review jurnal

Download Review Jurnal

If you can't read please download the document

Upload: kartika-tarwati

Post on 27-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DIKSI DALAM WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA (SATU KAJIAN SOSIOPRAGMATIK)

4 | Page

REVIEW JURNAL

Oleh: Annisa Rachmani T. (1007263) Prodi. Linguistik. SPs UPI. 2011DIKSI DALAM WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA (SATU KAJIAN SOSIOPRAGMATIK)Tri Sulistyaningtyas

Judul:DIKSI: DALAM WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA(Satu Kajian Sosiopragmatik)Tri Sulistyaningtyas(Diterbitkan dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7 Desember 2008)

REVIEW JURNAL

PendahuluanIklan telah lama menjadi sorotan masyarakat, baik itu iklan yang beredar di media cetak, media elektronik, media luar ruang ataupun di media portal. Hal ini bukanlah hal yang baru ataupun aneh, karena iklan memang dibuat untuk menjadi perhatian.

Telah banyak pembahasan ataupun penelitian yang mengangkat iklan sebagai isu utamanya. Salah satu masalah yang sering diperdebatkan mengenai isu iklan ini adalah keberadaannya yang dihubungkan dengan kaidah bahasa yang berlaku, seperti bahasa verbal dan bahasa visual, jargon, dan skrip iklan. Bahasa iklan, dengan segala tujuan dan pesan yang tersirat didalamnya, dianggap telah melanggar beberapa kaidah berbahasa. Lalu, sejauh manakah bahasa iklan dianggap merusak bahasa?

Intisari PenelitianPenelitian ini mengangkat isu mengenai penggunaan bahasa dalam iklan, baik iklan di media cetak maupun media elektronik. Anggapan awal dalam penelitian ini adalah bahwa penggunaan bahasa dalam iklan itu sering sekali tidak mengikuti aturan tata bahasa dalam bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena penggunaan tata bahasa, dalam hal ini penggunaan struktur SPOK, secara tepat dan baku dinilai menjadikan bahasa iklan tidak efektif dan tidak menarik.

Suatu bahasa iklan harus mampu menyampaikan pesan dan maksudnya dengan baik terhadap konsumen. Bahasa iklan yang baik adalah bahasa yang mudah dimengerti, menyedot perhatian, mudah diingat, serta merujuk produk yang diiklankannya. Seperti yang dikatakan (Rapp dan Collins, 1995:152 dalam Sulistyaningtyas, 2008), bahwa bahasa iklan dituntut mampu menggugah, menarik, mengidentifikasi, menggalang kebersamaan, dan mengkombinasikan pesan dengan komparatif kepada khalayak. Penggunaan catcher baik berupa gambar, suara, atau frase dalam sebuah iklan, juga merupakan aspek lain yang wajib diperhatikan penggunaannya. Lalu, bagaimana suatu bahasa iklan yang dianggap melanggar tata bahasa baku ini dapat ditangkap dan dipahami dengan baik oleh para konsumen? Hal tersebut adalah yang menjadi sorotan dalam penelitian ini.

PembahasanSalah satu contoh bahasa iklan yang diangkat dalam jurnal ini adalah dalam iklan rokok A-Mild. Frase-frase dalam iklan ini dinilai sangat menarik namun juga kontroversial, karena kemunculannya sering kali berisi kritikan terhadap situasi sosial yang terjadi di masyarakat. Frase-frase seperti: Jalan pintas dianggap pantas, Gali lubang Tutup Lupa, Kalo banyak celah kenapa harus nyerah, Terus terang, Terang Ga bisa Terus-terusan, Mau pintar, ko mahal, Susah ngeliat orang seneng, seneng ngeliat orang susah, dan masih banyak lagi, memiliki daya tarik tersendiri bagi para audiensnya. Apalagi dengan adanya catcher kalimat Tanya kenapa? yang selalu muncul di akhir iklan tersebut. Pertanyaannya adalah apa hubungan semua frase tersebut dengan produk rokok yang dipromosikan? Dikatakan dalam pembahasannya bahwa terdapat peran pragmatik didalamnya.

Bahasa iklan adalah sebuah tindak tutur, karena dalam penggunaannya terdapat maksud tertentu dari si penggunanya dan untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai sebuah tindak tutur, bahasa iklan mengandung makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi diartikan sebagai pengujaran kata atau kalimat dengan arti yang tetap dengan maksud tertentu atau berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna. Tindak ilokusi adalah pembuatan pernyataan, perintah, janji, dalam sebuah ujaran menurut kesepakatan yang berhubungan dengan ujaran atau dengan ekspresi performatif. Dengan kata lain berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara. Sedangkan tindak perlokusi merupakan pengaruh atau akibat yang ditimbulkan oleh kata-kata atau kalimat ujaran terhadap pendengar dan situasi ujaran. Dalam iklan A-Mild, dibalik semua lokusi dalam frase yang terkesan tidak nyambung dengan produk yang dipromosikannya, terdapat ilokusi bahwa dengan menggunakan produk ini, maka penggunanya akan berfikir lebih jernih dan kritis. Oleh karenanya, diharapkan perlokusi yang muncul kemudian adalah para audiens akan menggunakan produk ini. Dari sini dapat dilihat bahwa meskipun frase yang digunakan dalam bahasa iklan ini jauh dari hal-hal yang berhubungan (tidak nyambung) dengan produk yang dipromosikannya, namun pesan dari iklan tersebut ditangkap dengan baik oleh konsumennya. Bahkan pemilihan tema yang mengandung plesetan seperti ini menjadi catcher tersendiri bagi iklan tersebut, yang membuatnya menjadi selalu diingat. Strategi lain yang digunakan oleh bahasa iklan untuk menunjukkan keunggulan produk mereka adalah dengan menggunakan sindiran. Contoh yang diambil adalah iklan Geri Toya Toya yang di dalamnya terdapat frase Gak! Mau-mau lagi (lokusi). Para konsumen yang mendengar frase tersebut, diharapkan langsung merujuk pada salah satu produk lain, yaitu Momogi, yang menggunakan frase Mau-mau lagi dalam iklannya (ilokusi). Sehingga secara eksplisit, iklan ini menyindir iklan produk lain, dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa produk mereka lebih baik dari produk yang disindir tersebut. Berikutnya adalah bahasa iklan yang menggunakan jargon-jargon untuk melabeli produknya. Contoh: Kamu adalah kamu dalam iklan rokok U Mild. Penutur disini mengatakan bahwa kamu adalah kamu (lokusi) untuk melakukan tindak menyatakan bahwa kamu adalah kamu (ilokusi), dengan harapan audiens membeli produk U Mild yang dapat membuat mereka menjadi dirinya sendiri. Contoh lain adalah Untung pakai Esia dimna penutur mengatakan bahwa untung ia memakai Esia (lokusi) untuk melakukan tindak menyatakan bahwa untung ia pakai Esia (ilokusi), sehingga audiens memakai Esia karena Esia sangat murah biayanya (perlokusi).

TanggapanSecara keseluruhan, jurnal ini mengangkat hal yang sangat menarik dan mengupas contoh-contoh bahasa iklan yang terkini dan populer. Namun ada beberapa hal yang mengganjal dalam pembahasannya.

Pertanyaan peneltian dalam jurnal ini adalah Bagaimana bentuk pilihan kata dalam wacana iklan berbahasa Indonesia? dan Makna acuan apa saja yang terdapat dalam pilihan kata wacana iklan berbahasa Indonesia?. Dalam penjabaran pertanyaan penelitian tersebut, tidak ada parameter pengklasifikasian bentuk pilihan kata secara jelas dan definisi pasti dari apa yang dimaksud dengan makna acuan. Sehingga batasan permasalahan yang ingin dijawab oleh pertanyaan ini menjadi tidak jelas. Terlebih lagi, dengan tidak disebutkannya speech act (tindak tutur) dan pragmatik dalam kata kunci penelitian ini, membuat parameter dari penelitian ini menjadi samar. Selain itu, data yang diambil sebagai data penelitian ini tidak terfokuskan dengan baik. Sehingga terkesan sembarang, atau hanya mengambil iklan-iklan yang diingat oleh sang penulisnya saja. Alhasil, penelitian bahasa iklan yang dimaksudkan untuk menjadi kajian pragmatis ini kehilangan seni membedah dalam penyajian datanya, dan terkesan hanya sebatas penjabaran teori saja. Satu hal yang bisa menjadi excuse dari semua keterbatasan kajian ini adalah latar belakang penulisnya yang memang bukan dari bidang bahasa. Hal ini pun dinyatakan sendiri oleh penulisnya bahwa penelitian ini memerlukan kajian yang lebih lanjut, dengan data yang lebih memadai dan dengan kedalaman analisis yang lebih baik. Akhirnya, secara umum penelitian ini dapat dijadikan sebuah inspirasi, acuan atau penelitian pendahulu yang menarik untuk diteruskan menjadi penelitian yang lebih jauh lagi mengenai pemilihan kata dalam bahasa iklan.

KesimpulanMedia massa, cetak dan elektronik, memiliki peran yang stategis dalam perkembangan bahasa. Media berperan sebagai alat untuk menyampaikan atau memperkenalkan bentuk-bentuk bahasa kepada masyarakat pemakainya. Oleh karena itu, bahasa iklan sangat diharapkan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara tepat dan tertib, sesuai kaidah yang berlaku. Dengan kata lain, melalui pemilihan kata yang tepat, iklan dapat memberikan pemelajaran yang positif kepada para konsumen dan audiensnya, sehingga dapat mengubah pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat menjadi lebih baik.