sgd 14 lbm 4 modul 6
DESCRIPTION
SGD PBL FK USATRANSCRIPT
Kelainan Leukosit
STEP 1
1. Hepatosplenomegali : pembesaran pada organ hepar dan lien.
STEP 2
1. Mengapa perdarahan hanya terjadi pada gusi dan terjadi mimisan?
2. Bagaimana hubungan meningkatnya jumlah leukosit dengan anemia?
3. Mengapa bisa timbul gejala2 tersebut (dalam skenario)?
4. Apa saja macam2 kelainan leukosit?
5. Jelaskan hubungan pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap penyakit leukimia?
6. Mengapa pada pasien tersebut mengalami nafsu makan yang menurun dan perut terasa
sebah dan mual?
7. Apa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menetapkan leukimia?
8. Apa akibat peningkatan jumlah leukosit?
9. Bagaiman hubungan antara kelainan leukosit dengan orang yang bekerja sebagai tukang
plitur?
10. Definisi dan fungsi leukosit?
11. Apa saja pengobatan/terapi yang bisa dilakukan untuk penderita kelainan leukosit?
12. Mengapa bisa terjadi hepatosplenomegali?
1
STEP 3
1. Mengapa perdarahan hanya terjadi pada gusi dan terjadi mimisan?
karena biasanya kadar Hb dan trombositnya turun dengan leukositnya naik,
sehingga membuat pembekuan terganggu.
Disertai anemia, trombositopenia (terjadi tanda2 perdarahan seperti petechie).
untuk menghindari leukimia, menghindari bahan2 kimia yang bersifat karsinogenik.
Zat kimia berpengaruh, karena bisa membuat mutasi kromosom pada 9 dan 22.
Mimisan : kontak dengan bahan kimianya lama (bertahun2), sehingga merusak
saluran pernapasan; leukosit yang sangat banyak memakan sel2 yang lain, dan
selaput mukosa yang snagat tipis mudah terluka.
Perdarahan pada gusi : plitur yang terhirup merusak susmsum tulang,, sehingga
menyebabkan gangguan pembentukan darah, yang biasanya mengalami anemia
aplastik. Zat kimia : amonia, spiritus,.
2. Bagaimana hubungan meningkatnya jumlah leukosit dengan anemia?
Ada peningkatan jumlah leukosit (leukimia), produksi sel darah putihnya meningkat
drastis, sementara eritrositnya turun, sehingga menyebabkan anemia.
3. Mengapa bisa timbul gejala2 tersebut (dalam skenario)?
Mimisan n perdarahan gusi : trombosit rendah
Sebah : hepatosplenomegali, trus lambungnya terdesak, sehingga kapasitasnya
menurun, tidak bisa bekerja maximal.
Capek, mudah lelah, lemas : hiperkatabolik, penggunaan bahan metabolik tubuh
yang berlebihan oleh sel kapiler yang sedang tumbuh.
4. Apa saja macam2 kelainan leukosit?
2
Leukimia : sel muda yang ganas (CML, ALL, AML, CLL)
Leukositopenia
Leukositosis
Aleukimic leukimia
5. Jelaskan hubungan pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap penyakit leukimia?
Jenis kelamin : Yang terkena leukimia biasanya laki2 daripada perempuan.
Umur : pada anak2 dan dewasa muda : anemia limfoid leukimia; semua umur
(dewasa) : anemia myeloid akut;
6. Apa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menetapkan leukimia?
Sediaan apus darah tepi
BMP (Bone Marrow Punction)
Hitung jenis leukosit
7. Apa akibat peningkatan jumlah leukosit?
8. Bagaimana hubungan antara kelainan leukosit dengan orang yang bekerja sebagai
tukang plitur?
(No. 1)
9. Definisi dan fungsi leukosit?
Definisi : unit yang aktif dari sistem ketahanan tubuh, sebagian dibentuk di sumtul,
limfe
Fungsi : sebagai pertahanan tubuh, mengidentifikasi sel kanker yang tumbuh dalam
tubuh, membersuhkan tubuh dari sel mati dan terluka.
10. Apa saja pengobatan/terapi yang bisa dilakukan untuk penderita kelainan leukosit?
3
Terapi spesifik : kemoterapi
Terapi suppotif : perawatan khusus
Cangkok sumsum tulang (khusus leukimia)
Imunoterapi (leukimia)
11. Mengapa bisa terjadi hepatosplenomegali?
Karena kalau ada leukimia, sumsum tulang rusak dan produksinya terjadi di hepar
lien, sehingga terjadi perbesaran organ.
Infiltrasi organ.
STEP 4
Maping
STEP 5
LEARNING ISSUES
1. Mengapa perdarahan hanya terjadi pada gusi dan terjadi mimisan?
2. Bagaimana hubungan meningkatnya jumlah leukosit dengan anemia?
3. Mengapa bisa timbul gejala2 tersebut (dalam skenario)?
4. Apa saja macam2 kelainan leukosit?
5. Jelaskan hubungan pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap penyakit leukimia?
6. Mengapa pada pasien tersebut mengalami nafsu makan yang menurun dan perut terasa
sebah dan mual?
7. Apa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menetapkan leukimia?
8. Apa akibat peningkatan jumlah leukosit?
9. Bagaiman hubungan antara kelainan leukosit dengan orang yang bekerja sebagai tukang
plitur?
4
10. Definisi dan fungsi leukosit?
11. Apa saja pengobatan/terapi yang bisa dilakukan untuk penderita kelainan leukosit?
12. Mengapa bisa terjadi hepatosplenomegali?
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
1. Mengapa perdarahan hanya terjadi pada gusi dan terjadi mimisan?
mimisan terjadi karena hidung merupakan organ yang memiliki pembuluh darah halus
paling banyak. Pembuluh-pembuluh darah tersebut terletak dekat pada permukaan
kulit, sehingga rawan terluka dan menyebabkan mimisan. Kebanyakan kasus mimisan
terjadi pada bagian bawah septum, atau sekat tulang yang membagi kedua rongga
hidung. Gangguan ini biasa dialami oleh anak yang memiliki bakat mimisan atau
pembuluh darah permukaan selaput lendirnya sangat tipis sehingga mudah pecah.
Lantaran mudah pecah. Lantaran itulah anak ini sering mengalami mimisan secara
berulang-ulang. Anak sehat pun dapat mengalami mimisan, meski tidak sesering orang
yang memiliki bakat.
DokterAdi memerinci lebih jauh penyebab anak mengalami mimisan:
1. TRAUMA
Misalnya terbentur, jatuh, dan membuang ingus terlalu keras. Mengorek-ngorek hidung
dengan kuku yang tajam juga akan melukai selaput hidung yang tipis dan menyebabkan
mimisan.
2. POLUSI
Polusi berupa paparan rokok atau asap knalpot bersifat iritatif. Semua itu dapat
membuat lecet dan merobek permukaan selaput lendir yang tipis.
3. OBAT-OBATAN TERTENTU
Ada beberapa obat yang dapat memicu terjadinya mimisan. Obat semprot yang
5
berfungsi melegakan hidung yang mampet (obat pelega hidung golongan
kortikosteroid), salah satunya. Pemakaian yang terlalu sering dapat menjadikan hidung
anak mimisan, begitu pun cara pemakaiannya yang salah seperti menggunakan
semprotan ke arah tengah padahal yang tepat adalah dengan menyemprotkan ke
samping.
4. UDARA DINGIN
Penyetelan AC yang terlalu dingin dapat menyebabkan mimisan. Cara kerja AC yang
menyerap uap air di udara membuat kelembapan di ruangan jauh berkurang. Ditambah,
suhu yang terlalu dingin membuat udara jadi makin kering. Udara kering yang diisap
anak akan membuat alat pernapasannya mengering, sehingga selaput lendirnya mudah
pecah dan berdarah.
Waspadai jika perdarahan terjadi di atas septum, atau yang terjadi di bagian tulang
keras. Mimisan ini sangat jarang terjadi. Perdarahan jenis ini umumnya cukup parah dan
memerlukan perawatan medis secepatnya. Penyebabnya antara lain: kanker
tenggorokan, hipertensi, leukemia, hemofilia, demam berdarah, dan lain-lain. Apa
sajakah tandanya? Biasanya mimisan ini dialami anak di atas dua tahun dan ada gejala
lain yang menyertai seperti sakit kepala, pusing, atau demam. Darah yang mengucur
pun sulit untuk dihentikan. Bila demikian, tidak ada jalan lain, mimisan jenis ini
memerlukan penanganan medis.
Mimisan merupakan gejala keluarnya darah dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab
kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari
tubuh. Kelainan lokal dapat berupa trauma misalnya mengorek hidung, terjatuh, terpukul,
benda asing di hidung, dan iritasi gas yang merangsang.
Sebab lokal yang lain adalah infeksi hidung dan organ sekitarnya, tumor baik yang jinak maupun
ganas, perubahan lingkungan yang mendadak misalnya perubahan tekanan atmosfir yang
mendadak pada penerbang dan penyelam, benda asing yang masuk ke hidung tanpa permisi,
dan penyebab yang lain yang belum diketahui dengan pasti.
6
Sedangkan kelainan di bagian tubuh yang lain yang bisa menyebabkan mimisan antara lain,
penyakit jantung dan pembuluh darah seperti tekanan darah tinggi dan kelainan pembuluh
darah, kelainan darah seperti turunnya kadar trombosit, gangguan pembekuan darah, leukimia.
Kelainan lain yang menyebabkan mimisan yaitu, infeksi seluruh tubuh seperti demam berdarah,
gangguan hormonal dan kelainan bawaan.
Dr. Adi, http://www.enformasi.com/2010/04/penyebab-mimisan.html
Dari penyebabnya, jelas Dr. Chospiadi Irawan, SpPD, KHOM, mimisan dibedakan menjadi dua
bagian. “Yang pertama disebabkan faktor organik atau adanya kelainan organ dan kedua adalah
gangguan medik atau adanya gangguan pembekuan darah.” Mimisan karena kelainan organ
bawaan akan terlihat sejak usia dini. Anak dipastikan sering mengalami mimisan. Biasanya
terjadi pada usia balita atau anak usia aktif.
Begitu anak stres, beraktivitas, dan teriritasi, ia mimisan. Mungkin si kecil memiliki kelemahan
pada organ hidung atau pembuluh darah hidungnya. “Namun, idealnya, sejak anak-anak tidak
terjadi mimisan karena orang normal memiliki toleransi terhadap suhu di lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain, ia punya daya tahan tubuh yang baik.”
Pemicu terjadinya mimisan pun tergantung dari kedua penyebab di atas. Jika disebabkan
kelainan organik, biasanya mimisan terjadi akibat adanya rangsangan dari zat-zat yang
mengandung toxic (racun) atau gas, suhu yang ekstrem, misalnya udara yang sangat panas dan
kering, serta udara yang sangat dingin. Kondisi-kondisi tersebut dapat mengakibatkan iritasi
atau erosi pada pembuluh darah di dalam hidung.
Pada beberapa kondisi, mimisan umumnya diakibatkan oleh kelemahan-kelemahan bawaan.
Misalnya, pembuluh darah di hidungnya melebar (varises) atau justru tipis (aneurisma). “Bisa
juga karena pembuluh darahnya rapuh dan lebih ramai, sehingga lebih mudah mengalami iritasi
hanya dengan pemicu yang ringan saja.”
Yang berikut, mimisan yang disebabkan gangguan medik atau adanya gangguan pembekuan
darah. Pada prinsipnya, ujar Chospiadi, saat sedang beraktivitas sehari-hari, manusia
membutuhkan faktor pemeliharaan pembekuan darah. Baik secara primer maupun sekunder.
7
“Yang primer adalah pembuluh darahnya dan trombosit. Trombosit adalah sel-sel darah merah
yang bereaksi pertama kali ketika terjadi luka. Analoginya, pada kasus demam berdarah
trombosit menjadi rendah karena dimakan oleh virus. Nah, setelah ia bereaksi menutup luka,
lalu ia memicu faktor yang kedua, yaitu pembekuan darah. Pada umumnya mimisan itu terjadi
pada gangguan primer, yaitu pada pembuluh darah dan trombosit.”
Bagi manusia normal, lanjutnya, pada kondisi tertentu masih bisa menolerir suhu-suhu yang
ekstrem. “Orang normal, pergi ke puncak Gunung Himalaya enggak akan terkena mimisan.
Begitu pun ia akan tenang-tenang saja ketika berlari di padang yang panas dan kering. Sebab,
dia dapat beradaptasi dengan suhu di sekitarnya. Misalnya, pembuluh darahnya akan
menyempit sendiri ketika berada di suhu yang dingin dan sebaliknya.”
BUKAN TURUNAN
Mimisan karena kelainan organik biasanya terjadi secara uniteral atau asimetris, di mana darah
hanya keluar dari salah satu lubang hidung. Bisa dari kiri atau kanan saja. “Namun, jika
mimisannya karena gangguan medik, perdarahan bisa terjadi berganti-ganti pada dua sisi
hidung,” jelas Chospiadi.
Mimisan yang disebabkan gangguan medik inilah yang patut diperhatikan lebih lanjut. Sebab,
bisa saja merupakan sebuah gejala bagi suatu penyakit yang lebih serius. Misalnya, pada
demam berdarah yang menimbulkan gejala penyakit yang menganggu trombosit dan pembuluh
darah. “Jika mengalami demam lebih dari tiga hari, lalu keluar bintik-bintik merah di kulit dan
dibarengi dengan mimisan, tentu harus semakin wasapada. Ini biasa terjadi pada demam
berdarah stadium yang lebih tinggi.”
Bagi orang normal yang tadinya sehat-sehat saja lalu mendadak mimisan, misalnya saat sedang
tidur atau berolah raga dan dibarengi dengan demam, ia harus waspada. Mimisan seperti ini,
tutur Chospiadi, arahnya sudah ke gangguan medik. “Jika orang itu tiba-tiba kulitnya membiru
di beberapa bagian disertai mimisan, bisa saja itu gejala leukemia (kanker darah).”
Mimisan yang terjadi berulang-ulang pun harus diwaspadai. Pertama-tama, periksakan ke ahli
THT (telinga hidung tenggorokan). Setelah dievaluasi dan ternyata terjadi infeksi lokal, dokter
pasti akan mengatasi atau mengobati erosi akibat infeksi lokalnya terlebih dahulu. Mimisan ini
8
biasa terjadi pada anak-anak yang sering mengorek-korek hidungnya dengan tangan. “Karena
dikorek-korek, timbul peradangan atau kerusakan jaringan. Agar lebih pasti apa penyebab
mimisannya, memang lebih baik ke dokter untuk memastikan ada-tidaknya tumor di rongga
hidung. Evaluasi dini akan mempercepat penyembuhan.”
Jika tak ditemukan kelainan organik, biasanya dokter THT mengirim pasien ke ahli penyakit
dalam atau hematolog (ahli darah) untuk mengecek ada-tidaknya kelainan pembekuan darah di
pembuluh darah hidungnya. Gangguan pembekuan darah salah satunya terlihat dari jumlah
trombosit yang terlalu sedikit. “Jika memang begitu, akan dicari tahu dulu kenapa sampai
trombositnya sedikit, setelah itu baru diobati.”
Yang jelas, hinggga kini belum ada bukti atau data baru dari dunia kedokteran yang menyatakan
mimisan dapat diturunkan (genetik). “Pada umumnya, mimisan terjadi secara sporadik dan bisa
terjadi pada siapa saja.” Meski, kata Chospiadi, jika orangtuanya memiliki pembuluh darah yang
lemah, kendati tidak mutlak, “Bisa saja salah satu anaknya akan memiliki pembuluh darah yang
lemah juga. Berdasar pengalaman, mungkin saja hal itu bisa menjadi bahan pertimbangan,
meski itu pun belum terbukti. Kasus yang banyak ditemui pada umumnya bersifat sporadis.
Misalnya, jika gangguannya pada trombosit, salah satunya adalah penyakit ITP (immune
thrombocytopenic purpura), yaitu suatu kondisi di mana trombositnya (darah merah) menurun
karena dimakan oleh antibodi atau reaksi tubuhnya sendiri yang menghancurkan
trombositnya.”
Selain karang gigi dan plak, perdarahan gusi juga berhubungan dengan beberapa penyakit,
antara lain kekurangan vitamin C dan kelainan darah. Kekurangan vitamin C terjadi pada orang
yang tidak makan sayur atau buah dalam jangka waktu lama. Gusi pada penderita kekurangan
vitamin C menjadi bengkak, berwarna keunguan dan terjadi perdarahan. Keadaan kekurangan
vitamin C ini dinamakan Scurvy. Cara penanganannya adalah dengan memberikan vitamin C.
Kelainan darah yang biasanya berkaitan dengan perdarahan gusi adalah leukemia dan
trombositopenia. Leukemia adalah keganasan sel darah putih sedangkan trombositopenia
adalah kondisi di mana terjadi penurunan jumlah trombosit dalam darah. Pada penderita
9
leukemia, gusi terinfiltrasi oleh sel-sel darah putih ganas. Secara klinis gusi tampak membesar.
Karena pada leukemia umumnya juga terjadi trombositopenia maka gusi penderita leukemia
juga mudah berdarah. Trombosit adalah salah satu elemen darah yang diperlukan untuk
pembekuan darah. Apabila jumlahnya menurun sampai di bawah batas prescription drugs
without a prescription online normal maka kemungkinan terjadi perdarahan lebih besar.
Trombositopenia dapat merupakan penyakit yang berdiri sendiri atau bagian dari penyakit lain,
misalnya demam berdarah. Jadi apabila didapati gusi berdarah disertai gejala-gejala lain
seperti badan mudah lelah, demam, penurunan berat badan, berkeringat di waktu malam dan
lain-lain sebaiknya segera datang ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
sumber: drg. Nita Margaretha, SpPM – Staf Pengajar Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut FKUAJ –
tanyadokteranda.com
Read more: http://doktersehat.com/2010/01/10/apa-penyebab-gusi-berdarah/
#ixzz1I22cf9c4
Gingivitis pada leukemia merupakan tanda awal dari leukemia pada sekitar 25%
penderita anak-anak.
Penyusupan (infiltrasi) sel-sel leukemia ke dalam gusi menyebabkan gingivitis dan
berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi akan semakin memperburuk keadaan
ini. Gusi tampak merah dan mudah berdarah.
Perdarahan seringkali berlanjut sampai beberapa menit atau lebih karena pada
penderita leukemia, darah tidak membeku secara norma.
2. Bagaimana hubungan meningkatnya jumlah leukosit dengan anemia?
a. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Merupakan kanker yang paling sering menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun, dengan
puncak insidensi antara umur 3 sampai 4 tahun.
10
Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limpoblas abnormal dalam sum-sum tulang dan
tempat-tempat ekstramedular. Paling sering terjadi pada laiki - laki dibandingkan perempuan,
LLA jarang terjadi (Smeltzer dan Bare, 2001).
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah merah
dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel darah
merah terlalu sedikit) infeksi dan demam karena, berkurangnya jumlah sel darah putih
perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit. (www.medicastore.com)
Manifestasi klinis :
Hematopoesis normal terhambat
Penurunan jumlah leukosit
Penurunan sel darah merah
Penurunan trombosit
b. Leukeumia Limfositik Kronik (LLK)
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah besar limfosit (salah satu
jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan pembesaran kelenjar getah bening. Lebih
dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60 tahun, dan 2-3 kali lebih sering menyerang pria. Pada
awalnya penambahan jumlah limfosit matang yang ganas terjadi di kelenjar getah bening.
Kemudian menyebar ke hati dan limpa, dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit ini
ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi anemia dan
penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit di dalam darah. Kadar dan aktivitas antibodi
(protein untuk melawan infeksi) juga berkurang. Sistem kekebalan yang biasanya melindungi
tubuh terhadap serangan dari luar, seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan jaringan
tubuh yang normal. (www.medicastore.com)
Manifestasinya adalah :
Adanya anemia
11
Pembesaran nodus limfa
Pembesaran organ abdomen
Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun
Terjadi penurunan jumlah limfosit (limfositopenia)
2. Leukemia Mieloid
a. Leukemia Mielositik akut (LMA)
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), Leukemia akut ini mengenai sel stem hematopoetik yang
kelak berdiferensiasi ke sua sel mieloid;monosit, granulosit, eritrosit, dan trombosit. Semua
kelompok usia dapat terkena , insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu ;terdapat peningkatan leukosit, pembesaran pada limfe,
rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun, anemia, ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi
b. Leukemia Mielogenus Kronik (LMK)
Leukemia Mielositik (mieloid, mielogenous, granulositik, LMK) adalah suatu penyakit dimana
sebuah sel di dalam sumsum tulang berubah menjadi ganas dan menghasilkan sejumlah besar
granulosit (salah satu jenis sel darah putih) yang abnormal (www.medicastore.com).
Dimasukkan kedalam keganasan sel stem mieloid. Namun lebih banyak terdapat sel normal
dibaniding dalam bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan, jarang menyerang individu di
bawah umur 20 tahun, namun insidensinya meningkat sesuai pertambahan umur.
Gambaran klinis LMK mirip dengan LMA, tetapi gejalanya lebih ringan yaitu ; Pada stadium
awal, LMK bisa tidak menimbulkan gejala. Tetapi beberapa penderita bisa mengalami:
kelelahan dan kelemahan, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, demam atau
berkeringat dimalam hari, perasaan penuh di perutnya (karena pembesaran limpa) (Smeltzer
dan Bare, 2001),
12
Faktor predisposisiFaktor etiologiFaktor pencetus
Mutasi somatik sel induk
Proliferasi neoplastik & differentiation arrest
Akumulasi sel muda dalam sutul
GAGAL SUTUL
INFILTRASI KE ORGAN
HIPERKATABOLIK
Katabolisme meningkat
Kaheksia
Keringat Malam
Gagal Ginjal
Asam Urat
Gout
AnemiaPerdarahan & Infeksi
Inhibisi hemopoiesis normalSel Leukimia
Tulang Darah RES
HepatosplenomegaliLimfadenopati
Tempat ekstrameduler lain
Nyeri tulang Sindroma Hiperviskositas
Meningitis, Lesi kulit, Pembesaran Testis
Prof. Dr. I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas.
3. Mengapa bisa timbul gejala2 tersebut (dalam skenario)?
bagan
13
4. Apa saja macam2 kelainan leukosit? (lihat bagan)
a. Leukositosis: penambahan jumlah keseluruhan leukosit dalam darah, yaitu kalau
penambahannnya melampaui 10.000 butir per milimeter kubik.
b. Leukopenia: berkurangnya sel darah putih sampai 5.000 atau kurang.
c. Limfositisosis: penambahan jumlah limfosit
d. Agranulositosis: penurunan jumlah granulosit atau sel polimorfonuklear secara
menyolok.
Price, Wilson (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta:
EGC, edisi 6
Netrofilia
Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari 7000/µl dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri, keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah dan kelainan mieloproliferatif.
Banyak faktor yang mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi, virulensi kuman, respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Infeksi oleh bakteri seperti Streptococcus hemolyticus dan Diplococcus pneumonine menyebabkan netrofilia yang berat, sedangkan infeksi oleh Salmonella typhosa dan Mycobacterium tuberculosis tidak menimbulkan netrofilia. Pada anak-anak netrofilia biasanya lebih tinggi dari pada orang dewasa. Pada penderita yang lemah, respons terhadap infeksi kurang sehingga sering tidak disertai netrofilia. Derajat netrofilia sebanding dengan luasnya jaringan yang meradang karena jaringan nekrotik akan melepaskan leukocyte promoting substance sehingga abses yang luas akan menimbulkan netrofilia lebih berat daripada bakteremia yang ringan. Pemberian adrenocorticotrophic hormone (ACTH) pada orang normal akan menimbulkan netrofilia tetapi pada penderita infeksi berat tidak dijumpai netrofilia.
Rangsangan yang menimbulkan netrofilia dapat mengakibatkan dilepasnya granulosit muda keperedaran darah dan keadaan ini disebut pergeseran ke kiri atau shift to the left.
Pada infeksi ringan atau respons penderita yang baik, hanya dijumpai netrofilia
14
ringan dengan sedikit sekali pergeseran ke kiri. Sedang pada infeksi berat dijumpai netrofilia berat dan banyak ditemukan sel muda. Infeksi tanpa netrofilia atau dengan netrofilia ringan disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi yang tidak teratasi atau respons penderita yang kurang.
Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat dijumpai tanda degenerasi, yang sering dijumpai pada netrofil adalah granula yang lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi toksik. Disamping itu dapat dijumpai inti piknotik dan vakuolisasi baik pada inti maupun sitoplasma.
Eosinofilia
Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih dari 300/µl darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi. Histamin yang dilepaskan pada reaksi antigen-antibodi merupakan substansi khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari eosinofilia adalah penyakit kulit kronik, infeksi dan infestasi parasit, kelainan hemopoiesis seperti polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik.
Basofilia
Basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil lebih dari 100/µl darah. Basofilia sering dijumpai pada polisitemia vera dan leukemia granulositik kronik. Pada penyakit alergi seperti eritroderma, urtikaria pigmentosa dan kolitis ulserativa juga dapat dijumpai basofilia. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan melepaskan histamin dari granulanya.
Limfositosis
Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah limfosit lebih dari 8000/µl pada bayi dan anak-anak serta lebih dari 4000/µl darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili, mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis, sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia limfositik kronik dan makroglobulinemia primer.
Monositosis
15
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih dari 750/µl pada anak dan lebih dari 800/µl darah pada orang dewasa. Monositosis dijumpai pada penyakit mieloproliferatif seperti leukemia monositik akut dan leukemia mielomonositik akut; penyakit kollagen seperti lupus eritematosus sistemik dan reumatoid artritis; serta pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun jamur.
Perbandingan antara monosit : limfosit mempunyai arti prognostik pada tuberkulosis. Pada keadaan normal dan tuberkulosis inaktif, perbandingan antara jumlah monosit dengan limfosit lebih kecil atau sama dengan 1/3, tetapi pada tuberkulosis aktif dan menyebar, perbandingan tersebut lebih besar dari 1/3.
Netropenia
Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang dari 2500/µl darah. Penyebab netropenia dapat dikelompokkan atas 3 golongan yaitu meningkatnya pemindahan netrofil dari peredaran darah, gangguan pembentukan netrofil dan yang terakhir yang tidak diketahui penyebabnya.
Termasuk dalam golongan pertama misalnya umur netrofil yang memendek karena drug induced. Beberapa obat seperti aminopirin bekerja sebagai hapten dan merangsang pembentukan antibodi terhadap leukosit. Gangguan pembentukan dapat terjadi akibat radiasi atau obat-obatan seperti kloramfenicol, obat anti tiroid dan fenotiasin; desakan dalam sum-sum tulang oleh tumor. Netropenia yang tidak diketahui sebabnya misal pada infeksi seperti tifoid, infeksi virus, protozoa dan rickettisa; cyclic neutropenia, dan chronic idiopathic neutropenia.
Limfopenia
Pada orang dewasa limfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang dari 1000/µl dan pada anak-anak kurang dari 3000/µl darah. Penyebab limfopenia adalah produksi limfosit yang menurun seperti pada penyakit Hodgkin, sarkoidosis; penghancuran yang meningkat yang dapat disebabkan oleh radiasi, kortikosteroid dan obat-obat sitotoksis; dan kehilangan yang meningkat seperti pada thoracic duct drainage dan protein losing enteropathy.Eosinopenia dan lain-lain
Eosinopenia terjadi bila jumlah eosinofil kurang dari 50/µl darah. Hal ini dapat
16
dijumpai pada keadaan stress seperti syok, luka bakar, perdarahan dan infeksi berat; juga dapat terjadi pada hiperfungsi koreks adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid.
Pemberian epinefrin akan menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang jumlah monosit akan menurun pada infeksi akut. Walaupun demikian, jumlah basofil, eosinofil dan monosit yang kurang dari normal kurang bermakna dalam klinik. Pada hitung jenis leukosit pada orang normal, sering tidak dijumlah basofil maupun eosinofil.
sumber: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_PenilaianHasilPemeriksaan.pdf/10_PenilaianHasilPemeriksaan.htmloleh: dr. R. Dharma, dr S. Immanuel, dr R. WirawanBagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta
5. Jelaskan hubungan pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap penyakit leukimia?
(bagan)
- Umur:
ALL: terbanyak pada anak-anak dan dewasa muda
AML: lebih sering pada orang dewasa
CML: tersering umur 40-60 tahun
CLL: terbanyak pada orang tua
- Jenis kelamin:
Leukemia lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita dengan
perbandingan 1,2-2 : 1.
Prof. Dr. I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas, hal 122.
6. Mengapa pada pasien tersebut mengalami nafsu makan yang menurun dan perut terasa
sebah dan mual? (lihat bagan)
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita dengan infeksi.
Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai
dengan kebutuhan tubuh kita. Lekemia meningkatkan produksi sel darah putih pada
sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah
17
normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel lekemia memblok produksi sel darah
putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel lekemia juga
merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana
sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan (www.MayoClinic.com).
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan
mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia,. Perubahan
kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan
seluruh kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau
lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah
dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan
tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom)
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak
terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan
menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker
ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah
bening, ginjal dan otak.(www. medicastore.com)
7. Apa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menetapkan leukimia?
Menurut Doengoes dkk (1999) menyatakan bahwa pemeriksaan penunjang mengenai leukemia
adalah :
Hitung darah lengkap menunjukkan normositik, anemia normositik.
Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 ml
Retikulosit : jumlah biasanya rendah
18
Jumlah trombosit : mungkin sangat rendah (<50.000/mm)
SDP : mungkin lebih dari 50.000/cm dengan peningkatan SDP yang imatur (mungkin
menyimpang ke kiri). Mungkin ada sel blast leukemia.
PT/PTT : memanjang
LDH : mungkin meningkat
Asam urat serum/urine : mungkin meningkat
Muramidase serum (lisozim) : penigkatabn pada leukimia monositik akut dan
mielomonositik.
Copper serum : meningkat
Zinc serum : meningkat
Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP pada
sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan
megakariositis menurun.
Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan
Untuk leukimia akut:
a. Pemeriksaan darah tepi: dijumpai anemia normokrom normositer,
trombositopenia, leukosit meningkat (tetapi dapat juga normal/menurun
aleukemic leukemia). Apusan darah tepi: terdapat sel muda (mieloblast,
promieloblast, limfoblast, monoblast, erithroblast atau megakariosit), dan sering
dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly (nefrofil dengan lobus sedikit)
b. BMP (pemeriksaan sumsum tulang): hiperseluler, hampir semua sel sumsum
tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast
c. Pemeriksaan immunophenotyping: untuk menentukan imunologik leukemia
akut, dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis
leukemia.
d. Pemeriksaan sitogenetik: pemeriksaan kromosom karena kromosom dapat
dihubungkan dengan prognosis seperti klasifikasi WHO (AML dengan recurrent
chromosome translocations: t(15;17); t(8;21)(q22;q22) dan inv 16 p13q22). AML
19
dengan karyotipe kompleks, delesi parsial atau hilangnya kromosom 5 dan/atau
7)
Prof. Dr. I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas, hal 127-128
8. Apa akibat peningkatan jumlah leukosit?
-
9. Bagaiman hubungan antara kelainan leukosit dengan orang yang bekerja sebagai tukang
plitur?
FORMULA plitur
1.Spritus 600 Ml
2.Amonia Liq 40 Ml
3.Thinner 100 Ml
4.Sirlak 50 Gr
5.Pewarna QS
http://freehomeindustri.wordpress.com/category/home-industri/
spiritus, nama lain dari metanol, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia C H 3OH. Ia
merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk
cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun
dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol).
Dalam tubuh metanol akan dimetabolisme di lever oleh enzim Alkohol Dehidrogenase (DHA) menjadi formaldehide dan selanjutnya oleh enzim Formaldehide dehidrogenase (FDH) diubah menjadi asam format. Kedua hasil metabolisme tersebut merupakan zat beracun bagi tubuh terutama asam format.
Pada kasus keracunan metanol, formaldehida tidak pernah terdeteksi dalam cairan tubuh korban karena formaldehida yang terbentuk sangat cepat diubah menjadi asam format (waktu paruh 1-2 menit) dan selanjutnya diperlukan waktu yang cukup lama (kurang lebih 20 jam) oleh enzim 10-formyl tetrahydrofolate synthetase (F-THF-S) untuk mengoksidasi asam format menjadi senyawa Karbon dioksida dan air, sehingga ditemukan adanya korelasi antara konsentrasi asam format dalam cairan tubuh dengan kasus keracunan metanol.
20
Berat ringannya gejala akibat keracunan metanol tergantung dari besarnya kadar metanol yang tertelan. Dosis toksik minimum (kadar keracunan minimal) metanol lebih kurang 100 mg/kg dan dosis fatal keracunan metanol diperkirakan 20 – 240 ml (20 – 150g).
Gejala gejala keracunam metanol
Pada awalnya akan terjadi ganguan pada saluran cerna dengan gejala- gejala : sakit perut, mual dan munta-muntah dan selanjutnya terjadi depresi susunan syaraf pusat dan akan terlihat gejala-gejala yang mirip dengan gejala-gejala keracunan alkohol (etanol) : sakit kepala, pusing, sakit otot, lemah, kehilangan kesadaran dan kejang-kejang ini berlangsung selama 12 – 24 jam.
Pada tahap selanjutnya jika korban tidak segera mendapat pertolongan yang tepat akan terjadi :
Kerusakan syaraf optik dengan gejala-gejala : dilatasi pupil, penglihatan menjadi kabur dan akhirnya kebutaan yang permanen
Metabolisme acidosis dengan gejala-gejala : mual, muntah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat, tekanan darah menurun, syok kemudian koma dan akhirnya meninggal
Keracunan metanol terjadi tidak hanya melalui mulut, dapat juga terjadi bila :
Terhirup / inhalasi dengan gejala-gejala : iritasi selaput lendir, sakit kepala, telinga berdengung, pusing, sukar tidur, bola mata bergerak bolak balik, pelebaran bola mata / dilatasi pupil, penglihatan kabur, mual, muntah, kolik dan sulit buang air besar.
Terkena kulit menyebabkan kulit menjadi kering, gatal-gatal dan iritasi Terkena mata dapat menyebabkan iritasi dan gangguan penglihatan
Daftar pustaka :
Mc Graw Hill Lange, Poisoning & Drug Overdose, Kent R. Olson fifth edition, by the
Faculty, Staff, and Associateds of the California Poison Control System.
1. Siker Informasi Keracunan (SIKer) Badan POM, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan
Untuk Rumah Sakit.
2. Martindale, The Extra Pharmacopoeia ,Thirty first edition, James E F Reynolds ,
London Roya Pharmaceutical Society 1996.
3. Website IPCS INTOX Databank http://www.intox.org/databank/inhalants/index.html.
21
sumber: www.pom.go.id
Ammonia liquid: Efek Jangka Pendek (Akut)
Iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan dan mata terjadi pada 400-
700 ppm. Sedang pada 5000 ppm menimbulkan kematian. Kontak dengan mata
dapat menimbulkan iritasi hingga kebutaan total. Kontak dengan kulit dapat
menyebabkan luka bakar (frostbite).
Efek Jangka Panjang (Kronis)
Menghirup uap asam pada jangka panjang mengakibatkan iritasi pada hidung,
tenggorokan dan paru-paru. Termasuk bahan teratogenik.
http://www.scribd.com/doc/50897735/MSDS-Amoniak
Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus N H 3. Biasanya senyawa ini didapati
berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebutbau amonia). Walaupun amonia
memiliki sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di bumi, amonia sendiri adalah
senyawa kaustikdan dapat merusak kesehatan. Administrasi Keselamatan dan
Kesehatan Pekerjaan Amerika Serikat memberikan batas 15 menit bagi kontak dengan
amonia dalam gas berkonsentrasi 35 ppm volum, atau 8 jam untuk 25 ppm volum.[5] Kontak dengan gas amonia berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan
kerusakan paru-paru dan bahkan kematian.
^ a b Toxic FAQ Sheet for Ammonia published by the Agency for Toxic Substances and
Disease Registry (ATSDR), September 2004
Bahan kimia merusak DNA.
Thinner: Thinner adalah bahan yang berfungsi untuk mengencerkan bahan-bahan
finishing supaya menjadi suatu campuran yang encer dan dapat diaplikasikan sesuai
kebutuhan. Bahan finishing yang murni baik itu pigmen atau campuran resin biasanya
berupa bahan padat atau pasta yang sangat kental dan sangat sulit untuk dicampur atau
diaplikasikan tanpa diencerkan lebih dulu. Fungsi utama thinner adalah untuk
menurunkan viskositas (viscosity) bahan finishing supaya dapat diaplikasikan dengan
mudah. Thinner dibuat dari campuran antara solvent (pelarut), pelarut laten (latent
22
solvent) dan diluent. Solvent (pelarut) adalah bahan yang berfungsi untuk melarutkan
suatu bahan finishing. Misalnya solvent untuk nitrocellulose adalah: m.e.k (methyl ethyl
ketone), aceton dan butyl acetate. Sedangkan latent solvent adalah bahan yang
membantu melarutkan apabila dicampur dengan solvent. Latent solvent ini tidak dapat
melarutkan bahan apabila tidak dicampur dengan solvent, contoh latent sovent untuk
nitrocellulose adalah methanol, isopropil alcohol dan isobutil butanol.
Solvent sebagai daya racun (toksik)
http://furniturefinishing-furniturefinishing.blogspot.com/
10. Definisi dan fungsi leukosit?
Jumlahnya lebih sedikit, dengan perbandingan sekitar 1 sel darah putih untuk setiap 660 sel
darah merah. Terdapat 5 jenis utama dari sel darah putih yang bekerja sama untuk
membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan infeksi, termasuk menghasilkan
antibodi.
- Neutrofil, juga disebut granulosit karena berisi enzim yang mengandung granul-granul,
jumlahnya paling banyak. Neutrofil membantu melindungi tubuh melawan infeksi bakteri
dan jamur dan mencerna benda asing sisa-sisa peradangan. Ada 2 jenis neutrofil, yaitu
neutrofil berbentuk pita (imatur, belum matang) dan neutrofil bersegmen (matur, matang).
- Limfosit memiliki 2 jenis utama, yaitu limfosit T (memberikan perlindungan terhadap
infeksi virus dan bisa menemukan dan merusak beberapa sel kanker) dan limfosit B
(membentuk sel-sel yang menghasilkan antibodi atau sel plasma).
- Monosit mencerna sel-sel yang mati atau yang rusak dan memberikan perlawanan
imunologis terhadap berbagai organisme penyebab infeksi.
- Eosinofil membunuh parasit, merusak sel-sel kanker dan berperan dalam respon alergi.
- Basofil juga berperan dalam respon alergi.
Sel darah putih tidak berwarna, mempunyai inti, dan tidak mengandung
hemoglobin. Karakteristik lainya, sel darah putih mempunyai bentuk yang tidak
tetap (amoeboid).
23
Berdasarkan granula (butiran protein) pada sitoplasmanya, sel darah
putih dapat dibedakan menjadi sel darah putih yang bergranula (granulosit) dan
sel darah putih yang tidak bergranula (agranulosit). Leukosit yang pada
sitoplasmanya mengandung granula protein adalah eosinofil (1%-4%), basofil
(0%-1%), dan neutrofil (40%-70%). Leukosit yang tidak mengandung granula
protein adalah monosit (4%-8%) dan limfosit (20%-45%).
Persentase atau jumlah perbandingan terhadap setiap jenis sel darah
putih ini didapatkan dari perbandingan jumlah total sel darah putih. Dalam
tubuh, jumlah leukosit sekitar 5000-10000 setiap mL darah. Leukosit dibentuk
dalam sumsum tulang vertebra, kelenja limfa, dan limpa. Umur leukosit dalam
sistem peredaran darah berkisar 12 hari – 13 hari. Leukosit mampu keluar dari
pembuluh kapiler jika di luar pembuluh ada benda asing. Peristiwa ini dinamakan
diapedesis.
Jumlah leukosit di dalam tubuh dapat meningkat jumlahnya jika terjadi
infeksi. Jumlah leukosit dapat mencapai 20000-30000 setiap mL darah. Jika
jumlah leukosit melebihi jumlah normal dinamakan leukopeni, sedangkan jika
jumlahnya di bawah jumlah normal dinamakan leukositosis. Leukemia atau
kanker darah terjadi karena jumlah leukosit yang sangat banyak sehingga
mengakibatkan eritrosit dimakan oleh leukosit. Hal ini terjadi karena leukosit
memiliki sifat memangsa (fagositosis). Leukosit berfungsi membantu pertahanan
tubuh terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
ebiologi.com/FileMateri/sistemperedaran-darah.doc
No Peyusun Jumlah BentukTempat
PembentukanSifat Fungsi
1 Eritrosit 4,5 – 5 juta
per mm3
Bulat
Bikonkaf
(tanpa inti)
Dewasa : Sumsum
Tulang Merah
Bayi : Hati dan Limpa
☺Mengangkut oksigen
☺Mengandung karbonik anhidrase
24
2 Neutrofil 60% - 70% dari
leukosit
Granula
bening, inti
sel terangkai
Sumsum merah,
limpa, kelenjar limpa
(getah bening)
Fagosit ☺ Merespon adanya infeksi
☺ Menelan pathogen selama fagositisis
☺ Pertahanan dari mikroorganisme (bakteri)
3 Eosinofil 2% - 4% dari
leukosit
Granula
merah,
sama dg
neutrofil
Sumsum merah,
limpa, kelenjar limpa
(getah bening)
Fagosit ☺ Memerangi bakteri
☺ Mengatur pelepasan zat kimia saat
pertempuran
☺ Membuang sisa-sisa sel yang rusak.
4 Basofil 1% dari
leukosit
Berbentuk
U, berbintik
kebiruan,
bentuk inti
teratur
Sumsum merah,
limpa, kelenjar limpa
(getah bening)
Fagosit ☺Memberi reaksi alergi dan antigen
mengeluarkan histamin kimia yang
menyebabkan peradangan.
☺Mengandung heparin yang mencegah
pembekuan darah
5 Limfosit 20% - 30% dari
leukosit
Lingkaran Sumsum merah,
limpa, kelenjar limpa
(getah bening)
Amuboid ☺Memprodusi antibody (Limfosit B)
☺Menghancurkan sel yang bersifat antigen
(Limfosit T)
6 Monosit 3% - 8% dari
leukosit
Berinti
lonjong
Sumsum merah,
limpa, kelenjar limpa
(getah bening)
Fagosit ☺Perlindungan tubuh terhadap mikroorganisme
(protozoa dan virus)
☺Memakan sel yang tua
7 Trombosit 150-300 ribu
per mm3
Bentuk tidak
teratur,
berukuran
kecil, tidak
berwarna
dan tidak
berinti
Sumsum merah,
limpa, kelenjar limpa
(getah bening)
Mudah
pecah
bila
tersentu
h benda
kasar.
☺Membantu proses pembekuan darah
http://www.scribd.com/doc/43491669/Perbedaan-Penyusun-Jaringan-Darah
11. Apa saja pengobatan/terapi yang bisa dilakukan untuk penderita kelainan leukosit?
25
Penatalaksanaan
1. Pengobatan Leukemia Mielogenus Kronik
Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya memperlambat
perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil apabila jumlah sel darah putih dapat
diturunkan sampai kurang dari 50.000/mikroliter darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun
tidak bisa menghancurkan semua sel leukemik. Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah
dengan pencangkokan sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif jika dilakukan pada stadium
awal dan kurang efektif jika dilakukan pada fase akselerasi atau krisis blast. Obat interferon alfa
bisa menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi. Hidroksiurea per-oral
(ditelan) merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan untuk penyakit ini. Busulfan
juga efektif, tetapi karena memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh
terlalu lama. Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel
leukemik. Kadang limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi) untuk: mengurangi
rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit, mengurangi kemungkinan
dilakukannya tranfusi.
2. Leukemia Limfoblastik Akut
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel
leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang. Penderita yang
menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa
minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan: transfusi
sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan,
antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan
dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari
26
prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan antrasiklin atau
asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan
metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu
atau beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel
leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan
sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun. Sel-sel leukemik bisa
kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak atau buah zakar. Pemunculan kembali sel
leukemik di sumsum tulang merupakan masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali
menjalani kemoterapi. Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh
pada penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi disuntikkan
ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan kembali sel leukemik di buah
zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan terapi penyinaran.
3. Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak
memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak,
kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit.
Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang
pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi
trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik.
Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau limpa.
Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya sangat
banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita
leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah
pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel
B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya.
Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.
27
Sumber
http://www.mantri-suster.co.cc/2010/02/leukemia.html
Terapi untuk penderita leukemia akut:
a. terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi
b. terapi suportif: untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang
12. Mengapa bisa terjadi hepatosplenomegali? (lihat bagan)
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan
tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom)
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak
terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan
menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker
ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah
bening, ginjal dan otak.(www. medicastore.com)
28
Sel Induk Pluripoten
Seli Induk Limfoid Sel Induk Myeloid
Limfosit B
Prekursor sel-B Prekursor sel-T Prekursor granulosit monosit
Prekursor Eritroid
Prekursor megakariosit
Limfosit T
AML (M0)
A Megakariocytic (M7)
Erythroleukemia (M6)
AML (M1-5)
Thy-ALLPre-BB-ALLB-ALL
Mycosis Funguides T-prolympocyteT-CLLL
B-ALLCLL
Common ALL
CML
What is chromosome 8?
Humans normally have 46 chromosomes in each cell, divided into 23 pairs. Two copies of chromosome 8, one copy inherited from each parent, form one of the pairs. Chromosome 8 spans about 146 million DNA building blocks (base pairs) and represents between 4.5 percent and 5 percent of the total DNA in cells.
Identifying genes on each chromosome is an active area of genetic research. Because researchers use different approaches to predict the number of genes on each chromosome, the estimated number of genes varies. Chromosome 8 likely contains between 700 and 1,100 genes. These genes perform a variety of different roles in the body.
Genes on chromosome 8 are among the estimated 20,000 to 25,000 total genes in the human genome.
How are changes in chromosome 8 related to health conditions?
Many genetic conditions are related to changes in particular genes on chromosome 8. This list of disorders associated with genes on chromosome 8 provides links to additional information.
Changes in the structure or number of copies of a chromosome can also cause problems with health and development. The following chromosomal conditions are associated with such changes in chromosome 8.
cancers
29
Rearrangements (translocations) of genetic material between chromosome 8 and other chromosomes have been associated with several types of cancer. For example, Burkitt lymphoma (a cancer of white blood cells that occurs most often in children and young adults) can be caused by a translocation between chromosomes 8 and 14. This translocation, written t(8;14)(q24;q32), leads to continuous cell division without control or order, which likely contributes to the development of Burkitt lymphoma. Less frequently, Burkitt lymphoma can be caused by translocations between chromosomes 8 and 2 or chromosomes 8 and 22.
Langer-Giedion syndrome
Langer-Giedion syndrome is caused by a deletion or mutation of several genes on the long (q) arm of chromosome 8 at a position described as 8q24.1. The signs and symptoms of this condition are related to the deletion or mutation in at least two genes from this part of the chromosome. Researchers have determined that the loss of a functional EXT1 gene is responsible for the multiple noncancerous (benign) bone tumors called exostoses seen in people with Langer-Giedion syndrome. Loss of a functional TRPS1 gene may cause the other bone and facial abnormalities. One copy of the EXT1 gene and the TRPS1 gene are always missing or mutated in affected individuals; however, neighboring genes may also be involved. The loss of additional genes from this region of chromosome 8 likely contributes to the varied features of Langer-Giedion syndrome.
recombinant 8 syndrome
Recombinant 8 syndrome is caused by a rearrangement of chromosome 8 that results in a deletion of a piece of the short (p) arm and a duplication of a piece of the long (q) arm. This chromosome abnormality is written rec(8)dup(8q)inv(8)(p23.1q22.1). The signs and symptoms of recombinant 8 syndrome are related to the loss of genetic material on the short arm of chromosome 8 and the presence of extra of genetic material on the long arm of chromosome 8. Researchers are working to determine which genes are involved in the deletion and duplication on chromosome 8.
other chromosomal conditions
Trisomy 8 occurs when cells have three copies of chromosome 8 instead of the usual two copies. Full trisomy 8, which occurs when all of the body's cells contain an extra copy of chromosome 8, is not compatible with life. A similar but less severe condition called mosaic trisomy 8 occurs when only some of the body's cells have an extra copy of chromosome 8. The signs and symptoms of mosaic trisomy 8 vary widely and can include intellectual disability, absence of the tissue connecting the left and right halves of the brain (corpus callosum), skeletal defects, heart problems, kidney and liver malformations, and facial abnormalities. Trisomy 8 mosaicism is also associated with an increased risk of a specific type of cancer of blood-forming cells called acute myelogenous leukemia.
30
Another chromosomal condition called inversion duplication 8p is caused by a rearrangement of genetic material on the short (p) arm of chromosome 8. This rearrangement results in an abnormal duplication and an inversion of a segment of the chromosome. An inversion involves the breakage of a chromosome in two places; the resulting piece of DNA is reversed and reinserted into the chromosome. People with inversion duplication 8p typically have severe intellectual disability, a thin or absent corpus callosum, weak muscle tone (hypotonia), abnormal curvature of the spine (scoliosis), and minor facial abnormalities. Some individuals with this condition may also have heart defects, underdeveloped kidneys, or eye abnormalities. Older individuals usually develop abnormal muscle stiffness (spasticity). The signs and symptoms of inversion duplication 8p tend to depend on the size and location of the chromosome segment involved. For example, inclusion of chromosome region 8p21 is thought to be associated with more severe symptoms.
Is there a standard way to diagram chromosome 8?
Geneticists use diagrams called ideograms as a standard representation for chromosomes. Ideograms show a chromosome's relative size and its banding pattern. A banding pattern is the characteristic pattern of dark and light bands that appears when a chromosome is stained with a chemical solution and then viewed under a microscope. These bands are used to describe the location of genes on each chromosome.
http://ghr.nlm.nih.gov/chromosome/8
Kromosom 9
Humans normally have 46 chromosomes in each cell, divided into 23 pairs. Two copies of chromosome 9, one copy inherited from each parent, form one of the pairs. Chromosome 9 is made up of about 140 million DNA building blocks (base pairs) and represents approximately 4.5 percent of the total DNA in cells.
Identifying genes on each chromosome is an active area of genetic research. Because researchers use different approaches to predict the number of genes on each chromosome, the estimated number of genes varies. Chromosome 9 likely contains between 800 and 1,300 genes. These genes perform a variety of different roles in the body.
Genes on chromosome 9 are among the estimated 20,000 to 25,000 total genes in the human genome.
31
How are changes in chromosome 9 related to health conditions?
Many genetic conditions are related to changes in particular genes on chromosome 9. This list of disorders associated with genes on chromosome 9 provides links to additional information.
Changes in the structure or number of copies of a chromosome can also cause problems with health and development. The following chromosomal conditions are associated with such changes in chromosome 9.
bladder cancer
Deletions of part or all of chromosome 9 are commonly found in bladder cancers. These chromosomal changes are seen only in cancer cells and typically occur early in tumor formation. Researchers believe that several genes that play a role in bladder cancer may be located on chromosome 9. They suspect that these genes may be tumor suppressors, which means they normally help prevent cells from growing and dividing in an uncontrolled way. Researchers are working to determine which genes, when altered or missing, are involved in the development and progression of bladder tumors.
Kleefstra syndrome
Most people with Kleefstra syndrome, a disorder with signs and symptoms involving many parts of the body, are missing a sequence of about 1 million DNA building blocks (base pairs) on one copy of chromosome 9 in each cell. The deletion occurs near the end of the long (q) arm of the chromosome at a location designated q34.3, a region containing a gene called EHMT1. Some affected individuals have shorter or longer deletions in the same region.
The loss of the EHMT1 gene from one copy of chromosome 9 in each cell is believed to be responsible for the characteristic features of Kleefstra syndrome in people with the 9q34.3 deletion. However, the loss of other genes in the same region may lead to additional health problems in some affected individuals.
The EHMT1 gene provides instructions for making an enzyme called euchromatic histone methyltransferase 1. Histone methyltransferases are enzymes that modify proteins called histones. Histones are structural proteins that attach (bind) to DNA and give chromosomes their shape. By adding a molecule called a methyl group to histones, histone methyltransferases can turn off (suppress) the activity of certain genes, which is essential for normal development and function. A lack of euchromatic histone methyltransferase 1 enzyme impairs proper control of the activity of certain genes in many of the body's organs and tissues, resulting in the abnormalities of development and function characteristic of Kleefstra syndrome.
other cancers
A rearrangement (translocation) of genetic material between chromosomes 9 and 22 is associated with several types of blood cancer known as leukemias. This chromosomal abnormality, which is commonly called the Philadelphia chromosome, is found only in
32
cancer cells. It fuses part of a specific gene from chromosome 22 (the BCR gene) with part of another gene from chromosome 9 (the ABL1 gene). The protein produced from these fused genes signals tumor cells to continue dividing abnormally and prevents them from adequately repairing DNA damage.
The Philadelphia chromosome has been identified in most cases of a slowly progressing form of blood cancer called chronic myeloid leukemia (CML). It also has been found in some cases of more rapidly progressing blood cancers known as acute leukemias. The presence of the Philadelphia chromosome can help predict how a cancer will progress and provides a target for molecular therapies.
other chromosomal conditions
Other changes in the structure or number of copies of chromosome 9 can have a variety of effects. Intellectual disability, delayed development, distinctive facial features, and an unusual head shape are common features. Changes to chromosome 9 include an extra piece of the chromosome in each cell (partial trisomy), a missing segment of the chromosome in each cell (partial monosomy), and a circular structure called a ring chromosome 9. A ring chromosome occurs when both ends of a broken chromosome are reunited. Rearrangements (translocations) of genetic material between chromosome 9 and other chromosomes can also lead to extra or missing chromosome segments.
Is there a standard way to diagram chromosome 9?
Geneticists use diagrams called ideograms as a standard representation for chromosomes. Ideograms show a chromosome's relative size and its banding pattern. A banding pattern is the characteristic pattern of dark and light bands that appears when a chromosome is stained with a chemical solution and then viewed under a microscope. These bands are used to describe the location of genes on each chromosome.
http://ghr.nlm.nih.gov/chromosome/9
33
What is chromosome 16?
Humans normally have 46 chromosomes in each cell, divided into 23 pairs. Two copies of chromosome 16, one copy inherited from each parent, form one of the pairs. Chromosome 16 spans about 89 million DNA building blocks (base pairs) and represents almost 3 percent of the total DNA in cells.
Identifying genes on each chromosome is an active area of genetic research. Because researchers use different approaches to predict the number of genes on each chromosome, the estimated number of genes varies. Chromosome 16 likely contains between 850 and 1,200 genes. These genes perform a variety of roles in the body.
Genes on chromosome 16 are among the estimated 20,000 to 25,000 total genes in the human genome.
How are changes in chromosome 16 related to health conditions?
Many genetic conditions are related to changes in particular genes on chromosome 16. This list ofdisorders associated with genes on chromosome 16 provides links to additional information.
Changes in the structure or number of copies of a chromosome can also cause problems with health and development. The following chromosomal conditions are associated with such changes in chromosome 16.
alveolar capillary dysplasia with misalignment of pulmonary veins
Alveolar capillary dysplasia with misalignment of pulmonary veins (ACD/MPV) is a disorder that affects the development of blood vessels in the lungs. It can be caused by a deletion of genetic material on chromosome 16 in a region known as 16q24.1. This region includes several genes, including the FOXF1 gene. The protein produced from the FOXF1 gene is a transcription factor, which means that it attaches (binds) to specific regions of DNA and helps control the activity of many other genes. The FOXF1 protein helps regulate the development of the lungs and the gastrointestinal tract. Genetic changes that result in a nonfunctional FOX1 protein interfere with the development of pulmonary blood vessels and cause ACD/MPV. Affected infants may also have gastrointestinal abnormalities.
Researchers suggest that deletions resulting in the loss of other genes in this region of chromosome 16 probably cause the additional abnormalities seen in some infants with this disorder. Like FOXF1, these genes also provide instructions for making transcription factors that regulate development of various body systems before birth.
cancers
Changes in the structure of chromosome 16 are associated with several types of cancer. These genetic changes are somatic, which means they are acquired during a person's lifetime and are present only in certain cells. In some cases, chromosomal rearrangements called translocations disrupt the region of chromosome 16 that
34
contains the CREBBP gene. The protein produced from this gene normally plays a role in regulating cell growth and division, which helps prevent the development of cancers.
Researchers have found a translocation between chromosome 8 and chromosome 16 that disrupts the CREBBP gene in some people with a cancer of blood-forming cells called acute myeloid leukemia (AML). Another translocation involving the CREBBP gene, which rearranges pieces of chromosomes 11 and 16, has been found in some people who have undergone cancer treatment. This chromosomal change is associated with the later development of AML and two other cancers of blood-forming tissues (chronic myelogenous leukemia and myelodysplastic syndrome). These are sometimes described as treatment-related cancers because the translocation between chromosomes 11 and 16 occurs following chemotherapy for other forms of cancer.
A chromosomal rearrangement called an inversion has been identified in rare cases of AML. This inversion involves the breakage of chromosome 16 in two places; the resulting piece of DNA is reversed and re-inserted into the chromosome. This form of AML is characterized by a high rate of remission and a favorable outcome. Unlike the somatic changes described earlier, this chromosomal rearrangement may be inherited from a parent.
16p11.2 deletion syndrome
16p11.2 deletion syndrome is caused by a deletion of about 600,000 DNA building blocks (base pairs), also written as 600 kilobases (kb), at position 11.2 on the short (p) arm of chromosome 16. This deletion affects one of the two copies of chromosome 16 in each cell. The 600 kb region contains at least 25 genes, and in many cases little is known about their function. Researchers are working to determine the missing genes that contribute to the features of 16p11.2 deletion syndrome, which include delayed development, intellectual disability, and developmental disorders that affect communication and social interaction (autism spectrum disorders).
Having a 16p11.2 deletion does not always lead to autism spectrum disorders or intellectual disability. Most people with the deletion have some of these symptoms, but others do not. Although some people have this deletion without serious consequences, they can still pass it to their children, who may be more severely affected.
Rubinstein-Taybi syndrome
Some cases of severe Rubinstein-Taybi syndrome (also known as chromosome 16p13.3 deletion syndrome) have resulted from a deletion of genetic material from the short (p) arm of chromosome 16. When this deletion is present in all of the body's cells, it can cause serious complications such as a failure to gain weight and grow at the expected rate (failure to thrive) and an increased risk of life-threatening infections. Affected individuals also have many of the typical features of Rubinstein-Taybi syndrome, including intellectual disability, distinctive facial features, and broad thumbs and first toes. Infants born with the severe form of this disorder usually survive only into early childhood.
35
Several genes are missing as a result of the deletion in the short arm of chromosome 16. The deleted region includes the CREBBP gene, which is often mutated or missing in people with the typical features of Rubinstein-Taybi syndrome. Researchers believe that the loss of additional genes in this region probably accounts for the serious complications associated with severe Rubinstein-Taybi syndrome.
other chromosomal conditions
Trisomy 16 occurs when cells have three copies of chromosome 16 instead of the usual two copies. Full trisomy 16, which occurs when all of the body's cells contain an extra copy of chromosome 16, is not compatible with life. A similar but less severe condition called mosaic trisomy 16 occurs when only some of the body's cells have an extra copy of chromosome 16. The signs and symptoms of mosaic trisomy 16 vary widely and can include slow growth before birth (intrauterine growth retardation), delayed development, and heart defects.
Duplication of the same 600 kb segment of chromosome 16 that is missing in 16p11.2 deletion syndrome may result in similar symptoms as the deletion in some individuals. People with this duplication may have developmental problems including autism spectrum disorder, language delay, and learning disability. The duplication appears to have a milder effect than the deletion, with a higher proportion of individuals with this chromosomal change showing no apparent disability. These individuals can still pass along the duplication to their children, who may have symptoms of this condition.
Other changes in the number or structure of chromosome 16 can have a variety of effects. Intellectual disability, delayed growth and development, distinctive facial features, weak muscle tone (hypotonia), heart defects, and other medical problems are common. Frequent changes to chromosome 16 include an extra segment of the short (p) or long (q) arm of the chromosome in each cell (partial trisomy 16p or 16q) and a missing segment of the long arm of the chromosome in each cell (partial monosomy 16q).
Is there a standard way to diagram chromosome 16?
Geneticists use diagrams called ideograms as a standard representation for chromosomes. Ideograms show a chromosome's relative size and its banding pattern. A banding pattern is the characteristic pattern of dark and light bands that appears when a chromosome is stained with a chemical solution and then viewed under a microscope. These bands are used to describe the location of genes on each chromosome.
36
http://ghr.nlm.nih.gov/chromosome/16
What is chromosome 22?
Humans normally have 46 chromosomes (23 pairs) in each cell. Two copies of chromosome 22, one copy inherited from each parent, form one of the pairs. Chromosome 22 is the second smallest human chromosome, spanning about 50 million DNA building blocks (base pairs) and representing between 1.5 percent and 2 percent of the total DNA in cells.
In 1999, researchers working on the Human Genome Project announced they had determined the sequence of base pairs that make up this chromosome. Chromosome 22 was the first human chromosome to be fully sequenced.
Identifying genes on each chromosome is an active area of genetic research. Because researchers use different approaches to predict the number of genes on each chromosome, the estimated number of genes varies. Chromosome 22 likely contains between 500 and 800 genes. These genes perform a variety of different roles in the body.
Genes on chromosome 22 are among the estimated 20,000 to 25,000 total genes in the human genome.
How are changes in chromosome 22 related to health conditions?
Many genetic conditions are related to changes in particular genes on chromosome 22. This list ofdisorders associated with genes on chromosome 22 provides links to additional information.
Changes in the structure or number of copies of a chromosome can also cause problems with health and development. The following chromosomal conditions are associated with such changes in chromosome 22.
cancers
Several types of blood cancer known as leukemias are associated with a rearrangement (translocation) of genetic material between chromosomes 9 and 22. This chromosomal abnormality, which is commonly called the Philadelphia chromosome, is found only in cancer cells. The translocation that results in the Philadelphia chromosome is somatic, which means it is acquired during a person's lifetime. This translocation fuses part of a specific gene from chromosome 22 (theBCR gene) with part of another gene from chromosome 9 (the ABL1 gene). The protein produced from this fused gene abnormally signals tumor cells to continue dividing and prevents them from adequately repairing DNA damage.
The Philadelphia chromosome has been identified in most cases of a slowly progressing form of blood cancer called chronic myeloid leukemia (CML). It also has been found in some cases of more rapidly progressing blood cancers known as acute leukemias. The presence of the Philadelphia chromosome can help predict how a cancer will progress and provides a target for molecular therapies.
22q11.2 deletion syndrome
37
Most people with 22q11.2 deletion syndrome are missing about 3 million base pairs on one copy of chromosome 22 in each cell. The deletion occurs near the middle of the chromosome at a location designated as q11.2. This region contains 30 to 40 genes, but many of these genes have not been well characterized. A small percentage of affected individuals have shorter deletions in the same region.
The loss of a particular gene, TBX1, is thought to be responsible for many of the characteristic features of 22q11.2 deletion syndrome such as heart defects, an opening in the roof of the mouth (a cleft palate), distinctive facial features, and low calcium levels. Some studies suggest that a deletion of this gene may contribute to behavioral problems as well. The loss of another gene, COMT, in the same region of chromosome 22 may also help explain the increased risk of behavioral problems and mental illness. Additional genes in the deleted region likely contribute to the varied signs and symptoms of 22q11.2 deletion syndrome.
22q13.3 deletion syndrome
22q13.3 deletion syndrome, which is also commonly known as Phelan-McDermid syndrome, is caused by a deletion near the end of the long (q) arm of chromosome 22. A ring chromosome 22 can also cause 22q13.3 deletion syndrome. A ring chromosome is a circular structure that occurs when a chromosome breaks in two places, the tips of the chromosome are lost, and the broken ends fuse together. People with ring chromosome 22 have one copy of this abnormal chromosome in some or all of their cells. Researchers believe that several critical genes near the end of the long (q) arm of chromosome 22 are lost when the ring chromosome 22 forms. If the break point on the long arm is at chromosome position 22q13.3, people with ring chromosome 22 will experience similar signs and symptoms as those with a simple deletion.
The signs and symptoms of 22q13.3 deletion syndrome are probably related to the loss of multiple genes at the end of chromosome 22. The size of the deletion varies among affected individuals. The loss of a particular gene, SHANK3, is thought to be responsible for many of the characteristic features of 22q13.3 deletion syndrome, such as developmental delay, intellectual disability, and absent or severely delayed speech. Additional genes in the deleted region likely contribute to the signs and symptoms of 22q13.3 deletion syndrome.
22q11.2 duplication
22q11.2 duplication is caused by an extra copy of some genetic material at position q11.2 on chromosome 22. In most cases, this extra genetic material consists of a sequence of about 3 million DNA building blocks (base pairs), also written as 3 megabases (Mb). This sequence is the same one that is missing in 22q11.2 deletion syndrome. A small percentage of affected individuals have a shorter duplication in the same region. The duplication affects one of the two copies of chromosome 22 in each cell. Researchers are working to determine the genes that may contribute to the developmental delay and other problems that affect some people with this duplication.
38
Emanuel syndrome
Emanuel syndrome is caused by the presence of extra genetic material from chromosome 11 and chromosome 22 in each cell. In addition to the usual 46 chromosomes, people with Emanuel syndrome have an extra (supernumerary) chromosome consisting of a piece of chromosome 11 attached to a piece of chromosome 22. The extra chromosome is known as a derivative 22 or der(22) chromosome.
People with Emanuel syndrome typically inherit the der(22) chromosome from an unaffected parent. The parent carries a chromosomal rearrangement between chromosomes 11 and 22 called a balanced translocation. No genetic material is gained or lost in a balanced translocation, so these chromosomal changes usually do not cause any health problems. As this translocation is passed to the next generation, it can become unbalanced. Individuals with Emanuel syndrome inherit an unbalanced translocation between chromosomes 11 and 22 in the form of a der(22) chromosome. These individuals have two normal copies of chromosome 11, two normal copies of chromosome 22, and extra genetic material from the der(22) chromosome.
As a result of the extra chromosome, people with Emanuel syndrome have three copies of some genes in each cell instead of the usual two copies. The excess genetic material disrupts the normal course of development, leading to intellectual disability and birth defects. Researchers are working to determine which genes are included on the der(22) chromosome and what role these genes play in development.
Opitz G/BBB syndrome
The autosomal dominant form of Opitz G/BBB syndrome is caused by a deletion in one copy of chromosome 22 in each cell. This condition is considered part of 22q11.2 deletion syndrome because affected people usually have a deletion in the same region of chromosome 22. These cases occur in people with no history of the disorder in their family. It is not yet known which deleted gene(s) cause the signs and symptoms of Opitz G/BBB syndrome.
other chromosomal conditions
Other changes in the number or structure of chromosome 22 can have a variety of effects. Intellectual disability, delayed development, delayed or absent speech, distinctive facial features, and behavioral problems are common features. Frequent changes to chromosome 22 include an extra piece of the chromosome in each cell (partial trisomy), a missing segment of the chromosome in each cell (partial monosomy), and a ring chromosome 22. Rearrangements (translocations) of genetic material between chromosomes can also lead to extra or missing material from chromosome 22. The most common of these translocations involves chromosomes 11 and 22.
Cat-eye syndrome is a rare disorder most often caused by a chromosomal change called an inverted duplicated 22. In people with this condition, each cell has at least one small
39
extra chromosome made up of genetic material from chromosome 22 that has been abnormally copied (duplicated). The extra genetic material causes the characteristic signs and symptoms of cat-eye syndrome, including an eye abnormality called an iris coloboma (a gap or split in the colored part of the eye), small skin tags or pits in front of the ear, unusually formed ears, heart defects, kidney problems, malformations of the anus, and, in some cases, delayed development.
Is there a standard way to diagram chromosome 22?
Geneticists use diagrams called ideograms as a standard representation for chromosomes. Ideograms show a chromosome's relative size and its banding pattern. A banding pattern is the characteristic pattern of dark and light bands that appears when a chromosome is stained with a chemical solution and then viewed under a microscope. These bands are used to describe the location of genes on each chromosome.
http://ghr.nlm.nih.gov/chromosome/22
STEP 7
HASIL SGD 2
40