referat randa deka
DESCRIPTION
nTRANSCRIPT
Referat
Limfangitis
Oleh:Jovita Kosasih
04084811416055
Pembimbing:dr. Nova Kurniati, Sp.PD-KAI
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
Tirotoksikosis
Oleh:
Jovita Kosasih
04084811416055
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP dr.Mohammad
Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 2 Maret -
11 Mei 2015.
Palembang, 8 Mei 2015
dr. Nova Kurniati, Sp.PD-KAI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME karena atas berkat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Tirotoksikosis”.
Referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Nova Kurniati,
Sp.PD-KAI selaku pembimbing dalam penulisan referat ini, serta kepada semua
pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan
tulisan ini dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Palembang, 8 Mei 201
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Epidemiologi .....................................................................................................3
2.2 Etiologi ..............................................................................................................3
2.3 Patogenesis ........................................................................................................4
2.4 Manifestasi Klinis ...........................................................................................13
2.5 Diagnosis ........................................................................................................23
2.6 Tatalaksana .....................................................................................................26
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
Tirotoksikosis merupakan sindroma klinis akibat kelebihan hormon tiroid
yang beredar di sirkulasi.1,2 Tirotoksikosis tidak sama dengan hipertiroidisme,
yaitu keadaan akibat kelenjar tiroid yang hiperaktif. Meskipun demikian,
penyebab utama dari tirotoksikosis adalah hipertiroidisme yang disebabkan oleh
penyakit Graves, gondok multinodular toksik, dan adenoma toksik.2,3
Dua hormon utama yang disintesis dan dilepaskan oleh tiroid adalah
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). T4 merupakan prohormon dan memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi dibandin T3, sementara T3 bersifat biologis aktif
melalui interaksi dengan reseptor nuklir spesifik yang terdapat pada hampir
seluruh jaringan. T3 meregulasi produksi energi dan laju metabolik dan memiliki
efek bermakna terhadap fungsi jantung, hepar, dan neuromuskular, demikian pula
pada pertumbuhan dan perkembangan janin dan postnatal.4
Hipertiroidisme sering terjadi; di Amerika Serikat, prevalensinya adalah 1-
3%, sementara di Inggris 2% pada wanita dan 0-2% pada pria. Di Amerika
Serikat, insidensi antara wanita adalah 0-38 per 1000 wanita per tahun dan 0-14
per 1000 pria per tahunnya. Insidensi ini meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, dan memiliki kejadian tertinggi pada populasi orang kulit putih serta daerah
yang rentan terjadi defisiensi iodin.4
Tirotoksikosis dan hipertiroidisme memiliki manifestasi klinis yang sama,
karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T3-inti yang makin penuh.
Rangsangan oleh TSH atau TSH-like substances (TSI, TSAb), menyebabkan
tiroid meningkat, terlihat dari peningkatan radioactive neck-uptake. Sebaliknya,
pada destruksi kelenjar, misalnya karena inflamasi atau radiasi, akan terjadi
kerusakan sel sehingga hormon tiroid yang tersimpan di dalam folikel akan keluar
dan masuk ke dalam aliran darah. Penyebab lain yaitu pasien mengkonsumsi
hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis faktisia). Pada kasus ini, didapatkan
radioactive neck-uptake yang menurun. Tirotoksikosis perlu dibedakan dengan
hipertiroidisme, umumnya tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme merupakan self-
limiting disease.2
Tirotoksikosis menyebabkan gangguan multi sistem, yakni sistem
kardiovaskuler, respiratorik, saraf, muskuloskeletal, dan sebagainya. Berbagai
manifestasi klinis, cara mendiagnosis, serta tatalaksana akan dibahas lebih lanjut
dalam makalah ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Tirotoksikosis terjadi pada kurang lebih 2% wanita dan 0,2% pria. Tirotokikosis
paling banyak disebabkan oleh penyakit Graves dan umumnya terjadi antara usia
20-40 tahun, sementara prevalensi struma nodosa toksik meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Tirotoksikosis autoimun lebih sering terjadi pada perokok.
Struma nodosa toksik sering terjadi pada daerah yang kekurangan iodin.5
2.2 Etiologi
Tirotoksikosis merupakan kondisi hormon tiroid yang berlebihan, sementara
hipertiroidisme merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Akan tetapi,
etiologi utama dari tiroitoksikosis adalah hipertiroidisme yang disebabkan oleh
penyakit Graves, struma multinodosa toksik, dan adenoma toksik. Penyebab
etiologi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi TirotoksikosisHipertiroidisme primer
Penyakit Graves
Struma multinodular toksik
Adenoma toksik
Metastase karsinoma tiroid fungsional
Mutasi aktif reseptor tiroid
Activating mutation of Gs (McCune-Albright syndrome)
Struma ovarii
Obat-obatan: kelebihan iodin (fenomena Jod-Basedow)
Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme
Tiroiditis subakut
Silent thyroiditis
Etiologi lain dari destruksi tiroid: amiodarone, radiasi, infark adenoma
Ingesti hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis faktisia) atau jaringan tiroid
Hipertiroidisme sekunder
Adenoma hipofisis penghasil TSH
Sindroma resistensi hormon tiroid
Tumor penghasil korionik gonadotropin
Tirotoksikosis gestasional
Sumber: Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th ed, 2012
2.3 Patogenesis
1. Penyakit GravesFaktor lingkungan dan genetik, termasuk polimorfisme HLA-DR, CTLA-4,
CD25, PTPN22 (gen regulator sel T) dan TSH-R, berperan terhadap penyakit
Graves. Kejadian penyakit Graves pada kembar monozigotik adalah 20-40%,
dan <%% pada kembar dizigotik. Stres merupakan faktor lingkungan yang
berperan penting, diduga melalui efek neuroendokrin terhadap sistem imun.
Merokok merupakan resiko minimal terjadinya penyakit Graves dan
merupakan faktor resiko mayor terhadap terjadinya oftalmopati. Peningkatan
asupan iodin yang mendadak dapat mencetuskan penyakit Graves, dan ada
peningkatan kejadian penyakit Graves sebanyak 3 kali lipat pada periode
postpartum.3
Hipertiroidisme pada penyakit Graves disebabkan oleh TSI yang disintesa
di kelenjar tiroid, sumsum tulang, dan nodus limfatikus. Antibodi dapat
dideteksi dengan bioassay atau dengan menggunakan uji TBII yang tersedia
lebih luas. Adanya deteksi TBII pada pasien tirotoksikosis menandakan
adanya TSI, selain itu uji ini berguna untuk memonitor pasien Graves yang
sedang hamil karena TSI dapat melewati sawar plasenta dan menyebabkan
tirotoksikosis neonatal. Respon autoimun tiroid ditemukan pada pasien
dengan penyakit Graves. Antibodi TPO ditemukan pada 80% kasus dan dapat
digunakan untuk marker autoimunitas. Karena penyakit tiroiditis yang sedang
berlangsung juga dapat menyerang fungsi tiroid, tidak ada hubungan
langsung antara kadar TSI dan kadar hormon ada pasien Greaves. Dalam
jangka panjang, hipotiroidisme autoimun spontan dapat terjadi pada 15%
pasien penyakit Graves.3
Sitokin berperan penting terhadap oftalmopati tiroid. Otot-otot
ekstraokuler diinfiltrasi oleh sel T yang teraktivasi; pelepasan sitokin seperti
IFN-γ, TNF, and IL-1 mengaktivasi fibroblas dan meningkatkan sintesis
glikosaminoglikan yang menjerat air, sehingga menyebabkan pembengkakan
otot. Pada tahap lanjut, terjadi fibrosis otot ekstraokuler yang ireversibel.
Fibroblas orbitalis dapat menjadi sensitif terhadap sitokin, menjelaskan
lokalisasi anatomik dari respon imun. Peningkatan lemak merupakan
penyebab tambahan dari ekspaansi jaringan retrobulbar. Peningkatan tekanan
intraorbital dapat menyebabkan proptosis, diplopia, dan neuropati optik.3
2. Struma multinodosa toksikPatogenesis struma multinodosa toksik awalnya berasal dari struma
multinodosa nontoksik yang berkembang secara lambat. Dua karakteristik
penyakit yaitu heterogenisitas fungsional dan struktural serta autonomi
fungsional berkembang sepanjang waktu. Perluasan kerusakan fungsi otonom
menyebabkan penyakit ini berpindah dari fase nontoksik ke fase toksik, akan
tetapi mekanisme perubahan ini masih belum jelas. Mutasi somatik pada gen
TSHR yang terjadi pada adenoma toksik juga ditemukan pada beberapa kasus
struma toksik multinodular. Meskipun demikian, hanya sekitar 60% dari
nodul toksik memiliki mutasi TSHR, dan hanya sedikit sekali yang
mengalami mutasi protein G. Oleh karena itu, banyak nodul yang terjadi
karena autonomi yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.3
3. Adenoma toksikAdenoma toksik merupakan adenoma folikuler murni. Patogenesisnya
adalah mutasi somatik pada gen TSHR. Pertukaran nukleotida ini
menyebabkan perubahan asam amino yang berujung pada aktivasi konsistutif
dari TSHR akibat tidak adanya TSH. Beberapa adenoma otonom terjadi
mutasi pada gen protein G yang menyebabkan keadaan aktivasi konstitutif
serupa.3
4. Iodide-induced hyperthyroidismPemberian iodin suplemental kepada orang dengan endemik gondok
defisiensi iodin dapat menyebabkan penyakit Graves yang diinduksi iodin.
Respon ini disebut dengan iodide-induced hyperthyroidism atau efek Jod-
Basedow. Istilah Jod-Basedow secara spesifik merujuk kepada penyakit von
Basedow (Graves) yand diinduksi iodin, tetapi seringkali digunakan untuk
istilah hipertiroidisme yang diinduksi iodin jenis apapun. Ada dua pola utama
dari gangguan tiroid. Awalnya, satu struma nodular dengan area fungsi
otonom dan TRAb tidak terdeteksi dalam darah. Pola kedua terjadi pada
orang yang lebih muda dengan struma difusa dan TRAb seringkali
ditemukan. Temuan ini mengindikasikan bahwa Jod-Basedow terjadi di
kelenjar tiroid dimana fungsi tiroid tidak bergantung kepada stimulasi TSH.
Kejadian Jod-Basedow bukan merupakan kontraindikasi terapi pada daerah
endemik defisiensi iodin. Selain keuntungan lain yang bertambah karena
profilaksis dan terapi iodin, dalam jangka panjang frekuensi hipertiroidisme
spontan akibat struma toksik noduler berkurang.6
Hipertiroidisme yang diinduksi iodida merupakan penyakit yang penting
pada daerah dimana asupan iodin dari makanan tinggi. Pada daerah dengan
asupan iodin yang terbatas tetapi tidak terdapat defisiensi iodin yang jelas,
peningkatan moderat dari asupan iodin dapat menginduksi hipertiroidisme
pada pasien dengan nodul tiroid otonom. Oleh karena itu, dokter harus lebih
waspada terhadap kemungkinan induksi hipertiroidisme saat memberikan
iodin pada ekspektoran, media kontras rontgen, dan obat-obatan yang
mengandung iodin (contoh: amiodaron, povidone iodin, atau bentuk lainnya)
pada pasien dengan struma nodular.3,6
Mekanisme bagaimana iodin menginduksi tirotoksikosis masih belum
diketahui. Terapi pada kasus ini sulit. Bahkan setelah penghentian iodida
eksogen, uptake 131I oleh kelenjar tiroid masih rendah, tidak cukup untuk
dosis konvensional radioiodin. Peningkatan hormon tiroid sekunder akibat
tingkat iodida juga menyebabkan obat tionamid kurang efektif. Pemberian
obat mungkin diperlukan dalam jangka yang lebih lama (6-9) bulan sebelum
terapi radioiodin. Di sisi lain, apabila uptake terdeteksi, dosis radioiodin yang
lebih besar dapat diberikan untuk menghancurkan jaringan tiroid, atau dengan
penggunaan rekombinan TSH.3,6
4.1 Amiodaron
Amiodaron merupakan obat yang paling sering berhubungan dengan
tirotoksikosis yang diinduksi iodin. Amiodaron kaya akan iodin, obat ini
populer karena efektivitasnya dalam melawan aritmia jantung yang berat.
Meskipun demikian, penggunaannya terbatas akibat toksisitasnya karena
solubilitasnya yang tinggi pada lemak dan kandungan iodin yang tinggi dapat
menginduksi penyakit tiroid. Amiodaron menimbulkan efek yang kompleks
pada tiroid, meskipun sebagian besar pasien (sekitar 80%) tetap dalam status
eutiroid. Secara struktural, obat ini menyerupai T4.6 Dosis amiodaron (200
mg/hari) dihubungkan dengan peningkatan asupan iodin yang sangat tinggi,
menyebabkan peningkatan kadar iodin plasma dan urinaria lebih dari 40 kali
lipat. Amiodaron disimpan di jaringan adiposa, kadar iodin yang tinggi dapat
bertahan selama lebih dari 6 bulan setelah penghentian penggunaan obat.3
Amiodaron menghambat aktivitas deiodinase, dan metabolitnya berfungsi
sebagai antagonis lemah dari kerja hormon tiroid. (harrison).Amiodaron
menghambat deiodinase D1 dan mungkin juga D2, dan bersaing dengan T3
untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid. Amiodaron juga memiliki
efek sitotoksik terhadap sel tiroid melalui induksi apoptosis. Selain itu,
loading iodin, obat amiodaron atau metabolitnya dapat mencetuskan penyakit
tiroid autoimun pada orang yang rentan.6
5. TiroiditisSecara umum, tiroiditis dapat dibagi berdasarkan onset dan durasinya.
Tabel 2. Etiologi tiroiditisEtiologi tiroiditis
Akut
Infeksi bakteri: khususnya Staphylococcus, Streptococcus, dan Enterobacter
Infeksi jamur: Aspergillus, Candida, Coccidioides, Histoplasma, dan
Pneumocystis
Tiroiditis radiasi setelah terapi 131I
Amiodarone (dapat juga terjadi secara subakut atau kronis)
Subakut
Tiroiditis viral (atau granulomatosa)
Silent thyroiditis (termasuk tiroiditis postpartum)
Infeksi mycobacterium
Kronik
Autoimun: tiroiditis fokal, tiroiditis Hashimoto, tiroiditis atrofi
Tiroiditis Riedel's
Tiroiditis parasitik: echinococcosis, strongyloidiasis, cysticercosis
Traumatika: setelah palpasi
Sumber: Longo DL, Fauci AS, Karper DL, Hauser SL, Jameson SL, Loscalzo J, 2012
Tiroiditis Akut
Tiroiditis akut jarang terjadi dan disebabkan infeksi supuratif dari tiroid. Pada
anak-anak dan orang dewasa muda, penyebab tiroiditis akut yang paling
sering adalah sinus piriformis, yaitu sisa dari kantung brankial ke-empat yang
menghubungkan orofaring dan tiroid. Sinus ini umumnya terletak di sebelah
kiri. Struma yang berlangsung lama dan degenerasi pada keganasan tiroid
merupakan faktor risiko pada lansia. Pasien yang mengeluh nyeri pada
kelenjar tiroid seringkali timbul sebagai nyeri pada tenggorokan atau telinga,
dan struma yang kecil dan nyeri dapat timbul secara asimetris. Demam,
disfagia, dan eritema pada kulit di atas kelenjar tiroid sering ditemukan, juga
gejala sistemik lainnya dan limfadenopati.3,6
Diagnosis banding dari nyeri tiroid adalah tiroiditis subakut atau yang lebih
jarang, tiroiditis kronik; perdarahan kista; keganasan termasuk limfoma; dan
yang lebih jarang tiroiditis yang diinduksi amiodaron atau amiloidosis.
Meskipun demikian, tampilan yang tiba-tiba dan gejala klinis dari tiroiditis
akut jarang menimbulkan kebingungan. LED dan leukosit umumnya
meningkat, tetapi fungsi tiroid normal. Biopsi FNA menunjukkan infiltrasi
leukosit polimofronuklear; kultur sampel dapat menunjukkan organisme
penyebabnya. Perhatian khusus harus diberikan pada pasien
immunocompromised karena kemungkinan terjadinya tiroiditis fungal,
mycobacterial, dan tiroiditis pneumosistis. Terapi antibiotik awalnya
berdasarkan pengecatan Gram, dan dapat disesuaikan setelah hasil kultur
biopsi FNA keluar. Tindakan pembedahan mungkin diperlukan untuk
mengeringkan abses, yang dapat diidentifikasi dengan bantuan CT scan atau
USG. Obstruksi trakea, septikemia, abses retrofaring, mediastinitis, dan
trombosis vena jugular dapat menjadi komplikasi tiroiditis akut, tetapi hal ini
jarang terjadi dengan penggunaan antibiotik.3,6
Tiroiditis subakut
Disebut juga sebagai tiroiditis de Quervain, tiroiditis granulomatosa, atau
tiroiditis viral. Virus-virus yang dapat menyebabkan tiroiditis subakut adalah
virus mumps, coxsackie, influenza, adenovirus, dan ekovirus. Diagnosis
tiroiditis subakut seringkali karena gejalanya dapat menyerupai faringitis.
Puncak angka kejadiannya adalah pada usia 30-50 tahun, dengan prevalensi
wanita tiga kali lebih sering dibandingkan pria.3,6
Gambar 1. Fase Klinis Tiroiditis SubakutSumber: Longo DL, Fauci AS, Karper DL, Hauser SL, Jameson SL, Loscalzo
J, 2012
Pada tiroiditis subakut dapat timbul manifestasi tirotoksikosis atau
hipotiroidisme, tergantung dari fase penyakitnya. Pelepasan hormon tiroid
awalnya ditandai dengan fase tirotoksik dan penurunan kadar TSH, lalu
diikuti dengan fase hipotiroid dengan kadar T4 yang rendah dan kadar TSH
yang awalnya rendah tetapi meningkat secara bertahap. Selama fase
penyembuhan, peningkatan kadar TSH disertai dengan perbaikan kerusakan
folikel tiroid menyebabkan normalisasi fungsi tiroid, biasaya terjadi beberapa
bulan setelah onset penyakit.3,6
Silent Thyroiditis
Painless thyroiditis atau silent thyroiditis terjadi pada pasien dengan penyakit
tiroid autoimun. Perjalanan penyakitnya mirip dengan tiroiditis subakut,
kecuali pada silent thyroiditis nyeri tekan tiroid minimal atau bahkan tidak
ditemukan. Kondisi ini terjadi pada 5% wanita 3-6 bulan setelah kehamilan
sehingga disebut dengan tiroiditis postpartum. Khasnya, pasien mengalami
fase singkat resolusi tirotoksikosis selama 2-4 minggu, diikuti dengan
hipotiroidisme selama 4-12 minggu, dan setelahnya resolusi. Tetapi seringkali
hanya satu fase yang muncul. Kondisi ini dihubungkan dengan adanya
antibodi TPO antepartum, dan tiga kali lebih sering pada wanita dengan
diabetes mellitus tipe 1. Seperti pada tiroiditis subakut, uptake iodin
radioaktif awalnya rendah. Selain struma yang tidak nyeri, silent thyroiditis
dapat dibedakan dari tiroiditis subakut dengan kadar LED yang normal dan
adanya antibodi TPO. Terapi glukokortikoid tidak diindikasikan untuk silent
thyroiditis. Gejala tirotoksik yang berat dapat diatasi dengan pemberian
singkat propanolol 20-40 mg tiga sampai empat kali per hari. Terapi
pengganti tiroksin mungkin diperlukan pada fase hipotiroid tetapi harus
dihentikan setelah 6-9 bulan, karena umumnya akan terjadi penyembuhan.
Diperlukan follow-up per tahun karena beberapa orang dari individu ini akan
berkembang menjadi hipotiroidisme permanen. Kondisi ini dapat muncul
kembali pada kehamilan berikutnya.3
Tiroiditis yang diinduksi obat-obatan
Pasien yang menerima sitokin seperti IFN- atau IL-2 dapat berkembang
menjadi tiroiditis yang tidak nyeri. IFN-, umumnya digunakan untuk
mengobati hepatitis B atau C kronik dan keganasan hematologi dan kulit,
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada 5% pasien. Hal ini juga
dihubungkan dengan silent thyroiditis, hipotiroidisme, dan penyakit Graves,
tetapi paling sering terjadi pada wanita dengan antibodi TPO sebellum terapi.3
Tiroiditis Kronik
Tiroiditis fokal ditemukan pada 20-40% kasus autopsi eutiroid dan
dihubungkan dengan auntoimun, khususnya pada keadaan adanya antibodi
TPO. Antibodi ini 4-10 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria.
Penyebab tiroiditis kronis yang paling sering adalah tiroiditis Hashimoto,
yaitu penyakit autoimun yang sering tampil sebagai struma kenyal atau keras
dengna ukuran yang bervariasi. Tiroiditis Riedel merupakan penyakit yang
langka dan khasnya ditemukan pada wanita usia menengah. Penyakit ini
tampil sebagai struma yang tidak nyeri, timbul perlahan, disertai gejala lokal
akibat kompresi esofagus, trakea, vena leher, atau nervus laringeal rekuren.
Fibrosis yang tebal mengganggu arsitektur kelenjar normal dan dapat meluas
sampai ke luar kapsul tiroid. Meskipun demikian, jarang ditemukan disfungsi
tiroid. Struma teraba keras, tidak nyeri, seringkali asimetris dan terfiksaasi,
sehingga mengarah ke keganasan. Seringkali diperlukan biopsi lokal karena
biopsi FNA biasanya tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Terapi
ditujukan untuk mengurangi gejala kompresi dengan tindakan pembedahan.
Pemberian tamoxifen juga dapat berguna. Terdapat hubungan antara tiroiditis
Riedel dan fibrosis idiopatik pada tempat lain (retroperitoneum, mediastinum,
cabang biliaris, paru-paru, dan orbita).3
Sick Euthyroid Syndrome
Penyakit yang akut dan berat dapat menyebabkan kelainan pada kadar TSH
atau hormon tiroid tanpa adanya penyakit tiroid, sehingga seringkali
membingungkan. Penyebab utama perubahan hormonal ini adalah pelepasan
sitokin seperti IL-6. Apabila tidak ada kecurigaan penyakit tiroid,
pemeriksaan fungsi tiroid harus dihindari pada pasien yang sakit akut.3
Pola hormonal yang paling sering pada sick euthyroid syndrome (SES) adalah
penurunan kadar T3 total dan fT3 dengan kadar TSH dan T4 yang
normal.Penurunan kadar T3 berhubungan dengan derajat penyakit. Konversi
T4 ke T3 melalui deiodinasi perifer terganggu, menyebabkan peningkatan
kadar T3 reverse (rT3). rT3 meningkat akibat klirens yang terganggu. Selain itu
T4 dimetabolisme menjadi hormon inaktif T3 sulfat.3
Pasien yang sakit berat dapat hadir dengan penurunan kadar T4 dan T3 total
yang dramatis. Pada kondisi ini, prognosisnya buruk. Faktor utama penurunan
kadar T4 adalah perubahan binding pada TBG. T4 assay umumnya
menunjukkan kadar fT4 yang normal, tergantung dari metode assay yang
digunakan. Kadar TSH bervariasi dari < 0,1 hingga > 20 mIU/L; perubahan
ini berubah setelah perbaikan, menandakan tidak adanya penyakit tiroid yang
mendasari kelainan. Peningkatan kortisol atau pemberian glukokortikoid
dapat memberikan penjelasan sebagian tentang penurunan kadar TSH.
Mekanisme pasiti dari kadar TSH subnormal diketahui pada 10% pasien sakit
dan peningkatan kadar TSH terlihat pada 5% psien masih belum jelas tetapi
kemungkinan dimediasi oleh sitokin seperti IL-12 dan IL-18.3
Penyakit berat dapat menginduksi perubahan kadar hormon tiroid, tetapi
beberapa penyakit tertentu menunjukkan pola kelainan yang berbeda.
Penyakit hepar akut dihubungkan dengan peingkatan total T3 dan T4 akibat
pelepasan TBG; kadar ini menjadi subnormal dengan progresivitas ke arah
kegagalan hati. Peningkatan sementara dari kadar total dan free T4, biasanya
disertai dengan kadar T3 yang normal dapat dilihat pada 5-30% pasien
psikiatri yang sakit akut. Kadar TSH dapat rendah, normal, atau meningkat
pada pasien ini. Pada tahap awal infeksi HIV, T3 dan T4 meningkat, meskipun
terjadi penuurnan berat badan. Kadar T3 nantinya akan menurun seiring
progresivitas penyakit ke arah AIDS, tetapi kadar TSH umumnya tetap
normal. Penyakit ginjal seringkali disertai dengan kadar T3 yang rendah,
dengan kadar rT3 yang normal dan bukan meningkat, akibat faktor yang
belum diketahui yang meningkatkan uptake rT3 ke hati.3
Diagnosis SES. Informasi dari anamnesis mungkin terbatas, dan pasien
seringkali memiliki kelainan metabolik yang lain. Tanda yang membantu ke
arah diagnosis adalah riwayat penyakit tiroid sebelumnya dan tes faal tiroid,
evaluasi derajat dan waktu penyakit akut, dokumentasi pengobatan yang
dapat mempengaruhi fungsi tiroid atau kadar hormon tiroid, dan pengukuran
kadar rT3 dan kadar tiroid bebas dan TSH. Diagnosis SES seringkali dugaan,
hanya dengan resolusi dari hasil pemeriksaan disertai dengan perbaikan klinis
yang dapat menegakkan diagnosis. Terapi SES dengan hormon tiroid masih
diperdebatkan, tetapi kebanyakan merekomendasikan untuk mengawasi tes
faal tiroid selama penyembuhan tanpa perlu memberikan hormon tiroid
kecuali ada riwayat atau bukti yang mengarah ke hipotiroidisme.3
2.4 Manifestasi Klinis
Salah satu poin penting pada pasien dengan tirotoksikosis adalah durasi gejala.
Pasien dengan hipertiroidisme secara khas memiliki manifestasi berbulan-bulan
sebelum datang berobat, tetapi karena peningkatan hormon tiroid dari minggu ke
minggu sangat kecil, pasien jarang menyadari gejala hingga tahap lanjut.
Seringkali pasien merasa bahwa gejalanya terjadi karena sebab lain, contohnya
rasa letih karena tanggung jawab pekerjaan atau keluarga, tidak tahan panas
karena cuaca, dan penurunan berat badan karena makan yang tidak cukup, dan
sesak dan palpitasi karena kurangnya olahraga rutin.6
Di sisi lain, pasien tirotoksikosis akibat tiroiditis dapat menentukan onset
gejalanya secara tepat, mereka biasanya mencari pertolongan medis dalam waktu
kurang dari satu bulan setelah gejala. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
menentukan kronologis dan spektrum gejala. Karakteristik umum lainnya adalah
bahwa gejala dan tanda tirotoksikosis lebih dikenali pada orang muda
dibandingkan yang lebih tua. Istilah masked atau apathetic thyrotoxicosis
terkadang dapat dilihat pada pasien lansia, yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal jantung kongestif disertai dengan aritmia tau sebagai penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya tanpa disertai peningkatan nafsu makan
seperti yang khas terlihat pada pasien yang lebih muda.3,6
Tabel 3. Manifestasi Klinis TirotoksikosisGejala Tanda
Sistem
kardiovaskuler
Palpitasi Takikardi, hipertensi
sistolik, Means-Lerman
scratch pada auskultasi,
atrial fibrilasi
Metabolisme
protein,
karbohidrat,
lipid dan sistem
pencernaan
Nafsu makan bertambah,
badan bertambah kurus,
otot mengecil,
kelemahan otot
proksimal
Penurunan berat badan
Sistem saraf Kecemasan, instabilitas
emosional, rasa letih
Hiperkinetik, tremor
Otot Kelemahan otot, letih
dengan aktivitas minimal
Miopati tirotoksik
Mata Nyeri pada mata Mata melotot, Retraksi
kelopak mata, lid lag,
edema periorbita, injeksi
konjungtiva,
oftalmoplegia
Kulit dan
rambut
Tidak tahan panas,
berkeringat berlebihan,
rambut mudah rontok
Kulit teraba hangat dan
lembab, palmar eritema,
rambut halus dan rapuh,
alopecia, kuku Plumer
atau onikolisis, vitiligo
Sistem respirasi Sesak napas Takipnea
Sistem skeletal Nyeri tulang Osteoporosis, fraktur
patologis
Sistem
hematopoetik
Badan lemas, pandangan
berkunang-kunang
Anemia, splenomegali
Sistem
reproduksi
Oligomenorea,
penurunan fertilitas
(wanita), penurunan
libido dan disfungsi
ereksi (laki-laki)
Ginekomastia
a) Sistem Kardiovaskuler
Perubahan fungsi kardiovaskuler pada pasien tirotoksik merupakan bagian
dari peningkatan kebutuhan sirkulasi akibat hipermetabolisme dan keperluan
untuk membuah panas berlebihan. Pada saat istirahat, resistensi perifer
vaskuler menurun dan cardiac output meningkat sebagai akibat dari
peningkatan detak jantung pada awalnya, dan pada kasus yang lebih berat
disertai dengan volume sekuncup (stroke volume). Hormon tiroid yang
berlebihan juga memiliki efek inotropik langsung terhadap kontraksi jantung
yang dimediasi dengan peningkatan rasio ekspresi rantai berat miosin α
terhadap β. Takikardia hampir selalu ditemukan akibat kombinasi
peningkatan tonus simpatis dan penurunan tonus vagal. Pelebaran tekanan
nadi berasal dari peningkatan tekanan sistolik dan penurunan tekanan
diastolik akibat menurunnya resistensi. Penurunan resistensi disebabkan oleh
peningkatan produksi nitrit oksida.6
Peningkatan tekanan sistolik seringkali dirasakan pasien sebagai palpitasi dan
dapat ditemukan pada inspeksi dan palpasi di daerah perkordial. Karena detak
apeks yang difus dan kuat, jantung terlihat seperti membesar, dan pada
pemeriksaan ekokardiografi dapat menunjukkan peningkatan massa
ventrikuler.6
Sebagai tambahan, periode pre-ejeksi memendek, dan rasio pre-ejeksi
terhadap waktu ejeksi ventrikel kiri berkurang. Bunyi jantung terdengar lebih
kuat, khususnya S1, dan bunyi sistolik “scratchy” di sepanjang linea sternalis
sinistra yang menyerupai gesekan friksional pleuroperikardial (Means-
Lerman scratch) juga dapat terdengar. Manifestasi ini akan berkurang apabila
status metabolik kembali normal.6
Prolapse katup mitral terjadi lebih sering pada penyakit Graves atau
Hashimoto dibandingkan pada populasi normal. Aritmia jantung yang paling
sering adalah supraventrikuler, khususnya pada pasien usia muda. Sebanyak
2%-20% pasien dengan tirotoksikosis mengalami fibrilasi atarium, dan
sekitar 15% pasien dengan fibrilasi atrium lain yang tidak dapat dijelaskan
adalah tirotoksik. Pada penelitian cohort Framingham, pasien berusia lebih
dari 60 tahun dengan kadar TSH yang rendah memiliki resiko 2,8 kali lebih
tinggi terhadap munculnya fibrilasi atrium dibandingkan pasien dengan kadar
TSH normal.6
Fibrilasi atrium mengurangi efisiensi respon jantung terhadap peningkatan
kebutuhan sirkulasi dan dapat berperan terhadap gagal jantung. Usaha untuk
mengubah fibrilasi atrium menjadi sinus ritme tidak diindikasikan apabila
masih terdapat tirotoksikosis, dan sekitar 60% pasien kembali ke sinus ritme
secara spontan setelah pengobatan, yang umumnya terjadi dalam 4 bulan.
Karena tromboemboli jarang terjadi pada pasien usia kurang dari 50 tahun
dengan tirotoksikosis, pemberian antikoagulasi rutin tidak direkomendasikan
pada pasien muda tanpa riwayat penyakit jantung atau trombosis sebelumnya.
Kardioversi elektrik pada pasien fibrilasi atrium yang diinduksi tirotoksikosis
seringkali berhasil meskipun sudah lebih dari satu tahun.6
b) Metabolisme Protein, Karbohidrat, dan Lipid
Stomulasi metabolisme dan produksi panas pada pasien tirotoksikosis terlihat
dari peningkatan laju metabolik basal (BMR), peningkatan nafsu makan,
intoleransi panas, tetapi jarang terjadi peningkatan temperatur tubuh basal.
Meskipun asupan makanan meningkat, keadaan defisit kalori dan nutrisi
seringkali terjadi, tergantung dari derajat peningkatan metabolisme. Baik
sintesis dan kecepatan degradasi protein meningkat. Degradasi protein yang
meningkat akan menyebabkan berkurangnya protein jaringan, yang terlihat
dari penurunan berat badan, otot yang mengecil, kelemahan otot proksimal,
bahkan hipoalbuminemia ringan. Diabetes mellitus yang sudah ada
sebelumnya dapat bertambah berat akibat peningkatan turnover insulin. Baik
lipogenesis dan lipolisis meningkat, tetapi efek yang lebih terlihat adalah
lipolisis, dengan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan gliserol serta
penurunan serum kolesterol pada plasma. Peningkatan mobilisasi dan
oksidasi asam lemak bebas sebagai respon terhadap puasa atau katekolamin
merupakan akibat peningkatan jalur lipolisis oleh hormon tiroid.6
c) Sistem Saraf Simpatis dan Katekolamin
Manifestasi tirotoksikosis dan aktivasi sistem saraf simpatis secara garis besar
serupa. Akan tetapi, konsentrasi epinefrin dan norepinefrin plasma sertai
ekskresi urin dan metabolitnya tidak meningkat pada pasiien tirotoksikosis,
dan efek hormon tiroid berlebih memisahkannya dari katekolamin.
Peningkatan fungsi jantung dengan β-bloker pada pasien hipertiroid
menjelaskan konsep bahwa terjadi peningkatan tonus simpatis atau
sensitivitas jantung terhadap sistem saraf simpatis pada pasien ini. Hormon
tiroid meningkatkan sensitivitas terhadap katekolamin pada kardiomiosit dan
adiposit melalui berbagai macam mekanisme.6
d) Sistem Saraf
Perubahan fungsi sistem saraf pada tirotoksikosis timbul sebagai kecemasan,
labilitas emosional, dan hiperkinesis. Rasa letih dapat disebabkan akibat
kelemahan otot dan insomnia. Emosi yang tidak stabil seringkali ditemukan,
dan kasus yang jarang gangguan mental yang berat juga ditemukan; dapat
timbul reaksi manik depresif, skizoid, atau paranoid.6
Hiperkinesia khas pada pasien tirotoksikosis. Selama wawancara, pasien
sering berganti posisi, dan pergerakannya cepat, menyentak, berebihan, dan
seringkali tidak bertujuan. Pada anak-anak, manifestasinya cenderung lebih
berat, ketidakmampuan dalam berkonsentrasi menyebabkan penurunan
performans sekolah, menandakan adanya attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD). Tremor halus pada tangan, lidah, atau kelopak mata yang
sedikit menutup dapat timbul dan menyerupai Parkinsonisme.
Elektroensefalogram menunjukkan peningkatan aktivitas gelombang cepat,
dan pada pasien dengan gejala konvulsif, frekuensi kejang meningkat.6
e) Otot
Kelemahan dan rasa letih umumnya tidak disertai dengan bukti objektif
kelainan otot, selain dari pengecilan otot seluruh badan yang dihubungkan
dengan penurunan berat badan. Kelemahan terutama dirasakan pada otot
proksimal pada tungkai, menyebabkan kesulitan menaiki tangga atau letih
akibat aktivitas minimal seperti menggunakan pengering rambut atau
mengangkat bayi. Pengecilan otot proksimal dapat melewati proporsi
penurunan berat badan (miopati tirotoksik). Miopati lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan wanita dengan tirotoksikosis dan dapat menutupi
manifestasi lainnya. Pada kasus miopati yang berat, otot tungkai bagian distal,
badan, dan wajah dapat ikut terlibat. Meskipun otot okular jarang terlibat,
gejala dapat menyerupai miastenia gravis atau miastenia oftalmika. Kekuatan
otot kembali normal ketika status metabolik juga kembali normal, tetapi
massa otot membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali ke sedia
kala.6
Penyakit Graves terjadi pada sekitar 3%-5% pasien miastenia gravis, dan
sekitar 1% pasien dengan penyakit Graves mengalami miastenia gravis.
Antibodi dan sel T spesifik terhadap TSH dan reseptor asetilkolin terlibat
pada patogenesis kedua penyakit tersebut. Tidak seperti pada miopati
tirotoksik, hubungan miastenia gravis dan penyakit Graves memiliki
kecenderungan pada wanita. Efek tirotoksikosis dan peningkatannya terhadap
miastenia gravis bervariasi, tetapi pada kebanyakan kasus, miastenia telrihat
pada keadaan tirotoksik dan kembali membaik setelah status metabolik
normal tercapai. Bentuk miastenia yang secara utama melibatkan otot orbita
juga dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan orbitopati Graves dengan
adanya ptosis bilateral dengan berbagai derajat.6
Periode paralisis dari tipe hipokalemia dapat terjadi bersamaan dengan
tirotoksikosis. Adanya kedua penyakit tersebut sering ditemukan pada laki-
laki Asia dan Latin.6
f) Mata
Retraksi kelopak mata bagian atas, bawah, atau keduanya, jelas terlihat
sebagai adanya tepi sklera di antara kelopak mata dan limbus serta merupakan
manifestasi yang sering ditemukan pada semua bentuk tirotoksikosis, tanpa
memandang penyebabnya; sehingga sering disebut sebagai mata melotot yang
khas. Yang sering ditemukan lainnya adalah lid lag, di mana kelopak mata
bagian atas yang tertinggal di belakang bola mata ketika pasien diminta untuk
melirik ke arah bawah secara perlahan, atau tertinggalnya bola mata yang
jelas terlihat ketika mata tertinggal di belakang kelopak mata bagian atas
ketika pasien melirik ke arah atas. Manifestasi okuler ini timbul akibat
peningkatan tonus adrenergik. Penting untuk membedakan tanda-tanda ini,
pada berbagai bentuk tirotoksikosis dari orbitopati autoimun infiltratif, yang
dihubungkan dengan penyakit Graves.6
g) Kulit dan Rambut
Perubahan yang paling khas pada pasien dengan tirotoksikosis lama adalah
kulit yang hangat dan lembab akibat vasodilatasi kulit dan keringat
berlebihan. Siku dapat terasa halus dan berwarna merah muda, dan warna
kulit pasien merona. Eritema palmaris dapat menyerupai “liver palms”, dan
telangektasia dapat muncul. Rambut halus dan rapuh, dapat terjadi
peningkatan rambut rontok. Kuku biasanya lembut dan rapuh. Tanda yang
khas tetapi jarang ditemukan yaitu kuku Plummer atau onikolisis, umumnya
melibatkan jari ke-4 dan ke-5. Vitiligo sering terlihat pada pasien penyakit
tiroid autoimun.6
h) Sistem Respirasi
Dipsneu sering terjadi pada tirotoksikosis berat. Kapasitas vital seringkali
menurun akibat kelemahan otot-otot pernapasan. Selama latihan, ventilasi
meningkat melebihi proporsi peningkatan ambilan oksigen, tetapi kapasitas
difusi paru normal.6
i) Sistem Pencernaan
Peningkatan nafsu makan tidak selalu ditemukan pada pasien dengan derajat
ringan. Pada kasus yang lebih berat, peningkatan asupan makanan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori, dan penurunan berat badan terjadi
dengan berbagai kecepatan. Frekuensi pergerakan usus meningkat, tetapi
diare jarang. Peningkatan pengosongan lambung dan motilitas usus pada
tirotoksikosis merupakan penyebab malabsorpsi ringan dari lemak, fungsi ini
akan kembali normal setelah kembalinya status metabolik ke keadaan normal.
Penyakit celiac dan graves dapat menyertai, dan terdapat peningkatan
prevalensi anemia pernisiosa.6
Gangguan hepar terjadi, khususnya pada tirotoksikosis berat. Terjadi
peningkatan hipoproteinemia dan alanine aminotransferasi (ALT), alkalin
fosfatase tulang atau hepar. Hepatomegali dan ikterus dapat menjadi berat dan
lebih lama, kegagalan hati merupakan penyebab kematian sebelum
keberhasilan terapi pada penyakit Graves. Konsumsi organ splanik meningkat
sesuai dengan laju metabolisme, tetapi aliran dara splanikus tidak meningkat
secara proporsional. Akibatnya, perbedaan oksigen arteriovenosa yang
melewati sphlancic bed meningkat, dan hipoksia yang terjadi berkontribusi
terhadap disfungsi hepar. Penurunan output jantung karena penurunan denyut
nadi akibat β-blocker dapat mengeksaserbasi proses ini, karena
hipermetabolisme hepar tidak ikut turun.6
j) Sistem Skeletal: Metabolisme Kalsium dan Fosfor
Tirotoksikosis dihubungkan dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor
dalam urin dan feses; disertai dengan demineralisasi tulang, seperti yang
terlihat pada densitometri tulang rutin, dan terkadang disertai dengan fraktur
patologis, khususnya pada wanita tua. Perubahan patologis bervariasi, mulai
dari osteitis fibrosa, osteomalasia, atau osteoporosis. Ekskresi produk
pemecahan kolagen pada urin meningkat pada tirotoksikosis. Hormon tiroid
(T3) mempercepat aktivitas osteoklas, menjelaskan penyebab terjadinya
perubahan-perubahan pada tulang. TSH sendiri dapat memiliki kerja lokal
yang membantu menyeimbangkan kerja hormon tiroid pada osteoklas dan
meningkatkan aktivitas osteoblas. Kerja TSH mungkin tidak ditemukan pada
hipertiroidisme, menyebabkan menonjolnya efek kerja hormon tiroid.
Perubahan yang terjadi pada hipertiroidisme ini menyebabkan berkurangnya
densitas tulang pada banyak pasien. Apabila tirotoksikosis diobati, densitas
tulang dapat kembali normal pada banyak pasien muda, tetapi tidak
seluruhnya. Wanita postmenopause dapat mengalami percepatan reduksi
densitas tulang yang memerlukan terapi. Wanita postmenopase yang
diberikan dosis supresif TSH dari hormon tiroid berisiko terjadinya
osteopenia dan memerlukan pendekatan yang lebih agresif. Hiperkalsemia
juga dapat terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis berat. Kadar kalsium total
dalam serum meningkat pada 27% pasien, dan kalsium yang terionisasi
meningkat pada 47% pasien. Konsentrasi alkalin fosfatase dan osteokalsin
juga seringkali meningkat. Temuan ini mirip dengan hiperparatiroidisme
primer dan tirotoksikosis terkadang juga ditemukan. Kadar 25-
hidroksikolekalsiferol plasma menurun pada pasien tirotoksikosis, dan
perubahan ini berdampak pada penurunan absorpsi kalsium di saluran
intestinal dan osteomalasia pada beberapa pasien.6
k) Fungsi Ginjal: Metabolisme Air dan Elektrolit
Tirotoksikosis menimbulkan gejala poliuria ringan yang dapat berujung pada
nokturia. Oleh karena itu, aliran darah renal, filtrasi glomerulus, dan
reabsorpsi tubulus dan sekretori maksimum meningkat. Kalium total
meningkat, dapat diakibatkan penurunan massa tubuh tetapi elektrolit normal
kecuali ketika terjadi paralisis periodik hipokalemia.6
l) Sistem Hematopoesis
Sel darah merah umumnya normal, dinilai berdasarkan indeksnya, akan tetapi
massa eritrosit meningkat. Peningkatan eritropoiesis menyebabkan efek
langsung dari hormon tiroid terhadap sumsum tulang eritroid dan peningkatan
produksi eritropoietin. Selain itu peningkatan volume plasma juga terjadi,
akibatnya kadar hematokrit normal.6
Sekitar 3% pasien dengan penyakit Graves menderita anemia pernisiosa, dan
3% nya memiliki antibodi terhadap faktor intrinsik tetapi absorpsi vitamin B12
normal. Autoantibodi terhadap sel parietal lambung juga terdapat pada pasien
dengan penyakit Graves dan keperluan akan vitamin B12 dan asam folat
menigkat. Leukosit total seringkali rendah akibat penurunan jumlah neutrofil.
Jumlah limfosit absolut dapat normal atau meningkat, berujung pada
limfositosis relatif. Jumlah monosit dan eosinofil juga dapat meningkat.
Pembesaran limpa ditemukan pada 10% pasien, selain itu pembesaran timus
dan nodus limfe sering terjadi. Pembesaran nodus limfe dapat timbul sebagai
massa mediastinum. Hiperplasia timus juga terkadang dapat dilihat pada
pasien dengan kanker tiroid yang meneriuma tiroksin eksogen yang
berlebihan untuk supresi TSH.6
Kadar trombosit dan mekanisme pembekuan intrinsik dalam batas normal,
tetapi konsentrasi faktor VIII seringkali meningkat, dan kembali normal
setelah tirotoksikosis diterapi. Meskipun konsentrasi faktor VIII meningkat,
terjadi peningkatan sensitivitas terhadap warfarin akibat klirens faktor
pembekuan vitamin K-dependen yang lebih cepat.6
m) Fungsi Hipofisis dan Adrenokortikal
Pada kondisi tirotoksik, inaktivasikortisol di hepar semakin cepat dengan
meningkatnya kadar 5 reduktase. Akibat dari perubahan ini, pembuangan
kortisol juga bertambah cepat, tetapi laju sekresinya juga ikut meningkat,
sehingga konsentrasi kortisol plasma tetap normal. Konsentrasi
corticosteroid-binding globulin di plasma juga normal. Ekskresi kortisol
bebas di urin normal atau sedikit meningkat.6
n) Sistem Reproduksi
Tirotoksikosis pada usia muda dapat menyebabkan keterlambatan maturasi
seksual, meskipun perkembangan fisik normal dan pertumbuhan skeletal
dapat cepat terjadi. Tirotoksikosis setelah pubertas mempengaruhi fungsi
reproduksi, khususnya pada wanita. Interval menstruasi dapat memanjang
atau memendek; aliran menstruasi awalnya berkurang dan akhirnya berhenti.
Fertilitas dapat menurun, dan apabila konsepsi terbentuk, terdapat
peningkatan risiko keguguran. Pada beberapa pasien, siklus menstruasi
umumnya anovulatoti dengan oligomenorea, tetapi ovulasi terjadi paling
banyak, oleh endometrium sekretori. Pada pasien dengan siklus anovulatori,
siklus LH dapat menjadi faktor terapi. Pada pasien dengan siklus anovulatori,
siklus tengah ddari subnormal dari LH dapat merupakan penyebabnya. Pada
wanita premenopasue dengan tirotoksikosis, kosnentrasi plasma basal
dilaporkan normal, tapi FSH dapat saja normal. Tirotoksikosis, baik itu
spontan maupun diinduksi oleh hormon eksogen, disertai dengan
penningkatan konsentrasi sex hormone-binding globulin (SHBG) di plasma.
Akibatnya, konsentrasi testosteron total, dihidrotestosteron, dan estradiol
menigkat tetap fraksi bebasnya normal atau hanya sedikit menurun.
Peningkatan ikatan di plasma bertanggungnjawab terhadap penurunan laju
klirens metabolik dari testosteron dan dihidrotestosteron. Tetapi, laju klirens
metabolik estradiol normal, mengindikasikan bahwa metabolisme hormon di
jaringan meningkat. Laju konversi androsetenedion menjadi testosteron,
estron, dan estradiol serta testosteron menjadi dihidrotestosteron menigkat.
Peningkatan kecepatan konversi androgen menjadi hasil-hasil estrogen dapat
menjadi mekanisme ginekomastia dan disfungsi ereksi pada 10% laki-laki
tirotoksik dan iregularitas menstruasi pada wanita. Mekanisme perubahan
menstrual lainnya adalah gangguan amplitudo dan frekuensi pulsasi LH/FSH
yang disebabkan oleh pengaruh hormon tiroid terhadap sinyal GnRH.6
2.5 Diagnosis
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk
itu, telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid
dan etiologi.2
2.5.1 Anamnesis
Dari anamnesis, pasien dengan tirotoksikosis dapat mengeluh berdebar-debar,
sesak napas, dan lemas. Pada pasien tirotoksikosis dapat ditanyakan adanya
penurunan berat badan meskipun nafsu makan pasien meningkat. Gejala-gejala
lain seperti kelemahan otot proksimal, nyeri punggung, tidak tahan panas,
berkeringat berlebihan, dan gelisah umunya terjadi. Gangguan sistem reproduksi
seperti gangguan menstruasi pada wanita atau disfungsi ereksi pada laki-laki
perlu ditanyakan. Pada kasus tirotoksikosis akibat Graves, ditemukan juga
keluhan gangguan penglihatan akibat oftalmopati. Pasien dapat mengeluh mata
berair, seperti ada benda mengganjal, dan silau apabila terkena sinar. Pada pasien
lanjut usia, gejala yang timbul tidak khas, mungkin hanya berupa kelelahan dan
penurunan berat badan. Kondisi ini disebut tirotoksikosis apatetik.2,3,7
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien umumnya terlihat kurus. Gejala toksik pada
pemeriksaan fisik dapat berupa: takikardi, hipertensi sitolik, aritmia, kulit yang
hangat dan lembab, rambut yang rapuh dan halus, eksoftalmos, retraksi atau lag
kelopak mata, ginekomastia, nyeri tulang, tremor, kelemahan otot, dan miopati
proksimal.2,3,7
Pemeriksaan neurologi menunjukkan adanya hiperrefleksia, wasting otot, dan
miopati proksimal yang tidak disertai fasikulasi. Pemeriksaan kelenjar tiroid dapat
ditemukan pembesaran difus maupun lokal yang disertai bruit akibat peningkatan
vaskularisasi kelenjar tiroid.2,7
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan gejala tirotoksik hampir selalu memiliki kadar TSH kurang dari 0,1
mU/L akibat feedback negatif dari hormon tiroid ke hipofisis anterior, disertai
peningkatan konsentrasi tiroksin bebas (fT4). Kadar fT4 meningkat hampir pada
seluruh kasus hipertiroidisme yang jelas. Pemeriksaan fT3 dilakukan pada kondisi
klinis tirotoksikosis namun hasil pemeriksaan fT4 nya normal.4,6
Pada beberapa kondisi seperti pada kehamilan, terjadi peningkatan TBG
fisiologis, sehingga kalkulasi indeks fT4 dapat membantu. Apabila kadar TSH
tidak berkurang maka diagnosis tirotoksikosis dapat disingkirkan, kecuali pada
tumor hipofisis yang mensekresi TSH dan sindroma resistensi hormon tiroid yang
jarang terjadi. Apabila terdapat peningkatan kadar fT3 dan fT4 dan kadar TSH
yang tidak terdeteksi, tidak diperlukan pemeriksaan biokimia lebih jauh. Jika ada
keraguan akan penyebab tirotoksikosis, dapat dilakukan pengukuran uptake
yodium. Pada silent thyroiditis, hipertiroidisme yang diinduksi yodium,
tirotoksikosis faktisia, struma ovarii, dan kanker tiroid metastase, uptake yodium
biasanya rendah.4,6,7
Gambar 2. Algoritma diagnosis tirotoksikosis
Sumber: Franklyn, AJ, K. Boelaert, 2012
Pemeriksaan iostop dengan technetium dapat digunakan untuk membedakaan
antara uptake fokal seperti pada nodul otonom dan difus seperti pada penyakit
Graves. Diagnosis hipertiroidisme Graves dapat dikonfirmasi dengan pengukuran
antibodi TSHR, tetapi pemeriksaan ini belum digunakan secara luas. Antibodi
peroksidase tiroid ditemukan pada 75% kasus hipertiroidisme Graves dan dapat
membantu membedakan penyakit autoimun dari hipertiroidisme nodular toksik.4,6
2.6 Tatalaksana
Prinsip pengobatan tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia pasien, riwayat
alamiah penyakit, modalitas pengobatan yang tersedia, kondisi pasien, dan risiko
pengobatan. Pengobatan tirotoksikosis dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
tirostatika atau obat antitiroid (OAT), tiroidektomi, dan yodium radioaktif.2
2.6.1 Tirostatika
OAT terdiri dari dua golongan, yaitu golongan Tionamid (Propiltiourasil/PTU)
dan golongan Imidazol (Metimazol, Tiamazol, dan Karbimazol). Tujuan
pemberian OAT adalah untuk menurunkan konsentrasi hormon tiroid di perifer.
Obat-obat golongan ini bekerja pada intratiroidal, ekstratiroidal, dan mengenali
proses imunologi pada Penyakit Graves. Pada kelenjar tiroid, OAT menghambat
proses hormon tiroid dengan menghambat proses oksidasi dan organifikasi
iodium, inhibisi coupling iodotirosin, serta memengaruhi struktur dan biosintesis
tiroglobulin. Pada jaringan eksratiroidal, OAT menghambat konversi T4 menjadi
T3. Secara imunologi, OAT mempengaruhi respon imun pada Penyakit Graves
dengan mekanisme yang masih kontroversial.7
Ada dua metode yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT. Pertama
berdasarkan titrasi : mulai dengan dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis
atau laboratoris dosis diturunkan sampai mencapai dosis terendah di mana pasien
masih dalam keadaan eutiroidisme. Metode kedua disebut blok –substitusi, pasien
diberikan dosis besar terus menerus dan apabila tercapai keadaan hipotiroidisme
maka ditambah hormon tiroksin hingga menjadi eutiroidisme pulih kembali.2
Pada pengobatan untuk mencapai remisi penyakit Graves yang ditandai dengan
tes faal tiroid yang normal satu tahun setelah penghentian konsumsi obat), OAT
harus dilanjutkan sampai 12-18 bulan karena durasi yang singkat dihubungkan
dengan angka relaps yang lebih tinggi, sedangkan durasi terapi lebih dari 18 bulan
tidak berhubungan dengan angka remisi yang lebih tinggi.4
Efek samping OAT (Tabel ) terjadi pada sekitar 3% pasien, tetapi umumnya efek
samping ini hanya bersifat sementara dan tidak berbahaya. Efek samping OAT
yan berat dan paling ditakuti adalah agranulositosis, terjadi pada 0,2-0,5% pasien
dan biasanya dalam 2-3 bulan pertama terapi. Agranulositosis ini tidak tergantung
pada dosis, durasi terapi, dan paparan sebelumnya terhadap OAT.4
Tabel 4. Efek Samping Obat Antitiroid
Karbimazol atau Metimazol Propiltiourasil
Efek samping
mayor (jarang)
Agranulositosis, hepatitis
kolestasis, efek teratogenik:
atresia koanal, aplasia kutis,
anemia aplastik,
trombositopenia, dan
hipoglikemia (antibodi anti-
insulin)
Agranulositosis, hepatitis
toksik dan fulminan, liver
failure, vakulitis ANCA
positif, anemia aplastik,
trombositopenia, dan
hipoprotrombinemia
Efek samping
minor yang
sering (1-5%)
Urtikaria atau ruam lainnya,
artralgia, demam,
granulositopenia transien
Urtikaria atau ruam
lainnya, artralgia, demam,
granulositopenia transien
Efek samping
minor yang
jarang (<1%)
Mual muntah, gangguan perasa
atau penghidu, artritis
Mual muntah, gangguan
perasa atau penghidu,
artritis
ANCA= antineutrophil cytoplasmic antibodySumber: Franklyn JA & Boelaert K, 2012.
2.6.2 Radioiodin
Radioiodin menggunakan yodium radioaktif untuk menhancurkan sel-sel tiroid
secara progresif. Radioiodin dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada
hipertiroidisme Graves dan sebagai terapi lini kedua pada pasien yang mengalami
relaps setelah pengobatan OAT.6,7 Radioiodin ditakutkan akan menimbulkan
karsinoma tiroid, leukemia, atau peningkatan kecepatan mutasi sel tiroid. Akan
tetapi, selama setengah abad di mana telah digunakan terapi radioiodin, tidak
terdapat peningkatan prevalensi karsinoma tiroid atau keganasan lainnya pada
pasien yang diterapi dengan radioiodin.6 Kontraindikasi terapi radioiodin adalah
pada ibu hamil atau menyusui, atau pada wanita yang ingin hamil dalam waktu 6
bulan ke depan, serta kecurigaan atau adanya kanker tiroid. Oftalmopati Graves
merupakan kontraindikasi relatif terapi radioiodin. Radioiodin dihubungkan
dengan perburukan oftalmopati Graves. Obat antitiroid biasanya diberikan
beberapa minggu sebelum terapi radioiodin untuk mengurangi gejala simptomatik
dengan lebih cepat dan untuk mencegah eksaserbasi yang dihubungkan dengan
tiroiditis destruktif jangka pendek akibat terapi radioiodin.4
Studi prospektif telah menunjukkan bahwa penggunaan dosis hitung dibandingkan
dosis tetap tidak menunjukkan hasil yang lebih baik, selain itu lebih mahal dan
tidak praktis. Banyak peneliti menyarankan bahwa pemberian dosis tetap cukup
untuk mengubah pasien menjadi kondisi hipotiroid dalam waktu yang singkat.
Dosis tunggal tetap 400-600 MBq direkomendasikan karena dosis yang lebih
rendah dihubungkan dengan tingkat kegagalan yang tinggi dan memerlukan terapi
lanjut. Pemberian 600 MBq dihubungkan dengan tingkat kesembuhan yang lebih
tinggi (85% dalam 1 tahun) dan hipotiroidisme (60% dalam 1 tahun)
dibandingkan dosis tetap yang lebih rendah. Beberapa faktor prediksi
diperlukannya dosis kedua (biasanya diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama)
adalah jenis kelamin laki-laki, kadar fT4 yang sangat tinggi, dan struma yang
teraba. Dosis awal yang tinggi perlu diberikan pada pasien-pasien ini. Karena
adanya risiko hipotiroidisme, fungsi tiroid harus diperiksa tiap 4-6 minggu.
Apabila kondisi eutiroid telah tercapai, berikutnya dilakukan tes faal tiroid setiap
tahun seumur hidup.4
2.6.3 Tiroidektomi
Tindakan pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien yang sudah menjalani
pengobatan dengan OAT namun mengalami relaps.7 Sebelum operasi, pasien
harus dikembalikan ke kondisi eutiroid dengan OAT untuk mencegah krisis
tirotoksik.4 Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes sousio lugol fortior 7-10 jam
preoperatif, dengan maksud menginduksi involusi dan mengurangi vaskularitas
tiroid. Sumber lain merekomendasikan kalium iodin selama minimal 7 hari untuk
mengurangi vaskularisasi tiroid dan kehilangan darah intraoperatif, tetapi pada
prakteknya, hal ini jarang dilakukan.2
Indikasi relatif tindakan bedah adalah struma berukuran besar (kecurigaan atau
adanya diagnosis kanker tiroid merupakan indikasi absolut), kehamilan (apabila
efek samping pengobatan membahayakan kehamilan) atau menginginkan
kehamilan, dan oftalmopati yang jelas. Relaps setelah beberapa kali percobaan
pemberian OAT juga merupakan indikasi relatif. Meskipun radioiodin merupakan
pilihan yang disarankan pada penyakit yang kambuh, satu penelitian di US
menyebutkan bahwa tiroidektomi total lebih efektif secara biaya dibandingkan
terapi radioiodin atau OAT seumur hidup pada penyakit Graves yang relaps.
Pilihan pribadi pasien juga merupakan salah satu faktor pemilihan terapi bedah.
Terapi bedah yang dilakukan adalah tiroidektomi total karena angka relaps pada
tiroidektomi parsial sebesar 30%. Di tangan ahli, angka kejadian
hipoparatiroidisme permanen kurang dari 2% dan kerusakan n. laringeal rekuren
kurang dari 1%.4
2.7 Prognosis
Apabila tidak ditatalaksana optimal, kondisi tirotoksikosis akan mengakibatkan
berbagai komplikasi seperti penyakit jantung tiroid, aritmia, krisis tiroid, dan
eksoftalmos maligna. Terjadinya remisi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor
sebelum pengobatan meliputi ukuran struma, kadar hormon sebelum terapi,
penanda imunologi, jangka waktu sebelum diobati, usia, jenis kelamin,
oftalmopati, dan kebiasaan merokok. Selain itu, faktor pengobatan seperti durasi,
dosis, respon, dan regimen terapi juga berpengaruh terhadap remisi.7
BAB III
KESIMPULAN
1. Tirotoksikosis adalah sindroma klinis akibat kelebihan hormon tiroid yang
beredar di sirkulasi, sementara hipertiroidisme adalah kondisi akibat
kelenjar tiroid yang hiperaktif.
2. Tirotoksikosis lebih sering terjadi pada wanita (2%) dibandingkan pria
(0,2%).
3. Penyebab tirotoksikosis dapat berasal dari hipertiroidisme atau tanpa
disertai hipertiroidisme.
4. Etiologi tirotoksikosis yang paling banyak adalah penyakit Graves, struma
multinodosa toksik, dan adenoma toksik.
5. Gejala klasik tirotoksikosis adalah rasa berdebar-debar, penurunan berat
badan meskipun nafsu makan meningkat, tidak tahan panas, berkeringat
berlebihan, dan rasa gelisah.
6. Pasien tirotoksik hampir selalu memmiliki kadar TSH kurang dari 0,1
mU/L akibat feedback negatif dari hormon tiroid ke hipofisis anterior,
disertai peningkatan konsentrasi tiroksin bebas (fT4).
7. Pengobatan tirotoksikosis dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaoitu
tirostatika atau obat antitiroid (OAT), tiroidektomi, dan yodium radioaktif.
8. Tujuan pemberian OAT adalah untuk menurunkan konsentrasi hormon
tiroid di perifer. OAT terdiri dari dua golongan, yaitu tionamid dan
imidazol.
9. Ada dua metode yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT, yaitu
metode titrasi dan metode blok-substitusi. Pada metode titrasi, obat
dimulai dengan dosis besar kemudian berdasarkan klinis atau laboratoris
dosis diturunkan hingga mencapai dosis terendah di mana pasien masi
dalam kondisi eutiroid. Pada metode blok-substitusi, pasien diberikan
OAT dosis besar terus-menerus dan ketika dicapai keadaan hipotiroidisme
maka ditambah hormon tiroksin hingga mencapai kondisi eutiroid.
10. Radioiodin bekerja dengan menggunakan radioaktif untuk menghancurkan
sel-sel tiroid secara progresif. Radioiodin dapat digunakan sebagai terapi
lini pertama pada hipertiroidisme Graves dan sebagai terapi lini kedua
pada pasien yang mengalami relaps setelah pengobatan OAT.
11. Tiroidektomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang sudah mengalami
pengobatan dengan OAT namun mengalami relaps. Sebelum operasi,
pasien harus dikembalikan ke kondisi eutiroid untuk mencegah krisis
tirotoksik.
12. Komplikasi tirotoksikosis adalah penyakit jantung tiroid, aritmia, krisis
tiroid, dan eksoftalmos maligna.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gardner, DG, Shoback, D. 2007. The Thyroid Gland. In: Greenspan’s
Basic & Clinical Endocrinology, 8th ed. Mc-Graw Hill, New York.
2. Djokomoeljanto, R. 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan
Hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo, AW, Setiyohadi, B, Alwi, I,
Simadibrata, M, Setiati, S (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV. Interna Publishing, Jakarta, hal. 2003-2008.
3. Longo DL, Fauci AS, Karper DL, Hauser SL, Jameson SL, Loscalzo J.
2012. Disorders of The Thyroid Gland. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 18th ed. Mc-Graw Hill, New York, p. 593-601.
4. Franklyn, AJ, Boelart, K. Thyrotoxicosis. Lancet 2012; 379:1155-66.
5. Pearce, EN. Clinical Review: Diagnosis and management of
thyrotoxicosis. BMJ 2006; 332: 1369-72.
6. Mandel, SJ, Larsen, PR, dan Davies, TF. 2011. Thyrotoxicosis. In:
Melmed, S, Polonsky, KS, Larsen, PR, Kronenberg, HM (editors).
Williams Textbook of Endocrinology, 12th ed. Elsevier Saunders,
Philadelphia, p. 362-399.
7. Priantono, D, Sulistianingsih, DP. 2014. Hipertiroidisme. Dalam: Tanto,
C, Liwang, F, Hanifati, S, Pradipta, EA. Kapita Selekta Kedokteran
Essentials of Medicine, Jilid II edisi IV. Media Aesculapius, Jakarta, hal.
787-790.