skripsi - i · 2015-09-02 · akibat posisi geometris ini dapat menyebabkan kesulitan dalam proses...
TRANSCRIPT
15
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan dan pengolahan awal data citra dilaksanakan mulai bulan
Januari sampai Februari 2004. Pengambilan data lapangan pada bulan Maret
2004. Pengolahan lanjutan dilaksanakan pada bulan April 2004 sampai dengan
bulan Mei 2004 di Laboratorium Remote Sensing, Departemen Manajemen
Hutan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane Bagian Hulu.
Data Citra, Data Pendukung dan Alat Data citra yang digunakan dalam penelitian ini berupa data digital citra
satelit Landsat TM multiwaktu path/row 122/65 tahun 1994, 2000 dan tahun 2003
(Tabel 2). Data pendukung yang digunakan yaitu data vektor batas DAS
Cisadane Bagian Hulu, Peta Rupa Bumi skala 1:25.000, dan peta digital daerah
Bogor. Tabel 2. Data Citra Satelit yang Digunakan dalam Penelitian.
No. Spesifikasi Data citra tahun
1994 2000 2003 1. Jenis sensor TM ETM+ ETM+ 2. Path/row 122/65 122/65 122/65 3. Tanggal perekaman 22/09-1994 06/05-2000 02/05-2003 4. Jumlah Band 7 7+pan 7+pan 5. Band yang digunakan 1,2,3,4,5,7 1,2,3,4,5,7 1,2,3,4,5,7
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat komputer yang
dilengkapi dengan software ER MAPPER versi 5.5, ArcView versi 3.2, ERDAS
Imagine 8.4, Microsoft Word dan Microsoft Excel. Peralatan tambahan lainnya
yaitu GPS (Global Positioning System) Garmin 12XL, kamera saku dan alat tulis.
Tahap-tahap Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu pengolahan
awal citra (pre-image processing), pengambilan data di lapangan (ground check),
pengolahan citra digital (image processing) dan analisis perubahan tutupan
lahan.
16
Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (pre-image processing) merupakan tahap awal dari
pengolahan citra satelit Landsat TM, berupa perbaikan/koreksi terhadap data
citra yang masih memiliki beberapa kesalahan (distorsi) di dalamnya. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan kualitas data citra yang akan berpengaruh
terhadap hasil akhir yang akan dicapai. Untuk itu koreksi terhadap distorsi atau
kesalahan data perlu dilakukan sebelum data dianalisa lebih lanjut.
Langkah awal sebelum masuk pada kegiatan pengolahan awal citra yaitu
melakukan proses import dan merging data citra. Citra yang digunakan untuk
penelitian ini adalah Landsat TM hasil perekaman tahun 1994 (format *.BIL), citra
Landsat ETM+ hasil perekaman tahun 2000 (format *.tif), dan citra Landsat
ETM+ hasil perekaman tahun 2003 (format *.tif). Langkah berikutnya adalah
menggabungkan masing-masing citra saluran multispektral (saluran biru, hijau,
merah, inframerah dekat, inframerah sedang I, inframerah sedang II, dan
inframerah panas) menjadi satu data citra multispektral. Saluran spektral yang
digunakan pada penelitian ini yaitu band 1, band 2, band 3, band 4, band 5, dan
band 7 dan mengabaikan band 6 (baik pada Landsat TM maupun ETM+) dan
band 8 (saluran pankromatik) yang terdapat pada Landsat ETM+.
1. Koreksi Geometrik (Geometric Correction). Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki kesalahan posisi/letak
objek-objek yang terekam pada citra yang disebabkan oleh distorsi geometrik
(Lillesand & Kiefer, 1997). Distorsi atau kesalahan posisi dari obyek-obyek yang
terekam pada citra tidak akan tampak secara nyata pada citra. Namun kesalahan
akibat posisi geometris ini dapat menyebabkan kesulitan dalam proses integrasi
(fusi) citra dengan sumber data lainnya (Jaya, 2002). Citra Landsat TM dengan
obyek pengamatan DAS Cisadane bagian hulu terdiri dari satu data citra
terkoreksi (master image) berupa peta digital daerah Bogor dan tiga data citra
mentah (slave image) hasil perekaman tahun 1994, 2000 dan tahun 2003 yang
digunakan sebagai bahan penelitian. Koreksi ini dilakukan dengan membuat
sejumlah titik-titik kontrol lapangan (Ground Control Point) yang tersebar merata
di seluruh citra pada obyek-obyek yang relatif permanen dan tidak berubah
dalam kurun waktu yang lama seperti jalan, jembatan, sudut bangunan dan yang
lainnya. Atas dasar acuan yang digunakan, koreksi ini dilakukan dari citra ke citra
(image to image rectification). Sejumlah titik-titik kontrol yang tersebar merata
ditentukan pada citra terkoreksi (master image) sebagai koordinat acuan. Peta
17
digital daerah Bogor (master image) digunakan untuk mengoreksi citra tahun
2003. Citra tahun 2003 yang telah terkoreksi ini kemudian digunakan untuk
mengoreksi citra tahun 2000. Selanjutnya, citra terkoreksi tahun 2000 ini
digunakan untuk mengoreksi citra tahun 1994.
Secara ringkasnya, tahapan dari koreksi geometrik ini adalah sebagai
berikut :
a. Pemilihan titik-titik kontrol lapangan (Ground Control Point), syaratnya tersebar
merata di seluruh citra, relatif permanen, tidak berubah dalam kurun waktu yang
lama (seperti jalan, jembatan, sudut bangunan, dan sebagainya).
b. Perhitungan Root Mean Squared Error (RMSE). Setelah GCP terpilih,
selanjutnya dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. RMSE dinyatakan
dengan rumus :
( )∑= 21 δn
RMSE dengan ( ) ( )22 '' LLPP −+−=δ
dimana P’ dan L’ adalah koordinat estimasi, p dan L adalah koordinat asli
GCP (Jaya, 2002).
Transformasi koordinat yang dilakukan menyebabkan terjadinya
pergeseran posisi piksel secara keseluruhan. Hal ini membuat nilai digital setiap
piksel pada posisinya yang baru tidak terdefinisi. Untuk itu perlu dilakukan
pengisian nilai digital piksel dengan cara melakukan resampling menggunakan
metode interpolasi nilai digital piksel. Metode interpolasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah interpolasi tetangga terdekat (nearest neighbour
interpolation), yaitu mengisi nilai digital piksel yang baru dengan cara
mengekstraksi nilai digital piksel terdekat dari lokasi estimasi pada citra asli.
Metode ini merupakan metode yang paling efisien dan paling banyak digunakan
karena tidak merubah nilai digital piksel yang asli, apalagi dalam kaitannya
dengan bidang kehutanan yang membutuhkan nilai asli yang bukan hasil sintesa
(Jaya, 2002).
Titik-titik kontrol yang dipilih sebanyak 30 GCP untuk citra 2003, 26 GCP
untuk citra 2000, dan 32 GCP untuk citra 1994. Setelah GCP terpilih selanjutnya
dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. Ketelitian yang diharapkan dalam
koreksi geometris adalah nilai akar kesalahan rata-rata kuadrat (RMSE) yang
lebih kecil dari 0,5 piksel. Nilai RMSE yang diperoleh dari ketiga citra tersebut
sesuai dengan yang disyaratkan, yaitu kurang dari 0.5 piksel. Untuk citra 2003
dengan 30 GCP diperoleh nilai rata-rata Root Mean Squared Error (RMSE)
18
sebesar 9.1798 meter atau 0.306 piksel, 12.0816 meter atau 0.403 piksel untuk
citra 2000, dan 11.9008 meter atau 0.397 piksel untuk citra 1994 (Tabel 3). Tabel 3. Rekapitulasi GCP dan Nilai RMSE dari Seluruh Citra Landsat.
Tahun Perekaman Jumlah GCP RMSE 1994 32 0,39669 2000 26 0,40272 2003 30 0,30599
2. Penajaman Citra (Image Enhancement). Untuk mendapatkan citra dengan tampilan visual yang baik, maka
diperlukan suatu operasi untuk memperbaiki nilai kontras citra. Operasi ini
disebut dengan penajaman citra. Teknik penajaman citra yang digunakan dalam
penelitian ini adalah histogram equalize, berupa perentangan Digital Number-nya
pada skala tingkat keabuan 0 – 255. Tujuannya adalah agar kelompok-kelompok
Digital Number mempunyai jarak antara satu dengan lainnya, sehingga
memudahkan dalam identifikasi fitur.
3. Interpretasi Visual Citra Satelit (Visual Image Interpretation). Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal dalam survey
lapangan, mengidentifikasi pola sebaran, penentuan jumlah kelas tutupan lahan
dan macam kelas tutupan lahan yang ada di daerah penelitian. Untuk
mempermudah dalam interpretasi visual, citra ditampilkan dalam format RGB
(Red Green Blue) untuk dapat menghasilkan warna komposit.
Menurut Jaya (2002), kombinasi yang terdiri dari salah satu band visible
(1, 2, dan 3), band 4 (near infrared) dan band 5 (middle infrared) dapat
memberikan separasi antar kelas yang tinggi. Perbedaan yang jelas antar kelas
akan lebih mempermudah dalam deteksi dan identifikasi secara visual karena
tampilan objek yang ada pada citra bisa dengan mudah dibedakan.
Dari kegiatan interpretasi visual citra ini dapat diidentifikasi 13 kelas
tutupan lahan (termasuk awan dan bayangan awan) yang bisa dibedakan secara
visual satu dengan yang lainnya. Awan dan bayangan awan tidak termasuk ke
dalam salah satu kelas tutupan lahan yang menutupi lapisan atas permukaan
bumi tetapi ikut diklasifikasi sebagai salah satu kelas tutupan lahan karena dapat
mempengaruhi hasil klasifikasi. Dalam penelitian ini, kombinasi band yang
digunakan dalam interpretasi visual citra menggunakan band 5-4-3 (mengacu
kepada standar dari Departemen Kehutanan untuk analisis hutan dan vegetasi).
19
Kombinasi Band 5-4-3 untuk masing-masing citra tersaji pada Gambar 1.
Citra Landsat tahun 1994
Citra Landsat tahun 2000
Citra Landsat tahun 2003
Gambar 1. Tampilan Visual Citra Masing-masing Tahun Liputan.
20
Sedangkan tampilan masing-masing kelas tutupan lahan tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Penampakan Visual Citra dari Kelas-kelas Tutupan Lahan. No. Kelas Tutupan Lahan Lokasi pengambilan data Tampilan visual
1. Badan air (BDA) Setu Gede, CIFOR
2. Sawah (SWH) Ciseeng
3. Tanah Kosong (TKG) Gunung kapur, Ciampea
4. Padang Rumput (PDR) Bogor Golf Club
5. Permukiman (PMK) Baranangsiang
6. Semak (SMK) Gunung kapur, Ciampea
7. Kebun Campuran (KCP) Ciapus
8. Kebun Karet (KRT) Kemang
9. Kebun Teh (TEH) Desa Nirmala, Nanggung
21
Lanjutan Tabel 4. Penampakan Visual Citra dari Kelas-kelas Tutupan Lahan. No. Kelas Tutupan Lahan Lokasi pengambilan data Tampilan visual
10. Tegakan Pinus (PNS) Lengkong Girang, Lido
11. Hutan Daun Lebar (HDL) Gunung Salak
12. Awan (AWN) Gunung Salak
13. Bayangan Awan (BYA) Gunung Salak
Adapun deskripsi masing-masing kelas tutupan lahan bisa dilihat pada tabel 5 Tabel 5 . Deskripsi Kelas Tutupan Lahan
No. Kelas Tutupan Lahan Deskripsi 1. Badan Air (BDA) Lahan yang terendam air. 2. Sawah (SWH) Lahan sawah yang sudah ditumbuhi padi.
3. Tanah Kosong (TKG) Lahan yang keberadaan tanaman diatasnya sedikit atau bahkan tidak ada.
4. Padang Rumput (PDR) Lahan yang ditumbuhi oleh rumput-rumputan.
5. Permukiman (PMK) Lahan yang merupakan tempat tinggal dan pusat kegiatan manusia, serta jalan.
6. Semak (SMK) Lahan yang didominasi oleh perdu dan tumbuhan bawah lainnya.
7. Kebun Campuran (KCP)
Lahan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman keras atau pertanian, umumnya tanaman penghasil buah seperti rambutan, durian, mangga, kelapa, nangka, dan lain-lain.
8. Kebun Karet (KRT) Lahan yang didominasi oleh perkebunan karet. 9. Kebun Teh (TEH) Lahan yang didominasi oleh perkebunan teh.
10. Tegakan Pinus (PNS) Lahan yang didominasi oleh pohon pinus.
11. Hutan Daun Lebar (HDL) Lahan yang didominasi oleh jenis-jenis kayu rimba, seperti rasamala, puspa, dan lain-lain.
12. Awan (AWN) Areal yang diliputi oleh awan. 13. Bayangan Awan (BYA) Areal yang diliputi oleh bayangan awan.
4. Penyekatan Area Penelitian (Cropping). Langkah selanjutnya adalah proses penyekatan citra sesuai dengan area
penelitian (kawasan DAS Cisadane Bagian Hulu) pada citra terkoreksi. Hal ini
22
bertujuan selain untuk lebih memfokuskan perhatian ke areal penelitian juga
untuk mereduksi volume data citra supaya proses kerja komputer bisa lebih
ringan. Citra hasil penyekatan ini akan digunakan dalam proses selanjutnya.
Pemeriksaan Lapangan (Ground Check).
Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan untuk memperoleh
informasi mengenai keadaan/kondisi lapangan secara nyata sebagai pelengkap
informasi dan pembanding bagi analisis selanjutnya. Pemeriksaan lapangan
dilakukan dengan menelusuri lokasi-lokasi pengamatan yang telah ditentukan.
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan titik-titik pengamatan dan
dokumentasi contoh-contoh tutupan dan penggunaan lahan yang ada dan juga
melakukan wawancara dengan responden yang memahami dan mengenali
dengan baik tentang kondisi daerah pengamatan. Dokumentasi masing-masing
kelas tutupan lahan di lapangan bisa dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Dokumentasi Kelas Tutupan Lahan Hasil Kegiatan Ground check. No. Kelas tutupan lahan Lokasi pengambilan data Tampilan visual
1. Badan air (BDA) Setu Gede, CIFOR
2. Sawah (SWH) Carangpulang, Dramaga
3. Tanah Kosong (TKG) Gunung kapur, Ciampea
4. Padang Rumput (PDR) Gunung kapur, Ciampea
5. Permukiman (PMK) Baranangsiang
23
Lanjutan Tabel 6. Dokumentasi Kelas Tutupan Lahan Hasil Kegiatan Ground check. No. Kelas tutupan lahan Lokasi pengambilan data Tampilan visual
6. Semak (SMK) Gunung kapur, Ciampea
7. Kebun Campuran (KCP) Ciapus
8. Kebun Karet (KRT) Rumpin
9. Kebun Teh (TEH) Desa Banyuwangi, Leuwiliang
10. Tegakan Pinus (PNS) Lengkong Girang, Lido
11. Hutan Daun Lebar (HDL) TNG Halimun, Desa Malasari, Nanggung
Pengolahan Citra Digital (Image Processing). Pengolahan citra digital (Image processing) mengacu kepada teknik, baik
manual atau digital, yang digunakan untuk memperbaiki geometri citra,
mempertajam penampilan citra, mengidentifikasi suatu fitur dalam suatu citra,
dan mengekstrak/mengambil informasi/data terpilih dari suatu citra (Robinson et
al., 1995). Analisa lanjutan setelah proses koreksi citra adalah penentuan Area
Contoh untuk mencari kelompok-kelompok obyek yang secara spektral terpisah
satu dengan yang lainnya sebagai prototipe untuk mendeterminasi setiap piksel
pada areal yang diteliti.
24
1. Penentuan/Pemilihan Area Contoh (Training Area). Area contoh di lapangan ditentukan dengan menggunakan alat GPS dan
Peta Rupa Bumi Skala 1:25.000. Interpretasi citra secara visual menunjukan
objek-objek yang perlu diperiksa kebenarannya di lapangan. Keberadaan objek
di peta disesuaikan dengan keadaan sebenarnya di lapangan untuk kemudian
menentukan koordinat UTM objek di lapangan berdasarkan koordinat UTM dari
GPS. Titik kontrol lapangan ini merupakan acuan dalam membuat area contoh
(training area) pada citra dalam proses klasifikasi.
Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh (training area)
dilakukan untuk mengambil informasi statistik kelas-kelas tutupan lahan.
Pengambilan informasi statistik dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh
piksel dari setiap kelas tutupan lahan dan ditentukan lokasinya pada citra
komposit. Informasi statistik dari setiap kelas tutupan lahan ini digunakan untuk
menjalankan fungsi sparabilitas dan fungsi akurasi. Informasi yang diambil
adalah nilai rata-rata, simpangan baku, nilai digital minimum dan maksimum,
serta matriks varian-kovarian untuk setiap kelas tutupan lahan.
Banyaknya piksel training area yang perlu diambil untuk mewakili masing-
masing kelas tutupan lahan adalah sebanyak band (N) yang digunakan ditambah
satu (N+1), yaitu untuk menghindari matriks ragam peragam singular yang
matriks kebalikannya (inverse) tidak bisa dihitung. Pada prakteknya dianjurkan
jumlah piksel per kelasnya sebanyak 10 N dan bahkan 100 N (Swain & Davis,
1978).
Pembuatan Area Contoh pada citra tahun 1994 berdasar kepada jumlah
kelas yang diperoleh dari citra Landsat yaitu sebanyak 13 kelas, di mana seluruh
kelas tutupan lahan tersebut dapat teridentifikasi dengan jelas pada masing-
masing citra. Kondisi tutupan awan pada citra tahun 1994 sangat sedikit
sehingga memudahkan dalam pembuatan area contoh. Jumlah piksel area
contoh masing-masing kelas tutupan lahan yang akan dijadikan sebagai contoh
bagi piksel lain yaitu antara 10N – 100N dengan jumlah saluran spektral yang
dipakai adalah 6 band.
Pembuatan area contoh pada citra tahun 2000 dilakukan di titik-titik
referensi yang berbeda dengan area contoh tahun 1994 karena adanya
konsentrasi awan di sekitar lereng dan puncak gunung Pangrango, dan daerah
Leuwiliang serta Nanggung. Pada citra tahun 2003, awan yang menutupi hampir
seluruh wilayah sub-DAS Cisadane Hulu, sub-DAS Ciapus dan sub-DAS
25
Ciampea-Cihideung menyebabkan area contoh untuk kelas tutupan lahan lainnya
diambil dari lokasi lain. Karena kondisi tutupan awan yang dominan pada ketiga
sub-DAS di atas, maka untuk proses klasifikasi citra liputan tahun 2003 hanya
melibatkan dua sub-DAS, yaitu sub-DAS Cianten-Cikaniki dan sub-DAS
Citempuan. Jumlah piksel contoh masing-masing kelas tutupan lahan pada
masing-masing citra yang akan digunakan dalam tahap klasifikasi bisa dilihat
pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Piksel Masing-masing Kelas Tutupan Lahan pada Pembuatan Area Contoh pada Masing-masing Citra.
No Kelas Tutupan Lahan Jumlah piksel 1994 2000 2003
1. Badan Air (BDA) 556 670 592 2. Sawah (SWH) 769 210 185 3. Tanah Kosong (TKG) 568 195 312 4. Padang Rumput (PDR) 112 226 130 5. Permukiman (PMK) 551 468 657 6. Semak (SMK) 135 113 219 7. Kebun Campuran (KCP) 350 109 108 8. Kebun Karet (KRT) 605 173 315 9. Kebun Teh (TEH) 318 857 291
10. Tegakan Pinus (PNS) 457 558 129 11. Hutan Daun Lebar (HDL) 457 684 419 12. Awan (AWN) 266 997 898 13. Bayangan Awan (BYA) 347 595 843
Total piksel 5491 5855 5098
2. Analisis Separabilitas. Sebelum dilakukan proses klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan
hasil area contoh (training area) terlebih dahulu dilakukan evaluasi training area
atau analisis sparabilitas untuk pemilihan kombinasi band terbaik bagi input
proses klasifikasi.
Pengujian terhadap training area dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode Transformasi Divergensi (TD). Metode ini digunakan
untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas. Nilai TD antara kelas i dan j
dapat diketahui dengan rumus di bawah ini :
⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜
⎝
⎛−=
−
812000ijD
ij eTD
nilai divergensi dihitung dengan :
( )( )[ ] ( )( )( )[ ]jijijijijiij MMMMCCTrCCCCTrD −−++−−= −−−− 1111 5.05.0
26
di mana D adalah divergence, Tr adalah teras matriks, C adalah matriks ragam
peragam, M adalah vektor rata-rata dan t adalah transposisi dari matriks. Nilai TD
antara 0 sampai 2000 (Jaya, 2002).
Adapun kriteria yang digunakan dalam memisahkan antar kelas dari nilai
transformasi divergensi menurut Jaya (2002) adalah sebagai berikut :
a. Tidak terpisah (insparable) : ≤ 1600
b. Jelek keterpisahannya (poor) : 1601 – 1699
c. Sedang (fair) : 1700 – 1899
d. Baik keterpisahannya (good) : 1900 – 1999
e. Sangat baik keterpisahannya (excellent) : 2000
3. Evaluasi Akurasi. Evaluasi akurasi dilakukan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi
area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya prosentase ketelitian
pemetaan. Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan
(confusion matrix) atau disebut juga matriks kontingensi. Ketelitian tersebut
meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah,
pemberian nama kelas secara benar, persentase banyaknya piksel dalam
masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Adapun bentuk dari
matriks kesalahan tersaji pada tabel 8. Tabel 8. Matriks Kesalahan (confusion matrix).
Data acuan Training Area
Disklasifikasi kelas (data klasifikasi di peta) Total baris
Xk+
Producer’s Accuracy
Xkk/Xk+A B C D A Xii B ... D Xkk
Total kolom X+k N User’a Acc. Xkk/X+k
Akurasi yang bisa dihitung dari tabel di atas antara lain : user’s accuracy,
producer’s accuracy dan overall accuracy. Secara matematis jenis-jenis akurasi
di atas dapat dinyatakan sebagai berikut :
27
%100
%100'Pr
%100'
%1002
×=
×=
×=
×−
−=
∑
∑
∑∑
+
+
++
++
N
XuracyOverallAcc
XX
sAccuracyoducer
XX
sAccuracyUser
XXN
XXXNacyKappaAccur
r
kkk
k
kk
k
kk
r
kkk
r
kkk
r
kkk
di mana :
N = Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan
R = Jumlah baris/lajur pada matriks kesalahan (jumlah kelas)
Xi+ = Jumlah semua kolom pada baris ke-i (Xij)
X+j = Jumlah semua kolom pada lajur ke-j (Xij)
4. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification). Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra adalah metode
kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Method), karena metode ini
adalah yang paling banyak digunakan dalam sebagian besar klasifikasi citra
digital penginderaan jauh (Jaya, 2002). Metode kemungkinan maksimum
mengelompokkan piksel-piksel yang belum diketahui identitasnya berdasarkan
vektor rata-rata sample multivariate (Mi) dan matriks ragam peragam antar band
(Ci) dari setiap kelas atau kategori i. Semua kombinasi band dari data citra
diklasifikasi berdasarkan piksel contoh yang telah dibuat pada tahap training
area.
5. Accuracy Assessment.
Evaluasi akurasi terhadap hasil akhir klasifikasi dilakukan dengan
menggunakan metode Accuracy Assessment. Metode ini akan mengevaluasi
seluruh piksel hasil klasifikasi berdasarkan data referensi hasil ground-check,
peta rupa bumi, atau dari sumber-sumber lain yang dapat dipercaya. Parameter
yang diukur sama dengan yang digunakan dalam matriks kontingensi, yaitu
User’s Accuracy, Producer’s Accuracy, Overall Accuracy dan Kappa Accuracy.
Adapun prinsip dasar dalam Accuracy Assessment adalah
membandingkan piksel hasil klasifikasi dengan referensinya di lapangan dengan
28
asumsi bahwa data referensi yang digunakan merupakan data yang sebenarnya.
Data referensi ini digunakan untuk mendeterminasi keakuratan hasil klasifikasi.
Congalton (1991) dalam ERDAS Inc. (1999) mensyaratkan pemilihan piksel
referensi harus secara random untuk menghindari bias akibat pemilihan piksel
referensi yang sebelumnya telah digunakan dalam proses penentuan Training
Area. Adapun jumlah piksel referensi yang digunakan setidaknya lebih dari 250
titik.
Pada prakteknya, penggunaan piksel referensi yang ditentukan secara
random sangat sulit untuk dilakukan akibat keterbatasan pengetahuan terhadap
areal penelitian. Dalam penelitian ini, data referensi yang digunakan merupakan
hasil dari kegiatan ground-check, ekstraksi informasi dari peta rupa bumi,
pengetahuan analis pribadi, dan sumber informasi lainnya. Untuk menghindari
bias terhadap hasil akurasi, titik-titik referensi yang masuk ke dalam wilayah
Training Area diabaikan.
Langkah-langkah dalam kegiatan Accuracy Assessment ini bisa
dijabarkan sebagai berikut :
1. Input data referensi. Informasi yang diperlukan adalah koordinat UTM dan
jenis tutupan lahan pada tahun yang diteliti. Data bisa diekstrak dari GPS hasil
ground-check dan peta rupa bumi. Penyusunan data ini dilakukan di Microsoft
Excel supaya bisa di simpan dalam format *.txt (tab delimited). Titik-titik referensi
yang dipilih merupakan titik-titik di luar Training Area.
2. Proses pada ERDAS Imagine 8.4. Pada item Classifier, pilih Accuracy
Assessment. Setelah terbuka kotak dialognya, Open citra hasil klasifikasi yang
akan dievaluasi. Masih di kotak dialog Accuracy Assessment, pilih menu Edit
Import User-defined Points. Pilih file *.txt hasil tabulasi di Excel tadi. Selanjutnya
akan terbuka kotak dialog Import Options. Pada tab Separator Character, pilih
Tab kemudian klik OK. Setelah itu kembali ke kotak dialog Accuracy Assessment
dan isi pada kolom Reference-nya berdasarkan jenis tutupan lahannya. Kolom
Reference diisi oleh nomor kelas mengacu kepada kolom Order pada kotak
dialog Signature Editor. Setelah selesai, pada menu Report, pilih Accuracy
Report untuk mendapatkan hasil akurasinya.
29
Analisis Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra Landsat TM multiwaktu melalui
metode kemungkinan maksimum, selanjutnya dilakukan analisis perubahan
tutupan lahan. Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan cara
menumpangtindihkan (overlay) citra hasil klasifikasi pada tiap waktu, yaitu tahun
1994 – 2000 dan 2000 – 2003. Overlay matriks dari dua citra hasil klasifikasi ini
akan menghasilkan matriks transisi yang menyatakan besarnya luas atau jumlah
piksel suatu kelas tutupan lahan pada citra tahun pertama yang berubah menjadi
kelas tutupan lahan lain pada tahun berikutnya.
30
Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian
Kappa Acc. < 85 %
Kappa Acc. > 85 %
TD > 1700
Penyiapan data
Pra-pengolahan citra (koreksi geometrik dan radiometrik)
Evaluasi Training Area (Analisis Separabilitas)
Klasifikasi Metode Kemungkinan Maksimum
(Maximum Likelihood Method)
Analisis Akurasi/ Accuracy Assessment
Penyekatan Area Penelitian (Cropping)
Overlay
Seleksi Training Area
TD < 1700 Penggabungan
kelas
Mulai
Selesai
Data citra Landsat TM belum terkoreksi, path/row 122/65 tahun 1996 dan Landsat ETM+ tahun 2000 dan 2003
Peta digital terkoreksi
daerah Bogor
Data lapangan (Ground-Check)
Data referensi : Data Ground-check, Peta Rupa Bumi, dll.
Citra tematik tutupan lahan per
sub-DAS pada tiap tahun liputan
Citra hasil klasifikasi
Peta perubahan tutupan lahan
AOI (Area Of Interest) batas sub-DAS :
Cisadane Hulu, Ciapus, Ciampea-Cihideung,
Cianten-Cikaniki, dan Citempuan.