sken1 dmf2

10
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma merupakan luka atau cidera pada suatu jaringan. Trauma ini dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan keras maupun jaringan lunak. Trauma pada maksilofasial merupakan suatu trauma fisik yang dapat megenai jaringan keras ataupun jaringan lunak. Trauma pada maksilofasial ini berhubungan degan cidera yang terjadi pada wajah / rahang oleh karena kekuatan fisik, benda asing, maupun luka. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan keras (tulang). Pada umumnya, fraktur pada daerah maksilofasial umumnya terjadi bersamaan dengan trauma yang terjadi pada bagian tubuh lain. Fraktur pada maksilofasial juga tergantung pada tipe injuri, arah, dan besarnya kekuatan yang mengenainya. Etiologi fraktur maksilofasial ini terbagi menjadi dua, yakni : 1. Predisposing Causes a. Penyakit tulang yang umum seperti rieketsia, osteomalasia, fragilitas osium dan osteitis fibrosa 1

Upload: silvia-dona

Post on 09-Aug-2015

52 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: sken1 DMF2

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma merupakan luka atau cidera pada suatu jaringan. Trauma ini dapat

menyebabkan kerusakan pada jaringan keras maupun jaringan lunak. Trauma

pada maksilofasial merupakan suatu trauma fisik yang dapat megenai jaringan

keras ataupun jaringan lunak. Trauma pada maksilofasial ini berhubungan degan

cidera yang terjadi pada wajah / rahang oleh karena kekuatan fisik, benda asing,

maupun luka.

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan keras (tulang). Pada

umumnya, fraktur pada daerah maksilofasial umumnya terjadi bersamaan dengan

trauma yang terjadi pada bagian tubuh lain. Fraktur pada maksilofasial juga

tergantung pada tipe injuri, arah, dan besarnya kekuatan yang mengenainya.

Etiologi fraktur maksilofasial ini terbagi menjadi dua, yakni :

1. Predisposing Causes

a. Penyakit tulang yang umum seperti rieketsia, osteomalasia,

fragilitas osium dan osteitis fibrosa

b. Penyakit lokal pada tulang seperti tumor (karsinoma da sarkoma),

kista dan osteomielitis

2. Exciting Causes

a. Direct (langsung) : fraktur yang terjadi pada daerah yang terkena

trauma

b. Indirect (tidak langsung) : fraktur yang terjadi pada daerah yang

jauh dari trauma. Biasanya fraktur ini disebabkan oleh kontraksi

otot-otot.

Pada laporan tutorial skenario 6 kali ini, kami akan membahas klasifikasi,

gejala klinis, serta pengekakan diagnose dari fraktur dan trauma maksilofasial.

Oleh sebab itu dalam laporan ini, materi-materi tersebut kami bahas sesuai dengan

hasil diskusi yang telah kami laksanakan.

1

Page 2: sken1 DMF2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja etiologi maloklusi?

2. Apa saja klasifikasi maloklusi?

3. Apa saja akibat maloklusi?

4. Bagaimana cara pemeriksaan maloklusi?

1.3 Tujuan

1. Mampu menjelaskan etiologi maloklusi.

2. Mampu menjelaskan klasifikasi maloklusi.

3. Mampu menjelaskan akibat maloklusi.

4. Mampu menjelaskan bagaimana cara pemeriksaan maloklusi.

2

Page 3: sken1 DMF2

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Etiologi maloklusi

Etiologi pada maloklusi ini terbagi menjadi 2, yakni:

a. Faktor umum, meliputi : herediter, kelainan congenital, tumbuh-

kembang yang salah saat prenatal dan postnatal, malnutrisi, bad habbit

(menghisap jari, menghisap bibir, menekan lidah kedepan), sikap

tubuh, trauma (pada prenatal terjadi hipoplasia mandibula dan asimetri

wajah, sedangkan pada postnatal terjadinya fraktur rahang atau fraktur

gigi mengakibatkan terjadinya maloklusi), kelenjar endokrin tidak

seimbang, gangguan metabolis, penyakit-penyakit infeksi, dan lain

sebagainya.

b. Faktor lokal, meliputi : anomali jumlah gigi (dens supernumerary dan

anodontia), anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii

yang abnormal, penanggalan gigi yang cepat (hal ini akan

mempengaruhi pertumbuhan gigi permanen)

2.2 Klasifikasi maloklusi

Menurut Angle, pengklasifikasian dari maloklusi terbagi menjadi tiga

kelas, yakni :

a. Kelas I, atau biasa disebut netroklusi.

Overjet = 3mm, biasanya pada gigi anterior crowded dan rotasi.

Pada kelas satu ini, profil muka penderita adalah mesognatik

b. Kelas II, atau biasadisebut distoklusi

Pada kelas dua ini, bukal groove dari M1 rahang bawah lebih ke

distal daripada cusp mesiobukal M1 rahang atas

Pada kelas dua ini, profil muka penderita adalah retrognatik

Menurut Angle, kelas 2 dibagi menjadi 2 divisi, yakni :

- Kelas II divisi 1 gigi I sentral dan I lateral atas proklinasi ke

arah labial sehingga overjet insisial menjadi besar.

3

Page 4: sken1 DMF2

- Kelas II divisi 2 gigi I sentral atas proklinasi ke labial, dan

gigi I lateral atas bisa proklinasi/retroklinasi ke arah lingual.

c. Kelas III

Pada kelas tiga ini bukal groove m1 rahang bawah lebih ke mesial

daripada cusp mesiobukal M1 rahang atas.

Profil muka pada kelas tiga ini adalah prognatik

Menurut Angle, maloklusi kelas 3 ini dibagi menjadi 3 tipe, yakni :

- Tipe I : hubungan M1 rahang atas dan rahang bawah

mesioklusi sedang gigi anterior insisal dengan insisal.

- Tipe II : hubugan M1 rahang atas dan rahang bawah mesioklusi

sedang gigi anterior normal.

- Tipe III : hubungan anterior seluruhnya menyilang (crossbite)

sehingga dagu penderita menonjol ke depan.

>> Pada scenario ini penderitae mengalami Maloklusi Kelas II divisi I.

2.3 Akibat maloklusi

Berbagai akibat dapat ditimbulkan karena maloklusi. Antara lain :

a. Gangguan pada pengunyahan, contohnya:

Tidak nyaman saat mengunyah

Nyeri pada TMJ

Nyeri pada kepala dan leher

b. Kesulitan pada pembersihan, sehingga Oral Hygiene meurun

c. Mempengaruhi kejelasan bicara seseorang.

Pada penderita distoklusi (maloklusi kelas 2), terjadi hambatan

pengucapan huruf p dan b

Pada penderita mesioklusi (maloklusi kelas 3), terjadi hambatan

pengucapan huruf s,z,t dan n.

d. Mempengaruhi estetis dari penampilan seseorang

2.4 Cara pemeriksaan maloklusi

Pemeriksaan maloklusi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :

4

Page 5: sken1 DMF2

a. Record Orthodonti

Study model, detail seluruh gigi yang telah tumbuh dan proc.

alveolaris sebanyak mungkin.

Radiografi, pada diagnose orthodonti memastikan adanya gigi yang

tidak erupsi dan memonitor keadaan seluruh gigi.

b. Pemeriksaan Klinis

c. Pemeriksaan profil wajah

BAB 3. PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Fraktur maksilofasial terbagi menjadi 3, yakni: fraktur dentoalveolar,

fraktur maksila dan fraktur mandibula. Pada fraktur dentoalveolar,

diklasifikasikan menjadi 4, yakni : berdasarkan fraktur mahkota, berdasarkan

fraktur yang megenai jaringan keras gigi, berdasarkan cidera ligament periodontal

dan berdasarkan cidera tulang alveolar. Pada fraktur maksila, diklasifikasikan

menjadi 3, yakni : Lee Fort I, Lee Fort II dan Lee Fort III. Sedangkan pada fraktur

mandibula, diklasifikasikan menjadi bermacam-macam, antara lain : berdasarkan

lokasi anatomisnya, berdasarkan Fonseca dan Walker (1991), berdasarkan ada /

5

Page 6: sken1 DMF2

tidaknya gigi pada kiri dan kanan garis fraktur, berdasarkan arah fraktur,

berdasarkan kemudahan untuk di reposisi dan berdasarkan berat derajat fraktur.

Pada penegakkan diagnose, dapat dilakukan 3 hal, antara lain anamnesa,

pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa dilakukan untuk

mengetahui riwayat / mekanisme yang terjadi sebelum injury itu terjadi.

Anamnesa bisa dilakukan langsung kepada penderita yang mengalami injury atau

kepada saksi mata yang melihat riwayat sebelum terjadinya injury. Pemeriksaan

klinis dapat dilakukan secara ekstra oral (palpasi) maupun intra oral (perkusi, tes

vitalitas, dll) sesuai dengan kebutuhan. Pemeriksaan penunjang pun juga harus

dilakukan untuk mengetahui apakah trauma yang dialami penderita megakibatkan

fraktur. Pemeriksaa penunjag dapat dilakukan dengan menggunakan sinar

roentgen ataupun CT scan.

6

Page 7: sken1 DMF2

DAFTAR PUSTAKA

Fonseca RJ et al. Oral and Maxillofacial Infection. 2rd ed. WB Saunders Co.

Philadelphia Pennysylvania. 1997

Andi, S.B. 2011. Trauma oral dan maksilofasial. Jakara : EGC

Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta : EGC

Harty, F.J. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC

7