sejarah

7
SEJARAH Diawali dengan kegiatan Demonstrasi Masal oleh IPB di Karawang pa 1965/1966, sejak 1966 pemerintah menetapkan kebi-jakan Bimbingan Masal (BIMAS).D organisasi BIMAS tersebut Perguruan Tinggi terlibat secara aktif, meskip mahasiswa sebagai tenaga penyuluh bersifat sementara (selama satu musim). Kebijakan BIMAS ini dalam perjalanannya beberapa kali mengalami penyempurnaaa, s a) Pada musim tanamn 1968/69 dilaksanakan Bimas Gotong Royong, yang pelaksanaannya bekerjasama dengan pihak swasta, utamanya dalam pengadaan s produksi (pupuk dan pestisida), seperti: CIBA-Geigy, COOPA, Nichimen, dan Tani (Pertamina) b) Mulai 1969/70, diubah menjadi Bimas Nasional Yang Disempur-nakan (BNYD). P masa ini, terjadi perubahan pada paket sarana produksi yang semul petani untuk mengambil Paket-kredit, diberi kebebasan sesuai dengan kebutu Bagi yang sama sekali tidakmengambil kredit, digolongkan sebagai peserta intensifikasi masala (INMAS). c) Mulai 1970/71, m ulai dikenalkan konsep Catur Sarana Unit Desa” (Had 1973) yaitu disediakannya ”agri support services” pada setiap Unit Desa (s 1.000 Ha) yang terdiri dari; Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang berstatus Pegawai Neger (PNS) sebagai tenaga pengganti mahasiswa. Yang berperan untuk melakuk pengujian dan penyuluhan Lembaga Kredit (BRI Unit Desa), yang ber-peran dalam penyalur penarikan kredit prosuksi Kiosk sarana produksi Koperasi Unit Desa (KUD) yang berperan dalam pengolahan dan pemasaran produk Pada masa pelaksanaan BIMAS, dikenalkan beberapa metoda,sistem kerja, dan kelembagaan penyuluhan sebagai berikut: a) Memasuki musim tanam 1989/70, mulai dikenal-kan beberapa metoda pe Demonstrasi Cara dalam bentuk Demplot, yang dibarengi dengan Demonstrasi H dalam bentuk penye-lenggaraan FFD (Farmers Field Day)

Upload: hanggara-dwiyudha-nugraha

Post on 22-Jul-2015

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SEJARAH Diawali dengan kegiatan Demonstrasi Masal oleh IPB di Karawang pada 1964/651965/1966, sejak 1966 pemerintah menetapkan kebi-jakan Bimbingan Masal (BIMAS).Dalam organisasi BIMAS tersebut Perguruan Tinggi terlibat secara aktif, meskipun keberadaan mahasiswa sebagai tenaga penyuluh bersifat sementara (selama satu musim). Kebijakan BIMAS ini dalam perjalanannya beberapa kali mengalami penyempurnaaa, seperti: a) Pada musim tanamn 1968/69 dilaksanakan Bimas Gotong Royong, yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan pihak swasta, utamanya dalam pengadaan sarana produksi (pupuk dan pestisida), seperti: CIBA-Geigy, COOPA, Nichimen, dan Patra Tani (Pertamina) b) Mulai 1969/70, diubah menjadi Bimas Nasional Yang Disempur-nakan (BNYD). Pada masa ini, terjadi perubahan pada paket sarana produksi yang semula mewajibkan petani untuk mengambil Paket-kredit, diberi kebebasan sesuai dengan kebutuhannya. Bagi yang sama sekali tidak mengambil kredit, digolongkan sebagai peserta intensifikasi masala (INMAS). c) Mulai 1970/71, mulai dikenalkan konsep Catur Sarana Unit Desa (Hadisapoetro, 1973) yaitu disediakannya agri support services pada setiap Unit Desa (seluas 5001.000 Ha) yang terdiri dari; Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai tenaga pengganti mahasiswa. Yang berperan untuk melakukan pengujian dan penyuluhan Lembaga Kredit (BRI Unit Desa), yang ber-peran dalam penyaluran dan penarikan kredit prosuksi Kiosk sarana produksi Koperasi Unit Desa (KUD) yang berperan dalam pengolahan dan pemasaran produk Pada masa pelaksanaan BIMAS, dikenalkan beberapa metoda,sistem kerja, dan kelembagaan penyuluhan sebagai berikut: a) Memasuki musim tanam 1989/70, mulai dikenal-kan beberapa metoda penyuluhan Demonstrasi Cara dalam bentuk Demplot, yang dibarengi dengan Demonstrasi Hasil dalam bentuk penye-lenggaraan FFD (Farmers Field Day)

b) Mulai musim tanamn 1976/77, dikenalkan sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) atau Training and Visit (TV) mengadop-si konsep dan pengalaman Benor dan Harison (1977) c) Mulai 1979 dikenalkan inovasi-sosial berupa Intensifikasi Khusus yaitu usahatani kelompok seluas 1.000 Ha, sebagai pendukung inovasi teknologi yang tekah mengalami levelling off d) Mulai 1987, dilaksanakan Supra Insus, yaitu pelaksanaan INSUS yang disertai penerapan 10 Jurus Teknologi. e) Penataan Kelembagaan Penyuluhan; Sampai dengan 1976, kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat propinsi dan kabupaten dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab Dinas Pertanian sebagai Ketua Harian BIMAS. Mulai 1976 1991, penyuluhan pertanian di tingkat propinsi dan kabupaten dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab Sekretariat Pembina/Pelaksana BIMAS. Khusus tentang pelaksanaan sistim kerja LAKU (TV), meskipun pertukaran pengetahuan berlangsung linier, tetapi terbukti mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyuluhan pertanian. Hal ini disebabkan karena, melalui sistim LAKU (TV); a) Ada kejelasan tugas penyuluh pertanian (PPL, PPM, dan PPS) sebagai tenaga fungsional yang hanya dibebani tugas penyuluhan dan dibebaskan dari tugas-tugas sampiran yang semestinya menjadi beban tugas aparat struktural. Berkaitan dengan itu, para penyuluh (PPL, PPM, dan PPS) diberi kebebasan untuk berkomunikasi dan atau mencari informasi ke Lembaga/Balai Penelitian, Perguruan Tinggi dan Dinas/Instansi/ Lembaga lain yang relevan. b) Ada kejelasan tentang batas wilayah kerja penyu-luh pertanian lapang, serta jumlah kelompok tani (16 kelompok) yang menjadi klien-nya, yang harus dikunjungi secara tetap (tempat dan waktu-nya), teratur (sesuai jadwal) dan berkelanjutan setiap 2 minggu(2 kali/bulan) c) Setiap penyuluh pertanian lapang (PPL) memperoleh pelatihan dan supervisi secara teratur dan berkala, setiap 2 minggu ( 2 kali/bulan) d) Materi penyuluhan pada setiap kunjungan diran-cang bersama antara penyuluh dan petani, sesuai kebutuhan yang relevan dengan tahapan kegiatan usahatani.Demikian pula, materi pelatihan PPL juga dirancang bersama antara PPL, PPM dan PPS sesuai dengan kebutuhan kunjungan PPL pada minggu berikutnya.

e) Berkaitan dengan materi penyuluhan, sebelum melakukan pertemuan dengan kelompok-tani, PPL terlebih dulu melakukan problem hunting melalui pengamatanlapang.Kegiatan problem hunting seperti itu, juga dilakukan oleh PPM, PPS dan Fasilitator Pelatihan yang lain, sebelum melakukan pelatihan juga terlebih dahulu melaku-kan kegiatan problem hunting. f) Materi penyuluhan yang dilakukan PPL terhadap kelompokl-tani maupun materi pelatihan bagi PPL yang dilakukan oleh PPM, PPS dan Fasilitator yang lain terfokus pada: Pemecahan masalah yang dihadapi petani/ PPL Penyampaian inovasi yang relevan dengan tahapan kegiatan usahatani Penyampaian informasi aktual tentang kebi-jakan pemerintah (pusat dan atau daerah) yang harus segera disampaikan Rumusan tentang acara dan materi kunjuung-an/pelatihan (yang akan diselenggarakan pada) 2 minggu berikutnya. g) Untuk menunjang kegiatan penyuluhan, kepada penyuluh (PPL, PPM, dan PPS) juga disediakan anggaran uang kerja bimbingan (UKB) untuk melakukan kegiatan pengujian-lokal, demonstra-si-plot, dll.

LATAR BELAKANG Salah satu tujuan penting pembangunan pertanian adalah tercapainya swasembada pangan. Kecukupan pangan di Indonesia merupakan aspek yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak. Di samping itu sejarah telah memberi pelajaran bagi Bangsa Indonesia bahwa kekurangan pangan akan menimbulkan ketergantungan ekonomi pada bangsa lain serta akan menyebabkan kerawanan nasional Selama 25 tahun sejak kemerdekaan, pemerintah mencanangkan peningkatan produksi pangan terutama beras. Pencapaian swasembada beras bertujuan untuk menghemat devisa maupun mencegah ketergantungan impor (Baharsjah, Kasryno dan Darmawan. 1989). Beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting di Indonesia. Penawaran beras diperlakukan oleh Pemerintah sedemikian rupa sehingga beras merupakan isue politik yang sangat peka serta strategis (Manwan dan Sawit. 1991).Sejak sistem Bimas ditemukan serta diintroduksikan secara massal,baru 20 tahun kemudian berhasil mendorong produktivitas beras. Namun silih berganti teknologi produksi diperbaiki dan dikembangkan untuk

meningkatkan produksi beras. Pemerintah mengintroduksikan inovasi paket teknologi Intensif ikasi Khusus (Insus) pada tahun 1984. Usaha Pemerintah dalam meningkatkan produksi pertanian non beras atau cukup besar sebagai kesatuan paket kebijaksanaan harga beras. Hubungan erat harga dan konsumsi antar komoditas pangan serta adanya kebutuhan akan keragaman konsumsi pangan merupakan dasar bagi Pemerintah untuk memberikan perhatian dalam menerapkan kebijaksanaan pangan di Indonesia. Salah satu kebijaksanaan Pemerintah dalam meningkatkan produksi pertanian non beras adalah penerapan Bimas Hortikultura. sejak tahun 1968 dilaksanakan program Intensifikasi Massal (Inmas) yang merupakan program intensifikasi tanpa bantuan kredit murah. Pada awal Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP) I, berdasarkan Keppres Nomor 95 Tahun 1969 pelaksanaan program intensifikasi Bimas dan Inmas dikembangkan dan lebih dimantapkan dengan dibentuknya Badan Pengendali Bimas, sebagai badan koordinasi lintas sektor yang diketuai Menteri Pertanian. Struktur organisasi Bimas dikembangkan sampai ke tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan, yang masing-masing diketuai oleh Gubernur, Bupati dan Camat. Untuk mengatasi kekurangan dana bagi pengadaan dan penyaluran pupuk, pestisida dan alat-alat pertanian telah dilibatkan 7 perusahaan asing dalam bentuk Bimas Gotong Royong. Program ini berjalan selama empat musim tanam, kemudian diperbaiki dengan Bimas Nasional yang Disempurnakan (BND). Berdasarkan hasil pilot proyek Unit Desa BRI di Yogyakarta pada MT 1969/70 dilakukan pembaharuan terhadap konsep BND dalam upaya mendekatkan pelayanan kepada petani di perdesaan dengan konsep Unit Desa. Dengan Inpres Nomor 4 Tahun 1973 dibentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), yaitu suatu areal persawahan seluas 600 - 1.000 hektare yang memiliki

unsur-unsur pelayanan berupa catur sarana, yakni penyuluhan oleh PPL; perkreditan oleh BRI Unit Desa; penyaluran sarana produksi (saprodi) oleh kios/warung Unit Desa; dan pengolahan serta pemasaran hasil oleh Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/Koperasi Unit Desa (KUD). Guna mensukseskan pelaksanaan program intensifikasi sekaligus meningkatkan pendapatan petani, pembinaan BUUD/KUD selanjutnya diatur dengan Inpres Nomor 2 tahun 1978. Kemudian dengan Inpres Nomor 4 Tahun 1984 pembinaan dan pemantapan sistem organisasi KUD makin disempurnakan. Diversifikasi pertanian adalah usaha penganekaragaman jenis usaha atau tanaman pertanian untuk menghindari ketergantungan pada salah satu hasil pertanian. Diversifikasi pertanian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

Memperbanyak jenis kegiatan pertanian, misalnya seorang petani selain bertani juga beternak ayam dan beternak ikan. Memperbanyak jenis tanaman pada suatu lahan, misalnya pada suatu lahan selain ditanam jagung juga ditanam padi ladang.

TUJUAN Diversifikasi pangan antara lain bertujuan untuk: a. Mewujudkan pola penganekaragaman pangan yang memperhatikan nilai gizi dan daya beli masyarakat b. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan keamanan pangan lewat ketersediaan pangan dari segi jumlah dan kualitas gizinya c. Mengurangi ketergantungan pada beras (pemerintah) sehingga tidak dapat dipolitisir lagi d. Menambah devisa negara dengan mengembangkan produk pertanian non beras yang punya keunggulan komparatif dan menjaga kelangsungan dan

kelestarianalam/lingkungan dengan mengembalikan pada ekosistemya (Nuhfil hanani AR, 2009). Tujuan Bimas yang pada hakekatnya sama dengan tujuan penyuluhan pertanian saat itu yaitu : 1) Menimbulkan perubahan perilaku dan motif tindakan para petani kearah sasaran yang telah ditentukan. 2) Menuntun, mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku petani dalam mencapai taraf usaha dan kehidupan yang lebih baik. 3) Menimbulkan dan memelihara semangat para petani agar selalu giat memperbaiki segala usahanya. Membantu para petani agar lebih berswadaya dalam memecahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi.

PENCAPAIAN Petani makin terbiasa bekerja dengan menerapkan teknologi yang sesuai, sehingga produktivitas terus meningkat. Sementara itu dalam rangka mempercepat peningkatan produksi padi dilaksanakan pula upaya rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi serta pencetakan sawah baru. Sawah-sawah baru tersebut segera dimanfaatkan dalam perluasan areal intensifikasi. Upaya peningkatan produksi melalui intensifikasi juga didukung oleh

penyediaan pupuk yang diproduksi dalam negeri, pengembangan benih-benih unggul baru, serta kebijaksanaan harga dan subsidi yang memberikan perangsang pada petani untuk menerapkan teknologi baru. Terjadilah apa yang disebut Revolusi Hijau, yang mengantarkan pada salah satu keberhasilan pembangunan yang menonjol dalam PJP I, yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Pada tahun 1984 tersebut produksi beras mencapai 25,8 juta ton dengan luas panen 9,8 juta hektare, diantaranya luas panen intensifikasi sekitar 7,4 juta hektare, serta melibatkan sekitar 12 juta keluarga tani.

PENDAPAT Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para

pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika. a. Penghancuran Lingkungan dalam Revolusi Hijau : Watak anti lingkungan Revolusi Hijau menciptakan permasalahan bagi lingkungan dan masyarakat pedesaan yakni

menghancurkan ekosistem lingkungan pedesaan. Dengan mengkuti logika industrialisasi, Revolusi Hijau telah mempraktekkan proses linear yang mengubah pertanian dari aspek penggarapan tanah, tenaga kerja, penggunaan modal dan metode saving. Riset tanaman, pestisida, pupuk kimia buatan, mekanisasi, irigasi, serta fasilitas kredit memaksa proses pertanian di pedesaan menjadi pertanian capital intensive. Hal itu semua telah menyingkirkan petani miskin dari pertanian. Oleh karena bibit baru yang ditemukan oleh Revolusi Hijau sangatlah rentan terhadap hama, maka bibit-bibit itu memerlukan penggunaan pestisida yang besar dalam rangka pest control dan plant protection. Pestisida ternyata tidak mampu mengontrol hama, malah sebaliknya memanjakan hama, karena secara tak sengaja menciptakan kekebalan terhadap hama baru. Sesungguhnya perang melawan hama tidaklah diperlukan, karena masyarakat selama bertahun-tahun telah melakukan cara yang efektif untuk mengontrol hama, dengan cara menyeimbangkan antara hama (pest) dan predator. Celakanya bibit unggul dan kimia yang menjadi dua input utama Revolusi Hijau telah menghancurkan keseimbangan itu. Akibatnya pertanian pedesaan dipaksa tergantung pada pupuk kimia dan racun pestisida.

b.

Revolusi Hijau Yang Tidak Memihak Rakyat. Bagi sebagian rakyat dan pemerintah Indonesia, terutama pada era Orde Baru, adalah satu satunya kata revolusi yang tidak ditakuti oleh penguasa. Persoalan tentang petani yang marak akhir-akhir ini mengingatkan kembali kepada Revolusi hijau yang sesungguhnya bukan persoalan baru. Berbicara Revolusi hijau berarti harus mengungkapkan akar persoalan mengapa lahir Revolusi hijau dan bagaimana implikasinya terutama terhadap petani. Secara kwantitatif dan jangka pendek, program Revolusi Hijau (Green revolution) seolah-olah memberikan harapan baru terhadap permasalahan Dunia Ketiga melalui aspek pertanian. Banyak negara Dunia Ketiga terpesona dengan program tersebut karena secara kwantitatif memang menunjukkan hasil yang dramatik. Indonesia misalnya, berkat Revousi Hijau dalam jangka pendek berhasil merubah diri dari pengimpor beras menjadi swadaya. Namun demikian, jika dipandang secara kwalitatif, jangka panjang, dengan pandangan yang kritis, ternyata revolusi hijau banyak mendatangkan persoalan mendasar. Uraian singkat ini merupakan upaya kritis untuk melihat program Revolusi Hijau, ditinjau dari aspek keadilan dan kelestariannya dari pada hanya melihat aspek pertumbuhan atau perkembangannya. Dengan demikian analisis akan lebih mempertanyakan siapa yang diuntungkan secara ekonomi, politik, budaya, pengetahuan maupun lingkungan hidup dari program Revolusi Hijau tersebut, berarti analisis kritis ini sendiri merupakan suatu paradigma yang lebih melihat aspek keadilan ketimbang pertumbuhan.