sifat fisik dan organoleptik bakso pada berbagai … · daging sapi dan daging ayam pada taraf yang...
TRANSCRIPT
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO PADA BERBAGAI
RASIO ANTARA DAGING SAPI DAN DAGING AYAM
SKRIPSI
RAHMATINA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
Rahmatina. D14050038. 2010. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso pada Berbagai
Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, M.Si
Pembimbing Anggota : Bramada Winiar Putra, S.Pt
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang digemari oleh
masyarakat. Daging yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso yang paling baik
adalah daging sapi segar yaitu daging yang belum mengalami proses rigormortis
(prerigor). Bakso daging sapi umumnya dijual dengan harga relatif mahal. Upaya
untuk mengurangi biaya produksi salah satunya dengan merasiokan antara daging
ayam ke bakso daging sapi. Pembuatan bakso daging sapi dan daging ayam ini
bertujuan untuk membandingkan sifat fisik dan organoleptik bakso rasio antara
daging sapi dan daging ayam pada taraf yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia
Besar, Fakultas Peternakan dan Seafast Center Institut Pertanian Bogor pada bulan
April sampai dengan bulan Mei 2010. Bahan utama yang digunakan adalah daging
sapi segar yang belum mengalami proses dan daging dada ayam difiley dengan lama
postmortem enam jam yang dibeli di Pasar Bogor. Bahan lainnya adalah garam,
STPP, es batu, tepung tapioka, bawang putih dan merica. Penelitian ini menggunakan
tiga taraf perlakuan. Perlakuan (formula) yaitu antara daging sapi dan daging ayam
dengan perlakuan I (75% = 150 g daging sapi dicampur 25% = 50 g daging ayam),
perlakuan II (50% = 100 g daging sapi dan 50% = 100 g daging ayam) serta
perlakuan III (25% = 50 g daging sapi dan 75% = 150 g daging ayam). Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan
pembuatan bakso daging sapi dan daging ayam dengan 3 taraf rasio yang berbeda
dan 3 waktu pembuatan. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam. Hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan. Data
organoleptik dianalisis dengan metode Kruskal Wallis. Penilaian sifat fisik dan uji
mutu hedonik dan hedonik dilakukan setelah pembuatan bakso daging sapi dan
daging ayam. Sifat fisiknya meliputi nilai pH, daya serap air dan kekenyalan. Uji
organoleptik meliputi warna, rasa, tekstur, kekenyalan dan aroma.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa penambahan daging ayam 25%
hingga 75% tidak berpengaruh nyata terhadap daya serap air dan kekenyalan pada
bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam. Nilai pH bakso berpengaruh nyata
(P<0,01) dengan nilai rataan 6,32. Hasil uji organoleptik hedonik berbeda nyata
(P<0,05) terhadap warna, aroma, rasa dan kekenyalan cenderung disukai panelis
pada perlakuan II. Uji mutu hedonik warna, aroma, rasa dan kekenyalan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap semua bakso perlakuan dan kontrol.
Kata-kata kunci: bakso, daging sapi, daging ayam, sifat fisik dan organoleptik
ABSTRACT
Physical Characteristic and Organoleptic Sensory of Meatball with Ratio
between Beef and Chicken Meat
Rahmatina, Komariah and B. W. Putra
Meatball is one of Indonesian favourite meat product. This product is still expensive
due to need of fee fine meat for tasty to decrease cost production is necessary to
insert chicken meat in to beef meatball. The objective of this research was to observe
the best ratio betwen beef and chicken meat through physical characteristic and
organoleptic evaluation. The physical characteristic and organoleptic of ratio
between beef and chicken meatball are pH, water absorbent capacity (WAC),
firmness, colour, aroma and taste. The statistical designed was the randomized block
design and further result were evaluatied by Duncan test. The treatment ratio
between for beef and chicken meat was treatment I (75% beef and 25% chicken
meat), treatment II (50% beef and 50% chicken meat) and treatment III (25% beef
and 75% chicken meat). Analyse of quality organoleptic use hedonic and quality
hedonic test such as colour, smell, elasticity, texture and taste. Result of panellists
was neutral favoured for the organoleptic sensory of meatball. The organoleptic were
analysed using Kruskal-Wallis. The result was 75% chicken meat not influence the
meatball WAC and firmness, had significant in pH also. Base on hedonic and quality
hedonic tests, meatball with 25% and 50% of chicken meat more favoured than 75%.
Keywords: meatball, beef, chicken, physical characteristic and organoleptic
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO PADA BERBAGAI
RASIO ANTARA DAGING SAPI DAN DAGING AYAM
RAHMATINA
D14050038
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul : Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso pada Berbagai Rasio
antara Daging Sapi dan Daging Ayam
Nama : Rahmatina
NIM : D14050038
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Ir. Hj. Komariah, M.Si)
NIP: 19590515 198903 2 001
(Bramada Winiar Putra, S.Pt)
NIP: 19801102 200501 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan IPB
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc.)
NIP: 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian: 1 September 2010 Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Oktober 1986 di Tebet, Jakarta Selatan.
Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari ayah yang bernama
Amril Muis dan ibu yang bernama Suarni. Pendidikan dasar penulis dimulai dari TK
Parkit diselesaikan pada tahun 1992, dilanjutkan dengan Sekolah Dasar
Muhammadiyah 06 Pagi, Tebet Timur Raya, DKI Jakarta dari tahun 1992 sampai
dengan tahun 1995 sampai kelas 3. Selanjutnya SDN 01 Desa Guguk Tinggi, Padang
dari tahun 1995 sampai tahun 1998 dari kelas 4 dan kelas 5, kemudian kelas 6 di SD
Inpres 39 Bukittinggi yang diselesaikan pada tahun 1999. Penulis lulus Sekolah
Menengah Pertama Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Bukittinggi pada tahun
2002 dan lulus Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah, Tebet Timur Raya Jakarta
pada tahun 2005.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun
2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pertama penulis masuk di
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan IPA tahun 2006 lalu pindah ke
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan tahun
2007. Selama kuliah penulis menjadi anggota Lembaga Dakwah kampus
Departemen Biologi tahun 2006 dan lembaga Dakwah Kampus Fakultas Peternakan
FAMM Al An’am dari tahun 2007 sampai 2010.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan karunia-Nya penulis memperoleh kemudahan dalam menyusun
dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso
pada Berbagai Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam”. Shalawat beriring
salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Bakso memang sejak lama menjadi produk olahan daging yang digemari
masyarakat. Bakso sapi sudah umum dijual di pasaran, tetapi dengan harga daging
sapi yang cukup tinggi maka bakso dapat pula dibuat dengan rasio antara daging sapi
dan daging ayam. Atas dasar hal tersebut, penulis ingin melihat rasio terbaik antara
daging sapi dan daging ayam melalui hasil penilaian sifat fisik dan organoleptik. Hal
ini didasarkan pada penggunaan daging sapi segar dan daging ayam sebagai bahan
utama bakso, sehingga produk tersebut menjadi lebih beranekaragam serta akan
meningkatkan nilai jual kepada konsumen. Sifat fisik dan organoleptik ini
memegang peranan penting dalam proses pengolahan produk. Hal ini di karenakan
sifat fisik dan organoleptik menentukan kualitas serta produk hasil olahan yang akan
dibuat.
Penulis berharap dengan penulisan skripsi ini, informasi mengenai sifat fisik
bakso dapat diperoleh dengan jelas. Penulis juga berharap dengan penulisan skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Amin
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, September 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN…………………………………………………….…………. i
ABSTRACT.………………………………………………………………... ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………… iii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………. iv
RIWAYAT HIDUP…………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR………………………………………………………. vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………... vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………... ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... x
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………... xi
PENDAHULUAN…………………………………………………………... 1
Latar Belakang……………………………………………………… 1
Tujuan………………………………………………………………. 1
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… 2
Daging Sapi………………………………………………………… 3
Daging Ayam………………………………………………………. 5
Bakso……………………………………………………………….. 5
Emulsi Daging…………………………………………………. 5
Bahan Pengikat dan Pengisi …………………………………... 6
Sodium Tripoliphospat (STPP)…………….………………….. 6
Es Batu………………….……………………………………... 7
Bumbu………………………………………………………..... 7
Sifat Fisik Bakso…….....…………………………………………... 7
Nilai pH………………………………………………………... 7
Daya Serap Air (DSA)…..…………………………………….. 8
Kekenyalan….……...………………………………………….. 8
Stabilitas Emulsi……………………………………………….. 9
Susut Masak………………………………………………….... 9
Sifat Organoleptik Bakso…………………………………………... 9
Warna………………………………………………………….. 10
Aroma…………………………………………………………. 10
Rasa………………………………………………………….... 10
Kekenyalan……………………………………………………. 11
METODE…………………………………………………………………... 12
Lokasi dan Waktu………………………………………………….. 12
Materi…………………………………………………………….... 12
Alat……………………………………………………………. 12
Bahan…………..……………………………………………… 12
Prosedur……………………………………………………………. 12
Rancangan dan Analisis data………………………………………. 13
Peubah yang Diamati………………….….………………………... 15
Nilai pH Bakso…..……………………………………………. 15
Daya Serap Air………………………………………………... 15
Kekenyalan……………………………………………………. 15
Stabilitas Emulsi………………………………………………. 15
Susut Masak………………………………………………….... 15
Organoleptik…………………………………………………... 16
Perhitungan Biaya………………………………………………..... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………..... 17
Sifat Fisik Rasio antara Bakso Daging Sapi dan Daging Ayam…... 17
Daya Serap Air………………………………………………... 17
Nilai pH……………………………………………………….. 18
Kekenyalan……………………………………………………. 19
Stabilitas Emulsi………………………………………………. 20
Susut Masak…………………………………………………... 20
Sifat Organoleptik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging
Ayam………………………………………………………………
21
Uji Mutu Hedonik Bakso……………………………………... 22
Uji Hedonik bakso…………………………………………...... 23
Warna…………………………………………………….. 23
Aroma……………………………………………………. 24
Rasa…………………………………………………….... 25
Kekenyalan………………………………………………. 26
Perhitungan Biaya……………………………………………….... 26
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….... 27
Kesimpulan……………………………………………………….. 27
Saran…………………………………………………………….... 27
UCAPAN TERIMAKASIH………………………………………………. 28
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 29
LAMPIRAN……………………………………………………………..... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komponen Zat Nutrisi Daging Sapi…………………………………… 2
2. Kandungan Zat Gizi Daging Ayam……………………………………. 4
3. Kandungan Nutrisi Bakso…………………………………………….. 5
4. Rataan Nilai Daya Serap Air…………………………………………... 17
5. Rataan Nilai pH………………………………………………………... 18
6. Rataan Nilai Kekenyalan………………………………………………. 20
7. Susut Masak Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam……. 21
8. Hasil Uji Mutu Hedonik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging
Ayam serta Bakso Kontrol……………………………………………..
22
9. Hasil Uji Hedonik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam
serta Bakso Kontrol…………………………………………………….
23
10. Biaya Pembuatan Bakso per kg Daging……………………………….. 27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Struktur Otot…………………………………………………………. 3
2. Proses Pembuatan Bakso…………………………………………….. 14
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Format Lembar Kuisioner Uji Organoleptik………………………… 33
2. Hasil Analisis Ragam Daya Serap Air ……………………………… 35
3. Hasil Analisis Ragam Nilai pH ……………………………………... 35
4. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan ………………………………….. 35
5. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Warna …………………………. 36
6. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Aroma ………………………….. 36
7. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Rasa ……………………………. 36
8. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Kekenyalan……………………... 36
9. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Warna ………………………………… 37
10. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Aroma ………………………………… 37
11. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Rasa …………………………………... 37
12. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Kekenyalan …………………………... 37
13. Perincian Biaya Pembuatan Bakso per kg Daging …………………. 38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang digemari oleh
masyarakat. Daging yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging
sapi segar yaitu daging yang belum mengalami proses rigormortis, sehingga dapat
menghasilkan bakso yang kenyal dengan baik. Bakso daging sapi pada umumnya
harganya relatif mahal dan berwarna gelap (kurang menarik). Upaya untuk
mengurangi biaya produksi salah satunya yaitu dengan menambahkan daging ayam
pada bakso daging sapi. Daging ayam merupakan produk ternak yang lebih sering
dimanfaatkan. Hal ini karena daging ayam lebih mudah didapatkan di pasar, produksi
daging tinggi, mudah diolah serta harganya relatif murah bila dibandingkan harga
daging sapi dan diharapkan bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam yang
dihasilkan lebih ekonomis dan mempunyai kualitas yang baik serta dapat diterima
oleh konsumen bakso. Ayam berdaging empuk yaitu ayam yang daging karkasnya
lunak, lentur dan kulitnya bertekstur halus.
Pengujian hedonik dan mutu hedonik pada penelitian ini untuk melihat
kualitas fisik serta organoleptik bakso daging sapi dan daging ayam yang dihasilkan.
Kualitas bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam diharapkan lebih ekonomis
dan dapat memperbaiki warna serta sifat fisik bakso daging sapi. Penelitian ini
dilakukan untuk mempelajari peran taraf daging ayam terhadap bakso daging sapi
agar lebih ekonomis dan mempunyai kualitas yang baik serta dapat diterima oleh
konsumen.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pada sifat fisik dan
organoleptik bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam pada taraf yang
berbeda serta mencari rasio penambahan daging ayam yang terbaik dan paling
ekonomis.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging Sapi
Daging sapi adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat
daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat waktu
dipotong (SNI-01-3947-1995). Daging merah memiliki proporsi serat yang sempit
dan kaya mioglobin (Lawrie, 2003). Jumlah mioglobin daging sapi 0,46 % dari berat
segar (Soeparno, 2005). Winarno (1997) menyatakan secara umum daging terbentuk
dari beberapa komponen seperti air, protein, lemak dan abu yang terdapat pada Tabel
1. Komposisi ini dipengaruhi oleh jenis ternak, kondisi ternak, jenis potongan karkas,
proses pengawetan, penyimpanan dan cara pengepakan.
Tabel 1. Komponen Zat Nutrisi Daging Sapi
Kandungan nutrisi Jumlah (%)
Air 65,0-80,0
Protein 16,0-22,0
Lemak 1,3-13,0
Karbohidrat 0,5-1,3
Mineral 1,0
Sumber: Winarno (1997)
Daging pre-rigor adalah daging yang diperoleh segera setelah pemotongan
hewan tanpa mengalami proses penyimpanan dahulu. Fase pre-rigor pada suhu ruang
berlangsung 5 sampai 8 jam setelah pemotongan hewan (postmortem), tergantung
besar kecilnya hewan. Hewan mamalia besar seperti sapi fase pre-rigor berlangsung
selama kurang lebih 8 jam (Aberle et al., 2001).
Soeparno (2005), menyatakan faktor yang mempengaruhi kualitas daging
adalah warna, daya mengikat air oleh protein daging yang mempengaruhi daya serap
air pada produk, pH dan kekenyalan. Selain itu dikatakan juga, kualitas daging
sangat dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies dan
bangsa (tipe ternak, jenis kelamin, umur, stress dan pakan ternak). Faktor sesudah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah pelayuan, pemasakan, pH
karkas dan daging (enzim pengempuk, hormon dan antibiotik). Kekenyalan daging
3
ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu struktur miofibrilar dan status
kontraksinya, kandungan jaringan ikat air oleh protein daging.
Komponen daging yang menentukan saat pembuatan bakso adalah protein
miofibril. Ekstrasi protein saat penggilingan dan pembentukan adonan merupakan
faktor utama dalam pembentukan produk olahan daging (Zayas, 1997). Protein
miofibril pada daging dapat dilihat dari struktur daging pada Gambar 1. Molekul
protein otot tidak mempengaruhi air terikat dan air tidak bergerak, sehingga bagian
air bebaslah yang mempengaruhi tinggi rendahnya daya serap air. Sebagian besar
dari air dalam otot terdapat miofibril, ruang antara filamen tipis aktin atau
tropomiosin. Besarnya ruang tersebut dipengaruhi oleh pH, kekuatan ion, panjang
sarkomer dan tekanan osmosis (Lawrie, 2003). Peran lain dari protein adalah
menahan air, dimana protein membentuk jaringan yang kompak selama proses
pemasakan sehingga meningkatkan daya serap air produk (Ranken, 2000).
Gambar 1. Struktur Otot (Gunenc, 2007)
Struktur otot rangka dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu serat merah dan
serat putih. Serat merah mengandung mioglobin dan oksigen memiliki penampilan
merah serta mengikat protein mioglobin. Serat ini menggunakan metabolisme
4
oksidatif untuk menghasilkan ATP, serta cenderung memiliki mitokondria dan
pembuluh darah lebih dari yang putih. Serat putih tidak adanya mioglobin dan
bergantung pada enzim glikolisis. Serat ini bermetabolisme oksidatif dan tergantung
metabolisme anaerobik pada jenis-sub tertentu. Serat putih memiliki konten yang
rendah memiliki penampilan putih (Wikipedia, 2010).
Daging Ayam
Daging ayam merupakan produk ternak yang paling banyak dimanfaatkan
sebagai sumber makanan manusia di seluruh dunia, baik untuk makanan bayi
maupun untuk pemulihan kondisi sakit. Hal ini karena zat gizi yang terkandung
dalam daging ayam lengkap, produksi daging tinggi, penyusutan rendah selama
pemasakan, mudah diolah serta harga relatif murah (Hendrickson, 1987). Daging ini
mengandung protein, Vitamin, lemak, air, karbohidrat dan mineral yang terdapat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Daging Ayam
Kandungan Nutrisi Jumlah (%)
Protein 21
Vitamin kurang dari 1
Lemak 3
Air 75
karbohidrat kurang dari 1
Mineral 1
Sumber: Anggraeni (2005)
Perbedaan warna merah pada daging antara spesies satu dengan lain
disebabkan oleh perbedaan konsentrasi mioglobin. Kadar mioglobin daging ayam
0,025% dari berat daging segar, sehingga kelihatan lebih pucat dan disebut daging
putih (Soeparno, 2005). Kualitas karkas dan daging ayam dipengaruhi oleh faktor
sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan antara
lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur dan pakan. Faktor
setelah pemotongan diantaranya adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode
pemasakan, pH karkas, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging,
hormon, antibiotik, lemak intramuskular atau marbling metode penyimpanan dan
pengawetan serta macam otot daging. Faktor kualitas daging yang dimakan meliputi
5
warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan citarasa serta
kesan jus daging (Abubakar, 2003). Kualitas karkas ayam didasarkan atas tingkat
keempukan daging. Ayam berdaging empuk yaitu ayam yang karkasnya lunak, lentur
dan kulitnya bertekstur halus, sedangkan ayam dengan kempukan daging sedang
umumnya mempunyai umur yang relatif tua dan kulitnya kasar (Soeparno, 2005).
Bakso
Pengolahan bakso meliputi aspek penyediaan bahan baku yaitu daging,
tepung pati dan cara pengolahannya (Purnomo, 1990). Menurut SNI 01-3818-1995
bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan atau bentuk lain yang
diperoleh dari campuran daging ternak dan pati atau serealia dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan yang diizinkan. Kandungan nutrisi bakso dapat dilihat
pada Tabel 3. Salah satu tujuan penambahan air es pada produk emulsi adalah untuk
menurunkan panas produk yang ditimbulkan oleh gesekan selama penggilingan
(Ockerman, 1983).
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Bakso
No. Komposisi Satuan Persyarat
1. Protein % b/b Minimal 9,0
2. Lemak % b/b Maksimal 2,0
3. Abu % b/b Maksimal 3,0
4. Air % b/b Maksimal 70,0
Sumber: Standardisasi Nasional Indonesia (1995)
Emulsi Daging
Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi dua cairan
atau senyawa yang tidak dapat tercampur satu terdispersi dengan yang lainnya.
Cairan yang berbentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau fase
diskontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi
dengan membungkus atau menyelimuti suatu permukaan partikel yang terdispersi.
Hasil emulsi daging yang baik dapat diperoleh dengan cara mencacah atau
melumatkan daging pre-rigor bersama-sama dengan es dan garam (Soeparno, 2005).
Produk olahan daging seperti bakso dan sosis ini merupakan suatu sistem emulsi
minyak dalam air. Emulsi minyak dalam air terbentuk bila emulsifier tersebut lebih
6
terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar), maka hal ini akan membantu
terjadinya dispersi minyak dalam air (Winarno, 1997).
Bahan Pengikat dan Pengisi
Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang dapat meningkatkan daya
mengikat air dan daya mengemulsikan lemak (Triyantini et al., 1987). Tepung
sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk meningkatkan daya mengikat air dalam
pembuatan bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada
kemampuan mengemulsi lemak. Proses pemanasan antara suhu 70–71 oC adonan
daging akan membentuk gel (firm starch), setelah didinginkan akan membentuk
padatan (Fadlan, 2001).
Bahan pengisi berfungsi memperbaiki/menstabilkan emulsi, meningkatkan
daya mengikat air dan daya serap air, memperkecil penyusutan, menambah berat
produk, dan dapat menekan biaya produksi. Bahan pengisi yang umum digunakan
adalah tepung tapioka. Tepung tersebut mengandung karbohidrat 86,55%, air
13,12%, protein 0,13%, lemak 0,04%, dan abu 0,16%. Kandungan pati yang tinggi
pada tepung membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat
mengemulsi lemak. Pati dalam air panas dapat membentuk gel yang kental. Pati
terdiri atas dua fraksi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu fraksi terlarut (amilosa) dan
fraksi tidak terlarut (amilopektin). Amilosa bersifat higroskopis (mudah menyerap
air) sehingga mudah membentuk gel. Proporsi kandungan amilosa dan amilopektin
dalam pati menentukan sifat produk olahan; makin sedikit kandungan amilosa, makin
lekat produk olahannya. Ditinjau dari segi biaya produksi, penggunaan tapioka
sebagai bahan pengisi akan menambah keuntungan. Cita rasa dan tekstur bakso pun
disukai konsumen. Penggunaan tapioka untuk menghasilkan bakso yang berkualitas
disarankan maksimal 50%. Makin banyak tapioka yang ditambahkan, kekenyalan
bakso makin menurun dan kandungan proteinnya makin rendah karena daging makin
sedikit dan kandungan karbohidrat makin tinggi (Usmiati, 2009).
Sodium Tripoliphosphat (STPP)
Ockerman (1983) menyatakan bahwa STPP memilki fungsi untuk
meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi. Jika nilai pH
semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan makin
7
rendah. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH sehingga akan diperoleh daya
mengikat air yang semakin tinggi.
Es Batu
Fungsi penambahan es batu pada pembentukan emulsi daging bertujuan
untuk (1) melarutkan garam dan mendistribusinya secara merata ke seluruh bagian
massa daging, (2) memudahkan ekstrasi protein otot, (3) membantu pembentukan
emulsi serta (4) mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan
mekanis. Cara mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah adalah menambahkan
es batu atau air es (Aberle et al., 2001).
Bumbu
Bumbu adalah bahan yang ditambahkan dalam komposisi suatu produk untuk
memperbaiki cita rasa produk. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk
meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan sebagai bahan pengawet alami
(Farel, 1990). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa lada dan bawang putih diguna-
kan pada beberapa resep produk daging seperti bakso. Garam dapur (NaCl) berfungsi
sebagai pemberi rasa untuk meningkatkan cita rasa produk bakso, pelarut protein
myosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai pengawet, karena dapat
mencegah pertumbuhan mikroorganisme sehingga dapat mencegah kebusukan dan
meningkatkan daya sarap air (Fadlan, 2001). Garam yang ditambahkan dapat
meningkatkan protein miofibril yang terekstrasi (Aberle et al., 2001). Merica adalah
lada yang dihaluskan, mempunyai aroma dan rasa khusus merica. Manfaat merica
yaitu untuk menguatkan rasa yang terdapat pada makanan (Farel, 1990).
Sifat Fisik Bakso
Nilai pH Bakso
Nilai pH merupakan singkatan dari pondus hydrogenii, yang artinya potensial
hidrogen, yaitu kekuatan hidrogen sebagai penentu asam karena predominan ion-ion
hidrogen (H+). Pengamatan terhadap pH penting dilakukan karena perubahan pH
berpengaruh terhadap kualitas bakso. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui
daya mengikat air yang berpengaruh pada tingkat kekenyalan bakso. Produk akhir
yang mengalami pemasakan dan penggaraman bergantung pada pH daging.
Temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah
8
menghambat laju penurunan pH (Lawrie, 2003). Nilai pH dapat menunjukan
penyimpangan kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita
rasa, daya mengikat air, dan masa simpan (Lukman et al,, 2007).
Daya Serap Air
Fardiaz et al., (1992), menyatakan protein merupakan komponen yang paling
berpengaruh terhadap daya serap air suatu bahan meskipun komponen-komponen
yang lain juga berpengaruh. Hal yang paling berpengaruh terhadap interaksi protein-
air adalah grup amino polar yang terdapat ptotein tersebut, seperti karbonil, hidroksil,
amino, karboksil dan sulfida. Faktor yang mempengaruhi interaksi protein-air
meliputi: bentuk protein dan faktor lingkungan seperti konsentrasi protein, nilai pH
dan suhu. Bentuk protein yang tidak melipat akan mengikat air lebih banyak daripada
bentuk globular. Kemampuan protein menyerap dan menahan air mempunyai
peranan penting dalam pembentukan tekstur suatu makanan. Jaringan yang
mempunyai daya serap air tinggi, maka susut masaknya akan lebih rendah sehingga
menghasilkan kualitas yang lebih baik. Daya serap air rendah pada pH titik
isoelektrik protein yaitu miosin 5,4, aktin 4,7 dan tropomiosin 5,1 dan meningkat
pada pH yang lebih tinggi dari titik isoelektrik protein daging. Protein seperti asam
amino bebas memiliki titik isoelektrik yang berbeda-beda. Titik Isoelektrik adalah
daerah pH tertentu dimana muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling
menetralkan sehingga bermuatan nol. Nilai pH isoelektrik suatu protein sangat
mudah diendapkan karena pada saat itu muatan listriknya nol. Prinsip ini digunakan
dalam proses-proses pemisahan serta pemurnian protein (Winarno, 1997).
Kekenyalan
Soekarto (1990) menyatakan bahwa sifat kenyal merupakan sifat fisik produk
alam. Sifat ini berhubungan dengan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang
dapat menyebabkan deformasi. Sifat kenyal dan keras sama-sama menyatakan tahan
untuk pecah. Perbedaan keduanya adalah sifat keras merupakan sifat benda yang
tidak bersifat deformasi, sedangkan sifat kenyal merupakan sifat produk dengan
plastis yang bersifat deformasi. Kekenyalan berhubungan dengan kemampuan
molekul pati untuk membentuk gel atau jaringan tiga dimensi yang bersifat elastis.
Sifat ini dirasiokan dengan daya mengikat protein daging yang menyebabkan bakso
9
mempunyai kekuatan untuk menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk
semula yang disebut sifat kenyal (Wulandari, 2009).
Stabilitas Emulsi
Stabilitas suatu emulsi adalah suatu sifat emulsi untuk mempertahankan
distribusi halus dan teratur dari fase terdispersi yang terjadi dalam jangka waktu yang
panjang (Voight, 1995). Bakso merupakan salah satu produk emulsi sistem dua fase
dengan partikel lemak sebagai fase terdispersi dan air serta protein yang mengandung
garam berperan sebagai fase pendispersi. Protein miofibril yang larut dalam garam
dan protein sarkoplasma yang larut dalam air bertindak sebagai zat pengemulsi
dengan cara melapisi partikel lemak yang terdispersi dalam air pada fase ini.
Semakin tinggi volume lemak yang terlepas maka kestabilan emulsi semakin rendah
(Aberle et al., 2001).
Susut Masak
Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan.
Susut masak juga bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang
sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril,
ukuran dan berat sampel daging. Susut masak bisa meningkat dengan panjang
serabut otot yang lebih pendek. Pemasakan yang relatif lama akan menurunkan
pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara
linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat
menyebabkan perbedaan susut masak. Susut masak berpengaruh terhadap umur yang
sama, sedangkan jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil. Berat potong
mempengaruhi susut masak, terutama bila terhadap perbedaan deposisi lemak
intramuskular. Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak. Susut
masak adalah berat yang hilang selama pemasakan, makin tinggi suhu pemasakan
dan atau makin lama waktu pemasakan, makin besar pula kadar cairan daging yang
hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan indikator
nilai nutrien daging yang berhubungan dengan kadar jus daging, yaitu banyaknya air
yang terikat di dalam dan di antara serabut otot (Soeparno, 2005).
Sifat Organoleptik Bakso
Sifat subjektif pangan disebut organoleptik atau indrawi karena penilainya
menggunakan indra manusia. Kadang-kadang juga disebut sifat sensorik karena
10
penilaiannya berdasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indra. Palatabilitas
panelis dapat ditunjukkan melalui uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, rasa
dan kekenyalan. Uji ini dengan metode hedonik dan mutu hedonik. Pengujian
hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan panelis tanpa membandingkan satu sama
lain. Penilaian uji mutu hedonik yaitu uji kualitas yang dimulai dengan skala 1
hingga skala 5 sesuai parameter yang diamati (Soekarto, 1990).
Warna
Banyak faktor yang mempengaruhi warna daging termasuk pakan, spesies,
pH, jenis kelamin, umur, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot) dan bangsa. Faktor
tersebut dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen
daging mioglobin dan kondisi fisik serta kimia komponen lain yang mempunyai
peranan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003). Soekarto (1985)
menyatakan bahwa warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada
komoditi pangan dan hasil pertanian lainnya. Warna adalah kriteria penting dalam
menentukan daya terima terhadap bakso.
Aroma
Aroma adalah faktor penting pada daging dan hasil olahannya. Aroma sukar
untuk didefinisikan secara objektif. Evaluasi aroma dan rasa masih tergantung pada
pengujian secara sensori (tes panel). Keragaman antara individu dalam respon
intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu menyebabkan pemilihan anggota
panel menjadi penting (Lawrie, 2003).
Rasa
Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan
yang terletak pada papila yaitu noda merah jingga pada lidah. Faktor yang
mempengaruhi rasa yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi pangan
dengan komponen rasa yang lain. Atribut rasa banyak ditentukan oleh formulasi
yang digunakan dan kebanyakan tidak dipengaruhi oleh pengolahan suatu produk
pangan (Winarno, 1997). Tiga faktor rasa yang sangat menentukan daya terima
terhadap bakso, yaitu tingkat keasinan, rasa daging, tingkat kegurihan yang
ditentukan oleh kadar garam dan kadar daging. Konsumen lebih menyukai rasa
daging pada bakso dan tidak menyukai rasa pati (Sunarlim, 1992).
11
Kekenyalan
Kekenyalan adalah kemampuan bahan pangan yang ditekan kembali ke
kondisi awal setelah beban tekanan dihilangkan. Kekenyalan bakso berhubungan
dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat pemanasan (Sudrajat, 2007). Kekenyalan
mempengaruhi palatabilitas seseorang terhadap suatu produk. Kekenyalan
didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa kehilangan sifat-sifat jaringan
yang layak. Kekenyalan melibatkan tekstur, kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam
bakso, kemudian menjadi potongan yang lebih kecil dan jumlah residu yang
tertinggal setelah pengunyahan (Lawrie, 2003).
METODE DAN MATERI
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia
Besar, Fakultas Peternakan dan Seafast Center Institut Pertanian Bogor pada bulan
April sampai dengan Mei 2010.
Materi
Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah food processor,
timbangan, termometer dan peralatan pengolahan. Alat untuk melakukan analisa sifat
fisik bakso adalah Texture Annalyzer TA-XT2i, sentrifus, timbangan, pH meter
merek Orion model 210A, termometer, stopwatch, tabung Babcock, gelas ukur,
tabung reaksi, penangas air, kertas saring dan vortex mixer. Peralatan yang
digunakan untuk uji organoleptik bakso adalah piring, sendok, gelas, kertas tisu,
kertas kuisioner dan alat tulis.
Bahan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan bakso yaitu daging sapi pada bagian
paha belakang (gandik) dengan lama postmortem enam jam dan daging ayam pada
bagian dada yang telah difiley dengan bentuk daging lama empat jam setelah
pemotongan masing-masing sebanyak 900 g. Bahan tambahan yang mengacu pada
persentase daging yaitu tepung tapioka (20%), STPP (0,3%), garam (4%), es batu
(20%), bawang putih dihaluskan (0,3%) dan merica (0,3%). Aquades dan alkohol
digunakan untuk uji sifat fisik.
Prosedur
Daging sapi segar dan daging ayam yang telah dipisahkan lemak dan jaringan
ikatnya dipotong kecil-kecil. Proses pembuatan bakso dicantumkan pada Gambar 2.
Tahap pertama yaitu daging dimasukkan ke dalam food processor dengan
menambahkan setengah bagian es batu, STPP dan garam digiling selama 2 menit.
Tahap kedua ditambahkan bahan pengisi (tepung tapioka, bawang putih dan merica)
dan sisa es batu selama 1 menit. Adonan disimpan dalam refrigerator dengan suhu
10 oC selama 10 menit. Air dipanaskan sehingga suhu 100
oC kemudian suhu air
diturunkan hingga 70-80 oC. Adonan dibentuk menjadi bulat kemudian dipanaskan
13
pada suhu 70 oC selama 10 menit. Bulatan itu direbus pada suhu 90
oC hingga bakso
terapung dan matang selama 15 menit (Sunarlim, 2000).
Pembuatan bakso dengan daging yang digunakan sebanyak 200 g dilakukan 3
rasio perlakuan (formula) yaitu antara daging sapi dan daging ayam dengan
perlakuan I (75% = 150 g daging sapi dicampur 25% = 50 g daging ayam), perlakuan
II (50% = 100 g daging sapi dan 50% = 100 g daging ayam) serta perlakuan III
(25% = 50 g daging sapi dan 75% = 150 g daging ayam) dan setiap rasio dilakukan
tiga kali ulangan. Penilaian sifat fisik dan uji organoleptik dilakukan setelah
pembuatan bakso daging sapi dan daging ayam. Sifat fisiknya meliputi nilai pH, daya
serap air, kekenyalan dan stabilitas emulsi. Uji organoleptik oleh 60 orang panelis
dari mahasiswa yang meliputi warna, rasa, kekenyalan dan aroma. Kemudian
dilakukan perhitungan biaya secara sederhana terhadap bakso.
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Perlakuan pembuatan bakso daging sapi dan daging ayam dengan 3 taraf
rasio yang berbeda dan 3 kali waktu pembuatan sebagai kelompok. Model
matematika yang digunakan sebagai kelompok perhitungan berdasarkan Steel dan
Torrie (1997):
Yij = µ + αi + j + εij
Keterangan: Yij = Hasil pengamatan bakso pada perlakuan ke-i dan ke-j
µ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh perlakuan (rasio antara daging sapi dan daging ayam)
ke-i
j = Pengaruh kelompok waktu pembuatan ke-j
Εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Peubah
yang diamati adalah daya serap air, nilai pH, dan kekenyalan. Jika hasilnya nyata,
maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% atau 99%
(Steel dan Torrie, 1997). Pengujian organoleptik dengan menggunakan 60 orang
panelis. Metode yang dilakukan yaitu uji mutu hedonik dan uji hedonik. Data
organoleptik dianalisa dengan metode Kruskal-Wallis. Apabila hasilnya berbeda
14
nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% atau
99% (Steel dan Torrie, 1997).
Gambar 2. Proses Pembuatan Bakso
Bakso tersebut direbus pada suhu 90 oC sampai mengapung
dan matang selama 15 menit
Penerimaan daging
Daging dibersihkan lemak permukaannya
dipotong kecil-kecil
Dimasukkan ke dalam food processor
Digiling halus
selama 2 menit
Digiling kembali
selama 1 menit
Ditambahkan ½
bagian es, STPP,
dan garam
Ditambahkan ½ bagian es,
bahan pengisi (tepung
tapioka, bawang putih dan
merica)
Bakso ditiriskan kemudian dianalisis sifat fisik dan organoleptik
Adonan disimpan dalam
refrigerator dengan suhu 10 oC
selama 10 menit
Adonan dicetak berbentuk bulatan bakso lalu dimasukkan ke
dalam panci yang berisi air panas 70-80 oC selama 10 menit
15
Peubah yang Diamati
Nilai pH Bakso (AOAC, 1995)
Nilai pH diukur dengan alat pH meter yang telah dikalibrasi dengan larutan
buffer pada pH 4 dan 7. Sampel bakso digiling sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml
aquades, dicampur menggunakan mixer selama 1 menit, selanjutnya dipindahkan ke
dalam gelas ukur. Campuran itu lalu diukur dengan pH meter. Nilai pH bakso
diperoleh dari skala pada pH meter.
Daya Serap Air (Fardiaz et al., 1992)
Bahan dengan air yang ditambahkan dibiarkan berinteraksi, kemudian air
yang tidak terserap dipisah dengan sentrifus. Jumlah air yang terserap merupakan
selisih jumlah air mula-mula dengan jumlah air yang terpisah. Sampel ditimbang
sebanyak 1 gram, dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Air sebanyak 10 ml
ditambahkan, dihomogenisasi dengan vortex mixer dan didiamkam selama 30 menit
pada suhu kamar. Kemudian diputar dengan kecepatan sentrifus 3500 rpm selama 30
menit. Volume supernatan diukur dengan gelas ukur 10 ml. Air yang terserap
dihitung selisih air mula-mula (10 ml) dengan volume supernatan yang dinyatakan
dalam g/g dengan asumsi berat jenis air adalah 1 (g/ml).
Daya Serap Air (g/g) = Volume supernatan (awal – akhir) x BJ
Berat sampel (1 g)
Keterangan : BJ = Berat jenis air yang besarnya 1 g/ml
Air yang keluar dari sampel daging dapat digunakan sebagai pendekatan kemampuan
daging dalam menyerap air.
Kekenyalan (Muhibiddin, 2007)
Pengukuran kekenyalan bakso dilakukan dengan menggunakan alat Texture
Annalyzer TA-XT2i. Cara kerja alat ini adalah menekan sampel hingga ada tolakan.
Titik tolak tersebut yang akan memperlihatkan nilai gaya yang diperlukan untuk
memecah produk bakso tersebut. Satuan gaya dari alat itu adalah gram force (gf).
Stabilitas Emulsi (Aberle et al., 2001)
Metode yang digunakan adalah modifikasi pada pemakaian Paley Fat Bottle
yaitu dengan tabung Babcock. Sampel bakso dihancurkan, kemudian ditimbang
16
sebanyak 10 gram. Sampel dimasukkan ke dalam tabung dengan diisi air ¾ botol,
dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 70 oC selama 35 menit kemudian
diputar dengan kecepatan sentrifus 1.500 rpm selama 5 menit. Lalu ditambahkan air
bersuhu 70 oC hingga mencapai leher tabung dan diputar lagi selama 3 menit. Jumlah
lemak yang terlepas dibaca dalam skala dan dinyatakan dalam mililiter.
Susut Masak (Priyanto, et al, 1995)
Susut masak adalah perbedaan antara berat sebelum dan sesudah masak,
dinyatakan dalam persentase (%).
Susut masak = berat sampel awal – akhir x 100%
berat sampel awal
Organoleptik (Soekarto, 1990)
Uji dengan metode hedonik dan mutu hedonik yang meliputi warna, aroma,
rasa dan kekenyalan. Pengujian hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan panelis
tanpa membandingkan satu sama lain yang dapat dinilai oleh 60 orang secara
objektif dengan skala 1 (sangat tidak suka) sampai 4 (sangat suka). Penilaian uji
mutu hedonik yaitu uji kualitas yang dimulai dengan skala 1 hingga skala 5 sesuai
parameter yang diamati.
Perhitungan Biaya
Perhitungan biaya secara sederhana dilakukan untuk menekan biaya
pembuatan bakso dan sebagai standar biaya untuk melihat perbedaan biaya yang
dikeluarkan untuk setiap pembuatan bakso per kg bahan dasar. Faktor biaya dalam
perhitungan ekonomi ini adalah harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan
bakso per kg bahan dasar pada setiap formula. Penentuan harga bakso per butir
dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:
Harga bakso per butir (Rp) = Total harga bahan baku
Jumlah butir bakso yang dihasilkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam
Sifat fisik suatu produk mempunyai peranan yang sangat penting untuk
pengawasan dan standarisasi mutu produk. Sifat fisik bakso juga penting untuk
dianalisis karena akan menentukan kualitas dari bakso tersebut. Uji kualitas sifat
fisik dalam penelitian ini meliputi daya serap air, nilai pH, kekenyalan dan susut
masak.
Daya Serap Air (DSA)
Daya serap air sangat penting dalam menentukan kualitas dari suatu daging
dan produk daging termasuk bakso. Beberapa sifat fisik daging seperti warna, tekstur
dan kekerasan daging mentah serta sari minyak (juiceness) dan keempukan daging
masak dipengaruhi oleh daya serap air (Aberle et al., 2001). Rataan nilai DSA bakso
rasio antara daging sapi dan daging ayam disajikan dalam Tabel 4. Selama 3 waktu
pengukuran, DSA bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam mengalami
perubahan pada masing-masing perlakuan dan secara statistik tidak nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa waktu pembuatan bakso tidak mempengaruhi DSA. Hasil
pengukuran daya serap air dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Nilai Daya Serap Air
Kelompok pengukuran
Waktu ke-
Perlakuan Rataan
I II III
1 0,90±0,14 0,20±0,00 0,30±0,00
2 0,30±0,14 0,40±0,00 0,35±0,07
3 0,50±0,14 0,30±0,14 0,50±0,14
Rataan 0,56±0,29 0,30±0,11 0,38±0,12 0,42±0,21
Keterangan: Perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam), perlakuan II (50% daging sapi dan 50% daging ayam) dan perlakuan III (25% daging sapi dan 75%)
Hasil analisis menunjukkan bahwa daya serap air tidak dipengaruhi oleh
perlakuan persentase daging. Rataan nilai daya serap air bakso rasio berkisar antara
0,30 sampai 0,56 g/g. Hal ini berarti masing-masing bakso pada semua perlakuan
memiliki tekstur, juiceness dan susut masak yang sama. Menurut Ockerman (1978)
bahwa meningkatnya nilai pH akan meningkatkan daya serap air. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa daya serap air tidak mempengaruhi bakso perlakuan, walaupun
18
nilai pH menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,01). Penambahan tepung dan
garam juga dapat mempengaruhi daya serap air. Bahan pengisi berfungsi untuk
menstabilkan emulsi, meningkatkan daya serap air, memperkecil penyusutan,
menambah berat produk, dan dapat menekan biaya produksi (Usmiati, 2009). Garam
dapur (NaCl) berfungsi sebagai pemberi rasa untuk meningkatkan cita rasa produk
bakso, pelarut protein miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, sebagai
pengawet dan meningkatkan daya serap air (Fadlan, 2001). Hal ini sama dengan
penelitian Triatmojo (1992), bahwa bakso dengan resep yang sama dan dengan
kondisi ternak, umur, dan spesies yang sama akan menghasilkan kadar lemak dan air
yang sama. Nilai daya serap air yang terbaik yaitu pada perlakuan I yang
menghasilkan data yang tinggi 0,56 g/g. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989)
daging pre-rigor memiliki kemampuan dalam menyerap air yang tinggi dan pH yang
jauh di atas titik isoelektrik dari aktin dan miosin sehingga protein miofibril akan
menyerap air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering. Daya serap
air daging dapat mempengaruhi mutu bakso, yaitu tekstur bakso menjadi lebih baik.
Nilai pH
Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui sifat asam, basa atau netral
dari suatu produk pangan. Menurut Soeparno (2005), perubahan pH berhubungan
erat dengan tekstur daging dan produknya. Nilai pH yang diperoleh pada penelitian
ini berkisar antara 6,24±0,13 sampai 6,39±0,15. Nilai pH pada ketiga perlakuan
tersebut lebih tinggi dari pH isoelektrik protein-protein daging yaitu miosin 5,4, aktin
4,7 dan tropomiosin 5,1 (Soeparno, 2005). Hasil nilai pH dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Nilai pH
Kelompok pengukuran
Waktu ke-
Perlakuan Rataan
I II III
1 6,31±0,02 6,47±0,01 6,57±0,00 6,45
2 6,33±0,01 6,39±0,01 6,36±0,01 6,36
3 6,07±0,01 6,13±3,37 6,24±0,01 6,15
Rataan 6,24±0,13b 6,33±0,16
a 6,39±0,15
a 6,32±0,15
Keterangan: Perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam), perlakuan II (50% daging sapi dan 50% daging ayam) dan perlakuan III (25% daging sapi dan 75%)
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01)
19
Perlakuan rasio antara penambahan daging sapi dan daging ayam dengan
periode waktu pengukuran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai pH.
Nilai pH pada bakso perlakuan III (25% daging sapi dan 75%) nyata lebih tinggi
dibandingkan bakso perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam). Nilai pH
bakso perlakuan II nyata lebih tinggi dari bakso perlakuan I. Nilai pH yang dari
bakso dengan penambahan daging ayam 75% dan penambahan daging ayam 50%
nilainya sama. Hal ini berarti adanya perubahan nilai pH bakso disetiap waktu
pengukuran pada semua perlakuan. Produk akhir yang mengalami pemasakan dan
penggaraman bergantung pada pH daging. Nilai pH pada bakso perlakuan III lebih
tinggi dengan rataan 6,39±0,15, disebabkan pH daging ayam lebih tinggi daripada
pH daging sapi. Nilai pH daging ayam menurut Suradi (2003) adalah 6,16 untuk pH
ultimatnya dengan kisaran antara 5,4 sampai 5,8, sedangakan nilai pH daging sapi
menurut Soeparno (2005) adalah 6,07 dan untuk pH ultimatnya yaitu 5,5. Rataan
nilai pH bakso ini ialah 6,32. Nilai pH yang terbaik pada penelitian ini yaitu pada
perlakuan III yang lebih tinggi nilai pHnya.
Kekenyalan
Kekenyalan sangat mempengaruhi kualitas dari bakso. Kekenyalan bakso
berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat pemanasan. Kekenyalan
bakso dipengaruhi oleh gelatinisasi yang terjadi pada tepung tapioka. Pengembangan
pati tapioka akan menghasilkan pasta yang kenyal atau gel yang kaku. Pati dengan
amilopektin yang tinggi akan membentuk produk yang lekat. Peningkatan viskositas
disebabkan air yang sebelumnya berada di luar granula bergerak bebas sebelum
dipanaskan, sedangkan yang berada di dalam butir pati sudah tidak dapat bergerak
dengan bebas saat dipanaskan (Winarno, 1997). Hasil kekenyalan pada penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 6.
20
Tabel 6. Rataan Nilai Kekenyalan
Kelompok pengukuran
Waktu ke-
Perlakuan Rataan
I II III
1 41,22±18,59 30,07±11,57 38,37±4,18
2 43,97±7,39 37,77±13,56 48,09±10,07
3 38,11±3,10 42,77±3,07 39,87±8,36
Rataan 41,10±9,42 36,89±9,91 42,11±7,73 40,02±8,83
Keterangan: Perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam), perlakuan II (50% daging sapi dan 50% daging ayam) dan perlakuan III (25% daging sapi dan 75%)
Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso ini ialah daging sapi segar
yaitu daging yang belum mengalami proses rigormortis, sehingga dapat
menghasilkan bakso yang kenyal dengan baik. Rataan nilai kekenyalan yang
diperoleh ialah 40,02. Rasio antara daging sapi dan daging ayam pada semua
perlakuan tidak berpengaruh terhadap kekenyalan bakso. Hal ini berarti penambahan
rasio antara daging ayam hingga 75% masih bagus karena tidak mempengaruhi
kualitas kekenyalan bakso. Persentase penambahan daging ayam tidak berpengaruh
terhadap kekenyalan bakso. Hal ini berarti masing-masing bakso pada semua
perlakuan hingga rasio antara daging ayam 75% memiliki sifat kenyal yang sama.
Begitupun halnya dengan periode pengukuran menjelaskan adanya kenaikan dan
penurunan yang tidak bermakna terhadap kekenyalan bakso. Daging yang digunakan
untuk setiap perlakuan dan ulangan adalah daging dengan sumber dan bagian yang
sama, diperkirakan memiliki kadar protein, lemak dan air yang sama, sehingga
membentuk gel dengan tingkat kekenyalan yang sama. Perbedaan nilai kekenyalan
bakso pada waktu pengolahan yang berbeda dapat disebabkan adanya perbedaan
serat pada masing-masing daging yang digunakan.
Stabilitas Emulsi
Stabilitas emulsi pada bakso berdasarkan pengukuran disetiap perlakuan
bernilai 100%. Hal ini berarti setiap bakso pada semua perlakuan hingga rasio antara
daging ayam 75% memiliki sifat emulsi yang baik. Bakso merupakan salah satu
produk emulsi sistem dua fase dengan partikel lemak sebagai fase terdispersi dan air
serta protein yang mengandung garam berperan sebagai fase pendispersi. Menurut
Soeparno (2005), selain fase terdispersi dan fase pendispersi, bagian yang penting
dalam sistem emulsi (emulsifier) ini berfungsi menjaga agar fase terdispersi tetap
21
tersuspensi dalam fase pendispersinya. Pengemulsi yang lazim digunakan dalam
produk olahan daging adalah protein miofibril. Protein dan garam dalam air akan
membentuk fase kontinu yang akan menyelubungi semua permukaan lemak sebagai
fase terdispersi, sehingga lemak tidak memisah dengan air.
Susut Masak
Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama dari pemasakan.
Susut masak adalah berat yang hilang selama pemasakan, makin tinggi suhu
pemasakan dan atau makin lama waktu pemasakan, makin besar pula kadar cairan
yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Susut masak merupakan
indikator nilai nutrien daging yang berhubungan dengan kadar jus daging, yaitu
banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot (Soeparno, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan persentase susut masak pada Tabel 7.
Tabel 7. Susut Masak Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam
Susut Masak
(Waktu ke-)
Perlakuan I
(%)
Perlakuan II
(%)
Perlakuan III
(%)
Rataan
1 1,69 1,18 3,52
2 4,95 2,18 1,86
3 5,50 5,19 5,70
Rataan 4,05±2,06 2,85±2,09 3,69±1,93 3,53±1,83
Keterangan: Perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam), perlakuan II (50% daging sapi dan 50% daging ayam) dan perlakuan III (25% daging sapi dan 75%)
Nilai rataan susut masak yaitu 3,53%. Nilai rataan susut masak pada
perlakuan II yang memiliki kualitas yang lebih baik karena memiliki nilai rataan
yang terrendah. Susut masak pada penelitian ini memperoleh persentase 1,1-5,70%.
Menurut Soeparno (2005), susut masak umumnya berkisar antara 1,5 sampai 54,5%
dengan kisaran 15-40%. Jika susut masak rendah maka mempunyai kualitas yang
relatif lebih baik daripada susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi
selama pemasakan. Susut masak bakso pada penelitian Sunarlim (2000) dengan
penambahan 4% NaCl yaitu 4,64%.
Sifat Organoleptik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam
Pengujian organoleptik bertujuan untuk mengetahui penerimaan konsumen
terhadap mutu bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam yang dihasilkan.
22
Kriteria yang diuji meliputi warna, aroma, rasa dan kekenyalan. Uji organoleptik ini
menggunakan skala hedonik dan mutu hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis dan uji mutu hedonik dilakukan menjelaskan
kualitas warna, aroma, rasa dan kekenyalan bakso. Rataan nilai menunjukkan
kesukaan bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam dan bakso kontrol.
Uji Mutu Hedonik Bakso
Sifat mutu subjektif pangan disebut organoleptik atau inderawi karena
penilaiannya menggunakan organ indra manusia. Penilaian uji mutu hedonik yaitu uji
kualitas bakso berdasarkan pengamatan panelis yang dimulai dengan skala 1 hingga
skala 5 sesuai parameter yang diamati. Parameter yang diamati ialah warna, aroma,
rasa dan kekenyalan. Hasil uji mutu hedonik dan nilai modus yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Uji Mutu Hedonik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging
Ayam serta Bakso Kontrol
Peubah Jenis Perlakuan Bakso Kontrol
I II III Bakso sapi Bakso ayam
Warna
(Modus)
2,17±0,72d
2
2,98±0,62c
3
3,48±0,68b
4
1.95±0,53d
2
4,45±0,72a
5
Aroma
(Modus)
3,05±0,89b
3
2,85±0,90b
2
2,85±0,73b
3
3,78±0,80a
4
2,80±0,92b
3
Rasa
(Modus)
3.23±0,81b
3
3,30±0,70b
3; 4
2,93±0,78c
3
4,03±0,69a
4
3,25±0,86b
4
Kekenyalan
(Modus)
4,00±0,88a
4
3,63±0,64b
4
3,05±0,81c
3
4,02±0,60a
4
2,93±1,06c
2
Keterangan : Warna : 1 = sangat gelap 2 = gelap 3 = agak pucat 4 = pucat 5 = sangat pucat Aroma : 1 = sangat tidak
aroma bakso
sapi
2 = tidak aroma
bakso sapi 3 = agak aroma
bakso sapi 4 = aroma
bakso
sapi
5 = sangat aroma
bakso sapi
Rasa : 1 = sangat tidak
rasa bakso
sapi
2 = tidak rasa
bakso sapi 3 = agak rasa
bakso sapi 4 = rasa
bakso
sapi
5 = sangat rasa
bakso sapi
Kekenyalan : 1 = sangat tidak kenyal
2 = tidak kenyal
3 = agak kenyal
4 = kenyal 5 = sangat kenyal
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01)
Perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam), perlakuan II (50% daging sapi
dan 50% daging ayam) dan perlakuan III (25% daging sapi dan 75%)
23
Uji Hedonik Bakso
Pengujian hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan panelis tanpa
membandingkan satu sama lain yang dapat dinilai oleh 60 orang secara objektif
dengan skala 1 (sangat tidak suka) sampai 4 (sangat suka). Parameter yang diamati
ialah warna, aroma, rasa dan kekenyalan. Hasil uji hedonik dan nilai modus yang
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Hedonik Bakso Rasio antara Daging Sapi dan Daging Ayam serta
Bakso Kontrol
Peubah Jenis Perlakuan Bakso Kontrol
I II III Bakso sapi Bakso ayam
Warna
(Modus)
2,62±0,78b
3
2,45±0,70bc
3
2,28±0,72cd
2
3,10±0,63a
3
2,13±0,91d
3
Aroma
(Modus)
2,35±0,78bc
2
2,47±0,72bc
3
2,23±0,62c
2
2,98±0,60a
3
2,52±0,75b
3
Rasa
(Modus)
2,58±0,87b
3
2,73±0,73b
3
2,48±0,68b
3
3,20±0,61a
3
2,73±0,71b
3
Kekenyalan
(Modus)
2,70±0,91b
3
2,73±0,73b
3
2,42±0,72c
3
3,18±0,65a
3
2,33±0,86c
3
Keterangan: 1. tidak suka 2. agak suka 3. suka 4. sangat suka Perlakuan I (75% daging sapi dan 25% daging ayam), perlakuan II (50% daging sapi
dan 50% daging ayam) dan perlakuan III (25% daging sapi dan 75%)
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Warna
Warna bakso sangat dipengaruhi oleh warna daging yang berhubungan
dengan kandungan mioglobin pada daging. Warna bakso juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pengaruh lingkungan dan penambahan bahan tambahan
seperti bahan pengisi dan bumbu-bumbu. Bakso sapi memiliki warna yang lebih
gelap daripada bakso ayam. Berdasarkan uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa
perbedaan warna yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bakso kontrol dengan bakso
perlakuan. Warna bakso perlakuan III dengan penambahan daging ayam 75% lebih
pucat dari semua bakso perlakuan. Daging dengan kandungan mioglobin yang tinggi
akan memberikan penampakan warna yang lebih tua sehingga bewarna gelap, namun
dengan penambahan daging ayam pada bakso menjadi lebih cerah. Bakso kontrol
daging ayam memiliki warna pucat (cerah) karena menggunakan daging bagian dada,
24
sehingga menghasilkan bakso yang lebih pucat karena otot pada bagian dada bukan
merupakan otot gerak utama melainkan otot penunjang atau penyangga. Menurut
Soeparno (2005), kadar mioglobin daging ayam 0,025% dari berat daging segar,
sehingga kelihatan lebih pucat. Berdasarkan nilai modus warna bakso perlakuan I
gelap, perlakuan II agak pucat dan perlakuan III pucat. Rataan nilai warna bakso
berkisar 2,28 sampai 2,62 memiliki nilai hedonik agak suka hingga cenderung suka.
Berdasarkan uji Kruskall-Wallis terhadap uji hedonik terhadap warna bakso
menujukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Berdasarkan uji lanjut bakso
sapi berbeda dengan bakso yang lainnya. Bakso perlakuan I dan perlakuan II disukai
sedangkan perlakuan III agak disukai berdasarkan nilai modus. Hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan I dan perlakuan II diterima oleh panelis.
Aroma
Aroma bakso dipengaruhi oleh aroma daging, aroma tepung bahan pengisi,
bumbu-bumbu dan bahan lain yang ditambahkan. Proses pemasakan bakso dapat
mempengaruhi warna, aroma, rasa dan kekenyalan. Selama pemasakan akan terjadi
berbagai reaksi antara bahan pengisi dan daging, sehingga aroma yang khas pada
daging sapi maupun daging ayam akan berkurang selama pengolahan produk. Aroma
disebut juga pencicipan jarak jauh, karena manusia dapat mengenal enaknya
makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari jarak jauh
(Soekarto, 1985). Proses pembuatan bakso dapat mempengaruhi aroma bakso seperti
jenis, lama dan temperatur pemasakan. Selain itu, aroma daging olahan juga
dipengaruhi oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama pemasakan khususnya
bumbu (Devidek et al., 1990). Rataan aroma mutu hedonik bakso berkisar antara
2,85 sampai 3,05. Berdasarkan uji Kruskall-Wallis terhadap mutu hedonik aroma
menunjukkan sangat nyata (P<0,01), bahwa perlakuan I sampai III dan bakso ayam
berbeda dengan aroma bakso sapi. Bakso kontrol sapi memiliki aroma bakso khas
daging. Sedangkan bakso ayam dan bakso rasio antara perlakuan I sampai III
menujukkan agak aroma bakso. Hal ini disebabkan penambahan daging ayam hingga
25% akan mengurangi aroma bakso daging. Berdasarkan nilai modus aroma bakso
perlakuan I dan perlakuan III agak aroma bakso sedangkan bakso perlakuan II tidak
aroma bakso. Hal ini berarti bakso tersebut dipengaruhi oleh aroma bumbu. Rataan
nilai hedonik aroma bakso perlakuan I, perlakuan II dan perlakuan III berkisar antara
25
2,23 sampai 2,47 artinya panelis cenderung agak suka. Aroma bakso sapi dan bakso
ayam agak disukai panelis dengan nilai rataan sekitar 2,52 sampai 2,98. Penggunaan
daging sapi dan daging ayam memberikan tingkat kesukaan yang sama terhadap
bakso. Berdasarkan hasil uji aroma bakso menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) antara bakso sapi dengan bakso lainnya. Berdasarkan nilai modus aroma
bakso dengan penambahan daging ayam 25% (perlakuan I) dan 75% (perlakuan III)
agak disukai dibandingkan dengan bakso yang 50% (perlakuan II) disukai oleh
panelis.
Rasa
Rasa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai penerimaan
seseorang terhadap suatu makanan. Penerimaan panelis terhadap rasa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain suhu, senyawa kimia, konsentrasi dan interaksi
dengan komponen lainnya (Winarno, 1991). Rasa adalah faktor penentu daya terima
konsumen terhadap produk pangan. Rasa bakso dibentuk oleh berbagai rangsangan
bahkan terkadang juga dipengaruhi oleh aroma dan warna. Umumnya ada tiga
macam rasa bakso yang sangat menentukan penerimaan konsumen yaitu kegurihan,
keasinan dan rasa daging (Andayani, 1999). Tingkat mutu hedonik terhadap rasa
sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh perlakuan pencampuran daging sapi dan
daging ayam. Rasa bakso dengan campuran daging ayam 75% agak rasa bakso yang
cenderung terasa bakso dengan rataan 2,93. Panelis lebih menyukai rasa bakso
daging sapi dan daging ayam dengan penambahan 25% hinggga 50%. Berdasarkan
nilai modus rasa bakso perlakuan I dan III agak rasa bakso, tetapi pada perlakuan II
dapat dikelompokkan agak rasa bakso atau rasa bakso karena jumlah modusnya
sama. Rataan nilai hedonik rasa bakso rasio antara daging sapi dan daging ayam
perlakuan I, perlakuan II dan perlakuan III berkisar antara 2,48 sampai 2,73 artinya
panelis cenderung agak suka. Sedangkan rasa bakso sapi disukai panelis dengan nilai
rataan sekitar 3,20. Berdasarkan hasil uji rasa bakso menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) antara bakso sapi dengan bakso lainnya. Panelis memberikan
tingkat kesukaan rasa yang sama terhadap perlakuan I sampai perlakuan III dengan
bakso kontrol daging ayam. Berdasarkan nilai modus rasa semua bakso disukai oleh
panelis.
26
Kekenyalan
Kekenyalan mempengaruhi palatabilitas seseorang terhadap suatu produk.
Kekenyalan didasarkan pada kemudahan waktu mengunyah tanpa kehilangan sifat-
sifat jaringan yang layak. Kekenyalan melibatkan kemudahan awal penetrasi gigi ke
dalam bakso, kemudian mengunyah menjadi potongan yang lebih kecil dan jumlah
residu yang tertinggal selama pengunyahan (Lawrie, 2003). Kekenyalan bakso yang
dihasilkan dipengaruhi oleh daya mengikat air dan struktur daging yang mudah
mengekstrak protein. Struktur daging ayam yang longgar dapat meningkatkan
kemampuan mengikat air pada bakso, sehingga akan menghasilkan bakso yang
kenyal tidak mudah pecah bila ada tekanan.
Perlakuan I dan perlakuan II pada penelitian ini dapat menggantikan daging
sapi hingga 50% karena dapat meningkatkan kemampuan daya serap air pada bakso,
sehingga akan menghasilkan bakso yang kenyal atau tidak mudah pecah bila ada
tekanan atau dikunyah. Tingkat mutu hedonik kekenyalan bakso berdasarkan uji
Kruskall-Wallis sangat dipengaruhi (P<0,01) terhadap bakso kontrol sapi dan
perlakuan I terhadap bakso perlakuan II, perlakuan III dan kontrol ayam. Bakso
perlakuan I lebih kenyal dibandingkan dengan bakso perlakuan II. Bakso perlakuan
II berbeda kekenyalannya dengan bakso perlakuan III. Berdasarkan nilai modus
kekenyalan bakso perlakuan I dan perlakuan II kenyal sedangkan pada bakso
perlakuan III agak kenyal. Kekenyalan bakso dipengaruhi oleh kondisi daging dan
daya serap air. Rataan nilai kekenyalan berkisar antara 2,42 sampai 2,73 agak suka
hingga cenderung suka. Rataan nilai bakso sapi 3,18 disukai oleh panelis dan rataan
nilai bakso ayam 2,33 agak disukai oleh panelis. Bakso daging ayam agak kenyal
sehingga agak disukai oleh panelis. Berdasarkan uji Kruskall-Wallis menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara bakso sapi berbeda dengan bakso
perlakuan I dan II yang berbeda juga terhadap bakso perlakuan III dan bakso ayam.
Berdasarkan nilai modus kekenyalan semua bakso disukai oleh panelis.
Perhitungan Biaya
Perhitungan biaya secara sederhana dilakukan untuk menekan biaya
pembuatan bakso dan sebagai standar biaya untuk melihat perbedaan biaya yang
dikeluarkan untuk setiap pembuatan bakso per kg daging. Perhitungan biaya ini
didasarkan pada harga bulan April sampai Mei 2010 dan diasumsikan harga tersebut
27
konstan selama periode penelitian. Setiap adonan bakso tersebut dapat menghasilkan
jumlah butir bakso yang berbeda dengan ukuran diameter bakso yang sama (± 2,5
cm). Bakso dengan penambahan daging ayam 25% menghasilkan 230 butir bakso
dengan harga per butir Rp. 247,3; penambahan 50% daging ayam menghasilkan 210
butir bakso dengan harga per butir Rp. 247,1; dan penambahan daging ayam 75%
menghasilkan 210 butir bakso dengan harga per butir Rp. 233,3. Biaya pembuatan
bakso per kg daging dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Biaya Pembuatan Bakso per kg Daging
Perlakuan Taraf Penambahan
Daging Ayam
Biaya per kg
Daging
Harga per
butir (Rp)
Jumlah Rataan bakso
(butir) per kg daging
I 25% daging ayam 56886 247,3 230
II 50% daging ayam 51886 247,1 210
III 75% daging ayam 46886 233,3 210
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 10. menunjukkan
bahwa setiap penambahan daging ayam 25% menjadi 50%, maka harga per butir
bakso akan turun sebesar 0,08% dan setiap penambahan daging ayam 50% hingga
75% akan turun sebesar 5,58%. Apabila dikaitkan dengan kualitas fisik dan
organoleptik, maka bakso perlakuan II yaitu penambahan daging ayam 50% lebih
menguntungkan daripada bakso yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Rasio penambahan daging ayam hingga 75% mempengaruhi nilai pH, tetapi
tidak berpengaruh terhadap kualitas sifat fisik yang lain. Bakso perlakuan I dan
perlakuan II nyata lebih disukai oleh panelis daripada bakso dengan penambahan
daging ayam 75%. Berdasarkan nilai modus hedonik panelis lebih menyukai
keseluruhan parameter pada bakso dengan penambahan daging ayam 50%. Hasil uji
mutu hedonik menunjukkan semua bakso mempengaruhi semua parameter yang
diamati. Perhitungan biaya apabila dikaitkan dengan kualitas fisik dan organoleptik,
maka bakso perlakuan dengan penambahan daging ayam 50% lebih menguntungkan
daripada bakso yang lain.
Saran
Rasio antara daging sapi dan daging ayam bagi produsen bakso sebaiknya
dengan menambahkan daging ayam hingga taraf 50%. Perlu pengamatan lebih lanjut
pada aspek kimia bakso dari penelitian ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan karunia-Nya serta shalawat beriring salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rasulullah SAW. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan pada Ibu Ir. Hj. Komariah, M.Si, dan Bapak Bramada Winiar Putra, S.Pt,
sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan dan arahan selama penulis
menyelesaikan skripsi. Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M.Agr. Sc selaku
pembimbing akademik yang juga telah memberikan bimbingan akademiknya sejak
penulis terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.
Kepada Bapak Taufik selaku staf laboratorium Seafast Center dan Bapak Edit Lesa
Aditiya S.Pt dari Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB yang telah banyak
membantu selama penelitian. Terima kasih disampaikan juga kepada bapak Bramada
Winiar Putra, S.Pt selaku dosen penguji seminar, Ibu Irma Isnafia Arief, S.Pt. M.Si
dan Ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, M.Sc selaku dosen penguji sidang yang telah
memberikan banyak masukan demi terselesaikannya skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga tercinta mama
Suarni, Papa H. Amril Muis, Adik-adik penulis yaitu Silviani Amril, Herizal Fauzi,
Sofyan Ali, Arlen Amril dan Baihaqi Amril, dan dari Mak (nenek) Os (Rosna) serta
keluarga mama, Umi (nenek) Masna, Ayah (kakek) Abdul Muis serta keluarga papa
dan semua saudara yang senantiasa memberikan dorongan dan semangat cinta kasih
kepada penulis dari jauh. Tak lupa ucapan terimakasih penulis sampaikan pada Nurul
Hikmah dan Noni Puspita atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian, dan juga
terimakasih penulis sampaikan pada Dianti Desita Sari, S.Pt, Mutia Fani S.Pt., Tia
Irmayanty A. S.Pt., Adi Sapto atas dukungannya. Terimakasih kepada teman-teman
IPTP 43, rekan Wisma Agung 3, dan segenap teman-teman yang tak dapat
disebutkan satu-persatu atas kebersamaan selama ini. Terimakasih pula pada seluruh
staf pengajar serta staf pegawai Fakultas Peternakan IPB yang telah banyak
memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menyelesaikan pendidikan dan
seluruh sahabat yang memberikan banyak dukungan kepada penulis. Semoga Allah
tetap melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya kepada mereka.
Bogor, September 2010
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D., J.C. Forrest., D.E. Gerrard & E.W. Mills. 2001. Principles of Meat
Science. Fourth Edition. Kendall/Hunt Publishing Company, Lowa.
Abubakar, 2003. Mutu karkas ayam hasil pemotongan tradisional dan penerapan
sistem Hazard Analysis Critical Control Point. Jurnal. Litbang Pertanian.
Balai Penelitian Ternak, Bogor. 22(1).
Andayani, R. Y. 1999. Standarisasi mutu bakso berdasarkan kesukaan konsumen
(studi kasus bakso di wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggraeni, Y. 2005. Sifat fisik daging dada ayam broiler pada berbagai lama
postmortem di suhu ruang. Skripsi. Fakultas Teknologi Hasil ternak. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
AOAC. 1995. Offiial Method of Analysis. Association of Official Analytical
Chemist, Washington DC.
Devidek, J., J. Velisek & J. Pokrny. 1990. Chemical Changes during Food
Processing. Elsevier, New York.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Bakso Daging Sapi SNI 01-3818. Standarisasi
Nasional Indonesia, Jakarta.
Dewan Standarisasi Nasional. 1995. Daging Sapi SNI 01-3947. Standarisasi
Nasional Indonesia, Jakarta.
Fadlan, F. 2001. Mempelajari pengaruh bahan pengisi dan bahan tambahan makanan
terhadap mutu fisik dan organoleptik bakso sapi. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fardiaz, D., N. Andarwulan, H. W. Hariantono & N. L. Puspita. 1992. Teknis
Analisa Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Farel, K. T. 1990. Spices, Condiments & Seasonings. 2nd
Ed. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Gunenc, A. 2007. Evaluation of pork meat quality by using water holding capacity
and vis-spectroscopy. Thesis. Department of Bioresource Engineering.
Macdonald Campus, McGill University. Montreal, Quebec, Canada.
http://comenius.susqu.edu/bi/320/L5%20Muscle.ppt, viewed Nov. 20th
,
2007. [28 Juli 2010].
Hendrickson R. L. 1987. Meat Poultry, and Seafood Technology. Pretice Hall, inc.,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan. Aminuddin Parakkasi. Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Lukman, D. W, Sanjaya A. W, Sudarwanto. M, Soejoedono R.R, Purnawarman T, &
Latif. H. 2007. Higiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
30
Muchtadi, T. R. & Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Muhibiddin. 2007. Mempelajari pengaruh penambahan jenis dan konsentrasi serat
terhadap mutu produk bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th
Ed. Dept. of Animal Science
The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and
Development Center, USA.
Purnomo, H. 1990. Kajian mutu bakso daging sapi, bakso urat dan bakso aci di
daerah Bogor. Skripsi. Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Purnomo, H. & Rahardiyan, D. 2008. Indonesian Traditional Meatball. Journal.
15(2): 101-108(2008).
Ranken, M. D. 2000. Water Holding Capacity of Meat and Its Control Them. And
Inc., 24: 1502.
Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.
Institut Petanian Bogor Press, Bogor.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press,
Yogyakarta.
Steel, R.G.D. & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Terjemahan. Bambang Sumantri Edisi 2. PT. Gramedia. Pustaka
Umum, Jakarta.
Sudrajat, G. 2007. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging kerbau dengan
penambahan karagenan dan khitosan. Skripsi. Teknologi Hasil Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan
natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu.
Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sunarlim, R. 2000. Penggunaan berbagai konsentrasi NaCl dan jenis daging terhadap
mutu bakso. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen
untuk Pengembangan lndustri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 408-418.
Suradi, K. 2003. Perubahan sifat fisik daging ayam broiler postmortem selam
penyimpanan temperatur ruang. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas
Padjadjaran, Bandung. [23 Juli 2010].
Triatmojo, S. 1992. Pengaruh penggantian daging kerbau, ayam dan kelinci pada
komposisi dan kualitas fisik bakso. Buletin Peternakan, Vol. 16, ISSN 0126-
4400.
Triyantini, R. Sunarlim, Abubakar & J. Darm. 1987. Penambahan bahan pengikat
terhadap sifat fisiko-kimia bakso kelinci. Abstrak dari Laporan Penelitian
Balai Penelitian Ternak, Bogor.
31
Usmiati, S. 2009. Bakso sehat. Artikel. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Vol. 31, No. 6 2009. [1 Maret 2010].
Voight. 1995. Stabilitas Emulsi. www.marthian.co.nr. [1 Maret 2010].
Wikipedia. 2010. Otot rangka. www.wikipedia.com. [15 September 2010].
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F. G., S. Fardiaz & D, Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT
Gramedia, Jakarta.
Wulandari, A. 2009. Kualitas fisik dan organoleptik bakso daging sapi yang
diawetkan dengan substrat antimikroba Lactobacillus spp. 1A5 pada
penyimpanan suhu ruang. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer, New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Format Lembar Kuisioner Uji Organoneptik
UJI ORGANOLEPTIK
Uji Mutu Hedonik
Nama kode produk : Bakso daging sapi + daging ayam
Nama Panelis :
Tanggal dan Waktu pengujian : 6 Mei 2010
Peubah yang
diamati
Kontrol Kode produk
Bakso sapi Bakso ayam 201 202 203
Warna
Aroma
Rasa
Kekenyalan
Keterangan :
Warna : 1 = sangat gelap Aroma : 1 = sangat tidak aroma bakso sapi
2 = gelap 2 = tidak aroma bakso sapi
3 = agak pucat 3 = agak aroma bakso sapi
4 = pucat 4 = aroma bakso sapi
5 = sangat pucat 5 = sangat aroma bakso sapi
Rasa : 1 = sangat tidak rasa bakso sapi Kekenyalan : 1 = sangat tidak kenyal
2 = tidak rasa bakso sapi 2 = tidak kenyal
3 = agak rasa bakso sapi 3 = agak kenyal
4 = rasa bakso sapi 4 = kenyal
5 = sangat rasa bakso sapi 5 = sangat kenyal
34
UJI HEDONIK
Nama kode produk : Bakso daging sapi + daging ayam
Peubah yang
diamati
Kontrol Kode produk
Bakso sapi Bakso ayam 201 202 203
Warna
Aroma
Rasa
Kekenyalan
Keterangan:
1 tidak suka
2 agak suka
3 suka
4 sangat suka
35
Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Daya Serap Air
Sumber db JK KT F hitung Nilai P
Perlakuan 2 0,2233 0,1117 2,80 0,097tn
Periode 2 0,0433 0,0217 0,54 0,593
tn
Galat 13 0,5183 0,0398
Total 17 0,7850
Keterangan : tn = tidak nyata
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Nilai pH
Sumber db JK KT F hitung Nilai P
Perlakuan 2 0,0733 0,0366 14.41 0,001*
Periode 2 0,2862 0,1431 56,27 0,000*
Galat 13 0,0330 0,0025
Total 17 0,3926
Keterangan : * = sangat nyata
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Kekenyalan
Sumber db JK KT F hitung Nilai P
Perlakuan 2 92,660 46,330 0,550 0,591tn
Periode 2 136,190 68,100 0,810 0,468
tn
Galat 13 1097,690 84,44
Total 17 1326,540
Keterangan : tn = tidak nyata
36
Data Mutu Hedonik
Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Warna
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 2,00 2 85,20 -6,52 39
202 B (Perlakuan II) 60 3,00 3 153,40 0,29 40
201 C (Perlakuan III) 60 4,00 4 193,10 4,25 31
Kontrol Bakso Sapi 60 2,00 2 67,60 -8,28 46
Kontrol Bakso Ayam 60 5,00 5 253,20 10,26 32
Total 300 150,50 H = 187,52 DF = 4 P = 0,000 H = 201,31 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
Lampiran 6. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Aroma
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 3,00 3 148,30 -0,22 25
202 B (Perlakuan II) 60 3,00 2 130,60 -1,99 25
201 C (Perlakuan III) 60 3,00 3 129,30 -2,11 30
Kontrol Bakso Sapi 60 4,00 4 213,60 6,30 31
Kontrol Bakso Ayam 60 3,00 3 130,80 -1,97 26
Total 300 150,50 H = 41,62 DF = 4 P = 0,000 H = 45,97 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Rasa
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 3,00 3 138,60 -1,19 24
202 B (Perlakuan II) 60 3,00 3; 4 145,40 -0,50 26
201 C (Perlakuan III) 60 3,00 3 110,80 -3,96 30
Kontrol Bakso Sapi 60 4,00 4 215,50 6,49 35
Kontrol Bakso Ayam 60 3,00 4 142,10 -0,84 24
Total 300 150,50 H = 48,19 DF = 4 P = 0,000 H = 54,85 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik Kekenyalan
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 4,00 4 192,40 4,19 26
202 B (Perlakuan II) 60 4,00 4 158,00 0,75 34
201 C (Perlakuan III) 60 3,00 3 106,90 -4,36 27
Kontrol Bakso Sapi 60 4,00 4 194,50 4,39 39
Kontrol Bakso Ayam 60 3,00 2 100,80 -4,96 23
Total 300 150,50 H = 64,70 DF = 4 P = 0,000
H = 72,34 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
37
Data Hedonik
Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Warna
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 3,00 3 161,40 1,09 36
202 B (Perlakuan II) 60 2,50 3 140,90 -0,96 28
201 C (Perlakuan III) 60 2,00 2 123,00 -2,75 31
Kontrol Bakso Sapi 60 3,00 3 209,40 5,88 42
Kontrol Bakso Ayam 60 2,00 3 117,80 -3,27 26
Total 300 150,50 H = 43,90 DF = 4 P = 0,000 H = 52,00 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Aroma
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 2,00 2 132,10 -1,84 29
202 B (Perlakuan II) 60 2,50 3 146,00 -0,45 27
201 C (Perlakuan III) 60 2,00 2 119,50 -3,09 34
Kontrol Bakso Sapi 60 3,00 3 201,60 5,10 39
Kontrol Bakso Ayam 60 3,00 3 153,30 0,28 31
Total 300 150,50 H = 31,42 DF = 4 P = 0,000 H = 37,33 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
Lampiran 11. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Rasa
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 3,00 3 134,80 -1,57 26
202 B (Perlakuan II) 60 3,00 3 148,50 -0,20 33
201 C (Perlakuan III) 60 3,00 3 122,70 -2,78 32
Kontrol Bakso Sapi 60 3,00 3 197,70 4,71 36
Kontrol Bakso Ayam 60 3,00 3 148,80 -0,17 35
Total 300 150,50 H = 25,96 DF = 4 P = 0,000 H = 31,62 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
Lampiran 12. Uji Kruskal-Wallis Hedonik Kekenyalan
Kode Sampel Jumlah
Panelis
Median Modus Peringkat
Rata-rata
Z N untuk
Modus
203 A (Perlakuan I) 60 3,00 3 152,30 0,18 24
202 B (Perlakuan II) 60 3,00 3 157,30 0,68 39
201 C (Perlakuan III) 60 2,00 3 122,90 -2,76 27
Kontrol Bakso Sapi 60 3,00 3 200,90 5,03 36
Kontrol Bakso Ayam 60 2,00 3 119,10 -3,14 26
Total 300 150,50 H = 34,60 DF = 4 P = 0,000
H = 40,76 DF = 4 P = 0,000 (adjusted for ties)
38
Lampiran 13. Perincian Biaya Pembuatan Bakso per kg Daging
Bahan Baku Harga
per kg
(Rp)
Perlakuan I (75%
daging sapi dan
25% daging ayam)
Perlakuan II (50%
daging sapi dan
50% daging ayam)
Perlakuan III (25%
daging sapi dan
75% daging ayam)
(g) (Rp) (g) (Rp) (g) (Rp)
Daging Sapi 60000 750 45000 500 30000 250 15000
Daging Ayam 40000 250 10000 500 20000 750 30000
Tepung Tapioka 7000 200 1400 200 1400 200 1400
Merica 40000 3 120 3 120 3 120
Bawang Putih 12000 3 36 3 36 3 36
Garam 2000 40 80 40 80 40 80
STPP 50000 3 150 3 150 3 150
Es Batu 500 200 100 200 100 200 100
Total biaya (Rp) 56886 51886 46886
Rataan bakso (butir) 230 210 210
Harga per butir (Rp) 247,3 247,1 233,3