relevansi hukum humaniter internasional terhadap
TRANSCRIPT
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
1
RELEVANSI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP
PERLINDUNGAN JURNALIS DI MEDAN PERANG
(STUDI KASUS EKSEKUSI JURNALIS AMERIKA JAMES FOLEY
DALAM KONFLIK BERSENJATA DI SURIAH)
Khansadhia Afifah Wardana*, Joko Setiyono, Soekotjo Hardiwinoto
Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
E-mail : [email protected]
Abstrak
Dalam Hukum Humaniter Internasional, jurnalis yang bertugas di daerah konflik
bersenjata dianggap sebagai warga sipil dan terhindar dari serangan militer baik dia merupakan
jurnalis independen atau koresponden perang. Eksekusi jurnalis perang Amerika yaitu James Foley
yang sedang bertugas di Suriah oleh ISIL dengan adanya latar belakang kepentingan politik
merupakan bukti nyata bahwa Hukum Humaniter Internasional gagal diimplementasikan. Metode
penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan spesifikasi deskriptis analitis.
Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, bahan-bahan yang
digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Data yang diperoleh dianalisis secara
kualitatif. Konflik bersenjata di Suriah tersebut telah mengabaikan ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol Tambahan dan Peraturan Kebiasaan
Internasional ICRC.
Kata kunci : Hukum Humaniter Internasional, Perlindungan, Jurnalis, Konflik Suriah
Abstract
International Humanitarian Law protects journalists who was assigned to covering a
story in an area of an armed conflict including war correspondent and independent journalist with
being grant a status as civilians. Thus, they are not part of the target of a military attack. The
execution of an American war correspondent, James Foley, whose on duty to cover the armed
conflict happening in Syria by ISIL was a solid proof of the failure in enforcing the International
Humanitarian Law. The method that being used in this research was a normative judicial method
with the analytical descriptive for the research specification. The thesis also used library research
of which the writer collects the primary and secondary sources that were related to the object of
this thesis. Those data being analyzed with the qualitative method. The process of the conflict itself
has successfully abandoning all the regulations relating the International Humanitarian Law
including, Geneva Conventions 1949, Additional Protocols and ICRC’s Customary rules, resulting
the casualties of civilians including journalists soaring high.
Keywords : International Humanitarian Law, Protection, Journalists, Syria Conflict
I. PENDAHULUAN
Perang merupakan suatu
penyelesaian konflik tertinggi
dengan melibatkan kekerasan.
Sebagai suatu hal alami yang tidak
dapat dihindari oleh umat manusia,
maka salah satu usaha adalah
memasukkan unsur kemanusiaan ke
dalam suatu peperangan. Hal tersebut
yang mengawali adanya Hukum
Humaniter Internasional, sebagai
instrumen kebijakan dan sekaligus
pedoman teknis yang dapat
digunakan oleh semua aktor
internasional untuk mengatasi isu
internasional berkaitan dengan
kerugian dan korban perang serta tata
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
2
cara berperang. Istilah Hukum
Humaniter berawal dari istilah
Hukum Perang (Law of War),yang
kemudian menjadi Hukum Sengketa
Bersenjata (Law of Armed Conflict)
dan sekarang dikenal sebagai Hukum
Humaniter Internasional.1
Tidak semua jenis konflik atau
pertikaian diatur dalam Hukum
Humaniter Internasional, jenis
konflik yang menjadi objek dari
Hukum Humaniter Internasional
adalah konflik bersenjata atau armed
conflict. Konflik bersenjata tersebut
terbagi menjadi konflik bersenjata
internasional (International Armed
Conflict) dan konflik bersenjata non-
internasional (Non International
Armed Conflict).2 Dalam sejarah
konflik bersenjata telah terbukti
bahwa konflik tidak saja dilakukan
secara adil, tetapi juga menimbulkan
kekejaman. Dapat dipastikan bahwa
konflik bersenjata tidak bisa
dihindarkan dari jatuhnya korban,
baik pihak kombatan maupun dari
pihak penduduk sipil yang tidak ikut
berperang, baik golongan tua
maupun golongan muda, wanita dan
anak-anak. Akibat dari konflik
bersenjata dapat mengenai siapa saja
yang berada dalam daerah konflik
tersebut.3
Dalam beberapa kurun waktu
terakhir ini beberapa negara di dunia
telah mengalami gejolak konflik
bersenjata yang telah menewaskan
1 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: ICRC, 1999), hlm.1 2 Arlina Pemanasari , Op.cit, hlm. 3 3 Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan dalam Hukum Humaniter Kumpulan Tulisan,(Jakarta: Universitas Trisakti, 2005),hlm.3
banyak korban. Salah satu konflik
bersenjata fenomenal yang telah
terjadi sejak tahun 2011 hingga
sekarang, adalah konflik bersenjata
di Suriah. Konflik tersebut dimulai
pada tanggal 18 Maret 2011 ketika
terjadi demonstrasi publik dari rakyat
Suriah kepada Presiden Suriah pada
masa itu yaitu Bashaar al-Assad.
Sejak peristiwa tersebut demonstrasi
pun merebak ke dua puluh kota di
Suriah yang melibatkan serangan
militer dari Tentara Suriah kepada
rakyat sipil dengan menggunakan
persenjataan militer. Syrian
Observatory for Human Rights
(SOHR) atau Badan Pengamat Hak
Asasi Suriah telah merilis data
statistik mengenai korban yang
terbunuh pada konflik Suriah dan
terhitung hingga Juli 2015 yaitu 4
tahun setelah dimulainya konflik,
sebanyak 320,620 korban telah
tewas. Penduduk sipil yang menjadi
korban adalah 84,268 dimana 2,996
adalah warga asing.
Instrumen Hukum Humaniter
Internasional terdiri dari Law of
Hague yang mengatur mengenai tata
cara sengeketa bersenjata dan Law of
Geneva yang memberikan
perlindungan terhadap korban
konflik bersenjata baik internasional
maupun non-internasional. Fakta
yang telah disebutkan sebelumnya
merupakan gambaran yang tidak
sesuai dengan apa yang telah diatur
dalam Konvensi Jenewa IV 1949
tentang Perlindungan Penduduk Sipil
di Waktu Perang beserta kedua
Protokol yang mengikutinya, yaitu
Protokol Tambahan I 1977 dan
Protokol Tambahan II 1977.
Penduduk sipil yang dimaksud
menurut Konvensi Jenewa IV adalah
orang asing di wilayah pendudukan,
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
3
orang yang tinggal di wilayah
pendudukan, Interniran sipil serta
penduduk sipil yang menjadi anggota
Perhimpunan Palang Merah Nasional
dan anggota Perhimpunan Penolong
Sukarela lainnya, termasuk anggota
Pertahanan Sipil. Perlindungan
terhadap orang sipil, berdasar dari
salah satu prinsip Hukum Humaniter
Internasional yaitu Prinsip
Pembedaan atau Distinction
Principle dimana dalam suatu perang
ada dua pihak yaitu penduduk sipil
dan kombatan. Penduduk sipil
adalah semua pihak yang tidak ikut
andil dalam suatu perang baik
langsung ataupun tidak, sedangkan
kombatan adalah sasaran dari
kekuatan militer dari pihak yang
berperang.4
Dalam Protokol Tambahan I
1977 disebutkan bahwa jurnalis atau
pers juga merupakan warga sipil
yang berhak mendapatkan
perlindungan. Pers melakukan
profesi mereka dalam situasi konflik
bersenjata untuk melayani
“kepentingan publik” karena mereka
“memainkan peran penting dalam
membawa perhatian masyarakat
Internasional kengerian dan realitas
konflik”. Namun aturan tersebut
telah dihiraukan dalam Konflik
Suriah karena menurut data statistik
Committee to Protect Journalist atau
CPJ bahwa 85 jurnalis sudah menjadi
korban dalam konflik bersenjata
Suriah sejak tahun 2011. Salah satu
peristiwa yang menjadi isu utama di
seluruh dunia adalah eksekusi
jurnalis Amerika yaitu James Foley
4 Jean-Marie Henckaerts and Louise Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law Volume I: Rules, (London: Cambridge University Press , 2005), p. 4
oleh ISIL pada bulan Agustus 2014
lalu. James Foley merupakan jurnalis
freelence yang lalu menjadi
koresponden perang sebagai sumber
bagi jejaring berita Global Post and
Agence France-Presse dalam
Konflik Suriah. Mengenai penegakan
hukum nya pun tidak ada aksi yang
riil dari negara yang bersangkutan
untuk mengadili ketika terjadi
pelanggaran seperti konflik Suriah
ini. Dimana muncul suatu kondisi
ketika pemerintah gagal untuk
mengambil atau melaksanakan
tindakan hukum kepada pelaku yang
melakukan pelanggaran atau disebut
sebagai Impunitas. Dalam konflik
Suriah ini dimana 85 jurnalis sebagai
korban perang terjadi 100%
impunitas.
Berdasarkan latar belakang
diatas dapat didefinisikan beberapa
pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan hukum ini,
yakni sebagai berikut :
1. Mengapa diperlukan adanya
ketentuan Hukum Humaniter
Internasional yang mengatur
mengenai perlindungan jurnalis
di medan perang?
2. Bagaimana penerapan Hukum
Humaniter Internasional dalam
perlindungan jurnalis di medan
perang khususnya terkait dengan
kasus eksekusi jurnalis Amerika
James Foley dalam konflik
bersenjata di Suriah?
II. METODE
Di dalam melakukan penelitian
hukum, sesorang peneliti seyogyanya
selalu mengaitkannya dengan arti-
arti yang mungkin dapat diberikan
pada hukum. Arti-arti tersebut,
merupakan pemahaman-pemahaman
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
4
yang diberikan oleh masyarakat,
terhadap segala yang dinamakan
hukum, yang kemudian dijadikan
suatu pegangan.5 Sasaran utama dari
penelitian bertujuan untuk
menguraikan penalaran dalil-dalil
yang menjadi latar belakang dari
setiap langkah dalam proses yang
lazim ditempuh dalam kegiatan
penelitian hukum, kemudian
berupaya memberikan alternatif-
alternatif dan petunjuk-petunjuk di
dalam penelitian, antara teori dan
praktek lapangan.
Metode pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah metode yuridis normatif, yang
penelitiannya dilakukan dengan studi
kepustakaan. Dalam penulisan
hukum ini menggunakan pendekatan
statute approach dan historical
approach. Sedangkan spesifikasi
penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitis, yaitu dengan
menggambarkan peraturan-peraturan
dalam konvensi yang bersangkutan
dengan objek penelitian dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan
praktek pelaksanaanya. Analisa data
dilakukan secara deduktif sehingga
dapat mengungkap jawaban-jawaban
dari permasalahan yang telah
dirumuskan berkaitan dengan
perlindungan jurnalis di medan
perang menurut Hukum Humaniter
Internasional. Dari hasil analisa dan
interpretasi tersebut, akan ditarik
kesimpulan untuk menjawab isu
hukum tersebut. Analisa data diakhiri
dengan memberikan saran mengenai
apa yang seharusnya dilakukan
terhadap isu hukum tersebut.
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986),hlm.43
III. HASIL PENELITIAN
A. Eksistensi Hukum Humaniter
Internasional terkait Perlindungan
Jurnalis di Medan Perang
1. Esensi Substansi Hukum
Humaniter Internasional terhadap
Perlindungan Jurnalis
Aplikasi Hukum Humaniter
dalam konflik bersenjata diutamakan
pada dua poin yang telah ada jauh
sebelum instrumen Hukum
Humaniter Internasional yang
pertama muncul yaitu First Geneva
Convention 1864. Kedua poin
tersebut, adalah: (i) persetujuan
bersama akan kepentingan mempunyai
peraturan atau regulasi pada saat perang; (ii) munculnya intuisi bahwa dalam
kondisi apapun, manusia, ‘kawan’
atau ‘lawan’ harus mendapat
perlindungan. Hukum Humaniter
pada jaman modern ini bertolak pada
kedua poin diatas, dengan instrumen
utama yaitu Konvensi Den Hague
dan Konvensi Jenewa. The Hague
Law yang berisikan code of conduct
dan means and method of war atau
cara dilakukannya perang, sedangkan
the law of Geneva dalam kodifikasi
Konvensi Jenewa 1949 beserta dua
Protokol Tambahan 1977 mengatur
mengenai perlindungan korban
perang.
Hukum Humaniter Internasional
melalui instrumen seperti yang telah
disebutkan sebelumnya mengatur
beberapa aspek dalam hal terjadinya
suatu konflik bersenjata baik
internasional maupun non-
internasional. Salah satu subjek yang
dilindungi adalah jurnalis yang
bertugas di daerah konflik bersenjata.
Konvensi Jenewa IV 1949 melalui
Protokol Tambahan I 1977 pada
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
5
pasal 50 paragraf I yang menyatakan
bahwa jurnalis yang berada dalam
misi profesional untuk meliput
sebuah konflik bersenjata di daerah
yang berbahaya dianggap sebagai
orang sipil yang bebas dari serangan
militer selama dia tidak melakukan
tindakan yang membahayakan status
sipilnya seperti aktif ikut dalam
pertempuran.
Penjelasan dari isi pasal tersebut
menyebutkan signifikansi dari
adanya perlindungan terhadap
jurnalis perang di bawah Hukum
Humaniter Internasional, dengan
adanya kondisi dalam suatu konflik
bersenjata dimana jurnalis dalam
menjalankan profesinya mengalami
bahaya yang melebihi apa yang
dihadapi oleh warga sipil pada
biasanya. Tidak hanya melalui
instrumen-instrumen formalnya saja,
namun juga dengan adanya
kebiasaan internasional yang
dipraktikkan oleh negara-negara,
Hukum Humaniter Internasional
berhasil memberikan perlindungan
terhadap jurnalis independen, yang
tidak terakreditasi negaranya, suatu
perlindungan juga dan memberikan
kepada mereka status sipil. Hal ini
ditunjukkan dengan munculnya
kodifikasi dari International
Customary Rules yang dikeluarkan
oleh ICRC.
2. Prinsip Pembedaan terkait
dengan Perlindungan Jurnalis
dalam Konflik Bersenjata
Prinsip pembedaan (distinction
principle) merupakan suatu asas
penting dalam Hukum Humaniter,
yaitu suatu prinsip yang
membedakan atau membagi kategori
penduduk dari suatu negara yang
sedang berperang, atau sedang
terlibat dalam konflik bersenjata
dalam dua golongan, yakni kombatan
(combatant) dan penduduk sipil
(civilian).
Kombatan adalah golongan
penduduk yang secara aktif turut
serta dalam permusuhan (hostilities),
sedangkan penduduk sipil adalah
golongan penduduk yang tidak turut
serta dalam permusuhan. Kehadiran
jurnalis dalam konflik bersenjata
memberikan aspek tambahan bagi
prinsip pembedaan, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam
Protokol Tambahan I 1977 Pasal 79
ayat (1) dinyatakan bahwa jurnalis
termasuk sebagai warga sipil yang
berarti mereka bukan merupakan
objek serangan militer. Pada awalnya
dunia internasional mempunyai
perbedaan pendapat mengenai
perlindungan jurnalis yang bertugas
di daerah konflik bersenjata, apakah
mereka termasuk sebagai warga sipil
atau kombatan. Warga sipil dalam
konflik bersenjata dapat dikatakan
sebagai individu yang tidak
mempunyai kepentingan dalam suatu
konflik bersenjata, sedangkan
kombatan adalah angkatan bersenjata
yang memiliki tujuan untuk
melaksanakan serangan militer.
Jurnalis perang di satu sisi tidak
seperti warga sipil lainnya yang
berusaha untuk melepaskan diri dari
situasi konflik namun justru
menyongsongnya hingga ke garis
depan konflik, namun di sisi lain
jurnalis juga tidak dapat dikatakan
sebagai kombatan karena jurnalis
tidak secara langsung ikut andil
dalam suatu pertempuran.
Perlindungan mengenai jurnalis
perang menurut Hukum Humaniter
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
6
Internasional baru ada pertama kali
dalam Konvensi Den Haag 1899,
yang memfokuskan pada situasi dan
kondisi dimana seorang jurnalis
perang apabila tertangkap maka akan
mendapat status tawanan perang.
Dengan diakuinya baik koresponden
perang dan jurnalis independen
sebagai warga sipil hal ini
menjadikan kehadiran prinsip
pembedaan dalam Hukum Humaniter
Internasional menjadi fondasi yang
mempunyai peran penting dalam
menentukan perlindungan jurnalis
yang bertugas di daerah konflik
bersenjata. Prinsip pembedaan
beserta asas-asas pelaksanaannya
memberikan suatu basic rule untuk
membedakan jurnalis perang dari
golongan kombatan dan tidak
mengakreditasinya sebagai pihak
yang ikut andil secara langsung
dalam suatu pertempuran. Sehingga
terdapat adanya perlindungan umum
untuk jurnalis perang sebelum
selanjutnya diatur secara lebih lanjut
dan rinci dalam Konvensi-Konvensi
dan instrumen Hukum Humaniter
Internasional lainnya.
3. Arti Penting Perlindungan
Hukum Humaniter Internasional
terhadap Jurnalis sebagai Warga
Sipil
Penduduk sipil yang dimaksud
menurut Konvensi Jenewa IV adalah
orang asing di wilayah pendudukan,
orang yang tinggal di wilayah
pendudukan, Interniran sipil serta
penduduk sipil yang menjadi anggota
Perhimpunan Palang Merah Nasional
dan anggota Perhimpunan Penolong
Sukarela lainnya, termasuk anggota
Pertahanan Sipil. Perlindungan yang
diberikan Hukum Humaniter terbagi
menjadi perlindungan umum dan
perlindungan khusus menurut Bagian
II Konvensi Jenewa IV 1949.
Kelompok orang yang termasuk
dalam perlindungan umum adalah:
(i) orang asing di wilayah
pendudukan, yang dimana pada saat
konflik bersenjata pecah mereka
merupakan maka orang-orang asing
ini merupakan warga negara musuh
namun tetap berhak untuk mendapat
perlindungan sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 35 Konvensi
Jenewa IV 1949; (ii) orang yang
tinggal di wilayah pendudukan,
dalam wilayah pendudukan,
penduduk sipil sepenuhnya harus
dilindungi, Penguasa Pendudukan
(occupying power) tidak boleh
mengubah hukum yang berlaku di
wilayah tersebut disamping itu juga
harus memperhatikan kesejahteraan
anak-anak,serta menjamin kebutuhan
makanan dan kesehatan penduduk.6;
(iii) Interniran Sipil, tindakan untuk
menginternir penduduk sipil pada
hakekatnya bukan merupakan suatu
hukuman, namun hanya merupakan
tindakan pencegahan administratif.
Walaupun begitu namun mereka
tetap memiliki kedudukan dan
kemampuan sipil mereka dan dapat
melaksanakan hak-hak sipil mereka
seperti yang tercantum dalam Pasal
80 Konvensi Jenewa IV 1949.
Disamping itu juga terdapat
perlindungan khusus yang diberikan
kepada beberapa penduduk sipil dan
personel organisasi kemanusiaan
lainnya yang tidak memihak dalam
suatu konflik bersenjata. Contohnya
adalah, anggota Perhimpunan Palang
Merah Nasional dan anggota
6 Bagian III Seksi 3 Pasal 50 Konvensi Jenewa IV 1949
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
7
Perhimpunan Penolong Sukarela
lainnya, termasuk juga anggota
Pertahanan Sipil dimana pada saat
melaksanakan tugas-tugas yang
bersifat sosial (sipil), biasanya
mereka dilengkapi dengan sejumlah
fasilitas (transportasi, bangunan-
bangunan khusus, maupun lambang-
lambang khusus). Apabila sedang
melaksanakan tugasnya, mereka
harus dihormati (respected) dan
dilindung (protected). ‘Dihormati’
berarti mereka harus dibiarkan untuk
melaksanakan tugas-tugas sosial
mereka pada waktu sengketa
bersenjata, sedangkan pengertian
‘dilindungi’ adalah bahwa mereka
tidak boleh dijadikan sasaran
serangan militer.
Pemberlakuan dan penegakan
Hukum Humaniter Internasional
mewajibkan kombatan membedakan
secara tegas sasaran dari serangan
militernya yang hanya boleh
ditujukan terhadap kombatan musuh
yang bertempur, dan bilamana
mereka tidak ikut lagi karena luka
dan sakit, maka mereka harus
dilindungi sebagaimana diamanatkan
oleh prinsip pembedaan yang
terkandung dalam Hukum Humaniter
Internasional. Demikian juga
terhadap civilians bukanlah
termasuk objek serangan militer
sehingga tidak boleh dijadikan
sasaran kekerasan. Apabila tindakan
para pihak dalam konflik atau para
kombatan tersebut didasarkan pada
prinsip kemanusiaan dan prinsip
ksatria yang mengharuskan bertindak
secara jujur, benar dan ditunjang
dengan sikap atau tindakan
manusiawi, maka korban terhadap
orang-orang yang dilindungi dan
yang tidak bersalah dapat dihindari.
Jurnalis yang diakui sebagai
warga sipil dalam konflik bersenjata
juga termasuk dalam perlindungan
Hukum Humaniter Internasional.
Namun terdapat perbedaan yang
berbeda antara koresponden perang
dan jurnalis independen. Status
seorang koresponden perang dalam
konflik bersenjata adalah termasuk
seorang non-kombatan (sipil). Sama
halnya dengan kru pesawat militer,
kontraktor suplai, dan anggota
pekerja yang bertugas dalam
peralatan perang angkatan bersenjata.
Hal ini dikarenakan oleh keterikatan
mereka terhadap suatu angkatan
bersenjata dalam konflik, walaupun
begitu keterikatan tersebut bukan
berarti mereka ikut andil secara aktif
dalam hostilities. Golongan di atas
disebut sebagai non-kombatan sesuai
dengan Konvensi Jenewa III 1949
ditujukan untuk memberikan status
tawanan perang atau Prisoner of War
(POW) apabila tertangkap pihak
musuh. Seorang jurnalis dapat
disebut sebagai koresponden perang
ketika mereka mempunyai kartu
identitas untuk membuktikan
kredibilitasnya. Koresponden perang
mendapatkan perlakuan khusus
karena statusnya yang non-kombatan
dan dapat disamakan dengan sipil
namun apabila tertangkap mendapat
status POW.
POW merupakan hak dari setiap
kombatan yang tertangkap oleh
musuh dan merupakan bentuk
imunitasnya dalam kondisi tertentu,
hal ini hanya berlaku dalam konflik
bersenjata internasional.7 Lieber 7 Abdulrashid Lawan Haruna; Dr. Laminu Bukar; Babagana Karumi, “Principle of Distinction in Armed Conflict: An Analysis of the Legitimacy of ‘Combatants and Military Objectives’ As a Military Target”, International Journal of
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
8
Code pasal 50, yang lalu diadopsi
melalui Konvensi IV Den Haag 1907
tentang Penghormatan Hukum-
Hukum Perang serta Kebiasaan
Perang di Darat (Respecting the
Laws and Customs of War on Land)
merupakan awal dari munculnya
ketentuan yang memberikan status
POW bagi koresponden perang yang
tertangkap.
Dalam hal jurnalis independen,
perlindungan terhadap mereka diatur
dalam pasal 79 Protokol Tambahan I
1977 yang menyatakan bahwa
jurnalis yang berada dalam misi
profesional yang berbahaya di daerah
konflik bersenjata dianggap sebagai
warga sipil dan mereka harus
dilindungi sesuai dengan ketentuan
dalam Konvensi-Konvensi dan
Protokol, dengan catatan mereka
tidak melakukan tindakan yang
membahayakan status sipil mereka.
Ketentuan tersebut merupakan
peraturan yang berlaku dalam ranah
konflik bersenjata yang bersifat
Internasional. Namun, bukan berarti
bahwa jurnalis independen tidak
mendapat perlindungan sama sekali
dalam hal ia terlibat di konflik
bersenjata non-internasional, melalui
peraturan yang dikeluarkan
International Committe of the Red
Cross yaitu Customary International
Humanitarian Law menyatakan
dalam Pasal 34 bahwa ketentuan
dalam Pasal 79 Protokol Tambahan I
mengenai perlindungan jurnalis juga
berlaku dalam situasi konflik
bersenjata internasional. Ketentuan
tersebut muncul dari adanya
kebiasaan dalam praktik pada masa
konflik bersenjata. Brazil pada tahun
Humanities and Social Science Invention, Volume 3 Issue 3, March. 2014 PP.15-24, p.18
1971 dan Jerman pada tahun 1973
mengatakan kepada Third Committee
Majelis Umum PBB yang terfokus
dalam Social, Cultural, and
Humanitarian (SOCHUM) bahwa
jurnalis haruslah dianggap sebagai
warga sipil dan mendapat
perlindungan atasnya dengan
berdasar pada prinsip pembedaan
atau distinction principle.
Terbunuhnya empat jurnalis dari
Belanda oleh angkatan bersenjata
pemerintah El Savador pada waktu
konflik bersenjata non internasional
yang terjadi di El Savador pada tahun
1982 dianggap sebagai suatu
pelanggaran dalam Hukum
Humaniter Internasional yang
sebelumnya telah dinyatakan bahwa
“warga sipil tidak termasuk dalam
objek serangan”.8
Beberapa organisasi non
pemerintah yang bergerak di bidang
jurnalisme dan memegang posisi
sebagai Pemimpin Redaksi dan
Pemimpin Usaha, seperti IPI
(International Press Institute) dan
FIEJ (Federation Internationale
L’editeur de Journalists) juga
memberikan banyak sekali perhatian
mengenai isu perlindungan jurnalis.
Usaha-usaha itu dapat mengangkat
masalahnya ketingkat Perserikatan
Bangsa-Bangsa, sehingga dalam
Sidang Umum PBB tahun 1972
disepakati bahwa masalah konvensi
perlindungan bagi wartawan yang
meliput daerah dimana terjadi
konflik bersenjata masuk menjadi
agenda pembicaraan. Sejak itu
masalah perlindungan kepada
jurnalis yang melakukan tugas
berbahaya di daerah dimana terjadi
8 UN Commission on the Truth for El Salvador, Report hlm.69
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
9
konflik bersenjata menjadi isu yang
dibicarakan oleh UNESCO, yang
juga mensponsori banyak sekali
pertemuan internasional dan
regional, diantara sesama persatuan
wartawan, untuk dapat merumuskan
protokol konvensi. Rumusan-
rumusan itu kemudian dibicarakan
bersama dengan ICRC, sehingga
akhirnya disepakati rumusan-
rumusan perlindungan dalam
Konvensi Jenewa mengenai orang
sipil dan wartawan.
B. Penerapan Hukum Humaniter
Internasional dalam Perlindungan
Jurnalis di Medan Perang terkait
dengan Kasus Eksekusi Jurnalis
Amerika James Foley dalam
Konflik bersenjata di Suriah
1. Gambaran Umum Konflik
Bersenjata di Suriah
Pada akhir tahun 2010 hingga
awal tahun 2011, di saat terjadinya
Arab Spring yaitu pemberontakan,
aksi-aksi demo, dan upaya
penggulingan rezim berkuasa di
negara-negara tersebut, Suriah
merupakan negara yang lebih stabil
dibandingkan yang lainnya. Rezim
Assad membangun pemerintahan
dengan menempatkan tentara baik
sebagai simbol kekuasaan maupun
sebagai suatu alat untuk mengontrol
negara.9 Peristiwa Arab Spring serta
kejatuhan para pemimpin negara
Timur Tengah berhembus kencang
hingga sampai ke rakyat Suriah.
Semangat yang ditularkan para
aktivis dan demonstran di Tunisia
dan Mesir melalui video yang
9 Trias Kuncahyono, Musim Semi Suriah Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2013), hlm.44
diunggah ke berbagai jejaring sosial
dan berbagai seruan perlawanan
terhadap rezim di media sosial belum
mampu menembus kekebalan yang
dimiliki rezim Assad karena pihak
keamanan menekan para aktivis
tersebut agar tidak melakukan
demonstrasi jika tidak ingin kejadian
di Hama pada tahun 1982 terulang.
Namun peristiwa penyiksaan
terhadap anak-anak sekolah oleh
aparat keamanan di kota Deraa, kota
kecil di Suriah yang berbatasan
dengan Yordania dan berjarak 100
km dari selatan Damaskus,
mengubah stabilitas kondisi negara
tersebut. Pada tanggal 6 Maret 2011
muncul sebuah perlawanan di kota
Deraa yang dilakukan oleh para
orang tua yang anak-anaknya ditahan
oleh polisi setempat karena membuat
grafiti di dinding sebuah bangunan
dengan tulisan “As-Shaab Yoreed
Eskaat el Nizam” yang juga dapat
diartikan sebagai “Rakyat ingin
menggulingkan rezim”. Anak-anak
yang ditahan tersebut disiksa saat
berada di dalam penjara. Hal tersebut
membuat keluarga dan warga marah
sehingga menyulut semangat
demonstrasi anti rezim yang awalnya
hanya ditujukan kepada Gubernur
setempat.
Tanggal 15 Maret 2011 selain di
kota Deraa, demonstrasi juga terjadi
di kota pantai Banias. Protes yang
dilancarkan oleh para demonstran
malah disambut dengan pemukulan
dan pembubaran paksa. Aparat
keamanan kemudian melanjutkan
aksinya dengan menyemprotkan gas
air mata ke kalangan massa. Aksi
tersebut membuat para demonstran
menjadi semakin marah sehingga
protes pun merebak ke beberapa kota
lainnya seperti Dayar al-Zor, al-
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
10
hasaka dan Hama. Tuntutan yang
tadinya hanya sebatas pembebasan
kepada anak-anak yang ditahan
menjadi tuntutan untuk penurunan
rezim yang berkuasa.
Puncaknya yaitu pada hari
Jumat, 18 Maret 2011 ketika terjadi
demonstrasi di seluruh Suriah yang
mengakibatkan pemadaman aliran
listrik dan telepon dari pemerintah
pusat, aksi ini disebut dengan day of
rage. Serangan-serangan militer pun
dilancarkan oleh pemerintah pusat
terhadap para demonstran dengan
melibatkan beberapa alat tempur
seperti gas air mata, senjata berapi
dan tank. Tidak sedikit juga warga
sipil yang tewas akibat serangan
tersebut, beberapa saksi yang
berhasil selamat menyebut serangan
tersebut mirip dengan apa yang
dikatakan sebagai scorched earth
policy, yaitu suatu kebijakan militer
untuk menghancurkan apapun yang
mungkin berguna untuk lawan dalam
suatu area. Serangan militer yang
tidak sesuai aturan kerap dilancarkan
oleh tentara pemerintah terutama di
bagian timur kota Damaskus, seiring
dengan meningkatnya intensitas
konflik, pemerintah menggunakan
persenjataan yang lebih berat lagi
seperti misil tak terarah, bom thermal
dan juga bom kluster. Tingkat
kematian warga sipil yang sangat
tinggi mempertanyakan bagaimana
sebenarnya prinsip proporsionalitas
tersebut diterapkan dalam konflik
Suriah.
Konflik Suriah pada awalnya
dipandang sebagai perang saudara
(civil war) antara pemerintah dengan
rakyat. Namun hal ini berubah ketika
terjadi segmentasi oposisi yang
melawan pemerintah dengan
munculnya angkatan bersenjata
dengan struktur yang terorganisir,
mempunyai pemimpin dan juga
teritori tertentu, sehingga konflik ini
berkembang menjadi konflik
bersenjata non internasional.
Beberapa kelompok oposisi adalah
FSA, Jabah Al Nusrah, Ikhwanul
Muslimin dan National Salvation
Front. Juga terdapat pihak ketiga
yang menjadi free rider dalam
konflik Suriah ini, yaitu Islamic State
of Iraq and the Levant disebut juga
sebagai Islamic State of Iraq and
Greater Syria. Singkatan yang sering
didengar oleh masyarakat adalah
ISIL atau ISIS. Kelompok tersebut
merupakan kelompok militan jihadis
islam dipimpin oleh Abu Bakar al-
Baghdadi yang memanfaatkan
kondisi di Suriah yang bergejolak
untuk ikut masuk dan menduduki
beberapa area dalam Suriah.
Namun, seiring dengan
berkelanjutannya konflik di Suriah,
konflik ini tidak hanya melibatkan
pemerintah dan warga Suriah,
konflik ini juga melibatkan beberapa
negara yang mengintervensi dimana
negara-negara tersebut mendukung
kedua belah pihak yaitu pihak
oposisi dan pemerintah Suriah. Salah
satu negara yang mengintervensi atau
terlibat dalam konflik internal Suriah
adalah Rusia. Serangan udara yang
merupakan operasi bersama antara
angkatan udara Suriah dan Rusia
dengan menargetkan kelompok-
kelompok oposisi Bashar al-Assad
dari tanggal 30 September 2015 lalu
hingga sekarang. Serangan tersebut
terjadi di enam lokasi, yaitu Homs,
Hama, Idlib, Latakia dan Aleppo.
Serangan yang baru-baru ini terjadi
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
11
yaitu pada tanggal 14 januari 2016
dimana misi pemboman berhasil
dilakukan. Sebelumnya, pada akhir
Sepetember 2015 Rusia bersama
dengan Iran, Iraq dan Suriah telah
membanguan suatu Pusat Informasi
Bersama yang melibatkan ahli srategi
militer dari pasukan masing-masing
yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi dan menyusun strategi
penyerangan militer yang ditujukan
untuk kelompok-kelompok oposisi
dan ISIL.
Dengan adanya bentuk-bentuk
keterlibatan Rusia atau intervensinya
dalam konflik bersenjata di Suriah
tentu mengubah dinamika yang ada
dalam konflik bersenjata ini.
Internasionalised Internal Armed
Conflict merupakan kategori yang
lebih cocok untuk mendefinisikan
konflik di Suriah pada saat ini.
Namun PBB maupun negara-negara
belum mau mengakui bahwa konflik
bersenjata yang terjadi di Suriah
tersebut sudah mengarah ke skala
internasional, padahal bukti-bukti
yang ada dan sudah tervalidasi
menunjukkan bahwa konflik
bersenjata di Suriah sudah di luar
dari batasan hanya sekedar
pertempuran antara pemerintah
dengan kelompok-kelompok oposisi.
2. Peran Jurnalis dalam Konflik
Bersenjata di Suriah
Peter Arnett, seorang jurnalis
veteran perang yang meliput konflik
bersenjata di berbagai negara di
dunia, mengatakan bahwa fungsi
jurnalis dalam meliput peperangan
adalah sebagai saksi yang
mengemukakan apa yang dilihat dan
apa yang didengarnya. Hal tersebut
dilakukan oleh jurnalis agar pada
peristiwa yang terjadi pada saat
peperangan dapat diketahui oleh
pihak-pihak di luar para pelaku dan
penderita peperangan. Dalam konflik
bersenjata di Suriah pada tahun 2014,
17 jurnalis telah menjadi korban
sedangkan pada tahun 2015, CPJ
mengkonfirmasi akan jatuhnya 14
korban.10 Fakta tersebut merupakan
cerminan adanya ketidaksesuaian
antara aturan dalam Hukum
Humaniter Internasional yang
menyatakan bahwa jurnalis yang
bertugas dalam misi profesional di
area konflik bersenjata mendapat
status sebagai warga sipil dan berhak
akan perlindungan.
Tidak hanya jurnalis lokal
namun jurnalis asing juga kerap
menjadi target dalam konflik Suriah.
Angkatan bersenjata Suriah yang
dikomando Bashar al-Assad
melancarkan serangan terhadap
jurnalis asing terutama jurnalis
Amerika karena nasionalitasnya.
Negara-negara barat terutama
Amerika Serikat diketahui
mendukung adanya penggulingan
rezim Assad yang dilakukan
kelompok oposisi. Amerika diketahui
menyediakan bantuan logistik dan
memberikan pelatihan militer bagi
anggota-anggota oposisi yang
tergabung dalam Free Syrian Army.
Sedangkan kelompok militan ISIL
juga mentarget jurnalis asing karena
nasionalitasnya, tidak peduli asal dari
negara jurnalis-jurnalis yang menjadi
korban karena ISIL sebagai
kelompok teror global melancarkan
10 CPJ Research on Journalists Killed in Syria https://www.cpj.org/killed/mideast/syria/ tanggal 20 januari 2016
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
12
serangan dan teror ke berbagai
negara.
Pada tanggal 19 Agustus 2014
dunia dikagetkan ketika ISIL merilis
video yang memperlihatkan eksekusi
James Foley yaitu koresponden
perang yang berasal dari Amerika
untuk kantor berita Global Post di
Boston, Amerika Serikat. Dalam
video yang diunggah ISIL berjudul A
Message to America ke jejaring
Youtube tersebut memperlihatkan
James berlutut di tanah (lokasi tidak
diketahui) sedangkan di belakangnya
terdapat beberapa militan ISIL
dengan membawa senjata. Di menit
berikutnya dalam video tersebut
memperlihatkan kala militan ISIL
yang melakukan eksekusi terhadap
James Foley dengan memenggal
kepalanya. Motif dari tindakan ISIL
tersebut adalah untuk
memperingatkan Amerika agar
menghentikan serangan udaranya ke
Irak, tempat dimana ISIL awal mula
tumbuh dan mempunyai markas
pusat.
James Foley merupakan
koresponden perang lepas yang
sudah lama meliput di berbagai
konflik bersenjata yang terjadi di
berbagai negara. Pada tahun 2011
James Foley bertugas di Libya yang
pada saat itu sedang terjadi konflik
bersenjata antara pemberontak
dengan pemerintahan Muammar
Kadafi. James yang pada saat itu
mengikuti kelompok oposisi
bersenjata meliput pada daerah
rawan yang ada di Libya, ketika tiba-
tiba mereka diserang oleh tentara
Libya yang pada akhirnya
menangkap dan menjadikan James
sebagai tahanan mereka dengan
tuduhan spionase. Setelah 44 hari
James baru dibebaskan dan diantar
ke perbatasan Libya-Tunisia untuk
dipulangkan ke Amerika.
Pada tahun 2012 James kembali
bertugas sebagai koresponden perang
untuk meliput konflik bersenjata di
Suriah. Dengan menyusuri berbagai
kota di Suriah, juga mewawancarai
beberapa kelompok oposisi James
mengumpulkan informasi untuk
diberitakannya. Namun, pada tanggal
22 November 2012 James bersama
dengan rekannya John Cantlie dan
translatornya diculik setelah keluar
dari sebuah kafe internet di kota
Binnish, provinsi Idlib yang terletak
di bagian barat Suriah. Foley lalu
ditahan di pangkalan Angkatan
Udara Suriah dengan adanya dugaan
bahwa pihak Bashar al-Assad yang
melakukan penculikan tersebut. Hal
tersebut didukung dengan adanya
pernyataan dari jurnalis BBC yang
membenarkan dugaan tersebut,
walaupun setelah itu lokasi
penahanan Foley berpindah-pindah.
Foley yang lalu berada di bawah
penahanan ISIL dipercaya karena
adanya kesamaan kepentingan politik
antara ISIL dengan Bashar al-Assad
untuk menjatuhkan Amerika.
Menurut rekan jurnalis yang ditahan
di lokasi yang sama dengan Foley,
Daniel Rye Ottosen, mengatakan
bahwa Foley mendapat siksaan yang
paling kejam dan brutal karena
kewarganegaraannya, hal tersebut
bertambah ketika diketahui bahwa
kaka Foley adalah anggota Angkatan
Udara Amerika Serikat.
Peristiwa yang menimpa james
Foley tersebut merupakan gambaran
nyata bahwa Hukum Humaniter
Internasional tidak terimplementasi
seperti seharusnya. Kasus-kasus
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
13
tersebut menunjukkan bahwa
imunitas yang seharusnya
melindungi jurnalis yang bertugas di
daerah konflik tidak menunjukkan
adanya unsur kemanusiaan seperti
yang seharusnya diusung oleh
Hukum Humaniter Internasional.
3. Implementasi Hukum
Humaniter Internasional terhadap
Perlindungan Jurnalis dalam
Konflik Bersenjata di Suriah
Sebagai upaya untuk memonitor
konflik bersenjata yang berlangsung
di Suriah, PBB membentuk suatu
komisi independen yang dikepalai
oleh Carla del Ponte bernama Independent International Commission
of Inquiry on the Syrian Arab Republic
pada tahun 2012. Berdasarkan
pengamatan dan penelitian Del Ponte
bahwa tindakan para pihak yang
bertempur baik angkatan bersenjata
pemerintah pimpinan Bashar al-
Assad dan angkatan bersenjata
oposisi dalam konflik bersenjata di
Suriah dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran Hukum Humaniter
Internasional. Tingkat kematian
warga sipil yang sangat tinggi
mempertanyakan tentang bagaimana
sebenarnya prinsip proporsionalitas
tersebut diterapkan dalam konflik
Suriah. Serangan militer juga secara
gencar dilakukan oleh kelompok
oposisi terutama di daerah utara kota
Aleppo dan di Provinsi Idlib.
Serangan non militer juga dilakukan
oleh tentara nasional Suriah atas
perintah Assad memotong suplai
makanan, memadamkan aliran listrik
dan air serta obat-obatan. Ladang dan
perkebunan sebagai sumber pangan
di daerah Hama, Homs, Aleppo dan
Idlib telah dibakar oleh pemerintah.
Ancaman dengan kekerasan dan
siksaan juga dilaporkan kerap terjadi
di dalam ruang tahanan otoritas
badan intelejen Suriah juga di rumah
sakit pemerintah dan militer.
Kelompok oposisi atau pemberontak
juga mempraktikan hal yang sama,
dimana kedua pihak memperlakukan
tawanan perang dengan kekerasan
dan siksaan. Komisi PBB untuk
Suriah menyatakan dalam
laporannya bahwa kedua pihak yang
berperan dalam pertempuran baik
pemerintah (Assad) dan kelompok
oposisi atas tindakan-tindakan
tersebut dapat dikatakan telah
melakukan kejahatan perang.11
Suriah pada tahun 2015 disebut
sebagai kota yang paling berbahaya
bagi jurnalis, dengan total 12 jurnalis
tewas akibat pembunuhan dari tahun
2011 hingga 2015. jurnalis ditahan
dan dibunuh karena adanya
kepentingan politik dalam latar
belakang negara seperti yang terjadi
dalam kasus eksekusi James Foley.
Koresponden perang yang ditahan
oleh kedua pihak kombatan tidak
diperlakukan seperti yang sudah
diatur dalam Konvensi Jenewa III
yang berisikan tentang perlakuan
tawanan perang. Dengan berjalannya
konflik sistem pemerintahan Suriah
menjadi tidak stabil dan seolah
kehilangan otoritasnya dalam
menegakkan hukum, alhasil tidak
ada keadilan bagi jurnalis perang
yang tewas dalam menjalankan
profesinya tersebut, sehingga
terjadilah 100% impunitas dalam
11 Carla Del Ponte,eds.Michel Veutey, Respecting International Humanitarian Law: Challenges and Responses, (Milan: International Institute of Humanitarian Law,2014), p.52
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
14
kasus tewasnya jurnalis di konflik
Suriah.
Impunitas ini terjadi karena
penegakan Hukum Humaniter
Internasional yang dianggap gagal
dalam situasi konflik di Suriah.
Untuk menegakkannya dan
mengingatkan kewajiban bagi kedua
pihak kombatan untuk mematuhi
Hukum Humaniter Internasional
secara langsung sudah tidak mungkin
dilakukan, namun terdapat cara lain
yaitu melalui pengaruh negara-
negara pendukung di balik masing-
masing pihak. Kelompok oposisi
FSA didukung secara finansial dan
properti oleh Amerika Serikat, Saudi
Arabia, Qatar dan Kuwait sedangkan
tentara pimpinan Bashar Al-Assad
didukung Rusia dan Iran.
Negara-negara pendukung
tersebut mempunyai kewajiban untuk
memastikan bahwa bantuannya
berupa senjata militer dipergunakan
dalam konteks yang sesuai dengan
Hukum Humaniter Internasional dan
bukannya menyerang objek dan
subjek sipil. Negara-negara tersebut
harus memastikan bahwa prinsip
pembedaan disini benar-benar
diterapkan dengan membedakan
antara kombatan dan warga sipil,
serta serangan militer harus
didasarkan pada prinsip
proporsionalitas.
Negara-negara tersebut sebagai
bagian dari Komunitas Hukum
Humaniter Internasional mempunyai
kewajiban untuk bertindak seperti
itu. Seiring dengan berkembangnya
jaman terdapat norma yang muncul
bahwa pengiriman bantuan senjata
tidak boleh dilakukan apabila muncul
risiko bahwa persenjataan tersebut
akan dilakukan untuk tindakan yang
melanggar Hukum Humaniter
Internasional dan termasuk dalam
kejahatan perang. Secara praktis dan
teoritis, dalam konflik Suriah risiko
tersebut besar kemungkinannya
terjadi sehingga negara-negara
pendukung tersebut harus menyadari
akan adanya risiko tersebut dan
menghentikan bantuan.
Di dunia internasional 196
negara sudah menyetujui dan
mengaplikasikan Konvensi-Konvensi
Jenewa 1949 beserta dua protokol
tambahannya. Suriah juga termasuk
sebagai salah satunya, namun praktik
yang ada menunjukkan bahwa dalam
situasinya sekarang Suriah
menghiraukan secara total apa yang
menjadi kewajibannya di bawah
Konvensi-Konvensi tersebut. Tidak
hanya mengikat negara, namun
Hukum Humaniter Internasional juga
mengikat individu, kelompok
bersenjata, pergerakan liberalisasi
nasional dan organisasi internasional.
Hal ini dikarenakan Hukum
Humaniter Internasional mengatur
mengenai perlindungan individu
dalam status sipil maka
menimbulkan kewajiban untuk
mematuhi Hukum Humaniter
Internasional.
Untuk itu, demi adanya solusi
yang dapat membantu penyelesaian
dalam konflik bersenjata di Suriah,
masing-masing negara seharusnya
mengesampingkan kepentingan
politik yang ada. Dengan begitu
melalui wadah organisasi
internasional yaitu PBB dapat
menghasilkan suatu kesepakatan
yang membantu mengurangi
ketegangan yang ada dalam konflik
bersenjata di Suriah.
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
15
IV. KESIMPULAN
1. Sebagai suatu bagan aturan
yang melalui instrumen-
instrumennya memberikan
tata cara dan regulasi dalam
berperang serta perlindungan
korban perang, Hukum
Humaniter Internasional
mempunyai esensi yang
penting dan mendalam untuk
imlementasinya. Konvensi
Jenewa IV 1949 memberikan
kategori dalam perlindungan
penduduk sipil yaitu
perlindungan umum dan
perlindungan khusus.
Jurnalis, independen dan
koresponden perang, yang
bertugas di area konflik
bersenjata termasuk dalam
orang yang diberikan status
sipil di kategori perlindungan
khusus.Keduanya mempunyai
status sipil, namun hanya
koresponden perang yang
memunyai status sebagai
Prisoner of War (POW)
ketika tertangkap musuh.
Namun, status sipil yang
melekat kepada mereka
menghindarkannya dari objek
serangan militer sesuai
dengan prinsip aplikasi dari
Hukum Humaniter yaitu
prinsip pembedaan.
2. Konflik bersenjata di Suriah
yang telah berlangsung sejak
tahun 2011 yang pada
awalnya bersifat internal
antara Bashar al-Assad dan
pemberontak namun sekarang
telah berkembang menjadi
suatu konflik bersenjata
internasional karena adanya
intervensi militer dari Rusia.
Konflik tersebut telah
memakan hingga 358,961
warga sipil, baik lokal
maupun asing. Salah satu
yang menjadi korban yaitu
jurnalis yang bertugas dalam
misi profesional di konflik
Suriah tersebut. Salah satu
kasus yang menggemparkan
dunia adalah perihal eksekusi
James Foley pada tanggal 19
Agustus 2014, seorang
koresponden perang yang
berasal dari Amerika Serikat
untuk kantor berita Global
Post, yang dilakukan oleh
militan ISIL. Ketidakstabilan
pemerintahan dan gejolak
politik di dalam negara
tersebut telah mengakibatkan
adanya 100% impunitas.
Sehingga cara lain untuk
mengatasi permasalahan
tersebut adalah dengan
mengingatkan negara-negara
pendukung dibalik masing-
masing pihak kombatan yang
menyalurkan bantuan akan
pentingnya implementasi atau
penerapan dari Hukum
Humaniter Internasional
dalam berjalannya konflik
tersebut.
V. DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Darmawan, Asep. (2005) Prinsip
Pertanggungjawaban Pidana
Komandan dalam Hukum
Humaniter Kumpulan Tulisan,
Universitas Trisakti, Jakarta.
DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/
16
Kuncahyono, Trias. (2013) Musim
Semi Suriah Anak-anak Sekolah
Penyulut Revolusi, PT. Kompas
Media Nusantara, Jakarta.
Permanasari, Arlina. (1999) Penantar
Hukum Humaniter, ICRC,
Jakarta
Soekanto,Soerjono. (1986) Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.
Jurnal Ilmiah
Abdulrashid Lawan Haruna; Dr.
Laminu Bukar; Babagana
Karumi. Principle of Distinction
in Armed Conflict: An Analysis
of the Legitimacy of
‘Combatants and Military
Objectives’ As a Military
Target, International Journal of
Humanities and Social Science
Invention, 2014
Carla Del Ponte,eds.Michel Veutey.
International Humanitarian Law:
Challenges and Responses,
Milan, International Institute of
Humanitarian Law, Journal,
2014
Jean-Marie Henckaerts and Louise
Doswald-Beck. Customary
International Humanitarian Law
Volume I: Rules, London,
Cambridge University Press,
Journal, 2005
Konvensi
Konvensi Jenewa IV 1949
UN Commission on the Truth for El
Salvador
Website
Comitte Protect Journalist. Research
on Journalists Killed in Syria,
pada tanggal Senin 20 januari
2016, dalam situs berita
https://www.cpj.org/killed/midea
st/syria/