skripsi - core.ac.uk filegambaran masalah adalah sikap internal yang berkaitan dengan aspek...
TRANSCRIPT
DESKRIPSI MASALAH-MASALAH YANG FREKUEN DIALAMI OLEH
ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS INFANTIL
DI SLB AUTIS CIPTA MULIA MANDIRI
YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
MARIA MAGDALENA
NIM: 011114002
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2006
i
ABSTRAK
DESKRIPSI MASALAH – MASALAH YANG FREKUEN DIALAMI OLEH ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS INFANTIL
DI SLB AUTIS CIPTA MULIA MANDIRI YOGYAKARTA
MARIA MAGDALENA
Universitas Sanata Dharma 2006
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil. Subjek penelitian ini adalah 32 orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.
Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab semua permasalahan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah survei. Alat pengumpulan data adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri dalam bentuk skala Likert dengan kategori “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” dan “tidak mengalami”. Aspek yang diukur untuk memperoleh gambaran masalah adalah sikap internal yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif dan spiritual atau religius dan aspek eksternal yang berkaitan dengan lingkungan keluarga, sekolah dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Teknik pengolahan data adalah perhitungan frekuensi untuk kategori “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” dan “tidak mengalami”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek internal, khususnya aspek kognitif: Pertama, orangtua sering berpikir bahwa gangguan perkembangan bicara, emosi/perasaan, perilaku, interaksi sosial yang dialami anaknya akan berubah begitu saja sehingga tidak perlu dilatih apalagi sampai ditangani terapis. Kedua, orangtua sering berpikir bahwa lingkungan sosial pasti mengabaikan kehidupan anaknya; anaknya pasti akan kehilangan masa depan. Ketiga, orangtua sering berpikir bahwa kemampuan sosialisasi anak tidak perlu dilatih melalui pergaulan dengan teman sebaya dan sosialisasi ke sekolah umum karena anaknya pasti tidak berkembang. Pada aspek afektif, orangtua sering memiliki reaksi-reaksi perasaan, seperti bosan menginformasikan perkembangan anaknya kepada orang serumah, malu mengakui keberadaan anaknya, bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anaknya, cemas dan takut terhadap masa depan anaknya. Pada aspek spiritual atau religius, orangtua sering menginginkan Tuhan segera mengabulkan permohonannya setiap kali berdoa, sering merasa sendiri dalam menanggung beban ini, sering mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anaknya, lebih sering memilih bekerja untuk mendapatkan uang daripada mengikuti kegiatan rohani.
Sedangkan pada aspek eksternal, orang tua sering sulit mempercayakan orang serumah untuk menangani anaknya, orang tua sering mempertahankan pendapat yang keliru dalam menangani anaknya, dan orang tua sering mengabaikan peraturan yang ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.
vi
ABSTRACT
A DESCRIPTION OF FREQUENT PROBLEMS FACED BY PARENTS WITH INFANTILE AUTISTIC CHILDREN IN CIPTA MULIA MANDIRI
AUTISTIC HANDICAP SCHOOL YOGYAKARTA
MARIA MAGDALENA
Sanata Dharma University Yogyakarta 2006
This research was aimed to describe the frequent problems faced by parents
with infantile autistic children. The subjects of this study were 32 parents with infantile autistic children in Cipta Mulia Mandiri Autistic Handicap School Yogyakarta. This was a quantitative study, employed to answer all the problems in this research. Survey method was employed in the data gathering. The data gathering instrument employed was a questionnaire developed by the writer in a Likert- scale; categorized into “very often”, “often”, “sometimes”, and “never”. The aspects measured to get the description were internal attitude relating to cognitive, affective, and spiritual aspect, and external aspects from family, school, and other corresponding institutions. The study’s analysis technique was a frequency calculation for categories of “very often”, “often”, “sometimes”, and “never”. The result showed that in internal aspects, especially in cognitive aspect: first, parents often thought that the children’s development deficiency in speaking, emotion/feeling, attitude, and social interaction would be reduced in a sudden without any training or a therapist’s treatments; second, parents often thought that their social environment had abandoned their children’s lives and surely the children would lose their future; and third, parents often thought that the children’s skill to socialize needed no guidance through peer relations and socialization in normal school because the children surely wouldn’t developed. In affective aspects, parents often became sensitive e.g. get bored to inform the children’s development to their relatives, being ashamed to recognize the children’s existence, being confused in the rehabilitation attempts and being worried and afraid of the children’s future. In spiritual or religious aspects, parents often demanded God to grand their wishes every time they pray; parents often felt lonely in bearing the burden; they often ignored God’s helps for the children; and they were more often to choose to work to get money rather than joining religious activities. Furthermore in external aspects, parents often could not trust their relatives to take care of the children; they often hold their misinterpretations in taking care of children; and they often transgressed the rules used in Cipta Mulia Mandiri Autistic Handicap School Yogyakarta.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah yang Maha Kasih. Kasih yang
mendasari seluruh kehidupan penulis secara khusus sepanjang penulisan skripsi.
Allah telah membuka hati dan budi penulis untuk memahami dan mencintai
kehidupan manusia termasuk orangtua yang mempunyai anak autis, anak autis itu
sendiri dan siapa saja yang turut ambil bagian dalam kehidupan mereka. Penulis
menyadari bahwa mengalami kasih Allah yang Agung dan penuh misteri ini tidak
terlepas dari campur tangan dan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa materi,
dukungan, masukan, kritikan dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulis
menjadi semakin dekat dengan Allah, semakin setia dalam menjalankan tugas apa
saja dan peka akan rencana Allah. Oleh karena itu pantaslah penulis haturkan limpah
terima kasih kepada:
1. Drs. Tarsisius Sarkim, M.Ed., Ph. D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.
2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M. Si., selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling
sekaligus sebagai pembimbing pertama yang telah membimbing penulis
selama penulisan ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
3. Drs. Y.B. Adimassana, M.A., selaku pembimbing kedua yang telah
membimbing, memberikan semangat baru bagi penulis sehingga penulisan ini
dapat terselesaikan dengan baik.
4. Bapak M. Yasin, selaku Pimpinan SLB Autis Bina Anggita Yogyakarta yang
telah memberikan ijin uji coba alat penelitian skripsi ini.
viii
5. Ibu Eny Winarti, S.Pd., selaku Pimpinan SLB Autisme Cipta Mulia Mandiri
yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
6. Drs. Gendon Barus, yang telah membimbing, memberikan semangat serta
masukan-masukan yang berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
7. Suster M. Madeleine Y. PBHK selaku Provinsial PBHK Provinsi Indonesia
dan Dewannya yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
8. Sr. M. Christien S. PBHK selaku Supda PBHK Daerah Jawa dan Dewannya
yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
9. Sr. M. Immaculae S. PBHK yang selalu mengorbankan waktu dan tenaganya
untuk membimbing, mendukung penulis dalam doa dan dukungan lainnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
10. Sr. M. Gaudentia PBHK dan Para Suster PBHK Komunitas Deresan
Yogyakarta yang mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orangtua yang mempunyai anak autis,
lembaga-lembaga terkait yang menangani anak autis, dunia bimbingan dan
konseling, para pemerhati orang-orang yang memiliki beban hidup, yang miskin dan
menderita serta siapa saja yang menaruh minat terhadap anak-anak yang
berkebutuhan khusus.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………..…………………...i
Halaman Persetujuan Pembimbing……………………………..…………………….ii
Halaman Pengesahan…. ………………………………………….…….…………...iii
Halaman Motto dan Persembahan …………………………………………..………iv
Halaman Pernyataan Keaslian Karya ……………………………….………………..v
Abstrak ……………………………………………………………………..……….vi
Abstract ………………………………………..………………………………..…..vii
Kata Pengantar ……………………………………………………………………..viii
Daftar Isi …………………………………………………………………………......x
Daftar Lampiran ………………………………………………………………......xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………..…………………1
B. Perumusan Masalah ……………………………………………………....8
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….....8
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………..9
E. Definisi Operasional ………………………………………………..……10
BAB II : LANDASAN TEORI
A. Gangguan Perkembangan Anak Autis
1. Pengertian Autisme ……………………………………......…………11
2. Karakteristik Autistik ……………………………………………..….12
3. Faktor Penyebab Autisme ……………………………………..……..19
4. Perkembangan Dini Anak Autis ……………………………………..24
B. Bentuk-Bentuk Penanganan Anak Autis
1. Bentuk-bentuk Terapi ………………………………………………..27
a. Terapi Perilaku (Okupasi, Wicara, Sosialisasi dengan
menghilangkan Perilaku yang tidak wajar…………………...….27
b. Terapi Biomedik ………………………….…………………….30
x
c. Terapi Medikatonis ……………………………………….……31
d. Terapi Bermain……………………………….…………………31
e. Terapi Sensori Integrasi…………………………………..……..32
f. Terapi Terapi Snoezelen………………………………………...33
g. Terapi Musik……………………………………………..……..33
h. Terapi Remedial……………………………….………………..34
i. Terapi Suntik Jarum Super………………………….…………..34
j. Terapi Kelasi………………………………………………..…...34
k. Terapi Air / Water Therapy…………………………….……….35
2. Bentuk Penanganan Lain …………………………….…………....…36
a. Program Inklusi…………………….…………………………...36
b. Sekolah/Pendidikan Khusus……………………………….……37
C. Permasalahan Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil
1. Aspek Internal ………………………………….……………………38
a. Aspek Kognitif ………………………………..……………..…...38
b. Aspek Afektif ………………………………………………..…...41
c. Aspek Spiritual atau Religius……... ……………………..………43
2. Aspek Eksternal…………..……………………………………..…....46
a. Lingkungan Keluarga ……………………………………..……...46
b. Lembaga Terkait ………..………………………………..……....48
3. Dampak Permasalahan Orangtua pada Aspek Psikomotorik
atau Perilaku………………………………………………………….50
a. Depresi ……………………………………………..…………….51
b. Kecemasan ……………………………………………..………...52
c. Gejala Somatis ………………………………………………..….53
d. Stress ………………………………………………………..……53
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ………………………..………………………………...55
B. Subjek Penelitian …………………………………………………….…55
C. Alat Pengumpul Data ………………………………………………..….56
D. Prosedur Pengumpulan Data ……………………………………..……..64
E. Teknik Analisis Data ……………………………………………..……..68
xi
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Aspek Internal
a. Aspek Kognitif …………………………………………….....…69
b. Aspek Afektif ……………………………………………..…….74
c. Aspek Spiritual atau Religius ……………...……………..……..75
2. Aspek Eksternal
Aspek Lingkungan Keluarga dan Lembaga Terkait ..…………..……76
B. Pembahasan
1. Aspek Internal
a. Aspek Kognitif …………………………………………..………79
b. Aspek Afektif …………………………………………..……….84
c. Aspek Spiritual atau Religius…... ……………………..…………88
2. Aspek Eksternal………......………………………………..…………91
a. Lingkungan Keluarga ……………………………..…………...…91
b. Lembaga Terkait …………………………. ………..…….….…..93
BAB V : PENUTUP
A. Ringkasan Hasil Penelitian …………………………..………………….94
B. Kesimpulan…….………………………………..…..……………………96
C. Saran ……………………………………………..…………………..…..96
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..………………...……103
LAMPIRAN ……………………………......……………………………..…106-124
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Ijin Uji Coba Alat dan Surat Keterangan telah
Uji Coba Alat
Lampiran 2 : Ijin Penelitian dan Surat Keterangan telah Meneliti
Lampiran 3 : Analisis Kesahihan Butir
Lampiran 4 : Hasil Penghitungan Uji Reliabilitas Alat Ukur
Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian
Lampiran 6 : Tabulasi Data Penelitian dan Pengelompokkan Aspek Masalah
Hasil Penelitian
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini gangguan autis menjadi fenomena karena makin banyak anak-anak
yang mengalaminya. Kalau dulu pada tahun 1970-an anak-anak yang mengalami
gangguan autis hanya 1: 10.000 kelahiran, kini tercatat 1:150 kelahiran. Sebuah
peningkatan yang sangat mencolok (Kompas, Sabtu 16 April 2005).
Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2005, sekitar 1,5 juta anak
Indonesia menderita autisme. Namun kerena terbatasnya sarana pendidikan luar
biasa, baru sekitar 50.000 anak autis yang mengenyam pendidikan khusus. Oleh
karena itu pemerintah menggalakkan model pendidikan inklusif, dimana sekolah
umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus,
bersama dengan siswa pada umumnya (Kompas, 2 Maret 2005).
Budhiman dkk (2002) mengungkapkan bahwa berdasarkan data bulan
September tahun 2002, sudah ada lembaga yang menangani anak autis. Lembaga
yang dimaksud telah berdiri di beberapa kota besar seperti: Jakarta Selatan (15
sekolah khusus), Jakarta Pusat (2 sekolah khusus), Jakarta Timur (5 sekolah khusus),
Jakarta Barat (7 sekolah khusus), Jakarta Utara (1 sekolah khusus), Depok (3 sekolah
khusus), Tangerang (6 sekolah khusus), Bekasi (9 sekolah khusus). Adapun sekolah-
sekolah khusus Autis, tersebar di sepuluh kota di Indonesia, dan pusat terapi luar
Jakarta seperti di Serang, Banten (1 pusat terapi), Jawa Barat (7 pusat terapi), D.I
Yogyakarta (1 pusat terapi), Jawa Tengah (8 pusat terapi), Jawa Timur (60 pusat
2
terapi), Sumatera (11 pusat terapi), Kalimantan (2 pusat terapi), Sulawesi (1 pusat
terapi). Lembaga-lembaga ini, ada yang bergerak di bidang terapi perilaku, ada yang
telah sampai pada pengelolaan sekolah khusus autis. Di setiap lembaga mempunyai
jumlah penyandang autisme yang tidak sama.
Menurut Yasin, Pimpinan Lembaga Bimbingan Autisme Bina Anggita
Yogyakarta (Kompas, 31 Maret 2005), di D.I. Yogyakarta, ada ratusan anak
penyandang autisme. Namun, baru sekitar 45 persen (45%) saja yang tertampung
dalam lembaga yang khusus menangani autisme. Demikian pula jumlah profesional
yang mendalami bidang autisme tidak sebanding dengan peningkatan jumlah
penyandang autisme, dan lembaga yang menanganinya. Realita ini menuntut
orangtua mampu menghadapi anak-anaknya, yang terlahir dengan gangguan
pertumbuhan kompleks. Berbagai mass media, menjelaskan bahwa autisme adalah
gangguan yang dialami oleh anak dalam hal berinteraksi, berkomunikasi dengan
orang lain, dan gangguan imajinasi. Gangguan tersebut disebut autisme. Mengenai
istilah autisme itu sendiri baru diperkenalkan sejak tahun 1934 oleh Leo Kener
(Handoyo, 2003).
Handoyo (2003) mengemukakan bahwa penyandang autisme mempunyai
karakteristik antara lain: selektif berlebihan terhadap rangsang, kurangnya motivasi
untuk menjelajahi lingkungan baru, respon stimulasi diri sehingga mengganggu
integritas sosial, ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan isyarat tubuh, jarang
memulai komunikasi, tidak meniru aksi/suara, bicara sedikit atau bahkan tak ada,
mengulangi atau membeo kata-kata/kalimat atau nyanyian, intonasi vokal yang aneh,
3
tampak tidak mengerti arti kata, tak ada hubungan dengan orang lain, tidak ada
kontak mata, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, permainan diulang-ulang,
marah/tak menghendaki perubahan-perubahan, kadang seperti tuli, panik terhadap
suara-suara tertentu, bermain-main dengan cahaya/pantulan, memainkan jari-jari di
depan mata, menarik diri ketika disentuh, sangat tidak suka terhadap
pakaian/makanan, sangat hiperaktif, berputar-putar, membentur-bentur kepala,
menggigit pergelangan, melompat-lompat, mengepak-ngepakkan tangan, dan lain-
lain.
Gangguan autisme ini dialami oleh anak karena adanya faktor penyebab yang
sangat kompleks, yaitu faktor genetika dan lingkungan sosial (Kompas 2 Maret
2005). Handoyo (2003) menjelaskan bahwa gangguan autisme disebabkan oleh
kelainan pada otak anak autis, infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan
oksigenasi, akibat polusi udara, pembentukan organ-organ pada usia kehamilan.
Budhiman, dkk (2002) menjelaskan bahwa autisme disebabkan oleh adanya
gangguan pada sistem pencernaan. Indikasi ini dapat dijelaskan dengan contoh kisah
nyata yaitu: pada tahun 1997, seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan
gangguan pencernaan yang sangat buruk. Ternyata ia kekurangan enzim sekretin.
Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar
biasa. Selain itu ditemukan pula adanya peradangan usus pada sebagian besar anak.
Dr. Andrew Wakefield ahli pencernaan gastro entereolog asal Inggris, menduga
peradangan tersebut disebabkan virus. Gangguan autisme juga disebabkan oleh
keracunan logam berat (Budhiman dkk, 2002).
4
Gangguan autisme pada anak ternyata bisa hilang dan dapat sembuh bahkan
setelah dewasa mereka mampu berfungsi layaknya orang dewasa normal, padahal
mereka hampir tidak menerima intervensi atau dukungan terarah dan khusus bagi
mereka. Indikasi ini dapat terlihat dari penelitian awal Kenner tahun 1943 bahwa
sekitar 11-12 persen (11-12%) anak menunjukkan indikasi tersebut. Temuan ini
membesarkan harapan, bahwa dengan intervensi dan edukasi khusus, jumlah
penyandang autisme yang mampu berfungsi normal di dalam masyarakat dapat terus
bertambah jumlahnya. Penelitian sebelum tahun 1980-an di AS mengungkapkan,
bahwa separuh dari mereka yang terdiagnosis autis pada masa kecilnya harus
melewatkan hidupnya di rumah sakit, sebagian kecil tetap dirawat di rumahnya
masing-maing, dan hanya sekitar lima persen (5%) yang mampu memperoleh
pekerjaan yang layak. Sebaliknya penelitian-penelitian setelah tahun 1980 di AS
membeberkan hasil yang jauh lebih optimis. Penyandang autisme yang harus
melewatkan hidupnya di rumah sakit turun sampai sekitar 5 persen (5%). Sedangkan
mereka yang memperoleh pekerjaan, naik sampai sekitar 20 persen (20%). Sisanya
yang merupakan jumlah mayoritas memperoleh perawatan di rumah masing-masing.
Indikasi ini terlihat dalam contoh sebuah kisah nyata Kolby, seorang penyandang
autisme dinyatakan sembuh setelah menjalani serangkaian terapi intensif (Majalah
Nakita “ menangani anak autis, edisi Februari 2002).
Menurut pengalaman dan studi Prof. Dr. Ivar O. Lovaas (Handoyo, 2003), ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan sembuh saat dewasa kelak.
Anak-anak penyandang autisme yang kemungkinan sembuhnya lebih besar, ternyata
5
adalah mereka yang skor IQ-nya berada dalam rentang normal. Selain itu
kemampuan komunikasi sederhana yang ditunjukkan saat berusia 5-6 tahun, juga
sangat membantu anak dalam proses perkembangan di tahap-tahap berikutnya. Anak
autis yang memiliki ketrampilan atau minat khusus yang secara sosial bisa diterima,
misalnya ketrampilan matematika dan musik, umumnya juga memiliki kesempatan
lebih besar bisa berfungsi secara lebih baik dalam lingkungannya (Majalah
Nakita”menangani anak autis”, edisi Februari 2002). Kompas, Sabtu, 16 April 2005,
mengisahkan bahwa Oscar Yura Dompas seorang penyandang autisme yang
berdomisili di Pondok Pinang, Jakarta Selatan ini bisa berhasil. Ia dapat menemukan
nilai-nilai dalam hidupnya, mengembangkan bakat yang ia miliki dan mengasah
ketrampilan yang ia miliki entah motorik, intelektual dan spiritualnya. Jadi menjadi
autis tidak berarti menjadi bukan manusia. Anak autis juga menemukan nilai-nilai
dan makna hidupnya seperti biasanya anak normal.
Mengingat semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang terkena autis maka
peranan orangtua dan keluarga serta pihak-pihak terkait sangat penting dalam
menangani anak-anaknya. Pengalaman beberapa ahli autis di Jakarta, orangtua yang
ikut melaksanakan terapi secara intensif terhadap anaknya, akan memperoleh hasil
yang memuaskan. Anak-anak menunjukkan kemajuan sangat pesat. Hal ini berarti
gangguan autis pada anak bisa sembuh apabila ditangani secara intensif dari berbagai
pihak terutama dari pihak orangtua dan dokter yang khusus menangani anak autis.
Namun dalam kenyataannya orangtua mengalami masalah. Masalah yang
umumnya dialami oleh orangtua adalah masalah pribadi dan sosial. Handojo (2003)
6
menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua anak autis selalu mempertanyakan
bagaimana kemungkinan sembuh bagi anaknya, masa depan anaknya, apakah
mungkin mereka dapat mencari sumber penghidupannya sendiri, apakah mungkin
mereka menikah. Selain itu orangtua mengalami kandala masalah-masalah
sehubungan dengan penanganan terhadap gangguan autisme pada anak dan
kurangnya dukungan dari keluarga atau orang serumah.
Marijani (2003) mengemukakan bahwa banyak kasus yang ditemukan dalam
diri orangtua anak autis. Kebanyakan orangtua mengalami gangguan kognitif,
afektif, gangguan spiritual. Realita ini kadang mempengaruhi tugas-tugas lain yang
harus dijalankan. Budhiman (2002) mengungkapkan bahwa reaksi-reaksi yang
timbul pada diri orangtua ketika mengetahui anaknya positif menyandang autis
sangat beragam, seperti menolak keadaan, pingsan, shock, menangis, sedih, kecewa,
penyangkalan dan merasa tidak percaya, perasaan bersalah dan berdosa . Reaksi
perasaan ini muncul karena mereka beranggapan bahwa hidup mereka tidak lagi
berguna. Dalam hal pekerjaan, orangtua yang tadinya sudah mapan bekerja dan telah
mempunyai ikatan dinas, mengalami konflik dalam hal pengambilan keputusan,
apakah memilih berhenti bekerja atau meneruskannya. Safaria (2005) meneguhkan
bahwa reaksi perasaan orangtua anak autis sangat dipengaruhi oleh pandangan-
pandangan orangtua. Pandangan-pandangan orangtua sangat mempengaruhi
bagaimana mereka bertindak, bereaksi dan mengambil keputusan-keputusan penting
dalam hidupnya.
7
Sudaryati dalam seminar sehari tentang pemahaman dan penerimaan
orangtua terhadap penyandang autis, Juni 2005, menjelaskan bahwa penyandang
autis dan orangtuanya sering kali mengalami masalah penerimaan dan pemahaman
sosial baik dari pihak masyarakat umum, guru, sekolah/pusat terapi dan pemerintah.
Kompas, 16 April 2005 memaparkan bahwa pihak sosial kurang memahami
peranannya/sumbangannya bagi anak penyandang autis dan orangtuanya. Hambatan
lain yang dialami oleh orangtua yang anaknya autis adalah biaya terapi yang tinggi,
sulit ditemukan terapis yang profesional, antara orangtua dan dokter kurang
komunikasi, orangtua kurang selektif memasukan anaknya ke sekolah reguler, dan
orangtua sulit mengajarkan anak-anaknya untuk dapat menerima dirinya (Handoyo,
2003).
Winkel dan Sri Hastuti (2004), mengungkapkan bahwa keluarga dari waktu
ke waktu dihadapkan pada berbagai permasalahan yang berat yang harus di
pecahkan secara tuntas. Pembinaan kehidupan berkeluarga yang holistik dalam
situasi krisis multidimensi perlu diarahkan pada pengharapan akan kematangan
kepribadian mereka dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Orangtua yang
mempunyai anak autis perlu didampingi agar dapat mengatasi seluruh permasalahan
hidupnya dengan menekankan aspek psikologis dan pedagogis melalui pendekatan
kognitif, afektif, spiritual atau religius dan ketrampilan/skill. Upaya-upaya tersebut
dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Pendampingan terhadap orangtua yang
mempunyai anak autis berupa pengembangan diri seperti bagaimana cara berpikir
mempengaruhi orangtua, bagaimana mengelola emosi orangtua, bagaimana
8
menyeimbangkan keluarga dan lingkungan sosial, bagaimana spiritualitas
mencerahkan kehidupan orangtua, bagaimana memelihara kesehatan fisik,
bagaimana membimbing anak dengan gangguan autis dan bagaimana orangtua hidup
secara bermakna. Pendampingan tersebut dapat dilaksanakan oleh sekolah atau
lembaga autisme yang membimbing anak dengan gangguan autisme dalam hal ini
SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta. Bentuk-bentuk penanganan/bantuan
dapat bersumber dari masukan-masukan atau rekomendasi dari hasil penelitian
tentang masalah yang dialami oleh orangtua yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti terdorong untuk mengetahui
masalah-masalah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak
autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
Masalah-masalah manakah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang
mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui masalah-masalah yang secara frekuen dialami oleh orangtua
yang mempunyai anak autis infantil dan faktor-faktor yang menyebabkannya.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Subjek: hasil penelitian ini memotivasi subjek dalam mengembangkan
kepribadian sebagai seorang konselor yang profesional dalam menghadapi segala
situasi, mencintai semua makluk ciptaan Tuhan, anak-anak yang mengalami
keterbelakangan mental termasuk anak-anak autis, mengerti dan memahami
orang lain termasuk orangtua yang mempunyai anak autis, semakin memahami
dunia autisme dan membangun sikap hati yang peka terhadap orang yang
memiliki beban hidup, yang miskin dan menderita.
2. Bagi kongregasi: menjadi sumbangan bagi kongregasi PBHK dalam
meningkatkan pemahamannya tentang masalah-masalah yang dialami oleh
orangtua yang anaknya autis, peranan orangtua dan seluk beluk autisme, bentuk-
bentuk bimbingan dan pendampingan yang relevan, memotivasi setiap suster
untuk meningkatkan kemampuan berempati dan melakukan sesuatu yang berarti
terhadap orang-orang yang memiliki beban hidup, menyikapi tanda-tanda jaman
yang nyata dalam peristiwa/kejadian di luar tembok biara sebagai wujud dari
penghayatan spiritualitas tarekat.
3. Bagi orangtua anak autis: hasil penelitian ini menjadi sumbangan untuk
mengatasi hambatan dari dalam diri dan dari luar dirinya.
4. Bagi SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta: hasil penelitian ini menjadi
pendorong bagi mereka untuk terus menerus mengembangkan bakat/ketrampilan,
memperluas wawasannya dalam menghadapi orangtua dan anak yang
bermasalah, mengetahui faktor penyebab masalah dan sekaligus sebagai sarana
10
untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan orangtua dan anak yang perlu mendapat
perhatian khusus.
E. Definisi Operasional
1. Autisme adalah suatu paham/aliran tentang individu yang tertarik pada dunianya
sendiri. Ketertarikan pada dirinya sendiri berupa kecenderungan pikiran-pikiran
dan persepsi seseorang terhadap obyek yang tidak nyata karena objek tersebut
berada di alam fantasi dan khayalan individu tersebut.
2. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.
3. Autis infantil adalah suatu gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi
pada kanak-kanak, yang ditandai oleh sifat suka menyendiri secara total
(menyeluruh dan dini sifatnya).
4. Tingkat frekuensi adalah tingkat keseringan dengan gradasi mulai dari sangat
sering, sering, kadang-kadang dan tidak mengalami.
5. SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta merupakan institusi pendidikan bagi
anak-anak autis yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapai melalui
proses pengajaran dan pendampingan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Terdapat pokok-pokok yang perlu diuraikan sebagai dasar berpijak pembicaraan
objek penelitian. Pokok-pokok tersebut adalah autisme dan gangguan perkembangan
anak autis, penanganan dan permasalahan orangtua yang mempunyai anak autis infantil.
A. Gangguan Perkembangan Anak Autis
1. Pengertian autisme
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autisme baru
diperkenalkan pada tahun 1934 oleh Leo Kenner ( Handojo, 2003). Lukas Adi
Prasetyo dalam karangannya berjudul ”Penyandang Autisme perlu Penerimaan
Masyarakat”, menjelaskan bahwa autisme ialah anak yang mengalami gangguan
berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola
bermain dan emosi (Kompas, 31 Maret 2005). Keadaan ini menyebabkan
penyandang autis seakan hidup di dunianya sendiri (Handojo, 2003). Menurut
Danuatmaja (2003), autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat
kerusakan saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Autistik adalah
suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi,
interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.
Selain pengertian di atas, World Health Organization (WHO, 1987) dan
Diagnostical Statistic Manual (DSM) yang dikembangkan oleh American
12
Psychiatric association (APA, 1994) mendefinisikan bahwa penyandang autisme
adalah mereka yang mengalami gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial,
komunikasi, pola minat perilaku (Peters, 2004). Kartono dan Gulo (2000)
menjelaskan bahwa autisme adalah kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi-
persepsi seseorang yang dipengaruhi oleh hasrat dan keinginannya dalam fantasi
dan khayalan-khayalan, dimana kenyataan obyektif tidak terlihat karena adanya
kecenderungan melihat dunia secara subjektif.
Gangguan perkembangan tersebut juga ditandai oleh sifat suka
menyendiri secara total (baik dalam tahap usia anak atau menunjukkan kekanak-
kanakan dan dini sifatnya) yang merupakan suatu dunia batin yang terkurung dan
menolak segala macam usaha pendekatan yang disebut dengan autis infantil
(Kartono & Gulo, 2000).
2. Karakteristik Autistik
Handojo (2003) menjelaskan bahwa penyandang autisme mempunyai
karakteristik antara lain:
a. Selektif yang berlebihan terhadap rangsang.
b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru.
c. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial.
d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement) khususnya imbalan dari
stimulasi diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan
terhadap perilaku stimulasi dirinya, baik berupa gerakan maupun berupa
suara. Hal ini menyebabkan ia selalu mengulang perilakunya secara khas.
13
e. Bahasa/komunikasi: ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan
bahasa/isyarat tubuh, jarang memulai berkomunikasi, tidak meniru aksi atau
suara, bicara sedikit atau tak ada, atau mungkin cukup verbal, mengulangi
atau membeo kata-kata, kalimat-kalimat atau nyanyian, intonasi/ritme vokal
yang aneh, tampak tidak mengerti arti kata, menggunakan kata secara
terbatas dan harafiah.
f. Hubungan dengan orang lain kurang responsif, tak ada senyum sosial, kontak
mata terbatas, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan
permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat.
g. Hubungan dengan lingkungan: bermain repetitif (diulang-ulang), marah atau
tidak mengehendaki perubahan-perubahan, berkembangnya ritunitas yang
kaku dan memperlihatkan ketertarikan yang fleksibel.
h. Sangat hiperaktif, membentur kepala, menggigit pergelangan, melompat-
lompat atau mengepak-ngepakkan tangan, tahan atau merespon aneh
terhadap nyeri.
i. Mengalami kesenjangan perilaku: kemampuan mungkin sangat baik atau
terlambat, mempelajari ketrampilan di luar urutan normal, misalnya:
membaca tetapi tidak mengerti arti, menggambar secara rinci, tidak dapat
mengancing baju, pintar mengerjakan puzzle, amat sukar mengikuti perintah,
berjalan pada usia normal tetapi tidak berkomunikasi secara lancar, membeo
dan sulit berbicara dari diri sendiri (kurangnya inisiatif dalam
berkomunikasi).
14
Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa gangguan autisme memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: penderita senang menyendiri dan bersikap lebih
dingin sejak kecil/bayi, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, tidak
menyukai stimulasi pendengaran, senang melakukan stimulasi diri, memukul
mukul kepala, atau gerakan aneh lainya, memanipulasi objek, sulit
menangkap atau memahami makna, sangat tertarik dan mengembangkan
ikatan yang sangat kuat dengan objek-objek yang lazim.
Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang komunikasi,
interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi (www.
Dikdasmen. Depdiknat.go.id) Hal ini sangat terlihat pada karakteristik
sebagai berikut:
a. Komunikasi
1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
2) Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tetapi
kemudian sirna.
3) Kata-kata yang digunakan kadang-kadang tidak sesuai artinya.
4) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang dengan bahasa yang tak
dapat dimengerti orang lain.
5) Senang meniru atau membeo (echolalia).
6) Bila senang meniru, dapat menghafal kata-kata atau nyanyian tersebut
tanpa mengerti artinya.
15
7) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
b. Interaksi sosial
1) Penyandang autis lebih suka menyendiri.
2) Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan.
3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
4) Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh.
c. Gangguan sensoris
1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
2) Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
3) Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
d. Pola bermain
1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
2) Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
3) Tidak kreatif dan tidak imajinatif.
4) Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu
rodanya diputar-putar.
5) Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda
sepeda.
6) Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus
dan dibawa ke mana-mana.
16
e. Perilaku
1) Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).
2) Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar mendekatkan mata
ke pesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang
diulang-ulang.
3) Tidak suka pada perubahan.
4) Dapat duduk bengong dengan tatapan kosong.
f. Emosi
1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa dan menangis
tanpa alasan.
2) Temperamen tantrum (mengamuk tanpa terkendali) jika dilarang atau
tidak diberikan keinginannya.
3) Kadang suka menyerang dan merusak.
4) Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri.
5) Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
Puspita (2005) menjelaskan bahwa anak autis memiliki karakteristik
dalam memproses informasi.
a. Visual thinking
Anak lebih mudah memahami hal konkret (dapat dilihat dan
dipegang) dari pada hal abstrak. Biasanya ingatan atas berbagai konsep
tersimpan dalam bentuk video atau file gambar. Proses berpikir yang
17
menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat dari pada proses
berpikir verbal; akibatnya mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa
memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya
berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi dari pada berpikir
secara logis menggunakan logika.
b. Processing problem
Anak autis mengalami kesulitan memproses data. Mereka cenderung
terbatas dalam memahami common sense atau menggunakan akal
sehat/nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkai
intruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan
sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak
konsisten dengan kecenderungan autis yang lebih mudah berpikir secara
visual.
c. Sensory sensitivities
Perkembangan yang kurang optimal pada sistem neurobiologis
individu autis juga mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga
terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak autis:
1) sound sensitivity: anak sangat takut pada suara keras/bising. Ketakutan
yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau
terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola
kepekaan akan suara keras/bising ini tidak sama, dan frekuensi setiap
individu juga berbeda-beda.
18
2) Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau
sebaliknya terhadap sentuhan keras. Masalah kepekaan yang berlebihan
ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah
makanan dan pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu
dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat diartikan sebagai
hukuman yang menyakitkan.
3) Rhytm difficulties: anak sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam
bentuk lagu, bicara, jeda dan saat untuk masuk percakapan. Hal itu
menyebabkan banyak individu autis terus-menerus berbicara, atau
menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang sering kali
dianggap oleh lingkungan sebagai anak yang tidak sopan.
d. Communications frustration
Gangguan perkembangan bahasa yang terjadi pada individu autis
membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa
mengerti orang lain, apabila orang lain berbicara langsung kepada mereka.
Hal ini menyebabkan mereka seolah tidak mendengar bila orang lain
bercakap-cakap. Mereka merasa percakapan itu tidak ditujukan kepada
mereka. Individu autis juga sulit mengungkapkan diri, sehingga selalu
berteriak atau berperilaku negatif agar mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
19
e. Social and emotional issues
Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan
sesuatu yang membuat individu autis cenderung berpikir kaku. Akibatnya,
individu autis sulit beradaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di
lingkungan sehari-hari. Pada umumnya individu autis tidak pernah
membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda-beda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat
abstrak sehingga banyak yang sulit berempati bila tidak dilatih melalui
pengalaman dan pengarahan. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan
tersebut menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu
autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun, sehingga
penanganan juga tidak bisa disamakan. Paham individual differences sangat
ditekankan sehingga orangtua atau pembimbing tidak memberikan
penanganan seragam bagi sekelompok anak.
3. Faktor-faktor Penyebab Autisme
a. Gangguan susunan saraf pusat
Handoyo (2003) menjelaskan bahwa otak anak autis mempunyai
suatu kelainan. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan
neuro-anatomis. Penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak
negara, menemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada
lobus patietalis, cerebellum dan sistem limbiknya. Empat puluh tiga persen
20
(43%) penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus patietalis
otaknya yang menyebabkan anak acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada
lobus ke VI dan ke VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris,
daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) juga
didapatkan sel purkinje di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi
gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine. Akibatnya terjadi
gangguan atau kekacauan lalu-lalang impuls di otaknya.
Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang
disebut hippocampus dan amigdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi
kontrol terhadap agresi dan emosi, anak kurang dapat mengendalikan
emosinya, seringkali berperilaku agresif atau sangat pasif. Amigdala juga
bertanggungjawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan takut. Hippocampus bertanggung
jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat, maka terjadilah kesulitan
menyimpan informasi baru, perilaku yang diulang-ulang, dan aneh.
Hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.
Danuatmaja (2004) menjelaskan bahwa pada bagian otak anak autis
ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada
beberapa tempat di dalam otak anak autis. Banyak anak autis mengalami
pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-VII. Seharusnya di lobus VI-
VII banyak terdapat sel purkinje, namun, pada anak autis jumlah sel purkinje
21
(kecemerlangan warna-warna) sangat kurang. Akibat produksi serotonin
(suatu neurotransmitter yang terdapat dalam sistem saraf sentral) berkurang
menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu,
ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi
anak autis sering terganggu.
b. Gangguan sistem pencernaan
Hal ini terlihat dari seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan
gangguan pencernaan yang sangat buruk. Setelah mendapat suntikan
sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini
memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme
pencernaan (www.dikdasmen.depdiknat.go.id)
c. Peradangan dinding usus
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada
sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya
peradangan usus pada sebagian besar anak. Dr. Andrew Wakefield ahli
pencernaan (gastro enterolog-yang berkenaan dengan lambung dan usus-
usus) asal Inggris menduga peradangan tersebut disebabkan virus campak
(Danuatmaja, 2003).
d. Keracunan logam berat
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah
ditemukan kandungan logam berat yang beracun pada banyak anak autis.
Diduga kemampuan sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik.
22
Penelitian selanjutnya menemukan bahwa logam berat seperti arsenik (As),
antimony (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun
otak yang sangat kuat.
Sallie Bernard (Danuatmaja, 2003) ibu dari anak autis, menunjukkan
penelitiannya pada tahun 2002 bahwa gejala yang diperlihatkan anak-anak
autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan
membaiknya gejala autis setelah anak-anak melakukan terapi kelasi (merkuri
dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka).
e. Gangguan Nutrisi pada Anak Autis
Handoyo (2003) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan anak mengalami gangguan autis adalah gangguan nutrisi
dalam diri anak. Pengaturan pola makan yang baik pun terbukti dapat
membantu mengurangi gejala autisme.
Anak autisme sebaiknya menghindari mengkonsumsi jenis-jenis
protein yang tidak bisa diserap dengan sempurna yang memungkinkan
terjadinya peptida seperti kasein yang terdapat di dalam susu hewan dan
glutein yang terdapat pada makanan seperti terigu, oat, barley, cereal serta
hasil olahannya.
Berikut ini digambarkan golongan makanan yang diperbolehkan dan
yang dihindarkan.
23
No
Golongan Makanan
Makanan yang diperbolehkan
Makanan yang dihindarkan
1
Sumber karbohidrat
Beras, beras ketan, singkong, ubi, tepung beras, tapioca, sagu, dan hasil olahannya: bihun, soun, dll
Makanan yang mengandung glutein, gandum, oat/havermaut, barley, terigu dan semua hasil olahannya: roti, kue, mie, spagethi, macaroni, pizza, biscuit.
2
Sumber protein
hewan
Daging: sapi, babi, kambing, burung, ayam,
hati, ikan, kepiting, cumi, telur, udang, hati
Makanan sumber casein: susu dan hasil olahannya: keju, yoghurt,
cream, daging, ikan yang diawetkan dan diolah seperti: sosis, cornet, daging asap, ikan asap, sarden
3
Sumber protein nabati
Tahu, tempe, kacang hijau, kacang kedelai, kacang merah, kacang tanah, kacang kapri
Kecap, tauco
4
Sumber lemak
Minyak goreng, minyak zaitun, minyak jagung, minyak kacang, santan kelapa
Mentega, cream
5
Sayuran
Semua sayur segar, wortel, labu kuning,
tomat, brokoli, kangkung, bayam, labu siam, sawi, timun
Saos: tomat, cabai, tomat, sayuran yang diawetkan dan diasinkan
6
Buah-buahan
Semua buah segar: anggur, apel, pisang, jeruk, jambu, mangga, semangka, melon
Buah yang diawetkan: buah dalam kaleng
7
Minuman
Teh, sari buah murni tanpa pengawet, susu kedelai
Minuman botol ringan, sari buah dengan pengawet
8
Lain-lain
Bumbu dapur; salam, laos, sereh, kunyit, jahe, kencur, bawang, lada, ketumbar, agar
Makanan yang diawetkan dengan bahan pengawet: permen, permen coklat, lada, bubuk sering dicampur terigu, ragi pengembang roti
24
4. Perkembangan Dini Pada Anak Autis
a. Bahasa dan Komunikasi
Usia Dalam Bulan
Karakteristik
6
Tangisan sulit dipahami
8
Ocehan yang terbatas atau tidak normal (misalnya menjerit atau berciut) Tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh, ekspresi
12
Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi seringkali tidak bermakna Sering menangis keras-keras; tetap sulit untuk dipahami
24
Biasanya kurang dari 15 kata Kata-kata muncul kemudian hilang Bahasa tubuh tidak berkembang; sedikit menunjuk pada benda
36
Kombinasi kata-kata jarang Mungkin ada kalimaat-kalimat yang bersifaat echo, tapi tidak ada penggunaan bahasa yang kreatif Ritme, tekanan atau penekanan suara yang aneh Artikulasi yang sangat rendah separuh dari anak-anak normal Separuhnya atau lebih tanpa ucapan-ucapan yang bemakna Menarik tangan orangtua dan membawanya ke suatu obyek Pergi ke tempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendapatkan sesuatu
48
Sebagian kecil bisa mengkombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif Echolalia masih ada; mungkin digunakan secara komunikatif Meniru iklan TV Membuat permintaan
b. Interaksi Sosial
Usia Dalam Bulan
Interaksi Sosial
6
Kurang aktif dan menuntut daripada bayi normal Sebagian kecil cepat marah Sedikit sekali kontak mata Tidak ada respon antisipasi secara sosial
8
Sulit reda ketika marah Sekitar sepertiga diantaranya sangat menarik diri dan mungkin secara aktif menolak interaksi Sekitar sepertiga diantaranya menerima perhatian tapi sangat sedikit memulai
interaksi
25
12
Sosiabilitas seringkali menurun ketika anak mulai belajar berjalan, merangkak Tidak ada kesulitan pemisahan
24
Biasanya membedakan orangtua dari orang lain, tapi sangat sedikit afeksi yang diekspresikan Mungkin memeluk dan mencium sebagai gerakan tubuh yang otomatis ketika diminta Tidak acuh terhadap orang dewasa selain orangtua Mungkin mengembangkan ketakutan yang besar Lebih suka menyendiri
36
Tidak bisa menerima anak-anak yang lain Sensitivitas yang berlebihan Tidak bisa memahami makna hukuman
48
Tidak dapat memahami aturan dalam permainan dengan teman sebaya
60
Lebih berorientasi pada orang dewasa daripada teman sebaya Sering menjadi lebih bisa bergaul, tapi interaksi tetap aneh dan satu sisi/sepihak.
c. Imajinasi Anak Normal Dan Anak-anak Penyandang Autisme
Usia Dalam Bulan2
Perkembangan Normal
Perkembangan Dengan Gejala Autisme
6
Perilakunya tidak berbeda terhadap sebuah benda pada saat yang sama
8
Perilaku dibedakan berdasarkan karakteristik benda. Menggunakan dua buah benda dalam kombinasi (tidak tepat digunakan secara sosial)
Pengulangan gerakan motorik mungkin mendominasi kegiatan sadar
12
Perilaku terhadap benda sesuai secara sosial (kegunaan benda). Dua benda atau lebih dihubungkan secara tepat.
Agak penasaran/eksplorasi terhadap lingkungan. Penggunaan mainan yang tidak biasa seperti memutar, menjentik, dan membariskan benda.
18
Sering berperilaku simbolik (pura-pura minum, berbicara di telepon, dan lain-ain)
24
Sering menerapkan permainan pura-pura dengan boneka, mainan binatang (misalnya memberi makan boneka).
26
Perilaku pura-pura tidak terbatas pada kegiatan sehari-hari (misalnya pura-pura menyetrika). Rangkaian perilaku pura-pura berkembang (memberi makan boneka, menimang dan membaringkannya di tempat tidur). Berpura-pura main tembak-tembakan dengan benda yang ada.
36
Permainan simbolik yang sudah direncanakan lebih dulu memberitahukan maksudnya dan mencari benda yang dibutuhkan untuk itu. Mencari benda pengganti
(misalnya menggunakan kotak sebagai pengganti mobil). Benda diperlakukan sebagai alat yang dapat melakukan kegiatan bebas (misalnya: boneka dibuat agar dapat mengangkat gelas sendiri.
Terus-menerus menjilati benda. Tidak ada permainan simbolik. Terus menerus melakukan gerak repetitif seperti mematung, memutar, berjingkat, dan lain-lain.
Kekaguman visual terhadap benda, manatap cahaya lampu dan lain-lain. Menunjukan banyak kekuatan yang berhubungan dalam manipulasi visual/motorik, misalnya puzzle.
48
Permainan sosiodramatis-pura-pura bermain dengan dua anak lain atau lebih. Menggunakan pantomim untuk mewakili benda yang diperlukan (misalnya pura pura menuangkan air karena tidak ada teko). Kehidupan nyata dan khayal dapat membantu peranan untuk waktu yang lama.
Penggunaan fungsional terhadap benda-benda. Beberapa aksi langsung terhadap boneka atau orang lain: kebanyakan melibatkan anak-anak sebagai perantara. Permainan simbolik, jika ada, terbatas dan sederhana serta di ulang-ulang. Selama permainan, ketrampilan yang lebih sulit berkembang, tetap membutuhkan banyak waktu dibanding yang kegiatan lebih mudah. Beberapa diantaranya tidak mengkombinasikan alat permainan dalam bermain.
60
Bahasa berperan penting dalam menciptakan tema, menegosiasikan peran dan bermain drama.
Tidak dapat berpantomim. Tidak bermain sosiodrama.
Dari Watson, L., dan Marcus, L., Diagnosa dan penilaian terhadap anak-anak prasekolah. Dalam Schopler, E., dan Mesibov, G. (eds) Diagnosis and assessment in autism. London, Plenum Press, 1988 (dalam Peeters, 2004).
27
B. Bentuk-bentuk Penanganan
Handoyo (2003) mengemukakan beberapa penanganan yang perlu dilakukan
pada penyandang autisme, berupa penanganan dalam bentuk terapi seperti terapi
perilaku (terapi wicara, terapi okupasi dan menghilangkan perilaku asosial), terapi
biomedik, (obat, vitamin, mineral, food supplements), terapi jarum suntik, terapi
snoezelen, terapi remedial, terapi sensory integrasi, terapi musik, terapi bermain,
terapi medikatonik. Terapi-terapi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode
penanganan seperti metode ABA / Lovaas, metode Kaufman, metode Son Rise dan
metode Discrete Trial Training (DTT). Selain itu penanganan lain dapat dilakukan
dalam bentuk program inklusi yaitu memasukkan anak dan sosialisasi ke sekolah
regular dan sekolah (pendidikan) khusus.
1. Bentuk-bentuk Terapi
a. Terapi Perilaku
Berbagai jenis perilaku telah dikembangkan untuk mendidik anak-anak
dengan kebutuhan khusus, termasuk penyandang autisme, mengurangi perilaku
yang tidak lazim dan menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima
dalam masyarakat. Bukan saja gurunya yang harus menerapkan terapi perilaku
pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di rumah harus bersikap sama
dan konsisten dalam menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus ini.
Terapi perilaku terdiri dari terapi wicara, terapi okupasi, dan menghilangkan
perilaku yang asosial.
28
1) Terapi Okupasi
Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisme, juga
mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya
kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada
anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu
menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan otot jari tangannya,
seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano
dan sebagainya.
Para terapi okupasi juga seringkali memakai Sensory Integration
(SI) untuk menerapi kelainan sensoris pada anak anak autis. Namun dari
banyak penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa SI saja tidak dapat
meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan kemunduran
perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi perilaku-
perilaku aneh dari anak.
2) Terapi wicara
Bagi anak dengan speech delay, maka terapi wicara merupakan
pilihan utama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, materi speech therapy
sebaiknya dilaksanakan dengan metoda ABA. Bagi penyandang autisme
yang mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech
therapy juga suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metoda
Applied Behavior Analysis (ABA). Metode ABA dikenal juga dengan metode
29
Lovaas karena metode ini digunakan oleh Prof. DR. Ivar Lovaas dari
Universitas Los Angeles Amerika Serikat.
Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan
pada anak lain. Terapis harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup
mendalam tentang gejala dan gangguan bicara yang khas bagi penyandang
autisme. Mereka juga harus memahami langkah-langkah metoda Lovaas
sebagai kunci masuk bagi materi yang akan diajarkan.
Banyak speech therapist yang mencoba menterapi anak, terutama yang
autisme, tanpa metoda ABA. Mereka seringkali mengalami kegagalan dan
frustrasi. Jadi sekalipun mencoba terapi wicara pada anak autisma, penting
sekali menggabungkannya dengan metoda Lovaas, agar hasilnya terlihat
nyata.
3) Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar
Menghilangkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh umum, perlu
dimulai dari kepatuhan dan kontak mata. Kemudian diberikan pengenalan
konsep atau kognitif melalui bahasa reseptif dan ekspresif. Setelah itu
barulah anak dapat diajarkan hal-hal yang bersangkutan dengan tatakrama,
dan sebagainya. Agar perilaku asosial itu dapat ditekan, maka penting sekali
diperhatikan bahwa anak jangan dibiarkan sendirian, tetapi harus selalu
ditemani secara interaktif. Seluruh waktu pada saat anak bangun, perlu diisi
dengan kegiatan interaktif, baik yang bersangkutan dengan akademik, bina
30
diri, keterampilan motorik, sosialisasi, dan sebagainya. Selain itu anak perlu
diberikan imbalan yang efektif.
b. Terapi Biomedik (Obat, mineral, food supplements)
Terapi biomedik adalah terapi yang bertujuan untuk memperbaiki
metabolisme tubuh anak, membersihkan tubuh anak dari bahan-bahan yang
mengganggu metabolisme dan kerja sistem saraf. Terapi ini bisa melalui
makanan dan minuman atau obat-obatan tetapi sifatnya sangat individual dan
perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter
spesialis yang memahami dan mempelajari autisme. Baik obat maupun vitamin
hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun
vitamin dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki. Vitamin banyak
dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu perlu selektif sebelum membeli dan
memberikannya kepada penyandang autisme.
Jenis obat, food supplement dan vitamin yang sering dipakai saat ini
untuk anak autis adalah risperidone (risperdal), Ritalin, haloperidol, pyridoksin
(vit. B6), DMG (vit. B15), TMG, magnesium, omega 3, omega 6, dan
sebagainya. Obat efek samping perlu diberikan apabila obat-obat tersebut
membawa efek samping yang menonjol. Sebaiknya tiap obat dan vitamin
diberikan kepada penyandang autisme dengan tujuan efek yang sudah diketahui.
Jangan sekali-kali memberikan obat/vitamin secara ikut-ikutan karena anak lain
mendapat manfaat yang baik, oleh karena dosis maupun khasiat obat terhadap
31
anak autisme sangat individual. Efek sampingnya perlu secara cermat diamati,
sehingga diperoleh manfaat yang optimal.
Terapi Biomedis dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap gencatan senjata, tahap
problem dan mencari persamaan, tahap membangun kembali secara
aktif/rekontruksi dan tahap intervensi tambahan.
c. Terapi Medikatonis
Terapi medikatonis adalah terapi yang dilaksanakan dengan memberikan
obat-obatan yang dapat membantu perkembangan anak. Pemberian obat-obatan
pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, indikasi yang kuat,
pemakaian obat yang seperlunya, pemantauan yang ketat gejala efek samping,
penyesuaian dosis obat berdasarkan kebutuhan dan penggunaan obat yang tepat
(Danuatmaja, 2003).
d. Terapi Bermain
Danuatmaja (2003) menjelaskan bahwa terapi bermain merupakan usaha
penyembuhan untuk mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial.
Maksud dari mengobati dan menyembuhkan fisik adalah mengembangkan
kekuatan motorik, otot, meningkatkan ketahanan organ tubuh (jantung, paru-
paru), mencegah dan memperbaiki sikap tubuh kurang baik (otot-otot, organ
tubuh dan motorik). Maksud dari mengobati atau menyembuhkan aspek rohani
adalah melepaskan anak dari hal-hal yang merugikan, menimbulkan perasaan
lega, bebas, berarti, menimbulkan dan mengembalikan rasa percaya diri,
mengartikan peraturan, menentukan siasat, mengembangkan rasa rela, menunggu
32
giliran dan jujur. Ruang lingkup terapi bermain anak autis dirumuskan
berdasarkan karakteristik anak, tujuan, maupun sasarannya. Secara umum ruang
lingkup terapi bermain terdiri dari ruang lingkup bermain yang berkaitan dengan
latihan sensorik motor dan bermain untuk mengembangkan imajinasi, kreasi,
ekspresi, memupuk kekuatan obat, melatih memecahkan masalah dan
menimbulkan rasa percaya diri. Pelaksanaan terapi bermain perlu memperhatikan
keadaan anak, terapis atau pembimbing, tempat, alat dan bahan bermain,
pendekatan, suasana dan waktu bermain serta evaluasi. Adapun ragam latihan
terapi bermain yaitu sensorik motor yang meliputi: berjalan pada tali, menendang
bola, melempar bola, membuat menara dari balok, mendorong bola, membentuk,
menempel, merangkai benda-benda, latihan pendengaran dan memasukkan
balok-balok ke kotak. Ragam pengembangan otot, latihan berpikir,
pengembangan kreasi dan ekspresi meliputi: permainan mendaki, naik dan turun
tangga, memasang dan membongkar puzzle sederhana, melukis dengan jari dan
pengembangan komunikasi dan sosialisasi.
e. Terapi Sensori Integrasi
Terapi sensori integrasi merupakan terapi yang dilakukan untuk
membantu proses biologis pada otak untuk mengolah serta menggunakan
berbagai informasi secara baik dan sesuai. Anak autis sering mengalami masalah
dengan daya sensoriknya karena alat-alat indra, serabut saraf mengalami
gangguan sehingga penyampaian informasi ke otak tidak sempurna.
33
f. Terapi Snoezelen
Terapi snoezelen merupakan aktivitas yang dirancang untuk
mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) melalui pemberian rangsangan yang
cukup pada sistem sensori primer anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba,
perasa lidah, pembau dan sistem sensoris internal. Snozelen mengarahkan anak
untuk rileks dan mengeksplorasi serta mengekspresikan dirinya di dalam
atmosfer yang terbuka pada faktor kepercayaan dan kesenangan (Danuatmaja,
2003). Adapun stimuli yang dipakai yaitu stimuli penglihatan, pendengaran dan
penciuman.
g. Terapi Musik.
Menurut Ewalt (dalam danuatmaja, 2003) menjelaskan bahwa terapi
musik efektif dalam kegiatan komunikasi dengan anak yang sangat pendiam,
penyendiri dan terbelakang yang merupakan karakteristik anak autis. Tujuan
terapi musik bagi anak autis tidak terlepas dari tujuan terapinya secara
keseluruhan yaitu mengembangkan kemampuan emosi, dan mengembangkan
kemampuan sosialisasi. Pada umumnya ruang lingkup terapi musik tidak terlepas
dari ruang lingkup pendidikan musik yaitu 1) menggerakkan tubuh sesuai musik,
bunyi atau suara, 2) mendengarkan musik atau suara, 3) menggunakan alat-alat
instrumen, baik alat yang dibuat sendiri maupun instrumen musik modern,
membunyikan alat-alat bersama-sama, menyanyi dan bergerak atau bermain
sesuai musik atau nyanyian. Pelaksanaan terapi musik perlu memperhatikan
kondisi anak, bahasa yang digunakan, tenaga terapis, tempat dan alat terapi,
34
strategi pendekatan dan penilaian. Sedangkan ragam latihan terapi musik terdiri
dari latihan motorik halus, latihan motorik kasar, kemampuan persepsi, latihan
konsentrasi, latihan menyanyi lagu anak-anak, latihan menggunakan alat musik
sederhana, melakukan gerak dan latihan improvisasi.
h. Terapi Remedial
Terapi yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar, karena anak
mengalami gangguan menyimpan, memproses atau memproduksi informasi.
Kondisi ini menyebabkan anak mengalami keterlambatan dalam proses
belajarnya dan membutuhkan terapi remedial.
Terapi remedial diberikan bagi anak yang mengalami kesulitan belajar
atau specific learning disability sehingga terapis harus memberikan remediasi
atau pengulangan kembali konsep-konsep atau materi yang diberikan sekolah
mulai dari awal secara satu guru satu murid (one-one).
i. Terapi Suntik Jarum Super
Terapi yang dirintis secara sederhana dan praktis yang merupakan terapi
dengan perpaduan fitur pengetahuan pengobatan barat dengan timur yang
diformulakan ke dalam bentuk dan sistem pengobatan oriental. Terapi ini dapat
mengatasi sintom tantrum, hiperaktif, stimulasi diri, sampai pada tingkat masalah
verbalisasi (Wijayakusuma, 2002 ; 2004 ; 2005).
j. Terapi Kelasi
Terapi kelasi ditujukan untuk membantu tubuh anak mengeluarkan racun
dan ampas buangan proses kimiawi tubuh. Dalam tubuh seseorang terdapat tiga
35
titik yang berhubungan dengan meridian Yin dan Yang tubuh yaitu baihui di
kepala, huiyin di antara anus dan kemaluan dan yongquan di telapak kaki. Titik
Yongquan yang terdapat di telapak kaki merupakan meridian Yin, kaki ginjal
yang bersinergi dengan organ ginjal. Secara fisiologis ginjal merupakan organ
tempat pencucian darah yang melakukan penyaringan antara darah dengan ampas
kimiawi, racun dan zat-zat berbahaya lainnya. Pemberian terapi kelasi bagi anak
autisme membuat racun dan sisa kimiawi yang ada dikaki terserap ke luar tubuh
begitu pula dengan racun yang ada di ginjal sehingga tubuh anak akan bersih dari
racun sehingga mendukung efektivitas perbaikan tubuh (Wijayakusuma, 2002;
2004;2005).
k. Terapi Air / Water Therapy
Terapi ini mensinergiskan saraf simpatis dan saraf parasimpatis yang
berpusat pada otak tepatnya di bagian thalamus dan hipotalamus. Otak mengatur
semua organ vital dalam tubuh seperti proses pencernaan, sirkulasi darah,
metabolisme, detoksifikasi (Wijayakusuma, 2002; 2004;2005).
Berbagai terapi di atas dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti
metode Lovaas, metode Kaufman, Son-Rise. Metode Lovaas adalah metode
modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA).
Metode ini dapat digunakan untuk pengembangan ketrampilan anak, intervensi
untuk berbagai kelainan, intervensi untuk tingkah laku patologis (mabuk-mabukan,
pecandu narkotika) selain terhadap anak autis. Metode Lovaas menuntut kepatuhan
anak. Metode Kaufman adalah metode yang berlawanan dengan metode Lovaas.
36
Metode kaufman adalah orangtua, guru atau pendamping mengamati,
menolong, membantu dan menunjang anak mengembangkan dirinya. Kondisi ini
menunjukkan terapi apa yang dilakukan.
Metode Son-Rise merupakan suatu program yang membantu anak keluar dari
keterbatasannya dengan menunjukkan sikap mencintai dan menerima, tidak
menghakimi, memiliki sikap penuh semangat, antusias, memiliki asumsi yang
kurang mendukung / negatif thinking, berpikir dan bersikap saat ini, memberikan
penghargaan dan menciptakan kegembiraan dan kebahagiaan (Danuatmaja, 2003).
2. Bentuk Penanganan Lain
a. Program Inklusi / Sosialisasi ke sekolah reguler
Anak dengan kelainan perilaku, terutama penyandang autisme, yang telah
mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik, dicoba untuk memasuki
sekolah normal sesuai dengan umurnya.
Namun perlu diingat bahwa terapi perilakunya jangan ditinggalkan
karena sangat besar kemungkinan terjadi regresi yaitu perkembangan perilaku
anak yang mundur kembali. Sebaiknya diikutsertakan di sekolah normal tetapi
dibarengi dengan penanganan perilaku yang tetap terus dikembangkan dan
dipelihara. Perlu diingat bahwa bagi anak autisme yang masuk sekolah normal
harus dipantau terus (oleh shadower atau helper). Bila terjadi kesulitan
komunikasi, anak dapat segera dijembatani dengan instruksi yang dimengerti
anak.
37
Di lingkungan sekolah normal, anak-anak ini dapat dilatih untuk
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya. Sedangkan
materi akademiknya bila terjadi kesulitan, tetap dapat diajarkan secara one-one
(satu guru mendampingi satu anak pada saat yang sama).
b. Sekolah (Pendidikan) Khusus
Di dalam pendidikan khusus biasanya telah diramu terapi perilaku, terapi
wicara dan terapi okupasi. Bila perlu dapat ditambah dengan terapi obat-obatan,
vitamin dan nutrisi yang memadai serta terapi lainnya. Ramuan tersebut
merupakan kelompok-kelompok materi dan aktivitas yang diberikan dengan
metoda Lovaas. Pendidikan anak dengan kebutuhan khusus tidak dapat
disamakan dengan pendidikan normal. Kalau di pendidikan normal seorang guru
dapat menangani beberapa anak sekaligus, maka untuk anak dengan kebutuhan
khusus, biasanya seorang terapis hanya mampu menangani seorang anak pada
saat yang sama (one-one). Bagi autis pemula, perlu ditangani oleh 2 terapis
sekaligus (yang seorang bertugas sebagai terapis dan yang lain sebagai co-
terapist yang tugasnya membantu terapis).
Semua jenis penanganan perilaku ini hanya efektif apabila gejala autisme
tidak disertai penyulit lain, seperti keracunan logam berat, pemakaian zat aditif
yang berlebihan, sulit mencernakan protein susu anak, dan adanya Sensory
Interpretation Errors ataupun adanya handicaped lain seperti retardasi mental
dan lain-lain. Apabila memang dijumpai penyulit-penyulit tersebut di atas, maka
dengan sendirinya tiap penyulit harus ditangani sampai tuntas. Dengan demikian
38
maka terapi perilaku yang ditangani dengan baik akan memberikan hasil yang
optimal.
C. Permasalahan Orangtua yang mempunyai Anak Autis.
Orangtua merupakan bagian dari keluarga inti. Mereka tinggal bersama dan
di dalamnya terjadi proses menjadi ayah, dan ibu, membesarkan anak, perawatan
fisik dan emosi, cinta dan afeksi, mempertahankan harga diri dan mentransfer nilai-
nilai budaya serta nilai-nilai iman dan kepercayaan. Orangtua yang mempunyai anak
autis merupakan wadah untuk berperan sebagai ayah dan ibu, berproses
mengembangkan kognisi, afeksi, spiritual atau religius dan hubungan sosialnya, baik
anaknya maupun diri mereka sendiri. Namun dalam kenyataan mereka mengalami
permasalahan baik dalam aspek sikap internal pribadi maupun aspek eksternal.
Permasalahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Aspek Internal Pribadi Orangtua
a. Aspek Kognitif
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1988), arti kognitif/kognisi
adalah proses pengenalan dan penafsiran lingkungan; kegiatan memperoleh
pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri.
Dalam hal ini berpikir merupakan aspek penting dalam suatu kognisi. Salah
satu konsep mendasar yang perlu dipahami oleh setiap individu adalah
bahwa pikiran merupakan sumber dari munculnya perasaan atau emosi.
Setiap peristiwa yang dialami tidak terlepas dari penafsiran seseorang
39
terhadap peristiwa tersebut. Burns (dalam Safaria, 2005) menjelaskan bahwa
pada dasarnya setiap peristiwa yang dialami manusia adalah netral namun
setelah diolah dalam pikiran maka akan menimbulkan berbagai macam
penafsiran. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan ekses negatif adalah
cara-cara dalam melakukan penilaian terhadap suatu peristiwa. Distorsi
kognitif terjadi secara otomatis ketika manusia berhadapan dengan suatu
permasalahan. Gambaran di atas menunjukkan bahwa proses kognitif sangat
berkaitan erat dengan persepsi.
Menurut Solso (dalam Satiadarma, 2001), persepsi adalah deteksi dan
interpretasi stimulus yang ditangkap oleh penginderaan. Jadi hal-hal yang
ditangkap melalui penginderaan kemudian ditransformasikan susunan saraf
pusat di otak, kemudian diinterpretasikan sehingga mengandung arti tertentu
bagi seseorang. Berkaitan dengan persepsi, faktor harapan sangat
berpengaruh dalam proses interpretasi. Setiap orangtua mengharapkan
anaknya berkembang secara baik. Orangtua akan merasa kagum ketika
menyaksikan proses perkembangan anaknya. Namun adakalanya, harapan
dalam bentuk set (suatu bentuk ide yang telah dipersiapkan terlebih dahulu
sebelum munculnya stimulus) demikian besar pengaruhnya sehingga
pandangan orangtuapun mengalami bias.
Marijani dkk (2003) menjelaskan bahwa orangtua yang mempunyai
anak autis seringkali mengalami kekacauan dalam berpikir. Ketika anaknya
divonis/didiagnosa autis, bahkan selama penanganannya, kebanyakan
40
orangtua beranggapan bahwa mereka tidak mampu berbuat apa-apa; mereka
tidak dapat menjaga anak secara baik; mereka menganggap nasibnya sial dan
tidak berguna; mereka menyalahkan diri, khususnya istri; menganggap
dirinya tidak bisa melahirkan anak yang normal; tidak bisa membahagiakan
suami; begitupun sebaliknya, ayah menganggap sebagai penyebab anak autis,
ayah tidak bisa memberikan keturunan. Orangtua menganggap Tuhan
menghukumnya karena telah memberikan anak autis (Puspita, 2004).
Orangtua yang mempunyai anak autis seringkali dikacaukan oleh
pikiran-pikiran negatif tentang masa depan anaknya, apakah mereka dapat
mencari sumber penghidupan sendiri, apakah mungkin mereka menikah
(Handoyo, 2004). Pikiran ini menyebabkan banyak orangtua yang tetap sulit
menerima kenyataan atau menolak, salah satu faktor misalnya karena
besarnya harapan terhadap diri si anak. Kalau tahap penolakannya
berlangsung pendek, tak begitu menimbulkan masalah. Namun kalau
penolakan terjadi terus menerus, otomatis intervensi terhadap anaknya pun
jadi tak benar. Orangtua baik suami maupun istri sering memiliki perbedaan
persepsi tentang autisme, pengetahuan orangtua tentang autisme kurang,
orangtua kurang mamahami penderitaan atau kebutuhan penyandang
autisme, orangtua kerap kali bingung dalam mengatasi anak, antar suami atau
istri saling menyalakan, orangtua bingung dalam memilih
dokter/sekolah/terapi dan pendidikan terapis autis sangat mahal, kurang
mengetahui cara-cara penanggulangan. Perbedaan pandangan antara bapak
41
dan ibu (orangtua) yang anaknya autis menimbulkan kandala lain dalam
dirinya, yaitu ketidakpedulian serta kekacauan orangtua kepada anaknya
membuat mereka kurang memperhatikan secara cermat perkembangan dan
perubahan yang terjadi pada anak, ketidakdisiplinan orangtua dalam
mengetatkan diet anak, berlebihan dalam mencurahkan kasih sayang,
kurangnya ketekunan yang mengakibatkan memutuskan masa terapi yang
harus dijalankan oleh anak secara gegabah, kurangnya kesabaran dari
orangtua, kurangnya keyakinan akan sembuh yang mempengaruhi semangat
juang mereka, terbatasnya dana penanganan bagi anaknya, buruknya
stimulasi lingkungan, kecerobohan dan sikap kurang cermat dari orangtua,
kurang sehatnya gaya hidup orangtua (Safaria, 2004).
b. Aspek Afektif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), arti kata afeksi adalah
kasih sayang; perasaan-perasaan dan emosi. Perasaan adalah reaksi internal
terhadap aneka pengalaman, yang disertai perubahan-perubahan fisiologis
tertentu seperti denyut jantung yang meningkat, meneteskan air mata karena
haru bahagia atau sedih. Reaksi-reaksi internal ini kadang membawa dampak
negatif dan sulit dikendalikan oleh setiap orang (Safaria, 2005). Kesulitan ini
disebabkan oleh kurangnya kemampuan untuk mengelola perasaan secara
baik. Goleman (dalam Safaria, 2004), menjelaskan bahwa kemampuan
mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan
menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Individu yang mampu
42
mengelola emosi-emosi negatif akan membuat individu tidak terbawa dan
terpengaruh berpikir irasional.
Orangtua yang mempunyai anak autis sering mengalami emosi-emosi
negatif. Handojo (2003) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua anak autis
selalu mempertanyakan bagaimana kemungkinan sembuh bagi anaknya.
Mereka seringkali sangat mencemaskan masa depan anaknya.
Marijani (2003) dan Puspita (2004) mengemukakan bahwa banyak kasus
yang ditemukan dalam diri orangtua anak autis, seperti: perasaan galau ketika
anaknya dinyatakan oleh dokter menderita autisme, kurang menerima alias
adanya penolakkan terhadap anaknya, orangtua merasa sedih, putus asa,
merasa lelah dan tak berdaya, bingung bila anaknya sedang marah dan
mengamuk, bingung mengambil langkah-langkah yang pasti karena kurang
memiliki wawasan yang luas bagaimana seharusnya berperan atau
menanganinya.
Budhiman dkk (2002) mengungkapkan bahwa reaksi-reaksi yang
timbul pada diri orangtua ketika mengetahui anaknya positif penyandang
autis sangat beragam. Ada yang kaget, shock dan pingsan, kurang menerima,
merasa sedih, pesimis terhadap masa depan anaknya, kecewa, sulit menerima
kenyataan. Permasalahan seputar orangtua yang mempunyai anak autis dapat
terlihat pada gejala sebagai berikut: shock, merasa kecewa dan tak percaya.
Orangtua mengalami suatu proses panjang untuk menerimanya. Orangtua
tidak jarang mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Kurangnya kesiapan
43
emosional ini menyebabkan anak kurang ditangani dengan baik dan
menimbulkan frustrasi dan tidak lagi mengembangkan dirinya seoptimal
mungkin. Orangtua juga kehilangan semangat hidup ketika mereka terpaksa
kehabisan dana atau materi lainnya. Selain itu orangtua pada umumnya
malu mempunyai anak autis, bingung dalam mengatasi anak, bingung dalam
memilih sekolah/terapi (Sudaryati, 2005).
Di dalam suatu wawancara peneliti dengan M. Yasin Pimpinan
Sekolah Luar Biasa Autisme Yogyakarta, masalah yang dialami oleh
orangtua yang mempunyai anak autis adalah orangtua merasa cemas,
takut/khawatir akan perkembangan dan kehidupan anaknya di masa yang
akan datang.
c. Aspek Spiritual atau Religius
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi (1988), arti kata spiritual
adalah kejiwaan; rohani; batin; mental dan moral. Jadi aspek spiritual dari
orangtua yang mempunyai anak autis adalah aspek kejiwaan, kerohanian,
batiniah, mental dan moral dari orangtua itu sendiri.
Clinebell (dalam Safaria, 2004) menjelaskan bahwa setiap manusia
memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhinya. Kebutuhan dasar
spiritual ini jika dipenuhi akan memunculkan perasaan aman, damai dan
tentram serta membebaskan manusia dari perasaan cemas, takut, sedih, dan
marah. Begitu pula yang terjadi pada orangtua yang mempunyai anak autis
membutuhkan pemenuhan akan kebutuhan dasar spiritual tersebut. Seperti
44
telah dijelaskan sebelumnya, orangtua yang mempunyai anak autis
mendapatkan suatu beban yang berat bagi mereka. Mereka perlu memiliki
kemampuan untuk mengatasi konfliknya. Salah satu sumber kemampuan
spiritual adalah religiositas. Glock dan Stark (dalam Safaria, 2004)
menjelaskan ada lima dimensi atau aspek dari religiositas.
1) Dimensi Ideologis (religious belief)
Dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap
kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental.
Orangtua yang mempunyai anak autis perlu memahami kembali ajaran-
ajaran agama yang diyakini, memperdalamnya, dan menguatkan kembali
imannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.
2) Dimensi Ritualistik (religious practice)
Dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan agamanya.
Kepatuhan ini dapat ditunjukkan dengan konsistensi seseorang dalam
melaksanakan ibadah, doa dan pengembangan rohani. Orangtua yang
mempunyai anak autis perlu memiliki komitmen yang besar untuk
melaksanakan kewajibannya.
3) Dimensi Eksperiensial (religious feeling atau experiential dimention)
Dimensi yang menunjukkan seberapa jauh tingkat kepekaan seseorang
dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau pengalaman-
pengalaman religiusnya, misalnya seberapa besar seseorang merasakan
45
kedekatan dengan orang lain, kedamaian, keyakinan akan doanya
terkabul, atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan
4) Dimensi intelektual (religious knowledge)
Dimensi yang menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman
seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama yang termuat dalam
kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya apakah individu
memahami bagaimana melakukan ibadat, sholat atau kebaktian rohani
lainnya.
5) Dimensi Konsekuensial (religious effect)
Dimensi yang menunjukkan tingkatan seseorang dalam berperilaku yang
dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh seseorang mampu
menerapkan ajaran agamanya dalam berperilaku sehari-hari. Misalnya
menahan diri untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agamanya.
Aspek spiritual sangat berpengaruh pada pemecahan suatu masalah
hidup. Safaria dan Puspita (2005) menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi
orangtua yang mempunyai anak autis adalah mereka merasa bahwa dirinya
berdosa. Hal ini ditunjukkan dengan menghukum diri, menyesali dan bahkan
berhenti dari aktivitas kereligiusan serta aktivitas lainnya. Mereka
menganggap Tuhan tidak adil. Selain itu mereka semakin berontak dan
semakin marah kepada Tuhan karena bertubi-tubi cobaan yang dialami.
Suasana batin mereka menjadi kacau dan kurangnya kehendak untuk
beramal.
46
2. Aspek Eksternal
a. Lingkungan keluarga
Safaria (2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menentukan
orangtua berhasil dan sukses menghadapi tantangan memiliki anak dengan
gangguan autisme adalah hubungan harmonis dengan pasangannya, antara
ayah dan ibu, antara anak dan keluarga lain. Hubungan yang harmonis dapat
ditunjukkan dalam bentuk membina kebersamaan, menjadi positif dan
produktif, menghargai tanpa syarat, bersedia meminta maaf dan memaafkan,
menciptakan sebuah komitmen, memberi teladan yang baik terhadap anak-
anak, menjelaskan autisme terhadap saudara kandung, memberitahukan
keadaan/kondisi anak dengan gangguan autis kepada orangtua dan sanak
keluarga/kerabat lainnya, melatih dan mengembangkan respon-respon positif
terhadap komentar yang kurang tepat dan mengembangkan kecerdasan sosial.
Harapan-harapan tersebut kadang tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh
orangtua yang mempunyai anak autis. Hal ini disebabkan oleh berbagai
hambatan yang akan dijelaskan berikut ini.
Menurut Handoyo (2003), hambatan yang dialami orangtua yang
mempunyai anak autis, misalnya kurangnya dukungan dari keluarga atau
orang serumah. Beberapa permasalahan seputar orangtua yang memiliki anak
dengan gangguan autis yaitu suami dan istri berbeda pemahaman tentang
autisme dan penanganannya dan salah satu dari pasangan tersebut belum bisa
menerima kondisi anak dengan gangguan autisme. Padahal dalam menangani
47
anak autis perlu dukungan dari kedua pasangan, selain dukungan emosional
dari pihak keluarga yang paling dekat.
Hambatan-hambatan tersebut sangat berdampak negatif bagi orangtua
yang memiliki anak dengan gangguan autisme. Mereka semakin yakin bahwa
kehadiran anak dengan gangguan autisme tidak memberikan kebahagiaan
bagi orang sekitar; orangtua mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial, merasa sungkan untuk berada di lingkungan baru.
Selain relasi antara pasangan (suami dan istri), adapun faktor lain
dalam lingkungan keluarga adalah peranan saudara sekandung dan orang
serumah. Sering terjadi bahwa saudara sekandung memiliki pilkiran negatif
terhadap anak dengan gangguan autisme. Hal ini mengakibatkan perilaku
tidak wajar terhadap anak dengan gangguan autisme. Perlakuan seperti ini
secara langsung atau tidak langsung menambah beban mental orangtua
(http://puterakembara.org/Leny.htm).
Menurut peneliti, lingkungan keluarga yang kondusif sangat
mendukung anak autis untuk berkembang menjadi lebih baik. Namun
sebaliknya saudara sekandung, dan anggota keluarga lainnya termasuk kakek
atau nenek penyandang autisme dapat menjadi penyebab orangtua
bermasalah karena pandangan-pandangan yang keliru terhadap gangguan
autisme dan perilaku-perilaku yang tidak mendukung.
48
b. Lingkungan Sekolah dan Lembaga Terkait
Handojo (2003) menjelaskan bahwa banyak kandala yang dihadapi di
luar diri orangtua berkaitan dengan kodisi anak dengan gangguan autisme
dan upaya penyembuhan. Kandala yang dimaksud adalah biaya terapi yang
tinggi. Dengan kondisi biaya yang tinggi, lambat laun orangtua memilih
jenis terapi yang murah tetapi tidak mempercepat penyembuhan anak dan
mencari terapis di sekolah yang biayanya murah tetapi sulit
dipertanggungjawabkan. Selain itu pengadaan terapis yang professional
masih sulit. Hal ini disebabkan belum adanya akademi terapi perilaku anak
berkebutuhan khusus.
Di sisi lain penerimaan sosial terhadap anak dengan gangguan
autisme masih sedikit. Hal ini menambah beban mental orangtua yang
memiliki anak dengan gangguan autisme (Kompas, 31 Maret 2005).
Selain itu orangtua dan dokter kurang komunikasi dan orangtua kurang
selektif memasukkan anaknya ke sekolah reguler, sulit bekerjasama dengan
lembaga atau sekolah atau pusat terapi anak autisme, orangtua mengalami
hambatan dalam hal ikatan kerja/dinas begitu pun sebaliknya. Hambatan ini
terlihat dari kebingungan mereka dalam mengambil keputusan, apakah
melanjutkan bekerja atau berhenti bekerja sementara mereka dihadapkan
pada berbagai peraturan yang baku, keluarga yang tinggal serumah
dengannya mengalami kesulitan dalam penyesuaian waktu untuk menangani
anaknya (Marijani, 2003), kurangnya penerimaan sosial dari anggota
49
keluarga dan masyarakat yang disebabkan oleh mereka adanya konsep bahwa
gangguan autisme pada anak tidak akan bisa sembuh, kurang memahami
peranannya/sumbangannya bagi anak dengan gangguan autisme (Kompas, 16
April 2005).
Vrugteveen dan Hanafi (2005) menjelaskan bahwa orangtua perlu
memiliki kemampuan sosial yang tinggi. Orangtua yang mempunyai anak
autis perlu melatih dan mengolah diri serta memiliki ketrampilan berelasi
dengan orang lain. Hal ini akan mendukungnya dalam menangani anaknya
secara khusus perkembangan dan masa depan anaknya. Kemampuan ini
memungkinkan bagi orangtua menjalin kerjasama yang handal untuk
memanusiakan anaknya yang mengalami gangguan autisme. Dengan
demikian seluruh permasalahan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai
anak autis dapat teratasi dengan baik.
Safaria (2004) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua yang
mempunyai anak autis mengalami kesulitan dalam berelasi sosial, yaitu
kurang memahami bagaimana cara menciptakan dan menjalin hubungan
sosial yang efektif, mengisolasi diri dari pergaulan sosial karena kenyataan
bahwa mereka mempunyai anak autis.
Berdasarkan wawancara dengan M. Yasin, pimpinan Sekolah Luar
Biasa Autisme Yoyakarta, dan beberapa orangtua yang mempunyai anak
autis, dikatakan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis kurang
menerima perlakuan dari orang lain baginya dan akhirnya mendiamkan dan
50
menghindar dari konflik, misalnya mereka tidak lagi bekerja sama sebagai
suatu tim dalam kegiatan-kegiatan tertentu di mana mereka hidup, selalu
mengkritik pendapat orang lain dan layanan yang diberikan bagi anaknya di
sekolah atau lembaga autisme demi kepuasan sendiri. Selain itu antara
orangtua tidak saling memotivasi, tidak memiliki sikap empati dan kurang
bisa mendengarkan sesama orangtua dan para pendamping atau terapis.
3. Dampak Permasalahan Orangtua pada Aspek Psikomotorik/Perilaku.
Pandangan seseorang sangat melandasi bagaimana orang bersikap atau
berperilaku. Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seseorang, baik
kecil maupun besar, yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan (oleh indra perasa
di kulit, dan bukan yang dirasakan di hati) oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi
perilaku meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi baik berupa
gerakan yang beraturan atau tidak beraturan, tertuju ataupun tidak tertuju,
sengaja ataupun tidak sengaja, berguna ataupun tidak berguna. Semua perilaku
individu pasti didahului oleh suatu penyebab atau antecedent, baik eksternal
maupun internal. Penyebab eksternal dapat diperoleh dari individu lain ataupun
lingkungan sekitarnya. Penyebab internal dapat berasal dari sikap atau attitude
dan emosi yang didasari oleh watak dan kepribadian seseorang. Setiap perilaku
juga akan memberikan suatu akibat atau consequence, baik yang menyenangkan
maupun yang tidak menyenangkan, baik bagi individu itu sendiri, orang lain atau
lingkungannya (Handojo, 2003)
51
Satiadarma (2001) menjelaskan bahwa bila seseorang mempersepsikan
atau memiliki pandangan bahwa seseorang itu baik, maka ia akan bersikap baik
kepada orang tersebut. Bila seseorang memiliki sikap baik kepada orang tersebut,
maka perilakunyapun akan baik pula.
Aspek-aspek permasalahan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai
anak autis seperti yang digambarkan sebelumnya mempengaruhi bagaimana
orangtua bersikap atau berperilaku. Orangtua membiarkan pikirannya diliputi
oleh gangguan perkembangan anaknya. Kekacauan berpikir ini menimbulkan
reaksi-reaksi perasaan/emosi negatif dalam diri orangtua. Safaria (2005)
menjelaskan bahwa gejolak emosi yang dialami oleh orangtua yang mempunyai
anak autis dapat berpengaruh negatif pada fungsi kognitif, afeksi dan spiritualnya
dan berdampak negatif pada perilaku orangtua anak autis termasuk fisik dan
psikisnya, seperti gejala depresi, kecemasan, somatis dan stres. Gejala-gejala ini
diakibatkan tekanan psikis dan ketidakmampuan mengimbangkan perasaan,
kehidupan spiritualnya serta mengontrol sikap dan perilakunya selama proses
membimbing dan mendidik anaknya yang mengalami gangguan autisme dan
ketidakmampuan orangtua dalam menjalin relasi sosial. Ketidakseimbangan
tersebut berdampak pada perilaku yang dapat terlihat dalam berbagai gejala
sebagai berikut:
1. Depresi
Safaria (2004) menjelaskan bahwa realita gangguan autisme pada anak
menyebabkan orangtua yang mempunyai anak autis mengalami depresi.
52
Gejala-gejala yang menjadi karakteristik dari depresi ini adalah terdapat
mood depresif seperti sedih, murung, kehilangan semangat, jatuh dalam
kesedihan, dan rasa rendah diri, hilang minat, menarik diri dari pergaulan
sosial, tidak mampu menanggapi pujian dengan perasaan senang, merasa
gelisah, memikirkan secara berulang-ulang tentang kematian atau bunuh diri,
bersikap pesimistis terhadap masa depan, menyesali peristiwa masa lampau
bahkan rasa senang berlebih-lebihan dalam seluruh aktivitas yang biasanya
dilakukan dalam waktu senggang (Marijani & Wijayakusuma, 2003 ; 2004).
2. Kecemasan
Orangtua yang mempunyai anak autis mengalami ketegangan-
ketegangan mental (Puspita, 2004). Kebanyakan orangtua merasa tidak aman
yang ditandai dengan perubahan-perubahan fisik seperti gemetar, keluar
keringat dingin, jantung berdebar-debar. Secara psikologis perasaan cemas
ini akan menimbulkan gejala panik, tegang, bingung, tidak bisa konsentrasi,
risau bila memikirkan anaknya, sulit tidur karena memikirkan perilaku
anaknya dan penerimaan sosial, merasa mengalami kesulitan hidup yang
tidak dapat diselesaikan dan ketakutan tanpa sebab yang jelas Gejala tersebut
muncul ketika melihat anaknya yang mengalami penyimpangan perilaku
yang tidak menentu, selama penanganan dan ketika memikirkan masa depan
anaknya (Wijayakusuma & Sarasvati & Safaria, 2004 ; 2005).
53
3. Gejala Somatisasi
Marijani dkk (2003) menjelaskan bahwa orangtua yang
mempunyai anak autis sering mengalami gangguan somatis seperti badan
terasa lemas dan tak berdaya ketika anaknya dikatakan oleh dokter bahwa
positif penyandang autisme. Selain itu orangtua memiliki nafsu makan
berkurang, pusing-pusing tanpa sebab yang jelas, badan sering lemas,
keringat dingin, sering berpikir jangan-jangan terserang penyakit, tangan
dan kaki sering pegal, sulit tidur, denyut jantungnya mengencang (Puspita
& Sarasvati, 2004).
4. Stres
Safaria (2005) menjelaskan bahwa gejala-gejala yang dialami oleh
orangtua yang mempunyai anak autis, yang tergolong dalam gejala stress
adalah orangtua mengalami beberapa gejala sebagai berikut:
a. Gejala fisiologis, berupa keluhan sakit kepala, sembelit, diare, sakit
pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, kelelahan,
sakit perut, maag, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan
semangat.
b. Gejala emosional berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah
marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih, depresi.
c. Gejala kognitif berupa keluhan seperti susah berkonsentrasi, sulit
membuat keputusan, mudah lupa, melamun secara berlebihan, dan
pikiran kacau.
54
d. Gejala interpersonal berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan
sosial, apatis, minder, kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan
mudah mempersalahkan orang lain.
e. Gejala organisasional berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja,
menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja,
ketidakpuasan kerja, dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan menguraikan jenis penelitian, subjek penelitian, alat pengumpul
data, prosedur pengumpulan data dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei, yaitu
penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala saat
penelitian dilakukan (Furchan, 1982). Variabel yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah deskripsi masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang
mempunyai anak autis infantil.
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah orangtua (bapak dan ibu) yang mempunyai anak
autis infantil di Sekolah Luar Biasa Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta. Subjek
yang diambil berjumlah 32 (Tiga Puluh) orang, terdiri dari bapak dan ibu dari 16
(Enam Belas) anak. Mereka bertempat tinggal di DIY Yogyakarta. Mereka
mempunyai latarbelakang profesi yang berbeda yaitu, guru, pegawai kantor, dosen
dan wiraswasta.
56
C. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
yang disusun oleh peneliti sendiri. Kuesioner ini disusun dalam bentuk skala Likert
yang memuat pernyataan-pernyataan mengenai masalah-masalah yang dialami oleh
orangtua yang mempunyai anak autis infantil, yaitu pernyataan tentang masing-
masing aspek masalah yang dirumuskan secara favourable dan unfavourable.
Pernyataan favourable adalah pernyataan yang menggambarkan masalah-masalah
orangtua yang mempunyai anak autis infantil dan pernyataan unfavourable yang
tidak menggambarkan adanya masalah pada orangtua yang mempunyai anak autis
infantil. Skala Likert yang dipilih adalah sangat sering (SS), sering (S), kadang-
kadang (KK) dan tidak mengalami (TM).
Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan alat pengumpul data.
1. Penentuan skor
Penentuan skor dilakukan sebagai berikut:
a. Untuk pernyataan favourable: skor untuk jawaban “sangat sering” adalah 4
(empat), skor untuk jawaban “sering” adalah 3 (tiga), skor untuk jawaban
“kadang-kadang” adalah 2 (dua) dan skor untuk jawaban “tidak mengalami”
adalah 1 (satu).
b. Untuk pernyataan unfavourable: skor untuk jawaban “sangat sering” adalah 1
(satu), skor untuk jawaban “sering” adalah 2 (dua), skor untuk jawaban
“kadang-kadang” adalah 3 (tiga) dan skor untuk jawaban “tidak mengalami”
adalah 4 (empat).
57
2. Aspek-aspek masalah yang diukur
Di bawah ini diuraikan aspek-aspek masalah yang diungkap oleh alat pengumpul
data. Masing-masing aspek yang dimaksud adalah:
a. Aspek Internal
1) Aspek kognitif, yaitu yang berkenaan dengan (1) pandangan dari
orangtua terhadap autisme secara umum dan gangguan perkembangan
pada anaknya yang menyandang autis, (2) pandangan dari orangtua
terhadap masa depan anaknya, (3) pandangan dari orangtua terhadap
respon sosial dan pihak terkait yang menangani anaknya.
2) Aspek afektif, yaitu yang berkenaan dengan reaksi-reaksi perasaan yang
dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis, seperti perasaan (1)
shock,menolak atau tidak menerima (2) sedih dan dukacita, (3) takut dan
cemas, (4) marah dan jengkel, (5) malu dan bersalah, (6) iri dan benci, (7)
reaksi perasaan bingung dan putus asa.
3) Aspek spiritual atau religius, yaitu yang berkenaan dengan religiositas
dari orangtua seperti (1) dimensi ideologis atau keyakinan akan
kebenaran agamanya, (2) dimensi ritualistik atau kepatuhan dalam
menjalankan kegiatan ritual agamanya, (3) dimensi eksperiensial atau
kepekaan dalam merasakan dan mengalami pengalaman religiusnya, (4)
dimensi konsekuensial atau kemampuan menerapkan ajaran agamanya
dalam hidup sehari-hari.
58
b. Aspek eksternal
Aspek eksternal berkaitan dengan 1) Lingkungan keluarga dan 2)
Lingkungan sekolah dan Lembaga terkait. Rekapitulasi butir-butir kuesioner
yang mengungkapkan aspek-aspek masalah di atas, disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1 Kisi-kisi Uji Coba Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil
di Lembaga Bimbingan Autisme “Bina Anggita” Yogyakarta
Nomor Item
Aspek/komponen
masalah
Favourable
unfavourable
Jumlah
Internal Kognitif:
- Pandangan terhadap gangguan perkembangan penyandang autisme
- Pandangan terhadap masa depan penyandang autisme
- Pandangan terhadap respon sosial dan pihak terkait yang menangani anak autis
5, 7, 8, 27, 19, 51, 54, 55, 56
46, 47
35, 41, 43, 49, 72, 79, 81, 83
16, 18, 22, 26, 31, 38, 53, 58, 88
12, 50
34, 36, 60, 68, 74, 78, 86
37
Afektif: - Reaksi perasaan
kecewa dan menolak - Reaksi perasaan sedih
dan dukacita - Reaksi perasaan takut
dan Cemas - Reaksi perasaan marah
dan jengkel - Reaksi perasaan malu
dan bersalah - Reaksi perasaan iri
dan benci - Reaksi perasaan
bingung dan putus asa
1, 80, 90
21, 39, 85
3, 82
76, 88
33, 59, 70, 77
9, 67
11, 63
2, 20, 32
40, 84, 92
71
4, 75
6, 15, 87, 89
10, 62
14, 66
36
59
Spiritual atau Religius - Keyakinan orangtua
yang mempunyai anak autis infantil akan kebenaran agamanya
- Kepatuhan orangtua yang mempunyai anak autis infantil menjalankan ritual agamanya
- Kepekaan mengalami pengalaman religius orangtua yang mempunyai anak autis infantil
- Penerapan ajaran agama orangtua yang mempunyai anak autis infantil
42, 64
23, 45
69
46
12, 36
25, 61
57, 91
65
13
Eksternal Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sekolah dan Lembaga Terkait:
- Lingkungan keluarga - Lingkungan Sekolah
dan Lembaga terkait
44, 73
28, 52
29, 48
30
7
TOTAL
92
3. Uji coba Instrumen Penelitian
a. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang berarti tingkat sejauh mana
ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Suatu instrumen pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila
alat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikan hasil
ukur sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar,
60
1992). Untuk menentukan validitas kuesioner ini, peneliti menggunakan
validitas isi (content validity). Jadi seberapa jauh peneliti melihat kuesioner
dapat mengukur tingkat penguasaan terhadap isi materi tertentu yang
seharusnya dikuasai. Untuk menjamin validitas kuesioner, peneliti
mengkonsultasikan kuesioner ini kepada dosen pembimbing I dan II dan
pimpinan lembaga yang akan digunakan untuk uji coba dan penelitian.
b. Seleksi Item
Langkah pertama dalam prosedur seleksi atau pemilihan subjek
berdasarkan evaluasi kualitatif untuk melihat kesesuaian dengan komponen
yang hendak diukur, apakah item yang ditulis sesuai dengan atau
mengandung tumpang tindih yang tinggi. Selanjutnya dilakukan prosedur
seleksi item berdasarkan data empiris yaitu data hasil uji coba item pada
orangtua yang mempunyai anak autis yang karakteristiknya setara dengan
subjek untuk penelitian. Daya beda item adalah sejauh mana item tersebut
mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki
dan tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 1999). Jadi dalam penelitian
ini, item yang berdaya beda tinggi adalah item-item yang mampu
membedakan mana subjek yang memiliki masalah dan mana subjek yang
tidak memiliki masalah.
Pengujian daya beda item dilakukan dengan komputasi koefisien
korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala itu sendiri.
Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi item total ( r i x ) yang
61
dikenal dengan daya beda item. Kriteria pemilihan ini berdasarkan batasan
r i x ≥ 0,30. r i x yang kurang dari 0,30 diinterpretasikan memiliki daya
diskriminasi rendah sedangkan item yang mencapai minimal 0,30 daya
bedanya memuaskan (Azwar, 1999).
Rekapitulasi hasil penghitungan validitas uji coba alat ukur disajikan
dalam tabel 3. Sedangkan hasil penghitungan analisis kesahihan butir dapat
dilihat pada lampiran 3, halaman 108.
Tabel 3
Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas
Aspek Masalah
Jumlah Butir
Valid
Non valid
Kognitif
37
19
18
Afektif
35
20
15
Internal
Spiritual atau Religius
13
11
2
Lingkungan Keluarga
4
4
-
Eksternal
Lingkungan Sekolah dan Lembaga-Lembaga terkait
3
2
1
Jumlah
92
56
36
Secara riil digunakan dalam penelitian adalah item yang koefisien
korealsinya ≥ 0.30. Jumlah item yang koefisien korelasinya ≥ 0.30 ada 56
item. Komposisi kuesioner penelitian disajikan pada tabel 4.
62
Tabel 4
Komposisi Kuesioner Masalah Orangtua yang mempunyai anak Autis Infantil Di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri
Yogyakarta
Aspek Bidang Masalah
Jumlah
Item
Nomor-nomor Item
pada Kuesioner
- Pandangan terhadap
gangguan perkembangan penyandang autisme
- Pandangan terhadap masa depan penyandang autisme
- Pandangan terhadap respon sosial dan pihak terkait yang menangani anak autis
10
3
6
1, 3, 5, 7, 9, 11, 14, 20,
34, 40
16, 51, 53
21, 24, 28, 37, 43, 49
Internal Kognitif
Afektif - Reaksi perasaan kecewa
dan menolak - Reaksi perasaan sedih dan
dukacita - Reaksi perasaan takut dan
Cemas - Reaksi perasaan marah
dan jengkel - Reaksi perasaan malu dan
bersalah - Reaksi perasaan iri dan
benci - Reaksi perasaan bingung
dan putus asa
3
3
2
2
3
1
3
2, 4, 13
25, 35, 55
6, 56
33, 36
38, 41, 45
50
15, 52, 54
63
Spiritual atau
Religius
- Keyakinan orangtua yang
mempunyai anak autis akan kebenaran agamanya
- Kepatuhan orangtua yang mempunyai anak autis menjalankan ritual agamanya
- Kepekaan mengalami pengalaman religius orangtua yang mempunyai anak autis
- Penerapan ajaran agama orangtua yang mempunyai anak autis
3
4
2
2
8, 39, 44
10, 18, 23, 30
26, 42
46, 47
Eksternal
- Lingkungan Keluarga
- Lingkungan Sekolah dan Lembaga Terkait
4
2
12, 22, 27, 32
19, 48
Jumlah
56
56
c. Reliabilitas Instrumen
Azwar (1999) mengatakan bahwa reliabilitas adalah hasil suatu
pengukuran yang dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya apabila
dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek
yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam
diri subjek memang belum berubah. Dalam hal ini perbedaan-perbedaan kecil
diantara hasil beberapa pengukuran. Bila perbedaan yang ada sangat besar,
maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan tidak reliabel.
Untuk mencapai reliabilitas dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
analisis reliabilitas koefisien alpha. Proses penghitungan taraf reliabilitas
( r tt = α ) dilakukan dengan memberi skor pada tiap-tiap item dan
64
mentabulasi data uji coba, menghitung deviasi standar dari skor masing-
masing item dan deviasi standar dari skor keseluruhan item. Rumus yang
dipakai sebagai berikut:
r tt = (1−M
M ) ( 1- y
xδδ∑ )
Keterangan rumus:
r tt : Koefisien reliabilitas suatu tes
M : Jumlah item
xδ∑ : Jumlah skor per item
yδ : Jumlah skor total
D. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini melalui tahap persiapan dan
pelaksanaan .
1. Tahap persiapan
Dalam tahap ini peneliti melakukan beberapa usaha sebagai berikut:
a. Peneliti meminta ijin kepada Lembaga Bimbingan Autisme untuk
mengadakan uji coba alat.
b. Peneliti menginformasikan kepada dosen pembimbing dan membuat
kuesioner penelitian yang berpedoman pada kisi-kisi yang telah dibuat oleh
peneliti sendiri dan telah dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
c. Peneliti mengadakan uji coba kuesioner, sebelum mengadakan penelitian.
Surat keterangan telah menguji coba dapat dilihat pada lampiran 1 halaman
65
106. Uji coba dilaksanakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas
kuesioner penelitian. Uji coba dilaksakan pada tanggal 21 Desember 2005,
kuesioner diisi oleh orangtua yang mempunyai anak autis tanpa pengawasan
dari peneliti karena orangtua mempunyai acara dan kesibukan yang tidak bisa
diganggu. Untuk mengatasi kesulitan kuesioner, peneliti menjelaskan kepada
pimpinan dan guru pembimbing. Kuesioner yang dibagikan berjumlah 20
eksemplar dan kembali 20 eksemplar. Semua pertanyaan dijawab oleh
responden. Dari hasil uji coba dan penelaan 92 item, peneliti menghilangkan
36 item. Maka total keseluruhan ada 56 item yang dipakai dalam penelitian.
Untuk hasil reliabilitas dari uji coba kuesioner diperoleh dengan perhitungan
menggunakan Koefisien Alpha, sebagai berikut:
- Aspek kognitif : Taraf reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.925. Atas
dasar signifikan 1 % untuk N = 20 dituntut r xy = 0.56. Koefisien
reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.925. Jadi taraf reliabilitas ternyata
signifikan pada taraf signifikansi 1 % ( r tt = 0.925 > 0.56 ) dan termasuk
sangat tinggi ( 0,91-1, 00)
- Aspek Afektif : Taraf reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.934. Atas
dasar signifikan 1 % untuk N = 20 dituntut r xy = 0.56. Koefisien
reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.934. Jadi taraf reliabilitas ternyata
66
signifikan pada taraf signifikansi 1 % ( r tt = 0.934 > 0.56 ) dan termasuk
sangat tinggi ( 0,91-1, 00)
- Aspek Religiositas: Taraf reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.879. Atas
dasar signifikan 1 % untuk N = 20 dituntut r xy = 0.56. Koefisien
reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.879. Jadi taraf reliabilitas ternyata
signifikan pada taraf signifikansi 1 % ( r tt = 0.879 > 0.56 ) dan termasuk
tinggi ( 0,71-0,90)
- Aspek Keluarga –Lingkungan Sosial : Taraf reliabilitas yang diperoleh
r tt = 0.819. Atas dasar signifikan 1 % untuk N = 20 dituntut r xy =
0.56. Koefisien reliabilitas yang diperoleh r tt = 0.819. Jadi taraf
reliabilitas ternyata signifikan pada taraf signifikansi 1 % ( r tt = 0.819 >
0.56 ) dan termasuk tinggi ( 0,71-0, 90)
Kualifikasi untuk koefisien reliabilitas dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5
Kualifikasi untuk Koefisien Reliabilitas
Koefisien Korelasi
Kualifikasi
0, 91 – 1, 00 0, 71 – 0, 90 0, 41 – 0, 70 0, 21 – 0, 40 negatif – 0, 20
Sangat tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah
Sumber : Masidjo. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil
Belajar Siswa di Sekolah. Yogyakarta : Kanisisus. Hal. 209.
67
Hasil penghitungan uji reliabilitas instrumen dapat dilihat pada lampiran 4,
halaman 111.
2. Pelaksanaan
Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Autis
Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta, pada tanggal 2 Pebruari 2006. Surat keterangan
telah meneliti dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 107. Pelaksanaan pengisian
kuesioner dipercayakan kepada orangtua masing-masing sebagai sumber data
primer dan pengisiannya disesuaikan dengan kelonggaran waktu masing-masing.
Alasannya bahwa setiap orangtua mempunyai acara dan kesibukan sendiri
sehingga tidak bisa berkumpul secara serempak atau bersama-sama untuk mengisi
kuesioner.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam pengumpulan data
sebagai berikut:
1. Meminta ijin untuk mengadakan penelitian kepada pimpinan dan menjelaskan
maksud penelitian.
2. Menyerahkan kuesioner dan menjelaskan cara mengisi kuesioner.
3. Memberi kesempatan kepada pimpinan untuk mengecek kelengkapan berkas
kuesioner dan mendiskusikan hal-hal yang perlu dalam rangka pengisian
kuesioner.
4. Menerima hasil pengisian kuesioner dari orangtua melalui pimpinan dan para
pendamping anak.
68
Peneliti tidak membatasi waktu pengisian. Adapun lamanya pengisian
kuesioner berbeda untuk setiap subjek namun dalam rentang waktu satu bulan
kuesioner dapat terkumpul. Kuesioner diedarkan kepada 40 subjek, namun yang
kembali hanya 32 subjek. Hal ini dimengerti oleh peneliti bahwa kemungkinan
orangtua sungkan atau takut masalahnya diketahui oleh orang lain, atau karena
kesibukan lain. Selain itu menurut pimpinan, kuesioner ini termasuk yang
terbanyak item dan jumlah yang terkumpul dibandingkan dengan penelitian
lainnya. Disamping itu bisa jadi ada diantara subjek yang belum dapat menerima
keberadaan anaknya yang autis secara baik. Kuesioner penelitian dapat dilihat
pada lampiran 5 halaman 113 .
E. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan oleh peneliti dalam mengolah data penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Menghitung frekuensi jawaban subjek ke dalam setiap item.
2. Membuat tabulasi data peraspek dengan memberi skor yang diperoleh setiap
item kemudian memasukkan skor dari tiap item ke dalam tabel.
3. Mengelompokkan frekuensi masalah pada setiap komponen yang diukur dan
menghitung jumlah responden yang terekam masalah sangat sering, sering,
kadang-kadang dan tidak mengalami dan menghitung jumlah rata-rata.
4. Menganalisis frekuensi masalah sangat sering dan sering dialami oleh orangtua
yang mempunyai anak autis
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pegumpulan data, ternyata orangtua yang mempunyai anak
autis infantil mengalami masalah internal pribadi yang berkaitan dengan aspek
kognitif, afektif, spiritual atau religius dan masalah eksternal yang berkaitan dengan
lingkungan keluarga serta lingkungan sekolah dan lembaga terkait dalam rentang
frekuensi mulai dari “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” sampai “tidak
mengalami”. Tabulasi data penelitian dan pengelompokan aspek masalah hasil
penelitian dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 119.
Dalam laporan hasil penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan perhatian
pada frekuensi (sangat sering dan sering) item-item masalah yang dialami oleh
orangtua anak autis infantil.
1. Aspek Internal
a. Kognitif
Terdapat 3 komponen yang diukur dalam aspek kognitif, yaitu
(a) gangguan bicara/komunikasi, interaksi sosial, emosi dan penanganan
anak autis infantil, (b) masa depan anak autis infantil dan (c) lingkungan
keluarga dan pihak terkait yang membantu perkembangan anak autis infantil.
Komponen-komponen tersebut dipaparkan pada tabel-tabel berikut:
70
Masalah a/Tabel 6
Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Gangguan Bicara/Komunikasi, Interaksi Sosial,
Emosi dan Penanganan anaknya serta Jumlah Responden
Frekuensi
No
Masalah
Sangat Sering
Sering
Kadang Kadang
Tidak Meng- alami
1
Saya beranggapan bahwa terbatasnya kosa kata yang dimiliki anak saya bukan merupakan penyebab ketidakmampuan berbicara anak saya
-
11
18
3
2
Saya berpikir bahwa sia-sialah melatih anak saya dalam mengungkapkan perasaannya
2
9
8
13
3
Saya berpandangan bahwa anak saya semakin sulit bahkan tidak dapat mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh orang lain
3
13
10
6
4
Saya berpandangan bahwa kemampuan berbicara anak saya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih
1
13
9
9
5
Saya berpandangan bahwa anak saya tidak berkembang menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya yang normal
8
13
8
3
6
Saya berpendapat bahwa tidak ada gunanya menanggapi perilaku-perilaku emosional anak saya
2
8
14
8
Total
15
67
67
42
Jumlah Rata-Rata
2.5
11.16
11.16
7
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang
dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya beranggapan bahwa
terbatasnya kosa kata yang dimiliki anak saya bukan merupakan penyebab
71
ketidakmampuan berbicara anak saya”, tidak sangat sering dialami oleh
orangtua. Ini menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis
berpandangan bahwa terbatasnya kosa kata yang dimiliki anaknya memang
bukan merupakan penyebab ketidakmampuan berbicara anaknya. Namun
demikian terungkap 11 orangtua sering mengalaminya. Item yang berbunyi
“Saya berpikir bahwa sia-sialah melatih anak saya dalam mengungkapkan
perasaannya” sangat sering dialami 2 orang dan 9 orang lainnya sering
mengalaminya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa anak saya
semakin sulit bahkan tidak dapat mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh
orang lain”, sangat sering dialami oleh 3 orang dan sering dialami oleh 13
orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa kemampuan
berbicara anak saya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih”, sangat
sering dialami oleh 1 orang dan“sering dialami oleh 13 orang lainnya. Item
yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa anak saya tidak berkembang
menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya”, sangat sering
dialami oleh 8 orang dan sering dialami oleh 13 orang lainnya. Item yang
berbunyi “Saya berpandangan bahwa tidak ada gunanya menanggapi
perilaku-perilaku emosional anak saya”, sangat sering dialami oleh 2 orang
dan sering dialami oleh 8 orang lainnya.
Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa
pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (67).
72
Masalah b/Tabel 7:
Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Masa Depan Anaknya serta Jumlah Responden
Frekuensi
No
Masalah
Sangat Sering
Se- ring
Kadang Kadang
Tidak Meng- alami
1
Saya berpandangan bahwa anak saya telah kehilangan masa depannya
1
18
9
4
2
Saya berpikir bahwa kebahagiaan anak saya pupuslah sudah
2
9
7
10
3
Saya berpandangan bahwa lingkungan sosial mengabaikan kehidupan masa depan anak saya
3
7
13
9
Total
6
34
29
23
Jumlah Rata-Rata
7
11.3
9.6
3.8
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang
dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa anak
saya telah kehilangan masa depannya” : sangat sering dialami oleh 1 orang dan
sering dialami oleh 18 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpikir bahwa
kebahagiaan anak saya pupuslah sudah”, sangat sering dialami oleh 2 orang
dan sering dialami oleh 9 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya
berpandangan bahwa lingkungan sosial mengabaikan kehidupan masa depan
anak saya” : sangat sering dialami oleh 3 orang dan sering dialami oleh 7 orang
lainnya.
Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa
pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (34).
73
Masalah C/Tabel 8
Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Lingkungan Keluarga dan Pihak Terkait yang Membantu
Perkembangan Anaknya serta Jumlah Responden
Frekuensi
No
Masalah
Sangat Sering
Sering
Kadang Kadang
Tidak Meng- alami
1
Saya berpikir bahwa sekolah Umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan sosialisasi anak saya
2
17
8
5
2
Saya berpikir hanya dukungan keluarga sajalah yang paling menentukan baik-buruknya perkembangan anak saya
6
17
4
5
3
Saya pikir saya tidak perlu secara langsung mendampingi anak saya karena sudah ditangani terapis
2
18
3
9
Total
10
52
15
19
Jumlah Rata-Rata
3.3
17.3
5
6.3
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang
dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya berpikir bahwa sekolah
umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan sosialisasi anak saya” :
sangat sering dialami oleh 2 orang dan sering dialami oleh 17 orang lainnya.
Item yang berbunyi “Saya berpikir hanya dukungan keluarga sajalah yang
paling menentukan baik-buruknya perkembangan anak sya” , sangat sering
dialami oleh 6 orang dan sering dialami oleh 17 orang lainnya. Item yang
berbunyi “Saya berpikir saya tidak perlu secara langsung mendampingi anak
74
saya karena sudah ditangani terapis”, sangat sering dialami oleh 2 orang dan
sering dialami oleh 18 orang lainnya.
Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa
pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (52).
b. Aspek Afektif
Terdapat komponen reaksi-reaksi perasaan yang diukur dalam aspek
afektif, yang dipaparkan pada tabel berikut:
Tabel 9
Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Reaksi Perasaan terhadap Gangguan Perkembangan Anaknya
Serta Jumlah Responden
Frekuensi
No
Masalah
Sangat Sering
Se ring
Kadang Kadang
Tidak Mengalami
1
Saya bosan menginformasikan perkembangan anak saya kepada orang lain yang tinggal serumah dengan saya (reaksi perasaan jengkel dan marah)
3
8
15
9
2
Saya malu mengakui keberadaan anak saya (reaksi perasaan malu dan bersalah)
5
22
8
5
3
Saya bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anak saya (reaksi perasaan bingung dan putus asa)
7
12
3
2
4
Saya cemas terhadap masa depan anak saya (reaksi perasaan takut dan cemas)
11
18
2
1
Total
26
60
28
17
Jumlah Rata-Rata
6.5
15
7
4.2
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang
dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya bosan menginformasikan
perkembangan anak saya kepada orang lain yang tinggal serumah dengan saya”
75
sangat sering dialami oleh 3 orang dan sering dialami oleh 8 orang lainnya.
Item yang berbunyi “Saya malu mengakui keberadaan anak saya” , sangat
sering dialami oleh 5 orang dan sering dialami oleh 22 orang lainnya. Item
yang berbunyi “Saya bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anak
saya”, sangat sering dialami oleh 7 orang dan sering dialami oleh 12 orang
lainnya. Item yang berbunyi “Saya cemas terhadap masa depan anak saya”
sangat sering dialami oleh 11 orang dan sering dialami oleh 18 orang lainnya.
Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan
“sering” mendapat ranking tinggi (60).
c. Aspek Spiritual atau Religius
Terdapat masalah yang diukur dalam aspek spiritual atau religius seperti
yang tertera pada tabel berikut:
Tabel 10
Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil Aspek kehidupan Spiritual atau Religius
serta Jumlah Responden
Frekuensi
No
Masalah
Sangat Sering
Sering
Kadang Kadang
Tidak Meng alami
1
Setiap kali berdoa untuk anak saya, saya menginginkan agar Tuhan segera mengabulkan permohonan saya
9
12
10
1
2
Saya merasa sendirian menanggung beban ini
1
17
7
7
3
Saya mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anak saya
7
10
8
7
4
Saya memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang dari pada mengikuti kegiatan rohani
1
10
7
14
Total
18
49
32
29
Jumlah Rata-Rata
4.5
12.2
8
7.2
76
Tabel di atas menunjukkan freuensi setiap kategori masalah yang dialami
oleh orangtua. Item yang berbunyi “Setiap kali berdoa untuk anak saya, saya
menginginkan Tuhan segera mengabulkan permohonan saya”, sangat sering
dialami oleh 9 orang dan sering dialami oleh 12 orang lainnya. Item yang
berbunyi “Saya merasa sendirian menanggung beban ini”, sangat sering
dialami oleh 1 orang dan sering dialami oleh 17 orang lainnya. Item yang
berbunyi “Saya mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anak saya”, sangat
sering dialami oleh 7 orang dan sering dialami oleh 10 orang lainnya. Item
yang berbunyi “Saya memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang dari
pada mengikuti kegiatan rohani”, sangat sering dialami oleh 1 orang dan sering
dialami oleh 10 orang lainnya.
Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa
pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (49).
2. Aspek Eksternal
Aspek eksternal mencakup dua aspek yaitu aspek lingkungan keluarga dan
embaga-lembaga terkait.
Terdapat komponen masalah yang diukur dalam aspek lingkungan keluarga
serta lingkungan sekolah dan lembaga-lembaga terkait, seperti yang tertera pada
tabel berikut:
77
Tabel 11
Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Lingkungan Keluarga dan Sosial
serta Jumlah Responden
Frekuensi
No
Masalah
Sangat Sering
Sering
Kadang Kadang
Tidak Mengal
ami
1
Saya sulit mempercayakan orang untuk menangani anak saya meskipun mereka tinggal serumah dengan saya
4
16
7
5
2
Saya mempertahankan pendapat saya tentang penanganan anak saya walaupun pendapat saya keliru
4
20
6
2
3
Saya mengabaikan peraturan yang yang ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri
14
7
11
Total
8
50
21
18
Jumlah Rata-Rata
2.6
16.6
7
6
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang dialami
oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya sulit mempercayakan orang untuk
menangani anak saya meskipun mereka tinggal serumah”, sangat sering dialami
oleh 4 orang dan sering dialami oleh 16 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya
mempertahankan pendapat saya tentang penanganan anak saya walaupun
pendapat saya keliru”, sangat sering dialami oleh 4 orang dan sering dialami oleh
20 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya mengabaikan peraturan yang
ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri”, sering dialami oleh 14 orang.
78
Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan
“sering” mendapat ranking tinggi (50).
Berdasarkan tabel-tabel dan uraian masalah di atas, maka masalah yang frekuan
dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di Sekolah Luar Biasa Autis
Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta dapat diringkas (direkapitulasikan) per aspeknya dalam
tabel berikut:
Tabel 12
Aspek- Aspek Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil di Sekolah Luar Biasa Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta
dan Frekuensi
Frekuensi
Aspek
Sangat Sering
Sering
Kadang Kadang
Tidak Mengalam
i
Kognitif
31
153
111
84
Afektif
26
60
28
17
Spiritual/ Religius
18
49
32
29
Internal
Jumlah
85
262
171
130 LIngkungan keluarga & Lembaga
terkait
8
50
21
18
Masalah yang
dialami oleh
orangtua yang
anaknya meng alami
gangguan autisme infantil
Eks- ternal
Jumlah
8
50
21
18
Total
83
312
192
148
Tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi “sering” sangat dominan muncul
pada orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Cipta Mulia Mandiri
Yogyakarta dengan total skor 312. Sedangkan frekuensi “kadang-kadang” mencapai
ranking kedua (skor 192), “tidak mengalami” berada pada ranking ketiga (skor 148) dan
79
“sangat sering” menempati ranking keempat (skor 83). Hal ini menunjukkan bahwa
frekuensi masalah yang dialami orangtua pada setiap aspek (internal dan eksternal)
berbeda.
B. Pembahasan
1. Aspek Internal
a. Aspek kognitif.
Menurut Burn dalam Safaria (2005) setiap peristiwa yang dihadapi
manusia adalah netral namun setelah diolah dalam pikiran maka akan
menimbulkan berbagai pandangan. Pandangan bisa negatif dan bisa positif.
Faktor yang dapat menimbulkan cara pandang negatif atau positif adalah cara
seseorang dalam melakukan penilaian atau interpretasi terhadap suatu
peristiwa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak
autis infantil sering mengalami masalah dalam aspek ini.
1) Pandangan tentang gangguan perkembangan (bicara/komunikasi, interaksi
sosial/perilaku, emosi) dalam diri anak autis dan penanganan yang
membantu perkembangannya.
Data hasil penelitian, komponen ini menunjukkan bahwa orangtua
yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta
mengalami masalah dan berada pada kategori frekuensi “sering”
mengalami masalah dengan skor 67. Kelengkapan data dapat dilihat pada
masalah a/tabel 6, halaman 70.
80
Berdasarkan indikasi masalahnya, hal yang menyebabkan orangtua
bermasalah mungkin karena kurang memahami secara menyeluruh
gangguan perkembangan anak autis dalam hal bicara, komunikasi, interaksi
sosial, perilaku, emosi, imajinasi anak dan pemahaman menyeluruh
mengenai perkembangan anak-anak normal. Selain itu kemungkinan
orangtua kurang memahami sikap-sikap mana yang perlu diambil dalam
menangani anak autis dan bagaimana menghadapinya, bentuk-bentuk
penanganan seperti apa yang cocok bagi anaknya dan yang perlu diberikan
kepada anaknya, siapa dan hal-hal apa saja yang kiranya dapat membantu
proses penanganan anaknya.
2) Pandangan tentang masa depan anak autis
Data dari hasil penelitian, komponen ini menunjukkan bahwa
orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri
Yogyakarta mengalami masalah dan berada pada kategori “sering”
mengalami masalah dengan skor 34. Kelengkapan data dapat dilihat pada
masalah b/tabel 7, halaman 72.
Berdasarkan indikasi masalahnya, hal yang menyebabkan orangtua
bermasalah mungkin karena kurang memahami manajemen masa depan
anak autis, dampak positif dari penanganan intensif dan berkesinambungan
terhadap anak autis dari orangtua/keluarga dengan lembaga-lembaga terapi,
mungkin orangtua kurang memahami realita dari anak autis yang tidak bisa
menghasilkan sesuatu karena ketrampilan yang dimiliki sangat terbatas
81
sementara realita dunia saat ini sangat menantang orang untuk berjuang
mempertahankan hidup saat ini maupun masa yang akan datang, mungkin
orangtua kurang memahami keunikan dari anak dengan gangguan autisme
dalam hal merasa bahagia/gembira di masa yang akan datang, pentingnya
melatih ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki anaknya demi menunjang
kebahagiaan kelak. Handojo (2003) mengatakan bahwa banyak orangtua
dari anak dengan gangguan autisme hanya menyerahkan penanganan
anaknya pada institut, lembaga khusus autisme atau pusat-pusat terapi.
Mereka tidak mau tahu lagi dengan urusan perkembangan anaknya. Di satu
sisi orangtua terlalu mencampuri proses terapi yang tengah berlangsung
dan kurangnya kerjasama antara orangtua dengan sekolah atau lembaga
autisme.
Kisah nyata ibu Sry Sudaryati, Dosen UGM Jogyakarta, yang
terungkap melalui wawancara pribadi dengan peneliti pada tanggal 25
Agustus 2005 menggambarkan bahwa ketika anaknya didiagnosis autisme,
ia berpandangan bahwa anaknya kurang merasa bahagia/gembira karena
setiap kali ada cerita lucu ataupun suasana yang gembira dalam rumah,
anaknya kurang merespon dan bahkan sedih. Selain itu ia berpandangan
bahwa anaknya akan menderita karena anaknya tidak bisa melakukan
sesuatu ataupun menghasilkan sesuatu seperti anaknya yang normal.
Baginya gangguan yang dialami anaknya sangat berpengaruh terhadap
masa depannya. Namun setelah melewati proses penanganan yang panjang,
82
ternyata Osi anaknya ternyata memiliki kebahagiaan tersendiri dengan apa
yang ia kerjakan. Osi memiliki minat/bakat tulis menulis, menggambar,
dan memasak. Osi tidak memiliki minat pada air. Atau hal yang
berhubungan dengan air. Osi tidak pernah menggambar pelabuhan, ferry
mogok ataupun berenang. Setiap kali melakukan apa yang diminati,
terpancar dari wajahnya sedang meraih kebahagiaan dan kegembiraan.
Kadang nampak tersenyum sendiri atau bersikap tenang. Hasil karya Osi
sudah banyak mendapatkan pemasukan finansial bagi osi dan keluarganya
dan sedang dipasarkan ke berbagai daerah.
3) Pandangan tentang kondisi lingkungan keluarga dan pihak terkait yang
membantu demi perkembangan anak.
Data dari hasil penelitian, komponen ini menunjukkan bahwa
orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri
Yogyakarta mengalami masalah dan berada pada kategori “sering”
mengalami masalah dengan skor 52 Kelengkapan data dapat dilihat pada
masalah c/tabel 8, halaman 73.
Berdasarkan indikasi masalahnya, hal yang menyebabkan orangtua
bermasalah mungkin karena kurangnya keyakinan terhadap penanganan
lembaga/sekolah, kurang memahami manfaat sosialisasi ke sekolah umum
dalam hal kemampuan berkomunikasi, sosialisasi dengan teman-teman
sebayanya dan materi akademik. Selain itu kemungkinan orangtua
menganggap anaknya akan dilecehkan dan takut kalau-kalau anaknya justru
83
akan mengalami kemunduran setelah berada bersama teman-teman normal,
mungkin orangtua terpengaruh oleh pengalaman penanganan sebelumnya
dari pihak lain terhadap anaknya atau orangtua meragukan bantuan
psikolog, psikiater, ahli gizi, lingkungan sosial masyarakat, dan lembaga-
lembaga autis atas terapi yang diberikan sehingga kurang terbuka untuk
menerima hal-hal baru.
Danuatmaja (2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya latihan-
latihan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi anak dapat dilakukan di
sekolah umum karena kondisi sekolah umum sangat membantu anak
dengan gangguan autisme apalagi terhadap anak yang sudah dapat
mengendalikan perilakunya. Selain itu dikemukakan juga bahwa anak autis
yang telah diterapi dengan baik mampu berkomunikasi dengan normal serta
mempunyai wawasan akademik yang baik. Anak sebaiknya mulai
diperkenalkan untuk masuk ke dalam kelompok anak-anak normal ((www.
Dikdasmen.Depdiknat.go.id). Namun dalam kenyataan Danuatmadja
(2003) mengatakan bahwa orangtua tidak berbicara atau berkomunikasi
dengan guru di sekolah umum, tidak berdialog bersama, apakah diijinkan
seorang terapi untuk mendampingi anak dan sebagainya. Berdasarkan
kemungkinan tersebut Handoko (2003) menjelaskan bahwa orang yang
banyak mengalami kegagalan dan kekecewaan di masa lalu pada umumnya
akan menjadi orang yang kurang percaya diri dan meragukan orang lain.
84
b. Aspek Afektif
Safaria (2005) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua mengalami
berbagai reaksi perasaan marah / jengkel, sedih, malu dan merasa bersalah,
bingung, putus asa, takut dan cemas sejak mendengar diagnosis bahwa anaknya
mengalami gangguan autisme sampai dalam proses menangani anaknya.
Seorang ibu dengan anak yang menderita autisme pernah membagikan
pengalamannya sebagai berikut: bertahun-tahun aku dan keluarga hidup dalam
tekanan batin dan berbagai perasaan bercampur baur setiap waktu (Safaria:
2005). Pada umumnya orangtua yang mempunyai anak yang terdiagnosis
gangguan autisme berusaha untuk menangani namun sering muncul pertanyaan
kenapa saya dan selalu disertai dengan rasa perasaan marah, geram, kecewa,
sedih dan akhirnya pasrah atau bingung tidak tahu harus berbuat apa (Puspita,
2004).
Data dari hasil penelitian, aspek ini menunjukkan bahwa orangtua yang
mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta mengalami
masalah dan dominan berada pada kategori “sering” mengalami masalah
dengan skor 60. Kelengkapan data dapat dilihat pada tabel 9, halaman 74.
1) Reaksi perasaan marah dan jengkel
Orangtua mengalami reaksi perasaan marah dan jengkel. Hal ini
terekam dalam jawaban bahwa mereka bosan menginformasikan
perkembangan anaknya kepada terapis, jengkel terhadap masyarakat
karena menurut mereka masyarakat tidak peduli terhadap penanganan
85
anaknya. Menurut peneliti, kemarahan dan kejengkelan ini kemungkinan
disebabkan tidak tercapainya harapan dan cita-cita mereka terhadap
perkembangan anaknya juga penanganan dari para terapis, para dokter
dan pihak-pihak terkait lainnya; kurangnya pemahaman tentang
kerjasama dalam menangani anak dengan gangguan autisme antara
orangtua, dan pihak sekolah/lembaga serta tenaga-tenaga medis seperti
para dokter, ahli gizi dan tenaga psikolog/psikiater; adanya sikap
penolakkan terhadap kehadiran anak dengan gangguan autisme sehingga
berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya yaitu bosan
menginformasikan perkembangan anaknya dan mengharapkan
pertolongan dari pihak luar. Safaria (2005) menjelaskan bahwa sering
kali kemarahan orangtua berlanjut sehingga membuat perasaan menjadi
sensitif . Setiap kejadian yang kecil bisa menimbulkan kemarahan.
Kemarahan ini dapat ditunjukkan kepada pihak sekolah, lembaga, terapis,
dokter dan bahkan pihak lain seperti masyarakat sekitar melalui sikap
hidup mereka.
2) Reaksi perasaan malu dan bersalah
Orangtua mempunyai perasaan malu dan bersalah. Hal ini terekam
dalam jawaban bahwa mereka malu menghadapi keberadaan anaknya dan
malu menghadapi perilaku menyimpang anaknya di depan umum.
Menurut peneliti, faktor yang menyebabkan mereka mengalami demikian
mungkin karena kurangnya pemahaman mereka tentang autisme dan
86
gangguannya, gejala dan penyebab autisme sehingga mereka cenderung
mempersalahkan diri bahwa merekalah satu-satunya penyebab anaknya
mengalami gangguan. Selain itu kemungkinan orangtua berpandangan
bahwa orang lain akan menolak keberadaannya apabila ia mengakui
keberadaan anaknya secara terbuka dan jujur, orangtua yang mempunyai
anak dengan gangguan autisme akan dipermalukan di tempat umum atau
kemungkinan orangtua merasa orang lain lebih sukses darinya dalam hal
mendidik anak karena memiliki anak normal sedangkan dirinya tidak.
Handoko (2003), menjelaskan bahwa orang merasa malu karena ia
berbeda dengan orang lain atau yang diharapkan oleh orang lain. Dan
rasa malu biasanya dimulai dengan peristiwa yang sangat memalukan
atau karena dipermalukan oleh orang lain. Safaria (2004) menjelaskan
bahwa perasaan malu muncul ketika orangtua berhadapan dengan
lingkungan sosial, merasa minder karena memiliki anak yang mengalami
gangguan autisme. Seorang ibu menuturkan,” kadang saya merasa dan
berpikir semua orang mencemooh saya, memandang aneh anak saya,
saya jadi ragu-ragu untuk keluar rumah, menceritakan kepada orang
lain dan saya seperti menjadi orangtua yang tidak berharga, karena
tidak mampu melahirkan anak yang normal (Safaria, 2004)”.
3) Reaksi perasaan bingung dan putus asa
Orangtua mempunyai reaksi perasaan bingung dan putus asa. Hal
ini terekam dalam jawaban mereka bahwa mereka bingung melakukan
87
upaya-upaya penyembuhan bagi anaknya dan merasa tak berdaya apabila
menyaksikan anaknya yang selalu diam saja atau hiperaktif. Menurut
peneliti, hal yang menyebabkan mereka mengalami demikian mungkin
karena orangtua kurang memahami cara-cara praktis menghadapi
perilaku anaknya. Puspita (2003) menjelaskan bahwa orangtua sering
mengalami kebingungan menghadapi perilaku anak autis karena
kebanyakan orangtua tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk
menenangkan anaknya. Terkadang orangtua hanya bisa membiarkannya
sampai anaknya merasa capek dan berhenti sendiri. Kemungkinan lain
adalah orangtua menginginkan agar terjadi cepat perubahan dalam diri
anaknya setelah diterapi lebih-lebih pada anak yang selalu mengulang-
ulang perilaku tantrum atau perilaku yang sulit dikontrol.
4) Reaksi perasaan takut dan cemas
Orangtua mengalami perasaan takut dan cemas. Hal ini terekam
dalam jawaban mereka bahwa mereka cemas terhadap masa depan
anaknya. Menurut peneliti, faktor yang menyebabkan mereka mengalami
demikian mungkin terletak pada pandangan-pandangan orangtua yang
keliru tentang kehidupan anaknya di masa yang akan datang. Safaria
(2004) menjelaskan bahwa kecemasan orangtua yang mempunyai anak
autis bisa juga berbentuk kesedihan akan nasib anaknya di masa depan,
apa yang akan terjadi, bagaimana anak harus hidup kelak. Selain itu ada
kemungkinan lain ialah faktor pandangan orangtua tentang penerimaan
88
sosial terhadap anak dengan gangguan autisme. Handoko (2003)
menjelaskan bahwa perasaan cemas dan takut disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal, seperti: lingkungan yang terlalu kritis, apa saja dicela,
dikritik, dan dikomentari, lingkungan yang menerapkan standar hidup
yang tinggi, lingkungan yang kurang aman, kurang bersahabat,
lingkungan yang banyak tekanan, ancaman dan stress dan lingkungan
yang terlalu keras dan kejam serta ganas.
c. Aspek Spiritual atau Religius
Clinebell (dalam Safaria, 2005), menegaskan bahwa setiap manusia
memiliki kebutuhan dasar spiritual-religiositas yang harus dipenuhinya.
Kebutuhan dasar ini jika terpenuhi akan memunculkan perasaan aman, damai,
dan tentram, serta membebaskan manusia dari perasaan cemas, hampa dan takut.
Namun jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka muncul sikap dan perilaku yang
kurang sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku dan tuntutan penghayatan
dimensi religiositas. Begitupula yang terjadi pada orangtua yang memiliki anak
dengan gangguan autisme membutuhkan pemenuhan akan kebutuhan dasar
tersebut. Namun dalam kenyataan terkadang kurang terpenuhinya kebutuhan
dalam hal dimensi-dimensi kehidupan religiositasnya.
Data dari hasil penelitian, aspek ini menunjukkan bahwa orangtua yang
mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta mengalami
masalah dan berada pada kategori “sering” mengalami masalah dengan skor 49.
Kelengkapan data dapat dilihat pada tabel 10, halaman 75.
89
1) Keyakinan orangtua yang mempunyai anak autis akan kebenaran agamanya
Orangtua mengalami masalah berkaitan dengan dimensi ini. Hal ini
terungkap dalam jawaban bahwa mereka mengingkari pertolongan Tuhan
terhadap anaknya. Menurut peneliti, faktor yang menyebabkan mereka
mengalami demikian mungkin terletak pada konsep diri yang keliru tentang
bentuk-bentuk pertolongan Tuhan baginya dan atas cara bagaimana Tuhan
memberikan pertolongan-Nya. Mereka menilai segala sesuatu berdasarkan
keuntungan jangka pendek yang akan diperolehnya. Dengan berpandangan
demikian maka manusia sering berharap agar hal-hal yang baik akan tetap
abadi dan hal-hal yang kurang baik tak akan pernah datang (Marijani, 2003).
Kemungkinan lain ialah kurang adanya gerakan pembaharuan hidup rohani
mengenai keyakinan mereka kepada Tuhan, memperdalam dan menguatkan
iman mereka dengan berbagai latihan rohani.
2) Kepatuhan orangtua yang mempunyai anak autis dalam menjalankan ritual
agamanya.
Orangtua mengalami masalah berkaitan dengan dimensi ini. Hal ini
terekam dalam jawaban mereka bahwa kadang peribadatan mereka
terganggu karena memikirkan gangguan perkembangan anaknya. Menurut
peneliti, hal yang menyebabkan mereka mengalami demikian mungkin
karena kurang menyeimbangkan kehidupan spiritual mereka. Dalam hal ini
sikap yang konsistensi dalam melaksanakan ibadah, sembayang, puasa dan
lain-lain. Selain itu mungkin adanya keragu-raguan dan kecemasan orangtua
90
akan kehidupan anaknya dan kurang memahami cara-cara praktis dalam
meningkatkan kehidupan religiositasnya.
3) Kepekaan mengalami pengalaman religius orangtua yang mempunyai anak
autis
Orangtua mengalami masalah dalam dimensi ini. Hal ini terekam
dalam jawaban bahwa mereka merasa sendirian. Menurut peneliti, hal yang
menyebabkan mereka mengalami demikian mungkin karena kurang
menyadari bimbingan Tuhan setiap langkah hidup mereka, kurang peka
melihat kehadiran Tuhan dalam diri sesama dan segala peristiwanya, kurang
merasakan kedekatan dengan orang lain, kurang meyakini akan doanya
terkabul.
4) Penerapan ajaran agama orangtua yang mempunyai anak autis
Orangtua mengalami masalah berkaitan dengan dimensi ini. Hal ini
terekam dalam jawaban bahwa orangtua terus memilih bekerja untuk
mendapatkan uang dari pada mengikuti kegiatan rohani. Menurut peneliti,
faktor yang menyebabkan mereka berperilaku demikian mungkin disebabkan
oleh pandangan dan perasaan mereka. Mereka kurang meyakini Kuasa Allah
dan pertolongan-Nya. Ketidakyakinan orangtua mungkin menyebabkan
dirinya sendiri kehilangan harapan hidup sehingga merasa putus asa dan
pesimis untuk menjalani hidupnya dan menimbulkan kehampaan makna
dalam kehidupannya. Selain itu mereka merasa tidak memperoleh apa-apa
91
dari kehidupan religiositasnya, sementara mereka membutuhkan biaya yang
cukup banyak untuk membiayai anaknya.
2. Aspek Eksternal
Safaria (2005) menjelaskan bahwa kelahiran anak yang mengalami
gangguan autisme adalah kenyataan yang berat yang harus dipikul oleh orangtua.
Kenyataan ini akan mempengaruhi keseluruhan hidup orangtua dan keluarga
serta bagaimana orangtua menghadapi lingkungan sosial masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis
memiliki masalah berkaitan dengan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial
yaitu lembaga/sekolah autis. Data dari hasil penelitian, aspek ini menunjukkan
bahwa orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri
Yogyakarta mengalami masalah dan berada pada kategori “sering” mengalami
masalah dengan skor 50. Kelengkapan data dapat dilihat pada tabel 11, halaman
77.
a. Lingkungan Keluarga
Orangtua mengalami masalah dalam hal relasi dalam keluarga. Hal ini
terekam dalam jawaban bahwa orangtua sulit mempercayakan orang lain
untuk menangani anaknya meskipun tinggal serumah. Selain itu orangtua
kurang bertukar pikiran dengan pasangannya untuk mendapatkan cara yang
terbaik dalam menangani anaknya. Menurut peneliti, hal yang menyebabkan
mereka bersikap demikian mungkin berkaitan dengan pemahaman dan
pengalaman masa lalu. Mungkin orangtua mempunyai pengalaman terhadap
92
orang serumah yang kurang mendukung, dan tidak mengerti bagaimana
menangani anak yang memiliki gangguan autisme. Pandangan mereka ini
berakibat pada perilaku mereka. Handojo (2003) menjelaskan bahwa orang
serumah yang sering kali menjadi penghalang ialah nenek dan saudara
kandung dari anak autis. Biasanya mereka sulit memahami kelainan perilaku
anak autis. Mereka menganggapnya hanya kenakalan biasa atau sikap-sikap
biasa, sehingga kurang peduli dan kurang berpartisipasi dalam membantu
perkembangan anak autis. Kondisi ini mungkin menimbulkan orangtua
kandung kurang menaruh kepercayaan pada orang serumah. Selain itu dari
orangtua sendiri mungkin kurang memahami pentingnya dukungan dari
berbagai pihak dalam usaha penyembuhan anaknya, mungkin orangtua
kurang membangun komunikasi antara pribadi yang lebih efektif, kurang
menyeimbangkan perasaan-perasaannya sehingga kurang terbuka satu sama
lain, merasa takut dan cemas apabila anaknya ditangani oleh orang lain,
jangan-jangan semakin mundur perkembangannya. Bagi orangtua yang
termasuk dalam periode Dewasa Dini, penyesuaian dengan pasangan, status
ekonomi, perubahan peran, mungkin menjadi faktor penyebab selain faktor
di atas. Proses penyesuaian yang baik akan sulit diperoleh bagi pasangan
yang berbeda suku, agama dan latar belakang sosial karena pasangan yang
seperti ini biasanya mempunyai perbedaan minat, kemauan, nilai dan
kebiasaan hidup. Pasangan yang seperti ini biasanya berusaha mengurangi
93
komunikasi atau pertengkaran, dan ini akan membahayakan hubungan
mereka bahkan terhadap anak-anaknya (Hurlock, 1980).
b. Lingkungan Sekolah dan Lembaga terkait.
Orangtua mengalami masalah berkaitan dengan lingkungan sosial -
Lembaga/Sekolah. Hal ini terekam dalam jawaban bahwa mereka
mengabaikan peraturan yang ditetapkan di Sekolah Luar Biasa Cipta Mulia
Mandiri Yogyakarta. Sikap tersebut mungkin disebabkan oleh perasaan
ketidakpuasan dan kejengkelan terhadap pihak sekolah. Selain itu mungkin
mereka berpandangan bahwa syarat-syarat terapi hanya merupakan akal-
akalan terapis dan pengelola institusi belaka, sehingga nampak perilaku
demikian. Handojo (2003) menjelaskan bahwa intensitas terapi merupakan
hal yang paling sulit dipenuhi oleh orangtua anak autis. Mulai dengan
masalah tenaga, waktu, dan dana sering menjadi alasan tidak dapat
dipenuhinya persyaratan/peraturan penting dalam Lembaga/Sekolah Autis.
BAB V
PENUTUP
Dalam bab ini disajikan ringkasan hasil penelitian, kesimpulan dan saran.
Bagian ringkasan hasil penelitian memuat ringkasan akhir dari hasil penelitian, bagian
kesimpulan memuat kesimpulan akhir dari penelitian. Bagian saran memuat saran-saran
untuk pihak sekolah dan para orangtua anak autis.
A. Ringkasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian “Deskripsi masalah-masalah yang secara frekuen dialami
oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di sekolah Luar Biasa Autis Cipta
Mulia Mandiri Yogyakarta dapat diringkas sebagai berikut:
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: masalah-masalah yang secara
frekuen (sangat sering dan sering) dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis
infantil pada aspek sikap internal pribadi orangtua yang berkaitan dengan aspek
kognitif, aspek afektif, aspek spiritual atau religius. Pada aspek eksternal berkaitan
dengan aspek lingkungan keluarga dan lembaga-lembaga terkait. Hasil penelitian
pada aspek kognitif termasuk dalam kategori “sering” (skor 153), terungkap pada
masalah cara pandang orangtua terhadap gangguan perkembangan dan penanganan
yaitu: terbatasnya kosa kata yang dimiliki anaknya bukan merupakan penyebab
ketidakmampuan berbicara anaknya, sia-sialah melatih anaknya dalam
95
mengungkapkan perasaannya, anaknya semakin sulit bahkan tidak dapat
mengartikan kata-kata yang diucapkannya sehingga tidak perlu dilatih, kemampuan
berbicara anaknya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih, anaknya tidak
berkembang menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya yang
normal, tidak ada gunanya menanggapi perilaku-perilaku emosional anaknya.
Komponen cara pandang orangtua terhadap masa depan anak autis meliputi: anak
telah kehilangan masa depan, kebahagiaan anak pupuslah sudah, lingkungan sosial
mengabaikan kehidupan masa depan anaknya. Komponen cara pandang orangtua
terhadap lingkungan keluarga dan pihak terkait yang membantu perkembangan
anaknya meliputi: sekolah umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan
sosialisasi anaknya, dukungan keluarga sajalah yang paling menentukan baik-
buruknya perkembangan anaknya, tidak perlu secara langsung mendampingi
anaknya karena sudah ditangani terapis. Aspek afektif termasuk dalam kategori
“sering” (skor 60), terungkap pada perasaan-perasaan orangtua sebagai berikut:
bosan menginformasikan perkembangan anaknya kepada orang lain yang tinggal
serumah dengannya (reaksi perasaan jengkel dan marah), malu mengakui
keberadaan anaknya (reaksi perasaan malu dan bersalah), bingung melakukan upaya-
upaya penyembuhan bagi anaknya (reaksi perasaan bingung dan putus asa), orangtua
cemas dan takut terhadap masa depan anaknya (reaksi perasaan takut dan cemas).
Aspek spiritual atau religius termasuk dalam kategori “sering” (skor 49) terungkap
masalah sebagai berikut: setiap kali berdoa untuk anaknya orangtua sering
menginginkan agar Tuhan segera mengabulkan permohonannya, orangtua sering
96
merasa sendirian menanggung beban ini, orangtua mengingkari pertolongan Tuhan
terhadap anaknya, orangtua sering memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang
dari pada mengikuti kegiatan rohani. Hasil penelitian pada aspek eksternal yang
berhubungan dengan lingkungan keluarga dan lembaga terkait termasuk dalam
kategori “sering” (skor 50) terungkap bahwa orangtua sering sulit mempercayakan
orang lain untuk menangani anaknya meskipun mereka tinggal serumah, orangtua
sering mempertahankan pendapatnya tentang penanganan anaknya walaupun
pendapatnya keliru (lingkungan keluarga) dan mengabaikan peraturan yang
ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri (lembaga terkait).
B. Kesimpulan
Berdasarkan ringkasan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pertama: orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta
Mulia Mandiri Yogyakarta “sering” mengalami masalah yang datang dari dalam
dirinya yaitu sikap internal pribadi orangtua itu sendiri, kedua: masalah yang
dialami oleh orangtua itu menjadi semakin “sering” muncul karena lemahnya
dukungan baik dari lingkungan keluarga maupun sekolah dan lembaga-lembaga
yang terkait dengan sekolah (Faktor eksternal).
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka masalah yang dialami oleh
orangtua yang mempunyai anak autis di Sekolah Luar Biasa Autis Cipta Mulia
97
Mandiri Yogyakarta dapat diatasi melalui pendekatan kognitif, afektif, spiritual dan
ketrampilan/skill. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat diberikan dalam berbagai
bentuk layanan bimbingan, metode dan sumber/media bimbingan yang dapat
menjawab kebutuhan orangtua. Selain bantuan yang berasal dari luar (dalam hal ini
pihak sekolah), orangtua yang mempunyai anak autis hendaknya mencari cara dan
ketrampilan-ketrampilan yang dapat membantu mereka untuk dapat mengatasi
permasalahannya. Oleh karena itu berikut ini peneliti memberikan saran, baik
kepada pihak sekolah maupun pihak orangtua.
1. Pihak Sekolah
Pihak sekolah dapat memberikan bantuan berdasarkan permasalahan
yang dialami orangtua.
a. Masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek kognitif:
1) Orangtua perlu dibantu untuk memperluas wawasan mengenai
karakteristik anak autis, faktor-faktor penyebab gangguan autisme dan
bagaimana menangani, menyadari pentingnya anak autis mengungkapkan
perasaannya, memahami perbedaan perkembangan antara anak dengan
gangguan autisme dan anak normal. Bantuan yang diberikan kepada
orangtua berupa pengenalan berbagai terapi dan metode penanganan.
2) Orangtua yang mempunyai anak autis perlu mendapatkan penjelasan
mengenai proses terapi dan kedisiplinan tinggi baik dalam metode
maupun dalam pengaturan waktunya. Selain itu orangtua perlu menyadari
pentingnya kerjasama yang baik terhadap sekolah, dokter, ahli gizi,
98
psikolog, psikiater, sesama orangtua anak autis, tenaga-tenaga
terapi/terapis lainnya. Selain itu orangtua perlu mengkondisikan
lingkungan agar proses komunikasi dan sosialisasi anak berkembang.
3) Orangtua perlu diperluas wawasan untuk semakin peka akan kebutuhan
anak dan trampil dalam mengarahkan minat pada anaknya, menyadari
pentingnya sosialisasi ke sekolah umum.
b. Masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek afektif
1) Orangtua perlu dibantu untuk menyeimbangkan emosinya dengan
membangun kesadaran diri, mengelola emosinya, membangun sikap
optimisme dari dalam dirinya, memiliki sikap hati yang empati dan
mengembangkan ketrampilan sosial, memotivasi diri sendiri ketika
berhadapan dengan hambatan-hambatan, menyadari mengapa perasaan
emosi dan sikap yang kurang mendukung itu muncul? Menyadari
pentingnya mengungkapkan diri, bersikap asertif terhadap segala situasi
kehidupannya dan mampu berkomunikasi dengan orang lain.
2) Orangtua perlu dibantu untuk mampu menerima realita dirinya, gembira,
tidak minder dalam melatih ketrampilan-ketrampilan anaknya di mana
saja berada, optimis mengikuti perkembangan anaknya, berani dalam
menghadapi tantangan dan mampu menyalurkan perasaan negatif secara
baik dan benar.
99
c. Masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek Lingkungan Keluarga dan
Sosial
1) Orangtua perlu dibantu untuk meningkatkan kemampuan bagaimana
berkomunikasi antar pribadi, bagaimana membina kebersamaan,
bagaimana menjadi positif dan produktif, bagaimana menciptakan sikap
saling menghargai, bagaimana memberi teladan kepada anak-anaknya,
bagaimana membangun relasi dengan orangtua/mertua dan kerabat
lainnya.
2) Orangtua perlu bekerjasama dengan orang lain, setia dalam tugas dan
tanggungjawab, membina komunikasi dengan para ahli, meningkatkan
kreativitasnya, memupuk keterbukaan hati dalam situasi apa saja.
d. Masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek spiritual atau religius
1) Orangtua perlu dibantu untuk membangun keutuhan hati dan budi dalam
berdoa baik secara pribadi maupun bersama. orangtua perlu dibantu
untuk menyadari penyelenggaraan Allah dalam hidup mereka, memaknai
semua peristiwa dalam hidupnya dan menaruh pengharapan akan
penyertaan Tuhan serta memiliki konsep yang benar tentang Allah yang
mengasihi bukan Allah yang menghukum.
2) Orangtua perlu dibantu untuk memiliki kemampuan dalam berperilaku
sesuai ajaran agamanya, misalnya menahan diri untuk melakukan hal-hal
yang dilarang oleh agamanya, mengikuti kegiatan-kegiatan untuk
menyegarkan kehidupan rohani mereka.
100
Permasalahan di atas dapat dibantu dalam berbagai bentuk Layanan / Bantuan
berupa:
a. Layanan informasi : berbagai informasi yang dapat diberikan kepada
orangtua berkaitan dengan aspek masalah di atas baik secara langsung
maupun tidak langsung. Layanan secara langsung bisa diberikan dalam
bentuk seminar, talk show, pelatihan atau kursus yang dapat membantu
perkembangan pandangan mereka, kestabilan emosi, kehidupan religoisitas
dan relasi dengan orang lain. Sekolah dapat mengundang nara sumber yang
memiliki keahlian khusus yang berkaitan dengan kepribadian, bidang autisme
dan lain-lain yang sesuai dengan kebutuhan orangtua. Selain itu dapat juga
diberikan oleh para pendamping dari sekolah yang bersangkutan yang telah
menguasai atau telah mempunyai pengalaman belajar yang dianggap cukup.
Sekolahpun dapat menyediakan sumber bacaan/taman bacaan (buku-buku,
makalah-makalah, hasil-hasil penelitian, penemuan-penemuan baru) yang
berkaitan dengan autisme dan penanganannya demi memperluas wawasan
orangtua. Layanan secara tidak langsung bisa diberikan/digalakkan melalui
website dan metode wawancara dan pengumpulan data, sharing, dinamika
kelompok, lecture/bahan bacaan dan relaksasi.
b. Layanan konseling pribadi dan kelompok: pendekatan secara pribadi
terhadap orangtua tentang masalah-masalah yang terjadi dan pendekatan
secara kelompok yang memiliki masalah/kesulitan yang sama. Maksudnya
pihak sekolah bisa membantu orangtua untuk menyelesaikan
101
permasalahannya secara perorangan atau secara kelompok. Untuk
mendukung layanan ini maka perlunya kondisi tempat dan situasi yang
memungkinkan orangtua dapat terbuka terhadap pendamping/terapis atau
pimpinan. Layanan ini dapat direferalkan kepada pihak/ahli lain yang lebih
kompeten lebih-lebih yang berkaitan dengan autisme dan seluk-beluknya.
Pendekatan yang dipakai dapat berupa pengisian angket/kuesioner,
wawancara mendalam (secara langsung) maupun wawancara secara tidak
langsung (jarak jauh atau dekat).
c. Layanan konsultasi
Pihak sekolah dapat mengaplikasikan layanan konsultasi dalam hal ini
sebagai consultant atau sebagai consultee. Consultant maksudnya menerima
konsultasi dari orangtua anak autis mengenai segala permasalahannya baik
masalah pribadi maupun sosial yang berkaitan dengan penanganan anaknya
atau masalah lain sejauh masih bisa dibantu. Consultee maksudnya
setelah menerima konsultasi dari orangtua anak autis,
meneruskan/mengkonsultasikan lagi kepada sesama pendamping atau kepada
pihak-pihak terkait yang dianggap dapat membantu/ memberikan masukan
terselesaikan masalah orangtua yang bersangkutan misalnya kepada ahli gizi,
psikolog, psikiater, tergantung dari jenis permasalahan yang dihadapi oleh
orangtua anak autis.
Agar bantuan tersebut dapat berjalan dengan baik dan optimal maka
pihak sekolah hendaknya merencanakan program pendampingan yang berkaitan
102
dengan keempat aspek di atas karena aspek-aspek tersebut sangat berpengaruh
pada perkembangan anaknya saat ini maupun masa yang akan datang dan
hendaknya pihak SLB Autis Cipta Mulia Mandiri perlu memperluas wawasannya
mengenai gangguan perkembangan anak autis dan penanganan, pendekatan-
pendekatan psikologis terhadap orangtua yang dapat diberikan dalam bentuk
layanan-layanan bimbingan, metode dan sumber/media.
2. Pihak Orangtua
Orangtua hendaknya mengadakan forum komunikasi antar orangtua yang
mempunyai anak autis sehingga akan memungkinkan orangtua untuk saling
sharing dan mendapat pencerahan. Orangtua juga disarankan terus-menerus
memperluas wawasannya tentang gangguan perkembangan anaknya dan
mengubah cara pandangnya, merespon segala peristiwa hidup secara dewasa dan
mampu mengelola emosinya, mengembangkan kehidupan spiritual atau
religiusnya, mengembangkan ketrampilan sosial (lingkungan keluarga dan
lembaga terkait).
103
DAFTAR PUSTAKA
Agerbeek, F. (September 2005). Lokakarya Seksualitas Klien dan Pekerjaan Sosial. (Handout). Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Albin, S.R. 1986. Emosi, bagaimana mengenal menerima dan mengarahkannya.
Yogyakarta. Kanisius. Azwar, S. 1992. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. . 1999. Penilaian Skala Psikologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Budhiman, M. dkk. 2002. Langkah Awal Menanggulangi Autisme. Jakarta: Majalah
Nirmala. “Ciri Anak Autis” Http://www.Apotik2000.net?apotik/autisma.asp?ano=01001.
Diakses tanggal 10 Agustus 2005. Dampak Aktivitas Berlebih pada Otak Laki-laki. (2005, 2 Maret). KOMPAS. Hal.14. Danuatmaja, B. 2003. Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta: Puspa Swara. Deteksi Dini Penting Dilakukan. (2005, 16 April), KOMPAS. Hal. 9. Furchan, A. 1982. Penelitian Dalam Pendidikan. Malang:Usaha Nasional. Gamayanti, L. I. (September 2005). Lokakarya Perkembangan Seksual pada Remaja
Autis. (Handout). Yogyakarta : Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. “Guru Harus Memahami Autisme pada Anak” on line Http://www.mail-
archive.com/[email protected]/msg21152.html. Diakses tanggal 11 Pebruari 2001.
Hanafi, A. M. dan Vrugteven F. (Oktober 2005). Lokakarya Autis, Perkembangan dan
Masa Depannya. (Handout). Yogyakarta : Sobo Pakualam. Handojo, Y. 2003. Autisma-Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar
Anak Normal, autis dan Perilaku lain. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
Handoko, M. T. (2003). Lokakarya Menuju Hidup Bahagia. (Handout). Muntilan : Rumah Retret Fransiskan.
Hasibuan, Z. (Juni 2005). Lokakarya Menerima dan Memahami Keberadaan Anak
Autis. (Handout). Yogyakarta: Fakultas peternakan Universitas Gadjah Mada.
104
Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan. Penerjemah : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta:PT. Gelora Aksara Pratama.
Kartono K. & Gulo D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung. Pionir Jaya. Marijani, L. 2003. Bunga Rampai–Seputar Autisme dan Permasalahannya. Jakarta: Pt.
Agro Media Pustaka. Memahami dan Menangani Anak dengan Kebutuhan Khusus. (2002, Juni). Majalah
Nakita; Panduan Tumbuh Kembang Anak. Menangani Anak Autis. (2002, Februari). Majalah Nakita : Panduan tumbuh Kembang
Anak. Masidjo, I. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar. Yogyakarta. Kanisius. Messwati, E.D. (2005, 16 April). Tetap Optimis Mendampingi Penyandang Autis.
KOMPAS, hal. 9,11. Nara Nasrullah (2005, 2 Maret). Autis dan Tunagrahita, Tak sama dan Memang
Berbeda. KOMPAS, HAL. 9. “Peran Saudara Sekandung pada Anak Penyandang ASD” on line
Http://puterakembara.org/leny.htm. (9/11/2006). Peran Saudara Sekandung pada Anak Penyandang ASD.
Peeters, T. 2004. Autisme. Jakarta : Dian Rakyat Prasetyo, L. A. (2005, 31 Maret). Penyandang Autisme Perlu Penerimaan Masyarakat.
KOMPAS. Hal. G. Puspita, D. 2004. Untaian Duka Taburan Mituara hikmah perjuangan ibunda anak
autistik. Bandung: Qanita, PT. Mizan Pustaka. Puspita, D. (Juni 2005). Lokakarya Pentingnya Pendidikan Bagi Individu Autistik.
(Handout). Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Safaria, T. 2005. Autisme – Pemahaman Baru untuk hidup secara bermakna.
Yogyakarta : Graha Ilmu. Sarasvati. 2004. Meniti Pelangi- Perjalanan seorang ibu yang tak kenal lelah menyerah
dalam membimbing putranya keluar dari autisme. Jakarta: PT. Elex Media Kompitundo Kelompok Gramedia.
105
Satiadarma, M. P. 2001. Persepsi OrangTua Membentuk Perilaku Anak.Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia.
Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan – Model-Model Kepribadian Sehat.
Penerjemah : Yustinus. Yogyakarta: Kanisius. Simbolon, O. 2004. Autisme-Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi Pendidikan
bagi Penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat. Sudaryati, S. (Juni 2005). Lokakarya Memahami dan Menerima Keberadaan Anak
Autis. (Handout). Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. . (September 2005). Lokakarya Seksualitas Dan Problematik seksual pada
Anak Autis. ( Handout). Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun Kamus. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Vrugteveen, F. (November 2005). Lokakarya Spektrum Autisma. (Handout).
Yogyakarta: Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Wijayakusuma, H, H.M. 2004. Anakku Sembuh dari Autisme- 100 pasien dari jumlah
besar yang disembuhkan. Jakarta: PT. Dyatama Milenia. . 2004. Autism dapat disembuhkan – 310 Penyandang Autism
Jakarta: PT. Dyatama Milenia. . 2004. Hembing telah sembuhkan anakku dari Autism- 210
pasien penyandang autisme. Jakarta: PT. Dyatama Milenia. . 2005. Anakku Sembuh dari Autisme- 104 pasien dari jumlah
besar yang disembuhkan. Jakarta: PT. Dyatama Milenia. Winkel W.S & Hastuti M. M. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institut Pendidikan.
Jakarta : PT. Gramedia.
108
RANGKUMAN ANALISIS KESAHIHAN BUTIR ASPEK KOGNITIF: Jumlah Butir Semula : 37 Jumlah Butir Gugur : 18 Jumlah Butir Sahih : 19 Jumlah Kasus Semula : 20 Jumlah Data Hilang : 0 Jumlah Kasus Jalan : 20 ══════════════════════════════════════════════════ Butir No. r xy r bt p Status ────────────────────────────────────────────────── 5 0.688 0.651 0.001 sahih 7 0.615 0.565 0.005 sahih 8 0.095 0.047 0.420 gugur 12 0.244 0.180 0.274 gugur 16 0.600 0.539 0.007 sahih 18 0.631 0.576 0.004 sahih 19 0.134 0.071 0.382 gugur 22 0.886 0.866 0.000 sahih 26 0.636 0.595 0.003 sahih 27 0.056 -0.035 0.439 gugur 31 0.674 0.624 0.002 sahih 34 0.623 0.574 0.004 sahih 35 0.202 0.149 0.269 gugur 36 -0.159 -0.212 0.314 gugur 38 0.112 0.017 0.471 gugur 41 0.266 0.178 0.271 gugur 43 0.031 -0.039 0.432 gugur 46 0.609 0.572 0.004 sahih 47 0.625 0.568 0.004 sahih 49 0.266 0.213 0.315 gugur 50 0.684 0.633 0.002 sahih 51 -0.094 -0.159 0.255 gugur 53 0.111 0.032 0.445 gugur 54 0.662 0.608 0.002 sahih 55 0.551 0.503 0.011 sahih 56 0.239 0.141 0.280 gugur 58 0.176 0.083 0.364 gugur 60 0.651 0.589 0.003 sahih 68 0.219 0.144 0.275 gugur 72 0.594 0.550 0.006 sahih 74 0.665 0.606 0.002 sahih 78 0.237 0.171 0.261 gugur 79 0.671 0.640 0.001 sahih 81 0.168 0.080 0.368 gugur 83 0.623 0.569 0.004 sahih 86 0.175 0.135 0.289 gugur 88 0.794 0.747 0.000 sahih ==================================================
109
ASPEK AFEKTIF: Jumlah Butir Semula : 35 Jumlah Butir Gugur : 15 Jumlah Butir Sahih : 20 Jumlah Kasus Semula : 20 Jumlah Data Hilang : 0 Jumlah Kasus Jalan : 20 ══════════════════════════════════════════════════ Butir No. r xy r bt p Status ────────────────────────────────────────────────── 1 0.332 0.279 0.116 gugur 2 0.035 -0.022 0.461 gugur 3 0.633 0.581 0.004 sahih 4 0.126 0.048 0.417 gugur 6 0.364 0.293 0.104 gugur 9 0.691 0.667 0.001 sahih 10 0.105 0.029 0.449 gugur 11 0.568 0.509 0.010 sahih 14 0.331 0.272 0.122 gugur 15 0.375 0.282 0.113 gugur 17 0.808 0.768 0.000 sahih 20 0.310 0.234 0.161 gugur 21 0.642 0.603 0.002 sahih 32 0.601 0.558 0.005 sahih 33 0.792 0.759 0.000 sahih 39 0.708 0.677 0.001 sahih 40 0.653 0.602 0.003 sahih 59 0.732 0.684 0.001 sahih 62 0.478 0.418 0.032 sahih 63 0.691 0.651 0.001 sahih 66 0.642 0.603 0.002 sahih 67 0.273 0.193 0.290 gugur 70 0.350 0.290 0.106 gugur 71 0.639 0.592 0.003 sahih 75 0.683 0.646 0.001 sahih 76 0.769 0.734 0.000 sahih 77 0.221 0.160 0.254 gugur 80 0.752 0.718 0.000 sahih 82 0.213 0.157 0.257 gugur 84 0.329 0.279 0.116 gugur 85 0.310 0.244 0.150 gugur 87 0.590 0.526 0.008 sahih 89 0.692 0.649 0.001 sahih 90 0.751 0.722 0.000 sahih 92 0.145 0.082 0.365 gugur ==================================================
110
ASPEK SPIRITUAL ATAU RELIGIUS: Jumlah Butir Semula : 13 Jumlah Butir Gugur : 2 Jumlah Butir Sahih : 11 Jumlah Kasus Semula : 20 Jumlah Data Hilang : 0 Jumlah Kasus Jalan : 20 ══════════════════════════════════════════════════ Butir No. r xy r bt p Status ────────────────────────────────────────────────── 13 0.679 0.601 0.003 sahih 23 0.630 0.540 0.007 sahih 24 0.827 0.799 0.000 sahih 25 0.732 0.652 0.001 sahih 37 0.313 0.205 0.305 gugur 42 0.661 0.582 0.004 sahih 45 0.628 0.515 0.010 sahih 57 0.154 0.029 0.449 gugur 61 0.651 0.584 0.003 sahih 64 0.817 0.749 0.000 sahih 65 0.689 0.626 0.002 sahih 69 0.692 0.570 0.004 sahih 91 0.589 0.509 0.010 sahih ================================================== ASPEK LINGKUNGAN KELUARGA DAN SOSIAL: Jumlah Butir Semula : 7 Jumlah Butir Gugur : 1 Jumlah Butir Sahih : 6 Jumlah Kasus Semula : 20 Jumlah Data Hilang : 0 Jumlah Kasus Jalan : 20 ══════════════════════════════════════════════════ Butir No. r xy r bt p Status ────────────────────────────────────────────────── 28 0.210 -0.058 0.401 gugur 29 0.748 0.597 0.003 sahih 30 0.692 0.514 0.010 sahih 44 0.783 0.626 0.002 sahih 48 0.701 0.585 0.003 sahih 52 0.769 0.692 0.000 sahih 73 0.734 0.607 0.002 sahih =====================================
111
TAHAP PENGHITUNGAN RELIABILITAS ASPEK KOGNITIF: Jumlah Butir Sahih : MS = 19 Jumlah Kasus Semula : N = 20 Jumlah Data Hilang : NG = 0 Jumlah Kasus Jalan : NJ = 20 Sigma X : ΣX = 694 Sigma X Kuadrat : ΣX² = 25714 Variansi X : σ²x = 10 Variansi Y : σ²y = 82 Koef. Alpha : rtt = 0.925 Peluang Galat α : p = 0.000 Status : Andal ======================================= ASPEK AFEKTIF: Jumlah Butir Sahih : MS = 20 Jumlah Kasus Semula : N = 20 Jumlah Data Hilang : NG = 0 Jumlah Kasus Jalan : NJ = 20 Sigma X : ΣX = 702 Sigma X Kuadrat : ΣX² = 26316 Variansi X : σ²x = 9 Variansi Y : σ²y = 84 Koef. Alpha : rtt = 0.934 Peluang Galat α : p = 0.000 Status : Andal ======================================== ASPEK SPIRITUAL ATAU RELIGIUS: Jumlah Butir Sahih : MS = 11 Jumlah Kasus Semula : N = 20 Jumlah Data Hilang : NG = 0 Jumlah Kasus Jalan : NJ = 20 Sigma X : ΣX = 323 Sigma X Kuadrat : ΣX² = 5621 Variansi X : σ²x = 4 Variansi Y : σ²y = 20 Koef. Alpha : rtt = 0.879 Peluang Galat α : p = 0.000 Status : Andal ========================================
112
ASPEK LINGKUNGAN KELUARGA DAN SOSIAL: Jumlah Butir Sahih : MS = 6 Jumlah Kasus Semula : N = 20 Jumlah Data Hilang : NG = 0 Jumlah Kasus Jalan : NJ = 20 Sigma X : ΣX = 206 Sigma X Kuadrat : ΣX² = 2318 Variansi X : σ²x = 3 Variansi Y : σ²y = 10 Koef. Alpha : rtt = 0.819 Peluang Galat α : p = 0.000 Status : Andal =======================================
113
KUESIONER PENELITIAN
Hal : Permohonan Pengisian kuesioner
Kuesioner
Masalah-masalah yang dialami oleh Orangtua yang mempunyai anak Autis
Di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta
Pengantar
Bapak dan Ibu yang terkasih, kami memohon kesediaan Anda untuk mengisi
kuesioner ini. Adapun maksud dan tujuan kuesioner ini untuk mengetahui pendapat
Anda mengenai berbagai masalah yang Anda alami dan rasakan. Dengan mengetahui
pendapat Anda, pihak Sekolah dapat meningkatkan mutu kerja berkaitan dengan
pelayanan bagi anak-anak yang telah dipercayakan oleh Bapak dan Ibu kepada mereka
dan merencanakan langkah-langkah yang tepat untuk mencari solusi, membantu Anda
mengatasi masalah tersebut.
Mengingat pentingnya pendapat Anda, maka diharapkan Anda mengisi kuesioner
ini dengan jujur sesuai dengan apa yang Anda alami dan rasakan. Jawaban Anda akan
kami rahasiakan. Untuk itu Anda tidak perlu menuliskan nama. Hal ini
dimaksudkan agar membantu peneliti dalam tugas akhir dan agar Anda dapat
mengungkapkan dengan bebas dan jujur segala permasalahan yang dialami saat
ini.
Ahirnya kesediaan Anda untuk memberikan waktu dan kesempatan, serta
kesungguhan Anda dalam mengisi kuesioner ini, saya ucapkan limpah terima kasih.
Yogyakarta, 2 Pebruari 2006
Hormat saya
Peneliti
114
II. Petunjuk Pengisian Kuesioner 1. Bacalah dengan teliti setiap pernyataan kuesioner ini.
2. Pilihlah salah satu jawaban dari empat kemungkinan jawaban, yakni:
Sangat sering (SS)
Sering (S)
Kadang-kadang (KK)
Tidak Mengalami (TM)
3. Berilah tanda cek (V) pada kolom jawaban yang Anda pilih
4. Apabila Anda keliru menjawabnya berilah tanda silang (X) pada jawaban yang
keliru, dan pilihlah jawaban baru yang Anda anggap tepat
Selamat mengerjakan
115
SS : Bila Anda sangat sering mengalami/merasakan masalah tersebut S : Bila Anda sering mengalami/merasakan masalah tersebut KK : Bila Anda kadang-kadang mengalami/merasakan masalah tersebut TM : Bila Anda tidak mengalami/merasakan masalah tersebut
No Pernyataan SS S K TM
1 Saya beranggapan bahwa terbatasnya kosa kata yang dimiliki anak saya bukan merupakan penyebab ketidakmampuannya berbicara
2 Saya apatis terhadap perilaku anak saya
3 Saya berpikir bahwa sia-sialah melatih anak saya dalam mengungkapkan perasaannya
4 Saya antusias memperbaiki perilaku anak saya
5 Saya berpikir bahwa sekolah umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan sosialisasi anak saya
6 Saya gembira melatih ketrampilan anak saya
7 Saya berpandangan bahwa anak saya semakin sulit dan tidak bisa lagi mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh orang lain
8 Saya ragu terhadap ajaran agama dapat menyembuhkan anak saya
9 Saya beranggapan bahwa kemampuan berbicara anak saya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih
10 Saya menjalankan ibadah sesuai aturan yang ditetapkan oleh ajaran agama tanpa mengabaikan waktu-waktu merawat anak saya
11 Saya berpandangan bahwa anak saya tidak berkembang menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya
12 Saya sulit mempercayakan orang untuk menangani anak saya meskipun mereka tinggal serumah dengan saya
13 Saya meragukan diagnosis dokter tentang penyebab gangguan anak saya
14 Saya berpandangan bahwa memberikan contoh
116
mengendalikan emosi pada anak saya akan membantu perkembangan emosinya
15 Saya bersemangat mencari informasi tentang penanganan yang tepat bagi anak saya
16 Saya berpandangan bahwa anak saya telah kehilangan masa depannya
17 Dengan berbesar hati, saya mengakui gangguan perkembangan yang dialami anak saya
18 Setiap kali berdoa untuk anak saya, saya menginginkan Tuhan segera mengabulkan permohonan saya
19 Saya membaca dengan cermat peraturan SLB “Autis” Cipta Mulia Mandiri dan berusaha menjalankannya
20 Saya berpendapat bahwa tidak ada gunanya menanggapi perilaku-perilaku emosional anak saya
21 Saya berpandangan bahwa dukungan berbagai pihak terhadap anak saya akan mempercepat perubahannya
22 Saya mempertahankan pendapat saya tentang penanganan anak saya walaupun pendapat saya keliru
23 Saya berdoa secara pribadi maupun bersama orang lain dengan sepenuh hati walaupun perkembangan anak saya tidak menentu
24 Saya berpikir bahwa kebahagiaan anak saya pupuslah sudah
25 Saya melaksanakan segala tugas dan tanggungjawab dengan senang hati
26 Saya merasa sendirian menanggung beban ini
27 Saya bertukar pikiran dengan suami/istri saya, untuk mendapatkan cara yang terbaik di dalam menangani anak saya
28
Saya pikir hanya dukungan keluarga sajalah yang paling menentukan baik-buruknya perkembangan anak saya
29 Saya bahagia dengan kehadiran anak saya yang autis
30 Kegiatan peribadatan saya terganggu karena memikirkan gangguan perkembangan anak saya
117
31 Saya bosan menginformasikan perkembangan anak
saya kepada terapis
32 Saya menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan anak saya kepada orang lain yang tinggal serumah dengan saya
33 Saya jengkel terhadap kurangnya kepedulian masyarakat terhadap penanganan anak autis
34 Saya berpendapat bahwa kemampuan anak saya berinteraksi dengan orang lain akan berkembang dengan menyekolahkannya di sekolah umum
35 Saya kehilangan gairah menjalankan hobi-hobi saya
36 Dengan senang hati, saya melaporkan perkembangan perilaku anak saya kepada terapis
37 Saya berpandangan bahwa lingkungan sosial mengabaikan kehidupan masa depan anak saya
38 Dengan senang hati saya menghadapi perilaku anak saya yang kurang menyenangkan di depan orang lain
39 Saya mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anak saya
40 Saya berpendapat bahwa anak saya dapat bermain bersama teman-temannya
41 Saya malu mengakui keberadaan anak saya
42 Saya mengalami bahwa banyak orang membantu menangani anak saya
43 Saya pikir saya tidak perlu secara langsung mendampingi anak saya karena sudah ditangani terapis
44 Tuhan mempunyai rencana yang terbaik bagi anak saya
45 Saya malu menghadapi perilaku menyimpang anak saya di depan orang lain
46 Saya meningkatkan kehidupan rohani saya demi ketenangan batin saya
47 Saya memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang daripada mengikuti kegiatan rohani
48 Saya mengabaikan peraturan yang ditetapkan di SLB “Autis” Cipta Mulia Mandiri
118
49 Saya berpendapat bahwa menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan anak saya di rumah sangat membantu
50 Saya benci pada diri saya sendiri karena memiliki anak autis
51 Saya berpendapat bahwa anak saya mengalami kebahagiaan hidup apabila saya tekun mendampinginya
52 Saya bingung melakukan upaya-upaya
penyembuhan bagi anak saya
53 Saya perlu memikirkan upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan anak saya di masa yang akan datang
54 Saya merasa tak berdaya apabila menyaksikan anak saya yang selalu diam saja
55 Saya kehilangan gairah bekerja baik di rumah maupun di tempat karya (kantor/sekolah/karya lainnya)
56 Saya cemas terhadap masa depan anak saya
Terima kasih atas kebaikan Anda untuk mengisi kuesioner ini
119
TABULASI DATA MASALAH ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS A. ASPEK KOGNITIF
I 1 3 5 7 9 11 14 16 20 21 24 28 34 37 40 43 49 51 53 Jlh S 1 2 2 4 2 3 3 1 1 2 1 2 4 2 1 4 1 1 1 2 39 2 2 3 3 3 2 3 2 3 3 2 3 3 1 3 3 3 1 2 2 47 3 1 1 4 3 1 1 2 3 4 1 1 4 1 1 2 1 1 2 1 35 4 3 3 3 3 3 3 2 3 2 2 3 3 1 3 3 3 2 2 3 50 5 2 4 1 2 1 1 2 3 1 1 1 3 1 1 1 3 2 3 1 34 6 2 2 3 2 2 2 2 3 2 2 3 3 2 2 2 3 2 2 2 43 7 2 2 2 2 3 2 1 3 2 1 2 3 3 2 1 1 1 1 2 36 8 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 2 2 3 3 2 2 1 49 9 2 1 2 1 1 1 1 3 2 1 2 3 2 2 2 2 3 2 1 34
10 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3 3 1 3 3 3 1 1 2 48 11 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3 1 2 2 3 3 2 1 37 12 2 3 3 3 2 4 3 1 3 2 3 3 2 3 3 3 2 1 3 49 13 2 1 2 4 1 1 1 2 1 2 1 3 1 3 3 3 1 1 1 34 14 3 3 3 3 2 4 1 3 3 1 4 4 2 4 3 2 1 1 2 49 15 2 2 1 2 3 1 1 2 2 4 1 4 1 2 1 3 1 1 1 35 16 2 3 3 4 3 4 2 3 2 2 4 3 3 4 3 3 2 3 2 55 17 2 1 3 3 3 2 2 2 1 3 2 2 2 2 2 1 3 1 2 39 18 3 4 3 3 4 3 3 3 3 2 4 3 3 3 3 3 2 1 3 56 19 2 2 3 3 1 2 2 2 1 1 1 2 3 2 3 1 1 1 1 34 20 1 1 1 1 3 1 1 4 2 2 1 1 2 1 2 1 1 1 2 29 21 3 2 2 2 2 2 3 3 2 2 1 1 1 4 3 4 1 1 2 41 22 1 1 3 1 2 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 1 3 1 1 28 23 2 1 3 2 3 1 3 3 4 3 1 1 1 1 3 3 2 2 2 41 24 3 1 3 3 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 3 1 3 1 37 25 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 23 26 2 3 3 4 1 4 2 3 3 1 3 3 1 3 3 3 1 2 4 49 27 3 1 1 1 3 1 1 3 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 26 28 3 1 2 2 3 2 2 1 2 1 3 3 2 2 3 3 2 2 1 40 29 2 2 3 1 1 2 2 2 3 1 2 2 2 2 2 3 2 1 1 36 30 2 2 2 3 2 2 3 3 2 2 2 3 1 2 2 4 2 1 1 41 31 3 1 3 2 3 1 1 3 1 1 1 4 2 1 3 3 2 2 1 38 32 3 3 2 3 3 2 3 2 2 3 3 3 1 2 2 2 3 2 2 46
Jlh 72 64 80 77 70 67 60 80 68 57 67 85 53 68 76 77 54 50 53 1278
120
B. ASPEK AFEKTIF
I 2 4 6 13 15 17 25 29 31 33 35 36 38 41 45 50 52 54 55 56 Jlh S 1 2 1 2 1 1 1 3 1 3 4 1 1 2 1 2 1 3 1 1 1 33 2 2 2 1 2 1 2 2 3 4 2 2 1 3 2 2 2 2 2 2 2 41 3 1 2 1 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 3 1 4 1 1 4 33 4 3 3 2 2 2 3 2 3 2 2 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 51 5 1 1 1 2 1 1 1 1 4 1 1 1 2 1 1 1 3 2 2 2 30 6 3 3 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 56 7 2 1 4 2 1 3 1 3 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2 2 2 37 8 3 3 1 2 2 4 1 3 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 2 3 51 9 2 2 1 1 1 3 2 3 1 1 2 2 3 1 1 1 3 1 1 3 35
10 3 3 1 2 1 2 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 52 11 1 2 2 1 2 3 2 2 2 2 1 2 2 1 1 1 4 1 1 2 35 12 2 3 2 3 3 1 3 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 54 13 1 1 1 3 1 1 1 2 3 4 4 2 1 1 1 1 3 2 2 3 38 14 3 3 3 2 2 3 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 60 15 2 1 1 1 1 1 1 1 2 4 3 1 2 2 2 2 3 2 2 1 35 16 2 3 3 2 2 3 2 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 4 3 4 60 17 2 1 2 2 2 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 28 18 3 3 1 2 1 3 3 3 3 3 2 1 3 3 3 3 4 3 3 3 53 19 2 2 1 3 1 1 1 1 2 3 2 1 2 2 1 1 2 2 2 3 35 20 1 1 1 1 1 1 1 2 3 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 25 21 3 4 2 3 3 3 3 3 3 4 3 1 3 3 4 3 4 3 3 3 61 22 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 22 23 2 2 1 1 2 3 1 2 3 1 2 3 2 2 1 1 3 1 2 3 38 24 1 2 1 2 2 1 1 3 3 2 1 1 2 2 1 1 1 1 1 3 32 25 2 1 1 1 1 1 1 1 3 2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 2 29 26 2 3 3 1 2 3 3 3 2 2 3 2 3 3 3 3 4 3 2 3 53 27 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 2 2 1 4 27 28 2 1 2 2 1 2 1 4 3 1 2 2 2 2 1 2 3 2 1 3 39 29 2 2 1 1 1 2 2 3 2 2 3 2 3 3 2 2 2 2 1 2 40 30 1 1 2 1 1 1 1 1 4 2 1 1 1 1 1 1 4 1 1 2 29 31 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 39 32 3 3 1 1 1 2 2 3 3 2 1 1 3 3 1 1 4 1 1 3 40 Jlh 63 64 50 56 47 64 57 73 81 75 63 52 72 65 63 52 87 65 59 83 1291
121
C. ASPEK KELUARGA DAN D. ASPEK SPIRITUAL ATAU RELIGIUS LINGKUNGAN SOSIAL
I 12 19 22 27 32 48 Jlh I 8 10 18 23 26 30 39 42 44 46 47 Jlh S S 1 3 3 2 1 1 1 11 1 1 1 4 1 1 2 3 1 2 1 1 18 2 3 2 2 2 2 2 13 2 2 2 2 2 2 2 3 2 1 2 2 22 3 1 3 3 1 1 2 11 3 2 4 3 2 1 2 1 1 1 2 1 20 4 2 2 2 2 2 2 12 4 1 4 2 2 3 2 4 3 1 2 3 27 5 2 2 3 1 2 2 12 5 1 1 4 1 2 1 1 1 1 1 1 15 6 2 3 3 2 3 2 15 6 1 2 1 2 3 3 3 3 1 2 3 24 7 2 3 2 3 2 1 13 7 1 1 3 4 1 3 4 2 1 1 1 22 8 2 2 2 2 1 3 12 8 1 2 2 3 3 1 3 3 1 2 3 24 9 4 2 1 3 1 3 14 9 1 1 4 2 3 2 3 2 4 1 1 24
10 3 3 2 2 1 2 13 10 1 2 2 2 3 1 1 3 1 3 3 22 11 1 3 4 2 2 1 13 11 1 1 3 2 2 1 2 1 1 2 1 17 12 3 2 2 3 1 2 13 12 1 1 3 2 3 2 4 3 1 2 3 25 13 1 4 3 1 2 3 14 13 1 1 4 1 2 3 1 1 2 2 2 20 14 4 2 3 3 3 2 17 14 1 1 2 1 3 4 4 4 1 2 3 26 15 1 1 3 1 1 2 9 15 1 1 4 1 1 3 1 2 1 1 1 17 16 3 3 4 2 2 2 16 16 1 2 2 2 1 2 2 4 1 3 3 23 17 2 1 1 1 1 1 7 17 1 2 4 1 2 2 4 1 1 2 1 21 18 3 3 3 2 3 3 17 18 2 2 3 2 3 2 2 3 2 3 2 26 19 2 2 3 2 1 1 11 19 1 1 3 2 3 1 3 1 1 1 2 19 20 1 3 2 1 1 1 9 20 1 2 4 1 1 1 3 2 2 1 1 19 21 3 2 3 3 1 2 14 21 3 2 3 2 4 2 2 3 2 3 3 29 22 1 3 2 1 1 1 9 22 1 1 3 2 3 1 4 1 1 1 1 19 23 2 4 2 3 2 3 16 23 1 1 3 2 3 1 2 1 1 1 3 19 24 2 2 4 1 2 2 13 24 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 14 25 1 1 2 2 1 1 8 25 1 1 2 2 3 1 2 1 1 2 3 19 26 3 2 3 3 2 2 15 26 2 1 2 2 3 1 3 4 1 1 1 21 27 1 1 2 1 1 1 7 27 1 1 4 1 1 1 1 1 1 2 2 16 28 2 3 3 3 2 3 16 28 1 1 4 1 3 2 2 2 1 2 2 21 29 2 3 2 4 1 1 13 29 1 1 2 1 3 2 3 2 1 2 1 19 30 2 3 4 2 1 3 15 30 1 3 3 1 2 1 3 1 1 2 2 20 31 2 2 3 2 1 2 12 31 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 1 21 32 2 2 1 3 1 1 10 32 1 2 2 2 3 1 4 2 1 2 2 22 Jlh 68 77 81 65 49 60 400 Jlh 39 51 91 56 76 56 81 64 40 57 60 671
122
DATA KESELURUHAN FREKUEN MASALAH
Tabel 1
Frekuen Masalah Penelitian Orangtua yang mempunyai Anak Autis Aspek Kognitif
dan Jumlah Responden
Frekuen Masalah & Jlh Responden
No Item
Masalah
SS
S KK
TM
1 3 5 7 9
11
16
20
24
28
37
43
Saya beranggapan bahwa terbatasnya kosa kata yang dimiliki anak saya bukan merupakan penyebab ketidakmampuan berbiacara anak saya Saya berpikir bahwa sia-sialah melatih anak saya dalam mengungkapkan perasaannya Saya berpikir bahwa sekolah Umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan sosialisasi anak saya Saya berpandangan bahwa anak saya semakin sulit bahkan tidak dapat mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh orang lain Saya berpandangan bahwa kemampuan berbicara anak saya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih Saya berpandangan bahwa anak saya tidak berkembang menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya yang normal Saya berpandangan bahwa anak saya telah kehilangan masa depannya Saya berpendapat bahwa tidak ada gunanya menanggapi perilaku-perilaku emosional anak saya Saya berpikir bahwa kebahaguiaan anak saya pupuslah sudah Saya berpikir hanya dukungan keluarga sajalah yang paling menentukan baik-buruknya perkembangan anak saya Saya berpandangan bahwa lingkungan sosial mengabaikan kehidupan masa depan anak saya Saya pikir saya tidak perlu secara langsung mendampingi anak saya karena sudah ditangani terapis
- 2 2 3
1 8 1 2 2 6 3 2
11 9
17
13
13
13
18 8 9
17 7
18
18 8 8
10 9 8 9
14 7 4
13 3
3
13 5 6 9 3 4 8
10 5 9 9
123
Tabel 2
Frekuen Masalah Penelitian Orangtua yangmempunyai Anak Autis Aspek Afektif dan
Jumlah Responden
Frekuen Masalah & Jlh Responden
No Item
Masalah
SS
S KK
TM
2 13
31
33
35 41 45
50
52
54
55
56
Saya apatis terhadap perlaku anak saya Saya meragukan diagnosis dokter tentang penyebab gangguan anak saya Saya bosan menginformasikan perkembangan anak saya kepada orang lain yang tinggal serumah dengan saya Saya jengkel terhadap kurangnya kepedulian masyarakat terhadap penanganan anak autis Saya kehilangan gairah menjalankan hobi-hobi saya Saya malu mengakui keberadaan anak saya Saya malu menghadapi perilaku menyimpang anak saya di depan orang lain Saya benci pada diri saya sendiri karena memiliki anak autis Saya bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anak saya Saya merasa tak berdaya apabila menyaksikan anak saya yang selalu diam saja Saya kehilangan gairah bekerja baik di rumah maupun di tempat kerja (kantor/sekolah/karya lainnya) Saya cemas terhadap masa depan anak saya
- - 3 6 1 5 3 - 7 1 -
11
8 5
16 7 9 22 8 4
12 9 8
18
15 14 8
11 8 3 5
10
10
12
11 2
9 13 5 8
13 2 15
17 3
10
13 1
124
Tabel 3
Frekuen Masalah Penelitian Orangtua yang mempunyai Anak Autis Aspek Spiritual
atau Religius dan Jumlah Responden
Frekuen Masalah & Jlh Responden
No Item
Masalah
SS
S KK
TM
8
18
26 30
39
47
Saya ragu terhadap ajaran agama dapat menyembuhkan anak saya Setiap kali berdoa untuk anak saya, saya menginginkan agar Tuhan segera mengabulkan permohonan saya Saya merasa sendirian menanggung beban ini Kegiatan peribadatan saya terganggu karena memikirkan gangguan perkembangan anak saya Saya mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anak saya Saya memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang daripada mengikuti kegiatan rohani
- 9 1 1 7 1
1
12
17 4
10
10
5
10 7 13 8 7
26 1 7 14 7
14
Tabel 4
Frekuen Masalah Penelitian Orangtua yangmempunyai Anak Autis Aspek Lingkungan
Keluarga dan Sosialdan Jumlah Responden
Frekuen Masalah & Jlh Responden
No Item
Masalah
SS
S KK
TM
12
22
48
Saya sulit mempercayakan orang untuk menangani anak saya meskipun mereka tinggal serumah dengan saya Saya mempertahankan pendapat saya tentang penanganan anak saya walaupun pendapat saya keliru Saya mengabaikan peraturan yang ditetapkan di SLB “Autis” Cipta Mulia Mandiri
4 4 -
16
20 7
7 6
14
5 2
11