sebuah transformasi mencari bentuk ideal perguruan tinggi negeri

7
ESSAY – LEX 2010 BADAN HUKUM PENDIDIKAN; SEBUAH TRANSFORMASI MENCARI BENTUK IDEAL PERGURUAN TINGGI NEGERI oleh Najmu Laila 1 Francis Bacon beberapa abad lampau pernah berkata bahwa, knowledge is power. Bahwa Ilmu Pengetahuan adalah kekuatan, dan salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan. Seperti kata Paulo Freire, pendidikan harus menjadi praksis yang membebaskan, termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan 2 . Itulah yang kemudian melandasi pemikiran bahwa suatu institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi, haruslah diberikan otonomi yang seluas-luasnya, baik dari segi kurikulum, pendanaan, maupun kebijakan pendidikan. Jika meminjam istilah Satryo Soemantri Brodjonegoro, perguruan tinggi haruslah mempunyai otonomi karena tanpa otonomi, perguruan tinggi hanyalah layaknya sebuah kantor 3 . Menurut konstruksi hukum, ide otonomi bagi perguruan tinggi tersebut hanya akan dapat tercapai apabila perguruan tinggi berbentuk Badan Hukum. Maka lahirlah apa yang kemudian kita kenal dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Transfromasi Bentuk Perguruan Tinggi Negeri 1 Peneliti dari Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum UI 2 Teuku Kemal Fasya. PTN dan Komersialisasi Pendidikan. Diakses dari situs : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02150776&cha 3 Satryo Soemantri Brodjonegoro. Terobosan untuk Tingkatkan Wibawa PT, diakses dari situs : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php? cnt=.xml.2008.04.07.01120896&cha 1

Upload: najmu-laila-sopian

Post on 20-Jun-2015

61 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Francis Bacon beberapa abad lampau pernah berkata bahwa, knowledge is power. Bahwa IlmuPengetahuan adalah kekuatan, dan salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan. Seperti kata Paulo Freire, pendidikan harus menjadi praksis yang membebaskan,termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan. Itulah yang kemudian melandasi pemikiran bahwasuatu institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi, haruslah diberikan otonomi yang seluas-luasnya, baik dari segi kurikulum, pendanaan, maupun kebijakan pendidikan. Jika meminjam istilahSatryo Soemantri Brodjonegoro, perguruan tinggi haruslah mempunyai otonomi karena tanpaotonomi, perguruan tinggi hanyalah layaknya sebuah kantor. Menurut konstruksi hukum, ide otonomi bagi perguruan tinggi tersebut hanya akan dapat tercapaiapabila perguruan tinggi berbentuk Badan Hukum. Maka lahirlah apa yang kemudian kita kenaldengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP).

TRANSCRIPT

Page 1: Sebuah Transformasi Mencari Bentuk Ideal Perguruan Tinggi Negeri

ESSAY – LEX 2010

BADAN HUKUM PENDIDIKAN;

SEBUAH TRANSFORMASI MENCARI BENTUK IDEAL PERGURUAN TINGGI NEGERI

oleh Najmu Laila1

Francis Bacon beberapa abad lampau pernah berkata bahwa, knowledge is power. Bahwa Ilmu

Pengetahuan adalah kekuatan, dan salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan adalah melalui

pendidikan. Seperti kata Paulo Freire, pendidikan harus menjadi praksis yang membebaskan,

termasuk dari kejahatan ekonomi dan kekuasaan2. Itulah yang kemudian melandasi pemikiran bahwa

suatu institusi pendidikan, terutama perguruan tinggi, haruslah diberikan otonomi yang seluas-

luasnya, baik dari segi kurikulum, pendanaan, maupun kebijakan pendidikan. Jika meminjam istilah

Satryo Soemantri Brodjonegoro, perguruan tinggi haruslah mempunyai otonomi karena tanpa

otonomi, perguruan tinggi hanyalah layaknya sebuah kantor3.

Menurut konstruksi hukum, ide otonomi bagi perguruan tinggi tersebut hanya akan dapat tercapai

apabila perguruan tinggi berbentuk Badan Hukum. Maka lahirlah apa yang kemudian kita kenal

dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Transfromasi Bentuk Perguruan Tinggi Negeri

Berbicara dalam konteks perguruan tinggi negeri, setidaknya terdapat tiga bentuk pengelolaan yang

berkembang saat ini4. Pertama bentuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) konvensional yang berada di

bawah Departemen Pendidikan Nasional. Bentuk kedua adalah BHMN dengan mengacu pada PP No.

60/1999 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri

sebagai Badan Hukum. Bentuk ini diterapkan oleh tujuh PTN, yaitu UI, ITB, UGM, IPB, USU, UPI,

dan Unair. Ketiga, bentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang bersandar pada UU No. 1/2004

tentang Perbendaharaan Negara dan PP No 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Universitas

Diponegoro dan Universitas Padjadjaran adalah perguruan tinggi negeri yang menganut bentuk BLU

ini.

1 Peneliti dari Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum UI

2 Teuku Kemal Fasya. PTN dan Komersialisasi Pendidikan. Diakses dari situs : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.04.02150776&cha

3 Satryo Soemantri Brodjonegoro. Terobosan untuk Tingkatkan Wibawa PT, diakses dari situs : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.07.01120896&cha

4 Tatang Muttaqin ,UU BHP dan Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Senin, 28 September 2009 21:00 WIB 

1

Page 2: Sebuah Transformasi Mencari Bentuk Ideal Perguruan Tinggi Negeri

ESSAY – LEX 2010

Sebelum bertransformasi menjadi sebuah Badan Hukum Milik Negara (BHMN), semula PTN

berbentuk unit yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kelemahan

yang paling mendasar dari bentuk PTN adalah, bahwa kedudukannya yang sub ordinatif dengan

Depdiknas membuat tata kelola perguruan tinggi cenderung tidak dapat berjalan secara efektif karena

kental dengan nuansa manajemen yang serba birokratis dan sentralistik. Selain itu, akan sangat sulit

bagi masyarakat untuk meminta akuntabilitas dari PTN.

Konsep BHMN menjawab persoalan tersebut melalui pemberian otonomi bagi perguruan tinggi

dalam segala aspek penyelengaraannya, yaitu dalam hal ini, otonomi tata kelola manajerial dan aset,

otonomi pengelolaan keuangan serta otonomi keilmuan dan akademis. Melalui otonomi pengelolaan,

setiap BHMN dapat mengoptimalisasi sumber daya yang dimilikinya untuk dapat bersaing di tataran

global, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.

Namun pada kenyataannya, bentuk BHMN pun ternyata memiliki berbagai kelemahan. Kelemahan

yang paling mendasar adalah tidak adanya pembatasan yang jelas mengenai proporsi sumber-sumber

pendanaan dan kewajiban pembiayaan pendidikan. Akibatnya, PT BHMN dapat dengan leluasa

menarik dana pendidikan dari masyarakat. Terbukti dengan maraknya PT BHMN yang membuka

berbagai jalur penerimaan mahasiswa baru yang didasarkan pada besar kecilnya sumbangan

pendidikan. Akibatnya, aksebilitas pendidikan di perguruan tinggi negeri menjadi sulit terjangkau

bagi kalangan dari ekonomi lemah. Apabila hal tersebut dibiarkan berlangsung, maka dalam jangka

panjang dampak yang akan terjadi adalah kesenjangan yang makin lebar antara kelompok kaya dan

miskin, sekaligus menggerogoti mutu pendidikan di PT BHMN.

Kemudian lahirnya sebuah bentuk Badan Hukum Pendidikan, melalui UU No. 9 Tahun 2009 tentang

Badan Hukum Pendidikan (atau yang lebih sering disebut dengan UU BHP) sebagai salah satu

jawaban atas segala kelemahan yang terdapat dalam konsep BHMN. Menurut Prof. Eko Prasojo,

pada awalnya perumusan dan naskah akademis UU BHP hanya dimaksudkan untuk PTN tertentu

saja. Namun dalam proses politis di DPR, maka BHP disahkan untuk menjadi bentuk bagi semua

instusi pendidikan di Indonesia, tanpa terkecuali5.

Akibatnya, terjadi penyeragaman bentuk dan tata pengelolaan institusi penyelenggara pendidikan di

seluruh Indonesia. Penyeragaman tersebut bertolak dari sebuah pemikiran bahwa setiap

penyelenggara pendidikan mempunyai kemampuan yang sama. Hal tersebut tentu saja hal yang tidak

menghargai keanekaragaman dan menafikkan kenyataan yang ada bahwa masih terjadi ketimpangan

5 Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Eko Prasojo dalam salah satu diskusi mengenai UU BHP yang diselenggarakan oleh BEM UI.

2

Page 3: Sebuah Transformasi Mencari Bentuk Ideal Perguruan Tinggi Negeri

ESSAY – LEX 2010

mutu pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor

terjadi banyaknya penolakan atas UU BHP.

Selain itu, dalam tataran paragdimatik UU BHP disinyalir merupakan upaya pemerintah untuk

menegasikan peran dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga

negara. Melalui UU BHP, pendidikan ditempatkan sedemikian rupa menjadi sebuah barang privat

(private goods) yang mempunyai dua ciri utama, yaitu untuk memperolehnya diperlukan persaingan

(rivalry) dan tidak tersedia untuk siapa pun (excludability). Hal tersebut tentu saja tidak koheren

dengan cita-cita luhur para pendiri bangsa sebagaimana termaktub di dalam konstitusi kita untuk

menjadikan pendidikan sebagai barang public (public goods). Bahwa pendidikan merupakan salah

satu hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.

Judicial Review UU BHP oleh MK

UU BHP ternyata tidak berumur panjang. Dengan dikabulkannya permohonan judicial review UU

BHP oleh Mahkamah Kontitusi, maka berakhir pulalah riwayat UU BHP tersebut.

Secara singkat, MK memiliki empat alasan untuk membatalkan UU BHP6. Pertama, UU BHP

dipandang mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud dan keselarasan

dengan UU yang lain. Kedua, UU BHP memiliki asumsi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia

mempunyai kemampuan yang sama untuk menghimpun dana. Ketiga, pemberian otonomi kepada

PTN akan berakibat beragam. Karena lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana

karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Keempat, dan yang menjadi alasan yang paling

mendasar adalah bahwa UUU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendididikan nasional dan

menimbulkan kepastian hukum. Bahwa UU BHP bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) dan pasal

31 UUD 1945.

Putusan MK ini kemudian disikapi secara beragam. Bagi kalangan mahasiswa dan kalangan lain

secara umum putusan tersebut tentu saja merupakan hadiah luar biasa yang disambut dengan penuh

suka cita. Namun bagi kalangan perguruan tinggi, putusan ini memberikan bayang-bayang

kembalinya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bercorak birokratis-sentralistik seperti pada era

PTN dahulu.

Namun, bagaimana sebenarnya implikasi putusan MK yang membatalkan UU BHP tersebut?

Meminjam ungkapan prof. Eko Prasojo, setidaknya ada 2 implikasi yang terjadi.

6 Putusan MK No. 11-12-21-123-136/PUU-VII/2009.

3

Page 4: Sebuah Transformasi Mencari Bentuk Ideal Perguruan Tinggi Negeri

ESSAY – LEX 2010

Pertama, Implikasi yuridis-normatif. Pencabutan UU BHP akan membuat perguruan tinggi negeri

terancam kehilangan dasar hukumnya. Terlebih dengan dikeluarkannya PP No. 17/2010 tentang

Penyelenggaraan Pengelolaan Pendidikan yang mencabut PP No. 60/1999 dan PP No. 61/1999.

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa pembentukan BHMN didasarkan pada PP No. 60/1999 dan

PP No. 61/1999. Dengan dicabutkan kedua PP tersebut, maka BHMN sudah tidak lagi memiliki dasar

hukum.

Persiapan perguruan tinggi negeri untuk menjadi badan hukum tidaklah terjadi dalam masa yang

singkat, tetapi sudah mulai dirintis sejak 10 tahun yang lalu, sejak pelaksanaan PT BHMN.

Pembatalan UU BHP dan berbagai peraturan pemerintah yang mengatur mengenai BHMN, tak pelak

membuat kalangan perguruan tinggi menjadi kalang kabut. Terjadi kekosongan hukum yang

berimplikasi pada setidaknya tiga hal, yaitu masalah keputusan-keputusan organ PT BHMN yang

tidak lagi memiliki dasar wewenang, masalah finansial, dan masalah kejelasan status hukum pegawai

(tenaga pendidik dan tenaga kependidikan) dalam PT BHMN.

Kedua, Implikasi stratejik. Point penting dari putusan MK adalah jaminan konstitusional

perlindungan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Hal tersebut membuka

kesadaran baru bahwa negara harus memberikan dukungan kepada PT BHMN dan tidak boleh

melepaskan tanggung jawab atas pembiayaan pendidikan.

Penutup

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, pembatalan UU BHP ini dapat menjadi momentum yang

tepat bagi kita semua untuk membenahi sistem pendidikan nasional Indonesia. Berbagai bentuk

penyelenggaraan yang pernah diterapkan hendaknya dimaknai sebagai transformasi menuju bentuk

ideal perguruan tinggi, untuk terus berproses dalam perbaikan yang tanpa henti. Sebagai mahasiswa,

kita tentu saja berharap bahwa pendidikan berkualitas dan terjangkau dapat dinikmati seluruh anak

bangsa, tanpa terkecuali. Semoga.

4