sanksi poligami tanpa izin dari pengadilan...
TRANSCRIPT
SANKSI POLIGAMI TANPA IZIN DARI PENGADILAN AGAMA DI
INDONESIA DAN MAHKAMAH SYARIAH SELANGOR (MALAYSIA)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
ARIYALL HIKAM PRATAMA
11150440000059
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Ariyall Hikam Pratama, NIM 11150440000059, SANKSI POLIGAMI TANPA
IZIN DARI PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA DAN MAHKAMAH
SYARIAH SELANGOR (MALAYSIA), Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. xii + 96 Halaman + 32 Lampiran
Studi ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan sanksi poligami tanpa
izin dari Pengadilan Agama di Indonesia dan Mahkamah Syariah Malaysia di
Negeri Selangor. Dalam ketentuannya di Indonesia sanksi poligami tanpa izin
Pengadilan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 45 PP No. 9 tahun 1975
yang memberikan sanksi denda Rp.7.500, kemudian aturan khusus bagi PNS yang
melakukan poligami diatur dalam PP No. 45 Tahun 1990 perubahan atas PP No.
10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, hanya
memberikan sanksi displin pegawai yang terdapat pada pasal 15 yaitu penurunan
pangkat dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Sedangkan di
Malaysia diatur dalam Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Selangor tahun
2003 yang memberikan sanksi denda tidak lebih dari RM 1000, dan juga di
hukum penjara tidak lebih dari 6 bulan, atau kedua-duanya, denda dan penjara.
Penelitian ini menggunakan jenis peneliitian yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan perbandingan hukum
dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan
hakim, buku-buku, kitab-kitab fikih yang berkaitan pada skripsi ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di Indonesia tentunya di
Pengadilan Agama tidak memberikan sanksi bagi poligami tanpa izin Pengadilan.
Hanya saja aturan dan syarat yang ketat tidak memberikan peluang bagi poligami
liar sehingga berdampak pada sanksi moril pelaku yaitu anaknya tidak mendapat
keabsahan secara sah oleh negara dan tidak akan mendapatkan hak waris yang
sah. Di Malaysia sanksi poligami diterapkan apabila seorang suami terbukti tidak
mendapat izin terlebih dahulu dari Mahkamah Syariah meskipun suami telah
mendapatkan izin dari istri, tetapi izin Mahkamah lebih utama sehingga apabila
tidak ada izin dari Mahkamah maka akan mendapatkan sanksi denda kurang dari
RM 1000 dan penjara tidak lebih dari 6 bulan. Tetapi jika istri merasa sangat
dirugikan sanksi tersebut bisa lebih atau bisa mendapat kedua sanksi tersebut
denda dan penjara.
Kata Kunci: Poligami, Mahkamah Syariah, Sanksi, Indonesia, Malaysia.
Pembimbing : Dr. Abdul Halim, M. Ag.
Daftar Pustaka : 1994 s.d. 2018
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te خ
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet س
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
vi
K ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ˋ ء
Y Ya ي
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai
berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan
vii
Arab Latin
 a dengan topi di
atas
Î i dengan topi di
atas
Û u dengan topi di
atas
Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf
qomariyyah. Misalnya:
al-ijtihâd =اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah =الزخصح
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
.al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah =الشفعح
Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No. Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شزيعح 1
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشزيعح اإلسالميح 2
muqâranat al-madzâhib مقارنح المذاهة 3
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
viii
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: الثخاري
= al-Bukhâri tidak ditulis Al- Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
No Kata Arab Alih Aksara
الضزورج تثيح المحظىراخ 1al-darûrah tubîhu al-
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصىل الفقه 3
األشياء اإلتاححاألصل في 4 al-„asl fî al-asyya al-
ibâhah
al-maslahah al-mursalah المصلحح المزسلح 5
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat
beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pada program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis
ajukan adalah “Sanksi Poligami Tanpa Izin Dari Pengadilan Agama di Indonesia
dan Mahkamah Syariah Selangor (Malaysia)”.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada
yang terhormat:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Prof. Dr. Amany Burhanudin
Umar Lubis Lc. MA.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M. Ag Ketua Program Studi Hukum Keluarga
sekaligus dosen pembimbing skripsi dan Bapak Indra Rahmatullah, SH. I,
M.H. Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga
4. Bapak Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.A., selaku dosen pembimbing
akademik yang selalu menasihati dan membimng penulis selama kuliah.
5. Segenap dosen, staf perpustakaan, karyawan-karyawan, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak memberi ilmu dan
memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Puan Nenney Shushaidah binti Shamsuddin Hakim Mahkamah Tinggi
Syariah Selangor dan Puan Nur Hatika binti Ismail pegawai Jabatan
Kehakiman Selangor yang telah membantu penulis dalam memberikan data
dan wawancara.
7. Tuan Prof. Madya. Dr. Irwan bin Mohd Subri, Lc. Ketua Institut Pengurusan
dan Penyelidikan Fatwa Sedunia dan selaku dosen Universiti Sains Islam
x
Malaysia (USIM) yang telah membantu penulis dalam memberikan
wawancara.
8. Tuan Dr. Mohd Norhusairi Dosen Senior Lecturer in Departement Sharia and
Law, Academy of Islamic Studies Universiti of Malaya yang telah membantu
penulis dalam memberikan wawancara.
9. Ayahanda dan Ibunda orantua penulis dan juga keluarga besar. Terimakasih
atas setiap cinta dan kasih sayang, doa restu, bimbingan, dan dukungan yang
selalu mengiringi setiap langkah penulis.
10. Teman penulis saudara Megat Ahmad Najeeb Bin Amir Sharifuddin dan
keluarga, yang telah banyak membantu penulis selama berada di Malaysia.
11. Teman-teman sahabat seperjuangan dan sepermainan, Dita Safitrianaz, Izza
Hidatul Nihla, Ananda Khumaira, Halimatusadiyah, Ilham Ramdhani, Lutfi
Zakaria Mubarok, M. Syarifuddin Amarullah, Ghina Husna Fithriyyah dan
group Hebring lainnya, terima kasih saya ucapkan atas doa, dukungan, dan
semangat. Serta rasa bahagia, sedih, dan susah selama ini selama kuliah.
Tidak lupa juga terkhusus kepada sahabat penulis Ahmad Zulfi Aufar yang
senantiasa saling memberi semangat, pendapat, saran, dan kerja sama selama
kuliah hingga bareng-bareng penelitian di Malaysia semoga sehat dan sukses
selalu
Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan dan manfaat kepada
para pembaca. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis akan dibalas
berlipat ganda serta keberkahan oleh Allah SWT. Penulis juga amat menyadari
bahwa masih ada kekurangan, khilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran
yang bersifat konstruktif sangat diharapkan di dalam rangka perbaikan dan
kesempurnaan penulisan ini.
2019 Maret 21Jakarta,
Ariyall Hikam Pratama
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………………… iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………………. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 8
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 9
F. Kajian Pustaka atau Studi Review Terdahulu ........................................ 10
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ............................................... 11
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
BAB II POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami .............................................................................. 16
B. Sejarah Poligami .................................................................................... 16
C. Hukum Poligami .................................................................................... 20
D. Syarat- Syarat Poligami .......................................................................... 24
E. Faktor- faktor dalam Melakukan Poligami ........................................... 30
F. Hikmah Poligami ................................................................................... 32
BAB III REGULASI POLIGAMI DI INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Sejarah dan Sistem Hukum di Indonesia dan Malaysia ......................... 35
1. Sejarah dan Sistem Hukum di Indonesia ........................................... 35
2. Sejarah Malaysia................................................................................ 40
3. Sistem Hukum Malaysia .................................................................... 43
4. Mahkamah Syariah Malaysia ............................................................ 46
B. Peraturan Perundang-Undangan Poligami di Indonesia dan Malaysia . 48
1. Undang-Undang Poligami di Indonesia ............................................ 48
2. Peraturan Perundang-Undangan Poligami di Malaysia ..................... 57
a. Undang-undang Poligami di Selangor .......................................... 57
b. Syarat-Syarat Poligami Menurut Undang-Undang Selangor ........ 60
BAB IV KOMPERASI PENERAPAN SANKSI POLIGAMI TANPA IZIN
MAHKAMAH DI INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Prosedur dan Praktik Poligami di Pengadilan Agama di Indonesia ....... 62
1. Prosedur dan Praktik Poligami di Indonesia...................................... 62
2. Prosedur dan Praktik Poligami di Selangor ....................................... 66
B. Penerapan Sanksi Poligami Dalam Regualsi Indonesia dan Malaysia .. 69
1. Penerapan Sanksi Poligami di Pengadilan Agama ............................ 69
2. Penerapan Sanksi Poligami Tanpa Izin Mahkamah di Selangor ....... 76
xii
C. Perbandingan Perbedaan dan Persamaan Regulasi Poligami di Indonesia
dan Malaysia .......................................................................................... 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. ........................................................................................... 88
B. Saran… ................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 91
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan diskursus yang menjadi perbincangan dikalangan
masyarakat, tidak terkecuali di Indonesia. Poligami termasuk masalah yang
sangat kontroversi, banyak mengundang berbagai pro dan kontra. Karena
dianggap terlalu memihak dengan lelaki.1
Menurut Nasaruddin Umar yang dikutip oleh Anik Farida berpendapat
bahwa kaum perempuan menganggap poligami adalah hal yang negatif.
Mereka berpandangan bahwa poligami itu melanggar HAM, poligami
merupakan bentuk eksploitasi dan bentuk pelecehan dalam martabat kaum
perempuan, karena dianggap sebagai memuaskan nafsu dan gejolak birahi
semata tetapi dibenarkan oleh agama. Sedang mereka yang pro dengan
poligami memandang bahwa poligami adalah bentuk perkawinan yang sah,
yang di sunahkan oleh nabi dan memiliki dasar teologi yang jelas sesuai Q.S.
al-Nisȃ (04):3.2 Kemudian poligami juga dianggap bisa mengangkat martabat
perempuan yaitu melindungi hak-hak perempuan melalui perkawinan yang
sah agar tidak terhindar dari perbuatan zina.3
Menurut Musdah Mulia poligini atau di masyarakat lebih dikenal
dengan poligami yaitu perkawinan laki-laki (suami) mengawini beberapa
(lebih dari satu) istri pada waktu yang bersamaan.4 Secara implisit al-Qur‟an
membolehkan poligami, tentunya dengan persyaratan yang ketat, oleh karena
“itu ayat-ayat poligami dalam al-Qur‟an sudah memberikan “warning” salah
1Chuzaimah T. Yanggo, et.al, ed. Problematika Hukum Islam Kontemporer.
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), cet.3, h. 118. 2 Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami Antara Teks, Konteks, dan Praktek.
(Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008), 78 3 Reza fitra Ardhian, Satrio Anugrah, dan Setyawan Bima, “ Poligami dalam
Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di
Pengadilan Agama”, Privat Law, 3, 2, (Desember, 2015), h. 101 4 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami. (Jakarta: Atas Kerja Sama,
1999), h. 1
2
satunya yaitu “apakah kamu yakin jika berpoligami dapat berlaku adil ?”,5
karena adil sangat berat, Allah SWT sebagai pencipta manusia maha
mengetahui bahwa kamu tidak akan mampu berlaku adil secara hakiki,
namun berhati-hatilah jangan sampai kamu mencintai sebagian istrimu dan
mengabaikan yang lain” itulah yang disebutkan dalam Q.S. al-Nisȃ (4):3.6
Diantara bentuk reformasi hukum Islam di dunia adalah
diberlakukannya sanksi hukum pada hukum keluarga. Pembaharuan-
pembahruan hukum di dunia modern ini sudah sangat banyak dilakukan oleh
beberapa negara muslim. Salah satunya yaitu pembaharuan dari hukum klasik
yang cenderung sangat jarang diterapkannya sanksi hukum. Kemudian beralih
pada aturan-aturan hukum negara yang tidak saja membatasi dan
mempersulit, namun bahkan melarang dan mengkategorikan suatu masalah
seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal (kriminalisasi).
Sejumlah negara-negara muslim saat ini sudah membentuk
pembaharuan hukum yang baru dan memberlakukan aturan untuk
mempersulit ruang gerak salah satunya poligami liar. Setidaknya ada 8 negara
muslim yang telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap
masalah poligami ini. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan,
Yaman, Irak, Turki, Tunisia, Malaysia, dan Indonesia.7 Namun didalam
penulisan ini penulis fokus terhadap kedua negara saja yaitu Malaysia dan
Indonesia.
Indonesia sebagai negara hukum yang mengatur tentang poligami
yang terdapat pada UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 10
5 Q.S. an-Nisȃ (4): 3
6 Reza Fitra Ardhian, “Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama”, h. 102. 7 M. Zaki, “ Dinamika Introduksi Sanksi Poligami dalam Hukum Negara Muslim
Modern”, Al- Risalah, 14, 2, (Desember, 2014), h. 308-309.
3
Tahun 1983 yang di ubah menjadi PP No. 45 Tahun 1990, dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).8
Pada prinsipnya antara UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam selaras dengan ketentuan hukum Islam. Menurut Perundang-undangan
Indonesia menganut prinsip perkawinan dengan azas monogami. Karena
dalam azas tersebut juga sesuai hukum Islam yaitu al-Qur‟an surat An-nisa
ayat 3.
Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 jika seseorang yang ingin
melakukan poligami harus melalui perizinan dan mengajukan permohonan
kepada pengadilan sesuai dengan (pasal 4 ayat 1) dan Pengadilan hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.9
Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang
izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam pasal
4 berbunyi:
1) Pegawain Negeri Sipil yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2) Bagi Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan menjadi istri
kedua/ketiga/keempat.
3) Permintaan izin sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
secara tertulis.
4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud ayat (3), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk
beristri lebih dari seorang.10
8Atik Wartini, “ Poligami: dari Fiqih Hingga Perundang-Undangan”, Studia
Islamika, 10, 2, ( Desember, 2013), h. 238. 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, pasal. 4 ayat 1
10 PP Nomer 45 Tahun 1990, Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil, ps. 4.
4
Apabila dari anggota PNS ada yang melanggar pasal tersebut maka
mereka akan terkena pasal 15 yang berdasarkan PP No. 53 Tahun 2010
Tentang Peraturan Displin Pegawai Negeri Sipil. Bagi mereka yang tidak
melaporkan perkawinannya yang kedua,ketiga, dan keempat terhitung sejak
dilangsungkannya perkawinan itu maka mereka akan terkena sanksi hukuman
disiplin berat.
Dari gambaran tersebut, Indonesia sudah menerapkan sanksi-sanksi
bagi mereka yang melakukan poligami tanpa izin istri yang sah akan tetapi
pada praktiknya di Indonesia dirasa kurang tegas karena belum ada efek
jera.11
Oleh karena itu penulis ingin menggali lebih dalam lagi tentang sanksi
yang diberikan di Indonesia.
Malaysia merupakan negara federal yang menyatakan resmi Islam
sebagai agama negara. Malaysia memiliki sistem federal yang membagi
kekuasaan pemerintahan menjadi pemerintahan negara bagian. Walaupun
Undang-undang dasar di Malaysia menggunakan sistem federal, tetapi sistem
kekuasaannya terpusat kepada kerajaan. Sebagian dari kewenangan
pemerintahan federal diantaranya yaitu urusan luar negeri, keamanan
nasional, pertahanan, hukum perdata dan pidana sekaligus prosedur dan
administrasi peradilan, kewarganegaraan, perdagangan, perniagaan.
Beberapa kewenangan negara bagian adalah hal-hal yang berkaitan
dengan praktik keagamaan Islam. Seperti hak kepemilikan tanah, pertanian,
kependudukan, kekeluargaan, dan lain-lain. Ketika hukum federal dan Negara
bagian saling bertentangan maka hukum federal yang berlaku, karena dalam
aturannya Konstitusi Malaysia menganggap kekuasaan federal lebih kuat
dibanding dengan negara-negara bagian. Pada setiap negara-negara bagian
memiliki Peraturan Perundang-undangan masing-masing. Hal ini juga
menyatakan bahwa Malaysia tidak hanya negara federal, tetapi juga monarki
konstitusi, dan demokrasi parlementer. Ketentuan ini juga menyatakan bahwa
11
Nurcahaya,dkk, “ Sanksi Pelaku Poligami di Indonesia Prespektif Fiqh”,
Hukum Islam, XVII, 1 ( Juni, 2007), h. 78
5
Islam sebagai agama negara tetapi dengan tetap menghargai perbedaan agama
atau keyakinan, dan dalam setiap negara bagian juga menyediakan sistem
pemerintahan eksekutif, parlementer, dan yudikatif.
Sistem hukum yang ada di Malaysia masih memeliki model plural
yang muncul di Inggris Melayu Koloni. Karena Malaysia merupakan salah
satu contoh dari beberapa negara yang menganut sistem hukum yang
dinamakan Coomonwealth Country atau negara-negara persemakmuran
Inggris yang biasa disebut dengan sistem hukum Anglo Saxon atau juga
Common Law. Prinsip yang dianut dan di praktikan di malaysia secara umum
mengikuti hukum adminstratif Inggris sebagaimana yang dikembangkan
dalam Pengadilan Malaysia. Sehingga sistem pengadilan sebagian besar
mengikuti hukum federal. Hanya pengadilan syariah yang terdapat pada
negara bagian menggunakan sistem Hukum Islam. Selain itu juga terdapat
Session‟s Court (Pengadilan Sesi) dan Magistrate‟s Courts (Pengadilan
Majistret). Pengadilan Tinggi dan tingkat dibawahnya memiliki yurisdiksi
yang diatur oleh hukum federal, dan tidak memiliki yurisdiksi dalam hal yang
berkaitan dengan Pengadilan Syariah.12
Kaitannya mengenai poligami, Selangor adalah negeri pertama di
Malaysia yang mengambil langkah awal diberlakukannya aturan poligami
pada tahun 1962. Negeri Selangor telah menyediakan suatu form undang-
undang yang bertujuan untuk memberikan keputusan kepada Qadi di dalam
membuat pertimbangan yang adil dan mengizinkan laki-laki yang
berpoligami dengan beberapa syarat tertentu. Oleh karena itu jika seorang
laki-laki di Malaysia hendak ingin berpoligami maka harus mengikuti aturan
yang sudah ada dengan membuat suatu permohonan untuk melakukan
poligami. Namun dalam hal putusan pengadilan terdapat perbedaan dalam
beberapa mahkamah, yang mana perbedaan itu dalam hal membolehkan dan
tidak membolehkannya poligami. Hal itu lah yang menjadi kritikan bagi
12
Yusrizal. “Studi Komperatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia
dan Saudi Arabia”, De Lega Lata, 2, 2 (Desember, 2017), h. 452-453
6
kalangan aktivis perempuan di Malaysia karena tidak adanya keseragaman
dalam putusan pengadilan. Menurut Mahkamah hal itu adalah hal yang sudah
biasa karena mahkamah juga memiliki alasan tersendiri untuk membolehkan
poligami. Tetapi untuk permasalahan poligami, Malaysia memberikan aturan
yang ketat untuk seseorang yang melakukan poligami.
Selain perlunya persyaratan untuk mendapatkan kebenaran dari
Mahkamah secara tertulis, pasangan yang telah menikah tanpa adanya izin
dari mahkamah dan juga melanggar undang-undang yang ada di negara
bagian termasuk di Selangor, mempunyai konsekuensi yang berat karena
perkawinan mereka tidak dapat di daftarkan di negara bagian tersebut, dan
mereka akan mendapatkan denda sekitar RM 1000 dan juga mendapatkan
kurungan selama 6 bulan penjara.13
Adapun permohonan berpoligami di Malaysia diatur dalam Syeksen
23 ayat 1Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003
dibawah tentang Poligami menyebutkan bahwa:
“Tiada seorang pun lelaki semasa wujudnya suatu perkahwinan boleh,
kecuali dengan mendapat kebenaran terlebih dahulu secara bertulis daripada
Mahkamah, membuat akad nikah perkahwinan yang lain dengan perempuan
lain.”
Kemudian dalam Syeksen 124, Selangor sudah menerapkan sanksi
poligami tanpa kebenaran mahkamah di dalam Syeksen 124 menyatakan:
“Jika seseorang lelaki berkahwin lagi di mana-mana jua pun dalam
masa perkahwinannya yang sedia ada masih berterusan tanpa mendapat
kebenaran secara bertulis terlebih dahulu dari Mahkamah maka ia adalah
melakukan suatu kesalahan dan hendaklah dihukum dengan denda tidak
melebihi daripada satu ribu ringgit atau dengan penjara tidak lebih dari enam
bulan atau dengan kedua-duanya denda dan penjara itu.”
Dalam aturan permohonan untuk mengajukan poligami seseorang
yang ingin menikah lagi harus terlebih dahulu meminta izin kepada istri
pertamanya hal ini ditulis dalam Syeksen 23 ayat 4 Enakmen Undang-
undang Keluarga Islam Negeri Selangor tahun 2003, yaitu:
13
Noraziah Ali Jawiah Dakir, Isu-isu Wanita di Malaysia. (Selangor:
International Law Book Services, 2008. Cet. Pertama), h. 209
7
“Permohonan untuk kebenaran hendaklah dikemukakan kepada
Mahkamah mengikuti cara yang ditetapkan dan hendaklah disertai dengan
suatu iqrar menyatakan alasan-alasan mengapa perkahwinan yang
dicadangkan itu dikatakan patut dan perlu, pendapatan pemohon pada masa
itu, butir-butir komitmennya dan kewajiban tanggungan kewangannya yang
patut ditentukan, bilangan orang tanggungannya, termasuk orang yang akan
menjadi orang tanggungannya berikutan dengan perkahwinan yang
dicadangkan itu, dan sama ada izin atau pandangan istri atau istri-istrinya
yang ssedia ada telah diperolehi atau tidak terhadap perkahwinan yang
dicadangkan itu.”
Dari Undang-undang Malaysia diatas mengatur denda dan hukuman
poligami tanpa kebenaran. Sedangkan untuk memperoleh kebenaran dari
Mahkamah seorang suami harus mampu membuktikan dan menyatakan
alasan untuk berpoligami dari segi pendapatan suami, kemudian komitmen-
komitmen dalam untuk melakukan poligami serta tanggung jawabnya yang
akan dipenuhi untuk berpoligami, suami juga harus menyatakan tanggungan-
tanggungan terhadap orang yang dipoligami itu, siapa-siapa saja yang harus
ditanggung seperti istri pertama dan anak-anaknya kemudian istri kedua dan
anak-anaknya dan seterusnya.
Ada empat syarat utama suami untuk mendapatkan kebenaran di
Mahkamah:
1. Perkawinan yang dicadangkan itu patut dan perlu memandang keadaan
istri seperti kemandulan, cacat jasmani, gila.
2. Pemohon mempunyai kemampuan untuk menanggung semua nafkah dari
orang yang ditanggungkannya sesuai hukum syarak
3. Pemohon harus dapat berbuat adil kepada semua istrinya.14
4. Perkawinan yang dipoligami tidak akan menyebabkan darar syarie
kepada istri-istrinya.15
14
Seksyen 23 ayat (5), Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri
Selangor) Tahun 2003. 15
Zainul Rijal, Sinar Harian, Hak-hak Poligami,
http://www.sinarharian.com.my/kolumnis/zainul-rijal-abu-bakar/ketahui-hak-anda-dalam-
berpoligami-1.625692. Diakses pada tanggal 11 Desember 2018, pukul 10:45
8
Dari kasus itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian karena
menarik untuk dibahas dan mengangkat perbandingan hukum dalam
penelitian.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut penulis mengidentifikasikan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik poligami di Malaysia?
2. Bagaimana aturan poligami yang diterapkan di Selangor Malaysia?
3. Bagaimana sistem hukum di Malaysia?
4. Bagaimana hakim dalam memutuskan perkara poligami tanpa izin
mahkamah di Selangor Malaysia?
5. Apa yang melatarbelakangi Malaysia memberikan sanksi terhadap
seseorang yang melakukan poligami tanpa izin istri dan izin Mahkamah?
6. Apakah sanksi tersebut memberikan efek jera pada pelaku poligami yang
tidak resmi?
7. Bagaimana aturan poligami di Indonesia dalam UUP dan PP No. 45
tahun 1990?
8. Bagaimana sanksi poligami yang diterapkan di Indonesia?
9. Bagaimana praktik poligami di Indonesia?
10. Apakah sanksi poligami yang ada di UU No. 1 tahun 1974, KHI dan PP
No. 45 tahun 1990 sudah sangat tegas?
C. Pembatasan Masalah.
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini,
penulis membatasi yang akan dibahas sehingga pembatasannya lebih jelas
dan terarah sesuai yang diharapkan penulis. Penulis hanya akan membahas
sanksi poligami dan penerapannya baik di Indonesia dan Malaysia.
Didalam membahas ini penulis fokus pada UU No. 1 Tahun 1974 dan PP
No. 9 Tahun 1975, KHI, PP No. 45 Tahun 1990 tentang pemberian izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, serta melihat
putusan dan sanksinya yang ada di Pengadilan Agama. Sedangkan di
9
Malaysia penulis fokus pada Negeri Selangor yang mengatur poligami
dalam Enakmen Undang-undang Hukum Keluarga Islam Selangor,
penerapan sanskinya, serta juga pada putusan hakim di Mahkamah Syariah
Selangor.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan poligami di Indonesia dan Malaysia?
2. Bagaimana bentuk sanksi poligami praktik dan penerapannya di
Indonesia dan Selangor Malaysia?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya,
maka dapat di pahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui penerapan aturan poligami yang diterapkan oleh
Mahkamah Rendah Selangor Malaysia.
b. Untuk mengetahui sanksi yang diberikan oleh negara Malaysia dan
Indonesia apabila ada seseorang yang ingin berpoligami tetapi tidak
mematuhi aturan.
c. Untuk mengetahui penerapan regulasi dan sanksi poligami yang ada
di Indonesia.
d. Untuk mengetahui perbedaan regulasi poligami di Indonesia dan
Malaysia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai input dan referensi bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan
Hukum terutama Program Studi Hukum Keluarga, untuk mengetahui
aturan dan sanksi Poligami yang diterapkan di Malaysia.
b. Bagi kalangan Civitas Akademisi, diharapkan penelitian ini menjadi
tambahan khazanah ilmu pengetahuan di Universitas Syarif
10
Hidayatullah dan khususnya Fakultas Syariah dan hukum di jurusan
Hukum Keluarga.
c. Bagi Masyarakat diharapkan menjadi pengetahuan dan referensi
mengenai perbedaan aturan hukum poligami yang ada di Indonesia
dan Malaysia.
F. Kajian Pustaka Terdahulu
Dalam penulisan karya ilmiah ini, sebelum penulis mengadakan
penelitian lebih lanjut dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah berupa
skripsi. Peneliti telah melakukan beberapa studi terdahulu. Maksudnya dari
pengkajian ini adalah agar dapat kita ketahui bersama bahwa apa yang penulis
teliti berbeda dengan peneliti skripsi sebelumnya, diantaranya:
Skripsi mengenai “Kontroversi Atas Wacana Revisi Aturan Poligami
Di Indonesia” oleh Arifin, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam,
Program Studi Ahwal Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008. Skripsi ini fokus
kepada regulasi di Indonesia yang mengatur poligami serta pembahasan
tentang adanya wacana revisi tentang undang-undang hukum keluarga saat ini
yang dirasa sudah tidak relevan. Perbedaan dengan skripsi ini adalah jika
skripsi ini membahas tentang aturan poligami secara umum serta mengenai
wacana revisi undang-undang hukum keluarga di indonesia, sedangkan
penulis fokus terhadap sanksi poligami yang ada di Indonesia terutama
mengkaji PP No. 45 Tahun 1990 dan peneliti juga membahas sanksi poligami
yang ada di malaysia sebagai perbandingannya.
Selanjutnya, skripsi tentang “Sanksi Peraturan Terhadap Aturan
Poligami Dan Pencatatan Perkawinan Di Indonesia, Malaysia, Dan Negara
Brunei Darussalam” oleh Fajar Devan Afrizon, Program Studi Hukum
Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2016. Skripsi ini membahas perbandingan hukum
poligami dan pencatatan perkawinan secara umum di Indonesia, Malaysia,
dan Brunei Darussalam, serta membahas regulasi Malaysia hanya secara
umum sedang malaysia adalah negara federal yang terbagi dalam beberapa
11
wilayah. Perbedaan dengan skripsi ini adalah yaitu penulis membahas secara
khusus sanksi poligami dan undang-undang Negeri Selangor yang membahas
hal itu.
Kemudian yang terakhir adalah skripsi tentang “Ketidakadilan Pelaku
Poligami sebagai Alasan Perceraian di Mahkmah Syariah Bentong Pahang,
Malaysia (Analisis Putusan Hakim)” oleh Mohamad Efendi Bin Azmi.
Program Studi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara Medan. Tahun 2017. Skripsi ini membahas tentang
penerapan sanksi poligami di wilayah Bentong Pahang. Perbedaan skripsi ini
adalah mengenai tupoksi dalam penelitian, dalam skripsi ini tempat
penelitiannya adalah di Pahang sedang penulis tupoksinya berada di Selangor,
kemudian penulis juga membandingkan sanksi poligami yang ada di
Indonesia dan Selangor, Malaysia.
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metode Penelitian
Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu
cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek atau objek
penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya,
adapun penelitian merupakan proses pengumpulan dari analisis data yang
dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
pengumpulan dari analisis data dilakukan secara ilmiah, baik bersifat
kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental maupun non-eksperimental,
maupun interaktif.16
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian
16
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2016), h. 3
12
Jenis penelitian yang diambil dalam penulisan skripsi ini
penelitian hukum normatif yuridis yaitu menurut Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti kaidah-kaidah dan norma-norma hukum yang
mencangkup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian
terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap peraturan
perundang-undangan, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.17
Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan
(comparative approach). Pendekatan perundang-undangan
didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum
yang ada. Maksudnya adalah fokus pada hubungan kaidah-kaidah
atau norma-norma hukum yang satu dengan norma hukum lainnya.
Kemudian pendekatan perbandingan yang digunakan dalam
penelitian normatif untuk membanding-bandingkan satu lembaga
hukum, sistem hukum, dan perundang-undangan yang satu dengan
lembaga hukum, sistem hukum, dan perundang-undangan lainnya
untuk melihat unsur-unsur persamaan dan perbedaan dari kedua
sistem hukum tersebut.18
b. Sumber Data
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam
mengumpulkan data, yakni sumber primer dan skunder, yang secara
teknis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Data Primer
Data primer disandarkan kepada penelitian dari putusan
yang penulis dapat secara random, di Indonesia 4 putusan tahun
2015, 2017, dan 2018 mengenai izin Poligami nikah sirri atau
itsbat nikah poligami di Pengadilan Agama Luwuk, Pengadilan
17
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta:
kencana, 2016. Cet. Pertama), h. 2 18
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, h. 131.
13
Agama Sukabumi, Pengadilan Tinggi Agama bandung yang
masih berkaitan dengan Pengadilan Agama di Sukabumi,
Pengadilan Agama Bantul. Kemudian putusan secara random di
Mahkamah Syariah Selangor penulis mendapatkan 3 data putusan
di tahun 2017 dan 2018 mengenai putusan poligami tanpa
kebenaran Mahkamah. Serta penulis melakukan Studi Undang-
undang dan bahan-bahan hukum lainnya yang mempunyai
relevansi terhadap perbandingan hukum terkait aturan sanksi
poligami di Pengadilan Agama Indonesia dan Mahkamah
Syari‟ah Selangor.
2) Data Skunder
Merupakan data pendukung primer, yang berasal dari
wawancara langsung terhadap para hakim yang menangani suatu
kasus, dan juga wawancara terhadap beberapa subjek yang ada di
Selangor untuk menguatkan data-data yang ada di data primer.
Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan sebagai salah satu proses
mendapatkan data empiris melalui responden dengan
menggunakan metode tertentu. Adapun sumber data yang
dilakukan penulis yaitu dengan menggunakan teknik diantaranya:
a) Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-
konsepi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan
hukum yang berhubungan dengan permasalahan pada
penulisan ini.
b) Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik yang dapat
mengumpulkan data penelitian untuk mengetahui sumber
kejadian secara langsung melalui beberapa narasumber.
Dalam penulisan ini penulis melakukan wawancara terhadap
hakim Pengadilan Agama dan Mahkamah Rendah untuk
14
menggali informasi tentang tema penelitian ini dan juga
pakar atau dosen-dosen Syariah yang ada di Malaysia. Dalam
hal ini penulis mewawancarai Nenney Shushaidah Binti
Shamsuddin selaku hakim di Mahkamah Tinggi Syariah Shah
Alam, Selangor. Kemudian Mohd Norshusairi selaku Dosen
Academy of Islamic Studies University of Malaya, Irwan Bin
Mohd Subri, Dosen Fakulti Syariah Universiti Sains Islam
Malaysia, dan terakhir Bapak Naim selaku hakim di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deduktif yaitu metode yang
dilakukan pada proses analisis data yang bersifat umum dan memiliki
kesamaan unsur sehingga dapat di generalisasikan menjadi kesimpulan
khusus.19
Analisa yang dilakukan yaitu mengenai poligami yang bersifat
umum kemudian ditarik menjadi aturan poligami dikedua negara yang
berbeda kemudian sanksi dari poligami yang diberikan oleh Pengadilan
Agama dan Mahkamah Rendah Selangor yang ditarik menjadi khusus.
Kemudian penulis juga menguraikan data yang penulis dapat yaitu data
statistik perkara yang masuk mengenai poligami tanpa izin Mahkamah,
dan juga beberapa putusan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian skripsi ini dibagi
menjadi lima bab yang saling berkaitan.
Bab pertama dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang meliputi
latar belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan,
identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
19
Ulber Silalahi, Metode penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009). h.
280
15
Bab kedua, membahas secara umum teori poligami menurut ketentuan
hukum Islam. mulai dari pengertian, sejarah poligami, hukum poligami
menurut hukum Islam, syarat-syarat poligami menurut hukum Islam dan
Hikmah poligami.
Kemudian pada Bab ketiga penulis akan membahas regulasi Undang-
undang poligami yang ada di Indonesia dan Malaysia. Kemudian
menguraikan sejarah dan perundang-undangan Indonesia mengenai aturan
poligami dan sanksi poligami. Penulis juga akan menjelaskan sistem hukum
dan perundang-undangan Malaysia beserta profil Mahkamah Rendah
Selangor dan negeri Selangor
Selanjutnya pada Bab keempat penulis akan menguraikan hasil
analisis yang didapat dari beberapa temuan penulis yaitu menjelaskan praktik
poligami dan penerapan sanksi poligami di Indonesia, juga penulis akan
menjelaskan penerapan sanksi di Malaysia, dan analisis data yang didapat
dari beberapa putusan Mahkamah Rendah Selangor beserta menguraikan
wawancara yang didapat
Pada Bab ke lima yaitu merupakan bab terkahir dari rangkaian skripsi
ini, penulis akan memberikan hasil kesimpulan dan menjelaskan dari hasil
perbandingan hukum yaitu sanksi poligami di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Rendah Selangor, dan pada bab ini merupakan rangkaian penutup.
16
BAB II
POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami
Poligami dalam KBBI adalah sistem perkawinan yang membolehkan
seseorang mengawini perempuan atau suami lebih dari seorang.1 Menurut
kamus Hukum Poligami adalah sistem perkawinan yang membolehkan
seorang pria menikahi beberapa wanita sebagai istri dalam waktu yang
bersamaan. Sesuai dengan kehendak pihak yang terkait.2
Poligami, menurut etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus
yang berarti banyak dan gomus yang berarti perkawinan. Jika pengertian ini
digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang lebih dari
seorang.
Para ahli membedakan istilah untuk seorang laki-laki yang
mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari
kata polus berarti banyak dan gune yang artinya perempuan.
Jadi, kata yang paling tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai
istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan
poligami, meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud
dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari
seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan.3
B. Sejarah poligami
Poligami dalam bentuknya beragam sudah ada sejak tahap-tahap awal
manusia, poligami muncul pertama kali sejak munculnya perbudakan
perempuan dan sikap kaum yang kuat dan kaya yang menjadikan wanita
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. (Jakarta: PT Gramedia, 2008. Cet. Pertama edisi IV). h. 1089 2 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia. (Bandung:
Wipress, 2007). h. 383 3 Tihamidan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap.
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009). h. 352
17
sebagai bahan untuk bersenang-senang dan sebagai pelayan pada masa itu.
Oleh karena itu hal ini biasa dilakukan oleh para raja, pangeran, dan para
penguasa. Munculnya praktik poligami pada zaman Yunani kuno seorang pria
mengawini wanita merdeka sekaligus melakukan hubungan seksual dengan
wanita-wanita yang menjadi budaknya. Orang-orang Yunani kuno yang
bermukim di Athena memperdagangkan wanita dipasar-pasar serta
membenarkan poligami tanpa batas.4
Poligami juga sudah banyak dipraktikan oleh para nabi sebelumnya
seperti Nabi Ibrahim yang menikahi Siti Hajar dan Siti Sarah. Jauh sebelum
Islam datang pun bangsa-bangsa di dunia selain bangsa Yunani juga sudah
melakukan praktik poligami yaitu bangsa Persia, bangsa Mesir Kuno, bangsa
Medes bahkan di Jazirah Arab sebelum Islam datang sudah banyak
melakukan praktik poligami tanpa adanya batasan.
Jadi poligami telah dianut oleh agama-agama sebelumnya, yang utama
adalah dua agama besar sebelum Islam yaitu Bani Israil dan Masehi dengan
tujuan dan nilai yang tentunya berbeda. Ajaran Bani Israil membolehkan
poligami tidak terbatas sesuai keinginan dan kemampuan suami. Mereka
menganut dari berita Perjanjian Lama yang menjelaskan bahwa Nabi Daud
dan Nabi Sulaiman memiliki seratus istri yang sah dan beberapa selir.
Adapun dalam ajaran Masehi, tidak ada teks yang melarang melakukan
poligami, walaupun ada perintah untuk beristri satu atau menghindarinya bagi
mereka yang mampu melakukannya.5
Agama terdahulu juga menjelaskan tidak ada yang melarang poligami.
Seperti yang terdapat dalam kitab Taurat membolehkan poligami tanpa batas
jumlah tertentu, sebagaimana Taurat menyebutkan tentang para nabi
terdahulu yang melakukan poligami tanpa menyebutkan batasan dan jumlah
tertentu. Taurat juga menyebutkan bahwa Nabi Daud memiliki Sembilan
4 Muhammad Rasyid Rida, Nida‟ Li al-Jins al- Lathif, Penerjemah Afif
Mohammad, Panggilan Islam Terhadap Wanita. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 51 5 Danu Aris Setyanto, “Poligami dalam Prespektif Filsafat Hukum Islam (Kritik
Terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia”, Al- Ahwal, 10, 1 (Juni, 2017), h. 51
18
puluh Sembilan istri dan tiga ratus budak perempuan, dan Isa bin Ishaq
memiliki istri lebih dari seorang, tertulis dalam Taurat. Hal ini jelas bahwa
agama yang menganut kitab taurat ini yaitu orang-orang Yahudi atau kaum
Bani Israil mengakui bahwa membolehkan Poligami.6
Tetapi pada abad pertengahan banyaknya pertentangan mengenai
poligami yang ditentang oleh rahib-rahib kaum yahudi dan kemudian
melarangnya. Karena kondisi ekonomi yang dihadapi oleh kaum Yahudi pada
masa itu. Larangan poligami dikeluarkan pada abad XI dan kemudian
disahkan oleh perhimpunan gereja di kota Warms di Jerman. Pada mulanya
memang larangan itu dikeluarkan poligami diperuntukan hanya untuk kaum
Yahudi di Jerman dan Perancis Utara, tetapi kemudian mencangkup semua
dataran Eropa hingga akhirnya dibuatkan undang-undang yang melarang
poligami.7
Di dalam Agama Nasrani juga menjelaskan tidak ada redaksi yang
melarang penganutnya mengawini dua orang perempuan atau lebih dan tidak
ada batasan juga baginya dalam berpoligami. Poligami masih suatu kebolehan
hingga pada abad pertengahan gereja melarang poligami tetapi gereja pulalah
yang memberikan dispensasi untuk para raja dan para pejabat menteri untuk
berpoligami. Paus Paulus mengahramkan poligami bagi orang-orang gereja
dari kalangan uskup dan para rahib, tetapi pada kenyataannya, mereka ada
juga yang keluar dari pandangan-pandangan gereja dari pelanggaran
poligami.8
Para raja yang menganut agama Nasrani seperti raja Irlandia, De
Tharmit memiliki dua orang istri, Raja Romawi yaitu Raja Friedrich II yang
6 Hilmi Farhat, Kalam Ta‟addud az-Zaujat Baina al-Adyan, Penerjemah
Abdurrahman NuryamanI, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi.
(Jakarta: Darul Haq, 2007), h.8 7 Hilmi Farhat, Kalam Ta‟addud az-Zaujat Baina al-Adyan, Penerjemah
Abdurrahman NuryamanI, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, h.10 8 Taufiq Al-Atthar, Abdul Nasir, Ta‟adduduz Zaujati Minan Nawaahid Diiniyyati
Wal Ijtimaaa‟ Iyyati Wal Qaa Nuniyyati, Penerjemah Chadidjah Nasution, Poligami
ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan. (Jakarta: Bulan Bintang, t.
th), h. 81.
19
diberi gelar Kaisar Romawi Suci juga memiliki dua orang istri dengan restu
dari gereja, yang lebih terkenalnya lagi yaitu Kaisar Ferdinand II dari Spanyol
Valencia yang menganut katolik mengeluarkan keputusan kekaisaran, yang
menyebutkan dengan jelas kepada rakyatnya agar mengawini beberapa orang
istri jika mereka menginginkannya. Tetapi dengan keputusannya Paulus dan
uskup-uskup tidak menentang para raja berpoligami.9 Dengan fakta ini jelas
lah bahwa Agama Nasrani tidak menolak poligami tetapi hanya sebagai
formalitas dalam menolaknya karena dari ajaran Nabi Isa yang diturunkannya
tidak ada sama sekali yang melarang poligami. Hanya saja Nabi Isa melarang
kaumnya untuk menceraikan istrinya hal ini terdapat dalam Kitab Injil Matius
dalam perjanjian baru.
Kemudian adat Arab pra-Islam yang menikahi perempuan semau
mereka. Bahkan pada masa itu perempuan adalah makhluk yang direndahkan
karena bangsa Arab jahiliyah hanya memandang perempuan sebagai makhluk
yang rendah menganggap wanita tidak dapat berbuat apa-apa mereka
diperlakukan sebagai budak dan tubuhnya dapat diperjual belikan bahkan
diwariskan, dan diletakkan dalam keadaan marginal. Karena pada masa itu
bangsa arab disebut sebagai jahiliah atau zaman kebodohan. Pada zaman
jahiliyah juga hak-hak kebebasan perempuan terabaikan seperti, perempuan
tidak dapat memliki hak memelihara anaknya. Karena pada masa itu masih
menganut sistem garis keturunan kepada ayahnya yang bersifat patrilinier.
Kemudian selanjutnya perempuan tidak boleh membelanjakan hartanya
sendiri karena menganggap bahwa perempuan sendiri adalah harta,
bagaimana membelanjakan harta sedangkan dia adalah harta, dan yang paling
dikenal pada zaman itu bahkan sampai disebut dalam al-Qur‟an yaitu
penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup.10
9 Hilmi Farhat, Karam, Ta‟addud az-Zaujat Baina al-Adyan, Penerjemah
Abdurrahman Nuryaman, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi. h. 13 10
Agus Hermanto, “Islam, Poligami dan Perlindungan Kaum Perempuan”, Jurnal
Studi Agama dan Pemilkiran Islam, IX, 1 (Juni, 2015), h. 175
20
Hal ini menunjukan bahwa ribuan tahun sebelum Islam masuk di
Jazirah Arab, masyarakat dari belahan dunia telah mengenal dan
mempraktikan poligami. Termasuk dikalangan bangsa Arab jahiliah.
Masyarakat Arab jahiliyah pada saat itu tidak mengenal batasan jumlah istri.
Malah laki-laki bisa menikah kapan saja, dengan siapa saja, dan berapapun
jumlahnya. Dengan kata lain, tradisi poligami bukan diprakarsai oleh Islam
melainkan sudah menjadi kebiasaan, ajaran, dan budaya masyarakat
terdahulu. Islam hanya menetapkan batasan dan syarat-syarat berpoligami.
Adanya syarat-syarat ini dikarenakan praktik yang terjadi sebelum Islam
datang tanpa batas dan aturan.11
C. Hukum Poligami
Pada dasarnya asas perkawinan Islam adalah monogami, Islam yang
lurus tidak melarang poligami, tetapi juga tidak membiarkannya bebas tanpa
aturan, akan tetapi Islam mengaturnya dengan syarat-syarat Imaniyah yang
jelas,12
sebagaimana dalam Q.S. al-Nisȃ (4):3.
بع من إمن ساء مثن وثملث ورم وإ ما طاب مكم وإ ف إميتامى فانكحم ألا ثمقسطم ن خفتممموإ وإ ألا ث ن خفتم
فا
وممو م ل أدن ألا ث ذ ة أو ما ملكت أيمانمكم فوإح
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”
Makna poligami termaktub dalam Q.S. al-Nisȃ (4):3 yang artinya:
“Maka kawinilah perempuan-perempuan yang baik menurut kamu, dua, tiga,
atau empat.” Pengungkapan ini berkaitan juga dalam hal keadilan terhadap
perempuan yatim. Dalam ayat itu jelas bahwa poligami dapat dilakukan
11
Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan Menuju kesetaraan Gender
dalam Penafsiran, (Jakarta: Kencana, 2015). h. 147 12
Hilmi Farhat, Karam, Ta‟addud az-Zaujat Baina al-Adyan, Penerjemah
Abdurrahman Nuryaman, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi.
(Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 20
21
apabila memenuhi syarat yaitu, tidak boleh melebihi dari empat istri dan
harus berlaku adil.
Terdapat beberapa versi riwayat mengenai turunnya ayat atau asbab
al-nuzul ayat tersebut. Pertama, riwayat yang berasal dari Siti Aisyah,
turunnya ayat itu adalah untuk menjelaskan keberadaan anak yatim yang pada
saat itu terlantar karena ditinggal mati oleh ayahnya yang gugur dalam medan
perang dan meninggalkan harta peninggalan kepada anak yatim itu. Tentunya
anak yatim yang ditinggal butuh diawasi, dilindungi, dan di rawat dengan
baik. Tetapi ironisnya, hal ini menjadi kesempatan oleh penduduk jahiliyah
untuk mengeruk atau mengambil hartanya dengan cara cukup mengawininya
dengan mas kawin dibawah standar, dan berbuat tidak adil kepada anak yatim
tersebut.13
Kedua, ayat ini berkaitan dengan seorang laki-laki dari Ghathafan
yang memegang harta penuh milik anak yatim. Ketika anak yatim itu telah
mencapai akil baligh, ia meminta hartanya kembali kepada pamannya, tetapi
pamannya tidak mau menyerahkannya. Lalu keduanya pergi mengadukan
kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini. Ketika mendengar ayat ini si
paman langsung berkata “kami taat kepada hukum Allah dan kepada Rasul-
Nya”. Lalu harta tersebut dikembalikanlah kepada anak yatim itu.14
Dalam ayat tersebut jika dilihat dari sebab turunnya ayat dijelaskan
bahwa ada beberapa kasus yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu tema
yaitu bagaimana mengayomi dan berlaku adil dan memberikan hak-hak
terhadap anak-anak yatim. Begitu pentingnya keadilan terhadap anak yatim
tersebut sehingga ayat ini menjelaskannya.15
13
Abu Yasid, Fiqh Realitas (Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 349. 14
Az-Zuhaili, Wahbah, At- Tafsiirul-Muniir: Fil „Aqiidah wasy-Syarii‟ah wal
Manhaj, Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk, Tafsir al- Munir Jilid 2 (Juz 3-4).
(Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 567. 15
Rodli Makmun dkk, Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. (Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2009), h. 23.
22
Hukum poligami bisa di dianalogikan dengan pernikahan. Karena
hukum poligami juga tergantung pada kondisi suami, kebutuhannya untuk
menikah, dan kemampuannya untuk memenuhi hak dan kewajiban. Hukum
asal dari poligami sendiri yaitu ibȃhah (boleh), sebagaimana yang telah
disyariatkan dalam Q.S. al-Nisȃ (4):3.
ة... مموإ فوإح ألا ث ن خفتمبع فا من إمن ساء مثن وثملث ورم وإ ما طاب مكم فانكحم
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka
(kawinilah) seorang saja.”
Ayat diatas menegaskan bahwa poligami hukumnya adalah boleh,
dengan syarat bisa berbuat adil. Dalam berbuat adil allah melanjutkan dalam
firmannya Q.S. al-Nisȃ (4):129.
ن اقة وإ ل م ا إمليل فتذروها كمل موإ بني إمن ساء ومو حرصتم فل ثميلوإ كم نا ومن جس تطيوإ أن ث
ثمصلحوإ وثتاقوإ فا
كن غفورإ رحميا إللا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-
istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan
dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah maha
pengampun dan penyayang.”
Ayat ini masih sangat berkaitan sekali dengan poligami, karena
disebutkan dalam ayat sebelumnya yaitu Q.S. al-Nisȃ (4):3 yaitu harus
berlaku adil, tetapi dalam hal keadilan untuk berpoligami, adil yang seperti
apa yang harus dilakukan. Maka Allah menjelaskan lagi dalam firmannya
surat Q.S. al-Nisȃ (4):129. Sesungguhnya manusia tidak akan mampu
mewujudkan keadilan sempurna dan mutlak. Karena manusia mempunyai
kecenderungan untuk memilih. Oleh karena itu sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat itu, Allah meringankan beban bersikap adil kepada manusia yaitu
adil dalam hal materi seperti masalah bermalam, nafkah, pakaian, tutur kata
yang baik dan lain sebagainya. Suami bisa saja mewujudkan keadilan materi
tetapi dalam hal bersifat non materi manusia tidak akan bisa bersikap adil.
Seperti cinta dan kasih sayang pada salah satu istri, suami dalam hal ini masih
23
memiliki kecenderungan hati, jika terjadi kecenderungan hati maka akan
sangat berbahaya dalam hubungan pernikahan yaitu istri-istri nya yang lain
bisa terlantarkan, bisa terjadi iri hati. Oleh karena itu adil merupakan syarat
paling utama dan sudah disebutkan pula dalam ayat ini.16
Dengan demikian, maka hukum asal poligami adalah boleh.17
Para
ulama fikih klasik telah sepakat (ijma) bahwa hukum berpoligami adalah
boleh asal dapat berlaku adil, hanya saja Imam al-Syȃfi‟i lebih merincikan
lagi dalam memandang hukum berpoligami. Dimana poligami dapat berubah
hukumnya menjadi sunnah, makruh, atau haram dalam keadaaan tertentu. Hal
ini tergantung pada keadaan orang yang berpoligami.
Poligami bisa berhukum sunnah, apabila seorang suami tersebut ingin
berpoligami karena alasan tertentu yaitu seperti, istri tidak bisa mengurus
suami sehingga suami merasa terlantarkan, kemudian istri mempunyai
mempunyai penyakit atau mandul sedang si suami ingin sekali mempunyai
keturunan. Sementara suami yakin jika ingin berpoligami dia dapat berlaku
adil kepada kedua istrinya. Poligami yang demikian ini adalah berhukum
sunnah karena terdapat kemaslahatan yang disyariatkan.
Poligami berhukum makruh, apabila seorang suami berpoligami
karena bukan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Suami berpoligami niatnya
hanya ingin menambah istri saja dan untuk kenikmatan dan kemegahan saja.
Tetapi dalam hal ini suami ragu dalam berlaku adil kepada istri-istrinya, maka
poligami hukumnya menjadi makruh karena bukan kebutuhan semata.
Barangkali juga dapat menimbulkan kemudharatan karena tidak bisa berbuat
adil.
Poligami berhukum haram, apabila sang suami yakin tidak dapat
berlaku adil bila menikah dengan istri lebih dari satu, dan apabila dipaksakan
16
Az-Zuhaili, wahbah, At- Tafsir Al- Wasith, Penerjemah Muhtadi, Tafsir Al-
Wasith. (Jakarta: Gema Insani, 2012), h. 346. 17
Ariij Binti Abdur Rahman. Etika Berpoligami Adil Terhadap Para Istri, (
Jakarta: Darus Sunnah Press, 2018), h. 45
24
dapat menimbulkan kemudharatan dari hal yang tidak bisa berbuat adil yaitu
dapat menimbulkan aniaya, ketelantaran dan lain sebagainya maka poligami
dalam hal demikian haram karena terdapat unsur mencelakakan dan
mudharatnya lebih besar.18
D. Syarat-syarat Poligami
Allah SWT telah mensyariatkan poligami dan mengizinkan hambanya
untuk berpoligami. Tetapi dalam berpoligami Islam memberikan syarat-syarat
yang ketat karena telah diuraikan dalam sejarah poligami bahwa Islam datang
membahas poligami hanya untuk melindungi hak-hak perempuan dan
memberikan batasan berpoligami. Diantara syarat-syarat seperti jumlah istri,
pembagian nafkah, dan adil kepada seluruh istri.19
1. Jumlah Istri
Peraturan poligami telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno
dahulu, bahkan agama-agama samawi telah mengenal poligami, agama-
agama tersebut tidak memberikan batasan jumlah istri yang mereka
nikahi. Aturan poligami juga telah dikenal oleh para kabilah-kabilah
Arab zaman jahiliah tanpa batasan tertentu.
Dikatakan pula dalam hadis yang mengatakan terdapatnya
poligami dikalangan orang-orang Arab ketika mereka baru memeluk
Islam. Diriwayatkan dari Ghailan bin Salmah al-Tsaqafi bahwa dirinya
mempunyai istri sepuluh orang. Kemudian setelah masuk Islam,
Rasulullah SAW. Bersabda: “Pilih dari mereka empat orang”. Setelah
Islam datang dasar-dasar dan syarat poligami diatur sedemikian rupa
sehingga jelaslah mengenai jumlah yang diperbolehkan adalah empat
orang.
18
Musthafa Dib Al-Bugha, dkk, Al- Fiqh Al- Manhaji‟ala Al- Madzhab Al- Imam
Asy- Syafi‟I, Penerjemah Misran, Fikih Manhaji Jilid I. (Yogyakarta: Darul Uswah,
2008), h. 635 19
Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, Fiqh As- Sunnah li an-Nisa‟, Penerjemah
Firdaus Sanusi, Fikih Sunnah Wanita. (Jakarta: Qisthi Press, 2013), h. 562
25
Namun jika dilihat dari tafsir ada tiga golongan yang berbeda
pendapat dengan jumlah wanita dalam poligami:
a. Ibnu al-Shabagh, al-Umarani, dan sekelompok syiah yang
berpendapat bahwa poligami bisa dilakukan dengan lebih dari empat
orang. Bagi mereka, kata al-Nisa dalam ayat tersebut merupakan
kata yang umum yang tidak bisa dihitung dengan angka (matsna,
tsulatsa, ruba‟). Angka itu disebutkan untuk menunjukan bahwa
laki-laki boleh menikah dengan banyak wanita. Ditambah lagi al-
Qur‟an mengungkapkan “ بع من إمن ساء مثن وثملث ورم yang artinya ”ما طاب مكم
“…wanita-wanita yang kamu senangi” jelas bahwa pendapat ini
hanya melihat dari zahir dalilnya saja.
b. Kemudian pendapat Syiah dan al-Razi menyatakan bahwa batasan
perempuan yang dinikahi adalah 18. Ini didasarkan pada kata
matsna. tsulatsa, dan ruba‟. Menurut mereka kata matsna tidak
merujuk pada kata itsnaini yang bermakna dua, melainkan itsnaini
tersebut adalah kata yang diartikan berulang-ulang yang bermakna
dua-dua atau tambah yang berarti 4 (empat). Begitu juga kata
tsulatsa dalam ayat ini bermakna tiga-tiga yang jika digabung
menjadi 6 (enam). Kemudian kata ruba‟ bermakna empat-empat
sama dengan menjadi delapan, dengan demikian 4+6+8= 18.20
c. Kemudian pendapat Mazhab Zahiri dan menurut Nakhai, Ibn Abi
Laila, dan Qasim bin Ibrahim memandang kebolehan poligami
terbatas hanya pada Sembilan istri, juga mengatakan dalam surat an-
Nisa: 3 “ من إمن ساء وإ ما طاب مكم بع فانكحم مثن وثملث ورم …” maka kawinilah wanita-
wanita yang kamu senangi, dua, dan tiga, dan empat…” dengan
menikahi wanita hingga sembilan orang, alasannya bahwa lafal
mufrad (sendiri-sendiri) dan huruf wau artinya jama‟. Dan kalimat
pada matsna, wa tsulatsa, wa ruba‟ yang berarti deret tambah dari
2+3+4= 9.
20
Abd Moqsith, “Tafsir Atas Poligami dalam Al- Qur‟an”, Jurnal Karsa, 23, 1
(Juni, 2015), h. 137.
26
d. Sedangkan menurut Jumhur ulama memandang kebolehan poligami
hanya terbatas empat orang berdasarkan dari Q.S. al-Nisȃ (4):3
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil maka
kawinilah seorang saja… jumhur berpendat huruf “wawu” dalam
kata “wa tsulatsa” bermakna “aw” yang artinya “atau” tidak
bermakna aslinya “dan”. Demikian juga dengan arti pada “matsna,
tsultsa, ruba‟a” dimaknai dengan tegas dua, tiga, empat, tidak
dimaknai dua-dua, tiga-tiga, empat-empat.21
Adapun kita dapat menjelaskan pada dasarnya mengenai kalimat
matsna (dua), wa tsulatsa (tiga), wa ruba‟ (empat). Mengenai wau yang
ada dikalimat-kalimat tersebut menduduki fungsi sebagai littakhyir
(memilih), bukan wau jamak (umum). Dalam hal ini juga umat muslim
juga telah sepakat (ijma) menyatakan dengan tegas bahwa tidak boleh
melakukan poligami dengan lebih dari empat istri.22
2. Nafkah
Yang termasuk dalam nafkah adalah makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan lainnya yang lazim. Wajib
hukumnya bagi setiap laki-laki yang ingin menikah untuk
mempersiapkan kemampuannya memberikan nafkah kepada calon
istrinya.23
Dalam pemberian nafkah tidak hanya yang zahir saja suami harus
memberi nafkah, suami harus adil dalam memberi nafkah. Adil disini
berkaitan dengan nafkah batinnya, yaitu seperti membagi waktu
bermalam, dan membagi cinta dan kasih sayangnya. Tetapi hal ini sulit
dilakukan bagi laki-laki untuk memberikan kecenderungan hatinya
21
Ahmad Khoirul Fata dan Mustofa, “Menyoal Kontektualisasi Hukum Islam
Tentang Poligami”, Jurnal Al-Ulum, 13, 2, (Desember, 2013), h.419 22
Jahrani, Musfir Husain, Nazhratun fi Ta‟addudi az-Zaujati, Penerjemah Muh.
Suten Ritonga. Poligami dari Berbagai Presepsi. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.
53-54 23
Isham Muhammad al-Syarif dan Muhammad Musfir al-Thawil, Poligami
Tanya Kenapa? ,(Jakarta: Mihrab, 2008), h. 115
27
kepada semua istrinya. Salah seorang istrinya mungkin mendapatkan
bagian yang lebih baik, boleh jadi karena usianya yang lebih muda, atau
karena kecantikannya. Itulah sebabnya Allah SWT. Memberikan
persyaratan yang ketat yaitu keadilan dalam memberi nafkah zahir dan
batin. Poligami dengan segala konsekuensinya, dalam hal mengurus
anak-anak pasti membutuhkan harta yang lebih untuk mencukupi
kebutuhan anak-anak disamping sikap adil. Hal ini tidak dapat
diwujudkan apabila seorang suami tidak mampu memberi nafkah tetapi
memaksakan poligami. Karena bertambahnya istri dan anak-anaknya
bertambah pula kebutuhan dan biaya hidup yang tinggi 24
3. Adil Kepada Seluruh Istri
Sebagaimana telah disebutkan diatas mengenai hukum poligami yang
terdapat pada surat Q.S. al-Nisȃ (4):3 dan Q.S. al-Nisȃ (4):129 bahwa
dalam berpoligami hal yang digaris bawahi adalah konsep keadilan,
sehingga tidak heran keadilan dijadikan syarat utama dalam berpoligami
salah satunya adalah adil merata kepada seluruh istrinya yang
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Adil yang dimaksud seperti
adil dalam hal sandang, pangan, rumah, dan kebutuhan lainnya. Adapun
keadilan dalam urusan yang tidak mampu untuk diwujudkan dan di
samaratakan mungkin adalah keadilan hati sesuai yang dijelaskan dari
surat An-Nisa‟: 129. Karena hal yang menyangkut pada kecenderungan
rasa cinta atau perasaan sayang besar kemungkinan antara istri satu
dengan yang lainnya terdapat perbedaan dimensi perasaan.
Menurut Riffat Hasan dan ulama ushul fikih konsep keadilan dari
asbab al-nuzul mengenai ayat poligami melihat dari sisi „am (perintah)
dan „khass (kekhususan) ayat poligami yang berhubungan dengan
seseorang menikahi anak yatim tetapi ia tidak dapat melakukan keadilan.
24
Hilmi Farhat, Kalam, Ta‟addud az-Zaujat Baina al-Adyan, Penerjemah
Abdurrahman Nuryama, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi.
(Jakarta: Darul Haq, 2007), h. 47-48.
28
Ayat ini melihat dari kondisi seseorang dalam berlaku adil poligami
berhukum rukhsah (pengecualian terhadap hukum yang masih umum)
yang dimaksud hukum rukhsah disini adalah tergantung pada kondisi
darurat seseorang,25
sementara itu kondisi darurat dibagi menjadi dua,
yaitu pertama kondisi darurat individu (fardiyyah) dan kondisi darurat
social atau kolektif (ijtima‟iyyah). Kondisi darurat fardiyyah misalnya
ketika seorang istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan tidak dapat mempunyai keturunan, sehingga dia tidak
dapat berhubungan intim dengan suaminya. Hal ini dibolehkan untuk
berpoligami tetapi disertai keyakinan bahwa suami dapat memenuhi
kebutuhan istri-istrinya baik kasih sayang, nafkah, serta kebutuhan-
kebutuhan lain. Kemudian kondisi darurat sosial (ijtima‟iyyah) misalnya
jika ada seorang janda yang mempunyai anak (yatim) dan terlantar.
Sehingga membutuhkan perlindungan untuk menghidupi kebutuhan
mereka serta anak yatim tersebut, sehingga suami dibolehkan untuk
berpoligami tentunya dengan persetujuan dan inisiatif istri.26
Sedangkan beberapa ulama ushul klasik menganggap bahwa poligami
berhukum azimah (berlawanan dengan rukhsah) mereka melihat dari
Q.S. al-Nisȃ (4):129 yang mengatakan “Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu)” yang menjadikan illat
hukum untuk melarang berpoligami, mereka melarang poligami karena
berpendapat bahwa manusia tidak akan dapat berlaku adil sekalipun
suami dapat memberi nafkah, tetapi dalam hal berbagi kasih sayang atau
soal hati suami tidak dapat berlaku adil karena manusia memiliki sifat
kecenderungan sehingga dinukilkan bahwa keadilan adalah mutlak milik
25
Muhammad bin Ahmad bin Abd al- Bȃrȋ‟, Al- Kawȃkȋb al-Durriyah, (Beirut:
Dar Ibnul Khotob, 2001), h. 54 26
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h. 144
29
Allah, maka poligami dihukumkan azimah untuk menghindari perbuatan
aniaya. 27
Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami berhukum rukhsah dan
azimah tergantung pada keadilan yang harus dipenuhi suami. Jika
rukhsah terdapat keadaan dimana istri tidak dapat mempunyai keturunan
dan tidak bisa memberikan kebutuhan biologis suami maka di bolehkan
poligami agar terhindar dari hal-hal buruk, tetapi dengan syarat suami
harus seadil-adilnya dalam membina istri-istrinya. atau terdapat keadaan
dimana ada seorang janda yang terlantar dan mempunyai anak sehingga
membutuhkan perlindungan. Tetapi jika suami tidak yakin dalam berbuat
adil dalam kasih sayang. Kemudian bergantian bermalam dengan istri-
istrinya, atau tidak terpenuhinya nafkah maka poligami dihukumkan
azimah atau dilarang hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi
kesewenangan suami yang ingin berpoligami
Sementara menurut ibnu Mas‟ud yang dikutip oleh Ayang Utriza
yang menyangkut isu-isu kontemporer bahwa surat Q.S. al-Nisȃ (4):129
adil disini yang dimaksud adalah dalam pembagian jatah hubungan
suami-istri (jima‟) sementara dalam hal masalah cinta hampir dapat
mustahil dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Q.S. al-Nisȃ (4):129
merupakan teguran kepada rasul, bahwa sekalipun nabi, ia sulit untuk
berbuat adil karena dalam kenyataannya beliau lebih mencintai Aisyah
dari pada istri-istrinya yang lain.28
Dari hal ini kita dapat mengetahui
bahwa hanya Allah SWT yang mampu adil dan dia adalah maha adil,
sementara Rasulullah hanya berusaha berbuat adil.
27
Muhammad Rȃsyid Rȋdhȃ, At- Tȃfsȋr Qur‟ȃn al- Hakȋm as- Syăhir Bittafsȋr al-
Manȃr. (Beirut: Dar al- Fikr, t.th), h. 368-370 28
Ayang Utriza, Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer. (Jakarta: Kencana,
2016), h. 180.
30
Oleh karena itu Allah senantiasa mengingatkan kita dan Rasul-Nya
agar berhati-hati dalam hal kecenderungan hati dan perasaan.29
Masalah
keadilan adalah masalah yang paling serius dan sering diperdebatkan
baik dari ulama-ulama klasik maupun kontemporer. Quraish Shihab
berpendapat dalam Q.S. al-Nisȃ (4):3 mengisyaratkan adanya rasa takut,
yang juga dapat berarti mengetahui. Maksudnya adalah jika seseorang
yang hendak berpoligami tetapi dalam niat dan hatinya tidak ada
keyakinan untuk berlaku adil sama sekali atau berniat lain hanya
mengikuti nafsunya saja walaupun dia mampu dalam hal memberi
nafkah, maka dia tidak diperkenankan untuk berpoligami bahkan
diharamkan. Tetapi jika seseorang berpoligami berniat yakin berlaku adil
dan berniat menjunjung hak wanita yang mungkin terlantar karena sebab-
sebab tertentu, yakin akan benar-benar adil maka diperkenankan untuk
berpoligami. Maka demikian dalam izin berpoligami seharusnya tidak
perlu dilarang atau diperdebatkan dan dikecam karena itu sudah bagian
dari ajaran Islam, tetapi yang perlu dikecam adalah jika ada seseorang
yang berpoligami, tetapi dia tidak dapat melaksanakan ayat ini dengan
baik.30
E. Faktor-faktor Melakukan Poligami
Terdapat beberapa faktor dibolehkannya poligami. Berdasarkan
keterangan dari pada dalil yang membolehkan poligami, baik dari ulama fikih
klasik sampai ahli-ahli tafsir telah merumuskan secara terperinci tentang
sebab-sebab yang membolehkan poligami.
1. Tidak mempunyai anak
Apabila seorang istri mempunyai penyakit tertentu atau mandul
dan telah menjalani beberapa usaha untuk mendapatkan anak, tetapi sang
istri mandul. Tentulah membuat putus asa sang suami karena kehadiran
29
Jahrani, Musfir Husain, Nazhratun fi Ta‟addudi az-Zaujati, Penerjemah Muh.
Suten Ritonga, Poligami dari Berbagai Presepsi. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
h.58-59 30
Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang
Patut Anda Ketahui. (Jakarta: Lentera Hati, 2015), h. 76.
31
anak merupakan faktor terpenting dalam keluarga. Dalam kategori ini
Islam membolehkan suami untuk melakukan poligami karena terdapat
unsur darurat didalamnya. Karena dengan jalan ini lah sang suami bisa
mendapatkan seorang anak.
2. Istri mempunyai penyakit yang berkepanjangan
Apabila seorang istri mempunyai suatu penyakit atau riwayat
penyakit yang berkepanjangan dan sulit untuk diobati sekalipun telah
banyak melakukan berbagai usaha untuk memulihkannya. Jika ini terjadi
maka istri tersebut tidak dapat menjalani kehidupannya seperti pada
umumnya dan hubungan suami istri. Malah dalam hal ini dikhawatirkan
istri tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu
dalam mendidik dan mengurus anak-anaknya dan mengurus rumah
tangganya.
3. Tabiat kemanusiaan suami memerlukan istri lebih dari satu.
Sudah menjadi tabiat bagi seorang laki-laki memerlukan istri lebih
dari seorang. Jika cara poligami ini tidak dapat terwujud. Kemungkinan
besar para lelaki tidak dapat menahan hawa nafsunya dikhawatirkan
seorang lelaki dapat membuat perilaku yang tidak terpuji bisa jadi dapat
melakukan perbuatan zina dan lain-lain untuk memenuhi tabiat
kemanusiaannya itu.
4. Jumlah kaum wanita yang lebih banyak jumlahnya dari kaum laki-laki.
Semenjak terjadi peperangan dan pertumpahan darah dari zaman
Rasulullah hingga zaman khalifah-khalifah Islam. Sehingga
menyebabkan banyaknya janda atau anak perempuan yang kehilangan
suami atau tunangannya. Jika dilihat dari segi sosial dan kemanusiaan,
nasib wanita-wanita dan janda ini adalah suatu keadaan sosial yang perlu
dibela dan diperhatikan. Dikhawatirkan janda dan wanita-wanita tersebut
kebutuhan kehidupannya terlantarkan. Sehingga dengan adanya poligami
maka lelaki yang mempunyai kemampuan serta telah mendapatkan izin
32
dari istri pertamanya dengan niat baik untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya agar terlindungi.31
5. Istri yang sulit dididik
Dalam kehidupan keluarga pastinya terdapat beberapa istri yang
memang dengan sifatnya dapat dikatakan kurang baik, tetapi dalam hal
itu sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mendidik istri dan anak-
anaknya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Akan tetapi apabila istri
dididik tidak mau dan menganggap remeh serta dalam sikapnya yang
biasa menimbulkan kemarahan suami dan susah untuk dibentuk
walaupun sudah berbagai usaha dijalankan untuk merubah sikap istrinya.
Maka dalam hal ini suami boleh untuk menalaknya atau pun berpoligami
dengan harapan bertemu dengan wanita yang bersikap baik, dalam segi
agama maupun kehidupan sosialnya.
6. Suami selalu bermusafir
Terdapat juga seorang lelaki yang mendapatkan tugas bermusafir
yang sangat lama. Akan tetapi dia tidak sanggup atau tidak bisa
membawa anak dan istrinya berpindah-pindah mengikuti pekerjaannya
yang memang bermusafir dalam keadaan yang sangat lama. Sedangkan
pada masa itu suami tidak lagi dapat sanggup menjalani kehidupannya
yang sendirian. Maka dalam hal ini lelaki tersebut dibolehkan untuk
melakukan poligami tentunya harus dengan persetujuan istri, agar
terhindar dari perbuatan buruk yang dapat berlaku.32
F. Hikmah Poligami
Sebagian orang berpendapat bahwa berpoligami merupakan
penganiayaan terhadap istri, karena menurut mereka seorang suami tidak
akan bisa berbuat adil terhadap para istri.33
Namun jika dilihat kondisinya
31
„Itr, Nuruddin, Madza‟an al -Mar‟ah, Penerjemah Hasbullah, Hak dan
Kewajiban Perempuan Mempertanyakan: Ada Apa dengan Wanita. (Yogyakarta: Bina
Media, 2005), h. 189. 32
Zaini Nasohah, Poligami Hak Keistimewaan Menurut Syariat Islam. (Kuala
Lumpur: PT Cergas, 2000), h. 13-15. 33
Ariij Binti Abdur Rahman. Etika Berpoligami Adil Terhadap Para Istri, h. 37
33
pada saat ini, hukum syara‟ telah mengatur perkara poligami. Jika tidak ada
alasan yang bisa diterima menurut hukum syara‟ atau tidak ada sesuatu hal
yang bersifat sangat mendesak, maka seseorang itu hanya beristrikan satu
orang saja. Karena Islam memperbolehkan sistem poligami yang hanya
bersifat sangat mendesak saja. Oleh karena itu diatas sudah dijelaskan sebab-
sebab diperbolehkannya berpoligami. Diperbolehkannya berpoligami karena
adanya hikmah tertentu yang diberikan oleh Allah, yaitu hikmahnya adalah :34
1. Poligami mengangkat martabat seorang perempuan, karena poligami
dapat melindungi moral agar tidak terkontaminasi oleh perbuatan keji
dari laki-laki yang hypersex. Mengingat pernikahan adalah jalan yang
diperbolehkan oleh syar‟i agar terhindar dari gejolak hawa nafsu.
2. Sunnatullah, jika dilihat dari segi sebab-sebabnya berpoligami yaitu
populasi kaum lelaki lebih sedikit dibanding jumlah wanitanya yang ada
di seluruh penjuru bumi. Dan laki-laki itu memliki resiko kematian yang
besar karena banyaknya peperangan yang di dominasai oleh kaum laki-
laki karena dianggap kuat. Maka dari itulah jika dia hanya memiliki
seorang wanita saja, maka akan banyak wanita-wanita yang akan hidup
tanpa adanya suami, sehingga dikhawatirkan mendorong mereka berbuat
zina.35
3. Dengan di syariatkannya poligami tentunya dengan syarat dan tertentu
pula diharapkan menjadi suatu jalan untuk memperbanyak keturunan
yang banyak dan pada saat itu jumlah kaum muslimin akan bertambah
banyak juga dapat memperbaiki keturunan jika istri pertama mandul.36
4. Poligami juga dapat dikatakan berprikemanusiaan karena dengan
poligami, secara tidak langsung lelaki meringankan beban suatu
34
Az-Zuhaili, Wahbah, At-Tafsiirul-Muniir: Fil „Aqidah wasy- Syari‟ah wal
Manhaj, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk, Tafsir Al-Munir Jilid 2 (Juz 3-4).
(Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 581 35
Muhammad bin Sayyid Al-Khauli, Al-Mausuu‟ah Al- Muyassah fi Fiqhil Mar-
ah Al- Muslimah, Penerjemah Umar Mujtahid, Ensiklopedia Fikih Wanita. ( Jakarta:
Pusataka Imam Asy-Syafi‟i, 2016), h. 475 36
Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah At- Tasyri‟ wa Falsafatuhu, Penerjemah
Faisal Saleh, Indahnya Syariat Islam. ( Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 313
34
masyarakat ketika ia mendapati seorang wanita yang janda dan kemudian
menjadikannya seorang istri yang terjamin kehidupannya karena sudah
ada yang menafkahinya lagi.37
5. Untuk menjaga keutuhan rumah tangga dengan istri pertama tanpa
menceraikan, walaupun istri pertamanya tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri, ataupun ia mendapatkan cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.38
37
Musthafa As- Shiba‟I, Al Mar‟ah Baina Fiqh wal Qonun. Penerjemah Ali
Ghufron, Wanita dalam Pergumulan Syariat dan Konvensional. (Jakarta: Insan
Cemerlang, T.th), h. 101 38
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. ( Jakarta: Kencana, 2000), h.136
35
BAB III
REGULASI POLIGAMI DI INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Sejarah dan Sistem Hukum Indonesia dan Malaysia
1. Sejarah dan Sistem Hukum di Indonesia
Sebelum datangnya Belanda di Indonesia telah terbentuk masyarakat
Islam. Yaitu Muawiyah (661-690) Khalifah pertama Bani Umayah yang
kemudian dilanjutkan oleh khalifah Sulaiman bin Abdul Malik telah
mengadakan misi suci agama Islam, dan telah mengIslamkan raja-raja
untuk masuk Islam yaitu raja Sriwijaya di Jambi Sri Maharaja
Lokitawarman dan Sri Maharaja Inderawarman di Palembang menganut
mazhab ahlu sunnah wal jamaah di tahun 99 H, dan juga Ratu dari Jepara
yaitu Ratu Simon, sejarah ini tertulis dan tersimpan baik di Granada
Spanyol sampai saat ini.
Hukum Islam di Indonesia merupakan hukum yang tidak tertulis dalam
kitab perundang-undangan, tetapi menjadi hukum yang hidup, berkembang
dan berlaku serta di patuhi oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam
penyelesaian sengketa di masyarakat Islam dikenal dengan 3 periode yaitu
yang pertama periode Tahkim, dalam periode Tahkim untuk
menyelesaikan suatu sengketa atau permasalahan yang ada di masyarakat.
Mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Kemudian periode kedua disebut dengan Ahlul Hili
wal Aqdi, dimana mereka membai‟at seorang ulama Islam untuk diangkat
menjadi qadhi dalam menyelesaikan setiap perkara yang ada di
masyarakat. Ketiga metode Thauliyah. dalam metode ketiga ini secara
filosofis dapat dilihat mulai adanya perlembagaan yang dianut oleh ajaran
Trias Politica dari Montesque, metode Thauliyah dapat di definisikan
yaitu penyerahan wewenang kepada suatu badan yaitu yudikatif, tetapi
36
tidak mutlak. Seperti yang dilakukan di Minangkabau ada pucuk nagari
dan ada qadhi dalam menyelesaikan sengketa.1
Setelah Belanda datang ke Indonesia sistem hukum di Indonesia banyak
mengalami kodifikasi. Indonesia merupakan negara yang dijajah oleh
Belanda selama 350 tahun dan kemudian di jajah oleh Jepang selama 3,5
tahun, akibat dari penjajahan itu pastinya mempengaruhi kondisi sosial,
budaya, dan sistem hukum yang ada di Indonesia. Kemudian pada zaman
penjajahan Belanda, mereka membentuk konstitusi yang di berlakukan
untuk Indonesia. Konstitusi tersebut dinamakan Grondwet yang dalam
pasal 1 dijelaskan bahwa Kerajaan Belanda meliputi wilayah Belanda
(Netherland) kemudian Hindia-belanda, (Suriname dan Curasao). Yang
dimaksud dengan Hindia-Belanda disini adalah Indonesia, dengan
demikian secara otomatis karena Indonesia adalah jajahan Belanda
menggunakan sistem hukum yang berlaku di Belanda yaitu konstistusi
Grondwet.2
Disaat Belanda menjajah, membentuk Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) di Batavia pada tahun 1602. Belanda membentuk VOC
dengan menerapkan sistem hukum hak octrooi yaitu untuk memonopoli
sektor perdagangan dan pelayaran, mengumumkan perang bagi yang
melanggar aturan dan mencetak mata uangnya sendiri pada saat itu agar
Belanda di untungkan dan tidak terjadi persaingan usaha dengan pribumi.
Peraturan tersebut merupakan hukum positif Belanda untuk mendominasi
sistem perekonomian Belanda. Pada masa Gubernur Jenderal Pieter Both
VOC diberi wewenang untuk mebuat peraturan sendiri pada daerah yang
dikuasainya maka dibuatlah Statuta Betawi atau Statuten Van Batavia
tahun 1642. Setelah perekonomian jatuh ke tangan Belanda, dan Belanda
1 Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Islam dalam Sistem hukum di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h.
52-54 2 Mudakir Iskandar, Pengantar Ilmu hukum & Tata Hukum Indonesia, ( Jakarta:
CV. Sagung Seto, 2008), h. 33.
37
terus ikut campur dalam politik dan peradilan adat yang ada di Indonesia.
Politik Belanda memberlakukan RR (Regering Regelement) yang akhirnya
di Undang-undangkan pada tanggal 1 januari 1920 sampai tahun 1926.
Berlakunya RR ini memberikan pengaruh, dimana belanda memberi
golongan penduduk yaitu memisahkan 3 golongan hukum penduduk yaitu:
Golongan Eropa; Golongan Timur Asing dan; Golongan Pribumi.
Tujuan dari Belanda membagikan golongan penduduk tersebut adalah
untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan, yaitu:
1. Golongan Eropa sebagaimana yang tercantum dalam hukum perdata
yaitu Burgelijk Wetboek (BW) dan Wetboek Van Koophandel (WVK)
yang diundangkan dan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848, dengan asas
konkordansi, hukum pidana materiil yaitu Wetboek Van Strafecht
(WVS) yang diundangkan tanggal 1 Januari 1981. Untuk hukum acara
dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura
diatur dalam “Reglement op de Burgelijke Recht Vordering”.
Sedangkan untuk di luar Madura diatur dalam R.Bg (Regelement
Biutengewesten).
2. Bagi golongan pribumi, masih memakai sistem hukum adat tidak
tertulis, tetapi dengan adanya pasal 131 ayat (6) IS kedudukan hukum
adat itu tidak mutlak, dan dapat diganti dengan ordonansi jika
dikehendaki oleh pemerintah Hindia Belanda.
3. Bagi golongan Timur Asing, diberlakukan hukum perdata dan hukum
pidana mereka sesuai ketentuan pasal 11 AB, berdasarkan S. 1855: 79
(untuk semua golongan Timur Asing). Untuk golongan Timur Asing
Cina masih memakai Hukum perdata dari golongan Eropa yaitu BW.
Kemudian dalam penyelenggaraan peradilan yaitu menggunakan
peradilan:
a. Pengadilan Swapraja
b. Pengadilan Agama
38
c. Pengadilan Militer.3
Pada saat itu juga hukum perkawinan yang berlaku adalah Compendium
Freije, yaitu kitab hukum yang berisi tentang hukum perkawinan dan
hukum waris menurut Islam yang ditetapkan pada 20 Mei 1760, atas usul
Resident Cirebon P.C. Hasselaar (1757-1765).4
Selanjutnya, lahirlah teori Receptio in Complexu yang dikemukakan
oleh Van den Berg (1845-1927). Teori ini berpendapat bahwa “Hukum
Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputera”, pendapat ini sesuai
dengan Regeerings Reglement (Stbl.1884 No. 129 di Negeri Belanda jo.
Stbl. 1885 No. 2). Dalam pasal 75 ayat 3 disebutkan: “apabila terjadi
sengketa antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh Hakim
Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam”.5
Kemudian muncul lagi Receptie Theory atas usulan Van Vollenhouven
(1874-1933) dan Snouck Hoergronje (1857-1936). Akibat dari munculnya
teori ini dirubahnya Regeerings Reglement Stbl. 1855 No. 2 menjadi
Indishce Staats Regeling tahun 1925 (Stbl. 1925 No.416), yang
menyatakan Hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan tersendiri.
Hukum Islam baru dianggap sebagai hukum apabila memenuhi 2 syarat,
yaitu: (1) Norma hukum Islam harus diterima terlebih dahulu oleh Hukum
Adat, (2) Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan kaidah
Hukum Islam itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan Hindia Belanda.6
3 H. Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta: PT. RajaGradindo
Persada, 2014), h. 9-14. 4 Nafi‟ Mubarok, “Sejarah Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia”, Jurnal
Justica Islamica, 14, 1, (Desember, 2017), h. 77. 5 Khoiruddin Buzama, “Pemberlakuan Teori-Teori Hukum Islam di Indonesia”,
Jurnal Al-„Adalah, 10, 4,( Juli, 2012), h. 468. 6 Idris Ramulyo, Bunga Rampai Tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama dan Intesifikasi Zakat. (Jakarta: PT Nur Intan Surya, t.
th), h. 114.
39
Dalam perkembangan Hukum Keluarga di Indonesia setelah Orde Baru
Indonesia melakukan pembaharuan Hukum Islam yaitu membentuk UU
No. 1 Tahun 1974, terbentuknya UU ini tidaklah mudah dengan
melibatkan masyarakat tentunya. Hingga ada demonstrasi mahasiswa yang
masuk gedung DPR ketika sedang melakukan rapat, karena mereka
berpandangan bahwa keputusan Menteri Agama RI adalah keputusan yang
Sekularisasi hukum. Perkawinan yang berasaskan monogami, tetapi
membuka kemungkinan poligami atas izin pengadilan, kemudian
pencatatan pernikahan menjadi syarat sah nya pernikahan, dan
pembolehan nikah lintas agama.7
Pada masa ini UU perkawinan masih mengalami perdebatan yang
Panjang dan pemberlakuannya masih berangsur-angsur karena disebabkan
Indonesia masih banyak prepare terhadap instansi-instansi yang
berhubungan dengannya yaitu DPR, namun pada akhirnya bisa efektif
pada 1 Oktober 1975.
Setelah lahirnya UU perkawinan, lahir pula aturan pelaksanaan dari UU
No. 1 Tahun 1974, seperti PP No. 9 Tahun 1975, Peraturan Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri, dan Petunjuk MA RI untuk para
Hakim di Indonesia (agar terjadi keseragaman putusan dan dalil-dalil
dalam memutuskan perkara). Kemudian muncul pula UU No. 10 tahun
1983, UU ini muncul karena ulah pegawai negeri sipil atau pejabat negara
yang menikahi secara tidak tercatat menikahi babysitternya sendiri
kemudian mempunyai anak, yang anaknya tidak tercatatkan. Sehingga istri
pertamanya tidak mendapat perlindungan hukum.8
Setelah itu KHI muncul sesudah beberapa tahun MA membina bidang
teknis yustisial Peradilan Agama, ide munculnya KHI ini diusulkan oleh
Busthanul Arifin, dan munculnya KHI ini dilatar belakangi karena
7 Muhammad Ashsubli, “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum
Agama”, Jurnal Cita Hukum, 3, 2, (Desember, 2015), h. 293. 8 Wahid Syarifuddin, “Status Poligami dalam Hukum Islam”, Jurnal Al-Ahwal,
VI, 1, (t. tb, 2013), h. 54
40
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas dalam pembinaan teknis
yustisial Peradilan Agama merasakan adanya beberapa kelemahan, yaitu
kesimpangsiuran hakim Peradilan Agama dalam memutuskan suatu
perkara karena menggunakan rujukan yang berbeda-beda dan belum
terakomodasi, oleh karena itu perlunya penetapan hukum yang bisa
dijadikan patokan atau undang-undang sebagai rujukan yang pasti,
tentunya dengan menghimpun rujukan-rujukan dari semua kitab fikih
klasik yang dijadikan satu buku hukum sebagai rujukan para hakim.
Berdasarakan surat edaran biro Peradilan Agama No. 45 tahun 1957
tentang Pembentukan Peradilan Agama untuk menggunakan tiga belas
kitab kuning sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan.9
2. Sejarah Malaysia
Penduduk asli Malaysia dahulu disebut dengan sebutan “Orang Asli”
yang tinggal diwilayah Semenanjung, “Orang Penan” di Serawak dan
“Orang Rungus” di Sabah diperkirakan eksistensinya sudah dari 5000
tahun yang lalu. Para suku asli Malaysia diperkirakan berasal dari Cina
dan Tibet kemudian mereka bergerak ke Selatan melalui dataran Asia
Tenggara dan Semenanjung Malaysia kemudian terus ke Indonesia.
Kemudian pada tahun 1000 SM telah banyak kelompok melayu dan
imigran berdatangan yang akhirnya mereka membuat kelompok atau suku
asli “Orang Asli” atau (Proto-Melayu).
Malaysia merupakan daerah tempat lalu lintas perdagangan yang
banyak dari para pedagang India, Timur Tengah, dan Eropa datang ke
Melayu bermaksud untuk mencari rempah-rempah.10
Kemudian pada abad
ke- 7 hingga ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya di Palembang melakukan
ekspansi hingga tanah Melayu dan Mendirikan kerajaan baru dengan nama
Kesultanan Melaka sekitar tahun 1400 M. Kesultanan Melaka merupakan
9 Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 98 10
Oscar Harris, KBRI Kuala Lumpur, Country Profile Malaysia:
http://kbrikualalumpur.org/w/2017/02/25/country-profile-malaysia/. Diakses pada tanggal
08 April 2019, pukul 10.35
41
Kesultanan yang sebagian besar tumbuh, berkembang dengan budaya
Islam dan rajanya pun telah memeluk Islam. Pada masa keemasannya
Kesultanan Melaka memperluas kerajaannya hingga ke Semenanjung
Sumatera. Wilayah yang berhasil ditaklukan oleh Kesultanan Melaka yaitu
Sumatera, Kepulauan Riau, Kedah, Perak, Pahang, Kelantan, Inderagiri,
Bengkalis, Rokan, Betan, Lian dan lain-lain hampir seluruh Tanah Melayu
dikuasai. Karena wilayah kekuasaan Kesultanan Melaka sangat luas
Melaka membagi wilayahnya menjadi beberapa kesultanan. Seperti
Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan
Selangor, Kesultanan Kedah, Kesultanan Kelantan, Kesultanan Trengganu,
dan Kesultanan Perlis.
Kemudian Portugis datang untuk menjajah Melaka karena mempunyai
kekayaan alam yang sangat banyak, dan pada tahun 1511 Melaka jatuh ke
Portugis. Pada tahun inilah Malaysia mulai merasakan era penjajahan.
Tetapi hal ini tidak membuat Kesultanan Melaka melemah, Kesultanan
Melaka dengan dibantu Kesultanan Johor dan Belanda mencoba
memberikan perlawanan kepada Portugis, yang akhirnya Portugis kalah
pada peperangan pada Tahun 1641. Kejatuhan Portugis tidak membuat
Kesultanan Melaka dan Johor merasakan kemerdekaan, karena Belanda
juga berniat untuk menjajah tanah Melayu yang akhirnya memonopoli
hasil kekayaan tanah Melayu yaitu timah. Tetapi hal ini tidak membuat
tanah Melayu jatuh sepenuhnya di tangan Belanda. Pada saat itu
kesultanan Selangor masih berdiri kokoh dan mencoba mengembalikan
kembali tanah Melayu. Kesultanan Selangor telah lama menjalin
kerjasama perdagangan dengan Inggris sehingga Sultan Ibrahim Selangor
memilih kerjasama merebut kembali dengan meminta bantuan Inggris,
yang pada akhirnya Belanda jatuh di Melayu. Tanpa disadari dengan
beberapa konsekuensi dari kerjasama Inggris dan Selangor, Inggris
menjajah Selangor di tahun 1795, kemudian menjajah hingga ke seluruh
kerajaan Melayu karena pada saat itu Inggris mempunyai sistem
persenjataan yang kuat. Inggris berjaya di tanah Melayu hingga
42
mempengaruhi seluruh aspek dari mulai ekonomi, politik, pemerintahn,
hukum, pertahanan, dan lain-lain.
Pada tahun 1941 tanpa disadari Inggis, Jepang menyerang Inggris di
tanah Melayu melalui jalur laut dengan dibantu oleh sekutu-sekutunya
yaitu Jerman dan Uni Soviet, yang akhirnya Jepang menguasai tanah
Melayu. Tetapi penjajahan Jepang tidak berlangsung lama sejak Hirosima-
Nagasaki di bom atom oleh Amerika yang membuat Jepang kalah pada
perang dunia II. Tentunya kekalahan Jepang dimanfaatkan oleh Inggris
dan Melayu jatuh kembali di jajah oleh Inggris11
Setelah kekalahan Jepang, Inggris menjajah kembali dengan mengubah
sistem pemerintahan Malaysia yang dari kerajaan menjadi Kerajaan
Federal. Maka dibentuklah Malayan Union pada 10 Oktober 1945. Tujuan
Malayan Union untuk memudahkan Inggris dalam melakukan sistem
pemerintahan dan penyatuan politik agar setiap Kesultanan Federal bisa
menjalankan sistem pemerintahannya sendiri seperti sistem desentralisasi.
Sistem Malayan Union atau dikenal dengan “Perjanjian Persekutuan Tanah
Melayu” yang ditandatangani oleh 9 raja-raja Melayu dan wakil
pemerintahan Inggris. Dengan munculnya Malayan Union mulai banyak
dari elemen masyarakat maupun akademisi membuat partai-partai politik
seperti UMNO, MIC, MCA, dan lain-lain mendesak dan mengancam
pemerintahan Inggris untuk memberi kemerdekaan kepada masyarakat
Melayu dengan melakukan perlawan. Untuk mencegah banyaknya
pertumpahan darah dewan keamanan PBB mengadakan pertemuan dengan
Inggris dan perwakilan Malayan yang pada saat itu Tuanku Abdul Rahman
yang mewakili. Pada tanggal 8 Februari 1956 akhirnya dibentuklah
Perjanjian London yang menyatakan bahwa tanah melayu membenarkan
untuk bisa mengurus atau mentadbirkan negaranya sendiri. Pada tanggal
27 Mei 1961 sekembalinya dari London Tuanku Abdul Rahman didalam
11
Portal Pusat Resmi Penerangan, Ringkasan Sejarah Malaysia:
http://pmr.penerangan.gov.my/index.php/profil-malaysia/7954-ringkasan-sejarah-
malaysia. Diakses pada tanggal 08 April 2019, Pukul 12:45.
43
pidatonya untuk membentuk Negara Malaysia dan penyatuan ekonomi dan
politik yang melibatkan seluruh Persekutuan Tanah Melayu.12
3. Sistem Hukum di Malaysia
Malaysia merupakan negara federasi dari beberapa negara-negara
bagian, pemerintahan Malaysia bersifat plural dengan Islam sebagai agama
yang resmi, serta kedudukan Islam yang sangat istimewa. Islam disini
menjadi identitas dan kebudayaan bagi Bangsa Melayu yang kental. Islam
juga merupakan sumber legitimasi hukum bagi para sultan di setiap negara
bagian. Malaysia bersifat pluralistis karena Malaysia merupakan negara
yang penduduknya tidak hanya masyarakat Melayu saja, banyak terdapat
etnis di Malaysia yaitu etnis Cina dan India, hal ini dikarenakan dahulu
semenanjung Melayu merupakan jalur perdagangan Asia Tenggara yang
menjadi pusat berkumpulnya agama dan kebudayaan, Cina dan India lah
termasuk yang melakukan imigrasi besar-besaran.13
Dalam penerapan hukum Islam di Malaysia tidak hanya faktor kultur
saja yang mempengaruhi tetapi dalam aspek politik juga
mempengaruhinya. Dalam politik di Malaysia terdapat dua kelompok
besar, yaitu UMNO (United Malaya Natinal Organitation) dan PAS (Partai
Islam se Malaysia). UMNO yang diketuai oleh Mahatir Muhammad
berupaya mengangkat dan menerapkan hukum Islam di negerinya, tetapi
juga tidak mengabaikan warga aslinya serta ras lainnya. Sedangkan PAS
yang diketuai Datuk Seri Tuan Guru Hj Abdul Hadi bin Awang juga
menggagas konsep yang sama yaitu menerapkan hukum Islam secara
menyeluruh tetapi PAS juga ingin menjadikan negara Malaysia sebagai
negara Islam. Dari kedua partai tersebut UMNO dan PAS dapat dilihat
bahwa keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu menerapkan hukum
12
Merdiana Nordin dan Hasnah Hussin, Pengajian Malaysia Edisi Keenam.
(Selangor: Oxford Fajar Sdn. Bhd, 2018), h. 78-87 13
John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, Penerjemah
Rahmani Astuti, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek.
(Bandung: Mizan, 1999), 167.
44
Islam. Hal ini lah yang menjadikan Hukum Islam bisa di terapkan secara
menyeluruh di seluruh Negara bagian, meskipun jumlah penduduknya
yang beragama Islam hanya 56%.14
Sistem hukum Malaysia sebelum di jajah oleh Inggris memakai
Undang-undang Negeri Melayu adat pepatih baik di Negeri Sembilan dan
beberapa Kawasan Naning di Malaka, dan adat Temanggung. Undang-
undang adat tersebut yang banyak dipakai isi nya banyak mengandung
hukum Syariat Islam, terutama yang kental hukum syariatnya pada bagian
perkawinan dan perceraian.
Kemudian setelah Inggris datang dan menjajah Malaysia, perundang-
undangan Inggris mulai berpengaruh pada Malaysia. Bermula pada Negeri
Perak yang menerima perjanjian Negeri Pangkor. Dengan adanya
perjanjian tersebut bahwa Negeri Perak dan Negara Bagian Malaysia yang
lain telah menyetujui sistem British Resident.15
Jadi Malaysia sebagai
bekas jajahan Inggris masih menerapkan tradisi kebiasaan Inggris
Common Law Sistem, dan tradisi Common Law ini juga berada pada
sistem hukum Islam dan Adat Melayu. Tetapi dalam praktiknya Malaysia
memisahkan antara Common Law dan Hukum Islam yang ada di
masyarakat.
Common Law sendiri diperkenalkan melalui Undang-undang hukum
perdata pada tahun 1878 M, kemudian barulah setelah itu diterapkan
hukum pidana juga sistem hukum kontrak. Kemudian pada tahun 1956
hukum perdata di revisi dan mengubah isi nya yang membatasi adanya
aturan agama dan adat setempat, oleh karena itu hakim pada saat itu terlalu
menggunakan Undang-undang Civil dan mengesampingkan hukum adat
yang berlaku di masyarakat Melayu, dan tidak bisa dipungkiri bahwa
sampai sekarang hakim dalam memutuskan mencoba mengambil dari
14
Ramli Makatungkang “Penerapan Hukum Islam di Malaysia”, Al-Syari‟ah, 1, 1
(Agustus, 2016), h. 6. 15
Abdul Monir Yacoob, Kehakiman Islam dan Mahkamah Syari‟ah. (Selangor:
UKM, 2015), h.131
45
prinsip hukum Islam dan juga mengambil hukum Common dari Inggris.
Karena pada dasarnya Hakim lah pencipta Undang-undang itu.16
Setelah Malaysia merdeka, 11 dari 13 negara jajahan Inggris di Melayu
menjadi Negara Bagian dari Negara Federasi yang dinamakan Negara
Malaysia. Sebagai Negara Federasi, yurisdiksi kekuasaannya harus dibagi
antara pemerintahan Federal dan Negara Bagian, yang membedakan antara
pemerintahan Federal dan Negara bagian adalah, pemerintahan Federal
mengatur segala hal baik dari politik, hukum internasional, keamanan,
ekonomi serta hukum, pemerintah Federal disini hanya menjalankan
hukum perdata dan pidana umum. Untuk Negara Bagian juga diberikan
kewenangan untuk mengatur hal yang menjadi kewenanangan Negara
Bagian itu tetapi secara khusus hukum Islam dijadikan kewenangan
pemerintahan Negara Bagian. Mengenai Hukum keluarga bagi non-
Muslim termasuk wilayah kewenangan pemerintah Federal atau Hukum
Civil.
Negara bagian diberikan kebebasan memberlakukan Undang-undang
yang terkait dengan hukum Islam sesuai dengan versi dari mereka, dan
juga bebas mendirikan Peradilan Islam untuk memutus perkara
persengkatan yang timbul dari hukum Islam termasuk diantaranya dalam
hukum keluarga yaitu perkawinan, perceraian, maskawin, nafkah, adopsi
anak, poligami, dan lain-lain, kecuali persoalan waris di Malaysia, belum
ada satu Negara bagian yang membuat Undang-undang mengenai waris,
sehingga dalam persoalan waris diputuskan dengan menggunakan merujuk
kitab-kitab fiqh.17
Dalam perkembangannya Undang-undang di Malaysia masih
mengalami beberapa perbedaan disetiap Negeri, perbedaan ini
menyebabkan masalah seperti isi perintah dari pemerintahan pusat yang
16
Basar dikuraisyin, “Sistem Hukum dan Peradilan Islam di Malaysia”, Terateks,
I, 3, (September,2017), h. 4. 17
Nabiela Naily, “Hukum Keluarga Islam Asia Tenggara Kontemporer: Sejarah,
Pembentukan, dan Dinamikanya di Malaysia” (Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat: Executive Summary, IAIN Surabaya, 2013), h. 9-10.
46
seharusnya diberlakukan sama akan tetapi dalam penerapannya kepada
Negeri-negeri berbeda. Dalam hal ini Jabatan Kehakiman (JAKIM)
bekerja sama dengan Majlis Hal Ehwal Kebangsaan Agama Islam (MKI)
telah memberikan rancangan Undang-undang yang telah diseragamkan
dan kemudian dirapatkan oleh perkumpulan para Raja Negara Bagian,
yang kemudian disahkan. Mengenai Undang-undang yang telah
diseragamkan yaitu; Undang-Undang Pentadbiran Agama Islam, Undang-
undang Acara Jenayah, Undang-undang Tata Cara Mal Mahkamah
Syariah, Undang-undang Keterangan Mahkamah Syariah dan Undang-
undang Keluarga Islam. Kebanyakan Negeri sudah menyetujui dan
memakai undang-undang tersebut, kecuali Negeri Pahang yang hanya
menyetujui dua UU, yaitu UU tentang acara Jenayah dan acara Mal.18
4. Mahkamah Syariah di Malaysia
Mahkamah Syariah dibawah pada perlembagaan persekutuan.
Mahkamah Syariah dibentuk untuk menyelesaikan setiap perselisihan,
tuntutan dan permohonan yang di selisihkan oleh pihak yang berperkara.
Disamping itu juga, Mahkamah Syariah juga dibutuhkan bagi pihak
kerajaan untuk menentukan seseorang yang apabila tertuduh bersalah atau
tidak bersalah, hal ini berkaitan dengan Kesalahan Jenayah Syariah.
Mengenai yuridiksi, tugas dan kewenangan Mahkamah Syariah disebutkan
dalam Jadual Kesembilan Senarai 2, bahwa negeri-negeri dalam
Persekutuan memberikan kewenangan Mahkamah Syariah untuk
berperkara dalam bidang hukum Syarak dan undang-undang keluarga
Islam, seperti pertunangan, pernikahan, perceraian, ruju‟, waris, wakaf,
zakat, nazar, wasiat dan hibah. Mahkamah Syariah juga hanya akan
mengadili perkara-perkara bagi orang yang beragama Islam.19
18
Abdul Munir Yacoob, “Perlaksanaan Perundangan Islam di Malaysia: Satu
Penilaian”, Jurnal Fiqh, VI, 6, (Desember, 2009), h.13-16 19
Zulkifli Hasan, dkk, Amalan Kehakiman dan Guaman Syarie di Malaysia,
(Selangor: Univiersiti Islam Malaysia, 2007), h. 2.
47
Mahkamah Syariah dalam strukturnya masih merupakan turunan dari
warisan jajahan Inggris, ketika itu Mahkamah Syariah atau Mahkamah
Kadi masih dalam satu hierarki sistem yang sama dan tugas dari
Mahkamah Syariah sendiri hanya mengurus perkara perkawinan dan
perceraian, hal ini tertuang dalam Carta Organisasi Courts Ordinance
1946. Setelah penjajahan Inggris, pemerintah mulai sadar akan pentingnya
hukum Islam yang sekaligus menjadi hukum adat di Malaysia. Dalam
strukturnya Mahkamah Syariah telah dipisahkan antara Mahkamah Civil
dan Mahkamah Syariah. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya
ketumpangtindihan kewenangan di Mahkamah Civil tertuang dalam Court
Ordinance 1948. Kemudian dalam perlembagaan persekutuan menjadikan
Mahkamah Syariah sebagai Mahkamah Negeri-Negeri.20
Dalam struktur yang ada sekarang Mahkamah Syariah menjadi satu
Lembaga yang dinamakan JKSM (Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia),
JKSM sebagai lembaga yang mengelola Mahkmah Syariah. Hal ini
dimaksudkan untuk membenahi Mahkamah Syariah dalam administrasi
perkara agar lebih cepat dan professional. JKSM juga berfungsi sebagai
Mahkamah Syariah tertinggi Negeri untuk mendengar perkara pada tingkat
banding.21
Mahkamah Syariah dalam otoritas nya secara khusus terdapat dalam
Undang-undang Pentadbiran Agama Islam Negeri-Negeri seperti
1. Mahkamah Rayuan Syariah adalah Mahkamah yang mempunyai
tugas untuk menerima, mendengar dan memutuskan perkara-perkara yang
telah diputuskan dari Mahkamah Tinggi Syariah dan juga Mahkamah
Rendah Syariah. Kewenangan ini jelas diatur dalam Enakmen Pentadbiran
Agama Islam Selangor tahun 2003 Syeksen 67 ayat 1-3.22
Mahkamah
20
Abdul Monir Yacoob, Kehakiman Islam dan Mahkamah Syari‟ah, h. 89 21
Ramizah Wan Muhammad, “Sejarah Pentadbiran Kehakiman Islam di
Malaysia: Satu Sorotan”, Jurnal Kanun, 21, 1, (Maret, 2009), h. 10. 22
Portal Resmi Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan. Perkhidmatan
Mahkamah Rayuan Syariah. mswp.gov.my/index.php/ms/mengenai-
48
Rayuan terdiri dari tiga anggota. Yaitu mufti dan dua orang lainnya yang
telah ditunjuk dan dilantik oleh Sultan, dalam hal ini Sultan Selangor.
Dapat dikatakan bahwa Mahkamah Rayuan ini merupakan pengadilan
tingkat Kasasi.23
2. Mahkamah Tinggi Syariah mempunyai yurisdiksi di seluruh
Negeri misalnya Negeri Selangor di seluruh wilayah Selangor dan diketuai
oleh Hakim Mahkamah Tinggi Syariah. Dalam tugas jinayahnya mengenai
kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang beragama Islam dan
kesalahannya mendapatkan sanksi dibawah Enakmen Jenayah Syariah
(Selangor) 1995, dalam kewenangan mal nya menghukum seseorang yang
melanggar kesalahan terhadap rukun-rukun agama Islam, juga
memutuskan perkara yang berhubungan dengan pertunangan, perkawinan,
ruju‟, perceraian, fasakh, nusyuz, dan perkara yang berhubungan dengan
suami istri.24
3. Mahkmah Rendah Syariah, adalah Pengadilan tingkat pertama
yang mempunyai yurisdiksi di seluruh Negeri-Negeri, atau Mislanya
yuridiksi Wilayah Negeri Selangor, di ketuai oleh hakim Mahkamah
Rendah. Dalam wewenang Jenayahnya, mengenai perkara orang Islam
dibawah Enakmen Jenayah Syariah Selangor 1995. Dan menetapkan
hukuman bagi orang yang melakukan kesalahan terhadap rukun Islam,
Mahkamah Rendah juga memberikan wewenang sanksi denda bagi
seseorang yang bersalah akan tetapi denda tersebut tidak boleh lebih dari
RM 3000. Dan dalam kewenangan mal nya mendengar dan memprosedur
perkara yang ada pada tingkat Mahkamah Tinggi Syariah tetapi hanya
memproses perkara yang dendanya tidak melebebihi RM 1000. 25
mswp/perkhidmatan/bidang-kuasa/mahkamah-rayuan-syariah. Diakses tanggal 14
Februari 2019. 23
Nurhidayah, “Sejarah Peradilan Islam Malaysia,” (Tesis S-2, STAIN
Watampoe, 2014), h. 15. 24
Zulkifli Hasan, dkk, Amalan Kehakiman dan Guaman Syarie di Malaysia, h. 4 25
Seksyen 62, Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri Selangor) Tahun
2003.
49
B. Peraturan Perundang-undangan Poligami di Indonesia dan Malaysia
1. Undang-undangan Poligami di Indonesia
a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Seperti yang telah dijelaskan mengenai poligami di Indonesia
diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan
diperjelas dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksanaan
dari UU No. 1 tahun 1974. Pada prinsipnya UU No. 1 Tahun 1974
sebenarnya merujuk pada ketentuan yang ada di kitab-kitab fikih.26
Dalam UU perkawinan juga menganut asas monogami seperti yang
terdapat dalam pasal 3 menyatakan, “seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.”27
Tetapi dengan adanya pasal tersebut UU perkawinan bukan
berarti melarang penuh poligami. Indonesia membolehkan poligami
dengan syarat dan ketentuan yang ketat untuk menghindari
penyelewangan praktik dari poligami itu sendiri, syarat poligami di
Indonesia di jelaskan dalam pasal 4 UU No. 1 tahun 1974 yang
merupakan syarat alternatif, yaitu: 1). Istri tidak dapat menjakankan
kewajibannya, 2). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, 3). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kemudian dalam pasal 5 ayat 1 UU perkawinan, mengenai
persyaratan kumulatif poligami yaitu: 1). Adanya persetujuan dari
istri, 2). Adanya jaminan nafkah dan keperluan hidup untuk istri dan
anak-anak mereka, 3). Suami harus berlaku adil terhadap istri dan
anak-anak mereka.
Berkaitan dengan pasal 4 dan 5 UU perkawinan untuk
membedakan persyaratan tersebut, pada pasal 4 disebut dengan
persyaratan alternatif yang artinya salah satu dari alasan persyaratan
26
Fatimah Zuhrah, “Problematika Hukum Poligami di Indonesia (Analisis
Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI”, Jurnal Al-Usrah, V, 1 (t. tb, 2017), h. 31. 27
Pasal 3 ayat 1, UU No. 1 Tahun !974. Tentang perkawinan.
50
tersebut harus ada jika ingin mengajukan poligami, kemudian di pasal
5 adalah persyaratan kumulatif dimana seluruh persyaratan itu harus
dapat dipenuhi suami jika ingin melakukan poligami.28
Dalam hal kewenangan perkara poligami jelaslah bahwa
melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang penting bagi
pencari keadilan bagi yang beragama Islam berwenang
mengabulkan/tidak mengizinkan permohonan izin berpoligami yang
diajukan oleh suami, sesuai dengan pasal 49 UU No. 7 Tahun 198929
dan pasal 3 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974.30
Dari semua ketentuan
yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 jelaslah bahwa Indonesia tidak
menganut asas monogami tersebut, tetapi setidaknya hukum di
Indonesia tidak memberikan keleluasaan bagi para suami untuk
melakukan poligami, akan tetapi suami harus memenuhi syarat-syarat
yang ada terlebih dahulu yang ditetapkan oleh undang-undang.31
b. PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sebagai Undang-undang, UU No 1 Tahun 1974 membutuhkan
peraturan pelaksana untuk dapat dijalankan secara baik. Peraturan
pelaksana diberikan dengan tujuan memberikan penjelasan lebih
lanjut terkait undang-undang tersebut agar tidak terjadi kerancuan
karena tidak adanya penjelasan.32
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 disebut sebagai aturan pelakssan dari UU No. 1 tahun 1974.
28
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/ 1974 sampai
KHI). (Jakarta: Kencana, 2004), h.161-164. 29
Pasal 49 ayat 1, “pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah” 30
Pasal 3 ayat 2, berbunyi “Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan” 31
Ridwan Jamal, “Hukum Poligami Menurut Undang-Undang dan Fikih”, Jurnal
Al- Syari‟ah, 2, 1, (Agustus, 2004), h. 3. 32
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 1. (Yogyakarta: Kanisius,
2007), h. 194.
51
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara bertulis kepada
pengadilan. PP No. 9 tahun 1975 mengatur tentang prosedur
berpoligami di Pengadilan Agama pada pasal 41 dinyatakan:
Setelah suami mengajukan permohonan berpoligami, kemudian
pengadilan memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami
kawin lagi.
b. ada atau tidaknya persetujuan istri. Baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan didepan pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan
memperlihatkan:
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda
tangani oleh bendahara tempat kerja; atau
surat keterangan pajak penghasilan
surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk
itu.33
Setelah itu Pengadilan akan memeriksa permohonan poligami
salambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya permohonan
tersebut,34
kemudian pengadilan harus memanggil istri pertamanya
untuk mendengarkan penjelasan dan kesaksian dalam hal izin
poligami. Dalam PP No 9 tahun 1975 juga dijelaskan ketentuan
pidana bagi pegawai pencatatan sipil dan pasangan yang ingin
berpoligami tanpa adanya izin pengadilan terlebih dahulu, terdapat
dalam pasal 45 ayat 1 butir:
a. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal
3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500, (tujuh ribu lima
ratus rupiah)
33
Pasal 41, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1974 34
Pasal 42, PP No. 9 tahun 1975
52
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketenutuan yang diatur dalam
pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima
ratus rupiah).35
c. PP No. 10 Tahun 1983 Perubahan PP No. 45 Tahun 1990
Selain aturan poligami yang terdapat pada aturan UU No. 1 Tahun
1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, perkawinan poligami tidak hanya
dilakukan oleh masyarakat tetapi terdapat juga dilakukan oleh aparat
negeri sipil, militer, dan pejabat negara. Hanya saja bagi mereka yang
berstatus PNS mempunyai aturan khusus yang harus ditaati. Peraturan
tersebut terdapat dalam aturan khusus Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai
negeri sipil sebagaimana yang juga telah diubah dalam PP No. 45
Tahun 1990, di dalam aturan tersebut sudah terdapat tata cara,
prosedur, syarat-syarat, dan prakteknya tentang perkawinan dan
poligami, juga dalam aturan tersebut terdapat sanksi administrasi yang
diberikan dalam melakukan poligami.36
Latar belakang di berlakukannya PP No. 10 Tahun 1983, adalah
karena PNS sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat seharusnya menjadi contoh yang baik dalam hal tingkah
laku, tindakan, dan taat kepada peraturan yang berlaku. Selain itu,
dalam melaksanakan tugasnya PNS tidak boleh terganggu dalam
urusan rumah tangganya dalam melakukan tugasnya sebagai pegawai
negeri, maksud dari tidak boleh terganggu dalam urusan rumah tangga
adalah masalah perizinan perkawinan poligami dan perceraian.37
35
PP No. 9 tahun 1975, Aturan pelaksanaan dari UU No. 1 tahun 1974, Pasal 45
Ayat 1 butir: A dan B. 36
Badrudin, “Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (Studi Pendapat JudexFactie
Pengadilan Agama Kota Malang)” (Central Library: Tesis, UIN Malang, 2013), h. 32, t.d. 37
Hamka Siregar, Kontroversi Poligami di Kalangan PNS Tinjauan Kritis dalam
Prespektif Fiqh, (Pontianak: TOP Indonesia, 2015), h. 45
53
Dalam PP No. 10 Tahun 1983 aturan poligami diatur dalam pasal
4, 5, 10, 11, 15, 16, dan 17. Disebutkan dalam pasal 4:
1. Pegawai Negeri sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
2. Pegawai Negeri sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri
kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil
3. Pegawai Negeri sipil wanita tidak di izinkan menjadi istri
kedua/ketiga/keempat dari bukan pegawai negeri sipil, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
4. Permintaan izin sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan secara
tertulis
5. Dalam surat permintaan izin sebagaiman dimaksud dalam ayat
(4). Harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang atau untuk
menjadi istri kedua, ketiga, keempat.38
Kemudian dalam pasal 5 disebutkan mengenai prosedur pengajuan
izin berpoligami kepada pejabat atau atasan untuk memberikan
pertimbangan dan memproses perizinannya selambat-lambatnya 3
bulan terhitung mulai adanya pengajuan izin tersebut.39
Dalam
persyaratan untuk berpoligami di pasal 10 disebutkan:
1. Izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh
pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat
alternatif dan ketiga syarat komulatif sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (2) dan ayat (3)
2. Syarat alternatif sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
ialah:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
3. Syarat kumulatif sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1)
ialah:
a. Ada persetujuan tertulis dari istri
b. Pegawai Negeri Sipil pria mempunyai penghasilan yang
cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-
anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan
38
Pasal 4 ayat 1, 2, 3, 4, 5, PP No. 10 tahun 1983. tentang izin perkawinan dan
perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. 39
Pasal 5 ayat 2, PP No. 10 tahun 1983.
54
c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan bahwa ia dapat berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anaknya.
4. Izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh pejabat
apabila:
a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
b. Tidak memenuhi syarat alternative sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (2) dan (3)
c. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
d. Alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat
dan atau ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas
kedinasan.40
Kemudian dalam pasal 15 hanya disebutkan mengenai teguran
pertama bagi PNS yang melakukan poligami tanpa melalui
perkawinan sah atau yang tidak dicatatkan dan tidak ada izin poligami
terhadap pejabat atasannya41
, selanjutnya dalam pasal 16 jika PNS
yang melanggar pasal 3 ayat (1) dan pasal 4 ayat (1), (2), (3) akan
dijatuhi hukuman yaitu pemecatan,42
kemudian dalam pasal 17 hanya
disebutkan bagi PNS yang melanggar pasal 15 dan telah ditegur
berkali-kali oleh atasannya maka juga akan dipecat.43
Sedangkan pada PP No. 45 tahun 1990 diterbitkan pada tanggal 6
September 1990. Pasal ini dibuat hanya untuk memperkuat PP No. 10
tahun 1983, tetapi pada dasarnya PP No. 45 tahun 1990 yang isi nya
sama saja dengan PP No. 10 tahun 1983 hanya saja perbedaan disini
di dalam pasal 4 bagi pegawai negeri sipil wanita tidak diizinkan
untuk menjadi istri kedua/ketiga/ dan keempat.44
Yang artinya bagi
PNS wanita dilarang sama sekali untuk menjadi istri yang dipoligami,
hal ini juga dianggap memperlemah PNS wanita karena melarang
40
Pasal 10 ayat 1, 2, 3, 4, PP No. 10 tahun 1983. 41
Pasal 15 ayat 2, PP No. 10 Tahun 1983. 42
Pasal 16 PP No. 10 Tahun 1983. 43
Pasal 17, PP No. 10 Tahun 1983. 44
PP No. 45 Tahun 1990. Pasal 4 ayat 2, tentang perubahan dari PP No. 10
tahun1983 izin poligami bagi PNS.
55
sama sekali dipoligami sedangkan bagi PNS laki-laki masih bisa
diperbolehkan untuk berpoligami. Kemudian setelah itu pada tanggal
5 Desember 2006 presiden berencana memberlakukan kedua PP ini
untuk seluruh masyarakat, tidak hanya untuk PNS. tetapi hal itu
ditentang oleh beberapa tokoh Islam, yang kemudian presiden
memutuskan bagi masalah perkawinan dan poligami dikembalikan ke
PP dan UU yang ada yaitu merujuk UU No. 1 Tahun 1974.45
d. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibentuk dan disusun oleh
kehendak penguasa (political will), dalam hal ini dibentuk oleh Ketua
Mahkamah Agung bekerjasama dengan Menteri Agama (melalui surat
keputusan bersama) serta KHI ini juga mendapat dukungan dari
berbagai ormas Islam dan para ulama melihat dari berbagai unsur.
KHI merupakan hasil dari konsensus ulama nasional dan juga dari
berbagai macam golongan kemudian diberikan legislasi dari negara.
Tujuan diberlakukannya KHI adalah untuk mentransformasikan
Hukum Islam di Indonesia. Dalam hal ini yaitu hukum perdata tetapi
yang di khususkan oleh masyarakat yang menganut agama Islam.
Dalam proses pembentukan dan perumusan KHI juga merujuk pada
al-Qur‟an dan Hadits serta kitab-kitab fikih, dalam penyusunannya
KHI juga melihatg pada tatanan hukum barat, hukum adat yang
mememiliki titik temu dengan hukum Islam. Dengan demikian KHI
dapat disebut dengan merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang
bercorak khas keindonesiaan.46
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 atau yang disebut dengan KHI
mengatur perkara poligami diatur dalam pasal 55, 56, 57, dan 58.
45
Arifin, “Kontroversi Atas Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia”
(Perpus FSH: Skripsi, UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 45, t.d. 46
Warkum sumitro dkk, Politik Hukum Islam Reposisi Eksistansi Hukum Islam
dari Masa Kerajaan Hingga Era Reformasi di Indonesia. (Malang: UB Press, 2014), h.
201.
56
Dalam pasal 55 disebutkan bahwa adil adalah syarat utama untuk
mengajukan poligami, sebagaimana disebutkan:
1. Beristri lebih satu orang dalam waktu bersamaaan, terbatas hanya
sampai empat istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebutkan dalam pasal (2) tidak
mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.47
Pasal 56 menjelaskan mengenai jika seseorang ingin melakukan
poligami harus ada izin terlebih dahulu dari Pengadilan dan
permohonan tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam BAB
VIII pasal 56 KHI disebutkan:
1. Suami hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab. VIII
Peraturanm Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan Hukum.48
Dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya boleh mengizinkan
kepada suami yang ingin beristri lebih dari seorang jika: (1). Istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, (2). Istri mendapatkan
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (3). Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.49
Kemudian yang terdapat dalam pasal 58 KHI menjelaskan tentang
syarat utama suami melakukan poligami yaitu harus ada izin dahulu
dari istri pertama, jika tidak ada izin dari istri pertamanya maka suami
47
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3), Tentang Beristri
Lebih Satu Orang. 48
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3), Tentang Beristri
Lebih Satu Orang. 49
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 57, Tentang Beristri Lebih Satu Orang.
57
tidak dapat melakukan perkawinan untuk kesekian kalinya.50
Pasal 58
menyebutkan:
1. Selain syarat utama yang disebutkan pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam pasal 5 UU No. 1 tahun 1974 yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri
b. Adanya kepastian bahwa suami suami dapat menjamin
kebutuhan istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi pasal 41 huruf b PP No. 9 tahun 1975,
persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada
siding pengadilan agama.51
2. Peraturan Perundang-undangan Poligami di Malaysia
a. Undang-Undang Poligami di Selangor
Secara umum semua Negeri di Malaysia mempunyai peraturan
khusus masing-masing tentang praktik berpoligami di dalam Enakmen
Undang-Undang Keluarga Islam masing-masing Negeri, namun
sebelum adanya penyeragaman Akta dan Enakmen Undang-Undang
Keluarga Islam dalam aturan permohonan poligami di beberapa negeri
seperti di Perak, Terengganu, dan Klantan. Dari ketiga negeri ini
masih didapati aturan yang masing melonggarkan poligami.
Maksudnya adalah syarat utama dalam melakukan poligami hanyalah
mendapatkan kebenaran bertulis daripada Qadi atau hakim Syarie,
sedangkan syarat lain seperti kemampuan suami dari segi
keuangannya untuk menanggung semua istri dan anak-anaknya,
kemudian izin dan pandangan istri pertama tentang permohonan
poligami, serta perkawinan yang dikhususkan patut dan perlu untuk
berlaku adil terhadap semua istri, belum dijadikan prosedur poligami
di negeri tersebut.52
50
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2016), h. 99. 51
Pasal 56 ayat (1) dan (2), Kompilasi Hukum Islam (KHI). 52
Najibah Mohd Zin, Siri Perkembangan Undang-Undang di Malaysia: Undang-
Undang Keluarga (Islam) Jilid 14. (Selangor: Dawama Sdn. Bhd, 2007), h.45
58
Kemudian untuk wilayah persekutuan seperti Selangor, Kedah,
Pulau Pinang, Pahang, Johor, Serawak, Perlis dan Sabah, telah
mengatur permohonan poligami sebelum di luluskan yaitu dengan
beberapa syarat dalam Syeksen 23 (3) Akta 1984:53
Permohonan kepada Mahkamah mengikut cara yang ditetapkan dan
hendaklah disertai dengan suatu akuan menyatakan alasan-alasan
mengapa perkahwinan yang dicadangkan ini patut dan perlu,
pendapatan pemohon pada masa itu, butir-butir komitmennya dan
kewajiban tanggungannya, termasuk orang-orang yang akan menjadi
tanggungannya berkaitan dengan perkahwinan yang dicadangkan itu,
dan semada izin atau pandangan istri atau istri-istrinya yang sedia ada
telah diperolehi atau tidak terhadap perkahwinan yang dicadangkan
itu.”54
Setelah terjadinya penyeragaman dan perubahan Enakmen Undang-
Undang keluarga Islam. Pada tahun 2003 Selangor dan diikuti wilayah
persekutuan lainnya telah mengalami beberapa amandemen,
amandemen ini disebabkan karena kritikan NGO yang mendesak agar
Undang-undang keluarga Islam segera di amandemen karena
dianggap masih adanya celah kesewenangan para suami yang ingin
berpoligami tanpa karena berkaitan dengan nafkah istri pertama yang
masih ditelantarkan dan tidak adanya keadilan suami, hal ini lah yang
membuat Enakmen Undang-Undang keluarga Islam diamandemen
menjadi Enakmen Undang-Undang keluarga Islam 2003.55
Di Malaysia semua negeri terutama di Selangor telah mengatur
prosedur poligami, aturan mengenai poligami diatur dalam Enakmen
Keluarga Islam Selangor tahun 2003 setelah adanya perubahan dan
53
Raihanah Haji Abdullah, “Poligami di Malaysia”, Jurnal Syariah, 5, 2 (1997),
h. 171 54
Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984, tentang
Perkawinan, Seksyen 23 ayat (3) 55
Ana Faiza Nor dan Zulaiza Mohd Kusrin. Prosiding Persidangan Antarabangsa
Fiqh Semasa dan Perundangan Islam Undang-Undang Islam Menelursuri Globalisasi.
(Selangor: Jabatan Syariah Fakulti Pengajian Islam, 2015), h.183
59
penyeregaman dari Enakmen Keluarga Islam Tahun 1984.56
Dalam
aturan poligami di Selangor jika suami ingin berpoligami haruslah
mendapatkan izin atau kebenaran dari Mahkamah secara tertulis dan
juga berlakunya izin istri setelah adanya pembaharuan EUKIS tahun
2003.57
Akta atau Enakmen Undang-undang Keluarga Islam
menganggap bahwa perkawinan poligami tanpa adanya izin atau
kebenaran dari Mahkamah dianggap sebagai suatu pelanggaran.
Karena pada praktiknya banyak suami yang berpoligami karena hanya
nafsu, kemudian ia menikah di luar Malaysia yaitu seperti di Pattani
atau perbatasan Thailand Selatan dengan Malaysia. Karena itulah
Malaysia memberi aturan ketat bahkan memberi sanksi denda RM
1000 atau kurungan 6 bulan.58
Berikut adalah prosedur dan aturan yang mengatur poligami di
Selangor dalam Enakmen Keluarga Islam Selangor Syeksen 23:
1. Tiada seorang pun lelaki semasa wujudnya suatu perkahwinan
boleh, kecuali dengan mendapat kebenaran terlebih dahulu secara
bertulis dari pada Mahkamah, membuat akad nikah perkahwinan
yang lain dengan perempuan lain”
2. Tiada perkahwinan yang diakadnikahkan tanpa kebenaran di
bawah subsyeksen (1) boleh didaftarkan di bawah Enakmen ini
melainkan jika Mahkamah berpuas hati bahawa perkahwinan
sedemikian adalah sah mengikut hukum syarak dan Mahkamah
telah memerintah supaya perkahwinan itu didaftarkan tertakluk
kepada syeksen 124.”
3. Subsyeksen (1) terpakai bagi perkahwinan dalam Negeri Selangor
seorang lelaki yang bermastautin dalam atau di luar Negeri
Selangor dan perkahwinan di luar Negeri Selangor seorang lelaki
yang bermastautin dalam Negeri Selangor.”
4. Permohonan untuk kebenaran hendaklah dikemukakan kepada
Mahkamah mengikut cara yang ditetapkan dan hendaklah disertai
dengan suatu iqrar menyatakan alasan-alasan mengapa
56
Ana Faiza Md Nor dan Zulaiza Mohd Kusrin. Prosiding Persidangan
Antarabangsa Fiqh Semasa dan Perundangan Islam Undang-Undang Islam Menelursuri
Globalisasi, h. 182. 57
Nik Noraini Nik Badli Shah, Perkahwinan dan Perceraian di Bawah Undang-
Undang Islam. (Selangor: International Law Book Services, 2012), cet. 3, h. 43-44. 58
Zaitun Mohamed Kassim, Islam dan Poligami. (Selangor: Sister in Islam,
2003), h. 7
60
perkahwinan yang dicadangkan itu dikatakan patut atau perlu,
pendapatan pemohon pada masa itu, butir-butir komitmennya dan
kewajipan tanggungan kewenangannya yang patut di tentukan,
bilangan orang tanggungannya, termasuk orang yang menjadi
tanggungannya berikutan dengan perkahwinan yang di cadangkan
itu, dan sama ada izin atau pandangan istri atau istri-istrinya yang
sedia ada telah diperolehi atau tidak terhadap perkahwinannya
yang dicadangkan itu.59
Sementara itu mengenai sanksi tanpa kebenaran Mahkamah diatur
dalam Syesken 124 EUKIS
Jika seseorang lelaki berkahwin lagi di mana-mana jua pun dalam
masa perkahwinannya yang sedia ada masih berterusan tanpa
mendapat kebenaran secara bertulis terlebih dahulu daripada
Mahkamah maka dia adalah melakukan suatu kesalahan dan
hendaklah dihukum denda tidak melebihi satu ribu ringgit atau penjara
tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya denda dan penjara itu.60
Bagi suami yang telah berpoligami tetapi istri merasa suami tidak
adil dan hak-haknya diterlantarkan maka istri berhak menuntut kepada
Mahkamah dibawah Syeksen 129 EUKIS
Seseorang yang tidak memberi keadilan sewajarnya kepada istri-
istrinya mengikut Hukum Syarak adalah melakukan suatu kesalahan
dan hendaklah dihukum denda tidak melebihi satu ribu ringgit atau
penjara tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya denda dan
penjara itu.61
b. Syarat-Syarat Poligami Menurut Undang-Undang Selangor
Dalam melakukan poligami terdapat syarat-syarat yang ditentukan
oleh Undang-undang Malaysia terutama di Selangor. Dalam syarat-
syarat poligami diatur dalam Syeksen 23 ayat 5, syarat ini bertujuan
untuk memastikan keadilan bagi istri-istri sesuai dengan tuntunan al-
Qur‟an.62
Sebelum adanya permohonan poligami suami harus
59
Syeksen 23 ayat 1-4., Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri
Selangor) 2003 dan Kaedah-Kaedah. 60
Syeksen 124, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor)
2003 dan Kaedah-Kaedah. 61
Syeksen 129, Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor)
2003 dan Kaedah-Kaedah. 62
Raihanah Haji Abdullah, “Poligami di Malaysia”, h. 173
61
memenuhi persyaratan tersebut didepan mahkamah. Syeksen 23 ayat 5
sebagai berikut:
Apabila menerima permohonan itu, mahkamah hendaklah
memanggil pemohon, istri atau istri-istrinya yang sedia ada, bakal
istri, wali kepada bakal istri, dan mana-mana orang lain yang
difikirkan oleh Mahkamah boleh memberi keterangan mengenai
perkahwinan yang dicadangkan itu supaya hadir apabila permohonan
itu didengar, yang hendaklah dilakukan dalam mahkamah tertutup,
dan mahkamah boleh memberi kebenaran yang dipohon itu jika
berpuas hati:
1. bahawa perkahwinan yang dicadangkan itu adalah patut atau
perlu, memandang kepada, antara lain, keuzuran jasmani, tidak
layak dari segi jasmani untuk persetubuhan, sengaja ingkar
mematuhi perintah untuk pemulihan hak-hak persetubuhan, atau
gila di pihak istri atau istri-istri sedia ada;
2. bahawa pemohon mempunyai kemampuan yang membolehkan
dia menanggung, sebagaimana dikehendaki oleh Hukum Syarak,
semua istri dan orang tanggungannya, termasuk orang yang akan
menjadi orang-orang tanggungannya berikutan dengan
perkahwinan yang dicadangkan itu;
3. bahawa pemohon akan berupaya memberi layanan adil kepada
semua istrinya mengikut kehendak Hukum Syarak; dan
4. bahawa perkahwinan yang dicadangkan tidak akan meyebabkan
darar syari‟e kepada istri atau istri-istri yang sedia ada.63
Oleh karena itu jika seorang suami yang ingin berpoligami haruslah
mengikuti aturan yang ada di Selangor, ia tidak boleh lari atau
mengesampingkan prosedur dan syarat yang sudah ditentukan.
Dengan adanya syarat ini tentunya tidak jauh dari aktivis wanita dan
NGO yang ada karena sebelum diaturnya syarat yang tetap untuk
Mahkamah, terkadang Mahkamah dalam memutuskan banyak
perbedaan mengenai syarat yang layak dan hakim terkadang
membenarkan alasan-alasan tertentu dalam ijtihadnya dan tidak
membenarkan alasan-alasan tertentu. Oleh karena itu EUKIS tahun
63
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Selangor) 2003 dan
Kaedah-Kaedah, tentang Prosedur poligami dan Syarat Poligami, Syeksen 23 ayat 5
butir a, b, c, dan d
62
2003 menetapkan syarat yang ketat dalam melakukan permohonan
poligami.64
64
Noraziah Ali Jawiah Dakir, Isu-isu Wanita di Malaysia, h. 208
63
BAB IV
KOMPARASI PENERAPAN SANKSI POLIGAMI TANPA IZIN DI
INDONESIA DAN MALAYSIA
A. Prosedur dan Praktik Poligami di Indonesia dan Malaysia
1. Prosedur dan Praktik Poligami di Indonesia
Dalam Undang-undang perkawinan jelas disebutkan bahwa Indonesia
menganut asas monogami sesuai dengan pasal 3 UU perkawinan, tetapi
Indonesia tidak sepenuhnya menganut asas monogami, karena Indonesia
juga negara yang pluralisme yang menganut asas ketuhanan dalam
ideologi Pancasila. Karena Mayoritas orang Indonesia beragama Islam,
maka agama juga berpengaruh dalam kondisi dan tata hukum di
Indonesia, karena hukum di Indonesia juga mengadopsi hukum yang ada
di al-Qur‟an yaitu syari‟at Islam, salah satu ajaran Islam yang terdapat
dalam al-Qur‟an yaitu poligami yang terdapat dalam Q.S. al-Nisȃ (4):3.
Secara ringkas sebenarnya perkawinan poligami tidak dianjurkan oleh al-
Qur‟an karena al-Qur‟an hanya menghendaki perkawinan monogami,
mengingat bahwa seorang suami yang beristri lebih dari satu
dikhawatirkan tidak akan dapat berbuat adil. Allah SWT membolehkan
poligami tentunya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, termasuk
syarat dapat berbuat adil.1
Di Indonesia dalam prosedur mengajukan poligami di Pengadilan,
suami harus memenuhi beberapa syarat kumulatif dan alternatif dan juga
harus menjelaskan beberapa alasan-alasan ia ingin berpoligami, dan
syarat kumulatif seperti: persetujuan istri, adanya jaminan nafkah suami
kepada istri dan anak-anaknya, Adanya jaminan suami dapat berlaku
adil.2 Kemudian syarat alternatif yang harus dipenuhi seperti: Istri tidak
1 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, (Jakarta: SInar Grafika, 2006), h. 266 2 Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
64
dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.3
Lebih lanjut Beni Ahmad Saebani menjelaskan pasal 4 ayat 2
mengenai istri tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam hal poligami
karena makna ini hampir mendekati alasan untuk dibolehkannya
menceraikan istri, kata “tidak tepat” kurang tepat diartikan sebagai “tidak
mau melaksanakan kewajibannya sebagai istri”. Maksudnya adalah
kalimat “tidak tepat” didalam pasal ini diartikan sebagai istri yang
terganggu fisik dan batinnya atau karena sebab lain, bukan karena sebab
disengaja atau direncanakan, sehingga kewajibannya tidak dapat
dilaksanakan.
Begitu juga alasan selanjutnya yang disebutkan dalam pasal 4 yaitu
istri mendapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, yang
semata-mata maksudnya adalah penyakit ini datangnya dari kehendak
Allah bukan disengaja atau direncanakan.4 Dalam hal ini istri terjebak
dalam kondisi dilematis, yaitu istri terjebak dalam dua pilihan antara
mengakhiri perkawinannya (bercerai) jika tidak distujui poligaminya atau
mempertahankan rumah tangganya sedangkan suami menginginkan
keturunan dengan cara poligami.
Kemudian pasal 41 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU
No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa untuk melindungi istri yang sakit
dan juga istri yang tidak dapat melahirkan keturunan suami harus
memberikan jaminan bahwa ia akan berlaku adil dibuktikan dengan surat
pernyataan dan pernjanjian bahwa dia tidak pilih kasih terhadap istri-
istrinya, dan juga suami harus memenuhi semua kebutuhan istri-istri nya
dengan cara pembuktian kepada pengadilan tentang surat penghasilan
3 Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, Syarat-Syarat Berpoligami
4 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang
(Prespektif Fiqh dan UU No 1/1974 Tentang Poligami dan Problematikanya, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h. 67
65
suami, surat pajak suami, surat aset-aset yang dimiliki suami harus di
perlihatkan di pengadilan.5
Setelah syarat-syarat itu dipenuhi kemudian Pengadilan Agama akan
memeriksa berkas permohonan poligami tentunya disertai dengan izin
istri baik lisan maupun tulisan, pengadilan memeriksa berkas
permohonan 30 hari setelah diterimanya surat permohonan poligami
tersebut. Setelah memeriksa permohonan tersebut Pengadilan Agama
akan memanggil pihak-pihak yang terkait yaitu istri pertamanya untuk
dimintai keterangan secara lisan dihadapan pengadilan, apakah istri
mengizinkan suaminya untuk berpoligami atau tidak. Setelah
mendengarkan keterangan istri-istri yang bersangkutan. Apabila
pengadilan berpendapat bahwa alasan yang di katakana suami cukup dan
memenuhi syarat serta mendatangkan maslahat, maka Pengadilan Agama
akan mengabulkan dan memberikan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Apabila suami melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU
perkawinan dan tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan
oleh Pengadilan Agama melalui surat pernyataan. Maka akan dikenakan
denda stinggi-tingginya Rp.7.500,00. Untuk pegawai pencatatan nikah
yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenakan juga denda yang
sama. Jadi sanksi ini termasuk dalam ketentuan tindak pidana
pelanggaran.6
Untuk prosedur pengajuan poligami bagi PNS mengenai aturannya
sudah dijelaskan pada Bab sebelumnya. Pada prinsipnya bagi PNS yang
ingin berpoligami harus mengikuti aturan PP No. 10 Tahun 1983 dan
juga PP No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan PP No. 10 Tahun 1983.
Sebenarnya antara PP No 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990
tidak ada perubahan dalam ketentuan izin poligami bagi PNS, akan tetapi
5 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga. (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
h. 250. 6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (jakara:
Prenada Media Group, 2006), h. 23-24
66
perubahan pada PP No. 45 Tahun 1990 mengatur lebih tegas bagi PNS
perempuan untuk tidak dipoligami, untuk tidak dijadikan istri kedua,
ketiga, dan keempat. Sedangkan PP No. 10 Tahun 1983 PNS perempuan
masih diperbolehkan untuk dipoligami tentunya dengan syarat yang ketat
juga.
Bagi PNS yang ingin mengajukan poligami dalam PP No, 10 Tahun
1983 sudah disebutkan yaitu harus ada izin terlebih dahulu dari pejabat
yang bersangkutan, dan juga harus memenuhi syarat alternatif dan
kumulatif. Syarat alternatif yang diatur bagi PNS hampir sama dengan
Undang-undang perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, yaitu; (1) istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) Istri mengalami cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) Istri tidak dapat
melahirkan keturunan. Untuk syarat kumulatif nya adalah; (1)
persetujuan tertulis dari istri; (2) PNS laki-laki harus memliki
penghasilan yang cukup untuk untuk membiayai istri-istri dan anak-
anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak; (3) dan jaminan
tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia harus berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya. Semua syarat itu harus dipenuhi untuk
mengajukan perizinan poligami kepada pejabat yang bersangkutan.
Tentunya pejabat yang bersangkutan juga harus memberikan
pertimbangannya setelah menerima permohonan izin, terhitung selambat-
lambatnya tiga bulan setelah ia menerima permohonan izin tersebut.7
PNS yang hendak menghantarkan surat permohonan izin poligami
tersebut harus sampai pada Bupati melalui kantor Badan Kepegawaian
Daerah (BKD), BKD akan memeriksa surat tersebut dan identitas si
pemohon kemudian BKD akan meninjau langsung keadaan si pemohon
PNS, kemudian menanyakan juga kepada warga atau tetangga di
lingkungan PNS tinggal tersebut guna mengumpulkan data-data tentang
7 Jaih Mubarok, Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia. (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 157-158
67
kehidupannya sehari di masyarakat untuk dijadikan bahan pertimbangan.
Setelah mengumpulkan data BKD akan melakukan mediasi juga terhadap
si pemohon beserta istri pertama dan calon istri keduanya untuk
menjelaskan resiko-resiko yang harus dihadapi pada saat menjalin
kehidupan poligami agar pada saat suami berpoligami tidak melalaikan
tugas-tugasnya sebagai PNS, menjelaskan hak-hak yang didapat pada
istri pertama dan kedua, dan suami harus berlaku adil.
Setelah meminta permohonan izin kepada pejabat terkait dalam hal ini
BKD akan meneruskan permohonan poligami tersebut ke Pengadilan
Agama, kemudian Pengadilan Agama akan diproses kembali dan
disidangkan di muka Pengadilan. Pada praktiknya hakim dalam
menyelesaikan perkara ini tidak akan memandang status jabatan
pemohon sebagai PNS, tidak juga memakai PP No. 45 Tahun 1990
karena aturan tersebut bukan termasuk hukum acara dan hukum materiil
di Pengadilan Agama. PP tersebut berhubungan langsung PNS dengan
pemerintah. Pengadilan Agama tetap menggunakan sumber hukum UU
No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 aturan pelaksanaan dari UU
perkawinan, KHI, dan sumber hukum lainnya. Hakim dalam memutus
perkara juga tidak hanya melihat syarat-alternatif dan kumulatif yang ada
di PP No. 45 Tahun 1990, KHI, dan UU perkawinan. Jadi hakim akan
melihat pertimbangan keadilan lainnya dengan melihat kedepan apakah
akan menimbulkan madharat atau akan menimbulkan manfaat yang besar
bagi istri pertama dan calon istri keduanya sehingga akan muncul
keadilan bagi pernikahan poligami.8
2. Prosedur dan Praktik Poligami di Selangor
Dalam perkembangannya menurut Mohd Norshusairi sebenarnya
Malaysia sudah memberlakukan poligami yang mengharuskan seseorang
yang berpoligami harus melalui izin dari Mahkamah sejak tahun 1990,
8 Eko Wahyu Budiharjo, “Praktik Poligami PNS Ditinjau dari Sistem Hukum
Perkawinan”, Pandecta, 8, 1 (Januari, 2013), h. 70-71
68
karena pada masa itu raja-raja di Malaysia sudah melakukan poligami
dan poligami sudah mulai marak. Regulasi ini dibuat karena sebelumnya
praktik poligami banyak menuai protes di kalangan wanita beserta NGO
mereka berpandangan bahwa poligami haruslah dibuat aturan yang ketat
agar tidak menimbulkan madharat kepada kaum wanita. Oleh karena itu
poligami perlu diatur yang tujuannya supaya orang tidak
menyalahgunakan praktik poligami sehingga menyebabkan mudharat dan
menagkibatkan terabaikannya hak-hak perempuan dan anak.9
Dalam banyak kasus-kasus poligami di Malaysia pada umumnya
mempunyai kemampuan lebih untuk melakukan praktik poligami tetapi
tidak di dalam Negeri Malaysia, mereka yang melakukan poligami secara
diam-diam biasanya di luar negeri Malaysia. Karena mereka menganggap
jika melakukan poligami di dalam Negeri Malaysia prosesnya lebih lama
dan rumit sehingga banyak dari mereka memilih berpoligami di luar
negeri Malaysia. Biasanya mereka memilih mendaftarkannya di di
Thailand Pattaya perbatasan Negeri Klantan dengan Thailand.10
Banyaknya kasus poligami liar di Malaysia dengan dalih prosedur
poligaminya yang sangat rumit sehingga mereka banyak melakukan
poligami di luar negeri salah satunya di Pattani Thailand, hal ini
dianggap suatu kesalahan atau pelanggaran karena tidak mematuhi
prosedur dan dapat dikenakan sanksi. Oleh karena itu Malaysia mengatur
prosedur, aturan dan sanksi dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam
Wilayah Persekutuan di setiap Negeri di Syeksen 23. Walaupun dalam
Setiap Negeri berbeda dalam aturannya tetapi Setiap Negeri merujuk
pada Akta Persekutuan Undang-Undang Keluarga Islam. Seperti halnya
di Negeri Selangor dalam Akta Persekutuan tersebut diatur lebih rinci
9 Mohd Norshusairi, Dosen Academy of Islamic Studies University of Malaya,
Interview Pribadi, Selangor, 25 Oktober 2018
10 Irwan Bin Mohd Subri, Dosen Fakulti Syariah Universiti Sains Islam Malaysia,
Interview Pribadi, Selangor, 23 Oktober 2018
69
diatur lagi di dalam Enakmen Keluarga Islam Negeri Selangor di
Syeksen 23.11
Dalam prosedur mengajukan poligami pada dasarnya di Setiap Negeri
di Malaysia harus terlebih dahulu mendapatkan izin atau kebenaran
bertulis melalui Mahkamah. Begitu juga di Negeri Selangor, penulis
menemukan data bagi pemohon berpoligami harus terlebih dahulu
melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai berikut:
1. Surat Permohonan (Borang Ms 3) dan Afidavit
2. Salinan kartu identitas/ passport
3. Salinan Surat pengesahan dari atasan bagi anggota polisi/ tentara
4. Surat pengakuan nikah/ surat nikah
5. Akte kelahiran anak
6. Surat dokumen harta
7. Kemudian surat kelahiran/ akte kelahiran pemohon 2 (calon istri
kedua)
8. Salinan surat identitas Nikah wali (bapak) dari pemohon 2
9. Salinan surat cerai dari pemohon 2 jika pernah bercerai
10. Salinan surat kematian suami dari pemohon 2 jika pernah menikah
sebelumnya
11. Salinan surat Pengakuan Nikah jika menikah di Luar Negeri
12. Salinan surat pengesahan dari kedutaan atau konsulat
13. Salinan dokumen berkaitan lafadz Ta‟liq untuk pernikahan luar
Negeri
14. Salinan surat pengesahan dari Pejabat Agama Islam (JAIS)
15. Salinan tanda terima bayaran denda (jika ada dari Mahkamah
Rendah)
16. Mengisi borang MS 27 yaitu pernyataan tertulis dan sumpah tentang
pertanggung jawaban suami yang berpoligami.
11
Mohd Norshusairi, Dosen Academy of Islamic Studies University of Malaya,
Interview Pribadi, Selangor, 25 Oktober 2018
70
Setelah mengumpulkan dokumen kemudian mengisi borang yang
dijelaskan diatas juga harus disertai pengakuan mengenai alasan
perkawinan poligami yang dikatakan patut atau perlu, dan menyertai
surat pendapatan pemohon, beserta komitmen-komitmennya dan syarat-
syarat yang telah disebutkan. Terutama syarat khusus yaitu persetujuan
pembagian harta bersama antara suami dengan istri pertama. Setelah
semua dokumen lengkap dan Mahkamah sudah mempelajari dokumen
tersebut. Kemudian Mahkamah akan memanggil suami, istri pertama,
istri kedua, dan para wali dari istri pertama dan kedua untuk wajib
menghadiri sidang. Setelah dipersidangan hakim akan bertanya kepada
istri pertama apakah setuju atau tidak? kemudian apa yang diminta, dan
hakim juga akan tanya bagaimana kondisi keuangan, pendapatannya dari
mana, berapa pendapatan yang akan diberikan kepada istri pertama dan
kedua dan anak-anaknya. Hakim terus akan bertanya sampai detail
hingga semua pihak setuju dan menandatangani surat pembagian harta
bersama, suami juga harus menandatangani surat pertanggung jawaban
untuk berbuat adil. 12
B. Penerapan Sanksi Poligami dalam Regulasi di Indonesia dan Malaysia
1. Penerapan Sanksi Poligami di Pengadilan Agama
Poligami di Indonesia merupakan perkara yang kontentius yaitu
perlunya izin poligami bagi seorang suami yang ingin menikah lagi harus
melalui Pengadilan Agama kemudian perkara poligami juga mendudukan
istri yang di poligami atau istri pertamanya sebagai pihak dalam hukum
acara Pengadilan Agama.13
Banyak praktik poligami dijadikan alat yang tidak tepat untuk
mengumbar hawa nafsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
dan sering kali menjadi penyebab perkara rumah tangga, sehingga tidak
12
Nenney Shushaidah Binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Interview Pribadi, 7 Desember 2018. 13
Hakim Naim, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Interview Pribadi,
Jakarta, 12 Juni 2019.
71
jarang di Indonesia banyak ditemukan kasus poligami, salah satunya
yang menyebabkan keluarga jadi berantakan, anak-anak menjadi korban
broken home, dan seringkali berakhir perceraian. Wanita dan anak-anak
sering menjadikan pihak yang dirugikan. Hal ini menjadikan praktik
poligami liar, yang seharusnya agama tidak melegitimsi perbuatan laki-
laki yang tidak bertanggung jawab. Poligami liar biasanya dilakukan
secara diam-diam tanpa adanya izin dan sepengetahuan dari istri dan
tentunya tidak melewati prosedur yang disebutkan UU perkawinan yaitu
tanpa adanya izin dari Pengadilan.
Untuk itu perlu adanya perlindungan hukum dan menurut penulis
perlu adanya sanksi untuk meminimalisir maraknya poligami liar
dikalangan masyarakat, yang mendasari hal ini yaitu UU perkawinan
untuk melindungi kaum hawa dan anak-anak.14
Menurut hakim Naim selaku hakim di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat menjelaskan bahwasannya sanksi poligami di Indonesia adalah
sanksi yang bersifat moril karena pada praktiknya seseorang yang
melakukan poligami liar akan menanggung resiko yang berdampak pada
anak atau keturunannya dari hasil poligami liar, karena anak dari hasil
poligami liar tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari negara
dan tidak terdaftar sebagai warga negara karena dia tidak mempunyai
akte kelahiran sehingga akan berdampak pada identitasnya serta pada
kedudukannya sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya.
Selama ini juga dalam beracara Pengadilan Agama tidak menerapkan
sanksi denda dan pidana karena dalam hal ini lembaga Pengadilan
Agama bukanlah sebagai pelaksana putusan tetapi Pengadilan hanya
memutuskan perkara izin poligami berdasarkan syarat kumulatif dan
alternatif yang terdapat pada pasal 3 dan 4. Pengadilan Agama juga
dalam hal ini bersifat pasif karena Pengadilan bukan yang mencari-cari
14
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasionali, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press, 2011), h. 157
72
perkara diluar Pengadilan, Pengadilan hanya menerapkan menerima
perkara yang diajukan ke Pengadilan.15
Lebih lanjut, UU No. 1 Tahun 1974 dalam pelaksanaannya yang
diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 sanksi bagi seseorang yang
melakukan poligami liar diatur dalam Bab IX tentang ketentuan pidana di
pasal 45 hanya dikenakan sanksi berupa denda Rp. 7500. Tentunya jika
diselaraskan pada masa sekarang denda tersebut sangatlah ringan bagi
seseorang yang melakukan poligami liar didalam UU perkawinan, tetapi
di dalam KUHP juga terdapat sanksi bagi poligami liar dengan
menetapkan ancaman penjara 5 tahun bila seseorang menyembunyikan
fakta bahwa perkawinan pertamanya bisa menjadi penghalang
perkawinan kedua dan seterusnya, aturan ini terdapat dalam pasal 279
KUHP.16
Menurut Hakim aturan ini dijalankan jika memang seorang istri
melaporkan poligami liar tersebut kepada kepolisian dan menjadi delik
aduan tetapi pada kenyataannya mereka tidak berani melaporkannya
karena menganggap bahwa perkara ini adalah aib keluarga sehingga tidak
melaporkannya. Jika sudah terkait dengan delik aduan maka perkara ini
juga bukan lagi kewenangan Pengadilan Agama tetapi Pengadilan Umum
karena termasuk dalam delik aduan dan menyumbunyikan fakta
perkawinan.17
Bagi PNS sesuai dengan aturan yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa PNS yang melakukan poligami tetapi tidak
mendapatkan persetujuan dari atasannya dan juga terutama istrinya akan
dikenakan sanksi sesuai PP No. 45 Tahun 1990 sanksi yang diberikan
adalah pelanggaran terhadap disiplin pegawai bukan sanksi pidana. Sama
15
Hakim Naim, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Interview Pribadi,
Jakarta, 12 Juni 2019. 16
Liana Kushidayanti, “Perempuan dan Isu Poligami di Indonesia”, Yudisia, 9, 2,
(Juli, 2018), h. 285 17
Hakim Naim, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Interview Pribadi,
Jakarta, 12 Juni 2019.
73
halnya dengan UU perkawinan sanksi tersebut hanya sekedar sanksi
administratif, hal ini dijelaskan pada pasal 15 ayat 1, PNS yang
melanggar tidak melaporkan perceraian dalam jangka waktu selambat-
lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak
melaporkan perkawinan kedua, ketiga, atau keempat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan itu
dilangsungkan, dijatuhi dengan hukuman disiplin berat berdasarkan PP
No. 30 Tahun 1980 tentang peraturan disiplin PNS, kemudian
selanjutnya di ayat 2 bagi PNS yang melanggar pasal 4 ayat 2 yaitu bagi
PNS perempuan dijadikan istri kedua, ketiga atau keempat mendapatkan
sanksi disiplin pemberhentian dengan tidak hormat. 18
Tetapi dalam praktiknya di Pengadilan Agama sanksi bagi PNS
tersebut bukanlah juga kewenangan dari Pengadilan Agama, karena
Pengadilan Agama hanya berwenang menangani dan memeriksa perkara
perkawinan, perceraian, hadhanah, waris, wakaf, zakat, hibah, ekonomi
syariah sesuai dengan pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 bukan bertugas
memberi sanksi bagi PNS dan juga sesuai dengan asas personalitas
keIslaman bahwa Pengadilan Agama hanya menangani perkara orang-
orang Islam, jadi jika ada PNS yang ingin izin poligami atau ingin
mengesahkan isbat nikah poligami maka Pengadilan Agama berhak
memeriksa perkara tersebut, jika terbukti bahwa PNS tersebut melakukan
poligami liar maka Pengadilan Agama akan menolak izin atau isbat
poligami tersebut dan selanjutnya Pengadilan Agama akan melaporkan
perkara tersebut kepada atasannya untuk selanjutnya yang memberikan
sanksinya adalah atasannya.19
Dalam kaitannya sanksi displin PNS yang diatur dalam PP No. 30
Tahun 1980 sudah diubah menjadi PP No. 53 Tahun 2010. Penulis
18
Haryani Sulistyowati, “Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990 Tentang Perkawinan dan perceraian Terhadap Perkawinan Poligami Bagi
PNS”, Hukum dan Dinamika Masyarakat, 14, 1, (Oktober, 2016), h.83 19
Hakim Naim, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Interview Pribadi,
Jakarta, 12 Juni 2019
74
melihat dalam PP No. 53 Tahun 2010 mengenai sanksi disiplin PNS. Ada
tiga tahapan jenis hukuman (1) Hukuman disiplin ringan (2) Hukuman
disiplin sedang (3) Hukuman disiplin berat. Pada jenis Hukuman ringan
yaitu; (1) Teguran lisan, (2) Teguran tertulis, (3) dan pernyataan tidak
puas secara tertulis; Sedangkan pada hukuman disiplin memuat; (1)
Penundaan kenaikan gaji, (2) Penurunan gaji berkala, (3) dan penundaan
kenaikan pangkat. Dan untuk hukuman pelanggaran berat; (1) Penurunan
tingkat pangkat, (2) Pembebasan dari jabatan, dan (3) Pemberhentian
dengan tidak hormat.20
Lebih lanjut penulis akan memaparkan beberapa putusan yang penulis
dapat dari putusan Mahkamah Agung untuk Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan poligami atau istbat nikah poligami dari pernikahan
sirri tanpa adanya izin dahulu dari istri dan Pengadilan.
1. Kasus Pertama Isbat Poligami di Pengadilan Agama Luwuk
No. 84/Pdt.P/2018/PA.Lwk. Dengan duduk Ramli Pakaya bin Masri
Pakaya Sebagai suami yang bekerja sebagai PNS, berstatus duda,
menjadi Pemohon 1. Kemudian Rismawati Djahum binti Ariyanto
sebagai istri sirri pemohon 1 sebagai ibu rumah tangga berstatus
perawan. Mereka ingin mengajukan permohonan isbat nikah agar
disahkan oleh Pengadilan. Selama pernikahan yang telah terjadi pada 7
Februari 2012 mereka melangsukan pernikahan secara Islam yang
dinikahkan oleh seorang imam desa bernama Wahab Dani, dan dari
pernikahan tersebut sudah dikaruniai 1 orang anak laki-laki. Tetapi saat
terjadinya pernikahan antara pemohon 1 dan 2, pemohon 1 pada saat itu
masih terikat perkawinan dengan perempuan lain walaupun mereka telah
bercerai resmi pada tahun 2017, sedangkan pemohon 1 dan 2 sudah
melangsungkan pernikahan pada tahun 2012.
20
Haryani Sulistyowati, “Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990 Tentang Perkawinan dan perceraian Terhadap Perkawinan Poligami Bagi
PNS”, h.85.
75
Dalam hal ini hakim berpendapat melihat bukti yang terjadi antara
pemohon 1 dan 2 yang mengajukan isbat nikah pada saat terjadinya
pernikahan pemohon 1 dan 2 tidak dilaksanakan dihadapan Pegawai
Pencatatan Nikah sehingga tidak memiliki buku nikah, kemudian saat
terjadinya pernikahan antara pemohon 1 dan 2, pemohon 1 masih
berstatus menjadi suami dari istri orang lain walaupun pada tahun 2017
mereka baru bercerai resmi tetapi dalam melangsungkan perkawinannya
pemohon 1 tidak meminta izin dari istri dan Pengadilan sehingga
menganggap pemohon 1 sudah melakukan poligami liar. Sehingga
melanggar pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 dan permohonan itsbat tersebut
ditolak oleh Pengadilan Agama.
2. Kasus Kedua Isbat Poligami di Pengadilan Agama Sukabumi
Sampai dengan Banding di Pengadilan Tinggi Agama Bandung
Di tingkat pertama dengan putusan No. 0067/Pdt.G/2017/PA.Smi.
tentang duduknya perkara Pemohon 1 sebagai suami, Pemohon 2 yang
masih mahasiswa sebagai istri kedua dari Pemohon 1, dan Termohon
sebagai istri pertama dari pemohon 1. Pemohon 1 dan Pemohon 2 telah
melakukan perkawinan sirri pada tanggal 19 Oktober 2012 dan tidak
tercatat di KUA, sebelum melakukan perkawinan Pemohon 1 sudah
mempunyai hubungan khusus dengan pemohon 2, dan Pemohon 2 telah
hamil diluar nikah dengan pemohon 1. Kemudian Pemohon 1 berniat
menikahi Pemohon 2 tetapi karena Pemohon 1 tahu bahwa harus
melakukan izin poligami kepada Termohon terlebih dahulu. Kemudian
Pemohon 1 memberitahukan kepada Termohon dengan membawa
Pemohon 2 yang sedang hamil sekitar 4 bulan kepada Termohon,
bermaksud untuk meminta izin poligami karena Pemohon 1 telah
menghamili Pemohon 2. Akhirnya dengan terpakasa Termohon
mengizinkannya. Sebelumnya Pemohon 1 dengan termohon sudah
melakukan perkawinan pada 11 Maret 1995.
Kemudian dalam hal ini hakim berpendapat meskipun sudah terdapat
izin dari Termohon karena terpaksa dengan keadaan melihat Pemohon 2
76
sudah hamil terlebih dahulu dan Termohon hadir dalam memberikan
kesaksian izin poligami di depan hakim, hakim memandang pernikahan
yang dilakukan Pemohon 1 dan 2 tidak mendapatkan izin Pengadilan
terlebih dahulu, dan mereka baru mengajukan isbat pada tahun 2017.
Hakim melihat juga berdasarkan fakta hukum bahwa Pemohon 1 dan 2
telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana pasal 6 UU
No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Jo pasal 14 KHI, akan tetapi pada
saat perkawinan dilangsungkan status pemohon 1 ternyata masih terikat
perkawinan dengan Termohon selaku istri sahnya. Majelis Hakim
menilai pernikahan yang diisbatkan telah melanggar Pasal 9 UU No. 1
tahun 1974 dan permohonan Pemohon harus di tolak berdasarkan dengan
putusan MARI No. 02 K/AG/2001 tanggal 29 Agustus 2002, bahwa
suatu perkawina yang dilakukan oleh seseorang yang telah mempunyai
istri, seyogyanya harus disertai izin Pengadilan Agama sebagaimana
Pasal 3, 9, 24 dan 25 UU No. 1 tahun 1974. Sehingga perkara ini ditolak.
Sedangkan di tingkat keduanya dengan putusan No.
0142/Pdt.G/2017/PTA.Bdg menurut pertimbangan hakim di tingkat
banding berpendapat bahwa putusan Pengadilan Agama Sukabumi
memberi pertimbangan hukum yang bersifat normatif dan tidak adil dan
juga surat pernyataan persetujuan izin poligami dari Termohon tidak
dijadikan pertimbangan. Padahal perkawinan Pemohon 1 dengan
Pemohon 2 telah memenuhi syarat dan rukun agama Islam dan juga telah
mendapatkan izin. Maka dalam hal ini hakim Pengadilan Tinggi
berpendapat mengenai anak yang dikandung dalam Pemohon 2 adalah
hasil dari hubungan di luar nikah dan Pemohon 1 juga sudah melakukan
pembicaraan terhadap Termohon istri pertamanya bahwa bermaksud
ingin melakukan permohonan izin poligami maka dalam hal ini demi
terwujudnya hak-hak anak yang dikandung dan Termohon juga telah
memberikan izin poligami di muka hakim oleh karena itu permohonan
isbat nikah di PTA Bandung dikabulkan.
77
3. Kasus Ketiga Permohonan Izin Menikah Poligami di Pengadilan
Agama Bantul
Putusan dengan No. 1121/Pdt.G/2016/PA.Btl. Tentang duduknya
perkara Dengan Pemohon 1 sebagai suami, Termohon sebagai istri
pertama, dan Pemohon 2 sebagai calon istri kedua. Bahwa dalam hal ini
Pemohon 1 dan Termohon merupakan pasangan suami istri yang sah
telah menikah dihadapan KUA pada 21 Agustus 2003, selama
pernikahannya telah dikaruniai 3 orang anak. Kemudian dalam hal ini
suami ingin mengajukan izin poligami terhadap istri dan izin terhadap
Pengadilan Agama, sebelum melakukan izin poligami ke Pengadilan
Pemohon 1 dan Termohon telah bermusyawarah bahwa si Pemohon 1
ingin berpoligami karena dirasa Termohon kurang maksimal dalam
melayani Pemohon 1 dan masih menginginkan keturunan. Tetapi dilihat
dari kondisi Pemohon 2 telah hamil 4 bulan sehingga dalam hal ini hakim
mencurigai bahwa Pemohon 1 dan 2 telah melakukan hubungan di luar
perkawinan dan ketika dalam keadaan hamil mereka baru meminta izin
kepada Termohon. Pemohon 1 dan Pemohon 2 juga saat sidang tidak
berbicara dengan sebenar-benarnya dan tidak menghadirkan bukti-bukti
saksi. Sehingga Pengadilan menganggap bahwa alat bukti Pemohon 1
tidak ada seperti saksi dan surat penyataan istri untuk izin. Permohonan
ini menurut hakim patut di tolak karena melihat alasan Pemohon 1 tidak
memenuhi syarat yang patut dan perlu kemudian alat bukti nya tidak ada.
2. Penerapan Sanksi Poligami Tanpa Izin Mahkamah di Selangor
Pengaturan mengenai sanksi poligami di Selangor diatur dalam
Syeksen 124 yang merupakan sanksi dari perbuatan poligami tanpa
melewati izin atau kebenaran dari Mahkamah. Seperti yang telah
disebutkan diatas terdapat dua hukuman yang diberikan bagi yang
melanggar syeksen 124 tersebut yaitu penjara dan denda. Sanksi tersebut
menurut Dr. Mohd Norshusairi sanksi yang di jelaskan dalam syeksen
124 tersebut termasuk dalam kategori Jinayah Metrimonial offence atau
bisa di sebut kesalahan-kesalahan matrimony. Matrimony dalam Bahasa
78
inggris bisa diartikan sebagai perkawinan, Jinayah matrimony termasuk
kedalam hukuman jinayah yang bersangkutan dengan perkawinan. Atau
bisa juga disebut pelanggaran terhadap perkawinan yang menghasud
untuk bercerai, dan dalam hubungan suami istri tersebut untuk tinggal
bersama seperti halnya kehidupan suami istri dan termasuk juga dalam
poligami tanpa kebenaran. Jadi bagi pelanggar metromony termasuk
pelanggaran dalam perkawinan yang dibolehkannya diberikan sanksi.
Dihukum denda atau penjara. Hukuman denda tersebut dalam aturannya
di Selangor membatasi maksimal hukuman tidak boleh melebihi dari RM
1000 atau penjara tidak boleh melebihi 6 bulan penjara
Meskipun masyarakat Malaysia bermadzhab Syafi‟i, dan dalam
mazhab Syafi‟i banyak kitabnya yang tidak menerangkan mengenai
sanksi orang yang berpoligami. Produk EUKIS 2003 pada asal-usulya
adalah merupakan produk dari Siyasah Syari‟iyyah atau produk yang
berasal dari pemerintahan kerajaan Malaysia.21
. kemudian tujuan
hukuman itu diberlakukan menurut keterangan Nenney Shushaidah yaitu
hakim Mahkamah Tinggi Selangor, sanksi itu diberlakukan dengan
tujuan utama yaitu memberikan kemaslahatan kepada istri dan anak-anak
yang merasa dirugikan akibat praktik poligami liar dan juga untuk
memberikan ancaman kepada para suami agar taat kepada undang-
undang.
Dalam penanganan kasus-kasus poligami merupakan yuridiksi dari
Mahkamah Rendah Syariah, jika didapati seorang suami berkawin tanpa
adanya persetujuan istri kemudian tanpa juga ada izin Mahkamah orang
tersebut akan dikenakan dua jenis sanksi, yaitu sanksi tanpa adanya
kebenaran dari Mahkamah dan sanksi subhat, bahkan sanksi itu tidak
hanya untuk suami yang melakukan poligami tetapi istri kedua yang juga
belum adanya izin dari Mahkamah dan surat keterangan nikah sah juga
21
Mohd Norshusairi, Dosen Academy of Islamic Studies University of Malaya,
Interview Pribadi, Selangor, 25 Oktober 2018
79
akan dikenakan dua jenis tersebut. Karena subhat disini dianggap suami
atau istri yang menikah tanpa adanya pencatatan nikah dianggap subhat
karena belum diakui secara legal oleh Mahkamah dan Negara sesuai
dengan Syeksen 134.
Seorang yang sudah terbukti bersalah tanpa adanya kebenaran
Mahkamah, hakim akan memutuskan sanksi yang diberikan tergantung
pada jenis kerugian atau kemudharatan besar atau kecil kepada pihak
yang dirugikan. Jika dampak kemudharatan yang ditimbulkan itu besar
maka bisa saja hakim memutuskan sanksi penjara saja, atau bisa
keduanya penjara dan denda, begitu juga untuk kemudharatan yang
dampak nya kecil bisa saja hakim memutuskan denda saja atau bisa juga
denda dan penjara tentunya penjara yang ringan. Tetapi kebanyakan
hakim memutuskan perkara poligami tanpa kebenaran mahkamah adalah
penjara.
Biasanya juga seseorang yang dihukum penjara akan takut dan
kebanyakan cenderung memilih hukuman denda. Karena jika hukuman
penjara yang dipilih akan berdampak pada karir dan pendapatan mereka,
mereka khawatir dipecat karena dianggap menyalahi aturan dan
pendapatan mereka juga bisa terganggu. Oleh karena itu banyak dari
mereka yang mengajukan rayuan atau banding ke Mahkamah Tinggi
Syariah agar bisa diberi hukuman denda saja. Tetapi untuk mengajukan
banding di Mahkamah Tinggi biayanya tidak murah dan memakan waktu
lama. Bisa saja dalam mengajukan banding setelah hukumannya diputus
hukumannya masih sama atau bisa juga dikabulkan menjadi denda
tergantung hakim yang memutuskan. Menurut Nenney Shushaidah
sebagai hakim tinggi biasanya memutuskan dengan mempertimbangkan
seberapa besar penderitaan dan uang yang keluar untuk mengajukan
permohonan banding dan juga akan mempertimbangkan setelah dia
menerima hukuman apakah jera atau tidak dan biasanya dia memutuskan
80
seseorang untuk penjara, karena penjara akan membuat dia jera akibat
perbuatannya.22
Disini penulis juga akan mencantumkan data statistik dari kasus-kasus
poligami tanpa kebenaran Mahkamah dari mulai tahun 2014-2018 yang
penulis peroleh langsung dari Jabatan Kehakiman Syariah Selangor:
STATISTIK KESALAHAN JENAYAH POLIGAMI TANPA KEBENARAN
MAHKAMAH SYARIAH SELANGOR DI BAWAH SEKSYEN 166
ENAKMEN JENAYAH SYARIAH SELANGOR
TAHUN BILANGAN KES
2018 417
2017 397
2016 343
2015 284
2014 211
Jumlah 1.625 Sumber: Jabatan Kehakiman Syariah Selangor, Shah Alam
Dari data diatas penulis menganalisis bahwa jumlah perkara-perkara
poligami di Selangor Malaysia tanpa kebenaran Mahkamah terus
bertambah setiap tahunnya dari tahun 2014-2018. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin banyaknya perkara yang diputus oleh Mahkamah
semakin banyak juga seseorang melakukan poligami tanpa mengikuti
prosedur yang diatur dan tanpa melalui kebenaran terlebih dahulu.
Implikasi nya juga bisa terhadap wanita berarti semakin banyak juga hak-
hak wanita sebagai istri yang terabaikan karena dirasa izin istri tidak
penting. Keefektifan peraturan pun juga dirasa dipertanyakan karena
semakin meningkatnya jumlah perkara poligami setiap tahunnya
menunjukkan bahwa peraturan tersebut menurut penulis juga belum
dirasa cukup jera seseorang melakukan poligami liar.
Untuk menguatkan data yang akurat penulis telah melakukan
observasi langsung ke Mahkamah Rendah Shah Alam Selangor dan
22
Nenney Shushaidah Binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Interview Pribadi, 7 Desember 2018.
81
didapati putusan-putusan mengenai kasus poligami tanpa kebenaran
Mahkamah. Akan tetapi karena ada aturan khusus dari pihak Mahkamah
yang tidak memperbolehkan membawa Salinan atau copy mengenai
putusan tersebut, dan penulis hanya diperbolehkan mencatat nomor
perkara, duduknya perkara dan putusan tersebut. Jadi penulis akan
menguraikan catatan penulis mengenai perkara-perkara poligami tanpa
kebenaran Mahkamah yang penulis dapat:
1. Kasus Pertama:
No. Kes. 10021-166-0195-2018 dan Kes. 10021-147-0196-2018.
Antara Mohammed Sharief Bin Abu Bakar sebagai suami dan Noor
Aisyah Binti Jamhari. Dengan hakim yang memutuskan adalah Puan
Firdawaty Binti Mohammad. Diputuskan pada tanggal 5 Desember
2108. Bahwa dalam Kes ini Mohammed Sharif bin Abu Bakar
dituduh dengan 2 tuduhan. Pertama berpoligami tanpa kebenaran
Mahkamah dan kedua bersubhat dan mengaku bersalah dan tidak ada
paksaan untuk dihukum. Dihukum diawah EUUKIS tahun 2003.
Kemudian Noor Aisyah Binti Jamhari juga dituduh dengan 2
pertuduhan. Pertama melakukan pernikahan tanpa kebenaran
Mahkamah dan kedua subhat. Dalam hal ini mengaku bersalah dan
tidak ada paksaan untuk dihukum dibawah EUKIS tahun 2003.
Kemudian para tergugat meminta keringanan kepada hakim bahwa
tertuduh pertama yaitu suami meminta keringanan hukumannya
karena mempunyai 7 anak. 4 orang anak dari istri pertama dan 3
orang anak dari istri keduanya, dan juga orang tua masih dalam
tanggungannya dalam hal ini tertuduh 1 memohon untuk tidak
dipenjarakan dan denda nya di ringankan begitu juga dengan
tertuduh 2 yaitu istri kedua meminta keringanan hukum karena dia
tidak bekerja dan memohon untuk tidak dipenjara dan diringankan
denda
Hakim memutuskan dalam pertimbangannya bahwa tertuduh 1 dan
tertuduh 2 telah melakukan kesalahan poligami tanpa kebenaran dan
82
bersubhat dibawah kesalahan Syeksen 124 & 134 & 40 ayat (2)
EUKIS tahun 2003. Bahwa untuk tertuduh 1 dijatuhkan hukuman
dengan denda RM 900 atau 5 bulan penjara untuk kesalahan 124.
Mahkamah juga menjatuhi tertuduh 1 dengan denda RM 400 atau 2
bulan penjara untuk kesalahan 134. Untuk tertuduh 2 dijatuhi
hukuman denda RM 900 atau 2 bulan penjara untuk kesalahan 40
ayat (2), dan dijatuhi hukuman RM400 atau 2 bulan penjara untuk
kesalahan 134.
2. Putusan kedua
No. Kes: 10021-166-0163-2017 dan 10021-147-0164-2017. Antara
Azhari Bin Seral (tertuduh 1) dengan istri ke dua Azura Binti Abdul
Aziz (tertuduh 2). Diputus 28 September 2018 oleh hakim Tuan
Yuszairi. Bahwa menetapkan tertuduh 1 terbukti melakukan
kesalahan dibawah Syeksen 124 EUUKIS/ 2003 dan tertuduh 2
terbukti melakukan kesalahan b ersubhat dibawah Seksyen 134
EUUKIS tahun 2003. Dalam hal ini mahkamah meniliti dan
mendengar sesuai ketentuan Seksyen 50 (1) dan (2) EJSS/ EUKIS
tahun 2003. Mahkamah juga telah meneliti rayuan yang
dikemukakan oleh pihak tertuduh 1 dan 2 yaitu meminta keringanan
hukuman. Dalam hal ini keputusan Mahkamah adalah untuk tertuduh
1 dihukum denda RM 850 atau penjara 10 hari karena kesalahan
124. Dan tertuduh 2 dihukum denda RM 800 atau 7 hari penjara
karena kesalahan 134.
3. Putusan Ketiga
Dengan No. Kes 10021-165-0135-2018 dan 10021-147-0136-2018.
Antara Fawam bin Hassan sebagai suami (tertuduh 1) dan Aiziah
Binti Mentaril. Diputus tanggalm 21 September 2018 oleh Puan
Firdawty Binti Mohammad. Dalam hal ini mahkamah menimbang
bahwa tertuduh 1 dan 2 bersalah. Tertuduh 1 telah melakukan
kesalahan 124 dan tertuduh dua melakukan kesalahan 40 (2) & 134
EUKIS 2003. Dalam persidangan tertuduh 1 tidak pernah hadir dan
83
tidak patuh Undang-undang dan fakta lainnya adalah tertuduh 1 dan
2 telah melakukan pernikahan di Thailand di Majelis Agama Islam
Wilayah Songkhla. Maka dalam hal ini hakim memutuskan bahwa
tertuduh 1 dihukum denda RM 400 atau penjara selama 20 hari
untuk kesalahan 124 dan 134. Untuk tertuduh 2 dihukum dengan
denda sebanyak RM 800 atau 5 hari penjara untuk kesalahan
Seksyen 40 (2).
Berdasarkan penelitian penulis, ternyata hasil dari penulis temukan
adalah setiap kasus yang berhubungan dengan kesalahan tanpa kebenaran
poligami tidak hanya dihukum dengan satu kesalahan saja tapi ditemukan
beberapa kesalahan yang menyertai yaitu Seksyen 134 tentang bersubhat
(bersekongkol) dan syeksen 40 ayat (2) yaitu tentang kesalahan-
kesalahan yang berhubungan dengan akad nikah perkawinan dan
hukumannya sama tidak melebihi RM 1000 dan 6 bulan penjara.23
Adapun dari ketiga kasus tersebut mendapati hukuman itu berbeda-
beda adalah sesuai dengan keputusan hakim yang telah memutuskan
bagaimana dan seberapa besar kemudharatan yang ditimbulkan dari
poligami liar. Kemudian kenapa dalam putusan tersebut tidak ada yang
dihukum RM 1000 atau penjara 6 bulan? Karena dalam hal pemberian
sanksi sebenarnya diatur oleh Perlembagaan dan Akta Persekutuan
Negeri-Negeri yang menyatakan bahwa “Mahkamah Syariah hanya
diberi kuasa boleh menjatuhkan hukuman denda tidak melebihi RM 5000
atau penjara tidak boleh lebih 3 tahun atau sebatan (cambuk) tidak lebih
dari 6 kali atau kombinasi daripada mana-mana hukuman tersebut”. Akta
tersebut mengatur pada skala nasional di seluruh Negeri-Negeri Malaysia
dan secara khusus diperuntukkan oleh Mahkamah Syariah yang terdapat
dalam Undang-Undang Pentadbiran Agama Islam Negeri-Negeri. Oleh
karena itu di Mahkamah Syariah Selangor dalam EUKIS Negeri Selangor
23
Lihat Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Selangor Tahun 2003,
(Selangor: International Law Book Service, 2018), h. 33 & 83
84
mengatur poligami tidak lebih dari RM 1000 atau penjara 6 bulan.
Terkadang juga hakim bisa memberikan hukuman yang lebih dari RM
1000 atau 6 bulan penjara apabila suami dirasa sangat memberikan
ketidakadilan atau bahkan sangat merugikan pihak istri pertamanya.
Menurut penulis mengenai efektifitas aturan tersebut penulis
berpendapat bahwa aturan tersebut masih belum efektif karena dimulai
dari data statistik yang penulis dapat dipaparkan diatas bahwa setiap
tahunnya poligami tanpa kebenaran mahkamah kasus yang masuk setiap
tahunnya terus meningkat dari tahun 2014-2018 yang artinya efek jera
yang diberikan terhadap sanksi tersebut masih kurang memberikan
pembelajaran kepada masyarakat seberapa pentingnya kepercayaan,
keutuhan keluarga, menjunjung kehormatan perempuan dan memenuhi
hak-hak perempuan.
Hakim nenney juga berpendapat mengenai efektifitas sanksi ini
bahwa sanksi denda RM 1000 dirasa kurang efektif dan masih sedikit,
karena kebanyakan orang yang melakukan melakukan perkawinan di luar
Malaysia, biasanya di Thailand bisa memakan biaya yang banyak,
kisaran biaya nya untuk menikah di Thailand sekitar RM 5000 sampai
RM 10.000 untuk satu paket pernikahannya dan mereka yang melakukan
poligami tanpa kebenaran mampu dalam membayar hal itu, apalagi jika
untuk membayar RM 1000 mungkin bagi mereka masih bisa
membayarnya dan nilainya pun masih kecil.24
Tetapi dalam konteks memberlakukan sanksi tersebut Malaysia
sudah konsisten memberlakukan sanksi poligami tanpa kebenaran
Mahkamah di semua negeri-negerinya setelah diadakannya keseragaman
Undang-undang walaupun Malaysia berbentuk negara federal.25
Oleh
karena itu penulis berpendapat seperti yang sudah dijelaskan sanksi
24
Nenney Shushaidah Binti Shamsuddin, Hakim Mahkamah Tinggi Syariah
Selangor, Interview Pribadi, 7 Desember 2018. 25
Najibah Mohd Zin, Siri Perkembangan Undang-Undang di Malaysia: Undang-
Undang Keluarga (Islam) Jilid 14, h. 55.
85
tersebut hanya bertujuan untuk memberikan pelajaran bagi seseorang
untuk menghindari kemudharatan bagi istri pertama, maka sanksi yang
diberikan Mahkamah merupakan produk siyasah syari‟iyyah untuk
memberikan konsep dalam hukum Islam yaitu asas jalbu al-mashalihi wa
daf‟u al-mafasidi (mengambil kemaslahatan dan menolak kemudharatan).
C. Perbandingan Perbedaan dan Persamaan Regulasi Poligami di Indonesia
dan Malaysia
Meski memiliki beberapa kesamaan antara aturan poligami di
Indonesia dan Malaysia tentunya juga memiliki perbedaan. Mengingat
perbedaan dari segi cara berfikir, sistem hukum, adat, dan praktik yang terjadi
pada kedua negara.
A. Perbedaan
1. Menurut penulis mengenai perbedaan aturan poligami antara
Indonesia dan Malaysia yang sangat jelas adalah mengenai sanksi di
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah, jika di Indonesia
Pengadilan Agama tidak memberikan sanksi kepada pelaku poligami
walaupun Pengadilan Agama mempunyai kewenangan memutus
perkara perkawinan yang didalamnya mencangkup poligami. UU No.
1 Tahun 1974 dan aturan pelaksananya PP No. 9 Tahun 1975 yang
memuat sanksi Rp. 7.500 dan kurungan 3 bulan bagi pelaku poligami
tidak dijalankan. Di Indonesia jika ingin memberikan sanksi kepada
pelaku poligami seorang istri harus melaporkannya melalui polisi
dengan delik aduan dan dituntut atas menyembunyikan fakta
perkawinan, tetapi ini adalah ranah Pengadilan Umum biasanya akan
dikenakan pasal 279 KUHP. Sedangkan di Malaysia terutama di
Negeri Selangor tetap konsisten bahwa Mahkamah Syariah sejak
tahun 1983 sampai amandemen 2003 memberikan sanksi kepada
pelaku poligami.
2. Perbedaan dari segi penggolongan. Di Indonesia disebutkan dalam PP
No 45 Tahun 1990 pasal 4 bahwa PNS perempuan tidak boleh
dijadikan istri kedua, ketiga dan keempat. Indonesia juga
86
memperbolehkan poligami bagi agama yang membolehkan poligami
saja untuk agama yang tidak memperbolehkan dilarang.26 Sedangkan
di Malaysia yang tidak ada penggolongan baik dari pejabat maupun
PNS yang mempunyai aturan khusus tentang poligami semua
mengikuti Syeksen 23 dan sanksinya 124 dan beracara di Mahkamah
Syariah, hanya saja Mahkamah Syariah hanya memutus perkara orang
yang beragama Islam saja tidak untuk golongan lain. Selain orang
Islam maka beracara di Mahkamah Civil.27
3. Perbedaan dari segi pelaksanaan, di Indonesia jika suami terbukti
melakukan poligami liar maka istri pertama harus ada delik aduan
terlebih dahulu kemudian melapor kepada kepolisian jika terbukti
melakukan pelanggaran menyembunyikan fakta perkawinan maka
kasus tersebut bukan termasuk dalam wewenang Pengadilan Agama
padahal Pengadilan Agama adalah adalah Pengadilan yang memeriksa
perkara perkawinan orang Islam termasuk poligami, tetapi dalam hal
ini karena Pengadilan Agama bukanlah yang berwenang dalam sanksi
pidana atau denda maka kewenangan tersebut adalah kewenangan
Pengadilan Umum. Sedangkan di Malaysia atau Selangor lembaga
Mahkamah Syariah yang menerima laporan dari siapa saja baik dari
pihak keluarga maupun istri jika ada suami yang melakukan poligami
liar kemudian Mahkamah akan memerintah Polisi Syariah yang
bertugas dibawah Mahkamah untuk membawa pelaku ke Mahkamah
kemudian dipersidangan Mahkamah akan memeriksa pelaku tersebut
dan menghadirkan istri pertamanya yang merasa dirugikan jika
terbukti pelaku tersebut akan dikenakan sanksi sesuai Syeksen 124.
Atau bisa juga sebaliknya istri yang melapor kepada Polisi Syariah
diwilayah dia tinggal kemudian Polisi Syariah akan menyerahkan
26
Hamka Siregar, Kontroversi Poligami di Kalangan PNS Tinjauan Kritis dalam
Prespektif Fiqh, 41 27
Najibah Mohd Zein, dkk, Siri Perkembangan Undang-Undang di Malaysia,
Undang-Undang Keluarga Islam, Jilid 14, h. 46
87
kepada Mahkamah Syariah untuk memeriksa dan menghukumnya jika
terbukti bersalah.
4. Perbedaan mengenai izin poligami. Jika di Indonesia izin poligami
istri lebih diutamakan jika suami yang hendak ingin berpoligami
kemudian setelah mendapat izin istri selanjutnya harus mendapatkan
izin Pengadilan Agama baru Pengadilan akan memeriksa permohonan
poligami tersebut. Sedangkan di Selangor Malaysia izin Mahkamah
Syariah yang paling diutamakan hal ini ditujukan agar Mahkamah
tahu maksud seseorang untuk berpoligami tersebut tidak beradasarkan
nafsu dan memeriksa syarat-syarat atau alasan suami berpoligami,
baru setelah itu Mahkamah akan memanggil para pihak yaitu istri
pertama untuk berunding dan mengetahui apakah istri mengizinkan
atau tidak. Jadi apabila seseorang tidak melakukan permohonan izin
terlebih dahulu kepada Mahkamah walaupun sudah diberikan izin hal
ini bisa saja termasuk melanggar Syeksen 23 dan bisa dikenakan
Sanksi 124, tetapi sanksi yang diberikan hanya denda saja.
5. Perbedaan dalam sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum dari
jajahan belanda yang masih dipakai saat ini, sistem hukum Indonesia
menganut sistem hukum Civil Law, dan sistem hukum Civil Law ini
tentunya memiliki karakteristik yaitu adanya kodifikasi, undang-
undang menjadi sumber hukum utama, dan sistem peradilan yang
bersifat inkuisitorial.28 Sedangkan untuk Malaysia adalah bekas
jajahan Inggris yang menganut sistem hukum Common Law.
Malaysia juga memakai hukum Islam karena mereka mengikuti sistem
hukum adatnya yaitu adat perpatih. Salah satu karakteristik sistem
hukum common law ini adalah sumber hukum utama nya
merukapakan dari yurisprudensi atau putusan hakim.29
B. Persamaan
28
Fajar Nurhardiyanto, “Sistem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia”, Jurnlal
Tapis, 11, 1, (2015), h. 36 29
Astim Riyanto, “Sistem Hukum Negara-Negara Asia Tenggara”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, 37, 2, (April 2007), h. 279
88
1. Persamaan aturan poligami antara di Indonesia dan Malaysia yaitu
kedua negara termasuk yang menarapkan aturan mengenai poligami
dari mulai prosedur sampai dengan sanksi nya, walaupun di Indonesia
aturan yang ada di UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975
sudah menerapkan sanksi tetapi dalam praktiknya belum diterapkan
secara maksimal, tetapi untuk aturan poligami bagi PNS Indonesia
sudah menerapkannya dalam instansi-instansi negara bagi seseorang
yang melakukan poligami akan dikenakan hukuman administrasi
kepegawaian.
2. Persamaan mengenai perkara poligami antara di Indonesia dan
Malaysia yaitu perkara tersebut masuk dalam kategori kontentius
yaitu pihak istri didudukkan sebagai termohon yang dalam hal ini
perlunya ada izin dari seorang istri untuk memohon poligami.
3. Selanjutnya persamaan dalam hal pembagian harta poligami, baik di
Pengadilan Agama Indonesia dan Mahkamah Syariah Malaysia,
mereka menerapkan pembagian harta bersama poligami terlebih
dahulu antara suami dengan istri pertamanya, hal ini dimaksudkan
agar tidak tercampurnya harta suami dengan istri pertamanya dan
calon istri keduanya jika sudah menikah nanti dikhawatirkan terjadi
sengketa harta bersama dan menimbulkan kerugian kepada istri
pertamanya dahulu yang menemaninya dari awal hingga suami
tersebut sukses. Oleh karena itu pentingnya pembagian harta bersama.
4. Persamaan mengenai asas monogami, di Indonesia maupun di
Malaysia menganut asas monogami. Meskipun adanya asas
monogami tersebut kedua negara ini masih membolehkan dan
melegalkan poligami, karena memandang bahwa poligami adalah
syariat Islam sehingga asas monogami tersebut tidak dianut secara
menyeluruh. Tetapi asas monogami tersebut menjadi acuan antara
Indonesia dan Malaysia untuk memberikan prosedur dan syarat yang
sulit bagi seseorang yang melakukan poligami. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadi poligami yang dapat merugikan pihak perempuan
89
karena pada praktiknya poligami hanya dijadikan sebagai legalitas
nafsu saja sehingga perlu adanya syarat dan prosedur yang ketat untuk
mencegah itu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas dari penelitian ini yang sudah penulis paparkan
dari bab-bab sebelumnya. Maka dari hasil penelitian ini penulis dapat
menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini,
setelah penulis melakukan analisis data dan kajian pustaka, kesimpulannya
adalah sebagai berikut:
1. Di Indonesia sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
dan aturan pelaksananya PP No 9 Tahun 1975 memberikan syarat-syarat
yang ketat untuk mengajukan poligami tidak hanya syarat berbuat adil saja
tetapi suami harus memberikan bukti bahwa istri mendapatkan cacat badan
atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan, istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri, istri tidak dapat memberikan keturunan.
Kemudian dalam mengajukan prosedur poligami harus ada izin istri
terlebih dahulu dan setelah itu izin dari pengadilan. Begitu juga dalam PP
No 45 Tahun 1990 persyaratan yang diberikan sama dengan UU
perkawinan tetapi yang membedakannya dalam perizinan harus melalui
pejabat dahulu kemudian setelah itu izin dari istri. Dakam PP tersebut juga
dijelaskan bahwa untuk PNS wanita tidak diperbolehkan dipoligami
menjadi istri kedua, ketiga dan keempat. Sedangkan syarat dimalaysia
sama dengan Indonesia tetapi di Malaysia syarat utama untuk mengajukan
poligami adalah melalui Mahkamah Syariah, untuk izin dari istri sebagai
90
persyaratan poligami di Malaysia tidak mutlak. Jadi izin dari Mahkamah
Syariah yang mutlak.
2. Kedua Negara ini tentunya memiliki persamaan dan perbedaan. Salah satu
persamaannya adalah kedua negara ini sama-sama menerapkan asas
monogami, dan juga menerapkan izin poligami melalui pengadilan atau
mahkamah secara tertulis. Dalam praktiknya di Indonesia asas monogami
ini tidak menjadi suatu ketetapan, jadi Indonesia menerapkan asas
monogami terbuka dan masih membolehkan poligami. Kemudian jika
ingin mengajukan poligami di Indonesia harus ada izin istri dan
pengadilan. Di Malaysia karena sejak dulu menerapkan syariat Islam dan
sistem hukum Malaysia juga kebanyakan mengatur syariat Islam, maka
monogami di Malaysia hanya sebuah anjuran saja pada praktiknya juga
poligami adalah suatu kebolehan di Malaysia tetapi tentunya dengan
kawalan yang diterapkan agar tidak terjadi poligami liar. Dan aturan
poligami ini juga di khususkan hanya untuk orang Islam di Malaysia saja.
Mengenai perbedaannya jika di Indonesia poligami dibolehkan bagi agama
yang membolehkannya sesuai UU perkawinan, di Malaysia poligami
dikhususkan bagi orang Islam di Malaysia. kemudian perbedaanya di
Indonesia orang yang melakukan poligami tanpa izin pengadilan dianggap
pernikahannya tidak sah dan dikenakan sanksi Rp. 7500 sebagai sanksi
administrasi. Sedangkan di Malaysia seseorang yang berpoligami tanpa
izin mahkamah akan dikenakan sanksi denda dan penjara, juga akan
dicatat menjadi catatan kriminal sesuai Syeksen 124.
3. Dalam praktiknya sanksi poligami di Indonesia dirasa masih belum
memberikan efek jera karena dikategorikan hanya sebagai sanksi
administrasi saja dan jumlah dendanya yang sedikit, walaupun di dalam
KUHP dalam pasla 279 tetapi pasal ini dianggap bertentangan dalam
budaya agama atau kepercayaan, mereka menganggap di dalam Islam
tidak ada sanksi pidana bagi poligami karena hukum poligami adalah
boleh (mubah). Di Malaysia melihat dari data statistik yang penulis
peroleh perakara poligami tanpa kebenaran mahkamah dartahun 2014-
91
2018 terus meningkat hal ini memperlihatkan bahwa kurang efektif aturan
tersebut meskipun di malaysia sudah dikenakan sanksi denda dan pidana
tetapi pada kenyataannya denda tersebut masih dalam jumlah yang sedikit
di malaysia yaitu denda maksimal RM 1000 atau jika dirupiahkan Rp
3.000.000 jika dinominalkan ke dalam rupiah. Melihat di Selangor
Malaysia kebanyakan orang yang dikalangan menengah atas
B. Saran
Setelah penulis melakukan penelitian di akhir penulisan ini penulis
memberikan beberapa saran berdasarkan dari hasil penelitian penulis adalah
sebagai berikut:
1. Dari penelitian ini penulis berharap kepada pemerintah tentunya
Indonesia dapat memberikan pembaharuan hukum dan pertimbangan
hukum dalam perkawinan yang menyimpang dan memberikan mudharat.
Melihat hukum harus sesuai dengan keadaan zaman. Terutama di
Indonesia melihat aturan poligami ada beberapa yang sudah penulis
paparkan tidak sesuai dengan keadaan masa saat ini mengenai sanksi
poligami di Indonesia yang sangat kecil, dan sebagai perbandingannya
Malaysia yang menerapkan sanksi denda dan pidana. Diharapkan para
pembuat hukum atau aturan bisa mengevaluasi aturan poligami sanksi
yang ada di Indonesia.
2. Ketentuan yang terdapat pada EUKIS Selangor tahun 2003 seharusnya
direvisi lagi melihat Selangor mayoritas penduduknya adalah kalangan
menengah keatas dan aturan denda yang tedapat di EUKIS maksimal RM
1000 yang saat ini kurang relevan.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian lebih mendalam
mengenai peraturan poligami diseluruh Negeri Malaysia, dan melakukan
penelitian sanksi poligami di seluruh Negeri bagian di Malaysia, karena
setiap peraturan dan sanksi berbeda. Penulis hanya meneliti langsung di
92
Negeri Selangor saja mengenai sanksi poligami. Sehingga perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sanksi poligami di seluruh
Negeri bagian di Malaysia.
93
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bugha, Musthafa Dib, dkk. “Al- Fiqh Al- Manhaji‟ala Al- Madzhab Al- Imam
Asy- Syafi‟I” Penerjemah Misran. Fikih Manhaji Jilid I. Yogyakarta: Darul
Uswah, 2008.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2006.
Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. “Hikmah At- Tasyri‟ wa Falsafatuhu” Penerjemah
Faisal Saleh. Indahnya Syariat Islam. Jakarta: Gema Insani, 2006.
Al-Khauli, Muhammad bin Sayyid. “Al-Mausuu‟ah Al- Muyassah fi Fiqhil Mar-
ah Al- Muslimah” Penerjemah Umar Mujtahid. Ensiklopedia Fikih Wanita.
Jakarta: Pusataka Imam Asy-Syafi‟i, 2016.
Al-Syarif, Isham Muhammad dan Muhammad Musfir al-Thawil. Poligami Tanya
Kenapa? ,Jakarta: Mihrab, 2008.
Abd al- Bȃrȋ, Muhammad bin Ahmad, Al- Kawȃkȋb al-Durriyah. Beirut: Dar
Ibnul Khotob, 2001.
As- Shiba‟i, Musthafa. “Al Mar‟ah Baina Fiqh wal Qonun” Penerjemah Ali
Ghufron. Wanita dalam Pergumulan Syariat dan Konvensional. Jakarta:
Insan Cemerlang, T.th.
Az-Zuhaili, Wahbah, “At- Tafsir Al- Wasith” Penerjemah Muhtadi. Tafsir Al-
Wasith. Jakarta: Gema Insani, 2012.
Az-Zuhaili, Wahbah.” At-Tafsiirul-Muniir: Fil „Aqiidah wasy-Syarii‟ah wal
Manhaj” Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani, dkk. Tafsir al- Munir Jilid 2
(Juz 3-4). Jakarta: Gema Insani, 2013.
Dakir, Noraziah Ali Jawiah. Isu-isu Wanita di Malaysia. Selangor: International
Law Book Services, 2008.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia, 2008.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
kencana, 2016.
Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim. Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Jakarta: PrenadaMedia Group, 2016.
Farida, Anik. Menimbang Dalil Poligami Antara Teks, Konteks, dan Praktek.
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008.
Ghazaly, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2000.
H. Ishaq. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: PT. RajaGradindo Persada,
2014.
Hasan, Mustofa. Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Hasan, Zulkifli, dkk. Amalan Kehakiman dan Guaman Syarie di Malaysia.
Selangor: Univiersiti Islam Malaysia (USIM), 2007.
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003.
Husain. Jahrani Musfir, “Nazhratun fi Ta‟addudi az-Zaujati” Penerjemah Muh.
Suten Ritonga. Poligami dari Berbagai Presepsi. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Indrati Farida, Maria. Ilmu Perundang-Undangan 1. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
94
Iskandar, Mudakir. Pengantar Ilmu hukum & Tata Hukum Indonesia. Jakarta: CV.
Sagung Seto, 2008.
Kalam, Hilmi Farhat. “Ta‟addud az-Zaujat Baina al-Adyan” Penerjemah
Abdurrahman Nuryamani. Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani dan
Yahudi. Jakarta: Darul Haq, 2007.
Kassim, Zaitun Mohamed. Islam dan Poligami. Selangor: Sister In Islam, 2003.
Makmun, Rodli, dkk. Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2009.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakara:
Prenada Media Group, 2006.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016.
Md Nor, Ana Faiza dan Zulaiza Mohd Kusrin. Prosiding Persidangan
Antarabangsa Fiqh Semasa dan Perundangan Islam Undang-Undang Islam
Menelursuri Globalisasi. Selangor: Jabatan Syariah Fakulti Pengajian Islam,
2015.
Mubarok, Jaih. Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2015.
Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta: Atas Kerja Sama,
1999.
Naily, Nabiela. Hukum Keluarga Islam Asia Tenggara Kontemporer: Sejarah,
Pembentukan, dan Dinamikanya di Malaysia. Lembaga Penelitian dan
Pengabdian. Surabya: Executive Summary, 2013.
Nasir, Taufiq Atthar, Abdul. “Ta‟adduduz Zaujati Minan Nawaahid Diiniyyati
Wal Ijtimaaa‟ Iyyati Wal Qaa Nuniyyati” Penerjemah Chadidjah Nasution,
Poligami ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan.
Jakarta: Bulan Bintang, t. th.
Nasohah, Zaini. Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia: Sebelum dan
Menjelang Merdeka. Kuala Lumpur: Cegar SDN. BHD, 2004.
Nasohah, Zaini. Poligami Hak Keistimewaan Menurut Syariat Islam. Kuala
Lumpur: PT Cergas, 2000.
Nordin, Merdiana dan Hasnah Hussiin, Pengajian Malaysia Edisi Keenam,
Selangor: Oxford Fajar Sdn. Bhd, 2018
Nuruddin, „Itr. “Madza‟an al -Mar‟ah” Penerjemah Hasbullah, Hak dan
Kewajiban Perempuan Mempertanyakan: Ada Apa dengan Wanita.
Yogyakarta: Bina Media, 2005.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/ 1974
sampai KHI). Jakarta: Kencana, 2004.
Prajogo, Soesilo. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia. Bandung: Wipress,
2007.
Rahman, Ariij Binti Abdur. Etika Berpoligami Adil Terhadap Para Istri. Jakarta:
Darus Sunnah Press, 2018.
Ramulyo, Idris. Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Islam dalam Sistem hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
1995.
95
Ramulyo, Idris. Bunga Rampai Tentang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama dan Intesifikasi Zakat. Jakarta: PT Nur
Intan Surya, t. th.
Rȋdhȃ, Muhammad Rȃsyȋd. At- Tȃfsȋr Qur‟ȃn al- Hakȋm as- Syăhir Bittafsȋr al-
Manȃr. Beirut: Dar al- Fikr, t. th.
Rida, Muhammad Rasyid. “Nida‟ Li al-Jins al- Lathif” Penerjemah Afif
Mohammad. Panggilan Islam Terhadap Wanita. Bandung: Pustaka, 1994.
Saebani, Beni Ahmad. Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang
(Prespektif Fiqh dan UU No 1/1974 Tentang Poligami dan
Problematikanya. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Salim, Abu Malik Kamal Ibn Sayyid. “Fiqh As- Sunnah li an-Nisa‟” Penerjemah
Firdaus Sanusi, Fikih Sunnah Wanita. Jakarta: Qisthi Press, 2013.
Shah, Nik Noraini Nik Badli. Perkahwinan dan Perceraian di Bawah Undang-
Undang Islam. cet. 3. Selangor: International Law Book Services, 2012.
Shihab, Quraish. M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut
Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati, 2015.
Silalahi, Ulber. Metode penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2009.
Siregar, Hamka. Kontroversi Poligami di Kalangan PNS Tinjauan Kritis dalam
Prespektif Fiqh. Pontianak: TOP Indonesia, 2015.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hikum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press, 2011.
Subhan, Zaitunah. Al-Qur‟an dan Perempuan Menuju kesetaraan Gender dalam
Penafsiran. Jakarta: Kencana, 2015.
Sumitro Warkum, dkk. Politik Hukum Islam Reposisi Eksistansi Hukum Islam
dari Masa Kerajaan Hingga Era Reformasi di Indonesia. Malang: UB
Press, 2014.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Utriza, Ayang. Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2016.
Yacoob, Abdul Monir. Kehakiman Islam dan Mahkamah Syari‟ah. Selangor:
UKM, 2015.
Yanggo, Chuzaimah T, et.al, eds, Problematika Hukum Islam Kontemporer. cet.
3. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Yasid, Abu. Fiqh Realitas (Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Zin, Najibah Mohd. Siri Perkembangan Undang-Undang di Malaysia: Undang-
Undang Keluarga (Islam) Jilid 14. Selangor: Dawama Sdn. Bhd, 2007.
Sumber Skripsi
Arifin. “Kontroversi Atas Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia”. Skripsi
S1 Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta, 2008.
96
Badrudin. “Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (Studi Pendapat JudexFactie
Pengadilan Agama Kota Malang )”. Tesis S2. Fakultas Syari‟ah. Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2013. Nurhidayah, “Sejarah Peradilan Islam Malaysia,” Tesis S2. Fakultas Syariah. STAIN
Watampoe, 2014
Referensi Jurnal
Abdullah, Raihanah Haji “ Poligami di Malaysia”. Jurnal Syariah. Vol. 5, 2
(1997).
Anita, Avisena Aulia. “ Perbandingan Pengaturan Asas Monogami Antara Negara
Civil Law (Indonesia) dan Common Law (Malaysia), Notaire Jurnal of
Law. Vol. 1, 1,( 2018).
Ardhian, Reza fitra, dkk .“ Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama”.
Privat Law. Vol. 3, 2, (2015).
Ashsubli, Muhammad. “Undang-Undang Perkawinan dalam Pluralitas Hukum
Agama”, Jurnal Cita Hukum. Vol. 3, 2, (2015).
Budiharjo, Eko Wahyu. “Praktik Poligami PNS Ditinjau dari Sistem Hukum
Perkawinan”, Pandecta. Vol. 8, 1 (2013).
Buzama, Khoiruddin “ Pemberlakuan Teori-Teori Hukum Islam di Indonesia”,
Jurnal Al-„Adalah. Vol. 10, 4,( 2012).
Dikuraisyin, Basar. “Sistem Hukum dan Peradilan Islam di Malaysia”, Terateks.
Vol. 1,3, (2017).
Fata, Ahmad Khoirul dan Mustofa. “ Menyoal Kontektualisasi Hukum Islam
Tentang Poligami”. Jurnal Al-Ulum. Vol. 13, 2, (2013).
Hermanto, Agus “Islam, Poligami dan Perlindungan Kaum Perempuan”, Jurnal
Studi Agama dan Pemilkiran Islam. Vol. 9, 1 (2015).
Jamal, Ridwan. “ Hukum Poligami Menurut Undang-Undang dan Fikih”. Jurnal
Al- Syari‟ah, Vol. II, 1 (2004).
Johar, M. Fadhilah. “ Penerapan Sanksi 279 KUHP Terhadap Tindak Pidana
kejahatan Asal-Usul Perkawinan dalam Kasus Poligami Terhadap
Pernikahan Siri”. JOM Fakultas Hukum, Vol. 4, 2, (2017).
Kushidayanti, Liana. “ Perempuan dan Isu Poligami di Indonesia”. Yudisia. Vol.
9, 2,( 2018).
L. Esposito, John dan John O. Voll, “Islam and Democracy” Penerjemah Rahmani
Astuti. Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek.
Bandung: Mizan, 1999.
Makatungkang, Ramli. “Penerapan Hukum Islam di Malaysia”. Al-Syari‟ah, Vol.
1, 1 (2016).
Moqsith, Abd. “ Tafsir Atas Poligami dalam Al- Qur‟an”. Jurnal Karsa. Vol. 23.,
1, (2015).
97
Mubarok, Nafi. “ Sejarah Hukum Pencatatan Perkawinan di Indonesia”, Jurnal
Justica Islamica. 14, 1, (2017).
Muhammad, Ramizah Wan. “Sejarah Pentadbiran Kehakiman Islam di Malaysia:
Satu Sorotan”, Jurnal Kanun. Vol. 21, 1, (2009).
Nurcahaya, dkk. “ Sanksi Pelaku Poligami di Indonesia Prespektif Fiqh”. Hukum
Islam. Vol. 17, 1 ( 2007).
Nurhardiyanto, Fajar. “SIstem Hukum dan Posisi Hukum Indonesia”. Jurnlal
Tapis. Vol. 11, 1, (2015).
Riyanto, Astim. “Sistem Hukum Negara-Negara Asia Tenggara”. Jurnal Hukum
dan Pembangunan. Vol. 37, 2, (2007).
Roszi, Jurna Petri. “ Problematika Penerapan Sanksi Pidana dalam Perkawinan
Terhadap Poligami Ilegal”. Al Istinbath. Vol. 3, 1, (2018).
Setyanto, Danu Aris. “ Poligami dalam Prespektif Filsafat Hukum Islam (Kritik
Terhadap Hukum Perkawinan di Indonesia”. Al- Ahwal. Vol. 10, 1 (2017).
Siregar, Muhammad Yusuf. “ Sanksi Pidana Terhadap Perkawinan Poligami
Tanpa adanya Persetujuan Istri”, Advokasi. Vol. 5, 1, (2017).
Sudibyo, Ateng. “Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Poligami Dikaitkan dengan
Sistem Hukum Perkawinan Indonesia”. Aktualita. Vol. 1, 1, (2018).
Sulistyowati, Haryani. “Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990 Tentang Perkawinan dan perceraian Terhadap Perkawinan
Poligami Bagi PNS”. Hukum dan Dinamika Masyarakat. Vol. 14, 1, (2016).
Syarifuddin, Wahid. “Status Poligami dalam Hukum Islam”. Jurnal Al-Ahwal.
Vol. 6, 1, (2013).
Wartini, Atik. “ Poligami: dari Fiqih Hingga Perundang-Undangan”. Studia
Islamika. Vol. 10, 2, (2013).
Yacoob, Abdul Munir. “Perlaksanaan Perundangan Islam di Malaysia: Satu
Penilaian”. Jurnal Fiqh, Vol. 6, 6, (2009).
Yusrizal. “Studi Komperatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia dan
Saudi Arabia”. De Lega Lata. Vol. 2, 2 (2017).
Zaki, Muhammad. “ Dinamika Introduksi Sanksi Poligami dalam Hukum Negara
Muslim Modern”. Al- Risalah. Vol. 14, 2, (2014).
Zuhrah, Fatimah. “ Problematika Hukum Poligami di Indonesia (Analisis
Terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI)”. Jurnal Al-Usrah, Vol. 5, 1
(2017).
Sumber Internet
Harris, Oscar. KBRI Kuala Lumpur. Country Profile Malaysia.
http://kbrikualalumpur.org/w/2017/02/25/country-profile-malaysia/. Diakses pada
tanggal 08 April 2019, Pukul 10.35.
Portal Pusat Resmi Penerangan Malaysia. Penerangan Malaysia.
http://pmr.penerangan.gov.my/index.php/profil-malaysia/7954-ringkasan-sejarah-
malaysia. Diakses pada tanggal 08 April 2019, Pukul 12:45.
98
Portal Resmi Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan. Perkhidmatan Mahkamah
Rayuan Syariah. mswp.gov.my/index.php/ms/mengenai-
mswp/perkhidmatan/bidang-kuasa/mahkamah-rayuan-syariah. Diakses
tanggal 14 Februari 2019, Pukul 10:12.
Rijal, Zainul. Hak-hak Poligami. Sinar Harian. Berita Elektronik.
http://www.sinarharian.com.my/kolumnis/zainul-rijal-abu-bakar/ketahui-
hak-anda-dalam-berpoligami-1.625692. Diakses pada tanggal 11 Desember
2018, pukul 10:45.
Wawancara
Interview Pribadi dengan Irwan Bin Mohd Subri, Dosen Fakulti Syariah
Universiti Sains Islam Malaysia. Selangor. 23 Oktober 2018
Interview Pribadi dengan Mohd Norshusairi, Dosen Academy of Islamic Studies
University of Malaya, Selangor, 25 Oktober 2018
Interview Pribadi dengan Nenney Shushaidah Binti Shamsuddin. Hakim
Mahkamah Tinggi Syariah. Selangor. 7 Desember 2018.
Interview Pribadi dengan Drs. Naim, S.H. Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat. 12 April 2019.
Sumber Perundangan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan pelaksanaanya PP No. 9 tahun 1975
PP No. 10 tahun 1983 Perubahan PP No. 45 tahun 1990
Kompilasi Hukum Islam
Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Selangor tahun 2003
Enakmen Pentadbiran Islam Selangor tahun 2003
LAMPIRAN
Wawancara Hakim
Tanggal Wawancara : 7 Desember 2018
Nama Hakim : Nenney Shushaidah Binti Shamsuddin
No. Tlp : +60 3-55191291
Tanggal Lahir: 26 November 1970
Riwayat Pendidikan hakim :
Diploma Pengajian Islam Syariah wal Qanun Universiti Kebangsaan
Malaysia
Diploma Pentadbiran Kehakiman Agama Islam Malaysia Universiti
Kebangsaan Malaysia
Sarjana counseling mature and informated Universiti Kebangsaan
Malaysia
Riwayat Pekerjaan:
Non- Governmental Organization, sebagai konsultan
Biro Bantuan Guaman Selangor, sebagai Advokat, tahun 2001
lembaga Pentadbiran kehakiman Putrajaya, sebagai Jaksa Agung sampai
tahun 2016
Jabatan Kehakiman Syariah Selangor, sebagai Hakim dari 2016- sekarang
Penghargaan yang diraih:
Mendapatkan penghargaan 100 wanita berpengaruh versi BBC
Pertanyaan
Mohon maaf puan sebelumnya apakah puan sudah memutuskan kasus poligami ?
Hakim
Saya sudah memutuskan beratus-ratus kasus mengenai poligami dihadapan saya,
tetapi more then like persent perkara sudah saya luluskan mengenai kasus
poligami ini sebab orang ini memang layak untuk berpoligami, dan beberapa
perlu, bukan karena saya perempuan kemudian saya memakai emosi saya untuk
memutuskan itu tidak dibenarkan oleh agama sebabnya itu saya sudah banyak
meluluskan perkara poligami ini
Pertanyaan
Kemudian untuk tahun 2018 ini atau 3 tahun sebelumnya sudah berapa kali anda
menangani perkara poligami ?
Hakim
Dari tahun saya di lantik tahun 2016 sampai sekarang saya sudah menangani
perkara poligami sekitar 200 lebih
Apakah benar puan dari literatur dan beberapa buku yang saya baca bahwa
Selangor adalah yang pertama kali menerapkan Hukuman poligami ini ?
Hakim:
Dari sepengetahuan saya sejak dari tahun 1987 sebelum Enakmen diubah tahun
2003, semua negeri telah mengatur aturan tersebut dan semua negeri sama tidak
ada yang beda Cuma hanya saja poligami tanpa kebenaran di selangor diatur
dalam syeksen 124. Perbedaan nya hanya di penomoran syeksen nya saja dan
hukumannya jika di selangor dihukum penjara tidak melebihi 6 bulan dan denda
tidak lebih dari 1000RM. Tapi untuk peruntukkan semua negeri sama
Pertanyaan
Dimana perkara poligami biasanya diputuskan, apakah di Mahkamah rendah atau
mahkamah tinggi syariah?
Hakim
Perkara mengenai poligami pengesahannya bisa di mahkamah rendah dan juga di
mahkamah tinggi syariah, tetapi biasanya pengesahan poligami kebanyakan di
mahkamah rendah dan hakim-hakim mahkamah rendah yang putuskan terkait
juga dengan hukumannya
Pertanyaan
Lalu bagaimanakah praktek poligami yang terjadi dimasyarakat sendiri ?
Hakim
Ok, bagi perkara-perkara poligami yang ada di saya memang banyak tetapi itu
yang jenis isinya tentang setuju untuk dia berpoligami dan dia akan membawa
wali calon istridan calon istri yang kedua dan istri yang pertama datang untuk
meminta kebenaran poligami secara baik mengikuti undang-undang jadi ini ke
mahkamah tinggi untuk melihat kelayakan dia berpoligami dan kita akan
kabulkan permohonannya. Tetapi ada yang banyak lagi yang memang takut
dengan istri takut akan ketahuan berpoligami maka dia akan pergi ke Thailand,
indonesia atau batam, atau singapore, atau negara-negara lain nikah disana
kemudian balik lagi ke malaysia mendaftarkan pengesahan nikah poligami dan hal
ini kebanyakan didengar di Mahkamah Rendah dan ini yang banyak meminta
untuk kebenaran kemudian di kuasa bandingkan lah dan itu yang terjadi di
Selangor sekarang.
Pertanyaan
Bagaimana syarat-syarat nya poligami di selangor
Hakim
Di dalam Enakmen keluarga Islam 2003, syarat nya adalah harus sesuai dengan
kemampuannya, apakah suami ini mampu atau tidak mampu melakukan poligami,
gaji nya cukup atau tidak untuk membiayai menafkahi istri-istri dan anak-anaknya
kalau cukup mungkin bisa diluluskan. Kemudian apakah ada alasan khusus lain
yang mengharuskan ia beproligami apakah istri sakit kah, istri tidak bisa
memberikan keturunan, atau istri gila kah, atau mungkin ada alasan-alasan yang
memungkinkan ia berpoligami, dan kenapa perlu dia harus menikah lagi, dan itu
faktor-faktor yang mahkamah akan lihat, dari kesemuanya itu mahkamah akan
lihat bahwa suami nya itu mampu menafkahi, mampu berlaku adil terhadap istri
pertama, mampu menghindari dari mudharat terhadap istri pertama, mampu
membagi rumah. Sesuai dengan syeksen 23
Pertanyaan
Dari puan yang sebutkan tadi yaitu syeksen 23 yang mengatur tentang poligami,
apakah ada regulasi lain selain dari syeksen 23 itu mengenai poligami ?
Hakim
Kalau hakim di selangor ini hanya syeksen 23 saja yang mengatur itu sudah cukup
dilihat engan melihat syarat-syarat nya dan kelayakan apakah suami bertanggung
jawab dan sesuai dengan prosedur poligami
Pertanyaan
Lalu apakah tujuan diberlakukannya hukuman bagi kesalahan berpoligami tanpa
izin mahkamah?
Hakim
Tujuan dari undang-undang itu dibuat adalah untuk memberikan kemaslahatan
bagi anak dan istri yang sebelumnya yang dirasa dirugikan terhadap suami yang
melakukan poligami dan untuk memberikan ancaman juga bagi para pelaku untuk
mematuhi undang-undang. Walaupun hukumannya masih dirasa kurang 1000 RM
itu dirasa sedikit atau kurang, akan tetapi hukuman itu bertujuan untuk
mengajarkan agar tidak melanggar undang-undang itulah prinsip hukum itu
diterapkan. Sebab jika dia melakukan pernikahan diluar tanpa ada izin istri dan
mahkamah dia akan menyebabkan kerugian mengabaikanbagi si anak dan
istrinya yang sebelumnya. Dan itulah hukuman itu dibuat untuk melindungi istri
dan anak-anaknya
Pertanyaan
Dari mana Rujukan nya sehingga di buatlah hukuman yang ada di syeksen 124 ?
Hakim
Dalam formulasi hukumnya sudah lama dilakukan hanya mengacu pada hukuman
ta’zir saja yang diberikan oleh pemerintah untuk kesalahan tersebut soalnya
hukuman itu beracuan kepada ta’zir yang diputuskan oleh kerajaan yang menjadi
pembuat asalnya yang saya tahu, dan aturan ini dibuat untuk pengajaran,
pendidikan masyarakat agar terhindar dari kemudharatan yang dilakukan jika
poligami ini tidak ada izin dari mahkamah
Pertanyaan
Lalu bagaimana praktiknya hukuman tersebut diterapkan dalam beracara di
pengadilan ?
Hakim
Di dalam mahkamah rendah denda maksimum 900 atau 1000RM ataupun bisa
bersama denda dan penjara sekitar 12 hari atau satu bulan atau bisa kedua-duanya
tergantung hakim yang memutuskan,akan tetapi biasanya jika hakim memutuskan
untuk penjara terdakwa akan di rayu, kenapa dirayu sebab semua orang takut
penjara, karena penjara ini menyebabkan akan kehilangannya pekerjaan,
berkurangnya pendapatan. Jadi kebanyakan orang memilih untuk denda sebisa
mungkin jika mendapat hukuman penjara dan mereka akan merayu ke mahkamah
tinggi. Karena denda hanya bayar sekitar 1000 RM.
Pertanyaan
Bagaimana pendapat puan apakah hukuman tersebut efektifkah?
Menurut saya kalau hanya 1000RM itu tidak efektif, karena bagi mereka yang
menikah diluar yaitu di thailand biasanya mereka hanya membayar 5000RM
sampai 10.000RM biasanya untuk membayar satu paket pernikahannya, jadi bagi
saya mereka mampu dalam membayar dendanya. Akan tetapi mereka masih ada
takut dengan hukuman penjaranya, sebab jika dipenjara akan merugikan mereka
dari segi pekerjaan dan penghasilannya kemudian mereka masuk ke dalam daftar
rekam jejak jinayah atau masuk dalam tindakan catatan pelanggaran yang ada, dan
bagi mereka penjara menakutkan lah. Maka dari sekarang ini hakim banyak
memutuskan hukuman kedua-duanya yaitu denda dan penjara, oleh karena itu
banyak juga dari pada mereka mengajukan rayuan ke mahkamah tinggi. Dan
hakim mahkamah tinggi akan memilih hukuman yang diterimanya atau kah denda
atau penjara atau bisa juga masih tetap hukuman kedua-duanya denda dan penjara,
ada juga hakim mahkamah tinggi akan mengabulkan denda tetapi dengan denda
yang maksimum. Bagi saya bila seseorang itu telah mendapatkan putusan denda
dan penjara di mahkamah rendah dan banyak dari mereka yang akan mengalami
proses rayuan dimana proses rayuan ini akan memakan masa waktu yang lama
dan uang yang banyak bila dia memakai advokat dan memang seharusnya ada
advokat. Jadi bila kasus poligami ini ada dihadapan saya maka akan saya
pertimbangkan beberapa hal yaitu pertimbangan mengenai penderitaan dimana dia
harus melakukan proses rayuan tadi yang memakan banyak waktu dan keluar
uang banyak, biasanya saya akan bilang kepada dia lain kali kamu harus ikut
perintah undang-undang dan saya ingatkan dan hukumannya pun bagi saya
penjara cukup membuatnya jera
Pertanyaan
Mengenai hukuman tersebut puan, apakah ada pertentangan dari beberapa NGO
atau lapisan masyarakat yang tidak menyetujui hukuman tersebut?
Hakim
Sejauh ini saya belum mendengar adanya pertentangan mengenai hukuman
tersebut apalagi dari kaum laki-laki di malaysia sejauh ini belum, sebab orang
yang melakukan poligami tanpa kebenaran pun sudah dinyatakan bersalah jadi
orang pun jika dikatakan tidak adil, tidak adil dalam segi apanya, karena dia jelas
jelas telah melakukan kesalahan
Pertanyaan
Bagaimana pandangan dan cara puan dalam meneliti perkara poligami?
Hakim
Saya akan melihat dari segi kemampuan saya akan melihat apakah dia mampu
membuktikan kepada mahkamah bahwa dia mampu, saya akan melihat dari
berapa gaji nya berapa pendapatannya sebulan, dan ada apa saja tanggungan dia,
apakah ada hutangkah dan berapa hutangnya apakah ada hutang rumah kah hutang
mobilkah atau hutang personal kreditkah, semua saya akan tanya apakah dia
mampu memberikan semuanya yang saya minta. Kemudian saya akan tanya
berapa yang akan dikahsih untuk anak-anaknya, untuk istri nya, kemudian untuk
rumah bayar berapa, semua saya akan tanya detail terutama dalam hal
pendapatannya, dan apakah ada kelebihan dari semua pendapatannya, semua saya
akan perkirakan apakah cukup untuk semua kebutuhan tanggungannya. Kemudian
saya akan panggil semuanya istrinya yang pertama, wali dari istri pertama
kemudian bakal calon istrinya, kemudian wali dari bakal istrinya. Setelah itu saya
akan tanya kepada istri pertama, bakal istri kedua dan walinya apakah mereka
setuju bagian istri pertama sekian, istri kedua sekian, untuk anak-anaknya sekian
jumlahnya. Jadi jika mereka setuju tidak masalah. Sebab mereka biasanya yang
mengajukan permohonan biasanya memang sudah memiliki kemampuan, dan
mereka ke mahkamah hanya meminta kebenaran saja, tidak ada halangan baginya
jika hakim menyatakan bahwa dia benar-benar mampu dan bertanggung jawab.
Dalam hal itu kita sebagai hakim akan menilai dahulu baru setelah itu kita
luluskan permohonannya
Pertanyaan
Apakah memakan waktu lama untuk proses mengajukan permohonan berpoligami
?
Hakim
Ok jika disini dalam dalam proses permohonan nya yang pertama adalah melalui
pendaftar jika sudah melengkapi surat permohonan bersama dengan keterangan-
keterangan pendapatan, slip, gaji, aset pribadi, dan lain-lain kemudian yang kedua
melalui saya, saya akan melihat kelayakan orang tersebut untuk berpoligami dan
saya akan membuat surat panggilan kepada pemohon untuk juga menghadirkan
istri pertama, calon istri kedua, dan wali-walinya disaat sidang, kemudian disaat
sidang tersebut saya pemohon harus wajib menghadirkan semua yang tadi saya
minta itu kemudian saya akan tanya istri pertama apakah setuju di poligami begitu
juga dengan istri kedua saya akan tanya alasan diam au dipoligami dan lain-lain
sampai pada akhirnya mereka sepakat dan menandatangani surat perjanjian
mengenai harta bersama begitu juga suami juga harus menandatangani untuk bisa
bertanggung jawab dan berbuat adil. Untuk proses kesemuanya itu sekiranya
memakan waktu 2 bulan, tak lama lah bagi saya
Pertanyaan ?
Bagaimana pendapat hakim jika ada suami yang sebelumnya sudah mengajukan
permohonan kebenaran berpoligami kemudian di luluskan, tetapi di pertengahan
dia lalai akan berbuat adil kepada istri-istrinya, akhirnya istri pertama mengajukan
kembali gugatan poligami karena merasa tidak mendapatkan ketidak adilan, lalu
bagaimana selanjutnya mahkamah akan memproses itu ?
Hakim
Ok misalnya, istri pertama dari segi nafkah sudah ok menadapatkan setiap
bulannya 3000RM kemudian untuk anaknya 2000RM perbulan dan suami nya
masih terus menafkahi istri dan anak-anak mereka kemudian pembagian
bermalam misalnya sudah 3 hari 3 hari untuk istri pertama dan kedua tetapi
dipertengahan misalnya suami sudah mulai lalai akan tanggung jawabnya dari
segi pendapatan dia masih memberikan nafkahnya kepada istri pertama tetapi dari
segi bermalam dia malah terus-terusan di tempat istri kedua, istri pertama merasa
tidak adil, kemudian mengajukan kepada mahkamah bahwa suami saya tidak
mengikuti perintah tentang bermalam dari perjanjian sebelumnya dia tidak adil,
ok setelah istri mengajukan permohonan itu mahkamah akan langsung memanggil
suaminya dan menanyakan kenapa dia tidak adil dalam pembagian malam, karena
sesuai dengan syeksen 151 kita boleh perintahkan dia kenapa dia tidak mematuhi
aturan dan kita boleh menghukum dia dengan penjara jika terbukti memang
benar-benar lalai dalam berbuat adil dibawah syeksen 151.
Pertanyaan
Bagaimana pendapat puan mengenai hukuman poligami, para ulama fiqh klasik
tidak memberikan hukuman bagi orang yang berpoligami sedangkan di Malaysia
sudah diberlakukan hukuman, apakah bertentangan dengan hukum islam ?
Hakim
Memang pada zaman dulu dibenarkan poligami sampai empat isteri, kemudian
dalam berpoligami juga harus berlaku adil, tidak memudharatkan pihak lain, itu
lah semua yang ada di islam kan intinya, di Malaysia ini jika seseorang dihukum
pastinya ada tujuannya, sebab di Malaysia semenjak perubahan undang-undang di
Malaysia pastinya dibuatnya undang-undang itu pasti ada sebabnya, dan saya
yakinkan pada diri saya ini bahwasannya dibuatnya undang-undang ini adalah
untuk suatu kemaslahatan, kebaikan bagi pihak-pihak yang terlibat, dan pihak-
pihak ini dalam poligami adalah wanita dan anak-anak. Dulu mungkin sebelum
adanya regulasi ini banyak orang-orang yang berpoligami tetapi tidak
memperhatikan kemaslahatan istri pertama dan anak-anak. Jadi banyak yang
memudharatkan pihak wanita dan anak-anak2 oleh karena itu undang-undang ini
dibuat. Jadi menurut pandangan saya tidak bertentangan sebab Allah berkata kita
hidup di dunia ini untuk menghilangkan segala kemudharatan, oleh karena itu kita
sebagai agama islam harus menegakkan kebaikan, syumul, dan terhindar dari
segala kemudharatan. Lalu apa gunanya agama ini jika tidak menjaga kebaikan
karena islam agama yang baik. Jadi Ulul Amrii’ Minkum patuhilah pemerintah,
pemerintah sudah berniat baik untuk menjaga kemaslahatan kaum wanita dan
anak-anak jadi patuhilah pemerintah selama itu baik, dan menurut saya hukum ini
pun perlu berkembang sesuai masa ke masa dan keadaan suatu bangsa. Sebab
Allah tidak pernah melarang suatu kemajuan dan seharusnya hukum itu mengikuti
keadaan dan kemajuan itu.
Pertanyaan
Bagaimana menurut hakim mengenai hak-hak yang harus diperoleh terhadap istri
pertama atau kedua atau istri-istri selanjutnya, apakah hak-hak nya sama secara
pada umumnya yaitu mengharuskan, nafkah, hak bermalam, hak meminta
keadilan bagi suami, atau adakah hak lain yang harus di berikan kepada istri-istri ?
Hakim
Hak hak dibawah syeksen 23 sudah dijelaskan pada umumnya, tetapi ada hak
yang sebelum nya harus dipenuhi dahulu yaitu hak harta sepencaharian antara
suami dan istri pertamanya dulu, sebab banyak hal yang dperhatikan ketika harta
sepencaharian ini dulu ketika suami dan istri pertamanya membangun dari nol
kemudian bersama-sama menuju sukses, dan biasanya setelah suami sukses
mempunyai harta banyak muncul lah keinginan untuk berpoligami, ketika sudah
berpoligami harta sepencaharian yang dahulu di bangun antara suami dengan istri
pertama kebanyakan harta itu malah banyak diberikan kepada istri keduanya.
Sehingga hal ini dirasa tidak adil. Oleh karena itu dibawah syeksen 23 harta
sepencaharian istri pertama boleh mengajukan terlebih dahulu harta sepencaharian
semasa berkawin pertama dahulu dan pihak laki-laki pun juga boleh menagih
harta sepencaharian nya dahulu. Agar ketika suami menikah lagi dengan istri
kedua hartanya tidak bercampur dengan istri pertama.
Foto bersama dengan Hakim Mahkamah Tinggi Selangor Nenney Shushaidah
Binti Shamsuddin
Wawancara Dosen University of Malaya
Tanggal Wawancara: 25 Oktober 2018
Nama: Dr. Mohd Norshusairi
Pekerjaan: Dosen senior lecturer in Departement Sharia and Law, Academy of
Islamic Studies, University of Malaya
tanggal lahir : 24 desember 1983
Pertanyaan:
Bagaimana perkembangan poligami di Malaysia ?
Dr. Mohd Norshusairi: disini memakai mazhab syafii dijelaskan tidak ada
halangan untuk melakukan poligami, sejak dahulu Malaysia sudah berlaku
poligami termasuk Raja-raja di Malaysia pun sudah melakukan poligami, oleh
karena itu tahun 90an sudah ada aturan peraturan poligami yang mengharuskan
poligami dilakukan dengan kebenaran mahkamah tujuannya supaya orang tidak
menyalahgunakan poligami dan agar hak wanita tidak tertindas dan terabaikan.
Kalau poligami tapi mahkamah harus memberikan perizinan dengan alasan suami
harus memberi tahu pembenaran kenapa suami harus berpoligami, misalnya
karena istri tidak menjalankan kewajibannya, karena istri tidak dapat memberikan
keturunan dan untuk alasan khusus itu mahkamah boleh membenarkan
berpoligami. Di dalam Undang-Undang keluarga sudah diatur lengkap mengenai
prosedur dan tata cara berpoligami.
Pertanyaan
Apakah aturan yang mengatur tentang poligami ?
Dr Mohd Norshusairi: Malaysia mengatur di dalam Syeksen 23 Akta Undang-
Undang Keluarga Islam Wilayah persekutuan, dan juga aturan di setiap wilayah
berbeda tetapi pada umumnya wilayah persekutuan mengatur poligami di Syeksen
23.
Pertanyaan
Mengapa Malaysia menerapkan hukuman untuk poligami, dan apa alasannya ?
Dr Mohd Norshusairi: karena poligami ini sebelum ada aturan khusus mengenai
poligami dalam praktiknya sangat lah leluasa dan tanpa ada kawalan atau aturan
dan jika poligami di lakukan tanpa adanya regulasi yang ketat dia akan
memberikan efek yang negatif terhadap perempuan, pastilah istri akan terabai dan
istri akan di dzalimi. Karena tidak semuanya lelaki yang melakukan poligami itu
semuanya mampu. Oleh karena itu mahkamah berpendapat dan hakim
berpendapat poligami perlu di terapkan regulasi untuk mengetahui apakah suami
itu benar-benar mampu atau kah hanya sebatas nafsu. Maka dari itu mahkamah
akan bersiasat dalam melakukan poligami suami akan dipanggil beserta istri
pertama ke hadapan mahkamah, untuk mengetahui apakah suami mampu dari segi
keuangan, fisik, dan bahkan kemampuan bathin pun mahkamah harus mengetahui
kemampuan suami dan akan dipersoalkan oleh mahkamah.
Pertanyaan
Kalau untuk rujukan Malaysia menerapkan poligami, Apa rujukan Malaysia dan
bagaimana asal usul nya sehingga diterapkan hukuman poligami ?
Dr Mohd Norshusairi: Asal nya aturan tersebut adalah merupakan hasil dari siyah
ya, siyasah syari’iyyah dari setiap pejabat pemerintah atau setiap kerajaaan kita di
Malaysia.
Pertanyaan
Lalu, untuk mengajukan poligami apakah ada syarat khusus untuk berpoligami ?
Dr Mohd Norshusairi: syarat khusus ada yaitu mestilah suami berkemampuan.
Dan suadah ada dalam Enakmen keluarga islam. Dan yang terpenting adalah
perkawinan itu harus dibuktikan di mahkamah tidak sekedar perkawinan itu patut,
tetapi perlu.patut ini maksudnya suami tidak masalah untuk membagikan nafkah
kepada istri, berlaku adil kepada istri pertama kedua dan ketiga, itulah yang
dimaksud patut, kemudian perlu perkawinan itu perlu memungkinkan walaupun
perlu itu tidak terasa kepada istri dan anak-anaknya yaitu perlu rasa dan harus bisa
bertanggung jawab ke pada istri-istri dan anak-anaknya. Jadi mesti seharusnya
untuk membuktikan kepada mahkamah itu bahwa perkawinan itu patut dan perlu.
Pertanyaan
Bagaimana penerapan hukuman poligami di Malaysia ?
Dr. Mohd Norshusairi: Di Malaysia terdapat dua hukuman yaitu boleh Penjara
dan boleh denda, biasanya orang-rang memilih denda. Mengapa kesalahan
poligami diterapkan hukuman? Karena kesalahan poligami termasuk dalam
kategori matrimonial offence atau kesalahan kesalahan matrimony. Kesalahan
dalam perkawinan yang dibolehkannya dihukum denda atau penjara. Dan
dendanya 1000 RM atau penjara 6 bulan., atau kedua-duanya. Suami boleh
memilih, denda atau penjara, biasanya banyak yeng memilih denda. Tetapi
mahkamah boleh menjatuhkan hukuman kedua-duanya jika dilihat kesalahan
poligami itu banyak merugikan pihak istri.
Pertanyaan
Apakah hukuman poligami di Malaysia termasuk kedalam hukuman Jenayah
dalam tata hukum di Malaysia ?
Dr. Mohd Norsurshairi: Hukuman itu termasuk kedalam Jenayah metrimoni, jadi
jenayah metrimoni itu adalah hukuman jinayah yang bersangkutan dengan
perkawinan. Jadi metrimoni itu dalam dalam Bahasa inggris artinya perkawinan.
Jadi kalau metrimoni offence yaitu kesalahan dalam perkawinan semacam
menghasud pasangan untuk bercerai,tak menizinkan suami atau istri untuk tinggal
bersama atau tidur bersama layaknya kehidupan suami istri, sekaligus termasuk
dalam kelompok poligami tanpa kebenaran mahkamah
Pertanyaan
Jika dilihat di Malaysia menerapkan hukuman poligami berbeda mengenai hukum
islam yang tidak menerapkan hukuman itu sendiri, bagaimana pendapat dr. ,
apakah bertentangan dengan hukum Islam ?
Dr. Mohd Norshushairi: Jika kita lihat dia tidak bertentangan, karena dalam kitab-
kitab mazhab dan kitab peradilan agama membenarkan poligami, sedangkan
pemerintah hanya meregulasikan poligami tersebut supaya masyarakat tidak
menyalah gunakan kebenaran poligami yang telah islam benarkan poligami
tersebut. Sebab jika tidak ada regulasi yang mengkhususkan poligami akan
menyebabkan banyak mudharat pada masyarakat terutama kaum perempuan,
begitu juga akan merusak nilai-nilai maqashid Syariah yang seharusnya menjaga
keturunan, keluarga, dll takut terabaikan. Dibuatnya regulasi sendiri yaitu untuk
mengawal poligami, jadi tidak bertentangan karena itu termasuk kajian
pemerintah yaitu siyasah
Pertanyaan
Menurut pendapat bapak. hak-hak apa saja yang memang harus dipenuhi untuk
melakukan poligami ?
Dr. Mohd Norshusairi: Semua hak sudah wanita dapat, dan di Malaysia ini setelah
mahkamah memberikan regulasi tentang poligami mahkamah juga melakukan
define atau menjaga untuk menetapkan harta bersama, dimana harta pencaharian
istri pertama harus dipisahkan dengan harta pencaharian suami yang ingin
melakukan poligami, walaupun harta pencaharian tidak termasuk dalam kajian
poligami tetapi mahkamah memberikan intruksi kepada suami tersebut untuk siap
siap bahwa harta pencaharian dan harta bawaan akan dipisah antara suami dan
istri pertama. ketika suami sudah melakukan perkawinan dengan istri kedua harta
tersebut tidak boleh dibagi kepada istri kedua, sebab tiada hak istri kedua
mendapatkan harta bersama suami dari pernikahannya dengan istri yang pertama.
Maka dari itu gunanya mahkamah membagi dulu antara harta pencaharian suami
dengan istri pertama sebelum adanya perkawinan dengan calon istri kedua, agar
istri pertama tetap mendapatkan haknya dimana istri pertama sudah menemani
masa-masa sulit dan jatuh bangun dengan suaminya kemudian setelah suaminya
sudah kaya dan merasa mampu untuk berpoligami istri pertama tadi terabaikan
dan begitulah biasanya yang terjadi di Malaysia, karena perlunya pemisahan harta
agar istri pertama tidak terabaikan maka sebelum mengajukan kebenaran poligami
mahkamah menetapkan persoalan harta terlebih dahulu itulah hak khusus yang
diberikan mahkamah, adapun hak-hak lain seperti biasa hak nafkah, hak tempat
tinggal, dan hak hak adil dalam kebutuhan batin.
Foto Bersama Dr. Mohd Norshusairi Dosen Senior Lecturer in Departement
Sharia and Law, Academy of Islamic Studies Universiti of Malaya
Wawancara Dosen Universiti Sains Islam Malaysia
Nama: Prof. Madya. Dr. Irwan Bin Mohd Subri
Pendidikan: S1 (Al-Azhar), S2 (Universiti Kebangsaan Malaysia), S3 (UIAM)
Pekerjaan: Advokat Syarie (Negeri Sembilan). Dosen Fakulti Syariah Universiti
Sains Islam Malaysia
Email/Tlp: [email protected] / (+6)013 354 359
Interview Poligami:
Saya: Apakah landasan hukaman poligami tanpa izin mahkamah, apakah ada
factor-faktornya sehingga di Malaysia menerapkan hukuman bagi pelaku yang
berpoligami tanpa izin mahkamah?
Dr. Irwan: kalau kita merujuk di Malaysia agak unik ada 14 negeri, 14 negeri ini
mempunyai undang-undang tersendiri yang disebut syeksen, pada dasarnya
undang-undang/syeksen ini hampir sama diseluruh negeri yang membedakan
hanya penomorannya saja. Diantaranya enakmen jenayah Syariah, enakmen
Keluarga Islam, dan Enakmen tatacara Mal. Mengenai secara umumnya bahwa
Poligami Tanpa kebenaran Mahkamah merupakan suatu Kesalahan. Dan
kebiasaan masyarakat berpoligami disini adalah kebanyakan dari mereka
berkawin diluar Malaysia, kebanyakan mereka berkahwin di Thailand (Pattani).
Mereka menikah disana kemudian mendaftarkan perkawinannya disana maka itu
dianggap suatu kesalahan. Dan suatu kesalahan itu akan di Denda sebesar 1,000
RM. Jadi poligami tanpa kebenaran mahkamah itu adalah satu kesalahan itu
termaktub dalam Undang-undang kita
Saya: jika melihat dari hukum islam sendiri bahwa poligami dalam hukum islam
tidak menerapkan hukuman, sedangkan dimalaysia menerapkan hukuman
poligami, bagaimana pendapat prof mengenai hal ini?
Dr. Irwan: seperti yang dikatakan tadi bahwa apapun untuk memutuskan suatu
hukum mesti berdasarkan nash atau dalil, tetapi jika tiada dalil yang menyatakan
hal ini, maka ini kembali lagi terhadap pihak pemerintah untuk melaksanakan apa-
apa saja undang-undang yang dirasakan sesuai, dan ini berdasarkan Siyasah
Syar’iyyah, kenapa?, jika ada pihak yang bertanya kenapa diadakan undang-
undang yang menghukum poligami tanpa kebenaran mahkamah? Karena
sebelum-sebelum itu telah banyak kes/ kasus mengenai poligami yang si suami
telah menzhalimi isteri pertamanya khusus nya karena pada praktiknya bila
dikawin yang kedua banyak yang terabaikan terus kepada isteri pertamanya
terutama dari segi nafkah nya, pendidikannya, kesehatannya diabaikan terus. Jadi
hukuman ini berguna untuk membantu untuk memberikan kebaikan kepada isteri
pertama. Dalam kehati-hatian berkahwin dua. Jadi jika ingin berkahwin dua boleh
tetapi mohon izin dulu. Tetapi jika ingin diadu misalkan, mana ada nash mau
kahwin dua suami kena ingin izin dahulu terhadap mahkamah. Memang jika
dilihat dari Qur’an dan hadits tidak ada. Tetapi itu sebagai siyasah syar’iyyah
untuk menjaga. Sebab saya sendiri adalah pengamal poligami. Jadi saya harus
minta izin dulu dari mahkamah. Dan itu ada prosedurnya. Yaitu kalau ingin
berkahwin dua kita perlu beri penghujahan atau alasan ingin berpoligami
dihadapan hakim, jadi akan ditanyakan kenapa mau berkahwin dua?. Jadi kita
harus berikan alasannya ditulis, alasan 1,2,3,4, dan seterusnya sebab-sebabnya.
Dan juga akan ditanyakan apa yang mau kamu beri kepada isteri pertama dan
kedua, dari segi bermalam? Berapa hari kamu mau beri bermalam? Itu perlu
ditulis secara bertulis dalam dokumen yang mana dokumen itu perlu diberikan
kepada hakim, jadi hakim akan melihat. Kalau dia puas hati maka dia akan
panggil si suami, istri pertama, dan bakal isteri kedua, dan juga dia akan panggil
wali dari bakal isteri kedua. Dia akan tanya kepada isteri pertamanya “puan/
nyonya, setujukah suami puan berkahwin lagi?”, kalau misalnya si isteri pertama
berkata tidak setuju. Maka si isteri ini perlu membuat penghujahan atau alasan
secara tertulis. Wah ini suami saya tidak pernah beri nafkah, tidak adil dan sering
pukul misalnya alasannya. Maka untuk pembicaraan setelah itu hakim akan
melihat semua itu. Dan tidak semestinya contoh kalau saya misalnya bisnismen
kemudian saya punya duit banyak misalnya, kemudian ada kesepakatan antara
saya dengan isteri pertama dan kedua saya dalam pembagian nafkah. Untuk isteri
pertama 30.000 RM dan isteri kedua pun sama 30.000 RM. Hakim tidak akan
melihat semata-mata hanya terbatas pada duit itu, tetapi hakim akan melihat dari
banyak faktor. Dan tidak semestinya juga kalau gaji yang banyak dua atau tiga
ribu ringgit tidak bisa kahwin dan tidak berpengaruh pada hakim. Semuanya
bergantung pada penelitian hakim, itu prosedurnya. Dan saya juga ada
pengalaman masuk kamar mahkamah berhadapan pada hakim juga berbincang-
bincang kepada pegawai yang ada disitu dan pengalaman saya sendiri mengatakan
bahwa proses berpoligami itu sangat lama sekali kurang lebih 6 bulan. Pada
pertemuan pertama dan kedua isteri tidak datang dan pada pertemuan ketiga
datang tetapi isteri pertama saya langsung bilang tidak setuju langsung hakim
berkata pertemuan ditangguhkan dan diminta untuk pulang untuk membuat
penghujahan atau alasan secara tertulis kemudian berjumpa lagi bulan depan.
Seterusnya seperti itu sampai 6 bulan, bahkan ada yang 1 tahun, 2 tahun,
mengikuti info yang diberikan pegawai mahkamah. Kadang-kadang ada saja yang
ghibah atau mengeluh mengenai prosedur poligami yang sangat lama. Tetapi
kenapa di Malaysia pada paraktiknya banyak yang melakukan kahwin lari ataupun
perkawinan poligami di Siam atau di Thailand ini karena melihat prosedur izin
poligami ini yang sangat lama. Kalau isteri pertama itu mengizinkan itu mudah
prosesnya apa lagi jika datang serentak semua isteri pertama, wali, kemudian
bakal isteri kedua semuanya sepakat setuju itu lebih mudah, karena hanya datang
sekali kemudian bawa penghujahan atau alasan tertulis itu hakim kemudian lihat
dan ok hakim menyetujui nya langsung dan kemudian dia akan bagi surat
lanjutan, itulah mudahnya mungkin hanya butuh satu kali pertemuan saja. Tetapi
kalau satu kali tidak datang kemudian langsung akan ditangguhkan apalagi dua
kali dan seterusnya. Kalau misalnya contoh kamu hendak ingin berpoligami atau
tiga kali isteri anda langsung tidak datang, kemudian anda langsung meminta
kepada hakim misalnya “yang mulia mohon yang mulia langsung putuskan saja,
saya sudah tidak sabar nih” misalnya. Tetapi Hakim tidak boleh langsung
memutuskan begitu saja hakim mempunyai pendapat sendiri dan kewenangan
sendiri untuk berhak mendengarkan langsung dari isteri pertama anda, karena
hakim ingin tahu cerita sendiri dari isteri apakah si suami layak untuk berpoligami
atau tidak.
Saya : Prof lalu di Malaysia ini terutama di selangor apakah ada fatwa tersendiri
yang mengatur hukuman poligami tanpa kebenaran mahkamah?
Dr. Irwan : sepemahaman saya fatwa hukuman poligami itu tidak ada, dan kenapa
kesalahan poligami itu diadakan karena kesalahan untuk pelaku poligami ini
langsung duduk di dalam perundang-undangan enakmen jenayah Syariah itu
kesalahan berkahwin tanpa kebenaran mahkamah. Kalau disini apa bila mengenai
hukuman jika dijadikan undang-undang itu kedudukannya lebih kuat ketimbang
fatwa, maka oleh sebab itu diberikan hukuman 1000 RM.
Saya : tetapi apakah setelah denda itu apakah ada hukuman lain atau hanya denda
saja prof?
Dr Irwan : tidak karena dia sudah termaktub dalam undang-undang dan memang
hanya denda saja kalaupun kurungan yaitu tidak lebih dari 6 bulan
Saya: kemudian maaf Prof karena tadi prof menyebutkan prof sendiri
mempraktikan poligami itu apakah susah dalam praktiknya?
Dr Irwan: mengenai susah atau tidaknya itu tergantung individu, tetapi yang sudah
saya sebutkan tadi bahwa yang paling mudah dalam prosedurnya itu jika
semuanya setuju, tetapi jika isteri pertama tidak setuju itu memang sedikit
masalah waktunya. Tetapi bukan berarti jika isteri pertama tidak setujupun tidak
membenarkan, tetapi disitu hakim akan melihst tergantung pada keadaan suami
atau isteri tersebut, yang paling menentukan adalah tergantung pada dokumen
penghujahan atau dokumen mengenai tentang alasan-alasan berpoligami.
Sejauhmana si suami ini bisa mengajukan alasan-alasan tertentu terhadap
mahkamah itu. Sebab banyak kasus yang ada walaupun si suami ini mampu atau
gaji nya besar sekitar dua atau tiga ribu ringgit Malaysia itu tetapi tidak
mempengaruhi putusan hakim.
Saya : selanjutnya bagaimana tanggapan prof mengenai prosedur yang sekarang
ini setuju atau tidak kah?
Dr Irwan : bagi saya prosedur yang saat ini sudah bagus, mungkin lah mungkin
orang akan banyak mempertanyakan, kenapa perlu ditangguhkan selama satu
bulan? Karena pada dasarnya mahkamah itu sendiri ingin memberikan peluang
kepada suami isteri agar bisa mendiskusikan dengan matang dan bisa
memaparkan suatu penghujahan atau alasan yang kuat untuk berpoligami, kalau
bisa dibilang apabila diberikan waktu singkat untuk mengirim penghujahan pun
tidak akan sempat, misalnya ketika istri tidak mengizinkan kemudian
ditangguhkan langsung esok harinya pasti tidak akan sempat untuk memberikan
alasan yang kuat. Tetapi pada dasarnya mungkin untuk penangguhan sendiri tidak
perlu menunggu satu bulan lamanya relatifnya satu minggu pun dirasa sudah
cukup untuk bisa bermediasi antara suami isteri.
Saya : tetapi apakah ada syarat tambahan di dalam aturan berpoligami di
Selangor, misalnya gaji harus sekian punya rumah atau kekayaan sekian?
Dr Irwan : tidak ada, yang penting adalah syarat izin isteri pertama dan
penghujahan, kalau pun isteri tidak setuju hakim juga akan tetap melihat
penghujahan itu.
Saya : pertanyaan terakhir prof apakah ada saran untuk rujukan tema hakim
perempuan dan hukuman poligami
Dr. irwan : untuk teorinya pada dasarnya mengenai tajuk atau judul tersebut
memang itulah yang dipakai kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab fiqih muqoronah
Cuma mengenai praktiknya di Malaysia banyak-banyak merujuk pada Amalan
Jabatan Kehakiman Malaysia dan mungkin untuk tema hukuman poligami sendiri
bisa merujuk sama tadi kitab-kitab fiqih perkawinan, rukun-rukunnya dan bisa
merujuk pada enakmen undang-undang keluarga islam Maalaysia atau dan
enakmen kesalahan jenayah Syariah setiap negeri atau salah satu negeri misalnya
di Selangor.
Foto Bersama Prof. Madya. Dr. Irwan Bin Mohd Subri Dosen Fakulti Syariah
Universiti Sains Islam Malaysia
Interview Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Jakarta, 12 Oktober 2019
Nama Hakim: Na’im
Usia: 54 Tahun
Tempat dan tanggal lahir: Medan, 15 Maret 1965
Profil Pendidikan:
S1 Fakultas syari’ah IAIN Sumatera Utara Lulus tahun 1991
S1 Hukum Univ Al washliah Medan Lulus 2002
Profil Riwayat Pekerjaan:
CPNS 1993-2004 di Pengadilan Agama Balige
Sebagai Hakim diangkat 31 Desember 1997 sampai sekarang
Dimutasi ke pengadilan agama kisaran dari 2004-2010
Menjadi wakil ketua Mahkamah Syar’iyyah di Gayo 2014
Pertanyaan
1. Bagaimana perkembangan praktik poligami di Indonesia?
Jawaban hakim :
Jujur saja bahwa poligami yang ada di Indonesia saat ini adalah poligami
liar tidak terdaftar di pengadilan agama karena seyogyanya sesuai dengan
pasal 3 seorang laki-laki yang ingin menikah kembali dengan istri barunya
harus ada izin dari Pengadilan Notabene jika terkait dengan orang Islam
Pengadilan Agama, kemudian pasal 4 dan 5 menentukan syarat-syarat
yaitu ada syarat kumulatif dan fakultatif seperti yang diketahui, jadi
manakala poligami tanpa izin Pengadilan jadi poligami itu tidak dapat
perlindungan hukum artinya nikahnya itu nikah liar
2. Bagaimana praktik poligami di Pengadilan Agama ?
Jawaban Hakim:
Sesuai dengan petunjuk pedoman pelaksanaan Peradilan Agama untuk
Hakim buku 2 edisi revisi tahun 2013 memberikan petunjuk pada hakim,
bahwasannya izin poligami adalah merupakan jenis perkara kontentius
bahwa seorang laki-laki jika mempunyai seorang istri A kemudian si laki-
laki ingin mempunyai istri lagi yaitu si B jadi si suami harus mengajukan
permohonan izin dahulu kepada Pengadilan Agama supaya diberi izin
untuk menikah kembali dengan calon istrinya si B tetapi dengan
menududukan istri yang pertamanya tadi sebagai pihak, itulah yang
dimaksud dengan kontentius.
3. Bagaimana Sikap Peradilan Agama dalam Menangani perkara
poligami Liar?
Jawaban Hakim:
Pengadilan Agama bersikap pasif, hakim tidak mencari perkara tetapi
menerima segala perkara. Hanya saja jika poligaminya ingin mendapat
perlindungan hukum tentu poligaminya harus didaftarkan ke Pengadilan
Agama. Kalau misalnya meskipun saya seorang hakim kemudian ada
tetangga saya yang poligami liar saya tidak berwenang mencari perkara-
perkara diluar Pengadilan Agama. Artinya poligami tadi tidak mendapat
perlindungan hukum ketika poligami tidak mendapat perlindungan hukum
seketika itu juga anak hasil poligami itu juga tidak akan mendapatkan
perlindungan hukum.
4. Apakah di Indonesia menerapkan sanksi poligami liar?
Jawaban Hakim:
Selama ini di Pengadilan Agama tidak menerapkan sanksi, sanksi nya
hanya tidak mendapat perlindungan hukum anak yang lahir dari poligami
liar tersebut dan dia juga tidak akan terdaftar sebagai warga negara yang
karena dia tidak akan mempunyai kartu keluarga, akta kelahiran, dan lain-
lain. Hal ini karena pernikahan itu tidak tercatat. Oleh karena itu
seharusnya siapapun yang ingin berpoligami seharusnya ke Pengadilan
Agama, di Pengadilan kemudian akan memeriksa poligami tersebut,
kemudian hakim juga akan mendengarkan berbagai alasan para pihak. Jika
memenuhi persyaratan kumulatif dan alternative tersebut maka poligami
itu akan disahkan, kemudian KUA akan segera mencatatkan pernikahan
poligami itu. Maka setelah dicatatkan akan keluar buku nikah. Jika ada
buku nikahnya maka anak hasil poligami itu akan mendapatkan hak
kewarganegaraannya dan hak-hak lainnya.
5. Di dalam PP No.9 tahun 1975 dalam Pasal 45 menerapkan hukuman
denda 7500 dan penjara 3 bulan apakah undang-undang itu
diterapkan dalam praktiknya?
Jawaban Hakim:
Pengadilan bukan sebagai pelaksana putusan, tetapi pelaksana putusan
adalah tugas dari kejaksaan atau kepolisian. Seandainya ada orang yang
melakukan praktik poligami tanpa izin Pengadilan tentunya bukan tugas
Pengadilan, hal itu sudah termasuk tugas Jaksa atau kepolisian. Apabila
ada pihak yang keberatan misalnya maka menuntut hal tersebut itu bukan
termasuk ranah Pengadilan Agama tetapi masuk ke ranah Pengadilan
Umum karena menangani pidana, “Kenapa poligami tanpa izin
pengadilan” dituntut hal tersebut di Pengadilan Umum dan dikenakan
7.500 dendanya atau kurungan 3 bulan. Dan hal ini sudah termasuk
kedalam delik aduan karena menyembunyikan poligami liar, dan salah
satu pihak yang bisa mengadukan tersebut yaitu istri tuanya atau istri yang
dipoligami.
6. Apakah ada persamaan atau perbedaan dalam beracara di peradilan
bagi poligami liar yang PNS dan poligami liar Non PNS?
Jawaban Hakim:
Justru di PNS aturan ini sangat ketat, diadakannya aturan ini adalah
dengan tujuan tertib masyarakat. Khusus bagi PNS terikat pada aturan PP
No. 10 tahun 1983 Jo. PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perceraian dan
izin poligami bagi PNS khusus pasal 4 nya mengatur poligami dan pasal 3
nya mengatur perceraian. Jadi seorang suami yang akan menikah kembali
selain dia harus meminta izin dari Pengadilan Agama dia juga harus
mendapatkan izin dari atasan atau pejabat ditempat dia bekerja.
7. Apakah ada hukuman poligami liar bagi PNS ?
Jawaban Hakim:
Kalau untuk sanksi bagi PNS pasti ada karena banyak aturan yang
mengatur. Pertama sanksi disiplin sesuai PP No. 53 tahun 2010, dan aturan
lain yang berkaitan dengan kepegawaian harus ditaati oleh PNS, ada juga
PP No. 30 tahun 1980 yang mengatur. Sanksi nya bisa ada teguran
pernyataan tidak puas, penundaan gaji berkala, bahkan sampai pemecatan.
8. Apakah sanksi bagi PNS tersebut juga merupakan kewenangan
Pengadilan Agama?
Jawaban Hakim:
Pengadilan Agama adalah pengadilan yang menangani perkara orang-
orang Islam sesuai dengan Asas Personalitas, dan tanpa terkecuali juga
mereka yang PNS. Tetapi dalam hal Sanksi Pengadilan Agama tidak
memberikan sanksi, Pengadilan Agama hanya memutuskan saja, yang
memberikan sanksi bagi PNS itu adalah atasannya dimana dia bekerja,
tanpa terkecuali juga didalam lembaga Pengadilan Agama apabila ada
salah satu anggota PNS yang melakukan poligami liar maka akan
diberikan sanksi oleh atasannya dalam hal ini ketua Pengadilan Agama di
wilayah tersebut.
9. Menurut hakim bagaimana seharusnya undang-undang poligami
diatur agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak wanita?
Jawaban Hakim:
Sebenarnya dengan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
diterapkan saat ini, itu merupakan sanksi moral dalam hal teguran bagi
para pelaku poligami liar itu. Tetapi jika memang ada regulasi yang
mengatur sanksi silahkan saja diatur supaya memang lebih tegas. Tetapi
jika melihat dari segi kerugian baik istri pertama yang dipoligami dan istri
kedua yang berpoligami sama-sama dirugikan. Istri pertama dirugikan
karena merasa dibohongi dan lain-lain istri kedua yang dipoligami liar
akan berdampak pada anaknya yang tidak mendapatkan keabsahan dari
negara, tetapi jika memang ada sanksi untuk mengurangi kerugian itu
silahkan saja diatur. Karena dalam hal ini Pengadilan hanya menjalankan
regulasi yang telah ditetapkan oleh DPR tetapi jika memang diadakan
aturan secara personal mengenai poligami itu akan lebih bagus karena
jelas hukumnya
10. Bagaimana sikap hakim terhadap seorang istri yang dipaksa untuk
memberikan izin poligami bagi suami?
Jawaban Hakim:
Dalam hal ini memang praktik seperti ini banyak, mungkin karena
memang maksudnya untuk menutupi aib karena sudah mendalam
hubungan suami dengan wanita yang di idamkan itu istri pertama akhirnya
secara terpaksa menyetujuinya karena untuk menutupi aib, Cuma yang
lebih ditekankan lagi ketika ada perkara poligami kemudian hakim
memeriksa “ada” atau “tidak ada” izin dari istri tuanya, suaminya wajib
membuat surat pernyataan akan berlaku adil terhadap para istrinya. Dan
adil termasuk syarat utama dari izin poligami tersebut. Tetapi nyatanya
banyak yang melakukan poligami hanya berlandaskan nafsu saja. Tetapi
bila ada perkawinan poligami yang secara resmi atau poligami yang
disahkan dikabulkan oleh Pengadilan Agama dan suami telah berjanji
untuk berlaku adil, di tengah pernikahan poligami tiba-tiba suami mulai
tidak adil terhadap salah satu istrinya dan merasa dirugikan itu adalah
termasuk tindakan oneprestasi, jalan yang ditempuh di Pengadilan Agama
kebanyakan istri melakukan cerai
Foto Bersama Bapak Naim Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat