sejarah kota jember 2003
DESCRIPTION
sejarah kota jember, jawa timurTRANSCRIPT
Kabupaten Jember
Oleh :
Ahmad Nando (XI IPA 5)
Akhbamah Primadaniyah Febrin (XI IPA 7)
Cattetiana Dhevi (XI IPS 4)
Dhandhan Prima Raja (XI IPA 5)
Lu’luil Maknuunah (XI IPA 5)
SMA N 10 Malang
November 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan laporan hasil
penelusuran peninggalan budaya yang ada di daerah Jember sebagai tugas Sejarah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Jember
sebagai narasumber yang telah menjaga eksistensi sejarah Jember. Dan juga kepada
Ibu Endang, selaku guru Sejarah yang telah menugaskan penulis untuk membuat
laporan hasil ini, sehingga penulis dapat mengambil segudang pengalaman dari ini
semua.
Penulis mengharapkan laporan ini dapat memberikan informasi yang
bermanfaat kepada pembaca tentang berbagai kisah sejarah yang menarik dari
daerah Jember serta peninggalannya yang tak lekang oleh usia maupun modernisasi.
Akhirnya, penulis berharap laporan ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Dan
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan lebih lanjutnya.
Malang, 10 November 2012
Tim Jember
Sejarah Kota Jember
Menurut legenda rakyat ‘Jember’ diambil dari nama seorang putri yaitu Jembersari.
Jembersari merupakan penganjur pembangunan pertanian dan pemukiman pertama daerah
yang sekarang menjadi kota Jember. Dia dan keluarganya menempati pondok kecil disekitar
danau dipinggir sungai Jompo. Karena pengaruh alam, danau tersebut kini menjadi sebuah
kampung yang diberinama kampung Ledok.
Peta Kabupaten Jember
Jember terletak diprovinsi daerah tingkat 1 Jawa Timur, berbatasan dengan samudra
Hindia di sebelah selatan dan dikelilingi pegunungan yang membentang di sebelah utara dan
timur, hal inilah yang menjadikan Jember banyak memiliki objek wisata alam.
Tahun 1868 Jember mulai dikenal secara luas. Waktu itu tanaman tembakau mulai di
tanam secara besar-besaran. Tembakau Jember sangat digemari oleh orang-orang Eropa.
Pusat pemasarannya berada di kota Breman, Jerman.
Pada tanggal 1 Januari 1929, Jember dijadikan kota kabupaten. Bupati pertama
adalah bapak Notoadinegoro dan pada tanggal 3 Mei 1976 kota Jember berkembang
menjadi kota administratif. Walikota pertama yang terpilih adalah Drs. Syafii As’ari. Dalam
perkembangannya, Kota Jember banyak mengalami perubahan. Didukung dengan keadaan
wilayah dan letaknya yang strategis serta pesatnya pembangunan kota pada bidang
pemerintahan, pendidikan, industri perhubungan maupun pariwisata menjadikan Jember
menjadi salah satu kota besar di Jawa Timur.
Palagan Jumerto , Saksi Perjuangan Rakyat Jember
Desa Jumerto, Patrang, Jember, menyimpan
sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan
NKRI. Tiga belas anggota Brimob dan 20 warga
setempat tewas karena ditembus peluru pasukan Cakra
dari KNIL Belanda yang berniat menduduki Indonesia.
Monumen Palagan Jumerto yang berdiri di depan
Kelurahan Jumerto, Kecamatan Patrang, tetap kukuh.
Deretan nama 13 anggota Brimob Polri dan 20 warga
setempat tertulis jelas pada monumen yang diresmikan
1 Juli 1984 oleh Kapolda Jawa Timur saat itu, Mayjen
Polisi Soedarmadji.
Kapolres Jember saat itu, Letkol Polisi H Soemardiono, juga tertulis di monumen
tersebut. Dua bambu runcing, logo Brimob, logo Polri, serta logo Polda Jatim, pun
terpampang di monumen bersejarah tersebut.
Tidak banyak yang tahu sejarah monumen setinggi 10 meter tersebut. Para saksi
mata peristiwa maut itu sudah tiada. Kini tinggal anak dan para cucu saksi mata yang tetap
mengenang sejarah kepahlawanan 13 anggota Brimob dan 20 warga Jumerto tersebut.
Suhadi, salah seorang warga Jumerto, menyatakan mendapatkan cerita
kepahlawanan itu dari Abdarullah, ayahnya yang meninggal lima bulan lalu. Dia kemudian
menceritakan peristiwa Palagan Jumerto. Kejadian tersebut bermula dari kedatangan 13
anggota Brimob yang mendapatkan tugas patroli keliling Jawa Timur (Jatim).
“Tiga belas anggota Brimob itu baru datang dari perjalanan panjang,” kata Suhadi.
Sebelum menginap di Desa Jumerto, mereka menempuh perjalanan dari Lumajang, Malang,
dan Blitar.
Mengenang Kembali Sosok Pahlawan Jember, Muhammad
Seruji
Moehamad Seroedji adalah salah satu sosok pahlawan Indonesia dari kota kecil di
Jawa Timur yang bernama Jember. Beliau merupakan seorang letkol atau pemimpin
perjuangan di jaman perang kemerdekaan yang berperan aktif dalam mengusir penjajah
dari tanah Jember. Beliau menjadi seorang pejuang dari usia yang sangat muda dan memiliki
rasa cinta terhadap tanah air yang sangat tinggi. Setelah penjajah keluar dari kota Jember
dan negara Indonesia telah merdeka, Moehamad Seroedji diangkat menjadi bupati pertama
Kota Jember. Bagi masyarakat Jember dari dulu hingga sekarang menyakini bahwa
Moehamad Seroedji adalah pahlawan kota Jember, sehingga masyarakat Jember pada
waktu itu bersepakat untuk membuat sebuah patung Moehamad Seroedji sebagai tanda
penghormatan akan jasa – jasa nya untuk kota Jember dan diletakkan di depan kantor
Kabupaten Jember hingga saat ini.
Di jaman modern seperti sekarang ini, saya melihat banyak masyarakat kota Jember
yang telah melupakan Beliau sebagai pahlawan kotanya, terutama generasi mudanya yang
tidak mengenal lagi sosok Moehamad Seroedji. Hal ini dapat terjadi karena dunia
pendidikan di Indonesia hanya mengenalkan generasi mudanya dengan tokoh – tokoh
pahlawan nasional yang memiliki prestasi perjuangan tinggi dalam usaha mewujudkan
kemerdekaan di negara Indonesia.
Sehingga generasi muda Indonesia tidak lagi mengenal lagi tokoh – tokoh pahlawan
lokal. Maka dari itu, kita sebagai masyarakat negara Indonesia harus peduli dan kembali
belajar untuk mengenal, menghargai, dan mencintai sejarah bangsa kita terutama sejarah
perjuangan para pahlawan nasional maupun lokal atas jasa – jasa nya yang begitu besar
dalam mewujudkan kemerdekaaan di tanah pertiwi ini sehingga kita dapat merasakan
kemerdekaan saat ini. Sejarah merupakan guru kehidupan bagi manusia, karena dari sejarah
kita bisa belajar tentang masa lalu, masa ini, dan masa mendatang.
Sejarah Singkat Universitas Jember
Cikal bakal Universitas Jember berasal
dari gagasan dr. R. Achmad bersama-sama
dengan R. Th. Soengedi dan R. M.
Soerachman yang bercita-cita mendirikan
perguruan tinggi di Jember. Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut pada tanggal 1
April 1957, ketiganya membentuk panitia
yang diberi nama Panitia Triumviraat dengan komposisi Ketua dr. R. Achmad; Penulis R. Th.
Soengedi, dan Bendahara R. M. Soerachman.
Selanjutnya Panitia Triumviraat ini pada tanggal 5 Oktober 1957 membentuk yayasan
dengan nama Yayasan Universitas Tawang Alun (disahkan dengan Akta Notaris tanggal 8
Maret 1958 Nomor 13 di Jember). Yayasan Universitas Tawang Alun inilah yang kemudian
mendirikan universitas swasta di Jember dengan nama Universitas Tawang Alun yang
kemudian disingkat UNITA. Dalam perjalanannya, ketiga tokoh tersebut mendapatkan
dukungan penuh Bupati Jember saat itu, R. Soedjarwo.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri PTIP No. 151 Tahun 1964 tanggal 9 Nopember
1964, tentang didirikannya Universitas Negeri di Jember. Usaha tanpa kenal lelah sejak
tahun 1957 itu akhirnya berhasil menjadi kenyataan, Universitas Negeri Djember berdiri !
Pada awal berdirinya pada tahun 1964, Universitas Negeri Djember yang disingkat
UNED, memiliki lima fakultas, terdiri dari Fakultas Hukum di Jember, dengan cabangnya di
Banyuwangi, Fakultas Sosial dan Politik dan Fakultas Pertanian di Jember, Fakultas Ekonomi
dan Fakultas Sastra di Banyuwangi. Dengan rektor pertama dijabat oleh dr. R. Achmad.
Kepemimpinan dr. R. Achmad dilanjutkan oleh Letkol. Soedi Harjohoedojo (1967-
1969), Letkol. Soetardjo, SH (1969-1978) dan Kol. Drs. H. R. Warsito (1978-1986). Baru
semenjak tahun 1986, rektor Universitas Jember dijabat oleh sivitas akademika-nya sendiri,
yakni oleh Prof. Dr. Simanhadi Widyaprakosa (1986-1995), Prof. Dr. Kabul Santoso, MS
(1995-2003), Dr. Ir. T. Sutikto, MSc (2003-2011) dan Drs. Moh. Hasan, Msc Ph.D (2012
sampai sekarang).
Sosok 3 Patung di Universitas Jember dan Sejarahnya
Tahun 2010 di Universitas Jember tepatnya di Ujung dobleway atau depan kantor
pusat ada penghuni baru, yaitu 3 Sosok Patung berdiri tegap. Patunng siapa saja itu?Tentu
saja tokoh pendiri Universitas Jember.
Sempat ada revisi mengenai patung ini yang berkaitan dengan sejarah.
Berikut ini sejarah yang saya ambil dari tulisan di Diambil dari Jawa Pos, Radar Jember,
Senin, 04 Mei 2009.
Tak banyak orang tahu, salah satu yang punya peran penting dalam pendirian
Universitas Jember (Unej) yang dulunya bernama Universitas Tawang Alun (Unita) adalah
Alm R. Soedjarwo.Saat Unita dirintis, dia menjabat sebagai Bupati Jember sekaligus
merangkap sebagai Ketua DPRD Swatantra.Inilah penuturan Ir Suhardjo Widodo MS, putra
keempat R. Soedjarwo yang juga menjadi saksi mata sejarah pendirian perguruan tinggi
negeri di Jember.
Winardi Nawa Putra, Jember
Dalam konteks pembangunan Kabupaten Jember, Unej mempunyai peranan sangat
strategis.Kampus yang terletak di Tegal Boto ini telah menjadi magnet luar biasa bagi
pertumbuhan ekonomi di Jember.Telah banyak lulusan Unej yang menjadi pengusaha besar
dan tokoh nasional.Unej telah melahirkan generasi bangsa yang punya kualitas andal dan
diperhitungkan hingga ke kancah internasional.
Jumlah mahasiswa Unej sekarang ini lebih dari 20 ribu mahasiswa yang berasal dari berbagai
daerah.Tentu ini merupakan potensi ekonomi yang luar biasa dalam meningkatkan
perputaran uang yang masuk ke Jember.Keberadaan Unej sekaligus memberikan dampak
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.Banyak usaha kos-kosan dan berbagai aktivitas usaha
di sekitar kampus yang bermunculan. Tidak dapat dipungkiri, Unej memberikan wajah
tersendiri bagi kota Jember sebagai salah satu kota pendidikan terpandang di Jawa Timur,
selain Surabaya dan Malang.
Saat-saat rintisan pendirian perguruan tinggi di Jember, salah satu yang tahu banyak adalah
Ir Suhardjo Widodo MS. Dia adalah putra keempat alm R. Soedjarwo, mantan bupati Jember
yang juga salah satu perintis berdirinya Unej.
Menurut Suhardjo, periode cikal bakal pendirian Universitas Jember mulai tahun 1957-1964.
“Ini diawali dengan munculnya gagasan tentang pentingnya suatu universitas di kota
Jember. Tokoh yang mempunyai gagasan tersebut adalah dr R. Achmad, R. Th. Soengedi,
dan M. Soerachman,” ujarnya.
Ketiga tokoh tersebut akhirnya berhasil mendirikan Yayasan Tawang Alun.Tujuan pokok
yayasan tersebut adalah mendirikan Universitas swasta Tawang Alun (Unita).Pada waktu,
Unita berdiri baru memiliki sebuah fakultas, yakni Fakultas Hukum.
Pada masa itu, Unita belum mempunyai gedung, masih menempati Gedung Nasional
Indonesia (GNI) Jember dan Sekolah Menengah Pertama Katolik Putra Jember,” kisahnya.
Memasuki tahun 1959, ujar pria kelahiran 21 Mei 1949 ini, tuntutan kepada Unita untuk
terus berkembang semakin besar. Maka, atas permintaan warga Unita, pada 26 Januari
1959, R. Soedjarwo diangkat sebagai Ketua Yayasan Unita.
“Secara kebetulan, pada periode 1957 sampai dengan 1964, R. Soedjarwo menjabat sebagai
Bupati Jember dan merangkap sebagai Ketua DPRD Swatantra,” ujarnya. Boleh dikata,
sebagai Bupati Jember waktu itu, R. Soedjarwo mempunyai perhatian cukup besar terhadap
pembangunan pendidikan di Kabupaten Jember.
Ini mengingat bahwa anggaran pemerintah saat itu masih sangat terbatas. Atas kenyataan
itu, untuk menunjang bidang pendidikan, R. Soedjarwo bersama tokoh-tokoh masyarakat
kemudian mendirikan Yayasan Pendidikan Kabupaten Jember (YPKD) dengan menggali dana
dari masyarakat untuk menunjang dunia pendidikan.
“Salah satu cara yang unik dalam mengumpulkan dana, R. Soedjarwo minta sumbangan dari
masyarakat Kabupaten Jember berupa buah kelapa dan botol kosong untuk dijual.
Selanjutnya dananya dipergunakan untuk membantu Unita dan sekolah-sekolah yang lain,”
ujar bapak berputra dua ini.
Dia ingat betul, saat itu dia masih duduk di bangku SMP.Dengan usaha tersebut, lanjut dia,
R. Soedjarwo di kalangan masyarakat terkenal sebagai Bupati Botol Kosong.
Beberapa sekolah yang sempat dibantu pembangunannya oleh YPKD antara lain, Gedung
SGA yang sekarang ditempati MAN II, gedung SMA I, SMEA, SKP yang sekarang ditempati
SMPN 11 Jember, STM yang sekarang menjadi SMPN X , PGA, dan SPPMA. “Serta tidak
kurang 50 gedung Sekolah Rakyat (SD) termasuk gedung Asrama Putri di Jalan PB Sudirman
yang dibantu,” ujarnya.
Untuk membesarkan Unita, R. Soedjarwo kemudian membantu mendirikan gedung kampus
Unita yang ada di jalan PB Sudirman seluas 656 meter persegi. Gedung tersebut dibangun di
atas tanah seluas 2.160 meter persegi dengan biaya pembangunan sebesar Rp 23.243,66.
“Dana tersebut bersumber dari dana YPKD. Sejak tahun 1960, Unita semakin
berkembang.Jumlah fakultas, satu demi satu bertambah. Meliputi, Fakultas Sosial Politik,
Fakultas Kedokteran, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan dan Fakultas Pertanian,”
tambahnya.
Seiring perjalanan waktu, untuk menambah prasarana kampus, Unita mengundang USAID
untuk mendapatkan sumbangan berupa alat laboratorium dan buku-buku.“Kampus
Universitas Jember di Tegal Boto, sebenarnya sudah diimpikan R. Soedjarwo.Saat itu tahun
1960, Tegal Boto masih berupa daerah terpencil bagaikan “pulau mati” dan tidak bisa
dijangkau transportasi darat,” ujarnya.
Untuk membuka daerah tersebut, R. Soedjarwo mulai membangun jembatan di jalan PB
Sudirman arah ke Jalan Mastrip pada 1961. “Jembatan tersebut baru selesai tahun 1976 dan
hingga kini dikenal sebagai jembatan Jarwo, ” ujarnya.
Nah, awal 1961 Yayasan Unita mulai merintis upaya agar Unita bisa berstatus negeri. Untuk
itu, R. Soedjarwo mengadakan koordinasi dengan segenap pengurus yayasan, pengurus
Unita, tokoh-tokoh daerah, termasuk anggota DPRD.
“Sidang DPRD pada 19 April 1961 akhirnya menghasilkan keputusan menetapkan resolusi,”
ujarnya.Resolusi tersebut isinya menyangkut beberapa hal. Pertama, tentang memperkuat
ide pembukaan Fakultas Kedokteran, kedua mengirim delegasi yang terdiri dari Ketua DPRD
menghadap Pemerintah Pusat, dan ketiga Universitas Tawang Alun agar diakui sebagai
Universitas Negeri.
“Langkah selanjutnya, Yayasan Unita mengirim beberapa delegasi untuk menghadap
Menteri PTIP waktu itu dipegang Prof Mr Iwa Kusumasumantri,” ujarnya.
Hasilnya memberikan harapan baru, pemerintah akan menegerikan Unita bersama-sama
dengan Unibraw pada 20 Mei 1962. Untuk menyongsong rencana tersebut, ujar suami EM
Evi ini, Yayasan Unita kemudian mengirim kembali delegasinya pada 14-24 Maret 1962.
Namun di luar dugaan, telah terjadi pergantian Menteri PTIP, yaitu Prof Dr Ir Thoyib
Hadiwidjaja yang mempunyai kebijakan baru bahwa tidak membenarkan penegerian dua
universitas dalam satu provinsi secara bersamaan. Akibat penundaan penegerian Unita
tersebut, Unita akhirnya diintegrasikan ke Universitas Brawidjaya Malang berdasarkan SK
Menteri PTIP No1, tertanggal 5 Januari 1963.Hal ini menimbulkan keresahan bagi
masyarakat Jember dan mahasiswa Unita khususnya.
Melihat hambatan tersebut R. Soedjarwo terus berusaha dengan mengirim delegasi ke
Jakarta hingga mendapat dukungan dari DPRD untuk mendesak pemerintah pusat untuk
menegerikan Unita menjadi universitas negeri secepatnya. “Jerih payah R. Soedjarwo
dengan dibantu pihak-pihak terkait, akhirnya membuahkan hasil dengan terbitnya SK
Menteri PTIP No 153 tahun 1964 tertanggal 9 November 1964 tentang Didirikannya Sebuah
Universitas Negeri Jember,” paparnya.
“Sejak Unita menjadi Universitas Negeri R. Soedjarwo tidak aktif dalam mengembangkan
Universitas Jember,” ujarnya. Menurut Suhardjo, dalam perkembangan Universitas Jember
hingga maju pesat dan menjadi besar hingga berskala nasional tidak lepas dari peran dua
Rektor terakhir yaitu Prof Dr Kabul Santoso MS dan Dr Ir T Sutikto MSc.
Tahun ini Universitas Jember akan berdies natalis ke-45. Melihat perjalanan Universitas
Jember hingga maju pesat seperti ini, tak salah jika dalam dies natalis tersebut ada suatu
apresiasi yang memadai bagi founding fathers Universitas Jember yang telah bersusah
payah membangun pendidikan di Jember.
Cagar Budaya di Jember
Situs Kamal yang berlokasi di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember.Di
situs Kamal tersebut terdapat situs-situs pra sejarah seperti batu kenong, kubur batu, dan
menhir.
Batu kenong adalah batu yang pada bagian atasnya terdapat tonjolan yang
berbentuk bundar.Di situs Kamal ini terdapat dua jenis batu kenong yaitu batu kenong
dengan 1 tonjolan dan batu kenong dengan 2 tonjolan.Batu kenong tersebut sudah tersusun
yang sudah dipindahkan dari tempat semula. Batu kenong melambangkan bentuk
persembahan kepada arwah nenek moyang dan menjadi pemujaan yang dibuat sekitar abad
X – XIV M ( puslit arkenus ). Batu kenong tonjolan 1 sebagai tanda tempat penguburan
sedangkan, batu kenong tonjolan 2 sebagai ompak-ompak atau alas bangunan rumah dari
kayu.
Kubur batu merupakan peti mayat dari batu, yang keempat sisinya berdinding
papan-papan batu bagian alas dan bidang atasnya juga terbuat dari batu. Dibuat sekitar
abad X – XIV M ( puslit arkenas ). Kubur batu merupakan tempat pemakaman atau peti
mayat yang didalamnya terdapat jenazah yang di simpan dalam keadaan terbaring dengan
posisi kepala menghadap ke tempat yang lebih tinggi.
Kubur batu yang berada di situs kamal adalah kubur batu masyarakat sekitar yang
dahulu bermukim di sekitar situs kamal. Kalau kita melihat kondisi topografi dari daerah
sekitar situs kamal, dapat di perkirakan bahwa kubur batu melingkar menuju keatas
ketempat yang posisinya lebih tinggi, sehingga untuk mencapai surga akan lebih cepat.
Di dalam kubur batu selalu ada bekal kubur berupa manik – manik serta perhiasan,
Tergantung dari kelas sosial pada waktu kehidupan sang mayat. Semua kubur yang ada
disekeliling Desa Kamal semuanya menghadap ke kubur batu yang ada didesa kamal
maksudnya, kepala orang yang meninggal selalu mengarah ke kubur batu di desa kamal,
mereka mengarah ke arah kubur batu tersebut karena orang yang di makamkan di kubur
batu tersebut adalah tokoh masyarakat atau kepala suku. Jadi kubur batu memiliki fungsi
sebagai tempat pesemayaman orang-orang yang sudah wafat.
Selain itu ada juga menhir atau batu tegak yang diperkirakan dibuat sekitar tahun
600M. Batu tegak atau menhir yaitu tiang batu atau tugu batu yang didirikan sebagai tanda
peringatan yang melambangkan arwah nenek moyang dan menjadi benda pemujaan. Dibuat
sekitar abad X – XIV M ( puslit arkenas). Di situs kamal ini terdapat dua menhir, menhir
yang pertama lebih pendek berbentuk silinder, lebih ke atas diameternya lebih
kecil.Sedangkan menhir yang kedua lebih tinggi, berbentuk silinder luas lingkaran bagian
bawah silindernya semakin kecil.
Selain sebagai tempat pemujaan menhir juga di gunakan sebagai tanda peringatan
sebuah kejadian, biasanya menhir yang digunakan sebagai tanda di bawahnya terdapat
prasasti serta tulisan yang berisi penjelasan kejadian apa yang terjadi. Menhir dapat di
kategorikan menjadi dua yaitu menhir arca dan menhir biasa
Di dekat menhir ini terdapat pohon besar dan dikira dahulu orang-orang yang datang
selalu membawa sesajen sebagai tanda penghormatan kepada hal yang ghaib. Sesajen itu
biasanya kue apem yang berfungsi sebagai payung penyelamat warga-warga disekitarnya.
Media menhir sebagai arah berkomunikasi. Menhir juga sebagai symbol fisik orang yang
dimakamkan atau orang yang sudah meninggal. Diperkirakan pada tahun 1988 masih ada
penghormatan.
Situs-situs menhir banyak ditemukan di desa kamal, Karena daerah ini memiliki
suasana geografis daerah pegunungan. Daerahnya subur, Banyak makanan dan Air yang
cukup mudah sehingga pada zaman dahulu banyak orang yang tinggal didaerah ini. Kubur
batu ialah peti minyak dan batu, ke empat sisinya berdinding papan-papan batu bagian alas
dan bidang atasnya juga terbuat dari batu. Dibuat sekitar abad X – XIV M ( puslit arkenas ).
Sarkofagus 3500 Tahun
Mumi ini awalnya dikira hanya berusia 2.400-2.600 dan tak penting.Namun, seorang
pengunjung mengenalinya dan mengatakan sarkofagus itu berusia lebih tua.
Kuator Torquay Museum Barry Chandler mengatakan, "Dr Aidan Dodson dari Bristol
University melihat desain dan menyadari sarkofagus ini berasal dari 'era emas' Mesir atau
masa Akhenaten dan Tutankhamun".
Tak hanya itu, sarkofagus ini mengindikasikan dibuat untuk anak berstatus tinggi,
kemungkinan keluarga kerajaan.
"Dari detail mata, lutut dan lainnya, peti mati ini jauh lebih tua dari perkiraan. Ini seribu
tahun lebih tua dan untuk keluarga status tinggi atau kerajaam," lanjutnya.
Dr Aidan Dodson dari Bristol University akhirnya memeriksa artefak ini dan
menemukan, peti mati ini berasal dari 3.500 tahun silam dari masa Thutmose II atau dinasti
Mesir ke-18 seperti ditulis DM
dr. Soebandi
Sejarah Jember tidak bisa dipisahkan dari sosok pejuang bernama Dokter Soebandi.
Namanya tidak hanya dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan pada era Agresi Militer
Pertama dan Kedua, namun juga dikenal sebagai seorang dokter.
Kini, namanya diabadikan sebagai nama jalan, hingga nama rumah sakit daerah
Jember. Bukan hal yang mudah bagi Widiyastuti mengingat sepak terjang almarhum
Soebandi, sang ayah.
Di era itu, dia bersama dua saudaranya, Widiyasmani, dan Widorini masih sangat
kecil. Malah, dia bersama saudara dan sang ibu, almarhum Rr Soekesi hampir tidak pernah
bertemu dengan sang kepala keluarga. “Waktu itu, bapak banyak di-front pertempuran.
Beliau jarang sekali pulang. Setiap hari lebih banyak bertugas,” kenangnya.
Masa peperangan mempertahankan kemerdekaan, memang masa yang sarat
keprihatinan. Sebagai anak seorang dokter yang banyak ditugaskan, sekaligus sering diminta
untuk membantu perjuangan, Tuti, panggilan akrabnya, dituntut untuk menerima keadaan
hidup hanya dengan ibu dan kedua saudaranya.
Bahkan, ketika, Soebandi bersama Brigade III Damarwulan diminta hijrah ke Blitar,
dia bersama saudara dan sang ibu hanya bisa mendoakan dari Jember.
Lama berselang. Waktu serasa berputar dengan cepat, ketika keluarga kecil itu tidak
pernah mendengar kabar Soebandi. “Bingung itu pasti. Ibu jelas khawatir tidak bisa
mendengar kabar tentang bapak,” katanya. Dengan segala pertimbangan, Soekesi nekat
membawa ketiga anaknya yang masih kecil pergi ke Blitar. Di kota tempat Bung Karno
beristirahat dengan damai itu, mereka berempat bisa bertemu kembali dengan Soebandi.
Sayang, kebersamaan itu tidak bisa mereka dapatkan lebih lama. Karena Soebandi
diminta bergabung dengan Brigade III Damarwulan, dimana dia menjabat sebagai kepala
dokter dan merangkap sebagai Residen Militer Daerah Besuki.
Selanjutnya, rombongan ini diminta kembali bertugas di Jember. Tak mau
mempersulit keluarganya, Soebandi meninggalkan Soekesi dan tiga anaknya di Blitar.
Sampai jasadnya ditemukan di sebuah sawah, setelah pertempuran bersama Letkol
Sroedji di Desa Karangkedawung, Kecamatan Mumbulsari, satu tahun berikutnya, keluarga
baru mengetahui kepastian bahwa Soebandi telah gugur di medan juang.
“Kami sekeluarga baru diberi tahu setelah jenasah ditemukan. Tidak ada pejuang
teman bapak, yang berani memberitahu. Kabar itu kami terima setelah bapak meninggal
satu tahun,” katanya.
Sebagai seorang pejuang, kemampuan Soebandi dalam bidang kedokteran memang
sangat membantu. Terutama untuk menyembuhkan tentara Indonesia yang terluka akibat
pertempuran.
Dilahirkan di Klakah, Lumajang, pada 17 Agustus 1917, Soebandi termasuk orang
yang beruntung di zaman itu. Putra pertama dari dua bersaudara ini, berhasil masuk di Ika
Daigoku (sekolah kedokteran di Jakarta). Sebelumnya, dia mengikuti pendidikan di HIS,
MULO, dan NIAS.
Setelah lulus dari Ika Daigoku pada 12 November 1943, Soebandi melanjutkan
pendidikannya di Pendidikan Eise Syo Dancho. Selanjutnya, setelah lulus, dia diangkat
sebagai Eise Syo Dancho. Yang kemudian di tempatkan di Daidan Lumajang.
Pada saat itu, selain sebagai tentara, Soebandi juga bertugas sebagai dokter tentara.
Ketika PETA dibubarkan pada 19 Agustus 1945 karena Jepang menyerah pada Sekutu, dia
ditugaskan di RSU Probolinggo sebagai dokter.
Pada waktu pembentukan BKR, Soebandi yang sudah berpangkat letnan kolonel
dipanggil ke Malang. Di sana dia ditugaskan menjadi dokter di RST Claket Malang dengan
pangkat kapten. Ketika BKR diubah menjadi TKR pada 5 Oktober 1945 dan berubah menjadi
TRI , dia diberi pangkat mayor.
Pada masa Agresi militer pertama, tahun 1946, Soebandi kembali ditugaskan ke
Jember. Dia yang ditugaskan sebagai kepala DKT dengan pangkat Mayor, dipindahkan ke
resimen IV Divisi III, yang kemudian berubah menjadi Resimen 40 Damarwulan Divisi VIII.
Pada rentang 1945-1947 itu, Soebandi banyak bertugas di front pertahanan
Surabaya selatan, Sidoarjo, Tulangan Porong, dan Bangil. Bahkan, pernah ditugaskan di front
pertahanan Bekasi Jawa Barat sebagai dokter perang. Pada tahun 1947, setelah tentara
Belanda menduduki Jember, dia pernah ditangkap dan dijadikan tahanan kota. Karena
terpergok menolong seorang prajurit yang terluka di DKT.
Kini, sudah 61 tahun sejak Soebandi gugur di medan juang. Negara ini juga sudah
merdeka, dan telah berganti-ganti presiden. Jejak perjuangan untuk mempertahankan
kemerdekaan, harusnya tidak hanya berupa monumen dan taman makam pahlawan.
“Kami, sebagai anak dari seorang pejuang, kadang merasa prihatin. Negeri ini sudah
lama merdeka, tapi, makin lama kok makin banyak koruptor. Seolah, setiap hari selalu saja
ada korupto yang ditangkap,” kata Tuti.
Padahal, dulu di medan perang, banyak pahlawan yang tidak peduli dirinya sendiri.
Mereka mengorbankan apa saja, agar negeri ini bisa merdeka. “Setelah merdeka, anak
bangsanya kok malah korupsi. Mereka memang tidak merasakan kesedihan kami.
Merasakan susahnya masa perang dan ditinggal seorang ayah berjuang hidup dan mati,”
katanya.
Dia juga sedikit menyesalkan penghargaan negara terhadap pejuang masih sangat
kurang. “Banyak rekan-rekan bapak saya, sesama pejuang, yang butuh perhatian dari
pemerintah,” kata ibu empat anak.
Dia berharap, agar pemerintah lebih memperhatikan para pejuang yang masih
hidup. Selain itu, dia juga berharap agar generasi muda negeri ini, bisa menghargai
perjuangan pahlawan dengan berkarya lebih baik untuk bangsa. (lie)
Candi Deres
Candi Deres adalah peninggalan sejarah kebudayaan di Kabupaten Jember yang
terletak di dusun. Deres, Desa. Puwo Asri, Kecamatan Gumukmas, kabupaten Jember, Jawa
Timur.