referat trakeostomi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan
bagian atas. Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi
sedangkan tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan
pemasangan kanul trakea agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan
menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas disebut dengan trakeostomi
(Robert, 1997).1,2
Prosedur trakeostomi dahulu disebut dengan berbagai istilah, antara
lain laringotomi atau bronkotomi sampai istilah trakeotomi diperkenalkan.
Pada tahun- tahun belakangan ini digunakan istilah yang lebih tepat yaitu
trakeostomi. Menurut letak insisinya, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi
dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Jika
dibagi menurut waktu dilakukannya tindakan, maka trakeostomi dibagi kepada
trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan
trakeostomi elektif dengan persiapan sarana cukup yang dapat dilakukan
secara baik. Perbedaan lain dari kedua jenis trakeostomi di atas adalah dari
jenis insisinya. Pada trakeostomi darurat, insisi yang dilakukan adalah insisi
vertikal yang memberikan keuntungan berupa pembukaan lapangan operasi
yang dibutuhkan bagi kontrol jalan nafas secara cepat, sedangkan pada
trakeostomi elektif insisi yang dilakukan adalah insisi horizontal karena
lebih menguntungkan secara kosmetik (Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi,
2004).1,2,3
6
Terdapat berbagai indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi
mulai dari yang bersifat darurat maupun elektif. Sejumlah referensi
menjelaskan prosedur trakeostomi namun pada dasarnya semua mengharuskan
adanya persiapan pasien dan alat yang baik. Menurut Endean et al. (2003),
tindakan trakeostomi diindikasikan pada pasien: (1) yang memerlukan
ventilasi mekanis dalam jangka panjang, (2) keganasan kepala dan leher
yang akan dilakukan reseksi yang sulit dilakukan intubasi, (3) trauma
maksilofasial disertai dengan resiko sumbatan jalan nafas, (4) sumbatan jalan
nafas akibat dari trauma, luka bakar atau keduanya, (5) gangguan neurologis
yang disertai dengan risiko sumbatan jalan nafas, (6) severe sleep apnea yang
tidak dapat dilakukan intubasi.2,3
7
BAB II
PEMBAHASAN
I. ANATOMI TRAKEA
Davies, 1997, menjelaskan bahwa trakea merupakan tabung berongga
yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea berawal dari kartilago krikoid
yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada esofagus, turun ke
dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus utama pada karina.
Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah
lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas
trakea di sebelah depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior,
biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren
terletak pada sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan
menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra sternal yang melekat
pada kartilago tiroid dan hyoid. 1,2,3
Gambar 1. Conducting Passage2
8
Gambar 2. Anatomi Trakea 4
Trakea dari pinggir ke bawah cartilago cricoidea setinggi vertebra
cervicalis ke-6. Trakea merupakan tabung yang terdiri dari jaringan ikat dan
otot polos, dengan disokong oleh 15 – 20 kartilago berbentuk huruf “C”.
Kartilago membentuk sisi anterior dan lateral. Berfungsi melindungi trakea
dan menjaga terbukanya jalan udara. Dinding posterior tidak memiliki
kartilago. Esofagus terletak langsung pada dinding posterior yang tidak
memiliki kartilago. Trakea dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia yang
memiliki banyak sel Goblet. 2,3,4
Dindingnya dibangun oleh sebaris tulang rawan yang bentuknya serupa
dengan huruf “C” dengan ujung-ujungnya yang terbuka lebar menuju ke
belakang, cincin-cincin trakea ini saling dihubungkan oleh suatu selaput elastis
9
: Ligamentum Annularium trakealis. Antara kedua ujung posterior yang
terbuka terdapat dinding selaput. Didaerah leher kita dapat menemukan ventral
dan trakea : Isthmus glandula tiroid setinggi cincin-cincin trakea ke-2, ke-3,
ke-4 kemudian dibawahnya : valvula tirodea inferior. Didalam toraks, trakea
mempunyai hubungan dengan pembuluh-pembuluh besar didalam
mediastinum superior. Lateral sebelah kanan dari trakea tampak nervus vagus
dexter.3,4
Trakea terdiri dari 9 kartilago yang terhubung satu sama lain dengan otot
dan ligamen. 6 kartilago berpasangan, 3 kartilago tidak berpasangan.3,4,5
- Kartilago tiroid : kartilago terbesar dan terletak paling superior, sering
disebut “Adam’s apple”
- Kartilago krikoid : kartilago paling inferior yang tidak berpasangan,
yang membentuk dasar laring.
- Epiglotis : kartilago ketiga yang tidak berpasangan. Terdiri dari
kartilago elastis daripada hialin. Selama menelan epiglotis menutup
pembukaan laring dan mencegah masuknya berbagai materi ke dalam
laring
6 kartilago yang saling berpasangan terletak pada 2 pilar antara kartilago
krikoid dan tiroid.
- Kartilago aritenoid : terbesar dan terletak paling inferior
- Kartilago kornikulatum : terletak di tengah
- Kartilago kuneiformis : terletak paling superior dan terkecil
10
II. FISIOLOGI PERNAFASAN
Sistem pernapasan mencakup saluran pernapasan yang berjalan ke paru,
paru itu sendiri, dan struktur-struktur toraks (dada) yang terlibat menimbulkan
gerakan udara masuk-keluar melalui saluran pernapasan. Saluran hidung
berjalan ke faring (tenggorokan), yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi
sistem pernapasan maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang
berjalan dari faring-trakea merupakan tempat lewatnya udara ke paru, dan
esofagus merupakan saluran tempat lewatnya makanan ke lambung.
Laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea memiliki
penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun (adam’s apple). Pita
suara merupakan dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring,
dapat diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot
laring. Pada saat udara mengalir cepat melewati pita suara yang tegang, pita
suara tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Pada
saat menelan, pita suara mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup
pintu masuk ke trakea.1,4,5
Gambar 3. Plika vokalis6
11
II.1. Pengaturan ventilasi.
Sistem utama yang mengatur ventilasi merupakan suatu sistem umpan
balik negatif, yang terdiri dari 3 subdivisi : intergrator pusat, sensor-sensor
distal dan sistem sirkulasi paru perifer. Sistem sirkulasi paru terdiri dari 3
komponen : gas CO2 dan O2 yang tersimpan dalam larutan tubuh atau dalam
kombinasi kimiawi dalam sel atau cairan ekstraseluler, aliran sirkulasi CO2
dan O2 antara paru dan jaringan tubuh dan hembusan mekanisme yang terdiri
dari otot-otot pernapasan, paru dan rongga dada. Yang terakhir ini merupakan
sarana ventilasi.1,3,4,5
Sensor terdiri dari 2 komponen : kemoreseptor dan mekanoreseptor.
Kemoreseptor terutama terdapat didaerah karotis dan aorta. Kemoreseptor ini
bereaksi terhadap perubahan kadar CO2 dan O2 dalam darah (PCO2 dan PO2).
Badan karotis merupakan kemoreseptor utama. Mekanoreseptor berubah
terhadap volume rongga dada dan kekuatan kontraksi otot pernapasan. Sistem
integrasi sentral terdiri dari neuron motor sentral yang terletak dibatang otak
dekat ventrikel ke-4. Traktus saraf desendennya mengatur aktivitas
pernapasan. 1,3,4,5
II.2. Penyimpanan dan sirkulasi CO2 dan O2
Oksigen dan karbondioksida disimpan dalam tubuh melalui 3 cara :
sebagai gas dalam paru, sebagai larutan tubuh dalam cairan jaringan dan
sebagai ikatan kimia dengan hemoglobin, atau sebagai bikarbonat (HCO3)
dalam darah dan jaringan. Kesemuanya dapat berfungsi sebagai buffer yang
memperlambat perubahan tekanan gas, dan pH di dalam paru, darah dan
jaringan. Tiap jaringan mempunyai kemampuan masing-masing dalam
12
penyimpanan O2 dan CO2. Misalnya otak, mempunyai kapasitas yang lebih
kecil untuk menyimpan CO2, tetapi akibat aliran darahnya yang cepat, dapat
mengimbangi PaO2 dan Pa CO2 dengan ventilasi yang cukup. Sebaliknya, otot
mempunyai potensi yang lebih besar untuk menyimpan CO2 dari O2. Jadi,
perubahan ventilasi menyebabkan perubahan PO2 dalam otot yang lebih cepat
daripada PCO2 atau pH.1,3,4
II.3. Faktor mekanis dinding dada.
Reseptor mekanis dinding dada mengatur kekuatan tenaga otot inspirasi.
Ada 2 sistem : reseptor tendon diagfragma dan serabut gamma interkosta.
Reseptor tendon dalam otot diagfragma dan interkosta menghambat aktivitas
motorik dan mencegah kerusakan akibat regangan berlebihan atau kontraksi
yang kuat.1,3
Kumparan otot (serat gamma) didapatkan dalam otot interkosta membantu
mempertahankan volume tidal dan melawan reflek tendon. Regangan pada
kumparan otot selama inspirasi mempertinggi aktivitas motorik pada neuron
motorik alfa melalui hubungan antar korda spinalis. Neuron motorik alfa
mengaktifkan serat-serat ekstrafusal yang merupakan persarafan utama
dinding dada. Otot respirasi berkontraksi mengurangi tekanan pada kumparan
otot. Dengan demikian gangguan terhadap gerakan dinding dada, perubahan
pada posisi tulang iga, atau susunan tulang iga dapat diatasi. 1,3,4
13
Gambar 4. Anatomi Otot-Otot Pernapasan1
II.4. Faktor mekanis paru.
Sekurang-kurangnya ada 3 tipe reseptor dalam paru yang mengatur
ventilasi dengan mengirimkan isyarat ke SSP melalui nervus vagus.
Reseptor iritatif pada epitel saluran napas menimbulkan konstriksi bronkus
dan hiperventilasi jika terkena rangsangan mekanis, kimia atau zat yang
merangsang. Reseptor tersebut berperan pula pada batuk dan peninggian
ventilasi akibat kenaikan CO2.1,3
Reseptor regangan terdapat dalam otot polos saluran napas, yang bereaksi
terhadap perubahan volume paru dan membentuk reflex Hering-Breuer pada
binatang dan bayi. Reflex ini menyebabkan apnea selama inflasi paru yang
kuat. Pada manusia bekerja mengontrol dilatasi bronkus pada ekspansi paru,
dan bekerja sama dengan reseptor iritatif untuk mengatur diameter saluran
udara sewaktu bernapas. Bila reseptor regang terangsang akan meningkatkan
inflasi paru, menurunkan resistensi, memperbesar diameter saluran udara dan
14
menambah rongga hampa. Selama paru mengembang, reflek ini akan
merangsang serabut gamma dinding dada untuk bereaksi sehingga
meningkatkan aktivitas otot ekspirasi, yang kemudian akan mengembalikan
paru pada keadaan istirahat.1,2,4
Reseptor juksta kapiler (J. receptor), terletak dalam jaringan interstisial
alveolus, dirangsang oleh fibrosis interstisial atau edem. Akibatnya akan
meningkatkan pernapasan, cepat dan dangkal. Reseptor mekanis ini
berpengaruh dalam mengatur pola pernapasan, dengan mengatur frekuensi dan
volume tidal selama istirahat maupun saat bernapas cepat. Hasil akhir akan
membatasi kerja otot pernapasan pada setiap derajat ventilasi alveolus.1,4,6
III.PATOFISIOLOGI OBSTRUKSI SALURAN NAFAS ATAS
Obstruksi saluran napas atas mengakibatkan hipoventilasi alveolus dan
menimbulkan tiga perubahan biokimiawi : hipoksi arterial (hipoksemi), retensi
CO2 (hiperkapni) dan asidosis respirasi dan metabolik (penurunan serum).
Asidosis metabolic disebabkan oleh terbentuknya asam laktat dan penimbunan
asam karbonat. Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan asfiksia.1
Hipoksi menyebabkan gangguan fungsi seluler terutama pada SSP. Badan
karotis dan aorta merupakan reseptor kimiawi terpenting yang mendeteksi
perubahan O2. 1,4
Hipoksemi pada tingkat tertentu akan meningkatkan usaha pernapasan,
takikardi, vasokonstriksi perifer dan hipertensi, peningkatan resistensi
pembuluh darah paru, peningkatan aktivitas adrenal, dan peningkatan aktivitas
korteks serebri akibat rangsangan reseptor kimia san sistem saraf simpatis.
15
Efek ini diperkuat oleh asidosis dan hiperkapni, yang biasanya menyertai
hipoksemi sebagai akibat hipoventilasi alveolus.2,4
Jika hipoksia berlangsung beberapa hari terjadi penyesuaian fisiologik
dan perbaikan gejala. Peningkatan aliran darah dan polisitemia memperbaiki
oksigenisasi jaringan. Hiperkapni dapat merangsang langsung SSP
(merangsang pernapasan). Umumnya dapat meninggikan frekuensi pernapasan
dengan akibat lainnya berupa sakit kepala, peka terhadap rangsangan,
bingung, gatal, lemas dan lesu. Hiperkapni berat menyebabkan pasien tidak
sadar, reflex menurun, kaku, tremor, dan kejang. Akhirnya terdapat narkosis
CO2 dan koma.1,3,5
Ion H+ merupakan stimulan pernapasan spesifik untuk pusat
pernapasan di medulla. Tetapi H+ dalam cairan serebrospinal tidak dapat
menembus sawar darah – otak dengan baik, sedangkan CO2 dapat dengan
cepat memasukinya. Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan asidosis cairan
serebrospinal dan stimulasi pernapasan. Oleh karena CO2 harus berdifusi
dalam cairan serebrospinal yang tidak mempunyai sistem buffer maka kadar
ion H+ abnormal dalam cairan serebrospinal akan timbul secara bertahap tetapi
berlangsung lebih lama dan lebih hebat daripada kelainan darah perifer.2,3,4
III.1. Sumbatan Laring
Sumbatan laring dapat disebabkan oleh : 4,5
- Radang akut dan radang kronik.
- Benda asing.
- Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan
senjata tajam.
16
- Trauma akibat tindakan medik.
- Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.
- Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:
- Suara serak (disfoni) sampai afoni.
- Sesak napas (dispnea).
- Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
Stridor merupakan suara nafas bernada rendah saat insipirasi yang
disebabkan oleh udara yang melewati saluran nafas yang menyempit pada
saluran nafas atas yang biasanya memiliki saluran yang besar. Sering terjadi
akibat sumbatan pada laring dan trakea bagian atas. 3,5
1. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal,
epigastrium, supraklavikula, dan interkostal. Cekungan ini terjadi
sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen
yang adekuat.
2. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger).
3. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium
dengan tanda dan gejala: 3,4
- Stadium 1 : Cekungan tampak waktu inspirasi di suprasternal, stridor
pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang.
- Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal
17
makin dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah
epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar waktu
inspirasi.
- Stadium 3 : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga
terdapat di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan
dispnea. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
- Stadium 4 : Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat
gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini
berlangsung terus maka pasien akan kehabisan tenaga, pusat
pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur,
akhirnya meninggal karena asfiksia.
III.2. Penanggulangan Sumbatan Laring
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan
penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat
menjamin ventilasi. Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya
diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.4,6
Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi,
antibiotika, serta pemberian oksigen inttermitten dilakukan pada sumbatan
laring stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau
resursitasi untuk membebaskan saluran napas ini dapat dengan cara
memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui
hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan
krikotirotomi. Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien
dengan sumbatan laring stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan
18
pada sumbatan laring stadium 4. Tindakan operatif atau resusitasi dapat
dilakukan berdasar análisis gas darah (pemeriksaan Astrup).4,6,7,8
IV. DEFINISI TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah pembuatan lubang di dinding anterior trakea untuk
mempertahankan jalan napas. Pertama kali dikemukakan oleh Aretaeus dan
Galen pada abad pertama dan kedua sesudah masehi. Walaupun teknik ini
dikemukakan berulang kali setelah itu, tetapi orang pertama yang diketahui
secara pasti melakukan tindakan ini ialah Antonio Brasavola pada tahun 1546.
Prosedur ini disebut dengan berbagai istilah, antara lain laringotomi dan
bronkotomi sampai istilah trakeostomi diperkenalkan oleh Heister pada tahun
1718. Pipa trakeostomi yan pertama dengan kanul dalam diperkenalkan oleh
George Martine di Inggris kira-kira tahun 1730 untuk menghindari sumbatan
pipa pascabedah.4,6,8
Trakeostomi merupakan tindakan bedah trakea untuk membuat
trakeostoma. Trakeotomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang
mengalami obstruksi jalan napas di atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan
cara lain, misalnya intubasi. Trakeostomi juga dilakukan pada penderita yang
memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang
memerlukan bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang
memerlukan pertolongan pembersihan jalan nafas secara memadai.
Trakeostoma merupakan fistel antara trakea dan kulit leher yang
dipertahankan dengan kanul. 1,6,7,8
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi
pasien dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan
19
bagian atas. Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomi
sedangkan tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan
pemasangan kanul trakea agar udara dapat masuk ke dalam paru-paru dengan
menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas disebut dengan trakeostomi
(Robert, 1997). Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan maksud membuat
hubungan antara leher bagian anterior dengan lumen trakea, sering saling
tertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat insisi pada
trakea, sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea.1,4,6,7,8
Dapat disimpulkan, trakeostomi adalah tindakan operasi membuat
jalan udara melalui leher dengan membuat stoma atau lubang di dinding
depan/ anterior trakea cincin kartilago trakea ketiga dan keempat, dilanjutkan
dengan membuat stoma, diikuti pemasangan kanul. Bertujuan
mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan
memintas jalan nafas bagian atas saat pasien mengalami ventilasi yang tidak
adekuat dan gangguan lalulintas udara pernapasan karena obstruksi jalan nafas
bagian atas.6,7
20
Gambar 5. Trakeostomi 7
V. INDIKASI TRAKEOSTOMI
Indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi adalah :6,7,8
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas
seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya
stoma maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam
paru.
3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang
tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasien
koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak
mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.
21
6. Bantuan jalan napas diperlukan lebih dari 2 minggu.
7. Refleks laring atau kemampuan untuk menelan hilang (misalnya
penyakit serebrovaskular).
8. Cedera kepala dan leher.
Trakeostomi dapat dilakukan untuk tujuan terapi atau sebagai suatu
prosedur berencana. Trakeostomi berencana mungkin diperlukan bila
diramalkan akan terjadi problem pernafasan pada pasien pasca bedah daerah
kepala, leher, atau toraks, atau pasien dengan insufisiensi paru kronik. Indikasi
yang jarang ialah pada pasien, yang intubasi orotrakea sukar dilakukan atau
tak mungkin dilakukan untuk tujuan anestesi umum. Trakeostomi juga harus
dilakukan sebelum pembedahan tumor – tumor orofaring atau laring untuk
menghindari manipulasi tumor yang tidak perlu. 5,7
Trakeostomi untuk terapi perlu dilakukan pada tiap kasus insufisiensi
pernafasan yang disebabkan oleh hipoventilasi alveolus untuk memintas
sumbatan, mengeluarkan sekret, atau untuk tujuan penggunaan pernapasan
buatan secara mekanis. 7,8,9
Bila mungkin, trakeostomi harus didahului oleh intubasi endotrakea.
Walaupun intubasi endotrakea dapat segera memperbaiki gangguan jalan
nafas, trakeostomi harus dilakukan bila diperhitungkan perlu perawatan jalan
nafas lebih dari 48 jam, karena :4,7,8,9
1. Mengeluarkan sekret jauh lebih mudah lewat suatu pipa trakeostomi, dan
kemungkinan terjadinya obstruksi pipa lebih kecil.
2. Pasien sangat sulit menelan dengan adanya pipa endotrakea.
22
3. Membersihkan pipa endotrakea pada posisinya sulit dan untuk mengganti
pipa diperlukan laringoskopi berulang.
4. Intubasi lama endolaring menimbulkan ulserasi mukosa yang akhirnya
dapat menjadi granuloma, adhesi, dan stenosis laring.
5. Trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan refleks batuk, yang
mungkin penting pada pasien dengan kelainan saraf dan pasca bedah.
6. Dengan trakeostomi pasien yang sadar dapat berbicara.
Kontraindikasi trakeostomi adalah pasien dengan obstruksi laring oleh tumor
ganas.
VI. PERALATAN TRAKEOSTOMI
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah
semprit dengan obat analgesia (novokain), pisau (skapel), pinset anatomi,
gunting panjang yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting
kecil yang tajam serta kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien. 2,5,6,9
Gambar 6. Alat-alat Trakeostomi8
23
Seperti pipa endotrakeal, kaf pipa yang bertekanan rendah dan
bervolume banyaklah yang dipilih. Yang sering digunakan adalah pipa yang
terbuat dari klorida polivinil (KPV), silastik dan metal. Pipa KPV dan silastik
umum digunakan untuk UTI sedangkan pipa metal digunakan untuk
trakeostomi jangka panjang terutama bila kaf tidak diperlukan.
Gambar 7. Kanul trakeostomi9
VII. PROSEDUR TRAKEOSTOMI
VII.1. Trakeostomi elektif
Pada kebanyakan kasus trakeostomi dilakukan di Intensive Care Unit
atau di kamar operasi. Pada lokasi tersbut pasien terus dimonitor dengan pulse
oxymetri dan elektrokardiogram. Anestesiologis biasanya melakukan
gabungan antara medikasi intravena dan anestesi lokal.5,7
24
Teknik trakeostomi ditentukan sampai batas tertentu oleh keadaan
yang memerlukan tindakan tersebut. Yang terpenting ialah memperoleh udara
pernafasan secepat dan seefisiensi mungkin dengan menhindari trauma pada
laring, trakea, dan struktur yang berdekatan. Bila mungkin, dilakukan intubasi
endotrakea sebelum trakeostomi terapi, terutama pada anak. Jika tidak
mungkin melakukan intubasi, ventilasi dan oksigenasi melalui kantong dan
masker sangat membantu. Jika udara pernafasan telah terkontrol, dapat
dilakukan trakeostomi dengan lebih cermat dan trauma minimal.4,7,8
Pasien tidur telentang dengan bantal di bawah bahu untuk memperoleh
ekstensi leher yang maksimal. Anestesi tidak diperlukan pada pasien yang
tidak sadar. Anestesi lokal pada umumnya sudah cukup untuk pasien sadar,
termasuk anak. Anestesi lokal diberikan dengan infiltrasi kulit pada garis insisi
dan bahan disuntikkan ke jaringan yang lebih dalam di garis tengah sampai
pada dinding trakea anterior. Dapat digunakan lidocaine (Xylocaine) 1%
dengan epinefrin 1 : 150.000.6,8,9
Insisi kulit ditentukan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika trakeostomi
dilakukan bersamaan dengan bedah kepala dan leher, insisi disesuaikan
dengan rencana operasi yang akan dilakukan. Jika trakeostomi dilakukan
tersendiri, bila mungkin dibuat insisi horizontal. Insisi dibuat sepanjang 5 cm,
kira – kira dau jari di atas fosa suprasternal. Hasil kosmetik insisi horizontal
lebih baik dibandingkan insisi vertikal. Dalam keadaan gawat dan bantuan
tidak tersedia, dilakukan insisi vertikal di garis tengah sepanjang 4 cm supaya
cepat dan perdarahan minimal.6,7,9,10
25
Insisi kulit diperdalam sampai terlihat otot penggantung. Pada titik ini,
untuk menentukan letak trakea perlu dilakukan palpasi untuk menghindari
diseksi terlalu lateral. Otot penggantung dipisahkan secara vertikal di garis
tengah dan disingkirkan ke lateral, maka tampak fasia pre-trakea yang
menutupi trakea dan ismus tiroid. Tampak banyak vena turun ke fasia dari
tiroid, tetapi dengan tetap bekerja di garis tengah pada bidang vertikal,
sebagian besar vena dapat dihindari. Ismus tirois hampir selalu berada di atas
cincin trakea ke-3 dan biasanya dapat disingkirkan ke atas dengan retractor
kecil dan tumpul untuk membebaskan trakea. Ismus tiroid tidak perlu
dipotong, sehingga perdarahan dapat dihindari, kecuali pada ismus yang luar
biasa lebar, harus dipotong diantara dua klem, dan diikat pada pinggir
potongan.6,9
Trakea harus difiksasi dengan memasukkan pengait pada dinding
anterior antara cincin ke-1 dan ke-2, kemudian ditarik ke arah atas dan luar.
Dinding anterior trakea diinsisi secara vertikal, sebanyak 2 sampai 3 cincin.
Insisi trakea jangan lebih tinggi dari cincin ke-2, untuk mencegah rangsangan
pipa trakeostomi pada kartilago krikoid yang dapat menyebabkan
perikondritis. Jangan membuang tulang rawan dari dinding anterior trakea,
karena dapat menimbulkan defek besar pada trakea yang tidak perlu pasca
ekstubasi, sehingga terjadi granulasi yang mengganggu dan memperlambat
penyembuhan. Insisi trakea diperlebar dengan dilator Truosseau atau klem
yang besar, kemudian pipa dimasukkan , dijaga agar tidak mngenai dinding
posterior trakea. Balon dikontrol dengan cara inflasi untuk mengetahui ada
tidaknya kerusakan pada balon pada waktu memasukkan pipa.7,8,9
26
Segera setelah pipa masuk sering timbul batuk hebat, dan beberapa
pasien dapat timbul apnea karena kehilangan rangsangan hipoksia untuk
bernafas. Pipa trakeostomi harus dipilih dengan hati – hati. Akhir – akhir ini
pemakaian pipa perak ukuran standar tipe Holinger dan Jackson telah
ditinggalkan dan diganti dengan pipa jenis silikon atau Portex. Alasannya
untuk mengurangi trauma pada dinding trakea, mengurangi kanul dalam, dan
ekonomis. Panjang pipa trakeostomi juga penting dan seringkali perlu
disesuaikan panjangnya untuk tiap individu.8,9,10,11
Diameter pipa dipilih yang terbesar, kira – kira sesuai dengan tiga per
empat diameter trakea. Ukuran rata – rata np. 6 untuk wanita dewasa atau no.
7 dan 8 untuk pria. Pipa dengan balon mungkin perlu bila ada masalah
aspirasi, atau jika diperlukan respirator dengan tekanan positif. Insisi kulit
tidak dijahit dan tidak diperban dengan tekanan karena dapat menimbulkan
emfisema subkutan, pneumomediastinum, dan pneumotoraks. Kasa kecil dapat
diletakkan antara pinggir pipa dan kulit leher.7,9,10
Gambar 8. Posisi Kepala dan Leher Pada Trakeostomi 9
27
Gambar 9. Prosedur Trakeostomi Elektif. 7,9
A, Setelah insisi kulit horizontal, maka suatu diseksi vertikal pada garis tengah leher akan memaparkan
trakea. B, Ismus tiroid diretraksi dari lapangan operasi. Selanjutnya jaringan anterior dalam celah kedua
dan ketiga bersama cincinnya diangkat (berbentuk elips vertikal). C, Pada anak tidak ada pengangkatan
elips. Jahitan sutera dibuat anterolateral pada kedua sisi garis tengah menembus dua cincin trakea. D,
Tuba logam tampak memasuki stoma. t, Tuba trakeostomi pada tempatnya.
28
Gambar 10. Letak kanul9
Gambar 11. Letak kanul yang salah11
VII.2. Trakeostomi Darurat
Pada keadaan darurat, trakeostomi harus dapat dilakukan dalam 2 – 3
menit, dimana anoksia akan terjadi dalam 4 – 5 menit. Pada trakeostomi
darurat lebih baik dilakukan insisi secara vertikal, yang dimulai pada level
29
kartilago krikoid, lanjutkan ke inferior sekitar 2,5 – 3,75 cm. Gunakan tangan
kiri untuk menstabilkan laring dan mengekstensi leher bila tidak ada
kontraindikasi (seperti cedera servikal). Sementara tangan kanan digunakan
untuk membuat insisi. Jari telunjuk tangan kiri dapat digunakan untuk
mendorong ismus tiroid ke inferior dan mempalpasi trakea. Insisi kulit secara
vertikal ini sangat krusial dalam keadaan darurat, karena tindakan dapat
dilakukan lebih cepat dan kurangnya resiko trauma terhadap struktur leher
yang lain. 7,9,10
Trakeostomi darurat harus dihindari, bagian terbesar kesalahan pada
trakeostomi disebabkan oleh trakeostomi darurat. Komplikasinya meliputi
trauma arteria inominata, pembuluh darah tiroidea inferior, esofagus, nerfus
laringeus rekuren dan pleura. Tindakan tersebut dapat menyebabkan
perdarahan. Pneumomediatinitis dan pneumotoraks. Osbtruksi saluran
pernafasan pada awal fase paskah bedah bisa timbul akibat tersumbatnya pipa
secara tidak disengaja. Intubasi endotrakea tidak bebas dari komplikasi
obtruksi ekstubasi atau pneumotoraks. Pneumotoraks dapat terjadi akibat
batuk untuk mengatasi obstruksi pipa endotrakea oleh sekresi. Mungkin terjadi
ekstubasi secara tidak disengaja. Problema utama pemasangan pipa
endotrakea jangka lama adalah trauma pada laring.7,10
Untuk sementara trakeostomi menyebabkan pasien sulit berbicara,
tetapi bila saluran pernafasan diatas trakeostomi masih mempunyai sisa
patensi, pasien dapat berbicara dengan menutup pipa dengan jarinya sewaktu
ekspirasi. 8,9,10
30
VIII. TRAKEOSTOMI PADA BAYI DAN ANAK
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan ukuran
dan konsistensi trakea pada bayi dan anak. Pada semua kasus trakeostomi
seharusnya hanya dilakukan setelah bronkoskop, pipa enotrakea atau kateter
dimasukkan untuk memperbaiki saluran udara pernafasan dan memberi
kekakuan pada trakea, sehingga memudahkan diseksi dan identifikasi trakea.
Pada anak kecil, sangan mudah melakukan diseksi yang terlalu dalam dan
lateral dari trakea, sehingga merusak nervus laringius rekuren, arteri karotis
komunis atau apeks pleura. Saat melakukan insisi pada dinding trakea, harus
hati – hati agar pisau tidak masuk terlalu dalam dan merobek dinding
posterior. Dengan bronkoskop dalam trakea dapat membantu untuk terhindar
dari komplikasi ini.6,8,9,10
Kesulitan lain pada anak ialah pipa trakeostomi sering keluar dari
trakea, karena leher bayi yang pendek dan sering gemuk, terutama bila leher
dalam keadaan fleksi. Dapat juga dilakukan jahitan dengan benang sutra pada
tepi insisi trakea untuk menandai dan benang ini dilekatkan ke leher untuk
mencegah hilangnya lumen trakea jika pipa bergeser. Trakea harus diperiksa
setelah pipa dimasukkan, untuk menjaga agar tidak terjadi lipatan ke dalam
dari cincin trakea yang dipotong, yang dapat menyebabkan pergeseran pipa
dan obstruksi pada saat dekanulasi.8,10
Sering terjadi kesulitan untuk mendapatkan pipa trakeostomi yang
sesuai. Pipa yang terlalu panjang dapat masuk ke karina atau salah satu
bronkus, menyebabkan atelektasis paru sisi lain. Jika lengkung pipa terlalu
panjang, akan menekan trakea pada batas atas insisi trakea, sedangkan ujung
bawah pipa menempel pada dinding anterior trakea, dan lengkung yang terlalu
31
tumpul dapat menyebabkan ulserasi dinding posterior trakea dan esofagus.
Oleh karena itu harus dibuat foto Rontgen leher dan dada pasca bedah pada
bayi.8,9,10
Pipa plastik rancangan Aberdeen ialah yang terbaik digunakan pada
bayi dan anak. Alat ini fleksibel, dapat dipotong untuk meyesuaikan panjang,
dan memungkinkan aliran udara yang lebih baik, karena kanul dalam.8,10
Tabel I. Ukuran Pipa Trakeostomi 9
Umur Diameter Luar Diameter Kanal
Respirator
Prematur 4,5 mm 4,5 – 5,0 mm
Bayi sampai 3
bulan
4,5 – 5,0 mm 5,0 – 5,5 mm
3 – 6 bulan 5,0 – 5,5 mm 5,5 mm
6 – 12 bulan 5,0 – 5,5 mm 5,5 – 6,0 mm
1 – 2 tahun 5,5 – 6,0 mm 5,5 – 6,0 mm
3 tahun 5,5 – 6,0 mm 6,0 – 6,5 mm
Setelah usia enam bulan, anak memerlukan ukuran tuba sekurang-
kurangnya sama dengan usia mereka pada ulang tahun berikutnya (hingga
ukuran 6). Identifikasi ukuran dari seluruh tuba intratrakea kini telah
distandarisasi. Suatu komite dari American Standard Institute mengharuskan
semua pabrik untuk memberi pengenal pada tuba intratrakea yaitu dengan
diameter internal dalam millimeter. Suatu aturan sederhana untuk mengingat
dalam memilih tuba endotrakea untuk anak dalam situasi gawat darurat adalah
dengan melihat jari kelingking anak tersebut. Ukuran kelingking anak kira-
kira mendekati diameter luar dari tuba endotrakea yang dipilih. 8,9,10
32
IX. PERAWATAN TRAKEOSTOMI
Hal-hal penting pada perawatan trakeostomi adalah :7,8,9,10
1. Humidifikasi.
2. Fiksasi harus aman dan ganti setiap hari.
3. Bersihkan luka setiap 6 jam atau sesering yang diperlukan.
4. Penghisapan trakeobronkial dilakukan dengan mengindahkan kaidah
a dan antisepsis. Gunakan kateter dan sarung tangan steril.
5. Radiografi dada harus diambil untuk konfirmasi posisi ujung pipa.
Pipa dipertahankan selama 7 hari setelah itu ganti setiap 4 hari. Bila
digunakan pipa metal, pipa bagian dalam dapat sering diganti tanpa
mengganti pipa utama.
6. Kultur luka dan sputum harus diperiksa.
7. Alat-alat untuk keadaan darurat harus selalu tersedia tidak jauh dari
pasien, seperti :
a. Pipa trakeostomi yang baru dengan ukuran yang sama dan satu
nomor lebih kecil.
b. Dilator trakea, speculum hidung dan laringoskop untuk anak
yang dapat digunakan untuk dilatasi stoma dan pemasangan pipa
kembali.
c. Peralatan untuk menghisap dan fasilitas untuk ventilasi kendali.
d. Sungkup muka, laringoskop dan pipa endotrakeal. Jika pipa
trakeostomi tidak berhasil dimasukkan kembali, kadang-kadang
dilupakan bahwa pasien dapat di ventilasi melalui laring.
Anak – anak yang memerlukan trakeostomi lama dapat dirawat di
rumah, dengan memberikan pendidikan yang cermat pada orangtua
33
dalam penggunaan alat penyedot yang steril, pengaturan kelembaban dan
penggantian pita trakeostomi. 6,7,9,10
Pipa trakeostomi pada trakeostomi yang baru harus dipertahan 2
sampai 3 hari sebelum diganti. Pada saat itu telah terbentuk saluran yang
permanent, dan sedikit sekali kemungkinan tidak dapat memasukkan
pipa kembali. Mengganti pipa sebelum 2 - 3 hari dapat menyebabkan
bahaya hilangnya lumen trakea. Mengganti pipa trakeostomi pada bayi
untuk pertama kali harus tersedia sebuah bronkoskop.9,10
Kelembaban khusus udara inspirasi diperlukan untuk mencegah
trakeitis dan pembentukan krusta, yaitu ruangan dengan alat humidifikasi
Watson atau sebuah kerah trakea dengan uap basah. Untuk
menambahkan kelembaban atmosfir perlu diteteskan 3 atau 4 tetes
larutan garam hipotonik atau larutan Ringer Laktat ke dalam pipa setiap
3 atau 4 jam. Pasien dengan sekret yang kental dan banyak perlu
pemberian mukolitik intratrakea untuk mencairkan sekret. 8,9,10
X. DEKANULASI
Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang
diperlukan, terutama pada anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk
mengurangi timbulnya trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea,
trakeomalasi, dan fistula trakeokutan menetap. Segera setelah keadaan pasien
membaik, ukuran pipa trakeostomi diperkecil sampai ukuran yang
memungkinkan udara dapat memintas pipa menuju saluran nafas bagian atas.
Hal ini menolong menghindari ketergantungan fisiologik pada pipa yang besar
akibat menurunnya resistensi pernafasan. Kemudian pipa ditutup dan dinilai
34
apakah jalan nafas adekuat, kemampuan menelan dan mengeluarkan sekret.
Jika pipa dapat ditutup selama 8 – 12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel
trakeokutan ditutup. Segera setelah dekanulasi, pasien harus diamati dengan
ketat dan alat yang diperlukan untuk mendapatkan jalan nafas kembali selalu
harus tersedia. 9,10
Faktor Penyulit Dekanulasi:7,9,10
1. Kondisi yang membutuhkan trakeostomi secara persisten
2. Dislokasi dinding anterior trakea
3. Jaringan granulasi di sekitar stoma
4. Edema mukosa trakea
5. Ketergantungan emosional terhadap trakeostomi
6. Ketidakmampuan mentoleransi resistensi saluran nafas atas
7. Stenosis subglotis
8. Trakeomalasia
9. Inkoordinasi refleks pembukaan laring
10. Perkembangan laring yang terganggu akibat trakeostomi jangka
panjang.
XI. KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI
Seperti tindakan bedah lainnya, trakeostomi juga memiliki resiko
komplikasi dan cedera. Karena setiap individu bervariasi dalam hal sirkulasi
jaringan dan proses penyembuhan, maka tidak dapat dijamin tidak akan terjadi
komplikasi akibat tindakan trakeosotmi. Trakeostomi darurat dan trakeotomi
35
yang dilakukan pada pasien sakit berat memiliki resiko lebih besar terhadap
komplikasi setelah prosedur.9,10
Pneumomediastinum tidak tergolong sebagai komplikasi, namun
merupakan akibat. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak, dan harus ditindak
lanjut guna memastikan tidak adanya perkembangan ke arah pneumotoraks.
Paralisis sarafrekuren jarang terjadi dan harus dicegah dengan memperhatikan
teknik bedah. Tuba harus terpasang pada jalan napas, tidak menyumbat
bronkus serta tidak mengenai dinding anterior trakea. Pengalaman klinis dan
evaluasi radiologik akan terdiagnosis dan mencegah kejadian ini.9,10
Jenis komplikasi :7,8,9,10
1. Segera
a. Komplikasi perioperatif seperti perdarahan, emfisema,
pneumotorak, emboli udara dan kerusakan tulang rawan krikoid.
b. Diskoneksi.
c. Salah menempatkan trakeostomi, misalnya di jaringan pretrakea
atau bronkus utama kanan.
d. Herniasi kaf yang menyebabkan pipa tersumbat.
e. Ujung pipa tertutup dinding trakea atau carina.
f. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernafasan.
Trakeostomi yang dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia
kronik, tarikan nafas pertama atau kedua setelah pipa dimasukkan dapat
diikuti dengan henti nafas. Hal ini sehubungan dengan denervasi fisiologik
pada reseptor kimia perifer karena naiknya PO2 tiba – tiba. Oleh karena
36
hipoksia sangat mempengaruhi rangsangan pernafasan, maka dapat terjadi
apnea. 9,10
Gambar 12. Komplikasi trakeostomi 9,14
Keterangan Gambar :
A. Trakea tertekuk ke depan
B. Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar
C. Emfisema subkutis karena dislokasi kanul
D. Tukak karina karena kateter isap
E. Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul
( herniasi akibat ditiup berlebihan )
F. Manset kanul terlepas di trakea
G. Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat
H. Cedera dinding belakang (hati – hati fistel trakeo-esofagus)
37
2. Menengah
a. Tersumbat sekret, dapat terjadi segera atau gradual. Tetapi hal ini
jarang terjadi bila humidifikasi, hidrasi dan penghisapan lendir
baik.
b. Infeksi pada stoma atau trakeobronkial.
c. Ulserasi trakea kerena penekanan kaf.
d. Erosi yang dalam dapat menyebabkan perdarahan dari a. inominata
atau fistel trakeoesofagus.
3. Lanjut
Komplikasi Lanjut. Komplikasi ini cukup bcnnakna dalain hal variasi
dan jumlahnya, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan.
Perdarahan lanjut adalah akibat erosi trakea pada pembuluh utama,
biasanya arteri inominata. (Sebenarnya menghitung cincin trakea mulai
dari kartilago krikoid merupakan tindakan yang esensial). Tindakan
mengekstensikan kepala pasien dan menarik trakea ke atas dengan
suatu pengait trakea dapat menggambarkan cincin trakea kesembilan.
Trakeostomi rendah (di bawah cincin trakea kelima) seringkali salah.
Komplikasi lanjut pada trakeostomi diantaranya :
a. Granuloma trakea yang bias menyebabkan kesulitan bernapas bila
pipa diangkat.
b. Trakeomalasia dan dilatasi trakea.
c. Stenosis trakea.
d. Fistel trakeokutan menetap
38
e. Fistel trakeoesofagus
Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding
trakea juga ikut berperan dalam erosi pembuluh darah. Mathog
menganjurkan pemakaian tuba plastik lunak yang lebih aman.
Penanganan dari perdarahan mayor tindakan darurat dan memerlukan
pemakaian tuba (dengan manset dalam keadaan terkembang) yang
cukup panjang untuk mencapai bagian distal dari pembuluh yang
tererosi. Tindakan ini dapat mencegah aspirasi darah ke dalain paru.
Kesalahan dalam membedah dan menjahit pembuluh mungkin
mengharuskan tindakan sternotomi parsial.8,9,10
Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan
humidifikasi. Antibiotik profilaksis harus dilarang karena
memungkinkan perkembangan bakteri oportunistik. Pseudomonas
aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi trakeostomi dan tidak
selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu dilakukan
mungkin hanyalah membasahi kasa dengan larutan asam asetat 0,5
persen. Pasien yang mendapat banyak antibiotik mungkin mengalami
kontaminasi Candida albicans pada lokasi trakeostomi. Namun,
sebelum memulai pengobatan sistemik, harus dicoba perawatan luka
secara lokal.9,10
Penanganan obstruksi jalan napas akibat posisi tuba yang
tergeser atau oklusi lumen adalah berbeda, tergantung pada berapa
lama terjadinya setelah pembedahan. Bila telah melampaui 48 jam
dilakukan trakeostomi, maka perawat dapat diperintahkan untuk
memotong tali pengikat leher, mengeluarkan tuba, dan memeriksa
39
lumen dan tuba. Sumbat mukus yang menutup lumen tuba harus
dibersihkan. Memasukan kembali tuba dapat dilakukan setelah dokter
datang. Tenaga yang terlatih dapat diinstruksikan untuk memasukkan
kait ke dalain stoma dan menahan jalan napas pada tempatnya,
sebelum mengeluarkan dan mengamati tuba yang baru saja dipasang.
Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini dilakukan sendiri
oleh dokter. Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik dengan
hati-hati ke lateral akan mempertahankan jalan napas dan menunjukkan
jalur kembali ke stoma untuk penggantian tuba.
Fistula trakeoesofagus biasanya timbul pada pasien yang
hipotensi dan telah menjalani intubasi yang lama dengan tuba
bennanset dan ventilasi terkontrol. Pasien demikian memerlukan tuba
naso-gastrik, namun seringkali meninggal akibat penyakit primernya
ataupun akibat pneumoiua aspirasi lewat fistula. Perbaikan bedah amat
kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot leher di antara trakea
dan esofagus setelah perbaikan primer pada fistula.6,7,10
Komplikasi mayor yang tersering adalah stenosis trakea.
Frekuensi komplikasi ini semakin meningkat karena pasien seringkali
memerlukan ventilasi terkontrol jangka lama dengan tuba bermanset.
Menurut Fearon, stenosis stoma bukanlah suatu komplikasi melainkan
suatu parut pasca operasi yang telah diperkirakan, dan bahwa gejala
hanya akan timbul bila diameter lumen sama dengan atau kurang dari 4
mm. Bilamana terdapat granulasi di atas stoma atau kartilago dalam
lumen, maka masalah dapat diatasi dengan eksisi endoskopik atau
memasang stent pada jalan napas.7,8,9,10
40
BAB III
KESIMPULAN
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding anterior
trakea untuk bernapas. Trosseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini
di Perancis. Mereka melakukannya untuk menangani kasus difteria dengan
angka keberhasilan 25 persen.
Trakeostomi dapat dilakukan pada obstruksi jalan nafas jika gambaran
yang ada meliputi : dispnea, stridor, perubahan suara, nyeri, batuk, penurunan
atau tidak didapatinya suara pernafasan, perdarahan, keluarnya air liur secara
berlebihan, leher tegang, hemodinamik yang tidak stabil (lanjut), hilangnya
kesadaran (sangat lanjut).
Trakeostomi memiliki beberapa komplikasi bahkan kematian.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Edisi kedua.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001. 412-413.
2. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jilid 1. Edisi ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.435 –
456.
3. Respiratory System. [12 Juli 2008]. Hyperlink
http://www.cayuga-cc.edu/people/facultypages/greer/biol204/resp2/resp2.
html
4. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2001. 201-208.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. 421 – 422.
6. Staf pengajar bagian Anestesiologi dan terapi intensif FK UI. Editor dr.
Muhardi Muhiman. 1989. Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 14-16.
7. Paparella, Michael., Shumrick, Donald. Otolaryngology- Head and Neck.
Philadelphia : WB Saunders Company
8. Byron. Otolaryngology – Head and Neck Surgery, 3rd edition. North
Carolina : Byron. p66.
9. Jerry R. Balentine, DO, FACEP. Tracehostomy. MedicineNet. [9 Juli
2008]. Hyperlink : http://www.medicinenet.com/tracheostomy/article.htm
10. Jerry R. Balentine, DO, FACEP. Tracehostomy. MedicineNet. [9 Juli
2008]. Hyperlink : http://www.medicinenet.com/tracheostomy/page2.htm
11. Hyperlink :
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Illu_conducting_passages.s vg [9 Juli
2010]
12. Hyperlink :
http://healthy-lifestyle.most - effective - solution.com/2010/09/20/human-
anatomy-trachea/ [12 Juli 2008]
42
13. Hyperlink : http://www.kmle.co.kr/search.php?
Search=respiratory+glottis&SpecialSearch=HTMLWebHtdig&Page=4 [13
Juni 2011]
43