shalat gerhana matahari dan bulan (studi komperatif …repository.uinjambi.ac.id/2468/1/spm 160023...
TRANSCRIPT
-
SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN
(STUDI KOMPERATIF MENURUT
HANAFIYAH DAN SYAFI’IYAH)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Syariah
Pada Fakultas Syariah
Oleh:
ABU ZAR BIN ADIN
NIM: SPM 160023
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
J A M B I
1440 H / 2018 M
-
i
MOTTO
بسم ميحرلا نمحرلا هللا
ْمِس َوََل لِْلَقَمِر َواْسُجُدوا لِِلَِّ ْمُس َواْلَقَمُر ََل َتْسُجُدوا لِلشَّ ْوُل َوالنََّهاُر َوالشَّ َوِمْن آَياتِِه اللَّ
اُه َتْعُبُدونَ الَِّذي َخَلَقُهنَّ إِن ُكنُتْم إِيَّ
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah
kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-
Nya.”1
1 Al-Quran Tajwid Warna dan Terjemahan Humairah (Kajang, Selangor: Humairah
Bookstore Enterprise, 2012) Fushshilat(41): 37
-
iii
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini
Untuk orang-orang yang kucintai
Ibunda Dan Ayahanda Tercinta
Ayahanda Adin bin Haji Ismail dan ibunda Khatijah binti Rabi yang telah mendidik dan
mengasuh ananda dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang, agar kelak ananda
menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa,
dan dapat meraih
cita-cita.
Kekanda Di Sayangi
Untuk kakanda (Muhammad Indera Putera Zubair bin Adin) yang banyak memberi motivasi
Abang-abang dan Adik-adik (Muhamad Zaqwan, Abu Darda, Dayang Ayuni, Marwan, Furqan,
Farhan, Zakiyah dan Putera), yang memberi sokongan serta terima kasih di atas segala perhatian
dan dorongan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita merupakan
rahmat dan anugerah dari-Nya, serta
menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya.
Dosen Pebimbing
Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu
ibu Dr Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI dan ibu Dra. Ramlah M.Pd.I karena banyak ilmu yang
dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya erti daya dan upaya untuk menghadapi
cabaran hidup.
-
iv
Murabbi dan Ustaz
Tidak lupa saya ucapkan ribuan dan jutaan terima kasih kepada Murabbi yang mendidik rohani
saya iaitu Al-Arifubillah Syeikh Lokeman Hazli bin Azali An-Naqsyabandiyah wa Ghazaliyah
wa Syahzuliyah, Ustaz Kaharuddin bin Nordin, Ustaz Nurjulan bin Norsaman dan seluruh
ikhwan Tareqat Al-Ghazaliyah diatas segala doa dan harapan.
Teman-Teman Seperjuangan
Serta tak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat sejatiku Ahmad
Ridha, Fateh, Muaz, Syahmi, Rafiq, Bulqini, Afiq, Zulfadli, Hisyam, Azam, Luqman, geng
Rumah Katang serta teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar-
pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman-teman dari Indonesia maupun teman-
teman yang berada
di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat dan dorongan di kala
suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik
dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidupku.
Terima kasih atas segalanya.
-
ii
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif
Menurut Hanafiyah Dan Syafi’yah). Skripsi ini adalah untuk mengungkap
persoalan tentang bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut
Hanafiah & Syafi’iyah dan apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari
dan bulan menurut Hanafiah dan Syafi’iyah. Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualiltatif dengan
menggunakan metode diskriptif. Instrumen pengumpulan data adalah melalui
studi dokumentasi atau studi literatur. Jenis penelitian yang digunakan dalam
kajian ini yaitu library research (kajian pustaka) supaya penulis dapat meneliti
dan membahas kajian ini secara rinci dan membahas permasalahan ini dengan
lebih mendalam. Dengan menggunkakan data primer yaitu daripada kitab-kitab
seperti al-Umm, al-Mabsuth, manakala data sekunder yang merupakan data
pelengkap atau pendukung yang diperoleh melalui buku-buku, jurnal dan juga
artikel-artikel. Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi’iyah telah berijtihad
berdasarkan ijtihad qiyasi yaitu mengqiyaskan shalat Gerhana kepada shalat sunat
yang lain seperti shalat sunah idul fitri, idul adha dan shalat sunah istiqah. mereka
mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Ulama
Hanafi mengatakan wajib menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra. Manakala Ulama Syafi`I mengatakan sunnah muakkadah
menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
-
v
KATA PENGANTAR
ِحْينِ ْحَمِن الرَّ بِْسِن ّللّاِ الرَّ
السَّالَُم َعلَْيُكْن َوَرْحَمةُ هللاِ َوبََرَكاتُهُ
Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan Salam turut dilimpahkan kepada junjungan
besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai. Alhamdulillah dalam usaha
menyelesaikan skripsi ini penulis senantiasa diberi nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Shalat Gerhana Matahari dan
Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu
syariah dalam bagian ilmu perbandingan mazhab tentang fatwa hukum. Juga memenuhi
sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan
Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, Indonesia.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima hambatan
dan halangan baik dalam masa pengumpulan data maupun penyusunannya. Situasi yang
mencabar dari awal hingga ke akhir menambahkan lagi daya usaha untuk menyelesaikan
skipsi ini agar selari dengan penjadualan. Dan berkat kesabaran dan sokongan dari berbagai
pihak, maka skripsi ini dapat juga diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih kepada
semua pihak yang turut membantu sama ada secara langsung maupun secara tidak langsung
menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.
2. Bapak Dr. AA. Miftah, Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
3. Bapak. Hermanto Harun, Lc, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu
Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,
-
vi
Perancangan dan Keuangan dan Ibu Dr. Yulianti, S,Ag.M.HI, Wakil Dekan
Kemahasiswaan dan kerjasama di lingkungan Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
4. AlHusni S.Ag.,M.HI selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab (PM) Fakultas
Syari’ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Ibu Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, selaku Pembimbing I dan Ibu Dra. Ramlah M.Pd.I,
M. Sy selaku pembimbing II skripsi ini yang telah banyak memberi kemasukan,
tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten dosen serta
seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu dalam memudahkan
proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan maklumat maupun
dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini. Oleh karenanya diharapkan
kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi pemikiran, tanggapan dan masukan berupa
saran, nasihat dan kritik demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan dicatatkan
sebagai amal jariyah di sisi Allah SWT dan mendapatkan ganjaran yang selayaknya kelak.
Jambi, Oktober 2018
Penulis,
ABU ZAR BIN ADIN
SPM 160023
-
vii
DAFTAR ISI SEMENTARA
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KE ASLIAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANATIA UJIAN
MOTTO……………………………………………………………………………… i
ABSTRAK…………………………………………………………………………... ii
PERSEMBAHAN………………………………………………………………….. iii
KATA PENGHANTAR………………………………………………................... v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… viii
TRANSLITERASI…………………………………………………………………. x
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………. xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Batasan Masalah 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6
E. Kerangka Teori 7
F. Tinjauan Pustaka 9
G. Metode Penetilian 11
H. Sistematika Penulisan 13
BAB II: BIOGRAFI HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH
A. Biografi Imam Abu Hanifah 15
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah 15
-
viii
2. Murid-murid Imam Abu Hanifah 16
3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya 17
4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi 19
5. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah 20
B. Biografi Imam As-Syafi’I 29
1. Riwayat Hidup Imam Syafi`I 29
2. Latar Belakang Sosial dan Politik 33
3. Guru-guru Imam Syafi`I 35
4. Dasar-dasar Mazhab Syafi`I 36
5. Karya-karya Imam Syafi`I 37
BAB III: PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
menurut Hanafiah & Syafi’iyah? 41
1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari 41
2) Tata Cara Shalat Gerhana Bulan 51
B. Hukum Melaksanakan Shalat Gerhana Matahari
dan Bulan Menurut Hanafiah dan Syafi’iyah? 55
1. Gerhana Matahari (Kusuf) 55
2. Gerhana Bulan (Khusuf) 55
C. Dimanakah Letaknya Persamaan dan
Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah 60
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan 66
-
ix
B. Saran-saran 67
C. Kata Penutup 68
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
CURRICULUM VITAE .............................................................................
LAMPIRAN .................................................................................................
-
x
TRANSLITERASI
n ن gh غ sy ش kh خ a ا
w و f ف sh ص d د b ب
تtذdz ضdhقqهh
’ ء kك thطr رtsث
yي lلzhظ zزjج
حhسs mم ’ ع
â = a panjang î = u panjang
û = u panjang
au =او
ay= اَى
-
xi
DAFTAR SINGKATAN
UIN STS : Univarsitas Negeri Sultan Thaha Saifuddin.
SWT : Subhanahuwata ‘ala.
SAW / ملسو هيلع هللا ىلص : Sallallahu ‘alaihiwasallam.
ra. : Radiallahu ‘an.
No. : Nomor.
Q.S : Al-Quran Dan Sunnah.
cet. : Cetakan.
hlm : Halaman.
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda
angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Istilah ini
umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di
antara Bumi dan Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan
penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Namun, gerhana juga terjadi
pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya
pada planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.
Di dalam agama Islam, umat Muslim yang mengetahui atau melihat
terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka selayaknya segera melakukan
shalat kusuf (salat gerhana). Gerhana matahari terjadi 2-5 kali dalam setahun.
Biasanya, gerhana matahari terjadi sekitar dua minggu sebelum atau sesudah
gerhana bulan.1 jumlah gerhana Bulan dalam satu tahun bisa berkisar antara 0
sampai 3 kali terjadi2
Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta‟ala
yang sangat akrab dalam pandangan. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat
teratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini. Allah Subhanahu
wa ta‟ala berfirman:
1 Yuliana Ratnasari, “Gerhana Bulan Usai Muncul Gerhana Matahari”. Akses 16 July
2018 2 Riza Miftah Muharram. “Derhana Bulan Total” akses 16 Juli 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Astronomihttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Benda_angkasa&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Benda_angkasa&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/wiki/Bayanganhttps://id.wikipedia.org/wiki/Gerhana_Mataharihttps://id.wikipedia.org/wiki/Bulanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Bumihttps://id.wikipedia.org/wiki/Mataharihttps://id.wikipedia.org/wiki/Gerhana_bulanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Planethttps://id.wikipedia.org/wiki/Satelithttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Salat_kusuf&action=edit&redlink=1
-
2
ۡهس ر و ٱلشَّ ه ٥ِبح ۡسب اٖن ٱلۡق Artinya: “Matahari dan bulan beredar dengan peraturan dan hitungan yang
tertentu.”3
Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan
menunjukkan akan keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan pencipta-Nya.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta‟ala membantah fenomena penyembahan
terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur
tersebut banyak dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad
lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi.4
Allah Subhanahu wa ta‟ala berfirman:
وۡ نح ح و حه َٰت اي ۡ ء ار و ل ٱّلَّ َّه ۡهس و ٱنل ر و ٱلشَّ ه رح و ٱۡلق ه حۡلق لَل ۡهسح و حلشَّ ْ ل وا د حيِۤهَّلِل ْۤاوُدُجۡسٱَل ت ۡسج ٱَّلَّ
ون ۡعب د َّاه ت حي نت ۡم إ حن ك وَّ إ ه ل ق ٣٧خ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam dan siang, serta
matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan
janganlah pula sujud kepada bulan dan sebaliknya hendaklah kamu
sujud kepada Allah yang menciptakannya, kalau betulah kamu hanya
beribadat kepada Allah.”5
Masyarakat Indonesia sendiri, umumnya masyarakat tradisional dulu, lebih
banyak mendasarkan gerhana pada tahayul-tahayul dan mitos-mitos yang
diwariskan dari mulut ke mulut. Khayalan dan mitos tersebut diantaranya ialah
yang menyatakan bahwa gerhana terjadi karena matahari ditelan oleh raksasa
yang bernama “Kala” atau “Kalarahu”. Raksasa ini dibayangkan mempunyai
kepala yang besar dan mulut yang lebar. Ia mempunyai leher tetapi tidak
3 Ar-Rahman (27): 5
4 Ahmad Baiquni. “Gerhana Dalam Tinjauan Syariat Islam”, akses 15 Juli 2018
5 Fussilat (41): 37
-
3
mempunyai badan. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki kepercayaan seperti
ini, berusaha melakukan perbuatan-perbuatan mengusir raksasa tersebut. Mereka
akan menabuh semua alat yang dapat menimbulkan bunyi, misalnya memukul
kentongan, lesung, lumping dan sebagainya. Mereka beranggapan, apabila raksasa
mendengar bunyi-bunyian yang ribut tersebut akan lari dan memuntahkan kembali
matahari dari mulutnya sehingga matahari bersinar kembali seperti sediakala6
Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di
antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan
bulan. Dalam konteks itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7
tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada
gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat
Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana
adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun
kelahiran.
Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif
sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.
Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi
Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya
gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena
kepergian putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad
S.A.W bersabda:
6 Soetjipto, “Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana”, (Yogyakarta: 1983). Cit,
hlm 6-7.
http://medan.tribunnews.com/tag/islamhttp://medan.tribunnews.com/tag/islamhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammad
-
4
نَّ َُِما آٓيَتَاِن ِمْن آََٓيِت هللِا تََعاََل فَ إ ْمَس َوإمْقََمَر ََل يَْكِسَفاِن ِمَمْوِت َإَحٍد َوََل ِمَحَياِتِو َومَِكَّنَّ َذإ َرَآيُْتُموُُهَا إمشَّ
ِا
ُّوإ فَُقوُموإ َوَصو
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau
hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran
Allah ta’ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan
gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”7
Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan
shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.
Dengan pernyataan dan anjuran Nabi S.A.W tersebut, Islam jelas menepis segi
mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.8
Ada dua istilah dalam penamaan gerhana, Kusuf dan Khusuf. Keduanya
adalah sinonim. Jika kedua nama tersebut disebutkan secara bersamaan, maka
makna kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Dua
penyebutan dengan nama yang berbeda seperti ini lebih masyhur di kalangan
fuqoha. Namun kadangkala ada penyebutan kusufaini dan khusufaini yang
keduanya bermakna dua gerhana, yaitu matahari dan bulan. Pada dua kejadian
alam ini, gerhana matahari dan bulan, ada shalat yang disyariatkan oleh
Rasulullah S.A.W.
Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau
menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan
selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.9
7 Bhukari, Shahih Bhukari Pdf, “Bab Shalat Saat Terjadi Gerhana Matahari,” hlm. 432.
No.983. 8 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga
Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018 9 Ash-Shan’ani, “Subulus Salam Syarh Bulughil Maram min Jam‟I Adillatil Ahkam”:
ll/135
http://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/islam
-
5
Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah
mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi
shalat wajib hanya yang lima waktu saja.10
Imam An Nawawi rahimahullah
berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana
hukumnya sunnah.”11
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama
bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”12
نٌَّة ُمَؤكََّدٌة ِِبَْلِْْجَاعِ مَِكْن قَاَل َماِِلٌ َوَآبُو َحِنَيَفَة يَُصّّلِ ِمُخُسوِف إمْقََمرِ َوَصََلُة ُكُسوِف ْمِس َوإمْقََمِر س ُ إمشَّ
فَُرإَدى َويَُصّّلِ َرْكَعتَْْيِ َكَسائِِر إمنََّوإِفلِ
Artinya: “Menurut kesepakatan para Ulama (ijma’) hukum shalat gerhana
matahari dan gerhana bulan adalah sunnah mu’akkadah. Akan tetapi
menurut Abu Hanifah shalat gerhana bulan dilakukan sendiri-sendiri
dua rakaat seperti shalat sunah lainnya,”13
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dan salah satu hadits Nabi
S.A.W. Allah ta’ala berfirman,
ِ ْمِس َوََل ِنوْقََمِر َوإْْسُُدوإ لِِلَّ ْمُس َوإمْقََمُر ََل تَْسُجُدوإ ِنوشَّ َاُر َوإمشَّ َّْيُل َوإهَّنَّ ْن ُكْنُُتْ َوِمْن آََٓيِتِو إنوِي َخوَقَهُنَّ إ ِ إَّلَّ
ُه تَْعُبُدونَ َيَِّ إ
Artinya: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan
bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada
bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua
itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,”14
Dari permasalahan yang timbul diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan
membahas hal ini ke dalam satu karya ilmiah yang berjudul “Shalat Gerhana
10
Ibid, Subulus Salam. 11
Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451 12
Ibnu Hajar al-Asqolani, “Fath Al Baari Syarah al-Bhukari”, : ll/527 13
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba’ah Al-Istiqamah, 2002), hlm. 327.
14 Fushilat (41): 37
-
6
Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan
Syafi’iyah)”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah &
Syafi’iyah?
2. Apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut
Hanafiah dan Syafi’iyah?
3. Persamaan dan Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah
C. Batasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan serta tidak menyalahi sistematika penulisan
karya ilmiah sehingga membawa hasil yang diharapkan, maka penulis membatasi
masalah yang akan dibahaskan dalam skripsi ini, sehingga tidak terkeluar dari
topik yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut
Hanafiyah dan Syafi’iyah)” saja.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai
berikut :
-
7
a. Ingin mengetahui tatacara pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan
menurut Hanafiah & Syafi’iyah.
b. Ingin mengetahui bagaimana kehujahan dalil-dalil yang digunakan Hanafiah
& Syafi’iyah terhadap hukum shalat gerhana matahari dan bulan.
2. Kegunaan Penelitian
Apabila tujuan tersebut sudah dicapai, maka jelas ada manfaat yang dapat
di ambil antara lain:
a. Sebagai melengkapi pensyaratan dalam menyelesaikan studi dan untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syari’ah dalam
jurusan Perbandingan Mazhab, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
b. Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umat Islam terhadap
permasalahan-permasalahan terutamanya tentang hukum melaksanakan shalat
gerhana matahari dan bulan menurut perbandingan mazhab antara Hanafiah
& Syafi’iyah tentang hujah dalil yang digunakan
c. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, penelitian dan
masyarakat seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah
secara baik.
d. Untuk menambah wawasan penulisan dalam penulisan karya ilmiah ini atau
tulisan-tulisan lainya.
E. Kerangka Teori
Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf
sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu (الكسوف) dan juga kusuf (الخسوف)
-
8
sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan
sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Namun masyhur juga
di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf
untuk gerhana matahari15
Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau
menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan
selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.16
Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah
mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi
shalat wajib hanya yang lima waktu saja.17
Imam An Nawawi rahimahullah
berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana
hukumnya sunnah.”18
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama
bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”19
Mazhab Hanafiah adalah pemikiran hukum mazhab yang diasaskan oleh
pengasasnya yang bernama al-Imam al-A’zham Abu Hanifah, an Nu’man bin
Tsabit bin Zuwatha al-Kufi. Dia adalah keturunan orang-orang Persia yang
merdeka (bukan keturunan hamba sahaya). Dilahirkan pada tahun 80 hijrah dan
meninggal pada tahun 150 hijrah (semoga Allah swt merahmatinya). Dia hidup
dizaman pemerintahan besar, yaitu pemerintahan Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyyah. Dia adalah generasi atba‟ at-tabi‟in. Ada pendapat mengatakan
15
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu 16
Subulus Salam: ll/135 17
Subulus Salam: ll/135 18
Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451 19
Fath Al Baari: ll/527
-
9
beliau termasuk didalam golongan tabi‟in. Dia pernah bertemu dengan sahabat
Anas bin Malik r.a dan meriwayatkan hadis darinya yaitu hadits yang artinya,
“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim.”
Mazhab Syafi’iyah adalah aliran hukum mazhab yang diasaskan oleh Al-
Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al-Quraisyi al-Hasyimi al-Muththalibi
ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i (rahimahullah). Silsilah nasabnya bertemu
dengan datuk Rasulullah S.A.W yaitu Abdu Manaf. Dia dilahirkan di Ghazzah
Palestina pada tahun 150 hijrah, yaitu pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.
Dan beliau wafat di Mesir pada tahun 204 hijrah.
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak. Beliau adalah imam di
bidang fiqh, hadits dan usul. Metode beliau mengabungkan dasar ilmu fiqih ulama
Hijjaz dengan ulama Iraq.
F. Tinjauan Pustaka
Setelah penulis mengadakan tinjauan pustaka sesungguhnya telah ada yang
membahaskan permasalahan yang berkaitan dengan tentang Hukum Shalat
Gerhana Matahari (Kusuf Syams) dalam kaedah ini diperlukan adalah untuk
menentukan pemilihan tajuk yang bersesuaian dengan penyelidikan. Hal ini
bertujuan untuk memastikan tidak ada pertindihan sama ada dari segi tajuk dan
kajian yang dijalankan.
Sesungguhnya telah ada yang membahas permasalahan yang berkaitan seperti
dalam skripsi yang dituis oleh Iswahyudi. Jurusan Perbandingan Mazhab pada
tahun 2016 dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang yang berjudul
“Hukum Shalat Gerhana Matahari (Kusuf Syams) Menurut Mazhab Hanafiyah dan
-
10
Syafi’iyah Analisis Studi Shalat Gerhana Matahari Dimasjid Taqwa Desa Muara
Tawi, KEC. Jarai KAB. Lahat Sumsel” Di dalam skripsi tersebut Iswahyudi
meneliti tentang bagaimana metode instibat hukum yang digunakan oleh Mazhab
Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam menentukan Bagaimana keadaan dan pendapat
dari jamaah dan tokoh ulama tentang shalat gerhana matahari (kusuf syams) didesa
Muara Tawi dan bagaimana kesimpulan pendapat hukum shalat gerhana matahari
(kusuf syams).
Selain itu, penulis juga membuat tinjauan perpustakaan juga bagi
mendapatkan maklumat terperinci mengenai perbedaan pandangan mazhab
khususnya tentang hukum solat gerhana. Kajian ini juga boleh memberikan
kefahaman yang lengkap mengenai perbandingan dan cara untuk mengenal pasti
najis tersebut menurut pandangan mazhab. Maklumat yang diperolehi menjadi
hujah yang penting kepada hasil kajian secara keseluruhannya. Oleh kerana itu,
faktor-faktor penting yang harus disentuh dalam kajian ini dapat dikenal pasti.
Sejauh informasi penulis peroleh, telah ada buku yang membahaskan
permasalahan solat gerhana seperti didalam kitab-kitab karangan mazhab
Hanafiah dan juga mazhab Syafi’iyah. Namun pembahasan terhadap masalah-
masalah dalil yang khusus digunakan, apalagi dengan menggunakan metode
perbandingan antara dua imam mazhab. Oleh kerana itu, penulis akan
membahasakan secara mendetail tentang hal ini.
Kesimpulannya, kesemua tinjauan pustaka yang digunakan penulis tidak
secara khusus mengkaji tentang judul yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
-
11
(Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”. Namun skripsi-skripsi
yang digunakan adalah sebagai rujukan bagi mengumpul semua data upaya
analisis penulis terhadap skripsi ini dapat dicapai.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian
kepustakaan adalah sebuah penelitian yang dilakukan untuk literatur-literatur
pustaka saja. Bagi memenuhi keperluan tersebut, penulis menggunakan buku-
buku rujukan yang asli atau data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas.
2. Jenis Dan Sumber Data
A. Sumber Data
i. Data Primer
Data pokok yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis shahih seperti Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun buku-buku yang digunakan sebagai data
primer pada penulisan ini antara lain adalah kitab al-Umm karya Imam al-
Syafi’e, Al-fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah. Begitu juga kitab Qalyubi wa
„Umairah karangan yeikh Syihabuddin dan beberapa kitab karangan murid Imam
Hanafi.
ii. Data Sekunder
Data penunjang, dalam penulisan skripsi ini, yakni data yang diambil dari
sumber-sumber yang ada relevensinya dengan pembahasan ini.
-
12
B. Jenis Penelitian
i. Penelitian Pustaka (Library Search)
Kaedah penelitian ini penting dalam mengumpulkan data dan informasi bagi
penelitian ini terhadap semua bab serta menjadi pendoman kepada penulis untuk
mengetahui dengan lebih rinci tentang apa yang bakal dikaji dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Tenik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data di sini, yaitu dengan
mengunakan cara kualitatif dan deskritif, Artinya penulis mengadakan
penyalinan dan pengutipan dari berbagai sumber data primier maupun data
skunder sesuai dengan masalah yang sedang dibahas
4. Teknik Analisis Data
a. Analisis Historis
Analisi data historis di mana telah dikumpulkan, maka data tersebut dianalisis
melalui analisa historis yang berkaitan tentang sejarah dalil-dalil yang digunakan.
Untuk melihat sejarah perlunya melihat kepada dalil-dalil yang besumberkan al-
Quran dan al-Hadith.
b. Analisis Isi
Analisis Isi merupakan analisis yang paling umum digunakan dalam tiap
penelitian dengan langkah pokok pembacaan terhadap dalil-dalil dalam
penelitian. Karya-karya yang dibaca tengtang Shalat Gerhana Matahari dan
Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah) untuk mengetahui
pengertian, sejarah dan bentuk pemikiran.
c. Analisis Komperatif
-
13
Merupakan analisis secara perbandingan mengenai hukum-hukum dan syarat-
syarat serta dalil-dalil yang digunakanya. Maka dibandingkan antara Hanafiyah
dan Syafi’iyah.Berdasarkan dua hukum yang ada, dapat menarik kesimpulan
terhadap masalah-masalah yang dibahas.
H. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab yang mana setiap bab terdiri
dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan
tertentu tetapi tetap saling terkait antara satu sub dengan sub bab yang lainnya.
Adapun sistematika perbahasannya sebagai berikut:
Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,
Rumusan Masalah, batasan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Tinjauan
pustaka, Metode Penelitian dan Sistenatika Penulisan
Bab kedua membahaskan mengenai gambaran umum latar belakang serta
biografi Imam Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bab ketika ini terdiri dari sub
bab sebagai berikut: Riwayat-riwayat Hidup Imam Mazhab Hanafiyah dan
Mazhab Syafi’iyah serta Dasar-dasar Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Bab ketiga pula membahas mengenai gambaran umum sejarah gerhana
matahari dan bulan, hokum shalat gerhana matahari dan bulan dan juga cara
pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiyah dan
Syafi’iyah.
Bab keempat membahaskan mengenai hasil penelitian yang mengandung sub
bab seperti bagaimana metode istinbat hukum dalil yang digunakannya dan
-
14
bagaimana implementasi permasalahan tentang “Shalat Gerhana Matahari dan
Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”
Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat kesimpulan dari seluruh
pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting sehubungan dengan
penelitian ini serta untuk eksisnya nilai-nilai hukum Islam yang universal dalam
kehidupan masyarakat.
-
15
BAB II
BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI`I
A. Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah(699 Masihi).
Nama kecilnya ialah Nu`man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau
keturunan dari bangsa Parsi (Kabul-Afghanistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan
ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sudah
berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau
mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada
riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena
beliau rajin melakukan ibadah kepada Allah dan bersungguh-sungguh
mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanif” dalam
Bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar.
Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Baghdad.1
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama
yang ada hubungan dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama
tabi`in seperti Ata` bin Abi Rabah dan Imam Nafi` Maula Ibnu Umar. Beliau juga
belajar ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru
yang paling berpengaruh pada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman
1 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta :
PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 19
-
16
(wafat 120 H). Adapun para ulama yang pernah beliau ambil dan hisap ilmu
pengetahuannya pada waktu itu ada kira-kira 200 ulama. Dan di antara orang yang
pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah adalah Imam Ahmad al-Baqir, Imam
Ady bin Sabit, Imam Abdur Ramhan bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam
Mansur bin Mu`tamir, Imam Syu`ban bin Hajjaj, Imam Ahsim bin Abin Najwad,
Imam Salamah bin Khail, Imam Qatadah, Imam Rabi`ah bin Abi Abdur Rahman
dan lain-lain. Imam Abu Hanifah juga terkenal sebagai imam ahli ra`yi dan qiyas
dan mengerti tentang hadits-hadits yang telah diterima riwayatnya pada masa itu.2
2. Murid-murid Imam Abu Hanifah
Beberapa anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah:
a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113
Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau mengumpulkan
hadits-hadits dari Nabi S.A.W yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah
Asy-Syaibany, Ata` bin As-Saib dan lain-lain. Imam Abu Yusuf termasuk
golongan ulama ahli hadits yang terkemuka, beliau wafat pada tahun 183
Hijriyah.
b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad As-Syaibani, lahir di Iraq pada tahun
132 Hijriyah. Beliau seorang alim ahli fiqh dan furu`. Wafat pada tahun 189
Hijriyah di kota Rayi.
2 Ibid., hlm. 23
-
17
c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriyah. Beliau
amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra`yi, beliau juga menjadi
seorang ahli qiyas dan ra`yi yang meninggal pada tahun 158 Hijriyah.
d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu Hanifah
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta wafat pada tahun
204 Hijriyah.
Empat orang ulama itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yang
akhirnya yang menyiarkan dan mengembangkan aliran dan hasil ijtihad beliau
yang utama, serta mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan soal-soal
ilmu fiqh atau soal-soal yang berkaitan dengan agama. Bahkan Imam Abu Yusuf
dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu mendapat gelaran “As-Sahabain”
yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang paling rapat.3
3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya
Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam dan
pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmu kalam
beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan Fiqh al-Akbar. Tetapi
dalam bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa
Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.4
Adapun kitab-kitab hasil karya murid-murid Imam Abu Hanifah dalam
bidang ilmu fiqh adalah:
3 Ibid., hlm. 37
4 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 340
-
18
a. Kitab al-Kharaj oleh Imam Abu Yusuf.
b. Zahir ar-Riwayah oleh Imam Muhammad bin Hasan as-Syaibani. Kitab ini
terdiri dari 6 jilid, yaitu al-Mabsut, al-Jami`, al-Kabir, al-Jami` as-Sagir, as-
Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan az-Ziyadat.
c. An-Nawadir oleh Imam as-Syaibani. Terdiri dari empat judul yang terpisah
yaitu : al-Haruniyyah, al-Kaisaniyyah, al-Jurjaniyyah, dan ar-Radiyah.
d. Al-Kafi oleh Abi al-Fadhl Muhammad bin Muhammad bin Ahmaf al-Maruzi.
Kitab ini merupakan gabungan dari enam judul bagian buku Zahir ar-Riayah,
kitab al-Kafi disyarah oleh Imam as-Sarakhsi.
e. Al-Mabsut adalah syarah dari al-Kafi yang disusun oleh Imam as-Sarakhsi.
f. Tuhfah al-Fuqaha` oleh Alauddin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad as-
Samarqandi.
g. Badai` as-Sana`i oleh Alauddin Abi Bakr bin Mas`ud bin Ahmad al-Kasani
al-Hanafi.
h. Al-Hidayah qa Syarhuha fath al-Qadir oleh Ali bin Abu Bakr al-Marginani.
i. Duraral Hukkan fi Gurar al-Ahkam oleh Muhammad bin Faramuz.
j. Tanqir al-Absar wa Jami` al-Bihar oleh Muhammad bin Abdullah bin
Ahmad al-Khatib at-Tamartasyi.
k. Ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Absar oleh Alauddin Muhammad bin
Ali al-Husni.
l. Hasyiyah Radd al-Mukhtar `ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-
Absar oleh Ibnu Abidin.5
5 Ibid., Jilid II, hlm. 346
-
19
4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh dan ahli hadis. Guru yang
paling berpengaruh dalam dirinya adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Setelah
gurunya wafat, Imam Abu Hanifah tampil melakukan ijtihad secara mandiri dan
menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar secara halaqah yang mengambil
tempat di Masjid Kufah. Karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman
ilmunya dalam bidang fiqh, beliau dijuluki oleh murid-muridnya sebagai al-Imam
al-A`zam (Imam Agung). Lewat halaqoh pengajiannya itulah Imam Abu Hanifah
mengemukakan fatwa fiqh dan lewat ijtihad mandirinya kemudian berdiri dan
berkembang mazhab Hanafi.6
Mazhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu
Hanifah berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Dalam pembentukannya, mazhab
ini banyak menggunakan ra`yu (rasio). Karena itu, mazhab ini terkenal sebagai
mazhab aliran ra`yu. Tetapi dalam kasus tertentu, mereka dapat mendahulukan
qiyas apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ahad.7
Sedangkan dasar-dasar mazhab Hanafi adalah :
a. Kitab Allah (al-Quranul Karim)
b. Sunnah Rasulullah SAW dan ashar-ashar yang shahih serta telah masyur
(tersiar) di antara para ulama yang ahli.
c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.
6 Ibid., Jilid I, hlm, 12
7 Ibid., Jilid II, hlm. 511
-
20
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat yang telah berlaku dalam masyarakat umat Islam.8
5. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi
Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an
sebagai landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga
berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak
ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat
hukum dan hadis, terutama dalam bidang mu‟amalah, menurut pandangannya
perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad dapat
difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah banyak berperan
dalam membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan membuat
mazhabnya lebih dinamis, realistis dan rasional.9
Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah
b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak
seseorang baik pria maupun wanita.10
6. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
8 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta :
PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 79 9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : 10
Ibid, Jilid II, hlm. 513
-
21
Dalam memecahkan suatu masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan
beberapa metode dalam beristimbath, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber
pokok, sunnah Rasulullah S.A.W. dan asar-asar yang sahih dan tersiar di kalangan
orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang dikehendaki atau
meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila urusan itu sampai
kepada Ibrahim, asy-Sya‟bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa‟id bin Musayyab, maka
beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga menggunakan ijma’, qiyas,
istihsan dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini :
1. Al-Kitab (al-Qur'an)
Al-Qur'an adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
S.A.W. Yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan sumber hukum
tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan al-Qur'an. Menurut al-Bazdawi,
Abu Hanifah menetapkan al-Qur'an adalah lafal dan maknanya. Sedang menurut
as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam pandangan Abu Hanifah hanyalah makna, bukan
lafal dan makna.11
2. As-Sunnah
As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah yang masih mujmal dan
merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. Yang disampaikan
oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang tidak mengambilnya, maka dia
11
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 146
-
22
tidak percaya terhadap penyampaian risalah Nabi S.A.W dari Tuhannya. Ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan al-Qur'an yang
qath’i dalalahnya dinamakan fardu, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang
Zanny dalalahnya, dinamakan wajib. Demikian pula yang dilarang, tiap-tiap yang
dilarang oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah
dinamakan makruh tahrim.12
Ulama hadis dan ulama ushul membagi hadis kepada :
a. Mutawatir
Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung oleh orang
banyak yang tidak mungkin sepakat berdusta.13
Hadits mutawatir memberi
pengertian yakin. Jumhur ulama menetapkan bahwa Abu Hanifah berhujjah
dengan hadits mutawatir.
b. Masyhur
Hadits masyhur ada yang memasukkannya ke dalam bagian hadits ahad.
Hadis masyhur tidak memfaedahkan selain dari zhanni tetapi dapat diamalkan.
Sebagian yang lain menetapkan bahwa hadits masyhur adalah memberi faedah
dan tidak memberi faedah yakin.
c. Ahad
12
Ibid., hlm. 154 13
Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1670.
-
23
Hadis Ahad menurut asy-Syafi‟i dan ulama semasanya adalah yang tidak
terdapat padanya syarat-syarat mutawatir atau masyhur. Jumhur fuqaha menerima
hadis ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang dijadikan hujjah dalam
bidang amali, tidak dalam bidang ilmu atau i‟tiqadi. Abu Hanifah mengamalkan
hadits ahad, meninggalkan pendapat yang berlawanan dengan hadits ahad itu.
Sedang syarat-syarat Abu Hanifah menerima hadis ahad adalah perawinya yang
afqah atau mendahulukan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang afqah atas
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak afqah.14
Sedangkan menurut
mazhab Hanafi, hadits ahad dapat dijadikan landasan hukum apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1) Hadis ahad tersebut tidak menyalahi makna lahiriyah ayat al-Qur'an.
2) Hadis ahad itu tidak menyalahi hadits masyhur menyangkut masalah yang
sama.
3) Hadis ahad itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum
syari‟at Islam apabila periwayatan hadits itu bukan seorang faqih.
4) Hadis ahad tersebut tidak menyangkut kepentingan orang banyak.
5) Hadis ahad itu bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat yang
meriwayatkannya.15
Abu Hanifah dalam menanggapi hadis ahad, ada yang diterima apabila tidak
berlawanan dengan qiyas, jika berlawanan dengan qiyas yang illatnya mustambat
14
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 155.
15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1671.
-
24
dari sesuatu asal yang zanni atau istimbathnya zanni walaupun dari asal yang
qath’i atau diistimbathkan dari asal yang qath’i, tetapi penerapannya kepada furu’
adalah zanni, maka didahulukanlah hadis ahad atas qiyas.
Adapun jika hadis ahad ditentang oleh asal yang umum qath’i,
penerapannya qath’i pula, maka Abu Hanifah melemahkan hadis, tidak
menerimanya dan menetapkan hukum berdasarkan pada kaidah yang umum itu.
d. Mursal
Hadis mursal ialah hadis yang tidak disebut nama sahabi oleh tabi‟i yang
meriwayatkannya, seperti dikatakan oleh seorang tabi’in, “Bersabdalah Nabi …. ”
Sesungguhnya Imam Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai hujjah, karena
tabi’in kepercayaan yang diterima hadisnya oleh Imam Abu Hanifah, menegaskan
kepadanya bahwa mereka tidak menyebutkan nama sahabi yang memberi hadis
kepada mereka apabila yang memberi itu empat orang sahabat. Jadi, Imam Abu
Hanifah menerima as-Sunnah yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan dan
meletakkan hadits-hadits ahad sesudah al-Qur'an. Apabila hadits-hadits ahad
berlawanan dengan kaidah umum, yang telah diijma’i oleh para ulama, Imam Abu
Hanifah menolak hadits-hadits itu dengan dasar tidak membenarkan bahwa Nabi
S.A.W. Ada mengatakannya.16
3. Aqwalus-sahabah (fatwa sahabi)
16
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 158.
-
25
Abu Hanifah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam
mengikutinya. Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka
beliau mengumpulkan salah satunya. Jika tidak ada pendapat sahabat pada suatu
masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat para tabi’in. tetapi pada
dasarnya Abu Hanifah mendahulukan fatwa sahabat daripada qiyas.17
4. Al-Ijma’
Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Ijma’ merupakan
kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu hukum
dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada perselisihan
dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah mengingkarinya
setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan tidak mungkin ada
kesepakatan fuqaha setelah masa sahabat.18
Imam Abu Hanifah menurut penegasan ulama Hanafiyah menetapkan
bahwa ijma’ menjadi hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.
Juga menetapkan bahwa tidak boleh mengadakan hukum baru terhadap sesuatu
urusan yang diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.
Mengadakan fatwa baru dipandang menyalahi ijma’. Dalam kitab al-Manakib
diterangkan bahwa Abu Hanifah mengambil hukum yang diijtma’i oleh
mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama-ulama Kufah.19
17
Ibid., hlm. 161 18
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi, Beirut, tt., hlm. 163
19 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 162.
-
26
5. Qiyas
Abu Hanifah apabila tidak menemukan nas dalam kitabullah dan sunnatur
Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabi, maka beliau berijtihad untuk
mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila tidak baik
memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan masyarakat. Jika tidak
baik dipakai qiyas, beliau menggunakan istihsan. Qiyas yang dipakai Abu
Hanifah ialah yang dita’rifkan dengan : “Menerangkan hukum sesuatu urusan
yang dinaskan hukumnya dengan suatu urusan lain yang diketahui hukumnya
dengan al-Qur'an atau as-Sunnah atau al-Ijma’ karena bersekutunya dengan
hukum itu tentang illat hukum.”20
Pada dasarnya Abu Hanifah banyak memakai
qiyas, karena ia memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum
terjadi dan hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengistimbathkann
illat yang menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud
yang menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadis. Abu hanifah tidak
mencukupkannya dengan tafsir dahiri, beliau melihat lebih jauh kepada maksud
dan isyarat-isyarat perkataan. Abu Hanifah mengistimbathkan aneka macam illat
hukum lalu menta‟rifkan cabang-cabang hukum bagi perbuatan-perbuatan yang
tidak diperoleh nas, illat itulah yang dipandang dasar untuk menetapkan hukum
bagi hal-hal yang tidak diperoleh nas. Jika hadits sesuai dengan hukum yang telah
ditarik dengan jalan mempelajari illat, bertambah kukuhlah kepercayaannya, dan
jika hadits itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan, Abu Hanifah mengambil
hadis meninggalkan qiyas. Kadang-kadang hukum yang diistimbathkan dengan
20
Ibid., hlm. 166
-
27
illat sesuai dengan hadits. Hal ini bukanlah berarti mendahulukan qiyas atas hadis.
Apabila qiyas tidak dapat dilakukan karena berlawanan dengan hadits, maka Abu
Hanifah pun meninggalkan qiyas, mengambil istihsan. Pokok pegangan dalam
menggunakan qiyas ialah bahwa hukum syara‟ ditetapkan untuk kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum
syara‟ yang berpautan dengan ibadah tidak dapat akal menyelami illatnya. Maka
dari itu Abu Hanifah membagi nas dalam dua bagian, yaitu:
a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas illatnya. Pada nas-nas ini tidak
dilakukan qiyas, karena tidak dibahas illatnya walaupun diyakini ibadah-
ibadah itu disyari'‟tkan Allah untuk kemaslahatan manusia.
b. Nas-nas yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illat itu.
Nas-nas ini adalah nas-nas yang mu’allal, dipelajari illatnya dan maksudnya,
sebabnya dan gayahnya dan padanya berlaku qiyas. Ulama Hanafiyah
mensyaratkan pada qiyas adalah hukum asal, bukan hukum yang dikhususkan
untuk suatu hukum saja, dan nas bukanlah yang dipalingkan dari qiyas, yakni
qiyas yang menyalahi illat yang umum yang ditetapkan syara‟ sendiri. Abu
Hanifah berpegang pada umum illat kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf
masyarakat, maka Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan mengambil istihsan.
Lantaran Abu Hanifah menggunakan illat, maka ia terkenal sebagai imam
yang memegang ra’yu, bukan imam yang memegang asar dan terkenallah
keahliannya dalam bidang qiyas, walaupun ia juga seorang imam sunni.21
6. Istihsan
21
Ibid., hlm. 171
-
28
Istihsan secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya sesuatu.
Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama mazhab
Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas (analogi) atau kaidah umum
tidak diterapkan pada suatu kasus. Macam-macam istihsan menurut ulama
mazhab Hanafi, yaitu :
a. Al-Istihsan bi an-nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)
b. Al-Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma‟)
c. Al-Istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)
d. Al-Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
e. Al-Istihsan bil al-‘urf (istihsan berdasar adat kebiasaan yang berlaku umum).
f. Al-Istihsan bi ad-daruriyah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).22
g. ‘Urf
‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak terdapat di
dalamnya nas dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat sahabat, maka dari itu ‘urf
dapat dijadikan hujjah. ‘Urf dibagi dua :
i. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas.
ii. „Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas.
Dari dua ‘urf yang dapat dijadikan hujjah adalah ‘urf sahih.23
22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 771.
23 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi,
Beirut, tt., hlm. 163.
-
29
Imam Abu Hanifah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas
atau istihsan. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah-masalah
yang tidak ada nashnya, mereka mentakhishkan nas-nas yang umum jika
menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil ’urf. Begitu
pula mereka mengambil ‘urf khas dikala tidak ada dalil yang menyalahinya.24
B. Biografi Imam Syafi`i
Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-„Abbas ibn
Utsman ibn Syafi‟ ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdal-
Muthalib ibn Abd Manaf.25
Lahir di Ghazzah, Syam (masuk wilayah Palestina)
pada tahun 150 H/767 M. Kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah, yang tidak
lain merupakan tanah para leluhurnya. Syafi‟i kecil tumbuh berkembang di kota
itu sebagai seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam
Syafi‟i adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang
yang berbudi luhur.26
Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam
umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh tahun sudah hafal
kitab al-Muwattha' karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan perhatian
menghafal hadis. Imam Syafi‟i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para
gurunnya, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab
24
Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 182.
25 Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 355. 26
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:Almahira, 2010), hlm.6
-
30
untuk menghindari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab
pada saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh
tahun.27
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari
pengaruh ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke
Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang
fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di Badiyah itu, mempelajari
syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah
golongan Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar
memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i
menghafal al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan
diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah
dan penduduk-penduduk kota.28
Imam Syafi'i belajar pada ulama Makkah, baik pada ulama fiqih, maupun
ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan
yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji,
menganjurkan supaya Imam Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah
memperoleh kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu. Karena
ilmu baginya adalah ibarat lautan yang tidak bertepi.29
27
Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 286
28 Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 357-360. 29
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28. Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis
-
31
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu
Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan
mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam Syafi'i ingin
pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu
menghafal al-Muwattha' karya Imam Malik yang telah berkembang pada masa
itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa
sebuah surat dari gubernur Makkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian
untuk mendalami fiqih di samping mempelajari al-Muwattha’. Imam Syafi'i
mengadakan mudārasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan
Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah
mencapai usia dewasa dan matang.30
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi'i adalah
tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah atau metode istinbath (ushul
fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan
kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah
buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum
Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun
sebuah buku ushul fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS,
2009), hlm. 287. 30 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Putaka
Rizki Putra, 1997), hlm. 480-481
-
32
seorang ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar
Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbath.31
Imam Syafi‟i di samping menguasai dalam bidang al-Kitab, ilmu balaghah,
ilmu fikih, ilmu berdebat juga terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang
memberikan gelar padanya “Nāhir al-Hadīts. Imam Sufyan ibn „Uyainah bila
didatangi seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar
meminta fatwa kepada Imam Syafi‟i, ujarnya “salu hadza al-ghulama”
(bertanyalah kepada pemuda itu).32
Dialah yang meletakkan dasar-dasar periwayatan. Dia juga yang berani
secara terang-terangan berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah,
yaitu bahwasannya ketika ada sanad yang shahih dan muttashil kepada Nabi ملسو هيلع هللا ىلص,
maka wajib beramal dengannya tanpa ada keterkaitan dan keterikatan dengan
amal ahli Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Malik ataupun
syarat-syarat Imam Abu Hanifah.
Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk
mengambil ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah,
bermunādharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.
Pada tahun 198 H, beliau pergi lagi ke Baghdad hanya sebulan lamanya, dan
akhirnya pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir untuk
tempat tinggalnya untuk mengajarkan Sunnah dan al-Kitab kepada khalayak
31
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29.
32 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm.
233.
-
33
ramai. Jika kumpulan fatwa beliau ketika di Baghdad disebut dengan qaul qadīm,
maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir dinamakan dengan qaul jadīd.33
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “semua masalah kami tidak pernah
terselesaikan oleh pengikut Abu Hanifah, sampai kami akhirnya kami bertemu
dengan Imam Syafi‟i. sungguh, dia orang yang paling paham tentang Kitabullah
dan as-Sunnah.” Maksud dari kata-kata itu ialah bahwa para ahli hadis dan para
ahli fiqih seakan menjadi murid Imam Syafi‟i, sebab keagungan madzhabnya,
kefasihan penjelasannya, kekuatan hujjahnya, dan keseganan yang ditunjukkan
baik oleh mereka yang sependapat maupun orang yang berbeda dengan
pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Imam Syafi‟i bagai
mentari bagi dunia, dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada sesorang
yang mampu menggantikan posisinya.”34
1. Latar Belakang Sosial Dan Politik
Imam Syafi'i lahir pada masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya
berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah wilayah-wilayah
negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang berada di
puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang luas dan
kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam
keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat
33
Ibid, hlm. 232 34
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:Almahira, 2010), hlm.10
-
34
Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga
sedang semarak. Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka kami akan
memberikan gambaran singkat tentang tentang kondisi pemikiran dan sosial
kemasyarakatan pada masa itu.35
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur-
unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath.
Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban
Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis
bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan
ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka
sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang
dalam.36
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul
aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul
fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh interaksi sosial
antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing ras mempunyai
kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar
masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat.
Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.37
35 Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu arāuhu wa
Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utsman, “Imam al-Syafi'i Biografi
danPemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, (Jakarta: PT Lentera Basritama,
2005),hlm. 84. 36
Ibid., hlm. 84 37
Ibid., hlm. 85
-
35
Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap permasalahan
yang terjadi, baik permasalahan itu masuk dalam kategori permasalahan ringan
ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas
cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian
(solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan
dapat memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang
mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-
masalah furu' yang berbeda.38
2. Guru-guru Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i menerima ilmu fiqih dan hadis dari banyak guru yang masing-
masing mempunyai manhaj serta tinggal di tempat yang saling berjauhan antara
satu dan lainnya. Imam Syafi‟i menerima ilmu dari ulama Makkah, ulama
Madinah, ulama Irak dan ulama Yaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya
antara lain: Sufyan Ibnu Uyainah, Muslim Ibn Khalid Az-Zamzi, Said Ibn Salim
al-Kaddah, Dawud Ibn abd-Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid Ibn Abdul Aziz
Ibn Abi Dawud.39
Ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik Ibn Anas, Ibrahim Ibn
Saad al-Anshari Abdul Aziz Ibn Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim Ibn Abi
38 Ibid., hlm. 86 39 Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba’ah, (Kairo: Dar as-Salam,
Cet. II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 2
-
36
Yahya al-Aslami, Muhammad Ibn Said Ibn Abi Fudaik, Abdullah Ibn Nafi‟ teman
ibnu Abi za‟ab.40
Ulama Bagdad Irak yang menjadi gurunya ialah: Waki‟ Ibn Jarrah, Abdul
Wahab Ibn Abdul Majid Ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad Ibn Usamah al-Kufi,
Ismail Ibn Ulayah. Dia juga menerima ilmu dari Muhammad Ibn Al-Hasan yaitu
dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung daripadanya.41
3. Dasar-dasar Mazhab Syafi`i
Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak
mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.
Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak
maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi‟i mengatakan,
”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.”
Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi‟i adalah nashirussunnah ,” Kitab
“Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za‟farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi‟i.
Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh
pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi‟ Jizii bin Sulaiman.
Imam Syafi‟i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih
bertentangan dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah
perkataanku di belakang tembok.”
40
Hasbi Ash -Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), 480-481
41 Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba’ah, (Kairo: Dar as-Salam,
-
37
4. Karya-Karya Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i banyak menulis kitab-kitab. Sebagiannya ditulis sendiri lalu
dibacakannya kepada orang-orang, atau mereka yang membacakannya kepadanya.
Sebagiannya didektekannya. Sangat sulit untuk menghitung kitab-kitabnya,
karena banyak yang sudah hilang. Ia menulis di Makkah, Baghdad, dan Mesir.42
Buku-bukunya yang ada di tangan para ulama saat ini adalah yang ditulisnya di
mesir. Diantara kitabnya yang paling terkenal dan banyak memuat pemikiran-
pemikiran beliau adalah:
1) Kitab al-Umm
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang
terdapat kitab-kitab lain yang dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya
adalah: Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi‟i dalam hadis-hadis Nabi S.A.W dan
juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi‟i, Khilāfu
Mālik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya, Al-Radd ‘Alā
Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaanya terhadap mazhab ulama Madinah dari
serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah, Al-khilāfu Ali wa Ibn
Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu
Hanifah dan ulama Irak dengan Ali Abi Thalib dan Abdullah Bin Mas‟ud, Sair al-
Auza‟i, berisi pembelaanya atas Imam al-Auza‟i dari serangan Abu Yusuf, Ikhtilāf
al-Hadīts, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi‟i atas hadis-hadis yang
42
Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 8
-
38
tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang tercetak sendiri, Jimā’ al-
‘Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi‟i tehadap sunnah Nabi SAW.43
2) Kitab Ar-Risālah
Kitab Ar-Risālah adalah karya monumental Imam Syafi‟i yang dikenal
sebagai kitab pertama dalam ushul fiqih, didalamnya banyak membahas rumusan-
rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis. Kitab ini merupakan karya Imam
Syafi‟i atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi yang berkaitan dengan
penjelasan makna-makna al-Qur‟an, dan menghimpun beberapa khabar, ijma‟ dan
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam al-Qur‟an dan sunnah. Dan juga
atas dorongan dari Ali bin al-Madani agar Imam Syafi‟i memenuhi permintaan
Abdurrahman bin al-Mahdi.44
Atas permintaan dan dorongan itulah Imam Syafi‟i
menulis kitab Ar-Risālah ini.
Menurut pendapat yang unggul dan dipilih oleh Ahmad Muhmmad
Muhammad Syakir, kitab Ar-Risālah ini ditulis oleh Imam Syafi‟i pada saat beliau
berada di Makkah.menurut Fakhrurrazi dalam Manāqib Asy-Syāfi’i, kitab Ar-
Risālah ini ditulis pada saat Imam Syafi‟i berada di Baghdad. Meskipun belum
dapat dipastikan dimanakah Imam Syafi‟I menulis kitab ini, keduanya sama-sama
memuat pengetahuan yang luas.45
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M.) ahli hukum Islam
berkebangsaan Mesir, menyatakan buku itu (Ar-Risālah) disusun ketika Imam
43 Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 296. 44
Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 13 45 Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 14
-
39
Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada
di Mekah. Imam Syafi'i menyebut bukunya dengan "al-Kitāb" (Kitab atau Buku)
atau "Kitabī" (Kitabku), yang kemudian lebih dikenal dengan "Ar-Risālah" yang
berarti "sepucuk surat" karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada
Abdurrahman bin Mahdi. Kitab Ar-Risālah yang pertama ia susun dikenal dengan
Ar-Risālah al-Qadīmah (Risalah Lama).46
Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah pikiran Imam
Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali
dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian
dikenal dengan sebutan Ar-Risālah al-Jadīdah (Risalah Baru). Jumhur ulama
ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa kitab Ar-Risālah karya Imam Syafi'i ini
merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih
sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama
ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.47
Imam Syafi'i wafat pada malam jum‟at
dan dikebumikan setelah shalat ashar hari itu, pada bulan Rajab 204 H. yang
bertepatan dengan tanggal 29 Rajab 204 H. atau 19 Januari 820 M.4849
46
Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 361.
47 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 30. 48
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm. 234.
49 Muhammad Izzat bin Ismail, PROBLEMATIKA TAYAMMUM(Studi Komparatif
Sebagian Pendapat Hanafiyah dan Sebagian Pendapat Syafi`iyah), UIN Jambi, Mei 2017.
-
40
BAB III
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif
sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.
Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi
Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya
gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena kepergian
putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad S.A.W
bersabda:
َُما آٓيَخَاِن ِمْن آََٓيِت هللِا ثََعا ْمَس َوإمْلََمَر ََل يَْكِسَفاِن ِمَمْوِت َإَحٍد َوََل ِمَحَياِثِو َومَِكَّنَّ نَّ إمشََّّذإ َرَآيُْخُموُُهَا إ
ََّل فَا
ُّوإ فَُلوُموإ َوَصو
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau
hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran
Allah ta‟ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan
gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”1
Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan
shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.
Dengan pernyataan dan anjuran Nabi tersebut, Islam jelas menepis segi mitis dan
primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.2
Seperti yang kita ketahui fenomena gerhana matahari (kusufus syamsi) dan
gerhana bulan (khusuful qamar) merupakan fenomena alam yang menunjukkan
1 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba‟ah Al-
Istiqamah, 2002), hlm. 322. Riwayat Muslim, dikutip Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1516 2 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan. (Tribun-Medan.com, 2018),
Akses 26 July 2018
http://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/islam
-
41
kebesaran Allah swt. Shalat sunah gerhana matahari pertama kali disyariatkan
pada tahun kedua hijriyah, sedangkan shalat gerhana bulan pada tahun kelima
Hijriyah dan menurut pendapat yang kuat (rajih) pada bulan Jumadal Akhirah.
نَِة َّاِهيَِّة ِمَن إمِْيْجَرِة َوَصََلُة ُخُسوِف إمْلََمِر ِِف إمس َّ نَِة إمث ْمِس ِِف إمس َّ َعْت َصََلُة ُكُسوِف إمشَّ إمَْخاِمَسِة َوُُشِ
إِجحِ ِمَن إمِْيْجَرِة ِِف ُجامََدى إْْلَِخَرِة عَََل إمرَّ
Artinya: “Shalat gerhana matahari disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah,
sedangkan shalat gerhana bulan menurut pendapat yang kuat (rajih) pada
tahun kelima Hijriyah bulan Jumadal Akhirah,”3
A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan Menurut Hanafiyah dan
Syafi’iyah.
Dalam pembahasan tata cara melaksanakan shalat gerhana, peneliti ingin
membahagikan kepada dua bahagian iaitu yang pertama tata cara shalat gerhana
matahari dan yang kedua shalat gerhana bulan.
Terjadinya perbedaan ijtihad bagi kedua-dua mazhab ini tidak lain
dikarenakan dalam memahami teks hadis. Nabi S.A.W tidak melakukan shalat
gerhana kecuali bila gerhananya terlihat. Sabda Nabi S.A.W di atas ”Apabila
kalian melihat (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan
shalatlah.” Nabi S.A.W mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat
(ru‟yah)”. Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, ”… karena
pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru‟yah.”4
1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari
3 Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, Hasyiyatus Syeikh Ibrahim al-Baijuri,
Indonesia, Darul Kutub al-Islamiyyah, 1428 H/2007 M, juz I, halaman 434. 4 Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Fath Al Baari Bisyarhi Shahih Al-Bhukari, hadits no.
1041.Mesir.
-
42
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
Aisyah radhiallahu‟ anha berkata:
ُ عَوَيْ ِ َصَلَّ إَّللَّ َ فََصَلَّ َرُسوُل إَّللَّ ُ عَوَْيِو َوَسَّلَّ ِ َصَلَّ إَّللَّ ْمُس ِِف َعْيِد َرُسوِل إَّللَّ َ وِ َخَسَفْت إمشَّ َوَسَّلَّ
ْمُس َف َوكَْد إْْنَوَْت إمشَّ ِِبمنَّاِس... ُُثَّ إهََْصَ
Artinya: Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah S.A.W lalu Rasulullah
S.A.W mengimami shalat orang ramai… Setelah baginda S.A.W selesai
shalat matahari telah kelihatan.5
Hadis di atas merupakan dalil tentang waktu harus dikerjakan shalat
gerhana, iaitu bermula terjadinya gerhana sehingga berakhirnya gerhana.
Sungguhpun begitu, sekiranya kita telah menyelesaikan perlaksanaan shalat
gerhana namun gerhana tersebut belum berakhir, kita hendaklah memperbanyakan
berdoa dan berzikir.
Menurut al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah:
Lafaz ini (hingga matahari kelihatan) merupakan dalil tentang lamanya
shalat Gerhana, iaitu hingga matahari nampak kembali. Al-Tohawi berpendapat
bahawa di dalam hadis dinyatakan hendaklah kamu semua shalat dan berdoa.
Dalam erti kata lain, jika kita selesai melaksanakan shalat gerhana, namun
matahari masih belum juga kelihatan, kita hendaklah memperbanyakan berdoa
sehingga gerhana berakhir. Ibn Daqiq al-'Id menguatkan lagi pendapat ini bahawa
had waktu tersebut (antara mula gerhana hingga matahari muncul kembali) adalah
had waktu untuk shalat dan berdoa. Malah bermungkinan doa tersebut boleh
dilakukan setelah selesai shalat hinggalah matahari muncul kembali. Oleh itu,
5 al-Bukhari, “Shahih al-Bhukari”, Kitab al-Jumu‟ah, no: 1044.
-
43
shalat gerhana tidak harus dilakukan terlalu lama atau mengulanginya beberapa
kali jika matahari belum kelihatan sehingga matahari muncul (gerhana berakhir).6
Jumlah rakaat dan Ruku’ dalam Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
Dari laporan berbagai hadis, Nabi Muhammad S.A.W tampaknya beberapa
kali melaksanakan shalat gerhana. Karenanya, laporan tentang bagaimana Nabi
melaksanakan shalat gerhana matahari berbeda-beda. Ada yang menyebutkan
Nabi Muhammad S.A.W shalat gerhana dengan dua ruku‟ dalam satu rakaat; ada
yang menyebutkan dengan satu ruku‟ dalam satu rakaat. Bahkan ada yang
menyebutkan empat, enam, delapan, dan sepuluh ruku‟ dalam satu rakaat.
Tapi, setahu saya, semua hadis menyebutkan bahwa shalat gerhana dua
rakaat. Perbedaan (laporan) hadis ini menimbulkan perbedaan tata-cara shalat
gerhana di antara mazhab-mazhab fiqih. Di Indonesia, pada umumnya umat Islam
menganut mazhab Syafi‟i: dua ruku‟ dalam satu rakaat, dan bacaan tidak dibaca
nyaring.7
Berbeda dengan shalat-shalat sunat yang lain, shalat Gerhana memiliki
empat kali rukuk, yaitu dua kali rukuk setiap rakaat.
َ فََصَلَّ َرسُ ُ عَوَْيِو َوَسَّلَّ ِ َصَلَّ إَّللَّ ْمُس ِِف َعيِْد َرُسوِل إَّللَّ َا كَامَْت: َخَسَفْت إمشَّ ِ َعْن عَائَِشَة َآَّنَّ وُل إَّللَّ
َ ِِبمنَّاِس فَلَاَم فَأََطاَل إمِْليَاَم ُ عَوَْيِو َوَسَّلَّ ُكوَع ُُثَّ كَاَم فَأََطاَل إمِْليَاَم َوُىَو ُدوَن َصَلَّ إَّللَّ ُُثَّ َرَكَع فَأََطاَل إمرُّ
ُجوَد ِل ُُثَّ ََسََد فَأََطاَل إمسُّ ُكوعِ إْْلَوَّ ُكوَع َوُىَو ُدوَن إمرُّ ِل ُُثَّ َرَكَع فَأََطاَل إمرُّ ْكَعِة إمِْليَاِم إْْلَوَّ ُُثَّ فََعَل ِِف إمرَّ
َّاِهَيِة ِمثَْل مَ َ َوَآثََْن عَوَْيِو ُُثَّ إمث ْمُس فََخَطَب إمنَّاَس فََحِمَد إَّللَّ َف َوكَْد إْْنَوَْت إمشَّ ا فََعَل ِِف إْْلُوََل ُُثَّ إهََْصَ
َذإ َرآَ ِّسَفاِن ِمَمْوِت َآَحٍد َوََل ِمَحَياِثِو فَا ِ ََل ََيْ ْمَس َوإمْلََمَر آٓيَخَاِن ِمْن آََٓيِت إَّللَّ نَّ إمشَّ
َّذِِلَ فَاْدُعوإ يُْتْ كَاَل إ
6 Ibn Hajar al-„Asqalani Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, jil. 6, hlm. 6.
7 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga
Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018
http://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/islam
-
44
ِ ِ َما ِمْن َآَحٍد َآغََْيُ ِمْن إَّللَّ ٍد َوإَّللَّ َة ُمَحمَّ كُوإ ُُثَّ كَاَل ََي ُآمَّ ُّوإ َوثََصدَّ وإ َوَصو ُ َ َوَكّّبِ َآْن يَْزِِنَ َعْبُدُه َآْو حَْزِِنَ إَّلل�