revolusi mental sutan sjahrir asdad
TRANSCRIPT
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 1/20
"
REVOLUSI MENTAL SUTAN SJAHRIR
Tulisan ini mendapatkan predikat Juara IIILomba Karya Tulis Ilmiah 2014 Pemikiran Budaya Tokoh-tokoh Indonesia
Pusat Studi Kebudayaan UGMdengan judul:
PEMIKIRAN BUDAYA SUTAN SJAHRIR
Menuju Kebudayaan Indonesia Baru
Oleh: Olav Iban
Abstraksi
Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, lahir dari keluarga yang memiliki
tradisi pendidikan kuat. Lewat perjalanan intelektualnya, Sjahrir lekas sadar bahwa
feodalisme Timur telah melapangkan jalan bagi kolonialisme Barat menjajah rakyatIndonesia berabad-abad lamanya. Jasmani dan rohani rakyat menderita dalam bentuk
yang terburuk: dibelenggu kompleks rendah diri. Sjahrir pun menggagas dan
merumuskan revolusi sosial sebagai kelanjutan segera dari revolusi nasional. Ia amat
yakin bahwa keberhasilan revolusi sosial hanya dapat diperoleh melalui pendidikan
Barat. Sjahrir mendambakan terciptanya manusia Indonesia baru, suatu masyarakat
sosialis modern berlandaskan azas kerakyatan dan kemanusiaan. Kini setelah hampir
70 tahun Indonesia merdeka secara nation, cita-cita kemerdekaan sosial belum juga
terwujud. Warisan feodal masih ada dalam mental rakyat Indonesia. Bangunan
pemikiran Sjahrir yang memiliki rumusan apa, kapan, siapa, bagaimana dan ke mana
arah kebudayaan Indonesia baru pun semakin lama semakin dilupakan. Tulisan ini
bermaksud menghadirkan kembali pemikiran budaya Sjahrir, dan diharapkan mampumenjadi alat navigasi dalam menghadapi permasalahan bangsa Indonesia.
Kata kunci: Sutan Sjahrir, budaya, pendidikan, kerakyatan, Indonesia baru.
Pendahuluan
Nama Sutan Sjahrir lebih kerap hilang di belantara daripada timbul di puncak-
puncak pemikiran budaya Indonesia. Dunia lebih suka mengenalnya sebagai national
leader Indonesia. Sedikit yang memandangnya sebagai budayawan, dan lebih sedikit
lagi yang mengingat sumbangsihnya dalam Polemik Kebudayaan Indonesia dasawarsa
1930 yang turut menentukan orientasi kebudayaan bangsa Indonesia hingga sampai ke
titik yang sekarang ini.
Gelar budayawan memang sulit jika dilekatkan pada diri Sjahrir. Barangkali
hanya orang-orang seperti Soebadio Sastrosatomo, atau Soedjatmoko, atau karib-karib
Sjahrir semenjak di Klub Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan/PNI-Baru)
hingga Partai Sosialis Indonesia (PSI) saja yang sanggup memandangnya seperti itu
(Soedjatmoko, 1990:286; Mrazek, 1996:435).
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 2/20
#
Dari segala jejak yang ditinggalkannya, banyak orang melihat Sjahrir sebagai
politisi. Namun, idealisme politiknya malah menepikan dirinya sendiri dari ‘Jumat, 17
Agustus 1945’ yang sangat politis itu. Bahkan, membuatnya meninggal sebagai
tahanan politik pada 9 April 1966. Sungguh pun Sjahrir seorang politisi, ia bukan
politisi yang berhasil.
Sebagian lagi menganggap Sjahrir lebih pantas berpangkat cendekiawan.
Kecerdasannya mampu merangkul pelbagai disiplin ilmu. Ia bergairah mendalami
sastra, filsafat, psikologi, ekonomi, politik, hukum, ilmu-ilmu pasti, hingga
perbandingan agama. Ia menyampaikan kekaguman, komentar, dan juga kritiknya
terhadap pemikiran-pemikiran ilmiah dengan cara yang ilmiah pula.
Banyak juga kalangan yang merasa bahwa gelar diplomatlah yang paling
cocok disandang Sjahrir. Manifesto politiknya menghasilkan perubahan penting model
pemerintahan Indonesia hanya tiga bulan sesudah proklamasi. Perundingan-
perundingannya mampu memaksa Belanda mengakui eksistensi Indonesia sebagai
Republik. Taktik sumbang beras-nya berhasil mempermalukan blokade Belanda.
Pidato Indonesia Freedom-nya sukses di Lake Success, dan masih banyak lagi.
Mungkin hanya manusia Indonesia sekelas Agus Salim yang punya hak meremehkan
pencapaian diplomatiknya. Jelas Sjahrir adalah diplomat yang disegani.
Sjahrir juga pantas menyandang gelar sebagai pendidik, mengingat sedari
muda basis pemikiran Sjahrir adalah pendidikan. Juga dari pemikiran-pemikirannya,
ia tentu memiliki kepantasan untuk disebut sebagai seorang pejuang, negarawan,
hingga seorang pahlawan.
Apa pun status yang dilekatkan pada diri Sjahrir, sulit disangkal bahwa ia
adalah manusia Indonesia yang menakjubkan. Tauladan bagi manusia Indonesia lain
di zamannya maupun di zaman sesudahnya.
Kesemua gelar yang disematkan pada pribadi Sjahrir didasari oleh jiwa
kemanusiaannya. Tekadnya mapan: memerdekakan rakyat Indonesia dari mentalitas
rendahan. Ia berupaya membentuk suatu masyarakat Indonesia baru yang beradab
tinggi, yang maju dalam hal ekonomi, yang dewasa berpolitik, dan yang mantap
berilmu maupun berteknologi. Ia tidak seperti national leader liyan yang berdiri di
atas kaki kebencian terhadap penguasa asing. Sjahrir melihat manusia sama adanya
karena kecintaannya pada jiwa kemanusiaan, keseimbangan berkehidupan.
Indonesia, baik sebagai bangsa atau pun sebagai negara, dewasa ini mengalami
ketidakseimbangan. Dari dekade ke dekade, Indonesia perlahan kehilangan manusia-
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 3/20
$
manusia bersejarah, manusia yang memiliki hubungan langsung dengan masa
perjuangan kemerdekaan. Satu per satu tokoh Indonesia meninggalkan dunia. Sangat
disayangkan, perginya mereka sedikit sekali meninggalkan kedewasaan berbangsa dan
bernegara. Periode ketika seharusnya mereka pensiun sambil memberi wejangan-
wejangan kedewasaan bagi penerusnya telah dilalui dengan cengkraman kebisuan
Orde Lama maupun Orde Baru. Akibatnya, banyak para penerus mereka adalah orang-
orang yang berjiwa timpang, korup mental. Padahal, para penerus ini pastilah harus
meneruskan ke penerus berikutnya, sementara arus masalah-masalah baru terus datang
menggerus.
Melihat permasalahan Indonesia yang tiada putusnya ini, pemikiran Sjahrir
yang mendamba manusia Indonesia yang kokoh dirasa perlu untuk diperbincangkan
kembali. Sudut pandangnya berharga dan dapat menjadi masukan istimewa,
sebagaimana ia dahulu menjadi Penasehat Istimewa Pemerintah Indonesia.
Tulisan sederhana ini bermaksud menggelar sedikit pemikiran Sjahrir,
terutama pemikiran budayanya, sejalan dengan tekad Sjahrir untuk mendewasakan
rakyat Indonesia. Tulisan ini diharapkan mampu menghadirkan kembali sudut
pandang Sjahrir, yang telah banyak dilupakan orang, guna menghadapi permasalahan
Indonesia.
Sekilas tentang Sutan Sjahrir
Sejak selesainya Perang Padri di Sumatera, rakyat Nagari Kota Gadang
memperoleh peran yang paling mendasar bagi sejarah panjang nasional Indonesia,
yaitu menjadi angkatan pertama yang bersekolah dengan pendidikan Belanda (Anwar,
2010:34). Dari segelintir manusia beruntung di kota itu terdapat seorang jaksa
bernama Datoek Dinagari, di mana ia beranak seorang jaksa, kemudian bercucu
seorang jaksa pula. Cucu itu bernama Mohammad Rasjad gelar Maharadja Sutan,
ayahanda Sutan Sjahrir (Mrazek, 1996:18-20).
Sjahrir lahir pada tahun 1909, sekitar 70 tahun setelah Perang Padri. Bahwa
sudah ada tiga generasi di atasnya yang mengenyam pendidikan Belanda
menunjukkan Sjahrir lahir dari keluarga yang memiliki tradisi pendidikan kuat,
melebihi orang-orang lain seeranya.
Sjahrir bersekolah ELS (Sekolah Dasar) dan MULO (Sekolah Menengah
Pertama) di Medan. Ia melanjutkan AMS (Sekolah Menengah Atas) bidang Barat
Klasik di Bandung. Di kota itu, Sjahrir ikut mendirikan Tjahja Volks Universiteit
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 4/20
%
(Universitas Rakyat Cahaya) sebagai ekspresi materialnya untuk meningkatkan
intelektualitas rakyat (Legge, 1993:44). Ia juga ambil peran mendirikan Jong
Indonesie, organisasi yang nantinya turut menggagas Sumpah Pemuda 1928 (Mrazek,
1996:64).
Pada tahun 1929, Sjahrir melanjutkan studi ke Belanda untuk belajar Hukum
di Universiteit van Amsterdam, dan kemudian di Universiteit Leiden. Studi yang tidak
pernah ia selesaikan karena hidup bohemian-nya. Di Belanda ia bergaul dengan
organisasi mahasiswa sosialis, bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor
Internasional, dan juga menjadi Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia (Legge,
1993:45; Mrazek, 1996:110).
Kondisi sosial-politik Hindia Belanda mendorong Sjahir untuk pulang pada
tahun 1931. Kemudian, ia memimpin PNI-Pendidikan guna menghidupkan kembali
PNI (Partai Nasional Indonesia) yang ditinggalkan Soekarno karena dipenjara oleh
pemerintah kolonial. Sjahrir bertugas membuka jalan bagi Hatta yang kala itu masih
menyelesaikan studinya.
Kendati tanpa agitasi dan mobilisasi massa seperti pendahulunya, PNI-
Pendidikan dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum (Sjahrir,
1990:39). Oleh karenanya, pada tahun 1934, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan di
Cipinang selama satu tahun sebelum kemudian – bersama Hatta – diasingkan ke
Boven Digul, Papua, lalu ke Banda Neira, Maluku, selama tujuh tahun berikutnya
sampai serbuan Jepang di Perang Pasifik tahun 1942. Selama di pembuangan, Sjahrir
ikut menyumbangkan pemikirannya tentang masa depan masyarakat dan kebudayaan
Indonesia kepada surat kabar Daulat Rakjat dan majalah bulanan Poedjangga Baroe
(Sjahrir, 1947; Kleden, 2010:17).
Di masa awal kedatangan Jepang, menurut pendapat umum yang dipercaya
kala itu, tiga pemimpin bangsa yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, yang baru saja
kembali dari pengasingan, mencapai kesepakatan bahwa dua pemimpin yang lebih
dikenal (Soekarno dan Hatta) akan bekerja sama secara terbuka kepada pemerintah
pendudukan Jepang. Sjahrir, yang kurang dikenal, akan beraksi secara diam-diam
memusatkan kegiatan menyusun gerakan perlawanan bawah tanah. Seluruhnya demi
kepentingan meraih kemerdekaan (Legge, 1993:5; Anwar, 2010:47; Sjahrir, 1990:
262-263; Hatta, 1979:414-416; Soekarno, 1965:171).
Tanggal 17 Agustus 1945 adalah fakta sejarah nasional Indonesia. Fakta
sejarah pula bahwa Sjahrir hari itu menolak hadir di deklarasi kemerdekaan Indonesia,
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 5/20
&
sebagaimana ia tidak mau hadir pada malam persiapannya di rumah seorang Jepang
(Sjahrir, 1990:275). Fakta yang disesali Hatta (1969:12).
Posisi Sjahrir tidak pasif. Kaum intelektual muda berada di bawah
pengaruhnya. Gerakan perlawanan bawah tanahnya berhasil mengkoordinir
organisasi-organisasi pemuda. Coret-coretan kemerdekaan dalam bahasa Inggris di
ruang-ruang publik dan gerbong-gerbong keretaapi adalah ulah gerakan ini (Mrazek,
1996:479 dan 484).
Pertengahan Oktober 1945, lewat 42 halaman ukuran oktavo berjudul
Perdjoeangan Kita, Sjahrir menyampaikan pemikiran tentang bagaimana seharusnya
bangsa Indonesia berjuang (Mrazek, 1996:488). Ini adalah salah satu stimulan penting
ditunjuknya ia menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia
Pusat), yang kemudian menggiringnya menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia,
hanya 88 hari setelah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengangkat
Soekarno dan Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik pertama
Indonesia.
Indonesia di bawah pimpinan Sjahrir melakukan perundingan dengan Belanda.
Hasil-hasilnya penting, namun sering disalahartikan. Keragu-raguan dan penolakan
dari para pendukungnya di parlemen membuat Sjahrir memilih mengundurkan diri
dari posisi perdana menteri. Kendati 19 jam kemudian parlemen berbalik arah
mendukung kebijakan politiknya, dan Soekarno pun memintanya kembali menduduki
jabatan itu, Sjahrir tetap mundur mengembalikan mandatnya pada tanggal 27 Juni
1947. Tiga hari kemudian ia diangkat sebagai Penasehat Istimewa Pemerintah (Wolf,
1993:xvi-xvii).
Sjahrir melanjutkan perjuangan dengan menarik simpati dunia internasional. Ia
mengunjungi banyak negara, mengupayakan persekutuan. Dari Mesir, ia mengajak
Agus Salim – sepupunya – menuju New York untuk menghadap PBB (Persekutuan
Bangsa-bangsa). Di hadapan Dewan Keamanan PBB di Lake Success, 14 Agustus
1947, Sjahrir memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia lewat pidato Indonesia
Freedom-nya. Keesokan harinya, koran The New York Herald Tribune berkomentar,
“One of the most moving statements heard here at Lake Success (Anwar, 1966:52).”
Sementara majalah Times menyatakan bahwa tanpa advokasi Sjahrir, Indonesia tidak
akan memperoleh banyak simpati dunia internasional (Anwar, 1966:61).
Perjuangannya tidak sia-sia. Belanda resmi mengakui Indonesia sebagai
republik yang merdeka dengan upacara pengakuan kedaulatan serentak di Jakarta dan
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 6/20
'
Amsterdam, 27 Desember 1949. Sejak hari itu, Sjahrir tidak pernah lagi memegang
suatu jabatan resmi dalam pemerintah Indonesia (Anwar, 2010:100; Icksan, 1966:19).
Sjahrir aktif dalam kegiatan sosialis internasional. Ia menggagas Konferesi
Sosialis Asia. Ia juga aktif mendidik kader-kader PSI yang didirikan tahun 1948 di
Yogyakarta, hingga akhirnya dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.
Tahun 1962, Sjahrir ditangkap dengan tuduhan palsu atas apa yang disebut
Peristiwa Cendrawasih di Makasar. Peristiwa pelemparan granat oleh sekelompok
orang kepada iring-iringan mobil Presiden Soekarno. Pelapor tuduhan palsu kemudian
ditangkap dan dijatuhi hukuman maksimum satu setengah tahun, tetapi Sjahrir yang
menjadi korban dari penuduhan itu tidak pernah dibebaskan (Anwar, 1966:46).
Soe Hok Gie menulis, dalam mingguan Djaya, 23 April 1966, bahwa kejadian
itu membuat hati Sjahrir benar-benar patah, kecewa. Bukan kecewa karena
penangkapannya, tetapi kecewa karena sebagian besar kaum cendekiawan Indonesia
waktu itu bungkam atas kecurangan politik dan segala ketidakadilan (Anwar,
1966:21).
Dari perjalanan yang demikian itu terbentuklah sosok Sjahrir yang dikenal
sekarang ini. Seorang altruis cerdas yang visioner. Hulu pemikirannya selalu
didasarkan untuk mendiagnosa penderitaan rohani rakyat Indonesia, dan dihilirkan
dengan memberi jalan kesembuhan strategis. Tetapi ia sendiri sudah terlalu jatuh sakit,
spiritual dan jasmaninya. Suatu kali maloperasi membuatnya invalid , tidak lagi bisa
berbicara juga menulis (Hatta, 1966:26). Kesehatan Sjahrir melemah drastis sampai ia
diizinkan terbang ke Zurich untuk berobat yang menjadi akhir dari perjalanan
hidupnya.
Renungan Kebudayaan Indonesia
Angkatan ‘45 yang dipelopori Chairil Anwar – keponakan Sjahrir – pernah
menyatakan, “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat
kepada me-lap-lap kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi
kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat (Dhakidae,
2003:167).” Namun, seperti apakah kebudayaan baru yang sehat itu. Kaum
intelektual, muda maupun tua, dengan bersemangat saling menawarkan dan
meperdebatkan kebudayaan baru itu.
Sjahrir muncul sebagai seorang budayawan agung, yang tidak hanya menaruh
perhatian pada politik sebagai persiapan, pembentukan, dan pelaksana kekuasaan,
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 7/20
(
tetapi juga terhadap nilai politik dan budaya yang mendasari serta mengasuh suatu
sistem politik (Soedjatmoko, 1990:286). Demikianlah yang ditulis Soedjatmoko,
tokoh cendekiawan Indonesia, terhadap pemikiran Sjahrir.
Pengamatan Sjahrir mengenai adanya keterkaitan antara budaya suatu
masyarakat dengan kebangkitan nasional kerap muncul di tahun-tahun awal
pembentukan karakter bangsa Indonesia, dan visi-visinya terbukti benar adanya.
Adalah kemajuan budaya masyarakatnya yang menjadi dasar kebangkitan sebuah
bangsa, sekaligus menjadi pengasuh pertumbuhan sang bangsa itu. Dari sinilah
pemikiran Sjahrir berpijak.
Belenggu penderitaan rohani rakyat Indonesia menjadi semakin sulit
ditanggung, ditumpuk beratus tahun lamanya. Sjahrir menggagas perlunya suatu
kebudayaan baru,‘yang tidak berbau udara museum dan menyan’ (Sjahrir, 1947:79),
sebagai jalan keluar atas belenggu itu, dengan pendidikan sebagai kendaraannya. Bagi
kebudayaan baru itu, Sjahrir menegaskan pentingnya rasionalitas.
Dalam surat-suratnya tanggal 17 dan 20 Maret 1937 (Sjahrir, 1990:176-181),
Sjahrir mengisahkan di Banda Neira sedang dirundung isu ‘musim culik’. Musim
ketika tukang culik berkeliaran di malam hari mengayau, mencari kepala manusia,
sebagai korban pembangunan tiang utama jembatan. Di samping percaya kepada
‘culik’, masyarakat setempat juga percaya kepada hantu. Contohnya, hantu perempuan
yang meninggal akibat persalinan akan keluar dari kuburan dan mengembara di pulau
sebagai ‘pontianak’. Masyarakat setempat gaduh. Kasak-kusuk dan kekuatiran
merebak sampai ke telinga Sjahrir.
Sjahrir berpendapat hal tersebut adalah bentuk primitif ketakutan terhadap
maut: maut yang hidup, maut yang bangkit kembali. Menurutnya, tinggi rendahnya
sebuah peradaban bisa diukur lewat tingkat kehalusan bentuk-bentuk ketakutannya
terhadap maut (Sjahrir, 1990:180). Semakin primitif bentuk ketakutan itu, semakin
rendah peradabannya.
Di Barat yang materialistis, kepercayaan yang demikian itu jauh lebih kurang.
Di sana, ketakutan masyarakatnya berbentuk keruntuhan materiil seperti kebangkrutan
ekonomi atau pertarungan kelas, yang semuanya itu berlandaskan nafsu akan
kekayaan bendawi (Sjahrir, 1990:181).
Kendati begitu, bukan berarti ketakutan yang primitif tidak dapat dijumpai di
dalam masyarakat Barat. Ia ada, namun dalam raison d’etre yang berbeda. Jika bentuk
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 8/20
)
ketakutan dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya peradaban, maka raison d’etre suatu
ketakutan dapat menjadi ukuran orientasi peradaban.
Bila diparafrasis, pengalaman Sjahrir tersebut memperlihatkan dasar konsepsi
kebudayaan baru Indonesia yang diidamkannya. Hantu dalam alam pikiran
masyarakat Indonesia berbeda dengan hantu di Eropa atau Amerika. Dalam alam
pikiran masyarakat Barat, hantu memiliki kemampuan untuk membunuh manusia
hidup, sedangkan di Indonesia hantu tidak membunuh orang. Biarpun begitu, orang
Indonesia tetap saja takut kepada mereka. Dikotomi ini menunjukkan bahwa
masyarakat Barat memiliki ketakutan kepada maut dalam arti kematian: ketakutan
untuk tidak lagi hidup, sedangkan masyarakat Indonesia memiliki ketakutan pada
maut dalam arti kegelisahan: ketidaktenangan hidup.
Bila disimpul lebih dalam dari perspektif negasinya, maka keadaan psikose-
takut Barat tersebut menunjukkan adanya keinginan intuitif mereka untuk
memperjuangkan hidup. Suatu rupa bawah sadar dari kedinamisan mencapai
kehidupan tertinggi. Sementara keadaan psikose-takut Indonesia mengarah pada hasrat
kenyamanan hidup, tentram, stabil, tanpa goncangan, bahkan mendekati keinginan
untuk statis. Kedinamisan Barat dan kestatisan Timur itulah yang menjadi bahan
fondasi pemikiran Sjahrir bagi kebudayaan Indonesia baru.
Pencarian jati diri kebudayaan Indonesia diramaikan oleh perdebatan ‘menuju
kebudayaan Barat ataukah Timur’. Jika Barat dilambangkan Faust yang menaklukkan
kekuatan alam, maka Timur dilambangkan Arjuna yang bertapa di Gunung Indrakila
(Sjahrir, 1990:158-159; Dhakidae, 2003:152; Lombard, Vol I, 2008:236). Perdebatan
itu tidak selalu berhasil menyintesiskan Barat dan Timur, tetapi pendukung kedua
pihak sama-sama yakin bahwa kebudayaan Indonesia tidak boleh dibiarkan berjalan
tanpa tiang awan di waktu siang dan tanpa tiang api di waktu malam.
Penolakan Sjahrir terhadap feodalisme, alam pikir mistis, fatalis, dan kompleks
rendah diri menempatkannya di pihak pendukung kebudayaan Barat sebagai orientasi
kebudayaan Indonesia. Dalam konteks dan tafsiran yang lebih luas, ia menghendaki
agar perkembangan Timur dilihat dengan cara rasional yang sama dengan cara yang
digunakan dalam meninjau evolusi masyarakat Barat. Ia tidak sejalan pilihan Gandhi
yang Timur, maupun pilihan Tagore yang campur (Sjahir, 1990:75; Legge, 1993:55).
Sjahrir memilih Barat.
Pilihan Sjahrir ini bukan asal-asalan. Ia berdiri pada alasan logis yang
mendukung pilihannya. Pergerakan pembaharu kebudayaan Indonesia sudah pasti
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 9/20
*
ditumpukan pada sendi-sendi kaum muda sebagai pengisi masa depan. Menurut
Sjahrir –– dan memang begitu kenyataannya,1 kebudayaan kaum muda intelektual di
Indonesia tidak lain adalah kebudayaan Barat. Kaum muda itu terpelajar secara Barat.
Kekayaan budaya mereka bukan saja ilmu Barat tetapi pun kesusastraan dan kesenian
Barat. Oleh karena ini pula cita-cita mereka tentang kebudayaan tidak berbeda dengan
cita-cita yang terdapat di dalam kebudayaan Barat. Dengan demikian, ukuran yang
harus dipergunakan pada kebudayaan itu tidak lain dari ukuran yang lazim dipakai
untuk kebudayaan Barat (Sjahrir, 1947:80-82).
Kaum muda intelektual jauh lebih dekat dengan Eropa dan Amerika ketimbang
dengan Borobudur atau Mahabharata, atau pula dengan kebudayaan Islam primitif di
Jawa dan Sumatera. Kebenaran dan kenyataan ini sedikit pun tidak perlu merendahkan
derajat kebudayaan yang dikehendaki Indonesia. Sebaliknya, apa yang dikehendaki itu
tidak lain dari semangat yang dibawa zaman (Sjahrir, 1990:74 dan 81).
Sjahrir percaya kecenderungan ke arah mistik suatu saat akan tidak lagi
relevan dengan perkembangan kebutuhan zaman. Maka ia yakin bahwa yang
dibutuhkan oleh kaum muda intelektual Indonesia adalah menerima dengan baik
tantangan rasionalisme Barat, mengambil alih dan menggunakannya untuk memenuhi
kebutuhan bangsa Indonesia (Sjahrir, 1947:96). Para pemuda harus selekasnya
merebut ‘alat’ yang membuat Barat kuat dan berkuasa. ‘Alat’ itu bernama pendidikan.
Sjahrir dapat melihat konsekuensi logis dari pilihan intektualnya itu (bukan
pilihan politis). Menurutnya, keburukan Barat: kekasaran, kekurangajaran, nafsu
mencari untung, individualisme ekstrim, bahkan kapitalisme masih lebih baik daripada
‘kearifan dan religi ketimuran’. Sebab, justru ‘kearifan dan religi ketimuran’ itu yang
telah membuat rakyat tidak menyadari bahwa mereka telah tenggelam ke tingkat
serendah-rendahnya seseorang bisa tenggelam, yakni ke tingkat perbudakan,
penaklukkan mental selama-lamanya, yang mewariskan sikap fatalistis beratus
generasi (Sjahrir, 1990:159).
Semua sifat ‘ketimuran’, yang kata orang indah itu, adalah sisa-sisa struktur
masyarakat feodal. Artinya, rakyat telah terbiasa menerima patokan-patokan dari atas,
sehingga mereka selalu menunggu perintah para pemimpin dan mengikuti perintahnya
tanpa sedikit pun berani mengambil prakarsa (Kahin dalam Anwar (ed.), 1980:302).
Dengan kepasrahan hidup seperti itu, yang statis, sehingga pada akhirnya hampir-
1 Sejak 1960-an, kata ‘pemuda’ menghilang sedikit demi sedikit, dan digantikan
dengan kata ‘mahasiswa’ (Lombard, Vol I , 2008:123).
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 10/20
"+
hampir rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak mempunyai kebutuhan apa-
apa dari abad ke abad, dan menjadi ahli dalam hal ‘tidak berbuat apa-apa’ (Sjahrir,
1990:175).
Sebagai seorang sosialis demokrat, feodalisme adalah kekuatiran Sjahrir.
Hierarki feodal, dari perspektif sosialisme, akan menjauhkan rakyat dari cita-cita
‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.’ Sementara dari perspektif demokrasi,
piramida feodal akan menghapus hak rakyat untuk memimpin dan mengaktualisasi
dirinya sendiri. Lebih dari itu, feodalisme akan mengundang fasisme, dan fasisme
akan membuka jalan bagi permusuhan etnis, bahkan agama. Mengangkat kembali
warisan feodal sama dengan mendegradasikan kemerdekaan nasional yang sudah
susah payah diperoleh.
Untuk itu, rasionalitas dan modernitas yang dibawa pendidikan Barat – bukan
pendidikan Timur yang cenderung logis mistis – adalah senjata yang tepat untuk
menghapus feodalisme, termasuk eksesnya: mentalitas budak, kompleks rendah diri
(inferiority complex). Sjahrir yakin bahwa mentalitas yang mendarah daging seperti
itu ditambah payahnya ilmu pengetahuan merupakan formula mematikan yang
merongrong Indonesia nantinya, sehingga perlu adanya revolusi sosial, suatu revolusi
mental besar-besaran. Melalui revolusi inilah, meminjam istilah M.R. Dajoh (dalam
Dhakidae, 2003:66), ‘mentaliteit inggih’ (mental penurut) dihadapkan dengan jiwa ‘ik
kan het zelf ook’ (saya juga bisa).
Sjahrir menginginkan kedinamisan Barat dicerap dengan sungguh-sungguh
oleh rakyat Indonesia. Rakyat harus mengambil semua positif dari kebudayaan Barat
dengan menyisihkan hal negatif dari kedinamisannya itu.
Pemikiran seperti itu tentu sulit diterima oleh rakyat Indonesia yang telah
merasakan pahitnya perlakuan kaum kapitalis Barat kepada mereka selama berabad-
abad. Dalam kalimat Sutan Takdir Alisjahbana (dalam Lombard, Vol I, 2008:232),
“Mereka yang beranggapan seolah segala orang Timur wali yang suci dan segala
orang Barat penjahat yang tiada berhati, pasti akan kaget mendengar ucapan bahwa
orang Timur harus berguru kepada Barat.” Sjahrir paham kesulitan tersebut, dan
memberikan apologi atas pemikirannya itu.
Dalam renungan kebudayaannya (1990:138-139, 194), Sjahrir mengisahkan
tentang dr. Soetomo yang dalam perjalanannya berkeliling Asia heran mendapati
kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling tidak konservatif di
antara bangsa-bangsa Asia, dan menjadi yang paling banyak menyerap kebudayaan
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 11/20
""
Barat. Orang tidak akan mengira hal itu, namun memang begitu keadaannya. Hanya di
pelosok-pelosok masih ada tersisa adat istiadat yang karakteristik (yang bukan adat
Eropa) tetapi bukan pula asli Indonesia, sebab telah menyerap adat Arab, Hindu-India,
atau pun Tiongkok. Segala yang baru diberi tempat oleh bangsa ini. Adat yang baru
menjadi lama, sementara yang lebih baru ditoleransi terus menerus. Terkadang
ditemukan sintesa-sintesa yang aneh di antara mereka, seperti Jawa-Hindu, Islam-
Minangkabau, Islam-Banten.
Sungguh naif jika bangsa Indonesia – bangsa yang memiliki kemampuan luar
biasa dalam hal menerima unsur-unsur asing dalam kebudayaannya – menolak untuk
menjadi dinamis. Munafik jika menolak kebudayaan Barat. Tidak ada satu pun di
seluruh dunia yang sepanjang sejarahnya begitu terus menerus terlibat dalam lalu
lintas dunia seperti negeri Indonesia ini. Demikian catat Sjahrir (1990:138).
Sjahrir tidak memerangi kebudayaan Timur secara kolektif. Tidak pula ia cinta
buta membela ideologi Barat. Dalam pidato Indonesia Freedom-nya, Sjahrir menyebut
kejayaan lampau kerajaan Majapahit yang terentang dari Papua hingga Madagaskar.
Kerajaan-kerajaan Nusantara yang bebas berdagang itu kemudian rusak oleh ekspansi
monopoli Barat, dan dalam prosesnya, masyarakat Nusantara kehilangan
kebebasannya (Sjahir, 1947a:677).
Sjahrir juga menegaskan bahwa mengemukakan keaslian identitas bangsa
dalam kesenian dan dalam adat istiadat adalah baik dan tidak salah atau berbahaya.
Akan tetapi, janganlah cinta terhadap keaslian itu menjadi buta dan bodoh sehingga
melumpuhkan diri bangsa itu sendiri (Sjahrir, 1982:1320).
Inti penolakan Sjahrir terhadap kebudayaan Timur hanya pada titik terendah
kebudayaan itu, yakni kompleks rendah diri. Ia memusuhi mentalitas pegawai negeri
(otokrasi dan birokrasi feodal), obsesi terhadap hierarki, mentalitas budak,
kecenderungan untuk stagnan dalam ‘ketenangan dan refleksi’, toleransi yang
berlebihan, kecenderungan mistik, hingga keahlian dalam pengingkaran, sifat ‘bukan
saya’, keengganan bertanggung jawab atas perbuatannya (Mrazek, 1993:298).
Musuh-musuh itulah yang ingin dihapus oleh Sjahrir dari kebudayaan
Indonesia. Menurutnya, rakyat karena kebodohannya sendiri mau saja diikat di depan
pedati (Sjahrir, 1990:103). Rakyat harus diinsyafkan, disadarkan mengenai posisinya.
Untuk mewujudkan itu, ia meyakini perlu adanya kemerdekaan sosial, suatu revolusi
kejiwaan, dalam diri rakyat Indonesia.
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 12/20
"#
Kemerdekaan Sosial sebagai Awal Kebudayaan Baru
Bulan-bulan awal kemerdekaan nasional, masa ketika rakyat Indonesia
terombang-ambing mencari arah kemerdekaan, Sjahrir menjadi kompas lewat
manifesto politiknya: Perdjoeangan Kita. Ia berpendapat bahwa revolusi nasional
semestinya segera disusul dengan revolusi sosial, suatu revolusi demokrasi atau
revolusi kerakyatan, guna membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan
dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-
kapitalisme yang tidak terkendali (Sjahrir, 1994:11-12).
Kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik,
melainkan menjadi jalan bagi rakyat untuk mengaktualisasi dan meningkatkan mutu
pribadi serta bakat-bakatnya secara bebas tanpa halangan. Nasionalisme haruslah
tunduk kepada kepentingan demokrasi, bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi
maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama, bahkan dapat
mempersilakan fasisme totaliter (Kleden, 2010:12; Sjahrir, 1994:13-14). Demokrasi
tanpa nasionalisme adalah setengah matang, tetapi nasionalisme tanpa demokrasi
adalah pengkhianatan kemanusiaan.
Kemerdekaan nasional, yakni Negara Republik Indonesia, adalah alat untuk
meraih kemerdekaan sosial. Negara haruslah menyediakan jalan untuk kemerdekaan
berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan,
turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan negara dengan hak memilih
dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara (Sjahrir, 1994:15).
Kemerdekaan yang seperti ini tidak mungkin diperoleh bilamana negara
dikuasai oleh nafsu kelas, nafsu nasional, dan nafsu rasial. Ancaman feodalisme, neo-
fasisme militeris, dan pertikaian antaretnis faktanya menguasai Indonesia semenjak
kemerdekaan nasional diraih –– dan masih mengancam hingga sekarang. Untuk itulah
pemikiran Sjahrir mendambakan rakyat Indonesia menjadi manusia yang dewasa
secara budaya ––otomatis membuatnya juga dewasa secara politik–– agar ancaman-
ancaman tersebut dapat dihindari dan, kalau sudah terlanjur, ditanggulangi.
Kebudayaan, menurut Sjahrir (1947:80), adalah pusaka yang harus dikalahkan
terlebih dahulu sebelum mendapatkannya. Kebudayaan bukan milik suatu kasta
masyarakat menurut turunan darah, melainkan milik sekalian orang yang bersedia dan
sanggup mendapatkannya. Kebudayaan itu telah mengambil rupa pendidikan Barat,
dan pendidikan Barat itu telah menjadi kebudayaan universal –– kebudayaan seluruh
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 13/20
"$
dunia. Ketertinggalan dalam pendidikan adalah ketertinggalan dalam hal peradaban,
kegagalan kemerdekaan sosial, dan kekalahan bangsa Indonesia.
Sjahrir sangat yakin bahwa pendidikan dan kebudayaan tidaklah lain
merupakan usaha suatu bangsa untuk membentuk budi yang baru bagi bangsanya,
membentuk manusia yang baru yang akan sanggup mendirikan masyarakat yang lebih
baik, lebih adil dan makmur daripada yang telah dialami sebelumnya. Pendidikan dan
kebudayaan diharapkan dapat memperbaiki jiwa dan budi pekerti bangsa Indonesia
yang akan datang, serta menjamin kemajuan dan masa depan rakyat (Sjahrir,
1982:239).
Sejarah telah menjadi saksi bahwa pendidikan adalah ‘causa prima’ dari
segala bentuk penghapusan kolonialisme, awal dari perubahan wajah dunia. Bangsa
Indonesia harus ingat: pada tahun 1901, di parlemen Belanda, koalisi besar Dutch
Christian Social Democrat memproklamirkan Politik Etis sebagai haluan baru
pemerintah. Kebijakan itu berlandaskan moralistik dan jiwa kemanusiaan untuk
mencapai asimilasi antara masyarakat tanah jajahan dan masyarakat metropol, dan
dilaksanakan terutama lewat penyebaran pendidikan Barat (Mrazek, 1996:20-23).
Terlepas dari ikatan politis apapun di dalamnya, tanpa pendidikan Barat yang
dibawa oleh Politik Etis, maka tidak akan ada Volksraad 1918, tidak akan ada Sumpah
Pemuda 1928, dan tidak akan ada deklarasi kemerdekaan 1945 dalam sejarah nasional
Indonesia. Efek domino sejarah ini telah dilupakan atau, kalaupun ingat, diremehkan
oleh rakyat Indonesia.
Pendidikan tidak boleh diartikan pragmatis sebagai usaha rutin untuk
menambah banyak gedung sekolah, menambah banyak orang yang pandai membaca,
atau menambah banyaknya orang yang memperoleh sarjana, sehingga dapat masuk
dalam perlombaan kolom gaji sebagai pegawai pemerintah. Pendidikan semestinya
diartikan sebagai upaya menuju cita-cita yang tinggi untuk membentuk budi baru,
manusia baru, masyarakat baru (Sjahrir, 1982:240).
Oleh karenanya, untuk membangun suatu kebudayaan Indonesia baru itu harus
diawali bersamaan dengan penguatan pendidikan. Kebudayaan tanpa pendidikan
hanya membentuk suatu lapisan permukaan saja, lapisan yang tipis dan dapat
mengelupas dengan sangat mudah.
Kesadaran seperti itu, menurut Sjahrir (dalam Kleden, 2010:19), hanya bisa
dibawa oleh revolusi sosial. Jika kemerdekaan nasional adalah jalan bagi kemerdekaan
sosial, maka kemerdekaan sosial adalah kesadaran rakyat Indonesia, kebangkitan
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 14/20
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 15/20
"&
datangnya fasisme, dan serangan kapitalisme, maka susunan kekuatan subjektif itu
harus dilandaskan pada jiwa kemanusiaan yang berazaskan kerakyatan.
Kemerdekaan nasional telah diraih. Kemerdekaan sosial akan segera
dilaksanakan. Tetapi, kebudayaan seperti apa yang mesti dituju oleh bangsa Indonesia.
Inilah yang berulang kali dijawab, diolah, dan diperdebatkan oleh kaum muda
intelektual di periode Revolusi Nasional Indonesia 1945-1949. Sjahrir, karena
ketajaman dan kejernihan pikirannya, menjadi tempat rujukan para pemuda itu
(Mrazek, 1996:418; Diah, 1983:58).
Sjahrir tidak secara langsung menawarkan sebuah bentuk kebudayaan
Indonesia yang baru, namun siluet bangunan tentang itu sudah bisa dilihat dari outline
pemikirannya. Meski seakan beradu punggung dengan kebudayaan lama yang feodal,
pemikiran budaya Sjahrir jauh dari sifat ekstrimis. Ia tidak memihak pada niatan
‘meruntuhkan dengan kekerasan susunan masyarakat yang ada’ (Sjahrir, 1990:72).
Pandangannya yang logis dan realis mendorongnya melahirkan gagasan idealis yang
terjangkau kenyataan.
Ketegasan arah pemikiran Sjahrir adalah Gandhi di India, dan komprominya
adalah Tagore. Kebudayaan Indonesia perlu ketegasan itu, dan rakyat perlu kompromi
itu. Akan ke mana tujuan gerak kebudayaan Indonesia, dan bagaimana mencapainya,
perlulah dipikirkan ulang oleh kaum intelektual Indonesia dari tiap-tiap zaman agar
terus diaktualkan. Saat itu akan tiba, persoalannya hanya apakah ia datang tiba-tiba
atau terencana sebaik-baiknya. Sjahrir memilih untuk merencanakannya dengan
sebaik-baiknya.
Negara Republik Indonesia hanyalah ‘nama’ yang diberikan pada ‘isi’ yang
dimaksudkan dan kehendakkan (Sjahrir, 1994:18). Kemerdekaan nasional adalah
‘bentuk’ , dan untuk mengisinya rakyat harus mengetahui apa yang diinginkan bagi
hidup mereka dan hidup anak cucu mereka. Itulah pentingnya arah kebudayaan
Indonesia. Ini bukan lagi persoalan melepaskan diri dari kompleksitas negatif
kebudayaan lama, namun menyusun kebudayaan baru.
Bagi Sjahrir (1967:27; 1982:87; Legge, 1993:236; Mrazek, 1996:759-760),
arah kebudayaan Indonesia adalah masyarakat sosialis yang ultramodern, di mana
rakyatnya kaya secara rohani dan jasmani. Ia mengidamkan kesejahteraan dan
kemakmuran yang sosialistik seperti yang telah sukses diterapkan di negara-negara
sosialis Skandinavia. Peradaban maju di sisi ekonomi, kedewasaan politik,
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 16/20
"'
kecanggihan teknologi, dan kedinamisan ilmu pengetahuan, merupakan visi Indonesia
baru.
Sosialime Sjahrir bukanlah sosialisme dalam pengertian klasik. Penerimaannya
terhadap konsepsi materialisme sejarah adalah luwes dan tidak dogmatis. Ia tidak
seperti sosialisme komunis yang percaya akan adanya satu partai yang tidak mungkin
salah, partai yang memiliki otoritas menafsirkan sosialisme (Legge, 1993:47; Sjahrir,
1982:92).
Sjahrir menganalisis kedudukan Indonesia di dunia, dan menurutnya Indonesia
berada dalam area jelajah imperialisme-kapitalisme (Sjahrir, 1994:9-10). Dengan
posisi yang demikian, sosialisme Sjahrir wajib mengutamakan kompromi untuk
menerima modal asing. Namun, dengan syarat: penetapan peraturan-peraturan
operasinya dilandaskan oleh kepentingan rakyat (Legge, 1993:193).
Demi keamanan dan kemakmuran rakyat di masa mendatang, Sjahrir tidak
ingin Indonesia dimusuhi oleh modal asing (Sjahrir, 1994:7). Komprominya yang
semata-mata demi perbaikan sosial Indonesia demikian (Sjahrir, 1994:17), “Selama
alam kita alam dunia kapitalis, terpaksa kita menjaga jangan sampai dimusuhi oleh
dunia kapitalis. Sedapat mungkin membuka negara kita untuk lapangan usaha, dengan
batas bahwa keselamatan rakyat tidak terganggu olehnya.”
Dari segi politik praktis, sosialisme Sjahrir menolak sistem partai monolitik:
partai tunggal pemerintah (staatspartij), yang menurutnya tidak mengakomodasi
perbedaan pandangan politik dan condong ke arah totaliterisme (Legge, 1993:181).
Sjahrir tidak setuju sosialisme yang mengarah pada pengertian diktaktor proletariat
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Lenin dan dipraktekkan oleh Stalin (Kleden,
2010:19; Sjahrir 1982:22, 90).
Dari segi kehidupan sosial, sosialisme Sjahrir menolak peruntuhan tatanan
kelas sosial dengan cara kekerasan. Ia menolak Bolshevisme. Sosialismenya enggan
melakukan aksi massa dan segala kegiatan agitasi yang menurutnya hanya
memabukkan rakyat, tidak menjernihkan pikiran rakyat dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan sosial (Kleden, 2010:20; Mrazek, 1996:143). Sosialisme
Sjahrir bertugas mempertinggi kesadaran dan pengertian rakyat untuk membangun
suatu masyarakat baru yang adil dan makmur bagi semua umat manusia yang hidup di
dalamnya (Sjahrir, 1982:88).
Atas dasar itu semua, tampak bahwa pedoman sosialisme Sjahrir adalah azas
kerakyatan yang menjunjung tinggi persamaan derajat manusia (Sjahrir, 1982:91).
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 17/20
"(
Oleh karena itu, Sjahrir menamakan pengertian sosialisnya itu sebagai ‘Sosialisme
Kerakyatan’ (Sjahrir, 1982:86).
Halangan-halangan: Kemarin, Kini, dan Nanti
Kritik terhadap pemikiran Sjahrir telah ada sejak pertama kali pemikiran itu
muncul di khalayak ramai. Tulisan ini tidak berniat memaparkannya satu per satu,
lebih-lebih mencoba menjawab kritik itu. Focal point dari kritik pemikiran Sjahrir
terletak pada ekslusifitasnya, kesenjangannya dengan rakyat Indonesia. Pemikirannya
dianggap terlalu ‘kebarat-baratan’, sehingga membuat kesan ‘tercabut dari akarnya’
(ontworteld). Pandangan Sjahrir terhadap sifat-sifat buruk kebudayaan Timur dikritik
karena memakai ukuran Barat. Bangunan pemikiran Sjahrir dikritik karena
keterasingannya dari masyarakatnya sendiri yang adalah objek dari aplikasi pemikiran
itu.
Ini diakui sendiri oleh Sjahrir (1990:40; 1990:73). Pemikiran Sjahrir oleh
rakyat dianggap terlalu abstrak, berada di luar jangkauan masyarakat. Sementara bagi
Sjahrir, rakyat dianggapnya terlalu lamban.
Dalam perenungannya di pengasingan, Sjahrir mengembalikan semua itu
kepada apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan rakyat. Bila orientasi kemajuan
bangsa Indonesia ialah peradaban yang tinggi ilmu pengetahuan serta tinggi moral
kemanusiaannya, maka kebutuhan-kebutuhan intelektual adalah syarat mutlak.
Kebutuhan-kebutuhan intelektual itu tidak lagi bisa dijawab oleh ‘Borobudur’ atau
‘Mahabharata’, sebab kebutuhan intelektual rakyat adalah kebutuhan abad keduapuluh
satu. Masalah-masalah yang rakyat hadapi adalah masalah-masalah abad keduapuluh
satu. Rakyat tidak bisa lagi hidup statis di tengah zaman yang dinamis (Sjahrir,
1990:74).
Jalan pikir seperti ini terlampau ‘supersonik’ untuk diikuti oleh mata rakyat
sahaja. Sejarah telah membuktikan bahwa pemikiran Sjahrir ditolak oleh rakyat. Mata
rakyat sudah terlanjur dicampur kebencian dan ketakutan berlebihan terhadap dunia
Barat. Rakyat Indonesia terlanjur memandang orang kulit putih sebagai makhluk
superior, sekaligus diam-diam membencinya. Suatu wujud dari rasa kurang harga diri,
rasa iri dalam persaingan, dan rasa tidak berdaya (Sjahrir, 1990:140).
Hal tersebut boleh jadi adalah akibat dari pengalaman rumit, bercampur aduk,
yang telah dialami rakyat Indonesia dari generasi ke generasi. Bila ditinjau seksama,
rendahnya tingkat pendidikan rakyatlah yang menjadi penyebab dasar. Setelah ratusan
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 18/20
")
tahun hidup tanpa pendidikan yang sebenarnya, rakyat mengandalkan ‘pengalaman’
sebagai pemecahan atas masalah-masalah mereka. Mistisisme dalam alam pikiran
rakyat memperburuk keadaan ini. Akibatnya, rakyat hidup dalam dua belenggu, yakni
belenggu penjajahan asing dan belenggu yang dibuatnya sendiri.
Untuk membebaskan rakyat itulah Sjahrir percaya pada sosialisme, di mana
semua manusia sama adanya. Untuk itulah Sjahrir mengangkat tinggi-tinggi
humanisme, di mana etis dan estetis diutamakan. Untuk itu juga Sjahrir
memperjuangkan demokrasi – yang secara bebas diartikannya sebagai kerakyatan – di
mana kesejahteraan rakyat adalah dasar dari segala tindakan politik maupun ekonomi
sebuah negara. Di sinilah letak halangan berikutnya, yang secara tidak langsung
merupakan turunan (breakdown) dari kesenjangan pemikiran Sjahrir dengan rakyat.
Ada semacam kepercayaan aneh dalam kesederhanaan politik dan intelegensi
(kemampuan untuk mengerti) masyarakat Indonesia yang menganalogikan sosialisme
dengan komunisme, dan komunisme dengan kebiadaban dan atheisme. Mereka anti
apa saja yang berembel-embel komunisme, dan lebih condong memusuhi dalam
pengertian emosional tanpa perspektif ideologis. Pandangan ini memang tidak merata
di seluruh masyarakat, akan tetapi dengan kecilnya jumlah rakyat terdidik serta
minimnya upaya kaum cendekiawan meluruskannya membuat kepercayaan aneh
tersebut menghalangi perluasan eksistensi ideologis Sosialisme Kerakyatan Sjahrir.
Halangan yang terakhir bagi pemikiran Sjahrir adalah kecilnya kekuatan
politik pendukung pemikiran tersebut. Sulit dipungkiri, kendati pemikiran tersebut
merupakan pemikiran budaya, tetap diperlukan kekuatan politis untuk mengangkatnya
sebagai wacana Negara. Singkatnya, sejak PSI dibubarkan belum muncul partai
politik berhalauan sosial-demokrat yang maju di Pemilihan Umum Indonesia. Tanpa
wadah politis maka kedemokratisan pemikiran Sjahrir tidak bisa diperjuangkan.
Kesimpulan
Secara sederhana, pemikiran budaya Sjahrir dapat dimetaforkan dalam
kesimpulan yang demikian.
Sjahrir mendiagnosa permasalahan masyarakat Indonesia dengan dua sudut
pandang prinsipal: dari dalam, terdapat masalah kompleks rendah diri; dan dari luar,
terdapat masalah rendahnya pendidikan. Kedua masalah itu diderita oleh satu tubuh
yang rusak, yakni tubuh yang masih dikuasai feodalisme beserta alam pikirannya yang
mistis. Juga ditemukan adanya simtom fasisme dan kapitalisme berlebihan dalam
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 19/20
"*
tubuh itu. Komplikasi ini adalah penyakit yang dinamakan permasalahan budaya
Indonesia.
Guna kesembuhannya, Sjahrir menyarankan agar disusun sebuah kebudayaan
baru. Sjahrir menulis resep dengan dua jenis obat yang satu sama lain saling
mendukung. Obat pertama adalah kemerdekaan sosial, yang harus ditelan dengan cara
revolusi mental. Obat kedua adalah pendidikan, yang hanya bisa diperoleh dari dunia
Barat.
Akan tetapi, Sjahrir menegur bahwa kedua obat tersebut tidak akan mujarab
tanpa keinginan untuk sembuh dari pasien sendiri. Sehat harus menjadi tujuan dari si
pasien, dan dalam konteks ini, Sjahrir yakin bahwa masyarakat sosialis adalah
kesehatan itu.
Mengutip pidato Sjahrir (1982:128), “Memang benar bahwa menciptakan
masyarakat baru itu bukanlah pekerjaan mudah. Mengajak rakyat banyak untuk
memulai usaha mendirikan suatu masyarakat yang berdasarkan Sosialisme
Kerakyatan, suatu wujud keadilan sosial dan kemakmuran bersama, adalah sama
dengan mengajak memulai suatu usaha yang mahabesar dan mahaberat serta pasti
akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun.” Namun, setidaknya Sjahrir telah mulai
memikirkannya.
Pemikiran Sjahrir tidak berdiri sendirian. Nama-nama penting di Indonesia
seperti Soemitro Djojohadikoesoemo, Sarbini Sumawinata, T.B. Simatupang, Hamid
Algadri, Amir Hamzah Siregar, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Rivai Apin,
H.B. Jassin, Soedjojono, B.M. Diah, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis disebut-sebut
sebagai pengikut Sjahrir atau setidaknya terpengaruh secara tidak langsung oleh
pemikiran Sjahrir (Mrazek, 1996:435; Legge, 1993:256). Ke depan, mungkin nama-
nama itu akan bertambah, diisi oleh kaum muda intelektual Indonesia masa kini yang
sepaham dengan pemikiran budaya Sjahrir dalam menghadapi permasalahan bangsa
Indonesia.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihan. 2010. Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati Pejuang Kemanusiaan - True
Democrat, Fighter for Humanity 1909-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
dan KITLV Press.
_____________ (ed.) 1980. Mengenang Sjahrir. Jakarta: PT Gramedia.
_____________ 1966. Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir.Jakarta: P.T. Pembangunan.
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad
http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 20/20
#+
Diah, B.M. 1983. Angkatan Baru ’45: Lembaga Perjuangan Pemuda Menentang
Jepang, Mendorong Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Masa
Merdeka.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hatta, Mohammad. 1979. Memoir. Jakarta: Tintamas.
_______________ 1969. Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tintamas.
_______________ ‘Kita Berdjandji terhadap Tuhan JME Memperdjuangkan Terus
Tjita-tjita Sjahrir: Kata Perpisahan Upacara Pemakaman Sutan Sjahrir’,
Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, Rosihan Anwar.
1966. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Icksan, Mohammad. ‘Riwajat Hidup Sutan Sjahrir’, Perdjalanan Terachir Pahlawan
Nasional Sutan Sjahrir, Rosihan Anwar. 1966. Jakarta: P.T. Pembangunan.
Kahin, G. McTurnan. “Sutan Sjahrir,” Mengenang Sjahrir, ed. Rosihan Anwar. 1980.Jakarta: PT Gramedia.
Kleden, Ignas, ‘Etos Politik dan Jiwa Klasik’, dalam: Rosihan Anwar. 2010. Sutan
Sjahrir: Demokrat Sejati Pejuang Kemanusiaan - True Democrat, Fighter for
Humanity 1909-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas dan KITLV Press.
Legge, J.D. 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peran KelompokSjahrir terj. Hasan Basari. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya terj. Winarsih P. Arifin, Rahayu S.
Hidayat, Nini H. Yusuf. Volume I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mrazek, Rudolf. 1996. Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia terj. MochtarPabotingi, Matheos Nalle, S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sastra. “Makna Sjahrir untuk Sastra dan Sastra untuk Sjahrir,” Mengenang Sjahrir, ed.
Rosihan Anwar. 1980. Jakarta: PT Gramedia.
Sjahrir, Sutan. 1994. Perjuangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur’49.
___________ 1990. Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
___________ 1982. Sosialisme Indonesia Pembangungan: Kumpulan Tulisan.
Jakarta: LEPPENAS.
___________ 1967. Sosialisme dan Marxisme. Jakarta: Penerbit Djambatan.
___________ 1947. Pikiran dan Perdjoeangan. Jakarta: Poestaka Rakjat.
___________ 1947a. “Indonesian Freedom, Request for Security Council Arbitration
Commision,” Vital Speeches of the Day. 9/1/47, Vol. 13 Issue 22, 676-680.
Soedjatmoko. ‘Catatan Akhir’, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin, Sutan
Sjahrir. 1990. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Soekarno. 1965. An Autobiography as Told to Cindy Adams. Indianapolis: Bobbs
Merril.
Wolf, Charles. ‘Kata Pengantar’, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin, SutanSjahrir. 1990. Jakarta: Penerbit Djambatan.