resusitasi jantung dan koagulasi
DESCRIPTION
Resusitasi Jantung Dan KoagulasiTRANSCRIPT
Konsep Klinis dan Komentar
Jerrold H. Levy, M.D., F.A.H.A., F.C.C.M., Editor
Resusitasi Jantung dan KoagulasiJoseph L. Weidman, M.D., Douglas C. Shook, M.D., Jan N. Hilberath, M.D.
Dikirimkan untuk dipublikasikan tanggal 7 Juni 2013. Diterima untuk dipublikasikan tanggal 25 Oktober 2013. Dari Departemen Anestesiologi, Perioperatif dan Kedokteran Nyeri, Brigham and Women’s Hospital and Harvard Medical School, Boston, Massachusetts
Copyright © 2013, the American Society of Anesthesiologists, Inc. Lippincott Williams & Wilkins.Anesthesiology 2014; 120:00–00
Henti jantung terjadi dengan perkiran insiden tahunan 92 sampai 189 kasus per
100,000 individu dan membawa prognosis buruk meskipun pada kemajuan dalam kedokteran
modern.1 Bahkan untuk pasien yang sirkulasi spontannya dipulihkan, perawatan mereka
berikutnya di rumah sakit penuh dengan komplikasi potensial. Kekacauan pada koagulasi dan
sistem fibrinolisis sering muncul sebagai akibat dari resusitasi kardiopulmonal (CPR).
Perubahan ini memainkan peran penting dalam spektrum kondisi yang diklasifikasi sebagai
“post–cardiac arrest syndrome.”2 Selain perubahan endogen dalam koagulasi darah setelah
henti jantung, koagulopati iatrogenik dapat dilihat pada berbagai titik waktu sebagai efek
tambahan dari pilihan pengobatan pada pasien ini (Gambar 1).
Pada artikel ini, kami meninjau perubahan pada sistem koagulasi dari pasien yang
mengalami henti jantung dan CPR dan kemudian mendiskusikan potensi koagulopati terkait
dengan hipotermia, trombolisis dan terapi extracorporeal membran oksigenasi (ECMO).
Henti Jantung dan Perubahan pada Koagulopati Endogenus dan Fibrinolitik
Pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan diantara koagulasi dan fibrinolisis.
Setelah henti jantung, keseimbangan ini sering terganggu.
Perubahan dalam Koagulasi Endogenus dan Antikoagulan
Cedera Endotel akibat hipoksemia, ketidakcukupan perfusi organ, dan trauma
langsung jaringan setelah resusitasi menyebabkan pelepasan berbagai mediator proinflamasi,
1
sedangkan tingkat counterregulatory, senyawa anti-inflamasi seperti nitrat oksida dan
prostasiklin secara signifikan ditekan.3 Adrie dkk4 menemukan bahwa tingkat interleukin-6
dan laktat secara konsisten meningkat pada pasien dengan henti jantung yang berhasil
diresusitasi. Selain itu, tingkat sitokin proinflamasi lainnya seperti tumor necrosis factor - α
dan interleukin -1 meningkat. Aktivasi berlebihan beberapa jalur peradangan menyebabkan
aktivasi sistemik trombosit dan pelepasan sekunder faktor jaringan meningkatkan koagulasi
intravaskular melalui pembentukan thrombin.5 Peningkatan regulasi kaskade koagulasi ini
juga didukung oleh bukti laboratorium peningkatan kadar kompleks trombin - antitrombin,
faktor platelet- 4, monomer fibrin, dan thrombin.4,6 Selain langsung menyebarkan
pembentukan bekuan , trombin memiliki efek proimfalmasi ampuh.7 Penguatan timbal balik
peradangan sistemik ini dan aktivitas prokoagulan memperburuk komplikasi tromboemboli
yang sering ditemui setelah henti jantung dan resusitasi. Sebuah peningkatan yang signifikan
dalam penanda inflamasi pada pasien ini telah dikaitkan dengan angka kematian yang lebih
tinggi di rumah sakit.4
Selain efek prokoagulan tersebut, henti sirkulasi dan CPR juga menyebabkan
perubahan bermakna dalam jalur anti-koagulan tubuh: Penurunan kadar anti-trombin , protein
C , dan protein S dapat secara konsisten dinilai.4 Bentuk aktif dari protein C secara fisiologis
menghambat pembentukan trombin, meningkatkan fibrinolisis, dan meredakan peradangan
sehingga meningkatkan homeostasis jaringan lebih cepat. Mengingat sifatnya, penurunan
awal protein C setelah henti jantung dapat sangat merugikan pada periode periresussitasi.
Perubahan Sistem Fibronolitik
Pembentukan bekuan akut ditemui tidak hanya di tahap paska resusitasi, tetapi dapat
memberikan kontribusi terhadap etiologi henti jantung dalam bentuk trombosis pembuluh
darah dan embolisasi sistemik. Penghancuran efektif trombus sangat terbatas setelah henti
sirkulasi meskipun peningkatan awal dalam aktivitas fibrinolitik seperti yang ditunjukkan
oleh kenaikan ringan atau sedang dalam tingkat d - dimer setelah kembalinya sirkulasi
spontan. Secara keseluruhan, bagaimanapun, peradangan sistemik dan penurunan tingkat
promotor fibrinolisis (misalnya, protein C aktif) menumpulkan reaksi fisiologis ini dan
menghalangi kecukupan aktivitas fibrinolitik.6 Tingkat sirkulasi dari inhibitor plasminogen
fibrinolisis direk -1 juga meningkat setelah resusitasi. Secara keseluruhan, perubahan ini
2
mewakili ketidakadekuatan respon fibrinolitik relatif ke prokoagulan sistemik, dan
ketidakseimbangan ini telah dikaitkan dengan penurunan kelangsungan hidup setelah henti
jantung.6 Penekanan fibrinolisis nyaris total setelah henti jantung, seperti yang ditunjukkan
oleh tingkat d - dimer sangat rendah, lebih sering ditemukan pada pasien yang tidak selamat
daripada yang selamat.3
Ketidakmampuan tubuh untuk memecah gumpalan dalam kondisi peningkatan
pembentukan trombus sistemik berkaitan erat dengan patofisiologi post–cardiac arrest
syndrome -, dan terjadinya trombosis di mikrosirkulasi berkontribusi terhadap disfungsi
multiorgan sering dijumpai dalam periode paska resusitasi. Ketika organ-organ vital seperti
otak, paru-paru, jantung, atau ginjal yang terkena, gejala sisa dapat membahayakan bagi
pasien (Gambar 1 dan 2).
Gambar 1. Rangkaian waktu perubahan koagulasi dalam henti jantung. Dalam beberapa menit dari sirkulasi, perubahan terhadap sistem koagulasi dapat menjadi jelas. Perubahan endogen dapat lebih ditekankan oleh tindakan terapi selama resusitasi kardiopulmonal (CPR) (yaitu , prosedur invasif atau administrasi agen trombolitik) atau dengan reperfusi jaringan iskemik. Setelah kembalinya sirkulasi spontan (ROSC), faktor iatrogenik yang berkontribusi terhadap koagulopati menjadi lebih menonjol. Durasi perubahan pembekuan dari terapi trombolitik terutama tergantung pada etiologi yang diduga menyebabkan henti jantung yang menentukan waktu infus (vs administrasi bolus) dari trombolitik dan kedua pada sifat farmakologis dari agen yang dipilih. Koagulopati yang berhubungan dengan terapi hipotermia paling relevan selama jam pendinginan aktif dan ditingkatkan dengan penghangatan. Sebagian besar pusat lembaga pendidikan mempertimbangkan pengobatan hipotermia selambat-lambatnya 6-12 jam setelah henti jantung dan pendinginan diteruskan selama 24 jam . Terapi oksigenasi membran extracorporeal ( ECMO) dapat digunakan sedini selama CPR atau setelah ROSC dan biasanya dilakukan maksimal sampai selama 30 hari tergantung pada preferensi sistem kesehatan.
3
Secara keseluruhan, protokol pengobatan untuk perawatan pasien dengan henti jantung sebagian besar tetap tergantung pusat pendidikan dan sumber daya.
Koagulopati Terkait dengan Pengobatan Henti Sirkulasi
Manajemen pasien setelah henti jantung rumit, dan terapi tidak hanya fokus pada
penyebab yang mendasari henti sirkulasi tetapi juga pada konsekuensi penghentian sementara
perfusi organ dan resusitasi berikutnya. Modalitas pengobatan seperti terapi hipotermia,
trombolisis, dan ECMO membawa risiko yang melekat mengubah sistem koagulasi yang
sudah kacau. Berbagai prosedur dukungan hidup jantung canggih seperti manajemen jalan
nafas dan pembuluh darah atau cannulations intraosseous dapat traumatis dan menyebabkan
perdarahan terutama pada pasien dengan koagulopati.9 Komplikasi perdarahan selanjutnya
dapat berasal dari cedera vaskuler yang terjadi selama CPR melalui kompresi dada
mengakibatkan patah tulang rusuk dan luka pada pembuluh darah toraks. Selain itu, akses
vaskular berdiameter besar untuk memulai terapi ECMO atau lembaga hipotermia terapi
invasif dapat merusak pembuluh darah utama.
Terapi Hipotermia
Pedoman pengobatan saat ini menyarankan menginduksi hipotermia ringan dari 32°
sampai 34° C selama 12 sampai 24 jam pada pasien koma dengan kembalinya sirkulasi
spontan setelah henti jantung karena hipotermia memberikan manfaat neurologis untuk
pasien.10 Penurunkan suhu tubuh menurunkan tingkat metabolisme oksigen cerebral sebesar 6
% untuk setiap penurunan 1° C pada suhu otak lebih dari 28° C dan mempromosikan
kelestarian fungsi neurologis. Pendinginan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dan mencegah
pembentukan mikrotrombus pada keadaan pasca henti jantung.11 Dari catatan, hipotermia
juga dapat menjadi penyebab henti jantung daripada terapi. Pada pasien ini, tingkat
hipotermia biasanya lebih berat ( < 32° C ).
Hipotermia dikaitkan dengan beberapa gangguan dalam sistem koagulasi, dan efek
antikoagulan yang cenderung mengarah pada perbaikan yang disebutkan di atas dalam
mikrosirkulasi. Koagulopati hipotermia adalah hasil dari penurunan fungsi dan jumlah
trombosit , dan penurunan aktivitas enzimatik dan generasi berbagai faktor pembekuan
4
(Gambar 2). Korelasi antara suhu darah dan koagulopati tidak linear: derajat koagulopati
tumbuh secara eksponensial seiring suhu darah menurun.12 Dalam studi vitro menggunakan
thromboelastography menunjukkan bahwa hubungan eksponensial ini berlaku untuk waktu
untuk timbulnya pembentukan gumpalan (nilai R) serta untuk kecepatan di mana bekuan
mencapai kepadatan (nilai K, α - angle). Setelah suhu darah menurun di bawah 16° C, praktis
tidak ada koagulasi terjadi. Menariknya, suhu rendah tampaknya tidak mempengaruhi
stabilitas bekuan setelah pembentukan trombus telah sepenuhnya terjadi.12
Hipotermia hingga 35° C tidak secara signifikan mempengaruhi sistem koagulasi.
Pada suhu antara 32° C sampai 34° C perubahan ringan pada jumlah dan fungsi trombosit
dapat muncul.11 Proses aktivasi trombosit tidak terganggu pada suhu rendah, tetapi disfungsi
platelet adalah hasil dari penurunan adhesi dan agregasi yang diperburuk dengan penurunan
suhu. Di bawah 30° C, penurunan ditandai dalam jumlah trombosit yang dapat diperhatikan.
Trombositopenia - hipotermia ini disebabkan penyerapan sel, terutama di hati. Kedua
disfungsi platelet dan trombositopenia reversibel pada penghangatan, dan lebih dari 80 % dari
trombosit kembali ke sirkulasi setelah suhu normal dikembalikan.13 Penelitian melihat efek
dari hipotermia pada faktor-faktor koagulasi tertentu menemukan bahwa reaksi enzimatik
dalam kaskade koagulasi hanya berkurang ketika suhu darah diturunkan dari 37° sampai 33°
C, dan tidak ada penurunan yang signifikan dalam proses koagulasi secara keseluruhan pada
tingkat hipothermia ringan ini.14 Pada suhu di bawah 33° C, fungsi faktor koagulasi pusat
mulai memainkan peran peningkatan dalam pembentukan koagulopati hipotermia. Jalur
fibrinolitik tampaknya juga terpengaruh oleh derajat hipotermia ringan sampai sedang.15
Aktivitas fibrinolitik meningkat secara nyata pada tingkat hipotermia di bawah 20° C pada
hewan penelitian yang disebabkan aktivator jaringan plasminogen dilepaskan dari endotelium
pembuluh darah sebagai respon terhadap kenaikan sirkulasi katekolamin terkait dengan
hipotermia dalam.16
5
Gambar 2. Dampak henti jantung dan pilihan pengobatan pada koagulasi. (Hijau) Henti jantung dan resusitasi kardiopulmonal (CPR) terutama mempengaruhi pasien ke keadaan prokoagulan dengan risiko trombosis vaskular luas. (Merah) Penurunan suhu pada hipotermia, baik sebagai terapi setelah kembalinya sirkulasi spontan atau penyebab yang mendasari sebagai henti jantung, secara eksponensial menghambat kemampuan darah untuk membentuk bekuan. (Jingga) Terapi Extracorporeal membran oksigenasi (ECMO) mempengaruhi sistem koagulasi dengan cara variabel: aktivasi awal berlebihan faktor pembekuan dan trombosit melalui kontak dengan permukaan buatan menyebabkan trombosis dan dimentahkan oleh respon antikoagulan endogen kuat dan hiperfibrinolisis. Antikoagulan farmakologis diperlukan untuk mencegah pembentukan trombus sistemik dan dalam sirkuit ECMO tetapi sering disertai dengan komplikasi perdarahan.
Dalam sebuah studi observasional prospektif pada efek samping dari terapi
hipotermia setelah henti jantung, komplikasi perdarahan yang membutuhkan transfusi terjadi
hanya 6 % dari pasien dan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas.9 Jika
perdarahan yang signifikan berkembang selama terapi hipotermia, praktisi perlu
mempertimbangkan potensi manfaat hipotermia dilanjutkan dengan risiko perdarahan yang
6
sedang berlangsung. Disfungsi trombosit reversibel kemungkinan penyebab utama
koagulopati pada tingkat hipotermia ini, pengobatan lini pertama ialah menghangatkan
pasien.13 Pertimbangan melanjutkan pendinginan dianggap perlu, berbagai intervensi telah
dieksplorasi untuk meningkatkan koagulasi dalam menghadapi suhu badan menurun: koreksi
dari acidemia merupakan langkah awal yang penting, karena asidosis mendalam dapat dilihat
dengan hipotermia dalam situasi klinis tertentu dan secara sinergis mengganggu koagulasi.
Selain itu, uji in vitro menggunakan sampel darah keseluruhan dari relawan sehat
menemukan bahwa desmopressin sebagian mengoreksi hipotermia yang menyebabkan
koagulopati dengan menaikkan secara cepat agregasi platelet. Temuan ini kemungkinan besar
disebabkan oleh peningkatan ekspresi reseptor glikoprotein 1b melalui redistribusi dari
sitoplasma ke membran sel. Selain itu, para peneliti menunjukkan bahwa pemberian
konsentrat fibrinogen membantu dalam memulihkan pola koagulasi normal ketika tingkat
fibrinogen rendah sebagai akibat dari dilusi, hipotermia, dan asidosis. Kedua desmopressin
dan fibrinogen berfungsi lebih efektif di pH fisiologis.17
Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa terapi trombolitik dapat dengan aman
digunakan dalam kondisi terapi hipotermia. Pasien yang menerima jaringan aktivasi
plasminogen selama pengobatan hipotermia memiliki insiden komplikasi perdarahan yang
sama dengan pasien normotermi yang menerima obat. Namun, pasien hipotermia yang
mengalami komplikasi perdarahan memerlukan lebih banyak transfusi darah untuk mencapai
target hematokrit yang telah ditetapkan.11
Trombolisis dan Obat Antikoagulan
Penyidik telah meneliti peran potensial dari obat antikoagulan (terutama heparin atau
aspirin) serta agen trombolitik dalam pengobatan segera henti jantung . Trombolitik langsung
menurunkan trombus, sedangkan heparin, selain mencegah pembentukan bekuan yang
sedang berlangsung , menghambat aktivitas plasminogen activator inhibitor - 1 dan dengan
demikian memungkinkan untuk peningkatan lebih lanjut dalam degradasi trombus oleh
mekanisme endogen. 18 Dalam meta-analisis mereka , Li dkk 19 meninjau delapan studi
terakhir dengan membandingkan hasil pasien dengan henti jantung diobati dengan
trombolitik dan heparin selama CPR. Penelitian menyimpulkan bahwa kembalinya sirkulasi
spontan, bertahan hidup 24 jam, kelangsungan hidup untuk keluar dari rumah sakit, dan
7
fungsi neurologis jangka panjang semua membaik pada kelompok perlakuan. Untuk
menyelidiki lebih lanjut potensi manfaat trombolisis dalam henti jantung dalam prospektif
multicenter, studi acak, Thrombolysis selama percobaan resusisitasi henti jantung di luar
rumah sakit (TROICA) dilakukan di Eropa. 20 Pasien yang menderita henti jantung di luar
rumah sakit diacak untuk menerima baik tenecteplase atau plasebo pada saat CPR. Percobaan
ini dihentikan prematur setelah analisis kesia-siaan formal untuk titik akhir primer dan
sekunder menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hasil pasien antara intervensi dan plasebo
serta kejadian perdarahan intrakranial secara signifikan lebih tinggi pada kelompok
tenecteplase. Sebagai data saat ini, terapi trombolitik tidak boleh digunakan secara rutin
dalam pengobatan henti jantung. Hanya ketika emboli paru masif diduga menjadi penyebab
henti jantung atau jika kondisi patologis primer dikenal responsif terhadap pengobatan
tersebut , trombolisis dianggap beralasan. 21
Penggunaan obat antikoagulan selama henti jantung dan CPR membuat komplikasi
perdarahan lebih mungkin. Hal ini dapat menjadi jelas pada pasien yang menerima terapi
antiplatelet dan antikoagulan di antaranya pada iskemia miokard atau infark yang diduga
sebagai penyebab yang mendasari sirkulasi kolaps. Kini, penggunaan yang lebih luas
antikoagulan oral baru pada pasien dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya dan
dampaknya terhadap diatesis pendarahan setelah henti jantung adalah menyebabkan
keprihatinan besar dan belum diteliti sampai saat ini. Kesulitan yang signifikan dalam
membalikkan efek obat antikoagulan ini telah dilaporkan dalam kondisi klinis lainnya.
ECMO
Extracorporeal membran oksigenasi merupakan sarana sukses untuk meningkatkan
oksigenasi dan memberikan aliran darah ke organ-organ vital, tetapi tidak tanpa potensi efek
samping. Komplikasi yang relatif umum adalah perdarahan dan trombosis, yang keduanya
dapat mengancam nyawa. Data epidemiologis menunjukkan bahwa penggunaan veno - arteri
ECMO dalam henti jantung refrakter dan CPR meningkat. Meskipun penelitian lebih lanjut
diperlukan, data hasil tampak menjanjikan dan tingkat kelangsungan hidup rata-rata dalam
literatur sekitar 30 %. Sebuah pusat pendidikan baru-baru ini, penelitian prospektif
menunjukkan peningkatan 50 % dalam 1- tahun kelangsungan hidup setelah henti jantung di
rumah sakit untuk pasien yang diobati dengan ECMO.22
8
Paparan dari darah pasien pada permukaan non-biologi dari rangkaian extracorporeal
menghasilkan respon inflamasi dan koagulasi yang cukup. Hampir segera setelah inisiasi
ECMO, trombosit melekat pada permukaan pipa dan melepaskan α - granule yang mengarah
ke aktivasi dan agregasi trombosit tambahan. Bahan asing sirkuit juga mengaktifkan berbagai
faktor prokoagulan dari kaskade koagulasi dan granulasi platelet memperkuat peningkatan
aktivitas faktor. Akibatnya, trombin dihasilkan dan merangsang aktivasi platelet lebih lanjut
melalui umpan balik yang positif. Aktivasi yang tidak terkendali ini dari sistem koagulasi
memicu peningkatan regulasi respon sistem fibrinolitik. Bersama-sama, pelepasan faktor
koagulasi melalui kontak permukaan, aktivasi berlebih dari sistem komplemen, dan respon
inflamasi yang intens menyebabkan degranulasi dari granulosit bahan bakar prokoagulan
serta fibrinolitik dan proses antikoagulan.23 Hal ini menyebabkan kerugian bersih trombosit,
konsumsi faktor pembekuan, dan pembentukan trombus luas. Gumpalan dalam sirkuit
ECMO adalah konsekuensi waktu dekat yang paling berbahaya karena dapat mengakibatkan
kerusakan pada oksigenator, obstruksi aliran darah, atau embolisasi sistemik ke otak dan
organ vital lainnya. Heparin adalah yang paling umum digunakan sebagai antikoagulan untuk
mengurangi reaksi ini, tetapi inheren meningkatkan risiko perdarahan, terutama dengan
meningkatnya durasi terapi ECMO.24 Meskipun heparin memiliki sedikit pengaruh langsung
terhadap aktivitas platelet, secara efektif membatasi pembentukan trombus melalui
penghambatan berbagai reaksi di kaskade koagulasi. Efektivitas terhadap pembentukan
gumpalan tampaknya berkurang sebanding meningkatnya durasi terapi ECMO. Dengan
demikian , menemukan keseimbangan antara tingkat yang berlebihan dan antikoagulan tidak
memadai adalah elemen penting dari manajemen ECMO (Gambar 2).
Pemantauan Koagulasi pada Henti Jantung dan Resusitasi
Karena koagulopati dan komplikasi perdarahan umum terjadi setelah henti jantung
dan resusitasi, pemantauan rutin parameter koagulasi harus digunakan. Penelitian
laboratorium termasuk jumlah trombosit, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial
teraktivasi, dan pengukuran kadar fibrinogen dapat membantu untuk menentukan berbagai
kelainan koagulasi. Sebuah evaluasi yang baik pasien dan pengobatannya seperti sejarah
pengobatan medis dapat mengungkap penyebab hematologi atau farmakologi yang sudah
ada sebelumnya yang menyebabkan hemostasis abnormal. Rencana perawatan harus fokus
pada defek koagulasi mendasar yang spesifik dan fresh frozen plasma atau faktor konsentrat
9
dapat digunakan untuk menggantikan kekurangan faktor jika diindikasikan. Tingkat
fibrinogen dapat secara mandiri dijaga pada kisaran fisiologis melalui administrasi baik
kriopresipitat atau konsentrat fibrinogen jika tersedia . Pada akhirnya, keputusan dokter untuk
transfusi produk darah atau faktor konsentrat tertentu pada pasien ini akan ditentukan oleh
kebutuhan untuk mengobati komplikasi perdarahan, bukan oleh kehadiran terisolasi, nilai
laboratorium abnormal.
Pada pasien yang sedang mendapat terapi ECMO , waktu pembekuan aktif adalah uji
laboratorium utama digunakan untuk mengelola antikoagulan yang diperlukan dan hal ini
diukur dalam sampel darah utu. Waktu pembekuan aktif bukan tes khusus untuk
antikoagulan, dan nilai yang berkepanjangan bisa menjadi hasil dari kekurangan dalam
berbagai tahap kaskade koagulasi. Bahkan, beberapa data menunjukkan bahwa dosis heparin
berdasarkan pengukuran langsung kadar heparin darah daripada waktu pembekuan aktif
menghasilkan hasil terapi menguntungkan.24 Di beberapa pusat pendidikan, waktu
tromboplastin parsial teraktivasi telah menjadi uji pilihan untuk pemantauan antikoagulan
pada pasien ECMO karena mencerminkan standar laboratorium yang diakui secara universal.
Untuk antikoagulan heparin dalam kisaran target yang biasa , waktu tromboplastin parsial
teraktivasi dapat menyajikan sebuah alternatif yang masuk akal untuk waktu pembekuan
diaktifkan selama ECMO. Akhirnya, thromboelastography telah diusulkan sebagai ukuran
antikoagulan pada pasien ECMO. Sampai saat ini, pengelolaan antikoagulasi dan perdarahan
pada ECMO kurang pedoman yang teguh dan sebagian besar masih tergantung pusat
pendidikan. Memperbaiki trombositopenia melalui transfusi trombosit telah dikaitkan dengan
penurunan komplikasi perdarahan pada pasien ECMO, dan karena itu pengukuran rutin
jumlah trombosit dijaminkan selama terapi.23 Pedoman praktek klinis yang tersedia
menyarankan manfaat yang mungkin dari agen antifibrinolitik seperti asam aminokaproat
atau asam traneksamat dalam pencegahan perdarahan pada pasien ECMO. Selain itu, faktor
rekombinan VIIA mungkin terbukti bermanfaat ketika menghadapi situasi perdarahan yang
mengancam jiwa , tetapi potensi keuntungan harus dipertimbangkan terhadap kemungkinan
komplikasi bencana trombotik.25
Kesimpulan
10
Profesional kesehatan merawat pasien dalam kondisi henti jantung dan CPR
umumnya menghadapi gangguan yang signifikan dalam pembekuan darah . Koagulopati ini
biasanya multifactor dan merupakan kombinasi dari komponen endogen dan iatrogenik .
Memahami berbagai mekanisme yang mendasari dan mengenali pilihan pengobatan masing-
masing dapat meningkatkan perawatan pasien dan diharapkan akan lebih meningkatkan hasil
terapi.
Ucapan Terima Kasih
Para penulis berterima kasih kepada Samuel Rodriguez, MD, Departemen Anestesiologi,
perioperatif dan Kedokteran Nyeri, Rumah Sakit Anak Boston, Boston, Massachusetts, untuk
menyediakan bantuan yang signifikan dengan ilustrasi. Dukungan diberikan semata-mata dari
sumber kelembagaan dan / atau sumber departmen.
Persaingan MinatPara penulis menyatakan tidak ada kepentingan yang bersaing.
KorespondensiAlamat korespondensi Dr Hilberath : Departemen Anestesiologi, perioperatif dan Kedokteran Nyeri, Brigham dan Rumah Sakit Wanita, Harvard Medical School, 75 Francis Street, Boston, Massachusetts 02115. [email protected] . Artikel ini dapat diakses untuk penggunaan pribadi tanpa biaya melalui situs Web Journal , www.anesthesiology.org.
Referensi
1. Holzer M: Targeted temperature management for comatose survivors of cardiac arrest. N Engl J Med 2010; 363:1256–64
2. Nolan JP, Neumar RW, Adrie C, Aibiki M, Berg RA, Böttiger BW, Callaway C, Clark RS, Geocadin RG, Jauch EC, Kern KB, Laurent I, Longstreth WT, Merchant RM, Morley P, Morrison LJ, Nadkarni V, Peberdy MA, Rivers EP, Rodriguez- Nunez A, Sellke FW, Spaulding C, Sunde K, Hoek TV: Postcardiac arrest syndrome: Epidemiology, pathophysiology, treatment, and prognostication. A Scientific Statement from the International Liaison Committee on Resuscitation; the American Heart Association Emergency Cardiovascular Care Committee; the Council on Cardiovascular Surgery and Anesthesia; the Council on Cardiopulmonary, Perioperative, and Critical Care; the Council on Clinical Cardiology; the Council on Stroke. Resuscitation 2008; 79:350–79
11
3. Kleinman ME, Srinivasan V: Postresuscitation care. PediatrClin North Am 2008; 55:943–67, xi
4. Adrie C, Monchi M, Laurent I, Um S, Yan SB, Thuong M, Cariou A, Charpentier J, Dhainaut JF: Coagulopathy after successful cardiopulmonary resuscitation following cardiac arrest: Implication of the protein C anticoagulant pathway. J Am CollCardiol 2005; 46:21–8
5. Gando S, Nanzaki S, Morimoto Y, Kobayashi S, Kemmotsu O: Tissue factor and tissue factor pathway inhibitor levels during and after cardiopulmonary resuscitation. Thromb Res 1999; 96:107–13
6. Böttiger BW, Motsch J, Böhrer H, Böker T, Aulmann M, Nawroth PP, Martin E: Activation of blood coagulation after cardiac arrest is not balanced adequately by activation of endogenous fibrinolysis. Circulation 1995; 92:2572–8
7. Esmon CT: Protein C anticoagulant pathway and its role in controlling microvascular thrombosis and inflammation. Crit Care Med 2001; 29(7 suppl):S48–51
8. Mysiak A, Nowicki P, Kobusiak-Prokopowicz M: Thrombolysis during cardiopulmonary resuscitation. Cardiol J 2007; 14:24–8
9. Nielsen N, Sunde K, Hovdenes J, Riker RR, Rubertsson S, Stammet P, Nilsson F, Friberg H; Hypothermia Network: Adverse events and their relation to mortality in out-of-hospital cardiac arrest patients treated with therapeutic hypothermia. Crit Care Med 2011; 39:57–4
10. Hazinski MF, Nolan JP, Billi JE, Böttiger BW, Bossaert L, de Caen AR, Deakin CD, Drajer S, Eigel B, Hickey RW, Jacobs I, Kleinman ME, Kloeck W, Koster RW, Lim SH, Mancini ME, Montgomery WH, Morley PT, Morrison LJ, Nadkarni VM, O’Connor RE, Okada K, Perlman JM, Sayre MR, Shuster M, Soar J, Sunde K, Travers AH, Wyllie J, Zideman D: Part 1: Executive summary: 2010 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science With Treatment Recommendations. Circulation 2010; 122(16 suppl 2):S250–75
11. Polderman KH: Mechanisms of action, physiological effects, and complications of hypothermia. Crit Care Med 2009; 37(7 suppl):S186–202
12. Ruzicka J, Stengl M, Bolek L, Benes J, Matejovic M, Krouzecky A: Hypothermic anticoagulation: Testing individual responses to graded severe hypothermia with thromboelastography. Blood Coagul Fibrinolysis 2012; 23:285–9
13. Michelson AD, MacGregor H, Barnard MR, Kestin AS, Rohrer MJ, Valeri CR: Reversible inhibition of human platelet activation by hypothermia in vivo and in vitro. ThrombHaemost 1994; 71:633–40
12
14. Wolberg AS, Meng ZH, Monroe DM III, Hoffman M: A systematic evaluation of the effect of temperature on coagulation enzyme activity and platelet function. J Trauma 2004; 56:1221–8
15. Watts DD, Trask A, Soeken K, Perdue P, Dols S, Kaufmann C: Hypothermic coagulopathy in trauma: Effect of varying levels of hypothermia on enzyme speed, platelet function, and fibrinolytic activity. J Trauma 1998; 44:846–54
16. Yoshihara H, Yamamoto T, Mihara H: Changes in coagulation and fibrinolysis occurring in dogs during hypothermia. Thromb Res 1985; 37:503–12
17. Hanke AA, Dellweg C, Schöchl H, Weber CF, Jüttner B, Johanning K, Görlinger K, Rahe-Meyer N, Kienbaum P: Potential of whole blood coagulation reconstitution by desmopressinmand fibrinogen under conditions of hypothermia and acidosis—An in vitro study using rotation thrombelastometry. Scand J Clin Lab Invest 2011; 71:292–8
18. Patston PA, Schapira M: Low-affinity heparin stimulates the inactivation of plasminogen activator inhibitor-1 by thrombin. Blood 1994; 84:1164–72
19. Li X, Fu QL, Jing XL, Li YJ, Zhan H, Ma ZF, Liao XX: A metaanalysis of cardiopulmonary resuscitation with and without the administration of thrombolytic agents. Resuscitation 2006; 70:31–6
20. Böttiger BW, Arntz HR, Chamberlain DA, Bluhmki E, Belmans A, Danays T, Carli PA, Adgey JA, Bode C, Wenzel V; TROICA Trial Investigators; European Resuscitation Council Study Group: Thrombolysis during resuscitation for out-of-hospital cardiac arrest. N Engl J Med 2008; 359:2651–62
21. Jaff MR, McMurtry MS, Archer SL, Cushman M, Goldenberg N, Goldhaber SZ, Jenkins JS, Kline JA, Michaels AD, Thistlethwaite P, Vedantham S, White RJ, Zierler BK; American Heart Association Council on Cardiopulmonary, Critical Care, Perioperative and Resuscitation; American Heart Association Council on Peripheral Vascular Disease; American Heart Association Council on Arteriosclerosis, Thrombosis and Vascular Biology: Management of massive and submassive pulmonary embolism, iliofemoral deep vein thrombosis, and chronic thromboembolic pulmonary hypertension: A scientific statement from the American Heart Association. Circulation 2011; 123:1788–830
22. Chen YS, Lin JW, Yu HY, Ko WJ, Jerng JS, Chang WT, ChenWJ, Huang SC, Chi NH, Wang CH, Chen LC, Tsai PR, Wang SS, Hwang JJ, Lin FY: Cardiopulmonary resuscitation with assisted extracorporeal life-support versus conventional cardiopulmonary resuscitation in adults with in-hospital cardiac arrest: An observational study and propensity analysis. Lancet 2008; 372:554–61
13
23. Muntean W: Coagulation and anticoagulation in extracorporeal membrane oxygenation. Artif Organs 1999; 23:979–83
24. Baird CW, Zurakowski D, Robinson B, Gandhi S, Burdis-Koch L, Tamblyn J, Munoz R, Fortich K, Pigula FA: Anticoagulation and pediatric extracorporeal membrane oxygenation: Impact of activated clotting time and heparin dose on survival. Ann ThoracSurg 2007; 83:912–9
25. Ferraris VA, Brown JR, Despotis GJ, Hammon JW, Reece TB, Saha SP, Song HK, Clough ER, Shore-Lesserson LJ, Goodnough LT, Mazer CD, Shander A, Stafford-Smith M, Waters J, Baker RA, Dickinson TA, FitzGerald DJ, Likosky DS, Shann KG: 2011 update to the Society of Thoracic Surgeons and the Society of Cardiovascular Anesthesiologists blood conservation clinical practice guidelines. Ann ThoracSurg 2011; 91:944–82
14