skripsi perikanan15

46
1 PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang Masalah “Negeri yang melimpah berkah dari Tuhan”. Itulah Indonesia, sebuah negara yang sudah sejak lama dilihat dalam kacamata dunia sebagai negara bahari yang terdiri dari kepulauan yang besar dengan keanekaragaman hayati laut terbesar. Dilihat dari sejarahnya, Indonesia sebelum memasuki masa penjajahan juga mempunyai masa ke-emasan di bidang kelautan. Sebelum masa penjajahan, Indonesia pernah menjadi bangsa maritim besar yang disegani dan dihormati bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai contoh, terdapatnya catatan sejarah mengenai kejayaan maritim dari kerajaan- kerajaan pesisir nusantara seperti Tarumanegara, Sriwijaya dan Majapahit menjadi bukti bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia pernah berjaya di laut. Kerajaan Hindu Tarumanegara pada abad 5 SM sudah mampu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan hingga mencapai daratan Cina. 1 Tidak heran 1 Noula M.M. Pangemanan, “Implementasi Code of Conduct Renspobility Fisheries Dalam Menanggulangi Illegal, Unreported, Unregulated Fishing di Zona Ekonomi Ekskulsif Indonesia,

Upload: rafika-ulandari

Post on 20-Oct-2015

39 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

skipsi glagauuuuuuuuuuhvcnbvcccccccccccjueygsvmnnvig ni berbicara tentan

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi Perikanan15

1

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN BANTUL

A. Latar Belakang Masalah

“Negeri yang melimpah berkah dari Tuhan”. Itulah Indonesia, sebuah

negara yang sudah sejak lama dilihat dalam kacamata dunia sebagai negara bahari

yang terdiri dari kepulauan yang besar dengan keanekaragaman hayati laut

terbesar. Dilihat dari sejarahnya, Indonesia sebelum memasuki masa penjajahan

juga mempunyai masa ke-emasan di bidang kelautan. Sebelum masa penjajahan,

Indonesia pernah menjadi bangsa maritim besar yang disegani dan dihormati

bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagai contoh, terdapatnya catatan sejarah

mengenai kejayaan maritim dari kerajaan-kerajaan pesisir nusantara seperti

Tarumanegara, Sriwijaya dan Majapahit menjadi bukti bahwa nenek moyang

Bangsa Indonesia pernah berjaya di laut. Kerajaan Hindu Tarumanegara pada

abad 5 SM sudah mampu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan hingga

mencapai daratan Cina.1 Tidak heran jika sejak zaman dahulu, Bangsa Indonesia

terkenal sebagai bangsa pelaut.

Indonesia terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000

km dan luas sekitar 3,1 km² (0,3 juta km² perairan teritorial dan 2,8 juta km²

perairan nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya.2 Menurut Subani dan Barus

1 Noula M.M. Pangemanan, “Implementasi Code of Conduct Renspobility Fisheries Dalam Menanggulangi Illegal, Unreported, Unregulated Fishing di Zona Ekonomi Ekskulsif Indonesia”, http://www.pt-palu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119&Itemid=156, diakses Kamis, 29 Maret 2012.2 Rokhimin Dahuri, dkk.,1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 1.

Page 2: Skripsi Perikanan15

2

sebagaimana yang dikutip Marhaeni Siombo,3 kondisi geografis Indonesia sebagai

negara kepulauan, yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang terdiri

atas laut pesisir, laut lepas, teluk, dan selat, memiliki panjang pantai 95.181km,

dengan luas perairan 5,8 juta km², kaya akan sumber daya laut dan ikan. Luas

perairan 5,8 juta km² tersebut, terdiri atas:

1. Perairan laut territorial 0,3 juta km²;

2. Perairan nusantara 2,8 km²;

3. Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km² .

Luas laut dan perairan Indonesia lebih besar wilayahnya dibandingkan

dengan luas daratannya, terutama setelah Indonesia meratifikasi Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention

on the law Of The Sea (UNCLOS), yang berdampak Negara Kesatuan Republik

Indonesia memiliki hak untuk pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber

daya ikan. Dalam pengertian yang lebih mendalam setelah Indonesia meratifikasi

konvensi tersebut, Indonesia diterima dan ditetapkan sebagai negara kepulauan

yang mempunyai laut pedalaman. Artinya laut di dalam negara kepulauan

Indonesia adalah wilayah juridiksi negara. Oleh karena itu, sumber daya laut

3 Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan tentang Penagkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, 2008), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, Tahun 2009, Jakarta, hlm 2.

Page 3: Skripsi Perikanan15

3

Indonesia semakin besar dan tidak heran jika sumber daya laut Indonesia telah

banyak mendatangkan devisa untuk negara.

Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun

2010, potensi dan kekayaan laut Nusantara adalah ikan. Potensi lestari sumber

daya ikan tangkap di lautan Indonesia diperkirakan 6,26 juta ton/tahun,4 terdiri

dari 4,4 juta ton di perairan laut Nusantara dan 1,86 juta ton di perairan ZEE

(Zona Ekonomi Eksklusif). Potensi sumber daya ikan tangkap itu apabila

dikelompokkan berdasarkan jenis ikan, terdiri dari pelagis besar (seperti tuna)

yang tercatat sebanyak 1,16 juta ton, pelagis kecil (seperti ikan kembung) 3,6 juta

ton dan demersal (ikan yang hidup di dasar perairan) 1,36 juta ton, udang penaeid

0,094 juta ton, lobster 0,004 juta ton, cumi-cumi 0,028 juta ton dan ikan karang

konsumsi 0,14 juta ton.

Sumber daya ikan yang melimpah jika dieksploitasi dan dieksplorasi tanpa

batas tertentu dan tanpa suatu sistem pengelolaan yang baik, dapat menimbulkan

berbagai permasalahan terutama yang menyangkut keberlangsungan dari sumber

daya ikan beserta ekosistemnya, seperti musnahnya spesies tertentu, sehingga

dapat menimbulkan berkurangnya atau bahkan habisnya sumber daya ikan.5

Sumber daya ikan sangat peka oleh keadaan alam sekitarnya. Apabila sumber

daya itu dieksploitasi secara berlebihan (over exploitation) melebihi jumlah

tangkapan yang diperkenankan (maximum sustainable yield) ataupun apabila 4 Rizald M.Rompas, 2011, Membangun Laut, Membangun Kejayaan, Dulu, Kini dan Masa Depan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), Jakarta, hlm 73.5 H.A.S Natabaya, 1995, Laporan Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan Di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hlm 2.

Page 4: Skripsi Perikanan15

4

sumber daya itu tidak dapat diekspolitasi sama sekali, hal ini akan menimbulkan

dampak biologis bagi eksistensi sumber daya ikan tersebut.6

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sering terjadi eksploitasi secara

besar-besaran tanpa menggunakan asas-asas yang diperuntukkan dalam

pengelolaan sumber daya ikan dan telah diatur dalam perundang-undangan.7

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

dinyatakan pengelolaan perikanan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,

pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang

berkelanjutan. Sementara itu, dalam Pasal 2 Undang-Undang 45 Tahun 2009

tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat,

keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan,

keterbukaan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian dan pembangunan yang

berkelanjutan. Penyimpangan terhadap asas-asas yang terdapat dalam perundang-

undangan tidak jarang dijumpai di lapangan. Bahkan pada akhirnya segala cara

dan upaya ditempuh guna memenuhi hasrat kepentingan ekonomi hingga

berujung pada melakukan tindak pidana di bidang perikanan.

Kasus tindak pidana di bidang perikanan merupakan suatu masalah yang

cukup besar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan tidak hanya

Indonesia, namun di seluruh dunia. Khusus untuk pengelolaan sumber daya alam

perikanan, Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) pada

6 Ibid7 Hasil wawancara pra penelitian dengan Ariwibowo, S.Pi., Bidang Kelautan dan Pengawasan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY, tanggal 12 Maret 2012 di Yogyakarta.

Page 5: Skripsi Perikanan15

5

tahun 1993 memprakarsai terbentuknya FAO Compliance Agreement yang

merupakan upaya untuk mencegah tindakan penangkapan ikan secara illegal, hasil

tangkapan ikan yang tidak dilaporkan dan penangkapan ikan yang tidak sesuai

atau belum diatur dalam perundang-undangan di negara yang bersangkutan

(Illegal, Unreported, Unregulated Fishing).

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) juga

telah menetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada

tahun 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ini bertujuan

untuk nantinya diharapkan mampu memberikan solusi terhadap permasalahan

terkait dengan masalah-masalah pada sumber daya alam perikanan. Dalam Pasal 1

ayat (2) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dinyatakan bahwa

diharapkan anggota, komunitas nelayan, organisasi bagi negara-negara anggota

dan yang terlibat dengan perikanan, dalam menetapkan kebijaksanaan atau

tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan

hasil, dan pemasaran sumber daya alam perikanan. Dalam kaitannya dengan

perdagangan hasil ikan tangkapan dan budidaya, Code of Conduct for

Responsible Fisheries (CCRF) didasarkan pada World of Trade Organization

(WTO) Agreement (Pasal 6 ayat (14).8

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)

selanjutnya mengeluarkan beberapa panduan mengenai konsep manajemen

perikanan berkelanjutan sebagai pelaksanaan dari Code of Conduct for

Responsible Fisheries (CCRF) diantaranya yaitu International Plan of Action for

8 Supriadi dan Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 31.

Page 6: Skripsi Perikanan15

6

Illegal,Unreported, Unregulated Fishing yang telah disepakati pada sidang

Committee on Fisheries (COFI) ke 24 pada tanggal 2 Maret 2001 dan di sahkan

pada tanggal 23 Juni 2001.

Perkembangan tindak pidana di bidang perikanan di Indonesia secara garis

besar pengaturannya saat ini masih mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun

2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009. Selain Undang-Undang tersebut, pengaturannya tindak

pidana di bidang perikanan dapat juga mengacu pada Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) karena pada faktanya pasal-pasal yang relevan dalam

KUHP dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana

seperti Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, Pasal 362 KUHP tentang

pencurian dan Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2011

mencatat di Indonesia terdapat 90 kasus tindak pidana di bidang perikanan,9 terdiri

dari 17 kasus tanpa izin, 39 kasus tanpa izin dan alat tangkap terlarang, 13 kasus

dokumen tidak lengkap, 5 kasus daerah penangkapan ikan (fishing ground), 2

kasus alat tangkap tidak lengkap sesuai izin Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI), 5

kasus dokumen tidak lengkap dan fishing ground , 2 kasus fishing ground dan alat

tangkap terlarang, 1 kasus menampung ikan tidak sesuai Surat Izin Kapal

Pengangkut Ikan (SIKPI), 2 kasus tanpa keterangan jenis tindak pidana di bidang

perikanan, 1 kasus tanpa izin dan dokumen palsu, 1 kasus tidak memiliki Surat

9 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2011, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, hlm 67.

Page 7: Skripsi Perikanan15

7

Layak Operasi (SLO), 1 kasus bongkar muat tidak sesuai SIPI, 1 kasus ABK

asing tidak sesuai SIPI.

Tindak pidana di bidang perikanan telah banyak merugikan keuangan

negara. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2011, Indonesia

mengalami kerugian di sektor perikanan sebanyak Rp. 218 Triliun.10 Kasus tindak

pidana di bidang perikanan ini biasanya dilakukan baik oleh perorangan maupun

korporasi guna memenuhi hasrat kepentingan ekonomi mereka. Hal ini

berdampak negatif bagi pendapatan negara dan keberlanjutan sumber daya ikan.

Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011,

terdapat jumlah persentase perikanan tangkap di laut menurut Wilayah

Pengelolaan Perikanan (WPP) dari tahun 2006 sampai tahun 2010, hanya

mengalami peningkatan sebesar 0,05%.11 Oleh karena itu, agar sumber daya ikan

di perairan Indonesia dapat lebih dioptimalkan dan berkelanjutan perlunya peran

aktif pemerintah. Hal ini sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 33 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Bumi dan

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Potensi tindak pidana di bidang perikanan juga terjadi pada daerah yang

memiliki wilayah pesisir pantai, salah satunya ialah wilayah Kabupaten Bantul.

Kabupaten Bantul termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa

10 Rizal, “Kerugian Negara di Sektor Perikanan Capai Rp 218 Triliun”, http://preview.detik.com/detiknews/read/2011/08/05/193407/1697777/10/kerugian-negara-di sektor-perikanan-capai-rp-218-triliun, diakses Rabu, 14 Maret 2012.11 Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, Op.cit, hlm 31.

Page 8: Skripsi Perikanan15

8

Yogyakarta, dengan luas wilayah 506,85 Km², secara geografis wilayah

Kabupaten Bantul terletak antara Kabupaten Bantul terletak antara 07° 44' 04" -

08° 00' 27" Lintang Selatan dan 110° 12' 34" - 110° 31' 08" Bujur Timur.12

Kabupaten Bantul memiliki 3 Kecamatan mempunyai wilayah pantai / pesisir

dengan desa pesisir / pantai sejumlah 5 Desa. Panjang pantai Kabupaten Bantul

adalah 17 kilometer yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia dan

membentang mulai dari Kecamatan Kretek, Kecamatan Sanden dan Kecamatan

Srandakan dengan lahan pesisir yang berupa pasir seluas 400 Ha.

Sumberdaya kelautan perikanan tangkap di Laut Selatan Daerah Istimewa

Yogyakarta dengan area fishing ground ±1.800 Km² memiliki potensi sumberdaya

ikan sebesar 6.994,8 ton/tahun yang meliputi jenis ikan – ikan pelagis 6.120 ton

dan ikan – ikan domersal 874,8 ton (Forum Koordinasi Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (FKPPS –

DIY 2001)). Para nelayan setempat menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Bantul Tahun 2010 memiliki 81 Perahu Motor Tempel (PMT).13

Perkembangan nelayan di Kabupaten Bantul cukup besar. Menurut data Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Kabupaten Bantul memiliki nelayan

sebanyak 369 jiwa dari 6 kelompok nelayan yang terdiri dari Mina Bahari 4,

Mino Samudro, Mina Tirtohargo, Mina Raharja, Fajar Arum. dan Pandan Mino.14

12 Disdukcapil Kab. Bantul, “Sekilas Kabupaten Bantul”, http://bantulkab.go.id/pemerintahan/sekilas_kabupaten_bantul.html, diakses Kamis, 8 Maret 2012.13 Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data Sarana Penangkapan ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, hlm. 2.14 Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data SDM-Nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, hlm. 4.

Page 9: Skripsi Perikanan15

9

Melihat letak geografis Kabupaten Bantul, sebenarnya potensi sumber

daya kelautan dan perikanannya cukuplah besar. Kekayaan sumberdaya kelautan

dan perikanan yang cukup besar tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara

optimal dikarenakan antara lain, masih rendahnya sumberdaya manusia nelayan

dan pembudidaya ikan, sarana dan prasarana yang masih terbatas, teknologi

penangkapan yang masih tradisional, lemahnya permodalan serta adanya oknum

masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang tidak terkendali.15 Selain itu,

potensi tindak pidana di bidang perikanan, dapat tejadi di wilayah hukum

Kabupeten Bantul seperti melakukan penangkapan ikan dengan alat setrum,

menggunakan kapal motor yang tidak mempunyai izin dan berbagai tindak pidana

di bidang perikanan lainnya. Oleh karena itu tindak pidana di bidang perikanan

perlu ditanggulangi agar dampaknya tidak meluas dan pembangunan sumber daya

ikan dapat dilaksanakan dengan asas berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Tindak pidana di bidang perikanan pada dasarnya merupakan sebuah

perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana oleh Moeljatno

didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana.16 Teguh Prasetyo mendefinisikan tindak pidana (delict)

ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukum

pidana.17 Tindak pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah

15 Hasil wawancara pra penelitian dengan MF. Susilartati, S.Pi, MMA, Kasie. Bidang Pengawasan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, tanggal 13 Maret 2012 di Bantul.16 Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 2.17 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo, Jakarta, hlm 16

Page 10: Skripsi Perikanan15

10

diubah oleh 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 100 dan

Pasal 103. Bertolak dari latar belakang tersebut penulis tertarik mengadakan

penelitian untuk penulisan hukum dengan judul : “ PENANGGULANGAN

TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN DI WILAYAH HUKUM

KABUPATEN BANTUL”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka penulis

perlu untuk merumuskan masalah permasalahan yang akan dibahas dalam

penulisan hukum ini. Masalah yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini

adalah :

1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan

yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Bantul?

2. Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana di

bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Objektif:

Penelitian ini bertujuan untuk :

Page 11: Skripsi Perikanan15

11

a. Untuk mengetahui penegakan hukum tindak pidana di bidang

perikanan di wilayah hukum Kabupaten Bantul.

b. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan dalam mencegah

tindak pidana di bidang perikanan di wilayah hukum Kabupaten

Bantul.

2. Tujuan Subjektif:

Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap, akurat dan

dibutuhkan untuk menyelesaikan penulisan hukum yang merupakan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat baik secara akademis

(bagi ilmu pengetahuan) maupun secara praktis (bagi pembangunan), yaitu

sebagai berikut:

1. Kegunaan akademis / ilmu pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa

sumbangan pemikiran dan manfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan, khususnya di bidang Hukum Pidana yang mengkaji

tentang tindak pidana di bidang perikanan.

Page 12: Skripsi Perikanan15

12

2. Kegunaan Praktis / Pembangunan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran lebih jelas

tentang penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah

hukum Kabupaten Bantul, serta sebagai acuan dan masukan bagi

instansi terkait, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi

DIY, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul dan Ditpolair

Polda DIY.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Penulis, memang telah ada

beberapa penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan

(illegal fisihing). Penulisan hukum yang ditulis oleh Philo Dellano dari Fakultas

Hukum Universitas Negeri Surakarta, pada tahun 2009 dengan judul penulisan

“Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1202

k/pid/2005 tentang Permohonan Kasasi oleh Terdakwa Winai Nakprasit dan

Sawong Tiectakun Dalam Perkara Illegal Fishing”. Rumusan masalah yang

dibahas adalah :

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam

memeriksa dan memutus permohonan kasasi terdakwa Winai Nakprasit dan

Sawong Tiectakun dalam perkara Illegal Fishing?

Page 13: Skripsi Perikanan15

13

2. Apakah masih dimungkinkan terdakwa Winai Nakprasit dan Sawong

Tiectakun untuk mengajukan upaya hukum terhadap putusan kasasi dalam

perkara Illegal Fishing?

Kesimpulan penulisan tersebut menyatakan bahwa alasan kasasi yang

diajukan oleh Terdakwa I Winai Nakprasit dan Terdakwa II Sawong Tiectakun

tidak dapat diterima oleh Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hakim

Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut mempunyai dasar pertimbangan

berdasarkan Pasal 106 Undang- Undang No.31 tahun 2004 Tentang Perikanan

menyebutkan bahwa “selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain

pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara

tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan

perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili,

dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang berwenang”. Dengan dasar hukum

dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

tersebut, maka Pengadilan Negeri Padang berhak untuk memeriksa dan mengadili

perkara ini.

Winai Nakprasit dan Sawong Tiectakun juga masih dimungkinkan untuk

mengajukan upaya hukum terhadap putusan kasasi dalam perkara illegal fishing,

yaitu peninjauan kembali. Hal ini berdasarkan pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP

yaitu “terhadap putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap,

kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli

Page 14: Skripsi Perikanan15

14

warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah

Agung.

Penulisan berikutnya adalah tesis yang ditulis oleh Amalia Diamantina

dari Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, pada tahun 2001

dengan judul penulisan “Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan”.

Rumusan masalah yang dibahas adalah :

1. Bagaimanakah pelaksanaan penerapan hukum pidana di bidang perikanan?

2. Bagaimana peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Perikanan

dalam penerapan hukum pidana di bidang perikanan?

3. Kebijakan apa yang mungkin dapat diterapkan dalam mengatasi hambatan-

hambatan yang muncul dalam penerapan hukum pidana di bidang perikanan?

Kesimpulannya penegakkan hukum pidana di bidang perikanan masih

cenderung tidak konsisten dalam mekanisme, baik prosedural maupun proses di

lapangan. Sebagai contoh, adanya tumpang tindih kewenangan (kompetensi)

dalam hal penyidikan antar lembaga, dan akhirnya mempunyai dampak-dampak

yang menjadi penghambat penegakan hukum itu sendiri. Disamping itu peran

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di dalam prakteknya tidak berjalan dengan

sebagaimana mestinya. PPNS Dinas Perikanan lebih “terlihat” sebagai

pendamping penyidik TNI AL yang bersifat teknis dan cenderung tidak

menjalankan fungsi sebagai ahli dalam proses peradilan di bidang perikanan.

Maka dari itu perlu adanya kebijakan-kebijakan baru yang lebih menitikberatkan

pada batasan-batasan kewenangan dalam penyidikan dan mekanisme yang harus

dilalui dalam penegakan hukum di bidang perikanan.

Page 15: Skripsi Perikanan15

15

Walaupun telah ada penulisan mengenai tindak pidana di bidang perikanan

(illegal fishing), namun terdapat perbedaan mengenai obyek dan sudut pandang

yang akan diteliti oleh penulis. Adapun yang menjadi sudut pandang yang akan

diteliti penulis adalah penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan (illegal

fishing) dan objek penelitian yang akan diteliti penulis adalah di wilayah hukum

Kabupaten Bantul.

Terhadap penulisan yang pertama, yang dilakukan oleh Philo Dellano.

Fokus utama yang menjadi objek penelitian Philo Dellano adalah Putusan

Mahkamah Agung yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan

(illegal fishing) dan sudut pandang penelitiannya adalah Analisis Yuridis Dalam

Sebuah Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Illegal Fishing. Apabila

melihat objek penelitian dan sudut pandang penelitian, maka terlihat perbedaan

antara penulisan tersebut dengan penulisan hukum yang akan dilakukan oleh

penulis. Sudut pandang penelitian Phillo Dellano lebih menyoroti tentang analisis

yuridis dalam sebuah produk hukum (putusan) mengenai tindak pidana di bidang

perikanan (illegal fishing), sedangkan sudut pandang penulis lebih

menitikberatkan pada upaya penanggulangannya, yakni upaya penanggulangan

bagi tindak pidana di bidang perikanan (illegal fishing). Objek penelitian penulis

berada di wilayah hukum Kabupaten Bantul.

Terhadap penulisan kedua yang dilakukan oleh Amalia Diamantina.

perbedaan terdapat pada peraturan tentang tindak pidana di bidang perikanan yang

masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.

Undang-Undang tersebut sekarang sudah tidak diberlakukan lagi dan digantikan

Page 16: Skripsi Perikanan15

16

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana

telah diubah oleh 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan. Amalia Diamantina dalam penelitiannya

mempunyai sudut pandang dari penegakan hukum, yakni penegakan hukum di

bidang perikanan dan objek penelitiannya di Jawa Tengah. Berbeda dengan

penelitian yang akan diteliti oleh penulis yang menyoroti upaya penanggulangan,

yakni upaya penanggulangan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dan

objek penelitian penulis berada di wilayah hukum Kabupaten Bantul. Tidak

terdapat kesamaan objek penelitian antara penulisan tersebut dengan penulisan

yang dilakukan oleh penulis.

F. Tinjauan Pustaka

Pengertian Perairan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor

45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan pada Pasal 1 ayat (20) adalah laut teritorial Indonesia beserta

perairan kepulauan dan perairan kedalamannya. Melihat unsur dalam pasal

tersebut sebenarnya masih mengacu dari Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah

disahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan

Konvensi Hukum Laut, dimana wilayah Indonesia di laut yang berada di bawah

kedaulatan penuh negara, terdiri atas:18

18 Rizald M.Rompas, Op.cit, hlm 144.

Page 17: Skripsi Perikanan15

17

1. Perairan PedalamanPerairan yang terletak pada perairan kepulauan, dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh tanpa harus memberikan hak lintas kepada kapal-kapal asing;

2. Perairan KepulauanPerairan yang berada di sebelah dalam dari garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia juga meliputi ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya, serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, baik hayati maupun non-hayati. Di bagian laut ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai dan hak lintas alur-alur kepulauan bagi kapal-kapal asing;

3. Laut TeritorialJalur laut dengan lebar 12 mil yang terletak di sebelah luar dari garis-garis pangkal lurus kepulauan. Kedaulatan Indonesia di laut teritorial meliputi juga ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Di laut teritorial, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengakui hak lintas damai bagi kapal-kapal asing.

Perairan pada umumnya terbagi dalam dua jenis. Pertama, perairan yang

berada di lautan luas yang disebut sebagai perairan laut, contohnya air laut yang

berada di laut. Kedua, semua bentuk perairan yang terdapat di darat yang disebut

sebagai perairan darat (inland water) misalnya muara sungai, sungai (river),

danau (lake), rawa (swamp), dan badan air buatan lainnya (waduk, situ buatan,

dan embung).19

Perikanan adalah potensi sumber daya alam perairan dan kelautan yang

paling besar. Definisi perikanan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 45

Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan dalam Pasal 1 ayat (1) adalah semua kegiatan yang berhubungan

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai

19 Agus Dermawan, 2009, Pedoman Penilaian Kerusakan Habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta, hlm 11.

Page 18: Skripsi Perikanan15

18

dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang

dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Jenis perikanan di Indonesia sangatlah bervariasi terdiri dari kelompok

jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil dan kelompok ikan pelagis (besar dan

kecil).20 Kelompok jenis ikan pelagis besar terdiri dari jenis tuna seperti

madidihang (Thunus Albacares), albakora (Thunus Alalunga), tuna mata besar

(Thunus Obesus) dan tuna sirip biru selatan (Thunus Macoyyi). Untuk jenis ikan

pelagis kecil diantaranya berupa cakalang (Katsowonus pelamis), tongkol, tongkol

kecil (Auxis thazard), kembung, bonito.

Penyebaran madidihang dan tuna mata besar hampir di seluruh wilayah

lautan Indonesia dan untuk jenis ikan pelagis kecil tersebar di seluruh wilayah

perairan Indonesia. Disamping itu terdapat jenis kelompok ikan pelagis (besar dan

kecil) terdiri dari udang, lobster ,cumi-cumi dan juga berbagai ikan karang, hal ini

yang menjadi tangkapan para nelayan pada umumnya. Ikan pelagis ini hidup pada

kedalaman laut sekitar 200 meter, dan biasanya hidup secara berkelompok.

Melihat potensi sumber daya ikan yang cukup besar di Indonesia, secara

otomatis terdapat pihak-pihak yang melakukan kegiatan pengelolaan,

pemanfaatan serta menjalankan bisnis di bidang perikanan ini. Dalam

perkembangannya di Indonesia, pelaku pengelolaan tersebut pada umumnya tidak

peduli dengan peraturan perundang-undangan dalam melakukan pengelolaan dan

pemanfaatan atas sumber daya ikan ini, khususnya pihak-pihak yang menjalankan

kegiatan bisnis di bidang perikanan. Mereka hanya memikirkan dari segi

ekonominya saja tanpa memenuhi syarat-syarat kelengkapan kegiatan bisnis di

20 Rizald M.Rompas, Loc.cit.

Page 19: Skripsi Perikanan15

19

bidang perikanan yang bertujuan menjaga keberlangsungan sumber daya ikan itu

nantinya.

Adapun syarat-syarat untuk melakukan kegiatan bisnis perikanan, diatur

dalam Pasal 1 ayat (16) sampai dengan ayat (18) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 tentang Perikanan:21

1. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)Izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut;

2. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penagkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP; dan

3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan.

Aktivitas tindak pidana di bidang perikanan telah menimbulkan kerugian

bagi Negara Indonesia, sebagai contoh kasus dengan menggunakan trawl (pukat

biasa yang ditarik satu kapal) dan pair trawl (jaring trawl yang ditarik oleh dua

kapal) berbendera asing. Disamping itu ada juga yang berbendera merah-putih

tetapi dokumennya palsu. Ikan hasil tangkapan illegal yang dibongkar dan

dipindahkan di perbatasan laut Indonesia dengan negara tetangga.22

Tindak pidana di bidang perikanan dalam dunia internasional dikenal

dengan IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) artinya

penangkapan ikan secara tidak sah (Illegal), tidak dilaporkan (Unreported) atau

21 Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 37.22 Rizald M.Rompas, Op.cit, hlm 133.

Page 20: Skripsi Perikanan15

20

yang belum dan tidak diatur (Unregulated) di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Republik Indonesia (WPP-RI).23 Dalam pengertian yang lebih sederhana tindak

pidana di bidang perikanan (Illegal Fishing) dapat diartikan sebagai kegiatan

perikanan yang melanggar hukum.

Pemerintah dalam menjaga kelestarian, kemudahan dan pengawasan

terhadap tindak pidana di bidang perikanan (Illegal, Unreported and Unregulated)

telah memetakan potensi sumberdaya perikanan tangkap di laut Indonesia dalam

sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Wilayah itu meliputi24:

WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), WPP 572 (Samudera Hindia Barat Sumatra dan Selat Sunda), WPP 573 (Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara), WPP 711 (Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali), WPP 714 (Laut Banda), WPP 715 (Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor), WPP 16 (Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Laut Seram), WPP 717 (Laut Sulawesi dan Laut Halmahera), dan WPP 718 (Samudera Pasifik).

Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 5 ayat

(1), yang meliputi: perairan Indonesia, ZEEI dan sungai, danau, waduk, rawa, dan

genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang

potensial di wilayah Republik Indonesia. Pasal 5 ayat (2) juga menyebutkan

bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik

Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang

diterima secara umum.

23 Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU FISHING) menurut RFMOs kegiatan penangkapan ikan yang tidak sesuai aturan RFMOs , lembar sosialisasi Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011.24.Rizald M.Rompas, Op.cit, hlm 74.

Page 21: Skripsi Perikanan15

21

Melihat perkembangan tindak pidana di bidang perikanan yang semakin

meningkat dan beragam, maka perlu penanggulangan yang dilakukan oleh

pemerintah maupun masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa kebijakan

penanggulangan tindak pidana (criminal policy) dapat di tempuh melalui tiga

cara, yaitu:25

1. Criminal law application (Penerapan hukum pidana)

2. Prevention without punishment (Pencegahan tanpa pidana)

3. Influencing views of society on crimeand punishment (Mempengaruhi

pandangan masyarakat mengenai tindak pidana dan pemidanaan lewat

media massa)

Kebijakan penanggulangan tindak pidana termasuk dalam bidang

“kebijakan kriminal” (criminal policy) dan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua)

macam, yaitu kebijakan penaggulangan tindak pidana dengan menggunakan

sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana

dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy). Pada

dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah

terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan

pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.26 Kebijakan

kriminal ini berkaitan dengan kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial”

(social policy) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan

25 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 17.26 Ibid

Page 22: Skripsi Perikanan15

22

sosial” (social welfare policy) dan “kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan

masyarakat” (social defence policy). 27

Penanggulangan tindak pidana di bidang perikanan tidak hanya menjadi

tugas dari negara, meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kejaksaan,

Kepolisian, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan lain sebagainya, tetapi

masyarakat pun dapat diikutsertakan melalui kelompok-kelompok masyarakat

sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan Pasal 67 yang menyatakan bahwa masyarakat dapat diikutsertakan

dalam membantu pengawasan perikanan.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan penelitian hukum ini, peneliti akan menggunakan

gabungan antara jenis penelitian hukum normatif dengan jenis

penelitian hukum empiris. Masing-masing tipe penelitian tersebut

digunakan sesuai dengan kebutuhannya. Penelitian hukum empiris

dilakukan melalui studi lapangan yang dilakukan menggunakan metode

wawancara dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada

narasumber yang berkompeten dan terkait dengan masalah yang diteliti

(objek yang diteliti). Penelitian hukum normatif dilakukan dengan

27 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, hlm. 77

Page 23: Skripsi Perikanan15

23

mengumpulkan data sekunder baik berupa bahan hukum primer,

sekunder, maupun tersier.

2. Data Penelitian

Untuk melengkapi data dan informasi yang dibutuhkan dalam

penelitian, penulis menggunakan 2 jenis data yaitu:

a. Data Primer

Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung

dari sumber yang didapat melalui penelitian lapangan dan mencari

data-data diperoleh langsung dari objeknya. Hasilnya berupa hasil

wawancara dan data-data yang berhubungan dengan penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung

dari objeknya melainkan diperoleh dari studi pustaka dan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas. Data sekunder digolongkan dari sudut kekuatan

mengikatnya terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier.

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan

berkaitan erat dengan masalah yang diteliti, meliputi :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Page 24: Skripsi Perikanan15

24

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana.

d) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan.

e) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004

tentang Perikanan.

f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem

Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

g) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

h) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 tentang

Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

i) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang

Konservasi Sumber Daya Ikan.

j) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.

58/MEN/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem

Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan

Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.

k) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi

Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.

Page 25: Skripsi Perikanan15

25

l) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005

tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di

Bidang Perikanan.

m) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.10/MEN/2007 tentang Pemberian Uang Insentif

kepada Aparat Penegak Hukum dan Pihak-pihak yang

Berjasa Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Perikanan.

n) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor 16 Tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta Tahun 2011-2030.

o) Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor

6 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan dan Usaha

Kelautan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

p) Instruksi Bupati Nomor 10/B/INST/BT/1985 tentang

Larangan Mengambil Ikan dengan Menggunakan Alat-

Alat yang Mengandung Racun atau dengan Bahan atau

Obat yang Dapat Mematikan dan Memusnahkan.

q) Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 1 Tahun 2012

tentang Tempat Pelelangan Ikan.

Page 26: Skripsi Perikanan15

26

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer, dan atau

yang memberikan pemaparan-pemaparan yang terkait dengan

rumusan masalah, yang meliputi :

a) Buku-buku tentang hukum pidana.

b) Buku-buku tentang hukum perikanan.

c) Buku-buku tentang laut dan perairan.

d) Bahan-bahan acuan lain yang relevan dengan rumusan

masalah, baik dalam bentuk mekanik (hard file) maupun

elektronik (soft file).

3) Bahan hukum tersier, meliputi bahan-bahan ilmiah yang

menunjang atau memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder, yang bersumber dari :

a) Kamus umum.

b) Kamus bahasa hukum.

c) Kamus besar bahasa Indonesia.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Kabupaten Bantul, yakni:

Page 27: Skripsi Perikanan15

27

a. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

b. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul.

c. Kepolisian Perairan di wilayah hukum Kabupaten Bantul.

d. Dewan Pinpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia

(DPC-HNSI) Kabupaten Bantul.

4. Narasumber Penelitian

Narasumber merupakan sumber data yang diharapkan dapat diperoleh

berdasarkan pengetahuan melalui wawancara. Adapun narasumber yang

akan ditemui penulis adalah:

a. Kepala Bidang Pengawasan Perikanan Dinas Kelautan dan

Perikanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Kepala Bidang Pengawasan Perikanan Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Bantul.

c. Kepala Kepolisian Perairan di wilayah hukum Kabupaten

Bantul.

d. Ketua Dewan Pinpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh

Indonesia (DPC-HNSI) Kabupaten Bantul.

5. Alat Pengumpul Data

Page 28: Skripsi Perikanan15

28

Pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi

dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan

wawancara atau interview.28

Alat pengumpul data primer dalam penelitian ini berupa

wawancara. Dalam pelaksanaan wawancara dibuat pedoman

wawancara dan daftar pertanyaan sehingga hasil wawancara relevan

dengan masalah yang diteliti.

Adapun dalam pengumpulan data sekunder, penulis

mempergunakan studi dokumen atau studi pustaka. Studi pustaka

adalah mengumpulkan data dengan mempelajari kepustakaan dan

peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan objek

penelitian.

6. Analisis Data

Setelah proses pengumpulan data selesai, kemudian data-data tersebut

dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dan kualitatif.

a) Analisis Deskriptif

Menggambarkan kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian,

selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian dihubungkan

dengan teori-teori yang didapat dari kepustakaan untuk kemudian

disampaikan sehingga diperoleh gambaran dan jawaban mengenai

permasalahan yang ada.

28 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Penerbit Universitas Indoensia, Jakarta, hlm. 21.

Page 29: Skripsi Perikanan15

29

b) Analisis Kualitatif

Pengambilan data yang tidak berwujud dengan angka-angka, atau

tidak dihitung dengan menguraikan data secara sistematik,

sehingga diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab

permasalahan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Page 30: Skripsi Perikanan15

30

Dahuri, Rokhmin, dkk.,1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta

Dermawan, Agus, 2009, Pedoman Penilaian Kerusakan Habitat Sumberdaya Ikan di Perairan Daratan, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut dan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Jakarta.

Kelompok Kerja Penyelarasan Data Kelautan dan Perikanan, 2011, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.

_________, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana cetakan 27, PT Bumi Aksara, Jakarta

M.Rompas, Rizald, 2011, Membangun Laut, Membangun Kejayaan, Dulu, Kini dan Masa Depan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), Jakarta.

Natabaya, H.A,S, 1995 Laporan Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan Di Perairan Nasional Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta.

Prasetyo, Teguh, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Penerbit Universitas Indoensia, Jakarta.Supriadi dan Alimuddin, 2011, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Syamsuddin, Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data Sarana Penangkapan ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Tim Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan Tangkap, 2010, Data SDM-Nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Page 31: Skripsi Perikanan15

31

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Huku Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)

Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073)

C. Internet

Disdukcapil Kab. Bantul, “Sekilas Kabupaten Bantul”, http://bantulkab.go.id/pemerintahan/sekilas_kabupaten_bantul.html, diakses Kamis, 8 Maret 2012.

Noula M.M. Pangemanan, “Implementasi Code of Conduct Renspobility Fisheries Dalam Menanggulangi Illegal, Unreported, Unregulated Fishing di Zona Ekonomi Ekskulsif Indonesia”, http://www.pt-palu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119&Itemid=156, diakses Kamis, 29 Maret 2012

Rizal, “Kerugian Negara di Sektor Perikanan Capai Rp 218 Triliun”, http://preview.detik.com/detiknews/read/2011/08/05/193407/1697777/10/kerugian-negara-di sektor-perikanan-capai-rp-218-triliun, diakses Rabu, 14 Maret 2012.

D. Karya Ilmiah

Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan tentang Penagkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara, 2008), Sinopsis Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, Tahun 2009, Jakarta, hlm 2.

Page 32: Skripsi Perikanan15

32

Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU FISHING) menurut RFMOs kegiatan penagkapan ikan yang tidak sesuai aturan RFMOs , lembaran sosialisasi Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011