referat sistem respi.doc
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Energi merupakan hal yang sangat penting bagi berbagai aktivitas sel yang
ditujukan untuk mempertahankan hidup, misalnya sintesis protein dan
transportasi aktif menembus membran plasma. Sel-sel tubuh memerlukan
pasokan O2 secara terus-menerus untuk menghasilkan energi. Proses
masuknya O2 ke dalam tubuh dan mengeluarkan gas buang berupa CO2 ke luar
tubuh merupakan suatu proses respirasi. Respirasi melibatkan keseluruhan
proses yang menyebabkan pergerakan pasif O2 dari atmosfer ke jaringan untuk
menunjang metabolisme selanjutnya yang merupakan produk sisa
metabolisme dari jaringan ke atmosfer.
Hasil akhir CO2 yang dihasilkan oleh reaksi-reaksi tersebut harus
dieleminasi dari tubuh dengan kecepatan yang sama dengan pembentukannya
agar tidak terjadi fluktuasi PH yang berbahaya, yaitu untuk mempertahankan
keseimbangan asam-basa karena CO2 menghasilkan asam karbonat. Fungsi
utama pernafasan adalah untuk memperoleh O2 agar dapat digunakan oleh sel-
sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan oleh sel. Sebagian orang
menganggap bahwa pernafasan sebagai suatu proses menarik dan
mengeluarkan nafas. Namun, dalam fisiologi pernafasan memiliki makna yang
lebih luas. Selain respirasi eksternal yang merupakan suatu proses pertukaran
udara dari atmosfer, dalam fisiologi juga mengenal respirasi internal atau
seluler.
Respirasi seluler mengacu kepada proses metabolisme intrasel yang
berlangsung di dalam mitokondria menggunakan O2 dan menghasilkan CO2
selama penyerapan energi dari molekul nutrien. Kuosien pernafasan yaitu
perbandingan rasio CO2 yang dihasilkan terhadap O2 yang dikonsumsi,
bergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi. Jika yang digunakan adalah
karbohidrat maka, RQ adalah 1, yitu untuk setiap molekul O2 yang
dikonsumsi, dihasilkan satu molekul CO2. Untuk pemakaian lemak, RQ adalah
0,7, untuk protein 0,8.
Respirasi eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang
terlibat dalam pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel
tubuh. Udara secara bergantian bergerak masuk dan keluar paru, sehingga
dapat terjadi pertukaran antara atmosfer (lingkungan eksternal dan kantung
udara (alveolus paru). Pertukaran ini dilaksanakan oleh kerja mekanis
pernafasan atau ventilasi. Kecepatan ventilasi diatur sedemikian rupa,
sehingga aliran udara antara atmosfer dan alveolus disesuaikan dengan
kebutuhan untuk menyerap O2 dsn mengeluarkan CO2. Oksigen dan CO2
dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di dalam kapiler pulmonalis
melalui proses difusi. Pertukaran O2 dan CO2 terjadi antara jaringan dan darah
melalui proses difusi melintasi kapiler sistemik (jaringan).
Sistem pernafasan juga melakukan fungsi nonrespirasi. Diantaranya adalah
menyediakan jalan untuk megelurkan air dan panas. Udara yang dihirup
dilembabkan dan dihangatkan oleh jalan nafassebelum udara tersebut
dikeluarkan. Pelembapan udara yang dihirup ini penting agar dindig alveolus
tidak mengering karena oksigen dan CO2 tidak dapat berdifusi melintasi
membran yang kering. Selain itu, sistem pernafasan juga berfungsi untuk
meningkatkan aliran balik vena, berperan dalam memelihara keseimbagan
asam basa normal dengan mengubah jumlah CO2 penghasil asam yang
dikeluarkan, memungkinkan kita berbicara, dan mempertahankan tubuh dari
invasi bahan asing. Semua darah yang kembali ke jatung dari jaringan harus
melewat paru sebelum dikembalikan ke sirkulasi sistemik. Paru, dengan
demikian mengeluarkan, memodifikasi, mengaktifkan, atau menginaktifkan
berbagai bahan yang melewati sirkulasi paru. Paru memiliki letak yang unik
untuk secara parsial atau total menyingkirkan bahan-bahan tertentu yang telah
ditambahkan ke dalam darah di tingkat jaringan sebelum bahan-bahan tersebut
memiliki kesempatan mancapai bagian tubuh lain melalui sistem arteri.
Sebagai contoh, adalah prostaglandin yang merupakan sekumpulan perantara
kimiawi yang dikeluarkan untuk memperantarai respon lokal tertentu dapat
tumpah ke dalam darah tetapi dinonaktifan pada saat melewati paru sehingga
zat-zat tersebut tidak menimbulkan efek sistemik.
2. Tujuan
1. Untuk memahami anatomi sistem pernapasan manusia
2. Untuk memahami histologi sistem pernapasan manusia
3. Untuk memahami mekanika pernapasan manusia
4. Untuk memahami mekanisme pertukaran gas pada sistem pernapasan
5. Untuk memahami mekanisme transportasi gas pada sistem pernapasan
6. Untuk memahami mekanisme kontrol pada sistem pernapasan
BABII
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Sistem Pernapasan
Secara umum saluran udara pernafasan adalah sebagi berikut :
Nares Anterior Cavitas nasalis Choanae Nassopharing Larinx
Trachea Bronchus primaries Bronchus skunderius Bronchus tertius
Bronchiolus terminalis Broncheolus respiratorius Ductus alveolaris
Atrium alfveolaris Saculus alveolaris dan berakhir pada alveolus.
System respirasi terdiri dari:
1. Sistem respirasi atas (upper)
Terdiri dari nasale, cavitnasal cavity, paranasal sinuses, pharynx.
2. Sistem respirasi bawah (lower)
Terdiri dari larynx, trachea, bronchi, bronchioles, alveoli.
.
A. SISTEM PERNAPASAN ATAS
1) Hidung (nasi/nasale)
1. Nares anterior
2. Septum nasi, terdiri dari os vómer, cartílago nasal (c. nasi laterale dan
c. alas nasi), dan lamina perpendicularis os etmoidalis
3. Vestibulum nasi
4. Nares posterior
2) Cavum nasalis, terdapat conca nasalis (superior, media, dan
inferior), meatus nasalis (superior, media, dan inferior)
3) Sinus paranasal, tersiridari:
1. Sinus maxillaris, bermuara di meatus nasi media
2. Sinus frontalis, bermuara di meatus nasi media
3. Sinus sphenoidalis, bermuara di meatus nasi superior
4. Sinus ethmoidalis anterior, bermuara di meatus nasi media
5. Sinus ethmoidalis posterior, bermuara di meatus nasi superior
Gambar 1. Rangka hidung, tampak ventral.
Gambar 2. Rongga Hidung
4) Pharynx
Terdiri dari:
1. Nasopharynx
2. Oropharynx
3. Laryngopharynx
B. SISTEM RESPIRASI BAWAH
1) Larynx, terdiri dari:
1. Epiglotis, berfungsi menutup trachea saat menelan makanan.
2. Vestibulum, terdapat ligamentum vocale dan ligamentum vestibulare
3. Os hyoid
4. Cartilago larynx, terdapat sembilan cartílago
a. c. thyroidea (1 buah)
terdapat lamina dextra dan sinistra. Bagian posterior atas terdapat
cornu superior dan bagian posterior bawah terdapat cornu inferior
b. c. cricoidea (1 buah)
bagian anteriornya sempit sedangkan bagian posteriornya lebih
lebar sehingga bentuknya seperti cincin. Pada baian lateral terdapat
fascies articularis c. thyroidea (dibagian cornu inferior).
Posterior cébela atas terdapat fascies articularis c. arytenoidea
(tempat menempelnya c. arytenoidea).
c. c. arytenoidea (2 buah)
Basis bersendi dengan c. cricoidea. Ada yang menonjol kedepan
disebut processus vocalis (depan) dan processus musculares
(belakang).
Apex bersendi dengan c. corniculata.
d. c. corniculata (2 buah)
e. c. cuneiform (2 buah)
terdapat di plica epiglottica bagian medial.
f. epiglotis (1 buah)
bentuk seperti daun, bagian superiornya bebas sedangkan bagian
inferiornya terikat.
5. Ligamentum dan membrana yang terdapat di larynx
a. membrana thyrohyoidea
antara c. Thyroidea dan os. hyoidea. Pada bagian tengahnya
menebal membentuk ligamentum thyrohyoideum, sedangkan
bagian camping yang menebal disebut ligamentum thyrohyoideum.
Pada membrana thyrohyoidea terdapat 2 lubang, untuk keluarnya
arteri dan vena laryngeus superior serta tempat keluarnya N.
Laryngeus internus.
b. membrana fibroelastica
superior : membrana quadra angularis, ligamentum vestibularis
(bagian paling inferior)
inferior : ligamentum cricothyroidea, antara c. Cricoid adn c.
Thyroidea.
c. ligamentum hyoepiglottica
antara os hyoideum dengan epiglotica
d. ligamentum thyroepiglotica
antara c. Thyroidea dengan epiglottica
6. Cavitas Laryngis, terdiri atas
a. Aditus laryngis
b. Vestibulum laryngis
c. Ventriculus laryngis
d. Rima vestibuli
e. Rima glotidis
f. Cavitas infraglotica
Gambar 3. Larynx
Gambar 4. Larynx, tampak lateral.
2) Trachea
Merupakan tabung cartilagenia dari larinx hingga pangkal bronchus.
Panjang kurang lebih 15 cm dan lebar ± 2,5 cm. Dimulai dari setinggi
vertebra cervicalis VI hingga vetebra thoracalis IV – V.
Batas-batas:
Anterior : Os. sternum, thymus, v. Brachiocephalica, truncus
brachiocephalica, A. Carotis communis sinistra
Posterior : oesophagus, N. Laryngeus recurrens sinistra
Dextra : v. Azygos, N. Vagus destra
Sinistra : Arcus aorta, A. Carotis communis sinistra, a. subklavia
sinistra, N. vagus sinistra, N. phrenicus sinistra.
Menurut letaknya terakhir dibagi menjadi :
a. Trachea pars cervicalis
b. Tachea pars thoracalis
Menurut susunan dindingnya trachea dibagi menjadi :
a. Pars Cartillaginea
b. Pars Membranacea
Percabangan Trachea
1. Setinggi pertengahan vetebra thoracalis IV – V, menjadi brnchus
primaries dekster dan sinister – Bifurcatio thoracalis 50-100 O.
2. Bronchus primaries lebih tegak dibandingkan dengan sinister.
3. Pada bifurcation trachealis terdapat taji sagital disebut carina.
Vascularisasi trachea :
1. Ramus trachealis arteria tiroidea superior
2. Cabang-cabang arteria tiroidea inferior
3. Arteria Bronchealis
4. Darah vena dialirkan ke vena tiroidea superior.
Inervasi. : Oleh N vagus.
Sistem Lymphatica dialirkan menuju nodus lymphaticus trachea
bronchelis NL Trachealis NL Cervicalis.
Tabel 1. Perbedaan bronchus primaries dexter dan sinister
NO KATEGORI BRONCHUS I
DEXTER
BRONCHUS I
SINISTER
1.
2.
3.
Ukuran panjang
Lebar
penampang
Posisi
Lebih pandek antara 1-
4 cm, rata-rata 2cm.
Lebih lebar, diameter
lebih panjang.
Lebih tegak,
membentuk sudut
sekitar 25O terhadap
linea mediana.
Panjang antara5-7 cm ,
rata-rata 5 cm.
Lebih sempit, diameter
lebih pendek.
Lebih datar / horizontal
membentuk sudut
sekitar 45O terhadap
linea mediana.
Gambar 5. Larynx, trachea, bronchi, dan bronchioli
3) Bronchus dan bronchiolus
Di trachea, bronchus bercabang dua melalui bifurcatio trachea menjadi
bronchus primer/principal dextra dan sinistra. Bronchus principal dextra
lebih lebar dan lebih tegak, namun lebih pendek dibandingkan bronchus
principal sinistra yang lebih panjang, lebih datar,dan lebih sempit.
Bronchus principal dextra kemudian bercabang menjadi bronchus
lobaris/sekunder superior, medial, dan inferior, sedangkan bronchus
principal sinistra bercabang menjadi bronchus lobaris sinistra superior dan
inferior.
4) Pulmo
Fungsi terkecil dari pulmo adalah alcheoli dengan sifat-sifatnya lunak,
spongiosa, elastis (makin ke parifer dari hilus makin kenyal).
Bentuknya conus dengan apex yang lancip terletak diatas manubrium
stermi, basis concave pada bagian caudal dan menutupi phren. Tepinya
melengkung dan juga terdapat cekungan – fossa cardiaca.
a. Facies Pulmonalis :
1) Facies costales
Menghadap ke costa, permukaan ini berjalan mengikuti susunan
costae
2) Facies Mediastinalis
Pada facies ini ditemukan hilus pulmonalis
3) Facies Diafragmatica
Permukaan pulmo yang menghadap ke phren.
b. Bagian pulmo:
1) Bagian dexter , terdiri dari Lobus superior, medius, dan inferior
Antara lobus superior dan lobus medius dipisahkan olehg fisura
horizontalis pulmonalis. Antara lobus medius dan lobus inferior oleh
ficura oblique.
2) Bagian Sinester, terdiri dari Lobus superior dan
inferior
Keduanya dipisahkan oleh fisura oblique
c. Struktur khusus di pulmo sinistra:
1) Lingula pulmonalis sinistra (analog dengan lobus media pulmonalis
destra)
2) Incissura cardiaca pulmanais sinistra
3) Impressio cardiaca pulmonalis sinistra
d. Pulmo memiliki dua sudut/lekukan, yaitu:
1) Recessus costo diaphragmatica atau costo phrenicus
2) Recessus costo mediastinalis
e. Hilus pulmonalis
Terdapat radix pulmonalis:
1) A. pulmonalis
2) V. pulmonalis
3) A. bronchialis
4) Bronchus
5) Plexos nervosus pulmonalis cabang dari N. vagus
f. Limphonodi, nodi limphoideus tracheobronchiales
Gambar 6. Paru-paru kiri, tampak medial.
Gambar 7. Paru-paru kiri, tampak medial.
2. Histologi sistem pernafasan
Sistem pernapasan terdiri atas 2 paru dan banyak saluran udara dengan
berbagai ukuran yang keluar masuk paru. Saluran napas terdiri atas bagian
konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi adalah saluran napas solid
baik di luar maupun di dalam paru yang menghantar udara ke dalam paru
untuk respirasi. Bagian respirasi adalah saluran napas di dalam paru tempat
berlangsungnya respirasi atau pertukaran gas. Epitel pada jalan napas di luar
paru, yaitu trakea, bronki, dan bronkioli yang lebih besar, adalah epitel
bertingkat semu bersilia dengan banyak sel goblet. Diameter saluran napas
dalam paru secara progresif mengecil. Begitu pula tinggi epitel pelapis yang
makin memendek, jumlah silia, dan sel goblet makin berkurang. Pertukaran
gas hanya terjadi di dalam alveolus, yaitu kantong udara terminal sistem
pernapasan. Di sini, epitel pelapisnya adalah selapis gepeng tanpa sel goblet.
Udara yang memasuki paru juga melalui epitel di dalam rongga hidung yang
dikhususkan mendeteksi bau-bauan, epitel ini adalh epitel olfaktorius.2
Bagian konduksi terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Bagian ini mempunyai 2
fungsi utama, yaitu menyediakan sarana mengalirnya udara ke dan dari paru,
dan menyiapkan udara yang masuk paru. Untuk menjamin pemasokan udara
terus-menerus, maka adanya kombinasi tulang rawan, serat elastin dan
kolagen, dan otot polos memberi bagian konduksi ini sifat kaku dan keadaan
fleksibel dan keregangan yang diperlukan. Tulang rawan, terutama hialain
(dengan sedikit tulang rawan elastic di laring) ditemukan di tepi lamina
propria. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari plak kecil sampai cincin tak
teratur dan pada trakea, tulang rawan berbentuk C. tulang rawan ini pada
umunya menunjang dinding bagian konduksi, mencegah lumen kolaps, dan
menjamin hubungan langsung udara ke paru. Bagian konduksi dan respirasi
banyak mengandung serat elastin yang menjadikan struktur ini fleksibel dan
memungkinkannya kembali ke asalnya setelah diregangkan. Pada bagian
konduksi, serat-serat elastin terdapat dalam lamina propria dan tersusun
memanjang. Berkas otot polos ditemukan mengelilingi saluran mulai dari
trakea sampai ke duktus alveolaris (sub bagian dari bagian respirasi). Bagian
konduksi dari sistem pernapasan secara bertahap berubah menjadi bagian
respirasi. Kandungan epitel bersilia, sel goblet, dan tulang rawan berkurang,
sedangkan kandungan otot polos dan serat elastic secara bertahap meningkat.
Bagian respirasi terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan
alveolus.6
Sistem pernapasan terdiri dari:
1. Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas 2 struktur berbeda, yaitu vestibulum eksterna
dan fosa nasal interna:
a. Vestibulum
Vestibulum adalah bagian paling anterior dan paling lebar dari rongga
hidung. Kulit luar hidung memasuki nares (cuping hidung) dan
berlanjut ke dalam vestibulum. Pada permukaan dalam nares terdapat
banyak kelenjar sebasea dan kelenjar keringat, selain rambut tebal
pendek dan vibrissa yang menahan dan menyaring partikel-partikel
besar yang ikut udara inspirasi. Di dalam vestibulum, epitelnya tidak
berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respirasi khas sebelum
memasuki fosa nasal.
b. Fosa nasal
Di dalam tengkorak terletak 2 bilik kavernosa yang dipisahkan oleh
septum nasi oseosa. Dari dinding lateral menonjol keluar 3 tonjolan
bertulang mirip rak yang dikenal sebagai konka. Dari konka superior,
media, dan inferior, hanya konka media dan inferior yang ditutupi oleh
epitel respirasi. Konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius. Celah-
celah sempit yang terjadi akibat adanya konka memudahkan penyiapan
udara inspirasi dengan memperluas permukaan dengan epitel respirasi,
dan menimbulkan gerakan berpusing (turbulensi) dalam aliran udara
yang berakibat peningkatan kontak antara aliran udara dengan lapisan
mukosa.6
2. Sinus paranasal
Sinus paranasal adalah rongga buntu dlam tulang frontal, maksila,
ethmoid, dan sphenoid. Mereka dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih
tipis yang mengandung sedikit sel goblet. Lamina propria hanya
mengandung beberapa kelenjar kecil dan berhubungan langsung dengan
periosteum dibawahnya. Hubungan dengan rongga hidung terjadi melalui
lubang-lubang kecil. Mukus yang dihasilkan dalam rongga ini mengalir ke
dalam saluran nasal sebagai akibat aktivitas sel-sel epitel bersilia.6
3. Nasofaring
Nasofaring adalah bagian pertama faring, yang kearah caudal berlanjut
sebagai bagian oral organ ini yaitu orofaring. Ia dilapisi oleh epitel jenis
respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum molle.6
4. Laring
Potongan vertikal melalui laring menampakkan kedua pita suara, tulang
rawan penyokong, dan otot. Pita suara superior atau pita suara palsu laring
dibentuk oleh mukosa dan diteruskan sebagai permukaan posterior
epiglottis. Epitel pelapisnya adalah epitel bertingkat semu silindris bersilia
dengan sel goblet. Di bawah epitel, yaitu di dalam lamina propria terdapat
kelenjar campur yang terutama terdiri atas mukosa. Duktus ekskretorius
yang bermuara di permukaan epitel, terlihat diantara klenjar asini.
Limfonoduli terletak di dalam lamina propria pada sisi ventricular pita
suara. Ventrikel adalah lekukan dalam yang memisahkan pita suara palsu
dengan pita suara sejati. Mukosa pada dinding lateral ventrikel serupa
dengan mukosa pada pita suara palsu. Di daerah ini terdapat lebih banyak
limfonoduli dan kadang-kadang disebut “tonsila laring”. Lamina propria
menyatu dengan perikondrium tulang rawan tiroid, sub mukosanya tidak
jelas. Dinding bawah ventrikel membuat peralihan ke pita suara sejati.
Mukosa pita suara sejati terdiri atas epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk dan lamina propria padat dan tipis tanpa kelenjar, jaringan limfoid,
maupun pembuluh darah. Pada apeks pita suarasejati, terdapat ligamentum
vocal yang terdiri atas serat elastin padat yang menyebar ke dalam lamina
propria dan otot rangka vocal di dekatnya. Otot rangka tiroaritenoid dan
tulang rawan tiroid membentuk sisa dindingnya. Epitel laring bagian
bawah berubah menjadi epital bertingkat semu silindris bersilia, dan
lamina propria di bawahya mengandung kelenjar campur. Tulang rawan
krikoid adalah tulang rawan paling bawah laring.2
Gambar 8. Larynx
Gambar 9. Larynx, potongan melintang
5. Epiglotis
Epiglotis adalah bagian superior laring, terjulur ke atas dari dinding
anterior laring berupa lembaran pipih. Tulang yang membentuk kerangka
epiglotis adalah sepotong tulang rawan (elastis) epiglotis sentral.
Permukaan anterior atau lingualnya dilapisis epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk. Lamina propria dibawahnya menyatu dengan
perikondrium tulang rawan epiglotis. Mukosa anterior atau lingual bagian
apeks epiglotis dan lebih dari separuh permukaan posterior atau laryngeal.
Namun, epitel berlapis gepengnya lebih rendah, papila jaringan ikat hilang
dna terjadi peralihan menjadi epitel respiratorius yaitu epitel bertingkat
semu silindris bersilia dengan sel goblet. Kelenjar mukosa, serosa, atau
tubuloasinar campur terdapat pada lamina propria. Kdang-kdang kuncup
kecap terlihat di epitel. Limfonodulus soliter mungkin terlihat pada
mukosa lingual atau laringeal.2
6. Trakea
Dinding trakea terdiri atas mukosa, submukosa, tulang rawan hialin, dan
adventisia. Tulang rawan pada trakea adalah sederetan cincin berbentuk C,
dan diantara kedua ujung C itu terdapat m. trakealis (polos). Mukosa
terdiri atas epitel bertingat semu silindris bersilia dengan sel goblet.
Lamina propria mengandung serat jaringn ikat hlus, jaringan limfatik
difus, dan kadang-kadang limfonodus solitaries. Di lamina propria bagian
dalam, serat-serat elastin membentuk sebuah membaran elastin
memanjang. Di jaringan ikat longgar submukosa terdapat kelenjar
tubuloasinar campur yang duktusnya melalui lamina propria untuk
memasuki lumen trakea. Tulang rawan hialin dikelilingi jaringan ikat
padat, yaitu perikondrium yang menyatu denga submukosa di satu sisi
dengan adventisia di sisi lain. Di dalam adventisia, terdapat banyak
pembuluh darah dan saraf yang bercabang halus ke lapisan luar. Mukosa
dinding posterior trakea yang tidak bertulang rawan, berlipat-lipat.
Muskulus trakealis terdapat di bagian dalam membran elastic mukosa dan
terbenam di dalam jaringan fibroelastis yang menempati daerah di antara
ujung-ujung cincin tulang rawan. Kebanyakan serat m.trakealis tertanam
di dalam perikondrium tulang rawan. Di dalam submukosa terdapat
kelenjar campur, kelenjar ini terdapat diantara serat otot dan meluas
sampai ke adventisia.2
Gambar 10. Trachea
7. Percabangan bronkus
Trakea bercabang menjadi 2 bronkus primer yang memasuki paru dari
hilum. Selain ini arteri masuk dan vena serta pembuluh limfe keluar dari
paru pada masing-masing hilum. Struktur-struktur ini dikelilingi oleh
jaringan ikat padat dan membentuk satuan yang disebut akar paru. Setelah
memasuki paru, bronkus primer berjalan ke bawah dan ke luar, memberi 3
bronki ke dalam paru kanan dan 2 dalam paru kiri. Masing-masing
memasok sebuah lobus baru. Bronkus lobar ini becabang-cabang terus
menjadi bronkus yang lebih kecil, di mana bagian ujung cabangnya
disebut bronkiolus. Setiap bronkiolus memasuki lobulus paru, tempat ia
bercabang-cabang menjadi 5-7 bronkiolus terminalis. Bronkus primer
biasanya memiliki penampilan histologist serupa dengan trakea. Makin
kearah bagian respirasi, akan tampakm penyederhanaan susunan
histologist baik dari epitel maupun dari lamina propria di bawahnya.6
8. Bronkus
Setiap bronkus primer bercabang secara dikotom 9-12 kali, dan masing-
masing cabang secara progresif makin mengecil sampai tercapai garis
tengah lebih kurang 5 mm. Kecuali susunan tulang rawan dan otot
polosnya, maka mukosa bronkus secara structural mirip dengan mukosa
trakea. Tulang rawan bronkus berbentuk lebih tidak teratur daripada yang
terdapat pada trakea, pada bagian yang lebih besar dari bronkus, cincin
tulang rawan mengelilingi seluruh lumen. Dengan mengecilnya garis
tengah bronkus, maka cincin tulang rawan diganti oleh lempeng-lempeng
atau pulau-pulau tulang rawan hialin. Di bawah epitel, dalam lamina
propria bronkus tampak adanya lapisan otot polos. Lamina propria banyak
mengandung serat elastin, kelenjar serosa dan mukosa.6
Gambar 11. Bronchus
9. Bronkiolus
Bronkiolus, jalan napas intralobular bergaris tengah 5 mm atau kurang,
tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar dalam mukosanya, sel
goblet terdapat tersebar satu-satu dalam epiel segmen awal. Pada
bronkiolus yang lebih besar, epitelnya bertingkat silindris bersilia yang
makin memendek dan makin sederhana sampai menjadi epitel selapis
silindris bersilia atau selapis kuboid pada bronkiolus terminalis yang lebih
kecil. Epitel bronkiolus terminalis juga mengandung sel Clara. Sel-sel ini
tidak mengandung silia, pada bagian apikalnya terdapat kelenjar sekretorik
dan mensekresi glikosaminoglikan yang melindungi laisan bronkiolus.
Lamina propria sebagian besar terdiri atas otot polos dan serat elastin.
Muskulatur bronkus dan bronkiolus berada di bawah kendali nervus vagus
dan susunan saraf simpatis.6
Gambar 12. Bronchiolus
10. Bronkiolus respiratorius
Setiap bronkiolus terminalis bercabang menjadi 2 atau lebih bronkiolus
respiratorius yang berfungsi sebagai daerah peralihan antara bagian
konduksi dan bagian respirasi dari sistem pernapasan. Mukosa bronkiolus
respiratorius secara structural identik dengan yang ada pada bronkiolus
terminalis kecuali dindingnya yang diselingi oleh banyak alveolus (tempat
terjadi pertukaran gas). Bagian dari bronkiolus respiratorius dilapisi oleh
epitel kuboid bersilia dan sel Clara, tetapi pada tepi muara alveolus, epitel
bronkiolus menyau dengan sel-sel pelapis alveolus gepeng. Makin ke
distal, makin banyak alveolusnya, dan jarak di antaranya makinkecil. Di
antara alveolus, epitel bronkiolusnya terdiri atas epitel kuboid bersilia,
tetapi silia itu hilang pada bagian yang lebih distal. Otot polos dan jaringan
ikat elastic terdapat di bawah epitel dari bronkiolus respiratorius.2
Gambar 13. Bronchiolus respiratorius
11. Duktus Alveolaris
Makin ke distal pada bronkiolus respiratorius, jumlah muara alveolus ke
dalam dinding bronkiolus makin banyak sampai dinding itu seluruhnya
ditempati oleh sebab itu disebut duktus alveolaris. Duktus alveolaris dan
alveolus keduanya dilapisi oleh sel alveolus gepeng yang sangat halus.
Dalam lamina propria yang mengelilingi tepian alveolus terdapat anyaman
sel otot polos. Otot polos tidak ada lagi pada ujung distal dari duktus
alveolaris. Duktus alveolaris bermuara ke dalam atrium yang berhubungan
dengan sakus alveolaris, dua atau lebih sakus alveolaris timbul dari setiap
atrium. Banyak serat elastin dan retikulin membentuk jalinan rumit sekitar
muara atrium, sakus alveolaris, dan alveoli. Serat-serat elastin
memungkinkan elveolus mengembang sewaktu inspirasi dan berkontraksi
secara pasif selama ekspirasi. Serat-serat retikulin berfungsi sebagai
penunjangyang mencegah pengembangan yang berlebihan dan
pengrusakan pada kapiler-kapiler halus dan septa alveolus yang tipis.6
12. Alveolus
Alveolus adalah penonjolan mirip kantung, bergaris tengah lebih kurang
200 µm, dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus
alveolaris. Alveoli adalah bagian terminal dari percabangan bronkus.6
Alveoli lonjong dilapisis selapis epitel gepeng yang tidak jelas pada
pembesaran ini. Alveoli berdekatan memiliki septum interalveolar
bersama. Di dalam septum tipis ini terdapat pleksus kapiler yang ditunjang
serat jaringan ikat halus, fibroblast, dan sel lain. Karena tipisnya septum
interalveolar dan isinya, maka kapiler berdekatan sekali dengan sel-sel
gepeng alveoli di dekatnya, terpisah dari epitel hanya oleh sedikit jaringan
ikat itu. Pada sediaan rutin jaringan paru, sukar membedakan inti sel
gepeng di dalam elveoli, dengan sel endotel pembuluh darah kapiler dan
dengn fibroblast di dalam septum interalveolar. Pada ujung bebas septum
interalveolar dan sekitar ujung bebas alveoli terdapat pita sempit otot polos
yng merupakan lanjutan lapisan otot bronkiolus respiratorius.2
Gambar 14. Ductus alveolaris
BAB III
PEMBAHASAN
1. Mekanisme Bernapas
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah (menuruni gradien tekanan). Udara mengalir masuk
dan keluar paru selama proses bernapas dengan mengikuti penurunan
gradien tekanan yang berubah berselang-seling antara alveolus dan
atmosfer akibat aktivitas siklik otot-otot pernapasan. Terdapat tiga
tekanan berbeda yang penting pada ventilasi :
1. Tekanan atmosfer (barometrik), yaitu tekanan yang ditimbulkan oleh
berat udara di atmosfer terhadap benda-benda di permukaan bumi. Di
ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg.
Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian
di atas permukaan laut karena kolom udara di atas permukaan bumi
menurun.
2. Tekanan intra-alveolus/intrapulmonalis, yaitu tekanan di dalam
alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui
saluran pernapasan, udara dengan cepat mengalir mengikuti
penurunan gradien tekanan setiap kali terjadi perbedaan antara
tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer. Udara terus mengalir
sampai tekanan keduanya seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura, yaitu tekanan di dalam kantung pleura. Juga
dikenal sebagai tekanan intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar
paru di dalam rongga toraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih kecil
daripada tekanan atmosfer, rata-rata 756 mmHg saat istirahat.
Tekanan ini tidak diseimbangkan dengan tekanan atmosfer maupun
intraalveolus, karenan udara tidak dapat masuk ke dalam kantung
pleura walaupun ada gradient konsentrasi antara kantung dan
sekitarnya.7
Kohesivitas cairan intrapleura dan gradient tekanan transmural
menjaga dinding toraks dan paru berhadapan erat, walaupun
paru berukuran lebih kecil daripada toraks.
Alasan yang lebih penting mengapa paru mengikuti gerakan
dinding dada adalah adanya gradien tekanan transmural yang melintasi
dinding paru Tekanan intra-alveolus, yang setara dengan tekanan
atmosfer sebesar 760 mmHg, lebih besar daripada tekanan intrapleura
sebesar 756 mmHg, sehingga di dinding paru gaya yang menekan ke
arah luar lebih besar daripada gaya yang menekan ke arah dalam.
Perbedaan tekanan netto ke arah luar ini, yaitu gradien tekanan
transmural. mendorong paru ke arah luar, meregangkan atau mengem-
bangkan paru. Karena gradien tekanan inilah, paru selalu terdorong
untuk mengembang mengisi rongga toraks.7
Hukum Boyle menyatakan bahwa pada setiap suhu konstan,
tekanan yang ditimbulkan oleh gas berbanding terbalik dengan volume
gas yaitu, sewaktu volume gas meningkat, tekanan yang ditimbulkan
oleh gas berkurang setara, dan sebaliknya, tekanan meningkat secara
proporsional sewaktu volume berkurang. Karena hubungan tekanan-
volume yang terbalik ini, jika volume rongga pleura sedikit meningkat
akibat tarikan berlawanan dari dinding paru dan dinding toraks, tekanan
intrapleura menjadi sedikit lebih keeil daripada tekanan atmosfer.7
Apabila tekanan intrapleura disamakan dengan tekanan atmosfer,
gradien tekanan transmural akan hilang. Akibatnya, paru dan toraks
akan terpisah dan mencari dimensi-dimensi inheren mereka sendiri. Hal
inilah yang sebenamya terjadi apabila udara dibiarkan masuk ke dalam
rongga pleura, suatu keadaan yang dikenal sebagai pneumotoraks
("udara di dalam dada").7
Dalam keadaan normal, udara tidak masuk ke dalam rongga pleura
karena tidak terdapat hubungan antara rongga tersebut dengan atmosfer
atau alveolus. Namun, jika dinding dada dilubangi (misalnya, akibat iga
yang patah atau luka tusuk), udara akan menyerbu masuk ke dalam
rongga pleura dari tekanan atmosfer yang lebih tinggi mengikuti
penurunan gradien tekanan udara. Tekanan intrapleura dan intra-
alveolus sekarang seimbang dengan tekanan atmosfer, sehingga gradien
tekanan transmural tidak lagi ada baik di dinding dada maupun dinding
paru. Tanpa adanya gaya yang meregangkan paru, paru akan kolaps dan
menyebabkan keadaan yang disebut sebagai atelektasis.2
Bulk flow udara ke dalam dan ke luar paru terjadi karena
perubahan siklis tekanan intraalveolus yang secara tidak
langsung ditimbulkan oleh aktivitas otot pernapasan.
Aktivitas Otot-otot Pernapasan Selama Inspirasi dan Ekspirasi
a. Inspirasi, selama diafragma menurun akibat berkontraksi,
meningkatkan dimensi vertikal rongga toraks. Kontraksi otot-otot
antariga ekstemal mengangkat iga-iga untuk memperbesar rongga
toraks dari depan-ke-belakang dan sisi-ke-sisi.
b. Ekspirasi pasif tenang, yakni selama diafragma melemas,
mengurangi volume rongga toraks dari ukuran inspirasi puncaknya.
Karena otot antariga ekstem.al melemas, sangkar iga yang semula
terangkat turun akibat gaya tarik bumi. Hal ini juga mengurangi
volume rongga toraks.
c. Ekspirasi aktif, selama kontraksi otot-otot abdomen meningkatkan
tekanan intra-abdomen dan menimbulkan gaya ke arah atas pada
diafragma. Hal ini semakin mengurangi dimensi vertikal rongga
toraks lebih banyak daripada pengurangan yang terjadi pada
ekspirasi pasif. Kontraksi otot antariga internal menurunkan ukuran
depan-ke-belakang dan sisi-ke-sisi dengan meratakan iga-iga.2
Perubahan Volume Paru dan Tekanan Intra-alveolus
a. Inspirasi
Ketika volume paru meningkat selama inspirasi, tekanan intra-
alveolus menurun, sehingga tercipta gradien tekanan yang
menyebabkan udara mengalir ke dalam alveolus dari atmosfer; yaitu
terjadi inspirasi.
b. Ekspirasi
Pada saat paru menciut ke ukuran prainspirasi karena otot-otot
pemapasan melemas, tekanan intra-alveolus meningkat, menciptakan
gradien tekanan yang menyebabkan udara mengalir ke luar alveolus
menuju atmosfer; yaitu, terjadi ekspirasi.7
Perubahan Tekanan Intraalveolus dan Intrapleura selama
Siklus Pernapasan
a. Selama inspirasi tekanan intra-alveolus lebih kecil daripada tekanan
atmosfer.
b. Selama ekspirasi, tekanan intra-alveolus lebih besar daripada tekanan
atmosfer.
c. Pada akhir inspirasi dan ekspirasi, tekanan intraalveolus setara dengan
tekanan atmosfer; karena alveolus berkontak langsung dengan
atmosfer dan udara terus mengalir mengikuti penurunan gradien
tekanan sampai kedua tekanan seimbang.
d. Selama siklus pernapasan, tekanan intrapleura lebih rendah dari
tekanan intra-alveolus. Dengan demikian, gradien tekanan transmural
selalu ada, dan paru sedikit banyak selalu teregang bahkan selama
ekspirasi.7
Saluran Pernafasan penting dalam menentukan laju aliran apabila
saluran pernafasan mengalami penyempitan akibat proses
penyakit.
Dalam keadaan normal, penyesuaian ukuran saluran pernafasan
dapat dilakukan oleh pengaturan system saraf otonom agar dapat
memenuhi kebutuhan tubuh. Stimulasi parasimpatis, yang terjadi selama
situasi tenang-rileks saat kebutuhan akan aliran uadara tidak tinggi,
meningkatkan kontraksi otot polos bronkiolus, yang meningkatkan
rsesistensi saluran pernafasan dengan menimbulkan bronkokonstriksi.
Sebaliknya, stimulasi simpatis dan epinefrin, menimbulkan
bronkodilatasi, dan penurunan resistensi saluran pernafasan dengan
menyebabkan relaksasi otot polos bronkiolus.7
Ekspirasi paksa maksimum, selama tekanan intra-alveolus dan
tekanan intrapleura meningkat mencolok. Pada saat friksi menyebabkan
tekanan saluran pernapasan turun di bawah tekanan intrapleura di
sekitarya yang meningkat, saluran pernapasan kecil yang kaku akan
tertekan, sehingga tertutup, menghambat ekspirasi udara lebih lanjut
melalui saluran pernapasan. Pada orang normal, hal ini terjadi hanya
pada volume paru yang sangat kecil.7
Penyakit paru obstruktif, terjadi kolaps prematur saluran
pernapasan akibat dua alasan:
1. penurunan tekanan di sepanjang saluran pernapasan diperbesar
sebagai akibat peningkatan resistensi saluran pernapasan,
2. tekanan intrapleura lebih tinggi dari normal akibat hilangnya
jaringan paru, seperti pada emfisema, yang berperan menciutkan
dan menarik paru menjauhi dinding toraks. Udara berlebihan yang
terperangkap di alveolus di belakang segmen bronkiolus yang
tersumbat akan menurunkan tingkat pertukaran gas antara alveolus
dan atmosfer. Dengan demikian, lebih sedikit jumlah udara alveolus
yang "disegarkan" pada setiap kali bemapas pada saat saluran
pemapasan mengalami kolaps pada volume paru yang lebih tinggi
pada pasien penyakit paru obstruktif.7
Terdapat kontrol lokal yang bekerja pada otot polos saluran
pernafasan dan arteriol untuk mencocokan aliran darah dengan
aliran udara semaksimal mungkin.
Gambar 15. Mekanisme control perfusi di jaringan
Sifat elastik paru disebabkan oleh adanya serat-serat jaringan ikat elastik
dan tegangan permukaan alveolus.
Recoil elastic mengacu kepada seberapa mudah paru kembali ke
bentuknya setelah diregangkan. Sifat ini menentukan kembalinya paru ke
volume prainspirasinya sewaktu otot-otot inspirasi melemas akhir inspirasi.
Compliance mengacu kepada seberapa besar usaha yang diperlukan untuk
meregangkan atau mengembangkan paru. Secara spesisfik, compliance adalah
ukuran tingkat perubahan volume paru yang ditimbulkan oleh gradient
transmural (gaya yang meregangkan paru).7
Faktor yang lebih penting dalam dalam mempengaruhi sifat elastic
paru adalah tegangan permukaan alveolus, diperlihatkan oleh lapisan
cairan tipis yang meliputi semua alveolus. Gaya tarik menarik antara
molekul-molekul air (H20) di lapisan cairan yang membatasi alveolus
merupakan penyebab adanya tegangan permukaan. Karena adanya
tegangan permukaan tersebut, alveolus (1) menahan setiap peregangan,
(2) cenderung mengalami penurunan ukuran atau luas permukaan, dan
(3) cenderung meneiut kembali setelah diregangkan.7
Surfaktan paru menurunkan tegangan permukaan dan berperan
dalam stabilitas paru.
Menurut hukum LaPlace, apabila dua alveolus dengan ukuran
yang tidak sama tetapi dengan tegangan permukaan yang sama
berhubungan ke saluran pernapasan terminal yang sama, alveolus yang
lebih kecil, karena memiliki tekanan ke arah dalam yang lebih besar
memiliki kecenderungan (tanpa surfaktan paru) untuk kolaps dan
menyalurkan udaranya ke alveolus yang lebih besar.7
Surfaktan paru lebih menurunkan tegangan permukaan alveolus
yang lebih kecil daripada alveolus berukuran besar. Penurunan tegangan
permukaan ini meniadakan efek jari-jari kecil dalarn menentukan
tekanan ke arah dalam. Akibatnya, tekanan kolaps di alveolus besar dan
kecil setara. Dengan dernikian, dengan adanya surfaktan paru, alveolus
kecil tidak kolaps dan menyalurkan udara isinya ke alveolus yang lebih
besar.7
Faktor kedua yang berperan dalam stabilitas alveolus adalah
independensi alveolus-alveolus yang berdekatan. Jika satu alveolus
mulai kolaps, alveolus-alveolus di sekitarnya akan teregang dan
menimbulkan gaya yang menahan peregangan dan mengembangkan
alveolus yang sedang kolaps, sehingga alveolus tersebut tetap terbuka.7
Usaha bernapas meningkat pada empat situasi berbeda:
1. Saat compliance paru menurun, sehingga perlu kerja lebih keras
untuk mengembangkan paru.
2. Saat resistensi saluran napas meningkat, sehingga perlu usaha
lebih keras untuk menghasilkan gradient tekanan lebih besar agar
aliran udara adekuat.
3. Saat recoil elastic menurun, sehingga otot-otot abdomen harus
bekerja untuk membantu mengosongkan paru.
4. Saat kebutuhan ventilasi meningkat, misalnya saat berolahraga.7
Rata-rata jumlah maksimum udara yang dapat diandung kedua
paru sekitar 5,7 liter untuk pria dan 4,2 liter untuk wanita. Volume paru
dan kapasitas paru dapat ditentukan sebagai berikut:
1. Tidal volume (TV), yaitu volume udara yang masuk keluar paru
selama satu kali bernapas, nilai rata-ratanya saat istirahat 500 ml.
2. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume, VCI), yaitu
volume tambahan yang dapat dihirup secara maksimal melebihi
volume tidal. Nilai rata-ratanya 3.000 ml.
3. Kapasitas inspirasi (KI), yaitu volume maksimal udara yang dapat
dihirup (KI= VCI + TV). Nilai rata-ratanya 3.500 ml.
4. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume, VCE), yaitu
volume tambahan yang dapat dikeluarkan secara maksimal melebihi
volume tidal. Nilai rata-ratanya 1.000 ml.
5. Volume residual (VR), yaitu volume minimum udara yang tersisa di
paru bahkan setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-ratanya 1.200
ml.
6. Kapasitas Residual fungsional (KRF), yaitu volume udara di paru
pada akhir ekspirai normal (KRF = VCE + VR). Nilai rata-ratanya
2.200 ml.
7. Kapasitas vital (KV), yaitu volume maksimum udara yang dapat
dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum
(KV = VCI + TV + VCE). Nilai rata-ratanya 4.500 ml.
8. Kapasitas paru total (KPT), yaitu volume udara maksimm yang
dapat ditampung paru (KPT = KV + VR). Nilai rata-ratanya 5.700
ml.
9. Volume ekspirsi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume,
FEV1), yaitu volume udara yang dapat diekspirasi selama detik
pertama ekspirasi pada penentuan KV. Pengukuran ini memberikan
indikasi laju aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru.7
Ada dua faktor yang penting dalam menentukan ventilasi paru,
yaitu volume tidal dan frekuensi pernapasan, yang rata-rata sebesar 12
kali/menit.7
Saat meningkatkan ventilasi paru, akan lebih menguntungkan jika
yang ditingkatkan lebih besar adalh volume tidal dibandingkan frekuensi
pernapasan. Sebagian udara yang dihirup akan tetap tertinggal di saluran
pernapasan. Volume saluran tersebut pada oang dewasa sekitar 150 ml.
Volume ini dianggap sebagai ruang-mati anatomic (anatomic dead
space), karena udara di dalamnya tidak dapat dimanfaatkan untuk
pertukaran gas, sehingga ventilasi alveolus (voume udara yang
dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus/menit) lebih penting daripada
ventilasi paru. Jika volume tidal meningkat, peningkatan tersebut
menyebabkan peningkatan ventilas alveolus, sedangkan jika frekuensi
pernapasan meningkat, frekuensi udara yang tersia-sia di ruang mati juga
meningkat, karena tiap kali bernapas sebagian udara akan masuk-keluar
ruang mati.7
2. Pertukaran Gas
a. Gas berpindah mengikuti penurunan gradient tekanan
Tujuan akhir bernafas adalah secara terus menerus menyediakan
pasokan udara O2 segar untuk diserap oleh darah dan mengeluarkan
CO2dari darah.Darah berfungsi sebagai system transportasi untuk O2 dan
Ventilasi paru = tidal volume x frekuensi pernapasan
(ml/menit) (ml/napas) (napas/menit)
CO2 antara paru-paru dan jaringan, dengan sel jaringan mengekstraksi O2
dari darah dan mengeliminasi CO2 ke dalamnya.Pertukaran gas ditingakat
kapiler paru dan dan kapiler jaringan terjadi melalui difusi pasif sederhana
O2 dan CO2 mengikuti penurunan gradient tekanan parsial.Tidak terdapat
mekanisme transportasi aktif kedua gas tersebut.7
Udara atmosfer normal yang kering adalah campuran gas-gas yang
mengandung sekitar 79% nitrogen dan 21% O2 dengan persentase CO2,
uap H2O, gas lain dan polutan hamper dapat diabaikan.Secara bersama-
sama gas-gas ini menghasilkan tekanan atmosfer total sebesar 760 mmHg
pada ketinggan permukaan laut.Tekanan total ini setara dengan jumlah
tekanan setiap gas di dalam campuran gas tersebut.Tekanan yang
ditimbulkan oleh gas tertentu berbanding lurus dengan persentase gas
tersebut dalam campuran udara total.Setiap molekul gas berapapun
ukuranya, menimbulkan besar tekanan yang sama, sebagai contoh sebuah
molekul N2 menimbulkan tekanan yang sama besar dengan yang
ditimbulkan oleh sebuah molekul O2.karena79% udara terdiri dari molekul
N2, 79% dari 760 mmHg tekanan atmosfer atau 600 mmHg ditimbulkan
oleh molekul N2.Demikian juga, karena O2 mewakili21% atmosfer, 21%
dari tekanan atmosfer 760 mmHg atau 160 mmHg ditimbulkan oleh
O2.Setiap tekanan yang secara independent ditimbulkan oleh gas tertentu
didalam gas campuran yang dikenal sebagai tekanan parsial, yang
dinyatakan sebagai Pgas.Dengan demikian tekanan partsial O2 di udara
atmosfer PO2 dalam keadaaan normal adalah 160 mmHg.Tekanan parsial
CO2 diatmosfer, PCO2 dapat diabaikan yaitu 0,3 mmHg.7
Gas-gas yang larut dalam cairan misyalnya darah atau cairan tubuh
lain juga dianggap menimbulkan tekanan parsial.Jumlah gas yang akan
dilarutkan dalam darah bergantung pada daya larut (solubilitas) gas dalam
darah dan tekanan parsial gas dalam udara alveolus tempat darah
terpajan.Karena daya larut O2 dan CO2 dalam darah konstan, jumlah O2
dan CO2 yang larut dalam darah kapiler paru berbanding lurus dengan PO2
dan PCO2 alveolus.Tekanan parsial alveolus dari suatu gas tertentu dapat
dianggap “menahan”gas tersebut dalam larutan darah.7
Apabila terdapat pada kasus tekanan O2 tekanan parsial suatu gas
dalam alveolus lebih tinggi daripada tekanan parsial gas tersebut dalam
darah yang memasuki kapiler dalam paru tekanan parsial didalam paru,
tekanan parsial alveolus yang lebih tinggi mendorong lebih banyak O2
masuk kedalam darah.Oksigen berdifusi dari alveolus dan larut dalam
darah sampai PO2 darah setara dengan PO2 alveolus.Sebaliknya apabila
tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih rendah menyebabkan
sebagian CO2 keluar dari larutan (Jadi tidak lagi terlarut) dalam
darah.Setelah keluar dari larutan, CO2 berdifusi kedalam alveolus sampai
ke PCO2 darah setara dengan PCO2 alveolus. Perbedaan tekanan parsial
antara darah paru dan udara alveolus tersebut dikenal sebagi gradient
tekanan parsial.Suatu gas selalu berdifusi mengikuti penurunana gradient
tekanan parsial didaerah dengan tekanan parsial tinggi ke daerah tekanan
parsial yang rendah serupa dengan difusi mengikuti penurunan gradient
konsentrasi.7
b. Oksigen masuk dalam CO2 keluar dari darah di paru secara pasif
mengikuti penurunan gradient tekanan parsial
Komposisi udara alveolus tidak sama dengan udara yang atmosfer
yang dihirup karena dua alas an. Pertama segera setelah udara atmosfer
memasuki saluran pernafasan, udara tersebut mengalami kejenuhan H2O
akibat pajanan kesaluran pernafasan yang lembab.Uap air juga
menimbulkan tekanan parsial seperti gas lainya.Pada suhu tubuh tekanan
parsial uap H2O adalah 45mmHg.Pelembaban udara yang masuk pada
dasarnya menyebabkan “pengenceran” tekanan parsial gas-gas yang
masuk sebesar 47 mmHg karena jumlah tekanan parsial harus sama
dengan jumlah tekanan atmosfer sebesar 760 mmHg.Pada udara lembab,
PH2O=47mmHg, PN2 = 563 mmHg, dan PO2=150mmHg.7
Kedua, PO2 alveolus juga lebih rendah dari pada PO2 atmosfer
karena udara inspirasi segar tercampur dengan sejumlah besar udara lama
yang berada diparu-paru dan ruang mati pada akhir ekspirasi
sebelumnya(kapasitas residu fungsional).Hanya sekitar sepertujuh udara
alveolus total yang diganti oleh udara segar dari atmosfer setiap kali
bernafas.Dengan demikian pada akhir inspirasi, kurang dari 15% udara di
alveolus yang merupakan udara segar.Akibat humidifikasi dan rendahnya
tingkat pertukaran udara alveolus, PO2 alveolus rata-rata adalah 100
mmHg, dibandingkan dengan PO2 atmosfer sebesar 160 mmHg.7
Masuk akal apabila ada anggapan bahwa PO2 alveolus akan
meningkat selam inspirasi dengan datangnya udara segar dan akan
menurun selama ekspirasi.Namun fluktuasi kecil PO2, hanya beberapa
mmHg, terjadi karena dua alas an.Pertama setiap kali bernafas hanya
sebagian kecil dari udara alveolus total yang dipertukarkan.Volume udara
inspirasi ber-PO2 tinggi yang relative kecil dengan cepat tercampur udara
yang tertahan di alveolus yang jumlahnya jauh lebih besar dan memiliki
PO2 lebih rendah.Demikian O2 dalam udara inspirasi hanya dapat
meningkatkan sedikit PO2 alveolus total.Bahkan peningkatan kecil PO2 ini
akan hilang karena ada sebab lain.Oksigen secara terus menerus berpindah
melalui proses difusi pasif mengikuti penurunan gradient tekanan parsial
dari alveolus kedalam darah. Oksigen yang tiba di alveolus dalam udara
inspirasi menggantikan O2 yang berdifusi keluar alveolus dan masuk ke
kapiler paru.Dengan demikian, PO2 alveolus tetap konstan sekitar 100
mmHg sepanjang siklus pernapasan.Karena PO2 darah paru berada dalam
keseimbangan dengan PO2 alveolus, PO2 darah juga akan berada dalam
kisaran yang cukup konstan pada angka tersebut.Karena selama siklus
inspirasi jumlah O2 dalam darah yang tersedia untuk jaringan tidak banyak
berubah-ubah.7
Situasi serupa dalam arah berlawanan berlaku untuk
CO2.Karbondioksida yang secara terus menerus diproduksi oleh jaringan
tubuh sebagai produk sisa metabolisme, secara konstan ditambahkan ke
darah ditingkat kapiler sistemik.Di kapiler paru CO2 berdifusi mengikuti
penurunan gradient tekanan parsial dari darah kedalam alveolus dan
kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui ekspirasi.Seperti O2, PCO2
alveolus relative konstan sepanjang siklus pernapasan, tetapi dengan angka
yang lebih rendah yaitu 40 mmHg.Ventilasi secara terus menerus
mengganti PO2 alveolus, sehingga tekanan gas tersebut relative tinggi dan
secara terus menerus mengeluarkan CO2 sehingga PCO2 alveolus relative
rendah.Dengan demikian gradient tekanan parsial antara alveolus dan
darah dapat dipertahankan sehingga O2 dapat masuk kedarah dan CO2
keluar dari darah.7
Darah yang masuk ke kapiler paru adalah darah vena sistemik yang
dipompa ke paru melalui arteri pulmonalis.Darah ini, yang baru kembali
dari jaringan tubuh, mengandung O2 yang relative rendah dengan PO2
40mmHg dan relative banyak mengandung banyak CO2 dengan PCO2 46
mmHg.Pada saat mengalir melalui kapiler-kapiler paru, darah ini terpajan
ke udara alveolus.Karena PO2 alveolus 100 mmHg (lebih tinggi dari pada
PO2 darah yang masuk ke paru-paru yaitu 40 mmHg), O2 berdifusi
mengikuti penurunan gradient tekanan parsial dari alveolus ke dalam darah
sampai tidak lagi terjadi gradient.Pada saat meninggalkan kapiler paru
darah memiliki P O2 setara dengan PO2 alveolus yaitu 100 mmHg.Tekanan
gradient parsial untuk CO2 memiliki arah yang berlawanan.Darah yang
masuk ke kapiler paru memiliki PCO2 46 mmHg, sementara PCO2
alveolus hanya 40 mmHg.Karbondioksida berdifusi dari darah kedalam
alveolus sampai PCO2 berada dalam keseimbangan dengan PCO2
alveolus.Dengan demikian darah yang meninggalkan kapiler paru
memiliki PCO2 40 mmHg.Sewaktu melewati paru, darah menyerap O2 dan
menyerahkan CO2 hanya dengan proses difusi mengikuti penurunan
gradient tekanan parsial yang memiliki terdapat antara darah dan
alveolus.Setelah meninggalakan paru, darah yang sekarang memiliki PO2
100 mmHg dan PCO2 40 mmHg, kembali ke jantung untuk kemudian
dipompa ke jaringan tubuh sebagai darah arteri sistemik.7
Darah yang kembali ke paru dari jaringan masih mengandung CO2
(PO2 darah arteri sistemik=40 mmHg) dan bahwa darah yang keluar dari
paru-paru masih mengandung CO2 (PCO2 darah arteri sistemik=40 mmHg)
tambahan O2 yang diangkut dalam darah melebihi jumlah normal yang
diserahkan ke jaringan mencerminkan cadangan O2 yang dapat segera
digunakan oleh sel-sel jaringan manakala kebutuhan O2 mereka
meningkat.Karbondioksida yang menetap dalam darah bahkan setelah
darah melewati paru berperan penting pada keseimbangan asam basa
tubuh karena CO2 mengkasilkan asam karbonat.Selain itu PCO2 arteri
penting untuk mengendalikan pernapasan.7
Jumlah O2 yang diserap oleh paru sesuai dengan jumlah yang
diekstraksi dan digunakan oleh jaringan.Apabila jaringan melakukan
metabolisme secara lebih aktif (misyal berolahraga) lebih banyak O2 yang
diekstraksi dari darah ditingkat jaringan, sehingga PO2 vena sistemik
berkurang menjadi lebih rendah daripada 40 mmHg, misyalnya PO2
menjadi 30 mmHg.Sewaktu darah ini kembali ke paru terbentuk gradient
PO2 yang lebih besar daripada normal antara daerah yang baru datang dan
daerah alveoli.Perbedaan PO2 antara alveolus dan darah sekarang menjadi
70 mmHg (PO2 alveolus 100 mmHg dan PO2 darah 30 mmHg)
dibandingkan dengan gradient PO2 normal sebesar 60 mmHg (PO2
alveolus 100 mmHg dan PO2 darah 30 mmHg).Dengan demikian lebih
banyak O2 yang berdifusi dari alveolus ke dalam darah mengikuti
penurunan gradient tekananparsial sebelum PO2 darah setara dengan PO2
alveolus.Jumlah CO2 dari darah yang dipindahkan ke alveolus sesuai
dengan jumlah CO2 yang diserap dijaringan.7
c. Faktor diluar gradient tekanan parsial mempengaruhi kecepatan
perpindahan gas
Selama olahraga luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran
dapat meningkatkan kecepatan secara fisiologis untuk meningkatkan
kecepatan pertukaran gas.Pada keadaan istirahat sebagian kapiler paru
biasanya tertutup karena tekanan sirkulasi paru yang secara normal rendah,
tidak mampu membuka kapiler semua yang ada.Selama olahraga pada saat
tekanan darah paru meningkat akibat peningkatan curah jantung, banyak
kapiler paru yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka.Hal ini
meningkatkan luas permukaan darah yang tersedia untuk proses
pertukaran.Selain itu ketika berolhraga membrane alveolus lebih teregang
daripada normal karena peningkatan tidal volume.Peregangan ini
meningkatkan luas permukaan alveolus dan menurunkan ketebalan
membrane alveolus secara kolektif perubahan –perubahan ini
meningkatkan pertukaran gas selama olahraga.7
Beberapa keadaan patologis sangat menurunkan luas permukaan
paru dan pada giliranya menurunkan kecepatan pertukaran gas.Luas
permukaan berkurang pada emfisema karena banyak dinding alveolus
yang lenyap sehingga terbentuk ruang-ruang udara yang lebih besar tetapi
lebih sedikit.Berkurangnya luas permukaan untuk pertukaran gas juga
dapat terjadi akibat adanya atelektasis serta akibat hilangnya sebagian
jaringan paru karena pengangkatan secara bedah misyalnya pengobatan
kanker paru-paru.7
Pertukaran gas yang tidak adekuat juga dapat terjadi apabila
ketebalan sawar yang memisahkan udara dan darah meningkat secara
patologis.Apabila ketebalan meningkat, kecepatan pertukaran gas
berkurang karena harus menempuh lintasan yang lebih jauh untuk
berdifusi.Ketebalan meningkat pada:
a. Edema paru
b. Fibrosis paru
c. Pneumonia
Faktor yang mempengaruhi kecepatan pertukaran gas melintasi membrane
alveolus
Faktor Pengaruh pada
kecepatan
pertukaran gas
melintasi membrane
alveolus
komentar
Gradient tekanan
parsial O2 dan
CO2
Kecepatan pertukaran
meningkat jika
gradient tekanan
parsial menurun
Penentu utama kecepatan
pertukaran
Luas permukaan Kecepatan pertukaran Luas permukaan
membrane
alveolus
meningkat jika luas
permukaan menurun
bersifat tetap pada
keadaan istirahat
Luas permukaan
meningkat selama
olahraga karena
semakin banyak
jumlah kapiler paru
yang terbuka saat
curah jantung
meningkat dan
alveolus lebih
banyak yang
mengembang karen
bernafas jadi lebih
dalam
Luas permukaan
menurun pada
keadaan patologi
misyalnya emfisema
atau atelektasis
Ketebalan sawar
memisahkan
udara dan darah
melintasi
membrane
alveolus
Kecepatan pertukaran
menurun jika
ketebalan meningkat
- Dalam keadaan
normal, ketebalan
tidak berubah
- Ketebalan
meningkat pada
keadaan patologis
misyal edema paru,
fibrosis paru, dan
pneumonia
Koefisien difusi
(daya larut gas
dalam membran)
Kecepatan pertukaran
meningkat jika
koefisien difusi
meningkat
Koefisien difusi untuk CO2
lebih besar 20 kali lipat
dibandingkan dengan O2
mengimbangi gradien
tekanan parsial CO2 yang
lebih kecil dengan demikian
jumlah O2 dan CO2 yang
dipindahkan menembus
membran kira-kira setara.
Secara normal, diperkirakan terjadi pertukaran O2 dan CO2 dalam
jumlah setara-sebesar kuosien pernapasan.Walaupun volume tertentu
darah menghabiskan tiga perempat detik melewati jaringan kapiler paru,
PO2 dan PCO2 biasanya sudah berada dalam keseimbangan.Dengan
tekanan parsial alveolus pada saat darah sudah menjalani sepertiga lintasan
kapiler paru.Hal ini berarti bahwa dalam keadaan normal paru memiliki
cadangan difusi yang besar, suatu kenyataan yang sangat penting selama
kita berolahraga berat.Waktu yang dipakai darah untuk transit dikapiler
paru berkurang apabila aliran darah ke paru meningkat seiring dengan
peningkatan curah jantung yang menyertai olahraga.Walaupun waktu yang
tersedia terus memendek, PO2 dan PCO2 darah secara normal tetap mampu
menyamai kadar alveolus karena adanya cadangan difusi paru
tersebut.Pada paru yang sakit, difusi mengalami gangguan akibat
penurunan luas permukaan atau penebalan sawar darah- udara.Pada
keadaan demikian, pertukaran O2 biasanya Jauh lebih terpengaruh
daripada CO2 karena koefisien difusi CO2 yang lebih besar.Pada saat darah
mencapai akhir jaringan kapiler paru, darah tersebut kemungkinan telah
lebih berhasil menyetarakan PCO2nya dengan PCO2 alveolus, dari pada
PO2nya, karena CO2 dapat berdifusi lebih tepat menembus sawar
pernapasan.Pada kelainan yang lebih ringan difusi O2 dan CO2 mungkin
belum mencapai keseimbangan dengan gas-gas alveolus setelah darah
meninggalkan paru.7
d. Pertukaran gas melintasi kapiler sistemik juga mengikuti penurunan
gradien tekanan parsial
Seperti dikapiler paru O2 dan CO2, berpindah antara darah kapiler
sistemik dan sel jaringan melalui proses difusi pasif mengikuti penurunan
gradien tekanan parsial.Darah arteri yang mencapai kapiler paru sistemik
pada dasarnya adalah darah yang sama meninggalkan paru melalui vena
pulmonalis, karena dari keseluruhan sistem sirkulasi hanya terdapat dua
tempat pertukaran gas yaitu kapiler paru dan kapiler sistemik.PO2 arteri
adalah 100 mmHg dan PCO2 arteri adalah 40 mmHg sama seperti PO2 dan
PCO2 alveolus.7
Sel secara terus menerus mengkonsumsi O2 dan menghasilkan CO2
melalui mekanisme oksidatif. PO2 sel besar rata-rata 40 mmHg dan
PCO2nya sekitar 46 mmHg, walupun angka ini sangat bervariasi
bergantung pada tingkat aktivitasnya metabolisme sel.Oksigen berpindah
mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari memasuki darah kapiler
sistemik (PO2 = 100mmHg) ke dalam sel yang berdekatan (PO2 =
40mmHg) sampai tercapai keseimbangan.Dengan demikian PO2 darah
vena yang meninggalkan kapiler sistemik setara dengan PO2 dalam
jaringan dengan rata-rata 40 mmHg.Situasi yang berlawanan berlaku
untuk CO2.Karbon dioksida dengan cepat berdifusi keluar sel (PCO2 =
46mmHg) untuk masuk kedarah kapiler (PCO2 = 40mmHg) mengikuti
penurunan gradien tekanan parsial yang tercipta akibat produksi terus
menerus CO2.Perpindahan CO2 berlangsung terus sampai PCO2 darah
seimbang dengan PCO2 jaringan.Dengan demikian darah yang
meninggalkan kapiler sistemik memiliki PCO2 rata-rata 46mmHg.Darah
vena sistemik ini yang secara relatif mengandung sedikir O2 (PO2 =
40mmHg) dan banyak CO2 (PCO2= 46mmHg) kembali ke jantung dan
kemudian dipompa ke paru-paru untuk mengulangi siklus peredaran
darah.7
Semakin aktif suatu jaringan melakukan metabolisme semakin
rendah PO2 sel turun dan semakin tinggi PCO2 semakin meningkat.Akibat
peningkatan gradien tekanan parsial ke darah ke sel, lebih banyak O2 yang
berdifusi dari darah kedalam sel dan lebih banyak CO2 dengan arah yang
berlawanan sampai PO2 dan PCO2 darah mencapai keseimbangan dengan
sel-sel sekitarnya.Dengan demikian jumlah O2 yang dipindahkan ke sel
dan jumlah CO2 yang dibawa keluar sel bergantung pada tingkat
metabolisme sel.7
Difusi netto O2 pertama-tama terjadi antara alveolus dan darah
kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang
tercipta oleh penggunaan terus menerus O2 yang tercipta oleh penggunaan
terus-menerus oleh sel dan penggantian yang terus-menerus O2 oleh sel
dan penggantian terus menerus O2 segar di alveolus oleh proses ventilasi
alveolus.Difusi netto CO2berlangsungdengan arah berlawanan, pertama
antara jaringan dan darah kemudian antara darah dan alveolus, akibat
adanya gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta oleh pembentukan terus
menerus CO2 di sel dan pengeluaran terus menerus CO2 oleh alveolus
melalui proses ventilasi alveolus.7
Pertukaran gas terjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial masing-masing gas antara atmosfir dan tekanan parsial gas
tersebut di alveolus paru-paru. Gas-gas tersebut bergerak dari tempat dengan tekanan tinggi ke tempat yang tekanannnya rendah. Perbedaan
tekanan gas tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.3
Udara alveolus(mmHg)
Udara Atmosfir(mmHg)
569 (74,9%)597 (78,62N2
104 (13,6%)159,0 (20,84%)O2
40 (5,3%)0,3 (0,04%)CO2
47 (6,2%)3,7 (0,50H2O
760 (100%)760 (100%)Total
Gambar 16. Pertukaran gas dari paru ke kapiler
3. Transportasi Gas
Pada keadaan normal, kira-kira 97 % O2 yang di transpor dari paru ke
jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dengan hemoglobin dalam sel darah
merah. Sisanya yang 3 % di bawa dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma
dan sel. Sehingga sebagian besar O2 dalam darah diangkut oleh hemoglobih.4
Hemoglobin, suatu molekul protein yang mengandung besi, memilki
kemampuan untuk membentuk ikatan longgar-reversibel dengan O2. A pabila
tidak berikatan dengna O2 , Hb di sebut sebagai hemoglobin tereduksi dan
apabila Hb tersebut berikatan dengan O2 disebut oksihemoglobin (HbO2).4
a. Jumlah maksimum oksigen yang dapat bergabung dengan
hemoglobin darah
Darah orang normal mengandung sekitar 15 gram Hb dalam setiap 100 ml
darah, dan tiap gram Hb berikatan dengan maksimal 1,34 ml oksigen. Oleh
karena itu rata-rata Hb dalam 100 ml darah dapat bergabung dengan total
hampir 20 ml oksigen bila tingkat kejenuhannya 100 %.4
b. Jumlah oksigen yang dilepaskan dari hemoglobin di dalam jaringan
Jumlah total oksigen yang terikat dengan Hb di dalam darah arteri normal
dengan kejenuhan normal 97%, kira-kira 19,4 ml tiap ml darah. Ketika
melalui jaringan jumlah ini berkurang rata-rata menjadi 14,4 ml (Po2 40
mmHg, Hb tersaturasi 75%). Sehingga, pada keadaan normal kira-kira 5
ml oksigen ditraspor ke jaringanoleh setiap 100 ml darah.4
c. Po2 adalah faktor utama yang menentukan persen saturasi
hemoglobin.
Persen saturasi Hb, suatu ukuran seberapa banyak Hb yang beriktan
dengan O2, dapat bervariasi dari 0% sampai 100 %. Faktor penting yang
menentukan % saturasi Hb adalah Po2 darah yang berkaitan dengna
konsentrasi O2 yang secra fisik larut dalam darah. Menurut hukum aksi
massa, ”apabila konsentrasi salah satu bahan yang terlibat dalam sebuah
reaksi reversibel meningkat, reaksi akan mengarah ke sisi yang
berlawanan, sebaliknya apabila konsentrasi zat berkurang, reaksi akan
mengarah ke sisi tersebut.” Jadi, dengan menerapkan hukum ini jika Po2
darah meningkat rekasi kan mengarah ke sisi kanan persamaan , sehingga
terjadi peningkatan pembentukan Hb O2 (peningkatan % saturasi Hb).
Apabila Po2 berkurang, reaksi akan mengarah ke sisi kiri persamaan dan
oksigen akan dibebaskan dari Hb ketika HbO2 terurai (penurunan %
saturasi Hb).7
Hubungan antara % saturasi Hb dengan Po2 darah tidaklah linier.
Peningkatan 2x Po2 tidak menyebabkan peningkatan 2x lipat % saturasi
Hb. Hubungan-hubungan tersebut dinyatakan dalam satu kurva berbentuk
huruf S yang dikenal dengan kurva disosiasi ( saturasi) O2-Hb. Pada Po2
darah 60 sampai 100 mmHg kurva mendatar atau membentuk plateau.
Dalam rentang ini peningkatan Po2 hanya sedikit meningkatan % saturasi
Hb. Sebaliknya dlam rentang 0 sampai dengna 60 mm Hg, perubahan kecil
Po2 menimbulkan perubahan besar tingkat %saturasi Hb.7
Gambar 17. Kurva O2 – Hb
d. Makna bagian mnedatar pada Kurva O2- Hb
Bagian mendatar kurva terletak pada rentang Po2 darah yang terdapat di
kapiler paru tempat O2 sedang digabungkan dengan Hb. Darah arteri
sistemik yang keluar dari paru, setelah mengalami keseimbangan dengan
Po2 alveolus secara normal ,memilki Po2 100 mmHg. 7
Apabila Po2 alveolus dengan Po2 arteri turun di bawah normal, hanya
terjadi sedikit penurunan jumlah total yang diangkut oleh darah sampai O2
turun dibawah 60 mmHg. Apabila Po2 turun 40 % dari 100 mmHg menjadi
60 mmHg, komsentrasi O2 terlarut yang tercermin pada Po2 juga kan
berkurang 40%. Akan tetapi, pada Po2 darah 60 mmHg, % saturasi Hb
masih tinggi yaitu 90%. Dengna demikian kandungan O2 total darah hanya
sedikit yang berkurang walau terjadi penurunan Po2 sebesar 40% karena
Hb masih mengangkut O2 dalam jumlah besar yang hampir maksimum.
Bahkan apabila Po2 sangat meningkat, misal menjadi 600 mmHg denga
menghirup O2 murni hanya sedikit saja penmbahan jumlah O2 ke dalam
darah. Sejumlah kecil tambahan O2 larut, tetapi % saturasi Hb tetap hanya
dapat ditingkatkan maksimum sebesar 2½% menjadi 100%. Oleh karena
itu, dalam rentang Po2 60 sampai 100 mmHg atau bahkan lebih tinggi
hanya terjadi 10 % perbedaan jumlah O2 yang diangkut oleh Hb. Bagian
datar pada kurva O2 – Hb membentuk batas yang aman bagi darah dalam
kaitanya denga kemampuan mengangkut O2.7
e. Makna Bagian Curam pada Kurva O2 – Hb
Bagian curan pada kurva antara 0 sampai 60 mmHg terletak pada rentang
Po2 darah yang terdapat di kapiler sistemik, tempat O2 dibebaskan dari Hb.
Dalam kapiler sisitemik darah melakukan keseimbangan dengan sel-sel
jaringan disekitarnya pad Po2 rata-rata 40 mmHg (saturasi Hb 75%). Darah
sampai ke kapiler jaringan dengan Po2 100 mmHg dan % saturasi Hb
97,5%. Karena Hb hanya dapat menglami saturasi 75% pada Po2 40
mmHg di kapiler sistemik, hampir 25% HbO2 harus berdisosiasi,
menghasilkan Hb tereduksi dan O2. O2 yang di bebaskan ini berdifusi
mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari sel darah merah melalui
plasma dan cairan interstisium ke dalam sel jaringan. Hemoglobin di
dalam darah vena yang kembali ke paru 75% masih tersaturasi. Apabila sel
jaringan melakukan metabolisme secara aktif Po2 darah kapiler sistemik
akan turun karena sel-sel mengkonsumsi O2 secara lebih cepat. Pada
kurva, penurunan Po2 sebesar 20 mmHg ini menurunkan % saturasi Hb
dari 75% menjadi 30%, jadi sekitar 45% dari total HbO2. Penurunan Po2
dari 100 mmHg menjadi 40 mmHg di kapiler sistemik menyebabkan
sekitar 25% dari total HbO2 membebaskan O2 nya. Dalam rentang ini,
penurunan sedikit saja Po2 kapiler sistemik dapat secara otomatis
menyediakan jumlah besar O2 untuk dengna segera memenuhi kebutuhan
jaringan ynag melalukan metabolisme aktif.7
Hb memang berperan penting dalam memungkinkan perpindahan
sejumlahbesar O2 sebelum PO2 darah seimbang dengan jaringan
disekitarnya. Hb melakukannya dengan bertindak sebaga ”depot
penyimpanan” untuk o2 menyingkirkan o2 dari larutan segera setelah o2
memasuki alveolus. Karena hanya o2 yang larut yang dapat berperan
menentukan PO2, o2 yang tersimpan di Hb tidak ikut menentuka PO2. Pada
saat darah vena masuk ke kapiler paru, PO2 nya jauh lebih rendah dari
pada PO2 alveolus, sehingga o2 segera berdifusi ke dalam darah dan
meningkatkan PO2 darah. Setelah po2 darah meningkat, % Hb yang dapat
mengikat o2 juga meningkat. Akibatnya sebagian besar o2 yang berdifusi
ke dalam darah berikatan dengan Hb dan tidak lagi menentukan PO2 darah.
Pada saat PO2 darah disingkirkan dari larutan karena berikatan dengan Hb
PO2 darah turun ke tingkat yang kira-kira samadenga waktu masuk ke
paru, walaupun jumlah total o2 dalam darah sebenarnya sudah meningkat.7
Pada PO2 normal sebesar 100 mmHg, Hb 97,5 % tersaturasi. Jadi, dengan
menyerap o2 Hb menjaga PO2 darah tetap rendahdan memperpanjang
adanya gradien tekanan parsial, sehingga dapat berlangsung perpindahan
netto o2 dalam jumlah besar ke dalam darah. Setelah Hb tidak lagi dapat
menyimpan O2 semua O2 yang masuk ke dalam darah tetap terlarut dan
menentukan PO2 secara langsung. Pada saat inilah PO2 darah dapat
siembang dengna PO2 alveolus dan perpindahan lebih lanjut menjadi
terhenti, tetapi titik tersebut tidak akan tercapai sampai Hb diisi
semaksimal mungkin. Apabila PO2 darah telah seimbang dengan PO2
alveolus, tidak dapat terjadi perpindahan o2 lagi, tanpa memperhitungkan
seberapa banyak atau sedikit o2 total yang telah dipindahkan.7
Dengan demikian Hb berperan penting menentukan jumlah total o2 yang
dapat diserap oleh darah di paru dan diserahkan ke jaringan. Jika kadar Hb
berkurang sampai separuh dari normal, kapasitas darah mengangkut o2
berkurang 50% walaupun PO2 arteri tetap normal 100 mmHg dengan
saturasi 97,5%. 7
f. Peningkatan Co2, keasaman, suhu, dan 2,3 difosfogliserat menggeser
kurva disosiasi O2 –Hb ke kanan
Gambar 18. Pergeseran Kurva O2 - Hb
Selain PO2 darah yang merupakan faktor utama menentukan % saturasi
Hb, terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi avinitas, atau
kekuatan ikatan antara Hb dan Os yang juga dapat menggeser kurva O2-
Hb. Faktor-faktor tersebut diantaranya adlah CO2, keasaman, suhu, dan 2,3
difosfogliserat. 7
Peningkatan PCO2 mengeser kurva disosiasi O2-Hb ke kanan. Persen
saturasi Hb masih bergantung pada Po2, tetapi untuk setiap PO2, jumlah
O2 dan Hb yang akan berikatan menurun. Efek ini penting karena PCO2
meningkat di kapiler sistemik ketika CO2 berdifusi mengikuti penurunan
gradiennya dari sel ke dalam darah. Adanya tambahan CO2 darah ini
menyebabkan penurunan avinitas Hb terhadap O2, sehingga Hb lebih
banyak membebaskan O2 di jaringan dibandingkan dengan jika faktor
satu-satunya yang mempengaruhi % saturasi Hb adalah penurunan PO2 di
kapiler sistemik.7
Peningkatan keasaman juga meningkatkan kurva ke kanan. Karena CO2
menghasilkan asam karbonat (H2CO3), darah menjadi lebih asam di tingkat
kapiler sistemik karena menyerap CO2 dari jaringan. Penurunan avunitas
Hb terhadap O2 akibat peningkatan keasaman ini membantu meningkatkan
jumlah O2 yang dibebaskan di tingkat jaringan pada PO2 tertentu. Pada sel-
sel yang aktif melakukan metabolisme, tidak saja CO2 penghasil asam
yang di produksi, tetapi juga asam laktat jika sel-sel tersebut menggunakan
metabolisme anaerob. Pengaruh CO2 dan asam pada pembebasan O2 dari
Hb dikenal dengan efek Bohr. Baik CO2 maupun komponenion Hidrogen
(H+) asam maupun berikatan secara reversibel dengan Hb pada tempat
diluar tempat ikatan O2. Hasilnya adalah perubahan struktur molekul Hb
yang menurunkan avinitasnya terhadapa O2. Peningkatan Suhu juga
menggeser kurva kearah kanan, menyebabkan lebih banyak O2 yang
dibebaskan untuk PO2 tertentu. Dengan demikian, peningkatan CO2,
keasaman dan suhu ditingkat jaringan meningkatkan efek penurunan PO2
dalam mempermudah pembebasan O2 dari Hb.7
Perubahan-perubahan diatas berlangsung dilingkungan sel darah merah,
tetapi ada juga faktor di dalam sel darah merah yang mempengaruhi
tingkat peningkatan O2-Hb yaitu 2, 3-Difosfogliserat (DFG). Konstituen
eritrosit ini, yang dihasilkan oleh metabolisme sel darah merah, dapat
berikatan secara reversibel berikat denga Hb dan mengurangi afinitasnya
terhadap O2, seperti yang dilakukan CO2 dan H+ . dengan demikian
peningkatan kadar DFG menimbulkan kurva menggeser ke kanan,
meningkatkan pembebasan O2, pada saat darah mengalir kejaringan.
Produksi DFG oleh sel darah merah secara bertahap meningkat apabila Hb
di darah arteri terus menerus berada dalam keadaan tidak jenuh
(ansaturated) yaitu apabila HbO2 arteri di bawah normal. Denga
mendorong pembebasan O2 dari Hb ditingkat jaringan, peningkatan DFG
ini membantu mempertahankan ketersediaan O2 untuk digunakan oleh
jaringan pada keadaan-keadan yang berikatan dengan penurunan pasokan
O2 arteri.7
g. Tempat peningkatan Oksigen di hemoglobin memiliki afinitas paling
besar untuk karbonmonoksida dibandingkan untuk Oksigen.
Karbon monoksida (CO) dan O2 bersaing unutuk menempati tempat yang
sama di Hb, tetapi afinitas Hb terhadap CO2 adalah 240 kali lebih kuat
dibendingkan dengan kekuatan ikata Hb dengan O2. Ikatan CO dan Hb
dikenal dengan karboksihemoglobin (HbCO). Karena Hb lebih cenderung
berikatan dengan CO, keberadan CO yang relatof sedikit dapat mengikat
Hb dalam jumlah relatif besar, sehingga tidak tersedia Hb untuk berikatan
dengan O2. Apabila CO sudah banyak, sel-sel itu akan mati karena
kekurangan O2. Selain toksisitas CO, adanya HbCO mengeser kurva O2-
Hb ke kiri, dengan demikian Hb pengikat O2 yang jumlahnya terbatas
tidak mampu membebaskan O2 ditingkat jaringa untuk PO2 tertentu.7
h. Transportasi Karbondioksida di dalam darah
Sewaktu darah arteri mengalir melalui kapiler jaringan, CO2 berdifusi
mengikuti penurunan gradien tekanan parsialnya dari sel jaringan kedalam
darah. Karbondioksida diangkut dalam darah dengan tiga cara:
1. Terlarut secara fisik
2. Terikat dengan Hb
3. Sebagai bikarbonat
Jumlah CO2 yang secara fisik larut dalam darah bergantung pada PO2.
Karena dalam darah CO2 lebih larut dari pada O2, proporsi CO2 total dalam
darah lebih besar dibandingkan dengan O2. Walaupun demikian hanya
10% kandungan CO2 total darah diangkut dengan cara ini pada kadar PO2
vena sistemik normal.7
Tiga puluh persen CO2 lainya berikatan dengan Hb untuk membentuk
karbamino hemoglobin (HBCO2). Karbon dioksida berikatan dengan
bagian globin dari Hbberbeda dengan O2 yang berikatan dengan bagian
hem. Hb tereduksi memilki afinitas yang lebih besar untuk CO2 dari pada
HbO2. Dengan demikian pembebasan O2 dari Hb di kapiler jaringan
mempermudah Hb menyerap CO2.7
Cara terpenting untuk mengangkut CO2 adalah sebagai bikarbonat ( HCO3-
), yaitu 60% CO2 diubah menjadi HCO3- yang bereaksi dalam sel darah
merah.7
Langkah pertama CO2 berikatan dengan H2O untuk membentuk asam
karbonat(H2CO3). Reaksi ini berlangsung dengan sangat lambat di plasma,
tetapi berlangsung cepat di dlam sel darah merah karena adanya enzime
eritrosit karbonat anhidrase yang mengkatalisis reaksi. Molekul-molekul
asam karbonat secara spontan terurai menjadi ion Hidrogen (H+) dan ion
bikarbonat (HCO3-). Satu atom karbon dan dua atom oksigen dari molekul
CO2 + H2O H2CO3 < = >H+ + HCO3-
CO2 semula terdapat dalam darah sebagai bagian integral dari HCO3-. Hal
ini menguntungkan karena HCO3- lebih mudah larut dalam darah
dibandingkan dengan CO2. Pada saat reaksi ini berlangsung, HCO3- dan H+
mulai terakumulasi di dalam sel darah merah di kapiler sistemik. Membran
sel darah merah memiliki pembawa HCO3- - Cl- yang secara pasif
mempermudah difusi ion-ion ini dlam arah yang berlawanan menembus
membran. Membran relatif impermeabel terhadap H+. Akibatnya HCO3-
berdifusi mengikuti penurunan gradien konsentrasinya keluar eritrosi ke
dlam plasma tanpa diikuti oleh H+. Karena HCO3– adalah ion bermuatan
negatif, aliran keluar HCO3- yang tidak disertai aliran ion bermuatan
positif yang setara menciptakan gradien listrik. Ion clorida (Cl-), anion
dominan di plasma, berdifusi ke dalam sel darah merah mengikuti gradien
listrik ini untuk memulihkan kenetralan listrik. Penggeseran masuk Cl -
sebagai penukar aliaran keluar HCO3- yang dibentuk dari CO2 ini dikenal
sebgai pergeseran klorida (clorida shift).7
Sebagian H+ yang terakumulasi didalam eritrosit setelah disosiasi H2CO3 ,
akan terikat ke Hb. Dengan demikian pembebasan O2 juga mempermudah
Hb menyerap H+ yang dibentuk dari CO2. Karena hanya H+ bebas yang
tidak larut yang menentukan keasaman suatu larutan, darah vena akan jauh
lebih asam dari pada darah arteri kalau saja tidak ada Hb yang menyerap
sebagian besar H+ yang dihasilkan ditingkat jaringan.7
Pengeluaran O2 dari Hb meningkatkan kemampuan Hb untuk menyerap
CO2 dan H+ yang dihasilkan oleh CO2 dikenal sebagai efek Haldane. Efek
haldane dan efek Bohr bekerja secra sinkron untuk mempermudah
pembebasan O2 dan penyerapan CO2 dan H+ yang dihasilkan oleh CO2 di
tingkat jaringan. Peningkatan CO2 dan H+ menyebabkan peningkatan O2
yang dibebaskan dari Hb melalui efek Bohr, peningkatan pengeluaran O2
dari Hb menyebabkan peningaktan penyerapan CO2 dan H+ oleh Hb
melalui efek Haldene. Keseluruhan proses berlangsung secara efisien. Hb
tereduksi harus diangkut kembali ke paru untuk diisi ulang oleh O2.
Setelah O2 dibebaskan, Hb mengangkut penumpang baru (CO2 dan H+) ke
paru.7
Reaksi-reaksi yang terjadi di tingkat jaringan sewaktu CO2 memasuki
darah dari jaringan berbalik arah setelah darah mencapai paru dan CO2
meninggalkan darah untuk masuk ke alveolus.7
4. Respirasi intrasel
Respirasi intrasel adalah suatu mekanisme sel untuk menghasilkan
energi yang ditujukan untuk mempertahankan hidup. Respirasi internal
melibatkan suatu kerja dari melokul organel dalam memproduksi ATP.
Respirasi intrasel membutuhkan jumlah oksigen yang cukup dalam proses
respirasi aerobik yang melibatkan siklus krebs dan transport elektron. Setelah
Oksigen (O2) digunakan maka dihasilkanlah suatu hasil akhir berupa karbon
dioksida. Karbon dioksida harus dikeluarkan dari dalam sel melalui suatu
mekanisme pertukaran molekul O2 dan CO2 di dalam sel.
Sumber energi utama bagi sel adalah glukosa. Glukosa terbanyak berasal
dari makanan yang kita makan. Dalam sirkulasi glukosa berikatan dengan
protein transporter glukosa yaitu GluT yang merupakan protein carrier untuk
membantu transportasi glukosa di dalam darah. Glukosa di dalam darah
masuk sel dengan bantuan dari hormon insulin. insulin dibutuhkan untuk
membantu glukosa masuk ke dalam sel karena sifat membran sel yang
impermeable terhadap molekul polar yang dalam hal ini adalah glukosa.
Glukosa masuk ke dalam sel dengan cara transport yang difasilitasi. Glukosa
di dalam sel mengalami suatu proses glikolisis di dalam sitosol.
Dalam proses glikolisis, keseluruhan persamaan reaksi untuk glikolisis
yang hasilkan laktat adalah:
Glukosa + 2ADP + 2P1 2 laktat + 2ATP + 2 H20
Semua enzim lintasan glikolisis ditemukan dalam fraksi
ekstramitokondria sel yang bersifat larut, yaitu sitosol. Glukosa memasuki
lintasan glikolisis melalui fosforilasi menjadi glukosa 6-fosfat, yang
diselenggarakan oleh enzim heksoginase. Meskipun demikian, dalam sel
parenkim hati dan sel pulau langerhans pankreas, fungsi tersebut dilaksanakan
oleh enzim glukokinase, yang aktifitasnya dalam hati dapat dipicu serta
dipengaruhi oleh perubahan status gizi. ATP diperlukan sebagai donor fosfat,
dan seperti pada banyak reaksi yang melibatkan fosforilasi. Dalam proses
glikolisis, dibutuhkan 2 ATP untuk mengaktifkan glukosa untuk dipecah, 1
molekul glukosa yang mengandung 6 rantai karbon akan dipecah menjadi 2
buah rantai yang masing-masing mengandung 3 rantai karbon. Setelah
terbentuk 2 rantai, maka terjadi penambahan 2 molekul phospat akan
dihasilkannya 4 ATP dan 2 NADH, dengan 2 ATP disimpan untuk proses
glikolisis selanjutnya. Hasil akhir dari glikolisis adalah dengan dihasilkannya
2 molekul asam piruvat.
Setelah dihasilkan asam piruvat maka peran oksigen berpengaruh dalam
proses selanjutnya. Apabila tersedia oksigen yang cukup maka akan
dilanjutkan proses siklus krebs dan transport elektron guna menghasilkan ATP
yang lebih besar yang sering disebut dengan respirasi aerobik. Namun apabila
tidak tersedia oksigen yang cukup maka asam piruvat akan melalui lintasan
respirasi anaerobik dengan proses fermentasi.
Siklus asam sitrat merupakan rangkaian reaksi dalam mitokondria yang
menyebabkan katabolisme residu asetil, dengan membedakan sejumlah
ekuivalen hydrogen yang pada oksidasi menyebabkan pelepasan dan
penangkapan sebagian besar endegi yang tersedia dari bahan bakar jaringan,
dalam bentuk ATP. Fungsi utama siklus asam sitrat adalah sebagai lintasan
alhir bersama untuk oksiidasi karbohidrat, lipid, dan protein. Siklus kreb juga
mempunyai peranan penting dalam proses glukoneogenesis, transaminasi,
deaminasi, dan lipogenesis. 8
Enzim siklus asam sitrat terletak didalam matriks mitokondria, baik
dalam bentuk bebas maupun melekat pada permukaan –dalam membrane
internal mitokondria sehingga memfasilitasi pemindahan unsure ekuivalen
pereduksi ke enzim terdekat pada rantai respirasi, yang bertempat di dalam
membrane interna mitokondria. 8
Oksidasi NADH dan FADH2 dalam rantai respirasi menghasilkan
ATP melalui fosforilasi oksidatif. Untuk mengikuti lintasan asetil –KoA di
sepanjang siklus tersebut, kedua atom karbon pada radikal asetil diperhatikan
sebagai atom dengan label pada karbon karboksil dan pada karbon metil.
Meskipun dua atom karbon menghilang sebagai CO2 dalam satu siklus putaran
asam sitrat, atom-atom ini tidak berasal dari asetil Ko-A yang baru saja
memasuki siklus melainkan dari bagian molekul sitrat yang berasal dari
oksaloasetat. Meskipun demikian, pada saat satu putaran tunggal lengkap
terjadi, oksaloasetat yang dihasilkan kembali ini kini berlabel yang terbentuk
dalam putaran kedua. 8
1. Sebelum memasuki siklus kreb, pyruvat harus diubah menjadi asetil-KoA
(asetil koenzym-A). dalam reaksi ini terjadi pelepasan molekul CO2 dari
piruvat dan pelepasan electron melalui reduksi NAD+ menjadi NADH.
2. Sitrat terbentuk ketika group asetil dari asetil CoA bergabung dengan
oksaloasetat dari proses siklus kreb sebelumnya
3. Sitrat berubah menjadi isomer isositrat dengan bantuan enzyme aconitase
(akonitat hidratase)
4. Isositrat teroksidasi menjadi 5-carbon α-ketoglutarate. Siklus ini akan
melepaskan 1 molekul CO2 dan terjadi proses reduksi dari NAD+ menjadi
NADH2+
5. oksidasi α-ketoglutarate menjadi suksinil CoA
6. suksinil CoA melepas koenzym A dan terjadi fosforilasi ADP menjadi
ATP
7. suksinat teroksidasi menjadi fumarat, melalui perubahan FAD menjadi
FADH2
8. malate teroksidasi menjadi oksaloasetat, melaui reduksi 10
pembentukan ATP melalui siklus asam sitrat
Reaksi dikatalisis oleh Metode pembentukan Molekul ATP yang
terbentuk
Isositrat dehidrogenase Oksidasi NADH pada
rantai respirasi
3
Α-ketoglutarat
dehidrogenase
Oksidasi NADH pada
rantai respirasi
3
Suksinat tiokinase Fosforilasi pada tingkat
substrat
1
Suksinat dehidrogenase Oksidasi FADH2 pada
rantai respirasi
2
Malat dehidrogenase Oksidasi NADH pada
rantai respirasi
3
Netto 12
Sebagai hasil proses oksidasi yang dikatalis oleh enzim dehidrogenase
pada siklus asam sitrat, 3 molekul NADH dan 1 FADH2 akan dihasilkan untuk
setiap molekul asetil-CoA yang dikatabolisasi dalam satu putaran siklus
tersebut. Sejumlah ekuivalen pereduksi akan dipindahkan ke rantai respirasi
dalam membrane interna mitokondria, selama melintasi rantai tersebut,
ekuivalen NADH menghasilkan 3 ikatan fosfat berenergi tinggi melalui
esterifikasi ADP menjadi ATP dalam proses fosforilasi oksidatif . meskipun
demikian, FADH2 hanya menghasilkan 2 ikatan fosfat berenergi tinggi karena
FADH2 mengalihkan daya pereduksinya pada Q, dan berlanjut pada
fosforilasi oksidatif dalam rantai respirasi. Fosfat berenergi tinggi selanjutnya
akan dihasilkan pada tingkat substrat pada suksinil KoA diubah menjadi
suksinat. Jadi dua belas molekul ATP akan dihasilkakn untuk setiap putaran
siklus asam sitrat.
Dalam siklus krebs molekul NADH2 dan FADH yang telah tereduksi
akan menerima elektron berenergi tinggi dari molekul asam piruvat yang telah
masuk ke siklus krebs. Oleh karena itu, energi yang tersedia akan digunakan
untuk aktivitas. NADH2+ dan FADH2 merupakan molekul berenergi tinggi
yang akan mendonorkan H+ yang dihasilkan melalui siklus krebs ke rantai
elektron yang akan masuk melalui membran mitokondria dan proses ini
dibantu oleh enzym yang berada pada membran. Kemudian NADH2+ akan
dioksidasi menjadi NAD+ dan FADH menjadi FAD. Elektron berenergi tinggi
akan ditransferkan ke molekul ubiquinone dan cytocrome c. Setelah elektron
tersebut melalui moleku-molekul yang ada di dalam mitokondria, maka
elektron tersebut akan kehilangan energinya. Molekul-molekul tersebut
merupakan bagian dari elektron yang akan ditransferkan sebagai rantai
transport elektron.
Proses ini dapat berlangsung secara singkat sebagai berikut: elektron
yang dikirimkan sebagai rantai transport elektron menyediakan energi untuk
pompa ion hidrogen melintasi membran mitokondria ke bagian lain dari
mitokondria. Konsentrasi tinggi dari konduksi H+ ini akan memproduksi
energi potensial bebas yang melakukan kerja. Elektron H+ ini akan cenderung
menuruni gradient konsentrasi dari luar kompartemen mitokondria ke dalam
kompartemennya.
Proton tersebut dalam melewati setiap chanelnya menggunakan
kompleks enzim yang berada dalam komplek mitokondria. Energi bebas dari
proton H+ digunakan dari ATP dengan fosforilasi dan ikatan fosfat dengan
dimediasi dengan enzim. Keseluruhan proses ini dinamakan fosforilasi
chemiosmotik. Setiap elektron yang dihasilkan dari siklus krebs tersebut akan
bergabung dengan oksigen untuk membentuk air. Jika suplai oksigen
dihentikan maka elektron dan hidrogen tidak akan terjadi suatu proses transfer
elektron. Jika ini terjadi maka gradien konsentrasi proton tidak akan mampu
untuk mensintesis ATP. Ini adalah alasan mengapa makhluk hidup tidak akan
bisa hidup tanpa oksigen.
Oksigen selalu dipakai oleh sel. Karena itu, PO2 intraseluler tetap lebih
rendah dari pada PO2 dalam kapiler. Pada keadaan kormal, kira-kira 97 %
oksigen yang ditranspor dari paru ke jaringan dibawa dalam campuran
kimiawi dengan hemoglobin dalam sel darah merah. 3 persen sisanya dibawa
dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan sel. Dengan demikian, pada
keadaan normal oksigen dibawa ke jaringan hampir seluruhntya oleh
hemoglobin.
Dalam sel hanya dibutuhkan sedikit tekanan oksigen untuk terjadinya
reaksi kimia intraseluler yang normal. Tersedianya oksigen tidak lagi
merupakan suatu faktor pembatas reaksi kimia tersebut. Faktor pembatas
utamanya adalah konsentrasi aenosin difosfat (ADP) dalam sel. Setiap proses
yang dijalankan untuk menghasilkan energi membutuhkan ATP, dan ATP
yang digunakan dirubah menjadi ADP. Peningkatan konsentrasi ADP
kemudian akan meningkatkan metabolisme oksigen dan berbagai nutrien yang
bercampur dengan oksigen untuk melepaskan energi. Energi ini dibutuhkan
untuk mengubah ADP menjadi ATP. Oleh karena itu, pada keadaan normal,
waktu kerja kecepatan penggunaan oksigen oleh sel diatur oleh kecepatan
pengeluaran energi dalam sel tersebut, yaitu oleh kecepatan pembentukan
ADP dari ATP.
5. Gambar 19. Respirasi intrasel
Dari gambar diatas hasil akhir keseluruhan proses respirasi aerobik
menghasilkan 38 ATP. Sebanyak 36 ATP digunakan untuk aktivitas sel,
sedangkan 2 ATP tetap disimpan di dalam sel untuk digunakan pada
proses glikolisis selanjutnya. Proses diatas menghasilkan gas buang berupa
gas CO2. Gas karbon dioksida harus dikeluarkan dari dalam sel.
6. Kontrol pernapasan
a. Pusat pernapasan di batang otak menentukan pola bernapas ritmikBeberapa perbedaan pengaturan antara control jantung dan pernapasan7
Persamaan Jantung Pernapasan
Pola siklik dan
kontinu; otot jantung
harus berkontraksi dan
berelaksasi secara
berirama
Berelaksai dan
berkontraksi untuk agar
udara dapat masuk dan
keluar seecara
bergantian
Perbedaan
Penghasil irama Aktivitas pemacu
intrinsic
Pusat control pernapasan
di otak. Dalam
pergerakan Otot rangka
memerlukan rangsangan
saraf agar berkontraksi.
Funsi innervasi Memodifikasi
kecepatan dan
kekuatan kontraksi
jantung
Kebutuhan mutlak untuk
mempertahankan
pernapasan dan secara
reflek menyesuaikan
tingkat ventilasi unutk
memenuhi kebutuhan
penyerapasn O2 dan
pengeleuaran CO2 yang
terus berubah-ubah
Aktivitas Tidak berada dibawah
control kesadaran
Aktifitas pernapasan
dapat dimodifikasi
secara sengaja untuk
berbibcara, bernyanyi,
bersiul, memainkan
instrument tiup, atau
menahan napas ketika
berenang.
b. Ventilasi melibatkan dua aspek berbeda, yang keduanya dapat
dipengaruhi oleh control saraf :
1. Siklus ritmis antara inspirasi
2. Pengaturan besarnya ventilasi, yang pada giliranya bergantung pada
control frekuensi brnapas dan kedalaman tidal volume. Irama
bernapas terutama ditentukan oleh aktifitas pemacu yang
dioerlihatkan oleh neuron-neuron inspirasi yang terletak di pusat
control pernapasan di medulla batang otak. Sewaktu neuron inspirasi
ini melepaskan muatan secara spontan, impuls akhirnya mencapai otot
inspirasi melemas dan terjadi ekspirasi.7
c. Control saraf atas pernapasan melibatkan ketiga komponen terpisah :
1. Faktor yang bertanggung jawab untuk menghasilkan irama
inspirasi/ekspirasi berganti-ganti
2. Faktor yang mengatur kekuatan ventilasi )yaitu kecepatan dan
kedalaman bernapas.
3. Faktor yang memodifikasi aktivitas pernapasan untuk memenuhi
tujuan lain misalnya yang bersifat volunteer control bernapas saat
berbicara atau involunter, maneuver saat bersin atau batuk.7
Pusat pernapasan di medulla terdiri dari dua kelompok neuron yang
dikenal sebagai kelompok pernapasan dorsal dan kelompok pernapasan
ventral. kelompok pernapasan dorsal (dorsal respiratory group) terutama
terdiri dari neuron inspirasi yang serat-serat descendenya berakhir di
neuron motorik yang mempersarafi otot-otot inspirasi.neuron inspirasi ini
diperkirakan memperlihatkan aktifitas pemacu dan secara repetitive
mengalami potensial aksi spontan seperti nodus SA di jantung. Pada saat
neuron inspirasi DRG membentk potensial aksi, terjadi inspirasi; ketika
berhenti muatan, terjadi ekspirasi. Ekspirasi berakhir pada saat neuron
inspirasi kembali mencapai ambang dan melepaskan muatan. Dengan
demikian, DRG pada umumnya dianggap sebagai penentu irama dasar
ventilasi.7
DRG memiliki interkoneksi penting dengan kelompok respirasi ventral
(ventral respiratory group, VRG). Terdiri dari neuron inspirasi dan
neuron ekspirasi, yang keduanya tetap inaktif selama bernapas tenang.
Daerah ini diaktifkan oleh DRG sebagai mekanisme ”overdrive”
(penambah kecepatan) selama periode kebutuhan ventilasi meningkat.7
d. Pengaruh pusat preumatik dan apnustik
Pusat di pons menghasilkan pengaruh “fine tuning” pada pusat medulla
untuk membantu menghasilkan inspirasi dan ekspirasi yang normal dan
mulus. Pusat pneumotaksik mengirimkan impuls ske DRG yang
membantu “mematikan neuron inspirasi, sehingga durasi inspirasi dibatasi.
Sebaliknya pusat apnustik mencegah neuron inspirasi dari pusat switch
off, sehingga menambah dorongan inspirasi. Pada system check-and-
balance ini pusat pneumotaktik lebih dominan dari pada pusat apnustik,
membantu inspirasi berhenti, danmemungkinkan ekspirasi berlangsung
normal.7
e. Reflex hering breuer
Control pernapasaan yang rerjadi saat volume tidal membersar (> 1 liter),
saat olahraga yang bertujuan untuk mencegah pengembangan paru
berlebihan. Prosesnya terjadi melalui pengaktifan reseptor regang paru
(pulmonary stretch reflex) yang terletak di lapisan otot polos saluran
pernapasan saat volume tidal membesar.pengaktifan reseptor tersebut akan
memunculkan potensial aksi dan berjalan melalui serat saraf aferen ke
pusat medulla dan menghambat neuron inspirasi. Umpan balik negative
paru membentu menghentikan inspirasi sebelum paru mengembang
berlebihan.7
f. Komsemtrasi ion hydrogen yang dihasilkan oleh karcbondioksida di
cairan ekstrasel otak dalam keadaan normal adalah pengatur utama
besarnya ventilasiPusat pernapasan medulla menerima masukan yang memberi informasi mengenai kebutuhan tubuh untk pertukaran
gas. Pusat ini akan berospon dengan mengirim sinyal yang sesuai ke neuron motorik yang mempersarafi otot pernapasan
untuk menyesuaikan kecepatan dan kedalaman ventilasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dua sinyal yang palling
jelas untk menignkatkan ventilasi adalah penurunan PO2 arteri dan penigkatan PCO2 arteri. Selain itu juga terdapat
faktor ketiga, H+ yang berpengaruh besar pada tingkat aktivitas pernapasan.7
pengaruh faktotr kimia pada pernapasan
FAKTOR KIMIA EFEK PADA
KEMORESEPTOR
PERIFER
EFEK PADA
KEMORESEPTOR
SENTRAL
PO2 arteri merangsang hanya jika
PO2 arteri telah turun
ke titik yang
mengancam nyawa
(<60 mmHg),
mekanisme darurat
secara langsung menekan
kemoreseptor sentral dan
pusat pernapasan itu
sendiri jika < 60 mmHg
PCO2 arteri
H+ di CES
otak
Merangsang secara
lemah
Merangsang secara kuat;
control ventilasi yang
dominan (kadar >70-80
mmHg secara langsung
menekan pusat
pernapasan dan
kemoreseptor sentral)
H+ di arteri Merangsang penting
dalam keseimbannga
asam-basa
Tidak mempengaruhi ;
tidak dapat menembus
darah otak
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Sistem pernapasan manusia terbagi menjadi sitem pernapasan atas dan
bawah. Sistem pernapasan atas meliputi hidung sampai pharynx,
sedangkan sistem pernapasan bawah meliputti larynx sampai alveolus.
2. Masing-masing organ dalam sistem pernapasan memiliki ciri khas yang
berbeda satu sama lain, baik dari bentuk epitelnya, jenis tulang rawan
penyusunnya, dan adanya otot polos.
3. Sistem respirasi dapat terjadi karena adanya perbedaan gradien, baik
gradien antara lingkungan luar dan dalam tubuh maupun perbedaan
gradien di dalam tubuh itu sendiri.
4. Pertukaran gas antara alveolus dan kapiler darah terjadi karena adanya
gradien tekanan parsial gas.
5. Proses transportasi gas di dalam tubuh dipengaruhi oleh tekanan O2 dan
CO2, yang besarnya jugga dditentukan oleh keasaman, suhu, dan 2,3-
difosfogliserat.
6. Respirasi intrasel dapat terjadi secara aerob maupun anaerob. Proses
bertujuan untuk menghasilkan energi untuk beraktivitas. Jumlah energi
yang dihasilkan sebesar 38 ATP.
7. Secara umum, proses pernapasan di dalam tubuh dikontrol oleh batang
otak.
2. Saran
1. Mahasiswa hendaknya dapat memahami bagaimana mekanisme bernafas
dalam manusia, karena mekanisme bernafas merupakan suatu rangkaian
proses fisiologi dalam tubuh untuk menghasilkan energi bagi sel yang
menunjang kehidupan.
2. Dalam mengerjakan tugas referat hendaknya tidak ada sistem pembagian
tugas bagi mahasiswa antar kelompok, karena akan mengurangi
kepahaman mahasiswa terhadap materi referat secara keseluruhan. Selain
itu, juga mempersulit dalam pembuatan daftar pustaka dengan
menggunakan metode vancouver.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim bima.ipb.ac.id/~tpb-ipb/materi/biologi/Kuliah%203%20Respirasi%20Selular.pdf -
2. Eroschenko Victor P. Atlas Histologi Di Fiore dengan Korelasi Fungsional.
Jakarta: EGC; 2003.
3. Fikri, Bahrul, Idham Jaya Ganda. Transpor Oksigen. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. J Med Nus: 2005 Vol. 24 No.2 [cited 2009 Mar
31]; 134-9. Available from: http://med.unhas.ac.id/DataJurnal/tahun2005
vol26/Vol.26No.2ok/TP%2025%20Transpor.%20Oksigen%20(Bahrul
%20Fikri,%20Idham)ok.pdf
4. Guyton Arthur C, Hall John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC; 1997.
5. Johnson. Introductory Anatomy: Respiratory System. Faculty of Biological
Sciences, University of Leeds. Available from: http://www.leads.ac.uk/chb/
lectures/anatomy7.html
6. Junqueira L. Carlos. Histologi Dasar Edisi 8. Jakarta: EGC; 1997.
7. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi
2.Jakarta:EGC; 2001.
8. Murray Robert K, Granner Daryl K, Mayes Peter A, Rodwell Victor W.
Biokimia Harper. Jakarta: EGC; 2003.
9. Pearce Evelyn C. Anatomidan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia; 2006.
10. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sabotta. Jakarta: EGC; 2000.
11. Sieck, Gary C, Carlos B. Mantilla.Effect of Mechanical Ventilation on the
Diaphragm. New England: Massachusetts Medical Society. 2008 [cited
2009 Mar 31]; 358 (13): 1392-4. Available from: http://www.nejm.org/.
12. Umar Nazarudin. Sistem Pernapasan dan Suctioning pada Jalan Napas.
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 2004 [cited
2009 March 32]; 1-2: 4. Available from:
http://library.usu.ac.id/download/fk/anastesiologi-nazaruddin.pdf.
10. Anonym. Aerobic respiration.
library.thinkquest.org/C004535/aerobic_respiration.html&usg=__mBsSW
_HbUVpVLH-
MhMmn66j0l9Y=&h=480&w=560&sz=20&hl=id&start=1&tbnid=dmqZ
sexmxXTHyM:&tbnh=114&tbnw=133&prev=/images%3Fq%3Dkreb
%2Bcycle%26gbv%3D2%26hl%3Did%26sa%3DG. 2007
LAMPIRAN