regulasi kearifan lokal - unud
TRANSCRIPT
0
MAKALAH POSISI
REGULASI KEARIFAN LOKAL:
PANDUAN PENYUSUNAN PERATURAN
GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL
Dr. GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA
KOORDINASI PENYUSUNAN BUKU PINTAR
SUNCANG PERGUB BERMUATAN KEARIFAN
LOKAL PADA KANTOR GUBERNUR BALI
DENPASAR 2017
REGULASI KEARIFAN LOKAL:
PANDUAN PENYUSUNAN PERATURAN
GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL
Dr. GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA
Kelompok Ahli Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali
MAKALAH POSISI
KOORDINASI PENYUSUNAN BUKU PINTAR
SUNCANG PERGUB BERMUATAN KEARIFAN LOKAL
PADA KANTOR GUBERNUR BALI
DENPASAR 2017
ii
RINGKASAN
kalah Posisi (Position Paper) berjudul Regulasi Kearifan Lokal:
Panduan Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan
Masyarakat Setempat disusun sebagai masukan dan bahan diskusi
dalam penyusunan Buku Pintar Suncang Pergub bermuatan Kearifan
Lokal.
Makalah Posisi ini membahas dan menempatkan sudut pandang
mengenai: a. dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal, b. proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal, dan c. isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
yang hendak disusun. Pembahasan dilakukan dengan metode ilmu
hukum, dan diperoleh hasil pembahasan sebagai berikut:
Pertama, dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal adalah berdasarkan ketentuan mengenai:
a. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
b. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014), bersumber kewenangan
delegasi perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian
eksplisit.
c. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011, bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
d. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8
ayat (1) UU 12/2011), bersumber kewenangan delegasi
perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian implisit.
e. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undanga, dengan karakter pendelegasian implisit.
Kedua, proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal melalui tahapan:
iii
a. perencanaan, yakni memasukan judul rancangan peraturan
gubernur bermuatan kearifan lokal dalam perencanaan
penyusunan Pergub;
b. penyusunan, yakni pimpinan perangkat daerah pemrakarsa
menyusun rancangan peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal;
c. pembahasan, yakni membahas rancangan peraturan gubernur
bermuatan kearifan lokal oleh gubernur bersama dengan
perangkat daerah pemrakarsa, untuk itu gubernur membentuk
tim pembahasan yang dipimpin oleh pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa;
d. penetapan, yakni gubernur menetapkan rancangan peraturan
gubernur bermuatan kearifan lokal yang telah mendapat
pembahasan menjadi peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal, dan
e. pengundangan, yakni sekretaris daerah mengundangkan
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal dalam berita
daerah.
Ketiga, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang
hendak disusun meliputi:
a. pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal;
b. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, yakni
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak
ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengampunya yaitu
kesatuan masyarakat hukum adat; dan
c. asas pengaturan, yakni asas kearifan lokal terlingkup dalam asas
bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil,
yang harus terkandung dalam peraturan gubernur mengenai suatu
materi muatan tertentu.
iv
KATA PENGANTAR
Om Suasti Astu
Makalah Posisi (Position Paper) berjudul Regulasi Kearifan Lokal:
Panduan Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan
Masyarakat Setempat disusun sebagai masukan dan bahan diskusi
dalam acara Koordinasi Penyusunan Buku Pintar Suncang Peraturan
Gubernur bermuatan Kearifan Lokal.
Sesuai Surat Sekretaris Daerah Provinsi Bali Nomor
005/563/Bag.I/B.KUMHAM, antara lain ditujukan kepada Kelompok Ahli
Bidang Hukum Pemerintah Provinsi Bali, Rapat Koordinasi
diselenggarakan pada hari Jumat 7 April 2017 di Ruang Rapat Biro
Hukum dan HAM Setda Provinsi Bali, Unit V Lantai II Kantor Gubernur
Bali, di Denpasar.
Tema acara Koordinasi itu adalah Penyusunan Buku Pintar Suncang
(Penyusunan Rancangan) Peraturan Gubernur bermuatan Kearifan
Lokal. Posisi penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dalam fase
“penyusunan”, yakni di antara fase “perencanaan” dan fase
“pembahasan”. Makalah Posisi ini mengambil posisi pada proses
pembuatan Peraturan Gubernur, dimulai dari perencanaan, penyusunan,
v
pembahasan, penetapan, dan pengundangan. Oleh karena itu tidak
digunakan frasa “Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur”
melainkan menggunakan frasa “Penyusunan Peraturan Gubernur”,
sebagaimana tampak dalam judul Makalah Posisi ini.
Seturut dengan itu, Makalah Posisi ini membahas dan menempatkan
sudut pandang mengenai: a. dasar hukum penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, b. proses penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, dan c. isi Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal yang hendak disusun.
Om Santi Santi Santi Om,
Denpasar, 7 April 2017
Gede Marhaendra Wija Atmaja
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 12/2011
9
Tabel 2: Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 23/2014
10
Tabel 3: Proses Penyusunan Peraturan Gubernur menurut PMDN 80/2015
12
Tabel 4: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk UU 32/2009
19
Tabel 5: Isi Pergub bermuatan kearifan lokal merujuk UU 23/2014.
22
Tabel 6: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PP 68/2010
24
Tabel 7: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/ Kum.1/5/2017
25
Tabel 8: Penjelasan Pasal 12 dan Pasal 13 UU 12/2011 40
Tabel 9: Pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawijaya mengenai makna “atas kuasa”
44
Tabel 10: Tanda-Tanda Pendelegasian Kewenangan Mengatur
45
Tabel 11: Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
54
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ........................................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL .....................................................................................................................................vii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................ Error! Bookmark not defined.
1.2. Identifikasi Masalah .............................................................................................................. 2
1.3. Metode ................................................................................................................................. 2
BAB II KERANGKA TEORITIK ................................................................................................................... 4
2.1. Kearifan Lokal ........................................................................................................................ 4
2.2. Delegasi Perundang-undangan.............................................................................................. 5
BAB III DESKRIPSI PENGATURAN KEARIFAN LOKAL ............................................................................... 9
3.1. Pengantar .............................................................................................................................. 9
3.2. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal ......................... 9
3.3. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal .................................... 9
3.4. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hendak Disusun........................... 11
BAB IV ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL ................. 34
4.1. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal ....................... 34
4.2. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal .................................. 53
4.3. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hndak Disusun ............................ 57
BAB V PENUTUP .................................................................................................................................. 75
5.1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 345
5.2. Saran ................................................................................................................................ 753
viii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... Error! Bookmark not defined.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perlu menyimak tema Penyusunan Buku Pintar Suncang Peraturan
Gubernur bermuatan Kearifan Lokal, sebagaimana tercantum dalam Surat
Sekretaris Daerah Provinsi Bali Nomor 005/563/Bag.I/B.KUMHAM. Tema
itu memuat unsur-unsur:
1. Menyusun Buku Pintar tentang Penyusunan Rancangan
(Suncang) Peraturan Gubernur.
2. Peraturan Gubernur itu bermuatan Kearifan Lokal.
Tema itu fokus pada penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur,
yang posisinya berada di antara fase perencanaan dan fase pembahasan
menurut pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sesuai
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Makalah ini mengambil
posisi pada Penyusunan Peraturan Gubernur, artinya dimulai dari fase
perencanaan, penyusunan (-rancangan), pembahasan (terhadap
rancangan), penetapan, dan pengundangan.
Tema tersebut mengambil perspektif Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal, ada perspektif lainnya antara lain Peraturan Daerah dan
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal. Makalah Posisi ini
membahas penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal,
2
namun apabila pembahasan bersinggunan dengan Peraturan Daerah,
maka dikemukakan pula penyusunan Peraturan Daerah bermuatan
kearifan lokal
1.2. Identifikasi Masalah
Difokuskan pada pembahasan cara menyusun rancangan Peraturan
Gubernur yang bermuatan kearifan lokal. Untuk memudahkan
pembahasan dipandu oleh pertanyaan:
1. Apakah penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
memiliki dasar hukum?
2. Bagaimana proses menyusun Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal?
3. Bagaimana isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang
hendak disusun?
1.3. Metode
Digunakan metod4e ilmu hukum, dalam pengertian langkah-langkah
yang ditempuh untuk sampai pada pemahaman penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, adalah menginvetarisasi,
menginterpretasi, mengsistematisasi, dan mengevaluasi, yang pada
dasarnya merupakan kegiatan ilmiah ilmu hukum (B. Arief Sidharta 2016).
Menginvetarisasi aturan hukum adalah menemukenali dan
memaparkan selengkap mungkin aturan hukum mengenai penyusunan
3
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal; menginterpretasi aturan
hukum, yakni upaya menemukan makna dari aturan hukum itu;
mengsistematisasi aturan hukum, yakni menempatkan hasil interpretasi
terhadap aturan hukum itu ke dalam tata hukum yang sudah ada; dan
mengevaluasi aturan hukum itu berdasarkan dan bersasaran nilai-nilai
dasar tata hukum.
Digunakan pendekatan tekstual, dalam pengertian pasal-pasal dalam
peraturan perundang-undangan dianalisis secara kritikal dan dijelaskan
makna serta implikasinya (Sulistyowati Irianto 2009). Termasuk yang
dianalisis adalah Putusan Mahkamah Agung berkenaan dengan
pertimbangan hukum yang melandasi amar putusannya, dan
keterkaitannya dengan pasal-pasal dalam peraturan perundang-
undangan.
Analisis dilakukan menurut cara-cara analisis atau penafsiran
(interpretasi) hukum yang dikenal dalam ilmu hukum (C.F.G. Sunaryati
Hartono 1994), dalam hal ini interpretasi gramatikal, yakni berdasarkan
makna kata dalam konteks kalimatnya, interpretasi sistematikal, yakni
dalam konteks hubungannya dengan kaidah-kaidah hukum positif lainnya
(B. Arief Sidharta 201. Bagir Manan 2004), dan interpretasi autentik
(C.F.G. Sunaryati Hartono 1994), yakni menyandarkan pada penjelasan
peraturan perundang-undangan.
4
BAB II
KERANGKA TEORITIK
2.1. Kearifan Lokal
. Heddy Shri Ahimsa-Putra mendefinisikan kearifan lokal sebagai
perangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari
generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan
dengan lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara
baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi
(dalam Nur Berlian VA, & Mursalim, Ed, 2015).
Jadi, kearifan lokal, menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, meliputi
kearifan tradisional atau kearifan lama (yang berasal dari generasi-
generasi sebelumnya) dan kearifan kontemporer atau kearifan kini
(berasal dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan
masyarakat lainnya).
Mengacu pada pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Sugih Biantoro
(2011) memaknai kearifan tradisional (lama) sebagai perangkat
pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan
benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari
generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan,
yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Sedangkan, kearifan
kontemporer (kini) adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul
dalam suatu komunitas.
5
Hukum yang dimaksud dalam kearifan lokal yang tradisional itu
adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
bersangkutan, dapat berupa hukum adat, yang di Bali dituangkan dalam
awig-awig atau pararem.
2.2. Delegasi Perundang-undangan
Delegasi perundang-undangan adalah peralihan kewenangan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan. Pendapat-pendapat berikut
menegskan hal tersebut:
1. Jimly Asshiddiqie (2006), bahwa delegasi merupakan pemberian,
pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ
pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas
tanggung jawab sendiri. Jika yang dilimpahkan itu adalah
kewenangan membentuk suatu peraturan perundang-undangan,
maka terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan sebagaimana mestinya.
2. A. Hamid S. Attamimi ((1990), bahwa delegasi kewenangan
perundang-undangan adalah pemindahan/penyerahan
kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang
kewenangan asal yang memberi delegasi (delegans) kepada yang
menerima delegasi (delegataris) dengan tanggung jawab
pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri,
sedangkan tanggung jawab delegans terbatas sekali.
6
3. Bagir Manan (1997), bahwa delegasi terdapat apabila suatu
badan (organ) yang mempunyai wewenang secara mandiri
membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atributif)
menyerahkan kepada suatu badan untuk atas kekuasaan dan
tanggung jawab sendiri membuat/membentuk peraturan
perundang-undangan.
4. I.C. van der Vlies (2005), bahwa delegasi suatu kewenangan
adalah pelimpahan suatu kewenangan dan pihak yang mendapat
kewenangan (delegataris) akan melaksanakannya berdasarkan
tanggung jawabnya sendiri.
5. E. Utrecht (t.t.), bahwa delegasi tidak memuat inisiatif membuat
peraturan mengenai pokok-pokok yang baru, inisiatif untuk
membuat peraturan mengenai pokok-pokok semacam tadi tetap
dalam tangan yang mendelegasi: delegasi, yaitu
“menyelenggarakan”, tidak lain dari pada mengatur lebih lanjut.
Berdasarkan atas pandangan-pandangan tersebut, pengertian
delegasi kewenangan perundang-undangan memuat unsur-unsur sebagai
berikut (Gede Marhaendra Wija Atmaja 2016):
1. Penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-
undangan.
2. Kewenangan yang diserahkan tidak memuat inisiatif membuat
peraturan perundang-undangan mengenai pokok-pokok yang
baru.
7
3. Kewenangan diserahkan oleh pemegang kewenangan atributif
(delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris).
4. Lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung
jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.
Mencermati UU 12/2011 diperoleh pemahaman, delegasi
perundang-undangan merupakan pendelegasian kewenangan mengatur
dari suatu peraturan perundang-undangan kepada peraturan perundang-
undangan lainnya, baik secara horizontal maupun vertikal. Selain itu,
dalam praktiknya delegasi perundang-undangan juga berupa
pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu peraturan perundang-
undangan kepada pejabat negara atau pejabat tata usaha negara,
misalnya kepada Presiden. Jika hal ini terjadi, maka Presiden memiliki
pilihan bentuk penyelenggaraan pengaturan itu, dalam bentuk Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Presiden (bandingkan dengan Bagir Manan
1992).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka delegans mesti dipahami
sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang menyerahka
kewenangan mengatur, sedangkan delegataris mesti dipahami sebagai
peraturan perundang-undangan lainnya yang menerima kewenangan
mengatur. Hanya dalam kasus tertentu, delegataris itu adalah pejabat
negara atau pejabat tata usaha negara, seperti Presiden.
Delegasi perundang-undangan memiliki dua karakter. Pertama,
pendelegasian eksplisit, yakni peraturan perundang-undangan yang
8
mendelegasikan secara tegas menyebutkan sesuatu materi muatan harus
diatur dengan atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Kedua,
pendelegasian implisit yakni peraturan perundang-undangan yang
mendelegasikan tidak tegas menentukan sesuatu materi muatan harus
diatur dengan atau dalam peraturan perundang-undangan lainnya, namun
masih ada keterkaitan dengan pokok materi yang memerlukan
penyelengaraan pengaturan.
9
BAB III DESKRIPSI PENGATURAN KEARIFAN LOKAL
3.1. Pengantar
Bagian ini memaparkan pengaturan kearifan lokal dalam berbagai
peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Pemaparan pada spek-
aspek identifikasi masalah, yakni dasar hukum penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, proses menyusun Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal, dan isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal yang hendak disusun.
3.2. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan
Kearifan Lokal
Dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal merujuk pada dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur pada
umumnya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011)
memuat dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur.
Tabel 1: dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 12/2011
PASAL ISI PASAL PENJELASAN PASAL
Pasal 6
ayat (1)
Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus
mencerminkan asas: ... f.
bhinneka tunggal ika;
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“asas bhinneka tunggal ika”
adalah bahwa Materi Muatan
Peraturan Perundang-
undangan harus
memperhatikan keragaman
10
. penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus
daerah serta budaya dalam
kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Pasal 8
ayat (1)
dan (2)
(1) Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh ... Gubernur,
... .
(2) Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“Peraturan Menteri” ... .
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“berdasarkan kewenangan”
adalah penyelenggaraan
urusan tertentu
pemerintahan sesuai
dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU 23/2014) memuat dasar hukum penyusunan
Peraturan Gubernur.
Tabel 2: dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur menurut UU 23/2014
PASAL ISI PASAL
PENJELASAN PASAL
Pasal 1
angka 26
Peraturan Kepala Daerah yang
selanjutnya disebut Perkada adalah
peraturan gubernur dan peraturan
-
11
bupati/wali kota.
Pasal
17ayat
(1)
Daerah berhak menetapkan kebijakan
Daerah untuk menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
Yang dimaksud
dengan “kebijakan
Daerah” dalam
ketentuan ini adalah
Perda, Perkada,
dan keputusan
kepala daerah.
Pasal 65
ayat (2)
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepala daerah berwenang: ... c.
menetapkan Perkada dan keputusan
kepala daerah; ... .
-
Pasal
246
(1) Untuk melaksanakan Perda atau
atas kuasa peraturan perundang-
undangan, kepala daerah
menetapkan Perkada.
(2) Ketentuan mengenai asas
pembentukan dan materi muatan,
serta pembentukan Perda
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 237 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap asas
pembentukan dan materi muatan,
serta pembentukan Perkada.
-
3.3. Proses Menyusun Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal
Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
merujuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
12
Pembentukan Produk Hukum Daerah (selanjutnya disebut PMDN
80/2015.
Tabel 3: Proses Penyusunan Peraturan Gubernur menurut PMDN 80/2015
PASAL ISI PASAL
PENJELASAN PASAL
Pasal 19
(1) Perencanaan penyusunan
perkada dan peraturan DPRD
merupakan kewenangan dan
disesuaikan dengan kebutuhan
lembaga, komisi, atau instansi
masing-masing.
(2) Perencanaan penyusunan peraturan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disusun berdasarkan perintah
peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau
berdasarkan kewenangan.
(3) Perencanaan penyusunan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan keputusan
pimpinan lembaga, komisi, atau
instansi masing-masing untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
(4) Perencanaan penyusunan peraturan
yang telah ditetapkan dengan
keputusan pimpinan lembaga,
komisi, atau instansi masing-masing
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat dilakukan penambahan
atau pengurangan.
-
Pasal 42
(1) Untuk melaksanakan perda atau
atas kuasa peraturan perundang-
undangan, kepala daerah
menetapkan perkada dan/atau PB
KDH.
(2) Pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa menyusun rancangan
perkada dan/atau PB KDH.
13
(3) Rancangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) setelah disusun
disampaikan kepada perangkat
daerah yang membidangi hukum
provinsi dan bagian hukum
kabupaten/kota untuk dilakukan
pembahasan.
Pasal 79
(1) Pembahasan rancangan
peraturan gubernur dan peraturan
bersama gubernur dilakukan oleh
gubernur bersama dengan
perangkat daerah pemrakarsa.
(2) Gubernur membentuk tim
pembahasan rancangan peraturan
gubernur dan/atau rancangan
peraturan bersama gubernur.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), terdiri dari: a. Ketua:
pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa atau pejabat yang
ditunjuk oleh pimpinan perangkat
daerah pemrakarsa; b. Sekretaris:
pimpinan perangkat daerah yang
membidangi hukum provinsi; dan c
Anggota: Sesuai kebutuhan.
(4) Dalam hal ketua tim adalah pejabat
lain yang ditunjuk, pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa tetap
bertanggungjawab terhadap
materi muatan rancangan
peraturan gubernur dan/atau
rancangan peraturan bersama
gubernur.
(5) Tim sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan dengan
keputusan gubernur.
(6) Ketua tim sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) melaporkan
perkembangan rancangan
14
peraturan gubernur dan/atau
rancangan peraturan bersama
gubernur kepada sekretaris daerah.
Pasal 80
(1) Tim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (3) memberikan paraf
koordinasi pada tiap halaman
rancangan peraturan gubernur
dan/atau rancangan peraturan
bersama gubernur yang telah
selesai dibahas.
(2) Ketua tim mengajukan rancangan
peraturan gubernur dan/atau
rancangan peraturan bersama
gubernur yang telah mendapat paraf
koordinasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada gubernur
melalui sekretaris daerah.
Pasal 81
(1) Sekretaris daerah dapat melakukan
perubahan dan/atau
penyempurnaan terhadap
rancangan peraturan gubernur
dan/atau rancangan peraturan
bersama gubernur yang telah
diparaf koordinasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1).
(2) Perubahan dan/atau
penyempurnaan rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikembalikan kepada pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa.
(3) Hasil penyempurnaan rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan pimpinan perangkat
daerah pemrakarsa kepada
sekretaris daerah setelah dilakukan
paraf koordinasi setiap halaman oleh
tim.
(4) Sekretaris daerah memberikan
paraf koordinasi pada tiap
15
halaman rancangan peraturan
gubernur dan/atau rancangan
peraturan bersama gubernur yang
telah disempurnakan.
(5) Sekretaris daerah menyampaikan
rancangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) kepada gubernur
untuk ditetapkan.
Pasal 88
(1) ... .
(2) ... .
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 dilakukan fasilitasi
terhadap rancangan perkada,
rancangan PB KDH atau rancangan
peraturan DPRD sebelum
ditetapkan.
(4) Fasilitasi terhadap rancangan
perkada sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak diberlakukan
terhadap rancangan perkada yang
dilakukan evaluasi.
(5) Rancangan perda, rancangan
perkada, rancangan PB KDH atau
rancangan peraturan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (3) disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Direktur Jenderal Otonomi
Daerah bagi provinsi dan gubernur
bagi kabupaten/kota.
Pasal 89
(1) Fasilitasi yang dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri melalui
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
bagi provinsi dan gubernur bagi
kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1)
dan ayat (3) dilakukan paling lama
15 (lima belas) hari setelah diterima
rancangan perda, rancangan
16
perkada, rancangan PB KDH atau
rancangan peraturan DPRD.
(2) Apabila dalam tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Menteri Dalam Negeri melalui
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
bagi provinsi dan gubernur tidak
memberikan fasilitasi, maka
terhadap: a. ... ; dan b. rancangan
perkada, rancangan PB KDH dan
rancangan peraturan DPRD
dilanjutkan tahapan penetapan
menjadi perkada, PB KDH atau
Peraturan DPRD.
Pasal 90
(1) Fasilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 ayat (1) untuk
provinsi dibuat dalam bentuk surat
Direktur Jenderal Otonomi Daerah
atas nama Menteri Dalam Negeri
tentang fasilitasi rancangan perda
provinsi, rancangan Peraturan
gubernur, rancangan Peraturan
bersama gubernur atau rancangan
Peraturan DPRD provinsi.
(2) ... .
(3) Surat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditindaklanjuti
oleh pemerintah daerah untuk
penyempurnaan rancangan
produk hukum daerah berbentuk
peraturan sebelum ditetapkan guna
menghindari dilakukannya
pembatalan.
Pasal
110
(1) Rancangan perkada dan
rancangan PB KDH yang telah
dilakukan pembahasan disampaikan
kepada kepala daerah untuk
dilakukan penetapan dan
pengundangan.
17
(2) Penandatanganan rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh kepala daerah.
(3) Dalam hal kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berhalangan sementara atau
berhalangan tetap
penandatanganan rancangan
perkada dan rancangan PB KDH
dilakukan oleh pelaksana tugas,
pelaksana harian atau penjabat
kepala daerah.
Pasal
111
(1) Penandatanganan perkada dibuat
dalam rangkap 3 (tiga).
(2) Pendokumentasian naskah asli
perkada sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) oleh: a. sekretaris
daerah; b. perangkat daerah yang
membidangi hukum provinsi atau
bagian hukum kabupaten/kota
berupa minute; dan c. perangkat
daerah pemrakarsa.
Pasal
120
(1) Penomoran produk hukum daerah
terhadap: a. perda, perkada, PB
KDH dan keputusan kepala daerah
dilakukan oleh pimpinan perangkat
daerah yang membidangi hukum
provinsi atau kepala bagian hukum
kabupaten/kota; dan b. peraturan
DPRD, keputusan DPRD, keputusan
pimpinan DPRD dan keputusan
badan kehormatan DPRD dilakukan
oleh Sekretaris DPRD.
(2) Penomoran produk hukum daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berupa pengaturan
menggunakan nomor bulat.
(3) Penomoran produk hukum daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat
18
(1) yang berupa penetapan
menggunakan nomor kode
klasifikasi.
Pasal
123
(1) Perkada, PB KDH dan peraturan
DPRD yang telah ditetapkan
diundangkan dalam berita daerah.
(2) Perda, perkada, PB KDH dan
peraturan DPRD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat pada tanggal diundangkan
kecuali ditentukan lain di dalam
peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
(3) Perda, perkada, PB KDH dan
Peraturan DPRD provinsi yang telah
diundangkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri.
(4) Perda, perkada, PB KDH dan
peraturan DPRD kabupaten/kota
yang telah diundangkan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan kepada gubernur.
Pasal
124
(1) Sekretaris daerah mengundangkan
perda, perkada, PB KDH dan
peraturan DPRD.
(2) Dalam hal sekretaris daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berhalangan sementara atau
berhalangan tetap pengundangan
perda, perkada, PB KDH dan
peraturan DPRD dilakukan oleh
pelaksana tugas atau pelaksana
harian sekretaris daerah.
Pasal
126
(1) Produk hukum daerah yang telah
ditandatangani dan diberi
penomoran selanjutnya dilakukan
19
autentifikasi.
(2) Autentifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh: a. pimpinan perangkat daerah
yang membidangi hukum provinsi
atau kepala bagian hukum
kabupaten/kota untuk perda,
perkada, PB KDH dan keputusan
kepala daerah; dan b. sekretaris
DPRD untuk peraturan DPRD,
keputusan DPRD, keputusan
pimpinan DPRD dan keputusan
badan kehormatan DPRD.
Pasal
127
(1) Penggandaan dan pendistribusian
produk hukum daerah di lingkungan
pemerintah daerah dilakukan oleh
perangkat daerah yang
membidangi hukum provinsi atau
bagian hukum kabupaten/kota
dengan perangkat daerah
pemrakarsa.
(2) ... .
3.4. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal Yang Hendak
Disusun
Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang hendak
disusun merujuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).
Tabel 4: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk UU 32/2009
PASAL ISI
PASAL PENJELASAN
PASAL
Pasal 1 angka 30
Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
20
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: h. ekoregion; ... l. kearifan lokal; ...
Huruf h Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Huruf l Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Pasal 10 ayat (2)
Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: ... d. kearifan lokal;
... .
Huruf d Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD.
Pasal 62 ayat (1)
Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran
21
penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.
Pasal 63 ayat (2) huruf n
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang: ... h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pasal 70 ayat ayat (3)
Peran masyarakat dilakukan untuk: ... e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Penjelasan Umum angka 2 alinia 4
Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas
22
keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.
Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang hendak
disusun merujuk UU 23/2014.
Tabel 5: Isi Pergub bermuatan kearifan lokal merujuk UU 23/2014.
PASAL ISI
PASAL PENJELASAN
PASAL
Pasal 12 ayat (2)
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: ... d. pertanahan; e. lingkungan hidup; ....
Pasal 15 ayat (1)
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
Lampiran J
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN
23
Penetapan tanah ulayat yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
Lampiran K
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP a. Penetapan pengakuan MHA,
kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/kota.
Penjelasan Umum angka 1 alinia 5: Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah
24
Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Berikutnya, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang
hendak disusun merujuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang (PP 68/2010).
Tabel 6: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PP 68/2010
PASAL ISI PASAL PENJELASAN PASAL
Pasal 8
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berupa: ... c. kegiatan memanfaatkan ruang
yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan
Huruf c Yang dimaksud dengan "kearifan lokal" adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
25
memperhatikan kearifan lokal
serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
... .
Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup (selanjutnya disebut PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017).
Tabel 7: Isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017
PASAL ISI
PASAL PENJELASAN
PASAL
Pasal 1 angka 2.
Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari.
-
Pasal 1 angka 3.
Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari Kearifan Lokal yang merupakan substansi pengetahuan dari hasil kegiatan intelektual dalam konteks tradisional, keterampilan, inovasi, dan praktik-praktik dari Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat yang mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.
-
Pasal 1 angka 7
Pengampu Kearifan Lokal adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.
-
Pasal 1 angka 8.
Pengakses Kearifan Lokal adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengakses
-
26
dan/atau memanfaatkan Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat.
Pasal 1 angka 9.
Pengakuan Kearifan Lokal adalah pernyataan Negara sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat.
-
Pasal 1 angka 10.
Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu
bentuk pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
-
Pasal 1 angka 11.
Wilayah Kearifan Lokal adalah suatu wilayah tertentu berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan berkelanjutan.
-
Pasal 2
(1) Pengaturan Kearifan Lokal dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam.
(2) Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
-
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi: a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria
Kearifan Lokal; b. tata cara pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal;
-
27
c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan d. pembiayaan.
Pasal 4
Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup: a. pengetahuan tradisional di bidang
Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber Daya Genetik;
e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau
f. warisan budaya benda dan tak benda.
-
Pasal 5
(1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas: a.
Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh.
(2) Kearifan Lokal yang dapat diakses publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Kearifan Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh pengakses atau kelompok lain.
-
(3) Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan dipegang teguh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang karena sifatnya oleh pengampunya dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi secara luas kepada masyarakat.
-
Pasal 6 (1) Wilayah Kearifan Lokal meliputi: -
28
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat.
(2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
(3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
(4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
Pasal 7
Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, terdiri atas: a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya.
-
Pasal 8
(1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas: a. terpelihara praktik pengetahuan dan
keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif
-
29
masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
(2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.
Pasal 9
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya secara aktif mendorong dan memfasilitasi inventarisasi, verifikasi, dan validasi Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat Pengampu Kearifan Lokal.
(2) Inventarisasi dilaksanakan oleh Pengampu Kearifan Lokal.
(3) Dalam hal Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan inventarisasi, Pemerintah dapat melakukan inventarisasi Kearifan Lokal untuk melindungi dan mengakui Kearifan Lokal.
-
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan dengan ketentuan: a. wilayah lintas daerah provinsi
diselenggarakan oleh Menteri; b. wilayah lintas daerah kabupaten
dan/atau kota dilaksanakan oleh gubernur; dan
c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota.
(2) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh organisasi perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan.
-
30
Pasal 11
(1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam melaksanakan inventarisasi berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
-
Pasal 12
Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan pengampunya kepada: a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang
diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas provinsi;
b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau
c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur.
Pasal 13
(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11dilakukan melalui kegiatan: a. studi pustaka; b. in situ atau kunjungan lapangan; c. identifikasi dan pembuatan daftar
kearifan lokal dan pengampunya; dan d. dokumentasi hasil inventarisasi.
(2) Dalam melakukan inventarisasi wajib: a. mentaati hukum adat dan kode etik
yang berlaku; b. menghormati kesakralan dan
-
31
kerahasiaan dari Kearifan Lokal tersebut; dan
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Inventarisasi paling sedikit memuat data atau informasi mengenai: a. nama Masyarakat Hukum Adat dan
masyarakat setempat Pengampu Kearifan Lokal;
b. sejarah perkembangan masyarakat; c. adat-istiadat atau norma adat yang
masih berlaku; d. keberadaan dan fungsi kelembagaan
adat, serta sistem kekerabatan; e. protokol komunitas dan sistem
pengambilan keputusan; f. pengetahuan tentang Sumber Daya
Genetik atau sumber daya hayati; g. pengetahuan tentang tata ruang dan
Wilayah Kearifan Lokal; h. pengetahuan tentang tanah dan air; i. pengetahuan tentang hal-hal tabu dan
sakral dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
j. alam; k. teknologi dan peralatan tradisional
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
l. tradisi tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam ;
m. pola pengawasan lingkungan hidup dan penyelesaian konflik; dan/atau
n. pengetahuan tentang suksesi, seleksi, dan adaptasi.
(4) Dokumentasi hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapatkan PADIA dari kelompok masyarakat pengampunya.
(5) Dokumentasi Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia hanya dilakukan terhadap jenis Kearifan Lokal dan pengampunya dengan tetap menjaga kesakralan dan kerahasiaannya.
Pasal 19
(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) atau Pasal 18 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
-
32
kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal.
(2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama komunitas pengampu Kearifan
Lokal; b. wilayah Kearifan Lokal yang
dilindungi; c. jenis Sumber Daya Genetik yang
dilindungi; d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal;
dan f. hak, kewajiban Pengampu, tugas dan
tanggung jawab Pengakses, dan pemerintah.
(3) Gubernur atau bupati/walikota yang telah menerbitkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kepada Menteri.
Pasal 20
(1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai Kliring Kearifan Lokal.
(2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengelola: a. data naratif, numerik, visual dan/atau
spasial; b. daftar pengampu; c. daftar pengakses; dan d. daftar kesepakatan bersama dan
perubahannya. (3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
(4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume data/abstrak/metadata.
(5) Data yang menyangkut ekspresi budaya tradisional terkait sumber daya genetik, warisan budaya benda dan tak benda dapat diakses dan dipublikasi secara luas.
-
33
Pasal 21
Dalam hal terdapat keberatan terhadap penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, keberatan dapat diajukan kepada PTUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
34
BAB IV
ANALISIS PENYUSUNAN PERATURAN GUBERNUR BERMUATAN KEARIFAN LOKAL
4.1. Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal
Mencermati Dasar Hukum Penyusunan Peraturan Gubernur terdapat
tiga pola status hukum Peraturan Gubernur, yakni:
1. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa
peraturan perundang-undangan (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).
2. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011).
3. Peraturan Gubernur Daerah untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014).
Mencermati lebih lanjut status Peraturan Gubernur sejatinya terdapat
lima macam status Peraturan Gubernur, yakni:
a. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014).
b. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).
35
c. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011).
d. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8
ayat (1) UU 12/2011).
e. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014).
Kelima macam Peraturan Gubernur itu memiliki karakter delegasian,
yakni Peraturan Gubernur itu baru dapat dibentuk pada saat adanya
delegasian perundang-undangan atau pendelegasian kewenangan
mengatur atau pelimpahan kewenangan mengatur kepada Peraturan
Gubernur. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu
ada Perda yang akan dilaksanakan.
2. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan
terlebih dahulu ada Peraturan Perundang-undangan yang
memberikan kuasa.
3. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
36
12/2011); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu ada
Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan.
4. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8
ayat (1) UU 12/2011); baru dapat dibentuk dengan terlebih
dahulu ada kewenangan, yakni penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan, artinya terlebih dahulu ada Peraturan Perundang-
undangan berkenaan dengan penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan.
5. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014); baru dapat dibentuk dengan terlebih dahulu
ada Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
untuk diselenggarakan, artinya UU 23/2014 menentukan adanya
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Persoalan yang muncul kemudian adalah karakter delegasi
perundang-undangan yang dianut; delegasi eksplisit atau delegasi implisit.
Delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit terjadi jika peraturan
perundang-undangan yang mendelegasikan menyebutkan secara
eksplisit, misalnya dirumuskan “...diatur dengan ...” atau “...diatur dalam
...” (Rosjidi Ranggawijaya 1998: 64). Dengan perkataan lain, delegasi
perundang-undangan bersifat eksplisit bermakna penyelenggaraan
pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas disebutkan dalam suatu
37
peraturan perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan peraturan
perundang-undangan yang lainnya.
Ketentuan mengenai Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan (TP3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011
menganut delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit, yang
menggunakan penanda-penanda sebagai berikut:
1. Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … . (TP3 201).
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau
berdasarkan … (TP3 202).
3. Ketentuan mengenai … diatur dengan … . (TP3 203).
4. Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … (TP3
204).
5. Ketentuan mengenai … diatur dalam …(TP3 205).
Sebaliknya, delegasi perundang-undangan bersifat implisit bermakna
penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang tidak tegas disebutkan dalam
suatu peraturan perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan
peraturan perundang-undangan lainnya, namun masih dalam lingkup
permasalahan yang hendak diatur. Dengan perkataan lain, delegasi
perundang-undangan bersifat implisit terjadi, jika suatu peraturan
perundang-undangan tidak tegas menentukan sesuatu hal harus diatur
dalam atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya, namun masih
dalam lingkup permasalahan yang hendak diatur, yang memerlukan
penyelenggaraan pengaturan.
38
Bersandarkan pada pemahaman tentang karakter delegasi
perundang-undangan bersifat eksplisit dan delegasi perundang-undangan
bersifat eksplisit implisit berikut diuraikan karakter delegasian dari kelima
macam Peraturan Gubernur tersebut.
Pertama, Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246
ayat (1) UU 23/2014).
Pasal 246 ayat (1) tidak memberikan penjelasan mengenai makna
melaksanakan Perda. Oleh karena itu perlu dilakukan interpretasi
sistematikal dengan pasal-pasal tentang materi muatan dalam UU
12/2011.
1. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
2. Pasal 13 menentukan antara lain, materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 14 menentukan antara lain, materi muatan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
4. Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014, “Untuk melaksanakan Perda ...
kepala daerah menetapkan Perkada.”
Ada beberapa penanda yang perlu memperoleh penjelasan, yakni
“menjalankan”, “menjabarkan”, dan “melaksanakan” sebagai berikut:
39
1. Menjalankan, secara harfiah berarti melakukan tugas, kewajiban,
atau pekerjaan. Menjalankan berarti juga membuat
(menggerakkan) supaya jalan. Dikaitkan dengan Pasal 12 UU
12/2011, maka Peraturan Pemerintah berisi materi muatan supaya
UU dapat dijalankan. Dengan perkataan lain fungsi Peraturan
Pemerintah adalah membuat UU dapat dijalankan.
2. Menjabarkan, secara harfiah berarti menerangkan (menguraikan)
secara terperinci, dan penjabaran adalah proses, perbuatan, cara
menjabarkan (menguraikan atau menerangkan secara terperinci).
Dikaitkan dengan rumusan “penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi”, maka berarti Perda berisi
materi yang menguraikan secara terperinci materi Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, yang secara umum atau
garis besar telah dituangkan dalam Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi tersebut.
3. Melaksanakan, secara harfiah berarti melakukan, menjalankan,
mengerjakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya) (Gede
Marhaendra Wija Atmaja 2012).
Dikaitkan dengan Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014, “Untuk
melaksanakan Perda ... kepala daerah menetapkan Perkada”, maka
“melaksanakan Perda” sama maknanya dengan “materi untuk menjalan
Peraturan Pemerintah”, agar Perda dapat dijalankan sebagaimana
mestinya, maka dibuat Perkada.
40
Berikutnya dilakukan intertretasi otentik, yakni berupaya memahami
penjelasan UU 12/2011 untuk mendapatkan pemahaman mengenai
pendelegasian eksplisit atau pendelegasian implisit. Penjelasan Pasal 12
dan Pasal 13 menjelaskan:
Tabel 8: Penjelasan Pasal 12 dan Pasal 13 UU 12/2011
Pasal UU 12/2011
Penjelasan Pasal UU 12/2011
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12).
Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan (Penjelasan Pasal 12).
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan (Pasal 13)
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan
pembentukannya (Penjelasan Pasal 13).
Berdasarkan interpretasi otentik terhadap Penjelasan Pasal 12 dan
Pasal 13 UU 12/2011 diperoleh pemahaman:
1. menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dimaknai:
a. melaksanakan perintah;
b. menjalankan sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang
dari materi yang diatur.
41
2. diperintahkan dimaknai menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut perintah.
3. melaksanakan dimaknai secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya.
4. perintah dimaknai secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan.
Jadi, “melaksanakan Perda” dalam Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014
dapat dimaknai Gubernur menetapkan Peraturan Gubernur untuk
melaksanakan perintah baik secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya oleh Perda. Dengan demikian,
“melaksanakan Perda” bermakna pendelegasian, baik pendelegasian
eksplisit (delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit) maupun
pendelegasian implisit (delegasian perundang-undangan bersifat implisit).
Hal tersebut berkesesuaian dengan pendangan A. Hamid S.
Attamimi. Menurutnya:
1. Dalam bekerjanya tata norma hukum, wawasan negara hukum
yang materiil memberi arti, bahwa seluruh norma hukum yang
law applying tidak selalu harus didasarkan secara tegas dan
nyata atas sebuah norma hukum yang law creating yang sudah
ada terlebih dahulu, melainkan cukup bersumber pada norma
hukum yang lebih tinggi yang secara tidak langsung dapat
menjadi dasar bagi lahirnya norma hukum yang lebih rendah.
42
2. Dengan perkataan lain, sebuah norma hukum dapat lahir
meskipun norma hukum yang lebih tinggi tidak tegas-tegas
menyatakan, atau sebuah peraturan dapat dibentuk meskipun
peraturan yang lebih tinggi tidak tegas-tegas dan tidak langsung
menyebutkannya. Semua itu asal saja masih dalam lingkup
permasalahannya (A. Hamid S.A. 1984).
Beranjak dari pendapat tersebut, maka ada dua pola pembuatan
peraturan perundang-undangan pelaksanaan (law applying), yakni:
1. Penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas
disebutkan suatu peraturan perundang-undangan harus diatur
dalam atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dengan perkataan lain, harus berdasarkan pada ketentuan dalam
suatu peraturan perundang-undangan yang secara tegas
menyatakan hal bersangkutan harus diatur dalam atau dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Penyelenggaraan pengaturan hal-hal yang tidak tegas disebutkan
dalam suatu peraturan perundang-undangan harus diatur dalam
atau dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan
perkataan lain, cukup bersumber pada suatu peraturan
perundang-undangan yang masih dalam lingkup permasalahan
yang hendak diatur dalam atau dengan peraturan perundang-
undangan lainnya (bandingkan dengan Gede Marhaendra Wija
Atmaja 2016).
43
Singkatnya, pola pembuatan peraturan perundang-undangan
pelaksanaan yang pertama itu dapat disebut pendelegasian eksplisit atau
pendeledasian kewenangan mengatur secara eksplisit. Pola pembuatan
peraturan perundang-undangan pelaksanaan yang kedua itu dapat
disebut pendelegasian implisit atau pendeledasian kewenangan mengatur
secara secara implisit.
Berdasarkan keseluruhan uraian mengenai karakter delegasi
perundang-undangan, maka Peraturan Gubernur ditetapkan untuk
melaksanakan Perda dalam konteks penyusunan Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal bermakna:
1. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan jika Perda secara tegas menentukan materi muatan
kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan
Gubernur; atau
2. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan sekalipun Perda tidak secara tegas menentukan materi
muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan
Gubernur, sepanjang masih dalam lingkup permasalahannya.
Kedua, Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-
undangan (Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014).1 Ketentuan ini tidak
1 Sebelumnya sejumlah undang-undang mengaturnya sebagai berikut: a.
UU 32/2004, Pasa1 146 ayat (1) menetukan, “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”; dan b. UU 22/1999, Pasal 72 ayat (1) menentukan, “Untuk melaksanakan Peraturan Daerah
44
memberikan penjelasan mengenai makna atas kuasa peraturan
perundang-undangan, juga di dalam peraturan perundang-undangan
lainnya tidak ditemukan makna atas kuasa tersebut. Oleh karena itu perlu
menyandarkan pemahaman pada pendapat sarjana.
Bagir Manan (1992) memberikan pengertian “kuasa dari undang-
undang” dan Rosjidi Ranggawijaya (1998) dan memberikan komentarnya,
dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 9: Pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawijaya mengenai makna “atas kuasa”
Bagir Manan Rosjidi Ranggawijaya
Pengaturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang.
Dalam hal ini apakah harus ada kuasa dari Undang-undang bahwa materi tersebut dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah?
Artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
Dengan perkataan lain, untuk membentuk Peraturan Pemerintah, apakah perlu ada “pendelegasian secara khusus ...?
Undang-undang “mendelegasikan” kepada peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
Sehungan dengan hal ini Bagir Manan menulis:
Pengaturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dilakukan apabila ada kuasa dari undang-undang. Artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Undang-undang “mendelegasikan” kepada peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala Daerah.”
45
Berdasarkan pendapat Bagir Manan dan Rosjidi Ranggawija dapat
dirumuskan makna “atas kuasa peraturan perundang-undangan”. Frasa
“atas kuasa peraturan perundang-undangan” dimaknai sebagai delegasi
perundang-undangan bersifat eksplisit, yakni penyelenggaraan
pengaturan hal-hal yang secara tegas-tegas disebutkan suatu peraturan
perundang-undangan harus diatur dalam atau dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dengan perkataan lain, harus berdasarkan
pada ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang secara
tegas menyatakan hal bersangkutan harus diatur dengan atau dalam
peraturan perundang-undangan lainnya.
Pengertian “atas kuasa peraturan perundang-undangan”
direfleksikan ke dalam frasa “atas kuasa peraturan perundang-undangan”
dalam Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014 bermakna Gubernur menetapkan
Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan jika
peraturan perundang-undangan memberikan kuasa atau secara tegas
menyebutkan suatu materi muatan harus diatur dalam atau dengan
Peraturan Gubernur. Oleh karena itu harus tunduk pada ketentuan
pendelegasian dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan (TP3), sebagaimana tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011,
yakni:
Tabel 10: Tanda-Tanda Pendelegasian Kewenangan Mengatur
NO. PENANDA PETANDA CATATAN
1 Ketentuan lebih lanjut mengenai …
Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
TP3 201
46
diatur dengan … . Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)
2 Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .
Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, dan boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi).
TP3 202.
3 Ketentuan mengenai … diatur dengan … .
Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)
TP3 203.
4 Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … .
Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi)
TP3 204
5 Ketentuan mengenai … diatur dalam ….
Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.
TP3 205
47
Direfleksikan pada penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal, maka Peraturan Gubernur itu hanya boleh disusun jika
suatu peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas materi
muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan
Gubernur, dengan penanda-penanda sebagaimana disebutkan di atas
(dalam tabel).
Ketiga, Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011). Mengenai makna “diperintahkan” pada uraian sebelumnya telah
dilakukan interpretasi sistematikal terhadap Pasal 12 dan Pasal 13 UU
12/2011 dan interpretasi otentik terhadap Penjelasan Pasal 12 dan Pasal
13 UU 12/2011, pemahaman diperoleh, sekedar diulang, adalah:
1. menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dimaknai:
c. melaksanakan perintah;
d. menjalankan sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang
dari materi yang diatur.
2. diperintahkan dimaknai menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut perintah.
3. melaksanakan dimaknai secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya.
4. perintah dimaknai secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan.
48
Jadi, perintah atau diperintahkan menurut pembentuk UU 12/2011
dimaknai sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun
secara tidak tegas. Artinya, memuat delegasi perundang-undangan
bersifat eksplisit maupun delegasi perundang-undangan bersifat implisit.
Direfleksikan pada Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna
Peraturan Gubernur dapat ditetapkan baik karena diperintahkan secara
tegas maupun diperintahkan secara tidak tegas. Jadi, Peraturan Gubernur
ini berkarakter delegasi perundang-undangan bersifat eksplisit maupun
delegasi perundang-undangan bersifat implisit. Dari sisi delegasi vertikal
dan delasi horizontal, pendelegasian kewenangan mengatur kepada
Peraturan Gubernur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 menganut pola
delegasi perundang-undangan yang vertikal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Gubernur
sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dalam konteks penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal bermakna:
1. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
secara tegas menentukan materi muatan kearifan lokal harus
diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur; atau
2. Penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan sekalipun Peraturan Perundang-undangan yang lebih
49
tinggi tidak secara tegas menentukan materi muatan kearifan
lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur,
sepanjang masih dalam lingkup permasalahannya.
Keempat, Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan
(Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011). Dimaksud dengan “berdasarkan
kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 8 ayat
(1) UU 12/2011).
Artinya, ada ketentuan Peraturan Perundang-undangan mengenai
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan. Dalam pengertian ini,
tidak ada ketegasan mengenai penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan itu merupakan materi muatan yang harus diatur dengan aau
dalam Peraturan Gubernur. Akan tetapi pembentuk UU 12/2011
memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk menetapkan Peraturan
Gubernur sebagai bentuk pengaturan penyelenggaraan urusan tertentu
pemerintahan, sepanjang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
Jadi, berdasarkan interpretasi makna “perintah atau diperintahkan”
sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun secara tidak
tegas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Peraturan
Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011) termasuk dalam kategori perintah atau diperintahkan secara
50
tidak tegas. Ini artinya, dianut delegasi perundang-undangan bersifat
implisit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Gubernur
dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011) dalam
konteks penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
bermakna penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
dapat dilakukan sekalipun Peraturan Perundang-undangan tidak secara
tegas menentukan materi muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau
dalam Peraturan Gubernur, sepanjang materi muatan kearifan lokal itu
merupakan penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan yang
merupakan wewenang Gubernur.
Kelima, Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU
23/2014). Dimaksud dengan “kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini
adalah Perda, Perkada, dan keputusan kepala daerah (Penjelasan Pasal
17 ayat (1) UU 23/2014).
Frasa “menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah” merujuk pada Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU
23/2014, yang menentukan pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah
kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
51
Untuk menyelenggarakan menyelenggarakan Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah, Gubernur dapat menetapkan
Peraturan Gubernur. Selain Peraturan Gubernur, produk hukum daerah
lainnya yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah adalah Peraturan
Daerah Provinsi atau Keputusan Gubernur (untuk Daerah Provinsi). Akan
tetapi, fokus Makalah ini adalah Peraturan Gubernur.
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran UU 23/2014, diantaranya
adalah:
1. Lampiran J perihal PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
BIDANG PERTANAHAN, menetukan: Penetapan tanah ulayat
yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
Daerah provinsi.
2. Lampiran K perihal PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP, menentukan:
a. Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan
tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional
dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau
lebih Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan
tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional
52
dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau
lebih Daerah kabupaten/kota.
Mencermati ketentuan tersebut, tidak ada ketentuan tegas bahwa
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut harus
diatur dengan atau dalam Peraturan Gubernur. Sesuai dengan Pasal 17
ayat (1) UU 23/2014, maka pilihan diantara Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur sebagai instrumen
pengaturan dari urusan pemerintahan tersebut merupakan ranah
instepretasi dari Pemerintah Daerah untuk menggunakan salah satunya
atau ketiganya sesuai keperluan.
Berdasarkan interpretasi makna “perintah atau diperintahkan”
sebagai perintah atau diperintahkan secara tegas maupun secara tidak
tegas, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka Peraturan
Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014) termasuk dalam
kategori perintah atau diperintahkan secara tidak tegas. Ini artinya, dianut
delegasi perundang-undangan bersifat implisit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Peraturan Gubernur
untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014) dalam konteks
penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal bermakna
penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal dapat
dilakukan sekalipun UU 23/2014 tidak secara tegas menentukan materi
53
muatan kearifan lokal harus diatur dengan atau dalam Peraturan
Gubernur, sepanjang materi muatan kearifan lokal itu merupakan
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.
4.2. Proses Penyusunan Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal
Mencermati deskripsi pengaturan kearifan lokal, maka berkenaan
dengan proses penyusunan Peraturan Gubernur meliputi tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan.
Secara khusus belum ditemukan proses penyusunan Peraturan
Gubernur bermuatan kearifan lokal, oleh karenanya proses penyusunan
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal merujuk pada proses
tersebut, dalam pengertian kebermuatan kearifan lokal dintegrasikan ke
dalam proses penyusunan Peraturan Gubernur itu. Artinya, sejak dari
perencanaan telah dicantumkan judul rancangan Peraturan Gubernur
bermuatan kearifan lokal di dalam Program Pembentukan Peraturan
Gubernur, berikut dalam tahapan penyusunan dilakukan penyusunan
Rancangan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal, selanjutnya di
dalam proses pembahasan dilakukan pengawalan agar Rancangan
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal lolos dari tahapan
pembahasan, lebih lanjut pada tahapan penetapan dan pengundangan
dilakukan pengawalan, sehingga dapat ditetapkan dan diundangkan
54
Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal. Adapun proses
penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal sebagai
berikut.
Tabel 11: Proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal
No. Tahapan Rincian Kebermuatan
Kearifan Lokal
1 Perencanaan Perencanaan penyusunan
Pergub merupakan kewenangan
dan disesuaikan dengan
kebutuhan instansi masing-
masing.
Dimasukkan
judul rancangan
Pergub
bermuatan
kearifan lokal.
Perencanaan penyusunan
Pergub ditetapkan dengan
keputusan pimpinan instansi
masing-masing untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun.
2 Penyusunan Pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa menyusun
rancangan Pergub.
Disusun
rancangan
Pergub
bermuatan
kearifan lokal.
Rancangan Pergub disampaikan
kepada perangkat daerah yang
membidangi hukum provinsi.
3 Pembahasan Pembahasan rancangan Pergub
dilakukan oleh gubernur bersama
dengan perangkat daerah
pemrakarsa.
Dilakukan
pembahasan
rancangan
Pergub
bermuatan
kearifan lokal.
Gubernur membentuk tim
pembahasan rancangan Pergub.
Tim terdiri dari: a. Ketua:
pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa atau pejabat yang
55
ditunjuk oleh pimpinan perangkat
daerah pemrakarsa; b.
Sekretaris: pimpinan perangkat
daerah yang membidangi hukum
provinsi; dan c Anggota: sesuai
kebutuhan.
Dalam hal ketua tim adalah
pejabat lain yang ditunjuk,
pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa tetap
bertanggungjawab terhadap
materi muatan rancangan
Pergub.
Tim ditetapkan dengan keputusan
gubernur.
Ketua tim melaporkan
perkembangan rancangan
Pergub kepada sekretaris daerah.
Ketua tim mengajukan rancangan
Pergub yang telah mendapat
paraf koordinasi kepada gubernur
melalui sekretaris daerah.
Sekretaris daerah dapat
melakukan perubahan dan/atau
penyempurnaan terhadap
rancangan Pergub yang telah
diparaf koordinasi.
Perubahan dan/atau
penyempurnaan rancangan
Pergub dikembalikan kepada
pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa.
Hasil penyempurnaan rancangan
Pergub disampaikan pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa
kepada sekretaris daerah setelah
dilakukan paraf koordinasi setiap
halaman oleh tim.
56
Sekretaris daerah memberikan
paraf koordinasi pada tiap
halaman rancangan Pergub yang
telah disempurnakan.
Sekretaris daerah menyampaikan
rancangan Pergub kepada
gubernur untuk ditetapkan.
Sebelum ditetapkan, dilakukan
fasilitasi terhadap rancangan
Pergub oleh Mendagri, fasilitasi
tidak diberlakukan terhadap
rancangan Pergub yang
dilakukan evaluasi.
4 Penetapan Rancangan Pergub yang telah
dilakukan pembahasan
disampaikan kepada kepala
daerah untuk dilakukan
penetapan dan pengundangan.
Dilakukan
penetapan
Pergub
bermuatan
kearifan lokal.
Penandatanganan rancangan
Pergub dilakukan oleh gubernur.
Dalam hal gubernur berhalangan
sementara atau berhalangan
tetap penandatanganan
rancangan Pergub dilakukan oleh
pelaksana tugas, pelaksana
harian atau penjabat gubernur.
Penandatanganan Pergub dibuat
dalam rangkap 3 (tiga).
Pendokumentasian naskah asli
Pergub oleh: a. sekretaris
daerah; b. perangkat daerah yang
membidangi hukum provinsi
berupa minute; dan c. perangkat
daerah pemrakarsa.
Penomoran produk hukum
daerah terhadap Pergub
dilakukan oleh pimpinan
perangkat daerah yang
57
membidangi hukum provinsi.
5 Pengundangan Pergub yang telah ditetapkan
diundangkan dalam berita
daerah.
Dilakukan
pengundangan
Pergub
bermuatan
kearifan lokal.
Pergub mulai berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat
pada tanggal diundangkan
kecuali ditentukan lain di dalam
Pergub yang bersangkutan.
Pergub yang telah diundangkan
disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri.
Pergub yang telah diundangkan
disampaikan kepada gubernur.
Sekretaris daerah
mengundangkan Pergub.
Dalam hal sekretaris daerah
berhalangan sementara atau
berhalangan tetap pengundangan
Pergub dilakukan oleh pelaksana
tugas atau pelaksana harian
sekretaris daerah.
Sumber: merujuk PMDN 80/2015
4.3. Isi Peraturan Gubernur Bermuatan Kearifan Lokal yang Hendak Disusun
Mencermati deskripsi pengaturan kearifan lokal diperoleh
pemahaman, Pergub bermuatan kearifan lokal dapat berisi:
58
1. pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan dan
perlindungan terhadap kearifan lokal.
2. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal,
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak
ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengembannya
yakni kesatuan masyarakat hukum adat.
3. asas pengaturan, yakni kearifan lokal sebagai asas
pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang
baik yang bersifat materiil.
Pertama, pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan dan perlindungan
terhadap kearifan lokal. Pengaturan kearifan lokal pada berbagai bidang,
contohnya pengaturan kearifan lokal di bidang pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup.
Di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
pengaturan Kearifan Lokal:
a. dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
pengampu dan memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam
mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam (Pasal 2 ayat (1)
PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017); dan
59
b. bertujuan agar pengampu Kearifan Lokal mendapat pengakuan,
perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil
dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup (Pasal 2
ayat (2) PMLHK P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017).
Intinya, pengaturan kearifan lokal meliputi pengakuan, perlindungan,
dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal. Dari sisi tanggung
jawab negara, terutama pemerintah, dalam doktrin hak asasi manusia,
mencakup pula penghormatan, yakni tanggung jawab negara untuk tidak
mencampuri hak asasi warga negaranya yang menyebabkan warga
negaranya tidak dapat mengenyam hak-haknya. Dalam konteks kearifan
lokal, negara tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menyebabkan
pengampu kearifan lokal tidak dapat menikmati hak-haknya.
Dari sisi tanggung jawab negara itu, seyogyanya pengaturan kearifan
lokal mencakup pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemenuhan
hak-hak pengampu kearifan lokal.
Pemahaman mengenai kearifan lokal dapat merujuk PMLHK
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017, dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 11: Pemahaman tentang konsep-konsep Kearifan Lokal
No. Konsep Isi Konsep
1 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
2 Wilayah Kearifan Lokal
adalah suatu wilayah tertentu berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan berkelanjutan.
60
3 Pengampu Kearifan Lokal
adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.
4 Pengakses Kearifan Lokal
adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengakses dan/atau memanfaatkan Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat.
5 Pengakuan Kearifan Lokal
adalah pernyataan Negara sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat.
6 Perlindungan Kearifan Lokal
adalah suatu bentuk pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
7 Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal,
meliputi:
a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria Kearifan Lokal;
b. tata cara pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal;
c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan
d. pembiayaan.
8 Lingkup Kearifan Lokal
(di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup)
paling sedikit mencakup:
a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber
61
Daya Genetik;
e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau
f. warisan budaya benda dan tak benda.
9 Sifat Kearifan Lokal
terdiri atas: a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh.
10 Kearifan Lokal yang dapat diakses publik
merupakan Kearifan Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh pengakses atau kelompok lain.
11 Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan dipegang teguh
merupakan Kearifan Lokal yang karena sifatnya oleh pengampunya dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi secara luas kepada masyarakat.
12 Wilayah Kearifan Lokal
meliputi:
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat.
13 Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
14 Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
15 Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
16 Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam,
terdiri atas:
a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya.
17 Indikator kriteria Kearifan Lokal
terdiri atas:
a. terpelihara praktik pengetahuan dan
62
(nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat)
keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
18 Indikator kriteria pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya
berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.
Secara teoritik diperoleh pemahaman bahwa kearifan lokal meliputi
kearifan tradisional atau kearifan lama (yang berasal dari generasi-
generasi sebelumnya) dan kearifan kontemporer atau kearifan kini
(berasal dari pengalamannya berhubungan dengan lingkungan dan
masyarakat lainnya), sebagaimana dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa-
Putra yang mendefinisikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan
pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi-generasi
sebelumnya maupun dari pengalamannya berhubungan dengan
lingkungan dan masyarakat lainnya, untuk menyelesaikan secara baik dan
benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi (dalam Nur
Berlian VA, & Mursalim, Ed, 2015).
63
Beberapa pandangan kearifan lokal dari beberapa sarjana
nampaknya merujuk pada pendapat Heddy Shri Ahimsa-Putra, yakni:
1. Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan setempat, yaitu
kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Dalam masyarakat yang multikultur, masing masing kelompok
mempunyai kebenaran masing-masing. Karena itu, kearifan
lokal itu akan bersifat relatif terhadap kearifan lokal lainnya
(Mikka Wildha Nurrochsyam 2011).
2. Kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat
atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar
identitas kebudayaan (Ade M. Kartawinata 2011).
3. Disebut kearifan lokal karena perangkat pengetahuan itu pada
awalnya hanya dimiliki oleh komunitas tertentu dan pada
lokalitas tertentu pula (Hurip Danu Ismadi 2013).
Mengacu pula pada pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra, Sugih
Biantoro (2011) memaknai kearifan tradisional (lama) sebagai perangkat
pengetahuan pada suatu komunitas untuk menyelesaikan secara baik dan
benar persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi, serta diperoleh dari
generasi-generasi sebelumnya secara lisan atau melalui contoh tindakan,
yang memiliki kekuatan seperti hukum maupun tidak. Sedangkan, kearifan
kontemporer (kini) adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul
dalam suatu komunitas.
64
Hukum yang dimaksud dalam kearifan lokal yang tradisional itu
adalah hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
bersangkutan, dapat berupa hukum adat, yang di Bali dituangkan dalam
awig-awig atau pararem.
Uraian tentang kearifan lokal menegaskan bahwa kearifan lokal
dapat berbentuk hukum adat, yakni hukum yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat hukum adat. Sehingga mendiskusikan tentang
penghormatan kearifan lokal pada dasarnya mendiskusikan tentang
pluralisme hukum, yakni pengakuan terhadap kemajemukan tatanan
hukum yang berlaku beserta komunitas pengembannya, termasuk dalam
pemahaman ini adalah pengakuan kemajemukan tatanan hukum adat dan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pengembannya
beserta hak-hak tradisionalnya (Gede Marhaendra Wija Atmaja 2016.
Gede Marhaendra Wija Atmaja 2012).
Kedua, pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal,
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak ulayat
atau pengakuan hukum adat beserta pengembannya yakni kesatuan
masyarakat hukum adat.
Perlu menyimak “Tren produk hukum daerah mengenai Masyarakat
Adat pasca Putusan MK 35” mengalami peningkatan. Pada tahun 2013,
setelah keluar Putusan MK 35 (Arizona, Yance; Malik; dan Irena Lucy
Ishimora, 2017):
65
1. Setidaknya terdapat 12 produk hukum daerah mengenai
Masyarakat Adat, pada tahun 2014 terdapat 17 produk
hukum, tahun 2015 sebanyak 27 produk hukum daerah, dan
tahun 2016 terdapat 13 produk hukum daerah.
2. Sifat dan Bentuk Produk Hukum Daerah Mengenai
Masyarakat Adat Dari segi sifatnya, produk hukum daerah
dikelompokkan menjadi tiga, yakni pengaturan, penetapan
dan kombinasi, yakni pengaturan dan penetapan dalam satu
produk hukum daerah.
3. Dari 69 produk hukum daerah yang terbit pasca Putusan MK
35, sebanyak 34 produk hukum daerah bersifat pengaturan,
34 bersifat penetapan dan satu bersifat kombinasi. Produk
hukum yang bersifat kombinasi ini adalah Perda Lebak No. 8
Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan
selanjutnya disebut Perda Lebak. Selain menetapkan
sejumlah Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat
beserta menetapkan beberapa peta wilayah adatnya,
peraturan ini juga mengatur mengenai tata cara penetapan
wilayah adat di kemudian hari, khususnya untuk wilayah adat
yang belum ditetapkan dalam Perda tersebut.
4. Produk hukum pengaturan memiliki substansi yang sifatnya
mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara
66
umum dan tidak menyebutkan nama komunitas atau wilayah
adat tertentu, seperti Perda Peraturan Daerah Kabupaten
Enrekang No. 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengakuan
dan Perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat di
Kabupaten Enrekang. Produk hukum daerah ini
membutuhkan tindak lanjut untuk menetapkan keberadaan
masyarakat adat.
5. Sementara produk hukum yang bersifat penetapan secara
konkret, misalnya menetapkan suatu masyarakat menjadi
masyarakat hukum adat melalui Perda Kabupaten Merangin
No. 8 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas.
6. Selain berdasarkan sifat, klasifikasi produk hukum daerah
mengenai masyarakat adat dapat juga berdasarkan bentuk
produk hukum. Produk hukum daerah tersebut
dikelompokkan ke dalam lima bentuk, yaitu; (1) Perda yang
bersifat pengaturan; (2) Perda yang bersifat penetapan; (3)
Perda kombinasi pengaturan dan penetapan; (4) Peraturan
kepala daerah (gubernur atau bupati) yang bersifat
pengaturan; dan (5) Keputusan kepala daerah (cetak tebal
dari penulis).
7. Dari sisi bentuk hukumnya, produk hukum daerah yang paling
banyak setelah Putusan MK 35 adalah Perda yang bersifat
67
pengaturan. Terdapat 27 Perda yang bersifat pengaturan di
mana 19 di antaranya adalah Perda Kabupaten/Kota dan 8
Perda Provinsi. Sementara itu peraturan daerah yang bersifat
penetapan sebanyak 33 produk hukum daerah, terdiri dari 9
Perda Kabupaten dan 24 SK Bupati/Walikota.
8. Materi muatan produk hukum daerah mengenai masyarakat
adat dikelompokkan menjadi lima yaitu: (1) Lembaga adat,
peradilan adat dan hukum adat; (2) Keberadaan masyarakat
adat; (3) Wilayah adat dan hutan adat; (4) Desa adat; dan (5)
Lembaga pelaksana.
9. Produk hukum mengenai lembaga adat, peradilan adat dan
hukum adat, yaitu: 1) Perda Kabupaten Buton No. 4 Tahun
2015 tentang Lembaga Adat, 2) Peraturan Gubernur
Sulawesi Tengah No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman
Peradilan Adat di Sulawesi Tengah, dan 3) Peraturan
Daerah Kabupaten Seluma No. 4 Tahun 2014 tentang
Pemberlakuan Kompilasi Hukum Adat Kabupaten Seluma
(cetak tebal dari penulis).
10. Produk hukum mengenai keberadaan masyarakat adat yaitu
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun
2015 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur dan
Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun 2015
68
tentang Pengukuhan, Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.
11. Produk hukum mengenai wilayah dan hutan adat yaitu
Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 9 Tahun 2014
tentang Penetapan Kawasan, Hemaq Beniung, Hutan Adat
Kekau dan Hemaq Pasoq sebagai hutan adat, dan
Keputusan Bupati Surolangun No. 357/Bunhut/2014 tentang
Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Dusun Mengkadai Desa
Temenggung Kecamatan Limun.
12. Produk hukum daerah mengenai desa adat misalkan
Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu No. 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Desa dan Desa Adat, dan Keputusan
Bupati Jayapura No. 320 tahun 2014 tentang Pembentukan
36 Kampung Adat di Kabupaten Jayapura.
Menyimak perkembangan pengaturan kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut menunjukkan Peraturan Gubernur merupakan instrumen
pengaturan kesatua masyarakat hukum adat. Peraturan Gubernur
Sulawesi Tengah No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat di
Sulawesi Tengah, merupakan contohnya.
Contoh lainnya adalah Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah
Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat Di Atas
Tanah. Peraturan Gubernur ini diteapkan untuk melaksanakan Pasal 36
69
dan Pasal 44 Peraturan Daerah Provinsi Kaliman Tengah Nomor 16
Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kaliman Tengah.
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009
tersebut diubah dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun
2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di Provinsi
Kalimantan Tengah (selanjutnya disebut Pergub Kalteng 13/2009).
Pergub Kalteng 13/2009 mengatur antara lain Kerapatan Mantir
Perdamaian Adat dan ketetapannya sebagai ketentuan hukum. Pasal 9
Pergub Kalteng 13/2009:
(1) Kerapatan Mantir Perdamaian Adat dan Desa/Kelurahan merupakan Lembaga Permusyawaratan Adat yang mengatur tentang kepemilikan, pengelolaan, penguasaan, pemanfaatan maupun pengalihan kepemilikan Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
(2) Berita Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat desa/kelurahan dan kecamatan, merupakan hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota kerapatan yang wajib disahkan oleh Damang Kepala Adat.
(3) Ketetapan kerapatan Mantir Perdamaian Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat adat Dayak.
Ketentuan lainnya mengenai Surat Keterangan Tanah Adat. Pasal 10
Pergub Kalteng 13/2009 menentukan:
(1) Pengajuan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah kepada Kerapatan Mantir Perdamaian Adat.
(2) Fungsionaris Lembaga Kedamangan melakukan Inventarisasi, Pengukuran, Pematokan dan Pemetaan terhadap Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
(3) Damang Kepala Adat wilayah bersangkutan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
70
(4) Damang Kepala Adat dalam menetapkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. bukti tertulis dahulu (kalau ada); b. bukti penguatan fisik; c. bukti saksi; d. bukti pengakuan yang bersangkutan/Surat Pernyataan Berita
Acara Hasil Kerapatan Mantir Perdamaian Adat. (5) Setelah kesepakatan Mantir Perdamaian Adat memutuskan
bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terpenuhi, maka Damang Kepala Adat wajib mengumumkan secara tertulis selama 21 (dua puluh satu) hari.
(6) Setelah selesai masa pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan tidak ada sanggahan/keberatan dari pihak lain, maka Damang Kepala Adat dapat menetapkan Surat Keterangan Tanah (SKT) Adat dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah.
Peraturan Gubernur tersebut merupakan pengaturan terhadap hak
masyarakat hukum adat atas tanah adat atau tanah ulayat yang
merupakan lingkup penghormatan kearifan lokal.
Ketiga, asas pengaturan, yakni kearifan lokal, sebagai asas
pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang baik, harus
terkandung dalam suatu Peraturan Gubernur.
Secara teoritik dikenal dua jenis asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang, yang bersifat formal dan yang bersifat materiil
(I.C. van der Vlies 2005. A. Hamid S. Attamimi 1990). Asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik yang telah dipositipkan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang berifat formal diatur
dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6.
Salah satu dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik yang bersifat materiil adalah asas bhinneka tunggal ika (Pasal 6
71
ayat (1) huruf f UU 12/2011). Asas bhinneka tunggal ika berarti materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Pendapat hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 65
P/HUM/2013 perihal Keberatan Hak Uji Materiil Peraturan Daerah Provinsi
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata uang Wilayah Provinsi Bali
Tahun 2009-2029:
bahwa materi muatan Peraturan Daerah dapat memuat karakteristik daerah (vide Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) in casu mengatur tentang kawasan tempat suci, sebagai salah satu kawasan lindung setempat, yang merupakan penghormatan terhadap kearifan lokal, yang secara konstitusional diamanatkan Pasal 18 B ayat (2) juncto Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
Frasa “menampung kondisi khusus daerah” dalam Pasal 14 UU
12/2011 dijadikan pertimbangan hukum oleh Mahkamah Agung bahwa
Peraturan Daerah harus mengandung penghormatan terhadap kearifan
lokal. Jadi, kearifan lokal merupakan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil, yakni asas
bhinneka tunggal ika. Tepatnya, asas kearifan lokal merupakan isi dari
asas bhinneka tunggal ika, dan asas bhinneka tunggal ika merupakan
bentuk dari dari asas kearifan lokal.
Telah pula dikemukakan, menurut Pasal 2 huruf l UU 32/2009 dan
penjelasannya, kearifan lokal merupakan asas dalam perlindungan dan
72
pengelolaan lingkungan hidup, dan “asas kearifan lokal” adalah dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Secara teoritik telah beberapa kali diungkapkan, bahwa kearifan
lokal adalah kebijaksanaan atau pengertahuan masyarakat setempat
(lokal), baik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari
pengalamannya pada masa sekarang, yang dapat berbeda-beda dengan
kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarat di tempat lain. Jadi, kearifan
lokal pada tiap-tiap masyarakat di suatu tempat memiliki kekhasan yang
membedakan satu dengan lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka asas kearifan lokal terlingkup
dalam asas bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil.
Dikaitkan dengan penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal bermakna asas kearifan lokal harus terkandung dalam
peraturan gubernur mengenai suatu materi muatan tertentu. Peraturan
Gubernur berikut merupakan contohnya.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial.
1. Hibah dapat diberikan kepada: a. Pemerintah Pusat; b.
Pemerintah daerah lain; c. Badan Usaha Milik Negara atau Badan
Usaha Milik Daerah; dan/atau d. Badan, Lembaga dan Organisasi
Kemasyarakatan yang berbadan Hukum Indonesia (Pasal 5).
73
2. Hibah kepada Badan dan Lembaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada Badan dan Lembaga: ...
c. yang bersifat nirlaba, sukarela bersifat sosial kemasyarakatan
berupa kelompok masyarakat/kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat, dan keberadaannya diakui oleh
pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melalui
pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau
pimpinanPerangkat Daerah terkait sesuai dengan kewenangannya
(Pasal 6 ayat (5) Pergub).
3. Gubernur dapat memberikan bansoskepada anggota/kelompok
masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah (Pasal 26 ayat
(1) Pergub).
4. Anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) meliputi: a. individu, keluarga, dan/atau
masyarakat/kelompok masyarakat/masyarakat adat yang
mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis
sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup minimum; dan b. Perguruan Tinggi
Negeri dan swasta yang langka peminatnya, dan bidang lain yang
berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau
masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
74
Masyarakat adat dan kesatuan masyarakat hukum adat merupakan
pengampu kearifan lokal. Menurut Pasal 1 angka 7 PMLHK
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017, Pengampu Kearifan Lokal adalah
Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak
ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau
pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2017, tidak mengatur
mengenai kearifan lokal, melainkan mengatur tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial. Namun, asas kearifan lokal
terkandung di dalamnya, yakni dalam ketentuan pemberian hibah kepada
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan pemberian bantuan sosial
(bansos) kepada masyarakat adat, yang merupakan pengampu kearifan
lokal.
Ditinjau dari sisi tanggung jawab negara dalam doktrin hak asasi
manusia, hal tersebut termasuk dalam tanggung jawab pemenuhan hak-
hak pengampu kearifan lokal.
75
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan uraian ersebut di atas, diperoleh
kesimpulan:
Pertama, dasar hukum penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan
kearifan lokal adalah berdasarkan ketentuan mengenai:
f. Peraturan Gubernur untuk melaksanakan Perda (Pasal 246 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
g. Peraturan Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan
(Pasal 246 ayat (1) UU 23/2014), bersumber kewenangan
delegasi perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian
eksplisit.
h. Peraturan Gubernur sebagaimana diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 8 ayat (1) UU
12/2011, bersumber kewenangan delegasi perundang-
undangan, baik pendelegasian eksplisit maupun pendelegasian
implisit.
i. Peraturan Gubernur dibentuk berdasarkan kewenangan (Pasal 8
ayat (1) UU 12/2011), bersumber kewenangan delegasi
perundang-undangan, dengan karakter pendelegasian implisit.
76
j. Peraturan Gubernur untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (Pasal 17 ayat
(1) UU 23/2014), bersumber kewenangan delegasi perundang-
undanga, dengan karakter pendelegasian implisit.
Kedua, proses penyusunan Peraturan Gubernur bermuatan kearifan
lokal melalui tahapan:
f. perencanaan, yakni memasukan judul rancangan peraturan
gubernur bermuatan kearifan lokal dalam perencanaan
penyusunan Pergub;
g. penyusunan, yakni pimpinan perangkat daerah pemrakarsa
menyusun rancangan peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal;
h. pembahasan, yakni membahas rancangan peraturan gubernur
bermuatan kearifan lokal oleh gubernur bersama dengan
perangkat daerah pemrakarsa, untuk itu gubernur membentuk
tim pembahasan yang dipimpin oleh pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa;
i. penetapan, yakni gubernur menetapkan rancangan peraturan
gubernur bermuatan kearifan lokal yang telah mendapat
pembahasan menjadi peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal, dan
77
j. pengundangan, yakni sekretaris daerah mengundangkan
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal dalam berita
daerah.
Ketiga, isi Peraturan Gubernur bermuatan kearifan lokal yang
hendak disusun meliputi:
d. pokok pengaturan tentang kearifan lokal, yakni pengakuan
kearifan lokal, termasuk di dalamnya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak pengampu kearifan lokal;
e. pokok pengaturan tentang bentuk-bentuk kearifan lokal, yakni
pengakuan bentuk-bentuk kearifan lokal, seperti pengakuan hak
ulayat atau pengakuan hukum adat beserta pengampunya yaitu
kesatuan masyarakat hukum adat; dan
f. asas pengaturan, yakni asas kearifan lokal terlingkup dalam asas
bhinneka tunggal ika yang merupakan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil,
yang harus terkandung dalam peraturan gubernur mengenai suatu
materi muatan tertentu.
5.2. Saran
Diajukan saran, dari sisi akademis, perlu diadakan pengkajian
mendalam perihal penyusunan peraturan gubernur bermuatan kearifan
lokal, terutama menyangkut studi praktik penyusunan penyusunan
78
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal, dalam kategori-kategori
yang disebutkan dalam kesimpulan.
Dari sisi proses kebijakan publik, diajukan saran, setidaknya dalam
penyusunan peraturan gubernur harus mencerminkan asas kearifan lokal,
dan lebih dari itu agar melakukan kajian dalam rangka menyusun
peraturan gubernur bermuatan kearifan lokal.
79
DAFTAR PUSTAKA
Arizona, Yance; Malik; dan Irena Lucy Ishimora, 2017, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat : Tren Produk Hukum Daerah dan Nasional Pasca Putusan MK 35/PUU-X/2012, Outlook Epistema 2017, Jakarta: Epistema Institute.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press.
Attamimi, A. Hamid S., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.
Atmaja, Gede Marhaendra Wija 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
───────, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah, Denpasar: Penerbit PT Percetakan Bali.
Berlian VA, Nur & Mursalim, (Ed), 2015, Pelestarian Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal, Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan KebudayaaBalitbang Kemendikbud Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Penerbit Alumni.
Biantoro, Sugih, 2011, “Kearifan Lokal dan Politik Identitas: Menjawab Tantangan Global? Strategi Masyarakat Adat dalam Kasus Pembalakan Hutan Di Kalimantan Barat”, dalam Ade Makmur, (Ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Hamid. S.A., A, 1984, “UUD NRI 1945 – TAP MPR – Undang-undang: Kaitan Norma Hulum Ketiganya”, dalam Padmo Wahjono, ed., Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Irianto, Sulistyowati, 2009, “Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta, eds., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ismadi, Hurip Danu, 2013, Kata Pengantar, dalam Emmed J. M. Prioharyono, (Ed), 2013, Kearifan Lokal dan Lingkungan, Jakarta,: Penerbit PT Gading Inti Prima dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
80
Kartawinata, Ade M., 2011, “Pengantar Editor Merentas Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi dan Tantangan Pelestarian”, dalam Ade Makmur, (Ed), 2011, Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind-Hill.Co.
───────, 2004, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press.
Nurrochsyam, Mikka Wildha, 2011, “Tradisi Pasola Antara Kekerasan dan Kearifan Lokal”, dalam Ade Makmur, (Ed), Kearifan Lokal Di Tengah Modernisasi, Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Ranggawija, Rosjidi,1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Sidharta, B. Arief, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung: Unpar Press.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi
Vlies, I.C. van der, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
81