refrat foto thoraks - word (1)
DESCRIPTION
radiologiTRANSCRIPT
REFERAT
GAMBARAN RADIOLOGI FOTO TORAKS PADA PENYAKIT
PARU
Oleh:
Afrizal Tri Heryadi G99142074
Irvan Raharjo G99142075
Annisa Permatasuhdan A. G99142076
Arina Setyaningrum G99142077
Elisabeth Dea Resitarani G99142078
Pembimbing:
Prof. Dr. Suyono, dr., Sp.Rad (K)
KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
0
BAB I
PENDAHULUAN
Paru (pulmo) adalah organ yang berperan penting dalam sistem respirasi
yang berada dalam rongga toraks. Pulmo dilapisi oleh 2 membran yang disebut
pleura yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis. Pulmo terbagi menjadi pulmo
dextra (kanan) dan pulmo sinistra (kiri).
Respirasi adalah suatu usaha tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 untuk
proses metabolisme dan mengeluarkan CO2 sebagai hasil metabolisme dengan
perantara organ paru dan saluran napas bersama kardiovaskuler sehingga
dihasilkan darah yang kaya oksigen. Kerusakan atau kelainan pada sistem
respirasi, terutama yang melibatkan organ paru akan menyebabkan terganggunya
faal pernapasan. Keursakan atau kelainan paru dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Terganggunya organ paru sebagai bagian dari sistem respirasi dapat berupa
gangguan ventilasi, gangguan difusi dan gangguan perfusi sesuai dengan tahapan
proses pernapasan.
Gangguan ventilasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kelainan restriksi
dan obstruksi. Kelainan restriksi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor,
yaitu kelainan para parenkim paru, pleura maupun kelainan pada struktur anatomi
dinding dada/tulang. Kelainan yang terjadi pada berbagai macam struktur yang
ada di cavum thoracis dapat menyebabkan paru tidak bisa mengembang dengan
sempurna sehingga dapat terjadi kegagalan napas. Terhambatnya aliran udara
yang masuk oleh karena obstruksi juga dapat menyebabkan terganggunya proses
ventilasi sehingga dapat menyebabkan kegagalan pernapasan oleh karena
terhambatnya aliran oksigen yang masuk ke dalam tubuh.
Selain itu, hal yang menyebabkan oksigen tidak dapat masuk dan dipakai
oleh tubuh adalah karena terjadinya gangguan difusi yang menghalangi pertukaran
gas di alveolus. Sebab dari gangguan difusi ada berbagai macam, diantaranya
pneumonia dan edema paru.
Dewasa ini, ada berbagai pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
untuk membantu diagnosis pada kelainan paru. Pemeriksaan radiografi thoraks
1
atau sering disebut chest x-ray (CXR) bertujuan menggambarkan secara radiografi
organ pernafasan yang terdapat di dalam rongga dada. Teknik radiografi thoraks
terdiri dari bermacam-macam posisi yang harus dipilih disesuaikan dengan
inidikasi pemeriksaan. Foto thoraks digunakan untuk mendiagnosis banyak
kondisi yang melibatkan dinding thoraks, tulang thoraks dan struktur yang berada
di dalam cavitas thoracis termasuk paru-paru, jantung dan saluran-saluran yang
besar.
Foto thoraks dianggap sebagai modalitas yang pertama dilakukan dalam
diagnosis kelainan thoraks seperti infeksi, trauma dan abnormalitas congenital.
Gambaran yang dapat terlihat pada foto thoraks antara lain adalah cavitas, nodul,
fibrosis serta abnormalitas pleura yang masing-masing ditampilkan dalam suatu
bayangan opaque atau lusen dalam suatu film foto. Masing-masing kelainan paru
mempunyai kriteria gambaran foto thoraks yang khas sehingga diagnosis dapat
dilakukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI THORAKS
1. Cavitas Thoracis:
Atap dari cavitas thoracis dibentuk oleh membrana suprapleural,
sedangkan dasarnya adalah dari diafragma. Dindingnya terdiri dari tulang
dan otot yang melingkupinya. Tulang yang termasuk dalam tulang penyusun
dinding thorax antara lain: 12 vertebrae thoracica, 12 costae dan
cartilagonya, serta sternum.
a. Costae
Terdapat 12 pasang costae, yaitu 7 costae vera, 3 costae spuria dan
2 costae fluctuantes. Terkadang seorang individu hanya mempunyai 11
pasang costae.
Gambar 1. Costae Tipikal
3
Gambar 2. Costae 1
b. Sternum
1) Terdiri dari 3 bagian utama, yaitu manubrium, corpus, dan processus
xiphoideus.
2) Manubrium sterni berada setinggi VTh III dan VTh IV, bangunan ini
bersendi dengan clavicula dan 1 ½ cartilago costae.
3) Angulus sterni, merupakan bangunan yang dibentuk oleh manubrium
sterni dengan corpus sterni, berada setinggi discus VTh IV/V.
4) Corpus sterni berada setinggi VTh V-IX.
5) Processus xiphoideus, merupakan bangunan yang tersusun atas
cartilago.
Gambar 3. Sternum
c. Gambaran radiologis:
1) Variasi normal: sering terdapat pada costae bagian atas, terutama
costae 1
2) Pada foto thorax PA, sulcus subcostalis nampak sebagain garis tegas
dibawah costae, terutama pada bagian posteriornya (sering disalah
artikan dengan periosteal reaction atau pneumothorax)
3) Bagian yang lebih prominen seringkali dilihat pada costae 2 pada
pemeriksaan foto radiologis, yang seringkali simetris antara kanan dan
4
kiri, hal ini disebabkan karena adanya insersio dari musculus scalenus
anterior.
4) Cartilago costae, terutama cartilago costalis 1 sering mengalami
proses kalsifikasi atau ossifikasi pada dewasa muda.
5) Costae cervicalis, merupakan pemanjangan dari bagian processus
transversus VC VII yang kadang terdapat pada 1-2% manusia.
6) Costae lumbalis, disebabkan karena terjadinya kegagalan fusi antara
processus transversus dengan corpus vertebrae.
7) Pada sternum perlu diperhatikan adanya pectus excavatum (depresi
pada bagian lower end) dan pectus carinatum (prominensia pada
midportion).
(Smithuis & Delden, 2013)
Gambar 4. Sulcus subcostalis yang nampak jelas dibawah costae 2 kiri (mata
panah).
Perhatikan tuberositas scaleni pada costae 1 (anak panah)
5
Gambar 5. Gambaran prominen pada permukaan atas costae 2 karena insersi
m.scalenus anterior
Gambar 6. Costae cervicalis (anak panah)
2. Diaphragma
Diaphragma merupakan jaringan fibromuskular yang berada pada
dasar cavum thorax. Terdapat beberapa bagian, yang terdiri dari bagian
6
vertebral, costal, sternal dan bagian tengah yang disebut sebagai centrum
tendineum.
Berikut adalah lubang-lubang yang ada pada diaphragma:
a. Hiatus aorticus: dilewati oleh aorta descenden, setinggi VTh XII
b. Hiatus oesophagei: dilewati oleh N.X dan oesophagus, setinggi VTh X
c. Foramen vena cavae: dilewati oleh vena cava inferior, setinggi VTh VIII
Diaphragma mendapat suplai darah dari arteri phrenica inferior,
cabang dari aorta abdominalis, sedangkan pada margo costalis diaphragma
mendapat darah dari arteriae intercostalis. Diaphragma diinervasi oleh
nervus phrenicus dextra et sinistra yang berasal dari segmen C3-C5 sebagai
komponen motorik, dan sensorik oleh nervus phrenicus (pada bagian
central) dan oleh nervus intercostalis (pada bagian perifernya).
Gambar 7. Diaphragma
Gambaran radiologis:
a. Titik tertinggi dari dome diaphragma kanan adalah pada costa 6 anterior.
Patokan costa anterior lebih akurat dipakai daripada costa posterior,
karena dome diaphragma lebih dekat dengan costa anterior dan film
(pada proyeksi PA) sehingga distorsi gambar lebih sedikit.
b. Dome diaphragma kanan lebih tinggi sekitar 2 cm daripada dome
diaphragma kiri, tapi terkadang bagian kiri bisa lebih tinggi dari bagian
kanan pada orang normal, terutama saat ada gas pada colon.
7
c. Rentang pergerakan diaphragma pada saat respirasi adalah sebagai
berikut:
1) Respirasi biasa: 1cm
2) Inspirasi/ekspirasi dalam: 4 cm
d. Tinggi dome diaphragma pada garis yang diambil dari hubungan sinus
costophrenicus dan cardiophrenicus adalah 1,5 cm.
3. Pleura
Pleura adalah membran serous terdiri dari 2 bagian, yaitu pars
visceralis (yang melingkupi pulmo) dan pars parietalis (yang melingkupi
cavitas thoracis dan mediastinum). Kedua bagian ini terpisah oleh suatu
ruangan yang disebut sebagai cavum pleura. Pada bagian hilum pulmo,
kedua bagian ini menyatu sebagai ligamentum pulmonum.
Gambar 8. Pleura: (A) Dilihat dari anterior; (B) Dilihat dari posterior
Gambaran radiologis :
Pada gambaran foto thorax normal, pleura terlihat hanya ketika
proyeksinya berada tangensial terhadap sinar dan jika ada lemak ataupun
udara pada tiap sisinya.
8
4. Trachea dan Bronchus
a. Trachea
Trachea bermula pada margo inferior dari cartilago cricoid pada
level C6, kemudian melanjutkan diri ke carina pada level angulus sterni
(setinggi T5, atau T4 pada inspirasi dan T6 pada ekspirasi). Trachea
mempunyai panjang 15 cm dan berdiameter 2 cm, terdiri dari 15-20
cartilago annulare.
Hubungan trachea dengan organ lain:
1) Anterior :
a) Isthmus thyroid pada cartilago ke 2, 3 dan 4
b) Vena thyroidea inferior
c) M. Sternothyroid dan m sternohyoid
2) Posterior :
- Oesophagus dan n.laryngeus reccurent
3) Lateral :
a) Lobus glandula thyroid
b) Artery carotis communis
Bagian atas dari trachea divascularisasi oleh arteri thyroidea
inferior, dan bagian bawahnya divascularisasi oleh arteri bronchialis.
Drainase vena ke plexus venosus thyroidea inferior.
Gambar 9. Trachea dan bronchus principalis
9
b. Bronchus principalis
Bronchus principalis merupakan terusan dari trachea yang berpisah
pada bifurcatio trachealis. Bronchus principalis terdiri dari 2 cabang,
cabang yang kanan disebut sebagai bronchus eparterialis dan cabang
yang kiri disebut sebagai bronchus hyparterialis. Bronchus kanan lebih
pendek dan lebih lebar dari bronchus kiri, sehingga lebih sering terjadi
pneumonia pada bagian ini.
5. Pulmo
Mempunyai 3 facies, yaitu facie costalis, facies mediastinalis, dan
facies diaphragmatica. Pulmo dexter mempunyai 3 lobus, sedangkan pulmo
siniester mempunyai 2 lobus dengan lingula pada lobus superior yang
merupakan homolog dengan lobus medial pulmo dexter.
a. Fissura interlobaris:
1) Fissura oblique (major)
Merupakan fissura yang terdapat pada kedua pulmo. Berasal dari
posterior T4/T5, ke anteroinferior diaphragma.
2) Fissura transversalis (minor)
Memisahkan lobus superior dan lobus medial pulmo dexter. Berasal
dari daerah hillum, menuju ke permukaan anterior dan lateral dari
pulmo dexter setinggi cartilago costalis ke 4.
b. Arteri pulmonalis:
Arteri pulmonalis kanan lebih panjang daripada yang sebelah kiri.
Arteri ini berjalan melalui garis tengah dibawah carina dan menuju
bagian anterior dari bronchus principalis dexter. Arteri ini bercabang
ketika masih di hillum pada pulmo dexter. Arteri pulmonalis kiri melekat
pada bagian arcus aorta melalui ligamentum arteriosum.
10
Gambar 10. Arteri Pulmonalis
c. Vena pulmonalis :
Vena pulmonalis tidak mengikuti pola perjalanan bronchus, namun
mengikuti septum intersegmentalis. 2 vena berjalan pada tiap hillus
pulmo dexter dan sinister.
d. Arteri bronchialis :
Arteri bronchialis menyuplai bronchus, pleura visceralis, dan
jaringan pengikat pulmo. Arteri ini merupakan cabang dari aorta pars
thoracalis pada level T5 atau T6.
e. Vena bronchialis :
Terdiri dari 2 sistem yang terpisah. Sistema yang pertama berasal
dari jaringan vena prrofunda disekitar daerah interstitial pulmo dan
berhubungan secara bebas dengan vena pulmonalis. Sistema yang kedua
berasal dari jaringan vena superficial yang berhubungan dengan sistema
vena azygos.
f. Hillus pulmonalis :
Hillus pulmonalis dibentuk oleh struktur yang keluar masuk dan
bersatu pada daerah facies mediastinalis pulmo. Hillus pulmonalis berada
pada level T5-T7. Hillus pulmonalis kanan terletak dibawah arcus dari
vena azygos dan terletak posterior dari vena cava superior dan atrium
dextrum. Hillus pulmonalis kiri terletak dibawah arcus aorta dan terletak
anterior terhadap aorta descendens.
11
Gambar 11. Hillus pulmonalis
Gambaran Radiologis:
1) Trachea terlihat sebagai seperti tabung pada daerah tengah leher dengan
translusensi berdiameter 1,5 – 2 cm. Terdapat indentasi halus yang sering
terlihat yang terletak pada percabangan trakhea sebelah kiri, hal ini
disebabkan karena adanya arcus aorta.
2) Bronchus terkadang sulit terlihat pada foto polos. Bronchus principalis
dexter terlihat lebih vertical daripada bronchus principalis sinister.
3) Truncus pulmonalis membentuk bagian pinggir kiri dari cor. Arteri
interlobaris terlihat pada sebelah lateral bronchus intermedius kanan.
Bronchus dan arteri terlihat bersamaan keluar dari daerah hillar.
6. Mediastinum
Mediastinum merupakan ruangan di antara pulmo dextra dan sinistra
beserta pleuranya. Mediastinum dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
superior, media, anterior, dan posterior. Mediastinum superior terletak di
atas garis imaginer yang ditarik dari batas bawah vertebra thoracica 4 ke
angulus sternum. Di bawah garis tersebut terdapat mediastinum anterior,
media, dan posterior. Mediastinum anterior terletak antara sternum dan
bagian anterior dari cor. Mediastinum posterior terletak antara bagian
posterior dari cor dengan vertebra thoracica dan meluas ke bawah di bagian
posterior dari diafragma dan memanjang ke bagian posterior dari diafragma.
12
Gambar 12. Pembagian Mediastinum
Di mediastinum superior terdapat arcus aorta dan cabang-cabangnya,
vena brachicephalica dan vena cava superior, trachea, oesophagus, duktus
thoracicus, limfonodi, dan saraf. Pada mediastinum anterior terdapat
thymus, pembuluh darah mammaria, limfonodi. Pada mediastinum posterior
terdapat aorta descendens, oesophagus, sistem vena azygos, duktus
thoracicus dan limfonodi paraaorta, oesophageal dan paraspinal. Pada
mediastinum media terdapat cord an pericardium, nervus, limfonodi dan
pembuluh darah besar.
7. Cor
Cor berbentuk pyramidal dan terletak oblique di rongga thoraks.
Atrium sinistrum membentuk basis dari bagian posterior. Atrium dextrum
membentuk tepi kanan cor. Bagian apeks dan tepi kiri jantung dibentuk oleh
ventrikel sinister. Ventrikel dexter membentuk bagian anterior dari cor. Cor
berada pada bagian dalam mediastinum, disitu cor diselimuti oleh lapisan
fibrosa yang disebut sebagai pericardium. Pericardium dibedakan menjadi 2
macam, yaitu pericardium fibrosum dan pericardium serosum, kedua lapisan
ini dipisahkan oleh suatu ruangan potensial yang disebut sebagai cavum
pericardii. Pericardium pada cor melekat erat dengan bagian centrum
tendineum dari diaphragma.
13
Gambar 13. Cor
Gambaran radiologis :
Gambar 14. Posisi ruang jantung pada foto polos proyeksi PA
14
Gambar 15. Posisi katup jantung pada gambaran foto polos
Gambar 16. Posisi katup jantung pada proyeksi lateral
B. FOTO THORAKS NORMAL
15
Gambar 17. Foto thoraks normal wanita Gambar 18. Foto thoraks normal pria
Kriteria kelayakan foto thorax
Foto thorax normal :
1. Kondisi
a. Kondisi Pulmo
1) Kondisi cukup : kondisi standar pada foto thorax, sehingga gambaran
parenkim dan corakan vascular dapat terlihat. Kondisi foto thorax
cukup, bila pada posisi PA: tampak vertebra thoracalis 1-4
2) Kondisi kurang : Posisi PA tak tampak sampai vertebra thoracalis 4
3) Kondisi keras : Posisi AP tampak lebih dari vertebra thoracalis 4
b. Kondisi Costa (kondisi keras/tulang)
Pada posisi PA kondisi keras dapat terlihat vertebra thoracalis 1-12
2. Inspirasi
Foto thorax dibuat pada kondisi cukup. Cara mengetahui keadaan
inspirasi cukup :
a. Bila dilihat pada costa anterior (bentuk huruf V) costa 6 memotong dome
diafragma
b. Bila dilihat pada costa posterior (bentuk huruf A), diafragma setinggi
vertebra thoracalis 10
3. Posisi
Pada foto thorax standar yang paling banyak adalah posisi PA dan
lateral
4. Simetris
Jarak sendi sternoclavicularis dextra dan sinistra terhadap line
medialis pada garis yang terbentuk dari bayangan processus spinosus
vertebra thoracalis sama
16
5. Foto thorax tidak boleh terpotong
Secara utuh foto thorax harus tampak : sinus costophrenicus dextra
dan sinistra, diafragma dextra et sinistra, dinding thorax dextra et sinistra,
seluruh lapang paru terlihat (Smithuis & Delden, 2013).
C. PENYAKIT-PENYAKIT PARU
1. Tuberculosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2006).
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratorik di antaranya adalah batuk ±2 minggu,
batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala sistemik meliputi demam,
malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun (PDPI, 2006).
Pemeriksaan standar penyakit tuberkulosis ialah foto toraks PA.
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodula
Bayangan bercak milie
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung)
(PDPI, 2006).
17
Klasifikasi TB paru berdasarkan gambaran radiologis adalah
Tuberkulosis Primer dan Tuberkulosis sekunder. Kelainan foto toraks pada
tuberkulosis primer ini adalah adalah limfadenopati, parenchymal
disease, miliary disease, dan efusi pleura. Pada paru bisa
dijumpai infiltrat dan kavitas (Rasad et al, 2015).
18
Gambar 2. Tuberkulosis dengan komplek primer (hanya hilus kiri
membesar). Foto toraks PA dan lateral
Gambar 3. Tuberkulosis disertai komplikasi pleuritis eksudatif dan
atelektasis - Pleuritis TB
19
Tuberkulosis sekunder atau tuberkulosis reinfeksi memiliki ciri
terdapat kavitas. Bercak infiltrat yang terlihat pada foto rontgen biasanya di
lapangan atas dan segmen apikal lobus bawah (Burril et al, 2007).
Gambaran 5. Tubekulosis dengan kavitas
20
Ada beberapa bentuk kelainan yang dapat dilihat pada foto rontgen, antara
lain :
Sarang eksudatif, berbentuk awan atau bercak-bercak yang batasnya
tidak tegas dengan densitas rendah.
Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas
dan densitasnya sedang.
Sarang induratif atau fibrotik, yaitu berbentuk garis-garis berbatas tegas,
dengan densitas tinggi.
Kavitas atau lubang
2. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru di mana proses
peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang
berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.
Bakteri spenyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza (Padley&Rubens,
2003).
Biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Pada bayi bisa disertai dengan hidung tersumbat,
rewel serta nafsu makan yang menurun. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39oC atau lebih. Anak sangat gelisah, dispnea. Kesukaran bernafas
yang disertai adanya sianosis di sekitar mulut dan hidung. Tanda kesukaran
bernafas ini dapat berupa bentuk nafas berbunyi (ronki dan friction rub di
atas jaringan yang terserang), pernafasan cuping hidung, retraksi-retraksi
pada daerah supraklavikuler, interkostal dan subkostal. Pada awalnya batuk
jarang ditemukan, tapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut
serta sputum yang berwarna seperti karat. Lebih lanjut lagi bisa terjadi efusi
21
pleura dan empiema, sehingga perlu dilakukan torakosentesis sesegera
mungkin (Padley&Rubens, 2003).
Hasil pemeriksaan fisik tergantung dari luas daerah yang terkena.
Pada perkusi bisa ditemukan adanya suara redup yang terlokalisasi. Pada
auskultasi mungkin ditemukan adanya ronki basah halus ataupun adanya
suara-suara pernafasan yang melemah. Tanpa pengobatan biasanya
penyembuhan dapat terjadi sesudah 2 – 3 minggu (Padley&Rubens, 2003).
Pemeriksaan foto thoraks pada Bronkopneumonia ditandai dengan
fokus konsolidasi radang yang menyebar menyeluruh pada satu atau
beberapa lobus. Sering kali bilateral dan di basal sebab ada kecenderungan
sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. Pengelompokan fokus
ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florit) yang terlihat sebagai
konsolidasi lobular total. Pada Bronkopneumonia kelainannya berlokasi di
lapang tengah atau bawah paru-paru, dengan batas yang tidak rata, tidak
jelas, atau tegas. Gambaran pada foto thoraks sebagai berikut:
a. Bercak bercak tersebar dan di antaranya masih ada jaringan yang sehat.
b. Bisa terjadi perselubungan ringan pada seluruh paru-paru bagian tengah
dan bawah, mirip dengan gambaran pneumonia.
c. Berawan tipis atau tebal, jika prosesnya sudah meluas terjadi bercak
bercak yang konfluens.
(Robbins&Kumar, 2007)
22
Gambar 1. Bronkopneumonia. Ada bercak konsolidasi yang luas terutama
kedua lobus paru kiri dan lobus bawah paru kanan (Armstrong&Wastie,
1984)
Gambar 2. Bilateral Bronchopneumonia: terlihat densitas berupa bercak-
bercak yang difus di seluruh paru. Bronkopneumonia bisa bilateral, seperti
pada kasus ini, tetapi bisa juga hanya terbatas pada satu bagian paru saja
(Palmer et al, 1995).
3. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan akut parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, atau parasit). Berdasarkan klinis
23
dan epidemiologis pneumonia dibagi menjadi pneumonia komuniti,
nosokomial, aspirasi, serta imunokompromise. Sedangkan berdasarkan
bakteri penyebabnya dibagi menjadi pneumonia bakterial/apikal, atipikal,
virus, atau jamur. Patogenesis pada penyakit. Adanya ketidakseimbangan
daya tahan tubuh dan lingkungan dapat mendukung berkembangnya
mikroorganisme dipermukaan mukosa saluran nafas. Gejala dan tanda yang
bisa ditemukan ialah batuk, perubahan karakteristik dahak/purulen, suhu
tubuh ≥380 C (aksila)/riwayat demam, nyeri dada, sesak napas, suara napas
bronkial dan ronkhi, leukosit ≥10.000 atau <4500.
Untuk menunjang diagnosis selain dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik, juga dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium dan gambaran
radiologis (fibroinfiltrat/air bronkogram). Pengobatan pneumonia terdiri atas
antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik sebaiknya
berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya. Kecuali
pneumonia yang mengancam jiwa atau hasil pemeriksaan kultudapat
diberikan antibiotik secara empiris (PDPI,..).
B
A
C D
24
A. Pneumonia dengan elevasi diafragma; B. Pneumonia;
B. C. Pneumonia interstitial; D. Pneumonia; infiltrat di parahiler dan
paracardial kanan
C. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus irreversible yang terlokalisir,
sering disertai penebalan dinding bronkial. Etiologinya dapat merupakan
bawaan (kongenital) diantaranya struktural (atresia bronkial), abnormalitas
sistem transpor mukosiliar (Kartegener’s); sekresi yang abnormal (cystic
fibrosis); dan gangguan sistem imun. Disamping itu penyebab bronkiektasis
yang didapat diantaranya infeksi masa kanak-kanak, obstruksi distal
bronkus (mucus, benda asing, atau neoplasma), dan ‘Traction
bronchiectasis’ bentuk sekunder dari fibrosis pulmoner. Bentuk
bronkiektasis dapat berupa tubular/silindris, varicose, atau kistik (jenis yang
paling berbahaya).
Gejala yang dapat ditemukan pada penderita bronkiektasis adalah
meningkatnya frekuensi nafas, batuk kronik dengan produksi sputum yang
semakin banyak, hemoptisis, dan infeksi dada rekuren dengan akut
eksaserbasi. Sangat sering ditemukan pada masa kanak-kanak.
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah radiologi. Bronkiektasis paling sering ditemukan pada
segmen posterobasal dari lobus terbawah paru dan 50% bersifat bilateral.
Pada Chest X-ray, bronkus yang dilatasi dan dindingnya menebal
memberikan gambaran kistik dan tram-lining pada sebagian lobus terbawah
paru (Honeycombing). Selain itu dari pemeriksaan HRCT dapat terlihat
25
‘Signet rign’ sign (gambaran dilatasi bronkus disertai arteri yang berukuran
normal).
Fisioterapi postural dengan drainase mukus dapat dilakukan sebagai
tatalaksana bronkiektasis. Selain itu regimen antibiotik profilaksis jangka
panjang dan bronkodilator (untuk infeksi akut dengan bronkospasme) juga
dapat diandalkan (Misra R, 2007).
A B
A. Bronkiektasis (Chest X-Ray); B. Bronkiektasis (HRCT)- C: dilatasi
bronkus; tanda panah: Signet ring sign (Misra R, 2007).
26
Infected Bronkiektasis
4. Edema paru
Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau
serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstitial dan alveolus
paru-paru (Wilson, 1995). Penyebab yang tersering dari edema paru-paru
adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau
stenosis mitralis (Soewondo dan Amin, 1998). Edema paru-paru yang
disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edema paru kardiogenik,
sedangkan edema paru yang disebabkan selain kelainan jantung disebut
edema paru non kardiogenik (Wilson, 1995).
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru
lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura
visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler
endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik
di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan
vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan
tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg)
menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25)
maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010)
27
Ilustrasi radiologi edema paru kardiogenik (Cremers et al., 2010)
dibandingkan dengan gambaran edem paru akut kardiogenik (Koga
dan Fujimoto, 2009). Garis kerley A merupakan garis linear panjang yang
membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran
anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat
sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat
sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum
interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus
inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir
sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
28
Gambaran radiologis edema paru akut kardiogenik pada pasien infark
miokard akut. Terdapat pelebaran peribronchovascular spaces (panah atas
pada gambar) dan septal lines/ garis Kerley B (anak panah bawah) (Ware
dan Matthay, 2005).
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan
alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung.
Walaupun edema paru dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam
tingkatnya yang paling ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang
menakutkan. Terjadinya edema paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh
berbagai sebab, diantaranya: peningkatan permeabilitas kapiler paru
(ARDS), tenggelam, kontusio paru, pneumonia berat, emboli lemak, emboli
cairan amnion (Wilson, 1995).
29
Gambaran radiologis edema paru non-kardiogenik. Terdapat infiltrat
diffuse alveolar (anak panah pada gambar) disertai air bronchogram (Ware
dan Matthay, 2005).
5. Emfisema
Emfisema merupakan pembesaran abnormal yang permanen
bronkiolus distal sampai terminal disertai kerusakan dinding alveolar.
Emfisema merupakan grup proses patologis yang amat luas dan memiliki
pola patologis yang bervariasi, mulai dari subtipe morfologis (sentrilobuler,
panlobuler, paraseptal, parasikatrikal, terlokalisasi), emfisema giant bullous
idiopatik, emfisema lobaris kongenital, sampai emfisema pulmoner
interstitial (Weerakkody dan Danaher, 2012).
Gambaran radiologis emfisema yang paling jelas adalah bula yang
terbentuk bila kerusakan sudah cukup parah. Gambaran emfisema yang lain
berupa hiperinflasi (diafragma mendatar, sela interkostalis melebar) dan
perubahan vaskuler (berkurangnya vaskularisasi, hipertensi arteri
pulmonal). Perlu diingat bahwa gambaran radiologis pada emfisema, yang
merupakan bagian dari penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) seringkali
30
normal dan tidak terdapat kelainan (Collins dan Stern, 2007; Robertson,
1999).
Gambaran radiologis emfisema. Terlihat hiperinflasi disertai melebarnya
sela interkostalis, namun diafragma masih belum mendatar. Corakan
bronkovaskuler yang kasar sesuai untuk PPOK (Collins dan Stern, 2007).
Gambaran radiologis emfisema. Terlihat menghilangnya vaskularisasi
(anak panah) pada giant bullous. Merupakan proses lanjut dari PPOK
(Weerakkody dan Danaher, 2012).
31
6. Abses paru
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paruyang terlokalisir dengan proses supurasi sehingga membentuk kavitas
yang berisipus dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih (Alsagaff et
al., 2005). Kavitas ini berisi materialpurulen sel radang akibat proses
nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi. Biladiameter kavitas < 2
cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)dinamakan
necrotizing pneumonia. Etiologi dari abses paru dapat berupa bakteri
anaerob (karena pneumonia aspirasi), bakteri aerob, jamur, maupun parasit
(Kamangar et al., 2009).
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi,
infeksi kemudian menimbulkan proses supurasi dan nekrosis.
Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari supurasi dan trombosis
pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan likuifikasi.
Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir
proses abses dengan jaringan fibrotik. Seiring dengan membesarnya fokus
supurasi, abses akhirnya akan pecah kesaluran nafas. (Alsagaff et al.,
2005).
Foto dada PA dan lateral pada abses paru ditandai dengan peradangan
di jaringan paru yang menimbulkan nekrosis dengan pengumpulan nanah.
Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran
opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran densitas
homogen yang membulat. Kemudian akan ditemukan gambaran radioluse
dalam bayangan infiltrat yang padat. Abses yang terbentuk dari bahan
nekrotik akan tampak sebagai jaringan lunak sampai terhubung
dengan bronkus. Hubungan ini memungkinkan pengaliran keluar
debris nekrotik. Bahan nekrotik ini akan dibatukkan keluar dan akan
menimbulkan gambaran radiologik berupa defeklusen atau kavitas. Seiring
dengan membesarnya fokus supurasi, abses akhirnya akan pecah ke
32
saluran napas. Oleh karena itu, eksudat yang terkandung
didalamnya mungkin keluar sebagian, dan menghasilkan batas udara air
(air-fluid level) di dalam kavitas pada pemeriksaan radiografik. Nekrosis
akan mengakibatkan hilangnya corakan bronkovaskularnormal yang
diakibatkan oleh dekstruksi hampir seluruh dinding alveoli, septa
interlobularis, dan bronkovaskular pada daerah kavitas. Parenkim
parunormal di sekitarnya bereaksi terhadap jaringan nekrosis ini
dengan membentuk suatu reaksi inflamasi di sekitar bahan nekrotik dengan
edema lokal dan pendarahan. Dinding kavitas dibentuk oleh
infiltrat inflamasi disekitar lesi, edema, perdarahan, dan jaringan paru
normal yang tertekan (Alsagaff et al., 2005; Kamangar et al., 2009).
Gambaran radiologis abses paru. Terdapat area yang memiliki batas tegas
transparan di lobus kiri atas (panah putih pada gambar). Kavitas tersebut
diisi oleh cairan dan udara (air fluid level) (panah hitam pada gambar).
(Kamangar et al., 2009)
33
Gambaran radiologis abses paru. Terlihat kavitas dengan air fluid level.
(Kamangar et al., 2009).
7. Atelektasis
Atelektasis adalah keadaan ketika sebagian atau seluruh paru
mengempis dan tidak mengandung udara (Djojodibroto, 2009). Atelektasis
disebut juga lolapsnya paru atau alveolus. Alveolus yang kolaps tidak
mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas.
Kondisi ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk
proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang. Tidak adanya udara
didalam paru terjadi karena seluruh pernafasan tersumbat sehingga udara
dari bronkus tidak dapat masuk kedalam alveolus, sedangkan udara yang
sebelumnya berada di alveolus diserap habis oleh dinding alveolus yang
banyak mengandung kapiler darah (Corwin, 2009).
Foto Thorax dilakukan dengan posisi PA/Lateral. Foto thorax posisi
lateral bertujuan untuk melihat letak atelektasis, apakah anterior ataukah
posterior agar mempermudah mengetahui lobus paru bagian mana yang
mengalami kolaps. Tanda tanda langsung atelektasis: pergeseran dari fissura
interlobaris, peningktan dentitas, volume paru yang bersangkutan mengecil.
34
Gambaran radiologis atelektasis. Terlihat perselubungan homogen di paru
kiri menutupi batas jantung, diafragma, dan sinus costophrenicus disertai dengan
midline shifting ke kiri (Corwin, 2009).
Gambaran radiologis atelektasis di basal paru kanan (Corwin, 2009).
35
Gambaran radiologis atelektasis di basal paru kiri (Corwin, 2009).
8. Bronkhitis
Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi (ektasis)
bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan
bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding
bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus.
Bronkus yang terkena umumnya bronkus kecil (medium size), sedangkan
bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat memblok aliran udara ke paru-
paru dan dapat merusaknya ( Farida, 2008).
Gejala umum bronkitis akut maupun bronkitis kronik adalah batuk
dengan produksi sputum berwarna bening, putih atau hijau-kekuningan,
dyspnea (sesak napas), gejala kelelahan, sakit tenggorokan, nyeri otot,
hidung tersumbat, dan sakit kepala dapat menyertai gejala utama. Demam
dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau bakteri
(Schiffman, 2004).
Gambaran radiologi yang mendukung adanya bronchitis kronik adalah
ditemukannya gambaran “dirty chest”. Hal ini ditandai dengan corakan
bronkovaskular yang ramai. Gambaran opasitas yang kecil mungkin akan
terlihat pada semua tempat di seluruh lapangan paru namum penilaian
36
gambaran ini bersifat subjektif. Dirty chest terjadi karena infeksi berulang
yang disertai terbentuknya jaringan fibrotik pada bronkus dan
percabangannya, maka corakan bronkovaskular akan terlihat ramai dan
konturnya irregular. Ini merupakan tanda khas bronkitis kronik yang paling
sering ditemukan pada foto thoraks (Corwin, 2009).
Gambaran tramline maupun tubular shadow yang tipis. Tramline
shadow berupa garis parallel akibat penebalan dinding bronkus yang juga
menjadi gambaran khas bronkiektasis. Tubular shadow menunjukkan
adanya bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju basal
paru dari corakan paru yang bertambah (Corwin, 2009).
Gambar 1. Dirty chest
Gambar 2. Adanya gambaran tubular shadow pada bronkitis kronik
37
Gambar 3. Tramline appearance terlihat sepanjang pinggiran bayangan
jantung
Gambar 4. Sisi lapangan paru kiri atas yang diperbesar menunjukkan struktur
bronkovaskuler yang irregular dengan diameter yang bervariasi.
38
Gambar 5. Menunjukkan foto thoraks yang diperbesar dari bagian kiri paru.
Garis yang membujur secara kranio-kaudal adalah batas medial skapula.
Anak panah menunjukkan pola stuktur bronkovaskular dengan pola
irregular.
Gambar 6. Foto thoraks laki-laki yang memilki riwayat merokok lama.
Terlihat adanya corakan bronkovaskular ramai disertai emfisema. Volume
paru tampak membesar, sela iga melebar, dan difragma mendatar.
(Corwin, 2009).
9. Tumor Paru
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari
luar paru (metastasis tumor di paru) (PDPI, 2003).
Klasifikasi Tumor Paru adalah Tumor jinak paru dan tumor ganas
paru. Tumor jinak dapat dibedakan menjadi hamartoma dan kista paru.
Hamartoma merupakan tumor jinak paru yang pertambahan besarnya
berlangsung dengan sangat lambat. Bentuk tumor bulat atau bergelombang
39
(globulated) dengan batas yang tegas. Biasanya ukuran < 4 cm dan sering
mengandung kalsifikasi berbentuk bercak-bercak garis atau gambaran pop
corn (Hudoyo, 2005, Icksan et al, 2008).
Gambar 1. Hamartoma
Terbentuknya kista paru merupakan hiperinflasi udara ke dalam
parenkim paru melalui suatu celah berupa klep akibat suatu peradangan
kronis. Gambaran radiologik memberi bayangan bulat berdinding tipis
dengan ukuran bervariasi. (Hudoyo, 2005, Icksan et al, 2008).
Gambar 2. Kista Paru
Secara garis besar tumor ganas paru atau kanker paru dibagi menjadi 2
bagian yaitu Small Cel Lung Cancer (SCLC) dan Non Small Cel Lung
Cancer (NCLC) (Hudoyo, 2005; Icksan et al, 2008).
Keluhan utama kanker paru dapat berupa batuk dengan / tanpa dahak,
batuk darah, sesak napas, serak, sakit dada, sulit/sakit menelan, benjolan di
40
pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab
lengan dengan rasa nyeri yang hebat. Tidak jarang yang pertama terlihat
adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan
yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah
tulang kaki (PDPI, 2003).
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis,
serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan
radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks,
bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk
menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis (PDPI, 2003).
Gambaran radiologis dari kanker paru dapat berupa : Atelektasis yairy
gambaran perselubungan padat akibat hilangnya aerasi yang disebabkan
sumbatan bronkus oleh tumor, dapat terjadi secara segmental, lobaris, atau
seluruh hemitoraks (Icksan et al, 2008).
Gambar 3. Atelektasis
Pembesaran hilus unilateral. Suatu perbedaan besar hilus antara
kedua hilus atau perbedaan besar hilus dengan foto-foto sebelumnya perlu
dicurigai adanya suatu tumor (Icksan et al, 2008).
41
Gambar 4. Pembesaran hilus unilateral
Emfisema lokal (setempat). Penyumbatan sebagian lumen bronkus
oleh tumor akan menghambat pengeluaran udara sewaktu ekspirasi sehingga
terjadi densitas yang rendah atau emfisema setempat dibandingkan daerah
lain (Icksan et al, 2008).
Kavitas atau abses yang soliter. Suatu kavitas soliter dengan tanda
infeksi perlu dipikirkan suatu karsinoma bronkogen jenis epidermoid.
Biasanya dinding kavitas tebal dan irregular (Icksan et al, 2008).
Gambar 5. Foto Thorax Posisi Lateral, tampak adanya kavitas dengan air-
fluid level yang merupakan karakteristik dari abses paru.
42
Pneumonitis yang sukar sembuh. Peradangan paru sering disebabkan
aerasi yang tidak sempurna akibat sumbatan sebagian bronkus dan
pengobatan dengan antibiotik umumnya tidak memberikan hasil yang
sempurna atau berulang kembali peradangannya. Sering setelah peradangan
berkurang, di daerah peradangan terlihat gambaran massa yang sangat
dicurigai sebagai keganasan paru (Icksan et al, 2008).
Nodul soliter pada paru. Bayangan nodul pada paru berukuran
beberapa mm sampai 4 cm atau lebih dan tidak mengandung kalsifikasi
harus diutamakan pada kecurigaan sebagai karsinoma bronkogen terutama
pada usia di atas 40 tahun. Ada pendapat mengatakan bahwa sifat nodul
yang ganas batasnya tidak jelas, apalagi berbenjol-benjol atau adanya nodul-
nodul kecil sekitarnya sebagai gambaran satelit atau adanya gambaran kaki-
kaki infiltrasi yang berasal dari nodul tersebut (pseudopodi) (Icksan et al,
2008).
Gambar 6. Bentuk nodul dengan kaki (pseudopodi)
Efusi pleura yaitu adanya gambaran cairan dalam rongga pleura yang
cepat bertambah (progresif) atau bersamaan ditemukan bayangan massa
dalam paru, perlu dipertimbangkan suatu keganasan paru yang sudah
bermetastasis ke pleura. Biasanya cairan pleura tersebut terdiri atas cairan
darah (Icksan et al, 2008).
43
Gambar 7. Efusi pleura
Elevasi diafragma. Letak tinggi diafragma sesisi dengan bayangan
massa tumor yang diakibatkan kelumpuhan nervus frenikus dapat
diperlihatkan pada pemeriksaan fluoroskopi di mana pergerakan diafragma
berkurang atau tak ada sama sekali (Icksan et al, 2008).
Gambar 8. Elevasi diafragma
Perselubungan dengan destruksi tulang sekitarnya. Suatu
perselubungan padat terutama di puncak paru dengan gambaran destruksi
tulang iga atau korpus vertebra sekitarnya merupakan tumor ganas primer
pada paru (sulkus superior) yang lanjut yang dikenal sebagai tumor
Pancoast, klinis disertai dengan sindroma Horner (Icksan et al, 2008).
44
Gambar 9. Tumor pancoast, perselubungan padat di paru kanan atas dengan
destruksi tulang iga I-II kanan.
Metastasis paru dibedakan menjadi metastasis hematogen dan
metastasis limfogen. Gambaran radiologik metastasis hematogen dapat
bersifat tunggal (soliter) atau ganda (multiple) dengan bayangan bulat
berukuran beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, batas tegas.
Bayangan tersebut dapat mengandung bercak kalsifikasi (Icksan et al,
2008).
Gambar 10. Metastasis paru hematogen
45
Penyebaran melalui saluran limfogen sering menyebabkan
pembesaran kelenjar mediastium yang dapat mengakibatkan penekanan
pada trakea, esofagus, dan vena kava superior, dengan keluhan-keluhannya
(Icksan et al, 2008).
Penyebaran juga bisa menetap di saluran limfe peribronkial atau
perivaskular yang secara radiologik memberi gambaran bronkovaskular
yang kasar secara dua sisi atau satu sisi hemitoraks atau gambaran garis-
garis berdensitas tinggi yang halus seperti rambut (Icksan et al, 2008).
Gambar 11. Metastasis Paru Limfogen
10. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah akumulasi cairan transudat atau eksudat pada
cavum pleura. Gejala yang asimptomatik dapat terjadi, selain itu bisa juga
didapatkan batuk berdahak atau hemoptisis, demam, nyeri dada, edema
generalisata, penurunan berat badan, malaise, gejala menurut penyakit yang
mendasari (rheumatoid arthritis, pancreatitis, gagal ginjal kronis, dsb),
hipoksia, penurunan suara dasar paru, dan perkusi redup.
Hasil pemeriksaan radiologis menunjukkan tumpulnya sudut
costophrenicus. Adanya meniscus dengan densitas radio-opak pada basal
paru. Efusi masif bisa terjadi hingga apeks dan menyebabkan pergeseran
46
mediastinal. Posisi lateral dekubitus dapat mengidentifikasi efusi minimal.
Pemeriksaan USG mengkonfirmasikan ukuran dan jenis cairan efusi.
Sedangkan CT-scan selain dapat mengidentifikasikan efusi pleura minimal,
juga bisa mengetahui penyebab efusi serta adanya penebalan plura yang
mengandung eksudat.
Tata laksana efusi pleura tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Drainase dibutuhkan bila terbukti adanya infeksi/empyema.
Efusi pleura yang berulang kemungkinan membutuhkan pleurodesis (Misra
R, 2007).
Efusi pleura dextra
(Misra R, 2007).
Loculated pleural effusion (Misra R, 2007).
47
Efusi pleura bilateral
A B
A. Efusi pleura bilateral; B. Efusi pleura kanan masif, adanya masa belum
dapat disingkirkan
11. Pneumothoraks
Pneumothoraks merupakan akumulasi udara pada cavum pleura
dimana keadaan tersebut merupakan komplikasi umum trauma dada. Terjadi
secara spontan, tergantung penyakit paru/pleura atau trauma. Dibagi dalam
3 kategori: Simple (tidak ada hubungan dengan udara luar atau mediastinum,
tidak ada midline shift); Communicating (defek pada dinding dada); Tension
(akumulasi udara dalam cavum pleura secara progresif, menyebabkan
kompresi pada paru kontralateral dan pembuluh darah besar).
Gejala yang paling umum yaitu nyeri dada dan nafas menjadi pendek.
Tanda tension pneumothoraks diantaranya: takikardi, distensi vena
jugularis, menghilangnya suara nafas, perkusi hipersonor, terdapat tanda-
tanda distres kardio-respirasi distres, trakea dan jantung bergeser.
Manajemen pada simpel pneumothoraks adalah konservatif dengan
follow-up radiologi dada, aspirasi menggunakan three way kateter, atau
torakostomi. Sedangkan pada tension pneumothoraks membutuhkan
48
torakostomi dengan kanul ukuran 14/16 yang dipasang pada SIC 2 (linea
midklavikula). Pneumothoraks berulang kemungkinan membutuhkan
pleurodesis (Misra R, 2007).
Simple Pneumothoraks
A B
A. Tension pneumothoraks sinistra with early mediastinal shift; B.
Emergency tension pneumothoraks sinistra
(Misra R, 2007).
49
C D
C. Pneumothoraks dextra; D. Pneumothoraks dengan atelektasis dextra
BAB III
KESIMPULAN
1. Organ paru merupakan bagian yang sangat penting dari sistem respirasi
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh untuk
proses metabolisme.
2. Kelainan paru dapat menyebabkan terganggunya proses pernapasan, dapat
berupa gangguan ventilasi, difusi dan perfusi.
3. Foto thoraks merupakan modalitas pertama untuk mendiagnosis kelainan
paru, seperti TB, pneumonia, abses paru, tumor paru, dan lain-lain
50
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press. 2005. 136-140.
Armstrong P, Wastie ML. 1984. X-Ray Diagnosis. Singapore: Blackwell
Scientific Publications, pp: 56-57.
Burril J, Williams CJ, Bain G. 2007. Tuberculosis: Radiological Review .
Radiographics, 27(5): 1255-1265.
Collins J, Stern EJ. Chest radiology, the essentials. Lippincott Williams &
Wilkins. 2007.
Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi Ed 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2009.
Cremers et al. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
2010. Tersedia: Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/
chest-x-ray-heart-failure.html.
Djojodibroto D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2009.
Farida Y. 2008. Bronkitis. Tersedia di: http://www.klikdokter.com [Diakses
tanggal 1 November 2015 pukul 14.00 WIB].
Hudoyo AT. 2005. Gejala Kanker Paru. Jakarta: SMF Paru RSUD Bekasi
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS
Persahabatan.
51
Icksan A, Faisal R M, et al. 2008. Kriteria Diagnosis Kanker Paru Priner
Berdasarkan Gambaran Morfologi pada CT Scan Toraks Dibandingkan
dengan Sitologi. Jakarta: SMF Radiologi RS Persahabatan/FKUI
Departemen Pulmonologi FKUI/RS Persahabatan, SMF Patologi Anatomi
RS Persahabatan, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI.
Kamangar N, Sather CC, Sharma S. Lung abscess (Online) . 2009. Tersedia:
http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview.
Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9,
2009
Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
Maria I. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.
Anestesia & Critical Care. 2010; 28(2):52.
Misra R, Planner A, Uthappa M. 2007. A-Z Chest Radiology. Cambridge.
Cambridge University Press.
Padley SPG, Rubens MB. 2003. Pulmonary Infections. In: Sutton D, ed. Textbook
of Radiology and Imaging. Vol 1. 7th ed. London: Churchill Livingstone,
pp:131-139.
Palmer PES, Cockshott WP, Hegedus V, Samuel E. 1995. Petunjuk Membaca
Foto Untuk Dokter Umum. Jakarta: ECG.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Kanker Paru: Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Pp: 2-19.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
Robbins S L, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi (Basic Pathology Part II Edisi
4. Jakarta: EGC, pp: 153-55.
Rasad, Sjahriar, Ekayuda I. 2015. Radiologi Diagnostik Edisi 2. Jakarta: FK-UI.
52
Robertson RJ. Imaging in the evaluation of emphysema. Thorax. 1999;54 (5):
379.
Schiffman, George. 2004. Pulmo diseases and disorder respiratory, edisi 4,
volume kedua. Jakarta: EGC, pp: 123-139.
Smithuis R, Delden O (2013). Chest X-Ray basic interpretation.
http://radiologyassistant.nl/en/p497b2a265d96d/chest-x-ray-basic-
interpretation.html#in514d811b2e023 (Diakses tanggal 30 Oktober 2015).
Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U, Waspadji S,
et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
1998; 767-72.
Syahruddin TE. 2005. Faktor Risiko, Gejala Klinis dan Diagnosis Kanker Paru
Di Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas-Rumah
Sakit Dr. M. Djamil, Padang Tahun 2005. Padang: Bagian Pulmonoli dan
Ilmu Kedokteran Respirasi, Fkultas Kedokteran Universitas Andalas-RS.
M. Djamil.
Ware LB, Matthay MA. "Clinical practice. Acute pulmonary edema". N Engl J
Med. 2005. 353 (26): 2788–96.
Weerakkody Y, Danaher L. Pulmonary emphysema. Radiopaedia (Online). 2012.
Tersedia: Http:// www.radiopaedia.org/articles/pulmonary-emphysema.
Wilson LM. Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson
LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa
Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta.
1995; 722-3.
53