skripsi implementasi loi revisi 3
TRANSCRIPT
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
1/60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengaruh deforestasi terhadap meningkatnya gas rumah kaca (GHGs) di atmosfir sudah
sejak lama diketahui namun baru pada COP-12 di Montreal tahun 2005 masuk dalam agenda
pembahasan di Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Dan isu ini baru mendapatkan
perhatian serius dari masyarakat internasional setelah terbitnya hasil review yang dilakukan
oleh Nicholas Stern (UK) tentang Ekonomi Perubahan Iklim (Stern Review : The Economics
of Climate Change) yang mencatat bahwa deforestasi di negara berkembang menyumbang
emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global, sementara carbon yang saat ini tersimpan di
ekosistem hutan (~ 4500 Gt CO2 lebih besar dari yang tersimpan di atmosfir (3000 Gt
CO2). Oleh karenanya diperlukan dukungan internasional untuk melindungi hutan yang
masih ada. Dampak perubahan iklim akan dirasakan oleh semua negara, tetapi negara-
negara miskin akan menerima dampak terbesar meskipun kontribusinya terhadap emisi
GHGs paling kecil. Dan negara berkembang dengan sumberdayanya sendiri tidak akan
mampu melakukan mitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum
memperoleh penilaian yang memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang
tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam system pasar terhadap produk
dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar yang tersedia di
bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpana CO2 melalui kegiatan penanaman pohon
tidak memberikan manfaat yang berarti karena prosedur dan aspek metodologi yang
kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
2/60
2
terhadap stabilisasi GHgs di atmosfir (stabilisasi iklim) memerlukan pendekatan kebijakan
internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan
berpartisipasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan
emisi dari deforestasi juga memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan
mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat
lokalnya. Dan negara berkembang akan terdorong melaksanakan upaya pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan setidaknya setara dengan
opportunity costs dari penggunaan lahan/hutan tersebut. Deforestasi di negara berkembang
meskipun latar belakangnya beragam, namun secara umum adalah alasan ekonomi antara
lain kebutuhan pembangunan sejalan dengan bertambahnya populasi tidak terkecuali
Indonesia. Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120,5 juta ha atau sekitar 60 persen
dari luas total Indonesia1, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah
dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan
kerja langsung dan 5.4 % angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang
punggung ekonomi nasional antara tahun 1985 – 1995an. Manfaat langsung dari hutan
adalah penghasil kayu dan non kayu sedang manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur
iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat
penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan dating. Dalam konteks
perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan
karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi
meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya
meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca/GRK (Green House Gases/GHGs) yang terjadi
di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan
1 Data badan Planologi tahun 2005, PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI
DI INDONESIA ( REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA/REDDI ). http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengurangan.htm
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
3/60
3
lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan
degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting,
perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan.
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan cadangan
karbon hutan di Negara-negara berawal dari suatu prakarsa global tahun 2005. Sebagian
besar pokok perdebatan awal menyangkut kerangka REDD global dan bagaimana
memasukkan REDD ke dalam perjanjan tentang iklim. Namun perdebatan dan focus
tindakan sekarang semakin bergeser ke tingkat nasional dan daerah. Lebih dari empat puluh
Negara sedang mengembangkan strategi dan kebijakan nasional tentang REDD, dan ratusan
proyek REDD telah dimulai di kawasan tropis.
Gagasan pokok yang melatari REDD adalah member imbalan berbasis kinerja, yaitu
membayar pemilik dan pengguna hutan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan upaya
peniadaan emisi. Imbalan jasa lingkungan (PES) memiliki keuntungan sebagai berikut:
memberikan intensif langsung yang mengikat kepada pemilik dan pengguna hutan untuk
mengelola hutan dengan lebih dan mengurangi penebangan kawasan berhutan. PES akan
sepenuhnya mengganti rugi pemegang hak atas karbon yang telah yakin bahwa melestarikan
hutan lebih menguntungkan daripada pilihan lainnya. Secara sederhana, mereka menjual
kredit (hak atas) karbon hutan dan mengurangi usaha beternak sapi, perkebunan kopi atau
kakao atau pembuatan arang.
Berbagai system imbalan jasa lingkungan (PES) untuk pelestarian hutan telah berjalan
selama beberapa waktu, terdapat rintangan untuk penerapannya di bidang yang lebih luas.
Hak guna lahan dan hak atas karbon harus di beri batasan yang jelas, namun kebanyakan
“titik utama” deforestasi dicirikan sebagai hak atas lahan yang tidak jelas dan diperebutkan.
Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan REDD+ menuntut seperangkat kebijakan yang
lebih luas. Kebijakan ini mencakup reformasi kelembagaan dalam hal tata kelola, hak guna
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
4/60
4
lahan, desentralisasi, dan pengelolaan hutan kemasyarakatan2. Kebijakan pertanian dapat
membatasi kebutuhan akan lahan pertanian baru. Kebijakan energy dapat membatasi
kebutuhan akan lahan pertanian baru. Kebijakan energy dapat membatasi tekanan atas
degradasi hutan akibat pengembilan kayu bakar sedangkan praktik pembalakan ramah
lingkungan dapat membatasi dampak berbahaya dari pemanenan kayu. Penetapan kawasan
yang dilindungi3 terbukti berhasil melindungi hutan. Selain itu, walaupun masih jauh dari
sempurna, dukungan terhadap kawasan yang dilindungi perlu dipertimbangkan sebagai
bagian dari REDD+ nasional yang menyeluruh.
Indonesia telah banyak mengikat kerjasama bilateraal dan multilateral dalam hal banyak
bidang seperti bidang ekonomi, kesehatan, social, kemiskinan, kehutanan dan masih banyak
lagi. Saat ini dunia sedang sibuk dengan masalah perubahan iklim, meningkatnya suhu di
dunia hingga mengakibatkan es di bagian kutub mencair dimana dampak tersebut
mengakibatkan meningkatnya debit air yang ada di muka bumi ini. Selain itu banyak nya
tekhnologi seperti penggunaan ac, kendaraan bermotor, dan lain lain yang juga berkontribusi
dalam pengrusakan ozon sehingga menimbulkan efek rumah kaca juga menjadi salah satu
indicator dalam pemanasan global. Indonesia dan beberapa Negara berkembang yang masih
memiliki hutan untuk dapat tetap melindungi hutan mereka sebagai paru-paru dunia dimana
juga menjadi penyeimbang antara Negara-negara yang sudah tidak memiliki hutan tetapi
banyak mengeluarkan emisi.
Pada tahun 2010 Indonesia membuat perjanjian dengan Norwegia untuk melindungi
kawasan hutan di Indonesia dimana perjanjian tersebut tertuang dalam Letter of Intent
Indonesia-Norwegia dimana perjanjian tersebut merupakan salah satu dari perjanjian antara
2 Mewujudkan REDD+ Strategi nasional dan berbagai pilihan kebijakan, oleh Arild Angelsen3 Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnyakawasan yang dilindungi atau hutan konservasi adalah kawasan atau wilayah yang dilindungi karena nilai-nilai
lingkungan alaminya, lingkungan sosial budayanya. Kategori kawasan konservasi adalah kawasan Suaka Alam(Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Cagar Biosfer) dan kawasan konservasi alam (Taman Nasional, TamanHutan Raya dan Taman Wisata)
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
5/60
5
Indonesia dengan Negara-negara berkembang lainnya dalam pengurangan emisi karbon.
Pemerintah Norwegia setuju untuk mentransfer kontribusi awal sebesar 30 juta Dolar
Amerika melalui mekanisme pendanaan internasional guna mendanai Tahap I kerja sama
REDD+ Indonesia-Norwegia (untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi
hutan) di Indonesia. Kedua pihak menandatangani perjanjian kerja sama (Letter of Intent) di
Oslo tahun ini yang menjelaskan kerangka kerja untuk kerja sama senilai 1 milyar Dolar
Amerika yang dimaksudkan untuk memerangi penggundulan dan degradasi hutan.
Presiden Yudhoyono di Oslo menyampaikan bahwa kerja sama ini sejalan dengan upaya
nasional Indonesia, dan jalan global UNFCCC (United Nations Framework Convention on
Climate Change4) untuk membangun sistem guna mengurangi emisi dari penggundulan
hutan dan konversi lahan gambut. Indonesia percaya bahwa dengan menjalin kerja sama
dengan pemerintah Norwegia, Indonesia dapat mendorong lebih jauh negosiasi internasional
dan program REDD+ yang konkrit untuk memecahkan tantangan global sehubungan dengan
perubahan iklim. Pertemuan dua hari antara Indonesia dan Norwegia digelar di Jakarta pada
18 dan 19 Agustus dan membahas implementasi Tahap I dari kerja sama ini, termasuk
pendirian badan REDD+ Indonesia, pengembangan strategi nasional REDD+ yang lengkap,
penerapan instrumen pendanaan interim, pengembangan kerangka kerja monitoring,
pelaporan dan verifikasi (MRV), seleksi propinsi percontohan dan penerapan 2 tahun
penundaan konsesi baru untuk hutan alam dan lahan gambut yang dimulai pada tahun 2011.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Pengiriman
Kepresidenan untuk Pengembangan Monitoring dan Pengawasan, sementara delegasi
Norwegia dipimpin oleh YM Eivind S. Homme, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.5
Pada tahun 2010, pemerintah Indonesia memilih Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng)
sebagai Provinsi percontohan pelaksanaan uji coba pertama kegiatan REDD di Indonesia.
4
United Nations Framework Convention on Climate Change adalah perjanjian lingkungan internasionaldinegosiasikan pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan5 Rilis Kedutaan Besar Norwegia tentang Letter of Intent Indonesia dan Norwegia.
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
6/60
6
Pemerintah menyebut dasar pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan luas tutupan hutan,
lahan gambut yang masih luas, ancaman deforestasi dan komitmen Gubernur Kalteng
terhadap kelestarian lingkungan. Lokasi percontohan dimana yang seharusnya dicari lokasi
yang paling berpeluang untuk berhasil. Pertimbangan pemilihan lokasi pilot project selain
yang disebutkan diatas ialah provinsi yang selama ini sudah banyak melakukan riset terkait
kegiatan perdagangan karbon. Masih banyak provinsi lain yang dinilai sebagian besar
kalangan lebih tepat untuk dijadikan pilot project dan berpeluang untuk berhasil.
Selain itu dalam mempengaruhi pengurangan emisi karbon hal yang paling harus di
lakukan adalah penundaan perizinan pembukaan kawasan hutan dan perubahan fungsi hutan
di Indonesia. Ini yang seharunya tidak hanya terpaku pada project tetapi juga dengan
perubahan perilaku di Indonesia. Ketika kepala Negara mendeklair bahwa Indonesia telah
sepakat untuk mengurangi emisi karbon yang mana juga harus di ikuti oleh para pemegang
kebijakan. Telah di keluarkan moratorium perizinan melalui kementerian kehutanan di
beberapa daerah Indonesia sebagai landasan perlindungan kawasan hutan yang tersisa.
Moratorium izin yang di keluarkan berfungsi untuk melakukan penundaan izin pengelolaan
kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan hutan dan pembukaan hutan. Waktu bersamaan
juga beberapa kepala daerah malah mengeluarkan izin di daerah masing-masing sebagai
investasi bagi daerah mereka. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada kepala
daerah untuk dapat memberikan perizinan atau rekomendasi pengelolaan kawasan hutan
yang ada.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimana implementasi serta penerapan dari hasil kesepakatan Letter of Intent Indonesia
dan Norwegia di Indonesia”. Dua diantaranya yaitu:
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
7/60
7
1. Bagaimana jumlah perizinan untuk pengelolaan kawasan hutan” di Kalimantan
barat dari tahun 2008 sampai dengan 2012 untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK)
2. Bagaimana implementasi dan regulasi di Indonesia tentang penundaan izin
pengelolaan kawasan hutan bersekala besar di Indonesia serta analisis kelemahan
pada regulasi yang mengatur tentang REDD+.
C. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi jumlah perizinan pemanfaatan IUPHHK-HA/HTI di Kalimantan
barat
2. Untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan dari isi kesepakatan di dalam
Letter of Intent (LOI) dalam penurunan emisi karbon
3. Menganalisa kesesuaian implementasi yang di terapkan oleh pemerintah daerah
dalam dalam mengadopsi kesepakatan Indonesia dan Norwegia dalam penurunan
emisi karbon.
D. Kerangka Pemikiran
1. Tinjauan Pustaka
Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan
kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca/GRK (Green
House Gases/GHGs) yang terjadi di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi
(konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,
pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal
logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta
perambahan. pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peningkatan
cadangan karbon hutan di Negara-negara berawal dari suatu prakarsa global tahun 2005.
Sebagian besar pokok perdebatan awal menyangkut kerangka REDD global dan bagaimana
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
8/60
8
memasukkan REDD ke dalam perjanjan tentang iklim. Namun perdebatan dan focus
tindakan sekarang semakin bergeser ke tingkat nasional dan daerah. Lebih dari empat puluh
Negara sedang mengembangkan strategi dan kebijakan nasional tentang REDD, dan ratusan
proyek REDD telah dimulai di kawasan tropis.
Pada tahun 2010 Indonesia membuat perjanjian dengan Norwegia untuk melindungi
kawasan hutan di Indonesia dimana perjanjian tersebut tertuang dalam Letter of Intent
Indonesia-Norwegia dimana perjanjian tersebut merupakan salah satu dari perjanjian antara
Indonesia dengan Negara-negara berkembang lainnya dalam pengurangan emisi karbon.
Pemerintah Norwegia setuju untuk mentransfer kontribusi awal sebesar 30 juta Dolar
Amerika melalui mekanisme pendanaan internasional guna mendanai Tahap I kerja sama
REDD+ Indonesia-Norwegia (untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi
hutan) di Indonesia. Kedua pihak menandatangani perjanjian kerja sama (Letter of Intent) di
Oslo tahun ini yang menjelaskan kerangka kerja untuk kerja sama senilai 1 milyar Dolar
Amerika yang dimaksudkan untuk memerangi penggundulan dan degradasi hutan.
Dalam Letter of Intent terdapat beberapa penekanan yang di fokuskan kepada Indonesia
serta beberapa konsep aktivitas dan prinsip yang harus di lakukan oleh Indonesia. Adapun
maksud dan tujuan di dalam Letter of Intent ini secara garis besar seperti:
1. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional,
khususnya terkait REDD+
2. Melakukan kolaborasi dalam rangka mendukung pengembangan dan pelaksanaan
Strategi REDD+ di Indonesia
Dalam penerapan konsep di dalam kesepakatan antara Indonesia dan Norwegia harus
memenuhi beberapa prinsip-prinsip di dalam penerapannya yaitu :
1. Memastikan kerjasama didasarkan pada dan tidak bertentangan dengan UNFCCC
dan kemitraan global REDD+
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
9/60
9
2. Memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan terkait termasuk
masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat madani untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dalam perencanaan dan pelaksanaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan apabila memungkinkan berdasarkan instrumen
internasional
3. Mengupayakan skala pembiayaan secara proporsional dan progresif, termasuk
langkah dan tindakan berdasarkan prinsip pencapaian hasil ( principle of
contributions for delivery)
4.
Transparansi yang berkaitan dengan pembiayaan, pelaksanaan dan hasil
5. Mendorong partisipasi mitra pembangunan lainnya
6. Memastikan koordinasi dengan program REDD+ lainnya, termasuk UN-REDD
Programme, the Forest Carbon Partnership Facility, the Forest Investment
Programme and other bi- and multilateral REDD+ initiative yang dilakukan di
Indonesia
7. Mengupayakan langkah-langkah secara berkelanjutan dan terpadu di bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan
Dari kesepakatan antar Negara terkait pada penurunan emisi karbon maka Indonesia juga
membuat beberapa regulasi sebagai aturan dalam pengelolaan REDD+ di Indonesia. Karena
apabila di dalam Indonesia sendiri tidak ada aturan yang memayungi tentang REDD+ yang
di takutkan adalah pengelolaan yang tidak sesuai dengan kesepakatan antar Negara dalam
penurunan emisi karbon. Adapun payung hukum dalam mendukung penurunan emisi karbon
adalah sebagai berikut:
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
10/60
10
1. Permenhut No. P 68/Menhut-II/2008 tentang penyelenggaran Demonstration
activites Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan gradasi hutan (REDD)
Permohonan, pengesahan, metodelogi, teknologi, kelembagaan dan evaluasi6
2. Permenhut No. P 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) Persyaratan pengembang, verifikasi,
sertifikasi, hak dan kewajiban pelaku REDD7
3. Permenhut No. P 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi
dan Hutan lindung Perimbangan keuangan , pengenaan, pemungutan,
penyetoran dan penggunaan penerimaan negara8
Indonesia telah menyepakati beberapa kesepakatan kerja sama dengan Negara-negara
maju dalam penurunan emisi karbon. Melalui kepala Negara republic Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon melalui
perlindungan hutan-hutan yang ada di Indonesia.
Dalam kesepakatan antara Negara Indonesia dengan Negara lain seharusnya dapat saling
mendukung untuk dapat terimplementasinya dengan baik kesepakatan antar Negara. Mulai
pada tahun 2010 perlahan pemerintah mulai memperbaiki kinerja serta mengembangkan
beberapa program pengelolaan hutan dimana pengelolaan harus lestari supaya hutan tetap
berfungsi sebagai paru-paru dunia. Dalam pengelolaan REDD+ sangat berhubungan dengan
hutan, dimana hutan yang ada di Indonesia tetap dapat berfungsi untuk menyerap karbon
secara optimal. Begitu juga apabila tidak adanya hutan makan akan banyak karbon yang
6 Www.Dephut.Go.Id/Files/P68_08.Pdf Permenhut No. 68/Menhut-II/2008Tentang PenyelenggaraanDemonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan7 www.dephut.go.id/files/P30_09_r.pdf Permenhut No. 30/Menhut-II/2009 Tentang cara pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan (REDD)8 www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf Permenhut Nomor 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pericinan Usaha
Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi Dan Hutan Lindung
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
11/60
11
tidak dapat terserap oleh hutan sehingga karbon tersebut berkontribusi dalam pemanasan
global, perubahan iklim dan pengerusakan ozon.
Adanya otonomi daerah dimana untuk pemegang kekuasaan di daerah adalah bupati,
kepala daerah sendiri memiliki konsep yang berbeda dalam memanfaatkan lahan mereka.
Bagi beberapa daerah mereka memiliki beban untuk mengembangan daerah masing-masing,
mengelola bagaimana caranya untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya menjual
kekayaan alam dan lain sebagainya. Hal ini terbukti dimana kementerian kehutanan
mengeluarkan peta moratorium perizinan untuk penundaan pemanfaatan lahan untuk
sementara sedangkan kepala daerah memberikan arahan lokasi untuk pengelolaan kawasan
yang masih tersisa di dalam kabupatennya sebagai bahan untuk mendatangkan investor.
Yang terlihat disini adalah terdapat ketidak sinkronan keputusan antara kepala Negara
dengan kepala daerah, perbedaan visi dan misi di antara kepala daerah dan kepala Negara.
Apabila hal ini tidak di sikapi oleh pemerintah pusat dalam komitmen Indonesia dan Negara
lain maka target oleh kepala Negara republic Indonesia tidak akan bisa tercapai.
2. Kerangka Konsep
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam tinjauan pustaka, maka penulis
mencoba menuangkan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan komitmen yang di bangun
oleh kepala Negara dengan implementasi yang telah di buat di beberapa daerah di Indonesia.
Indonesia melalui kementerian kehutanan telah mengeluarkan beberapa produk hukum
sebagai dasar serta payung dalam implementasi pengelolaan hutan di masing-masing daerah.
Dalam upaya penurunan emisi karbon dan perlindungan kawasan hutan serta
pengelolaan kawasan hutan, pemerintah pusat tidaklah dapat bekerja sendiri. Indonesia dapat
dikatan penguasa tanah hanya 2 yaitu BPN (Badan Pertanahan Negara) dan Kementerian
Kehutanan. BPN memiliki kekuasaan kawasan yang berstatus APL (Area Penggunaan Lain)
di daerah, sedangkan Kementerian Kehutanan memiliki kekuasaan dalam areal hutan HP
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
12/60
12
(Hutan Produksi), HL (Hutan Lindung), CA (Cagar Alam), TWA (Taman Wisata Alam),
dan TN (Taman Nasional). Badan pertanahan di daerah yang memiliki kewenangan besar di
daerah seharusnya dapat berkolaborasi dengan instansi-instansi yang memiliki kepentingan.
Begitu juga sebaliknya kementerian kehutanan harus dapat bekerja sama dengan instansi-
instansi terkait lainnya, dimana mereka memiliki wewenang dalam pengelolaan lahan seperti
: Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordi
nasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Satuan
Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau Ketua lembaga yang dibentuk
untuk melaksanakan tugas khusus dibidang REDD+, Para Gubernur dan Para
Bupati/Walikota. Dengan komunikasi yang baik antara para pihak maka akan memiliki visi
dan misi yang sama sehingga capaian yang diharapkan juga jelas. Pada tahun 2011 presiden
mengeluarkan instruksi kepada:9
1. Menteri Kehutanan:
1.1 Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
(hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat
dikonversi) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru
1.2 Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
1.3 Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan
kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui
restorasi ekosistem.
9 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut, Dalam rangka menyeimbangkan danmenselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas RumahKaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
13/60
13
1.4 Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan
hutan setiap 6 (enam) bulan sekali.
1.5 Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan
gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi.
2. Menteri Lingkungan Hidup:
Melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan dan lahan gambut melalui
perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada hutan dan lahan
gambut yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru melalui izin
lingkungan.
3. Menteri Dalam Negeri:
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Gubernur dan Bupati/Walikota
dalam pelaksanaan Instruksi Presiden ini.
4. Kepala Badan Pertanahan Nasional:
Melakukan penundaan terhadap penerbitan hak-hak atas tanah antara lain hak guna
usaha, hak pakai pada areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penundaan
Izin Baru.
5. Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional
Melakukan percepatan konsolidasi Peta Indikatif Penundaan Izin Baru ke dalam
revisi peta tata ruang wilayah sebagai bagian dari pembenahan tata kelola
penggunaan lahan melalui kerjasama dengan Gubernur, Bupat i/Walikota, dan
Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau Ketua
lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+.
6. Kepala Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional:
Melakukan pembaharuan peta tutupan hutan dan lahan gambut sesuai Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain setiap 6 (enam)
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
14/60
14
bulan sekali melalui kerjasama dengan Menteri Kehutanan, Kepala Badan
Pertanahan Nas ional, dan Ketua Satuan Tugas Per siapan Pembentukan
Kelembagaan REDD+ atau Ketua lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan
tugas khusus di bidang REDD+.
7. Para Gubernur:
Melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan
hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru.
8.
Para Bupati/Walikota:
Melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan
hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru.
E. Hipotesis
Berdasarkan pada tujuan penelitian dan permasalahan yang telah dipaparkan diatas,
maka penulis merumuska Hipotesis sebagai berikut : “Implementasi Letter Of Intetn (LOI)
Indonesia dan Norwegia, dimana menjadi salah satu kesepekatan tertulis antara dua Negara
dalam penurunan emisi karbon masih belum optimal. Kewenangan antara kepala Negara dan
kepala daerah masih berbeda orientasi untuk visi dan misi Indonesia dalam penurunan emisi
karbon.”
F. Metodelogi Penelitian
Berdasarkan penelitian ini, penulis menggunakan metode diskriptif analisis, yaitu
prosedur analisis media cetak, maupun online. Membuat kesimpulan dari beberapa fakta-
fakta yang terkumpul yang di sesuaikan pada implementasi.
1. Jenis Penelitian
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
15/60
15
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif, untuk
mengkaji implementasi dari kesepakatan-kesepakan antara Indonesia dan Norwegia
melalui Letter of Intent tentang penurunan emisi karbon yang telah di sepakati.
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan
menggunakan pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual
approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach)
3. Data dan Sumber Data
Sumber data yang diteliti dalam penelitian ini adalah suber data primer, yaitu data
yang bersumber dari penelitian lapangan atau merangkum dari persepsi banyak
orang serta data sekunder, yaitu buku-buku serta artikel-artikel yang terkait dengan
tema penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan tekhnik wawancara (interview) terstruktur,
yaitu melakukan wawancara dengan menggunakan panduan tertulis dimana tertulis
juga di set iap responden nama dan instansi. Adapun yang menjadi responden dalam
penelitian dengan teknik wawancara (interview) adalah instansi pemerintahan
pengambil kebijakan dalam pengelolaan hutan di kota Pontianak sebagai sampel
seperti dinas kehutanan provinsi, dinas pertambangan provinsi dan dinas
perkebunan provinsi Kalimantan barat. Selain itu juga melibatkan para pemerhati
lingkungan (NGO), akademisi di bidang kehutanan dan bidang hukum.
5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan tekhnik Non Probability Sampling yang
bersifat Purposive Sampling yaitu, penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan
penelitian, sampel dipilih atau ditetukan oleh penulis. Selain itu penulis juga
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
16/60
16
menggunakan tekhnik penentuan sampel yang bersifat Snowball Sampling, yaitu
dengan mencari informan kunci (Key Informan), yang mana responden kunci
mengetahui tentang penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun responden yang
menjadi informan kunci (Key Informan), adalah instansi yang pengambil kebijakan
dalam pengelolaan kawasan hutan.
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan penulis adalah Analisis Kualitatif, dimana
pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.
7. Populasi dan Sampel
7.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian, adapun yang menjadi
populasi dalam penelitian ini adalah :
7.1.1 Instansi pemerintah
7.1.2 Pemerhati lingkungan dan hukum
7.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data dalam penelitian.
Mengenai jumlah sampel yang diambil untuk penelitian ini didasarkan pada
pendapat Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, yang mengatakan “Bahwa
dalam suatu penelitian yang populasinya kecil maka digunakan sampel total”.10
Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis menetapkan sampel sebagai
berikut:
7.2.1 Instansi pemerintahan sebanyak 5 orang
7.2.1.1 orang dinas bagian perlindungan kehutanan provinsi Kalimantan
barat
10 Masri Singarimbuan dan Sofian Effendi, 1985, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
17/60
17
7.2.1.2 orang dinas perkebunan bagian pemanfaatan provinsi Kalimantan
barat
7.2.1.3 orang dinas pertambangan bagian pemanfaatan provinsi Kalimantan
barat
7.2.1.4 orang dari Badan Lingkungan Hidup Daerah bagian perlindungan
provinsi Kalimantan barat
7.2.1.5 orang dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
bagian pengembangan provinsi Kalimantan barat
7.2.1.6
Pemerhati lingkungan dan pemerhati (NGO) hukum sebanyak 2
orang
7.2.1.6.1 1 orang pemerhati khusus di bidang kehutanan
7.2.1.6.2 1 orang pemerhati khusus di bidang hukum
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
18/60
18
BAB II
UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENERAPAN LETTER OF INTENT
INDONESIA DAN NORWEGIA TENTANG REDD+ DI KALIMANTAN BARAT
A. Kedudukan Letter of Intent Dalam Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur
dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik. Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur
tentang masalah-masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan
Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya
Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat
ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826. Perjanjian
internasional dalam Konvensi Wina11 tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai : An
International agreement concluded between States in written form and governed by
international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation (perjanjian internasional adalah semua
perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang
diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat
hukum). Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina diatas, maka unsur-unsur perjanjian
internasional adalah :
11 Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, mengatur tentang
perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi Wina
merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut, termasuk
Indonesia. Konvensi Wina pertama kali open for ratification pada 1969 dan baru entry into force 1980.
Indonesia meratifikasi Konvensi Wina dengan Undang-undang No.1/1982
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
19/60
19
1. Suatu persetujuan internasional
2. Dibuat oleh negara Negara
3. Dalam bentuk tertulis
4. Didasarkan pada hukum internasional
5. Dibuat dalam instrumen tunggal. Dua atau lebih
6. Memiliki nama apapun
Bentuk-bentuk perjanjian Internasional yang banyak di gunakan oleh beberapa Negara
yang di sesuaikan dengan kesepakatan antar Negara akan menggunakan judul dokumen.
Konvensi Wina dan jurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai faktor penentu,
perlu pula diperhatikan bahwa praktek Negara tentang judul suatu perjanjian sangat dinamis
dan memunculkan berbagai variasi menurut Sumaryo Suryokusumo12 dalam bukunya hukum
perjanjian internasional jenis perjanjian internasional adalah sebagai berikut:
1. Treaty adalah suatu perjanjian antara dua Negara atau lebih untuk mencapai hubungan
hukum mengenai objek hukum (kepentingan) yang sama.
2. Convention adalah suatu perjanjian/persetujuan yang lazim digunakan dalam
perjanjian multilateral.
3. Agreement adalah perjanjian yang lebih bersifat teknis atau administratif. Agreement
tidak diratifikasi karena sifatnya tidak seresmi traktat dan konvensi.
4.
Memorandum of Understanding merupakan pernyataan kesepahaman antara kedua
belah pihak sebelum memasuki sebuah kontrak
5. Protocol adalah suatu perjanjian/persetujuan yang kurang resmi dibandingkan dengan
traktat atau konvensi sebab protocol hanya mengatur masalah-masalah tambahan
seperti penafsiran klausal-klausal atau persyaratan perjanjian tertentu.
12 Sumaryo Suryokusumo merupakan guru besar universitas Indonesia pada tahun 2005
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
20/60
20
6. Charter adalah yaitu istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional untuk
pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.
7. Declaration adalah suatu perjanjian yang bertujuan untuk memperjelas atau
menyatakan adanya hukum yang berlaku atau untuk menciptakan hukum baru.
8. Final Act yaitu ringkasan-ringkasan hasil konferensi yang menyebutkan Negara-
negara peserta, utusan-utusan dari Negara yang turut berunding, serta masalah-
masalah yang disetujui dalam konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
9. Exchange of Notes yaitu metode tidak resmi yang sering digunakan dalam praktik
perjanjian internasional. Metode ini menimbulkan kewajiban-kewajiban yang
mengikat mereka. Biasanya metode ini dilakukan oleh wakil-wakil militer dan Negara
serta dapat bersifat nonagresi.
10. Agreed Minutes yaitu catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh
pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan ini selanjutnya akan digunakan sepagai rujukan
dalam perundingan-perundingan selanjutnya. Summary Records
11. ProcessVerbal istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan
piagam pengesahan atau mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhnik
administrative atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan
12. ModusVivendi yakni suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan
diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat secara tidak
resmi dan tidak memerlukan pengesahan
13. Letter of Intent merupakan kesepakatan yang tidak mempunyai konsekwensi hukum
yang mengikat. Dengan kalimat lain LoI ini sering digunakan sebagai langkah awal
untuk memulai negosiasi untuk menuju kepada pembentukan kontrak.
14. Arrangement (kesepakatan)
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
21/60
21
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional
melalui cara-cara sebagai berikut :
1. Penandatangan;
2. pengesahan;
3. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
4. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional
Untuk memastikan dijalankannya tahapan-tahapan penyusunan perjanjian internasional
(konsultasi, koordinasi, dan sebagainya), Kemlu memanfaatkan “momentum” kebutuhan
kementerian pemrakarsa akan surat kuasa (full power) dan/atau kertas perjanjian yang
dikeluarkan oleh Kemlu. Perjanjian internanasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak
berlaku jika salah satu pihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Setelah diratifikasi,
berlakunya perjanjian tersebut bergantung pada paham yang berlaku di negara tersebut:
monisme atau dualisme. Pasal 26 Konvensi Wina 1969: perjanjian mengikat para pihak yang
membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 27: negara tidak dapat
menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan
kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.
Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen
yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan
dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada
negara federasi seperti Amerika Serikat atau konfederasi seperti Uni Eropa. Ratifikasi suatu
kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala
Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina 1969 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan
persetujuan agar dapat mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi
melekat pada kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk
meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi Perjanjian
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
22/60
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
23/60
23
3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-
undang.
Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah
yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi
dengan undang – undang.
Dalam bisnis, manjemen, dan hukum, LOI ( Letter of Intent ) adalah suatu surat resmi
bisnis, yang secara hukum tak mengikat para pihak di dalamnya, dibuat oleh seorang pemilik
bisnis, pengusaha, atau perusahaan, untuk menyampaikan ketertarikan, keinginan, niat, minat,
atau maksud bisnis secara serius, rinci, ringkas dan jelas, dan tindakan lanjut dan transaksi
akan dilakukan, dan kemampuan utk melaksanakannya, kepada pemilik bisnis, pengusaha,
atau perusahaan lain.
LOI biasanya berkaitan dengan pembelian atau pengambil alihan (aquisition) aset
perusahaan, saham (stock ) perusahaan, penanaman modal atau investasi (investment ), modal
patungan ( joint venture), atau penggabungan (merger ) perusahaan, yang umumnya dalam
skala besar secara finansial. LOI, dengan kata lain, merupakan suatu surat resmi
penyampaian konfirmasi keseriusan dalam bisnis dan inti transaksi finansial ingin dilakukan,
dan sebagai pengantar bagi para pihak untuk bernegosiasi dan mencapai suatu kesepakatan
hingga ke suatu MOU (memorandum of understanding) dan persetujuan kontrak (contract
agreement ) dgn transaksi finansial di dalamnya, tanpa konsekuensi legal jika kesepakatan
gagal dicapai selama negosiasi sebelum persetujuan kontrak ditandatangani menurut Achmad
Firwany14.
B. Dasar-dasar dalam Letter of Intent Indonesia dan Norwegia Tentang REDD+
14 Dalam artikel kompilasi dan transkrips LOI Letter of Intent http://dwikasudrajat.blogspot.com/2012/03/loi-
letter-of-intent.html
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
24/60
24
Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum
memperoleh penilaian yang memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang
tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun dalam system pasar terhadap produk
dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar yang tersedia di
bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpana CO2 melalui kegiatan penanaman pohon
tidak memberikan manfaat yang berarti karena prosedur dan aspek metodologi yang
kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong negara berkembang melakukan pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan
terhadap stabilisasi GHgs di atmosfir (stabilisasi iklim) memerlukan pendekatan kebijakan
internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan
berpartisipasi sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan emisi
dari deforestasi juga memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan
mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat
lokalnya. Dan negara berkembang akan terdorong melaksanakan upaya pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan setidaknya setara dengan
opportunity costs dari penggunaan lahan/hutan tersebut. Deforestasi di negara berkembang
meskipun latar belakangnya beragam, namun secara umum adalah alasan ekonomi antara lain
kebutuhan pembangunan sejalan dengan bertambahnya populasi tidak terkecuali Indonesia.
Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120,5 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas
total Indonesia15, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara
luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung dan
5.4 % angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi nasional
antara tahun 1985 – 1995an. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non
15 Data badan Planologi tahun 2005, PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI
DI INDONESIA ( REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND DEGRADATION IN INDONESIA/REDDI ). http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/IFCA/Pengurangan.htm
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
25/60
25
kayu sedang manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air
dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan
manusia saat ini dan di masa yang akan dating. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat
berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon).
Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan
kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan sink. Emisi Gas Rumah Kaca/GRK (Green
House Gases/GHGs) yang terjadi di sektor Kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi
(konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,
pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal
logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan).
Presiden Yudhoyono di Oslo menyampaikan bahwa kerja sama ini sejalan dengan upaya
nasional Indonesia, dan jalan global UNFCCC (United Nations Framework Convention on
Climate Change) untuk membangun sistem guna mengurangi emisi dari penggundulan hutan
dan konversi lahan gambut. Indonesia percaya bahwa dengan menjalin kerja sama dengan
pemerintah Norwegia, Indonesia dapat mendorong lebih jauh negosiasi internasional dan
program REDD+ yang konkrit untuk memecahkan tantangan global sehubungan dengan
perubahan iklim. Pertemuan dua hari antara Indonesia dan Norwegia digelar di Jakarta pada
18 dan 19 Agustus dan membahas implementasi Tahap I dari kerja sama ini, termasuk
pendirian badan REDD+ Indonesia, pengembangan strategi nasional REDD+ yang lengkap,
penerapan instrumen pendanaan interim, pengembangan kerangka kerja monitoring,
pelaporan dan verifikasi (MRV), seleksi propinsi percontohan dan penerapan 2 tahun
penundaan konsesi baru untuk hutan alam dan lahan gambut yang dimulai pada tahun 2011.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Pengiriman
Kepresidenan untuk Pengembangan Monitoring dan Pengawasan, sementara delegasi
Norwegia dipimpin oleh YM Eivind S. Homme, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia.
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
26/60
26
REDD+ (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan dan lahan gambut Plus)
merupakan mekanisme insentif ekonomi yang diberikan kepada negara berkembang untuk
mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan dalam rangka pengurangan emisi karbon.
Indonesia sebagai negara dengan luas hutan lebih dari 130 juta ha atau 70 persen dari luas
daratannya berpeluang besar untuk menerapkan REDD+. Indonesia berkepentingan
menjalankan program REDD+ untuk mengurangi emisi yang cukup besar dari sektor
kehutanan dan penggunaan lahan dengan menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan
secara signifikan. Indonesia juga berkepentingan ikut menekan laju pemanasan global karena
termasuk negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
REDD+ akan dikembangkan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi
hijau untuk memastikan bahwa upaya penanganan perubahan iklim dari sektor penggunaan
lahan dilakukan sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan
Indonesia. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dari skenario
pembangunan Business as Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan dana sendiri tanpa
mengorbankan pembangunan di sektor lain, atau 41 persen jika mendapatkan bantuan
internasional. Pemerintah akan melakukan ini sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan
ekonomi sebesar 7% per tahun. Untuk mewujudkan komitmen ini pemerintah telah
mengeluarkan Perpres 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca (RAN-GRK) dan Perpres 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK
Nasional. REDD+ mendukung pencapaian target RAN-GRK dalam bidang pengelolaan
hutan, lahan gambut dan pertanian.
C. Strategi Indonesia dan Kalimantan barat dalam implementasi Letter of Intent
Dalam rujukan Letter of Intent Indonesia dan Norwegia beberapa program yang di
luncurkan di beberapa wilayah Indonesia yang terkait dengan REDD+. Dari kesepakatan
kedua Negara tersebut semua project yang di selenggarakan di beberapa Negara seperti Brazil
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
27/60
27
menamakan program kerja tersebut REDD. Dalam pengemasan program tersebut maka harus
terdapat sinkronisasi visi dan misi strategi yang akan di terapkan di Negara dan provinsi-
provinsi yang menjadi acuan untuk penurunan emisi. Strategi Nasional REDD+ Indonesia
adalah sebagai berikut.
1. Strategi Nasional REDD+ terdiri dari:
1.1 Visi, misi dan tujuan REDD+ di Nasional
1.1.1 Visi
Pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan
sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
1.1.2 Misi
Mewujudkan visi pengelolaan hutan dan gambut berkelanjutan melalui tata kelola
yang efektif yang dicapai dengan:
1.1.2.1 Memantapkan fungsi lembaga pengelolaan hutan dan lahan gambut.
1.1.2.2 Menyempurnakan peraturan/perundangan dan meningkatkan penegakan
hukum.
1.1.2.3 Meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan gambut.
1.1.3 Tujuan
1.1.3.1 Tujuan jangka pendek (2012-2014): Perbaikan kondisi tata kelola,
kelembagaan, tata ruang dan iklim investasi secara strategis agar dapat
mencapai komitmen Indonesia dalam penurunan emisi dengan tetap menjaga
pertumbuhan ekonomi. Sumber daya alam dalam pemahaman ini diartikan
sebagai tanah, air, udara sebagaimana termaktub di dalam pasal 33 Undang
Undang Dasar 1945.
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
28/60
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
29/60
29
1.1. Visi
Tata kelola sumberdaya hutan dan lahan di kalimantan barat yang mampu
menyinambungkan keselarasan fungsi lingkungan danmanfaat ekonomi bagi
kesejahteraan masyarakat
1.2. Misi
Mewujudkan Visi pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan
berkelanjutan melalui tata kelola yang baik dapat dicapai dengan:
1.2.1 Memantapkan struktur dan fungsi lembaga pengelolaan hutan dan
lahan (baikskala besar maupun kecil) guna mengefektifkan
pengurangan emisi;
1.2.2 Mengembangkan perencanaan, pembangunan khususnya kegiatan
berbasishutan dan lahan yang berorientasi pada pengurangan emisi;
1.2.3 Menyempurnakan peraturan/perundangan dan meningkatkan
penègakanhukum di bidang pengelolaari hutan dan penggunaan
lahan guna penguranganemisi;
1.2.4 Meningkatkan kapasitas (pengetahuan, keterampilan dan sikap)
para pengelolaan sumberdaya hutan serta pengguna lahan agar
upaya pengurangan emisi dapatberjalan secara lebih efektif
1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Jangka Pendek (2012-2014): Perbaikan kondisi tata kelola,
kelembagaan, tata ruang serta iklim investasi secarà strategis di Provinsi
Kalbar dan kabupaten/kota agar dapat mendukung pencapaian komitmen
Indonesiadalam pengurangan emisi;
1.3.2 Tujuan Jangka Menengah (2012-2020): Terlaksananya tata kelola
sumberdaya hutan dan lahan Kaltim sesuai kebijakan dan tata cara yang
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
30/60
30
dibangun, serta pada ruang dan mekanisme keuangan yang telah
ditetapkan dan dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi yang
benar terhadap target-target Nasional penurunan emisi 26-41% tahun
2020;
1.3.3 Tujuan Jangka Panjang (2012-2030): Hutan dan lahan Indonesia, serta
khususnya yang berada di Kalbar menjadi net carbon sink pada tahun
2030 sebagai hasil pelaksanaan kebijakan yang benar dan berkeadilan
untuk
keberlanjutan fungsi dan jasa ekosistem hutan bagi pembangunan ekonomi
daerah dan kesejahteraan masyarakat.17
Secara hukum, sesuai dengan pasal 1(b) dan 1(c) dari UU 41/2009 tentang Kehutanan,
skema REDD+ dilaksanakan dalam lawas lahan berhutan (termasuk hutan mangrove) dan
lahan bergambut di dalam kawasan hutan dan kawasan APL (Area Penggunaan Lain) di
seluruh wilayah Indonesia baik yang sudah maupun yang belum tercatat dalam register
hutan Indonesia ketika Strategi Nasional REDD+ ini ditulis.
Keterkaitan REDD+ dengan Program Lain Program nasional penanggulangan perubahan
iklim didasarkan pada beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang memberikan
aturan terkait tata ruang, kehutanan dan lingkungan hidup, yaitu UU 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perpres 61 tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, dan Perpres 71 tahun 2011 tentang
Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Aturan perundang-undangan ini mengamanatkan
inventarisasi permasalahan perubahan iklim serta pengembangan program-program
penanggulangan untuk diintegrasikan ke dalam Rencana Kerja Pembangunan Jangka
17 Draft Rencana Strategi daereah Kalimantan barat REDD+
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
31/60
31
Menengah Nasional/Daerah (RPJMN/D). Rencana Strategi REDD+ dikembangkan untuk
menjadi acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam
bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan.
Meskipun kerangka utama kebijakan perubahan iklim mengacu pada ketiga undang-
undang di atas, pelaksanaan skema REDD+ tidak dapat berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi
oleh aturan perundang-undangan, kebijakan dan kinerja seluruh sektor berbasis lahan.
Termasuk dalam hal ini pengarus-utamaan REDD+ ke dalam rencana pembangunan
nasional dan sub-nasional. Strategi Nasional REDD+ dibangun berdasarkan pemahaman atas
seluruh aturan perundang-undangan sektor dan non-sektor yang berimplikasi pada
pengelolaan hutan dan lahan, serta realitas tata kelola dan pengelolaan (governance and
management).
Berdasarkan dari visi dan misi yang telah di tentukan oleh pemerintah sebagai acuan di
tingkat nasional untuk penerapan REDD+ di daerah-daerah yang akan menjalani program-
program yang di turunkan dari pemerintah nasional ke daerah. Adapun matrik visi, misi dan
tujuan strategi nasional dan Kalimantan barat dapat dilihat sebagai berikut.
Visi
Nasional Kalimantan barat
Pengelolaan sumber daya alam hutan dan
lahan gambut yang berkelanjutan sebagai
aset nasional yang dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
Tata kelola sumberdaya hutan dan lahan di
kalimantan barat yang mampu
menyinambungkan keselarasan fungsi
lingkungan dan manfaat ekonomi bagi
kesejahteraan masyarakat
Misi
1. Memantapkan fungsi lembaga
pengelolaan hutan dan lahan gambut.
2. Menyempurnakan peraturan /
perundangan dan meningkatkan
penegakan hukum.
3. Meningkatkan kapasitas pengelolaan
sumberdaya hutan dan lahan gambut
1. Memantapkan struktur dan fungsi
lembaga pengelolaan hutan dan lahan
(baikskala besar maupun kecil) guna
mengefektifkan pengurangan emisi
2. Mengembangkan perencanaan,
pembangunan khususnya kegiatan berbasishutan dan lahan yang
berorientasi pada pengurangan emisi
3.
Menyempurnakan peraturan/perundangan dan
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
32/60
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
33/60
33
D. Kondisi Hutan dan Regulasi Tentang Kehutanan di Kalimantan Barat
Kondisi hutan di sebuah wilayah secara umum dicirikan oleh kondisi penutupan
lahannya. Intensitas wilayah berhutan di daerah tersebut ditunjukkan oleh keberadaan areal
berhutan baik hutan primer, sekunder, maupun non hutan. Kondisi penutupan lahan
menggambarkan konstruksi vegetasi yang menutup permukaan lahan. Informasi penutupan
lahan dalam hal ini dapat dikenali secara efektif dengan menggunakan citra satelit. Kegiatan
penafsiran citra satelit untuk mengenali kondisi penutupan lahan di wilayah Provinsi
Kalimantan Barat telah dilakukan secara berkala setiap 3 tahun sejak tahun 2003 dengan
menggunakan citra satelit resolusi sedang, yaitu Landsat 7 ETM+18
. Klasifikasi penutupan
lahan yang digunakan adalah mengacu pada Standar Klasifikasi Penutupan Lahan dari
Kementerian Kehutanan. Data terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2009, wilayah
berhutan di Provinsi Kalimantan Barat adalah seluas 6.501.011 hektar atau mencapai 43,94
% dari luas seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat Dari luas areal berhutan tersebut,
sebagian besar berupa hutan kering primer seluas 2.302.939 hektar (15,57 %), hutan kering
sekunder seluas 2.455.482 hektar (16,6 %), dan hutan rawa sekunder seluas 1.582.922 hektar
(10,7 %), serta sebagian kecil lainnya merupakan hutan rawa primer, hutan mangrove
primer, dan hutan mangrove sekunder. Sebagian besar areal berhutan tersebut berada di
dalam kawasan Taman Nasional, yaitu TN. Betung Kerihun, TN. Bukit Baka - Bukit Raya,
serta di kawasan konservasi lain seperti CA Gunung Nyiut, TWA Gunung Asuansang, TWA
Melintang. Selain itu, areal berhutan juga banyak terdapat di kawasan hutan lindung di
Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, Melawi, dan Ketapang. Selain wilayah-wilayah tersebut,
areal berhutan di Provinsi Kalimantan Barat terdistribusi secara sporadis dalam luasan
18 Lansdsat 7 ETM ( Enhanced Thematic Mapper Plus)adalah foto satellite yang menggambarkan kondisi alam
terkini sesuai dengan keadaan aslinya. Dapat melihat kondisi hutan, sungai berapa besar perubahan kawasanserta pembukaan lahan dengan pengolahan program khusus yang di sesuaikan dengan tahun yang di perlukan.http://www.usgs.gov/
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
34/60
34
wilayah yang tidak terlalu luas, seperti di Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, dan
Sanggau, dimana pada umumnya merupakan daerah perbukitan.19
Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang dimulai sejak era tahun 2000, pemerintah
daerah memiliki peran yang lebih besar dalam perumusan dan implementasi kebijakan
kehutanan di tingkat daerah. Salah satu kebijakan yang paling vital dalam pembangunan
kehutanan di daerah adalah alokasi ruang bagi sektor kehutanan yang diimplementasikan
dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah. Pentingnya kesepakatan dalam rencana tata
ruang tersebut adalah untuk memberi kepastian alokasi ruang bagi kegiatan kehutanan yang
berkekuatan hukum dan dilindungi oleh oleh undang-undang. Di Provinsi Kalimantan Barat
sendiri, penunjukan kawasan hutan pada awalnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 757/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Rencana
Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) atau Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Terbitnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Barat pada tahun
1995 membawa konsekuensi dilakukannya pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP
yang kemudian ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No. 259/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan Provinsi Kalimantan Barat. Besarnya arus investasi yang masuk ke Provinsi
Kalimantan Barat pasca tahun 2000an turut memberi tekanan kepada implementasi tata
ruang berdasarkan SK Menhutbun No. 259/Kpts-II/2000 tersebut, terutama yang menuntut
rasionalisasi luasan kawasan hutan di masing-masing kabupaten sehingga cukup ruang bagi
pemerintah kabupaten untuk membangun daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, sejak
tahun 2005 muncul wacana untuk melakukan revisi terhadap tata ruang wilayah provinsi
yang kemudian ditindaklanjuti dengan review terhada Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan di Provinsi Kalimantan Barat. Hingga tahun 2011, proses review dan penyusunan
19 Berdasarkan Potret Hutan Kalimantan Barat yang di keluarkan oleh BPKH (BALAI PEMANTAPAN
KAWASAN HUTAN) wilayah III Kalimantan barat
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
35/60
35
rencana tata ruang provinsi Kalimantan Barat ini masih dalam tahap finalisasi. Selain
kebijakan tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang menjadi perhatian banyak pihak,
baik di pusat maupun di daerah, beberapa kebijakan yang menyangkut keberlangsungan
sektor kehutanan juga mendapat perhatian di daerah.
Peran pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan kehutanan di tingkat daerah
tercermin dari terbitnya beberapa peraturan yang menyangkut sektor kehutanan oleh
pemerintah kabupaten. Kebijakan kehutanan yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten
tersebut berbeda-beda satu dengan lainnya tergantung dari karakteristik daerah serta
permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kabupaten. Sebagai contoh, Kabupaten
Sintang yang berada di perbatasan Indonesia - Malaysia menerbitkan Renstra Pembangunan
Perbatasan pada tahun 2005 mengingat pentingnya mempersiapkan daerah tersebut dalam
merespon kesenjangan pembangunan di sepanjang wilayah perbatasan di daerahnya. Namun
demikian, kebijakan kehutanan di tingkat kabupaten ini masih bersifat kasuistik dan belum
semua kabupaten merasa perlu menerbitkan peraturan daerah di bidang kehutanan. Tercatat
hanya beberapa kabupaten saja yang pernah menerbitkan kebijakan kehutanan di tingkat
daerah, dimana hampir semua kebijakan kehutanan yang telah diterbitkan menyangkut
tentang konservasi, antara lain penetapan kabupaten konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu,
penunjukan kawasan bernilai konservasi tinggi serta penunjukan hutan kota di Kabupaten
Ketapang, Sekadau, Kubu Raya, dan Kota Singkawang.
No Prov/Kab/Kota No.SK / Perda Tentang
1 Prov. KalbarPerda Prov. Kalbar No. 6 Tahun1998
Pencegahan dan Penanggulangan KebakaranHutan Prov. Kalimantan Barat
2 Prov. KalbarPerda Prov. Kalbar No. 8 Tahun2006
Pemanfaatan dan Peredaran Kayu Beliandalam Wilayah Prov. Kalimantan Barat
3 Prov. KalbarPergub Prov. Kalbar No. 103Tahun 2009
Prosedur Tetap Mobilisasi Sumberdaya
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan diProv. Kalimantan Barat
4 Kab. Pontianak Perda No. 19 Tahun 2001Retribusi Peredaran Hasil Hutan dan Hasil
Hutan Ikutan5 Kab. Sambas Perda No. 13 Tahun 2000 Retribusi Izin Pengambilan Hasil Hutan
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
36/60
36
Ikutan
6 Kab. SekadauKeputusan Bupati Sekadau No. 80Tahun 2009
Penunjukan Kawasan Hutan Kota KabupatenSekadau seluas 15 ha di Desa Gonis TekamKec. Sekadau Hilir
7 Kab. Kubu RayaKeputusan Bupati Kubu Raya No. – Tahun 2011 (Draft)
Kawasan Hutan Kota Kabupaten Kubu Raya
8 Kab. Kubu RayaKeputusan Bupati Kubu Raya
No.112 Tahun 2011
Kawasan Konservasi Di Kecamatan Batu
Ampar Kabupaten Kubu Raya.
9 Kab. Sintang --Rencana Strategis Pembangunan KawasanPerbatasan Kabupaten Sintang dengan NegaraBagian Serawak Malaysia Tahun 2005 -2009
10 Kab. Kapuas HuluKeputusan Bupati Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003
Penetapan Kabupaten Kapuas Hulu SebagaiKabupaten Konservasi
11 Kab. KetapangKeputusan Bupati Ketapang No.150 Tahun 2004
Penunjukan Hutan Kota Di Desa SukaharjaKecamatan Delta Pawan Kabupaten KetapangSeluas 160 Ha.
12 Kab. Ketapang Keputusan Bupati Ketapang No.326 Tahun 2009
Penunjukan Kawasan Bernilai KonservasiTinggi Bertumbuhan Bakau Alam Di DesaSungai Awan Kanan dan Desa Sungai Awan
Kiri Kecamatan Muara Pawan KabupatenKetapang
13 Kab. KetapangKeputusan Bupati Ketapang No.
30 Tahun 2011
Penunjukan Kawasan Bernilai KonservasiTinggi Sebagai Habitat Orang Hutan, Jenis-
Jenis Primata dan Satwa Liar Lainnya DiDesa Mekar Utama Dan Desa PagarMentimun Kecamatan Kendawangan dan
Kecamatan Matan Hilir Selatan KabupatenKetapang
14 Kota SingkawangKeputusan Walikota Singkawang
No. 124 Tahun 2008
Penunjukan kawasan hutan kota di KotaSingkawang meliputi kawasan Gunung Sari
seluas 150.303 ha dan kawasan Pasir Panjangseluas 381,8 ha
Rekapitulasi kebijakan daerah Kalimantan barat : Sumber BPKH Kalimantan barat 20
Dari kebijakan yang telah telah di buat oleh pemerintah daerah menunjukan bahwa
pemerintah daerah memiliki komitmen untuk menata daerah masing-masing dimana mulai
dari aspek ekonomi, sosial, dan penataan ruang. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan21.
Komitmen pemerintah daerah melalui peraturan daerah dapat menjadi memperlihatkan
keseriusan pemerintah dalam mengatur daerah. Tetapi hal ini juga menjadi salah satu bagian
yang akan menjadi kelemahan apabila terdapat perbedaan orientasi atau banyak kepentingan
yang tidak berpihak kepada masyarakat. Latarbelakang dalam peraturan tetap mengacu
20
Peraturan daerah yang buat sesuai dengan keadaan daerah masing-masing yang berpedoman pada undang-undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan21
Pasal 1 ayat 5 Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
37/60
37
kepada kesejahteraan, tetapi di sisi lain juga peraturan menjadi penghambat atau birokrasi
yang sulit di tempuh bagi masyarakat. Karena beberapa dari kebijakan berorientasi pada
investasi, karena setiap daerah memiliki kewajiban untuk dapat mengembangkan daerah
masing-masing. Apabila pengembangan di setiap daerah tidak sesuai dengan keadaan di
masing-masing daerah maka regulasi yang telah di buat oleh pemerintah daerah akan
menimbulkan konfilk antara masyarakat dengan perusahaan atau masyarakat dengan
pemerintah.
E. Model Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan di Kalimantan barat di berikan
keleluasaan kepada perusahaan maupun masyarakat untuk pengelolaan sendiri. Pemerintah
memberikan kesempatan mengelola sumber daya hutan maupun memanfaatkan hasil hutan
kayu dan non kayu dengan. Beberapa skema pemanfaatan sumber daya hutan yang telah di
tetapkan oleh pemerintah dalam bentuk perorangan, kelompok, masyarakat maupun
perusahaan. Terdapat 6 skema pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu di dalam
kawasan hutan yang telah di tetapkan oleh menteri kehutanan serta di akui oleh Indonesia
yaitu:
1. IUPHHK Hutan Alam
IUPHHK Hutan Alam atau yang dahulu disebut sebagai HPH merupakan izin usaha
yang diberikan kepada pemohon untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan
alam pada kawasan hutan produksi. Kegiatan yang diijinkan meliputi pemanenan atau
penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran. IUPHHK Hutan Alam diberikan
oleh Menteri Kehutanan kepada pemohon dengan mempertimbangkan rekomendasi dari
Gubernur. Berdasarkan Data Strategis Kehutanan 2009 (Dep. Kehutanan, 2009),
perkembangan HPH / IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun
1997/1998 sampai dengan 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan pada periode
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
38/60
38
tahun 1997/1998 sampai tahun 2003 dan kembali mengalami sedikit peningkatan pada
tahun-tahun berikutnya, baik pada jumlah unit usaha maupun luasannya. Jumlah HPH pada
periode 1997-2003 berkurang dari 40 unit menjadi 18 unit dengan luasan berkurang dari
5.089.866 ha menjadi 1.125.400 ha atau tinggal seperempat-nya saja yang tersisa. Penurunan
yang cukup signifikan tersebut terjadi seiring era reformasi dimana banyak HPH yang
gulung tikar dan tidak mampu meneruskan usahanya sehingga pada periode itu diketahui
banyak terjadi PHK secara massal. Peningkatan dan stabilitas IUPHHK kembali muncul
setelah era desentralisasi dimana terjadi beberapa evaluasi terhadap regulasi yang sudah
tidak sesuai lagi serta pemberian peran yang lebih besar kepada daerah. Hingga saat ini,
jumlah IUPHHK Hutan Alam yang ada di Provinsi Kalimantan Barat cenderung stabil baik
dalam jumlah maupun luasannya. Adapun data perkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam
sejak tahun 1997 hingga 2009 dapat. Beberapa diantaranya sudah tidak aktif di lapangan,
yaitu sebanyak 11 IUPHHK. Sebagian besar IUPHHK yang sudah tidak aktif ini berada di
Kabupaten Kapuas Hulu.
2. IUPHHK Hutan Tanaman
IUPHHK Hutan Tanaman merupakan izin usaha untuk membangun hutan tanaman pada
kawasan hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industry untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Areal
IUPHHK Hutan Tanaman diutamakan pada areal hutan produksi yang tidak produktif dan
tidak dibebani hak atau ijin lainnya. Berdasarkan Data Strategis Kehutanan 2009 (Dep.
Kehutanan, 2009), perkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat
dari tahun 1997/1998 sampai dengan 2009 cukup stabil, terutama pada periode 1997 hingga
2006, yaitu sebanyak 11 IUPHHK dengan luas sekitar 580.086 ha. Jumlah IUPHHK Hutan
Tanaman melonjak pesat pada periode 2007 hingga 2009 yang meningkat menjadi 28 hingga
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
39/60
39
20 unit IUPHHK dengan luas terakhir mencapai 1.540.978 ha. Perkembangan IUPHHK
Hutan Tanaman Provinsi Kalimantan Barat dari tahun 1997/1998 sampai dengan 2009.
Diantara seluruh perusahaan IUPHHK Hutan Tanaman yang telah memiliki SK Menteri
Kehutanan tersebut, 15 diantaranya sudah tidak aktif dan hanya 10 perusahaan yang aktif.
Dari seluruh perusahaan IUPHHK Hutan Tanaman yang ada di Provinsi Kalimantan Barat,
sebagian besar berada di Kabupaten Ketapang, yaitu seluas 503.660 ha atau sekitar 32,68%.
3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) merupakan program pemerintah untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi melalui pemberian kemudahan akses kepada masyarakat terhadap
sumber daya hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Melalui program HTR ini
diharapkan dapat memudahkan masyarakat untuk mengakses lahan hutan serta pasar
perdagangan kayu. HTR sendiri dialokasikan di hutan produksi yang tidak dibebani oleh
hak. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat diberikan oleh
Menteri Kehutanan berdasarkan permohonan dari perorangan atau koperasi berdasarkan
rekomendasi dari dinas kehutanan setempat. Berdasarkan data dari BPPHP Wilayah X,
hingga saat ini kawasan hutan produksi yang telah dicadangkan Menteri Kehutanan sebagai
areal HTR di Provinsi Kalimantan Barat adalah seluas 40.690 ha yang meliputi 4 kabupaten,
yaitu Kabupaten Sanggau, Sintang, Landak, dan Kubu Raya. Namun demikian, hingga saat
ini dari areal yang dicadangkan tersebut belum ada satupun ijin HTR yang telah diterbitkan
karena belum ada pengajuan dan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena minimnya
pengetahuan masyarakat terhadap skema HTR ini sehingga diperlukan sosialisasi kepada
masyarakat serta pendampingan dalam rangka pengajuan ijin HTR ini.
4. Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Hutan Kemasyarakatan (HKm) berdasarkan Kepmenhut No. 31 Tahun 2001 merupakan
hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
40/60
40
masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Hutan kemasyarakatan
diselenggarakan dengan berazaskan pengelolaan hutan secara lestari. Di Provinsi
Kalimantan Barat, perkembangan realisasi HKm tidak terjadi setiap tahun. Realisasi HKm
pada luas areal yang cukup besar terjadi pada tahun 2000, yakni seluas 6.731 Ha, sementara
pada tahun-tahun berikutnya tidak begitu luas dan tidak selalu ada.
5. Hutan Desa
Hutan Desa menurut PP No. 6 Tahun 2007 dan Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008
merupakan hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Munculnya kebijakan tersebut memberikan ruang
bagi masyarakat untuk turut mengelola hutan melalui skema ini. Meski payung hukumya
telah ada, namun implementasi dari hutan desa ini secara teknis diperkirakan tidak mudah,
terkait dengan ketersediaan ruang bagi hutan desa mengingat sebagian besar kawasan hutan
telah memiliki konsesi sendiri. Hal ini berarti bahwa tidak semua masyarakat desa bisa
mengajukan usulan Hutan Desa kepada pemerintah tergantung dari ada atau tidaknya
kawasan hutan yang bisa dimohon di sekitar wilayah desa masingmasing. Di Provinsi
Kalimantan Barat, hingga saat ini belum ada areal yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai Hutan Desa. Namun hingga tahun 2010 telah terdapat sejumlah usulan
permohonan Hutan Desa, yaitu di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Hingga saat ini,
usulan-usulan tersebut telah diverifikasi dan sedang menunggu penetapan dari Menteri
Kehutanan.
Berdasarkan hasil verifikasi, diketahui bahwa sebagian areal yang diusulkan tersebut
tumpang tindih, baik dengan ijin IUPHHK Hutan Alam dan HutanTanaman seperti di
Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, dan Sintang, maupun tumpang tindih dengan
pencadangan areal untuk transmigrasi di Kabupaten Ketapang. Sehingga diperkirakan areal
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
41/60
41
hutan desa yang akan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan nantinya akan berkurang dari areal
yang diusulkan.
6. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Kesatuan Pengelolaan Hutan atau lebih dikenal dengan istilah KPH merupakan salah
satu kebijakan Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan hutan dengan pengaturan
pewilayahan unit pengelolaan pada kesatuan hutan terkecil sesuai dengan fungsi pokok dan
peruntukannya sehingga dapat dikelola secara efisien dan lestari. Pengembangan areal KPH
sendiri dibedakan sesuai dengan fungsi kawasannya, yaitu kawasan konservasi (KPHK),
hutan lindung (KPHL), dan hutan produksi (KPHP). Secara teknis, pembangunan KPH
sendiri merupakan serangkaian proses untuk menghasilkan wujud riil dari unit pengelolaan
hutan di tingkat tapak, yang tahap-tahapnya meliputi pembentukan unit atau wilayah KPH,
pembentukan institusi pengelola KPH, serta penyusunan rencana pengelolaan KPH.
Menindaklanjuti hal tersebut, maka pada tahun 2010 Kementerian Kehutanan telah
menetapkan wilayah KPHP dan KPHL di Provinsi Kalimantan Barat melalui surat
keputusan No. SK.67/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010 sebanyak 34 unit dengan luas
total 6.973.613 ha yang meliputi 5 unit KPHL seluas 1.372.345 ha dan 29 unit KPHP seluas
5.601.268 ha. Sedangkan untuk kawasan konservasi, Kementerian Kehutanan telah
menetapkan 2 kawasan konservasi, yaitu TN. Gunung Palung dan TN. Danau Sentarum
sebagai KPHK sesuai dengan surat keputusan no. SK.721.Menhut-II/2010 dan SK.
715/Menhut-II/2010, dengan luas 90.000 ha dan 132.000 ha.
Dalam rangka memberi kejelasan pelaksanaan pembangunan KPH tersebut serta
mendapatkan perwakilan yang ideal dari KPH yang akan diimplementasikan secara massal,
maka Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten telah
merancang pembentukan KPH Model, yaitu di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas
Hulu. Pembentukan KPH Model ini merupakan strategi bertahap dari Kementerian
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
42/60
42
Kehutanan dalam pembangunan kelembagaan KPH dan dimaksudkan sebagai stimulan
dalam upaya pembangunan kelembagaan KPH di Provinsi Kalimantan Barat. Pembentukan
KPHP Model di Provinsi Kalimantan Barat telah diinisiasi sejak tahun 2005 melalui
fasilitasi pembentukan KPHP Merakai di Kabupaten Sintang seluas ± 37.653 Ha, yaitu di
Kecamatan Ketungau Tengah yang mencakup wilayah 7 desa, yaitu Desa Wirayuda,
Swadaya, Tanjung Sari, Tirta Karya, Panding Jaya, Wana Bhakti, dan Landui Kedujung.
Secara kelembagaan, di KPHP Merakai juga telah terbentuk lembaga pengelola berupa Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kabupaten yang dibentuk oleh Bupati Sintang melalui
Peraturan Daerah No. 62 Tahun 2010 tanggal 23 Desember 2010. Pada tahun 2009, KPHP
Merakai ditunjuk sebagai KPHP Model oleh Menteri Kehutanan dengan surat keputusan No.
791/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 seluas 56.893 hektar, dengan rincian 10.420
ha berada di Hutan Lindung (HL) dan 46.473 ha di Hutap Produksi (HP).
7. Kerjasama Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Keberadaan kawasan hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat memiliki arti penting
tidak hanya bagi masyarakat di sekitarnya, namun juga bagi lingkungan global. Perhatian
terhadap keberadaan dan keberlangsungan sumberdaya hutan di Provinsi Kalimantan Barat
dari berbagai pihak, baik dari local maupun internasional, diwujudkan dalam bentuk
berbagai kerjasama dengan focus.
kegiatan yang beragam, antara lain bantuan teknis, peningkatan infrastruktur,
pengembangan kapasitas SDM, dan lain-lain. Pengakuan terhadap arti penting kawasan
hutan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat bagi lingkungan global setidaknya juga terlihat
dari dimasukkannya sebagian wilayah hutan di Kalimantan Barat dalam skema inisiatif
Jantung Kalimantan atau Heart of Borneo22
yang berupaya mengkonservasi kawasan hutan
serta mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan di Pulau Kalimantan.
22
Merupakan program inisiatif kerjasama trilateral yang melibatkan Negara-negara yang memiliki kawasanhutan di wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan, yaitu Indonesia - Malaysia - Brunei Darussalam sejak tahun2007
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
43/60
43
Program Heart of Borneo sendiri merupakan inisiatif kerjasama trilateral yang melibatkan
negara-negara yang memiliki kawasan hutan di wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan,
yaitu Indonesia - Malaysia - Brunei Darussalam. Kerjasama ini dideklarasikan sejak tahun
2007 dan hingga saat ini terus melakukan berbagai kegiatan yang mendukung visi dan misi
kerjasama ini, yaitu konservasi sumberdaya hutan serta pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan. Program kerjasama ini merupakan kerjasama jangka panjang yang setiap
tahun selalu dimonitor melalui trilateral meeting yang secara bergantian digelar di setiap
negara anggota kerjasama.
Selain program Heart of Borneo, hingga saat ini diketahui telah banyak kerjasama
pengelolaan sumberdaya hutan yang telah dilakukan, baik oleh pemerintah pusat, provinsi,
maupun kabupaten dengan berbagai fokus kerjasama yang berbeda-beda. Sejak tahun 1990,
kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan di Provinsi Kalimantan Barat telah dimulai
melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) atau Social Forestry Development Program
(SFDP) yang merupakan kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan GTZ Jerman23
dengan lokasi di Kabupaten Sanggau. Selain itu, terdapat juga kerjasama dengan Uni Eropa
melalui program FLEGT24
yang memberikan dukungan terhadap penegakan hukum dalam
perdagangan hasil hutan serta kerjasama dengan pemerintah Jerman melalui program DED
yang fokus terhadap peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam
kebijakan perubahan iklim. Selain kerjasama pengelolaan hutan yang bersifat makro di
tingkat provinsi tersebut, juga terdapat beberapa kerjasama pengelolaan hutan yang bersifat
parsial, terutama pada kawasan konservasi seperti taman nasional. Hingga saat ini, sejumlah
kerjasama telah dilakukan oleh taman nasional di Kalimantan Barat, antara lain TN Gunung
Palung, TN Betung Kerihun, dan TN Danau Sentarum dengan beberapa pihak, baik lokal
23 GTZ (Gesellschaft Technische Zusammenarbeit ) merupakan lembaga Internasional dari Jerman yang bekerja
sama dengan Indonesia untuk konservasi24 FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) merupakan program kerja sama antara Indonesia
dengan Uni Eropa untuk melakukan penegakan hukum dan perbaikan dalam bidang tata kelola kehutanan
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
44/60
44
maupun internasional. Fokus kerjasama yang dilakukan pada umumnya terkait dengan
konservasi spesies serta konservasi hutan pada umumnya seperti pemberantasan illegal
logging dan kebakaran hutan.
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
45/60
45
BAB III
PENGOLAHAN DATA
A. Analisa Data Pemanfaatan Hutan Dan Lahan Di Kalimantan Barat
Pada bagian ini akan dilakukan anailis terhadap data dalam pemanfaatan lahan dan hutan
di Kalimantan barat sebelum dan sesudah penandatanganan Letter of Intent Indonesia dan
Norwegia dalam penurunan emisi karbon yang cukup di kenal dengan REDD+ ( Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan mempelajari literature-literatur dan referensi yang ada. Sedangkan penelitian
lapangan (field research) dilakukan dengan cara turun ke lapangan untuk mencari data dan
informasi serta melihat apa yang menjadi permasalahan dalam penelitan ini. Komunikasi
langsung dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan beberapa pihak seperti dinas
kehutanan, badan lingkungan hidup provinsi Kalimantan barat, serta beberapa pemerhati
lingkungan dari LSM yang berada di Kalimantan barat.
Adapun beberapa subjek yang di jadikan sebagai objek penelitian adalah dinas
kehutanan provinsi Kalimantan barat dan badan lingkungan hidup Kalimantan barat
(BLHD). Selain itu penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa orang yang di
anggap berkompeten dalam penelitian ini. Selanjutnya berdasarkan rangkuman yang telah
dilakukan oleh peneliti yang dikumpulkan melalui instansi-instansi yang memiliki
wewenang penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan. Disini akan dijelaskan perbandingan
jumlah perizinan di sector kehutanan tahun 2008 dengan 2012, disini akan tergambar
bagaimana perkembangan perizinan sebelum dan sesudah di sepakatinya Letter of Intent
Indonesia dan Norwegia dalam penurunan emisi karbon dimana Indonesia memiliki
kewajiban untuk melindungi hutan yang ada di Indonesia. Dapat terlihat disini perkebangan
perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang ada.
-
8/19/2019 Skripsi Implementasi Loi Revisi 3
46/60
46
Tabel IPerkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008
No. Nama Perusahaan
IUPHHK
Perijinan
No. SK IUPHHK TanggalLuas Areal
(Ha)
1 PT. Sari Bumi Kusuma SK Menhut No. 58/Menhut-II/2007 22 Feb 2007 75,2002 PT. Batasan SK Menhut No. 416/Menhut-II/2004 19 Okt 2004 49,150
3PT. Harapan Kita
UtamaSK Menhutbun No. 803/Kpts-
VI/1999 30 Sept 1999 40,500
4
PT. Kalimantan Satya
Kencana SK Menhut No. 937/Kpts-VI/1999 14 Okt 1999 49,800
5PT. Wanasokan
Hasilindo SK Menhutbun No. 265/Kpts-II/2000 25 Agust 2000 49,000
6PT. Sinergi Bumi
Lestari SK Menhut No. 559/Menhut-II/2006 29 Des 2006 12,770
7
PT. Bina Ovivipari
Semesta SK Menhut No. 68/Menhut-II/2006 27 Maret 2006 10,100
8PT. Karunia Hutan
LestariSK Menhutbun No. 938/Kpts-
VI/1999 14 Okt 1999 41,700
9PT. Duadja Corporation
II SK Menhut No. 90/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 74,860
10 PT. Suka Jaya Makmur SK Menhut No ts 00 29 Des 2000 171,300
11PT. Wana Kayu Batu
Putih SK Menhut No. 163/Menhut-II/2005 7 juni 2005 42,500
12PT. Sewaka Lahan
sentosa SK Menhut No. 236/Menhut-II/2007 4 Juli 2007 34,000
13PT. Bumi Raya Utama
Wood Industries SK Menhut No. 268/Menhut-II/2004 21 Juli 2004 110,500
14PT. Bhakti Dwipa
Kariza SK Menhut No. 423/Menhut-II/2006 15 Agust 2006 11,010
15PT. Karya Rekanan
Bina Bersama SK Menhut No. 263/Menhut-II/2004 21 Juli 2004 43,810
16 PT. Toras Banua Sukses SK Menhut No. 107/Menhut-II/2006 11 April 2006 24,920
Total Luas (Ha) 841,120
Sumber: Dep. Kehutanan (2008), BPPHP X Pontianak (2008)
Tabel II
Perkembangan HPH/IUPHHK Hutan Alam di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012
No. Nama Perusahaan
IUPHHK
PerijinanLuas Areal
(Ha) No. SK IUPHHK Tanggal
1 PT. Sari Bumi KusumaSK Menhut No. 58/Menhut-
II/2007 22 Feb 2007 75,200
2 PT. BatasanSK Menhut No. 416/Menhut-
II/2004 19 Okt 2004 49,150
3 CV. Pangkar BegiliSK. Menhut No. 395/Menhut-
II/2007 27 Nov 2007 30,195
4 PT. Harapan Kita UtamaSK Menhutbun No. 803/Kpts-
VI/1999 30 Sept 1999 40,500
5PT. Kusuma Atlas
Timber SK Menhut 843/Kpts-VI/1992 26 Agustus 1992 45,300
6PT. Kalimantan Satya
Kencana SK Menhut No. 937/Kpts-VI/1999 14 Okt 1999 49,800
7PT. Wanasokan
HasilindoSK Menhutbun No. 265/Kpts-
II/2000 25 Agust 2000 49,000
8PT. Sinergi Bumi
LestariSK Menhut No. 559/Menhut-
II/2006 29 Des 2006 12,770
9
PT. Bina Ovivipari
Semesta
SK Menhut No. 68/Menhut-
II/2006 27 Maret 2006 10,100
10 PT. Kandelia AlamSK Menhut SK.249/Menhut-
II/2008 24 Jun 2008 1