riwayat isrÂÎliyyÂt dalam tafsir al-qur'an

152
MOHAMAD SAOFI DALAM TAFSIR AL-QUR'AN DALAM TAFSIR AL-QUR'AN DALAM TAFSIR AL-QUR'AN (STUDI TERHADAP S RAH Y SUF (STUDI TERHADAP S RAH Y SUF Û Û Û Û Î Î DALAM KITAB TAFS R DALAM KITAB TAFS R AL-TABARI IBNU KATSÎR AL-TABARI IBNU KATSÎR DAN ) DAN ) (STUDI TERHADAP S RAH Y SUF Û Û Î DALAM KITAB TAFS R AL-TABARI IBNU KATSÎR DAN ) DELEGITIMASI DELEGITIMASI DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT Kisah dalam al-Qur'an dihadirkan hanya sepintas saja, hal ini membuat para mufassir kesulitan untuk menjelaskannya dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan nama-nama tokoh yang berperan dalam kisah tersebut serta saat berupaya untuk membahas kisah tersebut dengan lebih mendetail dan komprehensif. Sebab itulah para mufassir mengutip keterangan tambahan dari ahli kitab selaku kaum yang memiliki hubungan erat dengan kisah yang disebutkan di dalam al-Qur 'a n. Persinggungan antara mufassir dan keterangan ahli kitab ini yang kemudian melatar belakangi masuknya cerita isrâîliyyât dalam khazanah tafsir al-Qur'an. Melihat bagaimana dampak tafsir al-Qur'an yang memuat riwayat isrâîliyyât terhadap perilaku keberagamaan muslim, maka perlu dipertanyakan kembali kualitas, posisi serta urgensitas riwayat isrâîliyyât sebagai salah satu sumber sah dalam menafsirkan al-Qur'an. Buku ini mencoba menguraikan kualitas, posisi dan urgensitas riwayat Isrâîliyyât dalam konteks sebagai sumber rujukan tafsir dalam kitab tafsir al-Tabari dan Ibnu Katsîr. Fokus pembahasan dalam buku ini adalah cerita isrâîliyyât tentang nama istri, ketergodaan dan pernikahan Nabi Yûsuf. Semoga buku ini memberikan manfaat dan keberkahan untuk kita semua. Âmîn DALAM TAFSIR AL-QUR'AN (STUDI TERHADAP SÛRAH YÛSUF DALAM KITAB TAFSÎR AL-TABARI DAN IBNU KATSÎR) DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT MOHAMAD SAOFI DALAM TAFSIR AL-QUR'AN DALAM TAFSIR AL-QUR'AN DALAM TAFSIR AL-QUR'AN DELEGITIMASI DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

MOHAMAD SAOFI

DALAM TAFSIR AL-QUR'ANDALAM TAFSIR AL-QUR'ANDALAM TAFSIR AL-QUR'AN(STUDI TERHADAP S RAH Y SUF (STUDI TERHADAP S RAH Y SUF Û ÛÛ Û

Î ÎDALAM KITAB TAFS R DALAM KITAB TAFS R AL-TABARI IBNU KATSÎRAL-TABARI IBNU KATSÎR DAN ) DAN )

(STUDI TERHADAP S RAH Y SUF Û Û ÎDALAM KITAB TAFS R

AL-TABARI IBNU KATSÎR DAN )

DELEGITIMASI DELEGITIMASI DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂTRIWAYAT ISRÂÎLIYYÂTRIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT

Kisah dalam al-Qur'an dihadirkan hanya sepintas saja,

hal ini membuat para mufassir kesulitan untuk menjelaskannya

dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan nama-nama

tokoh yang berperan dalam kisah tersebut serta saat berupaya

untuk membahas kisah tersebut dengan lebih mendetail dan

komprehensif. Sebab itulah para mufassir mengutip

keterangan tambahan dari ahli kitab selaku kaum yang

memiliki hubungan erat dengan kisah yang disebutkan di

dalam al-Qur'an. Persinggungan antara mufassir dan

keterangan ahli kitab ini yang kemudian melatar belakangi

masuknya cerita isrâîliyyât dalam khazanah tafsir al-Qur'an.

Melihat bagaimana dampak tafsir al-Qur'an yang

memuat riwayat isrâîliyyât terhadap perilaku keberagamaan

muslim, maka perlu dipertanyakan kembali kualitas, posisi

serta urgensitas riwayat isrâîliyyât sebagai salah satu sumber

sah dalam menafsirkan al-Qur'an.

Buku ini mencoba menguraikan kualitas, posisi dan

urgensitas riwayat Isrâîliyyât dalam konteks sebagai sumber

rujukan tafsir dalam kitab tafsir al-Tabari dan Ibnu Katsîr.

Fokus pembahasan dalam buku ini adalah cerita isrâîliyyât

tentang nama istri, ketergodaan dan pernikahan Nabi Yûsuf.

Semoga buku ini memberikan manfaat dan keberkahan untuk

kita semua. Âmîn

DALAM TAFSIR AL-QUR'AN(STUDI TERHADAP SÛRAH YÛSUF DALAM KITAB TAFSÎR AL-TABARI DAN IBNU KATSÎR)

DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT

MO

HAM

AD

SA

OFI

DALA

M TA

FSIR AL-Q

UR'AN

DALA

M TA

FSIR AL-Q

UR'AN

DALA

M TA

FSIR AL-Q

UR'AN

DELEG

ITIMA

SI

D

ELEGITIM

AS

I

RIW

AY

AT IS

ÎLIYY

ÂT

RIW

AY

AT IS

ÎLIYY

ÂT

DELEG

ITIMA

SI

R

IWA

YA

T ISR

ÂÎLIY

T

Page 2: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-

QUR’AN (STUDI TERHADAP SURAH YÛSUF DALAM KITAB

TAFSIR AL-THABARI DAN IBN KATSÎR)

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Magister Agama (M.Ag)

Oleh :

Mohamad Saofi

NIM : 21160340000002

ISBN : 978-623-94368-0-3

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISALAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441H/2020M

Page 3: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN
Page 4: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN
Page 5: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN
Page 6: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

vi

ABSTRAK

Mohamad Saofi, Delegitimasi Riwayat Isrâîliyyât Dalam Tafsir Al-

Qur’an : Studi Terhadap Surah Yusuf Dalam Kitab Tafsir Al-

Thabari Dan Ibn Katsir, 2020

Tesis ini mengkaji tentang riwayat Isrâîliyyâat dalam kitab tafsir al-

Tabari dan Ibn Katsîr. Kedua tafsir ini bercorak bi al-ma’tsûr, akan tetapi

keduanya memiliki padangan yang berbeda tentang bagaimana

memperlakukan riwayat Israiliyyat sebagai sumber penafsiran. Al-Tabari

merupakan mufassir yang menerima riwayat Israiliyyat dengan seleksi

yang cukup longgar. Sedangkan Ibn Katsîr termasuk mufassir yang

menerimanya dengan seleksi yang cukup ketat.

Dalam tesis ini penulis membahas tentang riwayat Isrâîliyyâat pada

surah Yusûf yang terfokus pada pembahasan tentang nama istri al-„Azîz,

ketergodaan Nabi Yûsûf dan pernikahan Nabi Yûsûf.

Tesis ini menjawab pertanyaan bagaimana kualitas riwayat

Israiliyyat di dalam tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr dalam surah Yûsûf?

Dan bagaimana posisi dan urgensitas riwayat Israiliyyat dalam konteks

sebagai sumber rujukan tafsir dalam kedua tafsir tersebut? Dengan

menggunakan metode diskriptif analitis, penulis menjawab pertanyaan

penelitian tersebut melalui pencarian data kepustakaan, lebih khusus kitab

tafsir tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr. Selain itu, penulis juga mencari kitab

tafsir, buku, dan artikel yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya,

penulis menafsir data-data yang terkumpul secara analitis menggunakan

pengumpulan sejumlah unit-unit pada analisis.

Kajian ini menemukan beberapa poin: Temuan pertama,

Berdasarkan kajian riwayat bahwa penamaan istri al-„Azîz, ketergodaan

dan pernikahan Nabi Yûsûf dapat dipastikan keotentikan riwayat tersebut

tidak bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan teori al-Jarh wa al-Ta’dîl.

Temuan kedua, Dalam kajian seputar posisi al-Tabari dan Ibn Katsîr

terhadap riwayat isrâîliyyât, al-Tabari cenderung lebih longgar saat

mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya. Sedangkan Ibn Katsîr

begitu mempertimbangkan kualitas sanad dan kesesuaian dengan syarî‟at

Islam dalam tafsirnya. Temuan ketiga, Kajian seputar urgensitas adanya

riwayat isrâîliyyât sebagai sumber penafsiran bagi para mufassir

setidaknya bermuara dalam 3 hal yaitu riwayat isrâîliyyât sebagai

pelengkap sejarah, sebagai upaya akulturasi budaya antar agama dan

sebagai kritik atau kajian mufassir sebelumnya.

Kata Kunci: Israiliyyat, Yusûf dan Tafsir

Page 7: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

vii

ABSTRACT

Mohamad Saofi, Delegitimation of the History of Israel in the

Interpretation of the Qur'an: Study of Surah Yûsûf in the Book of

Tafsir Al-Tabari Dan Ibn Katsîr, 2020

This thesis discusses about the history of Isrâîliyyâat in the book of

al-Tabari and Ibn Kathir. Both of these interpretations are patterned bi al-

ma’tsûr, but both have different views about how to treat the history of

Isrâîliyyâat as a source of interpretation. Al-Tabari was a commentator

who accepted the history of Isrâîliyyâat with a fairly loose selection.

While Ibn Katsîr was a mufassir who received it with a fairly strict

selection.

In this thesis, the author discusses the history of Isrâîliyyâat in Surah

Yûsûf focusing on the discussion of the name of al-ziz wife, the

compulsion of the Prophet Yûsûf and the marriage of the Prophet Yûsûf.

This thesis answers the question of how is the quality of the history

of Isrâîliyyâat in the interpretation of al-Tabari and Ibn Katsîr in surah

Yûsûf? And what is the position and urgency of the history of Isrâîliyyâat

in context as a source of reference for interpretation in both

interpretations? By using the discriptive-anality method, the researcher

answers question of the research with searching data of library, especially

book al-Tabari and Ibn Katsîr. Bisides, the researcher searches for

exegesis books, books, and article that are relevant with this research.

After that, the researcher analyzes the datas and discusses them.

This research finds some points: The first result, Based on historical

studies that the naming of al-„Azîz's wife, the composure and marriage of

the Prophet Yûsûf can be ascertained the authenticity of the history cannot

be justified based on al-Jarh wa al-Ta’dîl theory. The second result, In a

study of the position of al-Tabari and Ibn Katsîr on the history of

Isrâîliyyâat, al-Tabari tends to be more lenient when including the history

of Isrâîliyyâat in his interpretation. While Ibn Katsîr so consider the

quality of sanad and conformity with the Islamic shari'ah in his

interpretation. The third result, the study of the urgency of the history of

isrâîliyyât as a source of interpretation for the commentators at least leads

to three things, namely the history of isrâliyyât as a complement to history,

as an attempt at acculturation of cultures between religions and as a

critique or previous mufassir study.

Key Word : isrâliyyât, Yûsûf and Exegesis

Page 8: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Swt., Tuhan

semesta alam yang telah memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam

semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw.

pembawa kebenaran dan petunjuk bagi umat manusia. Al-Hamd li Allâh,

dengan berbagai kesulitan yang penulis hadapi dalam penyelesaian tesis

ini, akhirnya berkat ridha dan inayah Allah Swt., semua kesulitan tersebut

dapat penulis lalui.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih kepada

banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil di dalam penyelesaian

tesis ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-pihak lainnya.

Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar

Lubis, Lc., M.A., kepada Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Yusuf Rahman, M.A., Ph.D., kepada jajaran pimpinan serta

para dosen pengajar Magister Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al

Munawar, MA, Prof. Hamdani Anwar, MA, Dr. Lilik Ummi Kaltsum,

MA, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA, Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, dan

beberapa dosen yang lain.

Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa

terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr.

Bustamin, SE, M.Si dan Dr. Sandi Santosa, M.Si, selaku pembimbing

yang dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak sekali memberikan

masukan-masukan yang berharga kepada penulis demi berkualitasnya

karya ini.

Page 9: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

ix

Ketiga, penulis juga berkewajiban mengucapkan terimakasih yang

setulus-tulusnya kepada ibunda tercinta Sahriah serta ayahanda tercinta

Marsun, yang tak pernah letih memberikan motivasi serta kasih sayang

yang tulus kepada penulis. Selain itu, kepada istri tercinta Siti Humairoh

yang menyertai terselesainya karya ini. Begitujuga kepada anak tercinta

Ahmad Dzawil Hilmi Asshofi, yang kadang kurang perhatian karena

terlalu sibuk dengan pekerjaan dan penulisan tesis ini, semoga menjadi

anak yang sholeh dan bermanfaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa. Amin.

Keempat, tak ketinggalan penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada teman-teman seperjuangan di program magister ini yang selalu

memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian studi di

Program Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka itu: Habib

Husein Ja‟far Al-Hadar, Hasiolan, Khalilullah, Attabik Hasan Ma‟ruf,

Muhammad Najib, Muhammad Hanif, Jalaluddin, Saiful Arif, Apriadi

Fauzan, Zainurrahman, Aryadillah, Abdul Syukur, Fachri dan Reva.

Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis persembahkan

karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian terhadap kajian

keislaman, disertai harapan semoga dengan hadirnya karya ini dapat

memberikan kontribusi dan manfaat dalam memperkaya wawasan

intelektual, khususnya bagi perkembangan khazanah Ulûm al-Qur’ân.

Jakarta, 8 Juli 2020

Mohamad Saofi

Page 10: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

x

DAFTAR ISI

PERNYATAAN .................................................................................... iii

PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................... v

ABSTRAK ............................................................................................. vi

KATA PENGANTAR .......................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ........... 10

C. Tujuan Penelitian ............................................................ 11

D. Manfaat Penelitian .......................................................... 12

E. Telaah Pustaka ................................................................ 13

F. Metodologi Penelitian ..................................................... 19

G. Sistematika Pembahasan ................................................. 23

BAB II ISRÂÎLIYYÂT DALAM BINGKAI TAFSIR AL-QUR’AN

A. Pengertian Isrâîliyyât ...................................................... 26

B. Sejarah Masuknya Isrâîliyyât ke dalam Tafsir al-Qur‟an

serta Dampak Negatifnya ................................................ 28

C. Macam-macam Isrâîliyyât serta Hukum Periwayatannya

dalam Tafsir al-Qur‟an .................................................... 37

D. Kitab-Kitab Tafsir yang Menggunakan Riwayat Isrâîliyyât

......................................................................................... 43

Page 11: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

xi

BAB III RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM KITAB TAFSÎR AL-

TABARI DAN IBN KATSÎR

A. Profil Kitab-Kitab Tafsîr yang Menggunakan Riwayat

Isrâîliyyât dan Biografi Pengarangnya............................ 47

1. Tafsîr al-Tabari ......................................................... 47

2. Tafsîr Ibn Katsîr ........................................................ 65

B. Riwayat-Riwayat Isrâîliyyât dalam Kitab Tafsîr al-Tabari

dan Ibn Katsîr serta Komparasinya dengan Kitab-Kitab

Tafsir Lain ....................................................................... 73

1. Nama Istri al-„Azîz dalam Sûrah Yûsuf Ayat 21 ..... 73

2. Ketergodaan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 24

................................................................................. 79

3. Pernikahan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 56

................................................................................. 85

BAB IV VALIDITAS, POSISI DAN URGENSI RIWAYAT

ISRÂÎLIYYÂT

A. Kajian Kritik Sanad dan Matan Riwayat Isrâîliyyât dalam

Tafsîr al-Tabari dan Ibn Katsîr ....................................... 91

1. Kritik Sanad dan Matan seputar Nama Istri al-„Aziz

dalam surah Yûsuf Ayat 21 ..................................... 91

a. Kritik Sanad ....................................................... 91

b. Kritik Matan ....................................................... 104

2. Kritik Sanad dan Matan seputar Ketergodaan Nabi

Yûsuf As. dalam Surah Yûsuf Ayat 24 .................... 104

a. Kritik Sanad ....................................................... 104

b. Kritik Matan ....................................................... 116

Page 12: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

xii

3. Kritik Sanad dan Matan seputar Pernikahan Nabi

Yûsuf dalam Surah Yûsuf Ayat 56 .......................... 116

a. Kritik Sanad ....................................................... 116

b. Kritik Matan ....................................................... 117

B. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-

Qur‟ân ............................................................................. 118

1. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran

al-Qur‟ân dalam Tafsîr al-Tabari ............................. 118

2. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran

al-Qur‟ân dalam Tafsîr Ibn Katsîr ........................... 122

C. Urgensitas Riwayat Isrâîliyyât terhadap Tafsîr al-Qur‟ân

......................................................................................... 125

1. Pelengkap Sejarah .................................................... 126

2. Perpaduan Tsaqâfah ................................................. 127

3. Mengkaji Ulang Mufassir Sebelumnya ................... 129

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................... 131

B. Saran ............................................................................... 133

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 134

Page 13: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara

latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B be ب

T te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

H h dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D De د

Dz de dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis di bawah ص

D de dengan garis di bawah ض

T te dengan garis di bawah ط

Z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

Gh ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

Page 14: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

xiv

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ‟ ء

Y Ye ي

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A fathah

I kasrah

U dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i ي…

Au a dan u و…

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di ـآ

Page 15: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

xv

atas

Î i dengan topi di ـي

atas

Û u dengan topi di ـو

atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf

syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-

dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah

itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah,

demikian seterusnya.

Page 16: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi orang Islam, al-Qurân diyakini bukan sebagai buku sejarah,

melainkan kitab yang berisi pedoman hidup bagi orang-orang yang

bertakwa.1 Meski demikian, di antara ribuan ayat dalam al-Qurân ada

bagian dimana kisah maupun sejarah mendapat porsi yang banyak

untuk diceritakan. Ayat-ayat yang memuat unsur sejarah dalam al-

Qurân tertulis dengan cara yang berbeda-beda: adakalanya terkisah

utuh dalam satu surah, ada pula yang tersebar dalam surah yang

berbeda-beda. Perbedaan itu semakin menampakkan betapa al-Qurân

memiliki beragam variasi dalam hal menghadirkan kisah-kisah masa

lalu melalui lantunan-lantunan ayatnya.

Kata qahas disebutkan setidaknya sebanyak empat kali dalam al-

Qurân.2 Selain itu, kata tersebut juga menjadi salah satu nama sûrah

1 Sebagaimana tercantum dalam Sûrah al-Baqarah (2): 2.

2 Yakni terdapat pada:

Sûrah Ali „Imran (3): 62

لق ٱللصصٱهذالىيإن ٱونانوإلهإل لل ٱوإن ٦٢لهيمٱلعزيزٱلىيلل Sûrah al-A‟râf (7):176

رونللصصٱكصصٱف ١٧٦لعل ىميتفه Sûrah Yusuf (12): 3

حسونوعليمأ وحيناإلمهذاللصصٱنلص

لهوۦوإنننتنوقبلهللرءانٱبهاأ

٣لغفليٱdan surâh al-Qasas (28): 25

اجاءه عليهۥفله لهيٱلليمٱكاللتفنيتنوللصصٱوكص ٢٥لظ Lihat, Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân

al-Karîm, cet. ke-2 (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2003), hlm. 753.

Page 17: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

2

dalam al-Qurân, yakni surah ke-28. Hal itu menunjukkan bahwa kisah-

kisah tentang manusia di masa lalu dalam al-Qurân mendapat perhatian

tersendiri.

Para peneliti al-Qurân mendefinisikan kisah dalam al-Qurân

sebagai pemberitaan mengenai kisah-kisah umat terdahulu, kisah para

Nabi, serta beragam peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa kini,

maupun masa yang akan datang dengan cara yang menarik dan

memesona.3 Al-Qattan menjelaskan bahwa makna dasar kata qasas

adalah mengikuti jejak. Sedangkan kata qissah bermakna perkara,

berita, keadaan dan kondisi. Adapun qasas dalam al-Qurân ia

definisikan sebagai pemberitaan al-Qurân terhadap keadaan umat-umat

terdahulu, nabi-nabi terdahulu, serta segala kejadian yang terjadi pada

mereka.4

Hingga hari ini, para pemikir berbeda pendapat mengenai nyata

atau tidaknya kisah-kisah yang ada dalam al-Qurân. Berbeda halnya

dengan jumhur ulama‟ yang berpandangan bahwa setiap kisah dalam

al-Qurân adalah haqq (benar)5, beberapa tokoh muslim modern semisal

3 Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah, cet.

ke-1(Yogyakrta: Penerbit Teras, 2013), hlm. 131. Hal senada dengan redaksi bahasa yang

nyaris sama juga bisa ditemui di Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi‟i, Ulumul Qur‟an II,

cet. ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 27. Bandingkan dengan, Mannâ‟

Khalîl al-Qatthân, Mabahits fî „Ulum al-Qurân (Maktabah al-Ma‟ârif, 2000), hlm. 436.

4 Mannâ‟ Khalîl al-Qatthân, Mabahits fî „Ulum al-Qurân, hlm. 316. Lebih lanjut

al-Qattan membagi kisah dalam al-Qur‟an ke dalam tiga bagian: 1) kisah tentang para

Nabi dalam aspek dakwah mereka dan bagaimana respon kaumnya terhadap dakwah

tersebut; 2) kisah tentang kejadian atau kelompok yang masih samar dan belum pasti

ketetapannya, seperti kisah ashâbul kahfi; dan 3) kisah-kisah yang terjadi pada masa Nabi

Muhammad SAW, seperti tentang perang-perang pada masa Nabi. Lihat Al-Qattan,

Mabahits fî „Ulum al-Qurân, hlm. 317.

5 Sebagaimana tercantum dalam surah al-Kahfi (18): 13

و ن ومبعليمنبأ ١٣إن ىمفتيةءاننيابربىموزدنىمودىلق ٱنلص

Page 18: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

3

Muhammad Abduh, Muhammad Ahmad Khalafullah serta beberapa

pemikir lain menganggap bahwa tidak semua kisah dalam al-Qurân

dapat dibuktikan kebenarannya. Muhammad Abduh berpandangan

bahwa kisah-kisah dalam al-Qur‟an hanya sebagai tamtsil

(perumpamaan) saja, sedangkan Muhammad Ahmad Khalafullah lewat

disertasinya, al-Fann al-Qasas fî al-Qurân al-Karîm, berpandangan

bahwa kisah-kisah dalam al-Qur‟an hanya ihtilâq (rekayasa) belaka.

Hal itu seolah mengindikasikan bahwa kisah-kisah dalam al-Qurân

hanyalah cerita fiktif belaka (al-Qissah al-Khayâliyyah).6

Terlepas dari perdebatan di atas, kedua kubu memiliki titik

persamaan bahwa kisah maupun sejarah yang tercantum dalam al-

Qurân tidak pernah terlepas dari pelajaran-pelajaran baik tentang

akidah, syari‟ah maupun akhlaq. Setiap kisah yang terangkum dalam

al-Qur‟an hampir pasti memiliki pesan-pesan tersirat yang erat

kaitannya dengan tiga hal tersebut.7 Hal ini, menurut hemat penulis,

merupakan cara unik Allah untuk memberikan petunjuk pada manusia

dengan cara yang berbeda selama kisah-kisah yang ada dalam al-Qurân

Artinya: Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan

sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan

mereka, dan kami tambahkan petunjuk kepada mereka.

Surah al-Qasas (28): 3

وفرعينب ٣لليميؤننينلقٱنتلياعليمنون بإميسArtinya: Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir‟aun

dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman.

dan Surah Ali Imran (3): 62

لق ٱللصصٱهذالىيإن ٱونانوإلهإل لل ٱوإن ٦٢لهيمٱلعزيزٱلىيلل Artinya: Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain

Allah, dan sungguh Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. 6 Dikutip oleh Fathurrosyid, Semiotika Kisah al-Qurân; Membedah Perjalanan

Religi Raja Sulaiman dan Ratu Balqis (Surabaya: Penerbit Buku Pustaka Radja, 2014),

hlm. 8.

7 Kadar M. Yusuf, Studi al-Qurân, cet. ke-1 (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 175.

Page 19: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

4

tersebut tidak sekadar dinikmati untuk didengarkan saja, namun juga

dipikirkan pesan-pesan moral yang ada di dalamnya.8

Oleh karena kisah-kisah dalam al-Qurân hanya dihadirkan sepintas

saja, maka hal tersebut membuat mufassir kesulitan untuk

menjelaskannya dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan nama-

nama tokoh yang berperan dalam kisah itu serta saat berupaya untuk

membahas cerita-cerita itu dengan lebih mendetail dan komprehensif.

Sebab itulah para mufassir mengutip keterangan tambahan dari ahli

kitab selaku kaum yang memiliki hubungan erat dengan kisah-kisah

yang disebutkan di dalam al-Qurân. Persinggungan antara mufassir dan

keterangan ahli kitab ini yang kemudian melatar belakangi masuknya

cerita israiliyat dalam khazanah tafsir al-Qurâ‟an.9

Cerita israiliyat diartikan oleh al-Dzahabî sebagai cerita-cerita

yang mayoritas berasal dari orang-orang Yahudi yang mana segala

cerita itu muncul dari sumber-sumber agama Yahudi seperti halnya

kitab Talmud ataupun cerita-cerita yang diceritakan secara turun-

temurun oleh orang-orang Yahudi.10

Al-Dzahabî menjelaskan bahwa

Israiliyyat mengandung dua pengertian, yaitu; pertama, kisah dan

dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadis yang awal

periwayatannya berasal dari Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya.

Kedua, cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh

8 Sebagaimana firman Allah, al-A‟raf (7): 176

رونللصصٱكصصٱف ١٧٦لعل ىميتفه 9 Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur‟an, hlm. 176.

10

Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-4

(Mesir: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 13-14.

Page 20: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

5

Islam ke dalam tafsir dan hadis yang tidak terdapat dalam sumber-

sumber terdahulu.11

Âmin al-Khulli, seperti dikutip oleh Muhammad Chirzin, menjelaskan

bahwa Israiliyyat adalah pembaruan kisah-kisah dari agama dan

kepercayaan bukan Islam yang masuk ke Jazirah Arab. Kisah-kisah

tersebut dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sejak dulu berkelana ke

arah Timur Babilonia dan sekitarnya, dan ke arah Barat menuju Mesir.

Setelah mereka kembali ke negara asal, mereka membawa bermacam-

macam berita keagamaan yang mereka dapatkan dari negara-negara

yang mereka singgahi.12

Terlepas dari beberapa pendapat ulama terhadap pengertian

Israiliyyat, pada kenyataannya riwayat Israiliyyat digunakan oleh

sebagian ulama untuk menafsirkan al-Qurân. Bahkan sudah terjadi

sejak masa sahabat, di antara sahabat terkadang bertanya kepada Ahli

kitab tentang rincian cerita yang terdapat dalam al-Qurân. Namun

mereka tetap teliti dan hati-hati karena tidak semua cerita israiliyyat

tersebut sesuai dengan ajaran agama.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa baik kisah itu nyata atau

tidak, para ahli tafsir bersepakat bahwa ada nilai dan ajaran yang

tersirat dari kisah tersebut. hanya saja, para mufassir yang menyetujui

bahwa kisah tersebut nyata berusaha untuk mendapatkan penjelasan-

penjelasan mengenai detail kisah tersebut melalui riwayat israiliyyat.

Hal ini terutama terjadi di dalam kitab tafsir yang berorientasi pada

riwayat (bi al-ma‟tsûr) seperti yang dilakukan oleh al-Tabari dan Ibnu

Katsir. Konsekuensi dari masuknya riwayat-riwayat israiliyyat tersebut

11

Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, hlm. 15.

12

Muhammad Chirzin, al-Qur‟an dan Ulumul Qur‟an (Yogyakarta: Penerbit

Dana Bakti Prima Yasa, 1998), 78.

Page 21: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

6

ke dalam dua kitab tafsir tersebut yang menjadi rujukan tafsir bagi

mayoritas muslim, terutama di Indonesia, memiliki pengaruh yang

cukup signifikan terhdap keberagamaan orang Islam.

Contoh kasusnya adalah bagaimana nama Zulaikha‟ begitu

tersohor sejak dulu sebagai istri al-„Azîz (raja) bernama Qitfir yang

pada akhirnya menjadi istri Nabi Yûsûf. Informasi ini sudah begitu

populer di kalangan masyarakat. Ia disampaikan berulang kali, baik

dari cerita para mubaligh, buku-buku kisah Nabi, terjemah al-Qur‟an,

bahkan buku-buku fiksi yang terang-terangan mencatut nama Yûsûf

dan Zulaikha‟ sebagai judul, seolah melegitimasi bahwa Zulaikha‟

merupakan nama dari istri Qitfir yang kelak menjadi istri Nabi Yûsûf.

Padahal kenyataannya (berbeda halnya dengan penyebutan nama Nabi

Yûsûf yang memang ada dalam al-Qur‟an13

) tidak ada satu kata pun

dalam al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa nama istri al-„Azîz itu

adalah Zulaikha‟; nama al-„Azîz itu adalah Qitfir, serta ihwal

pernikahan Nabi. Nama Yûsûf dan Zulaikha‟ bahkan muncul tidak

hanya sebagai cerita melainkan sebagai do‟a dalam beberapa

kesemptan Walîmah al-„Urs dengan bahasa,

ن هما كما الفت ن هما بحبتك كما الفت ب ي آدم وحوى والف ب ي اللهم الف ب ي ب ين

سف وزلينخا د وخدية ي ون ن يا والآخرة وهب لما ومم رى وأصلح جعهما ف الد الكب

من لدنك رحة وق رة أعي واجعلهما من عبادك النافعي على دينك ولمصالح

ي ؤمني برحتك ي أرحم الراح

.الم

13

Sependek pengamatan penulis, nama Yûsûf diulang sebanyak 27 kali dalam al-

Qur‟an: sebanyak 25 kali diulang dalam surah Yûsûf dan dua sisanya disebutkan dalam

surah al-An‟âm (6): 84 dan surah al-Mu‟min/Ghâfir (40): 34. Lihat, Muhammad Fuâd

„Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras, hlm. 1051.

Page 22: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

7

“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-

laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana

Engkau satukan antara Nabi Âdam dan Hawa. Satukanlah

keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yûsûf dan

Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khâdijah al-Kubra.

Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat,

berikanlah rahmat dan „penyejuk mata‟ kepada keduanya.

Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat

terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang

beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha

Penyayang.” 14

Melihat bagaimana dampak tafsir al-Qurân yang memuat riwayat

Isriliyyat tersebut terhadap perilaku keberagamaan muslim, penulis

memiliki ketertarikan untuk mempertanyakan kembali urgensi riwayat

Israiliyyat sebagai salah satu sumber sah dalam menafsirkan al-Qurân.

Penulis akan meneliti dua kitab tafsîr bi al-ma‟tsûr, yaitu: kitab Tafsîr

al-Tabari dan Ibnu Katsir. Ada beberapa pertimbangan mengapa kedua

tafsir ini dipilih untuk diteliti. Pertama, dari aspek popularitas dan

pengaruhnya. Kedua tafsir tersebut adalah kitab tafsir yang menjadi

rujukan utama umat Islam untuk mempelajari kandungan al-Qur‟an,

terutama untuk kalangan muslim di Indonesia.

Kedua, dua tafsir tersebut sama-sama mengusung model tafsir bi

al-ma‟tsûr (tafsir yang menekankan aspek riwayah sebagai sumber

tafsir). Aspek ini menjadi pertimbangan penting, karena riwayat

Israiliyyat banyak sekali dijumpai dalam tafsir-tafsir bi al-ma‟tsûr.

Namun, sekalipun kedua tafsir ini bercorak bi al-ma‟tsûr, akan tetapi

keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana

14

Teks doa ini bersumber dari salah satu artikel Alm. Prof. Dr. Ali Mustafa

Ya‟qub. Teks doa yang hampir sama dengan teks di atas bisa juga ditemui dalam, Santri

PPA. Latee, SKIA (Syarat-syarat Kecakapan Ibadah Amaliyah), cet. Ke-11 (Sumenep: A

Latee Press, 2013), hlm. 145-146 dan M. Ali Mukhtar, Cakrawala 2000 Qosidah &

Surat-surat Pilihan, cet. Ke-1 (Lamongan: Az Zahida Group, 2011), hlm. 588-589

Page 23: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

8

memperlakukan riwayat Israiliyyat sebagai sumber penafsiran. Al-

Tabari merupakan mufassir yang menerima riwayat Israiliyyat dengan

seleksi yang cukup longgar. Sedangkan Ibnu Katsir termasuk mufassir

yang menerimanya dengan seleksi yang cukup ketat.

Sebagai contoh, al-Tabari menafsirkan ayat 8 surat Maryam yang

artinya: Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak

bagiku, Padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku

(sendiri) Sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua". Ayat

ini menjelaskan keraguan Nabi Zakaria tentang bagaimana ia akan

dikaruniai putra dalam usianya yang sudah lanjut. al-Tabari

menafsirkan ayat di atas “Telah diceritakan kepadaku tentang Nabi

Mûsa bin Harûn, dari Amr, dari Asbat?, dari Suda, ia berkata,

“Malaikat Jibril memanggil Nabi Zakaria dengan memberi kabar

gembira bahwa ia akan dikaruniai putra yang bernama Yahya yang

belum pernah diciptakan Allah. Ketika mendengar panggilan itu,

datanglah setan kepadanya dan berkata, “Wahai Zakaria! sesungguhnya

suara yang engkau dengar tadi bukan dari Allah, tetapi datang dari

setan yang memperdayamu.” Kemudian Nabi Zakaria menjadi ragu dan

berkata, “Bagaimana aku akan mendapatkan anak?”15

Menurut al-

Dzahabi, riwayat itu merupakan Israiliyyat, tetapi tidak dikritik oleh al-

Thabari sama sekali padahal jelas riwayat tersebut bertentangan dengan

al-Qur‟an. Bagaimana mungkin setan dapat menguasai hati Nabi

Zakariya sampai dia ragu terhadap wahyu Allah. Al-Dzahabî

menafsirkan bahwa ucapan Nabi Zakariya pada ayat di atas bukan

15

Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân Juz 18,

(Muassasah al-Risâlah, 2000), hlm. 149.

Page 24: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

9

menandakan keraguan, tetapi kaget karena dia dan isterinya yang sudah

tua renta akan dikaruniai anak.16

Adapun contoh tafsir Ibnu Katsir adalah apa yang dia tafsirkan

pada huruf Qâf pada ayat pertama surah Qâf. Ia menafsirkannya

sebagai salah satu huruf hijaiyah yang terdapat pada awal surat di

dalam al-Qur‟an sebagaimana huruf nûn, alif lâm mîm, dan lain-lain.

Beliau juga mengutip riwayat sebagian ulama salaf yang mengatakan

bahwa Qâf di sini adalah gunung yang meliputi semua bumi, gunung

ini disebut dengan gunung Qâf. Namun kemudian beliau mengkritik

bahwa penafsiran ini merupakan penyelewengan Bani Isra‟il yang

dikonsumsi banyak orang. Beliau juga mengutip riwayat lainnya

dengan menyebutkan sanadnya yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu

Hâtim dari ayahnya, dari Muhammad bin Ismâ‟îl al-Makhzumî, dari

Laits bin Abû Salîm, dari Mujâhid, dari Ibnu „Abbas berkata, “Allah

menciptakan di balik bumi ini sebuah lautan yang meliputinya,

kemudian Allah ciptakan di belakang laut itu sebuah gunung yang

disebut dengan Qâf yang langit dan dunia ditegakkan di atasnya.

Kemudian Allah ciptakan di belakang gunung itu bumi sebanyak tujuh

kali. Lalu diciptakan lagi di belakangnya laut yang meliputinya,

kemudian Allah ciptakan gunung yang disebut dengan Qâf yang langit

kedua ditegakkan di atasnya. Begitulah seterusnya hingga semuanya

berjumlah tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh

langit.”17

Setelah menyebutkan riwayat ini beliau mengomentari bahwa

sanadnya inqitâ‟ (terputus). Riwayat ini bertentangan dengan riwayat

16

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir al-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 98.

17

Ismâîl ibn Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm (tt: Dar Taibah li al-

Nasyr wa al-Tauzî‟, 1999), Juz 7, hlm. 394.

Page 25: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

10

dari Ibnu „Abbas lainnya melalui Ibnu Abi Talhah bahwa Qâf pada ayat

ini adalah salah satu nama dari nama Allah.18

Pertimbangan ketiga adalah dalam rangka untuk mempertegas

kembali posisi riwayat Israiliyyat dalam konteks sumber tafsir al-

Qur‟an perlu menjadikan kitab tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai objek

penelitian. Hal ini untuk melihat apakah sumber-sumber riwayat

tersebut dijadikan sebagai rujukan utama, sekunder ataupun tersier.

Kedua tafsir tersebut sudah mewakili tafsir bi al-ma‟tsûr yang

otoritatif. Adapun untuk sample riwayat Israiliyyatnya akan diambil

dari beberapa ayat dalam surat Yûsûf dengan mempertimbangakan

contoh kasus dampak riwayat Israiliyyat tersebut dalam keberagamaan

muslim sebagaimana digambarkan di atas.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis di sini

dapat membuat daftar permasalahan sebagai berikut:

a. Al-Qurân memuat banyak sekali ayat yang berisikan kisah-kisah.

Namun, secara doktrinal, al-Qurân dipahami sebagai kitab

pedoman hidup bukan sebagai kitab sejarah

b. Orang Islam berbeda pandangan dalam menyikapi kisah.

Sebagian menganggapnya fakta sejarah yang benar-benar terjadi.

Sebagian menganggapnya sebagai cerita fiktif yang berfungsi

sebagai perumpamaan.

c. Kedua kelompok sepakat, baik fakta atau fiktif, kisah dalam al-

Qur‟an memuat nilai dan ajaran yang bisa diterapkan umat Islam

saat ini.

18

Ismâil ibn Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Juz 7, 394.

Page 26: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

11

d. Kisah dalam al-Qur‟an diuraikan sepotong-sepotong dan tidak

lengkap.

e. Riwayat Israiliyyat masuk ke dalam tafsir dalam rangka

membantu pemahaman sejarah yang lebih detail.

f. Riwayat Israiliyyat banyak ditemukan di dalam kitab tafsir bi al-

ma‟tsûr, seperti tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr.

g. Salah satu contohnya adalah doa yang menggunakan nama Yûsûf

dan Zulaikhâ yang didasarkan pada riwayat Israiliyyat yang

bermasalah pada tafsir surah Yûsûf

2. Pembatasan Masalah

Untuk membuat penelitian ini lebih fokus, penulis akan

memberikan batasan terhadap pertanyaan rumusan masalah tersebut.

pertama, penelitian seputar kualitas akan dibatasi dengan cara kritik

sanad dan matan. Kedua, penelitian ini akan fokus pada tiga ayat

saja dalam surah Yûsûf yang bermuatan riwayat Isriliyyât. Ketiga

ayat tersebut yaitu ayat ke-21, 24 dan 56.

3. Perumusan Masalah

Dari beberapa masalah yang telah dideskripsikan di atas, penulis

kemudian merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui

penelitian ini dengan dua pertanyaan:

a. Bagaimana kualitas riwayat Israiliyyat di dalam tafsir al-Tabari

dan Ibn Katsîr dalam surah Yûsûf?

b. Bagaimana posisi dan urgensitas riwayat Israiliyyat dalam

konteks sebagai sumber rujukan tafsir dalam kedua tafsir

tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan

rumusan masalah, sehingga secara uraian tujuannya adalah: Untuk

Page 27: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

12

mengetahui riwayat-riwayai israiliyat tentang kisah hidup Nabi Yûsûf

yang digunakan dalam kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân

dan Tafsir Ibn Katsîr.

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kualitas riwayat-riwayat israiliyat

dalam surat Yûsûf dalam kitab tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr

2. Untuk mengetahui posisi dan urgensitas riwayat Israiliyyat dalam

konteks sumber tafsir dalam kedua kitab tafsir tersebut.

Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan memberikan

sumbangsih akademik yang dapat memperkaya ilmu dan wawasan serta

memberikan informasi tentang riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsir al-

Tabari dan Ibn Katsîr. Selain itu, secara formal penelitian ini

digunakan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar

Magister dalam bidang tafsir pada Program Magister (S2) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan dan sumbangsih teoritis bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan sumbangsih praktis bagi kehidupan

sosial masyarakat. Maka dari itu, hasil penelitian ini akan sangat berguna

untuk:

1. Sumbangan Teoritis:

a. Para peneliti al-Qur‟an secara umum untuk dapat mengetahui

keabsahan riwayat-riwayat israiliyat.

b. Berkontribusi terhadap diskursus tentang urgensi riwayat

israiliyyat terhadap penafsiran al-Qur‟an yang cenderung stagnan

dan mengulang-ulang.

c. Para mahasiswa yang fokus membahas studi keislaman, terutama

jurusan Tafsir Hadits (yang belakangan berubah menjadi Ilmu al-

Qur‟an dan Tafsir) agar menambah wawasan akademik dalam hal

Page 28: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

13

ilmu al-Qur‟an dengan fokus riwayat-riwayat israiliyat dalam

kitab tafsir.

2. Sumbangan Praktis:

a. Para peneliti al-Qur‟an, baik para intelektual muslim maupun

mahasiswa, agar lebih berhati-hati ketika berhadapan dengan

riwayat-riwayat israiliyat dalam kitab tafsir dengan cara diteliti

keabsahannya terlebih dahulu, terutama dalam konteks dakwah.

b. Individu atau instansi yang terlibat dalam penyebarluasan riwayat-

riwayat israiliyat yang belum jelas dan terbukti bersanad dha'if (lemah)

untuk menelaah kembali, mengoreksi ulang, serta (jika bisa)

memperbaiki kondisi yang ada.

c. Para masyarakat muslim secara keseluruhan agar tidak langsung

percaya bahkan mengimani begitu saja hal-hal yang berbentuk

cerita para Nabi yang bersumber dari riwayat israiliyat sebelum

riwayat cerita-cerita itu mendapat penelitian khusus untuk

membuktikan kebenarannya.

E. Telaah Pustaka

Sebagaimana lumrahnya sebuah penelitian, maka tentu diperlukan

adanya studi pendahuluan atas karya-karya maupun hasil penelitian

sebelumnya yang juga membahas hal yang mirip agar nantinya tidak

terjadi pengulangan dan penjiplakan. Telaah pustaka juga berguna

untuk menegaskan posisi penelitian yang sedang dijalankan dengan

penelitian-penelitian sebelumnya, serta untuk memperjelas sumbangsih

penelitian itu terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Berikut ini penulis akan jabarkan beberapa literatur maupun hasil

penelitian yang penulis temui, yang mana hal itu cukup mirip dengan

penelitian yang sedang penulis jalankan, serta perbedaan mendasar dari

hasil penelitian itu dengan penelitian ini:

Page 29: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

14

1. Literatur-literatur tentang Qisshah (Cerita).

Cukup banyak penulis temui literatur-literatur yang membahas

tentang qisshah (cerita) dalam al-Qur‟an. Ada yang membahas kisah

dalam al-Qur‟an secara umum, ada pula yang mengkajinya dengan

menggunakan pisau penelitan dari berbagai macam bidang ilmu

pengetahuan.

Literatur yang membahas kisah dalam al-Qur‟an secara umum

bisa ditemui dalam al-Qissah fî al-Qur‟ân al-Karîm karya

Muhammad Sayyid Tantawi; Qasas al-Qur‟ân karya Muhammad

Nûr al-Dîn Alu Naufal; Qasas al-Qur‟ân karya Hamdi bin

Muhammad Nûr al-Dîn; al-Fann al-Qasas fî al-Qur‟ân al-Karîm

karya Muhammad Ahmad Khalafullah; Ma‟a Qisas al-Sâbiqîn fî al-

Qur‟ân karya Salâh „Abd al-Fattah al-Khalidî; al-Qurân wa al-Qisas

al-Haditsah karya M. Kâmil Hasan, dan kitab al-Jânib al-Fanny fî

Qasas al-Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad „Umar Bahadziq.

Selain itu, penulis juga temui beberapa literatur yang lebih

fokus membahas tentang kisah dalam al-Qur‟an, semisal Qasas al-

Qur‟ân li al-Atfâl karya Muhammad „Ali Qutb, juga kitab Qasas al-

Anbiyâ‟ li al-Atfâl karya „Abdul Latif Ahmad „Asyur. Kedua buku

ini sama-sama membahas kisah dalam al-Qur‟an maupun kisah-

kisah para Nabi dengan segmentasi pembaca anak-anak.

Ada pula buku yang membahas kisah al-Qur‟an dengan pisau

analisis ilmu psikologi, sebagaimana terdapat dalam Sikulîjiyah al-

Qissah fî al-Qur‟ân karya Tihami Naqrah dan juga buku Tafsir

Psikologi: Pelajaran Hidup Surah Yusuf karya Dr. Fuad al-Aris.

Selain itu, masih ada lima buku lagi yang penulis temui yang

mana di dalamnya ditemui memaparkan tentang sejarah para Nabi,

yakni Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul karya Sâmi‟ bin „Abdullah

Page 30: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

15

al-Maghlût yang diterjemahkan oleh Qasim Shalih, buku al-Qur‟an

dan Semut karya M. Amin Hidayat. MB., buku Kisah 25 Nabi dan

Rasul karya Rahimsyah AR., buku Kisah 25 Utusan Allah (Nabi dan

Rasul) karya Labib MZ dan Zainuddin Ali, serta buk Jejak-Jejak

Para Nabi karya Ali Fikri.

2. Literatur tentang Israiliyat.

Pertama di sini penulis akan menampilkan referensi utama yang

bersifat normatif yang berbicara masalah israiliyyat. Hanya ada

empat buku yang penulis dapati sejauh ini, yakni al-Israîliyyât wa

al-Mawdhû‟ât fî Kutub al-Tafsîr karya Muhammad Abu Syubbah;

al-Yahûdiyyah baina al-Masîhiyyah wa al-Islâm karya Muhammad

Husein al-Khalaf; al-Israîliyyât wa Atsâruhâ fî Kutub al-Tafsîr karya

Ramzi Na‟na‟ah serta al-Israîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hâdîts karya

Husain Al-Dzahabî. Keempat buku yang telah penulis sebutkan

tersebut membahas pengaruh umat Yahudi dan Kristiani dalam

agama Islam serta membahas riwayat-riwayat israiliyat secara umum

yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir maupun hadits.

Literatur-literatur di atas berisi informasi normatif tentang

bagaimana seharusnya muslim menyikapi riwayat israiliyyat, yaitu

diterima, ditolak dan ditangguhkan. Sementara itu, untuk kajian

yang bersifat akademis penulis tampilkan beberapa tulisan yang

terkait.

Pertama, Artikel yang ditulis oleh Munirah ini menyimpulkan

sikap ulama dalam menggunakan riwayat Israiliyyat yang ia bagi ke

dalam tiga golongan. Pertama, ulama yang menerima riwayat

israiliyyat sebagai sumber rujukan. Masuk dalam kategori ini adalah

Muqâtil bin Sulaimân dan al-Tsa‟labî (menerima secara mutlak); al-

Baghawî dan al-Khâzin (menerima dengan kriteria yang longgar);

Page 31: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

16

al-Tabari (menyertai sanad tanpa kritik kecuali di beberapa tempat).

Kedua, ulama yang menolak sepenuhnya. Golongan ini diwakili

oleh al-Alûsî, Muhammad Abduh, dan Râsyid Rida. Ketiga, ulama

yang menerima riwayat israiliyyat namun dengan kritik yang ketat.

Ibnu Katsîr dan Ibn Taimiyyah masuk dalam kategori ini.19

Posisi Muhammad Abduh dan Muhammad Râsyid Rida yang

dianggap sebagai tokoh yang menolak riwayat Israiliyyat ditegaskan

oleh skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zaki Mubarok pada tahun 2004

ini. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di dalam tafsir al-

Mannar keduanya tidak menggunakan riwayat israiliyyat dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Adapun penjelasan tentang cerita masa lalu,

mereka lebih menggunakan informasi dari alkitab.20

Penelitian-penelitian lain terkait dengan riwayat isrâîliyyât

hanya bersifat deskriptif dengan mengambil contoh kasus yang

berbeda-beda dan dari kitab tafsir yang berbeda-beda pula. Namun,

kesimpulan akhir mereka tetap mengarah pada sikap mufassir

tersebut terhadap riwayat isrâîliyyât yaitu mereka akan menerima

yang sesuai dengan al-Qur‟an hadis, menolak yang bertentangan,

dan menangguhkan yang belum jelas. Hal ini misalnya bisa dilihat

dari tesis karya Suprapto yang berjudul Kisah-Kisah Israiliyyat

dalam Tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an Karya al-Qurtubi. Tesis

yang diterbitkan pada tahun 2016 berisi deskripsi tentang sikap al-

Qurtubi terhadap riwayat israiliyyat yang ia dapatkan. Sebagian ia

terima dan sebagian ia tolak.21

Di tempat lain ada skripsi dari Bahari

19

Munirah, “Kontroversi Penggunaan Kisah Israiliyyat dalam Memahami Ayat-

Ayat Kisah al-Qur‟an”, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16 No.2, 2017. 20

Ahmad Zaki Mubarok, Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridha

dalam Tafsir al-Mannar, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. 21

Suprapto, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an

Karya al-Qurtubi, Tesis IAIN Tulungagung, 2016.

Page 32: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

17

Alwasi yang mendeskripsikan riwayat-riwayat israiliyyat tentnag

kisah Ashhabul Kahfi.22

Nur Alifah menulis sebuah skripsi yang

berjudul Israiliyyat dalam Tafsri al-Tabari dan Ibnu Katsîr pada

tahun 2010. Temuan penelitian ini adalah motivasi yang berbeda di

antara keduanya di dalam memasukkan riwayat israiliyyat. Al-

Tabari bertujuan untuk mengumuplkan data sejarah saja. Sedangkan

Ibnu Katsîr bertujuan untuk mengkritisi kualitas riwayat tersebut.23

Contoh lain adalah disertasi yang ditulis oleh Hamka Ilyas pada

tahun 2015 di UIN Alauddin Makassar menyebutkan bahwa ada

kemiripan antara riwayat israiliyyah dalam kitab-kitab tafsir (dalam

hal ini adalah kitab al-Thabari) dengan data yang terdapat di dalam

perjanjian lama dan perjanjian baru. Akan tetapi sikapnya terhadap

riwayat israiliyyat masih sama dengan mayoritas ulama yang

membagi sikapnya ke dalam tiga hal: diterima, ditolak, dan

didiamkan.24

Penelitian lain menyimpulkan bahwa riwayat Israiliyyat ini

berpengaruh terhadap penafsiran al-Qur‟an. seperti yang ditulis oleh

Nurul Hendra pada tahun 2005 yang berjudul Pengaruh Israiliyyat

terhadap Tafsir Ayat Tentang Penciptaan Adam.25

Penelitian ini

didukung oleh Malik Madany dalam disertasinya. Ia menyebutkan

22

Bahari Alwasi, Israiliyyat dalam Kisah Ashabul Kahfi, Skripsi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015.

23

Nur Alifah, Israiliyyat dalam Tafsri Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap Ath-

Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam tafsirnya), Skripsi UIN

Syarif Hidayatullah jakarta, 2010.

24 Hamka Ilyas, Israiliyyat dalam Tafsir Jami' al-Bayan 'An Ta'wil Ay al-Qur'an

Karya al-Tabari (Kajian terhadap Kisah Para Nabi dan Rasul), Disertasi UIN Alauddin

Makassar, 2015.

25

Nurul Hendra, Pengaruh Israiliyyat terhadap Tafsir Ayat Tentang Penciptaan

Adam, Skripsi IAIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2005.

Page 33: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

18

bahwa salah satu faktor dimasukkannya riwayat-riawyat israiliyyat

ke dalam penafsiran (dalam konteks ini adalah tafsir al-Jalalain yang

menjadi objek penelitiannya) sekalipun statusnya dhaif bahkan

maudhu‟ adalah karena waktu itu riwayat israiliyyat merupakan

gejala umum yang dilakukan oleh banyak mufassir sehingga

sekalipun al-Suyutî menulis tentang syarat-syarat diterimanya

riwayat israiliyyat, hal itu tidak ia implementasikan di dalam kitab

tafsirnya.26

Berbeda dengan tulisan ini, Syamsuni menyebutkan bahwa

riwayat Israiliyyat tidak mempengaruhi mufassir dalam memahami

ayat al-Qur‟an. Dengan kasus isu jender, ia menunjukkan bahwa

riwayat Israiliyyat yang dikutip oleh al-Thabari tidak

mempengaruhinya untuk bersikap bias terhadap perempuan. Ia

bahkan dinilianya sebagai mufassir yang liberal dan pro terhadap

jender dengan membolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi

laki-laki dan menjadi hakim.27

Ada satu penelitian yang memberikan kesimpulan bahwa kajian

seputar israiliyyat penting untuk lebih digalakkan. Budiarto dalam

tesisnya yang berjudul The Concept of Israiliyyat in The

Interpretaion of Al Quran According to Adz Dzahabi, mengatakan

bahwa pembahasan tentang riwayat israiliyyat sangat penting

sekalipun di dalam kitab-kitab ulumul Qur‟an sangat sedikit dibahas

dibanding dengan isu-isu lain seperti asbab nuzul, nasikh-mansukh

dan lain-lain. Argumentasi yang dia ajukan yaitu, pertama, Islam

26

A. Malik Madaniy, Israiliyyat dan Maudhu‟at dalam Tafsir al-Qur‟an, Disertasi

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

27

Syamsuni, Israiliyyat dan Penafsiran Bias jender: Kajian tentang Isu

Penciptaan Perempuan dalam Tafsri al-Thabari, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2009

Page 34: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

19

dan al-Qur‟an sejak awal kemunculannya telah bersinggungan

dengan ahli kitab. Kedua, Islam harus menghindari takhayul yang

disebabkan oleh riwayat israiliyyat yang tidak valid.28

Berangkat dari kajian literatur di atas, di sini penulis memiliki

hipotesis bahwa riwayat israiliyyat tidak penting untuk menjadi

sumber penafsiran sehingga tidak perlu dikaji dalam ranah „ulumul

Qurân. Untuk membuktikan hipotesis ini, penulis menggunakan

data-data riwayat israiliyyat yang terdapat di dalam kitab Tafsîr at-

Tabari dan Ibnu Katsîr dengan alasan yang sudah disampaikan

sebelumnya. Dan di sini lah posisi penelitian ini di antara penelitian-

penelitian lain sebelumnya.

F. Metodologi Penelitian

Mengacu kepada tujuan adanya poin metode penelitian ini, yakni

agar penulis lebih mudah dalam hal mengorganisir, mensistematisir dan

menganalisis data yang ada, maka penulis menyusun metode penelitian

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian29

Jenis penelitian ini terbagi menjadi beberapa bagian, yakni:

a. Berdasarkan Metode atau Pendekatan.

28 Budiarto, The Concept of Israiliyyat in The Interpretaion of Al Quran

According to Adz Dzahabi, Tesis IAIN Sunan Ampel, 2010.

29

Dalam hal ini, penulis menggunakan kerangka penelitian yang diajarkan oleh

Bapak Fathor Rachman Utsman. Penulis merasa kerangka penelitian yang dipakai

cendrung lebih lengkap dan sistematis. Ada beberapa bagian dari jenis penelitian ini:

berdasarkan metode pendekatannya; berdasarkan fungsinya; berdasarkan tujuannya;

berdasarkan tingkatan eksplanasinya; berdasarkan bidangnya; berdasarkan pelaksanaan

dan tempatnya; berdasarkan tingkat kelamiahan dan tempat penelitiannya; berdasarkan

waktunya; dan berdasarkan bentuk laporannya. Lihat, Fathor Rachman Utsman,

“Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 2.

Meski begitu, penulis hanya akan memaparkan beberapa poin saja yang dianggap

sangat penting dalam menjabarkan metode penelitian ini.

Page 35: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

20

Metode atau pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini

adalah penelitian kualitatif (Qualitative Research), bukan

penelitian kuntitatif (Quantitative Research). Sebagaimana

lumrah, metode penelitian kualitatif mencoba mendiskripsikan

sekaligus menganalisis fenomena, aktivitas sosial, sikap,

kepercayaan, paham, dan pemikiran orang, baik secara individual

maupun kelompok dengan cara dan dalam situasi yang

wajar/alamiah (narutal setting).30

Jika dikaji lebih lanjut, maka sejatinya metode atau

pendekatan yang penulis jalankan dalam penelitian ini adalah

kualitatif non-interaktif (atau dalam bahasa lainnya disebut juga

metode analitis) sebab nantinya penulis hanya akan menggunakan

leteratur maupun dokumen untuk melengkapi kajian ini, bukan

dengan interaktif seperti wawancara sebagaimana dilakukan oleh

penelitian lapangan (Field Research).31

b. Berdasarkan Fungsinya.

Menurut hemat penulis, penelitian ini dari segi fungsinya

tergolong pada penelitian dasar (Basic Research) sebab berupaya

untuk menguji dan mengkaji teori serta konsep yang telah ada di

samping upaya memunculkan penemuan maupun sumbangsih

baru dalam khazanah keilmuan Islam.32

Kaitannya dengan metode atau pendekatan kualitatif

sebagimana penulis jabarkan di atas adalah bahwa fungsi dari

30

Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 3.

31

Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 22.

32

Ada tiga bagian dalam jenis penelitian berdasarkan fungsinya ini, yakni

penelitian dasar (Basic Research), penelitian terapan (Applied Research), serta penelitian

pengembangan (Research and Development). Lihat, Fathor Rachman Utsman, Pengantar

Metodologi Penelitian, hlm. 2.

Page 36: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

21

penelitian ini merupakan salah satu di antara lima tujuan penelitin

kualitatif dengan cara memberi sumbangan bagi klarifikasi isu-

isu dan tindakan sosial, sebagaimana yang memang diharapkan

dalam peneltian penulis ini.33

c. Berdasarkan Tujuannya.

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian

improftif, yang mana jenis penelitian ini berupaya untuk

memperbaiki kondisi yang ada dari hasil penelitian yang

dilakukan. Tidak seperti dua jenis penelitian yang lain, yakni

deskriptif dan prediktif yang mana tujuan dua peneitian tersebut

hanya bermaksud menjabarkan atau memprediksi saja.34

d. Berdasarkan Pelaksanaan dan Tempatnya.

Sependek pengamatan penulis, penelitian ini jelas

tergolong penelitian pustaka (Library Research) jika dikaji

berdasarkan pelaksanaan dan tempatnya. Hal itu karena sumber

primer maupun sekunder yang dipakai nantinya nyaris semua

berasal dari literatur-literatur yang menunjang terhadap fokus

penelitian ini.35

2. Sumber Data

Sebagaimana lumrah, sumber data dalam sebuah penelitian

terbagi menjadi dua, yakni primer dan sekunder:

a. Sumber Primer

33

Lima tujuan itu antara lain: berguna bagi pengembangan teori; sumbangan bagi

penyempurnaan praktik; sumbangan bagi penentuan kebijakan; sumbangan bagi

klarifikasi isu-isu dan tindakan sosial serta sumbangan bagi studi-studi khusus. Lihat,

Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 4.

34

Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 23.

35

Selain itu, ada dua bagian lain dalan jenis pelitian berdasarkan pelaksanaan dan

tempatnya, yakni Field Research (Kajian Lapangan) dan Laboratory Research (Kajian

Laboratorium). Lihat, Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm

Page 37: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

22

Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kitab karya Imam ibn Jarîr al-Tabarî, yakni Jâmi‟ al-Bayân „an

Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân dan juga kitab Tafsîr al-Qurân al-„Azîm

karya Ibn Katsîr yang mana kitab itu nantinya akan dikaji khusus

pada riwayat-riwayat israiliyat tentang kisah hidup Nabi Yusuf.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder atau pendukung dalam penelitian ini

adalah berasal dari beragam kitab, buku, majalah, serta beragam

hasil penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian yang

sedang penulis jalankan ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini

diperoleh dengan jalan dokumentasi atas naskah-naskah yang terkait

dengan objek penelitian ini. Dalam konteks penelitian ini dokumentasi

dilakukan terhadap dua sumber yang telah disebutkan pada bagian

sebelumnya.

4. Teknik Analisis Data

Setelah melalui proses inventarisir data-data yang berhubungan

dengan fokus penelitian ini, maka penulis kemudian mengolah data

yang ada dengan tahapan-tahapan sebagai berikut36

:

a. Membaca sekaligus mempelajari data, menandai kata kunci dan

gagasan yang ada dalam data.

b. Mempelajari kata-kata kunci untuk menemukan tema-tema

sentral yang dibahas dalam data.

c. Menuliskan dan mempelajari konsep atau teori yang ditemukan

dalam data.

36

Tahapan-tahapan ini penulis ambil dari Fathor Rachman Utsman, Pengantar

Metodologi Penelitian, hlm. 30.

Page 38: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

23

d. Memilah, mengklasifikasi, serta membuat ikhtisar dari data-data

yang telah terkumpul.

Selanjutnya, dalam rangka analisis terhadap data-data yang

telah diperoleh, penulis akan menggunakan metode atau teori al-

Jarh wa al-Ta‟dîl dalam hal menganalisa dan memastikan riwayat

israiliyat yang nantinya akan penulis hadirkan dalam penelitian ini,

serta untuk mengkaji dan memutuskan bahwa riwayat israiliyat itu

dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya atau tidak.

Selanjutnya penulis akan menganilisis bagaimana sikap kedua

mufassir tersebut dalam memposisikan riwayat-riwayat yang telah

divalidasi oleh mereka dalam konteks fungsinya sebagai sumber

penafsiran al-Qur‟an.

G. Sistemika Pembahasan

Seperti yang tercantum dalam buku Pedoman Penulisan Skripsi,

dalam poin sistematika pembahasan ini hal-hal yang disampaikan

bukan sekadar menarasikan daftar isi, melainkan urutan logis

pembahasan yang akan dilakukan berikut alasannya.37

Berikut ini,

penulis akan jabarkan pembahasan-pembahasan yang akan diulas

dalam masing-masing bab dalam penelitian ini:

Bab Pertama: berisi tentang pendahuluan yang meliputi: latar

belakang masalah yang berisi alasan logis mengapa masalah ini penulis

angkat; rumusan masalah yang berisi fokus kajian yang akan penulis

teliti; tujuan penelitian yang berisi tujuan-tujuan dari hasil penelitian

ini; kegunaan penelitian yang berisi sumbangan teoritis maupun praktis

dari penelitian ini; kajian-kajian terdahulu terkait dengan tema yang

diangkat; metode penelitian yang berisi bentuk penelitian, sumber data,

37

Tim Penyusun Pedoman Penulisan Skripsi, Pedoman Penulisan, hlm. 20-21.

Page 39: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

24

metode pengumpulan data dan metode analisis data; dan terakhir

sistemika pembahasan yang berisi ulasan-ulasan singkat ihwal

pembahasan-pembahasan dari tiap bab.

Bab Kedua: berisi dua sub bab. Sub bab pertama berisi diskursus

seputar riwayat Israiliyyat meliputi definisi etimoloogis dan

terminologis israiliyat serta historiografi munculnya riwayat israiliyat

serta dampak negatifnya, baik dalam Islam secara umum maupun

dalam kitab-kitab tafsir secara khusus. Selain itu dalam bab ini juga

akan dihadirkan pembahasan mengenai macam-macam israiliyat,

hukum periwayatan israiliyat, serta kitab-kitab tafsir yang masyhur

dengan riwayat israiliyat di dalamnya. Penulis memilih beberapa hal di

atas dibahas dalam bab kedua karena sebagai pengantar untuk lebih

memperdalam lagi fokus pembahasan yang akan dijabarkan di bab

berikutnya.

Bab Ketiga: berisi penjabaran seputar profil dari kitab tafsir dan

penulisnya yang menjadi objek penelitian di sini. setelah itu, penulis

akan menjabarkan secara mendetail mengenai riwayat-riwayat israiliyat

dalam kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân dan Tafsir al-

Qur‟an al-„Azîm yang erat kaitannya dengan kisah Hidup Nabi Yûsûf.

Penjabaran ini penulis merasa penting untuk meletakkannya dalam

pembahasan bab ketiga sebelum meneliti kualitas riwayat-riwayat itu

dalam poin berikutnya.

Bab Keempat: berisi tentang kajian kualitas berbagai macam

riwayat israiliyat yang telah penulis paparkan di bab sebelumnya

dengan pisau analisis sejarah dan kritik sanad dan matan agar nantinya

diketahui bahwa riwayat-riwayat itu bisa dipercaya atau tidak. Di bab

ini pula penulis akan menganalisis dari data-data yang sudah terkumpul

tentang posisi dan urgensi penggunaan riwayat tersebut.

Page 40: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

25

Bab Kelima: berisi penutup penelitian ini yang berupa kesimpulan

dari apa yang telah penulis paparkan di bab-bab sebelumnya serta

saran-saran bagi masyarakat umum serta para peneliti di masa-masa

berikutnya.

Page 41: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

26

BAB II

ISRÂÎLIYYÂT DALAM BINGKAI TAFSIR AL-QUR’AN

A. Pengertian Isrâîliyyât

Sebelum terlalu jauh melangkah pada pembahasan seputar catatan

sejarah tentang munculnya riwayat-riwayat israiliyat serta sejauh mana

riwayat-riwayat itu memengaruhi kitab-kitab tafsir, penulis merasa

penting untuk terlebih dahulu memaparkan definisi israiliyat itu sendiri

guna lebih memahami dengan mendalam topik yang menjadi fokus

penelitian ini.

a. Definisi Etimologis

Dari sisi linguistik, lafadz Isrâîliyyât merupakan kata plural

(baca: jama‟) dari kata Isrâîliyyah yang bermakna ungkapan atau

cerita yang bersumber dari bangsa Israîl. Nisbat bangsa israîl itu

sendiri disandarkan pada Nabi Ya‟qûb ibn Ishâq ibn Ibrâhîm as.,

yang mana beliau (Nabi Ya‟qub) memang bergelar atau dijuluki

sebagai Israil.1

Dalam kajian kebahasaan yang lebih luas, kata Israil merupakan

bahasa „Ibrani yang terdiri dari dua kata, yakni Isra yang berarti

1 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-4

(Mesir: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 13. Lihat juga dalam, Muhammad bin

Muhammad Abu Syahbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât fî Kutub al- Tafsîr, (ttp:

Maktabah al-Sunnah, t.t.), hlm. 12. Pendapat Husain al-Dzahabi dan Abu Syahbah juga

dinuqil dalam, Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, cet. Ke-1

(Beirut: Dâr al-Dliyâ‟, 1970), hlm. 71 dan Yûsûf Muhammad al‟Amiri, “Ka’b al-Ahbâr:

Marwiyyâtuhû wa Aqwâluhu fî al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr” Tesis, Fakultas Dakwah dan

Ushûl al-Dîn Umm al-Qurâ Saudi Arabia (1992), hlm. 97 serta Tahir Mahmud

Muhammad Ya‟qûb, Asbâb al-Khatha’ fî al-Tafsîr, cet. Ke-1 Juz 1 (Arab Saudi: Dar Ibn

al-Jauzy, 1425 H.), hlm. 160. Coba lihat juga dalam, Abd al-Rahman bin Shalih bin

Sulaiman al-Dahsy, al-Aqwâl al-Syâdzdzah fî al-Tafsîr, cet. Ke-1 (Manchester: al-

Bukhary Islamic Center, 2004), hlm. 325 dan Nur Efendi dan Muhammad Fathurrohman,

Studi al-Qur’an; Memahami Wahyu Allah secara Lebih Integral dan Komprehensif, cet.

Ke-1 (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2014), hlm. 256.

Page 42: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

27

‘Abd (hamba) atau Safwah (jernih, bersih), dan kata Îl yang

bermakna Allah.2 Hingga bila makna keduanya digabungkan, maka

akan menghasilkan makna Hamba Allah.

Dr. George Bust dalam kitabnya Qâmûs Kitâb al-Muqaddas,

berpandangan bahwa kata Israil merupakan laqâb Nabi Ya‟qub as.

dan laqâb itu terus turun pada keturunan Ya‟qub hingga terputusnya

keturunan Nabi Ya‟qub yang berjumlah 12.3

b. Definisi Terminologis

Dalam ranah istilah ilmu pengetahuan, ulama‟ memberi definisi

yang cukup luas terhadap israiliyat ini, yakni dengan menyebutnya

sebagai segala sesuatu yang ada pada tafsir dan hadits yang mana hal

itu disandarkan pada sumber-sumber Yahudi dan Nashrani atau

selain keduanya.4 Bahkan ada beberapa mufassir yang seolah begitu

sentimen terhadap israiliyat ini dengan berpendapat bahwa israiliyat

merupakan sesuatu yang sengaja dibuat dan disisipkan oleh musuh-

musuh Islam, baik itu dari Yahudi dan Nasrâni, dengan tujuan

merusak aqidah umat Islam.5

Meski pada kenyataannya riwayat-riwayat israiliyat tidak hanya

berasal dari sumber Yahudi, melainkan juga Nashrani, akan tetapi

nama israiliyat (yang secara dhahir cenderung pada Yahudi) dipilih

2 Ramzi Na‟na‟ah, , al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, cet. Ke-1

(Beirut: Dâr al-Dliyâ‟, 1970), hlm.72

3 Dikutip oleh Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 72

4 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 13. Perndapat al-

Dzahaby ini dikutip juga dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr:

Marwiyyâtuhû, hlm. 97. Lebih lengkap mengenai makna israiliyat secara terminologis

bisa dibaca dalam, Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 72-74

5 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 13-14. Pendapat

al-Dzahaby ini dikutip juga dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr:

Marwiyyâtuhû, hlm. 97.

Page 43: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

28

karena memang kebanyakan riwayat-riwayat itu bersumber dari

orang-orang atau kebudayaan-kebudayaan Yahudi dan sedikit sekali

dari Nasranî. Hal itu juga tidak terlepas dari dua hal, pertama karena

interaksi umat Islam lebih banyak bersama umat Yahudi dari pada

umat Nashrani dan kedua karena tsaqâfah (kebudayaan) umat

Yahudi lebih luas dan jauh berkembang dari pada tsaqâfah umat

yang lain.6

B. Sejarah Masuknya Riwayat Isrâîliyyât ke dalam Tafsir al-Qur’an

serta Dampak Negatifnya

Catatan sejarah membuktikan bahwa pada jauh sebelum Islam

datang sebagai agama rahmah li al-‘âlamîn, yakni sekitar tahun 70

Masehi, umat Yahudi melakukan hijrah besar-besaran karena mendapat

siksaan pedih dari Titus Romawi7. Hal tersebut menjadikan adanya

perpaduan atau akulturasi tsaqâfah (budaya; pengetahuan) antara orang

Yahudi dan orang Arab pada masa jahiliyah.8 Dari sinilah awal mula

6 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 14. Lihat juga

dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 97.

7 Titus Flavius Vespasianus, lahir pada 30 Desember 39 M. dan meninggal pada

13 September 81 M. ia merupakan keturunan dinasti Flavia yang kemudian menjadi

seorang kaisar Romawi dengan mengganti kedudukan ayahnya, Kaisar Vespasianus.

Diskriminasi terhadap umat Yahudi sejatinya sudah berlangsung sejak masa kaisar

Kaligula (tahun 40 M.) dan terus berlanjut pada kekaisaran berikutnya, yakni Kaisar Nero

(tahun 66 M.). Setelah singgasana kekaisaran diduduki oleh Vespasianus (tahun 69 M.),

ia memerintahkan anaknya, Titus, untuk menghentikan pemberontakan umat Yahudi

yang terjadi saat itu. Puncaknya, pada tahun 70 M., Titus berhasil memerangi total umat

Yahudi yang tersisa dan meruntuhkan kuil-kuil orang Yahudi, termasuk yang berada di

Yarussalem. Hal inilah yang menyebabkan hijrah besar-besaran yang dilakukan umat

Yahudi pada sekitar tahun 70 Masehi. Semua catatan sejarah ini ditulis oleh penulis

Yahudi bernama Yosephus. Data-data yang telah dipaparkan ini penulis sarikan dari

https://id.wikibooks.org/wiki/Romawi_Kuno/Sejarah/Pemberontakan_Yahudi_Pertama

juga dari https://id.wikipedia.org/wiki/Titus_Flavius_Vespasianus. diakses pada tanggal

10 Januari 2020 jam 21.35 WIB.

8 Dikutip dari kitab Târîkh al-Yahûdî fî Bilâd al-‘Arab, oleh Muhammad Husain

al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 15

Page 44: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

29

adanya interaksi sosial antara orang Arab pada zaman pra Islam dengan

orang Yahudi yang amat kental dengan budaya mereka, yang mana hal

itu bersumber dari kitab Taurat dan cerita turun temurun yang

diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Bersamaan dengan hijrah besar-besaran tersebut, bangsa Israil juga

membawa serta beragam kebudayaan yang mereka miliki dan kembali

mewariskannya dari generasi ke generasi. Mereka mendirikan sebuah

tempat yang diberi nama Midras sebagai sarana tempat ibadah serta

mengajarkan dan mewariskan budaya-budaya yang mereka punya

kepada generasi-generasi setelahnya.9 Maka tak heran jika tsaqâfah

orang Yahudi terus berlanjut dan pada puncaknya berpengaruh besar

terhadap keilmuan Islam sebagaimana fokus penelitian yang penulis

kaji ini.

Selain itu, sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa orang Arab pra

Islam, khususnya orang Quraisy sudah sejak lama terbiasa melakukan

perjalanan dengan tujuan dagang serta tujuan-tujuan yang lain. Al-

Qur‟an sendiri mengabarkan dengan indah mengenai perjalanan yang

biasa dilakukan oleh orang Quraisy tersebut10

: Rihlah al-Syitâ’, yakni

perjalanan musim dingin yang dilakukan oleh orang Quraisy ke daerah

Yaman dan Rihlah al-Shaif yang dilakukan ke daerah Syam pada

musim panas. Kedua rihlah tersebut yang menyebabkan semakin

intensnya interaksi antara orang Yahudi dan orang Arab pra Islam.11

9 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16

10

Yakni dalam surah al-Quraisy (106): 1-2.

فإ يل إ يشلإ إ١كر ۦإ إ فإ ل إحي ث خ اءإٱر إ ٱو لض يفإ ٢لصArtinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka

bepergian pada musim dingin dan musim panas.”

11

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16

Page 45: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

30

Penting untuk diketahui bahwa di daerah Yaman dan Syam, umat

Yahudi (setelah kejadian hijrah akbar di atas) membangun kembali

peradaban mereka di sana. Orang Arab pra Islam juga tak segan

bertanya mengenai berbagai macam hal semisal proses penciptaan alam

semesta, rahasia-rahasia di balik penciptaan alam semesta, dan

pertanyaan-pertanyaan lain yang belum mereka ketahui karena boleh

dibilang, pada saat itu, budaya Arab masih terbilang lebih rendah dari

pada budaya Yahudi. Hal itulah yang menyebabkan adanya adopsi

budaya-budaya umat Yahudi yang dilakukan oleh orang Arab pra

Islam.12

Untuk lebih mengetahui sejarah masuknya riwayat-riwayat

israiliyat dalam Islam dan dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya

tafsir, serta bagaimana dampak negatifnya, maka di bawah ini penulis

mencoba menjabarkan satu per satu hal tersebut:

a. Sejarah Munculnya Riwayat Israiliyat dalam Dunia Islam.

Usai Nabi Muhammad diutus sebagai seorang rasul dan

diperintahkan untuk menyebarkan Islam tidak lagi dengan cara

sembunyi-sembunyi, maka Islam lahir sebagai agama yang benar-

benar rahmah li al-‘âlamîn dengan menghancurleburkan berbagai

macam tradisi jahiliyah yang berkembang pesat waktu itu. Islam

periode Makkah memang penuh dengan perjuangan berdarah-darah

demi mempertahankan keimanan, sementara Islam periode Madinah

(tepatnya setelah Nabi hijrah ke Madinah), lebih menjanjikan bagi

perkembangan agama Islam.

12

Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât fi

Kutub al- Tafsîr, (ttp: Maktabah al-Sunnah, t.t.), hlm. 93. Bandingkan dengan,

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16.

Page 46: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

31

Kaitannya dengan umat Yahudi, interaksi pertama yang

dilakukan oleh umat Islam dengan umat Yahudi adalah ketika

peristiwa hijrah itu sendiri. Tak bisa disangsikan lagi bahwa nama-

nama klan semisal Banî Qainuqâ‟, Banî Quraizah, dan Banî Nadir

merupakan klan berkebangsaan Yahudi yang tinggal menetap di

Madinah. Sementara itu, di sisi yang lain Nabi hendak menjadikan

Madinah sebagai negara dengan konsep tamaddun (keseimbangan;

kesatuan) tanpa mempertimbangkan ras, agama, etnis dan lain

semacamnya. Hal itu Nabi wujudkan dengan mengadakan

musyawarah akbar yang kemudian melahirkan piagam madinah

yang bertujuan melindungi semua penduduk kota Madinah tanpa

terkecuali. Maka tak heran jika sejarah mencatat adanya interaksi

yang cukup intens antara Nabi sebagai pengambil keputusan dengan

penduduk Madinah, termasuk para Ahli Kitab.13

Tindak tanduk umat Islam yang mencerminkan sikap toleransi

serta akhlak yang terpuji memancing Ahli Kitab di sana untuk tidak

sungkan berinteraksi lalu kemudian memeluk agama Islam sebagai

pondasi hidup. Banyaknya umat Yahudi yang masuk Islam ini juga

menjadi salah satu penyebab munculnya riwayat israiliyat dalam

Islam.

Dengan kentalnya budaya (baik yang didapatkan dari teks

Taurat maupun tradisi lisan), maka umat Yahudi yang sudah masuk

Islam tetap memelihara dengan baik budaya mereka itu meskipun

mereka sudah resmi masuk Islam.14

Nama-nama semisal Ka‟b al-

13

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16

14

Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, terj. Cecep Lukman Yasin

(Jakarta: Penerbit Zaman, 2013), hlm. 282. Bisa juga dilihat dalam Mannâ‟ Khalîl al-

Qattân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakkir AS (Bogor: Pustaka Litera

AntarNusa, 2013), hlm. 491-492.

Page 47: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

32

Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Mâlik bin Abdul Azîz bin Juraij

dan „Abdullah bin Salâm tercatat sebagai orang Yahudi yang

memeluk Islam dan sering meriwayatkan cerita-cerita israiliyat

kepada umat Islam waktu itu.15

Oleh karena al-Qur‟an turun dengan ayat yang mujmal dan

dengan penggambaran cerita-cerita masa lalu dengan sepintas-

sepintas saja,16

maka hal itu memancing para sahabat untuk

mengetahui lebih lanjut hal-hal yang tidak tersurat dalam al-Qur‟an.

Selain itu, seorang orientalis kenamaan, Ignaz Goldziher juga tak

luput mengomentari ihwal sebab-sebab masuknya riwayat israliyat

dalam tubuh umat Islam. Ia berpendapat bahwasanya penggunaan

isariliyat disebabkan kerinduan umat Islam pada kisah atau mitologi.

Kisah yang detail terdapat pada kitab-kitab terdahulu, dipaparkan

kembali dalam al-Qur‟an dengan sangat singkat dan kadangkala

campur aduk. Celah itu kemudian memancing umat Islam waktu itu

untuk berinteraksi lebih dekat dengan peganut Yahudi dan Nasrani

baik yang telah maupun belum masuk Islam. Umat Yahudi dan

Nashrani ataupun orang-orang yang berasal dari dua agama itu

namun telah masuk Islam juga tidak segan-segan bercerita panjang-

lebar tentang cerita-cerita yang mereka ketahui, padahal cerita-cerita

itu sering mereka ulang dengan beragam versi karena buruknya

15

Ibrâhîm Muhammad al-Jaramy, Mu’jam Ulûm al-Qur’ân, cet. Ke-1 (Damaskus:

Dâr al-Qalam, 2001), hlm. 45. Lihat juga dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-

Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 98 dan Mannâ‟ Khalîl al-Qatthân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 493.

16

Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 492. Sementara itu, Ingrid

Mattson berpandangan bahwa al-Qur‟an menganggap para pendengar seperti sudah

punya pengetahuan umum mengenai detail cerita melalui kitab-kitab sebelum al-Qur‟an,

sehingga al-Qur‟an tidak perlu lagi menjabarkannya secara terperinci. Lihat Ingrid

Mattson, Ulumul Qur’an Zaman, hlm. 282

Page 48: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

33

hafalan dan kemudian dilengkapi lagi dengan hasil imajinasi mereka

sendiri, lalu secara frontal mengangap bahwa hal itu merupkan tafsir

al-Qur‟an.17

Salah satu contoh sebagai bukti konkrit adanya interaksi

tersebut adalah bahwa sejarah mencatat interaksi antara Abû

Hurairah bersama Ka‟ab al-Ahbâr dan „Abdullah bin Salâm dalam

hal menanyakan tentang sebuah waktu yang istijâbah pada hari

jum‟at.18

Para ulama‟ dan pengkaji tafsir juga sepakat bahwa ada

interaksi yang cukup intens antara para sahabat dan para ahli kitab

yang sudah memeluk Islam. Akan tetapi interaksi tersebut masih

dalam batas kewajaran. Pertanyaan para sahabat hanya berputar pada

cerita-cerita saja atau arti kata yang mujmal dalam al-Qur‟an, hingga

terkesan para sahabat tidak serta merta membenarkan dan tidak pula

begitu saja mendustakan riwayat-riwayat israiliyat yang sampai pada

mereka.19

b. Sejarah Munculnya Riwayat Israiliyat dalam Kitab Tafsir.

Boleh dibilang, pada masa sahabat, mereka cukup selektif

terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang sampai pada mereka.

17

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M. „Alaika

Salamullah dkk. Cet. Ke-7 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2014), hlm. 80

18

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, juz I (Mesir:

Maktabah Wahbah, t.t.), hlm. 124-125. Lihat juga mengenai interaksi Abû Hurairah

dengan Ka‟ab al-Ahbâr dalam „Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-

Aqwâl al-Syâdzdzah, hlm. 325-326

19

Lihat dalam Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 123-124. Bisa

juga dilihat dalam Khâlid „Abd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ’iduhû, cet. Ke-2

(Beirut: Dâr al-Naghâis, 1986), hlm. 8; Nûr al-Din „Atir, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet.

Ke-1 (Damaskus: Mathba‟ah al-Shibl, 1993), hlm. 75; Ibrahim Muhammad al-Jarami,

Mu’jam Ulûm, hlm. 45; „Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-Aqwâl al-

Syâdzdzah, hlm. 326; Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm.

98.; dan Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 492.

Page 49: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

34

Namun pada masa berikutnya, yakni pada masa tabi‟in dan masa

setelahnya, periwayatan israiliyat mengalami perkembangan yang

pesat dan parahnya semakin longgar saja disebabkan dua hal:

Pertama, semakin banyaknya ahli kitab yang masuk Islam waktu itu

dengan adanya ekspansi yang rutin dilakukan oleh para khalifah

pasca wafatnya Nabi. Kedua, rasa ingin tahu yang besar dari para

tabi‟in untuk lebih mengetahui detail setiap hal dalam al-Qur‟an.20

Kedua hal itulah yang menyebabkan tafsir yang muncul pada masa

tabi‟in dan masa setelahnya mulai tercium aroma israiliyat di

dalamnya, seperti Tafsir Muqatil yang dikarang oleh Muqatil bin

Sulaiman (w. 150 H.) dan tafsir al-Kasyf wa al-Bayân karya Abu

Ishaq al-Tsa‟labi (w. 428 H.).21

Sejarah tak lupa mencatat bahwa pada masa periwayatan (‘ashr

al-riwâyah), lebih khusus pada masa tabi‟in dan masa setelahnya,

mereka tidak begitu mementingkan kualitas riwayat yang sampai

pada mereka22

, sehingga yang terjadi umat Islam pada masa itu

sangat menggandrungi cerita-cerita israiliyat sehingga menerima

semua riwayat tanpa menyeleksi terlebih dahulu (lâ yuraddûna

qaulan), meskipun cerita-cerita itu sangat tidak masuk akal.23

Hal itu

berdampak sangat besar pada masa tadwin (baca: kodifikasi),

20

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 128.; „Abd al-Rahmân bin

Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-Aqwâl al-Syâdzdzah, hlm. 326-327.; Yûsûf Muhammad

al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 99.; Ibrâhîm Muhammad al-Jaramy,

Mu’jam Ulûm, hlm. 46.

21

Lihat „Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-Aqwâl al-

Syâdzdzah, hlm. 326-327 dan Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 128.

22

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 20

23

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 128-129. Bisa juga dilihat

dalam Nûr al-Dîn „Atir, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet. Ke-1 (Damaskus: Mathba‟ah al-

Sibl, 1993), hlm. 75

Page 50: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

35

dengan banyaknya kitab-kitab tafsir yang mencantumkan riwayat

israiliyat di dalamnya.24

c. Dampak Negatif Masuknya Riwayat Israiliyat.

Sebagaimana sudah penulis jelaskan sebelumnya bahwa riwayat

israiliyat tidak lain bersumber dari tsaqâfah orang Yahudi, maka

adakalanya memang riwayat itu sesuai dengan ajaran Islam, dan

adakalanya pula riwayat itu bertentangan dan berlawanan dengan

syari‟at Islam. Jangan lupakan pula bahwa kebanyakan cerita-cerita

yang diriwayatkan oleh ahli kitab itu sudah turun-temurun tanpa

standar kualitas riwayat (tidak seperti hadits), sehingga besar

kemungkinan riwayat-riwayat itu sudah mengalami perubahan dan

diganti di sana-sini.25

Tersebab pada masa tabi‟in hingga masa tadwîn, riwayat

israiliyat mendapat tempat yang cukup istimewa (sebagaimana yang

penulis paparkan di atas), maka riwayat-riwayat yang bertentangan

dengan ajaran Islam pun ikut masuk pada kitab-kitab tafsir. Hal itu

yang kemudian membawa dampak negatif yang cukup signifikan

baik bagi ajaran Islam, maupun bagi kitab-kitab tafsir itu sendiri.

Di bawah ini, penulis akan jabarkan dampak-dampak negatif

riwayat israiliyat baik dalam hubungannya dengan ajaran Islam,

ataupun hubungannya dengan perkembangan kitab tafsir dari masa

ke masa:

1) Dampak Negatif Israiliyat Terhadap Ajaran Islam

24

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 129

25

Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 100

.

Page 51: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

36

Dari berbagai macam literatur yang penulis dapatkan, penulis

mencatat setidaknya ada 7 hal yang menjadi dampak negatif

riwayat israiliyat kaitannya dengan ajaran Islam:

a) Merusak akidah umat Islam dengan adanya tasybîh

(penyerupaan Allah dengan makhluq-Nya) dan tajsîm

(pernyataan bahwa Allah memiliki jism atau anggota tubuh

laiknya manusia) sebagaimana yang terdapat dalam riwayat

israiliyat.

b) Menampakkan Islam sebagai agama yang khurafat, bathil dan

tidak memiliki dasar-dasar ajaran dan aqidah.

c) Hampir menghilangkan ketsiqahan ulama‟ salaf dari kalangan

sahabat dan tabi‟in.

d) Nyaris memalingkan manusia dari tujuan utama al-Qur‟an,

yakni untuk ditadabburi dan direnungi pesan-pesan di

dalamnya.26

e) Dinisbatkan pada Nabi oleh beberapa oknum (seperti orang

yang lemah imannya, para pemalsu riwayat dan kelompok

zindiqah27

) sehingga menjadi hadits palsu.

f) Menumbuhkan keraguan terhadap agama Islam. Dan

g) Memancing orientalis untuk mencela Islam.28

26

Empat poin ini penulis ambil dari Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât

fî al-Tafsîr, hlm. 29-34. Bisa juga dilihat dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-

Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 99-100.

27

Kata zindiq merupakan bahasa Arab serapan yang diambil dari bahasa Pesia,

yaitu zind yang berarti kotoran yang membahayakan. Menurut hukum Islam, zindiq

berarti seseorang yang tidak berpengang teguh terhadap agama. Imam Malik, Imam

Syafi‟i dan Imam Ahmad berpandangan bahwa zindiq berarti orang yang menampakkan

keIslamannya dan menyembunyikan kekafirannya. Pada masa Rasulullah saw. orang

dengan kepribadian seperti ini disebut Munafik. Data ini penulis sarikan dari

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zindiq diakses pada tanggal 16 Januari 2020 jam 15.30

WIB.

Page 52: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

37

2) Dampak Negatif Israiliyat Terhadap Kitab-kitab Tafsir.

Lain halnya dengan dampak negatif terhadap ajaran Islam,

kami hanya menemukan 3 poin mengenai dampak negatif

israiliyat terhadap kitab-ktiab tafsir:

a) Dengan masuknya riwayat israiliyat, kitab-kitab tafsir penuh

dengan cerita imajinatif, bualan dan tidak berdasar.

b) Membuat kitab-kitab tafsir hilang kredibilitasnya, dan

c) Dengan masuknya riwayat israiliyat tersebut, mufassir seperti

meletakkan duri bagi para penikmat kitab-kitab tafsir.29

C. Macam-macam Riwayat Isrâîliyyât serta Hukum Periwayatannya

dalam Tafsir al-Qur’an.

Setelah sebelumnya penulis menjabarkan dengan amat rinci

sejarah munculnya riwayat israiliyat berikut dampak negatifnya, maka

berikutnya penulis akan menghadirkan penjelasan ihwal klasifikasi

ulama‟ dan para peneliti tafsir tentang riwayat-riwayat israiliyat yang

ada dalam kitab-kitab tafsir serta tentang hukum periwayatannya.

a. Macam-macam Riwayat Israiliyat.

Husain al-Dzahaby dalam kitab al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-

Hadîts dan juga Ramzi Na‟na‟ah dalam kitab al-Isrâîliyyât wa

Âtsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr mengelompokkan riwayat-riwayat

israiliyat ini menjadi tiga kelompok besar, yakni berdasar shahih

28

Tiga poin ini penulis kutip dari Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, al-

Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât, hlm. 94. Poin ke 6 bisa juga dilihat dalam Khâlid „Abd al-

Rahmân, Ushûl al-Tafsîr, hlm. 76. Sedangkan poin ke 7 juga bisa ditemukan dalam

Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 99-100.

29

Tiga poin ini penulis temukan dalam Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr

wa, hlm. 130. Dengan redaksi yang nyaris sama tanpa penjelasan mengutip, penulis

temukan juga dalam Khâlid „Abd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr, hlm. 261. Sedangkan

untuk poin ke dua, bisa juga didapat dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr:

Marwiyyâtuhû, hlm. 99.

Page 53: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

38

tidaknya, berdasarkan kesesuaian dengan syari‟at Islam, juga

berdasarkan tema dalam israiliyat itu sendiri:30

1) Riwayat israiliyat berdasarkan sahîh tidaknya terbagi menjadi

tiga: Pertama, sahîh. Kedua, da‟îf. Dan Ketiga, maudû‟.

2) Riwayat israiliyat berdasarkan kesesuaian dengan syari‟at Islam

juga terbagi tiga31

: Pertama, sesuai dengan syari‟at Islam. Kedua,

tidak sesuai dengan syari‟at Islam. Dan Ketiga, Maskût ‘Anh (kita

diami tanpa mengklaim sesuai dan tidaknya dengan ajaran Islam)

3) Riwayat israiliyat berdasarkan tema dalam israiliyat itu sendiri

juga ikut terbagi menjadi tiga: Pertama, riwayat israiliyat yang

berhubungan dengan akidah. Kedua, riwayat israiliyat yang

berhubungan dengan hukum. Dan Ketiga, riwayat israiliyat yang

berhubungan dengan pelajaran, kejadian, dan cerita-cerita.

Namun tidak sampai di situ, Husain al-Dzahabi dan Ramzi

Na‟na‟ah juga memberi kesimpulan dari berbagai macam pembagian

tersebut. Beliau berdua secara keseluruhan mengelompokkan

riwayat israiliyat menjadi tiga: Pertama, maqbul. Kedua, mardud.

Dan Ketiga, Maskût ‘Anh (kita diami tanpa memutuskan diterima

atau ditolak).32

30

Selengkapnya lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr ,

hlm. 35-41. Penjelasan senada dapat juga dilihat dalam Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa

Âtsaruhâ, hlm.76-84.

31

Selain dijabarkan keseluruhan oleh dua kitab di atas, penjabaran ihwal

pembagian riwayat israiliyat berdasarkan kesesuaiannya dengan syari‟at Islam cukup

banyak dijelaskan oleh para ulama‟ dan pengkaji tafsir dalam kitab-kitab mereka, di

antaranya bisa dilihat dalam: Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 130;

Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât, hlm.106-108;

Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû , hlm. 101; Khâlid „Abd al-

Rahmân, Ushûl al-Tafsîr, hlm. 261; dan dalam Nûr al-Dîn „Atir, ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.

76; Ibrâhîm Muhammad al-Jaramy, Mu’jam Ulûm, hlm. 45-46.

32

Selengkapnya bisa dilihat di Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isrâîliyyât fî al-

Tafsîr , hlm. 41. Perlu diketahui bahwa Husain al-Dzahaby tidak menggunakan redaksi

Page 54: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

39

b. Hukum Periwayatan Israiliyat.

Dalam kitab yang sama, Muhammad Husain al-Dzahaby dan

Ramzi Na‟na‟ah juga mengupas secara tuntas ihwal hukum

periwayatan israiliyat ini. Sebelum memberi kesimpulan, beliau

berdua mengemukakan dalil yang melarang dan membolehkan

dalam kaitannya dengan hukum meriwayatkan israiliyat33

:

1) Dalil yang Melarang.

a) Ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa ahli kitab telah

merubah kitab mereka.34

Maskût ‘anh melainkan Mutaraddid Bayn al-Qabûl wa al-Mardûd. Penulis kira itu dua

redaksi dengan arti yang kurang lebih sama. Pemberian kesimpulan dengan redaksi

Maskût ‘anh bisa ditemui dalam Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 84-85.

33

Dalam skripsi ini, penulis hanya mengemukakan beberapa dalil saja, tidak

secara tuntas dan mendalam. Selengkapnya lihat, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-

Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 41-45. Lihat juga dalam, Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa

Âtsaruhâ, hlm. 86-91.

34

Yakni di antaranya terdapat dalam:

Surah al-Baqarah (2): 75,

ل ن ن ػ ي س إ ق ف رإي ن ك ك د و ى ك ا إ يؤ ن

أ ػن ط خ ف

إٱ۞أ لل إف ي ر ۥث ػدإ ب إ ن ػي ح هو ي ل اخ ٧٥

Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,

Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya

setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”

Surah al-Baqarah (2): 79,

يو ف ن ي كخت ي إ إل ٱى ب ت ىهإ دإ غإ إ ا ذ ه للن ح ث إ ي يدإ

إأ إٱة إلل إ ة وا إي ضت ۦى ا ث تن اي كسإ إ م يول و و إ ي يدإ

أ ج خ ت ان إ م يول إيلف ٧٩ك ي

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al

kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud)

untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan

yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan

kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”

Surah al-Ma‟idah (5): 13,

Page 55: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

40

b) Hadits riwayat Imam Bukhari,

ث نا أبو اليمان أخب رن شعيب عن الزىري أخب رن عب يد الل بن عبد الل أن حد

عبد الل بن عباس قال ي معشر المسلمين كيف تسألون أىل الكتاب عن

الذي أن زل الل على نبيكم صلى الل عليو وسلم أحدث شيء وكتابكم

لوا من ثكم الل أن أىل الكتاب قد بد الخبار بلل مضا ل يشب وقد حد

روا فكت بوا بيديهم ال كتب قالوا ىو من عند الل ليشت روا بذلك كتب الل وغي

هاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم فل والل ما رأي نا ثنا قليل أول ي ن

هم يسألكم عن الذي أنزل عليكم رجل من

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah

mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Azzuhri telah

mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Abdullah bahwa

Abdullah bin Abbas berkata, "Wahai segenap muslimin,

bagaimana kalian bertanya ahli kitab tentang sesuatu, sedang

kitab kalian yang Allah turunkan kepada Nabi kalian

shallallahu 'alaihi wasallam adalah berita paling baru tentang

Allah yang tidak dicampuri oleh sesuatu apapun, dan Allah

telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab mengubah-

ubah kitab Allah dan merubah-rubahnya. Setelah itu mereka

tulis kitab-kitab Allah dengan tangannya, dan mereka katakan,

ا إ ف ت إفن ي ر ث ي سإ ق كيب ا ي ػ و ج ج ى ػ ل إيث إ لضإ ٱج إ إىك ػإ اضإ اۦغ ن س و إ إ ة إروا ذن ا إ م ا ظ ح ف ۦ إ إيل ك ي إل إ إ ث إ ان خ عل إع ي ط ت ال ح ز ل خفٱو خ ح ٱو صف

إن ٱإ لل إب إي ٱي ن حسإ ١٣لArtinya: “(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan

Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari

tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah

diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan

dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah

mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat

baik.”

Page 56: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

41

'Ini dari Allah', yang demikian untuk mereka beli dengan harga

yang sedikit, tidakkah ilmu yang datang kepada kalian

melarang kalian bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah,

tidak akan kami lihat salah seorang di antara mereka bertanya

kalian tentang yang diturunkan kepada kalian."

Imâm al-Hâfiz Ibn Hajar al-„Asqallâny mengomentari

hadits ini dengan pernyataan bahwasanya larangan keras yang

dikemukakan Nabi itu terjadi ketika „aqidah umat Islam masih

belum mantap tertanam, yakni pada awal-awal dakwah Islam.

Selain itu, lafadh hadits Nabi cenderung kepada Ahl al-Kitab,

yang mana itu berarti orang Yahudi maupun Nasrani yang

belum masuk agama Islam, bukan pada orang yang pernah

memeluk dua agama itu kemudian masuk Islam. Pernyataan

Ibn Hajar ini diperkuat dengan kenyataan bahwa rawi hadits

ini, yakni Ibn „Abbâs ra. merupakan shahabat yang cukup

sering berinteraksi dengan orang-orang Yahudi maupun

Nashrani yang telah lebih dulu masuk Islam.35

2) Dalil yang Membolehkan.

a) Ayat al-Qur‟an yang menyiratkan bolehnya merujuk pada

kitab-kitab terdahulu.36

b) Hadits riwayat Imâm Bukhâry,

35

Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ , hlm. 92.

36

Yakni dalam surah Yunus (10): 94,

إن ف سف إ م إل إ ل ا ز

أ ا إ م م ص فإ نج ٱوإ ي إ ل ءون لر ٱح ب ت ىهإ ك اء ج د ى ل إم تي ق إ

قٱ ل إ ح كج ف ل إم ب ر ٱإ إي ت ٩٤لArtinya: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa

yang Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca

kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu,

sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.”

Page 57: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

42

ان بن عطية ث نا حس اك بن ملد أخب رن الوزاعي حد ح ث نا أبو عاصم الض حد

عن أب كبشة عن عبد الل بن عمرو أن النب صلى الل عليو وسلم قال ب لغوا

دا عن ولو آية و حدثوا عن بن إسرائيل ول حرج ومن كذب علي مت عم

ف لي ت ب وأ مقعده من النار

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abu 'Âsim al-Dahhâk

bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami al-Awza'iy telah

bercerita kepada kami Hassan bin 'Athiyyah dari Abi Kabsyah

dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi sallallahu 'alaihi

wasallam bersabda: "Sampaikan dariku sekalipun satu ayat

dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan

itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan

sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di

neraka".

Dalam mengometnari hadits ini, Imâm al-Syâfi‟i

berpandangan bahwasanya arti sabda Nabi Muhammad di atas

adalah umat Islam boleh berinteraksi dan menyampaikan

cerita-cerita dari Bani Israil terhadap sesuatu yang tidak

diketahui kedustaannya. Menurut al-Syâfi‟i, hadits ini

merupakan antiklimaks dari hadits sebelumnya yang jelas-jelas

melarang menerima dan menyampaikan apa pun dari Ahl al-

Kitab. Kata wa lâ haraj dalam hadits di atas seolah memberi

sedikit kebebasan untuk berinteraksi dan menerima atau

menyampaikan sesuatu dari Ahl al-Kitab setelah sebelumnya

mendapatkan larangan keras dari Nabi. Namun menurut Imam

al-Syafi‟i, kebebasan dimaksud tidak berlaku untuk semua

orang, melainkan orang-orang tertentu yang memiliki kadar

Page 58: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

43

ilmu keislaman yang tinggi dan benar-benar mengatahui dasar-

dasar agama, seperti „Abdullah bin „Amr bin „Ash ra.37

Terlepas dari perbedaan dalil di atas, kesimpulan yang diambil

oleh Husain al-Dzahaby dan Ramzi Na‟na‟ah dari hasil

mengkompromikan dua dalil tersebut adalah38

:

a. Boleh meriwayatkan israiliyat tapi tidak dalam segala hal, dalam

artian hanya boleh dalam wilayah cerita, kejadian, atau

pengertian arti kata yang mujmal saja dalam al-Qur‟an dan tidak

boleh menyinggung masalah tauhid dan syari‟at.

b. Boleh meriwayatkan israiliyat dengan syarat sesuai dengan

syariat Islam.

Selain itu, Imam al-Biqa‟i berpendapat bahwa haram

meriwayatkan israiliyat yang bathil kecuali ada penjelasan

kualitas riwayatnya, baik sanad maupun matannya.39

D. Kitab-Kitab Tafsir yang Menggunakan Riwayat Isrâîliyyât

Sebelum penulis menyebutkan satu per satu kitab-kitab tafsir yang

masyhur dengan riwayat israiliyat di dalamnya, penulis merasa penting

untuk menjabarkan terlebih dahulu ihwal klasifikasi kitab-kitab tafsir

dalam hal meriwayatkan cerita-cerita israiliyat. Dari literatur yang

penulis miliki, penulis hanya menemukan klasifikasi ini dalam kitab al-

Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts karya Muhammad Husain al-Dzahaby.

37

Lihat selengkapnya di Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 92.

38

Lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 45-52;

Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 91-97, dan juga dalam Yûsûf

Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû , hlm. 105.

39

Pendapat ini bisa ditemukan dalam Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah,

al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât, hlm. 17; Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî

al-Tafsîr, hlm. 54; dan juga dalam Yusuf Muhammad al‟Amiri, “Ka’b al-Ahbâr:

Marwiyyâtuhû, hlm. 105.

Page 59: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

44

Dalam kitab itu, Husain al-Dzahaby mengemukakan setidaknya ada

enam macam kategori kitab tafsir dalam hal meriwayatkan israiliyat40

:

a. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat dengan mencantumkan

detail isnâd dan maqbûl atau mardûdnya, serta tak lupa

mengemukakan sedikit kritikan terhadapnya. Kitab yang termasuk

dalm klasifikasi ini adalah tafsir al-Tabari yang berjudul, Jâmi’ al-

Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân.

b. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat dengan lebih berhati-hati

dengan cara mengemukakan detail sanad berikut proses penerimaan

riwayatnya dan sesekali pula mengemukakan kebathilan dari riwayat

israiliyat yang dinuqil tersebut. Kitab yang termasuk dari kategori

ini adalah tafsir Ibn Katsîr yang berjudul, Tafsîr al-Qur’ân al-

‘Adhîm.

c. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat tanpa sedikit pun

mencantumkan sanad, proses riwayat, dan maqbul-mardudnya.

Dalam kitab ini, cerita israiliyat dihadirkan begitu saja tanpa ada

kritikan sama sekali. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan

rusaknya „aqidah umat Islam. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi

ini adalah tafsir Muqatil bin Sulaiman dan tafsir Al-Kasyf wa al-

Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, karya Abû Ishâq al-Tsa‟laby.

d. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat tanpa sanad. Tapi

mengisyaratkan kedla‟ifan riwayatnya dengan kata Qîla (baca:

dikatakan). Terkadang menjelaskan ketidakshahihan riwayat yang

dicantumkan, terkadang pula tidak. Hal ini yang menyebabkan

buruknya Nabi dan tiadanya „ishmah (penjagaan Allah terhadap para

Nabi agar tidak melakukan dosa). Kitab yang termasuk dalam

40

Selengkapnya lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr,

hlm. 95-160.

Page 60: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

45

klasifikasi Ini adalah Tafsîr Khâzin yang berjudul, Lubâb al-Ta’wîl

fî Ma’âny al-Tanzîl.

e. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat dengan cara menuqil dari

mufassir sebelumnya untuk mengkritisi riwayatnya, agar para

pembaca tafsir tersebut tidak membenarkan secara keseluruhan.

Kitab tafsir ini tergolong kitab yang sangat pedas mengkritik

riwayat-riwayat israiliyat. Kitab tafsir yang tergolong dalam bagian

ini adalah tafsîr al-Alûsy yang berjudul, Rûh al-Ma’âny fî Tafsîr al-

Qur’ân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-Matsâny.

f. Kitab tafsir yang sangat kiritis terhadap kitab-kitab tafsir

sebelumnya yang begitu saja mencantumkan riwayat-riwayat

israiliyat. Pada beberapa kesempatan kitab tafsir ini melancarkan

tuduhan-tuduhan yang boleh dibilang keterlaluan terhadap pembawa

cerita israiliyat tersebut baik dari golongan sahabat maupun tabi‟in.

Tetapi anehnya, tanpa disadari kitab tafsir ini juga terperangkap

sesekali meriwayatkan riwayat israiliyat dalam tafsirnya. Kitab tafsir

yang termasuk dalam golongan ini adalah Tafsîr al-Qur’ân al-

Hakîm, karya Muhammad Râsyid Ridâ. Kitab tafsir ini lebih

masyhur dengan sebutan tafsir al-Manar.

Sementara itu, kitab-kitab tafsir yang masyhur dengan riwayat

israiliyat di dalamnya antara lain41

:

a. Tafsir Muqâtil bin Sulaiman, karya Muqâtil bin Sulaimân bin Basyîr

al-Khurasany

b. Tafsir al-Qur’ân, karya „Abd al-Razzâq bin Hammam al-San‟any

41

Penulis mengumpulkan dan mangggabungkan data tersebut dari tiga kitab:

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr , hlm. 97-160. Dalam kitab ini

disebutkan sebanyak 7 kitab. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa, hlm. 147.

Dalam kitab ini disebutkan ada 8 kitab. Dan Yusuf Muhammad al‟Amiri, “Ka’b al-

Ahbâr: Marwiyyâtuhû , hlm. 107. Dalam kitab ini disebutkan sebanyak 11 kitab.

Page 61: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

46

c. Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, karya Muhammad bin Jarîr

al-Tabary. Tafsir ini terkenal dengan sebutan tafsîr al-Tabary.

d. Bahr al-‘Ulûm, karya Abî al-Laits, Nasr al-Dîn Muhammad bin

Ibrâhîm al-Samarqandy

e. Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, karya Abû Ishâq,

Ahmad bin Ibrâhîm al-Tsa‟laby

f. Ma’âlim al-Tanzîl, karya Abû Muhammad, al-Husain bin Mas‟ûd

bin Muhammad al-Baghawy. Tafsir ini terkenal dengan sebutan

tafsîr al-Baghawy.

g. Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, karya Abû

Muhammad, „Abd al-Haqq bin Ghâlib bin „Atiyyah al-Andalûsy.

h. Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl, karya Abû Hasan, „Ali bin

Muhammad bin Ibrâhîm. Tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan

Tafsîr Khâzin.

i. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, karya Abû al-Fidâ‟, Ismâ‟il bin „Umar

bin Katsîr al-Dimsyqy. Tafsir ini masyhur dengan sebutan Tafsîr Ibn

Katsîr.

j. Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur’ân, karya Abû Zaid, „Abd al-

Rahmân bin Muhammad bin Makhlûf al-Tsa‟âly

k. Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr, karya „Abd al-Rahmân

bin Kamâl, Jalâl al-Dîn al-Suyûty

l. Rûh al-Ma’âny fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-Matsâny,

karya Abû al-Tsana‟, Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Alûsy al-Baghdady.

Tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Alûsy. Dan

terakhir,

m. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, karya Muhammad Râsyid Rida. Tafsir

ini kemudian masyhûr dengan nama Tafsîr al-Mannâr.

Page 62: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

47

BAB III

ABARIT-ALR ÎT DALAM KITAB TAFSÂLIYYÂÎRIWAYAT ISR

DAN IBN KATSÎR

A. Profil Kitab-Kitab Tafsîr yang Menggunakan Riwayat Isrâîliyyât

dan Biografi Pengarangnya

1. Tafsîr al-Tabari

Sederet peneliti dan ulamâ‟ ahli tafsir tidak memungkiri lagi

bahwa sosok Imam Ibn Jarîr al-Tabari (839-923 M./224-310 H.)

merupakan sosok yang teramat penting dan sangat berjasa dalam

tumbuh kembang ilmu pengetahuan. Kemahirannya dalam pelbagai

cabang ilmu pengetahuan semisal fiqh, târikh, ilmu hadîts, serta tak

lupa ilmu al-Qur‟ân, terutama tafsîr, menjadikan nama beliau

melambung tinggi dalam diskursus ilmu pengetahuan selama

berabad-abad.

Ketika membicarakan sosok al-Tabari, orang akan dengan

mudah mengenalnya sebagai seorang ulamâ‟ yang menguasai

berbagai bidang ilmu pengetahuan. Melalui karyanya, Târîkh al-

Umam wa al-Mulk wa Akhbâruhum, nama Ibn Jarîr al-Tabari

mencuat hebat sebagai seorang bapak sejarawan Islam yang tidak

hanya diakui oleh para peneliti dan cendekiawan muslim saja,

melainkan juga para orientalis dan sarjana barat yang memang

memfokuskan diri untuk meneliti cikal bakal sejarah Islam.1 Juga

melalui karya tafsirnya, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân,

beliau kemudian dikenal sebagai bapak tafsir yang memelopori

aliran Tafsîr bi al-Ma‟tsûr sebab menyandarkan tafsirnya pada

periwayatan otoritas awal dengan tak lupa memberi ta‟lîq

1 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M. „Alaika

Salamullah dkk. Cet. Ke-7 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2014), hlm. 112

Page 63: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

48

(komentar) dalam tafsirnya. Hal ini belum pernah ada pada tafsir-

tafsir sebelumnya. Hal itulah yang kemudian secara

berkesinambungan dilanjutkan oleh generasi mufassir selanjutnya.

Maka tak heran jika nama-nama sekaliber Imâm Ibn Katsîr serta

nama-nama mufassir tersohor lainnya acap kali mengutip pandangan

Imâm al-Tabari dalam kitab tafsir mereka. Sebab itu, sebelum terlalu

jauh membahas tentang riwayat isrâîliyât tentang Yûsûf dan

Zulaikhâ‟ dalam kitab tafsîr al-Tabari ini, penulis merasa penting

untuk sedikit mengupas tentang sosok Imâm al-Tabari ini lebih

lanjut berikut proses talâb al-„ilm yang beliau jalani guna menjadi

„ibrah untuk direnungkan bersama.

a. Kondisi Kehidupan Awal dan Riwayat Karir Intelektual

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin

Khâlid bin Katsîr bin Ghâlib Abû Ja‟far al-Tabary al-Amûly.2

Nama belakang yang disematkan padanya, yakni al-Tabary atau

al-Amuly, merupakan nisbat dari tanah kelahirannya yakni Amûl,

ibukota Tabaristan, Iran. Menurut beberapa pakar, nisbat al-

Tabari di samping karena penisbatan kepada kota Tabaristan juga

sebagai nama kultural dari daerah tempat beliau lahir.3

2 Nama lengkap imâm al-Tabari ini penulis dapati dari hasil menggabungkan dari

beragam literatur yang penulis dapati. Kebanyakan literatur hanya menyebut sepintas

saja, sementara beberapa literatur menyebutnya dengan lebih lengkap meski dengan

sedikit perbedaan. Perbedaan itu terletak pada nama Khâlid dalam nasab beliau. Lebih

lengkap silakan cek, Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, terj. Mudzakkir

AS (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 526 dan Muhammad Jarîr al-Tabari,

Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1 Juz 1 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 11. 3 Kota Tabaristan merupakan sebuah kota di Iran yang berada 12 atau 20 Km

sebelah selatan laut Kaspia. Kultur yang berkembang di sana adalah masyarakat yang

suka konflik dan berperang dengan menggunakan senjata tradisional berupa kapak

(Tabar). Dari sinilah panggilan kultural tersebut juga ikut kepada imâm al-Tabari. Lihat,

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 20

Page 64: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

49

Mengenai kapan beliau dilahirkan, ulamâ‟ dan para peneliti

tak ada yang menyebut secara pasti tahun berapakah beliau

dilahirkan. Ada yang menyebut tahun 223 H, sementara sumber

lain menyebutkan akhir tahun 224 H atau awal 225 H.4 Hal cukup

menarik yang patut untuk diangkat terkait dengan tahun lahir

Imâm al-Tabari ini adalah bahwa Imâm al-Tabari sendiri tidak

tahu kapan tepatnya beliau dilahirkan. Menurut beliau terjadinya

keambiguan tersebut karena pada masa beliau dilahirkan, orang-

orang terbiasa menandai sesuatu bukan dengan hitungan kalender

dan tahun, melainkan dengan kejadian-kejadian besar yang terjadi

di daerah itu.5

Boleh dibilang Imâm al-Tabari termasuk beruntung terlahir

dan tumbuh berkembang di tengah keluarga yang menaruh atensi

besar terhadap pentingnya pendidikan, terutama ayahnya.6 Hal itu

tidak terlepas dari perkembangan dan geliat pemikiran di dunia

4 Beberapa ulamâ‟ menyebut tahun 224 H sebagai tahun lahir imâm al-Tabari

tanpa menyebut tahun lain seolah-olah mantap dengan tahun itu meski tahun lahir imâm

al-Tabari masih diperselisihkan. Lihat, Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, al-

Isrâîliyyât wa al-Maudlû‟ât, hlm. 122; Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm.

235; Fahd bin „Abd al-Rahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Buhûts fî Ushûl al-Tafsîr wa

Manâhijuhu, (ttp: Maktabah al-Taubah, t.t.), hlm. 144; Mustafa al-Bighâ dan Muhyi al-

Dîn Mastu, al-Wâdih fî Ulûm al-Qur‟ân, cet. Ke-2 (Damaskus: Dar al-„Ulûm al-

Insaniyyah,1998), hlm. 241; Fahd bin „Abd al-Rahmân al-Rûmi, Dirâsât fî „Ulûm al-

Qur‟ân, cet. Ke- 14 (Riyad: Penerbit Kerajaan, 2005), hlm. 169; Muhammad Husain al-

Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 147; dan Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm.

526. 5 Hal semacam ini juga biasa dipergunakan masyarakat tanah Arab, hingga tak

heran jika tahun lahir nabi Muhammad disebut-sebut sebagai tahun gajah. Mengenai

keambiguan yang dirasakan oleh Imâm al-Tabari dalam menentukan tahun lahirnya ini

bermula dari pertanyaan salah seorang muridnya yakni al-Qadi ibn Kâmil. Selengkapnya

lihat Pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân , hlm. 12 6 Ihwal semangat ayahnya mendidik imâm al-Tabari, lihat Pengantar Pentahqiq,

yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟

al-Bayân, hlm. 12-13. Hal serupa juga diuraikan dalam, Mahmud al-Naqrasyi al-Sayyid

„Ali, Manâhij al-Mufassirîn min „Ashr al-Awwal ilâ al-„Ashr al-Hadîts, cet. Ke-1 Juz 1

(ttp: Maktabah al-Nahdah, 1986), hlm. 119-120.

Page 65: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

50

Islam yang gencar dimulai sejak awal abad ketiga. Kondisi sosio-

cultural yang demikian tentu berpengaruh besar terhadap

psikologi Imâm al-Tabari, hingga berdasarkan pengakuannya,

beliau telah hapal al-Qur‟ân sejak umur 7 tahun, telah

mengimami shalat sejak umur 8 tahun dan telah mencatat hadîts

sejak berumur 9 tahun.7

Sejak masa kanak-kanak, Imâm al-Tabari telah memiliki

integritas dan ghîrah (semangat) yang tinggi dalam menuntut

ilmu—dan seperti disebutkan tadi, juga memiliki background

keluarga yang amat mementingkan pendidikan, hingga pada usia

yang cukup belia,8 beliau meninggalkan kampung halamannya

untuk mengembara demi menuntaskan dahaganya akan ilmu

pengetahuan.

Karir intelektual Imâm al-Tabari dimulai sejak dari Amûl,

kampung halamannya, dengan mendapat perhatian dan

bimbingan langsung dari ayahnya. Lingkungan yang kondusif,

geliat perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang begitu

gencar serta perhatian dari keluarga menjadi faktor utama

(prominent factor) dasar theologis dan pengetahuan yang mantap.

Dengan didorong semangat ayahnya, ia berangkat

meninggalkan kampung halamannya menuju berbagai tempat

seperti Rayy, Basrah, Kuffah, dan tempat-tempat lain untuk

7 Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 21. Lihat juga Pengantar Pentahqiq,

yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟

al-Bayân, hlm. 12 8 Husain al-Dzahaby menyebut bahwa imâm al-Tabari memulai rihlah

„ilmiyahnya sejak umur 12 tahun, sementara dalam literatur lain menyebut di usia 20

tahun. Lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 147, bandingkan

dengan Pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân , hlm. 13.

Page 66: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

51

menimba ilmu. Di Rayy beliau berguru kepada al-Mutsanna bin

Ibrâhîm al-Ibily khusus dalam bidang hadîts dan juga sempat

berguru pada Abu „Abdillah Muhammad bin Humayd al-Râzy.9

Setelah cukup lama menimba ilmu di Rayy, beliau kemudian

berhijrah ke Baghdad dengan tujuan berguru pada Imâm Ahmad

bin Hanbal, sementara Imâm Ahmad bin Hanbal telah lebih dulu

wafat sesaat sebelum Imâm al-Tabari menginjakkan kaki di

Baghdad. Hal itu membuat beliau mencari guru lain dan menetap

sebentar di Baghdad sebelum kembali melanjutkan rihlah

ilmiyahnya ke arah selatan Baghdad, yakni kota Basrah dan

Kuffah. Akan tetapi sebelum sampai di daerah Basrah dan

Kuffah, beliau transit sejenak di kota Wasît untuk melakukan

studi dan riset.10

Sebelum menuju kota Kuffah, beliau terlebih dahulu

menimba ilmu pada ulamâ‟-ulamâ‟ kota Basrah. Nama-nama

ulamâ‟ semisal Muhammad bin Mûsa al-Harasyi, Muhammad bin

„Abd al-A‟la al-San‟any, dan sederet nama ulamâ‟ lain telah

menjadi guru Imâm al-Tabari sewaktu di Basrah. Selang

beberapa lama Imâm al-Tabari menetap dan menimba ilmu di

kota Basarah, beliau kemudian kembali melanjutkan rihlah

„ilmiyah ke kota yang berdampingan dengan kota Basrah, yakni

kota Kuffah. Di sana, beliau berguru pada ulamâ‟-ulamâ‟ semisal

Abû Kuraib, Muhammad bin „Ala‟ al-Hamdzany, Hannad bin al-

Sâri, dan beberapa guru lain.11

9 Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 22

10 Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 23

11 Lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 13.

Page 67: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

52

Mengetahui geliat ilmu pengetahuan yang makin

berkembang di Baghdad, beliau kembali ke kota metropolitan itu

setelah cukup lama berdiam dan menuntut ilmu di Kuffah dan

Basrah. Di kota yang menjadi pusat khîlafah Islâmiyah waktu itu,

beliau memusatkan perhataian pada „Ulûm al-Qur‟ân dan fiqh

dengan berguru pada Ahmad bin Yûsûf al-Tsa‟laby, al-Hasan bin

Muhammad al-Sabbah al-Za‟farany dan Abû Saîd al-Astakhary.12

Setelah merasa cukup menimba ilmu di Baghdad, beliau lalu

melanjutkan petualangan mencari ilmu ke kota Mesir serta ke

Fustât pada tahun 253 H. dengan fokus pada fiqh antar madzhab.

Catatan sejarah mengatakan bahwa setelah dari Mesir dan

Fustât itu, Imâm al-Tabari kembali melakukan perjalanan bolak-

balik di beberapa kota untuk mencari ilmu sembari melayani

orang-orang yang hendak belajar padanya. Beliau tercatat pernah

ke kota Syam lalu kembali untuk kedua kalinya ke kota Mesir.

Kembali ke kota Baghdad untuk ketiga kalinya sebelum melepas

kerinduan ke tanah kelahirannya di Amûl, Tabaristan setelah

sekian lama mengembara. Sejarah juga mencatat bahwa Imam al-

Tabari kembali pulang ke Tabaristan untuk kedua kalinya pada

tahun 290 H.. Pada akhir pengembaraannya, beliau kembali ke

kota Baghdad lagi dan menetap di sana hingga beliau wafat pada

hari Senin, 27 Syawal 310 H. atau 17 Februari 923 M. di usia 85

tahun.13

12

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 23. Dalam mempelajari „ulûm al-

Qur‟ân ini, khususnya dalam bidang qirâ‟ah, imâm al-Tabari mendapat sanâd bacaan

Hamzah dan Warasy (yang keduanya merupakan imam qira‟ah masyhurah) dari seorang

ulamâ‟ bernama Yûnûs bin „Abd al-A‟la ketika di Mesir. Lihat, Ramzi Na‟na‟ah, al-

Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 234 13

Lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân , hlm. 13.

Page 68: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

53

Berkat pengembaraannya yang panjang dan melelahkan,

tentu banyak pula bidang-bidang ilmu pengetahuan yang beliau

kuasai. Tak lupa pula banyak sekali ulamâ‟ dan peneliti yang

menaruh atensi besar untuk meneliti sosok dan karya Imâm al-

Tabari. Sederet penghargaan dan pujian disematkan pada Imâm

al-Tabari seiring dengan proses dan karir intelektual yang

diusahakannya. Tak hanya ulamâ‟ atau cendikiawan muslim yang

menyematkan pujian pada Imâm al-Tabari, seorang orientalis

bernama Ignaz Goldziher mengatakan bahwa di dalam diskursus

sarjana barat, Imâm al-Tabari dikenal sebagai bapak sejarah

Islam di samping kemahirannya dalam bidang-bidang keislaman

yang lain yang tak bisa disangsikan lagi.14

Berkat

pengembaraannya yang panjang itu pula, beliau banyak

menghasilkan karya-karya monumental yang bahkan hingga hari

ini menjadi rujukan utama kajian-kajian sejarah maupun

keislaman. Banyak sekali karya beliau yang dapat kita temui

sebab telah rampung digarap dan mengalami proses cetak, dan

beberapa lainnya belum rampung dan belum pernah

dipublikasikan hingga kita hanya bisa mendengar namanya saja

sebab karya itu masih berupa manuskrip yang belum bisa tersebar

ke mana-mana.

b. Karya-karya Imâm al-Tabari

Seperti disampaikan di atas, berkat kemahiran Imâm al-

Tabari dalam berbagai bidang, juga didukung produktivitas beliau

dalam menulis dan membukukan apa yang telah beliau kuasai,

maka tak heran jika ada banyak sekali karya-karya beliau yang

berkontribusi besar dan menjadi rujukan di berbagai diskursus

14

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 112

Page 69: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

54

ilmu pengetahuan. Berikut ini kami akan paparkan karya-karya

beliau berdasarkan konten atau tema yang dimuat di dalamnya:15

1) Bidang Fiqh.

Ada beberapa kitab karya Imâm al-Tabari yang

mengangkat masalah fiqh dan ushûl fiqh, di antaranya: Âdâb

al-Manâsik, al-Adâr fî al-Ushûl, Basît (belum sempurna

ditulis), Ikhtilâf al-Fuqahâ‟, Khafîf (291-296 H.), Latîf al-Qaul

fî Ahkâm Syarâi‟ al-Islâm, Mûjâz (belum sempurna ditulis),

Radd „Alâ Ibn „Abd al-Hakâm (sekitar 255 H.), al-Tabsyîr fî

al-Ushûl, dan Kitâb al-Zakâh.

2) Bidang al-Qur‟ân.

Di antara kitab karya Imâm al-Tabari dalam bidang al-

Qur‟ân yang penulis dapati dari beberapa literatur adalah: Fasl

Bayân fî al-Qur‟ân, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân

(270-290 H.), dan Kitâb al-Qirâât.

3) Bidang Hadits.

Beberapa karya Imâm al-Tabari dalam bidang hadîts

antara lain: „Ibârah al-Ru‟yâ, Tahdzîb al-Âtsâr (belum

sempurna ditulis), Fadâîl (belum sempurna ditulis), al-Musnâd

al-Mujarrâd, Târîkh al-Rijâl, Hadîts al-Yaman, dan Sharîh al-

Sunnah.

4) Bidang Tauhîd.

15

Bagian ini penulis banyak mengutip dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi

Kitab, hlm. 24-26. Hal ini dikarenakan buku tersebut merupakan hasil elaborasi dari

berbagai sumber seperti buku Franz Rosenthal, The History of al-Thabari, Muhammad

Bakar Ismâ‟îl, Ibn Jarîr al-Tabari wa Mahajuh fî al-Tafsîr, dan berbagai literatur lain

sehingga terkesan cukup lengkap. Tak lupa penulis juga akan coba mengelaborasikan

data-data tersebut dengan literatur yang penulis miliki. Baca juga, Mannâ‟ Khalîl al-

Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 526. Baca juga pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin

„Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 40-46

dan Fahd bin Abd al-Rahmân bin Sulaimân al-Rumi, Buhûts fi Ushûl, hlm.145

Page 70: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

55

Dalam bidang teologi atau tauhîd, penulis mendapati

beberapa kitab karya Imâm al-Tabari, di antaranya: Dalâlah,

Fadâil „Ali bin Abî Thâlib, Radd „Alâ Dzî al-Asfar (sebelum

270 dan belum sempurna ditulis), al-Radd „Alâ al-

Harqûsiyyah, Sarîh, dan Tabsyîr/ al-Basyîr fî Ma‟âlim al-Dîn

(sekitar 290 H.).

5) Bidang Akhlâq.

Imâm al-Tabari juga memiliki karya di bidang akhlâq. Di

antara karya yang penulis dapati antara lain: Âdâb al-Nufûs al-

Jayyidah wa al-Akhlâq al-Nafîsah, Fadâîl, Mûjâz, Âdâb al-

Tanzîl, dan Tartîb al-„Ulamâ‟.

6) Bidang Sejarah.

Dalam bidang sejarah, karya Imâm al-Tabari yang penulis

catat di antaranya adalah: Dzayl al-Mudzayyil (setelah 300 H),

Târîkh al-Umâm wa al-Mulk wa Akhbâruhum (294 H.), dan

Tahdzîb al-Âtsâr.

7) Kitab-kitab yang Belum Rampung dan Belum Terpublikasi.

Penulis mendapati beberapa kitab karya Imâm al-Tabari

yang belum rampung dan belum terpublikasi, yakni: Ahkâm

Syarâi‟ al-Islâm, „Ibârat al-Ru‟yâ, al-Qiyâs (yang

direncanakan rampung di akhir hayatnya), Ikhtilâf al-Fuqahâ‟,

Tabsyîr Ûli al-Nuhâ wa Ma‟âlim al-Hudâ, Sârîh al-Sunnah,

Râmi al-Qaws, al-„Aqîdah, al-Jamî‟ al-Qirâat al-Masyhûrah

wa al-Syawwâdz, Hadîts al-Himyâr, dan al-Risâlah min Tiff

al-Qawl fî al-Bayân „an Ushûl al-Ahkâm.

c. Sekilas tentang Kitab Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân.

Salah satu kitab yang membuat nama Imâm al-Tabari

diperhitungkan di tengah-tengah masyarakat membaca adalah

Page 71: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

56

kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân. Sebagai salah satu

kitab yang tergolong Ummahât al-Tafâsîr, kitab ini seringkali

menjadi rujukan, bahan penelitian serta objek kajian sebagaimana

penelitian yang dijalankan oleh penulis ini. Penulis merasa

penting agar sebelum fokus penelitian ini diarahkan pada riwayat

israiliyat dalam kitab tersebut, ada baiknya terlebih dahulu

mengupas sepintas tentang seluk beluk penulisan, metodologi

yang dipakai serta tak lupa bagaimana posisi kitab ini dalam

menyikapi riwayat-riwayat israiliyat tersebut.

1) Proses Penulisan

Ragam sumber tertulis menyebutkan bahwasanya Imâm

al-Tabari tumbuh pada masa keemasan pemikiran Islam, yakni

sekitar abad ke 9 hingga pertengah abad ke 10 Masehi atau

sekitar pertengahan abad ke 3 sampai awal abad ke 4 Hijriyah.

Di antara berbagai macam ilmu pengetahuan yang bergejolak

waktu itu, beliau hadir di saat perbincangan seputar ilmu

kalam (tauhîd) gencar dilaksanakan oleh aliran-aliran teologis.

Beliau juga tumbuh di saat peristiwa penting setelah era

khalîfah al-Mutawakkil, yakni hilangnya salah satu aliran

rasional Mu‟tazilah digantikan dengan aliran Asy‟ariyah yang

mana pendiri dari aliran itu adalah Imâm al-Asy‟ari yang

sebelumnya merupakan pemangku madzhab Mu‟tazilah.

Karena gejolak diskursus seputar teologi sedang berkembang

pesat waktu itu, beliau pernah dituduh seorang Rafidy

(kelompok ini lebih masyhur dikenal dengan Syi‟ah Rafidah/

ekstrimis Ali ibn Abi Talib kw.), akan tetapi melalui karya-

Page 72: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

57

karyanya, beliau membuktikan bahwa dirinya tergolong

penganut sunni.16

Seiring dengan proses intelektual dan lingkungan yang

menaruh atensi besar akan pentingnya pendidikan tadi, maka

tak heran jika Imâm al-Tabari kemudian menghasilkan

beragam kitab dari sekian banyak cabang ilmu pengetahuan

yang beliau kuasai, baik fiqh, ilmu hadîts, târikh, dan tentu

juga ilmu al-Qur‟ân, terutama tafsîr. Kitab tafsîr monumental

karya Imâm al-Tabari lebih familiar dikenal dengan tafsîr al-

Tabari meski nama asli kitab itu adalah Jâmi‟ al-Bayân „an

Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân.

Imâm al-Tabari menulis kitab tafsir ini pada sekitar paruh

abad ke 3 H. dan sempat diajarkan pada murid-muridnya

selama sekitar delapan tahun yakni sekitar tahun 282 hingga

290 H.17

Hukum kausalitas berkata setiap sebab pasti memiliki

akibat, begitu juga dengan latar belakang disusunnya tafsir ini

oleh Imâm al-Tabari. Di samping permintaan orang-orang

yang menimba ilmu padanya, motivasi terbesar agar beliau

menulis sebuah kitab tafsir adalah berasal dari dorongan guru-

gurunya seperti Sufyân bin „Uyainah, Wâqi‟ bin al-Jarrâh, dan

sederet ulama‟ lain yang sejatinya menjadi faktor utama

lahirnya kitab tafsir yang dikarang oleh Imâm al-Tabari ini.18

Sejatinya sejak abad kedua Hijriyah, kajian seputar tafsîr

al-Qur‟ân sebagai cabang ilmu pengetahuan yang berdiri

sendiri (tidak lagi bercampur baur dengan hadîts atau dalam

kitab-kitab hadîts seperti jama‟ dilakukan oleh ulama‟ pada

16

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 28 17

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 30 18

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 23

Page 73: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

58

awal abad kedua Hijriyah) telah mulai dilaksanakan oleh para

ulama‟. Seperti lumrahnya metodologi penafsiran yang dipakai

turun temurun, ulama‟ pada masa itu juga memulai kajian

tafsîr bi al-Ma‟tsûr dengan cara menyampaikan riwayat-

riwayat yang disandarkan pada otoritas awal Islam sebagai

bahan untuk menafsirkan al-Qur‟ân dalam kitab mereka, baik

itu berupa hadîts, atsar sahabat atau bahkan riwayat-riwayat

isrâîliyyât yang bersumber dari orang-orang ahli kitab yang

telah memeluk Islam. Sayangnya karya-karya tafsir di masa

awal ini tidak ada yang tersisa dan sampai pada kita

sekarang.19

Para peneliti berpendapat bahwa pada mulanya manuskrip

kitab tafsir al-Tabari ini juga sempat menghilang dan baru

ditemukan di maktabah seorang „Amîr Najed, yakni Hammad

bin „Amîr abd al-Rasyîd. Goldziher menengarai ditemukannya

naskah itu disebabkan kebangkitan percetakan pada awal abad

ke 20. Kitab itu pertama kali diterbitkan di Kairo dengan

lengkap, yakni 30 juz dan sekitar 5200 halaman, yang mana

hal itu membuat sarjana barat maupun timur sontak terkejut

dan seolah mendapatkan angin segar bagi khazanah keilmuan

Islam, khususnya dalam bidang tafsir.20

Kitab tafsir itu, karena

19

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 112 20

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 29. Lengkapi dengan Ignaz

Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 113-114 dan Fahd bin „Abd al-Rahmân bin

Sulaimân al-Rûmy, Buhûts fi Ushûl, hlm. 146

Sejarah mencatat, cetakan pertama dari kitab ini bertepatan pada tahun 1321 H.

dengan meletakkan tafsîr al-Nisabûry sebagai hamisy (catatan pinggir) dari kitab itu.

Lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 57

Ada hal cukup janggal yang lagi-lagi penulis dapati, yakni dalam literatur yang

penulis miliki, ada dua buku yang membahas hal ini (tentang cetakan pertama kitab ini)

dan juga tentang kesimpulan dari metodologi yang dipakai oleh imâm al-Tabari dalam

Page 74: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

59

memuat berbagai macam khazanah keilmuan sebagai pisau

analisis penafsiran, tergolong tafsir yang memiliki ribuan

jumlah halaman dan merupakan kitab yang amat sangat tebal.

Bahkan Imâm al-Subki berpendapat bahwa tafsîr Imâm al-

Tabari yang ada di tangan kita sekarang merupakan khulâsah

(ringkasan; resume) dari kitab orisinilnya.21

2) Metodologi dan Karakterisitik Penafsiran.

Membicarakan seputar metodologi dan karakteristik

penafsiran yang dipakai oleh Imâm al-Tabari dalam tafsirnya,

hal itu sekaligus berbicara ihwal kondisi sosial serta

metodologi dan karakteristik penafsiran yang dipakai oleh

mufassir pendahulunya. Sebab bagaimanapun, dalam dunia

literasi, bentuk tulisan apa pun akan juga bergantung pada

unsur ekstrinsik (sosial) pengarang di samping unsur intrinsik

karya itu sendiri. Dalam artian, sebuah karya tulis tidak akan

bisa terlepas dari subjektivitas pengarang meski si pengarang

sudah berusaha semoderat mungkin.

Sebagaimana mafhûm, sebelum Imâm al-Tabari

mengarang tafsîr tersebut, telah lebih dulu ada beberapa

ulama‟ yang juga mengarang kitâb tafsîr meski kebanyakan

kitâb tafsîr itu tidak sampai ke tangan kita saat ini. Style tafsîr

dengan cara menafsirkan ayat al-Qur‟ân dengan riwayat-

riwayat yang disandarkan pada otoritas awal Islam pada kitab-

kitâb tafsîr sebelum al-Tabari, secara tidak langsung juga

berpengaruh pada pemikiran Imâm al-Tabari dalam menulis

tafsirnya, dengan bahasa yang nyaris sama, hanya berbeda beberapa huruf dan kata saja.

Coba bandingkan, Fahd bin „Abd al-Rahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Buhûts fi Ushûl,

hlm. 145-146 dengan Fahd bin „Abd al-Rahmân al-Rûmi, Dirâsât fî „Ulûm, hlm. 170-171 21

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 29

Page 75: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

60

tafsirnya. Maka tak heran jika tafsîr Imâm al-Tabari dikenal

dengan tafsîr bi al-Ma‟tsûr yang sangat identik dengan

riwayat-riwayat yang bersumber dari sahabat, tabi‟în dan tabi‟

tabi‟în.22

Poin plus yang dilakukan Imâm al-Tabari dalam

tafsirnya—yang mana tidak dilakukan oleh mufassir

sebelumnya, adalah beliau sesekali melakukan ta‟dîl dan tarjîh

demi bersikap moderat bahkan pada periwayat dari ibn „Abbâs

yang tersohor sekalipun.23

Meski kitâb tafsîr Imâm al-Tabari masyhûr dengan

predikat tafsîr bi al-Ma‟tsûr, tapi bukan berarti beliau

menafikan peranan akal. Dalam menentukan makna yang

paling tepat untuk sebuah lafaz, beliau menggunakan akal

setelah terlebih dahulu menganalisa makna asli kata itu dengan

berpedoman pada syai‟r-syai‟r Arab. 24

Peranan akal juga

22

Bahkan beliau tergolong orang yang sangat menentang keras penafsiran bi al-

ra‟yi. Ini terbukti dari muqaddimahnya yang menampilkan beberapa hadîts dan atsar

sahabah tentang buruknya tafsîr bi al-ra‟y. lihat, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-

Bayân, hlm. 48. Lihat juga pada pengantar pentahqiq kitab ini di halaman 71-74. Hal

serupa juga dijelaskan dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 151-

152 23

Dalam hal ini terjadi saat beliau berkomentar pada Mujâhid dan al-Dahâk yang

merupakan periwayat dari Ibn „Abbâs. Lihat, Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari

Klasik, hlm. 115; Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm,31 24

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 156

Ada perbedaan mendasar yang penulis temui, yakni dalam satu sumber

mengatakan bahwa dalam kajian linguistic, imâm al-Tabari mengacuhkan aliran-aliran

gramatikal bahasa dan perkembangan bahasa yang masyhûr di kalangan masyarakat,

lihat Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 29-30. Sementara Ignaz Goldziher

berpandangan bahwa imâm al-Tabari menyajikan secara terperinci pembahasan seputar

perbedaan kajian kebahasaan antara ulama‟ Kuffah dan Basrah dengan tetap menjadikan

kesesuaian dengan dalil naql sebagai “detector” kebenaran. Lihat, Ignaz Goldziher,

Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 120. Lihat juga penjelasan serupa pada pengantar

Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-

Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 51-52. Hal tersebut dijelaskan pula dalam Mustafa al-

Bighâ‟ dan Muhyi al-Dîn Mastû, al-Wâdih fî „Ulûm, hlm. 242. Juga dalam Muhammad

Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.156

Sementara dari sisi penggunaan syai‟r-syai‟r „Arab sebagai bahan kajian dalam

menentukan makna kata dalam al-qur‟ân, imâm al-Tabari melakukan hal itu karena

Page 76: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

61

tampak digunakan oleh Imâm al-Tabari saat menetukan

korelasi antara satu ayat dengan ayat lain (munâsabah) dalam

tafsirnya. Tak lupa, ketika beliau dihadapkan dengan pendapat

yang saling kontradiktif, beliau jelaskan hal itu dengan rinci

kemudian memberikan penekanan antara setuju dan tidak

dengan mengemukakan argumentasi sanggahan.25

Hal ini

terjadi pada nyaris setiap perbincangan yang mengandung

polemik dalam tafsirnya, baik dalam menjelaskan makna kata

melalui syai‟r atau qirâ‟ah.26

, atau juga dalam hal-hal seputar

fiqh serta teologi.

Amat penting untuk diketahui bahwa Imâm al-Tabari

menerapkan standard tertentu ketika hendak bersikap selektif

atau lebih longgar. Khusus ketika sampai pada ayat yang

bermuatan theologies, melalui penafsirannya, beliau tampak

cukup serius dalam membela Ahl al-Sunnah ketika bersilang

pendapat dengan pandangan kaum Mu‟tazilah dan doktrin

tertentu meski beliau sudah bersikap moderat sebagai pengkaji

yang memiliki sifat laiknya akademisi.27

Kecendrungan beliau

untuk mengupas tuntas hal-hal berbau teologis tidak terlepas

memang disandarkan atas rekomendasi Ibn „Abbâs yang memang menyarankan agar

menggunaan syai‟r-syai‟r Arab sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kosa kata

al-Qur‟an yang cukup sulit, sebab syai‟r-syai‟r „Arab merupakan dîwân „Arab.

Selengkapnya lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki

dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 52 25

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 31-32 26

Dalam menjelaskan arti kata, salah satu cara imâm al-Tabari adalah

memaparkan qirâ‟ah secara variatif untuk menganalisis kesesuaian makna dan

menjatuhkan pilihan pada qirâ‟ah yang menurutnya paling tepat. Lihat. Muhammad

Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 29-30. Hal serupa juga dijelaskan dalam, Ignaz Goldziher,

Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 115. Lihat juga dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby,

al-Tafsîr wa, hlm. 152-154. 27

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 158-160.

Dari saking sifat akademisi yang dimilikinya, ia pernah tidak disenangi oleh

pengikut madzhab hanbali, lihat Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 121.

Bandingkan dengan Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 31

Page 77: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

62

dari lingkungan sekitar yang sedang gencar memperdebatkan

khilafiyah teologis.28

Hal ini menandakan bahwa Imâm al-

Tabari tidak mau main-main ketika membicarakan tema

seputar teologi. Berbeda halnya ketika beliau membahas

sebuah tema dalam ranah fiqh. Beliau melakukan Istinbât al-

Hukm (penetapan hukum) dengan tanpa taqlîd dan tanpa

melibatkan diri pada perselisihan pandangan yang dapat

menimbulkan perpecahan. Tentu dengan hal ini beliau

menunjukkan diri sebagai mufassir yang lebih mengedepankan

sisi teologis dari pada furû‟iyah fiqh.

Salah satu hal yang boleh dibilang cukup dibiarkan

longgar oleh Imâm al-Tabari adalah ketika menuqil riwayat

isrâîliyyât. Sebagai sejarawan, beliau tentu tertarik untuk

mengupas tuntas ketika berhadapan dengan ayat yang

bermuatan kisah-kisah yang tersaji indah dalam al-Qur‟ân.

Dan hal itu beliau lakukan dengan menuqil riwayat-riwayat

isrâîliyyât.

Dari pemaparan data di atas serta dari kajian langsung

terhadap kitab tafsir ini, maka tampak jelas sekali bahwa

metodologi tafsîr al-Tabari adalah:

a) Sumber penafsiran tergolong bi al-Ma‟tsûr karena peranan

riwayat lebih terasa dari pada peranan „aql ketika al-Tabari

melakukan penafsiran.

b) Metode penafsiran tergolong Tahlîly, sebab al-Tabari tidak

hanya menafsirkan ayat sepintas lalu saja, melainkan juga

seringkali membahas panjang lebar, apalagi menyangkut

ayat-ayat teologis sebagaimana penulis paparkan di atas.

28

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 125

Page 78: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

63

c) Sistematika penafsiran tafsir al-Thabari tergolong

menggunakan tartib (susunan) mushafi, yakni di awali dari

surah al-Fatihah dan berakhir di surah al-Nash. Tartib ini

memang dipakai oleh mayoritas mufassir. Dan

d) Corak penafsiran tafsîr al-Tabari ini tergolong Adab

Ijtima‟i, sebab kajian kebahasaan amat kental terasa dengan

dipadukan dengan membahas tuntas isu-isu kemanusiaan

yang sedang diperbincangkan pada masanya.

3) Posisi terhadap Isrâîliyyât.

Seperti yang telah dikemukakan di poin sebelumnya

bahwa Imâm al-Tabari cendrung lebih longgar ketika

mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya.

Beliau melakukan hal itu (bersikap cukup longgar terhadap

riwayat isrâîliyyât) dengan persepsi bahwa riwayat-riwayat

tersebut telah dikenal oleh mayarakat Arab dan tidak

menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama.29

Meski terbilang cukup longgar dalam meriwayatkan

isrâîliyyât, namun Imâm al-Tabari juga cukup selektif dalam

menuqil riwayat isrâîliyyât yang baginya tidak berguna seperti

riwayat isrâîliyyât menyangkut pertanyaan-pertanyaan seperti

apakah di langit ada makanan, ketika mengomentari surah al-

Mâ‟idah yang pada saat itu turun makanan dari langit atas

permintaan Nabi Isa as., juga saat dihadapkan dengan

pertanyaan dengan harga berapakah Nabi Yûsûf dijual? Atau

warna apa anjing Ashabul Kahfi? dan beragam pertanyaan tak

penting lainnya. Imâm al-Tabari berkomentar bahwa

29

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 31-32

Page 79: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

64

mengetahui hal itu tidaklah bermanfaat dan ketidaktahuan

tentangnya bukan sebuah keburukan.30

Dalam kitab tafsir ini, banyak sekali riwayat isrâîliyyât

yang muncul. Nyaris semua riwayat yang dinuqil dalam kitab

ini bersumber dari Ka‟ab al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, Ibn

Juraij, dan al-Sûdi. Ada pula riwayat isrâîliyyât yang didapat

dari Muhammad bin Ishâq, yang mana dia (Muhammad bin

Ishâq) juga mengambil riwayatnya dari orang-orang ahli kitab

yang telah lebih dulu masuk islam.31

Pengambilan riwayat

isrâîliyyât yang banyak dalam kitab ini tidak terlepas dari jiwa

sejarawan yang dimiliki al-Tabari, guna melengkapi puing-

puing sejarah.32

Imâm al-Tabari banyak sekali meriwayatkan isrâîliyyât

yang ada kaitannya dengan catatan sejarah, dan amat selektif

terhadap riwayat yang menjelaskan detail-detail yang tak

cukup penting untuk diketahui. Dalam artian, Imâm al-Tabari

sebagai sejarawan, lebih mengedepankan aspek kepentingan

sejarah dari pada kualitas riwayat yang ditampilkan.33

Tak

heran lagi jika Husain al-Dzahaby dalam sebuah kitabnya yang

khusus mengupas riwayat-riwayat israiliyat dalam kitab-kitab

tafsîr dan hadîts, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts,

berpandangan bahwa kitab tafsir al-Tabari ini tergolong tafsir

yang menuqil isrâîliyyât dengan menyebut lengkap dan detail

sanad periwayatannya namun jarang sekali memberikan

30

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 117-118. Bisa dilihat juga

dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 155 31

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 97. Lihat juga

dalam, Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 493 32

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.154; Muhammad Yusuf,

dkk., Studi Kitab, hlm. 32-33 33

Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 248-249.

Page 80: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

65

komentar atau mengritik terhadap riwayat yang

dicantumkan.34

2. Tafsîr Ibn Katsîr

Sebelum melangkah pada pembahasan lebih lanjut, perlu

kiranya memperjelas bahwa sejatinya dalam bidang keilmuan al-

Qur‟ân dikenal dua tokoh dengan nama Ibn Katsîr, yakni Ibn

Katsîr dengan nama lengkap Abû Muhammad „Abdullah Ibn Katsîr

al-Dâry al-Makky yang lahir di Mekkah pada tahun 45 H/665 M. dan

Ibn Katsîr dengan nama lengkap Abû al-Fidâ Ismâîl Ibn „Amr Ibn Katsîr

Ibn Zarâ‟ al-Busra al-Dimasyqy yang lahir pada kisaran tahun 700

H/1300 M.

Ibn Katsîr yang disebut pertama adalah seorang ulamâ dari

generasi tâbi‟în yang juga dikenal sebagai salah seoarng imâm dari

tujuh imâm dalam Qirâ‟ah Sab‟ah, sementara Ibn Katsîr yang

disebut terakhir merupakan tokoh mufassir yang hidup pada awal

abad ke-8 H.35

Ibn Katsîr yang disebut terakhir inilah yang biografi

serta kitab tafsirnya akan diulas dan dikaji dalam penelitian ini.

a. Kondisi Kehidupan Awal dan Riwayat Karir Intelektual

Imâm Ibn Katsîr bernama lengkap „Imâd ad-Dîn Abû al-

Fidâ‟ Ismâîl Ibn Amar Ibn Katsîr Ibn Zara‟ al-Busra al-Dimasyqi.

Beliau lahir di Basrah desa Mijdâl pada tahun 700 H/1300 M. Di

dalam beberapa literatur lain, disebutkan nama Ibn Katsîr dengan

Imâm ad-Dîn Abû al-Fidâ‟ Ismâîl Ibn al-Khâtib Syihab ad-Dîn

Abi Hafsah Umar Ibn Katsîr al-Quraisy a l-Syâfi‟i. Penyebutan

gelar al-Busrawi atau al-Busra di belakang namanya, berkaitan

dengan tempat ia lahir yaitu di Basrah, begitu pula dengan gelar

34

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 97 35

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir Al-Tabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 69

Page 81: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

66

al-Dimasyqi, hal ini dikarenakan kota Basrah adaalah baagian

dari kawasan Damaskus.36

Musibah tidak terduga menimpanya saat umur tujuh tahun

atau dalam beberapa literatur menyebut umur tiga tahun, yakni

saat ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu, ia diasuh oleh

kakaknya, Kamâl al-Dîn „Abd al-Wahhâb di Damaskus. Dari

sinilah Ibn Katsîr memulai pengembaraan keilmuannya dengan

banyak bertemu dengan para ulama-ulama besar pada saat itu,

termasuk Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyah, Bahâ‟ al-Dîn al-Qasimy

Ibn „Asâkir (w. 723), juga Ishaq Ibn Yahya al-„Amidi (w. 728).37

Oleh karena bertemu dengan para ulama-ulama masyhûr di

zamannya, Ibn Katsîr mampu mempelajari dan mendalami

berbagai macam bidang ilmu-ilmu keislaman. S elain dalam

bidang tafsîr, Ibn Katsîr juga sangat menguasai bidang hadîts,

fiqh, dan sejarah. Hal itu dibuktikan dengan banyak karya-

karyanya yang berkaitan dengan hal tersebut. Maka dari itu,

sangat wajar jika dia diberi gelar sebagai mufassir, muhaddits,

fâqîh, sekaligus muarrikh. Terkhusus dalam bidang hadîts, Ibn

Katsîr banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia memperoleh

Ijazah dari Imâm al-Wâni, juga tak lupa dari muhaddits terkenal,

Jamâl al-dîn al-Mizzy (w. 724 H/1342 M), penulis kitab

Tahdzîb al-Kamâl fî asmâ‟ al-Rijâl, yang kemudian menjadi

mertuanya sendiri. 38

b. Karya-Karya Imâm Ibn Katsîr

36

Muhammad Husain al-Dzahaby, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid II,

(Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm. 242. Coba bandingkan pula dengan Rosihon

Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,.hlm. 69. 37

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat., hlm. 70 38

Dedi Nurhaedi dkk, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 132.

Lihat juga, Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur‟an (dari Klasik Hingga

Kontemporer), (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 75.

Page 82: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

67

Ada banyak karya yang muncul sebagai buah pikiran Imâm

Ibn Katsîr, dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan.

Dalam bidang sejarah, misalnya, Ibn Katsîr menulis beberapa kitab

antara lain al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Fushûl fî Sîrah al-

Rasûl, Tabaqât al-Syâfi‟iyyah, Qasas al-Anbiyâ‟, dan Manâqib

al-Imâm al-Syâfi‟i. Dari beberapa kitab sejarah yang disebutkan

tadi, kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah adalah karya

monumentalnya dalam bidang sejarah.

Sementara dalam bidang hadîts, Ibn Katsîr menulis sejumlah

kitab di antaranya Kitâb Jâmi‟ al-Masânid wa al-Sunnan, al-

Kutub al-Sittah, al-Takmîlah fî Ma‟rifat al-Tsiqât wa al-Du‟afâ‟

wa al-Mujâhal, al-Mukhtasar sebagai ringkasan kitab

Muqaddimah li „Ulûm al-Hadîts karya Ibn Salah, serta tak lupa

Adillah al-Tanbîh li „Ulûm al-Hadîts. Selain yang telah

disebutkan tadi, Ibn Katsîr juga mensyarahi kitab Sahîh Bukhâri

yang penyelesaiannya dilanjut oleh Ibn Hajar al-Asqallâni.

Khusus dalam bidang fiqih, terdapat karya Ibn Katsîr yang

tidak terselesaikan. Ia berencana untuk membuat sebuah kitab

fiqih yang berlandaskan al-Qur‟ân dan al-hadîts, tetapi yang

terealisasi hanya satu bab yang membahas ihwal fiqh ibadah

dalam persoalan haji yang ditulis dalam satu bab. Selain semua

karya yang sudah disebutkan, tentu Ibn Katsîr juga memiliki

karya di bidang tafsir yang dinamai Tafsîr al-Qur‟ân al-Azîm atau

yang disebut juga dengan Tafsîr Ibn Katsîr.39

c. Sekilas tentang Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm.

1) Proses Penulisan

39

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm. 70-71

Page 83: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

68

Sebelum lebih lanjut memaparkan ihwal metode dan

karakteristik kitab tafsîr karya Ibn Katsîr, maka penting

kiranya memaparkan sepintas tentang hal-hal seputar proses

penulisan tafsîr ini. Para pengkaji sejarah kitab-kitab tafsîr

pada umumnya menyebut Tafsîr Ibn Katsîr ini dengan nama

Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, meskipun memang jika ditelusuri

lebih lanjut, tafsîr yang ditulis oleh Ibn Katsîr ini belum ada

kepastian mengenai judulnya. Hal itu dikarenakan Ibn Katsîr

nampaknya tidak pernah menyebut secara gamblang nama

kitab tafsîr yang dikarangnya ini, berbeda dengan apa yang

biasa dilakukan oleh penulis-penulis klasik lainnya yang

menulis judul kitabnya pada bagian mukadimah. Meski begitu,

di lain sisi, Imam „Ali al-Sabûny berpandangan bahwa nama

tafsîr itu adalah pemberian dari Ibn Katsîr sendiri, sehingga

generasi setelahnya terbiasa menyebut kitab itu dengan judul

Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm.40

Dari paparan di atas, terdapat dua kemungkinan yang bisa

terjadi ihwal penamaan tafsîr karya Ibn Katsîr ini, yakni

pertama, bahwa bisa jadi penamaan tafsîr ini dengan nama

Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, diprakarsai oleh ulama-ulama

setelah Imam Ibn Katsîr, atau bisa jadi memang Ibn Katsîr

sendiri yang memberi penamaan itu dengan tanpa

menyebutkannya di bagian mukadimah sebagaimana

kebiasaan ulama-ulama klasik pada zamannya.

Sementara itu, berbicara ihwal muatan yang terdapat

dalam kitab tafsîr ini kaitannya dengan geneologi keilmuan,

40

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm. 71

Page 84: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

69

maka adalah hal yang niscaya bahwa pemikiran seseorang

tentu, disengaja atau tidak, akan dipengaruhi oleh pemikiran-

pemikiran generasi ulama sebelumnya. Contoh sederhana yang

menjadi bukti sahih asumsi ini adalah bahwa filsafat Islam

sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang telah lebih dulu

berkembang. Maka dalam proses penulisan kitab tafsîr ini, Ibn

Katsîr juga tidak terlepas dari pengaruh pemikiran-pemikiran

ulama-ulama generasi sebelumnya, seperti Ibn „Atiyyah, Ibn

Jarîr al-Tabari, Ibn Abi Hâtim, serta ulama-ulama lainnya. 41

2) Metodologi dan Karakterisitik Penafsiran

Jika mengacu pada periodesasi penafsiran yang dibuat

oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya Dinamika Sejarah

Tafsir al-Qur‟ân, maka tafsîr Ibn Katsîr ini tergolong tafsîr era

pertengahan. Periodesasi yang disusun oleh Abdul Mustaqim

itu memungkinkan meneliti karakteristik dan metode yang

dipakai dalam mengarang suatu kitab tafsîr berdasarkan

rentang zamannya.

Dalam buku lain, Abdul Mustaqim menyebut era

pertengahan ini sebagai era afirmatif dengan nalar ideologis.

Karakteristik penafsiran di era tersebut, menurut Abdul

Mustaqim, banyak dipengaruhi atau lebih didominasi oleh

kepentingan-kepentingan politik, golongan, madzhab, atau

bahkan ideologi keilmuan.42

Membahas soal bentuk-bentuk tafsîr, Nasharuddin Baidan

memetakan bentuk tafsîr dalam dua bagian, yakni tafsîr bi

41

Muhammad Husain al-Zahaby, Tafsîr wa al-mufassirûn Juz 1,hlm. 175. 42

Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS,

20012), hlm. 45.

Page 85: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

70

al-ma‟tsûr (berdasarkan riwayat), dan yang kedua tafsîr bi al-

ra‟yi (akal). Dengan melihat sejarah penafsiran al-Qur‟ân,

bentuk tafsîr bi al-ma‟tsûr bisa dikatakan adalah bentuk yang

pertama lahir dalam penafsiran al-Qur‟ân, hal ini lebih

dikarenakan masa yang tidak terlalu jauh dari Nabi sehingga

penafsiran-penafsirannya lebih banyak berpedoman kepada

hadits-hadits Nabi maupun pendapat-pendapat para sahabat

dan para tâbi‟în. Sementara itu, masa pertengahan di mana

tafsir Ibn Katsîr ini lahir, disebut-sebut sebagai masa

pergeseran dari bi al-ma‟tsûr ke tafsir bi al-ra‟yi.43

Di saat melihat tafsîr Ibn Katsîr lebih dalam, dapat

dijumpai bahwa meskipun tafsîr ini lahir di era pertengahan,

dimana pada era ini tafsîr bi al-ra‟yi perlahan-lahan mulai

mendominasi corak tafsîr, akan tetapi tafsîr Ibn Katsîr

kecenderungannya lebih menggunakan bentuk tafsîr bi al-

ma‟tsûr. Hal ini diamini oleh al-Dzahaby yang berpandangan

bahwa tafsîr Ibn Katsîr menggunakan metode menafsirkan al-

Qur‟ân dengan al-Qur‟ân, menafsirkan al-Qur‟ân dengan

hadîts, menafsirkan al-Qur‟ân dengan ijitihad-ijtihad para

sahabat dan tâbi‟în, yang mana metode menafsirkan al-

Qur‟ân semacam ini, menurut Ibn Katsîr sendiri dalam

muqaddimah tafsirnya menyebut bahwa metode tersebut

adalah metode yang terbaik untuk menafsirkan al-Qur‟ân.44

3) Posisi terhadap Isrâîliyyât.

43

Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an “Kajian Kritis terhadap Ayat-

ayat yang Beredaksi Mirip”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 57. 44

Mâni‟ „Abd Halîm Mahmûd, Manhaj al-Mufassirīn terj. Syahdianor dan Faisal

Saleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 60.

Page 86: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

71

Seperti disebutkan di awal, bahwa salah satu sumber

penafsiran pada masa klasik maupun pertengahan adalah

banyak kisah-kisah isrâîliyyât yang disusupkan ke dalam tafsîr

maupun hadîts. Kisah-kisah isrâîliyyât adalah cerita-cerita

kuno dari Yahudi maupun Nasrani atau pengaruh

kebudayaannya terhadap tafsîr. Cerita Isrâîliyyât juga memilki

jalur periwayatan, oleh karena itu ada isrâîliyyât yang sahih

dan ada yang da‟if, ada yang sesuai dengan syari‟at islam dan

ada yang tidak sesuai.

Ibn Katsîr yang juga dikenal tidak hanya sebagai

mufassir, melainkan juga muhaddits dan ahli sejarah, tentu

akan lebih selektif memilih riwayat-riwayat yang sahih untuk

dipaparkan dalam kitab tafsirnya, sehingga kemungkinan besar

riwayat isrâîliyyât yang dikemukakannya memiliki sanad

yang sahih. Namun begitu, seperti halnya kondisi yang dialami

Ibn Jarîr al-Tabari sebagai sesama sejarawan, Ibn Katsîr juga

beberapa kali mengutip kisah-kisah isrâîliyyât yang da‟if

sebagai pelengkap kisah-kisah yang ada dalam al-Qur‟ân,

namun diikuti penjelasan soal letak keda‟ifannya, atau ketika

riwayatnya sahih ia juga menjelaskan sisi kesahihannya.

Contoh penafsiran Ibn Katsîr yang menggunakan riwayat

isrâîliyyât terdapat dalam penafsiran surah an-Nâzi‟ât ayat 30,

“… dan bumi sesudah itu dihamparkan”. Ibn Katsîr

mengemukakan isrâîliyyât yang disampaikan M uslim dan

dari Abû Hurairah bahwa, “Allah telah menciptakan tanah

pada hari Sabtu, gunung pada hari Ahad, pohon-pohon pada

hari Senin, sesuatu yang dibenci pada hari Selasa, cahaya pada

hari Rabu, binatang pada hari K amis dan Adam pada hari

Page 87: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

72

Jum‟at antara ashar dan malam.” Begitu selesai menyebut

riwayat tadi, Ibn Katsîr langsung menjelaskan ihwal kualitas

sanadnya yang ternyata Gharîb.

Dalam kesempatan lain, ada pula kisah yang dikemukakan

oleh Ibn Katsîr, yang riwayatnya bersumber dari Ibn „Abbâs,

yang berbunyi: “Di balik bumi ini, Allah menciptakan sebuah

lautan yang melingkupinya. Di dasar laut itu, Allah telah

menciptakan pula sebuah gunung yang bernama Qâf. Langit

dan buni ditegakkan di atasnya. Di bawahnya, Allah

menciptakan langit yang mirip seperti bumi ini yang

jumlahnya tujuh lapis, sehingga semuanya berjumlah tujuh

lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis

langit”. Riwayat isrâîliyyât ini dikemukakan Ibn Katsîr saat

manafsirkan awal Surah Qâf. Begitu selesai mengemukakan

riwayat isrâîliyyât tadi, seperti biasa Ibn Katsîr langsung

mengomentari kualitas sanadnya yang ternyata menurutnya

terputus dan bertentangan dengan riwayat Ibn „Abbâs

lainnya.45

Dari paparan-paparan tadi, bisa diketahui bahwa kisah-

kisah israîliyyât da‟if yang dikemukakan Ibn Katsîr dalam

tafsirnya, bukan merupakan tafsiran terhadap ayat, melainkan

sebatas mengungkapkan bahwa dalam konteks ayat itu

terdapat kisah-kisah isrâîliyyât yang tidak boleh dijadikan

dasar sebab cacat dari sisi kualitas sanad. Walau begitu, Ibn

Katsîr juga memiliki pandanagan tentang isrâîliyyât bahwa

karena kisah-kisah isrâîliyyât tidak diketahui kebenaran dan

kebohongannya, maka berita itu tidak perlu dibenarkan sebab

45

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm. 127.

Page 88: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

73

dimungkinkan mengandung dusta tetapi juga jangan

didustakan sebab dimungkinkan masih mengandung

kebenaran.46

B. Riwayat-Riwayat Isrâîliyyât dalam Kitab Tafsîr al-Tabari dan Ibn

Katsîr serta Komparasinya dengan Kitab-Kitab Tafsir Lain

Setelah mengupas sepintas ihwal biografi, perjuangan, berikut

sekilas tentang dua kitab tafsîr yang menjadi fokus dalam penelitian ini,

maka pada sub bab ini, penulis akan menghadirkan riwayat-riwayat

isrâîliyyât dalam surah Yûsûf yang terdapat dalam dua kitab tafsîr

tersebut, yang mana hal itu berkaitan dengan tema nama istri al-„Azîz

dalam ayat ke-21, ketergodaan Nabi Yûsûf dalam ayat ke-24, dan

seputar pernikahan Nabi Yûsûf dalam ayat ke-56. Selain itu, dengan

tujuan mengetahui pengaruh isrâîliyyât dalam kitab tafsîr sebelum nanti

dikaji secara umum maupun khusus di bab selanjutnya, maka dalam

sub bab ini, penulis juga akan memaparkan komparasi penafsiran

berlandaskan isrâîliyyât dalam dua kitab tafsîr tadi dengan kitab-kitab

tafsîr lain yang masih tergolong tafsîr bi al-Ma‟tsûr.

1. Nama Istri al-‘Azîz dalam Sûrah Yûsuf Ayat 21

Ayat ke-21 dalam sûrah Yûsûf yang dimaksud di sini adalah

firman Allah:

يٱوقال ى ش ٱلذ ي ت ص تم لي ك ۦ رأ

ى يث رمأ نعسى

ا أ يفع

و ذالكوكذ ا ولدۥنتذخذه أ فيمذ س ٱفل

ول ضرل يۥعو وينتأ

ٱ ل ٱوحاايي للذ ىغهب م ع

أ ذول ۦره ك ك

نيع للذاسٱثأ ٢١و

46

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm.139.

Page 89: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

74

“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya:

„Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi

dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.‟ dan

demikian pulalah kami memberikan kedudukan yang baik kepada

Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya

ta'bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi

kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”

a. Penafsiran al-Tabari

Dalam tafsîr al-Tabari, nyaris tidak ada riwayat yang

menyebut ihwal nama istri al-„Azîz ini. Kebanyakan riwayat yang

dipaparkan menggunakan kata Imra‟ah al-„Azîz. Satu-satunya

riwayat yang mengupas hal ini adalah yang menyebut bahwa istri

al-„Azîz itu bernama Râ‟îl bintu Ra‟âîl. Sanad riwayat ini al-

Tabari dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari

Salâmah. Sementara Salâmah menerima riwayat itu dari Ibn

Ishâq.47

لياع:راقحسإنابركاذميافهاس(،ووتأرملرصمنماهرت ياشذال الق)و

.اقحسإنابن،عةملاسنث د :حال،قديحنابكلذابنث د ح .ليائعرتنب

b. Penafsiran Ibn Katsîr

Berbedahalnya dengan Imâm al-Thabari, dalam menafsirkan

ayat di atas, Ibn Katsîr tidak mencantumkan mata rantai riwayat

saat mengemukakan ihwal nama istri al-„Azîz. Dalam tafsîr Ibn

Katsîr disebutkan riwayat bahwa nama istri al-„Azîz adalah Râ‟îl

bintu Ra‟âîl dengan hanya disandarkan pada satu nama periwayat

yang juga menjadi sumber riwayat Imâm al-Tabari, yakni

Muhammad Ibn Ishâq. Selain itu, ada pula penyebutan nama

47

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1

Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 62

Page 90: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

75

Zalîkhâ‟ sebagai nama istri al-„Azîz, namun sayangnya riwayat

ini hanya disampaikan dengan redaksi wa qâla ghairuhu.48

نائزىخلعانك,وزي زعالوىوبيحورنبري فطإوس:ااقحسإنبدم مالقو

وتأرامماس:وال.ققيالمعالنملجرديلوالنبني الر ذئموي كلمالانك,ورصم

اخيازلهس:اهري غالقو .ليائعرتنبلياعر

c. Komparasi dengan Kitab-Kitab Tafsîr Lain

1) Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân (150 H.)

Dalam tafsîr ini disebutkan bawa nama imra‟ah al-„Azîz

adalah Zulaikhâ‟ tanpa mencantumkan mata rantai riwayat

yang lengkap.49

2) Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.)

Imâm „Abd al-Razzâq al-San‟any tampaknya cenderung

lebih berhati-hati dalam tafsirnya ini. Beliau tidak

mengemukakan nama imra‟ah al-„Azîz dan hanya

mencukupkan diri dengan menyebut mar‟ah/imra‟ah dalam

tafsirnya.50

3) Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr al-Samarqandî (373 H.)

48

Ismâîl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, Cetakan Pertama, Juz 8 (Mesir,

Maktabah Aulâd as-Syaikh li at-Turâts, 2000), hlm. 25 49

Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, cet. Ke-1 Juz 2

(Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts, 1423 H.), hlm. 327 (versi Maktabah Syâmilah). Nama

Zulikhâ‟ setidaknya disebutkan sebanyak tiga kali dalam tafsir ini, juga tanpa

mencantumkan riwayat yang lengkap. Lihat juga halaman 331 dan 332. 50

„Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San‟any, Tafsîr al-Qur‟^an, cet, ke-1 Juz 1

(Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1989), hlm. 322.

Page 91: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

76

Dalam tafsîr ini, nama istri al-„Azîz disebut Zulaikhâ‟,

sayangnya tidak ada sanad lengkap yang disertakan bersama

pernyataan itu.51

4) Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟laby

(427 H.)

Ada dua riwayat yang menyebutkan nama istri al-„Azîz

dalam kitab tafsir ini:

a) Bernama Zulaikhâ‟. Riwayat ini al-Tsa‟laby terima dari Ibn

Fanjawaîh. Ibn Fanjawaîh menerima riwayat itu dari Ibn

Munabbih. Ibn Munabbih menerima dari Abû Hamid al-

Mustamally. Sementara Abû Hamid al-Mustamally

menerima riwayat tersebut dari Abû Hisyam al-Râfi‟i.

b) Bernama Râ‟il. Beliau tidak menyebut lengkap riwayat ini.

Riwayat ini hanya disandarkan pada satu nama, yakni Ibn

Ishâq.52

5) Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwi (516 H.)

Kitab ini menyebut dua nama, yakni Râ‟il dan Zulaikhâ‟.

Sayangnya, pernyataan itu tidak didukung dengan riwayat

apapun.53

6) Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn

„Atiyyah (542 H.)

51

Abû al-Laits al-Samarqandi, Bahr al-„Ulûm, Juz 2 (ttp: tnp, t.t.), hlm. 186

(versi Maktabah Syâmilah). Penyebutan nama Zulaikhâ‟ dalam kitab ini bisa juga

ditemukan di halaman 187, 189, 190, 191, 199. 52

Abû al-Ishâq al-Tsa‟laby, al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân, cet ke-1

Juz 5 (Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts, 2002), hlm. 206 (versi Maktabah Syâmilah). Khusus

riwayat yang kedua, yakni yang disandarkan pada Ibn Ishâq, imâm Jarîr al-Tabari

menyebut Rî‟il, bukan Rahil. Lihat lagi dalam Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-

Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1 Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 62. 53

Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas‟ûd al-Baghawy, Ma‟âlim al-Tanzîl, Juz

4 (Riyad: Dâr Taibah, 1411 H.), hlm. 225

Page 92: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

77

Ihwal nama istri al-„Azîz, setidaknya ada tiga riwayat yang

dipaparkan dalam kitab ini:

a) Riwayat yang menyebut Râ‟il dengan menyandarkan

riwayat pada Ibn Ishâq seorang dan tanpa didukung sanad

yang lengkap.

b) Riwayat yang menyatakan Zulaikhâ‟ dengan hanya

mengatakan Qîla.

c) Riwayat yang menyebut Râbihah, juga dengan hanya

mengatakan Qîla.54

Namun sependek pengamatan penulis, Imâm Ibn

„Atiyyah cenderung menggunakan Zulaikhâ‟ meski tanpa

sanad sama sekali.55

7) Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin (741 H.)

Râ‟il dan Zulaikhâ‟ tanpa sanad lengkap dan diwakili dengan

kata Qîla. Cenderung kepada Zulaikhâ‟ meski tanpa sanad

lengkap.56

8) Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby

(875 H.)

Nama Râ‟il dipaparkan berdasarkan riwayat yang

disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Ishâq. Ada pula

penyebutan Zulaikhâ‟, hanya saja pernyataan ini diwakili

dengan kata Qîla. Penulis menilai kecendrungan al-Tsa‟âlaby

dalam kitabnya ini, lebih kepada menggunakan nama

54

Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al‟Azîz, cet.

Ke-1 Juz 3 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), hlm. 231 55

Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al‟Azîz, cet.

Ke-1 Juz 3 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), hlm. 232, 233, 234. 56

„Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âniy al-Tanzîl, cet.ke-1

Juz 2 (Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah, 1415), hlm. 519 (versi Maktabah Syâmilah).

Kecenderungan tersebut ditandai dengan penggunaan nama Zulaikhâ‟ dalam beberapa

kesempatan. Silakan bukan dalam kitab yang sama halaman 522 dan 525.

Page 93: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

78

Zulaikhâ‟ dari pada Râ‟il, meski nama tersebut sama sekali

tanpa sanad.57

9) Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.)

Tampaknya Imâm al-Suyuti tidak berpihak pada nama apa

pun dalam tafsirnya ini. Beliau lebih memilih memeparkan

riwayat yang hanya menyebut nama imra‟ah al-„Azîz dengan

sebutan imra‟atuhu, yakni riwayat yang disampaikan oleh al-

Sûdy dari Ibn „Abbâs ra.58

10) Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-

Matsâny/ Tafsîr al-Alûsy (1252 H.)

Ada empat pandangan yang disampaiakan dalam kitab

tafsir ini terkait nama imra‟ah al-„Azîz:

a) Râ‟il. Riwayat ini berasal dari satu nama, yakni Mujâhid.

b) Zulaikhâ‟. Riwayat ini juga bersal dari satu nama, yakni al-

Sûdy.

c) Nama Râ‟il merupakan laqab dari Zulaikhâ‟, pendapat ini

diwakili dengan kata Qîla.

d) Nama Zulaikhâ‟ merupakan laqab dari Râ‟il, pendapat ini

juga diwakili hanya dengan kata Qîla.59

11) Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Mannâr (1354 H.)

Untuk golongan tafsîr yang cukup selektif terhadap

isarâîliyyât, tafsîr ini hanya mengemukakan kata imra‟atuhu

57

Abû Zaid al-Tsa‟alaby, Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur‟ân, cet. Ke-1 Juz 3

(Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turats al-„Araby, 1997), hlm. 317. Kecendrungan tersebut terlihat

ketika beliau mengguakan nama Zulaikhâ‟, lihat juga dalam kitab yang sama di halaman

318. 58

Jalâl al-Dîn al-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟tsûr, cet. Ke-1

Juz 8 (Mesir: Markaz li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islamiyyah, 2003), hlm. 194.

Disebutkan pula dalam kitab yang sama dengan kata imra‟atuhu di halaman 189. 59

Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-

Matsânî, Juz 12 (Beirut: Matba‟ah al-Muniriyyah, t.t.), hlm. 207

Page 94: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

79

sebagai penyebutan nama istri al-„Azîz ketika menafsirkan

sûrah Yûsûf. Akan tetapi di akhir, tafsîr ini juga

mengemukakan nama Zulaikhâ‟ dan Râ‟il sebagai nama istri

al-„Azîz dengan tanpa menyandarkan pada sanad riwayat apa

pun.60

2. Ketergodaan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 24

Membahas soal ketergodaan Nabi Yûsuf di sini menjadi sangat

menarik sebab hal ini tidak terlepas dari sisi ma‟shûm (terpelihara

dari dosa) yang kita yakini dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul. Ayat

yang dalam proses penafsirannya dipenuhi riwayat-riwayat

isrâîliyyât seputar tergoda atau tidaknya Nabi Yûsûf ini merupakan

ayat ke-24 dalam sûrah Yûsûf:

وهقد ت ذ ة ىذ ۦ او ة نل لرب ه ة ر رذءاأ لكلذ ۦ فلص ع

ٱ ء شا فح ه ٱوءلس ۥإذ خ ل ٱعتاياي ٢٤يوص

“Sesungguhnya wanita itu Telah bermaksud (melakukan

perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan

pula) dengan wanita itu Andaikata dia tidak melihat tanda (dari)

Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya

kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk

hamba-hamba kami yang terpilih.”

a. Penafsiran al-Tabari

Berbeda dari poin sebelumnya, pembahasan mengenai hal ini

memiliki cukup banyak riwayat yang dikemukakan oleh Imâm al-

Tabari dalam tafsirnya, terutama menyangkut pemaknaan dalam

60

Muhammad Râsyid Rida, Tafsîr al-Mannâr, cet.ke-1 Juz 12 (Mesir: Matba‟ah

al-Mannar, 1353 H.), hlm. 272. Penyebutan nama Zulaikhâ‟ dan Râ‟il bisa dilihat dalam

kitab yang sama di halaman 324.

Page 95: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

80

kata Hamm yang menjadi perbincangan hangat di antara para

ulama‟.

Sementara itu riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Yûsûf

juga tergoda bujukan istri al-„Azîz ada dua dalam kitab tafsîr al-

Tabari, meski pada akhirnya dua riwayat ini dimentahkan oleh

pandangan-pandangan ulama‟ dalam memaknai kata Hamm

seperti disebut tadi. Berikut ini dua riwayat yang dimaksud:

1) Riwayat yang diterima al-Tabari dari Ibn Wâki‟. Ibn Wâki‟

meriwayatkan dari „Amr ibn Muhammad. „Amr menerima

riwayat dari Asbat. Sementara Asbat meriwayatkan hal ini dari

al-Sûdy:61

ابنث د ح أنث د :حال،قدم منوبرماعنث د :حال،قعيكونا ن،عاطبسا

قبم ىووبته دقلي:)ودالس قالا( مفسوي :يولتال: أ، نسحا

نسحاأ،مفسوي :يتال.قيدسجنمرثتن اي مو لأو:ىالق !كرعش

مه و ه ب مت ه ف ،وتعمطأت حلزت مل.ف ولكيابرلت لو:ىال!قكهجو

ت لق غ ،و ت ي ب ل ل خ د ا،ف ب ىذإ،فه ل ي لو ر س لح ي ب ه ذ ،و لب و ب لل وا

ععد،قتيب المافائقبوقعي ةروصب لفسوي :"يلوق،ي وعبصىإلض

فهعاقوت من إا لمكلث ا مهعاقوت ا ،اقطيلاءمالس وجفيالط لثا

نععفدينأعيطتسيلضرالإعقوواتامذإولث امهت عاق اوذإكلث مو

ووسفن لمكلث م. مهعاقوت ا لذال بعالص روالث لثا ،ويلعلمي عي

61 Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1

Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 80-81

Page 96: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

81

لوين رق لصأفلالن ملخديف توييحروالث لثامهت عاق ونإكلث مو

ف وسفن نععفدينأعيطتسي ولوياورسطبر"، د ،تشيجرخيلبىذ،

فوتكردأف حوتق رخفوفلخنموصيمقرخ ؤبتذخأ، ونموتجرخأت ،

.اببالود نتاشوفسوي وحرط،وطقسو

2) Riwayat yang bernada sama diterima al-Tabari dari Ibn

Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari Salamah. Sementara

Salamah menerima riwayat itu dari Ibn Ishâq:62

ويلعب تك:أال،قاقحسإنابن،عةملاسنث د :حال،قديحناابنث د ح

ورخأويفتوةر موعمتط-ةأرمالنعي - ةاجحنمةذ للإهوعدتى،

فالجالر وال وهنسحا وهكلما قشبنمديلبقت سماب شوىا،

لت ;حلاجالردايمالجالر م رق ي ا بهفكلنىمرا وف خ ت ي ل و ،وا

و ل خ ت،ح ه ب ت ه او مب ه تاح ه ن م .ه ت و ب ي ض ع ب لف

b. Penafsiran Ibn Katsîr

Hal yang sama dilakukan oleh Ibn Katsîr dalam menafsirkan

ayat di atas. Hal pertama yang beliau lakukan saat menafsirkan

ayat ini adalah memaparkan pandangan-pandangan ulama tentang

pemaknaan kata hamm demi melindungi sisi ma‟shûm dalam diri

Nabi Yûsûf. Bedanya dengan al-Tabari, Ibn Katsîr tidak satu pun

mencantumkan riwayat isrâîliyyât tentang tergodanya Nabi

Yûsûf. Ibn Katsîr hanya memaparkan riwayat isrâîliyyât tentang

62

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, hlm. 81

Page 97: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

82

bagaimana proses Nabi Yûsûf mendapatkan burhân sehingga bisa

sadar dan menolak godaan istri al-„Azîz.

Riwayat-riwayat yang dipaparkan Ibn Katsîr lebih pada

tentang penafsiran proses terjadinya burhân tadi. Misalnya

riwayat yang disampaikan oleh Ibn „Abbâs, Mujâhid, Sa‟îd Ibn

Jâbir, Muhammad Ibn Sirîn, al-Hasan, Qatadah, Abû Sâlih, al-

Dahhâk, Muhammad Ibn Ishâq dan yang lainnya bahwa yang

dimaksud burhân tadi itu adalah bahwa di saat Nabi Yûsûf tengah

digoda, Nabi Yûsûf melihat rupa Ayahnya, yakni Nabi Ya‟qûb

as.

Ada pula riwayat dari al-„Aufi yang diterima dari Ibn „Abbâs

dan juga disampaikan oleh Ibn Ishâq bahwa Nabi Yûsûf pada

waktu itu tiba-tiba terbayang sosok al-„Azîz yang merupakan tuan

sekaligus suami dari perempuan yang tengah menggodanya,

sehingga ia kemudian sadar dan tidak tergoda.63

c. Komparasi dengan Kitab-Kitab Tafsîr Lain

1) Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân (150 H.

Dalam tafsîr ini disebutkan bahwa Nabi Yûsûf juga

tergoda kepada bujukan Zulikhâ‟ akan tetapi tidak sampai

terjadi zina. Sayangnya pernyataan tersebut tidak disebutkan

beserta sanad yang lengkap.64

2) Tafsir al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.)

Dalam tafsir ini, riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi

Yûsûf tergoda bujuk rayu istri al-„Azîz adalah riwayat yang

„Abd al-Razzâq terima dari Ma‟mar. Ma‟mar menerima

63

Ismâîl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân , hlm. 30 64

Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhy, Tafsîr Muqâtil, hlm. 328-329 (versi Maktabah

Syâmilah)

Page 98: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

83

riwayat itu dari Ibn Abî Nâjih. Sementara Ibn Abî Nâjih

menerima dari Mujâhid.65

3) Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr al-Samarqandî (373 H.)

Imâm Abû Laits al-Samarqandi tampak lebih cenderung

berpendapat bahwa Nabi Yûsûf tidak tergoda bujukan imra‟ah

al-„Azîz. Namun sayangnya pendapat beliau tidak ditopang

dengan sanad yang lengkap.66

4) Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟laby

(427 H.)

Setidaknya ada enam riwayat yang disampaikan al-

Tsa‟laby dalam tafsirnya ini yang menyatakan bahwa Nabi

Yûsûf juga tergoda bujukan imra‟ah al-„Azîz:

a) Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Sufyân Ibn

„Uyaynah. Sufyân Ibn „Uyaynah menerima riwayat itu dari

„Ubaidullah Ibn Abî Yazîd. „Ubaidullah Ibn Abî Yazîd

meriwayatkan dari Ibn „Abbâs ra.

b) Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn Juraij. Ibn

Juraij menerima dari Ibn „Atiyyah. Sementara Ibn „Atiyyah

menerima riwayat itu dari Ibn „Abbâs.

c) Riwayat dari Sa‟d, tanpa sanad lengkap.

d) Riwayat dari Mujâhid, tanpa sanad lengkap.

e) Riwayat dari al-Sûdy, tanpa sanad lengkap.

f) Dan riwayat dari Ibn Ishâq, juga tanpa menyebutkan sanad

lengkap.67

65

„Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San‟any, Tafsîr al-Qur‟ân, hlm. 321 66

Abû al-Laits al-Samarqandi, Bahr al-„Ulûm, hlm. 187 (versi Maktabah

Syâmilah) 67

Abû al-Ishâq al-Tsa‟laby, al-Kasyf wa al-Bayân, hlm. 209-210 (versi Maktabah

Syâmilah)

Page 99: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

84

5) Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwy (516 H.)

Mengenai ketergodaan Nabi Yûsûf, dalam kitab ini

disebutkan tiga riwayat. Namun tiga-tiganya hanya

disandarkan pada satu nama tanpa menyebutkan detail

sanadnya. Tiga riwayat itu bersumber dari Ibn „Abbâs,

Mujâhid dan al-Dahhâk.68

6) Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn

„Atiyyah (542 H.)

Mengenai ketergodaan Nabi Yûsûf, Imâm ibn „Atiyyah

menyuguhkan perbedaan ulamâ‟ dalam meyikapi hal tersebut

tanpa menyebutkan riwayat tentang ketergodaan Nabi Yûsûf.

Akan tetapi di akhir, beliau menuqil pandangan Qadi Abû

Muhammad yang berpendapat bahwasanya riwayat-riwayat

yang menyatakan bahwa Nabi Yûsûf tergoda bujukan imra‟ah

al-„Azîz adalah da‟if.69

7) Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin (741 H.)

Dalam tafsir ini, Imâm al-Khâzin lebih cenderung

berpendapat bahwa Nabi Yûsûf tidak tergoda meski tidak

ditopang riwayat dengan sanad yang lengkap. Meski begitu

dalam kitab ini, beliau memaparkan berbagai macam

pandangan ulama‟ terkait dengan ketergodaan Nabi Yûsûf

ini.70

8) Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby

(875 H.)

68

Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas‟ûd al-Baghawy, Ma‟âlim al-Tanzî, hlm.

228 69

Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz, hlm. 234 70

„Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta‟wîl, hlm. 521 (versi Maktabah

Syâmilah)

Page 100: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

85

Dalam tafsir ini hanya dipaparkan mengenai perbedaan

ulamâ‟ dalam menyikapi hal ini, tanpa sedikitpun mengambil

sikap apalagi mengemukakan riwayat tentang ketergodaan

Nabi Yûsûf ini.71

9) Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.)

Nabi Yûsûf tergoda, meski disampaikan dengan tanpa

sanad.72

10) Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-

Matsâny/ Tafsîr al-Alûsy (1252 H.)

Nabi Yûsûf tidak tergoda, melainkan hanya keinginan saja

tanpa tindakan. Sayangnya pandangan ini tidak disandarkan

pada sanad riwayat apa pun.73

11) Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Mannâr (1354 H.)

Tafsîr ini tidak satu pun meriwayatkan pandangan tentang

ketergodaan Nabi Yûsûf, hanya sekadar menyampaikan

perbedaan ulamâ‟ terkait akan hal itu. Tafsîr ini juga sempat

menentang keras akan pernyataan bahwa Nabi Yûsûf tergoda

meski tanpa menyandarkan pada riwayat apa pun.74

3. Pernikahan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 56

Membahas ihwal pernikahan Nabi Yûsuf, penulis kira sangat

penting mengingat seringnya nama Nabi Yûsuf disandingkan dengan

nama Zulaikhâ‟ sebagai suami-istri baik dalam buku-buku kisah

para nabi bahkan pula dalam do‟a saat upacara walîmah al-„urs.

Berikut ini adalah ayat yang dalam penafsirannya, beberapa kitab

71

Abû Zaid al-Tsa‟alaby, Jawâhir al-Hisân, hlm. 319 72

Jalâl al-Dîn al-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, hlm. 189-190 73

Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‟ânî, hlm. 213 74

Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Mannâr, hlm. 280

Page 101: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

86

tafsîr mengemukakan riwayat isrâîliyyât tentang pernikahan nabi

Yûsûf:

ذالكوكذ فيمذ س ٱفل ضرل

أ ذ يتت اي ء يشا حاي صيب

اةرح ذشا يت ج ضيع ولء نح ل ٱرأ ٥٦سني

“Dan Demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di

negeri Mesir; (Dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia

kehendaki di bumi Mesir itu. kami melimpahkan rahmat kami

kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak menyia-nyiakan

pahala orang-orang yang berbuat baik”

a. Penafsiran al-Tabari

Seperti halnya poin pertama yang membahas tentang nama

istri al-„Azîz, poin yang berbicara ihwal pernikahan Nabi Yûsûf

dengan imra‟ah al-„Azîz sebagaimana fokus poin ini nyaris tidak

ada. Satu-satunya riwayat yang berpendapat bahwa Nabi Yûsûf

menikah dengan imra‟ah al-„Azîz adalah sanad yang Imâm al-

Tabari dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari

Salamah. Sementara Salamah menerima riwayat itu dari Ibn

Ishâq. Riwayat ini mengatakan bahwa Nabi Yûsûf dinikahkan

oleh al-Mâlik ar-Rayyân Ibn al-Walîd dengan perempuan

bernama Râ‟îl yang merupakan mantan istri mendiang Itfir:75

.ةيل(،ااءشيثياحهن مأوب ت ي ضراففسوي الن ك مكلذك:)والللوقي

ن لريك ل م ل نأ و ،اليالل كلتفىلكري فطإن أملعأالل،ولركذ:فالق

75 Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1

Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 220-221.

Page 102: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

87

ز د ي و ل ن ب ول ي ع لر ر ي ف ط إ ة أ ر لم ف س و ي وج ، حهن أ، :القويلعتلخديا

م ي اخذىسيلأ كرا ،لقيداالصي ه:أتالاقهن أنومعزي :ف ال؟قنيديرتتنا

فنم لت إ، ت مكةأرامتنكن حرا وسى النا فمع وين دوكلمة انكا،

واءسالنتيلباحص كنك، جمت ف كتئي ىوكنسحفاللكلعا نتب لغ،

:يلجرولتدلوا،ف هاب صأ،فاءرذاعدىجوون أنومعزي .ف تيأارىمليعسفن

.فسوي نابشيم،وفسوي نبميائرف أ

b. Penafsiran Ibn Katsîr

Di saat menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsîr juga

mengemukakan hanya satu riwayat saja mengenai

pernikahan Nabi Yûsûf ini. Seperti halnya al-Tabari,

riwayat yang disampaikan Ibn Katsîr dalam kitabnya juga

bersumber dari Ibn Ishâq dengan redaksi yang nyaris sama

dengan riwayat yang disampaikan oleh al-Tabari di atas.

Hanya saja yang dalam hal ini membuatnya berbeda

dengan imam al-Tabari adalah bahwa dalam kitab

tafsirnya, Ibn Katsîr tidak mencantumkan mata rantai

riwayat yang lengkap dan hanya memakai redaksi wa qâla

Muhammad Ibn Ishâq saja.76

c. Komparasi dengan Kitab-Kitab Tafsîr Lain

1) Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân (150 H.)

76

Ismâîl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân , hlm. 52-53

Page 103: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

88

Dalam tafsîr ini, Muqâtil Ibn Sulaimân al-Balkhy tidak

berkomentar ihwal pernikahan Nabi Yûsûf dengan Imra‟ah al-

„Azîz.

2) Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.)

Imâm „Abd al-Razzâq tidak mengomentari dan

meriwayatkan apa pun dalam hal pernikahan Nabi Yûsûf ini.

3) Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tabarî

(310 H.)

Satu-satunya riwayat yang berpendapat bahwa Nabi Yûsûf

menikah dengan imra‟ah al-„Azîz adalah sanad yang Imâm al-

Tabari dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan

dari Salamah. Sementara Salamah menerima riwayat itu dari

Ibn Ishâq.77

4) Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr al-Samarqandy (373 H.)

Dalam tafsîr ini, disebutkan bahwa Nabi Yûsûf menikah

dengan istri al-„Azîz, meski pernyataan itu tidak didukung

dengan sanad yang lengkap dan hanya sekedar menyebut kata

wa ruwiya fi al-khabar.78

5) Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟laby

(427 H.)

Satu-satunya riwayat yang membahas tentang pernikahan

Nabi Yûsûf dan imra‟ah al-„Azîz dalam kitab ini adalah

riwayat yang disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Ishâq.

77

Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 220-221. 78

Abû al-Laits al-Samarqandy, Bahr al-„Ulûm, hlm. 199 (versi Maktabah

Syâmilah)

Page 104: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

89

Riwayat ini tidak disebutkan dengan lengkap mata rantai

riwayatnya.79

6) Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwy (516 H.)

Satu-satunya riwayat tentang pernikahan Nabi Yûsûf

dalam kitab ini disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Zaid.

Setelah diteliti, ternyata konten riwayat tersebut sangat mirip

sekali dengan riwayat yang rata-rata dinuqil mufassir lain

dengan menggunakan jalur Ibn Ishâq.80

7) Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn

„Atiyyah (542 H.)

Dalam tafsîr ini, riwayat yang disampaikan dinuqil dari

Qadi Abû Muhammad yang menyatakan bahwa Nabi Yûsûf

menikah dengan imra‟ah al-„Azîz. Sayangnya, riwayat ini

tidak memiliki sanad yang lengkap.81

8) Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin (741 H.)

Tafsîr ini mengemukakan dua riwayat yang berpandangan

bahwa Nabi Yûsûf menikah dengan imra‟ah al-„Azîz, meski

dengan sanad yang tidak lengkap. Dua riwayat itu sama-sama

disandarkan pada satu nama, yakni riwayat dari Ibn Ishâq dan

dari Ibn Zaid dengan nada riwayat yang nyaris sama.82

9) Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm/ Tafsîr Ibn Katsîr (774 H.)

79

Abû al-Ishâq al-Tsa‟laby, al-Kasyf wa al-Bayân, hlm. 232 (versi Maktabah

Syâmilah) 80

Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas‟ûd al-Baghawy, Ma‟âlim al-Tanzîl,

hlm. 252. 81

Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz, hlm. 256 82

„Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta‟wîl, hlm. 536-537 (versi Maktabah

Syâmilah)

Page 105: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

90

Dalam tafsîr ini, pernikahan Nabi Yûsûf dengan istri al-

„Azîz disampaikan oleh satu riwayat yang tidak lengkap, hanya

disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Ishâq.83

10) Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby

(875 H.)

Seperti kebanyakan mufassir yang lain, riwayat ihwal

pernikahan Nabi Yûsûf dengan imra‟ah al-„Azîz disandarkan

pada nama Ibn Ishâq. Tanpa menyebutkan sanad yang

lengkap.84

11) Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.)

Tafsîr ini menyatakan bahwa Nabi Yûsûf menikah dengan

imra‟ah al-„Azîz dengan menuqil riwayat dari Imâm al-Tabari

melalui jalur riwayat Ibn Ishâq.85

12) Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-

Matsâny/ Tafsîr al-Alûsy (1252 H.)

Ada dua riwayat dalam tafsir ini yang menyatakan bahwa

Nabi Yûsûf menikah dengan imra‟ah al-Azîz:

a. Riwayat dengan menuqil Imâm al-Tabari dari jalur sanad

Ibn Ishâq.

b. Riwayat yang juga menyatakan pernikahan Nabi Yûsûf

akan tetapi hanya diwakili dengan kata wa fî riwâyah.86

13) Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Mannâr (1354 H.)

Sayangnya, tafsir ini tidak berkomentar apa pun terkait

pernikahan Nabi Yûsuf dengan istri al-„Azîz.

83

Ismâ‟îl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân, hlm. 52 84

Abû Zaid al-Tsa‟alaby, Jawâhir al-Hisân, hlm. 334 85

Jalâl al-Dîn al-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, hlm. 280 86

Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-

Matsânî, Juz 13 (Beirut: Matba‟ah al-Muniriyyah, t.t.), hlm. 4-5

Page 106: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

91

BAB IV

VALIDITAS, POSISI DAN URGENSI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT

A. Kajian Kritik Sanad dan Matan Riwayat Isrâîliyyât dalam Tafsîr

al-Tabari dan Ibn Katsîr

1. Kritik Sanad dan Matan seputar Nama Istri al-‘Aziz dalam

surah Yûsuf Ayat 21

a. Kritik Sanad

Sebagaimana data-data yang telah dipaparkan di bab

sebelumnya ihwal riwayat isrâîliyyât tentang nama istri al-„Azîz

ini, maka dapat diketahui bahwa riwayat dalam kitab tafsîr Ibn

Katsîr dan tafsîr al-Tabari memiliki kemiripan riwayat. Hanya

saja, riwayat dengan sanad paling lengkap terdapat di kitab tafsîr

al-Tabari, maka berangkat dari hal ini, dalam kajian kritik sanad

seputar nama istri al-„Azîz ini, penulis mengambil riwayat

dengan sanad yang paling lengkap, yakni dalam tafsîr al-Tabari.

Satu-satunya riwayat yang mengatakan nama istri al-„Azîz dalam

kitab ini adalah riwayat yang diterima al-Tabari dari Ibn Humaid.

Ibn Humaid meriwayatkan dari Salamah. Sementara Salamah

menerima riwayat itu dari Ibn Ishâq seperti gambar berikut ini:

Ibn Ishaq

Salamah

Ibn Humaid

Page 107: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

92

1) Ibn Ishâq

a) Nama lengkap Ibn Ishâq

حاقب نحب محمدح اريخنب ارسينإس

ابنالي قو النثوك: أب وندم، وبكر، عبدالي ق. أبو يشرقالالل:

لو،بلطمال هد جانك،وافنعبدبنبلطمالبنةرهبن

.رمالتيسبعنارسي

.سبالمبند،وسععمراللبندعبنبالس،وكالنبنىأأر

b) Guru-guru Ibn Ishâq

أوروىعن وأصالحنبنب: بنماىرب إ،وانفعبنعثماننبنب،

بندعب وينحالل وبقعبنماىرب إ، وراجهبنمىارب إة، وبأ،

بوي أم،وكحبأبنلإساع،وةأنابلاعسإار،وسيبنسحاقإ

القبن ويشروسى وانتخالسبوثيأ، وارسيبنيشب، بنيكب،

رفعجوبنعمرنابرفعج،وبحالرديزينبروث ،وجشالبناللدعب

بنعمربن ورمالضةأو ويلعنابدمنبنرفعجي، بنيسح،

بنادعب واسبعبناللدعب لل ،يلهشالنحالردبعبنيصح،

نبادبعبنمكحبنمكح،وكالبننأبناللدعب نبصفحو

بنابطخ،والرحنالزريعبدنبفصخ،وليوالطدح،وفنح

Page 108: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

93

زيد،وماسقالبنحور،والصيبنداودي،ورفالظارني دبنصالح

عبدبنماىإب ربندعس،ويكمالالس،ورضأبالنلاس،وأبزيدبن

بندوسع،ةرجعنببعكنبإسحاقبندعس،وفوعنابنحالر

،دنىأببند،وسعاقبالسبندعب بندي،وسعبقمالدسعأب

نبانالنصاري،وسلمأي وببنطلسي،ورالزصفوانبنةملسو

،الجاجبنةبعش،ويملالسريوعبناللدعبنبان،وسلممحس

إحالصو عمب راىبن عبنحالردببن وفون كحالص، ،انسبن

دبنعبثارنالبلفونن باللبنعبدتلالص،وارسبنيةدصو

وبلطمال نةحلطانفسبأ، وعفبن عمرماصع، بن ،ةادتبن

بنسعدلهبنساسبعو،تانالصبةادببنعدنالولبةادبعو

بنأعبد،واسببنعدبعبناللبنعبداسبع،ويداعالس بالل

أ وبنبنعمردبننمركب بنأباللدبع،واريالنصةبلعنث بةا

اللدبع،وةملسبنأباللدبع،وانوكبنذاللدعبدن،وأبالززمح

طب وسواون عباللدبع، عباللدبن حبانمثن حمكن ،امزبن

بنأبعبدبناللدبعو دبع،ونالفضلباللدبع،ويسحالرحن

ونكبنالل وحبنأبناللدبعف، بندوسبنالنحالردبع،

Page 109: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

94

،قيدالصركبنأببننمدبماسبنالقنحالردبعي،وعخدالنيزي

ىنحالردبعو والعرجزربن يعبدومع، بن وسالرحن دبعار،

الملالس أب وبون بن أأ، عبدب اليرالكة أب قارخمبن

بنالانعبداللبد،وعب البصري اللبند،وعب النصارييصلل

سلم،ةبت ع،وةر غمبنالاللدعب ،وابطبنالاللبنعمردبع بن

سلمانمثعو أب وانبن راءطع، أب وحببن خةركع، دالبن

نباللدبنعبةرامع،والنصاريدلنييبنخبيلع،ويوزخمال

و،وعمروبنشعب،وعمريكماليسبنح،وعمرنيدمالةعمط

بنان،وعمرانرهنبنوموبن،وعمربلطماللووبنأبعمر

،ارالداللبنالكعبدىبنسع،والرحنبنعبدءل،والعنأأب

ماسالق،وىبنعمرسعي،ودساللقعبنأبلقعىبنسعو

،الت ميثاربنالمراىبنإب نمد،وقيدرالصكببنأببننمد

أ بنأبنمدو بنالز ب ي،محمدبنجعفر،وفنبنحلهبنسةا

بنةحلطب،ومحمدبنلالكبائنالس،ومحمدبيلظناليبومحمدبنالز

اللة،ونمدبنعبدانكبنرديزبنيةحلنط،ومحمدابالت مياللعبد

ع صبن أب بن الرحن وأةعصعبد عرفعجب، بن نابيلنمد

Page 110: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

95

ومحمديسال عمر، بنعطاءبن ومحمدبنأبو ، بنزيدلونمد

الز ىريابهبنشملسبن،ومحمدثبتونمد،ردكن،ونمدبنال

وبنالولدبنن،ونمدبنييبنحباننديفعال

عبدبنبلط،وال

كبدبع،وةرنهباللبن اللبنعبدرمع،ونالكاببعن

ح ولظنبن الشلوحكة، وا ومعي، يوسى ارسبن بنسوو، ى

حون ،ونبوابنوىب،وابنعمرلوعفن،وكالبننبنأنلف

ح وفقالث مكبن عامشىي، ووربن كبىوة، انسبن نبييو،

بنعيسنخبنأبسفاناليي،والنصاريدسع ويي بنادب،

الز ب ياعبد بن ولل عيي، الز ةوربن ويب بن أببديزي، ببحن

،اشبابنعلودينأبزببنزيدديزي،وانوبنرديزيالصري،و

اللعبدبنديزيو وطسبن ببديزي، نمد خن مثن،بارحال

،وبسلمةيفقالث ةبت نعاببوقعي و،جشبنالاللبنعبدبوقعي و

عةبنعبدالرحنبنعوف،وأبعبد ةدأبعب ،وةبنعبداللبنز

ن بنبن يارمع مد ورسبن وفعجشالكالبأ، ي، روظنأب

ةمطاف،والنصاريةملسمدبنندلوضعب ،وياالشرذنبنتال

.يبالزبن

Page 111: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

96

c) Murid-murid Ibn Ishâq

أحد،وفوالرحنبنعبنعبدمبنإب راىدعسبنم:إب راىهحروىعن

بنصفح،ودمالدبعنبري رج،ومازحنبري رج،وبىالوبنخالد

ديز،ويفعةالياوعبنر ىز،وةملسبنادح،وزيدنابادح،واثغ

البدعببن وائكالل اللبناندعسي، ويمخيي ،عيزببندسع،

وروالث انفسو وبنانفسي، نة، ويازالرال فض ل ب نحةحملسع وبأ،

واللدعببنكشريو،رحالانحبنانسلمدالخ بنةبعش،

اللدبع،ودنىأببندسعبناللدبع،ويردبنإاللدبع،واججال

دبع،وابالشتلنالصدبيزيبناللدبع،وينبناللدبع،ونوعبن

يى،وأبوزاطنالعفبننوبردبعابهشوب أ،وىلعالدبنعىبلعال

نحالرعبد واءرغبن ونابزيزالعدبع، الدراوردي، بنةدبعنمد

الكلسلم بنبان ومحمد بن،انرالةملس، ي،سافنالطدعب ونمد

لدني،وطاسدالويزينومحمداب،فضلي،ونمدبندعأبنومحمدب

وعليبن ويعأنىبسو، وأببننوارىوباتك، بننوارىعسى،

يي،واللدعببناحالوضةانوأبوع،وبشيبنمشىي،ووحسىالنو

Page 112: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

97

يي،ووخو شنوىالنصاريودسعنبيي،وةدائزبنأبيركزبن

ةل وتأب،ويرجالشانىنبادبعنمدبن بنييالوي،ودسعبن

ببحأبنابديزي،ويبني علىالت ميأبوالمحاةي،وحاضوييبن

و ىالصري ووخو شنو وعيرزبنديزي، ونوارىبنديزي، ي علىبن،

1.انب الشيكبنبنوي ،ويسافنالطدعب

d) Komentar Ulama‟ terhadap Ibn Ishâq

Di antara komentar ulama‟ terhadap Ibn Ishâq yang

bernada positif antara lain diutarakan oleh al-„Ijli yang

berpendapat bahwa Ibn Ishâq adalah orang yang tsiqah

(dapat dipercaya)2 serta pendapat dari Abû Mu‟awiyah

yang mengatakan bahwa Ibn Ishâq ini adalah seorang yang

Hafiz.3 Hal itu didukung oleh pendapat Syu‟bah yang

mengatakan bahwa Ibn Ishâq merupakan amîr al-

muhadditsîn bi hifzihî. Selain itu, Muhammad bin „Abdillah

bin Numair mengatakan bahwa Ibn Ishâq adalah orang

yang Sadûq (sangat jujur).4

Sementara komentar ulama‟ yang bernada negative

terhadap Ibn Ishâq dilontarkan oleh Abû „Abdillah yang

mengatakan bahwa riwayat-riwayat yang bersumber dari

Ibn Ishâq tidak bisa dijadikan hujjah, serta pendapat Imâm

1 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, cet. Ke-2 Juz

24 (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1983), hlm. 405-411 2 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 424

3 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 413

4 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 417-419

Page 113: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

98

al-Nasâ‟i yang berkomentar bahwasanya Ibn Ishâq tidak

kuat periwayatannya.5

Hal yang menarik dilontarkan oleh Yahya bin Ma‟in.

Dalam satu kesempatan dia mengatakan bahwa Ibn Ishâq

adalah seorang yang tsiqah, namun dalam beberapa

kesempatan yang lain, ia malah melemahkan bahkan

menda‟îfkan riwayat yang berasal dari Ibn Ishâq.6

2) Salamah

a) Nama Lengkap Salamah

يازالرقرزاللال،أبوعبدمىلو،اريالنصشرب فضلالالنبةملس

.ييالراض

b) Guru-guru Salamah

ي،ملييالسأبنمدبنبنماىرب إان،ومهطبنم:إب راىروىعن

ورزالداشربناقحسإو لاعسإي، ملسبنلبنبننيأي،وكال

ملسبنيركزطا،وربنأاججحي،ودنالكاكحالضبناحرالي،وكال

اليىةزمثخبأ،وبتالع عاوية وروالث انفسي،وفعبن انسلمي،

أبوبنعمر،وتبثبنةرزعان،وعسبنديزبناللعبد،ومر بن

وازالر وائالطبىوبنانعمري، ماربرىزالبأي، بن داىك

5 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 422-424

6 Perbedaan pendapat Yahya bin Ma‟in bisa dilihat di Abû al-Hajjâj Yûsûf al-

Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 411 dan 423

Page 114: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

99

اناسرال ب نو، ب نمحمد حاق وار سيإس وك، الربأال، ،يازجعفر

ي.ركالس ةزحبأو

c) Murid-murid Salamah

بعصنبماىرب :إهحروىعن ققعمربنشبننسالاد،ودغيب زورال

عمربناللعبدي،وازةالررسىبنسعبنيساليالبصري،ورال

وفوالكنبأبن اللدبع،ال نمد ودنسبن بنعبدوباتكي، الرحن

الرملس بة،وبنانمثعي،وازة بنأبش ي،رنب ربببنى لعنمد

والنسائالسنبنارمعي،وازالرقوزرمبناشىنبي لعو وعمري،

،حلجالبنالسنمحمدبني،واوةالسأمحمدبن،ونيوزالقعافربن

،انغاىالدسعمحمدبن،وجنوزعمر،محمدبنيازالردي ححمحمدب نحو

سىوبنةمث وي،وازالراللدعب بنامشىي،وازنمدالربنلاتقو

خ،وعيبنييالصري،و بنديزيدالأبوي،ساريالفوسكالفاربال

7.انطىالقسوبنفسوي و

d) Komentar Ulama‟ terhadap Salamah

Komentar ulama‟ yang bernada positif untuk Salamah

adalah berasal dari Yahya bin Ma‟in yang mengatakan

bahwa Salamah adalah orang yang tsiqah. Abû Hâtim juga

menganggap bahwa Salamah merupakan orang yang sidq

7 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 305-306

Page 115: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

100

(jujur). Begitu pula yang disampaikan oleh Muhammad bin

Sa‟d, beliau berpandangan bahwa Salamah merupakan

orang yang sadûq dan tsiqah. Satu-satunya komentar yang

bernada negative adalah pendapat Imâm al-Nasâ‟i yang

menganggap da‟îf Salamah.8

3) Ibn Humaid

a) Nama Lengkap Ibn Humaid.

ي.ازالراللدعبوب أ يممالتانحنبدحنبنمد

b) Guru-Guru Ibn Humaid

نبم:إب راىروىعن ،ملسنبامكح،ودمالدبعنبريرج،وارتخال

وانملسبنيشببنمكالو بافز، وانسلمنر ،اببالبنديز،

نباللدعبي،وسالالطداودبنانسلمداودبأ،ولض الفنب ةملسو

بناللدعب،وسود القدبعديزينباللدبع،وكاربال

يىزبأ،وئرقال

يلع،ويقرالن اللدعببنزيزالعدبعييبأ،واءرغنابنحالردبع

ونذنفسالركبأبنب بلع، وداىمني ي،زاالردالخناباترالف،

نبنمدة،ولب جنبةاننك،وانن ىالسسونبلضالفوانرهى،ولعال

نث مالنبنوارىصفحبأ،ويوحالنةرسنابمعن،وعمرأبنب

8 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 307-308. Pendapat

Yahya bin Ma‟in, Abû Hâtim serta Imâm al-Nasâ‟i bisa juga dilihat dalam Muhammad

bin Ahmad al-Dzahaby, Tadzhîb Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, cet. Ke-1 Juz 4

(Mesir: al-Fâruq al-Hadîtsiyyah, 2003), hlm. 114

Page 116: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

101

وفنال نبنوارىي،وةر غال ويرالضنبيي، نبييةل تبأ،

.يمالقاللدبعنببوقعي و،حاضو

c) Murid-murid Ibn Humaid

ذي،و:أبوداودهحروىعن ،انطالقكالنبمإب راىو،واجناب،والت

أحد،وولب اتولبن حنبأحد،والمالرصنبنجعفرنبأحدو

ازالردالخنبنباقحسإ،ورباليلعنبأحدي،ورورلبفورعيال

وعافالشنايرفسالانعمرأب ،ظافالرصنبنأحدنبرفعجي،

بب شبن عليبننسالو،يالافظدسالنمدبنحالصي،ورمعال

بندبعو اشدخأبنبدمالصعبدبناللدبع،ولبن حبنأحدالل

نباللدبعا،ون الد أببننمدبناللدبع،ووانر أنوىيولصومال

الب عبدنمحمداب مإب راىمحمدبن،وزرطماليركزبنماسالقي،ووغالعزيز

،اناغالصاقحسإنمحمداب،ومتنبدحأمحمدبني،وازالغبعشبن

محمدبني،ودناغالبانسلمبننمدمحمدبن،وي بالطري رجب نحدحممحو

بنسفي وبننمدركوببأي،ولىالذيينمحمداب،ونيوالر نوارى

9.ولب اتوعيبنييي،وازالربي عقو

9 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 97-99

Page 117: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

102

d) Komentar „Ulama‟ terhadap Ibn Humaid

Hanya ada dua ulama‟ yang berkomentar positif

terhadap Ibn Humaid ini, yakni Yahya bin Ma‟in dan Ja‟far

bin Abî „Umar al-Tayalisy yang berpendapat bahwa Ibn

Humaid adalah orang yang tsiqah.10

Sementara ulama‟

yang berkomentar negative terhadap ibn Humaid cenderung

lebih banyak, di antaranya pendapat al-Nasâ‟i dan Ibrâhîm

bin Ya‟qûb al-Jurjaniy yang menganggap Ibn Humaid ini

tidak tsiqah. Selain itu ada pendapat Ishâq bin Mansûr dan

Sâlih bin Muhammad al-Asady al-Hafiz yang mengklaim

bahwa Ibn Humaid ini merupakan orang yang kadzdzâb

(pendusta).11

Bukan hanya dua orang di atas yang menganggap Ibn

Humaid seorang pendusta, namun ada juga Abû Zur‟ah dan

Ishâq al-Kausaj yang berpendapat sama. Selain itu, Ya‟qûb

al-Qummy dan ibn al-Mubârik menganggap bahwa Ibn

Humaid merupakan orang dengan riwayat yang da‟îf.12

Berdasarkan pemaparan data yang penulis kemukakan

di atas, tampak jelas sekali bahwa:

Berdasarkan kajian riwayat israiliyat tentang nama istri

al-„Azîz sebagaimana penulis paparkan di atas, maka

menurut penulis riwayat tersebut dapat dipastikan bahwa

keotentikannya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Meski

dalam hal ketersambungan riwayat, tak ada yang terputus

dalam mata rantai sanad dalam riwayat itu (yakni

10

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 101 11

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 102-104. 12

Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby, Mîzân al-I‟tidâl fî Naqd al-Rijâl, cet. Ke-1

Juz 6 (Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), hlm. 126

Page 118: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

103

dibuktikan dengan catatan sejarah bahwa al-Tabari

termasuk dalam daftar murid Ibn Humaid, Ibn Humaid

termasuk murid Salamah dan Salamah tercatat termasuk

murid dari Ibn Ishâq), namun kredibilitas periwayat yang

ada dalam riwayat itu masih diperselisihkan ulama‟.

Meskipun ada juga ulama‟ yang berkomentar positif

terhadap masing-masing râwi dalam riwayat itu, toh

komentar bernada negatif juga ikut disuarakan oleh

beberapa ulama‟ yang lain. Abû „Abdillah dan Imâm al-

Nasâ‟i menganggap Ibn Ishâq termasuk orang tidak bisa

dijadikan hujjah dan tidak kuat periwayatannya. Imâm al-

Nasâ‟i juga menganggap Salamah termasuk orang yang

da‟if. Khusus Ibn Humaid, mayoritas ulama‟ malah

cenderung berpandangan negatif terhadapnya. Tidak

terjaminnya kredibilitas para perawi dalam riwayat tersebut

membuat riwayat tentang Râ‟îl sebagai nama istri al-‟Azîz

dalam tafsir al-Tabari ini tidak bisa dipertanggung

jawabkan kebenarannya.

Selain itu, penulis juga menyinggung seputar klaim

nama istri al-„Azîz yang disebutkan dalam kitab-kitab tafsir

lain. Menurut penulis, semua riwayat Isrâîliyyât itu ternyata

juga tidak bisa dipertanggung jawabkan keotentikannya.

Jika nama Rabîhah tertolak karena tidak memiliki sanad

apa pun dan hanya diwakilkan dengan kata Qîla, maka

nama Zulaikha juga tertolak karena ada sanad yang terputus

dan rawi yang tidak dapat dipercaya, meski Imâm al-

Tsa‟laby mencantumkan detail sanad dalam tafsirnya.

Page 119: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

104

b. Kritik Matan

Membahas ihwal isi atau matn riwayat-riwayat isrâîliyyât

yang menjelaskan seputar nama istri al-„Azîz, maka perlu kiranya

kembali menelaah prasyarat boleh dan tidaknya meriwayatkan

riwayat isrâîliyyât ini. Oleh karena riwayat israiliyat dalam poin

ini berkaitan dengan kisah dan tidak berkaitan dengan tauhid atau

kepercayaan, serta tidak ada bagian dalam riwayat ini yang

menyalahi ajaran-ajaran Islam, maka menurut penulis hukum

meriwayatkan isrâîliyyât ini boleh-boleh saja sebab tidak

berkenaan dengan tauhid dan tidak menyalahi syari‟at Islam.

Beda halnya jika misalnya penamaan istri al-Azîz ini sampai

diyakini merujuk pada satu nama, kemudian diyakini menikah

dengan Nabi Yûsûf bahkan menjadi bacaan dalam doa-doa

walîmah al-„Urs, hal ini akan penulis bahas di poin-poin

berikutnya.

2. Kritik Sanad dan Matan seputar Ketergodaan Nabi Yûsuf As.

dalam Surah Yûsuf Ayat 24

a. Kritik Sanad

Berdasarkan data yang dipaparkan sebelumnya, dari dua

kitab tafsir rujukan, yakni tafsîr Ibn Katsîr dan tafsîr al-Tabari,

riwayat isâîliyyât dengan sanad lengkap yang meriwayatkan

seputar ketergodaan Nabi Yûsûf as. dalam surah Yûsûf ayat 24

ini hanya terdapat dalam tafsir al-Tabari. Sebab, seperti

dipaparkan sebelumnya, Ibn Katsîr dalam tafsirnya lebih memilih

berhati-hati dan menjaga betul sisi ma‟shûm Nabi Yûsûf as.

sehingga tidak ada satupun riwayat soal ketergodaan Nabi Yûsûf

yang ditampilkan. Ibn Katsîr hanya memaparkan riwayat seputar

proses hadirnya burhân pada Nabi Yûsûf—itu pun sepertihalnya

Page 120: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

105

yang terjadi pada poin pertama—disampaikan dengan mata rantai

riwayat yang tidak lengkap, sehingga untuk menguji kualitas

sanad riwayat seputar ketergodaan Nabi Yûsûf dalam surah

Yûsûf ayat 24 ini, penulis kembali merujuk kepada tafsir al-

Tabari yang memliki dua riwayat lengkap dengan sanadnya.

Sejatinya ada dua riwayat dalam kitab ini yang membahas

tentang ketergodaan Nabi Yûsûf, namun karena satu riwayat

memiliki mata rantai sanad yang sama persis seperti di poin

sebelumnya (yakni riwayat yang diterima al-Tabari dari Ibn

Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari Salamah. Sementara

Salamah menerima riwayat itu dari Ibn Ishâq), maka penulis

merasa tidak perlu mengulangnya lagi dan cukup mengupas

tentang mata rantai riwayat satunya, yakni riwayat yang diterima

al-Tabari dari Ibn Wakî‟. Ibn Wakî‟ meriwayatkan dari „Amr ibn

Muhammad. „Amr menerima riwayat dari Asbât. Sementara

Asbât meriwayatkan hal ini dari al-Sudi seperti dalam gambar di

bawah ini:

Page 121: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

106

1) Al-Sudi

a) Nama Lengkap al-Sudi

اعي ب عب دنحب لحإس أبنالرح ن محمددالس ةي ر أبحو يشرالقي

رواأع فو الكح ورهبن تنببني زلو، لة، نبلو:

الببةدفسدعقكاني ،وةفوالكنكي،سازجحولص،أماشى عا

.ر بيالكدىوالس ي،ودالس يمس،فةفولكب

b) Guru-guru al-Sudi

عن روى أن ولكابن: ضبسوأ، وجعمن ،انذبحالصبأ،

لوحبصو ،ةدبنعب دعس،وانت الفةعافر،وصفحأببنصفحو

أبادبعو،ةملسمأ وديزيبن حاللدبع، الرحن.عبدبأبببن

وبأ،واندماليخدبعي،وهالباللدبع،واسببنعاللدبعي،ومللس ا

أعبد بن ويركبالرحن ابدعة، ثي وتبن أباءطع، ،حبربن

ركعو علوة واسبابن بعمر، حو ثيدنبأانوزغو،يوزخال

دلالو،واصونأبابدعنسببعص،واندمالةري،وارفالغكال

أب ابالي قوامشىبن أب: وماشىن عييةر ب ىبأ، ادببن

.يدزالدعسبأي،وارالبمحكبأ،واريالنص

Page 122: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

107

،وأبابطاللبنعمربنالدبع،وباليبنأبطلبنعنسىالأرو

سعدالدري،وأبىريرة.

c) Murid-murid al-Sudi

بنلاعسإ،ونوبني لائرسإ،واندم الرص نب نحاطحبس أ:هحروىعن

مكال،وفودالكيزنيبنسال،ويبنححالبنصنسالو،خالدأب

ةدائزي،وسبعبنعسىالادح،وفواللالكدبنعبمكال،ويهنظاب

دبن نوىوبربنحاكس،ويروالث انفسة،وسنبأبنأديز،وةا

دعببنكشري،وملمبنسلسصووالحبأالت مي،وانسلم،ووانر أ

بنإساعدعبوناب ،واججبنالةبعش،والل ي،وعبدبندلالس الل

أةالطنافسي،وعليبنصاح بنحي،وعليبنعاب،وعمربنأب

بنأب وعمرو المدان، لكبنسلعال عبد بن وعمرو الباىلي، زيد

،ي،وعسىبنعمرالقارئالرازي،وعسىبنعبدالرحنالسلم

أ بن ومحمد غول، بن الك و الربع، بن وو العفي، حبأبن ةزو

،يوحةالنرسبنمعن،وديزنببلطي،وركنالس ومبننمد

ركوببأ،وروث أببندلالوي،وركشاللالدعبنباحضةالوانووعبأو

13.اشعنب

13

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 132-134

Page 123: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

108

d) Komentar Ulama‟ terhadap al-Sudi

Untuk al-Sudi, tampaknya kebanyakan ulama‟

berkomentar positif terhadapnya. Imâm Ahmad bin Hanbal

mengatakan bahwa al-Sudi merupakan orang yang tsiqah,

sementara Imâm al-Nasâ‟i berpendapat bahwa sosok al-

Sudi merupakan orang yang sâlih dan lâ ba‟s bih. Selain

itu, Abû Ahmad bin „Ady mengatakan bahwa al-Sudi

merupakan orang yang sadûq lâ ba‟s bih. Demikian juga

pendapat yang mengatakan bahwa al-Sudi lâ ba‟s bih.

Pendapat ini dilontarkan oleh Yahya bin Sa‟id. Sementara

Yahya bin Ma‟în cenderung melemahkan bahkan menuduh

daif al-Sudi.14

2) Asbât

a) Nama Lengkap Asbât

.فوكال رصنوب :أالي ق،وفسوي وب ،أاندمالرصننبطابسأ

b) Guru-guru Asbât

روىعن ويدالس نح الردب عب نلإس اعي : ي،فعالديزيبنرابج،

دعببنمكالوولكال وبرحبناكس، بنروصن،

ورمتعال ةرس،

ي.عجشال

c) Murid-murid Asbât

عن أهحروى بندح:الكرفاللضفال فوي رنصوبناقحسإو،

ولولالس واترالفبنراعو ي،لجالبرشببننسال، بناللدبع،

14

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 134-137

Page 124: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

109

،انمعبنالن دمالصدبع،وادحنأبابنحالردبعي،ولجالعحالص

وىالد تبثبني لعو ومادبني لعان، رح، ب نحعم ةحل ب نطحادو

انسوغبأي،وشرالقملسبننوع،ويزقن العنمدنوبمرع،وادنالق

ويدهالن لإساعبنكال همإب راىبنلوه، داشربنلوبن

15.انب الشيكببننوي ي،ودهالن

d) Komentar „Ulama‟ terhadap Asbât

Satu-satunya riwayat yang bernada positif adalah

yang dilontarkan oleh Yahya bin Ma‟în bahwa Asbât

merupakan orang yang tsiqah. Sementara Abû Nu‟aim dan

Imâm al-Nasâ‟i berpandangan sebaliknya dengan

mengatakan bahwa Asbât merupakan orang yang da‟îf dan

tidak kuat riwayatnya.16

3) „Amr bin Hammâd

a) Nama Lengkap „Amr bin Hammâd

.هدإلجبسني د،وفو،أبومحمدالكادنالقةحلطنبادحنوبمرع

b) Guru-guru „Amr bin Hammâd

دب زبننحالردبعبنثعشأ،واندم الرص نب ناطبس أ:روىعن

ال بديزنىبسعبنيسحي،وا بنعليبنأبابنعلي نالسي

وبالط وانسلمبنصفح، لكدعببنمكال،وال أبادح، بن

15

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 357-358 16

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 358-359

Page 125: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

110

وةف نح يراع، وسافبن وفقالث دحبناللدبع، نباللدبعي،

وبلاله ىابيلعالبصري، الببماشن ودين ب، الت مي،عمرنمحمد و

وفعالدعسبندوعسو لكدعببنرعسي،،اندمالعلسبنال

و .احرالبنعكو،ويلعبنلدن،وديزبنبلطال

c) Murid-murid „Amr bin Hammâd

سلم شبننمدنابماىرب إ،وليزيدبنيسالبنماىرب إ،وروىعنو:

بنأبمازحبندحوأوعمربأ،وانجوزالبوقعي بنماىرب إ،وةرعرع

بنانمثعنبأحد،وبربنحيىةزمث خنأببدحأركوببأة،وزرغ

اترالفبندحأدوعسوبأ،ويشوبنببنعمردحأ،وديالومكح

بنفضازالر وأحد النسائيي، إبراىم بن وأحدبنمحمدبننصر،الة ،

السوطي،وأ يي بن وأحد البغدادي، حان بن لعب بن حد

وإسحاقبنراىويو،وإساعلبنعبداللالصبهانسويو،وجعفربن

سطيالوراق،وجعفربننمدبنشاكرالصائغ،وجعفربننمدالوا

سنبنعليبن،وجعفربنالذيلالقنادابنبنتأبأساة،والمحمد

بزيعالبناء،والسيبنهديالبلي،وحدبنزنويو،وروحبنالفرج

الرحن عبد بن وسلمان الروزي، مي بن نمد بن وزىي البغدادي،

الل عبد بن والعباس ان، الزبر بن جعفر بن والعباس التمار، الطلحي

Page 126: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

111

في،وأبوبكرعبدالل بة،وأبوبكرعبداللبنالت بننمدبنأبش

بننمدنمدبنالنعمانبنعبدالسلمالت ميالصبهان،وعبدالل

عبدالسندي عوف وأبو العلى، عبد بن واصل بن العلى وعبد ،

عب زرعة وأبو بنرزوقالبزوري، الكريالرازي،الرحن بنعبد دالل

ذي، وعليبنالسنبنأبري،وعليبنالسنوالدالكمالت

البغوي،والفضلبنسهلالعرج،وأبوحاتممحمد وعليبنعبدالعزيز

بن ومحمد الحسي، سرة بن إساعل بن ومحمد الرازي، إدري بن

الني،ال أب بن السي بن ومحمد داود، أب أخو السجستان شعث

عبد بن ومحمد النسابوري، رافع بن ومحمد البجلن، السي بن ومحمد

الرحمالبزاز،ومحمدبنعسىالقرئ،ومحمدابنغالببنحربتتام،

الروز بكرمحمدبنعاذبنيوسفبنعاوية ي،ومحمدبنىارونوأبو

كثيالران،ومحمدنييابنفارسالذىليالفلس،ومحمدب ،بنييبن

وسىبن و المذان، حويو الرار أحد وأبو ومحمدبنيونالكديي،

بة ش بن ويعقوب الفارسي، سفان بن ويعقوب الطوسي، ىارون

17السدوسي،ويوسفبنوسىالقطان.

d) Komentar „Ulama‟ tentang „Amr bin Hammâd

17

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 591-593

Page 127: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

112

Mengenai „Amr bin Hammâd ini, ulama‟ yang

berpandangan positif terhadapnya adalah Yahya bin Ma‟în

dan Abû Hâtim yang mengatakan bahwa „Amr bin

Hammâd merupakan orang yang sadûq. Sementara

Muhammad bin „Abdillah al-Hadramy mengatakan bahwa

„Amr bin Hammâd adalah orang yang tsiqah, dan Imâm Ibn

Hibbân menyebut dalam kitab Tsiqat-nya.

Komentar yang bernada sedikit negative muncul

dari Imâm Abû Dâud yang berpandangan bahwa „Amr bin

Hammâd termasuk rafîdah (ekstrimis „Ali kw.).18

4) Ibn Wakî‟

a) Nama Lengkap Ibn Wakî‟

أب وياسؤالراحرالنبعكونبنسفا أفولكانمد، بنحلوخ،

.عكوبندعب ،وعكو

b) Guru-guru Ibn Wakî‟

عن إب راىروى ونةع بنم: وفوالكيشببندحأ، بناقحسإ،

نبلاعسإ،وقرزالفسوي بناقحسإي،ودسالانحبنرنصو

،وجمعبنوجريربنعبدالمد ،اعلبننمدبنجحادة،وإسةلع

العجلي،وحفصبنغاث،وأبأساةحادبنعمرب نعبدالرحن

دبنعبدالرحنالرؤاسي،وخالدبنهلدالقطوان،وروح،وحأساة

نة،وزكربنعبادة ،وسلميبنعدي،وزيدبنالباب،وسفانبنع

18

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 593-594

Page 128: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

113

دسلمانبنحانالحر،وسويدبنعمربنعسىالقارئ،وأبخال

بنإدري،وعبداللبنرجاءالكي،وعبداللبنوالكلب ،وعبدالل

بدالمدبن،وعني،وعبداللبنوىب،وعبدالعلىبنعبدالعلى

المان الرحن الرحعبد وعبد بن، الرحن وعبد المحارب، نمد بن ن

،وعبدالسلمبنحرب،وعبدالوىاببنعبدالمدالثقفي،هدي

العاريوعبداللبنوسى داودعمربنسعد،وأب،وعثامبنعلي

ب،الفري وعسىبنيونوعمر الطنافسي، عبد ومحمدبنبكرن ،

بنحدالعمري،ومحمدبنأبعدي،ومحمد،وأبسفاننمدالبسان

زيد بن طلب و فضل، العنببن عاذ بن عاذ و بن، وكع وأبو ي،

يزيدبنالراح،وييبنآدم،وييبنسعدالقطان،وييبنيان،و

،وأببكربنعاش.ىارون،ويونبنبكي

c) Murid-murid Ibn Wakî‟

ذي،ووروىعن أحد،وواجناب:الت جعفر دعالبنالسنبنأبو

دسعبنيلبنعأحدأبوبكري،واددغالب ىلأبوعي،واضيالقزورال

بنلإساعأبوأحدي،وورالاناشالبنيزبنعليبنربننمدأحد

ال إب راىم بن وباسوسى ويسلدنالدلهبني قب، عروبةبأ، و

أحدبناللدبعي،واجالسيبنييركز،وانرالننمداب يسال

Page 129: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

114

بنأبنمدبناللدعبأبوبكرل،وإساعبناللدبعة،واردبنأب

ون الد وعبدوناب ا، بن سفان بن وعكالرحن بنبني لع، إسحاق

ال وانذمإب راىم وبيروسىالفبنانعمر، بندعببنلضالف، الل

ر ي رب نجمحمدأبحوجع فروي،وطالشبننمدأحدبندمن،ودله

ويبالط ووطالشجعفرمحمدبن، ي، بنزيزالعدبعبننمدللأبو

المحمدبن،وبالكلةع برنمدبن ذي،ومحمدبنمكعلي ملسالت

لاصومحمدبني،وازالرةاروبن 19.داعصننمدببنيي،وئرقال

d) Komentar „Ulama‟ terhadap Ibn Wakî‟

Sependek pengamatan penulis, hanya ada dua ulama

yang berkomentar tentang Ibn Wakî‟ ini. Dua pendapat itu

pun sama-sama bernada negative terhadap kredibilitas

sosok Ibn Wakî‟. Dua pendapat tersebut berasal dari Abû

Zur‟ah dan Abû „Abd al-Rahmân yang mengatakan bahwa

Ibn Wakî‟ tertuduh dusta dan termasuk orang yang merusak

hadîts.20

Seiring dengan paparan bukti-bukti tertulis di atas,

maka penulis memunculkan beberapa konklusi sebagai

berikut, bahwa kajian seputar ketergodaan Nabi Yûsûf

dalam tafsîr al-Tabari menghadirkan dua riwayat.

Sayangnya, kedua riwayat tersebut sama-sama tidak bisa

dipertanggung jawabkan keabsahannya. Satu riwayat hadir

19

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 200-202 20

Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 202

Page 130: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

115

dengan mata rantai sanad yang sama persis seperti riwayat

tentang penyebutan Râ‟îl sebagaimana penulis bahas

panjang lebar sebelumnya, untuk itu penulis merasa tidak

perlu lagi mengomentarinya lagi. Riwayat kedua Imâm al-

Tabari dapatkan dari Ibn Wakî‟, Ibn Wakî‟ menerima dari

„Amr bin Hammâd, „Amr bin Hammâd menerima dari

Asbât sementara Asbât mendapatkan riwayat itu dari al-

Sudi. Kecacatan mata rantai riwayat ini adalah bahwa Ibn

Wakî‟ tidak tercatat pernah berguru pada „Amr bin

Hammâd, sementara „Amr bin Hammâd juga tidak pernah

tercatat memiliki murid bernama Ibn Wakî‟. Sementara itu,

hal yang juga ikut andil membuat riwayat ini tidak bisa

dipertanggung jawabkan keabsahannya adalah bahwa

kredibilitas setiap rawi dalam riwayat itu masih diragukan.

Buktinya, Yahya bin Ma‟in menganggap al-Sudi orang

yang da‟if, Abû Nu‟aim dan Imâm al-Nasâ‟i berpendapat

bahwa Asbât tergolong orang yang da‟if dan tidak kuat

riwayatnya, sementara untuk „Amr bin Hammâd, meski

mayoritas ulama‟ memujinya, Imam Abû Dâud

menggolongkan „Amr bin Hammâd sebagai orang syi‟ah

rafîdah (ekstrimis „Ali). Dan mengenai Ibn Wakî‟, Abû

Zur‟ah dan Abû „Abd al-Rahmân berpandangan bahwa Ibn

Wakî‟ merupakan orang yang tertuduh dusta dan merusak

hadîts. Kelemahan-kelemahan yang penulis paparkan tadi

jelas membuat riwayat ini tidak bisa dipertanggung

jawabkan keabsahannya.

Page 131: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

116

b. Kritik Matan

Menurut penulis, dalam riwayat yang membahas seputar

ketergodaan Nabi Yûsûf ini, terdapat bagian yang bisa membuat

riwayat ini tergolong riwayat yang tidak boleh disampaikan. Hal

ini desebabkan karena dalam riwayat ini mengandung hal yang

menyalahi syarî‟at islâm dengan menghilangkan „ismah seorang

Nabi.

3. Kritik Sanad dan Matan seputar Pernikahan Nabi Yûsuf dalam

Surah Yûsuf Ayat 56

a. Kritik Sanad

Data-data yang telah dipaparkan di bab sebelumnya ihwal

pernikahan Nabi Yûsûf dalam surah Yûsûf ayat 56, juga

menyebut bahwa riwayat dalam tafsîr Ibn Katsîr dan tafsîr al-

Tabari bersumber dari sumber riwayat yang sama dengan redaksi

riwayat yang juga nyaris sama. Seperti kasus sebelumnya,

riwayat dengan sanad terlengkap berada dalam tafsir al-Tabari.

Mengenai pernikahan Nabi Yûsûf dalam tafsir al-Tabari—

sebagaimana juga terjadi pada kebanyakan tafsîr yang lain,

riwayat yang muncul adalah riwayat yang Imâm al-Tabari

dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari

Salamah. Sementara Salamah menerima riwayat itu dari Ibn

Ishâq. Oleh karena mata rantai riwayat ini telah penulis paparkan

di poin sebelumnya, maka penulis merasa tidak perlu lagi untuk

memaparkan kembali hal ini.

Berdasarkan sumber-sumber tertulis yang telah penulis

sampaikan di atas, maka kajian riwayat seputar pernikahan Nabi

Yûsûf memiliki konklusi bahwa dari segi kajian riwayat seputar

pernikahan Nabi Yûsûf dalam kitab tafsîr Ibn Katsîr dan tafsîr al-

Page 132: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

117

Tabari ternyata memiliki mata rantai riwayat yang sama persis

seperti riwayat yang membahas seputar nama istri al-„Azîz dan

salah satu di antara dua riwayat yang mengupas ihwal

ketergodaan Nabi Yûsûf. Kiranya penulis tidak perlu

mengemukakan panjang lebar lagi terkait dengan bagaimana

kualitas riwayat itu. Namun sekadar untuk mengingatkan saja,

bahwa menurut penulis riwayat ini juga tidak bisa dipertanggung

jawabkan keabsahannya, hal ini disebabkan karena adanya

kredibilitas râwi yang patut dipertanyakan meski mata rantai

riwayatnya terbukti tak terputus.

b. Kritik Matan

Dalam riwayat ini dikisahkan bahwa Nabi Yûsuf pada

akhirnya dinikahkan oleh Raja bernama ar-Rayyân dengan

mantan istri al-„Azîz yang bernama Râ‟il. Menurut penulis,

sepintas riwayat yang disampaikan ini tergolong riwayat yang

boleh-boleh saja disampaikan sebab riwayat ini hanya

menyangkut tentang kisah, bukan tentang tauhîd dan tidak sedang

menyalahi ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, dalam praktiknya,

banyak orang yang percaya, bahkan meyakini bahwa Nabi Yûsûf

menikah dengan perempuan bernama Zulaikhâ‟ sehingga nama

Nabi Yûsûf dan Zulaikhâ‟ muncul bersandingan dalam doa-doa

yang dipanjatkan dalam acara walîmah al-„Urs,21

padahal secara

21

Redaksinya,

بحبتك ن هما ب الف الفتاللهم كما ن هما ب والف وحوى آدم ب ي الفت ي حو سحفكما ب ي وزحلي خا لدنكرحة ن وىبلما والآخرة ن ا الد ف جمعهما الكب رىوأصلح وخدية ونمد أعي و رة

نيبرحتكيأرحمالراحيواجع ؤنعبادكالنافعيعلىدينكولمصالحال .لهما

“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan

cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah

keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw

dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat,

Page 133: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

118

kajian riwayat, nama istri Nabi Yûsûf sendiri bernama Râ‟il, yang

itu pun kualitas riwayatnya tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Oleh karena doa merupakan mukhkh al-„Ibâdah (inti

ibadah), maka jika doa bersandar pada hal-hal yang belum jelas

keabsahannya, hal itu bisa saja menyalahi ajaran-ajaran Islam,

sehingga perlu kiranya penjelasan lebih lanjut saat

menyampaikan riwayat atau kisah tentang hal ini sehingga tidak

menimbulkan kesalah pahaman di tengah masyarakat.

B. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-Qur’ân

1. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-Qur’ân

dalam Tafsîr al-Tabari

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Imâm al-Tabari

cendrung lebih longgar ketika mencantumkan riwayat-riwayat

isrâîliyyât dalam tafsirnya, dengan persepsi bahwa riwayat-riwayat

tersebut telah dikenal oleh mayarakat Arab dan tidak menimbulkan

kerugian dan bahaya bagi agama.22

Meski begitu, beliau juga cukup

selektif dalam menuqil riwayat isrâîliyyât yang baginya tidak

berguna, sebab beliau meyakini bahwa mengetahui hal itu tidaklah

bermanfaat dan ketidak tahuan tentangnya bukan sebuah

keburukan.23

Imâm al-Tabari banyak sekali meriwayatkan isrâîliyyât yang

ada kaitannya dengan catatan sejarah, sebab pengambilan riwayat

isrâîliyyât tidak terlepas dari jiwa sejarawan yang dimiliki al-Tabari,

berikanlah rahmat dan „penyejuk mata‟ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya

hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang

beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”

Bisa ditemui dalam, M. Ali Mukhtar, Cakrawala 2000 Qosidah & Surat-surat

Pilihan, cet. Ke-1 Lamongan: Az Zahida Group, 2011, hlm. 588-589 22

Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 31-32 23

Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 117-118. Bisa dilihat juga

dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 155

Page 134: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

119

guna melengkapi puing-puing sejarah.24

Beliau juga amat selektif

terhadap riwayat yang menjelaskan detail-detail yang tak cukup

penting untuk diketahui. Dalam artian, Imâm al-Tabari sebagai

sejarawan, lebih mengedepankan aspek kepentingan sejarah dari

pada kualitas riwayat yang ditampilkan.25

Muhammad Husain al-Dzahaby dalam sebuah kitabnya yang

khusus mengupas riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab tafsir

dan hadits, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, berpandangan

bahwa kitab tafsîr al-Tabari ini tergolong tafsîr yang menuqil

isrâîliyyât dengan menyebut lengkap dan detail sanad

periwayatannya namun jarang sekali memberikan komentar atau

mengritik terhadap riwayat yang dicantumkan.26

Oleh karena imâm al-Tabari jarang berkomentar pada riwayat-

riwayat isrâîliyyât yang disampaikan olehnya dalam kitab tafsirnya,

walaupun riwayat isrâîliyyât itu disampaikan dengan mata rantai

riwayat yang lengkap, hal ini memicu pro dan kontra di antara para

ulama.

Di antara ulama yang membela al-Tabari adalah Abû al-Fadl

Ibrâhîm yang menyatakan bahwa sikap al-Tabari sudah terbilang

sejalan dengan langkah yang ditempuh oleh kalangan ahli hadîts

pada umumnya, yakni mengambil cukup dengan hanya

mengemukakan mata rantai riwayat hingga sampai pada pembawa

riwayat pertama. Selebihnya, ihwal kualitas riwayat itu, al-Tabari

seolah memasrahkan sepenuhnya kepada para pembaca. Dengan

langkah ini. Menurut Abû al-Fadl Ibrâhîm, al-Tabari sudah

24

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.154; Muhammad Yusuf,

dkk., Studi Kitab, hlm. 32-33 25

Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 248-249. 26

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 97

Page 135: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

120

menunaikan tugas keilmuannya dan tidak bertanggung jawab

terhadap isi yang dibawanya. 27

Pandangan Abû al-Fadl Ibrâhîm di atas tentu tidak sepenuhnya

dapat diterima sebab tafsîr al-Tabari ini jelas tidak selamanya berada

di tangan orang yang mampu menilai kualitas riwayat isrâîliyyât,

sebab untuk menilai dan mengkritik sebuah riwayat, diperlukan

adanya bidang ilmu kritik riwayat seperti yang ada dalam bidang

Hadîts (takhrîj hadîts). Pembelaan Abû al-Fadl Ibrâhîm ini, seperti

juga disampaikan Rosihon Anwar, memiliki celah untuk dikritisi.

Seperti disampaikan tadi, Abû al-Fadl Ibrâhîm berpandangan bahwa

orang yang mengemukakan sanad riwayat, sudah terlepas dan tidak

bertanggung jawab atas isi isrâîliyyât yang disampaikannya.

Pandangan semacam ini sangat sulit diterima, sebab bisa saja

riwayat isrâîliyyât yang disampaikan tadi kemudian dipakai

seseorang untuk hal-hal yang tidak semestinya semisal untuk

menjelaskan hukum syarâ‟ dalam al-Qur‟ân.28

Berbeda halnya dengan Abû al-Fadl Ibrâhîm, ada pula ulama‟

yang menyayangkan sikap al-Tabari yang tidak melakukan studi

kritis terhadap riwayat isrâîliyyât. Adalah al-Hûfy yang

menyayangkan sikap al-Tabari yang terbilang tidak kritis terhadap

riwayat isrâîliyyât yang disampaikannya, padahal al-Tabari sendiri

adalah ulama‟ ahli hadîts selain juga ahli sejarah. Menurut al-Hûfy,

barangkali al-Tabari membedakan antara hadîts dan isrâîliyyât;

hadîst berfungsi sebagai sumber yang dapat membangun hukum-

hukum, sedangkan isrâîliyyât tidak berfungsi sebagai sumber

27

Muhammad Abû Fadl Ibrahim, Târikh al-Thabari, dalam al-Tabari, Târikh al-

Rasûl wa al-Mulk, Juz I, Dâr al-Ma‟ârîf, 1960, hlm. 22-23 28

Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât dalam tafsîr al-Tabari dan tafsîr

ibn Katsîr, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 115

Page 136: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

121

hukum, sehingga tidak perlu melakukan studi kritis terhadapnya.

Namun sebagai ahli hadîts, selain juga ahli sejarah, al-Hûfy menilai

bahwa tidak cukup jika al-Tabari hanya menyampaikan riwayat saja

sebab terkadang para perawinya terpercaya namun lemah dalam hal

ingatannya.29

Sejatinya, al-Tabari sendiri dalam kitabnya yang lain, yakni

Târikh al-Umam wa al-Mulk, menyampaikan,

“Hendaknya setiap peneliti kitabku memahami apa yang

dikemukakan di dalamnya dan saya sendiri yang menulisnya

dengan bersandarkan pada periwayatan yang aku sebutkan

dan susunan perawinya yang didalamnya pun aku abaikan,

bukan berdasarkan atas hasil olah pikiran. Karena untuk

mengetahui berita-berita masa lampau dan kejadian-kejadian

di dalamnya, tidak mungkin diperoleh dari orang-orang yang

terlibat atau menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa itu,

melainkan hanya dapat diperoleh melalui kabar berita yang

sampai kepada kita, bukan dengan cara hasil olah pikir. Jika

ternyata dalam kitabku ini terdapat suatu riwayat yang tidak

enak didengar karena tidak jelas kevalidan dan hakikatnya,

maka penjelasan tentang itu belum pernah aku dapatkan dari

orang-orang sebelumku. Itulah sebabnya, aku hanya menulis

apa saja yang sampai kepadaku saja.”30

Dari ucapan al-Tabari di atas, tampaknya ada tiga poin penting

yang ingin beliau sampaikan: Pertama, beliau berpandangan bahwa

seharusnya para sejarawan tidak boleh bertolak hanya dari logika,

analogi serta istinbât dalam memperoleh data sejarah. Oleh karena

itu, ia mendokumentasikan data sejarah atas dasar berita dari perawi

yang sampai padanya saja. Beliau juga tidak hanya mengumpulkan

data sejarah yang sekadar relevan dengan pemikirannya. Kedua,

untuk memperoleh data sejarah, hal itu hanya dapat dilakukan

dengan satu cara, yaitu melalui berita-berita yang sampai langsung

29

Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât, hlm. 116 30

Ibn Jarîr al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulk, (Matba‟ah al-Husainiyah,

Mesir, tt.), hlm. 7-8

Page 137: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

122

pada kita. Ketiga, al-Tabari menyatakan bahwa orang-orang sebelum

dirinya belum pernah melakukan studi kritis terhadap riwayat yang

diterimanya.

Berangkat dari beberapa poin inti atas pernyataan al-Tabari di

atas, Rosihan Anwar menyampaikan beberapa kritik untuk al-Tabari.

Poin pertama dan kedua nampaknya bertentangan dengan prinsip

sejarah yang sebenarnya. Sejarawan memang tidak boleh

merekayasa data sejarah, tetapi bukan berarti pertimbangan rasio

tidak berguna dalam mengumpulkan data sejarah.31

Terlepas dari segala pembelaan dan kritik yang tertuju pada al-

Tabari, tafsîr al-Tabari ini memliki keistimewaan tertentu dari sisi

lain, terutama dari sisi penyebutan sanad atau mata rantai riwayat

yang oleh beliau dalam setiap periwayatannya disebutkan lengkap

dan detail hingga sumbernya langsung dengan menggunakan

langkah-langkah periwayatan hadîts.

2. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-Qur’ân

dalam Tafsîr Ibn Katsîr

Sebagaimana disebutkan dalam biografi Ibn Katsîr pada bab

sebelumnya, Ibn Katsîr dan Ibn Jarîr al-Tabari sebenarnya memiliki

kesamaan dari sisi bidang keilmuan yang dikuasai, yakni sama-sama

menguasai bidang sejarah dan ilmu hadîts riwâyah, sehingga

memang sangat menarik mengkaji posisi keduanya dalam

memperlakukan riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsîr masing-

masing; apakah lebih menonjolkan sisi sejarawan sehingga dengan

laluasa mengemukakan semua riwayat isrâîliyyât yang sampai

padanya, atau sebaliknya, menonjolkan sisi ahli hadîts dengan

31

Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât, hlm. 117

Page 138: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

123

berhati-hati terhadap mata rantai perawi serta isi atau matn riwayat

isrâîliyyât tersebut.

Jika al-Tabari, sebagaimana dipaparkan di atas, lebih

menonjolkan sisi sejarawannya dengan menyampaikan segala

riwayat isrâîliyyât yang beliau terima, walaupun tetap

mempertahankan sisi ahli hadîts dengan menyampaikan mata rantai

riwayat yang lengkap dan detail, maka Ibn Katsîr berada pada sisi

yang sedikit berbeda. Ibn Katsîr yang juga dikenal tidak hanya

sebagai mufassir, melainkan juga muhaddits dan ahli sejarah,

tentu akan lebih selektif memilih riwayat-riwayat yang sahîh untuk

dipaparkan dalam kitab tafsirnya, sehingga kemungkinan besar

riwayat isrâîliyyât yang dikemukakannya memiliki sanad yang

sahîh. Namun begitu, seperti halnya kondisi yang dialami Ibn Jarîr

al-Tabari sebagai sesama sejarawan, Ibn Katsîr juga beberapa kali

mengutip kisah-kisah isrâîliyyât yang da‟îf sebagai pelengkap

kisah-kisah yang ada dalam al-Qur‟ân, namun diikuti penjelasan

soal letak keda‟îfannya, atau ketika riwayatnya sahîh ia juga

menjelaskan sisi kesahîhannya.

Di saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya, Ibn

Katsîr setidaknya begitu mempertimbangkan dua hal berikut ini:

a. Kualitas Sanad

Jika al-Tabari menunjukkan kapasitasnya sebagai ahli

hadîts riwâyah dengan cara menyampaikan mata rantai perawi

dengan sangat lengkap dan detail, maka Ibn Katsîr memiliki cara

berbeda. Di saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât, Ibn Katsîr

sering mengomentarinya dengan istilah nakara (munkar),

mukhtalif li an-Nas (bertentangan dengan nash), da‟îf jiddan

(sangat lemah kualitasnya), dan lâ asla lahu (tidak memiliki

Page 139: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

124

sumber yang jelas). Istilah-istilah tadi digunakan Ibn Katsîr saat

mengomentari riwayat isrâîliyyât yang menurutnya lemah dan

tidak berdasar. Beliau juga kerap mengritik para perawi yang

dianggap memiliki kelemahan dan sisi negatif tertentu dalam

kapasitas sebagai perawi yang pada akhirnya berujung pada

keabsahan riwayat isrâîliyyât itu sendiri.

b. Kesesuaian dengan Syarî‟at Islam

Hal yang sangat menjadi bahan pertimbangan Ibn Katsîr

dalam menyampaikan atau mengomentari riwayat isrâîliyyât yang

telah disampaikan dalam tafsirnya, adalah kesesuaian riwayat

isrâîliyyât itu dengan syarî‟at Islam. Adakalanya Ibn Katsîr tidak

menyampaikan riwayat-riwayat yang jelas bertentangan dengan

ajaran Islam, seperti ketergodaan Nabi Yûsûf terhadap istri al-

„Azîz dalam upaya menjaga „ismah seorang Nabi. Alih-alih

menyampaikan riwayat tentang hal tadi, Ibn Katsîr malah

menyampaikan kajian bahasa maupun riwayat isrâîliyyât seputar

hadirnya burhân yang membuat Nabi Yûsûf tidak jadi melakukan

hal menyimpang dengan istri al-Azîz. Meski begitu, adakalanya

pula Ibn Katsîr tetap menyampaikan riwayat-riwayat yang

terkesan dan seolah bertentangan dengan ajaran Islam, namun

setelah itu beliau sangat pedas mengomentari dan mengkritisi isi

atau kandungan dari riwayat-riwayat isrâîliyyât yang

disampaikannya tadi.

Dari paparan-paparan tadi, bisa diketahui bahwa kisah-

kisah isrâîliyyât da‟if yang dikemukakan Ibn Katsîr dalam

tafsirnya, bukan merupakan tafsiran terhadap ayat, melainkan

sebatas mengungkapkan bahwa dalam konteks ayat itu terdapat

kisah-kisah isrâîliyyât yang tidak boleh dijadikan dasar sebab

Page 140: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

125

cacat dari sisi kualitas sanad maupun ketidaksesuaian dengan

ajaran-ajaran Islam.32

C. Urgensitas Riwayat Isrâîliyyât terhadap Tafsîr al-Qur’ân

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan riwayat-riwayat isrâîliyyât

tentang tiga poin penting dalam sûrah Yûsûf, yakni: Pertama, nama istri

al-„Azîz. Kedua, ketergodaan Nabi Yûsûf. Ketiga, Pernikahan Nabi

Yûsûf. Tidak hanya dari tafsîr al-Tabari dan tafsîr Ibn Katsîr saja

sebagai dua tafsîr rujukan, penulis juga mengkomparasikan riwayat

isrâîliyyât tadi dengan 11 tafsir lain, berurutan dari tafsir yang paling

tua hingga yang paling muda, yakni: Tafsir Muqâtil bin Sulaiman (150

H.), Tafsir al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.), Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr

al-Samarqandy (373 H.), Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/

Tafsîr al-Tsa‟laby (427 H.), Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwi (516

H.), Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn

„Atiyyah (542 H.), Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin

(741 H.), Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby

(875 H.), Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.), Rûh al-

Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-Matsâny/ Tafsîr al-

Alûsy (1252 H.), Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Manâr (1354

H.).

Banyaknya riwayat israiliyat yang disampaikan dalam banyak

tafsir, terutama aliran tafsîr bi al-ma‟tsûr, menjadikan riwayat

isrâîliyyât memiliki peran tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟ân,

selain yang bersumber dari nas al-Qur‟ân maupun al-Hadîts sendiri.

Banyaknya mufassir yang mengutip riwayat isrâîliyyât dalam kitab

tafsîr mereka, tentu bukan berdasar iseng-iseng semata, melainkan

32

Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât, hlm.139.

Page 141: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

126

adanya hal yang menjadi pertimbangan untuk tetap memasukkan

riwayat-riwayat isrâîliyyât itu dalam tafsîr mereka.

Berikut ini, penulis merangkum beberapa pertimbangan para

mufassir dalam mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsîr

mereka, sehingga riwayat isrâîliyyât tampak menjadi hal yang penting

sebagai sarana menafsirkan al-Qur‟ân, selain teks al-Qur‟ân maupun al-

Hadîts sendiri:

1. Pelengkap Sejarah

Inilah faktor terpenting dan latar belakang kebanyakan

mufassir mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsîr

mereka. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal:

Pertama, seperti disebutkan di awal, sepertihalnya potongan

puzzle, kisah-kisah dalam al-Qur‟ân hanya dihadirkan sepintas-

sepintas saja, maka adakalanya mufassir merasa kesulitan untuk

menjelaskan hal itu dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan

nama-nama tokoh yang berperan dalam kisah itu serta saat berupaya

untuk membahas cerita-cerita itu dengan lebih mendetail. Poin inilah

yang menyebabkan para mufassir merasa perlu mencatumkan

riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsîr mereka.33

Kedua, latar belakang keilmuan para mufassir yang juga tidak

hanya mahir dalam bidang tafsîr al-Qur‟ân, melainkan juga ahli

dalam bidang sejarah, sehingga saat sampai pada ayat-ayat yang

memuat kisah dan sejarah umat-umat terdahulu, mereka cenderung

tertarik untuk melengkapinya dengan cara menghadirkan riwayat-

riwayat isrâîliyyât. Hal ini diamini oleh Husain al-Dzahaby yang

berpandangan bahwa jiwa sejarawan yang dimiliki Imâm al-Tabari

33

Muhammad Yusuf, dkk., Studi al-Qur‟an, hlm. 176.

Page 142: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

127

memiliki andil dalam pencantuman riwayat-riwayat isrâîliyyât

dalam tafsirnya, guna melengkapi puing-puing sejarah.34

2. Perpaduan Tsaqâfah

Dalam catatan sejarah, sejak awal munculnya Islam, umat

Islam sering berinteraksi langsung dengan berbagai tsaqâfah atau

kebudayaan agama lain, seperti orang kâfir Makkah, Yahûdi

Madînah, maupun Nasrani Najrân dan Madînah. Pada tahap

berikutnya, banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam dengan

tetap membawa tsaqâfah sebelumnya, sepertihalnya yang terjadi

pada riwayat-riwayat isrâîliyyât yang kebanyakan bersumber dari

orang-orang beragama Yahûdi yang telah masuk Islam.

Hadirnya riwayat-riwayat isrâîliyyât sebagai salah satu media

penafsiran al-Qur‟ân sejatinya merupakan akulturasi budaya, yang

disikapi berbeda oleh para ulama‟; ada yang sama sekali enggan

mencantumkannya dalam kitab tafsirnya, ada yang mencantumkan

dengan banyak atau sedikit komentar, bahkan ada pula yang seolah

begitu saja mencantumkannya tanpa komentar atau kritik apa pun.

Hadirnya dalil-dalil yang seolah memberikan lampu hijau

dalam menerima tsaqâfah agama sebelumnya, seperti ayat:

هزل ا مم شك ف لوت فإنين ٱ ل فس ك إل ا أ من ب مت ل ٱ رءون يق ل

بك من ق ل ٱ ءك جا لقد لك قب ٱ من تكونن فل ر ٩٤ تين مم ل

Artinya: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-

raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka

Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum

34

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.154; Muhammad Yusuf,

dkk., Studi Kitab, hlm. 32-33

Page 143: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

128

kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari

Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-

orang yang ragu-ragu.”(Qs. Yunus [10]: 94), maupun hadist:

حدث ناحسانبنعطةعنحدث ن اأبوعاصمالضحاكبنهلدأخب رنالوزاعي

ول كبشةعنعبداللبنعمروأنالنبصلىاللعلووسلمالب لغواعن وأب

وحدثوا نآية قعده داف ل ت ب وأ ت عم كذبعلي عنبنإسرائلولحرجون

النار

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abû 'Âsim al-Dahhâk

bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami al-Awzâ'iy telah

bercerita kepada kami Hassan bin 'Atiyyah dari Abî Kabsyah dari

'Abdullah bin 'Amr bahwa Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang

kalian dengar) dari Banî Isrâîl dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa

yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah

menempati tempat duduknya di neraka.”, nampaknya menjadikan

para mufassir bisa sedikit leluasa dalam mencantumkan riwayat

isrâîliyyât dalam kitab-kitab tafsirnya.

Khusus ihwal hadîts di atas, Imâm al-Syafî‟i berpandangan

bahwasanya arti sabda Nabi Muhammad tadi adalah umat Islam

boleh berinteraksi dan menyampaikan cerita-cerita dari Banî Isrâîl

terhadap sesuatu yang tidak diketahui kedustaannya. Menurut imâm

al-Syafî‟i, hadîts ini merupakan anti klimaks dari hadîts lain yang

jelas-jelas melarang umat Islam untuk menerima dan menyampaikan

apa pun dari Ahl al-Kitâb. Redaksi wa lâ haraj dalam hadits di atas

seolah memberi sedikit kebebasan untuk berinteraksi dan menerima

Page 144: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

129

atau menyampaikan sesuatu dari Ahl al-Kitâb setelah sebelumnya

mendapatkan larangan keras dari Nabi. Namun menurut Imâm al-

Syafî‟i, kebebasan dimaksud tidak berlaku untuk semua orang,

melainkan orang-orang tertentu yang memiliki kadar ilmu keislaman

yang tinggi dan benar-benar mengatahui dasar-dasar agama..35

Maka hadirnya riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab

tafsîr bisa disikapi dengan tidak hanya sebagai pelengkap sejarah

saja, melainkan upaya akulturasi budaya antar agama dengan tetap

selektif ihwal kualitas periwayatan maupun konten yang sesuai

dengan ajaran Islam.

3. Mengkaji Ulang Mufassir Sebelumnya

Salah satu di antara beberapa hal yang juga melatar belakangi

para mufassir dalam mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât

dalam kitab-kitab tafsîr mereka adalah upaya untuk mengkaji ulang,

mengomentari maupun mengkritisi riwayat-riwayat isrâîliyyât yang

pernah disampaikan oleh mufassir-mufassir sebelumnya.36

Tafsir Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟

al-Matsâny, karya al-Alûsi, contohnya. Kitab tafsir ini sengaja

meriwayatkan isrâîliyyât dengan cara menuqil dari mufassir

sebelumnya untuk mengkritisi riwayatnya, agar para pembaca tafsîr

tersebut tidak membenarkan secara keseluruhan. Kitab tafsîr ini

tergolong kitab yang sangat pedas mengkritik riwayat-riwayat

isrâîliyyât. Selain itu, ada pula kitab tafsir yang sangat kiritis

terhadap kitab-kitab tafsîr sebelumnya yang begitu saja

mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât tanpa memedulikan

kualitas riwayat maupun matn-nya. Pada beberapa kesempatan kitab

35

Lihat selengkapnya di Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 92. 36

Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 95-160.

Page 145: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

130

tafsîr ini melancarkan tuduhan-tuduhan yang boleh dibilang

keterlaluan terhadap pembawa cerita isrâîliyyât tersebut baik dari

golongan sahabat maupun tâbi‟în. Kitab tafsîr dimaksud adalah

Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm, karya Muhammad Rasyîd Ridâ.

Page 146: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

131

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka

penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam kajian mata rantai riwayat maupun kandungan riwayat-

riwayat seputar nama istri al-‘Azîz, ketergodaan Nabi Yûsûf, serta

pernikahan Nabi Yûsuf dapat dipastikan keotentikan riwayat

tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Meski dalam hal

ketersambungan riwayat tak ada yang terputus, namun kredibilitas

periwayat yang ada dalam riwayat tersebut masih diperselisihkan

ulama’.

Dilihat dari sisi matan, maka riwayat isrâîliyyât seputar nama istri

al-‘Azîz ini boleh-boleh saja diriwayatkan sebab tidak berkenaan

dengan tauhîd dan tidak menyalahi syarî’at Islam. Sementara itu,

riwayat tentang ketergodaan Nabi Yûsuf tergolong riwayat yang

tidak boleh disampaikan, sebab menyalahi syarî’at Islam dan ada

kaitannya dengan perkara tauhîd, yakni karena menghilangkan

‘ismah seorang Nabi.

Sedangkan riwayat tentang pernikahan Nabi Yûsuf, sepintas riwayat

ini tergolong riwayat yang boleh-boleh saja disampaikan, hanya saja

dalam praktiknya, banyak orang yang percaya, bahkan meyakini

bahwa Nabi Yûsuf menikah dengan perempuan bernama Zulaikhâ’

sehingga nama Nabi Yûsûf dan Zulaikhâ’ muncul bersandingan

dalam doa-doa yang dipanjatkan dalam acara walîmah al-‘Urs. Oleh

karena hal ini kemudian menjadi keyakinan yang menjurus pada

pembahasan tauhîd, sehingga perlu kiranya penjelasan lebih lanjut

Page 147: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

132

saat menyampaikan riwayat atau kisah tentang hal ini sehingga tidak

menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

2. Dalam kajian seputar posisi al-Tabari dan Ibn Katsîr terhadap

riwayat-riwayat isrâîliyyât, al-Tabari cenderung lebih longgar saat

mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya, dengan persepsi

bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh mayarakat Arab

dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama. Sementara

itu, Ibn Katsîr berada di sisi yang sedikit berbeda dengan al-Tabari.

Ibn Katsîr saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya,

setidaknya begitu mempertimbangkan dua hal, yakni kualitas sanad

dan kesesuaian dengan syarî’at Islam.

3. Dari hasil komparasi riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsîr al-Tabari

dan tafsîr Ibn Katsîr serta 11 tafsir lain, maka kajian seputar urgensi

adanya riwayat isrâîliyyât sebagai sumber penafsiran bagi para

mufassir, setidaknya bermuara dalam 3 hal penting berikut: Pertama,

sebagai pelengkap sejarah, sebab kisah-kisah dalam al-Qur’ân hadir

sepotong-potong sehingga dirasa perlu adanya sumber yang bisa

melengkapi detailnya. Kedua, perpaduan kebudayaan. Oleh karena

adanya dalil yang membolehkan menerima tsaqâfah agama

sebelumnya, baik dari ayat al-Qur’ân maupun al-Hadîts, maka

nampaknya hal itu menjadikan para mufassir bisa sedikit leluasa

dalam mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab tafsirnya,

sehingga hadirnya riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab

tafsîr bisa disikapi dengan tidak hanya sebagai pelengkap sejarah

saja, melainkan upaya akulturasi budaya antar agama dengan tetap

selektif ihwal kualitas periwayatan maupun konten yang sesuai

dengan ajaran Islam. Ketiga, sebagai kritik atau kajian mufassir

sebelumnya. Adanya mufassir yang boleh dibilang cukup berlebihan

Page 148: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

133

dalam mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsirnya,

ternyata memicu mufassir lain untuk ikut mengomentari hal itu

dengan turut serta lebih dulu mencantumkan riwayat-riwayat

isrâîliyyât yang hendak dikritiknya.

B. Saran

Setelah berhasil merampungkan penelitian ini, penulis bermaksud

memberikan saran-saran kepada:

1. Para muballigh, pengarang buku cerita Nabi, guru-guru serta

orangtua agar tidak sembarang menceritakan dan menulis kisah-

kisah yang belum diketahui kebenarannya.

2. Umat Islam secara keseluruhan agar tidak begitu saja memercayai

cerita-cerita Nabi yang sampai pada mereka.

3. Penelitian ini bagaimanapun masih banyak memiliki kekurangan,

hal ini tidak lain disebabkan kekurangan penulis sendiri, sehingga

masih perlu dikembangkan. Oleh kerena itu, penelitian lanjutan

secara komprehensif dengan para tokoh-tokoh tafsir bi al-ma’tsûr

sangat diharapkan.

Page 149: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

134

DAFTAR PUSTAKA

‘Ali, Mahmud al-Naqrasyi al-Sayyid. Manâhij al-Mufassirîn min „Ashr al-

Awwal ilâ al-„Ashr al-Hadîts, ttp: Maktabah al-Nahdah, 1986.

Al-Alûsy, Mahmûd, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-

Sab‟ al-Matsânî, Beirut: Matba’ah al-Muniriyyah, t.t.

Alwasi, Bahari, Israiliyyat dalam Kisah Ashabul Kahfi, Skripsi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015.

Al-Andalûsy, Ibn ‘Atiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb

al‟Azîz, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.

Anwar, Rosihon Melacak Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir Al-Tabari

dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Al-Baghawy, Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas’ûd, Ma‟âlim al-

Tanzîl, Riyad: Dâr Taibah, 1411 H.

Baidan, Nasharuddin, Metode Penafsiran al-Qur‟an “Kajian Kritis

terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip”, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.

Al-Balkhi, Muqâtil ibn Sulaimân, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, Beirut:

Dâr Ihya’ al-Turâts, 1423 H., (versi Maktabah Syâmilah).

Al-Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh

al-Qur‟ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 2003.

Budiarto, The Concept of Israiliyyat in The Interpretaion of Al Quran

According to Adz Dzahabi, Tesis IAIN Sunan Ampel, 2010.

Chirzin, Muhammad, al-Qur‟an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Penerbit

Dana Bakti Prima Yasa, 1998.

Al-Dzahaby, Muhammad Husain, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir:

Maktabah Wahbah, 1985.

_______, Muhammad Husain, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts,

Mesir: Maktabah Wahbah, 1990.

Page 150: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

135

_______, Muhammad Husain, Mîzân al-I‟tidâl fî Naqd al-Rijâl, Beirût:

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.

_______, Muhammad Husain, Tahdzîb Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-

Rijâl, Mesir: al-Fâruq al-Hadîtsiyyah, 2003.

Fathurrosyid, Semiotika Kisah al-Qurân; Membedah Perjalanan Religi

Raja Sulaiman dan Ratu Balqis, Surabaya: Penerbit Buku

Pustaka Radja, 2014.

Ghofur, Saiful Amin, Mozaik Mufassir al-Qur‟an (dari Klasik Hingga

Kontemporer), Yogyakarta: Kaukaba, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M.

‘Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2014.

Gufron, Muhammad dan Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah,

Yogyakrta: Penerbit Teras, 2013.

Hendra, Nurul, Pengaruh Israiliyyat terhadap Tafsir Ayat Tentang

Penciptaan Adam, Skripsi IAIN Syarif Hidayatullah jakarta,

2005.

Ibrahim, Muhammad Abû Fadl, Târikh al-Thabari, dalam al-Tabari,

Târikh al-Rasûl wa al-Mulk, Dâr al-Ma’ârîf, 1960.

Ilyas, Hamka, Israiliyyat dalam Tafsir Jami' al-Bayan 'An Ta'wil Ay al-

Qur'an Karya al-Tabari (Kajian terhadap Kisah Para Nabi

dan Rasul), Disertasi UIN Alauddin Makassar, 2015.

Katsîr, Ismâîl Ibn, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, Mesir, Maktabah Aulâd as-

Syaikh li at-Turâts, 2000.

Al-Khâzin, ‘Ali ibn Muhammad, Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âniy al-Tanzîl,

Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H., (versi Maktabah

Syâmilah).

Madaniy, A. Malik, Israiliyyat dan Maudhu‟at dalam Tafsir al-Qur‟an,

Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Mahmûd, Mâni’ ‘Abd Halîm, Manhaj al-Mufassirīn terj. Syahdianor dan

Faisal Saleh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Page 151: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

136

Mannâ’ Khalîl al-Qatthân, Mabahits fî „Ulum al-Qurân, Maktabah al-

Ma’ârif, 2000.

Mastu, Mustafa al-Bighâ dan Muhyi al-Dîn, al-Wâdih fî Ulûm al-Qur‟ân,

Damaskus: Dar al-‘Ulûm al-Insaniyyah,1998.

Al-Mâzi, Abû al-Hajjâj Yûsûf, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, Beirut:

Muassasah al-Risâlah, 1983.

Mubarok, Ahmad Zaki, Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridha

dalam Tafsir al-Mannar, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2004.

Mukhtar, M. Ali, Cakrawala 2000 Qosidah & Surat-surat Pilihan,

Lamongan: Az Zahida Group, 2011.

Mustaqim, Abdul, Epistemologi tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS,

2012.

Nur Alifah, Israiliyyat dalam Tafsri Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap

Ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat

dalam tafsirnya), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah jakarta,

2010.

Nurhaedi, Dedi dkk, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.

Al-Rûmi, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân bin Sulaimân, Buhûts fî Ushûl al-

Tafsîr wa Manâhijuhu, ttp.: Maktabah al-Taubah, t.t.

_______, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân bin Sulaimân, Dirâsât fî „Ulûm al-

Qur‟ân Riyad: Penerbit Kerajaan, 2005.

Al-Samarqandi, Abû al-Laits, Bahr al-„Ulûm, ttp: tnp, t.t.

Al-San’any, ‘Abd al-Razzâq ibn Hammâm, Tafsîr al-Qur‟^an, Riyad:

Maktabah al-Rusyd, 1989.

Suprapto, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-

Qur‟an Karya al-Qurtubi, Tesis IAIN Tulungagung, 2016.

Al-Suyuty, Jalâl al-Dîn, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟tsûr,

Mesir: Markaz li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islamiyyah, 2003.

Page 152: RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN

137

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur‟an II, Bandung: CV.

Pustaka Setia, 1997.

Syamsuni, Israiliyyat dan Penafsiran Bias jender: Kajian tentang Isu

Penciptaan Perempuan dalam Tafsri al-Thabari, Tesis UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Al-Tabari, Ibn Jarîr, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, Mesir: Hijr,

2001.

_______, Ibn Jarîr, Târikh al-Umam wa al-Mulk, Matba’ah al-Husainiyah,

Mesir, tt.

Al-Tsa’alaby, Abû al-Ishâq, al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân,

Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, 2002.

_______, Abû Zaid, Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur‟ân, Beirut: Dâr

Ihyâ’ al-Turats al-‘Araby, 1997.

Umar, Ismâîl ibn bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm (tt: Dar Taibah li

al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999.

Yusuf, Kadar M., Studi al-Qurân, Jakarta: Amzah, 2009.

Yusuf, Muhammad, dkk., Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.