skripsi - digilib.uns.ac.id/pember...pemberian auksin (2,4-d) dan sitokinin (bap) sebagai pemacu...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
SKRIPSI
PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI
PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata)
SECARA IN VITRO
Oleh
Martha Dwi Jayanti
H0708125
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI
PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata)
SECARA IN VITRO
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagaian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Oleh
Martha Dwi Jayanti
H0708125
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
SKRIPSI
PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI
PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata)
SECARA IN VITRO
Martha Dwi Jayanti
H0708125
Pembimbing Utama: Pembimbing Pendamping
Dr. Samanhudi, SP, MSi Dr. Ir. Parjanto, MP
NIP. 19680610 199503 1003 NIP. 19620323 198803 1001
Surakarta, September 2012
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS
NIP. 195602251986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
SKRIPSI
PEMBERIAN AUKSIN (2,4-D) DAN SITOKININ (BAP) SEBAGAI
PEMACU PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata)
SECARA IN VITRO
yang dipersiapkan dan disusun oleh
Martha Dwi Jayanti
H0708125
telah dipertahankan di depan Tim Penguji
pada tanggal: 4 September 2012
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Agroteknologi
Susunan Tim Penguji
Ketua Anggota I Anggota II
Dr. Samanhudi, SP, MSi Dr. Ir. Parjanto, MP Ir. Sri Nyoto, MS
NIP. 19680610 199503 1003 NIP. 19620323 198803 1001 NIP. 19570803 198503 1001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pemberian Auksin
(2,4-D) Dan Sitokinin (BAP) Sebagai Pemacu Pembentukan Kalus Mabai
(Pongamia pinnata) Secara In Vitro”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan, bimbingan
dan dukungan berbagai pihak, sehingga penulis tak lupa mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Samanhudi, SP, MSi selaku Pembimbing Utama dan Pembimbing
Akademik yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, serta masukan
untuk kelancaran penulisan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Parjanto, MP selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan
masukan, pengarahan, serta saran demi lebih baiknya skripsi ini.
5. Ir. Sri Nyoto, MS selaku Dosen Pembahas yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Keluarga yang saya sayangi, ibunda Sri Wahyuni, ayahanda Drs. Kasidi, MSi,
Erna Budhiarti, Septarini Nawangsih, dan Ainun Hidayah yang telah
memberikan dukungan baik materi, semangat, maupun doa.
7. Anung Nugroho, Sekar Utami Putri, Syariffah Nur Aini, serta teman-teman
Gocelu dan Solmated yang telah memberikan doa dan semangat yang luar
biasa.
8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat dan wawasan, serta pengetahuan baru bagi
kita semua.
Surakarta, September 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
RINGKASAN
PEMBERIAN AUKSIN (2,4 D) dan SITOKININ (BAP) SEBAGAI PEMACU
PEMBENTUKAN KALUS MABAI (Pongamia pinnata) SECARA IN VITRO.
Skripsi: Martha Dwi Jayanti (H0708125). Pembimbing: Samanhudi, Parjanto, Sri
Nyoto. Program Studi: Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
(UNS) Surakarta.
Ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar fosil dapat menyebabkan
pemanasan global. Oleh karena itu, perlu adanya bahan bakar alternatif seperti mabai
untuk mengurangi dampak buruk dari penggunaan bahan bakar fosil tersebut. Mabai
memiliki keunggulan tersendiri dalam hal penyediaan bahan baku biodisel karena
mudah tumbuh dan tahan kekeringan, tidak menjadi kompetitor dengan minyak
makan, proses ekstraksi minyaknya mudah, serta ramah lingkungan. Penyediaan bibit
dalam jumlah banyak dan waktu singkat perlu dilakukan dengan menggunakan teknik
in vitro dengan menambahkan 2,4-D dan BAP. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan konsentrasi 2,4-D dan BAP yang paling tepat dalam pembentukan kalus
mabai pada kultur in vitro.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan
Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta mulai
November 2011 sampai Juli 2012, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktorial dengan dua faktor perlakuan dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah
konsentrasi 2,4-D dengan 4 taraf: 0.25, 0.5, 0.75, 1 ppm dan faktor kedua adalah
konsentrasi BAP dengan 5 taraf: 0, 0.5, 1, 1.5, 2 ppm. Data hasil pengamatan
dianalisis dengan uji F taraf 5%. Jika terdapat beda nyata, maka dilanjutkan dengan
DMRT taraf 5%. Apabila terdapat data yang tidak dapat dihitung dengan statistik
maka dianalisis secara deskriptif. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara
lain: saat muncul kalus, tekstur kalus, warna kalus, saat muncul tunas, tinggi tunas,
panjang akar, dan jumlah daun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara 2,4-D dan
BAP. Perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm menginduksi kalus dengan waktu
tercepat (10 HST). Empat perlakuan yang menghasilkan kalus memiliki tekstur kalus
yang kompak. Perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 1,5 ppm menghasilkan warna
kalus hijau. Saat muncul tunas tercepat diperoleh dari perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan
BAP 0 ppm. Perlakuan A3B4 memberikan hasil tinggi tunas terbaik (3,4 cm).
Perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 1 ppm memberikan rerata panjang akar yang
paling tinggi (4 cm). Perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 1 ppm menghasilkan daun
dengan rerata jumlah tertinggi (3 daun).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
SUMMARY
APPLICATION OF AUKSIN (2,4-D) AND CYTOKININ (BAP) AS INDUCER
OF MABAI (Pongamia pinnata) CALLUS BY IN VITRO. Thesis. Martha Dwi
Jayanti (H0708125). Advisers: Samanhudi, Parjanto, Sri Nyoto. Study program:
Agrotechnology, Faculty of Agriculture, University of Sebelas Maret (UNS)
Surakarta.
Human depends of fossil fuels can cause global warming. Therefore, the need
for alternative fuels such as mabai can reduce the harm from the use of fossil fuels.
Mabai has its own advantages in terms of raw material supply biodiesel because it is
easy to grow and drought resistant, do not be a competitor with edible oil, the oil
extraction process is easy, and good for environment. Provision of seeds in large
quantities in a short time needs to be done by using the technique in vitro by adding
2,4-D and BAP. This study aims to obtain the concentration of 2,4-D and BAP that
most appropriate in the formation of callus mabai in vitro culture.
This research was held in Plant Physiology and Biotechnology Laboratory of
Agriculture Faculty, University of Sebelas Maret Surakarta from November 2011
until July 2012. It used factorial design with two factors and repeated for three times
based on Completely Randomized Design. The first factor was 2,4-D concentrations
with four levels: 0.25, 0.5, 0.75, 1 ppm and the second factor was BAP concentrations
with five levels: 0, 0.5, 1, 1.5, 2 ppm. The observation data were analyzed with
analysis of variance and if significant continued with DMRT test at 5% level. If there
was a data that could not be calculated, it would be analyzed using descriptive
statistics. Variables which are observed in this research are: when callus was induced,
callus texture, callus color, induced shoot, shoot high, root length, and the total of
leave.
The results showed that there was no interaction between 2,4-D and BAP.
Treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 0 ppm BAP induced callus with the fastest time (10
DAP). Four treatments that produce callus has a compact texture. Treatment of 2,4-D
0.75 ppm to 1.5 ppm BAP produced green callus. The shoots emerge fastest obtained
from the treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 0 ppm BAP. Treatment A3B4 gave you the
best budding high yield (3.4 cm). Treatment of 2,4-D 0.25 ppm and 1 ppm BAP
obtained the average of the highest root length (4 cm). Treatment of 2,4-D 0.25 ppm
and 1 ppm BAP produced the highest number of leaves with a mean (3 leaves).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
RINGKASAN ..................................................................................................... xii
SUMMARY ..........................................................................................................xiii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
A. Tanaman Mabai (Pongamia pinnata) ..................................................... 4
B. Kultur Jaringan ..................................................................................... 5
C. Media MS ................................................................................................ 7
D. Auksin dan Sitokinin ............................................................................... 8
E. Kalus ....................................................................................................... 10
F. Hipotesis .................................................................................................. 11
III. METODE PENELITIAN .............................................................................. 12
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 12
B. Bahan dan Alat Penelitian ....................................................................... 12
C. Perencanaan Penelitian dan Analisis Data .............................................. 12
D. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................... 14
E. Pengamatan Peubah ................................................................................ 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 17
A. Saat Muncul Kalus .................................................................................. 17
B. Tekstur Kalus .......................................................................................... 19
C. Warna Kalus ............................................................................................ 20
D. Saat Muncul Tunas .................................................................................. 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
E. Tinggi Tunas ........................................................................................... 24
F. Panjang Akar ........................................................................................... 26
G. Jumlah Daun ........................................................................................... 27
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 30
A. Kesimpulan ............................................................................................. 30
B. Saran ........................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31
LAMPIRAN ........................................................................................................ 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul dalam Teks Halaman
1. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap saat
muncul kalus (HST) pada kultur in vitro mabai .......................................... 18
2. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap
tekstur kalus pada kultur in vitro mabai ....................................................... 19
3. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap
warna kalus pada kultur in vitro mabai ........................................................ 21
4. Rerata saat muncul tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara
in vitro .......................................................................................................... 22
5. Rerata tinggi tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in
vitro .............................................................................................................. 25
6. Rerata panjang akar mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in
vitro .............................................................................................................. 26
7. Rerata jumlah daun mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in
vitro .............................................................................................................. 28
Nomor Judul dalam Lampiran Halaman
8. Hasil pengamatan saat muncul kalus (HST) ................................................ 34
9. Hasil pengamatan tekstur kalus (60 HST) ................................................... 35
10. Hasil pengamatan warna kalus (60 HST) .................................................... 36
11. Hasil pengamatan saat muncul tunas (HST) ................................................ 37
12. Hasil pengamatan tinggi tunas (60 HST) ..................................................... 38
13. Hasil pengamatan panjang akar (60 HST) ................................................... 39
14. Hasil pengamatan jumlah daun (60 HST) .................................................... 40
15. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul kalus ............................. 41
16. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tekstur kalus ..................................... 41
17. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap warna kalus ...................................... 41
18. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul tunas ............................. 42
19. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tinggi tunas....................................... 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
20. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap panjang akar ..................................... 42
21. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap jumlah daun ..................................... 43
22. analisis uji DMRT 5% terhadap saat muncul tunas ..................................... 44
23. analisis uji DMRT 5% terhadap tinggi tunas ............................................... 44
24. analisis uji DMRT 5% terhadap panjang akar ............................................. 44
25. analisis uji DMRT 5% terhadap jumlah daun .............................................. 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul dalam Teks Halaman
1. Kalus mabai dengan tekstur kompak .............................................................. 20
2. Kalus putih pada perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm ....................... 22
3. Kalus hijau pada perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm ....................... 22
4. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap saat muncul tunas mabai (HST)
secara in vitro ................................................................................................. 23
5. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata tinggi tunas mabai secara in
vitro (60 HST) ................................................................................................ 25
6. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata panjang akar mabai secara in
vitro (60 HST) ................................................................................................ 27
7. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata jumlah daun mabai secara in
vitro (60 HST) ................................................................................................ 28
8. Daun yang mengalami kerontokan ................................................................. 29
Nomor Judul dalam Lampiran Halaman
9. Foto hasil penelitian mabai ............................................................................. 48
10. Foto akhir pengamatan penelitian mabai ...................................................... 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan dunia akan Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini terus bertambah
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan penggunaan barang dan alat
berbahan bakar minyak. Saat ini, kebutuhan bahan bakar masyarakat masih
tergantung pada bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui. Jika ketergantungan
ini terus berlanjut, maka persediaan akan bahan bakar fosil semakin lama akan
semakin berkurang dan dalam kurun waktu tertentu akan habis.
Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan menyebabkan
terjadinya pencemaran udara seperti timbulnya gas karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SOx) yang dapat
memacu terjadinya pemanasan global (Apriyanti 2010). Dengan adanya
permasalahan-permasalahan tersebut, maka perlu adanya suatu upaya untuk
mengurangi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan BBM yang
berlebihan tersebut, salah satunya adalah dengan menggunakan bahan bakar
alternatif.
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan
tanah yang subur sehingga banyak jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan mudah
disini. Selain itu, Indonesia juga kaya akan sumber daya alam hayati yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan dapat
diperbaharui seperti tanaman mabai (Pongamia pinnata).
Tanaman mabai merupakan jenis tanaman dari famili Fabaceae yang toleran
terhadap suhu tinggi hingga mencapai 50 oC. Tanaman ini dapat tumbuh pada
ketinggian 0-1200 m dpl dengan curah hujan rata-rata 500-2500 mm/tahun. Mabai
memiliki perakaran yang dalam dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi
Nitrogen dari udara karena tanaman ini merupakan jenis tanaman legume. Mabai
berperan dalam menyediakan dua sumber energi, yaitu: kayunya sebagai bahan bakar
dalam memasak, sedangkan minyak yang berasal dari bijinya dimanfaatkan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
penerangan. Dalam sebuah biji mabai terkandung minyak sebanyak 30-40% (Irwanto
2008). Oleh sebab itu, minyak dari biji mabai ini dapat juga digunakan sebagai bahan
baku energi altenatif. Dari beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai bahan
bakar nabati, tanaman mabai memiliki keunggulan tersendiri dalam hal penyediaan
bahan baku biodisel karena mabai mudah tumbuh dan tahan kekeringan, tidak
menjadi kompetitor dengan minyak makan, proses ekstraksi minyaknya mudah, serta
ramah lingkungan.
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perkembangbiakan tanaman secara
vegetatif dengan mengisolasi bagian tanaman dan menumbuhkannya pada media
buatan dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang terkontrol. Kultur jaringan
tanaman merupakan alternatif budidaya pertanian yang memungkinkan peningkatan
efektivitas dan produktivitas cara bertanam serta mempunyai beberapa keunggulan,
antara lain bibit yang dihasilkan melalui metode ini mempunyai sifat identik dengan
induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat, tidak
membutuhkan tempat yang luas, kesehatan dan kualitas bibit lebih terjamin, serta
kecepatan tumbuh bibit lebih cepat (Yunus et al. 2010).
B. Perumusan Masalah
Mabai merupakan tanaman yang memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan dan potensial untuk dibudidayakan dalam perkebunan terpadu karena
dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel, dan bahan-bahan kimia untuk obat
dan bioinsektisida. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan dalam rangka
penyediaan bibit. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan teknik
kultur jaringan. Dalam teknik ini, dilakukan percobaan menggunakan eksplan yang
berasal dari stek mikro tanaman mabai yang kemudian diinduksi untuk membentuk
kalus pada media dengan perlakuan pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan untuk dikaji
sebagai berikut:
1. Berapakah konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang paling tepat
dalam pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro?
2. Adakah interaksi penambahan auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap
pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan konsentrasi auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) yang paling tepat
dalam pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro.
2. Mengetahui interaksi penambahan auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap
pembentukan kalus mabai pada kultur in vitro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Mabai (Pongamia pinnata)
Tanaman mabai termasuk legum karena dapat memfiksasi nitrogen dari udara.
Klasifikasi tanaman mabai adalah: Domain: Eukaryota; Kingdom: Plantae;
Subkingdom: Viridaeplantae; Phylum: Magnoliophyta; Subphylum: Euphyllophytina;
Infraphylum: Radiatopses; Klas: Magnoliopsida; Subklas: Rosidae; Suborder:
Fabanae; Order: Fabales; Famili: Fabaceae; Genus: Pongamia; Spesies: pinnata (L.)
Pierre; Nama botani: Pongamia pinnata (Bisby et al. 2008).
Mabai tumbuh alami di hutan dataran rendah pada tanah berkapur dan batu
karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau dan sepanjang aliran dan sungai pasang
surut. Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah liat berpasir, tetapi akan
tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpal-gumpal. Sangat
toleran pada kondisi salinitas tinggi dan alkalinitas. Mabai berperan dalam
menyediakan dua sumber energi, yaitu: kayunya sebagai bahan bakar dalam
memasak, sedangkan minyak yang berasal dari bijinya dimanfaatkan untuk
penerangan. Kayunya juga menyediakan timber untuk lemari dan kereta beroda dan
pulp kertas. Minyaknya digunakan sebagai pelumas, dimanfaatkan dalam industri
penyamakan kulit tradisional di India, dan dalam pembuatan sabun, pernis dan cat
(Irwanto 2008).
Mabai dideskripsikan sebagai semak atau pohon bercabang melebar. Daun
menyirip gasal, merah muda saat muda, hijau tua mengkilap di atas dan hijau pudar
dengan urat menonjol di bawah saat tua; anak daun membulat telur, menjorong atau
melonjong. Perbungaan tandan dan berpasang-pasangan; mahkota bunga putih
sampai merah muda, ungu di dalam, berurat kecoklatan di luar; membulat telur
sungsang. Buahnya polong bertangkai pendek, menyerong-melonjong sampai
menjorong, tidak merekah bila masak, berbiji 1-2. Biji membulat telur (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman 2009).
4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Pongamia pinnata adalah tanaman yang cepat tumbuh di lahan yang marjinal
dan memiliki potensi sebagai sumber minyak yang tinggi. Hal ini dapat mendukung
kesesuaian tanaman ini untuk produksi minyak nabati dalam skala besar yang
diperlukan oleh industri biodiesel berkelanjutan. Keberhasilan masa depan Pongamia
pinnata sebagai sumber bahan baku berkelanjutan untuk industri biofuel tergantung
pada pengetahuan luas tentang genetika, fisiologi dan propagasi dari kacang-
kacangan ini. Dalam penelitian khusus, harus ditargetkan untuk memaksimalkan
penanaman yang berkaitan dengan biosintesis minyak (Scott 2008).
Dalam sebuah biji mabai, terkandung minyak sebanyak 30-40%. Oleh sebab
itu, minyak dari biji mabai ini dapat juga digunakan sebagai bahan baku energi
altenatif. Dari beberapa jenis tanaman yang digunakan sebagai bahan bakar nabati,
tanaman mabai memiliki keunggulan tersendiri dalam hal penyediaan bahan baku
biodisel karena mabai mudah tumbuh dan tahan kekeringan, tidak menjadi kompetitor
dengan minyak makan, proses ekstraksi minyaknya mudah, kandungan minyaknya
cukup tinggi, serta ramah lingkungan (Irwanto 2008).
Minyak biji mabai sebagai biofuel mempunyai sifat fisik yang hampir sama
dengan diesel konvensional. Gas emisi yang dihasilkan oleh biofuel lebih bersih
dibandingkan dengan diesel konvensional. Selain itu, biofuel tidak mengandung
campuran polyaromatik dan mengurangi emisi dan gas beracun. Biofuel mengurangi
kandungan sulfur yang dibutuhkan untuk penyulingan industri diesel. Di dalam
biofuel terdapat spesifikasi penting dalam membantu pelumasan diesel yang rendah
belerang. Spesifikasi titik api untuk biofuel lebih tinggi (> 550°C) dibandingkan
diesel minyak bumi (350°C) (Wardiyono 2011).
B. Kultur Jaringan
Bioteknologi di bidang pertanian telah berkembang pesat, salah satu
contohnya adalah kultur jaringan. Kultur jaringan tanaman merupakan teknik
menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel jaringan atau organ tanaman
dalam kondisi aseptis secara in vitro. Ciri teknik ini adalah kondisi kultur yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
aseptis, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap, dan
kondisi lingkungan kultur yang sesuai. Lingkungan yang sesuai dapat dipenuhi
dengan menentukan media tumbuh yang sesuai dan penempatan pada kondisi yang
terkendali berkaitan dengan intensitas dan periodisitas, cahaya, temperatur, dan
kelembaban serta keharusan sterilisasi (Mattjik 2005).
Budidaya in vitro merupakan suatu budidaya di atas media dengan nutrisi
dalam kondisi yang steril. Cara ini memiliki beberapa keunggulan seperti:
1. Jika suatu tanaman dewasa sulit diadakan perbanyakan in vivo, kerap kali masih
dapat diperbanyak secara in vitro.
2. Cloning in vitro dapat dikerjakan untuk memperoleh tanaman bebas pathogen
(virus, jamur). Dalam kondisi ini, cloning in vitro jauh lebih capat daripada
cloning in vivo.
3. Perbanyakan in vitro pada tanaman berbentuk herba dapat dijalankan sepanjang
tahun dan tidak tergantung musim, sedangkan perbanyakan in vivo sangat
dipengaruhi musim.
(Suryowinoto 1996).
Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama
disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan
yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen tambahan.
Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan
pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam
organik, metabolit dan ekstra tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan
ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter 1991).
Di dalam praktek kultur jaringan tanaman dikenal 6 kelompok zat pengatur
tumbuh, yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik (ABA), etilen dan retardan
(Wattimena et al. 1991). Perbandingan antara sitokinin dan auksin menentukan tipe
organogenesis dalam kultur jaringan. Keduanya baik sitokinin atau auksin, biasanya
digunakan untuk mendapatkan morfogenesis, meskipun rasio untuk mendapatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
akar atau tunas tidak selalu sama baik antar spesies atau genus tidak ada patokan yang
sama (Wardiyati 1998).
Untuk memecahkan masalah pengadaan bibit tanaman secara besar-besaran
dan penanaman secara masal dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen yang
semakin meningkat dapat dipenuhi dengan kultur in vitro. Di Negara-negara maju
seperti Jepang, Eropa, dan AS kultur aseptik telah umum digunakan sebagai sarana
perbanyakan tanaman terutama untuk tanaman buah-buahan (Purbiati dan
Triatminingsih 1992).
Problem utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan
yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu
tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan
preventif menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik.
Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif
membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali. Media juga dapat menjadi sebab
terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena dari kondisi medialah suatu sel dapat atau
tidak terdorong melakukan proses pembelahan dan pembesaran dirinya (Nugroho
1996).
C. Media MS
Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama
disebabkan oleh pengetahuan tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang
dikulturkan. Kebutuhan hara tersebut dipenuhi dalam suatu media. Komposisi media
yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media
yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu,
diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur
tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.Salah satu
medium untuk kultur jaringan tanaman adalah media Murashige dan Skoog (MS)
(Gunawan 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Komposisi media yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berbeda jenis
bahan kimia atau konsentrasinya. Perbedaan komposisis media dapat mengakibatkan
perbedaan pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang ditumbuhkan secara in
vitro. Media Murashige dan Skoog (MS) sering digunakan karena cukup memenuhi
unsur hara makro, mikro dan vitamin untuk pertumbuhan tanaman (Marlina 2004).
D. Auksin dan Sitokinin
Auksin dan sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
dalam kultur jaringan. Sitokinin dan auksin dalam keseimbangan yang tepat
berpengaruh terhadap proses organogenesis (Winarsih dan Priyono 2000).
Perbandingan konsentrasi sitokinin lebih besar dari auksin, maka hal ini akan
memperlihatkan stimulasi pertumbuhan tunas dan daun. Sebaliknya apabila sitokinin
lebih rendah dari auksin maka hal ini akan mengakibatkan stimulasi pada
pertumbuhan akar (Abidin 1990).
Sitokinin berperan sebagai perangsang pertumbuhan sel dalam jaringan yang
disebut eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas daun. Namun kadar sitokinin
yang optimal untuk pertumbuhan tunas, dapat menghambat pertumbuhan serta
pembentukan kalus. Sedangkan auksin berperan dalam merangsang pembelahan dan
pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan
pucuk-pucuk baru (Wetherell 1982).
Pada penelitian Setiawan (2010) disebutkan bahwa perlakuan BAP 1 ppm
pada yeast 2 g/l dan air kelapa 250 ml/l memberikan persentase kemunculan tunas
yang terbanyak yaitu 66,7% dengan pertumbuhan yang lambat. Sedangakan
perlakuan penggunaan BAP 0.5 ppm dengan penambahan yeast 2 g/l merupakan
konsentrasi yang paling baik dalam pembentukan panjang tunas tertinggi yaitu 5 mm.
Rata-rata saat muncul tunas tercepat eksplan lengkeng pada perlakuan pemberian
BAP 1 ppm dengan penambahan air kelapa 250 ml/l yaitu 29 HST.
IBA dan IAA memiliki sifat kimia lebih stabil dan mobilitasnya di dalam
tanaman rendah. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan pemakaian IBA dan IAA dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
lebih berhasil karena sifat kimianya yang mantap dan pengaruhnya yang lebih lama.
Sedangkan 2,4-D merupakan golongan auksin sintesis yang mempunyai sifat lebih
stabil daripada IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan
oleh sel atau pemanasan pada saat proses sterilisasi (Hendaryono dan Wijayani 1994).
Pengatur tumbuh dibutuhkan untuk menginduksi pembelahan sel. Senyawa
yang paling sering digunakan adalah asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan asam
naftalenasetat (NAA). Baik 2,4-D maupun NAA amat lambat diuraikan oleh sel
tumbuhan, dan stabil pada pemanasan dengan autoklaf. Sitokinin seperti kinetin atau
benziladenin kadang-kadang dibutuhkan bersama 2,4-D atau NAA untuk
mendapatkan pembentukan kalus yang baik (Wetter 1991).
Penelitian Widyarso (2010) menyebutkan bahwa penggunaan berbagai
konsentrasi BAP dan IBA maupun tanpa BAP dan IBA mampu membentuk kalus
pada eksplan lengkeng dengan warna putih kecoklatan, bertekstur intermediet, dan
berukuran sedang, tetapi belum mampu berdiferensiasi membentuk tunas. Sedangkan
perlakuan penggunaan BAP 0,5 ppm tanpa IBA merupakan konsentrasi yang paling
optimal dalam pembentukan jumlah tunas terbanyak 3 buah dan panjang tunas
tertinggi 8 mm.
Penambahan auksin dalam jumlah yang lebih besar, atau penambahan auksin
yang lebih stabil, seperti asam 2,4-D cenderung menyebabkan terjadinya
pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman.
Pemakaian zat pengatur tumbuh asam 2,4-D biasanya digunakan dalam jumlah kecil
dan dalam waktu yang singkat, antara 2-4 minggu karena merupakan auksin kuat,
artinya auksin ini tidak dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman (Hendaryono dan
Wijayani 1994).
Pada penelitian Setyaningrum (2010) telah disebutkan bahwa konsentrasi
BAP 2 ppm dan 2,4-D 0,25 ppm paling optimal untuk menginduksi kalus tanaman
Jatropha curcas L. secara in vitro. Sedangkan kombinasi perlakuan BAP 1 ppm tanpa
2,4-D mampu memunculkan akar pada 9 HST dengan jumlah 1 akar tunggal. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
kombinasi BAP 0,5 ppm dengan penambahan 2,4-D 0,25 ppm memberikan saat
muncul tunas tercepat yaitu 6 HST.
Penelitian Sitepu (2007) menyebutkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh
BAP pada kultur tunas stroberi menunjukkan pengaruh terhadap parameter umur
muncul akar dengan rataan tercepat pada B2 (3,27 hari), jumlah tunas dengan rataan
terbanyak pada B3 dan B4 (1,91 hari), jumlah akar dengan rataan terbanyak pada B4
(2.31 buah), jumlah daun dengan rataan terbanyak pada B3 (3,48 buah), berat eksplan
dengan rataan terberat pada B4 (1,44 g) namun tidak berpengaruh terhadap parameter
umur muncul tunas, umur muncul akar, tinggi tunas, panjang akar
E. Kalus
Kalus adalah sekumpulan sel amorphous (tidak berbentuk atau belum
terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel yang membelah terus menerus secara in
vitro atau di dalam tabung. Kalus dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar,
batang dan daun. Secara histologi, kalus berasal dari pembelahan berkali-kali sel-sel
parenkim di sekitar berkas pengangkut dan beberapa elemen penyusun berkas
pengangkut kecuali xilem. Dalam teknik kultur jaringan (in vitro), kalus dapat
diinduksi dengan menambahkan zat pengatur tumbuh yang sesuai pada media kultur,
misalnya auksin dan sitokinin yang disesuaikan. Induksi kalus dalam teknik kultur
jaringan tanaman diperlukan untuk memunculkan keragaman sel somatik di dalam
kultur in vitro dan meregenerasikan sel tersebut menjadi embrio somatik (Anonim
2010).
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in
vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel. Jika suatu eksplan ditanam pada
medium padat atau dalam medium cair yang sesuai, dalam waktu 2-4 minggu,
tergantung spesiesnya, akan terbentuk massa kalus yaitu suatu massa amorf yang
tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil
proliferasi sel-sel jaringan induk. Kalus dapat disub-kultur dengan cara mengambil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
sebagian kalus dan memindahkannya pada medium baru. Dengan sistem induksi yang
tepat kalus dapat berkembang menjadi tanaman yang utuh (planlet) (Yuwono 2008).
Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus
tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh
terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal
dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari
jenis sumber eksplan itu diambil, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau, atau
kuning kejingga-jingaan (Luri 2009).
Kultur kalus memiliki potensial morfogenetik yang bervariasi. Kalus yang
diperoleh dari beberapa jenis tanaman atau dari berbagai jenis eksplan seringkali
gagal beregenerasi membentuk tunas, atau hanya mampu membentuk akar, namun
bukan berarti tanaman tersebut tidak dapat diregenerasikan dari kalus rekalsitran,
tetapi hanya memerlukan medium, zat pengatur tumbuh serta lingkungan yang
memadai untuk proses regenerasinya. Kalus pada beberapa jenis tanaman
menghendaki waktu yang cukup lama untuk beregenerasi (Yunus et al. 2010).
F. Hipotesis
Penggunaan auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) dapat meningkatkan
pembentukan kalus mabai secara in vitro.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2011 sampai Juli 2012 di
Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: botol kultur,
bunsen, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC), petridish, pinset, scalpel, timbangan
analitik, plastik PP 0,3, botol semprot, karet gelang, magnetik stirer, beker glass,
erlenmeyer, pH meter, autoklaf, pipet ukur, rak kultur, labu takar, dan
thermoshaker.
2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: eksplan
dari stek mikro tanaman mabai, media Murashige and Skoog (MS), aquades,
chlorox, fungisida, bakterisida, spirtus, auksin (2,4-D), dan sitokinin (BAP).
C. Perancangan Penelitian dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun
secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor ke-1 mempunyai 4 taraf perlakuan,
sedangkan faktor ke-2 mempunyai 5 taraf perlakuan.
a. Faktor 1: Konsentrasi auksin (2,4-D) dengan 4 taraf perlakuan, yaitu:
A1 : 0,25 ppm
A2 : 0,5 ppm
A3 : 0,75 ppm
A4 : 1 ppm
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
b. Faktor 2: Konsentrasi sitokinin (BAP) dengan 5 taraf perlakuan, yaitu:
B0 : 0 ppm
B1 : 0,5 ppm
B2 : 1 ppm
B3 : 1,5 ppm
B4 : 2 ppm
Pada penelitian ini diuji 20 perlakuan faktorial :
A1B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 0 ppm
A1B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 0,5 ppm
A1B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 1 ppm
A1B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 1,5 ppm
A1B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,25 ppm dan sitokinin 2 ppm
A2B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 0 ppm
A2B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 0,5 ppm
A2B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 1 ppm
A2B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 1,5 ppm
A2B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,5 ppm dan sitokinin 2 ppm
A3B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 0 ppm
A3B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 0,5 ppm
A3B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 1 ppm
A3B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 1,5 ppm
A3B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 0,75 ppm dan sitokinin 2 ppm
A4B0 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 0 ppm
A4B1 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 0,5 ppm
A4B2 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 1 ppm
A4B3 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 1,5 ppm
A4B4 : Perlakuan konsentrasi auksin 1 ppm dan sitokinin 2 ppm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Analisis data dilakukan menggunakan Annova (Uji F) dengan taraf nyata 5%
untuk menguji pengaruh perlakuan dan Uji DMRT 5% untuk menguji perbedaan rata-
rata perlakuan. Data-data yang tidak memenuhi kaidah statistika dianalisis secara
deskriptif.
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Pembuatan Larutan Stok
Larutan stok dibuat dengan menimbang bahan-bahan kimia, hara makro,
maupun hara mikro sesuai komposisi media MS untuk dibuat larutan stok.
Kemudian bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquades dan diaduk sampai
homogen dengan magnetic stirer, kemudian dimasukkan dalam botol yang diberi
label pada tiap botolnya sesuai dengan perlakuan dan disimpan dalam lemari
pendingin.
2. Pembuatan Media Tanam
Pembuatan media tanam dilakukan dengan mengambil dan menakar
masing-masing larutan stok sesuai dengan perlakuan dan ukuran yang telah
ditentukan serta menambahkan Zat Pengatur Tumbuh sesuai perlakuan,
kemudian memasukkannya ke dalam labu takar. Bahan-bahan tersebut dilarutkan
dengan aquades sampai volume larutan mencapai 1 liter. Kemudian ditambahkan
gula sebanyak 30 g. Larutan dimasukkan dalam beker glass dan diaduk serta
dididihkan dengan menggunakan magnetic stirer dan hot plate.
Setelah itu dilakukan pengukuran pH larutan. pH media diatur pada
kisaran 5,8-6,2. Apabila pH terlalu rendah ditambahkan dengan NaOH dan bila
pH terlalu tinggi ditambahakan dengan HCl. Setelah pH telah sesuai, larutan
ditambahkan bahan pemadat media yaitu agar-agar sebanyak 8 g. Setelah semua
larutan terlarut, maka tahap selanjutnya adalah mendidihkan larutan tersebut,
kemudian menuangkan larutan tersebut ke dalam botol-botol kultur, kurang lebih
25 ml setiap botolnya. Botol ditutup dengan plastik PP, kemudian disterilisasi
dengan autoklaf pada suhu 121 oC, pada tekanan 1,5 kg/cm
3 selama 45 menit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Setelah selesai, botol diangkat dari autoklaf dan ditempatkan di ruang inkubasi
agar media menjadi padat. Apabila media telah memadat, maka penanaman
eksplan dapat dilakukan.
3. Sterilisasi Alat
Alat-alat yang harus disterilkan diantaranya adalah botol kultur, petridish,
scalpel, dan pinset. Alat-alat tersebut dicuci sampai bersih dengan menggunakan
sabun cuci kemudian dikeringkan. Setelah kering dibungkus dengan kertas koran
(kecuali botol kultur) lalu dimasukkan ke dalam autoklaf pada tekanan 1,5 Psi
(kg/cm2), pada suhu 121
oC selama 45 menit.
4. Sterilisasi Eksplan dan Penanaman
Bagian dari tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah stek mikro
tanaman mabai. Eksplan diperoleh dengan memotong bagian hipokotil tanaman
mabai yang telah ditumbuhkan secara in vitro dengan menggunakan bahan tanam
berupa biji mabai. Pemotongan dilakukan di dalam LAFC (Laminar Air Flow
Cabiner) dengan menggunakan pisau scalpel dan pinset yang steril. Selanjutnya
eksplan dimasukkan dalam aquades streril, kemudian dilanjutkan dengan
sterilisasi dalam larutan chlorox yang telah dicampur aquades dan dibilas
aquades steril.
Penanaman eksplan juga dilakukan di dalam LAFC yang telah
dibersihkan dengan alkohol 70% dan ruang LAFC disemprot formalin atau
spirtus. Eksplan yang telah disterilisasi kemudian ditanam pada media tanam di
dalam botol kultur, kemudian ditutup kembali dengan plastik PP. Botol-botol
yang telah selesai diberi label sesuai dengan perlakuan dan tanggal penanaman.
5. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan untuk meminimalisasi risiko kontaminasi dengan
menyemprotkan spirtus ke botol-botol kultur setiap 2 hari sekali, membersihkan
rak tempat botol kultur, dan mengeluarkan botol-botol kultur yang
terkontaminasi dari ruang inkubasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
E. Pengamatan Peubah
1. Saat muncul kalus
Saat muncul kalus diamati dan dicatat pada saat munculnya kalus pertama
kali yang dinyatakan dalam HST (hari setelah tanam).
2. Tekstur kalus
Tekstur kalus dicatat pada akhir pengamatan (60 HST) dengan
mengamati tekstur kalus yang terbentuk, apakah termasuk kalus yang kompak
atau remah.
3. Warna kalus
Warna kalus dicatat pada akhir pengamatan (60 HST) dengan mengamati
secara visual warna kalus yang terbentuk. Penentuan warna kalus ditetapkan
berdasarkan subyektivitas skoring dari pengamat.
4. Saat muncul tunas
Pengamatan munculnya tunas dilakukan setiap 2 hari pada tiap-tiap botol
kultur dengan menghitung berapa hari tunas sudah mulai muncul atau tumbuh.
Saat muncul tunas ditentukan dalam HST (Hari Setelah Tanam).
5. Tinggi tunas
Tinggi tunas diamati pada akhir pengamatan (60 HST). Tinggi tunas
dinyatakan dalam centimeter (cm).
6. Panjang akar
Panjang akar diamati pada akhir pengamatan (60 HST) dengan mengukur
dari pangkal akar yang terbentuk hingga ujung akar. Panjang akar dinyatakan
dalam centimeter (cm).
7. Jumlah daun
Jumlah daun diamati pada akhir pengamatan (60 HST) dengan
menghitung jumlah daun yang terbentuk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Saat Muncul Kalus
Kalus merupakan jaringan yang tersusun oleh sel-sel yang belum
terdiferensiasi. Pada umumnya kalus dihasilkan oleh jaringan yang luka atau
eksplan yang ditanam dalam kultur jaringan (Yunus et al. 2010). Pertumbuhan
kalus pada eksplan ditandai dengan munculnya tonjolan-tonjolan kecil yang
menyebabkan eksplan membengkak pada jaringan di sekitar luka ke bagian
tengah eksplan, kemudian jaringan membesar dan mengembang serta bertambah
banyak (Hidayat 2007).
Terbentuknya kalus pada eksplan menunjukkan suatu fase awal dari
pertumbuhan eksplan tersebut. Kalus pertama kali muncul dari bagian jaringan
tertentu, selanjutnya berkembang membentuk gumpalan jaringan yang belum
mengalami diferensiasi. Pada beberapa kultur in vitro terdapat kalus yang
langsung mengalami diferensiasi membentuk organ, namun ada juga yang tidak
mengalami diferensiasi sehingga perlu diberikan perlakuan yang berbeda. Adapun
proses terbentuknya kalus sampai ke tahap diferensiasi berbeda-beda, bergantung
macam dan bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan, metode kultur in
vitro, serta zat-zat yang ditambahkan dalam medium dasar (Suryowinoto 1996).
Saat muncul kalus diamati setiap 2 hari sekali.
Pada hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul kalus (Tabel 15
pada Lampiran 2) dapat dilihat bahwa tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dengan
BAP (non significant). Selain itu, baik 2,4-D maupun BAP, masing-masing juga
tidak berpengaruh nyata terhadap saat muncul kalus. Sedangkan hasil analisis
deskriptif pada variabel saat muncul kalus dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Tabel 1. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap saat muncul
kalus (HST) pada kultur in vitro mabai
BAP 2,4-D
0,25 ppm 0,5 ppm 0,75 ppm 1 ppm
0 ppm
0,5 ppm
1 ppm
1,5 ppm
2 ppm
10
34
22
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
-
-
-
-
- - = tidak muncul kalus
HST = hari setelah tanam
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa tidak semua perlakuan dapat memunculkan
kalus pada akhir pengamatan (60 HST). Pada penelitian ini, tidak terdapat
interaksi antara 2,4-D dan BAP, namun terdapat beberapa perlakuan yang
memberikan hasil berupa kemunculan kalus. Dari 20 perlakuan, hanya 4
perlakuan yang mampu menghasilkan kalus, yakni perlakuan 2,4-D 0,25 ppm
dengan BAP 0 ppm; 2,4-D 0,25 ppm dengan BAP 0,5 ppm; 2,4-D 0,25 ppm
dengan BAP 1 ppm; dan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 2 ppm. Dari keempat
perlakuan tersebut, perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm mampu
menginduksi kalus dengan waktu tercepat, yakni 10 HST.
Gustian (2009) mengatakan bahwa secara umum penambahan auksin pada
konsentrasi rendah akan memacu pembentukan kalus. Sedangkan Pada kadar yang
tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan. Hal
ini diperkuat dengan pernyataan Karjadi (2007) yang menyatakan bahwa auksin
dalam konsentrasi rendah akan menstimulasi pembesaran dan perpanjangan sel
setelah terjadinya pembelahan sel yang distimulir oleh sitokinin.
Pada perlakuan A3B4 (2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm) kalus masih dapat
terbentuk pada 14 HST. Meskipun pemberian auksin dengan konsentrasi tinggi
dapat menghambat pembentukan kalus, namun sitokinin yang ditambahkan
dengan konsentrasi tinggi (2 ppm) diduga mampu menginduksi kalus pada Mabai.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Yusnita (2004) yang mengatakan bahwa
kadang-kadang sitokinin dibutuhkan untuk memunculkan kalus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
B. Tekstur Kalus
Salah satu penentu yang digunakan untuk menilai kualitas suatu kalus
adalah tekstur kalus. Tekstur kalus yang remah dianggap baik karena
memudahkan dalam pemisahan menjadi sel-sel tunggal pada kultur suspensi dan
juga dapat meningkatkan aerasi oksigen antar sel. Secara umum, tekstur kalus
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : kompak (non friable), intermediet,
dan remah (friable) (Turhan 2004). Tekstur pada kalus dapat bervariasi dari
kompak hingga remah bergantung pada jenis tanaman yang digunakan sebagai
eksplan, komposisi nutrisi medium, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan tumbuh.
Kalus yang dihasilkan pada media inisiasi akan mengalami kematian setelah lama
berada dalam media karena nutrisi dalam media semakin lama semakin
berkurang/habis.
Pada hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tekstur kalus (Tabel 16 pada
Lampiran 2) dapat dilihat bahwa tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dengan BAP
(non significant). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nisa dan Rodinah (2008)
yang menyatakan bahwa interaksi campuran NAA dan kinetin pada kultivar
pisang tidak berpengaruh nyata terhadap saat pembentukan kalus. Hal ini terjadi
kemungkinan karena pembentukan kalus pada bakal buah pisang hanya
dipengaruhi oleh kandungan auksin saja. Pemberian 2,4-D maupun BAP, masing-
masing juga tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur kalus. Hasil analisis
deskriptif pada variabel tekstur kalus dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap tekstur kalus
pada kultur in vitro mabai
BAP 2,4-D
0,25 ppm 0,5 ppm 0,75 ppm 1 ppm
0 ppm
0,5 ppm
1 ppm
1,5 ppm
2 ppm
1
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
- − : tidak muncul kalus; 1: kompak.
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 4 perlakuan yang menghasilkan kalus,
keempatnya menghasilkan kalus dengan tekstur kompak dan memiliki ikatan
antar sel yang kuat. Kalus yang kompak memiliki tekstur yang sulit untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dipisahkan dan terlihat padat. Beberapa kalus mengalami lignifikasi sehingga
kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Menurut Ertina et al.
(2011) pembentukan kalus terjadi karena adanya pelukaan yang diberikan pada
eksplan, sehingga sel-sel pada eksplan akan memperbaiki sel-sel yang rusak
tersebut. Pada awalnya terjadi pembentangan dinding sel dan penyerapan air,
sehingga sel akan membengkak dan selanjutnya terjadi pembelahan sel.
Gambar 1. Kalus mabai dengan tekstur kompak.
Kalus dengan tekstur kompak dicirikan oleh susunan antar sel-sel kalus
yang sulit dipisahkan, disamping itu partikel-partikel yang menyusun kalus
membentuk tonjolan-tonjolan padat. Sebaliknya kalus dengan tekstur remah
memiliki ciri khusus seperti partikel-partikel penyusun kalus mudah sekali
dipisahkan dan kelompok-kelompok selnya memiliki susunan yang renggang
(Widyarso 2010).
C. Warna Kalus
Warna kalus merupakan salah satu indikator kualitas dari kalus yang
mengindikasikan dimulainya respon organogenesis pada eksplan. Biasanya
pertumbuhan yang cepat dan warna kalus yang cenderung terang mengindikasikan
bahwa kondisi kesehatan kalus tersebut cukup baik. Sedangkan warna coklat
hingga hitam secara umum menunjukkan keadaan kalus yang sel-selnya telah mati
(Abdullah et al. 1998). Pengamatan warna kalus dilakukan dengan skoring untuk
mempermudah melakukan analisis. Skoring 1 untuk warna kalus putih, sedangkan
skoring 2 untuk warna kalus hijau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap warna kalus (Tabel 17 pada Lampiran
2) menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara 2,4-D dengan BAP (non
significant). Selain itu, pemberian 2,4-D maupun BAP, masing-masing juga tidak
berpengaruh nyata terhadap warna kalus. Sedangkan hasil analisis deskriptif pada
variabel warna kalus dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Pengaruh pemberian auksin (2,4-D) dan sitokinin (BAP) terhadap warna kalus
pada kultur in vitro mabai
BAP 2,4-D
0,25 ppm 0,5 ppm 0,75 ppm 1 ppm
0 ppm
0,5 ppm
1 ppm
1,5 ppm
2 ppm
1
1
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
- − : tidak muncul kalus; 1: putih; 2: hijau.
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa dari 4 kombinasi perlakuan yang
menumbuhkan kalus, terdapat 3 kombinasi perlakuan yang memiliki warna kalus
putih. Sedangkan 1 kombinasi perlakuan lainnya, yaitu kombinasi perlakuan
2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 1,5 ppm menghasilkan warna kalus hijau. Kalus
yang berwarna putih merupakan jaringan embrionik yang belum mengandung
kloroplas. Sedangkan kalus yang berwarna hijau dan mengandung klorofil
biasanya merupakan tempat munculnya tunas (Winarni 2012).
Perbedaan warna kalus menunjukan tingkat perkembangan dari kalus.
Guntur et al (2004) menyatakan bahwa morfologi kalus (warna dan tekstur kalus)
dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan berkurangnya unsur
hara dan zat pengatur tumbuh yang terdapat dalam media tanam. Perubahan warna
dari putih cerah menjadi putih kecoklatan disebabkan oleh semakin dewasanya
umur sel atau jaringan kalus yang menandakan terjadinya reaksi enzimatis yang
mengarah pada sintesis senyawa fenol yang disebut browning. Pencoklatan
tersebut mengakibatkan pertumbuhan terhenti dan jaringan biasanya mati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Gambar 2. Kalus putih pada perlakuan Gambar 3. Kalus hijau pada perlakuan
2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0 ppm. 2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm.
Perbedaan warna kalus menunjukkan tingkat perkembangan kalus yang
berbeda-beda. Menurut Hanifah (2007), pada penambahan sitokinin dengan
kosentrasi yang semakin meningkat cenderung menunjukkan warna hijau (cerah)
pada kalus lebih tahan lama. Warna hijau pada kalus adalah akibat efek sitokinin
dalam pembentukan klorofil. Dalam hal ini, sitokinin yang diberikan adalah BAP
dengan konsentrasi 2 ppm.
D. Saat Muncul Tunas
Tunas merupakan bagian vegetatif dari tanaman yang tumbuh untuk
melangsungkan keturunan pada tanaman tersebut. Terbentuknya tunas merupakan
salah satu indikator yang menunjukkan terjadinya proses pertumbuhan pada suatu
tanaman. Semakin cepat tunas terbentuk mengindikasikan semakin cepatnya
eksplan dalam menyerap unsur hara yang terdapat dalam media. Rerata saat
muncul tunas dalam kultur mabai dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Rerata saat muncul tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro
2,4-D (ppm) Rerata
0,25 5,6 ab
0,5 10,27 b
0,75 4,13 a
1 3,07 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Analisis ragam uji F taraf 5% (Tabel 18 pada Lampiran 2) menunjukkan
bahwa pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap saat
muncul tunas. Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D.
Sedangkan pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap saat
muncul tunas. Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian 2,4-D dengan konsentrasi
0,5 ppm memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan
pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm dan 1 ppm pada variabel saat
muncul tunas. Sedangkan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm dan 1
ppm tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap saat muncul tunas.
Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1
ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.
Gambar 4. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap saat muncul tunas mabai (HST)
secara in vitro.
Pada penelitian ini, saat muncul tunas justru lebih dipengaruhi oleh
pemberian 2,4-D. Hal ini dimungkinkan karena sitokinin endogen yang terdapat
dalam eksplan sudah mencukupi untuk pembentukan tunas sehingga sitokinin
eksogen (BAP) yang ditambahkan pada media kultur tidak berpengaruh terhadap
kemunculan tunas. Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa 2,4-D dengan konsentrasi 1
ppm mampu menginduksi kalus dengan waktu tercepat, yakni 6,4 HST.
Menurut Hariyanti et al (2004), dengan pemberian auksin eksogen (2,4-D)
yang semakin meningkat, maka waktu pembentukan tunas juga akan semakin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
lama. Pernyataan ini didukung oleh Nursetiadi (2008) yang menyatakan bahwa
auksin endogen yang terdapat pada eksplan telah mampu mendorong
pembentukan tunas, sehingga hanya membutuhkan auksin dengan konsentrasi
yang tidak terlalu tinggi dalam pembentukan tunas tersebut. Namun pada
penelitian ini, pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang tinggi (1 ppm) justru
mampu memunculkan tunas dengan waktu yang lebih cepat (6,4 HST)
dibandingkan dengan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,5
ppm) yang memunculkan tunas dalam waktu yang lebih lama (12,1 HST).
Hal ini dimungkinkan karena masing-masing eksplan yang digunakan
mengandung auksin dengan kadar yang berbeda sehingga interaksi auksin
eksogen (2,4-D) yang diberikan pada tanaman menghasilkan respon yang
bervariasi terhadap masing-masing eksplan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Samanhudi (2010) yang menyatakan bahwa dalam eksplan telah terkandung
auksin endogen yang kadarnya tidak persis sama. Keseragaman ukuran dan cara
pengambilan eksplan kemungkinan besar tidak diikuti dengan keseragaman
hormon endogen tanaman sehingga penambahan auksin eksogen ke dalam media
kultur akan menimbulkan respon yang bervariasi.
E. Tinggi Tunas
Tinggi tunas merupakan salah satu indikator dari pertumbuhan eksplan.
Pengukuran tinggi tunas dilakukan pada akhir pengamatan (60 HST) dengan
mengukur tinggi tunas yang terbentuk mulai dari pangkal hingga titik tumbuh
tertinggi. Analisis uji F taraf 5% (Tabel 19 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa
pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap tinggi tunas.
Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan
pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Rerata
tinggi tunas yang diperoleh dapat dilihat pada table 5 berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Tabel 5. Rerata tinggi tunas mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro
2,4-D (ppm) Rerata
0,25 0,84 b
0,5 0,99 b
0,75 0,39 ab
1 0,09 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5%.
Konsentrasi 2,4-D 0,25 ppm dan 0,5 ppm memberikan pengaruh yang
tidak berbeda terhadap tinggi tunas. Sementara konsentrasi 2,4-D 0,5 ppm
dibandingkan dengan konsentrasi 2,4-D 1 ppm memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap tinggi tunas. Hal ini dimungkinkan karena eksplan yang
digunakan sudah mengandung sitokinin dalam jumlah yang cukup untuk
menginduksi tunas sehingga hanya dibutuhkan penambahan auksin (2,4-D) dalam
konsentrasi yang kecil untuk pembentukan tunas tanpa penambahan sitokinin
eksogen (BAP).
Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1
ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.
Gambar 5. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata tinggi tunas mabai secara in
vitro (60 HST).
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa tinggi tunas terbaik diperoleh dari
pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang cukup rendah, yakni 0,5 ppm. Hal ini
diduga karena pemberian auksin dengan konsentrasi yang rendah (0,5 ppm) dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
memacu pembentukan tunas, sedangkan pemberian auksin dengan konsentrasi
yang lebih tinggi (1 ppm) justru akan menghambat pertumbuhan tunas. Auksin
(2,4-D) berperan dalam pemanjangan sel tanaman yang mengakibatkan semakin
tingginya tunas yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heddy (1996)
yang menyatkaan bahwa auksin dapat merangsang perpanjangan sel yang akan
berakibat terhadap perpanjangan koleoptil dan batang.
F. Panjang Akar
Akar merupakan bagian dari tanaman yang berfungsi untuk menyerap
nutrisi dari media tanam untuk disalurkan ke seluruh tubuh tanaman. Semakin
panjang akar maka penyerapan nutrisi akan semakin baik karena daerah
jangkauan akar semakin jauh daripada akar yang pendek yang hanya mampu
menyerap nutrisi di daerah dekat perakaran. Pada hasil analisis uji F taraf 5%
(Tabel 20 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian BAP tidak
berpengaruh nyata (non significant) terhadap panjang akar. Selain itu juga tidak
terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan pemberian 2,4-D dalam
media berpengaruh nyata terhadap panjang akar. Rerata panjang akar yang
terbentuk dalam kultur mabai dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Rerata panjang akar mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro
2,4-D Rerata
0,25 0,88 b
0,5 0,92 b
0,75 0,16 ab
1 0,00 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5%.
Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian 2,4-D 0,25 ppm dan 0,5 ppm
memberikan pengaruh yang tidak berbeda terhadap panjang akar. Sementara
pemberian 2,4-D 0,25 ppm dibandingkan dengan pemberian 2,4-D 1 ppm
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap panjang akar. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian auksin dengan konsentrasi rendah mampu menumbuhkan akar
dengan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian auksin dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
konsentrasi yang lebih tinggi. Respon auksin berhubungan dengan konsentrasinya
dan konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat (Gardner et al. 1991)
Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1
ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.
Gambar 6. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata panjang akar mabai secara
in vitro (60 HST).
Pada gambar 6 di atas, dapat dilihat bahwa pemberian 2,4-D dengan
konsentrasi 0,25 ppm menghasilkan rerata panjang akar paling baik, yakni dengan
panjang 2,02 cm. Sedangkan pemberian 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih
tinggi (1 ppm) justru tidak mampu memunculkan akar. Hal ini diduga karena
pemberian auksin dengan konsentrasi rendah mampu mempercepat pertumbuhan
akar. Sementara pemberian auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi justru akan
menghambat pertumbuhan akar. Semakin cepat akar terbentuk, maka semakin
cepat pula akar tersebut menyerap unsur hara yang terkandung dalam media
sehingga daerah jangkauan akar akan semakin jauh.
G. Jumlah Daun
Daun merupakan organ vegetatif pada tanaman yang pertumbuhannya
dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam media. Semakin banyak jumlah daun
mengindikasikan pertumbuhan eksplan yang semakin baik karena daun
merupakan tempat berlangsungnya proses fotosintesis yang mampu menghasilkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
sumber bahan makanan pada tanaman. Perhitungan jumlah daun dilakukan pada
akhir pengamatan, yaitu pada 60 HST.
Analisis uji F taraf 5% (Tabel 21 pada Lampiran 2) menunjukkan bahwa
pemberian BAP tidak berpengaruh nyata (non significant) terhadap jumlah daun.
Selain itu juga tidak terdapat interaksi antara BAP dengan 2,4-D. Sedangkan
pemberian 2,4-D dalam media berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Rerata
jumlah daun pada kultur mabai dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Rerata jumlah daun mabai pada berbagai konsentrasi 2,4-D secara in vitro
2,4-D Rerata
0,25 1,20 b
0,5 0,87 b
0,75 0,13 a
1 0,00 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
pada DMRT 5%.
Auksin berfungsi dalam pembelahan sel sehingga semakin cepatnya laju
pembelahan sel dan pembentukan jaringan akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan batang dan daun yang semakin cepat pula. Tabel 7 menunjukkan
bahwa pemberian auksin 2,4-D dengan konsentrasi 0,5 ppm dibandingkan dengan
pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap jumlah daun.
Keterangan : A1=2,4-D 0,25 ppm; A2=2,4-D 0,5 ppm; A3=2,4-D 0,75 ppm; A4=2,4-D 1
ppm; HST = hari setelah tanam; ppm = part per million.
Gambar 7. Histogram pengaruh 2,4-D terhadap rerata jumlah daun mabai secara
in vitro (60 HST).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Pada gambar 7, dapat dilihat bahwa pemberian 2,4-D dengan konsentrasi
0,25 ppm mampu menghasilkan rerata jumlah daun tertinggi (1,8 helai). Hal ini
berkaitan dengan panjang akar yang terbentuk. Pada pemberian 2,4-D dengan
konsentrasi 0,25 ppm, panjang akar yang dihasilkan memiliki rerata paling tinggi,
yakni 2,02 cm. Semakin panjang akar yang terbentuk akan mengakibatkan
semakin luas jangkauan akar dalam menyerap nutrisi yang terdapat dalam media
sehingga pertumbuhan daun juga akan semakin baik dengan menghasilkan jumlah
daun yang semakin banyak. Sedangkan pada pemberian 2,4-D dengan konsentrasi
1 ppm tidak menghasilkan akar maupun daun. Hal ini diduga karena tidak adanya
akar yang digunakan sebagai media penyerapan nutrisi sehingga daun juga tidak
dapat terbentuk.
Gambar 8. Daun yang mengalami kerontokan.
Pada akhir pengamatan, terdapat beberapa perlakuan yang daunnya
mengalami kerontokan. Hal ini diduga karena terjadinya klorosis pada daun
tersebut, seperti yang diungkapkan Triatminingsih (1995) yang mengatakan
bahwa klorosis merupakan peristiwa menurun atau berkurangnya klorofil akibat
penambahan auksin sehingga terjadi kombinasi auksin endogen dan eksogen
dalam jaringan, kemudian mensintesis etilen yang akan menyebabkan penuaan
daun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlakuan yang mampu memunculkan kalus adalah 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0
ppm; 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 0,5 ppm; 2,4-D 0,25 ppm dan BAP 1 ppm;
serta 2,4-D 0,75 ppm dan BAP 2 ppm.
2. Saat muncul kalus tercepat ditunjukkan oleh perlakuan 2,4-D 0,25 ppm dengan
BAP 0 ppm.
3. Pemberian 2,4-D dan BAP menghasilkan tekstur kalus yang kompak.
4. Kalus terbaik diperoleh dari perlakuan 2,4-D 0,75 ppm dengan BAP 2 ppm
yang menghasilkan warna kalus hijau.
5. Pemberian 2,4-D berpengaruh nyata terhadap saat muncul tunas, tinggi tunas,
panjang akar, dan jumlah daun; sedangkan pemberian BAP dan interaksi antara
2,4-D dengan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap saat muncul tunas, tinggi
tunas, panjang akar, dan jumlah daun.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan menggunakan kombinasi ZPT yang berbeda untuk memperoleh kalus
yang remah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Lampiran 1. Hasil pengamatan
Tabel 8. Hasil pengamatan saat muncul kalus (HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 - - 10 10
A1B1 34 - - 34
A1B2 23 - - 23
A1B3 - - - -
A1B4 - - - -
A2B0 - - - -
A2B1 - - - -
A2B2 - - - -
A2B3 - - - -
A2B4 - - - -
A3B0 - - - -
A3B1 - - - -
A3B2 - - - -
A3B3 - - - -
A3B4 14 - - 14
A4B0 - - - -
A4B1 - - - -
A4B2 - - - -
A4B3 - - - -
A4B4 - - - -
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Tabel 9. Hasil pengamatan tekstur kalus (60 HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 - - 1 1
A1B1 1 - - 1
A1B2 1 - - 1
A1B3 - - - -
A1B4 - - - -
A2B0 - - - -
A2B1 - - - -
A2B2 - - - -
A2B3 - - - -
A2B4 - - - -
A3B0 - - - -
A3B1 - - - -
A3B2 - - - -
A3B3 - - - -
A3B4 1 - - 1
A4B0 - - - -
A4B1 - - - -
A4B2 - - - -
A4B3 - - - -
A4B4 - - - -
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam); 1 (kompak)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Tabel 10. Hasil pengamatan warna kalus (60 HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 - - 1 1
A1B1 1 - - 1
A1B2 1 - - 1
A1B3 - - - -
A1B4 - - - -
A2B0 - - - -
A2B1 - - - -
A2B2 - - - -
A2B3 - - - -
A2B4 - - - -
A3B0 - - - -
A3B1 - - - -
A3B2 - - - -
A3B3 - - - -
A3B4 2 - - 2
A4B0 - - - -
A4B1 - - - -
A4B2 - - - -
A4B3 - - - -
A4B4 - - - -
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam); 1 (putih); 2(hijau)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Tabel 11. Hasil pengamatan saat muncul tunas (HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 6 6 - 6
A1B1 11 8 7 8,6
A1B2 9 18 - 13,5
A1B3 - - - -
A1B4 5 4 10 6,3
A2B0 11 - 18 14,5
A2B1 10 5 5 6,7
A2B2 - 18 8 13
A2B3 6 6 12 8
A2B4 9 25 21 18,3
A3B0 21 7 - 14
A3B1 13 - - 13
A3B2 - - - -
A3B3 - - - -
A3B4 21 - - 21
A4B0 14 - - 14
A4B1 - - - -
A4B2 - - - -
A4B3 - - - -
A4B4 - 18 - 18
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Tabel 12. Hasil pengamatan tinggi tunas (60 HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 1,3 2 - 1,65
A1B1 1 1 1,2 1,07
A1B2 2,6 1 - 1,8
A1B3 - - - -
A1B4 0,5 0,5 1,5 0,83
A2B0 1,2 - 1,3 1,75
A2B1 0,3 0,6 4,8 2,9
A2B2 - 0,7 0,3 0,5
A2B3 1,2 1,5 0,8 1,17
A2B4 1,1 0,2 0,8 0,7
A3B0 1 1,3 - 1,15
A3B1 0,2 - - 0,2
A3B2 - - - -
A3B3 - - - -
A3B4 3,4 - - 3,4
A4B0 0,2 - - 0,2
A4B1 - - - -
A4B2 - - 0,5 0,5
A4B3 - - - -
A4B4 - 0,6 - 0,6
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tabel 13. Hasil pengamatan panjang akar (60 HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 1,7 4,5 - 3,1
A1B1 - 2,5 - 2,5
A1B2 4 - - 4
A1B3 - - - -
A1B4 - 0,5 - 0,5
A2B0 - - - -
A2B1 0,8 1,2 3,1 1,7
A2B2 1,8 - 3,6 2,7
A2B3 - - 1,9 1,9
A2B4 1,4 - - 1,4
A3B0 1,6 - - 1,6
A3B1 - - - -
A3B2 - 0,8 - 0,8
A3B3 - - - -
A3B4 - - - -
A4B0 - - - -
A4B1 - - - -
A4B2 - - - -
A4B3 - - - -
A4B4 - - - -
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tabel 14. Hasil pengamatan jumlah daun (60 HST)
Perlakuan Ulangan Rata-rata 1 2 3
A1B0 2 2 - 2
A1B1 1 - 3 2
A1B2 4 2 - 3
A1B3 - - - -
A1B4 1 3 - 2
A2B0 - - - -
A2B1 - 1 2 1,5
A2B2 - 3 1 2
A2B3 3 - 1 2
A2B4 - - 2 2
A3B0 - 1 - 1
A3B1 - - - -
A3B2 - - - -
A3B3 - - - -
A3B4 1 - - 1
A4B0 - - - -
A4B1 - - - -
A4B2 - - - -
A4B3 - - - -
A4B4 - - - -
Sumber : Data hasil pengamatan
Keterangan : HST (hari setelah tanam)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Lampiran 2. Hasil analisis uji F taraf 5%
Tabel 15. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul kalus.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 614,000a 19 32,316 0,828 0,664
Intersep 166,667 1 166,667 4,270 0,045
2,4-D 205,200 3 68,400 1,752 0,172
BAP 101,333 4 25,333 0,649 0,631
2,4-D * BAP 307,467 12 25,622 0,656 0,781
Galat 1561,333 40 39,033
Total 2175,333 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
Tabel 16. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tekstur kalus.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 1,067a 19 0,056 0,842 0,648
Intersep 0,267 1 0,267 4,000 0,052
2,4-D 0,400 3 0,133 2,000 0,129
BAP 0,067 4 0,017 0,250 0,908
2,4-D * BAP 0,600 12 0,050 0,750 0,695
Galat 2,667 40 0,067
Total 3,733 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
Tabel 17. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap warna kalus.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 1,917a 19 0,101 0,865 0,624
Intersep 0,417 1 0,417 3,571 0,066
2,4-D 0,450 3 0,150 1,286 0,292
BAP 0,167 4 0,042 0,357 0,838
2,4-D * BAP 1,300 12 0,108 0,929 0,529
Galat 4,667 40 0,117
Total 6,583 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Tabel 18. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap saat muncul tunas.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 1184,067a 19 62,319 1,359 0,203
Intersep 1995,267 1 1995,267 43,501 0,000
2,4-D 453,533 3 151,178 3,296 0,030
BAP 355,067 4 88,767 1,935 0,123
2,4-D * BAP 375,467 12 31,289 0,682 0,758
Galat 1834,667 40 45,867
Total 3018,733 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
Tabel 19. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap tinggi tunas.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 18,141a 19 0,955 1,277 0,251
Intersep 19,953 1 19,953 26,687 0,000
2,4-D 7,667 3 2,556 3,418 0,026
BAP 2,041 4 0,510 0,682 0,608
2,4-D * BAP 8,433 12 0,703 0,940 0,519
Galat 29,907 40 0,748
Total 48,047 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
Tabel 20. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap panjang akar.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 27,221a 19 1,433 1,409 0,177
Intersep 14,406 1 14,406 14,168 0,001
2,4-D 10,290 3 3,430 3,373 0,028
BAP 4,749 4 1,187 1,168 0,340
2,4-D * BAP 12,182 12 1,015 0,998 0,468
Galat 40,673 40 1,017
Total 67,894 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Tabel 21. Hasil analisis uji F taraf 5% terhadap jumlah daun.
Sumber keragaman Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Jumlah perlakuan 25,517a 19 1,343 1,520 0,131
Intersep 18,150 1 18,150 20,547 0,000
2,4-D 14,983 3 4,994 5,654 0,003
BAP 1,767 4 0,442 0,500 0,736
2,4-D * BAP 8,767 12 0,731 0,827 0,623
Galat 35,333 40 0,883
Total 60,850 59
Keterangan : Signifikan > 0,05 = tidak berpengaruh nyata (non significant)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Lampiran 3. Hasil analisis uji DMRT 5%
Tabel 22. Hasil analisis uji DMRT 5% terhadap saat muncul tunas.
2,4-D N Subset
1 2
dimension1
1 15 3,0667
0.75 15 4,1333
0.25 15 5,6000 5,6000
0.5 15 10,2667
Sig. 0,341 0,066
Tabel 23. Hasil analisis uji DMRT 5% terhadap tinggi tunas.
2,4-D N Subset
1 2
dimension1
1 15 0,0867
0.75 15 0,3933 0,3933
0.25 15 0,8400
0.5 15 0,9867
Sig. 0,337 0,082
Tabel 24. Hasil analisis uji DMRT 5% terhadap panjang akar.
2,4-D N Subset
1 2
dimension1
1 15 0,0000
0.75 15 0,1600 0,1600
0.25 15 0,8800
0.5 15 0,9200
Sig. 0,666 0,057
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Tabel 25. Hasil analisis uji DMRT 5% terhadap jumlah daun
2,4-D N Subset
1 2
dimension1
1 15 0,0000
0.75 15 0,1333
0.5 15 0,8667
0.25 15 1,2000
Sig. 0,700 0,337
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Lampiran 4. Perhitungan penambahan 2,4-D dan BAP dalam media
a. Penambahan 2,4-D dalam media
1) Penentuan volume 2,4-D dengan konsentrasi 0,25 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 0,25 ppm
V1 = 2,5 ml
2) Penentuan volume 2,4-D dengan konsentrasi 0,5 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 0,5 ppm
V1 = 5 ml
3) Penentuan volume 2,4-D dengan konsentrasi 0,75 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 0,75 ppm
V1 = 7,5 ml
4) Penentuan volume 2,4-D dengan konsentrasi 1 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 1 ppm
V1 = 10 ml
b. Penambahan BAP dalam media
1) Penentuan volume BAP dengan konsentrasi 0 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 0 ppm
V1 = 0 ml
2) Penentuan volume BAP dengan konsentrasi 0,5 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 0,5 ppm
V1 = 5 ml
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
3) Penentuan volume BAP dengan konsentrasi 1 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 1 ppm
V1 = 10 ml
4) Penentuan volume BAP dengan konsentrasi 1,5 ppm dalam 1 liter media :
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 = 1000 ml x 1,5 ppm
V1 = 15 ml
5) Penentuan volume BAP dengan konsentrasi 2 ppm dalam 1 liter media :
6) V1 x M1 = V2 x M2
7) V1 x 100 = 1000 ml x 2 ppm
8) V1 = 20 ml
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Lampiran 5. Dokumentasi penelitian mabai
Gambar 9. Foto hasil penelitian mabai
Biji mabai Pembibitan mabai
Kontaminasi bakteri Kontaminasi jamur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Gambar 10. Foto akhir pengamatan penelitian mabai
2,4-D 0,25 ppm+BAP 0 ppm 2,4-D 0,25 ppm+BAP 0,5 ppm 2,4-D 0,25 ppm+BAP 1 ppm
2,4-D 0,25 ppm+BAP 1,5 ppm 2,4-D 0,25 ppm+BAP 2 ppm 2,4-D 0,5 ppm+BAP 0 ppm
2,4-D 0,5 ppm+BAP 0,5 ppm 2,4-D 0,5 ppm+BAP 1 ppm 2,4-D 0,5 ppm+BAP 1,5 ppm
2,4-D 0,5 ppm+BAP 2 ppm 2,4-D 0,75 ppm+BAP 0 ppm 2,4-D 0,75 ppm+BAP 0,5 ppm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
2,4-D 0,75 ppm+BAP 1 ppm 2,4-D 0,75 ppm+BAP 1,5 ppm 2,4-D 0,75 ppm+BAP 2 ppm
2,4-D 1 ppm+BAP 0ppm 2,4-D 1 ppm+BAP 0,5 ppm 2,4-D 1 ppm+BAP 1ppm
2,4-D 1 ppm+BAP 1,5 ppm 2,4-D 1 ppm+BAP 2 ppm