s. chazali h. situmor dr. drs. chazali h. situmorang, apt, mrepository.unas.ac.id/305/1/kebijakan...

337
(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan) (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi K e bijakan) Dr . Drs. Chazali H. Situmor ang, Apt, M.Sc Dosen FISIP Univ ersitas Nasional D S S DI D SSDI Penerbit: KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan) engan adanya buku ini maka proses belajar dan mengajar D khususnya dalam mata kuliah Kebijakan Publik dapat lebih mencapai sasaran pendidikan dan substansinya dapat dipahami dengan lebih mendalam. Sering kita membaca di berbagai media, banyaknya sikap masyarakat yang menolak Kebijakan Publik dimaksud, karena dianggap merugikan dan tidak adil, serta diskriminatif. Hal ini dikarenakan banyak Kebijakan Publik mengedepankan kepentingan politik dari pada prinsip-prinsip dan filosofi Kebijakan Publik yang tercantum dalam teori-teori Kebijakan Publik. Sehingga tidak heran kalau berbagai regulasi tidak dipatuhi oleh masyarakatnya dan itu tentu merugikan semua pihak, pemerintah dan masyarakat. Bagi para peminat dan menekuni Kebijakan Publik, semoga buku ini bermanfaat. D SSDI Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Upload: others

Post on 01-Aug-2020

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

(Teori Analisis, Im

plementasi dan Evaluasi K

ebijakan)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.ScDosen FISIP Universitas Nasional

DSSDID

SSDI

Penerbit:

KEBIJAKAN PUBLIK(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

engan adanya buku ini maka proses belajar dan mengajar

Dkhususnya dalam mata kuliah Kebijakan Publik dapat lebih

mencapai sasaran pendidikan dan substansinya dapat dipahami

dengan lebih mendalam. Sering kita membaca di berbagai media,

banyaknya sikap masyarakat yang menolak Kebijakan Publik dimaksud,

karena dianggap merugikan dan tidak adil, serta diskriminatif. Hal ini

dikarenakan banyak Kebijakan Publik mengedepankan kepentingan politik

dari pada prinsip-prinsip dan filosofi Kebijakan Publik yang tercantum

dalam teori-teori Kebijakan Publik. Sehingga tidak heran kalau berbagai

regulasi tidak dipatuhi oleh masyarakatnya dan itu tentu merugikan semua

pihak, pemerintah dan masyarakat. Bagi para peminat dan menekuni

Kebijakan Publik, semoga buku ini bermanfaat.

DSSDI

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 2: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEBIJAKAN PUBLIK(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Penyusun:

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.ScDosen FISIP Universitas Nasional

DSSDI

Page 3: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak CiptaPasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasannya menurut perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72

(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Penerbit:SOCIAL SECURITY DEVELOPMENT INSTITUTE

Depok, Maret 2016

KEBIJAKAN PUBLIK(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 5: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Disususn Oleh: Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Cetakan Pertama, Maret 2016

Diterbitkan Oleh:SOCIAL SECURITY DEVELOPMENT INSTITUTE (SSDI)Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik IndonesiaNomor AHU-0006189.AH.01.04. Tahun 2016.

Pesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota DepokTelp/Fax : (021) 77840967/(021) 77840968Email : [email protected] : www.jurnalsocialsecurity.com

Desain sampul : Wahyu Triono KSLayout dan Tata Letak : Wahyu Triono KSPemeriksa Aksara/Bahasa : Wahyu Triono KS dan Julhan Evendi SianturiPercetakan/Distribusi : Khamdani, SE (CV. Khalifah Mediatama)

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Situmorang, Chazali H, Dr. Drs. Apt, M.ScKEBIJAKAN PUBLIK

(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan/Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, MSc ; -- Cet. 1 -- Depok:Social Secururity Development Institute (SSDI), 2016.

324 hlm dan XII hlm. ; 22,00 cm x 15,00 cm

ISBN 978 - 602 - 74018 - 1 - 5

1. Kebijakan Publik. I. Judul

320.6

KEBIJAKAN PUBLIK(Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 6: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

V

uku Kebijakan Publik (Teori Analisis, Im-

Bplementasi, dan Evaluasi Kebijakan), sudah

lama direncanakan untuk diterbitkan sejak

kami mengajar Mata Kuliah Kebijakan Publik di

Jurusan Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Nasional (FISIP UNAS),

lima tahun yang lalu.

Dan buku Kebijakan Publik begitu banyaknya

ada di berbagai toko buku dan tidak mungkin mahasis-

wa membeli semua buku tersebut. Dengan pertimba-

ngan tersebut, kami menyusun buku ini dengan meng-

himpun tulisan dari berbagai buku yang berkaitan

dengan kebijakan publik sebagaimana yang tercantum

dalam Daftar Pustaka.

Dengan adanya buku ini maka proses belajar dan

mengajar khususnya dalam mata kuliah Kebijakan

Publik dapat lebih mencapai sasaran pendidikan, dan

substansinya dapat dipahami dengan lebih mendalam.

Selama ini, materi perkuliahan ini kami susun

menjadi diktat, dan kali ini diterbitkan dalam bentuk

buku oleh Social Security Development Institute,

sebagai lembaga yang bergerak dalam penerbitan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

KATA PENGANTAR

Page 7: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

VI

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

buku, jurnal, kajian, penelitian dan pelatihan dalam bi-

dang sosial, kesehatan, ketenagakerjaaan dan bidang-

bidang lainnya.

Ilmu tentang Kebijakan Publik, merupakan pe-

ngetahuan yang terus berkembang, sesuai dengan per-

kembangan sistem Pemerintahan di dunia ini. Dalam

kehidupan sehari-hari dalam bernegara, bermasyara-

kat tidak lah lepas dari Kebijakan Publik.

Keluarnya Undang-Undang, Peraturan Pemerin-

tah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan

Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Pera-

turan Walikota dan level level dibawahnya adalah ben-

tuk Kebijakan Publik, yang mengatur kepentingan

masyarakat dalam bidang-bidang tertentu.

Pertanyaannya, sering kita membaca di berbagai

media, banyaknya sikap masyarakat yang menolak

Kebijakan Publik dimaksud, karena dianggap merugi-

kan dan tidak adil, serta diskriminatif.

Jawabannya tidak sulit, yaitu banyak Kebijakan

Publik mengedepankan kepentingan politik dari pada

prinsip-prinsip dan filosofi Kebijakan Publik yang

tercantum dalam teori-teori Kebijakan Publik.

Sehingga tidak heran kalau berbagai regulasi

tidak dipatuhi oleh masyarakatnya, dan itu tentu meru-

gikan semua pihak, pemerintah, dan masyarakat.

Page 8: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Kami menyadari penyusunan buku ini masih

belum rapi, mungkin masih ada kesalahan-kesalahan

redaksi, dan untuk itu akan kami perbaiki dan terus

disempurnakan.

Pada kesempatan ini kami berterimakasih kepa-

da saudara Wahyu Triono.KS, dan Julhan Evendi

Sianturi, dan Khamdani, tiga sahabat kami yang luar

biasa membantu proses penerbitan buku ini.

Bagi para peminat dan menekuni Kebijakan

Publik, semoga buku ini bermanfaat.

Terimakasih.

Jakarta. Maret 2016

Penyusun,

Dr. Drs. Chazali H.Situmorang, Apt, M,Sc

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

VII

Page 9: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

VIII

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 10: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

HAL

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................DAFTAR ISI ................................................................

BAB I ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK ......... 1. Pendahuluan: Analisis Kebijakan Dalam

Pembuatan Kebijakan .............................. 1.1. Proses Pembuatan Kebijakan ............ 1.1.1. Perumusan Masalah ................ 1.1.2. Peramalan ............................... 1.1.3. Rekomendasi .......................... 1.1.4. Pemantauan ............................. 1.1.5. Evaluasi .................................. 2. Metodologi Untuk Analisis Kebijakan ..... 2.1. Konteks Sejarah Analisis Kebijakan .. 2.1.1. Asal Muasal ............................. 2.1.1.1. Kode Hammurabi ....... 2.1.1.2. Ahli Nujum ................. 2.1.1.3. Pengetahuan yang Ter-

spesialisasi Pada Mas-yarakat Abad Perte-ngahan ........................

2.1.1.4. Revolusi Industri ........ 2.1.2. Latar Belakang Abad Kesembi-

lan Belas .................................. 2.1.2.1. Pertumbuhan Peneli-

tian Empiris ................ 2.1.2.2. Munculnya Stabilitas

Politik ......................... 2.1.2.3. Sumber-Sumber Prak-

tis Dari Pengetahuan yang Terspesialisasi ....

VIX

1

1156789

1111141416

1921

22

23

29

31

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

IX

Page 11: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2.1.3. Abad Keduapuluh ................... 2.1.3.1. Profesionalisasi Ilmu

Sosial .......................... 2.1.4. Menuju Masyarakat Pasca

Industri .................................... 2.1.4.1. Pelembagaan Advoka-

si Kebijakan ................ 2.1.4.2. Analisi Kebijakan di

Dalam Masyarakat Pasca Industri .............

2.1.4.3. Bimbingan Teknokra-tis Vs Konseling Tek-nokratis .......................

2.1.4.4. Penilaian ..................... 2.2. Ringkasan ......................................... 3. Metode-Metode Untuk Analisis Kebija-

kan ........................................................... 3.1. Sifat Masalah-Masalah Kebijakan ..... 3.1.1. Di Luar Perumusan Masalah .... 3.1.2. Ciri-Ciri Masalah .................... 3.1.3. Masalah-Masalah Vs Isu-Isu ... 3.1.4. Tiga Kelas Masalah Kebijakan. 3.2. Perumusan Masalah Dalam Analisis

Kebijakan .......................................... 3.2.1. Kreativitas Dalam Merumus-

kan Masalah ............................ 3.2.2. Fase-Fase Perumusan Masalah 3.2.3. Kesalahan Tipe Ketiga (EIII) ... 3.3. Tipe-Tipe Model Kebijakan .............. 3.3.1. Model Deskriptif ..................... 3.3.2. Model Normatif ....................... 3.3.3. Model Verbal ........................... 3.3.4. Model Simbolis ....................... 3.3.5. Model Prosedural .................... 3.3.6. Model Sebagai Pengganti dan

Perspektif ................................ 3.4. Metode-Metode Perumusan Masalah 3.4.1. Analisis Batas .......................... 3.4.2. Analisis Klasikasi .................. 3.4.3. Analisis Hirarkis ......................

35

36

41

42

44

475358

626364697580

86

88899599

102103105106109

112117117123135

X

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 12: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

3.4.4. Sinektika .............................. 3.4.5. Brainstorming ...................... 3.4.6. Analisis Perspektif Berganda 3.4.7. Analisis Asumsi ................... 3.5. Ringkasan ....................................... 3.6. Latihan-Latihan ..............................

BAB II IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PU-BLIK ...........................................................

1. Konsep Implementasi Kebijakan ............. 1.1. Studi Implementasi ......................... 1.2. Perspektif Teoritik ........................... 1.3. Model Proses Implementasi Kebija-

kan .................................................. 1.4. Kecenderungan Pelaksana (Imple-

mentator ......................................... 1.5. Masalah Kapasitas .......................... 1.6. Kesimpulan ..................................... 2. Model Implementasi Kebijakan George

Edwards III .............................................. 2.1. Komunikasi ..................................... 2.2. Sumber-Sumber .............................. 2.3. Kecenderungan-Kecenderungan ..... 2.4. Struktur Birokrasi ........................... 2.5. Pengaruh Struktur Organisasi Bagi

Implementasi (SOP) ........................ 2.6. Fragmentasi .................................... 2.7. Masalah dan Prospek ....................... 2.8. Kebijakan-Kebijakan yang Cende-

rung Menghadapi Masalah .............. 2.10. Prosepek Untuk Memperbaiki Im-

plementasi ...................................... 2.11. Kesimpulan ....................................

BAB III EVALUASI DAN DAMPAK KEBIJA-KAN PUBLIK ............................................

1. Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan Publik ....... 2. Langkah-Langkah Dalam Evaluasi Kebi-

jakan ........................................................ 3. Dampak Kebijakan ..................................

140143150155162168

173173176182

188

201211215

216218228241254

257260262

268

276280

281284

288289

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

XI

Page 13: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

4. Masalah-Masalah Dalam Evaluasi Kebi-jakan ........................................................

5. Perubahan dan Penghentian Program Kebijakan ................................................

6. Kesimpulan .............................................

BAB IV PENUTUP ..................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................

BIO DATA PENYUSUN .............................................

299

311315

317

319

321

XII

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 14: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1

1. Analisis Kebijakan Dalam Proses Pembuatan Kebijakan

1.1. Proses Pembuatan Kebijakanroses analisis kebijakan adalah serangkaian Paktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat

politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan se-bagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Tabel 1-1).

Analisis kebijakan dapat menghasilkan informa-si yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi klien yang dibantunya. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomuni-kasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebija-kan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu.

Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikut-nya dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan

BAB I

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

Page 15: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap di tengah, dalam lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur dapat membuahkan penge-1

tahuan yang relevan dengan kebijakan yang secara langsung mempengaruhi asumsi, keputusan dan aksi dalam satu tahap, yang kemudian secara tidak lang-sung mempengaruhi kinerja tahap-tahap berikutnya.

Aktivitas yang termasuk dalam aplikasi prosedur analisis kebijakan adalah tepat untuk tahap-tahap ter-tentu dari proses pembuatan kebijakan, seperti ditun-jukkan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) dan oval yang digelapkan (prosedur anali-sis kebijakan) dalam gambar 1-1. Terdapat sejumlah cara di mana penerapan analisis kebijakan dapat mem-perbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya.

Tabel 1.1. Tahap-Tahap Dalam Proses Pembuatan Kebijakan

___________________1 Lihat Mengenai dinamika tahap-tahap proses pem-

buatan kebijakan, lihat Charles O. Jones, An Introduction to the Study of Public.

FASE

Penyusunan Agenda

KARAKTERISTIK

Para pejabat yang dipi-lih dan diangkat me-nempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya di-tunda untuk waktu lama.

ILUSTRASI

Legislator Negara dan kosponsornya menyiap-kan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk di-pelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.

2

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 16: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Formulasi Kebija-kan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Ke-bijakan

Penilaian Kebija-kan

Para pejabat merumus-kan alternatif kebijakan untuk mengatasi masa- lah. Alternatif kebijakan melihat perlunya mem- buat perintah eksekutif, keputusan peradilan dan tindakan legislatif.

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan du-kungan dari mayoritas le-gislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

Kebijakan yang telah di-ambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya nancial dan manusia.

Unit-unit pemeriksaan dan akuntansi dalam pe-merintahan menentukan apakah badan-badan ekse-kutif, legislatif, dan pera-dilan memenuhi persyara-tan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Peradilan Negara Ba-gian mempertimbang-kan pelarangan penggu-naan tes kemampuan standar seperti SAT de-ngan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas.

Dalam keputusan Mah-kamah Agung pada ka-sus Roe v. Wade terca-pai keputusan mayori-tas bahwa wanita mem-punyai hak untuk me-ngakhiri kehamilan me-lalui aborsi

Bagian Keuangan Kota mengangkat pegawai untuk mendukung pera-turan baru tentang pena-rikan pajak kepada ru-mah sakit yang tidak lagi memiliki status penge-cualian pajak.

Kantor akuntansi publik mem-antau program-program kesejahteraan sosial se-perti bantuan untuk keluarga dengan a n a k t a n g g u n g a n (AFDC) untuk menentu-kan luasnyanya penyim-panga/korupsi.

3

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 17: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Gambar 1-1 Kedekatan Prosedur Analisis Kebijakan Dengan Tipe-Tipe Pembuatan Kebijakan

Perumusan

Masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Penilaian

Penyusunan

Agenda

Formulasi

Kebijakan

Adopsi

Kebijakan

Implementasi

Kebijakan

Penilai

Kebijakan

4

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 18: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1.1.1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat membantu menemu-kan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-panda-ngan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

Sebagai contoh, masalah bias rasial dan seksual pada 20 juta tes terstandar yang diselenggarakaan tiap tahun di Amerika Serikat ditempatkan dalam agenda legislatif di beberapa Negara bagian pada akhir tahun 1980-an.

Di Pennsylvania, asumsi bahwa bias tes merupa-kan suatu masalah yang memerlukan tindakan legisla-tif (pelarangan tes terstandar) ditentang oleh para analis yang, setelah mensintesakan dan mengevaluasi penelitian-penelitian yang ada mengenai bias tes yang direkomendasikan oleh berbagai pelaku kebijakan, merumuskan kembali masalah tersebut.

Kesenjangan yang besar dalam angka tes antara minoritas dan orang kulit putih tidak dirumuskan se-bagai masalah bias tes, tetapi sebagai indikator ketim-pangan bruto yang terus berlanjut dalam kesempatan pendidikan antara siswa minoritas dan kulit putih.

Kelangsungan penggunaan tes terstandar untuk memonitor dan mengurangi ketimpangan bruto

5

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 19: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tersebut pun disarankan.2

1.1.2. Peramalan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan se-suatu. Ini dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan.

Peramalan dapat menguji masa depan yang potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.

Para abalis dari the Health Care Finance Admi-nistration, misalnya, akhir-akhir ini menerapkan me-tode peramalan (yakni proyek statistik) untuk menges-timasi bahwa kecuali jika pendapatan tambahan dapat diupayakan, dana untuk Medicare (asuransi keseha-tan) akan habis pada tahun 2005.

___________________2 William N. Dunn dan Gary Roberts, The Role of Stan-

dardized Tests in Minority-Oriented Curricular Reform, paper kebijakan yang disiapkan untuk Legislative Office for Research Liaison, Pennsylvania House of Representative, Februari 1987.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

6

Page 20: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Jika tidak ada inisiatif kebijakan pelayanan kese-hatan yang baru, santunan dalam Medicare harus di-kurangi sampai $46 milyar dan akhirnya, program tersebut harus dipotong lebih dari 50 persen. Semen-tara itu, jumlah orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan akan meningkat.3

1.1.3. RekomendasiRekomendasi membuahkan pengetahuan yang

relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan.

Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat risiko dan ketidakpastian, mengenai eksternabilitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembua-tan pilihan dan menentukan pertanggungjawaban administratf bagi implementasi kebijakan. Misalnya, rekomendasi untuk merubah undang-undang kecepa-tan (batas kecepatan maksimum nasional) dipusatkan pada biaya kematian yang tercegah pada pilihan kecepatan anatara 55 mph dan 65 mph.___________________

3 Sally T. Sonnefeld, Daniel R. Waldo, Jeffrey A.

Lemieux dan David R. McKusick, “Projections of National Health Expenditures through the Year 2000,” Health Care Financing Review, 13, No.1 (Fall 1991), 1-27.

7

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 21: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Satu rekomendasi, didasarkan pada kesimpulan bahwa pada batas kecepatan 55 mph jumlah kematian yang dicegah hanya turun tak lebih 2 sampai 3 persen, mengusulkan agar dana yang ada dialokasikan untuk yang lain, seperti untuk membeli alat deteksi asap untuk menjaga kesehatan dan keselamatan. Sampai 4

tahun 1990 sudah ada 40 negara bagian yang mengha-pus batas kecepatan 55 mph.

1.1.4. Pemantauan

Pemantauan (monitoring) menyediakan penge-

tahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat

dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini memban-

tu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebi-

jakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil

dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai

indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan,

perumahan, kesejahteraan, kriminalitas dan ilmu tek-

nologi. 5

Pemantauan membantu menilai tingkat kepatu-

han, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan

dari kebijakan dan program, mengidentifikasikan ham

___________________5 Sumber yang paling lengkap dan berbobot mengenai

penggunaan indikator-indikator kebijakan untuk pemantauan kebijakan adalah Duncan MacRae, Jr., Policy Indiocators: Links Between Social Science and Public Debate (Chapel Hill, NC : University of North Carolina Press, 1985).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

8

Page 22: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

batan dan rintangan implementasi dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.

Sebagai contoh, kebijakan kesejahteraan ekono-

mi dan sosial di Amerika Serikat akhir-akhir ini dipan-

tau oleh analis dari the Bureau of the Census. Analisis

mereka menyimpulkan bahwa median nyata dari pen-

dapatan rumah tangga di Amerika Serikat tumbuh dari

43% menjadi 46,7%. Semua kelompok pendapatan

lainnya mengalami penurunan dengan begitu menan-

dakan peningkatan ketimpangan pendapatan, erosi

kelas menengah dan penurunan standar hidup dalam

20 tahun terakhir.6

1.1.5. Evaluasi

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang rele-

van dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara

kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang be-

nar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambi-

lan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap

proses pembuatan kebijakan.

Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan

mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan;

tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik

terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, mem-

bantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali

masalah.

9

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 23: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Contoh bagus dari evaluasi adalah tipe analisis yang membantu memperjelas, mengkritik, dan men-debat nilai-nilai dengan mempersoalkan dominasi pe-nalaran teknis yang mendasari kebijakan-kebijakan lingkungan pada Masyarakat Eropa dan bagian-ba-gian lain di dunia.7

___________________7 Lihat, misalnya, Silvio O. Funtowicz dan Jerome R.

Ravetz, “Global Environmental Issues and the Emrgence of Second Order Science” (Luxembourg: Commision of the European Communities, Directorate General for Telecommu-nications, Information Industries and Innovation, 1990). Lihat juga Funtowicz dan Ravetz, “A New Scientific Methodology for Global Environmental Issues,” dalam Ecologial Econo-mics, ed. Robert Costanza (New York: Columbia University Press, 1991), hal. 137-52.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

10

Page 24: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2. Metodologi Untuk Analisis Kebijakan

2.1. Konteks Sejarah Analisis Kebijakan

Ilmu-ilmu sosial telah berkembang sedemikian luas melalui kritik terhadap rencana program-program perbaikan sosial atau, untuk lebih jelasnya, melalui upaya untuk menemukan apakah aksi ekonomi dan politik tertentu dapat membuahkan hasil yang diharapkan atau diinginkan. - KARL. R. POPPER, The Poverty of Historicism (1960).

Seperti kita ketahui, analisis kebijakan dapat di-mengerti sebagai proses menghasilkan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan. Dalam definisi 8

yang luas ini analisis kebijakan setua peradaban itu sendiri, dan mencakup berbagai bentuk pengkajian, dari penggunaan mistik atau tenaga gaib sampai ke ilmu-ilmu modern.

Keuntungan dari rumusan yang umum ini adalah bahwa rumusan tersebut memungkinkan kita meng-kaji variasi makna di masa lalu yang telah mewarnai ___________________

8 Harold D. Lasswell, A. Preview of Policy Sciences (New York : American Elsevier Publishing Co., 1971), hal.1. Pengetahuan tentang mengacu pada “studi sistematis dan empiris tentang bagaimana kebijakan dibuat dan memberikan efek,” sementara pengetahuan dalam mengacu pada pemaha-man bahwa “realisms keputusan untuk sebagian bergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang ada” (hal. 1-2).

11

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 25: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

proses pembuatan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Secara etimologis, istilah policy (kebija-kan) berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis (Negara-kota) dan pur (kota) dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris pertengahan policie, yang ber-arti menangani masalah-masalah publik atau adminis-trasi pemerintahan.

Asal-usul etimologis kata policy sama dengan dua kata penting lainnya: police dan politics. Inilah salah satu alasan mengapa banyak bahasa-bahasa mo-dern, misalnya Jerman dan Rusia, hanya mempunyai satu kata (Politik, politika) untuk dua pengertian policy dan politics. Ini juga merupakan salah satu faktor yang saat ini menimbulkan kebingungan sputar batas disiplin ilmu politik, administrasi negara dan ilmu kebijakan, semuanya menaruh perhatian besar pada studi politik (politics) dan kebijakan (policy).9

___________________9 Lihat, misalnya, Ira Sharkansky, Policy Analysis in

Political Science (Chicago: Markham Publishing Co., 1970); H. George Frederickson dan Charles Wise, eds., Public Administration and Public Policy (Lexington, MA: D.C. Heath, 1977); Yehezkel Dror, Ventures in Policy Sciences: Concepts and Applications (New York: American Elsevier Publishing Co., 1971).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

12

Page 26: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Istilah analisis kebijakan tidak perlu dibatasi pada makna kontemporernya, dimana analisis disa-makan dengan pemilihan atau pembagian suatu masa-lah ke dalam bagian-bagiannya seperti kita membong-kar jam atau mesin, atau diidentikkan dengan peng-10

gunaan teknik-teknik kuantitatif seperti analisis sis-tem, ekonometrik, dan matematika terapan. 11

Sebaliknya, terdapat banyak cara untuk mengha-silkan informasi tentang dan di dalam proses kebija-kan. Beberapa di antaranya muncul dalam peradaban kuno, sementara lainnya tumbuh hanya dalam periode setelah transformasi sosial yang diikuti dengan revo-lusi industri abad ke-18 di Eropa. Jadi, analisis kebija-kan tidak seluruhnya baru, juga tidak secara gampang disamakan dengan pertumbuhan ilmu-ilmu analitis-empiris 200 tahun yang silam.12

___________________10 Lihat, misalnya, Robert. D. Behn dan James W. Vaupel,

“Teaching Analytical Thinking” Policy Analysis, 2 (Fall 1976), 63-92.

11 Lihat, misalnya, Edith Stockey dan Richard Zeckhau-ser, A Primer for Policy Analysis (New York: W.W. Norton, 1978).

12 Lihat Duncan MacRae, Jr., The Social Function of

Social Science (New Haven, CT: Yale University Press, 1976), hal. 54-77; dan Martin Rein, Social Science and Public Policy (New York : Penguin Books, 1976).

13

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 27: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2.1.1. Asal Muasal

Dipahami dalam arti terluasnya, analisis kebija-

kan dapat dilacak ke satu titik evolusi masyarakat di

mana pengetahuan tentang dan dalam proses kebija-

kan secara sadar dibuat, sehingga dapat memung-

kinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan

reflektif terhadap kaitan antara pengetahuan dan aksi.

Waktu persis kapan pengetahuan yang relevan

dengan kebijakan pertama kali dihasilkan dapat diper-

debatkan dan barangkali tak diketahui. Akan tetapi,

umumnya dipercaya bahwa perkembangan prosedur

untuk menganalisis kebijakan publik berhubungan

dengan “pertumbuhan peradaban yang relatif tiba-tiba

dari suku-suku atau bangsa-bangsa yang memiliki

kebebasan laut yang luas” dan “ekspansi serta diferen-

siasi peradaban kota dalam sejarah dunia.” 13

Dengan begitu, analisis kebijakan sebagai

aktivitas yang terspesialisasi menyertai perubahan-

perubahan di dalam organisasi sosial yang diikuti

dengan bentuk-bentuk baru teknologi produksi dan

pola pemukiman menetap.

2.1.1.1. Kode HammurabiContoh dokumen terkuno dari upaya sadar ntuk

menganalisis kebijakan publik ditemukan di Mesopo-___________________

13 Lasswell, A. Pre-view of Policy Science, hal.9,13.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

14

Page 28: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tamia pada abad 21 Sebelum Masehi, sekitar 2000 tahun sebelum Aristoteles (384-322 SM), Confucius (551-479 SM) dan Kautilya (300 SM) menghasilkan fakta-fakta tentang pemerintahan dan politik.

Kode Hammurabi, ditulis oleh penguasa Babilo-nia pada abad 18 Sebelum Masehi, mengekspresikan keinginan untuk membentuk ketertiban publik yang bersatu dan adil pada masa ketika Babilonia menga-lami transisi dari negara kota kecil menjadi negara wilayah yang luas.

Kode Hammurabi yang memiliki kesamaan de-ngan hukum Musa, mencantumkan persyaratan-per-syaratan ekonomi dan sosial untuk suatu permukiman urban yang stabil dimana hak dan tanggung jawab didefinisikan menurut posisi sosial.

Kode mencakup prosedur kriminal, hak milik, perdagangan, hubungan keluarga dan perkawinan, dana kesehatan dan apa yang dikenal sekarang akunta-bilitas publik. Misalnya, prosedur dirancang untuk mengatur gubernur, hakim, pegawai-pegawai lain

seperti: (1) Jika gubernur atau hakim menguasai hak 14

milik orang yang membayar pajak (atau memberi grasi kepada pembelot) atau menerima atau mengirim orang upahan pada suruhan raja, gubernur atau hakim harus dihukum mati. (2) Jika gubernur atau hakim ___________________

14 The Code of Hammurabi, terjemahan Robert P. Harper (Chicago : University of Chicago Press, 1904).

15

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 29: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mengambil milik pegawai, menyewa pegawai, meman-faatkan pegawai untuk mempengaruhi seseorang, me-ngambil hadiah yang diberikan raja kepada seorang pega-wai, gubernur atau hakim tersebut harus dihukum mati. (3) Jika orang membeli dari pegawai, berupa sapi atau domba yang telah diberikan/dihadiahkan raja kepada pegawai, maka ia harus kehilangan uangnya. (4) Dilarang seseorang menjual ladang atau kebun atau rumah dari seseorang pegawai, polisi atau pengumpul pajak.

2.1.1.2. Ahli NujumKitab Undang-Undang Mesopotamia Kuno dapat

dipandang sebagai jawaban dari pertumbuhan komplek-sitas permukiman kota yang tetap dan terhadap pola baru organisasi sosial yang dirancang untuk distribusi komo-ditas dan pelayanan, penyimpanan dokumen dan peme-liharaan keamanan dalam negeri dan pertahanan luar negeri.

Bersamaan dengan itu, tumbuhnya kesadaran ten-tang hubungan antara pengetahuan dan tindakan mem-percepat pertumbuhan strata terdidik yang ahli dalam menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebi-jakan. Ahli nujum (atau “spesialis simbol” untuk me-minjam istilah Lasswell) seperti ini, ber-tanggung jawab pada peramalan tentang akibat dari kebijakan-kebi-jakan, misalnya, pada musim panen atau waktu perang.

15

___________________15 Laswell,A. Preview of Policy Science, hal. 111.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

16

Page 30: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Meskipun cara utama untuk menghasilkan pe-ngetahuan yang relevan dengan kebijakan menurut standar masa kini tidaklah ilmiah karena analisis menggunakan mistik, upacara ritual, dan ilmu klenik untuk meramalkan masa depan, prosedur demikian untuk sebagian tergantung pada kejadian yang dipero-leh melalui pengalaman.

Rekomendasi kebijakan, apakah dihasilkan tena-ga dalam, mistik, atau pemurnian ritual, pada akhir-nya diuji pada tingkat pragmatis. Karena itu, otoritas dari penghasil pengetahuan yang khusus di zaman kuno tersebut sebagian didasarkan pada apakah saran-saran yang diberikan menghasilkan kebijakan yang lebih baik, tidak sekedar pada prosedur dengan cara apa saran-saran tersebut dihasilkan.

Sejarah yang tertulis tentang para spesialis menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebi-jakan dapat ditelusuri sampai abad keempat Sebelum Masehi. Di India, Arthashastra karya Kautilya, satu dari tuntunan-tuntunan awal tentang pembuatan kebi-jakan, keahlian bernegara dari administrasi pemerin-tahan, mensarikan apa yang telah ditulis sampai ketika itu (300 SM) mengenai materi yang saat ini disebut Ilmu Ekonomi.

Kautilya, yang mengabdi sebagai penasehat ke-rajaan Mauyan di India Utara, dapat dibandingkan dengan Plato (427-327 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan Machivelli (1469-1527),kesemuanya secara men-

17

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 31: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dalam terlibat dalam aspek-aspek praktis pembuatan kebijakan pemerintah selain pekerjaan mereka seba-gai pemikir-pemikir sosial. Plato mengabdi sebagai penasehat dari penguasa di Sisilia, sementara Aristote-les mengajar Alexander dari Mecedonia sejak orang tersebut berusia 14 tahun sampai ia naik tahta pada usia 20 tahun. Aristoteles, seperti para pemikir sosial kontemporer, yang menemukan bahwa politik praktis menjijikkan, cenderung menerima kedudukan terse-but dengan harapan agar dapat menggunakan penge-tahuan untuk memecahkan masalah publik ketika itu:

Aristoteles menerima permintaan tersebut karena dalam hal ini paling tidak ia menjadi penganut Plato yang baik. Plato berkata bahwa tidak ada pemerintah yang baik sampai filosof menjadi raja atau raja menjadi filosof. Jika datang kesempatan bagi filosof untuk menuntun kebijakan Negara, apakah secara langsung atau dengan melatih seorang pangeran muda, ia tidak punya alas an untuk menolaknya.16

Pada zaman kuno barangkali tidak ada ilustrasi tentang pengembangan hubungan antara pengetahuan dan tindakan yang lebih baik daripada yang dapat ditemukan pada karya Kautilya, Plato dan Aristoteles; ___________________

16 J.A.K. Thompson, The Ethics of Aristotle: The Nicho-machean Ethics Translated (Baltimore : Penguin Books, 1955), hal.11.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

18

Page 32: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

juga tidak ada cara yang lebih persuasif untuk menun-jukkan watak praktis yang mendasar pada analisis kebija-kan kuno daripada Arthastra karya Kautilya atau Politics dan Ethics karya Aristoteles. Namun sejumlah karya dari para individu penghasil pengetahuan khusus, bukan dari kelas orang terdidik yang dalam jaman-jaman sesudahnya di Eropa dan Asia mempengaruhi pembuatan kebijakan.

2.1.1.3. Pengetahuan yang Terspesialisasi Pada Masya-rakat Abad Pertengahan

Ekspansi dan diferensiasi secara bertahap peradaban kota sepanjang Abad Pertengahan berlangsung dengan diikuti oleh struktur okupasi yang memudahkan pengem-bangan pengetahuan yang terspesialisasi. Berbagai kelom-pok spesialis kebijakan diangkat oleh para pangeran dan raja untuk memberikan saran dan bantuan teknis pada bidang di mana penguasa kurang mampu membuat kepu-tusan yang efektif: keuangan, perang dan hukum. Evolusi historis kelas spesialis yang terdidik dalam berbagai bi-dang kebijakan publik dijelaskan dalam beberapa ungka-pan berikut ini oleh sosiolog Jerman Max Weber:

Di Eropa, ahli pemerintahan yang didasarkan atas pembagian kerja telah muncul dalam per-kembangan bertahap selama 500 tahun. Kota-kota di Italia adalah awalnya di antara monarki-monarki dan Negara-negara penakluk Norman. Tapi tahap yang menentukan diambil dalam hubungannya dengan administrasi keuangan pangeran. …besarnya keuangan dapat dipakai paling tidak

19

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 33: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

untuk mengendalikan kekuasaan. Pengemba-ngan teknik-teknik perang menuntut adanya ahli hukum yang terdidik. Dalam tiga bidang tersebut –keuangan, perang dan hukum– pegawai ahli di negara-negara yang lebih maju secara pasti

7berjaya sepanjang abad keenam belas.1

Pertumbuhan pegawai ahli atau yang disebut Weber sebagai “politisi professional”, mengambil berbagai bentuk dalam sejumlah bidang yang berada di dunia. Di Eropa, India, Cina, Jepang dan Mongolia Abad Pertengahan para pendeta merupakan kelompok penduduk yang terpelajar, karena itu secara teknis sangat dibutuhkan.

Para rohaniawan Kristen, Hindu, Budha dan Dalai Lama, seperti juga para sarjana sosial dan perila-ku modern, mendapatkan pengakuan karena kejujuran dan jauhnya dari pamrih sehingga mereka dapat ber-diri di atas politik praktis dan pergulatan kekuasaan politik dan pencapaian materi.

Para penulis yang terdidik, yang pada zaman modern adalah penulis pidato presiden, juga mempu-punyai pengaruh yang meskipun terbatas adalah sa-

___________________17 Max Weber, “Politics as a Vocation,” dalam From Max

Weber, Essays in Sociology, ed. Hans C. Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), hal.88.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

20

Page 34: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ngat penting dalam pembuatan kebijakan sampai me-reka di Eropa digantikan oleh para bangsawan peradi-lan, yang setahap demi setahap mendominasi pelaya-nan politik dan diplomasi.

Di Inggris, para bangsawan rendahan dan ren-tenir (investor) kota diangkat tanpa kompensasi untuk mengendalikan pemerintahan kota bagi kepentingan mereka sendiri. Akhirnya, para ahli hukum tamatan universitas memperoleh pengaruh yang menentukan dalam pembuatan kebijakan, khususnya di daratan Eropa. Para ahli hukum yang belajar Hukum Romawi dan jurisprudensi bertanggung jawab pada tranfor-masi yang terjadi pada akhir abad pertengahan, mem-beri sumbangan pada setiap tahap dalam perkemba-ngan pemerintahan modern.

2.1.1.4. Revolusi IndustriPada zaman kuno dan pertengahan pertumbuhan

pengetahuan yang relevan dengan kebijakan berlang-sung mengikuti evolusi peradaban kota dan pertumbu-han serta ekspansi Negara territorial. Namun baru ketika terjadi revolusi industri pada bagian terakhir abad kesembilan belas produksi pengetahuan yang relevan dengan kebijakan menjadi aktivitas yang relatif otonom dengan prosedur khasnya sendiri dan dipisahkan dari kepentingan dan kecurigaan politik sehari-hari.

21

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 35: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Abad revolusi industri adalah juga abad pence-rahan, suatu periode ilmu dan teknologi menjadi lebih dominan di kalangan pengambil kebijakan dan para penasehatnya. Inilah masa dimana pembangunan dan pengujian teori-teori ilmiah dan masyarakat secara bertahap dilihat sebagai satu-satunya cara untuk me-mahami dan memecahkan masalah-masalah sosial. Mistik, sihir dan spiritualisme lenyap dari ilmu mo-dern. Dalam konteks analisis kebijakan, ini berarti di-produksinya pengetahuan yang relevan dengan kebi-jakan menurut ukuran empirisme dan metode ilmiah.

2.1.2. Latar Belakang Abad Kesembilan Belas

Pada tahun 1850, Tuan Meckenzie, Sekretaris

National Philanthropic Association Inggris Raya,

menyerahkan suatu proposal penelitian kepada the

London Society (terakhir bernama The Royal Stastical

Society) meminta dana untuk melakukan studi empiris

tentang “jumlah kotoran kuda yang terdapat setiap 8harinya di jalan Metropolis.” 1

Proposal tersebut secara tegas tetapi sopan

ditolak dengan alasan bahwa masalahnya terletak di

___________________18 Annals of the Royal Statistical Society, 1834-1934

(London,1934), hal.79. Dikutip dalam Nathan Glazer, “The Rise of Social Research in Europe,” dalam The Human Meaning of the Social Science, ed. Daniel Lerner (Newyork: World Publishing Co., 1959), hal.70.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

22

Page 36: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

luar prioritas dana dari lembaga tersebut. Kasus me-ngenai transaksi yang berlangsung pada satu dari pusat studi kebijakan abad kesembilan belas di Eropa menggambarkan masih jauhnya proses bagi empiris-me dan metode kuantitatif untuk diterima. Tetapi insi-den tersebut juga merupakan titik perubahan sikap yang fundamental tentang pengetahuan yang muncul pada abad kesembilan belas.

2.1.2.1. Pertumbuhan Penelitian EmpirisDi Eropa, suatu generasi baru spesialis dalam

produksi pengatahuan yang relevan dengan kebijakan mulai mendasarkan aktivitas mereka pada dokumen data empiris yang sistematis.

Sebelum itu telah banyak usaha yang sebagian dilakukan oleh filosof dan negarawan terkemuka, yang menawarkan penjelasan yang sistematis tentang pembuatan kebijakan dan perannya dalam masyara-kat. Sudah barang tentu selama ribuan tahun terdapat penggunaan yang terus menerus terhadap metode pengkajian untuk memecahkan masalah.

Ketika metode itu dilihat lebih dekat lagi, ternya-ta kebanyakan menggunakan otoritas, ritual dan prin-sip-prinsip filosofis. Apa yang baru dalam abad kesembilan belas adalah perubahan yang mendasar dalam prosedur yang digunakan untuk memahami masyarakat dan masalahnya, suatu perubahan yang

23

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 37: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mencerminkan pertumbuhan penelitian yang empiris, 9kuantitatif dan relevan dengan kebijakan.1

Pada periode ini perhatian terhadap pengum-pulan fakta secara sistemetis dapat diilustrasikan de-ngan beberapa cara. Misalnya, pada peralihan abad kesembilan belas, sensus pertama diadakan di Amerika Serikat (1970) dan Inggris (1801). Ketika itulah statistik (“state arithmetic”) dan demografi mulai berkembang sebagai bidang spesialisasi.

The Statistical Society Manchester dan London, keduanya didirikan tahun 1830-an, memainkan pera-nan dalam mengarahkan orientasi baru pada produksi pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

Badan-badan tersebut, diorganisir oleh para bankir, industrialis, dan ilmuwan, berusaha mengganti cara-cara berpikir lama dalam memahami masalah-masalah sosial dengan secara sistematis mengkoleksi kejadian yang menyangkut pengaruh urbanisasi dan kesempatan kerja di sektor industri terhadap kehidu-pan pekerja dan keluarganya.

Di lembaga Manchester Society antusiasme ke-pada data kuantitatif diperkuat oleh komitmen kepada reformasi sosial. Sebagaimana dikatakan dalam lapo-ran tahunan pertama dari lembaga tersebut: “Lembaga ___________________

19 Lihat Daniel Lerner, “Social Science: Whence and Whitner?” dalam The Human Meaning of Social Sciences, hal.13-23.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

24

Page 38: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ini menyandarkan diri pada keinginan yang kuat dari para pendirinya untuk membantu memperlancar upa-ya perbaikan sosial pada penduduk di kawasan indus-

20tri.” The London Society, di bawah pengaruh akade-misi semacam Thomas Malthus (1766-1834), me-ngambil pendekatan yang tidak memihak dan netral-nilai terhadap masalah-masalah sosial.

Dalam buku sebarannya dinyatakan: “The Statis-tical Society” akan mempertimbangkan dibuatnya aturan pertama dan paling penting untuk mengeluar-kan semua opini (subyektif) dari transaksi dan publi-kasinya –untuk menegaskan perhatiannya pada fakta semata– dan sejauh dimungkinkan, terhadap fakta yang dapat dinyatakan dengan angka dan dimasukkan

21dalam tabel.” The London and Manchester Socities, yang

menggunakan kuesioner dalam penelitian mirip dengan survai sampel modern, juga menggunakan agen-agen yang dibayar yang dapat disamakan dengan pewawancara professional. Terdapat perkembangan yang mirip, meskipun dalam skala yang lebih kecil, di Perancis, Jerman dan Belanda.

Penyumbang penelitian empiris, kuantitatif dan relevan dengan kebijakan pada abad kesembilan belas ___________________

20 Dikutip dari Glazer, “The Rise of Social Research in Europe,” hal.51.

21 Dikutip dari Glazer, ibid, hal. 51-52.

25

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 39: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

datang dari berbagai bagian di Eropa. Disiplin yang baru tumbuh yaitu statistik, referensi tentang hal itu dapat ditemukan dalam literatur Jerman dan Perancis abad kesembilan belas, pertama kali terdapat dalam karya John Sinclair berjudul Statistical Account of Scotland (1791-1799).

Namun, sumbangan yang paling terkemuka dan berpengaruh terhadap metode statistik adalah Adolphe Quetelet (1796-1874), matematisi dan astronom Belgia yang merupakan penasehat imiah utama dari pemerintah Belanda dan Belgia. Luasnya perhatian Quetelet terhadap metodologi dan teknik penelitian empiris dapat dilihat dalam deskripsi dari karyanya sebagai berikut:

[Quetelet] memberikan pertimbangan yang cermat dalam koleksi data, keduanya mengenai format kosong untuk diisi dan tentang sifat pertanyaan untuk ditanyakan tentang tabulasi dan bentuk-bentuk presentasi materi, tentang metode mencari rerata dan ringkasan data dan tentang kritisisme, keduanya berkenaan dengan sumber dan hasil penelitian… [Ia berpendapat bahwa harus ada] pengkajian tentang data yang

22dikoleksi dan sifat sumbernya.___________________

22 Frank. H. Hankins, “Adolphone Quetelet as Statisti-cian,” Columbia University Studies in History, Economics and Public Law, 31, No.4 (1908), hal.42.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

26

Page 40: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Di Paris, satu dari studi empiris utama di abad kesembilan belas dipublikasikan oleh Frederic Le Play (1806-1882). Les Ouvriers Europeans [Pekerja-Pekerja Eropa], dipublikasikan pada tahun 1855, merupakan temuan rinci mengenai pendapatan dan pengeluaran keluarga para pekerja Eropa di beberapa Negara. Di Jerman karya Ernst Engel (1821-1896) berupaya merumuskan hukum “ekonomi sosial” dari data empiris yang ditampilkan dalam bentuk statistik. Di Inggris karya Henry Mayhew dan Charles Booth, keduanya secara langsung mengamati kehidupan dan kondisi kerja orang miskin di kota, mencerminkan kontribusi yang hebat terhadap studi empiris masalah-masalah sosial.

Karya Mayhew London Labour and the London Poor (1851) berisi deskripsi yang gamblang tentang buruh, penjaja, pemain sandiwara dan pelacur yang merupakan penduduk kota London kelas bawah di tahun 1850. Karya Booth Life and Labour of the People in London (1891-1903) melebihi Mayhew dalam perhatiannya terhadap rincian dan komprehen-sivitas temua-temuannya.

Booth, yang menghimpun fakta dengan menggu-nakan pengawas sekolah sebagai informan kunci, juga tinggal bersama orang miskin di kota guna mempero-leh informasi dari tangan pertama tentang kondisi kehidupan yang nyata. Penelitiannya dirancang untuk menunjukkan hubungan numerik dimana kemiskinan,

27

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 41: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kesengsaraan dan kerusakan moral berpengaruh terha-23dap pendapatan tetap dan kesenangan komparatif,

melibatkan jutaan orang dan menghasilkan jumlah data empiris yang besar. Booth, yang kemudian terpi-lih dalam the Royal Commision on the Poor Law, mempengaruhi revisi kebijakan di Amerika Serikat, termasuk Hull House Maps and Papers (1895) dan karya WEB Dubois The Philadelphia Negro (1899), keduanya mendokumentasikan lingkup dan kepelikan kemiskinan di daerah perkotaan.

Pada abad kesembilan belas, metode untuk menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan secara jelas mengalami transformasi yang besar. Pengetahuan mengenai alam dan masyarakat tidak lagi ditentukan menurut kesesuaiannya dengan otoritas, ritual dan prinsip-prinsip filsafat tetapi dinilai berdasarkan konsistensinya dengan observasi empiris. Tetapi transformasi ini bukanlah merupakan hasil dari komitmen formal terhadap norma-norma empirisme dan metode ilmiah sebagai konsekuensi dari pertum-buhan ketidakpastian yang datang bersama dengan transisi dari peradaban agrarian ke industri. Komplek-sitas masyarakat jauh lebih besar dari yang pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan. Terdapat percepa-tan mobilitas geografis dan sosial, kebanyakan dari-___________________

23 Lerner, “Social Science: Whence and Whither?” hal.20.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

28

Page 42: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

nya terpusat pada kawasan perkotaan yang telah sa-ngat padat. Berbarengan dengan perubahan struktur sosial adalah transformasi kesadaran sosial secara ber-tahap di mana individu-individu dan kelas-kelas sosial mulai melihat dari mereka sebagai agen dari masa depan mereka sendiri.

2.1.2.2. Munculnya Stabilitas PolitikSelama ratusan tahun organisasi sosial dari pera-

daban kota telah berubah secara bertahap. Ironi dari abad kesembilan belas adalah bahwa:

Ketidakstabilan politik di Eropa sebelum Revolusi Industri berlangsung bersama-sama dengan stabilitas sosial yang luar biasa. Sebagian besar penduduk hanya tahu tentang dunianya yang tidak berubah di mana pada kepercayaan, kerja, kehidupan keluarga dan kebiasaan sosial berubah dengan sangat lambat. Konflik-konflik dan ketidakstabilan politik yang liar hanya sedikit memberi pengaruh pada kebiasaan sosial yang bersifat ajeg. Tetapi industri, khususnya industri ilmu pengetahuan, memerlukan dunia yang secara politik stabil, sehingga dapat beroperasi dengan hal-hal

24lainnya seperti efisiensi…___________________

24 J.J. Plumb, The Growth of Political Stability in Eng-land, 1675-1725 (Baltimore: Penguin Books, 1973), hal.12.

29

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 43: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sampai pertengahan abad kesembilan belas, khususnya di Inggris, stabilitas dan kontrol politik secara cepat berkembang sebagai konsekuensi dari pemerintahan partai tunggal, legislatif di bawah kon-trol eksekutif dan pembangunan identitas umum di an-tara mereka yang terlibat dalam kekuasaan ekonomi, sosial dan politik.

Secara signifikan kurang lebih setengah abad sebelum revolusi industri, stabilitas politik dikait-kaitkan dengan instabilitas sosial yang sangat besar. Ketidakseimbangan antara dunia politik dan sosial menjadi penting untuk memahami pertumbuhan pene-litian empiris, kuantitatif dan yang relevan dengan kebijakan pada abad berikutnya.

Ilmu dan teknologi modern tidaklah mempenga-ruhi pertumbuhan sistem kontrol politik dan pengam-bilan keputusan pemerintah baru dalam menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan kurang merupakan akibat dari penyamaan terhadap ilmu-ilmu alam dibanding sebagai jawaban terhadap kebutuhan negara akan informasi yang terpercaya sebagai dasar bagi pengambil kebijakan dalam pembuatan undang-undang dan dalam menangani masalah-masalah kene-garaan. Masyarakat yang relatif stabil sebelum tahun 1750 telah berubah di masa-masa sesudahnya menjadi masyarakat dengan kompleksitas dan ketidaktentuan yang meningkat.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

30

Page 44: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2.1.2.3. Sumber-Sumber Praktis Dari Pengetahuan yang Terspesialisasi

Pada abad kesembilan belas produksi pengeta-huan yang terspesialisasi didorong oleh perhatian ter-hadap masalah-masalah praktis ketika itu seperti yang didefinisikan oleh kelompok-kelompok sosial yang dominan. Para pimpinan pemerintahan, kapitalis dan manajer pada sistem perusahaan yang baru tumbuh memerlukan informasi yang memungkinkan diperluas nya kontrol terhadap lingkungan manusia dan alam.

Kaum miskin di kota, yang tumbuh sepanjang abad kesembilan belas di London, Manchester dan Paris, mewakili budaya yang tak dikenal dan tersisih yang keberadaannya perlu dipahami. Laporan Henry Mayhew mengenai kehidupan orang-orang terjajah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dihasilkan sete-ngah abad setelahnya:

Kita, seperti Kaffirs, Fellahs dan Finns, dike-lilingi oleh gerombolan pengembara… orang-orang miskin, pengemis dan orang-orang bua-ngan, tidak memiliki apa-apa kecuali yang dapat mereka pungut dari apa yang dibuang oleh manusia modern yang beradab –di mana bentuk kepala dari kaum nomaden tersebut besar pada rahang dan tulang pipinya– dan bahwa mereka mempunyai bahasa rahasia untuk mereka sen-diri… untuk menyembunyikan rencana-rencana

31

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 45: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mereka: ini semua merupakan kemiripan yang terjadi secara kebetulan, yang kalau direnung-kan, membuat kita kagum bahwa analogi ini

25tetaplah tidak diperhatikan.Dalam konteks ini ilmu sosial terapan, pertama

dalam bentuk statistik dan demografi dan terakhir dalam bentuk disiplin–disiplin yang mapan seperti sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan administrasi negara, tumbuh sebagai tantangan terhadap masalah-masalah praktis yaitu memahami dan mengendalikan kompleksitas masyarakat.

Pengembangan penelitian yang bersifat empiris, kuantitatif dan relevan dengan kebijakan pertama kali adalah merupakan jawaban terhadap masalah perada-ban industri. Tetapi lebih dari itu, merupakan refleksi dari nilai budaya yang dominan. Pertumbuhan metode pengkajian yang baru merupakan produk dari keingi-nan untuk mencapai “kebenaran” atau “obyektivitas” ilmiah baru ketimbang upaya dari kelompok-kelom-pok sosial yang dominan untuk menggunakan produk-produk penelitian ilmiah untuk tujuan pengendalian politik dan administrasi.

Dalam lingkungan produksi perusahaan abad ke-sembilan belas, misalnya organisasi politik terhadap ___________________

25 Henry, Mayhew, London Labour and the London Poor (London, 1851), Vol.1, Hal.1-2. Dikutip dalam Glazer, “The Rise of Research in Europe,” hal.57.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

32

Page 46: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kerja mendahului pengembangan ilmu dan teknologi yang kemudian memuncak dalam peralatan mesin

26yang kompleks dan spesialisasi tugas. Dalam bidang kebijakan publik kita melihat perkembangan yang sejalan: Metode pengkajian yang baru merupakan produk dari pengenalan oleh bankir, industriawan dan kelas menengah Victoria di mana metode-metode dan teknik-teknik yang lebih lama untuk memahami ling-kungan alam dan manusia tidak lagi memadai.

Peradaban industrial telah membiakkan kelas pekerja sosial baru yang terpuruk, tak berpendidikan dan tersingkir beserta keluarga mereka. Pertanyaan utama pada waktu itu bersifat praktis: seberapa ba-nyak penghasilan yang dibutuhkan anggota kelompok proletar kota tersebut untuk menjaga kelangsungan hidup mereka dan keluarganya?

Berapa mereka harus berpenghasilan sebelum ada surplus yang dapat dikenai pajak? Berapa banyak mereka harus menabung dari penghasilannya untuk membayar biaya pengobatan dan pendidikan?

Seterusnya, berapa banyak para pemilik modal dan negara harus berinvestasi dalam fasilitas pelaya-nan sehari-hari yang dapat menjamin ibu dari para bayi dapat seharian bekerja secara efektif/Seberapa banyak investasi dalam proyek-proyek pekerjaan umum –sanitasi, pembuangan kotoran dan peruma-han– diperlukan untuk mencapai standar kesehatan publik yang memadai dan melindungi kelas menengah

33

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 47: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dan tinggi dari infeksi penyakit yang ditimbulkan dari permukiman-permukiman kumuh?

Di dalam ekonomi pasar modern, ketika uang menjadi ukuran standar terhadap nilai, “ketentuan ten-tang jumlah tersebut menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kebijakan perorangan dan publik. Akar dari ilmu sosial terletak pada daya informasi yang bersifat empiris, kuantitatif dan relevan dengan kebi-

27jakan tentang dirinya.”Latar belakang analisis abad kesembilan belas

dari analisis kebijakan kontemporer menunjukkan bagaimana ilmu sosial terapan ditumpangi oleh tujuan kelompok sosial yang dominan.

Jika motif utama dari Peradaban Barat, sejak za-man kuno, adalah usaha untuk mengatasi keterbatasan dalam menguji penalaran untuk mendominasi alam dan masyarakat, proses ini mencapai puncaknya pada

28ilmu dan teknologi modern abad kesembilan belas. Sejak saat itu penggunaan ilmu untuk menemu-

kan dan menguji hukum-hukum alam dan masyarakat dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai pengetahuan yang obyektif. Dengan penalaran yang bersifat instrumental ini ilmu dipandang hanya seba-___________________

27 Lerner, “Social Science: Whence and Whither?” hal.19.28

Lihat Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford University Press, 1947); dan William Leiss, The Domi-nation of Nature (New York: George Braziller, 1972).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

34

Page 48: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

gai alat untuk memproduksi pengetahuan. Akibatnya, pertanyaan tentang tujuan dipandang sebagai non ra-sional atau sebagai ekspresi yang sewenang-wenang dari kepentingan pribadi atau nilai-nilai politik parti-san yang, per definisi, berada di luar batas penelitian ilmiah. Adalah pada abad kesembilan belas produksi pengetahuan yang terspesialisasi ditetapkan sebagai “ilmu.”

2.1.3. Abad Keduapuluh

Dalam pidato pelantikannya di tahun 1910, ketua

Asosiasi Ilmu Politik Amerika, juga menjabat sebagai

ketua jurusan Ilmu Pemerintahan di Universitas Har-

vard, A.Lawrence Lowell, menyerukan agar akademi-

nya mengambil lebih banyak pendekatan empiris dan

praktis bagi studi-studi politik.

Lowell membawa studi politik pemaduan antara

empirisme, kuantifikasi dan kebijakan yang relevan

sebagaimana yang telah menjadi pegangan para pen-

diri the Manchester Society pada tahun 1830-an.

Berbicara di hadapan para ilmuwan politik yang

professional, Lowell mengingatkan:

Kita cenderung untuk berbuat kesalahan di

dalam memandang sesuatu yang kita teliti. Kita

cenderung untuk menghargai perpustakaan

sebagai laboratorium ilmu politik, sebagai

gudang sumber yang asli dan materi pokok.

35

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 49: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Tetapi untuk tujuan utama buku tidak lagi menjadi sumber asli bagi ilmu politik bila diban-dingkan dengan geologi maupun astronomi. Laboratorium utama untuk pekerjaan yang nyata bagi lembaga-lembaga politik bukanlah perpustakaan, tetapi dunia luar yaitu kehidupan publik. Inilah fenomena yang seharusnya dicari. Inilah yang seharusnya mereka teliti pertama kali. Melalui studi-studi seperti inilah yang seharusnya diharapkan dapat memberi

29sumbangan besar kepada ilmu.

2.1.3.1. Profesionalisasi Ilmu SosialDibandingkan dengan selama abad sembilan

belas, gambaran yang menarik perhatian selama abad dua puluh adalah profesionalisasi ilmu politik, ad-ministrasi negara, sosiologi, ekonomi dan disiplin ilmu sosial lainnya yang terkait.

Selama abad dua puluh, penghasil pengetahuan yang relevan dengan kebijakan bukan lagi kelompok yang heterogen seperti bankir, industrialis, jurnalis dan sarjana-sarjana yang mengendalikan lembaga-lembaga statistik kuno dan lembaga-lembaga peneli-tian kebijakan lainnya. ___________________

29 A. Lawrence Lowell, “The Physiology of Politics,”The American olitical Science Review. 4 (Februari 1910), 7.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

36

Page 50: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Mereka adalah guru-guru besar universitas yang mengkhususkan pada pengajaran dan penelitian dan mereka yang diminta oleh pemerintah untuk memberi-kan nasehat dalam pembuatan kebijakan administrasi pemerintah pengalaman dan motivasi mereka, dan

30mereka anggota dari profesi ilmuwan sosial.Ilmuwan sosial yang professional, sebagaimana

pendahulunya pada abad sembilan belas, berusaha me nemukan kepentingannya yang bisa mempengaruhi praktek pembuatan kebijakan publik. Ilmuwan sosial memainkan peran aktif di dalam pemerintahan semasa Woodrow Wilson, terutama selama Perang Dunia I.

Selanjutnya, ketika pemerintahan yaitu Recent Economics Trends and Recent Social Trends, pada dasarnya dilaksanakan oleh ilmuwan-ilmuwan sosial. Walaupun demikian, pengaruh terbesar dari ilmuwan-ilmuwan sosial terhadap pemerintah terjadi selama era New Deal (National Recovery Administration, Work Project Administration, Public Works Administration) diisi sebagian besar oleh ilmuwan sosial.

___________________30 Tentang sejarah profesi kebijakan, lihat Bernard Crick,

The American Science of Politics : Its Origins and Conditions (Berkeley and Los Anglese: University of California Press, 1959); Arthur Somit dan James Tannenhaus, The Development of Political Science (Boston: Allyn and Bacon, 1967); dan John Madge, The Origins of Scientific Sociology (New York: The Free Press(1962).

37

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 51: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Fungsi utama dari ilmuwan sosial pada periode ini adalah mengkaji masalah-masalah kebijakan dan merumuskan solusi yang potensial. Jadi tidak sebagai-mana pada periode berikutnya yang menguji alternatif kebijakan dengan membentuk model-model kebija-kan ataupun mengelola eksperimen-eksperimen sosial.

Badan Perencanaan Nasional dari pemerintahan Roosevelt (selanjutnya diubah menjadi Badan Peren-canaan Sumberdaya Nasional) yang mayoritas anggo-tanya adalah ilmuwan sosial yang professional mem-berikan gambaran yang baik dari pendekatan umum terhadap persoalan kebijakan yang merupakan karak-teristik yang timbul pada tahun 1930-an.

Badan yang digambarkan sebagai kumpulan staf umum dan analis fakta, pengamatan hubungan dan administrasi kebijakan yang luas, mengusulkan secara terus menerus garis-garis alternatif prosedur nasional, berdasarkan pada penyelidikan yang seksama dan

31perimbangan-pertimbangan yang lebih dewasa.Orientasi umum yang sama ini juga menghadir-

kan beberapa ekonom untuk bekerja pada Departe-men Pertanian, ilmuwan politik terlibat di dalam reorganisasi cabang-cabang eksekutif dan antropolog ___________________

31 Dikutip dari Gene Lyons, The Uneasy Partnership: Social Science and The Federal Government in the Twentieth Century (New York: Russel Sage Foundation, 1969), hal.65.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

38

Page 52: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mengatur studi-studi untuk Biro Permasalahan Suku Indian. Ilmuwan sosial juga memberi sumbangan pada pengembangan metodologi. Sebagai contoh keti-ka Departemen Pertanian mempelopori pengemba-ngan survai sebagai instrumen dan alat penelitian yang

32 baru untuk kebijakan pemerintah.Adanya perang Dunia II dan masalah penye-

suaian kembali pasca perang memberi kesempatan pada ilmuwan sosial untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang dianutnya untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Penerapannya selama masa antara dua perang dunia pada penelitian survai telah meletak-kan dasar diguna-kannya wawancara oleh Office of War Information, the War Production Board dan the Office of Price Administration.

Beberapa dewan sipil dan militer mengharapkan ilmuwan sosial turut member sumbangan pemikiran pada permasalahan keamanan nasional, kesejahteraan sosial dan pertahanan. Penelitian kebijakan pada masa-masa perang ditekankan pada beberapa

33 masalah-masalah penting seperti: moral dan orientasi ketentaraan; pengembangan untuk maksud-maksud seleksi kejiwaan; pengawasan penyakit kelamin; pe-nyesuaian personal dan penampilan tempur dari para ___________________

32 Harry Alpert, “The Growth of Social Research in the United States,” dalam The Human Meaning of the Social Sciences, ed. Daniel Lerner (Cleveland, OH: World Publishing Co., 1959), hal.79-80.

33 Ibid., hal.80.

39

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 53: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tentara; daya tanggap tentara terhadap komunikasi massa; evaluasi moral orang Jepang; perkiraan pro-duksi untuk kebutuhan perang, dengan kebijakan di-hasilkan oleh the Office of War Information, the Foreign Broadcast Intelligence Service, the Library of Congress, the Department of Justice dan the Office of Strategic Services. Aktivitas dari badan-badan ini dilanjutkan sesudah perang oleh the Office of Naval Research, the department of the Air Force dan selan-jutnya oleh Komisi Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertahanan. Lembaga penelitian khusus juga didirikan oleh pemerintah federal, termasuk Kantor Penelitian Operasional dari Universitas Johns Hopkins dan Kantor Penelitian Sumberdaya Manusia pada Universitas George Washington.

Diantara banyak sumbangan terhadap penelitian kebijakan yang dihasilkan pada periode ini setidaknya ada tiga yang dapat disebut secara khusus. An Ameri-can Dilemma (1944) dari Gunnar Mydral membuat sumbangan yang mendasar kepada studi hubungan ras di Amerika Serikat dan sekitarnya; sedangkan The Authoritarian Personality (1950) memberi pengaruh pada studi pendahuluan selama beberapa tahun beri-kutnya. The American Soldier, laporan studi empat edisi tahun 1949 dan 1950 dihasilkan oleh beberapa peneliti sosial yang paling berkompeten di Amerika.

Di bawah bimbingan umum dari seorang sosio-log, Samuel Stouffer, proyek penelitian dengan skala besar ini dikepalai oleh direktur the Army Morale

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

40

Page 54: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Division pada tahun 1941. Proyek ini penting karena tidak hanya luas cakupannya, tetapi lebih dari itu proyek ini menjelaskan pola-pola yang muncul dari dukungan pemerintah yang besar pengaruhnya pada penerapan hasil penelitian. Selain itu, proyek ini di-prakarsai oleh pembuat kebijakan yang sehari-harinya terlibat dalam keputusan tersebut:

Aspek dari penelitian sangat inovatif karena dari sebuah kasus dapat dipelajari secara jelas di mana pembuat kebijakan yang merupakan per-wira komando meminta bantuan peneliti sosial yang seolah-olah hanya sebagai satu-satunya sumber. Mereka tidak hanya menginginkan fakta tetapi juga logika berpikir dan kesimpulannya sebagai dasar pembuatan keputusan kehidupan

34sehari-hari bagi berjuta-juta tentara.Proyek ini memberi sumbangan pada cara-cara

yang penting dalam pengembangan kemajuan teknik-teknik kuantitatif yang pada saat ini secara luas telah digunakan oleh peneliti-peneliti dari semua disiplin ilmu sosial.

2.1.4. Menuju Masyarakat Pasca IndustriHal yang paling berlawanan antara abad sembi-

___________________34 Howard E. Freeman dan Clarence C. Sherwood, Social

Research and Social Policy (Englewood Cliffs, NJ: Prentice hall, 1970), hal.25.

41

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 55: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

lan belas dengan abad dua puluh tidak terletak pada metode yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan yang relevan dengan kebijakan. Selama dua ratus tahun terdapat perkembangan yang relatif stabil di dalam penggunaan metode empiris dan analitis untuk menghasilkan informasi yang bernilai potensial bagi pembuat kebijakan.

Perkembangan tersebut bersamaan dengan per-kembangan teknik-teknik pengumpulan data, agregasi dan penyimpulan data empiris. Memang beberapa lembaga penelitian pada saat ini berkeinginan melaku-kan yang terbaik untuk mencapai standar metodologi yang baik yang telah ada pada waktu Quetelet, Le Play dan Mayhew melaksanakan bermacam-macam proyek yang mereka miliki.

Oleh karena itu, titik singgung utama antara kedua abad tersebut adalah sosial dan bukan metodo-logi. Hal ini dapat ditemukan di dalam organisasi sosial dan penggunaan praktisnya di mana ilmu pengetahuan telah ditetapkan selama abad dua puluh.

2.1.4.1. Pelembagaan Advokasi KebijakanPerkembangan penelitian kebijakan yang cepat

pada abad sembilan belas terjadi di dalam konteks sosial yang lebih merupakan penggabungan daripada jaringan-jaringan kerja khusus untuk produksi, kritik dan pendistribusian ilmu pengetahuan yang dikembangkan selama abad dua puluh. Misalnya,

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

42

Page 56: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

masyarakat statistik pada awalnya dan beberapa lem-baga penelitian terdiri dari anggota-anggota yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan disiplin ilmiah dan mempunyai kesadaran yang terbatas terha-dap identitas profesionalnya.

Profesionalisasi penelitian kebijakan tidak terja-di dalam skala luas hingga abad dua puluh. Bahkan dengan pertumbuhan dan profesionalisasi dari ilmu pada pertengahan pertama abad dua puluh, keterli-batan langsung ilmuwan di dalam pembuatan kebija-kan umumnya merupakan tanggapan terhadap krisis

35sosial, ekonomi dan politik. Dengan demikian ilmuwan dan profesi lain-lain-

nya adalah pendukung sementara dan tidak tetap di pemerintahan selama bertahun-tahun terjadinya keka-cauan sosial, kelesuan ekonomi dan perang yang me-rebak dari tahun 1930 hingga akhir 1940. Hanya pada tahun-tahun berikutnya para anggota dari disiplin-disiplin ilmiah dan profesi lain seperti pekerjaan sosial, administrasi negara, perencanaan, analisis ke-bijakan mengambil peranan kelembagaan dalam pemerintahan dan masyarakat akademis.

Untuk pertama kalinya pemerintah mengangkat ___________________

35 Lihat Rowland Egger, “The Period of Crises: 1933 to 1945.” Dalam American Public Administration: Past, Present Future, ed. Frederick C. Mosher (University, AL: University of Alabama Press, 1975), hal 49-96.

43

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 57: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sebagai pegawai tetap para spesialis yang telah mene-rima pelatihan dan memiliki sertifikat dari disiplin ilmu tertentu.

Bagi beberapa pengamat, perubahan yang besar dalam organisasi sosial dan penggunaan ilmu ini menandakan era baru dari “masyarakat pengetahuan”, sebuah masyarakat di mana pembuatan kebijakan publik dan penilaian sosial adalah sangat tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi khusus yang diciptakan dan diterapkan oleh anggota-anggota dari

36berbagai profesi.

2.1.4.2. Analisis Kebijakan Di Dalam Masyarakat

Pasca Industri

Salah satu cara untuk menggambarkan sejarah

perkembangan analisis kebijakan adalah dengan

memperhatikan evolusi dari ilmu pengetahuan terten-

tu sebagai bagian dari perkembangan menuju masya-

rakat pasca-industri, yaitu sebuah masyarakat di mana

perkembangannya didominasi oleh klas teknis-profe-37sional yang terdidik.

Masyarakat pasca-industri yang merupakan per-

panjangan dari pola-pola pembuatan kebijakan dan

___________________36 Fritz Macglup, The Production and Distribution of

Knowledge in the United States (Priceton University Press, 1962).37 Daniel Bell, the Coming of Post-industrial Society: A

Venture in Social Forecasting (New York: Basic Books, 1976).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

44

Page 58: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

organisasi sosial masyarakat agaknya memiliki ciri-ciri yang terkait langsung dengan evolusi sejarah dan

38kepentingan analisis kebijakan:a. Pemusatan ilmu pengetahuan teoritis. Walaupun

peradaban paling awal (sebagai contoh Mesopo-tamia) meletakkan ilmu pengetahuan khusus hanya di akhir abad dua puluh, inovasi teknologi baik “perangkat lunak” (sosial) maupun “perangkat keras” (material) secara langsung tergantung pada ilmu pengetahuan teoritis yang disediakan oleh ilmu sosial, teknik dan biologi.

b. Penciptaan teknologi intelektual yang baru. Per-kembangan teknik-teknik matematika dan ekono-metrik telah memberi kemungkinan penggunaan model, simulasi dan bermacam-macam bentuk ana-lisis sistem untuk menemukan pemecahan yang lebih efisien dan “rasional” untuk masalah-masalah publik.

c. Meluasnya kelas ilmu pengetahuan. Kelompok yang paling cepat berkembang di Amerika Serikat adalah kaum teknisi dan profesional. Kelompok ini, termasuk di dalamnya manajer profesional, mewa-kili 25 persen dari 8 juta tenaga kerja pada tahun 1975 dan pada tahun 2000 mungkin akan menjadi kelompok terbesar dalam masyarakat.

___________________38 Bell, The Coming of Post-Industrial Society, hal.xvi-

xviii.

45

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 59: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

d. Perubahan dari barang ke pelayanan. Pada tahun 1975 lebih dari 65 persen dari tenaga kerja yang aktif terlibat di sektor produksi dan pelayanan dan pada tahun 1990 angkanya telah melampaui 70 persen. Pelayanan terutama tertuju pada masalah kemanusiaan (sebagai contoh kesehatan, pendidi-kan, kesejahteraan sosial) dan teknis profesional (sebagai contoh riset, evaluasi, analisis sistem, computer programming).

e. Instrumentalisasi ilmu. Walaupun ilmu alam dan ilmu sosial telah digunakan selama beberapa tahun sebagai alat untuk mengawasi manusia dan lingku-ngan kebendaan, kedua ilmu tersebut telah terbuka terhadap kritik dari dalam dan dilindungi oleh norma yang objektif, netral dan tidak memihak. Pada periode saat ini ilmu telah masuk dalam jaringan birokrasi, dikendalikan oleh tujuan peme-rintah dan diperhitungkan dari sisi manfaat instru-mentalnya kepada masyarakat.

f. Produksi dan penggunaan informasi. Informasi de-ngan cepat menjadi salah satu sumberdaya masya-rakat yang paling langka. Strategi produksi serta penggunaannya haruslah kooperatif (bukannya kompetitif), jika ingin dicapai hasil yang optimal.

Pengembangan analisis kebijakan pada perte-ngahan abad ini, jika dipandang dari latar belakangnya pada abad sembilan belas tampaknya mendukung gagasan tumbuhnya masyarakat pasca-industri.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

46

Page 60: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Tetapi apa arti perubahan sejarah ini? Seberapa banyak pengaruh yang dimiliki para pembuat penge-tahuan kebijakan pada masyarakat saat ini? Walaupun pengetahuan teoritis tidak diragukan lagi menjadi lebih penting dibanding periode sejarah lainnya, apa artinya bagi distribusi kekuasaan politik?

Apakah proliferasi (pembiakan) dari teknologi intelektual yang juga berarti bahwa struktur pembua-tan kebijakan telah berubah? Apakah meluasnya kelas pengetahuan sepadan dengan kekuatan dan pengaruh-nya? Jika tujuan analisis kebijakan adalah hasil dari pengetahuan untuk tujuan praktis, tujuan siapakah yang dilayaninya? Pendek kata, bagaimana kita me-nafsirkan transformasi sejarah dan analisis kebijakan dari permulaan hingga “masyarakat berpengetahuan” pada saat ini?

2.1.4.3. Bimbingan Teknokratis vs Konseling Tek-nokratis

Terdapat dua pandangan yang saling berlawanan 39pada pertanyaan-pertanyaan berikut. Pandangan per-

tama yang menyatakan bahwa profesionalisasi ana ___________________

39 Lihat Jeffrey D. Straussman, “Technocratic Counsel and social Guidance,” dalam Politics and the Future of Industrial Society, ed. Leon N. Lindberg (new York: david Mckay Co., 1976), hal.126-166.

47

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 61: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

lisis kebijakan berarti perubahan kekuasaan dari 40pembuat kebijakan kepada analisis kebijakan.

Pandangan ini yaitu bimbingan teknokratis lebih dekat hubungannya dengan bias analisentrik yang berpendapat bahwa “cara yang paling meyakinkan untuk mengembangkan kualitas pilihan publik adalah dengan memiliki banyak analis yang menghasilkan

41banyak analisis.” Sebaliknya perspektif lain yaitu konseling tekno-

kratis berpendapat bahwa profesionalisasi analisis kebijakan dan aktivitas lain yang terkait merupakan cara yang lebih efektif untuk meningkatkan kekuasaan pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok dominan lain yang kedudukan sosialnya tergantung pada

42kesejahteraan serta hak-hak istimewanya.Secara lebih tegas, tak satupun dari kedua pende-

katan tersebut yang sepenuhnya akurat dalam meng-interpretasikan kejadian-kejadian seputar perkemba-ngan menuju masyarakat pasca industri, masing-masing menekankan karakteristik tertentu dari masya-rakat hanya dari satu sisi dan mengecualikan sisi lainnya. ___________________

40 Lihat, sebagai contoh, Amitai Etzioni, The Active Society (New York: The Free Press, 1968).

41 Shick, “Beyond Anlysis,” hal.259.

42 Lihat, sebagai contoh, Guy Benveniste, The Politics of Expertise (Berkeley, CA: Glendessary Press, 1972).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

48

Page 62: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Akan tetapi seperti halnya dari pengembangan analisis kebijakan pada abad sembilan belas adalah merupakan tanggapan praktis terhadap masalah yang berkembang ketika itu seperti dilihat oleh kelompok-kelompok dominan, begitu juga analisis kebijakan kontemporer merupakan konsekuensi dari perubahan struktur dan peranan pemerintah dalam upayanya untuk menangani masalah-masalah baru.

“Bom analisis kebijakan pada saat ini,” menurut Allen Schick, “bersumber terutama dari sejumlah per-kembangan pemerintah Amerika, bukan pada pe-

43 ngembangan intelektual dari ilmu sosial itu sendiri.”Selama abad dua puluh perluasan aktivitas pemerintah diikuti dengan permintaan yang besar atas informasi kebijakan.Oleh karena pemerintah telah tumbuh maka

44 berarti punya pasar untuk analisis kebijakan.Perkembangan analisis kebijakan pada abad ini

terjadi sejalan dengan pertumbuhan badan eksekutif 45federal. Pada tahun 1900 terdapat 90 badan eksekutif

___________________43 Schick, “Beyond Analysis'” hal.258.44

Beberapa orang berargumen bahwa “scientific state” yang baru adalah pergantian bentuk dari “administrative state.” Lihat Jurgen Schmandt dan james E. Katz, “The Scientific State: A Theory with hypotesis,” Science technology and Human Values, 11 (1986), 40-50.

45 Herbert Kaufman, Are Government Organization

Immortal? (Washington, DC: TheBrooking Institution, 1976), hal34-63.

49

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 63: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

federal. Pada Tahun 1940 jumlah tersebut meningkat menjadi 196 dan pada tahun 1973 jumlah badan ekse-kutif federal melonjak menjadi 394.

Peningkatan persentase terbesar terjadi sesudah 1960 pada era masyarakat pasca industri, dari 394 badan yang ada pada tahun 1973, kurang lebih 35 persen diantaranya dibentuk sesudah tahun 1960. Kecepatan pertumbuhan pemerintah federal terutama sebagai tanggapan terhadap masalah baru seperti per-tahanan nasional, transportasi, perumahan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan.

Pada periode yang sama beberapa pengamat masyarakat pasca industri mengidentifikasikan bebe-rapa “tantangan” baru dari pembuatan kebijakan

46yaitu: partisipasi yang berlebihan, mobilisasi pekerja sektor pelayanan, transformasi nilai-nilai dasar, pemi-hakan kembali pada kelompok kepentingan, tumbuh-nya kesenjangan antara warga negara urban dan sub-urban dan terulangnya krisis keuangan.___________________

46 Lihat Andrea L. Weber, “Policy Analysis in the Post Industrial Society,” sebuah paper yang diseminarkan pada pertemuan tahunan Asosiasi Ilmu Politik Negara Barat di Seattle, Washington, 21 maret 1975; Samuel P. Huntington, “Post-Industrial Politics: How Benign Will it Be? Comparative Politics, VI (January, 1974), 163-192; Ronald Inglehart, “The Silent Revolution in Europe Intergenerational Change in Post Industrial Socities,” The American Political Science Review, 65 (December 1971), 991-1017; dan James O'Connor, The Fiscal Crisis of the State (New York: St.martin's Press, 1973).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

50

Page 64: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Beberapa pengamat terutama ilmuwan kebijakan seperti Yehezkel Dror merumuskan lebih jauh formu-lasi hubungan antara permasalahan dan analisis kebi-jakan dengan menyatakannya dalam bentuk suatu “hukum” yaitu : “jika kesulitan dan bahaya dari suatu permasalahan cenderung meningkat mengikuti deret ukur maka jumlah orang yang cocok untuk mengatasi permasalahan ini cenderung untuk meningkat mengi-

47kuti deret hitung.”Pertumbuhan analisis kebijakan adalah sebuah

akibat bukan sebuah sebab dari perubahan struktur pemerintah dan lingkungannya maupun cakupan per-masalahan sosial. Sesuai dengan pandangan bimbi-ngan teknokratis, pengetahuan tentang kebijakan me-rupakan sumberdaya langka yang kepemilikannya bagaimana pun dapat meningkatkan kekuatan dan pengaruh analis kebijakan. Pandangan ini dapat di-

48simpulkan dengan lima proposisi utama:a. Meningkatnya interdependensi, kompleksitas dan

tingkat perubahan masyarakat pada saat ini mem-buat pengetahuan yang ada menjadi tertinggal se-hingga tumbuh permintaan terhadap bentuk-bentuk baru dari pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

b. Permasalahan masyarakat pada saat ini dapat dipe-cahkan kembali dengan mengkhususkan pada pe-

___________________47 Dror, ventures in Policy Sciences, hal. 2.48

Lihat Straussman,“technocratic Counsel,” hal.150-151.

51

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 65: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ngetahuan yang dihasilkan oleh analis kebijakan yang profesional.

c. Kerumitan yang bersifat teknis terhadap pilihan ke-bijakan menyebabkan keterlibatan langsung pada tingkat yang lebih tinggi dari analis kebijakan yang profesional.

d. Keterlibatan langsung pada tingkat yang lebih ting-gi dari analis kebijakan meningkatkan kekuasaan-nya untuk membuat dan mempengaruhi kunci ke-putusan kebijakan.

e. Meningkatnya ketergantungan politisi terhadap analis kebijakan yang profesional dapat mengikis kekuatan politiknya.

Pandangan yang berlawanan yaitu konseling tek-nokratis, dimulai dari asumsi bahwa analis kebijakan yang profesional bekerja dalam suatu keadaan di mana pembuat kebijakan sebagai konsumen pengetahuan tertentu mempengaruhi sejumlah besar aktivitas ana-lis kebijakan.

Di dalam konteks ini peran utama dari analis kebijakan adalah untuk mengesahkan –memberikan dasar alasan secara teknis dan ilmiah– keputusan kebi-jakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Pandangan ini dapat juga disimpulkan

49dalam beberapa proposisi kunci:

___________________49 Ibid, hal.151-152.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

52

Page 66: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

a. Alternatif kebijakan yang utama merefleksikan konflik nilai yang dianut oleh beberapa kelompok masyarakat.

b. Konflik nilai digambarkan dengan ketimpangan ke-kuasaan politik di dalam sistem politik.

c. Pilihan terhadap alternatif kebijakan yang diberi-kan merupakan simbol kemenangan dari suatu ke-lompok masyarakat terhadap kelompok yang lain.

d. Pembuat kebijakan menggunakan pertimbangan ilmiah dan teknik yang dihasilkan oleh analis kebi-jakan untuk menekankan konflik dan mengesahkan pilihan setelah mereka membuat dasar politik.

e. Penggunaan yang efektif terhadap pertimbangan ilmiah dan teknis menghendaki terpeliharanya se-buah bayangan analisis kebijakan sebagai sepe-rangkat nilai yang netral, tidak memihak dan tek-nik-teknik yang apolitik.

f. Analis kebijakan yang profesional sebagai sumber legitimasi ilmiah dan teknis dapat diperjualbelikan dan karena itu dapat digunakan sebagai kambing hitam yang empuk dari kebijakan yang gagal.

2.1.4.4. PenilaianSejarah analisis masa kini memperlihatkan bah-

wa sebagian dari kedua perspektif di atas dapat digu-nakan untuk menciri beberapa aktivitas analis kebija-kan. Dalam beberapa kasus, analis kebijakan telah mempraktikkan sejumlah besar bimbingan teknokra-

53

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 67: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tis. Sebagai contoh di kota New York, analisis yang dilakukan Rand Corporation terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi waktu yang dibutuhkan pema-dam kebakaran untuk menanggapi laporan kebakaran telah dinilai dengan keberhasilan yang luar biasa, walaupun usaha-usaha lainnya dari Rand sedikit efek-

50tif di dalam pembentukan keputusan.Di pihak lain, pemanfaatan pengetahuan khusus

untuk mebuat pilihan kebijakan yang muncul menjadi sangat ganjil. Sebagai contoh, dari penelitian tentang 204 pembuat kebijakan puncak pemerintah federal yang dilakukan pada tahun 1973-1974, analisis yang seharusnya sebagai dasar utama untuk pemilihan al-ternatif kebijakan dalam praktik tidak dianggap seba-

51gai dasar pertimbangan yang penting. Lagipula tingkat pemanfaatannya sangat tergan-

tung pada faktor-faktor non-teknis: “tingkat peman-fatan pengetahuan kurang merupakan hasi dari pe-nyampaian pengetahuan oleh penghasil pengetahuan kepada pembuat kebijakan (yang seringkali berjalan lamban) tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor nilai ___________________

50 Lihat Greenberger, Crenson dan Crissey, Models in the Policy Process, hal.231-318.

51 Nathan Caplan dan kawan-kawan, The Use of Social

Science Knowledge in Policy Decisionsat National Level (Ann Arbor, MI:Institute for Social Research , Center for Research on the Utilization of Scientific Knowledge,1975).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

54

Page 68: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

52ideologi dan gaya pembuatan keputusan.” Secara singkat dalam hal ini kurang adanya dukungan dari pandangan bimbingan teknokratis dan studi empiris lainnya terhadap penggunaan analisis kebijakan da-

53lam pembuatan pilihan kebijakan yang penting.Temuan bahwa analisis kebijakan digunakan

untuk tujuan politik menambah tingkat kepercayaan terhadap pendekatan konseling teknokratis sebagai-mana umumnya ciri konservatif dari beberapa anali-sis. Sebagai contoh analisis kebijakan telah ditandai sebagai bagian dari ilmu sosial konservatif dan seder-hana yang gagal mengajukan pertanyaan radikal ten-tang nilai-nilai sosial dasar dan kelembagaan serta menolak alternatif kebijakan yang berangkat dari

54praktek-prakek yang telah ada.___________________

52 Nathan Caplan, “Factors Associated with Knowledge Use Among Federal Executives,” Policy Studies Journal, 4, No.3 (1976), 233.

53 Lihat sebagai contoh, Robert F. Rich, Social Science

Information and Public Policy Making (San Fransisco: Jossey Bass,1981); dan David J. Webber, “The Production and Use of Knowledge in the Policy Proccess,” dalam Dunn dan Kelly, Advances in Policy Studies Since 1950.

54 Charles E. Lindblom, “Integration of Economics and

the Other Social Sciences through Policy Analysis,” dalam Integration of the Social Sciences through Policy Analysis, ed. James C. Charlesworth (Philadelphia: The Aerican Academy of Political and Social Sciences, 1972), hal.1.

55

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 69: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Lagipula, beberapa peneliti melihat bahwa di dalam analisis kebijakan terdapat ideologi tersem-bunyi yang menyingkirkan pertimbangan etika dan

55nilai atas nama ilmu pengetahuan. Di bawah kondisi ini adalah tidak dapat dimengerti bahwa analis kebijakan yang professional dapat digunakan sebagai alat politik sehari-hari.

Pada saat yang bersamaan adalah sama sekali tidak jelas bahwa analisis kebijakan secara nyata memberikan pertimbangan ilmiah dari pilihan kebija-kan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang sebe-narnya karena sejumlah besar analisis telah berangkat dari prinsip-prinsip utama metode ilmiah yang telah

56diterima. Akhirnya terdapat pertanyaan seperti apa-kah analisis kebijakan mampu mengesahkan pilihan-pilihan kebijakan pada era ketika nilai-nilai sosial yang melekat pada ilmu dan teknologi mungkin

57menyusut.___________________

55 Lihat Laurence H. Tribe, “Policy Science: Analysis or Ideo-logy?” Philosophy and Public Afafairs, 2, No.1, (1972), hal.66-110.

56 Ilene N. Berstein dan Howard E. Freeman, Academic and

Entrepreneurial Research: The Consequences of Diversity in Fede-ral Evaluation Studies (New York: Russel Sage Foundation,1975).

57 Ilene Politics (Lihat, sebagai contoh, L. Vaughn Blankenship, “Public Administration and the Challenge to Reason,” dalam Public Administration in a Time of Turbulence , ed. Dwight Waldo (San Fransisco: Chandler Publishing Co., 1971), hal.188-213; Tetapi bandingkan dengan Jurgen Habermas, Towards a Rational Society: Student Protest, Science and Boston: Beacon Press, 1970) dan Aaron Wildavsky, Speaking Truth to Power: The Art and Craft of Policy Analysis (Boston: Little, Brown, 1979).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

56

Page 70: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sebagai kesimpulan, terdapat alasan untuk per-caya bahwa pendekatan bimbingan teknokratis mewa-kili penilaian yang terlalu melebih-lebihkan kekuatan dan pengaruh analisis kebijakan yang professional. Sedangkan pendekatan konseling teknokratis berisi tekanan sepihak.

Sementara pendekatan bimbingan teknokratis menilai terlalu tinggi pengaruh analisis kebijakan di dalam pembentukan pilihan politik, pendekatan kon-seling teknokratis mungkin terlalu melebihkan kepen-tingan simbolis dari analis kebijakan di dalam menge-sahkan pembuatan keputusan kebijakan dalam politik.

Manapun yang benar di antara kedua pendeka-tan tersebut, suatu fakta yang jelas adalah: profesiona-lisasi dan pertumbuhan analisis kebijakan pada tahun-tahun semenjak Perang Dunia II merefleksikan peru-bahan yang mendasar di dalam lingkungan masyara-kat pada saat ini dengan segala permasalahannya, perubahan yang telah mendorong munculnya bentuk baru pengetahuan khusus.

Akan tetapi perbaikan pelaksanaan yang buruk ataupun penggunaan analisis kebijakan yang tidak memadai bukan dimaksudkan untuk mengabaikan usaha-usaha untuk menghasilkan pengetahuan kebija-kan, tetapi untuk menciptakan prosedur yang baru dan lebih baik untuk menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan-kebija-kan publik.

57

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 71: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sejarah analisis kebijakan menunjukkan bahwa tugas-tugas tersebut bukanlah sekedar tugas yang ber-sifat ilmiah atau intelektual, tetapi pada dasarnya ber-sifat praktis. Sepanjang sejarah hingga saat ini, anali-sis kebijakan tidak terlepas dari proses politik yang merefleksikan konflik nilai dari berbagai kelompok masyarakat yang berbeda dalam upayanya untuk men-cari pandangan alternatif bagi pengembangan sosial.

2.2. RingkasanBagian ini telah menceritakan secara luas dan

survai yang selektif terhadap tonggak sejarah utama di dalam evolusi penerapan ilmu sosial. Tujuan utama-nya adalah untuk menciptakan kesadaran yang lebih tinggi dari kemajemukan metodologi, metode dan teknik analisis kebijakan. Pada titik ini ada baiknya mendiskusikan kesimpulan umum berikut:1. Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang

paling luas, melibatkan hasil pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Usaha awal peneta-pan peraturan yang sah (sebagai contoh kode Hammurabi), aktivitas penasehat kerjaan pada abad pertengahan (sebagai contoh kependetaan), peker-jaan statistik abad sembilan belas (sebagai contoh Adolphe Quetelet) dan penerapan analisis sistem pada saat ini adalah cocok dengan definisi yang luas dari analisis kebijakan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

58

Page 72: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2. Secara historis, tujuan analisis kebijakan adalah menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan untuk dijadikan bahan pertimbangan yang nalar guna menemukan pemecahan masalah kebijakan. Dengan demikian, analisis kebijakan memiliki dasar orientasi praktis yang dalam banyak hal menjadikannya sama dengan ilmu sosial terapan.

3. Metodologi, metode dan teknik analisis kebijakan telah berubah dengan nyata sepanjang sejarah. Tetapi analisis kebijakan secara eksplisit hanya menjadi empiris dan kuantitatif pada periode setelah Revolusi Indutri. Ketika analisis kebijakan abad dua puluh mengikuti tradisi yang telah ditetapkan pada abad sebelumnya, lima puluh tahun yang lalu pelembagaannya di pemerintahan. Pada periode setelah Perang Dunia II pendekatan analisentrik mulai mendominasi analisis kebijakan.

4. Evolusi analisis kebijakan umunya telah mengikuti perubahan di dalam masyarakat. Salah satu peruba-han besar di dalam masyarakat adalah tumbuhnya wilayah perkotaan di Mesopotamia dan kemudian di India, China dan Yunani. Pada periode abad per-tengahan peradaban perkotaan menjadi lebih kom-pleks dengan adanya diferensiasi dan spesialisasi peran analisis kebijakan terutama permasalahan ke-uangan, perang dan hukum. Transformasi utama di dalam produksi pengetahuan kebijakan terjadi sebagai akibat revolusi industri dan jaman pencera-

59

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 73: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

han, keduanya diikuti pertumbuhan stabilitas poli-tik di antara kekacauan sosial. Pada abad dua puluh analisis kebijakan berkembang, pertama untuk menanggapi kelesuan ekonomi dan perang dan kemanusiaan sebagai reaksi terhadap pemerintah yang tumbuh secara dramatis. Sesudah Perang Dunia II, kita melihat kemunculan masyarakat pasca industri di mana kelas teknis professional yang terdidik telah mencapai posisi menonjol yang tidak terduga seperti periode sebelumnya.

5. Terdapat sedikitnya dua cara utama untuk men-jelaskan evolusi sejarah analisis kebijakan dari dulu hingga saat ini. Menurut salah satu pendekatan (bimbingan teknokratis) pengetahuan kebijakan adalah sumberdaya langka yang kepemilikannya dapat meningkatkan kekuatan dan pengaruh analis kebijakan yang professional. Pendekatan yang lain (konseling teknokratis) sebaliknya menyatakan bahwa peran utama analis kebijakan adalah untuk mengesahkan keputusan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Masing-masing pende-katan membantu di dalam beberapa hal untuk men-jelaskan perubahan sejarah tetapi keduanya cende-rung untuk melebih-lebihkan kekuasaan dan pe-ngaruh analis kebijakan dengan alasan yang ber-beda. Pendekatan bimbingan teknokratis terlalu berlebihan menilai pengaruh analis di dalam mem-bentuk pilihan kebijakan yang penting, sebaliknya

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

60

Page 74: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pendekatan konseling teknokratis salah dalam me-nilai kepentingan simbolis dari analis di dalam me-ngesahkan keputusan kebijakan yang dibuat pada dasar-dasar politik.

6. Apapun keputusan akhir terhadap kontroversi ter-sebut adalah jelas bahwa lingkungan masyarakat pada saat ini dan masalahnya telah berubah secara dramatis. Usaha-usaha untuk mengembangkan pro sedur yang baru dan lebih baik untuk hasil informa-si yang akan memberi sumbangan kepada resolusi permasalahan publik bukanlah semata-mata tugas intelektual ataupun tugas ilmiah, tetapi pada dasar-nya bersifat politis. Analisis kebijakan melekat di dalam proses politik yang merefleksikan konflik nilai dari beberapa kelompok masyarakat yang memperjuangkan visi mereka sendiri tentang pe-ngembangan sosial.

61

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

Page 75: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

62

3. Metode-Metode Untuk Analisis Kebijakan

Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah

memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap

masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal karena

kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada

menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang

tepat. –RUSSEL L. ACKOFF, Redesigning the Future: A

Systems Approach to Societal Problems (1974).

Beberapa orang percaya bahwa masalah-masalah

kebijakan merupakan kondisi yang objektif yang ke-

beradaannya dapat diciptakan secara sederhana de-

ngan menentukan “fakta-fakta” apa yang ada dalam

suatu kasus. Pandangan yang naif terhadap sifat masa-

lah-masalah kebijakan ini gagal untuk mengenali bah-

wa fakta-fakta yang sama –sebagai contoh, statistik

pemerintah yang memperlihatkan kejahatan, polusi

dan kemiskinan berada dalam perubahan– sering diin-

terpretasikan secara sangat berbeda oleh para pelaku

kebijakan.

Oleh karena itu, informasi sama yang relevan de-

ngan kebijakan dapat dan sering menghasilkan defini-

si-definisi dan penjelasan-penjelasan tentang suatu

“masalah” yang saling berbenturan. Hal ini terutama

bukan karena fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak

konsisten (dan mereka sering tidak konsisten), melain-

kan karena para analis kebijakan, pembuat kebijakan

Page 76: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dan pelaku kebijakan lain mempunyai asumsi-asumsi yang sering bertentangan tentang sifat manusia dan kemungkinan perubahan sosial melalui aksi-aksi kebi-jakan. Masalah-masalah kebijakan untuk sebagian be-rada dalam penglihatan para pelaku.

Dalam konteks ini difokuskan memberikan suatu pandangan mengenai sifat masalah-masalah kebija-kan dan garis besar komponen-komponen utama dari proses perumusan masalah dalam analisis kebijakan.

Setelah membandingkan dan mempertentangkan tipe-tipe model kebijakan yang berbeda, maka dibahas metode untuk merumuskan masalah-masalah kebija-kan. Ilustrasi-ilustrasi dalam teks ini tidak hanya men-demonstrasikan arti penting perumusan masalah me-lekat di dalam proses politik dimana “definisi alterna-tif-alternatif adalah instrumen kekuasaan yang ter-

58tinggi.”

3.1. Sifat Masalah-Masalah KebijakanMasalah masalah kebijakan adalah kebutuhan,

nilai-nilai atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik.59

___________________58 E. E. Schattscheineder, The Semisovereign People

(New York, Rinehart and Winston, 1960), hal.68.59 Lihat David Dery, Problem Definition in Policy

Analysis (Lawrence, KS: University Press of Kansas, 1984).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

63

Page 77: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Perumusan masalah yang merupakan fase pene-litian kebijakan di mana para analis menelaah berbagai formulasi masalah yang saling berbeda dari para pela-ku kebijakan, tidak dapat dipungkiri merupakan ke-giatan yang paling penting dari para analis kebijakan.

Perumusan masalah merupakan sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempenga-ruhi keberhasilan semua fase sangat penting, karena para analis kebijakan kelihatannya lebih sering gagal karena mereka memecahkan masalah yang salah dari-pada karena memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang tepat.

3.1.1. Di Luar Perumusan MasalahAnalisis kebijakan sering diterangkan sebagai

suatu metodologi pemecahan-masalah. Meskipun hal ini untuk sebagian benar –dan para anlisis berhasil

60memecahkan masalahah-masalah publik– citra pe-mecahan masalah-masalah dari analisis kebijakan da-pat menyesatkan.

Citra pemecahan masalah secara salah meng-gambarkan bahwa para analis dapat berhasil meng-identifikasi, mengevaluasi dan membuat rekomen- ___________________

60 Lihat, sebagai contoh, Bernard Barber, Effective Social Science:Eight Caces in Economisc, Political Science dan Sociology (Ner Work: Russel Sage Foundation, 1987).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

64

Page 78: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dasi pemecahan masalah tanpa perlu menghabiskan waktu dan usaha yang berharga untuk merumuskan masalah itu.

Dalam kenyataannya, analisis kebijakan adalah proses berjenjang yang dinamis di mana metode-me-tode perumusan masalah mendahului metode-metode pemcahan masalah (lihat gambar 1-2). Gambar 1-2 memperlihatkan bahwa metode-metode perumusan masalah mendahului dan mengambil prioritas terha-dap metode-metode pemecahan masalah dalam anali-sis kebijakan.

Metode-metode pada satu tingkat tidak cukup dan tidak efektif pada tingkat berikutnya, karena per-tanyaan-pertanyaan yang lebih rendah tingkatnya mengenai keuntungan bersih dari beberapa solusi un-tuk mengontrol polusi industri telah mengasumsikan bahwa polusi industri adalah merupakan masalahnya.

Pada pertanyaan berikutnya yang tingkatnya lebih tinggi yang harus dijawab adalah menyangkut cakupan dan kerumitan polusi, kondisi yang memberi kontribusi kepada polusi dan solusi-solusi yang poten-sial untuk memindahkan dan menghilangkan polusi.

Di sini analis dapat menemukan dengan baik bahwa formulasi yang paling layak terhadap masalah dihubungkan secara dekat dengan kebiasaan menge-mudi orang-orang Amerika di mana gas dan bahan bakar lebih murah dan disubsidi secara besar-besaran oleh Pemerintah.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

65

Page 79: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Hal ini merupakan pertanyaan tentang perumu-san masalah; sementara yang tersebut pertama adalah pertanyaan tentang pemecahan masalah. Pendeknya adalah merupakan suatu hal yang penting untuk mengenali perbedaan dalam gambar 1-2:

Gambar 1-2.

Prioritas Perumusan Masalah Dalam Analisis Kebijakan

MasalahBenar?

YA

PengenalanMasalah

SITUASIMASALAH

PerumusanMasalah

PengenalanMasalah

MASALAHKEBIJAKAN

PementahanSolusi Masalah

PemecahanMasalah

SOLUSIKEBIJAKAN

PemecahanKembali Masalah

SOLUSI KEBIJAKAN

TIDAK

YA

TIDAK

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

66

Page 80: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1. Pengenalan Masalah vs. Perumusan Masalah. Pro-ses analisis kebijakan tidak berawal dengan masalah yang terartikulasi dengan jelas, tetapi suatu pera-saan khawatir yang kacau dan tanda-tanda awal dari

61stress. Rasa kekhawatiran yang kacau dan tanda-tanda awal dari stress ini bukan masalah, tetapi situasi masalah yang dikenal atau dirasakan oleh pada analis kebijakan, pembuat kebijakan dan pela-ku kebijakan. Masalah-masalah kebijakan “adalah produk pemikiran yang dibuat pada suatu lingku-ngan, suatu elemen situasi masalah yang diabstrak-sikan dari situasi ini oleh para analis. Dengan begitu, yang seperti atom atau sel, merupakan suatu kons-

62truksi konseptual.” 2. Perumusan masalah vs Pemecahan Masalah. Ana-

lisis kebijakan merupakan proses yang berlapis-lapis yang mencakup metode perumusan masalah pada urutan yang lebih tinggi dan metode pemeca-han masalah pada urutan yang lebih rendah. Metode yang lebih tinggi dan pertanyaan-perta-nyaan yang layak adalah apa yang akhir-akhir ini disebut sebagai rancangan kebijakan atau ranca-

___________________

61 Martin Rein and Sheldon H. White, “Policy Research: Belief and Doubt,” Policy Analysis, 3, no.2 (1977), 262.

61Russel A. Ackoff, Redesigning the Future: A Systems

Approach to Societal Problems (New York: Wiley, 1974), hal.21.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

67

Page 81: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

63 ngan ilmu. Metode pemahaman masalah dalam urutan yang lebih tinggi adalah metametode –yaitu metode-metode “mengenai” dan “ada sebelum” metode pemecahan masalah yang berada pada uru-tan yang lebih rendah. Ketika para analis menggu-nakan metode dalam urutan yang lebih rendah untuk memecahkan masalah-masalah yang rumit, mereka beresiko melakukan kesalahan tipe ketiga yang oleh Raiffa disebut: memecahkan masalah

64yang salah. 3. Pemecahan Kembali Masalah vs Pementahan So-

lusi Masalah dan Pementahan Masalah. Istilah-is-tilah ini (aslinya: problem resolving, problem un-solving dan problem dissolving) menunjuk pada

65tiga macam proses pengoreksian kesalahan. Meskipun ketiga istilah itu berasal dari sumber

___________________63 Lihat Stephen H. Linder dan B. Guy Peters, “From Social

Theory to Policy Design.” Journal of Public Policy, 4, No.4 (1985), 237-59; John Dryzek, “Don't Toss Coins into Garabage Cans: A Prologue to Policy design,” Journal of Public Policy,3, No.3 (1983), 345067; dan Trudi C. Miller, “Conclusion: A Design Science Perspective,” dalam Public Sector Performance : A Turning Point, ed. T.C. Miller (Baltiore: John Hopkins University Press, 1985).

64 Howard Raiffa, Decision Analysis (Reading, MA: Addison-Wesley, 1968), hal.264.

65 Lihat Russel L. Ackoff, “Beyond Problem Solving,”

General System, XIX (1974); 237-39; dan Herbertb A. Simon, “The Structure of III Structured Problems,” Artificial Intelligence 4 (1973), 181-201.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

68

Page 82: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang sama, (Latin: solver, to solve atau dissolve), proses pengoreksian kesalahan terhadap objek yang dikoreksi berlangsung pada tingkat yang berbeda (lihat dalam gambar 1-2). “Pemecahan Kembali Masalah” (problem resolving) mencakup analisis ulang terhadap masalah yang dipahami secara benar untuk mengurangi kesalahan yang bersifat kalibrasional. Sebagai contoh, mengurangi probabilitas keselahan tipe I atau tipe II dalam me-nguji hipotesis nol bahwa pementahan solusi masa-lah (problem unsolving).

Akhirnya, pementahan masalah (problem dissel-ving) meliputi pembuangan masalah yang diru-muskan secara tidak tepat dan kembali kepada perumusan masalah sebelum terjadi suatu usaha untuk masalah yang tidak tepat itu.

3.1.2. Ciri-Ciri MasalahContoh-contoh berikut ini akan membuat kita

berhati-hati untuk tidak menerima begitu saja masalah kebijakan karena pemahaman atau dengan hal-hal rumit seperti masalah-masalah kebijakan. Uraian beri-kut ini menjelaskan beberapa ciri penting dari masalah kebijakan:1. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan.

Masalah-masalah kebijakan di dalam satu bidang (misalnya energi) kadang-kadang mempengaruhi

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

69

Page 83: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lain (misalnya pelayanan kesehatan dan penganggu-ran). Dalam kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri; mereka merupakan bagian dari seluruh sistem ma-salah yang paling baik diterangkan sebagai messes, yaitu suatu sistem kondisi eksternal yang mengha-silkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen

66 masyarakat yang berbeda. Sistem masalah atau messes sulit atau bahkan tidak mungkin dipecah-kan dengan menggunakan pendekatan analitis –yaitu, pendekatan yang memecahkan masalah ke dalam elemen-elemen atau bagian-bagian yang menyusunnya– karena jarang masalah-masalah dapat didefinisikan dan dipecahkan secara sendiri-sendiri. Kadang-kadang merupakan hal yang mudah “untuk memecahkan sepuluh masalah yang saling terkait daripada memecahkan satu masalah

67secara sendiri.” Sistem masalah yang saling ter-gantung mengharuskan suatu pendekatan holistic, suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan sistem

___________________66 Russel L. Ackoff, Redesigning the Future: A Systems

Approach to Societal Problems (New York: Willey, 1974), hal.21.67

Harrison Brown, “Scenario for an Amrican Renaissan-ce,” iSaturday Review (December 25, 1971), 18-19.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

70

Page 84: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

68 yang mengikatnya.2. Subyektivitas dari Masalah Kebijakan. Kondisi

eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan di-evaluasi secara selektif. Meskipun terdapat suatu anggapan bahwa masalah bersifat obyektif –misal-nya, polusi udara dapat didefinsikan sebagai ting-kat gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer– data yang sama mengenai polusi dapat diinterpre-tasikan secara berbeda. Masalah kebijakan “adalah suatu hasil pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu; Masalah tersebut merupakan elemen dari suatu situasi masalah yang diabstraksi-kan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu, apa yang kita alami sesungguhnya adalah merupa-kan situasi masalah, bukan masalah itu sendiri, seperti halnya atom atau sel, merupakan suatu kon-

69struksi konseptual.” Dalam analisis kebijakan me rupakan hal yang sangat penting untuk tidak me-ngacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan karena masalah adalah barang abstrak yang timbul dengan mentransformasikan pengala-

___________________68

Lihat Ian I. Mitroff dan L. Vaughan Blankenship, “On the

Methodology of the Holistic Experiment: An Approach to the Conceptualization of Large-Scale Social Experiments,”

Technological Forecasting and Social Change, 4 (1973), 339-53.69 Ackoff, Redesigning the Future, hal.21.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

71

Page 85: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

man ke dalam penilaian manusia.3. Sifat buatan dari masalah. Masalah-masalah kebi-

jakan hanya mungkin ketika manusia membuat pe-nilaian mengenai keinginan untuk mengubah bebe-rapa situasi masalah. Masalah kebijakan merupa-kan hasil/produk penilaian subyektif manusia; ma-salah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai de-finisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang objektif dan karenanya, masalah kebijakan dipa-

70hami, dipertahankan dan diubah secara sosial. Masalah tidak berada di luar individu dan kelom-pok-kelompok yang mendefinisikan, berarti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang “alamiah” dimana apa yang ada dalam masyarakat tersebut dengan sendirinya merupakan masalah kebijakan.

4. Dinamika masalah kebijakan. Terdapat banyak so-lusi untuk suatu masalah sebagaimana terdapat ba-nyak definisi terhadap masalah tersebut. “Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstans dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan …Solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barang kali masalah

71itu sendiri belum usang.”___________________

70 Bandingkan dengan Peter L. Berger dan Thoman nd

Luckmann, The Societal Construction of Reality, 2 ed. (New York: Irvington, 1980).

71 Ackoff, Redesigning the Future, hal.21.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

72

Page 86: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sistem masalah (messes) bukan merupakan kesa-tuan mekanis; melainkan sistem yang bertujuan (teleologis) di mana (1) tidak ada anggotanya yang sama persis di dalam semua atau bahkan setiap sifat atau perilaku mereka; (2) sifat-sifat dan perilaku setiap anggota mempunyai pengaruh pada sifat-sifat dan perilaku pada sifat-sifat dan perilaku sistem secara keseluruhan; (3) sifat-sifat dan perilaku setiap anggota dan cara setiap anggota mempengaruhi sistem secara keseluruhan, tergantung pada sifat-sifat dan perilaku paling tidak dari salah satu anggota sistem; dan (4) dimungkinkan sub kelompok anggota mempunyai suatu pengaruh yang tidak bebas atau tidak indepen-

72den pada sistem secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa sistem masalah –kejahatan,

kemiskinan, pengangguran, inflasi, energi, polusi, ke-sehatan– tidak dapat dipecah ke dalam rangkaian yang independen tanpa menimbulkan risiko menghasilkan solusi yang tepat terhadap masalah yang salah.

Kunci karakteristik dari sistem permasalahan adalah bahwa seluruh sistem lebih besar –yaitu berbe-da secara kualititaif– daripada sekedar jumlah dari ba-gian-bagiannya.

Suatu tumpukan batu dapat didefinisikan sebagai jumlah masing-masing batu tetapi tidak sebagai suatu piramida. Demikian juga manusia dapat menulis atau ___________________

72 Mitoff dan Blankenship, hal.341-42.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

73

Page 87: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

berlari, tetapi satu anggota tubuh tidak dapat melaku-kannya sendiri.

Selanjutnya, keanggotaan dalam sistem dapat meningkatkan atau mengurangi kemampuan masing-masing elemen; dan setiap anggota sistem tidak dapat membuat yang lain tidak terpengaruh. Sebagai contoh, otak tanpa ada bagian-bagian tubuh lainnya tidak akan dapat berfungsi. Individu yang merupakan bagian suatu bangsa atau perusahaan dapat mengerjakan sesutau yang tidak dapat dikerjakan anggota lain dan dia tidak perlu mengerjakan hal yang dapat dikerjakan

73orang lain.Akhirnya, pengakuan terhadap ketergantungan,

subyektivitas, sifat buatan dan kedinamisan masalah-masalah kebijakan membuat kita berhati-hati terhadap kemungkinan terjadinya konsekuensi-konsekuensi yang tidak terduga ketika suatu kebijakan dibuat ber-dasarkan pada pemecahan/solusi yang tepat tetapi ter-hadap masalah yang salah.

Lihat misalnya, situasi masalah yang dihadapi pemerintah-pemerintah Eropa Barat dalam dasawarsa terakhir ini. Perancis dan Jerman Barat, yang berusaha untuk meluaskan pasokan energi yang tersedia dengan membangun kompleks tenaga nuklir pada sungai Rhine, mendefinisikan masalah energi dengan bera-sumsi bahwa tenaga nulir tidak terkait dengan masa-___________________

73 Acknoff, Redesigning the Future, hal.13.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

74

Page 88: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

lah-masalah lain. Sehingga hubungan antara energi dengan sistem masalah yang lebih luas tidak masuk ke dalam perumusan masalah. Seorang pengamat, yang menulis di tahun 1970-an memperingatkan bahwa:

Malaria akan datang sebagai penyakit menular utama di Eropa di dalam sepuluh tahun menda-tang, beruntung ada keputusan pemerintah Jer-man dan Perancis untuk membangun generator atom yang memanfaatkan air sungai untuk sis-tem pendinginnya sehingga suhu air tidak me-mungkinkan anopheles (nyamuk pembawa

74malaria) berkembang biak.

3.1.3. Masalah-Masalah vs Isu-IsuJika masalah-masalah kebijakan benar-benar me

rupakan keseluruhan dari sistem masalah-masalah, itu berarti bahwa isu-isu kebijakan pasti sama kompleks-nya. Isu-isu kebijakan tidak hanya mengandung keti-daksetujuan mengenai serangkaian aksi yang aktual atau potensial; tetapi juga mencerminkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sifat dari masalah-masalah itu sendiri. Isu kebijakan yang nampak secara jelas –sebagai contoh, apakah pemerintah harus me-ningkatkan standar kualitas udara di dalam industri– merupakan konsekuensi yang khas dari seperangkat ___________________

74 Ivan Illich dalam perbincangan dengan Sam Keen, yang dilaporkan dalam Pstchology Today (May 1976).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

75

Page 89: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

75asumsi yang saling bersaing tentang sumber polusi.1. Polusi adalah konsekuensi alamiah dari kapitalis-

me, suatu sistem ekonomi di mana para pemilik industri berusaha untuk mempertahankan dan me-ningkatkan keuntungan dari investasi mereka. Sejumlah kerusakan pada lingkungan adalah harga yang wajar yang harus dibayar bagi sehatnya eko-nomi kapitalis.

2. Polusi adalah hasil dari kebutuhan akan kekuasaan dan prestise di antara manajer industri yang men-cari promosi dalam birokrasi besar yang berorien-tasi pada karir. Polusi merupakan suatu situasi yang parah di dalam sistem sosialis di mana tidak ada pe-milik swasta yang berorientasi pada pencarian laba.

3. Polusi adalah konsekuensi dari pilihan konsumen dalam masyarakat konsumtif tingkat tinggi. Para manajer dan pemilik perusahaan harus memuaskan konsumen yang menghendaki mesin dan mobil yang berpenampilan menarik.

Kemampuan untuk mengenali perbedaan di anta-ra situasi problematis, masalah kebijakan dan isu kebi-jakan adalah penting sekali dalam rangka memahami cara menafsirkan sebuah peristiwa, yang menimbul-kan ketidaksetujuan tentang serangkaian tindakan ___________________

75 Lihat Ritchie P. Lowry, Social Problems: A Critical Analysis of Theories and Public Policy (Lexington, MA: D.C Heath and Company, 1974), hal.23-25.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

76

Page 90: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pemerintah yang aktual maupun potensial. Formulasi masalah sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi para pelaku kebijakan yang berbeda –legislator, adminis-trator, pimpinan-pimpinan bisnis, kelompok-kelom-pok konsumen– sehingga membawa kepada kondisi permasalahan yang ada. Selanjutnya, formulasi masa-lah yang berbeda menentukan bagaimana isu-isu kebi-jakan didefinisikan.

Di dalam contoh polusi lingkungan seperti terse-but di atas, asumsi-asumsi mengenai cara kerja ekono-mi kapitalis yang sehat sudah barang tentu akan mem-bawa kepada pandangan yang bersifat negatif menge-nai perlunya pemerintah menerapkan standar kualitas udara di dalam industri, sementara itu asumsi-asumsi mengenai perilaku manajer perusahaan kelihatannya menghasilkan posisi yang bersifat menyetujui.

Sebaliknya, asumsi yang ketiga mengenai pili-han konsumen dan kelangsungan perusahaan dapat menghasilkan kesimpulan bahwa regulasi pemerintah terhadap polusi industri bukan merupakan isu karena pemerintah tidak dapat mengatur permintaan konsumen.

Kompleksitas isu-isu kebijakan dapat diperlihat-kan dengan mempertimbangkan jenjang organisasi di mana isu-isu itu diformulasikan (lihat gambar 1-3). Isu-isu kebijakan dapat diklasifikasikan sesuai dengan hirarki dari tipe: utama, sekunder, fungsional dan minor. Isu-isu utama (major issues) secara khusus

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

77

Page 91: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau di antara jurisdiksi/wewenang federal, negara bagian dan lokal. Isu-isu utama secara khusus meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi, yaitu perta-nyaan mengenai sifat dan tujuan organisasi-organisasi pemerintah.

Isu seperti apakah Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat harus berusaha menghilang-kan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan mengenai misi lembaga. Isu-isu sekunder (secondary issues) adalah isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program di peme-rintahan federal, negara bagian dan lokal. Isu-isu kedua ini dapat berisi isu prioritas-prioritas program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan pene-rima dampak. Isu mengenai bagaimana mendefinsi-kan kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua.

Sebaliknya, isu-isu fungsional (functional issues) terletak di antara tingkat program dan proyek dan memasukkan pertanyaan-pertanyaan seperti ang-garan, keuangan dan usaha untuk memperolehnya. Terakhir, isu-isu minor (minor issues) adalah isu-isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang spesifik. Isu-isu minor meliputi personal, staff, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam kerja dan petunjuk pelaksanaan serta peraturan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

78

Page 92: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Gambar 1-3. Hirarki Tipe-Tipe KebijakanKebijakan-kebijakan strategis

Kebijakan Operasional

Bila hirarki isu-isu kebijakan naik, masalah-ma-salah menjadi saling tergantung, subyektif, artificial dan dinamis. Meskipun tingkat-tingkat ini saling ter-gantung, beberapa isu memerlukan kebijakan yang strategis, sementara yang lain meminta kebijakan ope-rasional. Suatu kebijakan yang stretegis (strategic po-licy) adalah salah satu kebijakan di mana konsekuensi dan keputusannya secara relatif tidak bisa dibalikkan.

Suatu isu seperti apakah AS harus mengirimkan pasukannya ke Teluk Persia, apakah pekerja sosial harus diorganisir kembali, memerlukan kebijakan-

Isu-Isu Utama

Isu-Isu Sekunder

Isu-Isu Fungsional

Isu-Isu Minor

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

79

Page 93: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kebijakan strategis karena konsekuensi dari keputu-san-keputusan tidak dapat dibalik ulang untuk bebera-pa tahun.

Sebaliknya, kebijakan operasional (operational policies) –yaitu, kebijakan di mana konsekuensi dari keputusan-keputusan secara relatif dapat dibalik ulang– tidak menimbulkan risiko dan ketidakpastian masa kini pada tingkat yang lebih tinggi. Sementara semua tipe kebijakan adalah saling tergantung –sebagai contoh, realisasi dari misi-misi suatu instansi tergantung sebagian pada kemampuan praktik-praktik personalnya– adalah penting untuk mengetahui bahwa kompleksitas dan tak dapat diulangnya suatu kebija-kan akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya hirarki isu-isu kebijakan.

3.1.4. Tiga Kelas Masalah KebijakanTerdapat tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: ma-

salah yang sederhana (well-structured), masalah yang agak sederhana (moderately –structured) dan masalah

76yang rumit (ill-structured). Struktur dari masing-ma-sing kelas ini ditentukan oleh tingkat kompleksi-tasnya, yaitu derajat seberapa jauh suatu masalah me-rupakan sistem permasalahan yang saling tergantung. ___________________

76 Lihat Ian I. Mitroff dan Fransisco Sagasti, “Epistemo-logy as General Systems Theory: an Approach to Design of Complex Decision-Making Experiments,” Philosophy of So-cial Sciences,3 (1973), 117-34.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

80

Page 94: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Perbedaan di antara masalah-masalah yang se-derhana, agak sederhana dan rumit digambarkan de-ngan mempertimbangkan variasi di dalam elemen-elemen mereka. (lihat dalam tabel 1-2).

Tabel 1-2. Perbedaan dalam Struktur dari Tiga Tipe Masalah Kebijakan

STRUKTUR MASALAHELEMEN

Pengambil keputusan

Alternatif

Kegunaan (nilai)

Hasil

Probabilitas

Sederhana

Satu atau beberapa

Terbatas

Konsensus

Pasti atau berisiko

Dapat dihitung

Agak Sederhana

Satu atau beberapa

Terbatas

Konsensus

Tidak pasti

Tak dapat dihitung

Rumit

Banyak

Tak Terbatas

Konik

Tidak diketahui

Tak dapat dihitung

Masalah yang sederhana (well structured pro-blems) adalah masalah yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif-alternatif kebijakan. Kegunaan (nilai) men-cerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pen-dek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan. Hasil dari masing-masing alter-natif diketahui dengan keyakinan yang tinggi (secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang masih dapat diterima (risiko).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

81

Page 95: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Prototipe masalah yang sederhana adalah masa-lah keputusan yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari semua alternatiif kebi-jakan di program. Masalah-masalah operasional yang secara relatif lebih rendah di dalam instansi peme-rintah memberi gambaran mengenai masalah yang sederhana.

Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif adalah masalah yang sederhana yang meliputi pencarian titik optimum pada kendaraan lama yang harus dijual untuk yang baru, diambil ke dalam perhitungan biaya perbaikan rata-rata bagi kendaraan lama dan pembelian dan harga depresiasi bagi kendaraan yang baru.

Masalah yang agak sederhana (moderately struc-tured problems) adalah masalah-masalah yang meli-batkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan se-jumlah alternatif yang secara relatif terbatas. Kegu-naan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian, hasil dari alternatif-alternatif itu belum tentu meyakinkan (deterministik) ataupun diperhitungkan di dalam margin kesalahan yang diterima (risiko), hasil-hasil itu tidak meyakin-kan/tidak tentu, yang berarti bahwa probabilitas kesa-lahan tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang agak sederhana adalah simulasi

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

82

Page 96: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

atau permainan kebijakan, suatu ilustrasi yang disebut 77dengan “dilema tahanan.”

Dalam permainan ini, dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan/sel yang terpisah, di mana masing-masing tahanan diinterogasi oleh penuntut, yang harus memperoleh pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan hukuman.

Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing tahanan yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan jika tidak ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan dengan tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan kejahatan yang lebih serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman, tetapi jika hanya salah seorang yang menga-ku, tertuduh yang mengaku akan menerima hukuman percobaan, sementara yang lain akan menerima huku-man maksimum. Pilihan “optimal” bagi masing-masing tahanan, dengan asumsi bahwa masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil oleh pihak lain, adalah untuk mengaku.

Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun hukuman karena keduanya keli-___________________

77 Lihat Anatol Rapport dan Albert M. Chammag, Prisoner's Dilemma (Ann Arbor, MI: University of Michigan Press, 1965).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

83

Page 97: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

hatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman mereka. Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan individu yang “rasional” dapat memberi kontribusi terhadap irisionalitas kolektif dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.

Masalah yang rumit (ill-structured problems) adalah masalah-masalah yang mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai) nya tidak diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten.

Jika masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan konsensus, maka karakte-ristik utama dari masalah-madalah yang rumit adalah konik di antara tujuan-tujuan yang saling diketahui karena tidak mungkin memperkirakan risiko dan keti-dakpastian.

Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubu-ngan-hubungan deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendenisikan sifat masalah. Contoh ma-salah yang rumit adalah masalah keputusan instransi-tif secara penuh, yaitu suatu masalahan di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan tunggal yang disukai oleh semua orang.

Sementara masalah yang sederhana atau agak sederhana mengandung urutan-urutan pilihan yang transitif –yaitu, jika alternatif A1lebih disukai dari pada alternatif A2 dan Alternatif A2 lebih disukai

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

84

Page 98: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dari pada alternatif A3, maka alternatif A1 lebih di-sukai daripada alternatif A3– masalah yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif.

Kebanyakan masalah kebijakan yang paling penting cenderung rumit (ill-structured). Salah satu pelajaran dari ilmu politik, administrasi publik dan disiplin lainnya adalah bahwa masalah-masalah yang sederhana atau agak sederhana jarang dijumpai dalam

78lingkungan pemerintahan yang kompleks.Sebagai contoh, merupakan hal yang tidak realis-

tis untuk mengganggap keberadaan satu atau beberapa pembuat keputusan dengan pilihan (manfaat) yang sama karena kebijakan-kebijakan publik adalah sepe-rangkat keputusan yang saling berhubungan yang di-buat dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan di sepanjang periode waktu yang panjang.

Konsensus adalah jarang karena pembuatan ke-bijakan publik cenderung menimbulkan konik di antara para pelaku kebijakan yang saling bersaing. Akhirnya, merupakan hal yang hampir tidak mungkin atau jarang untuk dapat mengidentikasikan seluruh alternatif pemecahan masalah dan hal ini untuk seba-___________________

78 Lihat, sebagai contoh, David Draybrooke dan Charles EE. Lindblom, A Stretegy of Decision (New York: The Free Press, 1963); dan Herbert A. Simon, “Theories of Decision-Making in Economic and Behavioral Science.” American Economic Review, XLIX (1959), 255-57.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

85

Page 99: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

gian karena hambatan-hambatan pada perolehan in-formasi dan juga karena kadang-kadang sulit untuk mencapai formulasi permasalahan yang memuaskan. Alasan mengapa masalah yang rumit adalah sangat penting bagi analisis kebijakan publik telah diringkas-

79kan sejumlah ilmuwan sosial.

3.2. Perumusan Masalah Dalam Analisi KebijakanSyarat untuk memecahkan masalah yang rumit

adalah tidak sama dengan syarat untuk memecahkan masalah yang sederhana. Masalah yang sederhana memungkinkan analis menggunakan metode-metode konvensional, sementara masalah yang rumit menun-tut analis untuk mengambil bagian aktif dalam

80mendenisikan hakekat dari masalah itu sendiri.Dalam mendenisikan secara aktif hakekat suatu

masalah, para analis harus tidak hanya menghadapkan diri mereka pada keadaan problematik tetapi juga harus membuat penilaian dan pendapat secara kreatif. Hal ini berarti bahwa analisis kebijakan dibagi ke ___________________

80 Lihat, sebagai contoh, Thomas R. Dye, Understanding rd

Public Policy, 3 ed. (Eglewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1978), hal.30-31; Richard O. Mason da Ian I. Mitroff, Creating a Dialectical Social Science (Dordrecht, the Netherlands: D. Reidel, 1981); dan James G. March dan Johan P. Olsen, “The New Institutionalism; Oraganizational Factor in Political Life, “The American Political Science Review,” 78, no.3 (1984), 739-49.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

86

Page 100: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dalam dua jenis analisis secara seimbang, yaitu perumusan masalah hanyalah salah satu bagian dari kerja analisis kebijakan:

Gambaran tentang pemecahan masalah bertolak dari pandangan bahwa kerja kebijakan bermula dari masalah-masalah yang sudah terartikulasi dan ada dengan sendirinya. Semestinya, kebijakan bermula ketika masalah-masalah yang diketahui nampak, masalah-masalah yang terhadapnya seseorang dapat membuat hipotesis tentang serangkaian tindakan yang mungkin dan yang terhadapnya seseorang dapat mengartiku-lasikan tujuan-tujuan …bukan masalah-masalah yang jelas tetapi kekhawatiran yang bercampur aduk, yang nampak. Kelompok-kelompok penekan politik menjadi aktif tidak sebagaimana biasanya atau kegiatan mereka menjadi lebih terberitakan; indikator-indikator sosial formal dan informal memberi tanda kecenderungan yang dapat diinterpretasikan sebagai titik yang diinginkan. Terdapat tanda-tanda masalah, tetapi tidak seorang pun mengetahui apa masalah itu …Dengan kata lain, keadaannya sedemikian rupa sehingga masalah itu sendiri problematis. Analis kebijakan mengandung proses untuk mencari dan merumuskan masalah-masalah; mencakup penetapan (perumusan)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

87

Page 101: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

masalah dengan tujuan untuk menginterpretasi-81kan gejala stress yang ada di dalam sistem.

3.2.1. Kreativitas Dalam Merumuskan MasalahKriteria untuk menentukan keberhasilan peru-

musan masalah juga berbeda dari yang digunakan untuk menilai keberhasilan dalam memecahkan masalah. Pemecahan masalah yang berhasil mengha-ruskan para analis memperoleh solusi-solusi teknis yang benar untuk masalah-masalah yang diformula-sikan secara jelas.

Sebaliknya, perumusan masalah yang berhasil mengharuskan bahwa para analis mendapatkan solusi-solusi untuk masalah-masalah yang kabur dan sulit didenisikan. Dalam kenyataannya, kriteria untuk menilai tindakan kreatif secara umum juga terpakai bagi kreativitas dalam merumuskan suatu masalah. Perumusan masalah bersifat kreatif sepanjang satu

82atau lebih kondisi berikut ini terpenuhi: (1) produk __________________

81 Martin Rein dan Sheldon H. White, “Policy Research: Belief and Doubt,” Policy Analysis, 3, no.2 (1977), 262.

82 Lihat Alan Newell, J.C Shaw dan Herbert A. Sion, “The

Process of Creative Thinking,” dalam Contemporary Approaches to Creative Thinking, ed. H.E. Gruber, g. terrel dan M. Wertheimer (New Tork: Artherton Press, 1962), pp.63-199; juga lihat monograf yang sangat baik oleh James L. Adams, Conceptual Blockbusting (Stanford, CA: Stanford Alumni Association, 1974).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

88

Page 102: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

analisis cukup baru sehingga banyak orang belum pernah mencapai solusi yang sama; (2) proses analisis tidak konvensional yag meliputi modikasi atau penolakan ide-ide yang pernah ada; (3) proses analisis mengharuskan motivasi dan persistensi yang tinggi sehingga analisis berlangsung dengan intensitas tinggi atau dalam periode waktu yang panjang; (4) produk analis dinyatakan bermanfaat oleh para analis, pembuat kebijakan dan para pelaksana kebijakan karena dia memberikan solusi yang memadai bagi suatu masalah; dan (5) masalah yang pada awalnya dihadapi bersifat tidak jelas, kabur dan sulit dideni-sikan sehingga sebagian dari tugasnya adalah mem-formulasikan masalah itu sendiri.

3.2.2. Fase-Fase Perumusan MasalahSebagaimana yang kita lihat di atas (dalam

Gambar 1-3), perumusan masalah mengambil prioritas di atas pemecahan masalah dalam analisis kebijakan. Perumusan masalah dapat dipandang seba-gai suatu proses dengan empat fase yang saling tergan-tung, yaitu: pencarian masalah (problem search), pen-denisian masalah (problem denition), spesikasi masalah (problem specication) dan pengenalan ma-salah (problem sensing) (lihat Gambar 1-4). Prasyarat perumusan masalah adalah pengakuan atau “dirasa-kannya keberadaan” suatu situasi masalah. Untuk pindah dari situasi masalah seorang analis terlibat dalam pencarian masalah.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

89

Page 103: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Pada tahap ini tujuan jangka pendeknya bukan penemuan suatu masalah tunggal (misalnya, masalah klien atau analis itu); melainkan penemuan beberapa representasi masalah dari berbagai pelaku kebijakan. Para analis yang terlatih biasa menghadapi jaringan besar yang kacau dari formulasi-formulasi masalah yang saling bersaing yang dinamis, terbentuk oleh situasi sosial dan terdistribusi pada seluruh proses pembuatan kebijakan.

Akibatnya, para analis dihadapkan pada meta-83problem suatu masalah di atas masalah-masalah

yang rumit karena wilayah representasi masalah yang dimiliki oleh para pelaku kebijakan nampak tidak

84tertata rapi. Tugas utama adalah untuk merumuskan meta-masalah, yaitu masalah yang dalam urutan kedua yang dapat didenisikan sebagai kelas dari semua masalah urutan pertama, yang merupakan anggotanya.

Kecuali jika kedua tingkat ini dibedakan secara jelas, para analis menghadapi resiko memformulasi-kan masalah yang salah dengan mencampur anggota __________________

83 Lihat Yehezkel Dror, Design for Policy Sciences (New York: Elsevier, 1971).

84 Gambaran lain yang membedakan masalah yang

dipahami dengan buruk adalah batasan-batasannya tidak tertata rapi. Lihat P. Harmon dan D. King, Expert System; Articial Intelligence im Business (New York: Wiley, 1985).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

90

Page 104: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dan kelasnya. Bila gagal membedakan tingkat-tingkat ini, analis melanggar aturan bahwa “apapun yang mencakup keseluruhan pastilah bukan anggota

85keseluruhan itu.”Dalam perpindahan dari metamasalah ke masa-

lah substantif, analis berusaha untuk mendenisikan suatu masalah dalam istilah yang paling mendasar dan umum. Sebagai contoh, analis dapat menentukan apakah masalah itu adalah masalah ekonomi, sosial atau ilmu politik.

Jika masalah substantifnya dikonsepkan sebagai masalah ekonomi, analis akan memperlakukannya dalam ketentuan faktor-faktor yang berhubungan de-ngan produksi dan distribusi barang dan jasa –sebagai contoh, harga pasar menentukan biaya dan manfaat program-program publik. Sebaliknya, jika masalah-nya dipandang sebagai masalah politik atau sosiologi, analis akan mendekatinya sebagai distribusi kekuasa-an dan pengaruh di antara kelompok-kelompok ke-pentingan, elit dan lapisan sosial lainnya yang saling bersaing. Pemilihan sebuah kerangka konspetual se-ring sama dengan pemilihan sebuah pandangan hidup __________________

85 Alfred North Whitehead dan Bertrand Russell, Prin-nd

cipia Mathematica, 2 ed., Vol. 1 (Cambridge University Press, 1910), hal.101. Juga lihat ada Paul Walzlawick, John Weakland dan Richard Fisch, Change: Prinsiples of Problem Formation and Problem Resolution (New York: W.W Norton), hal.6.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

91

Page 105: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ideologi atau mitos rakyat dan menunjukkan komit-86men terhadap suatu cara pandang.

Gambar 1-4. Tahap-Tahap Perumusan Masalah

Untuk menggambarkan pentingnya pandangan dunia, ideologi dan mitos rakyat dalam mengkonsep-kan masalah-masalah substantif, perhatikan berma-cam-macam cara dalam mendenisikan masalah kemiskinan. Kemiskinan dapat didenisikan sebagai konsekuensi dari keadaan yang tidak disengaja atau tidak dapat dielakkan dalam masyarakat, dari tinda-kan-tindakan jahat manusia atau ketidaksempurnaan

87dalam kemiskinan mereka sendiri. __________________

86 Ian Mitroff dan Ralph H. Kilmann, Methodological Approaches to Social Science (san Fransisco: Jossey-Bass, 1978). Juga lihat Thomas Kuhn, The Structure of Scientic

ndRevolutions, 2 ed. (Chicago; University of Chicago Press, 1971); Ian G. Barbour, Myths, Models and Paradigms (New York: Harper & Row, 1976).

87 Lowry, Social Problems, hal.19-46.

METAMASALAH

MASALAHSUBSTANTIF

SITUASIMASALAH

MASALAHFORMAL

PencarianMasalah

SpesikasiMasalah

PengenalanMasalah

PendenisianMasalah

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

92

Page 106: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Denisi kemiskinan ini mengandung elemen-elemen pandangan dunia, mitos atau ideologi sebagai-mana masing-masing meliputi persepsi yang selektif terhadap elemen-elemen kondisi masalah. Pandangan dunia, ideologi dan mitos sebagian benar dan sebagian salah, yang berarti bahwa mereka berguna dan pada saat yang sama berbahaya.

Dalam contoh ini penjelasan tentang kemiskinan sebagai kecelakaan sejarah atau sesuatu yang tak ter-elakkan menunjukkan perspektif naturalistik terhadap masalah-masalah sosial yang mendistorsi realitas dengan menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai distribusi kekayaan adalah tidak ada arti-nya; tetapi mitos ini dapat pula menggugah analis kepada denisi relatif tentang kemiskinan dengan menunjuk fakta bahwa tidak ada masyarakat yang diketahui telah memecahkan masalah kemiskinan ter-sebut secara menyeluruh.

Mirip dengan itu, penjelasan tentang kemiskinan sebagai akibat dari kaum kapitalis yang jahat atau korup secara moral mendistorsi motivasi yang ada dari kaum miskin tersebut. Perspektif Moralistik yang sama, yang menjelaskan kemiskinan sebagai kelema-han moral, juga mengarahkan perhatian terhadap cara-cara pemilik swasta mempromosikan sampah, eks-ploitasi dan tidak adanya tanggung jawab sosial. Akhirnya, untuk menyatakan kemiskinan sebagai ketidaksempurnaan di dalam orang miskin sendiri

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

93

Page 107: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tidak hanya menghasilkan penyalahan korban daripada lembaga sosial yang bertanggung jawab, tetapi juga menunjuk pada fakta bahwa beberapa orang miskin memilih untuk hidup di bawah kondisi yang didenisikan oleh sebagian besar masyarakat sebagai “miskin”.

Perspektif lingkungan ini, yang menjelaskan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lain dengan karakteristik lingkungan si korban, sering menghasil-kan cap kemanusiaan yang kontradiktif yang dikenal sebagai “menyalahkan korban.”

Kaum humanis dapat mengkonsentrasikan ke-inginan murah hatinya pada kekurangan korban, me-ngutuk stress sosial dan lingkungan yang samar-samar yang menghasilkan kekurangan (beberapa waktu yang lalu) dan mengabaikan keberlanjutan pengaruh kekua-tan sosial yang mencelakakan (sekarang ini). Hal ini merupakan ideologi yang cemerlang untuk menjus-tikasi bentuk aksi sosial yang ada yang diciptakan untuk mengubah, bukan masyarakat, seperti yang di-

88harapkan tetapi korban dalam masyarakat itu.Sekali masalah substantif telah didenisikan,

masalah formal yang lebih rinci dan spesik dapat di-rumuskan. Proses perpindahan dari masalah substantif ke masalah formal dilakukan melalui spesikasi __________________

88 William Ryan, Blaming the Victim (New York: Pantheon Books, 1971), hal.7.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

94

Page 108: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

masalah, yang secara tipikal meliputi pengembangan representasi (model) matematis formal dari masalah substantif. Pada pokok ini kesulitan mungkin terjadi, karena hubungan antara masalah substantive yang rumit dan representasi formal dari masalah itu

89mungkin lemah/renggang.Kebanyakan metode untuk menspesikasikan

masalah dalam terminologi matematika formal tidak sesuai untuk masalah-masalah yang sulit didenisi-kan, dimana tugas utamanya bukan untuk mendapat-kan solusi matematis yang tepat/benar tetapi untuk mendenisikan sifat dari masalah itu sendiri.

3.2.3. Kesalahan Tipe Ketiga (EIII)Isu kritis dari perumusan masalah adalah bagai-

mana masalah-masalah yang substantif dan formal secara aktual terkait dengan kondisi masalah yang sebenarnya. Jika sebagian besar kondisi masalah ternyata mengandung seluruh sistem masalah atau messes, maka keharusan bagi analisis kebijakan ada-lah formulasi masalah substantif dan masalah formal yang mampu mencerminkan kompleksitas tersebut.

Derajat hubungan antara kondisi masalah yang ada dan masalah substantif ditentukan pada fase __________________

89 Lihat Ralph E. Strauch, “A Critical Look at Quantita-tive Methodology,” Policy Analysis, 2 (1976), 121-44.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

95

Page 109: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

denisi masalah. Di sini analisis membandingkan di-dasarkan pada asumsi-asumsi dan keyakinan implisit mengenai asal mula manusia, waktu dan kemung-kinan bagi perubahan sosial melalui tindakan peme-rintah.

Yang juga penting adalah derajat hubungan antara kondisi masalah dan masalah formal, yang sering dikhususkan dalam bentuk rumus matematis atau seperangkat persamaan.

Dalam hal pertama (pencarian masalah), analis yang gagal dalam pencarian masalah atau berhenti mencari secara dini, menanggung risiko menetapkan batasan-batasan yang salah dari metaproblem.

Aspek-aspek penting dari metaproblem –sebagai contoh formulasi masalah yang dihadapi oleh mereka yang tengah atau akan ditugasi mengimplementasikan kebijakan– dapat dikatakan berada di luar batas-batas metaproblem.

Dalam hal kedua (denisi masalah), para analis menanggung risiko memilih pandangan dunia, ideolo-gi atau mitos yang salah untuk mengkonseptualisasi-kan kondisi masalah ketika mereka harus memilih salah satu yang tepat.

Dalam hal ketiga (spesikasi masalah), risiko utama adalah memilih representasi formal (model) yang salah dari masalah substantif ketika representasi formal yang tepat harus dipilih. Dalam setiap hal tersebut di atas, para analis dapat melakukan kesala-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

96

Page 110: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

90 han tipe ketiga atau errors of the third type (EIII).Kesalahan tipe III telah diterangkan oleh teoritisi keputusan Howard Raiffa dalam kalimat berikut ini:

Salah satu paradigma yang paling popular da-lam …matematika menerangkan kasus di dalam mana seorang peneliti harus menerima atau menolak apa yang dikenal dengan hipotesis nol. Pada pelajaran awal statistik mahasiswa belajar bahwa dia harus terus menerus menyeimbang-kan antara membuat kesalahan tipe pertama (yaitu, menolak hipotesis nol yang benar) dan kesalahan tipe kedua (yaitu menerima hipotesis nol yang salah) …sementara para praktisis juga terlalu sering membuat kesalahan tipe ketiga:

91memecahkan masalah yang salah.Proses perumusan masalah menimbulkan sejum-

lah isu penting dalam metodologi analisis kebijakan dan ilmu pada umumnya. Setiap fase perumusan ma-__________________

90 Lihat IanI, Mitroff dan Frederick Betz, “Dialectical Decision Theory: A Metatheory of Decision-Making,” Management Science, 19, No.1 (1972), 11-24. Kimball mendenisikan kesalahan tipe III sebagai “kesalahan yang dilakukan dengan member jawaban yang tepat terhadap masalah yang salah.” Lihat A.W. Kimball, “Errors of the Third Kind in Statistical Consulting,” Journal of the American Statistical Association, 52 (1957), 133-42.

91 Howard Raiffa, Decision Analysis (Reading, MA:

Addison-Wisley, 1968), h.264.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

97

Page 111: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

salah mengharuskan bermacam-macam keahlian metodologis yang berbeda dan diterapkannya standar rasionalitas yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, bermacam-macam keahlian yang sangat memadai untuk menemukan metaprob-lems dan mendenisikan masalah-masalah substantif juga observasional dan konseptual. Subyek-subyek matematik dan statistik (ekonomi, penelitian operasi, analisis sistem) terutama relevan untuk menspesika-sikan masalah-masalah formal.

Penstrukturan masalah juga menimbulkan per-tanyaan-pertanyaan tentang arti rasionalitas yang ber-beda-beda, karena rasionalitas bukan sekedar persoa-lan mencari representasi formal yang tepat tentang kondisi masalah. Inilah denisi teknis baku tentang rasionalitas yang dikritik atas penyederhanaan formal-

92nya yang berlebihan terhadap proses yang kompleks. Rasionalitas dapat didesikan pada tingkat yang

lebih mendasar, di mana pilihan yang tidak disadari dan tidak kritis tentang suatu pandangan dunia, ideo-logi atau mitos dapat mengacaukan secara serius kon-septualisasi masalah substantif dan solusi-solusinya yang potensial.

Dalam kasus ini, analis kebijakan mungkin me __________________

92 Lihat, sebagai contoh, Ida R. Hoos, Systems Analysis in Public Policy: A Critique (Berkeley, CA: University of Califor-nia Press, 1972).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

98

Page 112: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

93rupakan ideologi tersamar. Terakhir, pencarian metamasalah didasarkan pada proses Tanya jawab yang lebih baik disebut rasionalitas erotetik (erotetic rationality).

3.3. Tipe-Tipe Model KebijakanModel kebijakan (policy models) adalah repre-

sentasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-

94 tujuan tertentu. Persis seperti masalah-masalah kebijakan yang merupakan bangunan mental yang berdasarkan pada konseptualisasi dan spesikasi elemen-elemen kondisi masalah, model-model kebi-jakan merupakan rekonstruksi articial dari realitas dalam wilayah yang merentang dari energi dan lingku-ngan sampai ke kemiskinan, kesejahteraan dan kejahatan.

Model kebijakan dapat dinyatakan sebagai kon-sep, diagram, grak atau persamaan matematika. Me-reka dapat digunakan tidak hanya untuk menerangkan, menjelaskan dan memprediksikan elemen-elemen __________________

94 Lihat Saul I. Gass dan Roger L. Sisson, eds., A Guide to Models in Governmental Planning and Operations (Washington D.C: Ofce of Research and Development, Enviromental Protection Agency, 1974); dan Martin Green--berger, Mathew A. Crenson dan Brian L. Crissey, Models in the Policy Process 9new York : Russell Sage Foundation, 1976).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

99

Page 113: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

suatu kondisi masalah melainkan juga untuk memper-baikinya dengan merekomendasikan serangkaian tin-dakan untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. Model kebijakan tidak pernah merupakan deskripsi literal tentang situasi masalah.

Seperti halnya masalah kebijakan, model kebija-kan merupakan alat articial untuk menyusun secara imajinatif dan menginterpretasikan pengalaman kita tentang situasi masalah.

Model kebijakan bermanfaat dan bahkan harus ada. Model kebijakan merupakan penyederhanaan sistem masalah (messes) dengan membantu mengu-rangi kompleksitas dan menjadikannya dapat dikelola oleh para analis kebijakan.

Model-model kabijakan dapat membantu mem-bedakan hal-hal yang esensial dan yang tidak esensial dari situasi masalah, mempertegas hubungan di antara faktor-faktor atau variabel-variabel penting dan mem-bantu menjelaskan dan memprediksikan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan.

Model-model kebijakan juga dapat memainkan peran kreatif dan kritis di dalam analisis kebijakan dengan mendorong para analis untuk membuat asum-si-asumsi eksplisit mereka sendiri dan untuk menan-tang ide-ide konvensional maupun metode-metode analisis. Terakhir, penggunaan model-model kebija-kan bukanlah masalah pilihan, karena setiap orang menggunakan beberapa model.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

100

Page 114: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dikatakan oleh pebuat model kebijakan Jay Forrester:

Setiap orang menggunakan model secara konstan. Setiap orang dalam kehidupan pribadi-nya dan bisnisnya secara naluriah mengguna-kan model-model untuk membuat keputusan. Citra mental tentang dunia di sekeliling anda yang anda bawa ke dalam pikiran adalah model. Seseorang tidak mempunyai kota atau pemerin-tah atau negara di dalam kepalanya. Dia hanya mempunyai konsep yang terseleksi dan hubu-ngan yang dia gunakan untuk menampilkan sistem nyata. Citra mental merupakan suatu model. Semua keputusan kita diambil atas dasar model. Persoalannya bukanlah menggunakan atau mengabaikan model. Persoalannya hanya-

95lah memilih di antara banyak alternatif.

Dengan menyederhanakan situasi masalah, model tak terelakkan menyumbang distorsi selektif atas realitas. Model sendiri tidak dapat memberi tahu kita bagaimana membedakan pertanyaan-pertanyaan yang esensial dari yang tidak esensial; juga tidak dapat menjelaskan, memprediksi, mengevaluasi atau mere-komendasikan karena penilaian-penilaian ini berada __________________

95 Jay W. Forrester, “Counter-intuitive Behavior of Social Systems,” Technological Review, 73 (1971).3.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

101

Page 115: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

di luar model dan bukan merupakan bagian dari model itu. Sementara itu model dapat membantu kita untuk melakukan tugas-tugas analitis, kata kuncinya ada pada “kita,” untuk itu kita dan bukan model yang me-nyediakan asumsi-asumsi yang diperlukan untuk menginterpretasikan gambaran realitas yang diterap-kan oleh suatu model.

Akhirnya, model-model kebijakan –khususnya yang diekspresikan dalam bentuk matematika– kadang-kadang sulit dikomunikasikan kepada para pembuat dan pelaku kebijakan, yang untuk merekalah model diciptakan guna membantu membuat keputu-san yang lebih baik.

3.3.1. Model DeskriptifModel-model kebijakan dapat dibandingkan dan

dikontraskan dari berbagai dimensi, yang paling penting diantaranya adalah membantu membedakan tujuan, bentuk ekspresi dan fungsi metodologis dari model. Dua bentuk utama model kebijakan adalah deskriptif dan normatif.

Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan dan/ atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan-kebijakan –sebagai contoh, daftar tahunan dari indikator sosial yang dipublikasikan oleh Kantor Managemen dan Anggaran– maupun untuk meramalkan kinerja ekono-mi. Sebagai contoh, Dewan Penasehat Ekonomi mem-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

102

Page 116: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

persiapkan ramalan ekonomi tahunan untuk dimasuk-kan dalam Laporan Ekonomi Presiden.

3.3.2. Model NormatifSebaliknya, tujuan model normatif bukan hanya

untuk menjelaskan dan/atau memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengopti-malkan pencapaian beberapa utilitas (nilai).

Di antara beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapa-sitas pelayanan yang optimum (model antri), waktu pelayanan dan perbaikan yang optimum (model peng-gantian), pengaturan volume dan waktu yang opti-mum (model inventaris) dan keuntungan yang opti-mum pada investasi publik (model biaya manfaat).

Masalah-masalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk: mencari nilai-nilai variabel yang ter-kontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan.

Salah satu model normatif yang paling sederhana dan paling biasa adalah melipatgandakan bunga. Seringkali dalam kehidupannya orang menggunakan beberapa variabel dari model ini untuk mencari man-faat dari variabel-variabel kebijakan (misalnya, bank berhadapan dengan asosiasi penabung dan peminjam)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

103

Page 117: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang akan menghasilkan bunga pendapatan yang paling besar (kegunaan) pada tabungan seperti yang diukur dengan jumlah uang yang dapat diharapkan setelah beberapa tahun (nilai dari variabel hasil yang diharapkan seseorang untuk berubah). Model analitis untuk melipatgandakan adalah:

n S = (1 + r) SOn

Di mana Sn adalah jumlah di mana tabungan ber-tambah dalam tahun tertentu (n), S0 adalah permulaan

ntabungan dan (1 + r) adalah pengembalian konstan atas investasi (1) ditambah suku bunga (r) dalam periode waktu tertentu (n). Jika seseorang (pembuat kebijakan) mengetahui suku bunga dari institusi-institusi tabungan yang berbeda dan berharap untuk mengoptimalkan pengembalian pada tabungannya, model normatif sederhana ini memungkinkan pilihan yang jelas dari institusi yang menawarkan suku bunga yang tertinggi, dengan asumsi bahwa tidak ada pertim-bangan lain yang penting (sebagai contoh, keamanan deposito atau hak-hak istimewa yang khusus bagi para pemuka) yang harus dipertimbangkan.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa model normatif ini juga memprediksi akumulasi tabungan di bawah alternatif-alternatif yang berbeda, sedemikian rupa sehingga menunjuk pada karakteristik semua model normatif: Model normatif itu tidak hanya memungkinkan kita memperkirakan nilai-nilai masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dari

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

104

Page 118: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

variabel-variabel hasil melainkan juga memungkin-kan kita mengoptimalkan pencapaian suatu nilai.

3.3.3. Model VerbalModel kebijakan, baik deskriptif maupun nor-

matif, dapat juga dibedakan menurut bentuk ekspre-sinya. Model-model normatif dan deskriptif dapat di-ekspresikan di dalam tiga bentuk utama, yaitu: verbal,

96simbol, dan prosedural. Model verbal (verbal models) diekspresikan dalam bahasa sehari-hari, bukannya bahasa logika simbolis dan matematika dan mirip dengan yang kita terangkan sebelumnya sebagai masalah-masalah substantif.

Dalam menggunakan model verbal, analis ber-sandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti.

Model verbal secara relatif mudah dikomuni-kasikan di antara para ahli dan orang awam, dan biaya-nya murah. Keterbatasan model verbal adalah bahwa __________________

96 Model juga dapat diekspresikan secara sik, seperti ketika bermacam-macam materi digunakan untuk menyusun representasi organ manusia, kota-kota atau mesin-mesin. Bata-san dasar dari model adalah bahwa model itu tidak dapat menampilkan tindakan manusia, yang meliputi proses komuni-kasi, belajar sosial dan pilihan.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

105

Page 119: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

masalah-masalah yang dipakai untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifar implisit atau ter-sebunyi, sehingga sulit untuk memahami dan meme-riksa secara kritis argument-argumen tersebut sebagai keseluruhan. Argumen yang mendukung dan menen-tang lokasi angkatan laut Uni Soviet selama krisis Misil Kuba pada tahun 1962 adalah contoh yang baik mengenai model kebijakan verbal. Model verbal Pre-siden Kennedy sendiri mengenai krisis tersebut ber-pendapat bahwa blokasi itu adalah satu-satunya pili-han nyata Amerika Serikat:

Di atas semuanya, untuk mempertahankan ke-pentingan vital kita sendiri, kekuatan-kekuatan nuklir harus mencegah konfrontasi tersebut yang membawa pihak lawan kepada sebuah pili-han untuk mundur dengan terhina atau perang nuklir. Mengadopsi tindakan seperti itu, dalam abad nuklir akan menjadi bukti kebangkrutan kebijakan kita –kebijakan tentang kematian

97kolektif yang akan menimpa seluruh dunia.

3.3.4. Model SimbolisModel simbolis menggunakan simbol-simbol

matematis untuk menerangkan hubungan di antara __________________

97 Dikutip dalam Graham T. Allison, “Conceptual Models and the Cuban Missile Crisis, “The American Political Scienec Review, 63, no.3 (1996),6988.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

106

Page 120: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

variabel-variabel kunci yang dipercaya menjadi ciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model simbolis dengan memin-jam metode-metode matematika, statistika dan logika.

Model-model simbolis sulit untuk dikomunika-sikan di antara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan dan bahkan di antara para ahli pembuat model sering terjadi kesalahpahaman tentang elemen-

98elemen dasar dari model.Biaya model simbolis mungkin tidak lebih besar

daripada model verbal, memungkinkan seseorang memperhitungkan waktu dan usaha sangat besar yang dicurahkan pada debat publik, sarana utama untuk mengekspresikan model-model verbal.

Kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya mungkin tidak mudah diinterpretasikan, bahkan di antara para spesialis, karena asumsi-asumsi-nya mungkin tidak dinyatakan secara memadai. Model-model simbolis dapat memperbaiki keputu-san-keputusan kebijakan tetapi hanya jika.

Premis-premis sebagai pijakan menyusun model dibuat eksplisit …Terlalu sering yang pokok isinya menjadi model yang berdasarkan pada teori dan bukti tidak lebih dari prekonspesi dan prasangka ilmuwan yang terselubung dalam

__________________98 Lihat Greenberger dan lainnya, Models in the Policy

Process, hal. 328-36.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

107

Page 121: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kekuatan ilmiah dan dihiasi dengan simulasi komputer yang ekstensif. Tanpa verikasi empiris hanya ada sedikit jaminan bahwa hasil dari praktik semcam itu dapar diandalkan atau bahwa hasil itu dapat diterapkan untuk tujuan-

99tujuan kebijakan normatif.Meskipun kita telah membahas model simbolis

yang sederhana yang diciptakan untuk tujuan-tujuan normatif (melipatgandakan bunga), ada banyak model simbolis yang tujuan utamanya adalah deskriptif. Model simbolis yang paling sering digunakan adalah persamaan linear yang sederhana.

Y = a + bXadalah variabel kebijakan yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan. Hubungan antara X dan Y dikenal sebagai fungsi linear yang berarti bahwa hubungan antara X dan Y akan membentuk garis lurus jika digambar pada sebuah grak (lihat Gambar 1-5).

Dalam moel ini, simbol b menunjukkan jumlah perubahan dalam Y sehingga akibat dari perubahan di dalam X, yang tergambarkan oleh kemiringan garis lurus dalam gambar (semakin curam kemiringannya, semakin besar pengaruh X pada Y). Simbol a (yang disebut intercept constant) menunjukkan titik di mana __________________

99 Gary Fromm, “Policy Decisions and Econometric Models,” dipetik oleh Greenberger dan lainnya, Models in the Policy Process, hal.72.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

108

Page 122: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

garis lurus memotong sumbu vertikal atau Y atau X adalah nol.

Dalam gambar 1-5, semua nilai Y adalah sete-ngah nilai X disepanjang garis putus-putus (yaitu y = 0 + 0,5X), sementara di sepanjang garis penuh semua sama (yaitu y = 1,0X). Model linear ini memungkin-kan analis menentukan berapa besar perubahan dalam variabel kebijakan (X) yang diperlukan untuk menghasilkan nilai tertentu dari variabel hasil (Y).

Gambar 1-5. Model Simbolik

3.3.5. Model ProseduralModel prosedural (procedural models) menam-

pilkan hubungan yang dinamis di antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

10

98

7

6

5

4

3

2

1

X (Variabel Kebijakan)

Y (Variabel Hasil Kebijakan)

Y = 0.0 + 0.5X

Y = 0.0 + 1.0X

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

109

Page 123: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti sepe-rangkat hubungan yang mungkin –sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi, konsumsi energi dan suplai makanan dalam tahun-tahun mendatang– yang tidak dapat diterangkan secara baik karena data-data yang diperlukan tidak tersedia. Prosedur simulasi dan pene-litian pada umumnya (meskipun tidak harus) dipero-leh dengan bantuan sebuah komputer, yang diprogram untuk menghasilkan prediksi-prediksi alternatif di bawah serangkaian asumsi yang berbeda-beda.

Gambar 1.6. Model Prosedural

Polusi Naik

Polusi Turun

Polusi Naik

Polusi Turun

Tambah Regulasi

Tambah Pendidikan

Tambah Regulasi

Tambah Pendidikan

Tambah Regulasi

Tambah Regulasi

Tambah Pendidikan

PengaturanIndustri

MendidikKonsumen Tambah Pendidikan

(0.5)

(0.5)

(0.8)

(0.2)

Keputusan kunci dianalisis

Titik akibat

Probabilitas akibat

Titik keputusan masa datang yang mungkin

( )

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

110

Page 124: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Model prosedural, harus dicatat, juga meman-faatkan model ekspresi yang simbolis. Perbedaan utama antara model simbolis dan prosedural adalah bahwa model simbolis menggunakan data aktual untuk memperkirakan hubungan di antara variabel-variabel kebijakan dan hasil, sedangkan model prose-dural mengasumsikan (mensimulasikan) hubungan di antara variabel-variabel tersebut.

Biaya model prosedural realtif tinggi jika diban-ding dengan model-model verbal dan simbol, seba-gian besar karena waktu yang diperlukan untuk me-ngembangkan dan menjalankan program-program komputer. Bersamaan dengan itu, model prosedural dapat ditulis dalam bahasa nonteknis yang terpahami, sehingga memperlancar komunikasi di antara orang-orang awam.

Selain itu, kelebihan model prosedural adalah bahwa model ini memungkinkan simulasi dan peneli-tian yang kreatif, kelemahannya adalah bahwa model ini sering mengalami kesulitan untuk mencari data atau argumen yang memperkuat asumsi-asumsinya.

Salah satu bentuk model prosedural yang paling sederhana adalah pohon keputusan, yang dibuat de-ngan memproyeksikan keputusan-keputusan kebija-kan dan konsekuensi-konsekuensinya yang mungkin pada masa mendatang.

Gambar 1-6 melukiskan sebuah pohon keputu-san sederhana yang memperkirakan probabilitas bah-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

111

Page 125: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

wa beberapa alternatif kebijakan akan mengurangi 100polusi. Pohon-pohon keputusan berguna untuk

membandingkan perkiraan subyektif atas konsekuen-si-konsekuensi yang mungkin dari bermacam-macam pilihan kebijakan di bawah kondisi di mana sulit untuk menghitung risiko dan ketidakpastian atas dasar data yang tersedia.

3.3.6. Model Sebagai Pengganti dan PerspektifDimensi terakhir yang penting dari model-model

kebijakan berhubungan dengan asumsi mereka. Model kebijakan lepas dari tujuan atau bentuk ekspre-sinya, dapat dipandang sebagai pengganti (surrogate)

101atau sebagai perspektif (perspective).Model penggati (surrogate models) diasumsikan

sebagai pengganti dari masalah-masalah substantif. Model pengganti dimulai, disadari atau tidak, dari asumsi bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah substantif.

Sebaliknya, model perspektif (perspective model) dipandang sebagai satu dari banyak cara lain yang dapat digunakan untuk merumuskan masalah substantif. Model perspektif didasarkan pada asumsi __________________

100 Lihat Gass dan Sisson, A Guide to Models in Gevernmental Planning and Operations, hal. 26-27.

101 Strauch, “A Critical Look at Quantitive Methodo-

logy,” hal. 136-44.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

112

Page 126: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bahwa masalah formal adalah representasi yang sah dari masalah substantif. Sebaliknya, model perspektif (perspective model) dipandang sebagai satu dari banyak cara lain yang dapat digunakan untuk merumuskan masalah substantif. Model perspektif didasarkan pada asumsi bahwa masalah formal tidak pernah sepenuhnya mewakili secara sah masalah substantif.

Perbedaan antara model pengganti dan pers-pektif sangat penting di dalam analisis kebijakan publik, di mana, seperti yang telah kita lihat bahwa kebanyakan masalah penting cenderung sulit diru-muskan (ill-structured). Struktur kebanyakan masalah kebijakan publik adalah kompleks sehingga penggu-naan model pengganti secara signikan meningkatkan probabilitas kesalahan tipe ketiga (EIII), yaitu meme-cahkan formulasi yang salah dari suatu masalah ketika seseorang harus memecahkan masalah yang tepat.

Hal ini dapat diperjelas dengan memperhatikan dua contoh pembuatan model formal di dalam analisis kebijakan. Gambaran yang pertama berkaitan dengan

102model verbal.Anggaplah bahwa seorang analis telah menyu-

sun model simbolis sederhana dalam bentuk persa __________________

102 Ilustrasi/gambaran ini diadaptasi dari Strauch, “A Critical Look at Quantitive Methodology,” hal.131-133; dan Watzlawick, Weakland dan Fisch, Change.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

113

Page 127: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

maan linear seperti yang diterangkan sebelumnya dalam Gambar 1-5.

Menggunakan persamaan Y = a + bX, analis membuat serangkaian observasi yang memungkinan untuk menggambar nilai-nilai aktual X dan Y, seperti yang terlihat dalam gambar 1-7.

Anggaplah juga bahwa sebuah asumsi implisit mendorong hubungan sebab-akibat, di mana variabel kebijakan (X) dipercaya menghasilkan perubahan signikan dalam variabel hasil (Y). Pada titik ini analis tampaknya akan menginterpretasikan hasil model simbolis formal itu sebagai penguatan atas struktur masalah substantif.

Sebagai contoh, analis tidak akan ragu-ragu menginterpretasikan kemiringan garis sebagai ukuran pengaruh X terhadap Y, sementara korelasi antara nilai Y (titik-titik data) dan titik-titik yang diprediksikan oleh persamaan (titik-titik yang terletak pada garis lurus) akan diambil sebagai perkiraan atas akurasi dari prediksi.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap perubahan dalam variabel kebijakan akan mengakibatkan perubahan satu unit pada nilai variabel hasil.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

114

Page 128: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Gambar 1-7. Pengaruh Yang Diasumsikan Dari X ke Y

Pelajaran dari ilustrasi tersebut adalah bahwa konseptualisasi masalah-masalah substantif menentu-kan interpretasi atas model-model simbolis. Repre-sentasi formal dari masalah-masalah substantif adalah perspektif dan bukan pengganti.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

X (KEDALAMAN WADUK)

Y (ANGKA CURAH HUJAN)

Nilai Y Observasi diLuar Garis Regresi.

Nilai Y yang diprediksipada Garis Regresi.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

115

Page 129: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Untuk memperjelas pokok bahasan ini lebih lanjut, kita kembali kepada model simbolis formal yang didiskusikan di depan:

Anggap, misalnya, bahwa X adalah rata-rata kedalaman penyimpanan air per tahun dan bahwa Y adalah curah hujan per tahun di wilayah itu …Karena kebijakan-kebijakan pengaturan penyimpanan air dapat diubah, kedalaman penyimpanan air adalah sebuah variabel kebija-kan yang dapat berubah mengikuti manipulasi kebijakan. Curah hujan per tahun adalah sebuah variabel yang terhadapnya kita mungkin tertarik untuk mengontrol dan akal sehat secara jelas menganggap bahwa hubungan antara curah hujan dan kedalaman penyimpanan air adalah kuat …Walaupun demikian, kesimpulan yang diberikan oleh analisis –bahwa kita dapat mengurangi curah hujan dengan mengeringkan air secara lebih cepat dari penyimpanan…. kelihatan menggelikan. Hal ini karena hubungan sebab-akibat yang dianggap dalam analisis– dengan akal sehat kita yang memehami bahwa curah hujan lah yang menentukan kedalaman

103penyimpanan.__________________

103 Strauch, “A Critical at Quantitive Methodology,” hal.132.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

116

Page 130: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

3.4. Metode-Metode Perumusan MasalahPerumusan masalah adalah proses menghasilkan

dan menguji konseptualisasi-konseptualisasi alterna-tif atas suatu kondisi masalah. Perumusan masalah meliputi empat fase yang saling berhubungan, yaitu: mengenali masalah, meneliti masalah, mendenisikan masalah dan menspesikasi masalah.

3.4.1. Analisis BatasSalah satu tugas penting dari perumusan masalah

adalah memperkirakan apakah sistem formulasi ma-salah individual yang kita sebut metaproblem relatif lengkap. Tugas ini sama dengan situasi para penunggu pekarangan yang diterapkan oleh Kline di dalam tuli-

104sannya tentang mitos kepastian dalam matematika.Para penunggu pekarangan, sambil membersih-

kan tanahnya, berhati-hati bahwa musuh bersembunyi di dalam hutan belantara yang teletak persis di sebelah hutan yang baru dibuka. Untuk meningkatkan keama-nan mereka, para penunggu pekarangan membersih-kan wilayah yang lebih luas tetapi tidak pernah merasa cukup aman. __________________

104 Morris Kline, Mathematics : The Loss of Certainty (New York : Oxford University Press, 1980). Juga lihat tentang ketidakpastian dan kreativitas dalam matematika modern oleh Michael Guillen, Budges to Innity (Itacha, NY: Cornell University Press, 1988).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

117

Page 131: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Kadang-kadang, mereka harus memutuskan untuk membersihkan pekarangan lebih luas lagi atau-kah menunggui kebun dan binatang mereka di dalam batas tanah yang telah dibersihkan.

Mereka melakukan yang terbaik untuk mengusir binatang liar tetapi tahu betul bahwa musuh bersem-bunyi di samping tanah yang telah dibersihkan dapat mengejutkan dan menghancurkan mereka. Mereka berharap untuk tidak terjebak memilih bertani dan beternak ketika harus memilih untuk membersihkan tanah yang lebih luas.

Analogi tentang para penunggu pekarangan me-nekankan masalah kunci perumusan masalah dalam analisis kebijakan. Para analis kebijakan jarang berha-dapan dengan masalah tunggal yang terdenisi de-ngan baik. Mereka dihadapkan pada masalah-masalah ganda yang terdistribusi melalui proses pembuatan kebijakan, didenisikan dalam cara-cara yang sangat berbeda oleh para pelaku kebijakan yang tindakan dan cara perspektifnya saling mempengaruhi.

Di bawah kondisi yang demikian ini para analis nampak seperti para penunggu pekarangan yang bekerja di dalam batas-batas yang tidak teratur atau mungkin sebagai lawan main Diogenes yang modern, yang terlibat dalam “wacana dengan realitas yang tidak pernah berakhir, untuk menemukan sisi yang lebih banyak, dimensi tindakan yang lebih banyak dan kesempatan yang lebih banyak untuk melakukan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

118

Page 132: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

105perbaikan.”Untuk menggunakan metode-metode dan tek-

nik-teknik perumusan masalah yang diterangkan ini secara efektif, sangatlah penting melaksanakan suatu analisis batas masalah. Metode-metode perumusan masalah yang baru saja didiskusikan, bersama dengan metode-metode lain yang terkait yang mengandaikan

106bahwa masalah telah dirumuskan, tidak dengan sen-dirinya menyediakan suatu cara untuk mengetahui apakah seperangkat formulasi masalah telah relatif lengkap. Kelengkapan relatif dari seperangkat formu-lasi masalah dapat diperkirakan dengan proses tiga

107langkah, yaitu:

__________________105 Dery, Problem Denition in Policy Analysis, hal. 6-7.106

Metode-metode lain meliputi proses hirarkis analitis, modeling structural interpretif, policy capturing, dan metodologi-Q. Lihat misalnya Thomas L. Saaty, The Analytic Hierarchy Process (New York: McGraw-Hill, 1980); John N. Wareld, Societal Systems: Planning, Policy and Complexity (New York: Wiley, 1976); Kenneth R. Hammond, Judgemet and Decision in Public Policy Formation (Boulderm CO: Westview Press, 1977); dan Stephen R. Brown, Political Sub-jectivity: Applications of Q-Methodology in Poloitical Science (New Haven, CT: Yale University Press, 1980). Perangkat lunak computer juga tersedia bagi aplikasi metode-metode ini.

107 Lihat William N. Dunn, “Methods of the Second Type: Coping with the Wildernedd of Conventional Policy Analysis,” Policy Studies Review, 7 no.4 (1988), 720-37.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

119

Page 133: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1. Pencarian sampel secara bola salju. Sampel seca-ra bola salju diperoleh dari para pelaku kebijakan dan dapat dicari dengan proses bertingkat, yang dimulai dengan individu dan kelompok yang dike-tahui mengetahui suatu kebijakan. Para pelaku ke-bijakan dalam tahap permulaan ini dapat dihubu-ngi, melalui tatap muka atau telepon dan diminta untuk menyebutkan dua pelaku kebijakan lain yang setuju atau tidak setuju dengan argumen-argumen dan tuntutan-tuntutan yang telah diajukan. Proses ini diteruskan sampai tidak ada pelaku kebijakan baru yang disebutkan. Dalam hal ini diandaikan bahwa sekelompok pelaku kebijakan bukanlah sub-sampel dari populasi yang lebih besar, tidak ada varian sampel karena semua anggota universe pelaku kebijakan di dalam suatu bidang yang spe-sik (sebagai contoh, sebuah undang-undang ten-tang reformasi pelayanan kesehatan atau suatu ke-putusan pengadilan yang melindungi lingkungan)

108telah dihubungi.2. Pencarian representasi. Langkah kedua ini di-

rancang untuk memperoleh representasi masalah alternatif yang diterangkan Heclo sebagai “ide-ide, paradigma dasar, metafora dominan, standar opera-

__________________108

Tentang hal ini sebagaimana diterapkan pada

sosiometri dan sampling saturation secara umum, lihat Seymour Sudma, Applied Sampling (New York: Academic Press, 1976).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

120

Page 134: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

si baku atau apapun juga yang kita pilih untuk menyebut sistem interpretasi dengannya kita mem-

109berikan makna pada suatu kejadian.” Bukti yang diperlukan untuk menciri representasi masalah ini dapat diperoleh dari wawancara secara langsung atau yang lebih realistis karena keterbatasan waktu sebagian besar analis, dari percakapan telepon dan dokumen yang diperoleh dari para pelaku kebija-kan di dalam tahap pencarian sampel secara bola salju di atas.

3. Estimasi batasan. Langkah ketiga ini adalah untuk memperkirakan batasan metaproblem. Di sini analis menyusun distribusi frekuensi kumulatif di mana para pelaku kebijakan diletakkan pada sumbu horizontal dan sejumlah elemen masalah yang baru ide-ide, konsep, variabel, asumsi, tujuan jangka panjang, kebijakan-kebijakan diletakkan pada sumbu vertikal (lihat Gambar 1-8). Ketika elemen-elemen masalah baru dan bukan pengu-langan dari setiap pelaku kebijakan digambar, ke-miringan kurva memperlihatkan kecepatan peruba-han yang berbeda. Kecepatan perubahan pertama yang cepat diikuti oleh perubahan lambat dan akhirnya stagnasi, yang merupakan titik dimana

__________________109 Hugh Heclo, “Policy,” dalam The Dynamics of Public

Policy, ed. Richard Rose (Baverly Hills, CA: Sagge Publica-tions, 1976), hal. 253-54.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

121

Page 135: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kurva menjadi datar. Setelah titik ini, pengumpulan informasi tambahan mengenai sifat masalah tidak mungkin meningkatkan ketepatan representasi masalah kolektif, karena batasan metaproblem telah dapat diduga.

Gambar 1.8. Batas-Batas Metaproblem

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

25

20

15

10

5

0

BATAS-BATASMETAPROBLEM

PELAKU-PELAKU KEBIJAKAN

PENJUMLAHAN KONSEP-KONSEP BARU

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

122

Page 136: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Prosedur perkiraan di atas memenuhi syarat ke-puasan untuk estimasi induktif dalam watak umum-nya: karakter, koordinasi, kefektifan biaya dan ketepa-

110tan dalam keterbatasan. Aplikasi-aplikasi prosedur yang sama di dalam bidang-bidang yang kompleks lainnya –sebagai contoh, perkiraan batasan literatur ilmiah, pemegang perpustakaan, bahasa, karya-karya tulis, selera konsumen meminta keteraturan hukum di dalam pola-pola dan batas-batas pertumbuhan sistem

111pengetahuan. Analisis batas, seperti prosedur anali-sis kebijakan lainnya, memberikan hasil yang masuk akal dan tidak pasti. Dalam hubungan dengan metode-metode dan teknik-teknik pemahaman masalah lain-nya, prosedur perkiraan batas ini mengurangi kemung kinan kesalahan tipe III dalam analisis kebijakan.

3.4.2. Analisis KlasifikasiAnalisis klasikasi adalah teknik untuk memper-

jelas konsep-konsep yang digunakan untuk mende- __________________

110 Lihat Nicholas Rescher, Induction (Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press, 1980), hal.24-26. Untuk argu-ment yang rinci yang berhubungan dengan kewajiban-kewaji-ban terhadap pemahaman masalah di dalam analisis kebijakan, lihat Dunn, “Methods of Second Type.”

111 Untuk tulisan singkat tetapi provokatif tentang

keteraturan ini, lihat Herbert A. Simon, “The Sizes of Things,” dalam Statistics: A Guide to the Unkonown, ed. Judith M. Tanur dan lainnya (San Fransisco: Holden-Day, 1972), hal. 195-202.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

123

Page 137: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

nisikan dan mengklasikasikan kondisi permasala-112han. Dalam mengenali suatu situasi masalah, para

analis kebijakan harus mengklasikasikan pengala-man-pengalaman mereka. Bahkan sebagian besar deskripsi sederhana tentang situasi masalah didasar-kan pada klasikasi pengalaman melalui proses berpikir induktif, suatu proses di mana konsep-konsep umum (abstrak), seperti kemiskinan, kejahatan, dan polusi, dibuat dengan mengalami sendiri obyek atau situasi tertentu (nyata). Ketika kita mengklasikasi-kan suatu situasi masalah menurut salah satu cara, kita sering menutup kemungkinan untuk mengklasikasi-kannya dengan cara yang lain.

Analisis klasikasi didasarkan pada dua prose-dur utama: pembagian logis dan klasikasi logis. Ketika kita memilih suatu kelas dan membaginya ke dalam komponen bagiannya proses itu disebut pem-bagian logis (logical division); dan proses kebalikan-nya, yaitu pengkombinasian situasi, obyek atau orang-orang ke dalam kelompok atau kelas yang lebih besar, disebut klasikasi logis (logical classication). Dasar dari setiap klasikasi tergantung pada tujuan analis dan juga tergantung pada pengetahuan substantif ten-tang suatu situasi masalah.

__________________112 Lihat John O'Shaughnessy, Inquiry and Decision (New York:

Harper & Row, 1973), hal.23-30.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

124

Page 138: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Perhatikan, misalnya, analisis tentang kemiski-nan di AS. Semua keluarga di AS dapat dipecah ke dalam dua sub kelas: mereka yang pendapatannya di atas dan di bawah garis kemiskinan yang dibuat oleh Administrasi Kesejahteraan Sosial AS. Jika analis berhenti pada titik ini dalam proses pembagian logis, dia akan berkesimpulan bahwa kemiskinan di AS secara bertahap menurun dan mungkin menyatakan bahwa menurunnya kemiskinan secara progresif merupakan konsekuensi dari beroperasinya ekonomi kapitalis yang sehat.

Namun demikian ketika proses pembagian logis melangkah lebih lanjut dan keluarga-keluarga miskin dibagi ke dalam dua sub kelas lagi atas dasar pendapa-tan sebelum dan sesudah transfer pembayaran oleh pemerintah, analis akan memperoleh konseptualisasi masalah yang sama sekali berbeda.

Di sini analis tidak akan ragu menyimpulkan bahwa berkurangnya kemiskinan adalah konsekuensi dari program-program kesejahteraan publik dan kese-jahteraan sosial dan mungkin berpendapat bahwa masalah-masalah kemiskinan tidak dapat dipecahkan dengan sistem usaha swasta, karena jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan meningkat secara absolute maupun relatif terhadap seluruh penduduk antara 1968 dan 1972.

Meskipun tida ada cara untuk mengetahui dengan pasti apakah dasar yang dipakai bagi suatu

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

125

Page 139: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

klasikasi adalah tepat, terdapat beberapa dalil yang membantu menjamin bahwa sistem kalsikasi itu relevan terhadap situasi masalah dan secara logika konsisten:1. Relevansi substantif. Dasar klasikasi harus

dikembangkan sesuai dengan tujuan analis dan sifat situasi masalah. Dalil ini, yang tampak sederhana dalam teori menyatakan bahwa kelas dan sub kelas harus mungkin sedikit sesuai dengan “realitas” situasi masalah. Namun demikian, kare-na apa yang kita ketahui tentang suatu situasi seba-gian merupakan fungsi dari konsep-konsep yang kita gunakan untuk mengalaminya, tidak ada pe-tunjuk absolute yang memberi tahu kita apakah kita telah melihat suatu masalah secara tepat. Kemiski-nan, misalnya, dapat diklasikasikan sebagai ma-salah pendapatan yang tidak cukup, deprivasi kul-tural atau motivasi psikologis mungkin seluruhnya ini atau lebih dari itu.

2. Ketuntasan. Kategori-kategori di dalam sebuah sistem klasikasi harus tuntas. Hal ini berarti bahwa semua subyek atau situasi yang menarik bagi analis harus “dimasukkan.” Dalam contoh di atas semua keluarga di AS harus masuk ke dalam salah satu kategori. Jika kita menemukan beberapa keluarga tidak mempunyai pendapatan, baik dari usaha-usaha sendiri maupun transfer pemerintah, kategori baru harus diciptakan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

126

Page 140: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

3. Kepilahan. Kategori haruslah pilah. Setiap subyek atau kondisi harus masuk hanya pada satu kategori atau sub kategori. Dalam mengklasikasikan ke-luarga, sebagai contoh, mereka masuk ke dalam salah satu di antara dua sub-kategori (pendapatan di atas atau di bawah garis kemiskinan), yang ber-arti bahwa tidak ada keluarga yang dapat “dihitung dua kali.”

4. Konsistensi. Setiap kategori dan sub kategori harus didasarkan pada prinsip klasikasi tunggal. Pelanggaran terhadap dalil ini mengarah pada tumpang-tindihnya sub-sub kelas yang dikenal sebagai kesalahan pembagian silang. Sebagai contoh, kita melakukan kesalahan pembagian silang jika kita mengklasikasikan keluarga menurut apakah mereka di atas garis kemiskinan atau menerima bantuan kesejahteraan, karena banyak keluarga dapat masuk ke dalam dua kategori ini. Dalil ini pada dasarnya merupakan lanjutan dari dalil ketuntasan dan kepilahan.

5. Perbedaan hirarkis. Arti tingkat-tingkat di dalam sistem klasikasi (kategori, sub-kategori, sub-sub kategori) harus dibedakan secara teliti. Dalil ini, yang sesungguhnya merupakan petunjuk untuk mengitepretasikan sistem-sistem klasikasi, diambil dari peraturan yang sederhana tetapi penting yang telah dibicarakan sebelumnya, yaitu: Apapun yang mencakup seluruh kumpulan/koleksi

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

127

Page 141: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

harus tidak menjadi salah satu anggota dari kumpulan tersebut. Manusia adalah kelas dari semua individu; tetapi manusia itu sendiri bukan individu. Demikian juga, kemiskinan sebagai karakteristik dari 14 juta keluarga tidak dapat dikatakan sebagai tingkah laku dari satu keluarga dikalikan dengan 14 juta. Populasi keluarga miskin sebesar 14 juta tidak hanya berbeda secara kuanti-tatif dari keluarga tunggal; tapi juga berbeda secara kualitatif karena dia menyangkut seluruh sistem dari karakteristik-karakteristik ekonomi, sosial dan politik yang saling tergantung.

Tabel 1.3: Jumlah Rumah Tangga Hidup (1)di Bawah Garis Kemiskinan, 1965-1972

Kategori

Rumah tangga yang belum

(2)tersantuni

Rumah tangga yang telah

(3)tersantuni

1965 1968 1972

Jumlah (Juta)

Persen dari Total

Jumlah (Juta)

Persen Dari Total

Jumla Persen Dari Total

15,6 25,7 14,9 23,2 17,6 14,8

10,4 17,3 10,1 15,7 10,0 14,1

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

128

Page 142: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Catatan:(1) The US Social Security Administration mendeni-

sikan kemiskinan sebagai jatuh di bawah tingkat pendapatan sebagai berikut : $3223 (1965), $3553 (1968), $4275 (1972). Tingkat ini diterapkan untuk pendapatan dalam bentuk uang per tahun untuk keluarga non-tani dengan 4 anggota keluarga.

(2) Tidak termasuk santunan pemerintah dalam bentuk pembayaran tunai (keamanan sosial, bantuan publik), nutrisi (gizi makanan), perumahan, kesehatan (Medicaid, medicare), pelayanan sosial, kesempatan kerja dan ketenagakerjaan dan pendidikan.

(3) Termasuk santunan pemerintah dalam segala bentuknya.

Sumber: R.D. Plotnick dan Skidmore, Progress against Poverty: Review of the 1964-1974 Decade, Institute for Research on Poverty, Poverty Policy Ana-lysis Series No.1 (New York: Academic Press, 1975).

Dalil perbedaan hirarkis perlu dirinci lebih lan-jut, karena penting bagi perumusan masalah. Dalam perumusan masalah-masalah kebijakan sering terjadi di mana analis mengabaikan perbedaan antara anggota dan kelas dan bahwa sebuah kelas tidak dapat menjadi anggota dari dirinya sendiri.Ketika seseorang pertama kali berusaha memecahkan masalah ini.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

129

Page 143: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Asumsinya adalah bahwa titik-titik itu memben-tuk segi empat dan bahwa solusinya harus dite-mukan di dalam segi empat itu, suatu kondisi yang dibuat sendiri yang tidak disebutkan oleh instruksinya. Kegagalannya, dengan demikian, tidak terletak pada ketidakmungkinan dari tugas tersebut, tetapi pada solusi yang diupayakan. Dengan terciptanya masalah seperti itu tidak soal kombinasi apa yang ia coba dan dengan urutan yang bagaimana; ia akan selalu berakhir dengan satu titik yang tak tersambungkan. Artinya dia akan dapat berkeliling ke seluruh kemungkinan perubahan pada tataran pertama (yaitu, peruba-han yang dibatasi pada tingkat anggota-anggota kelas yang didensiikan sebagai persegi empat) … tetapi tidak akan pernah memecahkan soal. Solusinya adalah perubahan dalam tataran kedua (yaitu perubahan yang mencakup semua kelas) yakni meninggalkan ruang pembatas tersebut, artinya keluar dari asumsi bahwa jawabannya harus membentuk segi empat dengan kata lain semua kemungkinan jawaban yang bukan bagian

113dari pembatasan tersebut.

__________________113 Watzkawick dan lainnya, Change, hal.25. Juga lihat

Gregory Bateson, Steps to an Ecology of Mind (New York: Ballatine Books, 1972).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

130

Page 144: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Salah satu pendekatan yang paling baik untuk 114analisis klasikasional adalah pikiran himpunan.

Pemikiran himpunan adalah tentang hubungan antar himpunan dan antara himpunan dengan sub himpu-nan, di mana himpunan adalah koleksi tak terbatas yang jelas dari obyek atau elemen.

Himpunan atau sub-himpunan ekuivalen dengan kelas dan sub-kelas dalam suatu sistem klasikasi dan diekspresikan secara visual dengan bantuan diagram

115Venn. Di dalam diagram Venn dalam Gambar 1-9, persegi empat dapat digunakan untuk mewakili semua keluarga di AS. Dalam bahasa himpunan, ini dikenal sebagai himpunan Universe (U).

Dua dari komponen himpunannya diperlihatkan sebagai lingkaran A dan B dalam persegi empat, dapat mewakili keluarga di atas dan di bawah garis kemiski-nan. Jika kita terapkan aturan ketuntasan, keterpilahan dan konsistensi, semua keluarga akan masuk dalam salah satu himpunan, A atau B, sehingga kedua himpu-nan itu mencerminkan tingkat pendapatan yang ber-beda yang tidak tumpang tindih.__________________

114 Seperangkat teori, yang diciptakan oleh matametisi-logika Jerman, Georg Canter (187401897) adalah teori mate-matika koleksi kesatuan agregat.

115 Diagram Venn yang digunakan secara ekstensif untuk

menggambarkan serangkaian masalah, dinamakan sesuai dengan logika Inggris, John Venn (1834-1923).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

131

Page 145: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dalam bahasa himpunan, kesatuan atau union A dan B sama dengan Universe (U) dari seluruh keluarga. Simbol untuk kesatuan atau Union adalah (U), dibaca “Union” atau “Cup.”

Gambar 1-9. Union Set

Gambar 1-10 Perpotongan Set

A B

A B = UU

A B

A B = DU

D

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

132

Page 146: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dua himpunan sering beririsan membentuk sub-himpunan, sehingga nilai dua himpunan asli tumpang-tindih, seperti yang Nampak dalam Gambar 1-10. Sebagai contoh, irisan (D) dari keluarga yang tidak miskin (A) dan keluarga miskin (B) dapat digunkan untuk menggambarkan bahwa beberapa keluarga dalam setiap kelompok menerima transfer bayaran pemerintah. Dalam bahasa himpunan, irisan A dan B sama dengan D, yang diekspresikan secara simbolis sebagai AB = D dan dibaca “beririsan B sama dengan D.” Union dan irisan adalah dua operasi himpunan yang paling penting dan dapat digunakan untuk me-nyusun pola klasikasi (Gambar 1-11) dan pemutusan silang (Gambar 1-12). Pemutusan silang atau cross-breaks adalah bentuk dasar pembagian logis yang di-gunakan untuk mengorganisasi data di dalam tabel.

Diagram Venn, pola klasikasi dan pemutusan silang merupakan teknik yang penting untuk mema-hami masalah-masalah kebijakan. Prosedur analisis klasikasional, meskipun demikian memusatkan pada analisis kebijakan individual, bukannya kelompok dan menggunakan konsistensi logis sebagai kriteria kinerja yang utama di dalam menilai mutu seorang analis mengkonseptualisasikan masalah.

Sementara konsistensi pola klasikasi merupa-kan aspek penting dari kemampuannya, tidak ada cara untuk mengetahui dengan pasti bahwa dasar substan-tive setiap kategori atau sub-kategori adalah dasar

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

133

Page 147: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang tepat. Karena para analis sering berbeda mengenai dasar-dasar substantif kategori, dari analisis klasikasional yang terfokus pada individu dapat menutup kesempatan-kesempatan untuk menghasil-kan alternatif pola-pola klasikasi. Pendeknya, anali-sis klasikasi merupakan teknik untuk mereka. Anali-sis klasikasi tidak menjamin bahwa konsep-konsep akan mempunyai relevansi substantif.

Gambar 1-11. Skema Klasikasi

Gambar 1-12. Pemutusan Silang

Keluarga

Tidak Miskin Miskin

Tidak menerima santunan pemerintah

menerima santunan pemerintah

Tidak menerima santunan pemerintah

menerima santunan pemerintah

A1 A2

B1 A1 B1 A2

B1 B2 A1

B1

B2

A1 = keluarga tidak miskinA2 = keluarga miskinB1 = tidak menerima santunanB2 = menerima santunan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

134

Page 148: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang tepat. Karena para analis sering berbeda mengenai dasar-dasar substantif kategori, dari analisis klasikasional yang terfokus pada individu dapat menutup kesempatan-kesempatan untuk menghasil-kan alternatif pola-pola klasikasi. Pendeknya, anali-sis klasikasi merupakan teknik untuk mereka. Anali-sis klasikasi tidak menjamin bahwa konsep-konsep akan mempunyai relevansi substantif.

3.4.3. Analisis HirarkisAnalisis hirarkis adalah sebuah teknik untuk

mengidentikasi sebab-sebab yang mungkin dari 116suatu situasi masalah. Sayangnya, logika formal dan

beberapa teori ilmu sosial menyediakan sedikit petun-juk dalam mengidentikasi sebab-sebab yang mung-kin. Tidak terdapat cara yang pasti untuk menarik kesimpulan tentang sebab dari akibat atau akibat dari sebab dan teori-teori ilmu sosial seringkali sangat umum atau abstrak sehingga hanya sedikit membantu dalam kondisi spesik.

Untuk mengidentikasi sebab-sebab yang mungkin menimbulkan suatu situasi masalah adalah bermanfaat untuk mempunyai kerangka konseptual yang menggarisbawahi beberapa sebab yang mungkin dijumpai dalam suatu situasi.

__________________116 Lihat O'Shaughnessy, Inquiry and Decision,hal. 69-80.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

135

Page 149: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Analisis hirarkis membantu analis untuk mengi-dentikasi tiga macam sebab: sebab yang mungkin, sebab yang masuk akal dan sebab yang dapat ditindak-lanjuti. Sebab yang mungkin (possible causes) adalah kejadian-kejadian atau aksi-aksi yang meskipun jauh, mungkin menimbulkan terjadinya suatu situasi masalah. Sebagai contoh, penolakan untuk bekerja, pengangguran dan distribusi kekuasaan dan kekayaan di antara kaum elite dapat dilihat sebagai sebab-sebab yang mungkin dari kemiskinan.

Sebaliknya, sebab yang masuk akal (feasible causes) adalah kajadian-kejadian atau aksi-aksi yang berdasar penelitian ilmiah atau pengalaman langsung, diyakini memberikan pengaruh penting terhadap terjadinya situasi yang dinilai problematis.Dalam contoh tadi, penolakan bekerja agaknya tidak mung-kin disebut sebagai penyebab yang masuk akal bagi kemiskinan, paling tidak di antara para pengamat yang telah berpengalaman, sedangkan pengangguran dan kaum elit merupakan sebab yang masuk akal.

Akhirnya, distribusi kekuasaan dan kemakmuran di antara para elit tampaknya tidak dapat dipandang sebagai sebab yang dapat ditindaklanjuti (actionable cause) yaitu, sebab yang dapat dikontrol atau dimani-pulasi oleh para pembuatan kebijakan diarahkan tidak ada sebuah kebijakan pun atau serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk dapat mengubah struktur sosial dari seluruh masyarakat.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

136

Page 150: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Ilmuwan politik Stuart Nagel dan Martin Neef memberikan contoh yang baik tentang penggunaan analisis hirarkis yang potensial untuk memahami masalah-masalah kebijakan. Beberapa pengamat telah siap untuk menerima penjelasan bahwa sebab utama dari keramaian/kepadatan dalam tahanan adalah banyaknya jumlah orang yang dituduh dan ditahan di dalam tahanan sementara menunggu pengadilan.

Oleh karena itu sebuah kebijakan pembebasan pra pengadilan yaitu sebuah kebijakan yang membe-rikan pembebasan sejumlah orang yang ditahan (biasanya untuk pelanggaran/penyerangan yang kurang berat) sebelum dilakukan pengadilan formal telah diajukan oleh beberapa pembaharu.

Kesulitan dari kebijakan ini, sebagaimana penje-lasan kausal yang didasarinya adalah bahwa ini me-mandang tawar menawar dalam mengakui kesalahan sebagai salah satu di antara beberapa sebab yang ma-suk akal dari penuhnya tahanan.

Dalam tawar menawar pengakuan, yang secara luas dipraktikkan di dalam sistem hukum AS, seorang tertuduh menyetujui untuk mengaku bersalah sebagai imbalan atas persetujuan penuntut untuk mengurangi tuduhan atau hukuman. Ketika tawar menawar penga-kuan diperhitungkan dalam pembebasan pra-pengadi-lan konsekuensi berikut dapat timbul:

Jika persentase tertuduh yang dibebaskan sebelum pengadilan meningkat, maka persen-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

137

Page 151: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tase keberhasilan dalam tawar menawar tuduhan mungkin akan menurun …Sekarang, jika penga-kuan bersalah menurun sebagai akibat dari me-ningkatnya pembebasan pra pengadilan, maka jumlah pemeriksaan pengadilan mungkin akan meningkat… Dan jika jumlah pemeriksaan pengadilan meningkat, maka keterlambatan dalam melaksanakan pemeriksaan pengadilan juga akan meningkat, kecuali sistem menambah jumlah penuntut, hakim dan pembela publik… Jika keterlambatam dalam pemeriksaan pengadilan ini meningkat pada kasus-kasus umumnya, termasuk tertuduh dalam penjara maupun jumlah tertuduh yang ada di sana. Setiap pembebasan pra pengadi-lan dapat ditunjukkan dengan meningkatnya penundaan dan lamanya hukuman pra pengadilan yang disebabkan oleh peningkatan pembebasan pra pengadilan dan berkurangnya pengakuan bersalah dan pening-katan pemeriksaan dalam

117pengadilan.

Contoh ini tidak hanya menggambarkan potensi pera-nan kreatif dari analisis hirarkis dalam memahami ma-salah-masalah kebijakan tetapi juga menunjukkan ba-gaimana analisis hirarkis dapat menemukan konse-kuensi tak terantisipasi yang mungkin dari kebijakan-kebijakan publik yang pengaruhnya terlihat nyata.__________________

117 Stuart S. Nagel dan Marian G. Neef, “Two Examples from the Legal Process,” Policy Analysis, 2, No.2 (1976), 356-57.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

138

Page 152: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Apa yang lebih jelas dari pernyataan bahwa pem-bebasan pra pengadilan akan menurunkan populasi penjara? Jawabannya tergantung pada tercapainya kepuasan dalam memahami sebab-sebab yang masuk akal yang memberi kontribusi terhadap situasi masa-lah sebenarnya. Gambar 1-13 memberikan isyarat sederhana analisis hirarkis yang diterapkan pada sebab-sebab yang mungkin, masuk akal dan dapat ditindaklanjuti dari kejadian kebakaran. Dalil untuk melakukan analisis hirarkis adalah sama seperti yang digunakan untuk analisis klasikasional: relevansi substantif, ketuntasan, keterpilahan, konsistensi dan pembedaan hirarkis. Demikian juga, prosedur pemba-gian dan klasikasi logis juga diterapkan bagi kedua tipe analisis ini. Perbedaan utama antara analisis klasi-kasi dan analisis hirarkis adalah bahwa analisis klasi-kasi meliputi pembagian dan klasikasi konsep-kon-sep khusus mengenai sebab-sebab yang mungkin, ma-suk akal dan dapat ditindaklanjuti. Meskipun demi-kian, kedua bentuk analisis itu memusatkan pada analis individual dan menggunakan konsistensi logis sebagai kriteria utama untuk menilai mutu konsep-tualisasi masalah dan juga menjamin ditemukannya landasan substantif yang tepat untuk setiap konsep.

Dengan demikian, analisis hirarkis mungkin menutup kesempatan untuk menghasilkan alternatif karena tergantung pada para analis individual, bukan-nya kelompok sebagai sumber pengetahuan.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

139

Page 153: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

3.4.4. Sinektika

Sinektika (synectic) adalah sebuah metode yang

diciptakan untuk mengenali masalah-masalah yang 118bersifat analog. Sinektika yang terutama menunjuk

pada investigasi terhadap kesamaan-kesamaan, mem-

bantu para analis melakukan analogi yang kreatif

dalam memahami masalah-masalah kebijakan.

Beberapa studi menunjukkan bahwa orang

sering gagal mengenali bahwa apa yang tampak seba-

gai masalah baru sesungguhnya merupakan masalah

lama yang tersamar dan masalah-masalah lama mung-

kin mengandung solusi-solusi potensial bagi masalah-

masalah yang kelihatannya baru.

Sinektika didasarkan pada asumsi bahwa pema-

haman terhadap hubungan yang identik atau mirip di

antara berbagai masalah akan mengakibatkan kemam-

puan analis untuk memecahkan masalah.

Gambar 1-13. Analisis Hirarkis Sebab-Sebab Kebakaran

__________________118 Lihat W.J. Gordon, Synectics (New York: Harper &

Row, 1961); dan Hayes, Cognitive Psychology, hal. 72-241.

Korek ApiPERBUATAN

MANUSIA

Langsung

Tak Langsung

KecelakaanPenerangan

Merokok

Panas pada bagian yang bergerak

Sistem listrik mobil

Lilin

Lampu MinyakRokok

As kardan

MotorBusi

Korsleting

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

140

Page 154: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEJADIANBUKAN KARENAMANUSIA

Listrik

PanasPancaran

Reaksi Kimia

Heater

Korsleting

Radiator

Heater gas

Sinar matahari

Oksidasi

lainnya

Cat

Lap berminyak

Benda Kimia

Dalam menyusun masalah-masalah kebijakan

para analis dapat menghasilkan empat tipe analogi :

1. Analogi personal. Dalam menyusun analogi-

analogi personal, para analis berusaha untuk mem-

bayangkan dirinya mengalami suatu kondisi

masalah dalam cara yang sama seperti para pelaku

kebijakan, misalnya, pembuat keputusan atau ke-

lompok klien. Analogi-analogi personal terutama

penting dalam membuka dimensi-dimensi politik

dari situasi masalah karena “kecuali jika kita mau

dan mampu berpikir secara 'politik' jika hanya me-

masuki dunia fenomenologis dari pembuat kebi-

jakan dan memahami proses kebijakan.”

__________________119 Raymond A Bauer, “The Study of Policy Information:

An Introduction,” dalam The Study of Policy Formation, ed. R.

A. Bauer dan K.J. Gergen (New York: The Free Press, 1968),

hal.4.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

141

Page 155: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2. Analogi langsung. Dalam membuat analogi langsung, analis meneliti kemiripan hubungan di antara dua atau lebih situasi masalah. Dalam memahami masalah kecanduan obat, misalnya para analis dapat membangun analogi langsung

120dari pengalaman mengontrol penyakit menular.3. Analogi simbolis. Dalam membuat analogi sim-

bolis, analis berusaha untuk emnemukan kemiri-pan hubungan antara situasi masalah tertentu dan suatu proses simbolis. Sebagai contoh, analogi simbolis sering ditarik di antara berbagai macam servomechanism (alat pengukur panas, pilot otomatis) dan proses-proses kebijakan. Dalam se-tiap kasus, proses adaptasi yang bersifat analog dipandang sebagai konsekuensi dari umpan balik

121yang terus menerus dari lingkungan.4. Analogi fantasi. Dalam membuat analogi-analogi

fantasi, para analis sepenuhnya bebas menggali kesamaan antara situasi masalah dan suatu pokok soal yang imaginer. Para analis kebijakan pertaha-nan, misalnya, kadang-kadang menggunakan ana-

__________________120 Lihat, misalnya, Mark H. Moore, “Anatomy of the

heroin Problem : An Exercise in Problem Denition,” Policy Analysis, 2, no.4 (1976), 639-62.

121 Lihat, misalnya David Easton, A Framework for

Political Analysis (Englewood Cliffs, NJ : Prentice Hall, 1965).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

142

Page 156: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

analogi-analogi fantasi untuk memahami masalah-122masalah pertahanan melawan serangan nuklir.

Sinektika tergantung pada analis individual dan kelompok untuk membuat analogi-analogi yang layak. Kriteria utama untuk menilai mutu konseptuali-sasi masalah adalah masuk akalnya perbandingan, yaitu derajat kemiripan suatu situasi masalah dengan hal lainnya yang diambil sebagai analogi.

3.4.5. BrainstormingBrainstorming adalah metode untuk menghasil-

kan ide-ide, tujuan-tujuan jangka pendek dan strategi-strategi yang membantu mengidentikasi dan meng-konseptualisasikan kondisi-kondisi permasalahan. Aslinya dirancang oleh Alex Osborn sebagai suatu cara untuk meningkatkan kreativitas, brainstorming dapat digunakan untuk menghasilkan sejumlah perkiraan-perkiraan mengenai solusi-solusi yang

123potensial bagi masalah-masalah. Brainstorming meliputi beberapa prosedur sederhana:__________________

122 Lihat, misalnya, Herman Kahn, On Thermonuclear War (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1960). Untuk Kritik, lihat Philip Green, Deadly Logic: The Theory of Nuclear Deterrence (Columbus, OH: Ohio State University Press, 1966).

123 Alex F. Osborn, Your Creative (New York: Charles

Scribner, 1948).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

143

Page 157: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1. Kelompok-kelompok brainstorming harus disusun

sesuai dengan sifat masalah yang diinvestigasi. Hal

ini biasanya berarti seleksi orang-orang yang sa-

ngat mengetahui kondisi yang ada, yaitu para ahli.

2. Proses pemunculan ide dan harus benar-benar

terpisah karena diskusi kelompok yang intensif da-

pat dirintangi oleh kritik dan debat yang prematur.

3. Suasana aktivitas-aktivitas brainstroming harus

sedapat mungkin dijaga tetap terbuka dan permisif

selama tahap pemunculan ide.

4. Fase evaluasi ide harus dimulai hanya setelah

semua ide dimunculkan, artinya fase pertama telah

tuntas.

5. Pada akhir fase evaluasi ide, kelompok harus mem-

prioritaskan ide-ide dan memadukannya dalam se-

buah proposal berisi konseptualisasi masalah dan

potensi pemecahannya.

Brainstorming merupakan prosedur yang sangat

serba guna yang mencakup aktivitas-aktivitas yang

relatif terstruktur atau tidak terstruktur tergantung

pada tujuan-tujuan analis dan hambatan-hambatan

praktis terhadap situasi. Aktivitas-aktivitas brainstor-

ming yang relatif tidak terstruktur seringkali terjadi di

lembaga-lembaga pemerintah dan “think thank”

publik dan swasta.

Di sini diskusi-diskusi masalah-masalah kebija-

kan bersifat informal dan sebagian besar spontan,

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

144

Page 158: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

termasuk interaksi generalis dan spesialis dari bebe-124 rapa bidang dan disiplin ilmu. Aktivitas-aktivitas

brainstorming dapat pula lebih terstruktur, dengan berbagai peralatan yang digunakan untuk meng-koordinasikan atau memfokuskan diskusi-diskusi ke-lompok. Peralatan-peralatan ini meliputi pengadaan seminar-seminar keputusan yang terus menerus yang, dengan maksud menghindari suasana komite yang konvensional yang terbatas meliputi suatu tim ahli yang bermotivasi tinggi yang bertemu dengan fre-

125kuensi yang tinggi selama beberapa tahun.Peralatan lain untuk mengkoordinasikan dan

memusatkan aktivitas-aktivitas brainstorming adalah penyusunan skenario, yang menggambarkan keja-dian-kejadian hipotesis di masa depan yang dapat me-ngubah suatu situasi permasalahan. Penulis skenario, yang telah digunakan untuk meneliti krisis militer dan politik yang potensial, meliputi penggunaan imajinasi yang konstruktif untuk menerangkan suatu aspek __________________

124 Lihat edgar F. Quade, Analysis fot Public Decisions (New York: Amerincan Elsevier Publishing Co., 1975), hal. 168-88; dan Olaf helmer dan Nicholas Rescher, On the Epistemology of the Inexact Science (Santa Monica, CA: The Rand Corporation, february, 1960).

125 Harold D. Lasswell, “Technique of Decision

Seminars,” Midwest Journal of Political Science, 4. No.2 (1960), 213-26; dan Lasswell, The Future of Political Science (New York: Atherton Press, 1963).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

145

Page 159: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

situasi di masa depan. Ada dua bentuk skenario:

operasi analitis dan bentuk bebas.

Dalam menyusun suatu skenario bentuk bebas,

analis merupakan “penentang pemujaan lambang,

pemecah model, penyanggah asumsi-asumsi dan 126dalam kasus tertentu pembentuk kriteria baru.”

Sebaliknya, skenario operasi analitis membatasi

tujuan-tujuan:

...daripada menciptakan gambaran ksi yang

tak terbatas atau bahkan menyusun penemuan

utopia bahwa pengarang mempertimbangkan

keinginan yang tinggi, suatu skenario analitikal

operasi memulai dengan keadaan dunia

sekarang ini dan memperlihatkan bagaimana

selangkah demi selangkah, keadaan di masa

depan timbul dalam model yang masuk akal 127yang berbeda dengan masa sekarang ini.

Sebuah contoh yang baik supaya brainstorming

yang relatif terstruktur adalah Program Perencanaan

Tahun 2000, proyek dua setengah tahun yang

__________________126 Seyon H. Brown, “Scenarios in Systems Analysis,”

dalam Systems Analysis and Policy Planning: Applications in defens, ed. E.S. Quade dan W.I Boucher (New York: American Elsevier Publishing Co., 1968), hal.305.

127 Olaf Helmer, Social technology (New york: basic

Books, 1966), hal.10. Dipetik dalam Quade, Analysis for Public Decision, hal.188.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

146

Page 160: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

128dilaksanakan di Biro Sensus AS. Dalam proyek ini 120 partisipan yangn terseleksi dan direktur, diminta untuk berpikir sebebas mungkin mengenai masa depan dan untuk menyusun skenario yang berbentuk bebas yang menunjukkan seperti apa biro itu seharus-nya pada tahun 2000.

Partisipan diminta untuk menuliskan laporan-laporan kelompok yang kemudian digabungkan dalam laporan akhir oleh kelompok eksekutif yang tersusun dari utusan kelompok-kelompok individu. Laporan akhir sesudah itu diberikan kepada staf eksekutif di Biro Sensus dan juga kepada Komite Penasehat Asosiasi Statistik Amerika, Asosiasi Pema-saran Amerika dan Asosiasi Ekonomi Amerika.

Program Perencanaan Tahun 2000 berhasil da-lam beberapa hal. Laporan diterima dengan persetuju-an moderat oleh semua kelompk dan sebagian besar anggota berpikir bahwa program perlu dilanjutkan da-lam beberapa bentuk, mungkin secara permanen. Dua produk kreatif dari proyek ini adalah saran untuk mem bentuk ombusdman untuk melindungi kepentingan pemakai data sensus dan menciptakan sebuah Univer-sitas Sensus untuk mengembangkan dan melaksana-__________________

128 Lihat Ian I. Mitroff, Vincent P. Barabba dan ralph H. Killman, “The Application of Behavioral and Philosophical Technologies to Strategic Planning: A Case Study of a Large Federal Agency,” Management science, 24, no.1 (1977), 44-58.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

147

Page 161: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kan kelanjutan program-program pendidikan biro Sensus dan juga kepada Komite Penasehat Asosiasi Statistik Amerika, Asosiasi Pemasaran Amerika dan Asosiasi Ekonomi Amerika.

Mereka yang bereaksi paling positif terhadap laporan menaruh perhatian tinggi pada pertimbangan strategis termasuk masalah-masalah yang rumit; sedang reaksi yang kurang positif berasal dari orang-orang yang menaruh perhatian pada hal-hal yang bersifat taktis atau operasional, atau kepada masalah-masalah yang sederhana.

Program itu sendiri menjadi mungkin karena adanya pengenalan di antara staf biro tingkat tinggi, termasuk direktur, bahwa biro dihadapkan pada masalah-masalah penting yang berjangkauan panjang yang strukturnya sangat rumit dan “kacau.” Akhirnya, meskipun program melibatkan alokasi sumber yang besar, ini tidak tampak sebagai kendala utama dalam melaksanakan program.

Perbedaan utama antara brainstorming dan teknik-teknik lain untuk memahami masalah adalah bahwa fokusnya pada kelompok-kelompok yang banyak mengetahui ketimbang ahli-ahli individual. Sebaliknya, aktivitas-aktivitas brainstorming dinilai, tidak berdasarkan ketentuan konsistensi logis atau perbandingan yang masuk akal, tetapi sesuai dengan konsensus di antara anggota-anggota kelompok brainstorming.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

148

Page 162: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Keterbatasan utama dari konsensus sebagai kriteria kinerja dalam perumusan masalah adalah bahwa konik-konik mengenai sifat masalah dapat ditekan dengan demikian menutup kesempatan-kesempatan untuk menghasilkan dan mengevaluasi ide-ide; tujuan-tujuan jangka pendek dan strategi-strategi yang layak.

Sementara Program Perencanaan tahun 2000 berusaha untuk menciptakan suasana yang terbuka dan permisif, evaluasi akhir mengenai keberhasilan program didasarkan pada konsensus di antara pengambil keputusan yang berwenang (staf eksekutif pemerintah) dan para ahli (komite penasehat asosiasi-asosiasi profesional).

Pendeknya, program ini dan aktivitas-aktivitas brainstorming lain yang relatif terstruktur tidak me-nyediakan prosedur yang eksplisit untuk mempromo-sikan penggunaan konik yang kreatif dalam perumu-san masalah-masalah kebijakan.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

149

Page 163: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

3.4.6. Analisis Perspektif BergandaAnalis perspektif berganda adalah metode untuk

memperoleh pandangan yang lebih banyak mengenai masalah-masalah dan peluang pemecahannya dengan secara sistematis menerapkan perspektif personal, or-

129ganisasional dan teknikal terhadap situasi masalah. Dilihat sebagai alternatif terhadap penekanan

yang mendekati eksklusif pada yang disebut sebagai pendekatan teknis rasional dalam perencanaan, anali-sis kebijakan, penilaian teknologis, penilaian dampak sosial dan bidang-bidang lainnya, analisis perspektif berganda diciptakan untuk menangani masalah-masa-lah yang rumit.

Walaupun terdapat banyak karakteristik dari masing-masing perspektif tersebut, gambaran utama-nya adalah sebagai berikut:1. Perspektif teknis. Perspektif teknis (T) memandang

masalah-masalah dan solusi-solusinya dalam kerangka model optimalisasi dan menerapkan tek-nik-teknik yang didasarkan pada teori probabili-tas, analisis biaya manfaat dan analisis keputusan, ekonometri dan analisis sistem. Perspektif teknis, yang didasarkan pada wawasan teknologi ilmiah,

__________________129 Harold A. Linstone, Multiple Perspective for Decision

Making: Bridging the Gap Between Analysis and Action (New York: North Holland Publishing Company, 1984); dan Linstone dan lain-lain, “The Multiple Perspective.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

150

Page 164: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

menekankan pada pemikiran kausal, analisis obyektif, prediksi optimalisasi dan ketidakpastian yang memenuhi syarat. Contoh yang baik menge-nai perspektif T adalah keputusan untuk menjatuh-kan bom atom di Jepang. Masalahnya tersusun ke dalam lima alternatif membom dan memblokade, invasi, serangan atom tanpa peringatan, serangan atom sesudah peringatan dan menjatuhkan bom pada pulau yang tidak dihuni. Dengan tujuan jang-ka pendek penyerahan tanpa syarat dengan kehila-ngan minimum Sekutu dan kehancuran jepang, alternatif ketiga (serangan atom tanpa peringatan) merupakan alternatif yang paling dipilih.

2. Perspektif organisasional. Perspektif organisasio-nal (O) memandang masalah dan solusi sebagai bagian dari kemajuan yang teratur (dengan sedikit krisis sementara) dari satu keadaan organisasi ke keadaan lainnya. Prosedur operasi standard (SOP), peraturan, rutinitas institusional merupakan karak-teristik utama dari perspektif O, yang sering berla-wanan dengan perspektif T dan hanya secara mini-mal menaruh perhatian pada pencapaian tujuan dan meningkatkan kinerja. Keputusan untuk menjatuh-kan bom atom memberikan contoh yang baik mengenai perspektif O dan bagaimana perspektif O berbeda dari perspektif T. Dari perspektif O, keputusan untuk menggunakan bom yang menim-bulkan ketakutan organisasi yang sangat besar,

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

151

Page 165: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

karena 2 milyar dolar dana dibelanjakan tanpa per-setujuan Kongres. Penjatuhan bom menunjukkan pada Kongres bahwa dana tidak terbuang sia-sia dan pada waktu yang sama, membuka Perang Dingin menghadapi ancaman Soviet.

3. Perspektif personal. Perspektif personal (P) me-mandang masalah-masalah dan solusi-solusi dalam kerangka persepsi, kebutuhan dan nilai-nilai individu. Karakteristik utama perspektif personal adalah penekanan pada intuisi, karisma, kepemim-pinan dan kepentingan pribadi sebagai faktor-faktor yang menentukan kebijakan-kebijakan dan dampak-dampaknya. Contoh mengenai bom atom juga memperlihatkan bagaimana perspektif P menawarkan pandangan yang tidak terdapat pada perspektif T maupun perspektif O. Pada tahun 1945, Presiden baru, Harry Truman, adalah penda-tang baru menggantikan Franklin D. Roosevelt (FDR), pemimpin yang sangat kuat selama tiga kali masa jabatan. Truman pada awal masa kepresi-denannya kekurangan legitimasi dan pengaruh yang diperlukan untuk melawan kemapanan, termasuk kebijakan-kebijakan dan kepentingan-kepentingan birokrasi yang meluas. Keputusan untuk tidak menjatuhkan bom atom akan dipan-dang sebagai indikasi kelemahannya. Truman, yang mempunyai perasaan sejarah yang kuat, ingin kelihatan sebagai pemimpin yang cakap dan tegas.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

152

Page 166: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Analisis perspektif berganda relevan untuk setiap masalah sosioteknologis yang terdapat dalam bidang-bidang pembuatan kebijakan publik, perenca-naan strategis perusahaan, pembangunan regional dan bidang-bidang lainnya. Untuk menggunakan analisis perspektif berganda, Linstone dan koleganya telah mengembangkan beberapa petunjuk sebagai berikut: Campuran antar-paradigma. Bentuklah tim-tim

atas dasar campuran antar-paradigma bukan cam-puran antar-disiplin. Sebagai contoh, sebuah tim yang terdiri dari para pengusaha, pengacara dan penulis lebih cocok dibanding tim yang terdiri dari ekonom, ilmuwan politik dan psikolog. Campuran antar paradigma dipilih karena hal itu memaksi-malkan kesempatan-kesempatan untuk mempero-leh aspirasi dari perspektif T, O dan P dalam tim.

Keseimbangan antar perspektif. Dalam mengem-bangkan aktivitas-aktivitas kebijakan dan perenca-naan tidak mungkin memutuskan berapa banyak tekanan diberikan kepada perspektif T, O dan P. Begitu tim memulai kerjanya, keseimbangan yang pantas di antara ketiga perspektif akan memung-kinkan penunjukkan terhadap tugas-tugas T, O dan P. Pada saat yang sama, distribusi yang sama akan diutamakan.

Replikabilitas yang tidak sama. Perspektif T umumnya menggunakan metode-metode (misal-nya rancangan eksperimental) yang dapat ditiru.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

153

Page 167: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Perspektif O dan P dapat ditiru. Seperti proses peradilan atau bahkan peradilan ulang, prosesnya tidak dapat ditiru; demikian juga keputusan-keputusan eksekutif yang rutin.

Komunikasi-komunikasi yang memadai. Sesuai-kan media komunikasi dengan pesannya. Ringka-san, brieng, skenario dan sketsa adalah penting untuk berkomunikasi dengan mereka yang mempu-nyai perspektif O dan P. Model, data, daftar variabel dan analisis rutin adalah cocok untuk mereka dengan perspektif T.

Integrasi yang tertunda. Serahkan pengintegrasian perspektif kepada klien atau pembuat kebijakan, tetapi tunjukkan hubungan di antara perspektif T, O dan P dan perbedaan kesimpulan-kesimpulan yang mereka hasilkan.

Analisis perspektif berganda telah dipakai secara luas dalam bidang penilaian teknologi dan bidang-bidang lain kebijakan publik. Metode-metode analisis perspektif berganda yang dikembangkan berdasarkan karya-karya terdahulu dalam bidang kebijakan-kebi-

130jakan luar negeri dan rancangan sistem pengetahuan, __________________

130 Karya-karya awal dalam kebijakan luar negeri dan rancangan sistem pengetahuan, berturut-turut adalah : Graham Allison, Essence of Decision: Conseptual Models and the Cuban Missile Crisis (Boston: Little, Brown and Company, 1962); dan C. West Churchman, The Design of Inquiring Systems (New York: Basic Booksm 1971).

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

154

Page 168: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

merupakan suatu cara untuk berurusan dengan kompleksitas masalah-masalah yang rumit yang mun-cul dalam sistem sosioteknologi dengan kandungan ilmiah dan teknis yang tinggi.

3.4.7. Analisis AsumsiAnalisis asumsi (Assumptional Analysis) meru-

pakan sebuah teknik yang bertujuan mensintesiskan secara kreatif asumsi-asumsi yang saling bertenta-

131ngan mengenai masalah-masalah kebijakan. Dalam beberapa hal analisis asumsi adalah yang paling komprehensif dari semua metode perumusan masalah karena analisis asumsional mencakup prosedur yang digunakan dalam hubungannya dengan teknik-teknik lain dan dapat difokuskan pada kelompok-kelompok, individu, atau keduanya.

Gambaran analisis asumsi yang paling penting adalah bahwa secara eksplisit analisis asumsi dicipta-kan untuk mengurusi masalah-masalah yang rumit, __________________

131 Lihat Ian I. Mitroff dan James R. Emshoff, “On Stra-tegic Assumption-Making: A Dialectical Approach to Policy and Planning,” Academy of Management Review, 4, No.1 (1979), 1-12; Richard O. Mason dan Ian I. Mitroff, challenging Stretegic Planning Asummptions: Theory, Cases and Techni-ques (New York: Wiley, 1981); dan Ian I. Mitroff, Richard O. Mason dan Vincent P. Barabba, The 1980 Census: Policy Making and Turbulence (Lexington, MA: D.C, Heath, 1983).

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

155

Page 169: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yaitu masalah-masalah di mana para analis kebijakan, pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan lainnya tidak dapat sepakat tentang bagaimana merumuskan masa-lah. Kriteria utama untuk mutu suatu rumusan masa-lah adalah apakah asumsi-asumsi yang saling berten-tangan mengenai suatu situasi masalah telah dimun-culkan, dikupas dan disintesiskan secara kreatif.

Analisis asumsi diciptakan untuk mengatasi empat kelemahan utama analisis kebijakan: (1) anali-sis kebijakan seringkali didasarkan pada asumsi dari satu pembuat keputusan dengan nilai-nilai yang ditata secara jelas yang dapat direalisasikan pada satu titik waktu, (2) analisis kebijakan biasanya gagal memper-timbangkan secara sistematis dan eksplisit panda-ngan-pandangan yang sangat berlawanan mengenai sifat, masalah-masalah dan potensi pemecahannya, (3) kebanyakan analisis kebijakan dilakukan dalam organisasi-organisasi di mana sifat “self-sealing”nya membuat sulit atau tidak mungkin untuk menghadapi rumusan-rumusan masalah yang besar, dan (4) kriteria yang digunakan untuk menilai kecukupan masalah dan solusinya sering kali hanya menyentuh karakteris-tik permukaannya (misalnya konsistensi logis), dari pada dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasi konseptualisasi masalah.

Analisis asumsi secara eskplisit memperhatikan gambaran positif maupun negatif dari konik dan komitmen. “Konik dibutuhkan untuk menunjukkan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

156

Page 170: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

keberadaan kebijakan-kebijakan yang sangat berten-tangan untuk menemukan dan menghadapi asumsi-asumsi dari setiap kebijakan yang dibuat. Pada pihak yang lain komitmen juga penting agar para pendukung dari setiap kebijakan dapat menunjukkan bukti yang paling kuat (tidak perlu yang terbaik) untuk mendu-

132kung pokok pandangan mereka. Analisis asumsi meliputi lima tahap prosedur sebagai berikut:1. Identikasi pelaku kebijakan. Pada tahap pertama

pelaku kebijakan diidentikasikan, diurutkan, dan diprioritaskan. Identikasi, pengurutan dan penyu-sunan prioritas pelaku kebijakan didasarkan pada penilaian tentang seberapa jauh masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses kebija-kan. Prosedur ini menghasilkan identikasi para pelakku kebijakan –misalnya kelompok adminis-trator atau klien-klien pembangkang yang biasanya dikeluarkan dalam analisis masalah kebijakan.

2. Memunculkan asumsi. Pada tahap kedua para ana-lis bekerja mundur dari solusi masalah yang dire-komendasikan ke seleksi data yang mendukung rekomendasi dan yang mendasari asumsi-asumsi, sehingga dengan data yang ada, seseorang dapat menarik kesimpulan deduktif terhadap solusi yang direkomendasikan oleh para pelaku kebijakan.

__________________132 Mitroff dan emshoff, “On Strategic Assumption-

Making,” hal.5.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

157

Page 171: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Harus mengandung sebuah daftar asumsi yang secara eksplisit dan implisit mendasari rekomen-dasi. Dengan mandaftar semua asumsi –misalnya bahwa kemiskinan merupakan konsekuensi dari ketidaksengajaan sejarah, dominasi elit, pengang-guran, depriasi kultural dan sebagainya– terdapat spesikasi masalah secara eksplisit yang dituju oleh masing-masing rekomendasi.

3. Mempertentangkan asumsi. Pada tahap ketiga para analis membandingkan dan mengevaluasi serang-kaian rekomendasi dan asumsi-asumsi yang men-dasarinya. Hal ini dikerjakan dengan membanding-kan asumsi-asumsi yang ada dengan asumsi-asumsi tandingan yang berlawanan. Jika asumsi tandingan tidak masuk akal, maka tidak perlu dilakukan pertimbangan lebih lanjut, jika asumsi tandingan masuk akal, asumsi tersebut diuji untuk menentukan kemungkinan untuk dipakai sebagai landasan bagi konseptualisasi baru terhadap masa-lah dan solusinya secara menyeluruh.

4. Mengelompokkan asumsi. Ketika tahap mengum-pulkan asumsi telah selesai, sejumlah usulan solusi yang berbeda-beda yang dihasilkan dalam fase sebelumnya dikelompokkan. Di sini asumsi-asumsi (lebih dari rekomendasi) dinegosiasikan dengan memprioritaskan asumsi-asumsi dari segi kepastian dan kepentingannya bagi para pelaku

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

158

Page 172: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kebijakan yang berbeda. Hanya asumsi-asumsi yang paling penting dan tidak pasti yang dikelom-pokkan. Tujuan yang paling akhir adalah untuk menciptakan dasar asumsi yang diterima oleh seba-nyak mungkin pelaku kebijakan.

5. Sintesis asumsi. Fase terakhir adalah penciptaan solusi gabungan atau sintesis terhadap masalah. Suatu satuan gabungan asumsi yang diterima dapat menjadi basis untuk menciptakan konseptualisasi baru dari masalah. Ketika isu-isu seputar konsep-tualisasi masalah dan potensi pemecahannya telah mencapai titik ini, aktivitas-aktivitas dari para pembuat kebijakan dapat menjadi kooperatif dan secara kumulatif produktif.

Keempat fase analisis asumsi yang tersebut ter-akhir dilukiskan dalam Gambar 1-14, yang membantu memperlihatkan gambaran penting dari teknik ini. Pertama, metode justru dimulai dari solusi-solusi yang direkomendasikan bagi masalah-masalah, bukan dari asumsi-asumsi itu sendiri. Hal ini karena sebagian besar para pelaku kebijakan menyadari usulan solusi masalah tetapi jarang sadar pada asumsi-asumsi yang mendasarinya. Dengan dimulai dari solusi-solusi yang direkomendasikan, metode dibangun dari apa yang paling akrab bagi para pelaku kebijakan tetapi kemudia berlanjut dengan menggunakan solusi-solusi yang sudah dikuasai tersebut sebagai titik tolak untuk mencari asumsi-asumsi yang mendasari.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

159

Page 173: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Gambaran penting yang kedua dari teknik ini adalah bahwa teknik ini berusaha sejauh mungkin untuk memusatkan pada serangkaian data yang sama atau informasi yang relevan dengan kebijakan. Alasan untuk ini adalah bahwa konik-konik yang mengeli-lingi konseptualisasi masalah-masalah kebijakan tidak hanya masalah “fakta” tetapi masalah yang men-cakup interpretasi yang bertentangan terhadap data yang sama.

Meskipun data, asumsi dan solusi yang direko-mendasikan saling berhubungan, bukanlah situasi masalah (data) yang menuntun kepada konseptuali-sasi masalah tetapi asumsi-asumsilah yang dibawa oleh para analis dan pelaku-pelaku kebijakan lainnya ke situasi masalah. Akhirnya, analisis asumsi secara sistematis memusatkan pada masalah utama dari analisis kebijakan, yaitu menerapkan serangkaian prosedur untuk menangani konik secara kreatif.

Tujuan dan prosedur analisis asumsi sangat ter-kait dengan bentuk-bentuk argumen kebijakan yang berisi bermacam-macam asumsi yang berbeda yang dapat digunakan untuk menghasilkan alternatif kon-septualisasi terhadap situasi masalah.

Karena itu, analisis asumsi merupakan alat uta-ma untuk menyelenggarakan debat yang bernalar me-ngenai sifat dari masalah kebijakan. Analisis asumsi dapat digunakan oleh kelompok-kelompok pelaku ke-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

160

Page 174: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bijakan yang secara nyata berpartisipasi dalam meru-muskan masalah kebijakan atau oleh analis individu yang mensimulasikan asumsi-asumsi para pelaku kebijakan dengan maksud untuk melakukan debat yang bernalar dengan dirinya.

Gambar 1-14. Proses Analisis Kebijakan

Sumber: Diadaptasi dari Ian Mitroff dan james R. Emshoff, “On Strategic Assumption Making : A Dialectical Approach to Policy and Planning,” Academy of Management Review (1970).

Solusi Asli

Solusi Banding

SekumpulanAsumsi

DataBersama

Pemunculan

Asumsi

DataBersama

DataBersama

PembenturanAsumsi

PengelompokkanAsumsi

SintesisAsumsi

DataUmum

Solusi“Terbaik”

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

161

Page 175: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

3.5. Ringkasan

Dalam tulisan ini, telah memberikan ulasan ten-tang hakikat masalah-masalah kebijakan, mengurai-kan komponen-komponen dari proses perumusan masalah, menjelaskan perbedaan antara berbagai jenis model kebijakan dan menerangkan serta memberikan contoh tentang teknik-teknik untuk merumuskan masalah-masalah kebijakan. Di sini kita diharapkan mampu mendiskusikan beberapa prinsip dan generali-sasi kunci sebagai berikut:1. Perumusan masalah merupakan aspek yang paling

krusial tetapi paling tidak dipahami dari analisis kebijakan. Proses perumusan masalah-masalah kebijakan kelihatannya tidak mengikuti aturan yang jelas sementara masalah itu sendiri seringkali sangat kompleks sehingga tampak sulit dibuat sistematis.

2. Para analis kebijakan lebih sering gagal karena mereka memecahkan masalah yang salah diban-ding karena mereka menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang benar. Kesalahan fatal dalam analisis kebijakan adalah EIII , yaitu mencari solusi atas rumusan masalah yang salah ketika seharusnya yang dicari adalah solusi atas formulasi masalah yang benar.

3. Masalah-masalah kebijakan pada dasarnya merupakan sistem masalah yang saling tergantung

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

162

Page 176: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

atau “messes” (Ackoff). Karakteristik utama masa-lah-masalah kebijakan adalah saling tergantung, subyektif, artisial dan dinamis. Masalah-masalah kebijakan agaknya jarang dipecah ke dalam bagian-bagian yang independen, berbeda dan saling eksklusif; masalah-masalah sesungguhnya merupakan sistem masalah dengan sifat-sifat teologis (purposif) sedemikian rupa sehingga dari keseluruhan tidak sama dengan jumlah kuantitatif bagian-bagiannya.

4. Isu-isu kebijakan yang nampak sederhana sering-kali sama kompleksnya seperti sistem masalah (messes) dari mana mereka berasal. Isu-isu kebija-kan merupakan hasil dari perselisihan sebelumnya tentang hakikat masalah-masalah kebijakan, yang didasarkan pada interpretasi yang selektif terhadap kondisi masalah.

5. Tingkat kompleksitas masalah menentukan macam metode dan teknik yang tepat untuk diterapkan dalam rangka pencarian solusinya. Tingkat kom-pleksitas masalah dan juga sifat dari kebijakan dan isu (apakah strategis atau operasional) berhubu-ngan dengan tingkat hirarki dalam organisasi.

6. Kompleksitas dari struktur masalah bervariasi sesuai dengan karakteristik dan hubungan di antara lima elemen: pembuat keputusan, alternatif, utilitas (nilai), hasil, probabilitas hasil. Masalah-masalah

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

163

Page 177: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang sederhana, agak sederhana dan rumit dapat diurutkan menurut tingkat kompleksitasnya.

7. Banyak dari masalah kebijakan yang sangat penting adalah yang rumit karena masalah-masalah tersebut merupakan suatu sistem masalah yang benar-benar kompleks yang mengandung konik yang tinggi di antara para pelaku kebijakan yang saling bersaing. Adalah tidak realistis untuk menganggap adanya satu atau beberapa pembuat keputusan yang mempunyai pilihan yang sama; konsensus mengenai tujuan adalah jarang; dan juga jarang sekali untuk dapat mengidentikasi seluruh alternatif solusi berikut konsekuensi-konsekuen-sinya.

8. Persyaratan untuk memecahkan masalah-masalah yang rumit berbeda dengan syarat untuk memecah-kan masalah-masalah yang sederhana. Jika masalah-masalah yang sederhana memungkinkan digunakannya metode-metode analisis konvensio-nal untuk menghasilkan solusi-solusi bagi masa--lah-masalah yang didenisikan secara jelas, maka masalah-masalah yang rumit mengharuskan analis mengambil bagian aktif dalam mendenisikan sifat masalah itu sendiri. Hal ini menuntut adanya penilaian dan wawasan yang kreatif.

9. Analisis kebijakan diarahkan secara seimbang kepada perumusan masalah dan pemecahan masalah. Kriteria untuk mengevaluasi keberhasilan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

164

Page 178: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dari perumusan masalah adalah pada dasarnya sama dengan kriteria untuk menilai kreativitas secara umum.

10. Perumusan masalah adalah suatu proses dengan empat tahap yang saling tergantung: penghayatan masalah, pencarian masalah, pendenisian masa-lah dan spesikasi maslah. Tiap-tiap tahap terse-but menghasilkan informasi mengenai situasi ma-salah, meta masalah, masalah substantif dan ma-salah formal.

11. Masalah-masalah substantif dan formal seringkali merupakan sebuah hasil dari pandangan, ideologi, mitos populer dan paradigma yang belum teruji. Isu yang kritis dalam analisis kebijakan adalah seberapa baik situasi masalah, masalah substantif dan masalah formal berhubungan satu sama lain. Kurangnya hubungan di antara ketiganya dapat berarti bahwa analis telah melakukan kesalahan tipe ketiga (EIII)– memberikan representasi substantif atau formal yang salah dari suatu masa-lah ketika seseorang seharusnya menyediakan representasi masalah yang tepat.

12. Setiap tahap perumusan masalah mengharuskan keahlian yang berbeda, sebagian bersifat losos dan konseptual sementara lainnya bersifat teknis. Penggunaan keahlian-keahlian yang berbeda ini dihubungkan dengan perbedaan arti “rasionalitas” dalam analisis kebijakan. Rasionalitas bukan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

165

Page 179: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sekedar persoalan menemukan representasi for-mal yang memadai atas suatu masalah melalui penggu-naan prosedur teknis (misalnya, model matematis) tetapi juga berkenaan dengan upaya menemukan representasi konseptual yang mema-dai atas suatu masalah, yang memerlukan pilihan-pilihan yang disadari dan kritis terhadap berbagai pandangan, ideologi dan mitos yang saling berla-wanan.

13. Model-model kebijakan adalah penyederhanaan representasi aspek-aspek kondisi masalah yang terseleksi. Model-model kebijakan berguna dan penting; penggunaannya bukan masalah pilihan, semenjak setiap orang menggunakan beberapa model untuk menyederhanakan situasi masalah.

14. Model-model kebijakan secara selektif menyeder-hanakan situasi masalah. Model tidak dapat mem-bedakan antara pertanyaan yang penting dan tidak penting; juga model tidak dapat menjelaskan, memprediksi, mengevaluasi atau membuat reko-mendasi, karena penilaian berada di luar model dan bukan bagiannya.

15. Dimensi-dimensi yang paling penting dari model-model kebijakan adalah tujuan (deskriptif lawan normatif), bentuk ekspresi (verbal, simbolis, pro-sedural) dan asumsi-asumsi metodologis (peng-ganti lawan perspektif). Model-model kebijakan merupakan perspektif dan bukan pengganti; peng-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

166

Page 180: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

gunaan model sebagai pengganti meningkatkan probabilitas EIII dalam usaha untuk memecahkan masalah-masalah yang rumit.

16. Metode-metode untuk merumuskan masalah-masalah kebijakan meliputi analisis batasan, anali-sis klasikasional, analisis hirarkis, sinektika, brainstorming, analisis perspektif berganda, anali-sis asumsional dan pemetaan argumentasi. Walau-pun tiap-tiap metode ini mempunyai tujuan-tujuan, prosedur, focus dan kriteria kinerja yang berbeda, itu diciptakan untuk mengurangi proba-bilitas EIII.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

167

Page 181: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

168

3.6. Latihan-Latihan

1. “Masalah kami bukan untuk mengerjakan apa

yang benar,” kata Lyndon Johnson selama peme-

rintahannya di Gedung Putih. “Masalah kami ada-

lah untuk mengetahui apa yang benar.” Dengan

mempertimbangkan karakteristik dan tipe-tipe

utama mengenai masalah-masalah kebijakan yang

didiskusikan dalam tulisan ini, sampai sejauh

mana kita dapat mengetahui kebijakan mana yang

“tepat”?

2. Pandangan yang biasanya diterima di antara bebe-

rapa analis kebijakan dalam universitas adalah

bahwa analis kebijakan dapt obyektif, netral dan

tidak memihak. Untuk dikenakan pada masalah-

masalah yang rumit, pertimbangkanlah sejauh

mana masalah yang rumit, pertimbangkanlah

sejauh mana pandangan ini plausibel.3. Berilah dua atau tiga contoh dari pengalaman anda

sendiri bagaimana pandangan, ideologi dan mitos rakyat menentukan perumusan masalah-masalah kebijakan.

4. Terdapat beberapa bentuk umum dari struktur ke-organisasian di dalam mana pembentukan kebija-kan terjadi. Salah satu bentuk adalah struktur “birokrasi” uang diciri oleh sentralisasi, rantai pemerintah yang hirarkis, spesialisasi tugas dan informasi yang lengkap. Bentuk birokratis dari

Page 182: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

169

organisasi mengharuskan adanya konsensus tentang hasil kebijakan yang dipilih dan kepastian bahwa serangkaian alternatif tindakan akan menimbulkan hasil tertentu yang diinginkan (J.D Thompson, Organizations in Action, New York: McGraw-Hill, 1976, hal134-35). Jika banyak di antara masalah kebijakan kita yang paling penting merupakan masalah yang rumit, apa yang dapat dikatakan mengenai ketepatan dari bentuk birokratis dari organisasi untuk merumuskan dan memecahkan masalah?

5. Jika sebagian besar masalah kita yang paling penting merupakan masalah yang rumit, sejauh mana kemungkinan untuk menganggap para pembuat kebijakan individual, analisis kebijakan dan perencana secara politik dan moral bertang-gung jawab terhadap tindakan-tindakannya? (mengenai diskusi provokatif tentang hal ini, lihat M.M Webber dan H.W.J Rittel, “Dilemmas in a General Theory of Planning,” Policy Series, 4, No.2 (1973), 155-69).

6. Masalah-masalah yang rumit seperti yang dite-rangkan di bawah diambil dari ilustrasi yang dipublikasikan dalam jurnal Policy Analysis (sekarang menjadi Journal of Pollicy Analysis and Management).

Page 183: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

170

Selama beberapa ribu tahun, pertanian Mesir tergantung pada sedimen subur yang ditimbun oleh banjir Sungai Nil. Tetapi sekarang tidak lagi demikian, Karena teknologi modern yang mahal yang diperlukan untuk meningkatkan kehidupan para petani, ladang-ladang Mesir harus disuburkan secara artisial. John Gall, yang menulis dalam New York Times Magazine (26 Desember 1976), melaporkan bahwa sedimen sungai Nil sekarang ditimbun di bendungan Aswan di Danau Nasser. Sebagian besar hasil listrik bendungan digunakan untuk mensuplai sejumlah besar kebutuhan listrik ke tanah-tanah pertanian baru yang disuburkan tersebut.

Ekolog Universitas Illinois dapat menjelaskan bagaimana tikus ladang tertentu yang berbahaya menyebar dari kawasan asalanya ke dalam daerah di mana mereka tidak pernah ditemukan sebelumnya. Mereka menggunakan akses jalan-jalan raya baru antar negara bagian yang kemudian menjadi jalur larinya tikus-tikus ini dengan sedikit penghalang. Jalan-jalan lama, seperti halnya kereta api, yang menghubungkan desa dengan kota dalam setiap beberapa mil secara efektif mengha-langi migrasi tikus. Kelompok peneliti Illinois menemukan bahwa sebelum jalan raya antar negara bagian melintasi Illinois Tengah, satu tipe tikus hanya terdapat di

Page 184: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

171

satu daerah. Tetapi dalam enam tahun sejak adanya jalan raya baru tersebut, tikus sebesar empat inci telah menyebar ke selatan sejauh 60 mill melalui Illinois tengah. Para ekolog mempertimbangkan bahwa tikus tersebut, suatu spesies yang suka mengunyah pepohonan, menjadi ancaman bagi daerah-daerah Illinois Tengah dan Selatan di mana kebun apel berlimpah-limpah (Wall Street Journal, December 1, 1977).

Edward J. Moody berpendapat secara persuasif bahwa memuja setan mempunyai pengaruh menormalkan orang abnormal. Dengan demikian, untuk “menyembunyikan” kekuatan setan dan keberadaan mereka dari orang kebanyakan, orang-orang itu dianjurkan untuk berperilaku selurus-lurusnya. Akibatnya, sudah barang tentu, adalah hubungan sosial yang lebih efektif –tujuan yang pada awalnya dipanjatkan kepada setan (P.E Hammond, “review of Religious Movements in Contemporary Ameri-ca,” Science, May 2, 1975, p.442).

Penduduk daerah pantai utara San Fransisco sekarang harus membayar $10 untuk hak parkir di dalam lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Rencana parkir penduduk akhirnya diimplementasikan untuk mencegah para penglaju dari penggunaan daerah tempat parkir

Page 185: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

172

tersebut pada jam-jam penduduk tersebut menggunakannya. Tetapi menurut sebuah cerita di San Fransisco bay Guardian (Maret 14, 1978), rencana tersebut tidak memperbaiki keadaan parkir penduduk. Sejumlah penglaju di luar distrik kota tersebut cukup mengubah surat tanda pemilikan mobil mereka ke alamat Pantai Utara. Penduduk Pantai Utara –sekarang lebih miskin 10 dollar– masih harus menghabiskan waktu yang banyak mengendarai mobil di seputar blok perumahan mereka.

Pilihlah salah satu dari masalah-masalah ini dan tulislah paper ringkas tentang bagaimana analisis klasikasi, analisis hirarki dan sinektika dapat digunakan untuk merumuskan masalah ini.

7. Susunlah sebuah skenario tentang keadaan dan

situasi-situasi masalah berikut ini dalam tahun

2050:

Ketersediaan sistem pengangkutan publik

massal.

Pengontrolan senjata dan keamanan nasional.

Pencegahan kejahatan dan keselamatan publik

Kualitas sistem sekolah publik.

Keadaan sistem ekologi dunia.

Page 186: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mplementasi kebijakan merupakan tahap yang Ikrusial dalam proses kebijakan publik. Suatu pro-gram kebijakan harus diimplementasikan agar

mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Bab ini akan membicarakan dua hal pokok, yakni menge-nai konsep implementasi dan model-model imple-mentasi kebijakan. Model yang akan dibicarakan dalam bab ini meliputi model implementasi kebijakan yang diperkenalkan oleh Donalds S., Van Meter dan Carl E. Van Horn dan model pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan George C. Edwards III. Dua model ini mempunyai kesamaan dalam aspek-aspek tertentu, sekalipun dalam aspek-aspek lainnya berbeda.

Perbedaan-perbedaan aspek ini tentu saja tidak untuk saling menegasikan satu dengan yang lain, tetapi sebaliknya, perbedaan ini dimaksudkan untuk saling mengisi kekurangan yang mungkin ada untuk masing-masing model implementasi kebijakan yang ditawarkan.

1. Konsep Implementasi KebijakanImplementasi kebijakan dipandang dalam pe-

ngertian yang luas, merupakan alat administrasi hu-kum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan

BAB II

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

173

Page 187: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

teknik yang bekerja bersama-sama untuk menja-lankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output) maupun sebagai hasil.

Sementara itu, Van Meter dan Van Horn mem-batasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tin-dakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebija-kan. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diiden-tifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah Undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.

Setelah melakukan pembatasan mengenai apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan lang-kah berikutnya yang dilakukan oleh Van Meter dan Van Horn adalah memberi perbedaan antara apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan, penca-paian kebijakan dan apa yang secara umum menunjuk kepada dampak kebijakan. Konsep-konsep tersebut merupakan konsep-konsep yang berbeda, walaupun tidak berarti bahwa konsep-konsep ini tidak saling

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

174

Page 188: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

berhubungan satu sama lain. Studi tentang dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan publik seperti dikemukakan Van Meter dan Van Horn meng-kaji konsekuensi-konsekuensi dari suatu keputusan kebijakan.

Studi ini berangkat dari tipe-tipe pertanyaan seperti misalnya, apakah tingkat kecelakaan pengen-dara sepeda motor yang meninggal dunia mengalami penurunan setelah pemerintah dalam hal ini kepolisian mengeluarkan kebijakan pemakaian helm standar bagi pengendara sepeda motor?

Sementara itu, studi implementasi kebijakan memfokuskan diri pada aktivitas atau kegiatan-kegia-tan yang dijalankan untuk menjalankan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, studi kebijakan akan mampu memberi penjelasan ter-hadap salah satu atau lebih kekuatan-kekuatan yang menentukan dampak kebijakan.

Namun demikian, studi implementasi kebijakan yang dibicarakan pada bab ini tidak untuk memecah-kan isu-isu yang mengitari persoalan dampak 'nyata' dari implementasi kebijakan. Model proses imple-mentasi yang diperkenalkan oleh Van Meter dan Van Horn yang akan dibicarakan dalam tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

175

Page 189: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasi-kan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya.

Oleh karena itu, pelaksanaan program yang ber-hasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif.

Seperti telah dibahas pada bab terdahulu dimana kebijakan publik pada dasarnya merupakan suatu pro-ses yang kompleks yang berangkat dari tahap pendefi-nisian masalah hingga evaluasi dampak kebijakan.

Oleh karena itu, implementasi kebijakan meru-pakan salah satu tahap saja dari sekian tahap kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan hanya merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik.

1.1. Studi Implementasi Walaupun para ilmuwan politik yang tertarik

mengkaji kebijakan publik semakin meningkat, na-mun masih relatif sedikit yang diketahui orang menge-nai proses implementasi kebijakan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

176

Page 190: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Keadaan ini akan berdampak negatif dalam dua hal. Pertama, hal ini tentu saja merupakan kekurangan yang tidak menguntungkan dalam usaha memahami proses kebijakan. Kedua, kondisi ini akan lebih men-dorong terjadinya kesempatan/peluang untuk mem-beri saran yang kurang baik pada para pembuat kebi-jakan. Kekurangpahaman terhadap implementasi ke-bijakan mendorong para pengamat segera mengkait-kan kegagalan suatu kebijakan dengan perencanaan yang tidak memadai atau tidak memadainya program itu sendiri ketika mereka dihadapkan dengan suatu program yang tidak berhasil.

Levine, dengan melihat pada kebijakan-kebija-kan sosial secara umum berkesimpulan bahwa kesuli-tan yang berkaitan dengan kebijakan perang melawan kemiskinan tidak berasal dari sifat program seperti misalnya kesulitan-kesulitan administrasi.

Sementara itu, dengan menunjuk kepada ke-mungkinan kesenjangan maksud-maksud dan pernya-taan-pernyataan para pejabat pemerintah (kebijakan) di satu pihak dan pemberian pelayanan-pelayanan publik (pelaksanaan) di lain pihak, Dolbeare dan Hammond berpendapat bahwa sedikit sekali kemung-kinan yang sebenarnya bisa diputuskan dengan keputusan atau undang-undang.

Menurut Dolbeare dan Hammond, pernyataan kebijakan nasional seperti itu mungkin baru merupa-kan permulaan dari proses keputusan dalam menentu-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

177

Page 191: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kan apa yang akan terjadi kepada siapa dan memahami tahap selanjutnya, adalah sangat penting bagi pemaha-man sepenuhnya terhadap politik. Oleh karena itu, studi implementasi menambahkan suatu dimensi baru kepada analisis kebijakan.

Hal ini memberikan suatu pemahaman baru ten-tang bagaimana suatu sistem berhasil atau gagal dalam menterjemahkan tujuan-tujuan kebijakan secara umum ke dalam pelayanan-pelayanan publik yang nyata dan bermakna bagi para peminat politik dan pembuat keputusan.

Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai implementasi kebijakan sering diabaikan oleh ilmu-wan politik. Pertama, mengabaikan studi implemen-tasi kebijakan sebagaian disebabkan oleh asumsi yang naif yang tersirat dalam banyak studi kebijakan.

Mereka mempunyai asumsi bahwa sekali kebija-kan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diingin-kan akan mendekati hasil-hasil yang diharapkan oleh para pembuat kebijakan.

Proses implementasi dianggap merupakan se-rangkaian keputusan-keputusan dan interaksi-inter-aksi biasa yang tidak layak mendapatkan perhatian dan para sarjana yang mencari substansi politik. Im-plementasi seakan-akan merupakan hal yang seder-hana dan nampak tidak mencakup isu-isu besar.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

178

Page 192: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Kedua, pada tahun 1960-an di Amerika Serikat pertumbuhan Sistem Anggaran Belanja, Penyusunan Program dan Perencanaan (PBB) merupakan teknik analisis utama di dalam mengkaji kebijakan. Hal ini telah mendorong para analis kebijakan untuk menga-baikan masalah-masalah implementasi kebijakan. PBB mengkonsentrasikan perhatian para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode-metode yang berbeda dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dipilih.

Mereka memusatkan perhatian terutama pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di Washington DC dengan mengesamping-kan eselon-eselon bawahan dari badan-badan yang bertanggungjawab bagi implementasi.

Perhatian PBB dalam memperbaiki landasan bagi pembuatan kebijakan tidak ditujukan kepada masalah-masalah dalam memberikan pelayanan kebi-jakan, tetapi PBB lebih menekankan sasaran program-program dan sarana-sarana alternatif dalam mencapai sasaran itu.

Fokus seperti itu tidak membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap implementasi atau pelaksanaan program-program publik. Hal inilah yang diperkirakan menjadi salah satu penyebab mengapa studi mengenai implementasi kebijakan mendapatkan perhatian yang tidak begitu besar dari para ilmuwan politik.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

179

Page 193: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Ketiga, beberapa kesulitan seringkali ditemui dalam usaha mengkaji secara terinci proses imple-mentasi kebijakan. Masalah-masalah implementasi adalah sangat kompleks dan para sarjana seringkali di-hambat oleh pertimbangan-pertimbangan metodologi. Bila dihubungkan dengan studi perumusan kebijakan, maka analisis tentang proses implementasi menimbul-kan masalah batas kajian yang sungguh-sungguh. Salah satu kesulitan yang sering muncul adalah dalam upaya membatasi aktor-aktor yang relevan.

Di samping itu, untuk melengkapi studi imple-mentasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya. Tidak seperti bidang legis-latif dan bidang peradilan di mana pemberian-pembe-rian suara seringkali dicatat, keputusan-keputusan dalam lingkungan administratif seringkali menjadi pe-nyebab rendahnya motivasi para ilmuwan politik un-tuk mengkaji implementasi kebijakan publik.

Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa proses implementasi diabaikan oleh para pembuat kebijakan dan analis-analis kebijakan, dan juga tidak berarti bahwa hambatan-hambatan tersebut tidak da-pat diatasi. Beberapa ilmuwan politik maupun pem-buat kebijakan telah mulai mengembangkan studi im-plementasi kebijakan.

Salah satu faktor yang menjadi pendorong adalah akibat dari hasil-hasil yang mengecewakan dari pro-gram-program sosial yang ditetapkan. Beberapa studi

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

180

Page 194: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

telah dilakukan menyangkut program-program sosial yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang membantu pemahaman proses implementasi kebija-kan. Beberapa studi yang dilakukan untuk mengkaji implementasi kebijakan dinilai sangat informatif, na-mun karena kurangnya perspektif teoritik yang dapat digunakan untuk menjadi landasan kerja studi terse-but, maka sumbangan studi-studi inipun sangat terba-tas. Sampai sekarang ini, belum ada ahli yang mem-perkenalkan kerangka kerja teoritik yang dapat digu-nakan untuk menyelidiki implementasi kebijakan. Padahal, tanpa adanya suatu kerangka kerja seperti itu, sulit untuk meningkatkan pemahaman kita tentang proses implementasi dalam bidang-bidang kebijakan yang berbeda.

Sementara itu, masalah implementasi ternyata juga berbeda di negara-negara dunia ketiga dengan di dunia pertama. Di negara-negara dunia ketiga, imple-mentasi merupakan masalah di mana kepentingan-kepentingan pribadi berusaha mencegah birokrasi mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik.

Keadaan ini jarang sekali ditemukan dalam masyarakat barat. Walaupun begitu, masalah imple-mentasi pada umumnya merupakan masalah yang sangat besar, baik di Barat maupun non-Barat sebagai akibat yang ditimbulkan oleh kompleksitas organisasi.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

181

Page 195: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1.2. Perspektif TeoritikBiasanya pembicaraan awal mengenai kerangka

kerja teoritik berangkat dari kebijakan itu sendiri di mana tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan. Di sinilah proses implementasi bermula. Proses imple-mentasi akan berbeda-beda tergantung pada sifat kebi-jakan yang dilaksanakan.

Macam-macam keputusan yang berbeda akan menunjukan karakteristik, struktur-struktur dan hubu-ngan-hubungan antara faktor-faktor yang mempenga-ruhi pelaksanaan kebijakan publik sehingga proses implementasi juga akan mengalami perbedaan.

Van Meier dan Van Horn menggolongkan kebi-jakan-kebijakan menurut dua karakteristik yang ber-beda, yakni: jumlah perubahan yang terjadi dan se-jauhmana konsensus menyangkut tujuan antara peme-ran serta dalam proses implementasi berlangsung. Unsur perubahan merupakan karakteristik yang paling penting setidaknya dalam dua hal. Pertama, imple-mentasi akan dipengaruhi oleh sejauhmana kebijakan menyimpang dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Untuk hal ini, perubahan-peru-bahan inkremental le-bih cenderung menimbulkan tanggapan positif dari- pada perubahan-perubahan drastis (rasional).

Seperti telah dikemukakan sebelumnya peru-bahan inkremental yang didasarkan pada pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya meru-pakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

182

Page 196: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.

Hal ini sangat berbeda dengan perubahan yang didasarkan pada keputusan rasional yang lebih ber-orientasi pada perubahan besar dan mendasar. Akibat-nya, peluang terjadi konflik maupun ketidaksepaka-tan antar pelaku pembuat kebijakan akan sangat besar.

Kedua, proses implementasi akan dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang diperlukan. Ada yang menyarankan bahwa implementasi yang efektif akan sangat mungkin terjadi jika lembaga pelaksana tidak diharuskan melakukan reorganisasi secara drastis. Pandangan ini didukung oleh pendapat yang mengatakan bahwa kegagalan program-program sosial banyak berasal dari meningkatnya tuntutan-tuntutan yang dibuat terhadap struktur-struktur dan prosedur-prosedur adminstratif yang ada.

Kebijakan yang menetapkan perubahan-peru-bahan dalam hubungannya dengan pemeran serta yang terlibat dalam proses implementasi akan lebih sulit dilaksanakan daripada kebijakan-kebijakan yang membutuhkan hanya perubahan kecil dalam hubu-ngan-hubungan yang mantap.

Ciri penting lain dari kebijakan adalah tingkat konflik atau konsensus atas tujuan-tujuan dan sasaran-sasarannya. Ciri ini dilihat dari sejauhmana para peja-bat yang melaksanakan kebijakan mempunyai kesepa-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

183

Page 197: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

katan terhadap tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran pro-gram? Konsensus mungkin tidak akan terjadi bila tin-dakan-tindakan yang berdasarkan nilai dari para peja-bat dan pemimpin menjadi faktor yang paling menen-tukan bagi kebijakan akhir.

Dalam meninjau kembali literature tentang peru-bahan organisasi yang terencana, Gross dan kawan-kawan mengidentifikasikan beberapa faktor yang mempengaruhi konsensus tujuan. Salah satu dari fak-tor-faktor ini adalah sejauhmana para pejabat bawahan (implementors) berperan serta dalam pembuatan ke-putusan kebijakan. Resensi literatur mereka mempe-roleh dukungan bagi argumen-argumen berikut:1. Peran serta menimbulkan semangat staf yang tinggi

dan semangat staf yang tinggi diperlukan bagi im-plementasi yang berhasil.

2. Peran serta menimbulkan komitmen yang besar dan tingkat komitmen yang tinggi diperlukan untuk mempengaruhi perubahan.

3. Peran serta menimbulkan kejelasan yang lebih besar tentang suatu pembaharuan dan kejelasan diperlukan untuk implementasi.

Dengan demikian, peran serta menjadi faktor yang krusial bagi keberhasilan suatu proses imple-mentasi kebijakan. Namun demikian satu hal yang harus digarisbawahi disini adalah kita tidak dapat memperdebatkan bahwa peran serta pejabat-pejabat

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

184

Page 198: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bawahan dalam pembuatan keputusan perlu meng-hasilkan konsensus tujuan. Selain itu, kita juga tidak dapat menyimpulkan bahwa masalah-masalah imple-mentasi dapat dihilangkan sekali konsensus tujuan dicapai.

Gambar 2-1. Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi

Kombinasi dari dua ciri ini akan menghasilkan suatu tipologi kebijakan publik seperti dilukiskan pada gambar di atas. Tidaklah mengherankan bila sejumlah besar kebijakan-kebijakan didapati dalam kategori “perubahan besar/konsensus rendah”, “peru-bahan kecil/konsensus tinggi.” Program-program

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

185

TINGGIRENDAH

JUMLAHPERUBAHAN

BESARKECIL

KONSENSUSTUJUAN

PERUBAHAN BESAR KONSESUS RENDAHPERUBAHAN KECIL KONSESUS TINGGI

Page 199: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang membutuhkan perubahan besar menimbulkan konik tujuan pada pihak aktor-aktor yang bersangku-tan, sementara konsensus tujuan biasanya paling tinggi karena melibatkan perubahan kecil.

Sebaliknya, usaha-usaha yang menyebabkan ke-bijakan-kebijakan perubahan kecil/perubahan tinggi adalah kurang besar. Kebijakan-kebijakan seperti itu direeksikan dalam sifat inkrementalisme, suatu kebi-jakan politik yang menetapkan bahwa keputusan kebi-jakan sekarang secara luas merupakan fungsi keputu-san-keputusan sebelumnya. Kebijakan inkrementalis lebih merupakan kebijakan 'tambal sulam' sehingga menimbulkan kontroversi yang lebih kecil. Kebijakan ini lebih memfokuskan diri pada perbaikan kebijakan sebelumnya dan tidak menyentuh pada perubahan yang mendasar.

Hal ini yang mengakibatkan kontroversi atau ketidaksepakatan yang cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan kebijakan 'bergaya' rasionalis.

Menurut Van Meter dan Van Horn, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam mengembangkan tipologi kebijakan-kebijakan publik, yakni: pertama, kemungkinan implementasi yang efektif akan bergantung sebagian pada tipe kebijakan yang dipertimbangkan.

Misalnya, keberhasilan implementasi kebijakan mengenai pengentasan kemiskinan di Indonesia akan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

186

Page 200: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

berbeda dengan kebijakan untuk penanggulangan kenakalan remaja. Hal ini disebabkan oleh tipe kebi-jakan yang berbeda antara pengentasan kemiskinan dengan penanggulangan kenakalan remaja.

Kedua, faktor-faktor tertentu yang mendorong realisasi atau non-realisasi tujuan-tujuan program akan berbeda dari tipe kebijakan yang satu dengan tipe kebijakan yang lain. Suatu implementasi akan sangat berhasil bila perubahan marginal diperlukan dan konsensus tujuan adalah tinggi. Sebaliknya, bila peru-bahan besar ditetapkan dan konsensus tujuan rendah maka prospek implementasi yang efektif akan sangat diragukan.

Di samping itu, kebijakan-kebijakan perubahan besar/konsensus tinggi diharapkan akan diimplemen-tasikan lebih efektif daripada kebijakan-kebijakan yang mempunyai perubahan kecil dan konsensus rendah.

Dengan demikian, konsensus tujuan akan diha-rapkan pula mempunyai dampak yang besar pada pro-ses implementasi kebijakan daripada unsur peru-bahan. Dengan saran-saran atau hipotesis-hipotesis seperti ini akan mengalihkan perhatian kepada penye-lidikan terhadap faktor-faktor atau variabel-variabel yang tercakup dalam proses implementasi menjadi sesuatu hal yang penting untuk dikaji.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

187

Page 201: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1.3. Model Proses Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu

model dasar yang dilukiskan dalam gambar dibawah ini. Model yang mereka tawarkan mempunyai enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Model ini seperti diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hipotesis-hipotesis yang dapat diuji secara empirik.

Selain itu, indikator-indikator yang memuaskan dapat dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpul-kan. Dengan menggunakan pendekatan masalah seperti ini, dalam pandangan Van Meter dan Van Horn, kita mempunyai harapan yang besar untuk mengurai-kan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan diban-dingkan hanya sekedar menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu cara yang semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Van Meter dan Van Horn sebagai berikut:1. Ukuran-Ukuran Dasar Dan Tujuan-Tujuan

Kebijakan.Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama

terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn, identi-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

188

Page 202: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauhmana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan.

Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebija-kan secara menyeluruh. Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam bebe-rapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha mencip-takan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya.

Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang yang di-pekerjakan dan kemajuan proyek-proyek pembangu-nan yang berhubungan.

Namun demikian, dalam banyak kasus kita me-nemukan beberapa kesulitan besar untuk mengi-dentikasi dan mengukur pencapaian. Ada dua penyebab yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn untuk menjawab mengapa hal ini terjadi. Pertama, mungkin disebabkan oleh bidang program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks. Kedua, mungkin akibat dari kekaburan-kekaburan dan kontradiksi-kontradiksi dalam pernyataan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

189

Page 203: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan. Kadangkala kekaburan dalam ukuran-ukuran

dasar dan tujuan-tujuan sengaja diciptakan oleh pembuat keputusan agar dapat menjamin tanggapan positif dari orang-orang yang diserahi tanggungjawab implementasi pada tingkat-tingkat organisasi yang lain atau sistem penyampaian kajian.

Gambar 2-2. Model Implementasi Kebijakan

Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentikasi dan diukur karena

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

190

Dasar dan Tujuan-Tujuan

Kebijak-sanaan

Sumber-Sumber

Komunikasi antar organisasi dan

kegiattan-kegiatan pelaksanaan

Karakteristik-karakteristik dari

badan-badan pelaksana

Kecendrunganpelaksana-pelaksana

Kondisi-kondisi ekonomi

sosial danpolitik

Pencapaian

Page 204: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbang-kan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari sasaran-sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat keputusan sebagaimana direeksikan dalam banyak dokumen seperti regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus di-deduksikan oleh peneliti perorangan. Pada akhirnya, pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang didukung oleh penelitian.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Di samping ukuran-ukuran dasar dan sasaran-

sasaran kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian

dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-

sumber yang tersedia.

Sumber-sumber layak mendapat perhatian kare-

na menunjang keberhasilan implementasi kebijakan.

Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau

perangsang (incentive) lain yang mendorong dan

memperlancar implementasi yang efektif.

Dalam praktek implementasi kebijakan, kita se-

ringkali mendengar para pejabat maupun pelaksana

mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

191

Page 205: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

untuk membiayai program-program yang telah diren-canakan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus besar kecilnya dana akan menjadi faktor yang menen-tukan keberhasilan implementasi kebijakan.

Empat faktor tambahan lain yang tercakup dalam

model proses implementasi kebijakan seperti yang

dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn adalah

komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan

pelaksanaan, karakteristik-karakteristik badan-badan

pelaksana, lingkungan ekonomi, sosial dan politik

yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi imple-

mentasi; dan kecenderungan (disposition) para pelak-

sana (implementers).

3. Komunikasi Antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan

Implementasi akan berjalan efektif apabila uku-ran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan uku-ran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implementasi, ke-tepatan komunikasinya dengan para pelaksana dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ukuran-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

192

Page 206: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu dinyatakan dengan cukup jelas, sehingga para pelaksana dapat mengeta-hui apa yang diharapkan dari ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan itu.

Komunikasi di dalam dan antara organisasi-orga-nisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menye-barluaskannya , baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi-interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-intrepretasi yang bertenta-ngan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

Oleh karena itu, menurut Van Meter dan Van Horn, prospek-prospek tentang implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan ukuran-uku-ran dan tujuan-tujuan tersebut.

Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

193

Page 207: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

besar bagi pejabat-pejabat tinggi (atasan) untuk men-dorong pelaksana (pejabat-pejabat bawahan) bertin-dak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Para peja-bat dalam organisasi mempunyai pengaruh oleh kare-na posisi hierarkis mereka.

Para pejabat dalam struktur organisasi mempu-nyai kekuasaan personil yang diukur dari: 1) Rekruit-men dan seleksi, 2) penugasan dan relokasi, 3) kenai-kan pangkat dan 4) akhirnya pemecatan. Di samping itu, mereka mempunyai kontrol atas alokasi anggaran belanja pada biro-biro pemerintah dan kantor-kantor daerah yang dapat mereka tingkatkan atau kurangi. Mereka juga mempunyai kewenangan untuk menang-gapi pencapaian kebijakan yang memuaskan atau tidak memuaskan. Selain itu juga, para pejabat-peja-bat ini mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku bawahan.

Penggunaan kekuasaan-kekuasaan normatif dan numeratif adalah paling umum. Misalnya, pemerintah federal di Amerika Serikat seperti dicontohkan oleh Van Meter dan Van Horn, berusaha untuk mempe-ngaruhi kegiatan pemerintah negara bagian dan peme-rintah daerah melalui alokasi dan manipulasi ganja-ran-ganjaran simbolik dan materi.

Salah satu teknik yang paling penting dari pe-ngaruh pemerintah federal di Amerika seperti diung-kapkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah melalui

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

194

Page 208: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sosialisasi, persuasi dan kooptasi para pejabat peme-rintah negara bagian dan daerah.

Dengan mencoba membangun suatu aliansi pro-fessional sekitar organisasi dan misinya, pejabat-pejabat pemerintah federal akan berusaha melindungi sekutu-sekutunya pada tingkat negara bagian dan daerah yang akan menjadi pelaksana implementasi kebijakan mereka dengan sepenuh hati.

Selain itu, cara lain untuk mendapatkan pengaruh adalah dengan mendorong pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah berperan serta dalam suatu program. Prospek untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah federal seringkali dianggap memadai untuk mendorong peran serta mereka dan paling tidak, pemerintah negara bagian dan daerah mau menerima tujuan-tujuan kebijakan pemerintah federal.

Menurut Van Meter dan Van Horn, tahap ini me-rupakan tahap awal yang sangat penting. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pengaruh peme-rintah federal atas aspek-aspek program meningkat sejalan dengan persentase kenaikan sumbangan dana dari pemerintah daerah.

Selain itu, pejabat-pejabat pemerintah federal mungkin mendorong peran serta dan kerjasama pemerintah negara bagian dan daerah dengan pelaya-nan-pelayanan yang bermanfaat. Misalnya, banyak bantuan dianggap dapat memberikan pelayanan-pelayanan ini dengan memberikan persentase dana-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

195

Page 209: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dana program untuk administrasi pada tingkat negara bagian dan daerah; dan pelayanan-pelayanan bantuan yang sangat penting seperti nasihat teknik, bantuan staf dan penelitian mungkin ditawarkan bagi organi-sasi-organisasi yang berperan serta.

Pejabat-pejabat pemerintah federal mungkin mempunyai sarana-sarana paksaan dari bentuk yang halus sampai bentuk penggunaan kekuasaan koersif. Suatu praktik yang umum adalah dengan meminta pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah untuk membuat perencanaan-perencanaan yang terinci bagi pelaksanaan program pemerintah federal. Bila jaminan itu telah diperoleh dari pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah, pemerintah federal akan mengalokasikan dana-dana dengan ang-gapan bahwa dana-dana itu dapat ditarik kembali jika kondisi yang ditentukan dalam perencanaan itu tidak dipenuhi. Dengan cara ini, pejabat-pejabat pemerintah federal memperoleh “ketaatan lebih dulu.”

Suatu strategi yang serupa adalah dengan menen-tukan kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan prosedural, misalnya sistem kaporan dan sistem aku-tansi dalam regulasi-regulasi yang menyertai peneri-maan dana-dana pemerintah federal. Dalam cara ini, pemerintah federal berharap mencapai tujuan-tujuan pokok dari sasaran kebijakannya.

Disamping itu, regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman yang ketat mungkin mendorong pencapaian

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

196

Page 210: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tujuan, sementara pejabat-pejabat pemerintah negara bagian dan daerah berusaha untuk memenuhi persya-ratan-persyaratan pemerintah federal agar dapat mem-peroleh dana, menghindari sanksi-sanksi, dan pada sisi yang lain mengabaikan misi utama dari suatu program.

Pengetahuan terhadap masalah-masalah ini, mendorong pejabat-pejabat pemerintah federal meng-gunakan bentuk-bentuk pengawasan yang lebih dapat diandalkan.Kegiatan-kegiatan seperti kunjungan-kunjungan, evaluasi-evaluasi program, peninjauan kembali dalam bidang administrasi dan bidang penge-lolaan, pemeriksaan keuangan dan mekanisme-meka-nisme feedback, yang mencakup laporan-laporan dari komite-komite penasehat non-pemerintah dibuat untuk memantau unit pemerintah daerah.

Barangkali bentuk yang paling mengancam dari pengaruh pemerintah federal adalah kekuasaannya untuk menarik kembali atau membatalkan dana-dana yang diberikan kepada pemerintah negara bagian dan pemerintah daerah. Ini merupakan senjata akhir dalam sarana pengaruh pemerintah federal. Akan tetapi, senjata ini jarang digunakan.

Dengan demikian, pejabat-pejabat pemerintah federal biasanya mengesampingkan ancaman-anca-man nyata yang dapat merongrong hubungan kerja-sama dengan pejabat-pejabat pelaksana (implemen-tors) dan menimbulkan permusuhan kongres, yang

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

197

Page 211: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pada dasarnya merugikan bagi tujuan-tujuan program. Suatu praktik yang lebih umum adalah pengecualian pemeriksaan keuangan di mana jumlah uang tertentu yang dibutuhkan dikembalikan kepada Departemen Keuangan Federal.

Akhirnya, pengetahuan tentang kemampuan pemerintah federal untuk membatalkan dana dan kesadaran terhadap proses pemeriksaan keuangan yang diatur dapat bertindak sebagai penangkal yang kuat terhadap perilaku yang keliru (dari perspektif pejabat-pejabat atasan). Contoh di atas tentu saja ber-beda dengan kondisi di Indonesia karena corak peme-rintahan Indonesia tidak mendasarkan pada federa-lisme melainkan kesatuan. Namun demikian, apa yang telah dipaparkan di atas setidaknya dapat memberi gambaran bagaimana bentuk-bentuk kekuasaan ter-sebut dijalankan dalam proses implementasi kebija-kan terutama menyangkut penggunaan kekuasaan oleh pejabat yang berada di tingkat atas.

4. Karakteristik Badan-Badan PelaksanaPara peminat politik birokrasi telah mengiden-

tikasikan banyak karakteristik badan-badan adminis-tratif yang telah mempengaruhi pencapaian kebijakan mereka. Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, seperti dinyatakan Van Meter dan Van Horn, maka pembahasan ini tidak bisa lepas dari stuktur birokrasi.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

198

Page 212: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

199

Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteris-tik-karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubu-ngan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.

Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri

struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-

atribut yang tidak formal dari personil mereka. Di

samping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada

ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pemeran-

pemeran serta dalam sistem penyampaian kebijakan.

Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa

unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu

organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

2. Tingkat pengawasan hierarkhis terhadap keputu-

san-keputusan subunit dan proses-proses dalam

badan-badan pelaksana;

3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya

dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan

eksekutif);

4. Vitalitas suatu organisasi;

5. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang

didenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi

horisontal dan vertikal secara bebas serta tingkat

kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komu-

Page 213: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

200

nikasi dengan individu-individu di luar organisasi;

6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan

badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana

keputusan”.

5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

merupakan variabel selanjutnya yang diindentikasi

oleh Van Meter dan Van Horn. Dampak kondisi-

kondisi ekonomi, sosial dan politik pada kebijakan

publik merupakan pusat perhatian yang besar selama

dasawarsa yang lalu.

Para peminat perbandingan politik negara dan

kebijakan pubik secara khusus tertarik dalam meng-

identikasikan pengaruh variabel-variabel lingku-

ngan pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak

dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusan-

keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil,

namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-

faktor ini mungkin punya efek yang mendalam terha-

dap pencapaian badan-badan pelaksana.

Untuk tujuan ilustratif, Van Meter dan Van Horn

mengusulkan agar kita memberi pertimbangan

pernyataan-pernyataan berikut mengenai lingkungan

ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi

yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu

dilaksanakan:

Page 214: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

201

1. Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi

atau organisasi pelaksana cukup mendukung imp-

lementasi yang berhasil?

2. Sejauhmana atau bagaimana kondisi-kondisi eko-

nomi dan sosial yang berlaku akan dipengaruhi

oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan?

3. Apakah sifat pendapat umum, bagaimana penting-

nya isu kebijakan yang berhubungan?

4. Apakah elit-elit mendukung atau menentang im-

plementasi kebijakan?

5. Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau

organisasi pelaksana; apakah ada oposisi atau du-

kungan pengikut bagi kebijakan?

6. Sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan

swasta dimobilisasi untuk mendukung atau me-

nentang kebijakan?

1.4. Kecenderungan Pelaksana (Implementors)Pada taha ini pengalaman-pengalaman subyekti-

tas individu memegang peran yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn berpendapat bahwa setiap kom-ponen dari model yang dibicarakan sebelumnya harus disaring melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yurisdiksi di mana kebijakan tersebut dihasilkan.

Mereka kemudian mengidentikasi tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksana-

Page 215: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

202

kan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemaha-man) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadap-nya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebi-jakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti inilah persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan.

Arah kecenderungan-kecenderungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Para pelak-sana mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tuju-an-tujuan yang terkandung dalam kebijakan-kebija-kan tersebut. Dan begitu sebaliknya, penerimaan ter-hadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebija-kan yang diterima secara luas oleh para pelaksana kebijakan menjadi pendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil.

Page 216: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

203

Menurut Van Meter dan Van Horn, ada beberapa alasan mengapa tujuan-tujuan suatu kebijakan ditolak oleh orang-orang yang bertanggung jawab terhadap implementasi kebijakan tersebut, yakni: tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya mungkin bertentangan dengan sistem nilai pribadi-pribadi para pelaksana, kesetiaan-kesetiaan ekstra organisasi, pe-rasaan akan kepentingan diri sendiri, atau karena hu-bungan-hubungan yang ada dan yang lebih disenangi.

Dengan gejala seperti ini, maka dapat dikatakan dengan bahasa yang lebih singkat bahwa kelompok-kelompok manusia menemui kesulitan untuk melak-sanakan tindakan-tindakan secara efektif karena mereka tidak mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang mendasari tindakan-tindakan tersebut.

Akhirnya, seperti diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, intensitas kecenderungan-kecenderu-ngan pelaksana akan mempengaruhi pencapaian kebijakan. Para pelaksana yang mempunyai pilihan-pilihan negatif mungkin secara terbuka akan menim-bulkan sikap menentang tujuan-tujuan program.

Bila hal ini terjadi, maka persoalan implementasi akan mengundang perdebatan-perdebatan, bawahan mungkin menolak untuk berperan serta dalam program tersebut sama sekali. Selain itu, tingkah laku yang kurang kuat mungkin menyebabkan para pelak-sana mengalihkan perhatian dan mengelak secara sembunyi-sembunyi.

Page 217: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

204

Dalam keadaan seperti itu, Van Meter dan Van Horn menyarankan agar orang melihat kepada peran pengawasan dan pelaksanaan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan efektivitas implementasi. Oleh karena itu, para pengkaji implementasi kebijakan harus mengumpulkan banyak individu yang berasal dari unsur kecenderungan yang beragam.

Kaitan Antara Komponen-Komponen ModelImplementasi merupakan proses yang dinamis,

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi pelaksa-naan suatu kebijakan dalam tahap-tahap awal mung-kin akan mempunyai konsekuensi yang kecil dalam tahap selanjutnya.

Dengan demikian, studi implementasi yang di-lakukan secara longitudinal menjadi sangat penting dimana hubungan-hubungan diidentikasikan pada suatu waktu tidak harus diperpanjang secara klausal pada periode waktu lainnya.

Cara ini menurut Van Meter dan Van Horn, akan mampu mendeskripsikan dan membenarkan secara singkat mengenai beberapa hubungan yang dihipote-siskan sebelumnya.

Sementara itu, setelah disinggung di awal, tang-gapan para pelaksana terhadap kebijakan akan meli-batkan atau didasarkan pada persepsi-persepsi dan interpretasi-interpretasi para pelaksana (implemen-tors) terhadap tujuan-tujuan kebijakan.

Page 218: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan ini akan mempunyai dampak yang tidak langsung pada kecen-derungan para pelaksana melalui kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

Bagi para pejabat, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan landasan dalam berhubu-ngan dengan pelaksana-pelaksana kebijakan dalam organisasi-organisasi lain. Dalam membangun loyali-tas para pelaksana kebijakan, pejabat-pejabat di ting-kat atas dapat menggunakan berbagai cara untuk me-raih tujuan itu, yakni melalui kekuasaan yang bersifat koersif maupun normatif.

Kekuasaan yang bersifat koersif dapat dilakukan melalui kekerasan dan bentuk-bentuk memaksa lainnya. Bentuk-bentuk ancaman berupa pemecatan barangkali menjadi contoh penggunaan kekuasaan jenis ini. Selain itu, para pejabat juga dapat mem-bangun ketaatan bawahan melalui peran serta bawa-han. (para implementors).

Van Meter dan Van Horn membuat kaitan (linkages) yang dibentuk antara sumber-sumber kebijakan dan tiga komponen lainnya. Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan pelaksanaan.

Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan jika ditetapkan oleh keputu-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

205

Page 219: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

san kebijakan dan semangat para pelaksana dapat dicapai hanya jika sumber-sumber yang tersedia ada-lah cukup untuk mendukung kegiatan tersebut.

Pada sisi lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang tersedia, maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi.

Hal sebaliknya juga dapat terjadi. Bila suatu pro-gram tidak mempunyai cukup sumber-sumber pendu-kung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap program akan menurun.

Dengan demikian, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik dari yuris-diksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa tersedianya sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan menimbulkan tuntutan oleh para warganegara swasta dan kelompok-kelom-pok kepentingan yang terorganisir –untuk peran serta dalam implementasi program yang berhasil.

Faktor ini juga akan mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk berperan serta di dalam implementasi kebijakan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

206

Page 220: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dengan kata lain, motivasi mencari keuntungan dari sumber-sumber yang tersedia akan mendorong para pemeran serta baru di dalam proses implementasi kebijakan. Akan tetapi, apabila sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, para warganegara individual dan kepentingan-kepentingan yang terorganisir akan memilih jalan menentang kebijakan berdasarkan perbandingan nilai keuntungan yang didapat dengan biaya yang harus dibayar (misalnya, para pejabat di daerah akan menolak peraturan yang mengurangi nilai otonomi dan sebaliknya akan mendukung segala ma-cam kebijakan yang menguntungkan kedudukannya di daerah).

Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga menga-jukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi, sosial dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu sendiri.

Kondisi-kondisi lingkungan dapat mempunyai pengaruh yang penting pada keinginan dan kemam-puan yurisdiksi atau organisasi dalam mendukung struktur-struktur, vitalitas dan keahlian yang ada dalam badan-badan administratif maupun tingkat dukungan politik yang dimiliki.

Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh pada kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

207

Page 221: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

program begitu berat dan para warganegara swasta kelompok-kelompok kepentingan dimobilisir untuk mendukung suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menerima tujuan-tujuan, ukuran-uku-ran dasar dan sasaran-sasaran kebijakan.

Sebaliknya, bila masalah-masalah tidak berat dan kepentingan-kepentingan tidak terorganisir me-nentang suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih lanjut, Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana melaksanakan suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu.

Akhirnya, variabel-variabel lingkungan ini di-pandang mempunyai pengaruh langsung pada pem-berian-pemberian pelayanan publik. Kondisi-kondisi lingkungan mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderu-ngan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain da-lam model ini juga mempunyai pengaruh terhadap implementasi program.

Bila variabel lingkungan sosial, ekonomi dan politik mempengaruhi implementasi kebijakan, maka hal ini juga berlaku untuk variabel-variabel yang lain. Beberapa kecenderungan-kecenderungan para perso-nil yang ada didalamnya.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

208

Page 222: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sifat jaringan kerja komunikasi, tingkat penga-

wasan hierarkis dan gaya kepemimpinan dapat mem-

pengaruhi identikasi individu terhadap tujuan-tujuan

dan sasaran-sasaran organisasi. Apakah pengaruh

yang ditimbulkannya memper-mudah atau menghala-

ngi implementasi yang efektif tergantung pada orien-

tasi dari badan pelaksana.Kecenderungan-kecenderungan individu pelak-

sana kebijakan juga dapat dipengaruhi oleh ikatan-

ikatan formal dan tidak formal dari badan itu dengan

badan “pembuat kebijakan” atau badan “pelaksana

kebijakan” (misalnya, apakah mereka melakukan

kegiatannya pada tingkat pemerintahan yang sama?

Apakah suatu aliansi yang efektif telah terbentuk

antara penguasa tinggi dan para pejabat pelaksana?).Dalam hal ini, Van Meter dan Van Horn me-

ngemukakan adanya kemungkinan pengaruh yang

interaktif antara komunikasi antar organisasi dan

kegiatan-kegiatan pelaksana serta karakteristik-

karakteristik badan-badan pelaksana. Kegiatan-

kegiatan atau pelaksanaan dan tindakan lanjut

memberikan badan-badan tambahan vitalitas dan

keahlian, yaitu memperbaiki kemampuan mereka

dalam melaksanakan program-program.Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjadi sum-

ber dukungan politik yang mempermudah implemen-

tasi kebijakan secara efektif. Sementara itu, sifat

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

209

Page 223: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut yang mencakup ketentuan bantuan teknik akan dipengaruhi oleh karakteristik badan pelaksana.

Namun demikian, seringkali mekanisme pelak-sanaan yang tersedia bagi para pejabat tidak dapat di-gunakan bila implementasi membutuhkan kerjasama antar organisasi atau antar pemerintah, akibatnya tipe kekuasaan yang digunakan oleh pejabat-pejabat ata-san (misalnya kekuasaan-kekuasaan normatif, renu-meratif atau kekerasan) akan dipengaruhi oleh hubu-ngan-hubungan formal dan tidak formal antara organi-sasi-organisasi pembuat kebijakan dan pelaksana.

Hal ini juga berlaku dalam memilih metode-metode alternatif, apakah tindakan pelaksanaan atau tindakan lanjut. Pada kondisi seperti ini para pejabat penentu kebijakan diharapkan memahami karakteris-tik-karakteristik badan-badan pelaksana.

Badan-badan yang memiliki staf kompeten dan kepemimpinan yang memadai akan membutuhkan bermacam-macam bantuan yang berbeda daripada badan-badan yang mempunyai staf yang tidak kom-peten dan kepemimpinannya tidak memadai.

Demikian pula, badan-badan pelaksana dengan sumber-sumber politik yang terbatas mungkin lebih mudah dipengaruhi oleh kekuasaan koersif daripada badan-badan yang memperoleh dukungan luas dari warganegara dan pejabat-pejabat pemerintah.

210

Page 224: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Pada akhirnya, model yang dikemukakan di atas menjelaskan keempat variabel yang berpengaruh pada proses implementasi kebijakan. Varibel-variabel ter-sebut seperti telah dijelaskan di atas meliputi: ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan; komunikasi antar or-ganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan; karak-teristik-karakteristik dari badan pelaksana; dan kecen-derungan para pelaksana. Pusat perhatian disini pada dasarnya adalah pada tingkat sejauhmana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan ditransmisi-kan kepada para pelaksana dengan jelas, tepat, konsisten dan dalam cara yang tepat pada waktunya.

1.5. Masalah KapasitasVan Meter dan Van Horn juga menyinggung

kapasitas sebagai faktor yang berpengaruh bagi implementasi kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil juga merupakan fungsi dari kemampuan organisasi pelaksana untuk melakukan apa yang diharapkan untuk dikerjakan. Kemampuan untuk melaksanakan kebijakan-kebija-kan mungkin dihambat oleh faktor-faktor seperti staf yang kurang terlatih dan terlalu banyak pekerjaan, informasi yang tidak memadai dan sumber-sumber keuangan atau hambatan-hambatan waktu yang tidak memungkinkan. Menanggapi ketidakmampuan pejabat-pejabat bawahan untuk menaati perintah-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

211

Page 225: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

212

perintah pejabat-pejabatnya, Kaufman seperti dikutip

Van Meter dan Van Horn mengatakan bahwa dihadap-

kan dengan tuntutan-tuntutan, mereka merasa tidak

puas, mereka akan membuat kebijakan-kebijakan

mereka untuk mengatasi keadaan. Kebijakan-kebija-

kan mereka sering tidak bertentangan dengan kebija-

kan-kebijakan pemimpin mereka.Masalah kapasitas ini disoroti dalam keempat

komponen model, yakni: sumber-sumber kebijakan

(sifat dan kuantitas mereka); komunikasi antar-

organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan (penye-

diaan dukungan politik, nasihat dan bantuan (teknik);

karakteristik-karakteristik dari badan-badan pelak-

sana (kompetensi staf, kepemimpinan, vitalitas,

ikatan-ikatan formal dan tidak formal terhadap para

pembuat kebijakan); dan lingkungan ekonomi, sosial

dan politik (pendapat umum, kelompok-kelompok

kepentingan yang terorganisir, kondisi-kondisi

ekonomi dari yurisdiksi). Dengan demikian, persoalan

kapabilitas menyangkut keempat aspek yang telah

dibicarakan diatas.Bagaimana masalah kapasitas ini mempengaruhi

implementasi program di kaji oleh Derthick yang

menganalisis program perkotaan pada masa pemerin-

tahan Johnson. Ia mengungkapkan bukti tentang

bagaimana masalah-masalah kapabilitas dapat

menghalangi implementasi.

Page 226: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Ia melaporkan bahwa pejabat-pejabat pemerin-tah federal menghadapi hambatan-hambatan hukum yang tidak terhitung banyaknya pada waktu mereka mencoba menjual kelebihan tanah dengan harga yang rendah. Disamping itu, pemerintah federal tidak mampu menggunakan secara efektif sumber-sumber dan insentif-insentif yang telah dimiliki.

Karena tergantung pada pejabat-pejabat daerah yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuannya, apapun kekurangan-kekurangan yang ter-dapat dalam kemampuan pejabat-pejabat daerah untuk bertindak secara efektif, yaitu mengumpulkan dukungan publik, mengatasi oposisi dan bentuk suatu organisasi administratif merupakan tanggungjawab pemerintah federal.

Konik-Konlik Kecenderungan Dimensi lain yang dikemukakan oleh Van Meter

dan Van Horn setelah kapabilitas adalah konik-konik kecenderungan. Konik-konik kecenderu-ngan terjadi karena pejabat-pejabat bawahan (para pelaksana) menolak tujuan-tujuan dari pejabat-pejabat atasan mereka. Tujuan-tujuan dan saran-saran mungkin ditolak dengan beberapa alasan, seperti: melanggar nilai-nilai pribadi para pelaksana atau kesetiaan-kesetiaan ekstraorganisasi; tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran itu melanggar arti kepentingan diri para pelaksana; atau mengubah sifat-sifat organi-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

213

Page 227: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sasi dan prosedur-prosedur yang ingin dipertahankan oleh pelaksana.

Menurut Van Meter dan Van Horn, sementara perhatian utama menitikberatkan kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana, perhatian me-nyangkut konik kecenderungan juga dapat diarahkan kepada empat komponen lain dari model yang secara langsung mempengaruhi faktor ini, yakni; sumber-sumber kebijakan, komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, karakteristik-karakte-ristik dari badan pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik dari organisasi atau yurisdiksi pelak-sana. Hal ini berarti bahwa konik kecenderungan yang mungkin terjadi meliputi semua variabel model implementasi kebijakan.

Penelitian menyangkut konik kecenderungan dikemukakan oleh Allison dan Lazin. Allison misal-nya mengatakan bahwa konik antara Presiden Kennedy dan angkatan laut mengenai lokasi blockade Kuba selama krisis rudal tahun 1962 menghasilkan implementasi kebijakan Presiden yang tidak berhasil.

Perlawanan angkatan laut terhadap pemerintah Presiden bahwa blockade ditarik lebih mendekati Kuba memaksa Presiden membiarkan satu atau beberapa kapal Soviet melewati blockade setelah secara resmi dinyatakan berjalan. Sedangkan Lazin yang menganalisis pelaksanaan pengaturan hak-hak sipil dalam perumahan publik juga mengungkapkan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

214

Page 228: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bahhwa tingkah laku dari badan-badan pelaksana dan administrator daerah merupakan faktor-faktor pokok yang menentukan ketaatan.

1.6. Kesimpulan

Kerangka konseptual yang dikemukakan di atas

menggunakan beberapa penjelasan parsial dan pada

dasarnya kurang memadai dalam memberikan

landasan bagi pemahaman yang lebih komprehensif

mengenai proses implementasi.

Secara khusus, model ini mengarahkan perhatian

kepada enam kelompok variabel yang mempengaruhi

pemberian pelayanan publik, yakni: menunjukan rele-

vansi ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan, sumber-

sumber kebijakan, komunikasi antarorganisasi dan

kegiatan-kegiatan, karakteristik-karakteristik dari ba-

dan pelaksana, lingkungan ekonomi, sosial dan politik

yang mempengaruhi yurisdiksi dan organisasi pelak-

san, kapabilitas dan kecenderungan para pelaksana

untuk melaksanakan keputusan-keputusan kebijakan.Kita dapat mengatakan model yang dikembang-

kan oleh Van Meter dan Van Horn ini sebagai model yang menawarkan blueprint untuk menjelaskan dan menganalisa proses implementasi kebijakan dan karena itu, mengusulkan penjelasan-penjelasan bagi pencapaian-pencapaian dan kegagalan-kegagalan program.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

215

Page 229: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dapat dikatakan bahwa studi tentang implemen-tasi, bila dinamis menggunakan pendekatan ini, ba-nyak yang ditawarkan kepada para analis kebijakan dan pembuat kebijakan. Untuk analis kebijakan, studi implementasi menggerakkan pusat perhatian di luar pengukuran dampak kebijakan publik menuju kepada menjelaskan hasil-hasil yang diamati ini. Studi implementasi menyadarkan para pembuat kebijakan pada variabel-variabel yang dapat dimanipulasi untuk memperbaiki pemberian pelayanan-pelayanan publik.

2. Model Implementasi Kebijakan George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan

adalah krusial bagi public administration and public

policy. Implementasi kebijakan adalah tahap pembua-

tan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan kon-

sekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat

yang dipengaruhinya.

Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat

mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari

kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan menga-

lami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplemen-

tasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu

kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan menga-

lami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang di-

implementasikan dengan baik oleh para pelaksana

kebijakan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

216

Page 230: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah perta-nyaan, yakni: prakondisi-prakondisi apa yang diperlu-kan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan-hambatan utama apa yang mengaki-batkan suatu implementasi gagal? Edwards berusaha menjawab dua buah pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial da-lam implementasi kebijakan publik.

Faktor-faktor atau variabel-varibel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur birokrasi. Kita akan membahas satu per satu variabel-variabel tersebut. Tentu saja dari keempat variabel ini terdapat kemiripan dengan model imple-mentasi kebijakan yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn walaupun dalam memberi penjelasan tidak sangat mirip.

Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpangaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara mereeksikan kompleksitas ini dengan memba-has semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhana-kan dan untuk menyederhanakan perlu merinci penje-lasan-penjelasan tentang implementasi dalam kompo-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

217

Page 231: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

nen-komponen utama. Patut diperhatikan di sini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel.

Oleh karenanya, tidak ada variabel tunggal da-lam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dan bagaiaman variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

2.1. Komunikasi

Secara umum Edwards membahas tiga hal pen-

ting dalam proses komunikasi. Kebijakan, yakni trans-

misi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards

persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan

yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan

keputusan harus mengetahu apa yang harus mereka

lakukan keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-

perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat

sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah

itu dapat diikuti. Tentu saja, komunikasi-komunikasi

harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh

para pelaksana. Akan tetapi, banyak hambatan-

hambatan yang menghadang transmisi komunikasi-

komunikasi pelaksanaan dan hambatan-hambatan ini

mungkin menghalangi pelaksanaan kebijakan.Jika kebijakan-kebijakan ingin diimplementasi-

kan sebagaimana mestinya, maka petunjuk-petunjuk

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

218

Page 232: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pelaksanaan tidak hanya harus dipahami, melainkan juga petunjuk-petunjuk pelaksanaan itu harus jelas. Jika petunjuk-petunjuk pelaksanaan tersebut tidak jelas, maka para pelaksana (implementors) akan me-ngalami kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan.

Selain itu, mereka juga akan mempunyai kelelua-saan untuk memaksakan pandangan-pandangan mere-ka sendiri pada implementasi kebijakan, pandangan yang mungkin berbeda dengan pandangan para atasan mereka atau pandangan-pandangan yang seharusnya dijadikan acuan.

TransmisiFaktor pertama yang berpengaruh terhadap

komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Pertama, pertentangan pendapat antara para pelak-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

219

Page 233: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengam-bil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan-kebi-jakan ini akan menimbulkan hambatan-hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana kebijakan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputu-san-keputusan dan perintah-perintah umum.

Kedua, informasi melewati berlapis-lapis hirar-ki birokrasi. Seperti kita ketahui birokrasi mempunyai struktur yang ketat dan cenderung sangat hierarkhis. Kondisi ini sangat mempengaruhi tingkat efektitas komunikasi kebijakan yang dijalankan. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung dan tidak ada-nya saluran-saluran komunikasi yang ditentukan mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.

Ketiga, pada akhirnya penangkapan komunika-si-komunikasi mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan. Kadang-kadang para pelaksana mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba menduga-duga makna komunikasi yang sebenarnya.

Kejelasan Faktor kedua yang dikemukakan Edwards III

adalah kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimple-mentasikan sebagaimana yang diinginkan, maka

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

220

Page 234: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diteri-ma oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komuni-kasi kebijakan tersebut harus jelas.

Seringkali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetap-kan kapan dan baagaimana suatu program dilaksana-kan. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampai-kan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

Namun demikian, ketidakjelasan pesan komuni-kasi kebijakan tidak selalu menghalangi implemen-tasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuh-kan eksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Sesuatu yang sering dihambat oleh instruksi-instruksi yang sangat spesik menyangkut implementasi kebijakan.

Edwards mengidentikasi enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak menggangu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsen-sus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, meng-hindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

221

Page 235: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Konsistensi Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komu-

nikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implemen-tasi kebijakan ingin berlangsung efektif maka perintah-perintah pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan tetapi bila perintah tersebut berten-tangan maka perintah tersebut tidak akan memudah-kan para pelaksana kebijakan melaksanakan tugasnya dengan baik.

Disisi lain, perintah-perintah implementasi kebi-jakan yang tidak konsisten dan mendorong para pelak-sana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan berakibat pada ketidak-efektifan implementasi kebijakan karena tindakan yang sangat longgar besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan tujuan-tujuan kebijakan.

Menurut Edwards, dengan menyelidiki hubu-ngan antara komunikasi dan implementasi, maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan. Dalam situasi se-perti ini, penyimpangan-penyimpangan transmisi me-rupakan sebab utama bagi kegagalan implementasi.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

222

Page 236: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Setelah bagaimana komunikasi beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dijelaskan, Edwards melangkah pembahasan lebih lanjut, yakni menyang-kut bagaimana hambatan dan distorsi komunikasi tersebut dapat dijelaskan?

Jika mereka yang terlibat dalam berbagai tahap implementasi menyetujui suatu kebijakan, mereka lebih cenderung meneruskan komunikasi mengenai kebijakan itu dengan cermat.

Para pembuat kebijakan tingkat tinggi harus me-ngandalkan pejabat-pejabat lain untuk meneruskan dan melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah-perintah mereka.jika suatu kebijakan bertentangan de-ngan pilihan-pilihan pelaksana, maka mereka akan mempunyai kecenderungan menggunakan keleluasa-an mereka untuk mengabaikan atau mendistorsikan-nya. Namun demikian, dalam tahap-tahap tertentu penggunaan keleluasaan ini dapat menyelamatkan pejabat-pejabat dari keputusan-keputusan bodoh yang dibuat dalam kemarahan dan tanpa pemikiran yang wajar. Jika suatu kelompok orang yang relatif kecil dan kohesif bertanggung jawab atas pelaksanaan, maka perintah-perintah implementasi lebih cenderung diteruskan dengan cermat.

Semakin banyak yang harus dijangkau dengan komunikasi-komunikasi, semakin besar kemungkinan kehilangan beberapa di antaranya; dan semakin banyak lapisan birokrasi yang harus dilewati oleh

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

223

Page 237: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pelaksana-pelaksana, maka semakin besar pula peluang perintah tersebut diabaikan dan terdistorsi.

Dalam rangka mengurangi kadar ketidakjelasan komunikasi kebijakan, maka jauh lebih baik jika dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik dikembangkan saluran-saluran komunikasi untuk meneruskan perintah-perintah implementasi, maka semakin tinggi probabilitas perintah-perintah ini diteruskan dengan benar.

Namun demikian, saluran-saluran komunikasi yang telah dikembangkan baik tidak selalu ada. Hal inilah yang sering berakibat pada ketidakefektifan pesan komunikasi yang disampaikan.

Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang di-implementasikan oleh individu-individu swasta mem-punyai kemungkinan kegagalan transmisi yang lebih besar karena tidak adanya saluran-saluran komunikasi dari pejabat-pejabat publik dengan mereka.

Sedangkan bagi para pejabat di birokrasi, mereka cenderung lebih relatif mudah dalam mentransmisi-kan pesan-pesan komunikasi karena saluran-saluran komunikasi yang lebih baik.

Biasanya masalah-masalah transmisi timbul dari tujuan penerimaan komunikasi maupun tujuan pengiriman. Semakin besar suatu kebijakan mendo-rong persepsi selektif dan ketidaksamaan untuk me-ngetahui kebijakan dan implementasi-implementasi-nya, maka semakin tinggi probabilitas kebijakan itu

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

224

Page 238: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tidak difahami dengan cermat oleh para pelaku kebi-jakan. Proses-proses kognitif yang halus ini pada akhirnya akan bercampur dengan transmisi.

Kembali pada faktor kejelasan pesan yang di-sampaikan kepada para pelaksana kebijakan, menurut Edwards, perintah-perintah komunikasi yang tidak menentukan tujuan-tujuan dari suatu kebijakan dan bagaimana mencapai tujuan-tujuan itu adalah umum. Seperti telah disinggung dimuka, jika komunikasi-komunikasi (mencakup keputusan-keputusan penga-dilan) itu tidak jelas, para pelaksana akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk menginterpretasikan persyaratan-persyaratan kebijakan.

Dalam beberapa kasus pelaksana-pelaksana sama sekali tidak memahami tujuan-tujuan suatu kebi-jakan atau persyaratan-persyaratan operasional. Sedangkan dalam beberapa kasus lain, para pelaksana membuat usaha untuk mengeksploitasi kekaburan da-lam komunikasi dengan tujuan membantu kebijakan-kebijakan atau badan-badan kepentingan mereka sendiri. Selain itu, kurangnya kejelasan mungkin menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diha-rapkan karena kekaburan dieksploitasi untuk mem-bantu kepentingan-kepentingan tertentu, baik dalam sektor publik maupun dalam sektor swasta.

Kekaburan juga memberikan suatu lingkungan yang menyebabkan para pelaksana dapat dengan mudah salah menafsirkan maksud-maksud “yang

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

225

Page 239: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sebenarnya” di belakang komunikasi kebijakan yang dijalankan oleh para pembuat keputusan.

Salah tafsir ini sering merugikan tujuan umum suatu kebijakan. Usaha yang dilakukan untuk menghi-langkan keleluasaan para pelaksana di dalam mengin-terpretasikan pesan komunikasi adalah dengan me-nyatakan dengan jelas persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan keuntungan, menghilangkan pilihan-pilihan, merencanakan prosedur-prosedur dengan hati-hati dan memerlukan laporan tindakan secara terinci. Namun demikian, walaupun secara umum lebih mudah menghilangkan perilaku tertentu, tetapi kebanyakan implementasi membutuhkan tindakan-tindakan yang kompleks dan positif.

Faktor-faktor lain yang menghalangi pejabat atasan dalam mengirimkan komunikasi-komunikasi implementasi yang jelas adalah usaha para pejabat ini untuk menghindari kelompok-kelompok yang menen-tang dalam masyarakat. Lebih umum, beberapa peja-bat khususnya para legislator mungkin ingin menghin-dari pertanggungjawaban keputusan-keputusan mereka.

Dengan demikian, mereka ingin membuat kebi-jakan-kebijakan yang kabur dan menyerahkan kepada pejabat-pejabat dalam cabang-cabang lain untuk me-nerapkan suatu peraturan atau undang-undang. Kurangnya pengetahuan professional atau pemaha-man tentang suatu bidang kebijakan di antara pejabat-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

226

Page 240: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pejabat tinggi mungkin akan membatasi kejelasan petunjuk-petunjuk yang mereka keluarkan.

Pada akhirnya, faktor yang menjadi penyebab utama keputusan keputusan kebijakan yang kabur adalah kurangnya konsensus yang sering terjadi me-ngenai tujuan-tujuan kebijakan. Para pembuat keputu-san seringkali tidak mencoba menyebarkan tujuan.

Tujuan Tujuan-tujuan khusus membuat mereka mengha-

dapi kesulitan untuk membantu koalisi-koalisi yang mendukung di antara kepentingan-kepentingan yang berbeda. Lebih dari itu, bila keputusan membutuhkan kesepakatan dari beberapa orang yang mempunyai kedudukan atau pengaruh yang sama, seperti dalam lembaga-lembaga legislatif dan pengadilan-pengadi-lan yang berwenang untuk meninjau kembali keputu-san hakim, kebijakan lebih cenderung kabur karena seringkali membutuhkan kompromi yang besar mengenai hal-hal khusus agar dapat mencapai suatu keputusan.

Yang berhubungan, tetapi secara konseptual berbeda, dari kejelasan komunikasi-komunksi adalah konsistensi. Bila para pelaksana perintah-perintah tidak konsisten, mereka pasti tidak mampu dalam menghadapi semua tuntutan yang dibuat mereka. Mereka mungkin secara efektif tumbuh atau mereka memilih antara petunjuk-petunjuk atas dasar apa yang

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

227

Page 241: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mereka pilih.Penjelasan mengenai bagaimana komunikasi

implementasi yang tidak konsisten sama seperti pen-jelasan bagi kurangnya kejelasan pesan komunikasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsistensi keputusan menyangkut: kerumitan kebijakan publik, masalah-masalah yang mengawali program-program baru dan akibat banyak ketidakjelasan tujuan. Ketidak konsisten seperti halnya kekaburan berasal dari sema-kin besarnya kepentingan yang bersaing yang beru-saha untuk mempengaruhi implementasi kebijakan.

Keadaan ini akan mendorong kemungkinan perintah-perintah implementasi yang tidak konsisten. Akhirnya, semakin besar perhatian para pembuat keputusan terhadap preseden yang menjungkirbalik-kan, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan mereka yang Nampak tidak konsisten.

2.2. Sumber-Sumber

Perintah-perintah implementasi kemungkinan

diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi

jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang

diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan,

maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif.

Dengan demikian, sumber-sumber dapat meru-pakan

faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan

publik. Sumber-sumber yang penting meliputi:

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

228

Page 242: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Staf. Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Ada satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Hal ini berarti bahwa jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implemen-tasi yang berhasil.

Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif.

Kasus rendahnya kualitas pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat digunakan seringkali dikatakan lamban dan cenderung tidak e-sien. Penyebabnya bukan terletak pada kurangnya staf yang menanggani pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demi-kian, tidaklah cukup hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan.

Para pelaksana harus memiliki ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Kurangnya personil yang terlatih dengan pekerjaan. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan dapat menghambat pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang menjangkau banyak pembaruan.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

229

Page 243: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Salah satu masalah yang dihadapi oleh peme-rintah adalah sedikitnya pejabat yang mempunyai latar belakang professional dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator, dan dengan demikian tidak lagi menggunakan ketrampi-lan-ketrampilan professional mereka.

Lagipula, mereka seringkali tidak mempunyai keahlian pengelolaan yang dibutuhkan bagi kedudu-kan-kedudukan mereka yang baru. Latihan-latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat minim, sehingga kemampuan professional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat.

Sementara itu, pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat-pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat. Para peja-bat ini kurang menanamkan pengembangan ketram-pilan jangka panjang.

Di samping itu juga para pejabat karir sendiri tidak menekankan latihan pengelolaan. Karena itu ada yang menyarankan perlunya kompetensi pengelolaan sebagai kriteria kenaikan pangkat. Hal ini dimaksud-kan untuk memberikan insentif guna memperoleh kecakapan-kecakapan tersebut.

Kurangnya ketrampilan-ketrampilan pengelo-laan merupakan masalah besar yang dihadapi peme-rintah daerah (dan mungkin juga pemerintah pusat). Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber yang dapat digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

230

Page 244: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahan-kan administrator-administrator yang kompeten kare-na pada umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja me-reka rendah.

Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang lebih baik.

Persoalan yang lain berangkat dari pemrakarsa program kebijakan dan pembiayaan program-program kebijakan. Suatu program kebijakan seringkali dipra-karsai oleh badan-badan legislatif dan pembiayaan mengenai program tersebut diserahkan kepada eksekutif. Akibatnya, para administrator kebijakan seringkali tidak menerima dana yang memadai untuk membayar jumlah dan tipe personil yang dibutuhkan guna melaksanakan kebijakan tersebut.

Pengangkatan pegawai yang tidak memadai merupakan masalah yang besar bagi program-program yang baru. Hal ini disebabkan keterbatasan waktu untuk membentuk staf dan alokasi dana yang cukup sehingga kebijakan-kebijakan seringkali diteri-ma hanya pada tahap permulaan pelaksanaan.

Namun demikian, uang tidak selalu merupakan jawaban terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul. Dalam kenyataannya, dana yang besar tidak

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

231

Page 245: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

selalu mudah mendapatkan personil yang trampil. Hal ini terjadi karena pemerintah mengatur persoalan-persoalan teknis dengan sangat tinggi.

Sesuatu yang justru menghambat implementasi kebijakan yang efektif. Selain itu, kadang-kadang personil-personil yang dibutuhkan ada tetapi tidak mau dipekerjakan karena mereka lebih suka bekerja di sektor swasta dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi dan keluwesan yang lebih besar. Pada saat yang lain, staf yang dibutuhkan mungkin benar-benar tidak ada dan suatu badan pemerintah harus menanamkan modalnya untuk mengembangkan keahlian.

Informasi. Informasi merupakan sumber pen-ting yang kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, infor-masi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebi-jakan. Pelaksana-pelaksana perlu mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melaku-kannya. Dengan demikian, para pelaksana kebijakan, harus diberi petunjuk untuk melaksanakan kebijakan.

Seperti telah dibahas dalam aspek terdahulu, yakni menyangkut faktor-faktor komunikasi, ketidak-jelasan pesan komunikasi kebijakan akan mengham-bat keberhasilan implementasi. Bentuk kedua dari informasi adalah data tentang ketaatan personil-perso-nil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

232

Page 246: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mentaati undang-undang ataukah tidak.Informasi mengenai program-program adalah

penting terutama bagi kebijakan-kebijakan baru atau kebijakan-kebijakan yang melibatkan persoalan-persoalan teknis seperti misalnya kebijakan mengenai otonomi daerah dan rumah sakit swadana. Kegiatan-kegiatan rutin, seperti membagi dana, membangun jalan-jalan, mempekerjakan pengetik atau membeli barang-barang relatif langsung dalam pelaksanaan-nya, dan informasi tentang bagaimana melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut banyak.

Tidak demikian halnya dengan pelaksana-pelaksana suatu kebijakan baru, seperti otonomi dae-rah dan kebijakan pemerintah mengenai rumah sakit swadana tadi. Para pelaksana kebijakan baru dijelas-kan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut harus dilaksanakan.

Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan mempu-nyai beberapa konsekuensi secara langsung. Pertama, beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau tidak dapat menyebab-kan unit-unit pemerintahan lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengka-pan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.

Selain itu, implementasi kebijakan sering kali membutuhkan informasi tentang ketaatan dari organi-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

233

Page 247: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sasi-organisasi atau individu-individu dengan hukum. Akan tetapi, data tentang ketaatan biasanya sulit

diperoleh. Hal ini disebabkan kurangnya staf yang mampu memberikan informasi mengenai ketidak-taatan hukum yang mungkin dilakukan. Menyan-darkan pada informasi dari mereka yang dianggap melakukan ketaatan menimbulkan persoalan-persoa-lan menyangkut implementasi yang efektif.

Selain birokrasi pemerintah, implementasi kebi-jakan juga bergantung terutama pada individu-individu dalam sektor swasta. Sayangnya, warga ne-gara di luar struktur birokrasi seringkali tidak mem-prakarsai tindakan atau memberikan informasi mengenai ketidaktaatan hukum.

Misalnya, dalam kasus di Amerika Serikat orang-orang yang paling mungkin mendapatkan diskrimi-nasi dalam perumahan, pekerjaan, kredit dan pendidi-kan adalah mereka yang kurang mempunyai pendidi-kan sehingga mereka tidak mempunyai cukup penge-tahuan mengenai undang-undang antidiskriminasi dan bagaimana cara memperbaikinya.

Selain itu, karena kehidupan mereka yang miskin mereka juga sangat sedikit sekali kemungkinan mempunyai sumber-sumber untuk memenuhi tuntu-tan-tuntutan mereka dan seringkali tidak menerima bantuan luar yang diperlukan.Di samping itu, mereka biasanya harus tetap berhubungan dengan pihak lawan mereka, seperti pengusaha-pengusaha, para pemilik

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

234

Page 248: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tanah luas, dan bank-bank, mereka mungkin takut akan mendapat balasan atas usaha-usaha mereka da-lam memperoleh hak-hak mereka. Banyak kebijakan publik yang seringkali tidak dilaksanakan karena publik tidak mengetahui apa yang harus dilakukan atau bagaiman memantau ketaatan.

Wewenang. Sumber lain yang penting dalam pe-laksanaan adalah wewenang. Wewenang ini akan ber-beda-beda dari satu program ke program yang lain serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda, seperti misalnya: hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk datang ke pengadilan, mengajukan masalah-masalah ke pengadilan, mengeluarkan perintah kepa-da para pejabat lain, menarik dana dari suatu program, menyediakan dana, staf dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah, membeli barang-barang dan jasa, atau memungut pajak.

Namun demikian dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut sebagai wewenang di atas kertas, seringkali salah dimengerti oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang cukup substansial.

Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang terse-but digunakan secara efektif adalah hal lain. Dengan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

235

Page 249: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut.

Menurut Edwards, kita dapat memahami menga-pa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Misalnya, pemerintah bisa saja dengan menggunakan wewenang yang dimiliki menarik kembali atau menghentikan dana untuk pemerintah.

Memutuskan dana adalah suatu tindakan yang drastis. Tindakan ini mungkin memalukan semua per-sonil yang terlibat dan mendorong rasa benci para pelaksana suatu program. Pada satu sisi, memutuskan dana bantuan pemerintah pusat dari beberapa proyek akan menjauhkan anggota-anggota legislatif dari daerah-daerah yang kehilangan dana.

Dengan demikian, menarik kembali dana, sekalipun suatu sanksi yang secara potensial berat bagi para pelaksana, dalam kenyataanya tidak selalu memungkinkan. Penarikan dana hanya relevan bagi kebijakan-kebijakan dimana pemerintah pusat mem-beri dana kepada pemerintah daerah atau organisasi-organisasi swasta. Namun biasanya, pemerintah jarang sekali membatalkan dana jika salah satu dari komponennya tidak melaksanakan suatu program secara efektif.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

236

Page 250: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Terdapat banyak pembatasan pada penggunaan wewenang yang efektif. Sekalipun demikian, sanksi-sanksi dapat memainkan peranan yang penting dalam pelaksanaan kebijakan. Pejabat-pejabat daerah mung-kin ingin mentaati perintah dari yurisdiksi yang lebih tinggi, tetapi takut melakukan pengorbanan politik ka-rena oposisi dari para pemilihnya.

Dalam hal-hal demikian ini, ancaman sanksi-sanksi dapat memberikan mereka perlindungan politik yang penting. Tentunya, sanksi-sanksi mungkin juga mempunyai peranan langsung di dalam memperbaiki pelaksanaan kebijakan.

Kurangnya wewenang yang efektif disadari oleh para pejabat dan karena itu, mereka membutuhkan kerjasama dengan pelaksana-pelaksana lain jika mereka ingin melaksanakan program-program dengan berhasil. Para pejabat dari yurisdiksi tingkat tinggi dalam menangani implementasi biasanya meminta bantuan pejabat-pejabat dari yurisdiksi tingkat rendah daripada pandangan memaksakan keinginan dari yurisdiksi tingkat tinggi kepada mereka. para pejabat pada tingkat yurisdiksi yang lebih tinggi ini sering meminta pandangan (sharing) kepada pejabat di tingkat yang lebih rendah atau para pelaksana tentang bagaimana mengimplementasikan kebijakan.

Menurut Edwards, dengan cara seperti ini seti-daknya ada dua keuntungan yang dapat diraih, perta-ma, mendorong keterlibatan para pelaksana kebijakan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

237

Page 251: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

sehingga pada akhirnya akan mendorong partisipasi. Kedua, mengeliminasi penolakan yang mungkin timbul dari para pelaksana kebijakan. Minimal, para pelaksana kebijakan memberikan apa yang diminta oleh para perumus kebijakan publik.

Pemahaman terhadap wewenang barangkali akan menjadi lebih baik bila kita mendiskusikan wewenang yang dikemukakan oleh Lindblom. Lindblom menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami dengan sebaik-baiknya kalau kita mengenal dua jalur dimana berbagai orang menggunakan metode kontrol. Pada jalur pertama, setiapkali bila seorang ingin menggunakan metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode kontrol (antara lain persuasi, ancaman dan tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang akan dikontrolnya.

Pada jalur kedua, pihak pengontrol hanya ka-dang-kadang saja menggunakan metode-metode itu untuk membujuk orang-orang yang dikontrolnya agar mentaati peraturan yang ada bahwa mereka harus tunduk terhadapnya. Untuk jalur kedua ini, Lindblom menegaskan bahwa hanya jalur kedua yang menetap-kan kewenangan.

Seperti yang diungkapkan Lindblom, jika saya mentaati peraturan untuk tunduk kepada anda, maka anda mempunyai kewenangan terhadap saya. Dengan demikian, merujuk pada jalur kedua yang dikemuka-kan oleh Lindblom ini maka kontrol tidak berarti

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

238

Page 252: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kewenangan, sebab kewenangan ada hanya jika satu pihak bersepakat terhadap dirinya sendiri untuk mentaati aturan yang dikemukakan oleh pihak lain.

Dari sini lantas Lindblom mengemukakan ciri-ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukarela maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang tersedia tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni; pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kedua, kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, di-bujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.

Fasilitas-fasilitas. Fasilitas sik mungkin pula merupakan sumber-sumber penting dalam implemen-tasi. Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perleng-kapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.

Sebagai contoh, implementasi kebijakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekolah dasar tidak akan berhasil, bila tidak dilengkapi dengan gedung sekolah yang memadai, buku-buku sebagai bahan pelajaran, kurangnya tenaga pendidikan dan lain sebagainya.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

239

Page 253: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dan banyak contoh lain lagi yang menunjukkan kekurangan fasilitas yang dibutuhkan akan mengham-bat implementasi kebijakan yang efektif. Dengan demikian, fasilitas yang diperlukan untuk menjalan-kan implementasi kebijakan yang efektif sangat pen-ting. Akibat-akibat dari kekurangan fasilitas-fasilitas itu mungkin dramatis.

Misalnya, rumah-rumah tahanan yang penuh sesak, secara umum dipandang sebagai latar belakang berkembangnya perilaku kriminal. Sementara itu, kekurangan buku-buku yang memadai di sekolah-sekolah dan laboratorium-laboratorium di bawah stan-dar di universitas-universitas kecil kemungkinan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang mutunya rendah. Demikian halnya dengan kekuatan militer yang tidak mempunyai perlengkapan yang memadai tidak dapat menjamin keamanan nasional secara optimal.

Dalam kondisi seperti ini, suatu pertanyaan yang layak diajukan disini menurut Edwards adalah bagaimana para pelaksana mendapatkan fasilitas dan perlengkapan yang mereka butuhkan? Walaupun pertanyaan ini nampaknya sederhana, tetapi dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk menjawabnya. Masyarakat yang dibebani dalam soal keuangan pada umumnya tidak ingin pajak mereka dinaikkan untuk membayar fasilitas-fasilitas baru. Di samping itu, orang seringkali menentang .

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

240

Page 254: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2.3. Kecenderungan-Kecenderungan Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan

merupakan faktor ketiga yang mempunyai konse-kuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebi-jakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melak-sanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.

Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain.

Hal ini berakibat pada semakin terbukanya inter-pretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab inter-pretasi yang terlalu bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya.

Mengingat pentingnya kecenderungan-kecende-rungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka perlu disini dibahas dampak dari kecenderu-ngan-kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

241

Page 255: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dampak dari kecenderungan-kecenderungan. Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk ke dalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksana-kan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung de-ngan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana.

Jika orang diminta untuk melaksanakan perin-tah-perintah yang mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi, yakni antara keputusan-keputusan kebijakan dan penca-paian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana kebijakan akan menggunakan kelelua-saan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi.

Para pejabat dalam birokrasi pemerintah meru-pakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan penting dalam mengetahui pengaruh-pengaruh ter-tentu pada kecenderungan-kecenderungan atau ting-kah laku mereka, bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan swasta/nonpeme-rintah.

Badan-badan birokrasi pemerintah mempunyai beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan swasta lainnya. Pertama, badan-badan birokrasi pemerintah lebih bersifat homogen.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

242

Page 256: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model rekruitmen staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka yang tertarik bekerja dalam badan-badan pemerintah mungkin mendukung kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu, apakah kebija-kan-kebijakan itu menyangkut bidang-bidang kese-jahteraan sosial, pertanian atau pertahanan nasional. Badan-badan seperti ini lebih suka mempekerjakan orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama sehingga mendorong timbulnya suatu lingkungan yang secara relatif seragam dimana pembuatan kebija-kan dilakukan.

Kedua, aspek lain yang merupakan sifat badan pemerintah adalah berkembangnya pandangan-pandangan parokial. Di samping rekruitmen personil-personil yang mempunyai kesamaan pikiran, aspek-aspek lain dari kehidupan organisasi membantu perkembangan pandangan-pandangan parokial di kalangan birokrat. Sifat parokialisme ini didukung oleh beberapa faktor, yakni: pertama, terlalu sedikit-nya jumlah pembuat keputusan tingkat tinggi yang menghabiskan masa jabatannya dalam suatu badan atau departemen. Karena orang ingin percaya apa yang mereka lakukan untuk hidupnya, maka hubu-ngan-hubungan lama akan sangat mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Misalnya, aliasi badan merupakan peramal yang baik dari kebanyakan ting-kah laku-tingkah laku kebijakan dari pegawai-pega-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

243

Page 257: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

wai sipil tingkat tinggi daripada latar belakang pribadai mereka. Satu hasil dari pengelompokan ini adalah bahwa komunikasi-komunikasi antar organi-sasi terutama berlaku di kalangan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut.

Faktor kedua adalah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan Edwards, kita sering menemukan fakta bahwa bila kelompok-kelompok kepentingan dan komite-komite dalam badan legislatif mendukung suatu badan, maka mereka mengharapkan imbalan dukungan birokrasi yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini akan menciptakan suatu lingkungan yang baik bagi per-kembangan parokialisme.

Pandangan parokialisme ini mempunyai pe-ngaruh yang cukup kuat bagi implementasi kebijakan yang efektif. Beberapa pejabat diangkat dengan alasan-alasan politik dan dalam waktu yang singkat. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan panda-ngan-pandangan unit birokrasi yang sempit. Keter-gantungan pejabat-pejabat tersebut pada pejabat-pejabat bawahan karena ingin mendapatkan informasi dan nasihat, kebutuhan untuk mempertahankan moral organisasi dengan mendukung pandangan-pandangan yang ada akhirnya mendorong pejabat-pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

244

Page 258: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu, para pelaksana akan cenderung melihat kepentingan organisasi mereka sebagai prioritas yang tinggi. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara para pembuat keputusan puncak dan mendorong ketidakefektifan implementasi kebijakan.

Pengangkatan birokrat. Kecenderungan-kecen-derungan pelaksana menimbulkan hambatan-hamba-tan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi, mengapa mereka tidak diganti dengan orang yang lebih bertang-gung jawab kepada pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita dapat menunjuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat eksekutif oleh presiden.

Dalam pengangkatan pejabat-pejabat tinggi, presiden sering menemui hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan bahwa pengangkatan pejabat-pejabat tinggi harus menunjukkan perimbangan geogras, ideologi, kesukuan, seks, dan karakteristik-karakteristik kependudukan lain yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabat-pejabat tinggi ini hanya beberapa saja dari jumlah

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

245

Page 259: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat.

Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada pertim-bangan-pertimbangan politik, seperti misalnya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan pendukung-pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landa-san bagi terciptanya administrasi yang sehat.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengang-katan pejabat tinggi akan menghambat implementasi kebijakan yang efektif. Terlebih bila pengangkatan pejabat tinggi tersebut semata-mata untuk menam-pung berbagai kelompok yang ada di masyarakat, maka besar kemungkinan akan menghancurkan kebi-jakan itu sendiri. Hal ini terjadi karena pengangkatan seperti itu hanya akan menguntungkan dilihat dari perspektif politik, tetapi konsekuensinya akan mendo-rong perbedaan yang besar dengan presiden.

Beberapa insentif. Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Menurut Edwards, salah satu teknik

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

246

Page 260: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderu-ngan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif-insentif.

Oleh karena pada umumnya orang bertindak me-nurut kepentingan mereka sendiri, maka manipulasi insentif-insentif oleh para pembuat kebijakan tingkat tinggi besar kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana kebijakan.

Dengan cara menambah keuntungan-keuntu-ngan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan men-jadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi (self interest), organisasi atau kebijakan substansif.

KesimpulanPara pelaksana mempunyai keleluasaan yang

besar dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan. Komunikasi-komunikasi dari para pejabat di tingkat atas seringkali tidak jelas atau tidak konsisten dan sebagian besar pelaksana menyukai kebebasan yang besar dari para pejabat di atasnya. Beberapa kebijakan dapat digolongkan ke dalam “zona ketidakacuhan” para administrator.

Kebijakan-kebijakan yang masuk ke dalam “zona ketidakacuhan” ini mungkin bertentangan de-ngan pandangan-pandangan kebijakan substansif para

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

247

Page 261: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pelaksana atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi mereka, disinilah kecenderungan-kecende-rungan menimbulkan hambatan-hambatan terhadap implementasi.

Beberapa sifat birokrasi membatasi perspektif pejabat-pejabat pemerintah terhadap kebijakan substansif dan kepentingan organisasi mereka. Orang-orang yang mempunyai orientas yang sama, menyetu-jui tujuan-tujuan dari kegiatan-kegiatan suatu badan cenderung tertarik untuk bekerja dalam badan terse-but. Bagi orang-orang yang menyukai kegiatan-kegiatan pemerintah pada umumnya cenderung ingin bekerja di sektor publik dan sekali mereka bekerja da-lam suatu badan, maka orang-orang tersebut cende-rung menghabiskan masa kerjanya di situ, melaksa-nakan tanggung jawab yang sedikit sempit dalam hu-bungannya dengan tanggung jawab pemerintahan se-cara menyeluruh. Semua ini menimbulkan suatu ling-kungan yang secara relatif homogen bagi pembuat keputusan dan memudahkan pandangan-pandangan parokial berkembang.

Menguatnya parokialisme juga berasal dari manipulasi ganjaran-ganjaran dalam setiap badan. Kenaikan-kenaikan pangkat berjalan hanya kepada mereka yang menerima tujuan-tujuan organisasi yang sudah ada dan pendekatan-pendekatan untuk men-capai tujuan-tujuan itu. Orang yang mempunyai we-wenang lain juga seringkali menginginkan pelayanan-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

248

Page 262: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pelayanan terus berlanjut sebagaimana yang mereka miliki pada masa lalu.

Para pelaksana mungkin bereaksi terhadap kebijakan-kebijakan tidak hanya dari suatu pandangan parokial yang sebenarnya, tetapi juga dari pandangan-pandangan untuk melindungi kepentingan organisasi. Kondisi seperti ini memberikan dasar bagi kesalahan dalam implementasi kebjakan karena kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan kesalahan ini akan muncul dalam banyak bentuk.

Kecenderungan-kecenderungan mungkin meng-halangi implementasi bila para pelaksana benar-benar tidak sepakat dengan substansi suatu kebijakan. Kadang-kadang implementasi dihambat oleh keada-an-keadaan yang sangat kompleks, seperti bila para pelaksana menangguhkan pelaksanaan suatu kebija-kan yang mereka setujui dalam rencananya untuk meningkatkan kemungkinan-kemungkinan mencapai tujuan kebijakan lain yang berbeda.

Di samping itu, para pelaksana mungkin meng-hindari dampak sepenuhnya dari suatu kebijakan dengan memandang secara selektif persyaratan-per-syaratan, mengabaikan paling tidak beberapa persya-ratan yang bertentangan dengan pandangan-panda-ngan mereka.

Unit-unit birokrasi yang berbeda mungkin mem-punyai pandangan-pandangan yang berbeda menge-nai kebijakan-kebijakan. Ketidaksepakatan dalam dan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

249

Page 263: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

antara badan-badan menghalangi kerjasama dan menghambat implementasi. Dalam suatu bidang kebi-jakan masing-masing badan yang berhubungan mung-kin mempunyai prioritas-prioritas yang berbeda, ko-mitmen-komitmen yang berbeda, dan cara cara penanggulangan masalah-masalah berbeda.

Perbedaan seperti ini akan menimbulkan perbe-daan antara personil-personil dengan tanggung jawab program dalam suatu badan. Perbedaan-perbedaan ini tidak menunjang dalam menciptakan kepercayaan bersama dan hubungan-hubungan kerja yang akrab yang seringkali diperlukan bagi implementasi yang efektif.

Sementara itu, implementasi juga dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan organisasi maupun pandangan-pandangan kebijakan. Unit-unit birokrasi akan memberikan prioritas dalam hal waktu maupun sumber guna melaksanakan program-program yang dipandang utama dan akan mengurangi alokasi waktu maupun sumber-sumber untuk implementasi pro-gram-program yang dianggap sekunder.

Organisasi-organisasi mungkin mencoba mem-bangun dan memperkuat kembali misi-misi utama mereka. hal ini mungkin menimbulkan distorsi dalam implementasi karena terjadi tawar menawar antar or-ganisasi atau sumber-sumber. Kadang-kadang keputu-san banyak tergantung pada keterampilan-ketrampi-lan dalam pertentangan-pertentangan birokrasi dari

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

250

Page 264: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pada bergantung pada kriteria penggunaan sumber-sumber yang efektif dan esien.

Badan-badan juga menentang usaha-usaha ba-dan-badan lain untuk mengambil, mengurangi atau berperan serta dalam fungsi-fungsi utama dan sumber-sumber mereka. Serupa pula, mereka menentang usaha-usaha pejabat tinggi untuk berperan serta dalam pem-buatan kebijakan dan mengkoordinasi berbagai kegia-tan dengan badan-badan lain.

Kepentingan-kepentingan organisasi seperti ini besar kemungkinan menghambat implementasi karena organisasi-organisasi gagal dalam bekerjasama satu sama lain dan memboroskan sumber-sumber dalam pertentangan birokrasi.

Individu-individu di luar sektor pemerintahan atau birokrasi juga mempunyai pengaruh bagi imple-mentasi kebijakan. Sebagian besar penduduk yang terlibat dalam pelaksanaan satu atau lebih kebijakan dan usaha-usaha pelaksanaanya pada umumnya tidak sangat tampak.

Dengan demikian potensi untuk melakukan kesalahan dalam implementasi adalah besar jika war-ganegara-warganegara tidak menyetujui suatu kebija-kan. Kecenderungan-kecenderungan dari para indivi-du swasta terhadap tipe-tipe tertentu dari sistem-sis-tem pemberian pelayanan mungkin juga menghalangi pelaksanaan karena mencegah orang-orang mengam-bil keuntungan dari manfaat-manfaat yang ada.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

251

Page 265: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Kecenderungan-kecenderungan para pelaksana menimbulkan hambatan-hambatan terhadap imple-mentasi kebijakan, tetapi pejabat-pejabat tinggi mem-punyai kemampuan yang terbatas untuk mengganti personil yang ada dengan orang-orang yang lebih tanggap terhadap kebijakan yang telah mereka putus-kan. Hanya sebagian kecil dari unit birokrasi yang ditunjuk menjadi kepala eksekutif dari suatu yuris-diksi pemerintah dan banyak pengangkatan personil yang dilakukan tanpa penelitian bakat yang sistematis dan lengkap. Hal ini disebabkan oleh alokasi waktu yang terbatas untuk mengalokasikan keputusan-keputusan personil dan banyaknya hambatan politik yang membatasi kelompok orang-orang yang akan ditunjuk menjadi personil-personil tersebut.

Persoalan seperti ini muncul karena adanya tun-tutan untuk perimbangan, kebutuhan untuk menye-nangkan para pemilik, dan keinginan untuk tidak men-jauhkan orang-orang yang telah menduduki jabatan pemerintah. Selain itu, keputusan-keputusan personil juga dibatasi oleh kurangnya pengetahuan pejabat-pejabat tinggi tentang orang-orang yang berbakat.

Oleh karena para pelaksana memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan publik, maka usaha-usaha untuk memperbaiki kecenderungan-kecenderungan mereka menjadi penting. Salah satu yang dapat dilakukan untuk itu adalah dengan memberikan insentif.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

252

Page 266: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Namun cara ini juga mempunyai beberapa kelemahan. Misalnya, kenaikan gaji para birokrat dalam kenyataannya tidak berlaku spesik, tetapi berlaku untuk setiap orang sedangkan kemampuan pemerintah juga seringkali terbatas untuk menaikkan gaji tersebut. Akibatnya, para birokrat mempunyai motivasi yang rendah untuk melaksanakan kebijakan publik karena imbalan yang didapat kurang memadai.

Sementara itu, dampak dari ganjaran-ganjaran mungkin dikurangi oleh dua faktor. Pertama, mereka yang sebenarnya mempunyai kontrol atas distribusi dari ganjaran-ganjaran apa yang berlaku mungkin bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan. Kedua, tekanan kelompok mungkin membatasi lebih lanjut dampak dari ganjaran-ganja-ran karena para pelaksana menanggapi hal ini dengan siapa mereka bekerja dan pada siapa mereka bergan-tung pada pekerjaan mereka.

Para penguasa kadang-kadang menawarkan “bahan pemanis” dalam bentuk dana-dana atau regu-lasi-regulasi yang longgar kepada pemerintah daerah atau perubahan-perubahan pajak kepada pelaksana-pelaksana di sektor swasta untuk mendorong perilaku yang akan membantu pelaksana kebijakan-kebijakan tertentu. Akan tetapi, lebih khusus para penguasa mengandalkan pada sanksi-sanksi negatif.

Selain itu, dalam pemberian insentif masalah akan muncul menyangkut penentuan tingkat-tingkat

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

253

Page 267: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

insentif, yakni bagaimana mencapai tujuan sekali in-sentif ditetapkan, suatu isu yang penting dalam peng-gunaan insentif adalah mengukur pencapaian, jika ini dilakukan tanpa sensitivitas terhadap tujuan-tujuan kebijakan yang berbeda-beda dan kesulitan tugas-tugas yang dilaksanakan, penggantian tujuan mungkin terjadi.

Pengembangan kriteria keberhasilan adalah sangat sulit karena tujuan-tujuan yang kabur dan ber-beda, ukuran hasil-hasil yang jelek dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang kabur. Dengan demikian, ukuran-ukuran yang digunakan kadang-kadang men-dorong para pelaksana untuk mengejar di luar tujuan-tujuan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat atasan mereka.

2.4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang

paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi

pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau

tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk

kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan

masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern.

Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerin-

tah, tetapi juga berada dalam organisasi-organisasi

swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendi-

dikan dan kadangkala suatu sistem birokrasi sengaja

diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

254

Page 268: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tertentu. Ripley dan Franklin, berdasarkan penga-matan dilakukan terhadap birokrasi di Amerika Seri-kat, mengidentikasi enam karakteristik birokrasi, yakni: Pertama, birokrasi dimanapun berada dipilih sebagai instrument sosial yang ditujukan untuk masalah-masalah yang didenisikan sebagai urusan publik. Kedua, birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap. Ketiga, birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. Keempat, fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks. Kelima, birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. Keenam, birok-rasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan kebijakan mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal di luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar-menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan-pilihan yang mereka ambil.

Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diung-kapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan.

Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mung-kin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

255

Page 269: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melaku-kannya, tetapi dalam pelaksanaannya mereka mung-kin masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut.

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standar Operating Procedurs (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kom-pleks dan tersebar luas. Yang kedua berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepen-tingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.

Perbedaan ini akan berpengaruh di dalam imple-mentasi kebijakan dalam beberapa hal, yakni bahwa perbedaan-perbedaan ini acapkali menghalangi peru-bahan-perubahan dalam kebijakan, memboroskan sumber-sumber, menimbulkan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, menghalangi kondisi, membi-ngungkan pejabat-pejabat pada yurisdiksi tingkat yang lebih rendah menyebabkan kebijakan-kebijakan berjalan dengan tujuan-tujuan yang berlawanan dan menyebabkan beberapa kebijakan menempati antara keretakan-keretakan batas-batas organisasi.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

256

Page 270: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

2.5. Pengaruh Struktur Organisasi Bagi Implementasi (SOP)

Struktur organisasi-organisasi yang melaksana-

kan kebijakan mempunyai pengaruh penting pada

implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural

paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-

prosedur kerja ukuran dasarnya (Standard Operating

Procedurs, SOP). Prosedur-prosedur biasa ini dalam

menanggulangi keadaan-keadaan umum digunakan

dalam organisasi-organisasi publik dan swasta.

Dengan menggunakan SOP, para pelaksana

dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu,

SOP juga menyeragamkan tindakan-tindakan dari

para pejabat dalam organisasi-organisasi yang kom-

pleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat

menimbulkan eksibilitas yang besar (orang dapat

dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tem-

pat yang lain) dan kesamaan yang besar dalam penera-

pan peraturan-peraturan.

Kurangnya sumber-sumber yang diperlukan

untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan

semestinya membantu dalam menjelaskan penggu-

naan SOP yang berulang-ulang. Para pelaksana jarang

mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan

seksama dan secara individual setiap keadaan yang

mereka hadapi. Sebaliknya, mereka mengandalkan

pada prosedur-prosedur biasa yang menyederhanakan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

257

Page 271: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

pembuatan keputusan dan menyesuaikan tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada.

Sekali prosedur-prosedur biasa ditetapka, maka

akan cenderung tetap berlaku. Hal ini akan mengun-

tungkan para pelaksan kebijakan karena kondisi seper-

ti ini ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas

dan kurangnya konik serta biaya yang tinggi dalam

mengembangkan SOP, telah mendorong pelestarian

status quo.

Namun demikian, prosedur-prosedur biasa yang

dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan

untuk menyelesaikan keadaan-keadaan baru atau

program-program baru. Kelemahan ini akan tampak

selama krisis bila nuansa-nuansa dalam kebijakan

mungkin secara khusus penting dan SOP mungkin

tidak sesuai dengan kebijakan yang lebih rutin.

Kebanyakan organisasi sering mempunyai kesulitan

untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Cara-cara yang lazim seringkali ditetapkan terhadap

tanggung jawab-tanggung jawab baru, tetapi cara-cara

ini mungkin menghalangi implementasi dengan

membatasi eksibilitas yang diperlukan untuk me-

nanggapi keadaan-keadaan baru; menghambat pe-

ngangkatan personil dengan keterampilan-keteram-

pilan yang baik dan tidak mendorong pengembangan

teknik-teknik kerja yang tepat. Kadang-kadang orga-

nisasi-organisasi bahkan menghindari tanggung

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

258

Page 272: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

jawab yang baru karena pemimpin-pemimpin mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang lazim ditetapkan.

Disamping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran dasar, pemakaian waktu dan pembo-rosan dapat menghambat implementasi. Setiap kom-ponen dalam sistem yang harus menjelaskan program-program atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas bagi tindakan pada program-program ter-tentu. Sementara pada sisi yang lain, prioritas-prioritas untuk program-program biasa tidak sama besarnya dengan perhatian untuk program-program baru. Biasanya program-program baru mendapat prioritas yang lebih baik. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk satu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan-keadaan dimana cara-cara tersebut tidak diperlukan sama sekali. Hal ini berarti bahwa suatu cara tertentu yang berhasil untuk implementasi kebijakan belum tentu berhasil untuk implementasi kebijakan yang lain.

SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Di samping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

259

Page 273: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

implementasi. Birokrasi-birokrasi dimana SOP tidak sangat melekat –apakah karena badan yang baru atau tingkat pergantian personil yang tinggi mungkin lebih tanggap terhadap kebutuhan bagi cara-cara yang lazim untuk implementasi. Sementara itu, waktu yang lama dan perilaku yang ditentukan dengan jelas dalam undang-undang mungkin membantu dalam mengatasi cara-cara lazim birokrasi yang tidak semestinya.

Namun demikian, di samping menghambat im-plementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur pe-rencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas pro-gram-program yang luwes mungkin lebih dapat me-nyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birok-rasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.

2.6. Fragmentasi Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpe-

ngaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmen-tasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara beberapa organi-sasi, seringkali pula tejadi desentralisasi kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan kebijakan.

Kongres dan lembaga-lembaga legislatif lain mencantumkan banyak badan secara terpisah dalam undang-undang agar dapat mengamatinya lebih teliti dan dalam usaha menentukan perilaku mereka.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

260

Page 274: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sementara itu, badan-badan yang ada bertenta-ngan satu sama lain untuk mempertahankan fungsi-fungsi mereka dan menentang usaha-usaha yang memungkinkan mereka mengkoordinasi kebijakan-kebijakan dengan badan-badan yang melaksanakan program-program yang berhubungan.

Hal ini disebabkan oleh kecemasan akan kekura-ngan akses khusus yang mereka miliki terhadap peja-bat-pejabat atau mengubah secara besar prioritas-prio-ritas dari program-program yang ada. Selain itu, ke-lompok-kelompok kepentingan juga akan mempunyai pengaruh dalam mendorong fragmentasi. Sifat multi-dimensi dari banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi.

Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal, penyebaran wewenang dan sum-ber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpe-cah-pecah. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, se-makin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Frag-mentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lebaga birokrasi.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

261

Page 275: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Hal ini menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Di samping itu, karena masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terdampar antara retak-retak struktur organisasi. Kedua, pandangan-panda-ngan yang sempit dari badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mem-punyai eksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.

2.7. Masalah dan ProspekPembuatan kebijakan tidak berakhir dengan

rancangan undang-undang itu ditetapkan, pemerintah, eksekutif atau pengaturan administratif dikeluarkan, atau keputusan pengadilan dijatuhkan. Sebagaimana telah kita bicarakan sebelumnya, pelaksanaan dari keputusan-keputusan ini mungkin mempunyai dampak yang besar pada hasil-hasil kebijakan. Dalam melaksanakan kebijakan maupun dalam perumusan-nya, penyesuaian-penyesuaian harus dibuat terhadap

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

262

Page 276: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kepentingan-kepentingan politik, langkanya sumber-sumber, sifat birokrasi dan sistem politik.

Bagian akhir tulisan ini akan membicarakan pe-nyelesaian kebijakan sebagai fragmentasi organisasi. Fragmentasi organisasi ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap implementasi kebijakan.

Tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa organisasi, sering-kali dengan radikal mendesentralisasikan kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Lembaga legislatif biasanya mencantumkan banyak badan secara terpisah dalam undang-undang agar dapat mengamatinya secara lebih teliti dan menentu-kan perilaku mereka.

Sementara itu, badan-badan yang ada berten-tangan satu sama lain untuk mempertahankan fungsi-fungsi yang berbeda dan menentang usaha-usaha yang memungkinkan badan-badan ini bekerjasama antara satu dengan yang lain untuk melaksanakan program-program yang saling berhubungan.

Kecemasan bahwa konsolidasi badan-badan akan mengurangi akses khusus mereka kepada peja-bat-pejabat atau mengubah secara besar prioritas-prio-ritas dari program-program yang ada, akan mendo-rong mereka untuk menghambat proses konsolidasi. Sementara itu, kelompok-kelompok kepentingan mungkin pula akan mendorong fragmentasi.

Kondisi ini akan berpengaruh secara langsung

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

263

Page 277: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

terhadap faktor-faktor komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan dan struktur birokrasi pada pelaksanaan kebijakan. Akan tetapi, di samping secara langsung mempengaruhi implementasi kebi-jaksanaan melalui dampak pada masing-masing faktor. Dengan perkataan lain, komunikasi-komuni-kasi mempengaruhi sumber-sumber, kecenderungan- kecenderungan dan struktur-struktur birokrasi, yang pada gilirannya mempengaruhi implementasi.

Gambar dibawah ini menjelaskan interaksi-interaksi tersebut. Salah satu tinjauan yang singkat dari beberapa hubungan dari faktor-faktor ini terhadap satu sama lain akan menjelaskan peranan mereka dalam proses implementasi.

Gambar 2-3. Dampak Langsung dan Tidak Langsung Pada Implementasi

KOMUNIKASI

IMPLEMENTASI

SUMBER-SUMBER

KECENDRUNGAN-KECENDRUNGAN

STRUKTUR ORGANISASI

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

264

Page 278: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Petunjuk-petunjuk yang tidak diteruskan dengan akurat, jelas atau konsisten akan memberikan peluang bagi para pelaksana untuk secara leluasa menanggapi petunjuk-petunjuk tersebut. Keleluasaan ini mungkin digunakan secara langsung atau dengan menformu-lasikan perintah-perintah bagi pejabat-pejabat tingkat bawah. Seringkali keleluasaan ini diberikan maka akan timbul kecenderungan-kecenderungan yang akan berpengaruh pada bagaimana para pelaksana akan menggunakan keleluasaaan mereka.

Serupa dengan itu, keleluasaan yang diberikan oleh komunikasi-komunikasi yang sangat terinci mungkin mengurangi semangat dan kebebasan para pelaksana. Menimbulkan penggantian tujuan dan memboroskan sumber-sumber yang tersedia, seperti keterampilan staf, kreatitas dan penyesuaian.

Dengan demikian, dampak komunikasi-komuni-kasi pada implementasi tidak hanya langsung, tetapi juga dirasakan melalui kaitan-kaitan (lingkages) dengan sumber-sumber, kecenderungan-kecenderu-ngan dan struktur-struktur birokrasi.

Sumber-sumber juga secara tidak langsung mempengaruhi implementasi. Sumber-sumber berin-teraksi dengan komunikasi-komunikasi dalam bebe-rapa cara. Staf yang tidak memadai dapat menghalangi transmisi petunjuk-petunjuk kebijakan. Kurangnya informasi dari para pejabat tinggi seringkali merupa-kan sebab kekaburan dalam perintah-perintah imple-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

265

Page 279: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mentasi. Persepsi-persepsi dari para pelaksana terha-dap komunikasi-komunikasi implementasi mungkin dihambat oleh kurangnya waktu untuk memberikan perhatian yang penuh kepada perintah-perintah. SOP pada dasarnya merupakan sebagian reaksi terhadap sumber-sumber yang terbatas.

Sumber-sumber mungkin mempengaruhi pera-nan kecenderungan-kecenderungan dalam implemen-tasi. Jika sumber-sumbernya banyak, individu-indi-vidu dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam implementasi akan relatif kurang bersaing untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadi dan organisasi mereka. Disamping itu, semakin besar sumber-sumber yang tersedia kepada suatu badan, maka semakin mudah bagi badan itu untuk mengubah prioritas-prioritas dalam menanggapi tuntutan kebija-kan baru.

Sebaliknya, staf yang terbatas dan kurangnya wewenang akan mengurangi kemampuan para pejabat untuk mengontrol pejabat dibawahnya, apakah de-ngan memantau perilaku, memberikan insentif atau menggunakan sanksi-saksi. Kondisi ini pada akhirnya akan mendorong kesempatan bagi implementasi yang lebih mereeksikan kecendrungan-kecendrungan para pejabat yang berasal dari yurisdiksi tingkat yang lebiÌ rendah.

Kecendrungan-kecendrungan para pelaksana akan berpengaruh pada bagaimana para pelaksana

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

266

Page 280: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

menafsirkan pesan-pesan komunikasi yang mereka terima. Cara pelaksana menafsirkan pesan komunikasi ini pada akhirnya akan berpengaruh pada bagaimana mereka menyusun kembali pesan-pesan komunikasi untuk kemudian diteruskan kepada pejabat dibawah-nya. Seperti telah disinggung sebelumnya, struktur hi-rarkihis akan berpengaruh pada cara seseorang mem-persepsi sebuah pesan komunikasi. Disinilah penga-ruh kecendrungan-kecendrungan tersebut terhadap komunikasi yang pada akhirnya juga akan berpenga-ruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan.

Kecendrungan para pelaksana kebijakan juga akan berpengaruh pada penggunaan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan. Bila suatu program mempunyai misi utama yang berbeda dengan badan-badan pelaksana. Maka pelaksanaan program tersebut cenderung akan didistorsi. Oleh karena ini, para per-sonel badan tersebut mungkin akan mengalokasikan prioritas yang rendah dan sumber-sumber yang terba-tas kepada kebijakan. Kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana mungkin mendorong penggunaan dan pemeliharaan SOP yang menguntungkan bagi para pelaksana, tetapi bertentangan dengan implemen-tasi. Lebih lanjut, kecendrungan-kecenderungan akan menyebabkan fragmentasi birokrasi karena unit-unit organisasi berebut sumber-sumber dan otonom. Kon-disi seperti ini seringkali menjadi sumber pemborosan yang tidak perlu.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

267

Page 281: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Sementara itu, struktur birokrasi pemerintahan yang terpecah-pecah akan meningkatkan probabilitas kegagalan komunikasi. Semakin banyak orang yang harus menerima perintah-perintah implementasi, maka semakin besar pula kemungkinan-kemungkinan pesan distorsi. Fragmentasi membatasi dengan jelas kemampuan para pejabat tinggi untuk mengkoordina-sikan semua sumber yang tersedia bagi suatu yuris-diksi. Disamping itu, ketidakesienan yang melekat dalam fragmentasi dan dalam SOP akan berakibat pa-da pemborosan sumber-sumber yang langka.

Fragmentasi mempengaruhi kecenderungan-kecendrungan dalam beberapa hal. Pertama, pem-bentukan banyak badan dengan tanggung jawab-tang-gung jawab yang sempit akan mendorong pengemba-ngan perilaku parokial. Perilaku ini pada gilirannya akan mengakibatkan pertentangan birokrasi dan ku-rangnya kerjasama. Kedua, semakin terbukanya ak-ses bagi kepentingan-kepentingan swasta. Hal ini akan meningkatkan para pelaksana agar bertindak atas da-sar kecenderungan-kecenderungan pribadi daripada berdasarkan perintah-perintah atasan mereka.

2.8. Kebijakan-Kebijakan yang Cenderung Mengha-dapi MasalahSetiap kebijakan yang dijalankan oleh peme-

rintah tidak selamanya berjalan dengan baik. Banyak kebijakan menghadapi masalah dalam proses imple-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

268

Page 282: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mentasinya. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, implementasi kebijakan merupakan proses yang kom-plek. Situasi seperti ini akan mendorong timbulnya masalah-masalah yang rumit dalam implementasi kebijakan.

Pada sisi yang lain, kebijakan juga sering tidak mendapat dukungan yang memadai bahkan cenderung mendapat tantangan dari kelompok-kelompok kepen-tingan maupun dari para pelaku kebijakan itu sendiri. Orientasi individu maupun orientasi organisasi akan menjadi salah satu faktor pendorong dalam proses-proses penanganan tersebut.

Untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang secara potensial dapat megundang masalah, kita tidak lagi dapat menggunakan tipe-tipe kebijakan sepertti yang telah dijelaskan sebelumnya. Tipologi kebijakan yang ditawarkan oleh Lowi yang membagi kebijakan ke dalam kebijakan distributif, kebijakan pengaturan dan kebijakan redistributif tidak lagi cukup memadai untuk menjelaskan masalah-masalah kebijakan yang potensial timbul. Oleh Karena itu, diperlukan kate-gori-kategori baru. Enam tipe kebijakan yang mem-punyai potensi untuk menimbulkan masalah yaitu:1. Kebijakan baru. Sesuai dengan istilah yang dipa-

kai, kebijakan baru merupakan tipe kebijakan yang sama sekali baru. Sifat baru dari tipe kebijakan ini membuat kebijakan baru sukar dilaksanakan. Ada beberapa alasan yang dapat diajukan untuk mem-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

269

Page 283: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

perkuat proposisi ini. Pertama, saluran-saluran komunikasi yang maju belum dibangun. Padahal sebagaiman telah dibahas dalam model imple-mentasi kebijakan di atas, komunikasi meme-gang peranan penting dalam mendorong terjadi-nya implementasi kebijakan yang efektif. Kedua, tujuan-tujuan yang ditetapkan seringkali tidak jelas. Ketiga, Oleh karena kebijakan ini merupa-kan kebijakan baru, maka ada kecenderungan tujuan-tujuan yang tidak jelas tipe kebijakan yang baru cenderung juga menghadapi ketidakkonsis-tenan petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Keempat, program-program baru mempunyai kemungki-nan besar menghadapi langkanya sumber-sumber. Informasi tentang bagaimana melaksanakan suatu program baru untuk mencapai tujuan-tujuan yang kurang tersedia. Demikian pula, mungkin tidak tersedia staf yang memadai untuk melaksanakan program. Selain itu, program-program baru juga cenderung kekurangan personil yang terampil. Badan-badan yang ada acapkali menerima tang-gung jawab program baru yang tidak sebanding dengan pertambahan staf. Kelima, jika suatu program baru dipandang tidak konsisten dengan misi utama badan pelaksana saat ini, maka program tersebut akan cenderung mendapat prioritas dan sumber yang rendah dari para pelaksana. Keenam, program-program baru

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

270

Page 284: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

seringkali membutuhkan tindakan-tindakan yang tidak konsisten dengan cara yang telah lazim dilakukan. Ketujuh, kebijakan baru mungkin diubah oleh para pelaksana untuk menyesuaikan dengan SOP lama yang tidak tepat. Dengan demikian, faktor penyebab utama kegagalan tipe kebijakan baru adalah karena belum dipenuhi syarat-syarat yang akan kita pakai, masing-ma-sing model menjelaskan baik secara eksplisit mau-pun implicit bahwa implementasi kebijakan mem-butuhkan syarat-syarat tertentu untuk berhasil. Dalam tipe kebijakan baru, masalah timbul karena kurang tersedianya syarat-syarat tersebut, seperti misalnya kejelasan tujuan, kurangnya staf yang memadai dan lain sebagainya.

2. Kebijakan yang didesentralisasikan. Kebijakan-kebijakan yang membutuhkan usaha-usaha imple-mentasi yang sangat didesentralisasikan sering-kali menghadapi masalah-masalah implementasi. Implementasi yang didesentralisasikan berarti melibatkan banyak orang. Kebijakan-kebijakan yang masuk kategori ini adalah pelaksanaan hukum, hal-hak sipil, perlindungan konsumen, bantuan-bantuan pendidikan pemerintah, perlin-dungan lingkungan, dan lain-lain. Untuk menge-tahui bagaimana melaksanakan kebijakan-kebija-kan yang didesentralisasikan, setiap orang harus menerima perintah-perintah. Akan tetapi, saluran-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

271

Page 285: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

saluran transmisi seringkali masih belum baik terutama untuk orang-orang berada pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah atau di sektor swasta. Semakin banyak organisasi yang harus dilalui oleh komunikasi, maka semakin banyak pula orang yang harus merincinya. Hal ini akan mendorong timbulnya distorsi. Jarak yang jauh antara pelaksana dengan perumus kebijakan juga akan mendorong terjadinya kesalahpahaman. Kesalahpahaman ini dapat terjadi secara kebetu-lan maupun karena persepsi selektif yang dilaku-kan oleh para pelaksana kebijakan.

Sumber-sumber merupakan faktor yang krusial dalam implementasi yang didesentralisasikan. Semakin besar pelaksana-pelaksana terlibat, maka semakin besar pula prilaku orang harus dipantau. Namun, informasi tentang hasil kerja para pelaksana seringkali kurang tersedia. Hal ini pada akhirnya akan menghambat proses pengawa-san yang ingin dijalankan. Desentralisasi kebija-kan pada akhirnya juga akan mendorong terjadi-nya fragmentasi. Kondisi seperti ini, seperti telah dijelaskan di awal, akan banyak menimbulkan masalah dalam implementasi kebijakan. Dengan demikian, dalam tipe kebijakan terdesentralisasi ada dua masalah dasar yang akan timbul, pertama, persoalan komunikasi dan kedua, per-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

272

Page 286: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

soalan pengawasan. Persoalan komunikasi karena banyaknya aktor yang harus menerima pesan komunikasi sementara kondisi ini akan mendo-rong terjadinya distorsi komunikasi. Persoalan kedua adalah persoalan pengawasan. Staf yang banyak dalam implementasi pada satu sisi akan menjadi sumber yang potensial bagi implementasi kebijakan, namun pada sisi yang lain akan menim-bulkan masalah dalam pengawasannya. Kedua model yang ditawarkan sebelumnya barangkali dapat menjelaskan latar belakang mengapa per-soalan-persoalan seperti ini timbul.

3. Kebijakan kontroversial. Suatu kebijakan yang berasal dari hasil perdebatan seringkali membu-tuhkan ketentuan-ketentuan yang kabur. Kebija-kan seperti ini harus mengkompromikan banyak kepentingan yang saling bersebrangan. Tujuan-tujuan kebijakan yang ingin diraih harus mencer-minkan tujuan dari para koalisi pendukungnya. Sementara itu, kekaburan dalam ketentuan-ketentuan kebijakan akan mendorong lembaga legislatif untuk menghindari tanggungjawab dengan membiarkan eksekutif atau komisi penga-turan mendapat kecaman bila undang-undang diterapkan menurut keadaan-keadaan tertentu. Di samping itu, kebijakan yang kontroversial sering-kali mendorong pihak-pihak yang berkepentingan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

273

Page 287: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

untuk mempengaruhi para pelaksana sehingga menimbulkan petunjuk-petunjuk kebijakan yang tidak konsisten. Selain itu, petunjuk-petunjuk kebijakan yang kabur memberikan keleluasaan kepada para pelaksana di sektor pemerintah dan di sektor swasta. Dengan keleluasaan itu, para pelaksana bertindak atas dasar kecenderungan-kecenderungan mereka. Pelaksana-pelaksan mungkin cenderung tidak sepakat terhadap suatu kebijakan yang kontroversial dan karena itu, mengabaikan beberapa persyaratan atau paling tidak mempunyai pandangan yang selektif terhadap persyaratan-persyaratan itu. Di samping itu, kepentingan-kepentingan kebijakan yang berbeda ketika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan organisasi dan pribadi dari para pelaksana akan mendorong perlawanan dari para pelaksana. Perlawanan seperti ini akan semakin berkembang dalam suatu lingkungan di mana pejabat-pejabat tinggi kurang mempunyai wewe-nang dan personil untuk memantau implementasi.

4. Kebijakan-kebijakan yang kompleks. Kebijakan yang kompleks mempunyai unsur-unsur yang serupa dengan kebijakan-kebijakan yang kontro-versial. Kebijakan-kebijakan yang kompleks biasanya mempunyai banyak tujuan dan karena kebijakan-kebijakan itu begitu rumit, para pem-buat kebijakan puncak seringkali tidak mengeta-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

274

Page 288: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

hui bagaimana menetapkan secara khusus. Akibatnya undang-undang menyangkut kebijakan cenderung kabur. Kondisi ini akan memberikan keleluasaan kepada para pelaksana dalam melaku-kan interpretasi, walaupun harus tetap diberi cata-tan bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang terlalu ketat juga akan menghambat implementasi kebijakan, karena petunjuk yang terlalu ketat akan menghambat kreatitas atau inisiatif dari para pelaksana. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang kompleks seringkali mencakup persoalan-persoa-lan yang sangat teknis dan implementasi mungkin dihambat orang kurang tersedianya personil yang terampil.

5. Kebijakan yang berhubungan dengan krisis. Krisis-krisis, terutama yang melibatkan negara-negara lain, menimbulkan beban khusus dalam pelaksanaan kebijakan. Tidaklah mungkin untuk berkomunikasi dengan lawan-lawannya, khusus-nya jika suatu rezim baru berkuasa. Dalam suatu krisis mungkin tidak ada waktu untuk membuat saluran-saluran komunikasi baru. Pesan-pesan diplomatik yang dikirimkan antara negara-negara yang bermusuhan seringkali tidak jelas dan sulit untuk menjelaskan, paling tidak dalam waktu yang pendek. Sumber-sumber mungkin merupa-kan masalah pula, baik karena tidak tersedia (sebagaimana dalam kasus unit militer yang besar

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

275

Page 289: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dan bergerak cepat) atau karena kegagalan-kegagalan (sebagaimana dalam kasus helikopter-helikopter yang tidak berfungsi di gurun pasir Iran). Keadaan-keadaan krisis seringkali memin-ta tindakan yang cepat dan luwes sedangkan pem-batasan tindakan-tindakan tidak diinginkan. Sementara disisi yang lain, kebiasaan-kebiasaan yang telah lazim dilakukan tidak mudah untuk diubah. Hal ini akan mendorong terjadinya ba-nyak kesulitan dalam mengimplementasikan kebijakan.

6. Kebijakan yang ditetapkan oleh pengadilan. Keputusan-keputusan pengadilan nampaknya cenderung untuk keliru dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan saluran-saluran formal untuk mentransmisikan keputusan-keputusan pengadi-lan kurang memadai, sedangkan saluran-saluran informal sangat kurang dapat dipercaya. Keputu-san-keputusan pengadilan yang berwenang sering berupa pernyataan-pernyataan yang kabur. Selain itu, keputusan-keputusan yang dikeluarkan pe-ngadilan juga nampak tidak konsisten karena para hakim mengesampingkan keputusan-keputusan masa lalu tanpa kelihatan jelas berbuat demikian.

2.9. Prospek Untuk Memperbaiki ImplementasiSejauh ini kita telah mengidentikasi dan menga-

nalisis banyak masalah dalam pelaksanaan kebijakan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

276

Page 290: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Selanjutnya akan dibicarakan bagaimana mengatasi hambatan-hambatan terhadap implementasi. Salah satu teknik umum untuk memperbaiki implementasi adalah tindakan lanjut (follow up).

Proses implementasi kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, baik menyangkut karakteristik program-program kebijakan yang dijalankan maupun oleh aktor-aktor yang terlibat da-lam implementasi kebijakan.

Seperti disebutkan oleh Lester dan Stewart, pelaku dalam implementasi kebijakan meliputi birokrasi, legislatif, lembaga-lembaga pengadilan, kelompok-kelompok penekan dan komunitas organi-sasi. Masing-masing pelaku kebijakan ini mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sehingga penerimaan terhadap implementasi kebijakan juga akan beragam.

Karakteristik-karakteristik kebijakan juga tidak kalah besarnya dalam mendorong timbulnya masalah dalam kebijakan, seperti telah kita diskusikan sebe-lumnya. Tipe-tipe kebijakan tertentu yang didasarkan pada karakteristik masing-masing kebijakan ternyata cenderung mengundang masalah dalam implemen-tasi. Sementara itu, bila kita mengkaji model-model kebijakan yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn maupun oleh Edwards III, maka peluang terjadi-nya kegagalan atau minimal timbulnya masalah dalam implementasi kebijakan sangat besar.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

277

Page 291: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Masalah-masalah tersebut dapat berasal dari para pelaku kebijakan seperti telah disebutkan sebelumnya, maupun oleh faktor-faktor yang lain, seperti misalnya sumber-sumber, struktur birokrasi, maupun diakibat-kan oleh faktor-faktor komunikasi. Bila kondisinya demikian, maka pertanyaan yang layak diajukan ada-lah apakah ada kemungkinan untuk memperbaiki implementasi?

Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial dalam proses kebijakan publik. Tanpa adanya implementasi kebijakan, sebuah keputusan kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan di atas meja para pejabat. Implementasi kebijakan yang berhasil men-jadi faktor penting dari keseluruhan proses kebijakan.

Untuk memperbaiki implementasi kebijakan, maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, di dalam mengusulkan langkah-langkah perbaikan harus dipahami terlebih dahulu hambatan-hambatan yang muncul dalam proses implementasi kebijakan dan mengapa hambatan tersebut timbul. Model kebijakan yang diuraikan di atas mungkin akan sangat membantu di dalam mengkaji faktor-faktor apa yang menghambat implementasi dan mengapa faktor tersebut muncul.

Langkah kedua, selanjutnya adalah perlu me-ngubah keadaan-keadaan yang menghasilkan faktor-faktor ini. Dalam bagian-bagian sebelumnya dibicara-kan usaha-usaha untuk membatasi hambatan-hamba-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

278

Page 292: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tan terhadap pelaksanaan kebijakan yang efektif. Di Amerika Serikat, sumber dari kebanyakan masalah pelaksanaan tertanam mendalam dalam struktur pemerintahan dan politik. Pejabat-pejabat tinggi di negara ini sangat sibuk dan tidak mempunyai keahlian yang memadai untuk menguraikan undang-undang.

Selain itu, para pembuat keputusan harus mela-kukan tawar-menawar dan kompromi agar dapat men-capai kesepakatan mengenai kebijakan-kebijakan yang akan dibuat. Kelompok-kelompok penekan mempunyai akses yang bebas terhadap para pembuat kebijakan, dan pembuat-pembuat kebijakan merasa khawatir kalau kelompok-kelompok dalam masyara-kat menjauhkan diri, sementara mereka berusaha menghindari pertanggungjawaban bagi banyak kepu-tusan kepada publik.

Dan masih banyak lagi faktor-faktor yang meng-hambat proses implementasi yang efektif. Seperti misalnya, para hakim yang tidak selalu menjelaskan keputusan-keputusan yang mereka buat dan lain sebagainya. Kondisi ini tentu akan menjadi faktor penghambat bagi implementasi kebijakan yang efektif. Oleh karena itu, usulan yang dapat diberikan untuk masalah seperti ini adalah harus ditujukan untuk mendorong faktor-faktor tersebut dapat dieleminasi.

Misalnya, kurangnya kemampuan anggota legis-latif dapat diatasi melalui pendidikan, workshop mau-pun training. Kurangnya saluran-saluran komunikasi yang efektif diatasi dengan penciptaan saluran-saluran

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

279

Page 293: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

baru yang lebih efektif dan lain sebagainya. Dengan demikian, dengan menggunakan bahasa

yang lebih singkat masalah implementasi kebijakan dapat diatasi dengan cara pengenalan terhadap masa-lah yang timbul beserta latar belakang yang meling-kupi, baru dibuat usulan-usulan untuk memperbaiki masalah yang telah diidentikasi penyebabnya.

2.10. KesimpulanImplementasi kebijakan merupakan proses yang

rumit dan kompleks. Namun di balik kerumitan dan kompleksitasnya tersebut, implementasi kebijakan memegang peran yang cukup vital dalam proses kebi-jakan. Tanpa adanya tahap implementasi kebijakan, program-program kebijakan yang telah disusun hanya akan menjadi catatan-catatan resmi di meja para pem-buat kebijakan.

Kedua model implementasi kebijakan yang dike-mukakan oleh Van Meter dan Van Horn dan Edwards III, memberikan referensi yang cukup berarti untuk mengkaji implementasi kebijakan. Dengan adanya kedua model tersebut, kita menjadi lebih mudah mengidentikasi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan.

Melalui kedua model ini, kita juga dapat melihat kendala-kendala yang mungkin timbul selama proses implementasi kebijakan sehingga harapan untuk memperbaiki implementasi kebijakan di masa yang akan datang menjadi terbuka lebar.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

280

Page 294: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ila kebijakan dipandang sebagai suatu pola Bkegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebi-

jakan merupakan tahap akhir dalam proses

kebijakan. Namun demikian, beberapa ahli ada yang

melihat jika evaluasi bukan merupakan tahap akhir

proses kebijakan publik. Pada dasarnya, kebijakan

publik dijalankan dengan maksud tertentu, untuk me-

raih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masa-

lah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya.

Evaluasi dilakukan karena tidak semua program

kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Se-

ringkali terjadi, kebijakan publik gagal meraih mak-

sud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dengan demikian, evaluasi kebijkan ditujukan untuk

melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau

untuk mengetahui apakah kebijakan publik telah dija-

lankan meraih dampak yang diinginkan. Dalam baha-

sa yang lebih singkat evaluasi adalah kegiatan yang

bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan.

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan

sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau

penilaian kebijakan yang mencakup substansi, imple-

mentasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebija-

BAB III

EVALUASI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PUBLIK

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

281

Page 295: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam se-luruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun dampak kebijakan.

Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda. Tugas pertama adalah untuk menentukan konsekuen-si-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebi-jakan dengan cara menggambarkan dampaknya. Se-dangkan tugas kedua adalah untuk menilai keberhasi-lan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelum-nya. Tugas pertama merujuk pada usaha untuk melihat apakah program kebijakan publik mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan ataukah tidak.

Bila tidak, faktor-faktor apa yang menjadi penye-babnya? Misalnya, apakah karena terjadi kesalahan dalam merumuskan masalah ataukah karena faktor-faktor lain? Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan pada dasarnya berkaitan erat dengan tugas pertama. Setelah kita mengetahui konsekuensi-konsekuensi kebijakan melalui penggambaran dampak kebjakan publik, maka kita dapat mengetahui apakah program kebijakan yang dijalankan sesuai atau tidak dengan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

282

Page 296: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dampak yang diinginkan. Dari sini kita dapat mela-kukan penilaian apakah program yang dijalankan ber-hasil ataukah gagal? Dengan demikian, tugas kedua dalam evaluasi kebijakan adalah menilai apakah suatu kebijakan berhasil atau tidak dalam meraih dampak yang diinginkan. Dari kedua hal yang dipaparkan di atas, maka kita dapat menarik suatu kesimpulan me-ngenai arti pentingnya evaluasi kebijakan publik. Pengetahuan menyangkut sebab-sebab kegagalan sua-tu kebijakan dalam meraih dampak yang diinginkan dapat dijadikan pedoman untuk mengubah atau mem-perbaiki kebijakan di masa yang akan datang.

Untuk memenuhi tugas tersebut, suatu evaluasi kebijakan harus meliputi beberapa kegiatan, yakni pengkhususan (specification), pengukuran (measure-ment), analisis dan rekomendasi. Spesifikasi merupa-kan kegiatan yang paling penting di antara kegiatan yang lain dalam evaluasi kebijakan. Kegiatan ini meli-puti identifikasi tujuan atau kriteria melalui mana program kebijakan tersebut akan dievaluasi.

Ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria inilah yang akan kita pakai untuk menilai manfaat program kebi-jakan.Pengukuran menyangkut aktifitas pengumpulan informasi yang relevan untuk obyek evaluasi, sedang-kan analisis adalah penggunaan informasi yang telah terkumpul dalam rangka menyusun kesimpulan. Dan akhirnya, rekomendasi yakni penentuan mengenai apa yang harus dilakukan di masa yang akan datang.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

283

Page 297: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

1. Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan Publik

James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke

dalam tiga tipe. Tipe pertama, evaluasi kebijakan

dipahami sebagai kegiatan fungsional, bila evaluasi

kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional maka

evaluasi kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang

sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri.

Para pembuat kebijakan dan administrator selalu

membuat pertimbangan-pertimbangan mengenai

manfaat atau dampak dari kebijakan-kebijakan, pro-

gram-program dan proyek-proyek. Pertimbangan ini

banyak yang memberi kesan bahwa pertimbangan-

pertimbangan tersebut didasarkan pada bukti yang

terpisah-pisah dipengaruhi oleh ideologi, kepentingan

para pendukungnya dan kriteria-kriteria lainnya.

Dengan demikian, suatu program kesejahteraan

misalnya, oleh suatu kelompok tertentu mungkin akan

dipandang sebagai program yang sangat sosialistis

atau kapitalistis. Oleh karena itu, program seperti ini

tidak diharapkan untuk dilaksanakan tanpa melihat

dampak yang sebenarnya dari program tersebut.

Atau misalnya, penjualan saham perusahaan-

perusahaan pemerintah (BUMN) akan dipandang

sebagai proses kapitalisasi dan dianggap akan me-

ngancam kepentingan rakyat.Demikian juga misalnya

menyangkut kompensasi yang diberikan kepada pe-

ngangguran mungkin dianggap buruk karena evalua-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

284

Page 298: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

tor mengetahui banyak orang yang tidak layak meneri-ma keuntungan-keuntungan seperti itu.

Persoalan-persoalan tadi muncul karena setiap

orang dalam melihat persoalan-persoalan tadi mengu-

nakan cara pandang yang berbeda. Dimana nilai-nilai

dan kepentingan-kepentingan individu akan mempe-

ngaruhi keseluruhan proses kebijakan. Oleh karena

itu, evaluasi seperti ini akan mendorong terjadinya

konflik karena evaluator-evaluator yang berbeda akan

menggunakan kriteria-kriteria yang berbeda, sehingga

kesimpulan yang didapatkannya pun berbeda menge-

nai manfaat dari kebijakan yang sama.

Tipe kedua, merupakan tipe evaluasi yang

memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau

program-program tertentu.Tipe evaluasi seperti ini

berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang

menyangkut; apakah program dilaksanakan dengan

semestinya? Berapa biayanya? Siapa yang menerima

manfaat (pembayaran atau pelayanan) dan berapa

jumlahnya? Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan

dengan program-program lain? Apakah ukuran-uku-

ran dasar dan prosedur-prosedur secara sah diikuti?

Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan

seperti itu dalam melakukan evaluasi dan memfokus-

kan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-

program maka evaluasi dengan tipe seperti ini akan

lebih membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

285

Page 299: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

efisiensi dalam melaksanakan program. Namun demi-kian, evaluasi dengan menggunakan tipe seperti ini mempunyai kelemahan, yakni kecenderungannya un-tuk menghasilkan informasi yang sedikit mengenai dampak suatu program terhadap masyarakat.

Tipe evaluasi kebijakan ketiga adalah tipe eva-luasi kebijakan sistematis. Tipe ini secara komparatif masih dianggap batu, tetapi akhir-akhir ini telah men-dapat perhatian yang meningkat dan para peminat kebijakan publik. Evaluasi sistematis melihat secara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyata-kan tersebut tercapai.

Lebih lanjut, evaluasi sistematis diarahkan untuk melihat dampak yang ada dari suatu kebijakan dengan berpijak pada sejauhmana kebijakan tersebut menja-wab kebutuhan atau masalah masyarakat. Dengan demikian, evaluasi sistematis akan berusaha menja-wab pertanyaan-pertanyaan seperti itu; apakah kebija-kan yang dijalankan mencapai tujuan sebagaiman yang telah ditetapkan sebelumnya? Berapa biaya yang dikeluarkan serta keuntungan apa yang didapat? Siapa yang menerima keuntungan dari program kebijakan yang telah dijalankan?

Dengan mendasarkan pada tipe-tipe pertanyaan evaluatif seperti ini, maka konsekuensi yang diberikan oleh evaluasi sistematis adalah bahwa evaluasi ini

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

286

Page 300: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

akan memberi suatu pemikiran tentang dampak dari kebijakan dan merekomendasikan perubahan-peruba-han kebijakan dengan mendasarkan kenyataan yang sebenarnya kepada pada pembuat kebijakan dan mas-yarakat umum. Penemuan-penemuan kebijakan dapat digunakan untuk mengubah kebijakan-kebijakan dan program-program lain di masa depan.

Namun demikian, suatu evaluasi tidak selama-nya digunakan untuk hal-hal yang baik. Bisa juga evaluasi dilakukan untuk tujuan-tujuan buruk. Dalam hal ini Carol Weiss mengatakan bahwa para pembuat keputusan program melakukan evaluasi untuk menun-da keputusan; untuk membenarkan dan mengesahkan keputusan-keputusan yang sudah dibuat; untuk mem-bebaskan diri dari kontroversi tentang tujuan-tujuan masa depan dengan mengelakkan tanggungjawab; mempertahankan program dalam pandangan pemilih-nya, pemberi dana atau masyarakat serta untuk meme-nuhi syarat-syarat pemerintah atau yayasan dengan ritual evaluasi.

Selain itu, evaluasi dapat digunakan untuk me-raih tujuan-tujuan politik tertentu, misalnya evaluasi yang dilakukan oleh partai oposisi dalam suatu peme-rintahan biasanya seringkali digunakan untuk men-jatuhkan partai yang berkuasa. Oleh karena itu, moti-vasi seorang evaluator dalam melakukan evaluasi dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yakni motivasi untuk melayani kepentingan publik dan motivasi

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

287

Page 301: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

untuk melayani kepentingan pribadi. Bila seorang evaluator mempunyai motivasi pelayanan publik, maka evaluasi digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik yakni, dalam rangka membenahi kualitas kebija-kan publik.Namun bila para evaluator lebih mengede-pankan melayani kepentingan sendiri, maka evaluasi kebijakan yang dijalankan digunakan untuk hal-hal yang kurang baik.

2. Langkah-Langkah Dalam Evaluasi KebijakanUntuk melakukan evaluasi yang baik dengan

margin kesalahan yang minimal beberapa ahli me-ngembangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebi-jakan. Salah satu ahli tersebut adalah Edward A. Suchman. Suchman mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni:

1. Mengidentifikasikan tujuan program yang akan

dievaluasi

2. Analisis terhadap masalah.

3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan.

4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang

terjadi.

5. Menentukan apakah perubahan yang diamati meru-

pakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena me-

nyebab yang lain.

6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan

suatu dampak.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

288

Page 302: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Selain itu, Suchman juga mengidentifikasikan beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi, yakni: Pertama, apakah yang menjadi isi dari tujuan program? Kedua, siapa yang menjadi target program? Ketiga, kapan perubahan yang diha-rapkan terjadi? Keempat, apakah tujuan yang ditetap-kan satu atau banyak (unitary or multiple). Kelima, apakah dampak yang diharapkan besar? Keenam, bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai?

Menurut Suchman, dari keseluruhan tahap yang

telah dicantumkan di atas, mendefinisikan masalah

merupakan tahap yang paling penting dalam evaluasi

kebijakan. Hanya setelah masalah-masalah dapat di-

definisikan dengan jelas, maka tujuan-tujuan dapat

disusun dengan jelas pula. Kegagalan dalam mendefi-

nisikan masalah akan berakibat pada kegagalan dalam

memutuskan tujuan-tujuan.

3. Dampak Kebijakan

Seperti yang pernah kita singgung sebelumnya,

evaluasi kebijakan merupakan usaha untuk menen-

tukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi

kehidupan nyata. Kalimat “usaha untuk menentukan”

digunakan dalam pembahasan ini karena evaluasi di-

pahami sebagai usaha untuk menentukan dampak atau

konsekuensi yang sebenarnya dari kebijakan, suatu

tugas yang sebenarnya sangat kompleks dan sulit.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

289

Page 303: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Secara minimum, tujuan evaluasi kebijakan adalah agar kita mengetahui apa yang ingin dicapai dari suatu kebijakan tertentu (tujuan-tujuan kebija-kan), bagaimana kita melakukan (program-program), dan jika ada, apakah kita telah mencapai tujuan-tujuan (dampak atau akibat dan hubungan kebijakan) yang telah ditetapkan sebelumnya.

Di samping itu, fokus kita dalam mengukur pencapaian kebijakan tidak hanya perubahan yang telah terjadi dalam kehidupan nyata, seperti misalnya pengurangan angka pengangguran, tetapi juga bahwa perubahan itu disebabkan oleh tindakan-tindakan ke-bijakan dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti misalnya diakibatkan oleh keputusan-keputusan eko-nomi swasta.

Hal ini berarti bahwa dalam melakukan evaluasi kebijakan kita harus memastikan bahwa suatu peru-bahan yang terjadi di masyarakat benar-benar diaki-batkan oleh tindakan-tindakan kebijakan dan bukan diakibatkan oleh faktor-faktor lain.

Namun demikian, evaluasi tentang dampak kebi-jakan pada dasarnya hanya merupakan salah satu saja dari apa yang bisa dilakukan oleh seorang evaluator dalam melakukan evaluasi kebijakan. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh seorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik. Ketiga hal tersebut adalah: Pertama, evaluasi kebijakan mungkin menjelaskan keluaran-keluaran kebijakan,

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

290

Page 304: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

seperti misalnya pekerjaan, uang, materi yang dipro-duksi dan pelayanan yang disediakan. Keluaran ini merupakan hasil yang nyata dari adanya kebijakan, namun tidak memberi makna sama sekali bagi seorang evaluator.

Kategori yang lain menyangkut dampak yang dihasilkan oleh kebijakan publik terhadap kelompok-kelompok yang telah ditargetkan, atau keadaan yang ingin dihasilkan dari kebijakan publik. Pada saat se-orang evaluator menganalisis konsekuensi-konse-kuensi yang dihasilkan tersebut, maka seorang evalua-tor harus menjelaskan bagaimana kebijakan ditampil-kan dalam hubungannya dengan keadaan yang dituju.

Kedua, evaluasi kebijakan barangkali mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah-masalah sosial, seperti misalnya usaha untuk mengu-rangi kemacetan lalu lintas atau mengurangi tingkat kriminalitas.

Ketiga, evaluasi kebijakan barangkali menyang-kut konsekuensi-konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback, termasuk di dalam adalah reaksi dari tindakan-tindakan pemerintah atau pernyataan dalam sistem pembuatan kebijakan atau dalam beberapa pembuat keputusan.

Pada sisi lain, dampak dari suatu kebijakan mem-punyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhi-tungkan dalam membicarakan evaluasi.

Ada lima dimensi yang akan dibahas disini.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

291

Page 305: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Pertama, dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat. Dengan demikian, mereka atau individu-indi-vidu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebija-kan harus dibatasi, seperti misalnya apakah masuk kelompok miskin, pengusaha kecil, anak-anak seko-lah cacat, produsen minyak, atau apa pun. Selain itu, dampak yang diharapkan dari adanya kebijakan harus ditentukan.

Misalnya, jika program itu adalah program antikemiskinan, maka pertanyaan yang akan diajukan adalah apakah tujuan program tersebut untuk mening-katkan pendapatan kelompok masyarakat miskin, me-ningkatkan kesempatan-kesempatan mereka untuk memperoleh pekerjaan atau untuk mengubah tingkah laku dan perilaku mereka?

Bila tujuan-tujuan program yang diharapkan merupakan kombinasi dari semua itu, maka analisis akan menjadi semakin rumit karena prioritas-prioritas harus dikaitkan dengan bermacam-macam dampak yang diinginkan.

Sementara itu, suatu kebijakan mungkin mempu-nyai konsekuensi-konsekuensi yang diinginkan (in-tended consequences) dan tidak diinginkan (uninten-ded consequences) atau malahan dua-duanya. Misal-nya suatu program kesejahteraan mungkin akan mem-perbaiki tingkat pendapatan dari kelompok-kelompok yang beruntung sebagaimana yang diinginkan.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

292

Page 306: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Namun, apakah program tersebut juga mendo-rong prakarsa mereka dalam mencari pekerjaan? Atau justru sebaliknya, program tersebut malahan mengu-rangi prakarsa mereka dalam mencari pekerjaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti yang dimaksudkan un-tuk menunjukan bahwa suatu program kebijakan yang dijalankan pada dasarnya mempunyai peluang untuk menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, baik yang diinginkan maupun tidak.

Contoh yang paling nyata barangkali adalah ke-bijakan pemerintah dalam menentukan harga komo-ditas pertanian. Pada satu sisi, program-program pe-merintah yang mendukung peningkatan harga-harga bahan pangan mengalami kenaikan. Dengan demi-kian, pada satu sisi, peningkatan harga-harga komoditi pertanian akan meningkatkan penghasilan petani, namun pada sisi yang lain akan merugikan para konsumen.

Kedua, kebijakan-kebijakan mungkin mempu-nyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan. Kebijakan-kebijakan ini dinamakan eksternalitas atau dampak yang melimpah (externalities or spillover effect). Ujicoba terhadap senjata nuklir dengan cara meledakkannya di atmosfer bumi barangkali akan berguna bagi pengembangan persenjataan, namun ke-giatan tersebut juga akan menimbulkan bahaya bagi penduduk dunia sekarang ini dan di masa yang akan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

293

Page 307: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

datang. Dampak ledakan nuklir di atmosfer bagi kehi-dupan manusia merupakan contoh eksternalitas yang negatif. Pada sisi lain, eksternalitas juga dapat bersifat positif. Misalnya bila cukai atau tarif dikurangi agar para eksportir dapat meningkatkan penjualan mereka di luar negeri, maka para konsumen eksportir mungkin mendapat keuntungan dari harga yang lebih rendah karena impor yang meningkat akan mendorong cukai yang lebih rendah.

Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan masa yang akan datang. Untuk menjelaskan dimensi yang ketiga ini, kita dapat mengajukan pertanyaan seperti: apakah suatu program direncanakan untuk memper-baiki keadaan yang secara langsung untuk jangka pendek atau untuk jangka panjang, menjangkau bebe-rapa tahun atau beberapa dasawarsa? Apakah program yang berhubungan dengan anak-anak cacat dimaksud-kan untuk memperbaiki kemampuan kognitif anak-anak tersebut untuk jangka waktu yang relatif pendek ataukah sebaliknya, yakni untuk mempengaruhi per-kembangan jangka panjang mereka serta kemampuan mencari nafkah?

Apakah program pengendalian harga dimaksud-kan hanya untuk mengetahui kenaikan harga yang baru terjadi ataukah program itu mempunyai dampak jangka panjang pada perilaku ekonomi, seperti dengan membantu menghilangkan adanya psikologi inflasi.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

294

Page 308: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Apakah kebijakan deregulasi dan debirokratisasi mendorong ekspor komoditas nonmigas dalam jangka pendek. Bila demikian, apakah dampak jangka pan-jang dari kebijakan itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini ditujukan untuk melihat konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan berdasarkan dimensi waktu, yakni masa sekarang atau masa yang akan datang.

Keempat, evaluasi juga menyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik. Biasanya kita lebih mudah menghitung biaya dollar atau rupiah dari suatu kebijakan atau program tertentu, bila program atau kebijakan itu sebagai jumlah dollar atau rupiah yang dibelanjakan bagi suatu program, bagiannya dari keseluruhan pembelanjaan pemerintah atau persentase dari produk nasional kotor yang digunakan untuk membiayai suatu program.

Sementara itu, biaya-biaya langsung lainnya dari kebijakan-kebijakan mungkin akan lebih sulit untuk ditemukan atau dihitung, seperti misalnya biaya yang dikeluarkan oleh pihak swasta untuk membeli alat pengolah limbah dalam rangka melaksanakan kebija-kan pemerintah menyangkut pengendalian pencema-ran. Biaya-biaya lainnya bersifat immaterial akan sulit untuk dihitung, misalnya kebijakan pemerintah Ame-rika Serikat yang mewajibkan remaja-remaja Amerika untuk berperang di Vietnam akan mengakibatkan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

295

Page 309: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

hilangnya kebebasan remaja-remaja Amerika tersebut untuk menentukan hidupnya sendiri.

Dimensi yang terakhir dari evaluasi kebijakan adalah menyangkut biaya-biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik. Biaya-biaya seperti itu seringkali tidak dipertimbangkan dalam membuat evaluasi-evaluasi kebijakan. Hal ini terjadi karena biaya-biaya tersebut tidak dapat dihitung karena sulitnya menentukan ukuran-ukuran yang hendak dipakai.

Misalnya, bagaimana cara orang mengukur biaya ketidakenakan, biaya dislokasi, dan biaya kekacauan sosial yang berasal dari proyek pembaruan kota? Atau biaya-biaya estetika dari pembangunan jalan raya yang melalui tempat-tempat rekreasi yang indah? Atau biaya perang Vietnam yang berupa pertentangan dalam negeri dan hilangnya kepercayaan terhadap pejabat-pejabat pemerintah.

Kesulitan juga akan timbul ketika seorang eva-luator akan mengukur keuntungan-keuntungan tidak langsung dari program kebijakan publik. Misalnya, apakah sistem demokrasi yang diberlakukan oleh suatu sistem politik akan memberi kepuasan politik kepada warganegara? Bila ya, kemudian seberapa besar kepuasan tersebut didapatkan?

Pada kondisi seperti ini, evaluasi kebijakan akan menjadi lebih kompleks bila kita memberikan pertim-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

296

Page 310: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bangan yang eksplisit terhadap sifat kebijakan publik. Dilihat dari sifatnya, dampak dari kebijakan dapat dibedakan ke dalam simbolik (intangible) maupun materi (tangible).

Menurut Gabriel Almond dan G. Powell, hasil-hasil kebijakan yang bersifat simbolik mencakup penegasan tentang nilai-nilai oleh para elit, pameran bendera dan pasukan, upacara militer, kunjungan oleh pejabat-pejabat tinggi dan pernyataan-pernyataan ke-bijakan atau maksud oleh pemimpin-pemimpin politik dan ketergantungan yang besar dalam menyadap ke-percayaan-kepercayaan rakyat, tingkah laku-tingkah laku; dan aspirasi-aspirasi bagi keefektifannya.

Tidak ada orang yang nafsu makannya lebih baik karena pidato yang dilakukan oleh pejabat tinggi, tetapi hal ini secara ideologis dan emosional akan memberi kepuasan bagi banyak orang. Dalam banyak kasus, tindakan-tindakan kebijakan yang seolah-olah ditujukan untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat materi dalam prakteknya berubah menjadi lebih bersifat simbolik.

Sedangkan kebijakan-kebijakan publik yang keuntungannya lebih nampak bersifat simbolik dalam pelaksanaannya menghasilkan keuntungan-keuntu-ngan yang lebih bersifat materi, misalnya kegiatan anti trust, pengaturan tingkat pelayanan publik dan ke-sempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan.

Kecenderungan yang umum dilakukan dalam

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

297

Page 311: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

analisis kebijakan publik adalah bahwa para analis lebih memfokuskan diri pada apa yang sebenarnya di-lakukan oleh pemerintah, mengapa dan dengan dam-pak materi apa?

Para analis kebijakan kurang memberi perhatian pada dampak kebijakan yang bersifat immaterial atau simbolik, walaupun hal ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan.

Sekalipun dampak yang sebenarnya dari suatu kebijakan mungkin sangat jauh dari yang diharapkan atau diinginkan, tetapi kebijakan tersebut pada dasar-nya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang pen-ting bagi masyarakat. Misalnya, suatu program anti kemiskinan barangkali mempunyai hasil yang menge-cewakan, akan tetapi kebijakan seperti ni menunjuk-kan kepada rakyat bahwa pemerintah mempunyai per-hatian terhadap kemiskinan.

Demikian juga halnya yang terjadi terhadap undang-undang yang mengatur mengenai kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Undang-undang seperti ini akan meyakinkan kepada rakyat bahwa pemerintah mereka, paling tidak secara resmi, tidak menyukai tindakan-tindakan diskriminatif dalam penerimaan karyawan atas dasar ras, kelamin dan nasionalitas.

Terlepas dari dampak apa pun yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan-kebijakan tersebut, kebijakan-kebijakan seperti itu akan memberikan sumbangan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

298

Page 312: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bagi berlakunya tertib sosial, dukungan terhadap pe-merintah dan penghargaan pribadi sebagai pertimba-ngan-pertimbangan yang saling berkaitan.

4. Masalah-Masalah Dalam Evaluasi Kebijakan

Evaluasi merupakan proses yang rumit dan kom-

pleks. Proses ini melibatkan berbagai macam kepenti-

ngan individu-individu yang terlibat dalam proses

evaluasi. Kerumitan dalam proses evaluasi juga kare-

na melibatkan kriteria-kriteria yang ditunjukan untuk

melakukan evaluasi. Ini berarti bahwa kegagalan da-

lam menentukan kriteria akan menghambat proses

evaluasi yang akan dijalankan.

Anderson mengidentifikasikan bahwa setidak-

nya enam masalah yang akan dihadapi dalam proses

evaluasi kebijakan. Pertama, ketidakpastian atas tu-

juan-tujuan kebijakan.Tujuan-tujuan program yang

disusun untuk menjalankan kebijakan seharusnya

jelas. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak

jelas atau tersebar, sebagaimana seringkali terjadi,

maka kesulitan yang timbul adalah menentukan se-

jauhmana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai.

Ketidakjelasan tujuan biasanya berangkat dari

proses penetapan kebijakan. Suatu kebijakan agar

dapat ditetapkan biasanya berangkat dari proses

penetapan kebijakan. Suatu kebijakan agar dapat

ditetapkan biasanya harus mendapatkan dukungan

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

299

Page 313: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dari suatu koalisi mayoritas untuk mengamankan pe-netapan kebijakan.

Seringkali terjadi suatu kebijakan membutuhkan

perhatian orang-orang dan kelompok-kelompok yang

memiliki kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda.

Kondisi ini mendorong terjadinya ketidakjelasan

tujuan karena harus merefleksikan banyak kepenti-

ngan maupun nilai-nilai dari aktor-aktor yang terlibat

di dalam perumusan kebijakan.

Program-program pembangunan perdesaan di

dunia ketiga setidak-tidaknya merefleksikan proses

ini. Program-program pembangunan di daerah pede-

saan biasanya mempunyai banyak tujuan yang ingin

dicapai, namun tidak ada skala prioritas untuk itu.

Dengan demikian, suatu penelitian evaluasi diha-

dapkan pada suatu tugas yang berat karena harus me-

nentukan apa yang merupakan tujuan-tujuan yang

sebenarnya dari suatu program kebijakan. Sementara

itu, para pejabat mempunyai kedudukan berbeda

dalam sistem kebijakan; seperti misalnya legislator,

administrator atau pejabat-pejabat lain mungkin akan

membatasi tujuan-tujuan program secara berbeda dan

bertindak sesuai dengan itu dan memperoleh kesim-

pulan-kesimpulan yang berbeda mengenai penca-

paian-pencapaian program yang dijalankan.

Kedua, kausalitas. Variabel selanjutnya yang ha-

rus mendapat perhatian di dalam evaluasi kebijakan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

300

Page 314: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

adalah variabel kausalitas. Bila seorang evaluator menggunakan evaluasi sistematik untuk melakukan evaluasi terhadap program-program kebijakan, maka ia harus memastikan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan nyata harus disebabkan oleh tindakan-tindakan kebijakan.

Kesimpulan yang dapat diambil dari kenyataan

seperti ini adalah apabila suatu tindakan A di ambil

dan kondisi B berkembang, maka tidak secara otoma-

tis hubungan sebab-akibat terjadi. Sesuatu mungkin

timbul dengan atau tanpa suatu tindakan kebijakan.

Untuk menjelaskan masalah kausalitas ini, kita

dapat mengambil contoh suatu kasus mengenai kebi-

jakan pengendalian kejahatan. Tujuan atau paling ti-

dak salah satu tujuan kebijakan ini adalah mencegah

timbunya kejahatan. Pencegahan disini bisa dibatasi

dengan menghalangi tindakan yang dapat dikatakan

mempunyai “suatu potensi aktualisasi yang realistis”,

yaitu suatu tindakan yang sebenarnya dapat terjadi.

(Asumsi ini diperlukan untuk mencegah macam

analisis yang menyatakan, misalnya, bahwa meng-

konsumsi minuman beralkohol mencegah penyakit

cacing perut karena tidak ditemukannya penyakit itu

pada orang-orang yang minum alkohol).

Masalahnya disini adalah bahwa “tidak melaku-

kan sesuatu” menjadi semacam bukan kejadian atau

tindakan yang tidak dapat dinyatakan dengan jelas.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

301

Page 315: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Misalnya apakah sesorang yang tidak melakukan pencurian berarti bahwa ia dapat dicegah oleh polisi untuk melakukan tindakan pencurian secara efektif?

Tentunya jawaban pertama bergantung pada apa-kah ia cenderung untuk melakukan tindakan pencu-rian atau tidak? Jika ia cenderung melakukan tidakan pencurian, maka pertanyaan selanjutnya adalah apa-kah ia dicegah oleh kemungkinan suatu deteksi dan hukuman ataukah oleh faktor-faktor lain, seperti mi-salnya pengaruh keluarga atau karena kesempatan yang ada sangat kecil?

Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kualitas antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah sosial dan ekonomi yang kompleks merupakan tugas yang sulit.

Ketiga, dampak kebijakan yang menyebar. Pada waktu kita membahas mengenai dampak kebijakan di bagian lain bab ini, kita mengenal apa yang dimaksud sebagai eksternalitas atau dampak yang melimpah (externalities or spoilover effects), yakni suatu dam-pak yang ditimbukan oleh kebijakan pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok selain mereka yang menjadi sasaran atau tujuan kebijakan.

Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempe-ngaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Suatu program kesejahteraan mungkin mempengaruhi tidak hanya kelompok masayarakat miskin, tetapi juga

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

302

Page 316: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

kelompok-kelompok masyarakat lain seperti, misal-nya pembayar pajak, pejabat-pejabat pajak, masyara-kat yang mempunyai pendapatan rendah yang tidak menerima keuntungan-keuntungan program kesejah-teraan.

Dampak dari program pada kelompok-kelompok ini mungkin hanya bersifat simbolik atau material. Para pembayar pajak mungkin mengeluh bahwa “uang yang mereka peroleh dengan sulit digunakan untuk menghidupi orang-orang yang malas bekerja.”

Beberapa orang yang berpenghasilan kecil mungkin memutuskan untuk ikut terus dalam pro-gram-program kesejahteraan daripada mempunyai pekerjaan yang tidak menyenangkan dengan menda-pat upah yang rendah.

Sejauh menyangkut lapisan masyarakat yang miskin yang menerima keuntungan-keuntungan materi, maka kita dapat mengajukan pertanyaan me-ngenai dampak apa dari keuntungan-keuntungan yang ada terhadap prakarsa dan kemandirian mereka, pada solidaritas keluarga, dan pada pemeliharaan tertib sosial? Perlu diperhatikan pula bahwa kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai tujuan-tujuan yang tidak dinyatakan.

Dengan demikian suatu program anti kemiskinan mungkin dimaksudkan untuk membantu dalam mere-dam tuntutan-tuntutan masyarakat bawah, atau kasus lain, suatu program pengawasan daging sapi mungkin

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

303

Page 317: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan politik para peternak sapi, sementara program itu sebenarnya tidak banyak yang dapat dilakukan untuk membatasi impor daging sapi. Selain itu, dampak dari program mugkin bersifat sangat luas dan mempunyai jangkauan yang panjang. Program anti trust di Amerika Serikat meru-pakan contoh yang tepat.

Pada awalnya program ini dimaksudkan untuk membantu mendukung persaingan dan mencegah mo-nopoli ekonomi. Namun yang menjadi soal kemudian adalah bagaimana sekarang orang dapat mengevaluasi efektivitasnya? Pada awalnya program ini dapat men-cegah merger-merger tertentu dan komplotan peneta-pan harga dapat dihilangkan, tetapi hal ini tidak me-nyingkap banyak hal mengenai persaingan dan mono-poli dalam kehidupan ekonomi secara umum.

Seperti diungkapkan oleh Anderson, bahwa kita dapat mengatakan dengan baik bila kita mampu menentukan bahwa ekonomi adalah 0 persen lebih kompetitif daripada dalam keadaan tidak ada kebija-kan anti trust. Atas dasar generalisasi tujuan-tujuanya dan kesulitan-kesulita dalam mengukur persaingan dan monopoli, maka kita tidak mungkin melakukan hal ini. Namun setelah sekian puluh tahun program anti trust dijalankan, masih terdapat ketidaksepakatan terhadap pembatasan tentang monopoli dan persai-ngan untuk mengarahkan tindakan dan evaluasi kebi-jakan. Oleh karena itu, menjadi tidak mengherankan

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

304

Page 318: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

bagi mereka yang menilai keefektifan program anti trust kadang-kadang mempunyai kesimpulan-kesim-pulan yang berbeda secara tajam.

Keempat, kesulitan-kesulitan dalam mempero-leh data, sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, kekurangan data statistik dan informasi-informasi lain yang relevan barangkali akan menghalangi para eva-luator untuk melakukan evaluasi kebijakan. Model-model ekonometrik yang biasa digunakan untuk mera-malkan dampak dari pengurangan pajak pada kegiatan ekonomi dapat dilakukan, tetapi data yang cocok untuk menunjukkan dampak yang sebenarnya pada ekonomi sulit untuk diperoleh.

Kelima, resistensi pejabat. Evaluasi kebijakan atau sering disebut sebagai analisis kebijakan, yakni suatu pengukuran terhadap dampak kebijakan atau sesuatu yang lain, mencakup pembuatan pertimba-ngan-pertimbangan mengenai manfaat kebijakan. Definisi seperti benar jika evaluator adalah seorang peneliti universitas yang berpikir sangat objektif da-lam memperoleh pengetahuan.

Sementara itu badan dan para pejabat program akan memberikan perhatian mereka terhadap kemung kinan konsekuensi-konsekuensi politik yang mungkin timbul dari adanya kebijakan. Jika hasil-hasil tidak menunjukkan “benar” menurut pandangan mereka dan jika hasil-hasil menjadi perhatian para pembuat keputusan, maka program, pengaruh atau karir mere-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

305

Page 319: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

ka mungkin akan terancam. Akibatnya para pejabat pelaksana program akan mempunyai kecenderungan untuk tidak mendorong atau meremehkan studi-studi evaluasi, menolak memberikan data atau tidak menye-diakan dokumen yang lengkap. Dalam suatu birokrasi, studi-studi evaluasi mungkin mendapat dukungan sa-ngat kuat dari pejabat-pejabat tinggi yang harus mem-buat keputusan-keputusan mengenai alokasi sumber-sumber diantara program-program.

Evaluasi dilakukan untuk menjawab pertanyaan apakah suatu program kebijakan dilanjutkan atau ti-dak? Akan tetapi, pejabat-pejabat tinggi itu mungkin juga tidak menginginkan evaluasi, terutama jika hasil-hasilnya mempunyai akibat yang memecah belah bi-rokrasi. Akhirnya, yang perlu diperhatikan adalah bahwa organisasi-organisasi cenderung menentang perubahan, sementara evaluasi itu sendiri diartikan sebagai perubahan. Dengan demikiakn organisasi mungkin merupakan hambatan terhadap evaluasi, ber-sama-sama dengan bentuk-bentuk perlawanan lain yang lebih jelas.

Keenam, evaluasi mengurangi dampak. Berda-sarkan alasan-alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik dengan alasan bahwa evaluasi tersebut tidak direncanakan dengan baik, data yang digunakan tidak memadai, atau penemuannya tidak didukung dengan bukti yang menyakinkan. Hal inilah yang mendorong

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

306

Page 320: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilaku-kan tidak mendapat perhatian yang semestinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut itu benar.

Anderson menyatakan bahwa setidaknya ada de-lapan faktor yang menyebabkan kebijakan-kebijakan tidak memperoleh dampak yang diinginkan. Pertama, sumber-sumber yang tidak memadai. Banyak program pembangunan di Negara berkembang yang tersendat dalam pelakasanaannya atau dihentikan karena sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menunjang tersebut tidak mencukupi. Faktor uang menjadi salah satu factor yang paling krusial dalam menentukan keberhasilan suatu kebijakan.

Kedua, cara yang digunakan untuk melaksana-kan kebijakan-kebijakan. Kebijakan landreform di Indonesia atau beberapa Negara berkembang lainnya merupakan contoh yang jelas. Sekalipun pemerintah di negara tersebut telah menetapkan kebijakan land- reform sebagai bagian strategi pembangunan perta-nian, namun pelaksanaannya sangat lamban, sehingga dampaknya tidak seperti yang diharapkan dari pro-gram tersebut sangat terbatas. Dengan demikian, kelambanan pelaksanaan landreform di negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah mengurangi dampak yang diinginkan dari kebijakan tersebut.

Ketiga, masalah-masalah publik seringkali dise-babkan oleh banyak faktor, sementara kebijakan yang ada ditujukan hanya kepada penanggulangan satu atau

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

307

Page 321: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

beberapa masalah. Program-program latihan kerja mungkin menolong mereka yang menganggur karena mereka tidak mempunyai ketrampilan kerja yang me-madai. Namun demikian, program itu mempunyai dampak yang kecil bagi orang-orang yang tidak mem-punyai motivasi bekerja yang memadai atau orang-orang menderita penyakit kronis.

Demikian juga menyangkut kebijakan pemerin-tah dalam rangka mengatasi inflasi harga. Gejolak harga-harga mungkin disebabkan oleh beberapa fak-tor, namun usaha untuk menanggulanginya hanya dengan kebijakan moneter. Tentu saja, usaha-usaha seperti ini tidaklah memadai karena kebijakan yang ditetapkan hanya menyangkut satu dimensi saja, yakni menyangkut suplai uang.

Keempat, cara orang menanggapi atau menye-suaikan diri terhadap kebijakan-kebijakan publik yang justru meniadakan dampak kebijakan yang diingin-kan. Efektivitas program-program pengendalian pro-duksi pertanian misalnya, menjadi berkurang karena program-program didasarkan pada pembatasan-pembatasan luas tanah yang lebih kecil. Akibatnya, terdapat pengurangan yang kecil dalam produksi dan “surplus” masih tetap ada.

Kelima, tujuan-tujuan kebijakan yang tidak se-banding dan bertentangan satu sama lain. Misalnya program-program pembangunan perumahan murah yang memungkinkan lapisan masyarakat bawah mem-

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

308

Page 322: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

beli rumah dengan cara mengangsur, nampaknya tidak konsisten dengan program-program pembangunan pertanian yang membutuhkan lahan pertanian. Atau program pembangunan jalan raya antar kota tidak kon-sisten dengan pengembangan jalan kereta api sebagai sarana transportasi yang murah dan aman. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan ka-dangkala mempunyai tujuan yang saling bertentangan dan cenderung tidak konsisten satu dengan yang lain.

Keenam, biaya yang dikeluarkan untuk menye-lesaikan masalah membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah tersebut. Kejaha-tan di jalan-jalan kota Jakarta barangkali dapat dibe-rantas sepenuhnya jika masyarakat mau membayar biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan secara besar-besaran penjagaan polisi, represi indivi-du, jam malam dan sebagainya.

Namun dampak dari kebijakan ini pada kebe-basan individu sangat luas dan kondisi ini justru akan mendatangkan malapetaka dan keresahan masyarakat. Contoh lain adalah usaha menghilangkan polusi ling-kungan secara menyeluruh. Perkiraan biaya untuk me-nanggulangi polusi lingkungan itu bisa mencapai ratusan milyar dollar Amerika.

Ketujuh, banyak masalah-masalah publik yang tidak mungkin dapat diselesaikan. Berdasarkan pada sifat manusia dan kepentingan nasional, ketegangan dan persengketaan dalam suatu tingkat tertentu nis-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

309

Page 323: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

caya akan terus ada di dunia. Oleh karena itu, perang mungkin akan selalu ada dan hanya akan berpindah tempat dan berganti aktor-aktor lain yang terlibat. Selain itu, banyak anak mungkin tidak mampu belajar di sekolah-sekolah negeri, sekalipun perbaikan-per-baikan dan perubahan-perubahan kurikulum telah ba-nyak dilakukan.

Kedelapan, menyangkut sifat masalah yang akan dipecahkan oleh suatu tindakan kebijakan. Suatu masalah mungkin telah berkembang dan mengalami perubahan sementara kebijakan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut sedang dikembangkan atau diterapkan.

Masalah pertanian mungkin berubah dari masa-lah terlalu banyak produksi menjadi masalah produksi yang sangat kecil dan kemudian kembali menjadi masalah yang menyangkut produksi yang berlebihan. Suatu penyediaan minyak yang berlebihan mungkin menimbulkan kekurangan minyak, sementara itu para pengusaha minyak, yang mengecam krisis energi pada pemerintah, mengabaikan atau melupakan dengan mudah bahwa kebijakan-kebijakan masa lalu untuk membatasi produksi dalam negeri dan impor asing sesuai dengan kepentingan industri minyak terhadap harga yang tinggi pada waktu itu. Akhirnya, masalah-masalah yang baru mungkin akan timbul dan ini mendorong kita untuk mengalihkan perhatian dan tindakan dari suatu masalah tertentu.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

310

Page 324: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Bila beberapa masalah publik dapat diselesaikan sepenuhnya oleh tindakan kebijakan, maka banyak masalah yang hanya dapat diselesaikan sebagian. Masalah-masalah pekerjaan masih tetap ada, tetapi tidak sedemikian besar seperti sebelumnya ada pro-gram latihan kerja, pembangunan daerah, kompensasi pengangguran dan program-program lainnya.

5. Perubahan dan Penghentian Program Kebijakan

Pada dasarnya suatu evaluasi kebijakan dituju-

kan untuk melihat sejauhmana program-program ke-

bijakan yang telah dijalankan mampu menyelesaikan

masalah-masalah publik. Ini berarti bahwa evaluasi

ditujukan untuk melihat sejauhmana tingkat efektivi-

tas dan efisiensi suatu program kebijakan dijalankan

untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Efek-

tif berkenaan dengan cara yang digunakan untuk me-

mecahkan masalah, sedangkan efisien menyangkut

biaya-biaya yang dikeluarkan.

Tidak semua masalah publik dapat dipecahkan

oleh program-program kebijakan atau dengan kata

lain, tidak semua program kebijakan yang dijalankan

meraih dampak yang diinginkan. Bila kondisi seperti

ini yang terjadi maka akan menimbulkan pertanyaan

mengapa program kebijakan gagal meraih dampak

yang diinginkan? Evaluasi kebijakan berguna dalam

melihat sebab sebab kegagalan tersebut.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

311

Page 325: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Perubahan kebijakan dan penghentian kebijakan merupakan tahap selanjutnya setelah evaluasi kebija-kan. Setelah masalah-masalah kebijakan timbul dan kegagalan-kegagalan program kebijakan diidentifi-kasi, maka tahap selanjutnya dalam lingkaran kebija-kan (policy cycle) adalah perubahan kebijakan atau penghentian suatu kebijakan. Namun demikian, tentu-nya tidak semua kebijakan akan menimbulkan masa-lah dan gagal meraih dampak yang diinginkan. Oleh karena itu, rekomendasi yang diajukan adalah terus menjalankan program-program kebijakan tersebut.

Konsep perubahan kebijakan (policy change) merujuk pada penggantian kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang lain. Perubahan kebijakan ini meliputi pengambilan kebijakan baru dan merevisi kebijakan yang sudah ada.

Menurut Anderson, perubahan kebijakan me-ngambil tiga bentuk, yakni: pertama, perubahan inkre-mental pada kebijakan yang sudah ada. Sebagaimana perubahan yang bersifat inkremental, maka kebijakan yang sudah ada menurut bentuk perubahan ini tidak diubah seluruhnya, tetapi hanya beberapa bagian saja yang dilakukan perubahan. Kedua, pembuatan status baru untuk kebijakan-kebijakan khusus. Ketiga, peng-gantian kebijakan yang besar sebagai akibat dari pemi-lihan umum kembali. Dalam kasus yang ketiga ini, sering kita temukan arah program atau program kebijakan itu sendiri diganti secara besar-besaran

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

312

Page 326: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

karena elit politik atau rezim yang memerintah berganti.

Sementara itu, perbaikan terhadap kebijakan tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan kebijakan meliputi; Pertama, kemampuan kebijakan tersebut dalam me-mecahkan persoalan. Sebagaimana telah sering di-singgung sebelumnya, pada dasarnya kebijakan pub-lik dibuat untuk memecahkan persoalan-persoalan publik. Oleh karena itu, evaluasi dilakukan untuk me-lihat sejauhmana kebijakan yang dijalankan meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki kondisi sosial yang menjadi sasaran program kebija-kan tersebut.Kedua, kemampuan kebijakan-kebijakan semacam itu dikelola. Ketiga, kelemahan yang mung-kin ada selama proses implementasi kebijakan ber-langsung.

Misalnya, kebijakan pemerintah menyangkut tata niaga cengkeh. Pada awalnya kebijakan pemerin-tah melalui Keppres No. 8/1980 tentang tata niaga cengkeh mengandung dua prinsip penting, yakni bahwa tata niaga cengkeh harus memperhatikan ke-pentingan petani agar para petani memperoleh peneri-maan yang layak, dan kedua agar supply cengkeh untuk kebutuhan PRK terjamin.

Namun demikian, dalam implementasi kebijakan selanjutnya kepentingan petani tidak terpenuhi karena para petani tidak mempunyai posisi tawar yang mema-

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

313

Page 327: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

dai dengan para pelaku tata niaga cengkeh, yakni para pengusaha pabrik rokok yang tergabung dalam GAPPRI dan BPPC yang justru mengambil keuntu-ngan paling besar dari adanya kebijakan pemerintah dalam hal tata niaga cengkeh.

Dengan begitu, dalam implementasinya, kebija-kan pemerintah mengenai tata niaga cengkeh menim-bulkan cacat sehingga seharusnya kebijakan tersebut diubah atau diganti dengan kebijakan baru yang lebih mampu memberi jaminan keuntungan kepada petani, misalnya harga cengkeh diserahkan langsung kepada mekanisme pasar.

Terakhir, perubahan terhadap kebijakan ditentu-kan kekuatan politik dan kesadaran dari kelompok-kelompok dimana kebijakan tersebut ditujukan. Mi-salnya, tekanan kelompok mahasiswa, kalangan inter-nasional dan Walhi telah mendorong terjadinya peru-bahan menyangkut pendirian perusahaan pulp dan rayon PT. Inti Indorayon Utama di Porsea.Tekanan-tekanan dari kelompok ini telah mendorong peme-rintah untuk memberi perhatian yang lebih besar ter-hadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusa-haan pulp tersebut.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

314

Page 328: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

6. Kesimpulan

Proses evaluasi dapat dipandang sebagai akhir

proses kebijakan, tetapi dapat juga diartikan tidak.

Artinya, setelah tahap evaluasi kebijakan masih ada

tahap yang lain, yakni tahap terminasi atau perubahan

kebijakan.Pada dasarnya setiap kebijakan mempunyai

tujuan-tujuan tertentu atau ingin meraih dampak-

dampak yang diinginkan.

Namun demikian, karena proses kebijakan meru-

pakan proses yang kompleks, maka seringkali pro-

gram-program kebijakan tidak dapat meraih tujuan

atau dampak yang diinginkan. Evaluasi dalam bahasa

yang lebih singkat digunakan untuk melihat sejauh-

mana program-program kebijakan meraih dampak

yang diinginkan. Seperti halnya dalam tahap imple-

mentasi, tahap evaluasi kebijakan pun juga mendapat

kendala seperti misalnya, ketidakjelasan tujuan, tanta-

ngan dari para birokrat dan lain sebagainya.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

315

Page 329: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

316

Page 330: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

embahas Implementasi Kebijakan Pub-Mlik, tidak dapat dipisahkkan dengan taha-pan proses yang telah diuraikan pada Bab

I. Dalam buku ini maka pembahasan Analisis Kebija-kan Publik menjadi suatu keharusan sebagai suatu tahapan proses yang menyangkut penyusunan subs-tansi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi serta dampak dari suatu kebijakan publik.

Berbagai teori dan kasus-kasus yang diangkat pada berbagai negara dapat dijadikan sebagai gamba-ran yang utuh tentang Kebijakan Publik yang merupa-kan bagian penting dalam setiap proses penyeleng-garan negara, pemerintahan dan masyarakat.

Pengambilan keputusan merupakan roh dari sua-tu Kebijakan Publik, sebab substansi Kebijakan Pub-lik akan menjadi wacana saja jika tanpa adanya proses pengambilan keputusan.

Bagi mahasiswa yang akan menjadi calon pe-mimpin kedepan, tentu perlu dibekali kemampuan Analisis Kebijakan Publik, terutama dalam Imple-mentasinya, jika tidak maka dia akan menjadi pemim-pin yang berada di awang-awang, tidak membumi dan akhirnya tidak melakukan apa-apa. Jika itu yang ter-jadi maka pada saat itu kemunduran suatu bangsa se-dang berlangsung terjadi.

BAB IVPENUTUP

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

317

Page 331: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Referinsi dari buku William Dunn, Wayne Par-sons, Budi Winarno, Riant Nugroho, Edi Soeharto dan banyak penulis lain yang menulis tentang Kebijakan Publik dan juga referensi text book yang dicantumkan pada catatan kaki diharapkan dapat membantu maha-siswa dalam meperdalam teori, proses dan studi kasus dari Kebijakan Publik.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

318

Page 332: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

AG.Subarsono,(2008), Analisis Kebijakan Publik:

Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bardach, Eugene, (2000), A Practical Guide for Policy Analysis The Eighfold Path to More Effective Problem Solving, New York: Seven Bridges Press.

Bessant Judith, Watts Rob, Dalton Tony&Smyth Paul (2006), Talking Policy How Social Policy is Made, Allen & Unwin Crows Nest NSW.

Dunn, William N., (2000, 2nd edition), Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Dunn, William N. (1981). Public Policy Analysis: An Introduction, New Jersey: Prentice Hall.

Dwidjowito, Riant Nugroho, (2003), Kebijakan Publik: Perumusan. Implementasi. Evaluasi, Jakarta: Elex Media Komputindo.

Dwidjowito, Riant Nugroho D. (2007), Analisis Kebijakan.PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Dwidjowito, Riant Nugroho D, (2008), Public Policy. PT.Elex Media Komputindo, Jakarta

Dye, Thomas R., (1995), Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall.

DAFTAR PUSTAKA

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

319

Page 333: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Hill Michael (1996), Social Policy A comparative analysis, Prentice Hall, London.

Hogwood, B.W & Gun L.A.,Policy Analysis for the Real World. Oxford: Oxford University Press.

Parsons, Wayne, 2005 (2001), Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Prenada Media.

Patton, Carl V., & David S. Sawicky, (1993), Basic Methods of Policy Analysis and Planning, London: Prentice Hall.

Quade, E.S., (1982), Analysis for Public Decission, New York: Elseveir Science Publishing.

Suharto, Edi, (2006), Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung.

Suharto, Edi. (2007), Kebijakan sosial sebagai kebijakan publik, Alfabeta, Bandung.

Wayne Parsons. (2006). Public Policy: Pengantar Teori & Praktek Analisis Kebijakan, Predana Media Group, Jakarta.

Weimer, L. David & Vining.R.Aidan (1991), Policy Analysis Concepts and Practice, Prentice Hall New Jersey.

Williams, Walter, (1971), Social Policy Research and Analysis: The Experiencein the Federal Social Agencies, New York: American Elseveir Publishing.

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

320

Page 334: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

r. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, Dlahir di Medan Sumatera Utara tanggal 25

Juni 1955. Menyelesaikan pendidikan SD

Negeri di sebuah Perkebunan Negara di Kabupaten

Deli Serdang Ta-hun 1968, SMP Negeri Perbaungan

Kabupaten Deli Serdang diselesaikan tahun 1971, dan

SAA (Sekolah Asisten Apoteker) Negeri Medan tamat

tahun 1974.

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi di

FMIPA Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 1981

dan pendidikan profesi Apoteker tahun 1982. Pada

tahun 1988-1990 melanjutkan pendidikan S2 Public

Health di Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) bi-

dang studi Biostatistik dan Kependudukan dan men-

dapatkan predikat lulusan terbaik II. Pada tahun 2010

menyelesaikan pendidikan S3 Bidang Studi Manaje-

men Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Mulai bekerja di BKKBN Propinsi Sumatera

Utara tahun 1983, melanjutkan pendidikan S2 dengan

tugas belajar tahun 1988-1990, dan pada tahun 1990

ditigaskan sebagai Kepala BKKBN Kota Pematang

Siantar. Tahun 1994 ditarik ke BKKBN Pusat.

BIO DATA PENYUSUN

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

321

Page 335: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Tahun 2001 pindah ke Departemen Sosial dan menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Ban-tuan dan Jaminan Sosial. Tahun 2006 Direktur Jende-ral Bantuan dan Jaminan Sosial dan akhir tahun 2007 menjabat sebagai Sekretaris Jenderal sampai dengan Oktober 2010. Sejak Oktober 2010 sampai dengan Nopember 2013 Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah.

Desember 2013 sampai dengan Juni 2015 menja-bat sebagai Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat dan Deputi Menko PMK Bidang Koordiniasi Penang-gulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial. Sejak Juli 2015 Pensiun sebagai PNS dan Oktober 2015 Pensiun sebagai Ketua DJSN.

Disamping jabatan di Kemensos, pada Septem-ber 2008 diangkat sebagai Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Agustus 2010 sebagai Plt. Ketua DJSN sampai dengan Oktober 2015.

Pada tahun 1982-1988 pernah juga mengajar se-bagai Guru SAA Negeri dan Swasta di Medan dan Dosen Luar Biasa Jurusan Tadris Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.

Saat ini juga aktif mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (UNAS), dan di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Studi Islam UNIDA Ciawi Bogor dan pernah sebagai Konsultan beberapa penelitian di Puslitbangkesos.

Telah menerbitkan buku dengan judul: Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah, Reformasi

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

322

Page 336: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Jaminan Sosial Di Indonesia, Transformasi BPJS: “In-dahnya Harapan Pahitnya Kegagalan, bersama Tim DJSN menyusun Roadmap JKN 2014-2019 dan de-ngan Bappenas menyusun Roadmap Ketenagakerjaan 2014-2019. Saat ini sedang merampungkan penulisan buku Dinamika Penyelenggaraan Jaminan Sosial Di Era SJSN.

Menikah dengan Dra. Leny Brida Siregar, Dipl. TESOL, M,Psi, M.Hum (Mahasiswa S3 UNJ, Dosen Politeknik Negeri Jakarta), pada tahun 1983 dan di-karuniai dua orang putra, Budi Syarif Amanda Situ-morang,SH, LL,M, (Erasmus University Belanda) dan Boby Nirwan Ramadhan Situmorang, SE, B,Econ, M.Ec.Int.F (Adv) dari University Of Quens-land Australia.

KEBIJAKAN PUBLIK (Teori Analisis, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan)

323

Page 337: s. Chazali H. Situmor Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/305/1/KEBIJAKAN PUBLIK.pdfPesona View Blok B-8 Jl. Ir. H. Juanda Kota Depok Telp/Fax : (021) 77840967/(021)

Catatan:

Dr. Drs. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

324