reproduksi ulama perempuan dan modernisasi dayah di aceh
TRANSCRIPT
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Faui!· !Jmaii
REPRODUKSI ULAMA PEREMPUAN DAN MODERNISASI DAYAH DI ACEH
•!• Abstract
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail Dosen lAIN Ar-Raniry BandaAceh
/l.r om if the olde.rt educational imtitutiom~ Dqyab (boardinl', school) has important role thror~g/Jout history in the detJelopment rif Lrlamic sciences in Areb. Thro11gh a unique teaching !)'Stem, dc(yalJ has i1u-redibb; adaptilJt! ability; balami1~g between maintaining tradition and serve the demandr '!f the time.r. This illJtitution has produced JJJel! qualified scholan either male or jemale in ZJaJious rel~giol!J
disciplineJ·. Df!)!ah has also Jpawmd mm!J' thinken and jighters (mqjahid) in the colonial era. Some of them are: '(gk. Muhammad Dmtd Beureu-eh, Tgk Chiek di Tiro, Tgk Fakinah, Cut ]\{yak Dien, Pomt Baren (all the la.rt three are female), 'l),k C'hiek Pante Kuiu, Tgk .fyiek Pa11te Geulima, Tgk Sheikh Muda Waii ai-KhalicfJ and mm!y other chmismatic scholars itl Aceh.
Those are evidence that since its establi.rhment, dqjiah has served a.r a stron,_g religiou.r and cultural ba.rtio11. Dqyah i.r the destination for_youn,_r!, men 1vho want to meudagm{g, J',O
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011
Reproduk.ri Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
abroad and to gain sttflicient knowledge. In general, dqyah ha.r at least three jimction.r. First is to tmn.ifcr Lrlamic ..-,·;:'u;re.r t:.r;d "·;:r.ond, /o maintain I:,Ju;;;it: traditions and third, to reproduce religious .rcholar.r. There is a little differmce betJVeeJI dryab itt At-eb and boardit~g schooLr in other areas. Et;en thou._gh it is not generic, h01vever it is not dijficult for female in Aceh to obtain an equal position or place as male. S'm-h iJJue will not be a problem ewn at the most tmditional and toll.fert-'ative boardi1~g .rthool in Ace h.
Although there is a sotiological }act that religious female .rcholars Jtil! occupy a minority position, but it is not nece.r.rarib; meanJ· that_femalc has no opp01tuniry to J!,et the leadenhip position in the djyah. The .rt01y rifTk;g Lainan, a h~J!,IJD' ,.·re.rpeded chati.rmatic religio11J· scholar, provide.r real eJJidmce for this in whidJ tl1e gender equality 1Pithin the Islamic boardil(_f!, school i.r not mere!J' rhetorit~ but has been tmn.rlated into pradia. This small fad implie.r that the str1-1ggle behvem tradition a11d modernity which encountered by Dq_yah ha.r invalidated the domination r!f pallian-hal culfural Ji{gma 1vhich has sunmmded boardi1{!!, .rt-hools fradifiOIIS
Dt!)'ah m we kno1v it fodtry JPas 01iginalb' a learning mltm-e (fl,roup leamin!!) cond11ded at the comers £!!.a mosque. This m!turejint!J' took place in North Aji-ica knoum as zmvjyah 1vhich means the angle or corner. Tbe learni11g tYStem at zmvf)lah --reading, discussing and exami11ing tbe books at the mmm f!J'the mosque-- is still applied up to now deJpite liJill<~ dijferent name.r a11d de.ri,gnatio11.r. Tbis ~y.rtem is better known in T'urkry as "tekke" or "khanaqah". In Egypt, the popular term for this leaming style is "rmvaq" and "Ribat", thi.r learning culture can be found in tbe AlcAzhar lVIo.rque a11d other mo.rques in Cairo. W'hile in lvJalqy.r counll-ies (eJpetialb' Malqysia, Thailand, Bmnei) it i.r common to use the terms prmdo~; (cottage) a11d ".rurau". In .Java, it i.r called 'pesantrm', a11d in Aceh is called dqyah. It is said that the tenn dq_yah come.r from zawjyah JJJhich then pronounced 0 At-elme.re tongue as dqyah or deah
•!• Key words: rel~giouJjemale sdJolarJ, modernization and dq_yah
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQ.RO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzj Ismail
Pendahuluan
K.ajian tentang ulama, baik yang ada di dunia Islam
maupun di Indonesia, terutama ulama laki-laki telah banyak
dikaji. Meskipun begitu, kajian ulama perempuan yang
dalam fakta historisnya telah menempati posisi yang cukup
signifikan, nampaknya j:vang mendapatkan tempat kajian
yang seimbang. Pola patriarki yang menjadi landasan
kelahiran Islam, di sadari atau tidak, agaknya ikut memberikan
kontribusi atas terbengkalainya ulama perempuan dalam
kajian utama. Terlepas seberapa besar sesungguhnya jumlah
ulama perempuan yang menempati kedudukan yang setara
dengan ulama laki-laki; fakta minimnya penempatan ulama
perempuan sebagai bahan kajian, akan segera mengundang
hipotesa kerja atas kemungkinan fakta ini terkubur bias
jender yang acapkali menyelimuti menempatkan perempuan
dalam bayang-bayang laki-laki.
Dalam kajian gender, indikasi pertama nampaknya
lebih kuat. Di mana reproduksi ulama perempuan nampak
nya kurang berimbang, terutama sebelum lembaga dayah1
tersentuh arus modernisasi. Pasca modernisasi dayah di
Aceh, secara kuantitatif ulama perempuan mulai memper
lihatkan bertambahnya kualitas yang berarti. Semakin
terbukanya akses anak perempuan dalam belajar di lembaga
1 Istilah dcryah identik dengan pesantren atau pondok di Jawa, surau di Sumatera Barat atau madrasah di Timur Tengah. Bahkan, di Aceh terdapat istilah lain yang nyaris bermakna sama, yaitu meunaJ·ah dan rangkang. Dayah ditengarai berasala dari kata bahasa Arab, zawjyah yang berarti pondok, ataupun balai yang biasanya terletak di samping masjid. Semua lembaga di atas berfungsi sebagai tempat mempelajari ajaran Islam dan sekaligus tempat tinggal.
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dcryah di Aceh
Dayah, reproduksi ulama perempuan semakin terbuka
lebar.
Di Indonesia,
penting dalam upaya
warisan intelektual dan
pesantren mempunya1 peranan
mewans1 dan mengembangkan
spiritual.Z Hal ini bisa dipahami,
karena dilihat dari latar belakangnya, pesantren berperan
sebagai lembaga transformasi kultural yang menyelumh
dalam kehidupan masyarakat. Pesantren berdiri sebagai
jawaban terhadap panggilan keagamaan, untuk menegakkan
nilai-nilai agama melalui pendidikan, kegiatan masyarakat
dan praktek ritual. Karena tradisi keilmuan di pesantren
ataupun dayah mengalami dinamika tersendiri yang unik.
Akan tetapi sebagaimana disinggung di atas, dayah atau
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional
tetap saja menyisakan satu persoalan besar, temtama
berkenaan dengan gender equaii!J khususnya dalam
menjalankan fungsi keilmuannya untuk mereproduksi
ulama perempuan.
Beranjak dari persoalan inilah penelitian 1n1
dilakukan. Harapannya akan dapat memberi gambaran
yang lebih jelas tentang keberadaan lembaga dayah di Aceh,
khususnya dalam penegakan keadilan atau keseimbangan
kesempatan antara anak laki-laki dan perempuan untuk
menjadi ulama.
2 Jamal D Rahman, "Distorsi Khazanah Kultural Pesantren", dalam A. Naufal Ramzy (ed), !Jhm dan Tran.iformaJi SoJial Budqya, Gakarta: Deviri Ganan, 1993), h. 125.
Volume 10, Nomor 02,2011 llSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
Jika menggunakan kategorisasi Azyumardi Azra,
paline; tidak terdapat riga fungsi utama lembaga pendidikan
tradisional Islam seperti pesantren ataupun dayah. Pertama,
transmisi atau tranfer ilmu-ilmu keislaman; kedua,
pemeliharaan tradisi keislaman; dan ketiga, reproduksi
ulama. Maka, permasalahan reproduksi ulama perempuan
dan modernisasi dayah di Aceh dapat dirumuskan sebagai
berikut; apakah reproduksi ulama perempuan di lembaga
Dayah mengalami perkembangan yang sama dengan ulama
laki-laki? Apakah modernisasi Dayah memberi pengaruh
positif terhadap keberadaan ulama perempuan? Bagaimana
mainstrem Dayah dalam pengarusutamaan gender. Penelitian
ini hanya akan menfokuskan: mengapa produksi ulama
perempuan tidak berbanding lurus dengan ulama laki-laki di
lembaga dayah Aceh.
Penelitian ini diharapkan memiliki signifikansi bagi
pengembangan keilmuan sosial keagamaan, khususnya
dalam kajian jender dan Islam yang terasa masih sangat
terbatas. Signifikansi lain bagi pengembangan kelembagaan
dayah, diharapkan dapat memberi ruang gerak yang lebih
proporsional, terutama dalam membuka akses terhadap
lahirnya ulama perempuan melalui lembaga dayah.
Penelitian ini mengambil lokasi di sejumlah dayah
(pesantren) yang terdapat di wilayah Provinsi Aceh.
Disebabkan keterbatasan waktu, penetapan pilihan dayah
didasarkan pada pilihan sengaja (purposive). Adapun lembaga
dayah yang ditetapkan untuk menjadi subjek penelitian
adalah Dayah Terpadu Jeumala Amal kota Lueng Putu
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011
ReprodukJi Ulama Perempuan dan Modemisasi Dqyah di Aceh
Kecamatan Bandar Bam Kabupaten Pidie Jaya, Dayah
Salafi Thaliban Ateuk L11eng Ie Kecamatan Ingin Jaya
Kabupaten Aceh Besar, Dayah Salafi MUDI Mesra Masjid
Raya Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun, dan Dayah
Terpadu Ma 'had Ulumuddin Desa Uteun Kuet Cunda
Kecamatan Muara Dua Kota Lhoekseumawe.
Penelitian ini berlangsung efektif selama 6 ( enam)
bulan Guni-November). Penelitian ini bermaksud untuk
mengkaji secara mendalam tentang reproduksi ulama
perempuan di dayah dalam lingkup provinsi Aceh. Seperti
lazimnya penelitian deskriptif, teknik penggumpulan
datanya menggunakan depth interview dan partisipasi terlibat.
Data yang dihimpun, kemudian dianalis secara kritis dan
dideskripsikan secara naratif. 3 Dengan demikian penelitian
ini tidak dimaksudkan untuk membuktikan atau menguji
suatu teori atau hasil penelitian sebelumnya. Melihat dari
sifat data yang clih.L1111pulkan, penelitian ini termasuk
penelitian kualitatif (Qualitative Research).4
3 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 3.
4 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basic of Qualitative Rmarch, Grounded Procedures and Techniques, yang diterjemahkan dengan DasarDasar Penelitian Kualitatif, terj. Muhatrunad Shodiq dan Imam Muttaqin, (Y ogyakarta: Pus taka Pelajar, 2003), cet. I, h. 4. Lihat juga, Sugi.ono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatffdan Rneanh and Development, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 1, 13-15. Noeng Muhajir, Metode Pmelitian Kualitat~(, (Y ogyakarta: Reka Sara sin, 1996), Edisi III, Cet. VII, h. 21, 53, 81 dan 143. Rulam Ahmadi, Memahami Metode Penelitian 10ta!itat[(, (Malang: UNM Press, 2005), cet. I, h. 1.
Volume 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
Bentuk penelitian ini adalah qualitative ruean·h,
yaitu pene!.iti.~n yang temuan-temuannya tidak diperoleh
dari prosedur statistik a tau bentuk hitungan lainnya, 5
tetapi temuan diperoleh dari analisis yang mendalam
berdasarkan data yang diperoleh dari studi kepustakaan
dan studi lapangan. Moleong mengatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
pada pengamatan man usia dalam kawasannya sendiri. 6
Data utama yang dianalisis dari penelitian kualitatif
adalah rangkaian kata-kata dan bukan rangkaian angka.
Data ini diperoleh melalui observasi, wawancara,
dokumen, dan lain-lain.? Oleh karena itu, peneliti me
lakukan observasi langsung ke dayah-dayah, melakukan
wawancara dengan informan yang dipilih secara purposive
seperti, pimpinan dayah, dewan guru, murid, tokoh
tokoh masyarakat, para ahli, dan pemerhati pendidikan.
Ditinjau sari masalah yang diteliti, penelitian ini
termasuk penelitian sosiologi pendidikan. Dayah sebagai
mana diketahui adalah salah satu jenis lembaga pendidikan
Islam tradisional yang kini sedang mengalami proses
pemodernan. Dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, yaitu
hendak menjelaskan bagaimana polititaf will elit dayah
5 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kua/itatif, Terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. I, h. 4.
6 Lexi, /oc.a'.t.hal 3.
7 Metthew B. Miles, Ana/zj·is Data Kualitatif, Qakarta: UI-Press, 1992), h. 15.
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
terhadap reproduksi ulama perempuan. Dalam konteks ini,
penelitian ini tergolong peneli~an deskriptif-eksolorat:if.
Didasarkan pada tempat dan sumber data penelitian, maka
penelitian ini memadukan penelitian kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field rmarch).
Sementara itu jumlah dayah di Aceh sampai talmn
2010 ini berjumlah lebih kurang 350 madrasah. Dari jumlah
terse but, 325 dayah salafi dan 25 dayah modern. 8 Dalam
penelitian ini tidak semua dayah tersebut dijadikan objek
penelitian. Untuk memudahkan penelitian, pemilihan data
dilakukan secara non-random atau dengan cara menetetapkan
(purposive samplin~. Adapun dayah yang dipilih adalah 4
(empat) dayah, yang terdiri dari 2 (dua) dayah salafi dan 2
(dua) dayah modern. Keempat dayah tersebut adalah; (1)
Dayah Terpadu Jeumala Amal kota Lucng Putu Kecamatan
Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya, (2) Dayah Salafi
Thaliban Ateuk Lueng Ie Kecamatan Ingin J aya Kabupatcn
Aceh Besar, (3) Dayah Salafi MUDI Mesra Masjid Raya
Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun, dan (4) Dayah
Terpadu Ma 'had Ulumuddin Desa Uteun Kuet Cunda
Kecamatan Muara Dua Kota Lhoekseumawe. Dipilihnya
keempat dayah ini dengan mempertimbangkan equalitas
antara santri laki-laki dan perempuan, heterogenitas lokasi
atau tempat dayah berada dan keterwakilan wilayah
Provinsi Aceh.
8 Departemen Agama Rl, EMIS MadraJah Kantor Departemen Agama Provinsi Aceh, (Banda Aceh: Depag Aceh, 2009), h. 8.
Volllllle 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif !J-mail
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: studj
dokumenter, digunakan untuk mengumpulkan data
dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Wawancara
mendalam digunakan untuk memperoleh informasi, baik
dari teungku, murid, pemerintah, para ahli dan praktisi
pendidikan, maupun dari pihak lain yang dianggap mampu
memberikan informasi terkait dengan penelitian ini.
Observasi partisipan digunakan untuk melihat langsung
terhadap fenomena di lapangan yang dapat dijadikan
pertimbangan dalam menjelaskan tentang dayah, baik yang
berkaitan dengan kelembagaan, kurikulum, proses
pembelajaran yang dilaksanakan, dan unsur-unsur lain yang
terkait dengan dayah. Focus Group Discussion (FGD),
digunakan untuk memperoleh data secara terfokus melalui
pengumpulan pandangan dari sejumlah nara sumber
penting yang secara objektif mengenal secara dekat tentang
dayah.
Data yang terkumpul melalui studi pustaka dan
dokumenter dianalisis dengan menggunakan content
ana!Jsis, yaitu menganalisis isi bahan bacaan atau
dokumen yang berkaitan dengan dayah. Sedangkan, data
yang didapatkan melalui wawancara mendalam dan
observasi akan dianalisis melalui desmptive ana!Jsis dan
comparative ana!Jsis, yaitu data yang diperoleh dipelajari,
diklasifikasi, dinyatakan, dibandingkan, dan dianalisis
secara mendalam, kemudian diambil kesimpulan.
Semua data yang diperoleh melalui sumber dan
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011 •
Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
teknik di atas diterjemahkan berdasarkan jenis data masing
masing. Data clari studi kepustakaan dan dokumentasi abn
dianalisis dengan menggunakan teknik content anafpis.
Sedangkan, data dari studi lapangan dianalisis dengan
menggunakan teknik descriptive anajysis dan comparative
anafpis, yaitu data yang diperoleh selanjutnya dipelajari,
diklasiftkasi, dinyatakan, dibandingkan, ditafsirkan atau
dimaknai secara kritis-komprehensif, dan terakhir
disimpulkan.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa
kajian tentang lembaga dayah dan ulama yang dihasilkannya
telah banyak menarik perhatian sejumlah ahli. Dalam
lingkup penelitian di Indonesia pada umumnya dan Aceh
khususnya, paling tidak telah menghasilkan puluhan kaqa.
Di antara peneliti tersebut adalah kaqa Safwan Idris
Perkembangan Pendidikan Dqyah; Antara Tradisi dan Pembahaman
di daerah !Jtimewa Aceh. Dalam karya ini Safwan berpendapat
bahwa pendidikan paling orisional di Aceh adalah pendidikan
dayah. Dalam perkembangannya, dayah telah banyak
mencetak para ulama baik dalam sistemnya yang tradisional
maupun yang modern. A. Halim Tosa dalam Dqyah dan
pembaharuan H ukum !J!am di Aceh juga berpandangan bahwa
dayah yang telah mendapat sentuhan modernisasi meniscaya
kan lahirnya ulama. N amun, penelitian ini tidak memberi
penegasan spesiftk pada jenis ulama yang direproduksi
lembaga dayah di Aceh tersebut. Besar kemungkinan bahwa
nampaknya ulama yang dimaksud adalah ulama laki-laki. Sri
Suyanta dalam karyanya Peran U!ama Aceh Era ReformaJ"i
Volwne 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail
mencoba memotret ulama Aceh dan mengatakan bahwa
ul:->.m~ sangat responsif dan memainkan perannya yang
signifikan terhadap perkembangan situasional tertentu di
lingkungannya. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan NuJantara Abad XVII dan XVIII
berpandangan bahwa tradisi merantau untuk mencari ilmu
agama telah mempertemukan dan membentuk network yang
kuat antara para ulama Indonesia dengan ulama di dunia
Islam. Muhtarom HM, ReprodukJi Ulama di Era Global,·
ReJiJtemi TradiJional !Jlam, menyimpulkan bahwa moderni
sasi kelembagaan pesantren tidak berpengaruh banyak
terhadap semangat dasar pendidikan di pesantren, yaitu
yatafaqqahu fi al-din dan spirit tradisionalisme Islam yang
begitu mengakar. Azhar M. Nur, IntegraJi Kzm"ku!um dqyah
dan ReprodukJi Ulama menyimpulkan bahwa restrukturisasi
model pembelajaran di dayah telah mereduksi reproduksi
ulama di dayah.
Dari sejumlah penelitian sebelumnya tersebut,
nampaknya belum ada satu penelitian yang mencoba
mengkaji lebih jauh tentang reproduksi ulama perempuan
dan modernisasi dayah di Aceh. Berdasarkan penulusuran
tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan untuk
melihat lebih dalam dan terfokus mengenai adanya
kemungkinan kembali dayah yang telah termodernkan
dapat melahirkan ulama perempuan di lembaga pendidikan
dayah di Aceh pada masa kini. Sebab, kehadiran ulama
perempuan di dalam masyarakat akan sangat membantu
dalam melihat persoalan sosial keagamaan dari kaca mata
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduk.ri Ulama Pen:mpuan dan Moderni.ra.ri Dqyah di Aceh
gender yang adil dan proporsional.
sosial dan fungsional perspektif kajian gender. Di mana
setiap anggota masyarakat, baik laki-laki mapun perempuan
memainkan perannya menurut kapasitas masing-masing.
Interaksi sosial di antara mereka terkadang berlangsung
paralel dan tidak jarang juga timbul konflik. Relasi sosial
semacam ini memungkinkan kedua jenis kelamin manusia
ini melakul\:an bargaining yang memadai untuk saling
menjaga harmorisasi dan sub-ordinasi sd:-::<ligus.
Secara etimologi, kata 'u!amd merupakan bentuk
jamak dari kata 'd!im (bahasa Arab) yang artinya
mengetahui, mendalami atau mahir. Secara terminologi,
ulama dipahami sebagai seseorang yang mendalami agama
Islam (tqfaqqalm ji a!-din). Seperti ungkapan, "Orang itu jaqih
betul dalam agama, maksudnya seseorang yang memiliki
pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam. Dalam
makna yang terbatas, ulama tidak jarang diidentikkan
dengan keluaran (alumnus) lembaga pendidikan Islam
tradisional, seperti pesantren. Sementara dalam makna yang
lebih modern, ulama dipahami sama dengan sarjana,
intelektual, pemikir, pembaharu, atau mujaddid Islam.
Kalau di Jawa, ulama lebih populcr dengan sebutan 'kiyai',
maka dalam konteks Aceh, ulama disebut dengan "teungku"
atau sering disingkat dengan Tgk. Istilah dqyah identik
dengan peJantren atau pondok di Jawa, Jttrau di Sumatera
Barat atau madraJah di Timur Tengah. Bahkan, di Aceh
terdapat istilah lain yang nyaris bermakna sama, yaitu
Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi Ismail
meunasah dan rangkang. Dayah ditengarai berasal dari kata
bahasa Arab, zazvi_vah yang berarti pondok, ataupun balai
yang biasanya terletak eli samping masjid. Semua lembaga eli
atas berfungsi sebagai tempat mempelajari ajaran Islam dan
sekaligus tempat tinggal.
Dayah sebagai lembaga dan wahana penelidikan Islam
telah ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
mentransmisikan ilmu-ilmu keislaman, melanggengkan
pelbagai traelisi dan mereproduksi ulama. Tidak hanya itu,
andil institusi dayah dengan ulama eli dalamnya telah
berperan aktif merespon zaman dengan berbagai pemikiran
dan bahkan keterlibatan langsung dalam setiap permasalah
an di daerah. Dalam konteks Aceh, kelembagaan dayah
telah melahirkan sejumlah ulama pejuang yang berpengaruh
dan pengayom umat Di antara para ulama itu adalah Tgk
Muhammad Daud Beureueh, Tgk Chiek eli Tiro, Tgk
Fakinah, Cut Nyak Dhien, Pocut Baren (ketiganya
perempuan), Tgk Chiek Pante Kulu, Tgk Syekh Muda Wali
al-Khalidy dan masih banyak ulama kharismatik lainnya eli
Aceh. Hanya saja, dari sederet nama ulama itu, ulama
perempuan boleh elikatakan tidak begitu banyak yang
muncul ke permukaan. Padahal, ulama perempuan terbilang
ada kendati dalam jumlah yang terbatas.
Dayah, Modernisasi, dan Ulama Perempuan
Terma "ulama" paling tidak dalam konteks soslo
kultural masyarakat Aceh nampaknya belum mengalami
pergeseran karakteristiknya. Sampai sejauh ini, ulama lebih
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dqyah di Aceh
dikarakterkan sebagai seseorang yang mendalami ilmu
agama Islam .. ( vatajm;r;ahu .ftddin) di lembaga pendidikan
Islam tradisional (dayah atau pesantren), kemudian
mengabdikan ilmu tersebut secara konsisten (ideal) di
tengah-tengah masyarakat sekitar yang sifatnya terbatas.
Akibat dari pengabdian yang tulus ikhlas tersebut,
masyarakat mengakui eksistensi keulamaannya yang
ditandai dengan penghormatan (ta '?im) dati santri dan
masyarakat di sekitarnya. Gezah keulamaannya tampak
mulai dari tampilan pakaiannya yang sederhana, tutur
katanya yang bersahaja, tingkah lakunya yang penuh etika
sampai pada pola hidupnya yang tidak bermewah
mewahan. Sementara itu, karakteristik ulama yang agak
"ketat" dan nyaris idealis sebagaimana dideskripsikan di
atas hingga kini masih bertahan dan belum berubah. Paling
tidak, kualiflkasi seorang ulama adalah alumnus dayah
semata masih bertahan. Akan tetapi, dari aspek penampilan
keseharian, seperti berpola hidup sederhana tidak lagi
nampak dalam konteks dunia modern sekarang ini. Dalam
konteks ini, terlihat bahwa karakteristik ulama tidak lagi
dilihat dari personiflkasi lahiriyah atau penampilan flsik dan
pola hid up yang dianut seorang ulama.
Sementara itu, seseorang yang mendalami ilmu
agama Islam dari lembaga dayah dan perguruan tinggi
agama sekaligus, kemudian mengaplikasikan pengctahuan
dan pengamalan agamanya di dalam altar kehidupan yang
lebih luas tidak dikategorikan ulama. Namun, lembaga
dayah sebagai basis utama dimana ulama direproduksi
Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yat·ob, Muhibuddin, dan Fauif lJ"mail
masih tetap dipertahankan sebagai basis tempat ulama
direproduksi. Kendati setamat dari dayah, seorang kader
( calon) ulama boleh jadi melanjutkan studi ke lembaga
pendidikan lain, hal itu masih mempengaruhi legalitas
keulamaannya. Sejauh ini masyarakat belum bisa menerima
karakteristik ulama yang agak moderat ini. Bahkan, pada
skala yang agak ekstrem, sebagian masyarakat belum dapat
menerima ulama berbasis dayah, tetapi kemudian melompat
jauh ke dalam dunia lain di dunia non-keagamaan. Kendati
ia masih fokus terhadap nilai keagamaan dan sosio-kultural
yang melingkupi alam pikiran dan tradisi dayah.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pimpinan
dayah dapat diketahui bahwa dari segi pelaksanaan
pendidikan, maka dayah ini dapat dikategorikan sebagai
dayah terpadu. Karena memadukan dua sistem sekaligus
dalam proses pendidikan, yaitu antara sistem dayah
(pesantren) yang menekankan santri (siswa) mampu
menguasai literatur klasik (baca: kitab kuning) dengan
sistem madrasah yang identik dengan sekolah umum
berbasis keagamaan. Integrasi dua sistem pendidikan
tersebut berlangsung secara menyatu dalam kurikulum dan
disatukan dalam jam pelajaran dari pagi sampai sore.
Sehingga, kurikulum yang digunakan adalah kolaborasi
antara kurikulum kementrian agama, diknas, dan dayah. Di
sini tidak ada pemisahan jadwal antara jam pelajaran
sekolah dengan jam pelajaran dayah. Uniknya lagi referensi
kitab kuning yang diajarkan tidak bersumber dari satu
mazhab atau aliran tertentu. Maksudnya tidak ada
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011
ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dqyah di Aceh
pengkhususan mazhab Syafi'iyyah saja misalnya, sebagaimana
berlaku pada jenis dayah salafi. Dapat dikatakan bahwa
Dayah Jeumala Amal merupakan madrasah plus dayah
dengan sistem berasrama atau mondok (boardiniJ. Untuk
tingkat Aliyah, dibuka dua jurusan; IP A dan IPS. Kelas IP A
merupakan kelas yang paling diminati oleh orang tua murid,
paling tidak dalam empat tahun terakhir. Sebab, sasaran
para santri adalah bisa menembus fakultas kedokteran yang
sangat mereka minati dan menjadi perioritas ketika
mclanjutkan studi ke perguruan tinggi.9
Sebagai sebuah dayah yang bertugas mencetak kader
ulama, untuk saat ini Jeumala Amal membuka dua
tingkatan pendidikan, Tsanawiyah dan Aliyah. Bahkan,
pada level Aliyah, pada tahun-tahun pertama berdirinya
pernah membuka kelas khusus (MAPK) dan sanggup
bcrtahan selama riga tahun. N amun, sa at ini kelas khusus
tersebut telah ditutup karena minat orang tua santri sudah
bcrkurang. Kendati demikian, semangat pimpinan periode
sekarang untuk memajukan dayah hingga mampu menjadi
sebuah perguruan tinggi tidaklah surut sampai sekarang.
Perjuangan sekarang adalah menyiapkan dayah sebagai batu
loncatan cita-cita dan masa depan para santri menuju
perguruan tinggi ternama di Aceh, nasional, dan luar negeri.
Jihad intelektual ini telah membuahkan hasil yang nyata. Di
mana alwnnus dayah mampu lolos diberbagai perguruan
9 \X'awancara dengan Drs. Teungku Anwar Yusuf, MA, Dircktur Dayah J eumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie J aya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor DayahJeumala AmaL
Volume 10, Nomor 02,2011 llSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan 'Fau~ lJmail
tinggi berkualitas setiap tahun. Berdasarkan penuturan salah
seorang unsur pirnpinan, kesulu:esan Dayah J eumala Amal
tidak terlepas dari perhatian pemerintah pusat maupun
pemerintah Aceh dan peran serta, partisipasi, dan
penerimaan aspirasi masyarakat di Kabupaten Pidie Jaya
khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya. 10
Menyinggung masalah reproduksi ulama perempuan,
pimpinan Dayah J eumala Amal berujar bahwa pada prinsip
nya dayah bertanggungjawab dalam mencetak kader ulama,
apakah itu ulama laki-laki maupun perempuan dalam satu
kesempatan yang sama, setara dan equal tanpa membeda
bedakan. Komitmen dan prinsip kesetaraan gender ini
memang terlihat dalam pelbagai kebijakan yang diterapkan
pi.mpinan dayah di sana. Sebagaimana dikemukakan bahwa
pimpinan dayah tidak membedakan jenis kelarn.in dalam
semua kesempatan untuk studi maupun berkarir di J eumala
Amal. Apakah dari aspek perekrutan santri, penerimaan
tenaga pengajar, staf dan karyawan, sampai pada jajaran
yang menempati organisasi pengurus yayasan. Semuanya
berkompetisi secara fair, Jportif, tanpa membedakan apakah
laki-laki atau perempuan. Pimpinan dayah selalu berupaya
keras dan berpegang kuat pada prinsib keadilan dan
kesetaraan gender. Malah pakaian santri perempuan
menggunakan pakaian perempuan Islam standar biasa, yaitu
sekadar dapat menutup aurat (muka dan telapak tangan
JO Wawancara dengan Drs. Teungku Muhammad Yamin, Wakil Direktur Dayah J eumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie J aya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor Dayah J eumala Amal.
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reprodllksi Ulama Perempuan dan Moderni.rasi Dt!Jah di Aceh
tetap terbuka). Di dayah ini santri perempuan tidak
dibenarkan memakai cadar yang menutup wajah, dengan
harapan agar sesama mereka dapat saling kenal mengenal
dengan mudah.
Istilah ulama perempuan di kalangan pimpinan
dayah terkesan asing. Mengingat selama ini yang digunakan
hanyalah ulama saja, karena di dalamnya mengandung
pengertian ulama laki-laki dan juga perempuan. Apalagi ada
kesan bahwa penambahan kata "perempuan" pada kata
"ulama" terlalu dipaksakan dengan mengacu pada mainstrem
isu gender ala Barat yang berhembus ke dunia Islam. Kalau
dikatakan ulama perempuan, maka dalam tataran termino
logi orang Aceh adalah apa yang disebut dengan "teungku
inoeng' atau "umml'. Kedua term ini akrab ditemukan di
lingkungan dayah salafiah (tradisional) - untuk membedakan
dengan dayah terpadu atau modern. Istilah " ummi' sendiri
sebenarnya mengandung pengertian ganda. Pertama, ummi
adalah panggilan terhadap istri pimpinan dayah yang dalam
panggilan sehari-hari sering disebut dengan teungku .ryiek,
atau Abu, Abt?Ja, abon serta waled 11 Kedua, ummi adalah
II Term "ulama" secara sosio-kultural dalam masyarakat Aceh pada umumnya pada awalnya disebut dengan "teungku", "abuya" atau "abu". Tetapi belakangan, term teungku (tgk) mengalami perkembangan dan pergeseran yang lebih variatif. Selain panggilan teungku dan gelar tambahan lainnya seperti teungku syiek, seorang ulama di Aceh sekarang juga bergelar abon, dan waled. Belum diketahui secara persis apa landasan di balik penggunaan gelar "baru" tersebut di kalangan ulama dayah tersebut pada masa belakangan sekarang. Gelar abon mungkin bisa diasumsikan masih dalam satu turunan kata dari "abu". Tetapi kalau "waled" lazimnya dipakai bagi kalangan orang Aceh yang memiliki garis seketurunan dengan "sayid"
Volume 10, Nomor 02, 2011 I TSTiQ.RO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fau!'(j Ismail
gelar kehonnatan atas keilmuan dan dedikasi t~rhada.p
penG2br1'2n ~eorang ulama percrr.puan dalam menyebarkan
ajaran Islam di tengah masyarakat.
Adakalanya istri seorang ulama Qaki-laki) diB~l1ggil"
umml' karena memiliki kapasitas rangkap, yaitu. kan;na ia
alim dan menjadi salah seorang tenaga pengajar pa.ra santri
di dayah tempat suaminya memimpin. Akan tetapi, kuafitas
rangkap semacam ini relatif jarang ditemui di lingkungan
dayah. Sebab, kebanyakan istri ulama hanya , berp()sisi
sebagai seorang istri biasa dan tidak terlibat, dalam
kepengurusan dan kegiatan pendidikan di dayah. B()leh j~di
hal ini disebabkan kapabilitas latar belakang pendidikan
seorang istri tidak mencapai tara£ tertentu yang memadai
untuk mampu mengajar di dayah, ataupun harrihatin
kultural di lingkungan dayah yang menghambatnya unttlk
terlibat langsung dalam kegiatan belajar-mengajardidhyah. ·
J adi, ada kesan umum dalam masyarakat Aceh pada
umumnya bahwa gelar ulama hanyalah diperoleh oleh ·,
seseorang yang alim tentang ilmu keislaman dan ia lulusan
dari lembaga pendidikan Islam tradisionl yang. bernama
dayah. Selebihnya, bukanlah atau tidak berhak disebut
ulama, semisal alumnus perguruan tinggi agama Islam
sekalipun. Sebab, masyarakat Aceh sudah terlanjur meng
klaim dan mengakui bahwa yang namanya ularha adalah
(keturunan Nabi Muhammad SAW). Sejauh ini, belum ada temuan penelitian yane melatarbelakangi penamaan gelar bam b~gi seorang ulama dayah di Aceh dimaksud, apakah disebabkan alasan sosiol9gis, politis a tau kultural saja. · · ·
ISTiQ.RO' I Volume 10, Nomor 02, 2011
Reprodnksi Ulama Perempuan dan Modernisa.ri Dt!Jah di Aceh
alumnus dayah. Di luar lembaga dayah tidak mendapat
pengakuan sah .dari masyara~at. Menurut pandangan salah
seorang teungku12 (tepatnya pengurus Dayah Jeumala Amal),
hal tersebut kemungkinannya disebabkan pergesekan kuat
dualisme sistem pendidikan, dikotomi pendidikan agama
dan umwn, penyelenggaraan pendidikan dua atap. Bahkan,
asumsi destruktif yang lebih jauh adalah lembaga pendidikan
agama yang sifatnya formal atau di bawah kendali pemerintah,
seperti madrasah maupun sekolah agama juga dianggap
bukan lembaga pendidikan agama (Islam). Bagi kalangan
komunitas dayah sendiri berkembang k1aim bahwa dayah
adalah satu-satunya lembaga pendidikan agama.
Ironisnya lagi, alumnus dayah yang tidak konsisten
berada di jalur pendidikan dayah, seperti mengembangkan
almamater atau mendirikan dayah lain, kemudian ia beralih
ke jalur pendidikan non-dayah (sekolah, madrasah atau
perguruan tinggi agama) atau bekerja dalam profesi lain,
seperti beralih ke jalur PNS baik birokras~ guru, pengusaha
atau politisi, yang dalam anggapan elit dayah cenderung ke
arah "duniawi", maka mereka ini tetap saja tidak mendapat
pengakuan lagi sebagai ulama, disebabkan "pengkhianatan"
tersebut. Jadi, gelar ulama secara terbatas dan ketat hanya
diberikan kepada mereka yang secara istiqamah mendedikasi
kan hidup secara sejati hanya untuk mengabdi di jalur
pendidikan dayah. Buktinya banyak alumnus dayah
12 Wawancara dengan Drs. Teungku Hamdani AR, guru MA Dayah Jeumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor Dewan Guru Dayah Jeumala Amal.
Volwne 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
ttadisional tertua dan memiliki nama besar, pengaruh, dan
alumnusnya yang rliken~l . )vl'l.~ oleh masyarakat Aceh
maupun bertaraf nasional, tetapi mereka tetap saja tidak
mendapat pengakuan sebagai ulama. Dikarenakan setelah
menamatkan pendidikan di dayah, mereka melanjutkan
studi ke perguruan tinggi baik agama maupun umum.
Padahal, kapasitas keulamaan dan intelektualitas
mereka relatif di atas kemampuan seseorang yang diakui
sebagai ulama. Tctapi sekali lagi, ia tetap tidak mendapat
keabsahan sebagai seorang yang mendapat panggilan
ulama. Di an tara mereka misalnya adalah T eungku Drs.
Tannizi Dahmi (Dosen Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuludin
lAIN Ar-Raniry Banda Aceh, alumnus Dayah MUDI
Labuhan Haji pimpinan Abuya syekh Muda Waly al
Khalidy di Aceh Selatan), Tgk Drs Idrus Ahmad, Dosen
Aqidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin lAIN Ar-Raniry
BaHda Aceh, alumnus Dayah MUDI Masjid Raya Sama
langa Bireun), dan sederet dosen lain di lAIN Ar-Raniry
yang alumnus di beberapa dayah terkenal di Aceh. Namun
sayang, mereka sampai hari ini belum memperoleh apresiasi
masyarakat sebagai seseorang yang dipanggil ulama. Mereka
tetap saja disebut dengan sebutan profesi yang dijalani kini,
yaitu sebagai seorang "ulama-intelektual" yang bersarang di
kampus, bukan di dayah. Kendati mereka mendedikasikan
diri di jalur dakwah dan pendidikan agama Islam. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Tgk Muhammad Idris (50
tahun), salah seorang staf pengajar di Dayah Jeumala
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
R.eproduksi U/ama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
Amal. 13
Kalau dcn:.il:L:~ yang tcrj:;.d.i eli kal.angan sesama
ulama laki-laki, dapat dibayangkan bagaimana apresiasi
kalangan elit ulama laki-laki dayah di Aceh terhadap
pencitraan ulama perempuan. Seorang ummi atau teungku
Inoeng, sebenarnya adalah ah.unnus dayah juga. Hal ini
menandakan bahwa iklim akademis di dayah memberikan
kesempatan dan peluang yang sama dengan calon ulama
laki-laki (santri laki-laki) untuk meretas jalan menjadi
seorang kader ulama. Namun, kendala terbesar yang
dihadapi santri perempuan untuk melejit menjadi seorang
ulama adalah dirinya sendiri, bukan sistem pendidikan di
dayah. Menurut pimpinan dayah lainnya mengatakan bahwa
tidak mudah dan boleh dikatakan sangat jarang seorang
santri perempuan mampu bertahan dalam studinya di dayah
sampai tamat dan akhirnya mendapat legalitas keulamaan
dari ulama besar di dayahnya. Bahkan, relatif terbatas bagi
seorang santri perempuan mampu mencapai dan duduk di
dayah kelas atas (semisal kelas VII, VIII dan IX) misalnya.
Kebanyakan mereka harus kembali kepada keluarga
di tengah jalan (kelas pertengahan) atau menjelang akhir
studi (kelas tinggi). Hal tersebut lebih disebabkan faktor
psikologis menyangkut usia subur atau produktif seorang
perempuan untuk saatnya berkeluarga, faktor sosiologis di
mana masyarakat akan mencibir hila ada seorang
l3 \V'awancara dengan Drs. Teungku Muhammad Idris, staf pengajar Dayah Jeumala Amal Luengputu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, 29 Oktober 2010 di Kantor Dewan Gum Dayah J eumaL'l Amal.
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Y acob, Muhibuddin, dan Fau:{j [Jmail
perempuan yang berlama-lama membujang (belum nikah),
maupun faktor biologis di mana ia harus menjadi seorang
istri bagi suaminya dan melahirkan anak-anak mereka.
Dalam posisi semacam ini, seorang perempuan alumnus
dayah menjadi sangat sulit mengorbit dirinya untuk menjadi
ulama sekaliber kaum laki-laki yang relatif tidak mengalami
hambatan-hambatan serupa. Kalau ini yang dialami oleh
kebanyakan santri perempuan di lembaga dayah, di mana
kesempatan belajar agama guna menyiapkan diri menjadi
seorang ilmuan muslim (ulama) tidak semudah yang dijalani
santri laki-laki, maka bagaimana mungkin ia memiliki waktu
dan kesempatan maksimal untuk menguasru ilmu
pengetahuan sebagai prasayarat dalam mengantar dirinya ke
gerbang keulamaan.
Oleh karena itu, walaupun di satu sisi dayah dalam
kapasitas akademisnya sebagai salah satu lembaga tempat
mendidik, menyiapkan dan mengkader (memproduksi) para
ulama, tetapi di sisi lain tidak dengan serta merta alumnus
dayah dengan kompetensi keilmuan dan keulamaannya
yang kuat akan mendapatkan kehonnatan sebagai ulama.
Sebab, ulama pada satu sisi adalah wujud kapasitas
keilmuan seseorang alumnus di lembaga dayah, sementara
di sisi lain ia masih harus mendapat pengakuan sosial dari
masyarakat. Tanpa pengakuan itu, maka keilmuannya yang
dalam ifaqih ji al-din) tidak berarti sama sekali untuk
mengantarkannya pada satu maqdm yang bernama "ulama".
Itulah sebabnya, mengapa banyak santri perempuan yang
studi di dayah, tetapi belum mampu melahirkan ulama
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
&produksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
perempuan. Sebaliknya, tidak terhitung siswa perempuan
yang helajar di lembaga pendidikan modern mampu meraih
gelar akademis non-dayah, baik di strata satu (S1), strata
dua (S2) maupun di strata riga (S3). Salah satu alasannya
adalah bahwa gelar tersebut ridak harus mendapat
pengabsahan masyarakat, legalitas keilmuannya cukup
diberikan oleh lembaga pendidikan bersangkutan.
Simpulannya, peluang bagi perempuan ridak
dibatasi oleh sistem pendidikan manapun, baik tradisional
maupun modern. Tetapi faktor perempuan itu sendiri yang
belum siap bergerak ke posisi dan peran yang setara dengan
kaum laki-laki, khususnya di ranah elit keagamaan semacam
ulama. Hambatan biologis, psikologis, dan peran domestik
dan kultural itulah yang selama ini menghalangi kaum
perempuan meraih posisi klimaks di domain publik
terutama di dunia pendidikan baik agama maupun umum.
Ulama adalah gelar akademis lembaga pendidikan dayah,
tetapi sekaligus gelar sosiologis yang tidak semua alumnus
dayah mampu memperolehnya. Ulama perempuan adalah
istilah baru yang masih dirasa asing dan dianggap tabu serta
dicurigai kerika digunakan dalam ungkapan sehari-hari.
Dayah, karenanya tidak menjamin mengantarkan seorang
santri untuk meraih titel ulama. Dayah dalam kapasitasnya
sebagai institusi pendidikan keagamaan bertugas mendidik
dan menyiapkan kader ( calon) ulama, bukan mencetak
ulama. Masyarakatlah akhirnya yang berhak memberi label
seorang :1 bmnus dayah apakah ia berhak diberi gelar ulama
atau sebatas gelar keagamaan biasa, sebatas teungku atau
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Y acob, Muhibuddin, dan Fa~~if Ismail
malah ustadz (guru agama). Atau apakah mungkin
reproduksi ulama pada umumnya dan ulama perempuan
khususnya lebih bersifat alamiah ketimbang rekayasa
sosiologis? Diperlukan penelitian lebih jauh dan serius lagi
tentunya.
Modernisasi dayah di Aceh pada prinsipnya tidak
secara signifikan mereproduksi ulama perempuan. Moderni
sasi dayah baru pada aspek hardware, berupa formalisasi
struktur kelembagaan, organisasi kepengurusan, birokratisasi
administrasi, integrasi kurikulum dan sistem pelaksanaan.
Modernisasi dayah belum bersentuhan dengan aspek
Jojtware, seperti perubahan mindJet (pola pikir) ke arah yang
lebih maju, kekinian, dan kemodernan dengan menanggalkan
kebiasaan tradisional yang kurang membangun; sikap keter
bukaan terhadap dunia luar, baru atau asing, profesionalitas,
akuntabilitas, kapabilitas, transparansi dalam pengelolaan
institusi, managemen organisasi, kebijakan yang berpihak
kepada prinsip keadilan gender, serta masih tumbuhnya
ideologi patriarkhi terutama di tataran elit pemimpin dayah
atau tokoh utama (senior) di lingkungan dayah. Sampai
dengan sekarang ini budaya mensubordinatkan kaum
perempuan dalam mendapatkan peran strategis tertentu,
seperti memimpin dayah (top leader) atau peran lebih rendah
di bawahnya masih dirasakan berlangsung dan diakui
realitasnya masih eksis di lingkungan elit ulama laki-laki di
dayah.
Selain itu, dilihat dari tipologi dayah sendiri; apakah
itu dayah salafiah (tradisional) yang masih murni mengkaji
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi U lama Perempuan dan ModerniJ·asi Dqyah di Aceh
kitab kuning tanpa terintegrasi dengan kurikulum
pendidikan modern maupun dayah terpadu atau moclern,
dalam konteks reproduksi ulama perempuan, ternyata
keduanya tidak berbeda dalam mencetak kader ulama
perempuan. Kedua model lembaga dayah ini memberikan
kesempatan yang sama kepada santri perempuan maupun
laki-laki untuk studi di dayah. Bahkan, tidak jarang dayah
salafi membuka lembaga sub-dayah (dayah muslimah) di
lingkungan dayah yang secara khusus mengelompokkan
(memisahkan) santri perempuan untuk dididik sebagai
kader ulama. Pemisahan kedua jenis kelamin ini tentunya
harus dilihat dari kacamata positif, di mana pemisahan itu
bertujuan untuk memberikan kesempatan dan memfokus
kan santri perempuan dalam belajar. Pengelompokan
semacam ini juga bisa berlangsung di dayah terpadu atau
modern, seperti Dayah Jeumala Amal, Dayah Modern
Bustunul Ulum Langsa, di mana santri laki-laki dan
perempuan terpisah lokasi mondok dan kelas belajar. Tidak
heran jika di dayah salafi semisal Dayah MUDI Masjid Raya
Samalangan Kabupaten Bireun membuka kelas khusus
(dayah putri) di Desa Tanjungan K.ecamatan Jangka Buya
Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Uniknya, dayah putri
itu dipimpin langsung oleh seorang ulama perempuan,
alumnus Dayah MUDI Samalanga.
Temuan yang nyaris sama Juga ketika melakukan
obse1vasi dan wawancara dengan unsur pin1pinan Dayah
Ma 'had Ulum al-Diniyyah al-Islamiyah (MUD I) Masjid
Raya (11esra) Samalangan K.abupaten Bireun. Pimpinan
II Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif !Jmail
dayah ini sendiri adalah Teungku Hasanul Bashry atau lebih
populer dengan sebutan "Waled Nn". Dalam penelitian ke
lokasi ini diperoleh gambaran bahwa dayah MUD I Mesra
ini bersifat salafi. Di sini tidak terlihat adanya lembaga
pendidikan formal di dalamnya, baik berbentuk madrasah
ataupun sekolah agama. pendidikan di sini murni berbasis
dayah yang hanya mengkaji literatur kitab kuning
bermazhab Syafi'iyyah semata. Akan tetapi, proses
pendidikan menganut sistem kelas atau berjenjang. Sistem
pengajaran (belajar-mengajar) menggunakan pola f:Ja/aqah di
mana guru memegang otoritas keilmuan, sementara santri
mendengar dan mengikuti pengetahuan yang ditransfer baik
oleh teungku ryiek (teungku abi) maupun dari kalangan santri
senior (kaka kelas). Penjenjangan santri diatur sedemikian
rupa layaknya pendidikan formal, seperti kelas I sampai
dengan kelas VIII. Biasanya kelas I sampai dengan kelas III
setara dengan tingkat Tsanawiyah, dan kelas IV sampai
dengan kelas VII setara dengan tingka t Ali yah. N amun,
dalam penerimaan santri tidak ada pembatasan umur, latar
belakang pendidikan sebelumnya dan dari kelas sosial mana
saja. Umumnya yang melamar menjadi santri di sana adalah
lulusan Tsanawiyah atau SLTP. Tetapi, ada juga alumnus
diploma dan sarjana yang meneruskan studinya sebagai
santri dayah kembali setelah sebelumnya pernah mondok
di sana.14
14 Data diperoleh melalui wawancara dengan Tgk Marzuki, MA, staf pengajar di dayah dan juga wakil kepala ST AI Al-Aziziyah.
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011
&produkJi Ulama Perempuan dan ModerniJ·aJi Dt!)lah di Aceh
Dalam perkembangannya sistem pengaJaran di
Dayah MUD I Mesra telab. mengalami . peruhahan dan
beberapa penyesuaian. Di antaranya dalam hal pemberian
ijazah bagi santti yang telah lulus masing-masing tingkat
seperti Tsanawiyah dan Aliyah. Selain itu, adaptasi terhadap
tuntutan kemajuan zaman dalam bentuk lain adalah
menyesuaikan sistem kelas di dayah dengan sistem kelas di
luar pendidikan dayah. Seperti kelas I sampai kelas IV,
dianggap setingkat MA. Santti yang lulus kelas IV diberi
ijazah setaraf dengan ijazah MA. Sedangkan kelas V, VI,
VII dan VIII dianggap setingkat dengan diploma (D III),
sehingga setelah lulus dari kelas ini santri diberikan ijazah
setaraf dengan ijazah D III (diploma), atau dalam
terminologi dayah level ini disebut dengan "Ma 'had 'A!j'
(dqyah mmryang). Regulasi semacam ini bertujuan untuk
menyiapkan dan memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada alumni dayah untuk berkecimpung dan mengisi
pelbagai aspek pembangunan.ts
Modernisasi yang agak lebih berani dilakukan oleh
pimpinan dayah ini adalah mendirikan sebuah perguruan
tinggi atau Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al-Aziziyah
di lingkungan dayah. STAI al-Aziziyah merupakan
terobosan besar bagi sebuah dayah salafi. Mahasiswa di
perguruan tinggi ini sebagian adalah alumnus dayah sendiri
dan sebagian lagi adalah anggota masyarakat di luar
lS Data ini terungkap dalam wawancara dengan Tgk Muntasir, MA, menantu dari Tgk Hasanul Bashry, pimpinan dayah. Ia juga salah seorang pengurus dayah merangkap Kepala STAI Al-Aziziyah.
Volume 10, Nomor 02, 2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif !Jmail
lingkungan dayah. Sementara itu jumlah santri laki-laki dan
perempuan disebutkan nyaris berimbang, yaitu 2/3 laki-lald
dan 1/3 perempuan dengan ruang bela jar yang terpisah.
Jumlah santri laki-laki saat ini sebanyak 1.022 orang dan
santri perempuan sebanyak 1.008 orang.16 Rata-rata santri
perempuan mampu bertahan di kelas yang paling tinggi,
yaitu sampai kelas V setelah menjadi santri selama 8 sampai
10 tahun lamanya. Tetapi ada juga, namun jumlahnya tidak
seberapa, santri perempuan yang sanggup bertahan selama
waktu 20 tahun. Dan bahkan, diakui bahwa alumnus dayah
dari kalangan santri perempuan tidak sedikit yang diakui
masyarakat di daerahnya sebagai ulama perempuan.
Dalam konteks inilah, keberadaan STAI al-Aziziyah
diharapkan berperan sebagai · alternatif santri perempuan
dalam memilih studi mereka setelah "menyerah" menjadi
santri abadi di dayah. Jika tidak mampu bertahan lebih lama
di dayah, maka mereka dapat melanjutkan studi di
perguruan tinggi yang eksis di lingkungan dayah tanpa
harus kuliah di perguruan tinggi lain yang berada jauh di ibu
kota provinsi. Kendati demikian, unsur pemimpin dayah
tidak menghalangi santri mereka hila mana mencari
perguruan tinggi lain selain STAI al-Aziziyah sebagai
pilihan dalam melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi
setamat dari pendidikan di dayah. Ulama yang umumnya
berjenis kelamin laki-laki dan kini memimpin sejumlah
dayah lainnya di Aceh merupakan alumnus Dayah MUDI
16 Data dokumentasi Profli Dayah MUDI Mesra Samalanga,Kabupaten Bireun Provinsi Aceh, 2010.
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi Ulama Perempnan dan Modernisa.ri Dqyah di Aceh
Mesra ini. Dari sekian ulama tersebut, terdapatlah beberapa
nama ulama perempuan seperti Tgk Husna di Aceh Barat
Daya dan Tgk Cut Mala di Padang Tiji Kabupaten Pidie.17
Ada kekhasan tersendiri dari mahasiswa STAI al
Aziziyah, yaitu para mahasiswinya kebanyakan mengenakan
cadar (penutup wajah). Menurut keterangan Tgk Muntasir,
pembiasaan penggunaan cadar di kalangan mahasiswi
berawal sejak mereka berstatus santri di dayah. Kemudian,
setelah selesai studi di dayah dan kemudian melanjutkan
studi ke STAI kebiasaan tersebut terns berlanjut. Sehingga
sekarang ini, tidak hanya santri dayah yang mengenakan
cadar, mahasiswi pun menggalakkan pemakaian cadar
dalam kegiatan belajar di kampus dan dayah. Tgk Muntasir
lebih jauh mengatakan bahwa sebenarnya penggunaan
cadar di kalangan san tri dayah dan mahasiswa pada awalnya
hanyalah pilihan pribadi semata. Tidak ada aturan tertentu
di dayah yang mewajibkan santri perempuan untuk
bercadar, semuanya atas pilihan sendiri tanpa pemaksaan
dari pimpinan dayah. Tetapi lama-kelamaan, jumlah santri
perempuan dan mahasiswi semakin ramai (membudaya)
yang mengenakan cadar. Melihat perkembangan tersebut,
pimpinan STAI melihat bahwa perlu adanya keseragaman
atribut (pakaian) di kalangan mahasiswi STAI. Supaya
mereka mudah dikenal manakala berada di luar kampus saat
jam-jam kuliah berlangsung, maka akhirnya pimpinan
mengambil inisiatif menetapkan pemakaian cadar kepada
17 Dok-umentasi data statistik alumnus Dayah MUDI Mesra Samalanga, 2010.
Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yat'ob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
semua mahasiswi tanpa kecuali. Sementara kepada santri
neremt'uan di d~,;r~h tidak diberlakukan aturan tersebut. L L
Santri perempuan masih diberikan kebebasan dalam hal
penggunaan pakaian selama belajar di dayah.18
Sementara itu, jumlah santri MUDI Mesra Samalang
sekarang berkisar 1.300 orang santri, dan 1/3 dari jumlah
tersebut mengikuti kuliah di STAI. Ketika ditanyakan apa
yang menyebabkan kebanyakan santri perempuan yang
diharapkan sebagai kader ulama perempuan jarang mampu
bertahan sebagaimana santri laki-laki, Tgk Muntasir (35
tahun) dan Tgk Marzuki (30 tahun) berargumen bahwa hal
itu lebih disebabkan faktor pertimbangan usia, pernikahan,
peran domestik yang mengikat, faktor kultural, dan ada juga
santri seruor perempuan yang menganut dan
mempraktikkan amalan thariqah dan lainnya. Dari keadaan
inilah muncul satu istilah keprihatianan terhadap kaderisasi
ulama perempuan di dayah, seperti ungkapan; "teungku inong
diet, yang le inong teungku''. Maksudnya adalah ulama
perempuan jumlahnya sangat terbatas, adapun yang banyak
ditemui adalah para istri ulama Qaki-laki).
Dalam komunitas dayah berlaku sistem hirarkhi,
yang cenderung menyamai sistem feodalistik. Terdapat
strata sosial yang nampak menyolok antar elit di sana.
Teungku Abi atau ulama syiek (ulama senior) dan
keluarganya yang memimpin dayah telah menjadikan dayah
18 \Vawancara dengan Tgk Muntasis saat melakukan observasi ke lokasi kampus al-Aziziyah MUDI Mesra Samalanga, Senin 29 November 2010.
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
' '
Reproduksi Ulama Perempuan dan ModetniJasi Dt!Jah di Aceh
·· sebagi.i sebuah kerajaan kecil. Ia menjadikan lembaga dayah
sebagai episentrum (pusat kekuasaan) di mana .~akyatnya
adalah seluruh komunitas dayah (guru, santri dan
karyawan). Dalam interaksi top-down seperti ini, posisi santri
perempuan malah lebih rendah. Di samping belajar sebagai
tugas utama, mereka juga kerap digunakan sebagai pekerja
yang ikut membantu rumah tangga, ladang pertanian, dan
ternak peliharaan keluarga pimpinan dayah. Pekerjaan itu
dianggap sebagai pengabdian pencari ilmu (murid) kepada
guru (teungku) mereka. Dalam aspek ini, santri laki-laki
juga mendapatkan tugas tambahan yang tida:k berbeda
dengan santri perempuan. Pada satu sisi hubungan
kekerabatan antara santri dengan keluarga ulama cukup
membantu psikologis dan bahkan mungkin kebutuhan
pembiyaan santri selama studi di dayah. Tetapi di sisi lain,
secara tida:k langsung telah menempatkan ulama dan
keluarganya sebagai b01jttis baru dalam struktur sosial di
dayah. Namun argumentasi seperti ini sulit diakui secara
terbuka oleh para elit dayah.
Ketika ditanyakan bagaimana dayah memperlakukan
santri perempuan dan apakah ada kebijakan tertentu
terhadap santri perempuan dalam sistem pendidikan di
dayah? Salah seorang unsur pimpinan dayah19 mengata:kan
bahwa tida:k ada perla:kuan yang berbeda atau diskriminatif
antara santri laki-laki dan perempuan. Kepada mereka
diberi fasilitas dan kesempatan yang tidak berbeda
19 Wawancara dengan Tgk Muntasir, MA, Senin 29 November 2010 di ruang kantor Dayah MUDI Mesra Samalanga Kabupaten BirenAceh.
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan f'(mif Ismail
sepanjang hal tersebut layak dan tepat. Santri perempuan
atau kader (santri perempuan senior) ulama yangdianggap
memiliki kompetensi mengajar diberikan kesempatan untuk
mengajar di kelas yang lebih rendah guna melati.h mereka
dalam mentransfer ilmu. Dalam aspek lain, seperti pada
wilayah kepemimpinan, maka sistem dan ideologi konven
sional di dayah tetap masih dianut dan dipertahankan. yaitu,
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin di dayah. Jadi,
kepengurusan dayah dianggap sebagai wilayah publik yang
didominasi ulama laki-laki, sehingga kurang etis kalau
diemban oleh seorang perempuan.
J adi, sebenarnya sis tern pendidikan di dayah dapat
dikatakan sudah lebih baik dan terbuka dengan
memberikan peluang yang sama terhadap semua santri baik
laki-laki maupun perempuan - tanpa diskriminasi gender -
untuk menggembleng diri mereka sebagai bakal ulama
kelak. Bahkan, dalam aspek tertentu seperti ketekunan,
konsentrasi dalam belajar, kedisiplinan, kesungguhan,
mentalitas atau kesiapan diri untuk mengeksplorasi ilmu
pengetahuan, santri perempuan berada di atas rata-rata
dibandingkan dengan santri laki-laki. Langkah awal santri
perempuan terlihat lebih serius dan fokus untuk belajar,
menuntut ilmu di dayah. Pada umumnya, sejak berada di
kelas rendah hingga pertengahan, intelektualitas mereka
nampak lebih menonjol. Tetapi kemudian, manakala berada
di kelas atas, santri perempuan mulai kehilangan spirit dan
konsentrasi untuk bertahan lebih lama di dayah.
Mencermati fenomena ini dapat dikatakan bahwa santri
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
&produksi Ulama Perempuan dan Modernisa.ri Dqyah di Aceh
perempuan memiliki start awal yang baik, tetapi ftnish-nya
telah kepayahan. Ada. saja ar.al rintangan yang meneancam
bakal keulamaan kaum perempuan patah di tengah jalan
jihad di dayah .. Mungkin dengan alasan inilah reproduksi
ulama perempuan belum berbanding lurus dengan ulama
laki-laki.
Dilihat dari sistem pendidikan yang dijalankan,
dayah Ulumuddin bisa dikatakan identik dengan dayah
terpadu lainnya. Dari aspek kepengurusan, dayah ini berada
di bawah Yayasan Ma 'had Ulumuddin. Saat ini pimpinan
dayah dipercayakan kepada "syekh", panggilan akrab
Teungku Haji Syama 'un Risyad, Lc. Beliau adalah alumnus
Ummul Qura Makkah dan dari sanalah ia mendapat gelar
"syekh" sebagai sebuah gelar kehormatan (martabat) yang
disandangnya sekarang. Kurikulum pendidikan yang
digunakan dayah mengacu pada riga kurikulum, yaitu
kurikulum madrasah (kemenag), kurikulum sekolah (diknas)
dan dayah salafiyah. Jadi, sistem pendidikannya merupakan
integrasi antara sistem sekolah atau madrasah dan dayah.
Kurikulum tersebut terintegrasi dalam proses pembelajaran
yang berlangsung dari pagi sampai dengan sore hari. Santri
belajar di komplek dayah dalam sistem kelas sebagaimana
belajar di sekolah atau madrasah. Hal yang sama juga
terlihat pada pakaian yang dikenakan santri. Bedanya, saat
jam pelajaran ilmu keagamaan, maka buku rujukan yang
digunakan adalah kitab kuning dengan berbagai mazhab.
Di dayah ini, terdapat riga jenjang pendidikan;
masing-masing SD/MIN, SLTP/MTs dan SMK. Keriga
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
jenjang pendidikan ini berada di komplek dayah~rttpatnya
di Desa Uteunkot Cunda Muara Dua Kota LhoekseU.mawe
Provinsi Aceh. Lokasi dayah terletak tidak jauh,:(sekitac/3
km) dari jantung kota petro dolar minyak dan ga-s ~t~.~cM.r
ini. Keberlangsungan sekolah-sekolah itu di d<\:\::t;ffi.,.,:}Q~fll~i
lingkungan dayah tidak terlepas dari kepercayaan m.~~~~-k.~t
dan pemerintah kota administratif Lhoekseumaw!f.•·Jj(ju~ga
syekh sendiri adalah salah seorang tokoh ) ~~ma; •. -_9-i
Lhoekseumawe dan Kabupaten Aceh Utara pa¢~ 1umill?il-nya. SMK sendiri adalah sekolah filial dari SM~;_4 .:K<?HlLhoekseumawe. Dari sejumlah siswa sekolah y~l'lK:~&fl-1 .·~ dayah, sebagian (sekitar 100 orang, 55 perempua~. ?al) ,48 laki-laki) kecil menjadi santri dan mondok ~4L d~y~l'l·
Menurut keterangan Tgk Kafrawi, sekretaris day~J;l,i.G9~~!,1 : l:• ," · ·, •··' lc,r ;, _, -~ " .•
STAIN Malikus shalih Lhoekseumawe, dan mahasiswa ,-·:_ ~ :1.: Cl · ~~ .:~ J >C
pascasarjana lAIN Sumatera Utara Medan me,ngata~an
bahwa siswa yang mondok di dayah adalah sis:va 'yang
berasal bukan dari masyarakat sekitar dayah.20
(', ..
Salah satu keunikan dayah Ulumudcli,n , dengan
dayah terpadu lainnya adalah membekali santri •··· de,n,ga.n
ketrampilan tangan (life ski!~ melalui dibukany4 · sel5:olah
menengah kejuruan (SMK) dengan dua jurusat;l, _ IT,p.an
Kriya Kayu. . , .
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahw.a dayah
Ulumuddin berada di bawah yayasan Ma 'had U~umuddi!t,
'/ '
20 Wawancara dengan Tgk Kafrawi, di ruang pimpipan.l,)_aya,l] Ulumuddin Uteunkot Cunda Lhoekseumawe, Selasa 30 Novep1ber 2010.
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
&prodllksi Ulama Perempuan da1t Modenzisa.ri Dqyah di Aceh
Kebijakan pimpinan yayasan dalam pengelolan dua sistem
yang berbeda ini .adal_ah de_ngan cara mt>n:_1beri mandat
kepada masing-masing pengurus untuk menangani bidang
nya. · Di mana ada pihak yang ditunjuk untuk mengelola
pendidikan dayah (sekretaris dayah) dan ada pihak yang
mengurus sekolah (direktur pendidikan).Pengaturan seperti
ini memudahkan pengontrolan oleh pimpinan yayasan
terhadap keberlangsungan pendidikan di dayah. Walaupun
dalam praktiknya tidak ada pemisahan kelembagaan antara
dayah dan sekolah, namun yao.g dimaksudkan adalah
mengelola masing-masing kurikulum yang diberlakukan.
Direktur sekolah mengurus kurikulum sekolah, demikian
juga dengan sekretaris dayah. Akan tetapi, dalam pelaksanaan
pendiclikan, kedua kurikulum itu berlangsung secara
bersamaan dalam sistem persekolahan. Aspek pendiclikan
dayah yang dimaksudkan di dayah ini adalah penggunaan
kitab kuning Syafi'iyah sebagai literatur dalam pengkajian
ilmu keagamaan. Literatur itupun dalam penggunaannya
diatur menurut kemampuan siswa. Misalnya, siswa tingkat
Tsanawiyah digunakan kitab klasik standar biasa, sementara
tingkat Aliyah dinaikkan rujukan kitab yang lebih tinggi.
Sedangkan, siswa SMK hanya dipakai kitab kuning yang
level kesulitannya relatif mudah.
Salah satu keunikan lain dari dayah ini adalah
penyebutan "ustaz' kcpada para teungku dan guru yang
bertugas sebagai tenaga pengajar baik di sekolah maupun di
dayah. Sebutan ini agak ganjil dalam lingkungan dayah di
Aceh yang selama ini berkembang pada masyarakat
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhzbuddin, dan Faui} Ismail
perkotaan di pulau Jawa. Istilah Ustaz tidak khas Aceh dan
dayah, ap::'.br;i dayah tradisional. Padahal, kata ini berasal
dari bahasa Arab juga, sama dengan kata "abii", "abi",
"abun" atau "waled" yang kerap digunakan oleh ulama di
Aceh dewasa ini. Adapun yang berbeda dan khas Aceh
mungkin hanya sebutan teungku (tgk).21 Anehnya, di
kalangan santri dan siswa dayah Ulumuddin lebih populer
sebutan Ustaz. Dan, pihak pengelola dayah sampai kini
2t Term "teungku atau disingkat Tgk adalah sebutan seharihari kepada semua orang Aceh secara umum tanpa melihat unsur keulamaannya. Tgk juga menjadi sebutan khusus kepada orang yang berwawasan agam dalam masyarakat Aceh. Dengan kata lain, Tgk adalah panggilan penghormatan kepada ilmuan agama Islam khususnya alumnus dayah. Sehingga sebutan lain terhadap seorang ulama adalah teungku baik untuk ulama laki-laki (teungku agam) maupun perempuan (teungku inong). Istilah Tgk, Abu dan Abi lebih merata digunakan masyarakat Aceh ketimbang istilah Abon dan Waled yang baru akhir-akh.ir ini saja ramai digunakan. Di samping itu, sebutan teungku lebih berkesan merakyat dan low profile dibandingkan istilah lain yang agak berkesan elitis dan feodalistik Teungku atau ulama tradisional di Aceh pada umumnya hidup merakyat dengan pola hidup sederhana. Sementara sekarang ini, khususnya setelah lebih insten didekati atas kepentingan politik pemerintah, kehidupan mereka jauh berubah ke arah model kehidupan mewah. Di samping mengelola dayah dengan bantuan tetap pemerintah, mereka sekeluarga juga memiliki usaha komersil lainnya, apakah di sektor pertanian, perdagangan, properti, jasa (makelar) dan lain sebagainya. Lazimnya juga, ulama di Aceh sering disebut daerah asalnya di belakang namanya. Dan penyebutan nama kampungnya lebih terkenal ketimbang namnya sendiri. Terkadang masyarakat tidak pernah mengetahui siapa nama ulama dimaksud. Tetapi kalau disebut nama kampung ulama itu maka masyarakat langsung mengenalnya. Katakanlah seperti Tgk Usman, beliau lebih dikenal dengan panggilan abu di Kuta Krueng. " abii" adalah sebutan keulamaannya, sedangkan "Kuta Kmen~( nama kampung tempat tinggalnya. Jadi, ia jarang dipanggil dengan Tgk atau Abu Usman, melainkan dengan panggilan sebagaimana disebutkan di atas.
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi Ulama Perempuan dan Modenrisa.ri Dqyah di Aceh
belum . mempersoalkan sebutan dimak,sud. Menurut
pengakuan Tgk Kafrawi bahwa populernya sebutan Ustaz,
dik:arenakan dayah ini pernah. didatangi tim relawan. dari
Jakarta dan sempat menetap lama di dayah. Di mana
mereka,memperkenf[lkan diri dengan s~butan Ustaz di awal
nama mereka, s,ehingga semua santri pun. memanggil
mereka U staz. Berawal dari peristiwa itulah hingga sampai
kini sebutan Ustaz untuk dewan guru melekat kuat hingga
sekarang.
Menyinggung soal santri perempuan, Tgk Kafrawi
tidak melihat adanya ketimpangan gender dipraktikkan di
dayah ini. Penilaian terhadap kapasitas tenaga pengajar
tidak didasarkan pada jenis kelamin tertentu. Demikian
juga pandangan dan pemberlakuan terhadap santri bukan
didasarkan pada jenis kelamin tertentu. Pihak dayah
sangat menjunjung tinggi prinsip kesetaraan kesempatan
dan peran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, di
antara tenaga pengajar, 50% dari mereka adalah
perempuan walaupun bukan sudah pada level ulama
perempuan. Salah satu di antara mereka adalah Tgk
Suryani Lc, MA, yang juga istri dari Tgk Taqiyuddin,
seorang arkhiolog dari daerah itu. Tgk suryani ini nyaris
boleh dikatakan mendekati figur seorang ulama
perempuan yang ada di Dayah Ulumuddin 1n1.
Menyangkut soal pakaian santri dan ustadzah yang
menggunakan cadar, hal itu merupakan pilihan sendiri,
bukan paksaan atau kewajiban dari kebijakan peraturan
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
dayah. Sebab, jumlah santri perempuan yang bercadar
hanya seb::1gian b:cil dan jut:!!ahnya sangat terbatas.
Sementara santri perempuan dan ustadzah sebagian besar
lainnya tetap mengenakan pakaian muslimah biasa yang
standar digunakan seperti berjilbab, baju berlengan
panjang, dan mengenakan rok panjang yang menutupi
keseluruhan kaki.
Dayah Thaliban Desa Ateuk Lueng Ie Aceh Besar
1n1 dipimpin oleh seorang ulama perempuan yang
bernama Teungku Lailan binti Haji 45 tahun. Beliau
adalah satu-satunya ulama perempuan yang ditemui
dalam penelitian ini dan sekaligus memimpin sebuah
dayah. Tgk Lailan adalah alumnus Dayah Labuhan Haji
Aceh Selatan pimpinan Abuya Syekh Muda Waly al
Khalidy yang kesohor keseluruh Aceh itu. Anak-anak
dari Abuya ini di antaranya Prof Dr Tgk Muhibuddin
Waly, Tgk Jamaluddin Waly yang putrinya bersuamikan
Ustaz Arifin Ilham, punggawa zikir akbar dan istighasah
di Jakarta, dan Tgk Amran Waly. Dati dayah inilah
sebagian besar ulama terkenal lainnya diproduksi dan
bahkan sebagian besar dari alumnus di sana memimpin
sejumlah dayah yang tersebar di seluruh Aceh sekarang
ini. Tgk Lailan sebelum ke Dayah Labuhan Haji Aceh
Selatan, ia lama "meudagang" (nyantri) di Dayah
( salafiah) Lueng Ie Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh,
waktu itu di bawah pimpinan Tgk Zakariya yang sehari-
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
dengan cara ikut bersama-sama bekerja di ladang, sawah
milik pimpin:m <1ay::~ h tanpa !n.enerima b::~.yaran. Lagi pula
bilik-bilik (kamar) tempat tinggal santri dibangun sendiri
oleh masing-masing santri dengan swadaya sendiri.
Inisiatif ini sangat membantu pengurus dayah menekan
angka pembiayaan dayah. Bahkan, fasilitas lain seperti
balai tempat santri belajar, mushalla tempat shalat dan
sarana-prasarana lain dibangun secara bergotong royong.
Sesekali para orang tua santri yang berkemampuan lebih
mengantar infaq, shadaqah dan zakat malnya ke dayah
tempat anak-anak mereka mondok. Seperti gambaran
inilah Tgk Lailan bisa bertahan di Dayah selama puluhan
tahun. Ia kembali ke kampung halamannya setelah
mendapat selembar "ijazah" dari Abuya. Tgk Lailan
adalah salah satu santri perempuan yang beruntung di
sana. Ia berhasil mendapatkan suatu mandat dari
gurunya. Ia mendapatkan semacam sertifikasi untuk
membuka dayah dan mentransmisikan alam keilmuan
dayah labuhan haji kepada masyarakat luas. Dalam
bahasa Tgk Lailan, ia mendapatkan "kasyaf' (tingkapan)
dari sang Abuya.
Saat mencoba menceritakan perjalanan "kariernya"
yang sulit selama belajar di dayah, air matanya tidak
tertahankan keluar membasahi pipinya yang semakin
menua. Dalam kemiskinan yang nyaris membuatnya
menyerah, ia menanam tekad untuk bersabar, tidak
menyerah dan kembali ke kampung halamannya.
" Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif [Jmail
Pertimbangannya waktu itu hanyalah satu, ia teringat
r::tda pes an c-urunya, A bon di Lueng T e, bahwa ia adalah
duta kaumnya (perempuan), pengharapan masyarakatnya
kelak untuk membebaskan mereka dari kebodohan. Atas
pertimbangan itulah, ia merasa malu hila amanah gurunya
disia-siakan begitu saja. Suatu ketika ia hampir saja
menyerah dan merasa batas kesabarannya di dayah telah
di ambang batas. Saat itu musim penceklik dan kekeringan
melanda kawasan kampung sekitar dayah. Kebetulan
orang tua Tgk Lailan pun tidak pernah mengirim bekal
untuk kebutuhan hidup anaknya selama belajar di dayah.
Ketika itulah ia menyerahkan diri secara bulat kepada
Tuhan atas segala keterbatasan dan kelemahannya.
Keadaan yang telah terbiasa itu membuatnya memilih
jalan tasawwuf. Melalui kegiatan thariqah yang merekomen
dasikan pola hidup zuhud inilah ia seakan menemukan
hakikat hidup yang sebenarnya. Kepedihan dan kepahitan
hidup yang dialaminya puluhan tahun memberi bekas
yang mendalam dalam kehidupannya yang sekarang.
Ia sangat mudah tersentuh batinnya (peduli)
ketika melihat kemiskinan orang lain di sekitarnya. Dari
sinilah ketika peristiwa nasional musibah gempa bumi
dan tsunami melanda Aceh, Minggu 26 Desember 2004,
dayah Thaliban pimpinannya menjadi tempat penampung
an para korban yang terluka dan kehilangan harta benda.
h prihatin melihat orang-orang yang sedang dalam
penderitaan dan trauma berat. Dengan segala kemampuan
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02, 2011
Rcproduksi U lama Perempuan dan Modernisa.ri Dqyah di Aceh
tenaga fisiknya yang mulai melemah, harta benda yang
tidak te.rb lu ban yak hasil pemberhn masyarakat, denz~n
itulah ia membantu para korban. Ia memasak makanan,
memberikan pakaian dan tempat tinggal sementara di
dayahnya yang sederhana dan sempit itu. Bahkan, sikap
fllantropis tersebut masih tetap dipraktikkannya kepada
siapa saja yang datang ke "markasnya" itu.
Para kaum ibu yang belajar agama (nyantri) pada
hari-hari tertentu (biasanya Senin dan Kamis) yang
datang dari desa sekitar yang jauh, ia ladeni sebagaimana
saudaranya sendiri. Tgk Lailan menyediakan mereka
makan siang dengan lauk yang sederhana yang saat itu ia
miliki. Sehingga, kaum ibu yang belajar agama kepadanya
terfokus konsentrasi pada materi pengajian dan dapat
beribadah dengan tenang. Mereka tidak perlu lagi
memikirkan makan siang dengan pulang ke rumah mereka
yang jauh. Silaturrahmi yang dibangunnya ini semakin
mendapat simpati masyarakat luas dan Pemerintah Aceh
untuk membantu sejumlah fasilitas dayah, seperti satu
unit asrama santri, satu unit bangunan mushalla dan satu
unit bangunan dayah telah dibangun di dayah ini.
Sementara, beberapa gedung tua yang lain merupakan
hasil kerjasama patungan yang dilakukan secara
bergotong royong oleh masyarakat setempat dan santri.
Adapun materi pengajian yang diajarkan kepada
kaum ibu yang datang ke dayah antara lain adalah fiqih,
Volume 10, Nomor 02,2011 I ISTiQRO'
Fakhri M Yamb, Muhibuddin, dan Fauif Ismail
aqidah (tauhid) dan tasawuf serta ilmu tajwid Al-Qur'an.
Dalam bichng fiqi.~, materi pcngajian yang banyak
diminati dan menjadi pesanan khusus adalah aspek
ibadah amaliah (jar(lu a 'in) sehari-hari, seperti shalat,
zakat, puasa, dan haji. Dalam materi tauhid biasanya
pengajian berpusat pada masalah rna 'rifat kepada Allah,
malaikat, kitab suci, shirah para Nabi dan, pengetahuan
tentang hari akhir. Sedangkan, materi pengajian tasawuf
cenderung kepada pendekatan pengamalan zikir, do' a,
dan praktik thariqah, seperti tawajjuh dan suluk. Menurut
pengakuan Tgk Lailan, setiap seminggu sekali majlis
pengajiannya disinggahi dan diisi oleh anak gurunya di
Labuhan Haji, yaitu Abuya Prof Dr. Muhibuddin Waly
yang secara khusus membimbing santri dalam pengamalan
thariqah (Naqsyabandiyah). Abuya juga merupakan salah
seorang pengungsi korban tsunami yang sempat berlin
dung di dayah Tgk Lailan. Kesederhanaan, keperdulian,
kezuhud~ dan sikap istiqamahnya yang kokoh pada
doktrin sufi · yang dianut oleh satu-satunya ulama
perempuan ini membuat masyarakat di kabupaten Aceh
Besar dan Pidie menobatkannya sebagai teungku Inoeng
(ulama perempuan), sumber rujukan mereka dalam ilmu
keislaman.
Keulaman Tgk Lailan telah bergema kemana
mana. Ia dipanggil ke sejumlah tempat untuk mendidik
masyarakat yang membutuhkan keilmuannya. Sehingga,
tiada hari yang dilewatinya tanpa menyampaikan ilmu.
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
ReprodukJi Ulama Perempuan dan ModerniJaJi Dqyah di Aceh
Dari tujuh hari dalam seminggu, empat hari untuk melayani
masyarakat di luar dayah, riga hari yang tersisa ia menyem
patkan diri menerima _ masyarakat untuk belajar di
"istananya" yang sederhana itu. Pengabdian yang tidak
kunjung berakhir itu memberi satu konsekuensi dalam
hidupnya yang nyaris mendekati usia setengah abad itu.
Sampai dengan penelitian ini dilakukan, Tgk Lailan binti
Haji belum juga mengamalkan salah satu sunnah Rasulullah
SAW. Ia belum - atau juga tidak lagi - menikah dan
berkeluarga layaknya perempuan normal lain. Saat ini ia
menetap di komplek dayah binaannya bersama sejumlah
santri perempuan dan keluarga besarnya dalam satu lokasi
yang sama.
Volume 10, Nomor 02,2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Ya~vb, Muhibuddin, dan fauzj !Jmail
DAFTAR PUSTAKA
Agusni Yahya, 2005, Doktrin !J!am dan Studi Kawasan; Potret
Keberagamaan Maryarakat Aceh, Banda Aceh: Ar
Raniry Press.
Alfian, Teuku Ibrahim, 1975, The Ulama in Acehnese Socie!J: A
Preliminary Obseroation, Banda Aceh: Pusat Latihan Ilmu
Sosial Aceh.
Ali Hasjmy, 1997, Ulama Aceh,· Ml!fahid Pejuang Kemerdekaan
dan Pembangun T amadun Bangsa, Jakarta: Bulang
Bin tang.
-------, 1983, Kebudqyaan Aceh dalam S ejarah, Jakarta: Beuna.
Auni, Luthfi, dkk., 2004, (ed.) Eksiklopedi Pemikiran
Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Azra, Azyumardi, 2007, "Pendidikan Pesantren dan
Tantangan Global: Perspektif Sosio-Historis",
Jurnal Mihrab, Vol. 2, No. 2, Depag: PD Pontren.
-------, 1999, Pendidzkan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Baihaqi AK.., 1983, "Ulama dan Madrasah Aceh", dalam
Agama dan Perubahan S osial, Jakarta: Rajawali.
C. Snouck Hurgronje, 1996, Aceh: Rakyat dan Adat
Istiadatf!Ja, Jakarta: INIS.
ISTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyab di Aceh
Danielle Crittende, 2002, Wanita Salah Langkah; Menggugat
Mitos Kebebasan Wanita Modern, terj. Sofia Mansor,
Bandung: Qanita.
Fajran Zain dan Saiful Mahdi (ed), 2008, Timang,· Aa:h '
Perempuan Kmtaraan, Banda Aceh: Aceh lnstitut.
George Makdisi, 1981, The Rise of College: lnJtitute of uarning
in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh
University Press.
Haedari, Amin dan Bani£: Abdullah, (ed.), 2004, .Masa Depan
Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press.
----------, 2006, Tranformasi Pesantrerr.. Pengembangan AJpek
Pendidikan, Keagamaan dan S osial, Jakarta: LeKDiS &
Media Nusantara.
Halim Tosa, A., 1989, Dqyah dan Pembaharuan Hukum Islam di
Aceh, Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat lAIN Ar-Raniry.
Hasbi Amiruddin, M., 2003, Ulama Dayah: Pengawa!
Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadia
Foundation.
Horikoshi, Hiroko, 1987, Kiai dan Oerubahan S osial.
Jakarta: P3M.
Indra, Hash~ 2003, Pesantren dan TransformaJi SosiaL· Studi atas
Pemikiran KH. Abdu!!ah Sycifi'ie dalam Bidang
Pendidikan, Jakarta: Padamadani.
Volume 10, Nomor 02, 2011 I lSTiQRO'
Fakhri M Yacob, Muhibuddin, dan Fauif [Jmail
Iskandar, 1998, "Profil Ulama Tradisional", Laporan
Penelitian, Banda Aceh: Pusat penelitian Ilmu Sosial
dan Budaya Unsyiah.
Ismuha, 1983, "Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah"
dalam Agama dan Perubahan S osial, Jakarta: Rajawali.
Jamal D Rahman, 1993, "Distorsi Khazanah Kultural
Pesantren", dalam A. Naufal Ramzy (ed), Islam dan
T ran.iformasi S osial Budqya, Jakarta: Deviri Ganan.
James T. Siegel, 1969, The Rope ofGod, London: University
of California Press.
Kuntowijoyo, 1999, Budqya & Ma.ryarakat, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya,.
Masdar F. Mas'udi, 1997, Islam dan Hak-Hak Reproduksi
Perempuan, Bandung: Mizan.
Muslim Zainuddin, dkk., 2006, Agama dan Perubahan S osial
Dalam Era Reformasi di Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry
Press.
M Hasbi Amiruddin, 2003, Ulama Dqyah; Pengawal Agama
Ma.ryarakat Aceh, Lhoekseumawe: Nadia
Foundation.
2008, Menatap Masa Depan Dqyah di At"Ch, Banda
Aceh: Y ayasan Pena.
-------, 2009, Program Pengembangan DC(Yah di Aceh, Makalah
M. Nasir Budiman, Integrasi Sistem Pendidikan dalam Konteks
Dqyah di Prov. NAD (Studi Evaluasi Implementasi dan
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011
Reproduksi Ulama Perempuan dan Modernisasi Dqyah di Aceh
Kebfjakan Dqyah), makalah disampaikan pada
Muktamar VI Persatuan Dayah I.nshafuddin, 23-26
Muharram 1425 H/15-18 Maret 2004 di Banda
Ace h.
Muhtarom, 2005, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi:
ReJistansi Tradisional hlam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Paulo Freire dalam bukunya, 1978, Pedagogy of the OppreJJed.,
Penguin Books.
Qardhawi, Yusuf, 1980, Pendidikan !Jlam dan Madrasah
Hasan Al-Banna. Terj. Bustami A. Ghani dan
Zainal A. Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.
Qodri Azizy, A., 2003, Pendidikan Untuk Membangun Etika
S osiaL· Mendidik Anak Mas a Depan Pandai dan
Berta bat. Jakarta: Sinar Ilmu.
Razali Abdullah, 2009Ulama Aceh Penasehat Sultan,
Lhoeksemawe: Taman Seni Budaya Meuligo Pase.
Sahal Mahfudh, 1994, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LI<iS.
Soraya Devi dkk, 2004, Politik dan Pencerahan Peradaban,
Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Suyanta, Sri, 2004, "Peran Ulama Aceh di Era Reformasi",
Disertasi,Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Tim Penulis, 2007, Pengembangan Ulama Dqyah Dalam
Perpsektif Ulama Dqyah, Banda Aceh: lAIN Ar
Raniry Press.
Volume 10, Nomor 02, 2011 I ISTiQRO'
Fakhn·M Yacob, Muhibuddin, dan Fauzi1smail
Tri Qurnat:i, 2007, Budrrya Be!qjar dan Ketrampilan BerbahaJa
Arab di D(lwzh Aceh BeJar. Banda Aceh: Ar-Raniry
Press.
Yacob, Ismail, "Kontribusi Dayah Dalam Pembinaan
Sosial, Budaya dan Ekonomi Terhadap Perwujudan
Masyarakat yang Adil dan Bermartabat", Makalah,
disampaikan pada muktamar IV Persatuan Dayah
Inshafuddin, 15-18 Maret 2004 di Banda Aceh.
Yusny Saby, Opini Pub!ik terhadap Drryah: Pandangan terhadap
EkJiJtemi Drryah dalam Memqjukan Dinamika
Maryarakat, makalah disampaikan pada Muktamar
VI Persatuan Dayah Inshafuddin, 23-26 Muharram
1425 H/15-18 Maret 2004 di Banda Aceh.
1995, "Islam and Social Change: The Role of
'Ulama' in Achenese Society", Dimrtation, Amerika:
Temple University
1998, "Pesantren Unggul dan Calon Ulama:
Tantangan Dalam Menghadapi Era Globalisasi"
Sinar Danma!am, No. 222, Banda Aceh: lAIN Ar
Raniry dan Unsyiah.
Zaitunah Subhan, 1999, Taftir Kebendan; Studi BiaJ Gender da!am a!Qur'an, Y ogyakarta: LkiS.
lSTiQRO' I Volume 10, Nomor 02,2011