skripsi-ahmad nurjihan 111070038
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
Oleh :
AHMAD NURJIHAN
111.070.038
PRODI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2 0 11
GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN
TERHADAP PERBEDAAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120
BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT
DAERAH TUTUPAN SELATAN
KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG
PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
ii
SKRIPSI
Oleh :
AHMAD NURJIHAN
111.070.038
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi
Yogyakarta, 26 September 2011
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. H. Achmad Rodhi, M.T. Ir. Ediyanto, M.T.
NIP : 19540511 198303 1 001 NIP. 19600331 199203 1 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan
Ir. Sugeng Raharjo, M.T.
NIP. 19581208 199203 1 001
GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN
TERHADAP PERUBAHAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120
BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT
DAERAH TUTUPAN SELATAN
KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG
PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dan rosulnya Muhammad SAW berkat rahmat
Nya-lah penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “ Geologi dan
Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Perbedaan Peringkat Batubara Seam T120
Berdasarkan Parameter Nilai Reflektan Vitrinite Daerah Tutupan Selatan, Kecamatan
Tanjung, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan.
Laporan tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum
program Strata-1 di Prodi Teknik Geologi Falkutas Teknologi Mineral Universitas
Pembangunan Nasional “ Veteran “ Yogyakarta.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Almarhum Ayah dan Ibunda tercinta, atas semangat, bimbingan, nasehat, doa
dan bantuan materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Ir. H. Sugeng Rahardjo, MT selaku Ketua Prodi Teknik Geologi, UPN ” Veteran
” Yogyakarta. Bapak Ir. H.Achmad Rodhi, MT selaku pembimbing I di Prodi
Teknik Geologi, UPN ”Veteran” Yogyakarta, atas segala ilmu, waktu dan
bimbingan yang diberikan kepada penulis. Ir.Ediyanto, MT selaku pembimbing
II di Prodi Teknik Geologi, UPN ”Veteran” Yogyakarta, atas segala ilmu, waktu
dan bimbingan yang diberikan kepada penulis.
3. PT. Adaro Indonesia atas kesempatan, dukungan, sarana dan prasarana selama
penelitian, Bapak Dwin Deswantoro selaku pembimbing di lapangan PT.Adaro
Indonesia, dan seluruh karyawan PT. Adaro Indonesia yang telah banyak
membantu dan telah memberikan suasana yang menyenangkan selama
penelitian.
4. Keluarga Besar Pangea Cruiser atas semua ilmu dan pengalaman yang telah
diberikan kepada penulis dan saudara-saudara angkatan 2007 Teknik Geologi
UPN ”V” Yogyakarta, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih atas dukungan dan doanya.
iv
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu - persatu yang telah
membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi
ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan laporan skripsi ini.
Akhir kata, semoga laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna
untuk dipahami bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya
serta dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, amin yaa rabbal
a’lamin.
Yogyakarta, 20 Agustus 2011
Penulis
Ahmad Nurjihan
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada :
Keluarga Tercinta, Almarhum Ayahanda Harun Alrasyid dan Ibunda Sri Hartati yang selalu
memberikan kasih sayang, dukungan, semangat dan doa yang tiada henti.
serta kedua saudaraku Eko Nurrahmanto dan Fajar Dwi Astuti
Keluarga Besar Pangea Cruiser, sebagai tempat bermain dan belajar.
Keluarga Basecamp PC, Adie Pulung Saputro, RY Rahman, Rudi Prastiono
Keluarga Besar staff dosen dan asisten dosen Laboratorium Geologi Struktur.
Selvy Indah Era Wardani yang telah banyak memberikan semangat.
Teman-teman Geologi terutama “Pangea 2007”, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terimakasih atas dukungan dan bantuan kalian semua.
vi
GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP
PERUBAHAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN
PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TUTUPAN
KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG
PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
Ahmad Nurjihan
111.070.038
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah dijumpai banyak seam batubara dengan
ketebalan mencapai 28 meter dan struktur geologi yang cukup kompleks, sehingga
tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keadaan geologi dan karakteristik struktur
geologi daerah telitian serta perubahan peringkat batubara (coal rank) berdasarkan
tingkat kematangan bahan organik (reflektan vitrinit) yang dikontrol oleh perubahan
tekanan dan temperatur akibat dari pengaruh sesar mendatar Tutupan. Lokasi Penelitian
ini dilakukan pada salah satu kuasa pertambangan milik PT. Adaro Indonesia, yaitu di
Blok Tutupan Selatan Pit Hill 11. Secara administrasi lokasi daerah telitian berada pada
daerah Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, secara geografis
terletak pada 11528’0” BT - 11528’53.2” BT dan 214’10.8” LS - 215’0” LS.
Metode penelitian yang digunakan adalah berupa pemetaan geologi permukaan
(Surface Mapping) dengan pengambilan data langsung di lapangan. Beberapa analisis
yang dilakukan antara lain: struktur geologi dan petrografi batubara (maseral dan
reflektan vitrinit) yang digunakan untuk penentuan peringkat batubara pada daerah
telitian.
Satuan geomorfologi daerah telitian antara lain: bukit homoklin berlereng miring
(S1), perbukitan homoklin berlereng landai (S2), kolam penampungan air/sump hasil
penambangan (H1), lereng curam high wall hasil penambangan (H2), lereng curam low
wall hasil penambangan (H3), lereng curam end wall hasil penambangan (H4) dan
dataran berlereng landai-miring hasil penambangan (H5). Stratigrafi daerah telitian dari
tua ke muda yaitu : Satuan batupasir kuarsa Warukin yang diendapkan pada lingkungan
Upper delta plain pada Kala Miosen Tengah, selaras di atasnya Satuan batulempung
Warukin yang diendapkan pada lingkungan Transitional lower delta plain pada Kala
Miosen Tengan dan tidak selaras di atasnya Satuan Endapan Alluvial yang diendapkan
pada lingkungan fluviatil (darat) pada Kala Holosen. Struktur geologi pada daerah
telitian berupa kekar dan cleat dengan arah umum NW-SE, homoklin dengan strike ke
arah NE-SW dan dip miring ke arah SE, sesar mendatar Tutupan berarah WNW-ESE,
serta sesar naik Hill 11 diperkirakan berarah NE-SW. Secara umum, peringkat batubara
(coal rank) berdasarkan nilai reflektan vitrinit di daerah telitian mempunyai peringkat
batubara Sub-Bituminous B menurut klasifikasi ASTM, 1986. Sedangkan pada seam
T120 yang tersesarkan (pengambilan sampel pada zona sesar) terjadi perbedaan
peringkat batubara dengan peringkat High Volatile Bituminous C yang diakibatkan oleh
peningkatan tekanan dan temperatur karena pergerakan sesar mendatar Tutupan.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ vii
DAFTAR FOTO ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3. Batasan Masalah ................................................................................................ 2
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ........................................................................... 2
1.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian ........................................................ 3
1.6. Hasil Penelitian ................................................................................................... 6
1.7. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 7
1.8. Peneliti Terdahulu ............................................................................................... 7
BAB II. METODE PENELITIAN 2.1.Metodologi Penelitian .......................................................................................... 8
BAB III. DASAR TEORI 3.1. Genesa Batubara ................................................................................................. 14
3.2. Faktor Pembentuk Batubara ................................................................................ 17
3.3. Petrografi Batubara ............................................................................................. 19
3.4. Peringkat Batubara (Coal Rank) ........................................................................ 17
3.5. Lingkungan Pengendapan .................................................................................. 31
3.7. Karakteristik Sesar Naik dan Sesar Mendatar .................................................... 35
BAB IV. GEOLOGI REGIONAL 4.1. Fisiografi Regional ............................................................................................. 39
4.2. Kerangka Tektonik Regional .............................................................................. 40
4.3. Stratigrafi Regional ............................................................................................. 43
4.4. Struktur Geologi Regional .................................................................................. 48
BAB V. GEOLOGI DAERAH TELITIAN 5.1. Geomorfologi Daerah Telitian ............................................................................ 50
5.2. Stratigrafi Daerah Telitian .................................................................................. 58
viii
5.3. Struktur Geologi Daerah Telitian ....................................................................... 70
5.4. Sejarah Geologi Daerah Telitian ......................................................................... 84
BAB VI. PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP
PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER
NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TELITIAN 5.1. Peringkat Batubara (Coal Rank) Daerah Telitian ............................................... 84
5.2.Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Peringkat Batubara Seam T120 ... 88
BAB VII. KESIMPULAN ....................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii
ix
DAFTAR FOTO
Foto Hal
5.1. Kenampakan arah kemiringan lapisan batuan pada daerah telitian ................. 52
5.2. Kenampakan satuan Geomorfologi bukit homoklin berlereng miring (S1)
dan perbukitan lemah homoklin berlereng landai (S2) di bagian tenggara
daerah telitian .................................................................................................... 53
5.3. Kenampakan satuan kolam penampungan (sump) di daerah telitian ............... 54
5.4. Kenampakan satuan geomorfik aspek manusi pada daerah telitian ................ 56
5.5. Kenampakan woody structur (struktur kayu) pada LP 109 ............................. 59
5.6. Litologi batupasir kuarsa daerah telitian pada LP 2 ....................................... 59
5.7. a. Litologi batulempung dengan sisipan batubara tipis pada LP 82 ................ 60
5.7. b. Lithologi batulempung karbonan dengan struktur menyerpih pada LP 90 . 60
5.8. Litologi batubara T110 bagian floor pada lintasan MS end wall timur laut .... 61
5.9. a. Cleat pada batubara seam T110 pada LP 164 .............................................. 62
5.9. b. Kenampakan resin/amber pada seam batubara T110 pada end wall timut
laut ................................................................................................................ 62
5.10. Kontak satuan batuan (garis merah) pada end wall timur laut daerah telitian 64
5.11. Litologi batulempung dengan struktur masif pada LP 101 ............................ 65
5.12. Litologi batupasir kuarsa dengan struktur silang siur pada LP 10 .................. 65
5.13. Litologi batulanau dengan fosil cetakan daun (plant remain) LP 102 ........... 66
5.14. Satuan Endapan Alluvial yang terdapat pada kolam penampungan /sump .... 69
5.15. Kekar pada lithologi batulanau LP 71 ............................................................ 71
5.16. Kenampakan cleat pada daerah telitian .......................................................... 73
5.17. Struktur homoklin pada daerah telitian ........................................................... 75
5.18. Kenampakan offset, bidang sesar, zona milonit pada daerah telitian ............. 76
5.19. Kenampakan bidang sesar, slickenside dan drag fold di daerah telitian ........ 77
5.20. Kenampakan lipatan berupa drag fold di dearah telitian pada LP 78 dan LP
79 .................................................................................................................... 81
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal.
1.1. Peta lokasi daerah telitian yang termasuk dalam wilayah konsesi PT. Adaro
Indonesia ........................................................................................................... 5
1.2. Petunjuk letak peta dan peta lokasi daerah telitian ........................................... 6
2.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian .................................................... 13
3.1. Proses kematangan batubara ............................................................................. 23
3.2. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne,1978) ............................... 26
3.3. Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial
(Horne,et all, 1978) ........................................................................................... 29
3.4. a. Rekontruksi dari lingkungan transitional lower delta plain ......................... 31
3.4. b. Urutan umum vertikal melalui endapan transitional lower delta plain
(Horne,et all, 1978) ...................................................................................... 31
3.5. Kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan
perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung .......... 33
3.6. Plan of wrench system under North – South sample (Moddy and Hill, 1961) 38
3.7. En Echelon Structures pada zona strike slip faults (Harding,1974 and
Bartlett et all,1981) ........................................................................................... 38
4.1. Peta fisiografi pulau Kalimantan ...................................................................... 39
4.2. Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989) .................................. 42
4.3. Barito Basin-Makassar Strait cross section ...................................................... 42
4.4. Peta geologi Regional daerah penelitian (Heryanto,dkk.1994) ....................... 46
4.5. Model Struktur Regional (PT. Adaro Indonesia).............................................. 49
4.6. Tatanan Tektonik Cekungan Barito .................................................................. 49
5.1. Diagram Rosset dan Kontur face cleat daerah telitian ..................................... 74
5.2. Diagram kontur face cleat pada zona sesar dengan kekudukan umum
N370E/550 ......................................................................................................... 78
5.3. Diagram analisis sesar mendatar Tutupan ........................................................ 78
5.4. Analisis stereografis drag fold pada daerah telitian .......................................... 80
5.5. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur penyerta (Hill,1976) ........ 82
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Hal.
3.1 Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta-antrasit (Thomas, 2002 .. ) 16
3.2 Klasifikasi Maseral Batubara (AS 2856, 1986) ............................................... 22
3.3 Coal Rank Classifications (ASTM Standard, 1983) And Relation to vitrinite
reflectance (modified from Meissner, 1984) ..................................................... 24
4.1 Stratigrafi cekungan Barito (Adaro Resources Report, 1999) ........................... 46
4.2 Kolom stratigrafi daerah Tutupan (PT. Adaro Indonesia) ................................. 47
5.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng (Zuidam dan Cancelado, 1979) ....................... 51
5.2 Klasifikasi satuan geomorfik daerah telitian ..................................................... 59
5.3 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian ..................................................................... 70
5.4 Tabulasi Data Face Cleat Daerah Telitian ........................................................ 72
5.5 Tabulasi Data Kedudukan Sayap Drag Fold ..................................................... 79
6.1 Peringkat batubara Tutupan (ADARO) ............................................................. 84
6.2 Coal rank ADR_T100 ....................................................................................... 85
6.3 Coal rank ADR_T120 ....................................................................................... 85
6.4 Coal rank ADR_T300 ....................................................................................... 86
6.5 Hasil analisis reflektan vitrinit dan penentuan coal rank (ASTM,1986), seam
T120 pada daerah telitian .................................................................................. 87
6.6 Klasifikasi coal rank T120 AH-1 LP 105 (ASTM,1983 modified from
Meissner,1984) ................................................................................................. 88
6.7 Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6(ASTM,1983 modified from
Meissner,1984) ................................................................................................. 88
6.8 Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6(ASTM,1983 modified from
Meissner,1984) ................................................................................................. 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon yang terbentuk dari tetumbuhan
dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang
berlangsung lama sekali. Secara garis besar batubara terdiri dari zat organik, air dan
bahan mineral. Petrologi batubara memberikan dasar untuk pemahaman genesa , sifat-
sifat dan arti penting unsur organik di dalam batubara. Material organik berasal dari
berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama
tahap pembentukan gambut.
Pada tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut
menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit,
subbituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan
temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu (Cook, 1982). Cook
(1982), juga menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan
pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat rendah, dimana material
organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada mineral anorganik.
Aktifitas tektonik dapat menimbulkan efek tekanan terutama pada shearing force
atau gaya lintang. Aktivitas tektonik sangat berpengaruh terhadap kondisi lapisan
batubara baik fisik maupun kimianya. Tentunya pada daerah patahan juga menghasilkan
akibat yang sama karena adanya perubahan tekanan dan temperatur di zona sesar.
Kondisi geologi terutama batubara pada daerah Tutupan selatan yang merupakan
wilayah konsesi PT. Adaro Indonesia, dijumapi banyak seam batubara dan ada yang
mempunyai tebal mencapai 30 meter serta kondisi struktur geologi pada daerah tersebut
yang cukup kompleks. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perubahan peringkat batubara (coal rank) berdasarkan tingkat kematangan bahan
organik yang dikontrol oleh perubahan tekanan dan temperatur akibat dari pengaruh
2
struktur geologi, yang secara ekonomis akan sangat menguntungkan karena ketebalan
seam batubara pada daerah telitian ini mencapai hingga 28 meter.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat dimunculkan adalah :
1. Bagaimana karakteristik struktur geologi yang ada pada daerah telitian?
2. Bagaimana pengaruh struktur geologi terhadap peringkat batubara (coal rank)
berdasarkan parameter nilai reflektan vitrinit pada daerah telitian?
1.3. Batasan Masalah
Penelitian yang dilaksanakan dibatasi dan menitikberatkan khususnya pada
lapisan batubara seam T120 dan struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan.
Dimana nantinya akan dibandingkan peringkat batubara pada zona sesar dan jauh dari
zona sesar menggunakan parameter nilai reflektan vitrinit rata-rata dengan pengaruh
sesar mendatar Tutupan pada daerah telitian. Data yang digunakan adalah data outcrop
permukaan dari hasil pemetaan peneliti di daerah Tutupan Selatan, konsesi PT. Adaro
Indonesia, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan serta
menggunakan hasil analisis petrografi batubara dengan sampel yang diambil pada
daerah telitian. Seam T120 dipilih karena merupakan seam yang paling jelas tersesarkan
dibandingkan seam yang lain dan merupakan seam kunci dengan ketebalan hingga 28
meter pada daerah telitian.
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan kurikulum Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta, maka mahasiswa yang telah memenuhi syarat
diwajibkan untuk melaksanakan Tugas Akhir dengan melakukan pemetaan geologi
lapangan. Hal ini sebagai syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan pada program S1 di
Jurusan Teknik Geologi UPN “V” Yogyakarta
3
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kondisi geologi daerah telitian.
2. Mengetahui struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian.
3. Mengetahui pengaruh sesar mendatar Tutupan terhadap perbedaan peringkat
batubara (coal rank) seam T120 yang ditinjau dari nilai reflektan maseral
(vitrinit) di daerah telitian.
I.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian
Lokasi Penelitian ini dilakukan pada salah satu kuasa pertambangan milik PT.
Adaro Indonesia, yaitu di Blok Tutupan Selatan pit Hill 11. Secara administrasi lokasi
daerah telitian berada pada daerah Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan
Selatan (sekitar 210 km ke arah Timur Laut dari Kota Banjarmasin) dan daerah telitian
terletak pada koordinat UTM N 9751209 – N 9752768 dan E 329486 – E 331068, secara
geografis terletak pada 11528’4.6” BT - 11528’53.2” BT dan 214’1.8” LS - 215’1.6”
LS dengan luas daerah telitian adalah 1 x 1,3 km (Gambar 1.1 dan 1.2).
Pertambangan batubara PT. Adaro Indonesia dibatasi dalam wilayah kuasa
Pertambangan Eksploitasi DU. 182/Kal–Sel. Areal kuasa penambangan batubara
PT.Adaro Indonesia terdapat di empat lokasi, yaitu daerah Paringin, Tutupan, Wara dan
Warukin.
Daerah operational PT.Adaro Indonesia secara geografis berada pada :
115º33’30” sampai dengan 115º26’10” Bujur Timur
2º7’30” sampai dengan 2º55’30” Lintang Selatan.
Lokasi penambangan berjarak 210 km kearah Timur Laut Kota Banjarmasin.
Secara administratif, PT. Adaro Indonesia meliputi tiga belas kecamatan dan tiga
kabupaten yang terdapat di dua propinsi (Gambar 1.1). Di daerah tingkat I Kalimantan
Selatan meliputi Kabupaten Tabalong (Kecamatan Muara Harus, Murung Pudak, Upau,
Tanta, dan Kelua), Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Paringin : Lampihong,
Juai, Awayan, dan Batu Mandi). Sedangkan di Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah
4
meliputi Kabupaten Barito Selatan (Desa Kelanis Kecamatan Hulu Sungai
Hilir/Mangkatip dan Desa Rangga Ilung Kecamatan Jenamas serta Pasar Panas).
Rute perjalanan yang ditempuh dari Yogyakarta ke lokasi areal tambang adalah
sebagai berikut:
1) Yogyakarta – Banjarbaru (Kalimantan Selatan) selama ± 1 jam 30 menit dengan
menggunakan pesawat udara.
2) Banjarbaru – Tanjung, Kabupaten Tabalong dengan menggunakan transportasi
darat jarak tempuh ± 230 km selama ± 4-5 jam perjalanan dengan kondisi jalan
beraspal cukup baik.
3) Tanjung – Kantor Pusat PT. Adaro Indonesia Wara km 73 dengan menggunakan
transportasi darat jarak tempuh ± 15 km selama ± 30-45 menit dengan kondisi
jalan beraspal cukup baik.
4) Kantor Pusat PT. Adaro Indonesia Wara km 73 – Lokasi Penelitian dapat
ditempuh dengan trasportasi darat (mobil roda 4) jarak tempuh ± 6 km selama
10-15 menit dengan kondisi jalan berupa haul road dan jalan tambang.
5
Gambar 1.1. Peta lokasi daerah telitian yang termasuk dalam wilayah konsesi
PT. Adaro Indonesia
6
Gambar 1.2. Petunjuk letak peta dan peta lokasi daerah telitian
I.6. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk:
1. Peta lintasan dan lokasi pengamatan.
2. Peta geomorfologi
3. Peta geologi
4. Peta struktur dan peringkat batubara seam T120.
5. Penampang stratigrafi terukur
6. Laporan Penelitian.
7
I.7. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa
sudut pandang berupa:
1. Keilmuan, dapat diketahui bagaimana pengaruh struktur geologi terhadap
komposisi maseral batubara.
2. Kegunaan penelitian bagi perusahaan, memberikan informasi dan data geologi
terbaru kepada perusahaan yang menjadi tempat dilaksanakannya penelitian ini.
I.8. Peneliti Terdahulu
Daerah telitian termasuk ke dalam Cekungan Barito, secara fisiografi
merupakan bagian dari cekungan di Kal-Tim. Beberapa peneliti terdahulu, meneliti
daerah lebih luas yang mencakup daerah penelitian penulis, antara lain:
1. Gunawan Sabta Eko, Skripsi, 2007, Kendali Geologi Terhadap Karaktristik Cleat
Batubara Seam T210,T220,T200 Pada Blok Tambang PT. Bukit Makmur Mandiri
Utama Daerah Tutupan Wilayah Konsesi PT. Adraro Indonesia Kabupaten
Tabalong Kal-Sel, UPN “V”. Yogyakarta.
2. Hariyadi, Skripsi, 2008, Pola Sebaran Lapisan Batubara Seam A, B, C, D, E, F
Pada Formasi Warukin Berdasarkan Data Permukaan Daerah Utara
TutupanWilayah Konsesi PT. Adaro Indonesia,, Kabupaten Tabalong, Kal-Sel, UPN
“V”. Yogyakarta.
3. Heryanto, R, 2009, Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi
Tanjung di daerah Binuang dan sekitarnya, Kalimantan Selatan, Jurnal Geologi
Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 239-252.
4. Kusnama, 2008, Batubara Formasi Warukin di daerah Sampit dan sekitarnya,
Kalimantan Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22
5. Sikumbang, N. dan Heryanto, R., 1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin,
Kalimantan Selatan skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
8
BAB II
METODELOGI PENELITIAN
2.1. Metodelogi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan di daerah penelitian adalah berupa
pemetaan geologi permukaan (Mapping surface). Dalam penelitian ini masalah yang
akan dijumpai terutama masalah yang berhubungan dengan obyek penelitian itu sendiri
seperti permasalahan geologi, geomorfologi, struktur geologi maupun stratigrafi. Maka
untuk memecahkan masalah tersebut, metode pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian di lakukan dalam beberapa tahap yang meliputi antara lain: tahap pendahuluan
(pra-lapangan), pelaksanaan (lapangan) dan tahap pasca-lapangan (pengolahan data dan
laporan akhir).
a. Tahap Pendahuluan (Pra-lapangan)
Segala hal mengenai daerah penelitian sangat berguna bagi penelitian lebih
lanjut, untuk itu hasil-hasil penelitian terdahulu sangat penting sebagai referensi dan
perbandingan. Adapun pengenalan lapangan dan persiapan-persiapan yang harus
dilakukan meliputi :
Persiapan proposal penelitian dan perijinan.
Persiapan peralatan dan perlengkapan.
Pada penelitian ini bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Sarana Pengamatan: Kompas geologi, palu geologi, kaca pembesar (lup),
komparator butir, meteran 30 m, HCL dan kantong sampel.
2. Sarana Perekam: Peta topografi, buku catatan lapangan, kamera digital dan
GPS.
3. Alat Tulis : Pena, pensil, pensil berwarna, spidol marker, spidol OHP,
clipboard, penggaris, busur derajat, kertas HVS.
9
4. Pengolahan data menggunakan software: AutoCad, MapSource, ArcGis,
Dips, Global Mapper, Surfer dan Corel Draw.
Studi pustaka daerah penelitian dan geologi regionalnya, untuk dapat mengetahui
kondisi geologi daerah penelitian berdasarkan informasi-informasi yang berupa
literatur dan publikasi dari peneliti terdahulu.
Melakukan interpretasi awal dengan menggunakan peta topografi daerah
penelitian sebagai peta dasar dan sebagai tahap awal penelitian dengan
memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam peta tersebut.
b. Tahap Pelaksanaan (lapangan)
Dalam tahap pelaksanaan/lapangan ini dilakukan pekerjaan lapangan dan
pengumpulan data dilapangan pada daerah penelitian yang merupakan konsesi PT.
Adaro Indonesia. Data yang didapatkan peneliti dari pengamatan lapangan merupakan
data primer. Data yang diperoleh antara lain:
Observasi lapangan: Dilakukan untuk mengenali medan dan kondisi lapangan
dari daerah penelitian dan juga untuk mengetahui gambaran morfologi dan
keadaan geologi secara umum guna menentukan langkah-langkah dalam
penelitian selanjutnya.
Penggambilan data lapangan: Pengamatan lapangan dan pengambilan data
geologi merupakan unsur utama dalam pemetaan geologi permukaan (Mapping
surface) karena keakuratan data yang diambil akan sangat mempengaruhi hasil
akhir penelitian ini. Data yang perlu diambil pada daerah penelitian, antara lain:
1. Pengukuran data kedudukan lapisan batuan.
Tujuan dari pengambilan data ini ialah untuk mengetahui sebaran litologi
daerah penelitian dan kondisi geologi daerah penelitian.
2. Deskripsi singkapan, baik iu singkapan batubara, batuan lainnya, morfologi
sekitar dan unsur-unsur struktur geologi yang dijumpai.
10
3. Profil singkapan pengamatan dan penampang stratigrafi terukur
Tujuan dari pembuatan profil dan penampang stratigrafi terukur adalah
untuk mengetahui hubungan satuan batuan, sejarah geologi dan juga dapat
digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan dari satuan batuan
pada daerah penelitian.
4. Pengukuran struktur geologi
Data pengukuran struktur geologi dapat dipakai untuk mengetahui proses-
proses geologi yang bekerja serta sebagai data utama pada kajian khusus
pada daerah penelitian.
5. Pengukuran azimuth singkapan
Pengukuran azimuth singkapan dilakukan untuk mengetahui arah dari
singkapan yang ditemui.
6. Dokumentasi (foto)
Dokumentasi dimaksudkan untuk merekam kenampakan-kenampakan
litologi maupun singkapan yang ada, sehingga akan memudahkan penulis
untuk menunjukannya kepada pembaca. Dokumentasi tersebut dapat
berupa foto singkapan, foto bentang alam maupun foto close up dari
litologi dan struktur sedimennya.
7. Pegambilan sampel untuk uji laboratorium, diantaranya sampel petrografi,
sampel paleontologi dan sampel batubara untuk uji petrografi dan maseral
batubara.
c. Tahap Analisis Data
Tahap pemprosesan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi
pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta
pengambilan data lapangan yang didukung oleh analisa laboratorium, yang meliputi :
analisis struktur geolo, analisa paleontologi, analisa petrografi, analisa struktur geologi
serta analisa data-data lapangan yang dibuat menjadi penampang terukur (profil) agar
11
dicapai kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan tetang penelitian yang dilakukan
yang akan ditampilkan dalam bentuk:
1) Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan
2) Peta Geomorfologi
3) Peta Geologi
4) Penampang Stratigrafi Terukur
5) Peta Struktur dan peringkat Batubara seam T120
Beberapa analisa yang dilakukan untuk melengkapi data pemetaan ini antara lain:
a. Analisis Petrografi
Untuk menganalisis petrografi dari sampel-sampel batuan yang mewakili satuan
batuan di daerah penelitian.
b. Analisis Mikropaleontologi
Untuk menganalisis kandungan mikrofosil (fosil bentos maupun plankton) yang
terkandung dalam sampel batuan yang diduga mengandung fosil untuk
penentuan umur dari satuan batuan yang diwakili.
c. Analisis Struktur Geologi
Untuk menganilisis struktur geologi meliputi analisa stereografi untuk
penggambaran stereografi kedudukan struktur geologi yang dijumpai baik itu
kekar, sesar, micro fold, maupun cleat.
d. Analisis Penampang Stratigrafi Terukur
Untuk menganilisis penampang stratigrafi terukur berdasarkan cirri-ciri fisik,
kimia dan biologi dari batuan untuk selanjutnya menentukan lingkungan
pengendapan.
e. Analisis Petrografi dan Maseral Batubara
Untuk mengetahui komposisi dan penyusun apa saja yang terkandung dalam
batubara. Serta menentukan peringkat batubara (coal rank) dari lapisan batubara
menggunakan analisis reflektan vitrinit dari maseral batubara.
12
f. Pembuatan peta-peta, yaitu peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta struktur
dan peringkat batubara seam T120, peta geomorfologi dan peta geologi daerah
penelitian.
d. Penyusunan Laporan
Pelaporan merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah
dilakukan dan disajikan dalam bentuk laporan dan peta yang merangkum semua
permasalahan yang diangkat penulis beserta hasil analisa guna menjawab permasalahan
di atas.
13
Gambar 2.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian
14
BAB III
DASAR TEORI
3.1. Genesa Batubara
Menurut Badan Standarisasi Nasional dalam SNI (1997), batubara adalah
endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa
tumbuhan yang telah melalui proses lithifikasi untuk membentuk lapisan batubara,
material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis
oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologi. Bahan-bahan organik yang
terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat > 50% volume bahan organik.
Batubara berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami proses pembentukan
batubara yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap
geokimia (pembatubaraan). Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana
sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi (gambut) di
daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada
kedalaman 0,5 – 10 m. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C
dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh
bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach et al, 1982 ). Gambut
merupakan tahap paling awal dari proses pembentukkan batubara. Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pembentukkan gambut :
Evolusi tumbuhan, hara merupakan unsur utama pembentuk batubara dan
sebagai penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Metode yang
digunakan untuk mengenal jenis tumbuhan pembentuk batubara yaitu
paleobotani atau maseral.
Iklim, kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan
gambut. Iklim tropis dapat membentuk gambut lebih cepat karena
kecepatan tumbuh dari tumbuhan lebih besar, lebih banyak ragam
tumbuhan, dalam waktu 7-9 tahun dapat mencapai ketinggian 30 m.
15
Sedangkan pada iklim sedang dapat mencapai ketinggian 5-6 m dalam
jangka waktu yang sama.
Paleografi dan Tektonik, syarat terbentuknya formasi batubara adalah
kenaikan muka air tanah yang lambat, adanya perlindungan rawa terhadap
pantai atau sungai dan terdapat energi yang relatif rendah.
Tahap selanjutnya yaitu tahap pambatubaraan (coalification) yang
merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh
pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu
terhadap komponen organik dari gambut (Stach et al, 1982, dalam Susilawati, 1992).
Pada tahap ini persentase karbon akan meningkat, sedangkan presentase hidrogen
dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, dalam Susilawati, 1992). Proses ini akan
menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya
mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta
antrasit (Tabel 3.1.). Meningkatnya peringkat batubara dari lignit hingga berubah
menjadi subbitumin dan antrasit disebabkan oleh kombinasi antara proses fisika dan
kimia serta aktifitas biologi (Teichmuller dan Teichmuller, 1968; Stach et al., 1975
dalam Galloway dan Hobday, 1983).
16
Tabel 3.1. Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta-antrasit
(Thomas, 2002)
Tahap
Pembatubaraan
Kisaran peringkat
batubara menurut
ASTM
Proses yang dominan Perubahan fisika-kimia
yang dominan
1. Penggambutan Gambut Maserasiasi, humifikasi,
jelifikasi, fermentasi
Pembentukan zat humik,
peningkatan pada aroma
2. Dehidrasi Lignit – subbituminus Dehidrasi, penghilangan
kompaksi
Pengurangan kandungan
air dan rasio O/C,
peningkatan nilai panas,
pertumbuhan cleat
3. Bituminisasi Subbituminus A –
bituminous A kaya
volatile
Pembentukan dan
pengikatan hidrokarbon,
depolimerisasi matriks,
penambahan ikatan
hydrogen
Peningkatan vitrinit Ro,
peningkatan fluorescence,
pengurangan densitas,
peningkatan kekuatan
4. Debituminisasi Bituminous A kaya
volatile – bituminous
A rendah volatile
Coalescence, pelepasan
hydrogen dan nitrogen
Pengurangan fluorescence,
pengurangan berat
molekul, pengurangan
rasio H/C, pengurangan
kekuatan, pertumbuhan
cleat
5. Grafitisasi Semi-antrasit –
antrasit – meta-antrasit
Pengurangan rasio H/C,
anisotropic, kondensasi
kekuatan cincin dan
perbaikan cleat
Genesa batubara berdasarkan tempat dibedakan menjadi dua (Sukandarrumidi,
1995, hal.17) yaitu :
a. Teori Insitu
Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuk di tempat dimana
tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan itu
mati, sebelum terjadi proses transportasi segera tertutup oleh lapisan
sediment dan mengalami proses coalification. Batubara dengan proses ini
penyebarannya luas, merata dan kualitasnya baik.
b. Teori Drift
Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadi di tempat yang berbeda
dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian
tumbuhan yang telah mati mengalami transportasi oleh media air dan
terakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sediment dan terjadi
17
proses coalification. Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas
tetapi banyak dan kualitasnya kurang baik.
3.2. Faktor Pembentuk Batubara
Menurut Bambang Kuncoro, 1996 ada 10 faktor yang mempengaruhi
pembentukan batubara, faktor-faktor tersebut adalah:
a. Posisi Geoteknik
Yaitu suatu keadaan batubara yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya
tektonik dengan adanya pengaruh dari gaya-gaya tersebut akan mempengaruhi iklim
lokal dan morfologi cekungan lingkungan pengendapan batubara maupun kecepatan
penurunannya.
b. Topografi
Topografi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk. Topografi
mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keberadaanya
bergantung pada posisi geoteknik. Bentuk muka bumi yamg berupa cekungan akan
sangat berpengaruh dan dapat menentukan arah penyebaran batubara.
c. Iklim
Keberadaan memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisis yang sesuai. Iklim
tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi
geoteknik. Temperatur yang lembab pada iklim tropi sdan subtropis pada umumnya
sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Pada iklim
tropis atau subtropis umumnya akan membentuk batubara yang mengkilap,
sedangkan pada daerah yang lebih dingin batubara terbentuk lebih kusam.
d. Tumbuhan (Flora)
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara yang tumbuh pada masa Karbon
dan Tersier terdiri berbagai jenis tumbuhan. Pertumbuhan dari flora terakumulasi
pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu.
18
e. Dekomposisi
Dekomposisi flora merupakan transformasi biokimia dari organik yang merupakan
titik awal untuk seluruh altersi, bila tumbuhan tertutup air dengan capat maka
pembusukan tidak akan terjadi tetapi akan di integrasiatau penguraian hewan
mikrobiologi, bila tumbuhan yang mati berada di udara terbuka maka kecepatan
pembentukan gambut akan berkurang sehingga bagian keras saja yang tertinggal.
f. Penurunan Cekungan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik, jika penurunan
dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan lapisan batubara yang
tebal. Pergantian transgresi dan regresi akan mempengaruhi pertumbuhan flora dan
pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineralnya, hal
ini mempengaruhi kualitas batubara yang terbentuk.
g. Umur geologi
Merupakan umur formasi pembawa lapisan batubara. Proses geologi menentukan
berkembangnya evoluasi kehidupan berbagai macam tumbuhan, berpengaruh pada
sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Dimana makin tua umur
pembawa lapisan batubara maka akan semakin tinggi nilai kalorinya.
h. Sejarah Setelah Pengendapan
Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geoteknik yang
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat
terjadi proses biokimia dan metamorfosa organik sesudah pengendapan gambut,
secara geologi intrusi menyebabkan terbentuknya struktur cekungan batubara berupa
perlipatan, sesar, intrusi. Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya
mengalami defornasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara
dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif
menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
i. Metamorfosa organik
Pada tingkat penimbunan oleh sedimen baru, proses degradasi biokimia tidak
berperan lagi tidak di dominasi oleh proses dinamokimia yang menyebabkan
19
perubahan gambut menjadi batubara dan menjadi berbagai macam. Selama Prosesini
terjadi pengurangan air lembab, oksigen, zat terbang, serta bertambahnya prosentase
karbon padat, belerang dan kandungan abu.
3.3. Petrografi Batubara
(Dalam Ediyanto dan Basuki Rahmad, 2008 : Petrografi Bartubara) Secara
mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral),
analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh
Stopes, 1935 (dalam buku Stach, dkk. (1982) untuk menunjukkan material terkecil
penyusun batubara yang hanya dapat diamati di bawah mikroskop sinar pantul.
Petrologi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan bukan
organik pembentuk batubara. Untuk mempelajari petrologi batubara umumnya ditinjau
dalam 2 aspek yaitu jenis (coal type) dan peringkat batubara (coal rank). Coal type
berhubungan dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara, dan perkembangannya
dipenagaruhi oleh proses biokimia selama penggambutan. Dengan demikian batubara
bukan benda homogen, melainkan terdiri dari bermacam-macam komponen dasar.
Asosiasi yang berkaitan dengan maseral adalah litotipe (lapisan-lapisan tipis pada
singkapan batubara) seperti : vitrain (berbentuk lapisan atau lensa, tebal 3 – 5 mm,
pecahan kubik, kaya vitrinite); clarain (lapisan tipis cemerlang dan buram, kaya vitrinite
dan liptinite); fusain (hitam, kilap sutera, musah diremas, kaya akan fusinite); durain
(kilap berminyak, kaya liptinite dan inertinite).
Maseral dalam batubara dapat dikelompokkan dalam 3 grup (kelompok) utama
yaitu grup (kelompok) vitrinit, liptinit dan inertinit. Pengelompokan ini didasarkan pada
bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia, warna pantulan,
intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam “Coal Petrology”, oleh Stach,
dkk. 1982). Dalam hal ini pembagiannya mulai dari grup (kelompok) maseral, sub-grup
maseral dan jenis maseral yang mengacu pada Australian Standard: AS2856 (1986)
(Tabel 3.2). Kelebihan sistem Australian Standart ini adalah pembagian komposisi
maseralnya berlaku untuk semua peringkat batubara, baik untuk batubara hard coal
20
maupun brown coal, dan sistem ini cukup sederhana. Sedangkan sistem standart yang
lain biasanya dibedakan antara hard coal dan brown coal.
Grup vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu
(woody tissue) seperti batang kayu, akar, dahan dan serat daun. Vitrinite umumnya
merupakan bahan penyusun utama batubara (>50%). Melalui pengamatan mikroskop
refraksi, grup vitrinit memperlihatkan warna coklat kemerahan sampai gelap, tergantung
dari tingkat ubahan batubara, semakin tinggi peringkat batubara semakin gelap warna
maseralnya, demikian pula sebaliknya. Melalui pengamatan miskroskop refleksi, grup
vitrinit memperlihatkan warna pantul lebih terang, mulai dari abu-abu tua sampai abu-
abu terang tergantung dari peringkat batubara, semakin tinggi peringkat batubara
semakin terang warna pantul yang dihasilkan. Berdasarkan morfologinya grup vitrinit
dibagi menjadi 3 sub grup maseral (Tabel 3.2)
Grup liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang/algae, spora, kotak spora,
kulit luar (kutikula), getah tanaman (resin) dan serbuk sari /pollen). Grup liptinit
memiliki kandungan hidrogen paling banyak dan kandungan karbon paling sedikit bila
dibandingkan dengan grup maseral lainnya. Di bawah miskroskop refleksi menunjukkan
pantulan berwarna abu-abu sampai gelap, mempunyai reflektivitas rendah dan
flouresens tinggi (Teichmueller, 1989). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya,
grup liptinit dapat dibedakan seperti : sporinit (berasal dari spora, serbuk sari); cutinit
(berasal dari kulit ari, daun,tangkai, akar); suberinit (berasal dari kulit kayu); resinit
(resin, lemak,parafin); liptodetrinit (berasal dari pecahan liptinite); exsudatinit (minyak,
dimana bitumen yang keluar selama proses pembatubaraan), flourinit (berasal dari
lipids, minyak); alginit (berasal dari sisa-sisa ganggang); dan bituminite (Tabel 3.2).
Grup inertinit diperkirakan berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar
(charcoal) dan sebagian lagi diperkirakan akibat proses oksidasi dari maseral lainnya
atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur atau bakteri (proses biokimia)
atau hasil ubahan (biokimia) dari kayu dan serat-serat kayu selama penggambutan.
Dengan adanya proses tersebut kelompok inertinit memiliki kandungan oksigen relatif
tinggi, kandungan hidrogen rendah, dan ratio O/C lebih tinggi dari pada grup vitrinit dan
21
liptinit. Grup inertinit memiliki nilai reflektensi tertinggi diantara grup maseral lainnya.
Dibawah miskroskop refleksi , inertinit memperlihatkan warna abu-abu hingga abu-abu
kehijauan, tetapi pada sinar ultra violet tidak menunjukan flouresens. Berdasarkan
struktur dalam, tingkat pengawetan dan intensitas pembakaran, grup inertinit dibedakan
menjadi beberapa maseral, yaitu fusinit, semifusinit, sclerotinit, icrinit, inertodetrinit dan
macrinit (Tabel 3.2).
Cook (1982), menjelaskan bahwa jenis batubara (coal type) berhubungan dengan
jenis tumbuhan pembentuk batubara dimana dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh
diagenesa tingkat awal. Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982), menjelaskan bahwa
batasan jenis batubara (coal type) dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis
pembentuk batubara, sedangkan menurut Shierly (dalam Cook, 1982) menjelaskan
bahwa jenis batubara (coal type) merupakan dasar klasifikasi petrografi batubara yang
terdiri dari berbagai macam unsur tumbuhan sebagai penyusun batubara dengan kejadian
yang berbeda-beda. Petrologi batubara memberikan dasar untuk pemahaman genesa ,
sifat-sifat dan arti penting unsur organik di dalam batubara. Material organik berasal dari
berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama
tahap pembentukan gambut, oleh karena itu jenis batubara (coal type) ditentukan pada
tahap biokimia yang dapat dipergunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan
batubara, terutama berdasarkan material organiknya. Penentuan jenis batubara (coal
type) dapat secara mikroskopis dan makroskopis yang didasarkan pada konsep maseral,
microlitotype dan litotype.
Pada tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut
menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit,
subbituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan
temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu (Cook, 1982). Tahap
pembatubaraan merupakan perubahan dari rombakan sisa-sisa tumbuhan dari kondisi
reduksi, dimana prosentase karbon semakin besar, sedangkan prosentase oksigen dan
hidrogen semakin berkurang. Cook (1982), menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan
terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat
22
rendah. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada
mineral anorganik.
Tabel 3.2. Klasifikasi Maseral Batubara (AS 2856, 1986)
3.4. Peringkat Batubara (Coal Rank)
Coal rank atau peringkat batubara merupakan suatu urutan dari tingkatan-
tingkatan kematangan material organik pada batubara yang didasarkan pada material
vegetasi yang terubah yang disebut maseral. Rank batubara dapat ditentukan dengan
23
mengetahui jumlah kandungan kimia batubara antara lain total moisture, ash, volatile
matter, fix carbon, calori value, dan total sulfur.
Material organic yang terubah menjadi batubara melalui tingkatan sikuen.
Perubahan fisika dan kimia dapat diamati. Perubahan fisik dan kimia sejalan dengan
meningkatnya tingkat kematangan yang terlihat pada batuan induk marine kerogen-
bearing, dan dapat digunakan pada penunjuk yang serupa untuk mengevaluasi potensi
coalbed methane dari area coal-bearing. Perubahan tersebut paling sering digunakan
sebagai indicator dari kematangan material organic yaitu nilai kalori, kandungan
kelembaban atau kapasitas mempertahankan kelembaban, prosentase zat volatile,
vitrinite reflectance, dan kandungan karbon. Beberapa perubahan kimia
mengindikasikan tingkat kematangan lebih sesuai pada tahap-tahap tertentu. Sebagai
contoh, kelembaban lapisan (ash-free) dan nilai kalori (moist; ash-free) banyak terdapat
pada peat sampai medium-volatile bitumonuos. Perubahan unsur diatas terukur dan
terprediksikan oleh meningkatnya suhu diikuti meningkatnya kedalaman penimbunan.
Gambar 3.1. Proses kematangan batubara (Evaluation of Coalbed Methane
Reservoirs,prepared for University Of Oviedo, Spain, prepared by
Holditch-Reservoirs Technologies Consulting Services, Pittsburg,
Pennsylvania, May 24-25, 2001, Schlumberger)
Petrografi batubara dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara (coal
rank), yaitu menggunakan metode analisis reflektansi dan analisis komposisi maseral
24
dengan melihat besarnya nilai pemantulan vitrinit atau vitrinite reflectance (Ro) dalam
bentuk persen (%). Penentuan peringkat batubara dengan metode analisis reflektansi
maseral (vitrinit) didasarkan pada konsep bahwa pertambahan tingkat kematangan
(peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya,
sehingga analisis reflektansi maseral (vitrinit) dapat digunakan untuk menentukan
peringkat batubara (Tabel 3.3).
Tabel. 3.3
Coal Rank Classifications (ASTM Standard, 1983) And Relation to
vitrinite reflectance (modified from Meissner, 1984)
25
3.5.Lingkungan Pengendapan Batubara
Secara umum endapan sedimen pembawa lapisan batubara di Indonesia di
endapkan di lingkungan delta plain dan rawa. Batubara berada pada system sungai
meander, endapannya terdiri dari:
1. Endapan Overbank, merupakan endapan limpah banjir yang diendapkan di rawa -
rawa, terdiri dari litologi fraksi halus (mudstone, shally coal, coally shale dan
batubara) . Secara umum endapan overbank di lapangan tersingkap menerus dan di
beberapa tempat sering dipotong oleh endapan crevasse splay dan channel
batupasir.
2. Endapan Crevasse Splay, merupakan sedimen distributary channel berbutir kasar
menerobos dinding tanggul sungai saat terjadi banjir, terendapkan di daerah limpah
banjir yaitu di rawa-rawa, pengendapan splay deposit di rawa bisa secara lokal
bahkan bisa menerus. Secara umum litologi splay deposit terdiri batupasir halus –
kasar, campuran batulanau, massif, berlapis, struktur sedimen yang umum
berkembang climbing ripple cross-laminasi, struktur imbrikasi (orientasi fragmen),
flaser laminasi, terdapat pita-pita batubara (coal string), campuran karbon,
komposisi mineral kuarsa, feldspar, sedikit orthoklas.
3. Endapan Levee, merupakan endapan tanggul di sisi sungai dalam system sungai
meander. Ciri litologi adalah interbedded dari berbagai variasi ukuran butir, seperti
perselingan siltstone, batupasir dan batulempung.
4. Endapan Channel, dalam sistem aliran sungai meander , channel merupakan factor
utama dalam pembentukan jenis endapan -endapan sepe rti tersebut di atas,
khususnya terkait dengan pembentukan rawa batubara. Channel dalam sistim
meandering mempunyai karakteristik khusus yaitu berpindah tempat (migrasi)
secara lateral, akibat migrasi channel menyebabkan gangguan terhadap facies
batubara yaitu terhambatnya pertumbuhan vegetasi sehingga akumulasi gambut
juga akan terganggu. Dampak lain akibat gangguan channel adalah aliran washout
yang berupa aliran batupasir channel yang mengerosi lapisan batubara. Ciri -ciri
litologi channel adalah :
26
a). Struktur sedimen gradded bedding (perlapisan bergradasi), litologinya adalah
batupasir konglomeratan, batupasir kasar.
b). Struktur sedimen lateral akresi, dicirikan oleh batupasir berlapis melengkung
seperti terlipat, kemudian bagian tepinya secara berangsur berubah litologinya
menjadi mudstone atau siltstone, bagian bawah struktur lateral akresi terdapat
endapan lag (gravel) terorientasi secara secara teratur.
Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan telah dikemukakan oleh
Horne dkk, 1978. Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan purba dari sayatan
stratigrafi didasarkan pada pengenalan bermacam variasi dibandingkan dengan system
pengendapan fluvial, delta, dan barrier modern (saat sekarang). Selanjutnya
pembahasan masing – masing lingkungan pengendapan batubara lebih mengacu kepada
pembagian yang dikemukakan oeleh Horne et al, 1978 (Gambar 3.2). Adapun
lingkungan pengendapan batubara menurut Horne et al (1978) dibagi menjadi 5 (lima)
lingkungan, yakni sebagai berikut :
Gambar 3.2. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne,1978)
27
2.4.1. Lingkungan Barrier.
Lingkungan barrier mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi
dari air laut dan mendukung pembentukan gambut dibagian dataran.
Kriteria utama mengenal lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertical dari
struktur sediment dan pengenalan tekstur batupasirnya. Kearah laut batupasir butirannya
menjadi halus dan selangseling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai
hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah darat bergradasi menjadi serpih
berwarna abu – abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau.
2.4.2. Lingkungan Back-Barrier.
Lingkungan ini jika kearah darat, berangsur menjadi lingkungan “lagoon back-
barrier”. Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan perlapisan serpih abu – abu
gelap yang kaya bahan organic dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang
secara lateral tidak menerus dan zona siderite yang berlubang.
2.4.3. Lower Delta Plain.
Batubara yang dihasilkan relatif tipis dan terbelah (split) oleh sejumlah endapan
crevasse splay. Lapisan batubara cendrung menerus sepanjang jurus pengendapan, tetapi
sering juga tidak menerus sejajar dengan pengendapan kerena batubara digantikan
tempatnya oleh material bay fill secara anterdistribusi.
Sekuen yang terbentuk dari butiran halus atau sediment organic, termasuk
batubara mungkin sebagian mengisi channel-chnnel ini. Fasies lain didalam endapan
lower delta plain termasuk endapan crevasse splay yang mengkasar keatas, biasanya
ditemukan pada sekuen bay fill dan dengan sortasi buruk, endapan irregularbedded
levee yang berasosiasi dengan bagian channel fill. Akhirnya komponen utama dari lower
delta plain adalah “creavase splay”. Ketebalan endapan creavase splay lebih dari 12 m
dengan pelamparan horizontal berkisar 30 m – 8 km.
2.4.4. Upper Delta Plain.
Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh batupasir lentikuler tebalnya
15-25 m dan lebarnya 1,5-11 km. pada tubuh batupasir terdapat gerusan dibawahnya,
28
permukaannya terpotong tajam, tetapi lateral pada bagian atas batupasir ini melidah
dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan batubara.
Mineralogi batupasir bervariasi mulai lithic grey wacke sampai arkose, ukuran
butir menengah sampai kasar. Diatas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran
batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada
batupasir. Perlapisan pada batupasir masif pada bagian bawah terdapat “festoon cross
beds” tebal, keatas batupasir massif berubah menjadi lapisan point bar yang maju
(kemiringan rata-rata 17º), mengandung festoon cross beds dengan skala yang lebih
kecil. Lapisan ini ditutupi oleh batupasir dan batulanau dengan akar tanaman dan
struktur “climbing ripples”. Semua sifat khas ini, menunjukan energi besar pada channel
flank disekitar rawa kecil dan danau – danau. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan
lapisan point bar-nya menunjukan bahwa hal ini dikontrol oleh meandering. Batupasir
ini memperlihatkan susunan yang enechelon masuk ke daerah rawa belakang
(backswamps).
Sekuen endapan backswamp dari bawah keatas, terdiri dari “seat earth”,
batubara, serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecypoda air tawar,
batulanau, batupasir, “seat earth” dan batubara. Batupasir secara lateral menebal dan
akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir. Batupasirnya tipis (1,5-4,5m),
berbutir halus, mengkasar keatas. Sekuen ini tipe endapan pada tubuh air terbuka,
mungkin rawa dangkal atau danau. Pelamparan lateral endapan ini antara 1,5-8 km.
Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk, perlapisan batupasir dan
batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar. Ketebalannya dapat mencapai lebih
dari 8 m, terutama di dekat channel yang aktif dan ketebalan serta ukuran buturnya akan
berkurang bila menjauhi channel. Lapisan batubara pada endapan upper delta plain
cukup tebal (lebih dari 10 m), tetapi secara lateral tidak menerus, kadang sering
mencapai 150 m. lapisan pembentuk endapan alluvial plain (Gambar 3.3). Kedudukan
lapisan batubaranya cendrung sejajar dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit
yang menerus dibandingkan dengan fasies lower delta plain. Sehubungan dengan
sedikitnya jumlah bagian yang teratur mengikuti channel sungai, maka lapisan-
29
lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relative pendek dengan sejumlah split
(membelah) mungkin berkembang dalam hubungannya dengan endapan tanggul (Levee)
yang kontenporer. Bentuk lapisan juga dimodifikasi secara besar-besaran oleh adanya
perkembangan washout pada tingkat akhir dari proses pengendapan.
Gambar 3.3 Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial
(Horne,et all, 1978)
Pada endapan upper delta plain ini juga sering terjadi kenampakan Washout,
dimana Washout ini merupakan tubuh lentikuler sedimen yang menonjol ke bawah,
biasanya barupa batupasir dan menggantikan sebagian atau seluruh lapisan batubara
yang ada. Ukurannya sangat bervariasi, baik tebal dan pelamparannya. Sebagian besar
struktur Washout ini di isi oleh batupasir, meskipun krikil batubara atau konglomerat
kerikilan juga dapat hadir. Hal ini mencerminkan lingkungan meander cut-off dan
channel. Washout merupakan masalah utama didalam proses penambangan, yakni
30
ketebalan batubara berkurang atau tidak menerusnya suatu lapisan batubara kerena
terpotong oleh Washout. Sehingga sangat mempengaruhi didalam kepentingan
perencanaan penambangan dan pengembangannya.
2.4.5 Transitional Lower Delta Plain.
Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona teransisi yang
mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Sekuen bay-fill dicirikan
butirannya halus, lebih tipis (1,5-7,5m) dari lower delta plain. Bagaimanapun sekuen
bay-fill tidaklah sama dengan sekuen upper delta plain, zona ini mengandung fauna air
payau sampai fauna marin serta struktur burrowed yang meluas.
Endapan channel menunjukan kenampakan migrasi lateral lapisan point-bar
accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada “Transitional delta
plain” ini berbutir halus dari pada di upper delta plain.
Endapan channel ini menunjukan sekuen “single-storied” yang migrasi
lateralnya hanya satu arah, bagaimanapun batupasir channel upper delta plain
merupakan satuan “multi-stroried”yang migrasi keberbagai arah.
Levee berasosiasi dengan channel yang menebal (1,5-4,5m) dan menembus akar
secara meluas dari pada lower delta plain. Batupasir tipis splay (1,5-4,5m) umum pada
endapan ini, tetapi sedikit lebih dari pada lower delta plain dan tidak semelimpah di
upper delta plain.
Kemampuan membentuk berbagai endapan dalam sebuah kolom stratigrafi
tunggal dapat dipergunakan sebagai perkiraan secara cepat sejumlah besar kejadian
sedimentasi. (Gambar 3.4).
31
Gambar 3.4
a. Rekontruksi dari lingkungan transitional lower delta plain;
b. Urutan umum vertikal melalui endapan transitional lower delta plain
(Horne,et all, 1978)
3.6. Struktur Geologi
Struktur geologi lapisan batubara secara umum dibagi kedalam dua jenis,
berdasarkan waktu pembentukannya (Ediyanto dan Basuki Rahmad, 2008 : hal 17 ),
yaitu:
3.7.1 Syn-Depositional
32
Secara umum sedimen pembawa batubara diendapkan mulai dari tepi hingga
tengah cekungan, sedangkan struktur geologi sangat berpengaruh terhadap akumulasi
sedimen dan jumlah suplai material rombakan yang diperlukan guna mengetahui
runtunan lapisan batubara, sebaran dan ciri lingkungan pengendapanya. Efek diagenesa
selama akumulasi sedimen berlangsung bisa menyebabkan deformasi struktur
(pensesaran dan perlipatan), seperti gaya tekan ke arah bawah terhadap semua lapisan
sedimen dan batubara.
3.7.1.1 Mikro-Struktur
Gabungan akumulasi ketebalan sedimen dan kecepatan penurunan cekungan
menyebabkan ketidak stabilan terutama di bagian tepi cekungan. Akibat adanya struktur
pembebanan ketika sedimen masih dalam bentuk fluida, menyebabkan sedimen
pembawa batubara terlihat berbentuk struktur slumping, ciri lain seperti: injeksi sedimen
ke dalam lapisan bagian atas dan bawah (klastik dike). Kehadiran perselingan mudstone,
sandstone dan batubara dibawah kondisi struktur pembebanan, bisa menyebabkan
perubahan variasi lapisan batubara seperti: erosi di bagian dasar lapisan batubara oleh
channel sand stone, flame structure, distorted dan dislocated ripples , fold and contorted
bedding. Gangguan ketidakstabilan lingkungan pengendapan, merupakan salah satu
petunjuk adanya reaktifasi kembali sesar-sesar normal akibat struktur pembebanan dari
akumulasi sedimen di cekungan, umumnya menghasilkan sedimen sistem aliran
gravitasi (gravity flow).
3.7.1.2 Makro-Struktur
Sesar dalam cekungan sedimen bisa menerus dan aktif kembali sehingga bisa
mempengaruhi lapisan batubaranya, seperti : ketebalan serta karakter susunan lapisan
sedimennya. Pengaruh sesar growth fault dalam cekungan tektonik bisa menyebabkan
penebalan lapisan batubara secara setempat , hal ini disebabkan penurunan cekungan
akibat pensesaran. Sedangkan di daerah paparan relatif stabil dan kecepatan penurunan
relatif lebih lambat. Dengan demikian kecepatan progradasi pengendapan sedimen yang
dikontrol oleh growth fault relatif lebih cepat dibandingkan pengendapan di daerah
paparan. Sesar growth fault berpengaruh terhadap proses pengendapan sedim en, bidang
33
sesar growth fault tersebut merupakan zona bidang gelincir (failure) menyebabkan
gravity sliding berupa longsoran sedimentasi di cekungan tersebut. Tekanan yang sangat
kuat terhadap batupasir lempungan yang belum kompak menyebabkan gradient
patahannya besar. Bagian atasnya curam dan landai ke arah bidang lapisan patahan
(flexure) di sepanjang roof lapisan batubara. Sesar-sesar tersebut akan mengerosi
sebagian, sebelum sedimen nya longsor ke bawah. Lapisan batubara yang mengalami
splitting (bercabang) merupakan petunjuk adanya sesar growth fault. Reaktivasi kembali
sesar-sesar tersebut dapat menghasilkan bentuk lapisan batubara yang melengkung ke
bawah dan ke atas, dan selanjutnya diikuti lapisan sedimen non batubara yang bentuknya
melengkung juga (Gambar 3.5).
Gambar 3.5
Menjelaskankan kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan
perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung.
Perubahan secara periodik dilevel dasar lingkungan delta plain serta pengaruh
pergerakan sesar, menyebabkan perubahan karakter perkembangan batubara, hal ini
seiring dengan naiknya muka air rawa. Dengan demikian batubara akan berkembang
lebih intensif, sedangkan pengaruh masuknya material rombakan non batubara sangat
kecil, sehingga kandungan abu (ash) batubaranya rendah. Jika terjadi penurunan muka
34
air, maka akumulasi batubara akan terhambat perkembangannya, sedang material
rombakan sedimen semakin besar menyebabkan kandungan abu (ash) tinggi atau bahkan
seluruh lapisan batubara ashnya bisa tinggi.
Disisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan bisa
terkontaminasi air laut, sisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan
bisa terkontaminasi air laut, sehingga menghasilkan kandungan sulfur yang lebih tinggi
terutama di bagian top lapisan batubara. Growth fold bisa mempengaruhi pola
pengendapan cekungan batubara, adanya kecepatan erosi dan sedimentasi menyebabkan
pengendapan batubara di beberapa tempat. Adanya pemotongan channel oleh suplai
rombakan sedimen yang terus membumbung dapat membentuk sand bar.
3.7.2 Post -Depositional
3.7.2.1 Sesar
Dalam suatu deformasi batuan, ada isilah yang diberi nama sesar. Sesar adalah
suatu deformasi berupa rekahan yang ditandai oleh adanya pergeseran yang jelas. Sesar
terbentuk karena adanya gaya yang bekerja pada suatu tubuh batuan. Jenis sesar
dipengaruhi oleh gaya yang bekerja pada batuan. sesar naik dikarenakan adanya
kompresi, sedangkan sesar normal (turun) dikarenakan adanya ekstensi. Sesar transform
dikarenakan bisa terjadi dari dua deformasi tersebut. Penamaan sesar dilakukan dengan
cara binomial tergantung besar pitch. Jika dip strike slip, atau pitch kurang dari 45˚
maka penamaan sesar dilakukan pada urutan pertama adalah gerak relatif sesar,
menganan atau mengiri. Kemudian diikuti oleh jenis sesar, normal atau naik. Sesar
dikatakan bergerak relatif menganan jika kitaberdiri pada suatu daerah, dimana di depan
kita ada bidang sesar dan daerah yang dipotong bidang sesar tersebut bergerak ke kanan
kita. Sedangkan sesar turun jika bagian hanging-wall (bagian yang relatif di atas bidang
sesar) bergerak relatif turun dibandingkan dengan foot-wall. Jika pitch lebih dari 45°,
maka penamaan sesar dilakukan pertama adalah jenis sesar kemudian arah relatifnya.
Dalam pembentukannya, kadang kita tidak menemui bidang sesar utama secara
langsung. Kita hanya melihat tanda-tanda keberadaan sesar. Penanda adanya sesar
35
diantaranya adalah gores garis (slickenside), kekar gerus (shear fracture), extension
fracture, micro fold/drag fold, dan breksiasi. Shear fracture hadir sebagai bidang sesar,
di lapangan mungkin saja menemui sesar minor penyerta sesar utama. Kehadiran shear
fracture biasanya berpasangan. Jika dua shear fracture tersebut berpotongan, salah satu
bagian akan membentuk sudut lancip.
Sesar dapat menyebabkan seretan (drag) sepanjang bidang patahan, sehingga
batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.
Apabila berupa sesar besar (major fault) maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh
lapisan batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa
bidang hancuran.
3.7. Karakteristik Sesar Naik Dan Sesar Mendatar
3.7.1 Sesar Naik (Reverse & Thrust)
Pergerakan yang terjadi pada sesar naik melepaskan tegasan dengan cara
ekspansi kearah atas kerak bersamaan dengan pemendekan secara horisontal, pergerakan
berupa reverse slip dimana hanging wall bergerak relatif naik terhadap footwall, dan
sesar berupa sesar naik/reverse fault. Sesar ini telah lama disebut sebagai thrusts, atau
lebih spesifik sebagai low-angle thrust faults, untuk membedakannya dengan up thrust
atau high-angle thrusts, yang terbentuk dari rejim tegasan yang berbeda. Perlipatan
biasanya terjadi bersamaan dengan thrust faulting. Sumbu lipatan berorientasi sejajar
terhadap arah sumbu tegasan normal menengah dan sejajar dengan strike dari thrust
fault. Transisi dari lipatan dan thrust diobservasi di berbagai dataran geologi: suatu
lipatan terbalik pada arah tertentu dan sayap yang terbalik tersebut tertarik dan menjadi
rekahan/patahan dan kemudian membentuk thrust.
Sifat-sifat dan gejala di lapangan (Benyamin Sapiie, 2006):
1. Kebanyakan sesar naik mempunyai kemiringan bidang sesar <45° sampai
mendekati horizontal atau sering disebut sebagai "low-angle fault"
2. Bidang sesarnya merupakan zona kompleks dan jarang merupakan bidang
yang halus (smooth) dengan jalur sesar kebanyakan berupa garis lengkung.
36
3. Sesar naik dicirikan oleh pola sesar ganda sub-Parallel fault, dengan bidang
sesar masing-masing searah (subparallel) dengan sumbu lipatan.
4. Adanya batuan yang lebih tua menumpang diatas batuan yang lebih muda.
5. Adanya seretan (drag) akibat dari pergerakan blok-blok sesar yang
menunjukkan gerakan relatif naik.
6. Gejala seretan dan pembentukan sesar-sesar sekunder.
7. Sesar naik umumnya berasosiasi dengan lipatan dan mempunyai hubungan
yang erat dengan pembentukan lipatan. Adapun jenis lipatannya adalah
lipatan simetris atau lipatan rebah dengan hinge line yang penunjamannya
kecil. Posisi bidang sesar pada sayap yang curam.
8. Perulangan dari beberapa lapisan.
3.7.2 Sesar Mendatar
(Achmad Rodhi dan Sugeng Raharjo , 2007) Bila suatu bahan dikenai oleh suatu
tekanan maka bahan tersebut akan pecah yang membentuk sesar mendatar di mana yang
searah dengan tegasan utama akan membentuk sesar mendatar yang saling berpotongan
dengan sudut kurang-lebih 300. Pada saat tegasan utama semakin berlanjut maka akan
terbentuk lipatan dan sesar-sesar naik. Setelah tegasan utama berkurang akan akan
terbentuk extension joint kemudian membentuk sesar sesar normal yang arahnya tegak
lurus sumbu lipatan. Perpotongan dua sesar akibat tegasan utama tersebut di sebut sesar
geser orde 1. Karena arah tegasan utama berpindah maka akan terbentuk sesar mendatar
orde 2 dan seterusnya. Pada masing masing sesar geser tersebut akan terbentuk juga
drag fold yang mempunyai sudut 120 terhadap sesar gesernya (Moddy and Hill,1961,
Gambar 3.6). Besarnya sudut pada sesar yang berpotongan tergantung pada jenis
batuannya. Pada tahap eksplorasi pada suatu daerah dimana perlu mengenal patahan
yang diakibatkan oleh wrenching , dengan mengenal beberapa tipe zona wrenching
struktur akan mudah dikenali terutama arahnya.
Bila tekanan pada daerah diantara dua sesar mendatar meningkat dan mempunyai
arah yang berlawanan maka di dalamnya akan terbentuk en echelon folds. En echelon
37
folds merupakan tatanan struktur sepanjang zona linear sehingga lipatan-lipatan atau
patahan-patahan sendiri jenisnya sejajar satu dengan yang lain dan membuat sudut yang
sama dengan sesar mendatarnya.(Harding,1974 and Bartlett et al,1981,Gambar 3.7).
Sifat-sifat umum sesar mendatar (Benyamin Sapiie, 2006) antara lain:
1. Panjang, lurus atau lengkung - lebar, sepanjang jejaknya.
2. Kemiringan terjal / curam yang beragam.
3. Lebar, jalur teranyam dengan gouge / mylonit dan gores-garis horizontal.
4. Berukuran panjang dan arahnya hampir lurus - mudah dikenal difoto udara.
5. Sembul dan terban yang tak sistimatis.
6. Lipatan-lipatan seretan yang menunjam dan merencong.
7. Tataan stratigrafi yang saling menindih dan tidak sama.
8. Merupakan jalur peka erosi
9. Yang berukuran besar, mempunyai jumlah pergeseran yang besar : San
andreas 500 km dan Semangko 25-100 km.
10. Diatas permukaan, jalur penggerusan/ pelenturan - lebar beberapa ratus ribu
meter.
11.Pembentukan depresi dan pembubungan- pembubungan akibat penyimpangan
pada arah secara merencong.
12. Struktur penyerta; rekahan, lipatan dengan penunjaman yang besar, struktur
bentuk bunga (flower structure).
38
Gambar 3.6. Plan of wrench system under North – South sample (Moddy and Hill,1961)
Gambar 3.7. En Echelon Structures pada zona strike slip faults
(Harding,1974 and Bartlett et all ,1981)
39
BAB IV
GEOLOGI REGIONAL
4.1. Fisiografi Regional
Secara fisiografis, daerah telitian termasuk ke dalam Cekungan Barito bagian
timur, yang dibatasi oleh Pegunungan Schwaner pada bagian bagian barat, Pegunungan
Meratus pada bagian timur dan Cekungan Kutai pada bagian utara (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Peta fisiografi pulau Kalimantan
(Dalam Kusnama, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22)
40
4.2. Kerangka Tektonik Regional
Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar yang menjadi bagian dari
Lempeng mikro Sunda. Menurut Tapponnir (1982) lempeng Asia Tenggara ditafsirkan
sebagai fragmen dari lempeng Eurasia yang melejit ke Tenggara sebagai akibat dari
tumbukan kerak Benua India dengan kerak Benua Asia, yang terjadi kira-kira 40 – 50
juta tahun yang lalu. Fragmen dari lempeng Eurasia ini kemudian dikenal sebagai
lempeng mikro Sunda yang meliputi semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah. Adapun batas-batas yang paling penting disebalah
Timur adalah :
1. Komplek subduksi Kapur Tersier Awal yang berarah Timurlaut, dimulai dari
Pulau Jawa dan membentuk pegunungan Meratus sekarang.
2. Sesar mendatar utama di Kalimantan Timur dan Utara (Gambar 4.2)
3. Jalur subduksi di Kalimantan Utara, Serawak, dan Laut Natuna, Jalur ini dikenal
dengan jalur Lupar.
Menurut Bemmelen (1949) pulau Kalimantan dibagi menjadi beberapa Zona fisiografi,
yaitu :
1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda.
2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak dilepas
Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan yang dikenal
sebagai sub cekungan Pasir.
3. Meratus Graben, terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah ini
sebagi bagian dari cekungan Kutai.
4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat laut dan
Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen. Cekungan-cekungan tersebut
antara lain:
Cekungan Tarakan, yang terletak paling Utara dari Kalimantan Timur.
Disebelah Utara cekungan ini dibatasi oleh “Semporna High”.
Cekungan Kutai, yang terletak sebelah Selatan dari Tinggian Kuching
yang merupakan tempat penampungan pengendapan dari Tinggian
41
Kuching selama Tersier. Cekungan ini dipisahkan oleh suatu unsur
Tektoniok yang dikenal sebagai Paternoster Cross Hight dari cekungan
Barito.
Secara regional wilayah kuasa pertambangan PT. Adaro Indonesia termasuk ke
dalam Cekungan Barito (Kusuma dan Darin1985), lihat Gambar 4.2. Cekungan Barito
meliputi daerah seluas 70.000 kilometer persegi di Kalimantan Tenggara. Cekungan
ini terletak diantara dua elemen yang berumur Mesozoikum (Paparan Sunda di
sebelah barat dan Pegunungan Meratus yang merupakan jalur melange tektonik di
sebelah timur).
Orogenesa yang terjadi pada Plio-Plistosen mengakibatkan bongkah Meratus
bergerak ke arah barat. Akibat dari pergerakan ini sedimen-sedimen dalam Cekungan
Barito tertekan sehingga terbentuk struktur perlipatan.
Cekungan Barito memperlihatkan bentuk cekungan asimetrik yang disebabkan
oleh adanya gerak naik dan gerak arah barat dari Pegunungan Meratus. Sedimen-
sedimen Neogen diketemukan paling tebal sepanjang bagian timur Cekungan Barito,
yang kemudian menipis ke barat.
Secara keseluruhan sistem sedimentasi yang berlangsung pada cekungan ini
melalui daur genang laut dan susut laut yang tunggal, dengan hanya ada beberapa
subsiklus yang sifatnya lokal dan kecil. Formasi Tanjung yang berumur Eosen
menutupi batuan dasar yang relatif landai, sedimen-sedimennya memperlihatkan ciri
endapan genang laut yang diendapkan pada lingkungan deltaik air tawar sampai
payau. Formasi ini terdiri dari batuan-batuan sedimen klastik berbutir kasar yang
berselang-seling dengan serpih dan kadangkala batubara. Pengaruh genang laut marine
bertambah selama Oligosen sampai Miosen Awal yang mengakibatkan terbentuknya
endapan-endapan batugamping dan napal (Formasi Berai). Pada Miosen Tengah-
Miosen Akhir terjadi susut laut yang mengendapkan Formasi Warukin. Pada Miosen
Akhir ini terjadi pengangkatan yang membentuk Tinggian Meratus, sehingga
terpisahnya cekungan Barito, Sub Cekungan Pasir dan Sub Cekungan Asam-Asam
(Gambar 4.3).
42
Gambar 4.2.
Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989)
Gambar 4.3
Barito Basin-Makassar Strait cross section
(After Satyana and Silitonga, 1994)
Lokasi daerah
penelitian
43
4.3. Stratigrafi regional
Wilayah kuasa pertambangan PT Adaro Indonesia secara regional termasuk
dalam cekungan Kutai. Namun cekungan Kutai tersebut kemudian dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: cekungan Barito yang terdapat di sebelah barat pegunungan Meratus dan
cekungan Pasir yang terdapat di sebelah Timur pegunungan Meratus.
Secara khusus wilayah kerja penambangan PT Adaro Indonesia terletak pada
cekungan Barito. Cekungan Barito sendiri memiliki formasi pembawa batubara. Adapun
urut-urutan stratigrafi Formasi cekungan Barito (tabel 4.1) berdasarkan waktu
terbentuknya adalah :
1. Formasi Tanjung
Formasi paling tua yang ada di daerah penambangan, berumur Eosen, yang
diendapkan pada lingkungan paralis hingga neritik dengan ketebalan 900-1100
meter, terdiri dari (atas ke bawah ) batulumpur, batulanau, batupasir, sisipan
batubara yang kurang berarti dan konglomerat sebagai komponen utama.
Hubungannya tidak selaras dengan batu pra-tersier.
2. Formasi Berai
Formasi ini diendapkan pada lingkungan lagon hingga neritik tengah dengan
ketebalan 107-1300 meter. Berumur oligosen bawah sampai miosen awal,
hubungannya selaras dengan formasi Tanjung yang terletak dibawahnya.
Formasi ini terdiri dari pengendapan laut dangkal di bagian bawah, batu gamping
dan napal di bagian atas.
3. Formasi Warukin
Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik dalam hingga deltaic dengan
ketebalan 1000-2400 meter, dan merupakan formasi paling produktif, berumur
mioesen tengah sampai plestosen bawah. Pada formasi ini ada tiga lapisan paling
dominan, yaitu :
A. Batulempung dengan ketebalan ± 100 meter
44
B. Batulumpur dan batu pasir dengan ketebalan 600-900 meter, dengan
bagian atas terdapat deposit batubara sepanjang 10 meter.
C. Lapisan batubara dengan tebal cadangan 20-50 meter, yang pada bagian
bawah lapisannya terdiri dari pelapisan pasir dan batupasir yang tidak
kompak dan lapisan bagian atasnya yang berupa lempung dan batu
lempung dengan ketebalan 150-850 meter. Formasi warukin ini
hubungannya selaras dengan formasi Berai yang ada dibawahnya.
4. Formasi Dohor
Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral hingga supralitoral, yang berumur
miosen sampai plio-plistosen dengan ketebalan 450-840 meter. Formasi ini
hubungannya tidak selaras dengan ketiga formasi di bawahnya dan tidak selaras
dengan endapan alluvial yang ada di atasnya. Formasi ini terdiri dari perselingan
batuan konglomerat dan batupasir yang tidak kompak, pada formasi ini juga
ditemukan batulempung lunak, lignit dan limonit.
5. Endapan Alluvium
Merupakan kelompok batuan yang paling muda yang tersusun oleh krikil, pasir,
lanau, lempung, dan lumpur yang tersebar di morfologi dataran dan sepanjang
aliran sungai.
45
Qa
Endapan Alluvial
Formasi Dahor
Formasi Warukin
Formasi Berai
Formasi Tanjung
Syncline
Anticline
Thrust Fault
--.---.---.---.-- Fault
----------- Plunge Direction
Sungai
Gambar 4.4
Peta geologi Regional daerah penelitian ( Heryanto,dkk.1994 )
Tet
TQd
Tm
w Tom
b
PETA GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIANSkala 1 : 250.000
Oleh Heryanto (P3G), 1994
TetTet
Tomb
Tomb
Tomb
Tomb
Tmw
Tmw
Tmw
Tmw
Tmw
TQd
TQd
TQd
TQd
Tmw
Qa
Qa
Qa
Qa
Qa
15
20
30
15
30
20
20
35
25
25
40
4025 30
25
30
30
20
15
15
45
20
20
30
30
40
30
25
S.Tabalo
ng
Agung
Tungkat
Manunggul
Tanjung
S.Jaing
S.Jangkung
Bentot
Tangkan
S.Taw
ahp
up
uh
Tamianglayang
Matabuk
Taruran
Warukin
Dahor
S.M
ang
ku
sip
S.Tabuk
S.Ban
talu
as
Tanahhabang
Paringin
S.T
aba
lon
g
S.Bat
anga
n
AMUNTAIS.Alabio
Alabio
S.Meang
S.Batumandi
Batumandi
Lokbatu
Tangai
S.N
egar
a
Lokasi penelitian
46
Tabel 4.1
Stratigrafi cekungan Barito
(Adaro Resources Report, 1999)
STRATIGRAFI CEKUNGAN BARITO(ADARO RESOURCES REPORT, 1999)
UMUR STRATIGRAFI LITOLOGIKOLOM
STRATIGRAFITEBAL
(m)
KUARTER
PLIOSEN
ATAS
ALLUVIUM
FORMASI DAHOR
ATAS
TENGAH
FORMASI
WARUKIN
TENGAH
BAWAH
ANGGOTA
BATUBARA
ANGGOTA
PASIR
ATAS
ANGGOTA
PASIRBAWAH
ANGGOTA
LEMPUNG
ANGGOTA
MARLATAS
ANGGOTA
BATUGAMPING
ANGGOTA
MARLBAWAH
ATAS
BAWAH
BASEMENT PRATERSIER
EOSEN
FORMASI
TANJUNG
OLIGOSEN
FORMASI
BERAI
BAWAH
MIOSEN
Deposit sungai dan rawa
Batuan klastik, konglomerat, batupasir,batulanau dan batulempung.
Seam batubara berketebalan 30 - 40 m,interbedded dari batulempung calcareousdan pasir halus.
Lapisan tebal dari sangat halus hinggakasar, batulanau, batulempung danbeberapa seam batubara, konglomeratsebagai dasar.
Interkalasi dan pasir halus, batulanau,batulempung dan beberapa seambatubara tipis.
Serpih, kadang-kadang calcareous,pasir halus dan marl.
Marl, lempung, lanau dan interbeddeddari lapisan batugamping tipis, berisipita-pita batubara.
Batugamping kristalin, interbeddedlapisan tipis marl.
Marl, batugamping, serpih, lanau danbeberapa interbedded seam batubara.
Interkalasi dari serpih dan pasir denganbeberapa seam batubara tipis.
Serpih, pasir dan konglomerat
Serpih, kuarsit dan batuan beku
900
250
600
225
450
600
500
850
lebih dari840
FASIES
UPPERDELTAPLAIN
LOWERDELTAPLAIN
DELTAFRONT
PRODELTA
DELTA FRONT
MARINE
LOWERDELTAPLAIN
LOWERDELTAPLAIN
PRODELTA
PRODELTA
PRATERSIER
47
Tabel 4.2
Kolom stratigrafi daerah Tutupan (PT. Adaro Indonesia)
48
4.4. Struktur Geologi Regional
Pola struktur yang berkembang di pulau Kalimantan berarah Meratus (Timur
laut-Barat daya). Pola ini tidak hanya terjadi pada struktur-struktur sesar tetapi juga
pada arah sumbu lipatan.
Perbukitan Tutupan yang berarah timur laut-barat daya dengan panjang sekitar
20 km terbentuk akibat pergerakan dua patahan anjakan yang searah. Salah satunya
dikenal dengan nama Dahai Thrust Fault yang memanjang pada kaki bagian barat
perbukitan Tutupan. Patahan lain bernama Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault
yang memanjang pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan. Keberadaan patahan ini
diketahui berdasarkan data seismik dan pemboran sumur minyak (Asminco,1996).
Patahan lain yang tidak berhubungan dengan perbukitan Tutupan dan berarah timurlaut-
baratdaya terdapat di daerah Wara dengan nama Maridu Thrust Fault. Patahan-patahan
yang terjadi pada umumnya searah dengan bidang perlapisan sehingga tidak
mengganggu penyebaran batubara.
Pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan juga terdapat struktur antiklin
yang diberi nama Antiklin Tanah Abang-Tepian Timur. Sumbu antiklin berarah utara-
selatan dan searah dengan Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault. Antiklin-antiklin
umumnya memiliki sumbu berarah timurlaut-baratdaya seperti antiklin Tanjung, antiklin
Warukin dan antiklin Paringin. Sedangkan struktur sinklin yang terdapat di daerah
Tutupan dan Wara dinamakan Sinklin Bilas.
Struktur geologi yang terdapat di daerah Paringin berupa antiklin yang dikenal
dengan nama antiklin Paringin. Antiklin Paringin yang bentuknya tidak simetri
memanjang sekitar 18 km searah timurlaut-baratdaya. Di bagian barat kemiringan
lapisan batuan hampir vertikal.
49
Gambar 4.5
Model Struktur Regional (PT. Adaro Indonesia)
Gambar 4.6
Tatanan Tektonik Cekungan Barito
(After Satyana and Silitonga, 1993)
50
BAB V
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
5.1. Geomorfologi Daerah Telitian
Pembagian geomorfologi daerah telitian memakai konsep atau model untuk
membagi satuan geomorfologi yang mengacu pada klasifikasi Verstappen (1985),
Brahmantyo dan Bandono (1992) yang mengkaitkan antara struktur geologi dan proses
secara bersama dalam pembentukan bentuk lahan disertai keterangan tentang
morfometri, morfografi, dan morfogenesa.
Pembagian bentuk lahan, secara umum dibagi menjadi dua, yaitu morfologi dan
morfogenesa.
1. Morfologi (bentuk), yaitu mempelajari mengenai relief secara umum yang meliputi
aspek:
a. Morfografi merupakan aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah, antara
lain bukit, punggungan, lembah dan dataran.
b. Morfometri merupakan aspek kuantitatif suatu daerah, terdiri dari kemiringan
lereng, bentuk lembah (menggunakan klasifikasi Van Zuidam & Cancelado,
1979).
2. Morfogenesa, yaitu studi mengenai proses geomorfologi yaitu proses yang
mengakibatkan perubahan dan terjadinya bentuklahan yang mencakup aspek:
a. Morfostruktur : aktif gaya – gaya endogen, yaitu struktur geologi
b. Morfostruktur pasif : aspek material penyusunnya, yaitu litologi
c. Morfostruktur dinamik : gaya-gaya eksogen, yaitu proses denudasional
Daerah penelitian merupakan daerah yang terdiri dari perbukitan dan lembah-
lembah hasil kegiatan penambangan. Ketinggian terendah daerah penelitian adalah -10
meter di bawah muka air laut yang merupakan kolam penampungan air tambang
maupun air hujan. Titik tertinggi adalah 128 meter di atas permukaan laut yang berupa
puncak bukit yang terletak di sebelah tenggara daerah telitian . Dengan melihat arah
51
kedudukan batuan disekitar lokasi tambang, maka secara umum daerah telitian
merupakan daerah homoklin yang ditandai oleh arah kedudukan lapisan batuan yang
searah ke arah tenggara (Foto 5.1)
Satuan geomorfik pada daerah terlitian di sebelah tenggara berupa perbukitan
homoklin berlereng miring dan di sekeliling area tambang di sebelah barat daya sampai
utara berupa perbukitan homoklin berlereng landai yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas
penambangan diklasifikasikan ke dalam bentuk lahan bentukan asal struktural.
Sedangkan satuan geomorfik daerah telitian pada lokasi tambang dibagi berdasarkan
terminologi tambang terbuka/open pit (Imam Sancoko, 2010) dan tingkat kemiringan
lereng (Zuidam, 1979) yang didasarkan pada aspek morfometri yakni ; aspek kuantitatif
suatu daerah yang berupa kelerengan (Tabel 5.1.) yang sudah berubah dari betuk aslinya
karena dipengaruhi oleh aktivitas penambangan, maka diklasifikasikan ke dalam
bentukan asal aspek manusia.
Tabel 5.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng (Zuidam & Cancelado, 1979)
No Klasifikasi Kemiringan Lerang
Satuan Lahan Prosentase kelerengan %
1 Datar – hampir datar 0 – 2
2 Landai 2 – 7
3 Miring 7 – 15
4 Agak Curam 15 – 30
5 Curam 30 – 70
6 Sangat Curam 70 – 140
7 Tegak > 140
52
Foto 5.1. Kenampakan arah kemiringan lapisan batuan pada daerah telitian. Kemiringan lapisan
batuan secara umum ke arah tenggara.
Arah kamera N 400 E
5.1.1.1 Bentuk Asal Struktural
1. Perbukitan homoklin berlereng miring
Satuan geomorfologi ini menempati 10% dari luas daerah telitian,
morfologi berupa bukit dengan kelerengan berkisar antara 8% hingga 13%
dengan ketinggian 65 sampai 128 mdpl. Litologi yang menyusun berupa
satuan batulempung yang terdiri dari batulempung, batupasir, batulanau dan
batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa sesar
mendatar Tutupan dan struktur homoklin dengan kemiringan ke arah
tenggara. Vegetasi berupa pohon karet, dan semak. Pada peta geomorfologi
(lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna ungu tua dan simbol S1.
2. Perbukitan homoklin berlereng landai
53
Satuan geomorfologi ini menempati 20% dari luas daerah telitian,
morfologi berupa perbukitan lemah dengan kelerengan berkisar antara 3%
hingga 7% dengan ketinggian 60 sampai 80 mdpl. Pola pengaliran yang
berkembang. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini sebagian besar
berupa satuan batupasir dengan litologi terdiri dari batupasir, sisipan
batulempung dan batubara, dan pada bagian tenggara tersusun dari satuan
batulempung yang terdiri dari batulempung, dengan sisipan batupasir,
batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa
struktur homoklin dengan kemiringan ke arah tenggara dan sesar naik Hill
11 diperkirakan. Vegetasi berupa pohon karet, dan semak. Pada peta
geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna ungu muda
dengan simbol S2.
Foto 5.2. Kenampakan satuan Geomorfologi bukit homoklin berlereng miring (S1)
dan perbukitan lemah homoklin berlereng landai (S2)
di bagian tenggara daerah telitian.
Arah kamera N 1750 E
54
5.1.1.2 Bentukan Asal Aspek Manusia
1. Kolam Penampungan Air (Sump) Hasil Penambangan
Satuan ini menempati 6% dari luas daerah telitian, morfologi berupa
tempat paling rendah sebagai kolam penampungan air hasil aktivitas
penambangan dengan kelerengan berkisar antara 0% hingga 2% dan
ketinggian antara 0 - -10 mdpl (foto 5.4 & 5.5). Litologi penyusun berupa
endapan-endapan material lepas yang terbawa air yang masuk ke kolam
penampungan ini. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa
struktur homoklin dan sesar mendatar Tutupan. Pada peta geomorfologi
(lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna abu-abu dengan simbol H1.
Foto 5.3. Kenampakan satuan kolam penampungan (sump) di daerah telitian.
Arah kamera N 470 E
2. Lereng Curam High Wall Hasil Penambangan
Satuan ini menempati 9% dari luas daerah telitian, morfologi berupa
dinding tambang pada sisi kemiringan batubara terdalam yang terdiri dari
slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil
55
aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5).
Litologi terdiri dari satuan batulempung yang terdiri dari batulempung,
dengan sisipan batupasir kuarsa, batulanau dan batubara. Satuan ini
dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin dan sesar
mendatar Tutupan. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili
oleh warna coklat dengan simbol H2.
3. Lereng Curam Low Wall Hasil Penambangan
Satuan ini menempati 9% dari luas daerah telitian, morfologi berupa
dinding tambang pada sisi kemiringan batubara terdangkal atau terendah
yang terdiri dari slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30%
hingga 70% hasil aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16
m (foto 5.5). Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari
batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, batulempung karbonan,
batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa
struktur homoklin, sesar mendatar Tutupan dan sesar naik Hill 11. Pada peta
geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna hijau dengan
simbol H3.
4. Lereng Curam End Wall Hasil Penambangan
Satuan ini menempati 6% dari luas daerah telitian, morfologi berupa
dinding atau batas akhir dari penambangan, biasanya terdapat diujung
daerah penambangan (melintang jurus lapisan batuan) yang terdiri dari slope
dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil
aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5).
Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir
kuarsa dengan sisipan batulempung, batulempung karbonan, batulanau dan
batubara pada bagian barat laut serta satuan batulempung dengan sisipan
batupasir kuarsa, batulempung karbonan, batulanau dan batubara pada
bagian tenggara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa
56
struktur homoklin. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili
oleh warna kuning dengan simbol H4.
5. Dataran Berlereng Landai Hasil Penambangan
Satuan ini menempati 40% dari luas daerah telitian, morfologi
berupa dataran berlereng landai hasil aktivitas penambangan dengan
kelerengan berkisar antara 3% hingga 7% (foto 5.5). Litologi terdiri dari
satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan
batulempung, batulempung karbonan, dan batubara serta satuan
batulempung yang terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa, batulanau,
batulempung karbonan dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur
geologi berupa struktur homoklin, sesar mendatar Tutupan dan sesar
mendatar Hill 11. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili
dengan warna jingga dengan simbol H5.
Foto 5.4. Kenampakan satuan geomorfik aspek manusia pada daerah telitian.
Arah kamera N 400 E
57
Tabel 5.2 Klasifikasi satuan geomorfik daerah telitian
58
5.2. Stratigrafi Daerah Telitian
Urutan stratigrafi yang tersingkap di daerah telitian yaitu Formasi Warukin
bagian atas yang dicirikan dengan hadirnya batubara yang tebal dan sedimen klastik
berukuran lempung sampai pasir sedang.
Berdasarkan hasil pengamatan (ciri litologi) dan umur geologi, maka pada daerah
telitian dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) satuan litostratigrafi tidak resmi. Urutan
litostratigrafi dari yang tertua hingga yang termuda pada daerah telitian adalah sebagai
berikut :
5.2.2.1. Satuan batupasir kuarsa Warukin
a. Ciri Litologi
Penamaan satuan litostratigrafi ini berdasarkan pada litologi yang dominan.
Secara umum litologi penyusun satuan lithostratigrafi ini secara dominan berupa
batupasir kuarsa yang secara petrografi adalah Quartz Arenite menurut klasifikasi
Pettijohn, 1972 dan Gilbert, 1982 pada analisis petrografi (lampiran 7). Setempat-
setempat ditemukan perselingan batulempung dan batubara dengan tebal mencapai 28 m
dengan floor dan roof umumnya berupa batulempung karbonan. Pada satuan ini cukup
banyak dijumpai kenampakkan woody structure (struktur kayu) pada beberapa lokasi
pengamatan (Foto 5.6).
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyusun satuan batupasir kuarsa Warukin
ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
Batupasir kuarsa, umumnya terdiri dari mineral kuarsa; matriks pecahan batubara;
semen silika; warna; putih kekuningan sampai keabu-abuan; ukuran butir sangat halus
sampai sedang (1/16 – 1/2 mm); struktur sedimen yang dijumpai : laminasi sejajar,
laminasi bergelombang , cross bedding dan masif (foto 5.7).
59
Foto 5.5. Kenampakan woody structur (struktur kayu) pada LP 109
Arah kamera N 3100 E
b
a
Foto 5.6. Litologi batupasir kuarsa daerah telitian pada LP 2
(a). Kontak roof batubara dengan batupasir kuarsa N440E/49
0, arah kamera N 4
0 E
(b). Batupasir kuasra mengandung cerat karbon dengan struktur laminasi
bergelombang, arah kamera N 450 E
60
Batulempung, warna abu – abu kecoklatan, ukuran butir lempung (<1/256); mineral
lempung; struktur sedimen yang dijumpai masif.
a
b
Foto 5.7.
a. Litologi batulempung dengan sisipan batubara tipis N370E/56
0 pada LP 82
Arah kamera N 3100 E
.b. Lithologi batulempung karbonan dengan struktur menyerpih pada LP 90
Arah kamera N 40 E
61
Batubara, warna hitam; gores hitam kecoklatan; pecahan Sub-conchoidal; kilap hitam
kusam; kekerasan brittle-hard, terdapat cleat dengan face cleat relatif berarah barat laut-
tenggara dan sebagian terdapat resin/amber (getah damar). Ketebalan batubara pada
satuan batuan ini secara umum tebal mencapai 28 m dan beberapa seam batubara minor
(lampiran 5 & 6 penampang stratigrafi terukur).
Foto 5.8. Litologi batubara T110 bagian floor N430E/35
0 pada LP 163 lintasan MS end wall
timur laut, arah kamera N 470 E
62
(b)
(a)
Foto 5.9. a Cleat pada batubara seam T110 pada LP 164, arah kamera foto N3200E
b. Kenampakan resin/amber pada seam batubara T110 pada end wall timut laut,
arah kamera N3050E
b. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 40% luas dari daerah telitian dengan arah penyebaran
timur laut-barat daya dan miring ke arah tenggara. Satuan ini mengalami pergeseran
(offset) akibat sesar mendatar kanan Tutupan.
Ketebalan Satuan batupasir kuarsa Warukin ini berdasarkan pengukuran
penampang stratigrafi terukur adalah lebih dari 119,7 m.
c. Lingkungan Pengendapan dan Umur
Berdasarkan hasil dari pengukuran profil dan penampang stratigrafi terukur,
maka dapat diketahui sub–lingkungan pengendapan dan lingkungan pengendapan di
daerah telitian. Penentuannya didasarkan pada aspek fisik dengan melihat ciri – ciri
litologi, struktur sedimen, variasi litologi dan ketebalan batubara (lampiran 5 dan 6),
aspek kimia dengan melihat kehadiran mineral sedikit serta aspek biologi dengan
63
melihat kehadiran fosil. Dan juga mengacu pada stratigrafi regional daerah telitian
(Tabel 4.1). Satuan batuan ini didominasi oleh batupasir kuarsa dengan ukuran butir
halus-sedang dan struktur sedimen antara lain masif, laminasi sejajar, laminasi
bergelombang, gradded beding dan silang siur. Juga dijumpai batulempung,
batulempung karbonan, batulanau dan lapisan-lapisan batubara dengan tebal ada yang
mencapai 28 m. Lapisan batubara satuan batuan ini banyak mengalami splitting pada
bagian barat daya. Kehadiran mineral sedikit pada satuan batuan seperti pirit dan fosil
sangat jarang bahkan tidak ada serta dari uji kandungan sulfur pada sampel batubara
yang diambil dari satuan ini menunjukkan kandungan sulfur yang rendah ( <1 ).
Maka Dari aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa sub-lingkungan
pengendapan pada satuan batupasir kuarsa ini berupa Swamp, Leeve, Channe, Creavasse
dan Flood Plain serta lingkungan pengendapannya adalah Upper Delta Plain (Horne,
1979).
Berdasarkan analisis sampel paleontologi pada satuan batuan ini tidak ditemukan
kehadiran fosil foraminifera baik berupa bentos maupun. Oleh karena itu, penentuan
umur satuan batuan ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan berdasarkan
ciri-ciri litologi dari satuan ini dengan stratigrafi regional yang mengacu pada stratigrafi
cekungan barito (Tabel 4.1). Selain itu, juga ditentukan berdasarkan hasil penelitian
terdahulu oleh N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994 dimana pada satuan ini ditemukan
fosil foraminifera dalam batulempung pasiran antara lain Ammonia indica (Le Roy),
Cellanthus sp., Amphistegina sp., Florilus sp., Lepidocyclina sp. dan Austrotrillina
howchini yang mengindikasikan berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Heryanto, R,
1994). Berdasarkan stratigrafi regional dan peneliti terdahulu, maka satuan batupasir
kuarsa ini masuk kedalam Formasi Warukin bagian atas yang berumur Miosen Tengah.
d. Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir kuarsa Warukin dengan satuan
batulempung Warukin yang berada di atasnya adalah selaras. Hal ini terlihat jelas di
64
lapangan dan juga terlihat dari kedudukan kedua satuan batuan ini yang memiliki jurus
dan kemiringan yang relatif sama (foto 5.11).
Foto 5.10.
Kontak satuan batuan (garis merah) pada end wall timur laut daerah telitian dengan kedudukan
N550E/34
0, arah foto N 85
0 E
5.2.2.2. Satuan batulempung Warukin
a. Ciri Litologi
Penamaan satuan batuan ini didasarkan pada litologi dominan pada daerah
telitian. Secara umum litologi penyusun satuan lithostratigrafi ini berupa batulempung
dengan struktu masif dan setempat-setempat ditemukan perselingan antara batupasir
kuarsa, batulanau dan beberapa seam minor batubara.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyusun satuan batulempung Warukin ini
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
Batulempung, berwarna abu-abu sampai putih kekuningan; ukuran butir lempung
(<1/256 mm) komposisi berupa mineral lempung, semen silika, kadang terdapat pecahan
65
batubara, struktur sedimen yang dijumpai secara umum masif dan beberapa dijumpai
struktur laminasi.
Foto 5.11. Litologi batulempung dengan struktur masif pada LP 101
Arah kamera N 1530 E
Batupasir kuarsa, umumnya terdiri dari mineral kuarsa; matriks pecahan batubara;
semen silika; warna; putih ke abu-abuan-kekuningan; ukuran butir pasir sangat halus
sampai halus (1/16 – 1/4 mm); struktur sedimen yang dijumpai : laminasi sejajar,
laminasi bergelombang dan silang siur.
Foto 5.12. Litologi batupasir kuarsa dengan struktur silang siur pada LP 10
Arah kamera N 1200 E
66
Batulanau, berwarna abu-abu terang sampai putih kekuningan; ukuran butir lanau (1/16)
komposisi berupa mineral lempung- lanau, silika, kadang terdapat pecahan batubara,
Struktur sedimen pada yang dijumpai masif serta dibeberapa singkapan dijumpai
struktur plant remain berupa fosil cetakan daun.
Foto 5.13. Litologi batulanau dengan fosil cetakan daun (plant remain) LP 102
Arah kamera N 220 E
Batubara, warna hitam; gores hitam kecoklatan; pecahan sub-conchoidal; kilap hitam
kusam; kekerasan brittle-hard, terdapat cleat dan sebagian terdapat resin/amber (getah
damar), ketebalan batubara pada satuan ini lebih tipis berkisar antara 50 cm sampai 10 m
dan lebih sedikit dijumpai seam batubara dibandingkan pada satuan batupasir kuarsa
Warukin (lampiran penampang stratigrafi terukur).
b. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batulempung Warukin ini menempati 45% luas dari daerah telitian
dengan arah penyebaran timur laut-barat daya dan miring ke arah tenggara. Satuan ini
mengalami pergeseran (offset) akibat sesar mendatar kanan Tutupan. Ketebalan satuan
batuan ini berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi terukur lebih dari 122, 2 m.
67
c. Lingkungan Pengendapan dan Umur
Berdasarkan hasil dari pengukuran profil dan penampang stratigrafi terukur,
maka dapat diketahui sub–lingkungan pengendapan dan lingkungan pengendapan di
daerah telitian. Penentuannya didasarkan pada aspek fisik dengan melihat ciri – ciri
litologi, struktur sedimen, variasi litologi dan ketebalan batubara (lampiran 6), aspek
kimia dengan melihat kehadiran mineral sedikit serta aspek biologi dengan melihat
kehadiran fosil. Dan juga mengacu pada stratigrafi regional daerah telitian (Tabel 4.1).
Satuan batuan ini didominasi oleh litologi berukuran halus yaitu batulempung dengan
struktur sedimen masif dan laminasi sejajar. Juga dijumpai batulempung karbonan,
batulanau, batupasir kuarsa dan lapisan batubara dengan yang sedikit dan lebih tipis
dengan ketebalan antara 50 cm – 10 m. Splitting pada satuan batuan ini tidak
berkembang seperti pada satuan batupasir kuarsa. Kehadiran mineral pirit dan fosil pada
satuan batuan ini juga tidak serta kandungan sulfur pada lapisan batubara yang diambil
dari satuan ini menunjukkan kandungan sulfur yang rendah ( <1 ).
Maka Dari aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa sub-lingkungan
pengendapan pada satuan batupasir kuarsa ini berupa Crevasse, Interdistributary bay
dan Swamp serta lingkungan pengendapannya adalah Transitional Lower Delta Plain
(Horne, 1978).
Berdasarkan analisis sampel paleontologi pada satuan batuan ini tidak ditemukan
kehadiran fosil foraminifera baik berupa bentos maupun. Oleh karena itu, penentuan
umur satuan batuan ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan berdasarkan
ciri-ciri litologi dari satuan ini dengan stratigrafi regional yang mengacu pada stratigrafi
cekungan barito (Tabel 4.1). Selain itu, juga ditentukan berdasarkan hasil penelitian
terdahulu oleh N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994 dimana pada satuan ini ditemukan
fosil foraminifera dalam batulempung pasiran antara lain Ammonia indica (Le Roy),
Cellanthus sp., Amphistegina sp., Florilus sp., Lepidocyclina sp. dan Austrotrillina
howchini yang mengindikasikan berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Heryanto, R,
68
1994). Berdasarkan stratigrafi regional dan peneliti terdahulu, maka satuan batupasir
kuarsa ini masuk kedalam Formasi Warukin bagian atas yang berumur Miosen Tengah
d. Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara satuan batulempung Warukin dengan satuan
batupasir kuarsa Warukin yang berada di bawahnya adalah kontak selaras. Hal ini
terlihat jelas di lapangan dan juga terlihat dari kedudukan kedua satuan batuan ini yang
memiliki jurus dan kemiringan yang relatif sama (Foto 5.11).
Sedangkan hubungan satuan ini dengan endapan alluvial di atasnya adalah tidak
selaras. Dibuktikan dengan perbedaan kedudukan dari satuan batulempung dengan
endapan alluvial dan perbedaan umur yang menyolok atau dengan kata lain terdapat
tahap dimana proses sedimentasi terhenti dan satuan yang lebih tua mengalami
pengerosian (tabel 4.1).
5.2.2.3. Satuan Endapan Alluvial
a. Ciri Litologi
Endapan alluvial tersusun oleh material lepas hasil rombakan dari batuan asal
yang lebih tua dan berupa endapan yang belum mengalami kompaksi yang
tertransportasi oleh media air serta didominasi oleh tekstur berukuran lempung dan
lumpur. Tidak dijumpai adanya perlapisan atau struktur luar sedimen, sehingga dalam
penentuan hubungan stratigrafi dengan satuan batuan di bawahnya merupakan bidang
erosi.
b. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan ini menempati 15% dari luas daerah telitian dan terletak pada bagian
tengah daerah telitian dengan bentukan berupa kolam penampungan air/sump (foto
5.15). Ketebalan satuan endapan alluvial ini tidak diketahui dikarenakan terletak pada
sump yang tergenang air.
69
c. Hubungan Stratigrafi
Hubungan stratigrafi antara endapan alluvial dengan satuan batulempung
Warukin yang berada di bawahnya adalah tidak selaras, dibuktikan dengan perbedaan
kedudukan dari satuan batulempung dengan endapan alluvial dan perbedaan umur yang
menyolok atau dengan kata lain terdapat tahap dimana proses sedimentasi terhenti dan
satuan yang lebih tua mengalami pengerosian (tabel 4.1).
Foto 5.14. Satuan Endapan Alluvial yang terdapat pada kolam penampungan /sump
Arah kamera N 400 E
70
Tabel 5.3 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian
5.3. Struktur Geologi Daerah Telitian
Analisis struktur geologi yang terdapat didaerah penelitian didasarkan pada data–
data pengukuran bidang kekar, jurus dan kemiringan perlapisan batuan dimana dari hasil
pengeplotan kedudukan tersebut menunjukkan arah umum tegasan daerah telitian.
Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan, maka didapatkan
beberapa jenis struktur geologi yang ada pada daerah telitian, antara lain berupa struktur
kekar, struktur homoklin, sesar mendatar kanan Tutupan, drag fold dan sesar naik Hill
11.
71
5.2.3.1. Kekar
Struktur kekar ini teramati pada lokasi pengamatan 71, terdapat pada litologi
batulanau. Berikut ini adalah data pengukuran kekar pada lokasi pengamatan 71 berupa
shear joint, extension joint dan release joint :
1. Shear Joint : a. N 2870 E/72
0
b. N 2350 E/36
0
2. Extension Joint : N 2670 E/72
0
3. Release Joint : N 1600 E/68
0
Foto 5.15. Kekar pada lithologi batulanau LP 71
Arah kamera N 2750 E
Selain itu juga dilakukan pengamatan dan pengukuran kekar pada lapisan
batubara yang biasanya disebut dengan cleat. Menurut Laubach et al (1998), cleat
adalah rekahan alami yang terdapat di dalam lapisan batubara, terdiri dari face cleat dan
lebih kecil lagi disebut butt cleat sedangkan menurut Ryan (2003), cleat adalah kekar di
dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukkan oleh
serangkaian kekar yang sejajar, umumnya mempunyai orientasi berbeda dengan
kedudukan lapisan batubara. Pengukuran cleat ini difokuskan pada jenis face cleat Face
cleat karena merupakan hasil dari perpanjangan rekahan dalam bidang sejajar dengan
72
paleostress kompresif maksimum suatu daerah (Nickelsen & Hough 1967; Hanes &
Shepherd 1981).
Berikut ini adalah data kedudukan umum face cleat yang diukur pada lapisan
batubara di daerah telitian ditunjukkan seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.4. Tabulasi Data Face Cleat Daerah Telitian
Berdasarkan table di atas dan setelah dilakukan analisis, secara umumn face cleat
pada daerah telitian berarah relative barat laut-tenggara (Diagram 5.1). Maka arah
tegasan utama pada daerah telitian searah dengan face cleat dan extension joint pada
daerah telitian yang berarah barat laut-tenggara. Sedangkan perubahan arah face cleat
pada zona sesar, mengindikasikan bahwa adanya perubahan kedudukan seam batubara
yang dipengaruhi oleh proses pensesaran pada daerah telitian.
No. LP Seam Face cleat Pengisi Spasi Kerapatan
163 T 110 EW TL 284/70 - 0,1 – 2 cm
169 T110 EW BD 304/79 - 2 cm
166 T 120 EW TL 289/86 -
26 T 120 280/80 - 0,2-21 cm 58/3,5 m
32 T 120 272/75 pirit 0,1-10 cm 92/3,5 m
158 T 120 ZONA SESAR 218/54 - 0,1-1,5 cm >213/3,5 m
34 T 300 255/70 - 1-10 cm
73
vvv a. c.
b..
Foto 5.16.
a. Kenampakan face cleat (kuning) dan butt cleat (merah) T120 pada
LP 32, arah kamera N2900E
b. Kenampakan face cleat (kuning) dan butt cleat (merah) pada zona
sesar seam T120 LP 158, arah kamera N2900E
c. Kenampakan face cleat (kuning) seam T110 pada LP 164, arah
kamera foto N3200E.
74
a b
Gambar 5.1.
a. Diagram Rosset face cleat daerah telitian yang relative berarah barat laut-tenggara.
b. Diagram Kontur face cleat daerah telitian yang mempunyai kedudukan umum N2910E/73
0
5.2.3.2. Struktur Homoklin
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran kedudukan perlapisan batuan di
daerah telitian yang secara umum mempunyai jurus relative berarah timur laut-barat
daya dan kemiringan (dip direction) searah yaitu ke arah tenggara dengan besaran dip
rata-rata antara 250 - 50
0 (Foto 5.17). Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur
geologi yang ada pada daerah telitian berupa struktur homoklin.
.
75
Foto 5.17. Struktur homoklin dengan kemiringan ke tenggara pada daerah telitian
Arah kamera N 950 E
5.2.3.3. Sesar Mendatar Kanan Tutupan
Struktur geologi ini teramati jelas pada daerah telitian berdasarkan data
pergeseran (offset) dari batubara seam T120 yang dijadikan sebagai keybed. Selain itu
juga ditemukan bukti berupa bidang sesar pada LP 106 dan LP 113 (lampiran 1. peta
lintasan dan lokasi pengamatan). Pada LP 106 ditemukan singkapan bidang sesar berupa
zona hancuran berukuran halus (milonite) dengan kedudukan N 2930 E/55
0 (Foto. 5.18)
dan pada LP 113 berupa bidang sesar pada litologi batubara dengan kedudukan 2940
E/420 (Foto 5.19). Berdasarkan kedudukan dan posisinya pada peta, maka kedua
singkapan ini dipastikan sebagai hasil dari satu sesar atau dengan kala lain merupakan
satu sesar yang sama.
Untuk penamaan sesar ini didasarkan dari data bidang sesar, cleat berupa face
cleat yang di interpretasikan sebagai kekar tension/gash fracture pada zona sesar yang
telah mengalami perubahan akibat sesar, pergeseran/offset litologi dan drag fold dari
kenampakan di lapangan. Penamaan sesar ini berdasarkan klasifikasi sesar translasi
menurut Rickard, 1972 dengan menggunakan data dip bidang sesar dan rake dari gores
76
garis hasil analisis menggunakan stereografis, serta dengan melihat offset seam T120
guna menentukan pergerakan relatifnya. Dari hasil analisis menggunakan data-data
tersebut maka didapatkan nama sesar yaitu thrust right slip fault. Sesar ini juga
mengalami gerak rotasi yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan jarak offset,
sehingga penamaan sesar ini merupakan gabungan dari sesar rotasional dan translasi
yaitu Rotasional Thrust Right Slip Fault.
a.
b.
c.
Foto. 5.18
a. Kenampakan offset lapisan batuan di High Wall pada daerah telitian.
Arah kamera N1300E
b. Bidang sesar pada LP 106 dengan kedudukan N2930E/55
0
Arah kamera N1100E
c. Zona milonit berukuran halus pada LP 106, arah kamera N1250
77
a. b.
Foto. 5.19
a. Kenampakan bidang sesar dan drag fold pada Low Wall daerah telitian, arah kamera N3150E
b. Kenampakan bidang sesar N2940E/42
0 dan slickenside yang mengindikasikan arah pergerakan sesar pada LP 113,
arah kamera N32800E
78
Gambar 5.2.
Diagram kontur face cleat pada zona sesar dengan kekudukan umum N370E/55
0
Gambar 5.3.
Diagram analisis sesar mendatar kanan Tutupan
79
5.2.3.4. Sesar Naik Hill 11
Struktur Sesar ini diperkirakan berdasarkan keberadaan drag fold yang
membentuk antiklin di bagian barat laut daerah telitian pada LP 78, LP 79, LP 82, LP 84
dan LP 85 (lampiran 1. Peta lintasan dan lokasi pengamatan). Hasil pengukuran
kedudukan-kedudukan lapisan batuan tersebut (Tabel 5.4) pada analisis dengan metode
stereografis seperti ditunjukkan pada (Gambar 5.4). Berdasarkan kedudukan sumbu
lipatan yang memiliki penunjaman (plunge) yang kecil, maka drag fold tersebut
diinterpretasikan sebagai struktur penyerta dari sesar naik. Drag fold tersebut memiliki
kedudukan hinge surface yaitu N190 E/79
0 dan hinge line 26
0, N 194
0 E.
Tabel 5.5
Tabulasi Data Kedudukan Sayap Drag Fold
Strike Dip Ket. Strike Dip Ket.
38 44
Say
ap 1
53 54
Say
ap 1
26 52 9 11
45 64 70 19
50 37 46 32
44 44 64 38
54 36 178 71
Say
ap 2
52 46 191 33
40 45 201 88
73 53 226 43
50 42 182 64
51 42 154 41
68 42 146 48
79 34 178 71
64 41 191 33
60 32 201 88
41 20
80
Gambar 5.4
a. Diagram kontur sayap 1 drag fold dengan kedudukan N520E/40
0
b. Diagram kontur sayap 2 drag fold dengan kedudukan N1800E/67
0
c. Analisis stereografis drag fold pada daerah telitian dan didapatkan nama
lipatan Steeply inclined gently plunging fold (Fluety, 1964)
81
Foto 5.20. Kenampakan lipatan berupa drag fold di dearah telitian pada LP 78
dan LP 79, arah kamera N130E
Penentuan sesar naik Hill 11 ini didasarkan pada hubungan sesar dengan struktur
penyertanya, dengan asumsi bahwa drag fold terbentuk sebagai akibat dari pergerakan
sesar. Hill (1976) menyimpulkan bahwa pada setiap gerak sesar terbentuk struktur
penyerta (kekar dan lipatan) dengan pola seperti pada (Gambar 5.5). Menurut (Moddy
and Hill,1961) dalam Achmad Rodhi dan Sugeng Raharjo (2007), menyatakan bahwa
pada sesar geser akan terbentuk juga drag fold yang mempunyai sudut 120 terhadap
sesar gesernya (Gambar 3.6).
Dalam kasus ini terdapat struktur penyerta berupa drag fold dengan kedudukan
sumbu N190 E/79
0 serta penunjaman (plunge) sebesar 26
0. Penarikan sesar mengikuti
dasar hubungan atara sesar dengan struktur penyerta (Moody dan Hill, 1961) yaitu 120
dari arah jurus drag fold. Maka didapatkan arah jurus sesar N310E dengan dip ke arah
tenggara didasarkan pada pola drag fold sesar naik serta struktur geologi regional
dengan arah tegasan utama tenggara-barat laut yang akan membentuk sesar naik pada
arah jurus relative timur laut-barat daya. Maka penamaan sesar diperkuat dengan nilai
penunjaman (plunge) drag fold yang relatif kecil sehingga disimpulkan bahwa gerak
sesar relative naik dengan jurus N310E dengan dip ke arah tenggara.
82
Gambar 5.5. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur penyerta
(Hill,1976)
5.2.4 Sejarah Geologi Daerah Telitian
Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan khirnya dapat
dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian yang menggambarkan sejarah geologi
pada suatu kerangka ruang dan waktu. Penentuan sejarah geologi daerah penelitian juga
mengacu pada sejarah geologi regional peneliti-peneliti terdahulu (N. Sikumbang dan R.
Heryanto, 1994).
Cekungan barito terletak sepanjang batas Tenggara dari Paparan Schwaner di
Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Pegunungan Meratus di bagian timur
yang membatasi dengan Cekungan kutai dan di bagian utara di batasi oleh sesar Adang.
Cekungan terbuka ke arah Laut Jawa.
Tersier Awal (Paleogen) terjadi proses pengangkatan (konvergen), hal tersebut
di hasilkan oleh suatu seri pemekaran arah Baratlaut – tenggara. Pemekaran tersebut
mengakibatkan terjadinya sedimentasi alluvial dan lakustrine dari Formasi Tanjung
bagian bawah. Pada awal Eosen Tengah, terjadi kenaikan muka air laut (transgresi),
sehingga terjadi proses sedimentasi fluviodeltaic dan akhirnya terjadi sedimen laut.
Proses transgresi berlangsung selama pengendapan satuan batuan Formasi Tanjung
bagian Tengah.
83
Pada Oligosen Tengah terjadi penurunan cekungan menyebabkan terjadi proses
transgresi kembali. Pada akhir Oligosen terjadi pengendapan batuan karbonat dari
Formasi Berai. Pengendapan batuan karbonat berlangsung hingga Awal Miosen, dimana
diakhiri pengurangan sedimen (klastik) ke arah barat. Selama Miosen, muka air laut
relatif menurun yang disebabkan oleh pengangkatan Pegunungan Schwanner dan
Pegunungan Meratus. Sedimentasi berlangsung ke arah timur dan sedimen yang ada
merupakan sedimen deltaic dari Formasi Warukin.
Selama Plio – Pleistosen terjadi aktivitas tektonik, yang mengakibatkan
deformasi pada cekungan Barito, sehingga berkembang struktur lipatan mayor post
depositional berarah timur laut - barat daya. Kerena tegasan tersebut masih terus
berlangsung dan mengenai lapisan batuan yang terlipat sebelumnya, sehingga melebihi
batas plastisitas lapisan batuan, akibatnya terbentuk sesar naik berarah relatif sama
dengan sumbu lipatan dilanjutkan sesar mendatar dengan arah relatif WNW-ESE, yang
memotong sumbu antiklin dan sesar naik. Kemudian terjadi proses pelapukan, erosi,
transportasi dan pengendapan lagi hingga sampai sekarang masih berlangsung.
84
BAB VI
PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERINGKAT
BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN
VITRINIT DAERAH TELITIAN
6.1. Peringkat Batubara (Coal Rank) Daerah Telitian
Peringkat batubara regional daerah telitian menurut peneliti terdahulu dari PT.
Adaro Indonesia yang didasarkan pada analisis kandungan organik batubara (maseral)
melalui parameter nilai (%Rv rata-rata) Reflektan Vitrinit rata-rata dengan konsep
bahwa pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti
oleh peningkatan reflektansi maseralnya. Sehingga analisis reflektansi maseral (vitrinit)
dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara.
Secara umum, peringkat batubara berdasarkan nilai (%Rv rata-rata) Reflektan
Vitrinit rata-rata pada daerah telitian ditunjukkan seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 6.1. Peringkat batubara Tutupan (ADARO)
Nomor Sampel (%Rv rata-rata) Coal Rank
(ASTM, 1986)
ADR_T100 0,47 Sub-Bituminous B
ADR_T120 0,47 Sub-Bituminous B
ADR_T300 0,45 Sub-Bituminous B
85
Tabel 6.2. Coal rank ADR_T100
Tabel 6.3. Coal rank ADR_T120
86
Tabel 6.4. Coal rank ADR_T300
Berdasarkan tabel di atas, secara umum nilai (%Rv rata-rata) batubara daerah
Tutupan yaitu antara 0,45-0,47 %, peringkat batubara pada seam batubara major T100,
T120 dan T300 digolongkan dalam Sub-Bituminous B berdasarkan klasifikasi ASTM,
1986.
6.2. Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Peringkat Batubara Seam T120
Untuk mengetahui pengaruh struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan
terhadap peringkat batubara pada daerah telitian, pengujian sampel dilakukan pada seam
kunci T120 yang dapat diidentifikasi secara jelas di lapangan. Sampel batubara yang
diambil pada tiga titik berbeda dari seam T120, yaitu pada LP 105, LP 6 dan LP 26. LP
105 merupakan titik pengamatan dan pengambilan sampel petrografi batubara seam
T120 pada zona sesar mendatar Tutupan, LP 6 merupakan titik pengamatan dan
pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 di bagian timut laut dari zona sesar
LP 105 dengan jarak +450 meter dari zona sesar dan LP 26 merupakan titik pengamatan
dan pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 di bagian barat daya dari zona
87
sesar LP 105 dengan jarak +500 meter dari zona sesar (lampiran 4). Dari hasil analisis
petrografi berupa analisis maseral (lampiran 8) serta analisis reflektan vitrinit (Tabel 6.4)
terhadap 3 sampel batubara seam T120 adalah sebagai berikut :
Tabel. 6.5. Hasil analisis reflektan vitrinit dan penentuan coal rank (ASTM,1986),
seam T120 pada daerah telitian
Nomor Sampel Rv min
(%)
Rv max
(%)
Rv rata-rata
(%)
Coal Rank
(ASTM, 1986)
AH-1
(LP 106)
Zona sesar
0,46 0,52 0,49 HIGH VOLATILE
BITUMINOUS C
AH-2
(LP 6)
Timur laut
0,44 0,48 0,46 SUB-BITUMINOUS B
AH-3
(LP 26)
Barat daya
0,42 0,46 0,44 SUB-BITUMINOUS B
88
Tabel. 6.6. Klasifikasi coal rank T120 AH-1 LP 105
(ASTM,1983 modified from Meissner,1984)
0,49
Tabel. 6.7. Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6
(ASTM,1983 modified from Meissner,1984)
89
Tabel. 6.8. Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6
(ASTM,1983 modified from Meissner,1984)
Cook (1982) dalam Basuki Rahmad dan Ediyanto (2008), menjelaskan bahwa
tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase
metamorfosa tingkat rendah. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat
rendah dari pada mineral anorganik. Pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu
lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya. Jadi tahap
pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut menjadi batubara
yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit, sub-bituminous,
bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan temperatur yang
berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu.
Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya perbedaan peringkat batubara (coal
rank) pada seam T120. Dimana terlihat perbedaan peringkat batubara pada LP 105 yang
terletak pada zona sesar. Hal ini membuktikan adanya pengaruh kenaikan tekanan dan
temperatur yang diakibatkan oleh proses pensesaran yaitu sesar mendatar Tutupan yang
turut meningkatkan pematangan bahan organik yang diikuti oleh peningkatan nilai
reflektan vitrinit sehingga terjadi pula peningkatan peringkat batubabara (coal rank).
90
BAB VII
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Morfologi daerah telitian yang mengacu pada klasifikasi Verstappen (1985), Budi
Brahmantyo dan Bandono (1992), serta klasifikasi kelerengan menurut Van Zuidam
dan Cancelado (1979), maka dapat dikelompokkan menjadi 2 bentukan asal, yaitu :
bentuk asal struktural dengan betuk lahan perbukitan homoklin berlereng miring
(S1) dan perbukitan homoklin berlereng landai (S2), bentuk asal aspek manusia
(human aspect) dengan bentuk lahan kolam penampungan air/sump hasil
penambangan (H1), lereng curam high wall hasil penambangan (H2), lereng curam
low wall hasil penambangan (H3), lereng curam end wall hasil penambangan (H4)
dan dataran berlereng landai-miring hasil penambangan (H5).
2. Stratigrafi daerah telitian dibagi menjadi 3 satuan batuan tidak resmi dari tua ke
muda, yaitu Satuan batupasir kuarsa Warukin yang terdiri dari litologi batupasir
kuarsa dengan sisipan batulanau, batulempung, batulempung karbonan, seam
batubara major yang mencapai tebal 28 m dengan lingkungan pengendapan Upper
Delta Plain (Horne, 1978), Satuan batulempung Warukin yang terdiri dari litologi
batulempung dengan sisipan batupasir kuarsa, batulempung karbonan, sedikit seam
batubara yang mencapai tebal 50 cm – 10 m dengan lingkungan pengendapan
Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978) dan Satuan endapan alluvial yang
terdiri dari material-material lepas yang belum terkompaksi hasil rombakan dari
batuan yang lebih tua yang dikontrol oleh media air yang masih berlangsung proses
sedimentasi hingga sekarang yang terendapkan pada lingkungan darat (fluviatil).
3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah kekar(cleat) dengan
arah umun relative barat laut-tenggara, struktur homoklin dengan kemiringan lapisan
(dip direction) ke arah tenggara dengan kisaran dip rata-rata 250 - 50
0, struktur sesar
mendatar kanan Tutupan berarah WNW-ESE dengan gabungan klasifikasi sesar
91
translasi (Rickard, 1972) dan sesar rotasional bernama Rotasional Thrust Right Slip
Fault dan sesar naik Hill 11(Right Reverse Separation Fault) dengan struktur
penyerta berupa drag fold.
4. Struktur sesar mendatar Tutupan berpengaruh terhadap perubahan peringkat
batubara umumnya pada daerah telitian dan khususnya pada seam batubara T120.
Hal ini disebabkan karena sesar ini meningkatkan tekanan dan temperatur sehingga
turut meningkatkan pematangan material organik yang lebih peka terhadap
metamorfosa tingkat rendah, serta diikuti oleh peningkatan nilai reflektan vitrinit
sehingga terjadi pula peningkatan peringkat batubabara (coal rank).
xii
DAFTAR PUSTAKA
Anarta, R, Perkembangan Metode Petrografi Batubara, Universitas Negeri Padang,
ISSN: 0854-8986.
Asminco Exploration dan Mining, 1996, Adaro Resources Report, PT.Adaro Indonesia.
Bemmelen, R. W, 1970, The Geology of Indonesia, vol. IA. Gov. Printing Office, The
Hegue.
Brahmantyo, B dan Bandono, 2006, Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk
Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan
Ruang, Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 2, hal. 071 – 078
Daranin, E, Tesis, 1995, Studi Petrografi Batubara Untuk Penentuan Peringkat Dan
Lingkungan Pengendapan Batubara di Daerah Bukit Kendi, Muara Enim,
Sumatera Selatan, Program Studi Rekayasa Pertambangan, ITB, Bandung.
Ediyanto dan Rahmad, B. 2008. Stuktur Geologi Dan Model Sedimentasi Batubara
Terhadap Geometri Batubara, Diktat Pelajaran Pelatihan Umum Bahan Galian
Batubara, hal.:17-31
Heryanto, R, 2009, Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi
Tanjung di daerah Binuang dan sekitarnya, Kalimantan Selatan, Jurnal Geologi
Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 239-252.
Heryanto, R dan Sikumbang, N, 1994, Peta Geologi Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Endapan batubara Kalimantan Timur dan Selatan, Sub
direktorat Explorasi Direktorat Geologi, Lap No. 2130.
Heryanto, R dan Suyoko, 2010, Karakteristik Batubara di Cekungan Bengkulu, (online,
http://iagibengkulu.blogspot.com/2010/11/karakteristik-batubara-dicekungan
27.html , diakses tanggal 7 Agustus 2011)
Horne, Ferm, JC, Caruccio, FT, dan Baganz, BP, 1978, Depositional Models in Coal
Exploration and Planning in Appalachian Region, AAPG Buletin 62:2379-
2411, Depertement of Geology, University of South Carolina, America.
xiii
Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, Bandung.
Kuncoro, Prasongko, Bambang, 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang
Eksplorasi Dan Perencanaan Tambang, Program Studi Rekayasa Pertambangan,
ITB, Bandung.
Kusnama, 2008, Batubara Formasi Warukin di daerah Sampit dan sekitarnya,
Kalimantan Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22.
Marston, 1996, Kolom Stratigrafi Cekungan Barito, Dalam Adaro Source Repot,
Kalimantan.
Rahmad, B, 2008, Petrologi Batubara, Bahan Kuliah Geologi Batubara Jurusan Teknik
Geologi UPN “V” Yogyakarta.
Rodhi, A dan Raharjo, S, 2007, Kontrol Struktur Geologi Terhadap Penyebaran Lapisan
Batubara di Daerah Binungan Blok 1-4 Berau, Kalimantan Timur, Jurnal Ilmiah
MTG.
Rodhi, A dan Rahmad, B, 2008, Struktur Geologi dan Sedimentasi Batubara Formasi
Berau, Jurnal Ilmiah MTG, Vol.1 No. 3, November 2008.
Satyana dan Silitonga, 1994, Tectonic Reversal in East Barito Basin, South Kallmantan :
Consideration of the Types of Inversion Structures and Petroleum System
Significance, Proceedings Indonesian Petroleum Association 23rd
Annual
Convention, IPA94-1.1-027.
Van Zuidam, R.A dan Cancelado, 1979, Terrain Analysis And Classification Using
Aerial Photographs, ITC 350, Boulevard 1945, 7511 AL Enchede, The
Netherlands.
Verstappen, H, 1983, Applied geomorphology: Geomorphological surveys for
environmental development, Amsterdam
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan
Lampiran 2. Peta Geomorfologi
Lampiran 3. Peta Geologi
Lampiran 4. Peta Struktur dan Peringkat Batubara Seam T120
Lampiran 5. Penampang Stratigrafi Terukur End Wall Timur Laut
Lampiran 6. Penampang Stratigrafi Terukur End Wall Barat Daya
Lampiran 7. Analisis Petrografi Batupasir Kuarsa
Lampiran 8. Analisis Petrografi Batubara
1
ii
iii
iv
v
LAMPIRAN 7
6
Nomor sayatan : 1/4J (LP 101)
Perbesaran : 30 x
Nikol bersilang
Nikol sejajar
0 1 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu
kecoklatan, tekstur klastik, butiran terdiri
dari mineral kwarsa, feldspar, siderit, dan
mineral opak, ukuran butir 0,05-0,2mm,
bentuk butir menyudut tanggung-membulat
tanggung.
KOMPOSISI MINERAL:
Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief
rendah, sudut pemedaman
bergelombang, mineral
berukuran 0,1–0,2mm hadir
merata dalam sayatan
Feldspar (1%), putih, relief rendah,
berukuran 0,05–0,15mm,
bentuk menyudut tanggung,
berupa mineral plagioklas
Siderite (1%), coklat kekuningan-
kemerahan, bias rangkap kuat,
ukuran 0,05-0,15 mm.
Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief
tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm,
berupa pecahan karbon
Penamaan Petrografis:
Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,
1972)
Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)
Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide
Gilbert, 1982)
Feldspar
Min opak
Siderit
Kuarsa
LAMPIRAN 7
7
Nomor sayatan: 2/AJ/Qz ss (LP 77)
Perbesaran : 30 x
Nikol bersilang
Nikol sejajar
0 1 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu,
tekstur klastik, butiran terdiri dari mineral
kwarsa, feldspar, dan mineral opak, ukuran
butir 0,05-0,3mm, bentuk butir menyudut
tanggung-membulat tanggung.
KOMPOSISI MINERAL:
Kwarsa (97%), tidak berwarna, relief
rendah, sudut pemedaman
bergelombang, mineral
berukuran 0,2–0,3mm hadir
merata dalam sayatan
Feldspar (1%), putih, relief rendah,
berukuran 0,1–0,2mm, bentuk
menyudut tanggung, berupa
mineral plagioklas
Mineral opak (2%), hitam, isotrop, relief
tinggi, ukuran 0,05-0,2 mm,
berupa pecahan karbon
Penamaan Petrografis:
Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,
1972)
Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)
Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide
Gilbert, 1982)
Feldspar
Min opak
Kuarsa
LAMPIRAN 7
8
Nomor sayatan: 3/AJ T120 (LP 28)
Perbesaran : 30 x
Nikol bersilang
Nikol sejajar
0 1 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu
kecoklatan, tekstur klastik, butiran terdiri
dari mineral kwarsa, feldspar, dan mineral
opak, ukuran butir 0,02-0,15mm, bentuk
butir menyudut tanggung-membulat
tanggung.
KOMPOSISI MINERAL:
Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief
rendah, sudut pemedaman
bergelombang, mineral
berukuran 0,1–0,15mm hadir
merata dalam sayatan
Feldspar (2%), putih, relief rendah,
berukuran 0,02–0,15mm,
bentuk menyudut tanggung,
berupa mineral plagioklas
Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief
tinggi, ukuran 0,02-0,15 mm,
berupa pecahan karbon dan
cerat karbon
Penamaan Petrografis:
Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,
1972)
Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)
Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide
Gilbert, 1982)
Feldspar
Min opak
Kuarsa
LAMPIRAN 7
9
Nomor sayatan: 4/AJ EW TL (LP 164)
Perbesaran : 30 x
Nikol bersilang
Nikol sejajar
0 1 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu,
tekstur klastik, kompisisi butiran terdiri dari
mineral kwarsa, feldspar, siderit, dan
mineral opak, ukuran butir 0,05-0,2mm,
bentuk butir menyudut tanggung-membulat
tanggung.
KOMPOSISI MINERAL:
Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief
rendah, sudut pemedaman
bergelombang, mineral
berukuran 0,1–0,2mm hadir
merata dalam sayatan
Feldspar (2%), putih, relief rendah,
berukuran 0,05–0,15mm,
bentuk menyudut tanggung,
berupa mineral plagioklas
Siderite (1%), coklat kekuningan-
kemerahan, bias rangkap kuat,
ukuran 0,05-0,15 mm.
Mineral opak (2%), hitam, isotrop, relief
tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm,
berupa pecahan karbon
Penamaan Petrografis:
Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,
1972)
Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)
Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide
Gilbert, 1982)
Feldspar
Min opak
Siderit
Kuarsa
LAMPIRAN 7
10
Nomor sayatan: 5/A (LP 175)
Perbesaran : 30 x
Nikol bersilang
Nikol sejajar
0 1 mm
PEMERIAN PETROGRAFIS:
Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu,
tekstur klastik, kompisisi butiran terdiri dari
mineral kwarsa, feldspar, dan mineral opak,
ukuran butir 0,05-0,15mm, bentuk butir
menyudut tanggung-membulat tanggung.
KOMPOSISI MINERAL:
Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief
rendah, sudut pemedaman
bergelombang, mineral
berukuran 0,05–0,15mm hadir
merata dalam sayatan
Feldspar (2%), putih, relief rendah,
berukuran 0,05–0,15mm,
bentuk menyudut tanggung,
berupa mineral plagioklas
Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief
tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm,
berupa pecahan karbon dan
cerat karbon.
Penamaan Petrografis:
Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn,
1972)
Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982)
Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide
Gilbert, 1982)
Feldspar
Min opak
Kuarsa
LAMPIRAN 8
11
MACERAL ANALYSIS Sample mark : AH-1 (LP 106) Sample number : 3716/2011
Point Counting : 500 Interval (x) : 2 Magnification : 500x Interval (y) : 2
Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)
MACERAL ANALYSIS
MACERAL GROUP
% VOL
VOL mfb
SUB MACERAL MACERAL %
VOL VOL (mfb)
VITRINITE (HUMINITE)
65.6
Telovitrinite (Humotelinite)
12.0
Textinite -
Texto-ulminite -
E-ulminite -
Telocollinite 12.0
Detrovitrinite (Humodetrinite)
47.2
Attrinite -
Densinite 0.8
Desmocollinite 46.4
Gelovitrinite (Humocolinite)
6.4
Corpogelinite 6.4
Porigelinite -
Eugelinite -
LIPTINITE (EXINITE)
7.8
Sporinite -
Cutinite 0.4
Resinite 1.6
Liptodetrinite -
Alginite -
Suberinite 5.8
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
INERTINITE 25.4
Telo-inertinite
Fusinite 6.4
Semifusinite 7.6
Sclerotinite 5.0
Detro-inertinite Inertodetrinite 6.4
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
MINERALS MATTER
1.2
Oksida -
Pyrite 1.2
Clay -
TOTAL 100
LAMPIRAN 8
12
VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS
Sample mark : AH-1 (LP 106)
Sample number : 3716/2011
Standard Deviation (%) : 0.03
Maximum Reflectance (%) : 0.52
Minimum Reflectance (%) : 0.46
Mean Reflectance (%) : 0.49
Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)
LAMPIRAN 8
13
Figure 1. Suberinite, fine pyrite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3716
Figure 2. As for Figure 1 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3716
Suberinite
Detrovitrinite
Detrovitrinite
Suberinite
Pyrite
LAMPIRAN 8
14
Figure 3. Pyrite, resinite, suberinite and fusinite associated detrovitrinite in coal,
reflectant white light, 500x. Sample 3716
Figure 4. As for Figure 3 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3716
Resinite
Pyrite
Detrovitrinite
Detrovitrinite
Resinite
Fusinite
Suberinite
Suberinite
LAMPIRAN 8
15
Figure 5. Pyrite and fusinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant
white ligth, 500x. Sample 3716
Figure 6. Sclerotinite and inertodetrinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3716
Detrovitrinite
Fusinite
Sclerotinite
Detrovitrinite
Pyrite
Inertodetrinite
LAMPIRAN 8
16
MACERAL ANALYSIS Sample mark : AH-2 (LP 6) Sample number : 3717/2011
Point Counting : 500 Interval (x) : 2 Magnification : 500x Interval (y) : 2
Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)
MACERAL ANALYSIS
MACERAL GROUP
% VOL
VOL mfb
SUB MACERAL MACERAL %
VOL VOL (mfb)
VITRINITE (HUMINITE)
73.6
Telovitrinite (Humotelinite)
12.8
Textinite -
Texto-ulminite -
E-ulminite -
Telocollinite 12.8
Detrovitrinite (Humodetrinite)
54.4
Attrinite -
Densinite 0.4
Desmocollinite 54.0
Gelovitrinite (Humocolinite)
6.4
Corpogelinite 6.4
Porigelinite -
Eugelinite -
LIPTINITE (EXINITE)
8.8
Sporinite 0.2
Cutinite 0.4
Resinite 2.8
Liptodetrinite -
Alginite -
Suberinite 5.4
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
INERTINITE 11.6
Telo-inertinite
Fusinite 1.2
Semifusinite 2.0
Sclerotinite 5.4
Detro-inertinite Inertodetrinite 3.0
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
MINERALS MATTER
6.0
Oksida -
Pyrite 2.8
Clay 3.2
TOTAL 100
LAMPIRAN 8
17
VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS
Sample mark : AH-2 (LP 6)
Sample number : 3717/2011
Standard Deviation (%) : 0.02
Maximum Reflectance (%) : 0.48
Minimum Reflectance (%) : 0.44
Mean Reflectance (%) : 0.46
Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)
LAMPIRAN 8
18
Figure 7. Pyrite and fusinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white
light, 500x. Sample 3717
Figure 8. Sclerotinite and pyrite associated with detrovitrinite in coal, reflectant
white light, 500x. Sample 3717
Fusinite
Pyrite
Sclerotinite
Detrovitrinite
Detrovitrinite
Pyrite
LAMPIRAN 8
19
Figure 9. Pyrite, alginate and resinite associated detrovitrinite in coal, reflectant
white light, 500x. Sample 3717
Figure 10. As for Figure 9 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3717
Cutinite
Detrovitrinite
Detrovitrinite
Pyrite
Alginite
Resinite
Alginite
Resinite
LAMPIRAN 8
20
Figure 11. Pyrite amd suberinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant
white ligth, 500x. Sample 3717
Figure 12. As for Figure 11 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3717
Detrovitrinite
Detrovitrinite Pyrite
Suberinite
Suberinite
LAMPIRAN 8
21
MACERAL ANALYSIS Sample mark : AH-3 (LP 26) Sample number : 3718/2011
Point Counting : 500 Interval (x) : 2 Magnification : 500x Interval (y) : 2
Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)
MACERAL ANALYSIS
MACERAL GROUP
% VOL
VOL mfb
SUB MACERAL MACERAL %
VOL VOL (mfb)
VITRINITE (HUMINITE)
82.8
Telovitrinite (Humotelinite)
7.2
Textinite -
Texto-ulminite -
E-ulminite -
Telocollinite 7.2
Detrovitrinite (Humodetrinite)
63.6
Attrinite -
Densinite 7.6
Desmocollinite 56.0
Gelovitrinite (Humocolinite)
12.0
Corpogelinite 12.0
Porigelinite -
Eugelinite -
LIPTINITE (EXINITE)
7.6
Sporinite 0.8
Cutinite 0.4
Resinite 1.4
Liptodetrinite -
Alginite 0.6
Suberinite 4.4
Fluorinite -
Exsudatinite -
Bituminite -
INERTINITE 7.8
Telo-inertinite
Fusinite -
Semifusinite 0.2
Sclerotinite 4.8
Detro-inertinite Inertodetrinite 2.8
Micrinite -
Gelo-inertinite Macrinite -
MINERALS MATTER
1.8
Oksida -
Pyrite 1.2
Clay 0.6
TOTAL 100
LAMPIRAN 8
22
VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS
Sample mark : AH-3 (LP 26)
Sample number : 3718/2011
Standard Deviation (%) : 0.03
Maximum Reflectance (%) : 0.46
Minimum Reflectance (%) : 0.42
Mean Reflectance (%) : 0.44
Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)
LAMPIRAN 8
23
Figure 13. Pyrite and sclerotinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718
F Ffigure 14. Sclerotinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718
Detrovitrinite
Sclerotinite
Sclerotinite
Detrovitrinite
Pyrite
LAMPIRAN 8
24
Figure 15. Pyrite and resinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718
Figure 16. As for Figure 15 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3718
Alginite
Detrovitrinite
Pyrite
Detrovitrinite
Alginite
LAMPIRAN 8
25
Figure 17. Pyrite and alginate associated with detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3718
Figure 18. As for Figure 17 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3718
Detrovitrinite
Alginte
Detrovitrinite
Alginite
Pyrite