk pelaku berusia 15-24 tahun meningkat dua hingga tiga kali lipat. Bunuh diri saat ini
berada di peringkat sembilan untuk keseluruhan penyebab kematian negara ini, setelah penyakit
jantung, kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, kecelakaan,
pneumonia, influenza, dan diabetes melitus.4
Angka bunuh di Amerika Serikat berada di titik tengah angka untuk negara industri seperti yang
dilaporkan ke PBB. Di dunia, angka bunuh diri berkisar dari lebih dari 25 per 100.000 orang di
Skandinavia, Switzerland, Jerman, Austria, Negara Eropa Timur (yang disebut suicide belt), dan
Jepang, hingga kurang dari 10 per 100.000 di Spanyol, Itali, Irlandia, Mesir dan Belanda. Tempat
8
bunuh diri utama di dunia adalah Jembatan Golden Gate di San Fransisco, dengan lebih dari 800
bunuh diri sejak jembatan itu dibuka pada tahun 1937.4
Faktor Resiko
Jenis Kelamin. Laki-laki melakukan bunuh diri empat kali lebih banyak dibandingkan
perempuan, suatu angka yang stabil pada semua usia. Meskipun demikian, perempuan empat kali
lebih besar kemungkinannya untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan laki-laki.4
Usia. Angka bunuh diri meningkat seiring dengan usia dan menegaskan makna dari krisis usia
pertengahan. Dia antara laki-laki, puncak bunuh diri setelah usia 45 tahun; pada perempuan
angka terbesar bunuh diri yang berhasil dilakukan terdapat setelah usia 55 tahun. Angka 40 per
100.000 populasi terdapat pada laki-laki berusia 65 tahun dan lebih. Orang berusia lebih tua
melakukan percobaan bunuh diri lebih jarang dibandingkan orang muda tetapi lebih sering
berhasil. Meskipun mereka hanya 10 persen dari populasi total, 25 persen bunuh diri dilakukan
oleh orang yang lebih tua. Angka untuk 75 tahun atau lebih melebihi tiga kali angka di antara
orang muda.4
Meskipun demikian, angka bunuh diri, meningkat paling cepat di antara orang muda, terutama
pada laki-laki berusia 15 hingga 24 tahun, dan angkannya masih meningkat. Angka bunuh diri
untuk perempuan dengan kelompok usia yang sama meningkat lebih lambat dibandingkan laki-
laki. Dia antara laki-laki berusia 25 hingga 34 tahun, angka bunuh diri meningkat hampir 30
persen selama dekade terakhir. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian nomor tiga pada
kelompok usia 15 hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan pembunuhan, dan percobaan bunuh
diri di kelompok usia ini antara 1 juta hingga 2 juta per tahun. Sebagian besar bunuh diri saat ini
terdapat pada orang-orang berusia 15 hingga 24 tahun.4
Ras. Dua dari tiap tiga bunuh diri dilakukan oleh laki-laki kulit putih. Angka bunuh diri di antara
kulit putih hampir dua kali lipat dari semua kelompok lainnya; meskipun demikian, angka ini
sekarang dipertanyakan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam meningkat. Angka bunuh diri
untuk laki-laki kulit putih (19,6 per 100.000 orang) adalah 1,6 kali dibandingkan angka untuk
laki-laki kulit hitam (12,5), empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan kulit putih
(4,8), dan 8,2 kali dibandingkan perempuan kota dan kelompok Native American dan Inuit,
9
angka bunuh diri jauh melampui angka nasional. Angka bunuh diri pada imigran lebih tinggi
daripada populasi asli.4
Agama. Secara historis, angka bunuh diri di antara populasi Katolik Roma lebih rendah
dibandingkan dengan angka di antara populasi Protestan dan Yahudi. Derajat keortodoksan dan
integrasi mungkin merupakan ukuran risiko yang lebih akurat di kategori ini daripada persatuan
agama institusional.4
Status perkanwinan. Perkawinan yang dilengkapi oleh anak tampaknya mengurangi risiko
bunuh diri secara signifikan. Angka bunuh diri adalah 11 per 100.000 untuk orang yang
meningkah; lajang, orang yang tidak pernah menikah memiliki angka keseluruhan hampir dua
kali lipat darri itu. Meskipun demikian, orang yang sebelumnya pernah menikah menunjukkan
angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah menikah; 24 per 100.000
pada janda atau duda, dan 40 per 100.000 pada orang yang bercerai, dengan laki-laki bercerai 69
bunuh diri per 100.000 , dibandingkan dengan 18 per 100.000 untuk perempuan yang bercerai.
Bunuh diri terjadi lebih sering dari biasanya pada orang yang terisolasi secara sosial dan
memiliki riwayat keluarga bunuh diri (percobaan atau sesungguhnya). Orang yang melakukan
yang disebut anniversary suicide melakukan bunuh diri pada hari saat anggota keluarganya
melakukan bunuh diri.4
Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar risiko bunuh dirinya, tetapi
penurunan status sosial juga meningkatkan risiko bunuh diri. Pekerjaan, pada umumnya,
melindungi orang dari bunuh dari. Di antara tingkat pekerjaan, profesional, terutama dokter, dari
dahulu dianggap memiliki risiko bunuh diri paling tinggi, tetapi studi terkini yang paling baik
menemukan tidak ada risiko bunuh diri yang meningkat untuk dokter laki-laki di Amerika
Serikat. Angka bunuh diri per tahunnya kira-kira 36 per 100.000, yang sama dengan angka
bunuh diri pada laki-laki dua sampai tiga kali dari angka bunuh diri yang ditemukan pada
populasi laki-laki umum dengan usia yang sama. Populasi khusus yang memiliki risiko adalah
musisi, dokter gigi, petugas penegak hukum, pengacara, dan agen asuransi. Bunuh diri lebih
tinggi pada penganggur dibandingkan dengan orang yang bekerja. Angka bunuh diri meningkat
selama resesi ekonomi dan menurun selama waktu perang dan saat banyak orang dipekerjakan.4
10
Metode. Angka keberhasilan laki-laki yang lebih tinggi untuk bunuh diri terkait dengan metode
yang mereka gunakan; senjata api, gantung diri, atau lompat dari tempat tinggi. Perempuan
lazimnya mengonsumsi zat psikoaktif overdosis atau racun, tetapi penggunaan senjata api saat
ini meningkat. Di negara dengan hukum pengendalian senjata, penggunaan senjata menurun
sebagai metode bunuh diri. Secara global, metode bunuh diri yang paling lazim adalah gantung
diri.4
Kesehatan fisik. Hubungan penyakit dan kesehatan fisik dengan bunuh diri cukup bermakna.
Perawatan medis sebelumnya tampaknya merupakan indikator risiko bunuh diri yang
berhubungan positif: 32 persen orang yang melakukan bunuh diri pernah mendapatkan perhatian
medis dalam 6 bulan sebelum kematiannya. Studi postmortem menunjukkan bahwa penyakit
fisik ada pada 25 hingga 75 persen korban bunuh diri, dan penyakit fisik diperkirakan sebagai
faktor yang turut berperan pada hampir 50 persen bunuh diri.4
Faktor-faktor yang berkaitan dengan penyakit dan turut berperan di dalam bunuh diri maupun
percobaan bunuh diri adalah hilangnya mobilitas, terutama ketika aktivitas fisik penting bagi
pekerjaan dan kesenganan; cacat, terutama pada perempuan; serta nyeri yang sulit sembuh dan
kronis. Di samping efek langsung penyakit, efek sekundernya—contohnya, gangguan hubungan
dan hilangnya status pekerjaan—merupakan faktor pronostik yang buruk.4
Obat-obat tertentu dapat menimbulkan depresi yang dapat menyebabkan bunuh diri pada
beberapa kasus. Di antara obat-obat ini adalah reserpine (Serpasil), kortikosteroid, antihipertensi,
dan beberapa agen antikanker.4
Kesehatan Jiwa. Faktor psikiatrik yang sangat bermakna di dalam bunuh diri mencakup
penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan jiwa lainnya. Hampir 95
persen orang yang melakukan atau mencoba bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa.
Gangguan depresif berperan di dalam 80 persen dari angka ini, skizofrenia 10 persen, dan
demensia atau delirium 5 persen. Di antara semua orang dengan gangguan jiwa, 25 persen
memiliki ketergantungan alkohol dan memiliki diagnosis ganda. Orang dengan depresi waham
memiliki risiko bunuh diri paling tinggi. Risiko bunuh diri pada orang dengan gangguan depresif
kira-kira 15 persen, dan 25 persen orang dengan riwayat perilaku impulsif atau tindakan
11
kekerasan juga memiliki risiko bunuh diri yang tinggi. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk
alasan apapun meningkatkan risiko bunuh diri.4
Di antara orang dewasa yang melakukan bunuh diri, terdapat perbedaan bermakna antara orang
muda dan tua untuk diagnosis psikiatrik dan stresor yang mengawalinya. Suatu studi di San
Diego, California, menunjukkan bahwa diagnosis penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial paling sering terjadi pada bunuh diri yang dilakukan oleh orang berusia di bawah 30
tahun, dan diagnosis gangguan mood dan gangguan kognitif palling sering pada usia 30 dan
lebih. Stresor yang terkait dengan bunuh diri pada orang berusia dibawah 30 tahun adalah
perpisahan, penolakan, tidak bekerja, dan masalah dengan hukum; stresor penyakit paling sering
terdapat pada korban bunuh diri yang berusia lebih dari 30 tahun.4
Pasien Psikiatrik. Risiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 hingga 12 kali
dibandingkan dengan yang bukan pasien psikiatrik. Derajat risikonya bervariasi bergantung pada
usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status pasien rawat inap atau rawat jalan. Setelah penyesuaian
untuk usia, pasien psikiatrik laki-laki dan perempuan yang pernah dirawat sebelumnya masing-
masing memiliki lima dan sepuluh kali lebih tinggi risiko bunuh diri risiko bunuh diri, daripada
yang lainnya di populasi umum.4
Etiologi
Faktor Sosial.
Teori Durkheim. Dalam upaya menjelaskan pola statistikal, Durkheim membagi bunuh diri
menjadi tiga kategori sosial: egoistik, altruistik, dan anomik. Bunuh diri egoistik diterapkan pada
individu yang tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka yang
tidak menikah lebih rentan untuk melakukan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang
menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi sosial yang lebih baik dari pada
daerah perkotaan, sehingga angka bunuh diri lebih sedikit.4
Bunuh diri altruistik dimaksudkan pada individu yang terikat pada tuntutan tradisi khususnya
ataupun ia cenderung bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia
merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contohnya “Hara-kiri” di Jepang,
12
“puputan” di Bali, atau seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang
tenggelam. 4
Bunuh diri anomik merupakan ketidakstabilan sosial, dengan kehancuran standar dan nilai-nilai
masyarakat. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan, masyarakat atau kelompoknya tidak
dapat memberikan kepuasan kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa bunuh diri
pada mereka yang cerai dari pernikahan lebih banyak dari pada yang tetap dalam pernikahan.
Individu yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan bunuh
diri.4
Faktor Psikologis
Teori Freud. Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan amarah dan
permusuhan terhadap seseorang yang dicintai, mungkin memaksa seorang individu untuk
menimpakan impuls-impuls agresif yang tidak ekseptabel itu pada dirinya sendiri. 4
Teori Menninger. Menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah pembunuhan yang diretrofleksikan,
pembunuhan yang dibalikan sebagai akibat kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikan
kepada diri sendiri atau digunakan sebagai pengampunan akan hukuman. Ia menggambarkan tiga
komponen permusuhan dalam bunuh diri, yaitu keinginan untuk membunuh, keinginan untuk
dibunuh, dan keinginan untuk mati.4
Teori-Teori Baru. Hal yang dapat dipelajari dari teori psikodinamika pasien bunuh diri adalah
dari khayalan mereka seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka melakukan
bunuh diri. Khayalan tersebut seringkali termasuk keinginan untuk balas dendam, kekuatan,
pengendalian, atau hukuman; untuk pertobatan, pengorbanan, atau pemulihan; untuk meloloskan
diri atau untuk tidur; atau untuk pembebasan, kelahiran kembali, berkumpul kembali dengan
orang yang telah meninggal, atau untuk hidup baru. Pasien bunuh diri yang paling mungkin
melakukan khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah menderita kehilangan objek cinta atau
menderita cedera narsistik, yang mengalami afek yang berat seperti kemarahan dan rasa bersalah,
atau yang beridentifikasi dengan seorang korban bunuh diri. 4
Faktor Fisiologi
Genetika. Penelitian menunjukan bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga.
Sebagai contohnya, pada semua stadium siklus kehidupan, adanya riwayat bunuh diri dalam
13
keluarga telah ditemukan lebih banyak secara bermakna pada orang yang pernah mencoba bunuh
diri dibandingkan dengan orang yang tidak pernah melakukannya. 4
Mungkin terdapat faktor genetik dalam bunuh diri, terutama faktor yang terlibat dalam transmisi
gangguan bipolar I, skizofrenia, dan ketergantungan alkohol–yaitu gangguan mental yang paling
sering disertai oleh bunuh diri. Tetapi suatu faktor genetik untuk bunuh diri mungkin berdiri
sendiri atau sebagai tambahan untuk transmisi genetik dari suatu gangguan mental. Hal ini
merupakan faktor genetik untuk impulsivitas, yang mungkin berhubungan dengan kelainan
dalam sistem serotonin sentral. 4
Neurokimiawi. Defisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan metabolisme 5-
hydroxyndoleacetic acid (5-HIAA), telah ditemukan dalam kelompok pasien depresi yang
mencoba bunuh diri. Pengeluaran kortisol bebas dalam urin yang tinggi, nonsupresi kortisol
plasma setelah pemberian deksametason peningkatan respon kortisol plasma terhadap infus 5-
hydroxytryptophan, suatu penumpulan thyroid stimulating hormone (TSH) plasma terhadap infus
thyrotropin-releasing hormone (TRH), kelainan konduktansi kulit, perubahan rasio katekol urine,
penurunan ambilan serotonin trombosit atau jumlah ikatan imipramine (Tofranil) yang meninggi,
semuanya telah dilaporkan berhubungan dengan perilaku bunuh diri pada pasien depresi. 4
Pada penelitian juga menemukan bahwa orang dengan kadar monoamin oksidase trombosit yang
rendah memiliki prevalensi bunuh diri delapan kali lebih besar di dalam keluarganya,
dibandingkan dengan orang yang memiliki enzim monoamin oksidase trombosit yang tinggi.
Terdapat bukti-bukti kuat adanya perubahan aktivitas monoamin oksidase trombosit pada
gangguan depresif. 4
IV .Prediksi dan Gejala Bunuh Diri
Klinisi harus menilai risiko pasien individual untuk bunuh diri atas dasar pemeriksaan klinis. Hal
yang paling prediktif yang berhubungan dengan risiko bunuh diri di tuliskan dalam tabel 1. 4
Tabel 3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Risiko Bunuh Diri. 4
Urutan Ranking Faktor
1 Usia (lebih dari 45 tahun)
2 Ketergantungan alkohol
3 Kejengkelan, penyerangan, kekerasan
14
4 Perilaku bunuh diri sebelumnya
5 Laki-laki
6 Tidak mau menerima pertolongan
7 Episode depresi sekarang yang lebih lama dari biasanya
8 Terapi psikiatrik rawat inap sebelumnya
9 Kehilangan atau perpisahan yang belum lama terjadi
10 Depresi
11 Hilangnya kesehatan fisik
12 Pengangguran atau dipecat
13 Tidak menikah, janda/duda, atau bercerai
Penilaian potensi bunuh diri melibatkan penggalian riwayat psikiatrik yang lengkap;
pemeriksaan status mental pasien yang menyeluruh; dan pertanyaan tentang gejala depresif,
pikiran, maksud, rencana, dan usaha bunuh diri. Tidak adanya masa depan, memberikan barang-
barang miliknya, membuat surat wasiat, dan baru mengalami kehilangan berarti peningkatan
resiko untuk bunuh diri. Seperti pada Tabel 4. 4
Tabel 4. Penilaian Risiko Bunuh Diri .4
Variabel Risiko Tinggi Risiko Rendah
Sifat demografik & sosial
Usia Lebih dari 45 tahun Di bawah 45 tahun
Jenis kelamin Laki-laki Wanita
Status mental Cerai atau janda Menikah
Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja
Hubungan interpersonal Konflik Stabil
Latar belakang keluarga Kacau atau konflik Stabil
Kesehatan
Fisik Penyakit kronis Kesehatan baik
Hipokondrik Merasa sehat
Pemakaian zat yang berlebihan Penggunaan zat rendah
Mental Depresi berat Depresi ringan
15
Psikosis Neurosis
Gangguan kepribadian berat Kepribadian ringan
Penyalahgunaan zat Peminum sosial
Putus asa Optimisme
Aktivitas bunuh diri
Ide bunuh diri Sering, kuat, berkepanjangan Jarang, intensitas rendah,
sementara
Usaha bunuh diri Usaha berulang kali Usaha pertama
Direncanakan Impulsif
Penyelamatan tidak mungkin Penyelamatan tidak
terhindarkan
Keinginan yang tidak ragu-ragu Keinginan utama untuk
untuk mati berubah
Komunikasi diinternalisasikan Komunikasi dieksternali-
(menyalahkan diri sendiri) sasikan (kemarahan)
Metoda mematikan dan tersedia Metoda dengan letalitas
rendah dan tidak mudah
didapat
Sarana
Pribadi Pencapaian buruk Pencapaian baik
Tilikan buruk Penuh tilikan
Afek tidak ada atau terkendali Afek tersedia dan terken-
buruk dali dengan semestinya
Sosial Rapport buruk Rapport baik
Terisolasi sosial Terintegrasi secara sosial
Keluarga tidak responsif Keluarga yang
memperhatikan
16
V. Pedoman Wawancara
Tidak mengandung kebenaran terhadap mitos bahwa bicara soal bunuh diri dalam lingkungan
klinik akan menyebabkannya. Pasien boleh secara spontan menceritakan gagasan bunuh dirinya,
bila tidak tanyakan secara langsung pada pasien.
Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa ingin menyerah saja
terhadap hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati. Pendekatan seperti itu membawa stigma
kecil saja dan dapat diterima oleh kebanyakan orang. 4
Lalu bicaralah soal tepatnya apa yang dipikirkan oleh pasien? Dan catatlah semua pikiran itu.
Begitu masalahnya telah mulai diperbincangkan, gunakan kata seperti “bunuh diri” dan “mati”
daripada “cedera” atau “melukai”, karena beberapa pasien bingung tentang penggunaan kata-
kata itu, dan kebanyakan mereka tidak mau mencederai dirinya, walaupun bila mereka ingin
membunuh dirinya. 4
Ajukan pertanyaan seperti ini: Berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah pikiran bunuh diri
anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran yang kurang baik saja, atau
pernahkan anda merencanakan cara bunuh dirinya? Apakah pikiran bunuh diri anda hanya
sepintas lintas saja atau benar-benar serius? Sudah dipikirkan suatu cara tertentu untuk bunuh
diri itu? 4
Pertimbangkan umur pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh dirinya. Coba
dicocokan ucapan dan rencana dari cara yang akan dilaksanakan itu. Seorang wanita dengan
inteligensi normal, yang mendesak bahwa ia ingin mati dan merencanakan untuk menelan 6 – 8
butir aspirin, hal ini tidak menimbulkan keprihatinan kita dibandingkan dengan seorang anak
yang mengungkapkan hal sama. 4
Apakah cara yang dipilih untuk bunuh diri itu dipunyai oleh pasien? Pernahkan ia bertindak ke
arah itu, seperti mengumpulkan pil dan menyelesaikan semua masalah keduniawian? Betapa
pesimistiknya pasien itu? Bagaimana tarap pesimistiknya? Dapatkah ia berpikir bagaimana
untuk memperbaiki kondisi itu? 4
Pertanyaan terakhir membantu untuk menilai dan terapi, saat pasien mengusulkan beberapa jalan
untuk menghindarkan dirinya dari dilemanya. Bila mereka tidak demikian, apakah mereka putus
asa terhadap hari esok? Bila demikian, apakah rasa takut mereka itu rasional? 4
Dapatkan segera riwayat pasien dari orang lain yang dapat dipercaya bila pasien tidak kooperatif. 4
17
VI .Pengobatan
Semua kasus percobaan bunuh diri harus mendapat perhatian sungguh-sungguh. Pertolongan
pertama biasanya dilakukan secara darurat atau di kamar pertolongan darurat di rumah sakit, di
bagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan/atau
keadaan keracunan. Kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis.
Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial, tetapi berhubungan erat dengan kriteria
yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. 5
Bila keadaan keracunan dan/atau luka sudah dapat diatasi, maka dilakukan evaluasi psikiatrik.
Bila mengevalusi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri,
singkirkan semua benda yang potensial berbahaya. Bila mengevaluasi pasien yang baru saja
mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu telah direncanakan atau hanya impulsif saja
sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan pasien pulih kembali, reaksi pasien saat
ditolong orang (apakah pasien kecewa atau justru lega hatinya?), apakah ada perubahan faktor
yang mengarahkan bunuh diri itu. 5
Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan badaniah dengan gangguan psikologik. Penting
sekali dalam pengobatannya untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan
depresi dapat diberikan terapi elektrokonvulsi, obat-obatan terutama berupa antidepresan dan
psikoterapi.4
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada diagnosis, keparahan depresi
dan gangguan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi
hidup pasien, tersedianya dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor risiko untuk
bunuh diri. 4
Untuk menentukan apakah dimungkinkan pengobatan rawat jalan, klinisi harus menggunakan
pendekatan klinis yang langsung–meminta pasien yang diduga bermaksud bunuh diri untuk
setuju menelpon segera jika mencapai titik dimana mereka tidak yakin akan kemampuan mereka
untuk mengendalikan impuls bunuh dirinya. Sebagai balasan komitmen pasien, klinisi harus
dapat dihubungi pasien dalam 24 jam sehari. Jika pasien yang dipertimbangkan secara serius
akan bunuh diri tidak dapat membuat komitmen demikian, maka indikasi dirawat di rumah sakit
dianjurkan pada pasien atau pada keluarganya. Jika pasien menolak perawatan di rumah sakit,
18
keluarganya harus mengambil tanggungjawab untuk bersama-sama dengan pasien selama 24 jam
sehari.
Menurut Schneiderman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif praktis untuk menghadapi
orang yang ingin bunuh diri: (1) turunkan penderitaan psikologis dengan memodifikasi
lingkungan pasien yang penuh dengan stres, menuliskan bantuan dari pasangan, perusahaan, atau
teman; (2) membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa pasien mungkin
memiliki keluhan yang masuk akal; dan (3) menawarkan alternatif terhadap bunuh diri. 4
Dalam rumah sakit mungkin pasien menerima medikasi antidepresan atau antipsikotik sesuai
indikasi. Antidepresan merupakan terapi yang pasti bagi semua pasien yang menampilkan diri
dengan gagasan bunuh diri,2 dimana antidepresan dibagi dalam beberapa golongan yaitu: 1)
Golongan trisiklik, seperti amitriptylin, imipramine, clomipramine, tianeptine, opipramol; 2)
Golongan tetrasiklik, seperti maproftiline, mianserin, amoxapine; 3) Golongan MAOI-Reversible
(RIMA, reversible inhibitor of monoamine oxidase-A), seperti moclobemide; 4) Golongan
atipikal, seperti trazodone, tianeptine, mirtazepine; 5) Golongan SSRI (selective serotonin
reuptake inhibitor), seperti sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluxetine, citalopram.
Selain mendapat medikasi, di rumah sakit mungkin pasien mendapatkan terapi individual, terapi
kelompok, dan terapi keluarga; dan pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan rasa
aman. Tindakan terapetik lain tergantung pada diagnosis dasar pasien. Terapi elektrokonvulsif
(ECT) mungkin diperlukan untuk beberapa pasien yang terdepresi parah, yang mungkin
memerlukan beberapa kali pengobatan. 4
Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa hari dengan
abstinensi. Kebanyakan tak ada terapi spesifik yang perlu diberikan. Bila depresi tetap bertahan
selama gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah gangguan depresi berat. Semua pasien
yang cenderung bunuh diri yang mengalami intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai ulang saat
mereka lepas pengaruh alkoholnya.4
Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenia harus diperhatikan secara seius karena mereka
cenderung mempergunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas tinggi. Pasien
dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari bantuan dan konfrontasi empirik,
dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggungjawab pada masalah yang
mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut. Keikutsertaan keluarga atau teman dan
19
manipulasi lingkungan dapat membantu untuk menyelesaikan krisis yang membawa pasien
untuk bunuh diri. 4
Perawatan pasien jangka panjang dianjurkan bagi kasus dengan kecenderungan mutilasi diri,
namun perawatan inap jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang berulang ini.
Psikoterapi suportif oleh dokter psikiatrik menunjukan perhatian dan dapat menghilangkan
beberapa penderitaan berat yang dilalami pasien. 4
VII.Prognosis
Faktor yang mempengaruhi prognosis ialah: (1) Pasien. Bila pasien dapat menyesuaikan diri
dengan baik dan stres yang menjadi faktor pencetus untuk percobaan bunuh diri cukup besar,
prognosisnya lebih baik. (2) Lingkungan. Bila lingkungan memberi dukungan dan banyak orang
yang memperhatikan penderita serta banyak hal yang dapat memberi arti dalam kehidupan
pasien, maka prognosis akan lebih baik.
Bunuh diri (suiside, suicide) adalah kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja.
Edwin Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai tindakan pembinasaan yang disadari dan
ditimbulkan diri sendiri, dipandang sebagai malaise multidimensional pada kebutuhan individual
yang menyebabkan suatu masalah di mana tindakan dirasakan sebagai pemecahan yang terbaik.
Emile Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga, yaitu bunuh diri egoistik, altruistik, dan
bunuh diri anomik. Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah pembunuhan yang
diretrofleksikan, pembunuhan yang dibalikan sebagai akibat kemarahan pasien kepada orang
lain, yang dibalikan kepada diri sendiri atau digunakan sebagai pengampunan akan hukuman. Ia
menggambarkan tiga komponen permusuhan dalam bunuh diri, yaitu keinginan untuk
membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati.
Penelitian menunjukan bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga. Mungkin
terdapat faktor genetik dalam bunuh diri, terutama faktor yang terlibat dalam transmisi gangguan
bipolar I, skizofrenia, dan ketergantungan alkohol–yaitu gangguan mental yang paling sering
disertai oleh bunuh diri. Tetapi suatu faktor genetik untuk bunuh diri mungkin berdiri sendiri
atau sebagai tambahan untuk transmisi genetik dari suatu gangguan mental. Hal ini merupakan
faktor genetik untuk impulsivitas, yang mungkin berhubungan dengan kelainan dalam sistem
serotonin sentral dan neurokimiawi tubuh lainnya.
20
Dalam menangani pasien yang cenderung bunuh diri merupakan suatu tugas yang penting namun
sulit dilaksanakan. Beberapa peneliti menunjukan bahwa risiko bunuh diri yang berhasil akan
meningkat pada jenis kelamin pria, berkulit putih, umur lanjut, dan isolasi sosial. Pasien dengan
riwayat keluarga percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang berhasil membuat resiko makin
tinggi juga, demikian pula pasien dengan nyeri kronis, pembedahan yang baru terjadi, atau
menghidap penyakit fisik kronis. Demikian pula pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, tinggal
sendiri, serta yang mengatur semua masalahnya secara teratur.
Hampir 95% dari semua pasien yang melakukan bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki
suatu gangguan mental yang terdiagnosis. Gangguan depresif berjumlah 80% dari angka
tersebut, skizofrenia berjumlah 10%, dan demensia atau delirium untuk 5%-nya. Di antara orang-
orang dengan gangguan mental, 25% juga mengalami ketergantungan dengan alkohol dan
memiliki diagnosis ganda.
Dalam menangani pasien bunuh diri diperlukan wawancara khusus tentang masalah dan
keinginan bunuh dirinya sehingga kita dapat menentukan tingkat keletalan dan jenis terapinya.
Disamping itu juga kita dapat menentukan perlu tidaknya pasien untuk di rawat inap atau rawat
jalan.
Penilaian potensi bunuh diri melibatkan penggalian riwayat psikiatrik yang lengkap;
pemeriksaan status mental pasien yang menyeluruh; dan pertanyaan tentang gejala depresif,
pikiran, maksud, rencana, dan usaha bunuh diri. Tidak adanya masa depan, memberikan barang-
barang miliknya, membuat surat wasiat, dan baru mengalami kehilangan berarti peningkatan
resiko untuk bunuh diri.
Bila terlihat adanya tanda-tanda risiko berat ataupun tanda-tanda bahaya, maka hal bunuh diri
perlu dibicarakan secara terbuka, tetapi bijaksana dengan yang bersangkutan. Perlu pengawasan
yang lebih baik, diberitahukan kepada keluarga yang dekat padanya agar ia membantu
mengawasi, barang dan alat yang sering dipakai untuk melakukan bunuh diri disingkirkan bila
mungkin dan obat yang diberikan jangan terlalu banyak sekaligus.
Pada pasien yang telah melakukan percobaan bunuh diri perlu dibantu lebih lanjut (sesudah
krisis badaniah akibat percobaan itu dapat diatasi) dengan psikoterapi individual atau kelompok,
terapi keluarga, obat-obatan psikotropik, dan bila terdapat depresi yang berat boleh diberi terapi
elektrokonvulsi.
21
Daftar Pustaka
1. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta:
EGC;1999.h.193-9.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.289-93.
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pengobatan dasar di puskesmas. Jakarta: Depkes RI;
2007.h.125.
4. Muttaqin H, Sihombing RNE. Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC;2010.h.426-33.
5. Muttaqin H, Dany F. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta; EGC;2011.h.181-7.
22