relasi budaya dan agama (studi fenomenologi makam …
TRANSCRIPT
RELASI BUDAYA DAN AGAMA
(Studi Fenomenologi Makam Imam Lapeo Di Campalagian Kab. Polman)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
Sukriawan
NIM. 10538334915
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JANUARI, 2020
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Hidup banyak...
Mati sekali...
Kupersembahkan karya ini untuk :
Kedua orangtuaku tercinta, Ayah Suaib dan Ibu Salma.
Yang telah mendidik, mendoakanku disetiap sujudnya, membesarkan, menopangku saat
terjatuh, dan membimbingku dalam menjalani kerasnya kehidupan di dunia ini.
Saudara, keluarga, senior, dan sahabat yang telah memotivasi, memberi saran, kritik,
doa, serta dorongan untuk selalu berfikir maju dan jauh lebih hingga dapat mewujudkan
apa yang menjadi cita-cita dan harapan menjadi kenyataan.
ABSTRAK
Sukriawan. 2020. Relasi Budaya dan Agama (Studi Fenomenologi Makam Imam
Lapeo). Skripsi. Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh pembimbing 1
Muhammad Nawir dan pembimbing 2 Sam’un Mukramin.
Masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana relasi budaya dan agama
pada fenomena makam Imam Lapeo dan dampak terjadinya relasi budaya dan agama
pada fenomena makam Imam Lapeo di Polman. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui relasi budaya dan agama pada makam Imam Lapeo dan untuk mengetahui
dan menganalisis dampak relasi budaya dan agama pada makam Imam Lapeo di Polman.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, suatu proses pengumpulan data secara
sistematis dan intensif untuk memperoleh pengetahuan dan informasi. Maka dalam
penelitian ini peneliti mengamati dan berinteraksi dengan masyarakat di Desa Lapeo
Kecamatan Campalagian Kabupaten Polman dengan wawancara mengkaji
dokumentasinya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, yang menybabkan terjadinya relasi budaya dan
agama pada makam Imam Lapeo di Polman yaitu: 1) Keadaan makam Imam Lapeo. 2)
Proses dan perilaku ziarah makam Imam Lapeo. 3) Motivasi ziarah makam Imam Lapeo.
Dampak terjadinya relasi budaya dan agama pada makam Imam Lapeo yaitu: 1) Ziarah
makam Imam Lapeo sebagai tempat bernazar dan penghormatan leluhur. 2) Adanya sikap
fanatik.
Kata Kunci: relasi budaya dan agama, ziarah makam
ABSTRACT
Sukriawan, 2020. The relations of Culture and Relegion (The Phenomenology of
Imam Lapeo Graves), Under the Thesis of Sosiology Education Department the Faculty
of Teacher Training and Education, Muhammadiyah University of Makassar, supervised
by Muhammad Nawir and Sam’un Mukramin.
The main problems of this research were how did the relations of culture and
religion in the phenomenology of Imam Lapoe’s tomb and the impact of cultural and
religious relations on the phenomenon of Imam Lapeo's grave in Polman. The objectives
of this research to be knew the relations of culture and religion in the graves of Imam
Lapeo and also to be knew and analyzed the impact of the relations between culture and
religion in Imam Lapeo grave.
This research was qualitative phenomenology approach, it was a process
collecting data systematically and intensive to find out the knowledge and the
information. Then in this research, the researcher observed and interacted with the people
in desa Lapeo, kecamatan Campalagian kabupaten Polman by interviewed and investigate
the documentation.
Based on the result of research, the caused the relation of culture and religion in
Imam Lapeo grave in Polman, they were: 1) The condition of Imam Lapoe grave, 2) The
process and the behavior of visitor Imam Lapeo grave, 3) The visitors motivation of
Imam Lapeo grave. The impact of the relation of culture and religion in Imam Lapeo
grave, they were: 1) Visiting the grave of Imam Lapeo as place for make a promise and
reverence to the ancestors, 2) there were fanaticism behavior.
Keywords: The relation of culture and religion, Grave visitors.
KATA PENGANTAR
Bimillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada
Rasulullah SAW, keluarga, dan sahabatnya. Selanjutnya, penulis ini ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran
penulisan skripsi ini, baik berupa dorongam moril maupun materil. Karena penulis yakin
tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan
penulisan proposal ini. Disamping itu, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Kepada Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bapak Erwin
Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D serta para Wakil Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Pendidikan Muhammadiyah Makassar. Ketua Program Studi
Pendidikan Sosiologi Bapak Drs. H. Nurdin, M.Si, beserta stafnya. Bapak Dr.
Muhammad Nawir, M.Pd. sebagai pembimbing I (satu) dan Bapak Sam’un Mukramin,
S.Pd., M.Pd, selaku pembimbing II (dua) yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta Bapak dan Ibu dosen
Program Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam
rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat
dikemudian hari.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial saya haturkan
dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua saya yang tercinta, Ayahanda
Suaib dan Ibunda Salma serta saudara saya Nirwana dan Nurmadina yang dengan segala
pengorbanannya tak akan pernah saya lupakan jasa-jasanya. Doa restu, nasihat, dan
petunjuk dari mereka yang merupakan moril yang sangat efektif bagi kelanjutan studi
saya hingga saat ini.
Dan tak lupa kepada Sulfiani Asri dan kawan-kawan seperjuangan dikelas 15E
terkhusus Arfandi dan Windasari Iskandar yang selalu memberikan saya bantuan dan
dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat
Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Amin ya Rabbal a’lamin.
Unismuh Makassar, Januari 2020
Sukriawan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .......................................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN .............................................................................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi
ABSTRAK ................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori .................................................................................................... 9
1. Hasil Penelitian yang Relevan……………………………………… ........ 9
2. Relasi Budaya dan agama ........................................................................ 10
3. Manusia dan Budaya ................................................................................ 20
4. Agama dan Masyarakat ........................................................................... 22
5. Landasan Teori ........................................................................................ 24
B. Kerangka Pikir ............................................................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................................................................. 28
B. Lokasi Penelitian ........................................................................................... 28
C. Fokus Penelitian ............................................................................................ 28
D. Informan Penelitian ....................................................................................... 29
E. Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 29
F. Instrumen Penelitian...................................................................................... 30
G. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 30
H. Teknik Analisis Data ..................................................................................... 31
I. Teknik Pengabsahan Data ............................................................................ 32
BAB IV DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN DANDESKRIPSI KHUSUS
DAERAH PENELITIAN
A. Deskripsi Umum Kabupaten Polman Sebagai Daerah Penelitian .................. 34
1. Sejarah Singkat Kabupaten Polman ......................................................... 34
2. Kondisi Geografis dan Iklim .................................................................... 35
3. Topografi,Geologi dan Hidrologi ............................................................ 36
4. Kondisi Demografi .................................................................................. 39
B. Deskripsi Khusus Desa Lapeo sebagai Latar Penelitian ................................ 41
1. Sejarah Singkat Desa Lapeo ................................................................... 41
2. Tingkat Pendidikan ................................................................................ 41
3. Kehidupan Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya ...................................... 42
4. Kehidupan Keberagaman ....................................................................... 43
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................................. 45
1. Relasi Budaya dan Agama pada Makam Imam Lapeo ........................... 45
2. Dampak Relasi Budaya dan Agama terhadap Makam
Imam Lapeo ........................................................................................... 54
B. Pembahasan................................................................................................... 60
1. Relasi Budaya dan Agama pada Makam Imam Lapeo ........................... 60
2. Dampak Relasi Budaya dan Agama terhadap makam Imam lapeo ........ 64
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 68
B. Saran ............................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Table 4.1 Luas Penyebaran Kelas Topografi Lereng Kabupaten Polman.................... 37
Table 4.2 DAS (Daerah Aliran Sungai) Kabupaten Polman........................................ 39
Table 4.3 Penduduk di Kabupaten Polman, 2015 ........................................................ 39
Table 4.4 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di
Kabupaten Polman, 2015 ............................................................................................ 40
Tabel 4.5 Penduduk menurut strata Pendidikan .......................................................... 42
Tabel 4.6 Keadaan Sarana Ekonomi Desa Lapeo Tahun 2015 .................................... 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar IV.1 Peta Administrasi Kota Bontang ............................................ 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan agama, budaya, suku bangsa, ras,
bahasa, etnis dan golongan. Semua itu merupakan fakta yang tidak bisa kita
pungkiri. Kekayaan Indonesia yang begitu luas tersebut bisa menjadi modal bagi
kemajuan negara. Namun, di sisi lain juga menjadi tantangan yang serius.
Perbedaan-perbedaan tersebut bisa membuat kotak-kotak sosial yang membatasi
gerak sosial satu sama lain. Bahkan, bisa jadi menimbulkan ketegangan-
ketegangan sosial, baik itu yang terekpresi secara eksplisit maupun tidak.
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang
dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga
menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang
dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan
agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan
untuk menyenagkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan
untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan
seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat
mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan
1
penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya
dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak tanggung jawab.
Hubungan kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-
unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan
perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan;
kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang
berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk
berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu
atau warisan nenek moyangnya, melainkan termasuk mengembangkan hasil-hasil
kebudayaan. Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada
komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun
temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya, namun
kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam
komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama
ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu, banyak unsur-unsur kebudayaan
(misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) diisi formula
keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan
kebudayaan. Kebudayaan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah
berubah yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau
unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang
memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada
perubahan kebudayaan.
Gambaran fakta di atas, telah terjadi di banyak wilayah. Graaf (1958)
bahkan menyebutkan, kerajaan Pajang yang sultan pertamanya kala itu adalah
Mas Karebet berada di pedalaman Jawa, corak masyarakatnya banyak yang
menganut paham animisme dan Hindu-Budha. Karena itulah strategi dakwah yang
digunakan adalah bentuk sinkretisme.
Pada periode sekarang, banyak yang menganggap sikap akomodatif
agama Islam pada budaya ini diwarisi oleh organisasi Nahdlatul Ulama’. Tentu
saja corak beragama yang akomodatif pada budaya ini tidak dapat dihilangkan.
Pasalnya kultur seni telah menyatu dalam keberagaman, terutama dalam sistem
sosial kemasyarakatan sejak manusia hidup sampai meninggal dunia. Hal ini
dapat kita jumpai dalam kultur Islam di Jawa yang sering menggunakan sesaji
dalam beberapa ritualnya yang bersifat komunal: panen, bersih desa, pernikahan,
dan lain sebagainya Qodir (2011:160).
Islam Jawa memang tidak menampakkan diri sebagai Islam yang
syariah oriented. Model Islam yang syariah oriented ini bagi sebagian kalangan
bahkan dianggap menakutkan. Karakter masyarakat Jawa yang mengedepankan
perdamaian dari pada pertentangan sangat mendukung model ber-Islam yang
mempadukan budaya dan agama. Watak ini dianggap sesuai dengan karakter
penyebaran Islam awal di Nusantara yang mengedepankan persahabatan
Kuntowijoyo (2001:38).
Namun demikian, tafsir relasi agama dan budaya tidak tunggal. Ada
penafsiran lain yang melihat tidak ada relasi antara agama dan budaya. Terlebih
jika budaya yang dimaksud mengandung unsur-unsur animisme dan nilai-nilai
Hindu-Budha. Meminjam istilah Suyono, dia menyebut ini sebagai gerakan
puritan. Gerakan ini jika dilacak akar ideologinya bisa ditemukan dalam diri Ibnu
Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka mempunyai visi hendak
merevisi cara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat telah keluar dari
tuntutan yang telah diberikan oleh kitab suci. Pada titik ini upaya dilakukan guna
mengembalikan keagamaan masyarakat pada garis yang diyakini merupakan
kebenaran dalam agama.
Upaya di atas menjadi begitu radikal di masanya. Mereka menyerang
praktik beribadah yang dianggap memuja guru-guru sufi, taqlid dan tawasul.
Pandangan ini dianggap bisa membawa degradasi moral sebab melenceng dari
ajaran yang di bawah oleh Nabi Muhammad Saw, beberapa kalangan menyebut
ini sebagai bid’ah. Selain itu, masyarakat yang telah larut dalam budaya takhayul
dan bid’ah juga harus dimurnikan kembali keagamaannya pada ajaran agama
yang otentik, paham semacam inilah yang dianggap membawa gen Islam yang
anti terhadap budaya Hendro dan Ali (2002:30).
Secara keorganisasian, pandangan di atas dinisbatkan pada
Muhammadiyah. Sejak kelahirannya, banyak yang mengatakan gerakan ini anti
terhadap budaya. Bahkan, mereka memperkenalkan adagium TBC (takhayul,
bid’ah, dan khurofat). Namun pandangan semacam ini disangkal oleh salah
seorang pemikir Muhammadiyah, Najib Burhani. Dia menegaskan, diawal
kelahirannya Muhammadiyah bukanlah organisasi yang anti pada budaya.
Muhammadiyah sendiri lahir di pusat budya Jawa karena Yogyakarta juga
Surakarta, dianggap oleh orang jawa sebagai pusat peradaban. Budaya keraton
(estetik, moral, politik, artistic keagamaan, dan sebagainya) dipandang sebagai
intisari budaya di seluruh Jawa. bahkan, Ahmad Dahlan selaku pendiri
Muhammadiyah merupakan abdi dalem. Najib juga menyebutkan bahwa
Muhammadiyah pada masa awalnya memberikan apresiasi terhadap surface-
culture (budaya permukaan) Jawa Burhani (2010:54).
Salah satu bentuk benturan budaya dan agama juga dapat kita lihat di
tanah Mandar yang terkenal dengan peradaban dan kebudayaan dan agama yang
masih kental eksis sampai saat ini yakni makam Imam Lapeo yang berada di
dalam pekarangan masjid Nuruttaubah atau lebih diknenal dengan masjid Imam
Lapeo di Polewali Mandar. Seantero Mandar atau Sulawesi Barat mungkin sudah
tahu dengan masjid ini, warisan yang ditinggalkan oleh ulama kharismatik
Mandar K.H. Muhammad Tahir atau yang awam dikenal dengan sebutan Imam
Lapeo.
Masjid yang setiap hari selalu ramai didatangi peziarah yang akan
menuju ke makam sang Imam yang terletak tepat disamping menara masjid.
Masjid ini tepatnya terletak di jalan poros Sulawesi Barat di Kecamatan
Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Sangat mudah menemukan masjid ini,
karena bentuk menara yang khasnya yang mereplika menara masjidil Haram di
Makkah, Saudi Arabia.
Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Campalagiang, Polman.
Mereka mempercayai dan menyakralkan makam seorang Imam Lapeo. Makam ini
merupakan makam wali penyebar Islam terdahulu di daerah tersebut yang berada
dalam masjid dan dianggap suci, menurut kepercayaan warga sekitar, dengan
mengunjungi makam beliau bisa mendapat berkah dan mendekatkan diri kepada
Allah yang Maha Esa. Semasa hidupnya, Imam Lapeo terkenal sebagai wali yang
menyebarkan Islam di Polman. Banyak masyarakat yang mengunjungi beliau
untuk meminta agar didoakan oleh beliau. Ketika beliau telah meninggal, hal
serupa bahkan masih terus berlanjut sampai saat ini sebagaimana diperlihatkan di
rumahnya, Boyang Kayyang, anak-anak perempuannya menggantikan peran Imam
Lapeo. Masyarakat percaya Allah SWT akan menjawab doa-doa mereka dan
setiap permasalahan akan ditemukan solusinya.
Masjid yang dulunya menjadi rumah tempat ibadah umat Islam atau
Muslim, dan sering dijadikan sebagai tempat kegiatan-kegiatan perayaan hari
besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur’an. Namun sebagian
masyarakat menjadikannya tempat wisata religi atau tempat ziarah dikarenakan
tepat di samping menara masjid terdapat makam Imam Lapeo selaku salah satu
wali atau penyebar Islam di tanah Mandar. Fenomena ini bagi sebagian kelompok
dianggap masih normal dan tidak merusak akidah, walau beberapa kelompok
tidak menyetujui praktek ziarah karena mereka berpikir ziarah adalah bagian dari
ciptaan budaya lokal dan praktek tradisional, dan tidak didukung oleh dogma
Islam yang berasal dari Qur’an atau hadits.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti sangat tertarik untuk meneliti
tentang “Relasi Budaya dan Agama (Studi Fenomenologi Makam Imam
Lapeo di Polman)”. Penelitian ini sangat perlu dilakukan untuk mengetahui
bagaimana relasi budaya dan agama tentang fenomena ziarah kubur di makam
Imam Lapeo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran umum pada latar belakang yang sudah
dipaparkan diatas, untuk lebih memfokuskan kajian masalah pada penelitian ini,
maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam Lapeo
di Polman?
2. Apa dampak terjadinya relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam
Lapeo di Polman?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas
yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam
Lapeo di Polman.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dampak relasi pada fenomena makam
Imam Lapeo di Polman.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat memperluas pengetahuan
budaya lokal yang ada di Indonesia dan sekaligus mengembangkan ilmu
tentang relasi budaya dan agama.
b. Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap bisa digunakan sebagai bahan
dan pengetahuan mengenai agama Islam, budaya ziarah kubur, dan perilaku
spiritual masyarakat peziarah makam Imam Lapeo.
c. Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi mengenai
perkembangan kebudayaan Islam di Polewali Mandar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat, khususnya bagi masyarakat Campalagian dapat
memperoleh masukan dalam mentranformasikan nilai agama dan budaya.
b. Bagi Tokoh Agama dan Tokoh Adat, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi berbagai pihak.
c. Bagi Pemerintah Setempat, sebagai sumber informasi mengenai wilayah
yang diteliti.
d. Bagi Peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan sebagai bekal dalam mengaplikasikan hubungan antara
budaya dan agama.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam suatu penelitian diperlukan dukungan hasil-hasil penelitian yang
telah ada sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian tersebut.
Peneliti pertama, Budiyanto (2013) dalam penelitiannya yang berjudul
Pergulatan Agama dan Budaya: Pola Hubungan Islam dan Budaya Lokal di
Masyarakat Tutup Ngisor, Lereng Merapi, Magelang Jawa Tengah. Menunjukkan
bahwa hasil penelitian tersebut sinkretisme antara agama dan kebiasaan lokal oleh
orang-orang di Tutup Ngisor tampak sebagai negosiasi. Negosiasi menyebutkan
adanya kebiasaan lokal mereka sendiri yang dipadukan oleh agama yang mereka
yakini sendiri. Akhirnya, disimpulkan bahwa sinkretisme bertujuan untuk
melindungi kebiasaan lokal dari musnah.
Peneliti kedua, Indrawardana (2014) dalam penelitiannya yang berjudul
Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan
Alam. Menunjukkan bahwa hasil penelitian tersebut pada dasarnya kearifan lokal
masyarakat sunda Kanekes disarikan dari pengalaman masyarakat Sunda lama
yang sangat akrab dengan lingkungan dan sudah lama hidup dalam masyarakat
peladang. Kearifan lokal adat, suatu kondisi sosial budaya yang di dalamnya
terkandung khasanah nilai-nilai budaya yang menghargai dan adaptif dengan alam
sekitar, dan tertata secara ajeng dalam suatu tatanan adat istiadat suatu
masyarakat. Walau pun sering dianggap kuno, nilai-nilai yang mereka ajarkan
9
dan praktek yang mereka jalankan masih merupakan cara yang terbaik untuk
memelihara lingkungan di zaman post-modern.
Peneliti ketiga, Kharisma (2017) dalam penelitiannya yang berjudul
Pengaruh Islam dan Budaya Kejawen Terhadap Perilaku Spiritual Masyarakat
Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah. Menunjukkan bahwa hasil
penelitian tersebut baik budaya maupun agama, keduanya memiliki peran masing-
masing dalam membentuk suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat. Dapat
diartikan keduanya bisa membentuk suatu karakter dalam komunitas masyarakat
di suatu wilayah.
Akulturasi budaya Jawa dan agama Islam menghasilkan suatu
pembaharuan dalam masyarakat. Dari segi keyakinan, ajaran sampai perilaku
masyarakat. Percampuran keduanya memberikan pengaruh terhadap pola pikir
masyarakat. Karakteristik dan perilaku spiritual masyarakat, bukan hanya
membentuk dari agama dan budaya yang ada saja, melainkan berasal dari tokoh-
tokoh masyarakat. Keputusan yang diambil oleh tokoh tersebut dalam
menentukan suatu hal akan memberikan dampak yang signifikan kepada pola
pikir dan perilaku masyarakat.
2. Relasi Budaya dan Agama
a. Konsep Budaya dan Unsur Kebudayaan
Secara umum budaya sendiri budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia, dalam
bahasa inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari latin colere
yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah
atau bertani, kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam
bahasa Indonesia.
Mempelajari unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan
sanagat penting untuk memahami kebudayaan manusia, Kluckhon dalam bukunya
yang berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang
ditemukan pada semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana
seperti masyarakat pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti
masyarakat perkotaan. Kluchkon membagi sistem kebudayaan menjadi tujuh
unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal. Menurut
Koentjaraningrat, istilah universal menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan
bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa yang
tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah
1) Sistem Bahasa
Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya
untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu
antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi
linguistik. Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi
budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan
secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat
bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang
penting dalam analisa kebudayaan manusia.
2) Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem
peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan
berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya
karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang
digunakan dalam kehidupannya. Banyak suku bangsa yang tidak dapat
bertahan hidup apabila mereka tidak mengetahui dengan teliti pada musim-
musim apa berbagai jenis ikan pindah ke hulu sungai. Selain itu, manusia
tidak dapat membuat alat-alat apabila tidak mengetahui dengan telliti ciri-ciri
bahan mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat tersebut. Tiap
kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan pengetahuan tentang alam,
tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang ada di sekitarnya.
3) Sistem Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan
usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk
masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap
kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana dia hidup
dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan kerabat
yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatan-
tingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial dalam
kehidupannya.
4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka
akan selalu membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropoloh dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur
teknologi yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan
sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana.
Dengan demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam
peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
5) Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus
kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenal sistem mata
pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok
masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya.
6) Sistem Religi
Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya
pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau
supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa
manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam
usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab
lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi
suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno
yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan
mereka masih primitif.
7) Kesenian
Perhatian ahli antropoligi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi
mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau
artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan
etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah
pada teknik-teknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu,
deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni
tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat. Beberapa tokoh antropolog juga
mengutarakan pendapatnya tentang unsur-unsur yang terdapat dalam
kebudayaan, Bronislaw Malinowski mengatakan ada empat unsur pokok
dalam kebudayaan yang meliputi:
1) Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menysuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
2) Organisasi ekonomi.
3) Alat-alat dan lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan.
4) Organisasi kekuatan politik.
Sementara itu J. Herkovits mengajukan unsur-unsur kebudayaan yang
terangkum dalam empat unsur: Alat-alat teknologi, Sistem ekonomi, Keluarga,
dan Kekuasan politik.
b. Konsep Agama dan Simbol
Berkenaan tentang pembahasan agama dan simbol, Emiel Durkheim
berpendapat bahwa agama adalah sistem yang menyatu mengenai kepercayaan
dan peribadatan dengan menggunakan benda-benda sakral, sedangkan Geertz
dalam bukunya The Interpretation of Cultures mengatakan bahwa agama adalah
sistem kebudayaan yang erat hubungannya dengan simbol-simbol. Dari beberapa
pernyataan tokoh diatas dapat kita lihat bahwa agama erat kaitannya dengan
simbol sebagai media penghubung antara yang Esa dengan manusia, pada
kenyataannya seperti sholat dalam agama Islam yang merupakan gerakan
simbolik untuk memuja Allah, dalam agama-agama yang lain terdapat simbol
dalam berbagai rangkaian ritual pemujaan terhadap Tuhannya.
Pembentukan simbol dalam agama adalah kunci yang membuka pintu
pertemuan antara kebudayaan dan agama, karena agama tidak mungkin dipikirkan
tanpa simbol. Dalam prosesnya dari ajaran-ajaran kepercayaan muncul adanya
ritual-ritual yang diatur oleh aturan tertentu sesuai dengan kepercayaan dan
keyakinan atau adat tertentu suatu maasyarakat. Aturan seperti ini yang mengikat
masyarakat atau kelompok masyarakat untuk terus melakukannya dengan harapan
jauh dari malapetaka. Mitos yang seperti ini kemudian berbuah menjadi ritus yang
disertai dengan penggunaan simbol dalam pelaksanaannya, simbol dalam ritus
tersebut yang kemudian menjadi benda-benda yang disakralkan dalam
masyarakat. Contoh dalam hal ini adalah upacar slametan sebagai bentuk ritus
pemujaan terhadap Tuhan dengan berbagai simbol dalam pelaksanaannya seperti
tumpeng, sego golong, apem atau apapun itu.
Dari berbagai tradisi keagamaan yang berkaitan dengan simbol inilah
kemudian lahir berbagai penelitian yang dilakukan oleh para antropolog berkaitan
dengan ritus keagamaan seperti Erni Budiwanti yang menemukan bahwa
kehidupan sehari-sehari orang bayan memang syarat dengan ritual dan tradisi,
seperti pelaksanaan upacara yang rutin dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk
penghormatan terhadap arwah leluhur, serta sebagai upaya melestarikan budaya
leluhur. Dalam analisis inkulturasi pembentukan simbol ekspresif dalam peristiwa
atau studi kasus biasanya mencakup:
1) Tempat dan harapan. Tempat perayaan atau upacara liturgy ekaristi yang
biasanya diselenggerakan didalam sebuah bangunan gereja, atau upacara
pemujaan yang dilakukan masyarakat Hindu depan altar-altar, umat muslim
dalam masjid dengan menghadap kiblat.
2) Waktu atau saat upacara, biasanya waktu pelaksanaan ditetapkan merupakan
salah satu ciri ritual yang sakral. Kaum muslim menjalankan sholat dengan
waktu tertentu.
3) Bilangan atau angka, seperti dipaparkan dalam pembentukan simbol, bilangan
atau angka merupakan suatu pembentukan simbol yang ada hubungannya
dengan inkulturasi. Seperti makna angka sembilan dalam filosofi jawa yang
umumnya mengandung makna simbolis tentang kehidupan. Dalam filosofi
jawa angka Sembilan banyak dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan metafisik
serta kepercayaan mitos. Angka Sembilan juga mempunyai peran penting
untuk menentukan hari beribadah, para ahli sihir dan dukun sejak dahulu kala
memakai angka Sembilan untuk memilih hari peringatan arwah nenek moyang
serta menentukan rumus-rumus mantera.
4) Media bahasa, pemakaian bahasa merupakan salah satu cara pengungkapan
diri yang berfungsi sebagai pengantar pertemuan antara manusia dan Tuhan.
5) Media sikap, meliputi sikap yang dilakukan umat beragama yang menandakan
ketundukannya kepada Tuhan.
6) Media tari, seperti yang dilaksanakan kepercayaan-kepercayaan di daerah-
daerah Indonesia untuk mengeprisikan ketakjuban dan ketundukan terhadap
pemimpin atau ruh nenek moyang yang mereka agungkan.
7) Media musik, inkulturasi pembentukan media musik yang digunakan dalam
liturgi jawa berupa kidungan, gendhing, karawitan jawa dan salawatan. Musik
atau lagu menjadi simbol ekspresif seni jawa yang sangat menonjol hingga
saat ini.
8) Perlengkapan persembahan, bias diumpamakan dari perlengkapan pakaian
yang dipakai, hingga benda-benda tertentu yang dibutuhkan dalam kelancaran
pelaksanaan ritual.
Dari analisa beberapa studi kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa
kajian mengenai simbol-simbol dan bagaimana simbol itu dimanfaatkan untuk
mengkaji masalah agama dan keagamaan, sebetulnya sangat menarik dan penting.
Menarik karena pendekatan simbolik terhadap masalah agama dan
keagamaan ternyata menghadirkan peluang yang sangat besar untuk bisa lebih
memahami makna-makna yang tersembunyi dibalik simbol-simbol agama, bail
yang ada dibalik isi teks-teks agama maupun dalam perilaku keagamaan. Penting
karena ternyata pendekatan semiotik ini bisa memberi suatu model pemecahan
baru yang berbeda dengan ketika agama dan keagamaan di dekati secara
normative yang cenderung doktrin.
Simbol tidak saja kesederhanaan sebuah refleksi atas dunia alami
sebagaimana yang telah kita lihat dalam hubungan dengan peristiwa alam,
melainkan simbol juga merupakan refleksi dari kreatifitas dan imajinasi manusia.
Simbol keagamaan dapat dilihat sebagai sesuatu yang penuh arti. Dengan
demikian agama sebagai fakta dan sejarah memiliki dimensi simbolis dan
sosiologis. Dimensi simbolis atau mistis mengandung arti, bahwa agama
merupakan struktur sebuah makna (meaning structure) yang berada pada ranah
abstrak terlepas dari ruang waktu.
c. Relasi Budaya dan Agama
Secara pengertian agama dan budaya berbeda, agama dipahami sebagai
suatu penghambaan kepada Tuhan dan agama suatu keadaan yang tak dapat
ditawar-tawar lagi dan merupakan keharusan. Agama dapat diberi pengertian
bahwa agama merupakan jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia untuk
mewujudkan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera dengan aturan, nilai,
atau norma yang mengatur kehidupan manusia yang dianggap sebagai kekuatan
mutlak, gaib dan suci yang harus diikuti dan ditaati. Aturan itupun tumbuh dan
berkembang Bersama dengan kehidupan manusia, masyarakat dan budaya.
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama
diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan Tuhan
dan sesamanya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama berarti
suatu sistem, prinsip kepercayaan terhadap Tuhan dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Secara pengertian, budaya merupakan nilai sosial dan norma sosial yang
kemudian memberi pengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan juga merupakan
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari
kebudayaan bersifat abstrak akan tetapi perwujudannya telah dapat terlihat dari
lahirnya suatu bahasa, ataupun pola perilaku yang semuanya ditujuhkan untuk
kelangsungan kehidupan masyarakat.
Agama dan budaya menurut Kuntowijoyo (1991) adalah dua hal yang
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi
kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya
adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama, dan yang
ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan yaitu, keduanya
adalah sistem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap
kali ada perubahan. Baik agama ataupun budaya pada dasarnya memberikan
wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan
kehendak Tuhan dan kemanusiaan dan menciptakan suatu tatanan masyarakat
yang teratur dan terarah.
Walaupun agama dan budaya saling berhubungan erat sebab keduanya
mengatur kehidupan sosial dan saling memiliki keterkaitan, akan tetapi agama dan
budaya harus dapat dibedakan. Perbedaan yang paling signifikan yaitu agama
merupakan suatu ajaran yang mengatur kehidupan yang berhubungan dengan
Tuhan dan sesame yang berasal dari Tuhan yang dibawa oleh manusia pilihan.
Sedangkan budaya adalah suatu tatanan masyarakat yang diatur atau yang
dibentuk oleh manusia itu sendiri demi kelangsungan Bersama.
3. Manusia dan Budaya
Indonesia terkenal keragaman budayanya. Manusia dan kebudayaan
adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan karena dimana manusia itu hidup dan
menetap pasti manusia akan hidup sesuai dengan kebudayaan yang ada di daerah
yang di tinggalinya.
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens”
(Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi
(mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah
konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok atau
seorang individu. Manusia adalah makhlik yang luar biasa kompleks. Manusia
merupakan paduan antara makhluk material dan makhluk spiritual. Dinamika
manusia tidak tinggal diam karena manusia sebagai dinamika selalu
mengaktivisasikan dirinya.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang di jadikan milik diri manusia
dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa
tindakan naluri, beberapa reflex, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau
kelakuan yang terus-menerus.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi kehidupan
manusia dan masyarakat. Masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus
dipenuhi dalam menjalani kehidupannya. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat
tersebut sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada
masyarakat itu sendiri. Karena kemampuan manusia terbatas sehingga
kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptanya juga terbatas di dalam
memenuhi segala kebutuhan.
Budaya sebagai sistem gagasan menjadi pedoman bagi manusia dalam
bersikap dan berperilaku. Seperti apa yang dikatakan Kluckhon dan Kelly bahwa
“Budaya berupa rancangan hidup” maka budaya terdahulu itu merupakan gagasan
prima yang kita warisi melalui proses belajar dan menjadi sikap perilaku manusia
berikutnya yang kita sebut sebagai nilai budaya.
Hubungan manusia dengan kebudayaan adalah kebudayaan merupakan
hasil dari ide, gagasan dan pemikiran baik nyata ataupun abstrak dan juga
rancangan hidup masa depan. Sehingga dapat diartikan pula bahwa semakin tinggi
tingkat kebudayaan manusia, semakin tinggi pula tingkat pemikiran setiap
manusia. Kebudayaan itu sendiri digunakan untuk melangsungkan kehidupan
bermasyarakat antar manusia karena sifat manusia yaitu makhlik sosial yaitu
manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan harus hidup dengan manusia lainnya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
berbudaya yang berarti manusia dalah makhluk yang memiliki kelebihan dari
makhluk-makhluk lain yang diciptakan di muka bumi ini yaitu manusia memiliki
akal yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan ide dan gagasan yang selalu
berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu manusia harus
menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepemimpinannya di muka
bumi disamping tanggung jawab dari etika moral harus dimiliki, menciptakan
nilai kebaikan, kebenaran, keadilan dan tanggung jawab agar bermakna bagi
kemanusiaan. Selain itu manusia juga mendayagunakan akal budi untuk
menciptakan kebahagiaan bagi semua makhluk Tuhan di muka bumi. Secara
sederhana hubungan manusia dengan kebudayaan ketika manusia sebagai perilaku
kebudayaan, dan kebudayaan tersebut merupakan objek yang dilaksanakan sehari-
hari oleh manusia.
4. Agama dan Masyarakat
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau
prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau
nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan
dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan, istilah masyarakat berasal dari bahasa
Arab “Syaraka” yang berarati ikut serta, berpartisipasi atau “musyaraka” yang
artinya saling bergaul. Di dalam bahasa Inggris dipakai istilah society, yang
sebelumnya berasal dari bahasa Latin “socius” berarti kawan. Masyarakat adalah
suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan Soekanto (1983).
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh
karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa
sejahtera, aman dan stabil. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan dengan
edukatif, penyelamat, pengawas sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki
derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan
pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan
masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup. Dalam memandang nilai,
dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut
intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai
agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah
dorongan rasa dalam diri yang disebutkan mistisme.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua
hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara.
Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu
dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup
kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga
menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan
masyarakat itu terwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang
mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way
of life) dengan kepercayaan dan taat kepada agama.
Peran agama di dalam masyarakat sangat berpengaruh penting bagi
kelangsungan hidup bermasyarakat. Agama menjadi suatu tolak ukur bagi
masyarakat untuk melakukan dan menilai sesuatu. Di Indonesia terdapat berbagai
macam agama di dalam masyarakat, tapi setiap agama dan semuanya telah di atur
dalam undang-undang dan Pancasila. Agama didalam masyarakat adalah
kumpulan norma-norma serta toleransi antar sesame manusia atau masyarakat.
5. Landasan Teori
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pemikiran Koentjaraningrat
(2005) yang menyebutkan bahwa ajaran agama adalah idiologis sosial, agama lah
yang merubah watak masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai
agama tersebut.
Dalam proses penyebaran agama, masyarakat biasanya menerima minimal
tiga bentuk penilaian terhadap agama. Pertama, agama diterima sepenuhnya,
kedua, agama diterima sebagian sebagian yang disesuaikan dengan kebutuhan
seseorang atau kelompok orang. Ketiga, agama itu ditolak sama sekali.
Pada umumnya agama yang masuk akan mengalami proses penyesuaian
dengan budaya yang telah ada. Ada kompromi nilai atau symbol antar agama
yang masuk dengan kebudayaan asal, yang menghasilkan bentuk baru dan
berbeda dengan agama atau budaya asal. Proses penyesuaian ini terjadi begitu saja
dalam setiap proses pemaknaan di tengah masyarakat.
Dengan demikian, suatu agama yang masuk pada masyarakat tidak pernah
bisa ditemukan sebagaimana bentuk aslinya secara utuh, selalu ada pelenturan
nilai-nilai. Pelenturan tersebut membuat symbol budaya bermetamorfosis dalam
maknanya yang baru. Pelenturan ini terjadi karena manusia dan masyarakat bukan
mesin fotcopy yang bisa dan mau menjiplak yang diterimanya, secara sadar dan
tidak sadar.
Kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat biasanya
merupakan sumber acuan bagi mereka dalam merespon berbagai perubahan.
Sistem kebudayaan tersebut akan menyeleksi perubahan ditolak atau diterima oleh
masyarakat.
Logika yang sama berlaku ketika kita membahas perihal agama
masyarakat. Setiap keyakinan dan agama yang masuk akan diseleksi. Proses ini
sebagai upaya memilah yang sesuai dan yang berlainan dengan budaya yang
berkembang dimasyarakat, sebabnya adalah agama yang masuk merupakan agama
yang dikemas dalam bungkus budaya tempat agama itu berasal. Seperti masuknya
Islam ke Indonesia yang di syiarkan oleh orang-orang Arab, India dan Persia.
Dalam hal ini terjadi pertautan antar kebudayaan penyebar agama Islam dengan
kebudayaan penerima agama Islam. Islam bisa diterima dengan mudah bisa jadi
karena kemiripan karakter budaya agama Islam dengan karakter budaya lokal
pada waktu itu.
Dalam teori pendukung peneliti menggunakan pemikiran Clifford Geertz
tentang agama sebagai sistem budaya. Pemikiran Geertz (1973) ada yang bersifat
teoritis dan etnografis, maka kita awali dengan memperhatikan dua esai teoritis
Geertz yang paling terkenal, yang pertama menjelaskan antropologi intrepretatif
secara umum dan yang kedua ditujukan pada masalah agama selanjutnya contoh
kasus di mana Geertz menerapkan Perspektifnya kepada masalah-masalah aktual
keagamaan. Geertz melihat agama sebagai fakta kultural sebagaimana adanya
dalam kebudayaan Jawa. Dia membahas secara detail bagaimana kompleksnya
hubungan tradisi keagamaan Islam, Hindu dan kepercayaan asli setempat
(abangan). Kebudayaan, menurutnya adalah sebuah pola makna-makna atau ide-
ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka
melalui simbol-simbol itu. Karena dalam satu kebudayaan terdapat beragam
sikap, kesadaran dan pengetahuan maka di sana terdapat “sistem-sistem
kebudayaan” yang berbeda. Geertz mendefinisikan agama sebagai “sistem simbol
yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah .
“yang benar-benar riil”- sesuatu yang oleh manusia dianggap lebih penting dari
apa pun. Geertz dalam kesimpulan bukunya menjelaskan bahwa studi apapun
tentang agama akan berhasil bila telah menjalani dua langkah yakni terlebih
dahulu menganalisa makna yang terdapat dalam simbol-simbol keagamaan.
B. Kerangka Pikir
Kerangka pikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang di identifikasi sebagai masalah. Dalam
masalah ini Masjid yang dulunya menjadi sebagai tempat ibadah umat Islam dan
sering dijaikan tempat kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, kajian agama,
ceramah dan belajar Al Qur’an. Namun sekarang sebagagian masyarakat
menjadikannya tempat wisata religi atau tempat ziarah dikarenakan tepat
disamping Menara masjid terdapat makam Imam Lapeo selaku salah satu Wali
atau penyebar Islam di tanah Mandar. Hal ini menyebabkan terjadinya relasi
antara Budaya dan Agama pada masyarakat sekitar Makam Imam Lapeo.
Bagan Kerangka Pikir
relasi
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir
RELASI
BUDAYA AGAMA
Makam Imam Lapeo
Relasi budaya dan agama
pada fenomena makam
Imam Lapeo:
1. Keadaan makam Imam
Lapeo
2. Proses dan perilaku
ziarah makam Imam
Lapeeo
3. Motivasi ziarah makam
Imam Lapeo
Dampak terjadinya relasi
budaya dan agama pada
fenomena makam Imam
Lapeo:
1. Ziarah makam Imam
Lapeo sebagai tempat
bernazar dan
penghormatan leluhur
2. Adanya sikap fanatik
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis kualitatif deskriptif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan relasi agama dan budaya dalam studi kasus
ziarah kubur salah satu tokoh agama atau wali yang bernama Imam Lapeo.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif deskriftif ini yaitu
pendekatan fenomenologi. Alasan peneliti menggunakan pendekatan
fenomenologi yaitu untuk mendalami dan menggambarkan fenomena terkait relasi
budaya dan agama yang terjadi di masjid Imam Lapeo.
B. Lokus Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di wilayah Desa Lapeo Kecamatan
Campalagian Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesia Barat.
C. Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitian ini yaitu, peneliti memfokuskan penelitiannya
pada relasi budaya dan agama serta dampak terjadinya relasi budaya dan agama di
lingkungan masjid Imam Lapeo berdasarkan keterangan informan penelitian yaitu
tokoh agama didaerah Campalagian dan beberapa peziarah yang mengetahui
fenomena relasi budaya dan agama di daerah tersebut.
D. Informan Peneltian
Adapun informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive
sampling dengan melihat kesesuaian antara calon informasi dengan informasi
yang dibutuhkan. Artinya, informan yang dipilih adalah mereka yang betul-betul
terkait dengan masalah tersebut. Adapun informan penelitian ini adalah para
peziarah kubur Imam Lapeo beserta tokoh agama berada di Campalagian.
E. Jenis dan Sumber Data
Untuk mendukung validitas penelitian ini, ada dua jenis data yang hendak
dikumpulkan untuk selanjutnya menjadi bahan analisis yakni:
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama baik dari
individu atau perorangan seperti hasil wawancara, observasi, dokumentasi yang
dilakukan oleh peneliti kepada para peziarah ataupun kepada juru kunci makam
Imam Lapeo.
2. Data Sekunder
Jenis sumber sekunder ini adalah data yang bersumber dari dokumen berupa
buku, jurnal blog, web dan arsip yang terkait dengan tujuan penelitian.
F. Instrumen Penelitian
Pengumpulan data sebuah penelitian yang dilakukan dengan berbagai
metode-metode penelitian yaitu seperti observasi, wawancara dan dokumentasi
memerlukan alat bantu sebagai instrumen. Adapun instrumen yang di maksud
adalah sebagai berikut:
1. Lembar observasi, berisi catatan yang diperoleh peneliti pada saat
melakukan pengamatan langsung dilapangan.
2. Panduan wawancara, berisi seperangkat daftar pertanyaan peneliti sesuai
dengan rumusan masalah pertanyaan.
3. Kamera yang digunakan ketika penulis melakukan observasi untuk
merekam kejadian yang penting pada suatu peristiwa baik dalam bentuk
foto maupun video.
4. Pulpen dan buku yang digunakan untuk menuliskan informasi data yang
didapat dari narasumber.
G. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi tersamar.
Menurut Sugiyono (2010) peneliti dalam melakukan pengumpulan data
menyatakan terus terang kepada sumber data bahwa peneliti sedang melakukan
penelitian. Dengan observasi di lapangan, peneliti akan lebih mampu memahami
konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh
pandangan yang holistic atau menyeluruh.
2. Wawancara
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara
semiterstruktur, Sugiyono (2012) menyatakan bahwa tujuan dari wawancara ini
adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang
diajak wawancara diminta pendapat, ide-idenya.
3. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kamera, alat perekam suara
dan alat untuk menulis dalam mengumpulkan data.
H. Teknik Analisis data
Jenis data Analisis data ini di lakukan dengan cara menyusun, mereduksi
data, mendisplay data yang dikumpulkan dari berbagai pihak dan memberikan
verifikasi untuk di simpulkan
Adapun langkah-langkah teknis analisis data dalam peneltian ini adalah
sebagai berikut:
1. Data Reduction (Reduksi Data)
Data yang diperoleh di lapangan jumlah cukup banyak sehingga perlu
dicatat secara teliti dan rinci. Peneliti memilih data yang relevan, penting, dan
bermakna dan data yang tidak berguna untuk menjelaskan apa yang menjadi
sasaran analisis. Lalu menyederhanakannya dengan membuat fokus klarifikasi
dan abstraksi data. Untuk itu peneliti memilih mengelompokkan jenis data yang
ditemukan selama proses penelitian berlangsung dan difokuskan sesuai dengan
rumusan masalah yang telah dirumuskan.
2. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
penyajian data. Dalam penelitian kualitatif menyajikan data dengan teks yang
bersifat naratif. Sehingga dalam penyajian data akan dilampirkan juga dengan
teori yang digunakan pada kajian teori penelitian. Penyajian data tersebut akan
menghasilkan teori grounded, yaitu teori yang ditemukan di lapangan dan
selanjutnya di uji melalui pengumpulan data yang terus menerus.
3.Conclution Drawing/Verification
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya.
I. Teknik Keabsahan Data
Penelitian kualitatif ini dilakukan keabsahan data melalui uji kredibilitas.
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data
dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan
cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Seperti halnya
dalam penelitian ini dilakukan kredibilitas mengenai data yang peneliti peroleh
dari judul penelitian yang diteliti “Relasi Budaya dan Agama (Studi
Fenomenologi Masjid Imam Lapeo di Polewali Mandar)”.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
Misalnya penelitian ini yang peneliti peroleh dari kabar berita, selanjutnya akan
dicek dengan cara observasi atau dokumentasi. Jika kedua teknik tersebut
menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti akan melakukan diskusi
lebih lanjut kepada narasumber yang bersangkutan untuk memastikan data mana
yang dianggap paling benar.
3. Triangulasi Waktu
Triangulasi waktu juga sering mempengaruhi kedibilitas data. Data yang
diperoleh dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau
teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan
data yang berbeda, maka penelitian akan dilakukan secara berulang-ulang
sehingga sampai ditemukan kepastian.
BAB IV
DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN
DESKRIPSI KHUSUS LATAR PENELITIAN
A. Deskripsi Umum Kabupaten Polman Sebagai Daerah Penelitian
1. Sejarah singkat kabupaten Polman
Sulawesi Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang terletak di
pulau Sulawesi. Ada banyak keunikan yang bisa dilihat dari Provinsi tersebut.
Salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi Barat adalah Polewali Mandar.
Sebelum dikenal sebagai Polewali Mandar, daerah tersebut juga disebut
dengan daerah tingkat II yang ada di Provinsi Sulawesi Barat. Jumlah dari
penduduknya adalah kurang lebih 455.572 orang. Ibu kotanya sendiri yaitu
Polewali dimana jaraknya adalah 246 kilometer dari sebuah kota Makassar yang
ada di Sulawesi Selatan. Sebelum bernama Polewali Mandar, daerah tersebut
dikenal sebagai Kabupaten dengan nama Polewali Mamasa atau juga disingkat
dengan Polmas dimana secara administrasinya ada pada wilayah dari Sulawesi
Selatan.
Daerah tersebut dimekarkan dimana berdirinya sebuah kabupaten yang
disebut sebagai Mamasa dimana merupakan Kabupaten yang tersendiri, nama dari
Polewali Mamasa kemudian diganti jadi Polewali Mandar. Nama tersebut
diresmikan tepatnya sejak 1 Januari tahun 2006 dimana setelah adanya penetapan
dengan bentuknya PP Nomor 74 Desember 2005 mengenai perubahan nama dari
Kabupaten Polewali Mamasa jadi Polewali Mandar.
2. Kondisi Geografis dan Iklim
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Polman
Kabupaten Polewali Mandar merupakan salah satu dari enam Kabupaten
yang berada di wilayah Provinsi Sulawesi Barat dengan luas darat 2.094.18 Km2
dan luas wilayah laut 460 Km2, serta panjang garis pantai 94,12 Km2.
Berdasarkan letak geografis, Kabupaten Polewali Mandar berbatasan dengan:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Mamasa, sebelah Selatan berbatasan
dengan selat Makassar, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pinrang dan
sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Majene.
Kabupaten Polewali Mandar terbagi ke dalam 16 Kecamatan yang terdiri
atas 144 Desa dan 23 Kelurahan dengan luas wilayah 2.022,30 Km2. Kecamatan
Tubbi Taramanu merupakan Kecamatan yang terluas dengan luas wilayah 369,95
Km2 atau 17,65 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Polewali Mandar.
Sementara Kecamatan dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan
Tinambung dengan luas 21,34 Km2 atau hanya 1,06 persen dari total luas wilayah
Kabupaten Polewali Mandar.
Dengan posisi geografis tersebut, maka terbentuk iklim Kabupaten
Polewali Mandar yang sangat mendukung pengembangan berbagai komoditas
pertanian bernilai ekonomi tinggi. Menurut klarifikasi iklim Schmidt Ferguson,
iklim Kabupaten Polewali Mandar diklasifikasikan A atau B, yang merupakan
indikasi iklim basah dengan curah hujan merata, dimana umumnya komoditas
pertanian dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik.
3. Topografi, Geologi dan Hidrologi
a. Topografi
Dari sisi topografi, sebagian besar atau 41 persen dari luas Kabupaten
Polewali Mandar memiliki topografi berbukit, 39 persen dari luas Kabupaten
memiliki topografi bergunung, dan sisanya sekitar 20 persen dari luas Kabupaten
memiliki topografi datar, dengan kelas lereng dominan antara 5-15 persen dan
15-40 persen (70 persen dari luas Kabupaten). Dengan kondisi topografi seperti
ini, maka perencanaan pembangunan di Kabupaten Polewali Mandar harus
dilakukan dengan ekstra hati-hati agar sumber daya alam yang tersedia dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada table dibawah ini;
Table 4.1 Luas Penyebaran Kelas Topografi Lereng Kabupaten Polman
No Topografi Kelas Lereng Luas (Ha) Persen (%)
1 Datar 0-2 35.248 17,43
2 Landai 2-5 9.897 4,89
3 Bergelombang 5-15 44.679 22,09
4 Berbukit 15-40 100.398 49,65
5 Bergunung ˃40 12.008 5,94
b. Geologi
Gambar 4.2 Peta Geologi Kabupaten Polman
Berdasarkan peta geologi, Sulawesi skala 1:250.000 lembar Majene dan
bagian barat lembar Palopo, Sulawesi (Puslitbang geologi, 1998) Kabupaten
Polewali Mandar terdiri dari enam formasi batuan, yaitu; (Qa) ALUVIUM berupa
endapan liat, pasir, dan kerikil; (Qpps) NAPAL PAMBAUANG berupa napal
tufaan, serpih napalan, batupasir tufaan yang mengandung fosil foraminifera
berumur plistosen; (Tmpi) BATUAN TEROBOSAN berupa granit, granodiorit,
diorite, sienit dan dijumpai gabro berumur pliosen; (Tmpv) BATUAN GUNUNG
API WALIMBONG berupa lava bersusunan basal sampai andesit, breksiandesit-
piroksin, breksi andesitrakit berumur mio-pliosen; (Tmm) FORMASI MANDAR
berupa batupasir, batulanau, dan serpih berumur miosen akhir, (Tmpm)
FORMASI MAPI berupa batupasir tufaan, batulanau, batulempung, dan
batugamping berumur miosen tengan-pliosen; (Tmav) BATUAN GUNUNG API
ADANG berupa tuf, lava dan breksi gunung api berumur miosen; dan (Kls)
formasi Latimojong berupa serpih, filit, rijang, armer, dan kuarsit berumur kapur
akhir. Gerakan-gerakan sesar banyak terdapat di sebelah barat dengan arah yang
bervariasi tapi umumnya berarah barat laut tenggara. Sesar ini sebagian besar
berada pada formasi Mandar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahan
induk tanah dapat dibedakan ke dalam empat macam, yaitu bahan aluvium,
aluvio-marin, batuan sedimen, dan kerikil/batu. Batuan sedimen terutama batu
pasir, batu lanau, dan serpih. Sedang bahan volkan yaitu tuf, batuan andesit-basal
banyak dijumpai di perbukitan sebelah Utara Kabupaten Polman.
c. Hidrologi
Kabupaten Polewali Mandar mempunyai beberapa sungai yang merupakan
sumber air. Sungai-sungai ini selanjutnya dapat menjangkau pengembangan
berbagai keperluan. Sungai mempunyai multifungsi yang sangat vital diantaranya
sebagai sumber air minum, industry dan pertanian atau juga pusat listrik tenaga air
serta sebagai sarana rekreasi air. Wilayah sungai Kalukku Karama yang
merupakan wilayah sungai lintas Provinsi dengan daerah aliran sungai (DAS).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel di bawah ini;
Table 4.2 DAS (Daerah Aliran Sungai) Kabupaten Polman
DAS Wilayah Kecamatan Luas (Ha)
MANDAR Alu, Balanipa, Limboro, Luyo,
Tinambung, Tubbi Taramanu
48.034,74
MALOSSO Alu, Bulo, Campalagian, Limboro,
Luyo, Mapilli, Matangnga, Tapango,
Tubbi Taramanu, Wonomulyo
99.299,51
MATAKALI Anreapi, Binuang, Bulo, Mapilli,
Matakali, Matangnga, Polewali,
Tapango, Wonomulyo
42.755,63
BINUANG Anreapi, Binuang, Polewali 10.409,08
SILOPO Binuang 3.014,35
TIMBO Balanipa, Campalagian, Limboro,
Tinambung
5.583,39
Jumlah 209.415,60
4. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Polman pada tahun 2015 adalah 422.793
jiwa yang terdiri atas 206.963 laki-laki dan 215.830 perempuan.
Table 4.3 Penduduk di Kabupaten Polman, 2015
Usia Jumlah Laki-Laki Jumlah Perempuan
0-4 23.700 22.852
5-9 21.307 20.096
10-14 20.814 19.589
15-19 21.219 20.289
20-24 19.274 19.418
25-29 16.187 16.909
30-34 14.790 16.212
35-39 14.618 15.995
40-44 14.099 15.393
45-49 11.174 12.785
50-54 9.008 9.783
55-59 6.508 7.800
60-64 4.819 5.891
65-69 3.613 4.904
70-74 2.579 3.723
75+ 2.714 4.191
Pada 2015, kepadatan penduduk Kabupaten Polman mencapai 206
penduduk per km2. Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi
adalah Kecamatan Polewali dengan kepadatan penduduk 2.262 penduduk per
km2. Rasio jenis kelamin penduduk Kabupaten Polman di bawah 100. Ini berarti
jumlah penduduk perempuan di Kabupaten Polman lebih banyak dari pada jumlah
penduduk laki-laki. Sebagian besar Kecamatan memiliki angka rasio jenis
kelamin di bawah 100. Kecamatan yang rasio jenis kelaminnya di atas 100 adalah
Kecamatan Tapango, Matakali, Bulo, Anreapi, dan Matangnga.
Table 4.4 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten
Polman, 2015
Kecamatan Luas Wilayah Penduduk Kepadatan
Penduduk
(Jiwa/Km²)
Km² Persentase Jumlah Persentas
e
Tinambung 21,34 1,06 23.867 5,65 1.118
Balanipa 37,42 1,85 25.139 5,95 627
Limboro 47,55 2,35 17.604 4,16 370
Tubbi
Taramanu
356,95 17,65 19.747 4,67 55
Alu 228,30 11,29 12.627 3,00 56
Campalagian 87,84 4,34 55.320 13,08 630
Luyo 156,60 7,74 28.960 6,85 185
Wonomulyo 72,82 3,60 48.228 11,41 662
Mapilli 91,75 4,54 28.960 6,85 311
Tapango 125,81 6,22 23.818 5,49 185
Matakali 57,62 2,85 22.818 5,40 396
Bulo 229,15 11,33 9.418 2,23 41
Polewali 26,27 1,30 59.434 14,06 2.262
Binuang 123,34 6,10 32.366 7,66 262
Anreapi 124,62 6,16 10.014 2,37 80
Matangnga 234,92 11,62 5.446 1,29 23
Polewali
Mandar
2.022,30 100,00 422.79
3
100,00 209
B. Deskripsi Khusus Desa Lapeo Sebagai Latar Penelitian
1. Sejarah Singkat Desa Lapeo
Menurut sejarah, dahulu terdapat seorang nelayan yang kehilangan arah di
lautan dan terdampar di pantai Desa Lapeo dan sang nelayan beristirahat dibawah
pohon, kebetulan ikan hasil tangkapannya ditambatkan di atas dahan pohon tepat
di atas tempatnya beristirahat. Ikan yang ditambatkan tadi berayun-ayun dalam
Bahasa Mandar Tipiopio (tertiup) angin laut, seketika sang nelayan berfikir bahwa
tempat yang ditempatinya sekarang ini lebih baik dinamakan LAPIO (dari kata
Tipio) dan hingga perkembangannya akhirnya berubah menjadi nama Desa
Lapeo.
Desa Lapeo merupakan salah satu desa dari 17 desa yang ada di
Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar, yang merupakan Desa
Induk dari Desa Laliko dan Desa Kenje.
Wilayah Desa Lapeo pada awal terbentuknya mempunyai wilayah yang
cukup luas dengan jumlah Dusun sebanyak 8 (delapan) yaitu: Dusun Lapeo,
Dusun Parabaya, Dusun Ba’toa, Dusun Kappung Buttu, Dusun Gonda, Dusun
Labuang, Dusun Galung dan Dusun Umapong.
2. Tingkat Pendidikan
Adapun kondisi sumber daya manusia secara umum menurut latar
belakang Pendidikan tergolong sedang, sesuai dengan pendataan tahun 2010
yang lalu bahwa angka buta aksara dari usia sekolah sampai usia 50 tahun keatas
tercatat sebanyak 58 jiwa yang tidak mampu membaca dan menulis (buta aksara)
dan kondisi tersebut rata-rata disemau dusun yang ada. Untuk lebih akuratnya
kondisi potensi sumber daya manusia yang dimiliki oleh Desa Lapeo yaitu:
a. Jumlah penduduk : 4.132 jiwa
b. Laki-laki : 2,070 jiwa
c. Perempuan : 2.062 jiwa
Tabel 4.5 Penduduk menurut strata Pendidikan
Strata Pendidikan Jumlah
Sarjana (S1, S2, S3) 104 orang
Diploma (D1, D2,D3) 146 orang
SLTA/ Sederajat 352 orang
SMP/ Sederajat 375 orang
SD/ sederajat 766 orang
Usia 07-15 th 647 orang
Usia >15-45 th 882 orang
3. Kehidupan Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
a. Sosial Ekonomi
Desa lapeo yang wilayahnya berada dipinggir pantai dari Teluk Mandar,
menjadi sebagian besar masyarakat di Desa ini bermata pencaharian sebagai
nelayan disamping sebagai petani atau pekebun kelapa dan semua penduduknya
100% menganut agama Islam.
Dari 944 Kepala Keluarga yang ada, sebanyak 412 KK masih tergolong
miskin atau berdasarkan persentase sekitar 41,51% masih tergolong tidak mampu
(sumber data Jamkesmas dan BLT) itupun masih banyak kepala keluarga yang
mengajukan Surat Tidak Mampu untuk mendapatkan rekomendasi pembebasan
biaya rumah sakit atau untuk Pendidikan anaknya.
Tabel 4.6 Keadaan Sarana Ekonomi Desa Lapeo Tahun 2015
Jenis Sarana Ekonomi Frekwensi Persentase
Koperasi Unit Desa (KUD)
Kredit Usaha Tani (KUT)
Pasar
Toko
Kios
1
1
-
6
30
2,6
2,6
-
15,6
78,9
Jumlah 38 100
Dengan kondisi Geografis Desa Lapeo yang berada di daerah pantai maka
ini sangat mempengaruhi pola pekerjaan utama penduduk Desa Lapeo yang
sangat majemuk, kemudian dilihat dari tingkat Pendidikan yang rata-rata sudah
cukup memadai sehingga banyak juga yang berpeluang bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil maupun Swasta.
b. Sosial Budaya
Masyarakat Lapeo adalah masyarakat yang religius, terbukti dengan
banyaknya ulama-ulama dan terdapat satu pesantren yang berada di Desa Lapeo
dan sangat kental dengan tradisi budaya Islam Mandar yang merupakan paduan
antara Islam dengan budaya setempat.
Desa Lapeo, walaupun dikenal dengan masyarakat yang religius tapi tidak
banyak juga masyarakat Lapeo dikenal dengan orang-orang yang keras
4. Kehidupan Keberagaman
Setiap daerah pasti memiliki keberagaman baik itu dari pekerjaan,
kebudayaan, organisasi dan lain sebagainya. Desa Lapeo juga memiliki
keberagaman walaupun Desa Lapeo rata-rata penduduknya adalah pemeluk
agama Islam dan sangat kental dengan budaya Mandar.
Dari segi pekerjaan atau profesi masyarakat Lapeo mempunyai beragam
profesi walaupun Lapeo merupakan daerah pesisir, bukan hanya sebagai pelaut
namun ada juga berprofesi sebagai petani, peternak, pedagang dan lain-lain.
Begitupun dengan kebudayaan, masyarakat Lapeo juga mempunyai kebudayaan
atau tradisi berbeda-beda dilihat dari segi profesi mereka karena Desa Lapeo
sangat kental dengan kebudayaan Mandar dan sangat menghargai tradisi warisan
leluhur mereka.
Sedangkan dalam keorganisasian masyarakat Lapeo juga memiliki
beragam organisasi dalam keagamaan yaitu ada yang Muhammadiyah dan NU
(Nahdlatul Ulama). Walau terdapat beberapa keberagaman yang terdapat di Desa
Lapeo, masyarakat Lapeo tetap menjaga persatuan mereka dan saling menghargai.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Relasi Budaya dan Agama pada Fenomena Makam Imam Lapeo
a. Keadaan Makam Imam Lapeo
Makam imam Lapeo merupakan makam yang terletak di Desa Lapeo
Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Seperti
pula dengan makam keramat lainnya yang memiliki cerita kekeramatan, maka
begitupula dengan makam Imam Lapeo. Makam Imam Lapeo juga disebut dengan
ko’bah, karena bangunannya mirip kubah masjid. Ko’bah adalah istilah Mandar
untuk menyebut kubah.
Makam Imam Lapeo yang terletak di depan jalan raya berada satu
kompleks masjid Lapeo. Berdasarkan hasil observasi, konsep kuburan dekat
masjid terjadi karena pola pemukiman masyarakat yang berpindah. Ketika orang
tinggal di daerah pegunungan pindah ke daerah pantai atau pesisir, maka kuburan
pun akan ikut dipindah dekat dengan mereka. Makam Imam Lapeo yang terletak
di dalam kompleks masjid digunakan untuk menghormati sang Imam.
Pada zaman dulu, peziarah datang ke makam dengan membawa makanan
dan melepas hewan ternak seperti ayam dan kambing di kuburan. Namun,
keluarga Imam Lapeo melarang mereka untuk membawa ke makam tapi dibawa
kerumah beliau, boyang kayyang. Makam Imam Lapeo yang merupakan ruang
khusus alias ruang pribadi dari hati ke hati antara Imam Lapeo dengan pecintanya,
peziarahnya. Imam Lapeo adalah leluhur, orangtua, kakek, ayah, saudara laki-laki,
teman, bahkan idola.
Menurut para tokoh agama setempat, semasa hidup Imam Lapeo
menerima banyak kunjungan masyarakat yang ingin bertemu untuk meminta
saran dan pendapat sekaligus meminta didoakan oleh beliau. Hal serupa bahkan
masih terus berlanjut sampai saat ini sebagaimana diperlihatkan di rumahnya,
Boyang Kayyang, anak-anak perempuan Imam Lapeo menggantikan peran ayah
mereka yang menerima banyak kunjungan masyarakat yang meminta untuk
didoakan.
Di Lapeo, masyarakat percaya Allah SWT akan menjawab doa-doa
mereka dan setiap permasalahan akan ditemukan solusinya. Selain itu, masjid
yang dibangun Imam Lapeo menjadi masjid yang mempunyai banyak jamaah dan
makam Imam Lapeo tempat yang paling penting untuk diziarahi. Masyarakat
percaya bahwa Imam Lapeo adalah seorang yang ajaib yang mempunyai karamah
dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil temuan peneliti di lokasi penelitian terkait dengan
tujuan penelitian melalui observasi dan wawancara, ditemukan beragam
informasi, baik itu berupa data primer maupun data sekunder sebagai bahan untuk
dianalisis menjadi hasil penelitian.
Melihat dari keadaan makam Imam Lapeo YY (42 tahun) salah seorang
informan yang berprofesi sebagai Imam masjid Imam Lapeo mengatakan, bahwa:
“Hampirki tiap hari ada terus passiarah datang di sini apalagi kalo hari
jumat banyak sekali dating orang sambil sholat jumat tongmi di masjid
Lapeo” (29/10/2019)
Dari hasil wawancara di atas menyebutkan bahwa makam Imam Lapeo
hampir setiap hari banyak yang datang berziarah dikarenakan lokasi makam
tersebut berada tepat depan jalan poros trans Sulawesi, dan selanjutnya informan
mengatakan para peziarah melonjak ketika hari jumat itu dikarenakan peziarah
ingin menyempatkaan sholat jumat di masjid Lapeo.
Adapun informasi dan data yang ditemukan peneliti dalam bentuk
wawancara dengan informan di lapangan/lokasi penelitian. Seperti yang diungkap
oleh HB (56 tahun) selaku tokoh agama, bahwa:
”Tidak, harusnya ini makam dikunjungi sekedar berziarah saja tapi
banyak yang datang disini dengan tujuan lain juga”. (26/10/2019)
Berdasarkan pernyataan informan di atas, bahwa kondisi makam Imam
Lapeo kadang disalahgunakan sebagai tempat berziarah. Melihat dengan keadaan
seperti ini bahwa masyarakat yang datang berziarah di makam Imam Lapeo
datang dengan tujuan lain padahal ziarah itu adalah amaliah mengunjungi tempat
suci, tempat sakral, atau tempat beribadah yang mengandung makna rohaniah
untuk mengingat kembali, memperkuat keyakinan, menyadari kefanaan hidup di
dunia.
b. Proses dan Perilaku Ziarah Makam Imam Lapeo
Dalam proses ziarah, dapat juga dipahami sebagai perjalanan batin
seseorang, sehingga memiliki muatan dalam merespon kehidupan mereka. Emosi
tersebut membentuk perilaku, menjadi kebiasaan dalam menyalurkan keyakinan
terhadap sosok yang memiliki kapasitas untuk memberikan apa yang dibutuhkan.
Maka dalam pelaksanaan ziarah pada makam Imam Lapeo tentu memiliki
tahapan-tahapan dalam melakukan ziarah, sebagai suatu tanda penghidmatan pada
proses tradisi yang ada.
Adapun tahapan-tahapan yang biasanya dilakukan dalam menziarahi
makam Imam Lapeo menurut YY (46 tahun) selaku tokoh agama sekaligus Imam
masjid Imam Lapeo mengatakan, bahwa:
“Orang yang datang disini ziarah tidak langsung saja masuk ke makam
imam lapeo. Ada tiga tahap yang dilakukan pertama, kerumahnya dulu
cucunya imam lapeo membawa makanan-makanan yang dibawah dari
rumah mereka lalu minta di doakan dan minta petunjuk. Kedua, ke masjid
untuk beribadah. Ketiga, ke makam imam lapeo berziarah”. (26/10/2019)
Secara sekilas, proses ziarah yang dilakukan pada makam Imam Lapeo
hamper sama dengan ziarah makam pada umumnya, namun terlihat bahwa ada
suatu proses yang dilakukan yang tidak ditemukan dalam ziarah makam pada
umumnya yaitu peziarah membawa makanan dari rumah dan membawanya ke
rumah cucu Imam Lapeo lalu meminta didoakan dan minta petunjuk.
Seperti halnya proses ziarah yang dilakukan di atas yang telah disebutkan
informan, namun ada halnya informan lainnya HB (46 tahun) mengatakan, bahwa:
“Ke rumahnya cucunya imam lapeo bawa makanan yang na bawa dari
rumah lalu di baca-baca bersama terus minta di doakangi biasa juga
masuk ke masjid foto-foto terus mereka ini sebelum pulang pasti belli foto
Imam Lapeo yang dijual di depan masjid untuk napajang dirumah
sebagai jimat” (27/10/2019)
Dari pernyataan diatas bahwa kebiassan yang dilakukan dalam menziarahi
makam Imam Lapeo, sebelum berziarah terlebih dulu dilakukan mabbaca-baca
untuk diniatkan pada roh Imam Lapeo yang dianggap masih selalu ada dan
menghuni makam tersebut. Mabbaca-baca merupakan kebiasaan yang dilakukan
ketika ada syukuran atau acara yang hendak dilakukan. Biasanya dengan
memanggil pabbaca (pembaca doa) biasa oleh orang tua atau orang pintar yang
dianggap mampu dan sudah biasa untuk memimpinkan doa dan sebelumnya sudah
ada makanan-makanan khusus yang disiapkan untuk dibacakan.
Inti dari makna tradisi mabbaca-baca, sesungguhnya adalah sebagai tanda
kesyukuran, dan sebagai sebuah wadah untuk mendoakan orang yang sudah telah
meninggal. Namun, sekarang ini banyaknya pemahaman masyarakat yang
menganggap hal tersebut sebagai cara kesyukuran yang ditujukan kepada sesuatu
yang gaib, berupa roh-roh, dan makanan yang dibacakan diyakini akan sampai
kepada roh yang telah meninggal. Dalam tradisi mabbaca-baca juga memberikan
sumbangsi pemahaman pada ziarah ke makam Imam Lapeo karena tradisi satu
dan lainnya saling memiliki hubungan berupa kepercayaan dan keyakinan
terhadap adanya manfaat yang bisa didaptkan.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa makam Imam Lapeo merupakan
makam yang keramat, sehingga bagi masyarakat dalam prosesnya harus betul-
betul dilakukan dengan penuh khidmat. Kebiasaan yang dilakukan dan telah
menjadi kepercayaan, yaitu sebelum melakukan ziarah ke makam Imam Lapeo
terlebih dahulu dilakukan proses mabbaca-baca di rumah anak cucu Imam Lapeo,
karena ketika langsung berziarah tanpa terlebih dahulu melakukan hal tersebut
maka ziarah tidak sah. Seperti halnya yang dikatakan informan AC (32 tahun)
bahwa, mereka datang dari luar daerah berziarah di makam Imam Lapeo untuk
meminta rejeki dan mencari keselamatan. Lebih jauh lagi HB (45 tahun) bahwa,
mereka yang datang ziarah itu tidak pulang dengan tangan kososng, namun
mereka membeli foto Imam Lapeo yang dijual depan masjid Imam Lapeo untuk
dibawa pulang ke rumah dijadikan sebagai jimat penghindar dari mara bahaya.
Dalam hal ini dapat terlihat bahwa tradisi ziarah yang dilakukan pada
makam Imam lapeo merupakan wadah kepercayaan bagi masyarakat setempat dan
bahkan masyarakat luar yang datang dengan adanya motif-motif tertentu. Dalam
melihat proses ziarah yang ada pada makam Imam Lapeo maka ada beberapa hal
yang menuntut penulis perlu dianalisa dalam pandangan Islam.
1) Mengirimkan Doa pada Makam Imam Lapeo
Dalam Islam, doa merupakan suatu hal yang wajib untuk dilakukan sebagai
pertanda seorang hamba yang lemah yang membutuhkan pertolongan kepada
suatu yang lebuh tinggi, dalam hal ini Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-
Baqarah/1:186
إذا دعان لداع ٱك عبادي عن ي فإن ي قريب أجيب دعوة سأل وإذا
١٨٦فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
Yang artinya :
”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-
Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Sebagai makhluk Allah hendaklah senantiasa menyertakan doa dalam setiap
usaha yang dilakukan. Namun usaha beserta berdoa yang diajarkan dalam Islam
berupa sesuatu yang hanya diperuntuhkan kepada Allah SWT. bukan justru
kepada suatu kekuatan yang lain. Dalam memandang proses ziarah pada makam
Imam Lapeo, seperti adanya doa yang dipanjatkan kepada Imam Lapeo telah
mengarah kepada harapan untuk mendapatkan keinginan duniawi yang
disandarkan pada roh yang ada pada makam tersebut, sehingga hal itu sangatlah
bertentangan dengan aqidah Islam.
2) Menjadikan Foto Imam Lapeo sebagai Jimat
Makam Imam Lapeo bagi masyarakat merupakan makam yang keramat
dengan menyimpan kekuatan-kekuatan mistis didalamnya, sehingga apapun yang
ada pada makam diyakini memiliki kekuatan, seperti yang dikatakan salah
seorang tokoh agama bahwa peziarah kadang membeli foto Imam Lapeo untuk
dipajang di rumah dan diajadikan jimat. Adanya perilaku peziarah dalam
meyakini foto sebagai jimat, menurut pandangan penulis telah menjadi suatu hal
yang bertentangan dalam aqidah Islam karena adanya perilaku kesyirikan yang
percaya pada suatu benda yang dapat mendatangkan sebuah kemanfaatan, padahal
yang dapat mendatangkan manfaat dan mudharat hanyalah Allah SWT.
sebagaimana firmannya dalam QS. Yunus/10:106
ٱتدع من دون ول ن لل ك فإن فعلت فإنك إذا م ما ل ينفعك ول يضر
لمين ٱ ١٠٦ لظ
Yang artinya :
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat
dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika
engkau melakukan (yang demikian), maka sesungguhnya engkau
termasuk orang-orang yang zalim”.
Demikian proses dan perilaku ziarah yang ada pada makam Imam Lapeo
seperti yang dijelaskan diatas, menurut pendapat penulis merupakan suatu yang
menjadi wadah dalam mengaplikasikan keinginan duniawi masyarakat,
banyaknya pemahaman dan perilaku dalam menziarahi makam tersebut telah
menjadi symbol kepercayaan dalam mengejar keinginan duniawi, sehingga fungsi
dan makna ziarah dalam Islam tidak teraplikasikan.
c. Motivasi Ziarah Makam Imam Lapeo
Motivasi (dorongan diri) merupakan kekuatan yang mampu memunculkan
aktifitas dalam diri manusi. Hal ini diawalai dengan adanya perilaku yang
diarahkan oleh tujuan tertentu yang menjadi aktifitas tersebut sebagai suatu tugas
yang harus dilaksanakan. Motivasi inilah yang mampu mendorong manusia dalam
memenuhi segala kebutuhan hidupnya, sebagaimana ia pula yang mendorong
manusia dalam menjalankan banyak kegiatan penting yang bermanfaat yang
sesuai dengan keinginannya
Sesuatu yang paling mendasar, yaitu tujuan serta motivasi pelaku peziarah
ketika datang untuk berziarah ke makam tersebut. Adanya motivasi-motivasi
tertentu membuat kita dapat melihat bagaimana sebenarnya bentuk dan
kepercayan masyarakat terhadap tradisi ziarah pada makam yang diziarahinya.
Seperti halnya pada makam Imam Lapeo, peziarah yang datang tentunya memiliki
motivasi tertentu dalam berziarah.
Dari hasil wawancara peneliti dengan berbagai informan, apakah informan
yang penulis temui langsung pada saat masyarakat melakukan ziarah, ataupun
masyarakat campalagian yang selalu menyempatkan dirinya pada saat tertentu
untuk berziarah dikarenakan disaat peneliti turun langsung ke lapangan hanya ada
beberapa keluarga yang sedang melakukan ziarah.
Motivasi masyarakat dalam melakukan ziarah tentunya memiliki
pandangan kemanfaatan, dari hasil observasi peneliti menemukan bahwa ziarah ke
makam Imam Lapeo dilator belakangi oleh tujuan-tujuan tertentu, sehingga
banyak sekali dan berfariasi niatnya, akan tetapi pada intinya kebanyakan mereka
datang untuk mengharapkan asalamaang (keselamatan). Senada dengan pendapat
HD (18 tahun) mengatakan, bahwa:
“Disuruhka sama orangtuaku karna baru sudahka belli motor baru
supaya nanti nda jatuh-jatuh ka naik motor” (27/10/2019)
Menurut salah seorang informan, bahwa yang datang untuk melakukan
ziarah, sebagian besar itu datang bertujuan untuk meminta pertolongan, atau ada
niat bahkan nazar, seumpama kalua anaku dapat jodoh maka saya akan ziarah ke
situ. Rupanya ziarah pada makam Imam Lapeo merupakan makam yang sangat
ditakuti dan sangat keramat dalam pemahaman masyarakat, sehingga motivasi
para peziarah tersebut selalu diidentikkan dengan keselamatan ketika dalam
mengunjunginya. Seperti halnya ST (45 tahun), mengatakan bahwa;
“Karena dulu pernahka sakit lalu bernazarka kalo sembuhka na pergika
berziarah di lapeo” (28/10/2019)
Menurut penulis tradisi ziarah pada makam Imam Lapeo sudah menjadi
suatu hal yang terintisasi pada perilaku pada perilaku pengkulturan bahwa dengan
melakukan ziarah pada makam Imam Lapeo mampu memberikan keselamatan
dan pertolongan kepada peziarah yang datang dan untuk berziarah.
Seperti yang diketahui sebelumnya, bahwa Imam Lapeo dianggap sebagai
sosok dengan keshalehannya dan kewaliannya dan memiliki pengaruh dalam
penyebaran Islam di tanah Mandar. Peneliti mengharapkan kepada para peziarah
tentang menghindari adanya kecenderungan mengharapkan sesuatu selain kepada
Allah dalam meraih kebaikan atau menolak suatu keburukan, maka itu merupakan
perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. sehingga dalam menziarahi
makam Imam Lapeo tidak boleh adanya maksud untuk meminta pertolongan.
2. Dampak Relasi Budaya dan Agama terhadap Fenomena Makam Imam
Lapeo
a. Ziarah makam Imam Lapeo sebagai Tempat Bernazar dan Penghormatan
Leluhur
Dari hasil yang didapatkan dilapangan, bahwa timbulnya pemaknaan
terhadap tradisi ziarah pada makam Imam Lapeo dapat kita ketahui melalui
motivasi dan tujuan dalam berziarah. Adapun hal-hal yang menjadi pola
pemahaman masyarakat campalagian.
1) Bernazar
Merupakan salah satu kebiasaan seseorang dalam menunjukkan kesadaran
dan kepasrahan diri akan Batasan kemampuan yang ada dalam dirinya. Seperti
halnya yang ada pada masyarakat Campalagian, bernazar sering dilakukan untuk
menziarahi makam Imam Lapeo yang dianggap mampu membantu permasalahan
yang dialaminya. Seperti yang dikatakan peziarah JH (37 tahun), bahwa:
“Seumpama kalua anakku dapat jodoh maka kesini ka lagi” (27/10/2019)
Melihat seperti yang dikatakan diatas, maka ziarah pada makam Imam
Lapeo telah menjadi praktek penanaman niat yang salah, adanya penharapan yang
bukan lagi termanifestasi dalam mengharapkan suatu pencapaian kepada Allah
membuat masyarakat menjadi buta dan menutup diri dalam memahami kebenaran
yang ada. Seperti pendapat salah seorang masyarakat campalagian, bahwa kita
tidak bisa mencapai sesuatu yang gaib namun kita bisa berkorban dengan cara
melakukan nazar untuk meminta bantuan kepada seorang yang bisa membantu
kita dalam mencapai apa yang diinginkan dan hal itu bisa terjadi.
Menurut cerita yang dilontarkan YY (46) selaku tokoh agama, beliau
memiliki teman yang tinggalnya di Kalimantan yang sudah menetap lama disana
dan kadang dalam setahun pulang ke kampung halamannya di Campalagian hanya
sekali atau bahkan dalam setahun mereka sekeluarga tidak pulang. Namun ketika
beliau pernah pulang pada saat lebaran idul Fitri dan melakukan kebiasaan setelah
lebaran, silaturahmi dengan keluarga dan menziarahi semua kuburan-kuburan
sanak saudara dan keluarga sampainya mereka kembali lagi ke Kalimantan.
Sesampainya disana tidak lama kemudian anaknya yang sementara melakukan tes
CPNS untuk tenaga pengajar Dosen pada saat itu dan hasil yang keluar
menyatakan anaknya lulus namun namanya tidak aa di pusat. Lantas beliau
kebingungan dan stres mendengarkan kabar tersebut, lalu ada laki-laki tua bicara
kepada beliau dan menyarankan untuk pulang ke Mandar untuk menziarahi
kuburan yang ada di Campalagian. Alasannya pada saat beliau pulang beliau tidak
menziarahi dan hanya melewati kuburan tanpa menengoknya sehingga hal itu
menyebabkan semuanya terhalang. Sehingga keesokan harinya beliau pulang dan
menziarahi makam Imam Lapeo dan beberapa minggu kemudian anaknya
mendapat kabar bahwa ada kesalahn dan ternyata lulus.
Anggapan bahwa dengan adanya kebutuhan dan permasalahan yang
dihadapi diluar kemampuan mereka bisa terselesaikan dengan bernazar untuk
menziarahi pada makam Imam lapeo, menurut pandangan penulis, disebabkan
karena tidak ada pemahaman mereka dalam menyikapi permasalahan yang dalam
sehingga hal seperti itu menjadi jalan keluar untuk dilakukan, jika ada hasil yang
terlihat dan didapatkan maka itu akan menjadi kebiasaan yang diyakini.
Dalam bernazar telah ada musibah yang dialami atau tengah dialami oleh
seseorang atau adanya motif yang ingin dicapai yang tidak mampu mereka
selesaikan dan sulit untuk mendapatkannya, sehingga timbul prasangka-prasangka
bahwa penyebab itu datang dari Imam Lapeo yang marah karena jarangnya
mereka berziarah le makam Imam Lapeo akan mendapatkan keberkahan rezeki
yang melimpah. Menurut pandangan penulis, bahwa masyarakat campalagian
telah menyalahkan fungsi nazar sebagai media mendapatkan keuntungan duniawi
dengan bernazar pada makam Imam Lapeo, sehingga hal tersebut sangatlah
bertentangan dengan aqidah Islam.
Dalam Islam nazar dijadikan sebagai suatu perilaku ibadah yang dapat
dilakukan oleh seseorang kepada Allah SWT. Namun ketika perilaku bernazar
dengan adanya niat dan harapan akan bantuan kepada kekuatan-kekuatan lain
selain dai Allah, maka hal itu tidaklah benar. Seseorang ketika memalingkan
sesuatu dari hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Allah maka mereka tergolong
orang-orang yang terancam. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-
Baqarah/02:270
ن نذر فإن وما ن نفقة أو نذرتم م ٱأنفقتم م لمين من ۥيعلمه للوما للظ
٢٧٠أنصار
Yang artinya :
“apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim
tidak ada seorang penolong baginya”.
Syaikhul Islam Ibnu rahimahullah mengatakan, adapun segala sesuatu
yang dinazarkan selain Allah, seperti bernazar untuk berhala, matahari, bulan dan
bintang, kuburan serta semacamnya maka hukumannya sebagaimana orang
bersumpah dengan tidak menyebut nama Allah maka tidak boleh dilakukan dan
juga tidak ada kaffarah-Nya dan keduanya merupakan syirik dan syirik tidak
memiliki kehormatan sedikitpun.
Dari penjelasan diatas, bernazar merupakan sebuah kebolehan yang
dilakukan, selama itu yang didasari oleh harapan kepada Allah SWT. dan ketika
seperti yang ada pada masyarakat yang bernazar dalam tradisi ke makam Imam
Lapeo itu merupakan sebuah penyimpangan aqidah, dikarenakan harapan yang
dituju bukanlah kepada Allah namun justru kepada sosok Imam Lapeo yang
berada pada makam tersebut.
2) Penghormatan Leluhur
Salah satu pandangan masyarakat dalam melakukan tradisi ke makam Imam
Lapeo yaitu dapat menghimdarkan diri dari bala dan bencana. Mereka
menganggap Imam Lapeo memiliki kekuatan dan kekeramatan sehingga ketika
menziarahi makamnya terhindar dari bencana. Lebih lanjut lagi HB(46 tahun)
mengatakan, bahwa:
“berziarah ke makam Imam Lapeo merupakan wujud penghormatan sosok
Imam Lapeo yang merupakan salah satu penyebar Islam di tanah
Mandar maka kita berterimahkasih dengan selalu mendatangi
makamnya” (29/10/2019)
Namun hal yang lebih jauh lagi dari hanya sekedar penghormatan mereka
pada sosok leluhurnya. Ada kekuatan yang dialami ketika tidak melakukan ziarah
apalagi ketika sudah lama pergi merantau dan tidak berziarah maka Imam Lapeo
akan marah sehingga mereka diberikan cobaan dengan adanya musibah.
b. Adanya Sikap Fanatik
Penulis dalam memahami sikap masyarakat Campalagian sangatlah
menjunjung tinggi nilai-nilai adat pengajaran orangtua dulu mereka tidak mudah
terlepas dalam jeratan struktur kebiasaan yang berlaku dalam lingkungannya.
Maka sikap fanatik dengan pengajaran tersebut dan menganggap hal itu
merupakan kebenaran bagi diri mereka yang harus dipertahankan. Sehingga hal
tersebut sulit untuk diberikan pemahaman karena keyakinan mereka yang kokoh
tersebut. Maka dari itu menimbulkan sifat tidak kritis dalam menerima sebuah
kepercayaan begitu saja.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh HB (46 tahun) yang mengatakan,
bahwa:
“Kalo masalah itu yah ini para peziarah kadang terlalu berlebihan. Dulu
pernah ada yang datang bilang ke keluarga imam lapeo kalo di dalam
jiwanya adalah imam lapeo tapi badannya tetap ji dirinya. Ya nabilangmi
keluarga imam lapeo kalo nda betul itu imam lapeo tidak pernah masuki
roh seseorang lalu nasuruh ini oang untuk perbaiki ibadahnya”
(29/10/2019)
Berdasarkan dari pemaparan di atas, dibuktikan bahwa peziarah makam
Imam Lapeo terlalu berlebihan dalam memahami sesuatu atau dalam melakukan
ziarah makam. Apalagi dari keluarga Imam Lapeo sendiri mengatakan bahwa apa
yang dialami peziarah tersebut tidaklah benar dan disarankan untuk memperbaiki
ibadahnya.
Adapun pengakuan dari salah satu peziarah yaitu AC (32 tahun) yang
mengatakan, bahwa:
“Saat saya atau keluarga saya mendapat musibah itu berarti teguran dari
Imam Lapeo” (28/10/2019)
Ungkapan di atas sekali lagi menandakan bahwa peziarah yang datang
berziarah ke makam Imam Lapeo kurang pemahaman mengenai ziarah makam.
Adanya sikap fanatik pada keyakinan dalam ziarah makam maka disinilah kita
harus meluruskan atau memberikan pemahaman untuk meninggalkan hal itu.
B. Pembahasan
1. Relasi Budaya dan Agama pada Fenomena Makam Imam Lapeo
a. Keadaan Makam Imam Lapeo
Ziarah makam dalam Islam diartikan sebagai pelajaran akan kematian,
dengan berziarah, seseorang akan mengenal yang Namanya kematian, sehingga
semasa hidupnya akan senantiasa mengingat Allah dan tidak akan melakukan
maksiat serta berperilaku sombong, sebab pada akhirnya manusia tidak akan
berdaya ketika telah datang kematian kepadanya.
Seperti halnya yang terjadi di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian
Kabupaten Polman Sulawesi Barat pada makam Imam lapeo, dimana masyarakat
melakukan ziarah di makam Imam Lapeo yang merupakan salah satu penyebar
agama Islam di tanah Mandar. Ziarah yang dilakukan bertentangan dengan ajaran
Islam dan masih mengikuti tradisi atau kebudayaan leluhur mereka.
Keadaan atau kondisi makam Imam Lapeo memang tidak sama dengan
makam pada umumnya, dimana hampir setiap hari peziarah datang melakukan
kunjungan bahkan pengunjung melonjak ketika hari jumat itu dikarenakan mereka
ingin menyempatkan sholat jumat di masjid Imam Lapeo. Bukan hanya
masyarakat Campalagian saja yang datang, masyarakat luar daerah pun datang
hanya untuk bisa ziarah makam Imam Lapeo. Tujuan peziarah pun berbeda-beda,
ada yang karena bernazar, penghormatan leluhur, disuruh orang tua mereka
bahkan ada yang datang meminta bantuan atau minta petunjuk.
Dalam teori Koentjaraningrat yang menyebutkan bahwa ajaran agama
adalah ideologis sosial, agama lah yang merubah watak masyarakat sesuai dengan
cita-cita dan visinya mengenai agama tersebut. Pada umumnya agama yang
masuk akan mengalami proses penyesuaian dengan budaya yang telah ada. Ada
kompromi nilai atau simbol antar agama yang masuk dengan kebudayaan asal,
yang menghasilkan bentuk baru dan berbeda dengan agama atau budaya asal.
Proses penyesuaian ini terjadi begitu saja dalam setiap proses pemaknaan di
tengah masyarakat. Begitupun dengan masyarakat yang datang ziarah di makam
Imam Lapeo mereka juga harus bisa menyesuaikan.
b. Proses dan Perilaku Ziarah Makam Imam Lapeo
Melihat proses ziarah yang dilakukan pada makam Imam Lapeo dilakukan
dengan melalui tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaa, dengan tahpan
persiapan dilakukan mabbaca-baca sebelum menuju ke makam dan tahapan
pelaksanaan yang dilakukan pada proses ziarah pada makam Imam Lapeo.
Peneliti dalam melihat proses ziarah yang dilakukan para peziarah,
merupakan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan yang mengalir begitu saja, tanpa
ada arahan-arahan dari juru kunci makam Imam Lapeo serta para tokoh-tokoh
agama setempat, proses ziarah berjalan dengan sendirinya karena dalam proses
tersebut sama halnya dengan proses ziarah yang dilakukan pada umumnya seperti
berdoa, menaburi bunga dan menyiramkan air pada makam, namun adanya
penghormatan yang berbeda.
Kekeramatan yang dimiliki makam Imam Lapeo telah menjadi buah bibir
dikalangan masyarakat Campalagian maupun dikalangan masyarakat luar,
sehingga tidak jarang ketika makam-makam keramat yang diziarahi sering
diidentikkan dengan prose yang didasari dengan kepercayaan mistis yang dimiliki
oleh makam tersebut, begitu halnya denagn makam Imam Lapeo banyak perilaku-
perilaku yang dilakukan dalam berziarah untuk mendapatkan keberkahan dari
makam tersebut. Seperti halnya yang dikatakan oleh peziarah yang bernama Aco,
bahwa mereka datang dari luar daerah Campalagian berziarah di makam Imam
Lapeo untuk meminta rejeki dan mencari keselamatan.
Dalam hal proses dan perilaku masyarakat yang melakukan ziarah pada
makam Imam Lapeo, berkaitan dengan teori Clifford geertz yang mengatakan
agama sebagai sistem budaya. Kita bisa melihat agama sebagai fakta kultural
sebagaimana adanya dalam kebudayaan Campalagian dan bagaimana
kompleksnya hubungan tradisi keagamaan Islam dan kepercayaan asli setempat.
Kebudayaan adalah sebuah pola ide-ide yang termuat dalam simbol-
simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan mengepresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu.
Karena dalam satu kebudayaan terdapat beragam sikap, kesadaran dan
pengetahuan maka di sana terdapat sistem-siste kebudayaan yang berbeda.
Sedangkan agama adalah sebagai sistem simbol yang bertujuan untuk
menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah dan benar-benar nyata.
c. Motivasi Ziarah Makam Imam Lapeo
Tradisi ziarah kubur atau makam pada dasarnya telah menjadi suatu
agenda terdiri dalam rutinitas keagamaan. Dalam Islam, ziarah kubur dianggap
sebagai perbuatan yang hukumnya mubah, yang merupakan suatau kebolehan
untuk dilakukan.
Melihat dari peziarah yang datang ziarah makam Imam Lapeo memiliki
motivasi atau tujuan tertentu yang berbeda-beda. Dimana mereka kebanyakan
datang untuk meminta keselamatan bahkan mereka sampai bernazar dan disinilah
yang harus kita luruskan sebagaimana dengan kaidah Islam.
Suatu hal yang menarik dari tradisi ziarah makam yang terjadi di Desa
Lapeo Kecamatan Campalagian pada makam yang dikeramatkan yaitu makam
Imam Lapeo. Dimana, nilai irasional atau abstrak dari tradisi tersebut yang
diyakini oleh para peziarahnya. Masyarakat sekarang yang mengalami kemajuan,
ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang penting dari kehidupan
manusia modern. Sikap rasional merupakan cirri khas masyarakatnya, tetapi
nampaknya manusia menyadari bahwa ada ketakutan yang luar biasa diluar
dirinya. Karena itulah sebagian manusia mengapresiasikannya melalui ziarah
kubur. Bagi yang meyakini kekuatan hebat dan luar biasa itu adalah milik Allah
SWT. maka tradisi ziarah kubur dianggap sebagai apresiasi memberikan
penghormatan kepada ahli kubur yang memiliki karamah. Akan tetapi sebagian
masyarakat juga menganggap bahwa ahli kubur atau Imam Lapeo dapat
mengabulkan doa dan hajatnya karena semasa hidupnya dianggap orang yang
sakti apalagi Imam Lapeo adalah wali dan salah satu penyebar Islam di tanah
Mandar.
Seperti yang telah disinggung diatas, apabila ziarah dilakukan dengan cara
yang serta tuntunan Islam maka akan menjadi perbuatan yang baik sehingga
dapat menimbulkan kesadaran, jika tidak maka justru akan menjadi malapetaka.
2. Dampak Relasi Budaya dan Agama terhadap Fenomena Makam Imam
lapeo
a. Ziarah Makam Imam Lapeo sebagai Tempat Bernazar dan Penghormatan
Leluhur
Tradisi ziarah dalam masyarakat Islam Indonesia merupakan sebuah
tradisi lama yang terus berlangsung dan dilestarikan dalam setiap lintas generasi
dan bertahan sampai sekarang.
Banyaknya anggapan bahwa dengan berziarah ke kubur leluhur atau
tokoh-tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah
keunggulan atau keistimewaan tokoh yang dikuburkan merupakan daya tarik bagi
masyarakat untuk mewujudkan keinginan maupun hajatnya.
Begitupun dengan tradisi ziarah makam Imam lapeo yang peziarahnya
atau pengunjungnya melakukan ziarah dengan menjadikan makam Imam Lapeo
sebagai tempat bernazar dan penghormatan leluhur. Masyarakat melakukan hal
tersebut karena mereka beranggapan bahwa dengan ziarah di makamnya hajat
mereka akan terkabulkan, hal ini terjadi karena semasa hidup Imam Lapeo
dipercayai mempunyai ilmu magis dan doa-doanya di ijabah oleh Allah.
Ziarah makam Imam Lapeo terdapat ada dua perilaku peziarah yang sering
di dapat pada makam Imam Lapeo yaitu, sebagai tempat bernazar dan
penghormatan leluhur. Dua perilaku jika dilakukan dengan syariat Islam maka
tidak apa-apa namum jika dilakukan sebaliknya akan terdapat perilaku yang
menyimpang dalam pandangan kaidah Islam.
Bernazar adalah suatu kebiasaan yang dilakukan setiap orang yang
menunjukan kesadaran dan kepasrahan diri akan batasan kemampuan yang ada
dalam dirinya. Namun, pada ziarah makam Imam Lapeo masyarakat melakukan
praktek penanaman niat yang salah, dimana penharapan yang bukan lagi
termanifestasi dalam mengharapkan suatu pencapaian kepada Allah. Perilaku
inilah yang harus dihilangkan kepada masyarakat atau peziarah yang datang
karena mereka sudah melakukan perbuatan syirik.
Menghormati leluhur atau nenek moyang dapat diungkapkan melalui
tradisi ziarah kubur. Ziarah kubur dilakukan untuk menghormati arwah nenek
moyang, kedua orang tua dan keluarga yang dikuburkan, disamping itu untuk
mengimgatkan berziarah tentang akhirat. Ziarah kubur juga dapat dikatakan
sebagai mengunjungi suatu tempat yang dimuliakan atau dianggap suci, seperti
halnya mengunjungi makam Imam Lapeo yang kebetulan tepat berada dalam
pekarangan masjid Imam Lapeo. Seperti yang dilakukan masyarakat campalagian
dan umat Islam di daerah tersebut ziarah ke makam Imam Lapeo yang semasa
hidupnya membawa misi kebaikan di tanah Mandar dan lingkungan sekitarnya.
Namun, sebagian masyarakat atau peziarah menganggap ziarah ke makam Imam
Lapeo dapat menghindarkan diri dari bencana karena Imam Lapeo memiliki
kekuatan dan kekeramatan dan dapat terhindar dari bencana.
b. Adanya Sikap Fanatik
Ziarah ke kubur merupakan suatu hal yang sudah ada sejak awal
kedatangan Islam. Dilihat dari segi perkembangannya, ada catatan menarik yang
patut kita perlihatkan. Konon, Nabi Muhammad saw pernah melarang ummatnya
pada waktu itu masih dini dan belum kuat dalam segi akidahnya untuk berhadapan
dengan hal-hal yang bisa menyeret mereka kedalam perbuatan syirik. Jadi
munculnya larangan dikarenakan adanya suaru perilaku kepada tanda kesyirikan
dan diperbolehkan jika kegiatan ziarah kubur itu jauh dari nilai syirik.
Masyarakat Campalagian yang melakukan ziarah pada makam Imam
Lapeo sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai adat pengajaran orangtua dulu
mereka tidak mudah lepas dalam jeratan struktur kebiasaan pada lingkungannya.
Maka sikap fanatik membuat masyarakat menganggap hal ini sebagai kebenaran
yang harus dipertahankan.
Dilihat dari proses ziarah yang dilakukan masyarakat, sebagian besar
melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam dalam perilaku ziarah itu
sendiri. Dimana, mereka kurang pemahaman yang mendalam tentang proses
ziarah kubur yang baik dan benar dalam pandangan Islam.
Dalam upaya untuk meluruskan aqidah masyarakat untuk berbuat yang
baik dan benar adalah salah satu perbuatan yang mulia dengan adanya upaya
memberikan pengajaran dan mengajak masyarakat untuk lebih memahami Islam,
dengan adanya tradisi dan kepercayaan yang dapat merusak pemahaman
masyarakat. Dengan adanya bimbingan serta binaan, dapat terkontrol dan
masyarakat akan paham dengan apa yang seharusnya dilakukan dan disinilah
peran tokoh agama berperan sebagai mana mestinya.
Pada masyarakat atau peziarah, masih banyak yang tidak memahami
tentang ilmu ketauhidan. Kurangnya pemahaman ilmu agama dari diri sendiri
untuk mempelajari dan mendalaminya, sehingga mereka hanya taqlid dalam
persoalan kepercayaan. Sehingga hal tersebut yang mengakibatkan tumbuhnya
generasi yang tidak memahami aqidah, dan tidak mengerti rambu-rambu yang ada
dalam menyikapi hal yang berkaitan dengan kepercayaan maka yang terjadi yang
dianggap salah kadang dianggap benar, dan yang kebenaran dianggap sebagai
sebuah kesalahan.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan judul Relasi Agama dan Budaya
(Studi Fenomenologi Makam Imam Lapeo di Campalagian Kab. Polman) yang
didapatkan dari hasil observasi dan wawancara, maka dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1. Relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam Lapeo,
Berdasarkan hasil penelitian, relasi budaya dan agama pada makam Imam
Lapeo, pertama yaitu Keadaan Makam Imam Lapeo dimana keadaan peziarah
kadang disalahgunakan sebagai tempat ziarah yaitu datang dengan tujuan lain.
Kedua yaitu Proses dan Perilaku Ziarah Makam Imam Lapeo, dalam proses dan
perilaku ziarah makam Imam Lapeo yaitu proses dan perilaku para peziarah yang
merusak atau melakukan sifat syirik dan yang terakhir adalah Motivasi Ziarah
Makam Imam Lapeo, Masyarakat yang datang ziarah makam Imam Lapeo
mempunyai tujuan seperti mengharapkan keselamatan, meminta pertolongan dan
atau niat bahkan bernazar.
2. Dampak relasi budaya dan agama pada fenomena makam Imam Lapeo
Berdasarkan hasil penelitian, penelliti menemukan bahwa dampak relasi
budaya dan agama pada fenomena makam Imam Lapeo yairu: Ziarah Makam
Imam Lapeo sebagai Tempat Bernazar dan Penghormatan Leluhur serata adanya
sikap fanatic yang membuat masyarakat menganggap hal ini kebenaran yang
harus dipertahankan. kurangnya pemahaman ilmu agama dari diri sendiri untuk
mempelajari dan mendalaminya, sehingga mereka hanya taqlid dalam persoalan
kepercayaan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, bahwa makam Imam lapeo
merupakan wahana tradisi yang dilaksanakan masyarakat yang memiliki arah
kepercayaan yang dapat merusak aqidah masyarakat dalam menziarahiny,
sehingga perlu memberikan himbauan sebagai suatu penimbangan yang dapat
dilaksanakan antara lain:
1. Perlu adanya pihak yang memberikan arahan dalam prosesi yang dilakukan
dalam menziarahi makam Imam Lapeo, karena peneliti melihat bahwa yang
bertugas sebagai penjaga kubur belum begitu memahami makna ziarah yang
sebenarnya, sehingga perlu ada upaya khusus dari pemukaagama.
2. Perlu adanya himbauan-himbauan atau aturan-aturan tertulis yang dibuat oleh
Kementrian Agama tentang tatacara dan larangan seperti apa yang tidak boleh
dilakukan dalam melakukan ziarah ke makam Imam Lapeo. Sehingga
peziarah memahami dan faham tentang bagaimana cara menziarahi sesuai
dengan tuntunan dalam ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadin. 2013. Metode Penelitian Sosial. Makassar: Rayhan Intermedia
Amin, Ahmad. 1995. Ilmu akhlak. Jakarta. Bulan Bintang.
Abdullah, Hamid, Al-Humaidi. 2003. Bid’ah-Bid’ah Kubur, Terj. Abdul Rosyad
Shiddiq. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Basrowi. 2005. Pengantar sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Burhani, Najib, Ahmad. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta Selatan: Al-Wasat
Publishing House.
Budiyanto, Mangun. 2016. Pergulatan Agama dan Budaya: Pola Hubungan Islam
dan Budaya Lokal di Masyarakat Tutup Ngisor, Lereng Merapi,
Magelang Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Agama, XVII(3).
Dister, Syukur, Nico. 1982. Pengalaman dan Motivasi Beragama:Pengantar
Psikologi Agama. Jakarta: Leppanas.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Fadlia. 2011. Hubungan Antara Agama dan Budaya, (http://fadlia-
syechbu.blogspot.com/2011/04/hubungan-antara-agama-dan-
budaya.html, diakses 03 Agustus 2019).
Fatahillah, Rachmat. 2013. Hubungan Agama dan Masyarakat,
(http://rachmatfatahillah.blogspot.com/2013/03/hubungan-agama-dan-
masyarakat.html, diakses 03 agustus 2019).
Graaf, De, J, H. 1958. Reseume Buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Greets, Clifford. 1973. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan, Yogyakarta: Kanisius.
Hazart, Ahmad. 2016. Agama sebagai sistem kebudayaan. Hasil resume dari buku
"The Seven Theories" karya Daniel L.Pals,
(https://hazartahmad.blogspot.com/2016/10/agama-sebagai-sistem
kebudayaan.html, diakses 9 Juli 2019).
Indrawardana, Ira. 2012. Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam
Hubungan Dengan Lingkungan Alam. Jurnal Penelitian Kearifan Lokal,
4(1).
Jaiz, Ahmad, Hartono. 2011. Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara. Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Kementrian Agama R.I. 2014. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Halim.
Kharisma, Hari, Setyo. 2017. Pengaruh Islam dan Budaya Kejawen Terhadap
Perilaku Spiritual Masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa
Tengah. Jurnal Penelitian Islam dan Budaya, 6(3).
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan.
. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Muslich, Hanief. 2001. Ziarah Kubur Wisata Spiritual. Jakarta: Al Mawardi
Prima.
Nursyam. 2007. Madzhab-madzhab Ontropologi. Yogyakarta: Lkis.
Pewanto, Har. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Prasetyo, Hendro, dan Munhanif, Ali. 2002. Islam Civil Society: Pandangan
Muslim Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama: Esai-Esai Agama di Ruang Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Roibin. 2010. Agama dan Budaya: Relasi Konfrontatif atau Kompromistik?.
Jurnal Hukum dan Syariah, 1(1), 01-120.
Syam, Nur. 2007. Islam Pesisir. Yogyakarta: Lkis.
Sunyoto, Agus. 2011. Wali songo: Rekontruksi Sejarah yang Disingkirkan.
Tangerang: Trans Pustaka.
Sugiyono. 2010. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologo Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Somat, Abdul. 2017. 37 Masalah Populer. Riau: Tafaqquh.
Zuhriah. 2013. Jejak Wali Nusantara Kisah Kewalian Imam Lapeo di Masyarakat
mandar. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA
Untuk Tokoh Agama
1. Sejak kapan anda tinggal di lingkungan ini?
2. Selain berziarah kegiatan apa yang dilakukan para peziarah di sekitaran
makam Imam Lapeo?
3. Apa dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dengan adanya kegiatan
ziarah tersebut?
4. Bagaimana pandangan anda dengan tradisi ziarah makam Imam Lapeo selaku
tokoh agama?
5. Apakah makam Imam lapeo ini hanya dikunjungi untuk ziarah?
Untuk Peziarah
1. Apakah anda baru pertama kali atau sebelumnya sudah pernah datang
berziarah?
2. Apa yang menjadi alasan anda datang berziarah di makam Imam Lapeo?
3. Apa dampak yang anda rasakan setelah berziarah di makam Imam Lapeo?
Lampiran 2
DAFTAR NAMA-NAMA INFORMAN
Dalam penelitian ini, ada beberapa masyarakat atau informan yang tidak
ingin disebutkan namanya, dan tidak ingin diambil gambarnya. Oleh karena itu
demi kenyamanan bersama dan untuk mencegah adanya dampak negatif yang
akan ditimbulkan, maka peneliti tidak mencantumkan secara jelas identitas
informan.
1. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
H. Borahima
56 Tahun
Tokoh agama
Lapeo
2. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
Yahyuddin
42 Tahun
Tokoh agama
Lapeo
3. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
H. Basir
46 Tahun
Tokoh agama
Lapeo
4. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
Sitti
45 Tahun
Peziarah
Pambusuang
5. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
Aco
32 Tahun
Peziarah
Pambusuang
6. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
Jahariah
37 Tahun
Peziarah
Pamboang
7. Identitas Diri
- Nama
- Usia
- Status
- Alamat
:
:
:
:
Hamdani
18 Tahun
Peziarah
Pamboang
Lampiran 3
HASIL WAWANCARA
1. Identitas Diri
- Nama : H. Borahima
- Usia : 56 Tahun
- Status : Tokoh Agama
- Alamat : Lapeo
Pertanyaan
1. Sejak kapan anda tinggal di
lingkungan ini?
Dari lahir
2. Selain berziarah kegiatan apa yang
dilakukan para peziarah di sekitaran
makam Imam Lapeo?
Sebelumna masuk ziarah para
peziarah ini ke boyang kayyang
dulu ini maksudnya boyang
kayyang rumahnya Imam Lapeo
minta di doakan sama annangguru
ummi lia cucunya imam lapeo
saba’ mangapai ini annangguru
ummi lia nagantikangi peranna
imam lapeo baru ke kubur mi
ziarah terus masukmi masjid
sholat, berfoto-foto.
3. Apa dampak yang dirasakan oleh
masyarakat sekitar dengan adanya
kegiatan ziarah tersebut?
Ya’ lumayan berdampak baik i
apalagi penjual-penjual
4. Bagaimana pandangan anda dengan
tradisi ziarah makam Imam Lapeo
selaku tokoh agama?
Biasa-biasaji karna lama mi tradisi
ziarah kubur dilakukan, kadang iya
peziarah ini datang-datangji di
masjid ziarah tapi tidak sholat.
5. Apakah makam Imam Lapeo ini
hanya kunjungi untuk berziarah?
Tidak, harusnya ini makam
dikunjungi sekedar berziarah saja
tapi banyak yang datang disini
dengan tujuan lain juga.
2. Identitas Diri
- Nama : Yahyuddin
- Usia : 42 Tahun
- Status : Tokoh Agama
- Alamat : Lapeo
Pertanyaan
1. Sejak kapan anda tinggal di
lingkungan ini?
Dari lahir
2. Selain berziarah kegiatan apa yang Orang yang datang disini ziarah
dilakukan para peziarah di sekitaran
makam Imam Lapeo?
tidak langsung saja masuk ke
makam imam lapeo. Ada tiga tahap
yang dilakukan pertama,
kerumahnya dulu cucunya imam
lapeo membawa makanan-
makanan yang dibawah dari rumah
mereka lalu minta di doakn dan
minta petunjuk. Kedua, ke masjid
untuk beribadah. Ketiga, ke makam
imam lapeo berziarah.
3. Apa dampak yang dirasakan oleh
masyarakat sekitar dengan adanya
kegiatan ziarah tersebut?
Kalo tentang itu masyarakat sekitar
disini merasa bahagia karena
ternyata banyak orang-orang di
luar campalagian terutama
masyarakat lapeo yang datang
untuk mengunjungi makam imam
lapeo dan masyarakat disini juga
menjadikannya sebagai tempat
mencari nafkah dengan menjual
peralatan ibadah, mainan dan oleh-
oleh khas campalagian.
4. Bagaimana pandangan anda dengan
tradisi ziarah makam Imam Lapeo
selaku tokoh agama?
Kalo diliat-liat kadang ini peziarah
yang datang kalo masuk waktu
sholat nda sholat ji padahal ini
makam imam lapeo pas di
menaranya masjid datang saja ji
ziarah foto-foto. Ituji bikin ganjil
kuliat.
3. Identitas Diri
- Nama : H. Basir
- Usia : 46 Tahun
- Status : Tokoh Agama
- Alamat : Lapeo
Pertanyaan
1. Sejak kapan anda tinggal di
lingkungan ini?
Dari lahir
2. Selain berziarah kegiatan apa yang
dilakukan para peziarah disekitaran
makam Imam Lapeo?
Ke rumahnya cucunya imam lapeo
bawa makanan yang na bawa dari
rumah lalu di baca-baca bersama
terus minta di doakangi biasa juga
masuk ke masjid foto-foto terus
mereka ini sebelum pulang pasti
belli foto Imam Lapeo yang dijual
di depan masjid untuk napajang
dirumah sebagai jimat
3. Apa dampak yang dirasakan oleh
masyarakat sekitar dengan adanya
kegiatan ziarah tersebut?
Na jadikangi menjual-jual karna
banyak datang dari jauh biasa juga
luar sulawesi
4. Bagaimana pandangan anda dengan
tradisi ziarah makam Imam Lapeo
selaku tokoh agama?
Kalo masalah itu yah ini para
peziarah kadang terlalu berlebihan.
Dulu pernah ada yang datang
bilang ke keluarga imam lapeo kalo
di dalam jiwanya adalah imam
lapeo tp badannya tetap ji dirinya.
Ya nabilangmi keluarga imam
lapeo kalo nda betul itu imam
lapeo tidak pernah masuki roh
seseorang lalu nasuruh ini oang
untuk perbaiki ibadahnya.
4. Identitas Diri
- Nama : Sitti
- Usia : 45 Tahun
- Status : Peziarah
- Alamat : Pambusuang
Pertanyaan
1. Apakah anda baru pertama kali atau
sebelumnya sudah pernah datang
beziarah?
Banyak kali mi
2. Apa yang menjadi alasan anda datang
berziarah di makam Imam lapeo?
Karna dulu pernahka sakit lalu
bernazarka kalo sembuhka na
pergika berziarah di lapeo
3. Apa dampak yang anda rasakan setelah
berziarah di makam Imam Lapeo?
Lebih dekatki dirasa sama imam
lapeo dan jarang-jarang ma sakit
5. Identitas Diri
- Nama : Aco
- Usia : 32 Tahun
- Status : Peziarah
- Alamat : Pambusuang
Pertanyaan
1. Apakah anda baru pertama kali atau
sebelumnya sudah pernah datang
Sudah sering
berziarah?
2. Apa yang menjadi alasan anda datang
berziarah di makam Imam Lapeo?
Minta doa supaya tambah lancar
rejeki, dijauhkan ki dari bahaya.
3. Apa dampak yang anda rasakan
setelah berziarah di makam Imam
Lapeo?
Sesudah darika di sini
alhamdulillah tambah lancar
usahaku.
6. Identitas Diri
- Nama : Jahariah
- Usia : 37 Tahun
- Status : Peziarah
- Alamat : Pamboang
Pertanyaan
1. Apakah anda baru pertama kali atau
sebelumnya sudah pernah datang
berziarah?
Sudah pernah
2. Apa yang menjadi alasan anda datang
berziarah di makam Imam Lapeo?
Karna pernahka bermimpi imam
lapeo nasuruhka ke lapeo
3. Apa dampak yang anda rasakan setelah
berziarah di makam Imam Lapeo?
Ya’ lebih tenang kurasa kalo
sudahma dari lapeo
7. Identitas Diri
- Nama : Hamdani
- Usia : 18 Tahun
- Status : Peziarah
- Alamat : Pamboang
Pertanyaan
1. Apakah anda baru pertama kali atau
sebelumnya sudah pernah datang
berziarah?
Barusan
2. Apa yang menjadi alasan anda datang Disuruhka sama orangtuaku karna
baru sudahka belli motor baru
berziarah di makam Imam Lapeo? supaya nanti nda jatuh-jatuh ka
naik motor
3. Apa dampak yang anda rasakan setelah
berziarah di makam Imam Lapeo?
Biasa-biasaji
Lampiran 4
Matriks Penelitian Yang Relevan
No. Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Tahun
1. Budiyanto Pergaulan Agama
dan Budaya: Pola
Hubungan Islam dan
Budaya Lokal di
Masyarakat Tutup
Ngisor, Lereng
Merapi, Magelang
Jawa Tengah
Menunjukkan Bahwa
Hasil Penelitiannya
Tersebut Sinkretisme
Antara Agama dan
Kebiasaan Lokal Oleh
Orang-Orang di Tutup
Ngisor Tampak
Sebagai Negosiasi.
Negosiasi
Menyebutkan Adanya
Kebiasaan Lokal
Mereka Sendiri Yang
Dipadukan Oleh
Agama Yang Mereka
Yakini Sendiri.
Akhirnya,
Disimpulkan Bahwa
Sinkretisme Bertujuan
Untuk Melindungi
Kebiasaan Lokal Dari
Musnah.
2013
2. Indrawardana Kearifan Lokal Adat
Masyarakat Sunda
Dalam Hubungan
Dengan Lingkungan
Alam
Menunjukkan Bahwa
Hasil Penelitiannya
Tersebut Pada
Dasarnya Kearifan
Lokal Masyarakat
Sunda Kanekes
Disarikan Dari
Pengalaman
Masyarakat Sunda
Lama Yang Sangat
Akrab Dengan
2014
Lingkungan Dan
Sudah Lama Hidup
Dalam Masyarakat
Peladang. Kearifan
Lokal Adat, Suatu
Kondisi Sosial
Budaya Yang Di
Dalamnya
Terkandung Khasanah
Nilai-Nilai Budaya
Yang Menghargai dan
Adaptif Dengan Alam
Sekitar, Dan Tertata
Secara Ajeng Dalam
Suatu Tatanan Adat
Istiadat Suatu
Masyarakat.
Walaupun Sering
Dianggap Kuno,
Nilai-Nilai Yang
Mereka Ajarkan Dan
Praktek Yang Mereka
Jalankan Masih
Merupakan Cara Yang
Terbaik Untuk
Memelihara
Lingkungan Di Zaman
Post-Modern.
3 Kharisma Pengaruh Islam dan
Budaya Kejawen
Terhadap Perilaku
Spiritual Masyarakat
Dusun Ngudi, Desa
Kalangan, Blora,
Jawa Tengah
Menunjukkan bahwa
Hasil Penelitiannya
Tersebut Baik Budaya
Maupun Agama,
Keduanya Memiliki
Peran Masing-Masing
Dalam Membentuk
Suatu Tatanan Hidup
Serta Pola Pikir
Masyarakat. Dapat
Diartikan Keduanya
Bisa Membentuk
Suatu Karakter Dalam
Komunitas
Masyarakat Di Suatau
Wilayah.
2017
Lampiran 5
Wawancara dengan salah satu tokoh agama yangb berada di makam Imam lapeo
Wawancara dengan salah satu peziarah makam Imam lapeo
Peziarah yang melakukan ziarah makam Imam Lapeo
Suasana rumah cucu Imam lapeo (Boyang Kayyang) yang dikunjungi peziarah
sebelum masuk ke makam Imam Lapeo untuk ziarah
Keadaan makam Imam Lapeo nampak dari depan yang terletak dipekarangan
masjid Imam lapeo
Masjid Imam Lapeo yang berada di pinggir jalan trans Sulawesi
RIWAYAT HIDUP
Sukriawan. Lahir di Tippulu, pada tanggal 10 Januari 1998.
Anak ketiga dari lima bersaudara dan merupakan buah kasih
sayang dari pasangan Suaib dan Salma. Penulis menempuh
pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 30 Ulidang mulai tahun
2003 sampai tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan
di MTs Guppi Ulidang dan tamat pada tahun 2012. Kemudian menamatkan
sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Majene pada tahun 2015. Dan pada
tahun yang sama juga yaitu 2015 penulis berhasil lulus pada jurusan pendidikan
sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammdiyah
Makassar program strata 1 (S-1) kependidikan.