shivering referat

23
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi. Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obatan dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada pasca anestesi. Page 1

Upload: josephine-holland

Post on 28-Dec-2015

114 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

menggigil

TRANSCRIPT

Page 1: Shivering Referat

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi

pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian

bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan

penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik/sedasi,

analgesi dan relaksasi otot.

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan

menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu

keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya

sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi

umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional.

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap

pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan

pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.

Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu

anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat

penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obatan dan

macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul

pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada pasca anestesi.

Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat

dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan pengawasan ketat

serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan

komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.

Page 1

Page 2: Shivering Referat

BAB II

Pembahasan

Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil berupa tremor

ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia selama anestesi

regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan

bersifat involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non

termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih

sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen

halogen dapat terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai

menggigil juga dapat terlihat.6

FISIOLOGI

Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5 0C pada suhu lingkungan

dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur

untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal.

Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu

mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.

Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan

eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada pasien

yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia

perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi

oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output,

takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi hipotermia adalah temperatur

inti 10C lebih rendah di bawah standar deviasi rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan

istirahat dengan suhu lingkungan yang normal (28‐35C). Kerugian paska operasi yang disebabkan

oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan

fungsi jantung yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.

Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor

sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon eferen. Input temal aferen

datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur

tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi

bila ada peningkatan produksi panas. Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui

sebagai satu‐satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur

Page 2

Page 3: Shivering Referat

serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada

daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain, medula

oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai termosensitif,

diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk respon

pertahanan tubuh. Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan

jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom

Termosensor dan Jalur Saraf Aferen

Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh dari penelitian

pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Receptor termal terdapat

pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan memberikan kontribusi

terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25‐300C.

Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ. Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu

45‐500C dan berjalan pada serabut saraf tipe C.

Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan dalam

waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan

dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur

lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian terhadap

sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi

panas tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap dingin

dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas. Reseptor

dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang

berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus.

Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak begitu jelas

secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila temperatur inti

tubuh menurun kurang dari 360C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu penting bila

dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda

spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan aktif bila temperatur inti tubuh

di bawah titik ambang batas set‐point dan kurang sensitif terhadap termoreseptor perifer

Page 3

Page 4: Shivering Referat

Alur control termolegulasi

Hipotalamus Pusat Integrasi

Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang berada

di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan

hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik hipotalamus berisi

saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam

saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang

diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas

meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan

panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin

tubuh pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol

oleh hipotalamus posterior, formatio retikularis, dan medula spinalis.

Page 4

Page 5: Shivering Referat

Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan

stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan respon efektor.

Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor

dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,5C dibawah nilai normal, neuron preoptik akan menjadi

tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih

banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas. Suatu penelitian terhadap manusia

menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu :

deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap

dingin, dan inhibisi termoregulasi keringat terhadap kulit yang dingin.

Temperatur set‐point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐ 37,1C.

Set‐point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan pada manusia

sangat unik. Pada manusia set‐point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,20C sampai

menjelang pagi, meningkat lebih dari 10C menjelang malam. Wanita memiliki nilai set‐point yang

lebih tinggi 10C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti space‐

occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan temperatur set‐point

dengan mekanisme yang belum jelas.

Hubungan hipotalamus dan hypotermi

Page 5

Page 6: Shivering Referat

Respon Efektor

Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan tingkah laku yang secara

kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan

vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan vasodilatasi dan

berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan peningkatan rata‐rata

metabolisme. Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan

dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat mengindikasikan

adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui

hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini menimbulkan perubahan tingkah

laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai

penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari oleh besarnya signal

panas yang diterima kulit. Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan

untuk mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar

dibawah ini

Mekanisme kontrol termoregulasi

Page 6

Page 7: Shivering Referat

PATOFISIOLOGI

Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan anestesi dan

mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan anestesi baik umum maupun

regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus mengetahui management kontrol termoregulasi

pasien. Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan

peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin.

Hampir semua obat‐obat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur inti pada

anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0‐1,50C selama satu jam pertama anestesi yang

diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang

vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi ukurannya kurang dari

0,60C dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok.

Hubungan anestesi dengan penurunan core temperature

Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi dengan

pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada dosis ekuivalen

plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme

gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga

perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade regional pada jalur informasi

termal aferen.

Page 7

Page 8: Shivering Referat

Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi)

Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi

Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil dan pada inti hipotermi pada jam

pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1– 20C, hal ini berhubungan

dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer dimana spinal menyebabkan

vasodilatasi.

Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi disebabkan karena

ketidakmampuan kompensasi otot di bawah ketinggian blokade untuk terjadinya menggigil. Sama

seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi pada jam pertama anestesi, atau setelah dilakukan

tindakan anestesi spinal. Hal ini terjadi karena proses redistribusi panas inti tubuh ke perifer oleh

vasodilatasi yang disebabkan blokade anestesi spinal.

Page 8

Page 9: Shivering Referat

Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi juga

karena faktor lain seperti cairan infus atau cairan irigasi yang dingin, temperature ruangan operasi

dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami penurunan temperatur tubuh oleh karena terjadi

redistribusi panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian cairan dengan suhu yang rendah

akan memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien yang menjalani pembedahan terutama

pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk mempertahankan temperatur tubuh pada keadaan

stress sudah menurun.

Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan kejadian

menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya, tetapi penghangatan ini tidak berlaku

pada pasien yang tidak hamil karena tidak ada perbedaan jika diberikan dalam keadaan dingin atau

hangat. Menggigil selama anestesi regional dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan

yang optimal, pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat.

Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi terhadap dingin.

Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin secara subjektif tergantung pada

input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh regional anestesi.

Setelah terjadi redistribusi panas tubuh ke perifer pada induksi anestesi umum dan regional,

hipotermia selanjutnya tergantung pada keseimbangan antara pelepasan panas pada kulit dan

metabolisme panas yang akan melepas panas tubuh. Selama anestesi spinal terdapat dua faktor

yang akan mempercepat pelepasan panas dan mencegah timbulnya perubahan temperatur inti yang

terlihat setelah anestesi : pertama, dengan menurunkan ambang vasokonstriksi yang digabungkan

dengan vasodilatasi pada tungkai bawah selama blok terjadi. Oleh karena itu kehilangan panas

terus berlangsung selama anestesi spinal meskipun mekanisme aktivitas efektor berlangsung di atas

ketinggian blok. Hal ini terlihat khususnya pada kombinasi antara anestesi umum dan epidural.

Kedua, anestesi spinal menurunkan ambang vasokonstriksi selama tindakan anestesi dan

meningkatkan rata‐rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi umum saja karena

vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas bawah dihambat oleh blokade

itu sendiri.

Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme

kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Rangsangan

dingin akan diterima afektor diteruskan ke hipothalamus anterior dan memerintahkan bagian

efektor untuk merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan bersifat

involunter serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600% diatas basal. Mekanisme ini akan

dihambat oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada lingkungan yang dingin dan dapat

Page 9

Page 10: Shivering Referat

meningkat pada saat penghentian anestesia. Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh

hipotermia dapat memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan

meningkatkan konsumsi oksigen 100% ‐ 600% , dan meningkatkan resiko angina dan aritmia pada

pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Morbiditas yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan

cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan metabolik (hal ini dapat membahayakan pada

pasien dengan cadangan hidup yang terbatas dan yang berada pada resiko kejadian koroner),

menimbulkan nyeri pada luka, meningkatkan produksi CO2, denyut jantung, memicu

vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan darah, dan volume

jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial. Sebagai

tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat pada pasien hipotermik.

Karena alasan‐alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu normal merupakan baku

perawatan.

Page 10

Page 11: Shivering Referat

BAB V

ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang pasien

didiagnosis G2P1A0 hamil 40 minggu, bekas SC, dengan ASA I, yakni pasien sehat organik,

fisiologik , psikiatrik dan biokimia. Pasien dianjurkan untuk melakukan operasi Sectio Caesaria

karena posisi janin tunggal hidup persentasi kepala dengan CPD dan bekas Secsio Caesaria.

Menjelang operasi pasien tampak sakit ringan, tenang, kesadaran compos mentis. Pasien sudah

dipuasakan selama lebih dari 8 jam. Jenis anestesi yang dilakukan yaitu anestesi spinal.

Pada pasien diberikan bupivacaine 15 mg sebagai obat anesesia regional, cara kerja dari

bupivacaine adalah sebagai inhibitor perubahan ionic pada saat neuron menghantarkan impuls.

Kemajuan anesteia berubungan dengan semakin lambatnya hantaran serat saraf yang terkena

dengan kehilangan fungsi yang berurutan: (1) otonomik, (2)nyeri, (3) suhu, (4) raba,

(5)propriosepsi dan (6) tonus otot skelet. Namun perlu diperhatikan terjainya hipotensi seperti

anestesi spinal dan epidural yang lain karena hal ini disebabkan oleh hilangnya tonus simpatik.

Bupivacain juga dikenal sebagai kardiotoksisitas, hal ini disebabkan oleh blockade dari saluran

natrium yang menyebabkan depresi kontraktilitas dan hantaran jantung yang lebih besar.

Pada saat tekanan darah pasien 86/54mmHg diberikan efedrin 25mg iv. Efedrin merupakan

golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan di tumbuhan efedra

sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang

peranan dalam “efek secara langsung” pada sel efektor. Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja

pada reseptor α, α1, α2. Efek pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil

siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1

berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan

TD. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Efedrin yang

diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek

kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama.

Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh

stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut

jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.

Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rekat.

Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.

Page 11

Page 12: Shivering Referat

Pada Pasien diberikan oxytocyn 10 IU dan methergin 0.2mg. Oxytosin dan methergin sama-

ama ditujukan untuk kotraksi uterus yang diharapkan dapat menekan perdarahan yang merupakan

salah satu faktor yang mempersulit pasien dengan Hb yang rendah. Oxytosin ditujukan untuk

meningkatkan kekuatan maupun frekuensi kontraksi ritmik yang ada dan meningkatkan tonus

perototan uterus. Disamping itu methergin adalah suatu alkaloid ergot semisintetik yang berfungsi

untuk meningkatkan tonus, kecepatan, dan amplitude kontraksi ritmik uterus. Kombinasi antara

oxytosin dan methergin sering digunakan pada persalinan disebabkan efek obat yang saling

membantu, oxytosin yang memiliki efek short acting dan konstriksi kuat uterus dan methergin

yang memiliki efek yang lebih long acting namun mempertahankan amplitudo kontraksi uterus

untuk mencegah perdarahan uterus.

Pada pasien diberikan Tramadol 100 mg sebagai analgetik kuat bekerja pada reseptor opiat,

bekerja secara steriospesifik pada reseptor di system saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri

dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari

saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang sehingga impuls nyeri terhambat.

Pada saat pasien dibangunkan pada 17.45 WIB, pasien mengeluh dingin dan menggigil pada

seluruh tubuh. Pada pasien diberikan petidine 2mg iv. a. Mekanisme pethidin sebagai antishivering

mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine,

antagonis reseptor NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α2. Meperidin

(petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor μ. Seperti halnya morfin, meperidin

(petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya.

Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih

tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan

morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. Absorbsi meperidin dengan cara

pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah

suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai

antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma

menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat.

Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam

hati. Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra

kranial. Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang

menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi..

Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tiap 5 menit secara efisien dan terus

menerus, dan pemberian cairan intravena Asering. Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi

Page 12

Page 13: Shivering Referat

dilanjutkan pada pasien postoperatif di Recovery Room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital

meliputi tekanan darah, nadi dan respirasi

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas

masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK

Letak posisi janin tunggal hidup persentasi kepala dengan CPD dan bekas Secsio Caesaria

akan menyulitkan persalinan secara spontan pervaginam, sehingga dilakukan kembali Sectio

Caesaria.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.

2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan).

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi yang

aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi perdarahan. Pada

pasien ini teknik sectio caesaria yang digunakan adalah diseksi thermal menggunakan electocauter

dimana perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit karena pemotongan jaringan

maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.

C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

Pada kasus ini, pada saat pasien dibangunkan sempat terjadi shivering (menggigil). Etiologi

menggigil masih belum jelas, tetapi diperkirakan bahwa hipotermia selama pembedahan dan

gangguan pada pusat termoregulator merupakan faktor penyebab yang utama. Penelitian

elektromiografi menunjukkan bahwa menggigil paska tindakan anestesi berbeda dengan menggigil

yang disebabkan oleh flu. Faktor lain yang diperkirakan sebagai modulator menggigil meliputi

penggunaan obat anestesi, dan respon febril. Menggigil merupakan respon terhadap hipotermia

selama pembedahan dengan anestesi regional dan general yang terjadi karena perbedaan antara

suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh. Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada

dalam resiko untuk mengalami hipotermia. Ahli anestesi menempatkan menggigil pada posisi ke‐8

sebagai yang sering terjadi dan ke‐21 sebagai komplikasi yang perlu dicegah. Pada manusia suhu

inti tubuh dipertahankan dalam batas 36.5 ‐ 37.5°C. Walaupun literatur yang ada saat ini tidak

memberikan definisi yang jelas tentang normotermia ataupun hipotermia tetapi para ahli

menyatakan bahwa normotermia berada pada temperatur inti yang berkisar antara 36ºC‐38ºC

(96.8ºF‐100.4ºF). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 36ºC (96.8ºF). Hipotermia

Page 13

Page 14: Shivering Referat

dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien mengeluh merasa kedinginan atau menampilkan

gejala hipotermia seperti menggigil, vasokonstriksi perifer, dan piloereksi.

Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi.2 Yang mana anestesi spinal

menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer panas antar

kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi, meliputi berikut ini :

1. Suhu ruangan

2. Lama dan jenis prosedur bedah

3. Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll)

4. Status hidrasi

5. Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin

Untuk mengatasinya diberikan petidine 25 mg.

Fungsi petidine pada shivering (menggigil)

Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang

menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi. Mekanisme pethidin sebagai

antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic

monoamine, antagonis reseptor NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α2.

Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor-μ dan reseptor-k dan

merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya, pethidin hampir sama

dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine. Petidin intratekal akan berikatan dengan

reseptor-μ dan reseptor-k di mana reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang

menggigil. Petidin intratekal juga akan menstimuli reseptor-α2 dimana jika reseptor ini distimuli

akan meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis reseptor

NMDA (N-methyl d aspatartate).

Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin pada

hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan terjadinya menggigil dan

vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu untuk terjadinya menggigil.

Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada

medulla spinalis dimana hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju

hypothalamus.

Page 14

Page 15: Shivering Referat

Struktur kimiawi dari pethdin

FARMAKOKINETIK

Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM dari pethidin

memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin 2-4 jam, sedikit lebih

pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik, pethidin menghasilkan efek sedasi,

euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin

baik diabsorpsi di saluran cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya ½ kali efektiviatasnya.

Waktu paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah penyuntikan

pethidin intrathecal hanya 0,4 % dari dosis awal yang terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi

pethidin pada C7-T1 turun dengan cepat,hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed

depresi respirasi. Efek sistemik lama timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat

pethidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam

sistem vena dan limphatik.

Page 15

Page 16: Shivering Referat

BAB VI

KESIMPULAN

Shivering dapat disebabkan oleh beberapa sebab antara lain suhu ruangan, lama dan jenis

prosedur bedah, kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll), status

hidrasi dan penggunaan cairan dan irigasi yang dingin. Pada kasus ini yang terjadi pada pasien

dapat disebabkan oleh suhu ruangan, kehamilan, dan penggunaan cairan yang dingin.

Page 16