serpong, 08 maret 2021 - repository.stftjakarta.ac.id
TRANSCRIPT
Serpong, 08 Maret 2021 Nomor : 057/MJ-GKIS/III/2021 Perihal : Permohonan Pelayanan Pembicara Kepada Yth : Pdt. Prof. Samuel Benyamin Hakh, D.Th di Tempat Salam sejahtera dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus,
Dengan segala ungkapan syukur dan penuh sukacita, melalui surat ini kami mohon kesediaan Bapak untuk menjadi narasumber/pembicara dalam Webinar Masa Raya Paskah
GKI Serpong, yang akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Sabtu, 20 Maret 2021 Waktu : 10.00 – 12.00 WIB Tempat : Zoom Online Topik : “Peristiwa Paskah Menurut 4 Injil : Mengapa Berbeda?” Tujuan : Meningkatkan pengetahuan dan penghayatan Anggota Jemaat GKI Serpong terhadap Masa Raya Paskah.
Kami senantiasa berdoa, kiranya Tuhan memberkati persiapan yang Bapak lakukan serta dijauhkan dari halangan. Apabila diperlukan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Pnt. Rudy Ticoalu di No. Hp. 0811 883 303 Demikian Permohonan kami, atas perhatian dan kerjasama yang diberikan kami sampaikan terima kasih. Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita bersama.
Teriring salam dan doa, GEREJA KRISTEN INDONESIA SERPONG
a.n. Majelis Jemaat
Pnt. William Tjoa Ketua Umum
Pnt. Yeni Vitalastri Wakil Sekretaris Umum
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS WEBINARGKI SERPONG
Berdasarkan Surat dari GKI Serpong tanggal 8 Maret 2021 No. 057/MJ-GKIS/III/2021, perihal
Permohonan Pelayanan Pembicara, dan didukung oleh surat Tugas dari STFT Jakarta No.
0551l/Ketua/III/2021 tanggal 16 Maret 2021, maka pada tanggal, 20 Maret 2021, saya melaksanakan
Webinar dengan Majelis Jemaat dan warga emaat GKI Serpong tentang “Peristiwa Paskah Menurut
Keempat Injil, Mengapa berbeda?
Dalam pelaksanaan webinar itu peserta yang hadir berjumlah 105 peserta. Dalam sesi diskusi ada
pertanyaan-pertanyaan mengenai sebabnya laporan keempat Injil dalam Perjanjian Baru berbeda-beda
tentang peristiwa Paskah.Dari Materi yang sisajikan mereka memahami bahwa perbedaan itu terjadi
karena para penulis Injil memiliki perspektif teologisnyang berbeda tentang peristiwa kebankitan
Yesus. Namun peristiwa itu sendiri merupakan suatu kejadian yang pernah terjadi di dalam perjaanan
sejarah manusia. Para peserta webinar itu meminta agar seminar berkaitan dengan pengemvangan
teologi jemaat perlu terus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman warga jemaat mengenai pokok-
pokok teologis di dalam Alkitab.
Demikianlah laporan ini.
Jakarta, 23 Maret 2021
Prof. Samuel Benyamin Hakh, D.Th
PERISTIWA PASKAH MENURUT KEEMPAT INJIL
MENGAPA BERBEDA?
Pendahuluan.
Peristiwa kebangkitan Yesus merupakan salah satu pokok yang secara hangat
diperdebatkan dalam Perjanjian Baru oleh para ahli Perjanjian Baru. Pokok ini diperdebatkan
karena pada satu pihak setiap orang Kristen tidak bisa mengabaikan kebangkitan Yesus. Karena
kebangkitan Yesus merupakan dasar iman Kristen. Sementara itu, para sarjana yang melakukan
studi-studi tentang kebangkitan Yesus memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang
mengakui kebangkitan sebagai suatu peristiwa yang terjadi di dalam sejarah manusia, ada pula
yang tidak. Perbedaan pendapat ini sering menimbulkan persoalan di kalangan orang Kristen
karena perbedaan interpretasi terhadap kebangkitan itu sendiri.
Pandangan para Ahli
Persoalannya adalah apakah Yesus sungguh-sungguh telah dibangkitkan dari antara
orang mati? Menjawab pertanyaan ini, para ahli Perjanjian Baru memberikan jawaban yang
berbeda-beda. Conzelmann berpendapat bahwa kebangkitan tidak dapat dibuktikan sebagai
suatu peristiwa historis. Menurut Conselmann unsur yang menonjol di dalam peristiwa
kebangkitan adalah unsur iman. Kebangkitan hanya dapat dilihat dari sudut iman bukan
berdasarkan bukti historis. Jadi, kebangkitan hanya diakui dalam iman ketika Injil diberitakan.1
Willi Marxsen berpendapat bahwa kepercayaan akan kebangkitan Yesus tidak berbeda
sama sekali dari apa yang Yesus ajarkan. Ajaran Yesus hidup sekarang untuk membawa orang
kepada iman. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa sejauh orang percaya pada ajaran Yesus,
imannya kepada kebangkitan tidak akan dikurangi oleh hasil suatu penafsiran. Karena itu, iman
kepada Yesus dan kebangkitan-Nya harus dilihat sebagai bagian dari kebangkitan itu sendiri.
Dalam mengamati laporan Injil-injil, Marxsen mengatakan bahwa Injil Matius tidak
bermaksud menyampaikan suatu laporan mengenai bukti historis tentang kebangkitan Yesus,
sebab hal itu bukan maksudnya. Maksud Matius adalah menunjukkan kehadiran Yesus kepada
murid-murid-Nya. Matius tidak memusatkan perhatiannya kepada iman kebangkitan, tetapi ia
menunjukkan bahwa iman kepada Yesus sangat penting bagi semua pengikut-Nya. Itulah iman
yang murid-murid miliki ketika Ia masih bersama mereka.
1 Hans Cozelmann, Theology of Saint Luke, terj., Geoffrey Buswell (New York: Harper & RowPublishers, 1961), h. 309.
Marxsen sendiri tidak percaya bahwa Yesus bangkit meninggalkan kuburnya yang
kosong. Menurut Marxsen, kematian Yesus menandai berakhirnya keberadaan fisik Yesus
secara manusiawi. Tubuh Yesus berakhir dengan kematian, tetapi iman kepada Yesus
berlangsung terus. Dengan kata lain, Marxsen tidak mengakui adanya kubur yang kosong. Injil
Markus, menurut Marxsen, yang pertama melaporkan tentang kubur yang kosong itu. Ia
(Markus) tidak melaporkan bahwa para perempuan itu datang ke kubur dan menemukan kubur
itu kosong lalu menyimpulkan bahwa Yesus telah bangkit. Orang muda yang ada pada kubur
itu yang mengatakan kepada perempuan-perempuan itu bahwa Yesus, orang Nazareth itu, telah
bangkit. Lalu ia mengarahkan perhatian perempuan-perempuan itu ke kubur. Kemudian, para
perempuan itu datang ke kubur itu dengan berita, berdasarkan penglihatan itu, bahwa Yesus
telah bangkit dari kubur.
Selanjutnya, Lukas, menurut Marxsen, menceritakan tentang perempuan yang pergi ke
kubur itu, di mana mereka tidak menemukan tubuh Yesus, untuk menyatakan kepada para
pembacanya tentang kebangkitan Yesus. Cerita Lukas, lanjut Marxsen, memang berbeda
dengan Markus karena Lukas menulis ketika gereja sedang merumuskan imannya kepada
Yesus.2
Terhadap pandangan Marxsen ini, Kistemaker menyampaikan kritiknya. Menurutnya,
Marxsen tidak teliti dalam memahami bahan-bahan Perjanjian Baru. Marxsen memisahkan
kaitan antara sejarah dan iman. Sementara ia melepaskan hubungan itu, ia terlampau
menekankan aspek iman. Lalu, untuk memenuhi penekanan pada iman itu, ia melompati
sejumlah bahan yang tidak mendukung kesimpulannya. Kistemaker juga mengkritik Marxsen
bahwa penampakan Yesus kepada Petrus dan para murid lainnya itu hanya suatu “penglihatan”
dalam pikiran Petrus dan murid-murid yang lain. Menurut Kistemaker, jika itu benar, mengapa
Petrus dalam rumah Kornelius di Kaisarea memberitakan bahwa Allah telah membangkitkan
Yesus pada hari yang ketiga. Mengapa Petrus mengatakan bahwa Yesus menampakkan diri
kepada dirinya dan murid-murid lain, dan makan minum bersama dengan mereka sesudah
kebangkitan-Nya? (Kis 10:41). Pasti ungkapan ini bukan menggambarkan situasi sebelum
kebangkitan. Kistemaker juga mengkritik pandangan Marxsen yang menyatakan bahwa
kematian telah mengakhiri keberadaan tubuh insani Yesus. Dengan kata lain, yang bangkit itu
bukan Yesus dalam tubuh insaninya, melainkan Roh-Nya. Menurut Kistemaker, kebangkitan
Yesus dari kubur adalah kebangkitan secara fisik. Pandangan Kistamaker itu didasarkan pada
tulisan-tulisan Paulus dalam surat-suratnya. Di sana, Paulus menegaskan tentang realitas
2 Willi Marxsen, The Resurection of Jesus of Nazareth (Philadelphia: Fortress Press), h. 20, 21.
kebangkitan Yesus secara fisik dan mereka yang percaya kepadanya. “Sesungguhnya aku
mengatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan
diubah, dalam sekejap mata pada waktu bunyi nafiri yang terakhir” (1Kor 15:51, 52).
Kistemaker menilai bahwa pandangan Marxsen itu semata-mata berdasarkan suatu tafsiran,
tidak lebih dari itu. Sebab pada kenyataannya, Marxsen tidak tertarik pada kebangkitan Yesus.
Ia lebih menekankan iman secara individu yang bertemu dengan Yesus. Akan tetapi, dengan
melakukan hal yang demikian, Marxsen telah mengurangi peristiwa kebangkitan Yesus tidak
lebih dari sebuah gagasan.3
Teolog yang juga menyatakan bahwa kebangkitan Yesus hanya merupakan suatu
gagasan, bukan suatu fakta historis, adalah Wolfhart Pannenberg. Menurut Pannenberg, benar
tidaknya Yesus bangkit dari antara orang mati tidak cukup jelas. Ia berpendapat bahwa
kebangkitan Yesus bukan suatu peristiwa yang membuat tubuh Yesus hidup lagi, sama seperti
seorang yang bangun dari tidurnya tetapi sebagai suatu transformasi. Ia menunjuk kepada 1Kor
15:50, 53, “Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan
darah tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat
bagian dalam apa yang tidak binasa…..Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang
tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan apa yang tidak dapat mati.”
Terhadap penampakan-penampakan Yesus kepada para murid, Pannenberg
berpendapat bahwa penampakan Yesus dan penemuan kubur kosong oleh para perempuan
adalah peristiwa yang terjadi secara terpisah. Peristiwa-peristiwa itu dihubungkan hanya ketika
tradisi-tradisi penampakan dan kubur kosong itu dibangun.
Mengenai historisitas kebangkitan Yesus, Pannenberg mengatakan: “Only the name we
give to this event is symbolic, metaphorical, but not the reality itself.”4 Dalam tulisannya yang
lain, Pannenberg mengemukakan bahwa kebangkitan Yesus yang diceritakan dalam Injil-injil
merupakan legenda.5 Menurutnya, ketika Yesus menampakan diri kepada para murid, Ia tidak
pernah menampakkan diri secara fisik. Karena alasan itu, ia memilih untuk menyatakan bahwa
peristiwa kebangkitan merupakan sesuatu peristiwa yang metaforis. Penampakan itu, lanjut
Pannenberg, merupakan pengalaman dalam bentuk penglihatan-penglihatan. Tidak ada
kebangkitan secara fisik dari kubur.6
3 Simon J. Kistemaker, The Gospel in Current Study, 2nd edition (Grand Rapids, Michigan: Baker BookHouse, 1972), h. 151-153.
4 Wolfhard Pannenberg, “Did Jesus really Rise from the Dead?” dalam R. Ratey, ed., New TestamentIssues, (New York and Evanston: Happer &Row Publishers, 1970), h. 115.
5 Wolfhard Pannenberg, Jesus – God and Man (Philadelphia: Westminster, 1968), h. 89.6 Ibid., h. 100.
Persoalan yang timbul di sini adalah apakah Perjanjian Baru menggambarkan peristiwa
kebangkitan Yesus sebagai suatu peristiwa simbolik dan metaforis? Menurut Kistemaker,
dengan mengatakan demikian, Pannenberg telah mendiskreditkan kesejarahan peritiwa
kebangkitan Yesus. Karena itu, studi mengenai kesaksian para murid dari kesaksian Perjanjian
Baru harus dilakukan secara sungguh-sungguh.
Kesaksian Injil-Injil
Keempat Injil secara bersama-sama melaporkan bahwa Yesus, secara fisik, telah
bangkit dari antara orang mati pada hari pertama awal minggu. Persoalan yang timbul adalah
mengapa keempat Injil memberikan laporan yang berbeda-beda tentang peristiwa yang sama
yaitu kebangkitan Yesus itu? Menjawab pertanyaan ini, kita perlu catat bahwa peristiwa
kebangkitan Yesus itu diceriterakan oleh para penulis Injil menurut versi mereka masing-
masing untuk jemaat pembaca mereka dengan tekanan pada makna rohani yang berbeda-beda.
Markus misalnya menekankan kubur yang kosong Maklum para penulis itu bukan saksi mata
kebangkitan Yesus. Perlu dicatat bahwa ketika Yesus disalibkan, para murid itu kembali
kepada pekerjaan mereka. Nanti sesudah Yesus bangkit barulah mereka dikumpulkan kembali
lagi.
Keempat penulis Injil berceritera tentang kebangkitan itu berdasarkan kesaksian dari
para murid Yesus sesudah Ia bangkit dari maut. tetapi versi berceriteranya berbeda-beda karena
di samping mereka menceriterakan peristiwa kebangkitan Yesus, maka oleh bimbingan Roh
Kudus mereka juga menyampaikan makna kebangkitan Yesus itu kepada warga jemaat mereka
untuk menjawab pergumulan sehari-hari mereka. Sebagai contoh, kalau kita ambil ceritera
tentang kebangkitan Yesus, lalu kita memberikan kepada empat pendeta atau Majelis Jemaat
untuk mengkhotbahkan perikop yang sama kepada jemaatnya masing-masing maka walaupun
pokok pemberitaan mereka itu sama yaitu tentang kebangkitan Yesus, tetapi aplikasinya
berbeda-beda.
Maklum bahwa kebangkitan Yesus itu tidak disaksikan langsung oleh keempat penulis
Injil dalam Perjanjian Baru. Namun mereka menyampaikan tulisan mereka berdasarkan tuturan
para perempuan dan para murid Yesus. Memang, ketika para perempuan itu yang ke kubur
Yesus, kubur itu telah kosong. Namun dikubur itu, Yesus menampakkan diri kepada para
perempuan itu. Lukas menceriterakan bahwa selama 40 (empat puluh) hari Yesus
menampakkan diri kepada para murid-Nya. Kepada Maria Magdalena, sekelompok perempuan
lain, Petrus, dua murid ke Emaus, sepuluh orang Murid, kesebelas murid bersama Thomas,
sejumlah murid di bukit Zaitun. Yesus juga membuat beberapa seri penampakan di Galilea,
yaitu kepada tujuh murid di samping tasik Galilea, sekitar 500 (lima ratus) murid di atas sebuah
gunung. Ia juga menampakkan diri kepada Yakobus, sehingga dengan peristiwa itu Yakobus
menjadi orang yang percaya. Dalam daftar penampakan yang Paulus sampaikan (1Kor 15:8),
ia memasukkan dirinya sendiri sebagai yang terakhir mendapat penampakan itu.7
Pada awalnya, murid-murid Yesus sendiri tidak mengharapkan adanya kebangkitan itu.
Menurut laporan Injil Yohanes, mereka masing-masing telah kembali kepada pekerjaannya
yang semula (Yoh 21:2, 3). Akan tetapi, pengalaman mereka dalam perjumpaan dengan Yesus
yang bangkit itu mendorong mereka untuk percaya bahwa Yesus tidak mati, melainkan Ia
bangkit kembali dari kematian. Mereka tidak hanya melihat Dia, tetapi juga berbicara dengan
Dia. Kehadiran-Nya bersama mereka melenyapkan semua teka-teki mengenai kebangkitan-
Nya yang Ia beritahukan sebelum kematian-Nya. Misteri itu telah menjadi jelas. Murid-murid
yang dahulu tidak pernah membayangkan kebangkitan Yesus itu; kini menjadi percaya karena
tidak hanya Ia menjumpai mereka, tetapi Ia juga memanggil mereka ke dalam satu persekutuan
yang baru bersama-sama dengan Dia. Berdasarkan pengalaman itu, mereka percaya dan
menyadari bahwa suatu era baru telah dimulai. Maka, setiap kali mereka bersekutu, mereka
memperingati kematian Yesus, tidak sebagai suatu peringatan kepada orang mati, melainkan
sebagai suatu persekutuan dengan Tuhan yang hidup itu.8
Bukti kepercayaan tentang kebangkitan itu teranyam dalam bahan-bahan Perjanjian
Baru. Bahan-bahan tulisan paling awal yang berbicara mengenai kebangkitan Yesus itu adalah
surat rasul Paulus kepada jemaat di Korintus (1Kor 15). Bahan ini ditulis sebelum munculnya
tulisan Injil-injil. Dalam surat ini, Paulus menunjuk kepada apa yang telah ia terima ketika ia
masuk menjadi pengikut Yesus, sekitar tiga tahun sesudah penyaliban Yesus. Paulus dengan
tegas menyatakan bahwa Kristus telah bangkit dari antara orang mati dan menampakkan diri
beberapa kali kepada para pengikut-Nya. Perlu dicatat bahwa Paulus pada awalnya sama sekali
tidak percaya akan kebangkitan Yesus. Ia bahkan adalah penganiaya orang Kristen yang
memberitakan tentang kebangkitan itu. Namun demikian, Paulus yang tadinya tidak percaya
akan kebangkitan Yesus dan menjadi musuh orang Kristen, kini menjadi percaya setelah
perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit itu.
Penulis Kisah Para Rasul juga mengungkapkan bukti-bukti awal tentang iman umat
Kristen perdana. Dalam tulisannya itu, ia secara hati-hati melaporkan tentang khotbah Petrus
pada hari Pentakosta, yang merupakan inti iman umat perdana. Menurut Lukas, Petrus dalam
7 Richard L. Niswonger, New Testament History (Grand Rapids MI., Zondervan Pub., House (1988) h.174.
8 William Neil, The Life and Teaching of Jesus (Great Britain: Hodder and Stoughton, 1965), h. 70.
khotbahnya itu menegaskan bahwa misi mereka di Yerusalem didasarkan pada iman mereka
bahwa Yesus adalah Mesias yang telah dijanjikan dan janji itu telah digenapi oleh Yesus yang
telah bangkit itu. Dengan demikian, kiranya menjadi jelas bahwa kebangkitan Yesus telah
menjadi titik tolak misi dan pusat pemberitaan para murid serta jemaat perdana itu.9
Memang orang Kristen perdana tidak menyangkali bahwa pokok tentang kebangkitan
ini merupakan isu yang krusial. Tentu saja pemberitaan tentang kebangkitan itu diragukan oleh
mereka yang tidak percaya. Akan tetapi, apa yang diragukan oleh orang lain itu justru telah
menjadi dasar iman dan pokok pemberitaan sebagai dampak dari perjumpaan mereka dengan
Yesus yang bangkit itu.
Rasul Paulus sendiri menyatakan secara singkat dan jelas tentang apa yang ia imani itu.
Paulus berkata, “Jika Yesus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-
sialah juga kepercayaan kamu” (1Kor 15:14). Paulus menyatakan imannya itu untuk melawan
pandangan yang berkembang di Korintus bahwa tidak ada kebangkitan dari antara orang mati.
Pandangan seperti ini juga terjadi di zaman modern ini. Padahal, jika tidak ada kebangkitan
maka tidak akan ada gereja dan juga tidak akan ada Perjanjian Baru. Demikian juga, jika
kekristenan hanya didasarkan semata-mata pada ajaran moral Yesus, maka dengan cepat akan
hilang identitasnya di tengah munculnya berbagai agama misteri dan kepercayaan serta filsafat
pada abad-abad pertama. Bahkan kekristenan akan lenyap ketika umat perdana itu dianiaya dan
ditindas karena imannya. Akan tetapi, yang terjadi adalah gereja terus bertumbuh karena Yesus
yang telah bangkit itu terus ada bersama gereja-Nya.
Pertanyaan berikut adalah Apakah kebangkitan Yesus merupakan sebuah peristiwa
historis, sebagaimana yang diperdebatkan oleh para ahli? Memang, apabila kita mengamati
laporan Injil-injil, maka ada sedikit ketidakcocokan dalam laporan-laporan mereka.
Ketidakcocokan tersebut merupakan sesuatu yang lumrah karena dalam laporan-laporan itu
kita berhadapan dengan tradisi lisan. Jika satu peristiwa terjadi, maka tidak mungkin semua
saksi mata memberikan versi kesaksian yang sama persis. Pasti ada perbedaan-perbedaan,
bergantung dari sudut pandangnya masing-masing. Hal yang sama juga terjadi pada laporan
para penulis Injil. Namun demikian, paling tidak ada dua pokok yang menonjol dari laporan-
laporan itu.
Pertama, bahwa kubur itu telah kosong, dan kedua, bahwa Yesus yang telah bangkit itu
menampakkan diri kepada para murid. Pokok yang kedua ini lebih mudah dipahami oleh orang
dari pada pokok yang pertama. Menurut kesaksian para murid, kubur itu telah kosong. Akan
9 Ibid., h. 71.
tetapi, menurut para pemimpin Yahudi, murid-murid telah mencuri tubuh Yesus, maka kubur
itu telah kosong.
Jika kita mengandaikan bahwa kebangkitan itu tidak benar, apakah perempuan itu pergi
ke kubur yang salah? Jika demikian, maka pasti para pemimpin Yahudi akan pergi ke kubur
yang benar dan membuktikan bahwa Yesus tidak bangkit. Pendapat lain adalah jika tubuh
Yesus telah dicuri oleh para murid, atau para pengikut-Nya, bahkan oleh Yusuf Arimatea
sendiri, lalu dikuburkan di kubur yang lain sebagaimana disebutkan dalam buku “The Jesus
Family Tomb” karangan Simcha Jacobovici and Charles Pellegrino, mengapa para muridlah
yang justru memberitakan bahwa Yesus telah bangkit? Jika demikian, maka secara tidak
langsung kita mengatakan bahwa para murid dan pendiri gereja perdana adalah pendusta dan
pembohong, dan itu berarti bahwa iman Kristen yang diikrarkan oleh orang Kristen selama ini
telah dibangun di atas suatu kebohongan.
Kemungkinan lainnya adalah jika tubuh Yesus dicuri oleh para pemimpin Yahudi,
maka ketika para murid memberitakan bahwa Yesus telah bangkit, sudah pasti mereka akan
membantah pemberitaan para murid itu dengan membawa tubuh Yesus kepada mereka untuk
membuktikan bahwa Yesus tidak pernah bangkit. Atau, jika Yesus tidak sungguh-sungguh
mati, tetapi hanya pingsan ketika mereka membawa tubuh-Nya ke kubur, lalu menutup kubur
itu dengan batu, maka dengan cara apapun Ia pasti merangkak keluar dan berkumpul kembali
dengan para murid-Nya.
Akan tetapi, terbukti bahwa ketika murid-murid memberitakan tentang kebangkitan
Yesus, para pemimpin Yahudi tidak bisa menghalangi pemberitaan para murid itu karena
mereka tidak mencuri tubuh itu. Penulis Injil Yohanes melaporkan bahwa Simon melihat kain
kafan terletak di tanah, sedangkan kain peluh yang tadinya ada di kepala Yesus tidak terletak
pada kain kafan itu, tetapi agak di samping, di tempat yang lain dan sudah tergulung” (Yoh
20:6, 7). Informasi ini mungkin tidak cukup sebagai pembuktian terhadap kubur yang kosong
itu. Memang, para pengikut Yesus tidak pernah membayangkan bahwa Yesus akan bangkit.
Yang membuat mereka percaya bahwa Yesus telah bangkit adalah penampakan Yesus kepada
mereka di hari kebangkitan itu dan ketika Yesus berbicara dengan mereka. Antara hari
kebangkitan dan kenaikan-Nya, ada sepuluh kali penampakan kepada para pengikut-Nya itu.
Melalui penampakan itulah, murid-murid memahami tentang apa makna kubur yang telah
kosong itu.
Dalam kaitan dengan penampakan Yesus kepada para murid-Nya, pertanyaan yang
timbul adalah bukankah itu suatu halusinasi atau suatu penglihatan? Mungkin saja mereka
hanya melihat apa yang mereka harapkan untuk lihat. Tetapi, semua informasi membuktikan
bahwa para murid itu pada awalnya tidak mengharapkan dan tidak siap untuk menerima bahwa
Yesus telah bangkit. Murid-murid sendiri pada awalnya menyangka bahwa apa yang dikatakan
para perempuan itu adalah bohong (Luk 24:11). Bahkan Thomas sendiri pada awalnya sama
sekali tidak percaya (Yoh 20:24-29) dan beberapa murid yang lain masih ragu (Mat 28:17),
sehingga tidak mungkin penampakan itu merupakan suatu halusinasi.
Persoalan lain adalah bagaimana tubuh kebangkitan itu? Apakah yang bangkit itu hanya
Roh Yesus, lalu tubuh-Nya ditinggalkan? Ataukah, kebangkitan itu termasuk juga tubuh-Nya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mulai dari beberapa cerita kebangkitan dalam
Perjanjian Baru.
Dalam Perjanjian Baru, ada beberapa orang yang dibangkitkan dari kematian. Lazarus
(Yoh 11:2-44), misalnya. Setelah ia empat hari berada di dalam kubur, ia dibangkitkan kembali
dalam tubuh insani, bukan dalam tubuh kemuliaan. Kemudian, ia meninggal lagi seperti biasa.
Peristiwa yang sama terjadi pada anak Yairus (Mrk 5:21-24, 35-43). Ia dibangkitkan kembali
dalam tubuh insani dan tentu kemudian mati lagi. Persoalannya adalah apakah Yesus
mengalami kebangkitan yang demikian? Tentu saja kebangkitan Yesus tidak demikian, karena
Ia tidak mati untuk kedua kalinya. Kebangkitan Yesus merupakan suatu kebangkitan kepada
hidup yang bersifat permanen. Ia tidak bangkit kembali dalam tubuh insani atau tubuh
manusiawi, melainkan Ia dibangkitkan kembali dalam tubuh kemuliaan.10 Demikian juga
Yesus, yang bangkit itu, tidak meninggalkan tubuh-Nya di dalam kubur. Ia bangkit bersama
tubuh-Nya, tetapi tubuh yang telah diubah atau tubuh yang dimuliakan. Keadaan itu akan
dialami juga oleh orang beriman. Paulus dalam Roma 8:11 mengatakan, “…Ia yang telah
membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang
fana itu oleh Roh-Nya yang diam di dalam kamu.”11
Tubuh Yesus yang diubah pada waktu kebangkitan itu kelihatan sama seperti tubuh
manusiawi-Nya, dengan bekas paku di tangan-Nya dan bekas tombak dilambung-Nya serta
dikenal oleh murid-murid-Nya (Yoh 20:27. Selama hidup-Nya, Ia mengajar murid-murid-Nya
dan para pendengar-Nya bahwa kebangkitan merupakan suatu transformasi dari tubuh insani
menjadi tubuh yang dimuliakan. Dalam jawaban-Nya kepada para Saduki, Yesus berkata,
“Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, tetapi mereka yang dianggap layak untuk
mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati tidak
kawin dan tidak dikawinkan” (Luk 20:34, 35). Jadi, menurut Yesus, tubuh kebangkitan berbeda
10 Simon J. Kistemaker, Op. Cit., h. 145, 146.11 William J. Lunny, The Social of the Resurection (London: SCM Press, LTD., 1989), h. 108, 109, 112.
dari tubuh jasmani. Ada dua teks yang Lukas laporkan bahwa Yesus sendiri mengatakan Dia
bukan "roh atau hantu" dan kemudian sebagai bukti Ia mengundang mereka untuk
menyentuhnya, dan Dia makan di depan mereka (Luk 24: 39-43).
Paulus menjelaskan perbedaan tubuh manusiawi dengan tubuh kebangkitan itu kepada
jemaat di Korintus. Menurut Paulus, tubuh kebangkitan tidak sama dengan tubuh manusiawi
ini. “Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah” (1Kor
15:44). Sebab, tubuh alamiah ini tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah (1Kor 15:50).12
Apa yang Paulus katakan tentang sifat dari tubuh kebangkitan ini dapat menolong kita
untuk mendalami misteri ini. Ia melukiskan tubuh sesudah mati sebagai “tubuh rohani,” yaitu
bukan satu tubuh yang bersifat fisik seperti tubuh kita sekarang. Demikian juga bukan seperti
hantu, melainkan suatu tubuh yang diubah atau dimuliakan. Untuk memudahkan kita dalam
memahami tubuh yang dimuliakan itu, maka kita dapat melihat peristiwa Transfigurasi
(pemuliaan) Yesus yang tercatat dalam Markus 9:2-8, yang merupakan bayangan dari tubuh
yang dimuliakan itu. Pada peristiwa tersebut, murid-murid melihat suatu perubahan pada tubuh
Yesus. Secara tiba-tiba, tubuh Yesus bersinar seperti matahari dan pakaian-Nya bercahaya
seperti terang. Tidak ada laporan bahwa Yesus meninggalkan tubuh jasmani-Nya di tempat
lain, lalu Ia tampil dalam tubuh rohani. Tubuh yang Ia miliki itu telah diubah sedemikian rupa,
sehingga menjadi tubuh yang dimuliakan, yang dilihat oleh Petrus, Yakobus dan Yohanes.13
Ciri lain dari tubuh Yesus sesudah kebangkitan adalah Ia bisa masuk ke dalam ruangan
ketika semua pintu sedang terkunci (Yoh 20:19). Ada waktu di mana Ia menghilang dan ada
waktu di mana Ia menampakkan diri-Nya (Yoh 20:19; 21:1, 24). Dengan kata lain, Yesus tidak
bisa dikuasai oleh hukum alam. Penampakan seperti ini mendorong orang dengan mudah
mengatakan bahwa Yesus yang bangkit itu bukan dalam tubuh kemuliaan atau tubuh yang
diubah. Tubuh Yesus tetap berada di dalam kubur. Yang dilihat itu adalah Roh-Nya. Tetapi,
tidak demikian. Yang bangkit itu adalah Yesus dalam tubuh-Nya yang diubah atau dimuliakan.
Untuk memahami pandangan ini, kita dapat juga melihat perikop tentang Yesus berjalan di atas
air (Mrk 6:45-52; par). Ketika murid-murid sedang bersusah payah mendayung perahu, Yesus
datang kepada mereka dengan berjalan di atas air. Murid-murid menyangka bahwa itu hantu.
Sebab bagaimana mungkin Yesus yang setiap hari bersma dengan mereka, Ia makan dan
minum layaknya seorang manusia, bisa berjalan di atas air laut? Tetapi, Yesus berkata,
12 Ibid.13 William Neil, Op. Cit., h. 77.
“Tenanglah, Aku ini, jangan takut!” (Mrk 6:50). Yang berjalan di atas air itu bukanlah hantu,
melainkan Yesus sendiri di dalam tubuh insani-Nya, yang bisa mengatasi hukum alam.
Ciri tubuh Yesus yang demikian dialami juga oleh para murid sesudah kebangkitan-
Nya. Murid-murid mengalami bahwa Yesus yang telah bangkit itu tidak hanya mereka lihat,
tetapi juga berbicara dengan mereka. Tubuh Yesus yang mereka saksikan juga memiliki ciri
yang sama dengan tubuh-Nya sewaktu dikuburkan. Ada tanda paku di tangan-Nya dan bekas
tombak di lambung-Nya (Yoh 20:20, 27). Yesus inilah yang diberitakan oleh para murid dan
jemaat perdana. Mereka rela menjadi martir demi iman mereka kepada Yesus yang bangkit itu.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, kiranya jelas bahwa menurut kesaksian Injil-Injil dan
rasul Paulus, Yesus dibangkitkan dalam tubuh kemuliaan. Tubuh kemuliaan adalah tubuh
insani yang diubah sehingga tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ada waktu di mana Ia
hadir dan berbicara dengan murid-murid-Nya tetapi ada juga waktu di mana Ia menghilang dari
mereka. Dengan demikian kubur kosong adalah suatu peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi.
Hanya saja secara ilmiah sulit dibuktikan karena proses terjadinya kebangkitan itu tidak
disaksikan oleh seorang pun. Para perempuan yang tiba di kubur itu mendapati kenyataan
bahwa kubur telah kosong, lalu Yesus menampakan diri kepada mereka.