seni sebagai artikulasi identitas agama (studi kasus kesenian hadrah … · 2018. 11. 6. · kasus...
TRANSCRIPT
i
TESIS MAGISTER
SENI SEBAGAI ARTIKULASI IDENTITAS AGAMA (Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul)
TESIS
Diajukan Kepada
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Dalam Ilmu Religi dan Budaya
Oleh:
MUH. KAMSUN
NIM: 016322004
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2005
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
'.!#f,NGSSAS*i{
Itlug
SENI SEEAGAI ARTIK'TJ'Iffi}ENflTAS AGAMA
( Studi Kasus Hrr*uf*#ah di Gunungkidul )
Yog),akqrta" 25 Scu*enber 2005
ill
!6U_x*XnMSrX
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yang bertanda tangan di bawah ini,
PERI{YATAAN KEASLIAN TE,SIS
Muh, Kamsun0t6322004Program Pascasarjana Ilmu Religi dan BudayaSanata Dharma
NamaNIMProgramUniversitas
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis
Judul
PembimbingTanggal diuji
: Seni Sebagai Artikulasi Identitas Agama ( StudiKasus Kesenian Hadrah di Gunungkidul )
: Dr. G. Budi Subanar,S.J.: 24 Agustus 2005
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di datam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagiantulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau
meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olahsebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau menirutulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia
menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana
Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasukpencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 24 Agustus 2005
Yang meinberikan pemyataan
Muh. Kamsun
lv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERI{YATAAN PERSETUJUAIT PI,JBLIKASIKARYA ILMIAH IJNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Muh. Kamsun
NomorMahasiswa :016322004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
SENI SEBAGAI ARTIKIiLASI IDENTITAS AGAMA
(Studi Kasus Kesenian Hadrah di Gunungkidut)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di intemet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.Demikian pemyataan ini yang saya buat dengan sebenamya.
Muh. Kamsun
Yogyakarta, 2{ Agustus 2005
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PRAKATA
Setelah sekian waktu “berlama-lama” dalam studi di Program Magister
Ilmu Religi dan Budaya Fakultas Pascasarjana Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, akhirnya selesai juga formalitas belajar tersebut. Durasi waktu yang
tersedia agaknya hampir terlewatkan ketika pada waktu yang bersamaan
operasional belajar belum memperlihatkan tanda-tanda akan khatam seperti yang
diharapkan. Lewat perjalanan yang tertatih-tatih, pada akhirnya lunas jualah rasa
berutang kepada orang-orang terdekat serta mereka yang berharap akan usainya
studi penulis dengan lulus pada penyelesaian tugas akhir. Meskipun penuh dengan
aneka kesusahan batin, rampungnya tugas belajar ini telah membuka kesempatan
baru bagi penulis untuk meraih obsesi ala kadarnya yang tersimpan dalam dirinya.
Dan yang lebih penting semoga penyelesaian tugas akhir ini merupakan
awal dari sebuah perjalanan hidup yang lebih bermakna ke depan untuk cinta dan
kemanusiaan. Dan tentu saja penulis banyak berutang budi kepada berbagai pihak
selama studi ini berlangsung. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati,
penulis ingin dan pantas menyampaikan sungkem terima kasih kepada pihak-
pihak yang terhormat itu:
1. Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Direktur Pascasarjana, dan
seluruh sivitas akademika.
2. Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, Dr. St. Sunardi, beserta seluruh civitas akademika. Ustadz St.
Sunardi, sering begitu cemas dengan ketertinggalan yang dialami penulis
namun terus mendorong penulis untuk belajar sampai mati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
3. Dosen Pembimbing, Romo Dr. G. Budi Subanar, S.J., dan Dr. Budiawan.
Kedua ustadz ini telah memberikan perhatian dan bimbingan yang serius guna
penyelesaian tugas akhir ini. Tanpa dorongan mereka mungkin tugas akhir ini
takkan terwujud.
4. Yang mulia para pengajar di IRB yang telah berbuat untuk dan demi kebaikan
mahasiswanya.
5. Ayahanda tercinta Amak Mahsun (alm.) dan Ibunda Inak Mahsun yang jasa-
jasanya tak mungkin terbalaskan walau anaknya hidup berbakti seribu tahun
lamanya. Kepada seluruh semeton (saudara dekat) di Lombok, jasa-jasa Anda
sangat berguna, yang juga tak terbalaskan.
6. Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah Gubukrubuh, Getas,
Playen, Gunungkidul, Drs. K.H. Yusuf Masyhuri, M.Pd.I, berikut segenap
anggota kelompok hadrah Badru Tamam yang telah bersedia membantu dalam
penelitian dan penulisan tesis penulis. Begitu juga para seniman salawatan di
Gunungkidul yang tidak dapat disebut satu persatu.
7. Pendamping tercinta, Sri Astuti, yang begitu sabar dalam menghadapi
perlakuan suaminya yang kadangkala kurang menyenangkan selama studi
berlangsung. Berbagai “ketidakwajaran” sikap suaminya selalu dimakluminya
dan mengalah karena dia tahu suaminya “stress”.
8. Petugas administrasi di IRB dan juga petugas perpustakaan IRB.
9. Segenap kawan-kawan muda NU di Gunungkidul yang sering menanyakan
kapan studi penulis akan berakhir. Begitu pula rekan-rekan pegawai Kantor
Urusan Agama Kecamatan Patuk yang memaklumi kalau penulis sering tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
berada di antara mereka.
10. Juga kepada seluruh pihak yang telah mendukung penulis selama dan hingga
studinya berakhir.
Mudah-mudahan semua pihak tersebut selalu mendapatkan kebahagiaan,
kemudahan dan kemuliaan. Semoga Allah Yang Mahakuasa, selalu memberikan
kekuatan kepada mereka dalam berbuat sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan.
“Penulis merasa iri kepada mereka yang telah berbuat kebaikan untuk bangsa,
negara dan dunia. Tetapi lebih iri lagi kepada mereka yang telah menebar
kesalehan untuk memuliakan manusia.”
Penulis telah berusaha melakukan tugas akhir ini dengan semampunya,
namun inilah hasilnya. Meski begitu semoga karya yang remeh dan banyak
kekurangan ini memberikan inspirasi bagi orang lain. Dan inilah sekedar harapan
yang paling pantas penulis ucapkan. Semoga!
Yogyakarta, 24 Agustus 2005
Hormat penulis
Muh. Kamsun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................. i
Halaman Persetujuan ........................................................................................ ii
Halaman Pengesahan ....................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian Tesis…………………………………………………... iv
Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi …………………………………. v
Prakata .............................................................................................................. vi
Daftar Isi........................................................................................................... ix
Abstrak ............................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Alasan Pemilihan Topik ....................................................................... 6
D. Tujuan dan Signifikansi Penulisan Tesis ............................................. 6
E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................................... 7
F. Landasan Teori ..................................................................................... 11
G. Metodologi Penelitian .......................................................................... 18
H. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 21
BAB II KESENIAN DALAM DUNIA SANTRI ............................................ 23
A. Masyarakat Santri di Gunungkidul ...................................................... 24
B. Ragam Kesenian Santri di Gunungkidul .............................................. 30
C. Bentuk-Bentuk Kesenian Santri di Antara Kesenian Kontemporer ..... 37
D. Kreativitas: Dari Festival Hingga Konversi ......................................... 40
E. Momen Kesenian .................................................................................. 45
BAB III HADRAH: SENI PERTUNJUKAN KAUM SANTRI ..................... 49
A. Fase Awal ............................................................................................. 49
B. Organisasi dan Latihan ......................................................................... 55
B.1. Organisasi ..................................................................................... 55
B.2. Latihan .......................................................................................... 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
B.3. Pementasan ................................................................................... 58
B.4. Pengadministrasian ....................................................................... 60
C. Pendanaan ............................................................................................. 62
D. Unsur Pendukung ................................................................................ 65
BAB IV HADRAH SEBAGAI ARTIKULASI IDENTIFIKASI DIRI KAUM
SANTRI ............................................................................................... 71
A. Komunitas dalam Proses Liminalitas Hadrah ...................................... 73
A.1. Aspek Jender ................................................................................ 76
A.2. Hirarki Sosial ............................................................................... 80
A.3. Aspek Sakral-Profan .................................................................... 81
B. Hibriditas Hadrah ................................................................................. 85
BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRAK
Dunia santri pondok pesantren dipenuhi ragam perilaku kehidupan khas.
Sebagai sebuah subkultur, memang pesantren memiliki dunia keseharian yang
mencerminkan diri sebagai institusi pendidikan tradisional dengan andalan suplai
pendukung dari kalangan masyarakat bawah dan petani pedesaan. Citra mereka
mewujud dalam keseharian yang sederhana, bersarung, berpecis dan sandal jepit.
Tetapi penampilan lahiriah ini selalu dalam dominasi ketaatan dan kesalehan
normative terutama di lingkungan sekitar pondok. Dan dari suasana semacam
itulah kemudian muncul berbagai aktifitas, yang salah satunya adalah kelompok
kesenian yang mendendangkan syair salawat lengkap dengan rebana atau perkusi
sebagai instrumen utamanya. Itulah hadrah, satu dari jenis kesenian (salawatan)
santri pondok pesantren.
Seni mencerminkan pemilik dan penikmatnya. Seni muncul sesuai dengan
nilai-nilai masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu sejauh manakah para santri
memaknai dunia seni yang mereka geluti. Tesis ini membahas salah satu jenis
kesenian santri pondok pesantren, yaitu hadrah. Pembahasan ditujukan untuk
menunjukkan mengapa dan bagaimana kesenian hadrah bisa menjadi bagian dari
artikulasi identitas keagamaan santri. Lebih jauh tesis ini berusaha memberikan
pemahaman bagaimana kaum santri memproduksi seni mereka, kemudian
menggali konstruksi makna budaya komunitas santri dalam hadrah. Kajian
fenomena kesenian ini dilakukan dengan menggunakan teori “liminalitas” yang
dikembangkan oleh Victor Turner dan teori Homi Babha tentang apa yang disebut
“ruang ketiga”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
ABSTRACT
The world of traditional moslem school students (santri pondok pesantren)
is fulfilled with many kinds of special life behavior. As a subculture, pesantren
has the daily world that shows special characteristic as traditional institution with
great support from low level society and village farmers. Their image is seen in
the sample life daily activity, wearing sarung, wearing moslem caps, and sandals.
This performance always represent obedience and piety, especially in Islamic
religious school environment. From this condition then many activities appear,
one of them is a group of hadrah music with shalawat lyric song complited with
music instrument rebana or percussion. That is the music hadrah, one of religious
school music which is called shalawatan.
Generally art of music expresses the owners and the lovers. The art
appears in accordance with the value of society. Therefore how far the religious
school students give significant to the world of music art that they apply. This
discusses the music art of Islamic school students that is hadrah. This discussion is
aimed to show why and how the hadrah music can be apart of religious Islamic
student identity. Further more this thesis gives more understanding how religious
students produce their music art, then construct the meaning of the culture of
religious school student in hadrah. The study of this art is done by applying
liminality theory which is developed by Victor Turner and the theory of Homi
Bhabha which is called “the third space”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Panggung seni pertunjukan di kalangan masyarakat muslim santri akhir-
akhir ini menunjukkan gairah yang meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
bermunculannya berbagai kelompok kesenian bernuansa Islam. Kemunculan
kelompok-kelompok kesenian tersebut tidak hanya terjadi di daerah perkotaan,
namun juga merambah ke pelosok pedusunan yang jauh dari pusat keramaian
kota. Di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, blantika musik
santri memperlihatkan gejala perkembangan yang semakin meluas. Hal ini terlihat
pada bermunculannya album rekaman musik bernuansa keislaman yang beredar di
pasaran, termasuk tampilan mereka di media elektronik radio dan televisi.1
Kehadiran seni musik keagamaan ini dengan demikian turut memperluas pilihan
musik sebagai hiburan bagi masyarakat umum. Bahkan diharapkan fenomena ini
memperkuat pandangan sebagian orang bahwa seni tidak hanya menjadi objek
tontonan tetapi juga tuntunan.
Di Gunungkidul gejala yang hampir sama terjadi. Di daerah ini, di
samping bermunculan aneka kelompok musik campursari, sejumlah kelompok
kesenian bernafaskan Islam juga hadir secara intens. Kehadiran berbagai jenis
kelompok kesenian, baik yang lama maupun baru, entah bernuansa jawa, pop,
1 Lihat majalah Fadilah, Edisi III Agustus 2003, hal 5-15 dan Fadilah, Edisi IV
September 2003, hal 5-10. Fadilah adalah sebuah majalah yang diterbitkan oleh para santri di
Yogyakarta yang mengupas dan menyajikan sekitar seni budaya pesantren.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
atau religius, telah menambah khazanah berkesenian di daerah ini.2 Sebagaimana
diketahui, Gunungkidul merupakan kawasan subur tempat tumbuh-kembangnya
kesenian lokal, semisal musik campursari. Sedangkan beberapa kesenian lokal
religius yang telah lama berkembang di daerah ini antara lain salawatan,
terbangan, rodat, berzanjen, diba’an, manakiban dan sebagainya.3
Salah satu jenis kesenian bernuansa Islam yang kini banyak tumbuh di
Gunungkidul adalah hadrah. Kesenian ini muncul di kalangan warga muslim yang
telah atau sedang belajar agama di pondok pesantren. Namun hadrah sebenarnya
banyak muncul di kalangan santri aktif di lingkungan pondok pesantren. Para
santri muda sebagai pendukung utama kesenian ini mendirikan kelompok hadrah
sekaligus berperan sebagai pemain dan penyanyi. Walau demikian, tidak semua
pondok pesantren melahirkan hadrah. Pada kenyataannya jenis kesenian ini hanya
muncul di kalangan santri pondok pesantren yang secara sosiologis dikenal
sebagai pondok pesantren kaum Nahdliyyin (warga Nahdlatul Ulama).
Hadrah, yang kadang disebut juga samrah atau kasidah, merupakan satu
dari beberapa jenis kesenian santri selain salawatan, rodat, berzanjen, diba’an,
manakiban, terbangan, dan campursari religius. Semua jenis kesenian ini
memiliki karakter dan gaya tersendiri. Perbedaan masing-masing antara lain
terletak pada alat atau instrumen, pemain, vokal, syair lagu dan sebagainya.
Meskipun syair yang dilagukan sama, tetapi ketika dimainkan pada jenis kesenian
2 Menurut catatan Panitia Festival Sholawat se-Kabupaten Gunungkidul tahun 2003, grup
kesenian salawatan yang ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut sebanyak 30 buah. Panitia
terpaksa membatasi jumlah peserta festival karena dikhawatirkan akan butuh waktu lama untuk
kegiatan tersebut disebabkan banyaknya peserta. Lembaran lepas. 3 Mengenai berbagai jenis kelompok kesenian lokal religius terutama yang dikembangkan
masyarakat santri akan dibahas pada bab selanjutnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
yang berbeda, maka nuansa perbedaan itu akan tampak. Jenis kelompok seni
santri ini ada yang tergolong seni sastralisan dan ada pula kesenian yang
menggunakan alat musik, baik tradisional maupun modern.
Salah satu grup kesenian hadrah yang cukup popular di Gunungkidul
adalah kelompok kesenian Badru Tamam. Grup ini lahir di pondok pesantren Al
Hikmah Gubukrubuh, Desa Getas, Kecamatan Playen, sekitar 12 kilometer dari
kota Wonosari. Kelompok Badru Tamam muncul atas inisiatif para santri yang
baru pulang belajar dari pondok pesantren Wonokromo, Bantul. Hal ini
memperlihatkan bahwa keberadaan kesenian hadrah di Gunungkidul terkait erat
dengan kesenian yang dikembangkan para santri pondok pesantren di daerah lain.
Kehadiran hadrah pada kenyataannya mendapat sambutan hangat di
kalangan masyarakat Gunungkidul. Sebagai kesenian religius yang menghibur,
hadrah sering mendapat undangan tampil, baik dalam acara hajatan keluarga,
peringatan hari-hari besar Islam tertentu maupun dalam peristiwa-peristiwa
lainnya. Bahkan pernah kelompok hadrah Badru Tamam pentas pada acara
hiburan dalam rangka hari ulang tahun sebuah organisasi profesi pinggiran, yaitu
organisasi tukang ojek. Dalam pentas tersebut hadrah tampil selama 2 jam dengan
menyajikan 20 lagu. Ini menunjukkan bahwa hadrah sebenarnya telah menjadi
bagian dari dunia kesenian di Gunungkidul. Sebagai salah satu grup hiburan
massa bernuansa religius, hadrah mampu bertahan bahkan berkembang di tengah-
tengah hegemoni musik lokal dimana telah hidup puluhan kelompok musik
campursari di kawasan selatan Yogyakarta ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
B. Perumusan Masalah
Hadrah merupakan kelompok musik pertunjukan yang bernafaskan
religius. Di samping memiliki fungsi sebagai media hiburan bagi warga
masyarakat, keberadaan hadrah juga memiliki fungsi sebagai arena bagi
pembentukan identitas kaum santri yang diwujudkan dengan pementasan mereka
pada acara-acara tertentu. Ini menunjukkan bahwa eksistensi kelompok hadrah
telah menghadirkan warna tersendiri bagi khazanah musik pertunjukan lokal di
tengah-tengah pergumulan dunia kesenian kontemporer, khususnya di
Gunungkidul.
Fase awal kehadiran hadrah sebenarnya merupakan kelanjutan atau
perkembangan mutakhir dari jenis kesenian yang telah ada sebelumnya, yaitu
kesenian rodat. Kelompok yang terakhir ini hadir dan berkembang puluhan tahun
yang lalu. Menurut salah seorang pimpinan pondok pesantren setempat, rodat teah
mulai berkembang di kalangan para santri sejak tahun 1940-an. Pada tahun 1960-
an rodat sangat digandrungi oleh masyarakat. Kelompok rodat banyak
bermunculan hampir di tiap dusun. Bahkan di Gubukrubuh personilnya mencapai
ratusan orang. Namun sejak decade 1980-an perkembangan rodat mulai menurun.
Pementasan mulai berkurang, jumlah personil menurun, sementara generasi muda
kurang meminati jenis kesenian tradisional ini. Sesekali memang ada pementasan,
namun lebih sebagai pemenuhan atas undangan tertentu, misalnya dari instansi
pemerintah dalam rangka pameran dan sebagainya.4
4 Wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan K.H.M. Yusuf Masyhuri, pimpinan dan
pengasuh pondok pesantren Al Hikmah Gubukrubuh, Getas, Playen Kyai yang hafal Al-Quran ini
pada masa mudanya adalah pemain kesenian rodat setempat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Sementara itu para santri yang pulang belajar dari daerah lain mulai
tertarik dengan jenis musik hadrah yang mereka lihat di pesantren tempat mereka
nyantri. Kemudian sekitar tahun 1998 mereka mendirikan sebuah kelompok
hadrah dan ternyata mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Dalam peristiwa-
peristiwa tertentu kelompok ini sering diundang untuk pentas sehingga untuk itu
mereka terus memperbaiki penampilan mereka agar terus menarik perhatian
penonton.
Sebagai kelompok musik tradisional, penampilan mereka nampak
sederhana. Namun demikian mereka selalu dituntut agar pementasan tetap
menarik. Kesederhanaan tampak dari ciri hadrah yang hanya diperkuat oleh
beberapa instrumen perkusi dengan suara khas masing-masing. Lagu-lagu yang
menjadi andalan adalah madah, yaitu syair-syair pujian kepada Kanjeng Nabi
Muhammad, yang biasa disebut salawat. Selain menyajikan lagu-lagu salawat
berbahasa Arab mereka juga melantunkan beberapa lagu hasil kreasi mereka.
Semangat berhadrah mereka yang paling mutakhir adlah merekam dalam pita
kaset untuk dapat disebarluaskan kepada umum dengan biaya patungan para
pendukungnya.5
Dari uraian di atas permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
dalam pertanyaan: Mengapa dan bagaimana kesenian hadrah bisa menjadi bagian
dari artikulasi identitas santri? Lebih lanjut pertanyaan ini dikembangkan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah jenis-jenis kesenian yang dikembangkan komunitas santri
5 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
khususnya para santri pondok pesantren di Gunungkidul?
2. Bagaimana kalangan santri memproduksi kesenian hadrah?
3. Apa makna seni musik hadrah sebagai bagian dari artikulasi identifikasi diri
kaum santri?
C. Alasan Pemilihan Topik
Topik ini menarik perhatian penulis, setidaknya karena beberapa
pertimbangan sebagai berikut:
1. Permasalahan budaya santri, khususnya kesenian santri tradisional belum
banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan terutama kaum akedemisi
untuk diangkat dalam bentuk karya tulis ilmiah.
2. Sebagai kesenian rakyat pinggiran yang banyak tumbuh di berbagai daerah
khususnya di Jawa, kesenian santri semacam hadrah perlu diapresiasi sebagai
salah satu fenomena budaya yang dikembangkan para pendukungnya.
3. Penulis ingin mengeskplorasi bagaimana ekspresi seni di kalangan kaum
santri pondok pesantren dan terpinggirkan menjadi bagian dari artikulasi
identitas mereka.
D. Tujuan dan Signifikansi Penulis Tesis
Penelitian terhadap seni komunitas santri pondok pesantren ini bertujuan:
1) Memberikan pemahaman bagaimana kaum santri membentuk atau
memproduksi jenis seni khas mereka sendiri; 2) Menggali konstruksi makna
budaya oleh komunitas santri dalam kesenian hadrah; dan 3) Menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
ocal a mengapa pada santri pondok pesantren mengartikulasi identitas
keagamaan mereka melalui hadrah.
Sedangkan manfaat penelitian, secara teoritis penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan analisis dan ocal ative tentang salah satu ocal
budaya yang secara nyata dikembangkan oleh komunitas pendukung yang begitu
tersebar di masyarakat, khususnya masyarakat santri melalui perspektif kajian
budaya. Secara praktis penelitian ini akan bermanfaat bagi kalangan pengamat dan
peminat budaya dalam rangka mendalami makna keberadaan kesenian ocal
sebagai bagian dari khazanah seni tradisi yang hidup di negeri ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian tentang ikhwal kesenian di kalangan santri dan pondok
pesantren tergolong masih sedikit. Beberapa diantaranya dapat dikemukakan
sebagai berikut :
Pertama, penelitian berjudul Kesenian Badui Al Huda Tajem
Maguwoharjo (Kajian Antropologi Budaya Tentang Nilai-Nilai Islam dan Fungsi
Sosial),6yang ditulis oleh Sujadi. Penelitian ini sebagaimana dilihat dari judulnya
mencoba menggali dalam perspektif antropologi budaya tentang nilai-nilai Islami
dan fungsi sosial dari sebuah kelompok kesenian bernafaskan keagamaan yang
ada di sebuah kawasan pedusunan di Sleman, Yogyakarta. Dengan andalan
observasi lapangan melalui teknik wawancara peneliti ini berhasil menggali
6 Lihat Sujadi, “Kesenian Badui Al Huda Tajem Maguwoharjo (Kajian Antropologi
Budaya Tentang Nilai-Nilai Islam dan Fungsi Sosial) dalam Jurnal Bahasa, Peradaban dan
Informasi Islam, Thaqafiyyat, Vol. 4, No. 1 Januari-Juni 2003, hal. 76-97, diterbitkan Fakultas
Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kini Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
eksistensi objeknya sejak mulai berdiri, pementasannya, materi lagu, pemain,
perangkat kesenian, hingga kostum dan makna serta nilai-nilai yang diusung oleh
kesenian Badui tersebut. Menurutnya kesenian Badui merupakan jenis tarian
rakyat yang menggambarkan suatu adegan peperangan dan muncul sekitar tahun
1960-an. Kemunculannya dipengaruhi oleh kegemaran penduduk setempat
terhadap salawatan dimana para pendukungnya adalah para santri dari pondok
pesantren yang telah terbiasa dengan kegiatan salawatan. Keberadaan kesenian
Badui tidak lepas dari kebutuhan masyarakat tersebut untuk mengekspresikan
nilai-nilai estetis yang dipadukan dengan kepentingan dakwah. Kelangkaan
penelitian atas kesenian para santri nampak jelas dari acuan kepustakaan Sujadi.
Tidak ada satu pun karya hasil penelitian mendalam bidang kesenian santri yang
menjadi rujukan penelitiannya.
Kedua, Budaya dan Masyarakat, karya Kuntowijoyo.7 Buku ini
merupakan kumpulan tulisan penulisnya yang pernah dipresentasikan dalam
beberapa seminar. Meskipun bukan merupakan hasil penelitian, buku ini
memberikan informasi yang cukup dalam mengenai perkembangan masyarakat
dan perubahan kebudayaan termasuk didalamnya kebudayaan berbasis pesantren.
Secara rinci dibahas bagaimana pengalaman masyarakat Indonesia dalam masa
transisi menuju masyarakat industri, dengan mengganti atribut dan masyarakat
tradisional agraris yang telah berlangsung sejak awal abad XX, menuju suatu
masyarakat yang bertatanan baru sama sekali. Dalam buku ini, Kuntowijoyo
memaparkan bagaimana peranan pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan
7 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: P.T. WIra Wacana, 1999
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
humaniora di samping istana dan perguruan sebagai locus pendidikan humaniora
dalam masyarakat tradisional Jawa. Menurutnya, pesantren merupakan sumber
penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan. Pesantren dapat dikatakan
sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dalam telaahnya atas dunia pesantren,
Kuntowijoyo menegaskan bahwa kesenian yang secara jelas mencerminkan
subkultur santri sangat banyak. Ekspresi estetis santri dapat berupa manakiban,
musik gambus, pembacaan kita barzanji, salawatan, dan sebagainya. Budaya
pesantren kemudian dialirkan ke pedesaan dan sampai sekarang bentuk-bentuk
kesenian yang ada di desa sangat dipengaruhi oleh pesantren, misalnya salawatan
dalam berbagai variasinya.
Ketiga, Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, karya
penelitian sebuah tim.8 Buku ini merupan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Penelitian ini difokuskan pada sekitar pergumulan Muhammadiyah terhadap seni
lokal yang mengambil seting di Lamongan, Jawa Timur. Meskipun lebih
ditujukan pada pergumulan ormas keagamaan Muhammadiyah terhadap seni
lokal, dimana seni lokal dipandang dalam kacamata syariah sehingga harus
dikritisi secara syariah pula,9 buku ini memberikan banyak informasi sekitar
kesenian yang dikembangkan oleh komunitas santri di daerah ini. Justru cara
pandang dari buku inilah yang memberikan inspirasi pada penulis sehingga
merasa tertantang untuk mengeksplorasi lebih jauh dari perspektif yang berbeda.
8 Zakiyuddin Baidhawy, Ed., Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa:
Muhammadiyah dan Semi Lokal, Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, 2003 9 Maksudnya, bahwa fenomena budaya dimana didalamnya bercampur antara unsur
tradisi dan ajaran agama dilihat dari perspektif hukum Islam sehingga berujung pada kategori
sesuatu yang dibolehkan, wajib atau haram (terlarang) karena dianggap penuh unsur bid’ah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Pada hemat penulis, buku ini tidak memberi tempat yang positif kepada berbagai
varian kesenian lokal yang notabene adalah produksi kaum santri pedesaan.
Penelitian ini berusaha untuk meletakkan produk budaya rakyat tersebut secara
apresiatif dengan menelaah varian kesenian yang sama meskipun dengan setting
yang berbeda yaitu di Gunungkidul.
Keempat, Musik Islami: Keserasian antara Tema Verbal dan Ekspresi
Musikal, sebuah hasil karya penelitian seirang etnomusikolog, Deni Hermawan.10
Dalam kajiannya penulis ini menawarkan beberapa aspek yang menurutnya dapat
dijadikan sebagai bahan dasar kajian mengenai ciri-ciri musik Islam. Menurutnya
ciri-ciri ini meliputi beberapa aspek musikal dan nonmusikal, yaitu tentang
definisi musik Islam, tangga nada (modus), bahasa dan tema lagu, irama dan alat-
alat musik, warna lokal, kostum, dan etika penyajian. Namun demikian
penelitiannya lebih difokuskan pada aspek-aspek musikal saja. Dengan demikian
sebenarnya penulis ini mencoba mengkonstruksi tubuh dari apa yang disebut
musik Islam itu. Oleh karena itu penelitian etnomusikolog tersebut bukan
dimaksud untuk memahami keberadaan seni musik keagamaan tersebut dan
maknanya di kalangan para pendukungnya.
Kelima, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah
Maulid al Diba’ Girikusumo, karya Ahmad Anas.11
Buku ini merupakan
penelitian atas aktivitas sebuah jamaah tarekat di kawasan Pantura (Pantai Utara
Jawa). Penelitian ini dimaksudkan untuk menguak pengalaman keagamaan dalam
10
Deni Hermawan, “Musik Islami: Keserasian antara Tema Verbal dan Ekspresi
Musikal”, dalam Deni Hermawan, Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik Sunda,
Bandung: STSI Press, 2002, hal. 173-200. 11
Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid
al Diba’ Girikusumo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
ritual pembacaan kitab Maulid al-Diba’ karya Syekh Abd. Al-Rahman al-Diba’i.
di kalangan santri pondok dikenal tradisi diba’an yang juga ditemukan di
kalangan santri di Gunungkidul. Buku ini merupakan elaborasi empirik terhadap
praktek pengalaman keagamaan yang terjadi di pondok pesantren al-Riyadh,
Girikusumo, Demak, Jawa Tengah. Kajian Anas Ahmad ini belum menyentuh
aspek lain dari pergumulan insan pondok pesantren sebagaimana yang akan
dilakukan penulis tentang seni hadrah di kalangan santri pondok pesantren di
Gunungkidul.
Dari sejumlah penelitian yang telah dikemukakan di atas jelas bahwa
kajian tentang seni budaya di kalangan masyarakat santri, khususnya santri
pondok pesantren masih menyisakan berbagai pertanyaan dan perspektif. Untuk
itulah penulis memfokuskan kajiannya pada salah sayu bentuk aktivitas seni di
kalangan masyarakat tersebut.
F. Landasan Teori
Hadrah merupakan salah satu bentuk pertunjukan rakyat yang berbentuk,
hidup, tumbuh, dan berkembang di masyarakat pedesaan. Bentuk sajiannya
bersifat sederhana. Namun, dalam kesederhanaannya itu sebenarnya tersimpan
sesuatu yang menarik, terutama bagi pendengarnya. Keberadaan kesenian hadrah
lebih banyak bergantung pada para pendukungnya. Kehidupan hadrah tidak begitu
tergantung kepada masyarakat penanggap, oleh karena kelompok kesenian ini
tidak mengandalkan keberadaannya dari penerimaan pembayaran. Para pemain
kesenian ini tidak menggantungkan hidupnya dari bermain hadrah. Berkesenian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
hadrah lebih didasarkan pada kepuasan batin serta menghibur penonton tanpa
mengharapkan imbalan. Bahkan dengan melantunkan salawat, kegiatan seni
diniati dan dianggap sebagai suatu ibadah.
Herbert Spencer melalui teori strukturnya mencoba mengungkap peran
pendukung kesenian dan para elit penanggap sekaligus penyangga semangat hidup
kesenian dalam konteks seni pertunjukkan. Menurutnya, para pelaku seni dan
masyarakat penikmat adalah sebuah organisasi ymbol. Masing-masing memiliki
wujud yang berbeda, terpisah, tetapi saling berdampingan satu sama lain untuk
membentuk kelangsungan hidupnya.12
Para pelaku seni dan penikmat seni memiliki peran dalam kelangsungan
hidup hadrah. Pada kenyataannya, masing-masing pihak tidak terlepas dari tujuan-
tujuan mereka semisal untuk meraih ketenaran dan untuk menaikkan status
ymbol. Menurut Maslow, setiap orang memiliki hasrat akan nama baik atau
gengsi, prestise, status dan ketenaran.13
Munculnya hadrah diduga sebagai transformasi dari rodat, karena unsur-
unsur yang terdapat dalam rodat masih tampak dalam hadrah. Instrumen berupa
perkusi atau terbangan, misalnya, adalah jenis ymbol yang dimainkan
dalam rodat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Holt bahwa kehadiran unsur-unsur
baru dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya tidak berarti unsur-unsur
budaya yang ada sebelumnya menghilang. Antara unsur budaya lama dengan
12
Herbert Spencer dalam Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Jakarta:
Rineka Cipta, 1993, hal. 74 13
H. Abraham Maslow, Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Pendekatan
Hierarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan Nurul Iman Bandung, PT. Pustaka Binaman Pressindo,
1994, hal. 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
unsur budaya baru dapat saja hidup berdampingan, berbaur atau bahkan tindih.14
Pandangan ini sangat berguna dalam memahami fenomena hibriditas dalam
kesenian termasuk hadrah yang didalamnya terdapat unsur Islam, Jawa dan Arab.
Kajian atas kelompok hadrah sebagai sebuah aktivitas seni santri pondok
pesantren di Gunungkidul akan menggunakan teori liminitas yang dikembangkan
oleh Victor Turner.15
Penulis juga akan menyandingkannya dengan teori Homi
Bhabha tentang apa yang disebut “ruang ketiga”.16
Pada mulanya teori liminitas Turner merupakan hasil telaahnya atas
fenomena ymbol dan ritus dalam masyarakat Ddembu di Afrika. Menurutnya,
aspek yang terpenting dalam ritus adalah tahap liminitas, yaitu tahap atau periode
tertentu dimana subjek ritual mengalami keadaan yang ambigu. Liminitas
mempunyai sifat-sifat yang begitu kaya sehingga memberikan perspektif
tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Pertama, di dalam liminitas orang
mengalami pengalaman dasar sebagai manusia. Kedua, liminitas menjadi tahap
refleksi formatif, yang berarti bahwa dalam tahap ini si subjek ritual diberi waktu
untuk merefleksikan ajaran-ajaran dan adat istiadat masyarakat. Dengan
merefleksi diharapkan dia dibentuk menjadi anggota masyarakat yang baru yang
telah mengalami perubahan pandangan maupun kedudukannya. Ketiga, dari teori
liminitas ini dikembangkanlah teori komunitas, yang merupakan pandangan dasar
14
Claire Holt, Art In Indonesia: Continuities and Change, Ithaka-New York: Cornell
University Press, 1967, hlm.3, seperti dikutip oleh Een Herdiani dalam bukunya Bajidoran di
Karawang: Kontinuitas dan Perubahan, Jakarta : Hasta Wahana, 2003, hal. 23 15
Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminitas dan Komunitas
Menurut Victor Turner, Yogyakarta: Kanisius, 1990. 16
Teori tentang liminitas Homi Bhabha ini dinukil dari Tulisan J. Supriyono, “Mencari
Identitas Kultur Keindonesiaan: UPaya Mencari Teori Liminitas Homi K. Bhabha, “dalam Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto (Ed), Hermeneutika Pascakolonial: Tentang Identitas, Yogyakarta:
Kanisius, 2004, hal. 139-153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Turner. Sebab dari konsep inilah Turner mengembangkan analisa mengenai
berbagai peristiwa baik dalam kehidupan ymbol maupun dalam kehidupan
masyarakat pada umumnya.17
Liminitas merupakan tahap dimana orang mengalami situasi
ketidakberbedaan. Di sini orang mengalami sesuatu yang lain dengan keadaan
hidup sehari-hari, yaitu pengalaman “antistruktur”. Istilah liminitas itu sendiri
berasal dari kata Latin limen, yang berarti ambang pintu. Maka liminitas dapat
dilihat sebagai pengalaman ambang. Istilah ini semula dipinjam dari ritus-ritus
peralihan, rites the passage yang dibahas secara luas oleh van Gennep.18
Satu hal
penting dalam konsep tentang liminitas Turner adalah teori mengenai komunitas.
Menurutnya, komunitas merupakan suatu konsep dasar yang berarti relasi-relasi
ymbol yang terjadi antar pribadi yang konkret, yang langsung. Hubungan yang
terjadi adalah hubungan yang lain dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-
hari. Konsep tentang komunitas inilah yang merupakan sumbangan besar Turner
mengenai analisa masyarakat yang khas dalam studi ilmu-ilmu ymbol. Dengan
konsep komunitas, Victor Turner membuka cakrawala pada gejala-gejala budaya
dan masyarakat dewasa ini.19
Selain Victor Turner, tokoh lain yang mengemukakan konsep liminitas
adalah Homi Babha. Teori liminitasnya dimaksudkan sebagai upaya menelanjangi
pertentangan yang keliru antara “teori” dan “praktek” dalam wacana kolonialisme.
Dekonstruksi liminal Bhabha merupakan sarana kritik untuk menggagas kembali
oposisi biner yang sudah terlalu disederhanakan sebagai “penjajah” dan “terjajah”
17
Lihat Y.W. Wartaya Winangun, op.cit. hal. 31 18
Idem, hal. 32 19
Idem, hal. 46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
sekaligus untuk mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para
teoretikus pascakolonial. Liminitsa ini diajukan untuk menghidupkan ruang yang
tidak memisahkan tetapi, sebaliknya, menjembatani hubungan timbal balik
(reciprocal) antara keduanya, yaitu antara teori dan praktek. Bagi Bhabha, antara
teori dan praktek tidak dapat dipilih salah satu saja untuk dikritik. Teori dan
praktek berada bersebelahan. Teori adalah wahana ymbol dan dalam
mewujudkannya, teori menciptakan situasi politis. Dengan menyandingkan
keduanya, Bhabha berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara
keduanya yang melahirkan hibriditas.20
Mengenai urgensi teorinya, Bhabha mengatakan bahwa pentingnya
liminitas untuk teori pascakolonial adalah ketepatgunaannya untuk
mendeskripsikan suatu “ruang antara” dimana perubahan budaya dapat
berlangsung: ruang antar budaya dimana strategi-strategi kedirian personal
maupun komunal dapat dikembangkan (can be elaborated), suatu wilayah dimana
terdapat progress gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus
menerus. Sebagai contoh, kelompok terjajah dapat berada di ruang ambang ini di
antara wacana ymbol dengan anggapan-anggapan identitas konkolonial
baru. Identifikasi semacam itu memang bukan sekedar gerak pindah sederhana
dari satu identitas ke identitas lain, identifikasi ini adalah proses keterlibatan,
kontestasi, dan penyesuaian. Secara implisit dikatakan bahwa pencarian identitas
itu idealnya tidak berhenti; identitas mengalir sebagai sesuatu yang senantiasa
20
J. Supriyono, op.cit. hal. 141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
mengalami perubahan.21
Babha melukiskan bagaimana budaya-budaya itu bergerak keluar masuk
ruang ketiga dengan indahnya. Ruang ketiga itu diibaratkan sebuah tangga-
hubung yang merupakan ruang ambang yang mampu berperan sebagai ruang
untuk interaksi simbolik. Ruang yang dapat berperan sebagai ruang ketiga itu
adalah teks. Dan teks itu dapat dihadirkan dalam novel, film dan ymbo. Dalam
teks, aneka pemaknaan dilakukan. Menulis, memang sama sekali berbeda dengan
mencatat realitas ymbol. Tetapi sebaliknya, menulis berarti memberikan makan
pada realitas tersebut.22
Kajian tentang kesenian hadrah ini dilakukan dalam
kerangka teori liminitas di atas dengan asumsi bahwa panggung hadrah adalah
sebuah momen liminal yang berproses dan eksis di kalangan masyarakat santri di
Gunungkidul.
Sedangkan pemahaman sosiologis atas masyarakat dimana kesenian rakyat
ini menjadi pendukungnya akan mengacu pada kategori yang dikembangkan oleh
Geertz dan Dhofier. Geertz telah membuat kajian yang sistematis terhadap agama
di Jawa dan varian-variannya, yakni abangan, santri, dan priyayi.23
Banyak
tanggapan telah diarahkan pada karya Geertz ini, seperti dikemukakan oleh
Harsya W. Bachtiar dalam pengantar edisi Indonesia karya antropolog tersebut.
Satu hal yang tidak disinggung Geertz adalah tidak membuat uraian yang adil
mengenai pembentukan ymbol pada setiap varian. Untuk priyayi, Geertz
memonopoli terhadap kesenian klasik dan popular, sesuatu yang tidak
21
Bandingkan dengan pendapat Stuart Hall dalam “The Question fo Cultural Identity”,
hal. 122 22
J. Supriyono, op.cit., hal. 142-143 23
Clifford Geertz, Abangan dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya,
1978
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
diberikannya kepada dua varian lainnya. Untuk abangan hanya dikemukakan
ymbol-simbol berupa magis, mitologi, ritual. Sedangkan untuk varian santri
hanya berkisar pada soal organisasi ymbol dari agama. Menurut Kuntowijoyo24
sejak buku itu terbit, belum ada usaha yang berarti ymbol pemenuhan
kekurangan tersebut. Untuk itu diperlukan sebuah kerangka kerja untuk
mengungkapkan sebagian kecil dari pembentukan ymbol di kalangan santri,
yaitu tentang hubungan agama dan seni dalam ymbol budaya Islam di Jawa.
Sangat penting mengetahui bagaimana unsur-unsur estetis hadir dalam ymbol
keagamaan, dan sebaliknya, bagaimana unsur-unsur agama hadir dalam kesenian
Islam.
Tidak diragukan lagi bahwa para santri di Jawa juga menciptakan
ymbol-simbol, kendati tidak semua ymbol mempunyai kadar kekayaan makna
yang sama. Di dalam lingkungan budaya Islam ada semacam proses yang
berlawanan arah. Di satu pihak ada usaha pemiskinan ymbol yang dikerjakan
oleh gerakan puritan yang menghendaki agama bersih dari kaitan simbolis yang
dapat merusak citra agama yang murni, dan di lain pihak terdapat gejala yang
membuat penggandaan dan pengkayaan simbolis. Tekstualisasi citra sekitar
masalah ini tampak jelas pada tulisan Baidhawy dan kawan-kawan25
yang
mengupas purifikasi dan reproduksi budaya di pantai utara Jawa.
Santri, semula adalah sebutan untuk para pelajar di pondok pesantren di
bawah asuhan kyai. Pengertian awal ini belakangan telah bergeser menyebar,
tidak lagi hanya mengacu pada pelajar pondok pesantren. Kini telah menjadi
24
Kuntowijoyo, op.cit., hal. 51 25
Lihat Baidhawy, op.cit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
sebutan dari siswa Taman Pendidikan Al-Quran, golongan melek agama, sampai
intelektual muslim. Bahkan kini sering dipakai untuk menyebut lapisan terpelajar
muslim. Apabila mengacu pada pengertian awal, santri terbagi pada dua
kelompok26
, santri mukim dan santri kalong. Yang pertama adalah murid yang
berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kompleks pesantren. Kelompok
terakhir mengacu pada murid yang berasal dari daerah atau desa sekitar pesantren
yang biasanya tidak menetap di dalam pesantren. Dalam tulisan ini istilah santri
(tanpa tambahan kata dibelakangnya) mengacu pada kelompok atau individu-
individu yang mempunyai pengetahuan agama Islam dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk orang-orang yang tinggal di komplek pondok
pesantren. Sedangkan apabila disebut santri pondok, amak yang diacu adalah
murid-murid yang belajar di pondok pesantren baik yang tinggal di pondok
pesantren maupun di luar pondok pesantren.
G. Metodologi Penelitian
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini memilih aktivitas kelompok kesenian hadrah Badru Tamam,
sebuah kelompok hadrah yang berlokasi di Gubukrubuh, Desa Getas, Kecamatan
Playen, Gunungkidul. Persisnya grup kesenian ini ada di pondok pesantren Al-
Hikmah, dengan pimpinan K.H. Muh Yusuf. Di pondok inilah berdiri hadrah yang
didukung para pengasuh dan santri Al Hikmah sekitar tahun 1998. Kelompok
hadrah ini dipilih karena kelompok inilah yang memberikan inspirasi bagi santri-
26
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan HIdup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
santri lain di Gunungkidul unuk mendirikan kelompok serupa. Kelompok
kesenian hadrah inilah yang paling banyak mendapat tawaran pentas di kawasan
Gunungkidul. Bahkan kelompok ini telah membuat rekaman dan diedarkan di
kalangan terbatas, khususnya para pecinta kesenian santri. Pondok pesantren Al
Hikmah Gubukrubuh terletak sekitar 12 km arah barat kota Wonosari.
2. Penentuan Informan
Untuk menentukan informan digunakan konsep Sparadley dan Benard27
yang pada prinsipnya menghendaki seorang informan itu harus paham terhadap
budaya yang dibutuhkan. Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik
snowballing, yaitu berdasarkan informan sebelumnya untuk mendapatkan
informan berikutnya sampai mendapatkan ‘data jenuh’ (tidak dapat informan
lagi).
Berdasarkan pendapat itu, informan kunci yang dipilih adalah para
pendukung yang tergabung dalam kelompok kesenian hadrah Badru Tamam dan
para pengelola kesenian hadrah di Gunungkidul. Para pendukung dimaksud
adalah pelaku utama dalam kesenian dimaksud serta pimpinan sekaligus pengasuh
pondok pesantren Al-Hikmah. Informasi lain ditentukan secara snowballing,
menurut informasi estafet dari pelaku utama kesenian hadrah. Pelaku utama ini
diasumsikan yang paling mengetahui hal ihwal hadrah yang mereka tekuni. Dari
informasi pelaku utama ini ditentukan informan lain, yaitu para pemain hadrah di
luar kelompok Badru Tamam.
3. Teknik Pengumpulan Data
27
Dikutip dari Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2003, hal. 239
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Pengumpulan data menggunakan teknik participatory observation dan
indepth interview.28
Dalam melakukan observasi partisipan juga berpegang pada
pendapat Spradley29
bahwa peneliti berusaha menyimpan pembicaraan informan,
membuat penjelasan berulang, menegaskan pembicaraan informan, dan tidak
menanyakan makna tetapi gunanya. Pengamatan partisipasi dipilih untuk menjalin
hubungan baik dengan informan. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan
partisipatoris pada saat latihan penyelenggaraan pementasan dari awal sampai
akhir.
Adapun wawancara mendalam dilakukan sebelum dan sesudah latihan atau
pementasan. Bisa juga dilaksanakan pada selain waktu tersebut. Wawancara awal
dilakukan kepada informan kunci, yakni dari para pelaku kesenian hadrah Badru
Tamam hingga pelaku hadrah grup lain yang telah direkomendasikan oleh
mereka. Begitu seterusnya peneliti meneruskan wawancara kepada informan lain
berikutnya sampai mendapat “data jenuh”, yakni tidak ditemukan informasi lagi.
4. Analisa Data
Analisis dimulai sejak pengumpulan data. Setiap informasi disilang
melalui komentar responden yang berbeda untuk menggali validasi informasi dan
mengumpulkan bahan dalam wawancara dan observasi lanjutan. Selanjutnya, data
dikategorikan berdasarkan kepentingan penelitian ini. Setiap kategori dikaji dan
dimintakan komentar dari responden, kemudian diuji silang dengan responden
lain.
Analisis dilakukan melalui penyaringan data, penggolongan, penyimpulan,
28
Ibid. 29
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
dan uji ulang. Data yang terkumpul disaring, disusun dalam kategori-kategori, dan
saling dihubungkan satu sama lain. Melalui proses inilah konstruksi kesimpulan
penelitian dibuat. Tujuannya adalah untuk memperkokoh dan memperluas bukti
yang dijadikan landasan pengambilan kesimpulan tersebut.
H. Sistematika Pembahasan
Laporan penelitian ini ditulis dalam lima bab. Bab I merupakan
pendahuluan, terdiri atas enam sub bab. Pemaparan dalam bab pertama ini
berkisar pada berbagai hal mengenai penelitian ini. Didalamnya meliputi latar
belakang, perumusan masalah yang dibahas, alasan pemilihan topik, tujuan dan
signifikansi penulisan tesis, tinjauan kepustakaan, landasan teori, metodoloi
penelitian dan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang kesenian dalam
dunia santri. Pembahasan dibatasi pada dunia seni yang digeluti kaum santri serta
subjek santri itu sendiri. Secara berurutan bab II ini dirangkai dalam beberapa sub
bab meliputi masyarakat santri di Gunungkidul, ragam kesenian santri, kesenian
nonsantri di mata santri, kreativitas, dan momen ekspresi estetika.
Bab III membahas profil kesenian hadrah sebagai salah satu bentuk seni
pertunjukan yang digeluti kaum santri, khususnya santri pondok pesantren.
Pembahasan di dalamnya dimulai dengan masa awal pertumbuhan kesenian
hadrah di Gubukrubuh, Desa Getas, Kecamatan Playen, yang dilanjutkan dengan
uraian tentang organisasi dan latihan kelomopok seni hadrah Badru Tamam.
Didalamnya juga dibahas tentang pementasan dan pengadministrasian. Dua sub
bab terakhir tentang pendanaan dan subjek atau pelaku seni hadrah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Pada bab IV dilakukan pembahasan tentang hadrah dipandang sebagai
artikulasi identifikasi diri kaum santri. Bab ini berusaha memahami makna seni
hadrah bagi kaum santri dengan menggunakan kerangka teori liminitas. Dalam
sub bab pertama tentang komunitas santri dalam liminitas hadrah, dikemukakan
tiga aspek “dekonstruksi” yang terjadi dalam ruang liminal panggung seni hadrah,
yaitu aspek jender, hirarki sosial, dan aspek sakral-profan. Bagian akhir bab ini
membahas sekitar hibriditas dalam kesenian hadrah. Sedangkan bab V berisi
tentang kesimpulan dari pokok persoalan yang menjadi topik kajian dalam tesis
ini. Butir kesimpulan berupa hasil kajian terhadap seni hadrah sebagai artikulasi
identitas santri dilihat dari perspektif kajian budaya dengan menggunakan teori
liminitas. Pada bab ini juga disampaikan implikasi dari kesimpulan dan
kekurangan dalam tesis ini serta saran penelitian lebih lanjut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
BAB II
KESENIAN DALAM DUNIA SANTRI
Berbicara tentang santri pondok pesantren masih muncul dalam pikiran
banyak orang tentang anak muda usia yang hidup dan tinggal bergerombol di
bilik-bilik sempit di sekitar komplek pondok pesantren. Para santri tersebut setiap
hari belajar dan mengaji, duduk di hadapan kyai dan ustadz dengan penampilan
keseharian yang sederhana. Bahkan penampilan mereka sebagai “orang desa”
dengan pakaian alakadarnya berupa sarung, baju biasa dan pecis. Ciri-ciri lahiriah
ini pada kenyataannya memang masih dijumpai walaupun pondok pesantren
tempat santri belajar tersebut berada di pusat keramaian kota, termasuk di
Yogyakarta.
Bab ini tidak akan mengemukakan tentang citra lahiriah santri seperti
disebutkan di atas, melainkan tentang kegiatan dan pandangan para santri pondok
pesantren di Gunungkidul dalam bidang kesenian. Uraian tentang dunia kesenian
para santri ini dilakukan secara deskriptif-analitis. Uraian ini diharapkan dapat
memberikan perspektif tertentu kepada kegiatan kesenian dengan fokus pada
subjek atau pelaku seni, yaitu santri secara umum. Secara rinci deskipsi ini akan
membahas dunia kesenian santri dalam beberapa sub bab, yaitu masyarakat santri
di Gunungkidul, aneka bentuk kesenian santri, bentuk-bentuk kesenian nonsantri
di mata santri, kreativitas kesenian para santri dan momen-momen pertunjukan
kesenian mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
A. Masyarakat Santri di Gunungkidul
Meskipun banyak mendapat kritik, kategorisasi yang dibuat Clifford
Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto untuk mematra golongan masyarakat
setempat ke dalam tiga varian yaitu santri, abangan, dan priyayi, hingga saat ini
tetap popular. Kritik yang disampaikan kepada Geertz sebenarnya adalah soal titik
tolak peristilahan yang tidak beranjak dari satu perspektif kategori sosiologis.
Santri dan abangan adalah kategori sosial berdasarkan aspek penghayatan
keagamaan, sedangkan priyayi adalah kategori sosial dalam stratifikasi struktur
kehidupan masyarakat Jawa.1
Istilah santri dalam kamus bahasa Indonesia berarti siswa di pondok
pesantren.2 Beberapa penulis mencoba memberikan asal-usul dan makna kata
santri A.H. Johns menegaskan bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil,
yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Hindu. Kata
shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama
atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.3 Dhofier sendiri memberikan
pengertian santri sebagai pelajar pondok pesantren dan membaginya ke dalam dua
1 Buku Clifford Geertz, The Religion of Java, mengenai agama orang Jawa itu
mengandung deskripsi pertama yang pernah dibuat oleh seorang ahli mengenai kedua varian
agama Islam di Jawa. Buku ini banyak mendapat perhatian pada ahli mengenai Indonesia baik
asing maupun dalam negeri sendiri. H.W. Bachtiar telah menulis tinjauan panjang mengenai buku
Geertz yang telah mendominasi literature mengenai religi orang Jawa selama lebih dari dua
dasawarsa. Lihat catatan kaki nomor 1 KUntjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka,
1994, hal. 312 2 EM Zul FAjri dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Difa
Publisher, 2000, hal.312 3 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
kategori, yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah murid-murid
yang berasal dari daerah jauh dana menetap dalam pondok pesantren. Santri
kalong adalah murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren,
yang biasanya tidak menetap dalam lingkungan pesantren.4
Pengertian ini mendekati pandangan yang dikemukakan oleh
Kuntjaraningrat.5 Secara umum antropolog ini membagi agama Islam Jawa ke
dalam dua kategori, yaitu Agama Jawi dan Agama Islam Santri. Yang pertama
adalah Agama Islam Jawa yang sinkretis, yang menyatukan unsur-unsur pra
Hindu, Hindu dan Islam. Konsep ini dapat disamakan dengan abangan dalam
istilah Geertz. Sedangkan yang kedua menunjuk pada agama Islam yang puritan,
atau yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Menurut Kuntjaraningrat,
apabila orang Jawa ditanya apa agamanya, pada umumnya mereka akan
menjawab Islam. Walaupun demikian, sebagian besar tidak menjalankan rukun
Islam secara serius, semisal sholat lima watau atau sholat Jum’at. Seringkali tidak
terlalu peduli dengan pantangan makan daging babi. Banyak di antara mereka
tidak berkeinginan menunaikan ibadah haji, meskipun mereka juga taat berpuasa
pada bulan Ramadhan.6 Sedangkan varian Agama Islam Santri, yaitu Islam
puritan, walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animism dan
anasir Hindu-Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang
sebenarnya. Kelak upaya mengikis sisa-sisa yang dianggap sinkretis yang masih
ada dalam kelompok Agama Islam Santri ini melahirkan gerakan puritanisme
4 Lihat Ibid, hal. 51-52
5 Kuntjaraningrat, op.cit., hal. 310-312
6 Ibid, hal. 312
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
ketat bernama Muhammadiyah.7 Sedangkan gerakan Islam yang masih sedikit
banyak mempertahankan atau tepatnya membiarkan praktek-praktek tradisi
budaya sepanjang tidak menyimpang dari akidah dan syariat Islam, termasuk di
dalamnya tradisi Jawa seperti slametan, kenduren, dan lain-lain, menjadi bagian
dari fenomena yang dekat dengan karakter warga Nahdlatul Ulama.8 Hingga kini
orang-orang muslim yang menjadi bagian dari kedua varian Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah dan beberapa organisasi kemasyarakatan Islam lain inilah yang
dimaksud sebagai Islam santri.
Namun demikian, istilah santri dalam penelitian ini mengacu kepda dua
macam pengertian. Yang pertama adalah mereka yang mempelajari agama Islam
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam maupun di luar
lingkungan pondok pesantren. Dalam pengertian ini termasuk didalamnya para
kyai, ulama, mubaligh, guru agama Islam, petani, pedagang dan sebagainya. Para
santri tersebut secara ideologis berafiliasi atau simpati dengan kultur Nahdlatul
Ulama. Para santri yang berafiliasi dengan kultur NU tersebut mempunyai satu
kekhasan tertentu yang terkait dengan bidang kesenian tertentu yang akan menjadi
bagian penelitian ini. Sedangkan para santri di luar Nahdliyyin dibedakan karena
cenderung mengembangkan tradisi dan kesenian yang berbeda.9 Adapun
7 Organisasi keagamaan Islam ini lahir tahun 1912 dipelopori K.H. Ahmad Dahlan di
Yogyakarta 8 Nahdlatul Ulama lahir tahun 1926 di Surabaya sebagai wadah perjuangan para
pemimpin Islam berhaluan tradisional yang dipelopori K.H. Hasyim Asy’ari. Anggaran Dasar
organisasi para ulama yang saat itu sebagian besar anggota/pendukungnya di daerah pedesaan
disusun tahun 1927 yang merumuskan tentang tujuan dan kegiatan organisasi tersebut. Lihat
Dhofier, op.cit., hal. 97-98. 9 Menurut pengamatan penulis, komunitas santri di kalangan Nahdliyyin di Gunungkidul
dan beberapa tempat lain di Jawa cenderung memiliki dan mengembangkan jenis kesenian yang
sama, yang meliputi salawatan dan sejenisnya. Sedangkan komunitas santri bukan Nahdliyyin
khususnya Muhammadiyah, meskipun memiliki sejumlah pondok pesantren namun tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
pengertian kedua adalah para pelajar di pondok pesantren NU di Gunungkidul.
Dalam hal yang terakhir ini biasanya masyarakat menyebutnya santri pondok.
Untuk melihat sekilas peta penduduk Gunungkidul akan dikemukakan
beberapa data kependudukan terbaru. Menurut statistik tahun 2003, jumlah
penduduk Gunungkidul tercatat 754.047 jiwa. Mereka terdiri dari laki-laki
320.320 jiwa dan perempuan 384.727 jiwa. Sebagian besar orang dewasa, dengan
rincian anak laki-laki 118.551 jiwa dan perempuan 197.986 jiwa, sedangkan laki-
laki dewasa 343.366 jiwa dan perempuan 269.356 jiwa.10
Secara formal ada lima agama yang dipeluk penduduk Gunungkidul, yaitu
Islam dengan jumlah pemeluk 716.782 orang, dan jumlah masjid 1.365 buah,
mushola 280 buah dan langgar 389 buah. Agama Kristen dengan jumlah pemeluk
14.792 orang dengan jumlah gereja 50 buah, rumah kebaktian 7 buah. Agama
Katolik dengan jumlah pemeluk 16.659 orang, dan jumlah gereja 31 buah serta
kapel 21 buah. Agama Hindu dengan jumlah pemeluk 1.962 orang dengan pura
sejumlah 9 unit. Agama Budha dengan jumlah pemeluk 443 orang dengan vihara
sejumlah 5 buah, dan cetya 1 buah. Sisanya memeluk aliran-aliran kebatinan
setempat.11
Dari data tersebut, pemeluk Islam jelas kelompok mayoritas. Secara garis
besar pemeluk Islam di Gunungkidul dapat dibedakan ke dalam dua golongan
mengembangkan jenis kesenian seperti di komunitas NU. Satu kelompok seni pertunjukkan yang
berkembnag dalam komunitas Muhammadiyah Gunungkidul adalah kelompok Sabilul Huda di
Wonosari yang pada awalnya di bawah pembinaan H.M. Wasito Dinosaroyo (alm) ketua DPRD
Kabupaten Gunungkidul 2000-2004. Dalam beberapa kali penulis menonton pentasnya, kelompok
ini tidak menonjolkan lagu-lagu dengan tema salawat, melainkan lagu-lagu keagamaan (Islam)
secara umum. 10
Gunungkidul dalam Angka 2003, Badan Pusat Statistik Kab. Gunungkidul tahun 2004. 11
Ibid. hal. 94-95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
yaitu santri dan abangan, atau dalam istilah Kuntjaraningrat, penganut agama
Islam santri dan penganut agama Jawi. Jumlah masing-masing varian belum dapat
diketahui secara pasti. Para pemuka Islam setempat seringkali mengira-ngira
dengan mengatakan bahwa muslim santri di Gunungkidul sekitar 30 persen saja.
Di beberapa wilayah kecamatan bahkan prosentasenya bisa jadi lebih kecil.
Artinya kaum muslim abangan jauh lebih besar daripada kaum santri.12
Persebaran kaum santri di daerah ini tidak merata. Beberapa kawasan yang
dapat dikatakan sebagai daerah kantong santri terbesar adalah Kecamatan
Wonosari, Playen, Karangmojo, Ponjong. Beberapa kecamatan lainnya terdapat
perkiraan santri yang relatif kecil. Pada keempat kecamatan tersebut ditandai
dengan adanya lembaga pendidikan keagamaan seperti pondon pesantren dan
madrasah. Namun sejumlah pondok pesantren juga dijumpai pada beberapa
kecamatan selain empat kecamatan yang disebutkan tadi. Secara keseluruhan
jumlah lembaga pendidikan santri di Gunungkidul baik yang diselenggarakan oleh
organisasi masyarakat keagamaan (Islam) maupun oleh pemerintah, sebagai
berikut : pondok pesantren 30 buah, Madrasah 108 buah, Diniyah 77 buah, belum
terhitung Taman Kanak-kanak bercirikan Islam dan Taman Pendidikan Al-Qur’an
karena data yang belum tersedia.13
Proses terbentuknya generasi santri di Gunungkidul berlangsung melalui
12
Wawancara dengan beberapa orang tokoh agama seperti H.A.Tsamin Fauzi,
H.M.Yusuf, dan H.Bardan Usman. Seorang pejabat Departemen Agama Kantor Kabupaten
GUnungkidul Drs, H. Masdjuri, M.Si. bahkan memperkirakan bahwa muslim santri di
Gunungkidul berkisar 20% saja. Wawancara tanggal 6 Mei 2005. 13
Sumber : Kantor Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul per-Mei tahun 2005.
Organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki lembaga pendidikan cuup banyak di
Gunungkidul adalah NU dan Muhammadiyah. Ada juga yang didirikan oleh yayasan atau pondok
pesantren yang tidak berafiliasi dengan kedua ormas tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut, terutama pondok pesantren.
Lembaga ini memang tempat untuk pembelajaran agama Islam. Pondok pesantren
inilah basis utama pendidikan santri. Beberapa kyai dan tokoh agama terkemuka
di Indonesia termasuk di Gunungkidul adalah santri yang pernah belajar di
pondok pesantren. Sejumlah kyai panutan adalah para khuffadh, yang di samping
ulim adalah lafal kitab suci Al Qur’an. Di antara mereka adalah para lulusan
pondok pesantren di luar Gunungkidul bahkan ada yang lulusan luar negeri.14
Dalam lima tahun terakhir ini jumlah pondok pesantren terus bertambah seiring
dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat muslim setempat untuk
membangun sumber daya manusia berbasis pesantren.
Awal masuk dan tersebarnya Islam di Gunungkidul tidak diketahui secara
pasti. Diperkirakan Islam masuk bersamaan dengan di daerah lain di Jawa
khususnya di Yogyakarta. Menurut para kyai setempat Islam bersemi di daerah ini
secara efektif melalui pengiriman santri ke pusat-pusat pendidikan Islam (pondok
pesantren) di luar Gunungkidul. Mereka juga berkeyakinan bahwa pada awalnya
Islam tersebar di daerah ini oleh para walisongo. Pada permulaan abad ke-20, para
santri yang pulang belajar dari pondok pesantren di luar Gunungkidul mulai
mengajarkan Islam kepada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini
misalnya terjadi di Gubukrubuh dan Getas di Kecamatan Playen.
Di dua dusun ini diperkirakan Islam masuk secara efektif sekitar tahun
1920-an. Para santri yang baru pulang belajar dari pondok di luar Gunungkidul
saat itu mengajarkan agama Islam kepada warga di lingkungan tempat tinggal
14
Wawancara tanggal 20 Februari 2005 dengan Drs. H. Kharits Masduki, L.C. Kyai ini
adalah pendiri, pimpinan dan pengasuh pondok pesantren Darul Qur’an wal Irsyad, Ledoksari,
Kepek, Wonosari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mereka. Meskipun demikian mereka belum dapat mendirikan lembaga pendidikan
Islam baik berupa madrasah maupun pondok pesantren. Pondok pesantren
pertama di Getas adalah pondok pesantren Al Hikmah, didirikan oleh K.H. Yusuf
Masyhuri, pada tahun 1978.15
Sedangkan para penyebar Islam di Gubukrubuh dan
Getas adalah para santri yang belajar agama Islam di pondok pesantren
Wonokromo, Pleret Bantul, dan Kotagede, Yogyakarta.16
Dua orang saudara K.H.
Yusuf Masyhuri bermukim di Wonosari, masing-masing mendirikan sebuah
pondok pesantren bernama Fajar Sa’adah dan Sabilunnajah. Ponspes Al Hikmah
sendiri kini memiliki santri sebanyak 200 orang putra putri. Di komplek Al
Hikmah terdapat 3 madrasah dan 1 sekolah Menengah Kejuruan.17
B. Ragam Kesenian Santri di Gunungkidul
Daerah Gunungkidul merupakan tempat subur bagi tumbuhnya beraneka
jenis kesenian, khususnya kesenian tradisional. Seperti halnya daerah lain di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, keberadaan aneka kesenian tradisional di
Gunungkidul relatif masih bertahan hingga saat ini.
Berdasarkan catatan resmi pemerintah setempat kesenian dibagi menjadi
15
Data yang ada di Kantor Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul menunjukkan
bahwa pondok-pondok pesantren di Gunungkidul lahir dalam kurun waktu antara tahun 1978
sampai 2004 dan pondok pesantren Al Hikmah adalah yang tertua (1978). Menurut K.H. Yusuf
Masyhuri, sebelum tahun-tahun tersebut memang belum ada pondok pesantren. Para tokoh
masyarakat Islam yang ada di Gunungkidul adalah alumni dari berbagai pondok pesantren di luar
daerah Gunungkidul. Ketika mereka pulang ke daerahnya para alumni ini mengajarkan agama
Islam kepada warga di lingkungan masing-masing tanpa mendirikan institusi pendidikan seperti
pondok pesantren. Wawancara dengan K.H. Yusuf Masyhuri tanggal 16 Oktober 2003. 16
Di antaranya adalah K. Abu Amar, K.H. Masyhuri, dan K.M. Badawi. Menurut
Sumpeno mereka adalah pelaku seni rodat pada masa-masa awal dakwah Islam di Getas, Playen.
Lihat Sumpeno S.M., Mengenal Sholawatan Rodad Syubbanul Muslimin, naskah stensilan tidak
dipublikasikan, tanpa tahun, hal. 3. 17
Sumber data : Pondok Pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen, Gunungkidul
per Mei 2005.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
empat macam, yaiatu seni teater, seni tari, seni rupa dan seni musik. Data terakhir
menunjukkan bahwa seni tari terdiri atas 4 topeng 1 buah, reog 148 buah, jathilan
42 buah, doger 25 buah, tayub 4 buah, roda 6 buah, badut 1 buah, dan jluntur 1
buah. Sedangkan seni musik terdiri atas karawitan 419 buah, keroncong 24 buah,
angklung 4 buah, rebana 205 buah, kulintang 7 buah, band 18 buah, siteran 104
buah, campursari 61 buah, gejok lesung 43 buah, rinding, 2 buah, gambang 1
buah, mocopat 51 buah, santi suaran 6 buah, samroh 33 buah, dan maranggono
267 orang.18
Dari data tersebut ada tiga jenis kesenian yang dapat dikategorikan
bernuansa keislaman, yaitu rodat, rebana, dan samroh. Dalam jajaran seni teater
hanya mencatata varian rodat sebanyak 6 kelompok. Keenam kelompok tersebut
terdapat di 2 kecamatan yaitu Playen dan Karangmojo. Sementara itu pada
kelompok seni musik tercatata jenis rebana sebanyak 205 kelompok. Dari
keseluruhan data seni musik, angka ini menempati urutan nomor dua setelah
karawitan. Semuanya tersebar di beberapa lokasi kecamatan di Gunungkidul.
Sedangkan untuk kelompok samroh tercatat sebanyak 33 buah.
Berikut ini paparan deskriptif beberapa jenis kegaitan yang dikembangkan
kaum santri di Gunungkidul. Uraian ini berdasarkan data lapangan terutama jenis
kesenian yang masih hidup di kalangan santri dan pondok pesantren. Namun
demikian perlu dikemukakan mengenai komunitas santri yang menjadi pendukung
kesenian mereka. Dipandang dari lokalitas pendukungnya kesenian bernuansa
keislaman ini dibagi ke dalam dua bagian. Kelompok pendukung pertama adalah
18
Gunungkidul dalam Angka 2003.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
para santri yang bertempat tinggal di sekitar pondok pesantren. Termasuk di
dalamnya para santri aktif, ustadz dan ustadzah, pengasuh pondok pesantren, dan
warga sekitar yang turut dalam kegiatan pondok pesantren. Kelompok pendukung
kedua adalah para santri di luar pondok pesantren. Di dalamnya terdiri atas para
remaja, guru agama, aktivis masjid, kyai, da’i, mubaligh, dan sebagainya yang
secara fisik berdomisili di luar lingkungan pondok pesantren.
Pada dasarnya kedua kelompok santri pendukung kesenian bernuansa
keislaman ini mengembangkan syair-syair salawat sebagai materi lagu pokok.19
Itulah sebabnya hamper keseluruhan seni musik maupun seni teater yang
berkembang itu disebut sebagai seni salawatan.20
Fenomena salawat yang
diekspresikan dalam wajah seni ini pun tidak jarang mendapat reaksi dan
tantangan keras dari sebagian masyarakat muslim.21
Berdasarkan pengamatan pada kedua komunitas pendukung di atas,
kesenian yang mereka kembangkan terbagi dalam tiga kelompok, yaitu rodat,
salawatan, dan manakiban. Pertama, kesenian rodat mreupakan salah satu jenis
seni pertunjukkan dengan memadukan unsur salawat, tarian, dan terbangan.
Sebenarnya rodat ini juga melantunkan syair-syair shalawat, namun lebih atraktif
19
Berbagai teks shalawat yang menjadi sumber syair-syair lagu salawatan antara lain
Kumpulan Qosidah Terpopuler Abad ini, disusun H. Abdullah Zaini D. Asnawi, diterbitkan Gema
Suara Pesantren Purwodadi, 2004, dan Majmu’ah Maulid wa Ad’iyyah, tanpa pengarang,
Semarang, Toha Putra, tanpa tahun. 20
Para peneliti seperti Umar Kayam dkk menyebutkan seni salawtan sebagai jenis seni
tersendiri tetapi menggolongkannya ke dalam kelompok seni teater. Lihat Umar Kayam
“Pertunjukkan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan” dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.),
Ketika Orang Jawa Nyeni, Yogyakarta : Galang Press, 2000, hal. 339. 21
Para muballigh Muhammadiyah memandang kesenian santri yang banyak
dikembangkan masyarakat lokal di pesisir utara Jawa Timur seperti syi’iran dan salawatan sebagai
peristiwa bid’ah dan khurofat dengan beralasan bahwa apa yang dikembangkan tersebut tidak
pernah dilakukan di masa Nabi Muhammad, dan bahkan mengandung contradiction in terminis.
Lihat Baidhowi dkk (Ed.), Puruifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa
Muhammadiyah dan Seni Lokal, Surakarta : PSB-PS-UMS, 2003, hal. 130.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
sehingga unsur tariannya tampak sangat menonjol. Kesenian rodat jarang sekali
tampil dalam pertunjukan, kecuali pada saat-saat tertentu seperti memenuhi
undangan perayaan sekaten.22
Rodat, yang dalam beberapa tulisan ditulis rodad,23
merupakan bentuk
kesenian kelompok salawatan yang sudah lama tumbuh di masyarakat muslim di
Gunungkidul dan sekarang tidak banyak jumlahnya. Berdasarkan data resmi
kelompok kesenian ini tercatat sebanyak 6 buah. Fungsi dari pertunjukan adalah
sebagai tontonan hiburan bagi masyarakat umum, dimana penontonnya tidak
dipungut bayaran.
Jumlah pendukung pementasan kesenian ini mencapai 30 orang, yang
terdiri dari 10 orang penari dan 10 orang pelantun syair salawat dan lainnya
pemain instrumen berupa beberapa buah alat perkusi yang biasa disebut
terbangan. Syair-syair salawat yang dilantunkan berpedoman pada kitab Al
Barzanji. Para pemainnya menggunakan kostum berupa peci, baju dan celana
sergam. Mereka selalu membawa kipas dari kertas atau saputangan sebagai
perlengkapan tangan. Penari berada dalam posisi duduk bersimpuh dan jengkeng.
Hanya pada waktu srokal24
saja mereka berdiri dengan posisi badan tegak dan
22
Pada perayaan sekaten tahun 2005 ini kelompok kesenian rodat Syubbanul Muslimin,
Getas, Playen mendapat undangan pentas di Yogyakarta. Pada saat itu Kelompok kesenian ini
menampilkan personil sebanyak 30 orang dengan menampilkan 5 buah lagu. Wawancara tanggal 9
Januari 2005 dengan Sumpeno, S.M., anggota pemain rodat tersebut. 23
Kata rodat berasal dari kata rodda yang berarti berulang-ulang. Dalam seni rodat
memang terjadi gerak tarian yang dilakukan berulang-ulang. Wawancara tanggal 16 Oktober 2003
dengan K.H.Yusuf, mantan pemain rodat di Gubukrubuh, Getas, Playen. 24
Srokal adalah istilah untuk menyebut saat dimana dibaca bait-bait syair yang dimulai
dengan kata Arab asyrokal badru alaina …(telah terbit bulan purnama [Nabi Muhammad] di atas
kami dan seterusnya yang diambil dari bait salawat dalam kitab Al Barzanji. Pada saat membaca
syair tersebut maka semua yang hadir bangkit berdiri hingga akhir pembacaan syair salawat
tersebut. Di kalangan santri, saat berdiri itu disebut dengan istilah berbahasa Arab, mahallul
qiyam, artinya posisi berdiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
kaki tertutup. Pendapat lain mengatakan bahwa gerak lebih dipusatkan pda tangan
dan kepala, yang memang memiliki sentuhan spiritual dan kadang-kadang
dibarengi oleh liukan-liukan badan.
Di Getas, Kecamatan Playen, kesenian rodat diperkirakan masuk bersama-
sama dengan masuknya agama Islam di desa tersebut. Hal ini terjadi kurang lebih
tahun 1920-an dan mengalami kesempurnaan sebagai rodat sekitar tahun 1950.
Kesenian rodat ini diprakarsai oleh para kyai pondok pesantren dari Wonokromo,
Bantul dan dikembangkan oleh para santri dan dikembangkan oleh para santri asal
Getas yang pulang belajar dari pondok tersebut.25
Kedua, dalam kelompok salawatan terdapat beberapa varianhadrah,
berzanjen, diba’an, samroh/kasidah, dan salawat jowo. Masing-masing memiliki
ciri-ciri yang dapat membedakan satu dengan lainnya. Hadrah, samroh/kasidah
dan salawat jawa adalah jenis seni pertunjukan yang memadukan antara bacaan
salawat yang dilagukan dengan diiringi alat musik berupa rebana atau terbangan.
Bisa juga dengan ditambah alat kesenian lainnya seperti keyboard, gitar,
biola, dan sebagainya. Pada hadrah, syair salawat yang dinyanyikan menggunakan
bahasa Arab yang pendukungnya kalangan muda, putra maupun putri. Sedangkan
pada samroh disamping menyanyikan syair salawat berbahasa Arab juga
menggunakan syair lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Jawa. Pendukung samroh
kebanyakan kaum muda putri dengan peralatan berupa rebana. Sementara
25
Sumpeno S.M., op.cit., hal. 2 Prakarsa kayai dalam pendirian kelompok kesenian
seperti rodat ini menunjukkan bahwa sesepuh pondok pesantren, yaitu para kyai, tidak hanya
merestui keberadaan aktivitas seni di kalangan santri pondok pesantren atau di kalangan
masyarakat muslim, melain justeru langsung mewujudkannya. Bukti ini memperkuat pandangan
bahwa para kayi juga menempuh jalur kesenian di dalam mendidik para santrinya, terutama dalam
bentuk pelantunan syair-syair salawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
kelompok seni salawat jowo, kebanyakan syair menggunakan bahasa Jawa. Jika
kelompok terakhir ini menyanyikan tembang shalawat berbahasa Arab maka
sangat jelas dalam pengucapan syair tersebut tidak dipengaruhi dialek bahasa
Jawa. Para pendukungnya kebanyakan orang tua, putra dan putri. Peralatan musik
salawat jowo yang paling sederhana menggunakan terbangan, sedangkan untuk
kelompok yang komplit di samping menggunakan terbangan, penggunaan
gamelan lebih menonjol, bahkan ditambah dengan alat musik modern seperti
keyboard dan drum.
Pembacaan kitab Al Barzanji, yang oleh komunitas santri disebut
berzanjen merupakan forum baca bersama syair-syair salawat berbahasa Arab
yang mengacu pada kitab Al Barzanji.26
Para pendukung kegiatan ini tidak
terbatas umur tetapi kebanyakan dilakukan oleh kaum santri putra. Pada berzanjen
tidak diiringi musik rebana atau alat musik lainnya, sehingga lebih bernuansa
sacral, dalam arti pembacaan shalawat tersebut dilakukan secara khusus dalam
suasana khidmat. Teks Al Barzanji terdiri dari dua bentuk, prosa dan syair
bersajak. Berzanjen dipimpin seseorang yang biasanya membaca sendirian
salawat yang berupa prosa, sedangkan pembacaan salawat bersajak dilakukan
bersama. Salawat dengan teks bersajak dibaca dengan berbagai lagu variasi yang
sudah biasa dilagukan. Beberapa dari syair salawat Al Barzanji telah menjadi syair
lagu-lagu pada seni pertunjukan seperti hadrah, samroh, dan rodat.
Sementara Diba’an adalah jenis forum pembacaan salawat yang mengacu
26
Penulis salawat Al Barzanji adalah Abu Ja’far Al Madani Al Barzanji, seorang khotib
Masjid Nabawi di kota Madinah Arab Saudi (wafat 1763 M/1177 H). Lihat Ahmad Anas,
Menguak Pengalaman Ssufistik : Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
pada teks salawat dalam kitab Ad-Diba’i. Teks salawat dalam kitab ini berupa
syair bersajak yang dibaca dengan lagu tertentu. Pendukungnya para santri muda,
putra-putri. Kadang-kadang juga dihadiri oleh para santri senior dan orang tua.
Diba’an tidak selalu diiringi alat musik rebana atau terbangan. Jenis salawatan ini
bukan untuk dipertontonkan, melainkan diadakan di rumah-rumah atau di masjid
dan mushola. Diba’an biasanya dilakukan pada malam hari sebagai lanjutan dari
kegiatan Yasinan.
Bentuk seni yang ketiga adalah Manakiban, yaitu jenis sastra lisan berupa
pembacaan hikayat atau kisah-kisah para nabi, sahabat nabi, wali-wali dan
sebagainya yang diperdengarkan kepada kelompok audiens tertentu. Pembacaan
Manakib dilakukan oleh seoran gkyai di hadapan para jama’ah. Kitab Manakib
merupakan sebuah buku yang ditulis dalam bahasa Arab yang saat pembacaan
langsung diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Di Gunungkidul, Manakiban
termasuk kegiatan yang jarang dilakukan oleh kaum santri.27
C. Bentuk-bentuk Kesenian Santri di Antara Kesenian Kontemporer
Sebenarnya pemisahan antara kesenian santri dan non santri mengacu pada
kecenderungan kedua varian tersebut dalam mengembangkan kesenian yang lebih
khas. Dalam banyak kasus, beberapa jenis kesenian santri dimainkan juga oleh
kelompok kesenian non santri. Namun sebaliknya, pelaku kesenian santri jarang
memainkan lagu-lagu yang sering dilagukan non santri. Dalam hal pertama, dapat
ditemukan pada beberapa kelompok musik campursari yang menampilkan lagu-
27
Wawancara dengan Drs. H. Bardan Usman, M.Pd.I, tanggal 10 Januari 2005. Pada saat
wawancara, kyai ini mengatakan dapat melakukan Manakiban asal ada warga pengajian yang
menghendaki.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
lagu salawatan sebagai variasi, atau atas permintaan penanggap. Lagu salawatan
yang sering ditampilkan adalah Salawat Badar, sebuah lagu yang sangat popular
di kalangan dunia santri pondok pesantren.
Ada beberapa kecenderungan perbedaan antara santri dan non santri. Pada
kesenian kaum santri lagu-lagunya bernuansa keagamaan (religious), kebanyakan
berbahasa Arab, pemain atau pelaku kesenian lebih bermotivasi ibadah daripada
sebagai pekerjaan tetap. Mereka melakukannya lebih sebagai kegiatan sampingan
dan penyalur hobi. Busana yang dipakai busana muslim, dan peralatan yang
dipakai sederhana meskipun juga beberapa kelompok menambahkan dengan
penggunaan alat-alat musik modern.
Sedangkan kesenian nonsantri, lagu-lagunya bukan bernuansa keagamaan
meskipun seringkali menampilkan lagu-lagu keagamaan, tidak menggunakan
bahasa atau syair Arab, melainkan bahasa non-Arab, entah bahasa Jawa atau
Indonesia. Banyak pelaku seni nonsantri adalah pemain profesional, bersifat
komersil, busana yang dipakai bukan busana muslim, melainkan busana adat
Jawa. Peralatan yang dipakai disamping menggunakan perangkat gamelan juga
dilengkapi dengan peralatan musik modern lainnya semisal keyboard, gitar, drum
dan sebagainya.28
Para santri memiliki padangan yang khas tentang kesenian nonsantri.
Sebagian besar kaum santri berpandangan bahwa beberapa kesenian daerah di
Gunungkidul seperti jathilan, doger, reog dan campursari harus dipertahankan dan
dilestarikan. Kesenian tersebut merupakan hiburan dan dibutuhkan oleh
28
Wawancara tanggal 12 Januari 2005 dengan Drs. H. Ahmad Supono, seorang santri
senior pelaku dan Pembina kelompok seni Salawat Jowo Prajurit Mataram Narendra Pranana,
Kepek, Wonosari, Gunungkidul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
masyarakat. Dalam bebagai peristiwa lokal seperti perayaan sedekah bumi atau
biasa disebut rasulan, penampilan reog, jathilan, dan wayangan dianggap suatu
keharusan. Dalam berbagai hajatan keluarga, menghadirkan hiburan musik
campursari sering menjadi kebanggaan tersendiri. Begitu juga hiburan lain
semimal kethoprak dan seni karawitan.
Meskipun para santri berpandangan bahwa berbagai jenis kesenian daerah
harus dilestarikan, namun pada kenyataannya mereka kurang memberikan
kesempatan kepada kelompok seni tertentu untuk ditampilkan. Mereka memang
senang mendengarkan hiburan semisal campursari, tetapi para keluarga santri
jarang yang mengundang kelompok kesenian ini pada acara-acara hajatan
keluarga seperti resepsi pernikahan. Padahal secara umum pada setiap hajatan
perkawinan para keluarga yang mampu menanggap musik campursari atau
kethoprak secara live. Masyarakat santri merasa kurang mantap mengundang
hiburan campursari dengan alasan stereotipe yang agak negatif. Di antara mereka
ada yang berpandangan bahwa hiburan campursari, teurtama yang diadakan pada
malam hari, seringkali dibarengi dengan caran minum-minuman keras dan
terkadang menimbulkan keributan. Dalam padangan mereka minuman keras
adalah sumber keonaran dan jelas dilarang agama. “Minumas keras haram dalam
Islam”.29
Dalam acara hajatan keluarga, pada umumnya hiburan dapat berupa
pertunjukan kelompok seni langsung, maupun dalam bentuk pemutaran kaset atau
29
Wawancara tanggal 8 Januari 2005 dengan Ali Maksum dan Ali Ikhsan, keduanya
santri senior di pondok Pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen, Gunungkidul. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh Ahmad Fauzi seorang santri pondok pesantren Darul Qur’an wal
Irsyad, Ledoksari, Wonosari, Gunungkidul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
compact disc melalui tape recorder atau pengeras suara. Meskipun banyak
keluarga yang punya hajat tertentu tidak mengundang grup kesenian campursari,
tetapi mereka yang kurang mampu umumnya memutar kaset atau compact disc
dengan load speaker.
Tidak seperti pada masyarakat umumnya di Gunungkidul, dimana pada
saat upacara prosesi adat perkawinan diperdengarkan suara gamelan, masyarakat
santri di Getas justru menaggantinya dengan tabuhan musik rebana dengan
nyanyian salawat. Hal ini berlaku dalam bentuk tampilan iringan langsung oleh
grup rebana semisal hadrah ataupun dengan pemutaran kaset. Mereka memandang
iringan musik salawatan sebagai symbol keislaman dan menginginkan hajatannya
sebagai peristiwa budaya sekaligus religius. Pandangan ini berarti bahwa pemilik
hajatan tersebut hendak menunjukkan keislamannya melalui iringan musik
religius kepada para tamu yang menyaksikan, termasuk kepada keluarga besan.
Bentuk lain citra keislaman dalam acara hajatan perkawinan di Getas
diwujudkan dalam kegiatan semacam pengajian. Ceramah agama ini termasuk
bagian dari rangkaian dalam peristiwa resepsi perkawinan. Penceramah di undang
secara khusus oleh pemilik hajatan dengan menampilkan da’i kondang setempat.
Dalam istilah lain, ceramah pengajian ini disebut juga dalam bahasa Jawa ular-
ular atau sabdotomo. Tema ceramah adalah sekitar membina rumah tangga dan
keluarga harmonis yang secara khusus diperuntukkan sebagai nasihat perkawinan
bagi pengantin.
D. Kreativitas: Dari Festival hingga Konversi
Sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan, seperti halnya berbagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
kelompok seni lainnya di Gunungkidul, seni bernafaskan keislaman
memanfaatkan berbagai kesempatan untuk menunjukkan diri di tengah kelompok-
kelompok kesenian yang ada. Tentu menjadi kesenangan tersendiri apabila
kelompok seni tertentu mendapat apresiasi dari warga masyarakat. Bentuk
apresiasi itu dapat berupa undangan manggung untuk hajatan keluarga atau
perkumpulan, kegiatan festival, atau pada peristiwa khusus seperti hari besar
Islam dan semacamnya sampai acara yang berbau politik.30
Juga pada peristiwa
hajatan dinas instansi pemerintah seperti kegiatan karnaval yang secara rutin
diselenggarakan di Gunungkidul. Dalam berbagai peristiwa ini kelompok
kesenian termasuk milik para santri ikut ambil bagian kendati mereka harus
menanggung sendiri biaya yang diperlukan.
Masyarakat santri sendiri memiliki waktu tertentu untuk menampilkan seni
khas mereka. Selain pada momentum di atas, aktivitas berseni di kalangan santri
telah menjadi kegiatan rutin yang bersifat mingguan. Bagi para santri pondok
pesantren Al Hikmah Gubukrubuh, misalnya salawatan merupakan kegiatan yang
hampir tiap minggu dilakukan. Jenis salawatan yang diperdengarkan adalah
berzanjen, diba’an, dan juga hadrah. Salawatan seringkali merupakan kegiatan
yang dilakukan setelah yasinan pada malam hari dan pada umumnya diikuti oleh
para remaja putra-putri. Kegiatan seni yang bersifat harian pun juga ada. Hal ini
dapat kita temukan pada masjid-masjid tertentu dimana menjelang waktu-waktu
sholat lima waktu, jamaah atau petugas masjid melantunkan puji-pujian yang
30
Kelompok Salawat Jowo, Prajurit Narendra Pranama, Trimulyo, Kepek, Wonosari,
pernah diundang oleh salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati periode 2005-2009,
untuk mengiringi saat calon tersebut hendak mendaftarkan diri di kantor Komisi Pemilihan Umum
Daerah Kabupaten Gunungkidul, pada tanggal 6 April 2005. Wawancara tanggal 12 Januari 2005
dengan Ahmad Supono, pemimpin kelompok seni Salawat Jowo tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
mengandung doa, salawatan dan dakwah.31
Di samping melakukan berbagai aktivitas kesenian di lingkungan mereka
atau atas undangan tertentu, para santri di Gunungkidul memiliki agenda khusus
dalam mengembangkan kesenian mereka. Ternyata kelompok-kelompok kesenian
para santri tidak hanya aktif mengikuti kegiatan festival yang diadakan di luar
Gunungkidul. Mereka juga telah membuat agenda dua tahunan berupa festival
salawat tingkat kabupaten Gunungkidul. Pada tahun 2005 festival salawat
merupakan festival ketiga sejak diadakan dua kali sebelumnya, yaitu tahun 2001
dan 2003 yang lalu.
Untuk mengetahui gambaran dan semangat kolektif kaum santri
mengembangkan kesenian mereka, berikut ini dikemukakan deskripsi kegiatan
festival dua tahunan tersebut. Festival salawat yang ketiga kalinya ini
dilaksanakan selama lima malam dari tanggal 4 sampai dengan 8 Mei 2005,
bertempat di kompleks masjid Al Hidayah, Kepek, Wonosari. Peserta festival
sebanyak 33 kelompok kesenian se-Kabupaten Gunungkidul. Lomba salawatan
dibagi dalam tiga kategori, yaitu hadrah klasik, hadrah modern dan salawat Jowo.
Klasifikasi tersebut tampaknya didasarkan atas instrument dasar kesenian. Untuk
kategori hadrah klasik dimaksudkan sebagai kelompok kesenian yang
instrumennya menggunakan jenis perkusi atau terbangan. Kelompok hadrah
modern mengacu pada penggunaan alat-alat musik modern seperti gitar, keyboard,
biola, drum dan sebagainya di samping menggunakan alat-alat instrumen
31
Bacaan shalawat doa, pujian dan sebagainya, masih dapat didengar di beberapa masjid
seperti masjid Al Huda, Bansari, Kepek, Wonosari, Masjid Darul Qur’an wal Irsyad di Ledoksari,
Kepek, Wonosari dan sejumlah masjid di Getas, Playen. Pada umumnya bacaan-bacaan tersebut
masih diperdengarkan di masjid-masjid yang jamaahnya komunitas Nahdliyyin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
tradisional. Materi lagu yang dilombakan tidak jauh dari lagu-lagu pada festival-
festival sebelumnya, yaitu lagu-lagu favorit yang selama ini diperdengarkan oleh
kelompok-kelompok kesenian santri. Para peserta festival diharuskan
menyanyikan lagu wajib dan lagu pilihan yang telah ditentukan.32
Para yuri diambilkan dari para santri senior yang dipandang ahli dan
pengalaman dalam bermain musik seni salawatan. Sesuai dengan bidang yang
dinilai, tim yuri terdiri atas 4 orang. Di antara mereka adalah para santri senior
yang sehari-hari adalah Pegawai Negeri Sipil di Gunungkidul. Sedangkan
kejuaraan ditetapkan untuk masing-masing ketiga kategori tersebut : juara satu,
dua, dan tiga ditambah dua juara harapan. Masing-masing juara mendapat hadiah
berupa piala dan uang pembinaan.33
Penyelenggaraan kegiatan festival terakhir ini menelan dana yang cukup
besar. Untuk itu panitia berusaha mencari dana dari berbagai pihak seperti
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, para donator dari kalangan santri,
pengusaha, perorangan, hingga tokoh partai politik. Ternyata untuk
penyelenggaraan festival salawat tahun ini dana terbesar bersumber dari seseorang
yang saat itu menjadi calon pejabat Bupati dari salah satu partai politik di
Gunungkidul.
Bentuk lain dari kreatifitas santri dalam dunia kesehatan adalah mencipta
32
Pada festival tahun ketiga tanggal 4 sampai dengan 8 Mei 2005 ini masing-masing regu
tampil dalam waktu 20 menit. Lagu wajib untuk semua jenis kategori yang dilombakan adalah
Salawat Badar, sedangkan lagu pilihan bebas. 33
Pada tahun ini hadiah untuk kejuaraan berupa tropi Bupati Gunungkidul. Dari
wawancara dengan sejumlah peserta lomba salawatan, terkesan mereka tidak berambisi untuk
memperoleh juara. Mereka sudah merasa senang ikut berpartisipasi dalam festival, yang di mata
mereka sebagai ajang unjuk kebolehan dalam seni salawat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Lagu. Seperti yang akan dibahas dalam bab berikutnya, lagu merupakan bagian
penting dari penampilan kesenian santri. Pada umumnya para santri mengambil
syair-syair salawat sebagai materi lagu. Syair-syair salawat yang bersumber dari
karya para pujangga Arab terdahulu itu kini dikoleksi dalam sebuah kitab berjudul
Majmu’ah Mawalid wa Ad’iyyah, ditulis dalam bahasa Arab.34
Bentuk lain dari kreatifitas santri dalam dunia kesenian adalah mencipta
lagu. Seperti yang akan dibahas dalam bab berikutnya, lagu merupakan bagian-
bagian penting dari penampilan kesenian santri. Pada umumnya para santri
mengambil syair-syair salawat sebagai materi lagu. Syair-syair salawat yang
bersumber dari karya para pujangga Arab terdahulu itu kini dikoleksi dalam
sebuah kitab berjudul Majmu’ah Mawalid wa Ad’iyyah, ditulis dalam bahasa
Arab.35
Di Gunungkidul, sebagaimana halnya di daerah lain di Jawa, syair-syair
salawat selain berbahasa Arab, banyak didapati berbahasa Jawa. Oleh karena itu
lagu-lagu atau syair pujian kita dapati di daerah ini hamper semuanya
menggunakan bahasa Arab dan Jawa.
Sebagian santri senior dan kyai yang terlibat dalam aktivitas kesenian di
34
Wawancara tanggal 12 Januari 2005 dengan Drs. H. Ahmad Supono, ketua panitia
penyelenggara festival salawatan tahun 2005. Dia juga Pembina kelompok seni salawatan Jowo,
Prajurit Narendra Pratama, Kepek, Wonosari. Peristiwa ini menunjukkan bahwa seni keagamaan
tidak hanya untuk peristiwa keagamaan saja tetapi dapat dilibatkan dalam kegiatan kegiatan
nonkeagamaan seperti kegiatan bernuansa politik. Dalam kasus ini sang kandidat memanfaatkan
kelompok kesenian keagamaan antara lain untuk membangun citra kedekatannya dengan para
pelaku seni termasuk komunitas dari mana kelompok seni tersebut muncul. 35
Buku ini berisi kumpulan syair-syair yang berisi sanjungan terhadap Nabi Muhammad
SAW, serta keluarga, dan para sahabat Nabi. Syair-syair sanjungan ini tertulis dalam bentuk
Nadhom, bait sajak, dan berupa Natsar, karangan prosa. Para penulisnya adalah Imam Jalil
Abdurrahman Al Diba’i berjudul Maulidu Al Diba’i, Al Barzanji berjudul Maulid Al Barzanji
Natsran wa Nadhman, Syekh Muhammad Al ‘Azab berjudul Maulid Al ‘Azab, dan ada yang
berjudul Syaroful Anam, tanpa nama pengarang. Kumpulan kitab ini juga membuat beberapa
macam doa. Kitab yang diterbitkan di Semarang ini tidak mencamtumka sumber pengambilan
teks-teks salawat di dalamnya. Lebih lanjut lihat Majmu’ah Maulid wa Adi’iyyah, tanpa
pengarang, Semarang : Toha Putra, tanpa tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Gunungkidul merasa kurang puas dengan hanya menyanyikan lagu-lagu dengan
syair berbahasa Arab. Oleh karena itu di antara mereka ada yang berusaha
mengubah lagu untuk dinyanyikan kelompok kesenian mereka. Satu fenomena
penting dari kreativitas para seniman santri adalah memodifikasi atau membuat
syair/lirik lagu secara baru dan irama lagu-lagu yang sudah popular. Hal itu
berlaku baik pada lagu-lagu berbahasa Indonesia maupun lagu-lagu campursari
berbahasa Jawa. H. Bardan Usman adalah seorang santri senior yang banyak
bergelut dalam menggarap konversi lagu-lagu berbahasa Jawa. Disebut konversi
karena syair yang dibuat belakangan terkadang amat kontraditif dengan makna
dan isi lagu yang asli. Sejumlah syair lagu yang di mata kebanyakan orang,
apalagi para santri, sangat berbau porno, dengan cerdik diubahnya menjadi syair
religius.36
Gejala ini dilakukan tidak lepas dari keinginan para santri tersebut
dengan memanfaatkan popularitas lagu untuk kepentingan tertentu, misalnya
dakwah agama. Dengan demikian kreativitas ini dilakukan sebagai wujud
kepedulian mreeka untuk mengimbangi sekaligus memanfaatkan kesenian
nonsantri menjadi konsumsi yang layak bagi komunitas santri. Ini sebagai bentuk
persaingan canggih antara dua wujud ekspresi seni sehingga dapat diterima oleh
masyarakat pendukungnya. Sebuah pertarungan wacana antara dua arus, kaum
santri dan nonsantri dalam kemasan seni. Nada dan iramanya sama tetapi dengan
konversi tersebut isi dan pesan lagu menjadi sangat berbeda. Beberapa lagu
campursari popular yang kemudian dimodifikasi syairnya sehingga bernuansa
religius adalah Cucak Rowo, Rondo Kempling, Mendem Wedoan, Perahu Layar,
36
Fenonema ini muncul sebagai upaya santri untuk menjadikan tontonan menjadi
tuntunan. Sebagai contoh yang paling menonjol adalah lagu Cucak Rowo, yang syairnya dianggap
porno kemudian diubah sehingga tidak porno lagi bahkan bersifat ajakan dakwah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dan lain-lain.37
E. Momen Kesenian
Yang disebut dengan momen kesenian adalah peristiwa-peristiwa sosial
dan keagamaan yang menyediakan atau menjadi ajang bagi para kelompok
kesenian untuk mengartikulasikan rasa kebersenian mereka. Paparan ini akan
memberikan pemahaman apakah kesenian para santri hanya berkaitan erat dengan
peristiwa keagamaan saja, atau di luar acara yang bernuansa keagamaan. Dengan
kata lain sejauh manakah kesenian santri menjadi bagian dari keberagaman
mereka serta sejauh mana pula kesenian mereka menjadi bagian dari kreativitas
seni yang dinikmati oleh masyarakat luas?
Secara umum kesenian yang hadir di tengah-tengah masyarakat baik
sebagai hiburan atau ritual berkaitan erat dengan kondisi sosial masyarakat.
Beberapa momen yang menjadi arena bagi pementasan kesenian di Gunungkidul
antara lain peristiwa keagamaan, upacara tradisi masyarakat, peristiwa indisentil
baik individual maupun instansi, festival, uang tahun (kabupaten Gunungkidul,
pondok pesantren atau lembaga tertentu), hingga momen berbau politik, dan lain-
lain. Berbagai peristiwa sosial maupun politik seringkali menjadi ajang pentas
bagi para seniman local untuk menunjukkan kebolehan mereka.
Aneka momen yang ada itu pada umumnya menyediakan ruang bagi
kesenian sesuai dengan misi masing-masing. Oleh karena itu setiap jenis kesenian
37
Wawancara tanggal 9 Januari 2005 dengan Drs. H. Bardan Usman , M.Pd.I. Kyai ini
termasuk sangat kreatif dalam mengkonversi lagu-lagu yang sudah popular di masyarakat. Lagu–
lagu hasil karya konversinya ditulis dalam sebuah buku stensilan kecil berjudul Lelagon
Sholawatan Khoirum Nisa’ Bansari. Di dalamnya dimuat lagu-lagu karyanya sebanyak 12 buah
lagu dengan syair bahasa Jawa dan Arab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
boleh dikatakan memiliki ruang yang khas untuk mereka. Dalam peristiwa bersih
dusun misalnya, kesenian yang ditampilkan antara lain reog, jathilan, doger,
kethoprak, wayang dan sebagainya. Jenis-jenis kesenian ini memang merupakan
bagian penting dari ritual budaya masyarakat yang hingga kini masih semarak di
Gunungkidul itu. Demikian pula halnya dengan peristiwa ulang tahun pondok
pesantren atau kegiatan khatmil qur’an. Pada peristiwa yang diselenggarakan oleh
komunitas pesantren ini, sesuai dengan keberadaannya sebagai salah satu pusat
pendidikan keagamaan Islam di masyarakat, jenis kesenian yang ditampilkan
mencerminkan misi dan aktivitas keagamaan mereka. Di sini tentu bukanlah reog
atau campursari yang disuguhkan, melainkan kesenian yang telah menjadi bagian
dari dunia santri misalnya hadrah.38
Secara khusus, momen pertunjukan kesenian para santri tidak terbatas
pada kegiatn yang bersifat keagamaan saja, seperti pengajian dan peringatan hari
besar Islam. Salah satu peristiwa yang menjadi arena penampilan hadrah adalah
pada acara resepsi perkawinan. Penampilan mereka tentulah sangat khusus, karena
pada umumnya resepsi perkawinan kebanyakan keluarga di Gunungkidul
menghadirkan hiburan campursari atau grup elekton. Hanya keluarga tertentu sjaa
yang dalam resepsi perkawinan menghadirkan kesenian salawat hadrah sebagai
hiburan mereka. Para keluarga peminat kesenian hadrah ini umumnya adalah
38
Khatmil qur’an adalah kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian prestasi tertentu
dalam studi Al Qur’an di pondok pesantren. Pencapaian prestasi ini misalnya khatam (tamat)
membaca al Qur’an 30 juz, atau khatam hafalan Al Qur’an beberapa juz dengan bilangan tertentu
misalnya lima, sepuluh atau tiga puluh juz. Pada acara khatmil qur’an pondok pesantren Darul
Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari, yang diadakan pada tanggal 27 Juli 2004,
kelompok hadrah dari santri pondok pesantren tersebut menyajikan suguhan hadrah mereka dan
menyusun lagu-lagu salawatan yang mereka bawakan dengan judul Senandung Rindu. Dalam
stensilan berukuran kecil yang tidak dipublikasikan ini dimuat 5 buah lagu (syair) salawat,
semuanya dalam bahasa Arab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
keluarga dari tokoh masyarakat yang termasuk keluarga santri.39
Momen lain yang menjadi ajang pementasan kesenian santri adalah
festival. Festival yang khusus diadakan untuk para seniman hadrah
diselenggarakan oleh pengurus sebuah organisasi keagamaan di Gunungkidul
dalam periode dua tahunan. Pada festival inilah para kelompok kesenian
salawatan seantero Gunungkidul berunjuk kebolehan mereka. Dalam arena
festival ini hadir puluhan kelompok salawatan yang oleh panitia dibagi ke dalam
tiga kelompok, yaitu salawat Jowo, hadrah klasi dan hadrah modern, sebagaimana
telah dikemukakan di muka.
Seni salawatan di Gunungkidul juga tampil dalam berbagai kegiatan
nonkeagamaan, seperti ulang tahun suatu organisasi. Seperti yang dialami oleh
kelompok hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas, Playen, pernah tampil
dalam suatu acara ulang tahun organisasi angkutan ojek di perempatan pasar
Playen. Ini menunjukkan bahwa kesenian hadrah tidak hanya dinikmati oleh
masyarakat santri saja, melainkan oleh masyarakat umum. Keberadaan hadrah
sebagai kesenian religius bukan hanya untuk masyarakat elitis, tetapi telah
menjadi sesuatu yang bersifat terbuka untuk kalangan yang tidak terbatas. Dengan
demikian sebenarnya kelompok kesenian apapun dapat hadir dan dinikmati oleh
masyarakat lintas batas kultur atau subkultur.
Dari paparan di muka jelaslah bahwa masyarakat santri, khususnya kaum
39
Sebagai contoh, pada tanggal 20 Juni 2005 lalu kelompok hadrah Syawariqul Anwar
diundang dalam acara resepsi perkawinan keluarga Drs. H. Kasiman di Plembutan, Playen.
Pemilik hajat tersebut adalah seorang pegawai Departemen Agama Kab. Gunungkidul yang juga
pernah menjadi santri di pondok pesantren Al Ummah, Kotagede, Yogyakarta. Wawancara tanggal
22 Juli 2005 dengan Ahmad Fauzi Ansori, anggota kelompok hadrah Syawariqul Anwar,
Ledoksari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
santri pondok pesantren di Gunungkidul memiliki tradisi kesenian yang telah
mereka kembangkan sendiri serta bagaimana mekanisme mereka
mengembangkannya seperti dalam bentuk festival. Jelas bagaimana memandang
seni di luar mereka dan dalam kesadaran ini pula proses dialektika berjalan. Pada
bab berikut akan dikemukakan bagaimana bentuk atau profil sebuah kesenian
yang digeluti kaum santri Gunungkidul yang menjadi fokus bahasan dalam kajian
ini yaitu seni pertunjukan hadrah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
BAB III
HADRAH : SENI PERTUNJUKAN KAUM SANTRI
Bab ini mendeskripsikan harah sebagai sebuah seni pertunjukkan yang
hidup di kalangan santri pondok pesantren di Gunungkidul. Deskripsi ini dimulai
dengan paparan tentang sejarah awal kehadiran hadrah di Gubukrubuh sebagai
kelompok salawatan yang eksis hingga kini. Deskripsi berikutnya adalah sekitar
bagaimana organisasi kelompok kesenian ini dikelola oleh para pendukungnya,
berikut kegiatan latihan, pementasan dan pengadministrasiannya. Untuk
mengetahui aspek pendanaan kelompok hadrah Badru Tamam, demikian nama
kelompok kesenian ini, akan dikemukakan sekitar pendanaan kelompok tersebut
baik di masa awal maupun masa-masa berikutnya. Bagian akhir akan membahas
unsur pendukung atau subjek pelaku dari kesenian santri tersebut.
A. Fase Awal
Kelompok kesenian hadrah pertama kali muncul di Gubukrubuh sekitar
tahun 1998 dan diprakarsai beberapa orang santri yaitu Ali Maksum, M. Ali Ihsan
dan Habibullah, serta didukung H.M.Yusuf, pimpinan sekaligus pengasuh pondok
pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh. Keinginan membuat kelompok kesenian itu
didorong oleh pengalaman Ali Maksum dan Ali Ikhsan ketika terlihat kesenian
hadrah saat menjadi santri di Wonokromo, Pleret, Bantul. Sedangkan Habibullah
adalah seorang santri yang memiliki suara yang merdu dalam membawakan
lantunan salawat diajak bergabung sebagai vokalis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Kelompok hadrah yang baru diberi nama Badru Tamam, sebuah nama
yang diambil dari nama kesenian rodat lama yang pernah ada di dusun
Gubukrubuh tahun 1960-an. Penamaan itu dimaksudkan sebagai kelanjutan dari
kesenian rodat. Nama Badru Tamam diambil dari kata Arab “badru” dan
“tamam”, yang masing-masing berarti bulan dan sempurna. Jadi berarti bulan
purnama. Dengan nama ini para pemain hadrah menggunakan metafora bulan
purnama sebagai simbol aktivitas seni mereka dengan harapan kehadiran baru itu
dapat menjadi penerang kesunyian di lingkungan pondok pesantren dan
sekitarnya.1 Menurut para penggagasnya, di samping memecah kesunyian,
kehadiran kelompok seni hadrah diharapkan juga akan memberikan hiburan bagi
warga masyarakat, khususnya para santri sendiri dan komunitas pondok pesantren
pada umumnya.
Ali Maksum dan Ali Ikhsan sebagai pemrakarsa hadrah pada awalnya
mengajak beberapa orang santri untuk berlatih dalam kelompok kesenian itu.
Mereka bejumlah sekitar sepuluh orang santri laki-laki. Sebelumnya para
pemrakarsa terlebih dahulu menyiapkan alat rebana dengan membeli di Magelang
melalui seorang warga Gubukrubuh yang berasal dari Magelang. Peralatan musik
yang dibeli berupa empat buah alat perkusi oleh para santri dinamakan reginjing,
tikah, golong, dan jidor. Bahannya terbuat dari kayu dan kulit serta di pinggirnya
dipasangkan lempengan logam. Keempat alat inilah yang menjadi alat musik inti
hadrah. Dalam kelompok hadrah ini empat orang menjadi pemegang instrumen,
satu atau dua orang sebagai penyanyi dan lainnya sebagai pendukung vokal. Pada
1 Wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan H.M.Yusuf, pimpinan pondok pesantren
Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
fase awal bahkan hingga kini latihan dilakukan di mushola Al Hikmah yang
berada di lingkungan pondok pesantren Al Hikmah. Kegiatan latihan pada masa
awal ini tanpa bimbingan pelatih khusus dari luar, melainkan oleh para santri
senior seperti Ali Ikhsan. Lagu-lagu yang dinyanyikan adalah sebagai syair
salawat yang sering dilantunkan para santri pondok pesantren pada umumnya.
Dalam mempelajari berbagai lagu para santri mencontoh dari kaset-kaset
salawatan yang ada dengan panduan buku kumpulan lagu-lagu salawat.2
Para pemain hadrah yang direkrut berasal dari pondok pesantren Al
Hikmah. Mereka adalah santri yang selama ini sering terlibat dalam aktivitas
pondok seperti salawatan, diba’an, yasinan dan sejenisnya. Mereka berjumlah
sepuluh sampai lima belas orang. Latihan bertempat di mushola Al Hikmah pada
sore hari dan terkadang malam hari. Peralatan berupa perkusi yang terdiri dari
reginjing, tikah dan golong diadakan dengan membeli ke Magelang. Dana
pembelian berasal dari hasil patungan para santri dan dibantu pimpinan pondok
pesantren.3 Proses pengadaan alat-alat kesenian ini menunjukkan kebersamaan di
antara para antri serta kyai sekaligus pertansa sense of belonging mereka.
Sebelum menekuni kesenian hadrah para santri senior Al Hikmah
sebenarnya telah berusaha menghidupkan kembali kesenian rodat yang pada tahun
1960-an hingga 1980-an pernah eksis. Pada masa-masa itu rodat banyak diundang
untuk hiburan berbagai keperluan, seperti hajat perkawinan. Tetapi pada
2 Ada beberapa buah buku kumpulan salawat yang dijadikan sumber lagu-lagu antara lain
Majmu’ah Maulid wa Ad’iyah, tanpa nama penyusun, Semarang : Toha Putera, tanpa tahun;
IKSAP PP. API Tegalrejo, Kumpulan Sholawat Terpopuler II, Magelang, 2000, dan H. Abdullah
Zaini D. Asnawi, Kumpulan Qosidah Terpopuler Abad ini, Purwodadi : Gema Suara Pesantren,
2004. 3 Wawancara tanggal 6 Februari 2004 dengan Ali Ikhsan Ali Maksum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
kenyataannya para santri yang dilibatkan kurang begitu terterik dan miskin
semangat untuk menemuki kesenian itu. Bahkan mereka menganggap rodat
sebagai kesenian “kuno” dan milik para orang tua.
Kesenian rodat itu sendiri, seperti diceritakan seorang mantan pemainnya,
beranggotakan puluhan orang dan sering pentas di berbagai tempat di
Gunungkidul.4 Menurutnya, dalam masa kejayaannya, kesenian rodat banyak
mendapat undangan pentas. Setiap kali pentas selalu mendapat honor. Bahkan
kelompok rodat yang diikutinya pernah memiliki sejumlah seratus ekor lebih
kambing dari hasil undangan pentas. Kas yang terkumpul dari hasil tanggapan itu
diwujudkan dalam bentuk ternak dan dipelihara oleh warga kampong di
Gubukrubuh.5
Ada beberapa sebab megnapa kesenian jenis rodat kurang berkembang dan
diminati para generasi santri baru. Pertama, berkurangnya minat dari kalangan
santri senior dan sesepuh untuk terlibat secara serius dalam aktivitas latihan.
Kurangnya minat para senior dan sesepuh ini disebabkan oleh kesibukan mereka
masing-masing dan karena semakin berkurangnya rasa solidaritas dan
kebersamaan para warga sekitar seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal ini
mungkin sebagai bagian dari orientasi kesenian yang sudah tergeser dengan
kehadiran kesenian baru yang sangat “dahsyat”, misanya campursari. Ini berarti di
masyarakat sudah terjadi pergeseran selera seni dari model kesenian yang lama
kepada jenis yang baru. Kedua, rodat membutuhkan pemain hingga puluhan
orang. Seperti diketahui bahwa pertunjukan kesenian rodat merupakan perpaduan
4 Salah seorang mantan pemain rodat adalah H.M.Yusuf, yang kini menjadi pimpinan dan
pengasuh pondok pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh, Getas, Playen. 5 Wawancara tanggal 16Oktober 2003 dengan H.M.Yusuf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
antara unsur salawat dan tarian yang dimainkan oleh puluhan pemain. Biasanya
sekitar dua puluh hingga tiga puluhan orang terdiri dari pelantun salawat (vokal
dan penyanyi pengiring), penabuh terbangan, dan penari, serta pemimpin regu
yang biasa disebut rois. Mencari pemain sebanyak itu jelas tidak mudah untuk
ukuran sekarang. Ketiga, berkurangnya minat masyarakat untuk mengundang
kesenian rodat. Lebih-lebih dengan munculnya jenis kesenian campursari,
peristiwa hajatan lebih berminat untuk menampilkan kesenian yang terakhir ini
sebagai hiburan. Dengan kata lain rodat sudah digeser keberadaannya oleh jenis
kesenian lain seperti kesenian campursari yang sekaligus berarti lebih digemari
oleh masyarakat. Keempat, khususnya di kalangan santri muda, mereka lebih
menyukai kesenian hadrah daripada rodat. Di mata para santri muda, kesenian
rodat adalah salawatan untuk orang-orang tua dan dianggap “sudah kuno”.
Dengan demikian santri yang masih berusia muda (kebanyakan umur belasan
tahun) merasa perlu untuk membedakan diri dengan identitas kawula mudanya
dari dunia kesenian yang digandrungi kaum yang lebih tua.
Pembentukan kelompok seni salawatan hadrah di Gubukrubuh sebenarnya
tidaklah merupakan hal yang betul-betul baru terutama dalam hal materi salawat.
Hal baru yang dirasakan adalah penggunaan instrumen perkusi dengan jenis
pukulan tertentu. Jadi kesenian hadrah adalah format lain dari penampilan
salawatan yang biasa dilakukan di kalangan santri pondok pesantren. Jika Selama
ini lantunan salawat dilakukan tanpa alat musik terbangan, maka dengan hadrah
salawatan menjadi sesuatu yang bernuansa agak lain. Di sini telah terjadi suatu
pergeseran dari nuansa religius menjadi sesuatu yang bersifat kultural.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Belakangan hadrah menjadi arena baru para santri khususnya senimannya, lewat
rupa-rupa kreativitas seni yang melahirkan beberapa lagu yang dipandang penting
dalam kisah penentuan identitas diri. Sebelum hadrah muncul, salawatan itu
sendiri merupakan kegiatan para santri yang bersifat rutin bulanan bahkan
mingguan, baik yang dilaksanakan pada waktu malam hari maupun sore hari yang
dihadiri beberapa orang santri. Kegiatan salawatan para santri berlangsung pada
satu tempat di mana laki-laki dan perempuan memiliki kelompok tersendiri.
Kegiatan salawatan yang sering dilakukan di Gubukrubuh selama ini
adalah diba’an dan barzanji. Kecuali salawatan, mereka juga secara rutin
mengadakan kegiatan yasinan, yaitu membaca kitab suci Al Qur’an dan surat
Yasin secara bersama-sama. Kedua jenis salawatan barzanji dan diba’an memiliki
kekhasan masing-masing. Perbedaan terletak pada bacaan shalawat, irama,
sumber salawat, dan teknis lainnya.
Pada prinsipnya, tradisi atau praktek bersalawat dalam ajaran agama Islam
berdasarkan perintah untuk membaca salawat atas Kanjeng Nabi Muhammad
SAW. Anjuran itu tertuang dalam Al Qur’an, yang berbunyi (artinya) : “Hai
orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu sekalian atas Nabi (Muhammad)
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.6 Itulah yang menjadi salah satu
dasar mengapa di kalangan umat Islam membaca salawat menjadi bagian ritual
penting yang waktu membacanya tak terikat secara khusus.
6 Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
B. Organisai dan Latihan
B.1. Organisasi
Sebagai sebuah kelompok sosial yang antara lain memiliki kegiatan seni,
para personil yang terlibat dalam setiap kegiatan kelompok mengandaikan sebuah
gabungan dari beberapa individu. Gabungan tersebut diikat oleh sesuatu yang
menjadi orientasi kebersamaan. Maka hadirlah sesuatu yang menghasilkan sarana
bagi tercapainya tujuan. Bentukan gabungan beberapa individu yang
menghasilkan kebersamaan cita dan aktifitas pada akhirnya mewujud dalam
rangkaian struktur yang disebut organisasi. Maka organisasi berperan
menggerakkan anggota untuk mencapai sasaran yang telah dirumuskan bersama.
Kelompok kesenian adalah sebuah gabungan dari beberapa individu yang
mengorganisasikan diri untuk beraktivitas bersama berkesenian secara sengaja.
Struktur organisasi kelompok kesenaian tidak selalu mengikuti bentuk struktur
organisasi suatu lembaga besar. Ia dapat disusun secara sederhana namun
dianggap memadai untuk menangani kegiatan kelompok. Efektivitas kelompok
kesenian mutlak dibutuhkan untuk dapat menghasilkan karya dan penampilan seni
hiburan yang memuaskan khalayak. Bahkan kehidupan dan kelangsungan
organisasi kelompok pekerja seni hiburan yang amat bergantung kepada
efektifitas mesin organisasi. Organisasi yang baik akan mampu mempertahankan
bahkan meningkatkan kualitas produksi serta memperoleh citra baik di mata
publik.
Kelompok hadrah Badru Tamam saat ini dipimpin H.M.Yusuf, pengasuh
sekaligus pimpinan pondok pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh. Namun pelaksana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
kegiatan kesenian seluruhnya dipegang oleh Ali Maksum dan Ali Ikhsan.
Kelompok Badru Tamam sendiri secara formal sebenarnya tidaklah
memiliki organisasi yang ditata dengan struktur yang ketat dan jelas. Pembagian
tugaspun tidak diatur secara rinci. Masing-masing personil melakukan tugas atau
pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dan perintah ketua, dalam hal ini pelaksana.
Sebagai pimpinan pun H.M.Yusuf lebih bersikap sebagai sesepuh saja. Secara
teknis dia tidak banyak terlibat baik saat latihan maupun saat pementasan.
Aktivitas kesenian Badru Tamam sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam
beberapa kegiatan, yaitu pelatihan, pementasan, dan pengadministrasian.
Termasuk dalam kegiatan terakhir adalah penaganan pemeliharaan (alat-alat
musik), busaa, surat menyurat, dokumentasi dan keuangan. Pada setiap kegiatan,
masing-masing personil yang ada dapat melakukan tugas mempersiapkan segala
sesuatunya dengan penuh tanggungjawab sesuai dengan perintah koordinator.
Pada saat latihan semua pemain hadir cukup melalui ajakan lisan. Pada pra
pementasan semua personil mempersiapkan peralatan pentas untuk dibawa ke
tempat pertunjukan. Jika undangan pertunjukan membutuhkan kendaraan sebagai
alat transportasi, maka seorang anggota akan mempersiapkannya termasuk untuk
transportasi kepulangan sehabis pertunjukan. Pada saat pentas pimpinan
rombonganlah yang mengatur seluruh kegiatan sejak pertama hingga penampilan
berakhir. Bahkan pimpinan rombongan seringkali sekaligus berperan sebagai
pemandu acara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
B.2. Latihan
Latihan merupakan salah satu kegiatn penting bagi suatu kelompok seni
pertunjukan. Pementasan yang kurang mempersiapkan diri dengan latihan yang
baik sebelumnya dapat berakibat rendahnya kualitas pementasan. Pertunjukan
yang sukses sangat banyak ditentukan oleh keseriusan dan intensitas latihan.
Mengabaikan faktor latihan dapat berujung pada kurangnya minat orang untuk
menikmati atau mengundang mereka di kala ada hajatan tertentu.
Kelompok kesenian hadrah Badru Tamam dalam satu tahun terakhir ini
tidak banyak melakukan aktivitas latihan secara khusus. Kegitan latihan dilakukan
beberapa kali menjelang pementasan. Berarti intensitas latihan tergantung dari
pementasan. Biasanya persiapan dalam bentuk latihan berhadrah dilakukan empat
atau lima kali sebelum pementasan. Kegiatan ini dilakukan pada siang atau malam
hari. Tempat latihan disekitar komplek pondok pesantren Al Hikmah. Namun
kegiatan latihan sebenarnya lebih banyak dilakukan pada malam hari karena pada
siang harinya para pemain sibuk dengan kegiatan yang lain. Jika pun dilakukan
selain malam hari maka waktunya pada sore hari.
Pada tahun 2002-2003, kelompok hadrah Badru Tamam kedatangan dua
orang pelatih dari Yogyakarta. Pelatih ini dikirim oleh sebuah lembaga di bawah
ormas keagamaan NU, yaitu LKPSM-NU (Lajnah Kajian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama) Yogyakarta bekerjasama dengan FKI
(Forum Kesenian Indonesia) Yogyakarta. Kedua lembaga ini banyak memberikan
perhatian khusus terhadap pembinaan sekaligus untuk memajukan kesenian
berbasis pesantren. Kegiatan latihan menjadi semakin baik dan kehadiran pelatih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
memberikan motivasi yang tinggi bagi kalangan personil hadrah. Jika pada
penampilan-penampilan sebelumnya hadrah hanya tampil dengan instrumen
terbangan berupa empat buah perkusi ditambah satu jidor sebagai bas, sejak ada
pelatih dari Yogyakarta instrumen ditambah dengan alat musik elektrik seperti
keyboard dan gitar.
Sejak pertengahan tahun 2003 kegiatan latihan mulai menurun. Hal ini
disebabkan oleh faktor pelatih yang secara bertahap mengurangi kegiatan
pelatihan. Menurut pimpinan pondok pesantren Al Hikmah, pelatih yang selama
ini bertempat tinggal di sekitar pondok itu lebih banyak mengikuti kegiatan suatu
partai partai politik tertentu yang ternyata berbeda dari kecenderungan sang kiyai.7
Komunikasi antara pelatih dengan kyai dan peserta latihan mulai renggang. Sejak
saat itu kegiatan latihan dilakukan manakala ada undangan pentas baik untuk hajat
perkawinan, pengajian atau festival, dengan pelatih ditangani oleh para santri
senior.
B.3. Pementasan
Pementasan hadrah kebanyakan berkaitan dengan peristiwa hajatan
keluarga, pengajian dan festival. Ada juga undangan khusus berupa undangan
pada acara tertentu seperti ulang tahun, hari besar Islam atau hari besar nasional,
7 Ketika wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan Kyai H.M. Yusuf, pimpinan
pondok pesantren Al Hikmah, terkesan wajah dan mimiknya kurang simpatik lagi dengan sang
pelatih, Zainal Abidin. Pasalnya pelatih ini sering bepergian untuk urusan partai politik yang
ternyata berbeda dengan partai komunitas santri Al Hikmah, yaitu partai yang dilahirkan oleh
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Partai Kebangkitan Bangsa. Dan sejak itu pelatih dari
Yogyakarta tersebut jarang tinggal di pondok dan bahkan pergi tanpa pamit kepada kyai. Selama
aktif melatih, Zainal Abidin tinggal di rumah kiyai H.M.Yusuf di lingkungan pondok pesantren Al
Hikmah Gubukrubuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), dan lain-lain.
Pementasan dalam rangka peristiwa hajatan keluarga terutama adalah
untuk acara resepsi perkawinan atau dalam istilah Islam walimatul ursyi.8 Pentas
ini murni atas undangan keluarga yang mempunyai hajat. Penampilan hadrah pada
acara resepsi perkawinan di samping sebagai pengiring pada rangkaian acara adat,
juga sebagai hiburanyang dihadirkan secara langsung. Jika sebagian besar resepsi
perkawinan di Gunungkidul menggunakan musik pengiring sekaligus hiburan
berupa musik campursari, maka di Gubukrubuh hal itu tidak selalu demikian.
Hiburan dan pengiring acara resepsi di Gubukrubuh sreing dilakukan oleh
kelompok kesenian hadrah milik para santri pondok pesantren Al Hikmah. Di sini
gema salawat dengan iringan alat perkusi rebana telah mendapat tempat khusus di
kalangan warga dusun dan sebagian besar desa ini.
Pada pementasan untuk suatu acara pengajian, hadrah ditampilkan
sebelum acara berlangsung. Penampilan pada peristiwa semcam pengajian ini
dimaksudkan sebagai hiburan bagi jama’ah yang hadir menunggu acara dimulai.
Lagu-lagu yang diperdengarkan tidak lain dari syair-syair salawatan. Kehadiran
kelompok kesenian hadrah pada kegiatan pengajian atau mujahadah, seringkali
atas inisiatif kelompok sendiri. Untuk hal ini panitia hanya menyediakan suguhan
seperlunya tanpa harus memikirkan biaya transportasi mereka. Sebaliknya apabila
diundang mereka diberikan uang transport alakadarnya. Seringkali pula kelompok
kesenian ini menolak pemberian tersebut. Mereka sudah merasa senang dapat
8 Tradisi walimatul ‘ursyi dalam komunitas muslim berdasarkan perintah Nabi
Muhammad dalam sebuah sabdanya, yang artinya : “Adakanlah walimatul ursy itu walau hanya
dengan seekor kambing”. Lihat Sualiman Rasjid, Fiqih Islam, Surabaya : Bulan Bintang, 1990,
hal. 227
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
bersalawat di hadapan para jama’ah. Kehadiran mereka lebih dimotivasi oleh
kepuasan batin dapat bersalawat sambil menghibur. Namun demikian tidak jarang
pula ada kelompok kesenian yang menerima pemberian dari panitia, terutama bila
jarak yang ditempuh ke tempat pementasan/pengajian cukup jauh.
Kegiatan pentas para seniman hadrah yang tidak kalah pentingnya adalah
pada peristiwa-peristiwa festival. Beberapa festival yang pernah dihadiri
kelompok hadrah Badru Tamam telah mengangkat citra baik kelompok kesenian
santri ini, khususnya di kalangan masyarakat dan kelompok kesenian salawatan di
Gunungkidul. Beberapa kali hadrah asal Getas ini mewakili Gunungkidul pada
festival kesenian di Yogyakarta dan sekitarnya. Sedangkan di Gunungkidul
sendiri kelompok ini selalu ambil bagian dalam festival dua tahunan. Seperti telah
disinggung sebelumnya bahwa festival salawat di Kabupaten Gunungkidul
merupakan ajang para santri untuk berkompetisi dan meningkatkan kualitas
kesenian mereka. Festival salawat yang diadakan di Kabupaten Gunungkidul
bukanlah prakarsa pemerintah, melainkan inisiatif pada pecinta seni salawatan di
Gunungkidul. Ini merupakan cara komunitas NU untuk memberikan kesempatan
kepada para pecinta seni salawatan sekaligus sebagai arena mengembangkan seni
salawatan itu sendiri. Festival itu sendiri sebenarnya diselenggarkaan dalam
rangka Maulud Nabi, yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW.9
B.4. Pengadministrasian
Beberapa aspek dalam pengadministrasian hadrah sebagai sebuah
9 Festival salawat di Kabupaten Gunungkidul merupakan kegiatan dua tahunan yang
diselenggarakan oleh Pengurus Majlis Wilayah Nahdlatul Ulama Kecamatan Wonosari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
kelompok organisasi diatur secara rinci. Uraian kegiatan yang dilakukan dalam
administrasi dianggap sederhana. Rincian kegiatan tidak dipandang perlu oleh
anggota. Bahkan kelompok hadrah Badru Tamam tidak memiliki semacam
peraturan tertulis yang harus dipegang oleh para anggotanya. Semua kegiatan
dilakukan berdasarkan kebiasaan lisan.
Dalam hal menangani perlengkapan hadrah seperti alat-alat terbangan,
penyimpanan dilakukan di rumah seorang anggota yang dekat dengan tempat
latihan. Terkadang peralatan tidak disimpan secara teratur melainkan ditinggal di
lemari mushola Al Hikmah tempat latihan.
Empat instrumen pokok hadrah yaitu reginjing, tikah, golong I dan golong
II serta jidor merupakan sejenis rebana yang terbuat dari kayu dengan penampang
kulit. Pada pinggir rebana terdapat lempengan tembaga untuk menghasilkan bunyi
krecekan dengan cara digerakkan saat dipukul dengan jari tangan. Alat-alat
sederhana ini tidak sulit untuk dipelihara dan penyimpanannya juga mudah serta
tidak membutuhkan tempat luas dan petugas khusus. Sedangkan penanganan
busana para pemain pada umumnya dilakukan oleh masing-masing pemain. Para
pemain mencuci dan menyimpan busana hadrah mereka yang terdiri dari baju
koko, selana panjang dan kopiah untuk putra. Sedangkan pakaian putri berupa
busana muslimah lengkap dengan kerudung juga ditangani oleh masing-masing
anggota. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi kelompok hadrah ini dikelola
dengan manajemen berbasis kepercayaan.
Adapun surat menyurat dilakukan oleh koordinator, yaitu Ali Maksum dan
Ali Ikhsan, baik pembuatan, pengiriman dan penerimaanya. Perihal persuratan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
tidak dilakukan pembuuan, karena komunikasi dengan pihak luar seringkali
dilakukan secara langsung atau melalui telepon. Sedangkan keuangan tidak
dibukukan secara rapi. Penerimaan uang, misalnya dari hasil pentas, biasanya
langsung dipegang oleh ketua rombongan. Hal ini lagi-lagi sebagai wujud dari
penerapan manajemen berbasis kepercayaan yang dianut kelompok mereka.
Kemudian masing-masing anggota menerima sesuai dengan perhitungan yang
dianggap pantas. Biasanya uang hasil pentas yang tidak seberapa besarnyaitu
sebagian besar untuk biaya sewa kendaraan. Bila ada sisa barulah pemain
mendapat jatah seadanya.
C. Pendanaan
Berbicara tentang seni pertunjukan pada umumnya, ada beberapa aspek
penting yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah aspek pembiayaan.
Pembiayaan atas suatu kegiatan seni merupakan komponen penting untuk
operasionalissai dan keberlangsungannya. Hampir tidak ada kegiatan kelompok
seni pertunjukan yang dapat hidup dengan baik tanpa tersedianya dukungan dana
untuk pembiayaan produksinya. Oleh karena itu dana merupakan sisi lain yang
harus diperhitungkan untuk sebuah perkumpulan seni agar mampu bertahan
hidup.
Kelompok seni yang hidup di pondok pesantren meskipun Nampak tidak
terlalu tergantung pada tersedianya dana yang cukup, namun pada kenyataanya
tetap saja membutuhkan. Hanya saja besarnya dana yang diperlukan tentu sangat
tergantung pada kepentingannya. Karena pada umumnya kelompok-kelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
seni ala pesatren mengandalkan peralatan yang sederhana, dan ini merupakan ciri
mereka, maka besarnya dana yang diperlukan tidak sebesar kelompok seni
pertunjukan lain semisal campursari. Pada dasarnya hal-hal yang memerlukan
uang untuk pembiayaan kehidupan kesenian hadrah Badru Tamam di pondok
pesantren Al Hikmah sebagai berikut : pengadaan alat-alat musik, pengadaan
seragam, pelatihan, pementasan, dan rekaman.
Untuk keperluan pengadaan alat-alat musik kelompok hadrah Badru
Tamam membelinya di luar Gunungkidul yaitu di Magelang. Pertama kali mereka
membeli empat buah alat terbangan yang masing-masing mereka sebut reginjing,
tikah, golong I dan golong II. Dana untuk membeli peralatn tersebut sebagian
besar berasal dari saku pengasuh pondok pesantren sendiri ditambah dari beberapa
santri senior. Harga keseluruhan alat perkusi tersebut Rp 450.000,-. Dibandingkan
dengan harga sebuah keyboard ukuran kecil yang bisa mencapai 3 juta rupiah,
harga alat bermusik para santri jauh lebih murah. Kelompok hadrah Badru Tamam
hingga kini memang hanya memiliki empat alat perkusi tersebut. Bila suatu
kelompok hadrah hanya memainkan keempat alat musik terbangan tersebut, maka
hal itu dikategorikan sebagai hadrah klasik. Sedangkan bila keempat alat
terbangan itu ditambah alat-alat musik modern lain seperti keyboard, gitar, atau
drum maka dikategorikan sebagai hadrah modern.10
Untuk pengadaan kostum, kelompok masih mengandalkan pada masing-
masing anggota. Hal ini disebabkan karena masing-masing anggota hadrah
10
Wawancara tanggal 6 Februari 2004 dengan Ali Maksum dan Ali Ikhsan. Namun
keduanya mengaku tidak ahli dalam memainkan alat musik seperti keyboard. Apabila
kelompoknya menggunakan alat ini biasanya mengundang santri dari pondok lain seperti santri
pondok Darul Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
umumnya memiliki busana yang dipakai dalam pentas, yaitu celana panjang dan
baju koko serta peci hitam bagi putra dan busana muslimah bagi putri. Oleh
karena itu, disamping kelompok tidak mampu menyediakan kostum khusus, para
anggota merasa tidak keberatan dengan kebiasaan itu. Ini berarti para anggota
harus menyediakan sendiri busana mereka, misalnya berwarna gelap atau hitam,
baju koko putih dan peci hitam.11
Kegiatan latihan sebenarnya tidak memerlukan uang secara langsung.
Namun pada kenyataannya, khususnya terkait dengan kehadiran pelatih dari
Yogyakarta, sedikit-banyak dibutuhkan dana. Seperti yang terjadi pada tahun
kedua berdirinya kelompok kesenian Badru Tamam, ada pihak ketiga yang
mengirimkan dua orang pelatih ke pondok pesantren Al Hikmah.12
Pihak pondok
tidak diharuskan membayar kepada kedua orang tersebut, melainkan menyediakan
tempat akomodasi dan makan. Kedua orang pelatih tersebut tidak terikat kapan
harus datang ke pondok, tetapi biasanya tiap akhir minggu selama dua hari.
Namun demikian salah seorang dari mereka terkadang sering tinggal berminggu-
minggu di pondok. Namun sejak akhir tahun 2003 kedua pelatih tersebut sudah
tidak pernah datang lagi ke Gubukrubuh. Dan sejak itu kegiatan latihan semakin
jarang dilakukan kecuali menjelang saat-saat pentas.
Untuk pementasan, kelompok hadrah seringkali menyewa kendaraan
sebagai alat transportasi terutama jika pentas di luar pondok. Apabila pentas atas
11
Mengenai busana, kelompok hadrah Syawariqul Anwar dari pondok pesantren Darul
Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari lebih sering memakai sarung, baju koko dan peci
putih dalam penampilan mereka. Wawancara dnegan Ahmad Fauzi Ansori, anggota kelompok
hadrah Syawariqul Anwar, tanggal 31 Juli 2005. 12
Kedua pelatih tersbut yang oleh kalangan santri disebut dengan Pembina, masing-
masing adalah Mustofa W. Hasyim dan Zainal Abidin. Pelatih ini dikirim atas kerjasama LKPSM-
NU Yogyakarta dan Forum Kesenian Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
undangan khusus hajatan perorangan, maka biasanya honor yang diterima dipakai
untuk sewa kendaraan. Sedangkan apabila apabila kelompok kesenian ini
diundang ke luar kota, misalnya untuk mewakili daerah Gunungkidul, maka biaya
transporsai biasanya ditanggung oleh instansi yang mengirim dan para anggota
yang terkadang mendapat sekedar uang lelah.13
Pernah juga kelompok mengadakan rekaman album. Usaha tersebut
diadakan tidak kelompok seni hadrah. Sesuai kesepakatan untuk keperluan
tersebut biaya ditanggung bersama. Ketiga kelompok seni tersbut adalah Badru
Tamam, Syawariqul Anwar dan Al I’anah.14
Pada prakteknya ternyata biaya
rekaman album itu ditanggung sendiri oleh kelompok hadrah Badru Tamam
Gubukrubuh. Akhirnya dengan agak terpaksa pimpinan pondok Al Hikmah
campur tangan dalam pendanaan album rekaman salawat itu.15
D. Unsur Pendukung
Yang dimaksud dengan pendukung adalah mereka yang terlibat langsung
dalam pertunjukan kelompok kesenian. Unsur pendukung utama kelompok
kesenian hadrah tidaklah banyak. Sekurangnya terdapat dua unsur, yaitu vokalis
dan penabuh terbang. Vokalis dalam sebuah kelompok hadrah bisa satu orang atau
lebih. Syarat utama seorang vokalis adalah memiliki suara merdu dan indah.
13
Kelompok Badru Tamam misalnya pernah dikirim oleh Pemerintah Kabupaten
Gunungkidul untuk mengisi acara Festival Kesenian diYogyakarta atau mengisi acara dalam
kegiatan Sekaten. 14
Syawariqul Anwar adalah kelompok seni salawatan hadrah yang ada di pondok
pesantren Darul Qur’an wal Irsyad, Ledoksari, Kepek, Wonosari di bawah asuhan Drs. K.H. Harits
Masdki, Lc. Sedangkan Al I’anakh adalah kelompok seni salawatan milik santri pondok pesantren
Al I’anah, Ngawu, Playen, di bawah asuhan Drs.K.H. Suparman, M.Si. 15
Wawancara tanggal 16 Oktober 2003 dengan K.H.M.Yusuf, M.Pd.I, pemimpin dan
pengasuh pondok pesantren Al Hikmah, Gubukrubuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Kalangan santri umumnya berpendapat bahwa kegiatan hadrah terletak pada
kualitas vokalnya.16
Ini berarti posisi penyanyi dalam hadrah, seperti halnya pada
jenis kesenian lain, sangat penting dan menonjol.
Di kalangan para santri terutama pelaku hadrah tidak dijumpai adanya
upaya untuk meningkatkan kemampuan vokal. Beberapa vokalis hadrah yang ada
hanya mengandalkan bakat yang sudah ada, tanpa ada pembinaan khusus,
sebagaimana halnya kursus bina vokalia. Hal ini mencerminkan bahwa
masyarakat santri di Gunungkidul belum memberikan perhatian khusus pada
upaya meningkatkan mutu seni milik sendiri. Beberapa orang penyanyi hadrah
mengatakan bahwa kegiatan sebagai penyanyi lebih merupakan penyalur hobi dan
bakat belaka. Mereka tidak merasa perlu belajar olah vokal dan kalaupun ingin
belajar tidak ada guru yang khusus untuk itu. Jadi dalam menyanyi, yaitu
melantunkan lagu-lagu shalawat, para penyanyi hadrah masih aksi potensial yang
original, dalam arti belum mendapat polesan dan sentuhan seni olah vokal yang
sesungguhnya.17
Selain vokalis terdapat beberapa orang penyanyi pengiring. Para santri
menyebutnya backing vocal. Gejala penggunaan istilah bahasa Inggris ini
menunjukkan bahwa para sanri sudah memahami idiom bahasa asing sekaligus
pertanda bahwa terjangkau simbol globalitas saat ini. Kadang-kadang para
16
Wawancara tanggal 6 Februari 2004 dengan Ali Ikhsan, pemain hadrah Badru Tamam. 17
Para vokalis hadrah yang menonjol pada umumnya adalah qori’ (pembaca Al Qur’an
yang mahir dalam tajwid dan lagu, seperti Habibullah dari Badru Tamam Getas dan Risyanto dari
Nidaul Muna, hadrah milik pondok pesantren Al Khalifah, Mulusan, Paliyan. Keduanya adalah
qori’ yang pernah beberapa kali mewakili Kabupaten Gunungkidul dalam Musabaqah Tilawatil
Qur’an (MTQ) tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan mereka bergabung dalam
kelompok hadrah karena hobi mereka dalam melantunkan salawat dengan irama suara yang
merdu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
penabuh alat terbangan juga bertindak sebagai penyanyi pengiring. Dalam dunia
hadrah tidak dijumpai istilah-istilah khusus semisal sinden dalam musik
tradisional Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena seni yang mereka geluti
belum memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan dunia kesenian kaum
santri pondok pesantren, khususnya di Gunungkidul. Mereka justeru
menggunakan istilah-istilah berbahasa asing (Inggris) seperti vocal dan backing
vocal. Istilah ini adalah istilah yang dikenal dalam seni-seni kontemporer (musik
populer) yang lain.
Para vokalis yang tergabung dalam hadrah Badru Tamam memiliki 4 orag
vokalis putra dan putri yaitu Habibullah, Agus Najib, Lilik Ifa dan Maifita.
Sedangkan penyanyi pendukung putra sebanyak 6 orang masing-masing adalah
Saiful Rahman, Andi Pristanto, Akhid, M.Zaki, Maman, dan Priyo Susilo.
Penyanyi pengiring putri lainnya adalah Ani Muhibah, Nurwahyuni, Ririn
Farkhanah dan Ida Isnaini. Dari nama-nama mereka tampak bahwa para anggota
adalah dari keluarga santri atau dekat dengan tradisi santri, misalnya dengan
mengggunakan nama-nama Arab. Begitu juga dengan nama-nama yang khas
dalam khazanah Jawa. Hal demikian dapat diartikan sebagai adanya perbedaan
latar belakang sosial mereka. Hadrah mempertemukan dan mempersatukan
mereka. Karena itu panggung hadrah merupakan arena bagi perjumpaan orang-
orang dari latar sosial yang berbeda. Tampak pula bahwa perbedaan mereka tidak
hanya soal latar sosiologis keagamaan, bahkan perbedaan yang ada adalah
perbedaan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Keterlibatan para santri menjadi anggota personil hadrah adalah atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
ajakan para santri senior yaitu Ali Maksum, Ali Ikhsan dan Habibullah. Ketiga
orang santri senior yaitu Ali Maksum, Ali Ikhsan dan Habibullah. Ketiga orang
santri ini mengkoordinir sekaligus melatih para anggoa terutama menjelang saat-
saat tampil untuk suatu pementasan. Keanggotaan mereka tidak terikat secara
ketat. Namun demikian para anggota dengan senang hati akan mengikuti ajakan
latihan para senior mereka. Hal ini dapat terjadi karena para santri yang masih
muda cenderung untuk mentaati kakak Pembina mereka, sekaligus menunjukkan
betapa penting arti senioritas. Akhir-akhir ini para santri senior tidak banyak
terlibat dalam pentas hadrah, kecuali saat-saat tertentu saja, seperti apabila
pementasan dilakukan untuk suatu undangan di luar Gunungkidul. Khusus dalam
pentas untuk festival hadrah, sebagian besar personil adalah para santri yang
masih muda. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengkaderan agar keberadaan seni
hadrah dapat dipertahankan. Hampir semua personil dalam hadrah Badru Tamam
berumur antara 15 hingga 25 tahun. Di antara mereka adalah siswa Sekolah
Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Gubukrubuh.
Unsur pendukung lain dalam kesenian hadrah adalah penabuh terbangan.
Dalam kesenian hadrah jenis klasik, instrumen hanya terdiri dari reginjing, tikah,
golong I dan II. Oleh karena itu para pemain instrumen perkusi dalam hadrah ada
empat orang. Mereka adalah Ali Ikhsan, Purwanto, Ismail dan Ali Maksum.
Sedangkan dalam kelompok hadrah modern selain keempat instrumen pokok
tersebut ada beberapa jenis alat musik modern lain, seperti gitar, keyboard, biola,
drum dan lain-lain. Bagi mereka penggunaan alat musik modern ini tidak
berpengaruh pada baik citra keislaman, maupun pada penyajian seni mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Penggunaan alat-alat ini pun sebenarnya tergantung dari ada atau tidaknya jenis
alat tersebut, dan jika ada pakah ada santri yang bisa memainkannya. Dengan
demikian jumlah pemain alat musik tergantung dari banyaknya instrumen musik
yang digunakan.
Para pemegang alat perkusi dalam hadrah umumnya tidak terlalu sulit
untuk menguasai teknik tabuhan. Oleh karena itu tidak sulit pula untuk menentuka
siapa akan memainkan alat musik apa. Kesulitan terletak pada kekompakan esmua
unsur di dalam menciptakan dan menghasilkan irama yang padu sesuai dengan
harmoni musikal hadrah. Oleh karena itu tetap dibutuhkan latihan yang baik
karena tabuhan perkusi dalam hadrah memiliki aturan tersendiri. Dengan latihan
yang teratur para penabuh pemuda akan dengan mudah menguasai cara
penggunaan instrumen. Hal penting dan perlu diperhatikan dalam tabuhan adalah
keserasian bunyi yang dihasilkan secara harmoni dari keempat alat perkusi.
Masing-masing perkusi memiliki jenis pukulan yang berbeda. Bunyi harmoni
perkusi yang dihasilkan adalah suara bersahutan dari pukulan perkusi.
Dibandingkan dengan alat musik karawitan, pengusaan dalam bermain musik
hadrah lebih sedikit mudah. Ini tidak lain dari sifat kesederhanaan dalam kesenian
milik para santri ini. Kesederhaan adalah satu ciri penting hadrah sebagai cermin
dari kebersahajaan para pendukung seni budaya ini.18
Seperti halnya personil
vokal, para pemegang alat perkusi direkrut melalui ajakan lisan. Mereka diajak
18
Para santri pondok pesantren umumnya dikenal sebagai santri sederhana, terutama dari
segi penampilan keseharian mereka seperti penggunaan sandal jepit, sarung, kopiah dan
sebagainya. Mereka cenderung tidak menampakkan penampilan yang terkesan mewah dan
menonjol baik di dalam komplek pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. Hal yang
sama juga terlihat pada penampilan keseharian kyai dan pengasuh pondon pesantre umumnya di
Gunungkidul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
oleh para santri senior untuk bergabung dan memilih atau ditunjuk untuk
memegang jenis perkusi tertentu.
Demikianlah paparan sekitar hadrah sebagai sebuah seni pertunjukan yang
keberadaannya tidak lepas dari pendukungnya dari kalangan santri pondok
pesantren. Pada awalnya hadrah dikembangkan oleh para santri yang pernah
belajar di pondok pesantren di luar Gunungkidul. Ternyata di samping
memperkaya khazanah kesenian, khususnya kesenian di kalangan masyarakat
santri, juga merupakan varian lain dari seni salawatan yang mengisi kekosongan
dunia seni pesantren pascarodat. Pengelolaan kelompok kesenian yang meliputi
penanganan peralatan, latihan, penanganan administrasi termasuk keuangan, para
pendukung, semuanya dilakukan dengan manajemen sederhana, yaitu manajemen
berbasis kepercayaan. Dengan manajemen tersebut kelompok hadrah mampu
bertahan dan menjumpai peminatnya di tengah derasnya kepungan berbagai jenis
sajian kesenian di sekitar mereka. Bab berikutnya akan membahas makna
kesenian hadrah bagi para pendukungnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
BAB IV
HADRAH SEBAGAI ARTIKULASI INDENTIFIKASI DIRI KAUM
SANTRI
Para aktivis hadrah merasa bahwa seni yang mereka geluti melalui
salawatan mengandung unsur-unsur penting. Mereka berpendapat bahwa melalui
kerja seni seperti hadrah inilah kiprah dan kreativitas seni mereka terartikulasikan.
Seni salawatan dengan berbagai varian penyajian ini menjadi media artikulasi
identitas mereka yang paling sesuai. Jika komunitas lain mengembangkan jenis
kesenian tertentu sesuai dengan tuntutan kepentingan praktis, komunitas santri
yang hidup dengan citra ketaatan beragama menghadirkan ekspresi dan selera seni
yang mencerminkan citra keberagaman mereka. Adolph S. Tomars dalam sebuah
tulisannya yang berjudul ‘Class System and the Arts” mengatakan bahwa
kehadiran sebuah kelas atau golongan masyarakat akan menghadirkan pula gaya
dan bentuk seni yang khas, sesuai dengan selera estetis golongan tersebut.1 Dalam
ungkapan lain seni mencerminkan masyarakat. Karena itu harus dibaca bahwa
seni merupakan cermin nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat di suatu
zaman. Cermin masyarakat adalah cermin keinginan, cermin jiwa, atau cermin
minat masyarakatnya.2
Dari beberapa pandangan yang diperoleh, pergumulan para santri di
1 Dikutip dari R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Bandung: Masyarakat Pertunjukan Indonesia, 1999, hal. 46. Contoh yang diutarakan oleh Tomars
adalah hadirnya golongan atau kelas corporate yang menghadirkan seni kolektif dan seragam,
serta hadirnya golongan atau kelas competitive yang menghadirkan seni yang memiliki ciri
ekspresi individual, Idem, hal. 46 2 Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, hal. 239
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Gunungkidul dalam dunia seni salawatan, khususnya hadrah, didasarkan atas
beberapa alasan sebagai berikut.3
Pertama, aspek ajaran Islam yang menekankan pentingnya membaca salawat
kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa dalam kitab Al Qur’an maupun sunnah
dianjurkan untuk membaca salawat atas Nabi tersebut. Oleh karena itu membaca
salawat berarti menjalankan perintah agama. Dalam kata-kata mereka, “berseni
sambil beribadah”.
Kedua, bersalawat itu sekaligus berdakwah, yaitu suatu ajakan memuji Kanjeng
Nabi secara langsung maupun tidak langsung. Melalui salawatan para santri
mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, yang diyakini sebagai
bagian dari tuntunan agama. Maka sering muncul ungkapan “berseni sekaligus
berdakwah”. Atau dengan kata lain tontonan berdimensi tuntunan.
Ketiga, seni salawat identic dengan seni Islam. Mereka berpendapat bahwa
aktivitas salawatan apapun bentuknya, adalah seni Islam. Karena seni ini lahir dari
komunitas muslim, maka seni salawatan merupakan kombinasi dari perintah
keagamaan dan ekspresi seni yang dijiwai semangat agama.
Keempat, seni salawatan jelas berbeda dengan penampilan. Dalam salawatan tidak
perlu goyan gbadan atau berjingkrak-jingkrak seperti dalam dangdut atau rock.
Busana dalam salwatan tidak membutuhkan rias khusus, paaian yang
dipentingkan adalah menutu aurat. Dalam hal ini dikenal dengan busana muslim
atau muslimah untuk pria dan wanita. Perbedaan dalam pakaian ini juga
menggambarkan bahwa salawatan tidak akan dijumpai citra hura-hura, melainkan
3 Kesimpulan wawancara dengan Ali Maksum, Ali Ikhsan, Habibullah dan Ahmad Fauzi
Ansori. Hal yang sama juga dikemukakan oleh K. Habib Wardani, seorang tokoh agama Islam di
Getas, yang juga pernah aktif dalam kegiatan salawatan pada waktu mudanya yaitu kesenian rodat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
ketenangan dan kesejukan.4
A. Komunitas dalam Proses Liminalitas Hadrah
Sebenarnya bukan hal-hal di atas itu saja yang menjadi alasan mengapa
kaum santri begitu menyukai seni salawatan, terutama hadrah. Di balik itu semua,
pergulatan mereka dengan seni pertunjukan ini tentulah mengandung makna
penting mengapa ekspresi seni hadrah ini dilakukan. Fungsi hiburan sekaligus
beribadah dan berdakwah dalam seni hadrah merupakan bagian dari kreasi
individual dan kolektif para aktor dan menjadi hiburan bagi penikmat hadrah dari
sisi ini maka hadrah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jenis sajian hiburan
lainnya. Sebagai media hiburan sekaligus dakwah, salawatan pastilah memiliki
sisi lain yang menjadi alasan penting mengapa begitu popular dalam komunitas
santri, khususnya santri pondok pesanten Nadhliyin di Gunungkidul.
Sekurang-kurangnya ada tiga tiga fakta menarik tentang tradisi salawatan
di kalangan santri pondok pesantren NU di Gunungkidul. Pertama, hampir semua
pondok pesantren NU di Gunungkidul memiiki kelompok seni salawatan yang
dilakukan oleh para santri. Kedua, pada kebanyakan penampilan mereka, uang
bukanlah tujuan utama. Ketiga, kegiatan salawatan yang tidak bersifat komersil
ini justru dilakukan dengan pengorbanan baik waktu, tenaga, dan uang. Semua hal
ini akan dibahas dengan menggunakan konsep liminalitas dan komunitas yang
dikemukakan Victor Turner.5
4 Bandingkan dengan Ahmad Annas, Menguak Pengalaman Sufistik : Pengalaman
Keagamaan Jamaah al-Diba’ Girikusumo, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 10 5Konsep ini merujuk kepada Masyarakat Bebas Struktur : Liminalitas dan Komunitas
Menurut Turner, yang ditulis Y.W, Wartaya Winangun, Yogyakarta : Kanisisus, 1990
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Liminalitas merupakan suatu konsep yang dikembangkan Victor Turner
dalam penelitiannya mengenai upacara ritual masyarakat Ndembu di Afrika. Ia
berpendapat bahwa salah satu aspek penting dalam ritus adalah liminalitas.
Liminalitas berarti suatu tahap atau periode dimana subjek ritual mengalami
keadaan ambigu, yaitu tidak di sana dan tidak di sini. Oleh Victor Turner,
liminalitas dalam masyakat Ndembu tidak hanya diterapkan untuk menganalisis
ritual semata, melainkan juga untuk menganalisis masyarakat. Liminalitas
memiliki sifat-sifat yang begitu kaya sehingga memberikan perspektif tersendiri
dalam kehidupan masyarakat.
Satu hal yang menarik dalam proses liminalitas menurut Turner adalah
bentuk relasi sosial khas yag disebutnya komunitas. Di dalam liminalitas terjadi
komunitas, yaitu suat konsep yang berarti cara relasi sosial antar pribadi yang
konkret, yang langsung. Hubungan yang terjadi adalah moda hubungan lain yang
berbeda dari hubungan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata
lain, dalam keadaan seperti itu subjek ritual tidak hanya mengalami situasi
ambigu, tetapi juga secara kolektif mengalami bentuk sosialnya yang disebut
sebagai komunitas itu. Dalam suasana yang berbeda dari situasi dan keadaan
hidup sehari-hari tercipta suatu komunitas dengan ciri terpenting antistruktur.
Ciri-ciri antristruktur ini ditandai dengan suasana sosial yang tak terbedakan,
egalitarian, langsung, nonrasional dan eksistensial.6
Kehidupan kaum santri dalam keseharian sebagai bagian dari masyarakat
di Gunungkidul, baik di lingkup sosial keluarga, ketetanggan serta dalam
6 Lihat, Idem. hal. 49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
pergaulan di luar itu seperti sekolah dan pesantren, jelas merupakan dunia
kehidupan structural. Dalam realitas demikian kehidupan para santri berada dalam
jaringan aneka struktur yang ditandai dengan adanya berbagai perbedaan, hirarki
dan disparitas sosial lainnya. Dalam keseharian seperti itu hampir taka da ruang
yang bebas dari kondisi dan realitas structural baik dalam pertentangaan, sekolah,
pondok pesantren, hingga dalam praktek peribadatan.
Panggung, itulah istilah yang tepat untuk menyebut kehidupan sosial
ketiga, yaitu kehidupan bersama dalam perjumpaan para pemain seni pertunjukan
hadrah. Kehidupan sosial pertama adalah dalam keluarga, sedangkan kehidupan
sosial dalam masyarakat keseharian sebagai ruan glingkup sosial kedua. Maka
panggung hadrah dalam konsep ini dilihat sebagai sebuah arena dan proses
liminalitas yang berada pada ruang sosial ketiga. Jika demikian halnya maka
panggung hadrah tampak sengaja diciptakan dengan melibatkan beberapa orang
dan bersifat sementara. Dengan demikian dalam panggung hadrah tercipta sebuah
relasi sosial baru yang oleh Turner disebut komunitas.
Realitas struktural dalam kehidupan keseharian santri di masyarakat
memang tidak bisa dihindari. Demikianlah, maka dalam keluarga terdapat
kenyataan adanya perbedaan yang nyata yang terdiri atas bapak, ibu dan anak.
Hirarki dalam keluarga ini jelas pertanda keberbedaan didalamnya. Begitu juga
dalam keseharian di pondok pesantren, sekolah, ibadat di masjid dan lain-lain.
Dalam kenyataan-kenyataan hidup keseharian pada modal keberbedaan ini
nampak bahwa suasana kehidupan itu ditandai oleh cara bersama yang penuh
dengan pengaruh struktural. Artinya bahwa cara bertindak, bergaul, dan berelasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
sosial sangat tergantung pada konstruk sosial yang ada dalam masyarakat tersebut.
Dan disitulah juga para santri berada dan sekaligus mempraktekkan kehidupan
nyata sesuai dengan lingkungan mereka. Lingkungan struktural itulah yang
membentuk cara hidup dan pola berpikir santri hingga mereka dewasa, bahkan
sepanjang hidupnya.
Dalam liminitas panggung kesenian, termasuk panggung hadrah, aneka
moda struktur sosial atau keberbedaan masing-masing asal pelaku saling bertemu.
Tiga hal berikut yang akan dikemukakan adalah menyangkut masalah jender,
hirarki sosial, dan sakral-profan yang berproses dalam pengalaman panggung
hadrah. Ketiga hal ini akan menunjukkan dan menjawab pertanyaan mengapa
kaum santri pondok pesantren di Gunungkidul melakukan kegiatan seni salawatan
hadrah. Pada akhirnya hadrah merupakan panggung yang memiliki nilai formatif
dalam rangka pembentukan nilai-nilai keislaman seturut dengan nilai-nilai
kesantrian yang dipangku untuk diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
A.1. Aspek Jender
Panggung hadrah sebagai arena kegiatan bersama para santri menyediakan
ruang dan peluang didalamnya. Dalam kehadiran itu para anggota kelompok
memberikan partisipasinya sesuai dengan fungsi masing-masing sebagai
penyanyi, penabuh dan penyanyi pendukung serta anggota kru lainnya.
Kedatangan dan kehadiran masing-masing pemain ditujukan untuk bermain musik
baik dalam latihan maupun pentas yang sesungguhnya. Arena ini benar-benar
telah menjadi ruang ketiga bagi setiap anggota kelompok yang secara bersama-
sama beraktivitas guna kesuksesan penampilan mereka. Panggung hadrah menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
ruang dimana para pemain dengan berbagai latar belakang sosial dan jenis
kelamin bergabung menjadi satu dalam sebuah pentas yang berbeda dari
kehidupan keseharian mereka.
Persoalan laki-laki dan perempuan dalam Islam jelas terdapat perbedaan
dalam beberapa hal. Dalam fikih Islam, wacana sekitar perbedaan gender itu,
meskipun terdapat beda pandangan antar-fuqaha (ahli fikih, ahli dalam hukum-
hukum agama Islam), memperlihatkan betapa bentuk-bentuk pelakuan dan hak
serta kewajiban antara dua jenis kelamin itu dibedakan. Pembedaan itu
ditunjukkan atas dasar interpretasi teks baik Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai
ilustrasi, beberapa contoh dapat dikemukakan: dalam soal harta warisan, seorang
anak perempuan berhak mendapat setengah dari bagian seorang anak laki-laki.
Dalam shalat secara berjamaah, perempuan tidak dapat menjadi imam atas
makmum (jamaah yang diimami) laki-laki tetapi dapat menjadi imam atas
makmum perempuan. Sebaliknya laki-laki menjadi imam atas makmum laki-laki
atau perempuan. Di dalam shalat juga perempuan berada di belakang shaf
(barisan) laki-laki, atau di samping shaf laki-laki dengan dibatasi hijab. Bahkan
dalah shalat, perempuan yang berada pada shaf paling belakang adalah yang
utama. Dalam pergaulan atau bepergian seorang perempuan dapat melakukannya
hanya kalau ditemani oleh muhrimnya. Di dalam keluarga disebutkan bahwa laki-
laki atau suami adalah pemimpin atas perempuan/istri. Demikian juga dalam
ibadah haji ke Mekah, perempuan hanya dapat melakukannya dengan didampingi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
muhrimnya.7
Jika secara normatif ada perbedaan dalam hal laki-laki dan perempuan,
aapakah hal-hal tersebut juga berlaku dalam kegiatan salawatan hadrah pada
santri? Haruskah dilakukan pembedaan berdasarkan jenis kelamin? Ternyata,
dalam panggung hadrah perbedaan jenis kelamin tidak menjadi sesuatu yang
mendasari pembedaan peran. Pembagian tugas dalam seni hadrah sama sekali
tidak atas dasar jenis kelamin, melainkan berdasarkan kemampuan. Oleh karena
itu dalam kelompok seni hadrah yang berbeda, peran penyanyi tidak selalu
dipegang perempuan. Demikian pula dalam hal formasi pemain, tidak ada aturan
yang mengharuskan laki-laki berada di bagian belakang atau di bagian depan.
Terkadang penyanyi laki-laki berada di bagian depan kemudian deretan penyanyi
perempuan dibelakangnya. Atau yang sering terjadi bahwa penyanyi perempuan
berderet di bagian depan dan disusul dibelakangnya adalah penabuh alat musik.
Berbeda dari keadaan di luar panggung hadrah, jelas terdapat peraturan
bahwa formasi atau tempat seseorang tergantung pada jenis kelaminnya. Dalam
shalat misalnya, perempuan pasti berada di belakang barisan laki-laki dan tidak
dibenarkan sebaliknya. Semua aturan dalam ibadat ini tidak berlaku dalam
kegiatan hadrah. Demikian pula, jika seorang perempuan dalam keseharian tidak
dibenarkan (secara normatif) bepergian atau bergaul bersama dengan lain jenis,
maka dalam hadrah hal tersebut menjadi buyar. Bahkan formasi campur baur
tersebut dipertontonkan kepada audiens pada saat pertunjukan. Intinya bahwa
dalam panggung hadrah telah terjadi penjungkirbalikan atas aturan-aturan
7 Berbagai komentar dan interpretasi Islam atas perbedaan peraturan hukum tentang relasi
perempuan dan laki-laki oleh para intektual muslim, lihat Nurcholis Madjid, Ed., Fiqih Lintas
Agama: Membangun Masyarakat Insklusif Pluralis, Jakarta, 2004
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
normatif keagamaan yang berlaku dalam kehidupan keseharian kaum santri.
Corak kebersamaan yang berbeda ini berkaitan pula dengan pola hubungan
sosial yang terjadi di dalam dan di luar panggung hadrah. Hal ini seturut dengan
pola hubungan sosial sebagaimana yang ditunjukkan dalam konsep tentang
komunitas menurut Victor Turner. Dalam kehidupan komunitas, menurut Turner,
perbedaan struktural menjadi cair. Pola hubungan sosial yang terjadi didalamnya
tidak dibatasi oleh sekat-sekat struktural seperti yang terjadi dalam kehidupan
keseharian di masyarakat. Di arena komunitas panggung, pola hubungan sosial
menjadi lain dari kebiasaan dalam keseharian. Didalamnya tidak ada lagi
pembedaan pejabat-karyawan, atasan-bawahan, imam-makmum, penguasa-
pelayan kuasa, laki-laki-perempuan dan seterusnya. Hubungan yang tercipta
adalah hubungan dalam konstruk kesederajatan. Mereka hanya bertindak sesuai
dengan peran yang telah menjadi kesepakatan bersama. Demikianlah dalam
hadrah, persoalan jender menjadi cair. Sekat-sekat keberbedaan sebagaimana
ditunjukkan dalam ibadat tidak berlaku. Jenis kelamin tidak menentukan peran
dan tidak pula membatasi hubungan sosial. Kebersamaan dalam kesederajatan
tanpa pembedaan jenis kelamin memberikan pemahaman bahwa dalam komunitas
hadrah jalinan hubungan antistruktural menjadi kenyataan.
Sedangkan dalam hal berpakaian kelompok hadarah lebih menekankan
kesantrian dan kesederhanaan. Busana pakaian pria tidak dibedakan menurut
strata sosial yang melatarbelakanginya. Kebanyakan seragam yang digunakan pria
adalah baju takwa dan pecis sebagai penutup kepala. Sedangkan busana
perempuan sama sederhananya dengan pria, dengan mengenakan pakaian penutup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
aurat yang popular disebut jilbab. Cara berpakaian pemaian hadrah memang lebih
ditekankan pada aspek kesederhanaan, keserasian, dan tuntutan menutup aurat.
Adapun rias wajah terutama bagi santri perempuan dilakukan sekedarnya tanpa
harus mempersiapkan juru rias khusus. Berbeda dengan para penyanyi pria seperti
dalam kesenian lain semisal campursari, para santri pria pemain hadrah tidak
merias wajah mereka dengan make up. Bandingkan dengan penampilan penyanyi
campursari atau dangdut lokal yang umumnya tampil dengan busana khusus
disertai make up yang tebal dan mencolok.
A.2. Hirarki Sosial
Satu hal lain yang terjadi dalam panggung hadrah adalah runtuhnya
struktur berupa hirarki sosial di antara pemain. Dalam komunitas hadrah,
sebagaimana disebutkan di muka, para pemain yang terlibat didalamnya datang
dari latar belakang sosial yang berbeda. Akan tetapi di dalam komunitas hadrah,
mereka berada pada posisi kesederajatan, dalam arti hubungan sosial yang
terbangun tidak dipengaruhi oleh posisi sosial ketika mereka berada di luar
panggung. Dalam situasi kebersamaan saat bermain hadrah, penggung merupakan
wajah baru yang berbeda dari hidup keseharian mereka. Hirarki dalam keseharian
menghilang ditelan oleh situasi liminal dominasi psikologis yang dimiliki
seseorang anggota luluh dan digantikan oleh peran-peran didalamnya.
Demikianlah maka dalam komunitas panggung hadrah, persoalan
senioritsa-yunioritas menjadi cair, tidak tampak secara vulgar sebagaimana di lua
panggung. Begitu juga halnya dnegan hubungan atasan-bawahan, sesepuh-anak
muda, kiyai-santri. Pola hubungan biner yang umum terjadi di masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
termasuk di lingkungan pondok pesantren adalah sesuatu yang lumrah dan
diketahui umum merupakan bagian struktural. Kiayi dan satri adalah dua sosok
yang jelas berbeda, yang satu pengendali dan yang lain dikendalikan. Begitu juga
ustadz dan santri, keduanya adalah guru dan murid. Hubungan-hubungan sosial
antarkedua pihak di lingkungan pondok pesantren dalam keseharian bersifat kaku
dan boleh dikata monologis dan terkesan antidialogis. Di sini praktek dominasi
terjadi. Dan itulah kenyataan hidup keseharian mereka.
Di atas panggung hadrah, wujud hirarki itu berubah. Situasi yang terjadi
berbeda dari kenyataan keseharian. Pangung hadrah telah terbebaskan dari
struktur hirarki yang ada selama ini. Senioritas dan yunioritas santri hanya berlaku
di luar panggung hadrah. Kiyai dan ustadz yang selama ini berada di depan santri
saat belajar, maka di panggung hadrah boleh jadi justru berada sejajar dengan para
santri. Pada saat-saat latihan seringkali kyai menonton para santrinya dari
kejauhan. Ini menunjukkan bahwa keberadaan hadrah merupakan sebuah arena
bagi penciptaan hubungan sosial baru yang lain di luar kegiatan konvensional
yang penuh dengan praktek kehidupan struktural.
A.3. Aspek Sakral-Profan
Praktek pembacaan salawat atas Nabi Muhammad, sebenarnya berangkat
dari pemahaman atas perintah Tuhan, “Hai orang-orang yang beriman,
bersalawatlah kamu sekalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan
penghormatan kepadanya”.8 Dalam hadits juga disebutkan, “Bersalawatlah kamu
sekalian untukku, maka sesungguhnya salawat untukku bagi kamu sekalian adalah
8 Lihat Al Quran, surat Al Ahzab: 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
sebagai pembersih dosa dan jiwa, barangsiapa yang membaca untukku satu
salawat niscaya Allah akan memberikan rahmat sepuluh kali.”9 Pemahaman atas
teks Al Qur’an dan Sunnah Nabi ini dengan demikian melandasi tuntutan dalam
agama Islam untuk bersalawat tersebut. Oleh karena itu perintah tersebut
dipahami sebagai suatu ibadah bagi orang yang melakukannya. Ini juga berarti
bahwa membaca salawat merupakan ritual dank arena itu bersifat suci, sehingga
tidak dapat dilakukan di sembarang tempat dan waktu.
Dapatkah bacaan salawat dilakukan dengan iringan musik? Menurut
Nakata,10
musik dan musisi merupakan hal yang bersifat paradox dalam
pandangan Islam di Timur Tengah. Kenyataan ini ditunjukkan oleh
ketidaksesuaian antara teori-sikap atau pandangan negatif Islam terhadap musik
dan praktek eksistensi musik sebagai bagian yang hampir tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat Islam. Kenyataan yang sama juga terjadi pada
masyarakat muslim Indonesia. Meskipun pemahaman atas beberapa teks Al
Qur’an dan Sunnah dimana keduanya menunjukkan kecenderungan atau seolah-
olah melarang musik, namun sumber nash Al Qur’an dan Sunnah tidak
memberikan gambaran secara jelas apakah musik itu dilarang atau diperbolehkan.
Dalam salawat hadrah, kenyataan menunjukkan bahwa aspek sakralitas
yaitu membaca salawat atas Kanjeng Nabi berbaur dengan aspek profane musik.
Dengan demikian dalam panggung hadrah keduanya menjadi kabur. Sakralitas
salawat mengalami minimalisasi dalam lantunan para penyanyi hadrah. Hal ini
9 Dikutip dari Sumpeno SM, Mengenal Seni Sholawatan Rodad Syubbanul Muslimin,
Stensilan tidak diterbitkan, hal. 3 10
Dikutip dari Deni Hermawan, Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik
Sunda, Bandung: STSI, 2002, hal. 176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
diperkuat dengan iringan bunyi-bunyian alat musik yang dalam teks keagamaan
mengesankan adanya semacam larangan. Terlepas dari soal dilarang atau
diperbolehkan, jelas bahwa musik secara umum adalah profan, bukan hal yang
suci. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa dalam hadrah, bacaan salawat atas
Kanjeng Nabi mengalami proses desakralisasi.
Desakralisasi salawat dalam panggung hadrah merupakan suatu fenomena
dalam proses terciptanya komunitas seperti dikemukakan Turner. Aspek sakral
salawat adalah bagian dari sesuatu yang penting menurut ajaran Islam, namun
dalam panggung hadrah hal tersebut tidak berlaku. Salawat telah menjadi
nyanyian yang diiringi bunyian instrumen musik dan diperdengarkan kepada
khalayak. Jika dalam tuntunan Islam membaca salawat dilakukan sebagai ibadat,
dan karena itu dilakukan pada waktu dan tempat tertentu, setelah ibadat shalat
misalnya, atau pada acara yang khusus untuk itu, maka pelantunan salawat
dibarengi bunyian pada acara hadrah jelas telah berbeda suasananya. Melalui
arena panggung hadrah, salawat telah mengalami proses komodifikasi dan
menjadi produk kemasan yang dikonsumsi dan kemudian diperjualbelikan kepada
khalayak umum.11
Jelaslah bahwa keberadaan panggung hadrah sebagai sebuah momen
komunitas seperti dalam teori Turner merupakan sebuah kenyataan yang lahir
bukan tanpa alasan. Seni salawatan hadrah di kalangan santri selain berhubungan
dengan fungsi hiburan, ekspresi seni, dan alasan normatif keagamaan, juga
11
Kini sangat banyak dijumpai kaset berisi seni salawatan yang diperjualbelikan di pasar,
seperti beberapa album yang sudah popular di masyarakat, antara lain album Nur Muhammad,
Ziarah Rasul, CInta Rasul 1-6, Love for the Messenger (kolaborasi bareng Victoria Philharmonic
Prhestra, Melbourne), semuanya album rekaman penyanyi Hadad Alwi dan Sulis. Lihat Fadhilah,
Edisi III Agustus 2003, hal. 8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
mengandung makna sebagai arena pembebasan dari realitas structural yang
menghimpit untuk menciptakan suasana yang lebih baik antar anggota keluarga
yang terlibat. Sebagai momen liminal, panggung hadrah telah menjadi ruang
ketiga, the third space, yang mampu berperan sebagai media pendidikan bagi para
santri pondok pesantren. Liminitas yang menciptakan komunitas dalam hadrah,
telah menjadi arena para santri menjalami pengalaman yang bersifat pendasaran
hidup. Sebagai pribadi atau kelompok, santri sebagai subjek hadrah, mendapat
suatu penerangan yang kemudian diaktulisasikan dalam masyarakat saat santri
sebagai subjek kembali ke dalam masyarakat sehari-hari. Waktu beraktivitas
dalam seni hadrah dan berpisah dari keseharian inilah subjek santri mengalami,
merenung dan membentuk diri. Inilah yang disebut Turner sebagai tahap reflektif-
formatif.12
Inilah makna di balik aktivitas hadrah di kalangan santri pondok
pesantren. Ciri-ciri komunitas antristruktur yang tercipta dalam panggung hadrah
adalah bahwa relasi-relasi yang terjadi itu tak terbedakan, egalitarian, langsung
ada, nonrasional dan eksistensial seturut dengan konsep Turner tentang ritual
dalam masyarakat Ndembu di Afrika.13
B. Hibriditas Hadrah
Hibriditas merupakan sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Homi
Bhabha dalam wacana poskolonial.14
Hibriditas Bhabha mengacu pada proses
dimana para penulis dan pemikir bumiputra menyingkapkan hakikat wacana
12
Lihat Turner, op cit, hal. 41 13
Ibid, hal.49 14
Dikutip dari Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Ed, Hermeneutika Pascakolonial:
Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 175
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
paskakolonial yang bersifat aneka ragam dan kontingen, namun berlindung di
balik klaim logika tunggal dan absolut. Akibatnya, wacana paskakolonial
dicirikan sebagai ambivalen. Hibriditas atau hibridisasi adalah bentuk lain dari
mimikri: sebuah teks hybrid yang berbeda dari teks “resmi” wacana kolonial
adalah produk dari tindakan meniru (mimikri). Meskipun penggunaan kedua
istilah ini (mimikri dan hibriditas) terbatas dalam lingkup konteks diskurtif yang
sejenis, mereka bisa menjadi alat yang ampuh dalam perjuangan antikolonial
sebab kedua istilah ini memunculkan keraguan atas ide universalisme dan
identitas-diri sebagaimana dipahami dalam ideologi-ideologi kolonial.
Apakah persoalan hibriditas merupakan keniscayaan dalam proses
pembentukan identitas kultural masyarakat Indonesia? Lebih jauh, apakah dengan
demikian proses tersebut merambah seluruh aspek budaya, utamanya dalam seni
musik secara umum dan secara khusus seni salawatan di kalangan santri pondok
pesantren, sehingga konsekuensi dari proses hibridasi di kalangan kaum santri
juga tak terhindarkan? Menurut Homi Bhabha, hibriditas memunculkan diri dalam
budaya, ras, bahasa, dan sebagainya.15
Di Jawa proses hibridisasi setidaknya
masih berlangsung hingga kini sejak masa prasejarah. Pada fase Indianisasi
dengan corak Hindu dan Budhisme, kehidupari masyarakat agraris terutama
sistem keyakinan kosmis, akhirnya meresapkan domain India dan Budhisme
dalam tradisi masyarakat Jawa. Proses hibridisasi lainnya di Indonesia khususnya
Jawa berlangsung saat masuknya Islam sehingga ditandai corak semakin
banyaknya unsur-unsur keyakinan yang berpadu di masyarakat yang dikenal kini
15
Lihat J. Supriyono, dalam Ibid., hal. 145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
dengan budaya sinkretis. Begitu juga proses lanjutan yang terjadi ketika
imperialism Eropa mulai menginjakkan kakinya di Nusantara terutama di Jawa.
Ini berarti hibridisasi yang digagas Bhabha sebagai suatu proses penciptaan
identitas kultural di Jawa telah berlangsung dalam kurun yang panjang.16
Hadrah merupakan sebuah faset budaya berupa seni pertunjukan yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat yaitu para santri pondok pesantren di
beberapa tempat di Jawa, termasuk di Gunungkidul. Pada kenyataannya, seni
pertunjukan ini mengandung beberapa unsur campuran (hibrid) di dalamnya.
Unsur tersebut berupa syair lagu berbahasa Arab, pada awalnya dikembangkan
oleh warga Indonesia keturunan Arab tetapi kemudian banyak dimainkan oleh
kalangan santri pondok pesantren NU, tema lagu yang dinyanyikan berisi syair
salawat berupa puji-pujian atas Kanjeng Nabi (berikut keluarga dan sahabatnya),
dan instrumen musik yang dipakai adalah sejenis perkusi yang sering disebut
terbangan. Unsur-unsur faktual dalam kesenian hadrah ini menimbulkan
pertanyaan, apakah hadrah merupakan artikulasi dan hasil proses hibriditas.
Secara historis, seni ini pada mulanya dikembangkan oleh para habaib
kemudian direproduksi oleh para santri pondok pesantren. Para habaib ini sendiri
adalah warga Indonesia keturunan Arab. Oleh karena itu besar kemungkinannya
kesenian hadrah juga berasal dari Timur Tengah. Keterangan ini sesuai dengan
pandangan bahwa sejak awal pertumbuharmya, pondok pesantren tidak pernah
lepas dari pengaruh budaya lokal, Arab dan Persia. Budaya lokal yang
mempengaruhi pesantren adalah budaya Jawa pra-Islarn. Pengaruh tradisi yang
16
Lihat Ibid. hal 146-147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
datang dari Timur Tengah adalah dari Persia. Pengaruh ini sangat besar dalam
tradisi pesantren. Hal ini terbukti dari adanya acara pembacaan syair-syair kitab Al
Barzanji atau pembacaan marhabanan dalarn acara brokohan. Menurut Imron
Arifin, upacara pembacaan syair-syair dari kitab Al Barzanji sebenarnya
merupakan pengaruh dari paham Syi’ah, yang pada masa awal perkembangan
Islam di Indonesia dibawa oleh para ularna dari generasi Walisongo.17
Maka tidak
mengherankan jika tradisi tersebut masih begitu kental dalam kehidupan seni di
Pesantren. Tidak mengherankan pula mengapa syair-syair lagu yang
diperdengarkan dalam hadrah berbahasa Arab. Sedangkan lagu-lagu bukan
berbahasa Arab, bahasa Jawa misalnya, tidak banyak dijumpai.18
Dengan
demikian teks syair berbahasa Arab yang berisi lantunan pujian atas Kanjeng Nabi
tersebut, bukan karya otentik dari Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Arab
jelas bahwa hal tersebut setidaknya merupakan karya dan atau sekurang-
kurangnya pengaruh dari Timur Tengah. Islam lahir di Timur Tengah,
berkembang di Indonesia dan Islam tidak dapat dipisahkan dari bahasa Arab.19
Fenomena hibriditas hadrah juga ditunjukkan dengan penggunaan instrumen
musik berupa perkusi. Penggunaan alat musik tepukan merupakan pengaruh dari
musik Tirnur Tengah yang kedatangannya bersamaan dengan kehadiran Islam di
17
Dikutip dari Fadhilah Edisi IV September 2003, hal. 7 18
Beberapa kelompok hadrah yang ada di Gunungkidul, umumnya manyanyikan lagu-
lagu berbahasa Arab. Album yang pemah dikeluarkan oleh kelompok hadrah Badru Tamam
bekejasama dengan kelompok hadrah Badru Tamam bekerjassama dengan kelompok hadrah dari
pondok pesantren Al I’anah Playen dan pondok pesantren Darul Qur’an wal Irsyad Ledoksari
semuanya link berbahasa Arab. 19
Dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 10 tempat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an
diturunkan (diwahyukan) dalam bahasa Arab. Sebagai contoh lihat Al Qur’an surat Yusuf ayat 2,
berbunyi (terjemahannya): “Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an itu dengan berbahasa
Arab agar kamu memahaminya.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Nusantara pada abad ke-15 M.20
Bagi para santri, paduan tembang salawat dan bunyi tepukan perkusi yang
melahirkan hadrah, merupakan corak kesenian Islami. Bahwa asal muasal
beberapa anasir dalam kesenian tersebut bukan karya asli mereka bukanlah hal
yang penting. Bagi para santri penampilan berkarya seni lewat tembang-tembang
salawatan, termasuk di dalamnya versi hadrah, sudah rnerepresentasikan
keberagamaan mereka. Tarnpilan salawatan baik dengan iringan musik maupun
tidak tetaplah suatu citra keislaman santri, Dalam pandangan mereka, bentuk
salawatan dengan berbagai variasi inilah artikulasi identitas keislaman santri,
tanpa peduli dari mana asalnya. Yang penting bahwa seni yang mereka gelar
berupa lantunan syair-syair salawat, cara penyajian yang serasi dalam arti busana
maupun gaya tubuh yang mencerminkan kepantasan (busana muslim-muslimah),
merupakan ekspresi seni yang Islarni sebab pesan-pesan yang dikandung dalam
nyanyian tersebut bagi mereka jelas sekali. Di samping itu ketidakacuhan terhadap
asal-usul memperlihatkan sikap mereka yang terbuka terhadap perkembangan
musik di luar mereka, dalam arti bahwa dalam aktivitas bersalawat mereka juga
tidak pantang terhadap penggunaan instrumen musik dari Barat. Bahkan mereka
menyebut peralatan musik tersebut sebagai modern. Oleh karena itu dalam
pandangan dunia santri masih terlihat adanya dikotomi antara modern dan
tradisional. Mereka menyebut alat-alat musik yang dipergunakan sebagai
pengiring seni salawatan seperti terbagan dan sejenisnya sebagai alat-alat musik
tradisional. Sebaliknya alat-alat musik seperti gitar, keyboard, atau drum
20
Lihat Deni Hermawan, Etnomusikologi, hal 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
disebutnya modern. Dikotomi ini semakin terlihat jelas dalam penggolongan seni
salawatan ketika ada penyelenggaraan festival. Dalam sejumlah festival
salawatan, para peserta digolongkan dalam tigas jenis, yaitu Salawat Jowo,
Klasik, dan Modern. Masing-masing dengan ciri-cirinya tersendiri.21
Penerimaan para seniman santri terhadap pengaruh budaya luar dalam
berkesenian memperlihatkan bahwa mereka bersifat terbuka. Namun demikian
keterbukaan itu terbatas dalam hal-hal yang dianggap positif dan tidak
bertentangan dengan pandangan dan sikap keberagaman mereka. Keterbukaan itu
hanya dalam hal instrumen musik Barat, tetapi juga menyangkut penerimaan atas
pengaruh budaya di sekitar mereka. Bahkan beberapa syair lagu populer di
masyarakat yang terkesan sebagai vulgar kemudian dikemas kembali sehingga
menjadi sajian musik yang patut diperdengarkan oleh para santri, lebih-lebìh
untuk kepentingan dakwah mereka.22
Itulah analisa mengapa dan bagaimana para santri memproduksi seni
salawatan yang dianggap sebagai seni santri yang kemudian menjadi identitas
mereka. Makna keberadaan seni salawatan terutama pada jenis hadrah berkaitan
dengan upaya mereka mengembangkan kepribadian dalam arti sebagai arena
21
Dalam tiga kali festival salawatan di Gunungkidul, tiga model pengelompokan ini
selalu dipakai oleh panitia festival. Salawat Jowo mengacu pada kelompok seni salawatan yang
kebanyakan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa, kelompok salawatan kiasik mengacu pada
kelompok salawatan yang menggunakan alat-alat perkusi saja, sedangkan salawatan modern
mengacu pada kelompok seni salawatan yang disamping menggunakan alat-alat terbangan juga
menggunakan alat-alat musik modern seperti gitar, keyboard dan lain-lain. 22
Sejumlah kelompok yang menyatakan diri sebagai seni Islami semisal campursari
Islami di Bansari Kepek Wonosari pimpinan Drs. H. Bardan Uman, M.Pd.I sangat terbuka untuk
menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Arab maupun berbahasa Jawa. Sedangkan kelompok hadrah,
lebih mengkhususkan diri dengan menampilkan lagu-lagu berbahasa Arab. Kelompok hadrah
Badru Tamam di Gubukrubuh dan Syawariqul Anwar dan pondok pesantren Darul Qur’an Wal
Irsyad Ledoksri Kepek adalah kelompok hadrah yang hanya menyanyikan lagu-lagu salawat
berbahasa Arab. Wawancara tanggal 22 Juli 2005 dengan Ahmad Fauzi Ansori, santri dan pemain
hadrah dari pondok pesantren Darul Qur’an Wal Irsyad Ledoksari Kepek Wonosari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pendidikan yang Islami menurut para santri itu sendiri. Dalarn proses yang terjadi
di arena panggung hadrah para santri mengembangkan kebersamaan, rasa
ketakberbedaan, suasana bebas dari struktur keseharian. Semua pengalaman ini
menjadi sesuatu yang penting dalam rangka penanaman nilai-nilai serupa untuk
menjadi bekal dalam hidup bermasyarakat. Dan ternyata jalan kultural yang
mereka lewati tidak terlepas dan kondisi budaya yang tercipta dari berbagai
pengaruh dari luar lingkungan mereka. Bila diangkat ke tingkat pencarian
identitas ke-Indonesia-an, maka dapat dirumuskan bahwa Indonesia harus
dibiarkan selalu berada dalam proses persilangan akibat dan perjumpaan dengan
budaya-budaya lain yang tidak terhindarkan. Dalam kasus Indonesia proses itu
telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
BAB V
KESIMPULAN
Kehadiran masyarakat santri di Gunungkidul dimulai ketika para pelajar
pondok pesantren asal daerah tersebut mengembangkan agama Islam melalui
dakwah. Dalam proses perkembangan selanjutnya kaum santri tidak lepas dari
peran lembaga pendidikan seperti pondok pesantren dan madrasah. Pondok
pesantren dengan subkultur yang ada merupakan suatu komunitas yang memiliki
cara tersendiri dalam pembinaan para santrinya. Di situlah para santri
mengembangkan dan mempertahankan khazanah budaya khas mereka, yang salah
satunya dalam bentuk seni salawatan hadrah. Melalui ekspresi seni salawatan
hadrah inilah para santri menunjukkan eksistensi, kreativitas dan selera seni
mereka.
Ekspresi seni mereka itu merupakan bagian dan proses dialektika dengan
perkembangan budaya kontemporer setempat. Lebih tegas lagi ekspresi seni
mereka itu merupakan counter atas seni budaya lokal yang mereka pandang bebas
dari dimensi keagamaan. Pilihan seni mereka dilatari oleh cita-cita identitas diri
yang berbeda dari bentuk-bentuk ekspresi seni masyarakat nonsantri. Di situlah
seni salawat hadrah menempatkan diri di antara berbagai varian dan asal-usul
subjek seni yang melahirkannya.
Makna seni dalam masyarakat santri selain sebagai satu bentuk hiburan,
tidak terlepas dan aspek keberagamaan mereka, seperti sebagai media dakwah dan
ibadah. Namun tenyata, dari paparan bab-bab terdahulu, seni hadrah juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
bermakna sebagai ruang liminal, yakni ruang yang meniadakan struktur-struktur
sosial komunitas santri. Dalam panggung seni hadrah terbangun suatu model
relasi sosial yang berbeda dari hidup keseharian mereka. Jika dalam kehidupan
keseharian mereka terkurung di dalam struktur jender dan sosial yang hirarkhis,
ruang liminal yang muncul di atas panggung seni hadrah menghadirkan relasi-
relasi sosial yang egalitarian, baik secara sosial maupun dari aspek hubungan
jender. Pengalaman ini selanjutnya berpengaruh dalam hidup keseharian mereka.
Pesan yang patut diambil dari persitiwa ini ialah bahwa pascasituasi
panggung, subjek pelaku seni hadrah akan dapat membangun relasi-relasi sosial
baru yang lebih adil dari segi jender, sosial, dan mungkin juga ekonomi. Model
relasi sosial tersebut adalah relasi yang berlandaskan prinsip-prinsip kesamaan
dan kebersamaan sebagaimana yang dialami di atas panggung seni itu. Secara
konkret, pascasituasi panggung hadrah, para santri dapat bergaul dan
berkomunikasi secara bebas, dalam arti tidak di bawah bayang-bayang dan
tekanan psikis sang kyai, ustadz, santri senior, perbedaan kelamin, dan lain-lain.
Demikian juga dalam pergaulan dan komunikasi dengan orang lain di luar
lingkungan pondok pesantren. Justru di luar pondok inilah diperlukan pembebasan
manusia dan praktek kehidupan sosiai yang mengabaikan pninsip kesamaan
(equality) bagi setiap individu.
Dengan demikian, panggung kesenian benar-benar memiliki makna dan
fungsi strategis dalam membangun masyarakat dengan kondisi struktural dan
plural. Panggung kesenian dapat menjadi arena bagi penanarnan nilai-nilai yang
mampu menciptakan bangunan sosial yang bebas dari sekat-sekat etnis, suku,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
agama, budaya, ekonorni, ideologi dan sebagainya.
Oleh karena itu panggung kesenian dapat menjadi suatu model bagi upaya
menciptakan kerukunan inter dan antarumat beragarna, misalnya. Dalam model
ini sekat-sekat agama, kepercayaan, ideologi dan lain-lain boleh jadi akan
semakin cair. Hal yang sama juga dapat dipraktekkan dalam upaya menciptakan
suasana hubungan yang harmonis dalam suatu unit birokrasi seperti
kantor/instansi baik swasta maupun pemerintah.
Apapun bentuk kesenian panggung, tanpa melihat aspek kualitas dan
materialnya, tanpa harus mempedulikan popularitas, komersialitas, serta coraknya,
ruang liminal yang hadir di dalamnya ternyata mampu berfungsi untuk
memperbaharui struktur-struktur sosial yang ada. Di sinilah letak relevansi
pelestarian dan pengembangan budaya yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Kajian ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan. Berbagai data yang
diperlukan masih kurang dan belum dapat dielaborasi lebih mendalam dengan
perspektif yang jelas. Padahal data yang komprehensif dan kajian mendalam akan
mampu memberikan pengetahuan tentang fenomena sosial budaya yang telah
menjadi bagian dan kesadaran hidup masyarakat tempat kajian dilakukan. Begitu
juga dengan aspek historis objek kajian ini belum dapat dilacak secara lebih jelas.
Difusi keseniaan juga belum dapat “dijangkau” secara lebih proporsional,
termasuk agensinya. Tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan “perhatian”
tentang aspek yang berkaitan dengan lagu-lagu yang seharusnya dapat dielaborasi
secara mendalam, karena secara materi data teks lagu dapat diperoleh dengan
mudah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Dengan demikian sangat terbuka kesempatan kepada kajian lebih lanjut.
Fenomena seni dalam masyarakat santri khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya, terutama di Gunungkidul, merupakan lautan pesona untuk digali lebih
serius sebagai upaya pemahaman akan realitas kultural masyarakat di mana
kondisi sosial, ekonomi dan geografi setempat berbeda dengan daerah lain. Di
antara berbagai faktor yang ada, tentu penulis adalah tempat keterbatasan terbesar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (Ed.). 2000. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta:
Galang Press.
Anas. Ahmad. 2003, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan
Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anderson, Benedict R. O’G. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di
Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Baker, J.W.M.,S.J. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: BPK-Kanisius.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2004. Gunungkidul dalam Angka
2003.
Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.
Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di
Gunungkidul, Yogyakarta: Saiwa Press.
Departemen Agama R.I 1989. Al Qur‘an dan Terjemahan. Semarang: Toha Putra.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: LP3ES.
Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Terjemahan A. Widyamartaya.
Yogyakarta: Kanisius.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
______, 1989. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hall, Stuart. “The Question of Cultural Identity”.
Haryatmoko, Dr. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.
Herdiani, Een. Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan. Jakarta:
Hasta Wahana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Hermawan, Deni. 2002. Etnomusikologi: Beberapa Permasalahan dalam Musik
Sunda. Bandung: STSI Press.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca New York:
Cornell University Press.
IKSAP. 2000. Kumpulan Sholawat Terpopuler. Magelang: Pengurus Ikatan
Keluarga Santri Purworejo Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo
Magelang Periode 2000.
Kaplan, David, Albert A. Manners. 2000. Teori Budaya. Terjemahan dari The
Theory of Culture oleh Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kayam, Umar, “Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahan” dalam,
Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2000, Ketika Orang Jawa Nyeni,
Yogyakarta: Galang Press.
Koentjaraninrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Maslow, H. Abraham. 1994. Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan
Pendekatan Hierarki Kebutuhan Manusia. Terjemahan Nurul Iman.
Bandung: P.T. Pustaka Binaman Pressindo.
Panitia Festival Sholawat se-Kabupaten Gunungkidul. 2003. “Daftar Grup
Festival Sholawat se-Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003”.
Lembaran lepas.
Soedarsono, R.M. 1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Seni Rupa.
Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
Storey, John, 2003.Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap
Konseptual Cultural Studies. Terjemahan dari An Introductory Guide
to Cultural Theory and Popular Culture, 1993, Yogyakarta: Qalam
Suharsoyo, S.K. Teater Tradisional di Sleman, Yogyakarta: Jenis dan
Persebarannya dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2000, Ketika Orang
Jawa Nyeni, Yogyakarta: Galang Press.
Sujadi. 2003. “Kesenian Badui Al Huda Tajem Maguwoharjo” dalam Jurnal
Bahasa, Peradaban & Informasi Islam Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Thaqafiyyat, Vol. 4, No. 1 Januari-Juni 2003,
hlm. 76-97
Sumardjo, Jakob. 2000. FiIsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
Sumpeno S.M. Tanpa tahun. Mengenai Seni Sholawatan Syubbanul Muslimun.
Stensilan tidak dipublikasikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto (Ed.). 2004. Hermeneutik Pascakolonial: Soal
Identitas. Yogyakarta: Kanisius.
Thoha, Zainal Arifin. 2002. Eksotisme Seni Budaya Islam: Khazanah Peradaban
dan Serambi Pesantren. Yogyakarta: Bukulaela.
Usman, Bardan, K.H. Tt. Lelagon Sholawatan Khoirunnisa’ Bansari. Stensilan,
tidak diterbitkan.
Sumber Majalah
Majalah Fadilah, Edisi III, Agustus 2003, hlm. 5-15.
Majalah Fadilah, Edisi IV, September 2003, hlm. 5-10.
Sumber Wawancara:
1. Drs. K.H. Yusuf Masyhuri, M.Pd.I, Pengasuh Pondok Pesantren AI Hikmah,
Gubukrubuh, Getas, Playen.
2. Drs. K.H. Bardan Usman, M.Pd. I, Tokoh Islam, Mubaligh dan Pecinta Seni
Salawatan.
3. Drs. H. Ahmad Supono, PNS, Pembina Kelompok Seni Salawat Jowo.
4. Drs. H. Masdjuri, Pegawai Departemen Agama Kabupaten Gunungkidul.
5. Drs. K. Habib Wardani, Kyai, Mantan Pemain Rodat, Getas, Playen.
6. Ahmad Bahiej, S.Ag., M.Hum., Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
pemain hadrah.
7. M. Ali Ikhsan, S.Ag., Pemain Hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas,
Playen.
8. Ali Maksum,S.Ag., Pemain Hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas,
Playen.
9. Habibullah, Pemain Hadrah Badru Tamam, Gubukrubuh, Getas, Playen.
10. Ahmad Fauzi Ansori,S.Ag., Pemain Hadrah Syawariqul Anwar, Ledoksari,
Kepek, Wonosari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI