skripsi - digilib.uns.ac.id... · undang no 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan et nis tionghoa...
TRANSCRIPT
KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA
TAHUN 1958-1969
(Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958)
SKRIPSI
OLEH:
NANANG DANANTO NIM: K 4405028
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA
TAHUN 1958-1969
(Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958)
OLEH :
NANANG DANANTO NIM: K 4405028
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Hj. Sri Wahyuning, M.Pd. NIP. 19531024 198103 2 001
Drs. Leo Agung S, M. Pd NIP. 19560515 198203 1 005
iv
v
ABSTRAK Nanang Dananto. K4405028. KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA TAHUN 1958-1969 (Studi Kewarganegaraan di Indonesia Pasca Keluarnya UU No 62 Tahun 1958). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2010. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Status kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958, (2) Status kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958, (3) Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia, (4) Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-Undang No 62 Tahun 1958.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber surat kabar, buku literatur, sumber lain berupa arsip. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No.62 Tahun 1958 yaitu pada zaman VOC, tidak dikenal prinsip kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan bukanlah ditentukan antara warga negara dan orang-orang asing. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat. (2) Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No.62 Tahun 1958 mengalami berbagai perubahan. Setelah Indonesia merdeka tidak member-lakukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi (pengganti ius soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokal. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia memberikan bukti bahwa orang tua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina. (3) Dampak dikeluarkanya undang-undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa Totok untuk memilih kewarganegaraan Indonesia. Tetapi keadaan orang Tionghoa semakin memburuk setelah terjadinya kudeta tahun 1965. (4) Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-undang No 62 tahun 1958 yaitu dikeluarkanya beberapa Undang-undang dan peraturan-peraturan. Diantaranya PP No. 10/1959, kemudian Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan, peraturan pengubahan nama bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina dan mengajak para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli.
vi
ABSTRACT
Nanang Dananto, K4405028. ETHNICAL CIVIC OF CHINESE IN INDONESIA DURING 1958-1964 (Civic Study in Indonesia Following the Issuance of Government Act No. 62 of 1958). Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, June 2010.
The aim of this research is to describe: (1) Ethnical status civic of Tionghoa in Indonesia before the existence of act No. 62 of 1958, (2) Ethnical status civic of Tionghoa in Indonesia after the issuance of act No. 62 of 1958, (3) The impact of act No. 62 of 1958 toward the ethnical civic of Tionghoa in Indonesia, (4) The policies government of Indonesia in overcoming the effects of releasing the act. No 62 of 1958.
This research employed historical method. The data sources of this research include newspaper, literature book, and other sources in the form of archives. The technique of collecting data employed literary study. The technique of analyzing data use historical analysis technique, that is, that one prioritizing the sharpness in processing a historical datum. This research procedure includes four stages of activity: heuristic, criticism, interpretation and historiography.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1)The ethnical civic of Tionghoa in Indonesia before before the existence of act No. 62 of 1958, which is at the time of VOC epoch, there is no civic principle. People regard the difference is not conducted between citizen and foreign people. More people pay attention toward the nature of delivering birth or other criterion, like trust or religion, which can easy to be seen. (2) The ethnical civic of Tionghoa in Indonesia after the issuance of act No 62 of 1958 experiencing of various change. After the independence of Indonesia, there is no liberal civic wisdom, and start to apply ground of ius soli tow generation (substitution of simple ius soli) for the people of local Tionghoa. "Passive system" is changed with "active system" that is system requiring the existence of statement of acceptance of Indonesia least wise during 10 year, and express officially refuses Chinese civic. (3) The impact of act of No.62 of 1958 to ethnical civic of Tionghoa in Indonesia among others in the year 1960-an there are a lot of tendency from some young man of Tionghoa, his name is Totok, to oriented to Indonesia. The condition of Tionghoa people is progressively deteriorate after the happening of year coup d'etat in 1965. (4) The policies government of Indonesia in overcoming the effect of releasing of act No.62 of 1958, that there were issuanced some acts and regulations. For example, Government Regulation (PP) No.10/1959, section of X Agreement of Dwi-Kewarganegaraan distorting of name to Indonesia citizen clan of Chinese and invite all Indonesia citizen clan of Tionghoa to integrate and assimilate with original Indonesia society.
vii
MOTTO
“Kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan
ketenangan dalam kegiatan masyarakat itu sedangkan saling bermusuhan
menyebabkan seluruh kegiatan itu berhenti”.
(By: Budiuzzaman Said Nursi)
“Dalam kata-kata dan perbuatan di masa lalu terletak harta terpendam yang bisa
digunakan manusia untuk memperkuat dan meningkatkan watak mereka
sendiri.Cara untuk mempelajari masa lalu bukanlah dengan mengekang diri
sendiri dalam pengetahuan sejarah semata-mata, tetapi melalui penerapan
pengetahuan dengan memberikan aktualita pada masa lalu”
( I Ching)
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Ayahanda dan ibunda tercinta
2. Kakak tersayang Anis Nur
3. Adik-adik tersayang Rima dan
Beti
4. Sahabat-sahabat tersayang
5. Almamater
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak
akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui
atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan
ijin atas penyusunan skripsi ini.
4. Dra. Hj. Sriwahyuning, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Leo Agung S, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon
maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah
membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang
setimpal.
Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Juni 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................... .............. i
HALAMAN PENGAJUAN........................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... iv
ABSTRAK .. …........................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .............................................................. 8
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori ........................................................................ 9
1. Kebijakan Kewarganegaraan ......................................... 9
2. Hukum Kewarganegaraan ............................................. 13
3. Nasionalisme................................................................... 16
4. Etnis Tionghoa…...……………………………………. 17
B. Kerangka Berfikir ................................................................ 20
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 23
B. Metode Penelitian ................................................................ 23
C. Sumber Data ......................................................................... 25
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 27
E. Teknik Analisi Data ............................................................. 28
F. Prosedur Penelitian .............................................................. 30
xi
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Kewarganegaraan tnis Tionghoa di Indonesia sebelum
Keluarnya Undang-Undang No 62 tahun 1958..................... 34
1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada masa
Penjajahan Belanda......................................................... 34
2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada masa
Pendudukan Jepang......................................................... 44
3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada awal
Kemerdekaan .................................................................. 46
B. Kewarganegaraan tnis Tionghoa di Indonesia setelah
Keluarnya Undang-undang No 62 tahun 1958........................ 54
1. Latar Belakang keluarnya Undang-Undang No. 62
Tahun 1958...................................................................... 54
2. Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan 1954 dan
Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun
1958................................................................................. 46
C. Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 tahun 1958
terhadap Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Di Indonesia... 61
1. Kecenderungan warga Tionghoa memilih
kewarganegaraan Indonesia...... ...................................... 61
2. Bertambahnya golongan Tionghoa Asing
Di Indonesia ........................ ........................................... 62
3. Berubahnya keadaan Golongan Tionghoa setelah
Kudeta ........................ .................................................... 64
D. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia
dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkanya
Undang-Undang No 62 Tahun 1958...................................... 67
1. Peraturan Presiden No 10/ 1959...... ............................... 67
2. Pasal X Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ..................... 69
3. Peraturan Perubahan Nama bagi Golongan Tionghoa.... 64
xii
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 72
B. Implikasi ............................................................................... 75
1. Teoritis .............................................................................. 75
2. Praktis .............................................................................. 76
C. Saran ..................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 78
LAMPIRAN....... ......................................................................................... 81
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Undang-undang RI No 62 tahun 1958 ..................................... 81
Lampiran 2. Majalah Sin Po, 1 November 1930 .......................................... 94
Lampiran 3. Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958............................................. 95
Lampiran 4. Koran Gelora Maesa, 24 September 1957............................... 96
Lampiran 5. Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 ........................................ 97
Lampiran 6. Jurnal : “Changing Identities of the Southeast Asian Chinese
since Word War II” .................................................................................. 98
Lampiran 13. Surat permohonan ijin menyusun skripsi............................... 99
Lampiran 14. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin
penyusunan skripsi....................................................................................... 100
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awalnya arus migrasi yang dilakukan sebagian bangsa Cina ke
wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidaklah lepas dari kondisi
sosio-kultural negeri Cina sendiri, kondisi dan situasilah yang menuntut sebagian
bangsa Cina untuk melakukan perpindahan ke wilayah yang mampu menjadikan
hidup mereka lebih baik. Menurut Leo Suryadinata (1999: 13), kondisi dan
situasi di Cina setelah kegagalan revolusi industri melalui program lompatan jauh
ke depan (1958-1962) yang diprakarsai Mao Tse-Tung menyebabkan kelaparan
dan pergolakan di Cina. Faktor tersebut lebih diperkuat dengan adanya eksploitasi
Barat di Asia Tenggara yang mendorong perpindahan secara besar-besaran bangsa
Cina ke wilayah Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia.
Keberadaan orang Cina di Indonesia sebenarnya telah lama ada.
Kedatangan orang Cina ke Indonesia dimulai sejak tahun 413 Masehi, dengan
datangnya pendeta Budha yang bernama Fa Hsien ke Jawa. Secara historis Fa-
Hsien adalah bangsa Cina yang pertama kali menginjakkan kaki ke pulau Jawa
(Beny Juwono, 1999: 59). Baru pada akhir pemerintahan Dinasti Tang (618-907)
orang-orang Cina mulai datang ke Indonesia secara berkelompok. Kedatangan
para pedagang Tionghoa ini dengan menggunakan perahu “jung” dari bagian
tenggara daratan Tiongkok ke Indonesia. Imigran Tionghoa yang datang
Indonesia hampir seluruhnya dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung.
Kedua propinsi ini mempunyai kekhususan regional yang sangat besar yang
berakibat pendatang dari propinsi tersebut membawa ciri kultural yang khas dari
kampung halamannya.
Etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam mengintegrasikan diri ke
dalam populasi Asia Tenggara. Sebelum abad ke-19 ketika jumlah orang
Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi populasi orang Asia Tenggara untuk
menyerap orang Tionghoa. Sejak abad ke-19 setelah gelombang besar populasi
Tionghoa masuk ke Asia Tenggara, asimilasi lebih sulit. Pendatang yang lebih
belakangan membentuk komunitas baru yang sering terpisah dari masyarakat
2
Tionghoa yang telah mapan dan terbentuk lebih dulu. Jumlah pendatang baru (xin
ke) lebih besar dan lebih dinamis daripada pendatang terdahulu dan pendatang
baru (xin ke) kurang berintegrasi dengan masyarakat setempat. Pendatang baru
masih berbicara dalam bahasa Cina (dialek atau mandarin) dan masih
menganggap sebagai warga Cina serta masih berhubungan dengan Cina dan
berorientasi kepada Cina baik secara kultural maupun politis (Leo Suryadinata,
1999: 13). Hal tersebut dikarenakan pada masa awal kolonial Belanda orang-
orang Tionghoa dihitung menjadi kaulanegara Belanda, bagi yang tidak suka hal
ini dipandang terlalu memaksa sehingga orang-orang Tionghoa di kepulauan
ini tidak dapat menganggap dirinya tidak lain sebagai orang-orang asing.
Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri di mana mereka dilahirkan.
Keadaan yang demikian memaksa untuk menengok kepada negeri leluhur.
Perlindungan diharapkan hanya dari negeri yang telah lama mereka
tinggalkan (Sudargo Gautama, 1987:48-50).
Menurut Wang Gungwu dalam Leo Suryadinata (1999: 14) terdapat 4
tahap proses migrasi warga Cina ke Asia Tenggara yaitu: (1), dimulai pada abad
ke-19 dengan negara-negara kolonial transisional atau semikolonial setelah
revolusi industri di Eropa. (2), pada negara-negara bangsa yang baru lahir pada
abad ke-20. (3), timbulnya prospek remigrasi kenegara-negara migran Amerika
dan Australia. (4), perpanjangan waktu bermukim sebagai bagian dari globalisasi
migrasi.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, bangsa Tionghoa
adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak berdirinya Perusahaan Dagang Hindia
Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi perantara
tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya selalu mulus.
Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga Tionghoa terjadi di
Batavia (sebutan untuk Jakarta pada masa kolonial) pada tahun 1740, yang
dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal dikota. Setelah peristiwa ini,
Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi. Warga Tionghoa
harus tinggal di pemukiman yang diperuntukkan bagi ras mereka, yang dapat
ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai surat izin untuk
3
melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Tionghoa di kota yang berbeda. Sistem
ghetto yang membatasi mobilitas fisik keturunan Tionghoa ini baru dicabut pada
tahun 1905. VOC membagi penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga
golongan untuk tujuan administrasi, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur
Asing, dan golongan Bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa
yang dikenal sebagai sistem Apartheid di Afrika Selatan, dan sekarang ini
dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu
kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda
membantu warga Tionghoa terangkat ke posisi ekonomi yang kuat seperti
sekarang (Justian Suhandinata, 2009:10-11).
Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah besar buruh imigran
Cina ke Hindia Timur Belanda untuk bekerja di pertambangan dan perkebunan-
perkebunan. Kelompok imigran Cina terbesar dimulai antara tahun 1860 sampai
kira-kira tahun 1890, mereka terdiri dari beberapa suku bangsa yang sangat
berlainan. Kelompok imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat
istiadat bahkan bahasanya pun sulit dimengerti oleh masing-masing suku, yaitu
dari suku Hokkian, suku Teo-Chiu, suku Hakka (Kheh), suku Santung atau orang
Kanton (Mulyadi, 1999: 19).
Orang-orang Hokkian adalah orang Tionghoa yang pertama kali bermukim
di Indonesia dalam jumlah yang besar, dan mereka merupakan golongan terbesar
di antara para imigran sampai dengan abad ke-19. Mereka berasal dari Fukien
Selatan, yakni adalah sebuah daerah yang sifat perdagangannya sangat kuat.
Selain Hokkian adalah sub etnis Teociu yang kebanyakan mendiami daerah luar
Jawa. Orang-orang Teociu ini kemudian berkumpul di sepanjang pantai timur
Sumatra, Kepaulauan Riau dan Kalimantan Barat terutama Pontianak. Keahlian
sub etnis Teociu adalah bertani dan sebagai buruh perkebunan. Sub etnis Hakka,
berasal dari pedalaman Kwangtung. Kebanyakan mereka bermigrasi karena
desakan ekonomi. Golongan Hakka bermukim diluar Jawa dan mengerjakan
pertambangan timah di Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, sub etnis
Hakka banyak berdagang di Jakarta dan Jawa Barat setelah Priangan dibuka bagi
pedagang-pedagang Tionghoa. Sub etnis Kanton merupakan rombongan awal
4
yang datang ke Indonesia, sama seperti orang Hakka, orang-orang Kanton juga
terkenal sebagai pekerja tambang. Kedatangan orang Kanton ini juga membawa
keterampilan yang nantinya juga akan sangat mempengaruhi perkembangan
orang-orang Cina di Indonesia. (Melly G. Tan, 1981: 6-7).
Indonesia sebagai salah satu daerah migrasi mereka yang telah dilakukan
jauh sebelum kemerdekaan atau tepatnya pada saat Perang Dunia ke-2. Cina
perantauan dalam hal ini terutama mereka yang berdomisili di Indonesia atau
sekitar wilayah Asia Tenggara, merujuk pada Cina sebagai Tengsua (Tangshan,
Gunung Tang) dan diri mereka sebagai Tenglang (Tangren, laki-laki dinasti
Tang). Dinasti Tang memiliki makna khusus dikalangan Cina Perantauan.
Pemerintahan Cina membagi warga Cina menjadi 2 bagian, yakni; sebutan
Zhongguo Qiomin, warga Cina yang tinggal di luar negeri tetapi masih memiliki
orientasi ke negeri Cina, dan mereka yang tidak lagi berorientasi kepada Cina
disebut Huaqiao. Ini terjadi sekitar abad 19-20 (Leo Suryadinata, 1999: 13).
Sentimen anti-Tionghoa yang kuat muncul diantara para pejabat kolonial
Belanda. Hal itu sangat kentara dibawah Kebijakan politik Ethis tahun 1900 yang
dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk prìbumi. Dalam rangka politik
Ethis itu didirikan lumbung desa, bank kredit rakyat dan rumah-rumah gadai
pemerintah serta diadakan pengawasan penjualan candu pada rakyat. Para pejabat
kolonial Belanda merasa bahwa mereka harus melindungi penduduk pribumi
terhadap warga Tionghoa yang licik. Namun, hal ini dan praktik diskriminatif
lainya tidak berarti bahwa warga Tionghoa hidup makmur di bawah sistem
kolonial (Noer Fauzi, 1998: 39)
Pada abad ke-19 ini, warga Tionghoa diberi keistimewaan (hak Konsesi)
untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan usaha
rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang harus
disetor ke pemerintah. Yang mendapakan hak konsesi ialah orang-orang Belanda
yang berkedudukan di Hindia Belanda. Orang Timur Asing juga dapat menerima
hak konsesi kecuali bila pembesar daerah berkeberatan karena pertimbangan
politik atau sebab-sebab lainnya. Hak konsesi ini diberikan dengan maksud untuk
memberikan kesempatan kepada kaum modal untuk memanankan modalnya di
5
lapangan pertanian dan mendapatkan tanah seluasnya. Hal ini tidak membuat
mereka disenangi oleh kepala desa. Perkebunan biasanya dikuasai oleh para
kepala desa yang sebagian diwariskan. Pemiliknya biasanya pedagang besar
karena kedekatanya dengan pemerintah berarti mereka beserta agenya dapat
pengecualiandan pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada masyarakat
Tionghoa. Sistem ini medorong kapitalisme Tionghoa (Noer Fauzi, 1998: 37).
Dibeberapa koloni seperti di Malaya dan Hindia Belanda konsep
kewarganegaraan telah diberlakukan oleh penguasa kolonial untuk mengacu
kepada warga Cina yang lahir di Negara setempat, Undang- Undang Kebangsaan
Ching tahun 1909 yang menganggap semua orang Tionghoa, di mana pun mereka
dilahirkan tetap warga negara Cina, sehingga orang Tionghoa yang lahir di negara
setempat memiliki dwi-kewarganegaraan. (Leo Suryadinata, 1999: 13).
Tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina dari
tangan kaum Kuo Min Tang, lalu muncullah Republik Rakyat Cina (RRC).
Rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan Cina
Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan
asas ius sanguinis yang berarti semua orang Cina dimanapun berada diklaim
sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus
sebagai warga Negara Indonesia menjadi berstatus bipatride yang berarti di
sampig sebagai warga negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga
negara RRC.
Saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintahan Kuo Min
Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu
mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang memang sudah ada sejak
masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan
hubungan diplomatik dengan pihak RRC. Hal ini ditanggapi secara positif oleh
pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina
perantauan di Asia Tenggara (Koerniatmanto, 1996:105).
Tanggapan positif RRC ditandai dengan kedatangan Wang Yen-shu sebagai Duta
Besar RRC untuk Indonesia yang pertama pada tanggal 14 Agustus 1950. Sejak
awal kedatangannya, Duta Besar RRC ini secara aktif berkampanye guna menarik
6
orientasi orang-orang Cina Indonesia ke RRC. Terjadilah semacam perebutan
pengaruh antara pihak Indonesia dan RRC. Hal ini terjadi terutama pada masa
pelaksanaan penentuan kewarganegaraan berdasarkan PPPWN (biasa disebut
masa opsi) sehingga dapat dimengerti jika Indonesia merasa terganggu karenanya,
serta melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang cukup keras. Akibatnya Duta
Besar Wang ditarik kembali pada akhir tahun 1951.
Masa opsi selesai pada tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil yang
mengecewakan pihak Indonesia, mengingat sekitar 600.000 sampai 700.000 atau
sekitar 40% orang Cina Indonesia secara formal telah menolak kewarganegaraan
Indonesia, akibatnya (ditambah dengan orang Cina kelahiran luar negeri) sekitar
setengah jumlah penduduk Cina di Indonesia adalah warga negara RRC.
Kemudian muncullah kalangan Tionghoa asing di Indonesia atas PPPWN.
Akibat dari memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat PPPWN,
disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Rancangan tersebut siap pada bulan Februari 1954. namun sebelum
disahkan dan diberlakukan, Indonesia menganggap perlu untuk membicarakan
terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok masalah yang rasa perlu diselesaikan
itu berkisar pada banyaknya orang Cina yang diklaim baik oleh Indonesia maupun
oleh RRC, sebagai akibat dari opsi 1949-1951.
Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh pihak
RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful
Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik dengan negara-negara di
Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis yaitu untuk
menangkal pengaruh Tionghoa Pro Taiwan (Koerniatmanto, 1996:106).
Tahun 1950-an diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif terhadap
warga Tionghoa, termasuk “Kebijkan Benteng” yang melarang perdagangan dan
pemukiman warga Tiongoa asing di pedesaan. Awal tahun 1960-an, keadaan
ekonomi negeri sangat memburuk dan warga Tionghoa menjadi pion dalam catur
politik perang dingin. Beberapa kerusuhan di kota terjadi pada masa
ketidakpastian tahun 1965 sampai 1966 meskipun kebanyakan kekerasan tersebut
ditujukan kepada tersangka anggota komunis. Perselisihan antar pasukan yang pro
7
dengan pasukan yang antikomunis. Serangan tersebut menimbulkan pergolakan
sosial dan politik yang serius di Indonesia, yang oleh para ahli dari luar negeri
ditafsirkan sebagai pembantaian terhadap warga Tionghoa. Kesalahpahaman ini
mungkin muncul sebagai akibat pengenaan larangan terhadap banyak aspek
kehidupan dan budaya warga Tionghoa yang dikeluarkan pada waktu yang
bersamaan. Diantara aspek budaya Tionghoa yang dinyatakan illegal adalah
drama (bukan film), perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa.
Gerakan mendorong warga Tiionghoa untuk menggunakan nama lokal juga
dikalaksanakan bersamaan dengan pengekangan kebudayaan Tionghoa (Justian
Suhandinata, 2009:13-14).
Berdasarkan uraian serta berbagai masalah-masalah yang timbul akibat
keberadaan warga Tionghoa di Indonesia, penulis tertarik untuk mencermati
masalah kelompok minoritas etnis Tionghoa khususnya dalam
kewarganegaraanya dan membatasi penelitian ini dari keluarnya Undang-undang
No. 62 Tahun 1958 hingga keluarnya Undang-Undang No 4 Tahun 1969. Untuk
itu penulis ingin mengangkatnya dalam penulisan skripsi dengan judul
“Kewarganegaraan Etnis Cina Di Indonesia Tahun 1958-1969” (Studi
kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun
1958).
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini akan mengacu pada:
1. Bagaimana kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum
keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958?
2. Bagaimana kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah
keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958?
3. Bagaimana dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958
terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia?
4. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia
dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-
Undang No 62 Tahun 1958?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan
untuk mendiskripsikan tentang :
1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya
Undang-Undang No 62 Tahun 1958.
2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-
Undang No 62 Tahun 1958.
3. Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap
kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia
4. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-Undang No
62 Tahun 1958.
D. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan guna:
1.Manfaat teoritis
a. Mengetahui tentang pengaruh keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun
1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia
b. Menambah pengetahuan tentang kajian Etnis, khususnya tentang etnis
Tionghoa di Asia Tenggara khususnya di Indonesia.
c. Menambah wawasan pengetahuan ilmiah untuk mengembangkan ilmu-
ilmu sosial khususnya sejarah perekonomian atau sosiologi-antropologi
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam lagi
tentang kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia
b. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara
mendalam.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Kebijakan Kewarganegaraan
Warga negara adalah adalah anggota negara. Demikian pengertian umum
tentang warga negara secara singkat. Sebagai anggota suatu negara, seorang
warga negara mepunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia memiliki
hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negara. Hal
inilah yang membedakan warga negara dan orang asing. Masalah warga negara ini
merupakan salah satu masalah yang bersifat prinsipil dalam kehidupan bernegara.
Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga negara
(Koerniatmanto, 1996:1).
Warga berarti anggota, misalnya anggota keluarga, perkumpulan dan
negara (warga negara).Warga negara pendduduk sebuah negara atau bangsa yang
berdasarkan keturunan (ius sanguinis), tempat kelahiran (ius soli), mempunyai
kewajiban dan hak yang penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Penduduk
Indonesia adalah keseluruhan penghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia,
baik yang warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang dalam jangka
waktu tertentu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia (C.S.T. Kansil, Christine S.T,
2003: 167)
Istilah warga negara merupakan terjemahan dari istilah Belanda
staatsburger. Sedangkan istilah Inggris untuk pengertian yang sama adalah
citizen, dan dalam istilah Perancis adalah citoyen, yang secara harafiah berarti
warga kota. Selain itu dalam bahasa Indonesia dikenal pula istilah kaulanegara.
Istilah kaula berasal dari bahasa Jawa ini, berdasarkan peraturan perundang-
undangan Hindia Belanda mempunyai pengertian sepadan dengan onderdaan
(Koerniatmanto,1996: 3).
Kewarganegaran dalam bahasa latin disebut civis; selanjutnya dari kata
civis ini dalam bahasa Inggris timbul kata civic artinya mengenai warga negara
atau kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah segala jenis hubungan antara
9
10
seseorang dan negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara untuk
melindungi orang yang bersangkutan (C.S.T. Kansil, Christine, S.T, 2003: 3)
Dengan demikian hukum kewarganegaraan merupakan hukum yang
mengatur hubungan-hubungan tersebut. Pengertian kewarganegaraan dapat dilihat
dari dua segi, yaitu segi formal dan segi material. Dari segi formal, tempat
kewarganegaraan dalam sistematika hukum itu ada di dalam jajaran hukum
publik. Mengingat bahwa masalah kewarganegaraan terkait dengan salah satu
sendi negara yaitu, rakyat. Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan merupakan
salah satu cabang dari hukum publik. Dari segi material, masalah
kewarganegaraan erat kaitanya dengan masalah hak dan kewajiban yang bersifat
timbal balik antara negara dan warganya. Dalam kewarganegaraan ini akan
tampak perbedaan yuridis antara warga negara dan orang asing. Orang asing tidak
mempunyai ikatan yuridis dengan negara. Dengan demikian, fungsi status
kewarganegaraan adalah memberikan titik taut atau jembatan bagi adanya
pelbagai hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh negara naupun warganya
(Koerniatmanto,1996: 8-9).
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia lahir sebagai
bangsa yang baru yang berarti bahwa sejak saat itu ada sekelompok manusia yang
memiliki hubungan khusus dengan suatu negara baru. Sebagai bangsa yang baru
Republik Indonesia secara formal sejak saat itu timbul hubungan hak dan
kewajiban secara timbal balik antara bangsa Indonesia dan Republik Indonesia.
Sehari setelah kemerdekaan Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai
konstitusi Republik Indonesia, pada pasal 26 menyatakan sebagai berikut:
1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang
sebagai warga negara
2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan
Undang-Undang.
Ketentuan mengenai kewarganegaraan tersebut diatas adalah sesuai
dengan naskah yang dibuat oleh Panitia Perancang Undang-Undang yang
dibentuk tanggal 11 Juli 1945 dan diketuai Ir. Soekarno. Ketentuan-ketentuan
11
dalam Undang-Undang Dasar dirumuskan oleh panitia kecil Perancang Undang-
Undang Dasar dengan ketua Supomo dan anggota-anggotanya Wongsonegoro,
Subardjo, Maramis, Singgih dan Soekirman. Dapat dimengerti bahwa dalam pasal
26 UUD 1945 ‘bangsa Indonesia asli” langsung dijadikan warganegara Indonesia,
karena mereka dapat dianggap sebagai mempunyai a genuine connection of
existence, interest and sentimens dengan Negara Republik Indonesia, meskipun
pada kenyataanya terdapat kesukaran dalam merumuskan siapa yang dapat
digolongkan sebagai bangsa Indonesia asli. Golongan lain yang dapat menjadi
warganegara Indonesia adalah “orang-orang bangsa lain”. Oleh penjelasan Pasal
26 UUD 1945 ditentukan bahwa yang dimaksudkan dengan bangsa-bangsa lain
tersebut adalah orang-orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan
peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia dan bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warganegara (Sidik Suraputra, 1991:
21)
Berdasarkan pasal 26 UUD 1945 tersebut maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan tantang kewarganegaraan dan kependudukan Republik Indonesia yaitu
Undang-Undang No. 3/1946, berdasarkan Pasal 1 Undang-undang
kewarganegaraan yang pertama ini dinyatakan bahwa kewarganegaraan Indonesia
bisa didapat oleh:
a) Orang yang asli dalam wilayah Negara Indonesia
b) Orang yang tidak masuk dalam golongna tersebut di atas, tetapi turunan
seorang dari golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan
berkediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut
di dalam wilayah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau
telah kawin.
c) Orang yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan cara
naturalisasi.
d) Anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapak,
yang pada waktu lahir bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
e) Anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang
mempunyai kewarganegaraan Indonesia meninggal.
12
f) Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada
waktu lahir mempunyai kewarganegaraan Indonesia
g) Anak yang diangkat secara sah oleh warga Negara Indonesia
h) Anak yang lahir didalam wilayah Negara Indonesia, yang oleh bapaknya
ataupun ibunya tidak diakui secara sah
i) Anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang tidak diketahui
siapa orang tuanya atau kewarganegaraan orangtuanya,
Oleh Undang-undang No.6/1947, klasifikasi warga Negara Indonesia diatas
ditambah dengan
j) Badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam Negara
Indonesia dan bertempat kedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia
(Koerniatmanto, 1996: 25-28)
Berdasarkan pasal-pasal konferensi Meja Bundar pada tahun 1949,
dakatakan bahwa semua orang Tionnghoa kelahiran Indonesia, adalah kaula
Belanda yang berasal dari orang asing yang bukan Belanda. Warga asing yang
bukan Belanda otomatis mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, jika mereka
tidak mengambil langkah untuk meninggalkannya (Melly G. Tan, 1981: 16).
Berdasarkan pasal 5 UUDS 1950 pada tanggal 11 Januari 1958 dikeluarkan
Undang-Undang No.62/1958 tentang kewarganegaraan republik Indonesia. Sistem
pemerintahan yang dianut saat berlakunya UUDS 1950 memang berbeda dengan
sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Perbedaan ini tampak pada
ketentuan mengenai naturalisme, yaitu kewenangan Menteri Kehakiman beralih
kepada presiden. Namun berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945,
Undang-undang No.62/1958 masih tetap berlaku dengan penyesuaian yang
diperlukan. Undang-undang No.62 Tahun 1958 inilah yang merupakan inti dari
hukum positif Indonesia yang mengatur tentang masalah kewarganegaraan saat
ini. Menurut undang-undang ini hanya mengenal dua golongan penduduk, yaitu
Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA), dalam undang-
undang ini juga dimuat ketentuan tentang makna hubungan khusus antara
Indonesia dengan warga negaranya. (Koerniatmanto, 1996: 36)
13
Selain peraturan diatas, kekhawatiran Pemerintah Indonesia dengan
meningkatnya warga Tionghoa yang semakin banyak, mendorong pemerintah
ingin mengendalikan pertambahannya dan mengintegrasikan serta
mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat Indonesia, maka dikeluarkan
Instruksi Presiden No. 2/1980. Berdasarkan Inpres No. 2/1980 sejumlah etnis
Tionghoa yang berdiam di wilayah tertentu dan cara hidupnya sama dengan
penduduk Indonesia akan diberi surat kewarganegaraan tanpa harus ke pengadilan
(Leo Suryadinata,1999: 77).
2. Hukum Kewarganegaraan
Hukum kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan seperangkat kaidah
yang mengatur tentang muncul dan berakhirnya hubungan antara negara dan
warga negara. Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan mempunyai ruang
lingkup cara-cara memperoleh dan cara-cara kehilangan kewarganegaraan
(Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 9).
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk
menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Dalam menerapkan asas
kewarganegaraan dikenal dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan
kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan (Azyumardi Azra,
2003: 75).
Dalam memperoleh kewarganegaraan dengan cara kelahiran dikenal
adanya 2 (dua) asas, yaitu asas keturunan (ius sanguinis) dan asas tempat
kelahiran (ius soli). Menurut ius sanguinis, seseorang adalah warga negara jika
dilahirkan dari orang tua warga negara, sedangkan menurut ius soli, seseorang
yang dilahirkan dalam wilayah suatu negara adalah warga negara dari negara
tersebut. Asas ius sanguinis merupakan asas yang dapat memudahkan bagi adanya
solidaritas. Namun demikian tidak semua negara menggunakan asas tersebut,
sebab meskipun suatu negara mengatur kewarganegaraan berdasarkan persamaan
keturunan, ikatan antara negara dengan warganegara dapat menjadi tidak erat jika
warganegara tersebut tinggal lama di negara lain. Sementara itu, asas ius soli
terutama digunakan oleh negara muda yang masih membutuhkan rakyat yang
berasal dari pendatang. Di samping itu, ius soli cenderung digunakan oleh negara
14
imigrasi di mana banyak orang asing pindah ke negara itu (Koerniatmanto
Soetoprawiro, 1996: 10).
Dilihat dari sisi perkawinan dikenal asas kesatuan hukum dan asas
persamaan derajat. Asas kesatuan hukum berdasarkan paradigma bahwa suami-
isteri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan
suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga harus mencerminkan adanya suatu
kesatuan yang bulat. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga
atau suami-isteri, maka harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya
kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hokum
yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga
tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan
keluarga. Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu
perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-
masing pihak. Baik suami maupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau
dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki
status kewarganegaraan sendiri sama halnya ketika mereka belum diikatkan
menjadi suami-isteri. Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hokum,
misalnya seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status
kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan
pernikahan dengan seseorang di negara tersebut (Azyumardi Azra, 2003: 76).
Unsur-unsur yang menentukan kewarganegaraan seseorang ada 3 (tiga),
yaitu (1) unsur darah keturunan (ius sanguinis), (2) unsur daerah tempat kelahiran
(ius soli), dan (3) unsur pewarganegaraan (naturalisasi). Di dalam unsur darah
keturunan (ius sanguinis), kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya
menentukan kewarganegaraa seseorang, artinya jika orang dilahirkan dari orang
tua berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara
Indonesia. Prinsip ini berlaku di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan
Indonesia. Di dalam unsur daerah tempat kelahiran (ius soli), daerah tempat
seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Jika seseorang dilahirkan di
dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara
15
Indonesia, kecuali anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih
dalam ikatan dinas. Prinsip ini juga berlaku di Inggris, Amerika, Perancis, dan
Indonesia. Namun prinsip ini tidak berlaku di Jepang karena seseorang yang tidak
dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat
diakui sebagai warga negara Jepang. Di dalam unsur pewarganegaraan
(naturalisasi), walaupun seseorang tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis
ataupun ius soli, ia dapat memperoleh kewarganegaraan dengan jalan
pewarganegaraan atau naturalisasi. Dalam pewarganegaraan ini dikenal adanya
pewarganegaraan aktif dan pewarganegaraan pasif. Dalam pewarganegaraan aktif,
seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan
kehendak menjadi warga negara dari suatu negara, sedangkan dalam
pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diberi atau dijadikan warga
negara suatu negara dapat menggunakan hak repudiasi yaitu hak untuk menolak
pemberian kewarganegaraan tersebut (Azyumardi Azra, 2003: 77).
Seseorang dapat memperoleh atau kehilangan status kewarganegaraan
suatu negara dengan dua cara. Pertama, orang tersebut secara aktif berusaha untuk
memperoleh atau melepaskan kewarganegaraannya, yang sering disebut sebagai
sistem (stelsel) aktif. Sebaliknya, dapat terjadi bahwa seseorang memperoleh atau
kehilangan status kewarganegaraannya tanpa berbuat apapun. Negara yang
mempermaklumkan status baru dari orang yang bersangkutan tersebut. Cara ini
sering disebut sistem (stelsel) pasif (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 4).
Di dalam status kewarganegaraan, terdapat beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan
warga negara dalam suatu negara, sehingga muncul istilah apatride, bipatride, dan
multipatride. Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan, sedangkan bipatride merupakan istilah yang
digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau
sering dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan
multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status
kewaganegaraan seseorang yang memiliki 2 (dua) atau lebih status
kewarganegaraan (Azyumardi Azra, 2003: 78).
16
Apatride timbul apabila menurut peraturan-peraturan tentang
kewarganegaraan, sesorang tidak dianggap sebagai warga negara. Sedangkan
bipatride timbul apabila menurut peraturan-peraturan kewarganegaraan dari
berbagai negara, seseorang dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara
yang bersangkutan.
3. Nasionalisme
1. Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan natie (Belanda), yang
berarti bangsa (Leo Agung S, 2002: 31). L. Stoddard (1966: 137) mengemukakan
bahwa ”Nasionalisme” adalah suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar
manusia perorangan sehingga mereka membentuk suatu ”kebangsaan”. Pada
tingkat terakhir, nasionalisme adalah sesuatu diatas segalanya yang menjelmakam
dirinya dalam suatu sintese yang baru dan lebih tinggi.
Isjwara (1982: 126-127) mendefinisikan ”Nasionalisme adalah
merupakan rasa kesadaran yang kuat yang berlandaskan atas kesabaran akan
pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan atas kemauan
menderita hal-hal serupa itu di masa depan”. Slamet Mulyana yang dikutip dalam
Leo Agung S (2002: 31) menyatakan bahwa ”Nasionalisme adalah manifestasi
kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara”.
Menurut Han Kohn (1948: 12) “yang dimaksud nasionalisme adalah suatu
faham yang berpendapat bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan
kepada negara kebangsaan”. Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan
adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa
sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.
Sukarna (1990: 57) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme ialah kesetiaan
dari pada setiap individu atau bangsa ditujukan kepada kepribadian bangsa”.
Menurut S. Pamuji (1983: 28) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme adalah
konsensus umum mengenai cara hidup (way of life) suatu inpirasi dan devosi yang
”maujud” secara resmi”.
Dari berbagai pendapat tentang pengertian Nasionalisasi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa nasionalisasi adalah suatu rasa kesadaran yang kuat
17
akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan dilandasi suatu
kepercayaan yang dianut sejumlah besar manusia perorangan yang harus
diserahkan kepada negara kebangsaan sehingga membentuk suatu kebangsaan.
Masalah kewarganegaraan tidaklah terlepas dari paham nasionalisme.
Peraturan mengenai kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung
dari perkembangan paham nasioalisme. Dengan terbentuknya negara modern atau
negara kebangsaan, dirasa perlu pula mengtur mengenai siapa yang menjadi
warganya. Nasionalisme merupakan suatu konsep yang meletakkan kesetiaan
tertinggi seseorang kepada suatu Negara (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 4).
4. Etnis Tionghoa
Istilah “Cina” dalam bahasa Indonesia memang memiliki beberapa
konotasi. Untuk menghapus konotasi yang negatif, istilah ini dalam pers Indonesia
sekitar 1950-an diubah menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam hokkian)
untuk merujuk kepada orang Cina, dan “tiongkok” untuk “negara Cina” (yusiu
liem, 2000: xii). Lain halnya dengan Melly G. Tan yang mendefinisikan orang
Cina, sebagai berikut:
Berhubung dengan kenyataan adanya berbagai jenis orang yang oleh masyarakat luas sering disebut sebagai “orang Tionghoa” atau “orang Cina”, untuk menganalisa kelompok ini, perlu kita bedakan mereka yang asing dari mereka yang warga negara atau yang totok dari yang peranakan. Dalam uraian ini mereka yang asing disebut orang Tionghoa asing dan mereka yang warga negara Indonesia disebut dengan WNI keturunan tionghoa atau lebih praktisnya orang Indonesia Tionghoa.kedua kelompok bersama-sama disebut orang etnis tionghoa, karena adanya satu kelompok yang dianggap mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dari orang-orang etnis Indonesia, memang merupakan suatu kenyataan sosial dalam masyarakat Indonesia (Melly G. Tan 1981: xii-xiii).
G. William Skiner dalam Melly G. Tan (1981: 1) meyebukan bahwa
semua orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau
keturunan imigran menurut garis laki-laki. dengan adanya perkawinan dengan
etnis pribumi lambat laun berkembang menjadi masyarakat yang stabil. Hal ini
mulai berlangsung pada abad ke-16, dan kebanyakan masyarakat hasil campuran
ini menjadi stabil pada abad ke-18.
18
Dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20, sebagaian besar orang
Tionghoa adalah peranakan. Asimilasi menuju masyarakat peranakan sangat cepat
sehingga kaum imigran Tionghoa dengan anak-anaknya yang belum sepehnya
menjadi peranakan itu hanyalah membentuk kelompok yang kecil dan peralihan
saja coraknya.tetepi pada permulaan abad ini beberapa perkembangan baru telah
mendasari bangkitnya masyarakat Tionghoa yang satbil bukan peranakan, hal ini
terjadi karena beberapa faktor yang di ungkapkan G. William Skiner (1981: 10)
antara lain: (a). Jumlah imigran Tionghoa bertambah cepat sekali selama tiga
puluh tahun pertama dari abad ini. (b). Proporsi orang-orang yang bukan Hokkian
di antara imigran bertambah dengan mantab sehingga orang Hakka dan orang
Kanton melampaui jumlah orang Hokkian dengan mudah karena sebelumnya
suku Hokkian mendominasi sebagai etnis Tionghoa. (c). Perbandingan jenis
kelamin kaum imigran itu makin lama makin seimbang, menuju pertambahan
yang cepat pada jumlah keluarga yang kedua orang tuanya adalah kelahiran
Tiongkok. (d). Bangkitnya nasionalisme Tionghoa.
Penggunaan kriteria fisiosomatik tidak berlaku pada etnis Tionghoa yang
telah melakukan migrasi dari daerah asal, karena etnis Tionghoa yang melakukan
migrasi secara fisik telah mengalami perubahan. Perubahan fisik tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya yaitu faktor perkawinan campuran
yang menyebabkan perubahan secara genetik dan faktor perbedaan lingkuangan
yang baru di bandingkan dengan lingkungan asal menyebabkan terjadinya proses
penyesuaian diri atau beradaptasi terhadap lingkungan baru (Yusiu Liem, 2000:3).
Menentukan kelompok etnis, jika hanya melalui sudut pandang dari
penampilan fisik belum cukup. Oleh karena itu, untuk menentukan suatu
kelompok masyarakat atau kelompok etnis tertentu diperlukan sudut pandang
yang lain. Sudut pandang yang lainnya yaitu melihat kelompok etnis berdasarkan
nama yang sering digunakan oleh kelompok tersebut. Misalnya kelompok etnis
Tionghoa mempunyai spesifik penggunaan bahasa dan nama. Menurut G.W.
Skinner (dalam Mely G. Tan: 1981) bahwa dalam kelompok etnis Tionghoa
terdapat nama identitas diri bagi setiap anggota kelompok etnis Tionghoa. Dalam
kriteria tersebut, orang yang mempunyai nama keluarga Tionghoa tentu asal
19
usulnya Tionghoa. Selain itu secara tradisional, etnis Tionghoa meletakkan nama
keluarga berada di depan diikuti dengan posisi secara hierarkis dalam
kelompoknya.
Di Indonesia, etnis Tionghoa berdasarkan orientasi kebudayaan dapat
dibedakan ke dalam 2 kelompok besar yaitu: (1). Peranakan, yaitu etnis Tionghoa
yang lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia, atau hasil perkawinan campuran
antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. Selain itu, istilah peranakan
digunakan untuk menyebut etnis Tionghoa yang telah berasimilasi dengan
masyarakat setempat dan mereka berorientasi dengan kebudayaan setempat.
Tionghoa peranakan sebagian besar berdiam di Jawa (2). Totok, yaitu etnis
Tionghoa yang lahir di negara Tiongkok dan berbahasa Cina. Selain itu, istilah
etnis Tionghoa Totok digunakan untuk menyebut pendatang baru atau lama yang
masih berorientasi atau mendukung secara kultural tradisi Tiongkok daratan (Leo
Suryadinata,1999: 170).
20
B. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya yaitu pada
17 Agustus 1945 maka sebagai bangsa yang baru terbebas dari belenggu
penjajahan Indonesia mulai menata kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
pemerintah mulai membuat kebijakan yang berkaitan dengan keberlangsungan
bangsa di masa yang akan datang. Kebijakan tersebut antara lain tentang politik,
WNI
UU NO. 62 Tahun 1958
WNA
Kebijakan Pemerintah Indonesia
Kebijakan Kewarganegaraan
WNI WNA
Tionghoa
Dwi- kewarganegaraan
Kewarganegaraan Bagi Etnis Tionghoa
Kebijakan kewarganegaraan
Kebijakan Pemerintah RRC
NASIONALISME INDONESIA CINA
Penduduk Indonesia
21
ekonomi, bahasa, budaya, pendidikan, pemerintahan serta yang tak kalah penting
adalah kebijakan di bidang kewarganegaraan. Tahun 1949 kaum Komunis
berhasil merebut kekuasaan di Cina dari tangan kaum Kuo Min Tang, lalu
muncullah Republik Rakyat Cina (RRC). Rupanya RRC masih mempertahankan
Undang-Undang Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun
1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis yang berarti semua
orang Cina dimanapun berada diklaim sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan
semua orang Cina yang berstatus sebagai warga Negara Indonesia menjadi
berstatus bipatride yang berarti di samping sebagai warga negara Indonesia
sekaligus mereka merupakan warga negara RRC.
Saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintahan Kuo Min
Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu
mereka mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang memang sudah ada
sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk
mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC. Hal ini ditanggapi secara
positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan
terhadap para Cina perantauan di Asia Tenggara.
Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh pihak
RRC, dalam rangaka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful
Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik denga negara-negara di
Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis. Kemudian
mulai diadakan sejumlah pembicaraan yang diadakan baik di Peking, Jakarta,
maupun di Bandung. Rangkaian pembicaraan ini berpuncak pada suatu
persetujuan antara Sunario (Menteri Luar Negeri Indonesia) da Chou En-lai
(Menteri Luar Negeri RRC), yang dilakukan pada tanggal 22 April 1955 di tengah
penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung Persetujuan ini dikenal
sebagai Perjanjian Dwi-kewarganegaraan.
Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuan itu adalah untuk meniadakan
akibat-akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia juga menghendaki adanya kepastian
akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia sebelum mereka
diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan mereka. Keberadaan
22
etnis Tionghoa di Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad lamanya
ternyata menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap Indonesia dan berjuang untuk
mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sementara itu, RRC juga menerima
baik keinginan Indonesia untuk menentukan sendiri siapa saja di antara orang
Cina Indonesia yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut memilih, karena
telah secara implisit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan
social politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut diratifikasi dalam
bentuk Undang-Undang No. 2/1958. (Koerniatmanto Soetoprawiro,1996: 105-
107).
Sebelum Undang-Undang No. 62/1958 disahkan, pada tahun yang sama
disahkan pula suatu Undang-Undang yang mengatur masalah kewarganegaraan
Indonesia yaitu Undang-undang No. 2/1958. Pembahasan Undang-Undang No 2
Tahun 1958 sengaja dilakukan setelah pembahasan Undang-Undang No 62/1958
dikarenakan berbagai hal antara lain seperti : Dilihat dari nomornya Undang-
Undang No.2/1958 ada terlebih dahulu. Undang-Undang No 62/1958 dinyatakan
sah berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Sedangkan Undang-Undang No 2
Tahun 1958 menyatakan bahwa Pejanjian Dwi kewarganegaraan mulai berlaku
pada tanggal penukaran surat-surat penukaran di Peking, yaitu tanggal 20 januari
1960 serta isi Undang-Undang No 2 Tahun 1958 khususnya yang menyangkut
masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia telah menimbulkan pelbagai
masalah pelik yang memerlukan penanganan yuridis berkepanjangan sampai
bertahun-tahun kemudian. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 11 Januari
1958 dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1958-5 pada tanggal 27 Januari
1958. Termasuk di dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah pertukaran Nota
antara Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou Enlai
tertanggal Peking 3 Juni 1955. Undang-Undang ini bertujuan untuk
menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan yang ada pada waktu itu, dan
mencegah timbulnya dwi-kewarganegaraan di kemudian hari. Menurut perjanjian
ini, masalah dwi-kewarganegaraan yang ada itu diselesaikan dengan cara
menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang.
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat
penelitian.
a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
e. Perpustakaan museum Radya Pustaka Surakarta
f. Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta.
g. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
h. Koleksi Pribadi
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari
disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan April tahun 2009, sampai dengan
selesainya penulisan skripsi ini.
B. Metode Penelitian
Peranan metode ilmiah dalam penelitian sangat penting karena
keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang
tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau
jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
23
24
kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Sementara itu menurut Husnaini
Usman (1996: 42) menyebutkan bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Menurut Helius
Sjamsudin (1996: 6), metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan
penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau
disiplin ilmu yang lain.
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,
mendiskripsikan dan memaparkan Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia
Tahun 1958-1969 yang berkaitan dengan dampak dari keluarnya Undang-Undang
No 62 Tahun 1958. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah
peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode historis atau
sejarah. Dengan metode sejarah penulis mencoba menuliskan kembali suatu
peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43)
mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan
prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,
menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis. Louis Gottschalk dalam Dudung Abdurrahman (1999: 44)
menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian
sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha
sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.
Sementara itu menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) menyatakan
metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan
peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-
bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah
yang dapat dipercaya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.
25
Pemakaian metode sejarah membantu dapat memahami kejadian pada masa lalu
kemudian menguji dan menganalisis secara kritis dan mengajukan sintesis dari
hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat
dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut
Kuntowijoyo (1995: 94), kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal
datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.
Dudung Abdurrachman (1999: 30) menyatakan data sejarah merupakan
bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian.
Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-
bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa
yang terjadi pada masa lampau.
Helius Sjamsuddin (1996: 73) mengemukakan pengertian sumber
sejarah, yaitu:
Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan).
Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber
tertulis. Menurut Lexy J. Moeleng (1989: 31) sumber tertulis dapat berupa buku-
buku, majalah ilmiah, arsip dan dokumen resmi (dikeluarkan oleh pemerintah)
dan dokumen pribadi. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber
tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis Gottshalck (1986: 35)
mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi
dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai
data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang
26
sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada
siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir
dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan
sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang
dikisahkannya.
Sumadi Suryabrata (1998: 17) berpendapat bahwa penelitian historis
tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi
atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder
diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang
lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Diantara kedua sumber tersebut,
sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan
diberi prioritas dalam pengumpulan data.
Penelitian ini menggunakan sumber tertulis primer maupun sekunder.
Sumber tertulis primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini adalah
berupa koran yang terbit pada tahun 1958 antara lain seperti Obor Rakyat, Gelora
Maesa dan lain sebagainya. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini berupa buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan
dengan penelitian. Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam
penelitian ini antara lain : Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia karya
Drs. C.S.T Kansil, S.H.,Warga Negara dan Orang Asing karya Sudargo Gautama,
Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa karya Leo Suryadinata, Dilema
Minoritas Tionghoa, tulisan Leo Suryadinata, Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia editor Mely G Tan,. Hukum Kewarganegaran dan Keimigrasian
Indonesia karya Koerniatmanto Soetoprawiro, dan lain sebagainya.
27
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka
dalam melakukan tehnik pengumpulan data digunakan tehnik kepustakaan atau
studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-
buku literature dan bentuk pustaka lainnya.
Studi pustaka ini diperlukan peneliti untuk menggali teori-teori yang
telah ada, agar memperoleh orientasi yang luas dalam permasalahan yang dipilih.
Menurut Koenjaraningrat (1997:19) keuntungan dari studi pustaka adalah : 1)
memperdalam pengetahuan tentang masalah yang dipilih; 2) menegaskan
landasan teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran; 3) mempertajam
konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan; 4)
menghindari terjadinya pengulangan dari suatu penelitian.
Ada beberapa keuntungan dalam menggunakan teknik studi pustaka.
Menurut Sartono Kartodirjo dalam Koentjaraningrat (1983:65)
”Keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka adalah: (1) untuk membantu memperoleh pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan persoalan yang dipelajari, (2) memberikan pengertian dealam menyusun persoalan yang tepat, (3) mempertajam perasaan dalam meneliti, (4) membuat analisa serta membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah. Dengan teknik kepustakaan, sumber yang didapat tidak mungkin dapat disimpan semua dalam ingatan, maka dalam pengumpulan data diperlukan pencatatan yang sistematis”.
Pengumpulan dengan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan
dengan jalan mengumpulkan buku dan bentuk data lainnya tentang peristiwa masa
lampau di beberapa perpustakaan. Buku atau data yang telah terkumpul kemudian
diteliti dan disesuaikan dengan tema penelitian. Untuk memperoleh data-data
dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang sumber-sumber primer dan
sumber yang berupa buku-buku, koran dan majalah yang tersimpan di
perpustakaan.
Adapun kegiatan studi pustaka yang dilakukan, yaitu dengan
memanfaatkan berbagai perpustakaan di lingkup Universitas Sebelas Maret
28
Surakarta, Perpustakaan Universitas Muhamaddiyah Surakarta, Perpustakaan
Museum Radya Pustaka Surakarta. Kegiatan pengumpulan data ini juga dilakukan
di Monumen Pers Surakarta untuk mendapatkan sumber berupa koran dan
majalah yang sejaman. Kegiatan berikutnya yaitu dengan membaca, mencatat,
meminjam, maupum memfotokopi sumber-sumber tertulis yang dianggap penting
dan relevan dengan tema penelitian. Dengan demikian dapat diperoleh data-data
yang akan digunakan dalam penulisan skripsi.
Dalam penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam
mengumpulkan data adalah sebagai berikut :
1) Mengumpulkan buku-buku, surat kabar, artikel-artikel internet yang
relevan dengan masalah yang diteliti.
2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang diperlukan baik itu
sumber primer maupun sumber sekunder.
3) Memfotokopi dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap
penting dan relevan dengan masalah yang diteliti.
4) Mengklasifikasikan dan menyeleksi sumber-sumber yang telah
dikumpulkan.
5) Membaca dan meringkas kembali sumber yang didapat serta
membandingkannya dengan sumber-sumber lain yang relevan
sehingga menjadi data yang akurat.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurrahman
(1999:64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga
analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis
berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Teknik analisis data historis
menurut Helius Sjamsuddin (1996:89) adalah analisis data sejarah yang
29
menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang
digunakan dalam penulisan sejarah
Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999:64),
analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta
itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo
(1992:2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka
pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang
akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh
diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka
teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan
penelitian.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam menganalisis data
sejarah adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan kritik sumber, baik kritik ekstern maupun kritik intern.
Kritik ekstern yaitu memberikan penilaian terhadap keaslian atau otensitas
sumber dengan melihat sisi luarnya, misal jika penulis menggunakan
sumber arsip atau koran maka harus melihat atau memahami dengan
seksama tentang kapan dibuat atau diterbitkan , penggunaan bahasa dan
ungkapannya dan lain-lain. Sedangkan kritik intern yaitu memberikan
penilaian terhadap isi sumber, apakah sumber tersebut dapat dipercaya
atau tidak, seperti identifikasi penulis, cara berfikir penulis apakah
mengarah pada perhatian hanya ke satu jurusan tertentu atau lebih luas,
latar belakang dokumen tersebut dibuat dan unsur subyektifitas pengarang.
2. Menginterpretasikan data yang telah terkumpul dengan cara
membandingkan, mengkaitkan, atau menghubungkan antara data yang
satu dengan data yang lain. Agar dapat diketahui hubungan sebab akibat
dari suatu peristiwa di masa lampau yang menjadi obyek penelitian dan
mendapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar relevan., penulis dapat
mengkaji dengan menggunakan beberapa sumber sekunder yaitu berupa
buku-buku yang relevan dengan masalah tersebut agar dapat menjadi
30
Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi
Fakta Sejarah
sebuah data. Data yang telah terkumpul kemudian diseleksi,
diklasifikasikan dan ditafsirkan, dan kemudian dirangkai untuk dijadikan
bahan penulisan penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu
persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena
penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus
dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan :
a. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam
pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari
jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997: 37), heuristik adalah suatu teknik,
suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan
umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek. Sidi Gazalba
(1981: 15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau
menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Dengan
demikian heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan
kata lain kegiatan mencari sumber sejarah.
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber
tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan
31
penelitian. Sumber tertulis primer, berupa surat kabar, dan majalah; maupun
sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa
perpustakaan, dan di antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret,
Perpustakaan Jurusan FKIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Program
Studi Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Monumen Pers
Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan
Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta
b. Kritik
Setelah mengumpulkan data atau bahan, tahap berikutnya adalah langkah
verifikasi atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Kritik merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak sejarah yan telah
dikumpulkan yaitu menyangkut jejak-jejak sejarah tersebut dapat dipercaya atau
tidak, kritik sumber dilakukan untuk memilih, menyeleksi, mengidentifikasi serta
menilai sumber atau data yang akan digunakan dalam menulis sejarah kritis.
Menurut Helius Syamsudin (1996: 103) keabsahan sumber dicari melalui
pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap sumber
data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern.
Kritik ekstern pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Kritik
ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan
segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan (kertas atau tinta) yang
digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain.
Kritik intern adalah kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari
sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan. Kritik interen dalam penelitian ini
dilakukan dengan kegiatan mengidentifikasi gaya, tata bahasa dan ide yang
digunakan oleh penulis sumber data, situasi saat penulisan dan tujuan dalam
mengemukakan peristiwa yang berkaitan dengan tema penelitian. Kritik Intern
dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa proses antara lain, Pertama,
penilaian terhadap aspek intrinsik yang dimulai dengan menentukan sifat sumber
data sejarah. Dari proses itu didapatkan pengkategorian sumber data. Kedua ,
32
membuat suatu perbandingan diantara sumber data yang telah terkumpul, pada
proses ini dilakukan suatu kegiatan untuk menghubungkan dan membandingkan
sumber data yang satu dengan yang lain guna memastikan tingkat validitas
sumber data.
c. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut juga dengan analisis sejarah.
Analisis ini berarti menguraikan secara terminologi berbeda dengan sintesis yang
berarti menyatukan. Namun analisis dan sistematis dapat dipandang sebagai
metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo,1993:100). Interpretasi
merupakan suatu kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari data-data
yang telah diseleksi terlebih dahulu pada tahapan sebelumnya, untuk selanjutnya
dilakukan analisis data.
Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan
atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang
menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna
dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut
sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.
Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan
fakta sejarah atau sintesis sejarah.
d. Historiografi
Historiografi adalah penulisan, pamaparan/pelaporan hasil penelitian
sejarah (Dudung Abdurrahman,1999:67). Historigrafi merupakan langkah terakhir
dalam penulisan sejarah. Langkah ini merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah
menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya.
Menurut Helius Sjamsudin (1992:153) dalam historiografi seorang penulis tidak
hanya menggunakan keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan atau
catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut untuk menggunakan pikiran kritis dan
analisis. Dalam langkah ini diperlukan imajinasi untuk mengaitkan fakta satu
33
dengan yang lain sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik. Pada tahap
ini, kegiatan menyusun fakta sejarah dibutuhkan kemampuan mengungkapkan
bahasa secara baik, kemampuan untuk menempatkan fakta sejarah sesuai dengan
periode sejarah. Dari data yang telah ditemukan maka peneliti berusaha
memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan bahasa ilmiah disertai
dengan argumentasi secara sistematis. Kemampuan menjelaskan data yang telah
ditemukan dengan menyajikan bukti-bukti dan membuat garis umum yang dapat
diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN A. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya
Undang-Undang No 62 Tahun 1958
1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa Penjajahan Belanda a. Kedatangan Awal Orang Tionghoa di Nusantara
Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara telah terjadi beratus-ratus tahun
yang lalu. Sebagian besar para emigran Cina adalah orang-orang miskin dan
berasal dari daerah Cina bagian selatan. Kemiskinan mereka dapat dilihat dari
pekerjaan mereka yang tergolong kasar, yaitu sebagai buruh, kuli perkebunan atau
pedagang kecil (Wang Gung Wu, 1991:291).
Diduga orang Cina yang pertama kali berkunjung ke Nusantara adalah Fa
Hian, seorang pendeta agama Budha. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh I-
Tsing yaitu antara tahun 671-692 M. Sampai pada abad VIII, mula-mula
hubungan antara Negara Cina dangan Nusantara hanya berupa kunjungan pendeta
Budha. Baru pada masa pemerintahan Dinasti Song (960-1279 M) terjadi
perjalanan komersiil, perjalanan dengan tujuan berdagang ke kepulauan nusantara
(Markhamah, 2000:1)
Pada awal abad ke-17, sebelum kolonialis Belanda datang ke Indonesia,
bangsa Indonesia dengan Tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan.
Hubungan ini telah dimulai semenjak masa dinasti Han (206 SM-220 M). Pada
masa ini, Tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara-negara yang
ada di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, Jawa dan Sumatera termasuk dalam
jalur pelayaran tersebut. Lambat laun, banyak penduduk Tiongkok yang
bermigrasi ke kepulauan Nusantara, karena daerah Nusantara sangat subur jika
dibandingkan dengan negeri Tiongkok yang tandus serta kerap terjadi peperangan
dan bencana alam.
Kebanyakan imigran Tiongkok adalah laki-laki dan mereka tidak membawa
istri dari negeri asalnya, maka mereka pun menikah dengan wanita setempat.
Imigran Tiongkok ini kemudian bermukim sampai beberapa generasi dan tak per-
nah kembali ke negeri asal mereka. Oleh karena itu, muncullah etnis Tionghoa
34
35
peranakan yang kemudian merasa menjadi orang Indonesia, sebab mereka lahir,
besar, bekerja, dan meninggal di bumi Nusantara, bahkan sebagian besar dari
mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap Nusantara sebagai
tanah airnya sendiri.
Hubungan antara kedua bangsa semakin erat semenjak adanya lawatan
muhibah Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. Pada saat itu Cheng Ho
mengemban misi dari Kaisar Cheng Zhu untuk menjalankan politik kerukunan
dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, termasuk Nusantara. Pada saat
kedatangan Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat warga etnis Tionghoa
di Pulau J awa, Sumatera, dan Kalimantan. Pada akhir masa dinasti Ming (1368-
1644) dan awal dinasti Ch'ing (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang
datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan
bangsa Manchu terhadap dinasti Ming, sehingga banyak penduduk Tiongkok
yang bermigrasi untuk menghindari peperangan. Jika pada tahun 1628, jumlah
warga etnis Tionghoa di Batavia baru berjumlah 3.000 jiwa, maka pada tahun
1739 telah meningkat menjadi 10.574 jiwa. Para imigran etnis Tionghoa di
Nusantara dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan penduduk
setempat. Mereka hidup membaur dengan membawa kebudayaan masing-masing,
serta bersama-sama mengembangkan dan memakmurkan ekonomi setempat.
Keberadaan mereka sangat menguntungkan dan membawa perkembangan bagi
daerah yang ditempatinya, sebab mereka membawa dan memperkenalkan
teknologi dari negerinya, seperti pembuatan gula tebu, tahu, mi, bihun, kecap,
penyulingan alkohol, serta pembuatan alat-alat rumah tangga. Warga etnis Tiong-
hoa juga sangat rajin bekerja di segala bidang kehidupan, misalnya sebagai
pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun
perkebunan (Hembing Wijayakusuma, 2005: vii-viii).
Orang Cina di Indonesia kebanyakan tinggal di Pulau Jawa. Pada tahun
1930 mencapai hampir 50% dari seluruh orang Cina yang ada di Indonesia. Di
Jawa tempat tinggal mereka terpisah dengan pribumi. Hampir pada setiap kota di
Jawa terdapat daerah yang disebut “pecinan” yang berarti tempat tinggal orang
Cina. Pekerjaan orang Cina adalah pedagang, kecuali orang-orang Cina di
36
Kalimantan Barat dan Bangka–Balitung. Di kedua pula tersebut, orang Cina tidak
bekerja pada sektor perdagangan Ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan
kedatangan orang Cina di Jawa. Ada yang mengatakan bahwa sebelum
kedatangan Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1596 M belum terdapat
perkampungan orang Cina di Jawa. Perkampungan orang Cina mulai ada setelah
Belanda kembali ke Banten. Wang Gungwu mengatakan bahwa munculnya
perkampungan Cina di Jawa adalah antara tahun 1405-1430 M (Markhamah,
2000:1).
Masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang heterogen; mereka be-
gitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat Tionghoa di Jawa
datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini
sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian besar kaum migran ini menyatu
dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat Tionghoa Jawa sekarang ini tidak
lagi dapat berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di pulau
Kalimantan, dan pesisir timur Sumatera, kaum Tionghoa bermigrasi dalam
kelompok besar utuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah sehingga
masyarakat Tionghoa di daerah tersebut tetap mempertahankan bahasa mereka. Di
Sulawesi Utara dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi
dengan masyarakat lokal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat
Tionghoa menganut bermacam agama di Indonesia, Kristen, Katolik, dan aliran
Kristen lainnya, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam (Justian Suhandinata, 2009: 10).
b. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa VOC
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan pada tahun 1602.
VOC merupakan gabungan dari sejumlah perusahaan dagang Belanda yang
berlayar ke Hindia Timur. Oleh karena itu VOC tidak mengenal prinsip
kewarganegaraan sewaktu memegang monopoli dagangnya di Nusantara ini.
VOC bukan merupakan suatu badan kenegaraan. Sehingga pada zaman Kompeni
(VOC) masih belum terdapat peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan. Pada
waktu itu perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan “orang-orang
asing”. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir (uiterlijke kenmerken)
37
atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat.
Kompeni datang ke Indonesia bukan untuk mendirikan suatu negara atau
mempunyai politik lainnya. Mereka hanya datang mengembara di kepulauan ini
untuk berdagang, untuk mencari keuntungan materiil sebesar-besarnya. Maka
mereka sama sekali tidak begitu mementingkan permasalahan politis dan
kenegaraan (Sudargo Gautama, 1987:21).
Pada zaman VOC dikenal perbedaan antara compagniesdienaren
(hamba-hamba kompeni Belanda yang merupakan keturunan orang Eropa atau
Belanda) dan vrije luiden of slaven (golongan yang bukan keturunan
Eropa/Belanda misalnya seperti Arab dan Tionghoa); atau antara Christenen
(beragama Kristen) dan Onchristenen (beragama non Kristen); dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan itu dipandang dengan memperhatikan sifat-sifat lahir
(tampak) atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak
terlihat. Akan tetapi pada prinsipnya, khususnya mereka yang tinggal dalam
benteng VOC, tetap tunduk pada hukum yang sama, yaitu hukum Belanda.
Jadi, sama sekali tidak ada usaha untuk membedakan secara yuridis antara
orang asing dan orang asli dari daerah yang bersangkutan. Kedudukan
hukum orang asing sama dengan orang asli, sama-sama sebagai penduduk
Hindia Timur (Oost Indie), dengan hak dan kewajiban yang sama.
(Koerniatmanto, 1996:16)
Pada tahun 1720, imigrasi orang Tionghoa ke Nusantara sangat dibatasi.
Pembatasan terhadap masuknya orang-orang Cina merupakan suatu indikator
bahwa VOC tidak selamanya memperlakukan orang Tionghoa secara lebih baik.
Pembunuhan massal terhadap orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740-an
adalah salah satu wujud pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh VOC terhadap
orang Tionghoa (Benny Juwono, 1999: 51). Walaupun Pemerintah Kolonial
Belanda memberikan peraturan yang kurang baik terhadap Etnis Tionghoa, tetapi
komunitas Tionghoa penting dipertahankan alasannya adalah bahwa kekuatan
Belanda memaksakan pemisahan orang Tionghoa dan menginginkan mereka
untuk tetap berbeda. Lagipula, orang Tionghoa membayar pajak lebih mahal
38
ketimbang yang dibayar oleh penduduk asli, dan mereka menyediakan bagian
yang besar daripada pendapatan integral VOC (Justian Suhandinata, 2009:103).
1) Kewarganegaraan Belanda menurut Burgelijk Wetboek
Di negeri Belanda masalah kewarganegaraan muncul untuk pertama
kali pada sekitar tahun 1814/1815. Pada tahun itu terbentuk Undang-
Undang Dasar (grondwet) yang pertama bagi Kerajaan Belanda. Baru sekitar
waktu itu orang Belanda menyadari dirinya sebagai sebuah bangsa (nation).
Disadari perlunya ketentuan tentang siapakah yang merupakan warga
Kerajaan Belanda (Nederlanderschap).
Berdasarkan Grondwet 1814/1815 pada tahun 1838 disusunlah
Nederlandsch Burgerlijk Wetboek (NBW). Dengan menggunakan asas ius soli
Pasal-pasal yang mengtur Nederlanderschap ini ialah pasal 5-12 B.W.
dengan title Van Nederlanders en Vreemdelingen yang menyatakan bahwa
selain orang-orang keturunan Belanda, juga orang-orang Indonesia,
Tionghoa dan Arab yang dilahirkan di Hindia Belanda, adalah orang-orang
Belanda tetapi dalam artian Civielrechtelijk. Status ini hanya bersifat
perdata (privat). Artinya tidak membawa hak dan kewajiban publik
sebagaimana halnya pada status warga negara umumnya. Namun status ini
tetap membawa akibat hukum dalam hal perlindungan diplomatik dalam
hubungan internasional (Sudargo Gautama, 1987:22-23)
2) Dualisme Kewarganegaran Belanda
Pasal 5 NBW menetapkan pengertian warga negara Belanda, secara
terbatas, yang semata mata hanya mengatur masalah-masalah di bidang
hukum perdata. Jadi sampai dengan tahun 1850 yang ada hanyalah
civielrechtelijk Nederlanderschap. Baru pada tanggal 28 Juli 1850
dikeluarkan suatu wet yang mengatur masalah staaatsrechtelijk
Nederlanderschap (Staatsblad 1850-44), sebagai pelaksanaan dari pasal 7
Grondwet 1848. Sejak saat itulah muncul masalah dualisme pengertian
warga Negara Belanda. Pengertian yang bersifat perdata diatur dalam
Nederlandsch Burgerlijk Wetboek, sedangkan pengertian yang bersifat
publik diatur berdasarkan Wet 28 juli 1850
39
Pengertian warga negara Belanda berdasarkan kedua ketentuan itu
mempunyai perbedaan lingkup yang prinsipial sifatnya. Warga negara
Belanda menurut Nederlandsch Burgelijk Wetboek ialah mereka yang
dilahirkan oleh orang tua yang bertempat tinggal di negeri Belanda dan
koloninya, sedangkan menurut Wet 28 Juli 1850 terbatas hanya pada
mereka yang dilahirkan oleh orang tua yang bertempat tinggal dinegeri
Belanda. Berdasarkan Pasal 1 Wet 28 Juli 1850, orang yang berhak
menikmati hak-hak publik hanya orang-orang Belanda yang lahir dari orang
tua yang bertempat tinggal di negeri Belanda (rijk in Europe)
(Koerniatmanto, 1996:17-18).
3) Wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap 1892
Pada tahun 1920 Regeringsreglement mengalami perubahan yang
cukup luas, meskipun dengan nama yang tetap sama. Perubahan nama baru
terjadi pada tanggal 1 Januari 1926. Indische Staatsregeling (IS)
menggantikan kedudukan Regeringsreglement sebagai "konstitusi" Hindia
Belanda, dengan materi muatan atau isi yang persis sama. Berdasarkan
Pasal 160 ayat (2) IS, penduduk Hindia Belanda adalah mereka yang
dengan sah bertempat tinggal tetap di sana. Selanjutnya, berdasarkan Pasal
163 IS penduduk Hindia Belanda dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu
golongan Eropa, golongan Pribumi, dan golongan Timur Asing. Pada
tanggal 12 Desember 1892 diundangkan di Negeri Belanda suatu Undang-
Undang yang dikenal sebagai Wet op het Nederlanderschap en het
Rijksingezetenenschap (Wet 1892). Melalui ketentuan penutupnya, wet yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1893 ini mencabut Pasal 5-12 NBW dan
Wet 28 Juli 1850. Dengan demikian dualisme ketentuan tentang kewarganegaraan
di negeri Belanda diakhiri (Koerniatmanto, 1996:20)
Berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang terdahulu, Wet 1892 ini
pada prinsipnya menganut asas ius sanguinis, tanpa meninggalkan sama sekali
asas ius soli. Asas ius soli dipergunakan sebagai perkecualian, semata-mata
guna menghindari munculnya kasus apatride.
40
4) Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap van Niet Nederlander 1910
Bunyi Ketentuan Peralihan Wet 1892 tersebut berasal dari usul atau
amandemen dari anggota parlemen Belanda yang bernama Levysshon
Norman. Amandemen Levysshon Norman pada hakikatnya berkaitan
langsung dengan kekhawatiran, jangan-jangan ada orang dari golongan
Pribumi dan yang dipersamakan di Hindia Belanda yang akan dapat
memangku jabatan publik atau menikmati hak-hak publik.
Akan tetapi Amandemen Levysshon Norman ini menimbulkan
berbagai kesulitan bagi Pemerintah jajahan Belanda itu sendiri. Kesulitan
ini antara lain menimpa para konsul Belanda di luar negeri. Mereka ragu-
ragu, apakah orang-orang dari golongan bukan Belanda perlu mereka lin-
dungi atau tidak, seperti halnya para Nederlander lainnya.
Selain itu Pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan lain
yang timbul dari diundangkannya Undang-Undang Kewarganegaraan
Tiongkok 1909. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Hal
ini berarti bahwa semua orang Cina di mana pun ia berada (termasuk yang
menjadi penduduk di Hindia Belanda) adalah warga negara Tiongkok.
Tentu saja hal ini mengancam kepentingan Pemerintah Hindia Belanda,
baik secara politis maupun secara ekonomis.
Mengingat pelbagai kesulitan di atas, pada tanggal 10 Februari 1910
diundangkanlah Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap van Niet
Nederlanders (Staatsblad 1910-296) atau Wet 1910. Sejak saat itu pula
kedudukan publik sebagai penduduk Hindia Belanda berdasarkan Pasal 160
IS diatur lebih lanjut dalam Wet 1910 ini sebagai kaulanegara Belanda
(Nederlandsch onderdaan). Wet ini menentukan bahwa yang menjadi
kaulanegara Belanda adalah
a. mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang bertempat tinggal
di Hindia Belanda, atau dari seorang ibu yang bertempat tinggal di Hindia
Belanda apabila ayahnya tidak diketahui,
b. mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang tidak diketahui,
41
c. istri atau janda dari mereka yang termasuk kategori a dan b di atas, yang
tidak kawin kembali,
d. anak dari mereka yang termasuk kategori a, yang lahir di luar Hindia
Belanda, selama belum berusia delapan belas tahun atau belum kawin,
e. anak dari orangtua yang berstatus kaulanegara menurut Wet ini, yang lahir
di luar Hindia Belanda, bila mereka telah berusia delapan belas tahun atau
telah kawin, bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda (Negeri
Belanda, Hindia Belanda, Suriname, Curasao) dengan istri dan anaknya
yang belum berusia delapan belas tahun, jika juga bertempat tinggal di
wilayah Kerajaan Belanda,
f. mereka yang bertempat tinggal di Hindia Belanda setelah kehilangan
kekaulanegaraan Belanda-nya karena tidak menggunakan hak opsinya
sewaktu tinggal di luar negeri.
Dengan berlakunya Wet 1910 ini, lahirlah istilah Nederlandsch
onderdaanschap (kekaulanegaraan Belanda). Istilah ini merupakan istilah yuridis
baru dalam hukum ketatanegaraan Hindia Belanda. Istilah ini menunjukkan
hubungan hukum antara penduduk Hindia Belanda, yang adalah wilayah jajahan
Belanda, dan Kerajaan Belanda (Koerniatmanto, 1984:22)
c. Munculnya Pergerakan Tionghoa
Pergerakan Tionghoa adalah gerakan untuk perbaikan nasib serta
mencapai perlakuan sama rata dari orang-orang Tionghoa yang berada di
Indonesia. Pergerakan Tionghoa merupakan factor pendorong dari dalam negeri,
supaya diadakan suatu peraturan kewarganegaraan yang pasti bagi Hindia
Belanda.
Menurut Fromberg sendiri, keganjilan orang-orang Tionghoa bukan
karena mereka ingin dipersamakan dengan golongan bumiputra. Akan tetapi
karena mereka tidak dipersamakan dengan golongan Eropa. Dan jika dilihat
secara objektif, usaha pergerakan Tionghoa, ke arah perlakuan sama rata, justru
membawa pula manfaat juga bagi golongan rakyat bumiputra. Karena pergerakan
Tionghoa ini juga menjadikan masyarakat Indonesia telah turut bangun, sehingga
dalam waktu cepat telah muncul berbagai perhimpunan-perhimpunan nasional
42
Indonesia (Sudargo Gautama, 1987:48-49)
Adanya hasrat untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang menjadi
kaulanegara dengan menggunakan asas daerah kelahiran dan tafsiran yang luas ini
telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu. Bagi orang-orang yang tidak
suka untuk dihitung menjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai
terlalu memaksa. Sama sekali tidak ada kemungkinan untuk menolak
kekaulanegaraan ini. Hak repudiasi tidak dikenal. Tetapi bila diabaikan sama
sekali kebebasan memilih ini segala sesuatu akan dirasakan lebih menyakitkan.
Pemuka-pemuka dari "Pergerakan Tionghoa" yang sediakala dipelopori oleh Sin
Po melalui perkataan-perkataan yang dipakai oleh Tjoe Bou San, yaitu pelopor
pergerakan yang terkenal dalam Sin Po dengan terang-terangan menolak
kekaulanegaraan Hindia Belanda ini. Orientasi mereka semata-mata ditujukan
kepada negeri leluhur. Tidak adanya kebebasan untuk memilih ini merupakan
salah satu keberatan mereka (dalam Sin Po, November 1930)
Pendorong utama bagi pemerintah Hindia Belanda untuk
mengeluarkan suatu peraturan tentang nasionalitas rakyat Hindia Belanda
ialah kekhawatiran akan "hilangnya" berjuta-juta orang keturunan Tionghoa,
yang sebenarnya telah hidup turun-temurun, telah dilahirkan dan juga akan
dikubur di kepulauan ini bekerja berusaha serta berniaga di sini harus
dianggap sebagai anak-anak negeri ini. Suasana kehidupan kolonial pada awal
permulaan di Hindia Belanda adalah sedemikian rupa, sehingga orang-orang
Tionghoa di kepulauan ini tidak dapat menganggap dirinya tidak lain
daripada orang-orang asing. Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri di
mana mereka dilahirkan. Keadaan yang memaksa untuk menengok kepada
negeri leluhur. Perlindungan diharapkan hanya dari negeri yang telah lama
mereka tinggalkan (Sudargo Gautama, 1987:48-50).
Perhatian dari tunjangan yang diperoleh Hoakiao (orang Tionghoa
perantauan) dari negeri leluhur dan negeri leluhur dari Hoakiao ini adalah timbal-
balik. Di waktu dynasti Manchu masih berkuasa, para emigran ini dianggap
sebagai penjahat-penjahat dan terhadap siapapun dapat dijatuhkan hukuman mati.
Mereka ini dipandang sebagai orang-orang yang melalaikan kewajiban sucinya
43
untuk memelihara leluhur mereka. Dalam suasana demikian dapat dimengertilah
mengapa Cina di waktu itu sama sekali tak menaruh perhatian pada rakyatnya
yang pergi mengembara ke negeri lain. Karenanya mudah dimengerti sikap
pemerintah Cina yang amat pasif ketika berulang-ulang beribu-ribu orang
Tionghoa telah dibunuh di negeri-negeri perantauan, antaranya tahun 1740 di
Batavia (Justian Suhandinata, 2009:11)
Pada akhir abad ke-19 keadaan baru mulai berubah. Dengan proklamasi
Gubernur Kwangtung ditahun 1859, dapat dikatakan secara resmi untuk pertama
kalinya diakui hak rakyat Cina untuk meninggalkan tanah leluhur mereka serta
kembali lagi ke sana dengan tak usah takut ditangkap atau dituntut serta diperas,
karena melanggar suatu peraturan hukum. Kemudian disempurnakan kebebasan
untuk merantau ini. Keadaan sama sekali berubah sebagai akibat revolusi
nasional. Negeri leluhur sekarang dengan tegas menganut politik melindungi
terhadap rakyatnya dalam pengembaraan. Guna perlindungan ini, diperlukan
suatu undang-undang kewarganegaraan yang luas. Peraturan ini harus dapat terus
menganggap rakyat dalam pengembaraan walau sudah ratusan tahun
meninggalkan negeri leluhur, dan sudah tak ada hubungan sedikitpun dengan
negeri leluhur, tetap diakui sebagai anggota-anggota "Chung Hua Min Kuo".
Mereka dapat menikmati perlindungan serta hak-hak politis di negeri Cina,
Demikianlah dalam tahun 1909 telah lahir Undang-Undang
Kewarganegaraan Cina, serta telah disediakan untuk Hoakiao dalam DPR di
Cina dari tahun 1912, 6 dari total 274 kursi wakil-wakil.
Semangat nasionalisme yang sedang bergelora di negeri leluhur, tidak
bisa tidak harus dirasai pula oleh Hoakiao di Hindia Belanda. Semangat
nasional laksana angin telah meniup-niup dan mengobarkan pula api
nasional dalam hati-hati orang-orang Tionghoa di Indonesia, api yang
memangnya harus diakui sedari dulu belum pernah padam sama sekali.
Lebih banyak orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda merasakan diri
mereka Tionghoa. Dari suatu "etat hermite" Cina telah berubah menjadi
suatu "etat nation".
44
Melihat keadaan semua itu pemerintah Hindia Belanda sadar akan
bahaya apabila demikian banyak orang Tionghoa menjadi terlepas sama
sekali dari lingkungan Hindia Belanda, Maka dibuatlah peraturan-peraturan
yang bermaksud untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan itu.
Keadaan menjadi semakin mendesak ketika Pemerintah Cina sendiri dalam
tahun 1909 sudah siap dengan peraturan kewarganegaraannya, serta berniat
untuk mengirimkan Konsul-konsul, "High Commissioners", dan "Inspektur-
inspektur pendidikannya" ke Hindia Belanda. Dengan maksud untuk
menghindarkan supaya orang-orang Tionghoa Peranakan jatuh di bawah
kekuasaan jurisdiksi Konsul-konsul Cina, pemerintah Hindia Belanda
dengan tergesa-gesa menetapkan undang-undangnya tentang "Nederlandsch
Onderdaanschap van niet Nederlanders" (S. 1910/296). (Sudargo Gautama,
1987: 52).
2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa Pendudukan Jepang
Sewaktu Jepang menduduki Indonesia yaitu pada bulan Maret 1942,
semua partai politik (baik partai-partai pribumi, Belanda, maupun Tionghoa)
dilarang. Para pemimpin mereka dipenjarakan atau bergerak di bawah tanah atau
"bekerja sama" dengan orang Jepang. Sebagian besar para pemimpin totok yang
anti Jepang ditawan, demikian juga sejumlah pemimpin peranakan. Walaupun
demikian ada juga orang Tionghoa dan beberapa nasionalis Indonesia yang
bekerja sama dengan Jepang. Dari partai politik peranakan Tionghoa yang
terlarang, Liem Koen Hian (PTI) dan Oei Tjong Hauw (CHH) diangkat sebagai
anggota dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPKI -
yang dipimpin Sukarno dan Hatta). Dua anggota panitia lainnya dari kaum
peranakan (yang tidak aktif dalam partai-partai Tionghoa sebelum Perang Dunia
Kedua) adalah Oei Tiang Tjoei (Pimpinan surat kabar Hong Po yang pro-Jepang
dan ketua Hua ch’iao tsung-hui di Jakarta), dan Tan Eng Hoa. Tiga orang yang
disebut pertama cukup menonjol dan pandangan mereka dapat dianggap mewakili
kaum Tionghoa peranakan selama masa pendudukan Jepang.
Liem Koen Hian tetap mendukung kemerdekaan Indonesia. Pandangan-
pandangannya yang nasionalis dan pro-Indonesia. yang telah dikemukakannya
45
sejak sebelum masa pendudukan, nampaknya tidak berubah. Juga pandangannya
tentang kewarganegaraan orang Tionghoa Indonesia. Dalam sebuah pertemuan
BPKI Liem rnengemukakan keyakinannya bahwa kaum Tionghoa lokal di Jawa
tidak lagi Cina dalam kebudayaannya. Mereka lebih Indonesia daripada Cina.
Walaupun demikian mereka agak bingung tentang posisi mereka sendiri karena
ada perubahan situasi baik nasional maupun intemasional. Liem menganjurkan
agar Republik Indonesia yang akan datang menyatakan semua Tionghoa di
Indonesia sebagai warga negara Indonesia (Leo Suryadinata,1984: 55)
Oei Tiang Tjoei mempunyai pendapat yang berbeda. Ia setuju bahwa
Tionghoa peranakan adalah campuran dari orang Indonesia dan Tionghoa tetapi
hal itu tidak membuat mereka menjadi orang Indonesia. Ia mengatakan bahwa
rasa nasionalis adalah naluriah. Kaum Tionghoa peranakan di Indonesia, menurut
pandangannya, masih mempunyai rasa nasionalis Cina. Karena itu ia
mengusulkan agar dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia
kewarganegaraan orang Tionghoa sebaiknya "diberi pertimbangan yang adil". Ia
tidak mengatakan bahwa Tionghoa harus dinyatakan sebagai warga negara Cina,
tetapi keterangan-keterangan yang diberikannya nampaknya menjurus ke situ. Di
samping itu ia tidak melihat ada pertentangan antara menjadi anggota bangsa
Cina dan menjadi anggota masyarakat Indonesia. Dalam pandangannya, orang
Jepang, Indonesia, dan Tionghoa semuanya orang Asia, karena itu mereka harus
bekerja sama mewujudkan "Asia Raya".
Oei Tjong Hauw mempunyai pandangan yang mirip tetapi lebih terbuka.
Oei lebih memilih agar pemerintah Indonesia yang akan menyatakan semua orang
Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Cina. Ia mengemukakan bahwa
banyak Tionghoa peranakan memegang kewarganegaraan Cina sewaktu Undang-
undang Kekawulaan Belanda tidak berlaku lagi. Mereka tidak malu akan
kewarganegaraan mereka. Oei selanjutnya mengatakan bahwa walaupun ia dan
orang-orangnya akan memilih kewarganegaraan Cina, ia berjanji akan bekerja
sebaik mungkin untuk membantu rakyat Indonesia membentuk negara merdeka.
Kesediaannya mendukung kemerdekaan Indonesia disebabkan oleh dua hal;
negara Cina juga sedang berperang memperjuangkan kemerdekaannya; dan
46
bahwa orang Tionghoa di Indonesia berhutang budi kepada pemerintah Indonesia
atas mata pencaharian yang telah diperoleh bagi kehidupannya. (Leo Suryadinata,
1984 : 56).
3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Awal Kemerdekaan
Jepang menyerah pada pertengahan Agustus 1945 kepada Sekutu. Para
pemimpin nasionails Indonesia, diwakili oleh Sukarno dan Hatta, mempergunakan
kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.
Lahirlah suatu bangsa baru, yang berarti bahwa sejak saat itu ada sekelompok
manusia yang mempunyai hubungan khusus dengan suatu negara baru. Bangsa
baru itu adalah bangsa Indonesia, dan negara baru itu adalah Republik Indonesia.
Secara formal, sejak saat itu timbul hubungan hak dan kewajiban secara timbal
balik antara bangsa Indonesia (atau warga negara Indonesia) dan Republik
Indonesia. Hal ini mengingat bahwa salah satu syarat mutlak eksistensi Republik
Indonesia adalah bangsa Indonesia itu sendiri.
Sehari kemudian Undang-Undang Dasar yang kini dikenal sebagai
Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia.
Pasal 26 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.
Secara otentik Penjelasan UUD 1945 mengenai ketentuan di atas
menerangkan sebagai berikut:
Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan
Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui
Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada Negara Republik
Indonesia, dapat menjadi warga negara. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan
bahwa terdapat pembedaan kelompok warga negara Indonesia, yaitu warga negara
Indonesia asli dan warga negara Indonesia keturunan asing. Dengan pengertian
bahwa warga negara keturunan asing adalah warga negara Indonesia yang mem-
peroleh statusnya itu berdasarkan proses pewarganegaraan atau naturalisasi. Di
47
sini timbul suatu pertanyaan mengenai siapakah warga negara Indonesia asli itu.
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada Undang-Undang No. 3/1946.
Di dalam Undang-Undang ini terdapat pengertian mengenai warga negara
Indonesia asli yang bersifat yuridis-konstitusional, bukan yang bersifat biologis-
etnik ataupun sosiologis-kultural (Koerniatmanto. 1996 :26)
a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1946
Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, tetapi pasukan Belanda kemudian menduduki kembaIi sebagian
besar kota besar Indonesia, Pasukan Republik Indonesia didesak kembali ke
Yogyakarta. Pada tanggal 10 April 1946 pemerintah Republik Indonesia yang
berpusat di Yogyakarta mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yaitu
Undang-Undang No. 3/1946 yang mengatur tentang Kewarganegaraan dan
Kependudukan Republik Indonesia yang dilandaskan pada asas ius soli dan
"sistem pasif". Undang-undang itu menyebutkan bahwa "warga negara Indonesia"
terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal di daerah di Indonesia dan
" ... orang-orang yang tidak dalam kelompok yang tersebut di atas, akan tetapi yang lahir di daerah-daerah teritorial Indonesia dan telah tinggal di sana selama lima tahun terakhir berturut-turut, serta mereka yang telah berumur 21 tahun, dengan syarat orang-orang tersebut tidak menolak kewarganegaraan Indonesia karena menjadi warga negara negara lain, ...
Karena mayoritas orang Tionghoa lokal, khususnya yang tinggal di Jawa,
lahir di negara Indonesia pada masa penjajahan, secara otomatis mereka menjadi
warga negara Indonesia kalau mereka terap "pasif" (kalau mereka tidak
mengambil langkah-langkah untuk menolak status mereka). Undang-undang
Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang diundangkan oleh kaum republikan yang
hanya menguasai wilayah yang kecil pada waktu itu tidak banyak pengaruhnya
terhadap mayoritas penduduk Tionghoa.
Kebijaksanaan liberal yang didasarkan pada asas ius soli tidak sejalan
dengan persepsi sebagian besar orang Indonesia tentang orang minoritas
Tionghoa, yaitu bahwa orang Indonesia tidak mempercayai golongan Tionghoa
dan memandang mereka sebagai orang asing yang sulit sekali berasimilasi.
AIasan diterapkannya kebijaksanaan yang begitu liberal mungkin dapat dijelaskan
48
dari segi "situasi obyektif", yaitu keadaan yang dihadapi pemerintah republik.
Pemerintah Indonesia waktu itu masih menghadapi kekuasaan penjajah Belanda
sehingga mereka ingin sekali mendapat dukungan orang Tionghoa yang secara
ekonomis kuat untuk membantu perjuangan bagi kemerdekaan politik. Mengenai
jumlah orang Tionghoa lokal dalam wilayah republik yang menolak
kewarganegaraan Indonesia tidak ada catatan yang dapat diperoleh. Karena
perasaan anti-Tionghoa kuat di antara para nasionalis Indonesia, dan karena orang
Tionghoa lokal tidak mempunyai kepastian apakah pemerintah Belanda atau
Kuomintang dapat menjamin keselamatan mereka, maka sangat mungkin
kebanyakan dari mereka tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. (Leo
Suryadinata, 1984:116).
Berdasarkan bunyi Pasal 1 Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia
yang pertama ini (UU No 3 tahun 1946), kewarganegaraan Indonesia bisa
didapatkan oleh
a. orang yang asli dalam wilayah Negara Indonesia,
b. orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut di. atas, tetapi turunan
seorang dari golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan
berkediaman dalam wilayah Negara Indonesia; dan orang bukan turunan
seorang dari golongan termaksud yang lahir, bertempat kedudukan, dan
berkediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut
di dalam wilayah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau
telah kawin,
c. orang yang mendapat kewarganegaraan Indonesia dengan cara
naturalisasi,
d. anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya,
yang pada waktu lahir bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia,
e. anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang
mempunyai kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia,
f. anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada
waktu lahir mempunyai kewarganegaraan Indonesia,
g. anak yang diangkat secara sah oleh warga negara Indonesia,
49
h. anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang oleh bapaknya
ataupun ibunya tidak diakui secara sah,
i. anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang tidak diketahui
siapa orangtuanya atau kewarganegaraan orangtuanya.
Oleh Undang-Undang No. 6/1947, klasifikasi warga negara Indonesia di atas
ditambah dengan
j. badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam Negara
Indonesia dan bertempat kedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia.
Selain itu Undang-Undang No. 6/1947 juga menambahkan bahwa bagi mereka
yang tergolong dalam butir b di atas, yang mempunyai kewarganegaraan dari
negara lain, dapat melepaskan kewarganegaraan Indonesianya dengan
menyatakan keberatan menjadi warga negara Indonesia. Pernyataan keberatan
tersebut harus disampaikan secara tertulis kepada Menteri Kehakiman dalam
jangka waktu satu tahun setelah ketentuan tersebut di atas berlaku baginya. Pasal
2 UU No. 3/1946 mengatur bahwa kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suaminya. Demikian pula berdasarkan Pasal 3 UU No. 3/1946,
anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang
No. 3/1946 pada prinsipnya menggunakan asas ius soli. Penduduk Indonesia
secara pasif memperoleh status sebagai warga negara Indonesia. Namun demikian
bagi mereka yang tidak menghendaki status baru ini diperkenankan untuk
menggunakan hak repudiasinya, yaitu hak untuk mengajukan pernyataan secara
tertulis menolak kewarganegaraan Indonesia. Pernyataan ini dialamatkan kepada
Menteri Kehakiman melalui pengadilan negeri setempat dalam jangka waktu satu
tahun sejak berlakunya Undang-Undang No. 3/1946. Beberapa kali dilakukan
perubahan atas Undang-Undang No. 3/1946, selain dengan Undang-Undang No.
6/1947, juga dengan Undang-Undang No. 8/1947 dan Undang-Undang No.
11/1948. Perubahan dengan kedua Undang-Undang tersebut terakhir ini
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin
menggunakan hak repudiasinya sampai tanggal 17 Agustus 1948. Atas dasar itu,
sejak tanggal 17 Agustus 1948 secara jelas diketahui bahwa penduduk Indonesia
50
itu terdiri atas warga negara Indonesia dan warga negara asing. Sejak itu pula
setiap orang asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia harus melalui
proses pewarganegaraan berdasarkan Pasal 5 UU No. 3/1946.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warga negara Indonesia asli
adalah mereka yang memperoleh status itu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai
tanggal 17 Agustus I948 dan keturunannya. Sementara itu warga negara Indonesia
keturunan asing adalah mereka yang memperoleh status tersebut melalui proses
pewarganegaraan mulai tanggal 17 Agustus 1948. Berdasarkan Keputusan
Presiden No.7 Tahun 1971, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No.
3/1946 (setelah ditambah dan diubah) digunakan untuk menetapkan
kewarganegaraan Republik Indonesia bagi penduduk Irian Barat. Pernyataan ini
dilakukan sehubungan dengan kembalinya Irian Barat ke tangan Republik
Indonesia (Koerniatmanto, 1996 :27-29)
b. PPPWN (Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara) Dari
Perjanjian KMB
Tahun 1949 berlangsung perundingan antara Negeri Belanda dan Indone-
sia yang berakhir dengan Perjanjian Meja Bundar (juga dikenal sebagai Perjanjian
Den Haag). Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar adalah PPPWN yang
tertuang dalam lembaran Negara 1950-2 ini merupakan salah satu lampiran
piagam penyerahan kedaulatan itu yang salah satu konsekuensinya adalah
pembagian warga Negara antara kerajaan Belanda dan Republik Indonesia
Serikat. Dengan munculnya PPPWN ini kepastian hokum mengenai status
kewarganegaraan Indoesia berdasarkan UU No. 3 tahun 1946 menjadi terganggu.
Persetujuan itu menegaskan asas ius soli dan "sistem pasif" yang dinyatakan
dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1946. Orang Tionghoa kelahiran
Hindia Belanda (Indonesia) diminta untuk menolak kewarganegaraan Indonesia
dalam waktu dua tahun (27 Desember 1949-27 Desember 1951) kalau ingin
menjadi warga negara asing. Undang-undang itu diadakan terutama karena
Indonesia mempunyai kepentingan akan dukungan Orang Tionghoa serta karena
Indonesia menginginkan penyelesaian secepatnya dengan Belanda mengenai
pemindahan kekuasaan. Di samping itu kelahiran sebagian besar kaum minoritas
51
Tionghoa yang mempunyai kekuasaan ekonomi yang besar memang merupakan
sarana penting bagi pemantapan republik yang baru lahir itu.
Menurut perkiraan, ada 2,1 juta Tionghoa pada tahun 1950, di antaranya
1,5 juta terlahir di wilayah Indonesia. Yang tersebut terakhir itu menjadi warga
negara Indonesia kecuali jika mereka menyatakan sebaliknya. Departemen
Kehakiman Indonesia pada awal tahun 1950-an mengemukakan bahwa ada
390.000 orang Tionghoa lokal yang menolak kewarganegaraan Indonesia. Itu
berarti bahwa 1,1 juta orang dari 2,1 juta Tionghoa di Indonesia
berkewarganegaraan asing. (Leo Suryadinataa. 1984:117).
Berdasarkan pasal-pasal konferensi meja bundar tahun 1949, bahwa semua
orang Tionghoa kelahiran Indonesia karena mereka adalah kaula Bellanda yang
berasal dari orang asing dan bukan Belanda boleh memilih kewarganegaraanya.
Mereka bias memperoleh kewarganegaraan Indonesia tanpa berbuat apa-apa, atau
mereka dapat memperkokoh kedudukanya sebagai warga Negara Tionghoa saja
dengan menolak kewarganegaraan Indonesia, dalam jangka waktu dua tahun
(1949-1951). Kecuali beberapa orang saja, kaum kelahiran Tiongkok bukanlah
kaula Belanda, maka dari itu mereka tidak ada pilian lain. Departemen kehakiman
Republik Indonesia memperkirakan bahwa lebih dari 390.000 orang Tionghoa
Kelahiran Indonesia telah menolak kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu.
Mereka kebanyakan adalah kaum Totok yang sebagian tersebar adalah anak-anak
dari ayah kelahiran Tiongkok serta termasuk anak-anak yang pilihanya dilakukan
oleh orang tuanya. Pelaksanaan pasal-pasal Konferensi Meja Bundar hampir tidak
memecahkan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa. Mereka yang
dilahirkan di Indonesia yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia secara
hukum tidak hanya menjadi warga Negara Indonesia tetapi juga warga Tiongkok
(Mely G Tan, 1981:17)
c. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan
Undang-undang kewarganegaraan Cina yang tidak diubah pada saat orang-
orang komunis merebut kekuasaan di Cina daratan, maka pemerintah Indonesia
yang non-komunis khawatir akan intervensi RRC melalui para warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa. Jakarta mulai mengadakan pendekatan ke Peking
52
dan tanggapan dari RRC menggembirakan. Setelah memegang kekuasaan pada
awal tahun 19 aan RRC ingin sekali memainkan peranan yang besar dalam
percaturan politik regional dengan cara membangun hubungan baik dengan
negara-negara tetangga yang mencurigainya.
Negosiasi-negosiasi antara Jakarta dan Peking berlangsung terus dan pada
22 April 1955, bersamaan dengan berakhirnya Konferensi Asia-Afrika yang
terkenal itu, Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia
ditandatangani. Perjanjian tersebut terutama mengatur tentang orang-orang
Tionghoa lokal yang oleh hukum Indonesia dianggap berkewarganegaraan
Indonesia (pada tahun 1950 jumlahnya kira-kira 1,1 juta orang) akan tetapi yang
serentak dengan itu, juga dapat mengklaim kewarganegaraan Cina menurut
hukum Cina. Dalam hal itu orang Tionghoa asing (yang pada tahun 1950
berjumlah kira-kira 1 juta orang) tidak lagi diberi kesempatan memilih.
Ketentuan dalam perjanjian itu mengatakan bahwa orang dewasa yang
berkewarganegaraan ganda, yaitu kewarganegaraan dari negara-negara yang
mengadakan perjanjian, akan diberi waktu dua tahun untuk memilih salah satu
kewarganegaraan. Orang yang berkewarganegaraan ganda tetapi mengabaikan
ketentuan untuk memilih salah satu kewarganegaraan dalam waktu peralihan yang
dua tahun itu, hanya akan memperoleh kewarganegaraan RRC saja. Orang
berkewarganegaraan ganda yang berumur di bawah 18 tahun harus memilih
kewarganegaraan dalam waktu satu tahun setelah berumur 18 tahun atau setelah
menikah. Sebelum memilih mereka akan dianggap hanya berkewarganegaraan
seperti ayahnya.
Perjanjian dwi kewarganegaraan akan berlaku 20 tahun setelah pengesa-
hannya oleh parlemen-parlemen dari masing-masing negara yang mengadakan
perjanjian. Perjanjian itu disahkan oleh Komite Tetap Kongres Nasional Rakyat
RRC pada 30 Desember 1957, 13 hari setelah pengesahannya oleh parlemen
Indonesia. Pada waktu pelaksanaan Perjanjian Dwikewarganegaraan yang
berlangsung dari Januari 1960 sampai Januari 1962. Pada saat itu anak-anak yang
belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya dan nama mereka
tercantum dalam dokumen orang tuanya. Ketika mencapai umur dewasa mereka
53
diharuskan mempunyai dokumen tersendiri. Tidak jelas apakah hal itu menurut
peraturan yang berlaku, dan sebuah masalah lainya ialah bahwa memperleh surat
terpisah itu membawa ongkos-ongkos yang tidak sedikit dan hal tersebut juga
diteruskan oleh cucu-cucunya. Jika hal tersebut dibenarkan dan diteruskan maka
seorang keturunan asing (Tionghoa) selalu di ingatkan bahwa ia keturunan asing
(Tionghoa) dan selalu harus mempunyai dokumen-dokumen khusus untuk
membuktikan kewarganegaraanya (Mely G Tan, 1981; xii)
Pihak imigrasi Indonesia mengungkapkan bahwa di tahun 1965 (sebelum
komunis runtuh) tercatat 1.134.420 orang Tionghoa asing sebagai warga negara
RRC dan hanya 1.252 "tidak berkewarganegaraan". ltu berarti bahwa kira-kira ada
1.500.000 orang Tionghoa mempunyai kewarganegaraan Indonesia.
Dibandingkan dengan perkiraan tahun 1962, jumlah warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa naik sebanyak kira-kira 700.000 dalam waktu dua atau tiga
tahun. Mengingat lambatnya proses naturalisasi sebelum 1969 dan terbatasnya
jumlah anak-anak berkewarganegaraan ganda yang menjadi warga negara
Indonesia. nampaknya tidak mungkin terjadi kenaikan jumlah yang cepat.
Ternyata banyak orang Tionghoa asing tidak mendaftarkan diri karena berbagai
alasan.
Secara hukum, orang Tionghoa asing di Indonesia tidak dapat dianggap
sebagai "orang-orang yang bukan warga negara mana pun". RRC mengklaim
bahwa semua Tionghoa asing yang bukan warga negara Indonesia adalah warga
negara Cina. Taiwan juga mengklaim semua Tionghoa (baik yang asing maupun
warga negara Indonesia) sebagai warga negara Republik Cina. Tetapi sebagian
Tionghoa asing memang dapat digolongkan sebagai "orang yang mempunyai
kewarganegaraan suatu negara yang tidak diakui oleh Indonesia", (yaitu warga
negara Taiwan), dan karenanya dalam pandangan pemerintah Indonesia mereka
"tidak berkewarganegaraan". Akan tetapi, apakah "orang-orang yang tidak
berkewarganegaraan" tersebut (berjumlah 149.486) sebagaimana disebutkan oleh
penjabat Indonesia, adalah warga negara Taiwan dalam arti memegang paspor
Taiwan. Mungkin mereka tidak memegang satu pun dokumen-dokumen sah dari
Taiwan. Bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi membedakan "warga negara
54
Taiwan" dari Tionghoa "yang tidak berkewarganegaraan" dalam catatan-catatan
statistik, menunjukkan bahwa mereka itu tidak sama. Jelaslah bahwa di sini "tidak
berkewarganegaraan" digunakan dalam artian politik, untuk menunjuk orang
Tionghoa yang berdiam di Indonesia yang menjadi simpatisan Taiwan, atau
mereka yang tidak ingin dihubung-hubungkan baik dengan Taiwan maupun
dengan RRC. Secara hukum mereka warga negara RRC karena Jakarta masih
mengakui Peking.
Angka-angka dari Direktorat Jenderal Imigrasi untuk Tionghoa asing
sangat terlalu rendah. Kalau Tionghoa asing hanya berjumlah 1.010.652 dari
antara 3,29 juta penduduk Cina pada tahun 1971. berarti bahwa lebih dari 2 juta
Tionghoa adalah warga negara Indonesia. Dapat sangat disangsikan bahwa dalam
waktu lima atau enam tahun (1966-1971) jumlah warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa telah naik sebanyak lebih dari 100 persen. khususnya
mengingat bahwa permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dibekukan
dan baru dibuka kembali pada tahun 1969. (Leo Suryadinataa. 1984:122-128)
B. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958
1. Latar Belakang keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958
Pada tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina
dari tangan kaum Kuo Min Tang. Muncullah Republik Rakyat Cina (RRC).
Namun rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang
Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929.
Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Artinya, selama orang
Cina di mana pun berada diklaim sebagai warga negara Cina. Hal ini
mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga negara
Indonesia menjadi berstatus bipatride. Artinya, di samping sebagai warga
negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga negara Cina
Pada saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah
Kuo Min Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik
Indonesia. Saat itu mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang
55
memang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih
condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC Ini
ditanggapi secara positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong
pengaruh Taiwan terhadap para Cina Perantauan di Asia Tenggara.
Tanggapan positif RRC ditandai dengan kedatangan Wang Yen-shu
sebagai Duta Besar RRC untuk Indonesia yang pertama pada tanggal 14
Agustus 1950. Sejak awal kedatangannya, Duta Besar "RRC ini telah
secara aktif berkampanye guna menarik orientasi orang-orang Cina In-
donesia ke RRC. Terjadilah semacam perebutan pengaruh antara pihak
Indonesia dan RRC. Ini terjadi terutama pada masa pelaksanaan penentuan
kewarganegaraan berdasarkan PPPWN (biasa disebut sebagai masa opsi).
Sehingga dapat dimengerti jika Indonesia merasa terganggu karenanya, ser-
ta melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang cukup keras. Akibatnya
Duta Besar Wang ditarik kembali pada akhir tahun 1951. (Koerniatmanto,
1996:105)
Masa opsi selesai pada tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil
yang mengeeewakan pihak Indonesia, mengingat sekitar 600.000 sampai
700.000 atau sekitar 40% orang Cina Indonesia secara formal telah
menolak kewarganegaraan Indonesia. Akibatnya (ditambah dengan orang
Cina kelahiran luar negeri) sekitar setengah jumlah penduduk Cina di
Indonesia adalah warga negara RRC Kemudian muncullah kekecewaan
dari pelbagai kalangan di Indonesia atas PPPWN itu.
Sebagai akibat memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat
PPPWN, disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia. Rancangan tersebut siap pada bulan Februari 1954.
Namun sebelum disahkan dan diberlakukan, Indonesia menganggap perlu
untuk mengadakan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok
masalah yang dirasa perlu diselesaikan itu berkisar pada banyaknya orang
Cina yang diklaim baik oleh Indonesia maupun oleh RRC, sebagai akibat
dari opsi 1949-1951 tersebut di atas (Koerniatmanto, 1996:106).
56
Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara Positif oleh
pihak RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal
dengan Peaceful Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik
dengan negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja
sama anti-imperialis. Mulailah diadakan sejumlah pembicaraan yang di-
adakan baik di Peking, Jakarta, maupun di Bandung. Rangkaian
pembicaraan ini berpuncak pada suatu persetujuan antara Sunario (Menteri
Luar Negeri Indonesia) dan Chou En-Lai (Menteri Luar Negeri RRC), yang
dilakukan pada tanggal 22 April 1955 di tengah penyelenggaraan Konferensi
Asia-Afrika di Bandung. Dengan diadakannya pemilihan untuk salah satu
kewarganegaraan bersangkutan ini maka menurut perjanjian Soenario-Chou
kewarganegaraan yang lainnya akan hilang. Keharusan untuk memilih ialah
dalam tempo 2 tahun setelah berlakunya perjanjian ini. Sanksi atas tak
melakukan keharusan memilih ini ialah bahwa mereka (yang waktu
berlakunya perjanjian telah dewasa) dianggap telah memilih untuk
kewarganegaraan Republik Indonesia, bilamana yang bersangkutan dari
pihak bapaknya berketurunan Indonesia. Persetujuan ini kemudian dikenal
sebagai Perjanjian Dwi-kewarganegaraan seperti yang telah disinggung
sebelumnya (Sudargo Gautama, 1987: 118)
Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuan itu adalah untuk
meniadakan akibat-akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia, juga menghendaki
adanya kepastian akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia
sebelum kepada mereka diberikan kesempatan baru untuk memilih
kewarganegaraan mereka. Sementara itu, RRC juga menerima baik keinginan
Indonesia untuk menentukan sendiri siapa saja di antara orang Cina Indonesia
yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut memilih, karena telah secara
implisit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan sosial
politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut diratifikasi dalam bentuk
Undang-Undang No. 2/1958 (Koerniatmanto, 1996:107).
57
2. Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan 1954 Dan Undang-Undang
Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958
Ketika orang Indonesia telah menduduki kekuasaan dan memproklamirkan
kemerdekaaya, mereka tidak memberkukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan
yang lebih liberal dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi" (pengganti ius
soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokaI. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem
aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan
kewarganegaraan Indonesia. perubahan-perubahan tampak dari Rencana Undang-
Undang Kewarganegaraan tahun 1954 yang diajukan ke parlemen Indonesia oleh
kabinet AIi yang dikuasai PNI. Rencana tersebut mengusulkan bahwa warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa akan kehilangan kewarganegaraannya kalau
mereka tidak memenuhi salah satu dari hal-hal berikut:
1. memberikan bukti bahwa orang tua mereka dilahirkan di wilayah
Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun;
dan
2. menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina.
Tujuan dari diberlakukannya "sistem aktif" dan "ius soli dua generasi" itu
erat hubungan dengan persepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokaI; ketidak-
percayaan kepada kelompok minoritas yang tidak hanya secara ekonomis kuat,
melainkan juga "tak dapat berasimilasi". Tujuan diajukannya rencana tersebut
dinyatakan dengan jelas sebagai berikut:
"Mengingat tujuan kita untuk membentuk satu bangsa yang homogen (garis bawah oleh penulis), rencana ini tidak memaksa orang-orang asing (Tionghoa) untuk menjadi warga Negara penerapan ius soli bagi generasi pertama sarna sekali bukan merupakan jaminan bahwa orang-orang dari keturunan asing akan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Kalau orang-orang seperti tersebut di atas telah berdiam di sini selama beberapa generasi, atau bila mereka tidak mempunyai negara asal, maka bisa diterima bahwa mereka itu menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri."
Jelaslah bahwa pemerintah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari
nasionalis sekuler sekarang memberikan perhatian pada pembentukan "bangsa
Indonesia yang homogen" dan ke sanalah orang Tionghoa lokal harus menyatukan
dirinya. Undang-undang kewarganegaraan harus dipakai sebagai sarana untuk
58
mencapai tujuan itu. Kalau Rencana Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia
diterima tanpa banyak perubahan, akan banyak orang Indonesia keturunan
Tionghoa yang kehiIangan kewarganegaraan mereka karena mereka bukan hanya
tidak banyak mengetahui prosedur hukum, tetapi juga tidak akan dapat
memberikan surat kelahiran atau bukti lain yang dapat membuktikan bahwa
orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia
sekurang-kurangnya 10 tahun. Tidak salah kalau D.E. Willmott menunjukkan
bahwa pendaftaran kewarganegaraan hanya pernah diadakan di Jawa sejak tahun
1919 dan di luar lawa sejak tahun 1926, sedangkan banyak dokumen musnah
dalam Perang Dunia II dan Revolusi Indonesia (Leo Suryadinata, 1984: 118)
Rencana tersebut mendapat tantangan seru dalam Parlemen. Wakil-wakil
kaum minoritas menentangnya, juga wakil partai oposisi dengan berbagai sebab
lain. Nyatalah bahwa banyak pemimpin bangsa Indonesia asli yang masih
khawatir dengan konsekuensi bila terdapat terlalu banyak orang Tiongha asing di
Indonesia. Karena tantangan yang keras itu pemerintah menarik kembali rencana
tersebut.
Pada tahun 1955 Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan yang diadakan
antara RRC dan Indonesia ditandatangani.. Timbullah kembali kemudian
perhatian terhadap Undang-undang kewarganegaraan. Pemerintah ingin sekali
mengesahkan undang-undang kewarganegaraan Indonesia sebelum Perjanjinn
tentang Dwi Kewarganegaraan tersebut disahkan. Menteri Kehakiman pada waktu
itu mengumumkan bahwa ia akan mengajukan rencana undang-undang
kewarganegaraan yang baru kepada Kabinet dan seterusnya kepada parlemen.
Rencana tersebut mendapat persetujuan Kabinet pada November 1957, dan pada 1
Juli 1958 disetujui parlemen setelah melalui perdebatan yang berkepanjangan.
Kegoncangan situasi politik akibat pemberontakan-pemberontakan di daerah,
serta timbulnya percekcokan di daerah yang menyibukkan para pemimpin
Masjumi dan pemimpin oposisi lainnya membawa akibat proses persetujuan
rencana undang-undang tersebut berjalan lebih lancar.
59
Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 (Undang-undang no. 62
tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia) intinya sama dengan
rencana tahun 1954. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa mereka yang
telah menjadi warga negara menurut peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia akan tetap menjadi warga negara. Nampaknya undang-undang yang
baru itu melepaskan "sistem aktif" dalam arti bahwa orang yang
berkewarganegaraan ganda. (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa) tidak
perlu menyatakan di depan pengadilan bahwa mereka ingin mempertahankan
kewarganegaraan Indonesia. Walaupun demikian, kalau undang-undang itu dibaca
bersama-sama dengan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (yang telah disahkan
tahun 1957) antara RRC dan Indonesia, maka pernyataan melepaskan
kewarganegaraan RRC masih merupakan persyaratan. Dengan kata lain,
Pemerintah Indonesia masih menganut "sistem aktif" untuk Tionghoa lokal,
walaupun hal itu tidak dinyatakan dalam undang-undang kewarganegaraan yang
baru itu sendiri. Dipakainya "sistem aktif" dikatakan bertujuan untuk
mendemonstrasikan kesetiaan kepada Indonesia, tetapi juga berarti pembatasan
kewarganegaraan. Asas "ius soli dua generasi" yang mempunyai tujuan sama,
dalam Undang-undang 1958 (yaitu di Bagian 4) juga dipertahankan. Memang
Undang-undang 1958 mewarisi semangat Rencana 1954.
Bagian terpenting dari Undang-undang Kewarganegaraan 1958 adalah
yang ke-4 dan ke-5, mengenai naturalisasi orang asing (Tionghoa asing). Menurut
bagian 4, orang asing (Tionghoa) kelahiran Indonesia yang orang tuanya berdiaam
dan lahir di Indonesia boleh mengajukan diri untuk mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia apabila mereka telah berumur 18 tahun. Prosedur
untuk anak-anak dalam kategori itu untuk menjadi warga negara mudah
dimengerti. Namun, kalau seseorang berumur lebih dari 18 tahun atau kalau
orangtuanya tidak terlahir di Indonesia, orang tersebut harus mengajukan
permohonan naturalisasi menurut Bagian 5. Untuk naturalisasi itu calon
diharuskan memenuhi persyaratan tempat tinggal (sekurang-kurangnya berdiam 5
tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut), persyaratan bahasa
(termasuk pengetahuan sejarah Indonesia), mempunyai sumber penghasilan yang
60
tetap, serta diharuskan membayar kepada negara sebanyak 500-10.000 rupiah atau
suatu jumlah yang tidak lebih tinggi daripada penghasilan yang diperolehnya
selama satu bulan. Baik Bagian 4 maupun 5 mengandung peraturan yang sama
rumitnya, yang memberikan peluang bagi bermacam-macam tafsiran. Untuk lebih
jelasnya mari kita kutip bagian yang relevan dari Bagian 5:
" ... calon haruslah tidak mempunyai kewarganegaraan, atau telah kehilangan kewarganegaraan sewaktu meminta kewarganegaraan Indonesia, ataupun menyertakan suatu pernyataan bersumpah meninggalkan kewarganegaraan lain, dengan cara-cara sesuai dengan peraturan yang diakui di negara asalnya atau sesuai dengan hal-hal yang tersebut
Dalam suatu perjanjian yang diadakan antara Republik Indonesia dan
negara lain tersebut mengenai kewarganegaraan ganda."Willmott mengatakan
bahwa ancang-ancang tersebut menyaratkan agar seorang Tionghoa asing
"membuat pernyataan sesuai peraturan-peraturan hukum yang berlaku di negara
asalnya (RRC) untuk menanggalkan kewarganegaraan Cinanya". Menurut
pendapatnya hal itu tidak dapat diIakukan dalam undang-undang Cina yang
sedang berlaku sekarang, kecuali dalam langka waktu pemilihan yang disebutkan
dalam Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Karena itu, menurut Willmott, tidak
akan ada orang Tionghoa asing yang dapat mengambil manfaat dari ketentuan
Undang-undang tahun 1958. (Leo Suryadinata, 1984: 121)
Tentu saja Willmott benar kalau RRC memegang Undang-undang
Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan tahun 1929. Banyak ahli
hukum berpendapat bahwa RRC tidak mempunyai undang-undang
kewarganegaraan sendiri serta nampaknya RRC melanjutkan penerapan Undang-
undang Kewarganegaraan 1929. Dalam undang-undang itu tidak ada cara bagi
seorang Tionghoa untuk dapat menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali
meminta izin dari Menteri Dalam Negeri Cina, tetapi Kementerian hanya akan
memberikan izin kalau calon telah memenuhi kewajiban terhadap Angkatan Ber-
senjata Cina. Namun sikap RRC terhadap kewarganegaraan orang Tionghoa lokal
berubah pada pertengahan tahun 1950-an. Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama),
seorang pengacara peranakan yang terkemuka mencatat bahwa pada waktu terjadi
tukar-menukar pendapat antara Chou En Lai dan A1i Sastroamidjojo (Perdana
61
Menteri Indonesia) pada tanggal 3 Juni 1955, Chou mengatakan bahwa adalah
merupakan hak pemerintah Indonesia untuk memutuskan siapa yang boleh
menjadi warga negara Indonesia dari antara orang-orang dari golongan Tionghoa.
Mula-mula kedutaan besar dan konsulat-konsulat RRC tidak begitu senang
memberikan izin itu bagi para Tionghoa asing, tetapi pada akhir tahun 1950-an
tampaknya kepada orang Tionghoa asing yang ingin menanggalkan
kewarganegaraan Cina izin itu diberikan. Mungkin benar bahwa tidak begitu
banyak orang Tionghoa asing yang mendapatkan izin tersebut (Sudargo Gautama,
1987: 117)
C. Dampak Dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 Terhadap Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Di Indonesia
1. Kecenderungan Warga Tionghoa Memilih Kewarganegaraaan Indonesia
Pada Tahun 1960-an terdapat banyak kecenderungan dari beberapa orang
pemuda Tionghoa Totok untuk berkiblat ke Indonesia, hal itu dinyatakan
misalnya dalam berbagai koran radikal berbahasa Cina yang diterbitkan pada
masa itu. Akan tetapi kecenderungan itu hanya merupakan aliran yang kecil saja
bila dibandingkan dengan aliran yang berorientasi ke negara Cina (Leo
Suryadinata. 1984 : 45)
Kedudukan orang Tionghoa secara keseluruhan hampir sama kedudukanya
dengan orang Tionghoa asing, akan tetapi setidak-tidaknya tanggung jawab dan
sifat tugas mereka pada masa mendatang sekarang sudah jelas. Mereka yang
bertekad untuk memilih kewarganegaraan Indonesia pada Tahun 1960-1962, telah
menyatakan kesetiaanya kepada Indonesia dan berketepatan hati bahwa anak-
anaknya akan diintregasikan sama sekali kedalam masyarakat luas. Intregasi ini
akan berjalan lebih lancar sekarang karena anak-anak Tionghoa WNI di didik di
sekolah-sekolah yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia. Sejumlah besar
perkumpulan resmi yang anggota-anggotanya terutama adalah orang Peranakan
telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menjalankan kebijaksanaan
terbuka. Kita biasa melihatnya melalui kerja sama yang murni antara orang
62
Indonesia pribumi dengan orang Tionghoa Peranakan di dalam sejumlah kecil
perkumpulan-perkumpulan khusus, perusahaan-perusahaan dagang, usaha-usaha
profesi, gereja dan bahkan di jawatan-jawatan pemerintah, makin banyak orang
Tionghoa WNI kini sudah berketepatan hati untuk memperluas kerja sama antar
golongan etnis ( Mely G Tan, 1981 :24).
2. Bertambahnya Golongan Tionghoa Asing di Indonesia
Undang-Undang Kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan
kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di
kedutaan-kedutaan atau konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang
ada di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda (warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa sebelum 20 Januari 1960) haruslah
menolak kewarganegaraan Cina dalam jangka waktu kesempatan memilih (20
Januari 1960-20 Januari 1962); kalau tidak, orang tersebut akan dengan
sendirinya kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Tetapi beberapa
perorangan, yaitu orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Indonesia
karena menjadi anggota badan pemerintah, anggota angkatan bersenjata, veteran
Angkatan Darat, dan orang yang secara resmi mewakili Indonesia dalam fungsi-
fungsi internasional lebih dari satu kali, dibebaskan dari keharusan memberikan
pernyataan kesetiaan lagi. Salah satu bukti penting untuk mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia adalah surat kelahiran, tetapi karena banyak yang
tidak memiliki dokumen semacam itu, pernyataan di bawah sumpah disaksikan
oleh dua orang saksi di depan pengadilan juga dapat dianggap sebagai bukti ( Leo
Suryadinata, 1984: 125)
Ketika Republik Rakyat China menunjukkan minat untuk memperbaiki
situasi dengan undang-undang pilihan, orang Indonesia membatasi undang-
undang bagi mereka yang telah memegang warga negara Indonesia. Ada celah
jalan keluar yang membolehkan orang yang masih kanak-kanak pada 1949-51,
dan yang orangtuanya menolak kewarganegaraan Indonesia, untuk memperoleh
kewarganegaraan Indonesia atas pilihan mereka bila mereka telah cukup umur.
Ketika pilihan tersebut dilakukan pada tahun 1960-62, mayoritas memilih untuk
63
menjadi warga negara Indonesia, tetapi sekitar sepertiga memilih
kewarganegaraan China sehingga menambah jumlah orang asing. Hanya sedikit
sekali jumlah orang pernah dinaturalisasi sebagai warga negara sehingga lebih
dari 60 persen etnis Tionghoa di Indonesia tetap orang asing hingga tahun 1980-
an. Terjadi beberapa emigrasi kelompok ini ke China, tetapi sebagian besar
melihat memilih menjadi penduduk tetap di tanah yang tampaknya tidak
menginginkan mereka (Justian Suhandinata, 2009 :142)
Mengenai jumlah yang sebenarnya dari orang Tionghoa yang berkewarga-
negaraan ganda yang memilih kewarganegaraan Indonesia, tidak ada keterangan
yang tersedia. G.W. Skinner memperkirakan bahwa kira-kira 600.000 sampai
800.000 orang Tionghoa kelahiran Indonesia memilih kewarganegaraan
Indonesia. Kalau kita menerima perkiraan Skinner yang maksimum, yaitu bahwa
jumlah Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia ada 800.000, itu berarti
bahwa kira-kira 1. 700.000 Tionghoa di Indonesia berstatus asing. Selanjutnya
Tionghoa asing itu terbagi antara warga negara RRC dan yang tidak mempunyai
kewarganegaraan (stateless). Yang terakhir itu terdiri dari mereka yang
menggabungkan diri dengan Taiwan (Republik Cina). Karena Indonesia tidak
mengakui Taiwan. dalam pandangan pemerintah Indonesia orang-orang itu
termasuk "tidak berkewarganegaraan" Orang Tionghoa yang "tanpa
kewarganegaraan" dalam arti warga negara Taiwan jumlahnya kecil saja dari
seluruh orang Tionghoa asing di Indonesia. (Leo Suryadinata, 1984: 126)
Undang-Undang kewarganegaraan tahun 1958 cenderung diskriminatif
dan menyudutkan wanita WNI yang menikah dengan pria WNA. Pasalnya,
setelah menikah, ia harus melepas WNI-nya, dan otomatis ikut kewarganegaraan
suami, kecuali bila ada perjanjian pranikah menyatakan tetap memilih WNI.
Ironisnya, meski istri memilih jadi WNI, bila pasangan memutuskan tinggal di
Indonesia, istri tidak bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya yang WNA.
Masalah bertambah bila memiliki anak. Menurut UU No. 62/1958 yang menganut
asas Ius Sanguinis (garis ayah), anak dari perkawinan wanita WNI dengan pria
WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah. Padahal, banyak anak-anak
dari pasangan antar bangsa lahir di Indonesia, dan dibesarkan dengan tradisi dan
64
budaya ibu. Selain merepotkan, juga butuh biaya tak sedikit. Biaya resminya,
sekitar 1,5 juta rupiah per anak. Tapi, karena urusannya tak bisa selesai dalam
sehari, biasanya kami minta bantuan agen. Akibatnya, biayanya membengkak
hingga 4-8 juta rupiah. Padahal, tak semua pasangan antarbangsa orang berada,
Namun, bukan hanya materi yang menjadi masalah. “Yang utama adalah masalah
kemanusiaan. Bagaimanapun, rasanya tak manusiawi jika negara menghalangi
seorang ibu berkumpul bersama anak kandungnya, hanya karena masalah beda
kewarganegaraan
3. Berubahnya Keadaan Golongan Tionghoa Setelah Kudeta
Jumlah sekolah berbahasa Cina kemudian makin berkurang setelah Okto
ber 1958 karena timbulnya pemberontakan daerah (PRRI-Permesta), pada tahun
1958. Kabar yang meluas mengatakan bahwa senjata yang digunakan para
pemberontak masuk dari Taiwan melalui Singapura, sedangkan koran-koran
Taiwan jelas bersuara mempertahankan pemberontak. Pemerintah Indonesia
menjawab dengan mengatakan bahwa orang Tionghoa yang pro Taiwan terlibat
dalam kegiatan subversif. Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat pada
tanggal 16 Oktober 1958, mengeluarkan peraturan yang melarang sekolah-sekolah
berbahasa pengantar Cina yang ada hubungan atau dimiliki oleh negara lain (
Taiwan) yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Hampir
separuh sekolah berbahasa pengantar Cina (yang berafiliasi ke golongan-golongan
pro-Taipei) lalu ditutup dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia (dalam Obor
rakyat, April dan Juli 1958)
Dari tahun 1958 sampai 1965 sekolah berbahasa Cina yang masih hidup
sebagian besar pro-Peking. Sekolah itu diawasi secara ketat oleh Kementerian
Pendidikan. Para gurunya harus menempuh tes, termasuk tes kelancaran
berbahasa Indonesia yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan hanya
mereka yang lulus tes tersebut yang boleh mengajar. Kurikulum sekolah itu juga
diubah dengan memasukkan lebih banyak mata pelajaran mengenai Indonesia.
Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi Indonesia diharuskan menjadi mata
pelajaran wajib, baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah. Mata pelajaran
65
tersebut dapat diberikan baik dalam bahasa Indonesia maupun Cina (Leo
Suryadinata, 1984: 160)
Pada tahun 1958, setelah Taipeh membantu pemberontakan yang baru saja
meletus di Sumatra dan Sulawesi, sebuah kampanye yang disponsori resmi telah
mematahkan orang-orang Kuomintang sebagai kekuatan yang efektif dalam
politik Tionghoa. Semua organisasi Koumintang dilarang, dan pada akhirnya juga
semua sekolah dan perusahaan-perusahaan yang ada hubungan dengan
Kuomintang di tutup. Kemudian pada akhir tahun 1959, kaum militer dan
beberapa pejabat sipil pemerintah mempergunakan kesempatan dari kampanye
terhadap oran-orang Tionghoa asing ini untuk memperlemah pengikut-pengikut
komunis dan yang pro Peking yang bekerja erat dengan kedutaan besarnya untuk
mengacaukan peraturan tahun 1959 itu, telah dipenjarakan atau dibuang. Tidak
diragukan lagi bahwa kegairahan pro komunis telah menurun sebagai akibat krisis
tahun 1959-1960 (Mely G Tan, 1981 : 23)
Setelah terjadinya kudeta 1965, para Tionghoa perantauan dianggap
bertanggung jawab atas memburuknya keadaan perekonomian. Perasaan anti-
Cina melambung tinggi dan orang Tionghoa mengalami masa yang sulit. Mula-
mula serangan ditujukan kepada Tionghoa secara umum, tetapi dalam
perkembanganya, serangan kemudian dipusatkan pada Tionghoa asing (Leo
Suryadinata, 1984: 144)
Kemungkinan mempertahankan identitas bagi kaum Totok berkurang
setelah terjadi kudeta 1965, karena pemerintah memutuskan untuk menjadikan
mereka sebagai orang Tionghoa yang berbahasa Indonesia. Mata pencaharian
kaum totok yang dulunya sebelum terjadi kudeta tahun 1965 adalah berdagang
dan bergerak di perusahaan dan yang terpelajar dan menguasai dua bahasa terjun
ke bidang-bidang profesional seperti menjadi guru sekolah Cina dan pada media
khalayak Cina lokal maka setelah terjadi kudeta sekolah-sekolah yang
menggunakan bahasa pengantar Cina dilarang serta surst kabar Cina dilarang
terbit, sehingga mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi dan terpaksa memasuki
kegiatan perdagangan dan tidak mudah bagi mereka yntuk menjadi pegawai
rendahan di perusahaan swasta karena mereka harus memiliki surat izin kerja
66
yang sulit diperoleh. Sebenarnya mayoritas dari orang totok masih berkebangsaan
asing (warga negara Cina atau tak punya kewarganegaraan) dan sebagian dari
mereka ingin menjadi warga negara Indonesia tetapi hanya sedikit yang dapat
memperolehnya. (Leo Suryadinata, 1984: 93)
Mengingat hubungan yang memburuk antara RRC dan Indonesia. nam-
paknya tidak mungkin seorang Tionghoa asing dapat memperoleh pernyataan
resmi dati RRC. Penjabat Indonesia lalu menggunakan penafsiran bebas terhadap
ketentuan tersebut. dan membatalkan persyaratan untuk menyerahkan pernyataan
yang dikeluarkan oleh negara asal seseorang. Sebagai gantinya. pernyataan
tentang kehendak untuk menanggalkan kewarganegaraan RRC dianggap sudah
cukup. Keadaan sejumlah anak Tionghoa di bawah umur 18 tahun tidak lagi
mendapat kesempatan menjadi warga negara secara mudah. Di lain pihak
permohonan naturalisasi yang hampir tidak pernah diproses sebelum tahun 1969,
sekarang diterima. Sekarang kemungkinan melakukan naturalisasi Iebih besar
daripada sebelumnya, tetapi prosedurnya begitu rumit dan ongkos pemrosesan
amat tinggi. Sebuah laporan dalam Tempo mengungkapkan bahwa orang
memerlukan sedikitnya 14 dokumen untuk mengajukan permohonan dan
membayar biaya yang berkisar antara 30.000 dan 100.000 rupiah (kira-kira US$
75-250). Beberapa orang mengatakan bahwa biaya tersebut berkisar antara
500.000 dan 1 juta rupiah.. Bahkan dengan biaya yang demikian tinggi, masih
banyak saja permohonan yang diproses. Lie Tek Tjeng mengatakan bahwa antara
75 dan 90 persen dati Tionghoa yang "tidak berkewarganegaraan" tentu akan
minta menjadi warga negara Indonesia kalau prosedurnya dipermudah dan biaya
pemrosesan diturunkan, tetapi nampaknya pemerintahan Suharto memperkeras
pengawasan atas permohonan itu.
Sehubungan dengan proses naturalisasi yang ketat itu pemerintah meng-
umumkan bahwa terdapat 1.000 orang imigran Tionghoa ilegal yang masuk ke
Jakarta dari Hong Kong. Kebanyakan di antara mereka bekas mahasiswa yang
pergi ke RRC selama tahun 1960-an dan kemudian menetap di Hong Kong karena
kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daratan Cina. Dengan anggapan
terdapat banyak imigran ilegal tersebut. penjabat setempat di Jakarta dan Jawa
67
Barat menentukan persyaratan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing
harus mendaftarkan diri kembali kalau mereka ingin memperoleh kartu penduduk
yang baru. Kira-kira pada waktu yang sama dilaporkan bahwa di Pontianak
(Kalimantan Barat) ada 468 orang Tionghoa yang setelah mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, kewarganegaraan tersebut batal karena mereka tidak
memenuhi persyaratan hukum. Ternyata pemerintah Indonesia belum menetapkan
pendiriannya mengenai sebegitu ban yak orang Tionghoa asing. Kalau pemerintah
memperkenankan jumlah besar orang Tionghoa asing untuk menjadi warga
negara Indonesia, pemerintah khawatir tidak akan dapat mengawasi dan menyerap
mereka. Di pihak lain. kalau status quo dipertahankan. Peking akan berkewajiban
dan berhak untuk melindungi orang-orang Tionghoa asing. yang menu rut hukum
Cina adalah warga negara RRC. Kebimbangan pemerintah Indonesia untuk
menerapkan kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal nampaknya
terletak pada persepsi orang Indonesia ten tang kelompok minoritas Tionghoa
yang telah berkembang dalam kurun waktu yang panjang (Leo Suryadinata, 1984:
131)
D. Kebijakan-Kebijakan Yang Dilakukan Pemerintah Indonesia Dalam Menanggulangi Dampak Dari Akibat Dikeluarkannya Undang-
Undang No 62 Tahun 1958
1. Peraturan Presiden No. 10/1959
Dalam persetujuan dwi-kewarganegaraan, pihak Indonesia berhasil
mendapatkan jaminan bahwa di depan mata dunia internasional RRC
menanggalkan usaha campur tangan dalam masalah dalam negeri
Indonesia melalui cara mempengaruhi minoritas Cina. Orang Cina yamg
berdiam di Indonesia namun memegang kewarganegaraan RRC akan
mengindahkan hukum dan adat istiadat Indonesia dan tidak akan turut
dalam kegiatan-kegiatan politik Indonesia. Sebaliknya Indonesia berjanji
untuk melindungi hak dan kepentingan yang sah dari orang Cina warga
negara RRC itu.
68
Namun mengenai hal yang terakhir ini terdapat perbedaan
interpretasi antara Indonesia dan RRC, khususnya yang menyangkut hak
dan kepentingan ekonomi. Hal ini nampak ketika pada tanggal 16
November 1959 muncul peraturan Presiden No. 10/1959, yang dikenal
sebagai Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran. Peraturan Presiden yang
berlaku surut sampai tanggal 10 Juli 1959 itu melarang usaha perdagangan
kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah swatantra
tingkat I dan II serta karesidenan. Ramailah para pedagang Cina berpindah
ke kota-kota (Koerniatmanto, 1996:113).
Kebingungan dan ketegangan di kalangan orang Cina ini terjadi
karena pada saat itu orang-orang keturunan Cina di Indonesia terbagi ke
dalam dua kelompok status: orang Cina warga negara asing dan orang Cina
berdwi-kewarganegaraan RI-RRC. Waktu itu belum jelas kapan Persetujuan
Dwi-kewarganegaraan tersebut akan diberlakukan, meskipun Peraturan
Pemerintah No. 20/1959 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang
No. 2/1958 telah diundangkan.
Timbulah krisis hubungan Indonesia-RRC Kedutaan Besar RRC di Jakarta
seeara aktif menganjurkan agar orang-orang Cina di Indonesia tidak menaati
perintah Pemerintah Indonesia dan tetap berada di tempat tinggal semula
sampai RRC dapat memperoleh solusinya. Tindakan ini diikuti dengan
kegiatan RRC pada tanggal 10 Desernber 1959, yaitu memanggil pulang
orang Cina ke RRC. Terjadilah arus mudik orang-orang Cina di bawah
koordinasi Kedutaan Besar RRC di Jakarta. Dalam rangka itu pemerintah
Indonesia menerbitkan Exit-Permit Only (EPO) bagi para pernudik Cina
tersebut. Namun usaha RRC untuk menekan Indonesia ini justru rnerugikan RRC
sendiri, khususnya di bidang sosial dan ekonomi. Akibatnya pada bulan
April 1960 pihak RRC menghentikan proyek mudiknya itu, dan
menghimbau agar para pemudik ini tetap tinggal di Indonesia.
Di lain pihak Peraturan Presiden No. 10/1959 ini akhirnya
mengakibatkan orang-orang Cina di Indonesia hams memberikan bukti
kewarganegaraan Indonesia-nya. Hal ini hams dilakukan agar mereka
69
tidak terkena pembatasan ekonomi seperti yang terkandung dalam
Peraturan Presiden No. 10/1959. Pemberlakuan Peraturan Presiden No. 20/
1959 menjadi sesuatu yang amat ditunggu-tunggu.
Baru pada tanggal 8 Maret 1960 muncul Peraturan Pemerintah No.
11/1960, yang menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah No. 20/1959
mulai berlaku pada hari penukaran pengesahan yang berlangsung di
Peking, yaitu tanggal 20 Januari 1960. Perjanjian ini diharapkan berlaku
untuk waktu dua puluh tahun. Dengan demikian diharapkan masalah
bipatride ini dapat terselesaikan. (Koerniatmanto, 1996:113).
2. Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan
Peraturan ini khusus diperuntukkan bagi wanita RRC yang mem-
peroleh kewarganegaraan Indonesia karena kawin dengan seorang warga
negara Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal X Perjanjian
Dwi-kewarganegaraan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
menurut Pasal X ini apabila seorang warga negara Indonesia kawin de-
ngan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki
kewarganegaraan asal. Tetapi apabila salah satu pihak dengan kehendak
sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan pihak lainnya,
dengan sendirinya ia kehilangan kewarganegaraan asal.
Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.3/193/3, tanggal 5
Oktober 1962, menentukan bahwa apabila wanita RRC yang ingin
menjadi warga negara Indonesia karena perkawinannya, dapat
membuktikan kewarganegaraan RRCnya, tidak periu baginya Letter of
Explanation atau surat keterangan dari Perwakilan RRC tentang tidak
adanya kemungkinan bipatride. Hal ini dipertegas dengan Surat Edaran
Menteri Kehakiman No. DTC/20/9, tanggal 6 Desember 1965, yang
mengharuskan pembuktian tersebut berupa paspor RRC atau surat resmi
lain yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau Perwakilan RRC. Demikian
Formulir IV adalah Formulir I yang khusus berlaku bagi wanita eks RRC
berdasarkan Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan. (Koerniatmanto,
70
1996:116).
3. Peraturan Perubahan Nama Bagi Golongan Tionghoa
Setelah kudeta 1965 diterimalah istilah Cina yang mengandung arti
penghinaan, untuk menggantikan istilah Tionghoa dan Tiongkok (RRC). Salah
satu sebab utama digunakan istilah Cina yaitu untuk menghilangkan rasa inferior
pada bangsa kita sendiri (orang Indonesia asli) serta menghilangkan rasa superior
pada golongan Tionghoa lokal dalam negara kita (Leo Suryadinata, 1984: 37)
Di tahun 1966 Presiden Suharto mengeluarkan perintah pengubahan nama
bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina agar proses Asimilasi dipercepat.
Pada bulan Agustus 1967 dalam pidatonya di depan DPR ia mengusulkan agar
ditarik garis yang tegas antar warga Indonesia dan orang asing. Ia berpendapat
bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah juga warga negara,
dan karenanya memiliki hak dan kewajiban yang sarna dengan warga negara
lainnya (yang asli). Ia tidak menyetujui adanya praktek pembedaan terhadap
mereka. Walaupun begitu ia berusaha melenyapkan praktek kehidupan sosial
mereka yang eksklusif dengan mengeluarkan peraturan-peraturan. Di antara
peraturan itu yang pertama adalah peraturan pengubahan nama kemudian ia
mengajak para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk berintegrasi
dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli tanpa menunggu-nunggu lagi
(Leo Suryadinata, 1984: 38)
Peraturan tentang perubahan nama yang dikeluarkan bulan Desember
1966. Sebelum itu sudah ada undang-undang (no. 4/1961) yang mengizinkan
semua warga negara Indonesia keturunan asing mengubah nama mereka menjadi
nama Indonesia. Para calon diharuskan minta rekomendasi dari gubemur 'atau
bupati setempat dan kepala polisi setempat.. Tetapi undang-undang itu tidak
disebarluaskan, dan pemerintah tidak giat menjalankannya. Pada bulan Desember
1966, pemerintah Soeharto menyederhanakan prosedur untuk pengubahan nama
warga negara Indonesia keturunan asing (Tionghoa). Pemerintah dengan giat
menganjurkan perubahan nama dan peraturan tersebut juga disebarluaskan.
Peraturan itu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia in gin mempercepat
asimilasi warga negara Indonesia keturunan asing ke dalam "bangsa Indonesia";
71
pengubahan nama dari nonIndonesia menjadi "nama Indonesia" dianggap sebagai
salah satu cara untuk mempercepat proses asimilasi. Karenanya pemerintah
berpendapat bahwa para warga negara Indonesia yang ingin mengubah nama
Tionghoa mereka menjadi nama Indonesia harus sebanyak mungkin diberi
kesempatan.
Menurut peraturan itu Tionghoa yang warga negara yang ingin mengubah
nama dapat sekadar memasukkan permohonan mereka kepada penguasa setempat
(biasanya gubemur, bupati, atau walikota) untuk didaftar. Untuk pendaftaran
tersebut ditarik biaya sekadarnya. Permohonan akan diteruskan ke Departemen
Kehakiman. Kalau dalam waktu tiga bulan tidak ada keberatan diajukan oleh
masyarakat setempat nama baru itu menjadi sah. Peraturan itu mula-mula
diberlakukan dari bulan Januari 1967 sampai Maret 1968. Kemudian diperpanjang
satu tahun karena orang Tionghoa warga negara yang mengubah nama temyata
lebih sedikit daripada yang diharapkan. Pada bulan Agustus 1969, Departemen
Kehakiman mengumumkan bahwa hanya ada 232.882 orang yang mengubah
nama mereka. Alasan pengubahan nama bermacam-macam. Beberapa di
antaranya mengubah nama untuk alasan praktis. Mereka yakin bahwa hal itu akan
membuat hidup mereka di Indonesia lebih mudah (misaInya untuk mendapat izin,
untuk mendapat tempat di sekolah atau perguruan tinggi. untuk dapat diterima
oleh orang Indonesia pribumi). Beberapa lagi mempunyai alasan untuk
menjadikan diri mereka satu dengan "bangsa Indonesia". Mereka benar-benar
percaya bahwa "masalah Cina" terselesaikan melalui asimilasi total. Yang lain
lagi berpendapat bahwa bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam arti
bangsa Indonesia yang pribumi. Mereka bangga akan asal-usul etniknya, dan
ingin tetap menjadi Tionghoa (Leo Suryadinata, 1984: 172)
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia sebelum tahun 1958 yang
ketika itu masih pada zaman VOC, tidak mengenal prinsip
kewarganegaraan. Perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan
orang-orang asing. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir
atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak
terlihat. Berdasarkan Grondwet 1814/1815 pada tahun 1838 di-
susunlah Nederlandsch Burgerlijk Wetboek (NBW) yang menyatakan
bahwa selain orang-orang keturunan Belanda, juga orang-orang
Indonesia, Tionghoa dan Arab yang dilahirkan di Hindia Belanda,
adalah orang-orang Belanda. Selanjutnya dalam Wet 1910 ini diakui
sebagai kaulanegara Belanda (Nederlandsch onderdaan). Adanya
keinginan untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang menjadi
kaulanegara telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu seperti
peranakan Tionghoa. Bagi orang-orang yang tidak suka untuk dihitung
menjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai terlalu memaksa
dan akhirnya mendorong munculnya pergerakan Tionghoa. Ketika Jepang
menduduki Indonesia tidak banyak mengadakan perubahan terhadap
peraturan yang ada dan masih memakai peraturan-peraturan peninggalan
Belanda. Setelah Indonesia merdeka peraturan tentang kewarganegaraan
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26 yang menyatakan
orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan
Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia,
mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga Negara Indonesia.
72
73
Namun rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang
Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun
1929. Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Hal ini
mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga
negara Indonesia menjadi berstatus bipatride.
3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-
Undang No.62 Tahun 1959 mengalami berbagai perubahan. Ketika orang
Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaanya, mereka tidak member-
lakukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal (bebas)
dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi (pengganti ius soli
sederhana) bagi orang Tionghoa lokal. "Sistem pasif" diganti dengan
"sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan
penerimaan kewarganegaraan Indonesia memberikan bukti bahwa
orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di
Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan menyatakan secara resmi
menolak kewarganegaraan Cina. Akan banyak orang Indonesia keturunan
Tionghoa yang kehiIangan kewarganegaraan karena mereka bukan tidak
mengetahui prosedur hukum, tetapi juga tidak akan dapat memberikan
surat kelahiran atau bukti lain yang dapat membuktikan bahwa orangtua
mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia
sekurang-kurangnya 10 tahun.
4. Dampak dikeluarkanya undang-undang No 62 tahun 1958 terhadap
kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun
1960-an terdapat kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa
Totok untuk berkiblat ke Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan
mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di
Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau konsulat-
konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang ada di luar negeri. Setiap
orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia
keturunan Tionghoa sebelum 20 Januari 1960) haruslah menolak
kewarganegaraan Cina dalam jangka waktu kesempatan memilih (20
74
Januari 1960-20 Januari 1962); kalau tidak, orang tersebut akan dengan
sendirinya kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Hanya sedikit
sekali jumlah orang pernah dinaturalisasi sebagai warga negara sehingga
lebih dari 60 persen etnis Tionghoa di Indonesia tetap orang asing hingga
tahun 1980-an. Terjadi beberapa emigrasi kelompok ini ke China, tetapi
sebagian besar melihat memilih menjadi penduduk tetap di Indonesia. Dan
keadaan bagi orang Tionghoa semakin memburuk setelah terjadinya
kudeta tahun 1965.
5. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-undang No 62
tahun 1958 yaitu dikeluarkanya beberapa Undang-undang dan peraturan-
peraturan. Pada bulan November 1959 muncul peraturan Presiden No.
10/1959, yang dikenal sebagai Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran.
Peraturan Presiden itu melarang usaha perdagangan kecil dan eceran
yang bersifat asing di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan II
serta karesidenan. Ramailah para pedagang Cina berpindah ke kota-
kota. Kemudian Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan,
peraturan ini khusus diperuntukkan bagi wanita RRC yang mem-
peroleh kewarganegaraan Indonesia karena kawin dengan seorang
warga negara Indonesia, menurut Pasal X ini apabila seorang warga
negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC,
masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan asal. Tetapi
apabila salah satu pihak dengan kehendak sendiri memohon dan
memperoleh kewarganegaraan pihak lainnya, dengan sendirinya ia
kehilangan kewarganegaraan asal. Tahun 1966 masa pemerintahan
presiden Soeharto dikeluarkan perintah pengubahan nama bagi warga
negara Indonesia keturunan Cina dan mengajak para warga negara
keturunan Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan
masyarakat Indonesia asli.
75
A. Implikasi
1. Teoritis
Salah satu unsur yang paling hakiki dalam suatu negara adalah warga
negara. Sebagai anggota suatu negara, seorang warga negara mempunyai
kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Hubungan antara negara
dan warga negara ini perlu diatur dalam suatu aturan hukum. Undang-Undang
Dasar hanya bersifat pokok, sehingga perlu adanya aturan untuk mengatur
hubungan antara negara dan warga negara. Pengaturan hubungan antara negara
dan warga negara di dalam undang-undang sangat penting karena hak dan
kewajiban antara negara dan warga negara serta kedudukan warga negara akan
diatur lebih jelas.
Aturan hukum yang pernah mengatur tentang hubungan antara negara dan
warga negara di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian dan
perkembangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Namun Undang-Undang ini menunjukkan beberapa kelemahan yaitu tidak
memenuhi unsur filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Secara filosofis, Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 belum sejalan dengan falsafah Pancasila karena
bersifat diskriminatif dan kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan
antara warga negara. Secara yudiris, landasan konstitusional pembentukan
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah UUDS Tahun 1950 yang sudah
tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali lagi ke
UUD 1945. Pada saat ini, UUD 1945 juga telah mengalami beberapa kali
amandemen untuk lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan
hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional, yang menghendaki adanya
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum.
Salah satu sifat diskriminatif Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
adalah perlakuan terhadap warga keturunan Tionghoa, yang mensyaratkan
menyertakan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk
76
mengurus paspor atau dokumen sipil lainnya. SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) ini telah melanggar hak seseorang untuk
mendapatkan pengakuan yang sama sebagai warga negara Indonesia,
2. Praktis
Sebagai kaum perantauan etnis Tionghoa tidak lagi mendapat
perlindungan dari daerah asalnya. keadaan ini memaksa mereka untuk selalu
bertahan dalam setiap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial
Belanda maupun pemerintah Indonesia, mereka selalu menempatkan diri dengan
tepat dan mencoba mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan walaupun
kebijakan yang diterapkan kepada mereka bersifat membatasi gerak mereka.
Kondisi yang dialami oleh etnis Tionghoa tidak menyebabkan mereka putus asa
tetapi justru menjadikan mereka menjadi etnis yang kuat sehingga dapat selalu
eksis, banyak hal-hal positif yang dimiliki warga keturunan Tionghoa sebagai
warga negara Indonesia disamping keberhasilanya dalam bidang ekonomi.
Sebagai contoh pemain bulutangkis Tan Joe Hoek, Chandra Wijaya, Susi Susanti,
Haryanto Arbi, Verawati Fajrin, Hendrawan, dan atlet lainnya adalah warga
keturunan Tionghoa yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah
internasional, namun mereka tetap wajib menyertakan SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) atau Surat Pernyataan Keterangan
Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (SMKK-RRT) dalam
berbagai urusan yang terkait dengan kewarganegaraan, sedangkan warga negara
yang bukan keturunan cukup menyertakan KTP atau akte lahir yang hal tersebut
masih dirasakan sebagai tindakan yang masih diskriminatif.
Keberadaan etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan minoritas di
Indonesia dari dulu sampai sekarang sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu
setelah penelitian ini, diharapkan dimasa yang akan datang akan terus ada peneliti
yang mampu mengulas secara lebih mendalam lagi tentang etnis Tionghoa,
khususnya mengenai peranan mereka dalam perkembangan hukum
kewarganegaraan Indonesia. Agar dapat menjadi acuan dalam pembelajaran
khususnya tentang sejarah hukum kewarganegaraan Indonesia.
77
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai
berikut :
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai generasi muda, banyak pelajaran yang dapat diambil dari
perjalanan etnis Tionghoa Indonesia. Dengan keberhasilanya dibidang
ekonomi karena memiliki sifat ulet, kreatif dan pekerja keras untuk
mengisi pembangunan. Maka bagi mahasiswa Program Sejarah
sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat mengambil sifat-
sifat yang positif dalam kehidupan dan menghargai perbedaaan yang
ada. Sehingga di masa yang akan datang dapat hidup rukun saling
bekerjasama dalam pembagunan bangsa.
2. Bagi Para Pendidik
Kondisi generasi muda saat ini yang sangat mudah terpengaruh dengan
hal yang bersifat negatif, para pendidik diharapkan lebih peka dengan
keadaan yang dapat mengahancurkan generasi muda saat ini. Maka
pendidik diharapkan dapat menanamkan sifat positif seperti saling
menghormati dan menghargai pribadi orang lain tanpa
mempertentangkan perbedaan yang ada, agar para generasi muda dapat
mengisi pembagunan dengan sifat-sifat yang positif dan dapat hidup
berdampingan secara harmonis dengan berbagai perbedaan di negara
yang penuh keanekaragaman ini.
78
DAFTAR PUSTAKA Buku buku Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) :
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,. Jakarta : Predana Media.
Dudung Abdurracman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press Gungwu,Wang dan Jennifer Cushman.1991.Perubahan Identitas Orang Cina di
Asia Tenggara. Jakarta:Pustaka Grafiti Hans Kohn 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta : Airlanga Hari Mulyadi. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”: Studi Radikalisasi
Sosial” Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Surakarta. LPTP
Helius Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. _______________ & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hembing Wijayakusuma. 2005. Pembantian Massal 1740 “Tragedi Berdarah
Angke”. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Isjwara. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Binacipta
Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi
dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kansil, CST. Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia. 1996. Jakarta: Sinar Grafika
Koentjaraningrat. 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
______________. 1977. Metode-Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Erlangga.
78
79
Koentjaraningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia. Koerniatmanto Soetoprawiro. 1996. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian
Indonesia. Jakarta. Gramedia Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana
Leo Suryadinata. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia
__________.1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta. Grafiti.
__________.1986.Politik Tionghoa Peranakan Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan Leo Agung . 2002. Sejarah Intelektual. Salatiga : Widyasari Press
Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualititatif. Bandung: Remaja
Karya. Markhamah. 2000. Etnik Cina Suatu Kajian Linguistik Kultural. Surakarta: UMS
Mely G.Tan. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Noer Fauzi. 1998. Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pamudji, S.1994. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara. Rener, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______________ . 1992. Pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari
Emporium sampai Imperium. Jakarta. Gramedia. Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya
Aksara. Sidik Suraputra. 1991. Revolusi Indonesia dan Hukum Internasional. Jakarta: UI Press
80
Stoddard L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta : Panitia.
Sudargo Gautama. 1987. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni
Sukarna. 1990. Pembangunan Politik. Bandung: Mandar Maju. Sumadi Suryabrata.1997.Metodologi Penelitian.Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada Skinner, G. William.1981. Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan,
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia
Yusiu Liem. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari. Jakarta:
Djamban. Jurnal :
Benny Juwono. 1999. Etnis Cina di Surakarta 1980-1927: Tinjauan Sosial Ekonomi. Lembaran Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM. No 1.16-19.
Jean Debernardi. 1988 Oktober. “Changing Identities of the Soutbeast Asian
Chinese since World War II” Edited by Jennifer Cushman and Wang Gungwu. The Journal of Asian Studies. Vol 49 Number 2. May 1990, hlm 432.
Majalah dan Koran :
Majalah Sin Po, 1 November 1930 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
Koran Gelora Maesa, 24 September 1957 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
Internet :
http://www.datalink.indonesia-ottawa.org.pdf. Undang-undang kewarganegaraan RI No 62 tahun 1958. diakses 24 Maret 2010
81
LAMPIRAN 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1958
TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : Bahwa perlu diadakan Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia;
Mengingat : a. Pasal-Pasal 5 dan 144 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
b. Pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;
DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 1
Warganegara Republik Indonesia ialah:
1. orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warga-negara Republik Indonesia;
2. orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warga-negara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun;
3. anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga-negara Republik Indonesia;
4. orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga-negara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya;
5. orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga-negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya;
6. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui;
82
7. seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya;
8. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui;
9. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu;
10. orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini.
Pasal 2
1. Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warga-negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu.
2. Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah pengangkatan itu atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku.
Pasal 3
1. Anak di luar perkawinan dari seorang ibu warga-negara Republik Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam perceraian oleh hakim anak tersebut diserahkan pada asuhan ibunya seorang warga-negara Republik Indonesia, yang kewarganegaraannya turut ayahnya seorang asing, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut cara yang ditentukan oleh ketentuan hukum dari negara asalnya dan/atau menurut cara yang ditentukan oleh perjanjian penyelesaian dwikewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.
2. Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.
3. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan persetujuan Dewan Menteri.
4. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
83
Pasal 4
1. Orang asing yang lahir dan bertempat tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia yang ayah-atau ibunya, apabila ia tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, juga lahir di dalam wilayah Republik Indonesia dan penduduk Republik Indonesia, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain, atau pada saat mengajukan permohonan ia menyampaikan juga surat pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain yang mungkin dimilikinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di negara asalnya atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.
2. Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya.
3. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan persetujuan Dewan Menteri.
4. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 5
1. Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan itu.
2. Untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pemohon harus:
a. sudah berumur 21 tahun;
b. lahir dalam wilayah Republik Indonesia, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut;
c. apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan isteri (isteri-isteri)nya;
d. cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik Indonesia;
e. dalam keadaan sehat rokhani dan jasmani;
84
f. membayar pada Kas Negeri uang sejumlah antara Rp. 500,- sampai Rp. 10.000,- yang ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya, tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata sebulan;
g. mempunyai mata pencaharian yang tetap,
h. tidak mempunyai kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya apabila ia memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.
3. Seorang perempuan selama dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan pewarganegaraan.
4. Permohonan untuk pewarganegaraan harus disampaikan dengan tertulis dan dibubuhi meterai kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon;
5. Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan bersama dengan permohonan itu harus disampaikan bukti-bukti tentang hal-hal tersebut dalam ayat 2 kecuali yang tersebut dalam huruf d.
6. Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia memeriksa bukti-bukti itu akan kebenarannya dan menguji pemohon akan kecakapannya berbahasa Indonesia dan akan pengetahuannya tentang sejarah Indonesia.
7. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan dengan persetujuan Dewan Menteri.
8. Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan mulai berlaku pada hari pemohon di hadapan Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya mengucapkan sumpah atau janji setia dan berlaku surut hingga dari tanggal keputusan Menteri Kehakiman tersebut.
9. Sumpah atau janji setia itu adalah seperti berikut: "Saya bersumpah (berjanji): bahwa saya melepaskan seluruhnya, segala kesetiaan kepada kekuasaan asing: bahwa saya mengaku dan menerima kekuasaan yang tertinggi dari Republik Indonesia dan akan menepati kesetiaan kepadanya: bahwa saya akan menjunjung tinggi Undang-undang Dasar dan hukum-hukum Republik Indonesia dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh: bahwa saya memikul kewajiban ini dengan rela hati dan tidak akan mengurangi sedikit pun".
10. Setelah pemohon mengucapkan sumpah atau janji setia termaksud di atas. Menteri Kehakiman mengumumkan pewarganegaraan itu dengan menempatkan keputusannya dalam Berita-Negara.
85
11. Apabila sumpah atau janji setia tidak diucapkan dalam waktu tiga bulan setelah hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman, maka keputusan itu dengan sendirinya menjadi batal.
12. Jumlah uang tersebut dalam ayat 2 dibayarkan kembali, apabila permohonan pewarganegaraan tidak dikabulkan.
13. Jika permohonan pewarganegaraan ditolak, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kembali.
Pasal 6
1. Pewarganegaraan juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa terhadap negara oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Dalam hal ini dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 hanya berlaku ketentuan-ketentuan ayat 1, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7.
Pasal 7
1. Seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan.
2. Dengan kekecualian tersebut dalam ayat 1 perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia juga memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia satu tahun sesudah perkawinannya berlangsung, apabila dalam satu tahun itu suaminya tidak menyatakan keterangan untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia.
3. Keterangan itu hanya boleh dinyatakan dan hanya mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila degan kehilangan itu suami tersebut tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
4. Apabila salah satu dari keterangan tersebut dalam ayat 1 dan 2 sudah dinyatakan, maka keterangan yang lainnya tidak boleh dinyatakan.
5. Keterangan-keterangan tersebut di atas harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu.
Pasal 8
1. Seorang perempuan warga-negara Republik Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya, apabila
86
dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia itu menjadi tanpa kewarganegaraan.
2. Keterangan tersebut dalam ayat 1 harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu.
Pasal 9
1. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia isteri itu masih mempunyai kewarganegaraan lain.
2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarga-negaraan.
Pasal 10
1. Seorang perempuan dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan tersebut dalam Pasal 3 dan Pasal 4.
2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang isteri dengan sendirinya berlaku terhadap suaminya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarga-negaraan.
Pasal 11
1. Seorang yang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan itu kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu.
2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.
3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal orang itu apabila setelah memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain.
Pasal 12
1. Seorang perempuan yang disebabkan oleh atau sebagai akibat perkawinannya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, kehilangan
87
kewarganegaraan itu lagi, jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu.
2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dan tempat tinggalnya.
3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku apabila orang itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik lndonesianya menjadi tanpa kewarga-negaraan.
Pasal 13
1. Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.
2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh seorang ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia.
3. Apabila kewarganegaraan Republik Indonesia itu diperoleh dengan pewarganegaraan oleh seorang ibu yang telah menjadi janda karena suaminya meninggal maka anak-anak yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia juga, setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia.
4. Keterangan tentang tempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknya yang karena ibunya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.
Pasal 14
1. Bilamana anak termaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 13 sampai berumur 21 tahun, maka ia kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia lagi, jika dan pada waktu ia menyatakan keterangan untuk itu.
2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 21 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.
3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku apabila anak itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya menjadi tanpa kewarga-negaraan. \
88
Pasal 15
1. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ayah berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin, kecuali jika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan.
2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, kecuali jika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan.
3. Apabila ibu itu kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan di luar negeri dan ibu itu telah menjadi janda karena suaminya meninggal, maka ketentuan- ketentuan dalam ayat 2 berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, setelah anak-anak itu bertempat tinggal dan berada di luar negeri.
Pasal 16
1. Seorang anak yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan itu, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali setelah anak tersebut sampai berumur 18 tahun, jika dan pada waktu itu menyatakan keterangan untuk itu.
2. Keterangan termaksud harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 18 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.
3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal anak itu - apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia - masih mempunyai kewarganegaraan lain.
Pasal 17
Kewarganegaraan Republik Indonesia hilang karena:
a. memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri, dengan pengertian bahwa jikalau orang yang bersangkutan pada waktu memperoleh kewarganegaraan lain itu berada dalam wilayah Republik Indonesia kewarganegaraan Republik Indonesianya baru dianggap hilang apabila Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas kehendak sendiri atau atas permohonan orang yang bersangkutan menyatakannya hilang;
b. tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedang- kan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
89
c. diakui oleh orang asing sebagai anaknya, jika orang yang bersangkutan belum berumur 18 tahun dan belum kawin dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;
d. anak yang diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai anaknya, jika anak yang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;
e. dinyatakan hilang oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas permohonan orang yang bersangkutan, jika ia telah berumur 21 tahun, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik lndonesianya tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;
f. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman;
g. tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman masuk dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara yang tidak dimasuki oleh Republik Indonesia sebagai anggota, Jika jabatan dinas negara yang dipangkunya menurut peraturan Republik Indonesia hanya dapat dipangku oleh warga-negara atau jabatan dalam dinas organisasi antar negara tersebut memerlukan sumpah atau janji jabatan;
h. mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari padanya;
i. dengan tidak diwajibkan, turut-serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketata-negaraan untuk suatu negara asing;
j. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atas namanya yang masih berlaku;
k. lain dari untuk dinas negara, selama 5 tahun berturut-turut bertempat tinggal di luar negeri dengan tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga-negara sebelum waktu itu lampau dan seterusnya tiap-tiap dua tahun; keinginan itu harus dinyatakan kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya.
l. Bagi warga-negara Republik Indonesia yang berumur di bawah 18 tahun terkecuali apabila ia sudah pernah kawin, masa lima dan dua tahun tersebut di atas mulai berlaku pada hari tanggal ia mencapai umur 18 tahun.
Pasal 18
1. Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk dan menyatakan keterangan untuk itu.
90
2. Keterangan itu harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya dalam 1 tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia.
Pasal 19
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diberikan atau diperoleh atas keterangan-keterangan yang tidak benar dapat dicabut kembali oleh instansi yang memberikannya atau oleh instansi yang menerima keterangan-keterangan itu.
Pasal 20
Barangsiapa bukan warga-negara Republik Indonesia adalah orang asing.
PERATURAN PERALIHAN
Pasal I
Seorang perempuan yang berdasarkan Pasal 3 Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 dan Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/0 14/1958 telah diperlakukan sebagai warga-negara Republik Indonesia, menjadi warga-negara Republik Indonesia, apabila ia tidak mempunyai kewarganegaraan lain.
Pasal II
Seorang yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam keadaan tertera dalam Pasal 7 atau Pasal 8, dapat menyatakan keterangan tersebut dalam pasal-pasal itu dalam waktu 1 tahun sesudah mulai berlakunya Undang-undang ini, dengan pengertian bahwa suami seorang perempuan yang menjadi warga-negara Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 1 peraturan-peralihan tidak dapat menyatakan keterangan tersebut dalam Pasal 7 ayat 2 lagi.
Pasal III
Seorang perempuan yang menurut perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang ini mulai berlaku dengan sendirinya warga-negara Republik
Indonesia seandainya ia tidak dalam perkawinan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, jika dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya terputus atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku menyatakan keterangan untuk itu kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik
Indonesia dari tempat tinggalnya.
Pasal IV
1. Seorang yang tidak turut dengan ayahnya atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan keterangan menurut perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang ini berlaku, karena orang itu pada waktu ayahnya atau ibunya menyatakan keterangan itu sudah dewasa, sedangkan ia sendiri tidak boleh menyatakan keterangan memilih kewarganegaraan Republik Indonesia, adalah warga-negara Republik
91
Indonesia jika ia dengan ketentuan ini atau sebelumnya tidak mempunyai kewarganegaraan lain.
2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh orang tersebut berlaku surut hingga waktu ayah/ibunya memperoleh kewarganegaraan itu.
Pasal V
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 4 ayat 1 dan 2 anak-anak yang antara tanggal 27 Desember 1949 sampai 27 Desember 1951 oleh orang tuanya ditolakkan kewarganegaraan Republik Indonesianya, dalam tempo satu tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku, dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia berusia di bawah 28 tahun; selanjutnya berlaku Pasal 4 ayat 3 dan 4.
Pasal VI
1. Seorang asing yang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku pernah masuk dalam ketentaraan Republik Indonesia dan memenuhi syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Menteri Pertahanan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia jika ia menyatakan keterangan untuk itu kepada Menteri Pertahanan atau kepada pejabat yang ditunjuk olehnya.
2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh orang tersebut di atas berlaku surut hingga saat orang itu masuk dalam ketentaraan itu.
Pasal VII
Seorang yang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam dinas tentara asing termaksud dalam Pasal 17 huruf f atau berada dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara dimaksud dalam Pasal 17 huruf g, dapat minta izin kepada Menteri Kehakiman dalam waktu 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku.
92
PERATURAN PENUTUP
Pasal I
Seorang warga-negara Republik Indonesia yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dianggap tidak mempunyai kewarganegaraan lain.
Pasal II
Dalam pengertian kewarganegaraan termasuk semua jenis lindungan oleh sesuatu negara.
Pasal III
Dalam melakukan Undang-undang ini anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin dianggap turut bertempat tinggal dengan ayah atau ibunya menurut perincian dalam Pasal 1 huruf b, c atau d.
Pasal IV
1. Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warga-negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warga-negara Republik Indonesia atau tidak menurut acara perdata biasa.
2. Ketentuan ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus dalam atau berdasarkan Undang-undang lain.
Pasal V
Dari pernyataan-pernyataan keterangan yang menyebabkan diperolehnya atau hilangnya kewarganegaraan Republik Indonesia, oleh pejabat yang bersangkutan disampaikan salinan kepada Menteri Kehakiman.
Pasal VI
Menteri Kehakiman mengumumkan dalam Berita-Negara nama-nama orang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.
Pasal VII
Segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
93
Pasal VIII
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dengan ketentuan bahwa aturan-aturan Pasal 1 huruf b sampai huruf j, Pasal 2, Pasal 17 huruf a, c dan h berlaku surut hingga tanggal 27 Desember 1949.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal 29 Juli 1958.
Presiden Republik Indonesia,
ttd.
SOEKARNO. Diundangkan,
pada tanggal 1 Agustus 1958. Menteri Kehakiman,
ttd,
G.A. MAENGKOM.
Sumber http://www. datalink.indonesia-ottawa.orgdocspdfi2.pdf
94
LAMPIRAN 2
Majalah Sin Po, 1 November 1930
Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
95
LAMPIRAN 3
Koran Gelora Maesa, 24 September 1957 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
96
LAMPIRAN 4
Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
97
LAMPIRAN 5
Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
98
LAMPIRAN 6
99
LAMPIRAN 7
100
LAMPIRAN 8