skripsi perikanan15
DESCRIPTION
skipsi glagauuuuuuuuuuhvcnbvcccccccccccjueygsvmnnvig ni berbicara tentanTRANSCRIPT
1
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN BANTUL
A. Latar Belakang Masalah
“Negeri yang melimpah berkah dari Tuhan”. Itulah Indonesia, sebuah
negara yang sudah sejak lama dilihat dalam kacamata dunia sebagai negara bahari
yang terdiri dari kepulauan yang besar dengan keanekaragaman hayati laut
terbesar. Dilihat dari sejarahnya, Indonesia sebelum memasuki masa penjajahan
juga mempunyai masa ke-emasan di bidang kelautan. Sebelum masa penjajahan,
Indonesia pernah menjadi bangsa maritim besar yang disegani dan dihormati
bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai contoh, terdapatnya catatan sejarah
mengenai kejayaan maritim dari kerajaan-kerajaan pesisir nusantara seperti
Tarumanegara, Sriwijaya dan Majapahit menjadi bukti bahwa nenek moyang
Bangsa Indonesia pernah berjaya di laut. Kerajaan Hindu Tarumanegara pada
abad 5 SM sudah mampu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan hingga
mencapai daratan Cina.1 Tidak heran jika sejak zaman dahulu, Bangsa Indonesia
terkenal sebagai bangsa pelaut.
Indonesia terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000
km dan luas sekitar 3,1 km² (0,3 juta km² perairan teritorial dan 2,8 juta km²
perairan nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya.2 Menurut Subani dan Barus
1 Noula M.M. Pangemanan, “Implementasi Code of Conduct Renspobility Fisheries Dalam Menanggulangi Illegal, Unreported, Unregulated Fishing di Zona Ekonomi Ekskulsif Indonesia”, http://www.pt-palu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119&Itemid=156, diakses Kamis, 29 Maret 2012.2 Rokhimin Dahuri, dkk.,1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 1.
2
sebagaimana yang dikutip Marhaeni Siombo,3 kondisi geografis Indonesia sebagai
negara kepulauan, yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang terdiri
atas laut pesisir, laut lepas, teluk, dan selat, memiliki panjang pantai 95.181km,
dengan luas perairan 5,8 juta km², kaya akan sumber daya laut dan ikan. Luas
perairan 5,8 juta km² tersebut, terdiri atas:
1. Perairan laut territorial 0,3 juta km²;
2. Perairan nusantara 2,8 km²;
3. Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km² .
Luas laut dan perairan Indonesia lebih besar wilayahnya dibandingkan
dengan luas daratannya, terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on the law Of The Sea (UNCLOS), yang berdampak Negara Kesatuan Republik
Indonesia memiliki hak untuk pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber
daya ikan. Dalam pengertian yang lebih mendalam setelah Indonesia meratifikasi
konvensi tersebut, Indonesia diterima dan ditetapkan sebagai negara kepulauan
yang mempunyai laut pedalaman. Artinya laut di dalam negara kepulauan
Indonesia adalah wilayah juridiksi negara. Oleh karena itu, sumber daya laut
3 Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan tentang Penagkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, 2008), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, Tahun 2009, Jakarta, hlm 2.
3
Indonesia semakin besar dan tidak heran jika sumber daya laut Indonesia telah
banyak mendatangkan devisa untuk negara.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun
2010, potensi dan kekayaan laut Nusantara adalah ikan. Potensi lestari sumber
daya ikan tangkap di lautan Indonesia diperkirakan 6,26 juta ton/tahun,4 terdiri
dari 4,4 juta ton di perairan laut Nusantara dan 1,86 juta ton di perairan ZEE
(Zona Ekonomi Eksklusif). Potensi sumber daya ikan tangkap itu apabila
dikelompokkan berdasarkan jenis ikan, terdiri dari pelagis besar (seperti tuna)
yang tercatat sebanyak 1,16 juta ton, pelagis kecil (seperti ikan kembung) 3,6 juta
ton dan demersal (ikan yang hidup di dasar perairan) 1,36 juta ton, udang penaeid
0,094 juta ton, lobster 0,004 juta ton, cumi-cumi 0,028 juta ton dan ikan karang
konsumsi 0,14 juta ton.
Sumber daya ikan yang melimpah jika dieksploitasi dan dieksplorasi tanpa
batas tertentu dan tanpa suatu sistem pengelolaan yang baik, dapat menimbulkan
berbagai permasalahan terutama yang menyangkut keberlangsungan dari sumber
daya ikan beserta ekosistemnya, seperti musnahnya spesies tertentu, sehingga
dapat menimbulkan berkurangnya atau bahkan habisnya sumber daya ikan.5
Sumber daya ikan sangat peka oleh keadaan alam sekitarnya. Apabila sumber
daya itu dieksploitasi secara berlebihan (over exploitation) melebihi jumlah
tangkapan yang diperkenankan (maximum sustainable yield) ataupun apabila 4 Rizald M.Rompas, 2011, Membangun Laut, Membangun Kejayaan, Dulu, Kini dan Masa Depan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), Jakarta, hlm 73.5 H.A.S Natabaya, 1995, Laporan Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan Di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hlm 2.
4
sumber daya itu tidak dapat diekspolitasi sama sekali, hal ini akan menimbulkan
dampak biologis bagi eksistensi sumber daya ikan tersebut.6
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sering terjadi eksploitasi secara
besar-besaran tanpa menggunakan asas-asas yang diperuntukkan dalam
pengelolaan sumber daya ikan dan telah diatur dalam perundang-undangan.7
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
dinyatakan pengelolaan perikanan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan. Sementara itu, dalam Pasal 2 Undang-Undang 45 Tahun 2009
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat,
keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian dan pembangunan yang
berkelanjutan. Penyimpangan terhadap asas-asas yang terdapat dalam perundang-
undangan tidak jarang dijumpai di lapangan. Bahkan pada akhirnya segala cara
dan upaya ditempuh guna memenuhi hasrat kepentingan ekonomi hingga
berujung pada melakukan tindak pidana di bidang perikanan.
Kasus tindak pidana di bidang perikanan merupakan suatu masalah yang
cukup besar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan tidak hanya
Indonesia, namun di seluruh dunia. Khusus untuk pengelolaan sumber daya alam
perikanan, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) pada
6 Ibid7 Hasil wawancara pra penelitian dengan Ariwibowo, S.Pi., Bidang Kelautan dan Pengawasan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY, tanggal 12 Maret 2012 di Yogyakarta.
5
tahun 1993 memprakarsai terbentuknya FAO Compliance Agreement yang
merupakan upaya untuk mencegah tindakan penangkapan ikan secara illegal, hasil
tangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan penangkapan ikan yang tidak sesuai
atau belum diatur dalam perundang-undangan di negara yang bersangkutan
(Illegal, Unreported, Unregulated Fishing).
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) juga
telah menetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada
tahun 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ini bertujuan
untuk nantinya diharapkan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan
terkait dengan masalah-masalah pada sumber daya alam perikanan. Dalam Pasal 1
ayat (2) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dinyatakan bahwa
diharapkan anggota, komunitas nelayan, organisasi bagi negara-negara anggota
dan yang terlibat dengan perikanan, dalam menetapkan kebijaksanaan atau
tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan
hasil, dan pemasaran sumber daya alam perikanan. Dalam kaitannya dengan
perdagangan hasil ikan tangkapan dan budidaya, Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) didasarkan pada World of Trade Organization
(WTO) Agreement (Pasal 6 ayat (14).8
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)
selanjutnya mengeluarkan beberapa panduan mengenai konsep manajemen
perikanan berkelanjutan sebagai pelaksanaan dari Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) diantaranya yaitu International Plan of Action for
8 Supriadi dan Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 31.
6
Illegal,Unreported, Unregulated Fishing yang telah disepakati pada sidang
Committee on Fisheries (COFI) ke 24 pada tanggal 2 Maret 2001 dan di sahkan
pada tanggal 23 Juni 2001.
Perkembangan tindak pidana di bidang perikanan di Indonesia secara garis
besar pengaturannya saat ini masih mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009. Selain Undang-Undang tersebut, pengaturannya tindak
pidana di bidang perikanan dapat juga mengacu pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) karena pada faktanya pasal-pasal yang relevan dalam
KUHP dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
seperti Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, Pasal 362 KUHP tentang
pencurian dan Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011
mencatat di Indonesia terdapat 90 kasus tindak pidana di bidang perikanan,9 terdiri
dari 17 kasus tanpa izin, 39 kasus tanpa izin dan alat tangkap terlarang, 13 kasus
dokumen tidak lengkap, 5 kasus daerah penangkapan ikan (fishing ground), 2
kasus alat tangkap tidak lengkap sesuai izin Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI), 5
kasus dokumen tidak lengkap dan fishing ground , 2 kasus fishing ground dan alat
tangkap terlarang, 1 kasus menampung ikan tidak sesuai Surat Izin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI), 2 kasus tanpa keterangan jenis tindak pidana di bidang
perikanan, 1 kasus tanpa izin dan dokumen palsu, 1 kasus tidak memiliki Surat
9 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2011, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm 67.
7
Layak Operasi (SLO), 1 kasus bongkar muat tidak sesuai SIPI, 1 kasus ABK
asing tidak sesuai SIPI.
Tindak pidana di bidang perikanan telah banyak merugikan keuangan
negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2011, Indonesia
mengalami kerugian di sektor perikanan sebanyak Rp. 218 Triliun.10 Kasus tindak
pidana di bidang perikanan ini biasanya dilakukan baik oleh perorangan maupun
korporasi guna memenuhi hasrat kepentingan ekonomi mereka. Hal ini
berdampak negatif bagi pendapatan negara dan keberlanjutan sumber daya ikan.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011,
terdapat jumlah persentase perikanan tangkap di laut menurut Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) dari tahun 2006 sampai tahun 2010, hanya
mengalami peningkatan sebesar 0,05%.11 Oleh karena itu, agar sumber daya ikan
di perairan Indonesia dapat lebih dioptimalkan dan berkelanjutan perlunya peran
aktif pemerintah. Hal ini sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Potensi tindak pidana di bidang perikanan juga terjadi pada daerah yang
memiliki wilayah pesisir pantai, salah satunya ialah wilayah Kabupaten Bantul.
Kabupaten Bantul termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa
10 Rizal, “Kerugian Negara di Sektor Perikanan Capai Rp 218 Triliun”, http://preview.detik.com/detiknews/read/2011/08/05/193407/1697777/10/kerugian-negara-di sektor-perikanan-capai-rp-218-triliun, diakses Rabu, 14 Maret 2012.11 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, Op.cit, hlm 31.
8
Yogyakarta, dengan luas wilayah 506,85 Km², secara geografis wilayah
Kabupaten Bantul terletak antara Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44' 04" -
08° 00' 27" Lintang Selatan dan 110° 12' 34" - 110° 31' 08" Bujur Timur.12
Kabupaten Bantul memiliki 3 Kecamatan mempunyai wilayah pantai / pesisir
dengan desa pesisir / pantai sejumlah 5 Desa. Panjang pantai Kabupaten Bantul
adalah 17 kilometer yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia dan
membentang mulai dari Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden dan Kecamatan
Srandakan dengan lahan pesisir yang berupa pasir seluas 400 Ha.
Sumberdaya kelautan perikanan tangkap di Laut Selatan Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan area fishing ground ±1.800 Km² memiliki potensi sumberdaya
ikan sebesar 6.994,8 ton/tahun yang meliputi jenis ikan – ikan pelagis 6.120 ton
dan ikan – ikan domersal 874,8 ton (Forum Koordinasi Pengelolaan dan
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (FKPPS –
DIY 2001)). Para nelayan setempat menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Bantul Tahun 2010 memiliki 81 Perahu Motor Tempel (PMT).13
Perkembangan nelayan di Kabupaten Bantul cukup besar. Menurut data Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Kabupaten Bantul memiliki nelayan
sebanyak 369 jiwa dari 6 kelompok nelayan yang terdiri dari Mina Bahari 4,
Mino Samudro, Mina Tirtohargo, Mina Raharja, Fajar Arum. dan Pandan Mino.14
12 Disdukcapil Kab. Bantul, “Sekilas Kabupaten Bantul”, http://bantulkab.go.id/pemerintahan/sekilas_kabupaten_bantul.html, diakses Kamis, 8 Maret 2012.13 Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data Sarana Penangkapan ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, hlm. 2.14 Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data SDM-Nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, hlm. 4.
9
Melihat letak geografis Kabupaten Bantul, sebenarnya potensi sumber
daya kelautan dan perikanannya cukuplah besar. Kekayaan sumberdaya kelautan
dan perikanan yang cukup besar tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal dikarenakan antara lain, masih rendahnya sumberdaya manusia nelayan
dan pembudidaya ikan, sarana dan prasarana yang masih terbatas, teknologi
penangkapan yang masih tradisional, lemahnya permodalan serta adanya oknum
masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang tidak terkendali.15 Selain itu,
potensi tindak pidana di bidang perikanan, dapat tejadi di wilayah hukum
Kabupeten Bantul seperti melakukan penangkapan ikan dengan alat setrum,
menggunakan kapal motor yang tidak mempunyai izin dan berbagai tindak pidana
di bidang perikanan lainnya. Oleh karena itu tindak pidana di bidang perikanan
perlu ditanggulangi agar dampaknya tidak meluas dan pembangunan sumber daya
ikan dapat dilaksanakan dengan asas berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Tindak pidana di bidang perikanan pada dasarnya merupakan sebuah
perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana oleh Moeljatno
didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana.16 Teguh Prasetyo mendefinisikan tindak pidana (delict)
ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum
pidana.17 Tindak pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah
15 Hasil wawancara pra penelitian dengan MF. Susilartati, S.Pi, MMA, Kasie. Bidang Pengawasan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, tanggal 13 Maret 2012 di Bantul.16 Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 2.17 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo, Jakarta, hlm 16
10
diubah oleh 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 100 dan
Pasal 103. Bertolak dari latar belakang tersebut penulis tertarik mengadakan
penelitian untuk penulisan hukum dengan judul : “ PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DI WILAYAH HUKUM
KABUPATEN BANTUL”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka penulis
perlu untuk merumuskan masalah permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan hukum ini. Masalah yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini
adalah :
1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Bantul?
2. Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana di
bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif:
Penelitian ini bertujuan untuk :
11
a. Untuk mengetahui penegakan hukum tindak pidana di bidang
perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul.
b. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan dalam mencegah
tindak pidana di bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten
Bantul.
2. Tujuan Subjektif:
Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap, akurat dan
dibutuhkan untuk menyelesaikan penulisan hukum yang merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat baik secara akademis
(bagi ilmu pengetahuan) maupun secara praktis (bagi pembangunan), yaitu
sebagai berikut:
1. Kegunaan akademis / ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa
sumbangan pemikiran dan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang Hukum Pidana yang mengkaji
tentang tindak pidana di bidang perikanan.
12
2. Kegunaan Praktis / Pembangunan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran lebih jelas
tentang penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah
hukum Kabupaten Bantul, serta sebagai acuan dan masukan bagi
instansi terkait, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
DIY, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul dan Ditpolair
Polda DIY.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Penulis, memang telah ada
beberapa penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan
(illegal fisihing). Penulisan hukum yang ditulis oleh Philo Dellano dari Fakultas
Hukum Universitas Negeri Surakarta, pada tahun 2009 dengan judul penulisan
“Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1202
k/pid/2005 tentang Permohonan Kasasi oleh Terdakwa Winai Nakprasit dan
Sawong Tiectakun Dalam Perkara Illegal Fishing”. Rumusan masalah yang
dibahas adalah :
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus permohonan kasasi terdakwa Winai Nakprasit dan
Sawong Tiectakun dalam perkara Illegal Fishing?
13
2. Apakah masih dimungkinkan terdakwa Winai Nakprasit dan Sawong
Tiectakun untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan kasasi dalam
perkara Illegal Fishing?
Kesimpulan penulisan tersebut menyatakan bahwa alasan kasasi yang
diajukan oleh Terdakwa I Winai Nakprasit dan Terdakwa II Sawong Tiectakun
tidak dapat diterima oleh Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hakim
Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut mempunyai dasar pertimbangan
berdasarkan Pasal 106 Undang- Undang No.31 tahun 2004 Tentang Perikanan
menyebutkan bahwa “selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain
pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili,
dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang berwenang”. Dengan dasar hukum
dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
tersebut, maka Pengadilan Negeri Padang berhak untuk memeriksa dan mengadili
perkara ini.
Winai Nakprasit dan Sawong Tiectakun juga masih dimungkinkan untuk
mengajukan upaya hukum terhadap putusan kasasi dalam perkara illegal fishing,
yaitu peninjauan kembali. Hal ini berdasarkan pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP
yaitu “terhadap putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
14
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
Penulisan berikutnya adalah tesis yang ditulis oleh Amalia Diamantina
dari Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, pada tahun 2001
dengan judul penulisan “Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan”.
Rumusan masalah yang dibahas adalah :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penerapan hukum pidana di bidang perikanan?
2. Bagaimana peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Perikanan
dalam penerapan hukum pidana di bidang perikanan?
3. Kebijakan apa yang mungkin dapat diterapkan dalam mengatasi hambatan-
hambatan yang muncul dalam penerapan hukum pidana di bidang perikanan?
Kesimpulannya penegakkan hukum pidana di bidang perikanan masih
cenderung tidak konsisten dalam mekanisme, baik prosedural maupun proses di
lapangan. Sebagai contoh, adanya tumpang tindih kewenangan (kompetensi)
dalam hal penyidikan antar lembaga, dan akhirnya mempunyai dampak-dampak
yang menjadi penghambat penegakan hukum itu sendiri. Disamping itu peran
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di dalam prakteknya tidak berjalan dengan
sebagaimana mestinya. PPNS Dinas Perikanan lebih “terlihat” sebagai
pendamping penyidik TNI AL yang bersifat teknis dan cenderung tidak
menjalankan fungsi sebagai ahli dalam proses peradilan di bidang perikanan.
Maka dari itu perlu adanya kebijakan-kebijakan baru yang lebih menitikberatkan
pada batasan-batasan kewenangan dalam penyidikan dan mekanisme yang harus
dilalui dalam penegakan hukum di bidang perikanan.
15
Walaupun telah ada penulisan mengenai tindak pidana di bidang perikanan
(illegal fishing), namun terdapat perbedaan mengenai obyek dan sudut pandang
yang akan diteliti oleh penulis. Adapun yang menjadi sudut pandang yang akan
diteliti penulis adalah penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan (illegal
fishing) dan objek penelitian yang akan diteliti penulis adalah di wilayah hukum
Kabupaten Bantul.
Terhadap penulisan yang pertama, yang dilakukan oleh Philo Dellano.
Fokus utama yang menjadi objek penelitian Philo Dellano adalah Putusan
Mahkamah Agung yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan
(illegal fishing) dan sudut pandang penelitiannya adalah Analisis Yuridis Dalam
Sebuah Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Illegal Fishing. Apabila
melihat objek penelitian dan sudut pandang penelitian, maka terlihat perbedaan
antara penulisan tersebut dengan penulisan hukum yang akan dilakukan oleh
penulis. Sudut pandang penelitian Phillo Dellano lebih menyoroti tentang analisis
yuridis dalam sebuah produk hukum (putusan) mengenai tindak pidana di bidang
perikanan (illegal fishing), sedangkan sudut pandang penulis lebih
menitikberatkan pada upaya penanggulangannya, yakni upaya penanggulangan
bagi tindak pidana di bidang perikanan (illegal fishing). Objek penelitian penulis
berada di wilayah hukum Kabupaten Bantul.
Terhadap penulisan kedua yang dilakukan oleh Amalia Diamantina.
perbedaan terdapat pada peraturan tentang tindak pidana di bidang perikanan yang
masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
Undang-Undang tersebut sekarang sudah tidak diberlakukan lagi dan digantikan
16
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana
telah diubah oleh 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Amalia Diamantina dalam penelitiannya
mempunyai sudut pandang dari penegakan hukum, yakni penegakan hukum di
bidang perikanan dan objek penelitiannya di Jawa Tengah. Berbeda dengan
penelitian yang akan diteliti oleh penulis yang menyoroti upaya penanggulangan,
yakni upaya penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dan
objek penelitian penulis berada di wilayah hukum Kabupaten Bantul. Tidak
terdapat kesamaan objek penelitian antara penulisan tersebut dengan penulisan
yang dilakukan oleh penulis.
F. Tinjauan Pustaka
Pengertian Perairan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan pada Pasal 1 ayat (20) adalah laut teritorial Indonesia beserta
perairan kepulauan dan perairan kedalamannya. Melihat unsur dalam pasal
tersebut sebenarnya masih mengacu dari Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah
disahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
Konvensi Hukum Laut, dimana wilayah Indonesia di laut yang berada di bawah
kedaulatan penuh negara, terdiri atas:18
18 Rizald M.Rompas, Op.cit, hlm 144.
17
1. Perairan PedalamanPerairan yang terletak pada perairan kepulauan, dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh tanpa harus memberikan hak lintas kepada kapal-kapal asing;
2. Perairan KepulauanPerairan yang berada di sebelah dalam dari garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia juga meliputi ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, baik hayati maupun non-hayati. Di bagian laut ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai dan hak lintas alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing;
3. Laut TeritorialJalur laut dengan lebar 12 mil yang terletak di sebelah luar dari garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia di laut teritorial meliputi juga ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Di laut teritorial, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.
Perairan pada umumnya terbagi dalam dua jenis. Pertama, perairan yang
berada di lautan luas yang disebut sebagai perairan laut, contohnya air laut yang
berada di laut. Kedua, semua bentuk perairan yang terdapat di darat yang disebut
sebagai perairan darat (inland water) misalnya muara sungai, sungai (river),
danau (lake), rawa (swamp), dan badan air buatan lainnya (waduk, situ buatan,
dan embung).19
Perikanan adalah potensi sumber daya alam perairan dan kelautan yang
paling besar. Definisi perikanan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dalam Pasal 1 ayat (1) adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
19 Agus Dermawan, 2009, Pedoman Penilaian Kerusakan Habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta, hlm 11.
18
dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Jenis perikanan di Indonesia sangatlah bervariasi terdiri dari kelompok
jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil dan kelompok ikan pelagis (besar dan
kecil).20 Kelompok jenis ikan pelagis besar terdiri dari jenis tuna seperti
madidihang (Thunus Albacares), albakora (Thunus Alalunga), tuna mata besar
(Thunus Obesus) dan tuna sirip biru selatan (Thunus Macoyyi). Untuk jenis ikan
pelagis kecil diantaranya berupa cakalang (Katsowonus pelamis), tongkol, tongkol
kecil (Auxis thazard), kembung, bonito.
Penyebaran madidihang dan tuna mata besar hampir di seluruh wilayah
lautan Indonesia dan untuk jenis ikan pelagis kecil tersebar di seluruh wilayah
perairan Indonesia. Disamping itu terdapat jenis kelompok ikan pelagis (besar dan
kecil) terdiri dari udang, lobster ,cumi-cumi dan juga berbagai ikan karang, hal ini
yang menjadi tangkapan para nelayan pada umumnya. Ikan pelagis ini hidup pada
kedalaman laut sekitar 200 meter, dan biasanya hidup secara berkelompok.
Melihat potensi sumber daya ikan yang cukup besar di Indonesia, secara
otomatis terdapat pihak-pihak yang melakukan kegiatan pengelolaan,
pemanfaatan serta menjalankan bisnis di bidang perikanan ini. Dalam
perkembangannya di Indonesia, pelaku pengelolaan tersebut pada umumnya tidak
peduli dengan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengelolaan dan
pemanfaatan atas sumber daya ikan ini, khususnya pihak-pihak yang menjalankan
kegiatan bisnis di bidang perikanan. Mereka hanya memikirkan dari segi
ekonominya saja tanpa memenuhi syarat-syarat kelengkapan kegiatan bisnis di
20 Rizald M.Rompas, Loc.cit.
19
bidang perikanan yang bertujuan menjaga keberlangsungan sumber daya ikan itu
nantinya.
Adapun syarat-syarat untuk melakukan kegiatan bisnis perikanan, diatur
dalam Pasal 1 ayat (16) sampai dengan ayat (18) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan:21
1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)Izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut;
2. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penagkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP; dan
3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan.
Aktivitas tindak pidana di bidang perikanan telah menimbulkan kerugian
bagi Negara Indonesia, sebagai contoh kasus dengan menggunakan trawl (pukat
biasa yang ditarik satu kapal) dan pair trawl (jaring trawl yang ditarik oleh dua
kapal) berbendera asing. Disamping itu ada juga yang berbendera merah-putih
tetapi dokumennya palsu. Ikan hasil tangkapan illegal yang dibongkar dan
dipindahkan di perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga.22
Tindak pidana di bidang perikanan dalam dunia internasional dikenal
dengan IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) artinya
penangkapan ikan secara tidak sah (Illegal), tidak dilaporkan (Unreported) atau
21 Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 37.22 Rizald M.Rompas, Op.cit, hlm 133.
20
yang belum dan tidak diatur (Unregulated) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia (WPP-RI).23 Dalam pengertian yang lebih sederhana tindak
pidana di bidang perikanan (Illegal Fishing) dapat diartikan sebagai kegiatan
perikanan yang melanggar hukum.
Pemerintah dalam menjaga kelestarian, kemudahan dan pengawasan
terhadap tindak pidana di bidang perikanan (Illegal, Unreported and Unregulated)
telah memetakan potensi sumberdaya perikanan tangkap di laut Indonesia dalam
sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Wilayah itu meliputi24:
WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), WPP 572 (Samudera Hindia Barat Sumatra dan Selat Sunda), WPP 573 (Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara), WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali), WPP 714 (Laut Banda), WPP 715 (Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor), WPP 16 (Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Laut Seram), WPP 717 (Laut Sulawesi dan Laut Halmahera), dan WPP 718 (Samudera Pasifik).
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 5 ayat
(1), yang meliputi: perairan Indonesia, ZEEI dan sungai, danau, waduk, rawa, dan
genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang
potensial di wilayah Republik Indonesia. Pasal 5 ayat (2) juga menyebutkan
bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang
diterima secara umum.
23 Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU FISHING) menurut RFMOs kegiatan penangkapan ikan yang tidak sesuai aturan RFMOs , lembar sosialisasi Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011.24.Rizald M.Rompas, Op.cit, hlm 74.
21
Melihat perkembangan tindak pidana di bidang perikanan yang semakin
meningkat dan beragam, maka perlu penanggulangan yang dilakukan oleh
pemerintah maupun masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan
penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat di tempuh melalui tiga
cara, yaitu:25
1. Criminal law application (Penerapan hukum pidana)
2. Prevention without punishment (Pencegahan tanpa pidana)
3. Influencing views of society on crimeand punishment (Mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai tindak pidana dan pemidanaan lewat
media massa)
Kebijakan penanggulangan tindak pidana termasuk dalam bidang
“kebijakan kriminal” (criminal policy) dan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu kebijakan penaggulangan tindak pidana dengan menggunakan
sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana
dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy). Pada
dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah
terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan
pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.26 Kebijakan
kriminal ini berkaitan dengan kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial”
(social policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan
25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 17.26 Ibid
22
sosial” (social welfare policy) dan “kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan
masyarakat” (social defence policy). 27
Penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan tidak hanya menjadi
tugas dari negara, meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan,
Kepolisian, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan lain sebagainya, tetapi
masyarakat pun dapat diikutsertakan melalui kelompok-kelompok masyarakat
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan Pasal 67 yang menyatakan bahwa masyarakat dapat diikutsertakan
dalam membantu pengawasan perikanan.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan penelitian hukum ini, peneliti akan menggunakan
gabungan antara jenis penelitian hukum normatif dengan jenis
penelitian hukum empiris. Masing-masing tipe penelitian tersebut
digunakan sesuai dengan kebutuhannya. Penelitian hukum empiris
dilakukan melalui studi lapangan yang dilakukan menggunakan metode
wawancara dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada
narasumber yang berkompeten dan terkait dengan masalah yang diteliti
(objek yang diteliti). Penelitian hukum normatif dilakukan dengan
27 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, hlm. 77
23
mengumpulkan data sekunder baik berupa bahan hukum primer,
sekunder, maupun tersier.
2. Data Penelitian
Untuk melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian, penulis menggunakan 2 jenis data yaitu:
a. Data Primer
Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung
dari sumber yang didapat melalui penelitian lapangan dan mencari
data-data diperoleh langsung dari objeknya. Hasilnya berupa hasil
wawancara dan data-data yang berhubungan dengan penelitian.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung
dari objeknya melainkan diperoleh dari studi pustaka dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas. Data sekunder digolongkan dari sudut kekuatan
mengikatnya terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan
berkaitan erat dengan masalah yang diteliti, meliputi :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
24
c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
d) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
e) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan.
f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
g) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
h) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
i) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan.
j) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.
58/MEN/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem
Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.
k) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi
Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
25
l) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.
m) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.10/MEN/2007 tentang Pemberian Uang Insentif
kepada Aparat Penegak Hukum dan Pihak-pihak yang
Berjasa Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Perikanan.
n) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2011-2030.
o) Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
6 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan dan Usaha
Kelautan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
p) Instruksi Bupati Nomor 10/B/INST/BT/1985 tentang
Larangan Mengambil Ikan dengan Menggunakan Alat-
Alat yang Mengandung Racun atau dengan Bahan atau
Obat yang Dapat Mematikan dan Memusnahkan.
q) Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 1 Tahun 2012
tentang Tempat Pelelangan Ikan.
26
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer, dan atau
yang memberikan pemaparan-pemaparan yang terkait dengan
rumusan masalah, yang meliputi :
a) Buku-buku tentang hukum pidana.
b) Buku-buku tentang hukum perikanan.
c) Buku-buku tentang laut dan perairan.
d) Bahan-bahan acuan lain yang relevan dengan rumusan
masalah, baik dalam bentuk mekanik (hard file) maupun
elektronik (soft file).
3) Bahan hukum tersier, meliputi bahan-bahan ilmiah yang
menunjang atau memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, yang bersumber dari :
a) Kamus umum.
b) Kamus bahasa hukum.
c) Kamus besar bahasa Indonesia.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Kabupaten Bantul, yakni:
27
a. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
b. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul.
c. Kepolisian Perairan di wilayah hukum Kabupaten Bantul.
d. Dewan Pinpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia
(DPC-HNSI) Kabupaten Bantul.
4. Narasumber Penelitian
Narasumber merupakan sumber data yang diharapkan dapat diperoleh
berdasarkan pengetahuan melalui wawancara. Adapun narasumber yang
akan ditemui penulis adalah:
a. Kepala Bidang Pengawasan Perikanan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Kepala Bidang Pengawasan Perikanan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Bantul.
c. Kepala Kepolisian Perairan di wilayah hukum Kabupaten
Bantul.
d. Ketua Dewan Pinpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (DPC-HNSI) Kabupaten Bantul.
5. Alat Pengumpul Data
28
Pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi
dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan
wawancara atau interview.28
Alat pengumpul data primer dalam penelitian ini berupa
wawancara. Dalam pelaksanaan wawancara dibuat pedoman
wawancara dan daftar pertanyaan sehingga hasil wawancara relevan
dengan masalah yang diteliti.
Adapun dalam pengumpulan data sekunder, penulis
mempergunakan studi dokumen atau studi pustaka. Studi pustaka
adalah mengumpulkan data dengan mempelajari kepustakaan dan
peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan objek
penelitian.
6. Analisis Data
Setelah proses pengumpulan data selesai, kemudian data-data tersebut
dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan kualitatif.
a) Analisis Deskriptif
Menggambarkan kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian,
selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian dihubungkan
dengan teori-teori yang didapat dari kepustakaan untuk kemudian
disampaikan sehingga diperoleh gambaran dan jawaban mengenai
permasalahan yang ada.
28 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Penerbit Universitas Indoensia, Jakarta, hlm. 21.
29
b) Analisis Kualitatif
Pengambilan data yang tidak berwujud dengan angka-angka, atau
tidak dihitung dengan menguraikan data secara sistematik,
sehingga diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab
permasalahan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
30
Dahuri, Rokhmin, dkk.,1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta
Dermawan, Agus, 2009, Pedoman Penilaian Kerusakan Habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta.
Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2011, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.
_________, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana cetakan 27, PT Bumi Aksara, Jakarta
M.Rompas, Rizald, 2011, Membangun Laut, Membangun Kejayaan, Dulu, Kini dan Masa Depan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), Jakarta.
Natabaya, H.A,S, 1995 Laporan Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan Di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta.
Prasetyo, Teguh, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Penerbit Universitas Indoensia, Jakarta.Supriadi dan Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Syamsuddin, Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data Sarana Penangkapan ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data SDM-Nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta
31
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Huku Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)
Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073)
C. Internet
Disdukcapil Kab. Bantul, “Sekilas Kabupaten Bantul”, http://bantulkab.go.id/pemerintahan/sekilas_kabupaten_bantul.html, diakses Kamis, 8 Maret 2012.
Noula M.M. Pangemanan, “Implementasi Code of Conduct Renspobility Fisheries Dalam Menanggulangi Illegal, Unreported, Unregulated Fishing di Zona Ekonomi Ekskulsif Indonesia”, http://www.pt-palu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119&Itemid=156, diakses Kamis, 29 Maret 2012
Rizal, “Kerugian Negara di Sektor Perikanan Capai Rp 218 Triliun”, http://preview.detik.com/detiknews/read/2011/08/05/193407/1697777/10/kerugian-negara-di sektor-perikanan-capai-rp-218-triliun, diakses Rabu, 14 Maret 2012.
D. Karya Ilmiah
Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan tentang Penagkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, 2008), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, Tahun 2009, Jakarta, hlm 2.
32
Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU FISHING) menurut RFMOs kegiatan penagkapan ikan yang tidak sesuai aturan RFMOs , lembaran sosialisasi Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011