rhetor xlvii/januari/2016
DESCRIPTION
Roman perampasan dalam sejarah Indonesia tak pernah mengenal kata selesai. Sejak percaturan politik nusantara ada, perampasan menjadi hal yang sangat biasa ditemui. Tak tanggung, perampasan tersebut tidak semata perampasan secara politik namun juga diwarnai dengan perampasan hati. Sebutlah Ken Arok yang berhasil mengkudeta Tunggul Ametung sekaligus berhasil mengambil hati Ken Dedes. Perampasan merupakan kosakata yang tak asing. Terutama bagi mereka rakyat kecil yang hak-haknya dirampas oleh manusia yang berada di lingkar kekuasaan. Jika dulu, perampasan dilakukan oleh bangsa kulit putih dari eropa, kali ini, perampasan dilakukan oleh bangsa sendiri, ciri kulitnya tidak putih-putih amat yang sibuk memperkaya diri. UIN pun tak mau ketinggalan dalam cerita perampasan ini. Setelah dulu, pembangunan gedung yang mewah ini telah memakan korban, setelah jadi, banyak dari bangunan tersebut lusuh terbengkalai.TRANSCRIPT
alam sejahtera kami persembahkan
kepada alam semesta dan seisinya.
Seperti biasa News Rhetor kini hadir di
tangan pembaca untuk menghadirkan seputar
permasalahan, penting namun jarang
diketahui oleh banyak mahasiswa. Berminggu
hingga bulan lamanya kami melakukan
pembacaan mengenai kondisi yang ada di
seputar kampus. Lamanya waktu tersebut
dikarenakan susahnya mencari isu yang
menurut kami mewakili kepentingan khalayak.
Hawa panas lantaran saling mempertahankan
argumentasi (isu) di ruang redaksi cukup
menguras tenaga dan fikiran di pembacaan
kami.
Ke t i ka sa l ah seo rang kawan
mengusulkan suatu isu untuk diangkat, kawan
yang lain menolak dengan alasan bukanlah isu
yang layak di angkat bahkan diterbitkan.
Seperti halnya acara pemilihan mahasiswa
(Pemilwa) yang baru digelar beberapa waktu
lalu, Rhetor memutuskan untuk tidak
menjadikannya sebagai isu utama di dalam
News Rhetor. Bukannya tanpa alasan, tuduhan
LPM Rhetor berafiliasi dengan suatu golongan
nyatanya masih ada.
Benar saja, penulisan berita tentang
Pemilwa di Rhetor Online menimbulkan
kritikan dari beberapa pembaca. Kami
menyadari, pemilihan angle berita yang
dilakukan oleh wartawan kami tidak mewakili
seluruh harapan pembaca. Selain itu muncul
kritik dari banyak pihak karena berita straight
news yang kami muat dalam laman versi
Online itu tidak cover both-side. Berita
tersebut kemudian langsung kami tarik demi
independensi LPM Rhetor. Namun kami
menjamin bahwa kurang berimbangnya
berita yang kami muat semata-mata karena
masalah teknis, bukan akibat dari pemihakan
LPM Rhetor terhadap golongan tertentu.
Demi independensi pula, selama proses
Pemilwa kami menonaktifkan anggota kami
yang terlibat dalam Pemilwa, baik sementara
atau pun tetap.
Yang terakhir, kepada pembaca yang
budiman semoga buletin ini bermanfaat bagi
kita semua. Apabila ada kekurangan di segala
hal kami sangat mengharap saran dan kritik
yang konstruktif. Tanpa saran kritik pembaca
sekalian, karya kami hanya akan monoton
sangat monoton. Selamat membaca.
Redaksi
SALAM REDAKSI
News Rhetor diterbitkan oleh lembaga Pers Mahasiswa (LPM) RHETOR FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pelindung: Allah SWT | Pembina: Nanang Mizwar Hasyim M.Si | Pimpinan Umum: Acep
Adam Muslim | Sekretaris Umum: Nelis Restin Fajrin | Bendahara: Anindia Eka Puspitasari, Muhammad Hadi|
Pemimpin Redaksi: Eko Sulistyono | Redaktur News Rhetor: Tri Junita Sari | Redaktur Rhetor Online: Ihda Nurul
S | Redaktur Fotografi: Rofida Ilya | Staf Redaksi: Hadi Mulyana, Alvian Rifki, Tiara Apriani|
Koordinator PSDM: Amin Aulawy | Staf PSDM: Puput Sahara Jarkom: Asran, Mr. Lafzee, Rija Aji
Banasti| Perusahaan: Royhan Asrofi | Editor & Tata Letak: Sarjoko
Edisi XLVII/Januari 2016
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 20162
S
Tajuk...3 || Laporan Utama..5|| Laporan Khusus...7 ||Rhetorika...10 || Orator...12 || || Opini...14 || Sketsa...15 || Puisi...16 || Cerpen...17 || Shutter Speed...21
DAFTAR ISI
oman perampasan dalam sejarah Indonesia
tak pernah mengenal kata selesai. Sejak
percaturan politik nusantara ada, perampasan
menjadi hal yang sangat biasa ditemui. Tak
tanggung, perampasan tersebut tidak semata
perampasan secara politik namun juga diwarnai
dengan perampasan hati. Sebutlah Ken Arok yang
berhasil mengkudeta Tunggul Ametung sekaligus
berhasil mengambil hati Ken Dedes.
Perampasan merupakan kosakata yang tak
asing. Terutama bagi mereka rakyat kecil yang hak-
haknya dirampas oleh manusia yang berada di
lingkar kekuasaan. Jika dulu, perampasan dilakukan
oleh bangsa kulit putih dari eropa, kali ini,
perampasan dilakukan oleh bangsa sendiri, ciri
kulitnya tidak putih-putih amat yang sibuk
memperkaya diri.
UIN pun tak mau ketinggalan dalam cerita
perampasan ini. Setelah dulu, pembangunan
gedung yang mewah ini telah memakan korban,
setelah jadi, banyak dari bangunan tersebut lusuh
terbengkalai. Saat ini UIN ingin mengulang
sejarahnya dengan modus : pembangunan kampus
baru. Setuju atau tidak hal tersebut pun menuai pro
dan kontra. Baik dari pihak internal kampus maupun
dari masyarakat luas.
Disisi lain hal, proses perampasan pun merangkai
ceritanya dengan gaya berbeda. Seperti halnya Uang
Kuliah Tunggal (UKT), beberapa mahasiswa yang
merasa keberatan dengan nominal yang harus
dibayarnya pada setiap semester karena dianggap
biaya yang dikeluarkan terlalu besar dan proses
banding pun tak jua menemukan jalan.
Bahkan, sampai saat ini Mekanisme UKT pun
belum jelas. Setelah beberapa bulan lalu para
mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai
Aliansi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (AMUK)
berhasil menduduki gedung rektorat dengan tuntutan
keterbukaan informasi dan revisi UKT. Namun, sampai
saat inipun UKT tak menemui kejelasan.
Senja berganti namun sejarah akan terus
terulang kembali. Bangsa ini sudah 70 tahun lalu
memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang
merdeka. Namun, tak dapat disangka terlepas dari
bangsa penjajah bukan berarti terbebas dari
penjajahan. Penjajahan sudah berganti bentuk bukan
lagi memakai tank-tank raksasa. Kali ini penjajahan
salah satunnya berupa bentuk lewat kampus sebagai
lembaga pendidikan. Apakah UIN, (masih)
melanjutkan roman perampasan yang dilakukan
penjajah dahulu? Tentunya, intelektual sejati menolak
hal itu.
TAJUK Perampasan yang Tak Kenal Usai
R
RHETOR menerima tulisan baik berupa opini, cerpen, puisi, surat pembaca dan lain
sebagainya. Karya dikirim ke email [email protected] dengan menyertakan subyek
jenis karya. Redaksi berhak mengedit tanpa menghilangkan esensi karya tersebut.
Bagi yang dimuat, semoga diberi balasan yang setimpal dari Allah Swt...
SakitSSenyatanya Nyelekits
A : Btw lu dapet beasiswa gak, Ndro?
B : Alhamdulillah, iya.
A : Btw mau lu beli apaan, Ndro?
B : Buat beli alat belajar dong.
A : Gile rajin amat lu! Btw alat apaan
B : Ini duet gue kurang dikit buat beli
Iphone terbaru.
A : Semprul!!!
Beasiswa Miskin
DIAM PADA PENINDASAN
ADALAHPENGKHIANATAN
Namun, tak dapat disangka terlepas dari bangsa penjajah
bukan berarti terbebas dari penjajahan“
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 33
DANA KURANG, MAHASISWA BINGUNG
4
pa UIN masih seramah dulu? Dengan model
perangkat kampus yang santun dan sosialis?
Sepertinya angin pun paham tentang bangunan
yang sekarang berdebu itu.
Pemilwa UIN SUKA serentak digelar pada 3
Desember 2015. Pemilwa menjadi ajang pegusungan
candidat ketua dan calon ketua HMJ dari partai-partai
masyhur kampus. Fenomena heboh yang menggugah
suara, entah suara emosi bising atau suara suci hati. Partai
yang maju memiliki visi misi yang berbeda tetapi sama
kuat dan berpengaruh.
Bagaimana dengan demokrasi kampus? Ideal
etiskah PEMILWA ini? Apa sih makna ideal etis? Pas dan
pantas. Pas artinya memang sesuai dengan prosedur
yang disepakati dan diaplikasikan bersama, etis artinya
pantas untuk dijalankan dengan dinamika dan romantika
universitas yang katanya Islam. Demokrasi itu
bukan sekedar suara banyak berarti
menang. Demokrasi itu hak setiap rakyat
untuk membentuk kehidupan baru
entah dengan secara langsung atau
perwakilan yang terpenting adalah
kesepakatan terbaik.Culture mode
Indonesia itu akan memilih siapa
yang dekat dengan dia, dan atau
terpaksa memilih karena ikut- ikutan
seperti domba dan bebek yang
dikebiri. Suara itu asalnya dari hati
bukan sepenuhnya pokok rasionalis dan
keterpaksaan.
Orang bilang banyak organisasi banyak
relasi. Tapi dengan PEMILWA apa jargon itu masih
berlaku? Perbedaan yang tidak signifikan mulai dilebih-
lebihkan, beda pendapat beda pemikiran berarti harus
dimusuhi dan dijauhi. Orang hebat adalah orang yang
bisa membagi ego dan emosinya berdasarkan tempat
dan waktu yang tepat. UIN SUKA PEMILWA SUKA? Bukan,
saya menangkap duka mendalam terselip di antara celah-
celah kehebohan dan pesta ini. Yang katanya PEMILWA
itu untuk merekatkan rakyat tapi realitasnya, sahabat
menjadi musuh ketika memiliki referensi berbeda
mengenai pilihannya. Yang dekat akan menjadi jauh
karena tidak separtai.
Tentu jelas, pada hakikatnya setiap manusia itu
baik, kejahatan itu terjadi karena tuntutan kelompok,
desakan kelompok, atau pemikiran diri yang
mengedepankan egoisme. Bukan hal yang wow ketika
konflik independen itu terjadi karena tuntutan
kelompok.
PEMILWA tentu akan membawa konflik
berkelanjutan dan dendam yang mengakar, karena
sistem pemlihan pasti ada yang menang dan ada
yang kalah. Inilah awal pecahnya visi misi janji (calon)
penguasa, partai terusung persaudaraan tergusur.
UIN SUKA PEMILWA DUKA, bagi para mahasiswa
yang kritis akan menemukan titik jenuh dengan
fenomena ini. Gembiranya mereka yang mampu
mengusung nama, sedihnya mereka yang menjadi
pengamat pra, pas, dan pasca PEMILWA.
Islam mengajarkan manusia untuk
tabayyun dan tafakkur. Menelaah segala kefanaan
dunia bukan langsung menelan mentah nafsu dunia.
Dengan cara Islam pondasi iman yang bahkan
menjadikan ihsan itu akan terwujud.
Dilaksanakannya dialog candidat adalah
untuk menuju keislaman yang baik,
tapi ego selalu dikedepankan oleh
manusia akibatnya oleh- oleh ricuh
dan boikot.
Pemandangan yang
sungguh membawa kecewa dan
luka. Inilah hal- hal yang dianggap
hebat menjadi cermin bagaimana
s i s t e m U I N S U K A b e l u m
sepenuhnya kaffah. Kampus adalah
ladang pengembangan mahasiswa dari
segi intelektual, kreatifitas, dan pengadian.
Maka harusnya segala hal yang berkenaan dengan
sistem harus diperbaiki, mulai dari pembentukan
mindset mahasiswa (karakter), rasa Islam diri(akhlaq),
dan fasilitas materiil pendukung lainnya. 2 organ
yang penting adalah mahasiswa dan kampus.
Mahasiswa akan berada di jalan yang lurus apabila
kampus memabangun dan menuntun mahasiswa
kepada jalan tersebut, begitu sebaliknya. Keterkaitan
yang sekian lama terabaikan harusnya disadari
kembali sebagai reformasi bangkit dari keterpurukan
akibat egoisme.
Khoirina Nur Salamah
KPI ‘14
Pemilwa Memicu Konflik!
A
SURAT
PEMBACA
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
engan membludaknya jumlah peserta didik yang
masuk di UIN Sunan Kalijaga, membuat gedung
kampus yang ada saat ini dirasa kurang
memadai. Apalagi jumlah peserta didik yang keluar tidak
sebanding dengan jumlah mahasiswa baru yang masuk
setiap tahunnya. Terlebih dalam beberapa tahun terakhir,
beberapa fakultas di UIN Sunan Kalijaga membuka prodi
baru. Berbagai persoalan seperti kurangnya lahan parkir
dan tidak memadainya ruang penelitian membuat
pembangunan gedung baru menjadi solusi terbaik.
Akan tetapi, pembangunan yang dilakukan
haruslah memperhatikan berbagai aspek, baik
lingkungan maupun kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Hal ini merujuk Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 3
bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan
tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
Dalam sejarahnya, pembangunan UIN pernah
menjadi polemik karena menutup pemakaman milik
warga serta menggusur pemukiman warga. Hal tersebut
terjadi setelah bangunan yang lama terkena gempa pada
2006 silam. Beberapa warga tidak mau pindah dan
memilih untuk terus tinggal di tanah miliknya, walau pun
sudah ditawari biaya ganti rugi. Ini terbukti dengan
adanya salah satu rumah warga yang masih berdiri di atas
tanah UIN Suka dan kini berfungsi sebagai kantin.
Untuk gedung baru, UIN rencananya akan
membangun di desa Guwosari, Pajangan, Bantul dengan
luas lahan 74 hektar. Lahan yang jauh lebih luas dari
kampus sekarang yang hanya belasan hektar.
Berdasarkan pantauan di lapangan, keadaan lahan masih
berupa hutan perkebunan jati dan pemukiman warga.
Pihak kampus dan warga setempat hingga saat ini masih
melakukan negosiasi terkait pembebasan lahan.
Hasyim, salah seorang warga mengaku terpaksa
harus pindah dari rumah yang di tempati saat ini meski
belum lama ia pindah. “Saya baru pindah sekitar 9 tahun
lalu sejak gempa. Lihat saja rumah ini juga belum
seutuhnya sempurna,’’ keluhnya saat ditemui di rumahnya
(6/11). Ia menunjuk beberapa bagian rumahnya yang
masih perlu perbaikan.
Warga yang berprofesi sebagai petani tersebut
menambahkan bahwa sampai saat ini, perundingan
antara warga dan tim dari UIN belum menemukan titik
terang. Ia menuding pihak kampus sering membohongi
warga. Saat membuat perjanjian dalam pembayaran
tanah misalnya, pemegang tender masih sering tidak
menepati janji. “Saya merekam di hati saya, bukan lagi di
alat lain. Sekarang perjanjian begini, besoknya begitu,’’
kesalnya lagi. Baginya, apapun akan diserahkan kalau
untuk kemajuan negara. Tapi ia menyayangkan tindakan
tidak etisnya dengan beberapa kebohongan tadi.
Tanggapan berbeda dilontarkan keluarga
Mayor Purnomo Herlambang. Keluarga ini bersikeras
tidak mau melepas rumahnya dengan alasan sudah
nyaman menempati rumah tersebut. Selebihnya keluarga
tersebut tidak mau memaparkan penjelasan lebih luas.
“Rumah ini memang kena (area pembangunan) tapi tidak
mau dilepas. Kalau untuk informasi mendalam kami
sepakat untuk diam (kepada media) karena ini memang
sensitif,’’ ujar ibu Mayor Purnomo.
Sementara itu, Ardiyanto mahasiswa Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam memberikan
tanggapan terkait perlunya UIN memaksimalkan lahan
kosong tanpa harus mengusir warga pribumi. “Dahulu
belakang student center (SC) adalah pemukiman warga
dan persawahan. Setelah diusir nyatanya lahan tersebut
belum maksimal untuk bangunan,” paparnya saat di temui
di basecamp Mapalaska.
Mahasiswa yang menjabat divisi litbang di
UIN Bangun Kampus II,
“Pembangunan berdalih perluasan kampus itu terkesan dipaksakan,
sehingga warga sekitar menjadi korban”
LAPUT
Sebuah rumah milik warga Guwosari yang enggan dipindah dalam proyek pembangunan UIN Sunan Kalijaga(Crew Rhetor)
Warga Guwosari Terpaksa Angkat Kaki
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 35
Oleh : Hadi Mulyono | Alvian Rifky
Mapalaska tersebut juga menimbang dari aspek
lingkungan. Baginya UIN harus melihat ambang batas dan
ambang dukungannya. Sedangkan lingkungan di sana
masih merupakan tempat yang produktif menanam
pohon jati. “Kalau lingkungan rusak itu ulah dari tangan
manusia. Apabila perencanaan tidak cocok dengan
lingkungan, itu akibatnya manusianya sendiri yang
mengolah lahan,” ungkap Ardiyanto.
Sedangkan Sungging, mahasiswa Bimbingan
Konseling Islam mengungkapkan tidak sepakat akan
pembangunan kampus II karena tanah itu masih bisa
ditanami pohon jati. Ia menilai, hilangnya tanah dan
pohon jati membuat petani kehilangan profesi. “Disana
warganya berprofesi sebagai petani, maka seharusnya
tidak memaksakan profesi petani ganti menjadi profesi
lain,” ujarnya.
Mahasiswa semester V tersebut juga
menambahkan sikap yang harus dilakukan pihak UIN
terhadap masyarakat di Pajangan. Hal tersebut tidak lepas
dari kepeduliannya akan masa depan warga pemilik tanah
dan rumah yang akan dibangun kampus II. “Yang penting
memanusiakan manusia dahulu, seperti UIN seharusnya
membantu proses pindahan tempat warga hingga
tuntas,” ujarnya.
Secara hukum, menurut Brita Mahanani
anggota Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta
menjelaskan bahwa UU yang di gunakan adalah UU No. 2
tahun 2012, tentang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam UU
tersebut menjelaskan banyak hal berkaitan dengan cara
pengadaan, ganti rugi dan sebagainya. Namun
menurutnya bukan masalah ganti rugi yang juga penting,
akan tetapi jaminan akan masa depan rakyat terutama
yang memiliki anak.
”Pertanyaannya adalah kalau kita sudah
melepas tanah, adakah jaminan bagi mereka yang ingin
melanjutkan pendidikan tinggi ke instansi tersebut di
mudahkan,’’ tandasnya.
Lebih dari itu perempuan yang menjabat staff
divisi ekonomi sosial budaya tersebut mengaitkan
dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berisi tentang
tanah, air, udara dan sumber daya alam adalah milik
negara untuk kemakmuran rakyat. Berlandaskan UU itu ia
menekankan imbasnya yang akan di peroleh terhadap
warga sekitar berkenaan dengan masa depan pendidikan.
Menanggapi soal adanya warga yang menolak
pindah, ia mengutarakan sah-sah saja asal bukti-bukti
kuat untuk mempertahankan haknya. Hanya saja
menurutnya pasti ada intimidasi yang di lakukan oleh
berbagai pihak. “Biasanya dari aparat desa, dan pihak-
pihak yang terkait akan melakukan intimidasi,”
tambahnya.
Ia juga mengungkapkan hukum saat ini kurang
berjalan dengan baik. Semisal sosialisasi terhadap
masyarakat desa terkait pembangunan hotel dan
apartemen di jogja dengan adanya absensi tanda tangan
masyarakat sudah di anggap menyetujui. Biasanya para
investor menggunakan absensi itu untuk melegalkan dan
sebagai laporan bahwa sudah ada sosialisasi.“Absen saat
sosialisasi dari warga sudah di anggap menyetujui
pembangunan meski tidak ada semacam angket
persetujuan. Kalau sudah begitu ijin langsung turun,’’ kata
Brita.
Tinggalkan Tempat Tinggal
U IN Sunan Ka l i j aga me la lu i WR I I
mengungkapkan bahwa warga memang harus pindah.
Kalaupun tidak pindah, maka harus membuat pernyataan
tertulis. Pihak kampus juga menyinggung keberadaan
rumah yang sekarang masih berdiri di depan Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan meski tidak ingin memperpanjang
masalah dulu. “Kantin depan Fakultas Tarbiyah itu
sebenarnya keluar masuk harus bayar ke UIN, kan akses
keluar masuknya milik UIN,” kata Waryono Abdul Gofur
saat di temui selepas duhur di ruangannya.
UIN menyikapi warga yang tidak setuju dengan
yang setuju dengan pemakluman. Menurutnya sikap
warga yang demikian tersebut terjadi karena pembayaran
yang belum merata. Dosen yang mengajar di Fakultas
Dakwah dan Komunikasi tersebut menjelaskan bahwa
proses pembayaran yang di lakukan dengan
mengutamakan warga yang setuju dahulu. “Pembayaran
lahan yang diutamakan yang setuju dulu, kemudian yang
tidak setuju akhirnya pada mau,” katanya.
Biasanya, di sebuah pembangunan akan terjadi
perlawanan dari warga yang tidak setuju seperti
pembangunan bandara di Kulonprogo. Namun
pembangunan kampus II UIN ini terkesan adem ayem.
Akan tetapi masyarakat setempat bukan tak punya keluh
kesah. Dukuh setempat menyebut bahwa media dilarang
untuk meliput secara mendalam kasus ini untuk
menghindari tindakan provokasi dari banyak pihak.
“Kami mengintruksikan kepada masyarakat
supaya tidak membeberkan pembangunan kampus ini
kepada media apapun untuk menjaga kekondusifan
proses yang masih berlangsung,’’ ungkap kepala dukuh
Watugedug.
Senada dengan pernyataan tersebut, Muh
Suharto kepala Desa Guwosari menyatakan bahwa warga
secara umum sepakat, tetapi tetap ada beberapa yang
memang tidak sepakat. Pihaknya menjelaskan bahwa
sampai saat ini proses mediasi masih berlanjut dengan
sedikit kendala pada wilayah pembayaran. “Pembayaran
baru sekitar 70 M dari yang seharusnya 300 M,”
tambahnya singkat. (Hadi & Alvian. Editor: Sarjoko)
6 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
ahalnya biaya pendidikan memang menjadi
masalah utama dunia pendidikan saat ini. Apalagi
dalam beberapa tahun terakhir sistem Perguruan
Tinggi Negeri menggunakan sistem Uang Kuliah Tunggal
(UKT). Dengan sisitem ini pihak kampus bisa merumuskan
sendiri besaran biaya kuliah sesuai dengan kebutuhan
kampus.
Sebagai universitas negeri, UIN Sunan Kalijaga
juga sudah menerapkan sistem UKT mulai 2014 lalu.
Namun memasuki tahun kedua penetapan UKT, masih
banyak problem yang masih terjadi. Terjadinya
pembebanan biaya yang tidak sesuai dengan kondisi
ekonomi keluarga menjadi salah satu masalah yang
belum terselesaikan.
Salah satu yang masih merasakan ketidakadilan
ini adalah Ahmad Faza Azkiya. Ia merasa keberatan
dengan besaran UKT yang di terimanya karena
mendapatkan golongan UKT golongan III dan dirasa
sangat memberatkannya. Padahal pendapatan
keluarganya hanyalah bertumpu pada honor pensiunan
bapaknya yang sudah meninggal dunia. Terlebih lagi
mahasiswa yang akrab disapa Azka ini mempunyai satu
adik yang juga masih sekolah. “UKT di UIN ini belum
sesuai dengan keadaan orang tua, mas,” jelas Faza.
Anak pertama dari dua bersaudara ini
menambahkan, dirinya sudah berusaha untuk
mengajukan revisi penurunan UKT dan sempat ada
petugas yang survei ke rumahnya di Tuban. Namun
menurut petugas yang datang, keluarganya masih
tergolong mampu. Hal tersebut dinilai dari bangunan
rumah peninggalan abahnya yang masih tegolong bagus.
“Padahal kan rumah tersebut peninggalan dari abah,”
tambahnya.
Dia menerangkan bahwa orang mampu tidak
bisa diliat dari keadaan rumahnya saja, seperti halnya Faza
dan keluarganya yang kini hanya mengandalkan uang
pensiunan almarhum bapaknya yang dulu bekerja di
lembaga permasyarakatan.
Hal yang sama juga disuarakan oleh Danang
Dwi, mahasiswa asal Kendari. Berasal dari keluarga pas-
pasan, ia mengaku masih merasa berat dengan UKT yang
di terimanya. Sama dengan Faza, Danang juga
mendapatkan UKT golongan III yaitu sebesar
Rp.4.500.000,- padahal ia merupakan anak dengan 6
bersaudara, orang tuanya masih memiliki tanggungan
untuk menyekolahkan anak-anaknya yang lain. “Inginnya
dikurangin lagi, tapi prosesnya sulit dan jarang bisa
karena harus setor data lagi,” katanya.
Dia menjelaskan penempatan UKT jangan
sampai salah sasaran, sebab akan memberatkan
mahasiswa yang keadaanya kurang mampu. Bagi
mahasiswa asal Fakultas Sains dan Teknologi tersebut
berharap harusnya UKT sifatnya meringankan bukan
memberatkan. “UKT harusnya membantu tapi
kenyataanya memberatkan,” tambahnya.
Regulasi dan mekanisme penggolongan UKT
yang diterapkan oleh UIN dirasa tidak proporsional,
karena mahasiswa yang lulus melalui jalur reguler sudah
pasti masuk golongan II dan III. Hal tersebut diungkapkan
oleh mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi 2014 yang enggan
disebutkan namanya. Ia menilai, penempatan mahasiswa
yang masuk lewat jalur reguler ke golongan II dan III yang
mendapat beban cukup berat tidak adil. Apalagi tidak
UKT Semakin
B e r a t k a n
Mahasiwa
LAPSUS
Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (AMUK) melakukan aksi di rektorat UIN beberapa waktu lalu.
Pendidikan adalah hak dari seluruh
warga negara Indonesia, seperti yang
telah tertulis dalam UUD 1945 pasal 31
bahwa setiap warga negara berhak
untuk memperoleh pendidikan dan
jaminan dari Negara, untuk memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
semakin jauh untuk didapatkan di era
seperti saat ini, terutama di perguruan
tinggi yang membebani pendidikan
dengan biaya mahal.
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 37
Oleh : Asran | Riza Aji
semua yang masuk jalur reguler berasal dari keluarga
mampu. Ia secara pribadi sudah mengajukan banding
beberapa kali, namu tetap tidak ada tindak lanjut dari
kampus.
Berangkat dari keluhan-keluhan mahasiswa
yang masih merasa keberatan tersebut, beberapa
mahasiswa telah mendesak pihak birokrasi untuk merevisi
sistem UKT. Salah satunya, Aliansi Mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga (AMUK) beberapa kali melakukan aksi di depan
gedung rektorat beberapa bulan lalu. Saat ditemui
NewsRhetor Hilful sebagai koordinator umum saat itu,
mengaku aksi yang digelar tersebut bertujuan untuk
menekan biaya UKT di tingkatan kampus UIN.
Di tahun ini, besaran biaya UKT golongan II dan
III mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun
2014. Padahal menurut data yang ia dapatkan, dana
Bantuan Oprasional Perguruan Tinggi Negri (BOPTN)
untuk UIN Suka mengalami kenaikan. Dana BOPTN 2014
hanya sebesar 21 Miliar dan tahun ini naik menjadi 26 M.
Namun pada kenyataannya, biaya UKT yang dibebankan
pada mahasiswa juga semakin melambung.
“Ini yang menjadi pertanyaan besar,” papar
Hilful. Menurutnya, pelaksanaan teknis di kampus ini
bertolak belakang dengan dana yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat.
Bedasarkan keterangan Hilful, saat aksi
dilakukan mahasiswa berhasil melakukan audiensi
dengan pihak rektorat. Mahasiswa terus mendesak
birokrasi agar dengan segera mengkaji kembali UKT yang
di terapkan.
Alhasil, pihak rektorat melayangkan surat resmi
kepada Kemenag untuk mempertimbangkan dan
mengkaji kembali kebijakan UKT di UIN yang
ditandatangani oleh pejabat sementara (PJS) Rektor UIN
Suka, Machasin. Namun sejauh ini, menurut Hilful, belum
ada pertemuan lagi dengan pihak rektorat terkait
perkembangan surat yang dilayangkan kepada pihak
Kemenag.
Sementara itu, Ruhaini selaku Wakil Rektor (WR)
III mengonfirmasi surat yang dilayangkan ke Kemenag
terkait UKT sudah sampai. Menurutnya, surat tersebut
akan dipertimbangkan serta ditindaklanjuti tahun depan
oleh Kemenag Pusat. Namun ia mengatakan bahwa
kenaikan UKT adalah hukum alam yang tidak bisa
dihindari. "UKT akan tetap naik karena hukum alamnya
begitu, terus naik," pungkasnya. [Asran & Riza Aji.
Editor: Sarjoko]
RASAKANJLEBNYA!
-Level PDKT -Level Jadian -Level Putus
Varian Rasa:
Asin-OriginalSapi panggangJagung bakar
8 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
ertuang jelas kalimat terakhir dari pembukaan UUD
1945 yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Sebagai bagian dari cita-cita bangsa maka
selayaknya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta
peradaban guna menciptakan generasi-generasi penerus
bangsa yang cerdas. Selain itu pendidikan juga bertujuan
untuk menjadikan anak bangsa menjadi cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Sebagai bangsa yang berpendidikan,
mahasiswa diharapkan tidak hanya menekuni ilmu dalam
bidangnya saja, tetapi juga beraktivitas untuk
mengembangkan soft skills-nya agar menjadi lulusan
yang mandiri, penuh inisiatif, bekerja secara cermat,
penuh tanggung jawab dan gigih. Kemampuan ini dapat
diperoleh mahasiswa melalui pembekalan secara formal
dalam kurikulum pembelajaran, maupun dalam kegiatan
ekstrakurikuler ataupun pembelajaran di luar kampus.
Sayangnya, tidak semua mahasiswa mau dan mampu
untuk menjadi pembelajar yang sukses. Acapkali
mahasiswa dengan nilai akademik yang tinggi tidak
meluangkan waktunya pada kegiatan-kegiatan yang
mendukung di luar perkuliahannya. Sebaliknya
mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan
dan kegiatan pengembangan soft skills cenderung tidak
memperhatikan perkuliahannya dengan baik dan tidak
memperoleh nilai akademik yang tinggi.
Sementara itu, dewasa ini dalam era persaingan
bebas bukan hanya membutuhkan lulusan yang memiliki
hard skills tapi juga soft skills yang memadai. Oleh
karenanya di tiap perguruan tinggi perlu diidentifikasi
mahasiswa yang dapat melakukan keduanya, aktif dalam
organisasi tapi juga mumpuni dalam bidang akademik.
Lebih penting lagi bagi mahasiswa yang memiliki prestasi
baik diluar maupun dalam kampus perlu diberi
penghargaan sesuai bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Penghargaan tersebut agar menjadi faktor penunjang
motivasi mahasiswa.
Sayangnya, adanya program mahasiswa
berprestasi yang diselenggarakan oleh Kemenag bulan
November 2015, kurang mendapat antusiasme dari
mahasiswa. Hal tersebut disebabkan lantaran sulitnya
persyaratan yang diwajibkan oleh Kemenag. Dimana
sasaran penerima bantuan mahasiswa berprestasi ini
adalah mahasiswa yang berprestasi pada bidang intra dan
ekstrakurikuler, juara tingkat internasional, nasional, dan
regional bidang ilmu agama baik akademik maupun non
akademik, dan memiliki tulisan yang sudah dicetak di
media massa. Dari beberapa persyaratan tersebut,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi pun mengirimkan
kurang lebih enam perwakilan. Adapun mekanisme
penyeleksian, akan diseleksi langsung oleh wakil rektor
bidang akademik.
Diakui, penghargaan pada mahasiswa yang aktif
dan berprestasi di UIN sejatinya mengalami kemunduran.
Salah satu bentuk kemundurannya adalah tidak adanya
anggaran untuk program tersebut. Alimatul Qibtiyah
selaku WD III bidang kemahasiswaan pun juga
mengeluhkan hal sama, yakni adanya kemunduran dan
minim apresiasi pada mahasiswa berprestasi. Ia bahkan
sudah membuat program “Student of The Year”, program
untuk mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang
berprestasi. Sayangnya program itu tidak mendapat
sambutan dari pihak kampus sebab minimnya dana yang
ada. ”Saya sudah mengajukan proposal untuk program
Student of The Year yang nanti sistemnya seperti Beauty
Contest, sayangnya ketika sampai pada Kabag bagian
keuangan, proposal saya ditolak,” keluhnya.
Adapun tanggapan dari mahasiswa mengenai
program dari Kemenag tersebut juga dirasa sangat berat,
bahkan cenderung tidak realistis. Alasanya, prestasi bukan
hanya dengan akademik, harus seimbang dan dilihat dari
potensi non-akademik. Terlepas dari program Kemenag
yang persyaratanya dirasa melangit tersebut, menurut
Amir Fiqih mahasiswa semester 3 jurusan Manajemen
Dakwah mengungkapkan bahwa tidak adanya apresiasi
dari pihak kampus pada mahasiswa yang berprestasi
adalah bentuk dari pembunuhan karakter.
“Tentu saja dengan tidak adanya program
penghargaan bagi mahasiswa berprestasi di kampus
adalah bentuk pembunuhan karakter, karena tidak
menghargai adanya mahasiswa yang berprestasi. Sebab
apresiasi sendiri adalah bentuk dari motivasi bagi
mahasiswa. Dengan tidak adanya apresiasi bagi
mahasiswa berprestasi tersebut maka akan menjadikan
tidak adanya mental pesaing pada dalam diri mahasiswa.”
Senada dengan yang diungkapkan Amir Fiqih,
mahasiswa jurusan KPI semester 3, M.Faiz Ubaidirrahman
juga mengungkapkan keprihatinan atas minimnya
apresiasi bagi mahasiswa yang berprestasi. “Ya, awarding
itu diperlukan sebagai upaya apresiasi dan pemicu
semangat berkarya dan stimulus proses perkuliahan bagi
mereka yang menuntut nilai bagus untuk menjadi
seorang akademisi ataupun praktisi agar lebih giat, rajin,
dan semangat. Selain itu, adanya awarding juga salah satu
upaya integrasi dan interkoneksi,” ungkapnya.
(Tiara&Puput)
Mahasiswa Berprestasi Minim Apresiasi
LAPSUSBuletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 39
Oleh : Tiara Apriyani | Puput Sahara
erampasan menjadi tema yang sangat penting
dalam beberapa diskusi ataupun beberapa
peristiwa beberapa bulan terakhir ini. Mulai dari
perampasan tanah, perampasan ruang publik, hingga
persoalan perampasan hati yang kadang caranya sama,
yaitu dilakukan dengan cara yang cukup memaksa.
Namanya juga ngerampas, jadi gak pernah baik-baik.
Beragam peristiwa telak di depan mata
mengancam. Produk hukum yang berupa perundang-
undang sudah sedemikian rupa dirancang tanpa satu pun
akan menguntungkan seluruh rakyat indonesia, kecuali
mereka yang berlagak berpihak kepada rakyat.
Tepat juli 2014 Rembang ramai diperbicangkan,
sesekali tampil di media massa. Ramainya pun bukan
karena Rembang sedang berlangsung pesta rakyat atau
ada pergelaran semacamnya, melainkan karena ibu-ibu
sedang berjuang mempertahankan tanah miliknya
dihadapan perusahaan semen. Perjuangan ini
menandakan mereka tidak sedang main-main dalam
mempertahankan tanah yang menjadi haknya. Mereka
(ibu-ibu) rela berjam-jam bahkan berbulan mendirikan
tenda untuk menolak pembangunan semen itu.
Alasannya sederhana, karena tanah yang mereka pijak
tanah yang kelak akan diwariskan kepada anak-cucu
mereka di masa yang akan datang.
Selain itu, ada faktor ekologi yang menjadi
pertimbangan penolakan pembangunan ini, yaitu, bahwa
kawasan Karst Kendeng yang meliputi Pati hingga
Rembang ditetapkan sebagai lahan konservasi dan tak
boleh dilakukan aktifitas menambangan. Sungguh aneh,
kawasan Karst Kendeng dan sekitarnya yang memiliki
potensi pertanian hendak dialihfungsikan menjadi areal
pertambangan semen.
Beberapa waktu lalu (15/11) di dunia nyata
m a u p u n m a y a s e d a n g d i r a m a i k a n o l e h
#kendengmenjemputkeadilan . Warga Kendeng
melakukan long march ke PTUN Semarang pada selasa
(17/11) untuk menjemput keadilan. Dan, akhirnya
perjalanan panjang penuh peluh tersebut tak sia-sia. Saya
kira kita semua sepakat menjaga lingkungan itu sama saja
menjaga iman. Bila tidak, mungkin hati Anda sedang tidak
sedap.
Diberbagai tempat pun mengalami peristiwa
yang hampir sama bahkan sangat mengerikan, seperti
t e r b u n u h n y a S a l i m K a n c i l k a r e n a k o k o h
mempertahankan sikapnya menolak tambang pasir.
Sedangkan di Papua, sedang terjadi perampasan tanah
adat sekaligus bagi saya merupakan kekerasan kulturan.
Masyarakat Papua yang hidup dari Sagu dipaksa beralih
menjadi seorang petani yang harus menggarap lahan,
yang oleh pemerintah akan difungsikan sebagai lumbung
padi nasional di Papua.
Dari berbagai peristiwa diatas, pembaca silahkan percaya
atau tidak. Karena tulisan ini pun bukan rukun iman yang
harus dipercayai.
Kejedot Kapital
Saya mengistilahkan masyarakat kita sedang
kejedot (terbentur) oleh kapital yang masyaallah besar
dan arusnya begitu kuat. Kapital ini di topang oleh
kekuasaan yang sangat terorganisir serta tak pernah
memihak kepada rakyat kecil. Kejedot merupaan istilah
jadul yang mungkin jarang ditemukan di KBBI ataupun
kamus ilmiah. Ia merupakan suatu kondisi kala kepala
seseorang terbentur sesuatu, hingga membuat kepalanya
sakit atau bahkan sampai timbul benjolan merah yang
dialami secara tidak sengaja dan mau tidak mau kala
orang kejedot otomatis ia merasakan sakit. Begitulah kira-
kira, saya harap tidak ada yang protes.
Masyarakat yang sedang asik menanam padi di
sawah, asik mengambil sagu di hutan, mereka yang
khusuk mencari ikan di laut, mereka yang asik
bercengkrama dengan alam, tiba-tiba mereka mau tidak
mau harus kejedot dengan kekuatan kapital. Kala kejedot
pun masyarakat tidak serta merta satu suara. Ada yang
memaklumi sebagai suatu kondisi yang semestinya
terjadi, tak merasakan rasa sakit sama sekali dan bahkan
ada yang menikmati serta ada pula yang tidak menyakini
hal pertama dan beranggapan bahwa kala orang kejedot
setidaknya ia bersuara, merasakan rasa sakit. Syukur-
syukur ia mampu mengatasi kejadian pasca kejedot itu,
seperti masyarakat Kendeng kala kejedot kapital
perusahan semen mampu melakukan pengobatan
dengan melakukan resistensi terhadap perusahan kapital
tersebut.
Hal semacam ini seharusnya menjadi keresahan
bersama, baik kalangan kampus maupun elemen
masyarakat yang lain. Saya kadang aneh, apalagi kala
memandang kampus yang sedang pijaki dan kebetulan
saya terdaftar sebagai mahasiswa aktif semester ini. Mulai
dari jajaran birokrasi sampai para mahasiswa dan
mahasiswinya yang cantik sedang asik berselfie. Mereka
berlomba berdandan layak hendak datang dalam acara
pernikahan ataupun hendak pergi hajatan sunatan. Sibuk
mengurus surat lamaran namun sayang bukan lamaran
untuk orang tersayang melaikan sebagai tumpukan
dalam syarat-syarat lomba pemilihan. Hanya sebagian
kecil dari ribuan massa yang peduli membicarakan,
mendiskusikan bahkan ikut terjun menyelesaikan
persoalan ini.
Kita sedang berada dalam arus yang super
dahsyat. Arus kapital yang membuat rakyat kecil semakin
kejedot, kejedot dan kejedot lagi hingga babak belur.
Perampasan dan Selfie antara kitaOleh : Suhairi Ahmad
10RHETORIKA
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
Disisi lain, sebagian generasi muda kita kejedot oleh arus
ini namun ia menikmati benturan tersebut tanpa rasa
sakit.
Epilog
Menjadi imam itu lebih baik dari pada harus
mengubah nama menjadi imam. Begitu pula Jiwa
kepeloporan dalam mengawal isu-isu kerakyatan harus
menjadi kesadaran bersama. Sudah saatnya, kita tak
hanya memandang diri sendiri atau selfie. Bangun aliansi
dan terus mendorong berbagai elemen ikut aktif terlibat
dalam membendung arus besar ini.
Tak ada lagi yang dapat diharapkan oleh rakyat
kecil, selain para mereka yang meletakkan loyalitas
mereka pada kepentingan masyarakat luas. Baik para
aktivis, maupun intelektual kampus bersatu padu
membangun cita-cita besar yang telah digariskan oleh
UUD 45 dan Pancasila yaitu menciptakan masyarakat yang
berkeadilan. Bukan pada negara ataupun mereka yang
berada dalam lingkup kekuasaan yang rela menjual nama
rakyat.
Mengimani perampasan selain melukai
perasaan, ia telah mencoba melakukan percobaan
pembunuhan secara perlahan. Pertama-tama diambil
hatinya, selanjutnya diambil kehormatannya dan
kemudian diambilah segalanya, termasuk rumah dan
lahannya.
Sudahi saja segala drama romantik yang sering
membuat kita salah faham. Cita-cita kita bukanlah cita-
citata melainkan menciptakan keadilan bersama, tanpa
ada yang terluka tanpa ada yang menangis air mata.
Sekian.[]
#SA. Djogjakarta, 25 November 2015, 02.44 WIL (Waktu
Indonesia Laptop)
Saat ini sedang sibuk menulis ataupun jalan-jalan kesana-
kemari antara kos dan warung kopi. Suka membaca namun
jarang berdiskusi. Ia bisa di surati di alamat
[email protected], itu pun kalau ada yang mau, jika
tidak tak masalah.
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 311
-Adlai Stevenson
ksi Forum Jogja Anti Separatis (FJAS) pada 1
Desember 2015 nampaknya akan membuka
babak lanjut tentang upaya Negara untuk
menutup ruang-ruang demokrasi bagi rakyat. Segala
upaya memang akan terus dilakukan meski dengan
menggunakan isu rasialisme sekalipun. Aksi FJAS menjadi
salah satu indikatornya. Aksi yang dimotori oleh Faksi
Katon dengan mengklaim didukung oleh sebagian besar
ormas di Yogyakarta itu membawa tiga tuntutan, meliputi,
tuntutan pengaturan perda tentang demonstrasi di DIY,
kemudian perda larangan demonstrasi separatis, dan
yang ketiga adalah pengusiran dan penutupan asrama
mahasiswa Papua di DIY. FJAS yang dikomandoi oleh
Muhammad Suhud itu menuduh aksi mahasiswa Papua
sebagai aksi separatis OPM, dan karenanya bagi mereka
harus di USIR dari DIY.
Sebelumnya, sempat beredar broadcast aksi
dengan seruan “Ayo Bergabung, Usir Separatis dari Jogja.
Jogjakarta Kota Pelajar, budaya dan wisata yang aman
damai telah dikotori dan dibuat tidak nyaman oleh OPM
(Organisasi Papua Merdeka). Seruan rasialis yang
dibroadcast secara massal itu juga dibawa sebagai
tuntutan ke DPRD DIY. Tak hanya itu, aksi tindak rasial,
intimidasi hingga kekerasan sebenarnya juga terjadi
tiapkali mahasiswa Papua melakukan aksi. Aksi FJAS itu
tentu sangat bertentangan dengan jaminan HAM, dan
mengancam ruang-ruang demokrasi bagi bangsa
indonesia.
Tepat pada peringatan hari HAM sedunia
kemarin (10 Desember), Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Papua memang sudah melaporkan Muammad suhud dan
Cheng Hendriyanto, salah satu anggota DPRD DIY ke
Polda DIY. Laporan itu dilakukan karena dianggap telah
melanggar HAM soal diskriminasi ras dan etnis.
Diskriminasi ras dan etnis terhadap mahasiswa
Papua di DIY sebenarnya sudah sering dilakukan. Hampir
tiap Mahasiswa Papua melakukan aksi demonstrasi, Paksi
Katon yang kemudian berkembang menjadi FJAS
melakukan hal serupa, bahkan tak jarang sampai
melakukan kontak fisik. Kenyataan itu diutarakan
langsung oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
Seperti diketahui bahwa Paksi Katon
merupakan salah satu alat keamanan kraton Jogja yang
memiliki persenjataan lengkap dengan seragam khasnya.
Mereka kemudian menghimpun kekuatan untuk
melakukan aksinya terhadap masyarakat Papua di DIY
dengan mengajak ormas-ormas agama dan sipil, bahkan
tak jarang juga melakukan klaim dukungan seperti yang
terjadi pada 1 Desember silam di gedung DPRD Jogja.
Membiarkan organisasi macam Paksi Katon
atau frontnya yang mereka sebut FJAS terus hidup sama
halnya dengan memberikan peluang terhadap
tertutupnya ruang-ruang demokrasi. Tuntutan-tuntutan
mereka, selain bertentangan dengan kebebasan
demokrasi dan jaminan HAM, juga dapat menyulut
kebencian sesama ras dan etnis di Indonesia, khususnya di
Yogyakarta. Isu Separatisme etnis Papua yang mereka
sebarkan jelas hanya pemahaman sempit. Padahal, hak
menentukan nasib sendiri jelas-jelas ada dan ditegaskan
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 45, yang
berbunyi ‘’maka sesungguhnya kemerdekaan ialah hak
segala bangsa, oleh karena itu penjajahan diatas muka
bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan’’.
Aksi itu tentu juga akan memiliki efek sistemik,
karena tertutupnya ruang-ruang demokrasi juga akan
dibarengi dengan eskalasi ekonomi kaum borjuis, feodal
dan negara. Dengan berdalih pembangunan, penindasan
dan diskriminasi akan terus dilakukan. Implikasinya, akses
rakyat atas hak tanah dan airnya perlahan akan hilang.
Pun demikian, ketika organisasi-organisasi sipil
reaksioner serta aparat terus dibiarkan merenggut
kebebasan demokrasi dan HAM, maka aksi-aksi, aspirasi
serta suara rakyat akan menjadi terancam. Ketika ruang-
ruang demokrasi berhasil dibungkam oleh negara melalui
aparat represifnya, maka hanya suara kaum pemodal,
feodal serta bisnislah yang akan lebih dominan. Di saat
seperti itulah kesejahteraan rakyat mustahil terjadi,
kebebasan berekpresi dan akademik juga akan terus
dibatasi dengan represi, pun demikian cita-cita
mewujudkan keadilan sosial akan tertutup.
Artinya, aksi milisi sipil reaksioner macam Front
Front Perjuangan Demokrasi Mengecam Tindak Diskriminasi HAM
oleh Front Jogja Anti SeparatisOleh: Ahmad Haedar
’’Segala gerakan yang dapat mengancam kesejahteraan dan keadilan sosial, menyuburkan
kapitalisme, membuat kebebasan demokrasi tersendat, melakukan diskriminasi HAM, serta
dapat menimbulkan pertikaian antar ras, etnis, suku hingga agama, maka hukumnya wajib
dilawan dan dihapuskan dari muka bumi”
ORATOR12 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
Jogja Anti Separatis, Front Anti Komunis Indonesia, hingga
Front Pembela Islam tak lebih dari sekedar alat Negara
untuk menjaga bisnis para pemodal yang mengekploitasi
tanah dan air rakyat indonesia. Front-front kontra
demokrasi seperti itulah yang sebenarnya mengancam
kesejehteraan dan keadilan sosial, karena seringkali
menyulut pertikaian lewat aksi-aksi rasial dan
pembungkaman agenda rakyat.
Hal itu nyata, pembubaran agenda-agenda
mahasiswa baik diskusi, nonton bareng, represi terhadap
pers mahasiswa, hingga aksi demonstrasi, pelakunya
kalau tidak aparat kepolisian, pasti milisi sipil tersebut.
Padahal hal itu didalam kampus yang sudah di lindugi oleh
kebebasan akademik. Pun demikian represi terhadap aksi-
aksi buruh, tani, kaum minoritas seperti LGBT, syiah,
Ahmadiyah bahkan tak jarang juga isu antar agama.
Oleh sebab itu, gerakan pro demokrasi melalui
kekuatan rakyat harus dilakukan guna melawan gerakan
rasial dan kontra demokrasi. Rakyat harus percaya, bahwa
untuk mewujudkan kebebasan HAM dan Demokarasi
harus dipelopori oleh kekuatan rakyat itu sendiri. Bahwa
untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial,
harus diiringi dengan perlawanan terhadap gerakan-
gerakan yang mengancam itu.
Berangkat dari itu pulalah, kami dari Front
Perjuangan Demokrasi, mengutuk keras tindakan
diskriminasi ras dan etnis terhadap orang-orang maupun
organisasi Papua di Indonesia, khususnya di Yogyakarta
yang 1 Desember lalu dilakukan oleh FJAS dan Anggota
DPRD Jogja. Kami juga mengutuk keras tidakan aparat
yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap
orang-orang dan organisasi Papua di Indonesia,
khususnya di Yogyakarta.
Kami juga menegaskan bahwa Kebebasan
berdemokrasi, akademik serta HAM harus tetap terjamin
di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, tanpa ada batasan-
batasan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, maupun
Peraturan Polri sekalipun
Penulis adalah penikmat musik dangdut dan
mendengarkan beberapa persembahan karya agung
Mozart.
*Tulisan ini pernah di terbitkan di akun fb penulis, di
terbitkan kembali guna kepentingan pendidikan
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan
kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai”
-Pramoedya Ananta Toer
“
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 313
enderang perang ditabuh dengan tambur,
terompet, serta umbul-umbul menyembul di jalan-
jalan disertai prajurit yang mengobarkan api
semangat untuk menyongsong kemenangan. Teriakan-
teriakan menggelegar tanpa ampun, jika ada musuh
membawa segumpal kesombongan, sekali serang
ambruklah dalam tebasan pedang yang mengkilat tajam.
Beginilah realitas yang telah berdiri di pundak Kampus
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk beberapa bulan
berlangsung.
Kenyataan ini, merupakan instrumentalia hidup
politisi kampus yang ingin mendapatkan kekuasan yang
ajeg, dalam menjaga keutuhan diri sebagai diri yang
punya kendali atas tanah lapang. Tanah yang selalu
menjanjikan kemenangan sekaligus kekalahan yang tidak
bisa ditampik dengan persoalan yang remeh-temeh.
Adakah keutuhan nurani yang bisa membuat mereka
berbelas kasihan untuk tidak mencabik dan
menghilangkan nyawa?
Hanya orang-orang yang gegabah akan
menjawab “ada”, karena tidak mungkin ada setitik debu
rasa belas-kasihan. Musuh adalah musuh, yang wajib
sirna. Meski mati dalam keadaan mengerikan, dengan
luka menganga. Nyawa hanyalah gerak irama yang
kapanpun akan menemukan tangga angka not dari lagu-
lagu sumbing. Perang telah membawa pada kenyataan
yang harus diterima oleh pihak lawan, baik harta, tenaga,
bahkan strategi yang memumpuni akan diuji dengan
sabar.
Banyak yang menganggap perang suatu nilai
seni. Pandangan inilah yang membuat banyak orang,
bangsa, bahkan dunia untuk merebut wilayah-wilayah
yang sekiranya memberikan banyak keuntungan. Di
sinilah siapapun (kita, bahkan kalian) akan diuji oleh dua
kenyataan “seni” dan “keuntungan”. Dari dua realitas
itulah, kenyataan menjadi buhul-buhul yang saling
berseberangan. Pada peredaran utama akan ditemukan
“keindahan”, sedang pada peredaran kedua akan
ditemukan “kerugian”.
Di manapun, perang selalu bersinergi pada
keuntungan pribadi yang melahirkan kerugian bagi
banyak nyawa yang terlebih dahulu pamit untuk
menemukan jati diri yang sesungguhnya. Tentu saja,
perang bukan seni yang dianggap indah dalam wujudnya.
Tetapi, energisitas yang menjadi label perang, yaitu:
kenyataan mengerikan, luka, darah, nyawa melayang.
Yang tidak lelah melagukan kepiluan yang amat dalam.
Nyaris perang akan melumat dan melumuri diri.
Mengapa demikian? Hal yang tidak pelak dapat dihindari,
setelah kemenangan atas musuh, ia akan menemukan
lawan dari kawan sendiri dengan alasan yang tidak masuk
akal. Atas dasar jasa kemenangan, seseorang berhak
mendapatkan jabatan tertinggi yang diinginkannya.
Perebutan dengan kawan sejawat tidak dapat dibendung
lagi, karena ambisi diri telah menguak ke dasar amarah.
Maka, haus darah hanyalah atas nama pribadi yang punya
“keinginan”. Sehingga tidak salah, bila kehancuran akan
melanda yang menang. Bagaimanakah nasib yang kalah?
*Aktivis Pon-Pes Maulana Rumi, Sewon, Bantul,
Yogyakarta.
Khairi Esa Anwar*
Tanah Lapang yang Gersang(Selentingan Tentang Pemilwa)
OPINI14 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
rovinsi Pattani, Thailand, adalah daerah konflik berkepanjangan.
Salah satu wilayah di selatan Thailand yang dianggap sebagai
kelompok pemberontak oleh pemerintah. Di wilayah itu,
jangankan untuk bekerja, untuk belajar saja warganya harus di mata-
matai. Rasa was-was tentu menjadi bayangan menakutkan bagi warga
Pattani yang ingin merantau, bahkan untuk sekedar belajar. Tapi semua
itu ditepis oleh Royane Samae, seorang gadis yang penuh tekad dan
konsekuen memilih pergi keluar dari daerah konflik itu. Ia merantau ke
Indonesia, tepatnya ke Yogyakarta, tempat yang biasanya jadi anak
muda Patttani belajar melanjutkan study.
Motivasi Royane pergi ke Indonesia memang sama seperti
anak patani pada umumnya, yakni untuk belajar. Namun ia jauh
memiliki motivasi lain yang didamba-dambakan selama bertahun-
tahun. Ia ingin bertemu ayahnya, ayah yang sudah meninggalkannya
selama 12 tahun ke Indonesia. Ia masih ingat betul pesan ayahnya yang
memesan keperluan perpanjangan Visa Ketika Royane berumur 8
tahun. “Mulai dari situ perpisahan saya dengan ayah terjadi, bermula
dari tak adanya kabar,” ceritanya.
Tak jarang Royane juga kena ejekan temann-temanya.
Tangisan air mata sering mengalir karena Ia merasa dirinya berbeda
dengan yang lain. “Setelah Ayah pergi sekian lama tanpa kabar, saya
sangat bosan ketika ada tetangga yang menanyakan keberadaan ayah
kemana,” ungkapnya.
Baginya waktu berjalan demikian cepat, sampai Royane
memasuki masa remaja. Kini di usianya yang ke 20 tahun merupakan
hujung seorang remaja melangkah ke bangku kuliah, ia tak memilih
jalur apa-apa, sedangkan paling ia sukai adalah bahasa Arab,
sementara teman-teman yang lain bisa memilih dan menentukan yang
mereka inginkan, ada yang lanjut study ke Timur tengah, ke Bangkok
dan dll, ketentuannya hanya satu ingin mencari sang Ayah di Indonesia
yang lama menghilang tanpa kabar.
Ketentuan studi, langsung di uruskan oleh guru dan pihak
sekolah, baik masalah VISA, tiket pesawat dan perlengkapan surat-
surat pendaftaran untuk sambung kuliah di Indonesia. “Kuliah bukan
suatu yang utama buat saya, untuk bisa menginap dengan jarak waktu
yang lama harus melewati masa perkuliahan. Tapi, kuliah juga perlu
buat saya untuk menentukan hidup saya masa depan, dan mewarnai
hidup agar lebih baik,” tutur Royanee.
Ketika sampai di hari pemberangkatan, sang ibu
membekali selembar foto keluarga, dan satu KTP Ayah yang di
pegang oleh ibunya selama ini. Sambil mengingat pesan ibunda,
berusahalah cari ayah, dengan do’a sang ibu dan tekad yang
kuat, ia pun berangkat meninggalkan tanah k e l
ahirannya, Pattani, Thailand.
Sesampainya di tanah perantauan,
Indonesia, ia sempat merasa kebingungan,
untungnya teman-teman rantau se-
daerahnya menjamu kedatangannya. Setiap
waktu, ia rasakan kerinduan yang mendalam
kepada ibu dan keluarga tercinta, terutama
sang Ayah yang kian lama menghilang, ia
selalu perhatikan wajah setiap lelaki tua yang
kiranya seumur dengan ayahnya. Setelah
beberapa bulan menetap di Yogyakarta,
Royanee menceritakan kisah ke kakak-kakak
kelas yang kuliah di
Yogyakarta, tolong bantu saya mencari alamat Ayahnya, atas nama
Abdul wahid Jalan Ronggowarsito RT 277, RK 47, Jember Lor, Patrang.
Pertamakali ia di bantui oleh kakak-kakak menulis sebuah surat dan
mengirim ke alamat yang tentukan di KTP Ayah Royanee, besar rasa
cinta dan harapan semoga dapat balasan dari Ayahnya. Alhasil, dua
bulan berlalu, balasan surat dari sang ayah tak kunjung datang.
Soal perkuliahan, Royanee Samae mengikuti tes ujian
masuk kuliah di kampus perguruan tinggi UIN Sunan Kalijaga, dan tes
tersebut membuah hasil, Royanee di terima masuk kuliah UIN di
Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab, Royanee berfokus
dengan kuliah, dan sealu berdo’a agar bisa bertemu sang Ayahnya.
Kebetulan, waktu di kampus libur setengah semester,
Royanee mengebut pulang mengajak kakak-kakak dan temannya
mencari sang Ayah di salah satu kabupaten di Jawa Timur, Jember.
Kepergian tersebut sempat ia rasa sia-sia belaka, karena alamat yang
dituju sudah tidak ada, setelah bertanya ke warga sekitarnya,dan
mendapat jawaban yang sempat membuat semangatnya pudar, wajah
Royanee yang ceria penuh cinta karena yakin akan bertemu dengan
sang Ayah tadi, mendadak murung.
Sebab itu pula, Royane oleh temannya disarankan untuk
melaporkan hal itu kepada salah satu media online di Jogja, Royanee
pulang Jogya, tak berapa lama ada lapur lewat SMS dari warga
ayahnya, bahwa adik dari ayahnya Royanee bernama Melia Juju, kuliah
di UIN Yogya Fakultas Fishum. Ucapan syukur selalu Royane panjatkan
setelah mendapat informasi tersebut. “mahasuci engkau sang
mahakuasa,” ucapnya .
Setelah mendapat informasi itu, Royanee langsung
menghubungi Melia Juju. Seakan ada jalan baru, Melia Juju pun
berhasil ia temui, pertemuan itu tidak ia sia-siakan dijadikan penunjuk
bertemu sang ayah. tiap hari ia gunakan waktunya untuk mencari kabar
dari Melia Juju.
Tak butuh waktu lama, Royanepun diajak oleh Melia
mengunjungi rumah ayahnya. Sayang, kunjungan pertama yang
menemui bukan orang yang dicari selama ini melainkan pamanya, adik
sang ayah. Saat itu sang paman bilang bahwa ayahnya lagi sibuk,
begitu terus yang dikatakan pamanya setiap Royane bertanya
keberadaan Ayahnya.
Karena dengan alasan yang sama, membuat Royane
semakin panik. Dalam hatinya sudah tidak sabar lagi ingin bertemu
dan bicara dengan ayahnya, tapi apalah daya, yang ingin ditemui susah
di hubungin. Tak henti-henti pula gadis malang ini menanyai kabar
ayahnya kepada pamanya.
Semenjak ketemu sang paman entah sudah berapa kali ia
selalu menanyakan hal senada. Sampai suatu ketika ia kembali
bertanya. Ada yang berbeda dari panggilan via telephon
Jawaban bibinya berbeda dengan jawaban yang diberikan
pamanya. Kenyataan pahit harus ia terima, sang bibi tak tega jika
harus terus berbohong kepada Royane. Bibinya menjelaskan
kalau sebenarnya ayah Royane sudah meninggal enam tahun
silam, tepatnya tahun 2009. Jawaban tersebut sepontan
membuatnya terdiam, butiran air meleleh dari matanya. Hancur
sudah harapanya bertemu Ayahnya. [Muhammad Lapsee]
Royane Samae :
“Meski penuh resiko, tekadnya sudah bulat, keluar dari daerah konflik untuk pergi ke Indonesia dengan tujuan, belajar, dan
kalau beruntung, bertemu sang ayah yang lama ia rindukan”
SKETSA
Nyari Ayah, Nyambi Kuliah
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 315
ku selipkan segala duka di kelopak mawarku tatap bintang di langit yang enggan berpijarmalas menebar sinar ke bumi bersandar mendung di rawang sepiaku bersama angan membara bersama angindalam resah jiwaku berusaha menghilangkan sepiantara penantian dan kerinduantapi seketika patah harapan berhenti luruhdari puncak bukit ku berdiri berkhayal melayang jauhgemetar seakan kaki terpaku dalam sunyimenunggu sampai jaring maut menarik membawa jiwakutinggalkan semua mimpi cinta yang tak pastibiar semua usai di telan waktu dan berharap semuanya berlalu
berjalan dari umur dua tahun itu tak ada maslahberbicara dari masa kecil hingga dewasa tak ada habisnyasetiap hari terbahak-bahak beralasan agar hati tak berat lagimanusia itu seharusnya bernafas untuk apa?datang kedunia miskin tak terkirameninggalkan dunia ingin memakai baju mewah dihiasi intan permataingin kaya ingin hidup selama-lamanyahanya berpikir sekarang tak mau kedepanmudah memahami sesuatu tak tau diri sendiribuat apa kakimu menginjak dunia?bumi sudah sesak dengan mayat hiduptak ada guna, tak ada hargajika hanya bisa berfoya-foya
PUISI
bait-baitkesunyian
sunyi
sia-sia
astuti
Astuti, penyair yang hobi minum teh
16 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
Rin mengerang pelan,
kepalanya terasa berdenyut-denyut
ngilu. Sakit! Dalam posisi hampir sadar itu,
dia meyakinkan dirinya bahwa memang tubuhnya
berbau alkohol. Semalam pasti dia mabuk. Seketika
dia bangkit dan mencari ponselnya, tangan kirinya memijit
kepalanya yang masih terasa berat dan pusing. Tangan
satunya digunakan untuk mengetik beberapa kata di
ponselnya. Tak butuh waktu lama sampai layarnya
menampilkan sebuah halaman berita dengan foto
wajahnya di sana.
“Erggh! Keenn!” Dengan gemas Rin melempar
ponselnya ke tengah ranjang untuk kemudian beranjak
keluar kamar. Layar ponselnya masih menampilkan artikel
dengan judul besar: Rin si Aktor Detektif dan Misteri
Kameramen.
“ Argh! Aku pasti sudah gila!” Rin susah payah
menahan sakit kepalanya sambil berjalan menuju ruangan
di sebelah kamarnya. Sebelum masuk, ada semacam
jembatan penghubung dan ruangan kaca berukuran satu
kali satu meter yang penuh dengan cahaya putih. Rin
menekan beberapa tombol kemudian masuk ke dalam
kotak kaca itu hingga akhirnya dia keluar di sebuah kamar
dengan nuansa putih lembut.
Dia ingat terakhir kali dia menjadi ‘Rin’ yang
sesungguhnya adalah saat syuting untuk film terbarunya
kemarin malam. Itu dia, malam itu Rin mengalami sedikit
kecelakaan di lokasi syuting. Rasa-rasanya tubuhnya
tertimpa seseorang? Rin menggeleng kuat-kuat,
kepalanya terasa berputar. Dia kesulitan mengingat
kejadian malam sebelumnya. Yang dia tahu, ada sesuatu
yang jatuh menimpanya—tidak, dia yakin kalau itu adalah
orang. Wanita! Ya, dia ingat. Tapi hanya sampai di situ saja
sebab setelahnya dia pingsan.
“Rin? Kau datang!” ucap Ken dengan
nada polosnya, kepalanya muncul dari balik
selimut tebalnya.
“Hoi, kau—ah! Sakit!”
“Rin! Hah-haha... Rin, kau tadi malam sangat
keren. Kau memecahkan kasus lagi!” Ken duduk bersila di
kasurnya, wajahnya terlihat sayu. Tapi sebuah cengiran
lebar cukup untuk menandakan bahwa pemuda itu sangat
tidak peka mengingat saudaranya sedang menahan sakit
di kepalanya. Sedangkan si bungsu, Rin, masih mengatur
nafas sambil memijit kepalanya.
“Katakan, kau tadi malam masuk, kan?” Rin
duduk di samping kakaknya, sedangkan Ken hanya
menggembungkan pipinya.
“Aku hanya bermain, tapi Rin tadi malam sangat keren.
Hihihiii...”
“Itu bukan aku, itu kau!” Ken mengetuk-ngetuk
janggutnya, memasang pose orang berpikir. Tapi memang
dia sedang berpikir soal kejadian malam sebelumnya.
Ketika layar laptop yang digunakan untuk memonitor
sistem tubuh Rin tiba-tiba menampilkan pesan bahaya.
Ken yang tingkat kekhawatirannya tinggi
langsung bergegas mengambil beberapa alat berbentuk
kotak di laci mejanya sebelum akhirnya berlari menuju
kotak kaca yang membatasi kamarnya. Selain susu coklat,
hal yang paling Ken sukai adalah keluar kamar dan
mengendarai mobil Rin. Dan malam itu, dia sampai di
lokasi syuting tepat ketika mobil ambulance datang, Ken
cepat-cepat memakai masker penutup wajahnya dan
menyelinap ke dalam gedung.
“ Rin hebat!” teriak Ken tiba-tiba, Rin hanya
menatap Ken dengan wajah mabuknya.
CERPEN
PANDORAOleh: Ika Nur Lutfi
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 317
“ Jangan main-main, aku orang terkenal, kau
tahu? Kalau kau menggantikanku lagi, aku tidak mau
membuatkanmu susu coklat.” Rin sungguh tidak ingat
apapun karena memang dia tak tahu apa yang sudah
dilakukan kakaknya kemarin malam dengan tubuhnya.
“ Huuh? Heh hehee. . . Rin akan selalu
membuatkan Ken susu coklat.” Ken bersikap seolah-olah
kejadian malam itu biasa saja, baginya tentu saja iya. Tapi
bagi Rin? Tidak mudah menjadi orang lain ketika kau sama
sekali tak mengenalnya. Bagaimanapun, meski mereka
selalu bersama bahkan sejak dalam kandungan, tapi Rin
tidak pernah melihat Ken melakukan hal-hal selain yang
dia lihat di kamarnya. Ken tak pernah melakukannya di
depan Rin, tidak bisa selama Rin masih di atas
kesadarannya.
“ Katakan padaku.” Pinta Rin, kepalanya
disenderkan di bahu Ken dengan masih dipijatnya pelan-
pelan.
“ Rin memecahkan kasus, dia—ehh... itu adalah
wanita di filmmu.” Ken menelengkan kepalanya untuk
melihat wajah adiknya.
“ Mey?” Rin mengerutkan dahinya bingung. Ken
mengangguk kecil, kemudian senyumnya muncul seiring
dengan ceritanya soal kejadian malam itu. Saat Ken yang
sedang menyamar sampai di ruang yang digunakan untuk
syuting, di sana ramai dengan tim medis. Matanya bisa
melihat sosok adiknya yang sedang diangkat ke atas
dlakbar, dengan gesit dirinya menyelinap di antara
kerumunan itu. Waktu Ken hanya tinggal dua menit
sebelum kendalinya benar-benar habis, kotak kecil di
genggamannya sudah berkedip-kedip merah. Tanda
bahwa sebentar lagi tubuhnya akan kembali ke
asalnya—atau melebur ke dalam tubuh adiknya. Kotak itu
yang mengaturnya, alasan kenapa dia bisa menjadi
manusia seutuhnya di luar tubuh Rin.
“ Rin itu Ken, Ken itu Rin.” Rin menghela nafas
lewat bibir tipisnya, tangannya terulur untuk mencubit
pipi kakaknya. Ken melanjutkan ceritanya, dari pada
pulang ke kamar, tentu saja Ken memilih untuk melebur
dalam tubuh Rin. Kapan lagi Rin akan pingsan seperti itu?
Lagi pula, dia hanya akan meminjamnya ‘sebentar’ saja.
Dan ketika waktunya benar-benar habis, tanpa orang-
orang sadari, dirinya terjatuh tepat di atas tubuh adiknya.
Ken adalah Rin, Rin adalah Ken.
“ Ya-ya, kau selalu punya cara untuk membuatku
kalah, Kak.” Ken tertawa kecil, mata bulatnya menyipit
seiring tawanya. Rin menghambur dan meletakkan
kepalanya di pangkuan Ken. Tangannya meraih hidung
Ken dan menyentilnya.
“ Kau harus ber tanggungjawab dengan
kelakuanmu, sekarang pijit kepalaku.” Rin merajuk, Ken
belum selesai dengan ceritanya. Sebisa mungkin dia
mengurangi kemarahan adiknya, menjelaskan bahwa
malam itu hanya permainan kecil. Ketika tubuhnya sudah
dalam ambulance, dia bangun. Ken yang ada dalam tubuh
Rin bangun. Sedikit mengejutkan untuk beberapa
petugas, tapi dengan banyak alasan akhirnya dia boleh
untuk tidak ke rumah sakit. Ken membawa tubuh Rin
kembali ke tempat kejadian, di sana sudah tidak ada
orang. Hanya garis pembatas polisi dan sketsa mayat di
lantai. Mengamati letak jatuhnya dan kemungkinan dia
jatuh. Ken berpikir keras, mencoba memahami situasi
yang sama sekali tak dilihatnya. Merasa hal itu tak
masuk akal, Ken berlari ke balik ruang syuting. Ada banyak
alat di sana, perkakas syuting.
Ada banyak kabel berserakan, tangga-tangga
aluminium, lampu-lampu dan entah apa lagi. Ken bingung
sebenarnya, tapi kemudian matanya tertuju pada kotak
kayu di bawah tumpukan baju. Tangannya terulur untuk
membuka kotak itu.
“ Hei, Rin! Kenapa kau di sini?” seseorang
menepuk bahu Ken dari belakang, pria dengan rompi
hijau dan tanda pengenal yang tergantung di lehernya.
Ken membacanya dalam diam, tertera tulisan: Boby
P.—Cam. 3.
“Rin, kau lihat apa?”
“ Huh? Oh tidak apa-apa, dan aku ke sini untuk
mencari sesuatu. Hehe..”
“Kau bercanda?” Boby tertawa mengejek, entah
apa alasannya. Tapi Ken percaya ada hal yang perlu
diwaspadai dari orang itu, di saat semua orang keluar
ruangan—kenapa dia justru ke sini? Dengan perlahan
diambilnya ponsel Rin dan mengaktifkan mode rekam
suara. Ken sangat teliti, dia tidak mau kehilangan hal-hal
sekecil apapun kalau itu mungkin bersangkutan dengan
kasusnya.
“Di sini tidak ada bukti apapun, pulanglah. Oh!
Bukankah kau harus dira—”
“Bukti? Jadi itu yang tidak ada?” Desis Ken
dengan pandangan mengintimidasi, Boby menaikkan
alisnya heran.
“Hei, bocah. Apa yang kau katakan? Kenapa kau
jadi aneh begini hah? Semua orang ada di luar, lagi pula
kau bukannya tadi pingsan?”
“Bagaimana denganmu?”
“Hei, apa maksudmu? Apa kau mungkin
terbentur sesuatu?”
“ Aku baik-baik saja, dan seperti yang kau
katakan. Semua orang ada di luar, lalu kenapa kau ada di
sini? Apa yang mendorongmu untuk datang ke sini?”
“Wah! Apa mayat tadi membuatmu jadi gila?”
“Kau, kan orangnya? Yang membunuh wanita itu
dan membuatnya jatuh menimpaku?”
“Apa?! Jangan sembarangan bicara, bocah!”
“Aku pikir aku tidak sembarangan bicara. Kau yang
memberitahuku, kau bilang mayat itu menimpaku. Semua
orang di sini berpikir wanita itu mati saat dia terjatuh,
bukan mati dulu baru jatuh.”
“Kau—”
“Katakan dengan jujur, orang itu adalah kau, kan?”
18 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
“Kau gila! Bagaimana caranya?”
“Itu dia, kau pikir apa yang orang-orang katakan ketika
dituduh melakukan sesuatu?”
“Berhenti bercanda Rin, pergilah ke rumah sakit.”
“ Kenapa, orang-orang pasti akan bertanya alasan
mereka dituduh melakukan sesuatu. Mereka akan
bertanya: kenapa aku yang dituduh? Bukannya membalas
dengan menanyakan: bagaimana cara mereka
melakukannya, sebab mereka—ah! Tidak, tapi aku tak
tahu.”
“Heh! Mau menjadi detektif eh?”
“Tidak, aku hanya mengonfirmasi kalimatmu. Di awal aku
hanya bilang ingin mencari sesuatu, tapi kau justru bilang
di sini tidak ada bukti.”
“Cih! Itu karena spontan—”
“Ya! Dan sesuatu yang spontan biasa berasal dari alam
bawah sadar mereka, bukan?” Ken menyeringai lebar,
sedangkan Boby mulai bergerak gelisah di tempatnya.
“Tell me how you kill her?”
“Ish! Dasar sialan!” Ken tahu Rin tidak bisa bela diri apapun,
adiknya sangat lemah! Tapi setiap kali dia memakai
tubuh adiknya, dia pasti menyempatkan untuk melatih
tubuh Rin. Untuk mengantisipasi keadaan seperti malam
itu, ketika Boby dengan marahnya menyerang Ken.
Berakhir brutal dengan kerusakan di banyak perkakas
syuting. Ken tidak peduli, toh meskipun dia tidak tahu cara
Boby membunuh, setidaknya dia punya bukti pengakuan
bahwa lelaki itu memang yang melakukannya. Teryata
belajar psikologi memang membantu penyelidikan. Kasus
berakhir, pengakuan klise beralasan dendam. Ken sangat
membenci cerita seperti itu, sangat tidak kreatif
menggunakan dendam sebagai motif membunuh
seseorang.
“ Oke! Itu masuk akal, tapi bagaimana bisa aku
berakhir dengan keadaan mabuk, tuan Detektif?”
“Hmm... heh hee. Itu... emm, itu—tapi Ken mau susu
coklat.”
“ Tidak, kau curang kemarin malam. Sekarang pijit
kepalaku dulu baru kubuatkan susu.” Rin memejamkan
matanya, sedangkan Ken tampak cemberut sambil
berpikir. Tapi tak lama, sebab tangannya mulai bergerak
menyentuh kepala Rin. Matanya yang coklat gelap
memandangi adiknya dengan ekspresi yang lembut,
seperti sedang menatap cermin saja rasanya. Merasa
diperhatikan, Rin membuka matanya dan seketika
pandangannya bertemu dengan Ken.
“ Apa?” Rin memanyunkan bibirnya, membuat
wajah jelek dan menjulingkan mata untuk mengejek
kakaknya.
“Huh?” Ken yang dasarnya tidak suka mata juling langsung
menabok muka adiknya.
POK!
“Ken! Sakit!”
“ Hehe... Maaf.” Ken tertawa renyah, dan itu
menular pada Rin. Mereka tertawa untuk beberapa saat,
lalu Ken mulai memijit kepala adiknya.
“Di sini juga, lalu di sini.” Rin menunjuk lengannya, lalu
punggungnya.
“Kau pasti berkelahi, kan? Ah! Kau kan tahu kalau
badanku begini, kenapa masih dipaksa. Aw! Ish! Pelan-
pelan.”
“Hihihi..”
Rin tidak pernah marah meskipun Ken memakai
tubuhnya, seribu kali atau berapa kali pun, dia tak akan
marah. Rin tahu tidak mudah menjadi Ken. Ketika dia
berada di batas antara ada dan tidak ada, antara manusia
dan arwah, antara hidup dan mati. Ken hidup di dunia itu,
di kotak yang hanya mereka saja penghuninya. Ken bukan
orang yang serakah, dia tahu diri. Dia sayang adiknya,
bagaimanapun keadaannya. S e b e r a p a b e s a r p u n
keinginannya untuk menjadi manusia seutuhnya, dia tidak
menyesalinya. Dia punya Rin, dan itu sudah cukup
untuknya.
Kotak itu masih tetap sama dan menjadi hal
paling penting untuk mereka, sebab hanya di sana satu-
satunya tempat di mana mereka bisa bertatap muka
dengan normal. Tidak berbagi tubuh dengan kesadaran
yang tertimbun oleh kesadaran lain. Biar saja, biarakan
orang mengenalhanya ada satu Rin di dunia ini.
“Ken itu Rin—”
“—dan Rin itu Ken.”
Ika Nur Luthfi tertarik dengan sastra dan nada-nada.
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 319
Shutter Speed
Akhir November 2015 lalu, LPM Rhetor
berkesempatan untuk melihat berbagai
peninggalan Majapahit di Mojokerto. Seperti
apakah wajah Majapahit yang sempat
menjadi kerajaan terbesar di dunia ini?
Berikut foto-foto dari Sarjoko.
Candi Brahu di Trowulan, sebuah candi yangdigunakan untuk mengkremasi jenazahraja-raja Majapahit
“Sumpah Palapa 2”Petilasan yang berada di belakang pendopo agung
Mojokerto ini konon merupakan panggung pembesar Majapahit untuk menyampaikan hal-hal penting,
salah satunya Sumpah Palapa.
Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016 320
Shutter Speed adalah
rubrik baru NewsRhetor
berisi fotografi jurnalistik
yang berhubungan
dengan kampus UIN Suka.
Anda memiliki karya
fotografi jurnalistik?
Kirimkan ke
“
“Sumpah Palapa”Relief ini menggambarkan sosok Gajah Mada menggunakan pakaian kebesaran
seorang Patih tengah membacakan Sumpah Palapa yang sangat terkenal.Konon dampak dari pembacaan sumpah ini adalah bersatunya kerajaan-kerajaandi seluruh Nusantara. Terdapat pula relief-relief lain yang mengisahkan kehidupan
masyarakat Majapahit.
21 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
22 Buletin NewsRhetor edisi XLVII/Januari 2016
SEGENAP KRU BULETIN NEWS RHETORMegucapkan
atas Terselenggaranya
Vicky Mazaya | Alvin Mahareza | Iko Khumairo | Tuffy S | Emy Rosiana | Fatkhu Riza | Rizka Septia AR | Ahmad Faza Azkiya | Anom | Zeffa Yurihana | Ikhlas al Farisi | Wulan | Vivi Rinardi | Nayla Alfun Najah | Ika Nur Khasanah | Maesaroh | Javank Kohin Pradana | Ibnu Hajar | Amelia Julitasari | Surya Meida Rofi | Fahri Hilmi | Dyah Retno Utami | Nisa Zahro Istiqamah | Syihabuddin | Wahyu Sekar
Sari | Ahmad Miftahudin | Tuty Saleha | Adisty Putri Angga Dewi | Luh Gede Winda
Pelatihan Jurnalistik Tingkat DasarLembaga Pers Mahasiswa Rhetor tahun 2015.
Selamat dan Sukses
Selamat bergabung dengan keluarga besar LPM Rhetor
“Jadilah jurnalisyang amanah!”
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58)
Butuh Perlengkapan
Outdoor?
Rental Peralatan Camping-Tenda- Kompor- Sleeping Bag- Matras- dll
085743750705085743282040
krakataujogja.blogspot.com