slametan dan kekristenan (alasan warga jemaat pepanthan...
TRANSCRIPT
65
BAB IV
Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan
4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan
Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang
kebudayaan slametan mau tidak mau gereja turut ikut campur dalam kaitanya
dengan kebudayan yang dilakukan oleh jemaatnya agar, gereja dapat berjalan
dengan kebudayaan dan masyarakat sekitar. Masyarakat kota Magetan mayoritas
kehidupannya bermatapencaharian sebagai pegawai, hal ini dikarenakan jemaat
GKJW Magetan mayoritas pendatang, jemaat GKJW Magetan yang tinggal di
wilayah pedesaan kebanyakan bekerja sebagai sebagai petani, buruh pabrik dan
pedagang, hal ini tidak membuat kebudayaan slametan hilang. Justru mereka
masih mempertahankan hingga sekarang. Jika kita melihat pandangan masyarakat
Jawa terutama jemaat GKJW Magetan terhadap kebudayaan upacara slametan,
kita akan melihat begitu kentalnya kebudayaan slametan yang masih dipegang,
dapat kita lihat melalui upacara slametan yang dilakukan oleh jemaat GKJW
Magetan seperti: Bestonan, Kelahiran, Panen, Kematian, Kitanan, Syukuran. Hal
ini jelas bahwa jemaat GKJW Magetan sangat menghargai warisan nenek
moyang. Walaupun upacara slametan ini sebagai salah satu bukti masyarakat
untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang mereka, namun mereka berusaha
untuk menghindari sisi negatif untuk mencari keselamatan kepada roh halus atau
roh nenek moyang. Dilihat dari asal kata nama itu sendiri slamet, sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa, slametan merupakan serangkaian kegiatan manusia
66
yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dalam keselamatan. Bagi masyarakat
pendukungnya upacara tersebut tentunya akan mengalami kesulitan untuk
meninggalkan tradisi tersebut, karena keselamatan dan manusia tidak dapat
dipisahkan, setiap orang berlomba-lomba untuk mencari keselamatanya.
Selain sebagai budaya nenek moyang slametan merupakan tradisi turun-
temurun yang dilakukan oleh orang Jawa. Karena jikalau masyarakat Jawa tidak
melakukan tradisi tersebut, ada sesuatu yang kurang dari keselamatan mereka.
Ketika Islam masuk dalam kebudayaan slametan ini, doa serta tata cara slametan
berubah dan berbau Islami, tidak heran banyak orang yang beranggapan bahwa
upacara slametan merupakan kebudayaan Islam. Dari tradisi nenek moyang,
warisan turun-trurun dan budaya Islam, mau tidak mau jemaat GKJW Magetan
juga ikut terpengaruh oleh situasi budaya demikian. Dari tradisi inilah banyak
jemaat GKJW Magetan yang beranggapan, jikalau tidak melakukan slametan
warga GKJW Magetan akan mendapat sanksi sosial. Karena peranan masyarakat
sangat berpengaruh dalam slametan tersebut. Mereka merasa dikucilkan karena
tidak bisa berbaur dengan masyarakat setempat, malu karena tidak saling
menghargai. Karena bisa dikatakan orang Jawa sangat menghargai hubungan
sosial yang baik.
Dalam hal ini Geertz juga mengatakan bahwa kebudayaan slametan
merupakan warisan nenek moyang yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa,
karena slametan merupakan ekspresi orang Jawa dalam mencari keselamatan di
bumi dan akhirat. Slametan merupakan budaya leluhur orang Jawa dimana
mengacu pada Gusti sing gawe urip (Tuhan yang menciptakan hidup), sebagai
67
pokok dasar adanya upacara slametan ini. Hal tersebut diadakan sebagai ucapan
syukur pada Tuhan atau untuk memuja makhluk gaib. Jika kita melihat upacara
slametan yang dilakukan dalam masyarakat Jawa, maka kita akan menemukan
suatu kelompok masyarakat yang saling membangun dalam suatu cara yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa tersebut. Clifford Geertz juga mengatakan bahwa
upacara slametan merupakan upacara yang menyangkut akan keselamatan serta
kesejahteraan orang Jawa, serta pandangan orang Jawa tentang Tuhan merupakan
warisan nenek moyang yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Jawa.
Hingga kini merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar sejarah
kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri. Hal ini sangat jelas
berkaitan antara padangan Greetz dengan pemahaman warga jemaat GKJW
Magetan, karena slametan menjadi kebudayaan yang sulit untuk dipisahkan bagi
orang Jawa karena menyangkut keselamatan mereka.
Geertz tidak mengatakan bahwa faktor budaya merupakan akibat dari
terpengaruhnya masyarakat. Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan
warisan nenek moyang. Dalam era modernisai orang beranggapan budaya bukan
hanya merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Melainkan
juga, budaya merupakan kesatuan sosial yang saling menghargai antara satu
dengan yang lain, serta mengatur nilai dan norma. Oleh karena itu jikalau mereka
tidak melakukan slametan seperti halnya orang lain, tidak ada norma dan nilai
yang bisa mereka pegang. Mereka merasa tidak saling menghargai antara satu
dengan yang lain. Rasa saling menghargai ini lah yang membuat masyarakat
menjadi terpengaruh untuk saling berinteraksi dengan yang lain. sehingga
68
menjadikan slametan itu penting untuk dilakukan oleh orang Jawa. Jikalau kita
kembali melihat masyarakat muslim yang melakukan slametan, peranan
masyarakat muslim sangat berpengaruh kepada slametan karena, jikalau orang
muslim tidak melalukan slametan dan menganggap bahwa slametan merupakan
suatu hal yang dilarang agama (kafir), mungkin upacara slametan tidak dapat kita
jumpai pada saat ini.1
Secara etimologis kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal,
namun ada juga yang menggangap bahwa budaya bersal dari kata majemuk “budi
daya” yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang berupa cipta, rasa dan
karsa. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia
sebagai anggota masyarakat. kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi
bentuk teknologi sosial, ideologi, bahasa, religi, dan kesenian serta benda yang
semuanya merupakan warisan sosial.2 Kebudayaan adalah hasil dari gagasan
manusia yang berupa cipta, rasa dan karsa baik yang kongkrit ataupun abstrak
yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup, yang telah menjadi
kebiasaan yang turun-temurun dari leluhur dan didalamnya terkandung norma
atau gagasan yang menjadi pedoman dan pengaruh bagi manusia dalam bersikap
dan berperilaku, baik secara individu maupuan kelompok, aturan dan nilai-nilai
sosial, sehingga banyak orang yang masih memegang kebudayaan sebagai salah
satu bentuk dari fungsi sosial.3
1 Hasil wawancara bapak Didik tgl 24 Agustus 2012. 2 E.B Taylor, Primitive Culture : Researches in the Development of Mythologi, Religion, art and
Custom, Gloucester, MA (1958/1871). 3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropolo, (Jakarta: Rineka Cipta 1981).
69
Kebudayaan bukan suatu yang statis dalam keadaan diam (tidak bergerak,
tidak aktif, tidak berubah keadaannya), melainkan kebudayaan sangat dinamis
(bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan) atau cair sehingga
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bisa jadi
kebudayaan yang dulu dilakukan oleh nenek moyang sekarang tidak dilakukan
oleh masyarakat karena dianggap sebagai suatu yang berolak belakang dengan
norma yang berlaku. Jika melihat kebudayaan slametan yang dilakukan orang
Jawa secara turun-temurun memang ada perubahan di dalam slametan tersebut.
Dimana ada pergeseran makna yang mungkin menurut orang zaman dulu roh
halus sangat berpengaruh terhadap keselamatan mereka tetapi di zaman sekarang
ketika agama masuk orang beranggapan bahwa roh tersebut merupakan suatu hal
yang sudah dianggap tidak penting dan bisa saja orang tidak lagi melakukan
slametan karena dianggap sebagai suatu yang tidak etis untuk dilakukan. Mereka
lebih beranggapan bahwa Tuhan yang memberi keselamatan bagi mereka, tetapi
dalam memahami Tuhan yang trasenden tekanan utama terletak pada
‘kemandirian’. Kemandirian menunjuk pada kehidupan gereja setempat, di mana
persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil bentuk ‘darah daging’ dari
kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi
mempersatukan masyarakat setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan
dan dibekali oleh ‘kontekstualitas’ itu. Kesaksian tentang Kerajaan Allah
bukanlah sesuatu yang abstrak, yang lepas dari tempat-tempat kongkret;
sebaliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui situasi-situasi
70
pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangan-
tantangan masa kini.
Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan upacara slametan yang
dilakukan oleh orang Jawa dan jemaat GKJW Magetan memang harus
dilestarikan sebagai bentuk tradisi nenek moyang, tradisi turun-temurun, norma,
aturan-aturan, religi dan nilai-nilai sosial tanpa harus membedakan agama dan
satatus sosial seseorang. Orang Jawa cukup antusias melaksanakan suatu aktifitas
yang berhubungan dengan keagamaan/kepercayaannya tanpa harus meninggalkan
Tuhan sebagai pusat keselamatan. Upacara slametan yang ternyata merupakan
budaya Jawa yang dekat dengan unsur-unsur agama dan kepercayaan, nampaknya
cukup memberikan motivasi tersendiri bagi orang Jawa untuk
menyelenggarakannya, jadi terdapat adanya suatu hubungan yang konteks
diamana gereja dapat memberikan pemahaman ulang tentang upacara slametan
tanpa harus meninggalkan tradisi slametan tersebut.
4.2 Pemahaman jemaat GKJW Magetan tentang makna slametan
Orang Jawa (khususnya jemaat GKJW Magetan Pepantahan Pelem) sangat
menghormati pola hubungan yang seimbang, baik dilakukan pada sesama
individu, lingkungan alam dan pada Tuhan. Masing-masing pola perilaku yang
ditunjukkan semata-mata untuk mengutamakan keseimbangan, sehingga apabila
terjadi suatu, gangguan kelangsungan kehidupan manusia, hal ini dianggap
sebagai adanya gangguan keseimbangan. Dari hal itu manusia harus dengan
segera memperbaiki ganguan tersebut, sehingga keseimbangan kembali dapat
71
dirasakan. Keselamat menjadi harapan bagi semua manusia, oleh karena itu
jemaat GKJW Magetan pepanthan Pelem menginginkan keselamatan baik dibumi
maupun di kehidupan yang akan datang. Keselamatan yang diharapkan oleh sitap
manusia bukan hanya keselamatan jasmani melainkan juga dalam keselamatan
rohani. Selain untuk menjaga keseimbangan dan keselamatan jemaat GKJW
Magetan juga menggagap slametan sebagai tempat untuk berkumpulnya jemaat
lain, dimana Interaksi sosial merupakan suatu bentuk hubungan, baik hubungan
orang perorangan, individu dengan kelompok maupun hubungan kelompok
dengan kelompok. Interaksi tersebut terjadi karena kehidupan manusia selalu
membutuhkan orang lain untuk dapat saling mengenal, saling membantu dan
saling membagi pengalaman. Salah satu bentuk interaksi melalui komunikasi,
komunikasi merupakan sarana yang sangat penting untuk terwujudnya sebuah
hubungan yang baik. Selain itu sistem kekerabatan juga sangat berpengaruh
dalam sebuah relasi. Secara umum sistem kekerabatan orang Jawa Sistem
kekerabatan orang Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral (garis keturunan
diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu), menunjukkan arti penting
dalam kebersamaan keluarga luas.
Pemahaman jemaat GKJW Magetan tentang makna slametan juga
mengandung kebersamaan warga jemaat dan non warga jemaat dan
menumbuhkan nilai kegotong-royongan. Nilai kegotong–royongan ini terlihat
baik pada saat mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan untuk upacara
slametan itu sendiri, hingga kesuksesan upacara slametan tentunya tidak dapat
dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Warga masyarakat menyadari akan manfaat
72
gotong-royong atau kerja bakti, sehingga walaupun tidak mendapat upah
masyarakat tetap antusias untuk ikut melaksanakannya demi kelangsungan
upacara slametan. Kepedulian melaksanakan gotong-royong tidak terlepas dari
tingginya kesadaran masyarakat. Salah satu dampak positif dari gotong-royong
adalah membentuk pribadi masyarakat yang suka menolong dan rela berkorban
untuk kepentingan bersama, dengan demikian perwujudan dari bentuk gotong-
royong akan membuktikan secara langsung bahwa kepentingan individu tidak
lebih diutamakan, namun hasil gotong-royong dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat. Upaya menanamkan sikap gotong-royong dan tolong-menolong
kepada generasi muda merupakan tanggungjawab masyarakat. Lingkungan
merupakan sarana efektif pembentuk sikap generasi muda yang menjadi sumber
dalam menentukan masa depan berkaitan dengan sikap moral masyarakat. Dengan
demikian upacara slametan juga mengandung makna untuk menanamkan sikap
gotong-royong dan tolong menolong sebagai wujud solidaritas jemaat GKJW
Magetan.
Slametan menurut jemaat GKJW Magetan Pepanthan Pelem juga sebagai
bentuk dari rasa syukur mereka atas apa yang telah Tuhan berikan serta sebagai
wujud cinta kasih mereka pada sesama. Karena menurut jemaat GKJW Magetan
Tuhan yang telah memberikan keselamatan dan berkat kurang lengkap jika orang
lain juga tidak merasakan berkat dan keselamatan tersebut. Sebagai ungkapan
syukur dan cinta kasih mereka atas apa yang tuhan berikan, dapat kita lihat
melalui makan-makan yang telah disiapkan untuk dibagi-bagikan pada keluarga
terdekat dan pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan agar orang lain juga
73
dapat menikmati sukacita seperti keluarga yang melakukan slametan. rasa saling
memeberi dan berbagi pada sesama inilah yang juga membuat slametan itu masih
tetap dilakukan oleh jemaat GKJW Magetan. Ada jemaat yang menganggap
bahwa makan yang diberikan pada orang lain merupakan bentuk untuk
mengenang Yesus ketika melakukan perjamuan terakhir, hal ini sangat menarik
untuk kita analisa karena seperti halnya Yesus yang memberikan berkat dan cinta
kasih pada orang lain.
Slametan juga dipandang untuk menghargai kehidupan atas apa yang telah
Tuhan berikan. Berkaitan dengan lingkungan slametan dipandang sebagai upaya
untuk melestariakan alam dan menghargai serta merawat lingkungan. Karena bagi
seorang petani mereka mendapatkan kehidupan dari alam oleh karena itu mereka
juga harus dapat melestarikan alam.
Pandangan Geertz mengenai upacara slametan sebagai salah satu
kebudayaan yang penting yang bertujuan untuk mencari keselamatan baik di
dunia maupun di akhirat, keselamatan di bumi untuk menjalin relasi antara
manusia dan alam semesta agar semuanya berjalan seimbang. Geertz juga
mengatakan, upacara slametan melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka
yang ikut serta di dalamnya seperti: tetangga, rekan sekerja, sanak sekeluarga,
arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan dewa-dewa yang hampir
terlupakan, semua duduk bersama mengelilingi satu meja untuk menjalin sebuah
relasi yang baik. Karena itu terikat kedalam suatu kelompok sosial tertentu yang
diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama. Slametan merupakan
wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan
74
sosial dan pengalaman perseorangan. Dengan demikian slametan merupakan
upacara dasar yang inti bagi masyarakat Jawa.
Jikalau kita kaitkan pemahaman Geertz dengan pemahaman jemaat GKJW
Magetan, hal ini sangat erat hubungannya kerena keduanya menganggap bahwa
slametan merupakan upaya orang untuk mencari keselamatan akan dirinya, baik
berkaitan pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang, selain itu
slametan juga merupakan upacara inti bagi masyarakat Jawa untuk membentuk
relasi yang baik dengan masyarakat dengan cara saling gotong-royong dalam
menjalin solidaritas sosial.
Dalam upacara slametan ini terdapat makanan sebagai salah satu bentuk
syarat utama yang harus ada dalam upacara slametan. Jika Geertz mengatakan
bahwa makanan merupakan bentuk sesaji bagi makhluk halus, selain itu Geertz
secara umum juga menggambarkan doa yang terdapat dalam upacara slametan ini
ditujukan pada roh nenek moyang atau pada leluhur, karena masyarakat Jawa
menyadari bahwa keberadaan roh-roh yang ada di lingkungan sekitar sangat
berpengaruh terhadap keselamatan mereka, oleh karena itu doa yang ditujukan
pada roh agar tidak menggangu. Roh nenek moyang adalah alasan mengapa orang
melakukan slametan. Geertz juga mengatakan inti upacara slametan terletak pada
makanan karena makanan merupakan persembahan atau sesaji buat roh-roh nenek
moyang, dimana roh tersebut juga ikut makan bersama orang yang melakukan
slametan. Dalam hal ini bukan berati roh tersebut memakan makanan kita
melainkan roh tersebut memakan aroma atau bau dari makanan tersebut. Dalam
75
hal ini dimaknai agar para roh-roh nenek moyang dan roh-roh yang berada di
sekitar kita tidak mengganggu kelangsungan hidup manusia.
Tetapi warga Jemaat GKJW Magetan tidak melakukan slametan karena
roh nenek moyang, karena dalam era modernisasi orang berfikir secara rasional
dimana keselamatan itu sudah diberikan Tuhan secara langsung pada manusia.
Berbeda dengan padangan Geertz jemaat GKJW Magetan pepantahan Pelem lebih
mengganggap makanan tersebut merupakan bentuk ungkapan syukur dan cinta
kasih mereka, selain itu ada juga jemaat yang beranggapan bahwa acara makan
bersama dimaknai untuk mengenang Yesus dalam perjamuan terakhir, dalam
slametan merupakan suatu pengharapan yang diharapkan oleh masyarakat Jawa
terkhusus jemaat GKJW Magetan, dimana jemaat berdoa dan berpengharapan
pada Tuhan. Karena keselamatan itu sendiri berpusat pada Yesus, bukan pada roh
halus. Inilah yang harus kita luruskan karena keselamatan yang dilakukan jemaat
GKJW Magetan pepantahan Pelem, harus ditujukan pada Tuhan Yesus Kristus,
sebagai orang Kristen yang percaya bahwa Yesus merupakan Juruslamat karena
Ia telah menyelamatkan dan menebus dosa manusia.
Bahkan Luther memandang keselamatan itu merupakan jalan Tuhan yang
diberikan kepada setiap manusia. Disini manusia harus menggali dirinya untuk
menemukan keselamatan Tuhan itu dengan cara berdoa, berpuasa dan mengakui
dosanya. yang berarti "hanya iman", "hanya anugerah", dan "hanya Kitab Suci".
Maksudnya, Luther menyatakan bahwa keselamatan manusia hanya diperoleh
karena imannya kepada karya anugerah Allah yang dikerjakannya melalui Yesus
Kristus, sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci. “Sebab karena kasih
76
karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi
pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang
memegahkan diri” (Efesus 2:8-9). Luther menyatakan bahwa manusia
diselamatkan bukan karena amal atau perbuatannya yang baik, melainkan semata-
mata oleh karena anugerah Allah. Hal ini didasarkan pada perkataan Paulus dalam
Surat Roma: "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena
Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8). Calvin juga
mengutarakan bahwa Keselamatan diperoleh hanya karena kasih Allah melalui
iman. Keselamatan juga merupakan keputusan Allah yang kekal yang dengannya
ia menetapkan untuk dirinya sendiri, apa yang menurut kehendakya akan terjadi
pada setiap orang. Dengan demikian penebusan Kristus membuat orang untuk
memantapkan keyakinannya dan kepastianya dalam dirinya dan pada giliranya
mendorong mereka untuk memuliakan Allah.
Dengan demikian unsur-unsur dalam kebudayaan sangat dinamis, upacara
slametan yang dilakukan orang Jawa mengalami perkembangan, seiring dengan
berjalannya waktu orang lebih berfikir rasional. Masuknya agama baru dalam
masyarakat Jawa juga sangat mempengaruhi pola pikir pemahaman tentang
slametan itu sendiri. Setiap orang menginginkan keselamatan tetapi bagaimana
cara orang mendapatkan keselamatan berbeda. Masuknya agama akan
memberikan makna yang berbeda bagi keselamatan, sehingga jemaat GKJW
Magetan tidak menaruh keselamatan pada roh halus melainkan pada Tuhan.
Sebagai konsekuensi dari sikap ini, tindakan dan prilaku manusia tidak dapat
lepas dari nilai moral keagamaan, karena itu kebudayaan dan kesenian yang
77
berkembang di daerah Jawa merupakan unsur keagamaan dan tujuan keagamaan.
Bercampurnya budaya dan agama membuat orang mengerti akan pentingnya nilai
sosial, norma dan pentingnya menjaga kelestarian budaya itu sendiri. Sebagai
orang Kristen kita harus dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat
sesuai dengan ajaran Kekristenan. Dengan demikian konteks kebudayaan dan
agama menjadi sangat penting untuk mewujudkan keharmonisan sosial.