relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat
TRANSCRIPT
116
BAB V
BENTUK RELASI KUASA DALAM DINAMIKA
TARI ULU AMBEK PADA MASYARAKAT PARIAMAN,
SUMATERA BARAT
Fenomena tari ulu ambek saat ini memunculkan hubungan (relasi) antara
kekuasaan penghulu dan kuasa perubahan zaman (globalisasi). Hal ini
menyebabkan terjadinya dinamika dalam tari ulu ambek. Dinamika juga akan
terlihat pada elemen-elemen yang membangun karya tersebut. Tari ulu ambek
memiliki elemen-elemen teknis dan estetis yang berakar pada budaya lokal
masyarakat Pariaman. Elemen teknis atau disebut juga dengan elemen-elemen
penting dalam tari. Di samping itu, ada juga unsur pendukung lain yang perannya
juga penting, tetapi tidak masuk pada elemen wajib. Masyarakat sebagai
pendukung dan sekaligus sebagai pelaku tari ulu ambek memiliki sikap yang
sangat menentukan ada dan suksesnya perhelatan alek nagari yang menampilkan
tari ulu ambek.
5.1 Relasi Kuasa dalam Tari Ulu Ambek
Relasi kuasa yang ada dalam tari ulu ambek adalah relasi antara kekuasaan
penghulu dan kuasa globalisasi. Kekuasaan penghulu terlihat dari kepemilikan tari
tersebut, seperti pepatah yang menyebutkan bahwa tari ulu ambek merupakan
pakaian penghulu yang dipinjamkan kepada anak muda. Dari seluruh unsur yang
mendukung tari ulu ambek dapat dilihat gambaran dari kepemimpinan seorang
penghulu di Pariaman.
116
117
Kuasa globalisasi terlihat pada kondisi sekarang bahwa tari ulu ambek
telah dipengaruhi oleh arus globalisasi yang membawa dampak bagi
perkembangan tari ulu ambek dan masyarakatnya di Pariaman, baik dampak
negatif maupun dampak positif. Dampak ini sangat kentara pengaruhnya terhadap
masyarakat Pariaman: ketaatan serta kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional
semakin lama semakin memudar dan mengalami degradasi. Hal ini terlihat, salah
satu di antaranya, semakin menurunnya minat dan keinginan kaum muda dalam
memahami nilai budaya Pariaman.
5.1.1 Kuasa Penghulu dalam Tari Ulu Ambek
Penghulu dalam masyarakat Pariaman tidak dipilih secara sembarang,
tetapi ia adalah orang pilihan. Agar bisa diangkat sebagai seorang penghulu,
seseorang harus memenuhi beberapa kriteria dan persyaratan yang melekat pada
dirinya. Artinya, syarat-syarat seorang penghulu tidak ditentukan oleh syarat-
syarat sebagaimana adanya pada pemimpin formal (pemerintahan). Seseorang
untuk diangkat menjadi penghulu untuk memimpin kaumnya pada dirinya harus
terdapat beberapa sifat dan martabat seorang penghulu. Budi yang baik dan
bicaranya yang halus merupakan sisi yang tidak bisa diabaikan dari sosok
seseorang agar bisa diangkat menjadi penghulu dalam kaumnya, seperti yang
dijelaskan oleh Sahrul di bawah ini.
“Martabat seorang penghulu di Minangkanau adalah berakal, berilmu,
berpaham, bermakkrifat ujud yakin, tawakal pada Allah, kaya dan miskin
pada hati dan kebenaran, murah dan mahal pada laku dan perangai yang
berpatutan, hemat dan cermat mengenai awal dan akhir, ingat dan paham
tentang adat, sabar dan redho hatinya kepada kaum kerabatnya dalam
menyampaikan siddig dan tabliq. Sabar artinya menanti. Redho artinya
118
suka. Berani atas yang benar”. (Wawancara, 4 Januari 2014).
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa seorang penghulu tidak akan mengubah
yang benar menjadi salah dan kuat berbuat pada kebaikan. Penghulu harus bisa
memelihara negeri dan mampu menghasilkan pekerjaan negeri. Penghulu juga
dituntut untuk bisa menyelesaikan benang kusut dalam nagari. Di samping sifat
tersebut, seorang penghulu harus memakai sifat sidiq, artinya benar dan tidak
mengubah yang benar kepada yang salah, bersifat tablig, yaitu menyampaikan
hukum kepada seluruh rakyat atau kaum kerabatnya, bersifat amanah, artinya
seorang penghulu tidak menyembunyikan hukum, bersifat fathonah atinya seorang
penghulu memelihara seluruh persoalan negeri yang dipimpinnya.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Althuser dan Gramsci yang
diambilnya dari Plato (dalam Takwin, 2009: 13) bahwa ideologi dalam arti positif
terdapat dalam jiwa. Jiwa mengandung pengetahuan yang benar (episteme). Kuasa
penghulu ada dalam jiwa penghulu tersebut. Hal ini yang dipinjamkan kepada
pemain ulu ambek dan untuk diperlihatkan kepada masyarakat sebagai pedoman.
Gambaran penghulu yang ideal terdapat dalam tari ulu ambek. Seorang
penghulu yang ideal tumbuh dan berkembang dalam konteks fisolofi
kepemimpinan atas kekuasaan. Seorang penghulu, sebagai pemimpin bagi
kaumnya, menempatkan kekuasaan itu sebagai penunjang dalam menjalankan
amanah kepemimpinan yang dipikulnya. Kekuasaan bagi seorang penghulu lahir
secara alamiah dan hal itu terpancar dari martabat dan sifat-sifat yang harus
dimilikinya. Kewibawaan dan keseganan pada penghulu bukan karena dia punya
kekuasaan, tetapi karena kepemimpinan penghulu itu, baik martabat maupun
119
sifatnya ada dalam dirinya.
Untuk itu, pengangkatan seorang penghulu dalam masyarakat Pariaman
tidaklah semudah mengangkat atau memilih pemimpin formal yang lain. Seorang
penghulu akan memangku amanahnya sebagai seorang pemimpin kaumnya
sepanjang hidup si penghulu, sehingga kepemilikan sifat dan martabat pada diri
seorang penghulu menjadi syarat yang penting daripada syarat-syarat
sebagaimana adanya pada pemimpin formal.
Seorang penghulu sepertinya tidak lagi memikirkan dirinya, tetapi hampir
seluruh hidup dan kesehariannya hanyalah untuk kaum yang dipimpinnya. Ketika
kedudukan sebagai penghulu itu dipikulnya, maka segala tanggung jawab harus
dijalankan tanpa ada keluh kesah dan tidak ada tempat mengeluh. Penghulu
adalah tepatan bagi kaumnya untuk konsultasi dan menyampaikan segala
masalahnya. Ia tidak boleh mengeluh dan memicu perselisihan dalam kaumnnya,
seperti yang diungkapkan oleh Sahrul berikut:
“Suatu hal yang selalu ditanamkan atau diwariskan secara turun temurun
dalam kepemimpinan penghulu pada masyarakat Minangkabau adalah
suatu kesadaran, bahwa penghulu itu “tinggi diajuang, gadang
dilambuak”. Penghulu-penghulu yang mengetahui eksistensinya dirinya
sebagai penghulu yang demikian, maka penghulu akan menjadi seperti
bunyi kata falsafah Minangkabau ”sebagai kayu gadang (besar) ditengah
padang, tempat berteduh dan berlindung kehujanan, batangnya tempat
bersandar, uratnya tempat besela oleh masing-masing anak buahnya atau
kaumnya” (Wawancara, 4 Januari 2014).
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan penghulu pada masyarakat
Minangkabau sangat sentral dan penuh dengan nilai bagi pencapaian kehidupan
yang lebih baik di dunia dan di akhirat kelak. Meskipun demikian, sejalan dengan
perkembangan zaman dan pengaruh pola kehidupan modern boleh jadi terjadi
120
pergeseran nilai-nilai kepemimpinan seorang penghulu di dalam masyarakat
Minangkabau. Globalisasi saat ini menjadi tuntutan kehidupan modern karena
masyarakat lebih cenderung menginginkan pemimpin formal (pemerintahan) yang
tidak seideal seorang penghulu pada masyarakat. Kepemimpinan penghulu yang
sudah dimiliki masyarakat hendaknya terus dipelihara dan menjadi contoh untuk
memilih pimpinan formal.
Sesuai dengan teori hegemoni Althuser dan Gramsci (Ratna, 2010: 478)
bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan atas kelas
bawah dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini
penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, tetapi melalui bentuk-bentuk
persetujuan masyarakat yang dikuasai. Perubahan zaman telah menguasai
masyarakat sehingga pemimpin yang ideal tidak lagi dicerminkan oleh penghulu,
namun oleh kuasa pemerintah lewat politiknya. Memang perubahan tidak dalam
paksaan, namun secara tidak terasa hadir dalam kehidupan manusia Pariaman.
Secara umum, tari ulu ambek adalah seni yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat Pariaman sejak lama yang berdasarkan pada nilai-nilai kuasa
penghulu yang hidup dalam masyarakat itu, baik nilai asli maupun sinkretis nilai-
nilai asli dengan nilai yang datang dari luar dan hanya berlaku bagi masyarakat itu
saja. Tari ulu ambek adalah seni yang khas mengandung muatan lokal sosial
budaya Pariaman.
Sesuai dengan sifat penghulu yang menjaga moral dalam negeri, maka ciri
khas ulu ambek, demikian juga silatnya, ialah menciptakan gerak yang bersumber
dari Alqur’an dan Hadist serta alam yang diproyeksikan menjadi gerak yang
121
dinamis sesuai dengan kuasa penghulu dalam nagari yang berlandaskan agama
Islam. Dalam Alqur’an dan Hadist serta alam terdapat empat perkara, yaitu
larangan, suruhan, sabar, dan perintah.
Berdasarkan sifat penghulu yang demikian, maka ada empat hal yang
membentuk gerak bela diri sehingga setiap gerak berisi larangan, suruhan, sabar,
atau perintah. Bila pesilat sudah berhadapan dengan pasangannya, ia langsung
melakukan serang tangkis. Silat yang terkenal di Pariaman adalah silat sitaralak
yang tidak memiliki khalifah seperti halnya silat lainya yang berdasarkan agama
Islam. Hal ini bisa dilihat dari langkah, tangkok, bukak, kambang tangan dan
menahan, silat gunuang persis sama dengan silat sitaralak yang ada di Pariaman.
Penghulu mengagungkan hubungan silaturahmi antarsesama manusia.
Begitu juga gerak inti dari gerak silat sitaralak yang juga mengagungkan
hubungan silaturahmi. Hal ini bisa dilihat dari prosesi silat dari awal sampai akhir.
Pertama, destar diserahkan kepada dua pemain silat. Kedua, sepasang pemain silat
memberi salam kepada tuo (pimpinan) silat untuk meminta restu dan teguran
kalau mereka melakukan kesalahan. Ketiga, kedua pemain silat berdiri di tengah
arena untuk memberi salam ke empat arah mata angin sebagai bentuk maaf ke
khalayak. Keempat, pesilat memberi salam kepada masing-masing lawan mainnya
atau meminta maaf sesama mereka. Setelah keempat prosesi ini dilakukan maka
baru mereka bermain silat. Pada akhir bersilat, proses salam juga dilakukan sama
halnya dengan salam pada awal bermain.
Dalam silat sitaralak terdapat gerak sumbang dan gerak batua. Kedua
gerak ini memiliki makna ‘memakan atau dimakan’. Begitu juga dengan sifatnya,
122
silat gunuang memiliki empat sifat, yaitu garak, garik, raso, dan pareso. Tidak
ada istilah langkah mati dalam silat gunuang, dan mata pesilat tidak pernah
menatap mata lawan secara langsung. Hal ini bermakna bahwa ia
menyembunyikan kekuatan pada diri masing-masing.
Dengan demikian, ideologi Gramsci dan Althuser melihat silat dan ulu
ambek memberi muatan filosofis terhadap bela diri untuk mempertahankan harga
diri. Dari informasi yang didapat dari pengertian ulu ambek, jika dikaitkan dengan
kehidupan penghulu dalam mengayomi kemenakan dan masyarakatnya, ia sebagai
yang ditinggikan seranting dari ninik mamak yang lain di dalam kaumnya yang
sesuku, memberi ajaran kebaikan dan menghambat perilaku yang tidak sesuai
dengan aturan adat yang berlaku di Pariaman.
Dalam konteks kelompok atau masyarakat, ideologi Gramsci dan Althuser
sering kali digunakan sebagai dasar bagi usaha pembebasan manusia. Dalam hal
ini, ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi
panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku untuk mencapai tujuan
tertentu (Takwin, 2009:5). Ideologi menjadi acuan manusia dalam melakukan
aktivitas termasuk aktivitas, dalam tari ulu ambek di Pariaman.
Gerak tari ulu ambek dimulai dengan gerak sambah. Sambah-manyambah
adalah satu tata cara menurut adat istiadat Pariaman, yang mengatur tata tertib dan
sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan. Kata sambah, dalam
bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari sikap awal setiap orang yang
melaksanakan persembahan. Sebelum memulai pembicaraan seseorang harus
mengangkat dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus di antara kening
123
dan hidung bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya, sikap yang
dilakukan kawan bicara ketika menerima sambah. Sikap ini sudah menjelaskan
hakikat acara tersebut, yaitu bagaimana setiap pihak yang bertemu dalam satu
pertemuan bisa saling menghormati, saling memperlihatkan adat sopan santun dan
budi bahasa yang baik, termasuk dalam mengatur kata-kata yang diucapkan,
seperti yang diungkapkan oleh Sahrul berikut:
“Sambah juga dilakukan ketika berunding dengan seluruh komponen tari
ulu ambek terutama antara tamu dan tuan rumah. Sambah yang dilakukan
tidak lewat gerak tari, tetapi dengan bahasa verbal. Dalam sambah-
manyambah ini bahasa Minang yang digunakan memang agak berbeda
dengan bahasa yang diucapkan orang sehari-hari” (Wawancara, 4 Januari
2014)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai diambil dari bahasa
kesusastraan Minang lama, yang lirik prosanya, penuh pepatah petitih, dan dalam
kalimat-kalimatnya banyak diisi ungkapan dan sinonim untuk mempertegas
maksud yang disampaikan. Dalam aturan adat Pariaman, tata cara sambah
manyambah itu justru diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan
santun dan basa basi yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam
satu musyawarah.
Berdasarkan teori ideologi Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009: 60-
62) bahwa komponen ideological complexes terdiri atas dua model, yaitu model
relasional (klasifikasi jenis social agent, aksi, objek, dan lain-lain) dan model
aksi (spesifikasi aksi dan perilaku yang diharuskan, diizinkan, dilarang). Sambah
merupakan hubungan relasional antar penghulu dan di dalam sambah tersebut
dibicarakan aksi yang diizinkan dan dilarang dalam permainan ulu ambek. Begitu
juga dengan komponen lain seperti gerak dalam ulu ambek.
124
Gerak batuang, gerak guntiang, gerak kaluang, gerak simpua, gerak
menghentak kaki, dan gerak catua langkah memiliki ideologi tentang kehati-
hatian dalam bersilat. Gerak membelakangi lawan merupakan gerak yang
mengindikasikan pada posisi lawan diuji sportivitasnya. Seorang pemain tari ulu
ambek tidak akan menyerang lawannya yang berada dalam kondisi membelakang.
Gerak bertukar tempat merupakan gerak dengan nilai ideologi keadilan. Posisi
seorang pemain akan sama dengan pemain lain. Ada kalanya seorang pemain
bertindak sebagai penyerang dan ada kalanya bertindak sebagai penangkis.
5.1.2 Kuasa Globalisasi dalam Tari Ulu Ambek
Masuknya kuasa globalisasi menjadikan tari ulu ambek berubah.
Perubahan ini disebabkan oleh semakin lancarnya arus transportasi dan
komunikasi di daerah Pariaman, yang tentu lebih membuka cakrawala penduduk
setempat terhadap hal-hal baru yang ada di luar, baik dengan cara bepergian
maupun dengan cara melihat di layar televisi. Perubahan ini juga mempunyai
dampak yang baik dalam hal ekonomi, masyarakat yang biasanya menjual hasil
perkebunan karet dengan biaya yang mahal menggunakan transportasi perahu kini
bisa dengan cepat dan efektif menggunakan kendaraan darat. Namun, dari segi
seni budaya efek negatifnya ialah semakin melemahnya kecintaan terhadap seni
tradisi.
Kekuasaan penghulu yang saat ini telah terpengaruh oleh perkembangan
zaman mau tidak mau harus disikapi dengan membentengi masyarakat dengan
gambaran ideal seorang penghulu. Gambaran ideal itu tercermin dari pakaian yang
125
dikenakan oleh penghulu. Menurut Khaidir:
“Pakaian Datuak tu punyo arati nan sangaik laweh. Barisi tantang
kurenah Datuak maaja kamanakannyo. Parangai Datuak harus sasuai jo
arati pakaian nan dipakainyo. Baju contohe nan balangan leba nan bisa
malinduangi kamanakan dari sagalo parsoalan.”(pakaian Datuk
mempunyai arti yang sangat luas. Berisi tentang tingkah laku Datuk
mengajar kemenakannya. Sikap Datuk sesuai dengan arti pakaian yang
dipakainya. Baju misalnya yang berlengan lebar yang bisa melindungi
kemenakan dari segala persoalan). (Wawancara, 4 Janari 2014)
Pendapat di atas menjelaskan bahwa pakaian penghulu menyiratkan bahwa
pemimpin merupakan anutan bagi masyarakatnya. Anutan tersebut diperlihatkan
pada makna dari seluruh unsur pakaian. Ideologi pemimpin di Pariaman adalah
ideologi yang disimbolkan oleh pakaian.
Hegemoni Gramsci dan Althuser (dalam Barker, 2004: 62) menjelaskan
bahwa hegemoni dibentuk melalui serangkaian aliansi tempat suatu kelompok
berposisi sebagai pemimpin. Terlihat bahwa tari ulu ambek di Pariaman berkaitan
dengan ideologi penghulu (datuk) yang “meminjamkan pakaiannya” kepada
pemain tari ulu ambek. Pakaian pemain tari ulu ambek memiliki ideologi yang
disejajarkan dengan penghulu. Misalnya, ideologi destar ditunjukkan dalam
pasambahan (perundingan) sebelum berlangsungnya tari ulu ambek.
Badeta panjang bakaruik
Bayangan isi dalam kuliek
Panjang tak dapek kito ukue
Leba tak dapek kito bilai
Kok panjangnyo pandindiang korong
Leba pandukuang anak kamanakan
Hamparan di rumah tanggo
Paraok gonjong nan ampek
Tiok liku aka manjala
Tiok katuak ba undang undang
Dalam karuik budi marangkak
Tambuak dek paham tiok lipek
Manjala masuak nagari
126
(Pakai destar panjang berkerut
Membayangkan isi pada kulit
Panjang tak dapat kita ukur
Lebar tak dapat kita sambung
Kalau panjangnya pendinding korong
Kalau lebarnya untuk mendukung anak kemenakan
Terhampar di rumah tangga
Penutup gonjong yang empat
Tiap liku akar menjalar
Tiap lipatan ada undang-undang
Dalam kerut budi merangkak
Tembus karena paham pada lipatan
Menjalar masuk nagari)
Pasambahan (perundingan) tersebut menggambarkan bagaimana pemain
tari ulu ambek haruslah orang yang bijaksana. Semua sifat pemimpin ada dalam
destar yang dipakai pemain tari ulu ambek. Memasang destar tidak sembarangan,
tetapi memberikan nilai pada pemakainya. Pemain tari ulu ambek yang belum bisa
memasang destar akan meminta tolong pada pemimpinnya supaya dipasangkan
destar sesuai dengan peraturannya. Destar akan kelihatan anggun karena ia adalah
pakaian dari penghulu. Pemakaian baju untuk pemain tari ulu ambek diterangkan
dalam pasambahan (perundingan) sebelum berlangsungnya tari ulu ambek.
Babaju hitam gadang langan
Langan tasenseng tak pambangih
Pangipeh angek naknyo dingin
Pambuang nan bungkuak sarueh
Siba batanti timba baliek
Gadang barapik jo nan ketek
Tando rang gadang bapangiriang
Tatutuik jahit pangka langan
Tando membuhue tak mambuku
Tando mauleh tak mangasan
Lauik tatampuah tak berombak
Padang ditampuah tak barangin
Takilek ikan dalam aie
Lah jaleh jantan batinonyo
Lihienyo lapeh tak bakatuak
Tando pangulu padangnyo lapang
127
alamnyo leba
Indak basaku kiri jo kanan
Tandonyo indak pangguntiang
(Berbaju hitam berlengan lebar
Lengan tersingsing tak pemarah
Pengipas panas supaya dingin
Pembuang yang bungkuk seruas
Pinggiran berenda timbal balik
Besar berimpit dengan yang kecil
Tandanya orang besar berpengiring
Tertutup jahitan pangkal lengan
Tandanya membuhul tak mengesan
Tandanya menyambung tak kentara
Laut ditempuh tak berombak
Padang ditempuh tak berangin
Terlintas ikan dalam air
Sudah jelas jantan betinanya.
Lehernya lepas tak berkatup
Tandanya penghulu padangnya lapang
alamnya lebar (lapang dada/sabar)
Tidak bersaku kiri dan kanan
Tandanya bukan penggunting dalam)
Baju yang dipasang di tubuh pemain tari ulu ambek memberikan kesan
bahwa yang memakainya adalah orang-orang tertentu. Tidak dibenarkan pakaian
tersebut dilekatkan pada sembarang orang. Namun, akhir-akhir ini baju yang
dipakai pemain tari ulu ambek sudah mulai berubah. Pemain tari ulu ambek ada
yang memakai pakaian tidak berwarna hitam dan tidak harus tradisi. Pemain tari
ulu ambek ada yang memakai baju sehari-hari (kemeja biasa). Hal ini
menunjukkan bahwa ada perubahan terhadap pemaknaan baju yang merupakan
pakaian penghulu. Perubahan ini merupakan hal yang berkaitan dengan perubahan
zaman.
Celana yang dipakai harus celana galembong. Tidak ada perubahan
terhadap pemakaian celana. Celana pemain tari ulu ambek memberikan kesan
tentang ideologi Gramsci dan Althuser yang dipahami seorang penghulu di
128
Padang Pariaman. Dalam pasambahan (perundingan), sebelum berlangsungnya
tari ulu ambek, dijelaskan fungsi penghulu seperti gambar 5.1.
Gambar 5.1
Seorang Penghulu dengan Pakaian Kebesarannya
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Basarawa hitam ketek kaki
kapanuruik alue nan luruih
panampuah jalan nan pasa
ka dalam korong jo kampuang
sarato koto jo nagari
Langkah salasai baukuran
martabat nan anam membatasi
murah jo maha ditampeknyo
ba ijo mako bakato
ba tolam mako bajalan
(Bercelana hitam kecil kaki
untuk menurut alur yang lurus
untuk menempuh jalan yang wajar
ke dalam korong kampung
serta koto dan negeri
Langkah bebas berukuran
129
martabat yang enam membatasi
murah dan mahal di tempatnya
dieja baru berkata
diagak baru berjalan)
Ideologi Gramsci dan Althuser yang melekat pada diri penghulu itulah
yang diperankan oleh pemain tari ulu ambek. Penghulu mempunyai tugas yang
berat dan peranan yang sangat menentukan dalam masyarakat adat. Oleh karena
itu, yang harus diangkat menjadi penghulu adalah orang yang mempunyai “bobot”
atas sifat-sifat tertentu. Hal inilah yang digambarkan oleh tari ulu ambek di
Padang Pariaman.
Pemain tari ulu ambek tidak pernah ada yang perempuan, bahkan
perempuan dilarang menjadi bagian dalam tari ulu ambek. Perempuan dilarang
memasuki laga-laga ketika berlangsung tari ulu ambek. Peran perempuan dalam
tari ulu ambek hanya berada di wilayah penyediaan konsumsi dan akomodasi
untuk tamu yang diundang dalam alek nagari tersebut.
Perlu dicatat di sini bahwa adat di Padang Pariaman secara mutlak
menetapkan bahwa penghulu hanya pria dan tidak boleh wanita. Di sini jelas dan
mutlak pula bahwa sistem kekerabatan matrilineal tidak dapat diartikan dengan
“wanita yang berkuasa”. Hal itu terjadi karena keempat unsur utama seorang
penghulu adalah sebagai pemimpin, pelindung, hakim, dan pengayom yang
merupakan unsur-unsur yang sangat dominan dalam menentukan “kekuasaan”
berada di tangan pria, yaitu di tangan penghulu yang justru mutlak seorang pria
itu.
Kekuasaan globalisasi mengarah pada semakin kaburnya batas-batas
teritorial, ekonomi, politik, budaya dan hal lainnya di antara suatu entitas nasional
130
dalam dunia internasional. Globalisasi biasanya diikuti oleh modernisasi sebagai
gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner, dari yang awalnya tradisi
menjadi modern. Selain itu, modernisasi juga berwatak kompleks, sistematik,
menjadi gerakan global yang akan memengaruhi semua manusia, melalui proses
yang bertahap untuk menuju ke homogenisasi dan bersifat progresif. Hal ini juga
memengaruhi kuasa penghulu yang selama ini menjadi pemilik tari ulu ambek,
seperti yang dituturkan oleh Sahrul dibawah ini:
“Globalisasi secara umum sangat mempengaruhi kehidupan berkesenian di
Pariaman dimana seni tradisi yang tidak hanya ulu ambek terpinggirkan
oleh teknologi komunikasi yang dibawa globalisasi tersebut. Seni tradisi
dirasakan oleh generasi sekarang sebagai sesuatu yang tidak lagi sesuai
dengan zaman” (wawancara, 4 Januari 2014)
Pendapat di atas mempertegas bahwa globalisasi dengan teknologinya yang
sangat canggih, berpengaruh terhadap kehidupan berkesenian masyarakat
Pariaman. Tari ulu ambek, salah satu bagian dari kebudayaan Pariaman, tidak
luput dari pengaruh globalisasi. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang
dengan cepat. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan
dalam memperoleh akses komunikasi dan berita. Namun, hal ini justru menjadi
bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial dalam
globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai
oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Sesuai dengan pendapat Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2004: 62)
bahwa situasi demikian menjadi tempat suatu blok historis faksi kelas berkuasa
menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui
kombinasi antara kekuatan dan konsensus. Dari sisi tersebut terlihat bahwa
131
globabalisasi menjadi dominasi dalam kuasa terhadap tari ulu ambek. Penghulu
sebagai pemilik tari ulu ambek hanya menjadi subordinat dan tidak lagi dominan.
Globalisasi yang semakin masuk ke tingkat yang paling lokal di Pariaman,
bahkan sudah dianggap sebagai hal yang penting untuk diikuti, sekarang kurang
mendapatkan saringan dan cenderung diterima secara utuh tanpa melihat akar
budaya dan asal usulnya, apakah sesuai atau tidak dengan akar budaya Pariaman.
Hal yang paling penting adalah kekuatan kekerabatan, toleransi, kesatuan adat,
religiusitas dan kebersamaan masyarakat Indonesia, khususnya pada basisnya di
nagari, akan mampu memberikan suatu saringan yang efektif terhadap arus
negatif dari globalisasi yang membawa budaya barat (Eropa) yang individualis,
sekuler, kapitalis, konsumeris, dan sedikit liberalis.
Untuk itu, perlu ada relasi kuasa antara penghulu (adat) dengan eksistensi
tari ulu ambek bisa dipertahankan dan bisa pula tidak ketinggalan zaman. Sinergi
keduanya dibutuhkan dalam rangka membangun efek positif dari kedua kekuasaan
yang saling memengaruhi. Simbol budaya yang hadir dalam tari ulu ambek akan
muncul seiring dengan munculnya simbol globalisasi.
5.2 Dinamika Tari Ulu Ambek
Perjalanan tari ulu ambek dari waktu ke waktu selalu mengalami
perubahan-perubahan, mulai dari sebelum masuknya agama Islam, zaman Islam
dan zaman globalisasi saat ini. Perubahan-perubahan tersebut menandakan bahwa
tari ulu ambek merupakan seni yang sangat dinamis. Tidak hanya ideologi agama
saja yang memengaruhi, namun juga ideologi politik mulai sejak zaman
132
penjajahan ataupun zaman kemerdekaan. Pada zaman kemerdekaan pun dinamika
juga ditandai oleh zaman Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.
Tari ulu ambek yang melekat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
Pariaman khususnya dan Minangkabau (Sumatera Barat) umumnya dapat dimak-
nai sebagai sistem nilai yang fungsinya mendorong dan membimbing masya-
rakatnya menjawab tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai
dan tradisi tersebut merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya.
Pada masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham egalitarian dan sistem
matrilineal yang hidup di dalam nagari-nagari. Tari ulu ambek pun tumbuh di
dalamnya seiring dengan berkembangnya nagari.
Dalam kultur Pariaman, tari ulu ambek itu biasanya disebut pemainan
milik penghulu yang dimainkan anak muda yang tumbuh dan berkembang dalam
tradisi budaya yang ditopang dengan apa yang dinamakan peristiwa budaya alek
nagari. Alek nagari, yang merupakan suatu bentuk perayaan atau pesta budaya,
dalam sejarah kebudayaan Pariaman memang memiliki peran dan fungsi yang
penting dalam memelihara dan mengembangkan berbagai simbol budaya yang ada
di setiap nagari secara otonom dan partisipatif. Dengan kata lain, alek nagari bisa
dianggap sebagai suatu institusi budaya yang penting dalam masyarakat Pariaman
karena bukan hanya sekadar wadah perayaan kesenian, tetapi juga sekaligus
merupakan media pengikat silaturahim antara anak nagari dan pemangku adat.
Dalam tulisan ini, dinamika tari ulu ambek akan dilihat dari sejarahnya
yang berkaitan dengan ideologi agama, mulai dari sebelum Islam, setelah Islam
dan kondisi saat ini. Sementara itu, yang berkaitan dengan ideologi politik secara
133
tidak langsung akan mengikuti ideologi agama dan kondisi saat ini.
5.2.1 Tari Ulu Ambek Sebelum Islam Masuk
Eksistensi tari ulu ambek di Pariaman sebelum masuknya agama Islam
belum ditemukan data tertulis yang bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu,
dalam menguraikan keberadaan tari ulu ambek sebelum Islam masuk didasarkan
pada hasil wawancara dengan orang tua yang mengenal tari ulu ambek. Dari hasil
wawancara didapatkan hasil bahwa tari ulu ambek sudah ada sebelum Islam
masuk, seperti diungkapkan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa di
bawah ini:
“Ulu ambek alah ado di piaman sajak saisuak, alun masuak agamo awak
kini kolai alah ado juo ulu ambek. Cuma bantuak e ndak mode kini ko doh.
Dulu batuae-batue batandiang santiang. Santiang lua dalam. Kalau kalah
tinggaan laga-laga. Mangkoe pangulu dan anak ulu ambek punyo ilimu
nan bisa mancalakoe lawan. Biasoe ilimu nan dipakai ilimu itam”(ulu
ambek sudah ada sejak dulu kala, belum masuk agama kita sekarang
(Islam) sudah ada ulu ambek. Cuma bentuknya agak beda dengan
sekarang. Kalau dulu betul-betul bertanding kehebatan. Baik kehebatan
secara lahir maupun batin. Kalau kalah tinggalkan arena permainan.
Makanya penghulu dan pemain ulu ambek itu punya ilmu yang bisa
mencelakai lawan bermain. Biasanya ilmu yang dipakai adalah ilmu
hitam) (Wawancara, 5 Januari 2014).
Pendapat di atas merupakan satu-satunya yang menyatakan bahwa tari ulu ambek
sudah ada sebelum masuknya Islam. Sementara itu, yang lain tidak mengetahui
kapan ada tari ulu ambek di Pariaman. Mereka hanya tahu keberadaan tari ulu
ambek ketika agama Islam sudah masuk. Namun, penelusuran terhadap sejarahnya
akan bisa membantu menguatkan keberadaan tari ulu ambek.
Berdasarkan teori ideologi kekuasaan Gramsci dan Althuser (dalam
Barker, 2009:58-59) yang berhubungan dengan reproduksi bangunan sosial dan
134
relasinya mereka terhadap kekuasaan maka perhubungan antara pedagang asing
dan penguasa tempatan di Padang Pariaman telah lama terjalin. Tanpa disadari
perhubungan pribadi menjadi cukup erat yang lama kelamaan menghasilkan
kedua belah pihak saling menyerap unsur kebudayaan dan kesenian di antara
mereka. Mereka ini datangnya dari India, Kalingga, Ceylon, Malabar dan
Benggali dan kebanyakan mereka beragama Hindu atau kedatangan orang-orang
Cina yang beragama Budha-Mahayana (Manggis, 1982:92).
Justeru itu, agama Hindu dan Budha dipercayai mula-mula berkembang
dan bercampur dengan kebudayaan di Pariaman selepas kepercayaan lama
animisme dan dinamisme. Percampuran itu terjadi terutama pada golongan
penguasa atau kepala suku, kepala adat, ketua batin atau penghulu kampung.
Perkembangan ini diasaskan bermula dari persekitaran candi-candi Muara Takus
(Schnitger, 1989:30), dan persekitaran daerah Portibi (candi disebelah utara
Minangkabau). Begitu pula perkembangan itu dapat dilihat di Pasumayam Batu
Patah (tempat ziarah di Gunung Bungsu Pagaruyung) dan beberapa Biaro-Biaro
atau Biara dan atau Vihara dilereng gunung Merapi sebagai pusat alam
Minangkabau. Sampai hari ini masih terdapat tiga nama negeri Biaro (Biara) yang
terdapat di sekitar gunung Merapi ialah negeri Biaro Pariangan, negeri Biaro
Sepuluh Koto, dan negeri Biaro di Baso. Ketiganya terdapat dalam wilayah
Minangkabau perdalaman. Akan tetapi, pada zaman pengaruh Hindu-Budha
tempat ini dikesankan sebagai daerah pengembangan kepercayaan Hindu-Budha
karena sebutan Biara atau Vihara tersebut. Kemudian, hal itu berkembang hingga
kepada rakyat jelata yang menghambakan diri mereka kepada penguasa-penguasa,
135
seperti dijelaskan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa di bawah ini:
“Pangulu alah ado katiko alun ado Isilam. Tapi apo agamo awak maso tu
yo ndak jaleh dek ambo doh. Mungkin agamo nenek moyang. Ndak lamo
pangulu ado, adolo ulu ambek, karano ulu ambek ko lah nan manyatuan
antaro suku jo suku lain, supayo jan bacakak”. (penghulu sudah ada
ketika belum masuk Islam. Tetapi apa agama kita masa itu, saya juga
kurang tahu. Mungkin agama nenek moyang. Tidak lama penghulu ada,
ada pula ulu ambek, karena ulu ambek inilah yang menyatukan antara suku
dengan suku lain, supaya tidak terjadi perkelahian antar suku)
(Wawancara, 5 Januari 2014).
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa keberadaan penghulu sudah ada sejak
zaman Hindu-Budha dan bahkan anisme dan dinamisme. Eksistensi penghulu
menyangkut eksistensi tari ulu ambek di Pariaman. Jadi, bisa diprediksi bahwa tari
ulu ambek sudah ada sejak adanya kepala suku (penghulu) di Pariaman, yaitu jauh
sebelum Islam masuk.
Berdasarkan teori ideologi Gramsci dan Althuser bahwa ideologi
menyediakan perilaku praktis tuntunan moral yang sepadan dengan agama yang
secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan
norma tindakan terkait (Gramsci, 1971:349). Penghulu menerapkan ideologi yang
disesuaikan dengan moral serta agama pada saat itu sehingga eksistensi tari ulu
ambek dan sekaligus penghulu itu sendiri tetap bertahan sampai sekarang.
Hal ini diperkuat lagi oleh Cristine Dobbin (1992:51-52) bahwa ketika
Minangkabau memasuki fokus sejarah, tampaknya pantai barat lebih disukai oleh
pedagang-pedagang India. Bukti arkeologis dan tradisi lisan menunjukkan bahwa
pada satu masa dalam abad ke 6, para pedagang India, yang dikenal sebagai
Chetti, menetap dekat Pariangan di lereng Gunung Merapi. Pada masa Indianisasi
Minangkabau, orang-orang India Selatan rupanya telah mendirikan pusat dagang
136
dan politik di Pariangan dan dipimpin oleh seorang yang bergelar Maharajadiraja.
Hingga sampai pertengahan abad-14 bahwa orang-orang India Selatan masih
hidup sebagai masyarakat tersendiri di Minangkabau. Banyak didapati kata-kata
Dravida dan Sanskerta masuk ke dalam bahasa Minangkabau dan berkembang
pula sistem raja-raja.
Rasjid Manggis (1982:56) melihat sejarah Minangkabau dan hubungannya
dengan bangsa India telah lama dimulai. Bermula pada awal abad masehi dan
orang-orang pendatang dari pesisir Malabar-India adalah dari pergunungan
Dekkan atau Malayam. Mereka sudah datang ke pusat Sumatera yang bertepatan
dengan garis khatulistiwa untuk mengukuhkan sebuah kebudayaan. Tiga belas
abad lamanya orang Hindu ini mendiami pulau Sumatera dan menyemaikan cita-
cita rohani dan penyebaran agama Hindu. Sementara itu, orang Malabar disebut
oleh orang Minangkabau sekarang sebagai orang Malabari. Mereka berdatangan
dari Tanah Basa (India daratan).
Begitu juga Tambo Minangkabau menyebutkan, bahwa dataran India
sebagai Tanah Basa. Pengaruh dan pencampuran aspek-aspek kebudayaan India
yang lain sangat dominan pula dijumpai dalam berbagai kebudayaan dan kesenian
Minangkabau. Misalnya melalui bahasa, upacara adat perkawinan, kelahiran dan
permainan anak negeri. Begitu juga dalam seni pertunjukan tari Salapan, tari
Dayang, ulu ambek dan tari Kain di pesisir barat Sumatera sedikit banyak
dikesankan mempunyai gaya dan ciri-ciri tarian India-Selatan. Pada masa yang
sama dikesan pula beberapa artifak budaya dan aktivitas-aktivitas ritual yang
bertaburan antara negeri Indragiri hingga Indrapura sebagai dua kawasan rantau
137
Minangkabau meliputi kerajaan Dharmasraya. Daerah Dharmasraya adalah
sebuah daerah Melayu Tua antara daerah Minangkabau dan daerah Sriwijaya.
Daerah ini berdekatan dengan hulu Sungai Batanghari dan secara adat
Minangkabau daerah Dharmasraya ini masuk ke dalam wilayah rantau
Minangkabau yang dipercayai oleh masyarakat tempatan dan mengamalkan adat
istiadat Minangkabau, seperti dikatakan oleh Zulkifli berikut:
“Tambo Minangkabau berisi tentang perjalanan sejarah. Cuma cara
penulisannya adalah bercerita seperti karya sastra. Jadi Tambo memuat
simbol-simbol atau pengandaian-pengandaian sehingga terkesan penuh
dengan imajinasi atau khayalan yang kadang-kadang tidak masuk akal”.
(Wawancara, 6 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa tambo Minangkabau berisi cerita tentang
sejarah orang Minangkabau yang ditulis seperti karya sastra. Memang secara
logika ada bagian-bagian yang tidak masuk akal. Akan tetapi, tambo ini
merupakan satu-satunya alat untuk menelusuri keberadaan manusia Minangkabau.
Menurut Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009: 60--62), ideologi
berkaitan dengan logonomic system yang merefleksikan kontradiksi dan konflik
dalam formasi sosial. Logonomic system berkaitan dengan ideological complexes
dari segi fungsi dan isi (content), terutama sekali dalam pengontrolan perilaku
(semiosis). Tambo merupakan alat untuk mengontrol perilaku masyarakat
Minangkabau.
5.2.2 Tari Ulu Ambek Sesudah Islam Masuk
Menurut Bakhtiar dkk (2005:7--33), Islam masuk ke Minangkabau
(termasuk Pariaman) diperkirakan sekitar abad ke-7. Meskipun demikian ada juga
138
pendapat lain, yaitu abad ke-13., Namun, para sejarawan sepakat menyatakan
bahwa penyebaran Islam melalui tiga jalur. Pertama, jalur dagang. Minangkabau,
selain terletak pada jalur yang strategis dalam hal perdagangan, juga merupakan
penghasil komoditi pertanian dan rempah-rempah terbesar di pulau Sumatera,
seperti lada dan pala. Potensi demikian mengundang minat para pedagang asing
untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di Minangkabau. Diantara
para pedagang asing tersebut, ada pedagang Islam yang juga menyebarkan Islam.
Kedua, penyiaran Islam tahap kedua ini berlangsung pada saat Pesisir
Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285--1522 M). Sebagai
umat yang telah terlebih dulu masuk Islam, pedagang Aceh juga berperan sebagai
mubaligh. Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di
daerah pesisir tempat mereka berdagang, terutama wilayah di bawah pengaruh
Aceh (Samudra Pasai). Salah satu faktor pendorong mereka adalah hadits
Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa “Sampaikanlah ajaranku meskipun
hanya satu ayat”. Sejak itu Islamisasi di Minangkabau dilakukan secara besar-
besaran dan terencana. Keadaan ini berlangsung pada abad ke-15.
Ketiga, Islam dari pesisir barat terus mendaki ke daerah Darek. Pada
periode ketiga ini kerajaan Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan Minangkabau
masih menganut agama Buddha. Namun demikian, sebagian besar masyarakatnya
telah menganut Islam, pengaruhnya begitu tampak di dalam kehidupan sehari-
hari. Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu memeluk Islam.
Sehubungan dengan itu, Islam baru masuk menembus Pagaruyung setelah
Anggawarman Mahadewa, sang raja, memeluk Islam. Setelah ia masuk Islam
139
namanya diganti dengan Sultan Alif. Begitu juga dengan keseniannya yang juga
mengalami perubahan, seperti dikatakan oleh Sahrul berkut:
“Islam masuk ke Minangkabau merubah sebagian tatanan masyarakat
termasuk kesenian. Kesenian yang tidak sesuai dengan agama Islam harus
menyingkir, dan kesenian yang bisa beradaptasi akan menyesuaikan
dirinya dengan ajaran agama Islam” (Wawancara, 4 Januari 2014).
Pendapat di atas menjelaskan bahwa masuknya Islam ke Pariaman melahirkan
bentuk-bentuk kesenian yang bernapaskan Islam. Gerakan kaum Paderi yang
terjadi tahun 1808--1837 merupakan gelombang pertama pembaharuan Islam di
Minangkabau secara umum. Periode akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20
terjadi pula gelombang pembaharuan yang dalam hal ini disebut dengan
gelombang kedua.
Berdasarkan teori ideologi Althuser dan Gramsci (Ratna, 2010:478) bahwa
hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan atas kelas bawah
dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Dengan demikian,
penguasaan terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat Pariaman didominasi
Islam termasuk kesenian.
Mansoer (dalam Sastra, 1999:62) menjelaskan bahwa pembaharuan tetap
mengarah pada pelaksanaan rabittah, yaitu membayangkan wajah khalifah untuk
menghadapkan wajah kepada Allah, suluk adalah istilah dalam pelaksanaan ajaran
tarekat, perombakan sistem surau, sistem pendidikan surau, pemurnian
pelaksanaan hukum Islam (fiqih), pemberantasan segala macam bid’ah yang
cenderung dekat dengan paham tarekat, seperti dikatakan oleh Khaidir berikut:
“Kutiko agamo Islam masuak ka nagari awak ko, mangko ulu ambek
manyasuaian pulo jo caro Islam. Contohe dulu kalau ba ulu ambek ado
ilmu itam nan dipakai untuak mangalahan lawan, saroman paganta,
140
jimaik nan dipakai, dan lain-lain. Tapi katiko Islam masuak ndak buliah
ilmu itam tu dipakai lai”. (ketika agama Islam masuk ke negeri ini, maka
ulu ambek melakukan penyesuaian dengan cara Islam. Contohnya, kalau
dulu bermain ulu ambek memakai ilmu hitam untuk mengalahkan lawan,
seperti ilmu menakut-nakuti orang, jimat yang dipakai dan lain-lain. Tapi
ketika Islam masuk tidak boleh lagi ada ilmu hitam tersebut). (Wawancara,
4 Janari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa tari ulu ambek memiliki sifat yang dinamis
dan bisa menyesuaikan dirinya dengan kondisi zaman. Perubahan disebabkan oleh
adanya kuasa yang lain yang harus diikuti. Sebelumnya ilmu hitam yang mereka
pakai akhirnya dibuang dan digantikan dengan ilmu yang tidak bertentangan
dengan Islam.
Berdasarkan ideologi dan hegemoni Gramsci dan Althuser (dalam Barker
2009:59--61) bahwa pandangan ideologi sebagai dialektika dicirikan oleh
kekuasaan yang dominan. Perubahan tari ulu ambek dari sebelum Islam ke masa
Islam awalnya mendapat pertentangan antarkekuasaan karena sebagian mereka
menganggap bahwa inti dari tari ulu ambek adalah permainan ilmu ghaib yang
termasuk ilmu hitam. Namun, kalau tetap dipertahankan dengan cara lama maka
tradisi ini akan punah karena Islam telah menjadi mayoritas di Pariaman.
Hal tersebut menandakan bahwa tari ulu ambek bisa beradaptasi dengan
kondisi apa pun yang dibuat oleh pembaharu kebudayaan. Prioritas kaum
pembaharu ialah merombak tari ulu ambek yang lama yang telah banyak
dicampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.
Khusus pada gelombang kedua, pertentangan agama lebih banyak terjadi antara
kaum tua dan kaum muda yang sedang bersemangat (sesama Islam). Kaum tua
didominasi oleh kaum sufi yang beraliran tarekat, seperti naqsyabandiyah,
141
sattariyah, samaniah, dan rifa’yah. Kaum muda diwakili oleh ulama-ulama
intelektual yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan modern. Perhatikan apa yang
dikatakan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa di bawah ini.
“Barubah tu kan biaso di nagari awak. Kecek pepatah sakali aia gadang
sakali pulo tapian barubah. Katiko Islam masuak barubah pulo kesenian
awak. Islam kan ndak malarang urang bakasenian, tapi tantu haruih
sasuai jo agamo Isilam, karano ado kasanian nan barisi sirik, maka itu
haruih diapuih”. (berubah bagi masyarakat negeri kita sudah biasa. Kata
pepatah satu kali air besar datang satu kali pula tepian berubah. Ketika
Islam masuk maka berubah pula kesenian kita. Islam kan tidak melarang
orang berkesenian, tetapi tentu harus sesuai dengan agama Islam, karena
ada kesenian yang berisi sirik, maka itu harus dihapuskan). (Wawancara, 5
Januari 2014).
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa dalam masyarakat Pariaman selalu ada
keyakinan yang kontradiktif terhadap warisan budaya dan perubahan yang terjadi,
di dalamnya. Perubahan akan selalu terjadi seperti kata pepatah bahwa sakali aie
gadang, sakali tapian barubah (satu kali air besar datang, satu kali tepian
berubah). Artinya masyarakat Pariaman menyadari adanya sesuatu yang harus
mereka terima dengan perkembangan keadaan dan perubahan zaman. Akan tetapi,
pada pihak lain, masyarakat Pariaman juga mempunyai keinginan untuk
mempertahankan keadaan budaya untuk pelestariannya. Kontradiksi tersebut
menjadikan nilai-nilai baru akan terus muncul sesuai dengan tuntutan zaman.
Berdasarkan teori hegemoni Althuser dan Gramsci (Ratna, 2010:478)
bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat material, tetapi juga
bersifat budaya. Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan
dan pelestarian kepatuhan dari kelompok yang didominasi oleh kelas elite
penguasa melalui pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral, dan politik.
Pemanfaatkan Islam terhadap tari ulu ambek ialah dengan menyesuaikannya
142
dengan ajaran Islam.
Kesenian Islam merupakan kesenian yang memiliki dialektika antara
kekuatan adat dan kekuatan agama. Meskipun demikian kadang-kadang dialektika
itu memunculkan konflik sosial seperti yang terjadi antara kaum adat dan kaum
Paderi pada zaman perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Akan tetapi, antara yang
mempertahankan dan yang ingin melakukan pembaharuan terus menerus terjadi
tarik menarik dan saling memengaruhi.
Tari ulu ambek yang ada dewasa ini merupakan perkembangan dari
warisan budaya masa lampau yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Berbagai perubahan sudah tentu akan terjadi. Hal ini menunjukkan
bahwa tari ulu ambek mengalami dinamika yang hebat, melalui masa-masa dan
budaya yang dilaluinya. Semenjak pasca kemerdekaan Indonesia, berbagai sendi
kehidupan sosial budaya masyarakat Pariaman mengalami perkembangan menuju
ke suatu kehidupan yang lebih maju, terutama terjadinya transformasi pendidikan
tradisional menuju pendidikan modern, seperti berdirinya sekolah-sekolah
moderen pengaruh Barat. Kehadiran sistem pendidikan modern itu ikut
memengaruhi sistem pendidikan Islam tradisional termasuk memengaruhi tari ulu
ambek.
Hal tersebut merupakan dinamika perubahan dan perkembangan
kebudayaan Pariaman. Begitu juga dengan tari ulu ambek dan kesenian bernuansa
Islam yang lain yang sudah cukup lama menjadi identitas masyarakat Pariaman.
Secara tradisional, kesenian Islam merupakan suatu aktivitas dalam lingkungan
masyarakat komunal, yang menjadi bagian yang integral dari sistem sosial
143
masyarakat Pariaman khususnya dan Minangkabau umumnya.
Perubahan tari ulu ambek dari pengaruh Hindu-Budha ke Islam
menunjukkan bahwa tari ulu ambek bukanlah kesenian yang kaku, melainkan
kesenian yang hidup senapas dengan tradisi-tradisinya yang luas. Di dalamnya
terdapat unsur-unsur konservatif yang kuat dan bertahan, dan unsur-
unsur progresif yang dapat mengembangkan diri sebagai cerminan alam yang
selalu berubah mengikuti perubahan masa.
Penerimaan unsur-unsur baru selalu berpedoman pada nan elok dipakai,
nan buruak dibuang (yang baik dipakai yang buruk di buang). Hal ini sesuai
dengan konsep perubahan menurut adat Pariaman yang berbunyi usang-usang
diperbaharui, lapuk-lapuk dikajangi, nan elok dipakai nan buruak dibuang, ko
singkek diuleh, panjang mintak dikarek nan, umpang minta disisik (usang-usang
diperbaharui, lapuk-lapuk diperbaiki, yang baik dipakai, yang buruk dibuang, jika
pendek disambung, panjang minta dipotong, jika kurang minta disisik (ditambal).
5.2.3 Tari Ulu Ambek Dewasa Ini
Dalam konteks kesenian tradisional di Pariaman termasuk salah satunya
tari ulu ambek, saat ini tentu dihadapkan dengan tantangan yang demikian besar.
Tari ulu ambek yang berada dalam pusaran pengaruh budaya global memang
dianggap menjadi sebuah persoalan. Tak dapat ditutupi, berkembang pula
berbagai bentuk ketidakcocokan, ketidaksetaraan atau ketidakharmonisan di
dalam pola-pola interaksinya dengan pelaku dan publiknya, yang saat bersamaan
di dalamnya terdapat ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan budaya-
144
budaya lokal.
Budaya global menjadi sebuah persoalan politis ketika budaya-budaya
lokal terserap ke dalam budaya dominan, yang bersifat impersonal, yang
dikendalikan dan diatur oleh elit-elit profesional, yang mempunyai kekuatan
hegemoni dalam pengambilan keputusan dan menentukan nasib dan masa depan
budaya-budaya lokal (Yasraf: 2003:17). Namun, sejak Pemerintah Pariaman
menetapkan nagari sebagai ujung pemerintahan yang terendah menggantikan desa
pada awal tahun 2000-an, eforia yang cenderung romantis akan kebesaran masa
lalu, kian terasa dan mengemuka. Pada zaman Orde Baru kegiatan tari ulu ambek
seni tradisional di Minangkabau terpinggirkan karena seni ini tidak bisa
membantu program Orde Baru yang menggunakan seni sebagai corong
pemerintah. Perhatikan apa yang dikatakan oleh Khaidir di bawah ini.
“Dulu, samaso zaman orde baru, ulu ambek ndak jalan amek doh. Indak
ado paratian pamarintah doh, nan laku wakatu tu kesenian nan
mangecek-ngecek, karano bisa manyampaian pasan pamarintah. Kalau
ulu ambek ndak bisa bantuak seni nan lain doh, inyo haruih sasuai jo
pangulu dan caronyo ndak bisa dikaik-kaikan jo nan lain doh”. (dahulu,
ketika zaman orde baru, ulu ambek dapat dikatakan tidak eksis. Tidak ada
perhatian pemerintah, karena yang laku pada saat itu adalah kesenian yang
berdialog atau berkata-kata, karena bisa menyampaikan pesan pemerintah.
Kalau ulu ambek tidak bisa seperti itu, ia harus disesuaikan dengan
keinginan penghulu dan tidak bisa dikait-kaitkan dengan yang lain)
(Wawancara, 4 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pemerintah pada zaman Orde Baru tidak
memperhatikan perkembangan budaya pada masing-masing etnis di Indonesia.
Tidak hanya di Pariaman, namun juga di daerah lain. Penyeragaman konsep
kebudayaan membuat spesifikasi etnis menjadi hilang. Sementara itu, tari ulu
ambek tidak bisa dibuat menjadi corong kekuasaan Orde Baru karena ia adalah
145
corong adat yang diwakili penghulu.
Berdasarkan teori ideologi dan hegemoni Altuser dan Gramsci (dalam
Barker, 2009:58--59) bahwa ideologi sebagai kesalahan dalam memahami kondisi
nyata eksistensi adalah sesuatu yang palsu. Kuasa yang ada di tangan masa Orde
Baru menjadikan tari ulu ambek seakan akan hilang ditelan zaman atau
dipalsukan. Kendati sudah tersedianya fasilitas dan ruang ekspresi bagi
masyarakat saat itu, namun sistem pemerintahan yang diikuti dengan kemajuan
pesat teknologi informasi, mendesakkan ruang ekspresi (seni) anak nagari kian
tersingkir. Laga-laga nagari ditinggalkan, alek nagari hanya representasi
seremonial belaka, dan peminat tari ulu ambek, menurun, untuk tidak mengatakan
tak ada sama sekali. Kondisi ini, bagi sebagian pihak memang mengkhawatirkan,
seperti dikatakan oleh Sahrul di bawah ini.
“Kesenian secara umum di Minangkabau tidak kaku dan bisa menerima
pembaharuan-pembaharuan sejauh pembaharuan tersebut tidak
menghilangkan esensi dari kesenian tersebut. Salah satu esensi tersebut
adalah kesenian merupakan permainan anak nagari. Jadi konsep permainan
selalu dipakai sampai sekarang” (Wawancara, 4 Janari 2014).
Pernyataan di atas menerangkan bahwa sebetulnya perubahan bisa disikapi
dengan bijaksana dan tidak menghilangkan konsep berkesenian masyarakat.
Namun, pada saat Orde Baru, konsep ini seperti dihilangkan sehingga kesenian
menjadi terasing, jauh dari masyarakat.
Hal tersebut berkaitan dengan teori hegemoni Althuser dan Gramsci
(dalam Rudiyansjah, 2009:22) bahwa kekuasaan memiliki dampak yang sangat
pesat terhadap masyarakat. Saat Orde Baru berkuasa, laga-laga tempat bermain
ulu ambek, hampir setiap nagari sudah sepi ditinggal pergi anak nagari. Surau-
146
surau sudah roboh dan lenyap. Seiring dengan itu, tari ulu ambek milik nagari
juga berangsur menyusut dan menemui kepunahannya. Agar hal itu tak terjadi,
perlu upaya reposisi dan revitalisasi kultural terhadap tari ulu ambek itu pasca
rezim otoriter (rezim penyeragaman), yang di dalamnya diperjuangkan sifat-sifat
kebebasan, otonomi, pluralitas, dan penentuan diri sendiri, tentu saja harus
dilakukan secara sistematis.
Tentu saja dengan mengembalikan nagari-nagari dalam tatanan kultural
Pariaman akan membawa harapan besar untuk berkembang dan hidupnya tari ulu
ambek. Harapan itu saat ini bisa dilihat dari adanya keinginan masyarakat
Pariaman untuk kembali menggeluti tari ulu ambek. Namun, generasi muda yang
diharapkan akan menjadi ujung tombak akan kesulitan melawan kekuatan yang
berada di luar dirinya, yang menggorotinya terus-menerus. Untuk itu, perlu ada
adaptasi baru dalam meneruskan tradisi tari ulu ambek. Kalau sebelumnya adalah
adaptasi dengan agama Islam maka sekarang adalah adaptasi dengan globalisasi.
Seperti disarankan oleh Yasraf (2003:19), berbagai bentuk pergaulan
global tampaknya merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap budaya lokal jika
tidak mau terlindas oleh arus globalisasi itu sendiri. Budaya-budaya lokal yang
cukup kuat akan memanfaatkan peluang dari globalisasi. Akan tetapi, budaya-
budaya yang tidak cukup tangguh cenderung untuk diserap, ditransformasikan
atau bahkan dihancurkannya. Dunia tari ulu ambek barangkali sudah terstruktur
dalam sistem budaya masyarakatnya semenjak dulu sampai hari ini telah dengan
sendirinya menyatu dalam nagari-nagari yang ada di Pariaman. Pola penyatuan
ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu
147
sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat.
Sesungguhnya kehancuran tari ulu ambek itu tak lepas dari pola dan
kebijakan yang dilakukan negara terhadap kehidupan seni itu sendiri. Intervensi
dan strategi pembinaan yang represif pada masa Orde Baru memberi kontribusi
dan percepatan babak belurnya tari ulu ambek itu. Tari ulu ambek telah dijejali
dan dibebani dengan muatan politik untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Sentralisasi budaya yang otoriter yang dijalankan Orde Baru selama 32 tahun
merupakan salah satu penyebab terputusnya komunikasi antarbudaya yang
terbuka selama ini. Pada masa Orde Baru, komunikasi budaya cenderung
diintruksikan dari atas sehingga berbagai potensi kultural masyarakat tidak
mendapat tempat secara baik. Hal ini dikatakan oleh Hajizar sebagai berikut.
“Pada masa orde baru seharusnya pemerintah tidak memperlakukan
kesenian dengan sewenang-wenang, karena kesenian terutama di
Minangkabau bersifat dinamis karena tidak berhubungan langsung dengan
kepercayaan atau agama. Kesenian di Minangkabau bisa saja berubah tapi
jangan dipolitisasi hanya untuk kepentingan kekuasaan”. (Wawancara, 4
Januari 2014).
Pernyataan di atas menegaskan bahwa tari ulu ambek yang merupakan salah satu
kesenian di Minangkabau tidak bersifat statis, namun cenderung dinamis, selalu
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tari ulu ambek memang mengalami
proses adaptasi yang cukup kreatif. Posisi tari ulu ambek mengalami modernisasi
secara perlahan. Menjaga tari ulu ambek memang membutuhkan kesadaran pada
arus perubahan yang terjadi, dan hal itu memiliki dampak humanisme yang
mendasar. Walaupun demikian, pilihan agar tari ulu ambek tak lenyap dari muka
bumi, tentu bukan semata-mata tanggung jawab yang harus dibebankan ke pundak
pemerintah.
148
Menurut teori hegemoni Althuser dan Gramsci (dalam Ratna, 2010:478),
memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan dalam hal ini bukan atas dasar
paksaan, melainkan kesepakatan. Seharusnya Orde Baru tidak memaksakan
kehendak dalam mendominasi kesenian daerah di Indonesia.
5.3 Elemen Tari Ulu ambek
Berbicara tentang elemen tari maka pembicaraan diarahkan pada teknik
gerak yang terdapat dalam tari. Teknik gerak setiap seni di dunia berbeda-beda
sesuai dengan nilai yang dibawa kebudayaan tersebut. Elemen tari ulu ambek
terdiri atas gerak, penari, busana, dan musik vokal (dampeang). Keempat elemen
itu menyatu dan saling berkaitan untuk melahirkan tari ulu ambek.
5.3.1 Gerak Tari Ulu ambek
Gerak tari ulu ambek adalah gerak silat yang tidak saling bersentuhan (silat
bayangan). Silat merupakan seni bela diri tertua di Minangkabau termasuk juga
pengembangannya di Pariaman. Setiap wilayah di Minangkabau memiliki gerak
silat tersendiri yang masing-masing memiliki perbedaan-perbedaan yang
mendasar. Silat Kumango berbeda dengan silat Padangpanjang, begitu juga
dengan silat tari ulu ambek yang ada di Padang Pariaman juga memiliki perbedaan
dengan silat-silat yang lain, seperti dikatakan oleh Bainur di bawah ini.
“Silat tari ulu ambek ini merupakan kesenian bela diri yang menganut
ajaran agama Islam dengan aliran syatariah. Silat ini dipakai di beberapa
daerah di Padang Pariaman, seperti di Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung,
Kecamatan Patamuan, Kecamatan VII Koto, Kecamatan Nan Sabaris, dan
Kecamatan Sungai Geringging. Ciri khas silat ini adalah menciptakan
gerak yang bersumber dari alam yang disesuaikan dengan pepatah alam
149
takambang jadi guru” (Wawancara, September 2011 ).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa silat sebagai inti dari tari ulu ambek
merupakan seni bela diri yang bersumber dari alam. Alam merupakan guru yang
mengajarkan manusia bagaimana bisa bertahan hidup dan menguasai satu sama
lain. Kekuasaan terletak dari bagaimana pesilat mampu menjadi yang terbaik di
antara pesilat-pesilat lainnya.
Berdasarkan ideologi yang dicetuskan oleh Gramsci dan Althuser (dalam
Barker, 2009:58-59) bahwa ideologi memiliki fungsi umum untuk membangun
subjek dan ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu. Masyarakat
Pariaman sangat menghormati alam yang di dalamnya memuat manusia, binatang
dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan kenyataan yang sebenarnya bukan sebuah
kepalsuan. Memberlakukan alam dengan baik akan membawa berkah bagi
kehidupan umat manusia. Hubungan manusia dengan manusia, hubungan
binatang dengan manusia serta hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan
sangatlah erat dan mereka saling membutuhkan satu sama lainnya.
Proses pertunjukan tari ulu ambek mirip dengan silat yaitu berkaitan
dengan hubungan silaturahmi. Hal ini bisa dilihat dari prosesi ulu ambek dari awal
sampai akhir. Pertama, kedua pemain tari ulu ambek memberikan salam kepada
semua orang yang berada di samping laga-laga untuk meminta restu dan teguran
kalau ia melakukan kesalahan. Kedua, pemain tari ulu ambek memberikan salam
kepada ninik mamak yang ada di atas laga-laga. Ketiga, pemain tari ulu ambek
memberikan salam pada janang. Keempat, kedua pemain tari ulu ambek berdiri di
tengah arena untuk memberikan salam ke empat arah mata angin sebagai bentuk
150
maaf ke khalayak. Kelima, kedua penari tari ulu ambek memberikan salam kepada
lawan mainnya atau meminta maaf sesama mereka. Setelah kelima prosesi ini
dilakukan maka baru mereka bermain tari ulu ambek. Pada akhir tari ulu ambek
proses salam juga dilakukan kepada lawan main dan penghormatan pemain tamu
kepada janang yang memegang carano.
Secara umum, dalam silat tradisi antara kudo-kudo dan pitunggua sangat
berbeda. Silat tidak mengenal kudo-kudo, yang lebih dikenal adalah pitunggua.
Pitunggua memperlihatkan posisi kaki tidak kuat, namun mudah salah satu kaki
dilangkahkan. Dalam istilah Minang hal itu disebut guyah-guyah garaman.
Artinya dikatakan kuat tidak, dikatakan longgar (layah) juga bukan. Sementara
itu, kudo-kudo merupakan posisi berdiri karena kaki sangat kokoh, tak bergerak
sedikit pun.
Pesilat disebut juga dengan pandeka (pendekar) yang secara etimologis
bermakna pandai aka (pandai akal). Artinya ia harus cerdas, cerdik dan mampu
mengatasi masalah serta mencari solusi dalam keadaan apa pun. Dari kata
pendekar inilah maka seorang pesilat harus tahu dengan garak garik, raso pareso,
mailak, gelek, pandang, kutiko. Garak artinya bergerak atau mengelak volume
besar. Garik artinya bergerak atau mengelak dengan volume kecil. Lantak dalam
gerak seperti mengelak dengan gelek. Mailak artinya menghindari serangan
dengan melangkahkan salah satu kaki, sedangkan gelek adalah menghindari
serangan lawan dengan mengubah arah hadap saja. Fenomena tersebut dikatakan
oleh Zulkifli sebagai berikut:
“Silat merupakan dasar dari tari ulu ambek. Hanya saja perbedaanya
adalah silat saling bersentuhan, sementara ulu ambek tidak bersentuhan.
151
Maka penamaan gerak dalam ulu ambek berbeda dengan penamaan gerak
di silat. Walaupun masih ada kata menyerang dan bertahan namun bukan
berarti harus bersentuhan, namun menyerang dan bertahan dengan rasa”
(Wawancara, September 2011).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam tari ulu ambek ada dua gerak inti,
yaitu gerak menyerang (ulu) dan gerak bertahan (ambek). Kedua gerak ini
memiliki makna memakan atau dimakan. Begitu juga dengan sifatnya, tari ulu
ambek memiliki empat sifat, yaitu garak, garik, raso, dan pareso. Tidak ada
istilah langkah mati dalam tari ulu ambek dan mata pesilat tidak pernah menatap
mata lawan secara langsung. Hal ini bermakna bahwa ia menyembunyikan
kekuatan masing-masing.
Berdasarkan teori Althuser dan Gramsci bahwa hegemoni dapat
memengaruhi atau berdampak terhadap kehidupan pihak yang terhegemoni
(Sukeni, 2010:17). Silat menjadi kekuatan yang menguasai tari ulu ambek.
Kekuatan silat terletak pada pitunggua (kuda-kuda) yang sangat kokoh sehingga
kekokohannya menjadikan seorang penari terlihat sangat percaya diri dengan apa
yang dilakukannya. Mata penari menatap pada arah tertentu dengan tajam dan
sangat waspada. Kewaspadaan memperlihatkan sikap kehati-hatian yang tinggi
terhadap sesuatu yang akan menimpa mereka. Sikap kokoh dan percaya diri ini
bisa disebut sebagai tageh dalam kebudayaan Pariaman. Tageh menjadi filosofi
estetis tari ulu ambek Pariaman yang memiliki kaitan dengan gerak tari ulu ambek
dan perilaku masyarakatnya, seperti dikatakan oleh Zulkiflidi bawah ini.
“Ada empat dasar gerak inti yang ada dalam tari ulu ambek dengan posisi
pemain menyerang (ulu), dan posisi pemain menghambat (ambek) yaitu:
gerak batuang menyerang, gerak guntiang menyerang, gerak kaluang
menyerang, gerak simpua menyerang dan gerak batuang ambek, gerak
guntiang ambek, gerak kaluang ambek, gerak simpua ambek. Gerak inti ini
152
dari dulu sampai sekarang tidak ada berubah, yang berubah hanya gerak
penghubung” (Wawancara, September 2011).
Pernyataan di atas memberikan gambaran bahwa dalam tari ulu ambek terdapat
jenis-jenis gerak, baik dalam posisi menyerang maupun bertahan. Gerak-gerak ini
dari dulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang berarti, hanya pada
gerak penghubung saja ada dinamika sehingga tari ulu ambek tetap berada dalam
keaslian gerak.
Berdasarkan ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Thwaites, 2009:256-
257) bahwa pemecahan ideologis atau konflik dan kontradiksi sosial yang
dilakukan dalam narasi didapati proses fabulasi. Fabulasi menceritakan kisah
tentang bagaimana konflik itu muncul, dan bagaimana konflik dipecahkan;
fabulasi menceritakan kisah tentang kebaikan suatu masyarakat. Gerak-gerak yang
dipakai tari ulu ambek selalu mengarah pada bertahan dan menyerang yang
mengarah pada konflik menuju kebaikan masyarakat. Pemain bertahan memberi
kesempatan pada lawannya untuk menyerang. Mempersilakan lawan menyerang
memiliki nilai bahwa ia telah siap memberikan tangkisan.
Dalam ulu ambek gerak pertama adalah gerak batuang menyerang, karena
posisi tangan kanan diacungkan ke atas, sementara kaki kanan melangkah ke
depan dan tangan kiri ditekuk di atas perut, seperti gambar 5.2. Tageh dalam
gerak di atas terlihat pada tatapan mata penari yang sangat tajam. Ketajaman ini
jelas mengindikasikan kekuatan yang dahsyat dalam dirinya. Tangan yang
diacungkan ke atas seakan-akan menambah bahwa ia betul-betul siap untuk
menyerang lawan mainnya. Sementara itu, tangan yang diletakkan di depan dada
memperlihatkan bahwa ia menyembunyikan kekuatan yang besar.
153
Gambar 5.2
Gerak Batuang Menyerang yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Tatapan mata penari ulu ambek tidak pernah langsung pada lawan. Ia
hanya melihat lawan dari sudut mata saja. Hal ini berdasarkan ideologi Gramsci
dan Althuser memberikan makna bahwa mereka mengindari diri dari kontak
langsung, karena permainan ulu ambek juga menyertakan unsur batin. Sementara
itu, mata amat mudah dimasuki pengaruh gaib.
Kedua, gerak guntiang menyerang, yaitu gerak dengan posisi tangan
kanan lurus di atas perut, tangan kiri lurus ke atas, sementara kaki kanan
melangkah ke depan. Posisi gerakan ini memperlihatkan ruang terbuka pada
tubuh, seolah-olah mempersilakan lawan untuk menyerang. Akan tetapi, lawan
tidak mungkin menyerang karena ia dalam posisi ambek. Lawan akan tergunting,
baik oleh tangan maupun kaki jika lawan masuk pada ruang terbuka tersebut. Hal
154
Gambar 5.3
Gerak Guntiang Menyerang, yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Ini menandakan bahwa ruang terbuka bukan bearti siap, namun menjadi suatu
jebakan terhadap lawan, seperti yang terlihat pada gambar 5.3.
Ketiga, gerak kaluang menyerang, yaitu gerak dengan posisi kedua tangan
berada di atas kepala seperti melihat matahari. Gerak ini diiringi dengan posisi
kaki kanan dilangkahkan ke depan (lihat gambar 5.4).
Memang estetika tageh menjadi landasan filosofis Pariaman yang
tergambar dalam seluruh gerak tari ulu ambek. Semua gerak ulu (menyerang)
memperlihatkan sikap yang sangat tegas dan kokoh. Biasanya hal ini didapatkan
ketika latihan yang cukup lama. Gerak yang menyatukan antara rasa dan kekuatan
terlihat sangat indah dalam visualisasinya. Hentakan kaki menambah aura tageh
menjadi lebih sempurna.
155
Gambar 5.4
Gerak Kaluang Menyerang, yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Keempat, gerak simpua menyerang, yaitu gerak di mana posisi tangan
kanan di bawah dengan telapak tangan menghadap ke atas (lihat gambar 5.5).
Tangan kiri berada di atas kepala dan kaki kanan ditekukkan ke atas. Hal ini
dilakukan sambil melangkah. Sementera itu, kepala ditengadahkan yang
mengisyaratkan bagaimana ia menyerang, tetapi tidak melihat lawan.
Kondisi tersebut bisa juga diartikan bahwa dalam bermain tari ulu ambek
manusia senantiasa berada dalam posisi yang tidak bertatapan langsung atau
hanya bermain bayangan. Hal ini merupakan filosofi tageh yang diinginkan dalam
tari ulu ambek. Tageh menjadi spirit yang senantiasa menaungi pemain yang
menyatukan rasa dengan sikap. Hal ini biasanya juga akan berakibat pada perilaku
keseharian pemain tersebut.
156
Gambar 5.5
Gerak Simpua Menyerang, yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Gerak yang dilakukan oleh pemain yang berposisi sebagai penangkis
(ambek) juga memiliki empat gerakan, yaitu sebagai berikut. Pertama, gerak
batuang ambek, yaitu gerak dengan posisinya hampir sama dengan gerak kaluang
menyerang. Artinya, kedua tanga berada di atas dan kaki kanan dilangkahkan ke
depan.
Gerak dalam posisi menangkis (ambek) juga memperlihatkan bahwa ia
mempunyai estetika tageh. Sikap yang diperlihatkan merupakan sikap untuk
menangkis atau gelek (mengelak). Hal ini terbayang juga dalam tatapan mata
penari yang lebih waspada dari pada penari menyerang (ulu) karena ia berada
dalam posisi bertahan (lihat gambar 5.6).
157
Gambar 5.6
Gerak batuang ambek, diperagakan Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Gambar 5.7
Gerak Guntiang Ambek, yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Kedua, gerak guntiang ambek dengan posisi tangan kiri menyilang di
158
depan dada dan tangan kanan seperti menahan serangan, sementara kaki kanan
dilangkahkan ke depan (lihat gambar 5.7). Posisi tersebut mengindikasikan bahwa
lawan sulit memilih mana yang harus diserang karena sikap itu melindungi
seluruh tubuh vital penari bertahan. Kalau serangan ke kepala, akan ditangkis oleh
tangan kiri, sedangkan serangan menuju ke selangkangan akan ditangkis oleh
tangan kanan. Sementara itu, posisi kaki adalah posisi tubuh yang sulit jatuh. Hal
ini menggambarkan bagaimana kesiapan seorang penari penangkis.
Ketiga, gerak kaluang ambek, yaitu gerak dengan posisi tangan sama
dengan gerak batuang menyerang (lihat gambar 5.8). Tangan kanan diangkat ke
atas,
Gambar 5.8
Gerak Kaluang Ambek , yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
159
sementara tangan kiri ditekuk berada di atas dada, dan kaki kanan berada di
depan. Kepala ditengadahkan. Posisi ini adalah cara untuk menangkis kalau lawan
menginginkan pinggangnya sehingga tangan kirinya siap menangkis lawan.
Memang dalam mempelajari tari ulu ambek, posisi penangkis merupakan
posisi yang sangat sulit dipelajari karena ia harus mengantisipasi lawan. Gerak
yang dilakukan penari menyerang merupakan rujukan untuk penari penangkis
bergerak. Jadi hal itu, bergantung bagaimana penyerang bergerak baru penangkis
mengantisipasi.
Keempat, gerak simpua ambek, yaitu gerak dengan posisi tangan kanan di
bawah dengan telapak tangan seperti menahan (telapak tangan menghadap ke
Gambar 5.9
Gerak Simpua Ambek, yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
bawah). Tangan kiri disilangkan di depan muka (lihat gambar 5.9). Tangan kanan
160
ini difungsikan sebagai penangkis tangan kanan lawan yang siap mengambil
bagian bawah tubuhnya. Tubuh bagian bawah akan terlindungi sementara tangan
kiri bersiap-siap untuk menangkis serangan lain yang diarahkan ke atas tubuh. Hal
ini betul-betul merupakan sikap tageh yang luar biasa karena penangkis seperti
menutup seluruh tubuhnya dengan sikap yang sedikit menantang.
Gerak dengan posisi tidak menyerang dan menangkis maka kedua pemain
melakukan gerak yang sama, yaitu gerak catua langkah (lihat gambar 5.10) dan
Gambar 5.10
Gerak Catua Langkah, yang di Peragakan oleh Emri
(Dokumen: Yulinis, 2011)
gerak menghentak. Gerak catua langkah, yaitu gerak dengan posisi tangan kiri di
depan dada dan tangan kanan diluruskan ke bawah, sementara kaki kanan ke
depan. Hal ini dilakukan secara bergantian, dengan kaki kiri yang ke depan maka
161
tangan kanan di depan dada dan tangan kiri ke bawah. Gerak ini seperti mencari
posisi untuk menyerang bagi pihak yang berposisi sebagai penyerang dan mencari
posisi yang pas pula bagi penari yang bertindak sebagai penari bertahan. Biasanya
posisi penyerang lebih agresif mencari posisi untuk membuka peluang
menyerang.
Gerak menghentak (lihat gambar 5.11), yaitu gerak dengan kaki kanan
setiap pemain menghentak ke lantai laga-laga. Gerak ini seperti gerak kejut, yaitu
gerak memberikan peringatan kepada lawan. Gerak ini juga berfungsi sebagai
musik di samping dampeang. Hentakan kaki pemain menimbulkan bunyi yang
keras karena lantai laga-laga terbuat dari anyaman bambu yang ditata dengan
rapi. Akibatnya, penonton bisa mendengar dengan jelas bunyi yang menimbulkan
sensasi ini. Begitu juga dengan langkah pemain yang berirama ketika dia
melangkah di atas bambu.
Gambar 5.11
Gerak Hentak Kaki
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Di samping gerak-gerak di atas, ada juga gerak tambahan, yaitu gerak
162
sambah (lihat gambar 5.12), gerak membelakangi lawan (lihat gambar 5.13),
dan gerak bertukar tempat (lihat gambar 5.14).
Gambar 5.12
Gerak Sambah
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Gambar 5.13
Gerak Membelakangi Lawan
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Gerak sambah, yaitu gerak awal permainan yang dimulai dengan setiap pemain
melakukan persembahan kepada penonton. Gerak sambah ini juga dilakukan oleh
163
penari untuk menghormati sesama mereka. Gerak membelakangi lawan adalah
gerak memutar dan pemain yang mengisyaratkan jangan menyerang.
Gambar 5.14
Gerak Bertukar Tempat
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Gerak bertukar tempat adalah gerak dengan posisi setiap pemain
dipertukarkan. Pemain menyerang akan menjadi pemain menangkis, begitu juga
sebaliknya. Sikap atau gerak yang diperlihatkan dalam membelakangi lawan tidak
berarti bahwa pemain tersebut menyerahkan diri untuk diserang, tetapi
memperlihatkan apakah lawan cukup sportif. Sikap-sikap tageh yang
diperlihatkan kedua pemain akan terlihat bilamana yang memainkan tari ulu
ambek adalah pemain yang betul-betul telah paham dengan esensi tari ulu ambek.
Dalam tari ulu ambek, seorang pemain harus memiliki rasa, basa basi. Ia
memakai pakaian hitam yang identik dengan pakaian kaum adat. Makna warna
hitam itu adalah lambang seorang pesilat harus dapat memainkan timbang rasa,
basa basi. Jangankan membunuh, mencederai lawan saja mereka tidak mau.
Warna hitam juga merupakan warna yang melambangkan esensi tageh karena
hitam menuju pada pemaknaan kepekatan sesuatu. Warna hitam adalah warna
164
pekat atau warna yang sulit untuk dicampuri oleh warna lain.
Tageh dalam diri penari juga terlihat pada bagaimana penari memosisikan
kakinya. Secara umum, dalam tari ulu ambek antara kudo-kudo dan pitunggua
sangat berbeda. Tari ulu ambek tidak mengenal kudo-kudo, yang lebih dikenal
adalah pitunggua. Pitunggua memperlihatkan posisi kaki tidak kuat, tetapi salah
satu kaki mudah dilangkahkan. Dalam istilah Pariaman disebut guyah-guyah
garaman. Artinya, dikatakan kuat tidak, dikatakan longgar (layah) juga bukan.
Inilah yang dinamakan sebagai esensi tageh dalam posisi kaki pemain tari ulu
ambek di Pariaman. Sementara itu kudo-kudo merupakan posisi berdiri dengan
kaki sangat kokoh, tak bergerak sedikit pun.
Pemain tari ulu ambek disebut juga dengan pandeka (pendekar) yang
secara etimologis bermakna pandai aka (pandai akal). Artinya, ia harus cerdas,
cerdik dan mampu mengatasi masalah serta mencari solusi dalam keadaan apa
pun. Dari kata pendekar inilah maka seorang pemain tari ulu ambek harus tahu
garak garik, raso pareso, mailak, gelek, pandang, kutiko. Garak, artinya bergerak
atau mengelak dengan volume besar. Garik, artinya bergerak atau mengelak
dengan volume kecil. Lantak dalam gerak seperti mengelak dengan gelek. Mailak,
artinya menghindari serangan dengan melangkahkan salah satu kaki, sedangkan
gelek adalah menghindari serangan lawan dengan mengubah arah hadap saja.
Permainan tari ulu ambek mengenal bahasa isyarat berupa gerak dan suara.
Bahasa isyarat dengan gerak tangan seperti gerak tangan menghambat, berarti ia
belum siap, maka lawan belum boleh menyerang. Sementara itu, tangan dalam
posisi menyilakan maka penangkis sudah siap menerima serangan yang ditambah
165
dengan suara “ap” dan “tah”. “Ap” dari si penyerang, merupakan pertanyaan pada
lawan apakah ia sudah siap atau belum. “Tah” berarti si penangkis sudah siap
menerima serangan.
Semua gerak itu dilakukan dengan ritme yang diatur oleh musik dampeang
yang disuarakan oleh pemain di bawah laga-laga. Penari akan bergerak sesuai
dengan irama tersebut. Begitu juga janang yang memperhatikan pergerakan
pemain menjadikan dampeang sebagai pedoman dalam pengawasan. Ketika harus
bertukar posisi maka janang memberikan perintah dengan kata-kata tuka (tukar),
maka kedua penari bersiap untuk bertukar tempat.
Kewaspadaan penari tari ulu ambek sangat diutamakan karena pertunjukan
ini merupakan pertunjukan yang tidak bersentuhan secara langsung, tetapi secara
batin bisa salah satu dari mereka akan mengalami malapetaka. Untuk itu seluruh
penari tari ulu ambek dalam melakukan gerakan betul-betul bisa menjaga
kewaspadaan. Biasanya sebelum melakukan pertunjukan, kesiapan mental penari
dilihat dulu oleh pimpinan mereka masing-masing. Kalau seorang penari diyakini
belum siap dalam melakukan permainan maka pimpinan akan menukarnya dengan
penari yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekhilafan yang dibuat
oleh penari di atas laga-laga. Kepada Kapalo Mudo, pimpinan salah satu
kelompok tari ulu ambek melaporkan bahwa ada pertukaran penari karena kondisi
tertentu. Kapalo mudo mengatakan hal ini pada janang.
5.3.2 Penari Tari Ulu Ambek
Penari tari ulu ambek terdiri atas dua orang yang bertindak secara
166
bergantian sebagai pemain ulu (menyerang) dan ambek (bertahan). Setiap
permainan selalu mempertemukan antara penari tuan rumah dan penari tamu.
Setiap penari hanya turun satu kali selama setengah jam, sehingga kalau ada
pertunjukan tari sepuluh kali dalam satu hari, pelaksanaannya dilanjutkan sampai
malam hari. Dalam sehari, penari yang turun sebanyak dua puluh penari yang
terdiri atas sepuluh penari tuan rumah dan sepuluh penari tamu. Penari tamu
diwakili oleh beberapa kelompok yang datang hari itu. Jadi, satu kelompok penari
tamu bisa saja hanya menurunkan dua penari kalau tamu yang datang berjumlah
lima kelompok. Tuan rumah harus menyediakan penari yang banyak untuk
melayani tamu yang datang. Hal ini dikatakan oleh Suhardiman Aus Dt. Bagindo
Basa:
“Ciek ulu ambek ko dimainan salamo satangah jam. Jadi kalau dimulai
jam duo siang, mangko saketek nan bisa tampilnyo kalau sudahe jam 6
sore. Mako kini disambuang malam sampai pagi sabalun subuah,
sahinggo banyak sudahe dan capek lo salasai”. (satu pertunjukan ulu
ambek itu dimainkan selama setengah jam. Jadi kalau mulainya jam dua
siang, maka sedikit sekali yang bisa tampil kalau selesainya jam enam
sore. Maka sekarang disambung malam hari dan selesai pagi (sebelum
subuh), sehingga banyak yang main dan cepat selesainya). (Wawancara,
November 2011).
Pendapat di atas menggambarkan bahwa satu kali pertunjukan biasanya
menghabiskan waktu sekitar setengah jam yang terdiri atas persiapan sekitar lima
belas menit dan permainan sekitar lima belas menit. Pada waktu persiapan, penari
memakai busana, kemudian bersalaman dengan tokoh-tokoh yang duduk di areal
permainan. Pertama sekali penari menyalami ninik mamak penari itu sendiri,
kemudian anggota yang sama datang dengannya, seterusnya ninik mamak yang
duduk di atas laga-laga, dan terakhir kepada janang. Salaman ini memang
167
memakai waktu yang banyak karena cara bersalaman menyiratkan bahwa orang
yang disalami memberikan kekuatan yang tidak terlihat kepada penari, sehingga
bersalamannya sangat khusyuk.
Berdasarkan teori hegemoni Althuser dan Gramsci (dalam Audifax,
2006:228) bahwa dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan legitimasi.
Legitimasi adalah wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu
memegang mandat kekuasaan. Hal ini bisa terlihat ketika penari melakukan
salaman dengan semua orang dan ini menunjukan bahwa legitimasi orang banyak
sangat diperlukan oleh penari.
Setelah kedua penari memberikan salam kepada semua komponen, baru
mereka melakukan permainan. Ketika dampeang dimulai maka penari melakukan
gerakan yang disesuaikan dengan dampeang tersebut. Selama tujuh setengah
menit mereka beraksi, maka janang menyuruh kedua penari untuk bertukar tempat
dan bertukar posisi. Selanjutnya, selama sekitar tujuh setengah menit penari
melakukan gerakan estetis tari ulu ambek.
Janang memberikan kode bahwa penari telah menari sesuai dengan waktu
yang disediakan. Kedua penari memberikan salam terakhir kepada semua orang
lewat gerak sambah. Penari tamu memberikan hormat kepada sirih dalam carano
yang dipegang janang yang mengisyaratkan bahwa penari telah mengembalikan
“pakaian” yang dipinjamkan penghulu. Permainan selesai, penari kembali menjadi
manusia biasa.
Rata-rata usia penari didominasi oleh mereka yang sudah di atas 40 tahun.
Memang ada yang masih 15 sampai dengan 40 tahun, namun jumlah mereka
168
sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh adanya pergeseran minat terhadap seni
tradisi. Mereka yang lebih muda cenderung untuk tidak lagi meminati tari ulu
ambek yang dianggap tidak lagi sesuai dengan zaman yang semakin canggih ini.
Fenomena di atas dijelaskan pula oleh Khaidir:
“Kalau di kampuang awakko kini dari sapuluah anak mudo mungkin
surang nan baminat jadi pemain ulu ambek. Kadang-kadang ndak ado
nan baminat doh dari ciek generasi tu. Tapi kalau sadang banyak alek
nagari, banyak lo nan baminat, kalau jarang alek nagari, saketek lo nan
baminat”. (kalau di kampung kita ini dari sepuluh anak muda mungkin
hanya satu orang yang berminat jadi pemain ulu ambek. Kadang-kadang
tidak ada yang berminat dari satu generasi itu. Tapi kalau sedang banyak
alek nagari (pesta anak negeri), banyak pula yang berminat, kalau jarang
ada alek nagari (pesta anak negeri), sedikit pula yang berminat)
(Wawancara, 4 Januari 2014).
Pendapat di atas menggambarkan bahwa generasi muda saat ini terpengaruh oleh
kondisi instan karena minat terhadap tari tradisi (ulu ambek) akan menarik hanya
ketika tari tersebut sering dipentaskan. Artinya, generasi muda masih cenderung
melihat bentuk bukan makna yang mengakibatkan nilai-nilai yang ada dalam seni
tersebut tidak terpahami dengan baik. Kondisi ini diakibatkan oleh globalisasi
yang lebih mengutamakan bentuk bukan nilai.
Dilihat dari pemikiran ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Barker,
2009:58-59), bahwa ideologi memiliki fungsi umum untuk membangun subjek
karena nilai yang dianut dalam ulu ambek sulit dipahami oleh generasi muda.
Nilai filosofis yang sulit dipahami dibandingkan dengan kondisi instan yang saat
ini berkembang di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya generasi sekarang lebih
memilih sesuatu yang mudah dipahami dan mudah dikerjakan.
Walaupun demikian, usaha untuk memberikan pemahaman terhadap
generasi muda masih dilakukan oleh beberapa kelompok tari ulu ambek. Mereka
169
mengadakan pelatihan rutin dengan melibatkan generasi muda, minimal mereka
mengajak anak mereka sendiri untuk bisa mencintai ulu ambek dan menjadi
generasi penerus mereka pada masa yang akan datang. Dengan demikian, kita
bisa melihat setiap perhelatan ada generasi muda yang dimunculkan terutama
dalam pertunjukan awal.
Biasanya dua pertunjukan pertama diturunkan generasi muda. Kelompok
yang tidak memiliki generasi muda terpaksa menurunkan penari yang sudah tua
untuk melawan yang muda. Hal ini memang kelihatan tidak seimbang, namun
akan memicu kelompok tersebut untuk juga berusaha menciptakan generasi yang
akan datang. Cara ini setidaknya akan memicu kelompok lain untuk segera
melaksanakan alih generasi untuk pertunjukan yang akan datang.
Penari usia muda dipertunjukkan pada awal pelaksanaan tari ulu ambek
atau sekitar pukul 13.00 WIB. Semakin lama semakin tua dan terakhir yang paling
tua. Penonton sangat menantikan penari-penari tua karena sudah berpengalaman
dan dalam melakukan gerakan sering membuat sensasi dengan improvisasi-
improvisasi yang menyebabkan penonton bersorak dan berdecak kagum.
Penari yang diturunkan merupakan penari yang telah mendapat pelatihan
yang intens di kelompok mereka masing-masing. Mereka sudah mengetahui apa
yang mesti dilakukan di atas laga-laga untuk mengantisipasi gerak lawan main
mereka. Penari yang setia dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
panitia akan bisa bermain dengan lancar.
Ada kalanya penari yang diturunkan berbuat curang atau tidak setia
dengan ketentuan sehingga janang mengingatkannya. Kalau masih sering berbuat
170
curang, maka janang melaporkannya kepada ninik mamak untuk disidangkan
Gambar 5.15
Sosok Penari Tari Ulu Ambek yang Sudah Cukup Tua
Lengkap dengan Pakaiannya
(Dokumen: Yulinis, 2011)
antarpenghulu dan memberikan sanksi kepada penari tersebut. Sanksi itu berupa
tidak bisa bermain dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dikatakan
pula oleh Khaidir:
“Pemain ulu ambek ko sangat serius, kalau ndak bisa buluih. Kalau lah
buluih payah wak dek e. Kalau nampak luko kanai kaki bisa diubeki, tapi
kalau kanai sarang bayang payah maubeki”. (pemain ulu ambek ini harus
serius (konsentrasi), kalau tidak bisa kena. Kalau sudah kena susah kita
dibuatnya. Kalau luka karena kena kaki mungkin bisa diobati, tapi kalau
kena pukulan bayang (tak terlihat) akan susah mengobatinya).
(Wawancara, 4 Januari 2014).
171
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam permainan, penari bisa saja buluih,
yaitu lalai dalam mengantisipasi gerakan lawan yang menyerangnya. Walaupun
tidak bersentuhan, tetap saja penari yang lupa maambek (menangkis) akan terkena
pukulan bayangan. Hal ini membuat penari yang lupa menangkis merasa dirinya
telah melakukan kesalahan fatal. Akibatnya, si penari akan takut berhadapan
dengan permainan tari ulu ambek untuk jangka waktu yang lama. Mendengar
dampeang saja, penari tersebut sudah dilanda ketakutan. Untuk itu, penari yang
buluih ini disarankan untuk beristirahat dan melakukan kegiatan-kegiatan lain
yang tidak ada hubungannya dengan tari ulu ambek. Biasanya penari yang buluih
disuruh mengaji di surau (musala atau masjid) sebagai upaya mengembalikan
kepercayaan dirinya yang telah lalai tersebut.
Berdasarkan teori hegemoni Gramsci (dalam Barker, 2004: 62) bahwa
suatu blok historis faksi kelas berkuasa akan menjalankan otoritas sosial dan
kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan
konsesnsus. Kalau penari tidak menaati konsensus yang telah dibangun
berdasarkan kesepakatan maka penari itu sendiri yang mengalami malapetaka.
Kekuatan dari konsensus bisa berakibat fatal bila tidak dituruti
.
5.3.3 Busana Tari Ulu Ambek
Busana tari ulu ambek merupakan gambaran dari busana yang dipakai oleh
penghulu. Ada destar, celana galembong, baju longgar, kain sesampiang, dan
sebagainya. Pakaian ini mengambil sifat pakaian penghulu sebagai ninik mamak
yang memiliki tari ulu ambek.
172
Warna busana (lihat gambar 5.16) didominasi oleh warna hitam, yaitu
warna yang diyakini sebagai warna adat Pariaman. Destar warnanya agak
beragam atau warna-warni, tetapi yang sering terlihat adalah warna cokelat yang
dominan. Bentuk destar segi empat, kemudian dilipat menjadi segi tiga dan
dililitkan ke kepala penari.
Gambar 5.16
Busana Tari Ulu Ambek
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Seluruh pendukung yang lain juga memiliki destar, bahkan tidak dibenarkan
pendukung lain yang tidak memakai destar duduk di dekat laga-laga. Dengan
demikian, penonton yang tidak memakai destar harus duduk agak menjauh.
Dominasi warna hitam merupakan pembeda dengan warna agama Islam
yaitu putih. Hal ini dijelaskan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa:
“Rono hitam, ambo kiro bahubungan jo alah adonyo ulu ambek sabalum
Islam masuak. Pandeka biasonyo rono pakaiannyo hitam nan
manandokan kapakekan hatinyo. Samantaro putiah ko rono pakaian
ulama nan manandoan kesucian hatinyo. Itu makonyo urang adaik pakai
hitam, urang surau pakai putiah”. (warna hitam, saya kira berhubungan
dengan sudah adanya ulu ambek sebelum Islam masuk. Pendekar biasanya
lebih memilih warna hitam di pakaiannya karena hitam menandakan
kepekatan hatinya. Sementara warna putih adalah warna pakaian ulama
yang menandakan kesucian hatinya. Itu makanya orang ada pakai hitam,
orang mesjid pakai putih) (Wawancara, 5 Januari 2014).
173
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pakaian merupakan penanda terhadap
identitas individu manusia dalam masyarakat. Individu yang bergerak di bidang
adat akan memakai pakaian yang didominasi warna hitam, sedangkan individu
yang bergerak di bidang agama akan memakai pakaian yang didominasi warna
putih.
Berdasarkan teori semiotika Barthes (Santosa, 1993:31--34) bahwa kode
simbolik merupakan dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup
dan kehidupan. Hal ini dapat dikenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau
berbagai bentuk yang teratur, mengulangi bermacam-macam mode dan
bermacam-macam maksud dalam sebuah teks pementasan yang akhirnya
menghasilkan pengertian tentang makna kode tersebut. Warna hitam dan putih
merupakan kode simbolik dalam kebudayaan Pariaman.
Kain sesampiang biasanya diambil dari kain sarung yang dilipat menjadi
segi tiga juga dan dipasangkan di pinggang setelah memakai celana galembong.
Di samping menjadi simbol pengikat kebenaran, sesampiang ini juga berguna
untuk mengikat celana galembong agar jangan sampai terlepas. Penjelasan di atas
dikatakan pula oleh Sjamsurijal:
“Kalau dulu pakaian istilah meminjamkan pakaian penghulu untuk anak
ulu ambek betul-betul dilaksanakan secara konsisten. Semuanya
menggambarkan penghulu. Tapi sekarang pakaian penghulu hanya simbol
saja, sementara pelaksanaannya kadang-kadang boleh dengan pakaian
yang dipunyai penari saja lagi”. (Wawancara, 4 Januari 2014).
Pernyataan di atas memperlihatkan bagaimana kuasa yang awalnya mayoritas
adalah penghulu sekarang sudah bergeser dan beradaptasi dengan kuasa yang
datang memengaruhi kondisi tari ulu ambek. Hal ini memperlihatkan bagaimana
174
kuasa penghulu berelasi dengan kuasa zaman saat ini.
Ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Barker, 2009:58-59) tentang
ideologi terlibat dalam reproduksi bangunan sosial dan relasi mereka terhadap
kekuasaan melihat busana tari ulu ambek saat ini mulai bergeser. Warna baju yang
semula hitam, sekarang telah diperbolehan memakai warna yang berbeda. Hal ini
merupakan pergeseran pemahaman terhadap nilai baju yang biasa dipakai
penghulu. Berdasarkan semiotika Barthes, warna baju tidak lagi menandakan
warna penghulu yang selalu memakai warna hitam.
Untuk pakaian yang lain, masih mempertahankan nilai-nilai dari pakaian
penghulu. Celana misalnya masih memakai celana galembong yang berwarna
hitam. Begitu juga dengan pakaian-pakaian lainnya. Keinginan untuk bisa
bertahan pada tradisi akan terlihat dari pakaian yang dipakai penari ulu ambek.
Pergeseran ideologi juga menandakan pergeseran wewenang penghulu di
tengah masyarakat. Penghulu saat ini tidak lagi memiliki hegemoni ala Gramsci
dan Althuser yang kuat terhadap masyarakat. Mereka cenderung berada pada
simbol adat dan budaya bukan lagi simbol kekuasaan. Kalau dulu penghulu punya
wewenang penuh terhadap jalannya roda kekuasaan, namun sekarang dengan
munculnya pemerintahan negara, maka posisi mereka sedikit tergusur.
5.3.4 Musik Tari Ulu Ambek
Musik untuk tari ulu ambek didominasi oleh vokal yang disebut juga
dengan dampeang. Dampeang ini terbagi atas dua dengan dua orang pemain juga,
yaitu dampeang jantan dan dampeang betina. Dampeang jantan dan dampeang
175
betina memiliki keistimewaan tersendiri. Dampeang jantan lebih agresif dan bisa
mengubah pantun yang dinyanyikan, sementara dampeang betina tidak agresif
dan hanya memberikan variasi dari pantun yang dinyanyikan (Ediwar dkk.,
2001:72).
Dampeang memiliki peran yang penting dalam permainan tari ulu ambek.
Tari ulu ambek tidak akan bisa dilaksanakan kalau tidak ada dampeang.
Dampeang merupakan musik yang mengatur pergerakan pemain tari ulu ambek.
Sorak secara bersama-sama memberikan aba-aba pada pemain untuk melakukan
gerakan-gerakan yang berbeda. Janang pun menjadikan dampeang sebagai
pegangan untuk bertindak apakah pemain akan bertukar tempat atau belum,
seperti dikatakan oleh Ajo Mariak berikut:
“Biasoe tukang dampeang pasti pandai baulu ambek, tukang dampeang
diambiak dari pemain nan basuaro rancak. Inyo pandai pulo bapantun
manyampaian nasehat-nasehat nan baguno untuak masyarakat dan
baguno pulo untuak sadonyo paulu ambek”. (biasanya tukang dampeang
pasti pandai menari ulu ambek, tukang dampeang diambil dari penari yang
memiliki suara bagus. Ia pandai pula berpantun menyampaikan nasehat-
nasehat yang berguna bagi masyarakat dan berguna pula untuk pendukung
tari ulu ambek) (Wawancara, 5 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pemusik tari ulu ambek ialah mereka-
mereka yang sama-sama belajar. Ia bisa menjadi pemusik ketika terlihat kelebihan
lain dalam diri pemain tersebut. Pemusik tidak hanya pandai bermain (menari),
namun juga bisa menciptakan kata-kata yang berguna bagi banyak orang.
Menurut teori ideologi Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009:58-59)
tentang ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu yang mengarah
pada pengalaman pemusik yang tahu secara teknis seluruh persoalan tari ulu
ambek. Dia tidak hanya mampu bermusik vokal namun juga harus mampu
176
berpantun dan manari. Kuasa pemusik memengaruhi keseluruhan peristiwa tari
ulu ambek.
Teks dampeang adalah pantun yang berisikan nasihat, suasana kesedihan,
dan sebagainya yang diolah menjadi vokal yang panjang-panjang. Misalnya,
dampeang dengan pantun tujuah musim lamo manangih, tagah dek kanduang
lambek datang (tujuh musim lamanya menangis, disebabkan oleh adik kandung
terlambat datang). Pantun ini memberikan makna kesedihan ketika menunggu
seseorang yang tidak kunjung datang. Ediwar juga menegaskan:
“Banyak teks dampeang yang berisi tentang petuah-petuah dalam
melakoni hidup. Teks ini menjadi acuan penari dalam melakukan gerakan.
Dampeang jantan memberikan ruang kepada penari untuk melakukan
penyerangan atau menangkis lawan. Sementara dampeang betina
memberikan aba-aba kepada penari kapan ia harus melakukan gerak
menghentak dan gerak catua langkah. Ketentuan-ketentuan dampeang ini
memberikan alur yang pas kepada penari dalam malakukan aktivitas di
atas laga-laga” (Wawancara, 4 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa teks sastra yang dinyanyikan secara nyata
sulit untuk diidentifikasi, tetapi pada bagian-bagian tertentu terselip bahasa verbal
yang diucapkan tukang dampeang. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Merriam (dalam Ediwar dkk., 2001:91) bahwa di samping bahasa memengaruhi
musik juga ada musik yang memengaruhi bahasa, terutama ketika dikaitkan
dengan teknik dan struktur penggunaan bahasa dalam nyanyian. Merriam
menegaskan bahwa tidak saja musik dan bahasa yang saling berhubungan dalam
pembentukan lagu, tetapi juga bahasa teks itu lahir dalam bentuk khusus. Dengan
demikian, bahasa teks akan mempunyai kegunaan khusus dan berfungsi dengan
cara yang khusus pula.
Berdasarkan teori semiotika Barthes (Santosa, 1993:31--34) bahwa sistem
177
tanda akan berfungsi lebih efektif dalam menghasilkan makna jika ada hubungan
yang jelas antara signifier dan signified dirasakan oleh semua pengguna tanda.
Namun, hubungan yang kurang jelas dalam peristiwa semiotika menimbulkan
tendensi berlawanan. Hubungan yang kurang tepat antara signifier dan signified
menyebabkan rusaknya sistem hubungan keduanya. Jadi, hubungan dampeang
dengan tari ulu ambek harus jelas karena kalau keduanya tidak memiliki hubungan
yang jelas maka pertunjukan akan menjadi kacau.
Tukang dampeang (lihat gambar 5.17) memang dipilih di antara
rombongan tari ulu ambek yang memiliki suara (vokal) yang bagus. Di samping
itu, ia juga bisa menciptakan kata-kata yang bermakna untuk dinyanyikan. Kata-
kata ini merupakan karya sastra yang diolah dengan vokal yang melengking tinggi
dan berirama yang disesuaikan dengan alur gerak penari.
Kalimat dalam mengiringi tari ulu ambek merupakan manifestasi dari
kebudayaan Pariaman yang bersifat egaliter atau terbuka. Keterbukaan akan
melahirkan kata yang tidak terbatas dan cenderung menjadikan kata tersebut
bersifat sastra dan bebas dari ikatan unsur lain seperti unsur kekuasaan mutlak.
Teks dampeang menjadi teks yang berdiri sendiri dan hanya menonjolkan irama
yang menjadi panduan pemain tari ulu ambek dalam bergerak.
Ediwar dkk. (2001:93) menegaskan bahwa penggarapan dampeang tari ulu
ambek dilakukan sesuai dengan kebutuhan melodi melalui penambahan suku kata
atau pengurangan suku kata. Pola seperti ini merupakan pola yang membuat teks
dampeang seakan-akan tidak mempunyai teks bahasa verbal. Beberapa pakar
karawitan di Sumatera Barat telah mencoba untuk memformulakan teks
178
Gambar 5.17
Tukang Dampeang (Pemusik)
(Dokumen: Yulinis, 2011)
dampeang dengan membagi teks-teks tersebut dengan detail yang akurat.
Secara sederhana, bunyi dampeang terdengar seolah-olah ada kepiluan,
kegembiraan, dan suasana-suasana lainnya. Ketika dampeang diperdengarkan
maka suasana terbangun dengan sendirinya sesuai dengan yang diinginkan oleh
pemusik tari ulu ambek. Kadang-kadang bunyi seperti menjauh dan kadang-
kadang seperti dekat dan pada bagian-bagian tertentu dampeang disuarakan oleh
banyak orang atau secara koor. Hal ini menambah suasana ketegangan
antarpemain tari ulu ambek juga meninggi. Unsur musikalitas ini secara
tradisional dimiliki oleh hampir semua komunitas di seluruh dunia. Namun, dalam
kasus tari ulu ambek terdapat spesifikasi, yaitu teks menjadi simbolis dan tidak
verbal. Seperti dikatakan oleh Ediwar berikut:
179
“Dampeang wajib dalam ulu ambek, karena dampeang yang mengatur
irama permainan. Kalau unsur musik dampeang ini ditiadakan, maka
penari juga akan kehilangan rujukan untuk membuat gerak yang
diinginkan. Jadi, musik merupakan panduan yang tidak tertulis dalam tari
ulu ambek” (Wawancara, 4 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kesuksesan pertunjukan sangat ditentukan
oleh keberadaan musik dampeang sehingga menjadi penting dalam pertunjukan
tari ulu ambek Pariaman. Dampeang ini pun digunakan pendukung tari ulu ambek
yang baru datang. Tukang dampeang melagukan nyanyiannya di luar laga-laga.
Sebelum dijawab oleh dampeang dan oleh tuan rumah, maka kelompok yang baru
datang belum mau masuk ke arena pertunjukan.
Berdasarkan teori semiotika Barthes (Santosa, 1993:31--34) bahwa hal
tersebut menyangkut kode aksian yang merupakan prinsip bahwa di dalam sebuah
pertunjukan tari ulu ambek, perbuatan-perbuatan harus disusun dengan linier. Di
dalam sebuah pertunjukan tari ulu ambek sebuah peristiwa atau kejadian tidak
akan sama dengan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam seni tradisi lain.
Aksi penari akan ditandai oleh reaksi dampeang, begitu pula sebaliknya.
5.4 Unsur Pendukung Tari Ulu Ambek
Unsur pendukung tari ulu ambek merupakan suatu hal yang secara tidak
langsung memiliki peran yang tidak bisa dihindarkan. Unsur-unsur ini memang
secara visual tidak begitu terlihat, tetapi ia harus ada karena tanpa unsur lain ini
kegiatan tari ulu ambek tidak akan berjalan dengan baik. Unsur pendukung ini
terdiri atas unsur berupa pertama personel dan kedua; properti dan tempat
pelaksanaan.
180
5.4.1 Personel Pendukung
Berkaitan dengan peran manusia, maka manusia yang menjadi unsur
pendukung merupakan manusia yang berada di belakang layar pertunjukan, yang
terdiri atas janang, rajo janang, ninik mamak, kapalo mudo, bundo kanduang, dan
urang tuo. Janang adalah orang yang bertugas sebagai juri atau hakim yang
menegur pemain (penari) yang melakukan kecurangan (Ediwar dkk., 2001:43).
Kalau terjadi kecurangan, maka janang menegur penari dan melaporkan
kecurangan tersebut kepada ninik mamak yang bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap tari ulu ambek. Orang yang menjadi janang adalah orang yang dipilih
secara musyawarah dan mufakat.
Lebih jauh Ediwar dkk. (2001:44) menjelaskan bahwa janang harus
memiliki sifat-sifat yang didasari olehsejumlah ketentuan yaitu 1) Janang harus
memiliki firasat yang tajam terhadap gerakan yang salah dan teliti dalam melihat
sikap dan tindak tanduk orang lain, 2) Janang juga harus mengetahui kesalahan
yang disengaja dan yang tidak disengaja, 3) Janang juga harus bisa membedakan
sesuatu yang bisa membuat malu dan membuat kemuliaan, 4) Janang harus tahu
hal yang bisa merendahkan dan meninggikan martabat manusia di depan umum,
5) Janang harus arif menyikapi suatu kejadian yang akan membahayakan
permainan tari ulu ambek, 6) Janang harus tahu bahwa ada sesuatu yang akan
membahayakan kampung, nagari, dan diri sendiri, 7) Janang juga harus memilki
mata tajam dan bertelinga nyaring sehingga selalu waspada terhadap kondisi yang
ada, 8) Dalam diri seorang janang harus ada sifat adil dan tenggang rasa, dan 9)
Janang memiliki kekuasaan yang mutlak dalam permainan tari ulu ambek.
181
Pimpinan janang disebut juga dengan rajo janang yang mengawasi janang
supaya tidak keluar dari aturan yang telah ditetapkan. Rajo janang adalah orang
yang mengerti seluk beluk pertunjukan tari ulu ambek. Ia ditunjuk oleh suatu
nagari sebagai wakil ninik mamak. Rajo janang bertugas mengawasi permainan
secara keseluruhan. Kalau ada yang menyimpang, maka ia mengingatkan janang
supaya bisa mengambil sikap yang tegas.
Ninik mamak di Pariaman merupakan pemilik tari ulu ambek sehingga ia
bertanggung jawab terhadap pelestarian dan pengembangan seni tradisi tersebut.
Segala aktivitas yang berhubungan dengan tari ulu ambek dilaksanakan atas izin
yang diberikan oleh ninik mamak. Permohonan izin tersebut harus dilakukan
dengan ritual pasambahan yang disampaikan oleh kapalo mudo.
Sebagai pemilik tari ulu ambek, ninik mamak meminjamkannya kepada
penari tari ulu ambek lewat kapalo mudo agar yang dipinjam ini bisa dijaga
dengan baik. Amanat yang disampaikan ninik mamak akan dijalankan oleh kapalo
mudo sebagai pelaksana kegiatan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai
permainan tari ulu ambek ini mencoreng muka mereka atau mempermalukan ninik
mamak di depan ninik mamak yang lain karena mereka hadir dalam acara tersebut.
Ninik mamak, walaupun sudah memberikan sepenuhnya pelaksanaan
perheletan kepada kapalo mudo, ia tetap memantau jalannya perhelatan. Suatu
ketika ia bisa menegur kapalo mudo bila pelaksanaan tidak sesuai dengan
kesepakatan yang telah diputuskan dalam pasambahan. Bila situasi tidak lagi
terkendali, ninik mamak bisa menghentikan perhelatan dan membubarkan acara.
Hal ini biasanya terjadi kalau pelanggaran betul-betul sangat berat.
182
Urang tuo (orang tua) adalah seseorang yang sangat berpengalaman
tentang seluk beluk kehidupan masyarakat suatu kampung atau nagari. Dalam
konteks tari ulu ambek, urang tuo diberikan tugas sebagai penasihat kapalo mudo.
Ia tua bukan karena usia, melainkan karena pengalaman dalam memahami konsep
bermasyarakat dan kemampuannya menguasai seluruh tradisi yang ada dalam
nagari. Penguasaan urang tuo terhadap tradisi tidak saja pada tataran lahir, tetapi
juga secara batin. Artinya, urang tuo merupakan seseorang yang memiliki
kepandaian lahir dan batin yang bisa menjaga nagari dari apa saja yang akan
membahayakannya.
Urang tuo merupakan tempat bertanya kapalo mudo ketika menghadapi
masalah yang ditemukan di lapangan. Sebagai penasihat, biasanya urang tuo telah
melewati masa menjadi penari tari ulu ambek, janang, rajo janang, dan kapalo
mudo sehingga ia betul-betul menguasai medan dalam permainan tari ulu ambek.
Urang tuo merupakan kepercayaan ninik mamak dalam menghadapi
suasana genting. Diibaratkan pada sistem yang sekarang, urang tuo merupakan
staf ahli penghulu dalam menentukan kebijakan. Ia dianggap sebagai orang yang
mengerti dengan segala persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Pengetahuan dan pengalaman yang dimilki urang tuo menjadikan ia sangat
disegani oleh masyarakat.
Di Pariaman, kapalo mudo memiliki dua pengertian, yaitu kapalo mudo
nagari dan kapalo mudo tari ulu ambek. Kapalo mudo nagari adalah seseorang
yang ditugasi mengurus nagari dengan segala persoalannya, sementara kapalo
mudo tari ulu ambek hanya mengurus pelaksanaan kesenian tari ulu ambek.
183
Namun, biasanya kapalo mudo nagari, ketika pelaksanaan tari ulu ambek, akan
ditunjuk pula menjadi kapalo mudo tari ulu ambek.
Kapalo mudo tari ulu ambek adalah sosok yang paling sibuk dalam tari ulu
ambek. Ia juga bertindak sebagai penanti tamu, menentukan jadwal permainan,
menentukan penari yang akan tampil, dan kadang-kadang juga sebagai penari
senior tari ulu ambek. Ia juga yang menentukan tempat tamu akan duduk,
menginap dan sebagainya. Ia adalah penanggung jawab sepenuhnya terhadap
pelaksanaan tari ulu ambek dan melaporkannya kepada ninik mamak.
Kapalo mudo adalah orang yang diikutkan dalam perundingan antar ninik
mamak sehingga ia tahu apa yang menjadi keputusan ninik mamak, dan ia tahu
apa yang harus dikerjakan di lapangan perhelatan. Akibatnya teguran terhadap
kapalo mudo bisa dihindari selagi ia tetap berjalan dijalur yang benar.
Bundo kanduang (kaum perempuan) merupakan pendukung yang berada
di luar laga-laga yang bertugas menyediakan makanan untuk pendukung tari ulu
ambek. Rumah-rumah yang berada di sekitar laga-laga merupakan rumah-rumah
yang disediakan untuk menginap dan makan untuk pendukung tari ulu ambek.
Rumah-rumah tersebut ditunjuk oleh kapalo mudo dan menugasi kaum
perempuan untuk mengelolanya.
Memang kaum perempuan tidak memiliki andil yang besar dalam tari ulu
ambek secara langsung. Namun, pelaksanaan akan cacat bila pelayanan kepada
tamu yang datang tidak maksimal, termasuk menyediakan makanan yang dibawa
oleh ibu-ibu bundo kanduang. Biasanya, ketika dilaksanakan permainan tari ulu
ambek, panitia yang dikepalai oleh kapalo mudo menyembelih seekor kambing
184
yang kemudian dimasak oleh kaum perempuan dan dihidangkannya kepada tamu
yang datang.
Bundo kanduang terdiri atas istri-istri ninik mamak, istri kapalo mudo,
istri urang tuo, dan ibu-ibu yang lain yang ditunjuk kapalo mudo untuk membantu
menyediakan makanan dan penginapan. Setiap hari mereka bekerja tanpa dibayar
sedikit pun. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab perhelatan merupakan
tanggung jawab bersama. Kalau pelayanan tidak maksimal, dan ada keluhan tamu,
akan berakibat pada malu kaum. Malu yang tidak bisa dibayar dengan uang. Malu
penghulu adalah malu seluruh masyarakat. Untuk itu, mereka betul-betul akan
bekerja semaksimal mungkin untuk kesuksesan perhelatan.
5.4.2 Properti dan Tempat Pertunjukan
Properti yang dihadirkan di atas arena (laga-laga) tempat pertunjukan tari
ulu ambek terdiri atas tabia, tirai, candai, tuduang saji, siriah paga dalam carano,
cermin, kain panjang, lapiak balambak, lapiak puin, marawa, dan kasur. Tabia
(tabir), yaitu sepotong kain yang warna-warni dan dipasangkan pada langit-langit
laga-laga. Warna tabia didominasi warna merah, putih, hijau, dan hitam.
Tirai terdiri atas dua jenis, yaitu tirai cancang sebanyak dua buah dan tirai
kolam sebanyak satu buah. Tirai cancang dipasangkan pada bagian depan dan
belakang laga-laga persis di tonggak tua depan dan tonggak tua belakang. Jumlah
cancang bagian luar adalah 39 buah yang melambangkan jumlah anak Nabi Adam
A.S., sedangkan cancang bagian dalam berjumlah 17 buah yang melambangkan
jumlah rakaat salat, yaitu 2 rakaat subuh, 4 rakaat zuhur, 4 rakaat asysar, 3
185
rakaat magrib, dan 4 rakaat isya. Sementara itu, tirai kolam dipasang di tengah
langit-langit arena pertunjukan atau laga-laga.
Pemasangan tirai dilakukan oleh kapalo mudo setelah mendapat izin dari
mamak adat yang bersangkutan. Aturan pemasangan tirai terkait dengan
fungsinya, yaitu tirai kolam difungsikan untuk menunjukkan tempat duduk
mamak adat dari pihak tuan rumah. Tirai pecah terletak pada bagian kiri dan
kanan tirai kolam yang menunjukkan tempat duduk ninik mamak tamu.
Banyaknya tirai yang dipasang bergantung dari besarnya pesta yang dilakukan.
Kadang-kadang ada pemasangan tirai yang lebih dari dua yang menandakan
bahwa alek nagari itu dilaksanakan secara besar-besaran.
Pemakaian tirai sangat penting dalam alek ninik mamak, seperti alek tari
ulu ambek, silat, dan randai tari ulu ambek. Tidak ada tirai maka tidak akan ada
permainan tari ulu ambek. Namun, untuk kesenian lain setelah tari ulu ambek,
seperti indang, tirai tidak menjadi penting.
Candai adalah sepotong kain yang berbentuk selendang, terdiri atas candai
banang yang dipasang pada sisi depan langit-langit persis di atas ninik mamak
tuan rumah yang duduk di bawahnya dan candai suto dipasang di langit-langit
bagian belakang persis di atas tempat duduk ninik mamak tamu. Candai ini
merupakan lambang dari kekuasaan ninik mamak.
Tuduang saji terbuat dari daun pandan yang digantungkan di lagit-langit
persis di atas ninik mamak tamu. Hal ini melambangkan arah kiblat salat (ka’bah).
Siriah paga dalam carano merupakan perlengkapan penting yang harus ada di
atas laga-laga permainan tari ulu ambek. Sirih diletakkan di dalam carano yang
186
dipagari arai pinang sebanyak lima lapis. Tiga lapis pertama terletak di mulut
carano yang melambangkan pusaka, adat, dan agama. Dua lapis berikutnya
terletak di bagian bawah carano yang melambangkan kapalo mudo dan urang tuo.
Siriah dalam carano ini berjumlah tiga buah, yaitu satu untuk menyambut tamu
yang datang, satu untuk lambang ninik mamak tuan rumah, dan satu lagi adalah
lambang ninik mamak tamu yang datang.
Cermin merupakan alat untuk mengintip bagi penari tari ulu ambek yang
digantung di tiang laga-laga. Kain panjang dipakai untuk menutupi tonggak atau
tiang yang ada di laga-laga. Lapiak balambak merupakan tempat duduk janang.
Lapiak puin adalah tempat duduk pendukung yang lain yang berada di bawah
laga-laga. Kasur berguna untuk tempat duduk ninik mamak tuan rumah sebanyak
dua buah dan tempat duduk ninik mamak tamu sebanyak dua buah atau lebih
bergantung pada jumlah ninik mamak yang datang.
Carano digunakan untuk menyambut tamu yang datang. Carano terbuat
dari kuningan dengan bentuknya yang spesifik dan di dalamnya terdapat sirih,
pinang, gambir, sadah, dan santo. Garis tengah carano sekitar 25 cm, tinggi dari
dasarnya sekitar 10 cm, dan bagian bawah diberikan kaki. Tinggi keseluruhannya
sekitar 25 cm. Dinding carano diberikan ukiran pucuk rebung, bertatah, dan
bermega-mega sehingga tampak indah. Kemudian carano tersebut diletakkan di
atas tampan beralaskan kain rumin (sutra), diberikan kain balapak dan tercoreng
warna kuning di atasnya, sedangkan tempat sirih dan kelengkapannya berlingkar
arai pinang yang berjalinan atau balapiah (Ediwar, 1999:146).
Carano dan segala isinya dihadapkan kepada tamu yang datang dengan
187
pasambahan, seperti contoh berikut.
Disambahkan siriah dalam carano,
Kok siriah mintak dicabiak,
Kok pinang mintak digatok,
Kok gambia mintak dikupia,
Kok santo mintak dijujuik,
Kok sadah mintak dipalik,
Dimakan lalu disirahkan,
Pintak buliah kandak balaku.
(Dipersembahkan sirih dalam carano,
Sirih diminta supaya dicabik,
Pinang diminta supaya dicicipi,
Gambir diminta supaya dipipih,
Santo diminta supaya ditarik,
Sadah diminta supaya dioleskan,
Dimakan lalu dimerahkan,
Permintaan harap dipenuhi.)
Makna pepatah petitih di atas menyiratkan bahwa isi dalam carano
tersebut adalah sirih, pinang, gambir, tembakau, dan kapur. Semua isi carano
tersebut unsurnya diambil sedikit dan dicampurkan, kemudian dimakan. Hal ini
menandakan bahwa pihak tamu sudah diterima oleh pihak tuan rumah. Jadi, hal
itu semacam penyambutan untuk tamu yang datang berkunjung.
Penyuguhan sirih dalam carano diawali dengan pasambahan, yaitu kata-
kata (dialog) yang digunakan dalam melakukan perundingan. Dialog ini
merupakan hal penting karena sebelum tamu memakan sirih harus ada dulu
kesepakatan agar sesuatu yang disepakati menjadi bermakna, baik untuk tuan
rumah maupun tamu yang datang.
Marawa,yaitu bendera khas daerah Minangkabau berwarna hitam, merah,
dan kuning. Marawa terdiri atas dua macam, yaitu marawa besar dan marawa
kecil. Marawa besar dipasang di tiang tinggi dan diletakkan di pintu masuk alek
nagari, sedangkan di pinggir-pinggir jalan dipasang marawa kecil. Hal itu sama
188
halnya dengan umbul-umbul perhelatan di pesta-pesta yang lain (Ediwar,
1999:148).
Semua aksesoris yang digunakan di lingkungan alek nagari merupakan
aksesoris yang berkaitan dengan adat dan budaya Pariaman. Warna-warna tegas
atau warna keras, seperti merah, hitam, kuning, dan sebagainya sangat dominan
yang mengindikasikan filosofi estetis tageh yang sebelumnya telah diuraikan.
Tempat pelaksanaan tari ulu ambek dikenal juga dengan laga-laga yang
luasnya sekitar 10 x 10 meter dan tinggi sekitar 2,5 meter. Lantai laga-laga
terbuat dari bambu yang dibelah-belah dan dianyam, dan kemudian di setiap sisi
diletakkan kasur tempat duduk penghulu dan janang. Tiang-tiangnya biasanya
terbuat dari batang pinang dan atapnya adalah atap rumbia (atap daun). Laga-laga
jenis ini bersifat sementara, artinya kalau perhelatan sudah berakhir, maka laga-
laga ini juga akan dibongkar. Ketika permainan tari ulu ambek selesai laga-laga
ini juga digunakan oleh kesenian lain, yaitu indang.
Ada laga-laga yang bersifat tetap yang dimiliki setiap nagari di
Kabupaten Padang Pariaman. Ukuran arena pertunjukan ini lebih kecil atau sekitar
4 x 4 meter dengan tinggi sekitar 2,5 meter yang terbuat dari bahan semen dan
kayu agar bisa tahan lama. Manfaat laga-laga tetap ini adalah untuk berlatih, baik
latihan tari ulu ambek maupun latihan indang, bahkan tempat ini menjadi pusat
untuk anak-anak muda berkumpul dan bermain.
5.5 Estetika Tari Ulu Ambek
Tari ulu ambek dapat dipahami dari dua aspek estetika. Pertama, estetika
189
sebagai konsep pengetahuan, pandangan, kepercayaan, atau nilai-nilai filosofis
tentang bagaimana seharusnya tari dibuat dan diperlakukan. Kedua, estetika
sebagai sifat, keadaan, atau karakter fisik suatu benda, gejala, atau stimulus buatan
yang mampu menimbulkan cita rasa masyarakat pencipta atau penikmatnya.
Baik aspek pertama maupun aspek kedua, sesungguhnya memiliki muara
yang sama, yaitu bagaimana seharusnya suatu benda, gejala, stimulus buatan
mampu mengekspresikan pengetahuan, kepercayaan, atau nilai-nilai budaya
dalam suatu simbol yang memiliki sifat, keadaan, atau karakter yang
memengaruhi atau menimbulkan cita rasa warga masyarakat pencipta atau
penikmatnya. Dengan kata lain, sesungguhnya estetika tari ulu ambek adalah
suatu filosofi tari yang tertuju pada penciptaan simbol ekspresif-estetis yang
memuat, mengandung, atau berisi pengetahuan, kepercayaan, dan estetika tradisi
yang bernilai budaya.
Saat ini tidak dapat disangkal lagi bahwa Pariaman begitu beragam hal
dapat dilihat, terutama dari aspek budaya, lebih khusus lagi keseniannya.
Pengaruh globalisasi telah menciptakan kesenian-kesenian lain yang berbeda
dengan seni tari ulu ambek. Jika dikatakan bahwa seni adalah salah satu bentuk
perwujudan kebudayaan, maka tari ulu ambek tentulah merupakan salah satu
perwujudan dari kebudayaan Pariaman. Sebagai salah satu perwujudan
kebudayaan Pariaman, maka kesenian Pariaman, apa pun hasilnya akan diwarnai,
dipengaruhi, bahkan direfleksikan oleh nilai-nilai budaya Pariaman.
Tari ulu ambek adalah simbol yang menjadi “ruang” tumpangan tempat
bersemayamnya pengetahuan, keyakinan, atau nilai-nilai yang bernuansa
190
keindahan sehingga terjelma satu konfigurasi budaya. Dalam konteks kebudayaan
global atau dunia, ada dua kategori pembagian kebudayaan besar, yaitu
kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Kabupaten Padang Pariaman yang
berada di wilayah Indonesia ini termasuk dalam wilayah kategori kebudayaan
Timur. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai budaya Timur menjadi acuan atau
pedoman normatif bagi warga atau masyarakat etnis yang bersangkutan dalam
melakukan berbagai aktivitas kehidupannya. Nilai-nilai itu menjadi penuntun,
pengarah, pembentuk pola berpikir, bersikap, dan bertindak dalam upaya
memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, kesenian yang dihasilkan dengan
sendirinya tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai budaya tersebut.
Secara tradisional, tari ulu ambek, sebagai perwujudan salah satu
kebudayaan bangsa Indonesia (bangsa Timur) adalah suatu kesenian yang
memiliki gagasan, proses, bentuk, fungsi, dan makna yang tidak bisa lepas dari
pengaruh, bahkan mencerminkan nilai-nilai budaya yang bersifat mistis, kosmis,
dan religius. Kesenian tari ulu ambek yang secara empirik hidup dan berkembang
melalui kehidupan tradisi di setiap wilayah Pariaman umumnya diwujudkan
dalam satu kegiatan yang menyatu (terintegrasi), bahkan menjadi bagian dari
suatu kehidupan tradisi masyarakat.
Tari ulu ambek tidak secara eksklusif hadir sebagai dirinya sendiri, tetapi
menjadi bagian dari suatu tradisi. Warga masyarakat acap kali tidak melihat atau
menyadari bahwa mereka sedang berkesenian. Hal yang dilihat atau disadari ialah
mereka sedang melakukan satu kehidupan tradisi tertentu meskipun apa yang
dilakukan merupakan kegiatan artisitik yang bernilai estetis. Karya tari ulu ambek
191
sering kali dikemas atau dipentaskan untuk suatu kepentingan peristiwa budaya
tertentu yaitu pengangkatan penghulu. Oleh karena itu, kegiatan artistik atau
pengalaman estetis seperti itu dirasakan sebagai aktivitas yang bersifat mistis dan
religius.
Hal tersebut bisa dilihat pada kesenian-kesenian tradisional tari ulu ambek,
yakni ketika terjadi peristiwa pengangkatan penghulu, muncullah berbagai macam
peralatan, pakaian, pemain, irama gerakan tertentu (tari), dan iringan dampeang
menyertai kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu. Tari ulu ambek adalah
kesenian yang bersifat mistis-religius. Oleh karena itu, keindahan atau estetikanya
adalah estetika mistis-religius.
Estetika tari ulu ambek bersifat lokal dan khas sesuai dengan kondisi
kehidupan budaya Pariaman. Dengan demikian, keindahan yang muncul bersifat
relatif dalam arti hanya bisa dipahami atau dinikmati oleh warga masyarakat
Pariaman yang memiliki dan mendukung kebudayaan tersebut. Dengan kata lain,
keindahan seni masyarakat Pariaman berbeda sifat dan karakternya bila
dibandingkan dengan keindahan seni masyarakat Jawa, Bali, Dayak, Bugis,
Toraja, atau Asmat di Papua. Dasar-dasar pandangan atau konsep-konsep yang
melandasi ekspresi keseniannya secara umum sama, yaitu mistis-religius, hanya
perwujudan simbolnya yang berbeda.
Filosofi estetika yang demikian sekali lagi terdapat dan masih dapat
dijumpai pada tari ulu ambek yang bersifat tradisional. Tentu saja, wacana
tersebut bisa jadi berkembang, bahkan berbeda ketika pembahasan ditempatkan
dalam konteks kesenian Indonesia yang bersifat modern.
192
5.5.1 Estetika Tageh
Estetika sebagai sebuah disiplin, secara teoretis, dapat dipakai sebagai
sarana untuk mengkaji, memahami, dan menjelaskan suatu fenomena tari ulu
ambek, baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya secara komprehensif.
Dengan kata lain, melalui kajian estetika, nilai-nilai, pesan-pesan, atau makna
budaya tari ulu ambek dapat dikenali, dipahami, dan diungkapkan.
Filosofi estetika yang dianut dalam tari ulu ambek adalah filosofi tageh.
Filosofi tageh ini diambil dari filosofi budaya yang berkembang di tengah
masyarakat Pariaman. Kata tageh sulit dicarikan sinonimnya dalam bahasa
Indonesia dan bahasa lainnya. Kalaupun harus disinonimkan dengan bahasa
Indonesia maka kata tageh bisa disamakan dengan gabungan beberapa kata, yaitu
kata tegas, mau, berani, fleksibel, kuat, kokoh, dan nekat. Kalau kata tegas saja,
atau satu kata yang lainnya, tidak bisa mewakilinya. Jadi, secara definisi maka
kata tageh adalah sikap manusia yang mengandung ketegasan, keberanian, tidak
takut terhadap bahaya, lincah, kokoh, dan kuat yang kadang kala juga nekat. Hal
di atas juga dikatakan oleh Sjamsurijal:
“Tageh dalam ulu ambek merupakan sikap yang mewakili sikap penghulu.
Penghulu harus tegas, berani, kuat, kokoh dan sebagainya dalam
memimpin kaumnya. Penghulu yang tageh adalah penghulu yang ideal
menurut orang Pariaman”. (Wawancara, 4 Januari 2014).
Pernyataan di atas mempertegas bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang
harus memiliki sikap idealnya seorang pemimpin. Pemimpin yang ideal menurut
masyarakat Pariaman adalah pemimpin yang memiliki sekap tageh. Hal inilah
yang tergambar dalam tai ulu ambek.
Menurut teori Ideologi dan hegemoni Gramsci dan Althuser (Sukeni,
193
2010:17) bahwa hegemoni dapat memengaruhi atau berdampak terhadap
kehidupan pihak yang terhegemoni. Artinya, kuasa pempimpin (penghulu) yang
ideal akan memengaruhi sikap masyarakat dan menjadikannya sebagai pedoman
hidup mereka di tengah masyarakat.
Paparan estetika tageh dalam tari ulu ambek secara konseptual telah
memberikan pemahaman umum bagaimana sesungguhnya bentuk, fungsi, dan
makna fenomena tari ulu ambek. Makna tageh yang tersimpan dalam tari ulu
ambek, sesungguhnya, berisi pengetahuan, nilai-nilai, dan kepercayaan dari
kebudayaan Pariaman yang tidak dapat dipisahkan dari gaya hidup yang khas
yang mencerminkan kearifan lokal atau budaya masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, pemahaman tageh dalam tari ulu ambek melalui disiplin
estetika dapat diperoleh makna-makna budaya yang sangat penting untuk
dikenalkan, dipahamkan, dan ditanamkan pada masyarakat Pariaman.
Estetika tageh di Minangkabau secara umum dan Pariaman khususnya
sebagai subbagian kebudayaan Nusantara memiliki sistem pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai yang khas untuk pedoman warga masyarakat
pendukungnya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk di dalamya
adalah kebutuhan tari ulu ambek atau pengungkapan rasa keindahan dari kesenian
tersebut. Sistem-sistem itu menjadi sumber dasar yang melandasi kebutuhan
ekspresi seni warga masyarakatnya. Dalam kekhasan budayanya itu, sebagai
subbagian kebudayaan Nusantara yang bercorak ketimuran, orientasi utamanya
secara tradisional masih tetap bersifat mistis-religius. Apalagi jika dikaitkan
dengan corak kehidupan masyarakatnya yang agraris, orientasi budaya yang
194
bersifat mistis-religius, sampai sekarang masih dapat dirasakan dalam konteks
kehidupan tradisi masyarakat Minangkabau.
Berbicara tentang filosofi estetika tageh tari ulu ambek secara tradisional,
banyak sumber nilai budaya yang dapat diungkap dan dikonstruksi untuk
dijadikan sebagai wacana dalam melihat dan memahami masalah yang berkenaan
dengan keindahan tari ulu ambek. Sumber nilai budaya yang tercermin dalam tari
ulu ambek meliputi estetika kosmologi, estetika simbolik, dan estetika kehidupan
masyarakat Pariaman.
Dalam pandangan budaya Pariaman, tari ulu ambek memperlihatkan
adanya nilai keteraturan. Keteraturan itu, bukan hanya dalam kaitan dengan
masalah keindahan tageh secara fisik, melainkan dalam segala hal orang Pariaman
harus bisa hidup teratur. Seseorang belum dapat disebut orang Minang atau orang
Pariaman jika belum bisa menjaga keteraturan dalam hidup dan kehidupan. Untuk
dapat memperoleh keteraturan, maka segala sesuatunya harus dilakukan secara
sistematis. Pandangan ini sesungguhnya bersumber dari nilai budaya kosmologis,
yakni pengetahuan atau pandangan orang Pariaman dan alam raya yang selama ini
menjadi guru yang baik bagi masyarakat.
Alam merupakan semesta yang teratur. Perjalanan bulan dan matahari,
peredaran bintang, siklus tumbuhan, air yang mengalir, dan sebagainya
merupakan keteraturan yang diciptakan oleh Sang Penguasa alam. Keteraturan
alam sebagai bagian dari kosmologi tergambar pada laga-laga alek nagari yang
dibangun untuk kebutuhan tari ulu ambek. Adanya tirai, tabir dan cermin pada
langit-langit laga-laga memperlihatkan bahwa permainan tari ulu ambek
195
dilindungi oleh kekuasaan maha tinggi, yaitu Tuhan semesta alam. Hal di atas
juga dikatakan oleh Ediwar:
“Laga-laga tempat bermain ulu ambek dibangun dari bahan yang ada di
alam atau yang ada di sekeliling kita. Hal ini bisa dilihat dari atap laga
yang terbuat dari daun, tonggaknya dari kayu, lantainya dari buluh,
hiasannya dari janur kuning, dan sebagainya” (Wawancara, 4 Januari
2014).
Pernyataan di atas menjelaskan pembangunan laga-laga yang diambil dari alam
menjadi wadah yang konkret dari pemanfaatan manusia terhadap alam semesta.
Dalam wadah itu terdapat isi, yaitu unsur-unsur yang tidak dapat dilihat dan dapat
dilihat. Unsur-unsur yang dapat dilihat di dunia nyata, antara lain, flora, fauna,
gunung, dan manusia. Sementara itu, unsur yang tidak terlihat adalah Tuhan,
malaikat, setan, dan sebagainya yang mendiami dunia gaib. Keseimbangan antara
dunia yang terlihat dan dunia yang tidak terlihat inilah yang harus dijaga manusia.
Penyatuan dua alam ini tergambar dari laga-laga tempat tari ulu ambek
dilaksanakan. Dunia atas dan dunia bawah ada pada pendirian laga-laga tersebut.
Menurut teori hegemoni Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2004: 62)
bahwa alam mempunyai kekuasaan sendiri dalam tari ulu ambek. Alam menjadi
dominasinya menjadi penting. Untuk itu, manusia tidak bisa seenaknya
mengeksplorasi alam. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan,
tetapi melalui bentuk-bentuk persetujuan manusia dengan alam itu sendiri.
Menurut pandangan orang Pariaman, dunia gaib merupakan misteri
kekuasaan yang mengelilingi kehidupan sehingga mereka sangat bergantung dari
kekuasaan alam gaib tersebut. Secara umum, orang Pariaman percaya bahwa
segala sesuatu di dunia ini hakikatnya merupakan kesatuan hidup. Kehidupannya
196
senantiasa terkait erat dengan alam raya. Orang Pariaman memandang bahwa
bermain tari ulu ambek merupakan kegiatan profan. Namun, di balik keprofanan
itu terbentuk sebuah hubungan dengan kegiatan yang sakral, yaitu nilai-nilai yang
berhubungan dengan Tuhan. Memang secara umum manusia Pariaman tidak
mungkin memisahkan suatu yang sakral dari yang profan, yang bersifat adikodrati
dan yang berakar pada dunia nyata dari yang berakar pada alam semesta.
Kehidupan alam semesta yang tergambar pada tari ulu ambek merupakan
sesuatu yang teratur dan bertingkat hierarkis. Penghulu meminjamkan
“pakaiannya” kepada kapalo mudo untuk dimainkan dalam bentuk tari ulu ambek.
Pakaian ini kemudian dijadikan alat untuk bisa membangun hubungan silaturahmi
antarmanusia yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mengagungkan penghulu
sebagai anutan masyarakat secara umum. Pemain tari ulu ambek memiliki
kewajiban moral menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup dengan segala
tatanan yang ada pada diri penghulu yang kemudian dihubungkan dengan alam
semesta. Upaya melawan tatanan merupakan suatu dosa dan sekaligus
mengacaukan keselarasan dan keseimbangan yang akan membawa suatu
penderitaan.
Jika setiap orang yang berperan dalam tari ulu ambek melaksanakan tugas
kewajiban dengan berpegang pada aturan Ilahi yang berkuasa dan kekuasaan
pemimpin (penghulu) yang menjalankannya, maka orang itu akan menuju
keselamatan di dunia serta menciptakan kehidupan yang berlandasan “adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah”(adat bersedikan agama, agama
197
bersendikan Alqur’an). Di sinilah letak kesimbangan dan keselarasan antara dunia
atas dan dunia bawah, seperti dikatakan oleh Sjamsurijal berikut:
“Nilai tageh juga terletak dari keteguhan pendukung kebudayaan tersebut
terhadap agama. Agama mengajarkan agar manusia memiliki sikap yang
tegas terhadap pelaku yang menyimpang dari agama. Alquran jelas-jelas
memberi petunjuk agar manusia punya sikap yang jelas”. (Wawancara, 4
Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa nilai keindahan tageh yang agamis
berkaitan dengan estetika simbolik terdapat pada estetika gerak tari ulu ambek.
Posisi tangan, langkah, serang dan bertahan ditempatkan sesuai dengan peran,
fungsi, atau kategorinya. Hal ini sejalan dengan ungkapan tradisional Pariaman
tabang nan basitumpu, hinggok nan basitakam (terbang ada tumpuan, hinggap
ada yang ditancapkan), artinya sesuatu itu harus ada pijakan yang jelas dalam
mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, aspek penataan, penempatan, atau
pemanfaatan suatu hal, termasuk struktur-struktur yang membangun tari ulu
ambek menjadi penentu nilai keindahannya.
Dominasi agama Islam dalam teori ideologi Gramsci dan Althuser (dalam
Barker, 2009: 60-62) tentang Ideological complexes muncul untuk menjaga
hubungan antara kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). Komponen
ideological complexes terdiri atas dua model, yaitu model relasional (klasifikasi
jenis social agent, aksi, objek, dan lain-lain) dan model aksi (spesifikasi aksi dan
perilaku yang diharuskan, diizinkan, dilarang). Agama punya kuasa terhadap tari
ulu ambek.
Dalam gerak tari ulu ambek terdapat filosofi tageh melalui sikap dan
tindakan-tindakan tertentu yang dianggap bermakna dalam upaya memenuhi
198
kebutuhan hidup menurut kebudayaan orang Pariaman. Orang Pariaman tidak
akan bertindak gegabah seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial
alamiah saja karena semua peristiwa alam empirik dipercaya berkaitan erat
dengan alam nonempirik. Bahkan, hal itu berlaku dalam beberapa unsur
kebudayaan, seperti bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusastraan,
keyakinan keagamaan, ritus, ilmu gaib, dan pantangan serta beberapa pranata
dalam organisasi sosialnya, dan pemaknaan estetika simboliknya.
Sistem klasifikasi simbolik tari ulu ambek didasarkan pada dua, tiga,
empat, dan lima kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori dikaitkan
dengan hal-hal yang berlawanan, tetapi saling membutuhkan, terutama antara dua
pemain tari ulu ambek. Pemain tari ulu ambek menempati dua posisi yang saling
berhadapan, posisi tamu dan tuan tuan rumah, posisi menyerang dan posisi
bertahan. Di samping posisi pemain, juga posisi tempat bermain, yaitu lantai dan
langit-langit, manusia dan Tuhan. Kategori tiga berkaitan dengan tiga tungku
sejarangan, yaitu alim ulama, penghulu, dan cendekiawan. Dalam tari ulu ambek
kategori tiga adalah dua pemain dan janang. Pemain sangat bergantung pada
janang yang menjadi wasit bagi mereka.
Kategori empat adalah hubungan pemain tari ulu ambek dengan janang
dan penghulu (ninik mamak). Posisi ini memperlihatkan bahwa empat unsur yang
membangun tari ulu ambek yang saling berkaitan. Pakaian penghulu dimainkan
oleh pemain tari ulu ambek yang diawasi oleh janang. Estetika yang
membangunnya menjadi lebih dinamis. Sementara itu, kategori lima, yang
199
menambahkan satu unsur, yaitu musik vokal (dampeang) yang menjaga ritme
permainan.
Dalam perspektif budaya Pariaman, keindahan karya seni ulu ambek
haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Nilai harmoni akan memberikan kesan
tenang, tenteram, damai, cocok, selaras, serasi, dan seimbang dalam persepsi
estetis seseorang yang menikmatinya. Harmoni merupakan salah satu orientasi
penting kehidupan orang Pariaman yang harus dapat diimplementasikan dalam
seluruh aspek kehidupannya. Agar hidup memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan lahir batin, orang harus dapat menjalin hubungan yang selaras,
serasi, dan seimbang dengan sesama, dengan lingkungan alam, dan dengan
kekuatan-kekuatan gaib lainnya, yakni penguasa atau pencipta alam semesta. Tari
ulu ambek memberikan kaharmonisan yang nyata atas hubungan manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan
agar terjaga dengan baik, seperti terlihat pada gambar 5.20, yakni sirih dalam
carano yang merupakan simbol keharmonisan.
Prinsip gotong royong yang tergambar dalam pepatah Minangkabau
surang basampik-sampik, rami balapang-lapang (sendiri akan sempit, banyak
akan luas) memperlihatkan bahwa orang Pariaman suka hidup bermasyarakat dan
menghindari individualistik. Hal ini mencerminkan rasa saling menghormati dan
menjaga perasaan orang lain. Dalam tari ulu ambek terlihat ketika pemain
melakukan salaman dengan semua orang, maka hal ini merupakan cerminan
saling menghargai.
200
Gambar 5.18
Dua buah Carano yang Berdampingan Menandakan Penghulu
di Pariaman Hidup Berdampingan dengan Damai
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Filosofi estetika tageh juga berkaitan dengan segala hal yang
menimbulkan konflik atau pertentangan diupayakan untuk diberikan makna
positif sesuai juga dengan mamangan adat basilang kayu di tungku, disinan mako
api ka hiduik (bersilang kayu di tungku, maka di sana api akan hidup) yang
artinya walaupun berlawanan, akhirnya didapat juga hal yang baik. Konflik atau
pertentangan dirasakan dan dipercaya akan menimbulkan kenyamanan kalau
diberikan makna positif sehingga tidak menimbulkan kesengsaraan, dendam, dan
sebagainya yang bisa bermakna negatif. Keharmonisan akan terletak pada makna
yang didapat dari perbedaan. Perbedaan gerak antara pemain menyerang dan
pemain bertahan dalam tari ulu ambek memberikan kesan bahwa pertunjukan
tersebut lebih estetis.
Filosofi tageh sebagai pandangan hidup yang berorientasi menuju ke
harmoni tersebut, secara simbolik terekspresikan dalam tari ulu ambek.
Keharmonisan karya tari ulu ambek amat menentukan nilai keindahannya. Tata
201
gerak, busana, vokal, dan unsur lain dalam tari ulu ambek amat memperhatikan
nilai harmoni ini. Harmoni menjadi penting dalam upaya mendapatkan kesan
kesatuan antaraspek atau unsur yang ada dalam suatu gejala pada tari ulu ambek.
Hal itu penting karena tanpa nilai ini, kesatuan sebagai sebuah karya yang utuh
akan sulit dicapai yang pada gilirannya akan menimbulkan kesan tidak indah
dalam persepsi estetis penikmatnya.
5.5.2 Estetika Tradisi
Kebudayaan ada dan berkembang dalam tradisi-tradisi sosial suatu
masyarakat tidak terkecuali kebudayaan Pariaman dengan seni tari ulu ambek-nya.
Tari ulu ambek adalah permainan penghulu yang dimainkan anak muda di
masyarakat Pariaman, digunakan secara bersama sebagai pedoman atau kerangka
acuan warga masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai tingkah laku yang
bertalian dengan kehidupannya, seperti dikatakan oleh Angku Sabar Dt.
Rangkayo Majo Basa berikut:
“Ulu ambek ko adolah pamenan pangulu nan dimainkan dek anak mudo.
Istilahnyo pakaian pangulu nan disalangan ka anak mudo. Jadi anak
mudo nan manyalang tantu punyo tangguangjawaok nyo jo nan disalang
tu. Kalau indak pasti anak mudo tu mandapek akibaik buruak”. (ulu
ambek adalah permainan penghulu yang dimainkan oleh anak muda.
Istilahnya pakaian penghulu yang dipinjamkan ke anak muda. Jadi anak
muda harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipinjamnya. Kalau
tidak bertanggungjawab maka anak muda tersebut akan mendapatkan
akibat buruk) (Wawancara, 5 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa nilai budaya yang kelihatan pada tari ulu
ambek menjadi milik masyarakat Padang Pariaman sebagai ahli warisnya.
Keberadaan penghulu (datuk) sebagai pengayom masyarakat merupakan simbol
202
budaya masyarakat Pariaman. Cerminan dari istilah “pakaian penghulu”
menjadikan tari ulu ambek melekat dalam budaya Pariaman. Hal tersebut yang
terlihat pada gambar 5.21 bahwa pakaian kebesaran penghulu menjadi pedoman
dalam bermasyarakat.
Gambar 5.19
Simbol Kebesaran Ninik Mamak
(Dokumen: Yulinis, 2011)
Menurut Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2004:62), suatu blok
historis faksi kelas berkuasa akan menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan
atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan konsesnsus.
Dalam kenyataan empirik pada tingkat individu dimungkinkan terjadi
penyimpangan sikap dan tingkah laku sebagai akibat pengetahuan kebudayaan
yang dimiliki. Ada kalanya penghulu itu bersikap menyimpang dari hal yang
ideal, tetapi sikap dan tingkah laku sosial anggota suatu masyarakat akan selalu
203
terikat dengan norma-norma yang melekat dengan eksistensi penghulunya.
Kebudayaan Pariaman yang tercermin dalam tari ulu ambek selalu berada dalam
kerangka ideal karena merupakan gambaran ideal penghulu. Tari ulu ambek
tidak bebas dari kebudayaan yang pada hakikatnya merupakan kompleksitas
pengetahuan, nilai-nilai, gagasan-gagasan vital, serta keyakinan atau kepercayaan-
kepercayaan yang menguasai masyarakat Pariaman, seperti dikatakan oleh
Khaidir berikut
“Kurenah pangulu nan tacamin di pakaiannyo adolah nilai nan manjadi
padoman bagi masyarakaik kito. Caro basalam, caro duduak, caro
malangkah dan sabagainyo mampaliekan nilai nan patuik dicontoh”.
(perilaku penghulu yang tercermin dipakainnya adalah nilai yang menjadi
pedoman bagi masyarakat kita. Cara bersalam, cara duduk, cara
melangkah dan sebagainya memperlihatkan nilai yang patut dicontoh).
(Wawancara, 4 Januari 2014).
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa peranan tari ulu ambek terlihat sebagai
mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia atau sebagai pola-pola bagi tingkah
laku manusia Pariaman. Tari ulu ambek memiliki serangkaian aturan, kombinasi
gerak, rencana, strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang
digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan
lingkungan yang dihadapi.
Berdasarkan teori ideologi Althuser dan Gramsci (Santosa, 2010:3) bahwa
ideologi berarti kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dengan
demikian, tari ulu ambek dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan,
kepercayaan, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial
yang berisi perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna
204
yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara
historis.
Model-model pengetahuan yang ada dalam tari ulu ambek digunakan
secara selektif oleh warga masyarakat Pariaman untuk berkomunikasi,
melestarikan, dan menghubungkan pengetahuan, bersikap, dan bertindak dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Gambaran nilai budaya ini memang tidak
selalu berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh globalisasi
yang melanda warga Pariaman. Akibatnya, tari ulu ambek sedikit banyak telah
terkikis oleh zaman yang semakin canggih.
Kebudayaan dapat dilihat sebagai latar bagi suatu tipe masyarakat yang
bersifat normatif dan melahirkan gaya hidup tertentu dengan tipikal dan makna
berbeda. Dalam menciptakan gaya hidup seperti itu, yang hanya mungkin
terwujud melalui aturan-aturan yang diterapkan bersama, suatu perangkat model
kognitif, sistem simbol, dan beberapa visi dari suatu yang ideal diberikan bentuk
sehingga tari ulu ambek bisa menjadi pedoman ataupun aturan yang tidak tertulis
sebagai budaya yang mampu beradaptasi dengan zamannya.
Tari ulu ambek sebagai salah satu unsur kebudayaan sesungguhnya
merupakan simbol yang merefleksikan atau mengekspresikan kebudayaan itu
sendiri. Perbedaannya dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain, dalam
perwujudannya tari ulu ambek senantiasa terwadahi dalam kemasan bentuk estetis
yang spesifik. Kemasan bentuk estetis yang spesifik ini dibangun dalam suatu
komposisi yang harmonis sesuai dengan cita rasa warga masyarakat Pariaman,
seperti dikatakan oleh Sjamsurijal berikut:
205
“Masyarakat tradisi memiliki kerangka sendiri dalam menilai sebuah
kebudayaan. Ketika sebuah kebudayaan muncul untuk menciptakan
keharmonisan, maka masyarakat memberikan apresiasi yang baik untuk
kebudayaan tersebut. Hal ini memberikan perbedaan dengan kebudayaan
lain karena mengalami proses yang berbeda pula” (Wawancara, 4 Januari
2014).
Pernyataan di atas menggambarkan cita rasa (taste) dari tari ulu ambek bahwa
suatu hal yang muncul dari properti, gerak, vokal, dan sebagainya dirasakan
harmonis dan sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan atau nilai-nilai yang
berkembang dan dimiliki oleh warga masyarakat Pariaman. Artinya, bentuk estetis
tari ulu ambek yang sesuai dengan cita rasa ini bersifat lokal. Dengan kata lain,
tari ulu ambek merupakan simbol ekspresi-estetis yang mengungkapkan
pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, dan nilai-nilai budaya.
Berdasarkan teori semiotika Barthes (Aart van Zoest, 1996:82--88) bahwa
hubungan antara langue dan parole dalam hubungannya dengan sistem objek,
gambar, atau sikap yang belum dipelajari dalam semantik. Seluruh elemen dalam
membangun tari ulu ambek sepenuhnya menggambarkan keharmonisan
masyarakat dalam membangun kebudayaannya.
Estetika tari ulu ambek oleh masyarakat Pariaman akan berbeda dengan
estetika tari kelompok masyarakat yang lainnya. Hal ini terjadi karena proses
bersikap dan berperilaku seni senantiasa dipengaruhi, diarahkan, dan dikendalikan
secara budaya. Hal itu bermakna bahwa tari ulu ambek tidak ada di negeri lain di
Minangkabau, kecuali di Pariaman.
Secara tradisional, bangsa-bangsa di wilayah Timur, pada umumnya dan
Pariaman khususnya memiliki orientasi nilai budaya yang bersifat mistis, magis,
kosmis, dan religius. Bangsa yang berorientasi pada nilai budaya seperti ini secara
206
umum ingin hidup menyatu dengan alam karena mereka menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari alam. Alam sebagai sumber kehidupan memiliki kekuatan
atau potensi-potensi tertentu yang memberikan dan memengaruhi kehidupannya.
Segala sesuatunya diarahkan untuk menuju kekehidupan yang harmonis
dengan alam dan berusaha menghindari segala hal yang berakibat bertentangan
dengan alam. Dalam pandangan semacam itu alam adalah makrokosmos dan
manusia adalah mikrokosmos. Oleh karena itu, jika ingin kehidupan ini sejahtera
dan selamat, manusia sebagai mikrokosmos haruslah berusaha menyatukan,
menyelaraskan, dan mengharmoniskan kehidupannya dengan alam sebagai
makrokosmos.
Masih terkait dengan pandangan tersebut, alam semesta (makrokosmos)
dipercayai memiliki kekuatan yang menjaga, menunggui, atau menciptakannya.
Kekuatan yang dimaksudkan itu dalam pandangan mereka dapat berupa kekuatan-
kekuatan gaib, roh-roh nenek moyang, dewa-dewa, Tuhan, atau hal-hal lain yang
bersifat transendental. Oleh karena itu, selain harus berusaha menjaga hubungan
dengan alam, manusia juga harus menghargai Tuhan sebagai penguasa alam.
Kehidupan manusia tidak akan pernah sejahtera atau selamat jika mengabaikan
upaya menjalin hubungan yang harmonis dengan alam dan penguasa alam.
Pandangan ini menjadi mitos atau kepercayaan yang secara tradisional harus
diimplementasikan dalam berbagai aktivitas kehidupannya termasuk dalam
beraktivitas di bidang tari ulu ambek.
Pandangan semacam ini, misalnya, tersirat dalam ungkapan adat suku
bangsa Minangkabau yang berbunyi “alam terkembang jadi guru” (alam
207
takambang jadi guru) yang bermuatan pesan bergurulah pada sifat dan hukum
alam dan pelajarilah alam itu untuk sampai pada hakikat makna yang tersirat,
yang tidak lain adalah kebenaran, dan kebenaran itu adalah Sang Pencipta Alam
Semesta itu sendiri. Alam semesta adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan terkait
dengan hidup manusia, terutama dengan unsur-unsur kehidupan.
Kehidupan masyarakat Pariaman sebagai masyarakat agraris sehingga
menjaga hubungan silaturahim dengan lingkungan menjadi sebuah keharusan.
Lingkungan tersebut dapat berupa, baik lingkungan fisik maupun nonfisik,
termasuk Tuhan yang mengatur dirinya. Idealnya kehidupan manusia Pariaman,
diyakini sebagai ukurannya, ialah apabila manusia dapat menyatukan diri dengan
ketentuan-ketentuan Tuhan yang dalam pepatah adat Pariaman berbunyi adat nan
sabana adat (adat yang sebenar adat). Filosofi inilah yang menjadi inti pandangan
budaya dalam kehidupan masyarakat Pariaman.
Pandangan tentang kebudayaan Pariaman dalam tari ulu ambek
menyiratkan pengertian bahwa terjadi keteraturan atas semua unsur yang ada di
dalamnya. Orang dapat selamat dalam bermain tari ulu ambek ketika berada
dalam keteraturan. Jika ada unsur-unsur yang menyebabkan seorang pemain
kehilangan konsentrasi bermain dan menyebabkan terjadi buluih, maka
keseimbangan akan terganggu. Jika hal ini terjadi, maka bencana akan datang
menimpa pemain tersebut, yaitu ketakutan menghadapi orang banyak apalagi
menghadapi rekan-rekan sesama pemain tari ulu ambek. Hal ini tersirat dalam
ungkapan adat, yaitu hiduik baraka mati bariman (hidup berakal mati beriman).
Pandangan ini terlihat sejalan dengan orientasi budaya mistis-religius yang
208
menjadi karakter kebudayaan masyarakat Pariaman.
Nilai budaya yang bersumber dari pandangan masyarakat Pariaman, dalam
tari ulu ambek sangatlah diperlukan, baik dalam menjaga ritme gerakan,
dampeang, maupun unsur lain yang membangun. Orang Pariaman sulit
memahami kebudayaan kalau belum berada dalam tataran nyata. Untuk itu, tari
ulu ambek sebagai wujud nyata nilai budaya memberikan informasi tentang nilai
tersebut kepada masyarakatnya. Semakin runtut dan teratur suatu sajian seni apa
pun, termasuk tari ulu ambek, maka semakin enak dinikmati atau dirasakan nilai
keindahan dan nilai budayanya.
Dalam kaitan dengan tari ulu ambek secara khusus, ada ketentuan yang
mengikat manusia yang menjalaninya. Keindahan budaya yang tercermin dalam
pepatah nan kuriak kundi, nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso (yang
kurik kundi, yang merah saga, yang baik budi, yang indah bahasa) menjadi
pedoman yang sangat berharga dalam pergaulan pendukung tari ulu ambek.
Bahasa menjadi penting karena bahasa bisa menciptakan pergaulan yang
berintikan hubungan silaturahmi. Sebagus apa pun tari ulu ambek, tidaklah patut
jika dipentaskan di luar laga-laga.
Dalam hal tata waktu, penempatan atau penyajian suatu karya seni,
terutama tari ulu ambek, harus memiliki daya tarik tersendiri. Dalam kebudayaan
Pariaman, menghitung hari baik dan bulan baik untuk melakukan suatu kegiatan
sangat menentukan hasil kegiatan tersebut. Waktu yang kurang pas akan berakibat
tidak baik dalam menjalankan aktivitas tari ulu ambek.
Hukum-hukum yang tidak tertulis merupakan hal yang wajib ditaati oleh
209
masyarakat Pariaman. Secara tradisional masyarakat Pariaman hanya mengenal
hukum lisan. Akibatnya, masyarakat harus menanamkan pada dirinya bahwa ada
hukum yang akan ditaati sebagai acuan untuk berperilaku menuju ke arah
kebaikan. Hukum tidak tertulis inilah yang selalu digambarkan oleh tari ulu
ambek dalam setiap pertunjukannya. Gambaran bagaimana seharusnya penghulu
bersikap merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Pelajaran tersebut
merupakan hal yang perlu dipertahankan dan diberikan kepada generasi muda
agar mereka memiliki bekal dalam mengarungi bahtera kebudayaan Pariaman
yang tertuang dalam seluruh eleman tari ulu ambek.