setelah ujian proposal
DESCRIPTION
proposal tesisTRANSCRIPT
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem perekonomian negara adalah sistem yang digunakan oleh suatu
negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu
maupun organisasi di negara tersebut. Sistem ekonomi suatu negara akan diikuti
secara linear oleh kebijakan ekonomi. Sebagai contoh sederhana, jika suatu negara
menganut sistem ekonomi pasar yang liberal-kapitalistik maka peran negara
dalam pengaturan hukum di sektor privat sangat terbatas dan banyak diatur oleh
komunitas ekonomi/bisnis selaku self regulatory organization (SRO). Sebaliknya
jika sistem ekonomi sosialistik-etatisme yang dianut, dalam kebijakan pengaturan
hukum di bidang ekonomi banyak diatur dan ditentukan oleh negara sehingga
tidak jarang terjadi over regulated.1
Indonesia menganut faham negara kesejahteraan (welfare state), hal ini
terbukti dalam pemaknaan terhadap Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yaitu adanya
tanggung jawab negara di bidang ekonomi, sistem demokrasi ekonomi Indonesia
dan tujuan dari demokrasi ekonomi yaitu tercapainya kesejahteraan dan keadilan
sosial. Tanggung jawab negara terkonsep lebih lanjut di alinea keempat
1 Muchammad Zaidun, Paradigma Baru Kebijakan Hukum Investasi Indonesia Suatu
Tantangan dan Harapan. ( Surabaya : Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi Universitas Airlangga, 2008)
2
Pembukaan UUD 1945 yang memuat kewajiban negara dalam mengelola sumber
daya untuk kesejahteraan masyarakat.2
Perwujudan faham negara kesejahteraan yakni adanya campur tangan
pemerintah dalam bidang ekonomi melalui instrumen berupa regulasi di bidang
perbankan, investasi, persaingan usaha, perlindungan konsumen, dan lain-lain.
Salah satu contoh, di bidang persaingan usaha dibentuk Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999). Upaya ini
dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan umum
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan pembangunan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.3 Pada bidang perekonomian,
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 menghendaki kemakmuran
masyarakat secara merata, bukan kemakmuran secara individu. Secara yuridis
melalui norma hukum dasar (state gerund gezet), sistem perekonomian yang
diinginkan adalah sistem yang menggunakan prinsip keseimbangan, keselarasan,
2 Fendi Setyawan. Demokrasi Ekonomi Indonesia. (Jember : Bahan Kuliah Peranan Hukum
dalam Pembangunan Ekonomi, Program Pascasarjana Universitas Jember, 2013) 3 Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
3
serta memberikan kesempatan usaha bersama bagi setiap warga negara.
Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan ekonomi Indonesia haruslah bertitik
tolak dan berorientasi pada pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang dialami oleh Indonesia sejak
tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 kemudian diperburuk
dengan kondisi perekonomian dunia yang menurun menjadi alasan pemicu
reformasi dan restrukrurisasi dalam berbagai hal yang pada akhirnya turut
mempengaruhi kehidupan bernegara. Salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya krisis ekonomi adalah pada kenyataannya pemerintah Indonesia selama
ini dikenal tidak memiliki kebijakan kompetisi yang jelas. Pada kurun 30 (tiga
puluh) tahun terakhir beberapa pelaku usaha telah melakukan perbuatan-perbuatan
yang jelas bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Pada saat
yang sama pelaku usaha juga tidak pernah diperkenalkan dengan budaya
persaingan sehat padahal persaingan itu sendiri secara alamiah melekat pada dunia
usaha. Disamping faktor krisis ekonomi maka Indonesia dalam waktu singkat
dipaksa keadaan untuk melakukan berbagai deregulasi peraturan ekonomi untuk
menyelesaikan masalah ekonominya.4
Era pasar bebas atau yang lebih dikenal dengan era globalisasi membawa
banyak perubahan pada tatanan ekonomi di Indonesia. Pasar bebas di Indonesia
dapat membawa dampak positif maupun negatif bagi perekonomian dan
masyarakat Indonesia. Terbukanya pintu bagi produk-produk asing untuk masuk
4 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia UU no. 5/1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004). Hlm.5.
4
ke Indonesia misalnya dapat memberikan suatu inspirasi masyarakat untuk dapat
mengembangkan suatu produk untuk dapat bersaing sehingga akan meningkatkan
kualitas produk baik barang atau jasa. Namun, hal tersebut juga dapat mematikan
usaha karena ketidakmampuan produk yang dihasilkan dalam negeri untuk
bersaing dengan produk luar negeri. Banyaknya pelaku usaha yang menjalankan
kegiatan usahanya otomatis menimbulkan suatu persaingan dalam dunia usaha.
Persaingan usaha yang semakin ketat menjadikan para pelaku usaha akan berbuat
apapun guna untuk melancarkan usahanya dan agar kegiatan usaha mereka dapat
terus berjalan dan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Persaingan dalam
dunia usaha tentunya diperbolehkan selama persaingan tersebut dilakukan secara
sehat dan tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan namun apabila persaingan
tersebut dilakukan secara tidak sehat atau akan menjadikan pihak lain merasa
dirugikan tentunya persaingan tersebut tidak diperbolehkan karena akan
menghambat perkembangan ekonomi itu sendiri.
Berdasar segi manfaat, persaingan di dalam dunia usaha adalah cara yang
efektif untuk mencapai pendayagunaan sumber daya secara optimal. Adanya
rivalitas akan cenderung menekan ongkos-ongkos produksi sehingga harga
menjadi lebih rendah serta kualitasnya semakin meningkat. Bahkan lebih dari itu
persaingan dapat menjadi landasan fundamental bagi kinerja di atas rata-rata
untuk jangka panjang dan dinamakannya keunggulan bersaing yang lestari
(sustainable competitive advantage) yang dapat diperoleh melalui tiga strategi
5
generik, yaitu keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus biaya.5 Terkait hal ini
persaingan usaha merupakan sebuah proses di mana para pelaku usaha dipaksa
menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihan-pilihan produk dan
jasa dalam harga yang lebih rendah. Persaingan hanya dimungkinkan bila ada dua
pelaku usaha atau lebih yang menawarkan produk dan jasa yang sama.
Berdasarkan hal tersebut pelaku usaha berusaha menciptakan suatu produk dan
jasa yang menarik, baik dari segi harga, kualitas, dan pelayanan. Kombinasi
tersebut untuk memenangkan persaingan merebut pilihan para konsumen dapat
diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat serta manajemen yang
baik untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia.
Hukum merupakan salah satu kaidah sosial yang ditujukan untuk
mempertahankan ketertiban dalam hidup bermasyarakat.6 Pada hidup
bermasyarakat, setiap individu membutuhkan pemenuhan kebutuhan dan
keinginan namun di sisi lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut tidak
boleh melanggar atau merugikan kepentingan individu yang lainnya. Peran negara
disini dibutuhkan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
instrumen untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Hukum sangat diperlukan
untuk menghindari terjadinya kekacauan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
manusia. Sumber daya yang terbatas sebagai akibat permintaan pemenuhan
kebutuhan yang tidak terbatas.
5 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha ( Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, ( Malang : Bayu Media, 2006). Hlm 102. 6 Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2009). Hlm. 4
6
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai produk dari hukum
persaingan yang telah berlaku hampir lebih dari 15 (lima belas) tahun di Indonesia
dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru terutama dalam mengatur persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah praktik-praktik perdagangan dengan
harapan berbagai masalah praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak
sehat di Indonesia dapat diselesaikan. Berkembangnya praktik perdagangan
apalagi dalam perdagangan internasional akan memaksa Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 untuk dikembangkan sesuai dengan tuntutan kondisi dunia usaha
tetapi tetap harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan amanat dan
semangat ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 yang menghendaki terciptanya demokrasi di bidang ekonomi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 secara substansi mengatur tentang
tiga garis besar tentang Perjanjian yang dilarang, Kegiatan yang dilarang, serta
Posisi Dominan. Pada dasarnya dunia usaha mementingkan atau mendambakan
keuntungan yang besar pada sektor usahanya. Hal ini yang secara langsung akan
menuntut mereka memiliki posisi dominan dalam suatu pasar. Memiliki posisi
yang dominan di dalam suatu pasar adalah impian dari setiap pelaku usaha. Hal
ini adalah wajar, dengan menjadi dominan dalam suatu pasar tentu akan
memberikan keuntungan yang lebih maksimal terhadap para pelaku usaha. Terkait
itu menjadi lebih ungggul (market leader) pada suatu pasar bukanlah merupakan
suatu hal yang dilarang, bahkan hal ini tentunya akan memacu para pelaku usaha
untuk melakukan efisiensi dan inovasi-inovasi untuk menghasilkan produk yang
7
berkualitas dan harga yang kompetitif di dalam persaingan yang ada dengan
pelaku usaha lainnya dalam pasar tersebut.
Posisi dominan di suatu pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap
pelaku usaha, si pelaku usaha harus meningkatkan kemampuan keuangannya,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu,
barulah kemudian si pelaku usaha bisa mencapai kedudukan posisi dominan di
dalam pasar. Terkait di dalam mencapai suatu posisi dominan dalam suatu pasar
adalah hal yang tidak mudah, maka si pelaku usaha cenderung akan terdorong
untuk melakukan segala cara untuk mencapai posisi dominan serta
mempertahankannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain, bahkan
terkadang si posisi dominan melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan
dalam mempertahankan posisi dominannya.
Pada bagian Bab V Bagian keempat Undang-undang nomor 5 Tahun 1999
mengatur mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan. Penguasaan
sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok atau
golongan tertentu didalam suatu kegiatan usaha dapat melalui tindakan merger,
konsolidasi, dan akuisisi Perseroan, hal ini dapat dilakukan asalkan
memperhatikan kepentingan Perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan
Perseroan, serta kepentingan masyarakat termasuk pihak ketiga yang
berkepentingan dan persaingan bisnis yang sehat dalam Perseroan, serta
mencegah monopoli dan monopsoni. Pasal 28 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 menyatakan :
8
“ (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Berdasar tiga bentuk penyatuan usaha, akuisisi lebih sering dipilih oleh
pelaku usaha karena didalam akuisisi kedua perusahaan atau lebih yang akan
menyatukan diri tetap ada, hanya saja terjadi perubahan kepemilikan aset atau
saham. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007) ataupun Peraturan
Pemerintah tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi perseroan terbatas,
mengartikan akuisisi Perusahaan sebagai akuisisi saham saja tidak termasuk
akuisisi asset dan atau akuisisi lainnya seperti akuisisi bisnis. Maka yang disebut
dengan akuisisi adalah pengambilalihan seluruh atau sebagian besar saham yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan.7
Akuisisi merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk dapat
mengembangkan kegiatan usaha, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
pelaku usaha dengan melakukan akuisisi. Ketika suatu pelaku usaha ingin agar
pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar pertumbuhan perusahaan dan
perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat efisiensi yang semakin tinggi dan
juga untuk mengurangi ketidakpastian akan pasokan bahan baku yang dibutuhkan
7 Munir Fuady, Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001). Hlm.4.
9
dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi biasanya perusahaan akan
menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan pelaku-pelaku usaha
lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi, salah satu caranya adalah
dengan melakukan akuisisi.8
Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam melakukan akuisisi saham suatu
PT berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
disebutkan bahwa setiap perusahaan wajib menaati prinsip tata kelola perusahaan
yang baik atau yang sering disebut dengan prinsip Good Corporate Governance.
Secara umum, prinsip-prinsip dasar yang harus diterapkan oleh perusahaan dalam
akuisisi saham perusahaan adalah akuntabilitas, kemandirian, transparansi,
pertanggungjawaban dan kewajaran.9 Perwujudan prinsip pertanggungjawaban
antara lain organ perusahaan wajib mengelola perusahaan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 126 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007, Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan :
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Sebagai contoh, pada tahun 2008 PT.Carrefour Indonesia mengakuisisi
PT.Alfa Retailindo,Tbk dengan menandatangani perjanjian jual beli saham atau
Share Purchase Agreement (SPA) antara Carrefour dengan PT. Sigmantara
8 Ditha Wiradiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, ( Depok : Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004). Hlm.43. 9 Titin Sartika Putri, Prinsip-Prinsip Akuisisi Saham Perseroan Terbatas, (Jember :
Universitas Jember, Skripsi, 2012).
10
Alfindo dan Prime Horizon. Pte.Ltd. Jumlah saham Alfa milik PT. Sigmantara
Alfindo yang dibeli Carrefour sebesar 35% dan saham Alfa milik Prime Horizon
Pte. Ltd yang dibeli Carrefour sebesar 45%.10 Alasan Carrefour untuk
mengakuisisi Alfa adalah untuk meningkatkan penjualan dan menambah gerai
serta untuk menambah format pasar modern berupa supermarket sesuai dengan
trend bisnis ritel yang berkembang untuk menjadi multi format.Sedangkan alasan
PT.Sigmantara Alfindo sebagai pemilik saham Alfa sebelumnya untuk melepas
kepemilikannya kepada Carrefour adalah dikarenakan adanya kebutuhan dana
yang cukup besar serta akan memfokuskan bisnisnya pada pengembangan
minimarket melalui PT. Sumber Alfaria Trijaya,Tbk (Alfamart).11
Efisiensi usaha yang merupakan tujuan dari akuisisi yang dilakukan PT.
Carrefour Indonesia terhadap PT. Alfa Retailindo, Tbk sudah tentu harus
memperhatikan ketentuan yang ada didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 karena akuisisi bisa menjadi sesuatu yang dilarang jika menyebabkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam putusan
KPPU Perkara Nomor : 9/KPPU-L/2009, PT. Carrefour Indonesia telah
memenuhi unsur Pasal 28 ayat (2) namun tidak dapat dikualifikasikan melakukan
pelanggaran terhadap pasal tersebut karena belum ada Peraturan Pemerintah yang
mengatur lebih lanjut mengenai akuisisi yang menyebabkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.12 Hal tersebut mengindikasikan lemahnya Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam mengatur akuisisi yang menyebabkan
10 Putusan KPPU Nomor 9/KPPU-L/2009. Hlm. 9. 11 Ibid. 12 Wulanda Roselina, Akuisisi PT. Alfa Retailindo, Tbk. oleh PT. Carrefour Indonesia
dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan KPPU Perkara Nomor : 9/KPPU-L/2009), (Jember: Universitas Jember, Skripsi, 2012). Hlm.60.
11
persaingan usaha tidak sehat di Indonesia karena belum ada ukuran suatu akuisisi
dapat dikualifikasikan menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat. Hal ini memberikan peluang untuk pelaku usaha serta Majelis KPPU untuk
menginterpretasikan ketentuan mengenai akuisisi dan seharusnya Majelis KPPU
dalam memutus perkara tersebut tetap dapat menjerat pelaku usaha dengan
pelanggaran terhadap pasal 28 ayat (2) dengan memperhatikan dampak yang telah
ditimbulkan atas akuisisi PT. Alfa Retailindo, Tbk oleh PT. Carrefour Indonesia
sehingga dapat memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Hal tersebut perlu dikaji, mengingat sebaik apapun suatu peraturan
perundang-undang dipersiapkan dan akhirnya diterbitkan, namun dalam
kenyataan tidak jarang bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada dalam masyarakat, atau bahkan
hal-hal yang seharusnya diatur dalam ketentuan tersebut justru terlewatkan.
Penyebab dari hal tersebut bisa bermacam-macam, namun dapat dikatakan secara
umum bahwa ketidakserasian antara apa yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan disebabkan karena perkembangan bidang ekonomi yang begitu cepat
yang terlambat di tangkap atau diantisipasi oleh pembuat undang-undang, atau
dapat pula terjadi karena ketidak mampuan pembuat undang-undang dalam
menangkap nilai-nilai hukum yang ada dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan akuisisi tersebut dan membahasnya dalam bentuk tesis yang
berjudul : “PRINSIP-PRINSIP AKUISISI SAHAM PERSEROAN
TERBATAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA”.
12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana prinsip-prinsip akuisisi saham perseroan terbatas jika dikaitkan
dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat?
2. Apakah prinsip akuisisi saham perseroan terbatas dan pengaturan akuisisi
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dapat menciptakan persaingan usaha yang
sehat dan tidak monopolistik?
3. Bagaimana konsepsi penerapan prinsip-prinsip akuisisi saham perseroan
terbatas agar mampu menciptakan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan
bagi masyarakat?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini terbagi menjadi dua,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari tesis ini adalah merupakan tujuan yang bersifat
akademis, yaitu :
1. Memenuhi tugas dan melengkapi sebagian syarat-syarat untuk mencapai
gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas jember.
13
2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam Ilmu Hukum
khususnya Hukum Perdata .
3. Menerapkan ilmu pengetahuan hukum yang diperoleh selama masa studi,
serta mengembangkan dan membuat analisis secara yuridis praktis
khususnya di bidang Hukum Persaingan Usaha.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari tesis ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip akuisisi saham perseroan
terbatas jika dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2. Mengetahui dan memahami prinsip akuisisi saham perseroan terbatas dan
pengaturan akuisisi dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam
menciptakan persaingan usaha yang sehat dan tidak monopolistik.
3. Menemukan dan membangun konsepsi penerapan prinsip-prinsip akuisisi
saham perseroan terbatas agar mampu menciptakan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan bagi masyarakat.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada semua
pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Karya tulis ini dapat menghasilkan konsep baru guna pengembangan hukum
yang mengatur tentang prinsip akuisisi perseroan terbatas dalam hukum
persaingan usaha
14
2. Karya tulis ini dapat memberikan inspirasi kepada pemerintah selaku
pemegang kekuasaan yang berwenang dalam membuat dan menyusun
peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Persaingan Usaha.
3. Karya tulis ini dapat dijadikan acuan ataupun bahan rujukan dalam
penelitian lanjutan dalam bidang Hukum Persaingan Usaha.
1.4 Metode Penelitian
Dalam pembuatan suatu karya ilmiah tentu tidak akan terlepas dari metode
penelitian. Penelitian hukum dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.13 Metode penelitian ini akan mempunyai peranan penting dalam
pembuatan karya ilmiah yaitu untuk mengkaji obyek agar dapat dianalisis dengan
benar. Dengan pengkajian tersebut diharapkan akan mempunyai alur pemikiran
yang tepat dan mempunyai kesimpulan akhir yang dapat dipertangggungjawabkan
secara ilmiah.
Metode merupakan cara kerja bagaimana menemukan hasil atau
memperoleh atau menjalankan suatu kegiatan, untuk memperoleh hasil yang
konkrit. Menggunakan suatu metode dalam melakukan suatu penelitian
merupakan ciri khas dari ilmu pengetahuan untuk mendapatkan suatu kebenaran
hukum. Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses
untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Persada Group, 2010).
Hlm. 35
15
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.14 Pada penulisan tesis ini
menggunakan metode yang terarah agar dapat memberikan pemikiran yang
sistematis dalam usaha menguji kebenaran ilmiah atas masalah yang dihadapi.
1.4.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam tesis ini adalah Yuridis Normatif (Legal Research).
Hukum sebagai konsep normatif adalah hukum sebagai norma, baik yang
diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun
norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif
telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya dan juga
berupa norma-norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judments) pada
waktu hakim itu memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya
kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara.15 Pengertian
penelitian tipe Yuridis Normatif ini adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji dan menganalisis substansi peraturan perundang-undangan atas pokok
permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum yang
ada.16
1.4.2 Pendekatan Masalah
Pada penelitian hukum, terdapat berbagai macam pendekatan yang dapat
dipilih. Penggunaan pendekatan yang tepat dan sesuai akan membawa alur
14 Ibid. 15 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000). Hlm. 33 16 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit. Hlm. 32.
16
pemikiran pada kesimpulan yang diharapkan. 17 Dalam penulisan tesis ini
digunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conseptual approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Berdasar pendekatan ini akan dikaji kesesuaian antara undang-
undang satu dengan undang-undang lain untuk mendapat argumentasi yang
sesuai. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perudang-
undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Terkait itu peneliti harus melihat
hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut 18 :
1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait
antara satu sama lain secara logis,
2. All inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum.
3. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
Pendekatan konseptual (conseptual approach) beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi
17 Ibid, Hlm. 93-95. 18 Herowati Poesoko, Diktat Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, ( Jember : Fakultas
Hukum Universitas Jember, 2012 ). Hlm. 36
17
peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam menyelesaikan isu
yang dihadapi.
Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif mempunyai
tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Pendekatan jenis ini biasanya yang digunakan
adalah mengenai kasus-kasus yang telah mendapat putusan. Kasus-kasus tersebut
bermakna empirik, namun dalam suatu penelitian normatif kasus-kasus tersebut
dapat dipelajari untuk memperoleh suatu gambaran terhadap dampak dimensi
penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum. Hasil analisisnya
digunakan untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.19
1.4.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum digunakan untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus
memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya, diperlukan sebagai
sumber-sumber penelitian. Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan tesis
ini adalah ;
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer mempunyai sifat autoritatif, yang artinya mempunyai
otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
19 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Malang: Bayu
Media, 2008). Hlm. 321.
18
hakim.20 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini terdiri
dari:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2010 tentang
Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham
Perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat;
5. Putusan KPPU Nomor 9/KPPU-L/2009 tentang praktik monopoli dan/ atau
persaingan usaha tidak sehat atas akuisisi PT. Alfa Retailindo,Tbk oleh PT.
Carrefour Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang
bukan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum tersebut meliputi:
buku-buku teks, jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan.21 Bahan
hukum sekunder yang dapat dikadikan rujukan adalah bahan hukum yang harus
berkaitan dengan pengkajian dan pemecahan atas isu hukum yang dihadapi.
20 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit. Hlm.141. 21 Ibid.
19
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), internet dan ensiklopedia.22
1.4.4 Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan suatu cara yang digunakan untuk
menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas. Proses menemukan
jawaban tersebut dengan cara :
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan
untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya dipandang mempunyai
relevansi juga bahan-bahan non-hukum;
c. Melakukan telaah atas permasalahan yang akan dibahas yang diajukan
berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
d. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dalam menjawab
permasalahan yang ada;
e. Memberikan perskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di
dalam kesimpulan.23
Berdasarkan bahan-bahan hukum tersebut, Penulis menggunakan metode
deduktif yaitu proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan
mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang
22 Johny Ibrahim, Op.cit. Hlm. 296. 23 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit. Hlm. 171.
20
bersifat khusus. Berbagai informasi yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian
akan dianalisis dengan menggunakan metode anasisis isi (content analysis), baik
dalam membandingkan putusan dengan peraturan perundang-undangan terkait
untuk selanjutnya ditarik kesimpulan.
21
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Peran pemerintah dalam negara kesejahteraan dituntut responsif dalam
mengelola dan mengorganisasikan perekonomian nasionalnya untuk menjamin
ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga
negaranya. Menurut G. Esping- Andersen dalam Fendi Setyawan, suatu negara
dapat dikatakan menganut faham negara kesejahteraan, apabila negara tersebut
menjalankan nilai-nilai sosialisasi hak dan kewajiban warga negara (social
citizenship); demokrasi penuh (full democracy); sistem hubungan industrial
modern (modern industrial relation system); hak untuk mendapatkan pendidikan
dan pengembangan sistem pendidikan modern (rights to education and the
expansion of modern mass education system); dan produksi serta penyediaan
kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar.24
Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang
menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan
kesejahteraan warga negaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk
menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil
kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan
dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya
dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan
kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan
24 Fendi Setyawan, Op.cit. Hlm.5
22
yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan
menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak
tersebut akan dirasakan mulai dari rasa ketidakberdayaan masyarakat miskin,
hingga berdampak buruk pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin
menerima suap (menjual suaranya dalam pemilihan umum) akibat keterjepitan
ekonomi, sebagaimana yang banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam beberapa
kali pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
2.2 Teori Keadilan
Di negara Indonesia, keadilan sosial merupakan bagian dari cita-cita bangsa
Indonesia seperti yang termaktub dalam Pancasila sila yang ke V (lima) artinya
bahwa keadilan sosial merupakan sesuatu yang ideal dicita-citakan oleh semua
rakyat bahkan dirumuskan dengan jelas dalam dasar negara kita Pancasila.
Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum. Kaum naturalis
mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan. Keadilan mengandung
sifat relativisme karena sifatnya abstrak, luas, dan kompleks maka tujuan hukum
seringkali tidak tegas. Selayaknya tujuan hukum haruslah lebih realistis seperti
kepastian hukum yang ditekankan oleh kaum positivisme dan kemanfaatan hukum
yang ditekankan oleh kaum fungsionalis. Keadilan itu bukan merupakan tujuan
hukum satu-satunya, tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
23
Summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux (hukum yang keras dapat
melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya).25
Teori tentang keadilan sosial, John Rawls dalam Dominikus Rato
berpendapat bahwa perlu ada keseimbangan, kesebandingan, dan keselarasan
(harmony) antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau
kepentingan masyarakat, termasuk didalamnya negara. Keadilan merupakan nilai
yang tidak dapat ditawar-tawar karena dengan keadilanlah ada jaminan kestabilan
dan ketenteraman dalam hidup manusia. Terkait hal tersebut agar tidak terjadi
benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau
kepentingan masyarakat itu diperlukan aturan-aturan yang dibangun secara adil
pula.26
John Rawls dikenal sebagai seorang filsuf yang secara keras mengkritik
ekonomi pasar bebas. Baginya pasar bebas memberikan kebebasan bagi setiap
orang, namun dengan adanya pasar bebas maka keadilan sulit untuk ditegakkan.
Oleh karena hal ini, ia mengembangkan sebuah teori yag disebut teori keadilan.
Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang
memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Terkait demikian,
supaya keadilan dapat tercapai maka struktur konstitusi politik, ekonomi, dan
peraturan mengenai hak milik haruslah sama bagi semua orang. Setiap orang
harus mengesampingkan atribut-atribut yang membedakannya dengan orang-
orang lain, seperti kemampuan, kekayaan, posisi sosial, pandangan religius dan
filosofis, maupun konsepsi tentang nilai. Untuk mengukuhkan situasi adil tersebut
25 Dominikus Rato, Filsafat Hukum : Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum, (Yogyakarta : LaksBang Justitia, 2010). Hlm. 59
26 Ibid. Hlm..78.
24
perlu ada jaminan terhadp sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti
kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan berserikat,
kebebasan berpolitik, dan kebebasan di mata hukum.27
2.3 Teori Kepastian Hukum
Bagi aliran positivisme, tujuan hukum adalah semata-mata untuk
menciptakan kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu
mempertahankan ketertiban. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan,
persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan
hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.28 Ajaran positivisme timbul
pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir
bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa
keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya
membatasi diri pada pengalaman-pengalaman objektif, sedangkan empirisme
menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman subjektif.29
Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John
Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).30
Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian
hukum. Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum.
27 http://vhiianachatrine.wordpress.com/2013/07/12/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-
sederhana-buku-a/, diakses pada hari rabu 16 April 2014, pukul 12.37 WIB. 28 A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005). Hlm 71 29 Cita Yustisia Serfiyani, Analisa Persaingan Usaha di Bidang Importasi dan Distribusi
Film dalam Menumbuhkembangkan Perfilman Nasional, (Jember: Universitas Jember, Proposal Penelitian Tesis, 2013). Hlm. 20
30 Ibid.
25
Pertama, bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan. Kedua,bahwa
hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti. Ketiga,
bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan.
Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah.31 Pada dasarnya kepastian
hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga
masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Kepastian hukum
intinya adalah hukum ditaati dan dilaksanakan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka ukuran atau kriteria dari kepastian
hukum itu sendiri dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut 32:
a. Adanya kejelasan hukum, artinya dapat mudah dimengerti oleh rakyat;
b. Aturan hukum itu tidak bertentangan antara satu sama lain;
c. Aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan subjek
hukum, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak
mungkin dilakukan;
d. Pengakuan terhadap hak dan kewajiban bagi setiap subjek hukum;
e. Adanya pengakuan dari warga negara prinsipil terhadap aturan-aturan
hukum;
f. Kepastian hukum dalam hal di pengadilan ditandai dengan sikap
kemandirian hakim dan tidak memihak dalam menerapkan aturan-aturan
hukum;
31 Fence M. Wantu. Peranan Hukum dalam mewujudkan Kepastian Hukum Keadilan dan
Kemanfaatan di Peradilan Perdata. ( Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, Ringkasan Disertasi, 2011). Hlm. 7.
32 Ibid. Hlm.8.
26
g. Kepastian hukum di pengadilan ditentukan kejelasan objek yang menjadi
sengketa;
h. Kepastian hukum di pengadilan harus menentukan secara jelas objek yang
dimenangkan oleh pihak-pihak yang berperkara;
i. Kepastian hukum di pengadilan ditentukan dapat dieksekusi atau
dilaksanakannya putusan.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau
dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya
untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.33
2.4 Teori Kemanfaatan Hukum
Jeremy Bentham yakni seorang filsuf, ekonom, yuris, dan reformer hukum,
yang memiliki kemampuan untuk memformulasikan prinsip kegunaan/
kemanfaatan (utilitas) menjadi doktrin etika, yang dikenal sebagai utilitarianism
atau madzhab utilitis. Prinsip utility tersebut dikemukakan oleh Bentham dalam
karya monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and Legislation
33 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media
Group, 2008). Hlm.158.
27
(1789). Bentham mendefinisikannya sebagai sifat segala benda tersebut cenderung
menghasilkan kesenangan, kebaikan, atau kebahagiaan, atau untuk mencegah
terjadinya kerusakan, penderitaan, atau kejahatan, serta ketidakbahagiaan pada
pihak yang kepentingannya dipertimbangkan.34 Tujuan hukum adalah semata-
mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya
bagi manusia dan warga masyarakat dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Utility
menurut Bentham dalam Peter Mahmud Marzuki adalah prinsip-prinsip yang
menyetujui atau menolak setiap tindakan apa pun yang dapat memperbesar atau
mengurangi kebahagiaan pihak yang kepentingannya dipengaruhi oleh tindakan
itu. Apabila pihak yang berkepentingan adalah perorangan maka prinsip utility
diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaannya, sedangkan jika pihak yang
berkepentingan adalah masyarakat maka prinsip utility diarahkan untuk seluas-
luasnya kepentingan masyarakat. Tolak ukur tentang benar atau salah adalah
kebahagiaan terbesar untuk sebagian besar orang atau terkenal dengan ungkapan
“the greatest happiness for the greatest numbers”, yang bisa diartikan sebagai
kebahagiaan terbesar untuk sebesar-besarnya jumlah manusia.35
Pernyataan Bentham tersebut maka baik buruknya hukum harus diukur dari
baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan
hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari
penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya
penderitaan dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-
akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga
34 http://lapatuju.blogspot.com/2013/03/keadilan-kemanfaatan-dan-kepastian.html, diakses pada hari rabu tanggal 19 Februari 2014 pukul 09.08 WIB
35 Peter Mahmud Marzuki, 2008. Op.cit. Hlm.119.
28
tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai
dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah
mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang
sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan
evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses
penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan
tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.36
2.5 Teori Sistem Hukum
Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Lili Rasjidi
menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu menarik dan
tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum atau
stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-
pemikiran baru sekalipun diluar disiplin hukum selalu dapat membawa pengaruh
kepada sistem hukum.37
Menurut Lawrence M.Friedman dalam Dyah Putri Purnamasari ada tiga
unsur dalam sistem hukum, yaitu38:
Pertama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun
bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan berbeda, dan setiap bagian
36 Lili Rasjidi dan I. B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, ( Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), Hlm. 79-80. 37 Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm 149. 38 Dyah Putri Purnamasari. Analisis Pembuktian Terbalik dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Hukum Acara Perdata. ( Jember : Universitas Jember, Proposal Penelitian Tesis, 2013). Hlm.9
29
berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang yang
berkesinambungan. Inilah struktur hukum, kerangka atau rangkanya, bagian yang
tetap bertahan, bagian yang membentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Struktur disini dapat diartikan adalah aparat penegak hukum untuk lebih
memudahkan pemahaman. Kedua, sistem hukum mempunyai substansi yaitu
aturan, norma, dan pola perilaku nyata yang berada dalam sitem itu. Substansi
juga berarti “produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem
hukum itu (keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka
susun). Penekanannnya disini terletak pada hukum yang hidup (living Law),
bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum (law books). Komponen ketiga dari
sistem hukum adalah budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum (kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya). Dengan kata lain
budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa
budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya yang diibaratkan
seperti ikan yang mati terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup berenang di
lautnya.
2.6 Penyatuan Usaha melalui Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi.
Tujuan penyatuan usaha adalah pencapaian sinergi penyatuan usaha yang
memungkinkan dua perusahaan atau lebih bisa saling menunjang kegiatan usaha
sehingga keuntungan yang dihasilkan bisa jauh lebih besar bila dibandingkan jika
30
mereka melakukan usaha sendiri-sendiri. Penyatuan usaha dibagi menjadi 3 (tiga)
bentuk yaitu Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi.
2.6.1 Merger
Merger (penggabungan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah
ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan
diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum.39
2.6.2 Konsolidasi
Konsolidasi (peleburan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu
Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan
yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri
berakhir karena hukum.40
2.6.3 Akuisisi
Akuisisi adalah suatu kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu acquisition
yang secara harfiah memiliki pengertian mengambil alih, menguasai, dan
memperoleh. Akuisisi perusahaan dapat dilakukan terhadap berbagai kegiatan
39 Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. 40 Lihat Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas.
31
usaha dengan berbagai bentuk usaha.41 Berbagai pengertian atau definisi akuisisi
dapat ditemui dalam berbagai literatur hukum perusahaan, yang pada dasarnya
memiliki kesamaan maksud, didalam Black’s Law Dictionary, pengertian umum
akuisisi adalah:
“The act of becoming the owner of certain property; The act by
which one acquires or procures the property in anything. Used also
of thing acquired. Taking with, or againts, consent”
Terjemahan bebas Penulis yakni, suatu perbuatan untuk menjadikan pemilik
atas suatu barang tertentu, salah satu tindakan untuk memperoleh atau
diperolehnya suatu kepemilikan dalam hal apapun termasuk juga barang yang
diperoleh. Pengambilan tersebut dengan kesepakatan dan risiko. Secara yuridis
pengertian akuisisi antara lain terdapat didalam pasal 1 angka 11 Undang-undang
No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang merupakan perubahan dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa:
“Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.” Beberapa tujuan yang ingin dicapai dari akuisisi yang dilakukan oleh
perusahaan antara lain42 :
1. untuk memperbaiki sistem manajemen perusahaan terakuisisi, hal ini dapat
terjadi apabila perusahaan yang lemah manajemen mengalami kesulitan
untuk berkembang secara operasional walaupun mempunyai cukup dana,
41 Felix Oentoeng Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan, Cet.1, (Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2006), hlm.10. 42 Munir Fuady,. Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO. (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001). Hlm.59.
32
perusahaan yang demikian tidak mampu bersaing dengan perusahaan lain
terutama yang sejenis dan tidak mustahil akan mengalami kebangkrutan.
Salah satu cara menyelamatkannya adalah digabungkan dengan kelompok
konglomerasi yang berpengalaman dalam segi manajemen, yaitu dengan
cara menjual sebagian besar saham perusahaan yang mengalami kesulitan
manajemen kepada kelompok konglomerasi tersebut,
2. untuk meningkatkan diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal.
Akuisisi horizontal dilakukan suatu perusahaan terhadap perusahaan yang
melakukan usaha yang sejenis, sedangkan akuisisi vertikal lebih cenderung
bertujuan untuk mengamankan produksi dan distribusi suatu perusahaan,
misalnya suatu produsen mie yang melakukan akuisisi terhadap perusahaan
tepung terigu, dimana tepung terigu merupakan bahan baku untuk
pembuatan mie,
3. di beberapa negara akuisisi sering dijadikan sarana untuk pengambilalihan
perusahaan yang lebih kecil oleh perusahaan yang lebih besar dan kuat
untuk tujuan pemusatan kekuatan ekonomi atau kedudukan monopolistik.
Menurut Kwiek Kian Gie, hasil dari akuisisi yang menghasilkan banyak
perusahaan yang dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga dapat dipakai
sebagai sarana untuk melakukan penipuan, dan persembunyian terhadap
masyarakat mengenai keadaan yang sebenarnya dari perusahaan,
4. untuk mengurangi ataupun menghambat persaingan dapat menjadi tujuan
suatu perusahaan melakukan akuisisi, mengingat kondisi bersaing
merupakan kondisi yang kurang disukai oleh pelaku usaha, dengan
33
dilakukannya akuisisi jumlah pesaing akan berkurang, karena kebijakan
dipegang oleh satu perusahaan pengakuisisi,
5. untuk dapat mempertahankan kontinuitas bisnis suatu perusahaan, hal ini
dapat dilakukan suatu perusahaan dengan mengakuisisi perusahaan lain atau
jenis usaha yang ada dalam mata rantai bisnisnya sehingga akan
memudahkan kontrol atas jalur usaha yang ditempuhnya.
Pada perkembangannya akuisisi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis
yaitu43:
1. Berdasarkan jenis usahanya, akuisisi dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar, sebagai berikut: a) Akuisisi horizontal, yaitu akuisisi yang dilakukan oleh
suatu badan usaha yang masih berkecimpung dalam bidang bisnis yang sama.
b) Akuisisi vertikal, yaitu akuisisi yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang bergerak di bidang industri hilir dengan hulu atau sebaliknya.
c) Akuisisi konglomerat, yaitu akuisisi badan usaha yang tidak memiliki bidang bisnis yang sama atau tidak saling berkaitan. Akuisisi jenis ini lebih didorong oleh motivasi memperbesar kerajaan bisnis konglomerat.
2. Berdasarkan segi lokalisasi antara perusahaan pengakuisisi dengan perusahaan target, maka akuisisi dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Akuisisi internal, yaitu pengambilalihan anak perusahaan
oleh induk perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha.
b) Akuisisi eksternal, yaitu pengambilalihan perusahaan lain yang tidak termasuk dalam satu kelompok usaha.
3. Berdasarkan objek akuisisi, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Akuisisi terhadap saham perusahaan, yaitu
pengambilalihan perusahaan dengan cara membeli saham mayoritas perusahaan sehingga pihak pengakuisisi berhak menjadi pemegang saham pengendali.
43 Iswi Hariyani, R. Serfianto, & Cita Yustisia Serfiyani, Merger, Konsolidasi, Akuisisi dan
Pemisahan Perusahaan, ( Jakarta: Visimedia, 2011). Hlm. 25-28.
34
b) Akuisisi asset atau aktiva perusahaan, yaitu akuisisi asset yang dilakukan dengan cara membeli sebagian atau seluruh aktiva atau asset perusahaan.
c) Akuisisi kombinasi (saham dan aset), yaitu akuisisi perusahaan yang dilakukan dengan cara membeli saham dan asset milik perusahaan target.
d) Akuisisi secara bertahap, yaitu proses akuisisi yang dilakukan secara bertahap atau tidak secara langsung.
4. Berdasarkan motivasi akuisisi, maka akuisisi dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Akuisisi strategis, yaitu akuisisi yang keuntungannya
bersifat mendasar dan berjangka panjang. Pada umumnya ditempuh untuk meningkatkan sinergi perusahaan, menguasai bahan baku, meningkatkan produktivitas perusahaan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan efisiensi usaha, dan lain-lain.
b) Akuisisi finansial, yaitu akuisisi yang dilakukan karena dorongan motif mencari keuntungan finansial dalam jangka pendek. Bersifat spekulatif, yakni perusahaan pengakuisisi membeli saham perusahaan target dengan harga murah karena berharap mendapat keuntungan dari penghasilan perusahaan target atau dari penjualan saham tersebut kepada perusahaan lain.
5. Berdasarkan divestitur, yakni dengan melihat peralihan asset/ saham/ manajemen dari perusahaan target kepada perusahaan pengakuisisi.
Dalam akuisisi, terdapat 2 (dua) prinsip yang mendasari agar akuisisi dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu44:
a. Prinsip due diligence yang menerapkan bahwa dalam akuisisi, perusahaan
pengakuisisi harus mengikuti proses due diligence yang dinamis dimulai
dengan sebuah tim due diligence yang kuat yang memiliki tanggung jawab
dan kewenangan untuk mendapatkan informasi dan menganalisa data serta
mengintegrasikan data-data tersebut ke dalam satu visi akuisisi dan
mempertimbangkan dengan seksama perubahan-perubahan peraturan
44 Titin Sartika Putri, Op.cit. Hlm. 82
35
pemerintah dan standar-standar lain dalam pendekatan yang digunakan
untuk menyelesaikan akuisisi.
b. Prinsip Good Corporate Governance (Prinsip GCG) sesuai dengan
ketentuan dalam Penjelasan Pasal 4 UUPT. Prinsip-prinsip dasar yang harus
diterapkan oleh perusahaan dalam akuisisi saham perusahaan adalah
akuntabilitas (Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 114 ayat (1) UUPT), kemandirian
(Pasal 36 ayat (1)), transparansi (Pasal 66 ayat (1) dan (2), dan Pasal 75 ayat
(2) UUPT), pertanggungjawaban (Pasal 74 UUPT), dan kewajaran (Pasal 53
ayat (3) UUPT).
2.7 Saham
Istilah saham banyak ditemui di dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut tidak menjelaskan definisi
saham. Pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 31 ayat (1) Undang-
undang No 40 Tahun 2007, dapat penulis simpulkan bahwa saham adalah bagian
dari modal dasar Perseroan. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UUPT dapat
kita simpulkan juga bahwa saham adalah penyertaan modal yang dimasukkan oleh
subjek hukum ke dalam suatu Perseroan Terbatas pada saat pendirian Perseroan
Terbatas tersebut.45
45 Pasal 1 angka 1 UU No 40 Tahun 2007 : “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut
Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Pasal 31 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007: “Modal dasar Perseroan terdiri atas
36
Saham adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu
perusahaan, dan pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva
perusahaan.46 Surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sering
disebut efek atau sekuritas, salah satunya yaitu saham karena saham mampu
memberikan tingkat keuntungan yang menarik. Saham dapat didefinisikan tanda
penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau
perseroan terbatas. Dengan memiliki saham, berarti kita ikut memiliki perusahaan
sehingga berhak hadir dalam RUPS.47
2.8 Perseroan Terbatas
Salah satu bentuk badan hukum yang sering dikenal adalah Perseroan
Terbatas atau PT. Perseroan terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007, seperti yang terdapat pada pasal 1 angka 1 adalah:
“Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaanya.” Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV),
adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri
dari saham, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya.
Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang dapat diperjualbelikan,
seluruh nilai nominal saham.” Pasal 7 ayat (2) UU No 40 Tahun 2007: “Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
46 http://www.bapepam.go.id/old/old/news/Juni2003/BAB%20IIa.pdf, diakses pada hari jumat 28 Februari 2014 pukul 14.13 WIB
47 Iswi Hariyani & R. Serfianto, Buku Pintar Hukum Bisnis Pasar Modal, (Jakarta: VisiMedia, 2010). Hlm. 198.
37
perubahan kepemilikan perusahaan dapat dilakukan tanpa perlu membubarkan
perusahaan.48
Perseroan Terbatas merupakan badan usaha dan besarnya modal perseroan
tercantum dalam anggaran dasar. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan
pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliiki harta kekayaan sendiri. Setiap
orang dapat memiliki lebih dari satu saham yang menjadi bukti kepemilikan
perusahaan. Pemilik Saham mempunyai tanggung jawab terbatas yaitu sebanyak
saham yang dimiliki.49
Modal dasar Perseroan Terbatas (Authorised Capital) teridiri dari 3 jenis,
yaitu50:
1. Modal dasar (Authorised Capital) adalah jumlah saham yang dapat dikeluarkan oleh perseroan,sehingga modal dasar terdiri dari atas seluruh nominal saham,
2. Modal yang ditempatkan (issued capital atau subscribed capital) adalah saham yang telah diambil dan sebenarnya telah terjual kepada para pendiri maupun pemegang saham perseroan.
3. Modal yang disetor (paid up capital) adalah saham yang telah dibayar penuh kepada perseroan yang menjadi penyertaan atau penyetoran modal riil yang telah dilakukan oleh pendiri maupun para pemegang saham perseroan.
Pada saat pendirian perseroan, paling sedikit 25% dari modal dasar tersebut
harus telah ditempatkan dan setiap penempatan modal harus telah disetor paling
sedikit 50% dari nilai nominal setiap saham yang dikeluarkan harus disetor penuh
pada saat pengesahan perseroan dengan bukti penyetoran yang sah.51Terdapat
48 Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas;Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan
Tanggung Jawab (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005),hlm.30. 49 Ibid. 50 Swasti R . Maysuhara, Surat Kontrak dan Pendirian Usaha, (Yogyakarta : Cemerlang
Publishing, 2010), Hlm.41. 51 Ibid, Hlm..42.
38
perbedaan jumlah besarnya modal, pada UUPT Nomor 1 Tahun 1995 jumlah
modal dasarnya sebesar Rp.20.000.000,- sedangkan dalam UUPT Nomor 40
Tahun 2007 jumlah modal dasarnya adalah sebesar Rp. 50.000.000,-.
Suatu perseroan terbatas dapat diklasifikasikan kepada beberapa kriteria.
Dilihat dari banyaknya pemegang saham, maka perseroan dapat dibagi atas52:
a. Perusahaan tertutup, merupakan suatu perusahaan terbatas yang belum pernah menawarkan sahamnya kepada publik melalui penawaran umum dan jumlah pemegang sahamnya belum sampai pada jumlah pemegang saham dari suatu perusahaan publik. Kepada perusahaan tertutup berlaku ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas.
b. Perusahaan terbuka, yang dimaksud dengan perusahaan terbuka atau yang dikenal dengan istilah “PT Tbk” adalah suatu perseroan terbatas yang melakukan penawaran umum atas sahamnya atau telah memenuhi syarat dan telah memproses dirinya menjadi perusahaan publik, sehingga telah memiliki pemegang saham publik, dimana perdagangan saham sudah dapat dilakukan di bursa-bursa efek. Terhadap perusahaan terbuka ini berlaku baik undang-undang perseroan terbatas maupun undang-undang pasar modal.
c. Perusahaan publik, yaitu perusahaan dimana keterbukaannya itu tidak melalui proses khusus, setelah ia memenuhi syarat untuk menjadi perusahan publik, antara lain jumlah pemegang sahamnya sudah mencapai jumlah tertentu yang oleh Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995 ditentukan jumlah pemegang sahamnya minimal sudah menjadi 300 orang pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang kurangnya 3 milyar. Terhadap perusahaan publik berlaku undang-undang perseroan terbatas dan undang-undang pasar modal.
2.9 Hukum Persaingan Usaha
Pada dunia hukum, banyak istilah yang digunakan untuk bidang hukum
persaingan usaha (Competition Law) seperti hukum antimonopoli (anti monopoly
52 Dhaniswara K. Harjono, Pembaruan Hukum Perseroan Terbatas Tinjauan terhadap
Undang-undang No.40 Tahun 2007, (Jakarta: PPHBI, 2001), Hlm. 181
39
law) dan hukum antitrust (antitrust law). Di Indonesia secara resmi digunakan
istilah Persaingan Usaha sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1999.
Menurut Arie Siswanto53 yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha
(competition law) adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana
persaingan itu harus dilakukan. Menurut Hermansyah54, hukum persaingan usaha
adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang
berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan
dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan dalam Kamus
Lengkap ekonomi yang ditulis oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes
sebagaimana dikutip oleh Winarno55, yang dimaksud dengan Competition Laws
(hukum persaingan) adalah bagian dari perundang-undangan yang mengatur
tentang monopoli, penggabungan dan pengambilalihan, perjanjian perdagangan
yang membatasi dan praktik anti persaingan.
Pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Pasal 1 angka 6
dijelaskan bahwa :
”Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.” Keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat
53 Ari Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Hlm.3 54 Hermansyah, Op.cit. Hlm.2 55 Winarno, Op.cit. Hlm. 37.
40
penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di
Indonesia. Tujuan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tercantum dalam
ketentuan Pasal 3 yang memuat :
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Productive efficiency ialah efisiensi bagi perusahaan dalam menghasilkan
barang-barang dan jasa-jasa. Perusahaan dikatakan efisien apabila dalam
menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa perusahaan tersebut dilakukan dengan
biaya serendah-rendahnya karena dapat menggunakan sumber daya sekecil
mungkin. Allocative efficiency adalah efisiensi bagi masyarakat konsumen.
Masyarakat konsumen dapat dikatakan efisien apabila para produsen dapat
membuat barang-barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan menjualnya pada
harga yang para konsumen bersedia untuk membayar harga yang dibutuhkan.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, monopoli didefinisikan
sebagai bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh salah satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
Black’s Law Dictionary, mengartikan Monopoli sebagai :
“Monopoly is a privilage or peculiar advantage vested in one or more persons or companies consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade,manufacture a particular article,or control the sale of the whole supply of
41
particular commodity.A form of martket structure in which one or only a few dominate the total sales of product or service.” Terjemahan bebas penulis yakni monopoli merupakan suatu keuntungan
istimewa yang diperoleh satu orang maupun perusahaan atau lebih berupa hak
atau kekuasaan istimewa untuk menjalankan sebuah usaha atau perdagangan
tertentu, produksi barang tertentu, atau untuk mengendaliakan suatu penyaluran
terhadap komoditas tertentu. Suatu bentuk struktur pasar dimana hanya ada satu
atau beberapa penjual yang mendominasi seluruh penjualan atas suatu barang atau
jasa.
Terkait demikian, monopoli adalah situasi pasar di mana hanya ada satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha yang "rnenguasai" suatu produksi
dan / atau pemasaran barang dan / atau penggunaan jasa tertentu, yang akan
ditawarkan kepada banyak konsumen, yang mengakibatkan pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha tadi dapat mengontrol dan mengendalikan tingkat
produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasarannya.56
Berdasar ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat
disimpulkan, ternyata tidak semua kegiatan monopoli dilarang. Hanya kegiatan
monopoli yang memenuhi unsur dan kriteria yang disebutkan dalam Pasal 17
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 saja yang dilarang dilakukan oleh satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha . Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 menyatakan :
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat
56 Ningrum Natasya Sirait, Op.cit. Hlm.5.
42
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini apabila : a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama;atau c. satu pelaku usaha atau saru kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengertian monopoli
dibedakan dari pengertian praktik monopoli. Pengertian praktik monopoli
dikemukakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
yaitu:
Praktik Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaba yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/ atau pemasaran atas barang dan/ atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyaipesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Pada Bab Posisi Dominan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 juga
memasukan beberapa hal yang memungkinkan pelaku usaha meraih sebagai posisi
dominan di dalam pasar, yaitu antara lain:
43
1. memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun sebagai komisaris dibeberapa
perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 26 Undang-
undang No.5/1999);
2. memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang bergerak di
dalam pasar yang sama (Pasal 27 Undang-undang No.5/1999);
3. melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha
(Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999).
2.9.1 Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Pengertian Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Pasal 1 Angka 18
UU Nomor 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki alasan filosofis
dan alasan sosiologis. Alasan filosofis yang dapat dijadikan dasar pembentukan
KPPU yaitu bahwa dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan
suatu lembaga yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah dan rakyat).
Dengan kewenangannya yang berasal dari negara ini diharapkan lembaga
pengawas ini dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya serta
sedapat mungkin mampu untuk bertindak secara independen.Sedangkan alasan
sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU adalah menurunnya
citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta beban
perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain adalah dunia usaha
44
membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat
rahasia.Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri dari orang-
orang yang ahli dalam bidang ekonomi dan hukum sehingga penyelesaian yang
cepat dapat terwujud.57
Dasar Hukum pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah
Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 :
“Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Komisi
Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.”
Status Komisi diatur dalam Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 5
Tahun 1999. KPPU adalah lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh
dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Berdasar Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, jelaslah
bahwa tujuan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah untuk
mengawasi pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1999. Dalam hal ini Komisi
Pengawas Persaingan Usaha bertindak sebagai lembaga yudikatif. Pembentukan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha diharapkan dapat menyelesaikan kasus
pelanggaran hukum persaingan usaha dengan lebih cepat, efisien, dan efektif,
sesuai dengan asas dan tujuannya. Komisi bertanggung jawab kepada presiden
disebabkan Komisi melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintah,di mana
kekuasaan tertinggi pemerintahan berada di bawah presiden.
57 Ayudha D. Prayoga, dkk.,Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya, cet. I,
(ELIPS, 1999), hal. 128
45
Agar peran KPPU tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka KPPU
memiliki tugas sebagai berikut :
1) Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
2) melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
3) melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
4) mengambil tindakan sesuai dengan wewenang KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
5) memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
6) menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang ini;
7) memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.58
sedangkan wewenang KPPU adalah:
1) menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2) melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3) melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil dari penelitiannya;
58 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
46
4) menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini ;
6) memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7) meminta bantuan penyidik untuk meghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU;
8) meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
9) mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat ;
11) memberitahukan putusan KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
12) menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.59
2.9.2 Konsep Pendekatan Hukum Persaingan Usaha
A. Pendekatan Per se
Per Se adalah rumusan pasal mengenai perbuatan tertentu yang dilarang
untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut sudah dapat terbukti dilakukan dan
dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau kerugian
yang secara nyata terhadap persaingan.60 Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang
berbunyi:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda
59 Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. 60 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit. Hlm.60.
47
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama.
merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se sehingga
ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut,
pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tanpa harus menunggu
adanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus
menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.
Pada pendekatan per se (bahasa latin yang sama artinya dengan sendirinya /
by itself / in itself / not subject to interpretation) beberapa bentuk persaingan
usaha seperti penetapan harga (price fixing) harus dianggap secara otomatis
(dengan sendirinya) bertentangan atau melanggar dengan hukum karena aspek
negatifnya dapat langsung terlihat atau diduga. Pendekatan pelarangan ini,
penekanannya terletak pada unsur formal dari perbuatannya. Sehingga tidak
diperlukan adanya klausula kausalitas di dalam pengaturannya seperti klausula
“…mengakibatkan kerugian perekonomian dan atau pelaku usaha lain.”61
B. Pendekatan Rule of Reason
Pendekatan Rule of Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu
perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus
mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan
itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa
penegak hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau
kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.Dengan demikian dapat
61 Ibid.
48
dikatakan, Rule of reason lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang
dimunculkan dari suatu perbuatan barulah pasal yang menggunakan rumusan
secara rule of reason ini dapat diterapkan.62
Beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru dianggap salah jika telah
terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku usaha lain
atau perekonomian nasional secara umum. Dalam pendekatan rule of reason
mungkin saja dibenarkan adanya suatu tindakan usaha yang meskipun anti-
persaingan (misalnya tindakan merger yang menghasilkan dominasi satu pelaku
usaha) tetapi menghasilkan suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau
perekonomian nasional pada umumnya. Atau sebaliknya suatu tindakan usaha
dianggap salah karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam
prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang merugikan
pelaku usaha, konsumen, dan perekonomian nasional umumnya, seperti pada
tindakan integrasi vertikal yang disertai dengan tindakan restriktif (menghasilkan
barriers to entry). Terkait itu, penekanan pada rule of reason adalah unsur
material dari perbuatannya. Dan pada rule of reason, tindakan restriktif tidak
rasionil yang menjadi sasaran pengendaliannya dan penentuan salah tidaknya
digantungkan kepada akibat tindakan usaha (persaingan) terkait terhadap pelaku
usaha lain, konsumen dan atau perekonomian nasional pada umumnya. Maka dari
itu untuk tindakan-tindakan tersebut dalam substansi pengaturannya dibutuhkan
klausula kausalitas seperti di atas.63
62 Mustafa Kamal Rokan, Op.cit. Hlm.65 63 Ibid,hlm.67
49
BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL
Penulis memberikan konsep untuk menjawab isu hukum yang ada dalam
penelitian tesis ini sebagaimana telah dijabarkan dalam rumusan masalah serta
untuk mempermudah alur pikir. Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak
terhadap suatu objek akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu
dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan
(kerangka) baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang penting agar tidak
terjebak dalam polemik yang tidak terarah. Pentingnya kerangka konsepsional dan
landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum, dikemukakan juga oleh
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahwa kedua kerangka tersebut merupakan
unsur yang sangat penting.64 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain
bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori.65
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku
usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat
meneiptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat
bersaingan seeara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti
dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat lainnya.
64 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Hlm.7.
65 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Hlm.6.
50
Akuisisi merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk dapat
mengembangkan kegiatan usaha dengan beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
pelaku usaha dengan melakukan akuisisi. Penguasaan sumber ekonomi dan
pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok atau golongan tertentu
didalam suatu kegiatan usaha dapat melalui tindakan merger, konsolidasi, dan
akuisisi Perseroan, hal ini dapat dilakukan asalkan memperhatikan kepentingan
Perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan Perseroan, serta
kepentingan masyarakat termasuk pihak ketiga yang berkepentingan dan
persaingan usaha yang sehat dalam Perseroan, serta mencegah monopoli dan
monopsoni.
Hukum persaingan usaha di Indonesia mengacu pada bentuk akuisisi saham,
sebagaimana yang diatur didalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999. Pengaturan mengenai akuisisi didalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 terdapat didalam Pasal 28 dan 29. Pasal tersebut membahas
pengawasan terhadap konsentrasi yang mencakup penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan. Akuisisi dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
dinyatakan sebagai anti persaingan atau melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang tersebut apabila pertama, pasca akuisisi pelaku usaha mempunyai
kemampuan menentukan harga barang dan/jasa. Kedua, mempunyai posisi
dominan dari pasar bersangkutan. Ketentuan mengenai Pengambilalihan saham
perusahaan yang dianggap dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat diatur
didalam Peraturan Pemerintah, hal ini dinyatakan didalam Pasal 28 ayat (3)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
51
Pada tahun 2008 PT. Carrefour Indonesia mengakuisisi PT. Alfa
Retailindo,Tbk. Dalam putusan KPPU Perkara Nomor : 9/KPPU-L/2009, PT.
Carrefour Indonesia telah memenuhi unsur pasal 28 ayat (2) namun tidak dapat
dikualifikasikan melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut karena belum ada
Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai akuisisi yang
menyebabkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sangat
menjadi perhatian publik karena UU tersebut lahir 1999 sedangkan kasus akuisisi
ini tahun 2008, rentang waktu kurang lebih 9 tahun bukan waktu yang sedikit
untuk sekedar merumuskan suatu peraturan yang telah menjadi amanat UU. Kasus
ini mewujudkan belum tercapainya kepastian hukum khususnya pengaturan
mengenai akuisisi. Terkait hal tersebut perlu kiranya untuk menganalisisi prinsip-
prinsip akuisisi saham perseroan terbatas dalam perpektif hukum persaingan
usaha. Dengan pisau analisis teori negara keadilan, kepastian dan kemanfaatan
hukum bermanfaat untuk menyusun sebuah konsepsi penerapan prinsip-prinsip
akuisisi saham perseroan terbatas agar mampu menciptakan keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan bagi masyarakat.
52
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tentang tujuan negara RI
Pembangunan Nasional
Pasal 33 UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Perjanjian yang dilarang Kegiatan yang dilarang Penyalahgunaan Posisi Dominan
Rangkap Jabatan Kepemilikan Saham Mayoritas
Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi
Prinsip-Prinsip Akuisisi Saham
Perseroan Terbatas
Analisis Prinsip dan Pengaturan Akuisisi
Saham PT dalam Persaingan Usaha
Konsepsi Penerapan
Prinsip-prinsip Akuisisi Saham PT
- UU 5 / 1999 - UU 40 /2007
Teori Sistem Hukum, Teori Welfare State,
Teori Keadilan, Kepastian & Kemanfaatan Hukum
- Putusan KPPU Perkara No 9/ KPPU-L/ 2009
Terciptanya Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat
RPJPN
RPJMN
PROPENAS
53
BAB 4. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan tesis ini disusun menjadi 5 (lima) bab dan masing-masing
bab terdiri dari uraian yang berbeda antara bab yang satu dengan bab yang lain. Terkait
hal tersebut dibuat sistematika penulisan agar dapat mengetahui dengan jelas hal-hal
yang di uraikan dalam masing-masing bab tersebut. Sistematika ini juga dapat
digunakan sebagai pedoman agar dalam penulisan tesis ini penulis tidak keluar dari
substansinya. Adapun sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut :
Bab 1, Pendahuluan yang berisi pemaparan latar belakang lahirnya isu hukum
sebagai pokok permasalahan. Rumusan masalah yaitu pertama, prinsip-prinsip akuisisi
saham perseroan terbatas jika dikaitkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kedua, analisis prinsip
akuisisi saham perseroan terbatas dan pengaturan akuisisi dalam UU Nomor 5 Tahun
1999 dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat dan tidak monopolistik. Ketiga,
konsepsi penerapan prinsip-prinsip akuisisi saham perseroan terbatas agar mampu
menciptakan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Pada bab ini
ditegaskan pula tentang metodologi penelitian yang digunakan, baik tipe dan pendekatan
yang dilakukan termasuk tujuan dan manfaat penelitian yang diharapkan.
Bab 2, Tinjauan Pustaka yang menguraikan tentang landasan teori-teori yang
digunakan untuk mendeskripsikan permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis
ini, meliputi teori negara kesejahteraan, teori keadilan, teori kepastian hukum, teori
kemanfaatan hukum, teori sistem hukum, penyatuan usaha melalui merger, konsolidasi
& akuisisi, saham, perseroan terbatas, dan hukum persaingan usaha.
54
Bab 3, Kerangka Konseptual dituangkan secara konseptual abstraksi berbagai
teori, pemikiran ilmiah, yang memberikan pengertian berikut gambaran konseptual
berkaitan dengan isu hukum yang akan dijawab dalam pembahasan. Kerangka
konseptual disajikan secara teoritis dalam bentuk narasi dengan dilengkapi bagan.
Bab 4, Pembahasan dikemukakan lebih dalam tentang pemahaman dan analisis
terhadap isu-isu hukum tentang prinsip-prinsip akuisisi saham perseroan terbatas jika
dikaitkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Analisis prinsip akuisisi saham perseroan terbatas dan
pengaturan akuisisi dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam menciptakan persaingan
usaha yang sehat dan tidak monopolistik. Konsepsi penerapan prinsip-prinsip akuisisi
saham perseroan terbatas agar mampu menciptakan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan bagi masyarakat.
Bab 5, Penutup dari tesis ini yang didalamnya berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan intisari dari permasalahan yang telah di uraikan atau dijabarkan
pada pembahasan maupun bab-bab sebelumnya untuk menjawab isu hukum yang
dihadapi sedangkan saran berisi tentang masukan atau pendapat dari penulis untuk
mengatasi masalah yang diteliti sebagai onjek penelitian tesis agar nantinya bisa
diimplementasikan oleh pihak-pihak yang membutuhkan.
55
BAB 5. RANCANGAN SUSUNAN BAB
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM
PRASYARAT GELAR MAGISTER
PENGESAHAN
PENETAPAN PANITIA UJIAN
PERNYATAAN ORISINALITAS
UCAPAN TERIMA KASIH
RINGKASAN
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.4 Metode Penelitian
1.4.1 Tipe Penelitian
1.4.2 Pendekatan Masalah
1.4.3 Sumber Bahan Hukum
1.4.4 Analisis Bahan Hukum
1.4.5 Desain Penelitian
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toeri Negara Kesejahteraan
2.2 Teori Keadilan
2.3 Teori Kepastian Hukum
56
2.4 Teori Kemanfaatan
2.5 Teori Sistem Hukum
2.6 Penyatuan Usaha melalui Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi
2.6.1 Merger
2.6.2 Konsolidasi
2.6.3 Akuisisi
2.7 Saham
2.8 Perseroan Terbatas
2.9 Hukum Persaingan Usaha
2.9.1 Komisi Pengawas Persaingan Usaha
2.9.2 Konsep Pendekatan Hukum Persaingan Usaha
BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL
BAB 4. PEMBAHASAN
4.1 Prinsip-prinsip Akuisisi Saham Perseroan Terbatas
4.1.1 Prinsip-Prinsip Akuisisi Saham Perseroan Terbatas menurut UU
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4.1.2 Prinsip-Prinsip Akuisisi Saham Perseroan Terbatas menurut UU
Nomor 5 Tahun 1999
4.2 Analisis prinsip akuisisi saham perseroan terbatas dan pengaturan akuisisi
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam menciptakan persaingan usaha yang
sehat dan tidak monopolistik.
4.3 Konsepsi penerapan prinsip-prinsip akuisisi saham perseroan terbatas agar
mampu menciptakan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR BACAAN