regulasi emosi pada remaja yang memiliki saudara …
TRANSCRIPT
REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI
SAUDARA KANDUNG BERKEBUTUHAN KHUSUS
(TUNAGRAHITA)
OLEH
MIRANDA FARAH AMBARWATY
80 2014 191
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertandatangan dibawah ini:
Nama : Miranda Farah Ambarwaty
Nim : 80 2014 191
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Univesitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas
karya ilmiah saya yang berjudul:
REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI SAUDARA
KANDUNG BERKEBUTUHAN KHUSUS (TUNAGRAHITA)
Dengan hak bebas royalty non-exclusive ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 21 Agustus 2018
Yang menyatakan:
Miranda Farah Ambarwaty
Mengetahui,
Pembimbing
M. Erna Setianingrum, MA.,Psi.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan ini:
Nama : Miranda Farah Ambarwaty
Nim : 80 2014 191
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Univesitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI SAUDARA
KANDUNG BERKEBUTUHAN KHUSUS (TUNAGRAHITA)
Yang dibimbing adalah:
M. Erna Setianingrum, MA.,Psi.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam
bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah
sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber
aslinya.
Salatiga, 21 Agustus 2018
Yang memberi pernyataan
Miranda Farah Ambarwaty
LEMBAR PENGESAHAN
REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI SAUDARA
KANDUNG BERKEBUTUHAN KHUSUS (TUNAGRAHITA)
Oleh
Miranda Farah Ambarwaty
802014191
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui Pada Tanggal : 21 Agustus 2018
Oleh:
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
Pembimbing
M. Erna Setianingrum, MA.,Psi.
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Ratriana Y.E.Kusumiati, M.si.,Psi.
Disahkan oleh,
Dekan
Berta Esti Ari P, S.Psi., MA.
REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI
SAUDARA KANDUNG BERKEBUTUHAN KHUSUS
(TUNAGRAHITA)
Miranda Farah Ambarwaty
M. Erna Setianingrum
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
i
ABSTRAK
Dalam sebuah keluarga, kehadiran anak berkebutuhan khusus (tunagrahita) tentu
akan memengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya terutama orang
tua dan saudara kandungnya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui bagaimana regulasi emosi remaja yang memiliki saudara kandung
berkebutuhan khusus (tunagrahita). Penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara yang mana
dilakukan kepada subjek dan significant other. Subjek penelitian yaitu tiga orang
remaja perempuan berusia 17 dan 18 tahun yang memiliki saudara kandung
tunagrahita. Emosi yang paling sering muncul pada situasi yang dialami remaja
dengan saudara kandung berkebutuhan khusus (tunagrahita) adalah khawatir,
marah, sedih, sebal, dan cemburu. Strategi regulasi emosi yang digunakan oleh
ketiga subjek adalah situation selection, situation modification, attention
deployment, dan cognitive change. Selain itu, mereka juga mendapatkan
dukungan sosial dari orangtua maupun lingkungan sekitar untuk membantu proses
regulasi emosi.
Kata kunci : regulasi emosi, remaja, saudara kandung, tunagrahita.
ii
ABSTRACT
In a family, have a disability child (mental retardation) will be influence the other
persons in the family, especially the parent and sibling. The purpose of this
research is to knowing how to emotional regulation of adolescent who have
sibling with mental retardation. In this research using qualitative methods with
the case study approach. The technique of collecting data in this research is using
methods observation and interview conducted to a subject and significant other.
The subjects in this research is three teenagers are seventeen and eighteen years
old who have sibling with mental retardation. The emotions of the most often
appear is afraid, angry, sad, hate, and jealous. The strategy of emotional
regulation used by the subjects is situation selection, situation modification,
attention deployment, and cognitive change. In addition, they are also get social
support from the parent although environment to help of the emotional regulation
process.
Keyword : emotional regulation, adolescent, sibling, mental retardation.
1
PENDAHULUAN
Setiap orangtua pasti sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam
pernikahannya, namun tidak semua anak terlahir ke dunia dalam kondisi yang
sempurna, beberapa lahir dengan keterbatasan fisik maupun psikis. Salah satu
anak yang terlahir dengan keterbatasan yaitu anak tunagrahita. Anak tunagrahita
merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki karakteristik adanya
gangguan dalam bentuk fisik, intelektual dan kemampuan adaptasi sosial yang
secara signifikan berada dibawah rata-rata, yang telah tampak sejak kecil.
Tunagrahita dengan kata lain disebut retardasi mental (mental retardation) secara
bahasa berasal kata “tuna” berarti merugi dan “grahita” berarti pikiran (Ismail,
2012).
Annual Report to Congress menyebutkan bahwa 1,92% anak usia sekolah
penyandang tunagrahita yaitu dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan
40% atau 3:2. Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, dari 222 juta penduduk
Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa adalah penyandang cacat. Sedangkan
populasi anak tunagrahita menempati angka paling besar dibanding dengan
jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi tunagrahita di Indonesia saat
ini diperkirakan 1-3% dari penduduk Indonesia, sekitar 6,6 juta jiwa. Anak
tunagrahita ini memperoleh pendidikan formal di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Negeri dan SLB swasta (Noor & Megah dalam Astuti, 2013).
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial
Departemen Sosial RI Tahun 2007, jumlah penyandang cacat adalah 2.364.000
2
jiwa termasuk penyandang cacat mental. Sedangkan menurut asumsi SoIna
(Spesial Olympics Indonesia) bahwa jumlah penyandang cacat tunagrahita adalah
3% dari jumlah penduduk Indonesia atau sebesar 6 juta jiwa. Kondisi ini
diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan penduduk dan berbagai faktor lainnya yang memicu peningkatan
jumlah penyandang cacat mental (Sufahriani, 2008).
Pengertian tentang anak tunagrahita yang dikemukakan para ahli pada
prinsipnya sama, yaitu anak tunagrahita adalah anak yang mengalami
keterbelakangan mental. Santrock (2012) menyatakan mental retardation atau
tunagrahita adalah keadaan kemampuan mental yang terbatas, IQ yang rendah
dibawah 70 dan mempunyai kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan
sehari-hari. Supartini, Purwandari dan Suharmini (2009) mengatakan karakteristik
yang menonjol pada anak tunagrahita pada fungsi kognitifnya, yakni pada
kemampuan akademik. Mereka dapat mengalami ketinggalan kelas 2 atau 5
tingkat dibanding dengan anak-anak normal lainnya, terutama pada kemampuan
bahasa (membaca dan language art).
Berikut adalah karakteristik anak tunagrahita yang lebih spesifik
berdasarkan berat ringannya kelainan menurut Desiningrum (2016), yaitu:
1. Mampu didik merupakan istilah pendidikan yang digunakan untuk
mengelompokkan tunagrahita ringan. Mereka masih mempunyai
kemampuan untuk dididik dalam bidang akademik yang sederhana
(dasar) yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Anak mampu didik
3
kemampuan maksimalnya setara dengan anak usia 12 tahun atau
kelas 6 sekolah dasar, apabila mendapatkan layanan dan bimbingan
belajar yang sesuai maka anak mampu didik dapat lulus sekolah
dasar.
2. Mampu latih, anak dengan tunagrahita mampu latih secara fisik
sering memiliki atau disertai dengan kelainan fisik baik sensori
maupun motoris, bahkan hampir semua anak yang memiliki
kelainan dengan tipe klinik masuk pada kelompok mampu latih
sehingga sangat mudah untuk mendeteksi anak mampu latih,
karena penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda dengan anak
normal yang sebaya. Kemampuan akademik anak mampu latih
tidak dapat mengikuti pelajaran walaupun secara sederhana seperti
membaca, menulis, dan berhitung.
3. Perlu rawat, anak perlu rawat adalah klasifikasi anak tunagrahita
yang paling berat. Anak perlu rawat memiliki kapasitas intelegensi
di bawah 25 dan sudah tidak mampu dilatih keterampilan apapun.
Anak tunagrahita mengalami hambatan dalam tingkah laku dan
penyesuaian diri. Semua itu berlangsung atau terjadi pada masa
perkembangannya. Anak tersebut seringkali mengalami penolakan dari orang tua
dan saudara kandungnya terutama yang masih remaja. Istilah saudara kandung
didefinisikan sebagai individu yang memiliki hubungan saudara dari orangtua
biologis yang sama. Dalam penelitian ini penggunaan istilah saudara kandung
diartikan sebagai individu yang memiliki pengalaman dan tumbuh dalam keluarga
4
yang sama (Wilcox dalam Tias, 2014). Corsini (dalam Tias, 2014) mendefinisikan
saudara kandung sebagai suatu hubungan antara saudara laki-laki atau saudara
perempuan yang terdapat di dalam keluarga inti dan merupakan hubungan yang
terjadi begitu adanya. Kebanyakan saudara kandung anak tunagrahita ini tidak
bisa menerima kenyataan dengan anak yang pola perkembangannya berbeda
dengan anak-anak yang lain (Somantri dalam Astuti, 2013).
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara awal yang dilakukan pada tanggal
28 Januari 2018 dengan seorang remaja yang memiliki saudara kandung yang
mengalami tunagrahita, ia mengatakan bahwa saudaranya yang mengalami
tunagrahita seringkali melakukan hal-hal yang aneh. Terkadang menyembunyikan
benda apapun yang ia suka, mengambil pakaian kakeknya, bergumam, tertawa
sendiri dan tiba-tiba menangis. Hal tersebut seringkali membuat anggota keluarga
termasuk remaja tersebut merasa jengkel. Luapan emosi remaja tersebut terhadap
saudaranya terkadang berlebihan, seperti memukul ataupun membentak hingga
saudaranya tersebut menangis. Namun, terkadang remaja tersebut juga bisa
bersabar dan memberikan nasehat-nasehat ketika saudaranya melakukan hal-hal
yang menurutnya aneh.
Remaja adalah masa dimana seseorang mengalami transisi dari anak-anak
menuju dewasa. Batasan usia remaja menurut Santrock (2012) berawal dari usia
10-13 tahun sampai dengan 20 tahun dan masa remaja dibagi menjadi dua periode
yaitu masa remaja awal antara 10-13 tahun dan masa remaja akhir usia 18-22
tahun. Berbagai peristiwa yang sebelumnya tidak dialami oleh individu terjadi di
tahap perkembangan remaja salah satunya adalah pubertas. Pubertas
5
mengakibatkan perubahan fisik dan emosi pada remaja (Santrock, 2012). Kondisi
emosi remaja diibaratkan seperti petasan yang dapat meledak kapan pun dimana
pun tanpa diketahui sebelumnya. Tingkatan emosional remaja juga berubah
dengan cepat (Rosenblum & Lewis dalam Santrock, 2012). Individu dengan
kondisi emosi yang tidak stabil memiliki kecenderungan perubahan yang cepat
dan tidak diduga dalam reaksi emosinya (Chaplin, 2001).
Emosi merujuk pada perasaan, pikiran, keadaan biologis, dan psikologis
serta kecenderungan untuk bertindak. Santoso (2008) menjelaskan bahwa emosi
adalah perubahan yang dialami individu yang mencakup reaksi fisiologis,
perasaan, proses kognitif, dan tingkan laku. Chaplin (dalam Safaria dan Saputra,
2009) menyatakan bahwa emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh
situasi tertentu yang berkaitan dengan perilaku bertahan atau menyerah terhadap
sesuatu.
Regulasi emosi merupakan salah satu aspek penting bagi perkembangan
individu. Gross (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang
dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat
atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi
dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan
atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain
itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.
Walden dan Smith (dalam Syarif, 2016) menjelaskan bahwa regulasi
emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu
6
kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang
berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.
Thompson (dalam Syarif, 2016) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari
proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal,
memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan
bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif
meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan
lingkungan.
Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan
kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan
kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu
singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali
pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat
emosi yang berlebihan (Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Anggreiny,
2014). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta
menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk
mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi
fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku
dan nada suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan
kontrol atas emosi yang dirasakan.
7
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi
emosi. Menurut Gross (2007) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan
banyak cara, yaitu:
a. Situation Selection ialah suatu cara dimana individu
mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan
emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih
nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian
untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.
b. Situation Modification ialah suatu cara dimana seseorang mengubah
lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi
yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan kepada
temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang
dialaminya agar tidak bertambah sedih.
c. Attention Deployment ialah suatu cara dimana seseorang mengalihkan
perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk
menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang
yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk
mengurangi kemarahan atau kesedihannya.
d. Cognitive Change ialah suatu strategi dimana individu mengevaluasi
kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif
sehingga dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi. Contohnya,
seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu
tantangan daripada suatu ancaman.
8
Individu yang mampu mengelola emosinya secara efektif, akan lebih
memiliki daya tahan untuk tidak terkena kecemasan dan depresi. Terutama jika
individu mampu mengelola emosi-emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan
sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi. (Thompson & Goleman, 2006).
Tanggapan negatif masyarakat tentang anak tunagrahita seperti mengejek dan
menjauhi anak-anak tunagrahita dapat menimbulkan berbagai macam reaksi orang
tua maupun remaja yang memiliki anggota keluarga tunagrahita. Anak tunagrahita
disembunyikan dari masyarakat karena orang tua maupun saudaranya merasa
malu mempunyai anggota keluarga keterbelakangan mental. Penelitian yang
dilakukan oleh Kumar (dalam Rofantina, 2016) menyatakan bahwa ibu yang
memiliki anak retardasi mental dipastikan lebih mudah mengalami stress
psikologis dibandingkan dengan ibu dari anak yang normal. Stress ini diakibatkan
karena banyaknya beban yang ditanggung dari anak retardasi mental baik beban
secara fisik, psikis, dan sosial.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Salamah (2012),
didapatkan hasil bahwa emosi yang dialami subjek remaja 14 tahun yang
memiliki saudara kandung penyandang autis cukup beragam seperti emosi marah,
sedih, cinta, dan harapan dirasakan hampir seluruhnya oleh subjek. Strategi
regulasi emosi yang digunakan oleh subjek adalah acceptance, blaming other, self
blaming, refocus on planning, rumination or focus on thought, putting into
perspective dan catastrophizing.
Mengaplikasikan regulasi emosi dalam kehidupan dapat berdampak baik
dalam kesehatan fisik, keberhasilan akademik, kemudahan dalam membina
9
hubungan dengan orang lain dan meningkatkan resiliensi (Gottman dalam
Arifprawira, 2015). Regulasi emosi tidak hanya melibatkan pengalamanan afektif,
tetapi juga melibatkan proses kognitif, perilaku, dan fisiologis. Semakin banyak
bukti yang menunjukkan bahwa regulasi emosi merupakan faktor penting pada
kemampuan anak dan remaja untuk mendorong perilaku prososial dan pro-
akademik, Pekrun (dalam Arifprawira, 2015). Berdasarkan uraian diatas, maka
peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana regulasi emosi remaja yang
memiliki saudara kandung tunagrahita.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualiatif dengan pendekatan studi
kasus. Menurut Moleong (2002), penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang
atau perilaku yang diamati. Sedangkan studi kasus adalah studi yang berusaha
memahami isu-isu yang rumit atau objek dan dapat memperluas pengalaman atau
menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang
lalu (Moleong, 2002).
Adapun kriteria subjek yaitu (1) remaja akhir berusia 17-21 tahun, (2)
memiliki saudara kandung berkebutuhan khusus (tunagrahita). Subjek dalam
penelitian ini yaitu 3 orang remaja berusia 17 tahun dan 18 tahun serta memiliki
saudara kandung berkebutuhan khusus yaitu tunagrahita ringan, beserta orang
terdekatnya (significant other).
10
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode
observasi langsung, wawancara dan dokumentasi. Menurut Mediadiknas (2008)
observasi langsung adalah observasi yang dilakukan terhadap objek ditempat
kejadian atau tempat berlangsungnya peristiwa yang diteliti. Artinya, dalam
observasi langsung peneliti yang mengadakan observasi turut ambil bagian
bersama subjek ataupun objek yang diobservasi. Penggunaan metode ini untuk
mengetahui upaya regulasi emosi pada remaja yang memiliki saudara kandung
berkebutuhan khusus (tunagrahita) serta untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan perilaku anak tunagrahita.
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998), wawancara merupakan
percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu dengan
tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang
dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti. Wawancara yang peneliti
gunakan adalah model wawancara terpimpin yaitu tanya jawab yang terarah untuk
mengumpulkan data-data berdasarkan pedoman wawancara yang sudah disusun
sebelumnya tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengembangan pertanyaan
sesuai dengan data yang diperlukan.
Metode dokumentasi adalah informasi yang berasal dari catatan penting
baik dari lembaga atau organisasi maupun dari perorangan (Hamidi, 2004).
Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data mengenai
dokumen-dokumen yang dianggap penting, seperti gambaran umum anak
tunagrahita dan data penting berkaitan dengan subjek.
11
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
Pada awal persiapan, peneliti menyiapkan beberapa alat dan bahan yang
akan digunakan selama penelitian berlangsung, misalnya interview guide dan
handphone untuk merekam proses wawancara. Peneliti melakukan pendekatan
pada ketiga subjek kurang lebih satu minggu sebelum wawancara berlangsung.
Pendekatan dengan ketiga subjek peneliti lakukan melalui Whatsapp dengan
tujuan agar subjek merasa lebih akrab dengan peneliti sebelum proses wawancara
berlangsung. Pada pertemuan pertama, ketiga subjek bersedia melakukan
wawancara dan merasa tidak keberatan apabila semua pembicaraan peneliti dan
subjek akan direkam. Namun, sebelumnya peneliti telah memberikan informed
consent serta penjelasan bahwa kerahasiaan data pribadi subjek tidak akan
disebarluaskan dan hanya diperuntukkan sebagai referensi penelitian.
Sebelumnya peneliti mendatangi SLB B-C YPCM Boyolali untuk
mendapatkan data calon-calon subjek. Kemudian pihak SLB B-C YPCM Boyolali
mencari data siswa tunagrahita yang memiliki saudara kandung masih remaja.
Setelah itu, pihak SLB B-C YPCM Boyolali mempertemukan peneliti dengan
orang tua siswa yang saat itu sedang menunggu anaknya di sekolah. Peneliti
melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada orang tua siswa tunagrahita yang
memiliki saudara kandung remaja dan meminta nomor Whatsapp anaknya yang
masih remaja tersebut. Kemudian, peneliti membangun rapport kepada subjek
melalui Whatsapp dan mengatur jadwal yang tepat untuk bertemu. Wawancara
dengan subjek I dilakukan pada tanggal 7 April 2018 di rumah subjek dan pada
hari yang sama peneliti melakukan wawancara pada ibu subjek. Wawancara
12
dengan subjek II dilakukan pada tanggal 12 April 2018 di Ini Baru Rajanya Steak
Boyolali, sebelumnya peneliti telah melakukan wawancara dengan ibu subjek II
yang sedang menunggu adik subjek bersekolah pada tanggal 5 April 2018 di SLB
B-C YPCM Boyolali. Wawancara dengan subjek III dilakukan pada tanggal 29
April 2018 di Rocket Chicken Boyolali dan pada tanggal 26 April peneliti
melakukan wawancara pada ibu subjek III di SLB B-C YPCM Boyolali saat ia
sedang menunggu adik subjek bersekolah.
B. Data Diri Subjek
Subjek I Subjek II Subjek III
Nama / Inisial SLS ACS LSS
Umur 18 tahun 17 tahun 17 tahun
Asal Boyolali Boyolali Boyolali
Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan
Pendidikan SMA SMA SMA
Urutan
Kelahiran
1 dari 2
bersaudara
1 dari 2
bersaudara
1 dari 2
bersaudara
Tabel 1.1 Data Diri Subjek
a. Gambaran Umum Subjek I
Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara, ia memiliki
seorang adik perempuan berusia 8 tahun yang saat ini bersekolah di SLB
B-C YPCM Boyolali. Subjek tinggal bersama kedua orang tuanya dan
adiknya. Subjek akan selalu menceritakan semua masalah yang di
alaminya kepada ibunya, karena ayah subjek lebih banyak memberikan
perhatiannya kepada adiknya yang berkebutuhan khusus. Kedua orang tua
13
subjek merupakan sosok yang bertanggung jawab dan penuh kesabaran
terutama dalam hal merawat subjek dan adiknya. Ayah subjek bekerja
sebagai sopir dan ibu subjek bekerja sebagai karyawan di salah satu dealer
motor di Boyolali. Mereka bekerja dari pagi hingga sore mulai dari hari
Senin sampai Sabtu, sehingga waktu untuk berkumpul bersama keluarga
hanya pada malam hari dan saat hari libur saja. Subjek dan adiknya pun
bersekolah dari hari Senin sampai Jumat, maka pada hari Sabtu merupakan
hari dimana subjek harus menjaga adiknya seharian penuh. Subjek
termasuk individu yang rajin beribadah. Ia berharap keluarganya lebih bisa
meningkatkan kegiatan beribadah bersama, seperti shalat berjamaah,
membaca Al-Quran, dan menghadiri pengajian bersama-sama, karena
subjek merasa orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga
seringkali melupakan ibadah bersama. Subjek juga berharap agar
keluarganya lebih harmonis lagi terutama dalam menghadapi adiknya yang
berkebutuhan khusus agar tidak ada lagi keributan dalam keluarganya.
- Observasi Subjek I
Dari awal sampai akhir wawancara berlangsung subjek tidak
beranjak kemana-mana dan hanya duduk tenang di sofa rumahnya. Subjek
juga mendengarkan peneliti dengan baik dan tidak bermain HP. Subjek
terlihat fokus dalam menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan, ia selalu menanyakan kembali pertanyaan yang membuat ia
bingung. Sesekali ia nampak menyandarkan bahannya di sandaran sofa
dan tangannya menggosok-gosokkan bagian lututnya.
14
b). Gambaran Umum Subjek II
Subjek adalah anak pertama dari dua bersaudara. Subjek tinggal
bersama ayah, ibu, dan adiknya. Ayah dan ibu subjek bekerja sebagai
buruh pabrik, sehingga waktu mereka di rumah tidak terlalu banyak. Adik
subjek seorang laki-laki berusia 9 tahun dan bersekolah di SLB B-C
YPCM Boyolali. Walaupun orang tua subjek jarang berkumpul dirumah
namun setiap malam mereka terbiasa menonton TV dan bercerita bersama.
Subjek mengaku lebih dekat dengan ibunya, apabila ia sedang mengalami
suatu permasalahan ia selalu menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Hal
tersebut dilakukan karena ayah subjek lebih banyak kesibukan di luar
rumah. Menurut subjek, ibunya merupakan sosok yang mandiri dan
bertanggung jawab, begitu juga dengan ayahnya. Hubungan subjek dengan
adiknya terbilang akur walaupun seringkali bertengkar karena masalah-
masalah kecil, seperti memperebutkan remote TV dan sebagainya.
Walaupun sering bertengkar kecil dengan adiknya namun subjek selalu
membantu orang tuanya dalam merawat adiknya tersebut seperti,
menyuapkan makanan dan memandikannya. Subjek juga rajin membantu
orang tuanya membersihkan rumah.
- Observasi Subjek II
Pada saat pertama kali bertemu subjek terlihat gugup, dia selalu
menundukkan kepalanya dan memainkan HP nya. Selama wawancara
berlangsung juga subjek masih terlihat gugup dan ia hanya menjawab
pertanyaan seadanya saja. Namun, ketika sudah memasuki pertanyaan
15
mengenai saudaranya, subjek sempat menangis dan diam sejenak. Setelah
itu, subjek dapat menjawab lagi pertanyaan yang diberikan.
c). Gambaran Umum Subjek III
Subjek merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik subjek
saat ini bersekolah di SLB B-C YPCM Boyolali karena mengalami
perkembangan yang kurang sesuai dengan usianya. Subjek mengaku
bahwa ia lebih dekat dengan ayahnya, karena ibu subjek lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk mengurus adiknya yang berkebutuhan
khusus. Menurut subjek, ayahnya adalah sosok yang penuh tanggung
jawab dan tidak pernah lelah untuk mendengarkan keluh kesan anaknya,
begitu juga dengan ibunya yang selalu sabar dalam merawat anak-
anaknya. Ayah subjek seorang pegawai swasta dan ibunya seorang ibu
rumah tangga. Orang tua subjek memberikan kebebasan kepada subjek
untuk berkegiatan di luar rumah tanpa harus menjaga adiknya. Hal ini
membuat hubungan subjek dengan adiknya menjadi kurang dekat.
Menurut penilaian subjek mengenai cara didik orang tuanya sangat santai
dan jarang memarahi anak-anaknya, mereka selalu memberikan
pemahaman kepada anak-anaknya tanpa menggunakan kekerasan. Subjek
mengaku belum begitu bisa menerima keadaan adiknya yang berbeda
dengan anak-anak lainnya. Subjek masih merasa malu dan bingung ketika
teman-temannya datang ke rumah dan menanyakan mengenai keadaan
adiknya. Hal ini membuat subjek jarang membantu orang tuanya dalam
16
menjaga dan merawat adiknya, ia lebih banyak memiliki kegiatan di
sekolah bersama teman-temannya.
- Observasi Subjek III
Pada awal pertemuan, peneliti memperkenalkan dirinya dan subjek
menanggapi dengan senyuman. Subjek menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan dengan nada yang tegas dan tenang. Ketika peneliti sedang
berbicara terkadang subjek mendengarkan sambil bermain HP. Kemudian
saat wawancara berlangsung, subjek sempat menerima telepon dan
mengangkatnya dengan wajah cemas dan wawancara dihentikan sejenak,
lalu ketika wawancara dilanjutkan subjek tampak tenang kembali.
C. Triangulasi Subjek
a) Subjek I
Triangulasi subjek I peneliti lakukan pada ibu subjek yang
bernama LSK. Menurut LSK, subjek merupakan anak yang penurut dan
patuh kepada kedua orang tua. Hal ini dibuktikan dengan perilaku subjek
yang seringkali melaksanakan perintah orang tuanya. Dalam menghadapi
adiknya, subjek termasuk individu yang sabar karena pada saat ia sedang
lelah pulang dari sekolah dan diminta untuk menjaga adiknya, subjek tetap
mau melakukan hal tersebut. Bagi LSK, subjek sangat dapat diandalkan
dalam hal apapun, nilai-nilai di sekolahnya juga tidak mengecewakan,
subjek juga lebih sering berada di rumah bersama adiknya dibandingkan
bermain keluar rumah bersama teman-temannya. LSK sangat bangga
17
kepada subjek karena di usianya yang masih terbilang remaja, ia bisa
bersikap dewasa dalam menghadapi permasalahan.
b) Subjek II
Triangulasi subjek II peneliti lakukan pada ibu subjek yang
bernama NJ. NJ mengatakan bahwa subjek sudah bisa memahami keadaan
adiknya seutuhnya. Menurut NJ, subjek merupakan individu yang bisa
diandalkan dalam menjaga adiknya yang berkebutuhan khusus karena
kondisi kedua orang tuanya yang bekerja sebagai buruh pabrik dan lebih
banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Tanpa harus diberi arahan
subjek sudah paham hal-hal apa yang akan dilakukan, seperti memandikan
adiknya, menyuapkan makanan pada adiknya dan mengajak adiknya
bermain. Selain itu, di usianya yang masih remaja subjek juga rajin
membantu orang tua dalam membersihkan rumah seperti, menyapu,
mengepel, mencuci piring, dan sebagainya. NJ merasa bangga kepada
subjek karena dapat meringankan bebannya sebagai orang tua. NJ juga
mengatakan bahwa apapun yang dialami subjek selalu diceritakan kepada
NJ, hal tersebut membuat NJ merasa aman karena walaupun NJ sibuk
bekerja namun pergaulan subjek dapat terkontrol.
c) Subjek III
Triangulasi subjek III peneliti lakukan pada ibu subjek yang
bernama KD. Menurut KD, subjek merupakan individu yang baik dan
sayang kepada orang tua serta adiknya. Orang tua subjek tidak mau terlalu
mengekang anak-anaknya sehingga membuat subjek bebas melakukan hal-
18
hal yang ia sukai tetapi masih dalam pengawasan orang tua. KD juga
mengatakan bahwa ia tidak mau membebani subjek untuk merawat
adiknya karena KD merasa hal tersebut adalah tanggung jawab penuh KD
dan suaminya sebagai orang tua. KD memberikan kebebasan kepada
subjek agar subjek dapat fokus dengan pendidikannya, terbukti dengan
nilai-nilai subjek di sekolahnya yang cukup bagus. Namun, menurut KD
sifat subjek masih kekanak-kanakan karena setiap kali permintaannya
tidak bisa dituruti subjek seringkali marah kepada orang tuanya. Hal
tersebut dinilai KD sebagai wujud dari sikap subjek yang mencari
perhatian dari kedua orang tuanya yang banyak memberikan perhatian
kepada adiknya yang berkebutuhan khusus.
HASIL
Berdasarkan hasil analisis data subjek, muncul beberapa aspek yang
memengaruhi regulasi emosi sebagai berikut : pemilihan situasi (situation
selection), perubahan situasi (situation modification), penyebaran perhatian
(attention deployment), perubahan kognitif (cognitive change), dan dukungan
sosial.
Pemilihan Situasi (Situation Selection)
Situation Selection merupakan suatu tindakan yang diambil untuk
mendekati atau menghindari orang, tempat atau situasi tertentu dari
dampak emosional seseorang. Situation selection dapat dilakukan oleh diri
sendiri maupun orang lain. Dalam mengelola emosi, subjek SLS dan ACS
memilih untuk mendekati orang atau situasi yang dapat menimbulkan
19
emosi yaitu adiknya. Pada saat peneliti memberikan pertanyaan mengenai
apakah subjek akan meninggalkan adiknya ketika ia merasa kesal karena
perilaku adiknya, kemudian ketiga mereka menjawab :
“Enggak pernah.. karena aku harus jagain S.” (SLS, 529)
“Iya biasane emang kaya gitu kok aku sebel sama F (adik subjek)
juga tak jagain” (ACS, 348)
Berbeda dengan kedua subjek lainnya, untuk mengurangi dampak
emosionalnya subjek LSS memilih menghindar dari orang atau situasi
tertentu.
“Tergantung mood sih mbak, kalau aku sebel banget ya paling A
(adik subjek) tak pasrahin ke Mama terus aku ke kamar main HP
atau nonton film gitu.” (LSS, 190-195)
Subjek SLS dan ACS memilih untuk tetap menjaga adiknya
dikarenakan faktor orang tua yang sibuk bekerja sehingga mengharuskan
mereka untuk tetap menjaga adiknya dalam keadaan apapun. Namun,
berbeda dengan subjek LSS yang memilih menghindari situasi tersebut
karena ia diberikan kebebasan oleh kedua orang tuanya untuk tidak ikut
serta dalam menjaga adiknya.
Perubahan Situasi (Situation Modification)
Perubahan situasi adalah usaha untuk memodifikasi satu keadaan
secara langsung untuk mendatangkan suatu keadaan baru. Modifikasi
situasi yang dimaksud di sini dapat dilakukan dengan memodifikasi
lingkungan fisik eksternal maupun internal. Dalam memodifikasi
lingkungannya, subjek SLS dan LSS mengubah lingkungannya dengan
20
cara memilih untuk bersenang-senang dengan teman-temannya dan tidak
mengingat masalah yang membuat mereka sedih sehingga dapat
mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul.
“Ya enggak ya.. ya gimana ya emm ya pengennya kaya bebas dulu
gitu lho nggak mau inget (masalah sama adik) sing di rumah gitu.”
(SLS 436-438)
“Gimana ya mbak.. aku jarang cerita soal kaya gitu soalnya aku
pengen seneng-seneng aja.” (LSS 216-218)
Pada subjek ACS, ia akan berusaha bertahan dalam kondisi yang
dihadapi dengan memodifikasi situasi yang terjadi yaitu dengan
mengerjakan pekerjaan rumah.
“Kadang kalau lagi marah gitu kan kadang kan marahnya gara-
gara sebel sama orang tua atau nggak dibolehin main gitu lho
nanti aku gitu ya ngerjain pekerjaan rumah gitu.” (ACS, 564-568)
Penyebaran Perhatian (Attention Deployment)
Upaya individu dalam mengarahkan perhatiannya secara fokus
pada situasi tertentu untuk memengaruhi emosi mereka. Aspek ini
cenderung mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam situasi
tertentu dan memilih fokus pada aktivitas yang disukai.
“Apa ya emm.. oh dengerin musik, main HP, nonton film terus apa
lagi ya emm bobok sih terus udah hehe..” (SLS, 669-673)
“Ya nggak ngapa-ngapain, cuma diem gitu. Main HP terus cuma
itu nonton TV gitu. Oh iya aku suka nulis diary juga.” (ACS, 338-
340)
“Ya ngajakin temen mbak kemana gitu tapi kalau temenku nggak
ada yang bisa ya aku di rumah aja main HP buka-buka Instagram,
chatting sama temen-temen. Ya gitu lah.” (LSS 203-206)
21
Perubahan Kognitif (Cognitive Change)
Perubahan penilaian yang dibuat untuk membuat pertahanan
psikologis dan pembanding sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaan
lebih buruk daripada saya). Pada umumnya, hal ini merupakan
transformasi kognisi untuk mengubah pengaruh kuat dari emosi.
Perubahan kognitif mengacu pada mengubah cara kita menilai situasi
dimana kita terlibat di dalamnya untuk mengubah signifikansi
emosionalnya, dengan mengubah bagaimana kita memikirkan tentang
situasinya atau tentang kapasitas kita untuk menangani tuntutan-
tuntutannya.
Ketiga subjek mampu mengubah cara berpikir mereka menjadi
lebih positif untuk mengurangi dampak dari emosi. Terlihat dari perbedaan
cara berpikir mereka pada saat pertama kali mengetahui kondisi adiknya
yang berkebutuhan khusus dan setelah beberapa tahun kemudian.
Dulu : “Kalau dulu ya sempet sebel banget sih.. kan mau main
terus kan nggak di bolehin Ibu terus apa bilang mbok ngancani S
(adik subjek) ora gur main wae, gitu terus kan aku mikire kan
wong nggak pernah main kok masa dibilang main terus gitu.”
(SLS, 503-507)
Sekarang : “Gimana ya.. emm enggak ya kayaknya. Kan setiap
orang pasti punya masalah ya terus mikire kalau Allah udah
ngasih jatahe kaya gini kenapa harus jadi orang lain kan.” (SLS,
647-650)
“Ya dulu kan dulu nggak tau kalau F (adik subjek) kaya gitu nah
aku kan sempet mikir jane ki F ki ngopo ngene ngene gitu tapi
kalau sekarang tuh udah tau kalau F ki ya berkebutuhan khusus
gitu. Sekarang udah bisa terima.” (ACS, 226-230)
22
Dulu : “Kalau dulu sih jujur ya mbak aku belum begitu bisa terima
keadaan A (adik subjek). Aku masih sering malu kalau teman-
temanku main ke rumah terus liat A kaya gitu. Apalagi kalau
teman yang belum lama kenal. Aku bingung kalau di tanyain harus
jawab apa.” (LSS, 166-172)
Sekarang : “Ya dikit-dikit aku belajar terima mbak. Aku sekarang
lagi berusaha deketin diri lagi sama A (adik subjek), soalnya aku
sempet ngejauh karena sebel liat tingkahnya.” (LSS 340-343)
Kemudian pada subjek ACS dan subjek LSS juga berusaha untuk
mencari jalan keluar dalam rangka menurunkan dampak emosional yang
berlebihan.
“Kadang kalau lagi marah gitu kan kadang kan marahnya gara-
gara sebel sama orang tua atau nggak dibolehin main gitu lho
nanti aku gitu ya ngerjain pekerjaan rumah gitu.” (ACS, 564-568)
“InsyaAllah mbak, aku kalau ada masalah pasti cerita ke papa
jadi dapet solusinya harus gimana.” (LSS, 334-336)
Dukungan Sosial
Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh individu yang sedang
mengalami suatu permasalahan, dengan adanya dukungan sosial dari
orang-orang terdekat maka akan memberikan semangat pada individu
yang sedang mengalami masalah. Dalam hal ini, ketiga subjek sama-sama
mendapatkan dukungan dari orang tua maupun teman-teman terdekat
mereka untuk menghadapi keadaan adiknya yang berkebutuhan khusus.
“Ngasih pengertian kan adiknya beda dari yang lainnya jadinya
harus sabarnya nggak sabarnya cuma harus di lebihke gitu lho
sabarnya.” (SLS, 484-486)
“Ya yang sabar aja gitu kan adikmu kan yo gitu.” (ACS, 437-438)
“Iya mbak. Papa selalu nasehat aku buat selalu sabar, mama juga
kadang suka bilangin aku nggak usah terlalu dipikirin gitu. Kalau
23
temen-temen paling sahabat deketku aja mbak. Nggak semuanya..”
(LSS, 265-269)
PEMBAHASAN
Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan stress dan tekanan,
karena perubahan fisik dan hormon. Salah satu kebutuhan remaja yang paling
penting namun juga kerap menimbulkan ketegangan adalah kemampuannya
dalam mengelola emosi. Remaja yang dapat mengendalikan emosinya dapat
mendatangkan kebahagiaan bagi mereka, hal ini dinyatakan oleh Garrison (dalam
Mappiare, 2003) bahwa kebahagiaan seseorang dalam hidup ini bukan karena
tidak adanya bentuk-bentuk emosi dalam dirinya, melainkan kebiasaannya
memahami dan menguasai emosi. Anak yang memiliki saudara kandung
berkebutuhan khusus akan memiliki jenis hubungan yang berbeda dengan mereka
yang tidak memiliki gangguan. Biasanya pada saudara kandung yang tidak
mengalami gangguan (normal) banyak mengalami kesulitan dan merasa emosi
dalam berinteraksi dengan anak yang berkebutuhan khusus tersebut.
Lebih dari itu, saudara sekandungnya mungkin harus bisa mengatasi
perubahan dalam peran, struktur, dan aktivitas keluarga. Saudara kandung tersebut
selalu merasa bersalah dan malu, kehilangan perhatian orang tua, dan adanya
peningkatan beban tanggung jawab kepada orang tua untuk selalu bersedia dan
meluangkan waktunya untuk dapat merawat dan membantu saudaranya yang
berkebutuhan khusus, yang mana mungkin saja bisa mempengaruhi kesejahteraan
atau kesehatan diri mereka sendiri. Terlebih lagi apabila usia mereka masih
remaja, mereka harus bisa menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
24
Sebagai seorang yang sedang berkembang, melalui masa remajanya, adanya
tingkat konflik yang tinggi dapat mengurangi keakraban didalam sebuah
hubungan antar saudara kandung, yang mungkin akan berkembang menjadi lebih
baik ataupun menjadi lebih buruk, yang terjadi selama periode remaja awal
sampai remaja akhir.
Di usia remaja, kemampuan untuk mengelola emosi belum berkembang
secara matang. Hal ini membuat remaja yang memiliki saudara kandung
berkebutuhan khusus (tunagrahita) cenderung untuk mengikuti emosinya dalam
berbagai tindakan. Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002) menggambarkan
regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses-proses ekstrinsik dan
intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang
intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan. Ini berarti apabila seseorang
mampu mengelola emosi-emosinya secara efektif, maka ia akan memiliki daya
tahan yang baik dalam menghadapi masalah. Mengingat labilnya emosi pada saat
remaja, maka salah satu aspek penting dalam perkembangan emosi adalah
kemampuan remaja untuk mengatur emosi.
Ketiga subjek lebih sering meregulasikan emosi mereka dengan
menggunakan strategi regulasi emosi pemilihan situasi (situation selection) dan
penyebaran perhatian (attention deployment). Menurut Gross (2007), strategi
situation selection ini adalah tindakan mendekati atau menghindari orang atau
situasi berdasarkan dampak emosional yang mungkin muncul. Situation selection
ini bisa dilakukan oleh diri sendiri (intrinsik) atau oleh orang lain (ekstrinsik).
Subjek I dan subjek II memiliki kesamaan, dimana keduanya akan tetap
25
mendekati dan menjaga adiknya yang berkebutuhan khusus walaupun dalam
keadaan emosi dikarenakan situasi yang mengharuskan mereka melakukan hal
tersebut. Berbeda dengan subjek III, ketika mengalami emosi ia akan memilih
untuk menghindari adiknya yang menimbulkan emosi. Attention deployment
merupakan cara bagaimana individu mengarahkan perhatiannya di dalam sebuah
situasi untuk mengatur emosinya. Attention deployment bisa dianggap sebagai
versi internal dari situation selection (Gross, 2007). Biasanya untuk mengalihkan
perhatian dari situasi yang tidak menyenangkan, ketiga subjek memilih fokus
pada aktivitas yang mereka sukai. Seperti kebanyakan remaja pada umumnya,
ketiga subjek akan melakukan aktivitas-aktivitas seperti bermain HP untuk
sekedar chatting dengan teman-temannya atau membuka aplikasi yang mereka
sukai, menonton TV/film dan mendengarkan musik. Attention deployment
memiliki banyak bentuk, seperti distraksi yang melibatkan fisik misalnya
menutupi mata atau telinga, mengarahkan kembali perhatian internal misalnya
melalui pengalihan perhatian atau konsentrasi, dan merespon kembali distraksi
yang sebelumnya telah dilakukan orang lain.
Strategi regulasi emosi yang kedua menurut Gross (2007) yaitu perubahan
situasi (situation modification), merupakan usaha yang secara langsung dilakukan
untuk memodifikasi situasi agar efek emosinya teralihkan. Modifikasi ini
misalnya dapat dilakukan oleh hadirnya individu lain misalnya teman, orangtua
dan tindakan atau intervensi dari individu tersebut. Subjek I dan III mengubah
lingkungannya dengan cara memilih untuk bersenang-senang dengan teman-
temannya dan tidak mengingat masalah yang membuat mereka sedih sehingga
26
dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Namun berbeda pada
subjek II, ia akan berusaha bertahan dalam kondisi yang dihadapi dengan
memodifikasi situasi yang terjadi yaitu dengan mengerjakan pekerjaan rumah.
Gross (2007) mengakui bahwa memang ada ketidakjelasan istilah “situasi” dalam
hal ini. Terkadang, sulit dibedakan antara situation selection dan situation
modification. Hal ini dapat terjadi karena usaha untuk memodifikasi situasi bisa
dengan mudah memicu keberadaan sebuah situasi baru.
Perubahan cara seseorang dalam menilai situasi ketika berada dalam
situasi yang bermasalah untuk mengubah signifikansi emosinya, baik dengan cara
mengubah cara berpikir mengenai situasi tersebut atau mengenai kemampuan
untuk mengatur tuntutan-tuntutannya merupakan definisi dari istilah perubahan
kognitif (cognitive change). Salah satu aplikasi umum dari cognitive change
adalah menghubungankan masalah dengan ranah sosial seperti membandingkan
situasi yang dialami sekarang dengan situasi orang yang kurang mampu, dengan
demikian dapat mengubah penilaian dan menurunkan emosi negatif (Gross,
2007). Dalam kasus ini, ketiga subjek mampu mengubah cara berpikir mereka
menjadi lebih positif untuk mengurangi dampak dari emosi. Mereka berpikir
bahwa kondisi adiknya yang berkebutuhan khusus (tunagrahita) merupakan
sebuah cobaan dari Tuhan yang harus diterima. Bagaimanapun kondisi adiknya
saat ini, ketiga subjek berusaha untuk tetap menerima dengan ikhlas.
Dalam menghadapi permasalahan emosi, ketiga subjek dengan adik
kandung yang berkebutuhan khusus (tunagrahita), mereka mendapatkan dukungan
sosial dari orang tua maupun teman-teman dekatnya. Menurut Karren (dalam
27
Widyasari, 2014) dukungan sosial merupakan sejauh mana kebutuhan sosial dasar
seseorang terpenuhi melalui interaksi dengan orang lain yang bertujuan untuk
membantu menyelesaikan suatu masalah. Hubungan yang terjalin tersebut bagi
penerimanya akan memberi manfaat adanya kesempatan untuk keintiman
bersama, perasaan dihargai, memiliki dukungan informasi dari orang lain dan
memiliki akses ke bantuan secara materi. Ketiga subjek mengaku dengan adanya
dukungan sosial dari orang-orang terdekat membuat mereka lebih tenang dan
mampu mengatur emosinya. Senada dengan yang diungkapkan oleh Kappas
(dalam Widyasari, 2014) berpendapat bahwa regulasi emosi dipengaruhi oleh
proses-proses sosial. Meskipun emosi terjadi dalam diri orang tersebut ternyata
dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial seseorang. Emosi dari satu orang dapat
memengaruhi emosi orang lain dan karenanya orang lain berfungsi sebagai sarana
dalam regulasi emosi. Sehingga regulasi emosi ada pada diri seseorang akan
berjalan seiring dengan hubungan sosial yang terjadi dengan orang-orang
disekitar. Dalam sebuah lingkungan sosial, Garnefski (dalam Widyasari, 2014)
mengemukakan bahwa emosi seseorang dapat diatur dengan mencari akses
hubungan dengan seseorang secara interpersonal dan dukungan secara material
sehingga dapat menghasilkan respon perilaku yang tepat. Hal ini dapat dimaknai
bahwa dengan adanya kedekatan emosional dengan orang lain akan menjadi dasar
bagi individu untuk mengatur emosi yang dimiliki sehingga dapat berperilaku
tepat pada sebuah situasi.
28
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa emosi yang paling sering muncul pada
situasi yang dialami remaja dengan saudara kandung berkebutuhan khusus
(tunagrahita) adalah khawatir, marah, sedih, sebal, dan cemburu. Regulasi emosi
setiap subjek berbeda-beda tergantung pada situasi yang dialami subjek tersebut.
Secara garis besar ketiga subjek menggunakan strategi regulasi emosi pemilihan
situasi (situation selection), perubahan situasi (situation modification),
penyebaran perhatian (attention deployment), dan perubahan kognitif (cognitive
change). Namun, pada kasus ini ketiga subjek cenderung tidak banyak
menggunakan strategi emosi yang terakhir yaitu perubahan respon (response
modulation).
Dukungan dari diri sendiri (internal) maupun orang lain (eksternal) sama-
sama dibutuhkan oleh remaja yang memiliki saudara kandung berkebutuhan
khusus (tunagrahita) untuk melakukan regulasi emosi dengan baik. Dukungan dari
internal dapat diterjemahkan sebagai motivasi dari diri sendiri untuk
meregulasikan emosi mereka sedangkan dukungan dari eksternal dapat berupa
saran atau bantuan yang diberikan oleh orang-orang yang ada di lingkungan
remaja tersebut.
Setelah melakukan regulasi emosi, remaja biasanya akan merasa lebih
tenang, lebih lega, dan menjadi lupa akan rasa sedih yang dialaminya. Perasaan
tersebut biasanya didapatkan setelah remaja melakukan hal-hal yang
29
menyenangkan menurut mereka dan mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan
permasalahan yang dialami.
SARAN
1. Saran Teoritis
a. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian dibidang
kajian yang sama, disarankan untuk memperdalam teori penelitian
dan menyusun panduan yang lebih terstruktur.
b. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meningkatkan jumlah
subjek penelitian serta menambah waktu wawancara sehingga hasil
yang diperoleh lebih detail dan bervariasi.
2. Saran Praktis
a. Bagi remaja yang memiliki saudara kandung berkebutuhan khusus
(tunagrahita) dapat berupaya melakukan peningkatan diri dengan
mengembangkan sikap jiwa kesabaran, mengelola diri, serta
mampu mengatur emosi sehingga dapat menjalin hubungan sosial
dengan baik.
b. Bagi orang tua, perlu memberikan dukungan sosial untuk anaknya
yang masih remaja maupun anaknya yang berkebutuhan khusus
(tunagrahita) sehingga penyesuaian diri dan perkembangan
emosinya dapat berkembang secara baik dan optimal.
30
DAFTAR PUSTAKA
Anggreiny, N. (2014). Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) untuk
meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.
Tesis (tidak diterbitkan). Magister Psikologi Profesi Kekhususan Klinis
Anak. Universitas Sumatera Utara.
Arifprawira, F. (2014). Hubungan antara persepsi pola asuh orang tua dengan
strategi regulasi emosi pada remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas
Psikologi. Universitas Bina Nusantara Malang.
Astuti, Y.A . (2013). Hubungan antara dukungan sosial dengan coping strategy
pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita (studi korelasional
pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti
Kota Bandung). Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultasi Psikologi.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Chaplin, C.P. (2001). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Desiningrum R. D. (2016). Psikologi anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta:
Psikosain.
Faridh, R. (2008). Hubungan antara regulasi emosi dengan kecendrungan
kenakalan remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi.
Universitas Islam Indonesia.
Goleman, D. (2006). Emotional intelligence: Kecerdasan emosional, mengapa EI
lebih penting daripada IQ. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama.
Gross, J.J. (2007). Handbook of emotion regulation. New York: The Guilford
Press.
Hamidi. (2004). Metode penelitian kualitatif: Aplikasi praktis pembuatan
proposal dan laporan penelitian. Malang: UMM Press.
Ismail, U.A (2012). Al-Quran dan kesejahteraan sosial, sebuah rintisan
membangun paradigma sosial islam yang berkeadilan dan
berkesejahteraan. Tangerang: Lentera Hati.
Kostiuk, L.M., dan Fouts. G.T. (2002). Understanding of emotions and emotion
regulation in adolescent females with conduct problems : A qualitative
report. https://nsuworks.nova.edu/tqr/vol7/iss1/1/. Diakses tanggal 20
Juli 2018.
Mappiare, A. (2003). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Mediadiknas.go.id. (2008). Metodologi penelitian.
http://www.media.diknas.go.id. Diakses tanggal 1 Agustus 2018.
Moleong, L. J. (2002). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
31
Octaviana, A. (2017). Hubungan antara kestabilan emosi dengan pembelian
impulsif pada mahasiswi. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi.
Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengetahuan dan Pendidikan
Psikologi (LPSP3).
Rofantina. (2016). Hubungan antara regulasi emosi dan religiusitas dengan
resiliensi pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB C YPSLB
kerten surakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Kedokteran.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Safaria, T. & Saputra, E. (2009). Manajemen emosi: sebuah panduan cerdas
bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup anda. Jakarta: Bumi
Aksara.
Salamah, A. (2012). Gambaran emosi dan regulasi emosi pada remaja yang
memiliki saudara kandung penyandang autis. Skripsi (tidak diterbitkan).
Fakultas Psikologi. Universitas Gunadarma.
Santoso, S. (2008). Modul 10 kepribadian & emosi. Jakarta: Universitas Mercu
Buana.
Santrock, J.W. (2012). Life-span development : Perkembangan masa hidup.
Jakarta: Erlangga.
Sufahriani. (2008). Subdit PRSPC mental, fisik & mental. Artikel.
Suharmini, T (2009). Psikologi anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: Kanwa
Publisher.
Syarif, R.F. (2016). Hubungan antara dukungan sosial dengan regulasi emosi pada
penderita diabetes mellitus di komunitas prolanis (Program Penyuluhan
Penyakit Kronis). Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi.
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Tias, A.R. (2014). Hubungan persaudaraan pada remaja yang saudara kandungnya
penyandang autisme. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru.
Widyasari, D.J. (2014). Hubungan antara regulasi emosi dan dukungan sosial
keluarga dengan kecemasan menghadapi menopause pada wanita di
kecamatan ngawi. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Kedokteran.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Wulandari, R. (2016). Perbedaan tingkat pengendalian emosi antara remaja yang
tinggal di desa dan yang tinggal di kota. Skripsi (tidak diterbitkan).
Fakultas Psikologi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.