sikap negara dalam mewurodkan perlindungan hukum …

12
128 Hukum dan Pembangunan SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI W ARGANEGARA DAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERKA WINAN YANG BERLAKU *) Oleh : H. Mohammad Daud Ali Pendahulllan Sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi negara mem berikan perlln- dungan hukum bagi setiap warga- negaranya sesuai cita hukum dan kaidah fundamental negara. Berkaitan dengan sinyalemen beberapa pendapat mengenai perkawinan antar agama, menurul pan- dangan penulis, sebenarnya perkawinan anlara orang-orang yang berbeda agama, dan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurul agama yang diakui keberadaannya dalam negara Republik Indonesia. Sebelum membicarakan kedua hal yang tersebut dalam bahasan ini, mungkin ada baiknya kalau dikedepankan dahulu, sebagai latar belakang ten tang (1 )Pancasila sebagai cita hukum dan (2) Pancasila sebagai kaidah fundamental negara Republik Indonesia. 1. Pancasila Sebagai Cita Hllkllm Ketika Negara Republik Indonesia ini lahir tanggal 17 Agustus 1955, rakyat Indonesia, melalui para pemimpinnya, sepakat sebagai warganegara menjadikan Pancasila sebagai cita hukum, asas dan norma tertinggi negara. *) Dis.1.mpaikan pada Seminar Nasional Perkawinan Anlar Agama di UDiversitas Islam Indonesia. Yogyakarla,4 Mare11992.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

128 Hukum dan Pembangunan

SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI W ARGANEGARA DAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERKA WINAN YANG BERLAKU *)

Oleh : H. Mohammad Daud Ali

Pendahulllan

Sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi negara mem berikan perlln­dungan hukum bagi setiap warga­negaranya sesuai cita hukum dan kaidah fundamental negara. Berkaitan dengan sinyalemen beberapa pendapat mengenai perkawinan antar agama, menurul pan­dangan penulis, sebenarnya perkawinan anlara orang-orang yang berbeda agama, dan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurul agama yang diakui keberadaannya dalam negara Republik Indonesia.

Sebelum membicarakan kedua hal yang tersebut dalam bahasan ini, mungkin ada baiknya kalau dikedepankan dahulu, sebagai latar belakang ten tang (1 )Pancasila sebagai cita hukum dan (2) Pancasila sebagai kaidah fundamental negara Republik Indonesia.

1. Pancasila Sebagai Cita Hllkllm

Ketika Negara Republik Indonesia ini lahir tanggal 17 Agustus 1955, rakyat Indonesia, melalui para pemimpinnya, sepakat sebagai warganegara menjadikan Pancasila sebagai cita hukum, asas dan norma tertinggi negara.

*) Dis.1.mpaikan pada Seminar Nasional Perkawinan Anlar Agama di UDiversitas Islam Indonesia.

Yogyakarla,4 Mare11992.

Page 2: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

SiJwp 129

Cita Hukum adalah konstruksi pileir yanng merupakan satu keharusan untuk mengarahkan hukum di suatu negara kepada cita- cita hukum masyarakat dinegara yang bersangkutan. Oleh karen a itu, cita bukum itu berfungsi sebagai bintang pemandu, mengandung dua sisi. Sisi pertama adalah, dengan cita hukum itu dapat diuji apakah hukum yang berlaku sesuai dengan cita bukum tersebut, dan kedua dengan cita hukum itu dapat diarahkan hukum positif sebagai usaha yang memaksa menuju sesuatu yang adil. Oleh karena itu pula, dalam hubungan pembicaraan ini, keadilan itu adalah tindakan atau usaha mengarahkan hukum yang berlaku dalam satu negara pada suatu masaa kepada cita hukum yang dimaksud.

Ini berarti pula bahwa bukum yang adil ialah hukum positif yang mempunyai sifat yang diarahkan oleh cita hukum itu untuk menc.1pai cita-cita masyarakat. Dengan demikian, cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang regulatif sifatnya, yaitu menguji apakah suatu hukum yang berlaku disuatu negara pada suatu masa itu adil atau tidak, tetapi sekaligus pula berfungsi sebagai dasar konstitutif, dasar pembangunan hukum di suatu negara.

2. Pancasila Sebagai Kaidab Fundamental Negara Selain sebagai cita hUkum, Pancasila juga adalah kaidah fundamental

negara. Oleh karena itu sila-sila dalam Pancasila, baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan, merupakan norma dasar atau norma yang tertinggi bagi .berlakunya semua norma­norma hukum yang berlaku dalam kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Kaidah fundamental yang merupakan norma dasar itu dirumuskan dengan jelas dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan!Perwaleilan, (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itu

adalah Pancasila yang berwujud dalam hukum yang dijabarkan lebih lanjut dalam Batang Tubuh UUD 1945.

Dibawah Bab Agama, dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, semasa hayatnya Gurubesar Hukum lsalam

April 1992

Page 3: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

130 Hllkllm dan Pembangunan

dan Hukum Adat Universitas Indonesia, norma dasar atau kaidah

fundamental yang tersehul dalam pasal 29 ayal 1 ilu tafsi rannya hanya

mungkin (an lara lain) adalah: 1) Oalam Negara Republik Indonesia tidak boleh lerjadi atau herlaku

sesualu yang herlenlangan dengan kaidah-kaidah Islam hagi ummal Islam, alau herlenlangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani hagi umat Nasrani, atau yang hertentangan dengan kaidah-kaidah agama

Hindu Bali hagi penganul agama Hindu Bali atau yang herlentangan

dengan kesusilaan agama Budha hagi orang-orang agama Budha. Artinya adalah di dalam Negara Repuhlik Indonesia ini lidak holeh

herlaku alau diherlakukan dan atau diciptakan hukum yang

herlenlangan dengan norma- norma hukum agama dan norma

kesusilaan hangsa Indonesia, yang herasal dari alau herdasarkan kaidah fundamenlal Keluhanan Yang Maha Esa ilu.

2) Negara Repuhlik Indonesia wajib menjalankan hukum Islam hagi

orang Islam, hukum Nasrani hagi orang Nasrani dan Hukum Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan hukum (masing-masing) agama lersehul memerlukan peranlaraan kekuasaan Negara. Makna dari lafsiran kedua ini adalah, Negara Republik Indonesia wajib

menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas dann kondisi yang

kondusif, agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sebaik-baiknya sepanjang

pelaksanaan hukum agama ilu memerlukan banluan alaI kekuasaan alau penyelengaraan negara.

Arlinya, penyelenggara negara berkewajihan menjalankan hukum

agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia unluk kepenlingan pemeluk agama yang bersangkulan. Hukum yang berasal dari agama Islam, misalnya, lidak banya memual hukum lentang Shalal, Zakal,

Puasa, Haji lela pi juga mengandung hukum dunia (muamalal) yag mengalur hubungan manusia-manusia dan masyarakal dan benda,

seperti, hukum perkawinan, kewarisan, wakaf. 3) hukum agama yang tidak memerlukan hanluan kekuasaaan negara

unluk melaksanakannya, karen a dapat dijalankana sendiri oleh

pemeluk agama bersangkulan, menjadi kewajihan priadi pemeluk agama ilu sendiri menjalankannya menuml tunlunan agama

masing-masing. Ini herarti hahwa huk'Um yang berasal dari sualu

Page 4: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

Sikap 131

agarna yang diakui di negara ini yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan, misalnya, hukum­hukum yang berkenaan dengan ihadah (murni), yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan manusia cjengan Tuhan Yang Maha Esa, biarlah pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan masing-masing agamanya. Kedudukan Pancasita Sebagai Hukum Dasar atau kaidah fundamental

negara seperti yang telah dikemukan diatas karena itu menentukan hentuk isi dan hukum yang lebih rendah. Artinya, didalam tata susunan didalam norma-norma hukum didalam negara Republik Indonesia ini tidak boleh ada kontrakdiksi atau pertentangan antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi.

Penentuan Pancasila sebagai hukum dasar itu merupakan jaminan akan adanya keserasian dan tak akan adanya kontradiksi antara Pancasila sebagai kaidah fundamental negara. Dengan norma-norma hukum yang lebih rendah di dalam semua peraturan perundang-undangan negara kita. Sebab, ketidak serasian atau perlentangan antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi akan menyebabkan ketidak konstitusionalan (unconstitutionality) dan ketidak legalan (illegality) norma tersebut. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam negara RI, melalui Pancasila baik sebagai cita hukum mal1pun sebagai kaedah fundamental negara yakni Ketuhanan Yang Maba Esa, terdapat hubungan yang erat antara agama dengan negara, antara hukum agama yang berasal atau berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan hukum yang dibuat oleh penyelenggara Negara atau alat perlengkapannya.

Sikap Negara Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Bagi Warga Negara.

Dalarn pembukaan UUD 1945, dengan jelas dinyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk itu, disusunlah, demikian dirumuskan lebih lanjut dalam pembukaan tersebut, kemerdekaan kehangsaan Indonesia dalam suatu UUD 1945, yang terhentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang heradil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatanm yang dipimpin oleh

Apri/1992

Page 5: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

132 Hukum dan Pembangunan

hikmat kehijaksanaan dalam permusyawaratan! perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Rumusan dalam pembukaan UUD 1945, dengan jelas menyatakan bahwa, negara melindungi segenap bangsa, semua warga negara, bahkan juga orang asing yang menjadi penduduk negara RI ini . Perlindungan itu dilakukan pemerintah, sebagai salah satu unsur negara, melalui hukum yang berlaku dan diberlakukan terhadap mereka.

Bagi warga negara RI untuk melindungi kepentinganya "membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan rahmat Tuhan Yang Maba Esa pula, setelab mendapat persetujuan DPR, presiden sebagai penyelenggara negara tertinggi mensahkan UU RI No. 1/1974 tentang Perkawinan.

Menurut Penjelasan umumnya, UU Perkawinan Nasional yang diundangkan tgl 2 lanuari 1974 itu menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. Ditegaskan lebih lanjut, bahwa UU perkawinan itu telab mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 yakni prinsip yang menyatakan bahwa "Segala warganegara bersamaan kedlldukan dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjllnjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecllalinya" (pasal 27 ayat 1), Negara berdasar at.1S asas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (pasal 29). Disamping itu, Undang-undang Perkawinan tersebut telah dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

Undang-undang Perkawinan ini, demikian penjelasan umum lebih lanjut, telah menampung unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaan orang yang bersangkutan , yakn i orang-orang yang tersangkut dalam perkawinan itu. Dinyatakan lebih lanjut, bahwa dalam Undang-undang Perkawinan itu telab ditentukan (pula) prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Page 6: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

Siknp 133

Menjelaskan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan yang berbunyi, • Perkawinan ialah ikatan lahir balin antara seorang pria dengan seorang wan ita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa·. Penjelasan pasal demi pasalnya menegaskan bahwa "Sebagai Negara yang herdasarkan Pancasila, dimana sila pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai huhungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga .bahagia rapat hubunganya dengan keturunan yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan (anak)) menjadi hak dan kewajihan orang tua. Mengenai Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi " Perkwainan adalah sah, apahila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu", penjelasan pasal demi pasalnya menyatakan dengan jelas hahwa dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Kedalam hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan itu sepanjang tidak hertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini".

Dari uraian tersehut diatas dapatJah disimpulkan hahwa sikap negara dalam mewujudkan perlindungan hukum mengenai perkawinan bagi warga negara harus sesuai dengan cita hukum bangsa dan keidah fundamental negara yang telah disebutkan diat.1S. Perlindungan terhadap warga negara dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku sekarang ini, telah ditentukan pula.

Misalnya, (1) perlindungan hukum yang diberikan kepada semua warga negara dalam kedudukannya sehagai orang tua atau wali untuk mencegah dilangsungkannnya perkawinan antara calon suami dan isteri yang masih dibawah umur karena belum masak jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, (ii) perlinduDgan hukum kepada isteri dan anak- aDak untuk memperoleh nafkah, pendidikan dan warisan, melalui pencatatan perkawinan, surat keterangan kelahiran, akte resmi pemikahan yang isinya dimuat dalam daftar pencatatan perkawinan, (iii) perlindungan

April 1992

Page 7: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

134 Hllkllm dan Pembangunan

terhadap isteri yang suaminya hendak kawin lagi, melalui putusan pengadilan setelah dipenuhi beberapa syarat tertentu, (iv) perlindungan hukum terhadap isteri dan anak-anak dengan mempersukar perceraian. Kalau perceraian harus terjadi lagi, pemutusan hubungan perkawinan itu haruslah berdasarkan alasasn-alasan tertentu dan dilakukan didepan pengadilan.

Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan

Undang-undang Perkawinan yang mulai berlaku secara aktif, sejak 1 Oktober 1975, mempunyai ciri khas kalau dibandingkan dengan hukum, undang-undang atau peraturan perkawninan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu yang menganggap perkawinan seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau hubungan perdata saja, lepas samasekali dari agama dan hukum agama. Undang-undang Perkawinan yang termaktub dalam UU No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya sangat erat hubungannya dengan agama, seperti telah diuraikan diatas.

Karena persepsi tentang hubungan negara dan agama, hukum agama dan hukum negara, belum mantapnya pemahamnan tentang Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kidah fundamental negara, dalam pelaksanaan Un dang-un dang Perkawinan, terdapat beberapa pendapat mengenai perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama.

Diantaranya adalah sehagai berikut : Pendapat (1) mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang

berbeda agama dapat saja dilangsungkkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia, dan kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya. Menurut pendapat ini, perkawinan yang demikian dapat memepergunakan S. 1898 no, 158 ten tang Perkawinan Campuran peninggalan Belanda dahulu sebagai laandasan dan mencatatkannya pada Kantor Catatan Sipil ditempat melangsungkan perkawinan itu.

Perhedaan agama, menurut pendapat ini, tidak boleh menjadi

penghalang diberlangsungkannya perkawinan. Pegawai Kantor Catatan Sipil tidak boleh menolak menc<1tat bahkan harus "mengawinkan" orang-orang yang berbeda agama yang sedang menyala api cintanya. Menurut mereka, soal perkawinan ada lah soal kehidupan dalam masyarakat di dunia ini, bukan masalah kehidupan diakhirat nanti.

Page 8: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

Sikap 135

Oleh karena itu, soal perkawinan orang-orang herheda agama, serahkan saja sepenuhnya kepada hukum hasil ciptaan manusia mengaturnya. Untuk menyokong pendiriannya, mereka mengutip pendapat seorang Guruhesar hukum Belanda Prof. W.L.G. Lemaire, Direktur Lemhaga Dokumentasi Hukum Seberang Lautan ( seperti; Indonesia masih menjadi bagian negeri Belanda .- penulis) Universitas Leiden yang mengat.1kan bahwa : "tugas hukum adalah mengatur tata tertih dalam kehidupan masayrakat, bukan mengatur kesejahteraau dau keselamatan dalam akhiran". Pandangan sekuler inilah yang terumus dalam pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan 1973 (dahulu), yang berbunyi : "Pembedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/ kepercayaan, dan turunan, tidak merupakan penghalang perkawlnan "., Yang ditolak oleh DPR dan dikeluarkan daTi undang-undang Perkawinan(1974) karena tidak sesuai deengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1956".

Dalam huhungan ini perlu dikemukakan bahwa (antara lain) karena masalah perkawinan an lara pria dengan wanita yang berbeda agama inilah pemhicaraan dalam DPR leita (1973) dabulu "panas" dan akhirnya mace!. Untuk mengatasi kemacetam itu. diadakan herhagai terobosan an tara lain dengan lohying membahas RUU Perkawinan terrmaksud didalam dan diluar DPR. Akhirnya yang sangat herarti mengatasi kemacetan pemhicaraan di DPR itu, adalah konsensus fraksi ABRI dengan Fraksi Persatuan Pemhangunan yang berbunyi sebagai .berikut: 1. Hukum Agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi ataupun

dirubah. 2. Sebagai konsekuensi daripada point 1, maka alal-alat pelaksanaannya

tidak akan dikurangi ataupun dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan UU No. 14 Tahun 1974 dijamin kelangsungannya.

3. Hal-hal yang bertentangan dengan Agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam UU ini dihilangkan (didrop).

4. Pasal 2 ayat (1) dari RUU ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut: Ayat (1)

Ayat (2)

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat demi ketertiban administrasi negara.

April 1992

Page 9: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

136 Hukum dan Pembangunan

5. Mengenai perceraian dan polygami perlu diusahakan adanya ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang­wenangan.

Konsensus inilah yang melapangkan jalan pembicaraan lebih lanjut mengenai materi RUU Perkawinan itu, yang akbirnya disetujui pula oleh fraksi-fraksi lain. Intinya, adalah, semua ketentuan dalam RUU tersebut yang bertentangan dengan hukum perkawinan Islam, termasuk pembenaran perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama yang menjadi pembicaraan ini, dihilangkan.

Pendapat (2) mengatakan bahwa UU No. 1 Tabun 1974, tldak mengatur perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Namun, menurut pendapat ini, perkawinan autar pasangan yang berbeda agama adalah suatu kenyataan. Dalam masyarakat majemuk, seperti di Indonesia, sulit untuk mencegah adanya orang-orang berbeda agama yang saling jatuh cinta dan ingin menjalin hubungan dalam bentuk keluarga. Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu dirumuskan ketentuan hukumnya. Daripada membiarkan kemaksiatan, demikian penganut pendapat ini berargumentasi lebih lanjut, lebih baik membenarkan atau mensahkan perkawinan orang-orang yang saling jatuh cinta ittu, meskipun keyakinan agama mereka anut berbeda.

. Dilihat dari sudut ket.1qwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi syarat pengangkatan seeorang menjadi penyelenggara negara dalam bnegara Pancasila yang salah-satu kaidah fundament.1lnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kita prihatin membaca, kalau benar, ucapan penyelenggara kita dimuat oleh surat-surat kabar itu. Sebab, malma taqwa yang berasal dad al quran itu adalah melaksanakan perintah Allab dan menjauhi larangan Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu. Tuhan Yang Maba Esa, melalui wahyunya, dengan tegas melarang perkawinan wan ita muslim dengan pria yang bcrbeda agama dengannya. Bagaimana mungkin, penyclenggara negara, tcrutama yang muslim, yang mempunyai kualifikasi

bertaqwa kepaJa Tuhan Yang Maha Wsa, menghalalkan apa yang dengan tegas diharamkan oleh Tuhan Yang Maha Esa ? Juga, bagaimana mung kin seorang hakim yang harus memperlimbangkan segala sesuatu dan memulus hal alau perkara "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" membenarkan apa yang tidak dibenarkan oleh Tuhan

Page 10: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

Sikap 137

Yang Maha Esa'!. Pendapal yang mengatakan perlu dirumuskan ketentuan perkawinan

anlar orang yang berbeda agar seperli disebutkan dialas, adaiah tidak benar, sebab dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku bagi ummat Islam Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahuu 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia tersebut diatas, pada pasal 40, dirumuskan dengan jelas larangan perkawinan antara dua oraang yang berbeda agama dengan kata-kala sebagai berikut:

" Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wan ita yang tidak beragama Isalam. Arlinya, seorang pria muslim di larang kawin dengan seorang wan ita yang tidak beragama ISLAM. Pada pasal 44, di Bab yang sama dijumpai pula rumusan sebagai berikut:" Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seoraang pria yang tidak beragama Islam". Rumusan dalam Kompilasi Hukum Islam ini dengan jelas mengalur

perkawinan anntara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama lain. Oleh karena ilU, seperti telah disebutkan diatas, sama sekali tidak benar pendapat yang mengalakan bahwa dalam perundang-tindangan perkawinan Indonesia, belum diatur perkawinana antara dua orang yang berbeda agama, khususnya anlara orang-orang yang beragama Islam yang merupakan warganegara terbanyak di RI ini, dengan orang yang beragama lain.

Pendapat (3) mengalakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama lidak kehendaki oleh pembentuk undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR RI.

Kehendak itu antara lain dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) mengenai sahnya perkawinan tersebut diatas, dan Pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan, dirumuskan bahwa "Perkawinan dilarang

ank1ra orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin". Artinya, Undang-undang Perkawinan melarang dilangsungkan atau disahkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam negara Republik Indoneesia. Larangan yang tercantum dalam Undang-undang Perkawinan ini selaras dengan larangan agama dan hukum masing-masing

April 1992

Page 11: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

138 Hllkllm dan Pembangunan

agama yang dikemukakan diatas. Oleh karena itu pula pembenaran dan pengesahan perkawinan orang-orang yang berbeda agama, selain dari bertentangan dengan agama atau bUkum agama. Sesungguhnya, bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi segenap warganegara dan penduduk Indonesia.

Penntup

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapatlab disimpulkan babwa : 1. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama, dengan berbagai

cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia . Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.

2. Perkawinan an tara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada dirinya. Oleh karen a tujuan perkawinan seperti tercantum dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan Indonesia adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang babagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dalam perkawinan orang- orang yang berbeda gam a tujuan perkawinan tersebut sukar terwujud;

3. Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanab air kita .

4. Sikap negara a(,1U penyelenggara negara dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi warganegara dalam pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang berlaku haruslah sesuai denga cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara.

Page 12: SIKAP NEGARA DALAM MEWUroDKAN PERLINDUNGAN HUKUM …

Silwp 139

KEPUSTAKAAN

Adlany, Nazry, H.A. dkk. AL-QVRAN Terjemahan Indonesia, Jakarta, GunungAgung,1988.

Ali, Mohammad. Daud, Hukum Islam dan Masalahnya, Catatan Kuliah Pasca Sarjana, VI, Jakarta 1990.

Attamimi, A. Hamid S. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelengaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, VI, Jakarta 1990.

Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman, "Sekitar Pembentukan Vndang-undang Perkawinan Beserta Peraturan Pelaksanaannya", Jakarta, 1974.

Hasibuan, H.D. Effendy.. Vndang-undang Perkawinan dan Masalah Perkawinan Antar Agama, tesis Magister Hukum Pasca Sarjana VI, Jakarta, 1991.

Koningsman., Josef. Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik, Flores Ende: Nusa Indah, 1989.

Meliala, Daya, S. Masalah Perkawinan Antar Agama dan Kepercayaan di Indonesia Dalam Perspektif .Hukum . Bandung, Graha Widya, Darma, 1988.

Tanditasik, Paul S. Pandangan Katolik mengenai Perkawinan Antar PemelukAgama Yang Berbeda. Memeograf, Jakart1, 15 Januari 1991.

VJrur, PridoJin. "Beberapa Catatan Pihak Kristen Mengenai Hasil Dialog KWI- DGI Tentang Kawin Cam pur" , Hak Kerukunan, terbitan berkala No.49, Maret 1987.

K1ipping Surat Kabar: Pelita, Kompas, Majalah Tempo, Editor dan lain-lain.

April 1992