seri standar produk perbankan syariah 5 - ojk
TRANSCRIPT
1
Seri Standar Produk Perbankan Syariah 5
Standar Produk Mudharabah
2
DAFTAR ISI
Seri Standar Produk Perbankan Syariah 5 1
Standar Produk MudharabahDAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 6
1.1. Latar Belakang 6
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup 10
1.3. Sistematika dan Metodologi Standar 12
BAB II MUDHARABAH DALAM KONSEP KLASIK 15
2.1. Definisi Mudharabah 15
2.2. Hukum Mudharabah 18
2.3. Rukun dan Syarat Mudharabah 22
2.4. Modal Mudharabah 24
BAB III MUDHARABAH DALAM KONSEP KONTEMPORER 27
3.1. Konsep Mudharabah di Indonesia 27
3.2. Pembiayaan Mudharabah/Qiradh 29
BAB IV 34KETENTUAN DAN STANDAR SYARIAH TENTANG
MUDHARABAH 34
4.1. Fatwa - Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang
Mudharabah 34
4.2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) 57
4.3. Sharia Standard Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) 64
BAB V 72ISU STRATEGIS MUDHARABAH 72
5.1. Ruang Lingkup Standar 72
5.2. Isu Permasalahan 73
3
5.3. Landasan Hukum 76
BAB VI PERSYARATAN SYARIAH DAN PRAKTIK
OPERASIONAL PRODUK MUDHARABAH 80
6.1. Fitur Produk 80
6.2. Kualifikasi Profil Nasabah 81
6.3. Ketentuan Transaksi Pembiayaan 86
6.4. Ketentuan Kondisi Pembiayaan 91
6.5. Ketentuan Penentuan Nisbah Mudharabah 93
6.6. Standar Tunggakan 101
6.7. Standar Agunan 102
6.8. Standar Taksasi Agunan 110
6.9. Standar Dokumentasi 114
6.10. Standar Pengikatan Pembiayaan 118
BAB VII STANDAR ANALISIS PEMBIAYAAN 120
7.1. Aspek Hukum 120
7.2. Aspek Pemasaran 121
7.3. Aspek Pemahaman Usaha Nasabah 124
7.4. Analisis Vertikal 128
7.5. Analisa Horizontal 128
7.6. Analisa Rasio 129
BAB VIII STANDAR PEMBUKUAN 138
8.1. Perlakuan Akuntansi 138
8.2. Ilustrasi Jurnal 140
8.3. Akuntabilitas 141
BAB IX STANDAR PROSEDUR KERJA 144
9.1. Pengantar 144
4
BAB X STANDAR PENGAWASAN, VERIFIKASI DAN KONTROL
156
10.1. Pengantar 156
BAB XI STANDAR MANAJEMEN RISIKO 167
11.1. Analisa dan Identifikasi Jenis Risiko 167
11.2. Manajemen Risiko dalam Setiap Tahapan Pembiayaan
181
BAB XII STANDAR KONTRAK PERJANJIAN (AKAD)
MUDHARABAH 194
12.1. Ruang Lingkup 194
12.2. Ketentuan Umum Standar Perjanjian atau Akad
Mudharabah 195
12.3. Klausul Identitas, Jumlah, Tujuan, dan Jangka Waktu
Pembiayaan Mudharabah 198
12.4. Klausul Modal 198
12.5. Klausul Nisbah Bagi Hasil 198
12.6. Klausul Biaya 200
12.7. Klausul Condition of Precedent 201
12.8. Klausul Jaminan 202
12.9. Klausul Kewajiban Nasabah (Affirmative Covenant)
204
12.10. Klausul Larangan (Negative Covenant) 204
12.11. Klausul Cidera Janji (Wanprestasi) 205
12.12. Klausul Force Majeure 207
12.13. Klausula Pilihan Penyelesaian Sengketa (Choice of Law)
208
5
12.14. Larangan Pencantuman Klausulan Eksemsi dalam
Standar Baku Akad Mudharabah 210
BAB XIII VARIASI DAN SKEMA PRODUK MUDHARABAH
213
13.1. Mudharabah 213
13.2. Sukuk Mudharabah 215
Lampiran 1. Contoh Standar Akad Pembiayaan Mudharabah
218
Lampiran 2. Contoh Akta Jaminan 249
Lampiran 3. Metode Penentuan Nisbah Bagi Hasil dan
Jadwal Angsuran Pembiayaan 251
Lampiran 4. Metode Perhitungan Kebutuhan dan Kelayakan
Usaha 289
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehadiran perbankan syariah pada awalnya didorong
oleh keinginan masyarakat akan tersedianya jasa keuangan
yang sesuai dengan nilai serta prinsip syariah dengan
mewujudkan sistem perbankan yang berasaskan keadilan
serta mencipatakan kemaslahatan. Selain itu
perkembangan perbankan syariah juga didorong untuk
menata kembali aktivitas dan perilaku ekonomi
(mu’amalah) agar sesuai dengan tuntunan syariah, serta
sebagai respon atas fenomena krisis berulang yang dipicu
oleh perilaku buruk dalam berekonomi yang mengabaikan
etika.
Harapan serta ketertarikan masyarakat terhadap
layanan perbankan syariah di Indonesia juga terus
menunjukkan peningkatan, yang ditandai dengan semakin
bertambahnya segmen maupun jumlah nasabah perbankan
syariah. Hal tersebut didasarkan oleh keinginan masyarakat,
pelaku ekonomi dan perbankan untuk menyelaraskan
7
seluruh aktivitas keuangannya dengan ajaran syariah yang
diyakini. Selain itu, juga didasari oleh keinginan masyarakat
akan layanan perbankan yang lebih variatif sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi masing-masing nasabah.
Terkait dengan norma dan nilai syariah dalam
transaksi ekonomi, maka sudah seharusnya para pelaku
ekonomi memahami kaidah yang terdapat dalam fiqih
muamalah bahwa “Hukum asal dalam muamalah bersifat
boleh, kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Dengan demikian, penting bagi pelaku ekonomi dan
perbankan untuk memahami hal-hal yang dilarang dalam
syariah. Pemahaman esensi maqashid syariah juga
diperlukan sebagai satu pendekatan dalam menetapkan ke-
shahih-an suatu transaksi sekaligus sebagai modal dasar
dalam inovasi pengembangan produk.
Kompetisi dan tuntutan pasar mendesak perbankan
syariah untuk terus melakukan peningkatan layanan dan
pengembangan produk yang berdaya saing dan memenuhi
berbagai kebutuhan keuangan masyarakat. Fakta
menunjukkan perkembangan produk, sebagai sarana untuk
8
memenuhi kebutuhan masyarakat akan transaksi
perbankan syariah, belum berjalan secara optimal. Terlebih
produk berbasis kemitraan (syirkah) yang merupakan salah
satu keunggulan dari produk perbankan syariah masih
belum banyak dikembangkan. Produk berbasis kemitraan
dengan bagi hasil seperti mudhrabah sebagai produk
unggulan kompetitif perbankan syariah belum mengalami
pertumbuhan sepesat produk lainnya. Pengembangan
produk berbasis kemitraan diperlukan untuk memberikan
keunikan tersendiri dalam transaksi perbankan Syariah.
Pengembangan produk perbankan syariah
memerlukan proses dan keahlian tersendiri yang
menggabungkan berbagai disiplin dan bidang keilmuan.
Sumber Daya Manusia (SDM) dalam bidang pengembangan
produk di perbankan syariah masih relatif sedikit. Hal ini
seringkali menyebabkan interpretasi beragam terhadap
ketentuan syariah dalam implementasi produk perbankan
syariah, sehingga mengakibatkan praktek produk belum
sepenuhnya mengikuti ketentuan syariah prinsip kehati-
hatian dan market conduct yang terstandarisasi.
9
Beragam ketentuan terkait produk serta standar
operasional produk yang terdapat pada masing-masing
Bank Syariah, memerlukan harmonisasi dan standarisasi
yang sesuai dengan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian
dan tata kelola yang baik, hal ini dalam rangka menciptakan
kepastian hukum dan perlindungan konsumen. Harmonisasi
dan standarisasi produk perbankan syariah dengan standar
baku yang disepakati oleh para pelaku industri perbankan
syariah merupakan hal yang penting agar praktek produk
dapat memenuhi prinsip syariah, prinsip kehati-hatian,
good governance, dan market conduct yang baik. Dalam
rangka mewujudkan hal tersebut, diperlukan peran serta
regulator dalam pengembangan produk berupa
penyusunan standar produk sebagai pedoman bagi industri
perbankan syariah disamping memudahkan proses
perizinan dan pengawasan produk bagi otoritas.
Standar Produk Mudharabah merupakan program
kerja Departemen Perbankan Syariah OJK tahun 2017,
sebagai implementasi Inisiatif Strategis yang telah
ditetapkan dalam Roadmap Perbankan Syariah 2015-2019.
10
Sebagai kelanjutan dari kegiatan dan program kerja yang
telah dilakukan sebelumnya terkait review standar produk
perbankan syariah dan kajian review akad mudharabah,
maka pada program ini dikembangkan lebih lanjut secara
komprehensif menjadi penyusunan Standar Produk
Mudharabah, yang mencakup Pengantar Konsep, Ketentuan
serta Standar Syariah, Standar Operasional, dan Standar
Perjanjian.
1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup
Ruang lingkup penyusunan Standar Produk
Mudharabah, yaitu (1) Inventarisasi ketentuan dan standar
syariah terkait produk berbasis mudharabah, (2)
Inventarisasi standar operasional produk bank syariah
terkait produk berbasis akad mudharabah, (3) Identifikasi
dan analisis permasalahan serta solusi terkait ketentuan
dan standar syariah serta standar operasional produk
berbasis akad Mudharabah pada perbankan syariah dan (4)
Penyusunan standar produk berbasis akad mudharabah
yang bersifat minimum standard namun komprehensif dan
memadai yang disepakati oleh kalangan industri perbankan
11
syariah sehingga dapat menjadi standar yang melengkapi
dan menyempurnakan Buku Kodifikasi Produk Perbankan
Syariah.
Penyusunan Standar Produk Mudharabah ini memiliki
tujuan secara umum untuk dijadikan pedoman
implementasi operasional terkait produk berbasis akad
mudharabah pada perbankan syariah, baik untuk
pembiayaan konsumsi, produksi maupun investasi.
Implementasi operasional tersebut harus dipastikan
berjalan sesuai koridor kepatuhan pada prinsip dan
ketentuan syariah sebagaimana yang tertuang dalam Al-
Quran dan As-Sunnah, Pendapat Ulama, Fatwa DSN-MUI,
dan Standar Syariah Internasional.
Keberadaan standar produk ini diharapkan dapat
membantu pelaku industri perbankan syariah dalam
melaksanakan produk pembiayaan berbasis akad
mudharabah serta mengembangkannya lebih lanjut untuk
meningkatkan daya saingnya sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kinerja pembiayaan perbankan syariah
secara kuantitas dan kualitas. Adapun, tujuan Penyusunan
12
Standar Produk Mudharabah secara rinci adalah sebagai
berikut:
a. Menyusun rekomendasi standar produk berbasis akad
mudharabah;
b. Harmonisasi ketentuan dan standar syariah terkait
dengan produk perbankan syariah;
c. Mewujudkan pedoman standar terkait produk berbasis
akad mudharabah yang memudahkan bagi otoritas
dalam proses perizinan dan pengawasan serta
memberikan pedoman minimum yang dapat membantu
industri dalam pengembangan dan pelaksanaan produk;
dan
d. Memberikan kepastian hukum dan transparansi produk
yang dapat melindungi konsumen melalui pemenuhan
prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, good governance,
di samping market conduct dalam standar produk
perbankan syariah.
1.3. Sistematika dan Metodologi Standar
Metodologi yang digunakan dalam penyusunan ini
adalah indepth analysis yang mencakup: studi kepustakaan,
13
survey, dan diskusi dengan pelaku industri perbankan
syariah serta narasumber terkait. Pengumpulan data
dilakukan melalui sumber primer dan sekunder. Data yang
diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan
metode yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Data primer diperoleh melalui pengumpulan data
yang diperlukan dari bank-bank syariah, sedangkan data
sekunder diperoleh melalui pengumpulan literature dari
berbagai sumber berupa ketentuan fatwa syariah, pendapat
ulama, peraturan perundang-undangan yang berlaku,
standar operasional dan praktik produk yang terdapat pada
bank, serta hasil riset dan/atau publikasi lain baik dari
dalam negeri maupun dari negara lain terkait penyusunan
yang melengkapi data sekunder, di samping mendukung
proses analisis.
Perumusan usulan Standar Produk Mudharabah yang
dilakukan tetap memperhatikan masukan dari stakeholders
utama, yaitu para pelaku industri, asosiasi industri,
regulator/otoritas, standard setter dan para ahli/pakar
dalam forum diskusi berupa focus group discussion (FGD).
14
Pihak-pihak yang dilibatkan dalam FGD tersebut adalah
Industri Perbankan Syariah, Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI), Dewan Standar Akuntansi
Syariah Ikatan Akuntan Indonesia (DSAS-IAI), dan beberapa
unit kerja terkait di Departemen Perbankan Syariah yaitu
Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi, Divisi
Pengawasan Bank, Divisi Pengaturan dan Divisi Perizinan.
15
BAB II
MUDHARABAH DALAM KONSEP KLASIK
2.1. Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang secara
etimologis berarti bepergian atau berjalan. Al-Qur’an tidak
secara langsung menunjukan arti dari mudharabah
tersebut. Namun secara implisit, kata dasar dha-ra-ba yang
merupakan kata dasar mudharabah disebutkan di dalam Al-
Qur’an sebanyak lima puluh delapan kali1. Wahbah Zuhayli
menjelaskan salah satu arti dari mudharabah adalah
melakukan perjalanan di muka bumi (al-sir fi al-ardh).2
Istilah mudharabah dapat disebut juga dengan
qiradh/muqaradhah. Hal ini dikarenakan istilah
mudharabah lebih dikenal dan dipergunakan oleh
penduduk Irak yang mayoritas mengikuti mazhab Hanafi
dan Hambali. Sedangkan qiradh merupakan isitilah yang
1 Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga Studi Kritis Dan Interpretasi Kontemporer
tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91 2 Wahbah Az-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu.(Jakarta:Gema Insani,2007)
16
sering dipergunakan oleh penduduk Hijaz3 yang mayoritas
mengikuti mazhab Maliki dan Syafi’i. Tetapi pada dasarnya
pengertian dari kedua istilah tersebut mempunyai makna
yang serupa.
Di dalam fikih muamalah, terminologi mudharabah
diungkapkan oleh ulama mazhab, yang diantaranya sebagai
berikut: menurut mazhab Hanafi, mudharabah adalah suatu
bentuk perjanjian dalam melakukan kongsi untuk
mendapatkan keuntungan dengan modal dari salah satu
pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain. Sementara menurut
mazhab Maliki, mudharabah adalah penyerahan uang
dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang
ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha
dengan uang tersebut disertai dengan sebagian imbalan
dari keuntungan usahanya. Menurut Mazhab Syafi’i, definisi
mudharabah yaitu pemilik modal menyerahkan sejumlah
uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu
usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama
antara keduanya. Sedangkan menurut mazhab Hambali,
3 Daerah yang saat ini dikenal dengan kota Mekkah dan Madinah
17
mudharabah adalah penyerahan barang atau sejenisnya
dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang
mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu
dari keuntungannya4.
Selain empat mazhab di atas, pendapat lainnya
mengenai mudharabah diungkap juga oleh Ibn Rusyd5,
Sayyid Sabiq dan Abdurrahaman Al-Jaziri. Menurut Ibn
Rusyd dalam kitab “Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-
Muqtashid”, Ibn Rusyd menyamakan isitilah mudharabah
dengan qiradh atau muqaradhah, ketiga istilah tersebut
mempunyai makna yang sama sebagai perkongsian modal
dan usaha. Di dalam kitab tersebut Ibn Rusyd tidak terlalu
banyak membahas mengenai definisi mudharabah karena
telah dibahas secara lengkap oleh ulama lain khususnya
imam mazhab6.
Menurut Sayyid Sabiq7, mudharabah adalah akad
antara kedua belah pihak dimana salah satu pihak
4 Muhammad, Etika Bisnis Islam. (Yogyakarta: AMP YKPN, 2004), hlm. 82-83 5Thabrani Abdul Mukti, Mudharabah Perspektif Averroes (Ibn Rusyd), (Pamekasan: Jurnal
Iqtishadia Vol.1 No.1 Juni 2014), hlm 7-12 6 Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Hambali 7 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. (Jakarta: Al-I’itishom, 2008)
18
mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk
diperdagangkan, dan laba dibagi dua sebagaimana
kesepakatan. Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziri
mendefinisikan mudharabah sebagai akad antara dua orang
yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka
akan memberikan modal usaha produktif, dan keuntungan
usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik modal
dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan yang
sudah disetujui bersama8.
2.2. Hukum Mudharabah
Hukum mudharabah menurut jumhur ulama pada
dasarnya adalah boleh selama dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan syariat baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Menurut ulama fikih, mudharabah dilandaskan
berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan Qiyas. Dalil
Al-Qur’an yang mendasari hukum mudharabah diantaranya
sebagai berikut:
8 Id. at 385
19
1. Firman Allah SWT QS. Al-Muzammil (73):20 yang artinya:
“....dan dari orang orang yang berjalan dimuka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT...”
2. Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah (2):283 yang artinya:
“...maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya...”.
3. Firman Allah QS. An-Nisa (4):29 yang artinya:
“...Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling
memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
sukarela di antaramu...”.
Sedangkan sumber landasan hukum mudharabah
yang berasal dari Hadis Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, yaitu antara lain:
1. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah dari
Shuhaib yang artinya:
”Nabi bersabda, ada tiga hal yang didalamnya
mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqharadhah (mudharabah) dan mencampur gandum
20
dengan jemawut untuk keperluan rumah tangga, bukan
untuk dijual” (HR.Ibnu Majah dari Shuhaib).
2. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Thabrani yang
artinya:
“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta
sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada
mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak
menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak.
Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang
ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau
membenarkannya” (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas).
3. Hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Majah yang
artinya:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”
(HR.Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id
Al-Khudri).
Hukum mudharabah ini juga dilandaskan pada kaidah
fiqih yang berbunyi, “Pada dasarnya, semua bentuk
muamalah boleh dilakukan kecuali jika terdapat dalil yang
21
mengharamkannya”. Kaidah usul fiqih ini menjelaskan
bahwa hukum suatu persyaratan tergantung pada hukum
pokok perkaranya, apabila hukum asal suatu perkara
dilarang maka hukum asal menetapkan syarat juga dilarang
dan begitu juga sebaliknya. Dalam perkara muamalah,
hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang
melarang, maka seseorang tidak diperkenankan untuk
melarang suatu persyaratan yang telah disepakati dalam
akad muamalah kecuali jika terdapat dalil yang
menunjukkan larangan pada persyaratan tersebut.
Hukum ijma’ pada akad mudharabah menurut
Wahbah Zuhayli9 dijelaskan bahwasanya para sahabat
menyerahkan (kepada seseorang sebagai mudharib) harta
anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun
mengingkari mereka. Ijma’ tersebut termasuk ke dalam
jenis ijma’ sukuti, karena para sahabat diam atau
menyatakan pendapat serta tidak ada yang mengingkari,
sehingga hal tersebut dapat dipandang sebagai ijma’ yang
9 Wahbah Az-Zuhayli, Fiqh Islam Wa Adillatuhu.(Jakarta:Gema Insani,2007),
hlm.492
22
dapat dijadikan sebagai salah satu dasar penetapan suatu
hukum.
Sedangkan hukum qiyas pada akad mudharabah
dianalogikan kepada akad Al-Musaqat10, dimana sebagian
dari pihak memiliki modal yang cukup tetapi tidak memiliki
keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan, dan di pihak
lain mempunyai keahlian atau kompetensi yang baik tetapi
tidak mempunyai modal yang memadai untuk mengelola
suatu usaha11. Dengan demikian, melalui akad ini akan
menjembatani pihak-pihak yang memiliki modal dan
keahlian untuk saling bekerjasama sesuai kemampuan,
sehingga dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan
nilai dan prinsip syariah yang diturunkan oleh Allah SWT.
2.3. Rukun dan Syarat Mudharabah
Rukun adalah segala sesuatu yang menyebabkan
suatu akad dapat dilaksanakan, karena rukun merupakan
10 Al-Musaqat adalah salah satu bentuk akad kerjasama yang digunakan pada
sektor pertanian, dimana pemilik dan pengelola tanah melakukan kontrak
kerjasama (kongsi) pada lahan pertanian dengan imbalan hasil panen yang
disepakati. 11 Zuhayli, Op.Cit., 493
23
bagian integral yang tidak terpisahkan sehingga akad
tersebut tidak rusak/batal (fasad) dalam pelaksanaannya.
Berikut adalah rukun mudharabah menurut jumhur ulama:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad, yaitu pemilik dana
(shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib);
2. Modal (Ra’sul Maal);
3. Usaha yang dijalankan (al-‘amal);
4. Keuntungan (ribh); dan
5. Pernyataan ijab dan kabul (sighat akad)
Sedangkan syarat mudharabah berkaitan dengan rukunnya,
yaitu sebagai berikut:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah
disyaratkan harus memiliki kemampuan untuk dibebani
hukum/cakap hukum (mukallaf) untuk melakukan
kesepakatan, dalam hal ini pemilik modal (shahibul maal)
akan memberikan kuasa dan pengelola modal
(mudharib) menerima kuasa tersebut, karena di dalam
akad mudharabah terkandung akad wakalah/kuasa.
2. Modal (Ra’sul Maal) dalam akad mudharabah harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
24
a. Modal harus berupa alat tukar (uang);
b. Modal harus dapat diketahui sehingga mudah untuk
diukur;
c. Modal harus dalam bentuk tunai; dan
d. Modal harus dapat dipindahkan/diserahkan dari
pemilik modal (shahibul maal) kepada pengelola
modal (mudharib).
2.4. Modal Mudharabah
Modal dalam akad mudharabah adalah berupa uang,
menurut jumhur ulama modal dalam akad mudharabah
tidak boleh dalam bentuk barang, karena sifat harganya
yang mudah berubah (fluktuatif), sehingga hal ini akan
mempengaruhi hasil keuntungan yang didapat karena tidak
dapat dipastikan jumlahnya (majhul), sehingga bagi hasil
yang diperoleh dari keuntungan tersebut untuk masing-
masing pihak akan menjadi tidak jelas. Namun beberapa
ulama memperbolehkan modal usaha mudharabah dapat
bentuk inventori/barang, hal ini merujuk kepada pendapat
yang disampaikan oleh Imam Malik, menurutnya modal
usaha mudharabah dapat dalam bentuk barang dan tidak
25
diharuskan dalam bentuk uang tunai. Oleh karena itu,
barang dagangan dapat menjadi modal dalam akad
mudharabah baik yang sama jenisnya atau berbeda
jenisnya.
Sedangkan Ibn Rusyd menyatakan bahwa para ahli
fikih telah bersepakat membolehkan modal mudharabah
dalam bentuk alat tukar (uang) karena uang memiliki nilai
yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi. Berdasarkan hal
tersebut, Ibn Rusyd tidak memperbolehkan penggunaan al-
fulus (mata uang lokal) karena al-fulus tidak memenuhi
syarat sebagai alat transaksi di tingkat negara.12 Ibn Rusyd
tidak memperbolehkan penggunaan barang sebagai modal
karena sifatnya yang sulit untuk ditaksir dan terdapat
ketidakpastian pada nilai barang (modal) sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan diantara
kedua pihak.13
12 Fulus di zaman Ibn Rusyd adalah mata uang lokal yang hanya berlaku atau di akui
terbatas dalam segelintir/komunitas, namun tidak di akui di tingkat negara sebagai mata uang dalam melakukan transaksi. Karena menurut Ibn Rusyd, modal (uang) yang menjadi ra’sul maal dalam akad mudharabah harus dapat di akui dalam negara tersebut, sehingga dapat dipergunakan secara umum dan luas. Referensi, 13 Thabrani Abdul Mukti, Mudharabah Perspektif Averroes (Ibn Rusyd), (Pamekasan:
Jurnal Iqtishadia Vol.1 No.1 Juni 2014), hlm 7-12
26
Menurut ulama Hanafiah dan ulama Hanabilah, modal
dalam akad mudharabah tidak diperbolehkan dalam bentuk
tabur yakni emas dan perak yang belum dibuat menjadi
perhiasan dan dalam bentuk nuqrah yaitu potongan emas
yang berbentuk perhiasan dikarenakan mempunyai
kedudukan yang sama dengan barang dagangan. Dalam
riwayat lain, ulama Hanafiah berpendapat bahwa modal
dalam akad mudharabah diperbolehkan dalam bentuk tabur
dan nuqrah.14
14 Mubarok Jaih, Hasanudin, Fikih Muamalah (Akad Syirkah dan Mudharabah),
(Bandung:Simbiosa Rekatama Media 2017), hlm 167
27
BAB III
MUDHARABAH DALAM KONSEP KONTEMPORER
3.1. Konsep Mudharabah di Indonesia
Menurut Undang-undang nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan akad
mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama
dalam suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul
maal, Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan
pihak kedua (‘amil, mudharib, Nasabah) yang bertindak
selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha
sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad,
sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank
Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
Konsep mudharabah kontemporer yang ada saat ini
telah banyak mengalami transformasi. Jika pada konsep
mudharabah klasik, mudharabah hanya dilakukan dengan
satu jenis atau bentuk, maka pada konsep mudharabah
kontemporer dapat digabungkan dengan akad lain seperti
28
dengan akad murabahah atau musyarakah, hal tersebut
untuk menyesuaikan dengan keadaan masyarakat serta
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
mendapatkan layanan jasa perbankan syariah yang baik.
Mekanisme mudharabah kontemporer saat ini
berbeda dengan praktik mudharabah klasik atau terdahulu.
Pada konsep mudharabah klasik tidak terdapat mekanisme
angsuran dalam pembayaran modal pokok yang dikelola
mudharib kepada shahibul maal, pembayaran modal pokok
yang diterima oleh mudharib dari shahibul maal tersebut
hanya dilakukan satu kali di akhir periode kontrak. Hal ini
juga berlaku untuk mekanisme pembayaran bagi hasil pada
akad mudharabah, dimana pembayaran bagi hasil
mudharabah dilakukan satu kali di akhir periode kontrak.
Produk Bank Syariah berbasis akad mudharabah yang
ada saat ini mengacu kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan
oleh Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-MUI), Peraturan
Otoritas terkait serta ketentuan hukum yang terhimpun di
dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
29
3.2. Pembiayaan Mudharabah/Qiradh
Merujuk pada fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-
MUI/IV/2000 mengenai pembiayaan mudharabah,
dijelaskan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama suatu
usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai
shahibul maal (pemilik modal) yang menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak kedua adalah mudharib (pengelola
modal) yang bertindak sebagai penerima dan pengelola
modal yang diberikan. Mengenai jangka waktu, mekanisme
pengembalian modal pokok serta pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak.
Pengelola modal boleh menentukan jenis usaha apa
yang akan dikembangkan berdasarkan kesepakatan
bersama dan sesuai dengan aturan syari’ah. Dalam hal ini
pemilik modal tidak boleh ikut dalam manajemen dalam
usaha tersebut, tetapi mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan dan pembinaan terkait usaha tersebut. Pada
prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah ini tidak
terdapat jaminan, namun untuk memastikan dan
meminimalisir risiko yang akan terjadi di waktu yang akan
30
datang, pemilik modal dapat meminta jaminan yang telah
disepakati bersama dari penerima modal atau pihak ketiga
untuk menjamin usaha serta personal penerima modal.
Jaminan ini tidak boleh dicairkan kecuali jika mudharib
sebagai pengelola modal terbukti secara sah sesuai hukum
yang berlaku melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
telah disepakati bersama dalam akad.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) Buku II Bab VII di pasal 187 dijelaskan mengenai
syarat mudharabah sebagai berikut: (1) pemilik modal wajib
menyerahkan dana atau barang kepada pihak lain
(penerima modal) untuk melakukan kerjasama dalam usaha
yang disepakati kedua belah pihak, 2) penerima modal
menjalankan usaha dalam bidang yang telah disepakati, 3)
kesepakatan mengenai bidang usaha yang akan dijalankan
ditetapkan di awal dalam akad antara kedua belah pihak.
Jika dalam usaha tersebut mengalami sebuah kerugian,
maka baik pemilik modal atau penerima modal tidak berhak
mendapatkan keuntungan atau imbalan.
31
Di dalam pasal 200 dan 201 KHES tersebut dijelaskan
bahwa mudharib sebagai pengelola modal tidak boleh
menyertakan modal/hartanya sendiri dengan modal
mudharabah kecuali bila menjadi kebiasaan di kalangan
pelaku usaha dan jika telah mendapatkan izin dari shahibul
maal pada usaha-usaha tertentu.
3.2.1. Mudharabah Musytarakah
Mudharabah Musytarakah adalah suatu bentuk akad
mudharabah dimana penerima modal/pengelola modal
(mudharib) menyertakan modal dalam kerjasama usaha
yang dilangsungkan sesuai kesepakatan. Akad ini terdapat di
dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 50/DSN-MUI/III/2006, dalam
fatwa tersebut dijelaskan mengenai ketentuan akad
mudharabah musytarakah dalam produk penyaluran dana
dan penghimpunan dana. Ketentuan akad mudharabah
musytarakah dalam penyaluran dana adalah sebagai
berikut: (1) Akad yang digunakan adalah akad mudharabah
musytarakah, yaitu perpaduan dari akad mudharabah dan
akad musyarakah. (2) Nasabah sebagai mudharib
32
menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama
bank syariah. (3) Nasabah sebagai pihak yang menyertakan
modal atau dananya (musytarik) memperoleh bagian
keuntungan berdasarkan porsi modal yang disertakan. (4)
Bagian keuntungan sesudah diambil oleh nasabah sebagai
musytarik dibagi antara nasabah sebagai mudharib dan
bank syariah sesuai dengan nisbah yang disepakati. (5)
Apabila terjadi kerugian, nasabah sebagai musytarik
menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana
yang disertakan. Akad Mudharabah Musytarakah ini sering
dijumpai pada lembaga keuangan asuransi.
3.2.2. Mudharabah wal Murabahah
Mudharabah wal Murabahah adalah suatu skema
pembiayaan dengan bentuk two step financing. Bank
syariah sebagai shahibul maal memberikan modal kepada
lembaga keuangan syariah (LKS) sebagai mudharib dengan
akad mudharabah. Kemudian LKS menyalurkan modal
tersebut dalam bentuk pembiayaan kepada End User
dengan akad murabahah. Bank syariah berbagi hasil dengan
33
LKS, sedangkan LKS berjual beli dengan End User. Dalam
skema akad mudharabah wal murabahah tersebut, bank
syariah akan memperoleh porsi bagi hasil yang telah
disepakati apabila LKS menghasilkan keuntungan,
sedangkan LKS akan memperoleh marjin keuntungan dari
hasil jual belinya dengan End User.
34
BAB IV
KETENTUAN DAN STANDAR SYARIAH TENTANG
MUDHARABAH
4.1. Fatwa - Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang
Mudharabah
4.1.1. Fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
a. Ketentuan Pembiayaan
1. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan
yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini, LKS sebagai shahibul maal
(pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu
proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
3. Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana
dan pembagian keuntungan ditentukan
35
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS
dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam
usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai
dengan syariah, dan LKS tidak ikut serta dalam
manajemen perusahaan atau proyek tetapi
mempunyai hak dalam pembinaan dan
pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan
dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
6. LKS sebagai pemilik dana menanggung semua
kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika
mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah
tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak
melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta
jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan
hanya dapat dicairkan apabila mudharib
36
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang
telah disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan
mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh
LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak
melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib
berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
b. Rukun dan Syarat Pembiayaan
1. Pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola
(mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh
para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak (akad), dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara
eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad);
37
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada
saat kontrak; dan
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi atau dengan menggunakan
cara-cara komunikasi modern
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang
diberikan oleh pemilik dana kepada mudharib
untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai
berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya;
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang
dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset,
maka aset tersebut harus dinilai pada waktu
akad; dan
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan
harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan
kesepakatan dalam akad
38
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang
didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan
tidak boleh disyaratkan untuk satu pihak;
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap
pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam
bentuk presentase (nisbah) dari keuntungan
sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan;
c. Pemilik dana menanggung semua kerugian
akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali
diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian
atau pelanggaran kesepakatan
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib),
sebagai perimbangan (muqabil) modal yang
disediakan oleh pemilik dana, harus
memperhatikan hal-hal berikut:
39
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib,
tanpa campur tangan pemilik dana, tetapi ia
mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan;
b. Pemilik dana tidak boleh mempersempit
tindakan pengelola sedemikian rupa yang
dapat menghalangi tercapainya tujuan
mudharabah, yaitu keuntungan; dan
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum
syariah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam
aktifitas itu
c. Ketentuan Hukum Pembiayaan
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode
tertentu;
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan
sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu
terjadi;
40
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada
ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat
amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari
kesalahan yang disengaja, kelalaian atau
pelanggaran kesepakatan
d. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat
dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila
musyawarah mufakat tidak tercapai, maka
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga
penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.1.2. Fatwa DSN-MUI Nomor: 15/DSN-MUI/IX/2000
Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam
Lembaga Keuangan Syariah
a. Ketentuan Umum
1. Pada dasarnya, Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net
Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit
41
Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan
mitra (nasabah)-nya;
2. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah) saat ini,
pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan
prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing);
3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang
dipilih harus disepakati dalam akad
b. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat
dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila
musyawarah mufakat tidak tercapai, maka
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga
penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.1.3. Fatwa DSN-MUI Nomor: 17/DSN-MUI/IX/2000
Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang
Menunda-nunda Pembayaran
a. Ketentuan Umum
1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi
yang dikenakan Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
42
kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi
menunda-nunda pembayaran dengan sengaja.
2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar
disebabkan force majeure tidak boleh dikenakan
sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan
dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh
dikenakan sanksi.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir yaitu
bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam
melaksanakan kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang
besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan
dibuat saat akad ditandatangani.
6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan
sebagai dana sosial.
b. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat
dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila
43
musyawarah mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian
sengketa dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
4.1.4. Fatwa DSN-MUI Nomor: 43/DSN-MUI/VIII/2004
Tentang Ganti Rugi (Ta’widh)
a. Ketentuan Umum
1. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas
pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian
melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada
pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah
kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan
jelas.
3. Kerugian rill sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah
biaya-biaya rill yang harus dikeluarkan dalam
rangka penagihan hak yang seharusnya
dibayarkan.
44
4. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan
nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami
(fixed cost) dalam transaksi tersebut bukan
kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential
loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada
transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang
(dain), seperti Salam, Isthisna’ serta Murabahah
dan Ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti
rugi hanya boleh digunakan oleh shahibul maal
atau salah satu pihak dalam Musyarakah apabila
bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak
dibayarkan.
b. Ketentuan Khusus
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS
dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak
yang menerimanya.
45
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai
dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya
tergantung kesepakatan para pihak
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan
dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas
biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul
akibat proses penyelesaian perkara.
c. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat
dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila
musyawarah mufakat tidak tercapai, maka
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga
penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.1.5. Fatwa DSN-MUI Nomor: 45/DSN-MUI/II/2005
Tentang Line Facility (At-Tashilat As-Saqfiyah)
a. Ketentuan Umum
46
1. Line Facility adalah suatu bentuk fasilitas plafon
pembiayaan bergulir dalam jangka waktu tertentu
yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.
2. Wa’d adalah kesepakatan atau janji dari satu
pihak (Lembaga Keuangan Syariah) kepada pihak
lain (Nasabah) untuk melaksanakan sesuatu yang
dituangkan ke dalam suatu dokumen
Memorandum of Understanding.
3. Akad adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang
menimbulkan hak dan kewajiban serta
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Line Facility.
b. Ketentuan Akad
1. Line Facility boleh dilakukan berdasarkan wa’d
dan dapat digunakan untuk pembiayaan-
pembiayaan tertentu sesuai prinsip syariah.
2. Akad yang digunakan dalam pembiayaan tersebut
di atas dapat berbentuk akad Murabahah,
Isthisna’, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah
47
3. Penetapan margin nisbah bagi hasil dan/atau fee
yang diminta oleh LKS harus mengacu pada
ketentuan masing-masing akad dan ditetapkan
pada saat akad tersebut dibuat.
4. LKS hanya boleh mengambil margin, bagi hasil
dan/atau fee atas akad-akad yang realisasikan
dari Line Facility.
5. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah, Fatwa DSN nomor: 06/DSN-
MUI/IV/2000 tentang jual beli Isthisna’, Fatwa
DSN nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Fatwa DSN
nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah, Fatwa DSN nomor:
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah
berlaku pula dalam pelaksanaan akad-akad
pembiayaan yang mengikuti Line Facility.
c. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat
dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila
48
musyawarah mufakat tidak tercapai, maka
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga
penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.1.6. Fatwa DSN-MUI Nomor: 92/DSN-MUI/IV/2014 Tentang Pembiyaan Yang Disertai Rahn
a. Ketentuan Umum
1. Akad amanah adalah akad-akad yang tidak
melahirkan kewajiban untuk bertanggungjawab
terhadap pihak lain ketika harta tersebut rusak,
hilang, atau berkurang baik secara kualitas dan
kuantitasnya.
2. Akad mudharabah adalah sebagaiman yang
terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 7 Tahun
2000 tentang pembiayaan mudharabah.
b. Ketentuan Terkait Barang Jaminan
1. Barang jaminan (marhun) harus berupa harta
(maal) berharga baik benda bergerak maupun
tidak bergerak yang boleh dan dapat diperjual-
49
belikan, termasuk aset keuangan berupa sukuk,
efek syariah atau surat berharga syariah lainnya;
2. Dalam hal barang jaminan (marhun) merupakan
musya' (bagian dari kepemilikan bersama/part of
undivided ownership), maka musya' yang
digadaikan harus sesuai dengan porsi
kepemilikannya;
3. Barang jaminan (marhun) boleh diasuransikan
sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku danlatau kesepakatan.
c. Ketentuan Terkait Akad
1. Pada prinsipnya dalam akad amanah tidak
diperbolehkan adanya barang jaminan (marhun),
namun agar Nasabah/pengelola dana tidak
melakukan penyimpangan perilaku (moral
hazard), maka Lembaga Keuangan Syariah boleh
meminta barang jaminan (marhun) dari
Nasabah/pengelola dana atau pihak ketiga yang
disepakati.
50
d. Ketentuan Eksekusi Barang Jaminan
1. Barang jaminan hanya dapat dan boleh dieksekusi
apabila pemegang amanah/pengelola
dana/Nasabah terbukti secara sah dan sesuai
hukum yang berlaku melakukan perbuatan moral
hazard, sebagai berikut:
a. Ta’addi (ifrath), yaitu melakukan sesuatu yang
tidak boleh/seharusnya dilakukan;
b. Taqshir (tafrith), yaitu tidak melakukan sesuatu
yang boleh/seharusnya dilakukan; atau
c. Mukhalafat al-syuruth, yaitu melanggar-
melanggar ketentuan-ketentuan (yang tidak
bertentangan dengan syariah) yang disepakati
oleh pihak-pihak yang berakad.
2. Apabila pemegang amanah/pengelola
dana/Nasabah telah menyelesaikan
kewajibannya, maka pihak Lembaga Keuangan
Syariah wajib mengembalikan barang jaminan
(marhun) tersebut kepada pemegang
amanah/pengelola dana/Nasabah.
51
3. Dalam suatu kondisi pemegang
amanah/pengelola dana/Nasabah tidak
menyelesaikan kewajibannya pada waktu yang
telah disepakati, maka pemberi amanah/Lembaga
Keuangan Syariah wajib
mengingatkan/memberitahukan tentang
kewajibannya.
4. Setelah dilakukan pemberitahuan/peringatan,
pemegang amanah/pengelola dana/Nasabah
belum menyelesaikan kewajibannya, maka
dengan memperhatikan asas keadilan dan
kemanfaatan pihak-pihak, pemberi
amanah/Lembaga Keuangan Syariah boleh
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menjual paksa barang jaminan sebagaimana
diatur dalam fatwa DSN-MUI Nomor 25 Tahun
2002 tentang Rahn; atau
b. Meminta pemegang amanah/pengelola
dana/Nasabah menyerahkan barang jaminan
untuk menyelesaikan kewajibannya sesuai
52
kesepakatan dalam akad, dimana penentuan
harganya mengacu pada ketentuan yang
berlaku yang telah di atur.
e. Penyelesaian Perselisihan
Jika salah pihak tidak menunaikan kewajibannya
atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga
penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
4.1.7. Fatwa DSN-MUI Nomor: 105/DSN-MUI/X/2016 Tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah dan Wakalah bil Istitsmar
a. Ketentuan Umum
1. Akad mudharabah adalah kerjasama suatu usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (malik,
shahibul maal/LKS) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak kedua (‘amil,
mudharib/nasabah) bertindak sebagai pengelola,
dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka
53
sesuai nisbah yang disepakati dalam kontrak,
sedangkan kerugian ditanggung oleh shahibul
maal.
2. Akad musyarakah adalah pembiayaan
berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi
modal dengan ketentuan bahwa keuntungan
dibagi sesuai nisbah yang disepakati dan kerugian
akan ditanggung bersama secara proporsional.
3. Akad wakalah bil istitsmar adalah pemberian
kuasa oleh satu pihak kepada pihak lain untuk
menginvestasikan modalnya.
4. Penjaminan pengembalian modal adalah
penjaminan dari mudharib/syarik/wakil bil
istitsmar untuk mengembalikan modal secara
penuh kepada shahibul maal/syarik/muwakkil.
5. Modal adalah:
54
a. Dana (ra’sul maal) yang diserahkan oleh
shahibul maal kepada mudharib dalam akad
mudharabah;
b. Dana (ra’sul maal) yang diserahkan oleh salah
satu syarik kepada syarik lain dalam akad
musyarakah; atau
c. Dana yang diserahkan oleh muwakkil (pemberi
kuasa) kepada wakil (penerima kuasa) dalam
akad wakalah bil istitsmar.
6. Pemilik modal adalah shahibul maal dalam akad
mudharabah, mitra
(syarik) dalam akad musyarakah, atau muwakkil
(pemberi kuasa) dalam akad wakalah bil istismar.
7. Ta'addi (ifrath) adalah melakukan sesuatu yang
tidak boleh/tidak semestinya dilakukan.
8. Taqshir (tafrith) adalah tidak melakukan sesuatu
yang semestinya dilakukan.
9. Mukhalafat al-syuruth adalah melanggar
ketentuan-ketentuan (yang tidak bertentangan
55
dengan syariah) yang disepakati pihak-pihak yang
berakad.
b. Ketentuan Khusus
1. Pengelola tidak wajib mengembalikan modal
usaha secara penuh pada saat terjadi kerugian,
kecuali kerugian karena ta 'addi, tafrith atau
mukhalafat al-syuruth.
2. Pemilik modal tidak boleh meminta pengelola
untuk menjamin pengembalian modal.
3. Pengelola boleh menjamin pengembalian modal
atas kehendaknya sendiri tanpa permintaan dari
pemilik modal.
4. Pemilik modal boleh meminta pihak ketiga untuk
menjamin pengembalian modal.
5. Dalam hal usaha mengalami kerugian sementara
pemilik modal berbeda pendapat atas kerugian
tersebut, pengelola wajib membuktikan bahwa
kerugian yang dialami bukan karena ta'addi,
tafrith atau mukhalafat al-syuruth.
56
6. Dalam hal pembuktian diterima oleh pemilik
modal, kerugian tersebut menjadi tanggung
jawab pemilik modal.
7. Dalam hal pembuktian tidak diterima oleh pemilik
modal, perselisihan diselesaikan melalui jalur
litigasi atau non-litigasi.
8. Sebelum adanya keputusan yang ditetapkan dan
mengikat, kerugian menjadi tanggung jawab
pengelola.
c. Penutup
Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat
dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila
musyawarah mufakat tidak tercapai, maka
penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga
penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
57
4.2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau KHES
merupakan suatu produk peraturan perundang-undangan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
sebagai salah satu pedoman dalam kegiatan ekonomi
syariah yang termasuk di dalamnya industri keuangan
syariah. Dasar hukum aturan ini adalah Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008, adapun KHES
ini terdiri dari 4 buku, 43 bab, serta 796 pasal.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang mengatur
mengenai akad mudharabah terdapat di dalam buku II bab
VII tentang mudharabah. Ketentuan mudharabah yang
diatur dalam KHES ini terdiri dari 2 bagian dan 23 Pasal.
Definisi mengenai mudharabah dalam Buku II Pasal 20 ayat
(4) berbunyi: “Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik
dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk
melakukan usaha tertentu dengan membagikan keuntungan
berdasarkan nisbah”.
Pada Bab VII bagian pertama pasal 187 menjelaskan
mengenai syarat mudharabah yaitu 1) Pemilik modal wajib
58
menyerahkan dana atau barang yang berharga kepada
pihak lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha, 2)
Penerima modal harus melaksanakan usaha dalam bidang
yang telah disepakati, 3) Kesepakatan bidang usaha yang
akan dijalankan ditetapkan dalam akad. Pada ayat
selanjutnya dijelaskan mengenai rukun mudharabah yang
terdiri dari 1) Shahibul maal atau pemilik modal, 2)
Mudharib pengelola modal dan usaha, 3) Akad.
Pada pasal 189 dijelaskan mengenai jenis akad
mudharabah yang terdiri dari dua jenis yaitu: 1) Mutlak atau
skema pembiayaan yang tidak dibatasi pada jenis usaha,
waktu dan tempat, 2) Muqayyad atau skema pembiayaan
yang dibatasi pada jenis usaha, tempat dan waktunya. Lalu
ayat selanjutnya mengatakan bahwa pihak yang melakukan
syirkah (kerjasama) harus memiliki keterampilan yang
diperlukan dalam usaha.
Pada pasal 191 menjelaskan mengenai ketentuan
modal yaitu: 1) Modal harus berupa barang, uang dan atau
barang yang berharga, 2) Modal tersebut harus diserahkan
kepada mudharib atau kepada pihak yang mengelola usaha,
59
3) Jumlah modal dalam akad mudharabah harus dinyatakan
dengan pasti. Pasal 192 mengatakan bahwa pembagian
keuntungan hasil usaha antara shahibul maal dan mudharib
harus dinyatakan secara jelas dan pasti. Kemudian pada
pasal terakhir bagian pertama mengatakan bahwa akad
mudharabah yang dilaksanakan tanpa memenuhi syarat
akan menyebabkan akad tersebut batal.
Bagian kedua bab ini membahas mengenai
ketentuan akad mudharabah. Dijelaskan ketentuan
mudharabah pada pasal 194 yaitu: 1) Status benda yang
diberikan oleh shahibul maal kepada mudharib adalah
modal, 2) Mudharib berkedudukan sebagai wakil dari
shahibul maal dalam menggunakan modal yang diterima, 3)
Keuntungan yang dihasilkan menjadi milik bersama. Pada
pasal selanjutnya dijelaskan mengenai wewenang mudharib
dalam mengelola usaha yaitu: 1) Mudharib berhak untuk
membeli barang dengan maksud menjualnya kembali untuk
mendapatkan keuntungan, 2) Mudharib berhak menjual
barang dengan harga tinggi atau rendah, baik secara tunai
atau cicilan, 3) Mudharib berhak menerima pembayaran
60
dari harga barang dengan pengalihan piutang, 4) Mudharib
tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak
biasa dilakukan oleh para pedagang. Kemudian pada pasal
196 mengatakan bahwa mudharib tidak boleh
menghibahkan, menyedekahkan, dan atau meminjamkan
harta kerjasama, kecuali bila telah mendapat izin dari
shahibul maal.
Selanjutnya dijelaskan bahwa mudharib boleh
memberi kuasa kepada pihak lain sebagai wakilnya untuk
membeli dan menjual barang yang telah disepakati dalam
akad mudharabah, kemudian mudharib berhak
mendepositokan dan menginvestasikan harta kerjasama
berdasarkan sistem syariah, selanjutnya mudharib berhak
menghubungi pihak lain untuk melakukan jual beli barang
sesuai dengan kesepakatan di dalam akad, hal ini dijelaskan
dalam pasal 197. Kemudian pada pasal 198 dan 199
dijelaskan mengenai hak mudharib dan shahibul maal
terkait keuntungan atau imbalan sebagai berikut: 1)
Mudharib berhak mendapatkan keuntungan sebagai
imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan sesuai
61
kesepakatan di dalam akad, 2) Mudharib tidak berhak
mendapatkan keuntungan sebagai imbalan bila usaha yang
dijalankan mengalami kerugian. Pasal 199 menjelaskan
mengenai hak shahibul maal terkait keuntungan sebagai
berikut: 1) Pemilik modal berhak atas keuntungan
berdasarkan modalnya yang telah disepakati dalam akad, 2)
Pemilik modal tidak berhak mendapatkan keuntungan jika
usaha yang dikelola oleh mudharib mengalami kerugian.
Pada pasal 200 sampai pasal 202 dijelaskan secara
berurutan mengenai ketentuan penyertaan kekayaan atau
modal mudharib dalam akad mudharabah. Mudharib tidak
boleh menyertakan kekayaan atau modalnya dengan harta
kerjasama dalam akad mudharabah, kecuali bila hal
tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan
pelaku usaha. Kemudian pada pasal 201 dijelaskan bahwa
mudharib boleh menyertakan kekayaan atau modalnya jika
telah mendapat izin dari shahibul maal dalam melakukan
usaha-usaha khusus tertentu. Pasal 202 dijelaskan
pembagian keuntungan hasil usaha yang menggunakan
modal campuran (modal shahibul maal dan mudharib) yang
62
dibagi secara proporsional atau atas dasar kesepakatan
semua pihak.
Terkait dengan perjalanan yang dilakukan mudharib
dalam menjalankan usaha, dijelaskan dalam pasal 203,
bahwa seluruh biaya perjalanan yang dilakukan oleh
mudharib dalam rangka menjalankan usaha dibebankan
pada modal shahibul maal. Selanjutnya pada pasal 204
menekankan bahwa mudharib wajib menjaga dan
menjalankan ketentuan yang ditetapkan oleh shahibul maal
dalam akad.
Pada pasal 205 dijelaskan mengenai tanggung jawab
mudharib atas risiko kerugian dan atau kerusakan yang
diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang di
izinkan oleh shahibul maal dan atau tidak sejalan dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam akad.
Kemudian pada pasal 206 mengatakan bahwa akad
mudharabah selesai apabila waktu kerjasama yang
disepakati dalam akad telah berakhir.
Mengenai permberhentian kerjasama bagi pihak
yang berakad dalam mudharabah dijelaskan di dalam pasal
63
207 sebagai berikut: 1) Shahibul maal dapat
memberhentikan atau memecat pihak yang melanggar
kesepakatan dalam akad mudharabah, 2) Pemberhentian
kerjasama tersebut diberitahukan oleh shahibul maal
kepada mudharib, 3) Mudharib wajib mengembalikan modal
dan keuntungan kepada shahibul maal yang menjadi hak
shahibul maal dalam kerjasama mudharabah, 4)
Perselisihan antara shahibul maal dengan mudharib dapat
diselesaikan dengan perdamaian dan atau melalui
pengadilan.
Pasal 209 menjelaskan bahwa akad mudharabah
dapat berakhir dengan sendirinya jika shahibul maal atau
mudharib meninggal dunia, atau tidak memiliki kompetensi
dalam melakukan perbuatan hukum. Kemudian pada pasal
210 yang merupakan pasal terakhir dalam bab VII mengenai
mudharabah, dijelaskan mengenai hal-hal yang di atur bila
mudharib meninggal dunia sebagai berikut: 1) Shahibul
maal berhak melakukan penagihan terhadap pihak-pihak
lain berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meninggal
64
dunia, 2) Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya
mudharib dibebankan kepada shahibul maal.
4.3. Sharia Standard Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI)
4.3.1. Definisi
Definisi mudharabah menurut AAOFI adalah sebuah
bentuk kemitraan dalam rangka mencari sebuah
keuntungan, dimana salah satu pihak menyediakan
modal (rabbul maal/shahibul maal) sedangkan pihak
lain (mudharib) menyediakan tenaga atau
keterampilan dalam mengelola usaha.
4.3.2. Perjanjian Pembiayaan Mudharabah
Perjanjian pembiayaan mudharabah dapat dibuat
berdasarkan kerangka umum atau nota
kesepahaman untuk menggambarkan kontrak
mudharabah, dimana dalam nota kesepahaman
tersebut dijelaskan terkait jumlah uang serta durasi
waktu kontrak pembiayaan, dengan catatan nota
kesepahaman mudharabah yang dibuat dan
65
dilaksanakan kemudian sesuai dengan spesifikasi
atau transaksi mudharabah.
4.3.2.1. Nota kesepahaman yang dibuat harus dapat
menentukan kerangka kontrak secara umum yang
akan dipakai, menunjukkan pilihan dari masing-
masing pihak dalam menggunakan instrumen
mudharabah baik secara terbatas (muqayyadah)
atau tidak terbatas (mutlaqah), dan menunjukan
transaksi tersebut menggunakan skema revolving
atau non-revolving. Nota kesepahaman juga harus
dapat menunjukkan mengenai rasio laba dan jenis
jaminan untuk menutupi kerugian, kesalahan atau
pelanggaran kontrak serta isu-isu relevan lainnya
yang mungkin terjadi.
4.3.2.2. Jika kontrak mudharabah didasarkan pada nota
kesepahaman, isi dari nota kesepahaman tersebut
akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
setiap kontrak di masa yang datang, kecuali para
pihak-pihak yang melakukan kontrak setuju untuk
66
membebaskan diri dari beberapa kewajiban yang
disebutkan di dalamnya.
4.3.3. Kontrak Mudharabah
4.3.3.1. Kontrak mudharabah dapat menggunakan istilah
mudharabah, qiradh atau mu'amalah.
4.3.3.2. Kedua belah pihak harus memiliki kecakapan
hukum. Oleh karena itu, kontrak mudharabah tidak
akan dapat di jalankan bila tidak terdapat dua pihak
yang saling melakukan kontrak serta tidak memiliki
kecakapan hukum yang mutlak atau pihak ketiga
yang memiliki kecakapan hukum untuk mewakili
para pihak-pihak tersebut.
4.3.3.3. Prinsip umum dalam kontrak mudharabah tidak
mengikat, yang berarti setiap pihak dapat
menghentikan itu secara sepihak kecuali dalam dua
kasus:
a) Ketika mudharib telah memulai bisnis,
dalam hal ini kontrak mudharabah akan
mengikat sampai dengan tanggal akhir
pembiayaan atau berakhirnya akad.
67
b) Apabila para pihak setuju dengan jangka
waktu kontrak mudharabah, kontrak
tidak dapat dihentikan sebelum berakhir
jangka waktu kontrak tersebut, kecuali
terdapat kesepakatan bersama di antara
pihak-pihak tersebut.
4.3.3.4. Kontrak mudharabah adalah salah satu kontrak di
dalam muamalah Islam yang berbasis kepercayaan
(uqud al-amanah). Oleh karena itu, mudharib
mempunyai kewajiban dalam mengelola modal
investasi mudharabah tersebut atas dasar
kepercayaan. Dalam hal ini mudharib tidak
bertanggung jawab bila terdapat kerugian selama
menjalankan kontrak mudharabah, kecuali jika
mudharib terbukti melakukan sebuah pelanggaran
terhadap persyaratan yang terdapat di dalam
kontrak mudharabah yang telah disepakati
bersama. Jika mudharib terbukti secara nyata
melakukan hal tersebut, maka mudharib harus
bertanggung jawab untuk mengembalikan modal
68
mudharabah tersebut kepada pemilik dana
(shahibul maal) sesuai jumlah yang disepakati pada
saat akad.
4.3.4. Jenis Mudharabah
4.3.4.1. Kontrak mudharabah dibagi menjadi dua jenis,
yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah
muqayyadah.
4.3.4.2. Kontrak mudharabah mutlaqah adalah kontrak
dimana pemilik modal mengizinkan mudharib
untuk mengelola dana mudharabah tersebut tanpa
batasan. Dalam kasus ini, mudharib memiliki
berbagai macam kebebasan dalam memilih jenis
bisnis berdasarkan keahlian bisnis yang dimiliki
oleh mudharib selaku pengelola modal.
4.3.4.3. Kontrak mudharabah muqayyadah adalah kontrak
dimana pemilik modal membatasi ruang lingkup
usaha yang dijalankan mudharib seperti pada lokasi
atau jenis investasi tertentu.
4.3.5. Jaminan dalam Kontrak Mudharabah
69
Pemilik modal diperbolehkan untuk meminta
jaminan yang sesuai dari mudharib. Hal ini dibatasi
dengan kondisi bahwa pemilik modal tidak akan
menggunakan atau melikuidasi jaminan tersebut
kecuali terjadi kesalahan, kelalaian, atau
pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh mudharib.
4.3.6. Persyaratan Berkaitan Dengan Modal
4.3.6.1. Pada prinsipnya, modal dalam akad mudharabah
harus diberikan dalam bentuk tunai. Namun, modal
tersebut dapat diberikan dalam bentuk aset riil.
Dalam hal ini, nilai dari aset tersebut harus dapat
berkontribusi pada besaran modal mudharabah.
Penilaian aset dapat dilakukan oleh ahli (appraisal)
yang disepakati para pihak.
4.3.6.2. Modal mudharabah harus secara jelas diketahui
oleh para pihak dan dapat dijelaskan baik secara
kualitas dan kuantitasnya.
70
4.3.6.3. Modal mudharabah tidak diperbolehkan berasal
dari modal mudharib atau pihak lain15. .
4.3.6.4. Untuk setiap kontrak mudharabah yang berlaku,
mudharib memiliki wewenang dalam mengelola
dan menggunakan modal, maka pemilik modal
harus memberikan modal tersebut
seluruhnya/sebagian kepada mudharib, atau
pemilik modal memberikan mudharib keleluasaan
untuk mengambil dan menggunakan modal
mudharabah tersebut.
4.3.7. Hukum dan Persyaratan Dalam Keuntungan
4.3.7.1. Keuntungan merupakan milik bersama antara
pemodal dan pelaku usaha. Keuntungan tidak
boleh disepakati hanya untuk pelaku usaha atau
hanya untuk pemodal.
4.3.7.2. Nisbah bagi hasil harus disepakati pada saat akad
dan harus diketahui oleh para pihak
15 Ketentuan ini diatur dalam Standar AAOIFI untuk Pembiayaan
Mudharabah. Adapun untuk akad Mudharabah Musyatarakah diatur
dalam bab lain di Standar AAOIFI, yang mana memperbolehkan
Mudharib untuk mencampurkan modalnya.
71
4.3.7.3. Mekanisme pendistribusian keuntungan harus
jelas, hal ini untuk menghindari ketidakpastian dan
terjadinya sengketa. Distribusi keuntungan harus
berdasarkan presentase keuntungan (nisbah) yang
telah disepakati.
4.3.7.4. Kerugian usaha yang dialami oleh pengelola
menjadi tanggung jawab pemodal selama kerugian
tersebut bukan akibat dari kesalahan pengelola,
baik lalai atau karena melampaui batas.
72
BAB V
ISU STRATEGIS MUDHARABAH
5.1. Ruang Lingkup Standar
Mudharabah merupakan salah satu jenis kontrak
yang diterapkan pada perbankan syariah. Akad mudharabah
dapat diaplikasikan dan dikembangkan dalam berbagai
bentuk produk pembiayaan produktif baik untuk tujuan
modal kerja ataupun investasi usaha. Mekanisme
pembagian keuntungan dalam akad mudharabah
ditentunkan sesuai nisbah yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak (shahibul maal dan mudharib) baik melalui
metode profit sharing maupun net revenue sharing,
sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan disebabkan karena kesalahan yang
disengaja, kelalaian serta menyalahi perjanjian yang
dilakukan pihak pengelola modal.
Sesuai dengan laporan Statistik Perbankan Syariah
OJK (SPS-OJK), porsi pembiayaan dengan akad mudharabah
pada triwulan pertama tahun 2017 berkontribusi sebesar
73
17,3% dari total pembiayaan perbankan syariah Indonesia.
Porsi pembiayaan yang masih relatif kecil ini menjadikan
akad mudharabah terus didorong untuk dikembangkan dan
digunakan oleh perbankan syariah, karena konsep
mudharabah dimana satu pihak memberikan modal
sedangkan pihak lain mengelola modal dengan nisbah bagi
hasil yang disepakati sebenarnya secara kultural telah lama
digunakan oleh masayarakat Indonesia di berbagai daerah
dan hal tersebut merupakan ciri khusus dari akad
mudharabah sebagai pembeda antara aktivitas perbankan
syariah dengan perbankan konvensional.
Dalam rangka mendorong produk berbasis akad
mudharabah menjadi produk unggulan dalam perbankan
syariah, maka pelaksanaan setiap aktivitas perbankan
syariah harus sesuai dengan prinsip dan standar syariah
serta mampu meminimalisir terjadinya risiko atas produk
mudharabah. Sehingga untuk mewujudkan hal itu
diperlukan suatu kerangka standar operasional produk yang
komprehensif dan konsisten sejalan dengan prinsip syariah.
5.2. Isu Permasalahan
74
Dalam aktivitas pembiayaan menggunakan produk
mudharabah, perbankan syariah harus memastikan
pelaksanaan pembiayaan sesuai dengan kepatuhan syariah
selain dengan peraturan perundang-undangan. Berikut
dipaparkan beberapa isu terkait penerapan produk
mudharabah di perbankan syariah di Indonesia yang terbagi
dalam tiga isu permasalahan yaitu isu syariah, isu legal, dan
isu operasional sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
No Isu Permasalahan
Syariah
1. Adanya persyaratan dari pihak Bank Syariah kepada Nasabah untuk memberikan jaminan kepada pihak Bank Syariah. Mensyaratkan jaminan terhadap pembiayaan bagi hasil menurut sebagian ulama akan membatalkan akad bagi hasil tersebut.
2. Belum terdapat aturan standar dalam menentukan sebuah kerugian yang terjadi merupakan kelalaian dari Nasabah yang menjadi pengelola modal (mudharib) atau bukan.
3. Pengembalian modal oleh Nasabah ke Bank Syariah dalam akad mudharabah dilakukan secara angsuran, sehingga terlihat seperti akad utang piutang.(masih kurangnya sosialisasi terkait hal pengembalian modal oleh Nasabah ke Bank Syariah yang diperbolehkan secara angsuran
75
Legal
1. Perjanjian belum menjelaskan bahwa kerugian yang terjadi akibat kelalaian nasabah selaku mudharib menjadi tanggung jawab nasabah.
2. Terdapat beberapa klausula dalam perjanjian akad yang memposisikan Bank Syariah dalam posisi ganda. Dimana di satu sisi Bank Syariah memposisikan dirinya sebagai pelaku usaha dan di sisi lain sebagai pemilik modal.
3. Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) atau SEBI atau yang saat ini di konversi menjadi Peraturan OJK (POJK) belum cukup lengkap mengatur substansi perjanjian perbankan syariah yang diperlukan oleh Notaris maupun Bank Syariah
4. Akad perjanjian yang memuat klausula yang mensiratkan pelaksanaan akad adalah utang piutang
Operasional
1. Kemampuan SDM dalam menentukan nilai nisbah bagi hasil bagi nasabah belum mumpuni.
2. Pembukuan realisasi bagi hasil sering tidak sesuai dengan fakta bisnis Nasabah.
3. Bank Syariah belum melakukan pengawasan atau pendampingan yang bersifat konsisten dan optimal terhadap usaha/proyek yang dijalankan oleh Nasabah dalam akad mudharabah.
4. Kewajiban Nasabah untuk tetap melakukan pembayaran bagi hasil sesuai jadwal angsuran pada pelunasan dipercepat dipersepsikan mirip dengan
76
mekanisme bunga bank konvensional
5. Masih banyak Bank Syariah yang tidak melibatkan Nasabah dalam proses penyusunan dan perhitungan proyeksi bagi hasil dan jadwal angsuran pembiayaan mudharabah
5.3. Landasan Hukum
No Standar Tentang
1 UU No. 21 Tahun 2011 Otoritas Jasa Keuangan
2 UU No. 21 Tahun 2008 Perbankan Syariah
3 PBI No. 7/6/PBI/2005 Transparansi Informasi Produk Perbankan Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah Beserta Perubahannya
4 PBI No. 9/19/PBI/2007 Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
5 PBI No. 10/16/PBI/2008 Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah
77
Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
6 PBI No. 13/13/PBI/2011 Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 jo No. 9/9/PBI/2007 jo No. 10/24/PBI/2008 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
7 POJK No. 16/POJK.03/2014
Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
8 POJK No. 24/POJK.03/2015
Produk Dan Aktivitas Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah
9 Kodifikasi Produk Perbankan Syariah
Penghimpunan Dana, Penyaluran Dana dan Pelayanan Jasa
10 SEBI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
78
Syariah/Unit Usaha Syariah
11 SEBI No. 10/13/DPNP tanggal 6 Maret 2012
Penyelesaian Pengaduan Nasabah
12 SEBI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
13 SEOJK No. 36/SEOJK.03/2015
Produk Dan Aktivitas Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah
14 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
15 Fatwa DSN-MUI Nomor 7 Tahun 2000
Pembiayaan Mudharabah
16 Fatwa DSN-MUI Nomor 15 Tahun 2000
Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syariah
17 Fatwa DSN-MUI Nomor 17 Tahun 2000
Sanksi Atas Nasabah Yang Mampu Menunda-nunda Pembayaran
18 Fatwa DSN-MUI Nomor 43 Tahun 2004
Ganti Rugi (Ta’widh)
19 Fatwa DSN-MUI Nomor 45 Tahun 2005
Line Facility
79
20 Fatwa DSN-MUI Nomor 92 Tahun 2014
Pembiayaan yang disertai dengan Rahn (Barang Jaminan)
21 Fatwa DSN-MUI Nomor 105 Tahun 2016
Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah dan Wakalah bil Istitsmar
22 PSAK Nomor 105 Akuntansi Mudharabah
80
BAB VI
PERSYARATAN SYARIAH DAN PRAKTIK
OPERASIONAL PRODUK MUDHARABAH
6.1. Fitur Produk
No Aspek Keterangan
1. Akad Pembiayaan
Akad Pembiayaan Mudharabah
2. Tujuan Pembiayaan
Modal kerja
Investasi
3. Jangka Waktu Pembiayaan
Jangka Pendek (Short Term Financing)
Jangka Menengah (Intermediate Term Financing)
Jangka Panjang (Long Term Financing)
4. Kriteria Nasabah Perorangan/individu atau
Badan Usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum
5. Plafond Sesuai dengan kebijakan Bank
6. Sifat Fasilitas Revolving atau Non-revolving
7. Media Penarikan Kas/Transfer/RTGS/Cek atau Bilyet Giro
8. Nisbah Bagi Hasil
Bank : Nasabah (disepakati bersama)
9. Kerugian Ditanggung oleh Nasabah jika kerugian yang timbul dikarenakan kelalaian dari Nasabah sebagai
81
pengelola dana
Ditanggung oleh Bank sebagai pemilik modal selama kerugian yang timbul bukan dikarenakan kelalaian dari Nasabah sebagai pengelola dana
6.2. Kualifikasi Profil Nasabah
6.2.1. Kualifikasi calon profil Nasabah dapat terdiri dari segmentasi kecil, menengah, dan korporasi dengan kriteria sebagai berikut:
No Segmentasi Kriteria
1 Kecil 1. Warga Negara Indonesia. 2. Memiliki hasil penjualan tahunan
sampai dengan Rp.2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).
3. Memiliki kekayaan bersih sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung, maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.
5. Berbentuk usaha perorangan,
82
badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
2 Menengah 1. Warga Negara Indonesia. 2. Memiliki hasil penjualan tahunan >
Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).
3. Memiliki kekayaan bersih antara di atas Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
4. Diberikan kepada nasabah berbadan hukum, termasuk koperasi.
3 Korporasi 1. Warga Negara Indonesia 2. Memiliki hasil penjualan tahunan >
Rp 50.000.000.000,- (lima puluh milyar rupiah).
3. Memiliki kekayaan bersih > Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
83
6.2.2. Persyaratan Calon Nasabah Pembiayaan
Mudharabah
1. Memenuhi standar kriteria nasabah diatas.
2. Lama Usaha Calon Nasabah:
3. Telah menjalankan usaha selama minimum 2 tahun
untuk nasabah Walk in Client.
4. Telah menjalankan usaha selama minimum 1 tahun
dan mendapatkan rekomendasi dari nasabah
eksisting sertamemiliki manajemen yang baik.
5. Memiliki kolektibilitas minimum lancar
(Kollektibilitas 1) selama 6 bulan berturut-turut
apabila memiliki pembiayaan lainnya baik di bank
ataupun di lembaga pembiayaan lain.
6. Harus memiliki rekening giro di Bank yang
bersangkutan.
7. Usaha Nasabah memenuhi prinsip-prinsip syariah
dan tidak termasuk usaha yang masuk kedalam
daftar hitam.
84
8. Melengkapi dan menyerahkan dokumen yang
diperlukan oleh bank untuk melakukan analisa
pembiayaan.
6.2.3. Persyaratan dan Kriteria BPRS adalah sebagai
berikut:
1. Berbadan Hukum Perseroan Terbatas (PT).
2. Memiliki Surat Izin Operasional yang diterbitkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
3. Memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS)
minimal 2 orang.
4. Usaha telah berjalan minimum 2 tahun dan
memperlihatkan kinerja positif dan
menghasilkan profit selama tahun berjalan.
5. Memiliki Manajemen yang berpengalaman
minimal selama 2 tahun.
6. Memiliki kolektibilitas minimum lancar selama 6
bulan berturut-turut apabila memiliki
pembiayaan lainnya.
7. Memiliki rekening giro di Bank atau wajib
membuka rekening giro di Bank.
85
8. BPRS/UUS BPR dimiliki oleh:
a. Warga Negara Indonesia
b. Pemerintah daerah
c. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud
dalam point di atas.
9. Memiliki modal disetor minimal sesuai
ketentuan.
10. Berikut adalah persyaratan dokumen BPRS/UUS
BPR yang diperlukan
6.2.4. Persyaratan dan Kriteria KJKS/UJKS adalah sebagai
berikut:
1. Usaha telah berjalan minimum 2 tahun dan
memperlihatkan kinerja positif dan menghasilkan
profit selama tahun berjalan.
2. Memiliki Manajemen yang berpengalaman
minimal selama 2 tahun.
3. Memiliki kolektibilitas minimum lancar selama 6
bulan berturut-turut apabila memiliki pembiayaan
lainnya.
86
4. Memiliki rekening giro di Bank atau wajib
membuka rekening giro di Bank.
5. KJKS/UJKS Primer memiliki anggota minimal 20
orang anggota dan memiliki modal awal minimum
Rp. 15.000.000,-.
6. KJKS/UJKS Sekunder memiliki anggota berupa
koperasi minimal 3 (tiga) koperasi dan memiliki
modal awal minimum Rp. 50.000.000,-.
7. Wajib menggunakan Laporan Keuangan yang
telah diaudit oleh Audit Eksternal atau Koperasi
Jasa Audit bagi KJKS/UJKS yang mencapai volume
pembiayaan di atas Rp. 1.000.000.000,- pada
tahun sebelumnya.
6.3. Ketentuan Transaksi Pembiayaan
6.3.1. Pembiayaan mudharabah adalah fasilitas
pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada
nasabah untuk memenuhi kebutuhan modal kerja
dan investasi Nasabah yang disesuaikan dengan
kebutuhan riil dan kemampuan nasabah untuk
mengelola pembiayaan.
87
6.3.2. Akad yang digunakan adalah mudharabah, yang
merupakan akad kerjasama dalam suatu usaha
antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh modal sedangkan pihak
kedua (mudharib) bertindak selaku pengelola dana
yang mempunyai keahlian sesuai usaha yang akan
dijalankan.
6.3.3. Jumlah dana dari pembiayaan mudharabah harus
dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan
merupakan modal yang dikelola oleh Nasabah.
6.3.4. Bank sebagai pemilik modal dalam pembiayaan
mudharabah bisa saja memberikan modal bantuan
berupa barang/aset. Namun barang/aset tersebut
harus dinilai terlebih dahulu oleh pihak Bank
sebelum akad ditandatangani, sehingga saat
terjadinya akad nilainya dapat ditulis dengan jelas
dan tertuang di dalam akad.
6.3.5. Dalam pembiayaan mudhrabah, jika modal yang
diberikan dalam bentuk barang, maka barang
88
tersebut harus dinilai berdasarkan harga pasar yang
berlaku dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.
6.3.6. Modal yang diberikan oleh Bank dalam pembiayaan
mudharabah tidak boleh berbentuk piutang.
6.3.7. Modal yang dibayarkan kepada mudharib dapat
dibayarkan secara bertahap maupun tidak, sesuai
kesepakatan dalam akad.
6.3.8. Dalam pemberian pembiayaan mudharabah, jangka
waktu usaha perlu dibatasi minimal sesuai jangka
waktu mencapai break even.
6.3.9. Bank dan Nasabah menyepakati tatacara
pengembalian modal serta nisbah bagi hasil dalam
pembagian keuntungan.
6.3.10. Dalam pengelolaan usaha yang di jalankan dalam
pembiayaan mudharabah, mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama yang sesuai dengan prinsip
syariah, dimana pihak Bank tidak ikut serta dalam
manajemen perusahaan atau proyek tetapi
mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan
89
pengarahan serta pengawasan terhadap usaha yang
dikerjakan.
6.3.11. Keuntungan dari hasil usaha atas hasil pembiayaan
mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal. Keuntungan tersebut harus
diperuntukkan untuk kedua pihak yang berakad
(Bank dan Nasabah).
6.3.12. Dalam keadaan usaha yang dijalankan oleh Nasabah
mengalami kerugian yang bukan disebabkan oleh
kelalaian Nasabah, maka jumlah kerugian yang dapat
ditanggung oleh pemilik dana yaitu Bank (shahibul
maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan
yang diberikan kepada Nasabah. Bank sebagai
shahibul maal menanggung semua kerugian yang
muncul dalam pembiayaan mudharabah dan
Nasabah sebagai mudharib tidak boleh menanggung
kerugian apapun yang terjadi dalam pembiayaan
mudharabah tersebut.
6.3.13. Nasabah sebagai mudharib menanggung kerugian
apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan
90
yang disengaja, kelalaian atau pelanggaran
kesepakatan yang dilakukan Nasabah dalam
mengelola usaha yang dikerjakan.
6.3.14. Kelalaian atas pegelolaan dana Nasabah, dapat
ditunjukkan oleh:
1. Nasabah mengingkari persyaratan yang terdapat
di dalam akad.
2. Nasabah melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan oleh Nasabah.
3. Nasabah tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan oleh Nasabah.
4. Hasil keputusan dari institusi yang berwenang.
6.3.15. Pada pembiayaan mudharabah tidak boleh
mensyaratkan adanya jaminan, namun untuk
memastikan agar mudharib tidak melakukan
penyimpangan dalam mengelola dana yang
diberikan oleh Bank sebagai shahibul maal, maka
Bank dapat meminta jaminan kepada mudharib atau
pihak ketiga yang disepakati.
91
6.3.16. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib
terbukti secara sah dan sesuai hukum yang berlaku
melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama oleh para pihak dalam akad.
6.4. Ketentuan Kondisi Pembiayaan
6.4.1. Pembiayaan mudharabah dapat ditujukan untuk
pembiayaan modal kerja dan investasi.
6.4.2. Pembiayaan mudharabah dapat dilakukan untuk
pembiayaan jangka panjang, jangka menengah dan
jangka pendek berdasarkan jangka waktunya.
6.4.3. Pembiayaan jangka pendek adalah suatu bentuk
pembiayaan berjangka waktu maksimal 1 (satu)
tahun. Pembiayaan jangka menengah adalah bentuk
pembiayaan berjangka waktu dari satu tahun sampai
tiga tahun. Sedangkan pembiayaan jangka panjang
adalah bentuk pembiayaan berjangka waktu lebih
dari tiga tahun.
6.4.4. Pembiayaan atas dasar transaksi satu kali (Non
Revolving) adalah jenis pembiayaan jangka pendek
untuk suatu jenis transaksi tertentu. Pembiayaan ini
92
dapat disebut juga pembiayaan sekali tarik, karena
penarikan pembiayaan hanya satu kali selama jangka
waktu pembiayaan, sehingga harus lunas dan
berakhir pada saat transaksi selesai.
6.4.5. Pembiayaan atas dasar transaksi berulang/bergulir
(Revolving) adalah pembiayaan jangka pendek yang
diberikan Bank kepada Nasabah untuk usaha yang
merupakan suatu seri transaksi sejenis.
6.4.6. Pembiayaan atas dasar plafon terikat adalah
pembiayaan yang diberikan dengan jumlah dan
jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai tambahan modal kerja bagi
suatu unit produksi atas dasar penilaian kebutuhan
modal kerja atau kapasitas produksi. Maksimum
pembiayaan yang diberikan terikat kepada kapasitas
produksi normal dan atau realisasi pendapatan.
6.4.7. Pembiayaan atas dasar plafon terbuka adalah
pembiayaan untuk kebutuhan modal kerja dimana
maksimum pembiayaan yang diberikan tidak terikat
93
pada kapasitas produksi normal atau realisasi
penjualan.
6.5. Ketentuan Penentuan Nisbah Mudharabah
6.5.1. Metode Penghitungan Nisbah dan Prinsip
Pengakuan Pendapatan
6.5.1.1. Keuntungan usaha yang dibagikan kepada Bank
dari usaha yang dijalankan oleh Nasabah harus
sesuai nisbah bagi hasil yang telah disepakati.
6.5.1.2. Nisbah bagi hasil harus disepakati oleh para pihak
di awal akad, karena termasuk dalam rukun yang
harus dipenuhi di dalam akad.
6.5.1.3. Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan proyeksi
pendapatan.
6.5.1.4. Pembayaran bagi hasil ditentukan berdasarkan nilai
realisasi pendapatan, bukan berdasarkan nilai
proyeksi pendapatan.
6.5.1.5. Di awal akad, Bank Syariah dan Nasabah hanya
boleh menyepakati Nisbah Bagi Hasil, namun tidak
boleh menyepakati dalam hal Nominal Bagi Hasil.
94
Karena Nominal Bagi Hasil didapatkan dari realisasi
hasil usaha Nasabah yang sudah berjalan.
Penetapan Nominal Bagi Hasil di awal akad akan
menyebabkan terjadinya riba.
6.5.1.6. Penentuan nisbah bagi hasil dalam akad
mudharabah dapat menggunakan dua metode
yakni profit sharing dan net revenue sharing.
Hal ini mengacu pada Fatwa Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Nomor 15 Tahun 2000 yang mengatur tentang
Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga
Keuangan Syariah.
6.5.1.7. Metode penghitungan bagi hasil menggunakan
profit sharing adalah metode perhitungan bagi
hasil yang didasarkan pada hasil bersih total
pendapatan setelah dikurangi dengan beban atau
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan tersebut.
6.5.1.8. Metode penghitungan bagi hasil menggunakan net
revenue sharing adalah metode perhitungan bagi
95
hasil yang didasarkan pada total seluruh
pendapatan sebelum dikurangi dengan beban atau
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan tersebut.
6.5.2. Proses Penentuan Nisbah
6.5.2.1. Penentuan nisbah bagi hasil dapat dilakukan
melalui metode profit sharing atau net revenue
sharing.
6.5.2.2. Proses pembuatan nisbah bagi hasil dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membuat proyeksi pendapatan Nasabah,
dimana proyeksi yang dibuat memuat dan
memperhitungkan potensi pergerakan
pendapatan dan biaya dari usaha Nasabah yang
akan diberikan fasilitas pembiayaan;
2. Menentukan kebutuhan pembiayaan Nasabah;
3. Menentukan Expectation Bank Rate (EBR); dan
4. Nisbah dapat berupa single nisbah ataupun
multi nisbah
96
6.5.2.3. Bank dapat menggunakan beberapa metode
perhitungan dalam menentukan nisbah bagi hasil
dan penyusunan jadwal angsuran pembiayaan
mudharabah (terlampir).
6.5.2.4. Penetapan Expectation Bank Rate (EBR) dapat
diperhitungkan berdasarkan beberapa komponen
sebagai berikut:
1. Expected ROE ; besarnya Return on Equity yang
ditargetkan oleh Bank
2. Expected Customer Return ; besarnya biaya yang
dikeluarkan oleh Bank atas nilai yang diharapkan
Nasabah
3. Overhead Cost ; biaya operasi dibagi total dana
pembiayaan
4. Biaya PPAP (Risk Provision)
6.5.2.5. Pihak Bank membuat Proyeksi Cash Flow atau
Proyeksi Pendapatan dari pengelolaan usaha
Nasabah selama rencana pembiayaan yang diminta
Nasabah sampai waktu pelunasan.
97
6.5.2.6. Penentuan tingkat imbalan ditentukan berdasarkan
akumulasi dari angsuran bagi hasil dan akumulasi
angsuran pokok masing-masing.
6.5.2.7. Pihak Bank membuat nilai Nisbah untuk Bank dan
Nasabah berdasarkan pada hasil perhitungan
Proyeksi Cash Flow (atau Proyeksi Pendapatan)
yang dibuat.
6.5.2.8. Dalam menentukan tingkat kolektibilitas suatu
pembiayaan mudharabah, maka Bank dapat
melihat dari nilai RBH (Realisasi Bagi Hasil)
dibanding dengan nilai PBH (Proyeksi Bagi Hasil).
6.5.2.9. Jika rasio RBH terhadap PBH lebih besar maka Bank
dapat mengambil jumlah nisbah bagi hasil untuk
Bank sebesar nilai RBH/PBH atau sebesar nilai PBH
ditambah dengan selisih kurang dari pembayaran
RBH periode sebelumnya dengan nilai maksimal
sebesar nilai RBH bulan berjalan.
6.5.2.10. Jika rasio RBH terhadap PBH lebih kecil Bank hanya
dapat mengambil jumlah nisbah bagi hasil untuk
Bank sebesar nilai RBH.
98
6.5.2.11. Pihak Bank membuat lembar Jadwal Pembayaran
Bagi Hasil sesuai Nisbah Bank yang diperoleh dari
Proyeksi Cash Flow (atau Proyeksi Pendapatan) dan
rencana pembayaran kembali modal yang diterima
Nasabah.
6.5.2.12. Pihak Bank membuat lembar Proyeksi Cash Flow
(atau Proyeksi Pendapatan), Jadwal Pembayaran
Kembali Modal serta Jadwal Pembayaran Bagi Hasil
yang ditandatangani oleh Nasabah.
6.5.2.13. Pemilihan dan penyusunan Lembar Proyeksi Cash
Flow atau Lembar Proyeksi Pendapatan disesuaikan
dengan metode bagi hasil dan kebijakan lain yang
disepakati oleh pihak Bank dan Nasabah.
6.5.2.14. Bagi usaha yang memiliki pendapatan per tahun
yang jelas namun pemasukan per bulannya tidak
tetap, seperti kontraktor, pemasukan tergantung
dari pemberi kerja sesuai dengan Surat Perjanjian
Kerja (SPK), maka pengembalian modal tidak perlu
sama namun disesuaikan dengan SPK-nya.
99
6.5.2.15. Bank Syariah harus memperhitungkan potensi
pergerakan pendapatan usaha Nasabah, potensi
pergerakan biaya/beban Nasabah selama jangka
waktu pembiayaan yang dapat berfluktuasi. Bank
Syariah melakukan perhitungan potensi pergerakan
pendapatan Nasabah dan potensi pergerakan
biaya/beban Nasabah untuk melengkapi proses
mitigasi risiko.
Bank Syariah dapat melakukan simulasi
pembiayaan kepada Nasabah dengan berbagai
skenario yang mungkin dapat terjadi, sehingga
Bank dapat melakukan langkah mitigasi terhadap
potensi risiko yang timbul.
6.5.2.16. Dalam melakukan proses perhitungan tersebut,
maka Bank Syariah perlu untuk memasukkan
beberapa indikator yang akan dijadikan sebagai
asumsi dan pertimbangan dalam menentukan
proyeksi jumlah pendapatan usaha Nasabah,
sehingga hasil yang didapatkan sesuai dan optimal.
Indikator tersebut yaitu:
100
1. Trade Checking;
2. Harga barang/komoditas selama masa
pembiayaan;
3. Industri pembiayaan;
4. Size perusahaan Nasabah;
5. Komponen pendapatan/biaya terbesar dalam
usaha;
6. Kondisi daerah usaha Nasabah; dan
7. Makro Ekonomi
6.5.2.17. Selain indikator yang telah disebutkan di atas, Bank
Syariah dapat memasukkan indikator lain yang
sesuai dengan siklus dan arah bisnis yang ada di
masing-masing Bank Syariah.
6.5.2.18. Grace Period merupakan periode waktu yang
diberikan oleh pihak Bank kepada Nasabah untuk
menunda pembayaran pengembalian modal pokok
namun dengan tetap memperhatikan beberapa hal
seperti berikut:
1. Grace Period hanya diberikan kepada Nasabah
pembiayaan produktif.
101
2. Selama masa Grace Period, Nasabah diharuskan
untuk tetap membayar bagi hasil, hanya modal
pokok pembiayaan saja yang bisa ditunda
pengembaliannya.
3. Permintaan Grace Period harus disampaikan
sebelum ditentukan Daftar Nisbah Bank dan
Nasabah, karena faktor Grade Period
mempengaruhi analisa Cash Flow dalam hal
penentuan besarnya kewajiban pengembalian
modal dan bagi hasil untuk Bank. Periode
pembayaran bagi hasil dapat disesuaikan
dengan siklus usaha dengan tetap
mempertimbangkan risiko investasi dan risiko
imbal hasil Bank.
6.6. Standar Tunggakan
6.6.1. Tunggakan adalah pembayaran angsuran
pembiayaan mudharabah (baik modal saja, bagi
hasil saja maupun keduanya) yang dilakukan oleh
Nasabah yang tidak sesuai dengan jadwal
pembayaran yang telah disepakati di dalam kontrak
102
dan sesuai dengan POJK Nomor 11 Tahun 2014
tentang penilaian kualitas aktiva pada Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
6.6.2. Penanganan atas tunggakan Nasabah wajib
dilakukan terlebih dahulu melalui surat peringatan
atau somasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238
KUH Perdata.
6.6.3. Jika tunggakan terjadi karena kondisi keuangan
Nasabah, maka pihak Bank dianjurkan untuk
memberikan perpanjangan atau kelonggaran waktu
sesuai dengan kesepakatan.
6.6.4. Jika tunggakan terjadi karena Nasabah lalai atau
tidak menunjukkan iktikad baik dalam menjalankan
kewajibannya, maka pihak Bank dapat
membebankan denda (ta’zir) atas tunggakan
tersebut.
6.7. Standar Agunan
6.7.1. Pilihan agunan pertama dalam pembiayaan
mudharabah dapat berupa fixed asset Nasabah.
Agunan juga dapat berupa Account Receivable, cash
103
collateral, barang dagangan dalam rangka trade
finance atau jenis agunan lain yang dapat memitigasi
risiko Bank.
6.7.2. Nasabah dapat menyerahkan agunan tambahan
berupa benda/hak selain dari agunan pertama
dengan tetap memperhatikan kepentingan Bank
seperti :
a. Agunan sertifikat diutamakan milik Nasabah
sendiri berupa tanah, tanah beserta rumah
tempat tinggal dan atau tempat usaha,
kendaraan.
b. Apabila agunan milik pihak ketiga harus jelas
kaitan/hubungan yang terjadi sehingga pemilik
agunan bersedia menyerahkan hartanya sebagai
agunan serta memahami konsekuensinya.
Penjelasan tersebut agar dituangkan dalam
memorandum pembiayaan.
6.7.3. Besarnya nilai total agunan dibanding dengan
pembiayaan sesuai dengan Pedoman Agunan yang
berlaku di Bank.
104
6.7.4. Bukti kepemilikan agunan atas pembiayaan yang
dibiayai dengan Bank (sertifikat) disimpan di Bank
sampai pembiayaannya lunas.
6.7.5. Agunan merupakan “secondary source of
repayment” atau sumber terakhir bagi pelunasan
pembiayaan mudharabah apabila Nasabah sungguh-
sungguh tidak bisa lagi memenuhi kewajiban
pembayaran atas pembiayaan yang diterimanya.
6.7.6. Pihak Bank tidak boleh menerbitkan Surat
Pengakuan Utang terkait perjanjian mudharabah
sebab perjanjian mudharabah bukan merupakan
bentuk perjanjian terkait utang-piutang.
Pemberlakuan dan eksekusi Surat Pengakuan Utang
atas akad mudharabah akan mengakibatkan bagi
hasil yang diterima pihak Bank berubah sifat menjadi
riba.
6.7.7. Terkait pasal di atas, pihak Bank boleh menerbitkan
Surat Kewajiban Pengembalian Modal dalam format
dokumen yang terpisah dari perjanjian pokok. Surat
tersebut hanya berlaku dan akan dieksekusi saat
105
Nasabah lalai dalam memenuhi kewajiban
pengembalian modal dan tidak berlaku selama
Nasabah memenuhi kewajibannya selama masa
kontrak berlaku.
6.7.8. Pihak Bank boleh meminta kepada Nasabah agar
memberikan kuasa kepada Bank untuk pembebanan
Hak Tanggungan, Hak Gadai atau Hak Jaminan.
6.7.9. Dalam hal pihak Bank meminta pembebanan Hak
Tanggungan, Hak Gadai atau Hak Jaminan atas obyek
pembiayaan, Surat Kuasa dibuat dalam format
dokumen yang terpisah dari perjanjian pokok
sebagaimana yang diatur dalam penjelasan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
6.7.10. Nasabah diperkenankan melakukan penggantian
sebagian agunan dengan ketentuan agunan
pengganti memiliki nilai agunan yang lebih baik.
6.7.11. Standar aktiva yang dapat dijadikan agunan disertai
dokumen legal yang harus disiapkan Nasabah atas
agunannya tersebut adalah sebagai berikut:
106
No Jenis Aktiva Dokumen Legal
1 Deposito Bilyet Deposito Investasi Mudharabah disertai Surat Kuasa Pencairan dan Pemblokiran (Deposito yang ada di Bank)
2 Logam Mulia/ Emas
1. Perjanjian Gadai 2. Sertifikat yang dikeluarkan
pembuat logam mulia tersebut atau pernyataan dari pegadaian (emas perhiasan) yang menyatakan kadar logam dan harga pembelian resmi
3. Bukti pembelian (kwitansi/surat jual beli logam mulia)
3 Bangunan dan Tanah Hak Milik, HGB, HGU, Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan Hak Pakai
1. Sertifikat asli yang sudah diverifikasi
2. IMB asli 3. PBB tahun terakhir (copy) 4. SKMHT, APHT, SHT 5. Polis asuransi (asli)
4 Bangunan di atas tanah hak pengelolaan
1. Surat izin tempat usaha 2. Surat persetujuan
menjaminkan dari
107
(kios) pengelola 3. Surat Akta Kuasa untuk
memindahkan hak 4. Tagihan (cessie) 5. Polis asuransi (asli)
5 Alat-alat berat dan Mesin-mesin yang tertanam
1. Faktur pembelian 2. Akta Hipotek 3. Surat Kuasa Jual dan Surat
Penarikan Barang 4. Polis asuransi (asli)
6 Kapal laut dengan ukuran minimal GT 7 dan pesawat udara
1. Akta Hipotek 2. Surat Kuasa Membebankan
Hipotek secara notariil (jika Nasabah hendak memberikan kuasa pembebanan hipotek kepada Bank)
3. Surat Kuasa Jual dan Surat Penarikan Barang
4. Gross Akta Pendaftaran Kapal untuk kapal laut atau bukti kepemilikan pesawat udara bagi pesawat udara
5. Polis asuransi (asli)
7 Kendaraan Bermotor
1. BPKB Asli 2. Akta Fiducia yang telah
didaftarkan 3. Kwitansi kosong 3 lembar 4. Faktur pembelian 5. Surat Kuasa Jual dan Surat
108
Penarikan Barang 6. Surat Blokir BPKB dari
Polda setempat 7. Polis asuransi (asli)
8 Inventori (Persediaan)
1. Akta Fiducia yang telah didaftarkan
2. Daftar stock yang dinilai oleh lembaga surveyor Independen untuk nilai tertentu (periodik 1 bulan)
3. Surat Kuasa Jual dan Surat Penarikan Barang
4. Polis asuransi (asli)
9 Mesin-mesin 1. Kwitansi/ Faktur pembelian 2. Akta Fiducia yang telah
didaftarkan 3. Surat Kuasa Jual dan Surat
Penarikan Barang 4. Polis asuransi (asli)
10 Piutang 1. Akta Fiducia 2. Daftar tagihan periodik
(piutang yang dijaminkan) 3. Standing Instruction yang
disetujui tiga pihak (Bank, Bowheer dan Nasabah)
6.7.12. Agunan harus diatasnamakan Calon Nasabah atau
suami/istri yang sah dari Calon Nasabah. Adapun
109
untuk Nasabah non-perorangan, agunan harus
diatasnamakan calon Nasabah non-perorangan.
6.7.13. Dalam hal pasal 6.6.12. di atas tidak terpenuhi maka
agunan harus disertai Surat Pernyataan Notariil
bahwa agunan bersedia diikat oleh pihak Bank dan
bersedia menanggung segala konsekuensi jika ada
wanprestasi dari Nasabah.
6.7.14. Setiap agunan dan jaminan lainnya wajib dilakukan
proses verifikasi dan penilaian (taksasi) sesuai
dengan kebijakan Bank.
6.7.15. Penilaian atas agunan perlu diperhitungkan terkait
“margin of safety” bahwa agunan bukan hanya
untuk menutupi jumlah pembiayaan Nasabah
terhadap Bank namun juga terkait beban kewajiban
Nasabah lainnya jika nasabah mengalami kesulitan
atau dinyatakan pailit.
6.7.16. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan
konsep “margin of safety” yaitu:
1. Waktu yang diperlukan untuk mengeksekusi
agunan sesuai prosedur yang berlaku.
110
2. Modal, proporsi bagi hasil, tunggakan angsuran
yang harus dikembalikan selama rentang waktu
Bank mengeksekusi jaminan.
3. Biaya yang diperlukan untuk
mengeksekusi/melikuidasi jaminan.
6.7.17. Faktor-faktor yang menentukan perbedaan nilai
“margin of safety” dari setiap jenis agunan adalah:
1. Kemudahan dan kecepatan melikuidasi agunan
2. Lokasi atau letak agunan
3. Usia agunan
4. Nilai guna agunan
5. Kestabilan harga agunan
6.7.18. Bentuk pengikatan agunan mengacu pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dan di dalam
POJK No.11/03/2014 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
6.8. Standar Taksasi Agunan
6.8.1. Metode penilaian agunan pembiayaan adalah suatu
cara dalam menilai agunan pembiayaan secara
111
sistematis dan menghasilkan nilai yang cukup akurat
mengenai nilai pasar dari agunan pembiayaan
tersebut.
6.8.2. Metode pendekatan yang dapat digunakan dalam
penilaian agunan adalah sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan Biaya yaitu, suatu metode
yang dilakukan menggunakan biaya reproduksi
atau biaya pengganti sebagai dasar untuk
melakukan estimasi nilai pasar objek penilaian.
2. Metode Pendekatan Pendapatan yaitu, suatu
metode yang dilakukan dengan mendasarkan
pada tingkat keuntungan yang mungkin
dihasilkan pada saat ini dan masa yang akan
datang yang selanjuntya dilakukan proses
kapitalisasi untuk mengkonversi aliran
pendapatan tersebut ke dalam nilai agunan.
3. Metode Pendekatan Data Pasar yaitu, suatu
metode yang dilakukan menggunakan data
penjualan atas barang agunan yang sebanding
ataupun yang hampir sebanding dengan objek
112
penilaian yang didasarkan pada suatu proses
perbandingan.
6.8.3. Dalam melakukan proses penilaian atas agunan,
maka harus didasarkan pada prinsip-prinsip
penilaian sebagai berikut:
1. Principle of highest and best use (penggunaan
yang semaksimal mungkin), yaitu nilai suatu
kekayaan yang mencerminkan penggunaak
aspek lokasi yang layak, aspek pasar yang sesuai
dan aspek investasi yang menguntungkan.
2. Principle of supply demand (persediaan dan
permintaan), yaitu nilai suatu kekayaan yang
merupakan pencerminan dari mekanisme pasar
hasil interaksi dari pasokan dan permintaan
yang wajar.
3. Principle of substitution, yaitu nilai suatu
kekayaan yang ditentukan oleh biaya untuk
memperoleh suatu kekayaan yang setara
sebagai pengganti.
113
4. Priciple of anticipation¸ yaitu nilai suatu
kekayaan yang tidak tergantung pada nilai saat
ini tapi terkait juga dengan nilai masa depan
yang memiliki keterkaitan dengan keuntungan di
masa depan dari kepemilikan suatu harta
kekayaan yang dinilai.
5. Priciple of change, yaitu nilai suatu kekayaan
yang dinilai selalu berubah sesuai dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi seperti faktor fisik,
faktor lingkungan, faktor ekonomi, faktor politik
dan faktor sosial.
6. Priciple of conformity, yaitu penilaian yang
terkait dengan suatu perubahan pasar sehingga
nilai suatu kekayaan juga harus dapat
disesuaikan. Oleh karena itu dalam penentuan
nilai, faktor pembatasan waktu berlakunya suatu
nilai harus ditentukan dalam suatu asumsi
penilaian.
7. Principle of competition, yaitu nilai suatu harta
yang dipengaruhi oleh persaingan nilai harta
114
lainnya. Harta yang memiliki daya saing rendah
akan memiliki nilai yang lebih rendah dibanding
harta yang memiliki daya saing yang lebih tinggi.
8. Principle of increasing and decreasing return,
yaitu nilai suatu harta yang dapat memberikan
penerimaan tinggi akan mempunyai nilai lebih
tinggi dibandingkan suatu harta yang
mempunyai kemampuan memberikan
penerimaan lebih rendah.
9. Principle of consistent use, yaitu nilai suatu
kekayaan tergantung penggunaan saat
dilakukan penilaian. Perubahan penggunaan
akan mempengaruhi nilai suatu kekayaan.
6.9. Standar Dokumentasi
6.9.1. Dokumen-dokumen pembiayaan mudharabah yang
memerlukan legalisasi akta notaris diutamakan
untuk dibuat oleh notaris yang memiliki pemahaman
yang baik tentang prinsip syariah dan transaksi
perbankan syariah disamping keahlian dalam bidang
kenotariatan.
115
6.9.2. Proses dokumentasi permohonan terkait
pembiayaan mudharabah akan menghasilkan 2 (dua)
berkas yaitu berkas pembiayaan dan berkas agunan.
6.9.3. Berkas pembiayaan berisi berkas mulai dari aplikasi
sampai pembiayaan mudharabah lunas.
6.9.4. Berkas pembiayaan minimal terdiri dari :
No Jenis Dokumen Syarat Pengajuan
Nasabah Perorangan
Badan Usaha
1. Formulir Aplikasi Asli diisi lengkap
V V
2. Fotocopy KTP Calon Nasabah dan suami/istri
V
3. Fotocopy Kartu Keluarga (KK)
V
4. Fotocopy Surat Nikah V
5. KTP yang belum jatuh tempo dari pengurus badan usaha dan pihak badan usaha yang mempunyai hak untuk melakukan transaksi dengan bank
V
6. Fotocopy Surat Keterangan Domisili
V
116
7. Fotocopy Surat Izin Usaha (SIUP, SITU, TDP, HO, SIUJK, dll)
V V
8. Fotocopy NPWP Pribadi/SPT Pribadi
V
9. Fotocopy NPWP Perusahaan dan Pengurus
V
10. Fotocopy Akta Pendirian /Anggaran dasar dan perubahannya
V
11. Fotocopy Pengesahan dari instansi yang berwenang
V
12. Fotocopy Perizinan dari instansi terkait
V
13. Fotocopy Rekening Tabungan/Giro
V V
14. Laporan Keuangan Perusahaan (Neraca dan L/R) dan atau Fotocopy Bukti/Catatan transaksi bisnis
V V
15. Offering Letter (Surat Penawaran Pembiayaan)
V V
117
6.9.5. Pihak Bank perlu melakukan verifikasi dokumen
sebelum mengabulkan permohonan pembiayaan
mudharabah.
6.9.6. Pihak Bank perlu melakukan verifikasi untuk menguji
kebenaran data aplikasi calon Nasabah dan
memastikan tidak ada data fiktif dan atau penipuan
dalam setiap aplikasi permohonan pembiayaan
mudharabah.
6.9.7. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam
verifikasi dokumen adalah:
1. Penghasilan tambahan merupakan komponen
penghasilan yang rawan karena sering
digunakan untuk mengkatrol penghasilan yang
sesungguhnya;
2. Verifikasi atas penghasilan tambahan dilakukan
terhadap besarnya penghasilan dan keterkaitan
dengan sektor usaha yang digeluti konsumen
untuk mencegah adanya conflict of interest.
3. Penelitian lebih dalam perlu dilakukan jika
terdapat inkonsistensi antara data yang satu
118
dengan lainnya dan atau ditemui adanya masa
tenggat dalam riwayat hidup.
4. Verifikasi terhadap kebenaran tempat kerja dan
tempat tinggal dapat dilakukan oleh pihak ketiga
yang telah ditunjuk.
6.9.8. Ketentuan terkait lama waktu dan cara verifikasi
dokumen disesuaikan dengan profil Nasabah dan
kebijakan lain yang dinilai penting oleh Bank.
6.10. Standar Pengikatan Pembiayaan
Dokumen pembiayaan mudharabah yang telah
ditandatangani oleh Nasabah dapat kemudian dilakukan
persiapan pengikatan pembiayaan dengan langkah sebagai
berikut:
1. Bank memastikan bahwa semua dokumen yang
telah ditetapkan dalam putusan pembiayaan
telah lengkap dan telah diperiksa keabsahannya
(termasuk dokumen aslinya antara lain Sertifikat
atau BPKB harus dicek keasliannya), serta
memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang
119
berkaitan dengan pembiayaan telah
memberikan perlindungan bagi Bank.
2. Memastikan bahwa calon Nasabah telah
membuka/memiliki rekening giro/tabungan di
Bank sebagaimana disyaratkan dalam
pemberian fasilitas pembiayaan.
3. Memastikan bahwa semua biaya-biaya yang
berhubungan dengan pembiayaan tersebut
telah dilunasi oleh Nasabah pemohon, baik
secara tunai maupun overbooking, antara lain:
Biaya Administrasi, Biaya Notaris, Biaya
Pengikatan Agunan, Biaya Premi Asuransi dan
biaya lain yang dipersyaratkan.
Setelah semua persyaratan diinyatakan lengkap, maka
dapat dilaksanakan penandatanganan Perjanjian
Pembiayaan dan Pengikatan Agunan antara Bank dengan
Nasabah.
120
BAB VII
STANDAR ANALISIS PEMBIAYAAN
7.1. Aspek Hukum
Aspek Hukum yang dievaluasi ialah sebagai berikut:
1. Legalitas pendirian perusahaan, Bank Syariah meneliti
keabsahan dan kesesuaian legalitas tersebut dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang /
peraturan pemerintah.
2. Legalitas usaha, Bank Syariah meneliti semua perijinan
usaha termasuk keabsahan dan masa berlaku serta ijin
dari departemen terkait sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Legalitas pengajuan permohonan pembiayaan
Akad/Perjanjian, dan dokumen lainnya harus diteliti
oleh Bank Syariah. Bank Syariah harus memastikan
dokumen ditandatangani oleh pejabat yang berwenang
atau berhak bertindak atas nama perusahaan, dilihat
dari ketentuan-ketentuan anggaran perusahaan.
4. Kontrak kerja sebagai dasar permohonan, diteliti
apakah kontrak tersebut telah memenuhi persyaratan
121
hukum, yaitu telah ditandatangani secara sah, dan
mengikat kedua belah pihak, termasuk pihak yang
memberikan kontrak dan jangka waktu kontrak.
7.2. Aspek Pemasaran
Analisis aspek pemasaran dilakukan untuk mengetahui
kemampuan dan pemasaran produk/jasa usaha Nasabah
saat ini maupun yang akan datang.Faktor-faktor yang
kiranya perlu diperhatikan dalam Analisis aspek pemasaran
adalah sebagai berikut:
1. Produk atau jasa yang akan dipasarkan, meliputi:life
cycle product, barang substitusi (pengganti), adanya
perusahaan yang memproduksi barang yang sama
(perusahaan pesaing), memastikan apakah barang yang
dihasilkan merupakan barang setengah jadi atau barang
jadi, dan mengetahui segmen pasar yang akan dituju
untuk produk tersebut.
2. Penentuan volume atau rencana pemasaran produk,
Bank Syariah menentukan volume atau rencana
pemasaran produk nasabah serta menilai apakah
122
volume atau pemasaran tersebut cukup layak atau
tidak.
3. Prospek Pemasaran Nasabah di Masa yang akan
Datang, yang perlu diperhatikan antara lain :
a. Meneliti pemasaran yang direncanakan nasabah
meliputi jumlah, cara, daerah, letter of intend dari
calon-calon pembeli, dan lain-lain;
b. Meneliti apakah terdapat kontrak jangka panjang /
jangka pendek dari pihak pembeli;
c. Meneliti kemungkinan perluasan pemasaran yang
berhubungan dengan kemungkinan perubahan
kondisi ekonomi keuangan dalam dan luar negeri;
d. Meneliti perkembangan pembangunan ekonomi /
keuangan di dalam negeri perkembangan teknologi,
perkembangan harga;
e. Meneliti apakah ada ketentuan yang membatasi
atau justru membantu, misalnya untuk komoditi
ekspor apakah ada ketentuan quota atau pengenaan
pajak yang memberatkan atau meringankan,
123
meneliti pengaruh peraturan / ketentuan yang
berlaku untuk komoditi-komoditi ekspor.
f. Hubungan Nasabah dengan pemasok
g. Posisi persaingan usaha Nasabah
4. Target Pemasaran
a. Bank Syariah meneliti apakah target pemasaran /
omset yang telah dibuat akan dapat dicapai oleh
nasabah dengan memperhatikan faktor-faktor
antara lain; kemampuan nasabah dalam
menjalankan usahanya, produk yang dijual akan
terbeli oleh konsumen, mesin-mesin yang
dipergunakan untuk menghasilkan produk, tenaga
kerja yang ada, material (bahan baku dan bahan
pembantu) yang tersedia, metode produksi dan
mekanisme kerja usaha, situasi makro ekonomi,
cashflowperusahaan, serta sarana distribusi.
b. Dalam meneliti target yang ditetapkan oleh
Nasabah, Bank Syariah sebaiknya juga melihat
realisasi penjualan pada periode sebelumnya.
124
7.3. Aspek Pemahaman Usaha Nasabah
Setiap usaha selalu melakukan tahapan perubahan siklus
konversi aktiva seperti dibawah ini :
Dalam memahami siklus konversi aktiva suatu usaha maka
Bank Syariahperlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi siklus, antara lain resiko yang dapat
menggagalkan siklus konversi aktiva, kualitas dan efisiensi
sebagai kriteria untuk evaluasi aset, Analisis persediaan,
Analisis piutang dagang, serta Analisis aktiva tetap.
125
Bank Syariah perlu memastikan beberapa hal terkait usaha
yang akan dijalan Nasabah yang terdiri dari risiko pemasok
bahan baku, risiko selama masa produksi, risiko dari sisi
permintaan produk, serta risiko penagihan pembayaran oleh
konsumen perusahaan tersebut. Penjelasan dari faktor risiko
tersebut ialah sebagai berikut:
a. Risiko Pemasok Bahan Baku
Bank Syariah perlu memastikan pemasok utama bahan
baku, apakah hanya bersumber dari satu atau beberapa
pemasok. Selain itu, jika pemasok utama keluar, apakah
pemasok lainnya dapat memasok bahan baku yang
diperlukan. Bank Syariah juga harus memastikan
kesanggupan pemasok dalam mengirim bahan baku dan
menganalisis kejadian apa saja yang dapat menggagalkan
pengiriman bahan baku oleh pemasok.
Untuk menganalisis risiko pemasok bahan baku, Bank
Syariah juga perlu memastikan mengenai faktor apa saja
yang mempengaruhi harga bahan baku serta situasi
harga bahan baku di masa yang akan datang. Selain itu,
perlu juga dipertimbangkan bahan baku pengganti yang
126
dapat diterima dan pengaruhnya terhadap biaya
produksi, kualitas produksi, dan permintaan produk
akhir.
Kontinuitas pasokan bahan baku pun perlu
dipertimbangkan dalam melakukan analisis usaha
Nasabah. Bank Syariah dapat melakukan analisis
terhadap kejadian-kejadian potensial yang dapat
menggagalkan pemasok untuk mendapatkan bahan
baku, sepertipemogokan buruh, terputusnya
transportasi, peraturan dan kebijakan lingkungan serta
kejadian politik dalam negeri atau luar negeri. Selain itu,
perlu juga dianalisis risiko yang membuat bahan baku
mudah rusak sebelum dikirim kepada perusahaan untuk
proses produksi.
b. Risiko Selama Masa Produksi
Diantaranya ialah dengan menganalisis hubungan
dengan buruh serta kualitas pabrik dan mesin yang
dimiliki oleh Calon Nasabah.
c. Risiko dari Sisi Permintaan Produk
127
Dari sisi permintaan produk, Bank Syariah dapat
menganalisis produk/barang jadi, proses penjualan
produk, pembeli produk serta kompetitor produk.
Mulai dari pertimbangan risiko yang kiranya dapat
mempengaruhi kerusakan produk akhir, sistem penjualan
produk serta analisis pembeli akhir dari produk tersebut.
Bank Syariah juga dapat menganalisis kompetitor utama,
dan kemungkinannya untuk dapat menggantikan
perusahaan Nasabah di pasar, serta pangsa pasar pesaing
perusahaan Nasabah.
d. Risiko Penagihan Pembayaran oleh Konsumen
Perusahaan
Bank Syariah menganalisis profil calon konsumen
perusahaan, mulai dari; konsentrasi piutang pada
beberapa perusahaan atau satu lokasi geografi, kualitas
konsumen, sejarah pembayarannya serta jangka waktu
selama menjadi konsumen perusahaan. Selanjutnya,
Bank Syariah menganalisis pola pembayaran konsumen
kepada perusahaan serta kebijakan/mekanisme yang
128
diberlakukan perusahaan terhadap pembayaran
kosumen yang macet.
7.4. Analisis Vertikal
Prosedur Analisis Vertikal adalah :
1. Menghitung rasio dari tiap-tiap pos dengan cara
membagi jumlah rupiah dari masing-masing pos
terhadap jumlah total aktiva, total passiva dan total
penjualan.
2. Mengevaluasi pos-pos neraca dan pos-pos rugi/laba.
3. Memberikan interpretasi/penafsiran.
7.5. Analisa Horizontal
Bank Syariah sebaiknya melakukan analisIS horizontal
untuk mengetahui kecenderungan keadaan keuangan suatu
perusahaan dan mengetahui perubahan serta
perkembangan masing-masing pos selama jangka waktu
tertentu dengan membandingkan pos-pos laporan
keuangan untuk dua periode atau lebih. Dalam Analisa
Horizontal tersebut meliputi dua periode laporan keuangan
yaitu; 1) Tahun pertama ditetapkan sebagai tahun dasar
129
dengan angka 100% dan 2) Tahun berikutnya dibandingkan
dengan tahun pertama.
Analisis Horizontal dapat disebut juga analisa
kecenderungan (trend analysis) apabila diaplikasikan untuk
beberapa periode waktu (misalnya dalam 5 tahun) untuk
mengetahui pola perkembangan dan penurunan keuangan
perusahaan.
Adapun prosedur analisa adalah:
1. Menentukan tahun dasar.
2. Menentukan angka indeks 100 pada masing-masing pos
dalam tahun dasar.
3. Menghitung rasio kecenderungan dengan cara
membagi masing-masing pos yang sama pada periode
laporan yang dianalisa dengan pos-pos yang sama
dalam tahun dasar.
4. Mengevaluasi kecenderungan yang terjadi.
5. Memberikan interpretasi / penafsiran
7.6. Analisa Rasio
Analisa rasio digunakan untuk mengukur tingkat
kinerja perusahaan berdasarkan data-data laporan
130
keuangan Bank Syariah. Adapun jenis-jenis analisa rasio
tersebut adalah:
1. Profitability Ratio
Rasio ini untuk mengukur kemampuan dan efektivitas
manajemen dalam menghasilkan laba selama periode
tertentu. Indikator-indikator yang digunakan adalah sebagai
berikut :
a) Gross Profit Margin (Margin laba kotor)
Rasio ini menunjukan berapa persentase keuntungan kotor
yang diperoleh dari penjualan produk. Rumus :
Semakin besar rasio ini, semakin besar hasil yang diperoleh
untuk setiap rupiah penjualan yang dihasilkan.
b) Operating Profit Margin (Margin Laba Operasi)
Rasio ini untuk menunjukkan persentase laba operasi yang
dinyatakan dari penjualan bersih. laba operasi adalah laba
kotor dikurangi dengan beban operasi (di luar penyusutan
dan amortisasi)
Laba Kotor
Penjualan Gross Profit Margin = x 100%
131
Semakin besar rasio ini, semakin besar kemampuan
perusahaan untuk menutup biaya operasi dari laba kotor
penjualan, yang sekaligus juga menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk memperoleh laba operasi.
c) Net Profit Margin (Margin laba bersih)
Rasio ini untuk menunjukan persentase keuntungan bersih
yang diperoleh dari penjualan produk setelah dikurangi
dengan seluruh biaya. Rumus :
Semakin besar rasio ini, semakin besar hasil yang diperoleh
untuk setiap rupiah penjualan yang dihasilkan.
d) Return On Investment (ROI) atau Return On Asset
(ROA)
Rasio ini mengukur tingkat pengembalian dari seluruh
investasi yang telah dilakukan atau menunjukan berapa laba
Laba Bersih
Penjualan Net Profit Margin =
x 100%
Laba Operasi (Operating Profit)
Penjualan Bersih (Net Sales) Operating Profit Margin = x 100%
132
yang diperoleh atas setiap rupiah investasi yang dilakukan.
Rumus :
e) Return On Equity (ROE)
Rasio ini mengukur berapa besar pengembalian modal yang
diperoleh pemegang saham. Rumus :
2. Liquidity Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek
yang jatuh tempo). Pengukuran likuiditas dilakukan melalui
beberapa indikator rasio sebagai berikut :
a) Current Ratio
Rasio ini digunakan untuk menunjukkan berapa dari setiap
rupiah aktiva lancar dibiayai oleh utang jangka pendek atau
Laba Bersih
Modal Sendiri Return On Equity = x 100%
Laba Bersih
Total Aktiva Return On Investment =
x 100%
133
berapa kemampuan aktiva lancar untuk menutup utang
jangka pendek (kewajiban lancar). Rumus :
Dalam keadaan normal current ratio 1,5 dapat dianggap
baik, sedangkan current ratio kurang daripada 1
menunjukkan adanya utang jangka pendek yang digunakan
untuk membiayai aktiva di luar aktiva lancar, atau nasabah
tidak akan mampu membayar utang-utang jangka
pendeknya.
b) Quick Ratio
Rasio ini digunakan untuk menunjukkan berapa rupiah dari
aktiva lancar yang segera dapat dicairkan untuk membayar
setiap rupiah utang jangka pendek tanpa menunggu
pencairan persediaan. Rasio ini adalah hubungan antara
total aktiva lancar setelah dikurangi persediaan dengan
total utang jangka pendek. Rumus:
TOTAL AKTIVA LANCAR - PERSEDIAAN
TOTAL KEWAJIBAN LANCAR QUICK RATIO =
TOTAL AKTIVA LANCAR
TOTAL KEWAJIBAN LANCAR CURRENT RATIO =
134
Quick ratio sama dengan 1 dapat dianggap baik.
c) Net Working Capital Rasio (Modal kerja bersih)
Rasio ini digunakan untuk mengukur modal kerja bersih.
Rasio ini merupakan modal kerja atau aktiva lancar
perusahaan yang dananya bukan berasal dari kewajiban
lancar, tetapi berasal dari sumber-sumber permanen, yaitu
kewajiban jangka panjang dan modal. Rumus :
Perusahaan yang mempunyai likuiditas yang baik akan
mempunyai modal kerja yang bersih serta positif dalam
jumlah yang memadai.
d) Leverage Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan modal
sendiri untuk menjamin kewajiban utang atau disebut juga
Debt Equity Ratio (DER). Rumus :
Modal Kerja Bersih = Aktiva Lancar – Kewajiban Lancar
Total Kewajiban
Modal Sendiri DER = x 100%
135
Semakin kecil rasio DER semakin baik bagi nasabah. DER
lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa bank menanggung
risiko lebih besar dari pemilik perusahaan.
3. Activity Ratio
Rasio ini untuk mengukur efektivitas manajemen dalam
menggunakan sumber-sumber usaha yang ada).
Pengukuran aktivitas usaha dilakukan melalui beberapa
indikator rasio sebagai berikut :
a) Receivable Turn Over (Perputaran Piutang Dagang)
Rasio ini digunakan untuk menunjukkan rata-rata piutang
yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
mengelola piutang-piutangnya untuk kembali menjadi kas.
Rumus :
Semakin singkat waktu yang diperlukan untuk mencairkan
piutang, semakin baik pengelolaan piutang perusahaan.
b) Inventory Turn Over (Perputaran Persediaan)
Account Receivable
Net Sales Days Receivable =
x 360
136
Rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas pengelolaan
persediaan yang menunjukkan berapa hari persediaan
barang dijual dan diganti selama suatu periode. Rumus :
Semakin singkat perputaran persediaan, semakin baik
pengelolaan persediaan perusahaan.
c) Total Assets Turn Over
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam meningkatkan penjualan dengan
menggunakan seluruh aktiva yang dimiliki. Rumus :
Semakin tinggi rasio ini semakin baik bagi perusahaan.
d) Working Capital Turn Over
Rasio ini mengukur lamanya perputaran modal kerja untuk
kembali menjadi kas. Rumus :
INVENTORY
COST OF GOOD SOLD DAYS INVENTORY = x 360
Current Assets
Net Sales Working Capital Turn Over = x 360
Net Sales
Total Assets – Intengible Assets Total Assets Turn Over = x 360
137
Semakin cepat perputaran modal kerja menjadi kas berarti
semakin baik bagi perusahaan.
138
BAB VIII
STANDAR PEMBUKUAN
8.1. Perlakuan Akuntansi
Standar akuntansi dan pembukuan akad mudharabah
ini didasarkan pada Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia (PAPSI) dan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) Syariah 105 tentang Akuntansi
Mudharabah.
8.1.1. Pengakuan dan Pengukuran a. Pembiayaan mudharabah dalam bentuk kas diakui pada
saat pembayaran sebesar jumlah uang yang diberikan
oleh pihak Bank.
b. Pembiayaan mudharabah yang diberikan secara
bertahap diakui pada setiap tahap pembayaran.
c. Biaya yang terjadi pada akad pembiayaan mudharabah
tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan
mudharabah kecuali jika telah disepakati bersama.
d. Pembayaran kembali pembiayaan mudharabah oleh
Nasabah akan mengurangi pembiayaan mudharabah.
139
e. Apabila akad mudharabah diakhiri sebelum jatuh tempo
dan saldo pembiayaan mudharabah tidak langsung
dibayarkan oleh Nasabah, maka hal tersebut diakui
sebagai piutang pembiayaan mudharabah jatuh tempo.
f. Pengakuan keuntungan pembiayaan mudharabah oleh
Bank Syariah harus berdasarkan laporan realisasi
keuntungan usaha Nasabah pada periode berjalan dan
sesuai dengan nisbah yang disepakati.
g. Pengakuan kerugian pembiayaan mudharabah oleh Bank
Syariah harus berdasarkan laporan realisasi keuntungan
usaha Nasabah pada periode berjalan.
h. Kerugian yang diakibatkan oleh faktor kelalaian atau
kesalahan Nasabah, maka hal tersebut diakui sebagai
piutang mudharabah jatuh tempo.
8.1.2. Penyajian a. Pembiayaan mudharabah disajikan sebesar saldo
pembiayaan mudharabah Nasabah kepada Bank .
b. Piutang bagi hasil disajikan sebagai bagian dari aset
lainnya pada saat Nasabah tergolong performing.
Sedangkan, apabila Nasabah tergolong non-performing
140
financing maka piutang bagi hasil disajikan pada
rekening administratif.
c. Tagihan kepada Nasabah akibat kelalaian atau
penyimpangan oleh Nasabah disajikan sebagai bagian
dari pembiayaan mudharabah.
d. Pembiayaan mudharabah yang diakhiri sebelum jatuh
tempo atau sudah berakhir dan belum diselesaikan oleh
nasabah tetap disajikan sebagai bagian dari pembiayaan
mudharabah.
8.2. Ilustrasi Jurnal
Berikut dilampirkan ilustrasi pencatatan jurnal untuk
setiap transaksi yang dilakukan berdasarkan akad
mudharabah:
1. Pada saat Bank memberikan pembiayaan mudharabah
kepada Nasabah D: Pembiayaan Mudharabah K: Kas/Rekening Nasabah /Kliring
2. Pada saat pengakuan keuntungan mudharabah D: Piutang Bagi Hasil K: Pendapatan Mudharabah
3. Pada saat penerimaan keuntungan mudharabah D: Kas/Rekening Nasabah/Kliring K: Piutang Bagi Hasil
141
4. Pada saat pembentukan cadangan kerugian
penurunan nilai mudharabah D: Beban Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan Mudharabah K: Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan Mudharabah
5. Pada saat pembayaran angsuran pokok untuk
mudharabah D: Kas/Rekening Nasabah/Kliring K: Pembiayaan Mudharabah
6. Pada saat terjadi kerugian yang ditanggung oleh Bank
D: Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Pembiayaan
Mudharabah
K: Pembiayaan Mudharabah
7. Pada saat pengakuan terjadinya kerugian yang
disebabkan kelalaian atau penyimpangan Nasabah D: Piutang Pembiayaan Mudharabah
K: Pembiayaan Mudharabah
8. Pada saat pembayaran kerugian yang disebabkan
kelalaian atau penyimpangan Nasabah
D: Rekening Nasabah
K: Piutang Pembiayaan Mudharabah
9. Pada saat pelunasan pembiayaan mudharabah D: Kas/Rekening Nasabah/Kliring K: Pembiayaan Mudharabah
8.3. Akuntabilitas
Hal-hal yang harus diungkapkan antara lain :
142
1. Rincian jumlah pembiayaan mudharabah
berdasarkan sifat akad (mudharabah mutlaqah atau
mudharabah muqayyadah), jenis penggunaan dan
sektor ekonomi.
2. Klasifikasi pembiayaan mudharabah menurut jangka
waktu (masa akad), kualitas pembiayaan, valuta,
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai dan tingkat bagi
hasil rata-rata.
3. Jumlah dan persentase pembiayaan mudharabah
yang diberikan kepada pihak-pihak yang berelasi.
4. Jumlah pembiayaan mudharabah yang telah
direstrukturisasi dan informasi lain tentang
pembiayaan mudharabah yang direstrukturisasi
selama periode berjalan.
5. Kebijakan manajemen dalam pelaksanaan
pengendalian risiko portofolio pembiayaan
mudharabah.
6. Besarnya pembiayaan mudharabah bermasalah dan
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai untuk setiap
sektor ekonomi.
143
7. Kebijakan dan metode yang dipergunakan dalam
penanganan pembiayaan mudharabah bermasalah.
8. Kebijakan dan metode akuntansi penyisihan,
penghapusan dan penanganan pembiayaan
mudharabah bermasalah.
9. Ikhtisar pembiayaan mudharabah yang dihapus buku
yang menunjukkan saldo awal, penghapusan selama
tahun berjalan, penerimaan atas pembiayaan
mudharabah yang telah dihapusbukukan,
pembiayaan mudharabah yang telah dihapustagih
dan saldo akhir pembiayaan mudharabah yang
dihapus buku.
10. Kerugian atas penurunan nilai pembiayaan
mudharabah (apabila ada).
144
BAB IX
STANDAR PROSEDUR KERJA
9.1. Pengantar
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga
intermediasi, maka Bank Syariah harus dapat melaksanakan
dan memahami tugasnya secara baik, profesional dan sesuai
dengan ketentuan hukum dan syariah yang berlaku. Hal
tersebut dibutuhkan untuk memberikan service excellent
kepada masyarakat sebagai konsumen, sehingga produk
dan jasa yang ditawarkan oleh Bank Syariah kepada
masyarakat dapat diterima dan dipahami dengan baik.
Untuk memenuhi hal tersebut maka diperlukan sebuah
minimum standard dalam prosedur kerja Bank Syariah
dengan tahapan proses sebagai berikut:
9.1.1. Unit Kerja Bank Syariah terkait menawarkan produk
pembiayaan mudharabah kepada calon Nasabah
serta menjelaskan ketentuan dan persyaratannya,
termasuk nisbah dan mekanisme bagi hasil atas
usaha Nasabah.
145
9.1.2. Unit Kerja Bank Syariah terkait menjelaskan fitur
produk, risiko prosuk dan keuntungan produk
kepada calon nasabah dan memastikan bahwa
Nasabah memahami hal tersebut.
9.1.3. Unit Kerja Bank Syariah terkait memastikan kepada
calon Nasabah mengenai spesifikasi dari usaha yang
akan dibiayai tersebut apakah suatu proyek usaha,
atau melakukan proyek yang didapat dari
perusahaan/instansi lain atau untuk membeli barang
untuk kebutuhan investasi dalam usaha calon
Nasabah. Proses ini juga harus dijelaskan oleh calon
nasabah dan dituangkan di dalam berkas pengajuan
pembiayaan.
9.1.4. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa
kelengkapan administrasi dengan seksama dari
dokumen pengajuan pembiayaan yang diserahkan
oleh calon Nasabah.
9.1.5. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
wawancara kepada calon Nasabah untuk
146
mendapatkan data yang dibutuhkan serta
menganalisa terkait pembiayaan yang diajukan.
9.1.6. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan kunjungan
ke tempat usaha yang akan dilakukan kemitraan
dengan pihak Bank atau ke pemberi proyek atau
kepada produsen yang akan dibeli barangnya oleh
calon Nasabah bersama petugas Taksasi.
9.1.7. Jika barang yang akan dibeli oleh calon nasabah
berasal dari luar wilayah Indonesia dan tidak
termasuk dalam cakupan wilayah Bank serta kondisi
yang tidak memungkinkan untuk dikunjungi, maka
Unit Kerja Bank Syariah terkait harus meminta
dokumen terkait barang tersebut yang menjelaskan
mengenai spesfikasi barang secara detail.
9.1.8. Jika pembiayaan yang diajukan oleh calon Nasabah
adalah suatu proyek, maka Unit Kerja Bank Syariah
terkait harus meminta dokumen terkait proyek
tersebut termasuk Surat Perintah Kerja (SPK).
9.1.9. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan cross
checking kepada penjual barang yang diajukan oleh
147
calon nasabah, kemudian kepada
perusahaan/instansi yang memberikan proyek. Hal
ini untuk memastikan seluruh informasi dan data
dari calon Nasabah telah sesuai dan valid.
9.1.10. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan verifikasi
melalui Bank Checking (BI Checking) dan Trade
Checking atas kondisi calon Nasabah.
9.1.11. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
perhitungan potensi pergerakan pendapatan usaha
Nasabah yang akan diberikan fasilitas pembiayaan.
Dengan melakukan perhitungan tersebut Unit Kerja
Bank Syariah terkait dapat membuat simulasi
pembiayaan dengan berbagai skenario yang mungkin
dapat terjadi dengan cara mengestimasi kerugian
ekonomis Bank Syariah yang akan terjadi pada
kondisi pasar yang tidak normal.
9.1.12. Sehingga Jika hasil cross checking dan analisa
kelayakan usaha serta perhitungan potensi
pergerakan pendapatan usaha yang dilakukan
hasilnya baik dan dokumen yang diserahkan oleh
148
Nasabah telah dipenuhi sesuai ketentuan yang
berlaku, maka Bank Syariah melakukan analisa
kelayakan pembiayaan dengan membuat kertas
kerja analisa dan credit scoring, kemudian menyusun
jadwal proyeksi bagi hasil dan jadwal angsuran
pembiayaan serta membuat memo usulan
pembiayaan.
9.1.13. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus memastikan
bahwa Nasabah sepakat terhadap penentuan
proyeksi pendapatan dan nisbah bagi hasil.
9.1.14. Unit Kerja Bank Syariah terkait menandatangani
memo usulan pembiayaan.
9.1.15. Unit Kerja Bank Syariah terkait menyerahkan memo
usulan pembiayaan tersebut disertai dengan
lampiran dokumen kepada Komite Pemutus
Pembiayaan yang telah ditunjuk dan dibentuk oleh
Bank Syariah.
9.1.16. Komite Pemutus Pembiayaan akan melakukan
proses atas memo yang diajukan sesuai dengan SOP
149
serta tingkat kewenangan masing-masing yang
berlaku.
9.1.17. Komite Pemutus Pembiayaan akan memberikan
keputusan memo usulan pembiayaan yang dapat
berupa:
a. Permohonan disetujui;
b. Permohonan disetujui bersyarat; dan
c. Permohonan ditolak
9.1.18. Jika memo usulan pembiayaan tersebut ditolak,
maka Unit Kerja Bank Syariah harus membuat surat
jawaban penolakan atas permohonan pembiayaan
yang diajukan oleh calon Nasabah dengan cara yang
bijaksana disertai dengan alasan penolakan yang
mendasar, jelas dan dapat dimengerti oleh calon
Nasabah.
9.1.19. Jika memo usulan pembiayaan disetujui, maka Unit
Kerja Bank Syariah terkait membuat Surat
Persetujuan Pembiayaan (SPP) kepada Nasabah
untuk kemudian dilakukan review dari segi legal oleh
Unit Kerja Bank Syariah terkait., Selanjutnya SPP
150
tersebut ditandatangani oleh pejabat Bank yang
berwenang dan dikirim kepada calon Nasabah.
9.1.20. Bila calon Nasabah mempunyai poin-poin keberatan
atas persyaratan yang ditentukan oleh Bank, maka
Unit Kerja Bank Syariah terkait mengajukan poin-
poin keberatan calon Nasabah tersebut kepada
pejabat yang berwenang memberikan persyaratan
dan melakukan negoisasi sampai menemui titik
kesepakatan antara pihak Bank dan calon Nasabah.
9.1.21. Calon Nasabah menandatangani SPP di atas materai
sesuai peraturan pemerintah dan mengembalikan
SPP tersebut kepada Unit Kerja Bank Syariah terkait
sebagai tanda persetujuan serta menyerahkan
sertifikat asli dan dokumen jaminan lainnya yang
diperlukan untuk di cek keabsahannya.
9.1.22. Setelah SPP disetujui dan ditandatangani oleh
Nasabah serta telah dikembalikan kepada pihak
Bank, maka memo pembiayaan, SPP dan berkas
terkait lainnya diserahkan ke Unit Kerja Bank Syariah
151
terkait untuk ditindaklanjuti dengan pembuatan
perjanjian pembiayaan dan pengikatan jaminan.
9.1.23. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa
kelengkapan data dan persyaratan dokumen, bila
ada kekurangan maka Unit Kerja Bank Syariah terkait
menginformasikan kepada unit kerja terkait lainnya
untuk ditindaklanjuti kepada calon Nasabah dan
segera untuk dilengkapi kekurangan tersebut guna
persiapan pengikatan pembiayaan dan jaminan serta
membuat surat ke notaris untuk melaksanakan
pengikatan.
9.1.24. Unit Kerja Bank Syariah terkait membuat tanda
terima dokumen jaminan dari Nasabah untuk
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, tanda
terima dokumen jaminan yang telah ditandatangani
oleh pejabat yang berwenang dan diserahkan ke
calon nasabah.
9.1.25. Unit Kerja Bank Syariah terkait mengkompilasi
seluruh dokumen asli sertifikat agunan serta berkas
lainnya dalam satu file Nasabah dan wajib disimpan
152
serta dalam pengawasan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
9.1.26. Calon Nasabah membuka membuka rekening
tabungan atau giro serta melakukan penyetoran
biaya yang harus dibayar dimuka.
9.1.27. Memo pembiayaan asli, SPP beserta dokumen
kelengkapan diserahkan ke Unit Kerja terkait untuk
dilakukan proses perjanjian pembiayaan dan
pengikatan jaminan.
9.1.28. Unit Kerja Bank Syariah terkait meminta kepada Unit
Kerja terkait lainnya untuk melakukan verifikasi
keabsahan dokumen termasuk kepemilikan bukti
jaminan ke instansi terkait sesuai dengan jenis
jaminan.
9.1.29. Unit Kerja Bank Syariah terkait menginformasikan
jadwal pengikatan pembiayaan yang telah dibuat
kepada Nasabah.
9.1.30. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan analisa
kelengkapan dokumen dan analisa legalisasi dari
153
dokumen Nasabah baik yang berbentuk perorangan
ataupun Badan Usaha.
9.1.31. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
pelaksanaan perikatan perjanjian pembiayaan kerja
sama modal usaha dan agunan secara sempurna
antara Bank yang diwakili oleh Anggota Komite
Pembiayaan dengan Nasabah secara notariil dan di
bawah tangan.
9.1.32. Perikatan perjanjian pembiayaan kerja sama modal
usaha dan agunan harus ditandatangani oleh pejabat
Bank Syariah yang berwenang sesuai SK Direksi.
9.1.33. Unit Kerja Bank Syariah terkait meminta Surat Kuasa
Debet Rekening Nasabah untuk proses pendebetan
biaya-biaya termasuk untuk pendebatan angsuran
sesuai jadwal angsuran.
9.1.34. Setelah perikatan selesai ditandatangani, Unit Kerja
Bank Syariah terkait menyerahkan semua dokumen
kepada unit kerja lainnya untuk persiapan pencairan.
9.1.35. Unit Kerja Bank Syariah terkait menerima semua
dokumen jaminan asli dan membuat tanda terima.
154
9.1.36. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa
kelengkapan dokumen dan persyaratan pelaksanaan
pembiayaan yang tercantum serta memeriksa
kelengkapan dokumen agunan sebelum melakukan
pelaksanaan pencairan pembiayaan.
9.1.37. Bila terdapat dokumen yang kurang atau belum
sesuai, maka Unit Kerja Bank Syariah terkaitakan
meminta kelengkapan dokumen tersebut kepada
Nasabah sebelum dilakukan proses pencairan.
9.1.38. Setelah kekurangan atau ketidaksesuaian dokumen
dilengkapi dan dipenuhi maka Unit Kerja Bank
Syariah terkait melakukan pemeriksaan ulang atas
dokumen tersebut sebelum dilakukan proses
pencairan pembiayaan.
9.1.39. Unit Kerja Bank Syariah terkait membuat tanda
terima dokumen asli jaminan, dimana berkas tanda
terima asli diberikan kepada Nasabah selaku
penerima fasilitas pembiayaan.
155
9.1.40. Unit Kerja Bank Syariah terkait menyimpan dokumen
agunan dan dokumen proses pembiayaan yang asli
di ruang penyimpanan.
156
BAB X
STANDAR PENGAWASAN, VERIFIKASI DAN
KONTROL
10.1. Pengantar
Setelah Bank Syariah selesai melakukan analisa atas
dokumen dan kelayakan usaha Nasabah yang akan
diberikan fasilitas pembiayaan, maka tahapan selanjutnya,
Bank Syariah mempersiapkan proses pencairan
pembiayaan, verifikasi dokumen laporan usaha Nasabah
dan pengawasan serta kontrol terhadap proses pemberian
fasilitas pembiayaan kepada Nasabah tetap sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Untuk melaksanakan proses
tersebut dengan optimal, maka dibutuhkan sebuah
minimum standard yang dapat dijadikan sebagai referensi
bagi Bank Syariah dengan tahapan sebagai berikut:
10.1.1. Proses pencairan bertahap untuk fasilitas
pembiayaan yang telah disetujui adalah sebagai
berikut:
157
a. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
peninjauan ke lokasi proyek atau usaha Nasabah
secara berkala secara spontan maupun
terinformasi;
b. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
pengecekan atas kemajuan prestasi pekerjaan
sesuai dengan jadwal progres dari proyek
Nasabah; dan
c. Setiap penarikan fasilitas pembiayaan oleh
Nasabah, maka Unit Kerja Bank Syariah terkait
harus mengawasi dan memastikan hal tersebut
telah sesuai dengan jadwal penarikan maupun
tujuan penggunaannya
10.1.2. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus mengambil
langkah-langkah keamanan yang dirasa perlu jika
ditemukan adanya indikasi penyimpangan yang
membahayakan atas pembiayaan yang diberikan
kepada Nasabah.
10.1.3. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus memeriksa
daftar tunggakan yang diberikan oleh Unit FA dan
158
menindaklanjuti hal tersebut kepada Nasabah
terkait.
10.1.4. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus mengetahui
realisasi pendapatan Nasabah.
10.1.5. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
pertemuan dengan Nasabah secara berkala untuk
mendapatkan feedback mengenai pelayanan yang
diberikan oleh Bank dan sekaligus menawarkan
produk Bank lainnya, sehingga hubungan dengan
Nasabah dapat terjalin dengan baik dan harmonis.
10.1.6. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus
mendokumentasikan kegiatan usaha Nasabah atau
proyek yang dijalankan Nasabah maupun aset yang
dibeli Nasabah sebagai investasi dalam mendukung
berjalannya usaha, proyek serta aset yang
diberikan fasilitas pembiayaan oleh Bank.
10.1.7. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus melakukan
peninjauan langsung secara periodik dalam 3 atau
6 bulan sekali terkait usaha atau proyek Nasabah
yang diberikan fasilitas pembiayaan. Jika fasilitas
159
pembiayaan yang diberikan oleh Bank digunakan
untuk membeli aset, maka Unit Kerja Bank Syariah
terkait harus dapat memastikan keberadaan,
kesesuaian serta dokumen legal aset tersebut
terpenuhi dengan baik.
10.1.8. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa
dokumen-dokumen pendukung pembiayaan telah
benar dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
10.1.9. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa kembali
apakah justifikasi yang telah dibuat sudah memuat
langkah mitigasi atas resiko yang akan timbul.
10.1.10. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa kembali
apakah permohonan pencairan fasilitas
pembiayaan sudah sesuai dengan ketentuan.
10.1.11. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa
kelengkapan dokumen, kepatuhan prosedur
pemberian pembiayaan serta pelaksanaan syarat
dan ketentuan telah sesuai dengan yang ditetapkan
oleh Komite Pembiayaan. Jika terjadi
penyimpangan atau pelanggaran prosedur, maka
160
Unit Kerja Bank Syariah terkait menginformasikan
kepada Unit Kerja lainnya untuk menolak pencairan
pembiayaan tersebut.
10.1.12. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus memastikan
bahwa fasilitas pembiayaan yang telah diberikan
dipergunakan sesuai dengan tujuannya.
10.1.13. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
pembinaan kepada Nasabah pembiayaan yang
sudah masuk dalam klasifikasi untuk mengarahkan
Nasabah dapat memenuhi kewajibannya kepada
pihak Bank.
10.1.14. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
pengawasan atas perkembangan usaha Nasabah
untuk menjaga Nasabah agar tetap mampu
melaksanakan kewajiban keuangannya kepada
pihak Bank, baik dalam memberikan porsi bagi hasil
dan membayar kembali modal pokok dari Bank.
10.1.15. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa dan
memastikan proses inventarisasi dokumen
161
pembiayaan telah dilakukan dengan baik dan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10.1.16. Unit Kerja Bank Syariah terkait turut serta berperan
aktif bersama dengan Unit Kerja terkait lainnya
yang menangani pembiayaan Nasabah untuk selalu
memeriksa barang-barang yang di agunkan pada
Bank.
10.1.17. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa setiap
fasilitas pembiayaan yang dijalankan atau
diadministrasikan telah mendapat persetujuan dari
pejabat yang berwenang sesuai dengan wewenang
yang dimiliki dan didukung dengan kelengkapan
dokumen-dokumen pendukung pembiayaan dan
jaminan.
10.1.18. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa setiap
pencairan fasilitas pembiayaan kepada Nasabah
telah sesuai dengan laporan rincian/mutasi dari
komputer dan atau bukti-bukti pendukung
transaksinya.
162
10.1.19. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa setiap
transaksi yang dijalankan secara manual atau yang
di generate oleh komputer atas perhitungan
nisbah/pembayaran/ pelunasan/perubahan telah
sesuai dengan sub ledger pembukuannya.
10.1.20. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa bahwa
tunggakan Nasabah telah ditindaklanjuti
berdasarkan laporan tunggakan yang dihasilkan
oleh komputer dan telah dijalankan sesuai dengan
ketentuan yang ada.
10.1.21. Unit Kerja Bank Syariah terkait, memeriksa jika
terdapat tunggakan Nasabah yang telah melampaui
batas waktu tunggakan telah ditindaklanjuti
berdasarkan laporan tunggakan yang dihasilkan
komputer/laporan tunggakan bulanan
Nasabah/rekapitulasi Nasabah yang menunggak.
10.1.22. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa bahwa
perubahan sementara atas pembiayaan yang
dilakukan telah sesuai dengan memo perubahan
yang disetujui oleh pejabat berwenang.
163
10.1.23. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa bahwa
batas waktu yang tercantum pada memo
perubahan sementara telah ditindaklanjuti
penyelesaiannya.
10.1.24. Apabila memo perubahan sementara belum
ditindaklanjuti penyelesaiannya setelah
berakhirnya batas waktu, maka Unit Kerja Bank
Syariah terkait harus melaporkan hal tersebut
kepada pejabat yang berwenang.
10.1.25. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa bahwa
setiap perubahan fasilitas pembiayaan telah
dituangkan dalam Laporan Fasilitas Pembiayaan
yang baru dan dilakukan pengikatan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
10.1.26. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa dan
memonitor kekurangan dokumen-dokumen
jaminan yang masih dalam proses pengurusan
ataupun masih dalam peminjaman oleh pejabat
berwenang berdasarkan checklist dokumen atau
memo yang memo yang menerangkannya.
164
10.1.27. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa bahwa
dokumen-dokumen jaminan yang dipinjam telah
dikembalikan berdasarkan memo peminjamannya.
10.1.28. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa secara
sampling file-file pembiayaan dan fisik agunan
telah sesuai dengan listing yang dibuat.
10.1.29. Unit Kerja Bank Syariah terkait melakukan
pemeriksaan terkait keberadaan kepemilikan
jaminan dan dokumen-dokumen pembiayaan.
10.1.30. Unit Kerja Bank Syariah terkait memeriksa bahwa
file-file pembiayaan telah dirapihkan dan
ditertibkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10.1.31. Unit Kerja Bank Syariah terkait memantau bahwa
pelaksanaan inventarisasi dokumen pembiayaan
dan dokumen pendukung lainnya telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
10.1.32. Unit Kerja Bank Syariah terkait mengawasi bahwa
setiap pemberian pembiayaan telah dilaksanakan
sesuai dengan kebijakan pembiayaan, prosedur
165
pemberian pembiayaan dan ketentuan internal
perusahaan yang berlaku.
10.1.33. Unit Kerja Bank Syariah terkait memantau dan
mengawasi secara khusus kebenaran pemberian
pembiayaan kepada seluruh pihak yang termasuk
pihak terkait dengan Bank dan Nasabah
pembiayaan.
10.1.34. Unit Kerja Bank Syariah terkait harus memastikan
bahwa jumlah pembiayaan yang diberikan tidak
melewati ketetentuan Batas Maksimum Pemberian
Pembiayaan (BMPP) yang ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
10.1.35. Unit Kerja Bank Syariah terkait mengawasi bahwa
pemberian pembiayaan telah memenuhi ketentuan
perbankan yang berlaku.
10.1.36. Unit Kerja Bank Syariah terkait mengawasi dan
memastikan bahwa penilaian kolektibilitas
pembiayaan telah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
166
10.1.37. Unit Kerja Bank Syariah terkait memantau
kecukupan jumlah penyisihan penghapusan
pembiayaan.
10.1.38. Unit Kerja Bank Syariah terkait memantau
perkembangan usaha Nasabah pembiayaan melalui
melakukan kunjungan kepada Nasabah secara
periodik khususnya kepada Nasabah pembiayaan
yang sudah masuk dalam klasifikasi untuk
mendapatkan perhatian khusus.
10.1.39. Unit Kerja Bank Syariah terkait memberikan
peringatan dini (early warning system) kepada
Kantor Cabang apabila ditemukan adanya
penurunan kualitas pembiayaan atas Nasabah
tertentu atau penurunan kualitas pembiayaan dari
seluruh portofolio Kantor Cabang tersebut.
10.1.40. Unit Kerja Bank Syariah terkait mengawasi dan
melaporkan kepada Direksi apabila terjadi
pelanggaran atau terdapat penyimpangan yang
dilakukan oleh pejabat pembiayaan dalam proses
pemberian pembiayaan.
167
BAB XI STANDAR MANAJEMEN RISIKO
11.1. Analisa dan Identifikasi Jenis Risiko
Kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas dari
risiko yang dapat mengganggu kelangsungan bank sehingga
untuk mengelola risiko tersebut bank wajib menerapkan
manajemen risiko. Beberapa bentuk risiko pada
pembiayaan menggunakan akad mudharabah antara lain;
risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko investasi,
risiko kepatuhan dan risiko hukum serta risiko reputasi
11.1.1. Risiko Kredit (Credit Risk) Risiko kredit adalah Risiko akibat kegagalan nasabah
atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank
sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Termasuk risiko
kredit akibat kegagalan debitur, antara lain; risiko
konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement
risk.
Risiko konsentrasi pembiayaan merupakan risiko yang
timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1
(satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor,
168
dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam
kelangsungan usaha Bank. Counterparty credit risk
merupakan risiko yang timbul akibat terjadinya kegagalan
pihak lawan dalam memenuhi kewajibannya dan timbul dari
jenis transaksi yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya
transaksi yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau
nilai pasar. Settlement risk merupakan Risiko yang timbul
akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen
keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang
telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau
pembelian instrumen keuangan.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
1. Bank Syariah menghadapi
risiko ketika Nasabah
tidak mampu memenuhi
kewajiban pengembalian
modal atau realisasi
pendapatan Nasabah
tidak mencapai
a. Bank Syariah harus
melakukan analisa
mendalam atas profil
Nasabah (analisa 5C)
serta melakukan
perhitungan potensi
pergerakan
169
pendapatan yang
diproyeksikan
pendapatan terhadap
usaha yang dijalankan
oleh Nasabah sebelum
pemberian fasilitas
Pembiayaan
b. Bank Syariah
melakukan monitoring
terhadap bisnis
Nasabah
c. Bank Syariah
memastikan transaksi
bisnis terkait fasilitas
pembiayaan
menggunakan rekening
di Bank untuk
memantau pergerakan
dana.
d. Bank Syariah menyusun
tahapan mekanisme
proses yang harus
170
dilakukan saat Nasabah
mengalami gagal bayar.
Sebagai contoh,
melakukan penilaian
terhadap kondisi terkini
hasil usaha Nasabah,
mengambil tindakan
hukum jika perilaku
usaha Nasabah dinilai
memang merugikan
Bank Syariah, dll.
2. Bank Syariah menghadapi
risiko kredit karena
Nasabah tidak
membayarkan porsi Bagi
Hasil yang sudah
seharusnya milik Bank.
a. Bank Syariah
melakukan monitoring
terhadap bisnis,
realisasi pendapatan
Nasabah dan arus kas
nasabah
b. Bank Syariah memiliki
hak untuk mengakses
pembukuan dan
171
melakukan audit
sewaktu-waktu atas
usaha yang dijalankan.
11.1.2. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif akibat perubahan harga pasar, antara
lain Risiko berupa perubahan nilai dari aset yang dapat
diperdagangkan atau disewakan.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
1. Bank Syariah
menghadapi risiko yang
bersumber dari
pembiayaan kepada
nasabah yang
melakukan kegiatan
yang mengandung
potensi risiko nilai tukar.
a. Bank Syariah melakukan
analisa risiko nilai tukar
kepada Nasabah yang
terekspos risiko nilai
tukar..
b. Bank Syariah melalukan
hedging nilai tukar
terhadap pembiayaan
nasabah.
172
2. Bank Syariah
menghadapi risiko
terhadap pembiayaan
Nasabah yang
dipengaruhi oleh
perubahan harga
komoditas.
a. Bank Syariah melakukan
hedging untuk
menanggulangi
permasalahan risiko
pergerakan harga
komoditas.
3. Bank Syariah
menghadapi risiko basis
risk karena tidak sesuai
dalam menentukan basis
pricing pembiayaan.
a. Dalam menentukan basis
pricing Bank Syariah perlu
melihat trend pricing
kedepannya.
b. Bank Syariah perlu
memperhitungkan potensi
pergerakan pendapatan
atas perubahan basis
pricing
11.1.3. Risiko Operasional (Operational Risk) Risiko Operasional adalah Risiko kerugian yang
diakibatkan oleh proses internal yang kurang memadai,
kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan
173
sistem, dan/atau adanya kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
1. Bank Syariah
menghadapi risiko yang
diakibatkan oleh
aktivitas internal fraud
seperti pencatatan
keuangan yang tidak
benar atas nilai posisi,
ketidaksesuaian
pencatatan pajak secara
sengaja, kesalahan,
manipulasi dan mark up
dalam akuntansi
maupun pelaporan serta
aktivitas penyogokan
dan penyuapan yang
menimbulkan kerugian
dan pada akhirnya
a. Bank Syariah perlu
melakukan kontrol
internal atau audit
secara berkala untuk
mencegah terjadinya
fraud
b. Bank Syariah perlu
melakukan penguatan
supervisi melalui
penyusunan prosedur
yang mengatur kegiatan
transaksi Bank, serta
pembaharuan terhadap
prosedur secara berkala
untuk memitigasi risiko
fraud.
174
mengakibatkan nilai Bagi
Hasil untuk Bank lebih
kecil dari yang
ditargetkan.
2. Bank Syariah
menghadapi risiko
missselling, baik untuk
produk ataupun
penghitungan nisbah
dikarenakan SDM Bank
Syariah tidak memahami
akad mudharabah secara
comprehensive.
a. Bank Syariah
meningkatkan
kompetensi SDM
melalui training,
coaching agar SDM
dapat memahami
produk berbasis akad
mudharabah di Bank
Syariah, serta dapat
menawarkan keunikan
produk/jasa perbankan
syariah tersebut kepada
konsumen.
3. Bank Syariah
menghadapi risiko
Operasional karena
a. Bank Syariah harus
meng-upgrade sistem
operasionalnya, agar
175
sistem belum dapat
mengakomodir
perhitungan nisbah
dalam akad
Mudharabah,
perhitungan proyeksi
bagi hasil serta
pembukuan realisasi
bagi hasil
dapat menunjang
kebutuhan akad
mudharabah.
4. Bank Syariah
menghadapi risiko
operasional karena SDM
tidak mampu
mengidentifikasi risiko
produk dengan akad
mudharabah dengan
baik. Salah satunya tidak
memperhitungkan
fluktuasi pendapatan
a. Bank Syariah
meningkatkan
kemampuan SDM
perbankan syariah
dalam melakukan
penilaian risiko
terhadap pembiayaan
yang diberikan, melalui
training dan coaching.
b. Bank Syariah
menetapkan prosedur
176
Nasabah. dan metode
perhitungan secara
sistematis untuk
menentukan tingkat
risiko Nasabah.
11.1.4. Risiko Investasi (Investment Risk) Risiko Investasi (Equity Investment Risk) adalah
Risiko akibat Bank ikut menanggung kerugian usaha
nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan berbasis bagi hasil
baik yang menggunakan metode net revenue sharing
maupun yang menggunakan metode profit and loss sharing.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
1. Bank syariah
menghadapi risiko
investasi karena
realisasi bagi hasil akad
mudharabah bersifat
fluktuatif, tergantung
pada kondisi usaha
Bank Syariah melakukan
assesment Profil nasabah
melalui 5C, selain itu Bank
juga diminta melakukan
perhitungan potensi
pergerakan pendapatan
usaha Nasabah. Beberapa
177
Nasabah. Dalam hal
nilai realisasi bagi hasil
lebih kecil dibandingkan
nilai proyeksi bagi hasil,
maka Bank hanya dapat
mengakui sebesar nilai
realisasi bagi hasil.
indikator yang untuk
mengukur perhitungan
potensi pergerakan
pendapatan usaha Nasabah
antara lain adalah; 1) Trade
checking, 2) harga
barang/komoditas selama
masa pembiayaan, 3)
industri pembiayaan, 4) size
perusahaan, 5) komponen
pendapatan/biaya terbesar
dan 6) kondisi daerah/makro
ekonomi.
11.1.5. Risiko Kepatuhan Risiko kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak
mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku serta
Prinsip Syariah.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
178
1. Bank Syariah
menghadapi risiko
kepatuhan karena
produk/transaksi Bank
Syariah yang dilakukan
belum memiliki landasan
ataupun aturan
hukum/fatwa yang
secara jelas mengatur
mengenai
produk/transaksi
tersebut.
a. Bank Syariah
memastikan bahwa
setiap produk/jasa
yang akan diluncurkan
kepada publik.
b. Bank Syariah harus
memastikan bahwa
produk mudharabah
yang akan dilakukan
telah memiliki dasar
hukum syariah yang
mendasari produk/jasa
tersebut.
2. Bank Syariah
menghadapi risiko
terhadap pelanggaran
peraturan atau regulasi
yang mengatur usaha
tekait.
a. Bank Syariah
memastikan bahwa
usaha yang dijalankan
Nasabah telah
memenuhi standar
minimum regulasi
usaha terkait.
179
11.1.6. Risiko Hukum Risiko hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum
dan/atau kelemahan aspek yuridis.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
1. Bank Syariah
menghadapi risiko
hukum karena lemahnya
perikatan/perjanjian
yang dibuat oleh Bank
Syariah. Diantara
penyebabnya antara
lain: Pelanggaran
terhadap hukum atau
peraturan;
Ketidakcukupan
dokumen pendukung;
dan/atau
Ketidakcukupan dalam
mengidentifikasi hak dan
kewajiban antara bank
a. Bank Syariah
memastikan di dalam
menyusun perjanjian
(akad)
Mudharabah,telah
mencantumkan
berbagai klausul, untuk
menguatkan posisi
Bank Syariah sebagai
Pihak Pemilik Dana
(shohibiul maal).
b. Bank Syariah terlebih
dahulu melakukan
review Kontrak
Perjanjian Mudharabah
yang telah disusun
180
dengan pihak lain. untuk memastikan
telah terpenuhinya
aspek hukum.
11.1.7. Risiko Reputasi Risiko reputasi adalah Risiko akibat menurunnya
tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder)
yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank.
Risiko yang Dihadapi Strategi Mengelola Risiko
1. Bank Syariah
menghadapi risiko
hilangnya kepercayaan
dari masyarakat karena
Bank Syariah tidak
menjalankan
operasionalnya sesuai
dengan prinsip syariah.
Sehingga dalam jangka
panjang akan
mempengaruhi risiko
reputasi Bank Syariah.
a. Bank Syariah harus
menetapkan
prosedur/SOP
pemberian fasilitas
pembiayaan kepada
Nasabah yang harus
dipatuhi dan
dilaksanakan oleh SDM
Bank syariah.
b. Bank Syariah secara
berkala melakukan
evaluasi dan sertifikasi
181
pada SDM Bank syariah
untuk memastikan
bahwa SDM tersebut
sudah melaksanakan
operasional sesuai
dengan prosedur yang
berlaku.
11.2. Manajemen Risiko dalam Setiap Tahapan
Pembiayaan
Porsi penyertaan modal dalam pembiayaan
mudharabah tentunya akan diikuti dengan risiko yang harus
ditanggung oleh bank. Ada tiga tahap dalam Pembiayaan
Mudharabah yakni pra kontrak, masa kontrak dan
penyelesaian kontrak.
11.2.1. Tahap Pra Kontrak Pada tahap pra kontrak, manajemen risiko disusun
untuk menghasilkan keputusan yang optimal sebelum
Nasabah menjalankan usaha Mudharabah yang disepakati
sesuai perjanjian. Manajemen risiko pada tahap ini berupa
identifikasi risiko yang mungkin muncul di masa depan serta
182
menyusun mitigasi risiko yang harus dilakukan. Manajemen
risiko yang efektif pada tahap ini akan bermanfaat dalam
mengurangi eksposur atau dampak risiko masa depan
terhadap pembiayaan melalui pengerahan sumber daya
yang ada disertai dengan penerapan berbagai teknik
pengelolaan risiko yang tepat. Berikut ini adalah hal-hal
terkait Manajemen Risiko Pra Kontrak:
11.2.2. Penyusunan Kebijakan dan Prosedur Manajemen Risiko Bank Syariah harus memiliki kebijakan dan prosedur
manajemen risiko yang komprehensif dan efektif disertai
sistem dan pengawasan internal agar setiap risiko mampu
teridentifikasi dan sesuai dengan selera risiko (risk appetite)
dan toleransi risiko (risk tolerance) Bank Syariah yang
bersangkutan. Meskipun setiap Bank Syariah memiliki risk
appetite dan risk tolerance yang berbeda, berikut adalah
prosedur standar manajemen risiko yang harus dipenuhi
oleh Bank Syariah:
a. Metodologi identifikasi risiko;
183
b. Metodologi valuasi dan kalkulasi risiko yang tepat
terhadap aset;
c. Batasan eksposur risiko (risk exposure limits);
d. Teknik mitigasi risiko;
e. Mekanisme pelaporan dan pengawasan;
f. Alur komunikasi dan tanggung jawab manajemen risiko;
g. Mekanisme review, pembaharuan dan perubahan
Seluruh poin kebijakan dan prosedur manajemen
risiko di atas harus disusun dan dijabarkan pada tahap pra
kontrak serta mengkomunikasikannya kepada seluruh
fungsi terkait pada internal Bank Syariah. Bank Syariah juga
harus menyusun mekanisme jika terjadi review,
pembaharuan dan perubahan poin-poin kebijakan dan
prosedur di atas. Review dan pembaharuan atas poin-poin
di atas merupakan hal yang mungkin terjadi seiring
perubahan risk appetite dan risk tolerance Bank Syariah.
11.2.3. Penilaian Uji Kelayakan Usaha Penilaian uji kelayakan usaha menjadi prosedur
utama dalam hal pengelolaan risiko pra kontrak. Bank
Syariah harus memastikan bahwa kriteria dan tujuan usaha
184
dari calon Nasabah potensial tetap sejalan dengan rencana
bisnis Bank Syariah. Beberapa hal yang harus dipastikan
Bank Syariah terhadap Calon Nasabah Pembiayaan
Mudharabah, sebagai berikut:
a. Metodologi dan kerangka penilaian (assesment method
and framework) usaha yang digunakan oleh Bank
Syariah harus sesuai dengan tipe produk, jasa, segmen
bisnis usaha yang akan dibiayai. Misalnya, kerangka
penilaian usaha hotel tentunya berbeda dengan usaha
pertambangan.
b. Proses penilaian memiliki dasar, antara lain melalui data
historis (internal bank maupun internal nasabah) dan
bukti empiris lain yang memungkinkan. Jika data historis
dan bukti empiris tidak cukup, Bank Syariah dapat
menggunakan data lain sebagai variabel penilaian. Jika
dibutuhkan, Bank Syariah dapat menggunakan
judgement yang diatur dalam Kebijakan dan Prosedur
Manajemen Risiko Bank Syariah.
c. Proses penilaian harus sudah memasukkan risiko-risiko
utama yaitu analisis Profil Calon Nasabah (Capacity,
185
Characteristics, Collateral, Capital dan Condition), risiko
pasar dan risiko investasi terkait proyeksi pendapatan
yang dihasilkan oleh calon Nasabah.
d. Proses penilaian tentunya harus mempertimbangkan
potensi perubahan dalam hal biaya produksi, material,
tenaga kerja, harga, volume penjualan dan lain-lain.
Sehingga, Bank Syariah perlu membuat asumsi agar
proyeksi arus kas (projected cash flow) dan arus kas
aktual (actual cash flow) tidak mengalami perbedaan
selisih angka yang terlampau jauh.
e. Bank Syariah harus memastikan bahwa data dan
informasi yang digunakan dalam proses penilaian
kelayakani diperoleh dari sumber yang valid, relevan,
terkini dan dapat dipercaya.
f. Proses penilaian melibatkan pihak yang memiliki
pengetahuan dan ahli dalam bidang bisnis tersebut,
dapat berasal dari pihak internal Bank Syariah ataupun
jasa pihak eksternal. Penilai harus independen, tidak
terkait dan tidak memiliki kepentingan apapun terhadap
usaha Calon Nasabah Pembiayaan Mudharabah. Jika
186
Bank Syariah menggunakan jasa pihak eksternal, harus
ada standar lebih lanjut yang diatur dalam Kebijakan
dan Prosedur Manajemen Risiko Bank Syariah masing-
masing.
g. Proses penilaian juga dapat menggunakan kerangka
investment rating, yaitu pengelompokan Nasabah yang
didasarkan pada jenis usaha tertentu atau berdasarkan
jumlah pembiayaan tertentu.
Proses penilaian uji kelayakan usaha merupakan salah
satu proses yang cukup panjang namun sangat penting
dalam hal manajemen risiko tahap pra kontrak. Meskipun
hal ini telah dilakukan bukan tidak mungkin kerugian akan
tetap terjadi sehingga saat terjadi kerugian modal
berdasarkan projected cash flow maka Bank Syariah tetap
harus mencatatkan usaha mudharabah sebagai Non-
Performing Investment (NPI).
11.2.4. Tahap Masa Kontrak Pada tahap ini, selama masa kontrak berlangsung,
manajemen risiko tetap diperlukan untuk memastikan
keberlangsungan pengawasan aktif usaha Nasabah sehingga
187
baik Nasabah maupun Bank Syariah dapat memperoleh
keuntungan dan keberlanjutan usaha melalui penciptaan
nilai secara jangka panjang. Pengawasan aktif berkelanjutan
terhadap usaha mudharabah ini bertujuan untuk menjaga
portofolio Bank Syariah dan mengurangi eksposur risiko
terkini yang mungkin belum terpikirkan saat penilaian risiko
tahap pra kontrak. Segala anomali yang terjadi harus segera
dilaporkan pada pihak Manajemen agar bisa segera diambil
tindakan lebih lanjut.
11.2.5. Pengawasan Aktif Pengawasan aktif yang dapat dilakukan dapat
berupa:
a. Bank Syariah dapat membentuk mekanisme early
warning system dengan kriteria pemicu terjadinya risiko.
Sehingga, bila terjadi tanda-tanda yang sesuai dengan
kriteria, maka manajemen dapat segera mengambil
tindakan sesuai mekanisme tersebut.
b. Bank Syariah dapat meminta dan memantau laporan
periodik operasonal maupun keuangan terkait usaha
188
Nasabah dan segala aktivitas yang dilakukan Nasabah.
Seperti, perubahan manajemen dan direksi, perubahan
stakeholders usaha maupun perubahan regulasi
perusahaan. Hal ini dilakukan untuk memitigasi risiko
internal fraud yang dilakukan oleh Nasabah, yang
tentunya dapat mempengaruhi porsi bagi hasil Bank
Syariah.
c. Bank Syariah dapat menyertakan beberapa kondisi
terkait pengelolaan usaha yang disepakati dalam
dokumen perjanjian, yang menuntut Nasabah jika ia lalai
memenuhi kewajibannya.
d. Bank Syariah dapat meninjau ulang (periodic
assessment) terhadap proyeksi bagi hasil dari
pendapatan usaha Nasabah secara kuarter maupun
bulanan. Peninjauan ulang ini dapat menggunakan
asumsi sesuai dengan kondisi terkini.
e. Bank Syariah harus memastikan keterkaitan pihak-pihak
lain (outsourced parties) dalam usaha tidak
menimbulkan tambahan risiko yang signifikan.
Pencegahan risiko dapat dilakukan melalui analisis yang
189
tepat sebelum melakukan kesepakatan perjanjian
dengan pihak lain.
f. Jika disepakati, Bank Syariah dapat menunjuk satu pihak
independen untuk melakukan audit dan valuasi usaha
mudharabah yang dijalani oleh Nasabah untuk
memastikan obyektivitas dan transparansi distribusi
profit.
11.2.6. Usaha Mudharabah Berkinerja Buruk Selama kontrak berlangsung, usaha Nasabah tidak
selalu berjalan dengan mulus. Potensi usaha mengalami
penurunan atau masalah akan selalu ada. Jika usaha
Mudharabah sedang atau diekspektasikan akan berkinerja
kurang baik, maka Bank Syariah diharuskan untuk
melakukan pengamatan langsung dan peninjauan ulang atas
usaha mudharabah tersebut. Bank Syariah diharuskan untuk
mengamati, menilai dan memutuskan apakah usaha
tersebut masih layak dilanjutkan atau tidak. Pengamatan
dan tinjauan ulang tersebut mencakup beberapa hal sebagai
berikut:
190
a. Menyusun daftar faktor-faktor yang menyebabkan
usaha berkinerja tidak baik dan menyusun rencana
perbaikan (improvement plans) untuk mengatasi faktor-
faktor tersebut.
b. Melakukan uji kelayakan atas rencana perbaikan
(improvement plans).
c. Memeriksa kesesuaian asumsi yang digunakan untuk
memproyeksikan nilai pendapatan maupun bagi hasil.
d. Menghitung tambahan biaya yang dibutuhkan jika ingin
melaksanakan perbaikan disertai dengan pertimbangan
risiko dan kondisi usaha di masa mendatang.
e. Menghitung dan memutuskan apakah level risiko usaha
masih sesuai dengan risk appetite dan risk tolerance
Bank Syariah.
f. Bank Syariah boleh melakukan hal ini secara internal
maupun menggunakan jasa pihak ketiga.
Setelah melaksanakan pengamatan langsung dan
tinjauan ulang atas kelayakan usaha yang berkinerja buruk
tersebut Bank Syariah dapat mengambil keputusan untuk
melanjutkan atau memberhentikan usaha bersama Nasabah
191
tersebut. Jika Bank Syariah ingin tetap melanjutkan
setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan yakni:
a. Apakah usaha tersebut masih memiliki potensi
pendapatan dan keuntungan di masa depan yang
mampu menutupi kerugian dan tambahan modal (jika
ada) yang terjadi saat ini?
b. Apakah Nasabah dinilai mampu mengembalikan kinerja
usaha nya dalam tempo waktu yang diberikan oleh
Bank Syariah?
c. Bank Syariah boleh memberikan strategi dan rencana
aksi perbaikan bagi Nasabah yang memungkinkan
adanya perubahan/renegosiasi syarat dan kondisi
perjanjian usaha Mudharabah tersebut.
11.2.7. Tahap Penyelesaian Kontrak Sebagaimana Fatwa DSN MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000
mengenai Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), bahwa
Mudharabah boleh dibatasi waktu tertentu. Sehingga
tentunya kontrak Mudharabah akan ada masa berakhirnya,
baik sesuai dengan kontrak ataupun berhenti di tengah
jalan karena berbagai sebab. Demi menjaga kebaikan dan
192
hak setiap pihak, maka syarat penyelesaiaan kontrak juga
harus dimuat di dalam kontrak perjanjian. Beberapa hal
yang peril diperhatikan oleh manajemen risiko saat tahap
penyelesaian kontrak ialah sebagai berikut:
a. Bank Syariah memiliki tahapan prosedur penyelesaian
kontrak yang jelas. Prosedur tersebut didokumentasikan
dan dikomunikasikan dengan pihak-pihak terkait proses
tersebut.
b. Prosedur yang dimiliki harus terdiri dari tahapan yang
harus dijalani jika penyelesaian berakhir sesuai
perjanjian ataupun berakhir di tengah jalan
c. Bank Syariah harus menyusun penilaian terhadap
berbagai cara penyelesaian kontrak serta dampak yang
didapatkan akibat penyelesaian kontrak tersebut.
d. Bank Syariah harus memiliki opini legal (kekuatan
hukum) dalam melaksanakan penyelesaian kontrak
sehingga proses yang dijalani tidak melanggar ketentuan
hukum.
e. Bank Syariah meneliti kemungkinan kewajiban dengan
Nasabah dan menyelesaikannya sesuai perjanjian.
193
f. Jika ada biaya perbaikan dan/atau kerugian yang
disebabkan oleh kelalaian Nasabah, maka Bank Syariah
berhak mengajukan dan menuntut klaim atas kerugian
tersebut sesuai metode mitigasi risiko yang diterapkan.
194
BAB XII STANDAR KONTRAK PERJANJIAN (AKAD)
MUDHARABAH 12.1. Ruang Lingkup
Bab ini menjelaskan pokok-pokok klausul standar
minimal yang harus tercantum dalam setiap kontrak
(perjanjian) akad mudharabah pada Bank Syariah. Perjanjian
atau akad dalam perbankan syariah merupakan hal yang
esensial. Perjanjian atau akad yang telah disepakati akan
diikuti oleh hak dan kewajiban yang mesti dipatuhi oleh
masing-masing pihak. Dalam bab ini, hanya akan diberikan
standar dan ketentuan yang bersifat umum dalam produk
pembiayaan mudharabah. Para pihak yang melakukan
perjanjian yaitu pihak Bank Syariah dan pihak Nasabah
diberikan kebebasan dalam menyusun kontrak perjanjian.
Selama kontrak tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak (al hurriyah).
195
12.2. Ketentuan Umum Standar Perjanjian atau Akad
Mudharabah
12.2.1. Komposisi suatu perjanjian pembiayaan
Mudharabah yang disusun oleh Bank Syariah harus
terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu: Judul,
Komparisi, Isi, dan Penutup.
12.2.2. Isi perjanjian pembiayaan Mudharabah harus
didasarkan pada asas konsesualisme, yaitu
kesepakatan para pihak. Kesepakatan para pihak
ini merupakan wujud atas keridhoan (ar
radhaiyyah) yang dinyatakan dalam bentuk ijab
kabul (sighatul akad) saat pengikatan perjanjian.
12.2.3. Dalam proses mencapai kesepakatan dalam
perjanjian tersebut, pihak Bank Syariah
menjelaskan isi perjanjian yang akan
ditandatangani dan memberikan kesempatan bagi
Calon Nasabah untuk memahami dan memberikan
pendapat terkait seluruh klausul standar perjanjian
pembiayaan Mudharabah yang dibuat oleh Bank
Syariah.
196
12.2.4. Hukum Perjanjian sesuai Pasal 27 dan 28 KHES
terbagi dalam 3 kategori yaitu:
1. Akad yang sah, yaitu akad yang terpenuhi rukun
dan syarat-syaratnya;
2. Akad yang fasad, yaitu akad yang terpenuhi
rukun dan syarat syaratnya, tetapi terdapat hal
lain yang merusak akad tersebut karena
pertimbangan maslahat;
3. Akad yang batal, yaitu akad yang kurang rukun
dan syarat-syaratnya.
12.2.5. Perjanjian atau akad pembiayaan Mudharabah
harus memenuhi rukun dan syarat sah
sebagaimana telah diatur dalam pasal 187-188
KHES dan 1320 KUH Perdata.
12.2.6. Akad perjanjian yang telah memenuhi rukun dan
syarat sah disebut sebagai akad yang sah atau
shahih.
12.2.7. Akad perjanjian yang sah atau shahih akan
memunculkan hak dan kewajiban bagi masing-
197
masing pihak serta seluruh akibat hukum yang
timbul mengikat kedua belah pihak.
12.2.8. Syarat Mudharabah terdiri dari; Pemilik modal
wajib menyerahkan dana dan atau barang yang
berharga kepada pihak lain untuk melakukan
kerjasama dalam usaha, Penerima modal
menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati,
dan Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan
ditetapkan dalam akad.
12.2.9. Rukun kerjasama dalam akad Mudharabah terdiri
dari; pemiliki modal (shahibul maal), pelaku usaha
(mudharib) dan perjanjian (akad).
12.2.10. Dalam kontrak akad Mudharabah, kesepakatan
bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat
bebas (mutlak) dan terbatas (muqayyad) pada
bidang usaha tertentu, tempat tertentu, dan waktu
tertentu.
12.2.11. Pihak Nasabah yang melakukan kontrak akad
Mudharabah harus memiliki keterampilan yang
diperlukan.
198
12.3. Klausul Identitas, Jumlah, Tujuan, dan Jangka
Waktu Pembiayaan Mudharabah
12.3.1 Identitas para pihak termasuk domisilinya, jumlah
pembiayaan, tujuan, objek, jangka waktu dalam
suatu perjanjian atau akad Mudharabah harus
disebutkan secara rinci dan jelas.
12.3.2 Kejelasan mengenai identitas, jumlah, tujuan, dan
jangka waktu pembiayaan Mudharabah merupakan
hal penting untuk memberi perlindungan hukum
kepada kedua belah selama akad berlangsung.
12.4. Klausul Modal
12.4.1. Pembiayaan akad Mudharabah, modal dalam bentuk
uang tunai sepenuhnya berasal dari Bank Syariah
sebagai Pemilik Dana.
12.5. Klausul Nisbah Bagi Hasil
12.5.1 Bank Syariah dan Nasabah sepakat untuk
menetapkan nisbah bagi hasil sejak awal akad.
199
12.5.2 Ketentuan tentang nisbah bagi hasil kepada
Nasabah dinyatakan dalam bentuk persentase, baik
menggunakan prinsip net revenue sharing ataupun
profit sharing sejak masa awal pengikatan
perjanjian.
12.5.3 Pembayaran bagi hasil dihitung berdasarkan Nilai
Realisasi Pendapatan bukan Nilai Proyeksi
Pendapatan.
12.5.4 Pelaksanaan nisbah bagi hasil dilakukan pada setiap
periode dan setiap tanggal yang disepakati setiap
pihak.
12.5.5 Salah satu pihak boleh mengusulkan bahwa jika
keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan
atau persentase itu diberikan kepadanya.
12.5.6 Bank Syariah menanggung kerugian akibat
pelaksanaan akad Mudharabah, kecuali kerugian
terjadi akibat ketidakjujuran dan/atau kelalaian
nasabah dan/atau pelanggaran yang dilakukan
nasabah.
200
12.5.7 Bank Syariah akan menerima dan mengakui
kerugian yang terjadi, bila Bank Syariah telah
menerima dan menilai perhitungan yang dibuat
dan disampaikan Nasabah kepada Bank Syariah,
untuk kemudian hasil penilaian tersebut akan
disampaikan secara tertulis kepada Nasabah.
12.5.8 Bank Syariah harus mengetahui realisasi
pendapatan Nasabah secara periodik sesuai tanggal
yang disepakati.
12.6. Klausul Biaya
12.6.1. Nasabah menanggung biaya administrasi dan biaya-
biaya lain yang timbul akibat pelaksanaan akad
Mudharabah.
12.6.2. Setiap pembayaran/pelunasan kewajiban yang
berhubungan dengan akad Mudharabah, dilakukan
Nasabah tanpa dikenakan
ptongan/pungutan/bea/pajak/biaya lainnya,
kecuali jika potongan tersebut diatur berdasarkan
peraturan Undang-undang yang berlaku.
201
12.6.3. Pajak yang timbul terkait dengan akad
Mudharabah, menjadi tanggungan dan wajib
dibayar Nasabah, kecuali Pajak Penghasilan Bank
12.6.4. Bank dapat membebankan Nasabah atas
keterlambatannya dalam melakukan kewajibannya.
12.7. Klausul Condition of Precedent
12.7.1. Klausul condition of precedent adalah klausul yang
menggambarkan kondisi awal nasabah serta syarat-
syarat realisasi yang diterapkan oleh pihak Bank
Syariah.
12.7.2. Bank Syariah boleh menetapkan suatu klausul terkait
syarat realisasi yang tidak memberatkan atau
menzalimi pihak calon Nasabah.
12.7.3. Syarat realisasi yang perlu diatur pihak Bank Syariah
adalah terkait kelengkapan dokumen yang wajib
dipenuhi oleh pihak calon Nasabah dan laporan
rencana kerja terkait usaha yang akan dibiayai.
202
12.8. Klausul Jaminan
12.8.1. Bank Syariah dibolehkan meminta jaminan dalam
pembiayaan Mudharabah bertujuan agar nasabah
serius melakukan pembayaran secara tertib.
12.8.2. Bank Syariah diperbolehkan meminta kepada
Nasabah untuk membuat surat pernyataan perihal
kewajiban pengembalian modal oleh Nasabah
kepada Bank Syariah mengacu pada Fatwa DSN-
MUI No. 105 Tahun 2016 Tentang Penjaminan
Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah,
Musyarakah dan Wakalah bil Istitsmar.
12.8.3. Dalam Perjanjian mengenai eksekusi jaminan
dalam Perjanjian mudharabah perlu disebutkan
bahwa eksekusi harus berdasarkan kesepakatan
para pihak apabila nasabah benar-benar tidak bisa
lagi melakukan pelunasan atas pembiayaan yang
diberikan dan tidak boleh dilakukan “serta merta”
jika Nasabah mengalami keterlambatan dalam
membayar.
203
12.8.4. Jika point 11.8.2 tidak terpenuhi, maka barang
jaminan hanya dapat dieksekusi/dilikuidasi apabila
Nasabah sebagai mudharib terbukti secara nyata
dan sah sesuai hukum yang berlaku melakukan
tindakan penyimpangan perilaku (moral hazard)
sebagai berikut:
a. Ta’addi (ifrath), yaitu melakukan sesuatu yang
tidak semestinya dilakukan;
b. Taqshir (tafrith), yaitu tidak melakukan sesuatu
yang semestinya dilakukan; atau
c. Mukhalafat al-syurut, yaitu melanggar
ketentuan (yang tidak bertentangan dengan
prinsip dan nilai syariah) yang disepakati oleh
pihak-pihak yang berakad
12.8.5. Apabila terpaksa dilakukan eksekusi atas barang
jaminan Nasabah, maka perlu diatur bahwa
pembagian hasil eksekusi didasarkan pada jumlah
sisa pembiayaan (modal) yang belum dibayarkan
oleh Nasabah kepada pihak Bank Syariah.
204
12.9. Klausul Kewajiban Nasabah (Affirmative Covenant)
12.9.1. Affirmative Covenant adalah klausul yang berisi janji-
janji nasabah untuk melakukan hal tertentu selama
masa perjanjian pembiayaan masih berlaku.
12.9.2. Kewajiban Nasabah untuk berjanji dan mengikatkan
diri melakukan pembayaran penuh dan lunas serta
tepat waktu sesuai jangka waktu yang telah
disepakati.
12.9.3. Kewajiban Nasabah untuk menggunakan fasilitas
pembiayaan Mudharabah sesuai dengan tujuan
penggunaannya.
12.10. Klausul Larangan (Negative Covenant)
12.10.1. Negative Covenant adalah klausul yang berisi janji-
janji debitur untuk tidak melakukan hal tertentu
yang dapat menimbulkan kerugian atau
mempengaruhi kemampuan pembayaran pihak
nasabah selama akad berlangsung.
12.10.2. Larangan bagi Nasabah untuk membubarkan usaha
dan meminta untuk dinyatakan pailit tanpa
persetujuan tertulis pihak Bank Syariah.
205
12.10.3. Larangan Nasabah untuk menjaminkan diri sebagai
penjamin terhadap utang orang/pihak lain.
12.10.4. Larangan Nasabah untuk menyewakan,
menjaminkan, mengalihkan, dan menyerahkan baik
sebagian atau seluruh objek yang dibiayai oleh
Bank kepada pihak ain.
12.11. Klausul Cidera Janji (Wanprestasi)
12.11.1. Wanprestasi atau cidera janji merupakan kelalaian
debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati sehingga
menimbulkan kerugian yang diderita oleh pihak
yang haknya tidak terpenuhi.
12.11.2. Cidera janji atau wanprestasi dalam suatu akad
diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Pasal 36, dengan kriteria yaitu :
a) Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk
melakukannya;
b) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana dijanjikan;
206
c) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi
terlambat; atau
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan
12.11.3. Apabila terjadi wanprestasi atau kelalaian nasabah,
Bank Syariah berhak mendapatkan ganti rugi.
12.11.4. Ganti rugi dibatasi yaitu hanya meliputi kerugian
yang dapat diduga dan yang merupakan akibat
langsung dari wanprestasi.
12.11.5. Sanksi terhadap terjadinya peristiwa cidera janji
(wanprestasi) hanya dapat dikenakan apabila :
a) Pihak yang melakukan cidera janji setelah
dinyatakan cidera janji, tetap melakukan cidera
janji.
b) Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam
tenggang waktu yang telah dilewatinya.
c) Pihak yang cidera janji tidak dapat membuktikan
bahwa perbuatan cidera janji itu terjadi karena
207
keadaan memaksa yang berada di luar kuasanya
(force majeure).
12.11.6. Bila Nasabah melakukan Cidera Janji dan dapat
dibuktikan secara sah menurut hukum, sehingga
Bank Syariah harus menggunakan jasa penasihat
hukum untuk menagihnya, maka biaya jasa
penasihat hukum dapat dibebankan kepada
Nasabah.
12.12. Klausul Force Majeure
12.12.1 Force majeure atau “keadaan memaksa” adalah
keadaan dimana seorang Nasabah terhalang untuk
melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada Nasabah,
sementara Nasabah tersebut tidak dalam keadaan
beriktikad buruk.
12.12.2 Keadaan force majeure bisa menjadi alasan
pembebasan pemberian ganti rugi akibat tidak
terlaksananya perjanjian atau akad.
208
12.12.3 Dalam hal terjadi force majeure, Bank Syariah wajib
menetapkan hari terkait kewajiban pemberitahuan
tertulis oleh Nasabah.
12.12.4 Bank Syariah wajib menetapkan lampiran bukti-
bukti dari Kepolisian/Instansi yang berwenang
yang harus diberikan oleh Nasabah terkait
pelaporan peristiwa force majeure.
12.12.5 Bank Syariah perlu mengatur mengenai
penyelesaian permasalahan yang timbul akibat
terjadinya force majeure secara musyawarah
untuk mufakat tanpa mengurangi hak-hak Bank
Syariah sebagaimana telah diatur dalam Akad.
12.12.6 Bank Syariah perlu mencantumkan klausula force
majeure untuk mencegah sengketa atau konflik
apabila terjadi force majeure dimana kedua belah
pihak akan merasa dirugikan dan saling
menghindari kewajiban yang akan berujung pada
saling mengajukan gugatan.
12.13. Klausula Pilihan Penyelesaian Sengketa (Choice of
Law)
209
12.13.1 Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa
antara pihak Bank Syariah dengan Nasabah harus
mengutamakan suatu prinsip musyawarah
mufakat.
12.13.2 Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, Bank
Syariah dengan Nasabah dapat menyelesaikan
sengketa alternatif, antara lain dengan mediasi
perbankan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
12.13.3 Apabila mekanisme mediasi belum berhasil,
penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara non
litigasi melalui Badan Arbitrase Syariah, seperti
Basyarnas.
12.13.4 Eksekusi atau putusan arbitrase syariah itu akan
ditetapkan melalui Pengadilan Agama.
12.13.5 Bank Syariah dan Nasabah harus menyepakati
kewenangan untuk mengadili apabila terdapat
sengketa adalah melalui Pengadilan Agama sesuai
dengan kewenangan absolut yang dimiliki
210
berdasarkan Pasal 55 Undang-undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
12.14. Larangan Pencantuman Klausulan Eksemsi dalam
Standar Baku Akad Mudharabah
12.14.1. Bank Syariah dilarang mencantumkan klausula
eksemsi yaitu klausula dalam perjanjian atau
akad yang membebaskan atau membatasi
tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi
wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung
jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.
12.14.2. Berdasarkan Pasal 18 ayat 1 Undang Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
diatur ketentuan bahwa pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku di dalam perjanjian
yang dibuatnya apabila:
a) Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku
usaha;
b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
211
c) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha; baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e) Mengatur hal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual-beli jasa;
g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang mana berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
212
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang akan dibelinya;
h) Menyatakan bahwa konsumen itu memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau
hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
12.14.3. Bank Syariah dilarang menetapkan klausula
eksemsi yang termasuk didalamnya mengenai
pembatasan tindakan Nasabah dalam melakukan
tindakan serta melakukan hubungan hukum
dengan pihak ketiga dalam rangka melakukan
pengembangan usaha apabila tidak berkaitan
dengan perjanjian atau akad mudharabah.
213
BAB XIII VARIASI DAN SKEMA PRODUK MUDHARABAH
13.1. Mudharabah
13.1.1. Skema
BANK NASABAH
5 BAGI HASIL
4 KEUNTUNGAN
USAHA
2 AKAD
1 PENGAJUAN
PEMBIAYAAN
3a MODAL 100% 100100
7 KERUGIAN
6a BERDASARKAN
NISBAH
3b KEAHLIAN
6b BERDASARKA
N NISBAH
214
13.1.2. Penjelasan 1. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan usaha
kepada Bank syariah untuk memperoleh modal
usaha/proyek.
2. Bank syariah dan Nasabah melakukan perjanjian
pembiayaan menggunakan akad mudharabah.
3. Bank syariah sebagai pemilik modal (shahibul maal)
memberikan modal pembiayaan kepada Nasabah sesuai
proposal pengajuan pembiayaan setelah melalui tahap
verifikasi sesuai tahapan dan prosedur pemberian
pembiayaan yang ada di Bank. Sedangkan Nasabah
sebagai pengelola modal (mudharib) mengelola modal
yang diberikan oleh Bank untuk menjalankan usaha
dengan keahlian/kompetensi yang dimiliki oleh Nasabah.
4. Usaha yang dijalankan oleh Nasabah mendapatkan
keuntungan.
5. Keuntungan yang didapatkan kemudian di bagi sesuai
nisbah yang telah disepakati oleh kedua pihak.
6. Jika terdapat kerugian di dalam usaha yang dijalankan
dan bukan dikarenakan karena kesalahan ataupun
215
4) BAGI HASIL BERDASARKAN NISBAH
kelalaian yang dilakukan oleh Nasabah, maka kerugian
tersebut ditanggung oleh Bank selaku shahibul maal.
13.2. Sukuk Mudharabah
13.2.1. Skema
EMITEN INVESTO
R
KEGIATAN USAHA
4) BAGI HASIL
BERDASARKAN
NISBAH
2) MENYERAHKAN DANA
1) MENERBITKAN SUKUK
5) MENGEMBALIKAN DANA INVESTOR
Kerugian ditanggung
Oleh Investor (selama
Bukan kelalaian Emiten)
KEUNTUNGAN
USAHA
3) DANA DIGUNAK
AN UNTUK MODAL KEGIATA
N USAHA
216
13.2.2. Penjelasan 1. Emiten menerbitkan sukuk sebagai sertifikat kepemilikan
atas underlying asset.
2. Investor menyerahkan dana kepada emiten.
3. Dana hasil emisi sukuk dipergunakan oleh emiten untuk
modal kegiatan usaha.
4. Dari kegiatan usaha emiten tersebut diperoleh
pendapatan yang kemudian didistribusikan sebagai
pendapatan bagi hasil kepada investor dan emiten sesuai
dengan nisbah yang disepakati.
5. Pada saat jatuh tempo, emiten membayar kembali modal
kepada investor sebesar nilai sukuk pada saat
penerbitan.
6. Apabila Emiten lalai dan/atau melanggar syarat
perjanjian dan/atau melampaui batas, Emiten
berkewajiban menjamin pengembalian dana
Mudharabah, dan investor dapat meminta Emiten untuk
membuat surat pengakuan hutang
7. Apabila Emiten diketahui lalai dan/atau melanggar syarat
perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain,
217
Investor dapat menarik dana Obligasi Syariah
Mudharabah
218
Lampiran 1 . Contoh Standar Akad Pembiayaan
Mudharabah
Pedoman Akad Ini Hanya Sebagai Referensi Dan Tidak Mengikat Untuk Digunakan Oleh Industri
AKAD PEMBIAYAAN Mudharabah
No ........................................
ATAS NAMA : ………………………………......
Akad Pembiayaan Mudharabah ini dibuat dan
ditandatangani di ............... pada Hari ............. Tanggal
......M/........H oleh dan antara:
I. PT BANK............, suatu perusahaan perbankan yang
telah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan,
berkedudukan dan berkantor pusat di..........didirikan
berdasarkan Akta Nomor......yang telah dibuat di
hadapan Notaris..........., dalam hal ini bertindak (melalui
Unit Usaha Syariah) diwakili oleh......selaku........., oleh
219
karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PT
BANK...., yang selanjutnya disebut "BANK – PIHAK
PERTAMA" dan
II. PT............, ............, sebuah badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia
berkedudukan di........... dalam hal ini diwakili oleh
pihak-pihak yang nama dan jabatannya terdapat pada
bagian akhir Perjanjian Pembiayaan ("NASABAH –
PIHAK KEDUA")
atau
II............lahir di.......pada
tanggal............pekerjaan............bertempat tinggal............
pemegang Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia
Nomor........(untuk melakukan tindakan hukum dibawah ini
telah mendapat persetujuan dari Suami/istri*)..........yang
turut hadir dan menandatangani Akad ini) selanjutnya
disebut (“NASABAH”).
220
BANK dan NASABAH secara bersama-sama disebut “PARA
PIHAK” dan masing-masing disebut “PIHAK”. PARA PIHAK
terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa berdasarkan surat permohonan NASABAH
tanggal.........., NASABAH telah mengajukan
permohonan fasilitas pembiayaan produktif/modal
kerja/investasi kepada BANK dengan menggunakan
prinsip Mudharabah.
2. Bahwa BANK sebagai Pemilik Dana bersedia
memberikan pembiayaan Mudharabah kepada
NASABAH selaku Pengelola Usaha sesuai syariah dan
peraturan yang berlaku untuk membiayai usaha tertentu
NASABAH yang halal dan produktif;
3. Bahwa keuntungan dari usaha yang dibiayai tersebut
akan dibagi sesuai dengan Nisbah bagi hasil yang
disepakati Para Pihak.
4. Selanjutnya kedua belah pihak sepakat menuangkan
Akad ini dalam Akad Pembiayaan Mudharabah
(selanjutnya disebut “Akad”) dengan syarat-syarat serta
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
221
Pasal 1 DEFINISI
Dalam Akad ini, yang dimaksud dengan:
1. Akad adalah kesepakatan tertulis antara BANK
Syariah/Unit Usaha Syariah/BANK Pembiayaan Rakyat
Syariah, dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak.
2. Dokumen Agunan adalah segala macam dan bentuk
surat bukti tentang kepemilikan atau hak-hak lainnya
atas barang yang dijadikan agunan bagi terlaksananya
kewajiban NASABAH terhadap BANK berdasarkan Akad
ini.
3. Bagi Hasil (net revenue sharing) adalah bagi hasil yang
dihitung dari pendapatan setelah dikurangi Modal.
4. Bagi Untung (profit sharing) adalah bagi hasil yang
dihitung dari pendapatan setelah dikurangi Modal dan
biaya – biaya.
5. Fasilitas adalah fasilitas Pembiayaan Mudharabah
dengan plafon tertentu yang penarikannya dapat
dilakukan secara non-revolving atau revolving selama
222
masa pencairan (Availability Period) sepanjang jumlah
kelonggaran tarik masih mencukupi.
6. Cidera Janji adalah peristiwa atau peristiwa-peristiwa
sebagaimana dimaksud Pasal 8 Akad ini, yang
menyebabkan BANK dapat menghentikan seluruh atau
sebagian dari isi Akad ini, menagih seketika dan
sekaligus jumlah kewajiban NASABAH kepada BANK
sebelum jangka waktu Akad ini berakhir.
7. Hari Kerja BANK adalah hari kerja BANK Indonesia
menyelenggarakan kliring..
8. Jaminan adalah barang yang diserahkan NASABAH
kepada BANK sebagai jaminan pelaksanaan kewajiban-
kewajiban NASABAH berdasarkan Perjanjian
Pembiayaan.
9. Masa Pencairan (Availability Period) adalah maksimal
periode pencairan Pembiayaan Mudharabah yang
diperbolehkan.
10. Grace Period adalah periode waktu yang diberikan oleh
pihak BANK kepada NASABAH untuk menunda
pembayaran pengembalian modal pokok dengan jangka
223
waktu yang disepakati.
11. Kerugian Usaha adalah berkurangnya Modal dalam
menjalankan usaha yang dihitung pada periode tertentu,
yaitu dengan mengurangkan jumlah Modal pada akhir
periode dengan jumlah Modal pada awal periode.
12. Keuntungan adalah pertambahan Modal dalam
menjalankan usaha yang dihitung berdasarkan periode
tertentu, yaitu dengan mengurangkan jumlah Modal
pada akhir periode dengan Modal pada awal periode.
13. Modal adalah sejumlah dana yang disediakan oleh BANK
untuk NASABAH sesuai dengan permohonan yang
diajukan NASABAH kepada BANK untuk tujuan usaha.
14. Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara BANK
selaku pemilik dana (Shahibul maal) dan NASABAH
selaku pengelola usaha (Mudharib) dengan Nisbah bagi
hasil yang disepakati di muka.
15. Nisbah adalah perbandingan pembagian hasil usaha dari
usaha kerjasama antara NASABAH dan BANK yang
ditetapkan berdasarkan Akad ini.
224
16. Ta’addi adalah melakukan sesuatu yang tidak
boleh/tidak semestinya dilakukan.
17. Taqshir adalah tidak melakukan sesuatu yang
semestinya dilakukan.
18. Mukhalafat al-Syuruth adalah melanggar ketentuan-
ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah)
yang disepakati pihak-pihak yang berakad.
19. Surat Persetujuan Prinsip (Offering Letter) adalah
penawaran Pembiayaan Mudharabah dari BANK yang
memuat ketentuan dan syarat-syarat pembiayaan
Mudharabah yang diberikan oleh BANK yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari Akad ini.
Pasal 2 PEMBIAYAAN DAN JANGKA WAKTU FASILITAS
BANK berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
menyediakan fasilitas
1. Pembiayaan Mudharabah kepada NASABAH sampai
sejumlah Rp ……………………… (……………………… Rupiah)
secara sekaligus atau bertahap sesuai dengan
permintaan NASABAH yang semata-mata akan
225
dipergunakan untuk tujuan usaha sesuai dengan
rencana kerja yang disiapkan oleh NASABAH yang
disetujui BANK, yang dilampirkan pada dan karenanya
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari
Akad ini.
2. Jangka waktu (masa) fasilitas Pembiayaan Mudharabah
berlangsung selama ……. (………………….) bulan, terhitung
mulai tanggal penandatanganan Akad ini.
226
Pasal 3 SYARAT REALISASI PEMBIAYAAN
1. Dengan tetap memperhatikan batasan-batasan dan
ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh pihak
yang berwenang, BANK berjanji dan mengikat diri untuk
melaksanakan realisasi, setelah NASABAH memenuhi
seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. Menyerahkan kepada BANK seluruh dokumen yang
disyaratkan oleh BANK termasuk tetapi tidak
terbatas pada dokumen bukti diri NASABAH,
dokumen kepemilikan agunan, dokumen pengikatan
agunan dan atau surat lainnya yang berkaitan
dengan Akad ini, yang ditentukan dalam Surat
Persetujuan Prinsip dari BANK;
b. Menandatangani Akad ini dan perjanjian pengikatan
agunan yang disyaratkan oleh BANK;
c. Melunasi biaya-biaya yang disyaratkan oleh BANK
sebagaimana tercantum dalam Surat Persetujuan
Prinsip dan yang terkait dengan pembuatan Akad ini;
227
d. Menyerahkan kepada BANK Surat Kesanggupan
Membayar.
2. BANK memberikan tanda terima kepada NASABAH atas
penyerahan dokumen oleh NASABAH.
3. NASABAH membuka dan/atau memelihara rekening giro
atau tabungan pada BANK atas petunjuk BANK selama
NASABAH mendapat fasilitas dari BANK.
4. NASABAH dan atau Penjamin tidak termasuk dalam
Daftar Hitam (Black List) Nasional yang diterbitkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 4 PEMBAGIAN HASIL USAHA
1. NASABAH dan BANK sepakat, dan dengan ini
mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa Nisbah
Bagi Hasil untuk masing-masing pihak adalah ………%
(………. persen) untuk NASABAH dan …..% (……… persen)
untuk BANK didasarkan pada prinsip net revenue
sharing/profit sharing *)
2. NASABAH dan BANK juga sepakat, dan dengan ini saling
mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa
pelaksanaan Nisbah Bagi Hasil akan dilakukan pada
228
setiap periode dan setiap tanggal yang disepakati para
pihak.
3. BANK berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
menanggung kerugian yang timbul dalam pelaksanaan
Akad ini, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena
ketidakjujuran dan/atau kelalaian NASABAH dan/atau
pelanggaran yang dilakukan NASABAH atas syarat-
syarat sebagaimana dimaksud dalam Akad ini.
4. BANK baru akan menerima dan mengakui terjadinya
kerugian sebagaimana dimaksud ayat 3 Pasal ini, apabila
BANK telah menerima dan menilai kembali segala
perhitungan yang dibuat dan disampaikan oleh
NASABAH kepada BANK, dan BANK telah menyerahkan
hasil penilaiannya tersebut secara tertulis kepada
NASABAH.
5. NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri,
untuk menyerahkan perhitungan usaha yang dibiayai
dengan fasilitas Pembiayaan Mudharabah berdasarkan
Akad ini, secara periodik pada tiap-tiap tanggal yang
disepakati Para Pihak .
229
6. BANK berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
melakukan penilaian kembali atas perhitungan usaha
yang diajukan oleh NASABAH yang disertai data dan
bukti-bukti lengkap dari NASABAH.
7. Apabila BANK tidak menyerahkan kembali hasil
penilaian tersebut kepada NASABAH, maka BANK
dianggap secara sah telah menerima dan mengakui
perhitungan yang dibuat oleh NASABAH.
Pasal 5
PEMBAYARAN KEMBALI
1. NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri
untuk mengembalikan kepada BANK, seluruh jumlah
pembiayaan pokok dan membayar bagian keuntungan
yang menjadi hak BANK sesuai dengan Nisbah
sebagaimana dimaksud Pasal 4 Akad ini atau menurut
jadwal pembayaran sebagaimana ditetapkan pada
lampiran yang dilekatkan pada dan karenanya menjadi
satu kesatuan yang tak terpisahkan dari Akad ini.*)
2. Apabila NASABAH membayar kembali atau melunasi
pembiayaan yang diberikan oleh BANK lebih awal dari
230
waktu yang diperjanjikan, maka tidak berarti
pembayaran tersebut akan menghapuskan atau
mengurangi bagian dari keuntungan yang menjadi hak
BANK sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Akad
ini.
3. Setiap pembayaran atas kewajiban NASABAH, wajib
dilakukan NASABAH pada hari dan jam kas di kantor
BANK atau tempat lain yang ditunjuk oleh BANK dan
dibayarkan melalui rekening yang dibuka oleh dan atas
nama NASABAH pada BANK, sehingga dalam hal
pembayaran diterima oleh BANK setelah jam kerja
BANK, maka pembayaran tersebut akan dibukukan pada
keesokan harinya dan apabila hari tersebut bukan Hari
Kerja BANK, pembukuan akan dilakukan pada Hari Kerja
BANK yang pertama setelah pembayaran diterima.
4. Bila tanggal jatuh tempo atau saat pembayaran
angsuran jatuh tidak pada Hari Kerja BANK, maka
NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri
untuk menyediakan dana atau melakukan pembayaran
kepada BANK pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya.
231
5. Dalam hal pembayaran dilakukan melalui rekening
NASABAH di BANK, maka dengan ini NASABAH
memberi kuasa yang tidak dapat berakhir karena sebab-
sebab apapun termasuk tetapi tidak terbatas pada
sebab-sebab yang ditentukan dalam pasal 1813 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk mendebet
rekening NASABAH dari waktu ke waktu guna
pembayaran seluruh kewajiban yang timbul sehubungan
dengan kewajiban Mudharabah.
6. Catatan/administrasi BANK merupakan bukti sah dan
mengikat terhadap NASABAH mengenai transaksi
NASABAH dengan BANK, termasuk tetapi tidak terbatas
pada jumlah kewajiban pokok, denda dan biaya-biaya
lain-lain yang mungkin timbul karena fasilitas yang
diberikan oleh BANK kepada NASABAH dan wajib
dibayar oleh NASABAH kepada BANK, demikian tanpa
mengurangi hak NASABAH untuk setelah membayar
seluruh kewajiban meminta pembayaran kembali dari
BANK atas jumlah yang ternyata kelebihan dibayar (jika
ada) oleh NASABAH kepada BANK. Untuk kelebihan
232
pembayaran tersebut NASABAH tidak berhak meminta
ganti rugi apapun dari BANK.
Pasal 6 BIAYA, POTONGAN DAN PAJAK-PAJAK
1. NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri
untuk menanggung dan membayar biaya-biaya berupa
antara lain:
a. Biaya Administrasi yang telah ditetapkan
berdasarkan standar acuan BANK yang terlepas dari
besarnya jumlah pembiayaan dan harus dibayarkan
pada saat akad ditandatangani; dan
b. Biaya-biaya lain yang timbul berkenaan dengan
pelaksanaan Akad termasuk tetapi tidak terbatas
pada biaya Notaris/PPAT, premi asuransi, dan biaya
pengikatan jaminan sepanjang hal itu diberitahukan
BANK kepada NASABAH sebelum ditandatanganinya
Akad ini, dan NASABAH menyatakan
persetujuannya.;
233
2. Dalam hal NASABAH cidera janji sehingga BANK perlu
menggunakan jasa Penasihat Hukum untuk menagihnya,
maka NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan
diri untuk membayar seluruh biaya jasa Penasihat
Hukum, jasa penagihan dan jasa-jasa lainnya sepanjang
hal itu dapat dibuktikan secara sah menurut hukum.
3. Setiap pembayaran/pelunasan kewajiban sehubungan
dengan Akad ini dan/atau akad lain yang terkait dengan
Akad ini, dilakukan oleh NASABAH kepada BANK tanpa
potongan, pungutan, bea, pajak dan/atau biaya-biaya
lainnya, kecuali jika potongan tersebut diharuskan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri
untuk membayar melalui BANK, setiap potongan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Segala pajak yang timbul sehubungan dengan Akad ini
merupakan tanggungan dan wajib dibayar oleh
NASABAH, kecuali Pajak Penghasilan BANK.
234
6. Dalam hal NASABAH terlambat membayar kewajiban
dari jadwal yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Akad ini, maka BANK membebankan
dan NASABAH setuju membayar denda (ta’zir) atas
keterlambatan tersebut sebesar Rp. ................
(............................ Rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan atas pembayaran kewajiban bagi
NASABAH.
7. Dana dari denda atas keterlambatan yang diterima oleh
BANK akan diperuntukkan sebagai dana sosial.
Pasal 7
LARANGAN BAGI NASABAH
NASABAH tidak boleh melakukan satu atau lebih hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal ini terkait
objek yang dibiayai oleh BANK dalam akad ini kecuali telah
mendapatkan persetujuan tertulis lebih dahulu dari BANK :
1. Memperoleh pinjaman/pembiayaan lain dari pihak
ketiga yang dapat mengurangi kemampuan NASABAH
untuk membayar kewajiban kepada pihak BANK;
235
2. Menjaminkan/menjual/memindahtangankan/menyewa
kan seluruh atau sebagian harta kekayaan NASABAH
kepada pihak lain;
3. Menjual saham-sahamnya kepada pihak ketiga (apabila
NASABAH berbentuk Badan Usaha) atau membeli
saham-saham perusahaan lain;
4. Melakukan diversifikasi usaha atau mengubah maksud
dan tujuan usaha
5. Melakukan merger, konsolidasi, akuisisi, atau
restrukturisasi perusahaan (apabila NASABAH
berbentuk badan usaha).
6. Mengubah Anggaran Dasar perusahaan atau mengubah
susunan pengurus (termasuk komisaris) atau perubahan
pendiri perseroan/perusahaan NASABAH (apabila
NASABAH berbentuk badan usaha).
7. Membayarkan dividen atau kewajiban lain kepada para
pendiri /persero perusahaan NASABAH (apabila
NASABAH berbentuk badan usaha).
Pasal 8 PERISTIWA CIDERA JANJI
236
Peristiwa Cidera janji apabila timbul atau terjadi salah satu
atau peristiwa yang tersebut dibawah ini :
1. Apabila keadaan keuangan NASABAH/PENJAMIN tidak
cukup untuk melunasi kewajibannya kepada BANK
karena kesengajaan atau kelalaiannya.
2. Atas harta benda NASABAH /PENJAMIN baik sebagian
atau seluruhnya yang diagunkan atau tidak diagunkan
kepada BANK diletakkan sita jaminan (conservatoir
beslag) atau sita eksekusi (executorial beslag) oleh pihak
ketiga.
3. Jika NASABAH/PENJAMIN masuk dalam daftar kredit
macet dan/atau daftar hitam (blacklist) yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
4. NASABAH/PENJAMIN memberi keterangan, baik lisan
atau tertulis, yang tidak benar dalam arti materiil
tentang keadaan atau kekayaannya, penghasilan,
barang jaminan, dan segala keterangan atau dokumen
yang diberikan kepada BANK sehubungan kewajiban
NASABAH kepada BANK atau jika NASABAH
menyerahkan tanda bukti penerimaan uang dan atau
237
surat pemindahbukuan yang ditandatangani olehpihak-
pihak yang tidak berwenang untuk menandatanganinya
sehingga tanda bukti penerimaan atau surat
pemindahbukuan tersebut tidak sah.
5. NASABAH lalai memenuhi kewajibannya kepada BANK
berdasarkan akad ini setelah diberikan surat peringatan
oleh pihak BANK.
6. NASABAH sebelum atau sesudah fasilitas pembiayaan
yang diberikan oleh pihak BANK, juga mempunyai
kewajiban kepada pihak ketiga dan hal yang demikian
tidak diberitahukan kepada BANK baik sebelum fasilitas
diberikan atau sebelum pembiayaan lain diperoleh.
7. NASABAH/PENJAMIN meninggal dunia dan atau
dibubarkan/bubar (apabila NASABAH adalah suatu
badan usaha berbadan hukum atau bukan badan
hukum), meninggalkan tempat tinggalnya atau pergi ke
tempat yang tidak diketahui untuk waktu lebih dari 2
(dua) bulan dan tidak menentu, melakukan atau terlibat
dalam suatu perbuatan atau peristiwa yang menurut
pertimbangan BANK dapat membahayakan pemberi
238
fasilitas pembiayaan, ditangkap pihak yang berwajib,
atau dijatuhi hukuman penjara.
8. Terjadi peristiwa apapun yang menurut pendapat BANK
akan dapat mengakibatkan NASABAH atau PENJAMIN
tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada BANK
kecuali terhadap peristiwa force majeure yang dapat
dibuktikan oleh pihak NASABAH dan atau PENJAMIN
sebagaimana diatur dalam Pasal 10.
Pasal 9
AKIBAT CIDERA JANJI
Apabila terjadi satu atau lebih peristiwa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8, maka dengan mengesampingkan
ketentuan dalam Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, BANK berhak untuk :
1. Penanganan Cidera janji yang dilakukan oleh NASABAH
wajib dilakukan terlebih dahulu melalui surat
peringatan atau somasi sebagaimana diatur dalam
pasal 1238 KUHPerdata. Jika Cidera janji terjadi terjadi
karena kondisi keuangan NASABAH, maka BANK
239
dianjurkan untuk memberikan perpanjangan atau
kelonggaran waktu sesuai dengan kesepakatan.
2. Menghentikan jangka waktu pemenuhan kewajiban
BANK yang ditentukan dalam akad ini dan selanjutnya
meminta NASABAH untuk membayar seluruh kewajiban
kepada BANK berdasarkan akad ini, atau
Pasal 10
FORCE MAJEURE
1. Force Majeure yaitu peristiwa-peristiwa yang disebabkan
oleh bencana alam, kerusuhan, huru-hara,
pemberontakan, epidemi, sabotase, peperangan,
pemogokan, kebijakan pemerintah atau sebab lain diluar
kekuasaan NASABAH dan BANK.
2. Dalam hal terjadi Force Majeure, maka Pihak yang
terkena akibat langsung dari Force Majeure tersebut
wajib memberitahukan secara tertulis dengan
melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/Instansi yang
berwenang kepada Pihak lainnya mengenai peristiwa
Force Majeure tersebut dalam waktu selambat-
240
lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal Force Majeure ditetapkan.
3. Keterlambatan atau kelalaian Para Pihak untuk
memberitahukan adanya Force Majeure tersebut
mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut
sebagai Force Majeure oleh Pihak lain
4. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul akibat
terjadinya Force Majeure akan diselesaikan oleh
NASABAH dan BANK secara musyawarah untuk mufakat.
Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak BANK
sebagaimana diatur dalam Akad ini.
Pasal 11
PERNYATAAN DAN JAMINAN NASABAH
NASABAH dengan ini menyatakan mengakui dan menjamin
dengan sebenarnya, dan tidak lain dari yang sebenarnya,
bahwa:
1. NASABAH berhak dan berwenang sepenuhnya untuk
menandatangani Akad ini dan semua surat dokumen
yang menjadi kelengkapannya serta berhak pula untuk
menjalankan usaha tersebut dalam Akad ini.
241
2. Dalam hal NASABAH berbentuk Badan Hukum,
NASABAH menjamin, bahwa segala surat dan dokumen
serta akta yang NASABAH tanda-tangani dan/atau
gunakan berkaitan dengan Akad ini adalah benar,
keberadaannya sah, tindakan NASABAH tidak melanggar
atau bertentangan dengan Anggaran Dasar perusahaan
NASABAH.
3. Dalam hal NASABAH berbentuk Badan Hukum,
NASABAH menyatakan, bahwa pada saat
penandatanganan Akad ini para anggota Direksi dan
anggota Komisaris perusahaan NASABAH telah
mengetahui dan menyetujui hal-hal yang dilakukan
NASABAH berkaitan dengan Akad ini.
4. Selama berlangsungnya masa Akad ini, NASABAH akan
menjaga semua perizinan, lisensi, persetujuan dan
sertifikat yang wajib dimiliki untuk melaksanakan
usahanya.
5. Diadakannya Akad ini dan/atau Akad tambahan
(Addendum) Akad ini tidak akan bertentangan dengan
242
suatu Akad yang telah ada atau yang akan
diadakan oleh NASABAH dengan pihak ketiga lainnya.
6. Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, NASABAH berjanji
dan dengan ini mengikatkan diri mendahulukan untuk
membayar dan melunasi kewajiban NASABAH kepada
BANK dari kewajiban lainnya.
7. NASABAH dengan kesadarannya sendiri bersedia
mengembalikan seluruh Modal kepada BANK.
8. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan ayat 1, 2 dan atau
3 Pasal ini, NASABAH berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk membebaskan BANK dari segala
tuntutan atau gugatan yang datang dari pihak mana pun
dan/atau atas alasan apa pun.
Pasal 12
BERAKHIRNYA PERJANJIAN
1. Menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam
perjanjian ini, maka BANK berhak sewaktu sewaktu
untuk mengakhiri/menghentikan Perjanjian ini terkait
pemasokan Fasilitas Pembiayaan Mudharabah sebelum
243
berakhirnya jangka waktu, yakni dengan terlebih dahulu
mengirimkan surat pemberitahuan mengenai hal
tersebut kepada NASABAH 7 (tujuh) Hari Kerja sebelum
tanggal dihentikannya/diakhirinya fasilitas Pembiayaan
Mudharabah apabila dikemudian hari terdapat
peraturan/kebijakan Otoritas Jasa Keuangan, perubahan
gejolak moneter baik di dalam maupun di luar negeri
atau sebab lain yang mengakibatkan terganggunya
kondisi keuangan /kemampuan BANK.
2. Apabila setelah pengakhiran penghentian perjanjian ini
sesuai pasal 20 ayat 1 terdapat kewajiban NASABAH
yang belum dibayar kepada BANK maka NASABAH wajib
melunasi kewajiban tersebut.
Pasal 13
PILIHAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA
1. Para phak sepakat menundukkan diri terhadap
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia
2. Apabila kemudian hari terjadi perselisihan dalam
penafsiran atau pelaksanaan ketentuan-ketentuan dari
244
akad ini, maka para pihak sepakat untuk terlebih dahulu
menyelesaikan secara musyawarah.
3. Bilamana musyawarah sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 pasal ini tidak menghasilkan kata sepakat
mengenai penyelesaian perselisihan, maka semua
sengketa yang timbul dari akad ini akan diselesaikan
melalui Pengadilan Agama.
Pasal 14
PENGAWASAN & PEMERIKSAAN
BANK dan atau Kuasa yang ditunjuk oleh BANK berhak
untuk memeriksa pembukuan NASABAH dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan fasilitas yang diterima oleh
NASABAH dari BANK secara langsung atau tidak langsung
dan atau melakukan tindakan-tindakan lain untuk
mengamankan kepentingan BANK.
Pasal 15
KORESPONDENSI
1. Semua surat menyurat atau pemberitahuan-
pemberitahuan yang harus dikirim oleh masing-masing
245
pihak kepada pihak lain dalam akad ini mengenai atau
sehubungan dengan akad ini, dilakukan dengan pos
“tercatat” atau melalui perusahaaan ekspedisi (kurir) ke
alamat- alamat yang tersebut dibawah ini :
a. BANK
1) Nama :
PT...........................................................................
...................
2) Alamat:
...............................................................................
...................
3) Telp/Fax:................................................................
................................
b. NASABAH
1) Nama :
PT...........................................................................
...................
2) Alamat:
...............................................................................
...................
246
3) Telp/Fax:................................................................
................................
2. Surat menyurat atau pemberitahuan-pemberitahuan
dianggap telah diterima berdasarkan bukti pengiriman
pos tercatat atau bukti penerimaan yang ditanda
tangani oleh pihak-pihak yang berhak mewakili BANK
atau NASABAH.
Dalam hal terjadi perubahan alamat dari alamat
tersebut diatas atau alamat terakhir yang tercatat pada
masing-masing pihak, maka perubahan tersebut harus
diberitahukan secara tertulis kepada pihak lain dalam
akad ini selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sebelum
terjadinya perubahan alamat yang dimaksud. Jika
perubahan alamat tersebut tidak diberitahukan, maka
surat menyurat atau pemberitahuan berdasarkan akad
ini dianggap sah telah diberikan sebagimana mestinya
dengan dikirimkannya surat atau pemberitahuan itu
dengan pos “tercatat” atau melalui perusahaan
ekspedisi atau kurir yang ditujukan ke alamat tersebut
247
di atas atau alamat terakhir yang diketahui/tercatat
pada masing-masing pihak.
Pasal 16
ADDENDUM
1. Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup
diatur dalam akad ini, maka NASABAH dan BANK akan
mengaturnya bersama secara musyawarah untuk
mufakat dalam suatu addendum.
2. Tiap addendum dari akad ini (jika ada) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari akad ini.
Pasal 17
LAIN-LAIN
Lampiran-lampiran dalam akad ini (jika ada) merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari akad ini.
Pasal 18
PENUTUP
248
1. Surat akad ini dibuat dan ditanda tangani oleh BANK dan
NASABAH diatas kertas yang bermaterai cukup dalam
rangkap 2 (dua) yang masing-masing berlaku sebagai
aslinya bagi kepentingan masing-masing pihak.
2. Akad pembiayaan mudharabah ini telahsesuai dengan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
BANK NASABAH
(...................................)
(...................................)
249
Lampiran 2. Contoh Akta Jaminan
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :
Alamat :
Nomor KTP :
dengan ini menyatakan bahwa sehubungan dengan
Akad Pembiayaan Mudharabah Nomor.............. atas
nama......tanggal........, atas modal yang diberikan oleh
pemilik modal (PT Bank _________________) kepada saya
dan/atau atas bagian keuntungan milik BANK yang
telah terealisasi namun belum dibayarkan, maka saya
dengan ini menjamin pengembalian modal dan
pembayaran bagian keuntungan milik bank yang
terealisasi namun belum dibayarkan.
Terkait dengan hal tersebut, saya menyatakan untuk
memberikan jaminan kepada PT Bank _________________
sebagai berikut:
1. ……………………………….
2. ………………………………, dst.
atas jaminan tersebut di atas (untuk tanah dan
bangunan/ benda tidak bergerak), saya bersedia untuk
dibebankan Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Demikian Akta Jaminan ini saya buat, dengan penuh
kesadaran dan itikad baik tanpa ada paksaan dari pihak
manapun untuk dapat dipergunakan sebagaimana
250
mestinya. Akta jaminan ini merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari akad perjanjian mudharabah
Nomor.....tanggal....atas nama......
Jakarta, __________________________
Nasabah,
MATERAI
( Nama Nasabah )
251
Lampiran 3. Metode Penentuan Nisbah Bagi Hasil
dan Jadwal Angsuran Pembiayaan
Secara umum, proses penentuan nisbah bagi hasil dapat
dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Membuat proyeksi pendapatan Nasabah, yang di dalam
prosesnya mengakomodir perhitungan analisa kelayakan
usaha dan potensi pergerakan pendapatan usaha
Nasabah.
2. Menentukan kebutuhan pembiayaan Nasabah
3. Menentukan Expectation Bank Rate (EBR)
4. Nisbah dapat berupa single nisbah ataupun multi nisbah
Berikut adalah beberapa metode perhitungan dalam
menentukan perhitungan nisbah bagi hasil dan jadwal
angsuran pembiayaan dengan rincian sebagai berikut:
1. Metode Perhitungan Alternatif 1
Metode perhitungan alternatif pertama (1) ini adalah
metode angsuran pembiayaan dimana Nasabah
membayarkan angsuran pokok dan angsuran bagi hasil
252
kepada Bank Syariah di akhir periode kontrak yang
disepakati. Metode angsuran ini sesuai dengan metode
klasik mudharabah, dimana seoarang mudharib atau
pengelola modal mengembalikan modal dan membayarkan
bagi hasil kepada shahibul maal atau pemilik dana pada
periode akhir kontrak.
a. Case Financing
PT. Berkah Sejahtera adalah sebuah perusahaan swasta
yang bergerak di bidang konveksi, Dalam rangka menambah
modal kerja, maka PT. Berkah Sejahtera melalui pemiliknya
mengajukan proposal pembiayaan modal kerja kepada Bank
Syariah PRS. Pada pertemuan yang dihadiri kedua belah
pihak, Officer Bank Syariah PRS menjelaskan mengenai
produk-produk pembiayaan modal kerja yang dimiliki Bank
Syariah PRS. Ia kemudian menyarankan produk pembiayaan
yang tepat kepada pemilik PT. Berkah Sejahtera sesuai
dengan profil usaha dan pembiayaan yang diajukan.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bank Syariah PRS
dengan seksama, pemilik PT. Berkah Sejahtera kemudian
memilih produk pembiayaan modal kerja dengan prinsip
253
akad mudharabah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan
perusahaannya. Dikarenakan profil usaha PT. Barokah
Berkah Sejahtera bergerak di bidang konveksi, maka
perusahaan tersebut baru dapat membukukan pendapatan
di akhir periode. Berdasarkan hal tersebut, pemilik PT.
Berkah Sejahtera dan Bank Syariah PRS melakukan
kesepakatan bahwa angsuran pokok pembiayaan dan
angsuran bagi hasil dibayarkan pada akhir periode kontrak
yaitu pada bulan ke-12.
Nisbah bagi hasil yang disepakati antara Nasabah dengan
Bank Syariah PRS disusun sesuai dengan proyeksi
pendapatan Nasabah.
Bank Syariah PRS kemudian membuat ilustrasi pengajuan
pembiayaan yang diajukan oleh PT. Berkah Sejahtera
dengan rincian sebagai berikut:
a. Jangka Waktu Kerjasama 12 Bulan
b. Kebutuhan Modal Rp.400 Juta
c. Modal Nasabah 0
d. Pembiayaan Bank 100% Rp.400 Juta
: :
:
: :
:
254
e. Proyeksi Pendapatan Rp.3,6
Milliar/tahun
f. Expecation Bank Rate (EBR) 17% per tahun
g. Nisbah Bank 1,89%
h. Nisbah Nasabah 98,11
i. Nisbah Bagi Hasil Bank : Nasabah 1,89% : 98,11%
b. Rumus penghitungan proyeksi Angsuran Bagi Hasil:
Proyeksi Angsuran Bagi Hasil = Sisa Pokok Angsuran x EBR
Proyeksi Nisbah Bagi Hasil Bank = Proyeksi Angs. Bagi Hasil / Proyeksi Pendapatan Nasabah
Realisasi Angsuran Bagi Hasil Bank = Nisbah Bagi Hasil / Realisasi Pendapatan Nasabah
c. Tabel Proyeksi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun oleh Bank Syariah menggunakan Metode
Perhitungan Alternatif Pertama (1).
:
:
: : :
:
255
Tabel 1. Proyeksi Angsuran Pembiayaan Mudharabah Dengan Metode Perhitungan Alternatif 1
256
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Bank Syariah PRS telah
melakukan stress test, dimana di dapatkan bahwa
pendapatan Nasabah yang ideal sebesar Rp.3,6 milliar per
tahun. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, Bank
Syariah memberikan grace period kepada Nasabah untuk
angsuran pokok pembiayaan dan angsuran bagi hasil yang
dibayarkan pada akhir periode kontrak, yaitu pada bulan ke-
12. Nisbah yang disepakati untuk Bank dan Nasabah adalah
sebesar 1,89% dan 98,11%.
Ketika Nasabah membukukan pendapatan sebesar Rp.3,6
Milliar pada akhir periode kontrak, maka Nasabah
membayarkan angsuran pokok pembiayaan sebesar Rp.400
Juta disertai angsuran bagi hasil untuk Bank sebesar 1,89%
dari pendapatan Nasabah yaitu sejumlah Rp.68 Juta.
d. Tabel Realisasi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun Bank Syariah menggunakan metode perhitungan
perhitungan alternatif 1.
257
Tabel 2. Realisasi Angsuran Pembiayaan Mudharabah
Dengan Metode Perhitungan Alternatif 1.
258
Pada Tabel 2, terlihat bahwa pendapatan Nasabah lebih
tinggi dari Tabel Proyeksi pendapatan, dimana Nasabah
membukukan pendapatan sebesar Rp.4 Milliar. Nisbah bagi
hasil yang disepakati untuk Bank Syariah PRS adalah sebesar
1,89% , dikarenakan pendapatan Nasabah yang lebih besar
dari proyeksi mengakibatkan angsuran bagi hasil yang
diterima oleh Bank Syariah PRS juga lebih tinggi dibanding
proyeksi angsuran bagi hasil yaitu sebesar Rp.75 Juta dari
proyeksi sebelumnya Rp.68 Juta.
Dalam metode perhitungan ini, prosentase nisbah bagi hasil
untuk Bank tidak boleh berubah antara yang terdapat di
dalam tabel proyeksi dengan yang terdapat di dalam tabel
realisasi. Dalam mengakui bagi hasil yang didapatkan, maka
Bank Syariah mengacu pada Peraturan OJK Nomor 16 Tahun
2014 yang mengatur mengenai Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yaitu:
a. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih besar dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
259
b. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih kecil dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka hanya dapat diambil
sebesar nilai RBH.
c. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) sama dengan nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
2. Metode Perhitungan Alternatif 2
Metode Perhitungan Alternatif Kedua (2) adalah metode
angsuran pembiayaan dimana Nasabah membayarkan
angsuran pokok pada termin yang disepakati dengan pihak
Bank. Hal ini dikarenakan profil usaha Nasabah pembiayaan
tersebut pendapatannya tidak dalam siklus bulanan, akan
tetapi sesuai termin/progres hasil pekerjaan. Sebagaimana
digambarkan melalui kurva berikut:
260
a. Case Financing
PT. Barokah Seqris adalah sebuah perusahaan swasta
nasional yang bergerak di bidang konstruksi bangunan,
perusahaan ini memenangkan sebuah tender pembangunan
gedung perkantoran di daerah Bandung. Dalam rangka
menambah modal kerja dalam pengerjaan gedung
perkantoran tersebut, maka PT. Barokah Seqris melalui
Direktur Bisnisnya mengajukan proposal pembiayaan modal
kerja kepada Bank Syariah MNO. Pada pertemuan yang
dihadiri kedua belah pihak, Officer Bank Syariah MNO
menjelaskan mengenai produk-produk pembiayaan modal
kerja yang dimiliki Bank Syariah MNO. Ia kemudian
menyarankan produk pembiayaan yang tepat kepada
Angsuran Pokok
Total Angsuran
Angsuran Bagi Hasil
261
Direktur Bisnis PT. Barokah Seqris sesuai dengan profil
usaha dan pembiayaan yang diajukan.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bank Syariah MNO
dengan seksama, Direktur Bisnis PT. Barokah Seqris
kemudian memilih produk pembiayaan modal kerja dengan
prinsip akad mudharabah untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan perusahaannya. Dikarenakan profil usaha PT.
Barokah Seqris bergerak di bidang konstruksi, maka
perusahaan tersebut baru dapat membukukan pendapatan
sesuai termin yang disepakati antara PT. Barokah Seqris dan
kliennya yang tertuang dalam SPK yakni pada bulan ke-6, 11
dan bulan ke-12. Berdasarkan hal tersebut, Direktur Bisnis
PT. Barokah Seqris dan Bank Syariah MNO melakukan
kesepakatan bahwa angsuran pokok pembiayaan
dibayarkan setiap bulan ke-6, 11 dan bulan ke-12,
sedangkan angsuran bagi hasil dibayarkan setiap bulan.
Nisbah bagi hasil yang disepakati antara Nasabah dengan
Bank Syariah MNO disusun sesuai dengan proyeksi
pendapatan Nasabah.
262
Bank Syariah MNO kemudian membuat ilustrasi pengajuan
pembiayaan yang diajukan oleh PT. Barokah Seqris dengan
rincian sebagai berikut:
a. Jangka Waktu Kerjasama 12 Bulan
b. Kebutuhan Modal Rp.400 Juta
c. Modal Nasabah 0
d. Pembiayaan Bank 100% Rp.400 Juta
e. Proyeksi Pendapatan Rp.1,23
Milliar/tahun
f. Expecation Bank Rate (EBR) 17% per tahun
g. Nisbah Bank Sesuai dengan
jadwal proyeksi pendapatan
h. Nisbah Nasabah Sesuai dengan
jadwal proyeksi pendapatan
i. Nisbah Bagi Hasil Sesuai dengan jadwal proyeksi pendapatan
b. Rumus penghitungan proyeksi Angsuran Bagi Hasil:
Realisasi Angsuran Bagi Hasil = Nisbah Bagi Hasil Bulan Ke-n/
Realisasi Pendapatan Nasabah Bulan Ke-n
c. Tabel proyeksi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun oleh Bank Syariah menggunakan Metode
Perhitungan Alternatif Kedua (2).
:
:
: :
: :
:
:
:
:
: :
263
Tabel 5. Proyeksi Angsuran Pembiayaan Mudharabah Dengan Metode Perhitungan Alternatif 2
264
Dari tabel 5 diatas dapat dilihat, pada proses angsuran
menggunakan metode ini, dari bulan ke 1 hingga bulan ke-5
Nasabah akan membayar angsuran sebesar Rp 5,666,667.
Dikarenakan profil usaha Nasabah adalah kontraktor, maka
Nasabah mendapatkan income dari usaha yang dijalankan
sesuai dengan termin yang ada di Surat Perjanjian Kerja
(SPK), yaitu pada bulan ke-6, 11 dan bulan 12. Sehingga
sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat antara Bank
dengan Nasabah, di bulan ke-6 Nasabah diproyeksikan akan
membayar angsuran pokok sejumlah Rp.200 Juta beserta
angsuran bagi hasil sejumlah Rp.5,666,667. Karena Nasabah
diproyeksikan akan melakukan pembayaran angsuran pokok
tahap pertama pada bulan ke-6, maka di bulan berikutnya
nisbah bagi hasil untuk Bank semakin kecil dikarenakan
jumlah angsuran pokok pembiayaan telah sebagian
dibayarkan, dan mengakibatkan nisbah bagi hasil untuk
Bank yang semula sebesar 18,89% menjadi 1,77%, dan
jumlah angsuran pokok yang diterima oleh Bank juga
semakin kecil dari sebelumnya Rp.5,666,667 menjadi
Rp.2,833,333.
265
Hal ini juga berlaku untuk proyeksi pembayaran angsuran
pokok pembiayaan di bulan ke-11, dimana Nasabah
diproyeksi akan melunasi angsuran pokok tersebut sebesar
Rp.150 Juta dan angsuran bagi hasil sebesar Rp.2,833,333.
Pelunasan pada tahap kedua ini juga akan mempengaruhi
angsuran bagi hasil yang terima oleh Bank selanjutnya,
dimana jumlahnya lebih kecil dibanding periode
sebelumnya, sehingga pada bulan ke-12 angsuran pokok
Nasabah tersisa sebesar Rp.50 Juta ditambah angsuran bagi
hasil sebesar Rp.708,333.
d. Tabel Realisasi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun Bank Syariah menggunakan Metode Perhitungan
Alternatif Kedua (2).
Pada tabel realisasi yang tersaji di bawah, terlihat bahwa
realisasi pendapatan Nasabah pada bulan ke-1 s/d bulan ke-
5 dan bulan ke-7 s/d bulan ke-10 jumlahnya sesuai dengan
tabel proyeksi, tetapi pada bulan ke-6 dan 11 mengalami
perubahan, dimana realisasi pendapatan Nasabah lebih
tinggi dibanding proyeksi pendapatan, sedangkan pada
bulan ke-12 realisasi pendapatan Nasabah lebih kecil
266
dibanding dengan proyeksi pendapatan. Hal tersebut
mempengaruhi pada angsuran imbal bagi hasil bulan ke-6,
11 dan bulan ke-12 yang didapatkan oleh Bank menjadi
lebih besar mengikuti realisasi pendapatan usaha Nasabah
yang lebih besar.
267
Tabel 6. Realisasi Angsuran Pembiayaan Mudharabah Dengan Metode Perhitungan Alternatif 2
268
Dalam metode perhitungan ini, prosentase nisbah bagi hasil
untuk Bank tidak boleh berubah antara yang terdapat di
dalam tabel proyeksi dengan yang terdapat di dalam tabel
realisasi. Dalam mengakui bagi hasil yang didapatkan, maka
Bank Syariah mengacu pada Peraturan OJK Nomor 16 Tahun
2014 yang mengatur mengenai Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yaitu:
a. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih besar dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
b. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih kecil dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka hanya dapat diambil
sebesar nilai RBH.
c. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) sama dengan nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
d.
3. Metode Perhitungan Alternatif 3
Metode perhitungan alternatif ketiga (3) ini adalah sebuah
metode dimana pengakuan pendapatan bagi hasil serta
269
pengembalian modal pokok pembiayaan dilakukan secara
proporsional atas jumlah pembiayaan yang diberikan.
Prinsip dari metode ini adalah, angsuran pokok dan
angsuran bagi hasil yang diterima oleh Bank setiap bulannya
tetap sesuai nisbah bagi hasil mengikuti performa usaha
yang dijalankan oleh Nasabah. Sebagaimana digambarkan
melalui kurva berikut:
Total Angsuran Angsuran Bagi Hasl Angsuran Pokok
270
a. Case Financing
Bapak Ahmar mempunyai sebuah usaha restoran Middle
East yang sedang berkembang pesat, saat ini Pak Ahmar
sedang membutuhkan modal kerja untuk mengembangkan
usaha restoran tersebut. Pak Ahmar kemudian mendatangi
Bank Syariah XYZ untuk mengajukan proposal pembiayaan
modal kerja. Setelah bertemu dengan officer terkait di Bank
Syariah XYZ tersebut, officer Bank Syariah XYZ kemudian
menjelaskan mengenai produk-produk pembiayaan modal
kerja yang dimiliki Bank dan memberikan saran produk
pembiayaan yang tepat untuk profil usaha Pak Ahmar.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bank Syariah XYZ
dengan seksama, Pak Ahmar kemudian memilih produk
pembiayaan modal kerja dengan prinsip akad mudharabah
untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan usahanya.
Bank Syariah XYZ kemudian membuat ilustrasi pengajuan
pembiayaan yang diajukan oleh Pak Ahmar dengan rincian
sebagai berikut:
:
271
a. Jangka Waktu Kerjasama 12 Bulan
b. Kebutuhan Modal Rp.400 Juta
c. Modal Nasabah 0
d. Pembiayaan Bank 100% Rp.400 Juta
e. Proyeksi Pendapatan Rp.375 Juta/bulan
f. Proyeksi Pendapatan Setelah Stress Test Rp.300 Juta
/bulan
g. Expecation Bank Rate (EBR) 17% per tahun
h. Nisbah Bank 1,89%
i. Nisbah Nasabah 100% - 1,89% =
98,11%
j. Nisbah Bagi Hasil Bank : Nasabah 1,89% : 98,11%
b. Rumus Penghitungan
Rumus Angsuran Pokok/bulan : Rumus Total Angsuran Bagi Hasil : c. Tabel Proyeksi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun oleh Bank Syariah XYZ menggunakan Metode
Perhitungan Alternatif Ketiga (3).
Dari tabel proyeksi diatas dapat dilihat bahwa Bank Syariah
XYZ melakukan mekanisme stress test pada proyeksi
pendapatan usaha Nasabah yang menjadi objek
:
:
: :
: : :
:
:
:
272
pembiayaan. Setelah dilakukan stress test dengan beberapa
faktor yang telah ditentukan oleh Bank, maka Bank
memperkirakan proyeksi pendapatan moderat atas usaha
Nasabah adalah sebanyak 80 persen dari proyeksi
pendapatan sebelum stress test yang semula berjumlah
Rp.375 Juta/bulan menjadi Rp.300 Juta/bulan. Dengan
asumsi jumlah pendapatan usaha Nasabah di tiap bulannya
tetap, maka proyeksi jumlah angsuran pokok dan angsuran
bagi hasil yang diterima oleh Bank Syariah XYZ sama di tiap
bulannya sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah
disepakati oleh pihak Bank dengan Nasabah.
273
Bulan
Proyeksi
Pendapatan
sebelum
Stress Test
Proyeksi
Pendapatan Sisa Pokok
Proyeksi
Angs. Pokok
Proyeksi
Angs. Bagi Hasil
Nisbah
Bagi Hasil Total Angsuran
Proyeksi Akumulasi
Bagi Hasil
Proyeksi Akumulasi
Pokok
1 375.000.000 300.000.000 400.000.000 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 5.666.667 33.333.333
2 375.000.000 300.000.000 366.666.667 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 11.333.333 66.666.667
3 375.000.000 300.000.000 333.333.333 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 17.000.000 100.000.000
4 375.000.000 300.000.000 300.000.000 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 22.666.667 133.333.333
5 375.000.000 300.000.000 266.666.667 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 28.333.333 166.666.667
6 375.000.000 300.000.000 233.333.333 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 34.000.000 200.000.000
7 375.000.000 300.000.000 200.000.000 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 39.666.667 233.333.333
8 375.000.000 300.000.000 166.666.667 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 45.333.333 266.666.667
9 375.000.000 300.000.000 133.333.333 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 51.000.000 300.000.000
10 375.000.000 300.000.000 100.000.000 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 56.666.667 333.333.333
11 375.000.000 300.000.000 66.666.667 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 62.333.333 366.666.667
12 375.000.000 300.000.000 33.333.333 33.333.333 5.666.667 1,89% 39.000.000 68.000.000 400.000.000
TOTAL 3.600.000.000 400.000.000 68.000.000 1,89% 468.000.000
Tingkat Imbalan
Tabel 7. Proyeksi Angsuran Pembiayaan Mudharabah Dengan Metode Perhitungan Alternatif 3.
274
d. Tabel Realisasi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun oleh Bank Syariah XYZ menggunakan Metode
Perhitungan Alternatif Ketiga (3).
dalam tabel realisasi angsuran pembiayaan di atas
menunjukkan bahwa realisasi jumlah pendapatan Nasabah
Bank Syariah XYZ tidak sama setiap bulannya. Saat proses
pembiayaan berlangsung, pendapatan usaha restoran yang
Pak Ahmar kelola mengalami peningkatan dan penurunan
dibanding proyeksi pendapatan yang disusun sebelumnya.
Pada bulan pertama restoran Pak Ahmar mampu
membukukan pendapatan sebesar Rp.375 Juta. Namun,
Bank Syariah hanya mengambil sebesar Rp 5.666.666,67
sesuai dengan proyeksi angsuran bagi hasil. Bank Syariah
tidak mengambil kelebihan pendapatan bagi hasil yang
didapat oleh Pak Ahmar. Sehingga Pak Ahmar memberikan
angsuran bagi hasil sebesar Rp 5.666.666,67 beserta
angsuran pokok sebesar Rp.33.333.333 kepada Bank Syariah
XYZ.
275
Bulan
Realisasi
Pendapatan Sisa Pokok
Realisasi
Angs. Pokok
Realisasi
Angs. Bagi Hasil
yang
seharusnya
dibayar oleh
Nasabah
Realisasi
Angs. Bagi Hasil
yang dibayar oleh
Nasabah Nisbah
Bagi Hasil Total Angsuran
1 375.000.000 400.000.000 33.333.333 7.083.333,33 5.666.666,67 1,89% 40.416.667
2 250.000.000 366.666.667 33.333.333 4.722.222,22 4.722.222,22 1,89% 38.055.556
3 300.000.000 333.333.333 33.333.333 5.666.666,67 5.666.666,67 1,89% 39.000.000
4 325.000.000 300.000.000 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
5 325.000.000 266.666.667 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
6 325.000.000 233.333.333 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
7 325.000.000 200.000.000 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
8 325.000.000 166.666.667 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
9 325.000.000 133.333.333 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
10 325.000.000 100.000.000 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
11 325.000.000 66.666.667 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
12 325.000.000 33.333.333 33.333.333 6.138.888,89 5.666.666,67 1,89% 39.472.222
TOTAL 3.850.000.000 400.000.000 72.722.222 67.055.556 1,89% 472.722.222
Tabel 8. Realisasi Angsuran Pembiayaan Mudharabah Dengan Metode Perhitungan Alternatif 3.
276
Pada bulan kedua restoran Pak Ahmar mengalami
penurunan pendapatan dikarenakan jumlah konsumen yang
menurun, sehingga hanya mampu membukukan
pendapatan sebesar Rp.250 Juta, karena hal tersebut
angsuran bagi hasil yang dibayarkan kepada Bank Syariah
XYZ juga ikut menurun yakni sebesar Rp.4.722.222 sesuai
nisbah sedangkan angsuran pokok tetap sama jumlahnya.
Memasuki bulan ketiga, restoran Pak Ahmar mengalami
peningkatan jumlah konsumen, sehingga pada bulan ketiga
ini restoran Pak Ahmar mampu membukukan pendapatan
sebesar Rp.300 Juta, kenaikan pendapatan restoran Pak
Ahmar ini mengakibatkan jumlah angsuran bagi hasil
pembiayaan kepada Bank Syariah XYZ meningkat dan sesuai
dengan proyeksi bagi hasil yakni sebesar Rp.5.666.666 serta
angsuran pokok dengan jumlah yang sama seperti jumlah
sebelumnya.
Pada bulan ke-4 hingga bulan ke-12 restoran Pak Ahmar
membukukan pendapatan yang sama pada tiap bulannya,
yaitu sebesar Rp.325 Juta seperti yang terdapat di dalam
tabel realisasi angsuran pembiayaan di atas. Sebagaimana
277
sebelumnya, Bank Syariah hanya mengambil pendapatan
bagi hasil sejumlah Rp 5.666.666,67 sesuai dengan proyeksi
angsuran bagi hasil. Bank Syariah tidak mengambil
kelebihan pendapatan bagi hasil yang didapat oleh Pak
Ahmar. Sehingga angsuran bagi hasil yang dibayarkan
kepada Bank Syariah XYZ yakni sebesar Rp 5.666.666,67
sesuai nisbah beserta angsuran pokok.
Dalam mengakui bagi hasil yang didapatkan, maka Bank
Syariah mengacu pada Peraturan OJK Nomor 16 Tahun 2014
yang mengatur mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yaitu:
a. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih besar dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
b. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih kecil dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka hanya dapat diambil
sebesar nilai RBH.
278
c. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) sama dengan nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH
Dari ilustrasi pembiayaan di atas dapat dilihat bahwa
melalui metode perhitungan ini Bank Syariah dapat
menetapkan jumlah angsuran pokok yang sama jumlahnya
di setiap bulan sepanjang jangka waktu pembiayaan,
kemudian setelah nisbah bagi hasil disepakati, jumlah
angsuran bagi hasil yang diterima oleh Bank Syariah dapat
bervariatif, dimana di satu periode dapat meningkat dan
dapat menurun di periode lainnya sesuai performa usaha
Nasabah.
4. Metode Perhitungan Alternatif 4
Pada perhitungan bagi hasil menggunakan metode
perhitungan alternatif keempat (4), total angsuran
berjumlah tetap setiap bulan hingga akhir jangka waktu
pembiayaan. Total angsuran ini terdiri dari porsi angsuran
pokok dan porsi angsuran bagi hasil. Porsi angsuran
pokok/bulan akan meningkat, sedangkan porsi bagi
279
hasil/bulan akan menurun. Sebagaimana digambarkan
melalui kurva berikut:
a. Case Financing
“Peternakan Ayam Sukses” mengajukan fasilitas
pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah kepada
Bank Syariah ABC sejumlah Rp.400 Juta. “Peternakan Ayam
Sukses” ingin mengembangkan usahanya untuk
menyalurkan daging ayam potong dan telur kepada
Restoran Fast Food. Proyeksi pendapatan Nasabah Rp
375.000.000,-/bulan atau Rp 3,6 Miliar/tahun. Jangka waktu
pembiayaan selama 12 bulan. Sesuai kesepakatan, Nasabah
Total angsuran
angsuran pokok
angsuran bagi hasil
280
akan membayar angsuran pokok pembiayaan mudharabah
setiap bulan hingga akhir jangka waktu pembiyaan.
Bank Syariah ABC kemudian membuat ilustrasi pengajuan
pembiayaan yang diajukan oleh Pengusaha “Peternakan
Ayam Sukses” dengan rincian sebagai berikut:
a. Jangka Waktu Kerjasama : 12 Bulan
b. Kebutuhan Modal : Rp.400 Juta
c. Modal Nasabah : 0
d. Pembiayaan Bank 100% : Rp.400 Juta
e. Proyeksi Pendapatan : Rp.3,6 Milliar/tahun
f. Expecation Bank Rate (EBR) : 17% per tahun
g. Nisbah Bank : Sesuai nisbah bagi hasil pada
jadwal angsuran tabel proyek si
h. Nisbah Nasabah : Sesuai nisbah bagi hasil pada
jadwal angsuran tabel proyeksi
i. Nisbah Bagi Hasil : Sesuai nisbah bagi hasil pada
jadwal angsuran tabel proyeksi
b. Rumus Perhitungan
Rumus untuk menghitung proyeksi total angsuran setiap bulan:
Keterangan: i : EBR/12 t: jangka waktu pembiayaan
281
Dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel, berikut bentuk rumus yang digunakan untuk mendapatkan jumlah angsuran setiap bulan:
Dengan menggunakan rumus diatas, didapatkan proyeksi jumlah angsuran Nasabah Pengusaha “Peternakan Ayam Sukses” kepada Bank Syariah setiap bulan sebesar Rp 36.481.901,-.
Untuk mencari persentase Nisbah Bank, Bank Syariah ABC terlebih dahulu mencari proyeksi angsuran bagi hasil, menggunakan rumus dibawah ini
c. Tabel Proyeksi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun oleh Bank Syariah ABC menggunakan Metode
Perhitungan Alternatif Keempat (4).
Dari tabel proyeksi diatas dapat dilihat bahwa Bank Syariah
ABC melakukan mekanisme stress test pada proyeksi
282
pendapatan usaha Nasabah yang menjadi objek
pembiayaan. Setelah dilakukan stress test dengan beberapa
faktor yang telah ditentukan oleh Bank, maka Bank
memperkirakan proyeksi pendapatan moderat atas usaha
Nasabah adalah sebanyak 80 persen dari proyeksi
pendapatan sebelum stress test dari sebelumnya Rp.375
Juta/bulan menjadi Rp.300 Juta/bulan.
Proyeksi Total Angsuran Setiap Bulan :
Rp 36.481.901,-
Proyeksi Angsuran Bagi Hasil di bulan ke-1 :
Rp 5.666.666,-
Nisbah Bagi Hasil Bulan ke-1 :
1,89%
Proyeksi Angsuran Pokok di bulan ke-1 :
Rp 30.815.234,-
Dengan asumsi jumlah pendapatan usaha Nasabah di tiap
bulannya tetap, maka proyeksi total angsuran pokok dan
angsuran bagi hasil yang dibayarkan Nasabah kepada Bank
Syariah ABC sama di tiap bulannya. Sebagaimana yang telah
283
dijelaskan sebelumnya, dengan metode perhitungan ini,
porsi angsuran pokok/bulan akan meningkat, sedangkan
porsi bagi hasil/bulan akan menurun. Sisa pokok akan
berkurang setiap bulannya, seiring dengan telah
dibayarkannya angsuran pokok oleh Nasabah kepada Bank
Syariah.
Pada bulan ke-2 total pokok Rp 400.000.000,- dikurangi
angsuran pokok bulan ke-1 Rp 30.815.234, sehingga sisa
pokok diproyeksikan menjadi Rp 369.184.766,-. Perubahan
sisa pokok tentunya akan mempengaruhi proyeksi Nisbah
Bagi Hasil yang didapatkan oleh Bank di bulan selanjutnya
(Lihat Rumus Proyeksi Angsuran Bagi Hasil).
284
Tabel 9. Proyeksi Angsuran Pembiayaan Mudharabah
Dengan Metode Perhitungan Alternatif 4
Bulan
Proyeksi
Pendapatan
sebelum
Stress Test
Proyeksi
PendapatanSisa Pokok
Proyeksi
Angs. Pokok
Proyeksi
Angs. Bagi Hasil
Nisbah Bagi
Hasil
Proyeksi
Total Angsuran
1 375.000.000 300.000.000 400.000.000 30.815.234 5.666.666,7 1,89% 36.481.901
2 375.000.000 300.000.000 369.184.766 31.251.783 5.230.118 1,74% 36.481.901
3 375.000.000 300.000.000 337.932.983 31.694.517 4.787.384 1,60% 36.481.901
4 375.000.000 300.000.000 306.238.466 32.143.523 4.338.378 1,45% 36.481.901
5 375.000.000 300.000.000 274.094.943 32.598.889 3.883.012 1,29% 36.481.901
6 375.000.000 300.000.000 241.496.054 33.060.707 3.421.194 1,14% 36.481.901
7 375.000.000 300.000.000 208.435.347 33.529.067 2.952.834 0,98% 36.481.901
8 375.000.000 300.000.000 174.906.280 34.004.062 2.477.839 0,83% 36.481.901
9 375.000.000 300.000.000 140.902.219 34.485.786 1.996.115 0,67% 36.481.901
10 375.000.000 300.000.000 106.416.432 34.974.335 1.507.566 0,50% 36.481.901
11 375.000.000 300.000.000 71.442.098 35.469.804 1.012.096 0,34% 36.481.901
12 375.000.000 300.000.000 35.972.293 35.972.293 509.607 0,17% 36.481.901
TOTAL 3.600.000.000 400.000.000 37.782.810 1,05% 437.782.810
285
d. Tabel Realisasi angsuran pembiayaan mudharabah yang
disusun oleh Bank Syariah ABC menggunakan Metode
Perhitungan Alternatif Keempat (4).
Setelah pembiayaan disalurkan dari Bank Syariah ABC
kepada pengusaha “Peternakan Ayam Sukses”, peternakan
tersebut dapat melakukan ekspansi serta menyalurkan
daging ayam potong serta telur ke Restoran Fast Food. Dari
bulan ke-1 s.d. bulan ke-10, “Peternakan Ayam Sukses”
mampu membukukan pendapatan sebesar Rp 360.000.000,-
. Sesuai dengan margin bagi hasil pada tabel proyeksi yang
telah disusun oleh Bank Syariah ABC (lihat tabel 5), Nisbah
Bagi Hasil yang diterima oleh Bank Syariah ABC ialah 1,89%
atau sebesar Rp 6.800.000,-. Namun, Bank Syariah ABC
hanya mengambil sebesar Rp 5.666.666,67 atau sebesar
Proyeksi Angsuran Bagi Hasil (lihat tabel 5) dan tidak
mengambil kelebihan pendapatan bagi hasil “Peternakan
Ayam Sukses”.
Distribusi daging ayam potong dan telur dari “Peternakan
Ayam Sukses” ke Restoran Fast Food berjalan dengan baik
286
selama 10 bulan. Di bulan ke-11 dan ke-12, Restoran Fast
Food mengalami penurunan penjualan, sehingga
berdampak pada jumlah permintaan daging ayam potong
dan telur. Realisasi Pendapatan Nasabah menurun,
meskipun masih diatas Proyeksi Pendapatan yang
diproyeksikan oleh Bank Syariah ABC yaitu sebesar Rp
325.000.000,- di bulan ke-11 dan Rp 305.000.000,- di bulan
ke-12. Sebagaimana sebelumnya, Bank Syariah ABC hanya
mengambil pendapatan bagi hasil sesuai proyeksi Bank
Syariah ABC, yaitu sebesar Rp 1.012.096,39 di bulan ke-11
dan Rp 509.607,49 di bulan ke-12.
Dalam mengakui bagi hasil yang didapatkan, maka Bank
Syariah mengacu pada Peraturan OJK Nomor 16 Tahun 2014
yang mengatur mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yaitu:
a. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih besar dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
287
b. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) lebih kecil dari nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka hanya dapat diambil
sebesar nilai RBH.
c. Jika nilai Realisasi Bagi Hasil (RBH) sama dengan nilai
Proyeksi Bagi Hasil (PBH), maka dapat diambil sebesar
nilai RBH atau PBH.
288
Tabel 10. Realisasi Angsuran Pembiayaan Mudharabah
Dengan Metode Perhitungan Alternatif 4.
BulanRealisasi
PendapatanSisa Pokok
Realisasi
Angs. Pokok
Realisasi
Angs. Bagi Hasil
yang seharusnya
dibayar oleh
Nasabah
Realisasi
Angs. Bagi Hasil
yang dibayar oleh
Nasabah
Nisbah Bagi
Hasil
Realisasi
Total Angsuran
1 360.000.000 400.000.000 30.815.234 6.800.000,00 5.666.666,67 1,89% 36.481.901
2 360.000.000 369.184.766 31.251.783 6.276.141,02 5.230.117,52 1,74% 36.481.901
3 360.000.000 337.932.983 31.694.517 5.744.860,70 4.787.383,92 1,60% 36.481.901
4 360.000.000 306.238.466 32.143.523 5.206.053,92 4.338.378,26 1,45% 36.481.901
5 360.000.000 274.094.943 32.598.889 4.659.614,03 3.883.011,69 1,29% 36.481.901
6 360.000.000 241.496.054 33.060.707 4.105.432,92 3.421.194,10 1,14% 36.481.901
7 360.000.000 208.435.347 33.529.067 3.543.400,90 2.952.834,08 0,98% 36.481.901
8 360.000.000 174.906.280 34.004.062 2.973.406,77 2.477.838,97 0,83% 36.481.901
9 360.000.000 140.902.219 34.485.786 2.395.337,72 1.996.114,76 0,67% 36.481.901
10 360.000.000 106.416.432 34.974.335 1.809.079,35 1.507.566,13 0,50% 36.481.901
11 325.000.000 71.442.098 35.469.804 1.096.437,75 1.012.096,39 0,34% 36.481.901
12 305.000.000 35.972.293 35.972.293 518.100,95 509.607,49 0,17% 36.481.901
TOTAL 4.230.000.000 400.000.000 45.127.866 37.782.809,98 1,05% 437.782.810
289
Lampiran 4. Metode Perhitungan Kebutuhan dan
Kelayakan Usaha
a. Perhitungan Kebutuhan Dana
Ada tiga cara analisa yang digunakan untuk menghitung
kebutuhan dana dari suatu usaha, yaitu :
Metode Quick and Dirty
Metode ini dipergunakan untuk menghitung perkiraan kasar
kebutuhan dana suatu usaha, dengan rumus :
FN = Financial Needs (Kebutuhan Dana)
ART = Account Receivable Turnover (Perputaran Piutang
Dagang) dalam bulan
IT = Inventory Turnover (Perputaran Persediaan) dalam
bulan
APT = Account Payable Turnover (Perputaran Utang
Dagang) dalam bulan
FN = (ART + IT – APT) x COGS
290
COGS = Cost of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) untuk
satu bulan
Rumus diatas hanya melihat sisi aktiva lancar (Account
Receivable dan Inventory) dengan sisi kewajiban lancar
(Account Payable) dan tidak mempertimbangkan aktiva
lainnya. dengan demikian metode ini dipakai untuk
menghitung kebutuhan modal kerja perusahaan, khususnya
untuk jenis usaha perdagangan.
b. Metode Penilaian Kelayakan Usaha Yang Dibiayai
Metode Payback Period
Merupakan suatu metode perhitungan untuk menghitung
periode yang diperlukan untuk mengembalikan pengeluaran
investasi.Payback period (PBP) dihitung dengan
membandingkan antara periode PBP dengan periode
investasi yang diusulkan. Apabila waktu PBP lebih singkat
daripada umur proyek rencana dapat diterima dan jikaPBP
lebih panjang dari pada umur proyek maka proyek
seharusnya ditolak.
291
Metode Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah metode untuk mengukur
nilai bersih proyek. Net Present Value adalah perhitungan
antara selisih netcash flow yang didiskontokan atas dasar
biaya modal (cost of capital) atau rate of return yang
diharapkan:
Keteranqan:
NPV = Net Present Value
i = tingkat margin/bagi hasil
t = tahun
n = jangka waktu proyek
NPV> 0 = Proyek bermanfaat
NPV < 0 = Proyek tidak bermanfaat
n Net Cash flow t
NPV = - Initial Investment t = 1 (1+i)t
292
Jika NPV > 0, berarti pembiayaan atas nasabah tidak dapat
dilaksanakan dan sebaliknya jika NPV < 0, berarti
pembiayaan atas nasabah dapat dilaksanakan.