skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu …euthanasia dalam pandangan hak asasi manusia dan hukum...
TRANSCRIPT
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA
DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AHMAD ZAELANI
NIM : 104045101542
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H/2008M
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA
DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AHMAD ZAELANI
NIM : 104045101542
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Asmawi, M.Ag Dedy Nursmasi, SH. M.Hum
NIP : 150 282 394 NIP : 150 264 4001
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429H/2008M
KATA PENGANTAR
�ا���ا�����ا ���
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi
Rabbi yang senantiasa selalu memberikan petunjuk dan hidayah serta selalu
melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan kita sang
revolusioner yakni Baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat
dan kita sebagai pengikutnya.
Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah
khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam
menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul
“EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM
ISLAM”
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dimiliki oleh penulis. Tanpa bantuan
dan dorongan dari semua pihak, mungkin skripsi ini tidak akan selesai, pada
kesempatan ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Asmawi, M.Ag., Ketua Jurusan Jinayah Syiasah serta Ibu Sri Hidayati.
M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Syiasah, yang telah memberikan dorongan
dan Administrasi kepada penulis.
4. Bapak Asmawi, M.Ag dan Bapak Dedy Nursamsi S.H, M.Hum dosen
pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan, dorongan
dan membantu penulis dalam menyelesikan skripsi ini.
5. Pimpinan perpustakaan UIN beserta seluruh staf, yang telah membantu
meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Yang tercinta Ayahanda Komarudin dan Ibunda Juriah yang tidak henti-
hentinya memberikan kasih sayang serta dorongannya dalam bentuk materi
dengan tulus ikhlas dan selalu mendoakan penulis. Serta kepada kakaku
tersyang Kokom Herawati, Neneng Puspitasari dan adikku Nurmalasari yang
selalu memberikan motivasi dan kasih sayangnya kepada penulis.
8. Keluarga besar Jinayah Syiasah khususnya Program Studi Pidana Islam
angkatan 2004 (Unay, Nandes, Va’i, Cepi, Komson dan yang lainnya) yang
telah bersama-sama berjuang dalam suka dan duka.
9. Kawan-kawan HMI Komfaksy dan LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan
Hukum Mahasiswa Islam) yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
10. Kawan-kawan di Z_2.net ( Bang Zarzis, SE, Andri, Irhasy dan yang lainnya)
merekalah yang telah menemani penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini sampai selesai.
Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan
yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan
kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi
motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan Doa semoga Allah yang
Maha Arif dan Bijak juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah
memberi limpahan ampunan, rahmat dan karunia-Nya kepada kita bersama.
Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat
akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.
Jakarta, 03 Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................................7
C. Tujuan dan Pemanfaatan Penelitian ................................................8
D. Metode Penelitian ..........................................................................9
E. Sistematika Penulisan .....................................................................10
BAB II TINJAUAN UMUM HAK HIDUP DALAM HAK ASASI
MANUSIA DAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hak Hidup.....................................................................13
B. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia ..........................................16
C. Hak Hidup Dalam Konsepsi Hukum Islam......................................18
BAB III FENOMENA EUTHANASIA DAN PANDANGAN ILMU
KEDOKTERAN
A. Pengertian Euthanasia.....................................................................25
B. Klasifikasi Euthanasia.....................................................................30
C. Motif-Motif Dilakukannya Euthanasia ............................................34
D. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran.................................................36
BAB IV HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM
ISLAM DAN KAITANNYA DENGAN EUTHANASIA
A. Hak Hidup dalam Hak Asasi Manusia dan kaitannya dengan
Euthanasia ......................................................................................41
B. Hak Hidup Dalam Hukum Islam dan Kaitannya Dengan
Euthanasia ......................................................................................48
C. Perbandingan Hukum Euthanasia Menurut Hukum Islam dan
Hak Asasi Manusia .........................................................................55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................64
B. Saran ..............................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan akan senantiasa selalu ada selama masih ada manusia yang
hidup di muka bumi ini. Kehendak untuk melakukan tindakan kejahatan
merupakan sebab internal dalam kehidupan manusia, padahal pada sisi lain
manusia menginginkan kehidupan yang damai, tentram, dan berkeadilan, dengan
kata lain kehidupan manusia tidak ingin diganggu oleh perbuatan-perbuatan
kriminal atau kejahatan. Upaya-upaya untuk menekan tingkat kuantitas dan
kualitas kejahatan melanggar hukum telah lama dilakukan oleh manusia, baik
yang berifat preventif, represif, dan edukatif.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, bukan
negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Maksud negara berdasarkan atas hukum
adalah bahwa negara dalam tata kehidupan masyarakat berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan
yang dibuat dan ditetapkan dengan maksud untuk melindungi dan menyelesaikan
perkara yang terjadi dalam kehidupan mayarakat, karena baik disadari maupaun
tidak disadari, manusia sebagai anggota masyarakat selalu melakukan perbuatan
melanggar hukum dan hubungan hukum.
Sebagai negara berdasarkan hukum, Indonesia sangat menghormati dan
menjunjung tinggi eksistensi hak asasi manusia. Dalam sila kedua Pancasila,
dijelaskan bahwa negara Indonesia mengakui dan menghormati sikap
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan demikian secara nyata dan
filosofis, Indonesia memiliki cita-cita kuat untuk menegakkan hak asasi manusia
sesuai dengan ketentuan hukum baik hak asasi individu maupun kelompok.1
Islam sangat menjamin seluruh hak-hak asasi manusia dan menghormati
hak-hak tersebut, baik yang menyangkut hak-hak yang beragama, hak-hak sipil,
maupun hak-hak politik yang menyangkut hak hidup, hak menjaga harta, hak
menjaga keselamatan dan harga diri, serta hak mendapatkan perlindungan dan
kemerdekaan yang kesemuanya itu sering dikenal dengan istilah hak-hak asasi
manusia.
Hak yang paling utama dan paling perlu mendapat perhatian adalah hak
hidup, karena hak hidup ini merupakan hak yang paling suci dan Ilahiyah, serta
tidak dibenarkan secara hukum dilanggar kemulyaannya dan tidak boleh dianggap
remeh eksistensinya.2 Oleh karena itu, segala macam yang melanggar hak hidup
seseorang seperti membunuh, menganiaya dan melukai orang lain sangat dilarang
1 http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html diakses pada tanggal
13 Maret 2008 pukul 15:30 WIB 2 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut; Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah, 1998), h.14
oleh hukum Islam, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur`an
Surat Al-Isyra` ayat 33:
����� � ���� ����� ��� ������ ��� � و��و",����ا ا��!+* ا�!�( )'!م ا$ إ"! ���
)٣٣ : ١٧/ 27'ا6ا (4�ی2'ف �( ا���� إ�!� آ�ن ��.�را
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar.
Dan barang siapa yang dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya kami
telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesunguhnya ia adalah
yang mendapat pertolongan”. (Q.S. Al-Isra’/ 17 : 33)
Ayat ini memberikan petunjuk tentang makna kehidupan bagi manusia
sebagai hak yang diberikan Allah, perbuatan membunuh jiwa manusia sangat
diharamkan, demikian juga dengan pembunuhan tidak boleh dilakukan dengan
semena-mena terhadap jiwa manusia yang boleh dibunuh. Ada batasan-batasan
yang tidak boleh dilanggar dalam proses pembunuhan, antara lain dalam hukuman
mati untuk pelaku tindak pidana pembunuhan.
Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain, karena alasan dendam atau
untuk menebarkan kerusakan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan yang
berwenang. Selama berlangsung peperangan, dimuka pengadilan perbuatan itu
hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dalam setiap peristiwa itu, tidak
ada satu individupun yang memiliki hak untuk mengadili secara main hakim
sendiri. Dengan demikian, pembunuhan boleh saja dilaksanakan kepada manusia
asalkan dengan alasan demi menegakkan keadilan seperti penjatuhan hukuman
mati kepada seorang residivis.
Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah yang populer dengan
sebutan euthanasia dan telah menjadi topik pembicaraan yang diperdebatkan,
tidak saja bagi kalangan ahli medis, tetapi juga para pakar hukum Islam.
Euthanasia menurut pemikir Islam Yusuf Al-Qardawi adalah tindakan ahli medis
untuk mengakhiri hidup seseorang dan mempercepat kematiannya melalui injeks
kematian, kejutan listrik, senjata tajam dan cara yang lainnya.3
Istilah euthanasia memang masih asing di Indonesia, karena peristiwa
tersebut sangat jarang terjadi. Akan tetapi di negara-negara maju, seperti
Amerika, Austria, Belanda dan negara Eropa lainnya, masalah euthanasia telah
lama dikenal dan bahkan telah ada undang-undang yang melegalisasikannya.
Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi para dokter atau pihak lain
untuk melakukan euthanasia.
Dalam prakteknya, euthanasia dilakukan apabila seseorang pasien yang
menderita penyakit itu belum diketemukan obatnya, serta membuat si pasien
menderita karena penyakit yang di deritanya (secara fisik). Sebab lainnya, apabila
keluarga si pasien membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan
dirinya, sedangkan keadaan keluarganya sudah tidak sanggup membiayai
pengobatan si penderita (secara materi), maka si pasien meminta dengan sungguh-
sungguh kepada pihak rumah sakit untuk mengakhiri hidupnya dan keluarga si
pasien mengijinkannya (menyetujuinya). Pihak rumah sakit kemudian melakukan
3 Ismail, Tinjauan Islam terhadap Euthanasia, (Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h. 22
euthanasia (mengakhiri hidup si pasien) baik dilakukan dengan euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.
Masalah euthanasia menjadi bahan pembahasan cendekiawan, terutama
apabila ditinjau dari segi hukum dan dihubungkan dengan hak seseorang untuk
menentukan keadaan dirinya sendiri. Asas legalitas hukum yang menerangkan
tentang praktek euthanasia dapat dilihat dalam pasal 344 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Yaitu:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.”4
Menurut S.R. Sianturi ia menjelaskan bahwa pasl 344 KUHP mewajibkan
setiap orang untuk menghormati jiwa orang lain, inti pasal 344 KUHP adalah
permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan, tidak hanya sekedar
permintaan saja perbuatan ini sering disebut dengan euthanasia.5 Kematian dalam
pasal tersebut adalah kematian belas kasih yaitu dengan permintaan pasien yang
dalam keadaan sekarat bukan membiarkan seorang mati dan pembunuhan
sengaja.
Cendekiawan muslim atau ulama melakukan peninjauan atas
permasalahan euthanasia ini dalam perspektif hukum Islam, Masjfuk Zuhdi
4 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta; Rineka Cipta, 2005), h. 135
5 S.R Sianturi,., S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta; Alumni
AHAEM-PATEHAEN, 1989), h. 496
mengatakan bahwa Islam tetap tidak memperbolehkan si penderita menghabisi
nyawanya, baik dengan tenaganya sendiri (bunuh diri) dengan minum racun atau
menggantung dirinya dan sebagainya, maupun dengan bantuan orang lain,
sekalipun itu dokter dengan cara memberikan suntikan mematikan atau obat yang
dapat mempercepat kematian (euthanasia aktif) atau dengan cara menghentikan
segala macam pertolongan bagi si penderita, termasuk kelanjutan proses
pengobatannya (euthanasia pasif).6
Melihat dari pendapat di atas tentang boleh tidaknya euthanasia, dalam
kasus ini terjadi kontroversi pendapat. Tidak sedikit masyarakat pada beberapa
negara, seperti Amerika maupun negara-negara maju lain yang membenarkan dan
telah mempraktekan secara terang-terangan. Mereka sangat menghargai pilihan
bagi diri si pasien dan keluarganya untuk memilih dan menentukan jalan
kematiannya sendiri.
Para pendukung euthanasia beranggapan bahwa memaksa seseorang untuk
melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan dan siksaan penyakit,
baik fisik maupun materi adalah merupakan tindakan irasional dan tidak
menghargai hak asasi manusia, di mana seseorang memiliki hak terhadap dirinya
sendiri untuk menentukan sikap dan keputusan atas kelanjutan hidupnya. Hal ini
perlu dihormati dan dihargai.7
6 Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta; PT Gunung Agung, 1996), h. 157
7 Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fikih Kontemporer,
(Bandung; Pustaka Hidayah, 1998) h. 179
Akan tetapi bagi golongan yang kontra terhadap praktek euthanasia
mereka menggunakan argumentasi yuridis dan sikap dokter yang terlalu pasrah
dan menyerah. Secara agama, hidup dan matinya seseorang itu berada di tangan
Allah SWT dan tugas dokter hanya berusaha semaksimal mungkin serta
mengerahkan segala kemampuannya untuk dapat memberikan pertolongan
kepada si pasien.
Terlepas dari tanggapan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap
permasalahan euthanasia ini, perlu ditelusuri bagaimana pandangan hukum Islam
terhadap euthanasia dan dihubungkan dengan hak asasi manusia, karena
euthanasia adalah masalah pembunuhan atas kerelaan si korban sedangkan nota
bene si korban adalah manusia yang memiliki hak hidup atas dirinya.
Dari uraian latar belakang di atas, permasalahan euthanasia menarik
sebagai bahan penelitian penulis dan akan dijadikan bahan penyusunan karya
ilmiah berupa skripsi. Untuk itu, penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini
berjudul:
“EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA DAN
HUKUM PIDANA ISLAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas penelitian ini akan
menjelaskan apa sebetulnya euthanasia dan relevansinya dengan hak asasi
manusia dan hukum Islam serta sanksinya menurut hukum Islam dan hukum
Indonesia.
Dari pembatasan masalah diatas rumusan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah deskripsi umum tentang euthanasia ?
2. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan doktrin Hak Asasi Manusia
terhadap euthanasia?
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan hukum antara pandangan doktrin
Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam terhadap euthanasia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki beberapa
tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menjelaskan deskripsi euthanasia,
2. Mengetahui dan menjelaskan pandangan hukum Islam dan doktrin Hak
Asasi Manusia terhadap euthanasia,
3. Mengetahui dan menjelaskan persamaan dan perbedaan pandangan
doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam terhadap euthanasia.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang hukum yang berlandaskan Islam. Selain itu,
diharapkan pula memberikan informasi kepada peneliti yang berkeinginan untuk
melakukan kajian mendalam tentang apakah euthanasia sejalan dengan hukum
Islam dan doktrin hak asasi manusia?.
Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi kepada
masyarakat luas tentang pentingnya menjaga dan mempertahankan hak hidup
dalam melakukan tidakan euthanasia, lebih dari pada itu dapat memberikan
masukan kepada kalangan dokter dalam melakukan tindakan euthanasia dan para
kalangan hakim dalam melegalisasikan tindakan euthanasia yang nota bene
bertentangan dengan doktrin hak asasi manusia dan hukum Islam.
D. Metode Penelitian
Agar penelitian ini memperoleh informasi dan data yang akurat, maka
penyusun karya ilmiah ini akan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yakni memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.8
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni dengan
menggambarkan masalah, mengumpulkan, menyusun dan menyeleksi data
lalu data-data yang terkumpul dianalisis dan diinterpretasikan. Penelitian ini
juga menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan satu variabel,
dengan menyajikannya apa adanya.
8 Lexi J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung; Remaja Rosda Karya, 2005 )
cet ke- 21, h.6
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka.9
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penelitian ini
menggunakan tekhnik studi dokumenter, yakni mengkaji materi-materi
hukum yang terkandung dalam bahan-bahan hukum tertulis, seperti ; Undang-
undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), At-Tasyri’ Al-Jinai’ Al-Islami, Euthanasia
dan Ilmu Kedokteran dan dokumen hasil penelitian sebelumnya yang
memiliki relevansi dalam masalah euthanasia.
3. Tekhnik Analisis Data
Dalam menganalisis data, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif.
Jadi, dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data
yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan
formulasi, dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan
menganalisis isinya kemudian menginterpretasikannya menggunakan bahasa
penulis sendiri, dengan demikian akan nampak jelas rincian jawaban atas
pokok permasalahan yang diteliti.
E. Sistematika Penulisan
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ( Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 2004 ), cet. Ke-8, h. 13
Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka sistematika
pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Teknik Penulisan yang digunakan
dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 200710
. Adapun
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar,
yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Dimaksudkan dengan
pendahuluan, agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian.
Bab pertama ini adalah sebagai pengantar.
Bab kedua, bab ini membahas tentang tinjauan umum hak hidup dalam
hak asasi manusia dan hukum Islam yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu ; Pertama
: Pengertian hak hidup, Kedua, : Hak hidup bagian dari hak asasi manusia, Ketiga
: Hak hidup menurut konsep hukum Islam.
Bab ketiga, membahas tentang fenomena euthanasia dan pandangan ilmu
kedokteran yang terdiri dari empat sub bab, yaitu : Pertama : Pengertian
Euthanasia, Kedua : Klaifikasi Euthanasia, Ketiga : motif-motif terjadinya
Euthanasia, dan Keempat : Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran.
Bab keempat, merupakan bagian isi. Disini akan membahas tentang hak
hidup dalam hak asasi manusia dan hukum Islam dan kaitannya dengan
10 Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi,
Jakarta, (Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007). H. 1-7.
euthanasia yang terdiri dari tiga sub bab, yaitu ; Pertama ; Hak hidup dalam hak
asasi manusia dan kaitannya dengan euthanasia, Kedua : Hak hidup dalam
Hukum Islam dan kaitannya dengan euthanasia, Ketiga : perbandingan hukum
euthanasia menurut hukum Islam dan hak asasi manusia.
Bab kelima, adalah Penutup, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. Bab
ini, sebagai kesimpulan adalah konsekuensi dari metodologi. Pengambilan
kesimpulan ini harus dilakukan untuk menemukan jawaban yang diajukan pada
pada penelitian ini.
BAB II
TINJAUN UMUM HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN
HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hak Hidup
Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak asasi yang
paling esensial dari keseluruhan hak yang dimiliki oleh manusia. Termasuk dalam
kategori ini adalah hak untuk menjalankan kehidupan yang layak di manapun dan
kapanpun.11
Hak ini berhubungan dengan kemerdekaan manusia untuk menjalani
kehidupan tanpa gangguan dari pihak manapun, termasuk di dalamnya
perlindungan dari tindakan diskriminasi, rasialisme dan dehumanaisme.
Perlindungan atas hak hidup menjadi tanggung jawab semua orang, karena
tindakan yang menggangu hak hidup akan mengancam hak asasi manusia secara
keseluruhan. Bila ini terjadi, maka kehidupan sosial dan peradaban manusia bisa
terganggu. Kematian satu orang bisa berpengaruh terhadap tatanan kehidupan
manusia, sekecil apapun peran yang ia mainkan, karena sebagai makhluk sosial
manusia memiliki karakter saling bergantung.
Mengingat pentingnya penghormatan terhadap hak hidup manusia,
Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, memuat ketetapan bahwa setiap manusia
11 Maulana Abul A’la Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ( Jakarta; Bumi Aksara,
1995 ), h. 21.
memiliki hak untuk hidup dan meneruskan kehidupannya dengan keturunannya
serta mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bebas.12
ketetapan
mengandung makna bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap setiap
individu manusia untuk melakukan berbagai usaha, baik secara individual
maupun kolektif, mempertahankan hidup, melakukan sosialisasi dan
meningkatkan kualitas kehidupannya, sehingga bisa menjadi manusia yang
beradab dan bermartabat.
Namun demikian, hak hidup seseorang tidak berarti mengabaikan hak
orang lain, sehingga ada aturan –aturan yang membatasi penggunaan hak hidup.
Kewenanagan dan kekuasaan hukum dan undang-undang yang direalisasikan
dalam institusi pengadilan, merupakaan pembatas dalam penggunaan hak hidup.
Jika penggunaan hak hidup sudah menggangu hak orang lain atau melanggar
ketentuan hukum, maka berlaku ketetapan hukum sesuai dengan jenis dan tingkat
kesalahan yang dibuat, serta berlaku sanksi hukum berdasarkan keputusan
pengadilan.
Konstitusi dan hukum Indonesia memberikan jaminan penuh terhadap hak
hidup manusia yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kedua sumber
hukum ini, hak hidup dinyatakan sebagai sebuah hak yang melekat pada setiap
warga negara Indonesia. Sanksi hukum akan berlaku jika hak tersebut dilanggar,
12 Drs. Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, ( Jakarta; PT. Al-Husna Zikra,
1995 ), h. 35
sesuai dengan kreteria tindakan melanggar hukum yang ditetapkan dalam sumber
hukum materil tersebut.
Pada penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dianaut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang belum
lahir, dengan adanya larangan abortus.
Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum tentang hak asasi
manusia, maka seseorang atau pihak-pihak yang merasa terganggu hak hidupnya
dapat mengajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
atau Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua lembaga ini merupakan sebuah
kemauan politik dan hukum pemerintah Indonesia dalam menegakkan hak asasi
manusia dalam tatanan konstitusi, sosisal dan politik di Indonesia. Dengan
landasan konstitusi dan hukum hak asasi manusia, pengadilan memiliki
wewenang untuk menindak pelaku pelanggaran hak asasi manusia, sehingga bila
terbukti bersalah, maka pihak pengadilan wajib mengadili sesuai dengan
ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Proses peradilan HAM
dilakukan dengan melakukan proses penyidikan dan penyelidikan berdasarkan
hukum acara yang berlaku.
B. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi Manusia
Piagam PBB mengenai Hak Asasi Manusia menempatkan hak hidup
sebagai bagian utama hak asasi manusia sebelum hak-hak lainya. Sebagai hak
utama, maka perlindungan dan jaminan atas hak ini menjadi bagian dari konstitusi
pada banyak negara yang meratifikasi Piagam HAM PBB. Materi Piagam Hak
Asai Manusia PBB dan konstitusi negara-negara di dunia menempatkan hak
hidup sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Sebagai bagian utama, hak
hidup menjadi titik awal penghormatan terhadap hak manusia yang lainnya. Jika
hak ini dilanggar, maka hak-hak lain juga ikut dilanggar secara otomatis, karena
pelanggaran hak hidup akan menutup jalan pelaksanaan hak-hak lainnya.
Sebagai salah satu negara anggota PBB, Indonesia ikut meratifikasi
Piagam Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,
selanjutnya Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan sebuah keputusan
tentang hak asasi manusia yang diputuskan dalam TAP MPR N0.
XVII/MPR/1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM
dan Piagam HAM Nasional, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, dengan dua sumber ini maka kedudukan HAM dalam
konstitusi Indonesia semakin kuat, sehingga kehendak untuk menegakkan HAM
di Indonesia mendapat legalitas formal. Setelah pemberlakuan HAM ini, hak
hidup memiliki jaminan penuh dan dilindungi oleh konstitusi.13
13 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Educatian ) “Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ( Jakarta; Prenada Media, 2003) h. 225.
Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di
Indonesia, hak hidup termasuk dalam kebebasan dasar manusia. Pasal 9 ayat (1),
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.14
Dalam undang-undang ini, hak hidup tidak
hanya mencakup persoalan kebebasan untuk bernafas dan menjalani kehidupan,
tetapi di dalamnya juga mencakup hak untuk meningkatkan kualitas kehidupan
yang layak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.
Sedangkan dalam Deklarasi Internasional tentang Hak Asasi Manusia
pasal 3, dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan
keselamatan pribadinya.15
Jaminan akan hak hidup manusia akan berimbas
kepada realisasi hak lain yang dimiliki manusia, antara lain kebebasan berserikat
dan mengeluarkan pendapat. Hak-hak asasi manusia lainnya akan berjalan apabila
hak hidup telah bisa direalisasikan.
Jaminan konstitusi dan perundang-undangan ini menunjukan komitmen
bangsa Indonesia untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, Indonesia menempatkan hak asasi
manusia sebagai bagian dari tatanan bermasyarakat berbangsa dan bernegara,
sehingga pelaksanaan hak asasi manusia mendapat jaminan penuh. Sementara
dalam tata kehidupan keseharian, kehidupan masyarakat Indonesia telah
14 http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19 diakses pada tanggal 4 Agustus 2008
pukul 19:42 WIB
15 Adnan Buyung Nasution dan Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia, ( Jakarta; Yayasan Obor, 2000 ), h. 88
merealisasikan hak asasi manusia dalam kehidupan keseharian, jauh sebelum
ditetapkan Undang-undang HAM pada tahun 1999, sikap toleransi, gotong
royong dan saling menghormati antar anggota kelompok masyarakat merupakan
indikasi yang secara nyata ditunjukkan bangsa Indonesia. Walaupun ada berbagai
kejadian yang disangkutkan dengan isu pelanggaran HAM, namun peristiwa-
peristiwa itu seringkali dilakukan sebagai rekayasa politik dengan memanfaatkan
isu suku, ras, dan agama, yang melibatkan pemerintah sebagai target kelompok
yang memiliki kepentingan politik dan kekuasaan atas Negara.
C. Hak Hidup Dalam Konsepsi Hukum Islam
Fiqh merupakan produk pemikiran manusia sebagai hasil dari pemahaman
dan interpretasi terhadp Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dua sumber hukum
utama,16
sedangkan fiqh jinayah merupakan hukum yang berisi larangan atas
perbuatan manusia dalam mengambil kehendak Allah dan hak-hak hidup
manusia.17
Adapun yang dimaksud dengan perbuatan mengambil hak Allah ialah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
mengingkari segala kewajiban atau perintah Allah, termasuk yang berkaitan
dengan kehidupan seseorang.
Fiqh jinayah memiliki tujuan untuk memberikan jaminan pelindungan
terhadap keselamatan jiwa manusia yang tertuang dalam tujuan dasar hukum
16 Dr. M. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), h. 16
17 A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, ( Jakarta P.T.
Grafindo Persada, 1997 ) h. 55
Islam (maqashid as-syari’ah). Ide keadilan yang tercantum dalam hukum jinayah
bersumber pada ajaran Islam yang mengandung ajaran Ilahiyah dan insaniyah.
Penerapan hukum Islam secara tepat dan benar akan menjamin rasa keadilan yang
dibutuhkan dalam proses hukum. Keadilan ini tidak hanya berlaku untuk umat
Islam, tetapi juga untuk seluruh umat manusia, karena Islam ditujukan untuk
keselamtan umat manuasia (rahmatan lil alamin). Ini berbeda dengan pandangan
dangkal yang beredar tentang seputar hukum Islam sebagai sebuah hukum yang
keji dan tidak berkeprimanusiaan.
Fiqh jinayah, yang berkaitan dengan pembunuhan merupakan sebuah
perlindungan Allah terhadap hak hidup manusia. Bentuk hukuman mati yang
diberikan kepada pelanggaran hak hidup pada hakekatnya melindungi nyawa
manusia lain, karena dengan pemberlakuan hukuman hudud, maka akan banyak
nyawa atau kehidupan manusia yang akan terlindungi dan terselamatkan. Hukum
qishash yang dipandang sebagai salah satu hukuman yang keji, bila dilaksanakan
dengan benar sesuai dengan sumber hukum peradilan Islam, akan membantu
manusia untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan atas hak hidup yang
diberikan Allah kepada manusia dan seluruh mahluk di muka bumi.18
Perlindungan hukum Islam tidak hanya berlaku bagi pembunuhan yang
dilakukan oleh orang lain secara sengaja dengan maksud menghilangkan nyawa
manusia. Imam Abu Hanifah berpendapat jika seseorang meminta untuk
18 Drs. Makhrus Munajat, M.Hum, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, ( Jogjakarta; Logung
Pustaka, 2004 ), h. 130
dihilangkan nyawanya, kemudian ia dibunuh maka hukuman diyat bukan qishash
berlaku bagi pelaku pembunuhan tersebut.19
Ahmad Hanafi mengungkapkan bahwa hukuman untuk pembunuhan pada
umumnya berlaku hukum qishash, diyat dan ta’zir.20
Ketiga jenis hukuman pidana
ini berlaku berdasarkan kategori pembunuhan yang dilakukan sebagai balasan
kepada pelaku. Qishash berlaku untuk pembunuhan disengaja dengan
menggunakan benda tajam yang bisa menembus daging. Qishash dalam hukum
Islam menjadi alat untuk melindungi nyawa manusia, karena dengan
pemberlakuan qishash bisa mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang,
walaupun qishash mengancam jiwa manusia. Namun demikian, qishash tidak
dapat berlaku bila ada pemaapan dari pihak keluarga atau pihak lain yang
menghendaki perbuatan pelaku untuk dimaapkan. Sebagai pengganti, hukum
Islam menetapkan hukuman pengganti berupa diyat atau ta’zir sebagai pengganti.
Pelaksanaan hukuman qishash diberikan kepada negara atau pemerintah, karena
arti hidup sangat penting. Pemberian hak kepada pemerintah bertujuan untuk
menjamin pelaksanaan hukum (law enforcement), sehingga tidak disalah gunakan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan atas pembebasaan atau penjatuhan
hukuman kepada pelaku. Selain itu, pemerintah diharapkan mampu menjamin
19 Abd Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II, ( Beiru; Al-Muassasah, tanpa
tahun), h.441
20 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, cet. VI, Jakarta, 2005 , h.
208.
keadilan bagi dalam proses peradilan, sehingga mampu memberikan keadilan dan
benar-benar menghukum pelaku yang memang terbukti bersalah secara hukum.
Dalam pandangan Islam, hidup manusia itu suci dan tidak boleh disakiti,
sehingga segala usaha harus dilakukan untuk melindunginya. Tidak seorangpun
diperbolehkan untuk menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum, seperti
qishash dalam tindak pidana pembunuhan.21
Secara sepintas hukum qishash
tampak mengancam nyawa manusia, tetapi jika dikaji lebih mendalam,
sesungguhnya melalui qishash inilah akan banyak nyawa manusia terselamatkan.
Sifat dualisme ini juga tanpak dalam hukum pidana mati non-Islam, karena dalam
hukum mati terdapat ancaman terhadap nyawa manusia.
Fiqh jinayah memandang hak hidup manusia sebagai hak yang diberikan
Alllah kepada manusia tanpa gangguan dari pihak lain, baik secara sengaja
maupun tidak sengaja. Berbagai ketentuan dalam fiqh jinayah ditetapkan dalam
rangka melindungi hak hidup terutama dalam aturan mengenai jarimah
pembunuhan, dengan sanksi hukum untuk masing-masing pelanggaran hukum.
Fiqh jinayah sebagai jaminan perlindungan hak hidup memberikan ketentuan-
ketentuan tegas terhadap tindak kejahatan yang mengancam nyawa manusia.
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178, Allah berfirman;
��������� � ������ ��������� ������ ���� !"�#
21 Dalizar Putra, Hak Asasi ……………, h. 44
$%��&%' (�� )*� +"�-.' (�� � /01 2�� 3401 2��*5
6�789: (���� ��7;9: (��*5 <=.>?@A����
<=.>?@A��*5 < BC9☺.E �)FG�� H�I.� BC�� �JKFL�I ⌦�=⌧P
;Q�8�RS��.E F���0:9☺ (��*5
Q���9K�I�� �J !.(*' (C�TBJ*U*5 � 9;�(V.W
X�!�Y ��� C�Z� 7���*"5[+ X�9☺BJ�+�� � \C9☺.E �]9��B���
9�:5 9;�(V.W H�I.�.E ^_�⌧!� `aK�(�I ) ١٧٨ : ٢ /ا�?�'ة (
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. ( Q.S.
Al-Baqarah / 2 : 178)
Dalam surat al-Baqarah ayat 179, Allah berfirman;
7���.(�� )*� %��&%' (�� XR<��K9J )d��e���
%�8 (-A�� 7�f8��9:.( g�f'h�.S ) ١٧٩ / ٢ /ا�?�'ة(
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Q.S. Al- Baqarah / 2 : 179)
Kedua ayat di atas menunjukkkan bahwa hukum pidana Islam menjamin
sepenuhnya hak hidup manusia. Qisahsh yang disebut dalam ayat di atas
merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan
pemberlakuan qishash akan mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang,
walupun qishash mengancam jiwa manusia. Akan tetapi, qishash tidak dapat
berlaku bila ada pemaapan dari pihak keluarga atau pihak lain yang menghendaki
perbuatan pelaku untuk dimaapkan.
Pembunuhan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa orang
lain sebagai bentuk pelanggaran atas hak Allah, karena kematian hanya milik
Allah. Dengan kata lain, hanya Allah yang memiliki hak untuk menentukan
kematian manusia dan segala makhluknya di muka bumi. Tindakan manusia yang
mengambil hak Allah akan diberikan sanksi dan hukuman, setinggi-tingginya
hukuman mati.22
Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain karena alasan
dendam dapat diputus oleh pengadilan yang berwenang. Selama berlangsunya
peperangan, perbuatan itu hanya dapat diadili oleh pemerintah yang sah. Dan
dalam segala hal, tidak ada satu individu yang memiliki hak untuk mengadili
orang lain dengan cara main hakim sendiri. Proses penjatuhan hukuman yang
membatasi hak hidup manusia harus dilakukan melalui sebuah proses yang
menjamin tidak terjadinya sebuah tindakan pembunuhan.
Hukum Islam yang ditakuti oleh orang-orang non-muslim tidaklah
menghendaki tindakan sewenang-wenang dari para pelaku hukum, terutama dari
pemerintah dan pengadilan. Penerapan hukuman dari hukum Islam dilakukan
22 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, ( Bandung; Pustaka Setia, 2000 ), h. 114
secara hati-hati, sehingga hukuman tersebut hanya berlaku bagi orang yang
melanggar hukum.
Pemberlakuan hukum qishash hanya berlaku bagi orang-orang yang
terbukti membunuh. Pihak keluarga sebagai ahli waris tidak boleh memberikan
hukuman yang semena-mena, tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan. Dengan
alasan kemanusiaan ini, maka hukuman ini bisa terhapus jika pihak keluarga
memaapkan pelaku, walaupun pelaku tetap mendapat hukuman pengganti dari
hukaman pokok23
. Dengan demikian tidak ada perbuatan melanggar hukum yang
tidak mendapat hukuman. Tidak ada pembunuhan kecuali sebagai sebuah
hukuman atas pembunuhan juga bisa dihapus bila dilakukan dalam keadaan
membela dirinya sendiri dari ancaman pembunuhan dari orang lain. Dengan
demikian tidak semua pembunuh dalam hukum Islam dihukum dengan hukuman
qishash.
23 Audah, Attasyri Al-Jinaiy………………., h. 38
BAB III
FENOMENA EUTHANASIA DAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ; “ue” yang
berarti normal atau baik, dan “thanatos” yang artinya mati.24
Berdasarkan
penggalan katanya euthanasia berarti kematian secara baik atau mudah tanpa
penderitaan. Secara bahasa kata euthanasia kemudian dikenal dalam dunia
kedeokteran dan hukum, karena pada perkembangannya, istilah ini banyak
digunakan dalam istilah-istilah hukum, terutama pada hukum pidana yang
menyangkut delik pembunuhan.
Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa euthanasia mengakhiri
dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau menghilangkan
nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan.25
Pengertian ini
memandang bahwa euthanasia merupakan tindakan pencegahan atas penderitaan
yang lebih parah dari seseorang mengalami musibah atau terjangkit suatu
penyakit. Jalan ini diambil, mengingat tidak ada cara lain yang bisa menolong
seseorang untuk terlepas dari penderitaan yang luar biasa.
24 Waluyadi, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta; Djambatan, 2005) cet ke-2 h.
135 25 J.Gunawandi, S.H, Hukum Medik (medical Law), (Jakarta; Fakultas Ilmu Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007, h. 246
Pengertian euthanasia secara bahasa menunjukan bahwa inti dari
euthanasia adalah tindakan yang menimbulkan kematian secara mudah dan baik
dalam pandangan medis. Motif utama euthanasia adalah menolong penderita
untuk mengakhiri penderitaan atau memotong jalan penyebaran penyakit. Dengan
kata lain euthanasia merupakan penentuan kematian seseorang, yakni penentuan
untuk kelangsungan hidup seseorang setelah mengalami gangguan penderitaan
yang berat dan diperkirakan tidak bisa diatasi.
Euthanasia biasanya berhubungan kematian sukarela yang dilakukan
untuk mengakhiri penderitaan seseorang akibat penyakit yang tidak bisa
disembunyikan.26
Tindakan ini dilakukan dalam bentuk menyerupai bunuh diri,
walaupun dilakukan dengan bantuan orang lain. Keputusan ini diambil untuk
mengurangi beban penderitaan seseorang akibat penyakit yang sulit disembuhkan.
Pelaksanaan euthanasia harus dilakukan atas seijin pengadilan, karena pada
hakikatnya dalam praktek ini telah terjadi pelanggaran hukum, yakni
menghilangkan nyawa manusia. Menurut hukum Islam bahw pengadilan
sekalipun tidak berhak untuk menentukan hak hidup seseorang kecuali untuk
hukuman yang telah ditentukan oleh nash, karena hak hidup seseorang hanya
milik Allah swt semata dan hanya dia yang berhak untuk mengambinya kembali
tanpa terkecuali bahkan pengadialn sekalipun.
26 http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15
WIB
Euthanasia merupakan pilihan untuk mati secara sukarela dengan
bantuan pihak lain atas dasar kasihan atau niat menolong penderita suatu
penyakit, antar lain dari pihak rumah sakit , dokter atau pengadilan.27
Pilihan
menghilangkan nyawa orang lain ini diambil mengingat beban penderitaan pasien
maupun keluarga baik secara moril maupun material. Melalui euthanasia,
diharapkan bisa menghilangkan penderitaan pasien dan beban biaya perawatan
dan penyembuhan dapat dihilangkan.
Perkembangan euthanasia mulai muncul sejak abad ke- 19 dibeberapa
negara Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat euthanasia baru dikenal tahun
1960, hingga mendapat legalisasi hukum. Namun di Swiss, euthanasia dilarang
berdasarkan undang-undang federal tahun 1960, dengan asumsi bahwa euthanasia
melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan menodai hak manusia untuk terus
memiliki harapan hidup dan melanjutkan kehidupannya. Di Inggris sempat
muncul gerakan yang menamakan dirinya masyarakt euthanasia (euthanasia
society). Gerakan ini berjuang untuk mendapatkan legalitas euthanasia secara
hukum, sehingga tindakan ini bisa dilakukan tanpa pengajuan ke pengadilan,
namun usaha gerakan ini digagalkan, terutama oleh kalangan agamawan
Kristen.28
27 Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh Kontemporer,
(Bandung; Pustaka Hidayah, 1998) h. 178
28 Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman,
(Jakarta; EGC, 2007), h. 180
Dalam literatur kedokteran dan hukum terdapat pemahaman yang
berbeda tentang hakekat euthanasia, apakah ia merupakan bunuh diri (suicide)
atau pembunuhan (murder).29
Kesulitan ini terjadi, karena euthanasia dilakukan
secara sukarela atas permintaaan orang yang bersangkutan, atau atas permintaan
pihak-pihak yang memiliki alasan kuat untuk melakukan euthanasia.
Sementara untuk memandang kematianpun menjadi kabur akibat
perkembangan teknologi kedokteran. Sebelumnya, definisi kematian
diindifikasikan oleh jantung dan hati yang sudah tidak berfungsi lagi. Dalam
perkembangan selanjutnya, kematian harus didiagnosa secara intensif melalui
peralatan kedokteran, karena indikasi kematian semakin bertambah, yakni dengan
menyertakan asumsi kematian pada jantung, hati, serta tidak berfungsinya otak
dan tidak adanya zat yang menimbulkan aliran listrik. Penambahan indikator
kematian ini pada akhirnya semakin mempersulit tindakan euthanasia, terutama
berkaitan dengan keputusan tentang harapan hidup pasien.30
Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas
euthanasia seharusnya dilakukan secara hati-hati, walaupun sifatnya sukarela.
Euthanasia tetap berindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang
dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau dari pihak-pihak tertentu yang
menginginkannya. Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks
29 Ibid, h. 181 30 M. Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, ( Jakarta;
EGC, 1999 ), h. 105
kemanusiaan, tidak hanya pada sisi medis, hal ini layak dilakukan untuk
menghindari jatuhnya korban akibat keputusan medis yang tergesa-gesa.
Sementara itu, para pendukung euthanasia memandang bahwa
tindakan ini merupakan penghargaan atas pilihan seseorang untuk mengakhiri
penderitaan hidupnya yang tiada akhir. Selain itu, memaksa orang lain untuk
melanjutkan hidupnya yang penuh penderitaan fisik dan kerugian material
merupakan tindakan tidak masuk akal dan tidak menghargai hak untuk
menentukan hidup manusia.
Secara sosial euthanasia memerlukan pemikiran kritis dengan
mempertimbangkan perasaan masyarakat sebagaimana tindakan aborsi, karena
euthanasia akan berhadapan dengan nilai kemanusiaan dan peradaban. Kalangan
agamawan memandang bahwa sikap dokter yang merekomendasikan atau
melakukan tindakan euthanasia merupakan sikap menentang takdir Tuhan.
Berdasarkan sudut pandang medis, euthanasia yang dilakukan sembarangan
melanggar kode etik kedokteran untuk menyembuhkan pasien yang telah menjadi
tanggung jawab mereka. Hak pasien untuk mendapatkan perawatan semaksimal
mungkin, bahwa jika ada suatu kesalahan dalam perawatan medis, pasien bisa
menuntut dokter maupun pihak rumah sakit ke pengadilan atas kelalain mereka.31
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka inti dari euthanasia adalah
menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan untuk menghindari kerugian
31 http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm diakses pada tanggal 10 September 2008
pukul 19:15 WIB
pada pihak lain, termasuk pasien lain yang masih memiliki harapan hidup.
Kematian secara sukarela (mercy death) ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk
mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan satu orang.
B. Klasifikasi Euthanasia
Pada umumnya euthanasia diklasifikasikan dalam dua jenis, yakni
euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Namun demikian, beberapa pakar dan
penulis memberikan penjelasn yang berbeda mengenai dua jenis euthanasia
tersebut. Masing-masing perbedaan terletak dalam mendefinisikan terminology
euthanasia pasif. Sebagaian memberikan pengertian bahwa euthanasia pasif
merupakan euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan pasien tanpa
perawatan, sementara yang lainnya mengemukakan bahwa pasien mengalami
penghentian proses perawatan dengan alasan kekurangan tenaga teknik dan alat
medis yang sesuai dengan penyakit pasien.
Prof. Suparovic mengungkapkan kalsifikasi euthanasia sebagai berikut
:32
1. Euthanasia pasif, yakni mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan pertolongan medis, atau menghentikan proses perawatan medis
yang sedang berlangsung, misalnya dengan memberikan antibiotik pada
penderita radang paru-paru berat (pneumonia) pemberian obat-obatan (drugs)
32Crisdiono, Dinamika Etika ……., h. 184-185
dengan dosis tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi
anatomi tubuh yang mendukung kehidupan manusia.
2. Euthanasia aktif yakni mempercepat kematian dengan mengambil tindakan
yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kematian,
misalnya dengan memberikan tablet sianida atau menyuntikan zat-zat yang
mematiakan kepada tubuh pasien. Tindakan ini langsung ditujukan untuk
membunuh pasien, seperti halnya pada hukuman suntik mati, tindakan ini
terkesan memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak kriminal.
3. Euthanasia sukarela yakni mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya permintaan tersebut tidak perlu dibuktikan
dengan bukti secara tertulis, selama ada saksi sebagai bukti lain.
4. Euthanasia tidak sukarela (involuntary) yakni mempercepat kematian tanpa
persetujuan atau permintaan pasien. Bahkan bisa jadi bertentangan dengan
kehendak pasien.
5. Euthanasia nonvoluntary yakni mempercepat kematian atas sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan melalui pihak ketiga, misalnya keluarga,
atau atas keputusan pemerintah. Biasanya terjadi pada kasus penderita
penyakit menular. Demi untuk memusnahkan endemik penyakit atau
membatasi virus, maka seseorang berpenyakit menular harus dibunuh,
sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tertular penyakit yang diderita
pasien. Secara medis tindakan ini menjadi sah tanpa memperhatikan sisi
kemanusiaan, karena pandangan bahwa endemik penyakit bisa muncul pada
setiap tubuh makhluk hidup.
Frans Magnis Suseno menggolongkan euthanasia ke dalam tiga
kelompok, yaitu :33
1. Euthanasia pasif yaitu mempercepat kematian dengan alasan tidak semua
tekhnik kedokteran bisa memperpanjang kehidupan manusia.
2. Euthanasia tidak langsung, yakni usaha memperingan kematian dengan efek
samping bahwa pasien barangkali bisa meninggal lebih cepat, termasuk
dengan memberikan narkotika dan obat-obatan terlarang, hipnotika dan
analgetika, walaupun dilakukan dengan tidak sengaja.
3. Euthanasia aktif, yakni proses kematian dengan memperpendek kehidupan
secara terarah dan langsung tindakan menghilangkan nyawa.
Sementara itu, Lumerton J.P mengklasifikasikan euthanasia dalam
beberapa bagian yang pada intinya adalah pembunuhan dan pernyataan kematian,
yaitu ;34
1. Membiarkan seorang mati, yakni membiarkan terjadinya kematian karena
pasien tidak lagi memerlukan perawatan lebih lanjut, karena tidak berharap
bisa sembuh.
33 Waluyadi, Ilmu Kedokteran…….., h. 136-139 34 Soerjono Sukanto, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum
Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, 1990, h. 45-47
2. Kematian belas kasihan (mercy death), yakni pembunuhan yang dilakukan
karena pasien meminta untuk menghentikan kehidupannya.
3. Pembunuhan belas kasihan (mercy killing), yakni tindakan pembunuhan
melalui keputusan medis untuk mengakhiri kehidupan pasien, dengan atau
tanpa persetujuan dari pihak pasien maupun pihak lain secara sukarela.
4. Kematian otak (brain death), yakni pernyatan kematian secara medis akibat
otak tidak berfungsi lagi untuk mengatur denyut kehidupan manusia. Hasil
diagnosa terhadap fungsi otak ini merupakan keputusan final dengan asumsi
bahwa tidak ada indikasi lain yang lebih meyakinkan, selain otak yang tidak
berfungsi.
Berdasarkan klasifikasi di atas, klasifikasi euthanasia pada intinya
mengacu pada dua jenis tindakan dengan masing-masing ciri dan asumsi berbeda
yaitu ;
Pertama ; Euthanasia pasif, yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara
membiarkan seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak
mendapatkan perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat.
Perlakuan ini dilakuklan secara sengaja untuk mempercepat terjadinya
kematian, misalnya untuk penderita kanker akut yang sudah dianggap
sudah tidak bisa disembuhkan. Tindakan inipun dilakukan melalui
prosedur pemeriksaan dan diagnosa kedokteran. Jika secara medis
pasien dipandang tidak memiliki harapan sembuh, maka tindakan
euthanasia dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari
pengadilan.
Kedua ; Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan
cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung tertuju pada
kematian, melalui suntikan atau pemberian obat-obatan yang
mematikan. Tindakan ini jelas-jelas bertujuan untuk membunuh pasien
secara langsung, tanpa proses yang lama. Tujuan lain dari tindakan ini
adalah mempercepat proses penghentian penderitaaan, dengan asumsi
bahwa kematian merupakan jalan terakhir untuk mengakhiri
penderitaan dan penyebaran penyakit.
C. Motif-motif Terjadinya Euthanasia
Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat penyakit yang
sulit disembuhkan. Pilihan untuk melakukan euthanasia diambil, setelah hasil
perawatan pasien tidak menunjukan jalan lain untuk menghilangkan
penderitaanya, tindakan itu sendiri tidak dilakukan serta merta atau secara
sembarangan, melainkan sebagai akibat dari beberapa sebab sebagai berikut :
1. Kondisi pasien
Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa kondisi yakni :35
35 As-Syaukani, Politik, HAM, …………………, h. 179
a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap penderitaan, yakni
ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit akibat penyakit berat, rasa
sakit yang luar biasa dan ketakutan terhadap cacat.
b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi dari biaya
pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan biaya
pengobatannya sangat tinggi, bahkan tidak terjangkau oleh kalangan
masyarakat bawah. Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin
berat ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan untuk sembuh
atau hidup pasien sangat tipis, bahkan tidak ada.
c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian, karena beban derita
fisik dan psikologis sangat berat, sehingga ada kesan bahwa proses
menuju mati akan sangat sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka
diasumsikan bisa terjadi gangguan jiwa pasien.
2. Situasi tenaga medis
Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga didasari oleh situasi tenaga
medis yaitu36
;
a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak efektif, yakni
sudah melalui proses pengobatan dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi
pasien belum menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-hati
untuk menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan kepada tenaga
medis.
36 Crisdiono, Dinamika Etika ……., h. 188
b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya muncul dari pihak
keluarga, mengingat kondisi pasien yang sulit diobati, kondisinya akan
sangat menyedihkan dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan
dialami oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang.
c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau keluarga untuk
menghentikan pengobatan, penghentian ini dilakukan karena tenaga medis
memiliki pandangan bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar
atas waktu pengobatan yang lama.
Berdasarkan sebab-sebab yang diuraikan diatas, kematian yang bersifat
sukarela ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus benar-benar
sebagai sebuah alternative final dan mendapat legalitas hukum yang ditempuh
melalui jalur peradilan. Bila pengadilan yang mengijinkan tindakan euthanasia,
maka tindakan pembunuhan ini menjadi legal dan mendapat legalitas secara
hukum. Namun perlu juga diteliti tentang latar belakang pengajuan permohonan,
bisa jadi ada motif kejahatan di balik permohonan euthanasia, misalnya sengketa
warisan, dengan maksud melancarkan maksud pemohon.
D. Euthanasia Dalam Ilmu Kedokteran
Euthanasia dalam dunia kedokteran merupakan usaha sebuah medis
yang dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit, setelah usaha-usaha
penyembuhan secara medis gagal menyelamatkan pasien. Tindakan euthanasia
dilakukan kepada pasien yang tidak memiliki harapan untuk sembuh secara
medis, sehingga kemungkinan bisa bertahan hidup sangat kecil, bahkan tidak ada
sama sekali. Selain itu, euthanasia juga dilakukan untuk menghilangkan
penderitaan yang panjang akibat penyakit yang tidak bisa diobati.
Dalam prakteknya tindakan euthanasia dilakukan kepada pasien-pasien
penderita penyakit akut dan menular. Usaha ini dilakukan dengan memberikan
suntikan mematikan, seperti halnya yang dilakukan dalam hukuman mati.
Pemberian suntik mati dilakukan setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan medis
intensif menunjukan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien.
Keputusan melakukan euthanasia dilakukan untuk menghilangkan
penyakit dan penderitaan pasien, disamping untuk menghindari penyebaran
penyakit yang akan menular kepada banyak orang. Selain itu, euthanasia
dilakukan dengan alasan bahwa harapan untuk sembuh secara medis dan tidak ada
lagi, sehingga biaya untuk pengobatan terbuang dengan percuma. Beberapa
penyakit berat seperti kanker maupun leukemia merupakan beberapa penyakit
yang sulit diobati, sehingga sangat berpotensi menjadi alasan tindakan euthanasia.
Alasan juga berhubungan dengan pemberian perhatian kepada pasien yang masih
memiliki harapan disembuhkan, sehingga banyak pasien lain yang bisa
diselamatkan dan tidak terganggu oleh pasien yang menderita penyakit berat.
Pelaksanaan euthanasia itu sendiri mengacu pada hasil diagnosa kedokteran dan
izin dari pengadilan, dengan menunjukan bukti-bukti yang bisa melegalisasi
tindakan euthanasia.37
37 http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada tanggal 10
September 2008 pukul 19:41WIB
Dalam kode etik kedokteran di Indonesia, setiap dokter memiliki
kewajiban untuk terus berusaha melindungi dan mempertahankan hidup makhluk
insani (pasien). Dalam kondisi apapun nyawa dan kehidupan manusia tetap harus
dipertahankan dengan menerapkan berbagai perawatan dan perlakuan medis
kepada pasien hingga pada titik akhir menjelang kematian. Dengan demikian hak
pasien untuk mendapat perawatan medis hingga tuntas, sampai pada akhirnya
meninggal secara alamiah.38
Berdasarkan kode etik kedokteran di atas, maka seorang dokter tidak
bisa melakukan tindakan euthanasia dalam kondisi apapun. Ia berkewajiban untuk
terus melakukan tindakan medis hingga akhirnya pasien mati secara wajar, bukan
dengan tindakan kesengajaan menghilangkan nyawa manusia. Pembunuhan untuk
alasan menghilangkan penderitaan pasien dan penyebaran penyakit merupakan
tindakan yang melanggar kode etik kedokteran. Euthanasia dalam pandangn kode
etik kedokteran tersebut hanyalah sebuah tindakan lepas tangan atas tanggung
jawab medis dan kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Selain
itu euthanasia yang dilakukan melalui diagnosa medis semata bisa membuka jalan
bunuh diri. Bisa jadi, dengan mengacu pada suatu kasus euthanasia, pihak-pihak
yang berkepentingan akan kematian seseorang akan dengan mudah melaksanakan
niatnya.
38 Yusuf, Etika Kedokteran …….., h. 13
Sesuai dengan kode etik kedokteran, maka seorang dokter harus
mempertahankan nyawa manusia dari tindakan bunuh diri, karena penghormatan
terhadap hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam kondisi ini,
dokter mimiliki kesempatan dan kewenangan untuk memberikan harapan hidup
kepada pasien dengan melakukan perawatan yang intensif, sungguh-sungguh dan
ikhlas, sehingga pasien kembali menemukan semangat untuk bertahan hidup.
Kesetabilan mental pasien menjadi salah satu bagian dari terapi psikologis dalam
dunia kedokteran untuk normalisasi fungsi saraf.39
Sedangkan keputusan dokter untuk mengabulkan permintaan pasien
merupakan tindakan yang membuka peluang pembunuhan, karena dengan ijin
tersebut, maka pembunuhan akan terjadi melalui euthanasia. Euthanasia tanpa
seijin pengadilan bisa dikategorikan dalam sebuah pembunuhan, mengingat
tindakan ini akan menghilanghakan nyawa pasien yang kemungkinan masih bisa
bertahan hidup dengan perawatan dalam jangka waktu yang masih lama. Harapan
hidup yang masih tersisa ini menjadi terbuang sia-sia, akibat keputusan yang
tergesa-gesa sehubungan dengan status medis pasien.
Berkaitan dengan kode etik kedokteran, secara moral dokter dan tenaga
medis lainnya memiliki tugas dan kewajiban untuk bersikap professional dalam
melakukan perawatan terhadap pasien, bersikap tulus ikhlas dalam melayani
39 http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/09/22/brk,20040922-24,id.html diakses pada
tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB
pasien serta berkonsultasi dengan dokterlain dalam penanganan pasien.40
Selain
itu, dokter juga perlu memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah. Konsultasi dengan dokter
lain dilakukan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain berhubungan
dengan harapan kesembuhan dan harapan hidup yang mungkin tidak bisa
ditemukan oleh dokter yang bersangkutan. Bila hasil konsultasi antar dokter tetap
sama, maka tindakan apapun bisa dilakukan, dengan memperhatikan nilai-nilai
kemanusiaan. Sementara konsultasi dengan keluarga dan penasehat merupakan
dukungan moral bagi pasien untuk bertahan dalam kondisi terancam oleh
penyakit.
Euthanasia melalui diagnosa dokter bisa berdampak negatif, yakni
membuka peluang bagi pelanggaran hukum. Bukti medis bisa dijadikan alat bukti
bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan euthanasia, karena dokter
merupakan saksi ahli dalam proses pengadilan. Dengan bukti dan kesaksian ahli,
pihak yang menghendaki kematian pasien dengan sangat mudah memperoleh ijin
pengadilan, sehingga nyawa manusia tidak lagi berharga. Kemudahan dalam
pengmbilan tindakan euthanasia akan menghilangkan kepercayaan masyarakat
terhadap institusi medis, rumah sakit maupun dunia kedokteran secara umum.
Lembaga kesehatan yang diharapkan bisa menjadi benteng untuk
40 Dr. Wila Chandra Wila Supriyadi, S.H, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001,
h. 12
mempertahankan kehidupan manusia tidak lagi dipercaya, karena justru di
lembaga ini, hak hidup tidak dihormati.
BAB IV
HAK HIDUP DALAM HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM ISLAM SERTA
KAITANNYA DENGAN EUTHANASIA
A. Hak Hidup Menurut Hak Asasi Manusia dan Kaitannya Dengan Euthanasia.
Menurut hak asasi manusia hak hidup merupakan hak yang paling
mendasar dimiliki manusia untuk melakukan proses kehidupan. Perlindungan atas
hak ini diberikan dalam segala aspek yang berkaitan dengan usaha manusia untuk
membangun kehidupan, mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan
di lingkungan sekitarnya. Sebagai karunia Allah, hak hidup diberikan kepada
semua umat manusia, bahkan seluruh makhluk Allah.41
Seluruh konstitusi dan hukum negara-negara di dunia memberikan
jaminan perlindungan atas hak hidup, walaupun dalam penerapannya seringkali
terkesan membatasi bahkan menghilangkan hak hidup manusia itu sendiri. Akan
tetapi tindakan-tindakan itu tidak terjadi setiap saat dan bisa dijeneralisir sebagai
sebuah kondisi untuk menjustifikasi ketidakadaan perlindungan atas hak hidup.
Deklarasi PBB untuk hak asasi manusia, setelah melaui proses panjang,
pada akhirnya berhasil menyusun seperangkat aturan yang menjamin sepenuhnya
hak bagi setiap orang untuk menjalankan dan mempertahankan kehidupan. Hidup
sebagai kodrat asasi manusia menjadi inti dari keseluruhan hak asasi manusia
41 Maulana Abul A’la Maududi , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ( Jakarta; Bumi Aksara,
1995), h. 12
yang diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Seluruh Negara yang meratifikasi
Piagam Hak Asasi Manusia menjamin sepenuhnya hak hidup bagi setiap
warganya dengan menetapkan berbagai aturan hukum yang melindungi mereka
dari tindakan yang menggangu hak tersebut.42
Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan Hak Asasi
Manusia merupakan alat hukum untuk mengatasi kemungkinan pelanggaran hak
asasi manusia, terutama hak hidup. Selain itu pemberlakuan Undang-undang No.
39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merupakan sebuah acuan bagi
Komnas HAM dan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menindak para pelaku
pelanggar hak asasi manusia. Kedua perangkat hukum ini bisa digunakan untuk
menjamin hak hidup warga negara Indonesia.43
Jaminan terhadap hak hidup sejak bayi yang belum lahir menjadi bagian
dari kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Aborsi atau pidana mati dalam
hal atau kondisi tertentu demi hukum masih dapat diijinkan, sehingga tidak
berlaku sanksi hukum atas para pelakunya, karena hanya pada hal tersebut itulah
hak hidup dibatasi. Pembatasan secara hukum ini dilakukan melalui proses formal
penyidikan dan penyelidikan, hingga akhirnya diputuskan dalam sidang
pengadilan pidana.
42 Drs. Dalizar Putra, Hak asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, ( Jakarta; PT. Al-Husna Zikra,
1995), h. 33
43 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Educatian ) “Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ( Jakarta; Prenada Media, 2003) h. 230.
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menegaskan bahwa hak hidup berlaku sejak manusia dalam kandungan hingga
akhir hayat.44
Tindakan –tindakan diskriminasi dan menghilangkan hak hidup
hanya bisa terjadi, jika seseorang menggangu hak hidup orang lain yang
diputuskan berdasarkan keputusan hukum. Tindakan-tindakan yang
mengakibatkan tertanggunya hak hidup, bahkan hingga kehilangan nyawa akan
mendapatkan bebagai sanksi dan hukuman, sesuai dengan jenis dan tingkatan
tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Jenis dan kreteria hukuman bergantung
pada aturan hukum dan ketetapan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
Hak hidup adalah hak untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Hak ini merupakan hak asasi paling
esensial dari keseluruhan hak yang dimiliki oleh manusia. Termasuk dalam
kategori ini adalah hak untuk menjalani kehidupan yang layak di manapun dan
kapanpun. Hak ini berhubungan dengan kemerdekaan manusia untuk menjalani
kehidupan tanpa gangguan dari pihak manapun, termasuk didalamnya tindakan
diskriminasi, rasialisme dan dehumanisme. Perlindungan atas hak hidup menjadi
tanggung jawab semua orang, karena tindakan gangguan terhadap hak hidup akan
mengancam hak asasi manusia secara keseluruhan.45
44 http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/uud39.htm diakses pada tanggal
20 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB
45 Maududi , Hak Asasi …………., h. 21-23.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap
manusia memiliki hak untuk hidup dan meneruskan kehidupannya dengan
keturunannya serta mempertahankan kehidupannya secara wajar dan bebas.
Dalam hak ini terkandung makna hak bagi setiap individu manusia untuk
melakukan berbagai usaha, baik secara individual maupun kolektif untuk
mempertahankan hidup, melakukan sosialisasi dan meningkatkan kualitas
kehidupannya, sehingga bisa menjadi manusia yang beradab dan bermartabat.
Hak individu ini kemudian bersentuhan dengan kewajiban untuk menghormati
hak orang lain yang memiliki hak yang sama.46
Namun demikian, hak hidup seseorang tidak berarti mengabaikan hak
orang lain, sehingga ada aturan-aturan yang membatasi penggunaan hak hidup.
Kewenangan dan kekuasaan hukum pengadilan merupakan pembatas dalam
penggunaan hak hidup. Jika penggunaan hak hidup sudah menggangu orang lain
atau melanggar ketentuan hukum, maka berlaku ketetapan hukum sesuai dengan
jenis dan tingkat kesalahan yang dibuat.
Sebagi sebuah negara hukum, konstitusi dan hukum Indonesia
memberikan jaminan penuh terhadap hak hidup manusia sebagai bagian dari hak
asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam sumber hukum
ini, hak hidup mutlak harus dihormati sebagai sebuah hak yang melekat pada
46 Putra, Hak Asasi …………, h. 35
setiap warga negara Indonesia. Sanksi hukum akan berlaku jika hak tersebut
dirampas melalui kriteria tindakan melanggar hukum yang ditetapkan.
Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum hak asasi manusia,
maka seseorang atau pihak-pihak yang merasa terganggu hak hidupnya dapat
mengajukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bila terbukti bersalah maka pihak pengadilan
wajib mengadili sesuai dengan ketentuan undang-undang hak asasi manusia.47
Hak asasi manusia memiliki tempat sebagai bagian utama hak asasi
manusia sebelum hak-hak lainnya. Sebagai hak utama, maka perlindungan dan
jaminan atas hak ini menjadi bagian dari konstitusi pada banyak negara yang
meratifikasi piagam ham PBB, termasuk Indonesia, yakni pada Undang-Undang
Dasar 1945 dan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
jaminan konstitusi dan perundang-unangan ini menunjukan komitmen bangsa
Indonesia untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.48
Setiap orang memiliki hak untuk hidup, mempertahankan diri dan
meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam undang-undang ini, hak hidup tidak
hanya mencangkup persoalan kebebasan untuk bernafas dan menjalani kehidupan,
tetapi di dalamnya juga mencakup hak untuk menungkatkan kualitas kehidupan
yang layak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Deklarasi internasional
47
http://www.komnasham.go.id/home/index.php?/15 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
pukul 20:22 WIB
48 ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan ............., h. 222
tentang hak asasi manusia, menyatakan bahwa bahwa setiap orang berhak atas
kehidupan, kemerdekaan dan keselamatan. Jaminan akan hak hidup manusia akan
berdampak pada realisasi hak lain yang dimiliki oleh manusia, karena inti dari hak
manusia adalah hidup. Hak-hak asasi manusia lainnya akan berjalan apabila hak
hidup telah bisa direalisasikan.49
Hak kehidupan ini pada gilirannya akan melahirkan beberapa kewajiban,
baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan dengan sesama
makhluk. Kewajiban tersebut adalah memberikan jaminan atas kehidupan
manusia dari penganiayaan, diskriminasi dan pembunuhan. Negara sebagai
kekuatan hukum memiliki kewajiban memberikan jaminan kepada setiap
warganya atas hak hidup tersebut. Melalui undang-undang dan lembaga peradilan,
Negara memiliki kekusaan untuk mencegah perbutan-perbuatan yang menganggu
hak hidup, baik oleh diri orang yang bersangkutan maupun pihak-pihak lain.
Euthanasia, baik aktif maupun pasif, dalam persfektif Hak Asasi Manusia
merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan hak hidup manusia. Asumsi ini
didasari oleh hakikat euthanasia itu sendiri yang menghilangkan nyawa manusia
dengan alasan akan merugikan orang lain, terutama keluarga. Dalam hal ini tidak
ada jaminan atas perlindungan hak hidup seseorang, sehingga usaha
49Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman Mati, dalam
http://www.imparsial.org/publication/index.php?year=2006&month=4&action=READ&lang=id-
8859&id=publication444c81d0786b2 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:03 WIB
menghilangkan nyawanya menjadi tidak benar. Sementara naluri manusiawi
setiap orang adalah mempertahankan kehidupan dengan berbagai cara.50
Secara moral dokter dan tenaga medis lainnya memiliki tugas dan
kewajiban untuk bersikap profesional dalam melakukan perbuatan terhadap
pasien, bersikap tulus ikhlas dalam melayani pasien serta berkonsultasi dengan
dokter lain dalam penanganan pasien. Selain itu, dokter juga perlu memberikan
kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya
dalam beribadah.
Institusi kesehatan memiliki tugas mulia sebagai lembaga yang berusaha
untuk menghilangkan penyakit dan penderitaan pasien, disamping untuk
menghindari penyebaran penyakit yang akan menular kepada banyak orang.
Pelaksanaan euthanasia dilakukan melalui proses yang bisa melegalisasi tindakan
euthanasia.51
Selain itu seorang dokter maupun tenaga medis lainnya memiliki
tugas untuk memberikan pengobatan intensif sehingga penderita tidak kehilangan
harapan untuk sembuh secara medis. Berkenaan dengan biaya pengobatan,
dengan bantuan dokter, bisa mengusulkan kepada pihak-pihak yang memilki
kewenangan untuk memberikan bantuan. Hal ini berlaku untuk beberapa penyakit
50Arli Aditya Parikesit, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika, dalam
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses
pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 21:15 WIB
51http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=612&Itemid=2
diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:17 WIB
yang sulit diobati, seperti kanker atau leukemia, sehingga tidak ada potensi kearah
tindakan euthanasia.
Pengambilan keputusan atas permohonan euthanasia perlu dilakukan
dengan hati-hati, mengingat kemungkinan ada motif lain dibalik permohonan
tersebut. Motif ini tidak menutup kemungkinan bertentangan dengan hukum. Bila
keputusan diambil secara gegabah, bisa jadi keputusan tersebut akan
menghilangkan nyawa manusia tidak berdosa. Dalam prakteknya, tindakan
euthanasia dilakukan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya
yang dilakukan dalam hukuman mati. Pemberian suntikan mati ini dilakukan
setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan medis intensif menunjukan keharusan
untuk menghilangkan nyawa pasien.
Sebagai penghormatan kepada hak asasi manusia yag dilindungi undang-
undang, pihak pengadilan sepantasnya memberikan rekomendasi untuk
melanjutkan perawatan pasien dengan bantuan negara. Keputusan ini memiliki
dasar hukum konstitusi dan undang-undang, yakni bahwa setiap warga negara
berhak untuk memiliki hak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Di
samping itu, negara juga memiliki kewajibann untuk melindungi warga negara
yang tidak berdaya dari ancaman gangguan terhadap hak hidupnya, dalam hal ini
dari tindakan euthanasia.
B. Hak Hidup Menurut Hukum Islam dan Kaitannya Dengan Euthanasia.
Menurut ajaran Islam, hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan yang
Dia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan.
Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia
berada dalam rahim ibunya.52
Dalam al-qur'an menerangkan tentang terjadinya kehidupan manusia
dimulai dari ditiupkannya ruh kedalam diri manusia dan mulai dari situlah
kehidupan manusia dimulai. Oleh karenanya hak hidup telah melekat padanya
sebagimana firman Allah swt ;
�.W*U.E H1J1-�[�9i fjk⌧Y?�� �JK�E C�� =\��l+
����:.'.E H1J.( � ��%m9i )'CDا�/ ١E :٢٩(
" Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah
meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud ". ( Q.S. Al-Hijr / 17 : 29 )
�n?�:�PTRo�� \C� \9�/0(�� � pq:� 69�/0(��
BC�� 30 ��I )*"r�+ ����� a1-s�S�eI LC�Z� %aE��: (��
tu*' @⌧K*�.� ) اء' )٨E : ١٧ /ا"" Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
( Q.S. Al-Isra' / 17 : 85 )
Hak untuk hidup merupakan salah satu hak yang sangat dilindungi dalam
ajaran Islam. Berbagai ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunah
menegaskan dukungan dan jaminan atas hak hidup manusia, termasuk
didalamnya hukum-hukum yang mengatur tentang larangan bagi sesama manusia
52 Putra, Hak Asasi ………….., h. 33.
untuk merugikan salah satu pihak, termasuk didalamnya menghilangkan nyawa
manusia.53
Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas euthanasia
seharusnya dilakukan secara hati-hati. Walaupun sifatnya sukarela, euthanasia
tetap terindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang dilakukan atas dasar
keinginan dari seseorang atau pihak-pihak tertentu yang menginginkannya.
Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks kemanusiaan, tidak hanya
pada sisi medis. Hal ini layak dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban
akibat keputusan medis yang tergesa-gesa. Alasan bagi kemaslahatan umat
manusia lain tidak sertamerta menjadi alasan untuk tindakan pembunuhan, karena
kehilangan nyawa seseorang akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia lain.
Tindakan euthanasia ini sendiri harus dipahami oleh masyarakat, sebagai
mana tindakan aborsi, karena euthanasia tetap dipandang sebagai tindakan yang
tidak manusiawi. Sikap dokter yang merekomendasikan atau melakukan tindakan
euthanasia merupakan sikap putus asa.
Dari sudut pandang medis, euthanasia yang dilakukan secara sembarangan
melanggar kode etik kedokteran untuk menyembuhkan pasien yang telah jadi
tanggung jawab mereka. Hak pasien untuk mendapatkan perawatan semaksimal
mungkin, bahkan jika ada kesalahan dalam perawatan medis, pasien bisa
53 Dr. Syekh Syaukat Hussain, Hakasasi Manusia dalam Islam, ( Jakarta; Gema Insani Press,
1999), h.60
menuntut dokter maupun pihak rumah sakit ke pengadilan atas kelalaian
mereka.54
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka inti dari hak hidup adalah
mempertahankan kehidupan seseorang. Euthanasia dengan alasan untuk
menghindari kerugian pada pihak lain tetap tidak bisa menjadi pembenaran untuk
melanggar hak hidup seseorang. Kematian sukarela (mercy death) dilakukan
sebagai sebuah usaha untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar
dengan mengorbankan satu orang, tetap menjadi tindakan yang tidak manusiawi.
Islam menempatkan hak hidup manusia sebagai sebuah anugerah yang
tidak boleh diganggu oleh sesama makhluk, kecuali oleh Allah swt sebagai Sang
pencipta. Salah satu dari tujuan hukum Islam ( Gی�'Hص� ا���� ) adalah memelihara
jiwa kehidupan manusia ( J+(*+ا�� ).55
Pemeliharaan jiwa sebagai bentuk hak
hidup manusia merupakan hak paling mendasar dari tujuan pemberlakuan hukum
Islam. Jinayah memberikan rambu-rambu hukum tentang aturan hak hidup yang
harus diikuti oleh seluruh umat Islam yang akil baligh. Ketetapan hukum Islam
sendiri hanya berlaku bagi seseorang atau masyarakat yang memahami dan
menerima hukum Islam sebagai hukum yang mengatur tata kehidupan mereka.
Hukum Islam memberikan perlindungan penuh kepada manusia untuk
menjalankan kehidupan dan mempertahankan nyawa. Hak untuk menghilangkan
54 Dr. Wila Chandra Wila Supriyadi, S.H, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001,
h. 13
55 Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam “Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002 cet ke-2, h. 135
kehidupan atau nyawa manusia merupakan milik Allah dan tidak ada
seseorangpun yang memiliki hak untuk menghilangkan nyawa, termasuk dirinya
sendiri.
Berbagai ketentuan hukum dalam fiqh jinayah, yang berkaitan dengan
pembunuhan memberikan berbagai ketetapan sebagai perlindungan Allah
terhadap hak hidup manusia. Bentuk hukuman mati yang diberikan kepada
pelanggaran hak hidup pada hakekatnya melindungi nyawa manusia lain, karena
dengan pemberlakuan hukum pidana Islam, maka akan banyak nyawa atau
kehidupan manusia yang akan terlindungi dan terselamatkan. Hukum qishash
yang dilaksanakan dengan benar sesuai dengan sumber hukum peradilan Islam
akan membantu manusia untuk mendapat perlindungan dan jaminan atas hak
hidup yang diberikan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk di muka
bumi.56
Seseorang minta untuk dibunuh, kemudian ia dibunuh, maka berlaku
hukuman untuk pelaku, karena ia melanggar hak hidup. Pembunuhan ini bisa
dikategorikan dengan pembunuhan sengaja, karena pelaku melakukan
pembunuhan dalam keadaan sadar. Ini juga yang berlaku untuk pembunuhan pada
kasus euthanasia, di mana korban secara sukarela meminta untuk dilakukan
pembunuhan atas dirinya sendiri. Hukuman tentunya pantas diberikan kepada
56 Drs. Makhrus Munajat, M.Hum, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, ( Jogjakarta; Logung
Pustaka, 2004 ), h. 131
orang yang meminta dan melaksanakan.57
Qishash yang disebut dalam al-qur’an
merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan
pemberlakuan qishash akan mencegah pelanggaran terhadap hak hidup manusia,
walaupun qishash mengancam jiwa manusia.
Dalam hal mempertahankan hak hidup, Allah menetapkan berbagai aturan
berkaitan dengan perlindungan terhadap hak ini sebagai hak yang diberikan Allah
kepada manusia sehingga tidak dapat gangguan dari pihak lain, baik secara
sengaja maupun tidak sengaja. Aturan dalam jarimah pembunuhan, dengan sanksi
hukum untuk masing-masing pelanggaran hukum yang termasuk dalam lingkup
fiqh jinayah memberikan perlindungan hukum dengan ketentuan-ketentuan tegas
terhadap tindak kejahatan tersebut.58
Ancaman hukuman ini berlaku bagi semua
orang tanpa terhalang oleh perbedaan fisik dan status. Siapapun bisa mendapat
hukuman ini bila terbukti bersalah.
Dalam surat Al-Isyra’ Allah menyatakan ;
u�� ���:�1- '.S v[ Yw�(�� =%x�(�� y[09J z��� tu*'
p{|9. (��*5 � C��� }q�-:� �~��:�Bf� B�.'.E ���E�9:9�
��J4!�(���( �~�.�E�6i }⌧.E )30T1o )*�� pq-.' (�� �
57 http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/eutanasia-hak-untuk-mati/ diakses pada tanggal
20 Oktober 2008 pukul 20:13 WIB
58 A. Djazuli, Fiqh Jinayah “Upaya Menaggulangi Kejahatan”, ( Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2000), h. 143
H1J�?*' g�⌧� �~+��&� ا"'اء (�
/٣٣ : ١٧ ( “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan´ (QS. Al-
Isara’/17 : 33)
Maksud dengan alasan yang benar adalah hukuman mati berupa; qishash pada
jarimah pembunuhan sengaja, rajam pada pezina muhsan, hukuman pelaku riddah,
dan hukuman hirabah. Hukuman ini tidak bertentangan dengan konsep HAM, karena
ketentuan pelanggaran hak hidup yang dianut oleh HAM adalah penghilanagn nyawa
yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan hukuman di atas merupakan hukuman
ketentuan Allah semata yang berarti bahwa nyawa manusia yang menentukan
berakhirnya hanya Tuhan semata. Dan ini tidak sama sekali melanggar hak hidup
yang dianut konsep HAM.
Euthanasia sebagai kematian sukarela yang dilakukan untuk mengakhri
penderitaan seseorang akibat penyakit tidak bisa disembuhkan harus dipahami
sebagai pilihan paling akhir.59
Tindakan ini dilakukan dalam bentuk yang
menyerupai bunuh diri, baik yang dilakukan sendiri maupun dengan bantuan
orang lain. Keputusan ini harus diambil sebagi sebuah pilihan untuk mengurangi
beban yang dialami oleh seseorang. Euthanasia sebagai sebuah usaha
menghilangkan hak hidup manusia dengan sukarela merupakan sebuah perbuatan
59 http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada tanggal 10
September 2008 pukul 19:41WIB
yang bisa masuk dalam kategori perbuatan melanggar ketentuan Allah mengenai
kehidupan dan kematian yang nota bene hanya milik-Nya.
C. Perbandingan Hukum Euthanasia Menurut Hak Asasi Manusia dan Hukum
Islam.
Pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang maupun kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesain hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.60
Dengan definisi di atas pelanggaran HAM merupakan tindakan
pelanggaran kemanusiaan baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh
institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada
dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijkannya.
Pelanggaran hak asasi manusia dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu
;61
1. Pelanggaran hak asasi manusia berat meliputi kejahatan genoside dan
kejahatan kemanusiaan, dan
60 ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan ............., h. 227.
61
Ibid, h. 228
2. Pelanggaran hak asasi manusia ringan meliputi selain dari pelanggaran HAM
berat.
Yang dimaksud dengan kejahatan genosida sebagaimana tertuang dalam
Statua Roma dan Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompk,
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota
kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya, melakukan tindakan mencegah
kelahiran dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dalam
kelompok ke kelompok lain.62
Sedangkan kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma dan diadopsi
dalam Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam
pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
62 http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:21
WIB
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat
penduduk sipil.63
Untuk melihat perbuatan adalah suatu pelanggaran hukum maka harus
dilihat dari unsur perbuatan itu sendiri, dalam hukum pidana sebuah perbuatan
dapat dikatakan melanggar hukum bila memenuhi tiga unsur yaitu ;64
1. Unsur formil yaitu adanya ketentuan yang mengatur perbuatn tersebut.
2. Unsur materil yaitu adanya perbuatan yang melanggar ketentuan atau undang-
undang, dan
3. Unsur moril yaitu pelaku perbuatan itu sendiri.
Masalah euthanasia merupakan suatu pelanggaran dengan alasan
menghilangkan atau melanggar hak hidup yang tertuang dalam Undang-undang
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran ini termasuk dalam
kategori pelanggaran ringan atau biasa, yaitu dengan ancaman hukuman yang
tertuang dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dikarenakan
pelanggaran ini bukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan dan genosida yang
tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.65
63 http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
pukul 20:15 WIB
64 Pipin Syarifin, SH, Hukum Pidana di Indonesia, ( Bandung; CV Pustaka Setia, 2000 ), h.
51 65 http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Nomor_20_Tahun_2000 diakses pada tanggal
18 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB
Dalam kitab undang-undang hukum pidana masalh euthanasia terdapat
pada pasal 344 dan 345 BAB XIX tentang kejahatan terhadap nyawa. Kedua pasal
ini secara jelas menetapkan bahwa pembunuhan dalam segala bentuk tetap
dilarang kecuali atas dasar hukum.
Pasal 344 KUHP ”barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan penjara dua belas tahun”.
Pasal 345 KHUP ” Barang siapa mendorong orang lain untuk bunuh diri
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan hukuman empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.66
Dikaitkan dengan euthanasia maka euthanasia termasuk dalam pasal ini,
yaitu memenuhi unsur formil yaitu melanggar pasal 344 atau 345, unsur materil
yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan permintaan pasien itu sendiri,
unsur moril yaitu pelaku adalah tenaga medis.
Tindakan euthanasia berdampak pada hilangnya nyawa manusia.
Tindakan ini jelas melanggar hukum, sehingga kepada pelaku berlaku ketentuan
hukuman. Penentuan jenis hukuman yang akan dikenakan pelaku tergantung
kepada keputusan pengadilan setelah melalui proses peradilan dan mendengarkan
keterangan dari saksi dan melihat bukti-bukti yang ditemukna dalam proses
peradilan.
Masjfuk Zuhdi mengungkapkan bahwa euthanasia tetap merupakan
perbuatan melanggar hukum, walaupun dilakukan secara sadar oleh dirinya
sendiri tanpa bantuan orang lain. Sementara untuk perbuatan yang dibantu oleh
66 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, ( Jakarta; Rieneka Cipta, 2005 ) h. 135
orang lain, maka sanksi hukum akan berlaku bagi orang yang terlibat dalam
tindakan melanggar hukum tersebut. Dengan demikian, euthanasia dengan apaun
alasannya dan bentuknya merupakan sebuah delik hukum pidana yang memiliki
konsekuensi hukum.67
Hukuman untuk pembunuhan pada umumnya berlaku hukum qishash,
diyat dan ta’zir. Ketiga jenis hukum pidana ini berlaku berdasarkan kategori
pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku.68
Qishash berlaku untuk pembunuhan
disengaja menghilangkan nyawa manusia, qishash merupakan perlindungan
hukum yang diberikan kepada manusia, karena dengan pemberlakuan qishash
akan mencegah gangguan terhadap hak hidup seseorang, walaupun qishash
mengancam jiwa manusia. Akan tetapi qishash tidak bisa berlaku jika ada
pemaafan dari pihak keluarga atau pihak lain yang menghendaki perbuatan pelaku
untuk dimaafkan. Hukuman pengganti yaitu berupa diyat atau ta’zir sebagai
hukumannya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan atas dasar kerelaan
korban tidak diperbolehkan, sanksi hukum untuk pembunuhan atas ijin korban
adalah diyat bukan qishash. Dengan alasan bahwa dalam kasus pembunuhan ini
ada unsur yang meringankan, yakni kerelaan korban.69
67 Prof. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta; PT Gunung Agung, 1996) h. 164
68 Ahmad Hanafi, Asas - asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang, 2005), h. 207
69 Abd Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II( Beiru; Al-Muassasah, tanpa
tahun), h.441
Pendapat yang berbeda diberikan oleh para ulama Syafi’iyah mengenai
hukuman pembunuhan atas kerelaan korban yaitu tidak mendapat hukuman,
karena unsur kerelaan korban merupakan unsur yang dapat menghilangkan
hukuman. Pelaku pembunuhan terbebas dari hukaman qishahs tetapi dikenakan
hukuman yang diberikan oleh ulul amri70
, karena ia hanya melakukan apa yang
diminta korban secara sukarela. Alasan ini dikemukakan dengan asumsi bahwa
bisa jadi permintaan tersebut dilakukan secara paksa, sementara pelaku tidak ada
maksud untuk membunuh korban.
Pembunuhan atas ijin dari korban sama saja seperti bunuh diri. Bunuh diri
dilarang dengan alasan apapun, misalnya seseorang penderita aids atau kanker
tahap akhir yang sudah tak ada harapan sembuh secara medis dan sudah
kehabisan harta untuk biaya pengobatannya, Islam tetap tidak memperbolehkan si
penderita menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri ataupun dengan
bantuan orang lain, sekalipun dokter dengan cara memberikan suntikan atau obat
yang mempercepat kematiannya, atau dengan cara menghentikan segala
pertolongan terhadap penderita termasuk pengobatannya. Sebab penderita yang
menghabisi nyawanya sendiri atau dengan bantuan orang lain itu berarti ia
mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang Tuhan, padahal seharusnya
ia bersikap sabar dan tawakal menghadapi musibah.71
70 Djazuli, Fiqh Jinyah ………….., h. 157
71 Zuhdi, Masail …………, h. 163
Nabi Muhammad Saw, bersabda ;
� أ�* رMN ا$ �L� ��ل Lو : P�� أ)�آP ا��Sت �Q' أص� � ��ن " ی: ��ل ر�ل ا$ ص�M ا$ ��L� و��S� ����� 4L�� � " آ�ن : M� ا'�T ا����ة Uو ,���( اذا آ�� M� ا'�T ة���ا� Uآ�� �� M��(أ PDا�� )���L �+��(72
Dari Anas R.A. berkata : Rasulullah saw bersabda ” janganlah seseorang
diantar kalian mengangan-angankan kematian karena musibah yang
menimpanya, jikalah dia harus menginginkan, maka katakanlah : ” Ya Allah
hidupkanlah aku jika kehidupan itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika
kematian itu lebih baik bagiku” (Muttafaq ’Alaih)
Pemikir Islam Tarikh al-Bishry menyatakan bahwa euthanasia dilarang
oleh semua agama. Menurutnya, euthanasia adalah konsep baru dan tidak alami
yang ditolak secara luas, berapa lama usia seseorang semata-mata ditentukan oleh
tuhan dan tidak seorangpun boleh ikut campur tangan dalam proses kehidupan
dan kematian.73
Ulama muslim Yusuf Qordawi menyatakan bahwa euthanasia positif
(mercy killing) dilarang dalam ajaran agama Islam ketika ia juga meliputi
tindakan positif sebagian ahli medis untuk mengakhiri hidup pasien dan
mempercepat kematiannya melalui injeks kematian, senjata tajam atau dengan
yang lainnya. Ini adalah pembunuhan dan pembunuhan adalah dosa besar dalam
Islam, sebagai agama kasih sayang yang murni.74
72 Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarif An- Nawawi, Riyadus Shalihin, (Beirut; Muassasah
Ulum al-Qur’an, 1990) h.53
73 Ismail, Tinjauan Islam Terhadap Euthanasia, ( Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003), h. 22
74 Ibid, h. 23
KH. AR Fachruddin menyatakan bahwa euthanasia untuk menolong
pasien adalah ditolak dengan tegas, orang koma atau dalam keadaan kritis tidak
merasa apa-apa, dan proses kematian secara ini sama saja dengan putus asa,
sedangkan dalam Islam putus asa itu dilarang.75
Dalam al-Qur'an Allah melarang hambanya untuk berputus asa apa yang
telah ia berikan kepada hambanya ;
7q:� 9]�K�;�:� � ������ ���:E����I �)"S� 7�*�FTfY?�I }u ������� '.S C��
�����[+ P��� < wg*' ���� �0�Y � L_�1?����� �:!��.{ < H1J�?*' ��:{
�+�fY (�� �x��J[0(�� ) '�Wا�/ ٣٩:E٣(
" Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". ( Q.S. Az-Zumar / 39 : 53 )
KH Bambang Al-Bar menyatakan bahwa proses kematian bukan mati,
seorang koma lalu disuntik dan hilang nyawanya, maka euthanasia itu menjadi
penentu kematian, menghilangkan nyawa, euthanasia bukan upaya penyembuhan
tetapi pelenyapan kehidupan. Oleh karenanya euthanasia hukumnya haram.76
75 Imron Halimi, Euthanasia; Cara Mati Terhormat Orang Modern, ( Semarang; Ramadhani,
1986), h. 118
76 Bambang al-Bahr; Fenomena Kedokteran Dimata Umat Islam, ( Jakarta; Graha Medika,
1980), h. 132
Tindakan manusia yang mengambil hak Allah akan berakibat
diberikannya sanksi dan hukuman, bahkan hingga hukuman mati. Hukum Islam
yang menghendaki tindakan hukum secara tegas kepada pelaku pembunuhan,
sehingga kasus pembunuhan bisa dicegah dan diatasi secara hukum. Akan tetapi
penerapan hukum Islam dilakukan secara hati-hati, sehingga hukuman hanya akan
menimpa para pelanggar hukum. Dengan demikian tidak ada perbuatan
melanggar hukum yang tidak mendapatkan hukuman, pembunuhan yang diijinkan
hanyalah pembunuhan sebagai sebuah hukuman atas pembunuhan itu sendiri,
bukan sengaja menghilangkan nyawa atau kehidupan orang lain yang
menimbulkan mudharat.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu dipertegas sanksi hukum terhadap
pelaku euthanasia, agar pasien-pasien yang sulit disembuhkan tidak putus asa,
sehingga pihak rumah sakit tidak akan membiarkan atau menunda proses
perawatan. Alasan keselamatan jiwa dan kemanusiaan harus dijadikan alasan
dalam penanganan pasien, usaha untuk merealisasikan hal itu memerlukan
dukungan hukum yang bersifat memaksa.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan
sebagai dikemukakan di bawah ini:
Euthanasia adalah menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan
untuk menghindari kerugian pada pihak lain, termasuk pasien lain yang masih
memiliki harapan hidup. Kematian secar sukarela (mercy death) ini dilakukan
sebagai sebuah usaha untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar
dengan mengorbankan satu orang
Euthanasia pasif, yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara
membiarkan seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak
mendapatkan perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat. Perlakuan
ini dilakuklan secara sengaja untuk mempercepat terjadinya kematian,
misalnya untuk penderita kanker akut yang sudah dianggap sudah tidak bisa
disembuhkan. Tindakan inipun dilakukan melaui prosedur pemeriksaan dan
diagnosa kedokteran. Jika secara medis pasien dipandang tidak memiliki
harapan sembuh, maka tindakan euthanasia dilakukan dengan terlebih dahulu
meminta persetujuan dari pengadilan.
Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan
cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung tertuju pada kematian,
melalui suntikan atau pemberian obat-obatan yang mematikan. Tindakan ini
jelas-jelas bertujuan untuk membunuh pasien secara langsung, tanpa proses
yang lama. Tujuan lain dari tindakan ini adalah mempercepat proses
penghentian penderitaaan, dengan asumsi bahwa kematian merupakan jalan
terakhir untuk mengakhiri penderitaan dan penyebaran penyakit.
Euthanasia dalam pandangan hukum Islam merupakan sebuah
perbuatan melanggar hukum dan masuk kedalam kategori pembunuhan.
Islam melarang pembunuhan terhadap diri sendiri baik dilakukan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain, karena hak untuk menghidupkan dan
mematikan hanyalah milik Allah.
Euthanasia, baik aktif maupun pasif, dalam persfektif Hak Asasi
Manusia merupakan sebuah usaha untuk menghilangkan hak hidup
manusia. Asumsi ini didasari oleh hakikat euthanasia itu sendiri yang
menghilangkan nyawa manusia dengan alasan akan merugikan orang lain,
terutama keluarga. Dalam hal ini tidak ada jaminan atas perlindungan hak
hidup seseorang, sehingga usaha menghilangkan nyawanya menjadi tidak
benar. Sementara naluri manusiawi setiap orang adalah mempertahankan
kehidupan dengan berbagai cara. Euthanasia dalam pandangan Hak Asasi
Manusia termasuk dalam kategori pelanggaran HAM biasa dan dikenakan
pasal 344 KUHP.
Persamaan hukum antara hukum Islam dan hak asasi manusia
adalah euthanasia dipandang sebagai perbuatan melanggar hukum yaitu
menghilangkan nyawa atau kehidupan manusia. Dan perbuatan ini dikenai
hukuman yang telah ditentukan.
Pebedaan hukum antara hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
adalah hukum Islam memandang euthanasia adalah pembunuhan dan
dikenakan hukuman qishash, sedangkan dalam doktrin hak asasi manusia
ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia biasa yang dikenakan pasal
344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diancam dengan
hukuman penjara dua belas tahun.
B. Saran
Berdasrkan kesimpulan diatas, penulis mengajukan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Pelaksanaan euthanasia dapat dihindari atau ditolak, karena setiap manusia
yang masih bernafas masih memiliki hak untuk hidup.
2. Euthanasia sebagai pelanggaran terhadap hukum Islam dengan harus
dipahami sebagai sebuah perbuatan yang keji, karena di dalamnya
mengandung sifat putus asa.
3. Pelaksanaan hukum euthanasia, harus ditegakkan secara konsisten dan
dipublikasikan melalui sosialisasi kepada masyarakat, agar bisa dipahami
dengan baik.
4. Pemerintah memberikan pembebasan pembiayaan rumah sakit bagi
masyarakat yang kurang mampu, sehingga tidak ada alasan untuk
pemberhentian pengobatan.
5. Pendirian Baitul Mal dengaan artian bahwa Baitul Mal merupakan institusi
yang dominan dalam perekonomian Islam. Institusi ini secara jelas merupakan
entitas yang berbeda dengan penguasa atau pemimpin negara. Namun
keterkaitannya sangatlah kuat, karena institusi Baitul Mal merupakan institusi
yang menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dan sosial dari sebuah negara Islam.
Pendirian isntitusi ini untuk menangani masalh ekonomi rakyat indonesia
yang mayoritas beragama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, Crisdiono M., Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, Jakarta; EGC, 2007
Audah, Abd Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, Jilid II, Beiru; Al-Muassasah,
tanpa tahun
Al-Bahr, Bambang; Fenomena Kedokteran Dimata Umat Islam, Jakarta; Graha
Medika, 1980
Bakry, M. Nazar, Dr., Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada,
2003
Djazuli, A., Fiqh Jinayah “Upaya Menaggulangi Kejahatan”, Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 2000
Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi,
Jakarta, Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007
Gunawandi, J., S.H, Hukum Medik (medical Law), Jakarta; Fakultas Ilmu Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2000
Halimi, Imron, Euthanasia; Cara Mati Terhormat Orang Modern, Semarang;
Ramadhani, 1986
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta; Rieneka Cipta, 2005
Hanafi, Ahmad, Asas - asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 2005
Hanafilah, M. Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
Jakarta; EGC, 1999
Hendardi, Hak Hidup dan Hukuman Mati, dalam
http://www.imparsial.org/publication/index.php?year=2006&month=4&acti
on=READ&lang=id-8859&id=publication444c81d0786b2 diakses pada
tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:03 WIB
Hussain, Syekh Syaukat, Dr., Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta; Gema Insani
Press, 1999
Ismail, Tinjauan Islam Terhadap Euthanasia, Jakarta; PBB UIN dan KAS, 2003
Maududi, Maulana Abul A’la , Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta; Bumi
Aksara, 1995
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung; Remaja Rosda Karya,
2005
Munajat, Makhrus, Drs. M.Hum, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta;
Logung Pustaka, 2004
Nasution, Adnan Buyung dan Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak
Asasi Manusia, Jakarta; Yayasan Obor, 2000
An- Nawawi, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarif, Riyadus Shalihin, Beirut;
Muassasah Ulum al-Qur’an, 1990
Parikesit, Arli Aditya, Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan
Bioetika, dalam http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-
bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2008
pukul 21:15 WIB
Putra, Dalizar, Drs Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, Jakarta; PT. Al-Husna
Zikra, 1995
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Beirut; Daar al-Tsakofah al-Islamiyyah, 1998
Sianturi, S.R, S.H., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta; Alumni
AHAEM-PATEHAEN, 1989
Soekanto, Soerjono, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka
Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, 1990
____________, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 2004, cet. Ke-8
Syarifin, Pipin, SH, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; CV Pustaka Setia, 2000
As-Syaukani, Lutfi, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fikih Kontemporer,
Bandung; Pustaka Hidayah, 1998
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Educatian )
“Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta;
Prenada Media, 2003
Usman, Suparman, Prof. Dr. H. S.H, Hukum Islam “Asas-Asas dan Pengantar Studi
Hukum Islam”, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002 cet ke-2
Waluyadi, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta; Djambatan, 2005, cet ke-
2
Wila Supriyadi, Wila Chandra, Dr. S.H, Hukum Kedokteran, Bandung; Mandar
Maju, 2001
Zuhdi, Masjfuk, Prof., Masail Fiqhiyah, Jakarta; PT Gunung Agung, 1996
http://blog.kenz.or.id/2006/06/01/45-butir-pengamalan-pancasila.html diakses pada
tanggal 13 Maret 2008 pukul 15:30 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul
19:15 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Genosida diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul
19:21 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan diakses pada tanggal 20 Oktober
2008 pukul 20:15 WIB
http://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Nomor_20_Tahun_2000 diakses pada
tanggal 18 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB
http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19 diakses pada tanggal 4
Agustus 2008 pukul 19:42 WIB
http://kiunissula.wordpress.com/2007/09/15/eutanasia-hak-untuk-mati/ diakses pada
tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:13 WIB
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada
tanggal 10 September 2008 pukul 19:41WIB
http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm diakses pada tanggal 10 September
2008 pukul 19:15 WIB
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=612&Itemi
d=2 diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 pukul 19:17 WIB
http://www.indonesiamission-ny.org/issuebaru/HumanRight/uud39.htm diakses pada
tanggal 20 Oktober 2008 pukul 20:15 WIB
http://www.komnasham.go.id/home/index.php?/15 diakses pada tanggal 20 Oktober
2008 pukul 20:22 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/09/22/brk,20040922-24,id.html
diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB