skripsi-ahmad nurjihan 111070038

130
i SKRIPSI Oleh : AHMAD NURJIHAN 111.070.038 PRODI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2 0 11 GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERBEDAAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TUTUPAN SELATAN KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Upload: rainier-siahaan

Post on 03-Aug-2015

372 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

i

SKRIPSI

Oleh :

AHMAD NURJIHAN

111.070.038

PRODI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA

2 0 11

GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN

TERHADAP PERBEDAAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120

BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT

DAERAH TUTUPAN SELATAN

KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG

PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Page 2: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

ii

SKRIPSI

Oleh :

AHMAD NURJIHAN

111.070.038

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi

Yogyakarta, 26 September 2011

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. H. Achmad Rodhi, M.T. Ir. Ediyanto, M.T.

NIP : 19540511 198303 1 001 NIP. 19600331 199203 1 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan

Ir. Sugeng Raharjo, M.T.

NIP. 19581208 199203 1 001

GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN

TERHADAP PERUBAHAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120

BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT

DAERAH TUTUPAN SELATAN

KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG

PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Page 3: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan rosulnya Muhammad SAW berkat rahmat

Nya-lah penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “ Geologi dan

Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Perbedaan Peringkat Batubara Seam T120

Berdasarkan Parameter Nilai Reflektan Vitrinite Daerah Tutupan Selatan, Kecamatan

Tanjung, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan.

Laporan tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum

program Strata-1 di Prodi Teknik Geologi Falkutas Teknologi Mineral Universitas

Pembangunan Nasional “ Veteran “ Yogyakarta.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Almarhum Ayah dan Ibunda tercinta, atas semangat, bimbingan, nasehat, doa

dan bantuan materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Ir. H. Sugeng Rahardjo, MT selaku Ketua Prodi Teknik Geologi, UPN ” Veteran

” Yogyakarta. Bapak Ir. H.Achmad Rodhi, MT selaku pembimbing I di Prodi

Teknik Geologi, UPN ”Veteran” Yogyakarta, atas segala ilmu, waktu dan

bimbingan yang diberikan kepada penulis. Ir.Ediyanto, MT selaku pembimbing

II di Prodi Teknik Geologi, UPN ”Veteran” Yogyakarta, atas segala ilmu, waktu

dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.

3. PT. Adaro Indonesia atas kesempatan, dukungan, sarana dan prasarana selama

penelitian, Bapak Dwin Deswantoro selaku pembimbing di lapangan PT.Adaro

Indonesia, dan seluruh karyawan PT. Adaro Indonesia yang telah banyak

membantu dan telah memberikan suasana yang menyenangkan selama

penelitian.

4. Keluarga Besar Pangea Cruiser atas semua ilmu dan pengalaman yang telah

diberikan kepada penulis dan saudara-saudara angkatan 2007 Teknik Geologi

UPN ”V” Yogyakarta, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih atas dukungan dan doanya.

Page 4: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

iv

5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu - persatu yang telah

membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi

ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan laporan skripsi ini.

Akhir kata, semoga laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna

untuk dipahami bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya

serta dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, amin yaa rabbal

a’lamin.

Yogyakarta, 20 Agustus 2011

Penulis

Ahmad Nurjihan

Page 5: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan kepada :

Keluarga Tercinta, Almarhum Ayahanda Harun Alrasyid dan Ibunda Sri Hartati yang selalu

memberikan kasih sayang, dukungan, semangat dan doa yang tiada henti.

serta kedua saudaraku Eko Nurrahmanto dan Fajar Dwi Astuti

Keluarga Besar Pangea Cruiser, sebagai tempat bermain dan belajar.

Keluarga Basecamp PC, Adie Pulung Saputro, RY Rahman, Rudi Prastiono

Keluarga Besar staff dosen dan asisten dosen Laboratorium Geologi Struktur.

Selvy Indah Era Wardani yang telah banyak memberikan semangat.

Teman-teman Geologi terutama “Pangea 2007”, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih atas dukungan dan bantuan kalian semua.

Page 6: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

vi

GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP

PERUBAHAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN

PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TUTUPAN

KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG

PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

Ahmad Nurjihan

111.070.038

ABSTRAK

Latar belakang penelitian ini adalah dijumpai banyak seam batubara dengan

ketebalan mencapai 28 meter dan struktur geologi yang cukup kompleks, sehingga

tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keadaan geologi dan karakteristik struktur

geologi daerah telitian serta perubahan peringkat batubara (coal rank) berdasarkan

tingkat kematangan bahan organik (reflektan vitrinit) yang dikontrol oleh perubahan

tekanan dan temperatur akibat dari pengaruh sesar mendatar Tutupan. Lokasi Penelitian

ini dilakukan pada salah satu kuasa pertambangan milik PT. Adaro Indonesia, yaitu di

Blok Tutupan Selatan Pit Hill 11. Secara administrasi lokasi daerah telitian berada pada

daerah Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, secara geografis

terletak pada 11528’0” BT - 11528’53.2” BT dan 214’10.8” LS - 215’0” LS.

Metode penelitian yang digunakan adalah berupa pemetaan geologi permukaan

(Surface Mapping) dengan pengambilan data langsung di lapangan. Beberapa analisis

yang dilakukan antara lain: struktur geologi dan petrografi batubara (maseral dan

reflektan vitrinit) yang digunakan untuk penentuan peringkat batubara pada daerah

telitian.

Satuan geomorfologi daerah telitian antara lain: bukit homoklin berlereng miring

(S1), perbukitan homoklin berlereng landai (S2), kolam penampungan air/sump hasil

penambangan (H1), lereng curam high wall hasil penambangan (H2), lereng curam low

wall hasil penambangan (H3), lereng curam end wall hasil penambangan (H4) dan

dataran berlereng landai-miring hasil penambangan (H5). Stratigrafi daerah telitian dari

tua ke muda yaitu : Satuan batupasir kuarsa Warukin yang diendapkan pada lingkungan

Upper delta plain pada Kala Miosen Tengah, selaras di atasnya Satuan batulempung

Warukin yang diendapkan pada lingkungan Transitional lower delta plain pada Kala

Miosen Tengan dan tidak selaras di atasnya Satuan Endapan Alluvial yang diendapkan

pada lingkungan fluviatil (darat) pada Kala Holosen. Struktur geologi pada daerah

telitian berupa kekar dan cleat dengan arah umum NW-SE, homoklin dengan strike ke

arah NE-SW dan dip miring ke arah SE, sesar mendatar Tutupan berarah WNW-ESE,

serta sesar naik Hill 11 diperkirakan berarah NE-SW. Secara umum, peringkat batubara

(coal rank) berdasarkan nilai reflektan vitrinit di daerah telitian mempunyai peringkat

batubara Sub-Bituminous B menurut klasifikasi ASTM, 1986. Sedangkan pada seam

T120 yang tersesarkan (pengambilan sampel pada zona sesar) terjadi perbedaan

peringkat batubara dengan peringkat High Volatile Bituminous C yang diakibatkan oleh

peningkatan tekanan dan temperatur karena pergerakan sesar mendatar Tutupan.

Page 7: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................... v

ABSTRAK ................................................................................................................ vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................ vii

DAFTAR FOTO ..................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1

1.3. Batasan Masalah ................................................................................................ 2

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ........................................................................... 2

1.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian ........................................................ 3

1.6. Hasil Penelitian ................................................................................................... 6

1.7. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 7

1.8. Peneliti Terdahulu ............................................................................................... 7

BAB II. METODE PENELITIAN 2.1.Metodologi Penelitian .......................................................................................... 8

BAB III. DASAR TEORI 3.1. Genesa Batubara ................................................................................................. 14

3.2. Faktor Pembentuk Batubara ................................................................................ 17

3.3. Petrografi Batubara ............................................................................................. 19

3.4. Peringkat Batubara (Coal Rank) ........................................................................ 17

3.5. Lingkungan Pengendapan .................................................................................. 31

3.7. Karakteristik Sesar Naik dan Sesar Mendatar .................................................... 35

BAB IV. GEOLOGI REGIONAL 4.1. Fisiografi Regional ............................................................................................. 39

4.2. Kerangka Tektonik Regional .............................................................................. 40

4.3. Stratigrafi Regional ............................................................................................. 43

4.4. Struktur Geologi Regional .................................................................................. 48

BAB V. GEOLOGI DAERAH TELITIAN 5.1. Geomorfologi Daerah Telitian ............................................................................ 50

5.2. Stratigrafi Daerah Telitian .................................................................................. 58

Page 8: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

viii

5.3. Struktur Geologi Daerah Telitian ....................................................................... 70

5.4. Sejarah Geologi Daerah Telitian ......................................................................... 84

BAB VI. PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP

PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER

NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TELITIAN 5.1. Peringkat Batubara (Coal Rank) Daerah Telitian ............................................... 84

5.2.Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Peringkat Batubara Seam T120 ... 88

BAB VII. KESIMPULAN ....................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii

Page 9: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

ix

DAFTAR FOTO

Foto Hal

5.1. Kenampakan arah kemiringan lapisan batuan pada daerah telitian ................. 52

5.2. Kenampakan satuan Geomorfologi bukit homoklin berlereng miring (S1)

dan perbukitan lemah homoklin berlereng landai (S2) di bagian tenggara

daerah telitian .................................................................................................... 53

5.3. Kenampakan satuan kolam penampungan (sump) di daerah telitian ............... 54

5.4. Kenampakan satuan geomorfik aspek manusi pada daerah telitian ................ 56

5.5. Kenampakan woody structur (struktur kayu) pada LP 109 ............................. 59

5.6. Litologi batupasir kuarsa daerah telitian pada LP 2 ....................................... 59

5.7. a. Litologi batulempung dengan sisipan batubara tipis pada LP 82 ................ 60

5.7. b. Lithologi batulempung karbonan dengan struktur menyerpih pada LP 90 . 60

5.8. Litologi batubara T110 bagian floor pada lintasan MS end wall timur laut .... 61

5.9. a. Cleat pada batubara seam T110 pada LP 164 .............................................. 62

5.9. b. Kenampakan resin/amber pada seam batubara T110 pada end wall timut

laut ................................................................................................................ 62

5.10. Kontak satuan batuan (garis merah) pada end wall timur laut daerah telitian 64

5.11. Litologi batulempung dengan struktur masif pada LP 101 ............................ 65

5.12. Litologi batupasir kuarsa dengan struktur silang siur pada LP 10 .................. 65

5.13. Litologi batulanau dengan fosil cetakan daun (plant remain) LP 102 ........... 66

5.14. Satuan Endapan Alluvial yang terdapat pada kolam penampungan /sump .... 69

5.15. Kekar pada lithologi batulanau LP 71 ............................................................ 71

5.16. Kenampakan cleat pada daerah telitian .......................................................... 73

5.17. Struktur homoklin pada daerah telitian ........................................................... 75

5.18. Kenampakan offset, bidang sesar, zona milonit pada daerah telitian ............. 76

5.19. Kenampakan bidang sesar, slickenside dan drag fold di daerah telitian ........ 77

5.20. Kenampakan lipatan berupa drag fold di dearah telitian pada LP 78 dan LP

79 .................................................................................................................... 81

Page 10: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1.1. Peta lokasi daerah telitian yang termasuk dalam wilayah konsesi PT. Adaro

Indonesia ........................................................................................................... 5

1.2. Petunjuk letak peta dan peta lokasi daerah telitian ........................................... 6

2.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian .................................................... 13

3.1. Proses kematangan batubara ............................................................................. 23

3.2. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne,1978) ............................... 26

3.3. Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial

(Horne,et all, 1978) ........................................................................................... 29

3.4. a. Rekontruksi dari lingkungan transitional lower delta plain ......................... 31

3.4. b. Urutan umum vertikal melalui endapan transitional lower delta plain

(Horne,et all, 1978) ...................................................................................... 31

3.5. Kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan

perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung .......... 33

3.6. Plan of wrench system under North – South sample (Moddy and Hill, 1961) 38

3.7. En Echelon Structures pada zona strike slip faults (Harding,1974 and

Bartlett et all,1981) ........................................................................................... 38

4.1. Peta fisiografi pulau Kalimantan ...................................................................... 39

4.2. Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989) .................................. 42

4.3. Barito Basin-Makassar Strait cross section ...................................................... 42

4.4. Peta geologi Regional daerah penelitian (Heryanto,dkk.1994) ....................... 46

4.5. Model Struktur Regional (PT. Adaro Indonesia).............................................. 49

4.6. Tatanan Tektonik Cekungan Barito .................................................................. 49

5.1. Diagram Rosset dan Kontur face cleat daerah telitian ..................................... 74

5.2. Diagram kontur face cleat pada zona sesar dengan kekudukan umum

N370E/550 ......................................................................................................... 78

5.3. Diagram analisis sesar mendatar Tutupan ........................................................ 78

5.4. Analisis stereografis drag fold pada daerah telitian .......................................... 80

5.5. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur penyerta (Hill,1976) ........ 82

Page 11: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

3.1 Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta-antrasit (Thomas, 2002 .. ) 16

3.2 Klasifikasi Maseral Batubara (AS 2856, 1986) ............................................... 22

3.3 Coal Rank Classifications (ASTM Standard, 1983) And Relation to vitrinite

reflectance (modified from Meissner, 1984) ..................................................... 24

4.1 Stratigrafi cekungan Barito (Adaro Resources Report, 1999) ........................... 46

4.2 Kolom stratigrafi daerah Tutupan (PT. Adaro Indonesia) ................................. 47

5.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng (Zuidam dan Cancelado, 1979) ....................... 51

5.2 Klasifikasi satuan geomorfik daerah telitian ..................................................... 59

5.3 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian ..................................................................... 70

5.4 Tabulasi Data Face Cleat Daerah Telitian ........................................................ 72

5.5 Tabulasi Data Kedudukan Sayap Drag Fold ..................................................... 79

6.1 Peringkat batubara Tutupan (ADARO) ............................................................. 84

6.2 Coal rank ADR_T100 ....................................................................................... 85

6.3 Coal rank ADR_T120 ....................................................................................... 85

6.4 Coal rank ADR_T300 ....................................................................................... 86

6.5 Hasil analisis reflektan vitrinit dan penentuan coal rank (ASTM,1986), seam

T120 pada daerah telitian .................................................................................. 87

6.6 Klasifikasi coal rank T120 AH-1 LP 105 (ASTM,1983 modified from

Meissner,1984) ................................................................................................. 88

6.7 Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6(ASTM,1983 modified from

Meissner,1984) ................................................................................................. 88

6.8 Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6(ASTM,1983 modified from

Meissner,1984) ................................................................................................. 89

Page 12: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon yang terbentuk dari tetumbuhan

dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang

berlangsung lama sekali. Secara garis besar batubara terdiri dari zat organik, air dan

bahan mineral. Petrologi batubara memberikan dasar untuk pemahaman genesa , sifat-

sifat dan arti penting unsur organik di dalam batubara. Material organik berasal dari

berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama

tahap pembentukan gambut.

Pada tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut

menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit,

subbituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan

temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu (Cook, 1982). Cook

(1982), juga menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan

pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat rendah, dimana material

organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada mineral anorganik.

Aktifitas tektonik dapat menimbulkan efek tekanan terutama pada shearing force

atau gaya lintang. Aktivitas tektonik sangat berpengaruh terhadap kondisi lapisan

batubara baik fisik maupun kimianya. Tentunya pada daerah patahan juga menghasilkan

akibat yang sama karena adanya perubahan tekanan dan temperatur di zona sesar.

Kondisi geologi terutama batubara pada daerah Tutupan selatan yang merupakan

wilayah konsesi PT. Adaro Indonesia, dijumapi banyak seam batubara dan ada yang

mempunyai tebal mencapai 30 meter serta kondisi struktur geologi pada daerah tersebut

yang cukup kompleks. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

perubahan peringkat batubara (coal rank) berdasarkan tingkat kematangan bahan

organik yang dikontrol oleh perubahan tekanan dan temperatur akibat dari pengaruh

Page 13: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

2

struktur geologi, yang secara ekonomis akan sangat menguntungkan karena ketebalan

seam batubara pada daerah telitian ini mencapai hingga 28 meter.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dimunculkan adalah :

1. Bagaimana karakteristik struktur geologi yang ada pada daerah telitian?

2. Bagaimana pengaruh struktur geologi terhadap peringkat batubara (coal rank)

berdasarkan parameter nilai reflektan vitrinit pada daerah telitian?

1.3. Batasan Masalah

Penelitian yang dilaksanakan dibatasi dan menitikberatkan khususnya pada

lapisan batubara seam T120 dan struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan.

Dimana nantinya akan dibandingkan peringkat batubara pada zona sesar dan jauh dari

zona sesar menggunakan parameter nilai reflektan vitrinit rata-rata dengan pengaruh

sesar mendatar Tutupan pada daerah telitian. Data yang digunakan adalah data outcrop

permukaan dari hasil pemetaan peneliti di daerah Tutupan Selatan, konsesi PT. Adaro

Indonesia, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan serta

menggunakan hasil analisis petrografi batubara dengan sampel yang diambil pada

daerah telitian. Seam T120 dipilih karena merupakan seam yang paling jelas tersesarkan

dibandingkan seam yang lain dan merupakan seam kunci dengan ketebalan hingga 28

meter pada daerah telitian.

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan kurikulum Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Yogyakarta, maka mahasiswa yang telah memenuhi syarat

diwajibkan untuk melaksanakan Tugas Akhir dengan melakukan pemetaan geologi

lapangan. Hal ini sebagai syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan pada program S1 di

Jurusan Teknik Geologi UPN “V” Yogyakarta

Page 14: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

3

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kondisi geologi daerah telitian.

2. Mengetahui struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian.

3. Mengetahui pengaruh sesar mendatar Tutupan terhadap perbedaan peringkat

batubara (coal rank) seam T120 yang ditinjau dari nilai reflektan maseral

(vitrinit) di daerah telitian.

I.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian

Lokasi Penelitian ini dilakukan pada salah satu kuasa pertambangan milik PT.

Adaro Indonesia, yaitu di Blok Tutupan Selatan pit Hill 11. Secara administrasi lokasi

daerah telitian berada pada daerah Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan

Selatan (sekitar 210 km ke arah Timur Laut dari Kota Banjarmasin) dan daerah telitian

terletak pada koordinat UTM N 9751209 – N 9752768 dan E 329486 – E 331068, secara

geografis terletak pada 11528’4.6” BT - 11528’53.2” BT dan 214’1.8” LS - 215’1.6”

LS dengan luas daerah telitian adalah 1 x 1,3 km (Gambar 1.1 dan 1.2).

Pertambangan batubara PT. Adaro Indonesia dibatasi dalam wilayah kuasa

Pertambangan Eksploitasi DU. 182/Kal–Sel. Areal kuasa penambangan batubara

PT.Adaro Indonesia terdapat di empat lokasi, yaitu daerah Paringin, Tutupan, Wara dan

Warukin.

Daerah operational PT.Adaro Indonesia secara geografis berada pada :

115º33’30” sampai dengan 115º26’10” Bujur Timur

2º7’30” sampai dengan 2º55’30” Lintang Selatan.

Lokasi penambangan berjarak 210 km kearah Timur Laut Kota Banjarmasin.

Secara administratif, PT. Adaro Indonesia meliputi tiga belas kecamatan dan tiga

kabupaten yang terdapat di dua propinsi (Gambar 1.1). Di daerah tingkat I Kalimantan

Selatan meliputi Kabupaten Tabalong (Kecamatan Muara Harus, Murung Pudak, Upau,

Tanta, dan Kelua), Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Paringin : Lampihong,

Juai, Awayan, dan Batu Mandi). Sedangkan di Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah

Page 15: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

4

meliputi Kabupaten Barito Selatan (Desa Kelanis Kecamatan Hulu Sungai

Hilir/Mangkatip dan Desa Rangga Ilung Kecamatan Jenamas serta Pasar Panas).

Rute perjalanan yang ditempuh dari Yogyakarta ke lokasi areal tambang adalah

sebagai berikut:

1) Yogyakarta – Banjarbaru (Kalimantan Selatan) selama ± 1 jam 30 menit dengan

menggunakan pesawat udara.

2) Banjarbaru – Tanjung, Kabupaten Tabalong dengan menggunakan transportasi

darat jarak tempuh ± 230 km selama ± 4-5 jam perjalanan dengan kondisi jalan

beraspal cukup baik.

3) Tanjung – Kantor Pusat PT. Adaro Indonesia Wara km 73 dengan menggunakan

transportasi darat jarak tempuh ± 15 km selama ± 30-45 menit dengan kondisi

jalan beraspal cukup baik.

4) Kantor Pusat PT. Adaro Indonesia Wara km 73 – Lokasi Penelitian dapat

ditempuh dengan trasportasi darat (mobil roda 4) jarak tempuh ± 6 km selama

10-15 menit dengan kondisi jalan berupa haul road dan jalan tambang.

Page 16: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

5

Gambar 1.1. Peta lokasi daerah telitian yang termasuk dalam wilayah konsesi

PT. Adaro Indonesia

Page 17: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

6

Gambar 1.2. Petunjuk letak peta dan peta lokasi daerah telitian

I.6. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk:

1. Peta lintasan dan lokasi pengamatan.

2. Peta geomorfologi

3. Peta geologi

4. Peta struktur dan peringkat batubara seam T120.

5. Penampang stratigrafi terukur

6. Laporan Penelitian.

Page 18: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

7

I.7. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa

sudut pandang berupa:

1. Keilmuan, dapat diketahui bagaimana pengaruh struktur geologi terhadap

komposisi maseral batubara.

2. Kegunaan penelitian bagi perusahaan, memberikan informasi dan data geologi

terbaru kepada perusahaan yang menjadi tempat dilaksanakannya penelitian ini.

I.8. Peneliti Terdahulu

Daerah telitian termasuk ke dalam Cekungan Barito, secara fisiografi

merupakan bagian dari cekungan di Kal-Tim. Beberapa peneliti terdahulu, meneliti

daerah lebih luas yang mencakup daerah penelitian penulis, antara lain:

1. Gunawan Sabta Eko, Skripsi, 2007, Kendali Geologi Terhadap Karaktristik Cleat

Batubara Seam T210,T220,T200 Pada Blok Tambang PT. Bukit Makmur Mandiri

Utama Daerah Tutupan Wilayah Konsesi PT. Adraro Indonesia Kabupaten

Tabalong Kal-Sel, UPN “V”. Yogyakarta.

2. Hariyadi, Skripsi, 2008, Pola Sebaran Lapisan Batubara Seam A, B, C, D, E, F

Pada Formasi Warukin Berdasarkan Data Permukaan Daerah Utara

TutupanWilayah Konsesi PT. Adaro Indonesia,, Kabupaten Tabalong, Kal-Sel, UPN

“V”. Yogyakarta.

3. Heryanto, R, 2009, Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi

Tanjung di daerah Binuang dan sekitarnya, Kalimantan Selatan, Jurnal Geologi

Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 239-252.

4. Kusnama, 2008, Batubara Formasi Warukin di daerah Sampit dan sekitarnya,

Kalimantan Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22

5. Sikumbang, N. dan Heryanto, R., 1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin,

Kalimantan Selatan skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,

Bandung.

Page 19: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

8

BAB II

METODELOGI PENELITIAN

2.1. Metodelogi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan di daerah penelitian adalah berupa

pemetaan geologi permukaan (Mapping surface). Dalam penelitian ini masalah yang

akan dijumpai terutama masalah yang berhubungan dengan obyek penelitian itu sendiri

seperti permasalahan geologi, geomorfologi, struktur geologi maupun stratigrafi. Maka

untuk memecahkan masalah tersebut, metode pendekatan yang dilakukan dalam

penelitian di lakukan dalam beberapa tahap yang meliputi antara lain: tahap pendahuluan

(pra-lapangan), pelaksanaan (lapangan) dan tahap pasca-lapangan (pengolahan data dan

laporan akhir).

a. Tahap Pendahuluan (Pra-lapangan)

Segala hal mengenai daerah penelitian sangat berguna bagi penelitian lebih

lanjut, untuk itu hasil-hasil penelitian terdahulu sangat penting sebagai referensi dan

perbandingan. Adapun pengenalan lapangan dan persiapan-persiapan yang harus

dilakukan meliputi :

Persiapan proposal penelitian dan perijinan.

Persiapan peralatan dan perlengkapan.

Pada penelitian ini bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan adalah sebagai

berikut:

1. Sarana Pengamatan: Kompas geologi, palu geologi, kaca pembesar (lup),

komparator butir, meteran 30 m, HCL dan kantong sampel.

2. Sarana Perekam: Peta topografi, buku catatan lapangan, kamera digital dan

GPS.

3. Alat Tulis : Pena, pensil, pensil berwarna, spidol marker, spidol OHP,

clipboard, penggaris, busur derajat, kertas HVS.

Page 20: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

9

4. Pengolahan data menggunakan software: AutoCad, MapSource, ArcGis,

Dips, Global Mapper, Surfer dan Corel Draw.

Studi pustaka daerah penelitian dan geologi regionalnya, untuk dapat mengetahui

kondisi geologi daerah penelitian berdasarkan informasi-informasi yang berupa

literatur dan publikasi dari peneliti terdahulu.

Melakukan interpretasi awal dengan menggunakan peta topografi daerah

penelitian sebagai peta dasar dan sebagai tahap awal penelitian dengan

memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam peta tersebut.

b. Tahap Pelaksanaan (lapangan)

Dalam tahap pelaksanaan/lapangan ini dilakukan pekerjaan lapangan dan

pengumpulan data dilapangan pada daerah penelitian yang merupakan konsesi PT.

Adaro Indonesia. Data yang didapatkan peneliti dari pengamatan lapangan merupakan

data primer. Data yang diperoleh antara lain:

Observasi lapangan: Dilakukan untuk mengenali medan dan kondisi lapangan

dari daerah penelitian dan juga untuk mengetahui gambaran morfologi dan

keadaan geologi secara umum guna menentukan langkah-langkah dalam

penelitian selanjutnya.

Penggambilan data lapangan: Pengamatan lapangan dan pengambilan data

geologi merupakan unsur utama dalam pemetaan geologi permukaan (Mapping

surface) karena keakuratan data yang diambil akan sangat mempengaruhi hasil

akhir penelitian ini. Data yang perlu diambil pada daerah penelitian, antara lain:

1. Pengukuran data kedudukan lapisan batuan.

Tujuan dari pengambilan data ini ialah untuk mengetahui sebaran litologi

daerah penelitian dan kondisi geologi daerah penelitian.

2. Deskripsi singkapan, baik iu singkapan batubara, batuan lainnya, morfologi

sekitar dan unsur-unsur struktur geologi yang dijumpai.

Page 21: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

10

3. Profil singkapan pengamatan dan penampang stratigrafi terukur

Tujuan dari pembuatan profil dan penampang stratigrafi terukur adalah

untuk mengetahui hubungan satuan batuan, sejarah geologi dan juga dapat

digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan dari satuan batuan

pada daerah penelitian.

4. Pengukuran struktur geologi

Data pengukuran struktur geologi dapat dipakai untuk mengetahui proses-

proses geologi yang bekerja serta sebagai data utama pada kajian khusus

pada daerah penelitian.

5. Pengukuran azimuth singkapan

Pengukuran azimuth singkapan dilakukan untuk mengetahui arah dari

singkapan yang ditemui.

6. Dokumentasi (foto)

Dokumentasi dimaksudkan untuk merekam kenampakan-kenampakan

litologi maupun singkapan yang ada, sehingga akan memudahkan penulis

untuk menunjukannya kepada pembaca. Dokumentasi tersebut dapat

berupa foto singkapan, foto bentang alam maupun foto close up dari

litologi dan struktur sedimennya.

7. Pegambilan sampel untuk uji laboratorium, diantaranya sampel petrografi,

sampel paleontologi dan sampel batubara untuk uji petrografi dan maseral

batubara.

c. Tahap Analisis Data

Tahap pemprosesan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi

pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta

pengambilan data lapangan yang didukung oleh analisa laboratorium, yang meliputi :

analisis struktur geolo, analisa paleontologi, analisa petrografi, analisa struktur geologi

serta analisa data-data lapangan yang dibuat menjadi penampang terukur (profil) agar

Page 22: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

11

dicapai kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan tetang penelitian yang dilakukan

yang akan ditampilkan dalam bentuk:

1) Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan

2) Peta Geomorfologi

3) Peta Geologi

4) Penampang Stratigrafi Terukur

5) Peta Struktur dan peringkat Batubara seam T120

Beberapa analisa yang dilakukan untuk melengkapi data pemetaan ini antara lain:

a. Analisis Petrografi

Untuk menganalisis petrografi dari sampel-sampel batuan yang mewakili satuan

batuan di daerah penelitian.

b. Analisis Mikropaleontologi

Untuk menganalisis kandungan mikrofosil (fosil bentos maupun plankton) yang

terkandung dalam sampel batuan yang diduga mengandung fosil untuk

penentuan umur dari satuan batuan yang diwakili.

c. Analisis Struktur Geologi

Untuk menganilisis struktur geologi meliputi analisa stereografi untuk

penggambaran stereografi kedudukan struktur geologi yang dijumpai baik itu

kekar, sesar, micro fold, maupun cleat.

d. Analisis Penampang Stratigrafi Terukur

Untuk menganilisis penampang stratigrafi terukur berdasarkan cirri-ciri fisik,

kimia dan biologi dari batuan untuk selanjutnya menentukan lingkungan

pengendapan.

e. Analisis Petrografi dan Maseral Batubara

Untuk mengetahui komposisi dan penyusun apa saja yang terkandung dalam

batubara. Serta menentukan peringkat batubara (coal rank) dari lapisan batubara

menggunakan analisis reflektan vitrinit dari maseral batubara.

Page 23: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

12

f. Pembuatan peta-peta, yaitu peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta struktur

dan peringkat batubara seam T120, peta geomorfologi dan peta geologi daerah

penelitian.

d. Penyusunan Laporan

Pelaporan merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah

dilakukan dan disajikan dalam bentuk laporan dan peta yang merangkum semua

permasalahan yang diangkat penulis beserta hasil analisa guna menjawab permasalahan

di atas.

Page 24: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

13

Gambar 2.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian

Page 25: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

14

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Genesa Batubara

Menurut Badan Standarisasi Nasional dalam SNI (1997), batubara adalah

endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa

tumbuhan yang telah melalui proses lithifikasi untuk membentuk lapisan batubara,

material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis

oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologi. Bahan-bahan organik yang

terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat > 50% volume bahan organik.

Batubara berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami proses pembentukan

batubara yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap

geokimia (pembatubaraan). Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana

sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi (gambut) di

daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada

kedalaman 0,5 – 10 m. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C

dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh

bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach et al, 1982 ). Gambut

merupakan tahap paling awal dari proses pembentukkan batubara. Faktor-faktor yang

berpengaruh dalam pembentukkan gambut :

Evolusi tumbuhan, hara merupakan unsur utama pembentuk batubara dan

sebagai penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Metode yang

digunakan untuk mengenal jenis tumbuhan pembentuk batubara yaitu

paleobotani atau maseral.

Iklim, kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan

gambut. Iklim tropis dapat membentuk gambut lebih cepat karena

kecepatan tumbuh dari tumbuhan lebih besar, lebih banyak ragam

tumbuhan, dalam waktu 7-9 tahun dapat mencapai ketinggian 30 m.

Page 26: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

15

Sedangkan pada iklim sedang dapat mencapai ketinggian 5-6 m dalam

jangka waktu yang sama.

Paleografi dan Tektonik, syarat terbentuknya formasi batubara adalah

kenaikan muka air tanah yang lambat, adanya perlindungan rawa terhadap

pantai atau sungai dan terdapat energi yang relatif rendah.

Tahap selanjutnya yaitu tahap pambatubaraan (coalification) yang

merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh

pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu

terhadap komponen organik dari gambut (Stach et al, 1982, dalam Susilawati, 1992).

Pada tahap ini persentase karbon akan meningkat, sedangkan presentase hidrogen

dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, dalam Susilawati, 1992). Proses ini akan

menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya

mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta

antrasit (Tabel 3.1.). Meningkatnya peringkat batubara dari lignit hingga berubah

menjadi subbitumin dan antrasit disebabkan oleh kombinasi antara proses fisika dan

kimia serta aktifitas biologi (Teichmuller dan Teichmuller, 1968; Stach et al., 1975

dalam Galloway dan Hobday, 1983).

Page 27: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

16

Tabel 3.1. Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta-antrasit

(Thomas, 2002)

Tahap

Pembatubaraan

Kisaran peringkat

batubara menurut

ASTM

Proses yang dominan Perubahan fisika-kimia

yang dominan

1. Penggambutan Gambut Maserasiasi, humifikasi,

jelifikasi, fermentasi

Pembentukan zat humik,

peningkatan pada aroma

2. Dehidrasi Lignit – subbituminus Dehidrasi, penghilangan

kompaksi

Pengurangan kandungan

air dan rasio O/C,

peningkatan nilai panas,

pertumbuhan cleat

3. Bituminisasi Subbituminus A –

bituminous A kaya

volatile

Pembentukan dan

pengikatan hidrokarbon,

depolimerisasi matriks,

penambahan ikatan

hydrogen

Peningkatan vitrinit Ro,

peningkatan fluorescence,

pengurangan densitas,

peningkatan kekuatan

4. Debituminisasi Bituminous A kaya

volatile – bituminous

A rendah volatile

Coalescence, pelepasan

hydrogen dan nitrogen

Pengurangan fluorescence,

pengurangan berat

molekul, pengurangan

rasio H/C, pengurangan

kekuatan, pertumbuhan

cleat

5. Grafitisasi Semi-antrasit –

antrasit – meta-antrasit

Pengurangan rasio H/C,

anisotropic, kondensasi

kekuatan cincin dan

perbaikan cleat

Genesa batubara berdasarkan tempat dibedakan menjadi dua (Sukandarrumidi,

1995, hal.17) yaitu :

a. Teori Insitu

Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuk di tempat dimana

tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan itu

mati, sebelum terjadi proses transportasi segera tertutup oleh lapisan

sediment dan mengalami proses coalification. Batubara dengan proses ini

penyebarannya luas, merata dan kualitasnya baik.

b. Teori Drift

Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadi di tempat yang berbeda

dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian

tumbuhan yang telah mati mengalami transportasi oleh media air dan

terakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sediment dan terjadi

Page 28: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

17

proses coalification. Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas

tetapi banyak dan kualitasnya kurang baik.

3.2. Faktor Pembentuk Batubara

Menurut Bambang Kuncoro, 1996 ada 10 faktor yang mempengaruhi

pembentukan batubara, faktor-faktor tersebut adalah:

a. Posisi Geoteknik

Yaitu suatu keadaan batubara yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya

tektonik dengan adanya pengaruh dari gaya-gaya tersebut akan mempengaruhi iklim

lokal dan morfologi cekungan lingkungan pengendapan batubara maupun kecepatan

penurunannya.

b. Topografi

Topografi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena

menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk. Topografi

mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keberadaanya

bergantung pada posisi geoteknik. Bentuk muka bumi yamg berupa cekungan akan

sangat berpengaruh dan dapat menentukan arah penyebaran batubara.

c. Iklim

Keberadaan memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan

merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisis yang sesuai. Iklim

tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi

geoteknik. Temperatur yang lembab pada iklim tropi sdan subtropis pada umumnya

sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Pada iklim

tropis atau subtropis umumnya akan membentuk batubara yang mengkilap,

sedangkan pada daerah yang lebih dingin batubara terbentuk lebih kusam.

d. Tumbuhan (Flora)

Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara yang tumbuh pada masa Karbon

dan Tersier terdiri berbagai jenis tumbuhan. Pertumbuhan dari flora terakumulasi

pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu.

Page 29: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

18

e. Dekomposisi

Dekomposisi flora merupakan transformasi biokimia dari organik yang merupakan

titik awal untuk seluruh altersi, bila tumbuhan tertutup air dengan capat maka

pembusukan tidak akan terjadi tetapi akan di integrasiatau penguraian hewan

mikrobiologi, bila tumbuhan yang mati berada di udara terbuka maka kecepatan

pembentukan gambut akan berkurang sehingga bagian keras saja yang tertinggal.

f. Penurunan Cekungan

Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik, jika penurunan

dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan lapisan batubara yang

tebal. Pergantian transgresi dan regresi akan mempengaruhi pertumbuhan flora dan

pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineralnya, hal

ini mempengaruhi kualitas batubara yang terbentuk.

g. Umur geologi

Merupakan umur formasi pembawa lapisan batubara. Proses geologi menentukan

berkembangnya evoluasi kehidupan berbagai macam tumbuhan, berpengaruh pada

sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Dimana makin tua umur

pembawa lapisan batubara maka akan semakin tinggi nilai kalorinya.

h. Sejarah Setelah Pengendapan

Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geoteknik yang

mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat

terjadi proses biokimia dan metamorfosa organik sesudah pengendapan gambut,

secara geologi intrusi menyebabkan terbentuknya struktur cekungan batubara berupa

perlipatan, sesar, intrusi. Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya

mengalami defornasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara

dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif

menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.

i. Metamorfosa organik

Pada tingkat penimbunan oleh sedimen baru, proses degradasi biokimia tidak

berperan lagi tidak di dominasi oleh proses dinamokimia yang menyebabkan

Page 30: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

19

perubahan gambut menjadi batubara dan menjadi berbagai macam. Selama Prosesini

terjadi pengurangan air lembab, oksigen, zat terbang, serta bertambahnya prosentase

karbon padat, belerang dan kandungan abu.

3.3. Petrografi Batubara

(Dalam Ediyanto dan Basuki Rahmad, 2008 : Petrografi Bartubara) Secara

mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral),

analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh

Stopes, 1935 (dalam buku Stach, dkk. (1982) untuk menunjukkan material terkecil

penyusun batubara yang hanya dapat diamati di bawah mikroskop sinar pantul.

Petrologi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan bukan

organik pembentuk batubara. Untuk mempelajari petrologi batubara umumnya ditinjau

dalam 2 aspek yaitu jenis (coal type) dan peringkat batubara (coal rank). Coal type

berhubungan dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara, dan perkembangannya

dipenagaruhi oleh proses biokimia selama penggambutan. Dengan demikian batubara

bukan benda homogen, melainkan terdiri dari bermacam-macam komponen dasar.

Asosiasi yang berkaitan dengan maseral adalah litotipe (lapisan-lapisan tipis pada

singkapan batubara) seperti : vitrain (berbentuk lapisan atau lensa, tebal 3 – 5 mm,

pecahan kubik, kaya vitrinite); clarain (lapisan tipis cemerlang dan buram, kaya vitrinite

dan liptinite); fusain (hitam, kilap sutera, musah diremas, kaya akan fusinite); durain

(kilap berminyak, kaya liptinite dan inertinite).

Maseral dalam batubara dapat dikelompokkan dalam 3 grup (kelompok) utama

yaitu grup (kelompok) vitrinit, liptinit dan inertinit. Pengelompokan ini didasarkan pada

bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia, warna pantulan,

intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam “Coal Petrology”, oleh Stach,

dkk. 1982). Dalam hal ini pembagiannya mulai dari grup (kelompok) maseral, sub-grup

maseral dan jenis maseral yang mengacu pada Australian Standard: AS2856 (1986)

(Tabel 3.2). Kelebihan sistem Australian Standart ini adalah pembagian komposisi

maseralnya berlaku untuk semua peringkat batubara, baik untuk batubara hard coal

Page 31: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

20

maupun brown coal, dan sistem ini cukup sederhana. Sedangkan sistem standart yang

lain biasanya dibedakan antara hard coal dan brown coal.

Grup vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu

(woody tissue) seperti batang kayu, akar, dahan dan serat daun. Vitrinite umumnya

merupakan bahan penyusun utama batubara (>50%). Melalui pengamatan mikroskop

refraksi, grup vitrinit memperlihatkan warna coklat kemerahan sampai gelap, tergantung

dari tingkat ubahan batubara, semakin tinggi peringkat batubara semakin gelap warna

maseralnya, demikian pula sebaliknya. Melalui pengamatan miskroskop refleksi, grup

vitrinit memperlihatkan warna pantul lebih terang, mulai dari abu-abu tua sampai abu-

abu terang tergantung dari peringkat batubara, semakin tinggi peringkat batubara

semakin terang warna pantul yang dihasilkan. Berdasarkan morfologinya grup vitrinit

dibagi menjadi 3 sub grup maseral (Tabel 3.2)

Grup liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang/algae, spora, kotak spora,

kulit luar (kutikula), getah tanaman (resin) dan serbuk sari /pollen). Grup liptinit

memiliki kandungan hidrogen paling banyak dan kandungan karbon paling sedikit bila

dibandingkan dengan grup maseral lainnya. Di bawah miskroskop refleksi menunjukkan

pantulan berwarna abu-abu sampai gelap, mempunyai reflektivitas rendah dan

flouresens tinggi (Teichmueller, 1989). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya,

grup liptinit dapat dibedakan seperti : sporinit (berasal dari spora, serbuk sari); cutinit

(berasal dari kulit ari, daun,tangkai, akar); suberinit (berasal dari kulit kayu); resinit

(resin, lemak,parafin); liptodetrinit (berasal dari pecahan liptinite); exsudatinit (minyak,

dimana bitumen yang keluar selama proses pembatubaraan), flourinit (berasal dari

lipids, minyak); alginit (berasal dari sisa-sisa ganggang); dan bituminite (Tabel 3.2).

Grup inertinit diperkirakan berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar

(charcoal) dan sebagian lagi diperkirakan akibat proses oksidasi dari maseral lainnya

atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur atau bakteri (proses biokimia)

atau hasil ubahan (biokimia) dari kayu dan serat-serat kayu selama penggambutan.

Dengan adanya proses tersebut kelompok inertinit memiliki kandungan oksigen relatif

tinggi, kandungan hidrogen rendah, dan ratio O/C lebih tinggi dari pada grup vitrinit dan

Page 32: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

21

liptinit. Grup inertinit memiliki nilai reflektensi tertinggi diantara grup maseral lainnya.

Dibawah miskroskop refleksi , inertinit memperlihatkan warna abu-abu hingga abu-abu

kehijauan, tetapi pada sinar ultra violet tidak menunjukan flouresens. Berdasarkan

struktur dalam, tingkat pengawetan dan intensitas pembakaran, grup inertinit dibedakan

menjadi beberapa maseral, yaitu fusinit, semifusinit, sclerotinit, icrinit, inertodetrinit dan

macrinit (Tabel 3.2).

Cook (1982), menjelaskan bahwa jenis batubara (coal type) berhubungan dengan

jenis tumbuhan pembentuk batubara dimana dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh

diagenesa tingkat awal. Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982), menjelaskan bahwa

batasan jenis batubara (coal type) dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis

pembentuk batubara, sedangkan menurut Shierly (dalam Cook, 1982) menjelaskan

bahwa jenis batubara (coal type) merupakan dasar klasifikasi petrografi batubara yang

terdiri dari berbagai macam unsur tumbuhan sebagai penyusun batubara dengan kejadian

yang berbeda-beda. Petrologi batubara memberikan dasar untuk pemahaman genesa ,

sifat-sifat dan arti penting unsur organik di dalam batubara. Material organik berasal dari

berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama

tahap pembentukan gambut, oleh karena itu jenis batubara (coal type) ditentukan pada

tahap biokimia yang dapat dipergunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan

batubara, terutama berdasarkan material organiknya. Penentuan jenis batubara (coal

type) dapat secara mikroskopis dan makroskopis yang didasarkan pada konsep maseral,

microlitotype dan litotype.

Pada tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut

menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit,

subbituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan

temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu (Cook, 1982). Tahap

pembatubaraan merupakan perubahan dari rombakan sisa-sisa tumbuhan dari kondisi

reduksi, dimana prosentase karbon semakin besar, sedangkan prosentase oksigen dan

hidrogen semakin berkurang. Cook (1982), menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan

terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat

Page 33: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

22

rendah. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada

mineral anorganik.

Tabel 3.2. Klasifikasi Maseral Batubara (AS 2856, 1986)

3.4. Peringkat Batubara (Coal Rank)

Coal rank atau peringkat batubara merupakan suatu urutan dari tingkatan-

tingkatan kematangan material organik pada batubara yang didasarkan pada material

vegetasi yang terubah yang disebut maseral. Rank batubara dapat ditentukan dengan

Page 34: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

23

mengetahui jumlah kandungan kimia batubara antara lain total moisture, ash, volatile

matter, fix carbon, calori value, dan total sulfur.

Material organic yang terubah menjadi batubara melalui tingkatan sikuen.

Perubahan fisika dan kimia dapat diamati. Perubahan fisik dan kimia sejalan dengan

meningkatnya tingkat kematangan yang terlihat pada batuan induk marine kerogen-

bearing, dan dapat digunakan pada penunjuk yang serupa untuk mengevaluasi potensi

coalbed methane dari area coal-bearing. Perubahan tersebut paling sering digunakan

sebagai indicator dari kematangan material organic yaitu nilai kalori, kandungan

kelembaban atau kapasitas mempertahankan kelembaban, prosentase zat volatile,

vitrinite reflectance, dan kandungan karbon. Beberapa perubahan kimia

mengindikasikan tingkat kematangan lebih sesuai pada tahap-tahap tertentu. Sebagai

contoh, kelembaban lapisan (ash-free) dan nilai kalori (moist; ash-free) banyak terdapat

pada peat sampai medium-volatile bitumonuos. Perubahan unsur diatas terukur dan

terprediksikan oleh meningkatnya suhu diikuti meningkatnya kedalaman penimbunan.

Gambar 3.1. Proses kematangan batubara (Evaluation of Coalbed Methane

Reservoirs,prepared for University Of Oviedo, Spain, prepared by

Holditch-Reservoirs Technologies Consulting Services, Pittsburg,

Pennsylvania, May 24-25, 2001, Schlumberger)

Petrografi batubara dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara (coal

rank), yaitu menggunakan metode analisis reflektansi dan analisis komposisi maseral

Page 35: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

24

dengan melihat besarnya nilai pemantulan vitrinit atau vitrinite reflectance (Ro) dalam

bentuk persen (%). Penentuan peringkat batubara dengan metode analisis reflektansi

maseral (vitrinit) didasarkan pada konsep bahwa pertambahan tingkat kematangan

(peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya,

sehingga analisis reflektansi maseral (vitrinit) dapat digunakan untuk menentukan

peringkat batubara (Tabel 3.3).

Tabel. 3.3

Coal Rank Classifications (ASTM Standard, 1983) And Relation to

vitrinite reflectance (modified from Meissner, 1984)

Page 36: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

25

3.5.Lingkungan Pengendapan Batubara

Secara umum endapan sedimen pembawa lapisan batubara di Indonesia di

endapkan di lingkungan delta plain dan rawa. Batubara berada pada system sungai

meander, endapannya terdiri dari:

1. Endapan Overbank, merupakan endapan limpah banjir yang diendapkan di rawa -

rawa, terdiri dari litologi fraksi halus (mudstone, shally coal, coally shale dan

batubara) . Secara umum endapan overbank di lapangan tersingkap menerus dan di

beberapa tempat sering dipotong oleh endapan crevasse splay dan channel

batupasir.

2. Endapan Crevasse Splay, merupakan sedimen distributary channel berbutir kasar

menerobos dinding tanggul sungai saat terjadi banjir, terendapkan di daerah limpah

banjir yaitu di rawa-rawa, pengendapan splay deposit di rawa bisa secara lokal

bahkan bisa menerus. Secara umum litologi splay deposit terdiri batupasir halus –

kasar, campuran batulanau, massif, berlapis, struktur sedimen yang umum

berkembang climbing ripple cross-laminasi, struktur imbrikasi (orientasi fragmen),

flaser laminasi, terdapat pita-pita batubara (coal string), campuran karbon,

komposisi mineral kuarsa, feldspar, sedikit orthoklas.

3. Endapan Levee, merupakan endapan tanggul di sisi sungai dalam system sungai

meander. Ciri litologi adalah interbedded dari berbagai variasi ukuran butir, seperti

perselingan siltstone, batupasir dan batulempung.

4. Endapan Channel, dalam sistem aliran sungai meander , channel merupakan factor

utama dalam pembentukan jenis endapan -endapan sepe rti tersebut di atas,

khususnya terkait dengan pembentukan rawa batubara. Channel dalam sistim

meandering mempunyai karakteristik khusus yaitu berpindah tempat (migrasi)

secara lateral, akibat migrasi channel menyebabkan gangguan terhadap facies

batubara yaitu terhambatnya pertumbuhan vegetasi sehingga akumulasi gambut

juga akan terganggu. Dampak lain akibat gangguan channel adalah aliran washout

yang berupa aliran batupasir channel yang mengerosi lapisan batubara. Ciri -ciri

litologi channel adalah :

Page 37: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

26

a). Struktur sedimen gradded bedding (perlapisan bergradasi), litologinya adalah

batupasir konglomeratan, batupasir kasar.

b). Struktur sedimen lateral akresi, dicirikan oleh batupasir berlapis melengkung

seperti terlipat, kemudian bagian tepinya secara berangsur berubah litologinya

menjadi mudstone atau siltstone, bagian bawah struktur lateral akresi terdapat

endapan lag (gravel) terorientasi secara secara teratur.

Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan telah dikemukakan oleh

Horne dkk, 1978. Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan purba dari sayatan

stratigrafi didasarkan pada pengenalan bermacam variasi dibandingkan dengan system

pengendapan fluvial, delta, dan barrier modern (saat sekarang). Selanjutnya

pembahasan masing – masing lingkungan pengendapan batubara lebih mengacu kepada

pembagian yang dikemukakan oeleh Horne et al, 1978 (Gambar 3.2). Adapun

lingkungan pengendapan batubara menurut Horne et al (1978) dibagi menjadi 5 (lima)

lingkungan, yakni sebagai berikut :

Gambar 3.2. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne,1978)

Page 38: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

27

2.4.1. Lingkungan Barrier.

Lingkungan barrier mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi

dari air laut dan mendukung pembentukan gambut dibagian dataran.

Kriteria utama mengenal lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertical dari

struktur sediment dan pengenalan tekstur batupasirnya. Kearah laut batupasir butirannya

menjadi halus dan selangseling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai

hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah darat bergradasi menjadi serpih

berwarna abu – abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau.

2.4.2. Lingkungan Back-Barrier.

Lingkungan ini jika kearah darat, berangsur menjadi lingkungan “lagoon back-

barrier”. Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan perlapisan serpih abu – abu

gelap yang kaya bahan organic dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang

secara lateral tidak menerus dan zona siderite yang berlubang.

2.4.3. Lower Delta Plain.

Batubara yang dihasilkan relatif tipis dan terbelah (split) oleh sejumlah endapan

crevasse splay. Lapisan batubara cendrung menerus sepanjang jurus pengendapan, tetapi

sering juga tidak menerus sejajar dengan pengendapan kerena batubara digantikan

tempatnya oleh material bay fill secara anterdistribusi.

Sekuen yang terbentuk dari butiran halus atau sediment organic, termasuk

batubara mungkin sebagian mengisi channel-chnnel ini. Fasies lain didalam endapan

lower delta plain termasuk endapan crevasse splay yang mengkasar keatas, biasanya

ditemukan pada sekuen bay fill dan dengan sortasi buruk, endapan irregularbedded

levee yang berasosiasi dengan bagian channel fill. Akhirnya komponen utama dari lower

delta plain adalah “creavase splay”. Ketebalan endapan creavase splay lebih dari 12 m

dengan pelamparan horizontal berkisar 30 m – 8 km.

2.4.4. Upper Delta Plain.

Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh batupasir lentikuler tebalnya

15-25 m dan lebarnya 1,5-11 km. pada tubuh batupasir terdapat gerusan dibawahnya,

Page 39: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

28

permukaannya terpotong tajam, tetapi lateral pada bagian atas batupasir ini melidah

dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan batubara.

Mineralogi batupasir bervariasi mulai lithic grey wacke sampai arkose, ukuran

butir menengah sampai kasar. Diatas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran

batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada

batupasir. Perlapisan pada batupasir masif pada bagian bawah terdapat “festoon cross

beds” tebal, keatas batupasir massif berubah menjadi lapisan point bar yang maju

(kemiringan rata-rata 17º), mengandung festoon cross beds dengan skala yang lebih

kecil. Lapisan ini ditutupi oleh batupasir dan batulanau dengan akar tanaman dan

struktur “climbing ripples”. Semua sifat khas ini, menunjukan energi besar pada channel

flank disekitar rawa kecil dan danau – danau. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan

lapisan point bar-nya menunjukan bahwa hal ini dikontrol oleh meandering. Batupasir

ini memperlihatkan susunan yang enechelon masuk ke daerah rawa belakang

(backswamps).

Sekuen endapan backswamp dari bawah keatas, terdiri dari “seat earth”,

batubara, serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecypoda air tawar,

batulanau, batupasir, “seat earth” dan batubara. Batupasir secara lateral menebal dan

akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir. Batupasirnya tipis (1,5-4,5m),

berbutir halus, mengkasar keatas. Sekuen ini tipe endapan pada tubuh air terbuka,

mungkin rawa dangkal atau danau. Pelamparan lateral endapan ini antara 1,5-8 km.

Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk, perlapisan batupasir dan

batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar. Ketebalannya dapat mencapai lebih

dari 8 m, terutama di dekat channel yang aktif dan ketebalan serta ukuran buturnya akan

berkurang bila menjauhi channel. Lapisan batubara pada endapan upper delta plain

cukup tebal (lebih dari 10 m), tetapi secara lateral tidak menerus, kadang sering

mencapai 150 m. lapisan pembentuk endapan alluvial plain (Gambar 3.3). Kedudukan

lapisan batubaranya cendrung sejajar dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit

yang menerus dibandingkan dengan fasies lower delta plain. Sehubungan dengan

sedikitnya jumlah bagian yang teratur mengikuti channel sungai, maka lapisan-

Page 40: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

29

lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relative pendek dengan sejumlah split

(membelah) mungkin berkembang dalam hubungannya dengan endapan tanggul (Levee)

yang kontenporer. Bentuk lapisan juga dimodifikasi secara besar-besaran oleh adanya

perkembangan washout pada tingkat akhir dari proses pengendapan.

Gambar 3.3 Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial

(Horne,et all, 1978)

Pada endapan upper delta plain ini juga sering terjadi kenampakan Washout,

dimana Washout ini merupakan tubuh lentikuler sedimen yang menonjol ke bawah,

biasanya barupa batupasir dan menggantikan sebagian atau seluruh lapisan batubara

yang ada. Ukurannya sangat bervariasi, baik tebal dan pelamparannya. Sebagian besar

struktur Washout ini di isi oleh batupasir, meskipun krikil batubara atau konglomerat

kerikilan juga dapat hadir. Hal ini mencerminkan lingkungan meander cut-off dan

channel. Washout merupakan masalah utama didalam proses penambangan, yakni

Page 41: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

30

ketebalan batubara berkurang atau tidak menerusnya suatu lapisan batubara kerena

terpotong oleh Washout. Sehingga sangat mempengaruhi didalam kepentingan

perencanaan penambangan dan pengembangannya.

2.4.5 Transitional Lower Delta Plain.

Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona teransisi yang

mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Sekuen bay-fill dicirikan

butirannya halus, lebih tipis (1,5-7,5m) dari lower delta plain. Bagaimanapun sekuen

bay-fill tidaklah sama dengan sekuen upper delta plain, zona ini mengandung fauna air

payau sampai fauna marin serta struktur burrowed yang meluas.

Endapan channel menunjukan kenampakan migrasi lateral lapisan point-bar

accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada “Transitional delta

plain” ini berbutir halus dari pada di upper delta plain.

Endapan channel ini menunjukan sekuen “single-storied” yang migrasi

lateralnya hanya satu arah, bagaimanapun batupasir channel upper delta plain

merupakan satuan “multi-stroried”yang migrasi keberbagai arah.

Levee berasosiasi dengan channel yang menebal (1,5-4,5m) dan menembus akar

secara meluas dari pada lower delta plain. Batupasir tipis splay (1,5-4,5m) umum pada

endapan ini, tetapi sedikit lebih dari pada lower delta plain dan tidak semelimpah di

upper delta plain.

Kemampuan membentuk berbagai endapan dalam sebuah kolom stratigrafi

tunggal dapat dipergunakan sebagai perkiraan secara cepat sejumlah besar kejadian

sedimentasi. (Gambar 3.4).

Page 42: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

31

Gambar 3.4

a. Rekontruksi dari lingkungan transitional lower delta plain;

b. Urutan umum vertikal melalui endapan transitional lower delta plain

(Horne,et all, 1978)

3.6. Struktur Geologi

Struktur geologi lapisan batubara secara umum dibagi kedalam dua jenis,

berdasarkan waktu pembentukannya (Ediyanto dan Basuki Rahmad, 2008 : hal 17 ),

yaitu:

3.7.1 Syn-Depositional

Page 43: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

32

Secara umum sedimen pembawa batubara diendapkan mulai dari tepi hingga

tengah cekungan, sedangkan struktur geologi sangat berpengaruh terhadap akumulasi

sedimen dan jumlah suplai material rombakan yang diperlukan guna mengetahui

runtunan lapisan batubara, sebaran dan ciri lingkungan pengendapanya. Efek diagenesa

selama akumulasi sedimen berlangsung bisa menyebabkan deformasi struktur

(pensesaran dan perlipatan), seperti gaya tekan ke arah bawah terhadap semua lapisan

sedimen dan batubara.

3.7.1.1 Mikro-Struktur

Gabungan akumulasi ketebalan sedimen dan kecepatan penurunan cekungan

menyebabkan ketidak stabilan terutama di bagian tepi cekungan. Akibat adanya struktur

pembebanan ketika sedimen masih dalam bentuk fluida, menyebabkan sedimen

pembawa batubara terlihat berbentuk struktur slumping, ciri lain seperti: injeksi sedimen

ke dalam lapisan bagian atas dan bawah (klastik dike). Kehadiran perselingan mudstone,

sandstone dan batubara dibawah kondisi struktur pembebanan, bisa menyebabkan

perubahan variasi lapisan batubara seperti: erosi di bagian dasar lapisan batubara oleh

channel sand stone, flame structure, distorted dan dislocated ripples , fold and contorted

bedding. Gangguan ketidakstabilan lingkungan pengendapan, merupakan salah satu

petunjuk adanya reaktifasi kembali sesar-sesar normal akibat struktur pembebanan dari

akumulasi sedimen di cekungan, umumnya menghasilkan sedimen sistem aliran

gravitasi (gravity flow).

3.7.1.2 Makro-Struktur

Sesar dalam cekungan sedimen bisa menerus dan aktif kembali sehingga bisa

mempengaruhi lapisan batubaranya, seperti : ketebalan serta karakter susunan lapisan

sedimennya. Pengaruh sesar growth fault dalam cekungan tektonik bisa menyebabkan

penebalan lapisan batubara secara setempat , hal ini disebabkan penurunan cekungan

akibat pensesaran. Sedangkan di daerah paparan relatif stabil dan kecepatan penurunan

relatif lebih lambat. Dengan demikian kecepatan progradasi pengendapan sedimen yang

dikontrol oleh growth fault relatif lebih cepat dibandingkan pengendapan di daerah

paparan. Sesar growth fault berpengaruh terhadap proses pengendapan sedim en, bidang

Page 44: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

33

sesar growth fault tersebut merupakan zona bidang gelincir (failure) menyebabkan

gravity sliding berupa longsoran sedimentasi di cekungan tersebut. Tekanan yang sangat

kuat terhadap batupasir lempungan yang belum kompak menyebabkan gradient

patahannya besar. Bagian atasnya curam dan landai ke arah bidang lapisan patahan

(flexure) di sepanjang roof lapisan batubara. Sesar-sesar tersebut akan mengerosi

sebagian, sebelum sedimen nya longsor ke bawah. Lapisan batubara yang mengalami

splitting (bercabang) merupakan petunjuk adanya sesar growth fault. Reaktivasi kembali

sesar-sesar tersebut dapat menghasilkan bentuk lapisan batubara yang melengkung ke

bawah dan ke atas, dan selanjutnya diikuti lapisan sedimen non batubara yang bentuknya

melengkung juga (Gambar 3.5).

Gambar 3.5

Menjelaskankan kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan

perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung.

Perubahan secara periodik dilevel dasar lingkungan delta plain serta pengaruh

pergerakan sesar, menyebabkan perubahan karakter perkembangan batubara, hal ini

seiring dengan naiknya muka air rawa. Dengan demikian batubara akan berkembang

lebih intensif, sedangkan pengaruh masuknya material rombakan non batubara sangat

kecil, sehingga kandungan abu (ash) batubaranya rendah. Jika terjadi penurunan muka

Page 45: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

34

air, maka akumulasi batubara akan terhambat perkembangannya, sedang material

rombakan sedimen semakin besar menyebabkan kandungan abu (ash) tinggi atau bahkan

seluruh lapisan batubara ashnya bisa tinggi.

Disisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan bisa

terkontaminasi air laut, sisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan

bisa terkontaminasi air laut, sehingga menghasilkan kandungan sulfur yang lebih tinggi

terutama di bagian top lapisan batubara. Growth fold bisa mempengaruhi pola

pengendapan cekungan batubara, adanya kecepatan erosi dan sedimentasi menyebabkan

pengendapan batubara di beberapa tempat. Adanya pemotongan channel oleh suplai

rombakan sedimen yang terus membumbung dapat membentuk sand bar.

3.7.2 Post -Depositional

3.7.2.1 Sesar

Dalam suatu deformasi batuan, ada isilah yang diberi nama sesar. Sesar adalah

suatu deformasi berupa rekahan yang ditandai oleh adanya pergeseran yang jelas. Sesar

terbentuk karena adanya gaya yang bekerja pada suatu tubuh batuan. Jenis sesar

dipengaruhi oleh gaya yang bekerja pada batuan. sesar naik dikarenakan adanya

kompresi, sedangkan sesar normal (turun) dikarenakan adanya ekstensi. Sesar transform

dikarenakan bisa terjadi dari dua deformasi tersebut. Penamaan sesar dilakukan dengan

cara binomial tergantung besar pitch. Jika dip strike slip, atau pitch kurang dari 45˚

maka penamaan sesar dilakukan pada urutan pertama adalah gerak relatif sesar,

menganan atau mengiri. Kemudian diikuti oleh jenis sesar, normal atau naik. Sesar

dikatakan bergerak relatif menganan jika kitaberdiri pada suatu daerah, dimana di depan

kita ada bidang sesar dan daerah yang dipotong bidang sesar tersebut bergerak ke kanan

kita. Sedangkan sesar turun jika bagian hanging-wall (bagian yang relatif di atas bidang

sesar) bergerak relatif turun dibandingkan dengan foot-wall. Jika pitch lebih dari 45°,

maka penamaan sesar dilakukan pertama adalah jenis sesar kemudian arah relatifnya.

Dalam pembentukannya, kadang kita tidak menemui bidang sesar utama secara

langsung. Kita hanya melihat tanda-tanda keberadaan sesar. Penanda adanya sesar

Page 46: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

35

diantaranya adalah gores garis (slickenside), kekar gerus (shear fracture), extension

fracture, micro fold/drag fold, dan breksiasi. Shear fracture hadir sebagai bidang sesar,

di lapangan mungkin saja menemui sesar minor penyerta sesar utama. Kehadiran shear

fracture biasanya berpasangan. Jika dua shear fracture tersebut berpotongan, salah satu

bagian akan membentuk sudut lancip.

Sesar dapat menyebabkan seretan (drag) sepanjang bidang patahan, sehingga

batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.

Apabila berupa sesar besar (major fault) maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh

lapisan batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa

bidang hancuran.

3.7. Karakteristik Sesar Naik Dan Sesar Mendatar

3.7.1 Sesar Naik (Reverse & Thrust)

Pergerakan yang terjadi pada sesar naik melepaskan tegasan dengan cara

ekspansi kearah atas kerak bersamaan dengan pemendekan secara horisontal, pergerakan

berupa reverse slip dimana hanging wall bergerak relatif naik terhadap footwall, dan

sesar berupa sesar naik/reverse fault. Sesar ini telah lama disebut sebagai thrusts, atau

lebih spesifik sebagai low-angle thrust faults, untuk membedakannya dengan up thrust

atau high-angle thrusts, yang terbentuk dari rejim tegasan yang berbeda. Perlipatan

biasanya terjadi bersamaan dengan thrust faulting. Sumbu lipatan berorientasi sejajar

terhadap arah sumbu tegasan normal menengah dan sejajar dengan strike dari thrust

fault. Transisi dari lipatan dan thrust diobservasi di berbagai dataran geologi: suatu

lipatan terbalik pada arah tertentu dan sayap yang terbalik tersebut tertarik dan menjadi

rekahan/patahan dan kemudian membentuk thrust.

Sifat-sifat dan gejala di lapangan (Benyamin Sapiie, 2006):

1. Kebanyakan sesar naik mempunyai kemiringan bidang sesar <45° sampai

mendekati horizontal atau sering disebut sebagai "low-angle fault"

2. Bidang sesarnya merupakan zona kompleks dan jarang merupakan bidang

yang halus (smooth) dengan jalur sesar kebanyakan berupa garis lengkung.

Page 47: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

36

3. Sesar naik dicirikan oleh pola sesar ganda sub-Parallel fault, dengan bidang

sesar masing-masing searah (subparallel) dengan sumbu lipatan.

4. Adanya batuan yang lebih tua menumpang diatas batuan yang lebih muda.

5. Adanya seretan (drag) akibat dari pergerakan blok-blok sesar yang

menunjukkan gerakan relatif naik.

6. Gejala seretan dan pembentukan sesar-sesar sekunder.

7. Sesar naik umumnya berasosiasi dengan lipatan dan mempunyai hubungan

yang erat dengan pembentukan lipatan. Adapun jenis lipatannya adalah

lipatan simetris atau lipatan rebah dengan hinge line yang penunjamannya

kecil. Posisi bidang sesar pada sayap yang curam.

8. Perulangan dari beberapa lapisan.

3.7.2 Sesar Mendatar

(Achmad Rodhi dan Sugeng Raharjo , 2007) Bila suatu bahan dikenai oleh suatu

tekanan maka bahan tersebut akan pecah yang membentuk sesar mendatar di mana yang

searah dengan tegasan utama akan membentuk sesar mendatar yang saling berpotongan

dengan sudut kurang-lebih 300. Pada saat tegasan utama semakin berlanjut maka akan

terbentuk lipatan dan sesar-sesar naik. Setelah tegasan utama berkurang akan akan

terbentuk extension joint kemudian membentuk sesar sesar normal yang arahnya tegak

lurus sumbu lipatan. Perpotongan dua sesar akibat tegasan utama tersebut di sebut sesar

geser orde 1. Karena arah tegasan utama berpindah maka akan terbentuk sesar mendatar

orde 2 dan seterusnya. Pada masing masing sesar geser tersebut akan terbentuk juga

drag fold yang mempunyai sudut 120 terhadap sesar gesernya (Moddy and Hill,1961,

Gambar 3.6). Besarnya sudut pada sesar yang berpotongan tergantung pada jenis

batuannya. Pada tahap eksplorasi pada suatu daerah dimana perlu mengenal patahan

yang diakibatkan oleh wrenching , dengan mengenal beberapa tipe zona wrenching

struktur akan mudah dikenali terutama arahnya.

Bila tekanan pada daerah diantara dua sesar mendatar meningkat dan mempunyai

arah yang berlawanan maka di dalamnya akan terbentuk en echelon folds. En echelon

Page 48: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

37

folds merupakan tatanan struktur sepanjang zona linear sehingga lipatan-lipatan atau

patahan-patahan sendiri jenisnya sejajar satu dengan yang lain dan membuat sudut yang

sama dengan sesar mendatarnya.(Harding,1974 and Bartlett et al,1981,Gambar 3.7).

Sifat-sifat umum sesar mendatar (Benyamin Sapiie, 2006) antara lain:

1. Panjang, lurus atau lengkung - lebar, sepanjang jejaknya.

2. Kemiringan terjal / curam yang beragam.

3. Lebar, jalur teranyam dengan gouge / mylonit dan gores-garis horizontal.

4. Berukuran panjang dan arahnya hampir lurus - mudah dikenal difoto udara.

5. Sembul dan terban yang tak sistimatis.

6. Lipatan-lipatan seretan yang menunjam dan merencong.

7. Tataan stratigrafi yang saling menindih dan tidak sama.

8. Merupakan jalur peka erosi

9. Yang berukuran besar, mempunyai jumlah pergeseran yang besar : San

andreas 500 km dan Semangko 25-100 km.

10. Diatas permukaan, jalur penggerusan/ pelenturan - lebar beberapa ratus ribu

meter.

11.Pembentukan depresi dan pembubungan- pembubungan akibat penyimpangan

pada arah secara merencong.

12. Struktur penyerta; rekahan, lipatan dengan penunjaman yang besar, struktur

bentuk bunga (flower structure).

Page 49: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

38

Gambar 3.6. Plan of wrench system under North – South sample (Moddy and Hill,1961)

Gambar 3.7. En Echelon Structures pada zona strike slip faults

(Harding,1974 and Bartlett et all ,1981)

Page 50: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

39

BAB IV

GEOLOGI REGIONAL

4.1. Fisiografi Regional

Secara fisiografis, daerah telitian termasuk ke dalam Cekungan Barito bagian

timur, yang dibatasi oleh Pegunungan Schwaner pada bagian bagian barat, Pegunungan

Meratus pada bagian timur dan Cekungan Kutai pada bagian utara (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Peta fisiografi pulau Kalimantan

(Dalam Kusnama, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22)

Page 51: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

40

4.2. Kerangka Tektonik Regional

Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar yang menjadi bagian dari

Lempeng mikro Sunda. Menurut Tapponnir (1982) lempeng Asia Tenggara ditafsirkan

sebagai fragmen dari lempeng Eurasia yang melejit ke Tenggara sebagai akibat dari

tumbukan kerak Benua India dengan kerak Benua Asia, yang terjadi kira-kira 40 – 50

juta tahun yang lalu. Fragmen dari lempeng Eurasia ini kemudian dikenal sebagai

lempeng mikro Sunda yang meliputi semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Tengah. Adapun batas-batas yang paling penting disebalah

Timur adalah :

1. Komplek subduksi Kapur Tersier Awal yang berarah Timurlaut, dimulai dari

Pulau Jawa dan membentuk pegunungan Meratus sekarang.

2. Sesar mendatar utama di Kalimantan Timur dan Utara (Gambar 4.2)

3. Jalur subduksi di Kalimantan Utara, Serawak, dan Laut Natuna, Jalur ini dikenal

dengan jalur Lupar.

Menurut Bemmelen (1949) pulau Kalimantan dibagi menjadi beberapa Zona fisiografi,

yaitu :

1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda.

2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak dilepas

Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan yang dikenal

sebagai sub cekungan Pasir.

3. Meratus Graben, terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah ini

sebagi bagian dari cekungan Kutai.

4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat laut dan

Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen. Cekungan-cekungan tersebut

antara lain:

Cekungan Tarakan, yang terletak paling Utara dari Kalimantan Timur.

Disebelah Utara cekungan ini dibatasi oleh “Semporna High”.

Cekungan Kutai, yang terletak sebelah Selatan dari Tinggian Kuching

yang merupakan tempat penampungan pengendapan dari Tinggian

Page 52: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

41

Kuching selama Tersier. Cekungan ini dipisahkan oleh suatu unsur

Tektoniok yang dikenal sebagai Paternoster Cross Hight dari cekungan

Barito.

Secara regional wilayah kuasa pertambangan PT. Adaro Indonesia termasuk ke

dalam Cekungan Barito (Kusuma dan Darin1985), lihat Gambar 4.2. Cekungan Barito

meliputi daerah seluas 70.000 kilometer persegi di Kalimantan Tenggara. Cekungan

ini terletak diantara dua elemen yang berumur Mesozoikum (Paparan Sunda di

sebelah barat dan Pegunungan Meratus yang merupakan jalur melange tektonik di

sebelah timur).

Orogenesa yang terjadi pada Plio-Plistosen mengakibatkan bongkah Meratus

bergerak ke arah barat. Akibat dari pergerakan ini sedimen-sedimen dalam Cekungan

Barito tertekan sehingga terbentuk struktur perlipatan.

Cekungan Barito memperlihatkan bentuk cekungan asimetrik yang disebabkan

oleh adanya gerak naik dan gerak arah barat dari Pegunungan Meratus. Sedimen-

sedimen Neogen diketemukan paling tebal sepanjang bagian timur Cekungan Barito,

yang kemudian menipis ke barat.

Secara keseluruhan sistem sedimentasi yang berlangsung pada cekungan ini

melalui daur genang laut dan susut laut yang tunggal, dengan hanya ada beberapa

subsiklus yang sifatnya lokal dan kecil. Formasi Tanjung yang berumur Eosen

menutupi batuan dasar yang relatif landai, sedimen-sedimennya memperlihatkan ciri

endapan genang laut yang diendapkan pada lingkungan deltaik air tawar sampai

payau. Formasi ini terdiri dari batuan-batuan sedimen klastik berbutir kasar yang

berselang-seling dengan serpih dan kadangkala batubara. Pengaruh genang laut marine

bertambah selama Oligosen sampai Miosen Awal yang mengakibatkan terbentuknya

endapan-endapan batugamping dan napal (Formasi Berai). Pada Miosen Tengah-

Miosen Akhir terjadi susut laut yang mengendapkan Formasi Warukin. Pada Miosen

Akhir ini terjadi pengangkatan yang membentuk Tinggian Meratus, sehingga

terpisahnya cekungan Barito, Sub Cekungan Pasir dan Sub Cekungan Asam-Asam

(Gambar 4.3).

Page 53: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

42

Gambar 4.2.

Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989)

Gambar 4.3

Barito Basin-Makassar Strait cross section

(After Satyana and Silitonga, 1994)

Lokasi daerah

penelitian

Page 54: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

43

4.3. Stratigrafi regional

Wilayah kuasa pertambangan PT Adaro Indonesia secara regional termasuk

dalam cekungan Kutai. Namun cekungan Kutai tersebut kemudian dibagi menjadi dua

bagian, yaitu: cekungan Barito yang terdapat di sebelah barat pegunungan Meratus dan

cekungan Pasir yang terdapat di sebelah Timur pegunungan Meratus.

Secara khusus wilayah kerja penambangan PT Adaro Indonesia terletak pada

cekungan Barito. Cekungan Barito sendiri memiliki formasi pembawa batubara. Adapun

urut-urutan stratigrafi Formasi cekungan Barito (tabel 4.1) berdasarkan waktu

terbentuknya adalah :

1. Formasi Tanjung

Formasi paling tua yang ada di daerah penambangan, berumur Eosen, yang

diendapkan pada lingkungan paralis hingga neritik dengan ketebalan 900-1100

meter, terdiri dari (atas ke bawah ) batulumpur, batulanau, batupasir, sisipan

batubara yang kurang berarti dan konglomerat sebagai komponen utama.

Hubungannya tidak selaras dengan batu pra-tersier.

2. Formasi Berai

Formasi ini diendapkan pada lingkungan lagon hingga neritik tengah dengan

ketebalan 107-1300 meter. Berumur oligosen bawah sampai miosen awal,

hubungannya selaras dengan formasi Tanjung yang terletak dibawahnya.

Formasi ini terdiri dari pengendapan laut dangkal di bagian bawah, batu gamping

dan napal di bagian atas.

3. Formasi Warukin

Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik dalam hingga deltaic dengan

ketebalan 1000-2400 meter, dan merupakan formasi paling produktif, berumur

mioesen tengah sampai plestosen bawah. Pada formasi ini ada tiga lapisan paling

dominan, yaitu :

A. Batulempung dengan ketebalan ± 100 meter

Page 55: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

44

B. Batulumpur dan batu pasir dengan ketebalan 600-900 meter, dengan

bagian atas terdapat deposit batubara sepanjang 10 meter.

C. Lapisan batubara dengan tebal cadangan 20-50 meter, yang pada bagian

bawah lapisannya terdiri dari pelapisan pasir dan batupasir yang tidak

kompak dan lapisan bagian atasnya yang berupa lempung dan batu

lempung dengan ketebalan 150-850 meter. Formasi warukin ini

hubungannya selaras dengan formasi Berai yang ada dibawahnya.

4. Formasi Dohor

Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral hingga supralitoral, yang berumur

miosen sampai plio-plistosen dengan ketebalan 450-840 meter. Formasi ini

hubungannya tidak selaras dengan ketiga formasi di bawahnya dan tidak selaras

dengan endapan alluvial yang ada di atasnya. Formasi ini terdiri dari perselingan

batuan konglomerat dan batupasir yang tidak kompak, pada formasi ini juga

ditemukan batulempung lunak, lignit dan limonit.

5. Endapan Alluvium

Merupakan kelompok batuan yang paling muda yang tersusun oleh krikil, pasir,

lanau, lempung, dan lumpur yang tersebar di morfologi dataran dan sepanjang

aliran sungai.

Page 56: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

45

Qa

Endapan Alluvial

Formasi Dahor

Formasi Warukin

Formasi Berai

Formasi Tanjung

Syncline

Anticline

Thrust Fault

--.---.---.---.-- Fault

----------- Plunge Direction

Sungai

Gambar 4.4

Peta geologi Regional daerah penelitian ( Heryanto,dkk.1994 )

Tet

TQd

Tm

w Tom

b

PETA GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIANSkala 1 : 250.000

Oleh Heryanto (P3G), 1994

TetTet

Tomb

Tomb

Tomb

Tomb

Tmw

Tmw

Tmw

Tmw

Tmw

TQd

TQd

TQd

TQd

Tmw

Qa

Qa

Qa

Qa

Qa

15

20

30

15

30

20

20

35

25

25

40

4025 30

25

30

30

20

15

15

45

20

20

30

30

40

30

25

S.Tabalo

ng

Agung

Tungkat

Manunggul

Tanjung

S.Jaing

S.Jangkung

Bentot

Tangkan

S.Taw

ahp

up

uh

Tamianglayang

Matabuk

Taruran

Warukin

Dahor

S.M

ang

ku

sip

S.Tabuk

S.Ban

talu

as

Tanahhabang

Paringin

S.T

aba

lon

g

S.Bat

anga

n

AMUNTAIS.Alabio

Alabio

S.Meang

S.Batumandi

Batumandi

Lokbatu

Tangai

S.N

egar

a

Lokasi penelitian

Page 57: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

46

Tabel 4.1

Stratigrafi cekungan Barito

(Adaro Resources Report, 1999)

STRATIGRAFI CEKUNGAN BARITO(ADARO RESOURCES REPORT, 1999)

UMUR STRATIGRAFI LITOLOGIKOLOM

STRATIGRAFITEBAL

(m)

KUARTER

PLIOSEN

ATAS

ALLUVIUM

FORMASI DAHOR

ATAS

TENGAH

FORMASI

WARUKIN

TENGAH

BAWAH

ANGGOTA

BATUBARA

ANGGOTA

PASIR

ATAS

ANGGOTA

PASIRBAWAH

ANGGOTA

LEMPUNG

ANGGOTA

MARLATAS

ANGGOTA

BATUGAMPING

ANGGOTA

MARLBAWAH

ATAS

BAWAH

BASEMENT PRATERSIER

EOSEN

FORMASI

TANJUNG

OLIGOSEN

FORMASI

BERAI

BAWAH

MIOSEN

Deposit sungai dan rawa

Batuan klastik, konglomerat, batupasir,batulanau dan batulempung.

Seam batubara berketebalan 30 - 40 m,interbedded dari batulempung calcareousdan pasir halus.

Lapisan tebal dari sangat halus hinggakasar, batulanau, batulempung danbeberapa seam batubara, konglomeratsebagai dasar.

Interkalasi dan pasir halus, batulanau,batulempung dan beberapa seambatubara tipis.

Serpih, kadang-kadang calcareous,pasir halus dan marl.

Marl, lempung, lanau dan interbeddeddari lapisan batugamping tipis, berisipita-pita batubara.

Batugamping kristalin, interbeddedlapisan tipis marl.

Marl, batugamping, serpih, lanau danbeberapa interbedded seam batubara.

Interkalasi dari serpih dan pasir denganbeberapa seam batubara tipis.

Serpih, pasir dan konglomerat

Serpih, kuarsit dan batuan beku

900

250

600

225

450

600

500

850

lebih dari840

FASIES

UPPERDELTAPLAIN

LOWERDELTAPLAIN

DELTAFRONT

PRODELTA

DELTA FRONT

MARINE

LOWERDELTAPLAIN

LOWERDELTAPLAIN

PRODELTA

PRODELTA

PRATERSIER

Page 58: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

47

Tabel 4.2

Kolom stratigrafi daerah Tutupan (PT. Adaro Indonesia)

Page 59: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

48

4.4. Struktur Geologi Regional

Pola struktur yang berkembang di pulau Kalimantan berarah Meratus (Timur

laut-Barat daya). Pola ini tidak hanya terjadi pada struktur-struktur sesar tetapi juga

pada arah sumbu lipatan.

Perbukitan Tutupan yang berarah timur laut-barat daya dengan panjang sekitar

20 km terbentuk akibat pergerakan dua patahan anjakan yang searah. Salah satunya

dikenal dengan nama Dahai Thrust Fault yang memanjang pada kaki bagian barat

perbukitan Tutupan. Patahan lain bernama Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault

yang memanjang pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan. Keberadaan patahan ini

diketahui berdasarkan data seismik dan pemboran sumur minyak (Asminco,1996).

Patahan lain yang tidak berhubungan dengan perbukitan Tutupan dan berarah timurlaut-

baratdaya terdapat di daerah Wara dengan nama Maridu Thrust Fault. Patahan-patahan

yang terjadi pada umumnya searah dengan bidang perlapisan sehingga tidak

mengganggu penyebaran batubara.

Pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan juga terdapat struktur antiklin

yang diberi nama Antiklin Tanah Abang-Tepian Timur. Sumbu antiklin berarah utara-

selatan dan searah dengan Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault. Antiklin-antiklin

umumnya memiliki sumbu berarah timurlaut-baratdaya seperti antiklin Tanjung, antiklin

Warukin dan antiklin Paringin. Sedangkan struktur sinklin yang terdapat di daerah

Tutupan dan Wara dinamakan Sinklin Bilas.

Struktur geologi yang terdapat di daerah Paringin berupa antiklin yang dikenal

dengan nama antiklin Paringin. Antiklin Paringin yang bentuknya tidak simetri

memanjang sekitar 18 km searah timurlaut-baratdaya. Di bagian barat kemiringan

lapisan batuan hampir vertikal.

Page 60: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

49

Gambar 4.5

Model Struktur Regional (PT. Adaro Indonesia)

Gambar 4.6

Tatanan Tektonik Cekungan Barito

(After Satyana and Silitonga, 1993)

Page 61: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

50

BAB V

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

5.1. Geomorfologi Daerah Telitian

Pembagian geomorfologi daerah telitian memakai konsep atau model untuk

membagi satuan geomorfologi yang mengacu pada klasifikasi Verstappen (1985),

Brahmantyo dan Bandono (1992) yang mengkaitkan antara struktur geologi dan proses

secara bersama dalam pembentukan bentuk lahan disertai keterangan tentang

morfometri, morfografi, dan morfogenesa.

Pembagian bentuk lahan, secara umum dibagi menjadi dua, yaitu morfologi dan

morfogenesa.

1. Morfologi (bentuk), yaitu mempelajari mengenai relief secara umum yang meliputi

aspek:

a. Morfografi merupakan aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah, antara

lain bukit, punggungan, lembah dan dataran.

b. Morfometri merupakan aspek kuantitatif suatu daerah, terdiri dari kemiringan

lereng, bentuk lembah (menggunakan klasifikasi Van Zuidam & Cancelado,

1979).

2. Morfogenesa, yaitu studi mengenai proses geomorfologi yaitu proses yang

mengakibatkan perubahan dan terjadinya bentuklahan yang mencakup aspek:

a. Morfostruktur : aktif gaya – gaya endogen, yaitu struktur geologi

b. Morfostruktur pasif : aspek material penyusunnya, yaitu litologi

c. Morfostruktur dinamik : gaya-gaya eksogen, yaitu proses denudasional

Daerah penelitian merupakan daerah yang terdiri dari perbukitan dan lembah-

lembah hasil kegiatan penambangan. Ketinggian terendah daerah penelitian adalah -10

meter di bawah muka air laut yang merupakan kolam penampungan air tambang

maupun air hujan. Titik tertinggi adalah 128 meter di atas permukaan laut yang berupa

puncak bukit yang terletak di sebelah tenggara daerah telitian . Dengan melihat arah

Page 62: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

51

kedudukan batuan disekitar lokasi tambang, maka secara umum daerah telitian

merupakan daerah homoklin yang ditandai oleh arah kedudukan lapisan batuan yang

searah ke arah tenggara (Foto 5.1)

Satuan geomorfik pada daerah terlitian di sebelah tenggara berupa perbukitan

homoklin berlereng miring dan di sekeliling area tambang di sebelah barat daya sampai

utara berupa perbukitan homoklin berlereng landai yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas

penambangan diklasifikasikan ke dalam bentuk lahan bentukan asal struktural.

Sedangkan satuan geomorfik daerah telitian pada lokasi tambang dibagi berdasarkan

terminologi tambang terbuka/open pit (Imam Sancoko, 2010) dan tingkat kemiringan

lereng (Zuidam, 1979) yang didasarkan pada aspek morfometri yakni ; aspek kuantitatif

suatu daerah yang berupa kelerengan (Tabel 5.1.) yang sudah berubah dari betuk aslinya

karena dipengaruhi oleh aktivitas penambangan, maka diklasifikasikan ke dalam

bentukan asal aspek manusia.

Tabel 5.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng (Zuidam & Cancelado, 1979)

No Klasifikasi Kemiringan Lerang

Satuan Lahan Prosentase kelerengan %

1 Datar – hampir datar 0 – 2

2 Landai 2 – 7

3 Miring 7 – 15

4 Agak Curam 15 – 30

5 Curam 30 – 70

6 Sangat Curam 70 – 140

7 Tegak > 140

Page 63: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

52

Foto 5.1. Kenampakan arah kemiringan lapisan batuan pada daerah telitian. Kemiringan lapisan

batuan secara umum ke arah tenggara.

Arah kamera N 400 E

5.1.1.1 Bentuk Asal Struktural

1. Perbukitan homoklin berlereng miring

Satuan geomorfologi ini menempati 10% dari luas daerah telitian,

morfologi berupa bukit dengan kelerengan berkisar antara 8% hingga 13%

dengan ketinggian 65 sampai 128 mdpl. Litologi yang menyusun berupa

satuan batulempung yang terdiri dari batulempung, batupasir, batulanau dan

batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa sesar

mendatar Tutupan dan struktur homoklin dengan kemiringan ke arah

tenggara. Vegetasi berupa pohon karet, dan semak. Pada peta geomorfologi

(lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna ungu tua dan simbol S1.

2. Perbukitan homoklin berlereng landai

Page 64: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

53

Satuan geomorfologi ini menempati 20% dari luas daerah telitian,

morfologi berupa perbukitan lemah dengan kelerengan berkisar antara 3%

hingga 7% dengan ketinggian 60 sampai 80 mdpl. Pola pengaliran yang

berkembang. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini sebagian besar

berupa satuan batupasir dengan litologi terdiri dari batupasir, sisipan

batulempung dan batubara, dan pada bagian tenggara tersusun dari satuan

batulempung yang terdiri dari batulempung, dengan sisipan batupasir,

batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa

struktur homoklin dengan kemiringan ke arah tenggara dan sesar naik Hill

11 diperkirakan. Vegetasi berupa pohon karet, dan semak. Pada peta

geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna ungu muda

dengan simbol S2.

Foto 5.2. Kenampakan satuan Geomorfologi bukit homoklin berlereng miring (S1)

dan perbukitan lemah homoklin berlereng landai (S2)

di bagian tenggara daerah telitian.

Arah kamera N 1750 E

Page 65: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

54

5.1.1.2 Bentukan Asal Aspek Manusia

1. Kolam Penampungan Air (Sump) Hasil Penambangan

Satuan ini menempati 6% dari luas daerah telitian, morfologi berupa

tempat paling rendah sebagai kolam penampungan air hasil aktivitas

penambangan dengan kelerengan berkisar antara 0% hingga 2% dan

ketinggian antara 0 - -10 mdpl (foto 5.4 & 5.5). Litologi penyusun berupa

endapan-endapan material lepas yang terbawa air yang masuk ke kolam

penampungan ini. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa

struktur homoklin dan sesar mendatar Tutupan. Pada peta geomorfologi

(lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna abu-abu dengan simbol H1.

Foto 5.3. Kenampakan satuan kolam penampungan (sump) di daerah telitian.

Arah kamera N 470 E

2. Lereng Curam High Wall Hasil Penambangan

Satuan ini menempati 9% dari luas daerah telitian, morfologi berupa

dinding tambang pada sisi kemiringan batubara terdalam yang terdiri dari

slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil

Page 66: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

55

aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5).

Litologi terdiri dari satuan batulempung yang terdiri dari batulempung,

dengan sisipan batupasir kuarsa, batulanau dan batubara. Satuan ini

dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin dan sesar

mendatar Tutupan. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili

oleh warna coklat dengan simbol H2.

3. Lereng Curam Low Wall Hasil Penambangan

Satuan ini menempati 9% dari luas daerah telitian, morfologi berupa

dinding tambang pada sisi kemiringan batubara terdangkal atau terendah

yang terdiri dari slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30%

hingga 70% hasil aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16

m (foto 5.5). Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari

batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, batulempung karbonan,

batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa

struktur homoklin, sesar mendatar Tutupan dan sesar naik Hill 11. Pada peta

geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna hijau dengan

simbol H3.

4. Lereng Curam End Wall Hasil Penambangan

Satuan ini menempati 6% dari luas daerah telitian, morfologi berupa

dinding atau batas akhir dari penambangan, biasanya terdapat diujung

daerah penambangan (melintang jurus lapisan batuan) yang terdiri dari slope

dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil

aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5).

Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir

kuarsa dengan sisipan batulempung, batulempung karbonan, batulanau dan

batubara pada bagian barat laut serta satuan batulempung dengan sisipan

batupasir kuarsa, batulempung karbonan, batulanau dan batubara pada

bagian tenggara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa

Page 67: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

56

struktur homoklin. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili

oleh warna kuning dengan simbol H4.

5. Dataran Berlereng Landai Hasil Penambangan

Satuan ini menempati 40% dari luas daerah telitian, morfologi

berupa dataran berlereng landai hasil aktivitas penambangan dengan

kelerengan berkisar antara 3% hingga 7% (foto 5.5). Litologi terdiri dari

satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan

batulempung, batulempung karbonan, dan batubara serta satuan

batulempung yang terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa, batulanau,

batulempung karbonan dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur

geologi berupa struktur homoklin, sesar mendatar Tutupan dan sesar

mendatar Hill 11. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili

dengan warna jingga dengan simbol H5.

Foto 5.4. Kenampakan satuan geomorfik aspek manusia pada daerah telitian.

Arah kamera N 400 E

Page 68: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

57

Tabel 5.2 Klasifikasi satuan geomorfik daerah telitian

Page 69: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

58

5.2. Stratigrafi Daerah Telitian

Urutan stratigrafi yang tersingkap di daerah telitian yaitu Formasi Warukin

bagian atas yang dicirikan dengan hadirnya batubara yang tebal dan sedimen klastik

berukuran lempung sampai pasir sedang.

Berdasarkan hasil pengamatan (ciri litologi) dan umur geologi, maka pada daerah

telitian dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) satuan litostratigrafi tidak resmi. Urutan

litostratigrafi dari yang tertua hingga yang termuda pada daerah telitian adalah sebagai

berikut :

5.2.2.1. Satuan batupasir kuarsa Warukin

a. Ciri Litologi

Penamaan satuan litostratigrafi ini berdasarkan pada litologi yang dominan.

Secara umum litologi penyusun satuan lithostratigrafi ini secara dominan berupa

batupasir kuarsa yang secara petrografi adalah Quartz Arenite menurut klasifikasi

Pettijohn, 1972 dan Gilbert, 1982 pada analisis petrografi (lampiran 7). Setempat-

setempat ditemukan perselingan batulempung dan batubara dengan tebal mencapai 28 m

dengan floor dan roof umumnya berupa batulempung karbonan. Pada satuan ini cukup

banyak dijumpai kenampakkan woody structure (struktur kayu) pada beberapa lokasi

pengamatan (Foto 5.6).

Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyusun satuan batupasir kuarsa Warukin

ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Batupasir kuarsa, umumnya terdiri dari mineral kuarsa; matriks pecahan batubara;

semen silika; warna; putih kekuningan sampai keabu-abuan; ukuran butir sangat halus

sampai sedang (1/16 – 1/2 mm); struktur sedimen yang dijumpai : laminasi sejajar,

laminasi bergelombang , cross bedding dan masif (foto 5.7).

Page 70: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

59

Foto 5.5. Kenampakan woody structur (struktur kayu) pada LP 109

Arah kamera N 3100 E

b

a

Foto 5.6. Litologi batupasir kuarsa daerah telitian pada LP 2

(a). Kontak roof batubara dengan batupasir kuarsa N440E/49

0, arah kamera N 4

0 E

(b). Batupasir kuasra mengandung cerat karbon dengan struktur laminasi

bergelombang, arah kamera N 450 E

Page 71: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

60

Batulempung, warna abu – abu kecoklatan, ukuran butir lempung (<1/256); mineral

lempung; struktur sedimen yang dijumpai masif.

a

b

Foto 5.7.

a. Litologi batulempung dengan sisipan batubara tipis N370E/56

0 pada LP 82

Arah kamera N 3100 E

.b. Lithologi batulempung karbonan dengan struktur menyerpih pada LP 90

Arah kamera N 40 E

Page 72: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

61

Batubara, warna hitam; gores hitam kecoklatan; pecahan Sub-conchoidal; kilap hitam

kusam; kekerasan brittle-hard, terdapat cleat dengan face cleat relatif berarah barat laut-

tenggara dan sebagian terdapat resin/amber (getah damar). Ketebalan batubara pada

satuan batuan ini secara umum tebal mencapai 28 m dan beberapa seam batubara minor

(lampiran 5 & 6 penampang stratigrafi terukur).

Foto 5.8. Litologi batubara T110 bagian floor N430E/35

0 pada LP 163 lintasan MS end wall

timur laut, arah kamera N 470 E

Page 73: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

62

(b)

(a)

Foto 5.9. a Cleat pada batubara seam T110 pada LP 164, arah kamera foto N3200E

b. Kenampakan resin/amber pada seam batubara T110 pada end wall timut laut,

arah kamera N3050E

b. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati 40% luas dari daerah telitian dengan arah penyebaran

timur laut-barat daya dan miring ke arah tenggara. Satuan ini mengalami pergeseran

(offset) akibat sesar mendatar kanan Tutupan.

Ketebalan Satuan batupasir kuarsa Warukin ini berdasarkan pengukuran

penampang stratigrafi terukur adalah lebih dari 119,7 m.

c. Lingkungan Pengendapan dan Umur

Berdasarkan hasil dari pengukuran profil dan penampang stratigrafi terukur,

maka dapat diketahui sub–lingkungan pengendapan dan lingkungan pengendapan di

daerah telitian. Penentuannya didasarkan pada aspek fisik dengan melihat ciri – ciri

litologi, struktur sedimen, variasi litologi dan ketebalan batubara (lampiran 5 dan 6),

aspek kimia dengan melihat kehadiran mineral sedikit serta aspek biologi dengan

Page 74: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

63

melihat kehadiran fosil. Dan juga mengacu pada stratigrafi regional daerah telitian

(Tabel 4.1). Satuan batuan ini didominasi oleh batupasir kuarsa dengan ukuran butir

halus-sedang dan struktur sedimen antara lain masif, laminasi sejajar, laminasi

bergelombang, gradded beding dan silang siur. Juga dijumpai batulempung,

batulempung karbonan, batulanau dan lapisan-lapisan batubara dengan tebal ada yang

mencapai 28 m. Lapisan batubara satuan batuan ini banyak mengalami splitting pada

bagian barat daya. Kehadiran mineral sedikit pada satuan batuan seperti pirit dan fosil

sangat jarang bahkan tidak ada serta dari uji kandungan sulfur pada sampel batubara

yang diambil dari satuan ini menunjukkan kandungan sulfur yang rendah ( <1 ).

Maka Dari aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa sub-lingkungan

pengendapan pada satuan batupasir kuarsa ini berupa Swamp, Leeve, Channe, Creavasse

dan Flood Plain serta lingkungan pengendapannya adalah Upper Delta Plain (Horne,

1979).

Berdasarkan analisis sampel paleontologi pada satuan batuan ini tidak ditemukan

kehadiran fosil foraminifera baik berupa bentos maupun. Oleh karena itu, penentuan

umur satuan batuan ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan berdasarkan

ciri-ciri litologi dari satuan ini dengan stratigrafi regional yang mengacu pada stratigrafi

cekungan barito (Tabel 4.1). Selain itu, juga ditentukan berdasarkan hasil penelitian

terdahulu oleh N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994 dimana pada satuan ini ditemukan

fosil foraminifera dalam batulempung pasiran antara lain Ammonia indica (Le Roy),

Cellanthus sp., Amphistegina sp., Florilus sp., Lepidocyclina sp. dan Austrotrillina

howchini yang mengindikasikan berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Heryanto, R,

1994). Berdasarkan stratigrafi regional dan peneliti terdahulu, maka satuan batupasir

kuarsa ini masuk kedalam Formasi Warukin bagian atas yang berumur Miosen Tengah.

d. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir kuarsa Warukin dengan satuan

batulempung Warukin yang berada di atasnya adalah selaras. Hal ini terlihat jelas di

Page 75: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

64

lapangan dan juga terlihat dari kedudukan kedua satuan batuan ini yang memiliki jurus

dan kemiringan yang relatif sama (foto 5.11).

Foto 5.10.

Kontak satuan batuan (garis merah) pada end wall timur laut daerah telitian dengan kedudukan

N550E/34

0, arah foto N 85

0 E

5.2.2.2. Satuan batulempung Warukin

a. Ciri Litologi

Penamaan satuan batuan ini didasarkan pada litologi dominan pada daerah

telitian. Secara umum litologi penyusun satuan lithostratigrafi ini berupa batulempung

dengan struktu masif dan setempat-setempat ditemukan perselingan antara batupasir

kuarsa, batulanau dan beberapa seam minor batubara.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyusun satuan batulempung Warukin ini

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Batulempung, berwarna abu-abu sampai putih kekuningan; ukuran butir lempung

(<1/256 mm) komposisi berupa mineral lempung, semen silika, kadang terdapat pecahan

Page 76: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

65

batubara, struktur sedimen yang dijumpai secara umum masif dan beberapa dijumpai

struktur laminasi.

Foto 5.11. Litologi batulempung dengan struktur masif pada LP 101

Arah kamera N 1530 E

Batupasir kuarsa, umumnya terdiri dari mineral kuarsa; matriks pecahan batubara;

semen silika; warna; putih ke abu-abuan-kekuningan; ukuran butir pasir sangat halus

sampai halus (1/16 – 1/4 mm); struktur sedimen yang dijumpai : laminasi sejajar,

laminasi bergelombang dan silang siur.

Foto 5.12. Litologi batupasir kuarsa dengan struktur silang siur pada LP 10

Arah kamera N 1200 E

Page 77: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

66

Batulanau, berwarna abu-abu terang sampai putih kekuningan; ukuran butir lanau (1/16)

komposisi berupa mineral lempung- lanau, silika, kadang terdapat pecahan batubara,

Struktur sedimen pada yang dijumpai masif serta dibeberapa singkapan dijumpai

struktur plant remain berupa fosil cetakan daun.

Foto 5.13. Litologi batulanau dengan fosil cetakan daun (plant remain) LP 102

Arah kamera N 220 E

Batubara, warna hitam; gores hitam kecoklatan; pecahan sub-conchoidal; kilap hitam

kusam; kekerasan brittle-hard, terdapat cleat dan sebagian terdapat resin/amber (getah

damar), ketebalan batubara pada satuan ini lebih tipis berkisar antara 50 cm sampai 10 m

dan lebih sedikit dijumpai seam batubara dibandingkan pada satuan batupasir kuarsa

Warukin (lampiran penampang stratigrafi terukur).

b. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batulempung Warukin ini menempati 45% luas dari daerah telitian

dengan arah penyebaran timur laut-barat daya dan miring ke arah tenggara. Satuan ini

mengalami pergeseran (offset) akibat sesar mendatar kanan Tutupan. Ketebalan satuan

batuan ini berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi terukur lebih dari 122, 2 m.

Page 78: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

67

c. Lingkungan Pengendapan dan Umur

Berdasarkan hasil dari pengukuran profil dan penampang stratigrafi terukur,

maka dapat diketahui sub–lingkungan pengendapan dan lingkungan pengendapan di

daerah telitian. Penentuannya didasarkan pada aspek fisik dengan melihat ciri – ciri

litologi, struktur sedimen, variasi litologi dan ketebalan batubara (lampiran 6), aspek

kimia dengan melihat kehadiran mineral sedikit serta aspek biologi dengan melihat

kehadiran fosil. Dan juga mengacu pada stratigrafi regional daerah telitian (Tabel 4.1).

Satuan batuan ini didominasi oleh litologi berukuran halus yaitu batulempung dengan

struktur sedimen masif dan laminasi sejajar. Juga dijumpai batulempung karbonan,

batulanau, batupasir kuarsa dan lapisan batubara dengan yang sedikit dan lebih tipis

dengan ketebalan antara 50 cm – 10 m. Splitting pada satuan batuan ini tidak

berkembang seperti pada satuan batupasir kuarsa. Kehadiran mineral pirit dan fosil pada

satuan batuan ini juga tidak serta kandungan sulfur pada lapisan batubara yang diambil

dari satuan ini menunjukkan kandungan sulfur yang rendah ( <1 ).

Maka Dari aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa sub-lingkungan

pengendapan pada satuan batupasir kuarsa ini berupa Crevasse, Interdistributary bay

dan Swamp serta lingkungan pengendapannya adalah Transitional Lower Delta Plain

(Horne, 1978).

Berdasarkan analisis sampel paleontologi pada satuan batuan ini tidak ditemukan

kehadiran fosil foraminifera baik berupa bentos maupun. Oleh karena itu, penentuan

umur satuan batuan ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan berdasarkan

ciri-ciri litologi dari satuan ini dengan stratigrafi regional yang mengacu pada stratigrafi

cekungan barito (Tabel 4.1). Selain itu, juga ditentukan berdasarkan hasil penelitian

terdahulu oleh N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994 dimana pada satuan ini ditemukan

fosil foraminifera dalam batulempung pasiran antara lain Ammonia indica (Le Roy),

Cellanthus sp., Amphistegina sp., Florilus sp., Lepidocyclina sp. dan Austrotrillina

howchini yang mengindikasikan berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Heryanto, R,

Page 79: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

68

1994). Berdasarkan stratigrafi regional dan peneliti terdahulu, maka satuan batupasir

kuarsa ini masuk kedalam Formasi Warukin bagian atas yang berumur Miosen Tengah

d. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan batulempung Warukin dengan satuan

batupasir kuarsa Warukin yang berada di bawahnya adalah kontak selaras. Hal ini

terlihat jelas di lapangan dan juga terlihat dari kedudukan kedua satuan batuan ini yang

memiliki jurus dan kemiringan yang relatif sama (Foto 5.11).

Sedangkan hubungan satuan ini dengan endapan alluvial di atasnya adalah tidak

selaras. Dibuktikan dengan perbedaan kedudukan dari satuan batulempung dengan

endapan alluvial dan perbedaan umur yang menyolok atau dengan kata lain terdapat

tahap dimana proses sedimentasi terhenti dan satuan yang lebih tua mengalami

pengerosian (tabel 4.1).

5.2.2.3. Satuan Endapan Alluvial

a. Ciri Litologi

Endapan alluvial tersusun oleh material lepas hasil rombakan dari batuan asal

yang lebih tua dan berupa endapan yang belum mengalami kompaksi yang

tertransportasi oleh media air serta didominasi oleh tekstur berukuran lempung dan

lumpur. Tidak dijumpai adanya perlapisan atau struktur luar sedimen, sehingga dalam

penentuan hubungan stratigrafi dengan satuan batuan di bawahnya merupakan bidang

erosi.

b. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan ini menempati 15% dari luas daerah telitian dan terletak pada bagian

tengah daerah telitian dengan bentukan berupa kolam penampungan air/sump (foto

5.15). Ketebalan satuan endapan alluvial ini tidak diketahui dikarenakan terletak pada

sump yang tergenang air.

Page 80: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

69

c. Hubungan Stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara endapan alluvial dengan satuan batulempung

Warukin yang berada di bawahnya adalah tidak selaras, dibuktikan dengan perbedaan

kedudukan dari satuan batulempung dengan endapan alluvial dan perbedaan umur yang

menyolok atau dengan kata lain terdapat tahap dimana proses sedimentasi terhenti dan

satuan yang lebih tua mengalami pengerosian (tabel 4.1).

Foto 5.14. Satuan Endapan Alluvial yang terdapat pada kolam penampungan /sump

Arah kamera N 400 E

Page 81: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

70

Tabel 5.3 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian

5.3. Struktur Geologi Daerah Telitian

Analisis struktur geologi yang terdapat didaerah penelitian didasarkan pada data–

data pengukuran bidang kekar, jurus dan kemiringan perlapisan batuan dimana dari hasil

pengeplotan kedudukan tersebut menunjukkan arah umum tegasan daerah telitian.

Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan, maka didapatkan

beberapa jenis struktur geologi yang ada pada daerah telitian, antara lain berupa struktur

kekar, struktur homoklin, sesar mendatar kanan Tutupan, drag fold dan sesar naik Hill

11.

Page 82: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

71

5.2.3.1. Kekar

Struktur kekar ini teramati pada lokasi pengamatan 71, terdapat pada litologi

batulanau. Berikut ini adalah data pengukuran kekar pada lokasi pengamatan 71 berupa

shear joint, extension joint dan release joint :

1. Shear Joint : a. N 2870 E/72

0

b. N 2350 E/36

0

2. Extension Joint : N 2670 E/72

0

3. Release Joint : N 1600 E/68

0

Foto 5.15. Kekar pada lithologi batulanau LP 71

Arah kamera N 2750 E

Selain itu juga dilakukan pengamatan dan pengukuran kekar pada lapisan

batubara yang biasanya disebut dengan cleat. Menurut Laubach et al (1998), cleat

adalah rekahan alami yang terdapat di dalam lapisan batubara, terdiri dari face cleat dan

lebih kecil lagi disebut butt cleat sedangkan menurut Ryan (2003), cleat adalah kekar di

dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukkan oleh

serangkaian kekar yang sejajar, umumnya mempunyai orientasi berbeda dengan

kedudukan lapisan batubara. Pengukuran cleat ini difokuskan pada jenis face cleat Face

cleat karena merupakan hasil dari perpanjangan rekahan dalam bidang sejajar dengan

Page 83: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

72

paleostress kompresif maksimum suatu daerah (Nickelsen & Hough 1967; Hanes &

Shepherd 1981).

Berikut ini adalah data kedudukan umum face cleat yang diukur pada lapisan

batubara di daerah telitian ditunjukkan seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4. Tabulasi Data Face Cleat Daerah Telitian

Berdasarkan table di atas dan setelah dilakukan analisis, secara umumn face cleat

pada daerah telitian berarah relative barat laut-tenggara (Diagram 5.1). Maka arah

tegasan utama pada daerah telitian searah dengan face cleat dan extension joint pada

daerah telitian yang berarah barat laut-tenggara. Sedangkan perubahan arah face cleat

pada zona sesar, mengindikasikan bahwa adanya perubahan kedudukan seam batubara

yang dipengaruhi oleh proses pensesaran pada daerah telitian.

No. LP Seam Face cleat Pengisi Spasi Kerapatan

163 T 110 EW TL 284/70 - 0,1 – 2 cm

169 T110 EW BD 304/79 - 2 cm

166 T 120 EW TL 289/86 -

26 T 120 280/80 - 0,2-21 cm 58/3,5 m

32 T 120 272/75 pirit 0,1-10 cm 92/3,5 m

158 T 120 ZONA SESAR 218/54 - 0,1-1,5 cm >213/3,5 m

34 T 300 255/70 - 1-10 cm

Page 84: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

73

vvv a. c.

b..

Foto 5.16.

a. Kenampakan face cleat (kuning) dan butt cleat (merah) T120 pada

LP 32, arah kamera N2900E

b. Kenampakan face cleat (kuning) dan butt cleat (merah) pada zona

sesar seam T120 LP 158, arah kamera N2900E

c. Kenampakan face cleat (kuning) seam T110 pada LP 164, arah

kamera foto N3200E.

Page 85: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

74

a b

Gambar 5.1.

a. Diagram Rosset face cleat daerah telitian yang relative berarah barat laut-tenggara.

b. Diagram Kontur face cleat daerah telitian yang mempunyai kedudukan umum N2910E/73

0

5.2.3.2. Struktur Homoklin

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran kedudukan perlapisan batuan di

daerah telitian yang secara umum mempunyai jurus relative berarah timur laut-barat

daya dan kemiringan (dip direction) searah yaitu ke arah tenggara dengan besaran dip

rata-rata antara 250 - 50

0 (Foto 5.17). Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur

geologi yang ada pada daerah telitian berupa struktur homoklin.

.

Page 86: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

75

Foto 5.17. Struktur homoklin dengan kemiringan ke tenggara pada daerah telitian

Arah kamera N 950 E

5.2.3.3. Sesar Mendatar Kanan Tutupan

Struktur geologi ini teramati jelas pada daerah telitian berdasarkan data

pergeseran (offset) dari batubara seam T120 yang dijadikan sebagai keybed. Selain itu

juga ditemukan bukti berupa bidang sesar pada LP 106 dan LP 113 (lampiran 1. peta

lintasan dan lokasi pengamatan). Pada LP 106 ditemukan singkapan bidang sesar berupa

zona hancuran berukuran halus (milonite) dengan kedudukan N 2930 E/55

0 (Foto. 5.18)

dan pada LP 113 berupa bidang sesar pada litologi batubara dengan kedudukan 2940

E/420 (Foto 5.19). Berdasarkan kedudukan dan posisinya pada peta, maka kedua

singkapan ini dipastikan sebagai hasil dari satu sesar atau dengan kala lain merupakan

satu sesar yang sama.

Untuk penamaan sesar ini didasarkan dari data bidang sesar, cleat berupa face

cleat yang di interpretasikan sebagai kekar tension/gash fracture pada zona sesar yang

telah mengalami perubahan akibat sesar, pergeseran/offset litologi dan drag fold dari

kenampakan di lapangan. Penamaan sesar ini berdasarkan klasifikasi sesar translasi

menurut Rickard, 1972 dengan menggunakan data dip bidang sesar dan rake dari gores

Page 87: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

76

garis hasil analisis menggunakan stereografis, serta dengan melihat offset seam T120

guna menentukan pergerakan relatifnya. Dari hasil analisis menggunakan data-data

tersebut maka didapatkan nama sesar yaitu thrust right slip fault. Sesar ini juga

mengalami gerak rotasi yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan jarak offset,

sehingga penamaan sesar ini merupakan gabungan dari sesar rotasional dan translasi

yaitu Rotasional Thrust Right Slip Fault.

a.

b.

c.

Foto. 5.18

a. Kenampakan offset lapisan batuan di High Wall pada daerah telitian.

Arah kamera N1300E

b. Bidang sesar pada LP 106 dengan kedudukan N2930E/55

0

Arah kamera N1100E

c. Zona milonit berukuran halus pada LP 106, arah kamera N1250

Page 88: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

77

a. b.

Foto. 5.19

a. Kenampakan bidang sesar dan drag fold pada Low Wall daerah telitian, arah kamera N3150E

b. Kenampakan bidang sesar N2940E/42

0 dan slickenside yang mengindikasikan arah pergerakan sesar pada LP 113,

arah kamera N32800E

Page 89: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

78

Gambar 5.2.

Diagram kontur face cleat pada zona sesar dengan kekudukan umum N370E/55

0

Gambar 5.3.

Diagram analisis sesar mendatar kanan Tutupan

Page 90: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

79

5.2.3.4. Sesar Naik Hill 11

Struktur Sesar ini diperkirakan berdasarkan keberadaan drag fold yang

membentuk antiklin di bagian barat laut daerah telitian pada LP 78, LP 79, LP 82, LP 84

dan LP 85 (lampiran 1. Peta lintasan dan lokasi pengamatan). Hasil pengukuran

kedudukan-kedudukan lapisan batuan tersebut (Tabel 5.4) pada analisis dengan metode

stereografis seperti ditunjukkan pada (Gambar 5.4). Berdasarkan kedudukan sumbu

lipatan yang memiliki penunjaman (plunge) yang kecil, maka drag fold tersebut

diinterpretasikan sebagai struktur penyerta dari sesar naik. Drag fold tersebut memiliki

kedudukan hinge surface yaitu N190 E/79

0 dan hinge line 26

0, N 194

0 E.

Tabel 5.5

Tabulasi Data Kedudukan Sayap Drag Fold

Strike Dip Ket. Strike Dip Ket.

38 44

Say

ap 1

53 54

Say

ap 1

26 52 9 11

45 64 70 19

50 37 46 32

44 44 64 38

54 36 178 71

Say

ap 2

52 46 191 33

40 45 201 88

73 53 226 43

50 42 182 64

51 42 154 41

68 42 146 48

79 34 178 71

64 41 191 33

60 32 201 88

41 20

Page 91: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

80

Gambar 5.4

a. Diagram kontur sayap 1 drag fold dengan kedudukan N520E/40

0

b. Diagram kontur sayap 2 drag fold dengan kedudukan N1800E/67

0

c. Analisis stereografis drag fold pada daerah telitian dan didapatkan nama

lipatan Steeply inclined gently plunging fold (Fluety, 1964)

Page 92: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

81

Foto 5.20. Kenampakan lipatan berupa drag fold di dearah telitian pada LP 78

dan LP 79, arah kamera N130E

Penentuan sesar naik Hill 11 ini didasarkan pada hubungan sesar dengan struktur

penyertanya, dengan asumsi bahwa drag fold terbentuk sebagai akibat dari pergerakan

sesar. Hill (1976) menyimpulkan bahwa pada setiap gerak sesar terbentuk struktur

penyerta (kekar dan lipatan) dengan pola seperti pada (Gambar 5.5). Menurut (Moddy

and Hill,1961) dalam Achmad Rodhi dan Sugeng Raharjo (2007), menyatakan bahwa

pada sesar geser akan terbentuk juga drag fold yang mempunyai sudut 120 terhadap

sesar gesernya (Gambar 3.6).

Dalam kasus ini terdapat struktur penyerta berupa drag fold dengan kedudukan

sumbu N190 E/79

0 serta penunjaman (plunge) sebesar 26

0. Penarikan sesar mengikuti

dasar hubungan atara sesar dengan struktur penyerta (Moody dan Hill, 1961) yaitu 120

dari arah jurus drag fold. Maka didapatkan arah jurus sesar N310E dengan dip ke arah

tenggara didasarkan pada pola drag fold sesar naik serta struktur geologi regional

dengan arah tegasan utama tenggara-barat laut yang akan membentuk sesar naik pada

arah jurus relative timur laut-barat daya. Maka penamaan sesar diperkuat dengan nilai

penunjaman (plunge) drag fold yang relatif kecil sehingga disimpulkan bahwa gerak

sesar relative naik dengan jurus N310E dengan dip ke arah tenggara.

Page 93: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

82

Gambar 5.5. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur penyerta

(Hill,1976)

5.2.4 Sejarah Geologi Daerah Telitian

Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan khirnya dapat

dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian yang menggambarkan sejarah geologi

pada suatu kerangka ruang dan waktu. Penentuan sejarah geologi daerah penelitian juga

mengacu pada sejarah geologi regional peneliti-peneliti terdahulu (N. Sikumbang dan R.

Heryanto, 1994).

Cekungan barito terletak sepanjang batas Tenggara dari Paparan Schwaner di

Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Pegunungan Meratus di bagian timur

yang membatasi dengan Cekungan kutai dan di bagian utara di batasi oleh sesar Adang.

Cekungan terbuka ke arah Laut Jawa.

Tersier Awal (Paleogen) terjadi proses pengangkatan (konvergen), hal tersebut

di hasilkan oleh suatu seri pemekaran arah Baratlaut – tenggara. Pemekaran tersebut

mengakibatkan terjadinya sedimentasi alluvial dan lakustrine dari Formasi Tanjung

bagian bawah. Pada awal Eosen Tengah, terjadi kenaikan muka air laut (transgresi),

sehingga terjadi proses sedimentasi fluviodeltaic dan akhirnya terjadi sedimen laut.

Proses transgresi berlangsung selama pengendapan satuan batuan Formasi Tanjung

bagian Tengah.

Page 94: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

83

Pada Oligosen Tengah terjadi penurunan cekungan menyebabkan terjadi proses

transgresi kembali. Pada akhir Oligosen terjadi pengendapan batuan karbonat dari

Formasi Berai. Pengendapan batuan karbonat berlangsung hingga Awal Miosen, dimana

diakhiri pengurangan sedimen (klastik) ke arah barat. Selama Miosen, muka air laut

relatif menurun yang disebabkan oleh pengangkatan Pegunungan Schwanner dan

Pegunungan Meratus. Sedimentasi berlangsung ke arah timur dan sedimen yang ada

merupakan sedimen deltaic dari Formasi Warukin.

Selama Plio – Pleistosen terjadi aktivitas tektonik, yang mengakibatkan

deformasi pada cekungan Barito, sehingga berkembang struktur lipatan mayor post

depositional berarah timur laut - barat daya. Kerena tegasan tersebut masih terus

berlangsung dan mengenai lapisan batuan yang terlipat sebelumnya, sehingga melebihi

batas plastisitas lapisan batuan, akibatnya terbentuk sesar naik berarah relatif sama

dengan sumbu lipatan dilanjutkan sesar mendatar dengan arah relatif WNW-ESE, yang

memotong sumbu antiklin dan sesar naik. Kemudian terjadi proses pelapukan, erosi,

transportasi dan pengendapan lagi hingga sampai sekarang masih berlangsung.

Page 95: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

84

BAB VI

PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERINGKAT

BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN

VITRINIT DAERAH TELITIAN

6.1. Peringkat Batubara (Coal Rank) Daerah Telitian

Peringkat batubara regional daerah telitian menurut peneliti terdahulu dari PT.

Adaro Indonesia yang didasarkan pada analisis kandungan organik batubara (maseral)

melalui parameter nilai (%Rv rata-rata) Reflektan Vitrinit rata-rata dengan konsep

bahwa pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti

oleh peningkatan reflektansi maseralnya. Sehingga analisis reflektansi maseral (vitrinit)

dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara.

Secara umum, peringkat batubara berdasarkan nilai (%Rv rata-rata) Reflektan

Vitrinit rata-rata pada daerah telitian ditunjukkan seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.1. Peringkat batubara Tutupan (ADARO)

Nomor Sampel (%Rv rata-rata) Coal Rank

(ASTM, 1986)

ADR_T100 0,47 Sub-Bituminous B

ADR_T120 0,47 Sub-Bituminous B

ADR_T300 0,45 Sub-Bituminous B

Page 96: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

85

Tabel 6.2. Coal rank ADR_T100

Tabel 6.3. Coal rank ADR_T120

Page 97: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

86

Tabel 6.4. Coal rank ADR_T300

Berdasarkan tabel di atas, secara umum nilai (%Rv rata-rata) batubara daerah

Tutupan yaitu antara 0,45-0,47 %, peringkat batubara pada seam batubara major T100,

T120 dan T300 digolongkan dalam Sub-Bituminous B berdasarkan klasifikasi ASTM,

1986.

6.2. Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Peringkat Batubara Seam T120

Untuk mengetahui pengaruh struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan

terhadap peringkat batubara pada daerah telitian, pengujian sampel dilakukan pada seam

kunci T120 yang dapat diidentifikasi secara jelas di lapangan. Sampel batubara yang

diambil pada tiga titik berbeda dari seam T120, yaitu pada LP 105, LP 6 dan LP 26. LP

105 merupakan titik pengamatan dan pengambilan sampel petrografi batubara seam

T120 pada zona sesar mendatar Tutupan, LP 6 merupakan titik pengamatan dan

pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 di bagian timut laut dari zona sesar

LP 105 dengan jarak +450 meter dari zona sesar dan LP 26 merupakan titik pengamatan

dan pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 di bagian barat daya dari zona

Page 98: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

87

sesar LP 105 dengan jarak +500 meter dari zona sesar (lampiran 4). Dari hasil analisis

petrografi berupa analisis maseral (lampiran 8) serta analisis reflektan vitrinit (Tabel 6.4)

terhadap 3 sampel batubara seam T120 adalah sebagai berikut :

Tabel. 6.5. Hasil analisis reflektan vitrinit dan penentuan coal rank (ASTM,1986),

seam T120 pada daerah telitian

Nomor Sampel Rv min

(%)

Rv max

(%)

Rv rata-rata

(%)

Coal Rank

(ASTM, 1986)

AH-1

(LP 106)

Zona sesar

0,46 0,52 0,49 HIGH VOLATILE

BITUMINOUS C

AH-2

(LP 6)

Timur laut

0,44 0,48 0,46 SUB-BITUMINOUS B

AH-3

(LP 26)

Barat daya

0,42 0,46 0,44 SUB-BITUMINOUS B

Page 99: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

88

Tabel. 6.6. Klasifikasi coal rank T120 AH-1 LP 105

(ASTM,1983 modified from Meissner,1984)

0,49

Tabel. 6.7. Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6

(ASTM,1983 modified from Meissner,1984)

Page 100: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

89

Tabel. 6.8. Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6

(ASTM,1983 modified from Meissner,1984)

Cook (1982) dalam Basuki Rahmad dan Ediyanto (2008), menjelaskan bahwa

tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase

metamorfosa tingkat rendah. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat

rendah dari pada mineral anorganik. Pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu

lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya. Jadi tahap

pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut menjadi batubara

yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit, sub-bituminous,

bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan temperatur yang

berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu.

Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya perbedaan peringkat batubara (coal

rank) pada seam T120. Dimana terlihat perbedaan peringkat batubara pada LP 105 yang

terletak pada zona sesar. Hal ini membuktikan adanya pengaruh kenaikan tekanan dan

temperatur yang diakibatkan oleh proses pensesaran yaitu sesar mendatar Tutupan yang

turut meningkatkan pematangan bahan organik yang diikuti oleh peningkatan nilai

reflektan vitrinit sehingga terjadi pula peningkatan peringkat batubabara (coal rank).

Page 101: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

90

BAB VII

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Morfologi daerah telitian yang mengacu pada klasifikasi Verstappen (1985), Budi

Brahmantyo dan Bandono (1992), serta klasifikasi kelerengan menurut Van Zuidam

dan Cancelado (1979), maka dapat dikelompokkan menjadi 2 bentukan asal, yaitu :

bentuk asal struktural dengan betuk lahan perbukitan homoklin berlereng miring

(S1) dan perbukitan homoklin berlereng landai (S2), bentuk asal aspek manusia

(human aspect) dengan bentuk lahan kolam penampungan air/sump hasil

penambangan (H1), lereng curam high wall hasil penambangan (H2), lereng curam

low wall hasil penambangan (H3), lereng curam end wall hasil penambangan (H4)

dan dataran berlereng landai-miring hasil penambangan (H5).

2. Stratigrafi daerah telitian dibagi menjadi 3 satuan batuan tidak resmi dari tua ke

muda, yaitu Satuan batupasir kuarsa Warukin yang terdiri dari litologi batupasir

kuarsa dengan sisipan batulanau, batulempung, batulempung karbonan, seam

batubara major yang mencapai tebal 28 m dengan lingkungan pengendapan Upper

Delta Plain (Horne, 1978), Satuan batulempung Warukin yang terdiri dari litologi

batulempung dengan sisipan batupasir kuarsa, batulempung karbonan, sedikit seam

batubara yang mencapai tebal 50 cm – 10 m dengan lingkungan pengendapan

Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978) dan Satuan endapan alluvial yang

terdiri dari material-material lepas yang belum terkompaksi hasil rombakan dari

batuan yang lebih tua yang dikontrol oleh media air yang masih berlangsung proses

sedimentasi hingga sekarang yang terendapkan pada lingkungan darat (fluviatil).

3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah kekar(cleat) dengan

arah umun relative barat laut-tenggara, struktur homoklin dengan kemiringan lapisan

(dip direction) ke arah tenggara dengan kisaran dip rata-rata 250 - 50

0, struktur sesar

mendatar kanan Tutupan berarah WNW-ESE dengan gabungan klasifikasi sesar

Page 102: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

91

translasi (Rickard, 1972) dan sesar rotasional bernama Rotasional Thrust Right Slip

Fault dan sesar naik Hill 11(Right Reverse Separation Fault) dengan struktur

penyerta berupa drag fold.

4. Struktur sesar mendatar Tutupan berpengaruh terhadap perubahan peringkat

batubara umumnya pada daerah telitian dan khususnya pada seam batubara T120.

Hal ini disebabkan karena sesar ini meningkatkan tekanan dan temperatur sehingga

turut meningkatkan pematangan material organik yang lebih peka terhadap

metamorfosa tingkat rendah, serta diikuti oleh peningkatan nilai reflektan vitrinit

sehingga terjadi pula peningkatan peringkat batubabara (coal rank).

Page 103: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

xii

DAFTAR PUSTAKA

Anarta, R, Perkembangan Metode Petrografi Batubara, Universitas Negeri Padang,

ISSN: 0854-8986.

Asminco Exploration dan Mining, 1996, Adaro Resources Report, PT.Adaro Indonesia.

Bemmelen, R. W, 1970, The Geology of Indonesia, vol. IA. Gov. Printing Office, The

Hegue.

Brahmantyo, B dan Bandono, 2006, Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk

Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan

Ruang, Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 2, hal. 071 – 078

Daranin, E, Tesis, 1995, Studi Petrografi Batubara Untuk Penentuan Peringkat Dan

Lingkungan Pengendapan Batubara di Daerah Bukit Kendi, Muara Enim,

Sumatera Selatan, Program Studi Rekayasa Pertambangan, ITB, Bandung.

Ediyanto dan Rahmad, B. 2008. Stuktur Geologi Dan Model Sedimentasi Batubara

Terhadap Geometri Batubara, Diktat Pelajaran Pelatihan Umum Bahan Galian

Batubara, hal.:17-31

Heryanto, R, 2009, Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi

Tanjung di daerah Binuang dan sekitarnya, Kalimantan Selatan, Jurnal Geologi

Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 239-252.

Heryanto, R dan Sikumbang, N, 1994, Peta Geologi Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi, Endapan batubara Kalimantan Timur dan Selatan, Sub

direktorat Explorasi Direktorat Geologi, Lap No. 2130.

Heryanto, R dan Suyoko, 2010, Karakteristik Batubara di Cekungan Bengkulu, (online,

http://iagibengkulu.blogspot.com/2010/11/karakteristik-batubara-dicekungan

27.html , diakses tanggal 7 Agustus 2011)

Horne, Ferm, JC, Caruccio, FT, dan Baganz, BP, 1978, Depositional Models in Coal

Exploration and Planning in Appalachian Region, AAPG Buletin 62:2379-

2411, Depertement of Geology, University of South Carolina, America.

Page 104: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

xiii

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli

Geologi Indonesia, Bandung.

Kuncoro, Prasongko, Bambang, 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang

Eksplorasi Dan Perencanaan Tambang, Program Studi Rekayasa Pertambangan,

ITB, Bandung.

Kusnama, 2008, Batubara Formasi Warukin di daerah Sampit dan sekitarnya,

Kalimantan Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22.

Marston, 1996, Kolom Stratigrafi Cekungan Barito, Dalam Adaro Source Repot,

Kalimantan.

Rahmad, B, 2008, Petrologi Batubara, Bahan Kuliah Geologi Batubara Jurusan Teknik

Geologi UPN “V” Yogyakarta.

Rodhi, A dan Raharjo, S, 2007, Kontrol Struktur Geologi Terhadap Penyebaran Lapisan

Batubara di Daerah Binungan Blok 1-4 Berau, Kalimantan Timur, Jurnal Ilmiah

MTG.

Rodhi, A dan Rahmad, B, 2008, Struktur Geologi dan Sedimentasi Batubara Formasi

Berau, Jurnal Ilmiah MTG, Vol.1 No. 3, November 2008.

Satyana dan Silitonga, 1994, Tectonic Reversal in East Barito Basin, South Kallmantan :

Consideration of the Types of Inversion Structures and Petroleum System

Significance, Proceedings Indonesian Petroleum Association 23rd

Annual

Convention, IPA94-1.1-027.

Van Zuidam, R.A dan Cancelado, 1979, Terrain Analysis And Classification Using

Aerial Photographs, ITC 350, Boulevard 1945, 7511 AL Enchede, The

Netherlands.

Verstappen, H, 1983, Applied geomorphology: Geomorphological surveys for

environmental development, Amsterdam

Page 105: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan

Lampiran 2. Peta Geomorfologi

Lampiran 3. Peta Geologi

Lampiran 4. Peta Struktur dan Peringkat Batubara Seam T120

Lampiran 5. Penampang Stratigrafi Terukur End Wall Timur Laut

Lampiran 6. Penampang Stratigrafi Terukur End Wall Barat Daya

Lampiran 7. Analisis Petrografi Batupasir Kuarsa

Lampiran 8. Analisis Petrografi Batubara

Page 106: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

1

Page 107: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

ii

Page 108: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

iii

Page 109: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

iv

Page 110: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

v

Page 111: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 7

6

Nomor sayatan : 1/4J (LP 101)

Perbesaran : 30 x

Nikol bersilang

Nikol sejajar

0 1 mm

PEMERIAN PETROGRAFIS:

Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu

kecoklatan, tekstur klastik, butiran terdiri

dari mineral kwarsa, feldspar, siderit, dan

mineral opak, ukuran butir 0,05-0,2mm,

bentuk butir menyudut tanggung-membulat

tanggung.

KOMPOSISI MINERAL:

Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief

rendah, sudut pemedaman

bergelombang, mineral

berukuran 0,1–0,2mm hadir

merata dalam sayatan

Feldspar (1%), putih, relief rendah,

berukuran 0,05–0,15mm,

bentuk menyudut tanggung,

berupa mineral plagioklas

Siderite (1%), coklat kekuningan-

kemerahan, bias rangkap kuat,

ukuran 0,05-0,15 mm.

Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief

tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm,

berupa pecahan karbon

Penamaan Petrografis:

Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,

1972)

Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)

Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide

Gilbert, 1982)

Feldspar

Min opak

Siderit

Kuarsa

Page 112: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 7

7

Nomor sayatan: 2/AJ/Qz ss (LP 77)

Perbesaran : 30 x

Nikol bersilang

Nikol sejajar

0 1 mm

PEMERIAN PETROGRAFIS:

Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu,

tekstur klastik, butiran terdiri dari mineral

kwarsa, feldspar, dan mineral opak, ukuran

butir 0,05-0,3mm, bentuk butir menyudut

tanggung-membulat tanggung.

KOMPOSISI MINERAL:

Kwarsa (97%), tidak berwarna, relief

rendah, sudut pemedaman

bergelombang, mineral

berukuran 0,2–0,3mm hadir

merata dalam sayatan

Feldspar (1%), putih, relief rendah,

berukuran 0,1–0,2mm, bentuk

menyudut tanggung, berupa

mineral plagioklas

Mineral opak (2%), hitam, isotrop, relief

tinggi, ukuran 0,05-0,2 mm,

berupa pecahan karbon

Penamaan Petrografis:

Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,

1972)

Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)

Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide

Gilbert, 1982)

Feldspar

Min opak

Kuarsa

Page 113: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 7

8

Nomor sayatan: 3/AJ T120 (LP 28)

Perbesaran : 30 x

Nikol bersilang

Nikol sejajar

0 1 mm

PEMERIAN PETROGRAFIS:

Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu

kecoklatan, tekstur klastik, butiran terdiri

dari mineral kwarsa, feldspar, dan mineral

opak, ukuran butir 0,02-0,15mm, bentuk

butir menyudut tanggung-membulat

tanggung.

KOMPOSISI MINERAL:

Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief

rendah, sudut pemedaman

bergelombang, mineral

berukuran 0,1–0,15mm hadir

merata dalam sayatan

Feldspar (2%), putih, relief rendah,

berukuran 0,02–0,15mm,

bentuk menyudut tanggung,

berupa mineral plagioklas

Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief

tinggi, ukuran 0,02-0,15 mm,

berupa pecahan karbon dan

cerat karbon

Penamaan Petrografis:

Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,

1972)

Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)

Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide

Gilbert, 1982)

Feldspar

Min opak

Kuarsa

Page 114: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 7

9

Nomor sayatan: 4/AJ EW TL (LP 164)

Perbesaran : 30 x

Nikol bersilang

Nikol sejajar

0 1 mm

PEMERIAN PETROGRAFIS:

Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu,

tekstur klastik, kompisisi butiran terdiri dari

mineral kwarsa, feldspar, siderit, dan

mineral opak, ukuran butir 0,05-0,2mm,

bentuk butir menyudut tanggung-membulat

tanggung.

KOMPOSISI MINERAL:

Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief

rendah, sudut pemedaman

bergelombang, mineral

berukuran 0,1–0,2mm hadir

merata dalam sayatan

Feldspar (2%), putih, relief rendah,

berukuran 0,05–0,15mm,

bentuk menyudut tanggung,

berupa mineral plagioklas

Siderite (1%), coklat kekuningan-

kemerahan, bias rangkap kuat,

ukuran 0,05-0,15 mm.

Mineral opak (2%), hitam, isotrop, relief

tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm,

berupa pecahan karbon

Penamaan Petrografis:

Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,

1972)

Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)

Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide

Gilbert, 1982)

Feldspar

Min opak

Siderit

Kuarsa

Page 115: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 7

10

Nomor sayatan: 5/A (LP 175)

Perbesaran : 30 x

Nikol bersilang

Nikol sejajar

0 1 mm

PEMERIAN PETROGRAFIS:

Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu,

tekstur klastik, kompisisi butiran terdiri dari

mineral kwarsa, feldspar, dan mineral opak,

ukuran butir 0,05-0,15mm, bentuk butir

menyudut tanggung-membulat tanggung.

KOMPOSISI MINERAL:

Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief

rendah, sudut pemedaman

bergelombang, mineral

berukuran 0,05–0,15mm hadir

merata dalam sayatan

Feldspar (2%), putih, relief rendah,

berukuran 0,05–0,15mm,

bentuk menyudut tanggung,

berupa mineral plagioklas

Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief

tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm,

berupa pecahan karbon dan

cerat karbon.

Penamaan Petrografis:

Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,

1972)

Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)

Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide

Gilbert, 1982)

Feldspar

Min opak

Kuarsa

Page 116: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

11

MACERAL ANALYSIS Sample mark : AH-1 (LP 106) Sample number : 3716/2011

Point Counting : 500 Interval (x) : 2 Magnification : 500x Interval (y) : 2

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

MACERAL ANALYSIS

MACERAL GROUP

% VOL

VOL mfb

SUB MACERAL MACERAL %

VOL VOL (mfb)

VITRINITE (HUMINITE)

65.6

Telovitrinite (Humotelinite)

12.0

Textinite -

Texto-ulminite -

E-ulminite -

Telocollinite 12.0

Detrovitrinite (Humodetrinite)

47.2

Attrinite -

Densinite 0.8

Desmocollinite 46.4

Gelovitrinite (Humocolinite)

6.4

Corpogelinite 6.4

Porigelinite -

Eugelinite -

LIPTINITE (EXINITE)

7.8

Sporinite -

Cutinite 0.4

Resinite 1.6

Liptodetrinite -

Alginite -

Suberinite 5.8

Fluorinite -

Exsudatinite -

Bituminite -

INERTINITE 25.4

Telo-inertinite

Fusinite 6.4

Semifusinite 7.6

Sclerotinite 5.0

Detro-inertinite Inertodetrinite 6.4

Micrinite -

Gelo-inertinite Macrinite -

MINERALS MATTER

1.2

Oksida -

Pyrite 1.2

Clay -

TOTAL 100

Page 117: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

12

VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS

Sample mark : AH-1 (LP 106)

Sample number : 3716/2011

Standard Deviation (%) : 0.03

Maximum Reflectance (%) : 0.52

Minimum Reflectance (%) : 0.46

Mean Reflectance (%) : 0.49

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

Page 118: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

13

Figure 1. Suberinite, fine pyrite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3716

Figure 2. As for Figure 1 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3716

Suberinite

Detrovitrinite

Detrovitrinite

Suberinite

Pyrite

Page 119: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

14

Figure 3. Pyrite, resinite, suberinite and fusinite associated detrovitrinite in coal,

reflectant white light, 500x. Sample 3716

Figure 4. As for Figure 3 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3716

Resinite

Pyrite

Detrovitrinite

Detrovitrinite

Resinite

Fusinite

Suberinite

Suberinite

Page 120: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

15

Figure 5. Pyrite and fusinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant

white ligth, 500x. Sample 3716

Figure 6. Sclerotinite and inertodetrinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3716

Detrovitrinite

Fusinite

Sclerotinite

Detrovitrinite

Pyrite

Inertodetrinite

Page 121: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

16

MACERAL ANALYSIS Sample mark : AH-2 (LP 6) Sample number : 3717/2011

Point Counting : 500 Interval (x) : 2 Magnification : 500x Interval (y) : 2

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

MACERAL ANALYSIS

MACERAL GROUP

% VOL

VOL mfb

SUB MACERAL MACERAL %

VOL VOL (mfb)

VITRINITE (HUMINITE)

73.6

Telovitrinite (Humotelinite)

12.8

Textinite -

Texto-ulminite -

E-ulminite -

Telocollinite 12.8

Detrovitrinite (Humodetrinite)

54.4

Attrinite -

Densinite 0.4

Desmocollinite 54.0

Gelovitrinite (Humocolinite)

6.4

Corpogelinite 6.4

Porigelinite -

Eugelinite -

LIPTINITE (EXINITE)

8.8

Sporinite 0.2

Cutinite 0.4

Resinite 2.8

Liptodetrinite -

Alginite -

Suberinite 5.4

Fluorinite -

Exsudatinite -

Bituminite -

INERTINITE 11.6

Telo-inertinite

Fusinite 1.2

Semifusinite 2.0

Sclerotinite 5.4

Detro-inertinite Inertodetrinite 3.0

Micrinite -

Gelo-inertinite Macrinite -

MINERALS MATTER

6.0

Oksida -

Pyrite 2.8

Clay 3.2

TOTAL 100

Page 122: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

17

VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS

Sample mark : AH-2 (LP 6)

Sample number : 3717/2011

Standard Deviation (%) : 0.02

Maximum Reflectance (%) : 0.48

Minimum Reflectance (%) : 0.44

Mean Reflectance (%) : 0.46

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

Page 123: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

18

Figure 7. Pyrite and fusinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white

light, 500x. Sample 3717

Figure 8. Sclerotinite and pyrite associated with detrovitrinite in coal, reflectant

white light, 500x. Sample 3717

Fusinite

Pyrite

Sclerotinite

Detrovitrinite

Detrovitrinite

Pyrite

Page 124: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

19

Figure 9. Pyrite, alginate and resinite associated detrovitrinite in coal, reflectant

white light, 500x. Sample 3717

Figure 10. As for Figure 9 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3717

Cutinite

Detrovitrinite

Detrovitrinite

Pyrite

Alginite

Resinite

Alginite

Resinite

Page 125: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

20

Figure 11. Pyrite amd suberinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant

white ligth, 500x. Sample 3717

Figure 12. As for Figure 11 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3717

Detrovitrinite

Detrovitrinite Pyrite

Suberinite

Suberinite

Page 126: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

21

MACERAL ANALYSIS Sample mark : AH-3 (LP 26) Sample number : 3718/2011

Point Counting : 500 Interval (x) : 2 Magnification : 500x Interval (y) : 2

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

MACERAL ANALYSIS

MACERAL GROUP

% VOL

VOL mfb

SUB MACERAL MACERAL %

VOL VOL (mfb)

VITRINITE (HUMINITE)

82.8

Telovitrinite (Humotelinite)

7.2

Textinite -

Texto-ulminite -

E-ulminite -

Telocollinite 7.2

Detrovitrinite (Humodetrinite)

63.6

Attrinite -

Densinite 7.6

Desmocollinite 56.0

Gelovitrinite (Humocolinite)

12.0

Corpogelinite 12.0

Porigelinite -

Eugelinite -

LIPTINITE (EXINITE)

7.6

Sporinite 0.8

Cutinite 0.4

Resinite 1.4

Liptodetrinite -

Alginite 0.6

Suberinite 4.4

Fluorinite -

Exsudatinite -

Bituminite -

INERTINITE 7.8

Telo-inertinite

Fusinite -

Semifusinite 0.2

Sclerotinite 4.8

Detro-inertinite Inertodetrinite 2.8

Micrinite -

Gelo-inertinite Macrinite -

MINERALS MATTER

1.8

Oksida -

Pyrite 1.2

Clay 0.6

TOTAL 100

Page 127: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

22

VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS

Sample mark : AH-3 (LP 26)

Sample number : 3718/2011

Standard Deviation (%) : 0.03

Maximum Reflectance (%) : 0.46

Minimum Reflectance (%) : 0.42

Mean Reflectance (%) : 0.44

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

Page 128: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

23

Figure 13. Pyrite and sclerotinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718

F Ffigure 14. Sclerotinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718

Detrovitrinite

Sclerotinite

Sclerotinite

Detrovitrinite

Pyrite

Page 129: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

24

Figure 15. Pyrite and resinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718

Figure 16. As for Figure 15 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3718

Alginite

Detrovitrinite

Pyrite

Detrovitrinite

Alginite

Page 130: Skripsi-Ahmad Nurjihan 111070038

LAMPIRAN 8

25

Figure 17. Pyrite and alginate associated with detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3718

Figure 18. As for Figure 17 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3718

Detrovitrinite

Alginte

Detrovitrinite

Alginite

Pyrite