ritual inisiasi tana ile pada masyarakat nuduasiwa … · 1 ritual inisiasi tana ile pada...
TRANSCRIPT
RITUAL INISIASI TANA ILE PADA MASYARAKAT
NUDUASIWA URAUR
Oleh,
Ranolf Deddy Sanaky
NIM : 71 2011 033
Program Studi: Ilmu Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2018
1
RITUAL INISIASI TANA ILE PADA MASYARAKAT
NUDUASIWA URAUR
Ranolf Dedy Sanaky
Abstrak
Jurnal ini bertujuan untuk memperkenalkan budaya-budaya lain selain
pela/gandong yang berada di Maluku. budaya ini merupakan upacara atau ritual
yaitu ritual anak keluar yang disebut tana ile, tana ile ini dilakukan oleh
masyarakat Nuduasiwa Uraur pada hasil penelitian ritual tana ile merupakan
sebuah ritual anak kaluar yang sudah dilakukan oleh leluhur sampai sekarang ini
yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari ancaman yang berasal dari luar
dan mendidik keluarga untuk memperdulikan anak-anak mereka untuk memahami
tana ile dibutuhkan pendekatakan teori ritual, ritual inisiasi dan juga makna dari
ritual inisiasi. Dalam penelitian ini mengunakan metode penelitian yang
digunakan dalam usaha memahami makna tana ile adalah metode kualitatif yaitu
wawancara mendalam dengan narasumber dan dokumentasi di lapangan. sehingga
tulisan ini pada akhirnya munculnya empat makna dari ritual tana ile ini, yaitu
makna teologis, sosiologi, pendidikan, dan budaya.
Kata Kunci: Ritual, Ritual Insiasi, Tana ile, Nuduasiwa
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terdiri atas
keanekagaramaan suku, agama, ras dan budaya, yang turut mewarnai khas anak
bangsa yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Beragam kebudayaan
yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa di Indonesia juga mamilik ciri khas
tersendiri. Maluku merupakan gugus kepulauan, terletak di walayah Indonesia
Timur. Jika ditinjau dari etnografi Maluku sebelum masuknya pengaruh
kebudayaan dari luar, ada 3 pranata sosial budaya yang kuat di Maluku yaitu: adat
(Kepala adat atau tua-tua adat), pemerintah negeri (Raja dan saniri negeri) dan
2
agama suku (Mauweng:Iman adat).1 Dulu di Maluku memiliki beberapa macam
budaya tetapi karena beberapa faktor yang terjadi di Maluku yang pada akhirnya
membuat beberapa adat/budaya di Maluku mulai perlahan-lahan menghilang dari
benaknya Masyarakat Maluku. Faktor-faktornya adalah faktor penjajah dan
konflik. Faktor penjajah, zaman dulu Maluku dijajah karena hasil rempah-
rempahnya. Bangsa-bangsa tersebut bukan hanya datang mengambil hasil
rempah-rempah tetapi juga menggubah struktur yang ada misalnya agama. Agama
yang datang hanya mengganti agama suku untuk adat tidak, karena berjalan baik-
baik saja. Namun, saat VOC dibubarkan Bangsa Belanda mengirim pekabaran
injil (zending) ke Maluku yang menimbulkan berbagai persoalan mengenai adat
dari pihak agama kristen protestan dan gereja yang sering terjadi bentrokan antara
pendeta dan pejabat-pejabat desa.2
Faktor kedua adalah konflik, konflik yang pernah terjadi pada tahun 1999-
2004 ini membuat hilangnya hubungan budaya yang disebabkan karena
penggaruh dari pemerintah Orde baru yakni nasional keseragamaan, favoritisme
militer dan politik.3 Sesudah konflik barulah masyarakat mulai berusaha mencari
identitas mereka lewat budaya-budaya dan juga sejarah yang telah lama hilang.
oleh karena itu, penulis meneliti tentang adat/budaya Maluku, yaitu upacara/ritual
dengan nama TANA ILE.
Ritual tana ile atau ritual anak kaluar merupakan sebuah perayaan atau pesta
bagi anak yang baru dilahirkan dan dikeluarkan oleh mama biang dari dalam
kamar dan diserahkan kepada keluarga si bayi.4 Sebelum anak itu diserahkan
kepada keluarga anak tersebut harus digendong dan berjalan keliling bersama-
sama dengan mama biang. Dan juga, anak tersebut tidak dapat diizinkan untuk
keluar dari rumah sampai dia sudah melakukan ritual tana ile Karena Masyarakat
Nuduasiwa percaya bahwa anak yang tidak melakukan tana ile, setelah dia besar
1 Elifas Tomix Maspaitella, "Analisis Antropologi dan Refleksi Teologis terhadap
kerjasama antar Institusi Sosial di Ema Pulau Ambon" (Program PascaSarjana Magister Sosiologi
Agama Universitas Kristen Satya Wacana, 2001), 2. 2 Frank L Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 198-200. 3 Izak Lattu, "Orality and Interreligious relantionships: The role of collective memory in
christian-muslim engagement in Maluku, Indonesia" (PhD diss., Graduate Theological Union,
2014), 175-176. 4 Hasil pra-Wawancara Via Facebook dengan Pak Jemmy Ukakale
3
dia akan menggalami pantangan.5 Dan tana ile ini juga dapat dipakai sebagai
pergantian matarumah (marga).6 Menurut pemahaman penulis anak-anak yang
baru dilahirkan, dia harus mengikuti marga dari ayahnya, tetapi dalam ritual ini
tidak melihat anak-anak harus mengikuti marga ayahnya. Ritual tana ile ini
dilakukan oleh masyarakat Nuduasiwa, Nuduasiwa berarti sembilang kampong
atau mulut, yaitu : Rumatita, Imabatai, Honitetu (Pusat Pemerintahan), Sokawati
dulunya Solibatai, Ursana, Uraur, Nunaya, Nui dan Lakubutui, tetapi sekarang
hanya tinggal beberapa kampong karena alasan tertentu. Ritual tana ile juga
merupakan sebuah acara yang sakral karena mengadung kepercayaan terhadap roh
tete/nene moyang.
Penulis meneliti penelitian karena penulis ingin melihat makna-makna apa
saja yang dapat dipetik didalam ritual ini dan ditarik kedalam kekristenan. Oleh
karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah proses ritual inisiasi tana
ile pada masyarakat Nudusiwa-Uraur dan pemahaman ritual inisiasi tana ile pada
Masyarakat Uraur. Sehingga itu penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
proses ritual inisiasi tana ile pada masyarakat Nuduasiwa Uraur dan
mendeskripsikan pemahaman ritual inisiasi tana ile pada masyarakat Nuduasiwa-
Uraur. Teori yang penulis gunakan adalah teori ritual, dan ritual inisiasi yang
terdapat pada beberapa para ahli seperti Victor Turner, A van Gennep, Catherine
bell dan lain-lain dan makna ritual inisiasi.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan kualititatif.
pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan yang didalamnya data-data yang
dikumpulkan bersifat deskriptis dan tidak mewujudkan informasi yang didapat
dalam angka-angka. penelitian ini dipilih karena menggambarkan kehidupan "dari
dalam ke luar". jadi, penelitian ini memberi pemahaman yang lebih baik dalam
proses, pola makna, dan ciri strukturan dalam masyarakat dapat dikaji secara
mendalam. karena Penelitian kualitatif cocok diterapkan untuk meneliti Sejarah
Perkembangan. Sejarah masyarakat tertentu dapat dilacak dengan metode
Kualitatif dengan menggunakan data dokumentasi dan wawancara mendalam
kepada orang-orang yang dipandang tahu. Melalui penelitian ini, bukti-bukti
5 Hasil pra-Wawancara Via Phone dengan Jack Nurubulu, 02 Oktober 2017, 19.39 WIB 6 Hasil pra-wawancara dengan Bapak Etus Seriholo, pada tanggal 06 April 2017, 19.00
WIT
4
dikumpulkan, dievaluasi, dianalisis, dan disinstesikan. Berdasarkan bukti-bukti itu
dirumuskan kesimpulan. Hasil penelitian biasanya berupa narasi deskriptif. Jenis
penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Metode ini memusatkan perhatian
pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian yang bersifat aktual serta
menggambarkan fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diteliti. Dalam
mengumpulkan data penulis mengunakan 2 teknik, yakni wawancara dan
dokumentasi. wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Ada 2 Jenis wawancara yang dipakai oleh penulis
dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dan wawancara semi-terstruktur
(semi-structured interview), alasan peneliti menggunakan jenis wawancara ini
karena wawancara ini sangat flexible untuk membiarkan sebuah pertanyaan yang
baru untuk dibawakan selama wawancara karena di dapat dari perkataan orang
yang diwawancarai. Dan secara umum peneliti dapat menggali dari penelitian ini.
sedangkan untuk dokumentasi, karena dokumen merupakan catatan peristiwa
yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan
harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.
Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-
lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa
gambar, patung, film dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari
penggunaan wawancara dalam penelitian kualitatif. untuk pengambilan sampel
peneliti menggunakan teknik snowball. Snowball sampling adalah Teknik
pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-
lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang
sedikit itu belum mampu memberikan hasil yang memuaskan, maka mencari
orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. lokasi penelitian
bertempat di Desa Uraur-Nuduasiwa Seram Bagian Barat Kecamatan Kairatu di
Maluku.
Teori Ritual, Ritual inisiasi dan Makna Ritual inisiasi
5
Menurut KBBI Ritual berarti “berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus”. Ritus
ini tentu saja mencakup semua jenis tingkah laku : seperti memakai pakaian
khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal
tertentu, bersemedi (mengheningkan cipta), menyanyi, menyanyikan lagu gereja,
berdoa (bersembahyang), memuja, mengadakan pesta, berpuasa, menari,
berteriak, mencuci dan membaca.7
Turner Mendefinisikian ritual sebagai “perilaku formal yang dianjurkan pada
saat-saat yang tidak bisa dilimpahkan kepada rutinitas teknologis, karena memiliki
rujukan pada kepercayaan pada makhluk dan kekuasaan mistik”. Ritual mungkin
bisa mengaitkan kekurangan bentuk-bentuk lain seperti mengkontrol masyarakat
yang efektif misalnya otoritas politis atau ikatan kekerabatan.8
Ritual memainkan peran penting dalam memperkuat kohesi dan mengikat
masyarakat bersama-sama. Ritual ini dapat dibedakan menjadi 4 macam :
1. Tindakan magi, yang dikaitkan dengan bahan-bahan yang bekerja karena
daya-daya mistis.
2. Tindakan religius, kultus para leluhur juga bekerja dengan cara ini,
3. Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial
dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini
upacara-upacara kehidupan menjadi khas,
4. Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan/pemurnian
dan perlindungan.
Ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis daripada bersifat psikologis.
Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekan. Simbol-simbol
ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk penempatan pribadi
dari pada pemuja dalam mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekan ini
penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan. Jika
tidak, pemujaan yang bersifat kolektif tidak dimungkinkan.9
Ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-
hubungan antara manusia dengan yang gaib, hubungan manusia dengan
7 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, suatu pengantar Sosiologi Agama,
Ed. Abdul Muis Naharong (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), 15 8 Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, ed. Daryatno (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
191-192. 9 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 189-190.
6
sesamanya, dan hubungan manusia dengan lingkungan. dengan demikian, ritual
juga merupakan proses komunikasi yang menyampaikan pesan-pesan tertentu.
pesan tersebut dikemas dalam bentuk simbol-simbol yang disetari nilai-nilai
budaya pada masyarakat terkait. helman juga menyebut setiap ritual memiliki tiga
kepentingan yakni psikologik, sosial dan protektif. untuk kepentingan psikologis,
disebabkan karena setiap ritual diselenggarakan guna memperoleh cara-cara
mengekspresikan dan menerima dalam artinya menawarkan emosi-emosi yang
tidak menyenangkan. untuk sosial, yaitu melalui simbol-simbol yang digunakan
dalam ritual sanggup mendramatisasi pentingnya nilai-nilai dasar untuk
menyemangati kembali masyarakat dalam mempersatukan persepsinya. sementara
itu, kepentingan protektif, karena ritual bisa memperoteksi diri dari perasaan
cemas dan tidak tentu.10
Dalam hidup religious seseorang, ritus-ritus inisiasi menandai permulaan
kematangan kedewasaannya dalam soal-soal religious. Inisiasi itu sendiri
memberikan kepadanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk berpartisipasi
secara penuh dalam hidup religious di masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat, Ritual inisiasi mengandung unsur-unsur dari
crisis-rites. Crisis-rites (upacara waktu krisis), atau rites de passage (upacara
peralihan) merupakan upacara yang penuh bahaya, Sebab upacara-upacara ini
bermaksud untuk menolak bahaya gaib yang mengacam individu serta
lingkungan.11
Inisiasi dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: kategori pertama terdiri
dari ritual kolektif yang fungsinya adalah untuk mempengaruhi transisi dari masa
kanak-kanak atau remaja sampai dewasa, dan hal itu wajib bagi semua anggota
masyarakat. literatur etnologi menyebut ritual ini adalah ritual pubertas, inisiasi
kesukuan, atau inisialisasi ke dalam kelompok usia.” kategori kedua mencakup
semua jenis ritus untuk memasuki komunitas rahasia seperti persaudaraan,
Sedangkan kategori inisiasi ketiga berhubungan dengan panggilan mistis.12
10 Ismail Arifuddin, Agama Nelayan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012),16. 11 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 90. 12 Mircea Eliade, Rites and Symbols of Initiation The Mysteries of Birth and Rebirth, ed.
Willard R. Trask (New York: Harper & Row, 1975), 2-3.
7
A van Gennep mengistilahkan ritual ini sebagai ritus-ritus penerimaan untuk
menunjukkan dua tipe ritus. Tipe yang pertama menandai penerimaan seorang
individu dari suatu status sosial yang satu ke yang lain dalam perjalanan
hidupnya. Tipe kedua menandai saat-saat penting yang dineal dalam
kelangsungan waktu seperti tahun baru, bulan baru, titik balik matahari. Dewasa
ini istilah tersebut digunakan oleh para sejarawan religious dalam arti yang
pertama, yaitu bahwa ritus-ritus yang berkenaan dengan kelahiran, kedewasaan,
perkawinan, dan kematian disebut ritus penerimaan. Dibedakan tiga tahap yaitu
pemisahan, ritus marginal, dan agregasi(pengumpulan). Dalam setiap ritus
peralihan yang dialami dan dilewati oleh manusia, semuanya mempunyai sifat
kesakralan, karena semua peralihan adalah peralihan yang suci.13
Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk mau melakukan
dan juga mentaati tatanan sosial tersebut yang sudah ada. Ritus-ritus tersebut juga
memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam.14
- Tahap Pemisah
Tahap pemisah merupakan tipe yang pertama yang dimana masyarakat
memisahakan diri dari lingkungan sosialnya. Pemisahan ini membuat mereka
unik, disebabkan mereka adalah orang-orang spesial yang tergabung dalam
upacara yang sudah terorganisir.15
Tipe pemisah yang sangat menonjol yang ditulis oleh van Gennep adalah ritus
kematian yang begitu kontras dengan marginal dan agregasi. Ritus ini sebagai
tanda adanya pemisahan antara dunia sebelumnya, dan berpisah dengan
masyarakat tempat ia hidup. Ritus kematian yang termasuk dalam tipe pemisah
ini, masyarakat dari berbagai latar belakang datang dan saling berbaur dalam ritus
tersebut.16 Van Gennep menyatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya hubungan
spesial di dalam dari dunia orang hidup dan dunia orang mati.17 Melalui ritus ini,
masyarakat tradisional (pra-industi) yang mengikuti proses ritus tersebut
13 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L.
Caffee (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 12. 14 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Pres, 1987), 81 15 Debika Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed.
H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 767 16 Gennep, The Rites, 146. 17 Gennep, The Rites, 147.
8
mengalami refleksi diri dari kehidupannya, yang sedang berada dalam marginal,
dan memiliki ingatan-ingatanan kolektif akan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupannya.
Analisis dari Catherine Bell, pemisahan terkadang dibuat ritus pemurnian di
dalamanya dan simbol sindirian kepada hilangnya identitas yang lama: individu
dimandikan, rambut dicukur, baju diganti, dan dibuat tanda di tubuh individu
tersebut.18 Pemisahan ini menunjukkan terjadinya transformasi dari kehidupan
normal, peran dan identitas individu dalam suatu masyarakat. Pada hal ini, indiviu
terpisah dari kelompok dan identitas sebleumnya, setelah merkea terpisah dari
masyarakat, mereka melewati tipe marginal yang melekat dalam diri mereka.
Kemudian, mereka mengalami keadaan liminalitas yang berhubungan dengan
ambang pintu dalam kehidupan mereka.19
- Tahap Marginal
Tahap yang kedua dapat disebutkan sebagai transisi. Tipe ini sudah termasuk
dalam tipe yang vital, sebab masyarakat hampIr membentuk ulang status sosial
dari masa lalu. Masa transisi ini ditandai dengan tindakan yang bersifat
perubahan.20
Van Gennep menyatkan bahwa dalam tipe ini bukan merupakan upacara
persatuan, namun suatu persiapan menuju persatuan.21 Victor Tunner
menyimpulkan bahwa pusat ikatan sosial memiliki 2 aspek yaitu liminality dan
community.22 Liminality sebagai ibu dari segala penemuan atau sumber dari segala
ciptaan.23
Menurut Turner, liminality merupakan suatu kondisi bagi manusia untuk
mengembangkan dirinya, menemukan jati dirinya dan mereflisikan keadaan yang
terjadi di masa lalu, masa kini dan akan datang, sehingga dapat tersebut anggota
masyarakat baru. Sejatinya liminality ini merupakan tipe orang-orang yang berada
18 Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimensions (USA: Oxford University Press,
2009), 36. 19 Benjamin Feinberg, "Rites of Passage, in "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and
Festivals" (New York: Routledge, 2004), 311. 20 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767. 21 Van Gennep, The Rites, 21. 22 Lattu, "Orality and Interreligious relantionships”, 98 23 Barry Stephenson, Ritual: A Very Short Introduction, (London: Oxford University
Press, 2015), 59.
9
di ambang pintu, yang menunjukkan keambiguan dalam kondisi tersebut, dan
orang berada dalam posisi tersebut dalam ruang lingkup budaya mereka.24
Menyebrangi ambang pintu dapat berarti menyatukan diri dengan dunia baru. Hal
ini yang tertampak dalam ritual pernikahan, pengangkatan anak, inisiasi, tahbisan
dan pemakaman.25
- Tahap Agregasi (Pengumpulan)
Tahap yang ketiga Agregasi atau pengumpulan. Di dalamnya terdapat ritual
yang menyambut kembali individu dalam masyarakat.26 Dengan adanya ritus
inkorporasi ini, maka sampai pada suatu tahap penyatuan ke dalam dunia baru,
yang sebagai post-liminal. Analisis dari Van Gennep pertunangan dan pernikahan
masuk dalam tahap ini, sebab di kehidupan sebelumnya individu hanya mengurus
diri sendiri atau bersifat otonomi, namun setelah tahap ini, individu masuk dalam
tahap baru setelah melewati tahap marginal atau transisi (liminality). Individu
tersebut masuk dalam lingkungan yang benar-benar baru dari sebelumnya, dan
dalam tahap ini individu tersebut membentuk identitas baru pada dirinya.27 Bell
menyatakan bahwa tahap ini, individu telah memiliki status baru di tengah
masyarakat, sehingga menunjukkan itu pada mereka telah melalui tahap peralihan
dengan baik dan telah disambut, serta diterima oleh masyarakat untuk menjadi
satu daging yang utuh di dalamnya.28 Menurut Van Gennep kehidupan itu dapat
berarti berpisah dan bergabung kembali, untuk mengubah bentuk dan kondisi,
untuk mati dan lahir kembali.29
Menurut Saha, upacara atau ritual bukan hanya berfungsi sebagai perekat
sosial dalam masyarakat, lebih dari itu, ritual merupakan cerminan spiritual,
religious, dan perasaan alami dari manusia. Dengan kata lain, ritual mereflisikan
bagaimana orang-orang terbentuk, belajar dan berubah dalam budaya, sehingga
24 Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Cornell
University Press, 1969), 95. 25 Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas
Menurut Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 34. 26 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767. 27 Van Gennep, The Rites, 117. 28 Bell, Ritual Perspectives, 36 29 Van Gennep, The Rites, 189.
10
dapat memberi makna dan mendefinisikan eksistensinya dalam kehidupan.30
Dengan demikian teori inisiasi yang ditulis oleh para ahli.
Maka, makna ritual inisiasi, anak muda dimasukkan ke dalam privelese dan
tanggung jawab secara penuh dari komunitasnya, baik secara religious, sosial
maupun administrative. Dengan demikian itu, tugas yang paling utama adalah
mengemukkakan makna-makna religious dari upacara-upacara inisiasi.
- Ritus-ritus kematian dan kelahiran kembali merupakan tema pokok dari
semua ritus inisiasi dan arti religiusnya sangat mendalam. Simbol-
simbolnya sendiri dengan mengesankan berbicara tentang berbagai aspek
perubahan hidup individual. Bersama dengan tema kematian, tema siksaan
dan kesakitan juga dijalankan. Dengan itu, transisi menuju keberadaan
yang baru diperoleh. Pencobaan kekuatan dan ketahanan, pengalaman
sakit dan siksaan, ketakutan dan gemetar memberika arti religious yang
penting. Dengan itu pula, kemampuan anak diuji. Atau mereka dianggap
layak masuk keanggotaan suci serta anak muda diuji.
- Tema kelahiran menandai masukanya seseorang ke dalam cara keberadaan
yang baru, yang suci. Baik tema kematian maupun kelahiran kemali secara
structural dikaitkan dalam proses inisiasi karena hidup baru tidak dapat
dimulai kecuali hidup yang dimatikan atau dihilangkan. Ritus-ritus
kelahiran kembali adalah simbolis karena melibatkan komunikasi dari
yang suci kepada yang menjalani insisasi dengan jamuan kudus dan
pelantikan yang khidmat dengan lencana, pakaian, ataupun objek-objek
lain. Kelahiran kembali bisa diungkapkan dengan penerimaan status
embrionis. Kelahiran baru ini mengandung makna suatu proses
penerimaan status baru dalam komunitas religus serta proses penerimaan
hak-hak dan privilise-privilise yang memungkinkan mereka berpartisipasi
secara penuh dalam hidup religious komunitas. Secara lebih dalam, ritus
inisiasi menghasilkan perubahan eksistensial yang mendasar dalam hidup
individual, yaitu suatu level keberadaan yang suci. Tema kematian dan
kelahiran kembali merupakan transformasi individu maupun pengenalan
serta pelaksanaan kelahiran suku tersebut.
30 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 768.
11
- Dalam Agama-agama yang lebih tinggi, orang yang menerima inisiasi
memperoleh kepercayaan yang terkandung dalam tulisan-tulisan suci
mereka dan hak untuk membaca serta memahaminya. Misalnya dalam
Hinduisme, hanya menerima inisiasi yang empunyai hak untuk membaca
Kitab Veda. Pengetahuan suci ini mengungkapkan arti nyata dari
keberadaan religious mereka serta hak dan privilise baru mereka. Penerima
inisiasi adalah orang yang mengetahui, telah mempelajari misteri-misteri
yang berikatan dengan agamanya, dan telah mempunyai wahyu-wahyu
tentang makna dan tujuan keberadaan manusia.
Sejarah, demografi, dan Proses Tana ile dalam Masyarakat Nuduasiwa
Uraur
Desa Uraur Nuduasiwa adalah desa yang telah ada sejak tahun 1817, dengan
jumlah penduduk kurang lebih 125 orang, yang terdiri dari 5 marga asli yaitu
Marga Ihalawey, Latumadina, Serihollo, Tayane, Rumahmale. Desa Uraur
Nuduasiwa adalah satu kampung atau Dusun dari Desa Honitetu namun dalam
perkembangan, Penduduk Uraur semakin bertambah terdiri dari penduduk asli
perkampungan Honitetu dan penduduk yang datang dari negeri Alang pulau
Ambon melalui program trasmigrasi Spontan. Selain itu pula berdatanganlah
basudara yang lain dari Saparua, Maluku Tenggara, Seram Utara, dan Buru,
termasuk perkawinan dengan penduduk asli dan karena tugas sebagai pegawai
negeri dan swasta, membuat mereka tinggal dan menetap sebagai penduduk
setempat. terkait dengan mengakses berbagai kebutuhan dan kepentingan di
bidang pemerintahan desa sangat sulit, karena harus mengeluarkan biaya dan
waktu selain itu pula dari alokasi anggaran Desa Honitetu yang di terima dari
pemerintah untuk di bagikan keenam kampung tidak mampu menjawab
kebutuhan pembangunan dan publik lainnya. untuk itu pemerintah Kabupaten,
Pemerintah Desa. Serta para tokoh masyarakat yang ada di Desa Honitetu.
Kampung Uraur mempertimbangkan untuk dimekarkan menjadi Desa
Administratif dan pada tahun 2001 kampung atau dusun Uraur dan pada saat itu
pula Desa Honitetu yang di kendalikan oleh sekertaris Desa yaitu Bpk Austen
Silaka memproses desa persiapan dan akhirnya diberikan Surat Keputusan oleh
12
pemerintah kabupaten untuk menjadikan Dusun Uraur menjadi Desa Persiapan.
dan memproses Desa persiapan dan akhirnya pada tahun 2007 Desa Persiapan
Uraur disahkan menjadi Desa definitive sampai saat ini yang diberi nama Desa
Uraur Nuduasiwa, yang memiliki arti khusus yaitu Uraur secara adat tetap
menjadi bagian dari Desa Honitetu dan secara adminstratif di berikan kesempatan
untuk mengatur pembangunannya sendiri.
Desa Uraur Nuduasiwa yang memiliki makna histori memberikan
gambaran bahwa Desa Uraur adalah merupakan bagian dari Negri adat Honitetu
untuk itu kalau dapat di pahami Uraur walaupan secara Administratif terpisah
namun secara adat tetap memiliki keterikatan seperti petuanan Desa , nilai nilai
adat dan lain lain. Secara geografi Desa Uraur sangatlah strategis karena jarak
untuk menuju kota kecamatan dan kota kabupaten dapat di jangkau melalui
kendaraan roda dua maupun roda empat.31
TABEL I. BATAS WILAYAH URAUR32
Sebelah Selatan Desa Kairatu
Sebelah Timur Desa Waimital
Sebelah Barat Desa Kamarian
PETA WILAYAH DESA URAUR
31 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Uraur 2016-2021 32 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Uraur 2016-2021
13
a. Luas Wilayah Desa Uraur
Desa Uraur memiliki luasan 29,16 Km2
b. Orbitasi
Jarak Ke Kota Kecamatan : 4.0 Km
Lama Jarak Tempuh Ke Kota Kecamatan : 15 Menit
Jarak Ke Kota Kabupaten : -
Lama Jarak Tempuh Ke Kota Kabupaten : 1 Jam
c. Dinamika perkembangan Desa secara adminisitrasi, Uraur
memiliki 4 muhabet.
Dengan demikianlah berakhir dari Sejarah Desa sampai dengan demografi
Desa Uraur. Berikutnya penulis akan membahas tentang proses Ritual tana ile.
Tana ile merupakan sebuah upacara adat/kebudayaan yang dilakukan oleh
Masyarakat Nuduasiwa terhadap anak-anak mereka yang baru dilahirkan yang
anak tersebut akan keluar dari rumah untuk sebagai perkenalan antara dia dan
masyarakat dan juga alam. di bawah ini penulis akan menulis proses-proses ritual
tana ile dari persiapan sampai akhir dari ritual tana ile.
Ritual tana ile dilakukan ketika Adanya seorang anak yang baru lahir dalam
sebuah pasangan suami/istri. Kemudian, keluarga di istirahatkan selama 1
minggu. Selama satu minggu tersebut keluarga membuat rapat matarumah
(marga) dengan pihak istri dan juga dari pihak suami. Ketika sudah selesai rapat
barulah mereka membuat ritual ini. Jika, rapat ini selesai ketika waktu istirahat
selama 1 minggu itu belum selesai maka tana ile belum dapat dilakukan.
Untuk membuat ritual tana ile pastinya ada persiapan-persiapan yang harus
dilakukan oleh pihak keluarga. persiapan-persiapanNya sebagai berikut:
- Kaum Pria membuat Garuru, Garuru merupakan sebuah tempat untuk
menaruh makanan. Garuru ini dibuat dengan sane (batang) sagu.33 lalu,
Kaum Pria pergi ke hutan untuk memotong bambu, dan berburu daging
seperti Babi, kuskus dan Rusa. Di hutan kaum laki-laki sudah
mengasar/membakar daging yang sudah didapatkan dan juga menangkap
ikan, dan udang di sungai, dan memetik sayur-sayuran.34 Setelah persiapan
33 Wawancara dengan orang tatua A (JN), 4 Januari 2018, 17.00 34 Wawancara dengan orang tatua B (DL), 4 Januari 2018, 21.30
14
ini telah selesai Kaum Pria mengutus seseorang untuk pergi kepada kaum
wanita bahwa semua bahan sudah siap.
- Pada saat kaum wanita mendengar informasi dari kaum pria, kemudian
Kaum Wanita pergi memotong kayu, dan mengambil sebuah daun. Daun
ini namanya Daun Ruik, Daun ini memiliki 2 macam yaitu Daun pria dan
Daun Wanita. Daun pria ini tidak dapat dilipat atau diasar karena bisa
bolong atau rusak, sedangkan Daun wanita ini mau dilipat atau diasar pun
tetap tidak bolong, daun inilah yang dulu digunakan sebagai piring bagi
orangtatua dahulu.35
Saat kaum wanita sudah selesai memasak makanan dengan “Bambu”36
mereka membawa makanan-makanan ini ke rumah acara. Jadi, setiap
makanan yang didapatkan seperti daging dan sayuran-sayuran semua
masuk di dalam bambu dan dimasak dengan bambu. Ketika sudah selesai
masak kaum wanita membawa makanan ke rumah acara.37
Bukan itu saja, kebutuhan-kebutuhan dalam acara ini juga dibawakan oleh
marga yang nanti anak tersebut masuk saat tana ile. Jadi, marga tersebut
yang berada yang di Desa-desa lain seperti Honitetu, Rumah tita, Imabatai,
Sokawati dan Ursana membawakan kebutuhan-kubutuhan bagi acara
tersebut, kebutuhan-kebutuhannya seperti makanan maupun minuman
seperti Sageru pahit dan sopi sedangkan untuk makanan seperti daging dan
sayur-sayuran yang masih mentah dan akan dimasak dengan bambu.38
- Keluarga juga mempersiapkan sebuah meja khusus bagi orang-orang
masusa39 dan keluarga juga mempersiapkan meja ini pada rumah saudara-
saudara mereka yang saat itu bernetap di Uraur, karena keluarga juga
mengundang seluruh Masyarakat Uraur.
- Pada acara ini juga keluarga mempersiapkan minuman-minuman dan
makanan adat/budaya seperti sageru pahit, sopi dan sirih pinang.
35 Wawancara dengan orang tatua B (DL), 4 Januari 2018, 21.30 36 Mereka memasak di bambu, karena mengingat bahwa waktu tete/nene moyang dulu
belum mempunyai alat-alat masak seperti sekarang ini karena itu semua makanan dimasak dengan
Bambu. 37 Wawancara dengan orang tatua B (DL), 4 Januari 2018, 21.30 38 Wawancara dengan Sekretaris Desa (ES), 4 Januari 2018, 20.00 39 Masusa adalah orang-orang yang bertahan mata(begadang) dengan Ibunya saat
melahirkan.
15
Ketika semua persiapan yang diatas sudah selesai barulah acara atau ritual ini
dimulai.
Ritual tana ile ini akan dibukakan oleh Raja jika tidak ada, Kepala Adat jika
tak ada, Kepala Desa jika tak ada, sekretaris Desa.40 Ketika Raja sudah selesai
membuka tana ile barulah sang anak keluar dari rumah. Sang anak keluar dari
rumah pada saat fajar. jadi, sekitar jam 5 pagi anak sudah keluar dari rumah. hal
ini dipercaya supaya anak tersebut rajin bekerja sewaktu dia besar.
Untuk membawa keluar sang anak memiliki proses-proses, prosesnya dari
bagaimana anak dikeluarkan sampai anak kembali masuk di dalam rumah. Tahap-
tahapnya, sebagai berikut :
- perwakilan dari marga yang ingin anak tersebut masuk kedalam marga
mereka membawa keluar anak tersebut dengan kain gendong dan berikan
kepada mama biang41 di dalam rumah.42
- Sebelum mama biang keluar dari dalam rumah, mama biang mengambil
Daun Yakane, Daun ini panjang dan merah dan juga mama biang
mengambil payung untuk melindungi kepala anak. Selanjutnya mama
biang berjalan dengan anak yang berada pada kain gendong keliling
kampong sambil membawa alat. Jika anak itu adalah anak perempuan
alatnya Pisau dan jika anak laki-laki alatnya parang. mama biang itu
berjalan dengan pontong api atau obor yang dibuat dengan sabut kelapa
sebagai penerangan terhadap mama biang dan anak. Ketika mama biang
sudah selesai keliling kampong dan saat-saat mau masuk dalam rumah
acara mama biang tersebut mengambil suatu “rumput”43 dan masuk di
dalam rumah dan memberikan sang anak kembali kepada perwakilan
marga yang tadi mengeluarkannya.44
Dan itulah proses-proses saat anak keluar atau tana ile, setelah semua proses
sudah selesai keluarga pertama-tama mempersilahkan orang-orang masusa ini
untuk makan di meja yang dikhususkan bagi mereka. Setelah itu keluarga
40 Wawancara dengan orang tatua B (DL), 4 Januari 2018, 21.30 41 Mama Biang adalah dukun melahirkan. 42 Wawancara dengan orang tatua b (DL), 4 Januari 2018, 21.30 43 Rumput yang diambil ini merupakan suatu kerahasiaan, yang hanya diketahui oleh
orang-orang tertentu. 44 Wawancara dengan orang tatua b (DL), 4 Januari 2018, 21.30
16
mempersilahkan para tamu yang mengikuti tana ile tersebut untuk merasakan
jamuan, makanan-makanan ini dibawakan oleh keluarga dengan garuru dan
berikan kepada masyarakat. ada juga masyarakat merasakan makanan ini di setiap
tempat yang sudah disiapkan oleh keluarga.
Acara ini juga dimasuki dengan tarian maru-maru yang dibawakan oleh
masyarakat untuk meramaikan tana ile. Tana ile akan selesai setelah semua tamu
sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Jika dilakukan pada minggu
malam akan dilanjutkan di Gereja pada ibadah minggu sebagai ucapan syukur
kepada Tuhan Yesus. Dengan demikian tana ile ini melibatkan semua orang yang
berada di desa Uraur.
Analisis Ritual Inisiasi tana ile pada masyarakat Nuduasiwa Uraur
Pada umumnya masyarakat Nusantara tidak pernah melupakan ritus-ritus
yang sudah diajarkan dan diwariskan oleh leluhur terhadap mereka. ritual dari
pandangan van gennep berhubungan dengan perindahan orang-orang dan
kelompok dalam wilayah dan perpindahan menuju status baru, contohnya
kehamilan dan kelahiran, perkawinan dan pemakaman, ritual ini disebut sebagai
ritual inisiasi.45
Ritual adat/budaya yang berada pada masyarakat Nuduasiwa terkhususnya
Uraur adalah ritual tana ile yang dianggap sebagai ritual inisiasi yang dimana
seorang anak yang baru lahir diterima oleh keluarga besar dari marga, masyakat,
alam dan leluhur. Ritual ini juga merupakan warisan secara turun temurun dari
orangtatua. ritual ini mengadung ikatan kekerabatan antara anak dan leluhur, anak
dan masyarakat sebaliknya juga dengan keluarga.46
Ritual ini juga disebutkan sebagai ritual fakitif yaitu meningkatkan
produktivitas atau kekuatan dan perlindungan.47 Ritual tana ile ini juga
mengontrol masyarakat seperti yang dikatakan oleh Turner yaitu ritual itu
mungkin bisa mengaitkan kekurangan bentuk-bentuk lain seperti mengkontrol
masyarakat yang efektif misalnya otoritas politis atau ikatan kekerabatan.
45 Dhavamony, Fenomenologi Agama,177 46 Turner, Sosiologi Agama,191-192 47 Dhavamony, Fenomenologi Agama,175
17
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat penulis membagi beberapa
makna. dengan itu penulis akan menganalisis ritual tana ile dilihat dari berbagai
makna. Yaitu:
- Makna Teologis
Ritus peralihan yang dialami dan dilewati oleh manusia, semuanya
mempunyai sifat kesakralan, karena semua peralihan adalah peralihan yang suci48
dan juga penulis ambil dari makna ritual inisiasi yaitu “Tema kelahiran menandai
masuknya seseorang ke dalam cara keberadaan yang baru, yang suci. Secara lebih
dalam, ritus inisiasi menghasilkan perubahan eksistensial yang mendasar dalam
hidup individual, yaitu suatu level keberadaan yang suci.”
apa yang dikatakan oleh van Gennep penulis sangat menyetujuinya karena
tana ile merupakan ritual yang sakral karena mengandung kepercayaan terhadap
leluhur dalam bahasa wamale : tuwale dan rabike dan kepada Yang Maha Kuasa
dalam Bahasa Wamale : tunai-lasatale.49 Saat penulis mewawancarai dengan
responden, responden mengatakan bahwa saat proses tana ile masyarakat tidak
boleh membuat kekacauan/kericuhan bukan saja bagi masyarakat tapi juga bagi
keluarga, jika ada yang membuat masalah orang tersebut akan didenda karena
telah membuat acara yang sakral ini tidak dijalankan dengan baik, dengan
demikian orang yang membuat masalah harus membayar denda kepada kepala
adat. Karena saat proses tana ile sudah berkomunikasi dengan tuwale dan rabike
dan tunai-lasatale. Tana ile juga menandai masuknya anak tersebut masuk ke
dalam keberadaan yang baru nan suci.
Ritual tana ile juga merupakan sebuah ungkapan syukur dari keluarga
terhadap tuwale dan rabike. bahwa di dalam keluarga dan/atau keturunannya telah
mendapatkan satu jiwa yang hadir dalam keluarga dan juga merupakan ungkapan
syukur bagi anak tersebut karena sudah diterima dan dilindungi oleh tawuli dan
rabike dan tunai-lasatale. Hal ini dapat dihubungkan bahwa ada hubungan spesial
antara anak dan juga dengan tawuli dan rabike dan tunai-lasatale.50 Sebab itu
tana ile juga termasuk dalam Agama suku. Dengan demikian, makna dari tana ile
48 Van Gennep, The Rites of Passage, 12. 49 Lattu, "Orality and Interreligious relantionships”, 71-72. 50 Gennep, The Rites, 147.
18
dari sisi teologis bersifat sakral dan juga merupakan ungkapan syukur keluarga
bagi Yang Maha Kuasa dan leluhur.
- Makna Sosiologis
Ritual Tana Ile juga memiliki nilai solidaritas, dimana solidaritas sosial yang
diwujutkan dalam ritual Inisiasi tana Ile, ini berkaitan bagaimana
keberlangsungan hidup anak yang baru dilahirkan itu diterima dalam komunitas
masyarakat. Yang menarik disini adalah bahwa, banyak orang yang terlibat dalam
pelaksanaan ritual tersebut. Hal ini menunjukan adanya kebersamaan yang
dibangun secara bersama dalam masyarakat Desa Uraur, yang masih
mempertahankan ritual ini sampai sekarang. Jika dilihat dalam proses ritual tana
ile ini keluarga mengundang seluruh masyarakat Uraur dan juga mengundang
keluarga-keluarga mereka untuk mengikuti ritual ini. Setelah ritual ini selesai
dijalankan, keluarga tersebut mengundang seluruh masyarakat untuk merasakan
jamuan yang sudah di siapkan oleh keluarga. Jamuan-jamuan ini dibawah dengan
garuru yang membawanya adalah om/tanta (paman dan bibi) atau opa/oma
(kakek dan nenek) dan diberikan kepada seluruh masyarakat yang saat itu hadir
menyaksikan anak cucu dan keponakan mereka melakukan tana ile. Jamuan
kasih ini dapat dikatakan sebagai makan patita atau makan Bersama. Menurut
Izak Lattu dari disertasinya bahwa makan patita adalah sebuah peristiwa ritual
yang dimana makanan tersebut menyampaikan sebuah ingatan dan juga
merekonstruksi ingatan kolektif. Dalam persiapan makanan ini telah membentuk
rasa kekerabatan yang memproduksi untuk mengingat masa lalu yang kolektif51
disinilah menurut penulis bahwa tana ile juga dinyatakan sebagai upacara menuju
persatuan. Hal ini berkaitan dengan perkataan Van Gennep bahwa upacara ini
bukan upacara persatuan, namun suatu persiapan menuju persatuan.52 Karena
itulah ritual tana ile menggandung ikatan kekerabatan yang kuat antara
masyarakat dan keluarga karena menuju pada persatuan yang membentuk
solidaritas.
Adapun masyarakat Nuduasiwa telah menerima anggota baru yang masuk
sebagai salah satu dari masyarakat Nuduasiwa yakni anak tersebut. Menurut
51 Lattu, "Orality and Interreligious relantionships”, 113-114 52 Van Gennep, The Rites, 21.
19
penulis jika dilihat dari perkataan Victor Turner dalam bukunya The Ritual
Process dan Y.W. Wartaya Winangun dalam bukunya Masyarakat Bebas
Struktur. pada saat proses tana ile anak tersebut sadar atau tidak sadar dia telah
mereflesikan keadaan yang terjadi di masa lalu, masa kini dan akan datang dan
juga karena telah dibantu oleh mama biang anak tersebut telah menyatukan diri
dengan dunia baru dan menjadi anggota baru dalam masyarakat.
- Makna Pendidikan
Seperti apa yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, bahwa Ritus-ritus tersebut
memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam.53 Pada ritual
tana ile juga memberikan motivasi dan mendorong keluarga untuk melindungi
anak yang lahir tersebut dari bahaya-bahaya mistik dan gaib, karena pada setiap
keluarga tetap mempedulikan anak-anak mereka. Dan Tana ile juga mengajari
keluarga untuk saling terikat pada ritual tana ile karena memiliki nilai-nilai yang
paling dalam dan juga mengajari keluarga untuk terus mengajarkan tana ile
terhadap generasi berikutnya. Bukan saja pada keluarga tetapi juga bagi
masyarakat.
Tana ile juga mendidik anak-anak yang dapat dilihat saat proses tana ile,
ketika mengeluarkan anak selalu dilihat dari terbitnya fajar yaitu sekitar jam 5
pagi, karena masyarakat Nuduasiwa percaya ketika anak dikeluarkan jam 5 sudah
mengajarkan anak-anak mereka untuk bangun pagi dan pergi bekerja.
Tana ile juga penting bagi anak-anak ketika dia besar. Karena dalam proses
tana ile alat-alat yang dibawa oleh mama biang yaitu pisau untuk anak perempuan
menunjukkan bahwa saat anak perempuan itu besar dia dapat mahir dalam
berkebun, dan memasak sedangkan untuk anak laki-laki yang alatnya adalah
parang menunjukkan bahwa saat dia besar nanti dia rajin berburu dll dapat
dikatakan bahwa objek-objek itu merupakan simbol-simbol yang mengukapkan
perilaku dan perasaan seperti yang dikatakan oleh Dhavamony dalam bukunya
Fenomenalogi Agama yang mengatakan bahwa Ritual memperlihatkan tatanan
atas simbol-simbol yang diobjekan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku
dan perasaan, serta membentuk penempatan pribadi dari pada pemuja dalam
53 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 81
20
mengikuti modelnya masing-masing. Pengobjekan ini penting untuk kelanjutan
dan kebersamaan dalam kelompok keagamaan. Jika tidak, pemujaan yang bersifat
kolektif tidak dimungkinkan.54
Selain itu, tana ile juga muncul nilai penghargaan dan pelestarian terhadap
warisan leluhur atau budaya setempat, yang mungkin saja bagi generasi penerus
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral/tabuh dan bermakna. Sekaligus
dapat berfungsi sebagai sebuah kekauatan untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya
lokal masyarakat Maluku, khususnya yang ada di desa Uraur.
- Makna Budaya
Tana ile merupakan sebuah kebudayaan yang sudah dilakukan oleh masyarakat
Nuduasiwa jika dilihat dari perkataan Koentjaraningrat yaitu Ritus-ritus yang
dilakukan itu mendorong orang-orang untuk mau melakukan dan juga mentaati
tatanan sosial tersebut yang sudah ada.55 Tana ile juga demikian dia mendorong
masyarakat Nuduasiwa untuk mentaati tatanan sosial yang sudah ada yang dibuat
oleh para pendahulu mereka. Karena tatanan sosial yang dibentuk ini membuat
kebiasaan yang sering mereka lakukan yaitu : Berburu, memasak, sampai dengan
cara makan pada saat tana ile berlangsung.
Saat dalam persiapan di tana ile seperti berburu daging di hutan merupakan hal
yang sudah biasa bagi Masyarakat Uraur selama penulis praktek di sana kegiatan
tiap hari mereka yaitu pergi berburu dan berkebun. Masyarakat yang pergi
berburu secara berkelompok atau beramai-ramai ketika mereka pulang hasil
tangkapan mereka selalu makan bersama-sama antara rekan-rekan mereka.
Memasak di bambu pun penulis telah mengalami hal itu, penulis merasakan
bagaimana masyarakat Uraur membentuk kerukunan dan keramahtamah antara
mereka lewat dari mereka pergi berburu dan memasak makanan di bambu. Jadi,
tidak dapat dipungkiri lagi bagi kehidupan masyarakat Nuduasiwa terkhususnya
Uraur. Setiap acara maupun itu acara gereja atau pun tana ile ini penulis dapat
melihat bagaimana kerukunan mereka muncul saat mereka pergi bersama-sama
54 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 189-190. 55 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 81.
21
mencari makanan di hutan dan dapat dilihat juga pada saat kaum wanita sedang
memasak pun kerukunan mereka terbentuk antara sesama. Dengan demikian ritus-
ritus yang mereka terus lakukan disitulah mendorong mereka untuk
melakukannya.
Selain itu ada salah satu kebiasaan mereka yakni tidak menghilangkan nama
marga mereka meskipun sudah menikah dengan marga lain. Penulis melihat hal
ini dapat menimbulkan rasa kekerabatan yang kuat antara masyarakat Nuduasiwa
karena mereka tidak melupakan kebudayaan mereka yang membentuk identitas
mereka sedemikian rupa. Semua itu karena perkataan para pendahulu mereka
yakni : setiap marga yang berada di setiap masyarakat Nuduasiwa hartanya telah
dibagi rata.
sebab itu, di desa Uraur di dalam satu Keluarga memiliki berbeda-beda marga
karena setiap keluarga membuat tana ile untuk mewujudkannya. Dengan cara
inilah anak tersebut dapat mengetahui silsilah keluarganya dan dapat mengikat
kekerabatan antara anak dan keluarga-keluarganya dan juga masyarakat. Dengan
demikian ritual tersebut telah menciptakan hubungan-hubungan antara manusia
dengan sesamanya.56
Dengan demikian apa yang dikatakan penulis diatas bahwa makna budaya pada
tana ile sangat saling berkesinambungan antara ketiga makna yang diatas, karena
dalam makna budaya memiliki nilai-nilai kerukunan, solidaritas, ikatan
kekerabatan, dan memiliki edukasi yang baik yang dibentuk dengan pelestarian
kebudayaan masyarakat Nuduasiwa Uraur. Dengan demikian hasil analisis penulis
yang dilihat dari keempat makna yang diatas.
Simpulan
- Kesimpulan
Pada umumnya masyarakat Nusantara tidak pernah melupakan ritus-ritus yang
sudah diajarkan dan diwariskan oleh leluhur terhadap mereka. ritual dari
pandangan van gennep berhubungan dengan perindahan orang-orang dan
kelompok dalam wilayah dan perpindahan menuju status baru, contohnya
kehamilan dan kelahiran, perkawinan dan pemakaman, ritual ini disebut sebagai
56 Ismail Arifuddin, Agama Nelayan, 16.
22
ritual inisiasi. Ritual adat/budaya yang berada pada masyarakat Nuduasiwa
terkhususnya Uraur adalah ritual tana ile yang dianggap sebagai ritual inisiasi
yang dimana seorang anak yang baru lahir diterima oleh keluarga besar dari
marga, masyakat, alam dan leluhur. Ritual ini juga merupakan warisan secara
turun temurun dari orangtatua. ritual ini mengadung ikatan kekerabatan antara
anak dan leluhur, anak dan masyarakat begitu juga dengan keluarga. Tana ile
adalah sebuah acara/perayaan yang dilakukan oleh seluruh Masyarakat dari 9
Kampong atau Nuduasiwa yang bertujuan untuk melindungi anak-anak mereka
dari bahaya-bahaya yang gaib atau mistik. pada setiap proses-proses yang dimiliki
mengadung sebuah makna tersembunyi yang baik bagi masyarakat Nuduasiwa.
berdasarkan analisis penulis bahwa makna tana ile dapat dilihat dari empat makna,
yaitu : makna teologi, makna sosiologis, makna pendidikan, dan makna budaya.
Pada makna teologi tana ile bersifat sangat sakral yang tidak boleh dikacaukan
oleh masyarakat karena akan mengakibatkan acara ini tidak dilakukan dan
membuat orang yang membuat kekacuan tersebut akan mengalami masalah yang
besar karena telah melanggar acara ini. kedua tana ile juga dapat dipakai sebagai
ungkapan syukur keluarga terhadap tuwale dan rabike dan tunia lapai.
Makna Sosiologis dalam tana ile keluarga mempersilahkan masyarakat untuk
menyantap jamuan yang sudah disiapkan oleh keluarga masyarakat dapat makan
disetiap rumah kerabat jika, rumah acara sudah tidak dapat ditampung masyarakat
dan di rumah acara makanan akan dibawa oleh keluarga seperti om/tanta dan
opa/oma. jamuan ini menurut penulis dapat dikatakan sebagai makan patita atau
makan bersama karena menyampaikan sebuah ingatan dan juga merekonstruksi
ingatan kolektif. Dalam persiapan makanan ini telah membentuk rasa kekerabatan
yang memproduksi untuk mengingat masa lalu yang kolektif dengan demikian
makna sosiologi yang pertama adalah ikatan kekerabatan yang kuat antara
masyarakat dan keluarga dan kedua tana ile memiliki nilai solidaritas, ini
berkaitan bagaimana keberlangsungan hidup aak yang baru dilahirkan itu diterima
dalam komunitas masyarakat.
makna pendidikan, tana ile mengajari beberapa hal bagi keluarga dan
masyarakat yaitu yang pertama mendorong dan memotivasi keluarga untuk
memperdulikan dan menjaga anak mereka, kedua mendidik anak-anak untuk rajin
23
bekerja saat pagi hari, dan ketiga muncul nilai penghargaan dan pelesatiran
terhadap warisan leluhur atau budaya setempat, yang mungkin saja bagi generasi
penerus tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan bermakna dan
berfungsi sebagai sebuah kekuatan untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya lokal
masyarakat Maluku, khusus Nuduasiwa Uraur.
Terakhir Makna Budaya, dalam makna budaya sudah dikatakan dari ketiga
makna yang lain karena tana ile mengadung sistem kekerabatan, ajaran, dan
memiliki nilai-nilai kerukunan yang baik.
Daftar Pustaka
Cooley, Frank. Mimbar dan Takhta. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat, suatu pengantar Sosiologi
Agama. Diedit oleh Abdul Muis Naharong. Jakarta: CV Rajawali, 1986.
F. C, Anthony Wallace. Religion: An Anthropological View. New York: Random
House, 1966.
Turner, Bryan S. Sosiologi Agama. diedit oleh Daryatno. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
Dhavamony, Marisusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Marasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan
Pastoral. Yogyakarta: Kanisius 2003.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Penerbit Dian Rakyat,
1977.
Barth, Fredrik. "An Antrhoropologi Of Knowlege." SIDNEY W. MINTZ
LECTURE FOR 2000, February 1, 2002.
Eliade, Mircea. Rites and Symbols of Initation The Mysteries of Birth and Rebirth.
diedit oleh Williar R. Trask. New York: Harper & Row, 1975.
Van Schie, G. Hubungan Manusia dengan Segala Miseri. Jakarta: Fidei Press,
2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2013.
24
Flick, Uwe. Ernst von Kardorff, and Ines Steinke. "What Is Qualitative Research?
An Introduction to the Field," in A Companion to Qualitative Research.
London: SAGE Publications Ltd, 2004.
Sugiarto, Eko. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif:Skripsi dan Tesis.
Yogyakarta: Suaka Media, 2015.
Wahyuni, Sari. Qualitative Research Method: Theori and Practice. Salemba
Empat, 2012.
Durkheim, Emile. Sejarah Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Arifuddin, Ismail. Agama Nelayan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Van Gennep, Arnold. The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and
Gabrielle L. Caffee. Chicago: The University of Chicago Press, 1960.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Pres, 1987.
Saha, Debika. "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference
Handbook, edited H. James Birx.California: Sage Publications, 2010.
Bell, Catherine. Ritual Perspectives and Dimensions. USA: Oxford University
Press, 2009.
Feinberg, Benjamin. "Rites of Passage, in "Encylopedia of Religious Rites,
Rituals, and Festivals". New York: Routledge, 2004.
Stephenson, Barry. Ritual: A Very Short Introduction. London: Oxford University
Press, 2015.
Turner, Victor. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. New York:
Cornell University Press, 1969.
Winangun, Y.W. Wartaya. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan
Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Tesis
Maspaitella, Elifas Tomix. "Tesis: Tiga Batu Tungku, "Analisis Antrpologi dan
Refleksi Teologis terhadap kerjasama antar Institusi Sosial di Ema Pulau
Ambon." Salatiga: Program PascaSarjana Magister Sosiologi Agama
UKSW, 2001.
25
Disertasi
Lattu, Izak. "Orality and Interreligious relantionships: The role of collective
memory in christian-muslim engagement in Maluku, Indonesia." PhD
diss., Graduate Theological Union, 2014.