revolusi mental sutan sjahrir asdad

20
8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 1/20  " REVOLUSI MENTAL SUTAN SJAHRIR Tulisan ini mendapatkan predikat Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah 2014 Pemikiran Budaya Tokoh-tokoh Indonesia Pusat Studi Kebudayaan UGM dengan judul: PEMIKIRAN BUDAYA SUTAN SJAHRIR Menuju Kebudayaan Indonesia Baru Oleh: Olav Iban Abstraksi Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, lahir dari keluarga yang memiliki tradisi pendidikan kuat. Lewat perjalanan intelektualnya, Sjahrir lekas sadar bahwa feodalisme Timur telah melapangkan jalan bagi kolonialisme Barat menjajah rakyat Indonesia berabad-abad lamanya. Jasmani dan rohani rakyat menderita dalam bentuk yang terburuk: dibelenggu kompleks rendah diri. Sjahrir pun menggagas dan merumuskan revolusi sosial sebagai kelanjutan segera dari revolusi nasional. Ia amat yakin bahwa keberhasilan revolusi sosial hanya dapat diperoleh melalui pendidikan Barat. Sjahrir mendambakan terciptanya manusia Indonesia baru, suatu masyarakat sosialis modern berlandaskan azas kerakyatan dan kemanusiaan. Kini setelah hampir 70 tahun Indonesia merdeka secara nation, cita-cita kemerdekaan sosial belum juga terwujud. Warisan feodal masih ada dalam mental rakyat Indonesia. Bangunan  pemikiran Sjahrir yang memiliki rumusan apa, kapan, siapa, bagaimana dan ke mana arah kebudayaan Indonesia baru pun semakin lama semakin dilupakan. Tulisan ini  bermaksud menghadirkan kembali pemikiran budaya Sjahrir, dan diharapkan mampu menjadi alat navigasi dalam menghadapi permasalahan bangsa Indonesia. Kata kunci: Sutan Sjahrir, budaya, pendidikan, kerakyatan, Indonesia baru. Pendahuluan  Nama Sutan Sjahrir lebih kerap hilang di belantara daripada timbul di puncak-  puncak pemikiran budaya Indonesia. Dunia lebih suka mengenalnya sebagai national leader Indonesia. Sedikit yang memandangnya sebagai budayawan, dan lebih sedikit lagi yang mengingat sumbangsihnya dalam Polemik Kebudayaan Indonesia dasawarsa 1930 yang turut menentukan orientasi kebudayaan bangsa Indonesia hingga sampai ke titik yang sekarang ini. Gelar budayawan memang sulit jika dilekatkan pada diri Sjahrir. Barangkali hanya orang-orang seperti Soebadio Sastrosatomo, atau Soedjatmoko, atau karib-karib Sjahrir semenjak di Klub Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan/PNI-Baru) hingga Partai Sosialis Indonesia (PSI) saja yang sanggup memandangnya seperti itu (Soedjatmoko, 1990:286; Mrazek, 1996:435).

Upload: muhammad-hanif

Post on 06-Jul-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 1/20

  "

REVOLUSI MENTAL SUTAN SJAHRIR

Tulisan ini mendapatkan predikat Juara IIILomba Karya Tulis Ilmiah 2014 Pemikiran Budaya Tokoh-tokoh Indonesia

Pusat Studi Kebudayaan UGMdengan judul:

PEMIKIRAN BUDAYA SUTAN SJAHRIR

Menuju Kebudayaan Indonesia Baru

Oleh: Olav Iban

Abstraksi

Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, lahir dari keluarga yang memiliki

tradisi pendidikan kuat. Lewat perjalanan intelektualnya, Sjahrir lekas sadar bahwa

feodalisme Timur telah melapangkan jalan bagi kolonialisme Barat menjajah rakyatIndonesia berabad-abad lamanya. Jasmani dan rohani rakyat menderita dalam bentuk

yang terburuk: dibelenggu kompleks rendah diri. Sjahrir pun menggagas dan

merumuskan revolusi sosial sebagai kelanjutan segera dari revolusi nasional. Ia amat

yakin bahwa keberhasilan revolusi sosial hanya dapat diperoleh melalui pendidikan

Barat. Sjahrir mendambakan terciptanya manusia Indonesia baru, suatu masyarakat

sosialis modern berlandaskan azas kerakyatan dan kemanusiaan. Kini setelah hampir

70 tahun Indonesia merdeka secara nation, cita-cita kemerdekaan sosial belum juga

terwujud. Warisan feodal masih ada dalam mental rakyat Indonesia. Bangunan

 pemikiran Sjahrir yang memiliki rumusan apa, kapan, siapa, bagaimana dan ke mana

arah kebudayaan Indonesia baru pun semakin lama semakin dilupakan. Tulisan ini

 bermaksud menghadirkan kembali pemikiran budaya Sjahrir, dan diharapkan mampumenjadi alat navigasi dalam menghadapi permasalahan bangsa Indonesia.

Kata kunci: Sutan Sjahrir, budaya, pendidikan, kerakyatan, Indonesia baru.

Pendahuluan

 Nama Sutan Sjahrir lebih kerap hilang di belantara daripada timbul di puncak-

 puncak pemikiran budaya Indonesia. Dunia lebih suka mengenalnya sebagai national

leader Indonesia. Sedikit yang memandangnya sebagai budayawan, dan lebih sedikit

lagi yang mengingat sumbangsihnya dalam Polemik Kebudayaan Indonesia dasawarsa

1930 yang turut menentukan orientasi kebudayaan bangsa Indonesia hingga sampai ke

titik yang sekarang ini.

Gelar budayawan memang sulit jika dilekatkan pada diri Sjahrir. Barangkali

hanya orang-orang seperti Soebadio Sastrosatomo, atau Soedjatmoko, atau karib-karib

Sjahrir semenjak di Klub Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan/PNI-Baru)

hingga Partai Sosialis Indonesia (PSI) saja yang sanggup memandangnya seperti itu

(Soedjatmoko, 1990:286; Mrazek, 1996:435).

Page 2: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 2/20

  #

Dari segala jejak yang ditinggalkannya, banyak orang melihat Sjahrir sebagai

 politisi. Namun, idealisme politiknya malah menepikan dirinya sendiri dari ‘Jumat, 17

Agustus 1945’ yang sangat politis itu. Bahkan, membuatnya meninggal sebagai

tahanan politik pada 9 April 1966. Sungguh pun Sjahrir seorang politisi, ia bukan

 politisi yang berhasil.

Sebagian lagi menganggap Sjahrir lebih pantas berpangkat cendekiawan.

Kecerdasannya mampu merangkul pelbagai disiplin ilmu. Ia bergairah mendalami

sastra, filsafat, psikologi, ekonomi, politik, hukum, ilmu-ilmu pasti, hingga

 perbandingan agama. Ia menyampaikan kekaguman, komentar, dan juga kritiknya

terhadap pemikiran-pemikiran ilmiah dengan cara yang ilmiah pula.

Banyak juga kalangan yang merasa bahwa gelar diplomatlah yang paling

cocok disandang Sjahrir. Manifesto politiknya menghasilkan perubahan penting model

 pemerintahan Indonesia hanya tiga bulan sesudah proklamasi.  Perundingan-

 perundingannya mampu memaksa Belanda mengakui eksistensi Indonesia sebagai

Republik. Taktik sumbang beras-nya berhasil mempermalukan blokade Belanda.

Pidato  Indonesia Freedom-nya sukses di Lake Success, dan masih banyak lagi.

Mungkin hanya manusia Indonesia sekelas Agus Salim yang punya hak meremehkan

 pencapaian diplomatiknya. Jelas Sjahrir adalah diplomat yang disegani.

Sjahrir juga pantas menyandang gelar sebagai pendidik, mengingat sedari

muda basis pemikiran Sjahrir adalah pendidikan. Juga dari pemikiran-pemikirannya,

ia tentu memiliki kepantasan untuk disebut sebagai seorang pejuang, negarawan,

hingga seorang pahlawan.

Apa pun status yang dilekatkan pada diri Sjahrir, sulit disangkal bahwa ia

adalah manusia Indonesia yang menakjubkan. Tauladan bagi manusia Indonesia lain

di zamannya maupun di zaman sesudahnya.

Kesemua gelar yang disematkan pada pribadi Sjahrir didasari oleh jiwa

kemanusiaannya. Tekadnya mapan: memerdekakan rakyat Indonesia dari mentalitas

rendahan. Ia berupaya membentuk suatu masyarakat Indonesia baru yang beradab

tinggi, yang maju dalam hal ekonomi, yang dewasa berpolitik, dan yang mantap

 berilmu maupun berteknologi. Ia tidak seperti national leader   liyan yang berdiri di

atas kaki kebencian terhadap penguasa asing. Sjahrir melihat manusia sama adanya

karena kecintaannya pada jiwa kemanusiaan, keseimbangan berkehidupan.

Indonesia, baik sebagai bangsa atau pun sebagai negara, dewasa ini mengalami

ketidakseimbangan. Dari dekade ke dekade, Indonesia perlahan kehilangan manusia-

Page 3: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 3/20

  $

manusia bersejarah, manusia yang memiliki hubungan langsung dengan masa

 perjuangan kemerdekaan. Satu per satu tokoh Indonesia meninggalkan dunia. Sangat

disayangkan, perginya mereka sedikit sekali meninggalkan kedewasaan berbangsa dan

 bernegara. Periode ketika seharusnya mereka pensiun sambil memberi wejangan-

wejangan kedewasaan bagi penerusnya telah dilalui dengan cengkraman kebisuan

Orde Lama maupun Orde Baru. Akibatnya, banyak para penerus mereka adalah orang-

orang yang berjiwa timpang, korup mental. Padahal, para penerus ini pastilah harus

meneruskan ke penerus berikutnya, sementara arus masalah-masalah baru terus datang

menggerus.

Melihat permasalahan Indonesia yang tiada putusnya ini, pemikiran Sjahrir

yang mendamba manusia Indonesia yang kokoh dirasa perlu untuk diperbincangkan

kembali. Sudut pandangnya berharga dan dapat menjadi masukan istimewa,

sebagaimana ia dahulu menjadi Penasehat Istimewa Pemerintah Indonesia.

Tulisan sederhana ini bermaksud menggelar sedikit pemikiran Sjahrir,

terutama pemikiran budayanya, sejalan dengan tekad Sjahrir untuk mendewasakan

rakyat Indonesia. Tulisan ini diharapkan mampu menghadirkan kembali sudut

 pandang Sjahrir, yang telah banyak dilupakan orang, guna menghadapi permasalahan

Indonesia.

Sekilas tentang Sutan Sjahrir

Sejak selesainya Perang Padri di Sumatera, rakyat Nagari Kota Gadang

memperoleh peran yang paling mendasar bagi sejarah panjang nasional Indonesia,

yaitu menjadi angkatan pertama yang bersekolah dengan pendidikan Belanda (Anwar,

2010:34). Dari segelintir manusia beruntung di kota itu terdapat seorang jaksa

 bernama Datoek Dinagari, di mana ia beranak seorang jaksa, kemudian bercucu

seorang jaksa pula. Cucu itu bernama Mohammad Rasjad gelar Maharadja Sutan,

ayahanda Sutan Sjahrir (Mrazek, 1996:18-20).

Sjahrir lahir pada tahun 1909, sekitar 70 tahun setelah Perang Padri. Bahwa

sudah ada tiga generasi di atasnya yang mengenyam pendidikan Belanda

menunjukkan Sjahrir lahir dari keluarga yang memiliki tradisi pendidikan kuat,

melebihi orang-orang lain seeranya.

Sjahrir bersekolah ELS (Sekolah Dasar) dan MULO (Sekolah Menengah

Pertama) di Medan. Ia melanjutkan AMS (Sekolah Menengah Atas) bidang Barat

Klasik di Bandung. Di kota itu, Sjahrir ikut mendirikan Tjahja Volks Universiteit

Page 4: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 4/20

  %

(Universitas Rakyat Cahaya) sebagai ekspresi materialnya untuk meningkatkan

intelektualitas rakyat (Legge, 1993:44). Ia juga ambil peran mendirikan Jong

Indonesie, organisasi yang nantinya turut menggagas Sumpah Pemuda 1928 (Mrazek,

1996:64).

Pada tahun 1929, Sjahrir melanjutkan studi ke Belanda untuk belajar Hukum

di Universiteit van Amsterdam, dan kemudian di Universiteit Leiden. Studi yang tidak

 pernah ia selesaikan karena hidup bohemian-nya. Di Belanda ia bergaul dengan

organisasi mahasiswa sosialis, bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor

Internasional, dan juga menjadi Wakil Ketua Perhimpunan Indonesia (Legge,

1993:45; Mrazek, 1996:110).

Kondisi sosial-politik Hindia Belanda mendorong Sjahir untuk pulang pada

tahun 1931. Kemudian, ia memimpin PNI-Pendidikan guna menghidupkan kembali

PNI (Partai Nasional Indonesia) yang ditinggalkan Soekarno karena dipenjara oleh

 pemerintah kolonial. Sjahrir bertugas membuka jalan bagi Hatta yang kala itu masih

menyelesaikan studinya.

Kendati tanpa agitasi dan mobilisasi massa seperti pendahulunya, PNI-

Pendidikan dianggap berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum (Sjahrir,

1990:39). Oleh karenanya, pada tahun 1934, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan di

Cipinang selama satu tahun sebelum kemudian – bersama Hatta – diasingkan ke

Boven Digul, Papua, lalu ke Banda Neira, Maluku, selama tujuh tahun berikutnya

sampai serbuan Jepang di Perang Pasifik tahun 1942. Selama di pembuangan, Sjahrir

ikut menyumbangkan pemikirannya tentang masa depan masyarakat dan kebudayaan

Indonesia kepada surat kabar  Daulat Rakjat dan majalah bulanan  Poedjangga Baroe 

(Sjahrir, 1947; Kleden, 2010:17).

Di masa awal kedatangan Jepang, menurut pendapat umum yang dipercaya

kala itu, tiga pemimpin bangsa yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, yang baru saja

kembali dari pengasingan, mencapai kesepakatan bahwa dua pemimpin yang lebih

dikenal (Soekarno dan Hatta) akan bekerja sama secara terbuka kepada pemerintah

 pendudukan Jepang. Sjahrir, yang kurang dikenal, akan beraksi secara diam-diam

memusatkan kegiatan menyusun gerakan perlawanan bawah tanah. Seluruhnya demi

kepentingan meraih kemerdekaan (Legge, 1993:5; Anwar, 2010:47; Sjahrir, 1990:

262-263; Hatta, 1979:414-416; Soekarno, 1965:171).

Tanggal 17 Agustus 1945 adalah fakta sejarah nasional Indonesia. Fakta

sejarah pula bahwa Sjahrir hari itu menolak hadir di deklarasi kemerdekaan Indonesia,

Page 5: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 5/20

  &

sebagaimana ia tidak mau hadir pada malam persiapannya di rumah seorang Jepang

(Sjahrir, 1990:275). Fakta yang disesali Hatta (1969:12).

Posisi Sjahrir tidak pasif. Kaum intelektual muda berada di bawah

 pengaruhnya. Gerakan perlawanan bawah tanahnya berhasil mengkoordinir

organisasi-organisasi pemuda. Coret-coretan kemerdekaan dalam bahasa Inggris di

ruang-ruang publik dan gerbong-gerbong keretaapi adalah ulah gerakan ini (Mrazek,

1996:479 dan 484).

Pertengahan Oktober 1945, lewat 42 halaman ukuran oktavo berjudul

 Perdjoeangan Kita, Sjahrir menyampaikan pemikiran tentang bagaimana seharusnya

 bangsa Indonesia berjuang (Mrazek, 1996:488). Ini adalah salah satu stimulan penting

ditunjuknya ia menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia

Pusat), yang kemudian menggiringnya menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia,

hanya 88 hari setelah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengangkat

Soekarno dan Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik pertama

Indonesia.

Indonesia di bawah pimpinan Sjahrir melakukan perundingan dengan Belanda.

Hasil-hasilnya penting, namun sering disalahartikan. Keragu-raguan dan penolakan

dari para pendukungnya di parlemen membuat Sjahrir memilih mengundurkan diri

dari posisi perdana menteri. Kendati 19 jam kemudian parlemen berbalik arah

mendukung kebijakan politiknya, dan Soekarno pun memintanya kembali menduduki

 jabatan itu, Sjahrir tetap mundur mengembalikan mandatnya pada tanggal 27 Juni

1947. Tiga hari kemudian ia diangkat sebagai Penasehat Istimewa Pemerintah (Wolf,

1993:xvi-xvii).

Sjahrir melanjutkan perjuangan dengan menarik simpati dunia internasional. Ia

mengunjungi banyak negara, mengupayakan persekutuan. Dari Mesir, ia mengajak

Agus Salim – sepupunya – menuju New York untuk menghadap PBB (Persekutuan

Bangsa-bangsa). Di hadapan Dewan Keamanan PBB di Lake Success, 14 Agustus

1947, Sjahrir memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia lewat pidato  Indonesia

 Freedom-nya. Keesokan harinya, koran The New York Herald Tribune  berkomentar,

“One of the most moving statements heard here at Lake Success (Anwar, 1966:52).”

Sementara majalah Times menyatakan bahwa tanpa advokasi Sjahrir, Indonesia tidak

akan memperoleh banyak simpati dunia internasional (Anwar, 1966:61).

Perjuangannya tidak sia-sia. Belanda resmi mengakui Indonesia sebagai

republik yang merdeka dengan upacara pengakuan kedaulatan serentak di Jakarta dan

Page 6: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 6/20

  '

Amsterdam, 27 Desember 1949. Sejak hari itu, Sjahrir tidak pernah lagi memegang

suatu jabatan resmi dalam pemerintah Indonesia (Anwar, 2010:100; Icksan, 1966:19).

Sjahrir aktif dalam kegiatan sosialis internasional. Ia menggagas Konferesi

Sosialis Asia. Ia juga aktif mendidik kader-kader PSI yang didirikan tahun 1948 di

Yogyakarta, hingga akhirnya dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960.

Tahun 1962, Sjahrir ditangkap dengan tuduhan palsu atas apa yang disebut

Peristiwa Cendrawasih di Makasar. Peristiwa pelemparan granat oleh sekelompok

orang kepada iring-iringan mobil Presiden Soekarno. Pelapor tuduhan palsu kemudian

ditangkap dan dijatuhi hukuman maksimum satu setengah tahun, tetapi Sjahrir yang

menjadi korban dari penuduhan itu tidak pernah dibebaskan (Anwar, 1966:46).

Soe Hok Gie menulis, dalam mingguan Djaya, 23 April 1966, bahwa kejadian

itu membuat hati Sjahrir benar-benar patah, kecewa. Bukan kecewa karena

 penangkapannya, tetapi kecewa karena sebagian besar kaum cendekiawan Indonesia

waktu itu bungkam atas kecurangan politik dan segala ketidakadilan (Anwar,

1966:21).

Dari perjalanan yang demikian itu terbentuklah sosok Sjahrir yang dikenal

sekarang ini. Seorang altruis cerdas yang visioner. Hulu pemikirannya selalu

didasarkan untuk mendiagnosa penderitaan rohani rakyat Indonesia, dan dihilirkan

dengan memberi jalan kesembuhan strategis. Tetapi ia sendiri sudah terlalu jatuh sakit,

spiritual dan jasmaninya. Suatu kali maloperasi membuatnya invalid , tidak lagi bisa

 berbicara juga menulis (Hatta, 1966:26). Kesehatan Sjahrir melemah drastis sampai ia

diizinkan terbang ke Zurich untuk berobat yang menjadi akhir dari perjalanan

hidupnya.

Renungan Kebudayaan Indonesia

Angkatan ‘45 yang dipelopori Chairil Anwar – keponakan Sjahrir – pernah

menyatakan, “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat

kepada me-lap-lap  kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi

kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat (Dhakidae,

2003:167).” Namun, seperti apakah kebudayaan baru yang sehat itu. Kaum

intelektual, muda maupun tua, dengan bersemangat saling menawarkan dan

meperdebatkan kebudayaan baru itu.

Sjahrir muncul sebagai seorang budayawan agung, yang tidak hanya menaruh

 perhatian pada politik sebagai persiapan, pembentukan, dan pelaksana kekuasaan,

Page 7: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 7/20

  (

tetapi juga terhadap nilai politik dan budaya yang mendasari serta mengasuh suatu

sistem politik (Soedjatmoko, 1990:286). Demikianlah yang ditulis Soedjatmoko,

tokoh cendekiawan Indonesia, terhadap pemikiran Sjahrir.

Pengamatan Sjahrir mengenai adanya keterkaitan antara budaya suatu

masyarakat dengan kebangkitan nasional kerap muncul di tahun-tahun awal

 pembentukan karakter bangsa Indonesia, dan visi-visinya terbukti benar adanya.

Adalah kemajuan budaya masyarakatnya yang menjadi dasar kebangkitan sebuah

 bangsa, sekaligus menjadi pengasuh pertumbuhan sang bangsa itu. Dari sinilah

 pemikiran Sjahrir berpijak.

Belenggu penderitaan rohani rakyat Indonesia menjadi semakin sulit

ditanggung, ditumpuk beratus tahun lamanya. Sjahrir menggagas perlunya suatu

kebudayaan baru,‘yang tidak berbau udara museum dan menyan’ (Sjahrir, 1947:79),

sebagai jalan keluar atas belenggu itu, dengan pendidikan sebagai kendaraannya. Bagi

kebudayaan baru itu, Sjahrir menegaskan pentingnya rasionalitas.

Dalam surat-suratnya tanggal 17 dan 20 Maret 1937 (Sjahrir, 1990:176-181),

Sjahrir mengisahkan di Banda Neira sedang dirundung isu ‘musim culik’. Musim

ketika tukang culik berkeliaran di malam hari mengayau, mencari kepala manusia,

sebagai korban pembangunan tiang utama jembatan. Di samping percaya kepada

‘culik’, masyarakat setempat juga percaya kepada hantu. Contohnya, hantu perempuan

yang meninggal akibat persalinan akan keluar dari kuburan dan mengembara di pulau

sebagai ‘pontianak’. Masyarakat setempat gaduh. Kasak-kusuk dan kekuatiran

merebak sampai ke telinga Sjahrir.

Sjahrir berpendapat hal tersebut adalah bentuk primitif ketakutan terhadap

maut: maut yang hidup, maut yang bangkit kembali. Menurutnya, tinggi rendahnya

sebuah peradaban bisa diukur lewat tingkat kehalusan bentuk-bentuk ketakutannya

terhadap maut (Sjahrir, 1990:180). Semakin primitif bentuk ketakutan itu, semakin

rendah peradabannya.

Di Barat yang materialistis, kepercayaan yang demikian itu jauh lebih kurang.

Di sana, ketakutan masyarakatnya berbentuk keruntuhan materiil seperti kebangkrutan

ekonomi atau pertarungan kelas, yang semuanya itu berlandaskan nafsu akan

kekayaan bendawi (Sjahrir, 1990:181).

Kendati begitu, bukan berarti ketakutan yang primitif tidak dapat dijumpai di

dalam masyarakat Barat. Ia ada, namun dalam raison d’etre yang berbeda. Jika bentuk

Page 8: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 8/20

  )

ketakutan dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya peradaban, maka raison d’etre suatu

ketakutan dapat menjadi ukuran orientasi peradaban.

Bila diparafrasis, pengalaman Sjahrir tersebut memperlihatkan dasar konsepsi

kebudayaan baru Indonesia yang diidamkannya. Hantu dalam alam pikiran

masyarakat Indonesia berbeda dengan hantu di Eropa atau Amerika. Dalam alam

 pikiran masyarakat Barat, hantu memiliki kemampuan untuk membunuh manusia

hidup, sedangkan di Indonesia hantu tidak membunuh orang. Biarpun begitu, orang

Indonesia tetap saja takut kepada mereka. Dikotomi ini menunjukkan bahwa

masyarakat Barat memiliki ketakutan kepada maut dalam arti kematian: ketakutan

untuk tidak lagi hidup, sedangkan masyarakat Indonesia memiliki ketakutan pada

maut dalam arti kegelisahan: ketidaktenangan hidup.

Bila disimpul lebih dalam dari perspektif negasinya, maka keadaan psikose-

takut Barat tersebut menunjukkan adanya keinginan intuitif mereka untuk

memperjuangkan hidup. Suatu rupa bawah sadar dari kedinamisan mencapai

kehidupan tertinggi. Sementara keadaan psikose-takut Indonesia mengarah pada hasrat

kenyamanan hidup, tentram, stabil, tanpa goncangan, bahkan mendekati keinginan

untuk statis. Kedinamisan Barat dan kestatisan Timur itulah yang menjadi bahan

fondasi pemikiran Sjahrir bagi kebudayaan Indonesia baru.

Pencarian jati diri kebudayaan Indonesia diramaikan oleh perdebatan ‘menuju

kebudayaan Barat ataukah Timur’. Jika Barat dilambangkan Faust yang menaklukkan

kekuatan alam, maka Timur dilambangkan Arjuna yang bertapa di Gunung Indrakila

(Sjahrir, 1990:158-159; Dhakidae, 2003:152; Lombard, Vol I, 2008:236). Perdebatan

itu tidak selalu berhasil menyintesiskan Barat dan Timur, tetapi pendukung kedua

 pihak sama-sama yakin bahwa kebudayaan Indonesia tidak boleh dibiarkan berjalan

tanpa tiang awan di waktu siang dan tanpa tiang api di waktu malam.

Penolakan Sjahrir terhadap feodalisme, alam pikir mistis, fatalis, dan kompleks

rendah diri menempatkannya di pihak pendukung kebudayaan Barat sebagai orientasi

kebudayaan Indonesia. Dalam konteks dan tafsiran yang lebih luas, ia menghendaki

agar perkembangan Timur dilihat dengan cara rasional yang sama dengan cara yang

digunakan dalam meninjau evolusi masyarakat Barat. Ia tidak sejalan pilihan Gandhi

yang Timur, maupun pilihan Tagore yang campur (Sjahir, 1990:75; Legge, 1993:55).

Sjahrir memilih Barat.

Pilihan Sjahrir ini bukan asal-asalan. Ia berdiri pada alasan logis yang

mendukung pilihannya. Pergerakan pembaharu kebudayaan Indonesia sudah pasti

Page 9: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 9/20

  *

ditumpukan pada sendi-sendi kaum muda sebagai pengisi masa depan. Menurut

Sjahrir –– dan memang begitu kenyataannya,1 kebudayaan kaum muda intelektual di

Indonesia tidak lain adalah kebudayaan Barat. Kaum muda itu terpelajar secara Barat.

Kekayaan budaya mereka bukan saja ilmu Barat tetapi pun kesusastraan dan kesenian

Barat. Oleh karena ini pula cita-cita mereka tentang kebudayaan tidak berbeda dengan

cita-cita yang terdapat di dalam kebudayaan Barat. Dengan demikian, ukuran yang

harus dipergunakan pada kebudayaan itu tidak lain dari ukuran yang lazim dipakai

untuk kebudayaan Barat (Sjahrir, 1947:80-82).

Kaum muda intelektual jauh lebih dekat dengan Eropa dan Amerika ketimbang

dengan Borobudur atau Mahabharata, atau pula dengan kebudayaan Islam primitif di

Jawa dan Sumatera. Kebenaran dan kenyataan ini sedikit pun tidak perlu merendahkan

derajat kebudayaan yang dikehendaki Indonesia. Sebaliknya, apa yang dikehendaki itu

tidak lain dari semangat yang dibawa zaman (Sjahrir, 1990:74 dan 81).

Sjahrir percaya kecenderungan ke arah mistik suatu saat akan tidak lagi

relevan dengan perkembangan kebutuhan zaman. Maka ia yakin bahwa yang

dibutuhkan oleh kaum muda intelektual Indonesia adalah menerima dengan baik

tantangan rasionalisme Barat, mengambil alih dan menggunakannya untuk memenuhi

kebutuhan bangsa Indonesia (Sjahrir, 1947:96). Para pemuda harus selekasnya

merebut ‘alat’ yang membuat Barat kuat dan berkuasa. ‘Alat’ itu bernama pendidikan.

Sjahrir dapat melihat konsekuensi logis dari pilihan intektualnya itu (bukan

 pilihan politis). Menurutnya, keburukan Barat: kekasaran, kekurangajaran, nafsu

mencari untung, individualisme ekstrim, bahkan kapitalisme masih lebih baik daripada

‘kearifan dan religi ketimuran’. Sebab, justru ‘kearifan dan religi ketimuran’ itu yang

telah membuat rakyat tidak menyadari bahwa mereka telah tenggelam ke tingkat

serendah-rendahnya seseorang bisa tenggelam, yakni ke tingkat perbudakan,

 penaklukkan mental selama-lamanya, yang mewariskan sikap fatalistis beratus

generasi (Sjahrir, 1990:159).

Semua sifat ‘ketimuran’, yang kata orang indah itu, adalah sisa-sisa struktur

masyarakat feodal. Artinya, rakyat telah terbiasa menerima patokan-patokan dari atas,

sehingga mereka selalu menunggu perintah para pemimpin dan mengikuti perintahnya

tanpa sedikit pun berani mengambil prakarsa (Kahin dalam Anwar (ed.), 1980:302).

Dengan kepasrahan hidup seperti itu, yang statis, sehingga pada akhirnya hampir-

 1 Sejak 1960-an, kata ‘pemuda’ menghilang sedikit demi sedikit, dan digantikan

dengan kata ‘mahasiswa’ (Lombard, Vol I , 2008:123).

Page 10: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 10/20

  "+

hampir rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak mempunyai kebutuhan apa-

apa dari abad ke abad, dan menjadi ahli dalam hal ‘tidak berbuat apa-apa’ (Sjahrir,

1990:175).

Sebagai seorang sosialis demokrat, feodalisme adalah kekuatiran Sjahrir.

Hierarki feodal, dari perspektif sosialisme, akan menjauhkan rakyat dari cita-cita

‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.’ Sementara dari perspektif demokrasi,

 piramida feodal akan menghapus hak rakyat untuk memimpin dan mengaktualisasi

dirinya sendiri. Lebih dari itu, feodalisme akan mengundang fasisme, dan fasisme

akan membuka jalan bagi permusuhan etnis, bahkan agama. Mengangkat kembali

warisan feodal sama dengan mendegradasikan kemerdekaan nasional yang sudah

susah payah diperoleh.

Untuk itu, rasionalitas dan modernitas yang dibawa pendidikan Barat – bukan

 pendidikan Timur yang cenderung logis mistis – adalah senjata yang tepat untuk

menghapus feodalisme, termasuk eksesnya: mentalitas budak, kompleks rendah diri

(inferiority complex). Sjahrir yakin bahwa mentalitas yang mendarah daging seperti

itu ditambah payahnya ilmu pengetahuan merupakan formula mematikan yang

merongrong Indonesia nantinya, sehingga perlu adanya revolusi sosial, suatu revolusi

mental besar-besaran. Melalui revolusi inilah, meminjam istilah M.R. Dajoh (dalam

Dhakidae, 2003:66), ‘mentaliteit inggih’ (mental penurut) dihadapkan dengan jiwa ‘ik

kan het zelf ook’ (saya juga bisa).

Sjahrir menginginkan kedinamisan Barat dicerap dengan sungguh-sungguh

oleh rakyat Indonesia. Rakyat harus mengambil semua positif dari kebudayaan Barat

dengan menyisihkan hal negatif dari kedinamisannya itu.

Pemikiran seperti itu tentu sulit diterima oleh rakyat Indonesia yang telah

merasakan pahitnya perlakuan kaum kapitalis Barat kepada mereka selama berabad-

abad. Dalam kalimat Sutan Takdir Alisjahbana (dalam Lombard, Vol I, 2008:232),

“Mereka yang beranggapan seolah segala orang Timur wali yang suci dan segala

orang Barat penjahat yang tiada berhati, pasti akan kaget mendengar ucapan bahwa

orang Timur harus berguru kepada Barat.” Sjahrir paham kesulitan tersebut, dan

memberikan apologi atas pemikirannya itu.

Dalam renungan kebudayaannya (1990:138-139, 194), Sjahrir mengisahkan

tentang dr. Soetomo yang dalam perjalanannya berkeliling Asia heran mendapati

kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling tidak konservatif di

antara bangsa-bangsa Asia, dan menjadi yang paling banyak menyerap kebudayaan

Page 11: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 11/20

  ""

Barat. Orang tidak akan mengira hal itu, namun memang begitu keadaannya. Hanya di

 pelosok-pelosok masih ada tersisa adat istiadat yang karakteristik (yang bukan adat

Eropa) tetapi bukan pula asli Indonesia, sebab telah menyerap adat Arab, Hindu-India,

atau pun Tiongkok. Segala yang baru diberi tempat oleh bangsa ini. Adat yang baru

menjadi lama, sementara yang lebih baru ditoleransi terus menerus. Terkadang

ditemukan sintesa-sintesa yang aneh di antara mereka, seperti Jawa-Hindu, Islam-

Minangkabau, Islam-Banten.

Sungguh naif jika bangsa Indonesia – bangsa yang memiliki kemampuan luar

 biasa dalam hal menerima unsur-unsur asing dalam kebudayaannya – menolak untuk

menjadi dinamis. Munafik jika menolak kebudayaan Barat. Tidak ada satu pun di

seluruh dunia yang sepanjang sejarahnya begitu terus menerus terlibat dalam lalu

lintas dunia seperti negeri Indonesia ini. Demikian catat Sjahrir (1990:138).

Sjahrir tidak memerangi kebudayaan Timur secara kolektif. Tidak pula ia cinta

 buta membela ideologi Barat. Dalam pidato Indonesia Freedom-nya, Sjahrir menyebut

kejayaan lampau kerajaan Majapahit yang terentang dari Papua hingga Madagaskar.

Kerajaan-kerajaan Nusantara yang bebas berdagang itu kemudian rusak oleh ekspansi

monopoli Barat, dan dalam prosesnya, masyarakat Nusantara kehilangan

kebebasannya (Sjahir, 1947a:677).

Sjahrir juga menegaskan bahwa mengemukakan keaslian identitas bangsa

dalam kesenian dan dalam adat istiadat adalah baik dan tidak salah atau berbahaya.

Akan tetapi, janganlah cinta terhadap keaslian itu menjadi buta dan bodoh sehingga

melumpuhkan diri bangsa itu sendiri (Sjahrir, 1982:1320).

Inti penolakan Sjahrir terhadap kebudayaan Timur hanya pada titik terendah

kebudayaan itu, yakni kompleks rendah diri. Ia memusuhi mentalitas pegawai negeri

(otokrasi dan birokrasi feodal), obsesi terhadap hierarki, mentalitas budak,

kecenderungan untuk stagnan dalam ‘ketenangan dan refleksi’, toleransi yang

 berlebihan, kecenderungan mistik, hingga keahlian dalam pengingkaran, sifat ‘bukan

saya’, keengganan bertanggung jawab atas perbuatannya (Mrazek, 1993:298).

Musuh-musuh itulah yang ingin dihapus oleh Sjahrir dari kebudayaan

Indonesia. Menurutnya, rakyat karena kebodohannya sendiri mau saja diikat di depan

 pedati (Sjahrir, 1990:103). Rakyat harus diinsyafkan, disadarkan mengenai posisinya.

Untuk mewujudkan itu, ia meyakini perlu adanya kemerdekaan sosial, suatu revolusi

kejiwaan, dalam diri rakyat Indonesia.

Page 12: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 12/20

  "#

Kemerdekaan Sosial sebagai Awal Kebudayaan Baru

Bulan-bulan awal kemerdekaan nasional, masa ketika rakyat Indonesia

terombang-ambing mencari arah kemerdekaan, Sjahrir menjadi kompas lewat

manifesto politiknya:  Perdjoeangan Kita. Ia berpendapat bahwa revolusi nasional

semestinya segera disusul dengan revolusi sosial, suatu revolusi demokrasi atau

revolusi kerakyatan, guna membebaskan rakyat dari belenggu feodalisme lama dan

dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersamaan dengan imperialisme-

kapitalisme yang tidak terkendali (Sjahrir, 1994:11-12).

Kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik,

melainkan menjadi jalan bagi rakyat untuk mengaktualisasi dan meningkatkan mutu

 pribadi serta bakat-bakatnya secara bebas tanpa halangan. Nasionalisme haruslah

tunduk kepada kepentingan demokrasi, bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi

maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama, bahkan dapat

mempersilakan fasisme totaliter (Kleden, 2010:12; Sjahrir, 1994:13-14). Demokrasi

tanpa nasionalisme adalah setengah matang, tetapi nasionalisme tanpa demokrasi

adalah pengkhianatan kemanusiaan.

Kemerdekaan nasional, yakni Negara Republik Indonesia, adalah alat untuk

meraih kemerdekaan sosial. Negara haruslah menyediakan jalan untuk kemerdekaan

 berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan,

turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan negara dengan hak memilih

dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara (Sjahrir, 1994:15).

Kemerdekaan yang seperti ini tidak mungkin diperoleh bilamana negara

dikuasai oleh nafsu kelas, nafsu nasional, dan nafsu rasial. Ancaman feodalisme, neo-

fasisme militeris, dan pertikaian antaretnis faktanya menguasai Indonesia semenjak

kemerdekaan nasional diraih –– dan masih mengancam hingga sekarang. Untuk itulah

 pemikiran Sjahrir mendambakan rakyat Indonesia menjadi manusia yang dewasa

secara budaya ––otomatis membuatnya juga dewasa secara politik–– agar ancaman-

ancaman tersebut dapat dihindari dan, kalau sudah terlanjur, ditanggulangi.

Kebudayaan, menurut Sjahrir (1947:80), adalah pusaka yang harus dikalahkan

terlebih dahulu sebelum mendapatkannya. Kebudayaan bukan milik suatu kasta

masyarakat menurut turunan darah, melainkan milik sekalian orang yang bersedia dan

sanggup mendapatkannya. Kebudayaan itu telah mengambil rupa pendidikan Barat,

dan pendidikan Barat itu telah menjadi kebudayaan universal –– kebudayaan seluruh

Page 13: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 13/20

  "$

dunia. Ketertinggalan dalam pendidikan adalah ketertinggalan dalam hal peradaban,

kegagalan kemerdekaan sosial, dan kekalahan bangsa Indonesia.

Sjahrir sangat yakin bahwa pendidikan dan kebudayaan tidaklah lain

merupakan usaha suatu bangsa untuk membentuk budi yang baru bagi bangsanya,

membentuk manusia yang baru yang akan sanggup mendirikan masyarakat yang lebih

 baik, lebih adil dan makmur daripada yang telah dialami sebelumnya. Pendidikan dan

kebudayaan diharapkan dapat memperbaiki jiwa dan budi pekerti bangsa Indonesia

yang akan datang, serta menjamin kemajuan dan masa depan rakyat (Sjahrir,

1982:239).

Sejarah telah menjadi saksi bahwa pendidikan adalah ‘causa prima’   dari

segala bentuk penghapusan kolonialisme, awal dari perubahan wajah dunia. Bangsa

Indonesia harus ingat: pada tahun 1901, di parlemen Belanda, koalisi besar Dutch

Christian Social Democrat memproklamirkan Politik Etis sebagai haluan baru

 pemerintah. Kebijakan itu berlandaskan moralistik dan jiwa kemanusiaan untuk

mencapai asimilasi antara masyarakat tanah jajahan dan masyarakat metropol, dan

dilaksanakan terutama lewat penyebaran pendidikan Barat (Mrazek, 1996:20-23).

Terlepas dari ikatan politis apapun di dalamnya, tanpa pendidikan Barat yang

dibawa oleh Politik Etis, maka tidak akan ada Volksraad 1918, tidak akan ada Sumpah

Pemuda 1928, dan tidak akan ada deklarasi kemerdekaan 1945 dalam sejarah nasional

Indonesia. Efek domino sejarah ini telah dilupakan atau, kalaupun ingat, diremehkan

oleh rakyat Indonesia.

Pendidikan tidak boleh diartikan pragmatis sebagai usaha rutin untuk

menambah banyak gedung sekolah, menambah banyak orang yang pandai membaca,

atau menambah banyaknya orang yang memperoleh sarjana, sehingga dapat masuk

dalam perlombaan kolom gaji sebagai pegawai pemerintah. Pendidikan semestinya

diartikan sebagai upaya menuju cita-cita yang tinggi untuk membentuk budi baru,

manusia baru, masyarakat baru (Sjahrir, 1982:240).

Oleh karenanya, untuk membangun suatu kebudayaan Indonesia baru itu harus

diawali bersamaan dengan penguatan pendidikan. Kebudayaan tanpa pendidikan

hanya membentuk suatu lapisan permukaan saja, lapisan yang tipis dan dapat

mengelupas dengan sangat mudah.

Kesadaran seperti itu, menurut Sjahrir (dalam Kleden, 2010:19), hanya bisa

dibawa oleh revolusi sosial. Jika kemerdekaan nasional adalah jalan bagi kemerdekaan

sosial, maka kemerdekaan sosial adalah kesadaran rakyat Indonesia, kebangkitan

Page 14: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 14/20

Page 15: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 15/20

  "&

datangnya fasisme, dan serangan kapitalisme, maka susunan kekuatan subjektif itu

harus dilandaskan pada jiwa kemanusiaan yang berazaskan kerakyatan.

Kemerdekaan nasional telah diraih. Kemerdekaan sosial akan segera

dilaksanakan. Tetapi, kebudayaan seperti apa yang mesti dituju oleh bangsa Indonesia.

Inilah yang berulang kali dijawab, diolah, dan diperdebatkan oleh kaum muda

intelektual di periode Revolusi Nasional Indonesia 1945-1949. Sjahrir, karena

ketajaman dan kejernihan pikirannya, menjadi tempat rujukan para pemuda itu

(Mrazek, 1996:418; Diah, 1983:58).

Sjahrir tidak secara langsung menawarkan sebuah bentuk kebudayaan

Indonesia yang baru, namun siluet bangunan tentang itu sudah bisa dilihat dari outline 

 pemikirannya. Meski seakan beradu punggung dengan kebudayaan lama yang feodal,

 pemikiran budaya Sjahrir jauh dari sifat ekstrimis. Ia tidak memihak pada niatan

‘meruntuhkan dengan kekerasan susunan masyarakat yang ada’   (Sjahrir, 1990:72).

Pandangannya yang logis dan realis mendorongnya melahirkan gagasan idealis yang

terjangkau kenyataan.

Ketegasan arah pemikiran Sjahrir adalah Gandhi di India, dan komprominya

adalah Tagore. Kebudayaan Indonesia perlu ketegasan itu, dan rakyat perlu kompromi

itu. Akan ke mana tujuan gerak kebudayaan Indonesia, dan bagaimana mencapainya,

 perlulah dipikirkan ulang oleh kaum intelektual Indonesia dari tiap-tiap zaman agar

terus diaktualkan. Saat itu akan tiba, persoalannya hanya apakah ia datang tiba-tiba

atau terencana sebaik-baiknya. Sjahrir memilih untuk merencanakannya dengan

sebaik-baiknya.

 Negara Republik Indonesia hanyalah ‘nama’ yang diberikan pada ‘isi’ yang

dimaksudkan dan kehendakkan (Sjahrir, 1994:18). Kemerdekaan nasional adalah

‘bentuk’ , dan untuk mengisinya rakyat harus mengetahui apa yang diinginkan bagi

hidup mereka dan hidup anak cucu mereka. Itulah pentingnya arah kebudayaan

Indonesia. Ini bukan lagi persoalan melepaskan diri dari kompleksitas negatif

kebudayaan lama, namun menyusun kebudayaan baru.

Bagi Sjahrir (1967:27; 1982:87; Legge, 1993:236; Mrazek, 1996:759-760),

arah kebudayaan Indonesia adalah masyarakat sosialis yang ultramodern, di mana

rakyatnya kaya secara rohani dan jasmani. Ia mengidamkan kesejahteraan dan

kemakmuran yang sosialistik seperti yang telah sukses diterapkan di negara-negara

sosialis Skandinavia. Peradaban maju di sisi ekonomi, kedewasaan politik,

Page 16: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 16/20

  "'

kecanggihan teknologi, dan kedinamisan ilmu pengetahuan, merupakan visi Indonesia

 baru.

Sosialime Sjahrir bukanlah sosialisme dalam pengertian klasik. Penerimaannya

terhadap konsepsi materialisme sejarah adalah luwes dan tidak dogmatis. Ia tidak

seperti sosialisme komunis yang percaya akan adanya satu partai yang tidak mungkin

salah, partai yang memiliki otoritas menafsirkan sosialisme (Legge, 1993:47; Sjahrir,

1982:92).

Sjahrir menganalisis kedudukan Indonesia di dunia, dan menurutnya Indonesia

 berada dalam area jelajah imperialisme-kapitalisme (Sjahrir, 1994:9-10). Dengan

 posisi yang demikian, sosialisme Sjahrir wajib mengutamakan kompromi untuk

menerima modal asing. Namun, dengan syarat: penetapan peraturan-peraturan

operasinya dilandaskan oleh kepentingan rakyat (Legge, 1993:193).

Demi keamanan dan kemakmuran rakyat di masa mendatang, Sjahrir tidak

ingin Indonesia dimusuhi oleh modal asing (Sjahrir, 1994:7). Komprominya yang

semata-mata demi perbaikan sosial Indonesia demikian (Sjahrir, 1994:17), “Selama

alam kita alam dunia kapitalis, terpaksa kita menjaga jangan sampai dimusuhi oleh

dunia kapitalis. Sedapat mungkin membuka negara kita untuk lapangan usaha, dengan

 batas bahwa keselamatan rakyat tidak terganggu olehnya.”

Dari segi politik praktis, sosialisme Sjahrir menolak sistem partai monolitik:

 partai tunggal pemerintah (staatspartij), yang  menurutnya tidak mengakomodasi

 perbedaan pandangan politik dan condong ke arah totaliterisme  (Legge, 1993:181).

Sjahrir tidak setuju sosialisme yang mengarah pada pengertian diktaktor proletariat

sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Lenin dan dipraktekkan oleh Stalin (Kleden,

2010:19; Sjahrir 1982:22, 90).

Dari segi kehidupan sosial, sosialisme Sjahrir menolak peruntuhan tatanan

kelas sosial dengan cara kekerasan. Ia menolak Bolshevisme. Sosialismenya enggan

melakukan aksi massa dan segala kegiatan agitasi yang menurutnya hanya

memabukkan rakyat, tidak menjernihkan pikiran rakyat dalam menghadapi

 permasalahan-permasalahan sosial (Kleden, 2010:20; Mrazek, 1996:143). Sosialisme

Sjahrir bertugas mempertinggi kesadaran dan pengertian rakyat untuk membangun

suatu masyarakat baru yang adil dan makmur bagi semua umat manusia yang hidup di

dalamnya (Sjahrir, 1982:88).

Atas dasar itu semua, tampak bahwa pedoman sosialisme Sjahrir adalah azas

kerakyatan yang menjunjung tinggi persamaan derajat manusia (Sjahrir, 1982:91).

Page 17: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 17/20

  "(

Oleh karena itu, Sjahrir menamakan pengertian sosialisnya itu sebagai ‘Sosialisme

Kerakyatan’ (Sjahrir, 1982:86).

Halangan-halangan: Kemarin, Kini, dan Nanti

Kritik terhadap pemikiran Sjahrir telah ada sejak pertama kali pemikiran itu

muncul di khalayak ramai. Tulisan ini tidak berniat memaparkannya satu per satu,

lebih-lebih mencoba menjawab kritik itu.  Focal point   dari kritik pemikiran Sjahrir

terletak pada ekslusifitasnya, kesenjangannya dengan rakyat Indonesia. Pemikirannya

dianggap terlalu ‘kebarat-baratan’, sehingga membuat kesan ‘tercabut dari akarnya’

(ontworteld). Pandangan Sjahrir terhadap sifat-sifat buruk kebudayaan Timur dikritik

karena memakai ukuran Barat. Bangunan pemikiran Sjahrir dikritik karena

keterasingannya dari masyarakatnya sendiri yang adalah objek dari aplikasi pemikiran

itu.

Ini diakui sendiri oleh Sjahrir (1990:40; 1990:73). Pemikiran Sjahrir oleh

rakyat dianggap terlalu abstrak, berada di luar jangkauan masyarakat. Sementara bagi

Sjahrir, rakyat dianggapnya terlalu lamban.

Dalam perenungannya di pengasingan, Sjahrir mengembalikan semua itu

kepada apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan rakyat. Bila orientasi kemajuan

 bangsa Indonesia ialah peradaban yang tinggi ilmu pengetahuan serta tinggi moral

kemanusiaannya, maka kebutuhan-kebutuhan intelektual adalah syarat mutlak.

Kebutuhan-kebutuhan intelektual itu tidak lagi bisa dijawab oleh ‘Borobudur’ atau

‘Mahabharata’, sebab kebutuhan intelektual rakyat adalah kebutuhan abad keduapuluh

satu. Masalah-masalah yang rakyat hadapi adalah masalah-masalah abad keduapuluh

satu. Rakyat tidak bisa lagi hidup statis di tengah zaman yang dinamis (Sjahrir,

1990:74).

Jalan pikir seperti ini terlampau ‘supersonik’ untuk diikuti oleh mata rakyat

sahaja. Sejarah telah membuktikan bahwa pemikiran Sjahrir ditolak oleh rakyat. Mata

rakyat sudah terlanjur dicampur kebencian dan ketakutan berlebihan terhadap dunia

Barat. Rakyat Indonesia terlanjur memandang orang kulit putih sebagai makhluk

superior, sekaligus diam-diam membencinya. Suatu wujud dari rasa kurang harga diri,

rasa iri dalam persaingan, dan rasa tidak berdaya (Sjahrir, 1990:140).

Hal tersebut boleh jadi adalah akibat dari pengalaman rumit, bercampur aduk,

yang telah dialami rakyat Indonesia dari generasi ke generasi. Bila ditinjau seksama,

rendahnya tingkat pendidikan rakyatlah yang menjadi penyebab dasar. Setelah ratusan

Page 18: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 18/20

  ")

tahun hidup tanpa pendidikan yang sebenarnya, rakyat mengandalkan ‘pengalaman’

sebagai pemecahan atas masalah-masalah mereka. Mistisisme dalam alam pikiran

rakyat memperburuk keadaan ini. Akibatnya, rakyat hidup dalam dua belenggu, yakni

 belenggu penjajahan asing dan belenggu yang dibuatnya sendiri.

Untuk membebaskan rakyat itulah Sjahrir percaya pada sosialisme, di mana

semua manusia sama adanya. Untuk itulah Sjahrir mengangkat tinggi-tinggi

humanisme, di mana etis dan estetis diutamakan. Untuk itu juga Sjahrir

memperjuangkan demokrasi – yang secara bebas diartikannya sebagai kerakyatan – di

mana kesejahteraan rakyat adalah dasar dari segala tindakan politik maupun ekonomi

sebuah negara. Di sinilah letak halangan berikutnya, yang secara tidak langsung

merupakan turunan (breakdown) dari kesenjangan pemikiran Sjahrir dengan rakyat.

Ada semacam kepercayaan aneh dalam kesederhanaan politik dan intelegensi

(kemampuan untuk mengerti) masyarakat Indonesia yang menganalogikan sosialisme

dengan komunisme, dan komunisme dengan kebiadaban dan atheisme. Mereka anti

apa saja yang berembel-embel komunisme, dan lebih condong memusuhi dalam

 pengertian emosional tanpa perspektif ideologis. Pandangan ini memang tidak merata

di seluruh masyarakat, akan tetapi dengan kecilnya jumlah rakyat terdidik serta

minimnya upaya kaum cendekiawan meluruskannya membuat kepercayaan aneh

tersebut menghalangi perluasan eksistensi ideologis Sosialisme Kerakyatan Sjahrir.

Halangan yang terakhir bagi pemikiran Sjahrir adalah kecilnya kekuatan

 politik pendukung pemikiran tersebut. Sulit dipungkiri, kendati pemikiran tersebut

merupakan pemikiran budaya, tetap diperlukan kekuatan politis untuk mengangkatnya

sebagai wacana Negara. Singkatnya, sejak PSI dibubarkan belum muncul partai

 politik berhalauan sosial-demokrat yang maju di Pemilihan Umum Indonesia. Tanpa

wadah politis maka kedemokratisan pemikiran Sjahrir tidak bisa diperjuangkan.

Kesimpulan

Secara sederhana, pemikiran budaya Sjahrir dapat dimetaforkan dalam

kesimpulan yang demikian.

Sjahrir mendiagnosa permasalahan masyarakat Indonesia dengan dua sudut

 pandang prinsipal: dari dalam, terdapat masalah kompleks rendah diri; dan dari luar,

terdapat masalah rendahnya pendidikan. Kedua masalah itu diderita oleh satu tubuh

yang rusak, yakni tubuh yang masih dikuasai feodalisme beserta alam pikirannya yang

mistis. Juga ditemukan adanya simtom fasisme dan kapitalisme berlebihan dalam

Page 19: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 19/20

  "*

tubuh itu. Komplikasi ini adalah penyakit yang dinamakan permasalahan budaya

Indonesia.

Guna kesembuhannya, Sjahrir menyarankan agar disusun sebuah kebudayaan

 baru. Sjahrir menulis resep dengan dua jenis obat yang satu sama lain saling

mendukung. Obat pertama adalah kemerdekaan sosial, yang harus ditelan dengan cara

revolusi mental. Obat kedua adalah pendidikan, yang hanya bisa diperoleh dari dunia

Barat.

Akan tetapi, Sjahrir menegur bahwa kedua obat tersebut tidak akan mujarab

tanpa keinginan untuk sembuh dari pasien sendiri. Sehat harus menjadi tujuan dari si

 pasien, dan dalam konteks ini, Sjahrir yakin bahwa masyarakat sosialis adalah

kesehatan itu.

Mengutip pidato Sjahrir (1982:128), “Memang benar bahwa menciptakan

masyarakat baru itu bukanlah pekerjaan mudah. Mengajak rakyat banyak untuk

memulai usaha mendirikan suatu masyarakat yang berdasarkan Sosialisme

Kerakyatan, suatu wujud keadilan sosial dan kemakmuran bersama, adalah sama

dengan mengajak memulai suatu usaha yang mahabesar dan mahaberat serta pasti

akan memakan waktu berpuluh-puluh tahun.” Namun, setidaknya Sjahrir telah mulai

memikirkannya.

Pemikiran Sjahrir tidak berdiri sendirian. Nama-nama penting di Indonesia

seperti Soemitro Djojohadikoesoemo, Sarbini Sumawinata, T.B. Simatupang, Hamid

Algadri, Amir Hamzah Siregar, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Rivai Apin,

H.B. Jassin, Soedjojono, B.M. Diah, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis disebut-sebut

sebagai pengikut Sjahrir atau setidaknya terpengaruh secara tidak langsung oleh

 pemikiran Sjahrir (Mrazek, 1996:435; Legge, 1993:256). Ke depan, mungkin nama-

nama itu akan bertambah, diisi oleh kaum muda intelektual Indonesia masa kini yang

sepaham dengan pemikiran budaya Sjahrir dalam menghadapi permasalahan bangsa

Indonesia.

Daftar Pustaka

Anwar, Rosihan. 2010. Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati Pejuang Kemanusiaan - True

 Democrat, Fighter for Humanity 1909-1966.  Jakarta: Penerbit Buku Kompas

dan KITLV Press.

 _____________ (ed.) 1980. Mengenang Sjahrir. Jakarta: PT Gramedia.

 _____________ 1966.  Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir.Jakarta: P.T. Pembangunan.

Page 20: Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

8/18/2019 Revolusi Mental Sutan Sjahrir asdad

http://slidepdf.com/reader/full/revolusi-mental-sutan-sjahrir-asdad 20/20

  #+

Diah, B.M. 1983.  Angkatan Baru ’45: Lembaga Perjuangan Pemuda Menentang

 Jepang, Mendorong Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Masa

Merdeka.

Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hatta, Mohammad. 1979. Memoir. Jakarta: Tintamas.

 _______________ 1969. Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tintamas.

 _______________ ‘Kita Berdjandji terhadap Tuhan JME Memperdjuangkan Terus

Tjita-tjita Sjahrir: Kata Perpisahan Upacara Pemakaman Sutan Sjahrir’,

 Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir,  Rosihan Anwar.

1966. Jakarta: P.T. Pembangunan.

Icksan, Mohammad. ‘Riwajat Hidup Sutan Sjahrir’,  Perdjalanan Terachir Pahlawan

 Nasional Sutan Sjahrir, Rosihan Anwar. 1966. Jakarta: P.T. Pembangunan.

Kahin, G. McTurnan. “Sutan Sjahrir,” Mengenang Sjahrir, ed. Rosihan Anwar. 1980.Jakarta: PT Gramedia.

Kleden, Ignas, ‘Etos Politik dan Jiwa Klasik’, dalam: Rosihan Anwar. 2010. Sutan

Sjahrir: Demokrat Sejati Pejuang Kemanusiaan - True Democrat, Fighter for

 Humanity 1909-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas dan KITLV Press.

Legge, J.D. 1993.  Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peran KelompokSjahrir  terj. Hasan Basari. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya terj. Winarsih P. Arifin, Rahayu S.

Hidayat, Nini H. Yusuf. Volume I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mrazek, Rudolf. 1996. Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia terj. MochtarPabotingi, Matheos Nalle, S. Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sastra. “Makna Sjahrir untuk Sastra dan Sastra untuk Sjahrir,” Mengenang Sjahrir, ed.

Rosihan Anwar. 1980. Jakarta: PT Gramedia.

Sjahrir, Sutan. 1994. Perjuangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur’49.

 ___________ 1990.  Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin.  Jakarta: Penerbit

Djambatan.

 ___________ 1982. Sosialisme Indonesia Pembangungan: Kumpulan Tulisan.

Jakarta: LEPPENAS.

 ___________ 1967. Sosialisme dan Marxisme. Jakarta: Penerbit Djambatan.

 ___________ 1947. Pikiran dan Perdjoeangan. Jakarta: Poestaka Rakjat.

 ___________ 1947a. “Indonesian Freedom, Request for Security Council Arbitration

Commision,” Vital Speeches of the Day. 9/1/47, Vol. 13 Issue 22, 676-680.

Soedjatmoko. ‘Catatan Akhir’,  Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin, Sutan

Sjahrir. 1990. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Soekarno. 1965.  An Autobiography as Told to Cindy Adams. Indianapolis: Bobbs

Merril.

Wolf, Charles. ‘Kata Pengantar’, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin, SutanSjahrir. 1990. Jakarta: Penerbit Djambatan.