review jurnal psikologi agama

14
REVIEW JURNAL PSIKOLOGI AGAMA MEMBEDAH ORIENTASI, SIKAP DAN PERILAKU KEAGAMAAN Disusun Guna Memenuhi Tugas Psikologi Agama Dosen Pengampu : Johan Nasrul Nama : Hafidha Rahmawati NIM : 12710022 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Upload: hafidha

Post on 26-Sep-2015

647 views

Category:

Documents


116 download

DESCRIPTION

psikologi

TRANSCRIPT

REVIEW JURNAL PSIKOLOGI AGAMA

MEMBEDAH ORIENTASI, SIKAP DAN PERILAKU KEAGAMAAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Psikologi Agama

Dosen Pengampu : Johan Nasrul

Nama : Hafidha Rahmawati

NIM : 12710022

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2013

A. Latar Belakang

Agama adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia, karena hampir manusia di dunia ini memiliki agama, bahkan agama menjadi identitas kelompok manusia yang berbeda satu kelompok dengan kelompok yang lain. Tetapi agama jauh dari manusia, karena agama menjadi misteri bagi manusia sendiri dan tidak semua manusia bisa menjelaskan secara jelas dan gamblang atas apa yang dirasa dan dialami dari pengalaman keagamaan yang dia anut dengan pengalaman keagamaan orang lain.

Para filsuf modern aliran psikologi, seperti Aristoteles, Descartes dan tokoh-tokoh Assosianisme menganggap jiwa raga manusia sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau bukan merupakan kesatuan. Aristoteles berpendapat, bahwa manusia itu merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang masing-masing bekerja sendiri-sendiri, seperti; kemampuan vegetatif, yaitu makan dan minum atau berkembang biak, kemampuan sensitif, yaitu bergerak, mengamati, bernafsu dan berpasangan; kemampuan intelektif, yaitu kemauan dan kecerdasan. Sementara Descartes menyatakan, bahwa manusia terdiri atas zat rohaniah dengan zat material yang masing-masing bekerja menurut aturannya sendiri yang malah bertentangan. Sedangkan kaum assosianisme berpendapat, bahwa manusia terdiri atas unsur-unsur pengalaman sederhana yang dihubungkan antara pengalaman yang satu dengan pengalaman yang lain secara mekanis oleh dalil-dalil asosiasi ialah reflektif, sensasi, gagasan dan impressi. Berdadasarkan pengertian di atas perilaku keberagamaan sangat dipengaruhi oleh sikap keyakinan.

Inilah yang kemudian orang sering membedakan corak keyakinan seseorang.

Psikologi sosial memasukan term orientasi agama termasuk dalam karakter sebagai corak keyakinan. Konsep orientasi keagamaan telah dibangun oleh Allport (1950, 1954, 1959, 1966). Allport merefer kepada salah satu pendekatan pada keyakinan apa arti keyakinan bagi individu? Banyak orang sangat perhatian terhadap gereja, salah satu contoh, seolah terlihat mempunyai kedewasaan beragama dalam hidupnya. Mereka yang hidup konsisten dengan persepsi moral dari sikap beragama, tanpa kemunafikan. Beberapa yang lain perhatian terhadap gereja seolah tidak punya kedewasaan. Mereka mungkin perhatian terhadap gereja untuk mengambil keuntung an untuk dirinya dan seterusnya dan kadang-kadang menuduh orang lain munafik. Dari seluruh pandangan disini ada perbedaan memulai yang mendasar, dalam psikologi sosial kembali kepada yang intrinsik versus ekstrinsik orientasi keagamaan. Allport menyimpulkan perbedaan orientasi intrinsik dan ektrinsik kepada keyakinan adalah sesuatu itu lahir dari diri individu dan hidup sebagai keyakinan, mengingat di luar diri berguna bagi diri sendiri. Disini predikat agama secara moral berhubungan dengan sikap dan perilaku, dilihat bagaimana seseorang beragama (terjemahan). Mendefinisikan konsep intrinsik dan ekstrinsik dan mendiskusikannya dimungkinkan dalam psikologi perbedaan antara intrinsik dan ekstrinsik orientasi seseorang.

Orientasi Kognitif

Secara sederhana orientasi intrinsik merupakan motivasi keyakinan yang dinyatakan, diperlihatkan oleh seseorang dan dilihat oleh orang lain, atau makna yang ringkas type keagamaan yang taat yang teramati. Analogi konsep psikologi atas intrinsik adalah hal yang biologis atau berlandaskan jasmaniah (somatic).

Instrinsik person pada situasi tertentu akan suka melakukan kompromi keyakinan dalam menyambungkan motivasi situasi. Kenapa situasi ini dinyatakan intrinsik, karena sikap keagamaan. Sebuah contoh atas aitem ini Allport dan Ross (1967) intrinsik dan ektrinsik orientasi agama ditentukan dengan sekala waktu (Robinson dan Shaver, 1973) akan diambil sebagai petunjuk.

Orientasi Ekstrinsik

Ektrinsik agak lebih menginternalisasi keyakinan, dirawat untuk sesuatu yang lain atau mendapatkan sesuatu yang menjadi kepentingan dirinya. Secara teori, jika ditegakkan berdasarkan keinginanan menukar untuk berpartisipasi, seseorang akan memberi atas nama agama. Secara ekstrim dicontohkan atas Ektrinsik agama akan menjamin tawaran seseorang siapa yang perhatian terhadap gereja secara reguler dalam order untuk membuat kontak dengan potensi pembeli. Ekstrinsik merawat untuk setuju terhadap pernyataan-pernyataan itu kembali ke sebuah mental hubungan, agama hanya diambil jika menguntungkan bagi dirinya dan ini bagian dari sikap keagamaan yang berorientasi Ekstrinsik.

Kenapa tipe keagamaan intrinsik dan ektrinsik ini penting dijelaskan karena berdampak pada sikap keagamaan seseorang. Ekstrinsik seseorang membutuhkan partisipasi yang lain untuk penyatuan dengan agamanya sebagai orientasi keagamaannya. Secara sederhana orientasi bisa dimaknai tujuan, sedangkan sikap dalam definisi psikologi adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada suatu objek.

Sikap dan Perilaku Keberagamaan

Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas peristiwa dan orang lain. Perasaan ini menjadi konsep yang merepresentasikan suka atau tidak sukanya (positif, negatif, atau netral) seseorang pada sesuatu. Seseorang pun dapat menjadi ambivalen terhadap suatu target, yang berarti ia terus mengalami bias positif dan negatif terhadap sikap tertentu. Sikap muncul dari berbagai bentuk penilaian. Sikap dikembangkan dalam tiga model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku, dan kognisi. Respon afektif adalah respon fisiologis yang mengekspresikan kesukaan individu pada sesuatu. Kecenderungan perilaku adalah indikasi verbal dari maksud seorang individu. Respon kognitif adalah pengevaluasian secara kognitif terhadap suatu objek sikap. Kebanyakan sikap individu adalah hasil belajar sosial dari lingkungannya.

B. Konsep Dasar Teoritis

Sikap dapat mengalami perubahan sebagai akibat dari pengalaman. Tesser (1993) berargumen bahwa faktor bawaan dapat mempengaruhi sikap tapi secara tidak langsung.

Salah seorang ahli yang membahas tentang sikap adalah CarlJung. Ia mendefinisikan tentang sikap sebagai kesiapan dari psike untuk bertindak atau bereaksi dengan cara tertentu.

Menurut Edwards (1957), skala sikap adalah alat yang mudah (tidak rumit), cepat dan dapat mencakup sejumlah responden sekaligus. Skala sikap memungkinkan untuk mengetahui derajat perasaan responden terhadap obyek sikap. Dilihat dari bentuknya, suatu skala sikap tidak lain daripada kumpulan pernyataan-pernyataan sikap mengenai obyek sikap yang diukur.

Ada sebuah konsep Individuasi yang pernah di tawarkan oleh Jung, bahwa individuasi adalah proses menggelarkan diri seperti manusia lainnya, tetapi dengan caranya sendiri yang unik. Tugas kita dalam kehidupan, kata Jung adalah pada satu sisi, mengaktualisasikan kemanusiaan kita secara ektensif dan pada sisi yang lain, membedakan diri kita dari orang lain dan berdiri diatas kaki sendiri. Artinya pernyataan yang tampak itulah sikap seseorag terhadap apapun termasuk sikap kebergamaan seseorang bias dilihat dari pernyaaan yang ditampilkannya.

Seperti ditulis oleh Bustanuddin Agus, Guru Besar Sosiologi Agama dari Universitas Andalas Padang, makin rendah tingkatan berpikir serta pemahaman keagamaan seseorang, makin sempit dan makin konkret sesuatu yang difanatikinya dalam kehidupan beragama. Dan apa yang disoroti oleh Bustanuddin Agus ini, jelas menunjukkan bahwa eksklusivisme datang dari fanatisme yang sempit.

Kiranya tepat apa yang dikemukakan Farid Gaban, menerima kemutlakan sekaligus mau mengakui relativitas adalah keniscayaan orang dalam beragama seraya dapat hidup berdamai dengan manusia lain. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang serba satu hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, dan itu jelas telah menyalahi konsep Islam yang mendasar, bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Umat Islam memang perlu bersatu, tetapi persatuan bukanlah peleburan.

C. Metodologi

Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.

D. Hasil

Sebenarnya orientasi, sikap keberagamaan dalam psikologi akan mengarahkan seseorang menciptakan sistem makna. Dan sistem makna untuk mengarahkan perilaku kesalehan dalam kehidupan. Memenuhi tujuan agama yaitu memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kehidupan religiositas. Religiositas ialah kemampuan memilih yang baik di dalam situasi yang serba terbuka. Setiap kali manusia akan melakukan sesuatu, maka ia akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada. Religiositas juga dimaknai sebagai upaya transformasi nilai menjadi realitas empiris dalam proses cukup panjang yang berawal dari tumbuhnya kesadaran iman. Agama lebih menitik beratkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembahan manusia kepada penciptanya dan mengarah pada aspek kuantitas, sedangkan religiositas lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Agama dan religiositas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat. Penjelasan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Glock dan Stark yang memahami religiositas sebagai

percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Sebagai suatu kritik, religiositas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin inten. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak bisa dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiositas sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk hati dan getaran murni pribadi. Religiositas sama pentingnya dengan ajaran agama, bahkan religiositas lebih dari sekedar memeluk ajaran agama, religiositas mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya di dalam kehidupan sehari-hari.

Secara operasional religiositas didefinisikan sebagai praktik hidup berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam kehidupan.

E. Pandangan

Agama merupakan sebuah keyakinan yang dimiliki setiap manusia. Namun, sekarang sudah berbeda dengan tujuan utama sebuah agama. Saat ini, agama lebih condong hanya untuk formalitas saja. Religiusitas itu diperlukan setiap orang agar hidupnya lebih nyata dan menyadari kehidupannya tersebut. Sebenarnya orientasi, sikap keberagamaan dalam psikologi akan mengarahkan seseorang menciptakan sistem makna. Dan sistem makna untuk mengarahkan perilaku kesalehan dalam kehidupan. Jika orang meyakini akan agamanya, maka pastilah hidup orang itu akan tentram dan tenang tanpa ada kebingungan kepada siapa dia menyembah.