skripsi implementasi loi revisi 3

Upload: robby-jahat

Post on 08-Jul-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    1/60

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A.  Latar Belakang Masalah

    Pengaruh deforestasi terhadap meningkatnya gas rumah kaca (GHGs) di atmosfir sudah

    sejak lama diketahui namun baru pada COP-12 di Montreal tahun 2005 masuk dalam agenda

     pembahasan di Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Dan isu ini baru mendapatkan

     perhatian serius dari masyarakat internasional setelah terbitnya hasil review yang dilakukan

    oleh Nicholas Stern (UK) tentang Ekonomi Perubahan Iklim (Stern Review : The Economics

    of Climate Change) yang mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang menyumbang

    emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global, sementara carbon yang saat ini tersimpan di

    ekosistem hutan (~ 4500 Gt CO2  lebih besar dari yang tersimpan di atmosfir (3000 Gt

    CO2). Oleh karenanya diperlukan dukungan internasional untuk melindungi hutan yang

    masih ada. Dampak perubahan iklim akan dirasakan oleh semua negara, tetapi negara-

    negara miskin akan menerima dampak terbesar meskipun kontribusinya terhadap emisi

    GHGs paling kecil. Dan negara berkembang dengan sumberdayanya sendiri tidak akan

    mampu melakukan mitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.

    Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum

    memperoleh penilaian yang memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang

    tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam system pasar terhadap produk

    dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar yang tersedia di

     bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpana CO2 melalui kegiatan penanaman pohon

    tidak memberikan manfaat yang berarti karena prosedur dan aspek metodologi yang

    kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan

    emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    2/60

    2

    terhadap stabilisasi GHgs di atmosfir (stabilisasi iklim) memerlukan pendekatan kebijakan

    internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan

     berpartisipasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan

    emisi dari deforestasi juga memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan

    mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat

    lokalnya. Dan negara berkembang akan terdorong melaksanakan upaya pengurangan emisi

    dari deforestasi dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan setidaknya setara dengan

    opportunity costs dari penggunaan lahan/hutan tersebut. Deforestasi di negara berkembang

    meskipun latar belakangnya beragam, namun secara umum adalah alasan ekonomi antara

    lain kebutuhan pembangunan sejalan dengan bertambahnya populasi tidak terkecuali

    Indonesia. Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120,5 juta ha atau sekitar 60 persen

    dari luas total Indonesia1, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah

    dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan

    kerja langsung dan 5.4 %  angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang

     punggung ekonomi nasional antara tahun 1985 – 1995an. Manfaat langsung dari hutan

    adalah penghasil kayu dan non kayu sedang manfaat tidak langsung  adalah sebagai pengatur

    iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat

     penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan dating. Dalam konteks

     perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan

    karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi

    meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya

    meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca/GRK (Green House Gases/GHGs) yang terjadi

    di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan

    1 Data badan Planologi tahun 2005, PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

    DI INDONESIA ( REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA/REDDI ). http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengurangan.htm

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    3/60

    3

    lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan

    degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting,

     perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan.

     pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan cadangan

    karbon hutan di Negara-negara berawal dari suatu prakarsa global tahun 2005. Sebagian

     besar pokok perdebatan awal menyangkut kerangka REDD global dan bagaimana

    memasukkan REDD ke dalam perjanjan tentang iklim. Namun perdebatan dan focus

    tindakan sekarang semakin bergeser ke tingkat nasional dan daerah. Lebih dari empat puluh

     Negara sedang mengembangkan strategi dan kebijakan nasional tentang REDD, dan ratusan

     proyek REDD telah dimulai di kawasan tropis.

    Gagasan pokok yang melatari REDD adalah member imbalan berbasis kinerja, yaitu

    membayar pemilik dan pengguna hutan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan upaya

     peniadaan emisi. Imbalan jasa lingkungan (PES) memiliki keuntungan sebagai berikut:

    memberikan intensif langsung yang mengikat kepada pemilik dan pengguna hutan untuk

    mengelola hutan dengan lebih dan mengurangi penebangan kawasan berhutan. PES akan

    sepenuhnya mengganti rugi pemegang hak atas karbon yang telah yakin bahwa melestarikan

    hutan lebih menguntungkan daripada pilihan lainnya. Secara sederhana, mereka menjual

    kredit (hak atas) karbon hutan dan mengurangi usaha beternak sapi, perkebunan kopi atau

    kakao atau pembuatan arang.

    Berbagai system imbalan jasa lingkungan (PES) untuk pelestarian hutan telah berjalan

    selama beberapa waktu, terdapat rintangan untuk penerapannya di bidang yang lebih luas.

    Hak guna lahan dan hak atas karbon harus di beri batasan yang jelas, namun kebanyakan

    “titik utama” deforestasi dicirikan sebagai hak atas lahan yang tidak jelas dan diperebutkan.

    Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan REDD+ menuntut seperangkat kebijakan yang

    lebih luas. Kebijakan ini mencakup reformasi kelembagaan dalam hal tata kelola, hak guna

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    4/60

    4

    lahan, desentralisasi, dan pengelolaan hutan kemasyarakatan2. Kebijakan pertanian dapat

    membatasi kebutuhan akan lahan pertanian baru. Kebijakan energy dapat membatasi

    kebutuhan akan lahan pertanian baru. Kebijakan energy dapat membatasi tekanan atas

    degradasi hutan akibat pengembilan kayu bakar sedangkan praktik pembalakan ramah

    lingkungan dapat membatasi dampak berbahaya dari pemanenan kayu. Penetapan kawasan

    yang dilindungi3  terbukti berhasil melindungi hutan. Selain itu, walaupun masih jauh dari

    sempurna, dukungan terhadap kawasan yang dilindungi perlu dipertimbangkan sebagai

     bagian dari REDD+ nasional yang menyeluruh.

    Indonesia telah banyak mengikat kerjasama bilateraal dan multilateral dalam hal banyak

     bidang seperti bidang ekonomi, kesehatan, social, kemiskinan, kehutanan dan masih banyak

    lagi. Saat ini dunia sedang sibuk dengan masalah perubahan iklim, meningkatnya suhu di

    dunia hingga mengakibatkan es di bagian kutub mencair dimana dampak tersebut

    mengakibatkan meningkatnya debit air yang ada di muka bumi ini. Selain itu banyak nya

    tekhnologi seperti penggunaan ac, kendaraan bermotor, dan lain lain yang juga berkontribusi

    dalam pengrusakan ozon sehingga menimbulkan efek rumah kaca juga menjadi salah satu

    indicator dalam pemanasan global. Indonesia dan beberapa Negara berkembang yang masih

    memiliki hutan untuk dapat tetap melindungi hutan mereka sebagai paru-paru dunia dimana

     juga menjadi penyeimbang antara Negara-negara yang sudah tidak memiliki hutan tetapi

     banyak mengeluarkan emisi.

    Pada tahun 2010 Indonesia membuat perjanjian dengan Norwegia untuk melindungi

    kawasan hutan di Indonesia dimana perjanjian tersebut tertuang dalam  Letter of Intent  

    Indonesia-Norwegia dimana perjanjian tersebut merupakan salah satu dari perjanjian antara

    2 Mewujudkan REDD+ Strategi nasional dan berbagai pilihan kebijakan, oleh Arild Angelsen3  Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnyakawasan yang dilindungi atau hutan konservasi adalah kawasan atau wilayah yang dilindungi karena nilai-nilai

    lingkungan alaminya, lingkungan sosial budayanya. Kategori kawasan konservasi adalah kawasan Suaka Alam(Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Cagar Biosfer) dan kawasan konservasi alam (Taman Nasional, TamanHutan Raya dan Taman Wisata)

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    5/60

    5

    Indonesia dengan Negara-negara berkembang lainnya dalam pengurangan emisi karbon.

    Pemerintah Norwegia setuju untuk mentransfer kontribusi awal sebesar 30 juta Dolar

    Amerika melalui mekanisme pendanaan internasional guna mendanai Tahap I kerja sama

    REDD+ Indonesia-Norwegia (untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi

    hutan) di Indonesia. Kedua pihak menandatangani perjanjian kerja sama (Letter of Intent) di

    Oslo tahun ini yang menjelaskan kerangka kerja untuk kerja sama senilai 1 milyar Dolar

    Amerika yang dimaksudkan untuk memerangi penggundulan dan degradasi hutan. 

    Presiden Yudhoyono di Oslo menyampaikan bahwa kerja sama ini sejalan dengan upaya

    nasional Indonesia, dan jalan global UNFCCC (United Nations Framework Convention on

    Climate Change4) untuk membangun sistem guna mengurangi emisi dari penggundulan

    hutan dan konversi lahan gambut. Indonesia percaya bahwa dengan menjalin kerja sama

    dengan pemerintah Norwegia, Indonesia dapat mendorong lebih jauh negosiasi internasional

    dan program REDD+ yang konkrit untuk memecahkan tantangan global sehubungan dengan

     perubahan iklim. Pertemuan dua hari antara Indonesia dan Norwegia digelar di Jakarta pada

    18 dan 19 Agustus dan membahas implementasi Tahap I dari kerja sama ini, termasuk

     pendirian badan REDD+ Indonesia, pengembangan strategi nasional REDD+ yang lengkap,

     penerapan instrumen pendanaan interim, pengembangan kerangka kerja monitoring,

     pelaporan dan verifikasi (MRV), seleksi propinsi percontohan dan penerapan 2 tahun

     penundaan konsesi baru untuk hutan alam dan lahan gambut yang dimulai pada tahun 2011. 

    Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Pengiriman

    Kepresidenan untuk Pengembangan Monitoring dan Pengawasan, sementara delegasi

     Norwegia dipimpin oleh YM Eivind S. Homme, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.5 

    Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia memilih Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng)

    sebagai Provinsi percontohan pelaksanaan uji coba pertama kegiatan REDD di Indonesia.

    4

     United Nations Framework Convention on Climate Change adalah perjanjian lingkungan internasionaldinegosiasikan pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan5 Rilis Kedutaan Besar Norwegia tentang Letter of Intent  Indonesia dan Norwegia.

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    6/60

    6

    Pemerintah menyebut dasar pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan luas tutupan hutan,

    lahan gambut yang masih luas, ancaman deforestasi dan komitmen Gubernur Kalteng

    terhadap kelestarian lingkungan. Lokasi percontohan dimana yang seharusnya dicari lokasi

    yang paling berpeluang untuk berhasil. Pertimbangan pemilihan lokasi pilot project  selain

    yang disebutkan diatas ialah provinsi yang selama ini sudah banyak melakukan riset terkait

    kegiatan perdagangan karbon. Masih banyak provinsi lain yang dinilai sebagian besar

    kalangan lebih tepat untuk dijadikan pilot project  dan berpeluang untuk berhasil.

    Selain itu dalam mempengaruhi pengurangan emisi karbon hal yang paling harus di

    lakukan adalah penundaan perizinan pembukaan kawasan hutan dan perubahan fungsi hutan

    di Indonesia. Ini yang seharunya tidak hanya terpaku pada project tetapi juga dengan

     perubahan perilaku di Indonesia. Ketika kepala Negara mendeklair bahwa Indonesia telah

    sepakat untuk mengurangi emisi karbon yang mana juga harus di ikuti oleh para pemegang

    kebijakan. Telah di keluarkan moratorium perizinan melalui kementerian kehutanan di

     beberapa daerah Indonesia sebagai landasan perlindungan kawasan hutan yang tersisa.

    Moratorium izin yang di keluarkan berfungsi untuk melakukan penundaan izin pengelolaan

    kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan dan pembukaan hutan. Waktu bersamaan

     juga beberapa kepala daerah malah mengeluarkan izin di daerah masing-masing sebagai

    investasi bagi daerah mereka. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada kepala

    daerah untuk dapat memberikan perizinan atau rekomendasi pengelolaan kawasan hutan

    yang ada.

    B.  Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

    “Bagaimana implementasi serta penerapan dari hasil kesepakatan  Letter of Intent  Indonesia

    dan Norwegia di Indonesia”. Dua diantaranya yaitu:

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    7/60

    7

    1.  Bagaimana jumlah perizinan untuk pengelolaan kawasan hutan” di Kalimantan

     barat dari tahun 2008 sampai dengan 2012 untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

    Hutan Kayu (IUPHHK)

    2.  Bagaimana implementasi dan regulasi di Indonesia tentang penundaan izin

     pengelolaan kawasan hutan bersekala besar di Indonesia serta analisis kelemahan

     pada regulasi yang mengatur tentang REDD+.

    C.  Tujuan Penelitian

    1. Mengidentifikasi jumlah perizinan pemanfaatan IUPHHK-HA/HTI di Kalimantan

     barat

    2. Untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan dari isi kesepakatan di dalam

     Letter of Intent  (LOI) dalam penurunan emisi karbon 

    3. Menganalisa kesesuaian implementasi yang di terapkan oleh pemerintah daerah

    dalam dalam mengadopsi kesepakatan Indonesia dan Norwegia dalam penurunan

    emisi karbon.

    D.  Kerangka Pemikiran

    1. Tinjauan Pustaka

    Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan

    kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca/GRK (Green

     House Gases/GHGs) yang terjadi di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi

    (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,

     pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal

    logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta

     perambahan. pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan

    cadangan karbon hutan di Negara-negara berawal dari suatu prakarsa global tahun 2005.

    Sebagian besar pokok perdebatan awal menyangkut kerangka REDD global dan bagaimana

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    8/60

    8

    memasukkan REDD ke dalam perjanjan tentang iklim. Namun perdebatan dan focus

    tindakan sekarang semakin bergeser ke tingkat nasional dan daerah. Lebih dari empat puluh

     Negara sedang mengembangkan strategi dan kebijakan nasional tentang REDD, dan ratusan

     proyek REDD telah dimulai di kawasan tropis.

    Pada tahun 2010 Indonesia membuat perjanjian dengan Norwegia untuk melindungi

    kawasan hutan di Indonesia dimana perjanjian tersebut tertuang dalam  Letter of Intent  

    Indonesia-Norwegia dimana perjanjian tersebut merupakan salah satu dari perjanjian antara

    Indonesia dengan Negara-negara berkembang lainnya dalam pengurangan emisi karbon.

    Pemerintah Norwegia setuju untuk mentransfer kontribusi awal sebesar 30 juta Dolar

    Amerika melalui mekanisme pendanaan internasional guna mendanai Tahap I kerja sama

    REDD+ Indonesia-Norwegia (untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi

    hutan) di Indonesia. Kedua pihak menandatangani perjanjian kerja sama (Letter of Intent) di

    Oslo tahun ini yang menjelaskan kerangka kerja untuk kerja sama senilai 1 milyar Dolar

    Amerika yang dimaksudkan untuk memerangi penggundulan dan degradasi hutan. 

    Dalam Letter of Intent  terdapat beberapa penekanan yang di fokuskan kepada Indonesia

    serta beberapa konsep aktivitas dan prinsip yang harus di lakukan oleh Indonesia. Adapun

    maksud dan tujuan di dalam Letter of Intent  ini secara garis besar seperti:

    1. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional,

    khususnya terkait REDD+

    2. Melakukan kolaborasi dalam rangka mendukung pengembangan dan pelaksanaan

    Strategi REDD+ di Indonesia

    Dalam penerapan konsep di dalam kesepakatan antara Indonesia dan Norwegia harus

    memenuhi beberapa prinsip-prinsip di dalam penerapannya yaitu :

    1. Memastikan kerjasama didasarkan pada dan tidak bertentangan dengan UNFCCC

    dan kemitraan global REDD+

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    9/60

    9

    2. Memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan terkait termasuk

    masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat madani untuk berpartisipasi

    secara penuh dan efektif dalam perencanaan dan pelaksanaan sesuai dengan

     peraturan perundang-undangan dan apabila memungkinkan berdasarkan instrumen

    internasional

    3. Mengupayakan skala pembiayaan secara proporsional dan progresif, termasuk

    langkah dan tindakan berdasarkan prinsip pencapaian hasil ( principle of

    contributions for delivery)

    4. 

    Transparansi yang berkaitan dengan pembiayaan, pelaksanaan dan hasil

    5. Mendorong partisipasi mitra pembangunan lainnya

    6. Memastikan koordinasi dengan program REDD+ lainnya, termasuk UN-REDD

    Programme, the Forest Carbon Partnership Facility, the Forest Investment

    Programme and other bi- and multilateral REDD+ initiative yang dilakukan di

    Indonesia

    7. Mengupayakan langkah-langkah secara berkelanjutan dan terpadu di bidang

    ekonomi, sosial dan lingkungan

    Dari kesepakatan antar Negara terkait pada penurunan emisi karbon maka Indonesia juga

    membuat beberapa regulasi sebagai aturan dalam pengelolaan REDD+ di Indonesia. Karena

    apabila di dalam Indonesia sendiri tidak ada aturan yang memayungi tentang REDD+ yang

    di takutkan adalah pengelolaan yang tidak sesuai dengan kesepakatan antar Negara dalam

     penurunan emisi karbon. Adapun payung hukum dalam mendukung penurunan emisi karbon

    adalah sebagai berikut:

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    10/60

    10

    1. Permenhut No. P 68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaran  Demonstration

    activites Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan gradasi hutan (REDD)

      Permohonan, pengesahan, metodelogi, teknologi, kelembagaan dan evaluasi6  

    2. Permenhut No. P 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari

     Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)  Persyaratan pengembang, verifikasi,

    sertifikasi, hak dan kewajiban pelaku REDD7  

    3. Permenhut No. P 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha

    Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi

    dan Hutan lindung   Perimbangan keuangan , pengenaan, pemungutan,

     penyetoran dan penggunaan penerimaan negara8  

    Indonesia telah menyepakati beberapa kesepakatan kerja sama dengan Negara-negara

    maju dalam penurunan emisi karbon. Melalui kepala Negara republic Indonesia Susilo

    Bambang Yudhoyono telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon melalui

     perlindungan hutan-hutan yang ada di Indonesia.

    Dalam kesepakatan antara Negara Indonesia dengan Negara lain seharusnya dapat saling

    mendukung untuk dapat terimplementasinya dengan baik kesepakatan antar Negara. Mulai

     pada tahun 2010 perlahan pemerintah mulai memperbaiki kinerja serta mengembangkan

     beberapa program pengelolaan hutan dimana pengelolaan harus lestari supaya hutan tetap

     berfungsi sebagai paru-paru dunia. Dalam pengelolaan REDD+ sangat berhubungan dengan

    hutan, dimana hutan yang ada di Indonesia tetap dapat berfungsi untuk menyerap karbon

    secara optimal. Begitu juga apabila tidak adanya hutan makan akan banyak karbon yang

    6  Www.Dephut.Go.Id/Files/P68_08.Pdf   Permenhut No. 68/Menhut-II/2008Tentang PenyelenggaraanDemonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan7 www.dephut.go.id/files/P30_09_r.pdf   Permenhut No. 30/Menhut-II/2009 Tentang cara pengurangan emisi dari

    deforestasi dan degradasi hutan (REDD)8 www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf   Permenhut Nomor 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pericinan Usaha

    Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    11/60

    11

    tidak dapat terserap oleh hutan sehingga karbon tersebut berkontribusi dalam pemanasan

    global, perubahan iklim dan pengerusakan ozon.

    Adanya otonomi daerah dimana untuk pemegang kekuasaan di daerah adalah bupati,

    kepala daerah sendiri memiliki konsep yang berbeda dalam memanfaatkan lahan mereka.

    Bagi beberapa daerah mereka memiliki beban untuk mengembangan daerah masing-masing,

    mengelola bagaimana caranya untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya menjual

    kekayaan alam dan lain sebagainya. Hal ini terbukti dimana kementerian kehutanan

    mengeluarkan peta moratorium perizinan untuk penundaan pemanfaatan lahan untuk

    sementara sedangkan kepala daerah memberikan arahan lokasi untuk pengelolaan kawasan

    yang masih tersisa di dalam kabupatennya sebagai bahan untuk mendatangkan investor.

    Yang terlihat disini adalah terdapat ketidak sinkronan keputusan antara kepala Negara

    dengan kepala daerah, perbedaan visi dan misi di antara kepala daerah dan kepala Negara.

    Apabila hal ini tidak di sikapi oleh pemerintah pusat dalam komitmen Indonesia dan Negara

    lain maka target oleh kepala Negara republic Indonesia tidak akan bisa tercapai.

    2. Kerangka Konsep

    Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam tinjauan pustaka, maka penulis

    mencoba menuangkan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan komitmen yang di bangun

    oleh kepala Negara dengan implementasi yang telah di buat di beberapa daerah di Indonesia.

    Indonesia melalui kementerian kehutanan telah mengeluarkan beberapa produk hukum

    sebagai dasar serta payung dalam implementasi pengelolaan hutan di masing-masing daerah.

    Dalam upaya penurunan emisi karbon dan perlindungan kawasan hutan serta

     pengelolaan kawasan hutan, pemerintah pusat tidaklah dapat bekerja sendiri. Indonesia dapat

    dikatan penguasa tanah hanya 2 yaitu BPN (Badan Pertanahan Negara) dan Kementerian

    Kehutanan. BPN memiliki kekuasaan kawasan yang berstatus APL (Area Penggunaan Lain)

    di daerah, sedangkan Kementerian Kehutanan memiliki kekuasaan dalam areal hutan HP

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    12/60

    12

    (Hutan Produksi), HL (Hutan Lindung), CA (Cagar Alam), TWA (Taman Wisata Alam),

    dan TN (Taman Nasional). Badan pertanahan di daerah yang memiliki kewenangan besar di

    daerah seharusnya dapat berkolaborasi dengan instansi-instansi yang memiliki kepentingan.

    Begitu juga sebaliknya kementerian kehutanan harus dapat bekerja sama dengan instansi-

    instansi terkait lainnya, dimana mereka memiliki wewenang dalam pengelolaan lahan seperti

    : Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang

    Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordi

    nasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Satuan

    Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau Ketua lembaga yang dibentuk

    untuk melaksanakan tugas khusus dibidang REDD+, Para Gubernur dan Para

    Bupati/Walikota. Dengan komunikasi yang baik antara para pihak maka akan memiliki visi

    dan misi yang sama sehingga capaian yang diharapkan juga jelas. Pada tahun 2011 presiden

    mengeluarkan instruksi kepada:9 

    1. Menteri Kehutanan:

    1.1 Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan

    lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi

    (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat

    dikonversi) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru

    1.2 Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha

     pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.

    1.3 Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan

    kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui

    restorasi ekosistem.

    9 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan

    Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, Dalam rangka menyeimbangkan danmenselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas RumahKaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    13/60

    13

    1.4 Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan

    hutan setiap 6 (enam) bulan sekali.

    1.5 Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan

    gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi.

    2. Menteri Lingkungan Hidup:

    Melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan dan lahan gambut melalui

     perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada hutan dan lahan

    gambut yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru melalui izin

    lingkungan.

    3. Menteri Dalam Negeri:

    Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Gubernur dan Bupati/Walikota

    dalam pelaksanaan Instruksi Presiden ini.

    4. Kepala Badan Pertanahan Nasional:

    Melakukan penundaan terhadap penerbitan hak-hak atas tanah antara lain hak guna

    usaha, hak pakai pada areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penundaan

    Izin Baru.

    5. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional

    Melakukan percepatan konsolidasi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru ke dalam

    revisi peta tata ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola

     penggunaan lahan melalui kerjasama dengan Gubernur, Bupat i/Walikota, dan

    Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau Ketua

    lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.

    6. Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional:

    Melakukan pembaharuan peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai Peta Indikatif

    Penundaan Izin Baru pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap 6 (enam)

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    14/60

    14

     bulan sekali melalui kerjasama dengan Menteri Kehutanan, Kepala Badan

    Pertanahan Nas ional, dan Ketua Satuan Tugas Per siapan Pembentukan

    Kelembagaan REDD+ atau Ketua lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan

    tugas khusus di bidang REDD+.

    7. Para Gubernur:

    Melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan

    hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif

    Penundaan Izin Baru.

    8. 

    Para Bupati/Walikota:

    Melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan

    hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif

    Penundaan Izin Baru.

    E.  Hipotesis

    Berdasarkan pada tujuan penelitian dan permasalahan yang telah dipaparkan diatas,

    maka penulis merumuska Hipotesis sebagai berikut : “Implementasi  Letter Of Intetn (LOI)

    Indonesia dan Norwegia, dimana menjadi salah satu kesepekatan tertulis antara dua Negara

    dalam penurunan emisi karbon masih belum optimal. Kewenangan antara kepala Negara dan

    kepala daerah masih berbeda orientasi untuk visi dan misi Indonesia dalam penurunan emisi

    karbon.”

    F.  Metodelogi Penelitian

    Berdasarkan penelitian ini, penulis menggunakan metode diskriptif analisis, yaitu

     prosedur analisis media cetak, maupun online. Membuat kesimpulan dari beberapa fakta-

    fakta yang terkumpul yang di sesuaikan pada implementasi.

    1. Jenis Penelitian

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    15/60

    15

    Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif, untuk

    mengkaji implementasi dari kesepakatan-kesepakan antara Indonesia dan Norwegia

    melalui Letter of Intent  tentang penurunan emisi karbon yang telah di sepakati. 

    2. Sifat Penelitian

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan

    menggunakan pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual

    approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach) 

    3. Data dan Sumber Data

    Sumber data yang diteliti dalam penelitian ini adalah suber data primer, yaitu data

    yang bersumber dari penelitian lapangan atau merangkum dari persepsi banyak

    orang serta data sekunder, yaitu buku-buku serta artikel-artikel yang terkait dengan

    tema penelitian. 

    4. Teknik Pengumpulan Data

    Dalam hal ini penulis menggunakan tekhnik wawancara (interview) terstruktur,

    yaitu melakukan wawancara dengan menggunakan panduan tertulis dimana tertulis

     juga di set iap responden nama dan instansi. Adapun yang menjadi responden dalam

     penelitian dengan teknik wawancara (interview)  adalah instansi pemerintahan

     pengambil kebijakan dalam pengelolaan hutan di kota Pontianak sebagai sampel

    seperti dinas kehutanan provinsi, dinas pertambangan provinsi dan dinas

     perkebunan provinsi Kalimantan barat. Selain itu juga melibatkan para pemerhati

    lingkungan (NGO), akademisi di bidang kehutanan dan bidang hukum.

    5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

    Dalam hal ini penulis menggunakan tekhnik  Non Probability Sampling  yang

     bersifat Purposive Sampling yaitu, penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan

     penelitian, sampel dipilih atau ditetukan oleh penulis. Selain itu penulis juga

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    16/60

    16

    menggunakan tekhnik penentuan sampel yang bersifat Snowball Sampling, yaitu

    dengan mencari informan kunci (Key Informan), yang mana responden kunci

    mengetahui tentang penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun responden yang

    menjadi informan kunci (Key Informan), adalah instansi yang pengambil kebijakan

    dalam pengelolaan kawasan hutan.

    6. Analisis Data

    Analisis data yang digunakan penulis adalah Analisis Kualitatif, dimana

     pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.

    7. Populasi dan Sampel

    7.1 Populasi

    Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian, adapun yang menjadi

     populasi dalam penelitian ini adalah : 

    7.1.1  Instansi pemerintah

    7.1.2  Pemerhati lingkungan dan hukum

    7.2 Sampel 

    Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian.

    Mengenai jumlah sampel yang diambil untuk penelitian ini didasarkan pada

     pendapat Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, yang mengatakan “Bahwa

    dalam suatu penelitian yang populasinya kecil maka digunakan sampel total”.10 

    Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis menetapkan sampel sebagai

     berikut:

    7.2.1  Instansi pemerintahan sebanyak 5 orang

    7.2.1.1  orang dinas bagian perlindungan kehutanan provinsi Kalimantan

     barat

    10 Masri Singarimbuan dan Sofian Effendi, 1985, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    17/60

    17

    7.2.1.2  orang dinas perkebunan bagian pemanfaatan provinsi Kalimantan

     barat

    7.2.1.3  orang dinas pertambangan bagian pemanfaatan provinsi Kalimantan

     barat

    7.2.1.4  orang dari Badan Lingkungan Hidup Daerah bagian perlindungan

     provinsi Kalimantan barat

    7.2.1.5  orang dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)

     bagian pengembangan provinsi Kalimantan barat

    7.2.1.6 

    Pemerhati lingkungan dan pemerhati (NGO) hukum sebanyak 2

    orang

    7.2.1.6.1  1 orang pemerhati khusus di bidang kehutanan

    7.2.1.6.2  1 orang pemerhati khusus di bidang hukum

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    18/60

    18

    BAB II

    UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENERAPAN LETTER OF INTENT  

    INDONESIA DAN NORWEGIA TENTANG REDD+ DI KALIMANTAN BARAT

    A.  Kedudukan Letter of Intent Dalam Perjanjian Internasional

    Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur

    dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan

    kewajiban di bidang hukum publik. Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur

    tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan

    Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya

    Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat

    ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826. Perjanjian

    internasional dalam Konvensi Wina11  tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai :  An

     International agreement concluded between States in written form and governed by

    international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related

    instruments and whatever its particular designation  (perjanjian internasional adalah semua

     perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang

    diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat

    hukum). Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina diatas, maka unsur-unsur perjanjian

    internasional adalah : 

    11 Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, mengatur tentang

     perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi Wina

    merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut, termasuk

    Indonesia. Konvensi Wina pertama kali open for ratification pada 1969 dan baru entry into force 1980.

    Indonesia meratifikasi Konvensi Wina dengan Undang-undang No.1/1982

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    19/60

    19

    1.  Suatu persetujuan internasional

    2.  Dibuat oleh negara Negara

    3.  Dalam bentuk tertulis

    4.  Didasarkan pada hukum internasional

    5.  Dibuat dalam instrumen tunggal. Dua atau lebih

    6.  Memiliki nama apapun

    Bentuk-bentuk perjanjian Internasional yang banyak di gunakan oleh beberapa Negara

    yang di sesuaikan dengan kesepakatan antar Negara akan menggunakan judul dokumen.

    Konvensi Wina dan jurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor penentu,

     perlu pula diperhatikan bahwa praktek Negara tentang judul suatu perjanjian sangat dinamis

    dan memunculkan berbagai variasi menurut Sumaryo Suryokusumo12 dalam bukunya hukum

     perjanjian internasional jenis perjanjian internasional adalah sebagai berikut:

    1.  Treaty adalah suatu perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mencapai hubungan

    hukum mengenai objek hukum (kepentingan) yang sama.

    2.  Convention adalah suatu perjanjian/persetujuan yang lazim digunakan dalam

     perjanjian multilateral.

    3.  Agreement adalah perjanjian yang lebih bersifat teknis atau administratif. Agreement

    tidak diratifikasi karena sifatnya tidak seresmi traktat dan konvensi.

    4. 

    Memorandum of Understanding merupakan pernyataan kesepahaman antara kedua

     belah pihak sebelum memasuki sebuah kontrak

    5.  Protocol adalah suatu perjanjian/persetujuan yang kurang resmi dibandingkan dengan

    traktat atau konvensi sebab protocol hanya mengatur masalah-masalah tambahan

    seperti penafsiran klausal-klausal atau persyaratan perjanjian tertentu.

    12 Sumaryo Suryokusumo merupakan guru besar universitas Indonesia pada tahun 2005

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    20/60

    20

    6.  Charter adalah yaitu istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional untuk

     pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.

    7.  Declaration adalah suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelas atau

    menyatakan adanya hukum yang berlaku atau untuk menciptakan hukum baru.

    8.  Final Act yaitu ringkasan-ringkasan hasil konferensi yang menyebutkan Negara-

    negara peserta, utusan-utusan dari Negara yang turut berunding, serta masalah-

    masalah yang disetujui dalam konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.

    9.  Exchange of Notes yaitu metode tidak resmi yang sering digunakan dalam praktik

     perjanjian internasional. Metode ini menimbulkan kewajiban-kewajiban yang

    mengikat mereka. Biasanya metode ini dilakukan oleh wakil-wakil militer dan Negara

    serta dapat bersifat nonagresi.

    10. Agreed Minutes yaitu catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh

     pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya akan digunakan sepagai rujukan

    dalam perundingan-perundingan selanjutnya. Summary Records

    11. ProcessVerbal istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan

     piagam pengesahan atau mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhnik

    administrative atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan

    12. ModusVivendi yakni suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan

    diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat secara tidak

    resmi dan tidak memerlukan pengesahan

    13.  Letter of Intent merupakan kesepakatan yang tidak mempunyai konsekwensi hukum

    yang mengikat. Dengan kalimat lain LoI ini sering digunakan sebagai langkah awal

    untuk memulai negosiasi untuk menuju kepada pembentukan kontrak. 

    14. Arrangement (kesepakatan)

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    21/60

    21

    Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional

    melalui cara-cara sebagai berikut :

    1.  Penandatangan;

    2.   pengesahan;

    3.   pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;

    4.  cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional

    Untuk memastikan dijalankannya tahapan-tahapan penyusunan perjanjian internasional

    (konsultasi, koordinasi, dan sebagainya), Kemlu memanfaatkan “momentum” kebutuhan

    kementerian pemrakarsa akan surat kuasa (full power) dan/atau kertas perjanjian yang

    dikeluarkan oleh Kemlu. Perjanjian internanasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak

     berlaku jika salah satu pihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Setelah diratifikasi,

     berlakunya perjanjian tersebut bergantung pada paham yang berlaku di negara tersebut:

    monisme atau dualisme. Pasal 26 Konvensi Wina 1969: perjanjian mengikat para pihak yang

    membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 27: negara tidak dapat

    menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan

    kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.

    Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen

    yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan

    dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada

    negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa. Ratifikasi suatu

    kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala

    Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina 1969 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan

     persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi

    melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk

    meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    22/60

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    23/60

    23

    3.  Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-

    undang.

    Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah

    yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi

    dengan undang – undang.

    Dalam bisnis, manjemen, dan hukum, LOI ( Letter of Intent ) adalah suatu surat resmi

     bisnis, yang secara hukum tak mengikat para pihak di dalamnya, dibuat oleh seorang pemilik

     bisnis, pengusaha, atau perusahaan, untuk menyampaikan ketertarikan, keinginan, niat, minat,

    atau maksud bisnis secara serius, rinci, ringkas dan jelas, dan tindakan lanjut dan transaksi

    akan dilakukan, dan kemampuan utk melaksanakannya, kepada pemilik bisnis, pengusaha,

    atau perusahaan lain.

    LOI biasanya berkaitan dengan pembelian atau pengambil alihan (aquisition) aset

     perusahaan, saham (stock ) perusahaan, penanaman modal atau investasi (investment ), modal

     patungan ( joint venture), atau penggabungan (merger ) perusahaan, yang umumnya dalam

    skala besar secara finansial. LOI, dengan kata lain, merupakan suatu surat resmi

     penyampaian konfirmasi keseriusan dalam bisnis dan inti transaksi finansial ingin dilakukan,

    dan sebagai pengantar bagi para pihak untuk bernegosiasi dan mencapai suatu kesepakatan

    hingga ke suatu MOU (memorandum of understanding) dan persetujuan kontrak (contract

    agreement ) dgn transaksi finansial di dalamnya, tanpa konsekuensi legal jika kesepakatan

    gagal dicapai selama negosiasi sebelum persetujuan kontrak ditandatangani menurut Achmad

    Firwany14.

    B.  Dasar-dasar dalam Letter of Intent Indonesia dan Norwegia Tentang REDD+

    14 Dalam artikel kompilasi dan transkrips LOI  Letter of Intent  http://dwikasudrajat.blogspot.com/2012/03/loi-

    letter-of-intent.html

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    24/60

    24

    Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum

    memperoleh penilaian yang memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang

    tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam system pasar terhadap produk

    dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar yang tersedia di

     bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpana CO2 melalui kegiatan penanaman pohon

    tidak memberikan manfaat yang berarti karena prosedur dan aspek metodologi yang

    kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan

    emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan

    terhadap stabilisasi GHgs di atmosfir (stabilisasi iklim) memerlukan pendekatan kebijakan

    internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan

     berpartisipasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan emisi

    dari deforestasi juga memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan

    mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat

    lokalnya. Dan negara berkembang akan terdorong melaksanakan upaya pengurangan emisi

    dari deforestasi dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan setidaknya setara dengan

    opportunity costs dari penggunaan lahan/hutan tersebut. Deforestasi di negara berkembang

    meskipun latar belakangnya beragam, namun secara umum adalah alasan ekonomi antara lain

    kebutuhan pembangunan sejalan dengan bertambahnya populasi tidak terkecuali Indonesia.

    Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120,5 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas

    total Indonesia15, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara

    luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung dan

    5.4 %  angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi nasional

    antara tahun 1985 – 1995an. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non

    15 Data badan Planologi tahun 2005, PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI

    DI INDONESIA ( REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA/REDDI ). http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengurangan.htm

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    25/60

    25

    kayu sedang manfaat tidak langsung  adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air

    dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan

    manusia saat ini dan di masa yang akan dating. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat

     berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon).

    Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan

    kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca/GRK (Green

     House Gases/GHGs) yang terjadi di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi

    (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,

     pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal

    logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan). 

    Presiden Yudhoyono di Oslo menyampaikan bahwa kerja sama ini sejalan dengan upaya

    nasional Indonesia, dan jalan global UNFCCC (United Nations Framework Convention on

    Climate Change) untuk membangun sistem guna mengurangi emisi dari penggundulan hutan

    dan konversi lahan gambut. Indonesia percaya bahwa dengan menjalin kerja sama dengan

     pemerintah Norwegia, Indonesia dapat mendorong lebih jauh negosiasi internasional dan

     program REDD+ yang konkrit untuk memecahkan tantangan global sehubungan dengan

     perubahan iklim. Pertemuan dua hari antara Indonesia dan Norwegia digelar di Jakarta pada

    18 dan 19 Agustus dan membahas implementasi Tahap I dari kerja sama ini, termasuk

     pendirian badan REDD+ Indonesia, pengembangan strategi nasional REDD+ yang lengkap,

     penerapan instrumen pendanaan interim, pengembangan kerangka kerja monitoring,

     pelaporan dan verifikasi (MRV), seleksi propinsi percontohan dan penerapan 2 tahun

     penundaan konsesi baru untuk hutan alam dan lahan gambut yang dimulai pada tahun 2011. 

    Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Pengiriman

    Kepresidenan untuk Pengembangan Monitoring dan Pengawasan, sementara delegasi

     Norwegia dipimpin oleh YM Eivind S. Homme, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    26/60

    26

    REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan dan lahan gambut Plus)

    merupakan mekanisme insentif ekonomi yang diberikan kepada negara berkembang untuk

    mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan dalam rangka pengurangan emisi karbon.

    Indonesia sebagai negara dengan luas hutan lebih dari 130 juta ha atau 70 persen dari luas

    daratannya berpeluang besar untuk menerapkan REDD+. Indonesia berkepentingan

    menjalankan program REDD+ untuk mengurangi emisi yang cukup besar dari sektor

    kehutanan dan penggunaan lahan dengan menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan

    secara signifikan. Indonesia juga berkepentingan ikut menekan laju pemanasan global karena

    termasuk negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

    REDD+ akan dikembangkan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi

    hijau untuk memastikan bahwa upaya penanganan perubahan iklim dari sektor penggunaan

    lahan dilakukan sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan

    Indonesia. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari skenario

     pembangunan  Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa

    mengorbankan pembangunan di sektor lain, atau 41 persen jika mendapatkan bantuan

    internasional. Pemerintah akan melakukan ini sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan

    ekonomi sebesar 7% per tahun. Untuk mewujudkan komitmen ini pemerintah telah

    mengeluarkan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah

    Kaca (RAN-GRK) dan Perpres 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK

     Nasional. REDD+ mendukung pencapaian target RAN-GRK dalam bidang pengelolaan

    hutan, lahan gambut dan pertanian. 

    C.  Strategi Indonesia dan Kalimantan barat dalam implementasi Letter of Intent 

    Dalam rujukan  Letter of Intent   Indonesia dan Norwegia beberapa program yang di

    luncurkan di beberapa wilayah Indonesia yang terkait dengan REDD+. Dari kesepakatan

    kedua Negara tersebut semua project yang di selenggarakan di beberapa Negara seperti Brazil

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    27/60

    27

    menamakan program kerja tersebut REDD. Dalam pengemasan program tersebut maka harus

    terdapat sinkronisasi visi dan misi strategi yang akan di terapkan di Negara dan provinsi-

     provinsi yang menjadi acuan untuk penurunan emisi. Strategi Nasional REDD+ Indonesia

    adalah sebagai berikut.

    1. Strategi Nasional REDD+ terdiri dari:

    1.1  Visi, misi dan tujuan REDD+ di Nasional 

    1.1.1  Visi

    Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan

    sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk

    kemakmuran rakyat.

    1.1.2  Misi 

    Mewujudkan visi pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan melalui tata kelola

    yang efektif yang dicapai dengan: 

    1.1.2.1  Memantapkan fungsi lembaga pengelolaan hutan dan lahan gambut.

    1.1.2.2  Menyempurnakan peraturan/perundangan dan meningkatkan penegakan

    hukum.

    1.1.2.3  Meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan gambut.

    1.1.3  Tujuan

    1.1.3.1  Tujuan jangka pendek (2012-2014): Perbaikan kondisi tata kelola,

    kelembagaan, tata ruang dan iklim investasi secara strategis agar dapat

    mencapai komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dengan tetap menjaga

     pertumbuhan ekonomi. Sumber daya alam dalam pemahaman ini diartikan

    sebagai tanah, air, udara sebagaimana termaktub di dalam pasal 33 Undang

    Undang Dasar 1945.

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    28/60

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    29/60

    29

    1.1.  Visi

    Tata kelola sumberdaya hutan dan lahan di kalimantan barat yang mampu

    menyinambungkan keselarasan fungsi lingkungan danmanfaat ekonomi bagi

    kesejahteraan masyarakat 

    1.2.  Misi

    Mewujudkan Visi pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan

     berkelanjutan melalui tata kelola yang baik dapat dicapai dengan:

    1.2.1 Memantapkan struktur dan fungsi lembaga pengelolaan hutan dan

    lahan (baikskala besar maupun kecil) guna mengefektifkan

     pengurangan emisi;

    1.2.2 Mengembangkan perencanaan, pembangunan khususnya kegiatan

     berbasishutan dan lahan yang berorientasi pada pengurangan emisi;

    1.2.3 Menyempurnakan peraturan/perundangan dan meningkatkan

     penègakanhukum di bidang pengelolaari hutan dan penggunaan

    lahan guna penguranganemisi;

    1.2.4 Meningkatkan kapasitas (pengetahuan, keterampilan dan sikap)

     para pengelolaan sumberdaya hutan serta pengguna lahan agar

    upaya pengurangan emisi dapatberjalan secara lebih efektif

    1.3.  Tujuan

    1.3.1 Tujuan Jangka Pendek (2012-2014): Perbaikan kondisi tata kelola,

    kelembagaan, tata ruang serta iklim investasi secarà strategis di Provinsi

    Kalbar dan kabupaten/kota agar dapat mendukung pencapaian komitmen

    Indonesiadalam pengurangan emisi;

    1.3.2  Tujuan Jangka Menengah (2012-2020): Terlaksananya tata kelola

    sumberdaya hutan dan lahan Kaltim sesuai kebijakan dan tata cara yang

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    30/60

    30

    dibangun, serta pada ruang dan mekanisme keuangan yang telah

    ditetapkan dan dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi yang

     benar terhadap target-target Nasional penurunan emisi 26-41% tahun

    2020;

    1.3.3  Tujuan Jangka Panjang (2012-2030): Hutan dan lahan Indonesia, serta

    khususnya yang berada di Kalbar menjadi net carbon sink pada tahun

    2030 sebagai hasil pelaksanaan kebijakan yang benar dan berkeadilan

    untuk

    keberlanjutan fungsi dan jasa ekosistem hutan bagi pembangunan ekonomi

    daerah dan kesejahteraan masyarakat.17 

    Secara hukum, sesuai dengan pasal 1(b) dan 1(c) dari UU 41/2009 tentang Kehutanan,

    skema REDD+ dilaksanakan dalam lawas lahan berhutan (termasuk hutan mangrove) dan

    lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan kawasan APL (Area Penggunaan Lain) di

    seluruh wilayah Indonesia baik yang sudah maupun yang belum tercatat dalam register

    hutan Indonesia ketika Strategi Nasional REDD+ ini ditulis.

    Keterkaitan REDD+ dengan Program Lain Program nasional penanggulangan perubahan

    iklim didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang memberikan

    aturan terkait tata ruang, kehutanan dan lingkungan hidup, yaitu UU 26 tahun 2007 tentang

    Penataan Ruang, UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32 tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres 61 tahun 2011 tentang Rencana

    Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dan Perpres 71 tahun 2011 tentang

    Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Aturan perundang-undangan ini mengamanatkan

    inventarisasi permasalahan perubahan iklim serta pengembangan program-program

     penanggulangan untuk diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka

    17 Draft Rencana Strategi daereah Kalimantan barat REDD+

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    31/60

    31

    Menengah Nasional/Daerah (RPJMN/D). Rencana Strategi REDD+ dikembangkan untuk

    menjadi acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam

     bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan. 

    Meskipun kerangka utama kebijakan perubahan iklim mengacu pada ketiga undang-

    undang di atas, pelaksanaan skema REDD+ tidak dapat berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi

    oleh aturan perundang-undangan, kebijakan dan kinerja seluruh sektor berbasis lahan.

    Termasuk dalam hal ini pengarus-utamaan REDD+ ke dalam rencana pembangunan

    nasional dan sub-nasional. Strategi Nasional REDD+ dibangun berdasarkan pemahaman atas

    seluruh aturan perundang-undangan sektor dan non-sektor yang berimplikasi pada

     pengelolaan hutan dan lahan, serta realitas tata kelola dan pengelolaan (governance and

    management). 

    Berdasarkan dari visi dan misi yang telah di tentukan oleh pemerintah sebagai acuan di

    tingkat nasional untuk penerapan REDD+ di daerah-daerah yang akan menjalani program-

     program yang di turunkan dari pemerintah nasional ke daerah. Adapun matrik visi, misi dan

    tujuan strategi nasional dan Kalimantan barat dapat dilihat sebagai berikut.

    Visi

    Nasional Kalimantan barat

    Pengelolaan sumber daya alam hutan dan

    lahan gambut yang berkelanjutan sebagai

    aset nasional yang dapat dimanfaatkan

    sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat 

    Tata kelola sumberdaya hutan dan lahan di

    kalimantan barat yang mampu

    menyinambungkan keselarasan fungsi

    lingkungan dan manfaat ekonomi bagi

    kesejahteraan masyarakat 

    Misi

    1.  Memantapkan fungsi lembaga

     pengelolaan hutan dan lahan gambut.

    2.  Menyempurnakan peraturan /

     perundangan dan meningkatkan

     penegakan hukum.

    3.  Meningkatkan kapasitas pengelolaan

    sumberdaya hutan dan lahan gambut

    1.  Memantapkan struktur dan fungsi

    lembaga pengelolaan hutan dan lahan

    (baikskala besar maupun kecil) guna

    mengefektifkan pengurangan emisi

    2.  Mengembangkan perencanaan,

     pembangunan khususnya kegiatan berbasishutan dan lahan yang

     berorientasi pada pengurangan emisi

    3. 

    Menyempurnakan peraturan/perundangan dan

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    32/60

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    33/60

    33

    D.  Kondisi Hutan dan Regulasi Tentang Kehutanan di Kalimantan Barat

    Kondisi hutan di sebuah wilayah secara umum dicirikan oleh kondisi penutupan

    lahannya. Intensitas wilayah berhutan di daerah tersebut ditunjukkan oleh keberadaan areal

     berhutan baik hutan primer, sekunder, maupun non hutan. Kondisi penutupan lahan

    menggambarkan konstruksi vegetasi yang menutup permukaan lahan. Informasi penutupan

    lahan dalam hal ini dapat dikenali secara efektif dengan menggunakan citra satelit. Kegiatan

     penafsiran citra satelit untuk mengenali kondisi penutupan lahan di wilayah Provinsi

    Kalimantan Barat telah dilakukan secara berkala setiap 3 tahun sejak tahun 2003 dengan

    menggunakan citra satelit resolusi sedang, yaitu Landsat 7 ETM+18

    . Klasifikasi penutupan

    lahan yang digunakan adalah mengacu pada Standar Klasifikasi Penutupan Lahan dari

    Kementerian Kehutanan. Data terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2009, wilayah

     berhutan di Provinsi Kalimantan Barat adalah seluas 6.501.011 hektar atau mencapai 43,94

    % dari luas seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat Dari luas areal berhutan tersebut,

    sebagian besar berupa hutan kering primer seluas 2.302.939 hektar (15,57 %), hutan kering

    sekunder seluas 2.455.482 hektar (16,6 %), dan hutan rawa sekunder seluas 1.582.922 hektar

    (10,7 %), serta sebagian kecil lainnya merupakan hutan rawa primer, hutan mangrove

     primer, dan hutan mangrove sekunder. Sebagian besar areal berhutan tersebut berada di

    dalam kawasan Taman Nasional, yaitu TN. Betung Kerihun, TN. Bukit Baka - Bukit Raya,

    serta di kawasan konservasi lain seperti CA Gunung Nyiut, TWA Gunung Asuansang, TWA

    Melintang. Selain itu, areal berhutan juga banyak terdapat di kawasan hutan lindung di

    Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, dan Ketapang. Selain wilayah-wilayah tersebut,

    areal berhutan di Provinsi Kalimantan Barat terdistribusi secara sporadis dalam luasan

    18 Lansdsat 7 ETM ( Enhanced Thematic Mapper Plus)adalah foto satellite yang menggambarkan kondisi alam

    terkini sesuai dengan keadaan aslinya. Dapat melihat kondisi hutan, sungai berapa besar perubahan kawasanserta pembukaan lahan dengan pengolahan program khusus yang di sesuaikan dengan tahun yang di perlukan.http://www.usgs.gov/

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    34/60

    34

    wilayah yang tidak terlalu luas, seperti di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, dan

    Sanggau, dimana pada umumnya merupakan daerah perbukitan.19

     

    Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang dimulai sejak era tahun 2000, pemerintah

    daerah memiliki peran yang lebih besar dalam perumusan dan implementasi kebijakan

    kehutanan di tingkat daerah. Salah satu kebijakan yang paling vital dalam pembangunan

    kehutanan di daerah adalah alokasi ruang bagi sektor kehutanan yang diimplementasikan

    dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah. Pentingnya kesepakatan dalam rencana tata

    ruang tersebut adalah untuk memberi kepastian alokasi ruang bagi kegiatan kehutanan yang

     berkekuatan hukum dan dilindungi oleh oleh undang-undang. Di Provinsi Kalimantan Barat

    sendiri, penunjukan kawasan hutan pada awalnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan

    Menteri Pertanian No. 757/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Rencana

    Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) atau Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

    Terbitnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Barat pada tahun

    1995 membawa konsekuensi dilakukannya pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP

    yang kemudian ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

     No. 259/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan

    Perairan Provinsi Kalimantan Barat. Besarnya arus investasi yang masuk ke Provinsi

    Kalimantan Barat pasca tahun 2000an turut memberi tekanan kepada implementasi tata

    ruang berdasarkan SK Menhutbun No. 259/Kpts-II/2000 tersebut, terutama yang menuntut

    rasionalisasi luasan kawasan hutan di masing-masing kabupaten sehingga cukup ruang bagi

     pemerintah kabupaten untuk membangun daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, sejak

    tahun 2005 muncul wacana untuk melakukan revisi terhadap tata ruang wilayah provinsi

    yang kemudian ditindaklanjuti dengan review terhada Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan

    Perairan di Provinsi Kalimantan Barat. Hingga tahun 2011, proses review dan penyusunan

    19  Berdasarkan Potret Hutan Kalimantan Barat yang di keluarkan oleh BPKH (BALAI PEMANTAPAN

    KAWASAN HUTAN) wilayah III Kalimantan barat

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    35/60

    35

    rencana tata ruang provinsi Kalimantan Barat ini masih dalam tahap finalisasi. Selain

    kebijakan tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang menjadi perhatian banyak pihak,

     baik di pusat maupun di daerah, beberapa kebijakan yang menyangkut keberlangsungan

    sektor kehutanan juga mendapat perhatian di daerah.

    Peran pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan kehutanan di tingkat daerah

    tercermin dari terbitnya beberapa peraturan yang menyangkut sektor kehutanan oleh

     pemerintah kabupaten. Kebijakan kehutanan yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten

    tersebut berbeda-beda satu dengan lainnya tergantung dari karakteristik daerah serta

     permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kabupaten. Sebagai contoh, Kabupaten

    Sintang yang berada di perbatasan Indonesia - Malaysia menerbitkan Renstra Pembangunan

    Perbatasan pada tahun 2005 mengingat pentingnya mempersiapkan daerah tersebut dalam

    merespon kesenjangan pembangunan di sepanjang wilayah perbatasan di daerahnya. Namun

    demikian, kebijakan kehutanan di tingkat kabupaten ini masih bersifat kasuistik dan belum

    semua kabupaten merasa perlu menerbitkan peraturan daerah di bidang kehutanan. Tercatat

    hanya beberapa kabupaten saja yang pernah menerbitkan kebijakan kehutanan di tingkat

    daerah, dimana hampir semua kebijakan kehutanan yang telah diterbitkan menyangkut

    tentang konservasi, antara lain penetapan kabupaten konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu,

     penunjukan kawasan bernilai konservasi tinggi serta penunjukan hutan kota di Kabupaten

    Ketapang, Sekadau, Kubu Raya, dan Kota Singkawang.

    No  Prov/Kab/Kota  No.SK / Perda  Tentang 

    1 Prov. KalbarPerda Prov. Kalbar No. 6 Tahun1998

    Pencegahan dan Penanggulangan KebakaranHutan Prov. Kalimantan Barat

    2 Prov. KalbarPerda Prov. Kalbar No. 8 Tahun2006

    Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Beliandalam Wilayah Prov. Kalimantan Barat

    3 Prov. KalbarPergub Prov. Kalbar No. 103Tahun 2009

    Prosedur Tetap Mobilisasi Sumberdaya

    Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan diProv. Kalimantan Barat

    4 Kab. Pontianak Perda No. 19 Tahun 2001Retribusi Peredaran Hasil Hutan dan Hasil

    Hutan Ikutan5 Kab. Sambas Perda No. 13 Tahun 2000 Retribusi Izin Pengambilan Hasil Hutan

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    36/60

    36

    Ikutan

    6 Kab. SekadauKeputusan Bupati Sekadau No. 80Tahun 2009

    Penunjukan Kawasan Hutan Kota KabupatenSekadau seluas 15 ha di Desa Gonis TekamKec. Sekadau Hilir

    7 Kab. Kubu RayaKeputusan Bupati Kubu Raya No. – Tahun 2011 (Draft)

    Kawasan Hutan Kota Kabupaten Kubu Raya

    8 Kab. Kubu RayaKeputusan Bupati Kubu Raya

     No.112 Tahun 2011

    Kawasan Konservasi Di Kecamatan Batu

    Ampar Kabupaten Kubu Raya.

    9 Kab. Sintang --Rencana Strategis Pembangunan KawasanPerbatasan Kabupaten Sintang dengan NegaraBagian Serawak Malaysia Tahun 2005 -2009

    10 Kab. Kapuas HuluKeputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003

    Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu SebagaiKabupaten Konservasi

    11 Kab. KetapangKeputusan Bupati Ketapang No.150 Tahun 2004

    Penunjukan Hutan Kota Di Desa SukaharjaKecamatan Delta Pawan Kabupaten KetapangSeluas 160 Ha.

    12 Kab. Ketapang Keputusan Bupati Ketapang No.326 Tahun 2009

    Penunjukan Kawasan Bernilai KonservasiTinggi Bertumbuhan Bakau Alam Di DesaSungai Awan Kanan dan Desa Sungai Awan

    Kiri Kecamatan Muara Pawan KabupatenKetapang

    13 Kab. KetapangKeputusan Bupati Ketapang No.

    30 Tahun 2011

    Penunjukan Kawasan Bernilai KonservasiTinggi Sebagai Habitat Orang Hutan, Jenis-

    Jenis Primata dan Satwa Liar Lainnya DiDesa Mekar Utama Dan Desa PagarMentimun Kecamatan Kendawangan dan

    Kecamatan Matan Hilir Selatan KabupatenKetapang

    14 Kota SingkawangKeputusan Walikota Singkawang

     No. 124 Tahun 2008

    Penunjukan kawasan hutan kota di KotaSingkawang meliputi kawasan Gunung Sari

    seluas 150.303 ha dan kawasan Pasir Panjangseluas 381,8 ha

     Rekapitulasi kebijakan daerah Kalimantan barat : Sumber BPKH Kalimantan barat 20

     

    Dari kebijakan yang telah telah di buat oleh pemerintah daerah menunjukan bahwa

     pemerintah daerah memiliki komitmen untuk menata daerah masing-masing dimana mulai

    dari aspek ekonomi, sosial, dan penataan ruang. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

    kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

    kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan21.

    Komitmen pemerintah daerah melalui peraturan daerah dapat menjadi memperlihatkan

    keseriusan pemerintah dalam mengatur daerah. Tetapi hal ini juga menjadi salah satu bagian

    yang akan menjadi kelemahan apabila terdapat perbedaan orientasi atau banyak kepentingan

    yang tidak berpihak kepada masyarakat. Latarbelakang dalam peraturan tetap mengacu

    20

     Peraturan daerah yang buat sesuai dengan keadaan daerah masing-masing yang berpedoman pada undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan21

     Pasal 1 ayat 5 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    37/60

    37

    kepada kesejahteraan, tetapi di sisi lain juga peraturan menjadi penghambat atau birokrasi

    yang sulit di tempuh bagi masyarakat. Karena beberapa dari kebijakan berorientasi pada

    investasi, karena setiap daerah memiliki kewajiban untuk dapat mengembangkan daerah

    masing-masing. Apabila pengembangan di setiap daerah tidak sesuai dengan keadaan di

    masing-masing daerah maka regulasi yang telah di buat oleh pemerintah daerah akan

    menimbulkan konfilk antara masyarakat dengan perusahaan atau masyarakat dengan

     pemerintah.

    E.  Model Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan

    Dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Kalimantan barat di berikan

    keleluasaan kepada perusahaan maupun masyarakat untuk pengelolaan sendiri. Pemerintah

    memberikan kesempatan mengelola sumber daya hutan maupun memanfaatkan hasil hutan

    kayu dan non kayu dengan. Beberapa skema pemanfaatan sumber daya hutan yang telah di

    tetapkan oleh pemerintah dalam bentuk perorangan, kelompok, masyarakat maupun

     perusahaan. Terdapat 6 skema pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu di dalam

    kawasan hutan yang telah di tetapkan oleh menteri kehutanan serta di akui oleh Indonesia

    yaitu:

    1. IUPHHK Hutan Alam

    IUPHHK Hutan Alam atau yang dahulu disebut sebagai HPH merupakan izin usaha

    yang diberikan kepada pemohon untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan

    alam pada kawasan hutan produksi. Kegiatan yang diijinkan meliputi pemanenan atau

     penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran. IUPHHK Hutan Alam diberikan

    oleh Menteri Kehutanan kepada pemohon dengan mempertimbangkan rekomendasi dari

    Gubernur. Berdasarkan Data Strategis Kehutanan 2009 (Dep. Kehutanan, 2009),

     perkembangan HPH / IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun

    1997/1998 sampai dengan 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan pada periode

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    38/60

    38

    tahun 1997/1998 sampai tahun 2003 dan kembali mengalami sedikit peningkatan pada

    tahun-tahun berikutnya, baik pada jumlah unit usaha maupun luasannya. Jumlah HPH pada

     periode 1997-2003 berkurang dari 40 unit menjadi 18 unit dengan luasan berkurang dari

    5.089.866 ha menjadi 1.125.400 ha atau tinggal seperempat-nya saja yang tersisa. Penurunan

    yang cukup signifikan tersebut terjadi seiring era reformasi dimana banyak HPH yang

    gulung tikar dan tidak mampu meneruskan usahanya sehingga pada periode itu diketahui

     banyak terjadi PHK secara massal. Peningkatan dan stabilitas IUPHHK kembali muncul

    setelah era desentralisasi dimana terjadi beberapa evaluasi terhadap regulasi yang sudah

    tidak sesuai lagi serta pemberian peran yang lebih besar kepada daerah. Hingga saat ini,

     jumlah IUPHHK Hutan Alam yang ada di Provinsi Kalimantan Barat cenderung stabil baik

    dalam jumlah maupun luasannya. Adapun data perkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam

    sejak tahun 1997 hingga 2009 dapat.  Beberapa diantaranya sudah tidak aktif di lapangan,

    yaitu sebanyak 11 IUPHHK. Sebagian besar IUPHHK yang sudah tidak aktif ini berada di

    Kabupaten Kapuas Hulu. 

    2. IUPHHK Hutan Tanaman

    IUPHHK Hutan Tanaman merupakan izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada

    kawasan hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industry untuk meningkatkan potensi

    dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Areal

    IUPHHK Hutan Tanaman diutamakan pada areal hutan produksi yang tidak produktif dan

    tidak dibebani hak atau ijin lainnya. Berdasarkan Data Strategis Kehutanan 2009 (Dep.

    Kehutanan, 2009), perkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat

    dari tahun 1997/1998 sampai dengan 2009 cukup stabil, terutama pada periode 1997 hingga

    2006, yaitu sebanyak 11 IUPHHK dengan luas sekitar 580.086 ha. Jumlah IUPHHK Hutan

    Tanaman melonjak pesat pada periode 2007 hingga 2009 yang meningkat menjadi 28 hingga

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    39/60

    39

    20 unit IUPHHK dengan luas terakhir mencapai 1.540.978 ha. Perkembangan IUPHHK

    Hutan Tanaman Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 1997/1998 sampai dengan 2009.

    Diantara seluruh perusahaan IUPHHK Hutan Tanaman yang telah memiliki SK Menteri

    Kehutanan tersebut, 15 diantaranya sudah tidak aktif dan hanya 10 perusahaan yang aktif.

    Dari seluruh perusahaan IUPHHK Hutan Tanaman yang ada di Provinsi Kalimantan Barat,

    sebagian besar berada di Kabupaten Ketapang, yaitu seluas 503.660 ha atau sekitar 32,68%.

    3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

    Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan program pemerintah untuk mempercepat

     pertumbuhan ekonomi melalui pemberian kemudahan akses kepada masyarakat terhadap

    sumber daya hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Melalui program HTR ini

    diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk mengakses lahan hutan serta pasar

     perdagangan kayu. HTR sendiri dialokasikan di hutan produksi yang tidak dibebani oleh

    hak. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat diberikan oleh

    Menteri Kehutanan berdasarkan permohonan dari perorangan atau koperasi berdasarkan

    rekomendasi dari dinas kehutanan setempat. Berdasarkan data dari BPPHP Wilayah X,

    hingga saat ini kawasan hutan produksi yang telah dicadangkan Menteri Kehutanan sebagai

    areal HTR di Provinsi Kalimantan Barat adalah seluas 40.690 ha yang meliputi 4 kabupaten,

    yaitu Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak, dan Kubu Raya. Namun demikian, hingga saat

    ini dari areal yang dicadangkan tersebut belum ada satupun ijin HTR yang telah diterbitkan

    karena belum ada pengajuan dan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena minimnya

     pengetahuan masyarakat terhadap skema HTR ini sehingga diperlukan sosialisasi kepada

    masyarakat serta pendampingan dalam rangka pengajuan ijin HTR ini. 

    4. Hutan Kemasyarakatan (HKm)

    Hutan Kemasyarakatan (HKm) berdasarkan Kepmenhut No. 31 Tahun 2001 merupakan

    hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    40/60

    40

    masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Hutan kemasyarakatan

    diselenggarakan dengan berazaskan pengelolaan hutan secara lestari. Di Provinsi

    Kalimantan Barat, perkembangan realisasi HKm tidak terjadi setiap tahun. Realisasi HKm

     pada luas areal yang cukup besar terjadi pada tahun 2000, yakni seluas 6.731 Ha, sementara

     pada tahun-tahun berikutnya tidak begitu luas dan tidak selalu ada.

    5. Hutan Desa

    Hutan Desa menurut PP No. 6 Tahun 2007 dan Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008

    merupakan hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan

    dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Munculnya kebijakan tersebut memberikan ruang

     bagi masyarakat untuk turut mengelola hutan melalui skema ini. Meski payung hukumya

    telah ada, namun implementasi dari hutan desa ini secara teknis diperkirakan tidak mudah,

    terkait dengan ketersediaan ruang bagi hutan desa mengingat sebagian besar kawasan hutan

    telah memiliki konsesi sendiri. Hal ini berarti bahwa tidak semua masyarakat desa bisa

    mengajukan usulan Hutan Desa kepada pemerintah tergantung dari ada atau tidaknya

    kawasan hutan yang bisa dimohon di sekitar wilayah desa masingmasing. Di Provinsi

    Kalimantan Barat, hingga saat ini belum ada areal yang telah ditetapkan oleh Menteri

    Kehutanan sebagai Hutan Desa. Namun hingga tahun 2010 telah terdapat sejumlah usulan

     permohonan Hutan Desa, yaitu di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Hingga saat ini,

    usulan-usulan tersebut telah diverifikasi dan sedang menunggu penetapan dari Menteri

    Kehutanan. 

    Berdasarkan hasil verifikasi, diketahui bahwa sebagian areal yang diusulkan tersebut

    tumpang tindih, baik dengan ijin IUPHHK Hutan Alam dan HutanTanaman seperti di

    Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, dan Sintang, maupun tumpang tindih dengan

     pencadangan areal untuk transmigrasi di Kabupaten Ketapang. Sehingga diperkirakan areal

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    41/60

    41

    hutan desa yang akan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan nantinya akan berkurang dari areal

    yang diusulkan. 

    6. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

    Kesatuan Pengelolaan Hutan atau lebih dikenal dengan istilah KPH merupakan salah

    satu kebijakan Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan hutan dengan pengaturan

     pewilayahan unit pengelolaan pada kesatuan hutan terkecil sesuai dengan fungsi pokok dan

     peruntukannya sehingga dapat dikelola secara efisien dan lestari. Pengembangan areal KPH

    sendiri dibedakan sesuai dengan fungsi kawasannya, yaitu kawasan konservasi (KPHK),

    hutan lindung (KPHL), dan hutan produksi (KPHP). Secara teknis, pembangunan KPH

    sendiri merupakan serangkaian proses untuk menghasilkan wujud riil dari unit pengelolaan

    hutan di tingkat tapak, yang tahap-tahapnya meliputi pembentukan unit atau wilayah KPH,

     pembentukan institusi pengelola KPH, serta penyusunan rencana pengelolaan KPH.

    Menindaklanjuti hal tersebut, maka pada tahun 2010 Kementerian Kehutanan telah

    menetapkan wilayah KPHP dan KPHL di Provinsi Kalimantan Barat melalui surat

    keputusan No. SK.67/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010 sebanyak 34 unit dengan luas

    total 6.973.613 ha yang meliputi 5 unit KPHL seluas 1.372.345 ha dan 29 unit KPHP seluas

    5.601.268 ha. Sedangkan untuk kawasan konservasi, Kementerian Kehutanan telah

    menetapkan 2 kawasan konservasi, yaitu TN. Gunung Palung dan TN. Danau Sentarum

    sebagai KPHK sesuai dengan surat keputusan no. SK.721.Menhut-II/2010 dan SK.

    715/Menhut-II/2010, dengan luas 90.000 ha dan 132.000 ha.

    Dalam rangka memberi kejelasan pelaksanaan pembangunan KPH tersebut serta

    mendapatkan perwakilan yang ideal dari KPH yang akan diimplementasikan secara massal,

    maka Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten telah

    merancang pembentukan KPH Model, yaitu di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas

    Hulu. Pembentukan KPH Model ini merupakan strategi bertahap dari Kementerian

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    42/60

    42

    Kehutanan dalam pembangunan kelembagaan KPH dan dimaksudkan sebagai stimulan

    dalam upaya pembangunan kelembagaan KPH di Provinsi Kalimantan Barat. Pembentukan

    KPHP Model di Provinsi Kalimantan Barat telah diinisiasi sejak tahun 2005 melalui

    fasilitasi pembentukan KPHP Merakai di Kabupaten Sintang seluas ± 37.653 Ha, yaitu di

    Kecamatan Ketungau Tengah yang mencakup wilayah 7 desa, yaitu Desa Wirayuda,

    Swadaya, Tanjung Sari, Tirta Karya, Panding Jaya, Wana Bhakti, dan Landui Kedujung.

    Secara kelembagaan, di KPHP Merakai juga telah terbentuk lembaga pengelola berupa Unit

    Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kabupaten yang dibentuk oleh Bupati Sintang melalui

    Peraturan Daerah No. 62 Tahun 2010 tanggal 23 Desember 2010. Pada tahun 2009, KPHP

    Merakai ditunjuk sebagai KPHP Model oleh Menteri Kehutanan dengan surat keputusan No.

    791/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 seluas 56.893 hektar, dengan rincian 10.420

    ha berada di Hutan Lindung (HL) dan 46.473 ha di Hutap Produksi (HP).

    7.  Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Hutan

    Keberadaan kawasan hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat memiliki arti penting

    tidak hanya bagi masyarakat di sekitarnya, namun juga bagi lingkungan global. Perhatian

    terhadap keberadaan dan keberlangsungan sumberdaya hutan di Provinsi Kalimantan Barat

    dari berbagai pihak, baik dari local maupun internasional, diwujudkan dalam bentuk

     berbagai kerjasama dengan focus.

    kegiatan yang beragam, antara lain bantuan teknis, peningkatan infrastruktur,

     pengembangan kapasitas SDM, dan lain-lain. Pengakuan terhadap arti penting kawasan

    hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat bagi lingkungan global setidaknya juga terlihat

    dari dimasukkannya sebagian wilayah hutan di Kalimantan Barat dalam skema inisiatif

    Jantung Kalimantan atau  Heart of Borneo22

     yang berupaya mengkonservasi kawasan hutan

    serta mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan di Pulau Kalimantan.

    22

      Merupakan program inisiatif kerjasama trilateral yang melibatkan Negara-negara yang memiliki kawasanhutan di wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan, yaitu Indonesia - Malaysia - Brunei Darussalam sejak tahun2007

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    43/60

    43

    Program  Heart of Borneo  sendiri merupakan inisiatif kerjasama trilateral yang melibatkan

    negara-negara yang memiliki kawasan hutan di wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan,

    yaitu Indonesia - Malaysia - Brunei Darussalam. Kerjasama ini dideklarasikan sejak tahun

    2007 dan hingga saat ini terus melakukan berbagai kegiatan yang mendukung visi dan misi

    kerjasama ini, yaitu konservasi sumberdaya hutan serta pengelolaan sumberdaya alam yang

     berkelanjutan. Program kerjasama ini merupakan kerjasama jangka panjang yang setiap

    tahun selalu dimonitor melalui trilateral meeting yang secara bergantian digelar di setiap

    negara anggota kerjasama.

    Selain program Heart of Borneo, hingga saat ini diketahui telah banyak kerjasama

     pengelolaan sumberdaya hutan yang telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat, provinsi,

    maupun kabupaten dengan berbagai fokus kerjasama yang berbeda-beda. Sejak tahun 1990,

    kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan di Provinsi Kalimantan Barat telah dimulai

    melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) atau Social Forestry Development Program

    (SFDP) yang merupakan kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan GTZ Jerman23 

    dengan lokasi di Kabupaten Sanggau. Selain itu, terdapat juga kerjasama dengan Uni Eropa

    melalui program FLEGT24

     yang memberikan dukungan terhadap penegakan hukum dalam

     perdagangan hasil hutan serta kerjasama dengan pemerintah Jerman melalui program DED

    yang fokus terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam

    kebijakan perubahan iklim. Selain kerjasama pengelolaan hutan yang bersifat makro di

    tingkat provinsi tersebut, juga terdapat beberapa kerjasama pengelolaan hutan yang bersifat

     parsial, terutama pada kawasan konservasi seperti taman nasional. Hingga saat ini, sejumlah

    kerjasama telah dilakukan oleh taman nasional di Kalimantan Barat, antara lain TN Gunung

    Palung, TN Betung Kerihun, dan TN Danau Sentarum dengan beberapa pihak, baik lokal

    23 GTZ (Gesellschaft Technische Zusammenarbeit ) merupakan lembaga Internasional dari Jerman yang bekerja

    sama dengan Indonesia untuk konservasi24 FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) merupakan program kerja sama antara Indonesia

    dengan Uni Eropa untuk melakukan penegakan hukum dan perbaikan dalam bidang tata kelola kehutanan

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    44/60

    44

    maupun internasional. Fokus kerjasama yang dilakukan pada umumnya terkait dengan

    konservasi spesies serta konservasi hutan pada umumnya seperti pemberantasan illegal

    logging dan kebakaran hutan.

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    45/60

    45

    BAB III

    PENGOLAHAN DATA

    A.  Analisa Data Pemanfaatan Hutan Dan Lahan Di Kalimantan Barat

    Pada bagian ini akan dilakukan anailis terhadap data dalam pemanfaatan lahan dan hutan

    di Kalimantan barat sebelum dan sesudah penandatanganan  Letter of Intent   Indonesia dan

     Norwegia dalam penurunan emisi karbon yang cukup di kenal dengan REDD+ ( Reducing

     Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

    Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)

    dengan mempelajari literature-literatur dan referensi yang ada. Sedangkan penelitian

    lapangan (field research) dilakukan dengan cara turun ke lapangan untuk mencari data dan

    informasi serta melihat apa yang menjadi permasalahan dalam penelitan ini. Komunikasi

    langsung dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan beberapa pihak seperti dinas

    kehutanan, badan lingkungan hidup provinsi Kalimantan barat, serta beberapa pemerhati

    lingkungan dari LSM yang berada di Kalimantan barat.

    Adapun beberapa subjek yang di jadikan sebagai objek penelitian adalah dinas

    kehutanan provinsi Kalimantan barat dan badan lingkungan hidup Kalimantan barat

    (BLHD). Selain itu penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa orang yang di

    anggap berkompeten dalam penelitian ini. Selanjutnya berdasarkan rangkuman yang telah

    dilakukan oleh peneliti yang dikumpulkan melalui instansi-instansi yang memiliki

    wewenang penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan. Disini akan dijelaskan perbandingan

     jumlah perizinan di sector kehutanan tahun 2008 dengan 2012, disini akan tergambar

     bagaimana perkembangan perizinan sebelum dan sesudah di sepakatinya  Letter of Intent  

    Indonesia dan Norwegia dalam penurunan emisi karbon dimana Indonesia memiliki

    kewajiban untuk melindungi hutan yang ada di Indonesia. Dapat terlihat disini perkebangan

     perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang ada.

  • 8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3

    46/60

    46

    Tabel IPerkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008

     No. Nama Perusahaan

    IUPHHK

    Perijinan

     No. SK IUPHHK TanggalLuas Areal

    (Ha)

    1 PT. Sari Bumi Kusuma SK Menhut No. 58/Menhut-II/2007 22 Feb 2007 75,2002 PT. Batasan SK Menhut No. 416/Menhut-II/2004 19 Okt 2004 49,150

    3PT. Harapan Kita

    UtamaSK Menhutbun No. 803/Kpts-

    VI/1999 30 Sept 1999 40,500

    4

    PT. Kalimantan Satya

    Kencana SK Menhut No. 937/Kpts-VI/1999 14 Okt 1999 49,800

    5PT. Wanasokan

    Hasilindo SK Menhutbun No. 265/Kpts-II/2000 25 Agust 2000 49,000

    6PT. Sinergi Bumi

    Lestari SK Menhut No. 559/Menhut-II/2006 29 Des 2006 12,770

    7

    PT. Bina Ovivipari

    Semesta SK Menhut No. 68/Menhut-II/2006 27 Maret 2006 10,100

    8PT. Karunia Hutan

    LestariSK Menhutbun No. 938/Kpts-

    VI/1999 14 Okt 1999 41,700

    9PT. Duadja Corporation

    II SK Menhut No. 90/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 74,860

    10 PT. Suka Jaya Makmur SK Menhut No ts 00 29 Des 2000 171,300

    11PT. Wana Kayu Batu

    Putih SK Menhut No. 163/Menhut-II/2005 7 juni 2005 42,500

    12PT. Sewaka Lahan

    sentosa SK Menhut No. 236/Menhut-II/2007 4 Juli 2007 34,000

    13PT. Bumi Raya Utama

    Wood Industries SK Menhut No. 268/Menhut-II/2004 21 Juli 2004 110,500

    14PT. Bhakti Dwipa

    Kariza SK Menhut No. 423/Menhut-II/2006 15 Agust 2006 11,010

    15PT. Karya Rekanan

    Bina Bersama SK Menhut No. 263/Menhut-II/2004 21 Juli 2004 43,810

    16 PT. Toras Banua Sukses SK Menhut No. 107/Menhut-II/2006 11 April 2006 24,920

    Total Luas (Ha) 841,120

    Sumber: Dep. Kehutanan (2008), BPPHP X Pontianak (2008)

    Tabel II

    Perkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012

     No. Nama Perusahaan

    IUPHHK

    PerijinanLuas Areal

    (Ha) No. SK IUPHHK Tanggal

    1 PT. Sari Bumi KusumaSK Menhut No. 58/Menhut-

    II/2007 22 Feb 2007 75,200

    2 PT. BatasanSK Menhut No. 416/Menhut-

    II/2004 19 Okt 2004 49,150

    3 CV. Pangkar BegiliSK. Menhut No. 395/Menhut-

    II/2007 27 Nov 2007 30,195

    4 PT. Harapan Kita UtamaSK Menhutbun No. 803/Kpts-

    VI/1999 30 Sept 1999 40,500

    5PT. Kusuma Atlas

    Timber SK Menhut 843/Kpts-VI/1992 26 Agustus 1992 45,300

    6PT. Kalimantan Satya

    Kencana SK Menhut No. 937/Kpts-VI/1999 14 Okt 1999 49,800

    7PT. Wanasokan

    HasilindoSK Menhutbun No. 265/Kpts-

    II/2000 25 Agust 2000 49,000

    8PT. Sinergi Bumi

    LestariSK Menhut No. 559/Menhut-

    II/2006 29 Des 2006 12,770

    9

    PT. Bina Ovivipari

    Semesta

    SK Menhut No. 68/Menhut-

    II/2006 27 Maret 2006 10,100

    10 PT. Kandelia AlamSK Menhut SK.249/Menhut-

    II/2008 24 Jun 2008 1